dampak liberalisasi perdagangan terhadap komoditas pertanian indonesia

14
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Konsep dasar perdagangan bebas timbul dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan proteksionisme yang dilakukan beberapa Negara yang mengakibatkan ketidak lancarannya proses perdagangan antara Negara. Pencetus pertama dari konsep perdagangan bebas adalah Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations ia berpendapat bahwa teori-teori merkantilis sangat membatasi kuantitas perdagangan.Perdagangan bebas adalah perdagangan tampa kerumitan birokrasi atau hambatan-hambatan buatan dari suatu Negara yang bermaksud untuk melindungi produksi dalam negeri seperti tariff, bea impor,kuaota impor dan lain-lain. Perdangangan bebas mengacu pada system liberalism dalam perekonomian dimana perdagangan dilepas dengan suatu zona tampa hambatan dan perdagangan tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme pasar tampa campur tangan pihak lain.[1] Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan neoliberal secara internasional. Sebelumnya pemerintah lebih banyak menerapkan kebijakan perdagangan yang proteksionis, melalui penerapan tariff yang tinggi sesuai strategi industry subtitusi import. Termasuk pemberian monopoli kepada beberapa pelaku usaha. Dengan mulai masuknya neo-liberalisme maka secara perlahan tariff mulai

Upload: dsantos-sman-piswan

Post on 27-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan neoliberal secara internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN

INDONESIA

Pendahuluan

Konsep dasar perdagangan bebas timbul dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan

proteksionisme yang dilakukan beberapa Negara yang mengakibatkan ketidak  lancarannya

proses perdagangan antara Negara. Pencetus pertama dari konsep perdagangan bebas adalah

Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations ia berpendapat bahwa teori-teori

merkantilis sangat membatasi kuantitas perdagangan.Perdagangan bebas adalah perdagangan

tampa kerumitan birokrasi atau hambatan-hambatan buatan dari suatu Negara yang bermaksud

untuk melindungi produksi dalam negeri seperti tariff, bea impor,kuaota impor dan lain-lain.

Perdangangan bebas mengacu pada system liberalism dalam perekonomian dimana perdagangan

dilepas dengan suatu zona tampa hambatan dan perdagangan tersebut berjalan sesuai dengan

mekanisme pasar tampa campur tangan pihak lain.[1] 

Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan

neoliberal secara internasional. Sebelumnya pemerintah lebih banyak menerapkan kebijakan

perdagangan yang proteksionis, melalui penerapan tariff yang tinggi sesuai strategi industry

subtitusi import. Termasuk pemberian monopoli kepada beberapa  pelaku usaha. Dengan mulai

masuknya neo-liberalisme maka secara perlahan tariff mulai dikurangi dan diberlakukan

deregulasi terhadap aturan-aturan perdagan.[2]

Yoseph Umarhadi dalam bukunya, Jebakan Liberalisasi “pragmatisme, dominasi asing dan

ketergantungan ekonomi Indonesia” dengan mengunakan perspektif dependensia atau

neodependensia sebagai pisau analisanya, menjelaskan fakta terkait praktek liberalisasi di

Indonesia. Menurut Umardhadi ada empat gelombang besar liberalisasi yang masuk di Indonesia

yaitu Gelombang pertama liberalisasi, terjadi seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun

1967 tentang penanaman modal asing. Memberikan keleluasaan untuk investasi modal asing di

Indonesia. Gelombang kedua pada periode 1980-an, dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Juni

1983 dan Paket Kebijakan Oktober 1988 . Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut

menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan

sepenuhnya pada mekanisme pasar. Gelombang ketiga ditandai dengan lahirnya WTO (World

Page 2: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT (General Agreement On Trade and

Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO.

Indonesia sejak 1995 harus berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk

perdagangan dan modal asing.  Dan terakhir gelombang keempat, terjadi Tahun 1997. Kala itu,

Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis bermetamorfosis menjadi

krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk

penyelamatan ekonomi. Maka IMF mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus

menjalankan Paket Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi.[3]

Melihat dari fakta sejarah di atas, ada dua instrumen yang perlu dicatat terkait proses Liberalisasi

di Indonesia. Pertama kesepakatan internasional dan instrument hukum (Undang-Undang).

Kesepakatan internasional mengandung konsekuensi deregulasi internal. Indonesia harus mampu

melakukan penyesuaian struktural terkait kesepakatan internasional yang sudah dibuat. Selain

itu, hukum (undang-undang) digunakan sebagai instrument legal untuk memperkuat kesepakatan

internasional yang akan dijalankan di dalam negeri. Dua instrument tadi, selalu mewarnai deras

laju liberalisasi di Indonesia. Atau boleh di bilang Indonesia dijebak lewat kesepakatan-

kesepakatan Internasional.

Maraknya praktek liberalisasi di Indonesia bukan semata atas desakan internasional atau negara-

negara donor, melainkan juga didorong oleh kekuatan internal yaitu Oligarki kekuasaan.

Meminjam pendekatan Peter Evans, salah seorang penganut teori ketergantungan. Evans

memandang dalam negara dunia ketiga ada persekutuan yang dibentuk untuk

mempertahankan status quo dan dominasi kelas tertentu yaitu pesekutuan segitiga atau triple

alliance. Aliansi tripel terdiri dari modal asing, pemerintah negara dunia ketiga (kekuatan sipil,

teknokrat & militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Dengan Aliansi tripel inilah kekuatan

liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh subur di dunia

ketiga termasuk Indonesia.[4] Hutang digunakan sebagai alat pengikat kesepakatan antara

Negara donor dengan Negara penerima. Salah satu kepentingan utama Negara donor adalah

kebebasan investasi (penanaman modal). Modal asing disokong oleh pemerintah atau kekuasaan

lewat kebijakan undang-undang. Kekuatan militer berfungsi menjaga stabilitas keamanan untuk

kenyamanan dan keamanan investasi. Teknokrat dan berjuasi lokal-nasional menjadi

Page 3: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

perpanjangan tangan dari modal asing, befungsi sebagai mitra dalam menjalankan investasi dan

bisnisnya.

Perjanjian perdangangan bebas

Dalam liberalisasi  perdagangan di  Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan

dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Hasil perundingan ini merupakan agenda yang

ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor  Pertanian. Ada  dua  hal yang  disepakati,yaitu

yang pertama; Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan  aturan permainan

GATT  di bidang pertanian; dan yang kedua Setiap   negara   menyusun  besaran tarif yang akan

diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tariff. Ada

tiga  aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay di bidang pertanian, yaitu:

pertama; Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan  tarif; kedua; Pengurangan

subsidi domestik; dan ketiga Pengurangan subsidi ekspor.

Liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup 1.341 jenis

barang pertanian, dengan tariff rata-rata pada tahun 1998 sebesar 8,12%.Besaran tarif ini jauh

lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalamcGATT yang menyetujui  

penerapan tarif sebesar 40% untuk 1.041 jenis barang, lebih dari 40% untuk 300 jenis barang dan

kurang dari 40% untuk 27 jenis barang. Dalam perkembangan  berikutnya, negara-negara maju

sampai saat  ini ternyata masih belum sepenuhnya memenuhi komitmen dalam GATT, dengan

memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara

berkembang dan diekspor ke negara-negara maju. Dengan   pola   perdagangan produk

pertanian   dunia   seperti itu, petani di  negar  yang tidak memberikan proteksi  seperti Indonesia

telah mengalami kerugian akibat penurunan harga. Dengan tingkat proteksi seperti itu, maka

pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan segera menciptakan pasar komoditas pertanian

dunia yang bersaing bebas adalah keliru dan proteksi dan subsidi yang diberikan oleh negara-

negara maju telah menghambat berlangsungnya penentuan harga yang lebih adil di pasar dunia,

sehingga berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai

sasarannya.Dengan melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional di bawah

paying WTO telah merugikan negara-negara berkembang, maka dalam setiap pertemuan yang

membahas perdagangan di Sektor Pertanian telah terjadi perdebatan dan membentuk blok-blok

sesuai dengan kepentingan setiap negara.Pertemuan terakhir yang dilaksanakan di Cancun,

Page 4: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

Mexico, mengalami kebuntuan, sehingga negara-negara anggota WTO sepakat untuk

menerapkan perjanjian awal yang ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.

Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era

globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan

ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan  regional maupun

global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak

mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam

kepentingan nasional.

Persoalan Pertanian di Indonesia

Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan

kualitas pembangunan ekonomi. Sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan output

nasional, seperti yang kita ketahui sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1%terhadap

Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun

secara absolut masih lebih kecil dari sektor lainnya seperti jasa 43,5 % dan manufaktur

23,9%namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 47,1%

Indonesia menganut sistem ekonomi  terbuka  sehingga  keterkaitan  pasar domestik dengan

pasar dunia (global) menjadi sulit  dihindarkan,  termasuk  untuk  pasar pangan. Masalahnya,

dengan tekanan liberalisasi yang semakin kuat bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan

peluang pasar global untuk mendukung ketahanan pangan nasional tetapi  dengan  menghindari 

kemungkinan dampak negatif pengaruh liberalisasi terhadap produsen pangan di dalam negeri.

Di Indonesia tarif impor komoditas pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan

hingga tinggal 0-5 % dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998.Dengan

demikian, sektor pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan hanya mengacu pada

sinyal pasar. Meningkatnya  intensitas  kerjasama internasional  ini  tentu akan memberikan

pengaruh  terhadap kemudahan arus perdagangan antar negara-negara. Terjadinya penurunan

harga akibat produksi dunia yang melimpah akan mengakibatkan banjir impor.

Page 5: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

Dengan kondisi yang demikian,bila modalitas sudah ditetapkan, tidak ada kewenangan pihak

manapun yang dapat menghalangi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Dengan

demikian  isu  utama  bagi  pertanian  secara  umum  adalah  bagaimana  kawasan perdagangan

bebas  ini  berdampak positif pada petani. Masyarakat tani di Indonesia tidak dapat menghindari

arus perubahan besar globalisasi, salah satu cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan

memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak

arus globalisasi dalam bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian

impor yang relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang

besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di

Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung,

ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan udang pun masuk dari China ke Indonesia.

Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di

Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input, pasar, industri pengolahan

dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi pertanian

dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas

perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara

profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani

yang terlibat di dalamnya.

Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan

produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Namun, terkait

dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk

pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar

domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah

padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya

kepada sektor pertanian. Selain ketidakadilan dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain

yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani indonesia adalah rendahnya penerapan

tarif produk pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara

maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang

tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya

tarif impornya sangat tinggi.

Page 6: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

Sudah kita ketahui  bahwa Agreement on Agiculuture (AOA dibawa aturan WTO) telah

membawa dampak negating  di berbagai Negara anggota WTO termasuk Indonesia. Apalagi

setelah 1997 indonesia terkena krisis yang parah sampai kini, yang semakin memberatkan sector

pertanian. Pemulihan terhadap sector ekonomi khususnya pada sector pertanian  semakin berat

dan untuk itu dibutuhkan upaya yang luar biasa untuk memlihkannya. Karena itu sudah sangat

jelas bahwa masalah pertanian  di Indonesia memerlukan penanganan yang intensif dan

konprehensif dari pemerintah dan tidak bisa dipulihkan lewat resep liberalisasi pertanian dan

pembukaan akses pasar, seperti dengan mengikuti resep Agreement on Agriculture ataupun

dengan menghapus tariff bea masuk menjadi 0 % seperti resep IMF.

Sebelum perjanian AOA diberlakukan, Indonesia tercatat sebagai negra eksportir besar ke-9 di

dunia. Akan tetapi dalam tahun 1998 tiga tahun setelah perjanjian dilaksanakan,Indonesia tidak

lagi tercatat sebagai Negara eksport beras ke-9 melainkan Negara importer beras nomor satu di

dunia. Dan juga sebelum AOA diterapkan  perdagangan luar negeri menggunakan pengenaan

lisensi import yang terbukti ampuh dalam melindungi komoditas pertanian Indonesia. Hal ini

dapat dibuktikan,dimana sekitar 1000 jumlah komoditas pertanian yang mendapatkan lisensi

import namun sejak tahun 1996 turun menjadi 200 komoditas hal ini disebabkan oleh karena

adanya penghapusan hambatan non-tarif untuk komoditas yang di ikat di WTO. Sebagaimana

diketahui , ada dua jenis tariff yaitu tariff rill (applied tariff) yang selalu lebih rendah bila

dibandingkan dengan tariff yang diikat (bound tariff). Contohnya : tariff untuk beras adalah RP

430/kg yang merupakan 30% dari tariff yang di ikat, dan gula adalah  RP 7000/kg atau 60% dari

tariff yang diikat. Dan lebih banyak tariffnya 0% meskipun diikat jauh lebih besar. Seperti

jagung,gandum dan kedelai.[5]

 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini ;

Page 7: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

Table

Nilai impor dan export beberapa komoditas pangan Indonesia sebelum 1984-1994 dan setelah

1995-2000 rezim AOA dalam hitungan $[6]

No Komoditas Tahun Nilai import Nilai export

1 Beras 1984-1994 648.018.000 216.010.000

1995-200 4.268.200.000 3.264.000

2 Gula 1984-1994 646.063.000 613.000

1995-200 2,311,474.000 10. .169.000

3 Kedelai 1984-1994 1.579.672.000 2.201.000

1995-200 1.314.782.000 281.000

4 Bawang merah 1984-1994 13.989.000 57.000

1995-200 21.786.000 64.000

5 Daging ayam 1984-1994 6877000 6.955.000

1995-200 17.9000.000 12.002.000

6 Telur ayam 1984-1994 1.719.000 2062000

1995-200 21.672.000 1264000

7 Pisang 1984-1994 41.000 10.038.000

1995-200 528.000 66.737.000

8 Mangga 1984-1994 35.000 4,854,000

1995-200 397.000 2.847.000

Page 8: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

9 Produk pertanian

pangan umum

1984-1994 18.557.124.000 34.309.262.000

1995-200 27.420.381.000 32.624.696.000

Data pada table di atas Nampak seklali bahwa secara keseluruhan telah terjadi inflasi atau

kenaikan import besar-besaran setelah berlangsungnya agreement on agriculture, yang berarti

mengeser sumber kehidupan petani. Bahkan dalam komoditas pokok seperti beras,gula, dan telur

ayam pun sangat terasa lonjakannya. Import beras yang satu dekade sebelum agreement on

culture hanya senilai $ 684 juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 4,3 milyar.

Import gula yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya senilai $ 646 juta, dan 6

tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 2,3 milyar. Demikian juga dengan komoditas yang lain

juga harganya ikut meningkat secara drastic.

Sementara secara umum eksport tidak banyak meningkat, bahkan anjlok drastic, seperti  eksport

beras dari harga senilai $ 210 juta menjadi tinggal $ 3 juta, begitu juga dengan eksport kedelai,

dari harga senilai $ 2.2 juta turun menjadi $ 281 ribu. Hal ini berarti, telah terjadi ancaman

produk import yang luar biasa yang kemudian dapat menghancurkan kehidupan para petani di

Indonesia. Barang-barang impor ini kebanyakan datang dari Amerika Serikat, RRC, Australia

beserta negar-negara lain termasuk Negara-negara  anggota ASEAN.

Penutup

Tinggal 1 tahun lagi Indonesia akan bergabung dengan 9 negara anggota Asean dalam ajang

komunitas ekonomi asean, yang tidak lain adalah bertujuan untuk mengeksploitasi produk-

produk pertanian yang diusahakan oleh para petani Indonesia, ajang AEC merupakan masalah

yang sangat krusial bagi Negara Indonesia,dimana semua Negara anggota ASEAN akan

berbondong-bondong masuk ke Indonesia untuk mengambil semua produk pertanian yang ada di

Indonesia, apalagi saat ini Indonesia masih dianggap belum siap untuk menerima tamu-tamunya,

Page 9: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditas Pertanian Indonesia

karena dilihat dari segi insfraktruktur seperti bandara internasional,jalan raya dan lain sebagainya

belum dipersiapkan. Selain itu banyak kalangan yang menganggap bahwasannya pertanian

Indonesia akan collapse. Agar komoditas pertanian Indonesia tetap terjaga dari akibat adanya

liberalisasi perdagangan maka upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemrintah adalah ;

melakukan proteksi terhadap komoditas subtitusi impor,khususnya komoditas-komoditas yang

banyak di usahakan oleh petani, seperti jagung,beras,kedelai dan gula. Selain itu juga pemerintah

perlu melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi eksport baik secara domestic

maupun internasional, terutama komoditas-komoditas perkebunan yang diusahakan oleh petani

misalnya karet, kopi, cengkeh, pala, coklat dan lan-lain.

  

Daftar Pustaka :

[1] . https://www.academia.edu/4624849/Karya_Tulis_Perdagangan_Bebas

[2] . Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 109

[3]. Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: pragmatisme, dominasi asing, dan ketergantungan

ekonomi Indonesia.Cakrawala Institute, Jogjakarta 2010.

[4] . http://blogberii.blogspot.com/2010/12/teori-ketergantungan-dependency.html

[5] . Ridha Amaliyah_dampak penerapan AOA terhadapa tekanan pangan indonesia:kasus

kedelai impor” ringkasan skripsi S-1 Jurusan HI universitas Airlangga_ p: 234

[6]. Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 133