repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24119/1/andi.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini menjelaskan kebijakan Bolivia dalam menghadapi hegemoni
Amerika Serikat (AS), tujuannya adalah merestrukturisasi sendi perekonomian
Bolivia akibat privatisasi aset-aset negara dan pemberantasan ladang koka di
Bolivia yang dilakukan oleh pemerintah AS. Kemudian analisa penelitian ini
difokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi Bolivia dalam membuat
kebijakan menghadapi hegemoni AS.
AS ingin menyatukan benua Amerika melalui Doktrin Monroe yang
merupakan pidato tahunan Presiden James Monroe kepada kongres guna
menyampaikan penolakan untuk mentoleransi perluasan lebih lanjut dominasi
Eropa di Amerika. Dia menyatakan “Tanah Amerika, mulai sekarang tidak boleh
lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh bangsa Eropa. “Kita Harus menganggap
setiap usaha mereka untuk memperluas sistem politik di bagian manapun di benua
ini sebagai bahaya bagi kedamaian, dan keselamatan kita”.
( http:/www.ushistory.org/documents/monroe.html,)
Sejak tahun 1823. Doktrin Monroe ini menetapkan Amerika Latin sebagai
bagian halaman belakang (backyard) dunia barat (Western Hemisphere) AS. Sejak
awal, AS telah menjadikan kebijakan isolasionis-defensif (defesive-isolationist)
sebagai langkah awalnya untuk mendominasi Amerika Latin yang dimulai sejak
2
1890. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Doktrin Monroe. (Meiertones,
2010:30)
Meskipun Doktrin Monroe ini berorientasi untuk membatasi intervensi
negara-negara Eropa di benua Amerika (Meiertones, 2010: 30), di sisi lain, AS
juga memiliki hak intervensi terhadap negara-negara Amerika Latin dengan cara
yang bervariasi sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Artinya, AS
melindungi wilayah Amerika Latin secara ketat untuk mencegah pengaruh lain
yang merugikan kepentingan AS. (Renehan, 2007:108)
Dasar lain kebijakan intervensi AS adalah Roosevelt Corollary yang
merupakan Pidato Tahunan Presiden Roosevelt pada Desember 1904. Roosevelt
Corollary ini memperkuat Doktrin Monroe. Presiden Roosevelt mendefinisikan
Amerika Latin, terutama Kepulauan Karibia, sebagai kawasan yang dilindungi
oleh AS. (Rabe, 2011:275)
Esensinya, AS mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai polisi internasional
melalui justifikasi unilateral untuk meningkatkan intervensinya ke negara-negara
Amerika Latin. Doktrin Monroe berikut Roosevelt Corollary ini juga menjadi
landasan kebijakan intervensionis AS di Dunia Ketiga.Dalam perkembangan
selanjutnya, doktrin-doktrin seperti Reagan yang menyatakan akan
mengintervensi Nikaragua untuk melawan pemerintahan Sandinista, sehingga
intervensi menjadi tindakan legal bagi AS. (Meiertones, 2010:156)
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Perang Dingin kebijakan
intervensionis ini seringkali dipakai AS sebagai pilihan instrumen politik luar
negerinya untuk mengubah pemerintah diberbagai negara. Dalam konteks
3
bipolaritas Perang Dingin, keterlibatan AS dalam proses perubahan rezim di
negara lain dapat dijelaskan dalam kerangka politik pembendungan
(containment), yaitu sebagai usaha AS untuk menangkal penyebaran pengaruh
ideologi dan kepentingan Uni Soviet. (Akhtar, 2003:94)
Salah satu negara Amerika Latin yang kini menjadi perhatian AS adalah
Bolivia. Pada tahun 1985 AS mulai mendominasi Bolivia melalui perusahaan
asing dan beberapa perusahaan AS disektor ekonomi, yaitu, melalui penguasaan
AS terhadap perusahaan telekomunikasi, perusahaan, penerbangan, perusahaan
listrik negara, perusahaan kereta api,serta yang paling utama di sektor minyak dan
gas (migas) akibat privatisasi. (Kohl, 2006:109)
Pada masa periode pertama pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada pada
tahun 1993-1997, AS berupaya mereformasikan perekonomian Bolivia melalui
privatisasi. Yakni, dengan menerapkan kebijakan ekonomi dan struktural politik
yang salah satunya melalui implementasi Undang-Undang Kapitalisasi. (Sachs,
2005:90-108)
Kebijakan ini lahir atas tekanan dari Bank Dunia dan International
Monetary Found (IMF) dengan dukungan AS (Kohl, 2006:107). Undang-Undang
tersebut menetapkan otorisasi penjualan minyak dan gas (migas) negara,
perusahaan telekomunikasi, perusahaan penerbangan, perusahaan listrik negara,
perusahaan kereta api, serta perusahaan peleburan biji besi (Kohl, 2006:109).
Sementara itu, pada masa pemerintah Hugo Banzer periode 1997-2001,
Bolivia dihadapkan pada kepentingan AS untuk menutup pintu masuk peredaran
kokain di AS yang berasal dari Bolivia. Kemudian, melalui bantuan keuangan dan
4
militer AS, Bolivia menerapkan kebijakan penghapusan penanaman koka.
(Gordon,2006:16) Selain itu, pemerintah Hugo Banzer juga melakukan privatisasi
terhadap perusahaan air minum negara. (Chan,2007:5)
Sebelum kebijakan privatisasi aset-aset nasional, perekonomian Bolivia
diwarnai dengan kemajuan di sektor pertambangan timah. Namun, sejak awal
1980-an, perekonomian Bolivia mengalami kemunduran dengan jatuhnya harga
timah yang berdampak pada sumber pemasukan Bolivia dan di sektor
pertambangan timah. (Kohl, 2006:54)
Tingkat Gross Domestic Product (GDP) menurun 9,2% antara tahun 1981-
1986, yaitu dari 5,99 miliar Dollar AS menjadi 4,79 miliar Dollar AS. Hal ini juga
diiringi dengan tingkat hutang yang besar, yaitu mencapai 3,8 miliar Dollar AS
pada tahun 1982. (Kohl, 2006:55)
Dengan tingkat hutang yang demikian besar dan terjadinya kemunduran di
sektor perekonomian, maka pemerintah Bolivia mencoba mengambil jalan keluar
dengan memotong pembayaran hutang sebesar 25%. Pemotongan pembayaran
hutang ini mengakibatkan kekhawatiran di pihak kreditor sehingga membekukan
aset-aset Bolivia yang berada diluar negeri. (Kohl, 2006:55)
Oleh karena itu sejak tahun 1985, pemerintah Bolivia
mengimplementasikan stabilisasi program makroekonomi dan reformasi
struktural. Antara lain, dengan mengurangi keterlibatan pemerintah dan
meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasionalnya. Hal ini
dituangkan ke dalam Dekrit Presiden 21060 yang merupakan inisiatif rancangan
dari teknokrat Bolivia dukungan komunitas bisnis (Kohl, 2006:65).
5
Hal ini tentu saja mendapatkan dukungan dari IMF, Bank Dunia,serta
Bank Pembangunan antar-Amerika (IADB/Inter-American Development Bank)
serta AS sehingga menjadikan sebagai Bolivia model pembangunan ekonomi
neoliberal di Amerika Latin. (Kohl 2006:66)
Dampak dari ekonomi neoliberal tersebut menimbulkan perlawanan dan
kritik dari negara-negara Amerika Latin sebelum 1998, keadaan Amerika Latin
dibawah kontrol AS. Namun sejak 1998, sejumlah negara seperti Venezuela,
Kuba, terus melancarkan kritik terhadap dominasi AS akibat kegagalan
neoliberalisme dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan
kepada rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi masyarakat terus terjadi menuntut
terwujudnya keadilan sosial (Suyatna, 2007:52).
Kebijakan ekonomi pemerintah Bolivia/Neoliberal menyebabkan
terjadinya gerakan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan adanya demonstrasi, baik itu
dalam skala kecil maupun besar. Pada tahun 2000, pecah protes dari rakyat yang
berakhir dengan kekerasan dengan jumlah korban enam orang dan 170 lainya luka
parah. Mereka menuntut untuk penghapusan kebijakan privatisasi air. (Kohl,
2006:165)
Gerakan sosial tersebut berhasil membuat perubahan dalam pemerintah
dan kebijakan Bolivia adalah gerakan protes rakyat terhadap kebijakan minyak
dan gas alam dan awal dari perubahan sosial yang ada di negara tersebut. (Kohl,
2006:173)
Revolusi-revolusi sosial yang digerakan oleh rakyat berhasil
memunculkan pemimpin-pemimpin baru dikalangan mereka Hal ini berlanjut
6
kepada suksesi, yaitu naiknya Juan Evo Morales Ayma menjadi Presiden Bolivia
pada Pemilu 2005. Evo Morales adalah tokoh beraliran “kiri” yang bersifat kritis
terhadap kebijakan pemerintah AS dikarenakan Morales ingin melakukan
perlawanan terhadap kapitalisme yang dikembangkan AS di Bolivia yang selama
ini membawa masyarakat Bolivia kepada kemiskinan. (Suyatna, 2007:116)
Evo Morales merupakan pemimpin dari Partai Movimiento Al Socialismo
(MAS) merupakan partai berbasis gerakan penduduk asli (indigenous) yang
didirikan pada tahun 1998 yang memenangi pemilihan umum pada tahun 2005
dan menjabat sebagai Presiden pada tahun 2006 setelah unggul dari Jorge Quiroga
dengan perolehan suara 53.740%. (Tapia, 2008:220)
Setelah menjadi Presiden Bolivia, Evo Morales memperlihatkan sikapnya
yang anti-AS, dengan menunjukan daun koka dan secara demonstratif dan
memperlihatkan kepada seluruh hadirin yang sebagian besar terdiri dari Kepala
Negara dan Perdana Menteri negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), ketika ia berpidato di depan Sidang Umum Majelis Umum PBB.
(Lesmana,2007:614)
Selain itu, Evo Morales juga bersikap menolak AS dengan menolak
perjanjian multilateral maupun regional. Di antaranya Free Trade Area of The
Americas (FTAA) yang dinilai lebih banyak merugikan rakyat. Pada akhirnya,
Evo Morales menggalang Persatuan Ekonomi dengan Presiden Venezuela, Hugo
Chavez, dan Pemimpin Kuba, Fidel Castro dengan membentuk perjanjian
Alternativa Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA) pada
7
tanggal 29 April 2006. Ketiga tokoh ini menandatangani Tratado Comercio de los
Pueblos (TCP). (Lesmana, 2007:616)
ALBA merupakan kerjasama regional di kawasan Amerika Latin dan
Karibia. Kerjasama yang diajukan pada bulan Desember 2001 merupakan suatu
alternatif terhadap FTAA. Pada bulan Desember 2004, Venezuela dan Kuba
mendatangani perjanjinan kerjasama dalam kerangka ALBA melalui Association
of Caribbean States Summit dengan bertujuan untuk menyeimbangi perdagangan
bebas yang didominasi oleh AS. (http://www.globalresearch.ca/latin-americas-
social-movements-and-the-alba-alliance/5336550)
Naiknya Evo Morales semakin menguatkan barisan “kiri” di Amerika
Latin. Morales menjalin hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez
dan Presiden Brazil Luiz Ignazio Lula da Silva, serta secara terang-terangan
memberi dukungan terhadap Pemimpin Kuba, Fidel Castro, hal ini yang
menyebabkan AS memandang Morales sebagai tokoh berbahaya yang
mengancam kepentingannya di Amerika Latin. (Shoelhi, 2007:87)
Mengingat La Paz sangat menjaga jarak dengan Washington, Sikap
bermusuhan dengan Washington bisa dijelaskan dari program ekonomi Partai
MAS. Partai tersebut menolak kebijakan ekonomi-politik AS serta mendesak
nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam. (Shoelhi ,2007:87)
Sedangkan istilah “kiri” adalah ideologi yang menginginkan perubahan
radikal atau menyeluruh (revolusi) untuk mengubah keadaan di sekitar yang
menganut kesejahteraan dan kebebasan yang diinginkan masyarakat luas. Arti
“kiri” disini mengacu pada Sosialisme, yakni Sosialisme Reformis yang anti-
8
revolusi. Maksudnya, agar sosialisme tidak terjatuh menjadi sistem otoritarian,
maka Sosialisme juga mengacu pada perubahan tatanan baru (sosial, ekonomi,
dan politik) dari tatanan sebelumnya dan sosialisme yang bersifat demokratis
sehingga dapat diterima oleh masyarakat. (Giddens, 2002: 100)
Dalam hal ini, penyebab utama kecenderungan kembalinya “politik kiri”
ke wilayah Amerika Latin khususnya Bolivia adalah akibat kinerja ekonomi yang
menyengsarakan sehingga menggagalkan upaya reformasi ekonomi hasil
Washington Consensus. Konsensus ini mengutamakan pembangunan yang
didukung oleh modal asing, privatisasi di sektor industri dan sumber daya alam,
liberalisasi impor, tingkat suku bunga yang tinggi, deregulasi, pengetatan fiscal,
serta pematokan mata uang (Subono, 2010: 103).
Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, konsensus ini ternyata mengecewakan
masyarakat Amerika Latin. Faktanya, kinerja neoliberalisme ternyata tidak sesuai
dengan janji yang dicanangkan dalam Washington Consensus. (Subono 2010)
Kegagalan dalam memperoleh keuntungan besar dari projek Washington
Consensus tersebut (Subono, 2010:103) menimbulkan kekecewaan politik di
kalangan masyarakat Bolivia. Hal ini telah mendasari bangkitnya kekuatan politik
dan gerakan sosial baru sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi yang
memengaruhi masyarakat pribumi di Bolivia. (Barret. at all, 2008:2)
Permasalahan mengenai kebijakan Bolivia dalam melawan dominasi AS
ini menarik untuk dianalisis dari sudut faktor internal dan faktor eksternalnya.
Penelitian ini akan mengkaji kepentingan nasional yang melatar belakangi Bolivia
dalam menghadapi hegemoni AS pada periode 2005-2009.
9
Analisa penelitian ini difokuskan pada tahun 2005 sampai 2009. Sebab
periode tersebut merupakan periode pertama pemerintah Presiden Bolivia Evo
Morales. Hanya dalam beberapa bulan sejak kepemimpinannya, Morales mulai
merestrukturisasi sendi perekonomian Bolivia.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul suatu pertanyaan
penelitian yang nantinya akan dibahas yaitu :
“Mengapa Bolivia merestrukturisasi perekonomiannya melalui kebijakan
nasionalisasi minyak dan legalisasi koka dalam menghadapi hegemoni Amerika
Serikat P
eriode 2005-2009?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghadapi pengaruh mengetahui implementasi
kebijakan Bolivia dalam menghadapi pengaruh AS setelah Evo Morales menjabat
sebagai presiden terpilih di Bolivia. Kajian terhadap implementasi kebijakan
Bolivia ini dimulai dari upayanya dalam merekstrukturisasi perekonomian pada
periode pertama pemerintahya tahun 2005-2009.
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
keberhasilan bagaimana negara berkembang dalam upayanya menentang negara
super power seperti AS yang selalu memperluas pengaruhnya di negara-negara
berkembang.
10
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa tulisan tentang perlawanan negara-negara Amerika Latin
terhadap AS lebih banyak melihat Amerika Latin khususnya Bolivia yang
mayoritas berada dibawah hegemoni AS.
Salah satunya dengan tesis Emil Radhiansyah memaparkan tentang
penderitaan dan kemiskinan rakyat Bolivia sehingga menimbulkan aksi-aksi
perlawanan berbentuk Gerakan Sosial yang dihimpun dari kekuatan rakyat
Bolivia yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani koka yang banyak dirugikan
dengan adanya pembasmian ladang koka seluas 50.000 hingga 60.000 oleh
pemerintah Bolivia sehingga melahirkan jumlah pengangguran yang semakin
bertambah. (Radhiansyah, 2008:10)
Evo Morales memimpin suatu gerakan sosial dengan Partai Movimiento Al
Socialismo (MAS) dan mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat Bolivia.
Pada tesis, Emil Radhiansyah menekankan analisanya pada seputar masalah
gerakan massa yang mengalami penindasan akibat praktek Neoliberal AS itu
sendiri.
Selain itu, dalam buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika” Mohammad
Shoelhi mencoba menjelaskan mengenai perlawanan negara-negara berkembang
terhadap AS contoh Bolivia yang berani membendung hegemoninya di Amerika
Latin khususnya Bolivia, Pasca dari naiknya Evo Morales sebagai Presiden
semakin menguatkan barisan sosialis di Amerika Latin. Evo Morales menjalin
hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Brazil Lula da
Silva, dan Juga Presiden Kuba Fidel Castro. Itulah sebabnya AS memandang
11
Morales sebagai tokoh yang berbahaya yang mengancam kepentingannya di
Amerika Latin. (Shoelhi 2007:87)
Buku tersebut merupakan pemaparan singkat yang ditulis oleh Mohammad
Shoelhi. Dari pemaparan Mohammad Soelhi tersebut penelitian, ini memberikan
informasi lebih lengkap mengenai peran Evo Morales dalam menghadapi
hegemoni AS.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan Tinjauan Pustaka diatas terdapat
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dengan lebih mengalisis
kebijakan yang dilakukan Bolivia dalam menghadapi hegemoni AS berikut faktor
eksternal dan internal apa yang memengaruhi kebijakan tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran dengan beberapa konsep
yang digunakan dalam menganalisa permasalahan. Konsep-konsep yang
digunakan ini adalah konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri,
hegemoni dan counter hegemony.
1. Kepentingan Nasional
Konsep Kepentingan nasional menurut Frankel (1988:93) adalah sebuah
konsep yang menjadi kunci dari kebijakan luar negeri suatu negara, menurutnya
kepentingan nasional diartikan sebagai aspirasi dari suatu negara untuk dapat
digunakan secara operasional pada suatu kebijakan tertentu. Secara konseptual,
Frankel mengatakan kepentingan nasional merupakan nilai-nilai dasar yang
dipertahankan oleh suatu negara untuk mencapai tujuanya.
12
Kemudian Papp (1997:143) juga menambahkan mengenai konsep
kepentingan nasional, menurutnya kepentingan nasional merupakan kepentingan
sebuah negara yang harus dicapai dengan sebuah metode yang disebut kebijakan.
Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa kepentingan nasional
merupakan tujuan utama yang menjadi dasar bagi sebuah negara dalam membuat
kebijakan sebagai upaya dalam mencapai pemenuhan terhadap hal-hal yang
signifikan yang harus dicapai oleh suatu negara .
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai kepentingan
nasional sebagaimana yang telah dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisa
kepentingan yang melandasi kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan
melegalisasi koka.
2. Kebijakan Luar Negeri
K.J. Holsti di dalam bukunya yang berjudul International Politics: A
Framework for Analysis, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan
rumusan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan suatu negara dalam
memenuhi kebutuhan domestik, tetapi walaupun begitu kata Holsti kebijakan luar
negeri biasanya digunakan juga untuk mengubah kondisi di luar negera (Holsti,
1992:269). Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, konsep dari
Holsti tersebut digunakan dalam menganalisa kebijakan Bolivia untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan pemerintah Bolivia dalam memenuhi kebutuhan
domestiknya serta mencapai kepentingan nasionalnya terutama pasca Evo
Morales menjabat sebagai Presiden Bolivia periode 2005-2009.
13
Holsti juga menambahkan bahwa tujuan implementasi dari sebuah
kebijakan luar negeri suatu negara mendapat pengaruh dari dua macam faktor,
yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik.
A. Faktor Internal
Holsti (1992:272-287) mengatakan faktor internal yang memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terdiri dari beberapa macam, antara lain:
kebutuhan keamanan, sosial dan ekonomi. Kedua, karakteristik geografi yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Elemen pertama dan kedua ini menurut
Holsti menentukan kesejahteraan nasional dan lingkungan strategis sebuah.
Kemudian, yang ketiga adalah atribut nasional, atribut nasional ini didefinisikan
sebagai karakter sebuah negara yang terdiri dari besar wilayah, jumlah penduduk,
sistem ekonomi, dan citra di mata internasional.
Kelima adalah opini publik, opini publik ini menurut Holsti turut menjadi
sumber yang memengaruhi kebijakan luar negeri karena publik dapat mengakses
informasi secara bebas, dan yang keenam adalah birokrasi, menurut Holsti
karakteristik ini merupakan sumber yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar
negeri.
B. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara menurut Holsti (1992:272) yang pertama adalah struktur sistem,
menurutnya dalam struktur sistem terdapat berbagai macam negara mulai dari
14
negara adi daya sampai negara kecil yang memengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara.
Kedua, kata Holsti adalah karakteristik atau struktur ekonomi dunia,
menurutnya karakteristik atau struktur ekonomi dunia ini menunjukan adanya
perbedaaan ekonomi antara negara kecil, negara berkembang, dan negara maju
yang dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Ketiga, kata Holsti adalah
tujuan dan tindakan dari aktor lain, ini menurut Holsti maksudnya adalah sebuah
negara akan merespon atau berinisiatif menjalankan kebijakan luar negerinya
terkait adanya tindakan dari negara lain.
Kemudian yang keempat adalah masalah regional atau global, menurut
Holsti ini merupakan masalah yang terjadi disuatu negara yang akan berdampak
ke negara lain bahkan ke kawasan sehingga akan menjadi masalah bersama,
karena masalah ini saling berhubungan dan melewati batas-batas nasional
sehingga dapat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh suatu negara.
Berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang turut menentukan
dan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, menurut Breuning (2007:9)
banyaknya elemen pada faktor-faktor yang memengaruhi dan turut menentukan
kebijakan luar negeri tersebut, tidak harus mempertimbangkan atau menjelaskan
semua elemen di dalam faktor-faktor tersebut. Hal itu menurut Breuning dapat
disederhanakan dengan fokus terhadap satu atau beberapa elemen pada faktor-
faktor yang turut menentukan tersebut.
Dengan mengarah pada faktor-faktor yang turut menentukan dan
memengaruhi alasan sebuah negara membuat kebijakan luar negeri yang sudah di
15
kemukakan Holsti, maka dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini di
gunakan elemen yang menentukan kesejahteraan nasional sebuah negara yaitu
karakteristik geografi yang berkaitan dengan sumber daya alam pada faktor
internal, dan tindakan-tindakan dari negara lain yang terkait dalam merespon atau
berinisiatif untuk menjalankan kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan
domestik dan sistem internasional.
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai faktor-faktor
kebijakan luar negeri di atas digunakan untuk menganalisa apa saja yang menjadi
faktor yang melandasi Bolivia membuat kebijakan nasionalisasi minyak dan
legalisai koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009. .
3. Hegemoni
Titik awal konsep hegemoni Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua
cara yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas
atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara
persuasinya dengan cara hegemoni. Perantara tindakan dominasi ini dilakukan
oleh aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni
dilakukan dalam bentuk menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau
lapisan dibawahnya (Simon, 2004:85).
Bagi Gramsci, berjalannya hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh
negara yang selama ini dikenal dengan kelas penguasa (ruling class), namun
bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Pengertian hegemoni di sini adalah
dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan atau tanpa
16
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar dan
bersifat moral, intelektual, dan budaya. (Strinati, 1995:153)
Gramsci membedakan dua tipe intelektual dalam masyarakat, pertama,
intelektual tradisional yang terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri
dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari
kehidupan masyarakat dari kejauhan yang seringkali bersifat konservatif
(antiperubahan), seperti, penulis sejarah, filsuf, dan para professor. Sedangkan
yang kedua adalah kalangan intelektual organik yang menanamkan ide menjadi
bagian penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta
turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. (Gramsci, 1971:15)
Di sini, penguasaan tidak dengan kekerasan. Melainkan dengan bentuk-
bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak
sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap, yaitu, tahap dominasi dan tahap
direction atau pengarahan. (Gramsci, 1971:20)
Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan,
seperti sekolah, media, modal, dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang
disusupkan lewat alat-alat tadi merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide
yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang
disepakati oleh masyarakat. (Gramsci, 1971)
Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi
maka tahap berikutnya tinggal mengarahkan dan tunduk pada kepemimpinan oleh
kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap
17
sebagai orang yang tidak taat kepada moral serta dianggap tindak kebodohan di
masyarakat. Bahkan ada kalanya diredam dengan kekerasan. (Gramsci, 1971)
Dalam bahasan teorinya, Gramsci juga memberikan solusi untuk melawan
hegemoni (counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan.
Kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat karena setiap orang
sebenarnya adalah seorang intelektual, namun tidak semua orang menjalankan
fungsi intelektualnya di masyarakat. (Chalcraft, 2007:11)
Joshua S. Goldstein menambahkan bahwa hegemoni dipegang oleh suatu
negara yang memiliki kekuasaan yang dominan dalam sistem internasional,
sehingga kekuasaan tersebut menjadi tunggal dan dapat mendominasi aturan
sendiri sehingga dapat mengatur hubungan politik dan ekonomi internasional.
Negara yang melakukan hal seperti ini disebut hegemon. (Goldstein, 1996:81)
Goldstein menyatakan bahwa pada umumnya hegemoni berarti dominasi
dunia akan tetapi lebih mengacu kepada dominasi regional, terkadang istilah
tersebut digunakan untuk merujuk kepada ide bahwa penguasa gunakan untuk
mendapatkan persetujuan untuk legitimasi mereka. Dengan mengacu kepada
hubungan internasional, hegemoni merupakan ide-ide seperti demokrasi dan
kapitalisme, dan dominasi budaya global AS. (Goldstein, 1996:81)
4. Counter Hegemony
Dalam menyusun perlawanan dan hegemoni tandingan Gramsci
memberikan counter hegemony, kaum intelektual organik haruslah berangkat dari
kenyataan yang ada di dalam masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang
18
menyingkap kerusakan sistem lama yang dapat mengorganisir masyarakat.
(Gramsci, 1971:14)
Dengan begitu, ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh
masyarakat hingga tercapainya revolusi. Counter hegemony bisa dilakukan oleh
kalangan intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem
kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan
hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka
harus bekerjasama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan
ketika melakukan counter hegemony. (Carnoy, 1984:73-75)
Perlawanan tersebut menurut Gramsci disebut sebagai konsep perang
posisi (the war of position) yaitu perjuangan yang lebih di arahkan kepada usaha-
usaha untuk membongkar atau bahkan melenyapkan ideologi, norma-norma,
politik dan kebudayaan dari kelompok yang berkuasa dan menjadikan suatu
tatanan baru. (Carnoy, 1984:78)
Dalam hal ini Gramsci fokus terhadap kesadaran utama dalam perubahan
yang tidak dilakukan dalam arti perang secara fisik akan tetapi sebagai sebuah
proses transformasi cultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan
menggantikan dengan hegemoni yang lain. Perang posisi juga merupakan
kesadaran kelas pekerja dan relasi kekuatan-kekuatan politik didalam masyarakat
tergantung kepada berbagai momen atau tingkat kesadaran politik secara kolektif.
(Carnoy, 1984:83)
19
Antonio Gramsci berpandangan bahwa budaya barat sangat mendominasi
budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa
mengadopsi budaya barat tersebut.
Dengan demikian, pemahaman mengenai counter hegemony yang
dikemukakan oleh Antonio Gramsci sesuai untuk menggambarkan kondisi Bolivia
yang anti-Amerika di bawah kepemimpinan Evo Morales.
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Bogdam dan Taylor (dalam Bangin, 2003:35), metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis dari berbagai sumber yang diamati. Sejalan yang dikemukakan oleh
Moleong (1989:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif
atau pemaparan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian kulitatif metode yang
digunakan adalah penngumpulan data dan analisa data.
1. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data mengunakan studi kepustakaan (library research), yaitu
pengumpulan data yang didapat dari sumber-sumber tertulis yaitu buku-buku,
artikel-artikel dalam jurnal, serta laman resmi dari jejaring yang relevan dan
berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam studi kepustakaan penulis
memperoleh data dari Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Studi
Kawasan Amerika Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan Miriam Budiarjo
20
Research Center FISIP UI, Perpustakaan, dan Perpustakaan Information Resource
Center (IRC) kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia.
2. Analisa Data
Menurut Mas’oed (1990:43) dalam melakukan studi hubungan internasional
perlu ditetapkan tingkat analisa sebagai petunjuk untuk menentukan unit
analisanya sehingga suatu studi dapat lebih fokus. Dalam tulisan ini tingkat
analisis yang diambil adalah negara. Dalam teknik analisa data, penulis membaca
serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta
secara sistematis agar lebih mudah difahami dan disimpulkan. Teknik tersebut
dapat membantu dalam memaparkan kebijakan Bolivia dalam mengadapi
hegemoni AS tahun 2005-2009.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode Penelitian
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
A. Sejarah Kebijakan Ekonomi Bolivia
B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika latin
C. Perkembangan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
D. Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
E. Penerapan Ekonomi neoliberal di Bolivia
F. Kebijakan Privatisasi Ekonomi di Bolivia
21
BAB III HEGEMONI AMERIKA SERIKAT DI BOLIVIA SEBELUM 2005
A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin A.1 Doktrin
Monroe.
B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005
C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005
C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro
Periode 1985-1989
C.2 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jamie Paz Zamora Periode
1989-1993
C.3 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 1993-1997
C.4 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Hugo Banzer Periode
1997-2001
C.5 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jorge Quiroga Ramirez
Periode 2001-2002
C.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 2002-2003
C.7 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Carlos Mesa Periode 2003-
2005
BAB IV KEBIJAKAN BOLIVIA DALAM MENGHADAPI HEGEMONI
AMERIKA SERIKAT 2005-2009
A. Faktor Internal
A.1 Kesenjangan Sosial
A.2 Gerakan Sosial Menuju Perubahan
A.3 Suksesi Naiknya Evo Morales ke Puncak Kekuasaan
A.4 Kebijakan Bolivia dalam Nasionalisasi Minyak
A.5 Kebijakan Bolivia dalam Melegalisasikan Koka
B. Faktor Eksternal
B.1 Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
B.2 Pembentukan Lembaga-lembaga Regional di Amerika Latin
C. Dampak Kebijakan Nasionalisasi Bolivia Bagi Pertumbuhan
Ekonomi Domestik
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
22
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
Dalam bab ini menjelaskan sejarah dan perkembangan kebijakan Ekonomi
Bolivia, yakni mulai dari kebijakanan Neoliberal AS di Amerika Latin, yang
melatarbelakangi hegemoni AS di Amerika Latin sejak tahun 1823 melalui
Doktrin Monroe hingga perkembangannya menjelang berkurangnya pengaruh
hegemoni AS. Bab ini terdiri dari lima bagian.
Bagian pertama menjelaskan mengenai latar belakang hegemoni AS di
Amerika Latin yang dimulai dari doktrin Monroe pada tahun 1823 dan memiliki
pembahasan Doktrin Monroe ini digunakan untuk menekankan awal mula
intervensi AS di kawasan Amerika Latin.
Penerapan Doktrin Monroe hingga tahun 1825 sejalan dengan
kemerdekaan Bolivia menjadi republik. Hal ini berlangsung terus sampai
pertengahan tahun 1985. Pada kurun waktu 1825 hingga 1985 sebanyak 178
pemerintahan jatuh bangun dan sebagian besar diperintah oleh rezim militer.
Pemerintah Hugo Banzer tercatat paling lama berkuasa selama tujuh tahun, yakni
1971-1978.
Bagian kedua membahas perkembangan model ekonomi Neoliberal di
Amerika Latin dan bagian ketiga menjelaskan dampak yang terjadi akibat adanya
penerapan kebijkana model ekonomi Neoliberal di Amerika Latin. Bagian
23
keempat membahas penerapaan Ekonomi Neoliberal di Bolivia dan bagian
Kelima membahas kebijkana Privatisasi Ekonomi di Bolivia.
A. Sejarah Perekonomian Bolivia
Semasa penjajahan Spanyol, Bolivia dibentuk dengan nama Upper Peru
atau Characas yang saat ini menjadi nama Negara Bolivia, dan sampai ke Lower
Peru yang saat ini menjadi Negara Peru. Kedua daerah tersebut merupakan
bentukan Spanyol sebagai kesatuan dareah jajahan sekaligus wilayah administratif
politik. Pada tahun 1545, daerah Upper Peru tercatat memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat besar seperti memiliki cadangan perak yang melimpah
ditambah dengan wilayah luas, hal ini menjadikan Upper peru menjadi daerah
yang kaya akan tambang. (Black, 1984:403)
Hingga pada perkembanganya pada tahun 1825 daerah Upper Peru
mendapatkan kemerdekaannya secara resmi melalui perjuangan panjang pejuang-
pejuang asli Bolivia atau masyarakat indigenous dikarenakan adanya penindasan
dan praktik diskriminasi terhadap masyarakat indigenous seperti adanya
pemeberlakuan kerja paksa, kewajiban membayar upeti terhadap pemerintah
Kolonial Spanyol dan perampasan Sumber daya alam dan barang-barang berharga
yang dimiliki oleh masyarakat indigenous (reparto de mercancias). (Albo,
1987:381)
Dengan bentuk kebijakan dari pemerintah Kolonial Spanyol yang bersifat
eksploitatif terjadi pemeberontakan yang dilakukan oleh masyarakat indigenous,
baik suku Aymra maupun Quechua melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Kolonial Spanyol. Pemberontakan ini dinamankan Tupac Amaru,
24
pemberontakan ini dimulai pada tahun 1770 hingga tahun 1772 (Serulnikov,
2003:126). Hingga perjuangan panjang sampai tahun 1825, Simon Bolivar
menjadi tokoh pembebasan masyarakat Bolivia dari pengaruh Kolonialisme
Spanyol. (Gott, 2005:91)
Pada awal berdirinya Bolivia menjadi suatu negara, Bolivia memiliki
daerah tetitorial yang sangat luas. Tercatat bagian selatan Chili, daerah perbatasan
Brasil, dan daerah perbatasan Paraguay yang disebut sebagai daerah Chaco yang
merupakan bagian dari Bolivia. Banyaknya peperangan dan perlawanan membuat
Bolivia sebagai negara yang kehilangan daerah teritorialnya. (Farcau, 1996:9)
Perang tersebut terjadi pada 7 Juni 1879 terjadi peristiwa perang antara
Peru, Chili dan Bolivia yang lebih dikenal War of Pasific. Perang yang
berlangsung selama lima tahun tersebut terjadi akibat pelanggaran perjanjian yang
pernah dilakukan Bolivia dengan Chili tahun 1874. Dalam perjanjian tersebut
Chili mengakui hak Bolivia atas Gurun Pasir Atacama dan perusahaan Chili di
kawasan tersebut dibebaskan pajak selama 25 tahun. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Bolivia meninta pajak pada tahun1878, sehingga Chili menduduki
pelabuhan Antofagata. Sebagai reaksi Bolivia menyatakan perang dengan
dukungan Peru. Bolivia mengalami kekalahan pada tahun 1880 dan secara resmi
menyerahkan pantai tersebut kepada Chili dengan menandatangani Treaty of
Peace and Frienship. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
25
Pada perkembanganya Bolivia dihadapkan pada situasi ekonomi yang
tidak menentu dalam suatu pencapaian stabilitas negara. Berbagai aksi
pemberontakan dan perlawanan rakyat dan kudeta militer menjadikan Bolivia
dihadapkan kepada situasi yang sulit. Pada tahun 1945 aksi pemberontakan terjadi
di daerah Catavi, perlawanan yang terjadi ini mendapat dukungan penuh dari
pihak Movimiento Nacionalista Revolucionario (MNR). Dua tahun setelah
gerakan perlawanan Catavi pemilu kembali diberlakukan dan mengantarkan Paz
Estensorro menjadi pemenang dari partai MNR. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Kemenangan ini tidak terlepas dari program kebijakannya menasionalisasi
dan reformasi kepemilikan tanah bagi masyarakat indigenous, akan tetapi hasil
pemilu ini membuat pihak militer mengambil peran dengan menghapuskan
pemilu yang dicapai. Disisi lain, kesatuan militer mengalami krisis kepemimpinan
dengan tidak bisa menyatukan seluruh angkatan bersenjata Bolivia. Pada sisi yang
berbeda MNR mengambil kesempatan untuk melakukan pemberontakan, keadaan
ini memaksa militer mundur dan menyerah. (Kohl, 2006:48)
Setelah MNR berhasil melakukan pemberontakan Paz Estenssoro naik
sebagai presiden pada tanggal 16 April 1952 (Kohl, 2006), Paz Estenssoro
melakukan proses perubahan radikal terjadi diantaranya nasionalisasi tiga
perusahaan timah Bolivia pada tanggal 31 Oktober 1952. Pemerintahan MNR
kemudian mendirikan Corporacion Minera de Bolivia (COMIBOL) sebagai
badan usaha yang bergerak di bidang pertambangan di bawah pengelolaan negara
26
dan program land reform yaitu program yang menyangkut distribusi lahan di
pedesaan. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Pada bulan Agustus 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang
Reformasi Agraria 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang tersebut
bertujuan untuk menghapus eksploitasi kerja terhadap kelas buruh dan
pendistribusian lahan-lahan di wilayah pedesaan dari kelompok oligarki tuan
tanah.(http://www.mongabay.com/history/bolivia/bolivia-
petroleum_and_natural_gas.html).
Meskipun serangkaian kebijakan reformasi radikal yang dilakukan
pemerintahan MNR telah berjalan, akan tetapi dampak yang dirasakan masyarakat
indigeneous di Bolivia tetap tidak memperoleh perubahan yang signifikan dari
kebijakan ini. Justru sebaliknya, pada masa pemerintahan MNR lewat kebijakan
tersebut. Dampak yang terjadi dari kebijakan reformasi agrarian tahun 1953.
Redistribusi tanah yang dilakukan MNR, namun yang perlu ditekankan disisni
adalah aturan reformasi agrarian yang ada hanya Undang-Undang yang sifatnya
formalitas. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Dalam pelaksanaanya Undang-Undang reformasi agrarian tersebut pada
kenyataanya tidak pernah terjadi. Dalam proses pengambilan kebijakan di
pemerintahan, MNR juga berusaha mematikan militansi kelompok indigenous di
bawah kontrol pemerintah Dengan demikian, MNR bukanlah partai yang
merepesentasikan masyarakat indigenous secara utuh melainkan hanya sebagai
27
kelompok elit yang mengendalikan masyarkat indigenous untuk tujuan mereka
semata. (Cott, 2000:164)
Periode pmerintahan revolusioner MNR berakhir pada tahu 1964, setelah
rezim junta miter melakukan kudeta yang menandai dimulainya era
ketidakstabilan politik Bolivia. Semenjak saat itu hingga rentan waktu 18 tahun
berikutnya Bolivia dikendalikan oleh rezim junta militer yang bersifat otoriter,
korup, dan brutal yang didukung oleh AS untuk menjadi pembendung paham
“kiri” di kawasan Amerika Latin. (Farah, 2009:3)
Pemerintahan pertama rezim junta militer Bolivia berada di bawah
kepemimpinan Jendral Barrientos yang berkuasa dari tahun 1964 hingga 1969.
Dalam era kepemimpinan Jendral Barrientos, peranan negara yang kuat dalam
mengontrol perekonomian sejak masa revolusi MNR kembali dilanjutkan. Rezim
junta militer tersebut mendapat dukungan dari AS. Hal ini dibuktikan dengan
diberangkatkanya 1200 orang perwira militer Bolivia ke seekolah-sekolah militer
AS. (Kohl, 2006:50)
Dinas intelejen AS Central intelegence Agency (CIA) dan pasukan khusus
AS juga ikut pula memberikan pelatihan teknis kepada rezim junta militer Bolivia
yang pada akhirnya memainkan peranan penting seperti dalam kasus penangkapan
dan eksekusi terhadap tokoh sosialis asal Kuba Che Guevarra dalam pelariannya
ke Bolivia pada tahun 1967 (Kohl, 2006:50).
Pada masa pemerintahan junta militer di Bolivia, Jenderal Barrientos
menjalin hubungan yang baik dengan kelompok petani. Hubungan yang harmonis
28
ini antara pemerintah junta militer dengan petani tersebut ditunujan dengan
pembentukan pakta militer-kelompok petani (The Military-Campesino Pact)
(Kohl, 2006:50).
Dengan dibentuknya pakta tersebut, Jenderal Barrientos mendapat
dukungan yang kuat dari masyarakat pedesaan Bolivia. Buktinya dengan
memenangi pemilu pada tahun 1966 dengan perolehan suara 63% yang berasal
dari mayoritas masyarakat pedesaan Bolivia (Kohl, 2006). Akan tetapi hubungan
harmonis tersebut tidak bertahan lama setelah meninggalnya Jenderal Barrientos
akibat kecelakaan helikopter dalam kunjungan kerjanya ke wilayah pedesaan
Bolivia pada tahun 1969. (Albo, 2002:76)
Setelah ditinggal oleh Jenderal Barriientos, dingantikan oleh, Luis Adolfo
Siles Salinas dan kemudian digulingkan oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia.
Jenderal Alfredo Ovando Candia sempat menasionalisasi minyak dari Perusahaan
Gulf milik AS di Bolivia. Pada tahun 1970 Jenderal Alfredo Ovando Candia
digulingkan oleh Jenderal Juan Jose Torres (http://www.washingtonpost.com/wp-
srv/world/countries/bolivia.html).
Setelah Jenderal Jose Torres menjadi pemipin Bolivia, Jenderal Jose
Torres melanjutkan hubungan dengan Uni Soviet yang sebelumnya telah
dibangun oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia , menjadi lebih dekat. Hal ini
sangat merugikan hubungan dengan AS. Jenderal Jose Torres digulingkan pada
tahun 1971 oleh Jenderal Hugo Banzer dan mengembalikan hubungan dengan AS.
(http://www.washingtonpost.com/wp-srv/world/countries/bolivia.html)
29
Setelah ditinggal Jenderal Barrientos, hubungan militer dengan petani
mengalami keretakan mulai terjadi. Keretakan hubungan militer dengan kelompok
petani semakin mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Jenderal Hugo
Banzer yang perkuasa dari tahun 1971 hingga tahun 1978. Sebagai catatan penting
pemerintah Hugo Banzer, perekonomi Bolivia mengalami perkembangan yang
pesat dengan meningkatnya harga mineral di pasaran internasional serta
penemuan cadangan gas baru. (Salt, 2006:38)
Sektor pertanian di wilayah timur Bolivia dan pembangunan pabrik-pabrik
di wilayah La Paz juga semakin berkembang pesat. Namun ditengah-tengah
perkembangan pesat di sektor pertanian tersebut pemerintah Bolivia mengambil
langkah yang tidak popular di masyarakat dengan menaikan harga hasil pertanian
secara tinggi yang mengakibatkan protes di kalangan petani. (Salt, 2006:38)
Pemerintah Bolivia tidak merespon aksi protes yang terjadi di kalangan
petani. Pemerintah menggunakan tindakan represif yang terjadi pada tahun 1974
saat Jenderal Hugo Banzer mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menghadapi
aksi protes tersebut di wilayah Tolata di Provinsi Cochamba. Pergerakan kekuatan
bersenjata tersebut berakhir tragis dengan pembantainan yang menewaskan 200
orang petani Bolivia. (Kohl, 2006:52)
Memasuki tahun 1977 pemerintahan junta militer mulai goyah. Akibat
adanya resei perekonomian dan juga tekanan dari kelompok oposisi dalam
struktur politik Bolivia untuk menerapkan proses demokratisasi secara penuh
(Mayorga, 2005:151). Pada sama bersamaan, konteks politik internasional yang
ditandai dengan gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia semakin
30
mendesak dipromosikannya nilai-nilai hak asasi secara universal serta diakhirinya
kepemimpinan rezim militer di Amerika Latin. (Mayorga, 2005:151)
Desakan yang kuat untuk menerapkan proses demokratisasi di Bolivia
tersebut berujung kepada tumbangnya rezim junta militer Jenderal Hugo Banzer
melalui kudeta pada tahun 1978 oleh Jenderal Guido Vildoso Calderon,
berakhirnya rezim militer Jendral Hugo Banzer malah membuat ketidakstabilan
ekonomi dan politik di Bolivia.
Pada tahun 1980 Hernan Siles Zuazo dan partai yang dipimpinya Unidad
Democratica Popular (UDP) memenangkan pemilu, akan tetapi kemenangan
tersebut diambil alih oleh Jenderal Luis Garcia Meza, pemerintahan junta militer
tersebut hanya bertahan 1 tahun. kebijkan yang dilakukan pemerintah tersebut
adalah ekspor kokain yang mencapai 850 juta Dolar AS. Pada tahun 1980-1981
menbuat pemerintahan tersebut berada dalam ancaman dunia internasional
ditambah dengan korupsi dan kekejaman militer yang menyudutkan pemerintahan
tersebut.
Pada tahun 1982 Kongres Bolivia melantik Hernan Siles Suazo sebagai
presiden terpilih pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai
dimulainya era transisi domokrasi di Bolivia setelah 18 tahun berada di bawah
kekuasaan junta militer. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0033%29)
Pada tahun 1985, penurunan nilai ekonomi melanda Bolivia dengan
tingkat inflasi tertinggi di dunia sehingga mengakibatkan mata uang Bolivia tidak
31
bernilai. Tingkat inflasi yang terus meningkat dari tahun 1982 sebesar 296% tahun
1984 sebesar 2. 175% dan pada tahun 1985 mencapai lebih dari 8.168%. yang
tertera pada grafik inflasi. (Roca, 1996:162-164)
Grafik inflasi
Grafik diperbesar pada tahun 1980-1990
Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/lo/countries/bo/bo_inf.html
Dari tingginya tingkat inflasi membuat negara dalam keadaan kritis dalam
memperoleh stabilitas sistem ekonomi dan politik. Dimasa pemerintaha Paz
Estensorro (1985-1989), Bolivia meminta bantuan kepada IMF, IMF memberikan
program penyesuaian Struktural yang dicanangkan untuk Bolivia, program ini
32
ditujukan untuk menanta ulang perekonomian Bolivia. Perencanaan program
tersebut diperkuat dengan Dekrit Presiden 21060 (Kohl, 2006:83).
Pada bulan Agustus 1985, Pemerintah Bolivia secara resmi
mengumumkan program penyesuaian struktural (SAP) yang diberi nama New
Economic Policy (NEP) isi dan butir yang termaksud kedalam NEP diantaranya:
Menghapuskan pembatasan-pembatasan impor dan ekspor (liberalisasi
kebijakan impor dan ekspor), menetapkan tingkat perdagangan tunggal dan
fleksibel, membekukan upah sektor publik selama empat bulan (kemudian
dikurangi sampai tiga bulan), memberikan kesempatan kepada perusahaan-
perusahaan negara satu bulan untuk mengemukakan program-program
rasionalisasi (yaitu pemutusan hubungan kerja) staf, memperkenalkan kontak
bebas pada semua firma. (Avirgan, 2003:82)
B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat di negara-negara
berkembang mendorong banyak negara untuk mencari alternatif strategi
pembangunan baru yang lebih memberikan peluang bagi percepatan pertumbuhan
dan akumulasi kapital, akibat gagalnya upaya pembangunan. Campur tangan
negara yang terlalu kuat dipandang sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang pada akhir abad 20, sehingga strategi yang
ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan bagi investasi dan pasar bebas.
(Fakih, 2001:217)
33
Gagasan perlindungan hak milik intelektual, good governace,
penghapusan subsidi, program proteksi kepada rakyat, deregulasi, pembangunan
civil society, program antikorupsi dianggap sebagai proram yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan suatu tatanan perdagangan
global dan sejak saat itulah gagasan globalisasi dimunculkan. (Fakih, 2001:218)
Era globalisasi ini ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang
dipaksakan melalui kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP)
merupakan kebijakan yang ditetapknan di negara-negara berkembang oleh
lembaga finansial global yang didukung oleh AS, seperti IMF dan World Bank
yang telah disepakati oleh lembaga dunia. Fase globalisasi ini ditandai dengan
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasarkan kepada keyakinan perdagangan bebas. (Suyatna, 2007:36)
AS melalui IMF lalu menolong negara-negara berkembang melalui
program restrukturisasi IMF berdasarkan sejumlah prasyarat hutang yang akan
diberikan, yaitu, program privatisasi perusahaan-perusahaan negara, pengurangan
belanja publik melalui pengurangan subsidi adalah strategi kebijakan yang
menjadi prinsip utama gagasan-gagasan neoliberal. (Winarno, 2005:25)
Neoliberalisme merupakan akar dari ekonomi politik liberal klasik dari
Adam Smith yang berdasarkan fungsi khusus dari asumsi ideologi tentang
hubungan antara negara dengan individu dalam teori liberal klasik yang ditulis
200 tahun lalu, negara memaksakan kekuasaan yang telah ditafsirkan sebagai
ancaman utama terhadap kebebasan individual. (Kohl, 15:2006)
34
Neoliberalisme merubah wilayah yang diterima wilayah oleh aktifitas
negara dan mengurangi pengeluaran sosial sebagai negara yang turun tahta. Hal
tersebut merupakan tanggung jawab untuk menjaga sektor yang diprivatisasi.
(Kohl, 15:2006)
Gagasan neoliberal ini mengacu kepada Washington Consensus yang
mencangkup beberapa hal. Pertama pengeluaran pengeluaran publik, khususnya
militer dan administrasi publik, kedua liberalisasi keuangan dengan suku bunga
yang ditentukan pasar, ketiga liberalisasi perdagangan disertai penghapusan iain
impor dan pengurangan tarif, keempat mendorong investor asing, kelima
privatisasi perusahaan-perusahaan negara, keenam deregurasi ekonomi, ketujuh
nilai tukar yang kompetitif untuk pertumbuhan berbasis ekspor, kedelapan
menjamin disiplin dan pengendalian defisit anggaran, kesembilan reformasi pajak,
kesepuluh perlindungan hak cipta. (Suyatna, 2007:39)
Dalam realitasnya, penerapan program restrukturisasi yang dilakukan oleh
IMF ini menimbulkan penderitaan rakyat. Program ini telah mempertajam
kesenjangan antara masyarkat Bolivia (indigenous) dengan investor asing.
Laporan PBB tahun 1999 menujukan bahwa 1/5 dari penduduk dunia dengan
penghasilan menguasai 86% GDP dunia. 82% pasar ekspor dunia dan Foreign
Direct Investment (FDI) dan 74% pengguna telepon. Sebaliknya.1/5 penduduk
termiskin dari negara miskin menguasai hanya 1% dari semua sektor tersebut.
(Suryohadiprojo, 2003)
Gelombang krisis ekonomi yang menimpa negara-negara Amerika Latin
sepanjang tahun 1990-an, memudahkan jalan bagi aktor-aktor globalisasi untuk
35
memasukkan agenda neoliberalisme dalam kebijakan perekonomian di negara-
negara tersebut. Kondisi krisis ekonomi yang parah menyebabkan tidak adanya
pilihan lain bagi kebanyakan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta
pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank.
(Suyatna, 2007:42)
Dalam kaitanya dengan perdagangan bebas, World Bank dan IMF adalah
dua organisasi internasional yang paling berkuasa, IMF memiliki misi untuk
mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian hutang.
Sedangkan World Bank juga merupakan aktor penting pemberi hutang dengan
upaya mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan
ekonomi. Program SAP merupakan program World Bank dalam membentuk
perdagangan bebas dan juga bagian dari program neoliberal. (Fauzi, 2005:157-
160)
Bantuan keuangan tersebut akan diberikan dengan prasyarat yaitu negara
penghutang harus menurut resep yang diberikan dalam program penyesuaian yaitu
SAP. Negara yang menerima pinjaman harus melakukan tiga hal diantaranya:
liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dengan demikian kebijakan ekonomi
diformulasikan oleh pemerintah dalam rangka mengikuti alur pedagangan global
yang mengarah kepada perdangangan bebas. (Suyatna, 2007:43)
Penerapan Ekonomi di Neoliberal di Amerika Latin merupakan alternatif
strategi pembangunan baru yang didukung oleh AS melalui IMF dan World Bank
dengan memberikan SAP yang justru merugikan Kawasan Amerika Latin
dikarenakan banyaknya perusahan negara yang diprivatisasi mendatangkan
36
kerugian besar dan kemiskinan karena tidak semua masyarakat dapat menikmati
keuntungan dari privatisasi tersebut.
C. Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
Kepentingan yang dicapai oleh Neoliberalisme adalah kesamaan antara
individu, distribusi sumber daya yang seimbang dan maksimalisasi keuntungan.
Inti dari Neoliberalisme adalah melihat kehidupan sebagai sumber laba korporasi
(perusahaan). Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas pada dasarnya
berupaya untuk menekan intervensi pemerintah sampai titik minimum (Suyatna,
2007:37).
AS mendukung pembangunan-pembangunan di negara-negara
berkembang dengan tujuan melakukan dominasi dan penyebaran gagasan
neoliberal yang pemikiran utamanya adalah pasar bebas dan mencegah peran aktif
negara dalam perekonomian. Implikasi yang kemudian muncul adalah hampir
semua negara di dunia mengambil jalan kearah neoliberal dan pasar bebas, hal
tersebut menimbulkan deregulasi pasar dan memprivatisasi perusahaan-
perusahaan negara (Suyatna, 2007:38).
Pada awalnya penerapan neoliberal ini berjalan secara efektif sepanjang
tahun 1990-an ketika Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, maka
para pendukung neoliberal seperti pemerintah AS, lembaga-lembaga multilateral,
dan pemerintah lokal menggunakan struktur kekuasaan global ekonomi untuk
mengorganisasi kelembagaan negara dan menciptakan seperangkat kelembagaan
yang sangat memudahkan bagi pelaksanaan program struktural ini (Suyatna,
2007:43).
37
AS juga mendorong adanya Pemilu prosedural untuk membentuk rezim
representatif untuk mendukung neoliberalisme, kapitalisme pasar bebas (free-
market-led-capitalism) menggantikan kapitalisme negara (state-led-capitalism)
dibawah diktator militer (Suyatna, 2007).Mengingat Bolivia pernah mengalami
pemerintah militer (Lesmana, 2007: 602).
Amerika Latin dibawah sistem kapitalisme global melalui restrukturisasi
neoliberal secara misalnya dengan deregulasi, privatisasi, pengetatan belanja, dan
fleksibilitas kerja. Pada akhirnya neoliberal semakin berkuasa untuk memaksakan
resturisasi ekonomi domestik yang semula berusaha mencari cara pembangunan
alternatif. (Suyatna, 2007:44)
Banyaknya produk-produk impor memasuki kawasan Amerika Latin
mengalahkan produk-produk lokal yang mematikan ekonomi rakyat yang pada
akhirnya para petinggi di negara-negara Amerika Latin menerima program SAP
yang dipaksakan oleh pemberi pinjaman. (Suyatna, 2007)
AS juga mengawasi dengan ketat melalui aparat negara dan lembaga
finansial global yang bertujuan untuk menekan pemerintah yang menentang
keterbukaan, keuangan internasional dan organisasi perdagangan internasional
yang telah didesain ulang untuk menyesuaikan dengan aturan globalisasi yang
baru. (Tabb, 2001:81)
AS mengancam akan melakukan retalisasi, pembatasan akses terhadap
pasar AS dan memotong bantuan keuangan. Bahkan AS juga sering kali
melakukan intervensi militer yang tak jarang mengatasnamakan kemanusiaan.
(Tabb, 2001)
38
Kebijakan neoliberalisme yang ditetapkan di Amerika Latin telah
menyebabkan berbagai dampak negatif dikarenakan program-program World
Bank di tingkat pertanahan melalui Land Policy Research Report dan Land
Policies For Growth Poverty Reduction telah membuat ketimpangan Struktur
tanah semakin membesar. Struktur kepemilikan tanah secara feodal yang
diwariskan pada zaman kolonial direproduksi dan menghasilkan struktur
neofeodal yang didominasi pengusaha, perseorangan, dan penngusaha
transnasional. (Suyatna, 2007:44-45)
Globalisasi yang berdampak pada pembentukan tanah ini membuat petani
kehilangan tanahnya, diambil oleh pemilik modal yang lebih besar yang pada
akhirnya membuat petani kehilangan pekerjaannya. Program IMF mengakibatkan
pengangguran merupakan proses pengetatan anggaran di berbagai negara.
(Saragih, 2006: 15)
Sementara, aturan perdagangan yang dibuat oleh World Trade
Organization (WTO) membuat proteksi pasar dalam negeri hancur
berantakan.Pasar pertanian, jasa, dan Industri dalam negeri di kawasan Amerika
Latin yang belum mapan pada akhirnya dilanda produk AS dan Uni Eropa. Usaha
dalam negeri runtuh dan rakyat kehilangan pekerjaannya. (Saragih, 2006)
Kebijakan Neoliberalisme akhirnya telah menyebabkan ekonomi di
negara-negara Amerika Latin dibanjiri produk-produk asing yang mematikan
indusrti domestik, memfasilitasi konsumsi kelas atas dan mengembangkan
korupsi pada elite-elite pemerintah. Program privatisasi juga terbukti gagal
39
menigkatkan efisiensi perusahaan dan menciptakan lingkungan bisnis yang
kompetitif. (Suyatna, 2007:46-47)
Penerapan kebijakan tersebut telah menyebabkan terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara massal terhadap buruh akibat ketidakmampuan
perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan
multinasional. Pada saat yang sama hiperinflasi merajalela dan pertumbuhan
keseluruhnya negatif. Tingkat korupsi juga merajalela di pemerintah. Dampak
lebih lanjut dari kebijakan tersebut memburuknya kondisi sosial ekonomi
masyarakat. (Suyatna, 2007:47)
Dampak kebijakan neoliberal di kawasan Amerika Latin menimbulkan
perlawanan dan kritik dari negara-negara Amerika Latin. Sebelum tahun 1998,
keadaan kawasan Amerika Latin relatif dapat dikontrol AS, namun sejak 1998,
sejumlah negara seperti Venezuela dan Kuba terus melancarkan kritik terhadap
dominasi pengaruh AS di negaranya sebagai akibat kegagalan kebijakan
neoliberal dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan pada
rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi dari masyarakat terus terjadi untuk menuntut
terwujudnya keadilan sosial. (Suyatna, 2007:52)
Hal serupa terjadi di Bolivia, sejak pemerintah Bolivia dipegang oleh
Gonzalo Sanchez de Lozada, AS mulai memberikan pengaruh pada berbagai
kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Bolivia. Gonzalo
Sanchez de Lozada menerapkan kebijkan neoliberal sebagai prioritas utama
ekonomi di Bolivia, hal ini menimbukan ketidakpuasan rakyat terhadap
pemerintah tersebut dan pecah gerakan sosial yang meliputi selurh rakyat di
40
Bolivia untuk memprotes terhadap pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada. (
Suyatna, 2007:64)
Pada awal penerapan kebijakan ini berjalan secara efektif dimana peran
pemerintah lokal menggunakan striktur kekuasaan global untuk mengorganisasi
kelembagaan yang sangat memudahkan bagi pelaksanaan program struktural ini,
hingga pada perkembangannya kawasan Amerika Latin dibawah kebijakan
ekonomi neoliberal dengan adanya deregulasi, privatisasi, penghematan belanja
hal ini yang menjadikan pasar bebas di Amerika Latin hingga pada akhirnya
negara-negara Amerika Latin menerima program SAP yang dipaksakan oleh
pemberi pinjaman.
D. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
AS sering kali turut campur tangan dalam proses pergantian presiden di
Bolivia. AS akan mendukung presiden yang dipandang mampu memberikan
keuntungan bagi kepentingannya dan melakukan berbagai upaya untuk
mengisolasi gerakan rakyat yang menetang kepentingan AS. (Suyatna, 2007:64)
Sejak Bolivia dipegang oleh Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada (1993-
1997), AS mulai memberikan pengaruh pada berbagai kebijakan- kebijakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Bolivia. Dalam kampanye Pemilihan Umum di
Bolivia tahun 1993, Gonzalo Sanchez de Lozada menyatakan bahwa dia akan
tetap menjanjikan kebijkan ekonomi neoliberal sebagai kebijakan utama.
(Suyatna, 2007)
41
Hal yang mendasari dengan menerapkan kebijakan neoliberal ialah
mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat demokrasi yang di inspirasi
oleh Washington Consesnsus. Gonzalo Sanchez de Lozada memperkirakan
dengan adanya kebijakan neoliberal di Bolivia akan mendatangkan modal melalui
investor asing, teknologi, dan sistem manajemen baru untuk mendorong
perekonomian Bolivia dan menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan. (Kohl,
2004:894)
Akan tetapi dengan adanya kebijakan neoliberalis di Bolivia, tidak sejalan
dengan gagasan neoliberal, dikarenakan dengan adanya tingkat investasi asing
yang meningkat terutama dalam sektor minyak dan gas menyusul dengan
diprivatisasinya perusahaan minyak dan gas milik negara Yacimientos Petrolõ
Âferos Fiscales de Bolivia (YPFB) investasi ini memberikan stimulus untuk
perluasan ekonomi, akan tetapi di sektor informal terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dikarenakan adanya
privatisasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi lamban. (Kohl, 2004)
Meskipun pemerintah memberlakukan peningkatan yang signifikan dalam
pajak konsumsi energi hal tersebut memicu kerusuhan sosial yang cukup besar,
pemerintah Bolivia hanya mampu menggantikan sebagian 60% dari pendapatan
yang berasal dari YPFB. (Kohl, 2004)
Pada awal 2003, IMF menuntut pemerintah Bolivia mengurangi defisit
dengan 240 juta Dollar AS dari 8,5% menjadi 5,5% dari GDP. Pemerintah setuju
untuk memotong belanja sebesar 30 juta Dollar AS dan untuk meningkatkan 80
42
juta Dollar AS dari pajak hidrokarbon tambahan dan 90 juta Dollar AS dari pajak
penghasilan yang disektor lain. (Kohl, 2004)
Dengan adanya campur tangan AS kedalam urusan politik dama negeri
Bolivia dengan mudah AS dapat menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal di
Bolivia dengan cara memberikan pengaruh pada berbagai kebijakan-kebijakan
yang dilaksanakan pemerintah Bolivia.
E. Kebijakan Privatisasi Ekonomi di Bolivia
Dalam gagasan neoliberal berpendapat bahwa liberalisasi ekonomi dan
privatisasi menghasilkan peningkatan prosuktivitas disektor swasta dan diertasi
dengan desentralisasi dengan reformasi administrasi menyebabkan demokrasi
yang lebih baik, investasi sektor publik yang lebih efisien, dan pembangunan
daerah yang lebih cepat (Kohl, 2002:449).
Dalam masalah yang terjadi di Bolivia yang telah diterapkan sebagai
model ekonomi neoliberal sebagai restrukturisasi perekonomian di Bolivia,
dengan adanya model ekonomi tersebut menyebebkan terjadinya privatisasi yang
menyebabkan penurunan pendapatan pemerintah dan terjadi krisis
ekonomi.Privatisasi perusahaan negara telah menyebangkan kenaikan suku bunga
yang nantinya menimbulkan gerakan sosial besar-besaran. (Kohl, 2002)
Penerapan model perekonomian noliberal di Bolivia terjadi pada saat
pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada (1993-1997) yang memiliki rencana
pembangunan yang dikenal dengan Plan de Todos (rencana untuk semua) yang
terdiri dari dua bagian Yang pertama, Hukum Kapitalisasi yang memungkinkan
43
untuk privatisasi parsial dari lima negara industri milik yang menyumbang12,5%
dari Produk Domestik Bruto menggambarkan proses liberalisasi ekonomi. (Kohl,
2002:450)
Kedua, Hukum Partisipasi Populer yang ditransfer 20% dari pendapatan
nasional untuk pemerintah kota bersama dengan tanggung jawab untuk investasi
dan pemeliharaan di depan umum lokal infrastruktur memberikan contoh
restrukturisasi politik yang demokratis. (Kohl, 2002)
Pada 1994 telah diprivatisasi lima industri strategis yaitu migas,
telekomunikasi, penerbangan, listrik, dan rel kereta api. Sebelum Kapitalisasi
perusahaan negara menyumbang sekitar 60% dari pendapatan pemerintah 48%
dari minyak dan gas. Gonzalo Sanchez de Lozada membenarkan untuk menjual
industri milik negara inti mengklaim bahwa investasi masuk ke dalam negeri akan
menciptakan 500.000 lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan GDP
tahunan 4-10%. (Kohl, 2002:465)
Dengan demikian Bolivia melakukan reformasi ekonomi dengan
serangkaian kebijakan baru meliputi pengembangan administrasi didefinisan
dengan oleh penekanan pada desentralisasi, pengembangan masyarakat,
deregulasi, dan privatisasi hal tersebut membuat peran pemerintah menjadi
terbatas dan selalu mengandalkan bantuan asing. (Werlin, 1992:223)
Kebijakan baru tersebut bertujuan untuk menggeser fungsi pemerintah dari
pelaksanaan pembangunan dan stabilitas adminitrasi. Dalam gagasan neoliberal
hal ini sangat diinginkan oleh investor asing dan pasar bebas yaitu dengan
membatasi kekuasaan dan jangkauan Pemerintah Bolivia. (Kohl, 2002:454)
44
Pada saat Pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada memiliki rencana
pembangunan yang dikenal dengan Plan de Todos rencana ini menjadikan Bolivia
sebagai pasar bebas dengan mendatangkan investor asing guna meningkatkan
perekonomian Bolivia dengan adanya kebijakan tersebut Bolivia dapat
keuntungan modal melalui investor asing, teknologi, dan sistem manajemen baru
untuk mendorong perekonomian Bolivia dan menciptakan ratusan ribu lapangan
pekerjaan.
Akan tetapi rencana tersebut menggeser fungsi pemerintah dari
pelaksanaan pembangunan dan stabilitas adminitrasi. Dalam gagasan neoliberal
hal ini sangat diinginkan oleh investor asing dan pasar bebas karena adanya
pengurangan kekuasaan dan jangkauan Pemerintah Bolivia.
45
BAB III
HEGEMONI AMERIKA SERIKAT DI BOLIVIA SEBELUM
2005
Dalam bab III membahas hegemoni AS di Bolivia sebelum tahun 2005.
Bab ini terdiri atas dua bagian.Bagian pertama memaparkan hegemoni AS di
Amerika Latin sebelum tahun 2005 dan beberapa negara yang mengalami dampak
dari kebijakan neoliberal.Bagian kedua memaparkan hegemoni AS di Bolivia
beserta kebijakan enam presiden yang menerapkan kebijakan neoliberal di
Bolivia.
A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin
Masuknya AS dalam kawasan Amerika Latin mempunyai sejarah yang
sangat panjang, semenjak dikeluarkan Doktrin Monroe dalam pidato tahunannya
1823 yang intinya adalah menegaskan tidak adanya intervensi yang dilakukan
oleh bangsa Eropa di Amerika Latin. (Meiertons, 2010:26)
Pada tahun 1823 merupakan awal mula AS memiliki hasrat untuk
melakukan hegemoni dikawasan Amerika Latin yang menjadi pertimbangan
pertama melalui kebijakan Isolasionisyang merupakan tahap dari Doktrin Monroe
dengan adanya merupakan awal dari manifestasi hegemoni AS di Amerika Latin
(Meiertones, 2010:30).
Isolationis merupakan kebijakan dari AS yang berarti tidak adanya campur
tangan negara lain dalam urusan dalam negeri dan AS dapat berdiri sendiri tanpa
46
bantuan dari negara lain. Sejarah perkembangan paradigma internasionalisme
dimulai setelah isolasionis berkembang. AS menyadari perlu adanya peran negara
lain dalam kehidupan bernegara (Hook, 2000:268).
Internasionalisme merupakan gagasan bahwa AS harus secara aktif
terlibat dalam urusan dunia luar hal ini meliputi tugas seperti menjaga
perdamaian, menengahi perselisihan antar bangsa, membantu negara menjaga
independensi, dan menjaga integritas dan teritorial. Ide dari internasionalis ini
lahir pada saat akhir perang dunia II (1939-1945), sebelumnya kebijakan luar
negeri AS ini dikenal dengan Isolasionis (Durante, 2010:1).
Pada saat Dokrin Monroe runtuh, AS terlibat dalam dalam Perang Dunia
II. Pasca Perang Dunia II muncul dua blok yang sama-sama kuat yaitu AS dengan
ideologi liberalnya dan Uni Soviet dengan ideologi komunisnya. Pada masa
tersebut AS dan Uni Soviet terlibat dalam pertikaian ideologi, dan pertikaian ini
dimenangkan AS. Perkembangan selanjutnya muncul intitusi penunjang pasar
bebas seperti WTO, IMF, dan World Bank. (Kohl, 2006:12)
Dengan adanya lembaga-lembaga ini, AS mulai membangun
hegemoninya di negara-negara berkembang.Isu-isu yang digunakan AS untuk
melaksanakan berbagai macam program pembangunan seperti penyediaan
bantuan pembangunan bilateral maupun multilateral dengan sarana publik
maupun swasta. Sehingga negara-negara berkembang di Amerika Latin termaksuk
Bolivia yang relatif masih pada tahap pemulihan ekonomi dan politik yang
bergantung kepada bantuan luar negeri dari negara-negara industri termaksud AS.
(Kohl, 2006:13)
47
Dengan dimulainya Doktrin Monroe di kawasan Amerika Latin menbuat
AS ingin menjadikan Amerika Latin sebagi halaman belakangnya dan melindungi
kawasan tersebut dari luar terutama negara-negara Eropa yang ingin menguasai
kawasan tersebut. Selama perkembangannya kawasan tersebut mendapatkan
bantuan luar negeri dari AS, akan tetapi bantuan tersebut membuat Amerika Latin
bergantung kepada AS.
A.1 Doktrin Monroe
Intervensi pertama AS dimulai dengan adanya Doktrin Monroe. Pada
tanggal 2 Desember 1823 presiden kelima AS James Monroe mengunakan
kesempatan pidato tahunanya kepada kongres, Monroe menjelaskan prinsip-
prinsip dari kebijakan luar negeri AS, yang pada periode berikutnya telah
dianggap sebagai acuan untuk orientasi jangka panjang kebijakan luar negeri AS
(Meiertones, 2010:25).
Prinsip dasar yanag merupakan ide asli dari Doktrin Monroe yaitu
pembatasan kebebasan politik tindakan non-Amerika di negara bagian Amerika
yaitu prinsip pembatasan kebebasan politik terhadap aktifitas bangsa Eropa
terhadap AS. Prinsip tersebut menjadi menjadi dua sub-prinsip. Pertama berkaitan
dengan akuisisi wilayah dan yang kedua berkiatan dengan legalitas penggunaan
kekerasan (Meiertones, 2010,26).
Lepasnya Amerika Latin dari Pengaruh Eropa membuat intervensi AS
semakin meluas di Amerika Latin. Amerika latin merupakan negara-negara kaya
akan sumber daya alam. Pada perkembanganya menjadi pasar bagi industri AS,
dan untuk menyelamatkan investasinya banyak strategi yang digunakan salah
48
satunya dengan alasan menegakan stabilitas politik di negara-negara Amerika
Latin membuat AS harus melakukan intervensi langsung ke Amerika Latin
termaksud Bolivia.
B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005
Hegemoni AS di Amerika Latin pertama kali bermula dari Doktrin
Monroe pada Desember 1823, Presiden Monroe menggunakan kesempatan pidato
tahunannya ke kongres guna menyampaikan penolakan untuk mentolerir
perluasan lebih lanjut dominasi Eropa di benua Amerika: “Tanah Amerika….
Mulai sekarang tidak boleh lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh negara-negara
Eropa…. Kita harus menganggap setiap usaha mereka untuk memperluas sistem
politik di bagian manapun di benua ini sebagai bahaya bagi kedamaian dan
keselamatan kita” (Monroe, “Seventh Annual Massage to Congress, December 2,
1823).
Doktrin ini melarang negara Eropa mengkolonialisasi atau mencampuri
urusan negara-negara di benua Amerika. Segala upaya dan pengaruh politik
negara Eropa terhadap negara-negara di benua Amerika akan dianggap sebagai
ancaman terhadap AS. Pada suatu sisi Doktrin Monroe menyatakan semangat
solidaritas dengan negara-negara Amerika Latin yang baru merdeka dengan
melindungi mereka dari intervensi bnagsa Eropa. Akan tetapi disisi lain AS
memasukan hak mereka untuk mengintervensi urusan dalam negeri dari negara-
negara Amerika Latin (Monroe, “Seventh Annual Massage to Congress,
December 2, 1823).
49
Pada era pasar bebas pada tahun 1985 sampai akhir 1990an berbagai
macam reformasi ekonomi neoliberal, AS berupaya membangun sebuah tatanan
baru secara menyeluruh seperti masyarakat berbasis pasar dan kesejahteraan sosial
dengan kebutuhan ekonomi yang dibangun diatas logika pasar bebas, karena
reformasi neoliberal secara stimulan memengaruhi bidang ekonomi, politik, dan
sosial (Silva, 2009:3).
Pada awal penerapanya reformasi neoliberal di Amerika latin, keadaan
Amerika Latin dapat dikontrol oleh AS. Namun sejak tahun 1998, sejumlah
negara seperti Venezuela dan Kuba terus melancarkan kritik terhadap Hegemoni
AS di Amerika Latin.Sebagai kegagalan neoliberalisme dalam mewujudkan janji-
janji kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat Amerika Latin (Suyatna,
2006:52).
Adanya tuntutan reformasi ekonomi neoliberalisme difokuskan kepada
kebijakan untuk melindungi individu atau kelompok dari kekuatan penuh terhadap
pasar bebas menyebabakan meluasnya pengangguran. Hal tersebut memicu
adanya protes untuk menentang privatisasi dan pengurangan subsidi,dan
pembongkaran lembaga negara pembangunan ekonomi (Silva, 2009:43).
Ribuan aksi dari masyarakat Amerika Latin terus terus terjadi untuk
menuntut terwujudnya keadilan sosial. Dalam waktu 10 tahun sejak tahun 1996-
2006, tercatat 14 presiden yang telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut.
Revolusi-revolusi sosial yang digerakan oleh rakyat tersebut berhasil
memunculkan pemimpin-pemipin baru dikalangan mereka (Suyatna, 2006:52).
50
Di Venezuela, untuk pertama kalinya muncul tokoh militer kiri, Presiden
Hugo Chavez Friaz, yang begitu populer di kalangan rakyat bawah. Hugo Chavez
memimpin rakyat dengan program populis yang menentang hegemoni AS seperti
World Bank dan IMF. Hugo Chavez dikenal sangat anti AS, dia merasa bahwa
dengan bernaung di bawah IMF membawa dapak negatif bagi ekonomi negaranya
(Suyatna, 2006:52).
Hugo Chavez menjadikan pemimpin Kuba Fidel Castro yang anti AS,
sebagai panutan. Berawal dari kepopuleran Castro dan Chavez ini, aliran kiri kini
telah menular ke sejumlah negara di Amerika Latin.Seperti yang terjadi di
Argentina oleh Nestor Kirchner, Rafael Correa Delgado di Ekuador, dan Daniel
Ortega di Nikaragua yang memiliki aliran kiri yang jelas-jelas bertentangan
dengan kebijakan AS (Suyatna, 2006:53).
Di Argentina Presiden Nestor Kirchner mengambil kebijakan ekonomi dan
politik nasionalisasi untuk menghadapi hegemoni AS di Argentina dengan
mengambil sikap nasionalis untuk melakukan negosiasi dengan IMF (Silva,
2009:99). Argentina merupakan negara pertama memiliki hutang yang sangat
besar yang jumlahnya 2,9 dolar AS atau mencapai seperempat dari cadangan
devisanya. Argentina berani menolak pembayaran hutang tersebut ketika telah
jatuh tempo (Suyatna, 2006:53).
Ekuador mendapatkan perubahan setelah Rafael Correa sebagai presiden
pada tahun 2006 yang merupakan sosok baru yang berkomitmen untuk
mereformasi neoliberal (Silva, 2009:189). Presiden Rafael Correa memutuskan
hubungan dengan IMF dan World Bank, juga menolak perjanjian perdagangan
51
bebas dengan AS dan mendukung kerjasama Ekonomi kawasan Amerika Latin.
(Silva, 2009:191)
Correa juga mengusulkan untuk renegoisasi kontrak perusahaan migas
negara dan perusahaan migas asing untuk dapat berinvestasi peningkatan
pendapatan devisa. Platform ini jelas tercermin dari dari kebijakan Venezuela dan
Bolivia. (Silva, 2009:191)
Kembalinya Daniel Ortega sebagai presiden Nikaragua pada tahun 2006
membawa dampak yang menguntungkan bagi pihak Sandinista merupakan
gerakan untuk melawan penjajahan dan penindasan yang dilakukan AS. Pertama-
tama, terjadi perpecahan di kalangan liberal berkaitan dengan persepsi partai-
partai liberal tentang intervensi terhadap mereka. Faksi-faksi di kubu liberal
awalnya saling berebutan pengaruh AS, lalu faksi yang kalah dalam rebutan justru
balik menyerang intervensi AS itu sendiri (Soyomukti, 2008:170).
Kemenangan Daniel Ortega dan Sandinista tak dapat dipisahkan dari
menguatnya efek domino di kawasan Amerika Latin yang semakin mengarah
secara kuat kepada jalan ekonomi-politik anti-neoliberalisme. Manifestasi
politiknya dapat diwujudkan dengan menjadikan AS sebagai musuh bersama di
kawasan tersebut (Soyomukti, 2008:186).
Hegemoni AS di Amerika Latin terlihat pada tahun 1985 sampai dengan
1990an dengan cara menerapkan reformasi ekonomi neoliberal, AS berupaya
membangun sebuah tatana baru secara menyeluruh seperti masyarakat berbasis
pasar bebas dengan adanya pasar bebas dapat memengaruhi bidang politik,
ekonomi, dan sosial.
52
Pada awalnya penerapan tersebut berjalan lancar keadaaan ekonomi di
Amerika Latin dapat dikontrol sepenuhnya oleh AS. Namun penerapan ekonomi
neoliberal difokuskan untuk melindungi kepentingan individu atau kelompok
tertentu dari kekuatan penuh terhadap pasar bebas menyebabkan meluasanya
pengguran di berbagai negara-negara Amerika Latin. Hal ini yang memicu adanya
protes untuk menentang hegemoni AS.
C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005
Sejak dekade 1970an Bolivia mengalami krisis yang sudah terbangun lama
yang diakibatkan oleh masalah yang kompleks yang melibatkan intervensi luas
dan kesalahan dalam mengurus negara dalam perekonomian, korupsi meluas, dan
ketidakstabilan politik (Grindle, 2003:323).
Hingga pada saat Bolivia mengalami ketidakstabilan disektor ekonomi dan
politik. Di mulai pada tahun 1964, ketika rezim junta militer melakukan kudeta
terhadap terhadap pemerintah revolusioner MNR yang menandai dimulainya era
ketidakstabilan dinamika politik di Bolivia (Farah:2010).
Semenjak saat itu hingga rentan waktu 18 tahun berikutnya Bolivia
dikendalikan oleh rezim pemerintah militer yang bersifat otoriter, korup, dan
brutal yang didukung oleh AS. Hal ini disebabkan oleh dinamika politik di
Bolivia pada era Junta militer yang dipimpin oleh Jendral Hugo Banzer Suarez
(1971 - 1978) dan Jendral Luis García Meza Tejada (Juli 1980 - Agustus 1981) di
Bolivia mengalami pelanggaran hak asasi manusia, perdagangan narkoba, dan
53
terjadi kesalahan pengelolaan ekonomi yang sangat parah di Bolivia
(http://www.usip.org/publications/truth-commission-bolivia).
Pada awalnya Jenderal Hugo Banzer memimpin, keadaan ekonomi Bolivia
mengalami pertumbuhan dengan cukup baik, hasil ekspor meningkat tiga kali
lipat antara tahun 1970-1974, hal ini didorong melalui produksi hasil
pertambangan migas dan sumber mentah lainya.
(http://countrystudies.us/bolivia/23.htm)
Keadaan ekonomi yang membaik tidak diimbangi dengan situasi politik
yang terjadi di Bolivia, dan ketika keadaan politik ini memburuk mata uang
Bolivia (peso) mengalami devaluasi mata uang. Pemerintah junta militer
mengambil peran dengan melakukan aksi brutal, di sisi lain masyarakat dan para
petani pribumi melakukan aksi pemblokiran jalan sebagi protes mereka ketika
harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan di tahun 1974.
(http://countrystudies.us/bolivia/23.htm)
Dimasa pemerintah Hugo Banzer peta politik di Bolivia mengalami krisis
ekonomi yang cukup tajam dari 500 juta Dolar Amerika ditahun 1971 meningkat
menjadi 2,5 Milyar di tahun 1978 (Kohl, 2006:51).
Krisis ini membawa Bolivia pada suatu sisi yang tidak menentu, terlebih
lagi ketika dunia internasional terutama negara-negara penghutang memberikan
tekanan kepada Hugo Banzer untuk meliberalisasi sistem politik dan memberikan
pengarahan agar Bolivia mengadakan pemilu, keterbukaan sistem politik dan
pemerintah politik merupakan syarat mutlak bagi pencairan pinjaman. (Kohl,
2006:51).
54
Pada perkembangannya Jendral Luis García Meza Tejada mundur secara
paksa dari kekuasaanya melalui pemberontakan militer pada tahun 1981. Selama
pemerintah junta militer di Bolivia dalam 14 bulan, menemui kegagalan untuk
mempertahankan kontrol atas ketidakstabilan politik dan ekonomi yang parah.
Militer akhirnya mengadakan Kongres untuk menunjuk Hernan Siles Zuazo
sebagai Presiden pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai
dimulainya era transisi demokrasi di Bolivia setelah 18 tahun lamanya berada
dalam kepemimpinan rezim militer. (http://www.usip.org/publications/truth-
commission-bolivia).
Setelah transisi demokrasi bergulir di Bolivia, pemerintah sipil pimpinan
Hernan Siles Suazo segera dihadapkan oleh tantangan sosial-ekonomi yang tidak
mudah untuk diselesaikan. Tantangan tersebut adalah jatuhnya perekonomian
Bolivia akibat krisis fiskal dan meningkatnya hutang luar negeri hingga mencapai
lima triliun Dolar Amerika yang merupakan warisan dari hasil korupsi dan salah
urus penyelenggaraan pemerintahaan pada masa rezim militer Jenderal Hugo
Banzer dan Luis Garcia Mezza (Morales, 2003:203).
Pada pertengahan tahun 1985, Bolivia mencapai laju inflasi paling tinggi
berkisar antara 14,000 hingga 25,000% (Morales:2003). Krisis ekonomi yang
mengguncang Bolivia tersebut menyebabakan deranya tuntutan agar Hernan Siles
Suazo mundur dari jabatannya sebagai presiden serta mempercepat pelaksanaan
pemilihan umum pada tahun 1985 (Cantellas, 1999:8).
Sampai tahun 1985 Bolivia mengalami krisis dibawah pemerintah baru
Presiden Paz Estenssoro, Estenssoro melakukan kebijakan reformasi
55
perekonomian untuk membuat suatu fondasi dasar perekonomian dengan
menerapkan ekonomi internasional terbuka untuk menjadikan Bolivia sebagai
pasar bebas (Grindle, 2003:323).
Pada perkembangannya pada tahun 1985 presiden Paz Estenssoro
memberikan kebijakan inovasi yang bisa memperbaiki perekonomian dalam
negeri dengan membuka pasar dengan menerapkan SAP dalam perekonomian
Bolivia. Di tahun yang sama kebijakan tersebut memecahkan masalah dari
perbaikan negara khususnya perekonomian (Grindle, 2003:323).
Penerapan neoliberal di Bolivia merupakan rekstrukturisasi perekonomian
Bolivia telah mencangkup tiga periode yang berbeda dimulai dengan 1985 yang
merupakan invasi pertama kali oleh AS melalui SAP yang berupaya untuk
menghentikan hiperinflasi. (Kohl, 2006:305)
Tahap kedua konsolidasi neoliberalisme dimulai dengan adopsi dari Plan
de Todos (rencana untuk semua) yang digagas oleh Gonzalo Sanchez de Lozada
(1993-1997) yang digunakan untuk menciptakan kembali negara melalui
privatisasi perusahaan terbesar milik negara dan desentralisasi 20% dari
pendapatan nasional untuk pemerintah kota. Tahap ketiga dimulai dengan
Cochabamba peristiwa perang air pada tahun 2000, titik balik dalam kemampuan
pemerintah untuk mengontrol penolakan publik neoliberalisme. (Kohl, 2006:305).
Ketidakstabilan keadaaan Politik yang terjadi di Bolivia menyebabkan
terjadinya krisis ekonomi pada saat pemerintahan Junta Militer. Krisis ini
membawa Bolivia pada suatu keadaan yang tidak menentu, terlebih lagi ketika AS
memberikan tekanan untuk segera mereformasi sistem politik dan ekonomi.
56
Hingga pada pemerintahan sipil yang menerapkan kebijakan ekonomi
neoliberal di Bolivia , kebijakan tersebut memecahkan masalah perekonomian di
Bolivia. Yang sebelumnya dipimpin oleh Junta Militer.
C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro
periode 1985-1989
Presiden Victor Paz Estenssoro terpilih menjadi presiden pada tanggal 29
Agustus 1985 melalui partai Moviemiento Nacional Revolucionario (MNR),
hanya berselang 25 hari setelah terpilih, Paz Estenssoro mengeluerkan Dekrit
Presiden 21060 yang berisikan kebijakan Nueva Politica Economica (NPE) yang
memperkenalkan program untuk mengahiri hiperinflasi dan mengambil pasar
bebas sebagai fondasi ekonomi seperti adanya devaluasi, liberalisasi, pembekuan
upah dan pengurangan sektor publik menjadi inti dari reformasi ini. (Grindle,
2003:323)
Tujuan jangka panjang dari adanya reformasi ini adalah untuk membuka
ekonomi dan perdaganan internasional.Pada fondasi dari paket kebijakan ini,
pemerintah memperkenalkan salah satu program darurat sosial awal yang
diinstrumentasi inisiatif yang inovatif dan cepat yang mencapai sekitar 1,2 juta
orang memikirkan penciptaan lapangan kerja. (Grindle, 2003)
sedangkan NPE dan program darurat sosial merupakan kebijakan inovasi
yang paling menonjol dari Pemerintah Paz Estenssoro, perubahan penting lainnya
juga diperkenalkan pada tahun yang sama bahwa paket ekonomi telah
diperkenalkan. Pemerintah Paz Estenssoro mengeluarkan dekrit yang lain
menangani masalah reformasi negara dengan memperkenalkan pengurangan
57
sektor publik, termasuk pengurangan beban di sektor perusahaan negara dan
serangkaian tindakan penghematan. (Grindle, 2003:323-324)
Pada tahun 1985 dan 1986, lapangan kerja di sektor publik turun 24.600
orang kehilangan pekerjaannya pada tahun 1987 lebih 8.550 orang telah
diberhentikan dan 1988 tenaga kerja sektor publik telah turun 17% dari tahun
1985. pada tahun 1987, perbankan, perdagangan luar negeri dan kebijakan
pinjaman luar negeri berpengaruh secara signifikan telah mengubah
perekonomian. Dua tahun kemudian Pemerintah Paz Estenssoro menagani protes
besar-besaran terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, Paz Estenssoro
mundur sebagai Presiden pada tahun 1989. (Grindle, 2003:323-324)
Paz Estenssoro merupakan presiden yang pertama kali menerpkan
kebijakan inovasi yang bisa memperbaiki perekonomia dalam negeri dengan cara
membuka pasar bebas dan menerapkan SAP dalam perekonomian Bolivia.
C.2 Hegemoni Amerika serikat Era Presiden Jaime Paz Zamora
periode 1989-1993
Jamie Paz Zamora menggantikan Paz Estenssoro pada tahun 1989.Dalam
waktu singkat masa pemerintahya berkomitmen untuk kebijakan NPE melalui
keputusan tertinggi 22407.Seperti pendahulunya,ia mengandalkan tahap
pengepungan untuk mengelola berkelanjutan berusaha untuk mendorong agenda
neoliberal lebih lanjut melalui privatisasi BUMN. (Grindle, 2003:323)
langkah pertama yang dilakukan Pemerintah Paz Zamora pada tahun 1990,
ia memperkenalkan kontrak kerja yang memungkinkan untuk restrukturisasi
negara perusahaan yang paling penting. Pada tahun 1991, pendapatan per kapita
58
turun sedikit sehingga pekerjaan sektor publik mulai tumbuh lagi. (Grindle,
2003:325)
Permasalahan ekonomi mulai mebuat pemerinatahan Paz Zamora mulai
goyah dikarenakan masalah kemajuan ekonomi pada tahun 1991 inflasi naik 21
%, defisit anggaran dan hutang negara semakin meningkat. pada tahun 1992
Pemerintah Paz Zamora merancang undang-undang memungkinkan penjualan lebih dari
100 (dari total 159) BUMN yang dimiliki. (Grindle, 2003:324)
Pada tahun 1993 Pemilu berlangung pemerintah Paz Zamora dihadapkan
kepada tuduhan korupsi dan kronisme dikarenakan ketidakmampuan untuuk
menyelesaikan masalah kemajuan ekonomi. (Grindle, 2003:325)
Presiden Paz Zamora tetap menjalankan kebijakan neoliberal sehingga
terjadinya infalsi, defisit anggaran, dan hutang negara semakin meningkat. Hal ini
yang menjadikan pemerintahan Paz Zamora tidak berjalan lama.
C.3 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 1993-1997
Pemilu 1993 memenangkan Gonzalo Sanchez de Lozada. Pada tahun 1994
Pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada memperkenalkan kebijakan baru di
Bolivia melalui undang-undang kapitalisasi inovatif yang telah disediakan untuk
penjualan 50% saham perusahaan pemerintah dalam pertukaran untuk alokasi
modal ke perusahaan-perusahaan pemerintah. saham untuk 50% sisanya
dibagikan kepada rakyat Bolivia dan hak karyawan dalam program pensiun baru.
(Grindle, 2003:325)
59
Selain kebijakan tersebut Bolivia dihadapkan dengan ancaman AS untuk
menahan bantuan asing dalam Pemerintah Gonzalo Sancez de Lozada pada awal
1994 mengintensifkan program pemberantasan koka dan militerisasi Bolivia
dalam The Zero Option program merenungkan total pemberantasan lahan
pertannian koka ilegal secara sukarela dengan kompensasi jika mungkin atau jika
perlu dengan kekuatan militer. (Silva, 2009:116)
Ditahun yang sama Presiden Gonzalo Sanhez de Lozada menerapkan
kebijakan Plan de Todos yang merupakan kebijakan yang berdasarkan bahwa
privatisasi akan menggerakan roda perekonomian untuk investasi dan
pertumbuhan ekonomi di Bolivia. (Gruel, 2003:177)
Perusahaan negara yang baru diprivatisasi membuat investasi modal dan
meningkatkan produktivitas termaksud perusahaan migas Yacimientos Petroleros
FiscalesBolivia (YPFB), mengurangi tenaga kerjanya hingga 2000-5000 YPFB,
dibagi menjadi empat perusahaan, juga meningkatkan produktivitas melalui
pengurangan tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru di perusahaan-
perusahaan privatisasi.Produksi secara keseluruhan meningkat tiga perusahaan
privatisasi dipisahkan dari YPFB pada tahun 1997. (Kohl, 2002:459)
Gonzalo Sanchez de Lozada pun berpendapat bahwa dengan kebijakan
yang dikeluarkan dalam menarik minat investor internasional akan meningkatkan
potensi pendapatan pajak secara tidak langsung dapat menggantikan biaya atau
pendapatan yang hilang dari penjualan perusahaan negara.
C.4 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Hugo Banzer Periode
1997-2000
60
Pada tahun 1997, mantan diktator Jenderal Hugo Banzer memenangkan
Pemilu dengan memperoleh 22,3 % suara. Hugo banzer merupakan pemerintah
yang keempat secara berturut-turut yang menerapkan kebijakan neoliberal. Hugo
Banzer menerapkan strategi ekonomi yang koheren, Banzer mendorong dua pilar
kebijakan: pengembangan usaha mikro dan pemberantasan koka. (Kohl,
2006:150)
Krisis ekonomi nasional yang terjadi, membutuhkan Hugo Banzer untuk
peningkatan bantuan asing karena hilangnya penerimaan pemasukan devisa dari
perusahaan migas negara diakibatkan penjualan perusahaan migas YPFB kepada
perusahaan multinasional. (Kohl, 2006:151)
Hal ini menyebabkan Menurunnya pendapatan yang diberikan oleh pajak
yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan yang baru diprivatisasi berarti bagi hasil
dana kurang dijadwalkan untuk kotamadya. Penurunan ini melambat investasi di
kotasebagian besar pedesaan, yang pada gilirannya memberikan kontribusi
semakin frustrasi masyarat dengan pemerintah pusat. (Kohl, 2006:151)
Sebagai latar belakang militer,Hugo Banzer itu pemerintahnya cenderung
mengganalkan kekerasan untuk menghasilkan persetujuan, hal ini sering
terjadinya kekerasan dalam pemberantasan program koka, yang dikenal sebagai
Zero Coca. Kebijakan ini menjadika konflik intensitas rendah, diarahkan pada
sekitar 45.000 keluarga petani koka tinggal di Chapare, dataran rendah timur
subtropis dari kota Cochabamba. (Kohl, 2006:151)
Para petani koka telah berhasil menolak upaya sebelumnya di serangan
militer tetapi, meskipun konfrontasi terus-menerus, tidak bisa memaksa
61
pemerintah Hugo Banzer untuk mundur. Pada perkembangannya represi
membawa pelanggaran HAM yang meluas dan pemberantasan paksa dengan
sukses hampir menghancurkan perekonomian daerah Cochabamba dansecara
menyeluruh hingga ke seluruh negeri. (Kohl, 2006:151)
Naiknya Presiden Hugo Banzer jilid dua menjadikan Bolivia tetap
menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal dan yang paling menonjol dalam
pemerintahan ini adalah pemberantasan ladang koka yang iringi oleh adanya
pelangaran HAM yang menyebabkan adanya bentrokan antara Pasukan keamanan
dengan petani koka. Presiden Hugo Banzer turun karena alasan kesehatan
C.5 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jorge Quiroga Ramirez
Periode 2001-2002
Presiden Jorge Quiroga Ramirez merupakan presiden Bolivia periode
2001-2002 yang menjadi presiden setelah pengunduran diri Presiden Hugo Banzer
dikarenakan masalah kesehatan pada usia 41, sebelumnya Qurioga pernah
menjadi wakil presiden pada tahun 1997 yang merupakan wakil presiden termuda
dalam sejarah pemerintah Bolivia.
(http://www.tamiu.edu/newsinfo/newsarticles/2011KeynoteSpeaker100611.shtml)
Pemerintahnya ditandai dengan upaya untuk menghapus koka sebagai
tanaman yang memiliki kegunaan tradisional di Andes akan tetapi merupakan
bahan baku untuk pembuatan kokain. Presiden Jorge Quiroga Ramirez telah
menyerukan zero coca, yang merupakan kebijakan dan tindakan keras pada
hambatan yang menentang kebijakannya hingga terjadinya protes.
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4532866.stm)
62
Dia mengatakan ia ingin menciptakan lebih banyak pekerjaan dengan
membangun sektor produktif dan memperluas lingkup perjanjian perdagangan
bebas. Pada perkembangannya hanya menyentuh kalangan menengah atas dan
tidak dapat tersentuh kepada masyarakat bawah yang mayoritas kalangan bawah
dan tidak pernah memahami masalah nyata mereka.
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4532866.stm)
Presiden Jorge Quiroga Ramirez menjabat sebagi presiden dengan masa
jabatan yang sangat singkat dikarenakan menjadikan Bolivia sebagai pasar bebas
yang membuat keuntungan hanya kalangan atas dan tidak mengarah kepada
masyarakat kelas bawah ditambah dengan adanya kebijakan zero coca yang
membuat penduduk asli kehilangan mata pencahariannya.
B.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Shancez de
Lozada Periode 2002-2003
Pemerintah kedua Sánchez de Lozada segera menghadapi ketegangan
sosial meningkat. Insiden besar pertama terjadi pada Februari 2003 ketika polisi
memberontak terhadap ukuran pajak penghasilan sangat tidak populer (Grugel,
2009:122).
Kebijakan itu dengan ditarik, namun sentimen rakyat melawan
Pemerintah tetap tinggi. Kemudian, ditengah meningkatnya ketegangan yang
terjadi di masyarakat terjandinya Perang Gas (gas war), menghubungkan dengan
cepat serangkaian gerakan protes dan isu-isu untuk bersatu di belakang bendera
nasionalis kembali industri migas yang telah diprivatisasi pada tahun 1996
(Grugel, 2009:122).
63
Pemerintah terpaksa kekerasan dan dalam hitungan minggu korban tewas
mencapai lebih dari tujuh puluh. Hal ini menyebabkan massa populer naik
terhadap Sánchez de Lozada yang melarikan diri dari La Paz pada tanggal 17
Oktober 2003. Agenda protes Oktober tetap pada empat tuntutan utama:
permintaan untuk menasionalisasi perusahaan migas milik negara, penolakan
terhadap Perjanjian Perdagangan Bebas, pembalikan garis warga tindakan
keamanan keras yang baru saja disahkan pada kongres, dan pengunduran diri
presiden (Grugel, 2009:122).
Naiknya presiden Gonzalo Sanchez de Lozada tidak banyak memberikan
perubahan kepada perekonomian di Bolivia malah menjadikannya semakin
terpuruk dengan menerapkan kembali ekonomi neoliberal.
B.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Carlos Mesa Periode
2003-2005
Kenaikan Carlos Mesa sebagai presiden menggantikan Gonzalo Shachez
de Lozada seolah membuka harapan baru terhadap perubahan sosial politik di
negaranya yang telah lama dilanda oligarki elit, perpecahan sosial serta
kemiskinan akibat adanya intervensi kebujakan ekonomi neoliberal AS melalui
IMF. Setelah menduduki jabatan presiden, Carlos Mesa berjanji memenuhi
tuntutan-tuntutan dari gerakan sosial di Bolivia. (Kohl, 2009:71)
Akan tetapi dukungan dan kepercayaan yang diberikan bagi Carlos Mesa
ternyata tidak diiku dengan realisasi janji-janjinya terhadap tuntutan dari gerakan-
gerakan sosial. Carlos Mesa tidak berani mengambil tindakan tegas untuk
64
menasionalisasi untuk menasionalisasi atau setidaknya memperbesar keuntungan
negara dari produksi sumber daya alam yaitu gas. (Kohl, 2009:71)
Atas pertimbanganya kebijakan nasionalisasi gas hanya membuat investor
asing enggan menanamkan modal di Bolivia, akhirnya Pemerintah Carlos Mesa
lebih memilih untuk meneruskan pola lama kebijakan ekonomi neoliberal atas
saran AS melalui IMF. Dalam salah satu pidatonya di tahun 2005 beberapa bulan
menjelang pengunduran dirinya sebagai presiden. (Kohl, 2009:71)
Carlos Mesa menyatakan: “Saya ingin menekankan bahwa undang-undang
terkait dengan kebijakan nasionalisasi hidrokarbon merupakan suatu hal yang
mustahil. Komunitas internasional tidak akan dapat menerima Undang-Undang ini
dan hanya akan membuat perusahaan-perusahaan minyak dan gas dari negara-
negara lain tidak mau menjalankan perjanjian kontrak karya di Bolivia. Apakah
ini keputusan adil atau tidak, hal ini bias menjadi tema diskusi dan perdebatan
bagi kita semua. Namun satu hal yang pasti bahwa kita tidak mampu melepaskan
diri dari tekanan negara-negara lain dan komunitas internasional : Brazil menekan
kita, Spanyol menekan kita, Bahkan World Bank menekan kita, AS, IMF, Inggris
dan komunitas negara-negara lainya ikut menekan kita. Kepada seluruh
masyarakat Bolivia saya tegaskan, terimalah Undang-Undang yang dapat
dijalankan dan juga dapat diterima oleh komunitas internasional”. (Kohl, 2009:71)
Ketidakmampuan Carlos Mesa merealisasikan janji-janji perubahan yang
diusungnya kembali menimbulkan protes yang besar dari gerakan sosial dan
sebagian besar masyarakat Bolivia mengadakan demonstrasi besar-besaran di
65
wilayah-wilayah Bolivaia termaksuk ibu kota La Paz menuntut Presiden Carlos
Mesa Mundur. Carlos Mesa mundur pada bulan Juni 2005.
Kemudian digantikan sementara oleh Eduardo Rodriguez sebagai ketua
Mahkamah Agung Bolivia dilantik sebagai presiden sementara untuk mengisisi
kekosongan kekuasaan. Eduardo Rodriguez melakukan tindakan pertamanya
adalah mempercepat jalanya Pemilihan Umum Bolivia yang akan diselenggarakan
pada Bulan Desember 2005 yang seharusnya dilakukan pada tahun 2007.
66
BAB IV
KEBIJAKAN BOLIVIA DALAM MENGHADAPI HEGEMONI
AMERIKA SERIKAT 2005-2009
Setelah membahas dinamika kebijakan presiden sebelum Evo Morales
dalam menghadapi hegemoni AS di Bolivia. Pada bab ini merupakan analisa dari
kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisasi koka di Bolivia dalam menghadapi
hegemoni AS periode 2005-2009. Analisa yang dilakukan untuk menjawab
penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu Mengapa Bolivia merestrukturisasi
perekonomiannya melalui kebijakan nasionalisasi minyak dan gas (migas) serta
legalisasi koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009.
Dalam rangka mereskstrurisasi perekonomian Bolivia, Pemerintah Bolivia
menjalankanya sebagai sebuah kepentingan nasional dan dalam rangka
mengamankan sumber daya alam khusunya minyak dari eksploitasi dari korporasi
asing di bawah AS yang dinilai selama ini merugikan rakyat pribumi Bolivia dan
Legalisasi koka untuk menghidupkan kembali ekonomi rakyat dan
mengembalikan lading koka milik rakyat pribumi Bolivia.
Dalam hal ini Bolivia mengimplementasiskan sebuah kebijakan. Ketika
kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisasi koka mempunyai posisi strategis
dan signifikan dalam mensejahterakan rakyat Bolivia khususnya pribumi yang
semala ini hidup dalam isolasi, maka segala kebijkan memiliki beberapa faktor
yang menentukan.
67
Dalam bab ini dibahas nasionalisasi minyak dan legalisasi koka yang
memang diarahkan untuk mencapai sebuah kepentingan nasional, termaksuk
faktor-faktor yang turut menentukan kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisasi
koka di Bolivia dalam menghadapi hegemoni AS.
A. Faktor Internal
A.1. Kesenjangan Sosial
Keadaan di Bolivia semakin buruk dengan kebijakan berkarakteristik
neoliberal yang dilaksanakan oleh ketiga partai utama di Bolivia, ketiga partai
tersebut diantaranya MNR, MIR, dan ADN. Ketiga partai tersebut memiliki
karakteristik yang sama yaitu menerapkan praktek klientelisme dan patronase
politik, peningkatan kaum tehnokrat, kebijakan yang bersifat dari atas kebawah
(top-down), dan mengikuti agenda kebijakan berkarakteristik neoliberal dari agen-
agen internasional khususnya AS (Irahola, 2005:65).
Partai-partai tersebut juga mencerminkan buruknya partai-partai politik di
Bolivia karena tetap mempertahankan bentuk pemerintah yang vertikal,
sentralistik dan berbagai praktik klientelisme oleh pemimpin-pemimpin yang
berusaha mencegah perbaikan internal. (Irahola, 2005:66)
Keadaan Bolivia semakin diperparah dengan adanya praktik oligarki partai
politik dan buruknya representasi demokrasi bagi warga negara Bolivia khususnya
penduduk asli (indigenous) dan diperparah dengan kebijakan neoliberal yang
dilaksanakan oleh ketiga partai tersebut sejak tahun 1985 hingga tahun 2005.
(Petras, 2005:183).
68
Bolivia melakukan kebijakan ekonomi radikal yang dikenal dengan New
Economic Policy (NEP) yang berdasarkan saran AS dan lembaga keuangan
internasional seperti World Bank dan IMF . kebijakan tersebut diantaranya (1)
kebijakan devaluasi yang sangat tajam mengikuti dengan adopsi yang lebih
realistik terhadap laju pertukaran barang dan jasa, (2) Liberalisasi perusahaan
negara ke tangan pihak swasta dan kebijakan modal lepas luar negeri, (4)
penutupan tambang dan pengurangan subsidi pemerintah di bidang sektor
pelayanan publik, tenaga kerja, dan program sosial, (5) pengurangan secara
signifikan terhadap pengeluaran pemerintah begitu juga dengan konsumsi pribadi
dan publik. (Petras, 2005:183)
Perubahan kebijakan yang dilakukuan dan diterapkan pada tahun 1985
yang ditujukan untuk menekan inflasi berhasil menekan laju inflasi yang semakin
meningkat. Pada tahun 1987 program yang dimaksudkan untuk menstabilisasikan
pertumbuhan perekonomian dinilai sangat positif setelah dua tahun program NPE
berjalan, akan tetapi dampak sosial yang diakibatkan program ini memberikan
pengaruh yang buruk kepada petani.
(http:/www.tradewatch.org/documents/Bolivia_(PDF).PDF)
Program NPE mendapatkan berbagai masalah baru bahkan dalam hal
penerapanya menghadirkan hal penerapanya menghadirkan berbagai
permasalahan yang membuat masyarakat berada dalam posisi yang kritis dan
tidak menentu.
69
A.2. Gerakan Sosial Menuju Perubahan
Partai MAS mulai berupaya untuk meluaskan basis perjuangan mereka.
MAS tidak lagi hanya berupaya untuk memperjuangkan nasib para petani koka
(Cocaleros) penduduk asli melainkan juga membentuk proses demokratisasi,
pemenuhan hak-hak kelompok penduduk asli hingga kritik terhadap kebijakan
berkarakteristik neoliberalisme (Fuentes).
MAS dan Cocaleros (sebagai basis massanya) tersebut ikut didukung oleh
kondisi sosial politik di Bolivia yang ditandai dengan krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah Bolivia. Berbagai protes dan tuntutan dari
masyarakat dan gerakan-gerakan sosial terhadap pemerintah Bolivia yang
menerapkan kebijakan pemberantasan budidaya tanaman koka serta kebijkan
ekonomi berkarakteristik neoliberal seperti privatisasi perusahaan milik negara
(Fuentes).
Salah satu wujud perana MAS dan Cocaleros mengatur peranan mobilisasi
kolektif dalam menuntut perubahan terhadap pemerintah Bolivia terlihat dalam
kasus privatisasi air yang dikenal istilah water wardi wilayah Cochabamba pada
tahun 2000. Kasus Privatisasi air ini dipicu oleh kebijakan pemerintah Bolivia
lewat penjualan air minum negara atas desakan Bank Dunia dan IMF ketangan
Aguas del Turnari atau konsorium perusahaan swasta yang dipimpin oleh Bechtel
yaitu perusahaan swasta yang berasal dari AS (Kohl,2006:4).
Masyarakat Cochabamba menghadapi kebijakan privatisasi air tersebut
dengan mendirikan The Commite to Defend Water and Life (Coordinora), sebagai
upaya untuk protes terhadap terhadap kebijakan privatisasi air.Masyarakat
70
Cochambamba dibantu oleh Cocaleros dalam melakukan berbagai protes terhadap
kebijakan air melalui blokade jalan raya di wilayah Cochabamba (Kohl, 2006).
Pemerintah Bolivia merespon protes yang dilakukan oleh Coordinora dan
Cocaleros tersebut dengan mengerahkan pasukan bersenjata dan berhasil
membubarkan demonstran pada tanggal 8 April 2000. Akibat desakan yang kuat
dari gerakan-gerakan sosial tersebut, pemerintah Bolivia akhirnya membatalkan
kontrak karya perusahaan air di Cochabamba dengan perusahaan Bechtel (Kohl,
2006).
Dengan adanya kemenangan gerakan sosial dalam kasus privatisasi air di
Cochabamba, Cocaleros dibawah pimpina Evo Morales semakin meningkatkan
tekan terhadap pemerintah Bolivia. Dalam tuntutan mereka mengakhiri kebijakan
pemusnahan budidaya koka serta pembangunan yang lebih baik di wilayah
Chapare, Cocaleros mengajak kalangan kelas menengah seberti serikat guru
(Teacher Union) baik dari wilayah pedesaan dan juga perkotaan Bolivia
menggerakan berbagai demonstrasi pada bulan September 2000 (Kohl, 2006).
Memasuki tahun 2001 demonstrasi Cocaleros dan gerakan-gerakan sosial
lainnya yang di gerakan oleh masyarkat Bolivia semakin meluas dan
menggerakan long march yang dimulai dari berbagai provinsi di Bolivia dan
berakhir di Ibu kota La Paz. Mereka menuntut diakhirinya militerisasi di wilayah
Chapare (basis dari Cocaleros), pendistribusian tahan kepada petani dan juga
pembatalan Law 1008 (UU tentang pemusnahan budidaya tanaman koka) dan
Degree 2160 (UU privatisasi di Bolivia). (Oliviera, 2004:62)
71
Maraknya berbagai gerakan sosial yang dilakukan Cocaleros terhadap
pemerintah Bolivia yang dipimpin oleh Evo Morales yang merupakan anggota
kongres terpilih dari provinsi Chapare yang dikeluarkan dari keanggotaan kongres
Bolivia. Dikeluarkanya Evo Morales justru menngundang simpati dari sebagian
sebagian masyarakat Bolivia terhadap pejuangan Cocaleros yang berani
menghadapi intervensi AS di Bolivia. (Van Cott, 2005:766)
Gerakan sosial ini merupakan perlawanan masyarakat pribumi Bolivia
untuk menentang kebijakan ekonomi neoliberal yang terjadi di Bolivia, dengan
adanya gerakan tersebut masyarakat pribumi Bolivia menuntut adanya perubahan
yang menjadikan kesejahteraan yang merata, dengan adanya kebijakan neoliberal
tersebut menjadikan pemerataan kesejahteraan tidak terjadi di karenakan hanya
kepentingan individu dan kelompok tertentu yang meraskan kesejahteraan
tersebut.
A.3. Suksesi Naiknya Evo Morales ke Puncak Kekuasaan
Pada tanggal 18 Desember 2005 merupakan rekor terbesar dalam sejarah
Pemilihan umum di Bolivia dari 85% dari pemilih Bolivia dianggap sebagai
pemilihan umum yang dianggap bebas dan adil. Evo Morales dengan partai MAS
meraih kemenangan meyakinkan dalam pemilihan presiden dengan 54% suara
yang diberikan berbanding dengan 29% untuk mantan presiden Jorge Quiroga,
mewakili Partai Poder Democrático Social (Podemos). (Ribando, 2007:5)
Hal ini menandakan babak baru bersejarah dalam sejarah politik Bolivia
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade calon presiden.Evo Morales
72
merupakan seorang petani pribumi yang tetap memimpin serikat petani koka
(Cocaleros). Evo Morales mewarisi keadaan Bolivia yang hidup dibawah garis
kemiskinan dan kekecewaan mendalam yang dihasilkan dari kebijakan yang
dilakukan oleh partai-partai politik tradisional (Farah, 2009:10).
Dengan adanya Gerakan sosial yang digerakan oleh masyakat pribumi
Bolivia menarik simpati rakyat untuk mengangkat pemimpin dari kalangan
mereka sendiri untuk mensejahterakan dan membuka lapangan pekerjaan yang
lebih meluas. Masyarakat pribumi Bolivia mengharapkan perubahan kepada
pemerintah Bolivia yang baru.
A.4. Kebijakan Bolivia dalam Nasionalisasi Minyak dan Gas
Pada saat Presiden terpilih Evo Morales mengumumkan kepada masyarakat
Bolivia bahwa "el gas esnuestro" (gas adalah milik kita). Dalam sebuah langkah yang
tampaknya membalas pergeseran pasar bebas yang banyak terjadi di Amerika Latin
mengambil alih 25 tahun terakhir, Morales berjanji untuk menasionalisasi sektor
hidrokarbon Bolivia (Kaup:22).
Bentuk dari nasionalisasi dan implikasinya bagi investor transnasional
secara radikal berbeda dari nasionalisasi yang menyapu wilayah dan sektor migas
global dan pada abad 20. Tertanam dalam ekonomi neoliberal, tergantung pada
mitra dagang regional, dan terikat pada tuntutan gerakan sosial Bolivia, Morales
mengajukan"nasionalisasi tanpa pengambilalihan" (Kaup:22).
Nasionalisasi yang dilakukan Bolivia berbeda dengan nasionalisasi pada
umumnya. Di Bolivia, dekrit nasionalisasi tidak mengarah pada pengambilalihan
aset negara. Sebaliknya, pemerintah hanya menuntut pajak yang lebih tinggi,
73
renegosiasi kontrak, dan pembangunan kembali perusahaan mingas negara.
(Kusno, 2012)
Ketentuan baru mengharuskan kenaikan royalti 18% ditambah dengan
pajak 32%. Untuk gas alam, yang menghasilan 100 juta kaki kubik perhari, terjadi
kenaikan pajak 32%. Selain itu, renegosiasi kontrak juga berlangsung terhadap 44
kontrak pertambangan. Proses renegosiasi hanya memakan waktu enam bulan
(Kaup:22).
Di bawah aturan baru, perusahaan migas Bolivia, YPFB mulai diberi
kepemilikan separuh saham di perusahaan-perusahaan asing. Memang, Bolivia tak
sepenuhnya menendang keluar investor asing. Sebaliknya, Evo Morales bilang,
“Bolivia menginginkan Mitra, bukan Tuan.” (Kaup:22)
Alhasil, langkah yang dilakukan Evo Morales itu membawa berkah bagi
rakyat Bolivia. Pendapatan migas Bolivia naik dari 173 juta dollar AS pada tahun
2002 (sebelum Evo Morales berkuasa) menjadi 1,57 milyar dollar AS pada tahun
2007. Sebagian besar keuntungan itu didistribusikan untuk pendidikan, kesehatan,
penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur. (Kaup:22)
Pada saat Evo morales terpilih menjadi Presiden, beberapa bulan setelah
terpilih Evo Morales langsung mengadakan nasionalisasi minyak dengan
renegosisasi kontrak terhadap perusahaan asing untuk mendapatkan devisa negara
yang bertujuan untuk mensejahterkan rakyat
74
A.5. Kebijakan Bolivia dalam Melegalisasikan Koka
Pada tahun 2002, tanaman koka mulai muncul menjadi simbol semangat
perlawanan masyarakat terhadap status quo (keberlangsungan pemerintah oligarki
partai politik tradisional). Hal ini didasarkan oleh tiga alasan utama, diantaranya
pertama Tanaman koka sebagai simbol perlawanan parapetani koka penduduk asli
akibat pemusnahan budidaya tanaman koka (Olivera, 2004:63).
Kedua Simbolisme perlawanan lewat tanaman koka juga
merepresentasikan perlawanan kelas buruh yang terkena imbas kebijakan
berkarakteristik neoliberal lewat privatisasi perusahaan milik negara yang
membuat mereka kehilangan pekerjaannya sehingga beralih profesi sebagai petani
koka untuk bertahan hidup (Olivera, 2004:63).
Ketiga Tanaman koka merupakan simbolisasi ketidakberdayaan
masyarakat asli untuk mendapatkan hak-hak kebutuhan dasaryang layak dalam
kehidupan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, tanaman ini sekaligus
merepresentasikan perlawanan dari komponen masyarakat Bolivia lainya terhadap
kebijakan privatisasi aset-aset milik publik yang merupakan kebutuhan dasar bagi
setiap manusia (Olivera, 2004:63).
Dengan adanya program pemusnahan koka di Bolivia di wilayah Chapare,
program tersebut mendapatkan tantangan dan perlawanan dari para Cocaleros.
Bagi penduduk asli Bolivia, koka memiliki nilai tradisional yang tinggi. Koka
digunakan dalam upacara adat dan pengobatan di Bolivia. Bagi masyarakat
miskin koka mentah dapat menghilangkan rasa lapar (Suyatna, 2007:19).
75
Hingga perkembangannya pada tahun 2005, Evo Mengeluarkan
pernyataan “Cocain No, Coca yes” (kokain tidak, koka ya) merupakan kebijakan
yang bertujuan untuk (1) mengenalkan bagian positif dari koka, (2) membuka
industri koka untuk kegunaan yang sah, (3) memperpanjang rasionalisasi koka di
wilayah Chapare dan memperpanjang di wilayah lain hingga ke Yungas, dan (4)
melarang peredaran koka dan obat terlarang disemua tahapan produksi (Ribando,
2007:12)
Pada tahun 2006 Pemerintah Bolivia membuka dua pabrik pengolahan
koka dan berdasarkan hukum Bolivia area seluas 12.000 hektar di Yungas
diizinkan untuk digunakan sebagai lahan pertanian koka. (Suyatna, 2007:21)
Sebelumnya pada tahun 1980an Pemerintah Bolivia secara berturut-turu
mendapatkan bantuan luar negeri dari AS untuk mencoba berbagai staretegi untuk
memerangi produksi koka yang dianggap terlarang, hingga perkembanganya pada
tahun 1988 Pemerintah Bolivia mengeluarkan Undang-Undang kriminalisasi koka
untuk memberantas 12.000 hektar ladang koka di wilayah Yungas yang
merupakan wilayah tradisional Cocaleros untuk memenuhi kebutuhan negara atas
koka. (Ribando, 2007:12)
Pada tahun 1990, Pemerintah Bolivia mencoba menerapkan hukum
pengendalian obat dengan cara membayar koka petani dan membasmi tanaman
mereka. Hingga pada masa Pemerintah Hugo Banzer (1997-2002) menerapkan
program pemberantasan koka secara paksa yang fokusnya di wilayah Chapare
(Ribando, 2007:13).
76
Program tesebut berhasil mengendalikan pertumbuhan tanaman koka akan
tetapi pelanggaran HAM dilakukan pasukan keamanan selama pelaksanaanya.
Selain itu Pemerintah gagal menerapkan alternatif program pembangunan untuk
manfaat petani koka dan keluarganya, pemberantasan paksa menyebabkan
kesulitan Ekonomi di daerah Chapare dan sering terjadi bentrokan antara petani
koka dengan pasukan keamanan dan menjadikan ketidakstabilan di wilayah dan
negara secara keseluruhan. (Ribando, 2007:13-14)
Dengan mengkonsumsi koka bagi Cocaleros dapat bertahan lama
sepanjang hari dan stamina mereka akan lebih kuat setelah mengkonsumsi
tanaman tersebut. Mayoritas masyarakat Bolivia bergantung terhadap penanaman
koka sebagai sumber penghasilan utama. (Suyatna, 2007)
Sebagai catatan penting koka ternyata tidak hanya digunakan sebagai
komoditas pertanian andalan yang digunakan oleh para petani di wilayah Chapare
saja.Tanaman koka bukan merupakan tanaman yang memberikan keuntungan
semata melainkan tanaman ini merepresentasikan simbol cultural terutama bagi
masyarakat indigenous di Bolivia. (Dangl, 2007:37)
Disamping itu tanaman koka juga digunakan sebagai bahan baku
pembutan obat anastesi, sirup, anggur, permen karet, pasta gigi dan minuman
berkarbonasi. (Dangl, 2007:37)
Bagi Pemerintah Bolivia membangun ekonomi rakyat harunya dimulai
dari potensi yang dimiliki oleh rakyat dan bukan memberantas. Oleh sebab itu
koka sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Bolivia dan pemerintah
77
Bolivia berkomitmen untuk terus melegalkan koka meskipun harus melawan AS
yang selalu gencar untuk melakukan kampanye perang terhadap narkoba.
B. Faktor Eksternal
B.1. Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
Sejak tahun 1980-an kawasan Amerika Latin memiliki perasaan anti-AS
yang berkaitan dengan adanya proyek neoliberalisme yang merupakan dukungan
AS melalui World Bank, IMF serta organisasi-organisasi finansial internasional
lainya. (Rossi, 1980:56-57 dalam Subono, 2006:70)
Proyek ekonomi yang dijalankan dikenal dengan sebutan neoliberalisme,
merupakan Washington Consensus, ternyata dalam perkembangannya tidak hanya
mengubah nasib rakyat Amerika Latin. (Williamson, 1990:20)
Pada awalnya, masyarakat memang memiliki harapan besar terhadap
dampak keuntungan yang dari proyek trasformasi ekonomi (pasar bebas) ini.
Akan tetapi selama berjalan lebih dari 20 tahun, negara-negara Amerika Latin,
terutama masyarakatnya mengalami kekecewaan dari adanya proyek tersebut.
(Subono, 72:2006)
Hal ini berkaitan dengan tidak berkaitan dengan kinerja ekonomi
neoliberalisme yang tidak sesuai dengan janji yang dicanangkan. Seperti yang
diketahui bahwa kebijakan ekonomi neoliberal yang dijalankan, atas dasar
Washington Consesus merupakan pembangunan yang di pegang oleh modal asing,
ditarik oleh privatisasi di sektor industri dan sumber daya alam, liberalisasi impor,
tingkat suku bunga yang tinggi, pengetatan fiskal, dan pematokan mata uang.
(Subono, 2006)
78
Pada awal penerapanya hingga akhir 1980-an dan awal 1990an, krisis
mulai muncul kepermukaan. Impor mengalami sentakan pada saat biaya tarif
dipotong, nilai mata unag yang tinggi menyulitkan ekspor, defisit neraca
pembayaran dan peningkatan pembayaran hutang luar negeri.Hal ini
menyebabkan resesi, pengangguran dan ketidakmerataan yang semakin
memburuk. (Subono, 2006)
B.2. Pembentukan Lembaga-lembaga Regional di Amerika Latin
Negara-negara Amerika Latin khususnya Venezuela bersama Kuba dan
Bolivia terus-menerus mengonsolidasikan potensi perlawanan mereka terhadap
hegemoni proyek ekonomi neoliberalisme. Salah satunya kemenangan Mar del
Plata, Argentina.Ketika itu mereka menolak keberlanjutan Free Trade Agreement
of the Americas (FTAA) yang disponsori AS sekaligus mendeklarasikan
pembentukan ALBA sebagai bentuk kerjasama regional alternatif Amerika Latin
diluar hegemoni AS. (Hariss, 2006 dalam Subono 2010)
Dengan terbentuknya kerjasama kawasan di bidang ekonomi menjadikan
kawasan Amerika Latin bebas dari pengaruh neoliberal AS melalui IMF dengan
terbentuknya ALBA kerjasama yang dilakukan dengan azas kebersamaan dan
saling tolong-menolong dalam hal bantuan ekonomi.
C. Dampak Kebijakan Nasionalisasi Bolivia Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Domestik
Dampak yang terjadi setelah adanya nasionalisasi minyak dan legalisasi
koka menunjukan adanya peningkatan di sektor ekonomi khususnya pendapatan
negara atau GDP, hal ini di tunjukan seperti grafik yang tertera di bawah ini:
79
Sumber: http://www.tradingeconomics.com/bolivia/gdp-per-capita-ppp
Dari hasil yang terjadi pada grafik ini menunjukan adanya peningkatan
pendapatan tepatnya ketika Evo Morales menjabat sebagai presiden di tahun
2006 yang mengeluarkan kebijkan nasionalisasi minyak yang menerapkan
negosiasi ulang berdasarkan kontrak baru 80% untuk negara dan 20% untuk
investor asing, dengan adanya kebijkan tersebut maka berdampak kepada
pendapatan negara dan peningkatan GDP.
Selain Minyak ditahun yang sama Bolivia melegalisasikan koka dengan
tujuan menjaga tradisi turun-temurun dan membuka lapangan pekerjaan yang
sebagian besar masyarakat Bolivia bekerja sebagai petani koka (Cocaleros)
dengan dibukanya kembali ladang koka di Chapare hingga Yungas menjadi
peningkatan GDP, selain itu Venezuela juga membantu Bolivia dalam pengelolan
koka dengan membuka pabrik di Venezuela dan menjadikan Venezuela sebagai
pasar koka.
Dengan meningkatnya GDP Bolivia dari tahun ketahun memberikan
indikasi bahwa penerapan ekonomi neoliberal tidak selamanya efektif untuk
80
mereformasi perekonomian suatu negara yang sedang mengalami krisis dengan
adanya penerapan ekonomi neoliberal tidak adanya pemerataan dalam
pemebagian keuntungan dan mengurangi peran negara.
Dengan adanya nasionalisasi ekonomi ini Bolivia dapat mengatur
penerima negara dan pemerataan pembagian keuntungan menjadikan masyarakat
Bolivia hidup sejahtera.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan melegalisasi koka
untuk tujuan mensejahterakan masyarakat Bolivia khususnya penduduk asli harus
terus dikembangkan. Hal ini harus diperjuangkan oleh Bolivia. Sebagai bagian
dalam merekstruturisasi perekonomian dan mensejahterakan masyarakat Bolivia,
upaya penduduk asli memiliki posisi penting dalam kepentingan nasional Bolivia
yang harus diupayakan untuk menjamin kebutuhan ekonomi dalam negerinya.
Demikian pula dengan kepentingan nasional Bolivia. Maka hal tersebut
menjadi masuk akal ketika pemerintah Bolivia tetap memperjuangkan
nasionalisasi minyak dan legalisasi koka untuk kebutuhan masyarakat Bolivia.
Pada dasarnya, tiap-tiap negara akan melandaskan keputusan dan kebijakannya
pada kepentingan nasional, termaksuk state survival.
Upaya yang dilakukan Pemerintahan Bolivia ini dapat dipahami sebagai
upaya strategis pemerintah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Kebijakan
Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan legalisasi koka tersebut dipengaruhi
dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terdiri dari karakteristik geografis yang
berkaitan dengan sumber daya alam dan kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini,
82
sumber daya alamlah yang menjadi faktor internal dalam memengaruhi kebijakan
dalam Bolivia menasionalisasi minyak dan legalisasi koka.
Melihat persediaan minyak dan gas yang sifatnya tidak dapat diperbaruhi
karena suatu saat akan habis yang terus-menerus dieksploitasi oleh AS lebih
banyak merugikan melalui keberadaan IMF penerapan ekonomi Neoliberal yang
lebih banyak memberikan keuntungan kepada negara kaya yang mengeksploitasi
sumber daya alam negara berkembang lewat Neoliberalisasi ekonomi dan
privatisasi.
Hal ini mengalami ketimpangan dalam pembagian keutungan yang tidak
merata. Akibatnya memperlebar kesenjangan sosial dan kemiskinan. Oleh karena
itu pemerintah Bolivia perlu menasionalisasi mingasnya guna memenuhi
kebutuhan migas dalam negeri dan demi mensejahterakan rakyat.
Sejalan dengan nasionalisasi migas, pemerintah Bolivia juga
melegalisasikan koka sebagai pemenuhan ekonomi masyarkat Bolivia yang
sebagian besar bermata pencarian sebagai petani koka di wilayah Chapare. Jika
pemerintah sebelumnya telah pemberantasan ladang koka yang menyebabkan para
petani kehilangan mata pencariannya. Presiden Evo Morales justru menghidupkan
kembali ladang koka. Koka merupakan tanaman asli Bolivia yang sudah
berlangsung lebih dari 1000 tahun.
Dengan demikian, setelah menelaah program nasionalisasi minyak dan
legalisasi koka yang dilakukan oleh pemerintah Bolivia maka dapat dipahami
bahwa program tersebut adalah kepentingan nasional yang memiliki arti strategis
bagi Bolivia sebagai upaya mensejahterakan rakyat serta menjaga minyak Bolivia
83
dari eksploitasi dan memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Hal ini menjadi
sebuah instrumen penting dalam upaya pembangunan dan perkembangan Bolivia
untuk jangka panjang.
Keinginan suatu negara Bolivia untuk mewujudkan kepentingan
nasionalnya ini kemudian diimplementasikan ke dalam sebuah kebijakan luar
negeri. Hal ini terkait dengan yang dikatakan Frankel kepentingan nasional adalah
konsep kunci dari kebijakan luar negeri suatu negara yang dapat digunakan secara
oprasional pada suatu kebijakan atau program tertentu, serta sesuai yang
dikatakan Papp bahwa kepentingan nasional merupakan kepentingan negara yang
dicapai dengan sebuah metode yang disebut kebijakan.
Dengan melihat kepentingan nasional di implementasikan menjadi sebuah
kebijakan maka hal tersebut juga sejalan dengan yang dikatakan Holsti bahwa
kebijkan yang diambil oleh suatu negara dapat dipengaruhi oleh faktor internal
yaitu karakteristik geografis yang berkaitan dengan sumber daya alam serta
kebutuhan keamanan dan ekonomi. Apabila dilihat dari faktor internal tersebut
terkait dengan kepentingan nasional Bolivia untuk menjaga keberlangsungan
hidupnya.
Pemerintah Bolivia tetap memposisikan program nasionalisasi minyak dan
legalisasi koka sebagai prioritas dalam kepentingan nasionalnya, yaitu dalam
memenuhi kebutuhan dalam migas dan koka, upaya ini dapat mensejahterakan
masyarakat Bolivia terutama penduduk asli serta tercapainya kebutuhan ekonomi
secara menyeluruh serta dapat meningkatkan perekonomian Bolivia.
84
Tidak hanya dipengaruhi faktor internal, kebijakan Pemerintah Bolivia
tersebut juga karena didorong oleh adanya faktor eksternal seperti adanya
dukungan dari pemerintah Venezuela dan Kuba kepada Bolivia dalam
menghadapi Hegemoni AS yang jelas menguntungkan AS melalui kerjasama
antar kawasan Free Trade Area of Americas (FTAA) yang merupakan kerjasama
kawasan bentukan AS untuk menjalankan pasar bebas di kawasan Amerika Latin.
Sejalan yang dikatakan Holsti bahwa salah satu faktor internal yang
memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara adanya tindakan dari aktor lain,
dalam hai ini menurut Holsti sebuah negara akan merespon atau berinisiatif
menjalankan kebijakan luar negerinya terkait adanya tindakan dari negara lain.
Dalam kaitanya dengan hal ini yang membawa implikasi terhadap
kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan gas serta legalisasi koka
yaitu adanya tindakan berupa dukungan dari negara-negara Amerika Latin seperti
Venezuela, Kuba, Nikaragua, dan Argentina dalam menghadapi hegemoni AS.
Dengan memberikan dukungan terhadap Bolivia dalam mengeluarkan
kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisasi koka. Venezuela telah mendukung
kebijakan tersebut dengan menjadikan Venezuela sebagai pasar bagi produksi
koka dari Bolivia.
AS ingin menjadikan Amerika Latin sebagi halaman Belakangnya yang
memberikan pengaruhnya seperti adanya penerepan pasar bebas di Amerika Latin
dan Menjadikan Amerika Latin sebagai kepentingan AS, hal ini sejalan dengan
teori hegemoni Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaannya terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara yaitu kekerasan
85
dan persuasi. Cara kekerasan yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah
disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya dengan cara
hegemoni.
Joshua S. Goldstein menambahkan bahwa hegemoni dipegang oleh suatu
negara yang memiliki kekuasaan yang dominan dalam sistem internasional,
sehingga kekuasaan tersebut menjadi tunggal dan dapat mendominasi aturan
sendiri sehingga dapat mengatur hubungan politik dan ekonomi internasional.
Negara yang melakukan hal seperti ini disebut hegemon. Hegemoni AS
menjadikan Bolivia menerapkan pasar bebas dan kerjasama multirateral FTAA.
Perjanjian multiratelar tersebut dinilai lebih banyak merugikan rakayat
Amerika Latin, Bolivia pada tanggal 29 April 2006 menggalang persatuan
ekonomi dengan Venezuela, Kuba, Nikaragua, dan Argentina dengan membentuk
perjanjian Alternativa Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA),
kemudian menandatangani Tratado Comercio de los Pueblos (TCP).
Hal ini sejalan dengan counter hegemony menurut Gramsci Dalam
menyusun perlawanan dan hegemoni tandingan Gramsci memberikan counter
hegemony, haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di dalam masyarakat,
menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kerusakan sistem lama yang dapat
mengorganisir masyarakat. Implementasinya Amerika Latin mengadakan
kerjasama kawansan yang berupaya menghilangkan hegemoni AS di kawasan
Amerika Latin.
Dengan tujuan untuk menandingi kerjasama ekonomi kawasan AS yaitu
FTAA dengan mencegah masuknya kembali neoliberal yang lebih meluas di
86
kawasan Amerika Latin. Bolivia, Venezuela, dan Kuba juga menyetujui agenda
untuk mencegah masuknya kepentingan imperialism AS ke negara-negara
kawasan Amerika Latin yang hanya untuk memaksakan neoliberal sebagai
langkah untuk menerapkan kebijakan ekonomi untuk kepentingan AS sendiri.