darier's disease
DESCRIPTION
DermatologyTRANSCRIPT
-
1. Genodermatosis
Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada kelompok
penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh tanda atau
gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat sistemik (Pandhi,
2015). Karena termasuk dalam kategori penyakit yang jarang ditemukan,
terlebih lagi kurangnya kesadaran tenaga medis akan kondisi ini, berbagai
kendala akhirnya muncul khususnya dalam penanganan maupun penelitian
untuk penyakit ini (Dyer, 2013). Namun demikian, dalam 25 tahun terakhir,
kemajuan besar telah dicapai dalam upaya untuk memahami dasar genetika
dari genodermatosis (Lander, 2011). Kemajuan ini, khususnya dalam bidang
uji molekular, membawa kemudahan bagi para spesialis penyakit kulit untuk
mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan presentasi non-spesifik begitu
pula pada kasus-kasus klasik, sehingga memperluas area fenotip yang dikenali
dalam kaitannya dengan genodermatosis (Feramisco, 2009).
2. Dariers Disease
a. Definisi
Penyakit darier merupakan gangguan kulit yang dikarakterisasi oleh papul
hiperkeratosis yang bergabung membentuk plak dan terutama ditemukan di
area seboroik atau intertriginus (Kwok, 2014). Penyakit ini termasuk dalam
kelompok gangguan kulit yang jarang ditemukan, dan pertama kali
dideskripsikan oleh Darier dan White di tahun 1889. Sejak itu, gangguan ini
disebut dengan istilah Dariers disease (biasa disingkat DD), atau diskeratosis
folikularis (Darier, 1889; White, 1889).
b. Etiologi
Penyakit darier merupakan gangguan kulit autosom dominan, yang
disebabkan oleh mutasi gen ATP2A2, sebuah gen yang terletak pada
kromosom 12q2324.1 (Bchetnia et al, 2009). Gen ini memiliki 2 varian, yakni
ATP2A2a dan ATP2A2b. Hoi C di tahun 2004 melakukan studi untuk
menganalisis mutasi gen tersebut secara spesifik pada 28 pasien yang
menderita penyakit darier di China. Melalui studinya, diketahui bahwa
-
sebagian besar mutasi ini, merupakan tipe mutasi nonsense, suatu mutasi yang
merubah kodon atau asam amino menuju terminasi atau berhentinya kodon,
dan akhirnya proses ini menuntun ke arah terminasi translasi prematur.
Adapun beberapa faktor yang dihubungkan dengan mutasi gen ATP2A2
adalah paparan sinar matahari, panas, keringat, lithium dan menstruasi (Hoi C,
2004).
c. Patogenesis
Gen ATP2A2 merupakan gen yang mengkoding pompa kalsium adenosin
trifosfat retikulum sarko/endoplasma (sarco/endoplasmic reticulum calcium
adenosine triphosphate pump) atau disingkat pompa SERCA 2. Pompa
SERCA 1, 2, 3 merupakan Pompa kation yang memasangkan hidrolisis ATP
dengan transpor kation melewati membran sel. Pompa ini menjaga agar
konsentrasi Ca2+ sitosolik tetap rendah dan fungsi ini sangat penting dalam
proses pembentukan desmosom (Shi et al, 2012).
Mutasi pada gen ini, pada akhirnya akan menyebabkan homeostasis Ca2+
yang abnormal, ini diikuti penurunan protein anti-apoptotis seperti ekspresi
Bcl-2, Bel-x dan Bax pada epidermis dari kulit dimana lesi darier ditemukan.
Selain konsekuensi ini, mutasi gen ATP2A2 juga menyebabkan gangguan
pada proses pertukaran desmoplakin ke permukaan sel keratinosit, dan juga
peningkatan regulasi P-cadherin di sel basal maupun suprabasal kulit dengan
lesi darier. Ketiga konsekuensi di atas menimbulkan konsekuensi lanjut pada
tahap berikutnya, dimana akan terjadi apoptosis dan pembentukan desmosom
yang abnormal. Hasil akhir dari proses ini adalah diskeratosis dan akantolisis
(Wang, Bruce, dan Tu et al, 2011).
3. Inkontinensia Pigmenti
a. Definisi
Inkontinensia pigmenti, juga dikenal dengan istilah Bloch-Sulzberger
syndrome, merupakan genodermatosis yang terjadi akibat abnormalitas pada
kromosom X (Minic, Trpinac, Obradovic, 2013). Kondisi ini termasuk
golongan kelainan kulit yang jarang ditemukan, dan terutama diderita oleh
-
neonatus berjenis kelamin perempuan (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006).
Istilah inkontinensia pigmenti berasal dari tampilan mikroskopik lesi pada fase
ketiga dari penyakit ini, yang dikarakterisasi oleh hilangnya pigmen di lapisan
basal epidermis, seolah melanosit menunjukkan adanya inkontinensia
melanosit (Escobedo, 2010; Pereira, Mesquita, Budel et al, 2010).
Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Garrod et al di tahun 1906,
kemudian di tahun 1925 pada pasien kembar. Dalam laporan yang pertama,
Garrod menggunakan istilah peculiar pigmentation pada kulit bayi. Di tahun
1926, Block mempresentasikan kasus tersebut secara lebih mendalam kepada
Swiss society of Dermatology, dan meggunakan istilah baru untuk kelainan ini,
yakni inkontinensia pigmenti. Di tahun 1928, Sulzberg juga melaporkan
sindrom yang identik, sehingga istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga mulai
digunakan. Pada kedua laporan ini, Bloch dan Sulzberger mendeskripsikan
inkontinensia pigmenti sebagai sindrom klinis dengan konstelasi dari
gambaran unik yang mencakup berbagai manifestasi kutaneus. Untuk
memperjelas deskripsi, berikut akan disertakan beberapa gambar mengenai
inkontinensia pigmenti.
Gambar x.x. Inkontinensia Pigmenti dari Beberapa Kasus yang Pernah Dilaporkan
Sumber : Shah dan Elston, 2014
-
b. Epidemiologi
Seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, inkontinensia
pigmenti merupakan penyakit kulit yang jarang ditemukan. Di Amerika, tidak
ada 1 pun insidensi maupun prevalensi penyakit ini yang pernah dilaporkan
(Shah dan Elston, 2014). Secara internasional, prevalensi estimasinya adalah
sebesar 1:300.000, dengan insidensi sebesar 1:40.000. Hingga saat ini, hanya
800 kasus inkontinensia pigmenti yang pernah dilaporkan (Caputo dan Tadini,
2006; Marques, Sousa dan Tonello, 2014). Meskipun dalam berbagai literatur
dikatakan bahwa penyakit ini lebih umum ditemukan pada ras berkulit putih,
beberapa kasus lain yang dilaporkan juga ditemukan pada ras berkulit hitam
dan Asia (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al, 2001; Mansour, Woffendin,
Mitton et al, 2001).
Inkontinensia pigmenti utamanya diderita oleh neonatus berjenis kelamin
perempuan. Lebih dari 95% kasus yang pernah dilaporkan diderita oleh
perempuan. Saat diderita oleh laki-laki, kondisi ini umumnya menjadi letal
atau mematikan, menyebabkan terjadinya abortus spontan pada kebanyakan
kasus (Ardelean D, Pope E, 2006). Untuk alasan inilah inkontinensia pigmenti
juga digolongkan ke dalam male lethal syndrome, atau sindrom yang dapat
menyebabkan kematian pada laki-laki (Kenwrick, Woffendin, Jakins, et al,
2001; Mansour, Woffendin, Mitton et al, 2001; Shah dan Elston, 2014).
Dalam sebuah review literatur internasional, Carney (1995) melaporkan 653
pasien dengan sindrom ini, dan hanya sejumlah 16 di antaranya yang berjenis
kelamin laki-laki (Tristo, Baraky, Carvalho et al, 1995). Inkontinensia
pigmenti dapat ditemukan pada laki-laki dengan sindrom Klinefelter (XXY
sindrom) atau sebagai hasil dari mutasi pada gen NEMO (Shah dan Elston,
2014).
-
c. Etiologi
Defek pada kromosom X merupakan penyebab utama terjadinya
inkontinensia pigmenti. Pada mayoritas kasus, defek ini dipercaya berdampak
pada lengan panjang dari kromosom Xq28. Hampir 80% pasien dengan
inkontinensia pigmenti memiliki delesi yang melibatkan ekson 4 dan 10 dari
gen NEMO (NF-kappa B essential modulator), sebuah gen yang terletak di
porsi q28 kromosom Xq28 dan berfungsi sebagai regulator aktivasi transkripsi
faktor NF-KannaB (NF-kB). NF-kB merupakan pusat regulasi dari sejumlah
besar sistem imun, infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi
jaringan yang berasal dari ektoderm. Adapun penyebab pasti dari mutasi gen
ini belum sepenuhnya dipahami (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco,
Paciolla, Napolitano et al, 2012).
d. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Inkontinensia pigmenti dapat dideskripsikan sebagai kelainan kulit yang
terdiri dari 4 tahapan, yakni (1) tahap vesikular, (2) tahap verrucous-
squamous, (3) tahap hiperpigmentasi dan (4) tahap hipopigmentasi. Satu hal
yang perlu diperhatikan oleh klinisi, bahwa masing-masing dari tahapan ini
dapat menghilang secara acak, atau bahkan tidak ada (Caputo dan Tadini,
2006).
Tahap Vesikular
Tahap vesikular (vesicobullous) atau dikenal juga dengan istilah tahap
inflamasi, merupakan tahap pertama yang muncul saat lahir (Caputo dan
Tadini, 2006). Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa inkontinensia
pigmenti muncul sebagai konsekuensi dari mutasi pada kromosom X, atau
lebih spesifik lagi, Xq28. Pada porsi q28 kromosom ini, terdapat sebuah
gen yang disebut NEMO (NF-kappa B essential modulator). Gen ini
bertanggung jawab sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-
KannaB (NF-kB), pusat dari berbagai fungsi imunitas dan pertumbuhan,
seperti infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi jaringan
-
yang berasal dari ektoderm (Franco, Goldstein, Prose et al, 2006; Fusco,
Paciolla, Napolitano et al, 2012).
Aktivasi dari NF-kB mencegah apoptosis yang muncul akibat respons
terhadap adanya sitokin family TNF (Tumor Necroting Factor).
Normalnya, aktivitas NF-kB diregulasi melalui protein inhibitor kB.
Adanya aktivasi reseptor TNF menghasilkan fosforilasi dan inaktivasi
inhibitor kB oleh IKK (inhibitor kappa kinase), sehingga lebih jauh
mengkatifkan NF-kB. Hilangnya fungsi IKK menyebabkan defisiensi
aktivitas NF-kB dan meningkatnya kepekaan terhadap apoptosis (Fusco,
Paciolla, Napolitano et al, 2012).
Sel-sel yang mempertahankan aktivitas IKK dapat menghasilkan
sitokin tambahan yang memicu apoptosis pada sel disekitarnya yang
mengalami defisiensi IKK, sehingga menciptakan lingkaran amplifikasi
yang akhirnya menyebabkan kematian semua sel-sel tersebut. Mekanisme
ini, diyakini sebagai penyebab munculnya manifestasi dari tahap vesikular
inkontinensia pigmenti, yang dikarakterisasi oleh adanya makula, vesikel
dan papula, atau bahkan pustula dengan dasar eritema di sepanjang garis
Blaschko (Osorio, Magina, Nogueira et al, 2010).
Lesi ini dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, namun umumnya
terlihat di daerah lengan, kaki dan tubuh bagian tengah. Lesi tahap pertama
umumnya mengalami involusi dalam beberapa hari dan dapat digantikan
oleh lesi veruka-squamous, sebuah penanda khas yang menjadi karakter
inkontinensia pigmenti tahap ke-2 (Caputo dan Tadini, 2006).
-
Gambar x.x. Lesi vesikel pada Tahap Vesikular Inkontinensia Pigmenti
Sumber : Caputo dan Tadini, 2006
Tahap verrucous-squamous
Tahap ini merupakan tahap kedua dari inkontinensia pigmenti, dimana
penyembuhan dari tahap pertama terjadi (Caputo dan Tadini, 2006).
Sejumlah studi menyatakan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya
tahap dua dihubungkan dengan proliferasi sel normal yang tidak
mengalami defisiensi IKK (disebut dengan istilah IKK-positive cells).
IKK-positive cells berproliferasi dan menekan proses inflamasi sehingga
lesi yang muncul di tahap pertama mengalami penyembuhan. Proses
penyembuhan ini kemudian menghasilkan lesi verukosa dan hiperkeratosis
(Mhlenstdt, Eigelshoven, Hoff et al, 2010). Lesi dengan porsi linear
umumnya dapat sembuh, dengan lesi hiperkeratosis yang tidak bertahan
lama. Namun demikian, lesi vesikel pada tahap pertama dapat muncul
kembali sepanjang usia pertumbuhan bayi, baik akibat paparan sinar
matahari atau akibat faktor lain yang belum sepenuhnya teridentifikasi
(Lee Y, Kim S, Kim K, Chang et al, 2011).
-
Gambar x.x. Lesi verukosa pada Tahap Verrucous Inkontinensia Pigmenti
Sumber : Caputo dan Tadini, 2006
Tahap Hiperpigmentasi (hyperpigmented)
Tahap hiperpigmentasi merupakan tahap ketiga yang dikarakterisasi
oleh lesi berpigmen coklat ataupun keabu-abuan yang mengikuti garis
Blaschko, lebih sering ditemukan di badan dan ekstremitas. Lesi paralel
yang berada pada 1 garis lurus seringkali terhubung satu sama lainnya oleh
gambaran perpendikular berpigmen, membentuk tampilan khas yang
disebut dengan istilah rail-sleepers yang tampak seperti retikulat. Lesi
berpigmen menghilang pada kebanyakan pasien selama masa kanak-kanak
atau remaja, namun kadang dapat menetap sepanjang kehidupan. Adapun
patogenesis terbentuknya lesi ini belum sepenuhnya dipahami (Caputo dan
Tadini, 2006; Shah dan Elston, 2014).
Gambar x.x. Rail-Sleepers pada Tahap Hiperpigmentasi Inkontinensia Pigmenti
(Sumber : Caputo dan Tadini, 2006)
-
Tahap atrophic-hypopigmented
Sebuah tahap yang dikarakterisasi oleh garis translusen berwarna putih
dan hilangnya folikel rambut. Sama halnya dengan tahap ketiga,
patogenesis dari tahap keempat belum dipahami sepenuhnya. Namun
demikian, para peneliti meyakini bahwa perubahan pasca inflamasi
memainkan peranan penting dalam proses ini (Caputo dan Tadini, 2006;
Shah dan Elston, 2014).
Gambar x.x. Tahap Hipopigmentasi Inkontinensia Pigmenti
(Sumber : Caputo dan Tadini, 2006)
e. Onset Klinis, Perjalanan Penyakit dan Manifestasi ekstradermal
inkontinensia pigmenti
Penting untuk ditekankan bahwa istilah Bloch-Sulzberger syndrome juga
digunakan sebagai istilah lain untuk inkontinensia pigmenti karenasuatu
alasan, yakni sindrom itu sendiri merupakan sekumpulan gejala klinis.
Meskipun Inkontinensia pigmenti merupakan gangguan yang manifestasi
utamanya ditemukan pada kulit, kelainan ini juga menimbulkan manifestasi
ekstradermal (Anstey, 2010). Manifestasi ini ditemukan pada >50% kasus
inkontinensia pigmenti, yang antara lain meliputi :
Manifestasi pada sistem saraf pusat (muncul pada 25% kasus
inkontinensia pigmenti) yang meliputi kejang, retardasi mental, paralisis
spastik, mikroensefali dan perkembangan motorik yang lambat (Fiorillo,
Sinclair, OByrne, 2003; Shah, Gibs dan Upton, 2003; Kaczala, Messer
dan Poskitt et al, 2008). Selain itu, kelainan seperti hemiplegiadan
-
tetraplegia spastik juga ditemukan pada beberapa pasien dengan
inkontinensia pigmenti (Caputo dan Tadini, 2006).
Defek pada gigi (Dental defect) yang dapat ditemukan dalam bentuk
anodontia parsial, pegged teeth dan tanggalnya gigi, khususnya pada
lateral atas incisivus dan premolar (Mini, Trpinac, Gabriel, 2013).
Pada temuan ophthalmology, mungkin ada kebutaan, strabismus, katarak
infantil, ablasio retina, atrofi optik dan mikroptalmia (Minic, Novotny,
Stefanovic, 2010; Wald, Mehta, Katsumi, 1993; Mayer, Shuttleworth,
Greenhalgh, 2003)
Abnormalitas skeletal dapat muncul dalam bentuk deformitas tulang
tengkorak, dwarfisme, spina bifida, club foot, extra ribs, kelainan anatomis
pada palatum dan bibir (sumbing atau labioschisis) (Anstey, 2010; Mini,
Trpinac, Gabriel, 2013).
Manifestasi lainnya : seperti distrofi pada kuku (40% kasus dan muncul
dalam bentuk pitting ringan hingga onychogryphosis dengan berbagai
ekspresi) dan alopesia yang disertai luka parut (muncul sebagai akibat dari
inflamasi di tahap awal) (Caputo dan Tadini, 2006).
f. Diagnosis Diferensial :
Diagnosis diferensial dari tahap pertama inkontinensia pigmenti meliputi :
Epidermolisis bulosa, subtipe epidermolisis dowling-meara
Mastositosis bulosa
Epidermolisis Hiperkeratosis
Impetigo bulosa
Herpes simplex dan varicella
Untuk Inkontinensia Pigmenti tahap kedua :
Nevus epidermis linear
Striatus lichen
Penyakit darier linear
Tahap ketiga :
Nevus hiperpigmentosa linearis
-
Whorled hypermelanosis
Tahap akhir (keempat)
Linear hypomelanosis (including hypomelanosis of Ito)
Female carriers of HED
Goltzs syndrome
g. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan kelainan sebagai berikut :
Leukositosis (>40.000 sel/mm3)
Eosinofilia muncul di bulan pertama kehidupan pada 75% pasien dengan
inkontinensia pigmenti, dengan variasi jumlah eosinofil mulai dari 20%
hingga 65% dari total sel darah putih.
h. Penatalaksanaan
Tatalaksana tidak selalu diperlukan untuk lesi kutaneus, meskipun
penggunaan tacrolimus dan kortikosteroid topikal telah dilaporkan
mempercepat resolusi dari tahap inflamasi (Kaya, Tursen, Ikizoglu, 2009;
Jessup, Morgan, Cohen et al, 2009). Higienitas oral dan perawatan gigi rutin
sangat diperlukan pada kasus inkontinensia pigmenti, dan restorasi gigi juga
disarankan. Kejang harus ditangani dengan antikonvulsan. Sebagai tambahan,
pemeriksaan perkembangan fungsi saraf dapat dilakukan pada pasien dengan
inkontinensia pigmenti, tentunya dengan merujuk pasien ke spesialis yang
bersangkutan. pemeriksaan ophthalmology rutin juga dibutuhkan, khususnya
selama tahun pertama kehidupan, dengan maksud untuk mendiagnosa dan
menangani komplikasi ophthalmology yang mungkin muncul (Kara dan Shah,
2014).
-
4. Harlequin Baby (Harlequin ichthyosis)
a. Definisi
Harlequin fetus merupakan kelainan kulit yang sangat jarang dijumpai,
termasuk dalam golongan autosomal recessive congenital ichthyoses
(ARCI) yang diwariskan, dan juga menjadi bentuk paling berat dari
gangguan keratinisasi yang dikarakterisasi oleh penebalan stratum
korneum atau hiperkeratinisasi pada kulit (Akiyama, Sakai, Sugiyama-
Nakagiri et al, 2006; Prasad, 2011). Istilah harlequin berasal dari gaun
yang dikenakan oleh badut harlequin. Seiring meningkatnya kemungkinan
untuk bertahan hidup pada bayi dengan penyakit tersebut, istilah harlequin
fetus kemudian digantikan oleh harlequin ichthyosis (HI). Istilah lain yang
juga digunakan adalah ichthyosis congenital atau keratosis diffusa
foetalis.
b. Epidemiologi
Karena termasuk dalam kelainan yang sangat jarang ditemukan, maka
insidensi dari harlequin ichthyosis juga sangat rendah. Di tahun 2003,
insidensinya mencapai 1:300.000 kelahiran (Bianca S, Ingegnosi C,
Bonaffini, 2003). Insidensi ini justru menurun di tahun 2005, yakni
sebanyak 1:1000.000 kelahiran dan hingga tahun 2007, hanya ada 101
kasus yang dilaporkan dalam literatur medis di seluruh dunia (Layton J,
2005; Prasad, 2011).
c. Etiopatogenesis
Hingga detik ini, kausa dari HI masih kontroversial, namun demikian,
mutasi atau defek pada gen ABCA12 dianggap sebagai penyebab yang
mendasari kelainan ini. Selain menjadi penyebab HI, mutasi gen ABCA12
juga dihubungkan dengan lamellar ichthyosis tipe 2, subtipe ARCI lainnya
(Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).
Gen ABCA12 merupakan gen yang terletak pada kromosom 2 dan
bertanggungjawab untuk transport lipid dalam tubuh (Kelsell DP, Norgett
-
EE, Unsworth et al, 2005; Akiyama, 2006). Formasi lapisan lipid
interselular sangatlah esensial untuk fungsi penghalang (barrier) dari
epidermis dan formasi defektif dari lapisan lipid dianggap sebagai hasil
dari hilangnya fungsi tersebut serta hiperkeratosis yang abnormal. Mutasi
pada protein transport lipid (ABCA12) menyebabkan sekresi lipid menuju
granul-granul lamelar menjadi kurang efektif sehingga molekul lipid
tersebut justru mengalami ekspulsi dari permukaan apikal keratinosit
(Akiyama, Sugiyama-Nakagiri, dan Sakai et al, 2005). Proses inilah yang
mendasari terjadinya HI dan juga LI.
d. Manifestasi Klinis
Tubuh penderita gangguan ini ditutupi oleh lapisan menyerupai sisik yang
tebal sehingga tampak seperti perisai, atau tampak terbungkus dalam
selaput tipis-ketat, yang hanya memungkinkan sedikit pergerakan dengan
posisi khas (semi fleksi) sembari memegang kaki (posisi harlequin fetus)
(Dubey, Tuibeqa, Pio, 2014). Fitur lain dari harlequin fetus adalah
deformitas kranial maupun fascial, seperti telinga bagian belakang yang
kurang berkembang, hipoplasia nasal, dan ektropion bilateral dengan
oklusi mata dan eklabium. Neonatus dengan harlequin ichthyosis
umumnya meninggal dalam hitungan beberapa hari pertama kehidupan
akibat infeksi dan dehidrasi yang dihubungkan dengan berbagai
komplikasi (Arikan, Harma, Barut et al, 2010).
Gambar x.x. Beberapa Gambaran Khas pada Harlequin Ichtyosis
-
Sumber : (Caputo dan Tadini, 2006)
e. Penegakan Diagnosa
Kondisi ini dapat didiagnosis secara in-utero melalui biopsi kulit fetus,
amniosentesis atau biopsi vili chorionic (untuk diagnosa dini yang
didasarkan pada DNA) dan juga ultrasonografi 3D. Tes genetik pre-
implantasi juga dapat digunakan (Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).
Setelah kelahiran, diagnosis dapat dilakukan dengan mengkaji
gambaran patognomik yang muncul, disertai konfirmasi dengan biopsi
kulit dari bagian tubuh manapun, yang menunjukkan karakteristik
abnormal pada struktur granul lamelar dan ekpresi keratin epidermis
(Thomas, Sinclair, Mabmud et al, 2008).
f. Penatalaksanaan
Saat ini penatalaksanaan harlequin ichthyosis utamanya melibatkan
penggunaan inkubator humidifikasi, regulasi temperatur, penggantian
nutrisi, perawatan kulit dan mata, kontrol nyeri, fisioterapi dan kontrol
infeksi (Harvey HB, Shaw MQ Morrell DS, 2010). Keratinolitik topikal
sering digunakan pada dewasa (asam salisil, asam alfa hidroksil dan urea)
tidak sesuai untuk digunakan pada bayi baru lahir karena adanya potensi
toksisitas sistemik dari peningkatan absorbsi kutaneus. Terlebih lagi,
karena terapi sistemik retinoid dapat mencapai efek keratinolisis yang
adekuat, penggunaan obat-obatan topikal di atas tidak lagi diperlukan.
Selain itu, mandi dan menggosok badan dapat menurunkan risiko infeksi
-
kulit, membantu melembutkan kulit dan meningkatkan pergantian stratum
korneum yang tebal. Fisura kutaneus yang dalam pada HI sangatlah nyeri,
membuat tatalaksana nyeri menjadi masalah yang penting dalam
tatalaksana pasien harlequin ichthyosis.
Ektropion ditangani dengan air mata artificial yang diteteskan pada
mata khususnya konjungtiva setiap 2 jam, disertai pemberian salep
antibiotik. Kontraktur tangan, komplikasi lainnya yang dikaitkan dengan
HI, mungkin membutuhkan konsultasi bedah, karena gangren di bagian
distal jari dapat muncul jika kontraktur tidak ditangani semestinya.
Sebagai tambahan, fisioterapi menjadi aspek penting penanganan lini
pertama dan tatalaksana jangka panjang, karena ini mengurangi kontraktur
dan meningkatkan kemampuan gerak sendi. Meskipun profilaksis dengan
antibiotik dan atifungal terlihat intuitif pada pasien dengan HI, hanya ada
sedikit bukti yang menyatakan bahwa profilaksis demikian sangat
berguna. Di atas semua ini, pemberian retinoid sistemik merupakan terapi
yang wajib dilakukan (Katugampola RP, Finlay AY, 2006; Prasad, 2011).