dampak investasi asing terhadap perekonomian indonesia

21
Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing 1 Tulus Tambunan Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti & Kadin Indonesia I. Pendahuluan Sebenarnya pertanyaan apakah kehadiran investasi asing, khususnya investasi langsung, umum disebut Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) di suatu negara menguntungkan negara tersebut, khususnya dalam hal pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak perlu dipertanyakan lagi. Banyak bukti empiris seperti pengalaman-pengalaman di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, China, dan banyak lagi negara lainnya yang menunjukkan bahwa kehadiran PMA memberi banyak hal positif terhadap perekonomian dari negara tuan rumah. Untuk kasus Indonesia, bukti paling nyata adalah semasa pemerintahan Orde Baru. Tidak mungkin ekonomi Indonesia bisa bangkit kembali dari kehancuran yang dibuat oleh pemerintahan Orde Lama dan bisa mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama periode 1980-an kalau tidak ada PMA. Tentu banyak faktor lain yang juga berperan sebagai sumber pendorong pertumbuhan tersebut seperti bantuan atau utang luar negeri dan keseriusan pemerintah Orde Baru untuk membangun ekonomi nasional saat itu yang tercerminkan oleh adanya Repelita dan stabilitas politik dan sosial. Literatur teori juga memberi argumen yang kuat bahwa ada suatu korelasi positif antara FDI dan pertumbuhan ekonomi di negara penerima. Sekarang pertanyaannya, dalam era globalisasi ekonomi dunia dan persaingan yang semakin ketat tidak hanya dalam perdagangan namun juga dalam investasi internasional saat ini, Indonesia masih menarik bagi investasi asing? Atau apa daya tarik Indonesia relatif dibandingkan negara-negara lain untuk menarik investasi asing? Makalah ini bertujuan menjawab pertanyaan tersebut dengan memfokuskan pada PMA, bukan investasi asing jangka pendek atau investasi portofolio, terdiri dari enam bab, termasuk Bab I pendahuluan. Bab II membahas dasar pemikiran teori mengenai relasi positif antara kehadiran atau pertumbuhan PMA dan pertumbuhan ekonomi dari perspektif teori. Bab III melihat kembali peran besar dari PMA terhadap perekonomian Indonesia selama era Orde Baru. Bab IV membahas posisi Indonesia dalam penyerapan PMA atau pentingnya Indonesia bagi PMA dilihat secara relatif dibandingkan dunia yang merefleksikan daya saing Indonesia dalam menarik PMA dunia.. Bab V membahas beberapa faktor penghambat pertumbuhan PMA di Indonesia sejak krisis ekonomi 1997/98. Bab VI membahas potensi dampak dari UU baru penanaman modal no.25 tahun 2007 yang merupakan salah satu upaya konkrit dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing Indonesia untuk meningkatkan arus masuk PMA. 1 Seminar Bank Indonesia, Rabu 19 Desember 2007. 1

Upload: doanhanh

Post on 12-Jan-2017

245 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing1

Tulus Tambunan

Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti &

Kadin Indonesia I. Pendahuluan Sebenarnya pertanyaan apakah kehadiran investasi asing, khususnya investasi langsung, umum disebut

Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) di suatu negara menguntungkan

negara tersebut, khususnya dalam hal pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak perlu dipertanyakan

lagi. Banyak bukti empiris seperti pengalaman-pengalaman di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, China, dan

banyak lagi negara lainnya yang menunjukkan bahwa kehadiran PMA memberi banyak hal positif terhadap

perekonomian dari negara tuan rumah. Untuk kasus Indonesia, bukti paling nyata adalah semasa pemerintahan

Orde Baru. Tidak mungkin ekonomi Indonesia bisa bangkit kembali dari kehancuran yang dibuat oleh

pemerintahan Orde Lama dan bisa mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama periode

1980-an kalau tidak ada PMA. Tentu banyak faktor lain yang juga berperan sebagai sumber pendorong

pertumbuhan tersebut seperti bantuan atau utang luar negeri dan keseriusan pemerintah Orde Baru untuk

membangun ekonomi nasional saat itu yang tercerminkan oleh adanya Repelita dan stabilitas politik dan

sosial. Literatur teori juga memberi argumen yang kuat bahwa ada suatu korelasi positif antara FDI dan

pertumbuhan ekonomi di negara penerima.

Sekarang pertanyaannya, dalam era globalisasi ekonomi dunia dan persaingan yang semakin ketat tidak

hanya dalam perdagangan namun juga dalam investasi internasional saat ini, Indonesia masih menarik bagi

investasi asing? Atau apa daya tarik Indonesia relatif dibandingkan negara-negara lain untuk menarik

investasi asing?

Makalah ini bertujuan menjawab pertanyaan tersebut dengan memfokuskan pada PMA, bukan investasi

asing jangka pendek atau investasi portofolio, terdiri dari enam bab, termasuk Bab I pendahuluan. Bab II

membahas dasar pemikiran teori mengenai relasi positif antara kehadiran atau pertumbuhan PMA dan

pertumbuhan ekonomi dari perspektif teori. Bab III melihat kembali peran besar dari PMA terhadap

perekonomian Indonesia selama era Orde Baru. Bab IV membahas posisi Indonesia dalam penyerapan PMA

atau pentingnya Indonesia bagi PMA dilihat secara relatif dibandingkan dunia yang merefleksikan daya saing

Indonesia dalam menarik PMA dunia.. Bab V membahas beberapa faktor penghambat pertumbuhan PMA di

Indonesia sejak krisis ekonomi 1997/98. Bab VI membahas potensi dampak dari UU baru penanaman modal

no.25 tahun 2007 yang merupakan salah satu upaya konkrit dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing

Indonesia untuk meningkatkan arus masuk PMA.

1 Seminar Bank Indonesia, Rabu 19 Desember 2007.

1

II. Hubungan Positif antara PMA dan Pertumbuhan Ekonomi

Secara teori, PMA berpengaruh positif terhadap pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi pada

khususnya di negara tuan rumah lewat beberapa jalur (Gambar 1). Pertama, lewat pembangunan pabrik-pabrik

baru (PP) yang berarti juga penambahan output atau produk domestic bruto (PDB), total ekspor (X) dan

kesempatan kerja (KK). Ini adalah suatu dampak langsung. Pertumbuhan X berarti penambahan cadangan

devisa (CD) yang selanjutnya peningkatan kemampuan dari negara penerima untuk membayar utang luar

negeri (ULN) dan impor (M). Kedua, masih dari sisi suplai, namun sifatnya tidak langsung, adalah sebagai

berikut: adanya PP baru berarti ada penambahan permintaan di dalam negeri terhadap barang-barang modal,

barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input-input lainnya. Jika permintaan antara ini sepenuhnya

dipenuhi oleh sektor-sektor lain (SSL) di dalam negeri (tidak ada yang diimpor), maka dengan sendirinya efek

positif dari keberadaan atau kegiatan produksi di pabrik-pabrik baru tersebut sepenuhnya dinikmati oleh

sektor-sektor domestik lainnya; jadi output di SSL tersebut mengalami pertumbuhan. Ini berarti telah terjadi

suatu efek penggandaan dari keberadaan PMA terhadap output agregat di negara penerima. Dalam kata lain,

semakin besar komponen M dari sebuah proyek PMA, atau semakin besar ”kebocoran” dari keterkaitan

produksi antara PMA dengan ekonomi domestik, semakin kecil efek penggandaan tersebut.

Gambar 1: Efek Positif dari PMA terhadap Pertumbuhan Ekonomi lewat Beberapa Jalur

PMA ↑PP baru

Output di SSL ↑

X ↑ CD ↑

ULN↓

KK ↑

PDB ↑/ Pendapatan per kapita ↑

Permintaan pasar

Permintaan pasar

Peralihan teknologi

M input ↑

Ketiga, peningkatan kesempatan kerja akibat adanya pabrik-pabrik baru tersebut berdampak positif

terhadap ekonomi domestik lewat sisi permintaan: peningkatan kesempatan kerja menambah kemampuan

belanja masyarakat dan selanjutnya meningkatkan permintaan di pasar dalam negeri. Sama seperti kasus

2

sebelumnya, jika penambahan permintaan konsumsi tersebut tidak serta merta menambah impor, maka efek

positifnya terhadap pertumbuhan output di sektor-sektor domestik sepenuhnya terserap. Sebaliknya, jika

ekstra permintaan konsumsi tersebut adalah dalam bentuk peningkatan impor, maka efenya nihil. Bahkan jika

pertumbuhan impor lebih pesat daripada pertumbuhan ekspor yang disebabkan oleh adanya PMA, maka

terjadi defisit neraca perdagangan. Ini berarti kehadiran PMA memberi lebih banyak dampak negatif daripada

dampak positif terhadap negara tuan rumah.

Keempat, peran PMA sebagai sumber penting peralihan teknologi dan knowledge lainnya. Peran ini bisa

lewat dua jalur utama. Pertama, lewat pekerja-pekerja lokal yang bekerja di perusahaan-perusahaan PMA.

Saat pekerja-pekerja tersebut pindah ke perusahaan-perusahaan domestik, maka mereka membawa

pengetahuan atau keahlian baru dari perusahaan PMA ke perusahaan domestik. Kedua, lewat keterkaitan

produksi atau subcontracting antara PMA dan perusahaan-perusahaan lokal, termasuk usaha kecil dan

menengah, seperti kasus PT Astra Internasional dengan banyak subkontraktor skala kecil dan menengah.2

III. Peran Strategis PMA: Refleksi dari Pengalaman Orde Baru

Peran penting dari PMA sebagai salah satu sumber penggerak pembangunan ekonomi yang pesat selama

era Orde Baru tidak bisa disangkal. Selama periode tersebut, pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia

memang sangat pesat, terutama pada periode 80-an dan bahkan mengalami akselerasi sejak tahun 1994

(Gambar 2). Juga, tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan investasi dan PMA pada khususnya di Indonesia

selama era Soeharto tersebut didorong oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan

ekonomi yang kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis ekonomi 1997

hingga saat ini sulit sekali tercapai sepenuhnya.

Gambar 2: Pertumbuhan Arus Masuk Net PMA ke Indonesia, 1984-2006 (sebagai % PDB)

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Sumber: database dari ADB (Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries; beberapa tahun) dan BKPM, beberapa tahun)

2 Selanjutnya, lihat misalnya Borensztein dan. Lee (1998), Carkovic dan Levine (2002), Aitken dan Harrison (1999), Alfaro dkk. (2003), Balasubramanyam dkk. (1996, 1999).

3

Dilihat pada tingkat dunia, Indonesia juga termasuk negara penting tujuan PMA selama era pra-krisis

1997. Bahkan selama periode 1990-1997, yang dapat dikatakan sebagai masa saat perkembangan ekonomi

Orde Baru mencapai titil klimaksnya, peringkat Indonesia masuk dalam 20 besar negara-negara penerima

PMA yang diukur dalam nilai juta dollar AS. Posisi Indonesia dengan nilai arus masuk PMA-nya mencapai

hampir 23,7 miliar dollar AS, hanya lebih rendah dari Singapura dan Malaysia di dalam kelompok ASEAN

(Tabel 1). Namun, akibat krisis 1997 dan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang sejak itu hingga saat ini

pemerintahan pasca krisis belum mampu sepenuhnya menciptakan iklim berusaha/berinvestasi yang kondusif,

Indonesia menjadi negara paling buruk di dalam kelompok ASEAN dalam hal perkembangan PMA (Tabel 2).

Tabel 1: Total Arus Masuk PMA menurut Negara, 1990-97 (juta dollar AS) Peringkat Negara Nilai Peringkat Negara Nilai

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

USA China UK France BLEU Netherlands Spain Mexico Canada Australia Singapore Sweden Brazil Malaysia Italy Argentina Indonesia Germany Switzerland Chile

414 074 200 578 176 889 149 587 84 008 70 743 68 068 58 850 53 818 52 212 49 173 47 546 44 228 35 177 30 394 30 120 23 684 21 475 20 188 19 085

21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

Denmark Thailand New Zealand Poland Colombia Hungary Norway Hong Kong Portugal Russia Venezuela Chinese Taipei Peru Korea Austria Japan Nigeria India Israel Philippines

18 177 17 177 17 083 15 882 15 798 14 945 14 412 14 239 12 909 12 774 11 890 11 443 11 215 10 534 10 438 10 310 10 093 9 957 8 398 8 379

Sumber: database OECD

Tabel 2: Perkembangan PMA di ASEAN (miliar dollar AS), 1991-2002 Negara 1991-1996

(rata-rata) 1998 1999 2000 2001 2002

Indonesia Malaysia Philippines Thailand Singapore Brunei Cambodia Laos Myanmar Vietnam

3,0 5,4 1,2 1,9 6,9 0,2 0,1

0,05 0,3 1,2

-0,4 2,7 1,7 7,5 7,6 0,6 0,2

0,05 0,7 1,7

-2,7 3,9 1,7 6,1

13,2 0,7 0,2

0,05 0,3 0,2

-4,6 3,8 1,3 3,3

12,5 0,5 0,1

0,03 0,2 1,3

-3,3 0,6 1,0 3,8

10,9 0,5 0,1

0,02 0,2 1,3

-1,5 3,2 1,1 1,1 7,7 1,0

0,05 0,02 0,1 1,2

Source: database UNCTAD.

Salah satu dampak positif dari sangat nyata dari kehadiran PMA di Indonesia selama era Orde Baru adalah

pertumbuhan PDB yang pesat, yakni rata-rata per tahun antara 7% hingga 8% yang membuat Indonesia

termasuk negara di ASEAN dengan pertumbuhan yang tinggi (Gambar 3). Dengan tingkat pertumbuhan yang

tinggi tersebut, rata-rata pendapatan nasional per kapita di Indonesia naik pesat setiap tahun, yang pada tahun

1993 dalam dollar AS sudah melewati angka 800. Pada tahun 1968 pendapatan nasional Indonesia per kapita

masih sangat rendah, masih sedikit dibawah 60 dollar AS (Gambar 4). Tingkat ini jauh lebih rendah

4

dibandingkan pendapatan di negara-negara berkembang lainnya saat itu, seperti misalnya India, Sri Langka

dan Pakistan. Tetapi, akibat krisis, pendapatan nasional per kapita Indonesia menurun drastis ke 640 dollar

tahun 1998 dan 580 dollar AS tahun 1999.3

Pesatnya arus masuk PMA ke Indonesia selama periode pra-krisis 1997 tersebut tidak lepas dari strategi

atau kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Soeharto waktu itu yang terfokus pada industrialisasi

selain juga pada pembangunan sektor pertanian. Untuk pembangunan industri, pemerintah Orde Baru

menerapkan kebijakan substitusi impor dengan proteksi yang besar terhadap industri domestik. Dengan luas

pasar domestik yang sangat besar karena penduduk Indonesia yang sangat banyak, tentu kebijakan proteksi

tersebut merangsang kehadiran PMA. Dan memang PMA yang masuk ke Indonesia terpusat di sektor industri

manufaktur. Baru pada awal dekade 80-an, kebijakan substitusi impor dirubah secara bertahap ke kebijakan

promosi ekspor.4

Gambar 3: Pertumbuhan PDB Indonesia, 1965-1996 (% y-o-y)

0

2

4

6

8

10

12

14

1965

1967

1969

1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1987

1989

1991

1993

1995

%

Sumber: BPS Gambar 4: Pendapatan Nasional per kapita Indonesia dalam dollar AS: 1968-1999

494

1088

640580

833,1

467,5

260,3126,3

56,70

200

400

600

800

1000

1200

1968 1973 1978 1983 1988 1993 1997 1998 1999

Sumber: database IMF.

Oleh karena itu, perkembangan sektor industri manufaktur yang pesat yang mendorong terjadinya

perubahan ekonomi secara struktural dari sebuah ekonomi berbasis pertanian ke sebuah ekonomi berbasis

industri selama era Orde Baru tidak lepas dari peran PMA. Pada tahun 1988, misalnya, pangsa sektor industri 3 Untuk pembahasan lebih luas mengenai kinerja ekonomi pada masa Orde Baru, lihat Tambunan (2006). 4 Lihat Tambunan (2007) untuk pembahasan yang mendalam mengenai sejarah kebijakan pembangunan industri atau industrialisasi di masa Orde Baru.

5

terhadap pembentukan PDB tercatat sekitar 37%, namun sejak 1997 telah melewati 40% (Gambar 5). PMA

juga sangat berperan dalam perkembangan ekspor non-migas, khususnya barang-barang manufaktur. Pada

awal dekade 80-an, sumbangan dari industri manufaktur terhadap total ekspor non-migas baru sekitar 20%,

namun menjelang krisis 1997, sahamnya naik menjadi 70% (Gambar 6).

Gambar 5: Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1988 1990 1995 2001 2002 2003 2004 2005 2006

IndustriPertanianJasa

Sumber: database ADB.

Gambar 6: Pangsa dari Industri Manufaktur terhadap Total Ekspor Non-migas Indonesia, 1980-2004 (%)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1980 1985 1986 1990 1991 1995 1996 1997 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: BPS dan Departemen Perindustrian R.I.

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa investasi memang sangat penting sebagai motor utama

perkembangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Walaupun pertumbuhan konsumsi rumah tangga

dan pengeluaran pemerintah juga penting, tetapi tanpa investasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak

bisa tercapai. Namun demikian, harus diakui bahwa PMA, khususnya dari negara-negara maju, tetap lebih

penting daripada PMDN, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia karena tiga alasan utama.

6

Pertama, PMA membawa teknologi baru dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam

negeri. Kedua, pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga keuangan global,

sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di Indonesia. Ketiga, bagi perusahaan-perusahaan aisng

di Indonesia yang berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang kuat,

sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor.

IV. Perkembangan PMA Pasca Krisis: Daya Tarik Indonesia Merosot Terus? Sejak krisis 1997 hingga sekarang pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia masih relatif lambat jika

dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis yang sama seperti Thailand, Korea

Selatan dan Filipina. Bahkan hingga tahun 2001 arus masuk net PMA ke Indonesia negatif dalam jumlah

dollar yang tidak kecil, dan setelah itu kembali positif terkecuali tahun 2003 (Table 3). Arus masuk net negatif

itu disebabkan banyak PMA yang menarik diri atau pindah lokasi ke negara-negara tetangga.

Table 3: Arus Net PMA (Juta dollar AS)

Sumber: ADB (Key Indicators)

Bahkan Indonesia sampai sekarang tidak termasuk lokasi tujuan penting bagi MNCs (atau TNCs).

Laporan dari UNCTAD tahun 2006 menunjukkan bahwa dari Asia Tenggara dan Timur, hanya Singapura,

China (termasuk Hong Kong), Taiwan, Malaysia, Jepang dan Korea Selatan yang masuk di dalam daftar

tujuan penting bagi TNCs terbesar di dunia. Juga untuk TNCs terbesar dari kelompok negara-negara

berkembang, negara-negara Asia Tenggara dan Timur ini termasuk lokasi penting (Tabel 4). Lebih parah lagi,

menurut laporan yang sama, Indonesia termasuk negara dengan kinerja dan potensi PMA yang rendah (Tabel

5)

7

Tabel 4: Lokasi yang Paling Disukai oleh Top 100 TNC

Sumber: UNCTAD (2006)

Tabel 5: Matriks dari Kinerja dan Potensi Arus Masuk PMA, 2004*

Keterangan: * rata-rata tiga tahun untuk 2002-2004. Sumber: UNCTAD (2006)

8

Masih dari laporan yang sama, Tabel 6 menyajikan peringkat Indonesia menurut indeks kinerja PMA

(IKPMA) dan indeks potensi arus masuk PMA (IPPMA). IKPMA adalah suatu ukuran mengenai besarnya

arus masuk PMA yang diterima oleh sebuah negara relatif terhadap besarnya ekonomi dari negara tersebut.

Indeks ini dihitung sebagai rasio dari pangsa dari sebuah negara di dalam total arus masuk PMA di dunia

terhadap pangsanya di dalam total PDB dunia. Sedangkan IPPMA didasarkan pada 12 variabel ekonomi dan

struktural yang diukur dengan skor relatif dari variabel-variabel tersebut pada suatu urutan angka antara 0

hingga 1. Indeks ini adalah rata-rata tidak tertimbang dari skor-skor tersebut dari berikut ini: PDB per kapita,

laju pertumbuhan PDB, pangsa ekspor di dalam PDB, infrastruktur telekomunikasi (jumlah sambungan

telepon rata-rata per 1000 penduduk dan jumlah HP per 1000 penduduk), pemakaian enerji komersial per

kapita, pangsa dari pengeluaran R&D di dalam pendapatan nasional bruto, pangsa dari dari mahasiswa tersier

di dalam jumlah populasi, resiko negara, ekspor dari SDA sebagai suatu persentase dari total dunia, impor dari

bagian-bagian dan komponen-komponen dari elektronik dan otomotif sebagai suatu persentase dari total

dunia, ekspor jasa sebagai suatu persentase dari total dunia, dan stok PMA masuk sebagai suatu persentase

dari total dunia.

Tabel 6: Peringkat Negara Menurut Indeks Kinerja dan Potensi Arus Masuk PMA, Kasus ASEAN* Indeks Kinerja Arus Masuk PMA Indeks Potensi Arus Masuk PMA

Negara 1990 1995 2000 2004 2005 2006 1990 1995 2000 2004 2005

Brunei Darussalam Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam

93 57 4

28 1

17 45

18 60 6 43 2 72

40

7 138 53 85 5

46 39

2 136 62

107 6

60 55

2 106 64

109 6

49 58

51 95 62

102 5

52 78

29 44 38 83 15 40 78

31 65 33 70 3

44 88

35 76 31 61 2 53

83

50 103 35 71 2

59 80

50 100 35 74 2

62 80

Keterangan: * 141 negara Sumber: UNCTAD (2006, 2007) V. Beberapa Kendala Investasi

Hasil survei tahunan terhadap perusahaan-perusahaan di 131 negara dari World Economic Forum (2007)

yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk The Global Competitiveness Report 2007-2008 memperlihatkan

permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di Indonesia. Seperti yang dapat

dilihat di Gambar 7, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk) tetap pada

9

peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat kedua. Jika dalam survei tahun

lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil survei tahun ini masalah itu

berada di peringkat ketiga.

Memang opini pribadi dari para pengusaha Indonesia yang masuk di dalam sampel survei mengenai

buruknya infrastruktur di dalam negeri selama ini sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia selalu berada di

peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 8,

Indonesia berada di posisi 102, satu poin lebih rendah daripada Filipina. Jika dalam survei WEF selama

beberapa tahun berturut-turut belakangan ini menempatkan Indonesia pada posisi sangat buruk untuk

infrastruktur, ini berarti memang kondisi infrastruktur di dalam negeri sangat memprihatinkan. Padahal, salah

satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan

bebas saat ini dan di masa depan adalah jumlah dan kualitas infrastruktur yang mencukupi. Buruknya

infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing

harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing

(atau PMA) untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi

dan ekspor di dalam negeri.

Gambar 7: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2007-2008

20.5

16.1

10.8

10.7

8.5

8

5.6

5.5

4.2

3.7

2.2

2

1.8

0.5

0 5 10 15 20 25

Infrastruktur buruk

Birokrasi tidak efisien

Akses terbatas untuk pendanaan

Kebijakan tidak stabil

Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif

Regulasi perpajakan tidak kondusif

Keterbatasan tenaga kerja terdidik

Inflasi

Korupsi

Regulasi uang asing

Pemerintah yang tidak stabil

Pajak terlalu besar

Etik kerja TK buruk

Kriminal & pencurian

Sumber: (WEF, 2007)

Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi bukan hanya Indonesia tetapi juga

banyak negara lain di Asia, termasuk di negara-negara yang terkena krisis ekonomi 1997/98, meskipun

reformasi dalam skala lumayan telah berlangsung di negara-negara tersebut. Sebagai suatu ilustrasi, dari

sejumlah negara yang diteliti oleh lembaga think-tank Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang

10

berbasis di Hongkong, Indonesia termasuk terburuk dan tak mengalami perbaikan yang berarti sejak 1999,

meskipun masih lebih baik dibanding Cina, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, misalnya, Indonesia

memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk

terbaik dan 10 untuk terburuk. Tahun 1998, PERC juga menempatkan Indonesia sebagai negara nomor satu

paling korup di Asia. Sementara Transparency International (TI) tahun 1998 mendudukkan Indonesia di posisi

keenam negara paling korup sedunia, setelah tahun 1995 peringkat pertama (Kompas, Senin, 13 Maret 2000).

Masih menurut Kompas yang sama, skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini didasarkan pada pertimbangan

masih banyak pejabat tinggi pemerintah yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri

dan orang-orang dekat mereka. "Dalam kasus Indonesia, masalahnya adalah pada mahalnya persetujuan atau

lisensi. Banyak pejabat senior pemerintah terjun ke bisnis atau menggunakan posisi mereka untuk melindungi

dan mengangkat kepentingan bisnis pribadinya," demikian disebutkan oleh PERC yang dikutip dari Kompas

yang sama.5

Gambar 8: Kualitas Infrastruktur

1

3

18

28

83

90

101

102

0 20 40 60 80 100 120

Swiss

Singapura

Malaysia

Thailand

Kambodia

Vietnam

Filipina

Indonesia

Sumber: (WEF, 2006, 2007)

VI. UU PM No.25, 2007: Akan Efektif kah?

UU PMA No.25, 2007 sudah keluar. Tetapi, pertanyaan sekarang adalah apakah dengan lahirnya UU PM

yang baru itu, segala persoalan sekitar kegiatan investasi di Indonesia sudah terpecahkan? Apakah UU PM

tersebut sudah sempurna dalam berarti tidak akan ada lagi permasalahan dalam perijinan penanaman modal di

Indonesia? Atau, apakah UU PM No.25, 2007 sudah menjamin bahwa pertumbuhan arus masuk PMA atau

volume investasi pada umumnya di Indonesia akan mengalami akselerasi?

5 Menurut laporan yang sama dari PERC, untuk Cina, India dan Vietnam, memperkaya diri sendiri tampaknya bukan menjadi motif utama. Tindakan para pejabat tingginya yang sangat birokratif, lebih banyak didasarkan pada keinginan mempertahankan kekuasaan, selain memang ada keinginan kuat para pejabat di semua level untuk menjaga kepentingan menteri-menteri atau wilayah-wilayah tertentu yang mereka wakili."Sangat sedikit atau tidak ada insentif untuk bekerja sama dengan sektor swasta," demikian PERC. Dengan kondisi tersebut, India tetap negara dengan birokrasi terburuk, dengan skor 9,1. Negara Asia lain yang skornya juga di bawah rata-rata adalah Vietnam dan Cina yang masing-masing 8,5, Malaysia 7,5, Filipina 6,5 dan Taiwan 6,33.

11

VI.1 Beberapa Pasal Penting

UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan,

koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh

investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi

dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan dua masalah

serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan

penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan denga baik sesuai ketentuannya di UU PM tersebut adalah

sebagai berikut. Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu

adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau

pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan

yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang

dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan

investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun

sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik

antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal.

Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain (seperti

kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim

perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam

negeri akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin berinvestasi di sebuah

wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan

waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya

pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi

yang harus ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap. Sebenarnya,

hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat Keppres No 29 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan

penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam neegri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap

semasa era Presiden Megawati Soekarno Putri. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan

penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas

penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang

dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan

oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh

departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi

yang membina bidang usaha penanaman modal.

Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal: menjamin kepastian hukum,

kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai

12

dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah

satu penghambat investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI

(2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di

Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan

peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan

politik di Indonesia.

Bahkan hasil survei tahunan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk

The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam

sampel penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden)

bisa mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 7). Mungkin

ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai

menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi

hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat

mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.

Tabel 7: Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007 Peringkat Negara

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

93

131

Finlandia Denmark Jerman

Singapura Swiss

Islandia Hong Kong SAR

Norwegia Austria

Emirat Arab Serikat

Indonesia

Venezuela Sumber: WEF (2007).

VI.2 Kendala Perijinan Investasi Selama ini

Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang

perlu dipahami. Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus

menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan

usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. Di Tabel 8 dijabarkan sejumlah UU dan peraturan

menteri yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu

perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel 2 tersebut

berbenturan dengan UU PM No.25, 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU PM yang baru ini akan

memberi hasil optimal.

13

Misalnya, kontradiksi selama ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya

mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang menyatakan

bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi

dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai

(Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan niatnya berinvestasi di

Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah

dilaksanakannya UU PM No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak

menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di

Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan.

Tabel 8: Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU PM No.25, 2007 UU/Peraturan Tahun Isu

Peraturan Mendaz 37/M-DAG/Per/9 Peraturan Mendag 36/M-DAG/Per/9 UU No.40 UU No. 39 UU No. 17 UU No. 2 UU No.13 UU No. 22

2007 2007 2007 2007 2006 2005 2003 2001

Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan Penerbitan SIUP Perseroan Terbatas Cukai Kepabeanan Penyelesaian hubungan industrial Ketenaga kerjaan Investasi di sektor migas

Di sektor perhotelan, misalnya, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari

hotel harus memiliki ijin khusus dari departemen terkait. Misalnya untuk membangun restoran di dalam hotel

perlu ijin dari Departemen Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat dan aman bagi konsumen,

sedangkan untuk membangun kolam bernang harus dapat ijin dari Departemen olah raga, dan untuk

pemakaian tenaga kerja harus dapat ijin dari Departemen Tenaga Kerja dan jelas harus mengikuti peraturan

yang tercantum di UU Ketenaga kerjaan yang berlaku, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika izin penanam

modal sudah keluar, tetap seorang investor yang akan membangun sebuah hotel di Jakarta akan tetap skeptis

apabila beberapa atau semua dari izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.

Jadi masalah serius disini adalah koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah yang sebenarnya

sudah merupakan salah satu persoalan klasik di negeri ini. Dalam kasus perhotelan tersebut jelas diperlukan

suatu kerjasama yang baik antara BKPM, Departemen Ketenaga kerjaan, Departemen Kesehatan, Departemen

Olah Raga, Pemda, dan banyak lagi instansi pemerintah lainnya yang terlibat. Sering kali egoisme sektoral

atau departemen membuat suatu kebijakan ekonomi yang sebenarnya sangat baik dilihat dari isinya namun

akhirnya menjadi tidak efektif karena adanya benturan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Kondisi seperti

ini sering kali membuat para calon investor kebingungan yang pada akhirnya membatalkan niat mereka

menanam modal di Indonesia

Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Banyak peraturan

pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa berjalan efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan

14

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman

modal di daerah.Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan

kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah,

pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya

kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan

dengan proses pengurusan izin usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit

sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.

Persoalan ini muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan

tidak adanya penjelasan lebih lanjut secara teknis, termasuk di dalam isi pasal 11 UU No 22 tentang

Pemerintahan Daerah, termasuk soal pelaksanaannya penanaman modal daerah yang berakibat tidak

efisiennya pengurusan perizinan usaha. Karena tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah

menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di

daerah.

Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat)

dan BKPMD (pemerintah daearah). Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan

mengenai pengurusan izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara

kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan

investasi. Sejak penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak pemberitaan di media masa yang

menunjukkan bahwa di sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian

dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada beberapa daerah yang membentuk suatu dinas khusus untuk

mengurus penanaman modal. Bahkan banyak kabupaten/kota yang sangat serius dalam menciptakan iklim

berinvestasi yang kondusif dengan membentuk kantor pelayanan satu atap. Misalnya, di Jepara dan

Yaogyakarta, menurut Majalah Swasembada (2004), dengan sistem satu atap ini surat perizinan usaha dapat

diperoleh dalam waktu rata-rata 5 hari hingga satu minggu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa

Yogyakarta. Tetapi sayangnya masih lebih banyak daerah yang belum mampu merumuskan kebijakan atau

regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanaman modal.

Hasil survei dari LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa menurut responden Pemda, lama waktu

pengurusan izin usaha baru apabila semua persyaratan dipenuhi dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan.

Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-

3 bulan (44%) dan antara 3-6 bulan (21.5%).

Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh UU lainnya yang secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UU PM yang baru ini juga harus

memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh

terhadap kegiatan investasi, diantaranya adalah persoalan pembebasan tanah. Banyak kasus dalam beberapa

15

tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum

tuntasnya pembebasan tanah. Ini berarti, masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan

investasi seperti yang dimaksud di atas. Sekali lagi, UU PM No.25 tahun 2007 tersebut tidak akan efektif

meningkatkan investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin ruwet, semakin mahal dan

semakin besar resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan

usaha disini adalah karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah, yang beberapa tahun

setelah tanah dibeli dan pabrik dibangun di atas tanah tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat

menduduki pabrik tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan

tidak mendapatkan sesenpun uang dari pembelian tersebut.

Ketiga, adalah birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus

investasi (seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah

prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan

investasi di Indonesia. Di Gambar 7, hasil survei WEF menunjukkan birokrasi yang tidak efisien merupakan

masalah utama kedua yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak

waktu yang terbuang tetapi juga besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor.

Memang masalah ini tidak hanya dihadapi oleh pengusaha di Indonesia tetapi juga dibanyak negara lainnya.

Diantara negara-negara ASEAN, hasil survei WEF tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke 3

setelah Singapura dengan birokrasinya yang paling efisien atau biaya birokrasi paling murah (tidak hanya di

ASEAN tetapi juga dunia menurut versi WEF) dan Malaysia (Gambar 9). Untuk mengukur ini, digunakan

skor antara 1 (biaya paling besar) dan 7 (tidak ada biaya sama sekali).

Seperti telah dikatakan sebelumnya, UUP PM yang baru ini bisa berfungsi sebagai motor akselerasi

terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia sesuai harapan hanya jika UU atau peraturan lainnya yang

berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan investasi atau usaha disederhanakan atau

mendukung UU PM tersebut. Dalam kata lain, tidak akan ada gunanya jika birokrasi dalam pengurusan izin

investasi disederhanakan namun prosedur adminstrasi untuk mendapatkan izin-izin lainnya untuk membuka

suatu usaha baru tidak turut disederhanakan.

Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa Australia, Kanada dan Selandia Baru berada di

peringkat teratas a’lias terbagus dari 124 negara dalam jumlah prosedur yang harus dialami oleh seseorang

dalam membuka suatu usaha baru. Sedangkan Indonesia berada di posisi ke 95 bersama-sama dengan Bosnia

dan Herzegovina, Cameroon, Korea Selatan, Syria dan UAE. Sedangkan dalam hal waktu yang diperlukan

untuk mengurus semua itu, juga Australia pada posisi terbaik, disusul oleh Kanada, Denmark, Islandia, AS,

dan Singapura di peringkat ke 6. Jadi Singapura satu-satunya bukan hanya dari ASEAN tetapi juga dari Asia

dan kelompok negara-negara berkembang yang masuk di dalam 10 besar negara-negara terbaik dalam

masalah ini. Sementara itu, posisi Indonesia di 119, paling rendah di dalam kelompok ASEAN. Selama posisi

16

Indonesia ini tidak membaik dalam tahun-tahun ke depan, kecil harapan bahwa pengaruh dari UU PM yang

baru ini akan optimal.

Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya, bagi seorang investor yang akan banyak melakukan ekspor atau

impor (perdagangan internacional), prosedur bea cukai yang berlaku di Indonesia juga sangat mempengaruhi

niatnya untuk memilih negara ini sebagai tempat usahanya. Hasil survei dari WEF (2007) kembali

menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk masalah ini (Tabel 9). Sekali lagi, keberadaan UU PM No.25

2007 akan kurang berarti atau bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek akselerasi terhadap pertumbuhan

investasi, khususnya PMA, di Indonesia, jika hal-hal lain seperti prosedur bea cukai tidak disederhanakan.

Karena, penanaman modal hanyalah proses awal dari berdirinya suatu usaha yang tujuannya adalah untuk

mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya dan resiko sedikit mungkin. Jika seorang

pengusaha asing memperhitungkan bahwa keruwetan prosedur bea cukai di Indonesia akan mengurangi

profitnya dibandingkan jika ia berinvestasi di Malaysia atau China, dengan asumsi bahwa kondisi lainnya

sama, maka ia akan memilih membuka usahnya di Malaysia atau China.

Gambar 9: Skor Indonesia di dalam kelompok ASEAN dalam Biaya dari peraturan pemerintah versi WEF 2007

5.3

4.6

3.9

3.8

3.1

2.6

2.5

0 1 2 3 4 5

Singapura

Malaysia

Indonesia

Thailand

Kambodia

Vietnam

Filipina

6

Tabel 9: Peringkat Indonesia mengenai Prosedure Bea Cukai versi WEF 2007 Peringkat Negara Skor

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

101

Singapura Hong Kong SAR

Sweden Korea Selatan

Denmark Finlandia

UAE Selandia Baru

Austria Cili

Indonesia

6,4 6,1 6,1 5,9 5,8 5,7 5,6 5,5 5,5 5,5

3,0

17

131 Chad 2,0

Sumber: WEF (2007).

VI.3 Upaya Perbaikan

Seperti yang telah dibahas di atas bahwa investasi adalah langkah awal dari sebuah usaha yang diharapkan

akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa keuntungan tidak ada gunanya membuka sebuah

usaha. Jadi tujuan utama bukan melakukan investasi tetapi membuat suatu usaha yang menguntungkan. Oleh

karena itu, tidak akan ada gunanya UU PM No.25 2007 bagi seorang investor jika pada akhirnya usahanya

merugi terus bahkan hingga bangkrut hanya karena banyaknya rintangan yang diciptakan oleh peraturan-

peraturan lainnya yang sama sekali tidak terkait dengan izin penanaman modal namun mempengaruhi

kelancaran suatu usaha. Sama seperti membangun rumah. Tujuannya bukan membangun rumah itu sendiri

tetapi mendapatkan suatu rumah yang menguntungkan dalam arti misalnya memberi kenyamanan, ketenangan

dan keamanan. Ini artinya, walaupun mendapatkan izin membangun rumah tidak sulit, tetapi sulitnya

mendapat izin menyambung hubungan telepon dan listrik bisa akhirnya membatalkan niat membangun rumah.

Seperti yang diilustrasikan di Gambar 10, Faktor-faktor utama yang mempengaruhi langsung kegiatan

suatu bisnis, atau yang menentukan untung ruginya suatu bisnis. Ini adalah lingkungan langsung dari suatu

bisnis. Sedangkan stabilitas ekonomi, politik dan sosial adalah termasuk faktor-faktor dari lingkungan lebih

luas atau tidak langsung. Faktor-faktor dari lingkungan langsung termasuk investasi, pasar input (tenaga kerja,

bahan baku, modal, enerji, dan input lainnya seperti pupuk dan bibit untuk pertanian), dan pasar output.

Semua faktor-faktor tersebut di Indonesia diatur dengan berbagai peraturan, keputusan Presiden (Kepres) atau

UU, seperti investasi sekarang diatur oleh UU PM No.25 2007. Kinerja dan kondisi pasar output maupun

input dipengaruhi atau diatur oleh berbagai UU, seperti pasar tenaga kerja oleh UU No.13 2003 mengenai

ketenaga kerjaan. Pasar output dan input juga termasuk pasar di luar negeri, oleh karena itu peraturan

pemerintah mengenai perdagangan luar negeri seperti penerapan pajak atau ketentuan ekspor dan bea masuk

serta pembatasan atau pembebasan impor juga sangat berpengaruh pada faktor pasar output dan input yang

selanjutnya mempengaruhi keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang terlibat, dan pada ujungnya akan

mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.

Pembahasan di atas bukan mau mengatakan bahwa UU PM yang baru ini perlu ditambah dengan pasal-

pasal yang mengatur faktor-faktor linkungan langsung tersebut di atas. Lagi pula, UU tersebut sudah disetujui

dan berlaku. Satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengkaji ulang semua peraturan, Kepres,

18

atau UU yang berlaku yang mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri

dengan UU PM No.25 2007) untuk melihat apakah semua peraturan, Kepres atau UU tersebut konsisten

dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM No.25

tersebut harus segera dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket. Sama

seperti armada angkatan laut Amerika Serikat yang biasanya terdiri dari satu kapal induk didampingi oleh

puluhan kapal, termasuk kapal perang, kapal pengangkut bahan bakar dan kapal selam. Jadi, UU PM No.25

2007 adalah kapal induknya, sedangkan peraturan, Kepres dan UU lainnya adalah kapal-kapal pendukung.

Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah

harus tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanama modal di Indonesia adalah BKPM, walaupun

sekarang ini dalam era otonomi daerah, pemda punya hak mengaturnya di lapangan, seperti yang tercantum

dalam Pasal 1 No. 11, Bab I (Ketentuan Umum) dari UU PM No.25 2007 sbb.: Otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat

perlu mengingat bahwa buruknya koordinasi antar departemen sudah merupakan salah satu masalah klasik di

republik ini, dan jangan dibiarkan koordinasi ini menjadi lebih buruk akibat otonomi daerah.

Gambar 10: Faktor-faktor Utama di dalam Lingkungan Langsung dari Suatu Bisnis

Bisnis

Keamanan

Investasi

Infrastruktur

Sektor

Pasar output

Ekspor & impor

Transportasi & Komunikasi Lokasi

Pasar input

Tenaga Kerja Modal Enerji

Ekspor & Impor

Perbankan Pasar Modal

Input lainnya

19

Ketiga, ada baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam

menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah. Walaupun ada sejumlah daerah seperti

Jepara dan Yogyakarta telah berhasil membuat pelayanan satu atap, namun masih lebih banyak lagi daerah

yang bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana memulai pembangunan satu atap. Juga di daerah-daerah yang

sama sekali tidak ada kesamaan visi dari lembaga-lembaga pemerintah, ditambah lagi tidak ada keseriusan

dari Bupati, sangat sulit diharapkan daerah-daerah tersebut bisa membangun pelayanan satu atap. Di sini

peran pemerintah pusat sangat diharapkan.

Terakhir, adanya UU PM No.25 2007 harus diakui merupakan suatu kemajuan besar dalam upaya

selama ini menyederhanakan proses perizinan penanaman modal untuk meningkatkan investasi di dalam

negeri. Namun, hasilnya sangat tergantung pada bagaimana implementasinya di lapangan. Oleh karena itu,

implementasiya harus dimonitor secara ketat, khususnya di daerah. Karena, lagi-lagi, masalah klasik lainnya

di republik ini adalah Indonesia termasuk jempolan dalam membuat konsep atau memformulasikan suatu UU.

Tetapi, hanya sedikit dari UU yang ada hingga saat ini di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara sungguh-

sungguh. Persoalannya juga klasik: (1) ada orang-orang pemerintah, di pusat maupun di daerah, khususnya di

bidang-bidang yang ”basah”, merasa dirugikan dengan suatu UU, sehingga mereka akan dengan segala cara

menghalangi pelaksanaan UU tersebut; dan (2) akibat gaji yang rendah, banyak pegawai negeri yang

ditugaskan melaksanakan UU tersebut di lapangan bisa dengan mudah di sogok oleh pihak yang merasa

dirugikan oleh UU tersebut, sehingga akhirnya UU tersebut tidak berlaku efektif di lapangan.

Daftar Pustaka Aitken, Brian dan Ann Harrison (1999), “Do Domestic Firms Benefit from Foreign Direct Investmenr?

Evidence from Venezuela”, American Economic Review, 89 (3): 605-18 Alfaro, Laura, Chanda Areendam, Sebnem Kalemli-Ozcan, dan Sayek Selin (2003), “FDI and Economic

Growth: The Role of Local Financial Markets”, Journal of International Economics, 61(1): 512-33 Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1996), “Foreign Direct Investment and

Growth in EP and IS Countries”, Economic Journal, 106(434): 92-105. Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1999), “Foreign Direct Investment as an

Engine of Growth”, Journal of International Trade and Economic Development, 8(1): 27-40. Borensztein, E., J. De Gregorio, dan J-W. Lee. (1998), “How Does Foreign Direct Investment Affect

Economic Growth?” Journal of International Economics, 45: 115-35. Carkovic, M. dan R. Levine (2002), “Does Foreign Direct Investment Accelerate Economic Growth?”

University of Minnesota, Working Paper. LPEM-FEUI (2001), “Construction of Regional Index of Doing Business”, Laporan Akhir, Jakarta. Swasembada (2004), “Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah”, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April. Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis.

Jakarta: Pustaka Quantum.

20

Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2007), Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press (akan terbit).

UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade and Investment

UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on Trade and Investment

WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum.

21