dasar teori teknik peledakan, bahan peledakan, pola peledakan, geometri peledakan
DESCRIPTION
Jurusan Teknik PertambanganKuliah Teknik PeledakanDasar TeoriPola PemboranBahan PeledakanSTANGGERD DRILL PATTERNPerlu diperhatikan dalam pemilihan kombinasi dari pemboran dan pola peledakan dengan delay detonator (delay pattern) untuk mendapatkan fragmentasi atau arah lemparan yang diinginkan. Pada umumnya square pattern digunakan dengan kombinasi V delay pattern 2.4. Bentuk Pola Pemboran Pada Tambang DalamUntuk membuat lubang maju didalam tambang bawah tanah atau Tunnel perlu diciptakan suatu bidang bebas (free face) untuk kebutuhan peledakan. Untuk menambah free face dibutuhkan “Cut”. “Cut” adalah suatu lubang bukaan yang diciptakan pada suatu face yang belum ada free face-nya, bentuknya berupa lubang bor sedalam kemajuan yang diperoleh.B A B IP E N D A H U L U A NBahan peledak merupakan sarana yang efektif sebagai alat pembongkar batuan dalam industri pertambangan. Oleh karena itu itu kehadirannya dimanfaatkan sebagai barang yang berguna, tetapi disamping itu juga merupakan barang yang berbahaya. Untuk itu dalam pelaksanaan pekerjaan peledakan harus hati-hati sesuai dengan peraturan dan teknikl-teknik yang diterpkan, sehingga pemanfaatannya lebih efesien dan aman.Penggunaan bahan peledak dalam operasi (teknik peledakan) penting untuk diketahui, sehingga ketepatan dalam pekerjaan peledakan dapat tercapai. Hal ini perlu karena banyaknya masalah yang terlibat dalam penaganannya.Sebelum pelaksanaan keputusan pekerjaan peledakan, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adanya faktor-faktor pemilihan bahan peledak dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ledakan.B A B IIPOLA PEMBORAN DAN POLA PELEDAKKAN2.1. Pola Pemboran (Drill Paterns)Hampir semua pola pemboran dapat diklasifikasikan menjadi :- Square.- Stanggred atau Zig-Zag.Dalam square patern jarak burden dan spasing sama (Gambar 2.1a), Rektangular pattern jarak spasing dalam satu baris lebih besar dari pada jarak burden (Gambar 2.1b). Square atau rektangular pattern dapat dibuat dengan membor sistem stranggered seperti terlihat pada gambar 2.1 dan 2.2.(a) Square drill pattern (b) Rectangular drill patternGAMBAR 2.1SQUARE DAN RECTANGULAR DRILL PATTERNGAMBAR 2.2STANGGERD DRILL PATTERN2.2. Pola Peledakan• Square PatternPerlu diperhatikan dalam pemilihan kombinasi dari pemboran dan pola peledakan dengan delay detonator (delay pattern) untuk mendapatkan fragmentasi atau arah lemparan yang diinginkan. Pada umumnya square pattern digunakan dengan kombinasi V delay pattern (Gambar 2.3).GAMBAR 2.3. V DELAY PATTERNNomor tiap lubang bor emnunjukan nomor urut ledakannya.Peledakan dengan detonator delay seorang blaster dapat membagi ledakan menjadi beberapa bagian yang lebih kecil tiap ledakannya. Dengan detonator delay dapat memberikan penundaan diantar lubang tembak yang mendekat. Beberapa keuntungan diperoleh :- Mengurangi getaran- Mengurangi overbreak dan flyrock- Mengurangi fragmentasiFragmentasi yang bagus dapat diperoleh bila saat peledakan dari masing-masing kolom isian (Charge) ada cukup waktu untuksetelah ada free face tambahan (sebelum isian bahan peledak yang lain sempat meledak).• Rectangular PatternRectangular pattern biasanya dibuat dengan sistem straggered pattern untuk mendapatkan distribusi bahan peledak dengan baik. Dengan pola ini baris demi baris daripada delay pattern lebih cocok dengan seperti apa yang digambarkan seperti pada gambar 2.4a. Cara ini juga sering dipakai untuk memotong overburden dimana lemparan optimum diperlukan. Bila getaran menjadi batasan, pemboran diperbanyak dan tiap barisnya juga dipasang delay detonator yang lebih banyak seperti terlihat pada gambar 2.4b.a).b).GAMBAR 2.4.STRAGGERED PATTERN DENGAN PELEDAKAN KE ARAH POJOK (COMMER)Gambar 2.5 adalah sebuah ilustrasi arah lemparan bersamaan dengan presplit dengan V type Pattern.GAMBAR 2.5ARAH LEMPARTRANSCRIPT
B A B I
P E N D A H U L U A N
Bahan peledak merupakan sarana yang efektif sebagai alat pembongkar batuan dalam
industri pertambangan. Oleh karena itu itu kehadirannya dimanfaatkan sebagai barang
yang berguna, tetapi disamping itu juga merupakan barang yang berbahaya. Untuk itu
dalam pelaksanaan pekerjaan peledakan harus hati-hati sesuai dengan peraturan dan
teknikl-teknik yang diterpkan, sehingga pemanfaatannya lebih efesien dan aman.
Penggunaan bahan peledak dalam operasi (teknik peledakan) penting untuk diketahui,
sehingga ketepatan dalam pekerjaan peledakan dapat tercapai. Hal ini perlu karena
banyaknya masalah yang terlibat dalam penaganannya.
Sebelum pelaksanaan keputusan pekerjaan peledakan, perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu adanya faktor-faktor pemilihan bahan peledak dan faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil ledakan.
B A B II
POLA PEMBORAN DAN POLA PELEDAKKAN
2.1. Pola Pemboran (Drill Paterns)
Hampir semua pola pemboran dapat diklasifikasikan menjadi :
- Square.
- Stanggred atau Zig-Zag.
Dalam square patern jarak burden dan spasing sama (Gambar 2.1a), Rektangular
pattern jarak spasing dalam satu baris lebih besar dari pada jarak burden (Gambar
2.1b). Square atau rektangular pattern dapat dibuat dengan membor sistem
stranggered seperti terlihat pada gambar 2.1 dan 2.2.
(a) Square drill pattern (b) Rectangular drill pattern
GAMBAR 2.1
SQUARE DAN RECTANGULAR DRILL PATTERN
GAMBAR 2.2
STANGGERD DRILL PATTERN
2.2. Pola Peledakan
Square Pattern
Perlu diperhatikan dalam pemilihan kombinasi dari pemboran dan pola peledakan
dengan delay detonator (delay pattern) untuk mendapatkan fragmentasi atau arah
lemparan yang diinginkan. Pada umumnya square pattern digunakan dengan
kombinasi V delay pattern (Gambar 2.3).
GAMBAR 2.3. V DELAY PATTERN
Nomor tiap lubang bor emnunjukan nomor urut ledakannya.
Peledakan dengan detonator delay seorang blaster dapat membagi ledakan menjadi
beberapa bagian yang lebih kecil tiap ledakannya. Dengan detonator delay dapat
memberikan penundaan diantar lubang tembak yang mendekat. Beberapa
keuntungan diperoleh :
- Mengurangi getaran
- Mengurangi overbreak dan flyrock
- Mengurangi fragmentasi
Fragmentasi yang bagus dapat diperoleh bila saat peledakan dari masing-masing
kolom isian (Charge) ada cukup waktu untuksetelah ada free face tambahan
(sebelum isian bahan peledak yang lain sempat meledak).
Rectangular Pattern
Rectangular pattern biasanya dibuat dengan sistem straggered pattern untuk
mendapatkan distribusi bahan peledak dengan baik. Dengan pola ini baris demi
baris daripada delay pattern lebih cocok dengan seperti apa yang digambarkan
seperti pada gambar 2.4a. Cara ini juga sering dipakai untuk memotong overburden
dimana lemparan optimum diperlukan. Bila getaran menjadi batasan, pemboran
diperbanyak dan tiap barisnya juga dipasang delay detonator yang lebih banyak
seperti terlihat pada gambar 2.4b.
a).
b).
GAMBAR 2.4.
STRAGGERED PATTERN DENGAN PELEDAKAN KE ARAH POJOK
(COMMER)
Gambar 2.5 adalah sebuah ilustrasi arah lemparan bersamaan dengan presplit
dengan V type Pattern.
GAMBAR 2.5ARAH LEMPARAN DENGAN SISTEM NARROWER V TYPE DELAY PATTERN
2.3. Beberapa Lobang Tembak dengan Pola Peledakan yang Terarah
Gambar dibawah ini merupakan pola peledakan dengan arah lemparan yang terarah.
Nomor 1, 2 dan seterusnya adalah nomor delay detonator dengan penundaan,
sedangkan panah adalah arah pelemparan “broken rock”.
LEMPARAN BATUAN MENYEBAR KE DEPAN
LEMPARAN BATUAN SEDIKIT KE TENGAH
2.4. Bentuk Pola Pemboran Pada Tambang Dalam
Untuk membuat lubang maju didalam tambang bawah tanah atau Tunnel perlu
diciptakan suatu bidang bebas (free face) untuk kebutuhan peledakan. Untuk
menambah free face dibutuhkan “Cut”. “Cut” adalah suatu lubang bukaan yang
diciptakan pada suatu face yang belum ada free face-nya, bentuknya berupa lubang
bor sedalam kemajuan yang diperoleh.
Tipe-tipe “Cut” ada tiga macam :
1. Burn Cut, dipakai untuk suatu lubang bukaan yang kecil.
2. Wegde/Angled Cut, dipaki untuk lubang bukaan yang relatif besar.
3. kombinasi dari ketiga tipe tersebut.
Pola keseluruhan dalam pembuatan lubang maju (opening) tertentu, terdiri atas “cut
hole”, “relief/breast hole”, “angle hole” dan “tri hole”, disebut “round”.
ROUND
1.a. Bentuk pola pemboran “burn Cut” (paralel Out), dengan O lubang sama :
BURN CUT / PARALEL CUT
1.b Bentuk bola pemboran “Burn Cut” Dengan 0 lubang dari salah satu
atau lebih mempunyai diameter
lebih besar
2. Bentuk pola pemboran “Wedge/angled cut”/V Cut
2.5. Sistem Kemajuan dari Lubang Bukaan
Sistem kemajuan dari pada lubang bukaan (tunel) pada facenya ada dua cara. Yaitu :
- Full Face Drive dan
- Top heading and bench
Jumlah lubang bor yang diperlukan dalam satu face, tergantung pada luas muka kerja.
Misal untuk luas lubang buka face area =40 m2 di perlkan jumlah lubang bor 75 ( untuk
batuan keras) dan face area = 50 m2 di perlukan jumlah lubang bor 80 buah ( batuan
keras ) dan 75 buah ( untuk batuan sedimen).
Sistem pembuatan Lubang Maju :
FULL FACE TOP HEADING AND BENCH
BAB III
TEKNIK PELEDAKAN
A. DESAIN PELEDAKAN
Istilah pemboran dan peledakan dimaksudkan sebagai methode penggalian dan
pembongkaran batuan secara tertentu. Sebelum operasi pemboran dimulai penentuan
letak lubang bor harus dievaluasi dengan hati-hati untuk mendapatkan hasil yang
optimum dari bahan peledak yang dipilih.Lebih dari pada itu, penyediaan lubang tembak
yang tepat untuk pembongkaran dengan biaya rendah, Karakteristik massa batuan dan
kemampuan pembuatan lubang tembak harus diidentifikasi.
Kondisi-kondisitertentu pada suatu lokasi akan mempengaruhi secara detail daripada
desain peledakan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain peledakan
antara lain :
- Diameter lubang bor
- Ketinggian jenjang (bench hight)
- Burden dan spasing
- Struktur batuan
- Fragmentasi
- Kestabilan jenjang (bench stability requirement)
- Environmental restriction dan tentu juga
- Type bahan peledak yang akan digunakan, termasuk eneginya.
Walaupun variabel-variabel desain peledakan telah tercover dengan baik, namun peranan
lain yang juga memainkan adalah faktor keseimbangan sensitif antara ilmu dan unsur seni
peledakan masih diperlukan. Informasi, baik secara kwalitatifmaupun kwantitatif perlu
dianalisa secara matang dalam proses desain peledakan (surface blast desain).
3.1. Desain guidelines
Hubungan antara berbagai dimensiyang digunakan dalam perencanaan peledakan
dapat diintruksikan secara geometris pada Gambar 3.1.
Disamping sifat-sifat batuan, garis-garis pedoman (guidelines) secara rule of thumb,
faktor-faktor dibawah ini telah diterapkan pada desain peledakan. Faktor-faktor
tersebut adalah :
- Diameter lubang bor
- Ketinggian jenjang dan kedalaman lubang bor
- Burden, spasing, subdrilling dan stemming
- Arah pemboran
GAMBAR 3.1GEOMETRIS PELEDAKAN SISTEM JENJANG
3.1.1. Diameter lubang bor
Pemilihan diameter lubang bor tergantung pada tingkat produksi yang diinginkan.
Dengan lubang bor yang lebih besar, lenih nesar pula tingkat produksi yang dihasilkan.
Pemilihan ukuran lubang bor secara tepat adalah penting untuk memperoleh hasil
fragmentasi secara maksimal dengan biaya rendah.
Faktor-faktor yang membatasi pemilihan diameter lubang bor antara lain :
1. Ukuran fragmentasi yang diinginkan
2. Perlu pengisian dengan bahan peledak yang rendah (sedikit) karena bahay getaran
(ground vibration) yang akan ditimbulkan.
Pada umumnya ada 3 kriteria dalam menentukan lubang bor yang akan digunakan, yaitu
kesediaan alat bor, kedalaman yang akan dipotong/diledakan dan jarak terdekat terhadap
bangunan.
Disamping itu, diameter lubang saling berkait dengan ketinggian jenjang (Gambar 3.3)
dan burden. Untuk kontrol desain dengan hasil fragmentasi yang bagus, menurut
pengalaman, diameter lubang bor harus berkisar antar 0,5 – 1% dari tinggi jenjang, atau
D = 5 – 10 K
Dimana d = diameter lubang bor (mm)
K = tinggi jenjang (m)
Dengan diameter lubang yang kecil, konsekwensinya burden juga kecil,akan
memeberikan hasil fragmentasi yang bagsu dengan getaran (ground vibration) rendah.
Hal ini perlu diperhatikan, lebih-lebih kalau lokasi peledakan dekat dengan perumahan
penduduk. Tapi pada daerah yang bebas/jauh dari perumahan bisa dipakai lubang bor
yang lebih besar untuk mengurangi jumlah pemboran.
Pemakaian lubang bor kecil pada kondisi batuan yang sangat berjoint akan menghasilkan
fragmentasi yang baik dari pada lubang bor yang besar. Pada permukaan tiap-tiap joint
terdapat reflaksi gelombang ledak yang dihasilkan oleh proses peledakan, karena bisa
berfungsi sebagai free face (Gambar 3.2)
Gambar 3.2.
EFEK JOINT PADA FRAGMENTASI BILA MENGGUNAKAN DIAMETER
LUBANG BOR BESAR
(a). Dan diameter kecil
(b).Daerah yang diarsir menunjukan fragmentasi kurang (insufficient fragmentation)
3.1.2. Ketinggian jenjang dan kedalaman lubang bor
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor dan alat
muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor dan
diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter lubang kecil,
sedangkan diameter bor besar untuk jenjang yang tinggi (Gambar 3.3) memberikan
ilustrasi tentang beberapa faktor dalam penentuan jenjang sehubungan dengan diameter
lubang bor.
Gambar 3.3
HUBUNGAN DIAMETER LUBANG BOR DENGAN KETINGGIAN JENJANG
Secara praktis hubungan diantara lubang bor dengan ketinggian jenjang dapat
diformulasikan sbb :
K = 0.1 – 0.2 d
Dimana K = Tinggi Jenjang (m)
d = diameter Lubang Bor (mm)
3.1.3. Burden, Spasing, Subdrilling dan Stemming
Burden
Burden dapat didefinisikan sebagai jarak dari lubang bor terhadap bidang bebas (free
face) yang terdekat pada saat terjadi peledakan. Peledakan dengan jumlah baris (row)
yang banyak, true burden tergantung penggunaan bentuk pola peledakan yang digunakan.
Bila peledakan digunakan delay detonator dari tiap-tiap baris delay yang berdekatan akan
menghasilkan free face yng baru.
Burden merupakan variabel yang sangat penting dan krisis dalam mendesain peledakan.
Dengan jenis bahan peledak yang dipakai dan batuan yang dihadapi, terdapat jarak
maksimum burden agar peledakan sukses (Gambar 3.4) memberikan ilustrasi efek variasi
jarak dengan jumlah bahan peledak formasi yang sama.
Gambar 3.4.
SCHEMATIC EFEC JARAK BURDEN
Jarak burden juga sangat erat hubungannya dengan besar kecilnya diameter lubang bor
yang digunakan. Secara garis besar jarak burden optimum biasanya terletak diantara 25 –
40 diameter lubang, atau
B = 25 – 40 d
Dimana B = Burden (mm)
d = Diamater Lubang Bor (mm)
Bila karakteristik batuan dan bahan peledak diketahui, jarak burden dapat dihitung
menurut formula Konya sebagai berikut :
B = 3.15 De
Dimana B = Burden (ft)
De = Diameter Bahan Peledak (in)
SGe = Spesific Gravity Bahan Peledak
SGr = Spesific Gravity Batuan
Spacing
Spasing adalah jarak diantara lubang tembak dalam suatu row. Spacing merupakan fungsi
dari pada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan terlebih dahulu. Secara teoritis,
optimum spacing (S) berkisar antar 1,1 – 1,4 burden (B) atau :
S = 1,1 – 1,8 B
Jika spacing lebih kecil dari pada burden cenderung mengakibatkan steaming ejection
yang lebih dini. Akibatnya gas hasil ledakan dihamburkan ke atmosfer dibarengi dengan
noise dan air blast. Sebaliknya jika spacing terlalu besar diantara lubang tembak
fragmentasi yang dihasilkan tidak sempurna. Biasanya rata-rata S = 1,25 B.
Subdrilling
Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari pada lubang bor dibawah rencana lantai
jenjang. Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan pada lantai, karena
dibagian ini merupakan tempat yang paling sukar diledakan. Dengan demikian,
gelombang ledak yang ditimbulkan pada lantai dasar jenjang akan bekerja secara
maksimum.
Bila subdrilling berlebih adalah mubadzir (sia-sia) dan menghasilkan excessive ground
vibration, karena pengurangan faktor yang lebih. Bila subdrilling tidak cukup dapat
mengakibatkan problem tonjolan pada lantai. Secara praktis subdrilling (J) dibuat antara
20 – 40% burden (B), atau
J = (0,2 – 0,4) X B
Stemming
Stemming adalah tempat materail penuntup di dalam lubang bor diatas. Kolom isian,
bahan peledak. Stemming berfungsi untuk mengurung gas ledakkan. Ukuran stemming
(S) yang diperlukan tergantung jarak burden (B) dan biasanya dibuat :
S = (0,7 – 1) X B
3.1.4. Arah Pemboran
Ada dua cara dalam membuat lubang bor, yaitu membor dengan lubang mirirng atau
lubang tegak (Gambar 3.5)
GAMBAR 3.5. PEMBORAN TEGAK (a) DAN MIRING (b)
Dengan lubang bor miring biasanya untuk mengurangi problem back break. Lebih dari
itu lubang bor miring mempunyai lebih banyak keuntungan dari pada yang tegak, yaitu :
- bisa mengurngi biaya pemboran dan konsumsi bahan peledak, karena dengan burden
yang lebih besar.
- akan diperoleh jenjang (bench) yang stabil
- mengurangi resiko timbulnya tonjolan dan brack break
- hasil tumpukan (much pile shape) yang lebih bagus.
Dengan pemboran miring gelombang ledak (scock wave) yang dipantulkan dari lantai
dasar jenjang akan lebih besar (Gambar 3.6)
GAMBAR 3.6. ILUSTRASI KEUNTUNGAN LUBANG BOR MIRING
Dengan pemboran tegak, pada bagian atas jenjang kurang bagus karena ada back break,
fragmentasi kurang dan pada bagian lantai dasar daya ledak tidak bisa sepenuhnya
tersalurkan. Tapi dengan bor miring, yang biasany dengan kemiringan 3 : 1 (18º) bisa
menghindari problem tersebut diatas. Sebaliknya, terdapat beberapa kerugian atau
kesulitan dalam membuat lubang bor miring, antara lain :
- Sulit melakukan pemboran secara akurat (human erros), khususnya bila membor yang
lebih dalam
- Diperlukan supervision yang ketat.
Disamping itu “drillhole straghtness” adalah merupakan faktor yang penting. Jika arah
pemboran tidak lurus (aligment erros) akan memberikan pengaruh terhadap
biayapemboran dan peledakan yang condong lebih besar. Disamping itu berakibat jarak
spacing atau burden akan berubah dari desain yang telah ditetapkan, karena saling
berhimpit/mengecil atau membesar (Gambar 3.7).
GAMBAR 3.7. DRILLHOLE STRAGHTNESS(Kelurusan Lubang Bor)
3.2. Distribusi Bahan Peledak
3.2.1. Kolom isisan bahan peledak (explosive column)
Agar sedapat mungkin seluruh energi bahan peledak, dalam suatu ledakan,
termanfaatkan untuk sejumlah massa batuan yang akan diledakan, maka distribusi
bahan peledak didalam lubang bor adalah satu-satunya faktor yang penting demi
suksesnya hasil peledakan. Bila Bulk explosive, misalnya ANFO atau bulk
emulsion, dimasukan ke dalam lubang bor seluruh cross-section lubang bor dapat
terisi penuh, keadaan demikian disebut fully “coumpled”. Tapi bila bahan peledak
cartridge digunakan biasanya berdiameter lebih kecil dari pada lubang bor, untuk
kemudahan saat pengisian, keadaan demikian karena ada rongga/udara disebut
“decoupled” terhadap dinding lubang bor (Gambar 3.8)
GAMBAR 3.8. ILLUSTRASI FULLY COUPLED DAN DECOUPLED
Tingkat decoupling dapat mempengaruhi daya kerja yang diperoleh didalam kolom
isian bahan peledak. Karena adanya decoupling borehole presure akan berkurang,
sehingga hasil kerja tidak tersalurkan seluruhnya kepada sejumlah massa batuan
yang harus diledakan.
3.2.2. Menghitung berat bahan peledak dalam kolom isian
Berat bahan peledak yang terdapat di dalam kolom isian pada tiap lubang bor
merupakan fungsi dari pada density, diameter dan kolom isian bahan peledak. Berat
bahan peledak tersebut (loading factor) dapat dihitung dengan cara sbb :
Loading factor = Loading Density X Panjang Kolom Isian
Ew = 7,85 x De2 x ρ x Ecl
de = 7,85 x De2 x ρ
dimana Ew = Berat bahan peledak dalam kolom isian (kg) (Loading factor)
De = Diameter bahan peledak (dm)
ρ = Density bahan peledak (kg/dm3)
Ecl = Panjang kolom isian (m)
de = Loading density (kg/m)
3.2.3. Powder Factor (PF)
Powder Factor “ adalah hubungan matematis antara bahan peledak terhadap jumlah
batuan yang diledakan. Istilah powder factor disebut juga “speccific charge
weight”. Ada 4 cara dalam menyatakan powder factor :
1. Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan (kg/m3 )
2. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan (kg/ton)
3. Volume batuan per berat bahan peledak (m3/kg)
4. Berat batuan per berat bahan peledak (ton/kg)
Secara umum, powder factor dapat dihubungkan dengan unit hasil produksi pada
operasi peledakkan. Dengan powder factor dapat diketahui komsumsi bahan
peledak yang dipakai untuk menghasilkan sejumlah batuan. Dari pengalaman, harga
powder factor pada operasi penambangan, dengan batuan yang relatif solid, berkisar
antara 0,30-0,60 kg/m3.
- Untuk menghitung dengan basis volume (cubik yard) tiap lubang bor dihitung
seperti persamaan berikut
V= (B x S xH) /27
Dimana V = Volume (cubic yard)
B = Burden (ft)
S = Spacing (ft)
H = Tinggi jenjang (ft)
Untuk menghitung dengan basis berat (ton) tiap lubang bor dipakai persaman
seperti berikut :
W = (B x S x H) /27 x (27) / 2000
Dimana W = berat batuan (ton)
ρ = Density batuan (lb/ft3)
3.2.4. Decking (deck loading)
Decking adalah suatu cara membagi kolom isian bahan peledak menjadi 2 (dua)
atau lebih. Dengan cara ini, diantara kolom isian bahan peledak diisi dengan
material pengisi, steamming (misalnya drill cutting, crushed stone atau pasir).
Cara ini biasanya diterapkan pada daerah batuan yang berlapis – keras – lemah (soft
seam) atau terdapat rongga-rongga.
Alasan lain dengan decking adalah untuk mengurangi getaran (ground vibration)
atau mengurangi berat bahan peledak tiap delay. Jarak decking minimal 6 x
diameter lubang.
GAMBAR 3.9. TYPICAL DECK LOADING
3.2.5. Prinsip Priming
Primers
Primer adalah bahan peledak yang menerima penggalak dari detonator atau
detonating cord. Hasil dari ledakkan tersebut kemudian disalurkan ke bahan peledak
yang mempunyai sesitivitas sama atau yang kurang sensitive. Primer berbeda
dengan booster dimana primer adalah bahan peledak yang dipasangi/berisi dengan
detonator atau detonating cord sedang booster tidak.
Bahan peledak ANFO adalah kurang sensitif terhadap detonator saja (No. 6). Agar
bisa meledak diperlukan primer. Performan ANFO dapat dipengaruhi oleh diameter
lubang, besar butir, density, tingkat kepadatan dan moisture. Dengan diameter
lubang yang lebih besar VOD ANFO akan lebih besar pula.
Diameter dan Panjang Primer
Gambar 2.10 menunjukkan efek diameter primer terhadap kolom ANFO yang
berdiameter 3 in. Bila diameter primer sama dengan diameter kolom ANFO, VOD
ANFO sangat tinggi pada awal ledakkan, kemudian baru dicapai Vod stabil (jauh
dari primer). Sedangkan bila diameter primer lebih kecil dari pada diameter ANFO,
VOD ANFO pada awal ledakkan lebih rendah.
Primer harus cukup panjang untuk diperoleh rated VOD. Panjang primer harus
paling tidak sama dengan atau lebih besar dari pada diameternya. Lebih baik
panjangnya kurang lebih 2 x diameter untuk mendapatkan kepastian stable flat
pressure yang terbentuk pada primer.
GAMBAR 3.10. EFEK DIAMETER PRIMER DENGAN VOD AWAL DAN
DIAMETER KOLOM ANFO = 3”
Posisi Primer
Bila primer tidak cukup ANFO akan meledak dengan Vod yang rendah, atau
bahkan bisa gagal tidak meledak. Bila hal ini terjadi hasil ledakkan tidak akan
memberikan energi secara penuh dan akan menghasilkan gas-gas beracun, fumes
dan smoke.
Walaupun dengan penggunaan primer yang tepat akan berhasil, tetapi performnya
masih dipengaruhi oleh primer.
Secara umum, lokasi primer berpengaruh terhadap :
- Besar-kecilnya stress wave dalam massa batuan.
- Lemparan (perpindahan) hasil ledakan
Gambar 3.11. memberikan illustrasi dengan posisi top priming dan bottom priming.
Jadi secara singkatnya, prinsip priming memberikan performan ANFO secara
maksimim dan primer harus :
- Mempunyai daya ledak lebih besar (> 80 kbar)
- Mendekati diameter sama dengan diameter kolom ANFO
- Cukup panjang untuk memperoleh rated VOD.
GAMBAR 3.11. EFEK TOP DAN BOTTOM PRIMING
3.3. Perimbangan Geologis
Geologis/kondisi batuan merupakan faktor yang penting dalam mendesain
peledakkan. Hai ini berpengaruh besar terhadap pemakaian bahan peledak dan
fragmentasinya. Gambar 3.12. terlihat type efek geologis pada hasil bongkaran.
Case 1 : Bongkaran secara menyeluruh akan memperoleh karena tidak ada
pengaruh hambatan.
Case 2 : Terdapat satu set fractiure dan sedikit menyudut terhadap arah
ledakkan. Hasil bongkaran dipengaruhi oleh adanya fracture tersebut
karena energi gelombang ledak akan dipantulkan oleh adanya bidang-
bidang bebas yang terbentuk diantara fracture. Hasil bongkaran akan
berkurang karenanya.
Case 3 : Kedudukan fracture tegak lurus dengan arah ledakkan dan hal ini
mendapat kesulitan dengan jarak spacing yang lebar. Bidang fracturee
mempantulkan energi gelombang ledak dan mempersulit hasil
bongkaran. Sehingga jarak burden harus diperpendek (case 4).
Case 4 : Jika horison section menyusuri melalui lubang bor, peledakkan ke arah
kiri dip akan sulit. Kesulitan lain juga akan timbulnya backbreak dan
tonjokan pada lantai jenjang.
GAMBAR 3.12. ILLUSTRASI PENGARUH STRUKTUR DAN HASIL
BONGKARAN
Sehubungan dengan factor geologi, pertimbangan lain adalah pengaruh ketinggian
jenjang, diameter lubang bor, proses penghancuran dan fragmentasinya. Element-
element penting dari factor geologis adalah adanya bedding planes, joint, dip dan
rongga-rongga.
Pada formasi yang mempunyai dip seperti tergambar dalam gambar 3.13, pemboran
lubang tembak, mungkin dibuat dengan beberapa baris, dibuat sedemikian rupa
untuk menghasilkan muka jenjang yang menyilang dengan arah dip. Dengan cara
ini kemudian terjadi back break lebih besar. Disamping itu batuan yang tidak
tersangga akan berjatuhan secara gravitasi. Gambar 3.14 peledakkan dilakukan
berlawanan dengan dip, akan mengurangi terjadinya back break, tetapi akan lebih
mungkin timbul tonjokkan pada lantai jenjang dan dasar lantai tidak merata.
GAMBAR 3.13.
GAMBAR 3.14.
Stooting against the dip gives less chance of backbreak but increases the posibility of a
high toe the rough quarry floor or higher than normal muckpile
BAB IV
SISTEM RANGKAIAN (CIRCUIT)
Terdapat 4 type/cara melakukan penyambungan detonator listrik, yaitu dirangkai secara
hubungan :
- Seri
- Paralel
- Paralel – seri atau
- Seri – paralel.
Pemilihan sistem rangkaian akan tergantung dari pada jumlah detonator listrik yang akan
diledakan. Secara umum, sambungan seri digunakan untuk jumlah lubang tembak yang
sedikit, < 50 detonator. Sedangkan paralel – seri atau seri – paralel digunakan bila
sejumlah besar detonator listrik yang akan diledakkan. Paralel biasanya hanya digunakan
untuk peledakan secara khusus, banyak diterapkan pada tambang dalam.
4.1. Hubungan Seri
Hubungan seri dalam suatu rangkaian peledakan dapat diilustrasikan seperti pada
gambar 4.1.
GAMBAR 4.1. SINGLE SERIES ELECTRIC BLASTING CIRCUIT
Dasar perhitungan untuk mengetahui berapa voltase yang akan terdapat didalam
rangkaian tersebut adalah sebagai berikut :
Prinsip dasar perhitungan
Rtotal = R1 + R2+ R3 +… + Rn
= n R
i total = i 1 = i 2 = in
Volt = i (nr)
Dalam peledakkan seri, hubungan yang sudah lengkap harus diuji kontinuitasnya dengan
teliti.
Arus peledakkan harus paling rendah 1,5 A (pada suatu detonator), supaya tiap-tiap
detonator dapat berfungsi sebagai mestinya.
Contoh : kita punya 50 detonator listrik yang akan diledakkan dan dihubungkan
secara seri, dengan masing-masing detonator tahanannya 1,6 ohm.
Digunakan 100 yard kabel utama dan 100 yard kabel pembantu. Maka
tahanan 50 detonator adalah : 50 x 1,6 ohm = 80 ohm
Tahanan kabel utama : 100 yard = 5 ohm
Tahanan kabel pembantu : 100 yard = 8 ohm
Total tahanan = 93 ohm
Jadi diperoleh voltase : V = 1,5 A x 93 ohm = 140 volt
Catatan :
Pada hubungan seri tidaklah umum memakai sumber yang besar, biasanya mengunakan
arus yang rendah tetapi dengan voltase yang tinggi.
4.2. Hubungan Paralel
GAMBAR 4.2. HUBUNGAN PARALEL
Prinsip dasar : 1/R total = 1/R1 + 1/R 2 + … + 1/Rn = n/Rn
i total = i 1 + i 2 + …+ in
Volt = i (nR)
Hubungan yang sudah lengkap tidak dapat ditest kontikuitasnya, tapi tiap-tiap sambungan
dapat ditest dengan ohm meter sebelum dimasukan. Untuk peledakkan paralel arus paling
rendah 0,5 A, yaitu paling kecil digunakan untuk satu detonator,
Contoh : Meledakkan dengan 50 detonator dihubungkan secara parallel, maka :
Tahanan untuk 50 detonator = 1,6/50 = 0,03 ohm
Tahanan kabel utama = 5 ohm
Tahanan kabel pembantu = 8 ohm
Tahanan total = 13,03 ohm
Dibulatkan = 13 ohm
Arus yang dibutuhkan = 0,5 x 50 detonator = 25 A
Voltasenya = 13 x 25 = 325 volt
4.3. Hubungan Serie - Paralel
Dalam hubungan serie – parallel masing-masing sambungan serie digabungkan lagi
dengan hubungan paralel dengan sambungan seri yang lain, seperti terlihat pada gambar
dibawah ini. Tipe hubungan ini sering digunakan bila jumlah total detonator listrik yang
akan diledakan melebihi 50. Tiap-tiap seri sebaiknya terbatas hanya 40 detonator atau
maksimum resisten 100 ohm.
GAMBAR 4.3. HUBUNGAN SERIE – PARALEL
Contoh perhitungan
Apabila 50 detonator diatur dalam 10 deret (paralel) dan setiap deret terdiri dari 5
detonator (diseri), berapa voltase dalam rangkaian tersebut ?
Perhitungan : Dalam 10 deret paralel arus yang diperlukan adalah
= 1,5 A x 10 = 15 A
Total tahanan = 1,6 x 5 + 8 + 5 = 13,8 ohm 10
Jadi voltase = 15 A x 13,8 ohm = 207 Volt
4.4. Hubungan Parallel - Seri
GAMBAR 4.4. HUBUNGAN PARALLEL – SERIE
Contoh perhitungan
Apabila dibuat 10 group seri,dimana setiap 5 detonator dihubungkan dalam hubungan
parallel (contoh gambar diatas), dicari berapa voltase yang terdapat dalam hubungan
tersebut ?
Perhitungan : Tahanan tiap group parallel adalah = (1,6)/5 = 0,32 ohm
Sedangkan tahanan dari pada 10 group parallel yang disambung dengan serie adalah
= 10 x 0,32 ohm = 3,2 ohm.
Jumlah tahanan = 3,2 + 8 + 5 = 16,2 ohm
Arus yang dibutuhkan adalah = 0,5 x 5 = 2,5 A
Jadi voltase dalam rangkaian = 16,2 ohm x 2,5 A = 40 volt.
BAB V
M I S F I R E
5.1. Handing Misfire
Sekali waktu seorang juru ledak akan menghadapi kejadian “misfire”, sehingga sangatlah
penting bagi juru ledak untuk mengetahui bagaiman menghadapinya.
Semua misfire harus ditangani secara hati-hati dan oleh orang yang sudah berpengalaman
dan orang yang teliti. Tidak seorangpun diperbolehkan mendekati daerah misfire, sampai
misfire tersebut diledakkan atau untuk periode yang telah dianggap aman telah berlalu.
Periode waktu yang aman tersebut paling sedikit 30 menit untuk peledakkan dengan
sumbu api atau paling sedikit 5 menit bila digunakan detonator listrik.
Yang dimaksud dengan misfire adalah bila bahan peledakkan yang dipasang dan diisi ke
dalam lubang bor tidak mau meledak. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya “misfire”
adalah dapat berasal dari bahan peledaknya sendiri, detonator, sumbu atau kawat
penghantar.
Oleh sebab itu, perawatan terhadap bahan-bahan tersebut harus baik, disamping ketelitian
regu ledak dalam menjalankan tugasnya.
5.1.1. Misfire Yang Menggunakan Sumbu Api
Prinsip penyebab dari misfire diaman sumbu api digunakan adalah terkelupasnya sumbu
api (dikarenakan cerobohnya cara penangan), sumbu api yang lembab (akibat dari kondisi
gudang atau tempat penyimpanan yang basah), juga karena penggunaan pisau yang
tumpul untuk memotong sumbu api, sehingga berakibat tersumbatnya api yang akan
membakarnya dan menghambat terbakarnya detonator, untuk pencegahannya adalah :
- Penyimpanan bahan peledak dan sumbu api seperti peraturan yang ada.
- menggunakan bahan peledak yang cocok untuk maksud peledakkan.
- Potonglah sumbu api yang terkena cukup lama, sepanjang 0,5 “.
- Jangan menggunakan sumbu yang disambung. Sumbu dapat disambung dengan
memotong miring kemudian diikat yang rapat, tetapi sedapat mungkin ini dihindari.
Cara mengisi misfire tersebut adalah :
- Pada peledakan dengan sumbu api, juru ledak harus menunggu 30 menit atau lebih,
baru setelah itu mendekati lubang bor dimana misfire terjadi.
- Bila stemming terlalu padat dan kerusaknya ada didalam lubang bor, maka cara
mengatasinya adalah sebagai berikut :
a. Mambongkar stemming tersebut, misalnya dengan jalan memancingnya
keluar dengan alat yang tebuat dari tembaga atau bahan lainnya,yang
tidak dapat mengeluarkan api. Bila dengan cara tersebut masih sukar,
maka perlu disemprot air atau udara dari compresor. Bahan peledak
dapat rusak karenanya, apabila bahan peledak tidak tahan terhadap air.
Kemudian luabng tembak diledakkan dengan memasukkan primer yang
baru.
Penggunaan primer untuk misfire :
- Stemming dapat dipindahkan dengan cara menyemprot dengan
compresor atau dengan air.
- Semprotan udara atau air harus melalui pipa karet yang kuat atau
pipa plastik (jangan pipa besi).
- Pembongkaran stemming harus diusahakan setelah konsultasi
dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sebab di beberapa negara
caratersebut tidak diperbolehkan.
- Usaha apapun tidak diperbolehkan untuk menggali stemming dengan
mempergunakan alat-alat. Ini adalah pekerjaan yang berbahaya,
dimana suatu resiko daripada meledaknya bahan peledak akibat dari
gesekkjan atau goncangan.
- “Nitroglicerin” dan “Slurry Explosive” adalah tahan terhadap air,
tetapi TNT/Amonium nitrat, ANFO dan Black Powder akan rusak
sebagian atau seluruhnya oleh aliran air.
- Apabilka digunakan semprotan air, dilanjutkan pada lubang tembak
tersebut diisi dengan bahan peledak yang tahan terhadap air, apabila
tersedia. Bila tidak tersedia, maka lubang tembak ditest dengan stick
atau tongkat sehingga terbukti telah kering.
- Kemudian masukkan primer dan ledakkan.
b. Membuat lubang yang baru diletakkan dimuka daripada lubang bor
dimana misfire terjadi, dengan jarak paling dekat 30 cm. Kemudian diisi
dengan bahan peledak dan selanjutnya eldakkan.
c. Bila stemming terlalu kuat tetapi tidak panjang, misalnya hanya sama
panjang dengan bahan peledak, dengan memasukkan primer lagi
kemudian diledakkan, maka misfire akan ikut meledak pula.
5.1.2. Misfire yang menggunakan detonator listrik :
Prinsip penyebab misfire apabila digunakan detonator listrik adalah sebagai berikut :
a. kebocoran arus.
Meskipun “Blasting Machine” yang digunakan mempunyai arus yang cukup, tetapi pada
kondisi yang lembab dan basah bisa menakibatkan bocornya arus ke tanah atau terjadi
hubungan arus yang melintang. Hal ini bisa mengakibatkan kurang cukupnya arus yang
melalui detonator-detonator, sehingga berakibat timbul misfire.
Kesalahan tersebut dapat ditiadakan dengan cara membongkar sambungan-sambungan
dan diisolasi, serta tetap menjaga supaya sambungan-sambungan dalam keadaan kering
dan baik, selanjutnya harus dijauhkan dari benda-benda metal.
b. Kabel
Kabel utama mungkin dapat rusak akibat suatu peledakkan, sehingga untuk penggunaan
berikutnya harus diperiksa dengan teliti. Untuk mengetahui adanya kabel yang putus atu
telanjang, untuk mencegah timbulnya misfire dari adanya hubungan pendek atau bocoran
arus tanah, akibat dari kerusakkan kabel.
Pencegahannya :
Pergunakanlah kawat yang baik;
Kawat yang banyak sambungannya, mungkin akan menambah turunnya tegangan dan
kebocoran arus.
Cara mengatasi misfire tersebut :
Bila peledakkan dengan listrik, maka kabel utama dilepaskan dulu dari blasting machine.
Sesudah 5 (lima) menit baru aman mendekati lubang bordimana terjadi. Pertama-tama
kawat penghantar diperiksa kalau terdapat putus atau lepas, kontak dengan tanah, air atau
konduktor lain. Kalau hal ini terjadi, maka dibetulkan dan kabel utama dipasang lagi pada
blasting machine, kemudian diledakkan.
c. Kesalahan dalam penyambungan
Kemungkinan tipe “muti shut exploder generator” yang dioperasikan secara mekanis.
Apabila mekanis tersebut tidak bekerja karena tidak cukup kecepatannya, maka arus yang
ditimbulkannya tidak cukup untuk dapat menyalakan detonator-detonator dalam
hubungan seri.
Misfire dapat terjadi akibat hubungan pendek, karena juru ledak kurang perhatian
terhadap adanya hubungan pendek dari kabel.
Apabila jaringan kabel tidak ditest, sambungan yang longgar atau kotor
mengakibatkan timbulnya tahanan yang tinggi, akan berakibat terjadinya misfire.
Kesalahan-kesalahan tersebut dapat ditiadakan dengan cara pengecekan yang hati-hati
dan sistematis dari semua sambungan-sambungan.
Apabila misfire terjadi, kabel utama harus dicabut dari exploder dan “kunci exploder”
harus selalu dicabut dan selalu dibawah sendiri oleh juru ledak. Setelah 5 (lima) menit
menunggu, juru ledak mulai menguji kabel dan hubungan-hubungannya dan suatu
kesalahan yang didapat maka kabel tersebut harus disingkirkan, jaringan kabel harus
selalu ditest dengan menggunakan “safety ohmmeter”. Ini adalah sangat penting
bahwa semua pengetesan harus dilakukan dari tempat yang aman, dan semua orang
berada ditempat perlindungan, untuk mencegah kecelakaan yang mungkin terjadi
akibat timbulnya ledakkan dari pekerjaan testing tersebut.
Apabila jaringan tersebut ternyata baik, maka kesalahan terletak didalam lubang bor.
Selanjutnya harus dimasukkan lagi booster dan sambungan kabel dihubungkan
dengan booster tersebut dan diledakkan.
N O T E S :
PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN DALAM PENANGANAN BAHAN
PELEDAK :
1. Terlalu lama dalam menyundut/menyulut sumbu api.
2. Membor lagi kedalam lubang yang berisi bahan peledak.
3. Meledaknya bahan peledak pada electric blasting, sebelum diledakkan.
4. Terlalu cepat mendatangi tempat peledakakan setelah meledak.
5. Perlindungan yang tidak memadai untuk tampat berlindung.
6. Tindakan dan kondisi tidak aman pada saat transport, handling dan penimbunan.
7. Cara mengatasi “misfire” yang tidak benar.
8. Menggunakan sumbu api yang terlalu pendek.
9. Cara-cara taping yang salah.
10. Pada saat membawa bahan peledak sambil merokok. Juga membawa bahan peledak
dan detonator menjadi satu.
5.2. Secodary Balsting
Setelah melakukan peledakkan pada batuan induk (prmary blasting) kadang-kadang hasil
bongkara (fragmentasinya) tidak mulus seperti apa yang diharapkan, tetapi terdapat
bongkaran yang lebih besar (boulder). Untuk mengecilkan ukuran perlu dilakukan
secodary blasting. Ada tiga cara yang dilakukan, yaitu ;
a). “Mud capping” atau “Plaster Shooting”.
b). “Blok holling” atau Popping”.
c). “Snake holling”.
“Blok Holling” “Mud Capping”
“Snake Holling”