dampak kebijakan pemerintah sk n0. 167/p.m/1954...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH SK N0. 167/P.M/1954 TERHADAP
PERKEMBANGAN ISLAM DI MENTAWAI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Disusun Oleh :
Mitra Zalman
(1111022000007)
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M




i
ABSTRAK
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH SK NO. 167/P.M/1954
TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI MENTAWAI
Studi ini ingin menjelaskan dampak kebijakan pemerintah SK No.
167/P.M./1954 terhadap perkembangan Islam di kabupaten kepulauan Mentawai
Provinsi Sumatra Barat yang menimbulkan menurunnya jumlah umat Islam. Studi
ini juga ingin menjawab persoalan mengapa hal yang demikian bisa terjadi. Untuk
menjawab persoalan di atas penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan
memakai race teori Azyumardi Azra. Adapun data primer dan skunder penulis
peroleh dari: Perpustakan Utama Universitas Negri Padang, Perpustakaan sekolah
Tinggi Teologi Jakarta, Arsip Nasional Indonesia, Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama
Universitas Indonesia dan Perpustakaan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Metode yang penulis gunakan adalah metode sejarah.
Temuan studi ini adalah terjadinya penurunan pemeluk Islam dengan
berbagai sebab pasca diberlakukannya kebijakan tersebut antara lain: tidak
adanya perencanaan dakwah Islamiyah (formal dan non formal), tidak adanya
pemuka agama Islam menyikapi kebijakan tersebut, belum adanya lembaga
dakwah yang menyiarkan Islam di Mentawai, dan adanya anggapan yang kuat
bahwa memeluk Islam menghilangkan identitas mereka sebagai orang Mentawai;
antara ajaran Islam dan kebudayaan masyakat Mentawai.
Kata kunci: Dampak, Kebijakan, Islam, Mentawai.

ii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama segala segala puji syukur kita haturkan kehadirat Allah
SWT semata, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan kita
baginda Nabi Muhammmad SAW, serta keluarga, sahabat dan seluruh
pengikutnya. Amin.
Allhamdulillah skripisi dengan judul Dampak Kebejakan Pemerintah SK
NO. 167/P.M/1954 Terhadap Perkembangan Islam di Mentawai dapat
diselesaikan dengan baik, walaupun mendapat banyak kesulitan dalam
pelaksanaannya, karena tema tersebut masih sangat jarang yang meneliti.
Sehingga sumber yang dijadikan rujukan sangat terbatas dan banyak
menggunakan ejaan lama yang dihadapi penulis sehingga menambah kesulitan
lain.
Keberhasilan menyelesaikan karya ilmiah ini juga dikarenakan bantuan
banyak pihak, oleh karenanya penulis dengan segala kerendahan hati dan dengan
hati yang tulus, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. H. Nurhasan M.A. selaku ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam
2. Shalikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr Saidun Derani, M.A selaku Dosen Pembimbing yang banyak
membantu dan selalu memotivasi dalam mengarahkan proses
penelitian ini.
4. Dr. Parlindungan Siregar, selaku Dosen Penguji I Sidang Skripsi yang
telah memberikan saran-saran yang sangat berguna bagi penulis
5. Dr. Tati Hartimah, selaku Dosen Penguji II dan Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan banyak masukan dalam perkuliahan
sampai proses akhir penyelesaian skripsi ini.

iii
6. Kedua orang tua penulis Muzar (Ayah) dan Asna Diati (Amak), yang
memberikan perhatian yang luar biasa, sehingga penulis selalu dapat
termotivasi dan dapat menyelesaikan penelitian ini.
7. Alan Novandi SH. dan Lilis Shofiyanti S. Hum, yang telah membantu
penulis dalam editing naskah skripsi ini.
8. Kawan-kawan di BPH HMJ SPI M Naufan Faikar S. Hum. Amalia
Rachmadanty S. Hum, Wilda Eka Safitri S. Hum yang telah mewarnai
kehidupan penulis di Ciputat,
9. Kawan-kawan angkatan 2011 yang berproses bersama di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ibnu Fatkhan, Si.P., Reza Hakim, Egi Zulhansah.
Serta kawan di Black Jidat Community dan kawan-kawan di Keluarga
Pelita.

iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah .............................................................. 5
2. Pembatasan Masalah ............................................................. 5
3. Rumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5
D. Studi Terdahulu ........................................................................... 6
E. Kerangka Teori ........................................................................... 8
F. Metode Penelitian ....................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MENTAWAI
A. Letak Geografis Kepulauan Mentawai ....................................... 11
B. Asal Usul Masyarakat Mentawai ................................................ 13
C. Kepercayaan Masyarakat Mentawai ........................................... 15
D. Mata Pencaharian ........................................................................ 18
BAB III SEJARAH AGAMA-AGAMA DI MENTAWAI
A. Protestan ....................................................................................... 20
B. Islam .......................................................................................... 22
C. Katolik .......................................................................................... 25
D. Bahai . ......................................................................................... 26

v
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH SK NO.167/P.M/1954
TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI MENTAWAI
A. Jumlah Penduduk ........................................................................ 28
B. Perbandingan Jumlah Pemeluk Agama ...................................... 31
C. Pranata Sosial
1. Lembaga Pendidikan ............................................................. 34
2. Tempat Ibadah ...................................................................... 37
D. Perkembangan Agama-agama di Mentawai ............................... 39
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 44
B. Saran .......................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 46
LAMPIRAN .................................................................................................... 50

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mentawai merujuk pada nama kepulauan yang ada di sebelah barat Pulau
Sumatra, dulunya kepulauan Mentawai disebut Nassau yang terdiri dari dua
Pulau. Kedua pulau tersebut dipisahkan oleh selat yang sempit. Navigator-
navigator Belanda menyebut kedua kepulauan itu sebagai Kepulauan Nassau,
sedangkan orang Melayu menyebutnya Kepulauan Pagi atau Pagai. Adapun orang
Eropa menyebutnya Poggies. Selain itu, Mentawai juga merujuk pada kelompok
etnis yang menghuni pulau ini, yang secara umum dikenal dengan orang
Mentawai.1
Wilayah Kepulauan Mentawai terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai
Pulau Sumatra yang terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Di antara 40 pulau
tersebut, hanya ada empat pulau besar yang memiliki penghuni, yaitu; Pulau
Siberut yang merupakan pulau terbesar, terletak paling utara di antara kepulauan
Mentawai, kemudian Pulau Sipora terletak di bagian tengah, Pulau Pagai di
bagian utara, dan Pulau Pagai Selatan terletak di bagian selatan. Kepulauan
tersebut terletak pada 1000 Bujur Timur (BT) Greenwich, dan 5
0 Lintang Selatan
(LS) di bawah garis khatulistiwa. Luas keseluruhan wilayah Mentawai yaitu 6.700
km2.2 Selain merujuk pada nama kepulauan dan kelompok sosial yang hidup di
Kepulauan Mentawai, sekarang Mentawai juga pada nama sebuah Kabupaten
yang berada dalam wilayah Provinsi Sumatra Barat.
Sejak dulu masyarakat Mentawai telah mengenal kepercayaan Arat
Sabulungan3. Ketika kedatangan Misionaris
4 ke Mentawai dalam rangka untuk
1 Wiliam, Marsden, Sejarah Sumatra,(Depok:Komonitas Bambu, 2008),h 414.
2 Stefano, Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta:Grafidian Jaya,1986), h. 1
3 Arat Sabulungan adalah suatu kepercayaan yang segala sesuatu yang ada disebut
tentunya seperti manusia, Hewan tumbuh-tumbuhan, benda, dan bahkan fenomena yang tampak
untuk beberapa waktu saja, seperti pelangi, dan langit tak berawan memiliki jiwa atau roh. Bagian
bagian dari satu keseluruhan yang lebih besar pun dikatakan memiliki roh: rumah sebagai satu

2
menyebarkan Agama Kristen ternyata mendapat respon negatif dari masyarakat
Mentawai dikarenakan tidak sejalan dengan kepercayaan mereka. Perlu diketahui
bahwa masyarakat Mentawai terkenal sangat memegang teguh kepercayaan
tradisional mereka.
Pada awal bulan Agustus 1954 diadakan Rapat Tiga Agama5 di Mentawai.
Rapat tersebut diadakan disetiap Kecamatan di Kepulauan Mentawai, yang mana
hasil dari rapat tersebut melarang segala bentuk kepercayaan Arat Sabulungan.
Semua penduduk Mentawai harus memilih agama yang telah diakui secara resmi
keseluruhan yang lebih besar pun dikatakan memiliki roh: rumah sebagai satu keseluruhan
mempunyainya, tetapi begitu pula halnya dengan lantai, atap, balok-balok, dan sebaginya.
Selengkapnya,: lihat Reimar, Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai,(Jakarta:Balai
Pustaka,1991), hlm 125. Arat memiliki makna yang sangat luas. Dalam bahasa dan Kebudayaan
Mentawai, arat mencakup segala hal yang digolangkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang yang
mutlak harus diterima tanpa gugatan, karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu, arat menjadi
filsafat hidup, norma kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat
merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang dan
kelestariannya harus dijaga dengan baik. Selengkapnya, lihat: Stefano, Coronese, Kebudayaan
Suku Mentawai, (Jakarta:Grafidian Jaya,1986), hlm. 36. Sabulungan merupakan nama yang
dipakai untuk menyebut kepercayaan orang Mentawai, yakni roh-roh. Jika dicermati dari srtuktur
katanya, Sabulungan berasal dari kata bulug atau bulung yang berarti daun . setelah mendapat
awalan sa (sa=sekempulan) dan akhiran (an=banyak). Maka sabulungan berarti sekumpulan
dedauanan. Ini ada benarnya, disebabkan dedaunan memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan orang Mentawai. Dalam setiap upacara ritual yang diselenggarakan, seperti kelahiran,
perkawinan, pengobatan, maupun kematian selalu menggunakan dedaunan sebagai perangkat, atau
pelengkapnya. Namun demikian, ada sebagian orang mentawai yang tidak sepenuhnya setuju
carapenerjemahan seperti di atas. Menurut mereka, Sabulungan adalah sekedar sebuah nama atau
sebutan yang ditujukan untuk mengidentifikasi dunia supra natural (dunia roh-roh). Pada
prinsipnya Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, Nilai, Norma dan aturan hidup
yang dipegang kuat oleh masyarakat Mentawai dalam memahami serta menginterpertasi
lingkungan yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola interaksi Manusia,binatang, tumbuh-
tumbuhan, tanah, air, udara dan juga benda-benda hasil buatan Manusia. Hasil pemahaman
tersebut digunakan untuk mendorong terwujudnya tindakan yang muncul dari orang-orang sebagai
anggota masyarakat suku bangsa Mentawai. Selengkapnya, lihat: Sidarta,Pujiharjo & Bambang
Rudito, Magi sebagai acuan identitas diri orang Mentawai dalam hubungan antar suku Bangsa
.jurnal ini bisa di akses di http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id
/index.php/jantro/article/view/7/7 4 Orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yang belum mengebal
Kritus. Imam Kristen yang melakukan kegitan Misi, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), H 749. 5Rapat Tiga agama tersebut adalah agama Kristen, Islam dan Arat Sabulungan. Melalui
Rapat Tiga Agama tersebut pemerintah memberikan ultimatum pada orang Mentawai untuk
memeluk agama Kristen atau Islam dalam jangka waktu tiga bulan. Meskipun namanya Rapat
Tiga Agama, namun pilihannya hanya dua agama saja (Kristen atau Islam). Hal itu membuktikan
bahwa Arat Sabulungan dianggap „bukan‟ agama dan karenanya harus dihapuskan dalam waktu
tiga bulan. Semestinya nama rapat tersebut bukanlah Rapat Tiga agama, melainkan Rapat Dua
Agama saja lihat: jurnal, Maskota Delvi,Al-Ulum, Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan
Penganut Isalam Mentawai di Siberut,(Padang, 2012) volume 12 No 1, h. 17.

3
oleh pemerintah yakni agama Islam dan Kristen Protestan. Hal ini dikarenakan
pada masa itu hanya kedua agama tersebutlah yang berkembang di Mentawai.
Menurut Herman Sihombing terjadinya “Rapat Tiga Agama” adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengurangi pertentangan antara penganut-penganut ketiga
Agama termasuk penyiar-penyiar (Zending-zending) Agama Islam dan
Kristen, karena semenjak tahun 1950, sampai diadakan rapat ini
nampak dan dirasakan adanya gejala pertentangan dari penyiar-
penyiar agama disana yang saling berlomba memberi pengaruh baik
dengan pemberian barang ataupun janji.
2. Memberi kebebasan yang terbatas kepada penganut agama Sabulungan
untuk memilih salah satu Agama yang telah dikenal rakyat, Islam atau
Kristen disebut disini memilih secara “terbatas” karena yang dapat
dipilh hanyalah dua Agama tersebut.
3. Supaya memperbesar penganut-penganut Islam karena semua petugas
permerintahan disana di Mentawai hampir seluruhnya adalah
pemeluk agama Islam.
4. Untuk mempercepat usaha-usaha peningkatan peradaban dan
meninggikan derjat kehidupan di sana.6
Dalam hal ini pemerintah dan misionaris memiliki pendapat bahwa
kepercayaan Sabulungan adalah bentuk sistim religi suku bangsa primitif yang
pernah ada di Mentawai, sehingga sudah tidak sepantasnya hidup dan dianut oleh
masyarakat Mentawai saat itu, oleh karenanya tidaklah salah untuk disingkirkan
dari kehidupan orang Mentawai. Dalam usaha ini kelihatan sangat nyata bahwa
pemerintah dan misionaris bekerja sama (bahu membahu) untuk menyingkirkan
pengaruh Arat Sabulungan di Mentawai. Saat ini, manyoritas orang Mentawai
memeluk agama Kristen Protestan dan sebagian lagi beragama Katolik dan
6 Herman Sihombing, Mentawai. (Jakarta: Pradnya Paramita1979), h 104-105.

4
Islam.7 Persepsi pemerintah dan zending
8 pada masa itu terhadap kebudayaan
sangat sempit. Kebudayaan diidentikan dengan pola hidup nomaden, cawat,
rambut panjang bagi kaum pria, tatto, dan benda benda pujaan dalam Arat
Sabulungan. Pemerintah menutup mata terhadap kebudayaan immateril atau
nilai-nilai serta norma-norma yang terkandung dalam fisik kebudayaan itu.9
Gerakan ini dimulai pada masa pemerintahan Soekarno, melalui Perdana
Mentri Ali Sastromiadjojo (menjabat 1953-1955), yakni dengan dibentuknya
sebuah Panitia Interdapartemental peninjauan kepercayaan-kepercayaan di dalam
Masyarakat (disingkat Panitia Interdep Pakem) dengan SK No
167/PROMOSI/1954. Dari SK tersebutlah yang mendasari terjadinya Rapat Tiga
Agama di Mentawai, yang intinya memerintahkan orang Mentawai yang masih
menganut Arat Sabulungan (dalam waktu tiga bulan) untuk meninggalkan
kepercayaannya dan memilih salah satu Agama yang di akui Pemerintah.10
(pada
saat itu baru ada Islam dan Protestan).
Walaupun belum ada rekomendasi penghapusan dari panitia Interdep
Pakem terhadap Kepercayaan Arat Sabulungan akan tetapi rapat tiga agama telah
dilakasankan pada bulan Agustus 195411
. Sedangkan panitia Interdep Pakem
mulai bekerja 8 Oktober 1954 dan laporannya yang pertama baru dikeluarkan 5
April 1955. Dalam laporan tersebut memuat Aliran-Aliran kepercayaan yang di
anggap menyimpang oleh pemerintah, mengenai rekomendasi penghapusan
kepercayaan Arat Sabulungan belum ada laporannya sama sekali.12
Dari uraian di atas maka studi ini ingin menjawab dampak Kebijakan
Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954 terhadap perrkembangan Islam di Mentawai.
7Muhaldi, Landasan Yuridis Penghapusan Kepercayaan tradisional “Arat Sabulungan”
di Mentawai. (Medan Fakultas Hukum USU 2007), h. 4-5. 8Badan-badan Penyelenggara (Misi) Penyebaran Agama Kristen. Lihat: KBBI (Jaka:
Balai Pustaka, 2007), h. 1280. 9Tarida Hernawati S, Salappa‟ Antara Kehidupan, Alam , dan JiwaI, (Padang: Yayasan
Citra Mandiri, 2004), h 7 10
Ibid h. 20-21 11
Pokok-pokok Agama Islam telah mulai berdjalan di daerah Mentawai Koperensi Islam
dan Kristen, putuskan larangan tjawat di Mentawai (Haluan 4 November 1954 Hal. 2) 12
Arsip Sekretarian Negara Kabinet perdana mentri, Laporan peratama dari panitia
Parkem Jilid II No 1844 (1950-1959)

5
Asumsi awal penulis rapat tersebut berdampak negatif terhadap perkembangan
Islam di Mentawai. Maka timbul pertanyaan mengapa rapat tersebut berdampak
negatif
B. Permasalahan
a. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas timbul beberapa permasalahan yang dapat
diidentifikasikan, antara lain persoalan dampak Kebijakan Pemerintah SK N0.
167/P.M/1954 terhadap perrkembangan Islam di Mentawai 1954-1967.
b. Pembatasan Masalah
Dalam studi ini penulis membatasi masalah pada dampak Kebijakan
Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954 terhadap perkembangan Islam di
Mentawai 1954-1967
c. Rumusan Masalah
Masalah pokok dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi
penurunan pemeluk islam pasca adanya Kebijakan Pemerintah SK N0.
167/P.M/1954 di kabupaten kepulauan Mentawai Provinsi Sumatra barat
terhadap perrkembangan Islam di Mentawai
Dari rumusan masalah di atas maka penulis mengajukan sub masalah
sebagai berikut
1. Bagaimana latar belakang terjadinya rapat tiga agama di Mentawai tahun
1954?
2. Bagaimana sejarah perkembangan agama-agama di Mentawai?
3. Bagaimana dampak Kebijakan Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954
terhadap perkembangan Islam di Mentawai?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan bagaimana kondisi Mentawai 1954-1967.

6
2. Menganalisa dampak apa saja yang ditimbulkan dari Kebijakan
Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954 terhadap perkembangan Islam di
Mentawai.
3. Menjelaskan mengapa Umat Islam di Mentawai menjadi Minoritas di
Kepulauan Mentawai.
Untuk manfaat sendiri, yang dapat penulis harapkan dan berikan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Memperkaya karya tulis kesejarahan bagi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Konsentrasi Asia Tenggara terutama untuk
dinamika sejarah Islam di Kepulauan Mentawai.
2. Sebagai bahan masukan dan saran bagi ormas Islam yang melakukan
dakwah Islam di Mentawai.
3. Secara edukatif, menjadi cermin dan motivasi bagi para akademisi
untuk terus menggali lebih jauh sejarah lokal di Indonesia.
4. Sebagai referensi untuk penulisan-penulisan selanjutnya.
D. Studi Terdahulu
Dari hasil penelusuran penulis belum ditemukan penelitian mengenai
“Dampak Kebijakan Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954 terhadap perkembangan
Islam di Mentawai. Adapun buku yang menjadi rujukan skripsi ini antara lain:
Herman Sihombing dalam karyanya Mentawai buku diterbitkan oleh Pradnya
Paramita ini membahas tentang dasar pokok adat Mentawai, laporan ringkas
sosial-ekonomi dan membahas Zending Katolik, Zending Protestan dan masuknya
Islam ke Mentawai. Buku ini juga menyinggung rapat tiga Agama di Mentaawai.
Buku ini merupakan penelitian lapangan dari Herman Sihombing pada tahun 1960
yang lebih berfokus kepada budaya Mentawai. Kekurangan buku ini adalah
sedikitnya pembahasan mengenai rapat tiga Agama di Mentawai.

7
Universitas Andalas Padang, Sosial Ekonomi Kepulauan Mentawai laporan
yang ditulis oleh tim dari Universitas Andalas membahas berbagai aspek tentang
Mentawai meliputi geografis, pemerintahan, perekonomian, pertanian, kesehatan,
pendidikan, agama dan srpitual serta hukum adat dan kemasyarakatan. Laporan
ini menjadi sumber utama penulis terutama tentang pembahasan agama dan
spiritual masyarakat Mentawai.
Karya Sabiruddin Gerakan dakwah Islam Mentawa, dalam buku tersebut
membahas gerakan dakwah Islam di Mentawai fokus pembahasannya adalah
dakwah-dakwah yang dilakukan oleh oramas-ormas keislaman seperti Dewan
Dakwah Islam Indonesia, Muhammadyiah, Wasilah, dan Majelis Ulama Indonesia
dalam buku ini juga dibahas hal apa saja yang menjadi penghalang dakwah Islam
di Mentawai pembahasan dalam buku tersebut jauh setelah terjadinya rapat tiga
Agama di Mentawai.
Stefano Coronese Kebudayaan Suku Mentawai, buku ini ditulis oleh seorang
Pendeta berkebangsaan Italia, dalam buku ini membahas tentang sejarah awal
Mentawai, masuknya Belanda ke Mentawai masuknya agama-agama ke Mentawai
dan membahas tentang kebudayaan Mentawai secara komprehensif.
Abidin, Mas‟oed, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, 30 tahun
Perjalanan Da‟wah Ila‟llah, Mentawai Menggapai Cahaya Iman 1967-1997 yang
diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, buku tersebut membahas
para mubalig dalam menyebarkan Islam di Kepulauan Mentawai. buku ini hanya
berfokus pada aktifitas dewan dakwah di Mentawai. Dan di bagian akhir babnya
banyak memuat berita dari koran-koran mengenai Mentawai. Dalam buku ini
sejarah Islam yang ditulis dimulai pada tahun 1967.
Bambang Rudito Mayarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai,
pembahasan buku ini meliputi mata pencaharian, tipe kemasyarakatan istilah
Mentawai, kepercayaan. Pada bagian akhir buku ini membahas tentang sentuhan
masyarakat Mentawai dengan masyarakat luar dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Mentawai.
Gerar Persoon dan Reimar Schefold (ed) Pulau Siberut: pembangunan Sosial-
Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Buku ini adalah

8
kumpulan makalah-makalah hasil simposium yang diadakan di Padang pada tahun
1981. Dalam buku ini berisi dua puluh delapan makalah mengenai Mentawai yang
membasah persoalan Mentawai dari berbagai Apek. Terdapat dua makalah yang
membahas peranan umat Islam dan Kristen di Mentawai.
Koentjaraningrat (ed), Masyarakat terasing di Indonesia, buku ini merupakan
kumpulan makalah-makalah yang di editori oleh Koentjaraningrat, buku ini
membahas masyarakat-masyarakat terasing yang ada di seluruh Indonesia, salah
satu bab dalam buku ini membahas tentang Masyarakat Mentawai di sebelah barat
Sumatra, pembahasannya berupa letak geografis Mentawai, demografi Mentawai,
religi masyarakat Mentawai, dan hanya sekilas membahas soal ke agamaan di
Mentawai.
E. Kerangka Teori
Dalam pembahasan ini penulis akan menggunakan kerangka race teori yang
dikemukakan oleh Azyumardi Azra. Ia berpendapat bahwa awal percepatan
Islamisasi terutama abad ke-16 memang didorong oleh adanya persaingan antara
Islam dan Kristen.13
Hal yang sama juga terjadi di Mentawai dimana terjadi
persaingan yang masif antra Islam dan Kristen dalam berebut pemeluk agama
namun waktu kejadianya pada abad ke-20. Dalam teori tersebut agama Islamlah
yang menjadi agama mayoritas yang dipilih oleh masyarakat Nusantara.
Sedangkan di Mentawai menurut asumsi penulis agama Kristenlah yang dipilih
oleh mayoritas masyarakat Mentawai.
F. Metode Penelitian
Skripsi ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang akan
digunakan adalah metode historis. Metode historis adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.14
Poin-poin
penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana, dan
masanya.
13
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara .(Mizan :Jakarta 2002)
h . 37-50 14
Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (UI Pers: Jakarta 1975) h. 3.

9
Pakar Sejarah Indonesia Sartono Kartodirjo, menyebutkan bahwa suatu
kejadian sejarah tidak tunggal penyebabnya. Jadi banyak aspek yang perlu dilihat
mengapa suatu peristiwa bisa terjadi. Dalam konteks studi ini untuk
merekontruksi kejadian pada masa lampau yang bersifat komprehensif ini
ditekankan perlu memakai berbagai pendekatan (multipel approaches), dari segi
mana melihatnya, dimensi mana yang perlu dikaji, dan unsur-unsur mana yang
perlu diungkapkan; sejarah, sosiologi, antropologi, dan hermeneutika terkait
interpretasi data menjadi sebuah kisah sejarah.15
Tujuan penelitian ini adalah mencapai penulisan sejarah, oleh karena itu
upaya merekontruksi masa lampau dari obyek yang telah diteliti itu ditempuh
melalui metode sejarah dan menggunkan penelitian deskriptif analisis, yaitu
mencoba memaparkan dampak Kebijakan Pemerintah SK No. 167/P.M/1954
terhadap perkembangan Islam di Mentawai. Oleh sebab itu dalam penelitian
sejarah mencakup Heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber
(dokumen).16
Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan
penulisan dan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan
merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini,
bisa seperti buku, majalah, ensiklopedia, koran, buletin, jurnal dan sebagainya.
Dalam hal ini penulis menggunakan referensi dari perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpusnas
(Perpustakaan Nasional), Perpustakaan Utama (Universitas Indonesia), Arsipnas
RI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Perpustakaan sekolah tinggi teologi
Jakarta, Perpustakaan utama Universitas Negri Padang, koran-koran yang terbit
antara tahun 1954-1967 tentunya koran yang terkait dengan tema yang penulis
bahas, dan website resmi Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai.
Kemudian setelah data terkumpul penulis melakukan kritik dan uji
(Verifikasi) terhadapnya, dimaksud untuk mengidentifikasi keabsahan sumber-
sumber yang dipakai, setelah itu dengan berbagai sumber tersebut penulis
mengkritik dan menganalisis (Interpretasi) yang hasil akhirnya disajikan dalam
15
Sartono Kartodirjo, Pendekatan ilmu sosial dan Metodologi sejarah (Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 1992), h 4-5 dan h. 144-156 16
Dudung Abdurahman. Metode Penelitian Sejarah.( Logos: Jakarta. 1999) h 64

10
bentuk historiografi dengan pedoman yang telah ditentukan dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.17
G. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan skripsi ini tentang “Dampak Kebijakan Pemerintah SK
N0. 167/P.M/1954 terhadap perrkembangan Islam di Mentawai (1954-1967).
Penulis menggunakan sistematika penulisan yang terdiri atas lima (5) Bab,
dimana tiap tiap bab merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antara yang
satu dengan yang lainya.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab ini, menguraikan mengenai dasar-
dasar dan arah pemikiran pembuatan skripsi ini. Pembahasan bab ini merupakan
pedoman untuk pembahasan pada bab-bab berikutnya.
Bab kedua membahas profil Mentawai meliputi letak geografis, sistim
kepercayaan,mata pencaharian dan Sosial Budaya.
Bab ketiga membahas sejarah Agama-Agama di Mentawai.
Bab keempat membahas perkembangan Agama Islam setelah dampak
Kebijakan Pemerintah SK N0. 167/P.M/1954 di berlakukan.
Bab kelima merupakan penutup, yang berisi kesimpulan dari setiap bab
sebelumnya dan juga berisi saran-saran.
17
Tim penyusun, Pedoman Penulisan Karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Desertasi,
(Jakarta: CeQDA, 2013/2014)

11
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MENTAWAI
A. Letak Geografis Kepulauan Mentawai
Nama Mentawai diambil dari istilah bahasa asli penduduk setempat, yaitu Si
Menteu, tetapi ada juga yang beranggapan berasal dari kata Simatalu yang berarti
Yang Maha Tinggi. Simatalu ini juga merupakan nama sebuah daerah yang
menurut cerita dahulu merupakan daerah tempat seorang pria Nias18
yang
bernama Amatawe terdampar, ia menetap di daerah tersebut dan mengakui daerah
itu sebagai daerahnya. Demikian timbul sebutan Amantawe yang berarti daerah
kepunyaan Amatawe. Tanah itu terletak di kepulauan Mentawai sekarang.19
Sebelum dikenal dengan sebutan Mentawai, orang-orang yang mendiami
kepulauan itu lebih dikenal sebagai orang Pagai atau Poggy. Sebutan ini terkait
sejarah kontak orang Mentawai dengan para pedagang. Perantau Minangkabau
dan pedagang dari Bengkulu lebih dahulu berinteraksi dengan orang-orang yang
bermukim di pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Pada waktu itu, Siberut belum
banyak dikunjungi pedagang. Dari laporan awal masa kolonial, orang di
kepulauan itu tidak pernah memakai Mentawai untuk menyebut kelompok
mereka.20
Sebelum merujuk penamaan yang lebih kolektif, orang Siberut menyebut
identitas masing-masing sesuai nama aliran sungai, nama tempat atau suasana
tertentu yang kemudian menjadi nama Uma. Seiring sejarah dan mulai dikenalnya
pulau Siberut oleh pejabat kolonial dan pedagang, munculah istilah „orang
Mentawe‟ untuk menyebut secara umum penduduk yang menempati kepulauan
itu. Orang Mentawe lebih merupakan penamaan dari pejabat kolonial Belanda
untuk mengklasifikasikan penduduk Siberut, Sipora dan Pagai. Lambat laun
18
Nias adalah sebuah Pulau yang berada di sebelah utara Kepulauan Mentawai
19
Edwin M Loeb,Sumtra Its History and People, (Singapura: Oxford University
press,1985), h. 158. 20
Darmanto & Abidah B. Setyowati, Berebut hutan Siberut: orang Mentawai, dan politik
ekologi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 44.

12
penamaan ini menjadi popular digunakan oleh para penulis laporan ekspedisi
kolonial untuk menyebut ratusan kelompok masyarakat yang mendiami kepulauan
tersebut.21
Mentawai merupakan jajaran kepulauan yang terletak di sebelah barat pulau
Sumatra termasuk Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatra Barat yang
meliputi pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan, serta pulau-
pulau kecil di sekitar pulau tersebut.22
Akan tetapi pada saat ini Kabupaten
Kepulauan Mentawai merupakan salah satu kabupaten muda di Provinsi Sumatra
Barat dengan posisi geografis yang terletak di antara 10-3
0 LS dan 98
0-101
0 BT
dengan luas wilayah sebesar 6.011,352 km dengan garis pantai sepanjang 758 km.
Posisi letak geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai ini merupakan sebuah
kepulauan yang terpisah dari Provinsi Sumatra Barat dengan batas sebelah utara
adalah Kabupaten Nias (Provinsi Sumatra Utara), sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Padang Pariaman, Pesisir Selatan dan Kota Padang, serta sebelah barat berbatasan
dengan Samudera Indonesia.23
Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas empat pulau besar yang tersebar
dan didiami oleh mayoritas penduduk ditambah pulau-pulau kecil. Keempat pulau
ini adalah Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai
Selatan. Kabupaten kepulauan Mentawai terdiri atas empat Kecamatan, 43 Desa
dan 202 Dusun. Keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Pagai Utara
Selatan (1.521,55 km2) dengan ibukota Kecamatan adalah Sikakap, Kecamatan
Sipora (651,55 km2) dengan ibukota adalah Sioban, Kecamatan Siberut Selatan
(1873,30 km2) dengan ibukota kecamatan adalah Muara Siberut, dan Kecamatan
Siberut Utara (1964 km2) dengan ibukota Kecamatan adalah Sikabaluan.
24
Kondisi geografis dan alam Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini sebagian
besar merupakan kawasan hutan (termasuk hutan lebat, hutan sejenis dan semak
21
Ibid., h. 45. 22
Ensiklopedi Indonesia IV, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1983), h. 2204. 23
Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka, (Tuapejat-Sipora: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2004), h. 1. 24
Ibid., h. 1.

13
belukar). komposisi luas lahan hutan menurut penggunaannya terdiri atas 0,24%
lahan sawah dan 99,76% lahan bukan sawah. Kawasan hutan memiliki persentase
terbesar yaitu mencapai 86,14% dari luas wilayah Kabupaten Kepulauan
Mentawai, sedangkan luas lahan yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya sektor
pertanian hanya sebesar 13,07%. Secara topografi, keadaan geografis Kabupaten
Kepulauan Mentawai bervariasi antara daratan, sungai dan berbukit-bukit dengan
ketinggian dari permukaan laut dua meter untuk seluruh ibukota Kecamatan.25
Di Kepulaan Mentawai tidak ada gunung, yang ada hanyalah bukit yang tidak
lebih dari 500 meter tingginya dari permukaan laut kepulauan tersebut berhutan
tropik dan dialiri oleh banyak sungai. Bukit-bukit yang ada memiliki kemiringan
sekitar 25-80% dan hutan tropik yang ada adalah hutan tropik tanah rendah. Hutan
tropik ini terdiri dari hutan bakau, hutan pantatai, hutan rawa, dan hutan tropik
campuran dengan pohon-pohon yang berdiameter besar (80-100 cm) dan tinggi
(50-60 cm) dengan kerapatan di beberapa tempat mencapai lebih 700 pohon per
hektar.26
Kabupaten kepulauan Mentawai beribukota di Tuapejat yang terletak di
Kecamatan Sipora dengan jarak tempuh ke kota Padang sepanjang 153 km. untuk
mencapai ibukota Sumatra Barat ini harus ditempuh jalur laut. Begitu pula halnya
trasportasi dari masing-masing ibukota kecamatan ke Kota Padang ataupun ke
ibukota Kabupaten juga harus ditempuh melalui jalur laut.27
B. Asal-Usul Masyarakat Mentawai
Neuman mengolongkan orang mentawai dalam tipe Melayu Polinesia.
Semenjak dahulu Pulau Sumatra didiami oleh orang Polinesia. Kemudian
datanglah orang Melayu dan mengusir mereka Jadi menurut Neuman, orang
Mentawai sisa orang Polinesia yang terusir.28
Orang Mentawai menyakini bahwa
mereka Berasal dari Nias, tetapi keyakinan itu lemah, karena dilandasi oleh
25
Ibid., h. 2 26
Koentjaraningrat (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
PustakaU tama, 1993), h. 50. 27
Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka., h. 3. 28
Neumann J.B, De Mentawei-einlanden, (Amsterdam: KNAG, XXVI, 1909), h. 181-213,
dalam: Stefano, Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta:Grafidian Jaya,1986), h. 9.

14
dongeng. Mereka menceritakan bahwa: „‟Pada zaman dahulu kala seorang Nias
yang bernama Ama Tawe pergi memancing ke laut. Sedang terapung-apung
ditengah lautan, turunlah badai dahsyat yang menyeret Ama Tawe terdampar ke
Mentawai di tepi pantai barat pulau Siberut. Ama Tawe naik kedarat dan ia
melihat tanah yang amat subur. Pohon sagu dan keladi tumbuh sendiri tanpa ada
orang yang menanamnya dan merawanya. Ama Tawe kembali ke Nias untuk
mengambil istri dan anak-anaknya. Dia bermaksud pindah dari Nias dan akan
menetap di Mentawai. Keberangkatanya ke tempat baru itu banyak diikuti oleh
orang Nias lainnya yang ingin merantau ke Mentawai. Akhirnya merekalah yang
mendiami daerah itu, kemudian lama-kelamaan menduduki seluruh kepulauan.
Nama mentawai berasal dari „‟Aman Tawe‟‟29
Menurut Stefano Cornose, suku Mentawai mirip dengan suku Sakei di
Malaysia. Sekalipun ada perbedaan, tetapi dalam banyak hal ada persamaannya.
Adat istiadat tata cara hidup hampir serupa. Seperti contoh, dua suku ini memakan
sagu dan tidak mengenal beras. Sama-sama memakan monyet. Perbedaanya
terletak pada cara berburu. Suku Mentawai menggunakan panah, sedangkan suku
Sakei mengunakan sumpitan untuk melepaskan damak beracun. Rokok pun
mereka kenal. Suku mentawai menyulut tembakau, sedangkan suku Sakei
mengunyah seperti menyugi, menyirih saja yang tidak ada di Mentawai.
Nampaknya ada kesamaan tentang asak usul dua suku ini, namun tidak ditemui
bukti dan atau tentang asal usul Mentawai. Para Sarjana dan ilmuawan berusaha
menyelidiki asal suku ini dengan melalui hipotesa-hipotesa saja.30
Bila dilihat dari warna kulit dan bentuk phisik orang mentawai, berapa ahli
menulis bahwa orang mentawai termasuk ras Melayu Polinesia, sama dengan
orang Hawaii, Marchesi dan Fiji di lautan pasifik. Seorang ahli phisik Van
Beukering (1947) secara prinsip orang mentawai termasuk dalam ras proto-
Melayu terutama didaerah timur laut Siberut. Di daerah Sipora dan Pagai
termasuk dalam ras detero-Melayu. Perbedaan ini pada prinsipnya hampir tidak
ada, proto-Melayu lebih menjurus ke Mongoloid dibanding dengan detero-
29
Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, , h. 12-13. 30
Ibid., h. 9.

15
Melayu. Sedangkan para antropologi menyatakan bahwa orang Mentawai adalah
ras campuran dengan ramput lurus dan ada juga yang berombak, kulit berwarna
serta bagi wanitanya berwajah kekanakan dan bertubuh pendek.31
C. Kepercayaan Masyarakat Mentawai
Orang Mentawai mempercai bahwa semua yang ada namanya mempunyai
jiwa atau roh, seperti manusia binatang tumbuh-tumbuhan semuanya itu memiliki
roh. Roh adalah semacam padanan spiritual dari segala sesuatu yang ada dan
merupakan makluk individual yang dapat melepaskan diri dari tubuh „‟kasar‟‟
serta berkeliaran secara mandiri fakta ini sebenarnya tidak memberikan
penggambaran yang buruk.32
Roh terwujud bersama jasad yang ditempati tetapi kemudian apabila jasad itu
musnah, roh yang bersangkutan tidak itut sirna, melainkan hidup terus. Menurut
orang Mentawai itu sudah pasti begitu, setidak-tidaknya pada manusia dan hewan
pada mereka roh-roh yang terus hidup memainkan peranan dalam upaacara-
upacara. Sedangkan apa yang selanjutnya terjadi dengan roh tumbuh-tumbuhan
serta benda apabila jasadnya sudah lenyap hal tersebut tidak dijadikan bahan
pemikiran.33
Agama asli masyarakat Mentawai adalah kepercayaan Sabulungan. Kata
Sabulungan berasal dari kata sa + bulung yang artinya sekeumpulan daun. Daun-
daunan dipandang masyarakat Mentawai mempunyai mana atau tenaga gaib.
Adapun roh (Dewa) pujaan menurut kepercayaan Sabulungan terdiri dari tiga
Macam Roh:
1. Roh laut (Tai Kagabat-Koat)
2. Roh hutan dan gunung (Tai Ka-Leleu)
3. Roh awang-awang (Tai Ka-Manua)
31
Bambang, Rudito,Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai,(Padang: Fisip
Universitas Andalas,1999), h. 11. 32
Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai,(Jakarta:Balai Pustaka,1991),
h. 125. 33
Ibid., h.125.

16
Roh laut memberikan segala macam ikan-ikan, buaya, mengadakan
gelombang dan badai, jadi ditakuti segala macam manusia. Roh hutan dan gunung
memberikan segala macam hasil bumi, binatang-binatang, dan segala sesuatu
yang tumbuh dan juga bersifat menyelamatkan, kadang-kadang membahayakan
manusia juga. Roh awang-awang (Tai Ka-Manua) memberi hujan, angin dan
tanda-tanda di langit34
Ketiga roh tersebut mempunyai suruhan untuk menyampaikan pesan dan
kesan terhadap Manusia di bumi ini, kadang-kadang dapat berwujud, kadang-
kadang hanya berbentuk angan-angan dan khayalan. Pesan-pesan tadi ada yang
baik dan ada yang tidak baik, dan pesuruh yang menyampaikan serta yang
mengesankan yang tidak baik lazim di sebut “saniti”, saniti diartikan dalam dua
corak, sebagai penjelmaan dari roh manusia yang telah mati (begu), atau yang
baik yang mengsankan yang tidak baik dan menakutkan yang disuruh oleh ketiga
roh hujan yang telah disebutkan dia atas tadi. Maka sesungguhnya inilai inti dari
kepercayaan Sabulungan dahulu, yang berabad-abad bersemayam dan berakar di
Mentawai yang bagian terbesar menghasilkan lembaga-lembaga adat Mentawai
sampai sekarang ini, dan menguasai perikehidupan dan kejiwaan Mereka.35
Masyarakat Mentawai penganut politheisme (bertuhan banyak) walaupun
politheisme masyarakat Mentawai tidak serupa dengan polithisme Yunani dan
Hindu. Menurut Agama ini badan orang yang mati tidak boleh dikuburkan kerena
pada hakikatnya tanah yang suci tidak mau menerima badan manusia yang penuh
dosa. Bila seorang manusia mati menurut kepercayaan Sabulungan harus
disemayamkan di atas permukaan bumi atau dibawah pohon yang rimbun-rimbun.
Keluarga yang dekat harus menjaga mayat itu seperti memandikanya dan
mengosok-gosok badannya sampai dagingnya hancur semua. Bila daging itu telah
hancur, ia harus dibawa pulang kerumah ( ke uma) besar mereka sehingga roh-roh
orang yang meninggal itu tetap tinggal dekat dengan keluarganya.36
Dalam
34
Herman Sihombing, Mentawai. (Jakarta: Pradnya Paramita,1979), h. 9. 35
Ibid., h. 9-10. 36
Mustafa G, dkk., Sastra Lisan Mentawai. (Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), h. 12.

17
literature lain yang penulis temukan mengenai kepercayaaan masyarakat
Mentawai ada pembahasan mengenai adat masyarakat Mentawai yang sangat erat
kaitanya dengan kepercayaan masyarakat Mentawai yaitu Arat yang berarti adat.
Sering penulis temukan istilah Arat dan Sabulungan yang dibaca secara
bersamaan. Mengenai kepercayaan Sabulungan telah penulis bahas sebelumnya
untuk selanjutnya penulis akan membahas mengenai Arat dikarenakan Arat inilah
yang menjadi pandangan hidup orang Mentawai.
Unsur yang kuat dalam menyatukan kebudayaan setiap rakyat adalah adat.
„‟Arat‟‟ dalam bahasa dan kebudayaan Mentawai mencakup bermacam hal yang
digolongkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang mutlak harus diterima tanpa
gugatan, karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang mendarah daging
dalam kehidupan bermasyarakat selama bertahun tahun. Oleh sebab itu Arat
menjadi norma kehidupan bagi manusia, secara pribadi maupun dalam keluarga
dan suku. Arat merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh
nenek moyang, dan kelestariaanya harus dijaga dengan baik.37
Memang arat menyebabkan orang mentawai menjadi konservatif, 38
namun
hal yang demikian tidak dapat mencabut akar kebebasan kehidupan, malah tetap
menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia. Setiap perbuatan yang
baik sesuai dengat Arat. Tingkah laku yang bertentangan dengan Arat disebut
dosa. Sesuatu hal yang belum pernah berlaku, dianggap kejahatan.
Menaati Arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi, yang menjadi
ukuran prima dalam setiap moralitas. Arat dijadikan landalan pokok dan norma
dalam penentuan segalanya: manusia, binatang, fenomena natural (gejala alamiah)
dan rentetan waktu. Garis haluan hidup berpedoman kepada Arat, dan Arat-lah
yang langsung mengaturnya. Arat bagi masyarakat Mentawai adalah keselarasan
dengan dunia pemersatu dengan uma39
dan jaminan hidup yang penuh kedamaian
dan ketenteraman.40
37
Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai., h. 36. 38
Bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi lama (turun temurun). Lihat:
KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 456. 39
Uma adalah umah adat Mentawai yang berupa rumah pangug besar yang dihuni bersama
sama-sama. Disitulah diadakan perayan religius yang berlangsung sampai berminggu-minggu, dan

18
D. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyakat Mentawai adalah bertani, nelayan dan hanya
sebagian kecil saja yang menjadi pedagang atau pegawai negri. Hasil pertanian
yang menjadi sumber pendapatan mereka adalah pisang, keladi (talas), kelapa, dan
buah-buahan, durian dan lain-lain. Sesuai perkembangan zaman, pada beberapa
daerah mulai dikembangkan tanaman cengkeh, pala dan nilam, sementara itu
dibidang pencaharian ikan hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-
hari.41
Selain menanam sagu, keladi dan pisang sebagai makan pokok, penduduk juga
menanam kelapa sebagai makan tambahan atau untuk dijual. Di samping itu,
selain bercocok tanam masyarakat Mentawai juga memelihar ternak. Binatang
yang sering dipelihara dengan baik adalah babi dan ayam yang dibuatkan rumah
atau kandangnya sendiri. Babi dan ayam diternakkan bukan untuk konsumsi oleh
keluarga sehari-hari tetapi lebih ditujukan untuk keperluan pesta. Aktivitas
ekonomi lainnya adalah mencari rotan di hutan, yang hasil rotan tersebut dijual
kepada pedagang pengumpul yang datang kekampung atau mereka langsung
menjulnya ke pasar. Kegitan mencari rotan ini tidak dilakukan setiap saat akan
tetapi dilakukan setiap ada permintaan.42
Kegiatan lain dalam rangka mata pencaharian adalah menangkap ikan dan
berburu penyu di laut. Kaum perempuan menangkap ikan di perairan yang
dangkal di tepi laut dengan menggunakan tangguk atau rajutan nilon yang
berbentuk melebar pada bagian depannya. Sedangkan berburu penyu dilakukan
oleh kaum laki-laki dengan mengunakan perahu dan tombak khusus untuk
menangkap penyu yang banayak tedapat pada laut dalam. Sambil berburu penyu
mereka juga mengumpulkan timun laut, swallow dan laklak, yang bisa dijual
kepada para pedagang.43
disitu pulalah tinggal seluruh anggota kelompok masing-masing seekitar lima sampai sepuluh
keluarga dalam satu uma. lihat Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai., h. 36. 40
Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai., h. 36. 41
Ikawan, “Interaksi Masyarakat Mentawai Dengan Pendatang,” (Tesis Program
Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial UI Jakarta, 2000), h. 50. 42
Ibid., h. 50 43
Ibid., 51.

19
Selain menangkap ikan di laut masyarakat Mentawai juga pergi ke ladang,
mereka pergi ke ladang berjalan bersama-sama sambil berbondong-bondong. Di
tengah-tengah perjalanan, mereka bercerita juga. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke
ladang dan baru sore mereka kembali. Seluruh penduduk kampong, tua muda
laki-laki perempuan turun ke ladang setiap hari kalua tidak punen (acara ke
Agamaan) sesudah masuknya Kristen setiap hari minggu mereka tidak pergi ke
ladang.44
Menurut pengamatan, secara keseluruhan bahwa orang mentawai itu bukanlah
pekerja yang baik tetapi mereka lebih suka bersenag-senang dan lebih suka
bermalas-malasan. Mereka pergi ke ladang dan pergi kelaut itu bukanlah semata-
mata untuk bekerja, tetapi kebanyakan di antara mereka lebih suka tidur-tiduran
sambil mengobrol-ngobrol. Itulah sebabnya sampai sekarang kehidupan mereka
masih sangat bersahaja.45
44
Mustafa, Sastra Lisan Mentawai., h. 23. 45
Ibid., h. 24.

20
BAB III
SEJARAH AGAMA-AGAMA DI MENTAWAI
A. Protestan
Menurut data-data yang di dapat dari pusat jemaat Protestan Mentawai dan
juga dari pejabat-pejabat pemerintahan agama ini jauh lebih dahulu diperkenalkan
kepada penduduk Mentawai. Zending Protestan yang berpusat di Bremen (Jerman)
dengan perantaraan wakil-wakilnya di tanah Batak dan daerah lainya di Indonesia
pada akhir abat ke-19 mendapat izin dari pemerintah Belanda untuk memasuki
kepulauan Mentawai dan menyiarkan agama Kristen Protestan di kepulauan ini1
Pada tahun 1901 masuklah Zending Protestan ke Mentawai yang dibawa
oleh Pendeta August Lett, bersama rekannya A. Kramer dari Jerman.2 Samapai
tahun 1914 zending Protestan bekerja disana tempat yang dipilih untuk pusat
pengajaran Protestan ialah Nemlohu (Sikakap) pulau Pagai Utara. Akan tetapi
belom ada seorangpun yang dapat dikristenkan; karena begitu kuatnya orang-
orang-asli menganut kepercayaan Sabulungan, sehingga usaha-usaha zending pada
permulaannya dititik beratkan pada:3 pengobatan, kebersihan penduduk,
pendidikan, dan pertukangan kecil-kecilan.
Pekerjaan inipun bersifat amat terbatas pada tempat-tempat yang dekat dari
Sikakap (Pagai Utara), karena penduduk asli Mentawai kurang mempercayai orang
kulit putih. Pada saat itu orang Mentawai melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Belanda disebabkan pemerintah Belanda memaksa mereka melakukan
pekerjaan rodi untuk membuat jalan kuda disekeliling pulau tersebut. Pada tahap
awal ini misi Kristen Protestan di Mentawai belum banyak berkembang
dikarenakan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh orang Mentawai terhadap
pemerintah Belanda4.
Pendeta August Lett dianggap menyokong masuknya Belanda ke Mentawai
oleh penduduk yang saat itu sedang menentang dan mengadakan perlawanan
1 Boesjra Zahir, Sosial ekonomoni kepulauan mentawai (Padang: Universitas Andalas,
1971), h 64. 2 Stefano Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta:Grafidian Jaya,1986), h. 28.
3 Herman Sihombing, Mentawai. (Jakarta: Pradnya Paramita1979), h. 94-95.
4 Ibid., h. 95.

21
terhadap Belanda. Pendeta August Lett ini dibunuh oleh penduduk asli di Teluk
Pulai (Pagai Utara) pada tanggal 20 Agustus 1909.
Sesudah itu datang pula Pendeta F. Borger pada tahun 1916 yang menetap
di Mentawai selama dua puluh tahun lebih. Zending aktif sekali berkarya dan
merasul, terutama selama tahun tiga puluhan. Di bawah Pendeta F. Borger
sebanyak 11 orang penduduk asli masuk Protestan pada tanggal 9 Juli 1916, inilah
dijadikan tanggal berdirinya Laminan Kristen Protestan Mentawai (LKPM) yang
bertempat di Nenemlehu. Sesudah perang Dunia ke dua, aktivitas zending
Protestan semakin ditingkatkan, sehingga Gereja protestan Mentawai mampu
berdiri sendiri.5
Pada tahun 1921 Dr. Albert C. Kruyt berkunjung ke Mentawai ia
menceritakan tentang keadaan Zending disana sebagai berikut:
“Tempat kedudukan Zending itu tidaklah dekat pada suatu kampung orang
Mentawai; ia terletak diantara tiga dusun: Sibaibai Sikaute di seberang sini
selat seai yang terletak diseberang sananya. Anak-anak dari tiga tempat
tersebut setiap hari mengunjungi sekolah yang ada di tempat zending itu.
Yang datang dari Seai setiap pagi dapat dilihat menyebrangi selat dengan
perahu-perahu mereka yang ramping; hanya tidak ada sebab hanya kalau
datang badai besar saja dapat menghalangi pelayaran di selat yang sempit
ini. Pekerjaan zending di daerah ini dimulai oleh tuan A. Lett pada tahun
1901, dia dibunuh tahun 1909 sewaktu berlangsung satu aksi untuk
menaklukan satu kampung yang memberontak di Pagai Selatan”.6
Sekarang ini ada dua orang pendeta penginjil yang bekerja disana, tuan-
tuan Borger dan Werkman, yang disebut pertama telah berangkat untuk cuti ke
Eropa sebelum ia datang. Sampai sekarang telah berdiri delapan sekolah zending
tujuh di Pagai Utara dan satu di Pagai Selatan yang guru-gurunya juga sekalian
menjadi penyebar Injil. Dua kampung: Silabu di pantai barat dan Saumangania di
pantai timur Pagai Utara telah menjadi pemeluk agama Kristen seluruhnya kecuali
beberapa orang saja di antaranya yang belum, sedang di kampung Sila oinan ada
tiga keluarga lagi yang sudah dipermandikan. Kenyataan yang menunjukkan bahwa
disana terdapat orang Kristen, berkat keadaan yang berarti itulah maka saya diberi
keterangan yang begitu mendalam tentang adat lama dan kebiasaan-kebiasaan
5 Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai., h. 28.
6 Albert C. Kruyt, Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai, (Jakarta: Inti Idayu
Press,1979), h. 9.

22
mereka.7 Begitulah keadaan agama Kristen Protestan pada tahun 1921 dimana
agama tersebut mulai berkembang dan telah mempunyai beberaapa pengikut.
B. Islam
Masuknya agama Islam di Mentawai ada beragam pendapat seputar hal
ini, meskipun tidak ada data yang pasti kapan pedagang tanah tepi mulai berdagang
ke Mentawai tetapi mereka itulah yang mengembangkan agama Islam secara
sambil lalu.8 Sebagian orang yang mendengar cerita dari mulut ke mulut
berpendapat bahwa Islam sebenarnya telah lama masuk ke Mentawai, bahkan lebih
awal dibanding agama lain ketika para pedagang Bugis dan Minangkabau datang
ke sana menjual barang-barang seperti kain, tembakau, parang dan garam. Jauh
sebelum pemerintahan Belanda, bahkan sebelum VOC masuk daerah ini,
pedagang-pedagang dari tanah tepi9 Sumatra Barat yang beragama Islam sudah
berhubungan dagang dengan penduduk Mentawai untuk membeli daun nipah, rotan
dan lain-lain dengan cara barter.10
Kemungkinan lain adalah Islam sudah masuk Mentawai sejak abad ke18
dibawa oleh orang Melayu. Informasi ini merujuk pada catatan Crisp pada tahun
1792 yang menunjukkan telah ada orang orang Melayu di Tunggu dekat Selat
Sikakap yang membuat sampan karena kualitas kayu di tempat tersebut bagus
Orang Melayu yang telah lebih dulu datang ke Mentawai tersebut diduga telah
memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang Mentawai. Orang Bengkulu
yang juga beragama Islam sudah datang ke Mentawai dan dianggap lebih dulu
dibanding orang-orang Minangkabau karena mereka bisa berbahasa Mentawai
sehingga hubungan orang asing dengan orang Mentawai terjalin lebih mudah.11
Menurut Abidin agama Islam merupakan agama yang paling awal masuk ke
Kepulauan Mentawai karena ada satu tempat di Pagai Utara yang penduduknya
7 Ibid., h. 9-10.
8 Mochtar Naim. "Kehidupan Agama di Mentawai" dalam Majalah Bulanan Mimbar
Ulama, No.8 Tahun I februari (Jakarta: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, 1977), h. 35.
Dalam jurnal, Maskota Delvi,Al-Ulum, “Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut
Isalam Mentawai di Siberut,” (Padang, 2012) volume 12 No 1, hal 11. 9 Tanah Tepi adalah nama lain untuk Sumatera Barat Daratan bagi orang orang Mentawai,
khususnya Pariaman dan Padang. 10
Gerard A. Persoon dan Reimar Schefold (ed), Pulau Siberut. (Jakarta: Bhratara Karya
Aksara, 1985), h. 116. 11
“Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut Isalam Mentawai di Siberut,”
dalam jurnal, Maskota Delvi,Al-Ulum, Volume 12 No. 1 tahun 2012, h 12.

23
beragama Islam dan mereka yang tinggal di sana merupakan generasi ke-5. Islam
di daerah ini dibawa oleh Tuanku Paman yang berasal dari Tanah Tepi atau
Pariaman. Berarti orang Minangkabau telah mengislamkan orang Mentawai sejak
awal kedatangan mereka di kepulauan tersebut.12
Beberapa sumber kepustakaan menyebutkan bahwa agama Islam sejak
tahun 1950-an sudah diperkenalkan pada orang Mentawai.13
Di awal-awal
masuknya Islam di Mentawai dibawa oleh para pedagang yang kemudian menetap
di sana, dan pada perkembangan selanjutnya orang-orang Minangkabau di
Mentawai yang melakukan penyebaran agama Islam melalui para mualim-mualim
yang bertugas di Mentawai saat itu. Mualim tersebut umumnya berasal dari daratan
Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan nama Tanah Tepi, dan meskipun pada
zaman Jepang di Mentawai dilarang mengajarkan agama, namun kegiatan para
mualim Islam ke kampong-kampung tetap saja berlangsung sehingga orang
Mentawai menjadi pengikut Islam sekalipun jumlahnya hanya beberapa orang saja,
namun setelah tahun 1950-an kegiatan penyiar-penyiar agama Islam secara
perlahan-lahan lebih berkembang lagi di Mentawai.14
Pendapat di atas juga dikuatkan oleh tulisan Albert C. Kruyt, yang mana
dalam laporanya tidak pernah ada membahas tentang aktivitas dakwah Islam pada
tahun 1921 di Mentawai.15
Maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya Islam baru
berkembang di mentawai pada tahun 1950an. Mengenai perkembangan agama
Islam pada tahun 1950 bisa dilihat dari berita yang dimuat oleh Koran Haluan
sebagai berikut:
Mengenai adjaran Agama Islam di daerah Mentawai dalam rangka
usaha Panitia pembantu Muslim Mentawai, Ahmad Qira dijelaskan bahwa
ia adalah salah satu usaha dari panitia tersebut. Sekang ia telah dapat
menguasai sebahagian besar pokok-pokok Agama Islam dan telah sanggup
pula memberikan peladjaran kepada tema-temannja. Dari tanggal 26
Oktober sampai 26 September 1954 jang lalu di Sikakap telah diadakan
Kursus. Mata peladjaran meliputi pokok-pokok Agama Islam, sembahyang,
12
Mas‟oed Abidin, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, 30 tahun Perjalanan
Da‟wah Ila‟llah, Mentawai Menggapai Cahaya Iman. (Jakarta: Biro Khusus Dakwah Mentawai,
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), h. 98. 13
Persoon dan Schefold (ed), Pulau Siberut., h. 44. Lihat juga Sihombing, Mentawai, h. 33.
14 Ibid., h. 103.
15 Kruyt, Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai, h. 50.

24
dan selain itu juga diajarkan mengenai halal haram dari bahan-bahan untuk
dimkan dan dipakai. Dalam latihan selama 1 bulan jang lalu di Sikakap
diikuti oleh 31 orang termasuk 6 orang perempuan. Latihan ini akan
dilandjutkan pada keselurun negri dikepulauan tersebu.
Peladjaran diberikan oleh saja sendiri, demikian Ahmad Qira saja
sendiri dan suleman Murad. Sedang hasilnja sekarang ini rakjat Mentawai
telah dapat mengadakan suatu perubahan besar ditengah-tengah masjarakat
mereka. Diantaranja dalam penjelenggaraaa majat. Jang selama ini
diletakkan sadja di atas kaju didekat-dekat sungai, sampai habis begitu
sadja. Disamping familinja selama 1 tahun terlarang mentjari makanan.16
Ahmad Qira ini adalah seorang pemuda Mentawai yang sebelum
memeluk agama Islam dia adalah postor Kristen di Mentawai. Ia berupaya
supaya agama Islam bisa cepat berkembang di Mentawai. Pada tahun
1950an agama Islam dibawa oleh oleh para mualim-mualim, dan aparat
pemerintahan yang ditugaskan di Mentawai. Pada masa itu ada Camat
yang sangat disukai pemerintahanya penduduk setempat meminta agar
camat tersebut tidak diganti. Gambaran mengenai camat tersebut sebagai
berikut:
Siberut utara kini dipimpin oleh Sajuti Amin dan S Selatan oleh Tjamat
Abdullah kedua dua Tjamat ini sama-sama ditjintai oleh penduduk asli
karena demikian dalam rapat chusus jang diadakan baik di M Sikabaluan
maupun di M siberut dari penduduk masing-masingnja keluar permohonan
agar kedua tjamatnja tidak dipindahkan.17
Dari gambaran diatas dapat penulis simpulkan bahwa kedua Camat
tersebut beragama Islam hal itu bedasarkan dari nama Camat tersebut yang
memakai nama Islam, meskipun demikian dalam koran yang penulis kutip tidak
ada membahas tentang aktivitas dakwah camat tersebut.
Adapun orang Mentawai yang berhasil “dibujuk” menjadi pemeluk agama
Islam diberikan beasiswa untuk belajar agama Islam di Tanah Tepi, seperti di
Padang Panjang, Bukittinggi, Pariaman dan Padang. Para pelajar Mentawai yang
telah mendapatkan ilmu agama tersebut kemudian dikirim kembali ke kampung-
kampung di Mentawai guna mengajarkan ilmu yang telah mereka dapatkan di
16
“Pokok-pokok Agama Islam telah mulai berdjalan di daerah Mentawai Koperensi Islam
dan Kristen, putuskan larangan tjawat di Mentawai,” dalam Koran Haluan, 4 November 1954, h.
2. 17
“Dari pulau kepulau di Mentawai II,” dalam Koran Haluan, 7 April 1955, h. 2.

25
daratan Sumatera pada orang-orang di Mentawai yang belum atau baru memeluk
agama Islam.18
Begitulah perkembangan Islam pada masa awal di Mentawai.
C. Katolik
Selama tahun 1954 Mentawai berkali-kali dikunjungi pastor dan
pembangunan sebuah rumah di Siberut telah dimulai pada akhir tahun itu juga
yang diresmikan pada bulan Mei 1955 dan menyusul sebuah Gereja yang
diresmikan tanggal 15 Agustus 1955.19
Pada tahun 1954 pastor pastor Katolik menjalankan misi ke Mentawai
yang dipandu oleh pastor Aurelio Cannizazaro. Diwaktu yang bersamaan datang
juga Petrus dan Angelo Calvi kedua pendeta ini adalah saudara.20
Pada awalnya
misi Protestan datang kepulau Pagai untuk melihat keadaan penduduk, akan tetapi
pada waktu tersebut agama Kristen Katolik telah berkembang lebih dahulu di
pulau Pagai, maka usaha misi diarahkan ke pulau Siberut.
Misi Kristen Katolik dipusatkan di Siberut bagian Selatan. Yang pada
awalnya dibangun sekolah, poliklinik, yang berdekatan dengan Gereja agar
masyarakat tertarik dengan agama kristen Katolik, bangunan-bangunan tersebut
dibuat dengan indah sebgai salah satu daya tarik. Dan memberikan kain, obat-
obatan, gambar-gambar, patung-patung dan makanan kepada penduduk secara
cuma-cuma.
Strategi yang digunakan oleh Misi Kristen Katolik dalam mengkatolikan
orang asli disana dengan cara mencarai orang yang agak pandai dan mengetahui
keadaan penduduk asli, terutama yang mengetahui tentang dasar-dasar ke-
kristenan di tempat-tempat dimana orang telah beragama. Dengan memberikan
bermacam-macam pemberian maka dengan perantara orang inilah mencari
pengikut Kristen Katolik. Bersamaan dengan hal tersebut maka langsung didirikan
bangunan-bangunan peribadatan dan dan tempat-tempat pendidikan lainnya.
Penghubung tadi amat disukai karena tadinya telah beragama Kristen, yang telah
18
“Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut Isalam Mentawai di Siberut,”
dalam “Jurnal Maskota Delvi,Al-Ulum,”Padang, Volume 12 No.1 tahun 2012, h. 13-14. 19
Sejarah Gereja Katolik Indonesi., h. 144. 20
Stefano Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta:Grafidian Jaya,1986), h. 29.

26
paham akan bahasa daerah, karena pastor-pastor tersebut belum dapat berbahasa
daerah disana.21
D. Bahai
Masuknya agama Baha‟i di Indonesia dilakukan oleh pedagang dari Persia
dan Turki bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi di Sulawesi sekitar tahun
1878. Dari Sulawesi, ajaran ini menyebar ke tempat lain. Namun, ada pula yang
mengatakan bahwa ajaran Baha‟i di Indonesia dibawa oleh seorang dokter dari
Iran yang datang ke Mentawai, Sumatra, untuk menjadi relawan membantu orang
miskin, pada 1920. Dari waktu ke waktu, dia berhasil menyampaikan iman Baha‟i
sebagai gerakan keagamaan baru di Indonesia, sehingga menyebar ke pulau-pulau
lain seperti Kalimantan, Jawa dan Bali22
Mengenai masuknya agama Bahai ke Mentawai, penulis menemukan
laporan yang dimuat diharian Haluan pada tanggal 7 April 1955 sebgai berikut:
“Bahai jang dianut oleh Dokter pemerintah dari Iran. Dr Rahmatullah
dengan isterinja. Adapun gerak untuk memperkembangkan Bahai oleh Dr
Rahmatullah sampai waktu ini belum kelihattan tetapi sebagai mana
tugasnja sebagai seorang beragama, tentu ia akan berusaha untuk
memperbanjak kawan dan pengikut. Entalah kalau dimasa jang..akan dang,
ia akan memperlihatkan kegitannja dan kalau beanar seperti jg dikirakan
itu, maka Muara siberut dikelak kemudian hari mungkin akan menjadi
pusat perdjuangan Agama dikepulauan Mentawai.”23
Pada tahun 1955 datang ke Mentawai para penyebar agama Bahai dari
Jawa Tengah dan Tapanuli untuk melanjutkan misi dr. Rahmatullah dengan
mendapat nafkah yang amat memuaskan dari organisasi penyiar Bahai. Cara
penyebaran Agama Bahai amat luar biasa dimana mereka untuk menarik hati
masyarakat lebih tabah dari semua zending agama yang ada di Mentawai. Tetapi
dalam banyak hal terdapat pertentangan antara penyiar Bahai dengan pemerintah.
Dari laporan di atas pada tahun tersebut agama Bahai belum berkembang
di Mentawai, akan tetapi pada tahun selanjutnya agama Bahai telah berkembang
dengan pesat. Perkembangan agama Bahai di Mentawai (khususnya di Siberut)
yang sebarkan oleh dr Rahmatullah, seorang dokter pemerintah, sambil bekerja
21
Sihombing, Mentawai. h. 107-108. 22
http://yosuna.com/3556/riwayat-agama-bahai-di-indonesia 23
“Dari pulau kepulau di Mentawai II,” dalam Koran Haluan, 7 April 1955, h. 2.

27
sebagai dokter pemerintah dia juga mengembangkan agama Bahai dengan sangat
giatnya ke kampung-kampung pedalaman sambil memberikan obat-obatan dan
pemberian lainnya secara cumin-cuma. Usaha dr. Rahmatullah membawa hasil
yang besar karena dalam tempo yang singkat pemeluk agama Bahai sudah
mencapai 2500 orang pada tahun 1960.24
Pada tanggal 15 Agustus 1962, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres
No. 264/1962 yang melarang organisasi Baha‟i bersama organisasi-organisasi
lainnya: Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmet, Selaren-Loge
(Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical, dan
Organization Of Rucen Cruisers (AMORC). Namun pada era Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), beliau mencabut Keppres No. 264/1962 dengan
Keppres No. 69/2000. Dengan demikian, Gus Dur mengakui secara konstitusional
keberadaan ajaran Baha‟i dan memperbolehkan menjalankan aktivitas
keagamaannya.25
Pada perkembangan selanjutnya agama Bahai sampai sekarang masih
banyak yang menganut agama ini sampai sekarang walaupun upacara untuk
agama ini tidak tampak diselenggarakan. Kenyataannya, walaupun pemerintah
melarang agama ini untuk beredar banyak penduduk yang masih menganutnya
sampai sekarang. Dalam perkembngannya agama Bahai telah membangaun
gedung sekolah di pulau Siberut. Sampai sekarang agama Bahai ini masih dianut
oleh sebagian masyarakat dan bahkan suku lain di samping masyarakat Mentawai,
selanjutnya penyebaran agama ini dilakukan oleh orang-orang dari suku Jawa dan
Batak.26
24
Sihombing, Mentawai, h. 118-119. 25
http://yosuna.com/3556/riwayat-agama-bahai-di-indonesia 26
Bambang Rudito, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, (Padang: Fisip
Universitas Andalas,1999), h. 110.

28
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH SK N0. 167/P.M/1954
TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI MENTAWAI
A. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Mentawai pada tahun 1920 mengalami proses pengurangan
karena serangan epidemic dan penyakit lainya. Namun angka penduduk yang nyata
memberikan suatu gambaran yang lain. Angka-angka penduduk yang paling tua
tercantum dalam buku pegawai pamong praja Inggris bernama W. Marsden tentang
Sumatra pada tahun 1796. Sekitar tahun itu penduduk seluruh kepulauan Mentawai
diperkirakan berjumlah 1400 orang. Perkiraan itu mungkin terlampau rendah,
karena dalam pertengahan abad ke-19 ada buku yang melaporkan suatu jumlah
yang melebihi 11.000 orang.
Gambaran sensus 1930 yang dilakukan oleh pemerintah jajahan pada waktu itu
menunjukan adanya jumlah orang Mentawai yang mendiami 4 pulau adalah 18.300
jiwa yang terdiri dari 9.352 orang laki-laki dan 8.239 orang perempuan. Dari
jumlah itu, penduduk dewasa menduduki jumlah yang terbesar dibandingkan
dengan jumlah bayi dan anak-anak dan remaja
Jumlah penduduk Mentawai menurut jenis kelamin dan golongan
penduduk tahun 1930
Jenis kelamin Bayi Remaja Dewasa
Laki-laki 278 3.285 5.779
Permpuan 270 2.636 5.387
Dari data sensus tahun 1930 tersebut, penduduk laki-laki ternyata menduduki
jumlah terbanyak terutama pada usia remaja bila dibandingkan dengan perempuan
dalam tingkat rationya, apalagi bila dibandingkan lagi dengan ratio pada waktu
bayi dan dewasa. Hal ini tentunya terkait dengan pendataan yang dilakukan pada
masa itu yang menurut seorang ahli yang bernama Hetty Nooy Palm, menyatakan

29
bahwa penduduk Mentawai bersifat pemalu pada tingkat remaja terutama pada
jenis kelamin perempuan. Sehingga kemungkinan besar para perempuan Mentawai
bersembunyi dari pendataan yang dilaksanakan.
Jumlah Penduduk Mentawai 19301
Wilayah Jumlah Jiwa Jumlah dusun
Siberut 9.268 Sekitar 12
Sipora 3.829 Sekitar 9
Pagai Utara 2.869 Sekitar 18
Jumlah 18.300 Sekitar 57
Dari data dalam sensus 1930 ini dapat dilihat bahwa jumlah terbesar penduduk
Kepulauan Mentawai berada di pulau Siberut. Tentunya hal ini selain Siberut
merupakan pulau terbesar di kepulauan Mentawai, juga pulau Siberut merupakan
daerah asal suku Mentawai.
Sensus yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990 terjadi
kenaikan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak berarti bila dibanding dengan
sensus tahun 1930. Hal ini berkaitan dengan model dari sensus itu sendiri yang
tidak lagi mencantumkan nama suku bangsa sebagai asal penduduk, sehingga
kenaikan jumlah orang Mentwai dapat diperkirakan tidaklah terlalu banyak
sepanjang kurun waktu 60 tahun, karena jumlah penduduk yang tertera secara
keseluruhan di kepulauan Mentawai yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu
suku Mentawai dan para pendatang. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya peduduk asli Mentawai yang bermigrasi ke pulau Sumatra atau ke pulau
lain di Nusantara ini yang tidak terdata pada sensus di daerah tujuan migrasi yang
bersangkutan.
Melihat dari sifat kebudayaan yang terutama keterkaitan dengan lingkungan
alam serta adanya pola pemukiman serta organisasi sosialnya yang terkait pada
1 Volkstelling 1930, dl IV, In hee,sche bevolking van Sumatra (census 1930 in the
Netherlans Indies, Vol, IV, Native populatin Of Sumatra)

30
uma2 hal ini dapat dikatakan tidak memberikan kontribusi yang banyak terhadap
kenaikan terhadap keaadaan jumlah penduduk asli di kepulauan Mentawai. Seperti
misalnya adanya penduduk pada tingkat usia sekolah maupun mahasiswa yang di
asramakan oleh Gereja di ibu kota provinsi (Padang); adanya pekerja musiman
yang bekerja di Padang, adanya penduduk yang sudah tinggal dan menetap di kota
Padang dan seterusnya.3
Sensus penduduk Indonesia yang diadakan tahun 1930 mencatat dari 18.000,
sedangkan pencatatan yang dilakukan oleh organisai Piamian Kristen Protestan
Mentawai pada tahun 1966, menunjukan bahwa jumlah penduduk kepulauan
Mentawai sudah lebih dari 20.000 orang.4
Penduduk Mentawai pada tahun 1855, 1930, 1966
Pulau 1855 1930 1966
Siberut 7.090 9.268 …………
Sipora 1.450 3.892 4.616
Pagai Utara 1.300 2.669
Pagai Selatan 1.250 2.071
Jumlah 11.090 17.000
Kenaikan penduduk di Mentawai tahun 1961-19715
No. Tahun Siberut
Utara
Siberut Selatan Sipora Pagai Utara
selatan
Jumlah
1 1961 5. 809 7. 020 4.671 7. 193 24. 693
2 1962 5. 839 7. 320 4.791 7. 426 25. 286
2 Uma adalah umah adat Mentawai yang berupa rumah pangug besar yang dihuni bersama
sama-sama. Disitulah diadakan perayan religius yang berlangsung sampai berminggu-minggu, dan
disitu pulalah tinggal seluruh anggota kelompok masing-masing seekitar lima sampai sepuluh
keluarga dalam satu uma. lihat Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai., h. 36. 3 Universitas Indonesia fakultas ilmu sosial dan ilmu politik tesis Bambang Rudito fungsi
upacara bei tei uma pada orang mentawai hal 91 4 Koentjaraningrat. (edt), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1979), h. 54. 5 Laporan: survey terbatas kelompok masyarakat Mentawai di Cipungan kecamatan
Siberrut Utara, kabupaten padang pariaman propinsi Sumatra Barat , direktorat masyarakat
terasing direktorat jendral bina sosial R.I 1976

31
3 1963 5.904 7. 446 4. 931 7. 656 25. 937
4 1964 5.904 7.669 5.061 7. 829 26. 526
5 1965 5.929 8. 134 5. 172 8. 125 27. 125
6 1966 5.129 8.377 5. 4321 8.358 28. 942
7 1967 5. 966 8. 377 5. 451 8. 824 28. 358
8 1968 6.201 8. 027 5. 581 8. 824 28. 633
9 1969 6. 228 8. 885 5. 711 9.054 29. 878
10 1970 6. 595 7. 970 5. 844 9. 290 29. 599
11 1971 6. 761 7. 971 5. 982 9. 324 30. 038
Jumlah penduduk Mentawai tahun 19906
Wilayah Jumlah Jiwa Jumlah dusun
Siberut utara 11. 499 10
Siberut Selatan 13.067 10
Pagai Utara/selatan 19.465 10
Jumalah 54.766 40
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa laju kenaikan penduduk
Mentawai tidaklah terlalu signifikan dan cenderung lamban, walaupun ada
kenaikan dalam kurun waktu sepuluh tahun akan tetapi kenaikan tersebut tidaklah
terlalu besar hal itu disebabkan oleh lemahnya pemeliharaan kesehatan oleh
penduduk Mentawai dan kurangnya sarana kesehatan di Mentawai. Selain itu
adanya wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian.
B. Perbandingan Jumlah Pemeluk Agama
Data yang paling awal mengenai jumlah pemeluk agama Protestan yang
penulis dapat dari Koran Haluan tahun 1955 adalah sebagai berikut:
“Menurut tjatatan jang diterima dari Pendeta Protestant di Sikakap di
Mentawai terdapat jang memeluk Agama Protestant 10.194 orang dan
kalau angka ini tidak meleset, maka penduduk jang selainnja memeluk
Agama Islam atau Sabulungan (Agama penduduk asli) tetapi menurut
6 Padang Pariaman dalam Angka 1990 Kantor Statistik Padang Pariaman

32
keterangan jang diperdapat dari kalangan yang lainnja agama penduduk
asli sudah hampir habis terbasmi semuanja.”7
Sampai tahun 1960 penganut Agama Protestan di Mentawai mengalami
banyak peningkatan sebgai berikut:
No Kecamatan Jumlah Penduduk Penganut
Protestan
Agama Lainnya
1 Pagai Utara &
Selatan
7627 7000 627
2 Sipora 5502 5321 181
3 Siberut Utara 5357 350 1857
4 Siberut Selatan 6424 3000 3224
Jumlah 24. 910 18. 821 6. 089
Dari data di atas telihat masyarakat Mentawai mayoritas beragama
Protestan. Sedangkan sisanya pemeluk agama Islam dan Katolik. Menurut data
dari Piamain Kristen Protestan Mentawai (PKPM), di Sipora dan Pagai pemeluk
Protestan ada 55%, Katolik 34%, dan Islam 11%. Sedangkan untuk tahun 1966
dapat dilihat dari dalam table dibawah ini.8
Angka-angka Agama di Sipora dan Pagai tahun 1966
Pulau Protestan Katolik Islam
Sipora 4.169 253 194
Pagai 7.099 435 39
Jumlah 11.268 688 233
Sedangkan pada tahun 1969 jumlah pemeluk agama Protestan di Mentawai
mengalami peningkatan yang signifikan. sebagaimana yang terlihat dalam tabel
berikut;
7 “Dari Pelau ke Pulau di Mentawai I”, d Haluan, 6 april 1955, h. 2.
8 Koentjaraningrat. (ed), Manusia dan kebudayaan di Indonesia., h. 63.

33
Jumlah Perbandingan Penganut Agama di Mentawai9
Kecamatan Protestan Islam Katolik Tidak
beargama
Siberut Utara 2.000 659 446 3.015
Siberut Selatan 1.798 710 4654 1.643
Sipora 3580 1250 130 630
Pagai
Utara/Selatan
7.993 818 779 ----
Jumlah 15. 371 3.437 5. 988 5.388
Dari tabel diatas kelihatan jumlah seluruh penduduk Mentawai 29. 884 jiwa dapat
dipersentasekan sebagai berikut:
Agama Jumlah (orang) Persentase (%)
Islam 3.454 13
Protestan 15. 371 52
Katolik 5. 980 19
Tidak beragama 5. 384 16
Jumlah 29. 884 100
Dari kedua tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dari seluruh
kecamatan yang ada di Mentawai agama Protestanlah yang paling besar
penganutnya yaitu 15. 371 jiwa atau kurang lebih 52% dari seluruh jumlah
penduduk. Agama katolik mempunyai penganut 19% dari jumlah penduduk
Mentawai yaitu 5.980 jiwa, agama Islam penganutnya 3.545 jiwa lebih kurang 13%
dari jumlah penduduk. Sedangkan yang tidak beragama 5388 jiwa. Dari data di atas
dapat penulis tarik kesimpulan bahawa pasca dilaksanakannya rapat tiga agama di
Mentawai agama Islam tidak menjadi pihihan utama penduduk Mentawai terbukti
dari ketiga agama di atas agama Islamlah yang paling sedikit penganutnya.
9 Boesjra Zahir, Sosial ekonomoni kepulauan mentawai (Padang: Universitas Andalas,
1971), h 69

34
Sedangkan para pegawai pemerintah yang ada di Mentwai Monyoritas beragama
Islam. walaupun kepulauan Mentawai berada dalam wilayah Sumatra Barat10
hal
tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap perkembangan islam di
Mentwai.
C. Pranata Sosial
1. Lembaga Pendidikan
Pada masa awal pendidikan Islam di Mentawai dilakukan dengan cara
mengirimkan pemuda Mentawai yang telah memeluk islam ke tanah tepi untuk
belajar Agama, sebgaimana telah dilaporkan dalam Koran haluan sebagai berikut;
“Setelah mengadakan latihan selama 1 bulan di Sikakap Pagai
Utara-Selatan, Ahmad Qira salah seorang terkemuka dan pelopor Agama
Islam Mentawai telah sampai di bukittinggi untuk mendengarkan urai-
uraian dan pedoman-pedoman selandjutnja mengenai Agama Islam sebagai
memperdalam ilmu. Sedang di Mentawai sekarng ini telah mulai berdjalan
pokok-pokok Agama disamping putusan memutus tjaawat dan
menggantinya dengan pakaian, telah dapat didjalankan dengan gembira
oleh Masjarakat mentawai. Demikianlah kesan-kesan Ahmad Qira seorang
pemuda Mentawai jang dahulunja menjadi Pastor Kristen di Mentawai
dalam pertjakapan dengan Haluan.11
Mengenai adjaran Agama Islam di daerah Mentawai dalam rangka
usaha Panitia pembantu Muslim Mentawai, Ahmad Qira dijelaskan bahwa
ia adalah salah satu usaha dari panitia tersebut. Sekang ia telah dapat
menguasai sebahagian besar pokok-pokok Agama Islam dan telah sanggup
pula memberikan peladjaran kepada tema-temannja. Dari tanggal 26
Oktober sampai 26 September 1954 jang lalu di Sikakap telah diadakan
Kursus. Mata peladjaran meliputi pokok-pokok Agama Islam, se dan lain
disamping halal haram dari bahan-bahan untuk dimkan dan dipakai. Dalam
latihan selama 1 bulan jang lalu di Sikakap diikuti oleh 31 orang termasuk
6 orang perempuan. Latihan ini akan dilandjutkan pada keselurun negri
dikepulauan tersebu.
Peladjaran diberikan oleh saja sendiri, demikian Ahmad Qira saja
sendiri dan suleman Murad. Sedang hasilnja sekarang ini rakjat Mentawai
telah dapat mengadakan suatu perubahan besar ditengah-tengah masjarakat
mereka. Diantaranja dalam penjelenggaraaa majat. Jang selama ini
diletakkan sadja di atas kaju didekat-dekat sungai, sampai habis begitu
sadja. Disamping familinja selama 1 tahun terlarang mentjari makanan.”12
Jika dilihat masalah pendidikan dan perkembangannya di Mentawai,
sebagai lokasi kajian skripsi ini, bila dirujuk pada kajian yang dibahas olah Herman
10
Mayoritas penduduk sumtra barat Islam 11
Pokok-pokok Agama Islam telah mulai berdjalan didaerah Mentawai 12
Ibid., h. 4.

35
Sihombing menyebutkan bahwa pada tahun 1950 telah dimulai pemberantasan buta
huruf di Mentawai oleh guru-guru agama. Program tersebut dikenal dengan nama
Pembrantasan Buta Huruf (PBH) yang dibantu oleh guru-guru sukarela anjuran
pemerintah, program tersebut tidak berjalan dengan lancar dikarenakan
kekurangnya tennga pengajar dan minimnya fasilitas, sehingga dikampung-
kampung Pagai dan Sipora banyak ditemukan masyarakat yang buta huruf. Pada
saat itu di Mentawai telah didirikan sekolah rakyat (SR) namun pendidikan
masyarakat Mentawai hanya sampai sekolah rakyat tersebut dikarenakan belum
adanya sekolah yang lebih tingggi, sehingga mereka kembali bertani dan kembali
kepada cara-cara kehidupan yang lama.13
“Dalam lapangan pendidikan diperoleh kesan, di Sikakap nampaknja
agak mundur-berkurang djumlah muridnja. Sedan tentang bangunan gedung
sekolanja dapat dikatakan sudah memuaskan. Hal ini disebabkan djauhnja
jarak antara tempat tinggal murid-murid dengan sekolah jang harus
dikundjunginja, sedang perhubunga lalu lintas agak sukar. Dan ditempat-
tempat lain di kepulauan Mentawai dapat dikatakan ada memuaskan”.14
Pada tahun 1970 kegiatan keagaman Islam di mentawai yang berhasil
penulis temukan di Mentawai meliputi, pengadaan wirid atau pengajian di Masjid,
pengajian Quraan di surau-surau dan rumah pendatang, mendirikan sekolah
ibtidaiyah, mengadakan didikan subuh, membentuk misi Islam, memberikan
bantuan muaalaf Islam, memberikan bantuan bagi mubalig Islam, memberikan
bantuan beasiswa untuk anak-anak asli Mentawai untuk bersekolah ke Sumatra
Barat, membentuk badan sosial, dan membangun Masjid dan Surau15
. Dari uraian
diatas Islam telah berkembang di Mentawai dalam periode dua puluh tahun namun
perkembangannya tidak terlalu signifikan
Sedangkan pengembangan pendidikan bagi agama katolik adalah
menjadikan gereja berfungsi ganda seperti penggunaan gereja untuk rumah sekolah
pada siang hari pada hari-hari kerja (senin sampai sabtu), sedangkan pada hari
minggu dipakai untuk melakukan sembahyang.16
13
Herman sihombing, Mentawai, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), h. 125. 14
“Mentawai Pulau Harapan Dimasa Lampau,”Harian Penerangan, 7 Juni 1956, h. 2. 15
Boesjra Zahir, Sosial ekonomoni kepulauan mentawai (Padang: Universitas Andalas,
1971), h 70. 16
Bambang rudito, Masyarkat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai (Padang:
Laboratorium Antropologi, 1999), h 174.

36
Salah satu usaha khusus gereja Katolik ialah membangun sekolah dan
melaksanakan pendidikan, begitu pula di Siberut, sejak permulaan ditempuh
kebijaksanaan Siberut tersebut, mengingat bahwah tidak ada perkembangan atau
kemajuan manusia dan sosial tanpa pendidikan. Oleh karena itu, pada tahun 1955
dibuka sebuah sekolah Katolik pertama di kecamatan Siberut selatan yaitu di
kampung Siberut hulu. Sejak saat itu sekolah-sekolah yang disponsori oleh gereja
katolik menjadi semakin banyak. Pada tahun 1971 di Seberut selatan dan utara
murid yang ditampung di sekolah katolik berjumlah 347 orang. Pada tahun 1975
ditempat yang sama, muridnya menjadi 1354 orang. Pada tahun 1980 dapat
menampung sebanyak 1263. Salah satu usaha gereja Katolik yang menonjol adalah
pendirian asrama di Muara Siberut dan Sikabaluan untuk mempermudah
penyelesain pendidikan SD bagi anak-anak Mentawai yang berasal dari
pedalaman. Perlu dicatat bahwa di pelosok-pelosok amat sulit melengkapi sekolah
sampai kelas IV SD, berhubung anak-anak dikelas IV sudah mencapai usia 17
tahun ke atas dan dengan demikian sudah datang masanya untuk dikawinkan. Hasil
dari karya yang tidak ringan itu cukup memuaskan. Pada ujian (EBTA) murid
sekolah katolik menempuh ujian Negara dan lulus 100%. Banyak dari anak lulusan
SD di Mentawai melanjutkan pendidikannya pada SMP di Padang. Dan diantara
mereka sudah ada beberapa yang lulus SPG ataupun sedang dipersiapkan menjadi
guru. Ada pula yang dari SD melanjutkan ke sekolah pertukangan kayu selama tiga
tahun di Sipora. Untuk putri yang lulus kelas IV SD sudah ada kesempatan
mengikuti kursus PKK selama satu tahun di Sikabaluan.17
Pengembangan SDM Mentawai melalui pendidikan dan penempatan kerja
menurut profesi Pada periode 1977-1997
No Profesi L P SPG/
SMA
PGA/
MAN
SI D
II
Kjrn P.
Fallah
Twlb Jumla
1 Guru 11 22 20 3 2 7 1 - - 33
2 Paramedis 1 3 - - - - 4 - - 4
3 Dai 36 4 4 11 3 7 6 5 4 40
17
Gerard Person dan Reimar Schefold, ed.,Pulau siberut Pembangunan Sosio-ekonomi,
Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1985), h. 112-
113.

37
4 Kep.Sekolah 8 - - - - 7 - 1 - 8
5 Sek. Desa 5 1 3 - - 1 - 2 - 6
6 Peg. Negri 19 3 4 - 5 2 4 2 - 22
7 S/I . P.Negri 1 13 4 5 1 1 3 - - 14
8 R. YPMM 15 7 12 - 5 4 1 - - 22
Total 96 53 47 19 16 29 19 10 4 149
Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam yang
ada. Maka titik tumpu pembangunan/ pengembngan masyarakat akan berdimensi
pendidikan serta serta penyedian tenaga kerja18
2. Tempat Ibadah
Laporan mengenai tempat Ibadah pada masa awal yang penulis temukan
sebgaai berikut:.
Menurut keterangan di Sikakap sudah 85pCt dari penduduknja jang
beragama kristen dengan 10 buah geredjanja, sedang jang 15pCt lagi sudah
menganut agama Islam dengan 5 buah masdjid atau suraunja, kepala misi
Protestan protestan disana bernama Klapper, dengan seorang kawannja,
keduannja dari Djerman Barat, masing-masing beserta njonja.
Dalam perkembangan perkembangan agama Islam disana sekarang
sedang terbengkalai pembangunan sebuah Mesdjid raja jg kini baru selesai
diaatap dan dilantai sedang dindingnja belum. Untuk pembangunan Masdjid
raja ini, selain uang dari sokongan Masyarakat sudah pula diteriama
bantuan uang dari pemerintah dengan perantara kantor urusan Agama
sebanhajak RP 20.000.Untuk kesempurnaan pembangunan masjid raja
tersebut, sekarang sudah terbentuk sebuah panitia jang diketuai Tjamat
sendiri. Menurut keterangan dibutuhkan Uang sebanjak kira-kira Rp 50,000
lagi.19
Dari data diatas dapat perkembangan tempat ibdah di Mentawai masih pada
tahap pembngunan, dan belum adanya lembaga pendidikan Islam yang formal di
Mentawai, hal ini disebabkan oleh belum adanya lembaga dakwah Islam yang
18
Mas‟oed Abidin, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, 30 tahun Perjalanan
Da‟wah Ila‟llah, Mentawai Menggapai Cahaya Iman. (Jakarta: Biro Khusus Dakwah Mentawai,
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), h 508 19
“Mentawai Pulau Harapan Dimasa Depan,” dalam Koran Harian Penerangan, 8
Juni 1956, h. 2

38
masuk di Mentawai, tidak seperti agama Katolik dan Protestan yang mana kedua
agama tersebut telah mendatangkan lembaga dakwahnya ke Mentawai. Sedangkan
lembaga dakwah Islam baru datang ke Mentawai pada tahun 1973.
Perkembangan tempat ibadah di Mentawai pada tuhun 1971 sudah banyak
peningkatan sebagai berikut:
Jumlah rumah ibadah dan guru agama20
Kecamatan Agama Majsid Gereja Guru
Agama
Asal
/kebangsaan
Siberut
Utara
Islam
Katolik
Protestan
1
-
-
-
1
12
1
1
1
Indonesia
Italia
Batak
Siberut
Selatan
Islam
Katolik
Protestan
1
20
-
-
2
15
1
2
1
Indonesia
Italia
Jerman-Indo
asli Mentwai
Sipora Islam
Katolik
Potestan
3
-
-
-
3
21
-
2
2
Indonesia
Italia
Jerman
Pagai utara
dan Selatan
Islam
Katolik
Protestan
3
-
-
-
1
30
2
2
4
Indonesia
Italia
Jerman
Dari tabel di atas di jelasakan bahwa jumlah temapat ibadah tiap-tiap agama
di Mendatawai adalah, Islam mempunyai delapan Masjid tidak termasuk surau-
surau yang pada umumya tidak digunakan untuk sholat jumat, tetapi hanya
digunakan untuk pengajian-pengajian dan sholat berjamaah di setiap kampung
yang ada penganut Islamnya. Sedangkan agama Katolik mempunyai dua puluh
lima gereja tidak termasuk capael-capael yang belum berstatus Gereja dan
didirikan ditempat dimana yang belum ada gerejanya. Dan Protestan memiliki
20
Zahir, Sosial ekonomoni kepulauan mentawai h. 71.

39
tujuh puluh dua Gereja. Tidak termasuk Gereja-Gerja kecil yang didirikan
diadaerah terpencil yang kurang banyak penduduknya.21
Mengenai guru agama tabel di atas disebutkan adanya guru-guru agama
yang mengajar di Masjid atau Surau. Sedangkan dalam agama Katolik dan
Protestan Pastur atau Pendeta merangkap sebagai guru agama di gereja yang pada
umumnya di setiap gereja mempunyai satu atau dua orang pastur atau pendeta.
Dalam tabel di atas hanya disebutkan Pastor atau pendeta yang berkebangsaan
asing atau didatangkan dari daerah lain. sedangkan disetiap gereja pendetanya
kebanyakan dari penduduk asli.
D. Perkembangan Agama-agama di Mentawai
Setelah kebijakan pemerintah SK NO. 167/P.M/1954 diberlakukan di
Mentawai maka diadakan rapat tiga. Perkembangan tiga agama yang diakui oleh
pemerintah (Protestan, katolik, dan Islam) hanya agama Protestan dan Katoliklah
yang berkembang dengan pesat sedangkan agama Islam tidak berkembang begitu
pesat jika dibandingkan dengan kedua agama tersebut hal itu itu dikarenakan oleh
kedua Agama ini dapat masuk dan beradaptasi dengan kebudayaan Mentawai.
Seluruh ritual-ritual asli yang diselenggarakan oleh masyarakat selalu diikuti
dalam agama Katolik, seperti adanya punen natal dan tahun baru. Lain halnya
dengan agama Islam, tidak banyak anggota masyarakat yang menganut agama-
agama ini. Tetapi khususnya agama Bahai yang tersebar pada tahun 1950 masih
banyak pengikutnya, walaupun pemerintah sudah melarangnya. Dalam
perkembangannya Bahai sudah membangun gedung sekolah di pulau Siberut.22
Pada saat sekarang sudah banyak organisasi-organisasi Islam yang
berusaha menyebarkan pengaruhnya di pulau Siberut. Bahkan Depertemen Sosial
dalam proyeknya seperti Proyek pemukiman kembali selalu membuat perencanaan
pembuatan mushalla dalam blue-printnya. Islam lebih banyak pengaruhnya pada
masyarakat yang bermukim di tepi-tepi pantai atau ibu kota kecamatan, dimana
21
Ibid., h. 72 22
Sidarta Pujiraharjo & Bambang Rudito, Magi Sebagai Acuan Identitas Orang Mentawai
Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa di akses di http://jurnalantropologi.fisi
p.unand.ac.id/index.php/jantro/artic
le/view/7/7

40
lebih sering berhubungan dengan orang orang suku Minangkabau yang mayoritas
beragama Islam, akan tetapi inipun tidak banyak jumlahnya. Mayoritas agama
yang dianut oleh masyarakat Mentawai adalah, Protestan kemudian diikuti oleh
agama Katolik, sementara Islam dan Bahai menjadi agama yang minoritas.
Walaupun begitu sebagian besar masyarakat mempunyai kepercayaan asli yang
sifatnya turun temurun dan sampai sekarang kepercayaan ini dapat dikatakan
menjadi alat yang sudah melekat. Kepercayaan ini tetapi hidup dalam masyarakat
walaupun mereka menganut agama-agama samawi tersebut diatas. 23
Dengan adanya larangan yang diterapkan oleh pemerintah pada masa lalu
untuk tidak melaksanakan kegiatan ritual menurut kepercayaan asli masyarakat,
maka banyak orang Mentawai kala itu memilih agama yang disarankan oleh
pemerintah. Untuk memperkuat kedudukan tersebut biasanya dipakai atribut yang
mencirikan bahwa mereka termasuk dalam golongan beragama Katolik atau
Protestan. Atribut yang digunakan adalah dengan memakai nama-nama Kristen
atau atribut kalung salib untuk menunjukan bahwa mereka termasuk dalam
golongan Kristen (Katolik atau Protestan). Penggunaan atribut ini lebih nyata
terlihat pada hubungan dengan suku bangsa yang berbeda untuk tujuan tertentu,
seperti bagi orang Mentawai yang beragama Islam. Penggunaan atribut suku
bangsa lebih dimunculkan apabila ia berhadapan dengan bukan orang
Minangkabau (Islam), hal ini dimaksudkan dengan penggunaan atribut suku
bangsa (dengan mengenalkan diri saya dari Mentawai) maka lawan interaksi akan
mengidentikkan dengan Kristen (karena mayoritas orang Mentawai Kristen),
sehingga interaksi dapat berjalan lancar. Tetapi sebaliknya apabila berhubungan
dengan orang Minangkabau, lebih ditekankan pada penggunaan atribut keislaman
(nama islam yang ada pada dirinya), dan bukan atribut Mentawai. Identitas yang
didapat ini kemudian dipakai sebagai suatu alat untuk berinteraksi dengan
masyarakat luar, dan dengan identitas tersebut hubungan sosial terutama
perdagangan dapat terjalin dengan mengutamkan hubungan dagang dengan orang-
orang yang seagama, seperti dengan orang Nias, Batak. Nama merupakan salah
satu sarana yang bisa menunjukan jati diri mereka kepada orang luar bahwa
mereka beragama Katolik atau Protestan, dan dengan identitas ini orang Mentawai
23
Ibid., h. 25.

41
dapat masuk ke dalam sistem sosial yang lebih besar yang melibatkan antar suku
bangsa. Tetapi bila berhubungan dengan sesama orang Mentawai, nama sebagai
identitas tersebut akan kembali kepada nama Mentawai. Begitu juga dengan orang
Mentawai yang masuk ke dalam agama Islam, kecenderungan hubungan
interaksinya adalah dengan orang Minangkabau yang mayoritas beragama Islam. 24
Perkembangan agama Islam di Mentawai mengalami kemunduran
dikarenakan kurangnya perawatan dan pembinaan mental, maka dengan mudah
saja mereka berpindah agama dengan agama yang dapat memberikan mereka
makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bantuan lainnya. Hal ini nampak
dengan nyata, dimana missionaris Katolik dengan mudah mendapatkan penganut
agama katolik, dengan memberikan bantuan materil ini, bahkan masyarakat dapat
mengaku penganut agama protestan yang sudah bertahun-tahun dalam keyakinan
protestan. Bahkan dengan mudah dijumpai orang diaanggap kuat dalam keyakinan
meninggalkan keyakinannya bila dikasih bantuan berupa materi.25
Perpindahan agama ini sedikit banyak menimbulkan persaingan-persaingan
dikalangan missionaris dari agama Protestan, Katolik, dan Islam. sebagai contoh
dari adanya persaingan ini dimana kalangan Kristen protestan merasa kurang
senang denngan tindakan missi Katolik karena mereka berdakwah atau bekerja
ditempat yang penduduknya sudah menganut agama Protestan.
Demikian pula keaadaanya dakwah Islam dapat pula memberikan bantuan
materil yang langsung diperoleh mereka, merkapun akan berbondong-bondong
pula masuk Islam. Adanya persaingan dikalangan missionaris ketiga agama ini
pada suatu saat akan membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan
masyarakat Mentawai.26
Dari segi lain kalau kita tinjau akan kita lihat pula bahwa penduduk
Mentawai (orang asli) pada umumnya dalam menjalani suatu agama sulit untuk
menjadi seorang pemeluk yang taat. Sebagaimana di ketahui agama Protestan yang
telah lama berkembang di Mentawai semenjak tujuh puluh tahun yang lalu
begitupun dan Islam yang juga sudah memakan waktu yang lama, menjadi panutan
24
Ibid., hal. 24. 25
Zahir, Sosial ekonomoni kepulauan mentawai h. 78 26
Ibid. h. 79

42
sebagian penduduk Mentawai, sangat sedikit sekali terlihat gerak amal mereka
sebagai manifesto dari keyakinan yang mereka anut, kalau kita lihat bangunan-
bangunan keagamaan di Mentawai seperti masjid, surau dan gereja atau rumah-
rumah pengobatan dan sebagainya, kesemuanya adalah mengharapkan bantuan dari
luar. Juga dalam menegakan syiar agama mereka selalu mengharapkan uluran
tangan dari pihak luar. Sikap agama ini relatif bersamaan dari tiga penganut agama
besar Islam, Katolik dan Protestan di Mentawai27
Penyebaran agama Islam juga mempengaruhi kehidupan sosial Masyarakat,
sentuhan sentuhan yang terjadi biasanya berkenan dengan penyuluhan-penyuluhan
agama, bantuan bantuan sosial walaupun kontak dengan agama Islam banyak
mengalami hambatan yang umumnya disebabkan karena perbedaan yang lebar
dengan adat kebiasaan masyarakat, pengaruh pangaruh Islam ini dapat juga masuk
kedalam sebagian dari masyarakat terutama yang tinggal di resettlement.28
Pengenalan agama-agama dari luar walaupun secara lahiriah dapat diterima
dan dianut oleh masyarakat, akan tetapi dalam segi kepercayaan masih menganut
sistem lama, sehingga kebiasan-kebiasan lama masih sangat diperlukan, kerey 29
sebagai medium perantara antara dunia nyata dengan kepercayaan sangat berperan
dalam masyarakat, terutama dalam hal penyembuhan penyakit-penyakit yang
diderita oleh individu dalam masyarakat. Kepercayaan asli yang semula berusaha
dihapus melalui agama dari luar akan kembali berperan manakala agama-agama
dari luar tersebut tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam
masyarakat. 30
27
Ibid. h. 80 28
rudito, Masyarkat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, h. 174
30
Ibid h. 189

43
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lewat Skripsi ini, diketahui bahwa pada tahun 1954 telah terjadi rapat
tiga agama yang bedasarkan intruksi pemerintah pusat. Dimana hasil dari
rapat tersebut mengharuskan masyarakat Mentawai memilih agama-agama
yang diakui oleh pemerintah seperti agama Kristen dan Islam. Dalam
perkembangan selanjutnya Islam menjadi minoritas di Mentawai hal itu
tergambar dalam jumlah penganut agama Islam jika dibandingkan dengan
penganut agama Kristen jumlahnya jauh lebih sedikit. Selain itu jumlah
tempat Ibadah dan lembaga pendidikan umat islam di Mentawai juga tidak
berkembang dengan signifikan.
Tidak berkembangnya Islam di Mentawai disebabkan oleh faktor tidak
adanya perencanaan oleh elit agama dalam menyiarkan dakwah Islam.
Selain itu pasca kebijakan pemerintah berlakukan, Agama Islam di
Mentawai belum ada lembaga dakwah, berbeda halnya dengan agama
Protestan dan Katolik yang telah mempunyai lembaga dakwah tersendiri.
Kebudayaan masyarakat Mentawai yang kurang bisa menerima Islam
dengan baik dikarenkan adanya larangan-larangan dalam Islam, seperti
makan babi. Bagi masyarakat Mentawai, babi adalah hewan ternak yang
utama dan juga dipakai dalam beberapa upacara adat.
Walaupun aparat pemerintahan di Mentawai mayoritas Islam tidak
serta merta menjadikan Mentawai penganut Islamnya menjadi mayoritas.
Selain itu Mentawai berada dalam wilayah Sumatra Barat yang mayoritas
Islam hal tersebut tidak menjadikan mayarakat Mentawai menjadi
masyarakat Islam, hal tersebut dikarenakan terisolasinya kepulauan
Mentawai dari daratan pulau Sumatra. Dan perbedaan yang sangat besar
antara masyarakat Mentawai dan masyarakat Minang.

44
B. SARAN
Diharapkan hasil penelitian sejarah dampak kebijakan Pemerintah ini
dapat digunakan sebagai tinjauan bagi organisasi kemasyarakatan Islam dalam
menyebarkan dakwah Islam. Serta saran bagi pemerintah untuk tidak
memaksakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pemaksaan terhadap
masyarakat dalam memilih agama. Dan saran untuk para penulis yang
mengganderungi sejarah Islam di Indonesia untuk menulis dalam perspektif
lokal.

45
DAFTAR PUSTAKA
Primer
Zahir, Boesjra, Sosial Ekonomi Kepulauan Mentawai. Padang: Universitas
Andalas, 1971
Arsip Sekretarian Negara Kabinet Perdana Menteri, Laporan peratama dari
Panitia Parkem Jilid II No 1844 1950-1959. ANRI.
Kruyt,Albert C. Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawi, Jakarta: Yayasan
Idayu, 1979.
Laporan: survey terbatas kelompok masyarakat Mentawai di Cipungan kecamatan
Siberrut Utara, Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatra Barat,
Direktorat Masyarakat Terasing Direktorat Jenderal Bina Sosial RI 1976.
Koran
Dari pulau kepulau di Mentawai I, Haluan 6 april 1955.
Pokok-pokok Agama Islam telah mulai berdjalan didaerah Mentawai, Haluan 4
November 1954.
Dari pulau kepulau di Mentawai II, Haluan 7 April 1955.
Dari pulau kepulau di Mentawai III, Haluan 9 April 1955.
Dari pulau kepulau di Mentawai IIIB, Haluan 12 April 1955.
Kenalilah Mentawai, Haluan 6 November 1954.
Mentawai Pulau Harapan Dimasa Depan, Harian, Penerangan 8 Juni 1956.
Mentawai Pulau Harapan Dimasa Lampau, Harian, Penerangan 7 Juni 1956.
BUKU
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah,cet.1, Jakarta: Logos Wacana,
1999.
Abidin, Mas‟oed.. Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai, 30 tahun Perjalanan
Da‟wah Ila‟llah, Mentawai Menggapai Cahaya Iman. Jakarta: Biro Khusus
Dakwah Mentawai, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997.

46
Balai Taman Nasional Siberut. Taman Nasional Siberut Kabupaten Kepulauan
Mentawai Sumatra Barat, Sumatra Barat: Balai Taman Nasional, 2003.
Coronese, Stefano. Kebudayaan Suku Mentawai, Jakarta: Grafidian Jaya,1986.
Darmanto & Abidah B. Setyowati. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, dan
Politik Ekologi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Edwin, M Loeb. Sumatra Its History and People, Singapura: Oxford University
Press,1985.
Ensiklopedi Indonesia IV, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1983.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, UI Pers: Jakarta 1975.
Koentjaraningrat. (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1979.
........................... (ed) Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Hernawati, Tarida S. Salappa: Antara Kehidupan, Alam, dan Jiwa, Padang:
Yayasan Citra Mandiri, 2004.
Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2004, Tuapejat-Sipora: Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2004.
Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metodologi Sejarah, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Marsden, Wiliam, Sejarah Sumatra, Depok: Komonitas Bambu, 2008.
Mustafa G, dkk., Sastra Lisan Mentawai. Jakarta: Pusat Pembinaan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
Persoon, Gerard A. dan Schefold, Reimar (ed). Pulau Siberut, Jakarta: Bharatara
Karya Aksara, 1985.
Rudito, Bambang, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, Padang:
Fisip Universitas Andalas,1999.
Sabiruddin. Gerakan Dakwah Islam di Mentawai, Padang: IAIsN-IB Press, 2001.
Sihombing, Herman. Mentawai. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
Schefold, Reimar, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai, Jakarta: Balai
Pustaka,1991.
Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan
Kantor Waligereja Indonesia, 1974.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi,
Jakarta: CeQDA, 2013/2014.

47
JURNAL
Sidarta Pujiraharjo & Bambang Rudito, Magi Sebagai Acuan Identitas Orang
Mentawai Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa di akses di
http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro/article/view/7/7
Muhaldi, Landasan Yuridis Penghapusan Kepercayaan tradisional “Arat
Sabulungan” di Mentawai, Medan Fakultas Hukum USU 2007.
Al-Jāmi„ah, Vol. 51, No. 2, 2013 M ISLAM AND ARAT SABULUNGAN
IN MENTAWAI
SIPUISILAM DALAM SELIMUT ARAT SABULUNGAN PENGANUT
ISLAM MENTAWAI DI SIBERUT, Padang: Jurnal Al- Ulum, 2012
TESIS DAN DISERTASI
Ikawan, Interaksi Masyarakat Mentawai Dengan Pendatang Studi
Tentang Hubungan Patron- Klien Dalam Aktivitas Ekonom, Tesis S2 Program
Studi Sosiologi Universitas Indonesia, 2000.
ONLINE
http://yosuna.com/3556/riwayat-agama-bahai-di-indonesia

48
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1.1.Letak Kepulauan Mentawai dilihat dalam peta Pulau Sumatra
(Sumber: http://www.reznovianto.com/2014/07/mentawai.html)

49
1.2.Peta Kepulauan Mentawa(Sumber:
https://petatematikindo.wordpress.com/2014/08/17/administrasi-kabupaten-
kepulauan-mentawai/)

50

51

52

53

54

55

56

57

58






