dasar-dasar kurikulum dan an kurikulum

Upload: omzen

Post on 14-Jul-2015

782 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DASAR - DASAR KURIKULUM DASAR - DASAR KURIKULUM.

A. Pengertian Kurikulum secara Etimologis

Webster s Third New International Distionery menyebutkan Curriculum berasal dari kata curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti : 1. Berlari cepat 2. Tergesa-gesa 3. Menjalani

Currerre dikatabendakan menjadi Curriculum yang berarti : a).Lari cepat, pacuan, balapan berkereta, berkuda, berkaki b).Perjalanan, suatu pengalaman tanda berhenti c).Lapangan perlombaan, gelanggang, jalan Menurut satuan pelajaran SPG yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang berarti jarak yang ditempuh . Semula dipakai dalam dunia olahraga.

B. Beberapa definisi tentang Kurikulum a. Pengertian secara tradisional : Pertengahan abad ke XX pengertian kurikulum berkembang dan dipakai dalam dunia pendidikan yang berarti sejumlah plejaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk kenaikan kelas atau ijazah . Pengertian tradisional ini telah diterapkan dalam penyusunan kurikulum seperti Kurikulum SD dengan nama Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1927 sampai pada tahun 1964 yang isinya sejumlah mata pelajaran yang diberikan pada kelas I s.d. kelas VI. b. Pengertian modern :

Menurut Saylor J. Gallen & William N. Alexander dalam bukunya Curriculum Planning menyatakan Kurikulum adalah Keseluruhan usaha sekolah untuk mempengaruhi belajar baik berlangsung dikelas, dihalaman maupun diluar sekolah . Menurut B. Ragan mengemukakan kurikulum adalah Semua pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah .

Menurut Soedijarto, sebuah pengalaman Pemikiran Bagi Prosedur Perencanaan dan Pengembangan; kurikulum Perguruan Tinggi, BP3K Departeman Pendidikan dan Kebudayaan tahu 1975 Segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan dan diorganisir untuk diatasi oleh siswa/mahasiswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga pendidikan . Dari berbagai pengertian kurikulum diatas penulis menyimpulkan bahwa Kurikulum adalah merupakan suatu usaha terrencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu pengalaman belajar pada siswa dibawah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan.

II. Konsep dasar kurikulum 1. Kurikulum 1975 Disebut demikian karena pembakuannya dilakukan pada tahun 1975 dan berlaku mulai tahu itu pula. Kurikulum 1975 menyempurnakan atau bahkan merubah kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1968. kurikulum 1975 banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Behavioral; segala sesuatu diukur dari hasilnya, dan diwujudkan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diukur. Oleh sebab itu, kurikulum 1975 berorientasi pada tujuan yang dirumuskan secara operasional dan behavioral. Bentuk kurikulum yang demikian dipandang mengandung beberapa kelemahan, antara lain terlalu terpusat pada pencapaian tujuan, sehingga melupakan proses yang dalam dunia pendidikan sangatlah penting. 2. Kurikulum 1984 Kurikulum ini banyak dipengharuhi oleh aliran psikologi Humanistik, yang memandang anak didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri, menjelajah dan meneliti lingkungannya. Oleh sebab itu kurikulum 1984 menggunakan pendekatan proses, disamping tetap menggunakan orientasi pada tujuan. 3. Kurikulum 1994 Kurikulum ini merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya dengan dasar kurikulum 1984 pada kurikulum 1994 muncul istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kegiatan belajar cenderung didalam kelas, mengejar target berupa materi yang harus dikuasai, berorientasi kognitif. 4. Kurikulum 2004

Kurikulum ini disusun lebih kompleks sebagai pengembangan kurikulum sebelumnya , tujuan terarah pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Pengembangan ada pada guru dan sekolah. Semua proses terstandarisasi mulai dari proses pembelajaran hingga hasil belajar siswa. Perubahan total nampak jelas jika dibandingkan antara kurikulum 1994 dengan kurikulum 2004 dengan alasan relevansi. Kurikulum ini populer dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Konpetensi) Untuk mempermudah memahami kurikulum dari tahun 1974 hingga 2004 maka perhatikan tabel perbandingan kurikulum dibawah ini :

Referensi: Hamalik, Oemar, 1990, Pengembangan Kurikulum (Dasar-dasar dan Pengembangannya), CV. Mandar Maju, Bandung Soetopo, Hendyat dan Soemanto, Wasty, 1991, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum sebagai substansi problem administrasi pendidikan, CV. Bumi Aksara, Jakarta. http://eko13.wordpress.com/2008/03/18/dasar-dasar-kurikulum/

PERKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Nurnadiah Azhari, S.Pd.I., MA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang manapun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Pentingnya kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan diakui oleh banyak pakar pendidikan. S. Nasution misalnya mengatakan bahwa nasib suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan terhadap kurikulum, karena kurikulum merupakan alat yang begitu vital bagi perkembangan bangsa.[i]

Perkataan kurikulum sendiri dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan kurang lebih satu abad yang lampau. Sedangkan di Indonesia istilah kurikulum baru populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Sebelumnya istilah yang lazim digunakan adalah rencana pelajaran.[ii] Namun seiring dengan berkembangnya masa maka pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan dan beralih pada pertimbangan teknologi dan pengetahuan, perkembangan masyarakat, dan pengalaman belajar bagi anak.[iii] Saylor dan Alexander menyatakan kurikulum bukanlah sekedar memuat mata pelajaran, melainkan termasuk pula didalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.[iv]

Sebagai contoh dalam masyarakat Amerika, kurikulum yang diterapkan bagi perkembangan dan pertumbuhan anak adalah dengan memperkenalkan anak pada peer-grup yaitu suatu bentuk pembelajaran melalui permainan.[v] Kurikulum bagi pendidikan dasar yang diterapkan pada beberapa wilayah di Australia, khususnya Queensland, mengadopsi The K-8 Taba Social Studies Curriculum, selama tahuan 1970-an, yang berjudul: Taba Program in Social Science Grades 1-7.[vi] Program tersebut mencakup sebelas konsep yang diproses dari bidang-bidang ilmu sosial, meskipun penekanannya pada keterampilan pengembangan pemikiran ketimbang pada pengembangan isi. The K-8 Taba Social Studies Curriculum dimasukan juga ke dalam proyek kurikulum nasional yang dikembangkan di USA (United States) selama tahun 1960-an.

Di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru, terdapat dua buah departemen yang mengatur permasalahan kurikulum, yaitu Departemen Pendidikan & Kebudayaan[vii] dan Departemen Agama.[viii] Sebagaimana yang diketahui pada masa pemerintahan ini menganut sistem sentralisasi. Sentralisasi pendidikan dipahami bahwa pemerintahan pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional mengatur semua kebijakan yang menyangkut pendidikan dan memberlakukannya ke seluruh Indonesia. Pemerintah pulalah yang mengatur anggaran belanja untuk pendidikan, kurikulum, membuat buku ajar, dan kebijakan-kebijakan lainnya.[ix]

Adapun tujuan pengembangan kurikulum secara sentralisasi adalah agar dapat memperoleh bentuk kurikulum inti yang wewenang penanganannya diserahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[x] Selain itu juga sentralisasi dapat digunakan untuk tujuan-tujuan politis yang dikehendaki seperti untuk memiliki nilai-nilai bangsa yang yang dapat menjadi pemersatu bangsa, juga sebagai sumber kekuatan politik tertentu dan wahana untuk menggunakan kekuasaan atau senjata politik.[xi]

Kurikulum yang dibuat untuk madrasah oleh Departemen Agama selain juga harus memuat pengetahuan agama juga memuat di dalamnya pengetahuan umum. Sebagaimana tujuan pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.[xii] Tujuan-tujuan tersebut dapat diberikan berupa bimbingan yang diberikan dalam berbagai aspeknya: pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, keterampilan atau dengan istilah lain kognitif, afektif dan psikomotorik.[xiii]

Pengembangan kurikulum di madrasah pada era orde baru dapat dikatakan lebih baik daripada orde lama.[xiv] Pada awal pemerintahan orde baru memang penggunaan kurikulum masih didominasi oleh muatan-muatan agama, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Namun antara akhir 70-an sampai dengan akhir 80-an, pemerintah orde baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan dikeluarkan kebijakan berupa Keputusan Bersama Tiga Menteri pada tahun 1974 tentang peningkatan mutu pendidikan di madrasah yang menegaskan bahwa kedudukan madrasah adalah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Dengan demikian siswa lulusan madrasah dapat memasuki jenjang sekolah umum lain yang lebih tinggi, atau bisa pindah ke sekolah formal dan begitu juga sebaliknya.

Puncak dari pengintregasian madrasah ke dalam sistem pendidkan nasional adalah dengan lahirnya kebijakan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang memperkuat SKB tiga menteri tersebut. Bahkan dalam UUSPN ini secara tegas disebutkan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kurikulumnya adalah kurikulum keluaran Departemen Pendidikan & Kebudayaan ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan Departemen Agama.[xv]

Kebijakan lain yang dikeluarkan sebagai bukti perhatian pemerintahan orde baru terhadap lembaga madrasah adalah dengan lahirnya UU No.2, pasal 37 / 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan

nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. [xvi]

Dalam sensus kelembagaan pendidikan dasar oleh pemerintah, dalam hal ini Bappenas, Madrasah Ibtidaiyah secara berdampingan dengan Sekolah Dasar menjadi sasaran pendataan tersebut. Tujuannya tak lain adalah menuju pemberdayaan lembaga ini secara optimal untuk membangun sumber daya manusia Indonesia.[xvii]

Namun bersamaan dengan hal itu, seperti dikemukakan oleh Hasbullah, bahwa madrasah menghadapi tantangan besar. Madrasah dituntut tidak hanya mampu memperbaiki mutu pendidikan umum sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi juga harus menjaga mutu pendidikan agama sebagai ciri khas madrasah. Untuk itu Departemen Agama senantiasa memperhatikan dan meningkatkan mutu kurikulum madrasah agar dapat selaras dengan kualitas sekolah-sekolah umum.[xviii]

Akan tetapi muncul persoalan-persoalan tersendiri dalam mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum standar yang ditetapkan oleh Departemen Agama untuk menyamakan mutu madrasah dengan sekolah umum tidak mencapai hasil yang maksimal karena kurikulum terlalu menuntut siswa untuk menyerap materi pelajaran di luar batas kemampuan mereka. Akibatnya hasilnya menjadi tanggung. Di satu pihak siswa menguasai pengetahuan umum hanya setengah-setengah, dan di lain pihak penguasaan mereka terhadap pengetahuan agama tidak mendalam.[xix]

Dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam bagi madrasah di satu sisi menjadi kelebihan yaitu materi pendidikan agama Islam tidak diberikan pada sekolah-sekolah umum, kalaupun diberikan jumlahnya tidak sebanyak seperti di madrasah. Namun di sisi lain kurikulum pendidikan agama Islam menjadi hambatan untuk bersaing dengan sekolah-sekolah umum, sebab penambahan jumlah mata pelajaran pendidikan agama Islam tidak diikuti dengan penambahan jumlah jam pelajaran, sehingga siswa madrasah dengan waktu yang relatif sama harus mempelajari mata pelajaran yang lebih banyak dibanding siswa pada seolah-sekolah umum. Hal ini belum lagi ditambah dengan tingkat pemahaman intelektual siswa madrasah yang sebagian besar biasa-biasa saja.

Selain itu persoalan-persoalan atau fonomena-fonomena kemasyarakatan telah memaksa pemerintah, selaku pembuat kurikulum, untuk menyesuaikan diri dengan cara melakukan pergantian atau perbaikan kurikulum. Keadaan tersebut menunjukan keseriusan pemerintah untuk melakukan perbaikanperbaikan pendidikan di Indonesia termasuk di Madrasah.

Namun kenyataannnya pendidikan di Indonesia terlebih pada pendidikan anak justru mengalami penurunan. Hal ini dikemukakan oleh Hafiz dalam seminar pendidikan Islam menyongsong abad ke 21 dalam rangka tasyakuran 65 tahun UIA di Jakarta mengatakan Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu memahami sekitar 30 persen dari materi bacaan. Mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan kegiatan penalaran, mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Keadaan lebih berat terjadi pada lembaga pendidikan Islam. Pada jenjang pendidikan dasar, siswa MI dan MTs selain mempelajari keseluruhaan kurikulum yang padat, mempelajari pula materi pendidikan Islam dengan beban yang relatif sebanding.[xx] Dengan demikian beban materi pelajaran yang ditempuh oleh siswa-siswa madrasah lebih berat dibandingkan dengan sekolah dasar.

Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil penelitian IAEA (international Association for Evaluation Achievement) pada anak SD dalam Reading Literacy Study, Indonesia berada pada urutan kedua terendah dari 23 negara sample dalam memahami bacaan.[xxi]

M.C. Ibrahim mengatakan bahwa suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren, maupun perguruan tingginya.[xxii]

Melihat kenyataan di atas, maka muncul berbagai macam pendapat mengenai faktor penyebabnya. Salah satu faktor yang paling berperan dalam hal ini adalah faktor kurikulum yang merupakan yang dijadikan acuan dalam proses pembelajaran. Kurikulum pada madrasah mempunyai muatan yang lebih banyak dibanding dengan kurikulum pada sekolah sekolah umum, karena disamping mempelajari pelajaran agama Islam siswa juga dituntut untuk mempelajari pelajaran sekolah umum sebagai konsekwensi adanya persamaan antara madrasah dan sekolah umum.

Berkaitan dengan kurikulum sebagai faktor yang memilki peran sentral dalam maju mundurnya suatu pendidikan, prof. Dr. Suyanto, M.Ed. Ph.D, dan Drs Hisyam, M. Pd. Mengatakan bahwa kurikulum sekolah di Indonesia masih banyak mengalami kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SLTP, dan SMU/SMK memiliki kurikulum yang sarat dengan mata pelajaran. Dampak yang diperoleh adalah daya serap peserta didik tidak optimal, dan mereka cenderung belajar banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk, di samping kurikulum tersebut dalam arti program selalu berorientasi pada pada produk belajar, bukan proses belajar. Kemudian kurikulum tersebut direvisi kembali dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses

belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa kurikulum 1984 itu ramping tapi montok . Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.[xxiii]

Bila kurikulum pendidikan pada lembaga pendidikan umum dikatakan padat dan terlalu gemuk, lalu bagaimana keadaannya dengan lembaga pendidikan keagamaan (MI, MTs, MA) tentu tidak hanya gemuk saja tetapi sudah kelebihan muatan.

Selain kondisi tersebut di atas, kebijakan sentralisasi dalam bidang pendidikan membuat madrasah bagaikan sebuah pabrik. Pemerintah pulalah yang mengatur anggaran belanja untuk pendidikan, kurikulum, membuat buku ajar, dan kebijakan-kebijakan lainnya.[xxiv]

Akibatnya pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki kepribadian tidak banyak mendapatkan perhatian. Kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, ko-kurikuler dalam bentuk kliping Koran dan sebagainya.[xxv] Sedangkan metode yang dipakai oleh lembaga pendidikan Islam terutama diwakili oleh pesantren lebih menekankan hafalan. Hal ini menyebabkan kemampuan nalar siswa tidak berkembang.[xxvi]

Pendidikan yang terlalu birokratis sentralistis disinyalir oleh banyak pakar menimbulkan banyak dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan bagi masyarakat secara umum. Sistem pendidikan yang demikian menyebabkan pendidikan berjalan monoton, statis, dan tidak menunjukan adanya perkembangan.[xxvii] Keadaan tersebut diperparah dengan keberadaan pemerintah pada masa orde baru yang bersifat represif yang melahirkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, yang bertindak dan berfikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia.[xxviii] Keadaan yang demikian memunculkan pendapat bahwa umat islam terlalu banyak berkorban atau dikorbankan selama pemerintahan orde baru.[xxix]

Sehubungan uraian-uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan kurikulum yang diterapkan pada Madrasah Ibtidaiyah (MI). Hal tersebut didasarkan pada keingintahuan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai kurikulum yang diterapkan pada Madrasah Ibtaiyah (MI), mengingat bahwa pendidikan dasar (dalam hal ini Madrasah Ibtidaiyah) memiliki peranan yang sangat penting bagi pendidikan pada masa selanjutnya. pendidikan agama yang

diberikan pada Madarasah Ibtidaiyah tentu saja memiliki warna tersendiri yang berbeda dengan pendidikan pada sekolah umum lainnya.

Lebih menarik lagi manakala kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap Madrasah Ibtidaiyah (MI) dikaitkan dengan sistem pemerintahan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang bersifat birokratis sentralistis. Selain itu juga menarik untuk diketahui, mengenai seringnya terjadi revisirevisi kurikulum pada masa pemerintahannya. Hal ini disatu sisi menunjukan perhatian pemerintah Soeharto terhadap pentingnya pendidikan, namun di sisi lain, berdasarkan fonomena yang terjadi dan pendapat para ahli mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia cenderung untuk menurun.

B. Perkembangan Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

1. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1973

Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Negeri ditandai dengan angka tahun 1973. Kurikulum ini disusun oleh Musyawarah Kurikulum Direktorat Pendidikan Agama pada tanggal 10 s/d 17 Februari 1973 di Cibogo Bogor.[xxx] Adapun orientasi dan pendekatannya berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dengan struktur organisasi terdiri dari susunan mata pelajaran yang diajarkan secara keseluruhan disebutkan di dalam rekapitulasi kurikulumnya.

Sesuai dengan edaran Direktorat Pendidikan Agama No. DII/67/ED/73 tertanggal 30 April 1973, kurikulum ini mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 1973. Pentahapan silabinya pada hakekatnya telah dimulai sejak tahun 1971 yang dimulai pada kelas I saja, kemudian pada tahun berikutnya diteruskan pada kelas II dan pada tahun berikutnya lagi pada kelas III. Sehingga pada tahun 1973 silabi kurikulum telah dijalankan secara lengkap untuk semua kelas.[xxxi]

Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah yang ditempuh selama tujuh tahun kurikulum Madrasah menempatkan tujuh mata pelajaran dalam kelompok dasar, delapan mata pelajaran dalam kelompok pokok, dan tiga mata pelajaran dalam kelompok khusus

Rekapitulasi Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah (MIN) 7 Tahun

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

No. Mata Pelajaran Jam Pelajaran / kelas Jumlah I II III IV V VI VII

Kelompok Dasar

1. Al Quran/Terjamah 2 2 2 2 2 2 1 13

2. Hadist - - - 2 2 2 1 7

3. Tauhid 1 1 1 1 1 1 1 7

4. Praktek Ibadah/Akhlaq 2 2 2 2 2 2 2 14

5. Kewargaan Negaraan 3 3 3 3 3 3 3 21

6. Bahasa Indonesia 6 6 6 6 6 5 5 40

7. Pendidikan Jasmani 2 2 2 2 2 2 2 14

16 16 16 18 18 17 15 116

__________________________________________________________________

Kelompok Pokok

Fiqih 1 1 2 2 2 2 2 12

Bahasa Daerah - - - - - - - -*

Bahasa Arab - - 5 5 5 5 4 24

Berhitung 6 6 6 6 6 6 5 41

I Peng Alam (hayat dan alam) 1 1 3 3 3 3 2 16

Pend Kesenian (gambar&seni

suara) 2 2 2 2 2 2 2 14

Sejarah Islam - - 1 1 1 1 1 5

Pend Kesehjatraan Keluarga 1 1 1 1 1 1 1 7

11 11 23 20 20 20 17 119

__________________________________________________________________

Kelompok Khusus

Kejuruan agraria:

Kelas I, II, dan III

Pertanian/peternakan/perikanan.

Kelas IV, V, VI, VII

Pertanian/peternakan/perikanan.

Kejuruaan Tehnik:

Kelas I, II, dan III

Pek. Tangan 1 1 2 2 2 3 8 19

Kelas IV, V, VI, dan VII

Pek. Tangan

Perbengkelan

Kejuruan ketatalaksanaan / jasa:

Kelas I, II, dan III

Koperasi dan Tabungan

Kelas IV, V, VI, dan VII

Koperasi dan Tabungan

___________________________________________________________________

j u m l a h 28 28 38 40 40 40 40 254

___________________________________________________________________

*Di daerah yang memakai bahasa ibu, dipergunakan jam Bahasa Indoonesia dengan perincian sebagai berikut:

Kelas I, II: 6 Jam

Kelas III, IV, V, VI, VII: 1 jam/minggu

Dengan tersusunnya kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah ini, pengelolaan pendidikan agama dibawah Menteri Agama semakin memperoleh bentuk dan statusnya yang jelas. Dalam kaitan ini, makna penting dari tersusunnya kurikulum 1973 adalah[xxxii]: Pertama, adanya standar pendidikan bagi madrasah pada setiap jenjang yang dapat berlaku juga bagi madrasah-madrasah swasta; kedua, adanya acuan yang lebih detail dalam hal mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan di madrasah; ketiga, mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah dengan demikian telah mendapatkan landasan formal, apalagi dalam jumlah yang cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.

2. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1975

Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1975 adalah kurikulum yang terdiri dari mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30 % di samping mata pelajaran umum,[xxxiii] dalam rangka mempersiapkan anak didik untuk hidup di tengah-tengah masyarakat dan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang setingkat lebih atas.[xxxiv]

Hal pokok yang mendasari keluarnya kurikulum tahun 1975 adalah dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 menteri), yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama pada tanggal 24 Maret 1975, tentang: Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah, dalam pertimbangannya dinyatakan, Bahwa dalam rangka pencapaian tujuan nasional pada umumnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa pada khususnya, serta memberikan kesempatan yang sama kepada tiap-tiap warganegara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan, dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengajaran yang sama bagi tiap-tiap waragnegara Indonesia, perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi.[xxxv]

Dengan berlakunya kurikulum standar tersebut, maka berarti bahwa :

Adanya keseragaman madrasah dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum yang setaraf.

Madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.[xxxvi]

Kurikulum 1975 menganut pendekatan sebagai berikut[xxxvii] :

Pendekatan yang berorientasi pada tujuan. Kurikulum mengenal berbagai tingkat tujuan-tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional (lembaga) umum dan khusus, tujuan kurikuler untuk setiap program pengajaran suatu bidang pelajaran. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai maka di susunlah rencana kegiatan belajar mengajar dan membimbing murid untuk melaksanakn rencana tersebut.

Pendekatan integratif keseluruhan sistem pengajaran terpadu sebagai suat kesatuan setiap pelajaran dan bidang pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang tercapainya tujuan-tujuan yang lebih akhir.

Pendekaan sistem pendidikan merupakan suatu sistem , artinya merupakan suatu totalitas yang didalmnya terdapat sejumlah komponen yang saling bertalian dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain.

Pendekatan ekosistem pendidikan berorientasi pada kehidupan masyarakat sebagai lingkungan yang hidup bermakna. Karena kurikulum harus senantiasa disesuaikan dan didasarkan pada tuntutan kehidupan dalam masyarakat yang sedang membangun pendidikan keterampilan di sekolah yang dilaksanakan atas dasar keterampilan dan kesempatan kerja yang ada dalam masyarakat sekitar sekolah.

Struktur Kurikulum 1975 Madrasah Ibtidaiyah No Bidang Studi Kelas

I II III IV V VI Jumlah

Aqidah Akhlak

Al Quran Hadis

Ibadah Syariah

Sejarah Islam

Bahasa Arab

Pend Moral Pancasila

Bahasa Indonesia

Ilmu Peng Sosial

Matematika

Ilmu Peng Alam

Olah Raga/Kesenian

Pendidikan Kesenian

Pend Ketrampilan 332222

222333

333222

--2222

--2444

222222

666666

--2222

666666

223333

222222

222222

--2222 14

15

18

8

14

12

36

8

36

19

12

12

8

Jumlah 28 28 36 40 40 40 212

Sedangkan susunan program pengajaran dan metode penyampaian terdapat di dalam keputusan Menteri agama No. Tahun 1976 tentang Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah yaitu :

Garis-garis besar pengajaran disusun menurut bidang studi seperti tercantum dalam pasal 6 ayat (1).

Isi Garis-Garis Besar Program Pengajaran, Pedoman Umum dan Pedoman Pelaksanaan yang meliputi : Pedoman Administrasi Suverpisi, Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan dan Pedoman Penilaian dicantumkan dalam lampiran keputusan ini.

Pasal (8): Dalam metode penyampaian digunakan pendekatan berdasarkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang dikembangkan melalui metode satuan pelajaran.[xxxviii]

Adapun prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam pelaksanaan kurikulum 1975 adalah :

Prinsip Fleksibilitas program. Prinsip fleksibilitas program digunakan di dalam penyusunan dan perumusan kurikulum ini, agar pendidik/guru memperhatikan murid (kecerdasan, kemampuan, pengetahuan yang telah dikuasai), metode-metode mengajar yang digunakan yaitu harus memperhatikan dan sesuai dengan sifat bahan pengajaran dan kematangan dan kemampuan siswa, dan perkembangan pengetahuan dimana anak itu bertempat tinggal.

Prinsip Berorientasi kepada tujuan. Waktu yang dipergunakan murid belajar di madrasah adalah terbatas oleh sebab itu maka pemanfaatan waktu untuk pembinaan murid-murid dalam kegiatan belajar mengajar.

Prinsip efisiensi dan efektivitas. Kurikulum harus dirancang seefisien mungkin karena waktu pembelajaran paling lama hanya 6 jam.maka kurikulum direncanakan memilih jumlah pelajaran di kelas I dan II berjumlah 28 jam pelajaran, kelas III 35 jam serta kelas IV s/d VI 40 jam pelajaran perkelas dalam satu minggu. Kegiatan-kegiatan belajar yang sifatnya akademis ditekankan pada hari Senin s/d Jumat, sedangkan pada hari Sabtu ditekankan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat keterampilan, ekspresi dan kreatif.

Prinsip kontiniutas. Pendidikan harus berlangsung seumur hidup, hal ini dinyatakan di dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). oleh karena itu di dalam peyusunan kurikulum Madrasah Ibtidaiyah tersebut selalu diingatkan hubunganhierarchis yang fungsional. Madrasah Ibtidaiyah sebagai pendidikan dasar, kurikulumnya disusun agar lulusannya di samping siap berkembang menjadi anggota masyarakat, juga siap mengikuti pendidikan menengah tingkat pertama (Tsanawiyah), demikian pula dengan

madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di samping memiliki bekal keterampilan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi di Perguruan Tinggi.

Pendidikan seumur hidup. Prinsip ini dimaksudkan bahwa masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan sebahagian dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup.

Sedangkan Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah adalah merupakan serangkaian ketentuan dan pedoman/penjelasan yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut :

Tujuan tujuan institusional

Struktur program

Sistem penyajian yang menggunakan pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)[xxxix]

Sistem penilaian (evaluasi)

Sitem bimbingan dan penyuluhan

Sistem suverfisi dan administrasi pendidikan

Garis-garis besar program pengajaran[xl]

PPSI adalah suatu sistem penyampaian yang berorientasi kepada tujuan pengajaran. Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) menunjukan pengertian bahwa pengajaran sebagai suatu sistem, yaitu sebagai suatu kesatuan yang terorganisir yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.[xli] Komponen-komponen itu antara lain : materi pelajaran, metode pengajaran, alat evaluasi, menetapkan kegiatan belajar mengajar murid, merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program.

PPSI merupakan suatu prosedur untuk menghasilkan suatu program pengajaran, program pengajaran dimaksud dapat berbentuk ITV (Instruksonal Television), Pengajaran berprogram, modul ataupun pelajaran / Satuan Pelajaran (SP).[xlii] Jadi dapalah dikemukakan bahwa PPSI merupakan suatu proses sedangkan Satuan Pelajaran adalah produknya atau dengan kata lain untuk menghasilkan Satuan Pelajaran (SP) diperlukan PPSI yang meliputi[xliii] :

Tujuan pelajaran yang hendak dicapai.

Di dalam kurikulum disebut Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan dikembangkan menjadi Tujuan Insturksional Khusus (TIK).

Bahan Pelajaran yang sesuai dengan tujuan pelajaran.

Bahan pelajaran ini bersumber dari pokok-pokok bahasan yang tercantum di dalam kurikulum. Bahan pelajaran ini hendaknya berantai dan dikembangkan secara divergensi.

Metode mengajar atau uraian kegiatan belajar mengajar.

Disini terdapat faktor guru, murid, alat pelajaran atau media yang dipergunakan.

Fasilitas dan alat yang menunjuang kegiatan belajar mengajar.

Jadi guru bukan semata pemain peranan tetapi juga orang yang mempersiapkan kondisi yang memungkinkan belajar mengajar berlangsung dengan lancar.

Evaluasi hasil belajar

Setelah kegiatan belajar mengajar selesai pada satu satuan pelajaran, maka diadakan evaluasi. Evaluasi ini untuk menguji pencapaian siswa atas satu satuan pelajaran. Strateginya dengan mengadakan pra-test bagi atas satu satuan pelajaran pada tahap permulaan sekali, dan kemudian dengan tes formatif, pada akhir semester diadakan tes akhir semester atau tes sumatif, yang dalam ucapan sehari-hari disebut post-test.

c. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1984

Setelah dikeluarkannya SKB 2 Menteri 1984 (Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), tentang pembakuan kurikulum, maka kurikulum madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang ditetapkan melalui SK Menteri Agama Nomor 99, 100 dan 101 tahun 1984 yang dikenal dengan nama kurikulum 1984.

Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah, komposisi kurikulum 1984 terdiri dari 15 mata pelajaran. Dua diantaranya baru diberikan mulai kelas tiga, yakni sejarah Islam dan bahasa Arab. Selebihnya 70% dengan 10 bidang studi, merupakan mata pelajaran umum yang diberikan sejak kelas satu hingga kelas enam.

Di antara rumusan kurikulum 1984 memuat hal strategis sebagai berikut :

Program kegiatan kurikulum madrasah (MI,Mts,MA) dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, ko kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan.

Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajarinya.

Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan program.

Salah satu perubahan mendasar yang terdapat dalam kurikulum 1984 yang berkaitan dengan pengelolaan sekolah adalah bahwa mengajar atau belajar bukan bertujuan memenuhi otak siswa dengan materi pelajaran yang siap pakai (pengetahuan pusat), melainkan menciptakan kondisi yang mampu merangsang dan memotivasi murid belajar aktif, menemukan dan memecahkan masalah secara individu atau kelompok.maka mulailah diberlakukan sistem CBSA (cara Belajar Siswa Aktif).

CBSA merupakan suatu sistem pengajaran yang lebih banyak mengikutsertakan dan melibatkan siswa untuk bertindak lebih aktif. Di dalam kegiatan belajar mengajar guru tidak lagi mempergunakan metode ceramah yang lebih menunjukan keaktifan guru saja sehingga siswa berlaku pasif.

Pada sistem CBSA guru hanya menyajikan bahan pelajaran terutama yang berhubungan dengan konsepkonsep pokok. Sedangkan siswa berusaha untuk mencerna, menanggapi sendiri, mengajukan pendapat serta memecahkan masalah bersama. Jadi dari kegiatan inilah siswa akan banyak memperoleh keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar.[xliv]

Dalam menerapkan gagasan ketuntasan belajar pada kurikulum 1984, perhatian lebih diarahkan pada proses belajar mengajar secara perorangan yang dicapai melalui pendekatan keterampilan proses.[xlv] Dengan memperhatakan ketuntasan belajar secara perorangan, proses belajar mengajar pada setiap semester berlangsung sesuai dengan bagan berikut : (1) (2)

(3) (4)

Keterangan:

(1) Penyajian Satuan Pelajaran dengan mengikuti prose belajar mengajar yang telah ditetapkan, (2) setelah satuan pelajaran tersebut selesai, diadakan penilaian formatif, (3) siswa-siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 75% harus diberi program perbaikan mengenai bagian-bagian bahan yang

belum dikuasainya, sedangkan siswa-siswa yang mencapai taraf penguasaan 75% atau lebih dapat diberi program pengayaan, (4) setelah selesai pelajaran dilanjutkan dengan Satuan pelajaran berikutnya.

Struktur Kurikulum 1984 Madrasah Ibtidaiyah No Bidang Studi Kelas

I II III IV V VI Jumlah

Quran Hadis

Akidah Akhlaq

Fiqih

Sejarah Islam

Bahasa Arab

Pend Moral Pancasila

PSPB*

Bahasa Indonesia

IPS

Matematika

IPA

ORKES

Pend. Kesenian

Keterampilan Khusus

Bahasa Daerah** 222222

222222

223333

--1111

--4444

222222

111111

666666

--2333

666666

223444

222222

222222

222222

(2) (2) (2) (2) ( 2) (2)

12

12

16

4

16

12

6

36

11

36

19

12

12

12

(12)

Jumlah 29 29 38 40 40 40

(31) (31) (40) (42) (42) (40) 216

(228)

Keterangan:

*Diberikan pada setiap catur wulan ketiga

** Bagi daerah yang memberikan Bahasa Daerah

d. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1994

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa : Kurikulum di susun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.

Pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan dasar menyatakan bahwa, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.

Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah 1994 dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indoneia Nomor 372 Tahun 1993 Tentang Kurikulum pendidikan dasar berciri khas agama Islam.[xlvi] Tujuan pendidikan dasar berciri khas agama Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan pendidikan dasar, sebagaimana tertuang pada pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan dasar yaitu: memberikan bekal kemampuan dasar kepada untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah.

Pendidikan dasar berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) memberikan bekal kemampuan dasar Baca-Tulis-Hitung , pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa, memberikan bekal kemampuan dasar tentang pengetahuan agama Islam dan pengalamannya sesuai dengan tingkat perkembangannya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di MTs atau SLTP.[xlvii]

Isi kurikulum pendidikan dasar berciri khas agama Islam, Memuat mata pelajaran sebagai berikut :

Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan;

Pendidikan Agama :

Quran Hadist;

Aqidah Akhlaq;

Fiqih;

Sejarah Kebudayaan Islam;

Bahasa Arab;

Bahasa Indonesia (termasuk membaca dan menulis);

Matematika (termasuk berhitung)

Ilmu Pengetahuan Alam (pengantar sains dan teknologi)

Ilmu Pengetahuan Sosial (termasuk ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum );

Kerajinan Tangan dan Kesenian (termasuk menggambar);

Bahasa Inggris ;

Muatan Lokal.[xlviii]

Sedangkan asas-asas yang diberlakukan pada pengembangan kurikulum tahun 1994 adalah sebagai berikut[xlix] :

Asas Mengacu pada tujuan. Hasil belajar merupakan pengetahuan, keterampilan fisik, mental dan sosial, serta sikap dan niali yang dapat di kembangkan melalui bahan pelajaran yang telah disusun dalam GBPP, tercantum secara umum pada tujuan pendidikan dan secara khusus pada tujuan pembelajaran.

Asas keluwesan. Asas ini akan lebih banyak memberikan keluwesan pada guru dalam melaksanakan kurikulum antara lain:

Menyesuaikan jumlah waktu yang diperlukan untuk mengajarkan tiap pokok bahasan.

Menggunakan pendekatan dan metode mengajar-belajar

Menggunakan sarana dalam kegiatan belajar mengajar.

Mengatur urutan bahan pelajaran dalam satu catur wulan.

Asas kesesuaian. Kurikulum ini juga memperhatikan kesesuaian antara lain :

Tingkat usia dan tingkat pemahaman siswa.

Kesesuaian dengan keadaan daerah.

Asas keseimbangan. Kurikulum juga disusun dan diatur agar terdapat keseimbangan antara bahan pelajaran yang bersifat teoritis dan kegiatan-kegiatan nyata serta pengembangan sikap dan nilai.

Asas kesinambungan. Bahan pelajaran disusun dalam GBPP secara berkesinambungan baik antar tingkat / kelas di Madrash Ibtidaiyah maupun antar Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.

Asas belajar aktif. Agar bahan pelajaran lebih mudah dipahami dan lebih lama diingat siswa, siswa dilibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar baik secara mental, fisik maupun sosial.

Kurikulum Pendidikan Dasar berciri khas agama Islam dilaksanakan secara bertahap mulai dari kelas I dan IV Madrasah Ibtidaiyah pada tahun ajaran 1994/1995; kelas I, II, IV, dan V Madrasah Ibtidaiyah pada tahun ajaran 1996/1997 dan seterusnya atau selambat-lambatnya pada akhir PELITA VI kurikulum pendidikan dasar berciri khas agama Islam sudah dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh.

Penahapan pelaksanaan kurikulum ini digambarkan dalam bagan berikut ini:

TINGKAT KELAS

TAHUN

1994/1995 : 1995/1996 : 1996/1997

MI : I

: II

: III

: IV

:V

: VI

XXX

XX

XX

XXX

XX

X

Susunan Program Pengajaran Pada Kurikulum Pendidikan Dasar

Berciri Khas Agama Islam No Bidang Studi

Kelas

I II III IV V VI Jumlah

1. Pend.Pancasila dan kewarganegaraan

2. Pend. Agama Islam

a. Quran Hadist

b. Aqidah Akhlaq

c. Fiqh

d. Sej.Kebudayaan Islam

e. Bahasa Arab

3. Bahasa Indonesia

4. Matematika

5. Ilmu Peng. Alam

6. Ilmu Peng. Sosial

7. Kertakes

8. Penjaskes

9. Bahasa Inggris

10. Muatan Lokal 222222

222111

111111

112222

--1111

---222

10 10 10 8 8 8

10 10 10 8 8 8

--3666

--3555

222222

222222

------

222222

12

9

6

10

4

6

54

21

18

12

12

12

-

12

Jumlah 32 32 40 42 42 42 170

Untuk materi muatan lokal ditetapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Materi ini merupakan materi baru yang pada kurikulum sebelumnya tidak diberikan.

Muatan lokal pada MI mendapat porsi dua jam setiap minggu, sedangkanmata pelajaran agamanya secara berturut-turut adalah 4, 4, 6, 7, 7, 7, selain karena mengambil jatah waktu muatan lokal, jumlah jam mata pelajaran itu diperoleh dengan penambahan masing-masing.[l]

Secara umum muatan lokal bertujuan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan prilaku kepada siswa agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan serta kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung pelestarian pembangunan daerah serta pembangunan nasional.[li] Sebagai contoh: bahan ketrampilan seni ukur, wayang golek.

Analisis Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Madrasah Ibtidaiyah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Setelah mengetahui perubahan-perubahan kurikulum pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah pada masa pemerintahan orde baru, maka pada pembahasan ini, penulis menganalisanya dengan melihat pergantian-pergantian kurikulum Pendidikan Agama Islam selama pemerintahan Orde Baru.

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah tahun 1973

Kurikulum di Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1973 memuat 14 mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dari 26 mata pelajaran yang dipelajari di Madrasah Ibtidaiyah. Mata pelajaran pendidikan agama Islam pada tahun 1973 adalah al Quran, Hadst, Tauhid, Praktek Ibadah/Akhlak, Ibadah/Fiqih, Bahasa Arab, Muthla ah, Muhdatsah, Insy , Iml, Nahwu dan Sharf, Khat, dan Sejarah Islam. Sedangkan mata pelajaran selain pendidikan Agama Islam adalah kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Hayat, Pendidikan Kesenian, Seni Suara, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Agraria, Kejuruan teknik, dan Kejuruan Tata Laksana/Jasa.[lii]

Dengan materi yang sebanyak itu maka Madrasah Ibtidaiyah memiliki ciri keagamaan (Agama Islam) yang menonjol. Hal tersebut terlihat dari banyaknya jumlah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang lebih banyak dari pada jumlah mata pelajaran umum. Namun dilihat dari jumlah keseluruhan mata pelajaran Madrasah Ibtidaiyah yang terdapat pada kurikulum 1973 termasuk banyak. Terlebih hampir seluruh mata pelajaran tersebut dimulai dari kelas satu selain mata pelajaran hadist yang dimulai dari kelas empat, Bahasa Arab dimulai dari kelas tiga, Sejarah Islam dimulai dari kelas tiga dan pelajaran khat yang dimulai dari kelas empat.

Dilihat dari tujuan pembelajaran pada kurikulum 1973 sudah mulai memperkenalkan tujuan umum dan tujuan khusus. Hanya saja dalam penerapannya tujuan umum dirumuskan setiap mata pelajaran yang diberikan baik dari kelas satu sampai dengan kelas tujuh. Atau dengan kata lain dari kelas satu sampai dengan kelas tujuh setiap mata pelajaran hanya mempunyai satu tujuan umum. Sedangkan untuk tujuan khusus hanya terdapat pada setiap kelasnya, jadi setiap mata pelajaran yang hendak diberikan pada kelas tertentu (misalnya kelas I) memiliki tujuan khusus.

Dengan tujuan pembelajaran yang demikian maka pencapaian target dari tujuan baik yang bersifat umum maupun khusus adalah dalam bentuk jangka panjang. Hal ini akan menyulitkan dalam evalusi menegenai apa yang telah dikuasai murid dari setiap mata pelajaran yang diberikan, karena target pembelajaran ditetapkan dengan jangka waktu yang lama. Satu tahun untuk tujuan khusus dan setelah lulus sekolah untuk tujuan umum.

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum tahun 1973 memiliki tujuan terlalu tinggi dalam menentukan targetnya seperti target untuk bisa membaca al Quran pada kelas I. Padahal usia anak kelas satu belum mampu berfikir dan menyamakan serta mengkombinasikan pengetahuan yang dia miliki. Pada usia ini perkembangan kognitif anak sedang dalam tahap konkret-operasional[liii]

Tujuan pada kurikulum 1973 juga sering tumpang tindih dengan tujuan yang terdapat pada mata pelajaran yang lainnya. Seperti tujuan pembelajaran fiqih adalah agar murid dapat membaca dan menulis al Quran.[liv] Tujuan tersebut akan lebih tepat dimasukkan ke dalam tujuan pembelajaran al Quran atau minimal ke dalam tujuan bahasa Arab, karena al Quran menggunakan bahasa Arab.

Namun satu hal yang menarik serta menjadi ciri khas dari kurikulum 1973 adalah adanya kelas VII. Kelas ini pada dasarnya diadakan dengan tujuan untuk mengulang dan mengevaluasi mata pelajaran yang telah dipelajari dari kelas I sampai dengan kelas VI.

Sedangkan mengenai materi pada kurikulum 1973 memiliki materi yang sangat banyak. Indikasi paling mudah dari banyaknya materi ini adalah dengan melihat jumlah mata pelajaran yang diajarkan. Dengan jumlah 14 mata pelajaran maka dapat dibayangkan materi yang termuat di dalamnya.

Materi kurikulum 1973 juga dapat dikatakan terlalu padat, karena ingin menyampaikan serluruh materi yang berkaitan dengan peljaran tersebut dengan tanpa mempertimbangkan kemampuan anak. Materi fiqih misalnya memuat materi yang dimulai dari ibadah wajib dan sunah serta hal-hal yang berkaitan dengannya sampai dengan muamalah sehari-hari.

Selain itu materi Pendidikan agama Islam tidak tersusun secara sistematis serta berkesinambungan dalam memberikan materi. Lebih parahnya lagi sering terjadi tumpang tindih dan over lapping dalam melakukan pembahasan. Sebenarnya tumpang tindihnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sangat terlihat sekali dari nama-nama pelajaran pendidikan Agama Islam. Yang jelas sekali adalah pelajaran Praktek Ibadah/Akhlaq yang materinya tumpang tindih dan saling berebutan dengan Ibadah/Fiqih. Begitu pula dengan materi Sejarah Islam dengan materi Akhlak yang sering berbagi dalam menyampaikan kisah-kisah para tokoh-tokoh teladan yang diambil dari kisah para nabi dan rasul serta orang-orang pilihan.

Banyaknya materi pada kurikulum 1973 menimbulkan kesan bahwa materi pada kurikulum 1973 yang sudah berat menjadi lebih berat. Padahal terdapat beberapa materi yang dapat disatukan di bawah satu naungan mata pelajaran karena masih membahas satu objek pokok bahasan. Materi Bahasa Arab Muthla ah, Insy, Muhdatsah, dan Iml dapat kita satukan menjadi satu pelajaran yaitu Bahasa Arab. Begitu juga dengan materi fiqih, Ibadah, serta Praktek Ibadah dapat dijadikan satu naungan di bawah mata pelajaran Fiqih. Dengan perampingan-perampingan tersebut kesan berat pada materi kurikulum 1973 setidaknya akan terkurangi, walaupun bila kita melihat ke dalam nya tetap mempunyai materi yang berat dan padat.

2. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah tahun 1975

Kurikulum tahun 1975 untuk pelajaran Pendidikan Agama Islam mengalami Perampingan dengan mengurangi jumlah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dari 14 mata pelajaran pada kurikulum 1973 menjadi 5 mata pelajaran saja, yaitu: Aqidah-Akhlaq, al Quran Hadist, Ibadah Syari ah, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Pengurangan mata pelajaran pada kurikulum 1975 tidak hanya terjadi pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam saja, tetapi juga mata pelajaran yang lainnya. Untuk mata pelajaran selain pendidikan Agama Islam yaitu Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Matematika, Ilmu pengetahuan Alam, Olah Raga Kesehatan, Pendidikan Kesenian dan Pendidikan Keterampilan. Bila dijumlahkan maka seluruh mata pelajaran untuk Madrasah Ibtidaiyah adalah 13 mata pelajaran yang meliputi pelajaran umum dan pelajaran Agama Islam.[lv] Pengurangan jumlah yang drastis bila dibandingkan dengan jumlah mata pelajaran pada kurikulum 1973 yang mencapai 26 mata pelajaran. Disamping itu perubahan juga terjadi dalam lamanya pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, yang hanya berlangsung sampai kelas VI dan tidak sampai kelas VII sebagaimana pada kurikulum 1973, dengan menggunakan sistem kelas serta sistem caturwulan sebagai satauan waktu.[lvi]

Hal pokok yang mendasari keluarnya kurikulum 1975 adalah dalam rangka pelaksanaan surat keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri, tanggal 24 Maret 1976 No.6 tahun 1975, No. 037/U/1975, No.36 tahun 1975 sebagai keputusan Presiden No.34 tahun 1972, selanjutnya disebut SKB-3 Menteri, Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974, serta petunjuk beliau dalam sidang kabinet terbatas tanggal 26 Nopember 1974, agar mata pelajaran di Madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkatan mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, sehingga ijazah mereka dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, siswa madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat, lebih atas; serta siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[lvii]

Dengan alasan yang demikian sehingga diadakan pembinaan dan pembaharuan kurikulum sehingga menghasilkan kurikulum 1975 yang menggantikan kurikulum 1973. kurikulum ini mulai berlaku pada tahun ajaran 1977 dilaksanakan di kelas I dan IV, tahun ajaran 1978 dilaksanakan di kelas I, II, dan IV, V, selanjutnya baru pada tahun ajaran 1979 dilaksanakan pada seluruh kelas dimulai dari kelas I sampai dengan kelas VI.[lviii]

Kurikulum 1975 sudah mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas dan terarah, pada kurikulum 1975 ini mulai dirumuskan tujuan institusional, penyusunan Garis-Garis besar Program Pengajaran yang disusun

dari perumusan tujuan-tujuan kurikuler setiap bidang studi, perumusan tujuan-tujuan instruksional dan identifikasi pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang hendak dijadikan pokok program pengajaran.

Dengan mulai tersusunnya tujuan-tujuan, mulai dari tujuan intitusional sampai dengan tujuan instruksional khusus yang merumuskan seluruh proses kegiatan mengajar dan tujuan yang hendak dicapai dari proses kegiatan belajar mengajar, maka tujuan dan target dari suatu pembelajaran mulai terarah. Pada kurikulum ini seorang guru harus mencapai target-target yang telah ditetapkan melalui tujuan instruksional, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.

Namun di sisi lain perumusan tujuan dalam kurikulum 1975 telah membelenggu proses belajar mengajar dengan hanya berorientasi pada target yang hendak dicapai atau berorientasi pada produk belajar dan bukan pada proses pengajarannya. Selain itu kurikulum 1975, guru banyak dicekoki oleh para penerbit tanpa bisa mengembangkan diri secara dinamik. Akibatnya, guru hanya mengandalkan pada bahan yang ada pada buku tertentu. Ini terjadi karena sebagian buku mengacu dan memahami kurikulum 1975 dalam arti yang sempit yaitu hanya sebagai produk.[lix]

Mengenai materi Pendidikan Agama Islam pada kurikulum 1975 terbilang masih terlalu padat. Kepadatan ini mungkin disebabkan peralihan materi Pendidikan Agama Islam yang harus memiliki porsi sekurang-kurangnnya 30 % di samping mata pelajaran umum. Konkrit dari perubahan ini adalah pengurangan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dari 14 mata pelajaran manjadi hanya 5 mata pelajaran saja. Pengurangan mata pelajaran tersebut ternyata hanya menggabungkan saja dari berbagai mata pelajaran yang pada kurikulum sebelumnya (1973) dipecah-pecah menjadi beberapa mata pelajaran dengan tanpa mengurangi materi pelajaran yang terdapat di dalamnya. Materi al Quran Hadis misalnya yang merupakan penggabungan dari mata pelajaran al Quran dan al Hadis hanya menggabungan materi al Quran dan materi Hadis yang terdapat pada kurikulum 1973 dengan tanpa mengurai sedikitpun. Dalam materi-materi mata pelajaran yang lain memang sering tejadi pengurangan, tetapi pengurangan tersebut jumlahnya tidak berarti, sehingga hasilnya tetap sama yaitu kepadatan materi.

Dampak dari banyaknya mata pejaran serta materi yang diberikan menyebabkan daya serap peserta didik tidak optimal, mereka cenderung belajar tentang banyak hal tetapi dangkal.

Selain kepadatan materi kurikulum 1975 juga sering terjadi tumpang tindih, dan materi yang diberikan tidak sistematis dan berurutan. Materi yang sering terjadi tumpang tindih, bahkan terkadang

pengulangan, adalah meteri akidah akhlak dengan Sejarah Islam terutama mengenai kisah-kisah pilihan yang biasanya diambil dari kisah para Nabi dan Rasul serta orang-orang pilihan. Contoh lain adalah materi tentang praktek ibadah yang termuat dalam mata pelajaran Akidah Akhlak padahal seharusnya materi tersebut masuk ke dalam materi pada mata pelajaran fiqih.

Penyampaian materi pada kurikulum 1975 juga tidak mempertimbangkan tingkat pemahaman siswa. Seperti penyampaian materi tentang sesuatu yang berkaitan dengan alat reproduksi wanita (haidh, nifs, istihdhah, dll) untuk siswa kelas III.

Dilihat dari tujuan dan materi pelajaran yang terdapat pada kurikulum 1975, terlihat sangat menekankan aspek kognitif semata dan mengabaikan ranah psikomotorik dan ranah afektif. Hasilnya adalah pelajaran Agama Islam ahirnya hanya dipahami sebatas sebagai pengetahuan semata yang cukup dimengerti dan dihafalkan, bukan sebagai sistem nilai yang diterapkan oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari.

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah tahun 1984

Kurikulum 1984 sebenarnya merupakan bentuk penyempurnaan dari kurikulum 1973. Penyempurnaan terlihat dari semakin sistematisnya perumusan tujuan pembelajaran, terutama tujuan instruksional umum. Sedangkan untuk jumlah mata pelajaran tetap dan tidak berubah kecuali untuk mata pelajaran umum ditambah dengan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang diberikan setiap caturwulan ketiga serta pelajaran Bahasa Daerah bagi Madrasah yang memberikannya.

Penyempurnaan pada tujuan terlihat dengan semakin terincinya proses belajar mengajar. Pada Buku Garis-Garis Program Pengajaran (GBPP), seorang guru sudah dituntun dalam menjalankan tugasnya. Guru sudah diberikan tujuan kurikuler yang diikuti dengan tujuan istruksional umum dari setiap pokok bahasan; uraiannya; metode pangajarannya; serta buku rujukannya yang banyak menggunakan buku paket; penilainnya; kelas; cawu; dan jam pelajaran. Singkatnya pada kurikulum ini seorang guru hanya tinggal menjalankan apa yang terdapat dalam GBPP, ditambah dengan membaca buku paket tentang mata pelajaran yang bersangkutan.

Pada kurikulum 1984 pemerintah mulai mengenalkan sistem belajar siswa aktif (CBSA), yaitu: suatu sistem yang mengikutsertakan dan melibatkan siswa untuk bertindak lebih aktif. Metode yang digunakannya pun tidak lagi dimonopoli dengan metode caramah yang lebih menuntut guru untuk aktif sehingga siswa berlaku pasif.

Melihat kenyataan di atas, satu sisi pemerintah menerapkan sistem CBSA, namun di sisi lain pemerintah justru memonopoli seluruh aktifitas proses belajar mengajar. Maka yang timbul adalah kebingungan yang dihadapi oleh guru, bagaimana mungkin menerapkan CBSA bila seluruh katifitas belajar mengajar sampai metode yang digunakan telah ditentukan dalam GBPP dengan target-target yang bersifat kognitif yang harus dipenuhi.

Sedangkan mengenai materi mulai diadakan perampingan-perampingan dengan cara memangkas materi-materi yang dianggap tidak begitu cocok diberikan atau dengan menghilangkan terhadap materimateri tertentu. Namun perampingan tersebut dianggap tidak tuntas. Hal ini terlihat dalam beberapa mata pelajaran seperti Akidah Akhlak yang cenderung hanya mengadopsi materi pada kurikulum sebelumnya (1975). Perampingan yang tidak tuntas tersebut memunculkan komentar bahwa kurikulum 1984 itu ramping tetapi montok . Akibat dari semua itu juga sama dengan kurikulum sebelumnya yaitu rendahnya daya serap peserta didik.[lx]

Perkembangan yang positif dari materi pada kurikulum 1984 adalah dengan mulainya tersusun secara sistematis dan disampaikan secara berurutan, hanya saja dalam penyampaiannya tidak utuh dan tidak menyatu karena terpisahkan oleh waktu dan diberikan dalam kelas yang berbeda-beda. Seperti pembahasan mengenai shalat yang diberikan pada ahir kelas I caturwulan ke III tetapi kemudian dilanjutkan di kelas IV. Efek dari keadaan yang demikian memungkinkan siswa untuk lupa dan memiliki pengetahuan yang terpotong-potong karena biasanya dipisahkan oleh liburan yang panjang. Tentunya akan lebih baik bila pembahasan suatu materi dijadikan satu waktu (satu caturwulan/satu tahun) misalnya, sehingga menghasilkan pemahaman siswa yang utuh.

Perebutan materi pelajaran pada kurikulum ini juga masih terjadi. Dengan tidak adanya batasan yang jelas wilayah pembahasannya menyebabkan tumpang tindih serta over lapping masih saja terjadi terutama antara mata pelajaran Akidah Akhlak dengan Sejarah Islam dengan memperebutkan kisahkisah teladan yang diambil dari para nabi dan rasul serta orang-orang pilihan. Materi Sejarah Islam juga memiliki cakupanmateri yang luas, yang tidak hanya membahas tentagn sejarah islam saja, tetapi juga membahas tentang peranan umat Islam dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Materi tersebut bisa jadi telah merebut materi Sejarah Nasional atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Dilihat dari tujuan dan materi pelajaran yang terdapat pada kurikulum 1984, sebenanya tidak terlalu jauh berbeda dengan kurikulum 1975, terutama mengenai materi pembahasannya, yang masih menekankan aspek kognitif semata dengan target pengusaan materi pelajaran sebanyak-banyaknya dan mengabaikan ranah psikomotorik dan ranah afektif. Hasilnya adalah pelajaran Agama Islam ahirnya hanya dipahami sebatas sebagai pengetahuan semata yang cukup dimengerti dan dihafalkan, bukan sebagai sistem nilai yang harus diterapkan oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan penggalakkan sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tidak begitu berhasil. Hal ini disebabkan pemerintah melalui kurikulum 1984-nya menentukan banyak hal yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan hanya memberi porsi yang sedikit untuk kreatifitas dalam mengajar.

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah tahun 1994

Kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan ciri dari khas dari pendidikan yang berciri khas Agama Islam. Dengan demikian pendidikan dasar yang berciri khas Islam selain memuat kurikulum pendidikan dasar wajib dan pendidikan dasar yang berciri khas agama Islam.

Pendidikan dasar wajib sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, membaca, menulis, matematika (termasuk berhitung), pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan menggambar, serta Bahasa Inggris.

Sedangkan kurikulum pendidikan dasar yang berciri khas Agama Islam, di samping wajib memuat bahan kajian tentang pendidikan dasar, sebagaimana tersebut di atas, juga wajib memuat bahan kajian sebagai ciri khas Agama Islam, yang tertuang dalam pelajaran Agama Islam yang terdiri dari: a. Quran-Hadis, b. Aqidah-Akhlak, c. Fiqih, d. Sejarah Kebudayaan Islam, e. Bahasa Arab[lxi]

Pada dasarnya kurikulum 1994 dari segi mata pelajaran pendidikan Agama Islam tidak ada perubahan yang berarti. Perubahan hanya terlihat usaha-usaha untuk meningkatkan pendidikan Islam untuk dapat sejajar dengan pendidikan umum dan untuk itu pendidikan Islam diberi label pendidikan berciri khas Agama Islam . Sedangkan dari ciri khas Agama Islamnya tidak ada perubahan sama sekali, karena tetap memuat mata pelajaran Agama Islam yang terdiri dari lima mata pelajaran, yaitu: Quran-Hadis, AqidahAkhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.

Sedangkan mengenai tujuan dan meteri pembelajaran, pada kurikulum 1994 ini, merupakan perbaikan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya. Perbaikan itu telihat dari tujuan pada program pengajaran yang memberikan tujuan dan target dari setiap materi yang diajarkan kepada siswa. Selain itu tujuan pembelajaran pada kurikulum 1994 telah memperhatikan ruang lingkup sasarannya yang tidak hanya tertuju pada aspek pengetahuan (kognitif) saja, tetapi juga pada pengamalan dan pembiasaan (Psikomotorik), serta aspek penanaman nilai dan norma (afektif).[lxii]

Untuk format pada GBPP dari kurikulum 1994 tidak lagi terdiri dari berbagai kolom yang mencantumkan metode, alat-alat, sumber, dan lain sebagainya. Melainkan hanya mencantumkan tujuanpembelajaran dan pokok/sub pokok bahasan.[lxiii] Oleh karena itu guru memperoleh keleluasaan dalam menentukan metode, alat dan sumber belajar dalam pelaksanaan kurikulum tersebut.

Hanya saja proses pengajaran yang berorientasi pada aspek kognitif, afektif dan Psikomotorik sering tidak diikuti dengan penilaian hasil belajar yang juga berorientasi terhadap ketiganya. Jika siswa harus dinilai dalam aspek afektif, maka soal-soal yang digunakan untuk mengevalusi hasil belajar tidak harus mencerminkan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban benar atau salah. Sebaliknya, evaluasi terhadap aspek afektif perlu memposisikan siswa dalam unsur-unsur seperti sikap, minat, nilai (value), apresiasi, dan kemampuan penyesuaian diri. Begitu pula dengan penilaian hasil belajar dari sisi psikomotoriknya. Jadi keberhasilah ranah kognitif, maka pengukurannya dengan pengukuran afektif; keberhasilan psikomotorik pengukurannya juga dengan aspek psikomotorik; dan begitu juga dengan aspek afektif, maka pengukurannya juga dengan aspek afektif. Bukan terbalik dan saling tertukar.

Sedangkan untuk materi pada kurikulum 1994 mulai tersusun secara sistematis, berurutan, menyatu serta tidak terpisah-pisah sebagaimana terdapat pada kurikulum 1984. Materi pada kurikulum 1994 sekedar memberikan kemampuan-kemampuan dasar tentang pengetahuan tentang suatu mata pelajaran, dalam hal ini Pendidikan Agama Islam. Yang lebih penting dari itu adalah pencapaian target yang tidak hanya berorientasi kognitif saja melainkan juga psikomotorik dan afektif sehingga menjadikan materi pada kurikulum 1994 tidak terlalu padat dan tidak sebanyak pada kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Materi pada kurikulum 1994 juga mulai menghilangkan tumpang tindih materi terutama untuk mata pelajaran Sejarah Islam dengan Akidah Akhlak yang pada kurikulum-kurikulum sebelumnya berebut materi tentang kisah keteladanan. Dalam kurikulum 1994, kesalahan tersebut dihilangkan. Walaupun sulit untuk menarik garis pemisah mengenai kisah keteladanan, yang biasanya diambil dari kisah nabi dan rasul, apakah akan masuk ke dalam mata pelajaran Sejarah Islam atau Akidah Akhlak. Namun pada

kurikulum 1994 materi tersebut dibagi secara adil dengan cara materi yang telah terdapat pada mata pelajaran Akidah Akhlak tidak akan terdapat pada materi Sejarah Islam begitu pula sebaliknya, walaupun pada materi tersebut bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran keduanya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari pengulangan materi.

Melihat perjalanan kurikulum dari tahun 1973 sampai dengan 1994, terlihat upaya serius pemerintah untuk menanggulangi berbagai permasalah yang muncul dalam dunia pendidikan terutama berkaitan dengan kurikulum yang merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Walaupun upaya tersebut belum dapat dirasakan hasilnya secara penuh jika dilihat dari kualitas keluaran pendidikan berciri khas Agama Islam yang kita milik saat ini.

[i]S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet.V, h. 1

[ii]S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet.V, h. 2

[iii]John Dewey,Risalah Ahli Didik, terj.Redaksi Sapradama (Djakarta:Sapta Darma,1955), h. 19

[iv]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, bandung : Ctra Aditya Bakti, 1990, cet.IV, h.9

[v]Robert J. Havighurst, Perkembangan Manusia dan Pendidikan, (CV. Jemmars, 1984), h. 134

[vi]Abdullah Idi Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet. I, h. 90

[vii]Sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999) departemen ini berubah nama menjadi Departeman Pendidikan Nasional. Dalam tesis ini antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Pendidikan Nasional adalah sama, karena tergantung dari mana kutipan tersebut diambil.

[viii]Departemen Agama adalah lembaga pemerintahan yang berdiri pada tanggal 3 Januari 1946, sebagai maksud untuk menata kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam Surat Keputusan pembenukan Depag dicantumkan tugas pokoknya, yaitu: satu, memberian pelayanan keagamaan, kedua mengembangkan pendidikan keagamaan, dan ketiga membina kerukunan antar umat beragama . lihat buku IAIN dan Modernisasi di Indonesia, (Jakarta: LOGOS, 2002), cet 1, h. 61

[ix]Departemen Pendidikan Nasional, Vol. IV No.I Th 2000 Buletin Pusat Pembukuan, Menimbang PlusMinus Desentralisasi, oleh Fawzia Aswin Hadis,

[x]Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet. I, h. 90

[xi]Departemen Pendidikan Nasional,Vol. IV No.I Th 2000, Buletin Pusat Pembukuan, Meninbang PlusMinus Desentralisasi, oleh Fawzia Aswin Hadis.

[xii]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000) Cet.II, h.8

[xiii]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000) Cet.II.

[xiv]Pendidikan agama pada masa pemerintahan Soekarno di sekolah umum 2 jam dalam seminggu. Dengan pertimbangan bahwa pada masa itu banyak lembaga-lembaga non-formal seperti di mesjidmesjid ataupun surau-surau yang mengajarkan agama. Pengkonsentrasian Presiden Soekarno pada dunia pendidikan lebih menitikberatkan pada pengembangan IPTEK, mengingat bahwa kehidupan rakyat Indonesia yang masih sangat tradisional dan pola pikir yang sangat sederhana. Sedangkan di dunia barat sedang berkembang dan membangun peradaban yang didukung oleh temuan-temuan ilmu pengetahuan. H.Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos,1999) h.128

[xv]A.Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998) cet I Bag.Pendahuluan

[xvi]Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet. I, h. 172

[xvii]A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Pengantar Nurcholish Madjid, Jakarta: Fajar Dunia,1999, h.87

[xviii]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta:LSIK, 1996) h.183

[xix]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999) h.201

[xx]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999) h.201

[xxi]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999) h.201

[xxii]Karel A.Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta, LP3ES,1994), h. 215

[xxiii]Suyanto dan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), cet. I, h. 62

[xxiv]Departemen Pendidikan Nasional,Vol.IV No.I Th 2000 Buletin Pusat Pembukuan, Meninbang PlusMinus Desentralisasi, oleh Fawzia Aswin Hadis,

[xxv]Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, Zamroni, Menuju Praktek Pendidikan Egaliter Demokratis (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press; 1996), h. 108

[xxvi]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993, h. 268

[xxvii]Berita Kota, Kurikulum Pendidikan Perlu Pembaruan, Senin, 21 April 2003

[xxviii]H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999) Cet.I, h. 3-4

[xxix]Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993, h. 260

[xxx]Departemen Agama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, alam Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri dan Relevansinya dengan SKB 3 Menteri, Drs Abdurrahman Saleh, 1975/1976.

[xxxi] Departemen Agama Direktur Jenderaal Bimbingan Masyarakat Islam, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, alam Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri dan Relevansinya dengan SKB 3 Menteri, Drs Abdurrahman Saleh, 1975/1976, h. 19

[xxxii]Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (jakarta: Logos,1999) Cet.I, h.144

[xxxiii]Maksud perkataan 30 % mata pelajaran agama Islam bukanlah ditujukan kepada isi mata pelajaran agama Islam itu sendiri, tetapi jumlah waktu yang diberikan untuk mata pelajaran agama 30 % dari jumlah waktu yang tersedia di masing-masing madrasah tersebut.dengan kata lain Baca Direktorat nPembinaan Perguruan Tinggi Agama / IAIN di Jakarta, Ilmu Pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam 1982 / 1983, h.98

[xxxiv]Sebagaimana termakub dalam keputusan Menteri Agama tentang kurikulum lembaga pendidikan Islam yaitu No.73 Tahun 1976, No.74 Tahun 1976, No.75 Tahun 1976, No. 3 Tahun 1983 dan No. 48 Tahun 1978, Departemen Agama RI Ditjen BinBaga-Islam Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Pedoman Pembinaan Madrasah Ibtidaiyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta : 1984/1985, h. 16

[xxxv]Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No.6 tahun 1975, No.037 / U / 1975 dan No..36 Tahun 1975 mengenai Peningkatan Mutu Pendidikan pada madrasah, Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (jakarta: Bumi Aksara,2000), Cet.4, h. 231

[xxxvi]Aminuddin Rasyad, Baihaqi, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Drektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1986, h.82

[xxxvii]Iskandar Wiryokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Cet.I, h. 134-135

[xxxviii]Departemen Agama Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Pedoman Pelaksanaan Kurikulum, Pedoman Umum, Buku 1/1, 1981/1982, h.19

[xxxix]Penggunaan kurikulum 1975 dan kurikulum 1976 untuk SD, SMP, SMA selain berorientasi pada hasil keluarannya (out-put oriented) juga pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional), Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Ed. Revisis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995) h. 91

[xl]Penggunaan kurikulum 1975 dan kurikulum 1976 untuk SD, SMP, SMA selain berorientasi pada hasil keluarannya (out-put oriented) juga pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional), Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Ed. Revisis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995) h. 31-32

[xli]Tarmizi, Pengantar Metodologi Pengajaran di Madrasah Ibtidaiyaah, Ditjen Binbaga Islam Proyek Pembinaan Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Di Jakarta Tahun 1985/1986, Tidak Diperdagangkan, (Jakarta : Purnama Jakarta, 1986), h. 13

[xlii]Tarmizi, Pengantar Metodologi Pengajaran di Madrasah Ibtidaiyaah, Ditjen Binbaga Islam Proyek Pembinaan Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Di Jakarta Tahun 1985/1986, Tidak Diperdagangkan, (Jakarta : Purnama Jakarta, 1986), h. 15

[xliii]Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN di Jakarta, Cet.II, 1984 / 1985

[xliv]Jurnal Ilmiah Populer, Cakrawala Pendidikan, Moediyanto dalam Strategi Pelaksanaan Pendekatan Keterampilan Proses dalam Kegiatan Belajar Mengajar. No.1, Januari 1989

[xlv]Hermana soemantri, Perekayasaan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pengembangan dan Penilaian ) (Bandung: Angkasa,1993), h.106-107

[xlvi]Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1994/ 1995, Kurikulum Pendidikan Dasar berciri Khas Agama Islam, Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, 1994, h. 4

[xlvii]Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1994/ 1995, Kurikulum Pendidikan Dasar berciri Khas Agama Islam, Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, 1994, h. 6

[xlviii]Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1994/ 1995, Kurikulum Pendidikan Dasar berciri Khas Agama Islam, Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, 1994, h.7

[xlix]Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam, Pedomana Belajar Mengajar di Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1996 / 1997 ), h.

[l]Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (jakarta: Logos,1999) Cet.I, h.156

[li]Departeman Agama RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokan Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1994/1995, h. 14

[lii]Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islan Direktorat Pendidikan Agama, Kurikulum Maadrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), (Jakarta, 1973), h.3

[liii]Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan Dengan Pendekatan Baru,(Bandung: Rosda Karya, 2001), h.7273

[liv]Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islan Direktorat Pendidikan Agama, Kurikulum Maadrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), (Jakarta, 1973), h.57

[lv]Departeman Agama Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1981), h. 18-19. juga terdapat pada Departeman Agama Proye Pembinaan Pendidikan pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Pembinaan Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1984), h.36-37

[lvi]Departeman Agama Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1981), h. 15

[lvii]Departeman Agama Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1981), h. 22

[lviii]Departeman Agama Proyek Pembinaan Pendidikan Pada Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, (Jakarta, 1981), h. 20

[lix]Suyanto dan Djihad Hisyam, Reflekasi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita, 2000), h.122

[lx]Suyanto dan Djihad Hisyam, Reflekasi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita, 2000), h. 62

[lxi]Departeman Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelambagaan Agama Islam, Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam; Landasan, Program danPengembangan Kurikulum, (jakarta: 1994), h. 6-7

[lxii]Mengenai sasaran dari pembelajaran dar setiap mata pelajaran yang mencakup aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dapat dilihat pada buku terbitan Departeman Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelambagaan Agama Islam, Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam; Pedoman Belajar Mengajar Di Madrasah Ibtidaiyah (MI), (jakarta: 1994), h.14-18

[lxiii]Bandingkan dengan kurikulum 1984 yang menjerat kreatifitas guru, karena seluruh pelaksanaan kurikulum (proses belajar mengajar) telah ditentukan dalam Garis-Garis Program Pengajaran (GBPP).

KEDUDUKAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dalam perjalanan sejarahnya, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, pendidikan agama diberi porsi disekolah-sekolah. Pada masa Kabinet pertama tahun 1945, Menteri PP & K (Ki Hajar Dewantara) mengeluarkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya Pelajaran budi pekerti yang telah ada pada

masa pemerintahan Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran agama . Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan PP & K, tanggal 12 Desember 1946 menetapkan adanya pengajaran agama disekolah-sekolah rakyat negeri sejak kelas IV dengan 2 jam per-minggu. Pada tanggal 16 Juli 1951, dikeluarkan peraturan baru No.17781/ Kab.(PP & K) dan No.K/1/9180 untuk Menteri Agama, yang menyatakan bahwa pendidikan agama dimasukkan disekolah-sekolah negeri maupun swasta mulai SR hingga SMA dan juga sekolah kejuruan. Dalam UUPP No.4 Thn.1950 Bab XII Pasal 20 ayat 1 juga dinyatakan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran pendidikan agama. Dalam Ketetapan No.II/MPRS/1960 Bab II Pasal 2 ayat 3 juga ditetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran disekolah-sekolah mulai dari SR sampai Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid dewasa menyatakan keberatannya. Dengan demikian, pendidikan agama pada masa Orde Lama masih bersifat Fakultatif. Pada masa Orde Baru, sejak tahun 1966 pendidikan agama merupakan mata pelajaran pokok disekolah dasar maupun perguruan tinggi negeri, dan ikut dipertimbangkan dalam penentuan kenaikan kelas, sesuai dengan Tap MPRS No.XXVII/ MPRS/ 1966. Dalam Ketetapan MPR berikutnya, tentang GBHN Tahun 1973, 1983, 1988 pendidikan agama juga semakin mendapatkan perhatian, dengan dimasukkannya kedalam kurikulum disekolah mulai dari SD sampai Universitas Negeri. Didalam UU No.2/1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 39 ayat 2 ditetapkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama. Bahkan didalam Tap MPR No.II/MPR/1993 tentang GBHN, juga ditegaskan bahwa agama dijadikan sebagai penuntun dan pedoman bagi pengembangan dan penerangan iptek. Kini, kedudukan bidang studi agama menempati tempat utama dalam program pendidikan umum setara dengan PMP dan Bahasa Indonesia, tetapi jumlah jam pelajarannya menjadi berkurang dibandingkan dengan kurikulum 1968. Kenyataan tersebut, menunjukkan bahwa pendidikan agama mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia. Sedangkan kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk sekolah/ madrasah berfungsi sebagai berikut : a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. b. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. c. Penyesuaian Mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari. e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

f. Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata, dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya. g. Penyaluran,yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus dalam bidang Agama Islam, agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.