dampak liberalisasi perdagangan terhadap komoditas pertanian indonesia
DESCRIPTION
Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan neoliberal secara internasionalTRANSCRIPT
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN
INDONESIA
Pendahuluan
Konsep dasar perdagangan bebas timbul dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan
proteksionisme yang dilakukan beberapa Negara yang mengakibatkan ketidak lancarannya
proses perdagangan antara Negara. Pencetus pertama dari konsep perdagangan bebas adalah
Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations ia berpendapat bahwa teori-teori
merkantilis sangat membatasi kuantitas perdagangan.Perdagangan bebas adalah perdagangan
tampa kerumitan birokrasi atau hambatan-hambatan buatan dari suatu Negara yang bermaksud
untuk melindungi produksi dalam negeri seperti tariff, bea impor,kuaota impor dan lain-lain.
Perdangangan bebas mengacu pada system liberalism dalam perekonomian dimana perdagangan
dilepas dengan suatu zona tampa hambatan dan perdagangan tersebut berjalan sesuai dengan
mekanisme pasar tampa campur tangan pihak lain.[1]
Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan
neoliberal secara internasional. Sebelumnya pemerintah lebih banyak menerapkan kebijakan
perdagangan yang proteksionis, melalui penerapan tariff yang tinggi sesuai strategi industry
subtitusi import. Termasuk pemberian monopoli kepada beberapa pelaku usaha. Dengan mulai
masuknya neo-liberalisme maka secara perlahan tariff mulai dikurangi dan diberlakukan
deregulasi terhadap aturan-aturan perdagan.[2]
Yoseph Umarhadi dalam bukunya, Jebakan Liberalisasi “pragmatisme, dominasi asing dan
ketergantungan ekonomi Indonesia” dengan mengunakan perspektif dependensia atau
neodependensia sebagai pisau analisanya, menjelaskan fakta terkait praktek liberalisasi di
Indonesia. Menurut Umardhadi ada empat gelombang besar liberalisasi yang masuk di Indonesia
yaitu Gelombang pertama liberalisasi, terjadi seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun
1967 tentang penanaman modal asing. Memberikan keleluasaan untuk investasi modal asing di
Indonesia. Gelombang kedua pada periode 1980-an, dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Juni
1983 dan Paket Kebijakan Oktober 1988 . Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut
menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan
sepenuhnya pada mekanisme pasar. Gelombang ketiga ditandai dengan lahirnya WTO (World
Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT (General Agreement On Trade and
Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO.
Indonesia sejak 1995 harus berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk
perdagangan dan modal asing. Dan terakhir gelombang keempat, terjadi Tahun 1997. Kala itu,
Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis bermetamorfosis menjadi
krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk
penyelamatan ekonomi. Maka IMF mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus
menjalankan Paket Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi.[3]
Melihat dari fakta sejarah di atas, ada dua instrumen yang perlu dicatat terkait proses Liberalisasi
di Indonesia. Pertama kesepakatan internasional dan instrument hukum (Undang-Undang).
Kesepakatan internasional mengandung konsekuensi deregulasi internal. Indonesia harus mampu
melakukan penyesuaian struktural terkait kesepakatan internasional yang sudah dibuat. Selain
itu, hukum (undang-undang) digunakan sebagai instrument legal untuk memperkuat kesepakatan
internasional yang akan dijalankan di dalam negeri. Dua instrument tadi, selalu mewarnai deras
laju liberalisasi di Indonesia. Atau boleh di bilang Indonesia dijebak lewat kesepakatan-
kesepakatan Internasional.
Maraknya praktek liberalisasi di Indonesia bukan semata atas desakan internasional atau negara-
negara donor, melainkan juga didorong oleh kekuatan internal yaitu Oligarki kekuasaan.
Meminjam pendekatan Peter Evans, salah seorang penganut teori ketergantungan. Evans
memandang dalam negara dunia ketiga ada persekutuan yang dibentuk untuk
mempertahankan status quo dan dominasi kelas tertentu yaitu pesekutuan segitiga atau triple
alliance. Aliansi tripel terdiri dari modal asing, pemerintah negara dunia ketiga (kekuatan sipil,
teknokrat & militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Dengan Aliansi tripel inilah kekuatan
liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh subur di dunia
ketiga termasuk Indonesia.[4] Hutang digunakan sebagai alat pengikat kesepakatan antara
Negara donor dengan Negara penerima. Salah satu kepentingan utama Negara donor adalah
kebebasan investasi (penanaman modal). Modal asing disokong oleh pemerintah atau kekuasaan
lewat kebijakan undang-undang. Kekuatan militer berfungsi menjaga stabilitas keamanan untuk
kenyamanan dan keamanan investasi. Teknokrat dan berjuasi lokal-nasional menjadi
perpanjangan tangan dari modal asing, befungsi sebagai mitra dalam menjalankan investasi dan
bisnisnya.
Perjanjian perdangangan bebas
Dalam liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan
dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Hasil perundingan ini merupakan agenda yang
ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor Pertanian. Ada dua hal yang disepakati,yaitu
yang pertama; Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan aturan permainan
GATT di bidang pertanian; dan yang kedua Setiap negara menyusun besaran tarif yang akan
diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tariff. Ada
tiga aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay di bidang pertanian, yaitu:
pertama; Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan tarif; kedua; Pengurangan
subsidi domestik; dan ketiga Pengurangan subsidi ekspor.
Liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup 1.341 jenis
barang pertanian, dengan tariff rata-rata pada tahun 1998 sebesar 8,12%.Besaran tarif ini jauh
lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalamcGATT yang menyetujui
penerapan tarif sebesar 40% untuk 1.041 jenis barang, lebih dari 40% untuk 300 jenis barang dan
kurang dari 40% untuk 27 jenis barang. Dalam perkembangan berikutnya, negara-negara maju
sampai saat ini ternyata masih belum sepenuhnya memenuhi komitmen dalam GATT, dengan
memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara
berkembang dan diekspor ke negara-negara maju. Dengan pola perdagangan produk
pertanian dunia seperti itu, petani di negar yang tidak memberikan proteksi seperti Indonesia
telah mengalami kerugian akibat penurunan harga. Dengan tingkat proteksi seperti itu, maka
pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan segera menciptakan pasar komoditas pertanian
dunia yang bersaing bebas adalah keliru dan proteksi dan subsidi yang diberikan oleh negara-
negara maju telah menghambat berlangsungnya penentuan harga yang lebih adil di pasar dunia,
sehingga berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai
sasarannya.Dengan melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional di bawah
paying WTO telah merugikan negara-negara berkembang, maka dalam setiap pertemuan yang
membahas perdagangan di Sektor Pertanian telah terjadi perdebatan dan membentuk blok-blok
sesuai dengan kepentingan setiap negara.Pertemuan terakhir yang dilaksanakan di Cancun,
Mexico, mengalami kebuntuan, sehingga negara-negara anggota WTO sepakat untuk
menerapkan perjanjian awal yang ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.
Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era
globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan
ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan regional maupun
global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak
mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam
kepentingan nasional.
Persoalan Pertanian di Indonesia
Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan
kualitas pembangunan ekonomi. Sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan output
nasional, seperti yang kita ketahui sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1%terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun
secara absolut masih lebih kecil dari sektor lainnya seperti jasa 43,5 % dan manufaktur
23,9%namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 47,1%
Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka sehingga keterkaitan pasar domestik dengan
pasar dunia (global) menjadi sulit dihindarkan, termasuk untuk pasar pangan. Masalahnya,
dengan tekanan liberalisasi yang semakin kuat bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan
peluang pasar global untuk mendukung ketahanan pangan nasional tetapi dengan menghindari
kemungkinan dampak negatif pengaruh liberalisasi terhadap produsen pangan di dalam negeri.
Di Indonesia tarif impor komoditas pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan
hingga tinggal 0-5 % dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998.Dengan
demikian, sektor pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan hanya mengacu pada
sinyal pasar. Meningkatnya intensitas kerjasama internasional ini tentu akan memberikan
pengaruh terhadap kemudahan arus perdagangan antar negara-negara. Terjadinya penurunan
harga akibat produksi dunia yang melimpah akan mengakibatkan banjir impor.
Dengan kondisi yang demikian,bila modalitas sudah ditetapkan, tidak ada kewenangan pihak
manapun yang dapat menghalangi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Dengan
demikian isu utama bagi pertanian secara umum adalah bagaimana kawasan perdagangan
bebas ini berdampak positif pada petani. Masyarakat tani di Indonesia tidak dapat menghindari
arus perubahan besar globalisasi, salah satu cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan
memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak
arus globalisasi dalam bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian
impor yang relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang
besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di
Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung,
ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan udang pun masuk dari China ke Indonesia.
Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di
Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input, pasar, industri pengolahan
dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi pertanian
dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas
perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara
profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani
yang terlibat di dalamnya.
Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan
produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Namun, terkait
dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk
pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar
domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah
padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya
kepada sektor pertanian. Selain ketidakadilan dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain
yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani indonesia adalah rendahnya penerapan
tarif produk pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara
maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang
tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya
tarif impornya sangat tinggi.
Sudah kita ketahui bahwa Agreement on Agiculuture (AOA dibawa aturan WTO) telah
membawa dampak negating di berbagai Negara anggota WTO termasuk Indonesia. Apalagi
setelah 1997 indonesia terkena krisis yang parah sampai kini, yang semakin memberatkan sector
pertanian. Pemulihan terhadap sector ekonomi khususnya pada sector pertanian semakin berat
dan untuk itu dibutuhkan upaya yang luar biasa untuk memlihkannya. Karena itu sudah sangat
jelas bahwa masalah pertanian di Indonesia memerlukan penanganan yang intensif dan
konprehensif dari pemerintah dan tidak bisa dipulihkan lewat resep liberalisasi pertanian dan
pembukaan akses pasar, seperti dengan mengikuti resep Agreement on Agriculture ataupun
dengan menghapus tariff bea masuk menjadi 0 % seperti resep IMF.
Sebelum perjanian AOA diberlakukan, Indonesia tercatat sebagai negra eksportir besar ke-9 di
dunia. Akan tetapi dalam tahun 1998 tiga tahun setelah perjanjian dilaksanakan,Indonesia tidak
lagi tercatat sebagai Negara eksport beras ke-9 melainkan Negara importer beras nomor satu di
dunia. Dan juga sebelum AOA diterapkan perdagangan luar negeri menggunakan pengenaan
lisensi import yang terbukti ampuh dalam melindungi komoditas pertanian Indonesia. Hal ini
dapat dibuktikan,dimana sekitar 1000 jumlah komoditas pertanian yang mendapatkan lisensi
import namun sejak tahun 1996 turun menjadi 200 komoditas hal ini disebabkan oleh karena
adanya penghapusan hambatan non-tarif untuk komoditas yang di ikat di WTO. Sebagaimana
diketahui , ada dua jenis tariff yaitu tariff rill (applied tariff) yang selalu lebih rendah bila
dibandingkan dengan tariff yang diikat (bound tariff). Contohnya : tariff untuk beras adalah RP
430/kg yang merupakan 30% dari tariff yang di ikat, dan gula adalah RP 7000/kg atau 60% dari
tariff yang diikat. Dan lebih banyak tariffnya 0% meskipun diikat jauh lebih besar. Seperti
jagung,gandum dan kedelai.[5]
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini ;
Table
Nilai impor dan export beberapa komoditas pangan Indonesia sebelum 1984-1994 dan setelah
1995-2000 rezim AOA dalam hitungan $[6]
No Komoditas Tahun Nilai import Nilai export
1 Beras 1984-1994 648.018.000 216.010.000
1995-200 4.268.200.000 3.264.000
2 Gula 1984-1994 646.063.000 613.000
1995-200 2,311,474.000 10. .169.000
3 Kedelai 1984-1994 1.579.672.000 2.201.000
1995-200 1.314.782.000 281.000
4 Bawang merah 1984-1994 13.989.000 57.000
1995-200 21.786.000 64.000
5 Daging ayam 1984-1994 6877000 6.955.000
1995-200 17.9000.000 12.002.000
6 Telur ayam 1984-1994 1.719.000 2062000
1995-200 21.672.000 1264000
7 Pisang 1984-1994 41.000 10.038.000
1995-200 528.000 66.737.000
8 Mangga 1984-1994 35.000 4,854,000
1995-200 397.000 2.847.000
9 Produk pertanian
pangan umum
1984-1994 18.557.124.000 34.309.262.000
1995-200 27.420.381.000 32.624.696.000
Data pada table di atas Nampak seklali bahwa secara keseluruhan telah terjadi inflasi atau
kenaikan import besar-besaran setelah berlangsungnya agreement on agriculture, yang berarti
mengeser sumber kehidupan petani. Bahkan dalam komoditas pokok seperti beras,gula, dan telur
ayam pun sangat terasa lonjakannya. Import beras yang satu dekade sebelum agreement on
culture hanya senilai $ 684 juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 4,3 milyar.
Import gula yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya senilai $ 646 juta, dan 6
tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 2,3 milyar. Demikian juga dengan komoditas yang lain
juga harganya ikut meningkat secara drastic.
Sementara secara umum eksport tidak banyak meningkat, bahkan anjlok drastic, seperti eksport
beras dari harga senilai $ 210 juta menjadi tinggal $ 3 juta, begitu juga dengan eksport kedelai,
dari harga senilai $ 2.2 juta turun menjadi $ 281 ribu. Hal ini berarti, telah terjadi ancaman
produk import yang luar biasa yang kemudian dapat menghancurkan kehidupan para petani di
Indonesia. Barang-barang impor ini kebanyakan datang dari Amerika Serikat, RRC, Australia
beserta negar-negara lain termasuk Negara-negara anggota ASEAN.
Penutup
Tinggal 1 tahun lagi Indonesia akan bergabung dengan 9 negara anggota Asean dalam ajang
komunitas ekonomi asean, yang tidak lain adalah bertujuan untuk mengeksploitasi produk-
produk pertanian yang diusahakan oleh para petani Indonesia, ajang AEC merupakan masalah
yang sangat krusial bagi Negara Indonesia,dimana semua Negara anggota ASEAN akan
berbondong-bondong masuk ke Indonesia untuk mengambil semua produk pertanian yang ada di
Indonesia, apalagi saat ini Indonesia masih dianggap belum siap untuk menerima tamu-tamunya,
karena dilihat dari segi insfraktruktur seperti bandara internasional,jalan raya dan lain sebagainya
belum dipersiapkan. Selain itu banyak kalangan yang menganggap bahwasannya pertanian
Indonesia akan collapse. Agar komoditas pertanian Indonesia tetap terjaga dari akibat adanya
liberalisasi perdagangan maka upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemrintah adalah ;
melakukan proteksi terhadap komoditas subtitusi impor,khususnya komoditas-komoditas yang
banyak di usahakan oleh petani, seperti jagung,beras,kedelai dan gula. Selain itu juga pemerintah
perlu melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi eksport baik secara domestic
maupun internasional, terutama komoditas-komoditas perkebunan yang diusahakan oleh petani
misalnya karet, kopi, cengkeh, pala, coklat dan lan-lain.
Daftar Pustaka :
[1] . https://www.academia.edu/4624849/Karya_Tulis_Perdagangan_Bebas
[2] . Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 109
[3]. Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: pragmatisme, dominasi asing, dan ketergantungan
ekonomi Indonesia.Cakrawala Institute, Jogjakarta 2010.
[4] . http://blogberii.blogspot.com/2010/12/teori-ketergantungan-dependency.html
[5] . Ridha Amaliyah_dampak penerapan AOA terhadapa tekanan pangan indonesia:kasus
kedelai impor” ringkasan skripsi S-1 Jurusan HI universitas Airlangga_ p: 234
[6]. Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 133