darier's disease

15
1. Genodermatosis Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada kelompok penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh tanda atau gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat sistemik (Pandhi, 2015). Karena termasuk dalam kategori penyakit yang jarang ditemukan, terlebih lagi kurangnya kesadaran tenaga medis akan kondisi ini, berbagai kendala akhirnya muncul khususnya dalam penanganan maupun penelitian untuk penyakit ini (Dyer, 2013). Namun demikian, dalam 25 tahun terakhir, kemajuan besar telah dicapai dalam upaya untuk memahami dasar genetika dari genodermatosis (Lander, 2011). Kemajuan ini, khususnya dalam bidang uji molekular, membawa kemudahan bagi para spesialis penyakit kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan presentasi non-spesifik begitu pula pada kasus-kasus klasik, sehingga memperluas area fenotip yang dikenali dalam kaitannya dengan genodermatosis (Feramisco, 2009). 2. Darier’s Disease a. Definisi Penyakit darier merupakan gangguan kulit yang dikarakterisasi oleh papul hiperkeratosis yang bergabung membentuk plak dan terutama ditemukan di area seboroik atau intertriginus (Kwok, 2014). Penyakit ini termasuk dalam kelompok gangguan kulit yang jarang ditemukan, dan pertama kali dideskripsikan oleh Darier dan White di tahun 1889. Sejak itu, gangguan ini disebut dengan istilah Darier’s disease (biasa disingkat DD), atau diskeratosis folikularis (Darier, 1889; White, 1889). b. Etiologi Penyakit darier merupakan gangguan kulit autosom dominan, yang disebabkan oleh mutasi gen ATP2A2, sebuah gen yang terletak pada kromosom 12q2324.1 (Bchetnia et al, 2009). Gen ini memiliki 2 varian, yakni ATP2A2a dan ATP2A2b. Hoi C di tahun 2004 melakukan studi untuk menganalisis mutasi gen tersebut secara spesifik pada 28 pasien yang menderita penyakit darier di China. Melalui studinya, diketahui bahwa

Upload: yorim-sora-pasila

Post on 09-Sep-2015

37 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Dermatology

TRANSCRIPT

  • 1. Genodermatosis

    Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada kelompok

    penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh tanda atau

    gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat sistemik (Pandhi,

    2015). Karena termasuk dalam kategori penyakit yang jarang ditemukan,

    terlebih lagi kurangnya kesadaran tenaga medis akan kondisi ini, berbagai

    kendala akhirnya muncul khususnya dalam penanganan maupun penelitian

    untuk penyakit ini (Dyer, 2013). Namun demikian, dalam 25 tahun terakhir,

    kemajuan besar telah dicapai dalam upaya untuk memahami dasar genetika

    dari genodermatosis (Lander, 2011). Kemajuan ini, khususnya dalam bidang

    uji molekular, membawa kemudahan bagi para spesialis penyakit kulit untuk

    mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan presentasi non-spesifik begitu

    pula pada kasus-kasus klasik, sehingga memperluas area fenotip yang dikenali

    dalam kaitannya dengan genodermatosis (Feramisco, 2009).

    2. Dariers Disease

    a. Definisi

    Penyakit darier merupakan gangguan kulit yang dikarakterisasi oleh papul

    hiperkeratosis yang bergabung membentuk plak dan terutama ditemukan di

    area seboroik atau intertriginus (Kwok, 2014). Penyakit ini termasuk dalam

    kelompok gangguan kulit yang jarang ditemukan, dan pertama kali

    dideskripsikan oleh Darier dan White di tahun 1889. Sejak itu, gangguan ini

    disebut dengan istilah Dariers disease (biasa disingkat DD), atau diskeratosis

    folikularis (Darier, 1889; White, 1889).

    b. Etiologi

    Penyakit darier merupakan gangguan kulit autosom dominan, yang

    disebabkan oleh mutasi gen ATP2A2, sebuah gen yang terletak pada

    kromosom 12q2324.1 (Bchetnia et al, 2009). Gen ini memiliki 2 varian, yakni

    ATP2A2a dan ATP2A2b. Hoi C di tahun 2004 melakukan studi untuk

    menganalisis mutasi gen tersebut secara spesifik pada 28 pasien yang

    menderita penyakit darier di China. Melalui studinya, diketahui bahwa

  • sebagian besar mutasi ini, merupakan tipe mutasi nonsense, suatu mutasi yang

    merubah kodon atau asam amino menuju terminasi atau berhentinya kodon,

    dan akhirnya proses ini menuntun ke arah terminasi translasi prematur.

    Adapun beberapa faktor yang dihubungkan dengan mutasi gen ATP2A2

    adalah paparan sinar matahari, panas, keringat, lithium dan menstruasi (Hoi C,

    2004).

    c. Patogenesis

    Gen ATP2A2 merupakan gen yang mengkoding pompa kalsium adenosin

    trifosfat retikulum sarko/endoplasma (sarco/endoplasmic reticulum calcium

    adenosine triphosphate pump) atau disingkat pompa SERCA 2. Pompa

    SERCA 1, 2, 3 merupakan Pompa kation yang memasangkan hidrolisis ATP

    dengan transpor kation melewati membran sel. Pompa ini menjaga agar

    konsentrasi Ca2+ sitosolik tetap rendah dan fungsi ini sangat penting dalam

    proses pembentukan desmosom (Shi et al, 2012).

    Mutasi pada gen ini, pada akhirnya akan menyebabkan homeostasis Ca2+

    yang abnormal, ini diikuti penurunan protein anti-apoptotis seperti ekspresi

    Bcl-2, Bel-x dan Bax pada epidermis dari kulit dimana lesi darier ditemukan.

    Selain konsekuensi ini, mutasi gen ATP2A2 juga menyebabkan gangguan

    pada proses pertukaran desmoplakin ke permukaan sel keratinosit, dan juga

    peningkatan regulasi P-cadherin di sel basal maupun suprabasal kulit dengan

    lesi darier. Ketiga konsekuensi di atas menimbulkan konsekuensi lanjut pada

    tahap berikutnya, dimana akan terjadi apoptosis dan pembentukan desmosom

    yang abnormal. Hasil akhir dari proses ini adalah diskeratosis dan akantolisis

    (Wang, Bruce, dan Tu et al, 2011).

    3. Inkontinensia Pigmenti

    a. Definisi

    Inkontinensia pigmenti, juga dikenal dengan istilah Bloch-Sulzberger

    syndrome, merupakan genodermatosis yang terjadi akibat abnormalitas pada

    kromosom X (Minic, Trpinac, Obradovic, 2013). Kondisi ini termasuk

    golongan kelainan kulit yang jarang ditemukan, dan terutama diderita oleh

  • neonatus berjenis kelamin perempuan (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006).

    Istilah inkontinensia pigmenti berasal dari tampilan mikroskopik lesi pada fase

    ketiga dari penyakit ini, yang dikarakterisasi oleh hilangnya pigmen di lapisan

    basal epidermis, seolah melanosit menunjukkan adanya inkontinensia

    melanosit (Escobedo, 2010; Pereira, Mesquita, Budel et al, 2010).

    Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Garrod et al di tahun 1906,

    kemudian di tahun 1925 pada pasien kembar. Dalam laporan yang pertama,

    Garrod menggunakan istilah peculiar pigmentation pada kulit bayi. Di tahun

    1926, Block mempresentasikan kasus tersebut secara lebih mendalam kepada

    Swiss society of Dermatology, dan meggunakan istilah baru untuk kelainan ini,

    yakni inkontinensia pigmenti. Di tahun 1928, Sulzberg juga melaporkan

    sindrom yang identik, sehingga istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga mulai

    digunakan. Pada kedua laporan ini, Bloch dan Sulzberger mendeskripsikan

    inkontinensia pigmenti sebagai sindrom klinis dengan konstelasi dari

    gambaran unik yang mencakup berbagai manifestasi kutaneus. Untuk

    memperjelas deskripsi, berikut akan disertakan beberapa gambar mengenai

    inkontinensia pigmenti.

    Gambar x.x. Inkontinensia Pigmenti dari Beberapa Kasus yang Pernah Dilaporkan

    Sumber : Shah dan Elston, 2014

  • b. Epidemiologi

    Seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, inkontinensia

    pigmenti merupakan penyakit kulit yang jarang ditemukan. Di Amerika, tidak

    ada 1 pun insidensi maupun prevalensi penyakit ini yang pernah dilaporkan

    (Shah dan Elston, 2014). Secara internasional, prevalensi estimasinya adalah

    sebesar 1:300.000, dengan insidensi sebesar 1:40.000. Hingga saat ini, hanya

    800 kasus inkontinensia pigmenti yang pernah dilaporkan (Caputo dan Tadini,

    2006; Marques, Sousa dan Tonello, 2014). Meskipun dalam berbagai literatur

    dikatakan bahwa penyakit ini lebih umum ditemukan pada ras berkulit putih,

    beberapa kasus lain yang dilaporkan juga ditemukan pada ras berkulit hitam

    dan Asia (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al, 2001; Mansour, Woffendin,

    Mitton et al, 2001).

    Inkontinensia pigmenti utamanya diderita oleh neonatus berjenis kelamin

    perempuan. Lebih dari 95% kasus yang pernah dilaporkan diderita oleh

    perempuan. Saat diderita oleh laki-laki, kondisi ini umumnya menjadi letal

    atau mematikan, menyebabkan terjadinya abortus spontan pada kebanyakan

    kasus (Ardelean D, Pope E, 2006). Untuk alasan inilah inkontinensia pigmenti

    juga digolongkan ke dalam male lethal syndrome, atau sindrom yang dapat

    menyebabkan kematian pada laki-laki (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al,

    2001; Mansour, Woffendin, Mitton et al, 2001; Shah dan Elston, 2014).

    Dalam sebuah review literatur internasional, Carney (1995) melaporkan 653

    pasien dengan sindrom ini, dan hanya sejumlah 16 di antaranya yang berjenis

    kelamin laki-laki (Tristo, Baraky, Carvalho et al, 1995). Inkontinensia

    pigmenti dapat ditemukan pada laki-laki dengan sindrom Klinefelter (XXY

    sindrom) atau sebagai hasil dari mutasi pada gen NEMO (Shah dan Elston,

    2014).

  • c. Etiologi

    Defek pada kromosom X merupakan penyebab utama terjadinya

    inkontinensia pigmenti. Pada mayoritas kasus, defek ini dipercaya berdampak

    pada lengan panjang dari kromosom Xq28. Hampir 80% pasien dengan

    inkontinensia pigmenti memiliki delesi yang melibatkan ekson 4 dan 10 dari

    gen NEMO (NF-kappa B essential modulator), sebuah gen yang terletak di

    porsi q28 kromosom Xq28 dan berfungsi sebagai regulator aktivasi transkripsi

    faktor NF-KannaB (NF-kB). NF-kB merupakan pusat regulasi dari sejumlah

    besar sistem imun, infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi

    jaringan yang berasal dari ektoderm. Adapun penyebab pasti dari mutasi gen

    ini belum sepenuhnya dipahami (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco,

    Paciolla, Napolitano et al, 2012).

    d. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

    Inkontinensia pigmenti dapat dideskripsikan sebagai kelainan kulit yang

    terdiri dari 4 tahapan, yakni (1) tahap vesikular, (2) tahap verrucous-

    squamous, (3) tahap hiperpigmentasi dan (4) tahap hipopigmentasi. Satu hal

    yang perlu diperhatikan oleh klinisi, bahwa masing-masing dari tahapan ini

    dapat menghilang secara acak, atau bahkan tidak ada (Caputo dan Tadini,

    2006).

    Tahap Vesikular

    Tahap vesikular (vesicobullous) atau dikenal juga dengan istilah tahap

    inflamasi, merupakan tahap pertama yang muncul saat lahir (Caputo dan

    Tadini, 2006). Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa inkontinensia

    pigmenti muncul sebagai konsekuensi dari mutasi pada kromosom X, atau

    lebih spesifik lagi, Xq28. Pada porsi q28 kromosom ini, terdapat sebuah

    gen yang disebut NEMO (NF-kappa B essential modulator). Gen ini

    bertanggung jawab sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-

    KannaB (NF-kB), pusat dari berbagai fungsi imunitas dan pertumbuhan,

    seperti infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi jaringan

  • yang berasal dari ektoderm (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco,

    Paciolla, Napolitano et al, 2012).

    Aktivasi dari NF-kB mencegah apoptosis yang muncul akibat respons

    terhadap adanya sitokin family TNF (Tumor Necroting Factor).

    Normalnya, aktivitas NF-kB diregulasi melalui protein inhibitor kB.

    Adanya aktivasi reseptor TNF menghasilkan fosforilasi dan inaktivasi

    inhibitor kB oleh IKK (inhibitor kappa kinase), sehingga lebih jauh

    mengkatifkan NF-kB. Hilangnya fungsi IKK menyebabkan defisiensi

    aktivitas NF-kB dan meningkatnya kepekaan terhadap apoptosis (Fusco,

    Paciolla, Napolitano et al, 2012).

    Sel-sel yang mempertahankan aktivitas IKK dapat menghasilkan

    sitokin tambahan yang memicu apoptosis pada sel disekitarnya yang

    mengalami defisiensi IKK, sehingga menciptakan lingkaran amplifikasi

    yang akhirnya menyebabkan kematian semua sel-sel tersebut. Mekanisme

    ini, diyakini sebagai penyebab munculnya manifestasi dari tahap vesikular

    inkontinensia pigmenti, yang dikarakterisasi oleh adanya makula, vesikel

    dan papula, atau bahkan pustula dengan dasar eritema di sepanjang garis

    Blaschko (Osorio, Magina, Nogueira et al, 2010).

    Lesi ini dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, namun umumnya

    terlihat di daerah lengan, kaki dan tubuh bagian tengah. Lesi tahap pertama

    umumnya mengalami involusi dalam beberapa hari dan dapat digantikan

    oleh lesi veruka-squamous, sebuah penanda khas yang menjadi karakter

    inkontinensia pigmenti tahap ke-2 (Caputo dan Tadini, 2006).

  • Gambar x.x. Lesi vesikel pada Tahap Vesikular Inkontinensia Pigmenti

    Sumber : Caputo dan Tadini, 2006

    Tahap verrucous-squamous

    Tahap ini merupakan tahap kedua dari inkontinensia pigmenti, dimana

    penyembuhan dari tahap pertama terjadi (Caputo dan Tadini, 2006).

    Sejumlah studi menyatakan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya

    tahap dua dihubungkan dengan proliferasi sel normal yang tidak

    mengalami defisiensi IKK (disebut dengan istilah IKK-positive cells).

    IKK-positive cells berproliferasi dan menekan proses inflamasi sehingga

    lesi yang muncul di tahap pertama mengalami penyembuhan. Proses

    penyembuhan ini kemudian menghasilkan lesi verukosa dan hiperkeratosis

    (Mhlenstdt, Eigelshoven, Hoff et al, 2010). Lesi dengan porsi linear

    umumnya dapat sembuh, dengan lesi hiperkeratosis yang tidak bertahan

    lama. Namun demikian, lesi vesikel pada tahap pertama dapat muncul

    kembali sepanjang usia pertumbuhan bayi, baik akibat paparan sinar

    matahari atau akibat faktor lain yang belum sepenuhnya teridentifikasi

    (Lee Y, Kim S, Kim K, Chang et al, 2011).

  • Gambar x.x. Lesi verukosa pada Tahap Verrucous Inkontinensia Pigmenti

    Sumber : Caputo dan Tadini, 2006

    Tahap Hiperpigmentasi (hyperpigmented)

    Tahap hiperpigmentasi merupakan tahap ketiga yang dikarakterisasi

    oleh lesi berpigmen coklat ataupun keabu-abuan yang mengikuti garis

    Blaschko, lebih sering ditemukan di badan dan ekstremitas. Lesi paralel

    yang berada pada 1 garis lurus seringkali terhubung satu sama lainnya oleh

    gambaran perpendikular berpigmen, membentuk tampilan khas yang

    disebut dengan istilah rail-sleepers yang tampak seperti retikulat. Lesi

    berpigmen menghilang pada kebanyakan pasien selama masa kanak-kanak

    atau remaja, namun kadang dapat menetap sepanjang kehidupan. Adapun

    patogenesis terbentuknya lesi ini belum sepenuhnya dipahami (Caputo dan

    Tadini, 2006; Shah dan Elston, 2014).

    Gambar x.x. Rail-Sleepers pada Tahap Hiperpigmentasi Inkontinensia Pigmenti

    (Sumber : Caputo dan Tadini, 2006)

  • Tahap atrophic-hypopigmented

    Sebuah tahap yang dikarakterisasi oleh garis translusen berwarna putih

    dan hilangnya folikel rambut. Sama halnya dengan tahap ketiga,

    patogenesis dari tahap keempat belum dipahami sepenuhnya. Namun

    demikian, para peneliti meyakini bahwa perubahan pasca inflamasi

    memainkan peranan penting dalam proses ini (Caputo dan Tadini, 2006;

    Shah dan Elston, 2014).

    Gambar x.x. Tahap Hipopigmentasi Inkontinensia Pigmenti

    (Sumber : Caputo dan Tadini, 2006)

    e. Onset Klinis, Perjalanan Penyakit dan Manifestasi ekstradermal

    inkontinensia pigmenti

    Penting untuk ditekankan bahwa istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga

    digunakan sebagai istilah lain untuk inkontinensia pigmenti karenasuatu

    alasan, yakni sindrom itu sendiri merupakan sekumpulan gejala klinis.

    Meskipun Inkontinensia pigmenti merupakan gangguan yang manifestasi

    utamanya ditemukan pada kulit, kelainan ini juga menimbulkan manifestasi

    ekstradermal (Anstey, 2010). Manifestasi ini ditemukan pada >50% kasus

    inkontinensia pigmenti, yang antara lain meliputi :

    Manifestasi pada sistem saraf pusat (muncul pada 25% kasus

    inkontinensia pigmenti) yang meliputi kejang, retardasi mental, paralisis

    spastik, mikroensefali dan perkembangan motorik yang lambat (Fiorillo,

    Sinclair, OByrne, 2003; Shah, Gibs dan Upton, 2003; Kaczala, Messer

    dan Poskitt et al, 2008). Selain itu, kelainan seperti hemiplegiadan

  • tetraplegia spastik juga ditemukan pada beberapa pasien dengan

    inkontinensia pigmenti (Caputo dan Tadini, 2006).

    Defek pada gigi (Dental defect) yang dapat ditemukan dalam bentuk

    anodontia parsial, pegged teeth dan tanggalnya gigi, khususnya pada

    lateral atas incisivus dan premolar (Mini, Trpinac, Gabriel, 2013).

    Pada temuan ophthalmology, mungkin ada kebutaan, strabismus, katarak

    infantil, ablasio retina, atrofi optik dan mikroptalmia (Minic, Novotny,

    Stefanovic, 2010; Wald, Mehta, Katsumi, 1993; Mayer, Shuttleworth,

    Greenhalgh, 2003)

    Abnormalitas skeletal dapat muncul dalam bentuk deformitas tulang

    tengkorak, dwarfisme, spina bifida, club foot, extra ribs, kelainan anatomis

    pada palatum dan bibir (sumbing atau labioschisis) (Anstey, 2010; Mini,

    Trpinac, Gabriel, 2013).

    Manifestasi lainnya : seperti distrofi pada kuku (40% kasus dan muncul

    dalam bentuk pitting ringan hingga onychogryphosis dengan berbagai

    ekspresi) dan alopesia yang disertai luka parut (muncul sebagai akibat dari

    inflamasi di tahap awal) (Caputo dan Tadini, 2006).

    f. Diagnosis Diferensial :

    Diagnosis diferensial dari tahap pertama inkontinensia pigmenti meliputi :

    Epidermolisis bulosa, subtipe epidermolisis dowling-meara

    Mastositosis bulosa

    Epidermolisis Hiperkeratosis

    Impetigo bulosa

    Herpes simplex dan varicella

    Untuk Inkontinensia Pigmenti tahap kedua :

    Nevus epidermis linear

    Striatus lichen

    Penyakit darier linear

    Tahap ketiga :

    Nevus hiperpigmentosa linearis

  • Whorled hypermelanosis

    Tahap akhir (keempat)

    Linear hypomelanosis (including hypomelanosis of Ito)

    Female carriers of HED

    Goltzs syndrome

    g. Pemeriksaan Laboratorium

    Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan kelainan sebagai berikut :

    Leukositosis (>40.000 sel/mm3)

    Eosinofilia muncul di bulan pertama kehidupan pada 75% pasien dengan

    inkontinensia pigmenti, dengan variasi jumlah eosinofil mulai dari 20%

    hingga 65% dari total sel darah putih.

    h. Penatalaksanaan

    Tatalaksana tidak selalu diperlukan untuk lesi kutaneus, meskipun

    penggunaan tacrolimus dan kortikosteroid topikal telah dilaporkan

    mempercepat resolusi dari tahap inflamasi (Kaya, Tursen, Ikizoglu, 2009;

    Jessup, Morgan, Cohen et al, 2009). Higienitas oral dan perawatan gigi rutin

    sangat diperlukan pada kasus inkontinensia pigmenti, dan restorasi gigi juga

    disarankan. Kejang harus ditangani dengan antikonvulsan. Sebagai tambahan,

    pemeriksaan perkembangan fungsi saraf dapat dilakukan pada pasien dengan

    inkontinensia pigmenti, tentunya dengan merujuk pasien ke spesialis yang

    bersangkutan. pemeriksaan ophthalmology rutin juga dibutuhkan, khususnya

    selama tahun pertama kehidupan, dengan maksud untuk mendiagnosa dan

    menangani komplikasi ophthalmology yang mungkin muncul (Kara dan Shah,

    2014).

  • 4. Harlequin Baby (Harlequin ichthyosis)

    a. Definisi

    Harlequin fetus merupakan kelainan kulit yang sangat jarang dijumpai,

    termasuk dalam golongan autosomal recessive congenital ichthyoses

    (ARCI) yang diwariskan, dan juga menjadi bentuk paling berat dari

    gangguan keratinisasi yang dikarakterisasi oleh penebalan stratum

    korneum atau hiperkeratinisasi pada kulit (Akiyama, Sakai, Sugiyama-

    Nakagiri et al, 2006; Prasad, 2011). Istilah harlequin berasal dari gaun

    yang dikenakan oleh badut harlequin. Seiring meningkatnya kemungkinan

    untuk bertahan hidup pada bayi dengan penyakit tersebut, istilah harlequin

    fetus kemudian digantikan oleh harlequin ichthyosis (HI). Istilah lain yang

    juga digunakan adalah ichthyosis congenital atau keratosis diffusa

    foetalis.

    b. Epidemiologi

    Karena termasuk dalam kelainan yang sangat jarang ditemukan, maka

    insidensi dari harlequin ichthyosis juga sangat rendah. Di tahun 2003,

    insidensinya mencapai 1:300.000 kelahiran (Bianca S, Ingegnosi C,

    Bonaffini, 2003). Insidensi ini justru menurun di tahun 2005, yakni

    sebanyak 1:1000.000 kelahiran dan hingga tahun 2007, hanya ada 101

    kasus yang dilaporkan dalam literatur medis di seluruh dunia (Layton J,

    2005; Prasad, 2011).

    c. Etiopatogenesis

    Hingga detik ini, kausa dari HI masih kontroversial, namun demikian,

    mutasi atau defek pada gen ABCA12 dianggap sebagai penyebab yang

    mendasari kelainan ini. Selain menjadi penyebab HI, mutasi gen ABCA12

    juga dihubungkan dengan lamellar ichthyosis tipe 2, subtipe ARCI lainnya

    (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).

    Gen ABCA12 merupakan gen yang terletak pada kromosom 2 dan

    bertanggungjawab untuk transport lipid dalam tubuh (Kelsell DP, Norgett

  • EE, Unsworth et al, 2005; Akiyama, 2006). Formasi lapisan lipid

    interselular sangatlah esensial untuk fungsi penghalang (barrier) dari

    epidermis dan formasi defektif dari lapisan lipid dianggap sebagai hasil

    dari hilangnya fungsi tersebut serta hiperkeratosis yang abnormal. Mutasi

    pada protein transport lipid (ABCA12) menyebabkan sekresi lipid menuju

    granul-granul lamelar menjadi kurang efektif sehingga molekul lipid

    tersebut justru mengalami ekspulsi dari permukaan apikal keratinosit

    (Akiyama, Sugiyama-Nakagiri, dan Sakai et al, 2005). Proses inilah yang

    mendasari terjadinya HI dan juga LI.

    d. Manifestasi Klinis

    Tubuh penderita gangguan ini ditutupi oleh lapisan menyerupai sisik yang

    tebal sehingga tampak seperti perisai, atau tampak terbungkus dalam

    selaput tipis-ketat, yang hanya memungkinkan sedikit pergerakan dengan

    posisi khas (semi fleksi) sembari memegang kaki (posisi harlequin fetus)

    (Dubey, Tuibeqa, Pio, 2014). Fitur lain dari harlequin fetus adalah

    deformitas kranial maupun fascial, seperti telinga bagian belakang yang

    kurang berkembang, hipoplasia nasal, dan ektropion bilateral dengan

    oklusi mata dan eklabium. Neonatus dengan harlequin ichthyosis

    umumnya meninggal dalam hitungan beberapa hari pertama kehidupan

    akibat infeksi dan dehidrasi yang dihubungkan dengan berbagai

    komplikasi (Arikan, Harma, Barut et al, 2010).

    Gambar x.x. Beberapa Gambaran Khas pada Harlequin Ichtyosis

  • Sumber : (Caputo dan Tadini, 2006)

    e. Penegakan Diagnosa

    Kondisi ini dapat didiagnosis secara in-utero melalui biopsi kulit fetus,

    amniosentesis atau biopsi vili chorionic (untuk diagnosa dini yang

    didasarkan pada DNA) dan juga ultrasonografi 3D. Tes genetik pre-

    implantasi juga dapat digunakan (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).

    Setelah kelahiran, diagnosis dapat dilakukan dengan mengkaji

    gambaran patognomik yang muncul, disertai konfirmasi dengan biopsi

    kulit dari bagian tubuh manapun, yang menunjukkan karakteristik

    abnormal pada struktur granul lamelar dan ekpresi keratin epidermis

    (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).

    f. Penatalaksanaan

    Saat ini penatalaksanaan harlequin ichthyosis utamanya melibatkan

    penggunaan inkubator humidifikasi, regulasi temperatur, penggantian

    nutrisi, perawatan kulit dan mata, kontrol nyeri, fisioterapi dan kontrol

    infeksi (Harvey HB, Shaw MQ Morrell DS, 2010). Keratinolitik topikal

    sering digunakan pada dewasa (asam salisil, asam alfa hidroksil dan urea)

    tidak sesuai untuk digunakan pada bayi baru lahir karena adanya potensi

    toksisitas sistemik dari peningkatan absorbsi kutaneus. Terlebih lagi,

    karena terapi sistemik retinoid dapat mencapai efek keratinolisis yang

    adekuat, penggunaan obat-obatan topikal di atas tidak lagi diperlukan.

    Selain itu, mandi dan menggosok badan dapat menurunkan risiko infeksi

  • kulit, membantu melembutkan kulit dan meningkatkan pergantian stratum

    korneum yang tebal. Fisura kutaneus yang dalam pada HI sangatlah nyeri,

    membuat tatalaksana nyeri menjadi masalah yang penting dalam

    tatalaksana pasien harlequin ichthyosis.

    Ektropion ditangani dengan air mata artificial yang diteteskan pada

    mata khususnya konjungtiva setiap 2 jam, disertai pemberian salep

    antibiotik. Kontraktur tangan, komplikasi lainnya yang dikaitkan dengan

    HI, mungkin membutuhkan konsultasi bedah, karena gangren di bagian

    distal jari dapat muncul jika kontraktur tidak ditangani semestinya.

    Sebagai tambahan, fisioterapi menjadi aspek penting penanganan lini

    pertama dan tatalaksana jangka panjang, karena ini mengurangi kontraktur

    dan meningkatkan kemampuan gerak sendi. Meskipun profilaksis dengan

    antibiotik dan atifungal terlihat intuitif pada pasien dengan HI, hanya ada

    sedikit bukti yang menyatakan bahwa profilaksis demikian sangat

    berguna. Di atas semua ini, pemberian retinoid sistemik merupakan terapi

    yang wajib dilakukan (Katugampola RP, Finlay AY, 2006; Prasad, 2011).