dalam selimut konflik

13
Dalam Selimut Konflik Oleh: Jogi Sirait Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected] Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Upload: pindai-media

Post on 30-Jul-2015

77 views

Category:

News & Politics


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dalam Selimut Konflik

Dalam Selimut Konflik

Oleh:

Jogi Sirait

Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]

Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Page 2: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 2 | 13

Dalam Selimut Konflik

Oleh : Jogi Sirait

Konflik lahan bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan dan buta huruf bagi orang Batin 9.

DESA Pompa Air punya arti tersendiri bagi Amat Nuri. Ia lahir dan mulai menua hingga punya sembilan

anak. Nuri buta huruf, tak pernah sekolah. Ia tak punya tanah. Satu-satunya harta adalah rumah 30 m²

yang diberikan dinas sosial provinsi Jambi pada 2007.

“Saya pernah datang sendirian minta lahan lima hektar tapi tak dikabulkan. Hanya rumah inilah yang

dibuatkan. Saya pikir lumayanlah daripada tak ada sama sekali,” katanya. Dinas sosial mendirikan 150

rumah.

Bukan hanya Nuri yang buta huruf. Dari anaknya yang tertua (30 tahun) sampai paling bontot (13 tahun)

tak pernah mencicipi bangku sekolah. Masalahnya satu: tak punya biaya sekolah.

“Boro-boro mau sekolah, buat makan saja kurang!” ujar Nuri.

Dalam sehari paling tinggi ia berpenghasilan rata-rata Rp 50 ribu. Hasil dari kerja upahan nerbas atau

panen kebun karet orang lain. “Cukup dak cukuplah uang segitu buat makan sekeluarga, ya dicukup-

cukupi. Lha, cuman itu yang ado. Apolagi nak dibilang.”

Pernah Nuri dan sebagian Suku Anak Dalam (SAD) Batin 9 memungut berondolan di kebun-kebun sawit

yang diklaim milik PT Asiatic Persada. Mereka bawa anak-istri. Hasilnya dijual Rp 1.200/ kg. Dalam

sehari, paling kuat bisa mengumpulkan 25-50 kg atau sekira Rp 60 ribu.

Belakangan, PT Asiatic melarang pekerjaan memungut itu, di sebelah selatan lahan konsesi di dusun

Tanjung Lebar dan Sei Beruang, berbatasan areal Harapan Rainforest PT Restorasi Ekosistem Indonesia.

Menurut PT Asiatic, lahan seluas 5.100 hektar ini masuk dalam hak guna usaha miliknya. Sementara,

menurut masyarakat, lokasi itu di luar HGU PT Asiatic sehingga bisa dipanen masyarakat. Sepanjang

2010, penjara di Polres Batanghari penuh sesak menahan 120 orang, 85 orang dari mereka dituduh

memanen di lahan itu.

Sejak itu mereka kapok memungut berondolan.

Page 3: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 3 | 13

Selama enam tahun (2004-2010), Nuri bekerja untuk PT Asiatic. Tiga kali berhenti. Tiga kali pula diajak

bekerja. Dari humas, pengamanan keliling, sampai terakhir berstatus mandor. Gaji pokok terakhir Rp 2,7

juta plus uang lain. Kotornya ia menerima Rp 3 juta lebih setiap bulan.

Amat Nuri adalah sepupu kandung mendiang Maliki, satu-satunya orang SAD Batin 9 yang pernah jadi

anggota legislatif nasional lewat pemilu 1999 dari utusan daerah. Ayah Nuri, almarhum Mustopa, saudara

kandung ayah Maliki, almarhum Alamsli.

Salah satu putra mendiang Maliki, Herman Basir, sering pula berkonflik dengan kelompok SAD Batin 9

lain karena dituduh mengaku-ngaku Temenggung.

“Yang jadi temenggung itu mesti tahu sejarah dan tutur. Kalau tidak tahu itu namanya Temenggung

Karut,” ujar Nuri. Herman mengaku sebagai Temenggung Sembilan Bilah.

KONFLIK Suku Anak Dalam Batin 9 dengan PT Asiatic Persada bermula sejak 1986. Ketika berdiri dan

mengantongi izin HGU seluas 20.000 hektar, perusahaan ini awalnya bernama PT Bangun Desa Utama

milik keluarga Senangsyah. Izin hak guna usaha awalnya dibuat untuk tanaman kakao dan sawit. Namun

kakao tak pernah ditanam sama sekali. HGU ini semuanya kebun inti. Tak punya kebun plasma.

Saya banyak mendapat informasi soal latarbelakang keluarga Senangsyah dari ayah saya, Thomas P.

Sirait, yang bekerja wartawan sejak 1970-an dan mengikuti konflik ini sejak awal. Ayah saya mulai

bermukim di Jambi sejak 1977.

Sebelum berbisnis kebun sawit, keluarga Senangsyah adalah agen tunggal minyak tanah, bensin, dan

solar. Mereka yang pertama kali punya SPBU terapung di Payo Selincah, Jambi.

Setamat kuliah dari Amerika Serikat, si bungsu Santoso Senangsyah disarankan Ferdinandus Untu—ayah

teman kuliahnya, Veronica Untu yang belakangan jadi istri Santoso—untuk mendirikan perusahaan.

Santoso bersama dua abangnya, Rizal dan Andi, mendirikan PT Limbah Kayu Utama (LKU), sebuah

pabrik particle wood yang berbahan baku kayu karet. Mereka lantas mendirikan PT Secona Persada yang

memenangkan lelang lahan PT Incrubi seluas 180 hektar, yang jadi sumber bahan baku PT LKU. Santoso

dan Rizal duduk sebagai dewan direksi, Andi menjabat direktur utama. Formasi ini dipertahankan untuk

perusahaan bersama lainnya.

Page 4: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 4 | 13

Seorang anak Ferdinandus Untu duduk sebagai pejabat di bagian kredit Bank Bapindo dan Bank Exim,

memudahkan keluarga Senangsyah mendapatkan kucuran kredit. Sampai akhirnya mereka mendirikan PT

Bangun Desa Utama—sempat terlibat kredit macet sekitar Rp 800 juta.

Pada awal 1990-an, Sirait—ayah saya—menulis kasus kredit macet ini di Harian Sinar Pagi dan Surat

Kabar Mingguan Inti Jaya. Setelah menulis, Sirait didatangi almarhum Jenderal Sudomo yang menjabat

menteri politik dan keamanan (1988-1993). “Urusan lahan Suku Anak Dalam itu sudah kami serahkan

kepada Gubernur Jambi, Abdurrahman Sayoeti,” kata Sudomo seperti ditirukan Sirait. Sudomo

mendatanginya sebagai Ketua Peningkatan Mutu Manajemen Perusahaan.

Istri pertama Sudomo, Fransisca Piay masih kerabat dekat Ferdinandus Untu. Untu dan Piay adalah marga

Minahasa. Menurut Sirait, kemungkinan besar karena pengaruh Sudomo dan Untu, keluarga Senangsyah

bisa mendapat izin HGU.

Sejak itulah konflik lahan dengan Suku Anak Dalam Batin 9 bermula.

Setelah menjual sebagian sahamnya ke perusahaan Inggris, Commonwealth Development Corporation

Pasific Rim (CDC-Pacrim) pada 2001, keluarga Senangsyah menetap di Jakarta, Bali, dan Melbourne.

Saya hanya menemukan jejak bisnis Santoso, kini berumur 74 tahun. Ia duduk sebagai direktur utama PT

Taman Nusa, sebuah wahana wisata miniatur budaya Indonesia. Taman Nusa berdiri di atas lahan seluas

15 hektar di dusun adat Blahpane di Gianyar, berjarak sekira 30 km arah timur laut dari kota Denpasar,

membentang 600 meter dari utara ke selatan.

Dari perusahaan Inggris, PT Asiatic diambilalih Cargill dari Amerika Serikat pada akhir 2006. Lalu dijual

ke Wilmar Group pada 2008. Terakhir pada April 2013 dijual ke PT Prima Fortune International Limited

dan PT Agro Mandiri Semesta yang dimiliki Ganda Sitorus—masih kerabat dekat Martua Sitorus,

pemilik saham mayoritas Wilmar International.

Dalam catatan sepenggal yang dipajang Sinar Harapan pada 23 Maret 2013, PT Prima Fortune

International Limited berdiri dan berbasis hukum British Virgin Islands. Sementara PT Agro Mandiri

Semesta berkedudukan di Medan, bermaksud mengambilalih saham PT Asiatic Persada.

Saya sempat menemui Kutar, 49 tahun, di dusun Tanah Menang, salah satu dusun yang dihuni warga

Suku Anak Dalam. Perawakannya tinggi dan agak botak. Ia mengetahui cerita lama tentang konflik antara

perusahaan dan masyarakat adat. Kutar adalah ketua adat Batin Bahar.

Warga SAD terpecah-pecah jadi 17 kelompok. Dan Kutar masuk ke dalam kelompok SAD 113 pimpinan

Abas Subuk. Nama kelompok itu berasal dari jumlah para perunding dari suku tersebut pada akhir 2003

dan meliputi tiga dusun: Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang. Kebanyakan tinggal di bagian

Page 5: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 5 | 13

utara dalam konsesi PT Asiatic. Perjalanan SAD 113 hingga kini berlangsung alot, setidaknya jalur

perundingan diretas sejak 2001.

“Ketika perusahaan PT Bangun Desa Utama datang, mata pencaharian kami habis,” ujar Kutar. “Dulu,

kami diuber-uber tentara. Tanah adat kami diambil, kebun karet dan durian habis. Kami ingin tanah adat

dikembalikan, tanpa syarat.”

Ratusan orang sudah berkali-kali dipenjara akibat konflik berkepanjangan ini. Tetapi perlawanan tetap:

lahan adat mereka harus kembali. Upaya lain dilakukan pendamping SAD 113, Serikat Tani Nasional

sejak awal 2007.

Organisasi itu mengirimkan surat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jakarta agar mengevaluasi

kembali izin HGU PT Asiatic. Saat itu kepemilikan saham telah dikuasai Wilmar Group. Tuntutan Serikat

Tani termasuk mengembalikan hak lahan ulayat. BPN menurunkan tim peneliti selama seminggu pada

Juli 2007.

“Dalam area yang disengketakan terdapat tanah masyarakat adat Suku Anak Dalam, khususnya bekas

perkampungan di Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang,” demikian hasil penelitian itu.

“Sebagai bukti terdapat kuburan, tunggul pemeras, sesap jerami serta tanaman tua seperti durian.”

Pada 2012, pemerintah provinsi Jambi dan BPN sepakat menyelesaikan masalah, termasuk meminta PT

Asiatic melakukan pemetaan ulang berdasarkan peta mikro 1987 dari departemen kehutanan.

Peta resmi yang dirujuk itu menyatakan terdapat area perkampungan seluas 50 hektar, peladangan 2.100

hektar, dan belukar 1.400 hektar—totalnya 3.550 hektar dalam area konsesi HGU. Inilah yang dijadikan

dasar kelompok SAD 113 untuk memperoleh kembali lahan adat mereka.

PADA 5 Maret 2014 sekira pukul 22.00, saya hendak menjenguk pasien bernama Puji (40 tahun) di

rumahsakit Polri Bhayangkara Jambi tapi dicegah. “Maaf Pak, besok saja, harus mendapat izin dari

pimpinan,” kata seorang pria bersafari hitam.

Seperempat jam kemudian, para perawat panik, “Jatuh, jatuh, pasiennya jatuh. Cepat angkat.”

“Tadi dia masih tidur nyenyak. Baru 15 menit saya tinggal,” kata perawat bernama Yoko. Di tengah

kepanikan, beberapa perawat berusaha membantu pernapasan lewat selang oksigen. Sekitar jam 23.02,

Puji meninggal.

Page 6: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 6 | 13

Mendiang Puji datang pada jam 19.45. Dua orang sekuriti PT Asiatic Persada mengantarnya dengan

mobil ambulans perusahaan. “Mereka langsung pergi. Karena pihak keluarga belum ada yang datang,

kami belum berani mengambil tindakan. Termasuk selang infus belum kami pasang,” kata staf rumahsakit

yang menolak menyebut nama.

Puji dibiarkan sendirian di ruangan isolasi, Anggrek 4, dengan kedua tangan diborgol dan kaki diikat kain

putih. Ia terjatuh dari tempat tidur dengan borgol terlepas dari tangan. Sekujur badan lebam-lebam. Muka

bercucuran darah yang belum dibersihkan. Matanya terluka parah.

Puji korban pengeroyokan aparat TNI Angkatan Darat dan sekuriti PT Asiatic. Ia sempat tak diketahui

kabarnya sejak sore hingga baru diketahui beberapa menit menjelang ajal.

Menurut Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional, tindakan represif itu bermula saat Titus, warga desa

Bungku, kecamatan Bajubang, Batanghari, dijemput paksa dan sempat diseret dari rumah sekira pukul

15.12. Rumah Titus didatangi satu mobil patroli bertuliskan Sat Binmas Polres Batanghari jenis Gran

Max dan empat orang berseragam TNI yang mengendarai motor.

“Mana yang namanya Titus? Ayo kita ke kantor sekarang juga,” kata Beno, kakak kandung Titus

menirukan ucapan aparat keamanan itu. Para polisi tidak turun dari mobil.

“Kami tak mampu menahan mereka membawa Titus. Mereka sempat menembakkan senjata api ke udara.

Kami takut sekali,” kata Beno kepada saya.

Beberapa warga, kata Beno, sempat melihat Titus diturunkan dan digebuki kala mobil bergerak 1 km dari

rumah. Titus dibawa ke kantor PT Asiatic, berjarak sekira 12 km.

Mendengar kabar itu, pukul 16.10, ratusan warga dan keluarga korban datang menjemput namun

dihadang puluhan aparat berseragam TNI dan sekuriti perusahaan. Aparat TNI menggunakan senjata laras

panjang, sementara sekuriti menenteng samurai dan senjata tajam lain.

Pukul 16.30 saat mendekati kantor perusahaan di desa Bungku, beberapa petani dari dusun Mentilingan

dan warga Suku Anak Dalam dipukuli. Akibatnya lima warga, Yanto (31 tahun), Dadang (56), Adi (24),

Khori Khuris (71), dan Ismail (38) mengalami luka serius. Kelima orang itu dilarikan ke rumahsakit

umum daerah Raden Mattaher, Jambi.

“Aparat juga sempat memberondong kami dengan tembakan, baik ke udara, ke bawah, bahkan ada

sepedamotor yang tertembak. Mereka mau membunuh sekaligus menakuti kami,” kata Khori Khuris.

Kematian Puji dan lima korban luka itu sempat diproses hukum secara terpisah. Lima orang sekuriti PT

Asiatic divonis masing-masing 10 bulan penjara. Sementara enam anggota TNI yang dinyatakan

tersangka tak jelas kabar vonisnya, diadili di Mahkamah Militer Kodam Sriwijaya, Sumatra Selatan, yang

Page 7: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 7 | 13

sulit diakses publik. Penetapan mereka sebagai tersangka hanya diberitakan sekali oleh Kompas edisi 3

April 2014.

Sementara keluarga mendiang Puji mendapat bantuan uang Rp 20 juta dari pihak perusahaan, kelompok

SAD Batin 9 diminta secara resmi menyatakan bahwa Puji bukan asli suku itu agar konflik agraria segera

diselesaikan.

“Kami penuhi permintaan itu namun kenyataannya proses penyelesaian konflik tanah masih berlarut-

larut,” kata Herman Basir kepada saya.

KONFLIK yang berlarut-larut itu nyaris selesai pada 2013 saat kepemilikan HGU telah dikuasai Wilmar

International. Mediasi ditempuh melalui mekanisme Compliance Advisor Ombudsman. Ini badan yang

dibentuk dan didanai International Finance Corporation dan The Multilateral Investment Guarantee

Agency guna mengatasi keluhan masyarakat yang terpapar buruk oleh proyek konsesi PT Asiatic. Kedua

lembaga internasional itu berafiliasi dengan Bank Dunia.

Pelaporan soal konflik SAD disampaikan pada November 2011. Temuannya, kesatuan bersenjata Brigade

Mobil kepolisian Indonesia dan PT Asiatic Persada bertanggungjawab atas pelanggaran berat hak asasi

manusia. Tuntutannya, melakukan investigasi guna mengusut pertanggungjawaban individu-individu

yang terlibat kekerasan.

Temuan itu merujuk pada peristiwa selama Agustus 2011 saat rumah-rumah masyarakat rata tanah di

dusun Sei Beruang. Selama seminggu setelahnya Brimob kembali membersihkan harta benda yang

tersisa. Sementara karyawan PT Asiatic Persada, sesuai instruksi pimpinan perusahaan, memakai alat

berat perusahaan untuk menghancurkan rumah-rumah milik 83 kepala keluarga—dilakukan secara

sistematis. Bahkan pembersihan itu memakai traktor caterpillar untuk membuldoser lantai semen.

Perundingan tercapai saat semua pihak sepakat mengukur ulang tanah ulayat dalam sebuah rapat di kantor

Gubernur Jambi pada April 2012. Muhammad Syafei mewakili PT Asiatic menandatangani kesepakatan

itu. Sementara Joko Susilo, anak buahnya, meneken hasil mediasi Komnas HAM di Jakarta. Intinya

serupa: semua pihak setuju untuk mengukur ulang lahan seluas 3.550 hektar sebagaimana yang dirujuk

peta mikro keluaran departemen kehutanan tahun 1987.

Namun semua kesepakatan buyar setelah PT Asiatic kembali berganti kepemilikan.

Page 8: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 8 | 13

Selimut konflik makin tebal setelah PT Asiatic Persada menggusur dan menjarah sekira 296 rumah Suku

Anak Dalam pada 7-14 Desember 2013. Masing-masing 31 rumah di Padang Salak, 6 rumah di

Terawang, dan 109 rumah di Pinang Tinggi. Sekira 150 rumah hancur dari total 600 rumah di Tanah

Menang. Keempat dusun ini terletak di Desa Bungku.

Sampai akhirnya berujung pada kematian Puji.

Menjelang pemilu legislatif pada April 2014, pemerintah provinsi Jambi mengklaim telah menyelesaikan

sengketa lewat skema pembagian lahan seluas 2.000 hektar di Mentilingan. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono bahkan memberi penghargaan terbaik se-Indonesia untuk Tim Terpadu Penyelesaian Konflik

Provinsi Jambi.

Ketua Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam Batanghari, Fathuddin Abdi mengklaim jumlah warga

dari kelompok Suku Anak Dalam yang sudah diverifikasi sebanyak 649 kepala keluarga atau 2.409 jiwa

untuk 14 kelompok SAD.

Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional mengatakan, Lembaga Adat Batanghari telah menyalahgunakan

wewenang. Tugas mereka hanya sebatas memverifikasi, bukan sampai memediasi apalagi mengambil

kesimpulan untuk proses penyelesaian.

Data jumlah kepala keluarga dari Suku Anak Dalam juga masih dalam perdebatan. Versi Serikat Tani

Nasional, totalnya 3.250 kepala keluarga. Rinciannya, Kelompok SAD 113 (Pinang Tinggi, Padang

Salak, Tanah Menang) sebanyak 1.135 kepala keluarga, Bukit Terawang (322 kepala keluarga), Danau

Minang (101), Sei Pacatan (230), Tim Enam (300), Kelompok Terdampak (310), Tani Persada (500),

Pangkalan Ranjau (225), Sahnan (97), dan Acil (30).

Sementara klaim Herman Basir, jumlah seluruh orang SAD Batin 9 tak sampai 1.000 kepala keluarga.

Herman bilang ia sudah dua kali mendata. Pada 2004, Herman bersama Prof. Dr. Muntholib—dosen dari

IAIN Sulthan Thaha Saifuddin—mendata empat desa plus satu dusun: Markanding, Tanjung Lebar,

Bungku, dan Pompa Air serta Penyerukan. Hasilnya 370-an kepala keluarga. Setahun kemudian, ia

mendata sendiri dengan mendatangi satu demi satu kelompok. Hasilnya bertambah jadi 469 kepala

keluarga.

Toh, Lembaga Adat Batanghari tetap jalan sendirian memverifikasi. Hasil verifikasi memutuskan, lahan

2.000 hektar diperuntukkan 17 kelompok SAD lewat SK Bupati Batanghari Nomor 180 pada 11 Maret

2014.

Ke-17 kelompok itu, terdiri dari 994 kepala keluarga, mendapat 1.988 hektar plus 24 hektar untuk fasilitas

umum.

Page 9: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 9 | 13

Kelompok Herman Basir, yakni Puyang Keji (berjumlah 33 keluarga) di atas kertas mendapat 66 hektar.

Namun kenyataannya mereka hanya mendapat 62 hektar. “Ada 4 hektar yang hilang,” ujarnya.

Lahan untuk kemitraan seluas 2.000 hektar itu sebenarnya bermasalah karena dalam status abandon atau

tanah tak bertuan. Lahan ini masuk dalam areal seluas 7.252 hektar, dikelola dua anak perusahaan PT

Asiatic: PT Jammer Tulen (3.871 hektar) di kawasan Mentilingan dan PT Maju Perkasa Sawit (3.381

hektar) di kawasan Durian Dangkal—keduanya di Desa Bungku.

Laporan penyelidikan Forest Peoples Programme bertajuk “Human Rights Abuses and Land Conflict in

the PT Asiatic Persada Concession in Jambi”, pada November 2011, memaparkan kedua anak perusahaan

itu hanya bermodal izin lokasi dengan Legalitas gabungan/2272/2000 bertanggal 16 Desember 2000. Izin

lokasi itu telah berakhir pada Mei 2005.

“Dua perusahaan itu seperti melampaui hukum,” kata Marcus Colchester yang memimpin penyelidikan

bersama melalui Forest Peoples Programme.

Masalah kedua, di atas lahan 7.252 hektar ini, setengahnya atau sekitar 3.650 hektar adalah lahan klaim

masyarakat lain termasuk kelompok Ardani dan M. Zen—mantan kepala desa Bungku selama 17 tahun.

“Ini hanya akan menambah keruwetan konflik dengan memunculkan konflik horizontal yang baru sesama

masyarakat,” kata Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional.

Sebagian besar orang SAD Batin 9 masih banyak yang belum mendapat bagian dari 2.000 hektar.

Dipimpin Abunyani, ketua Lembaga Adat Batin 9, mereka memilih berjalan kaki dari Jambi selama 41

hari ke Jakarta. Awalnya aksi diikuti 71 orang, namun sebagian pulang karena sakit. Sisa 49 orang

menginap di Komnas HAM sejak awal Desember 2014.

Pada 11 Desember, mereka sempat mendatangi Istana Presiden namun gagal bertemu Presiden Joko

Widodo yang saat itu di luar negeri. Menurut Mahyuddin, koordinator lapangan aksi, mereka menuntut

pengukuran ulang lahan seluas 3.550 hektar.

HERMAN Basir punya pendapat lain. Ia menerima bagian dari lahan 2.000 hektar karena PT Asiatic

Persada berjanji tetap mengukur ulang lahan 3.550 hektar. Menjelang proses itu selesai, menurut Herman,

gunakan dulu lahan yang ada untuk sementara.

Itu yang dijanjikan Amruzi, mantan general manager PT Asiatic yang bekerja selama dua tahun. Beberapa

bulan lalu dia dipecat dan kini bekerja di Riau. Posisi Amruzi digantikan Salawuddin.

Page 10: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 10 | 13

Herman cukup dekat dengan Amruzi karena selama delapan tahun ia pernah bekerja di PT Asiatic (2001-

2008), dari sekuriti, humas, hingga land officer (pekerja pembebasan lahan). Sejak berhenti, Herman

ditahbiskan menjadi “Temenggung Sembilan Bilah.”

Ayah dua anak ini sudah tiga kali menikah. Dua pernikahan sebelumnya berakhir cerai. “Saking

seringnya meninggalkan anak-istri selama berjuang, saya diceraikan istri. Apa boleh buat, mungkin ini

konsekuensi yang harus saya terima,” kata pria berusia 33 tahun ini.

Siapa sebenarnya yang mesti bertanggungjawab?

“Saya kira keluarga Senangsyah. Ketika saya bekerja di perusahaan, kebun HGU boleh dibilang belukar

sawit. Banyak lahan yang kosong, belum ditanami sawit. Commonwealth Development Corporation dan

perusahaan lain hanyalah korban. Mereka semua tertipu,” Herman menambahkan.

Dari jatah dua hektar, Herman bilang mendapat penghasilan rata-rata Rp 1,5 juta setiap bulan. Pendapatan

terendah Rp 700 ribu. Ia dikenakan dana investasi 20 persen. Kreditnya senilai Rp 8 juta yang dipotong

dari hasil kebun setiap bulan tapi tak dijelaskan sampai kapan.

Kondisi kebun itu sudah tua, tahun tanamnya 1988, artinya berumur 26 tahun. Sulit mendapatkan satu

tandan dalam satu batang pohon sawit. Tinggi pohon 27-28 meter. Jika memanen, mesti menyambung

tiga buah enggrek. Perhitungannya, usia produktif sawit maksimal 20-25 tahun sehingga mesti

diremajakan kembali dengan sawit baru. Pada usia setua itu, dua hektar kebun sawit hanya menghasilkan

rata-rata satu ton. Ongkos perawatan kebun lebih mahal ketimbang pendapatan petani.

Beberapa bulan lalu, seorang warga pemilik kebun saat memanen terluka akibat tertimpa enggrek dan

buah sawit. Sempat dirawat hingga kemudian meninggal.

Sejak diserahkan pada April 2014, delivery order ternyata ditangani Ketua Lembaga Adat Batanghari,

Fathuddin Abdi. Seluruh hasil kebun juga dipotong 40 persen sebagai dana tabungan. Dana itu untuk

biaya perawatan kebun. Totalnya sampai sekarang sekitar Rp 13 miliar.

Dana itu menurut Herman Basir dipegang PT Asiatic namun tak jelas posisinya. Saat ini ia

mempertanyakan dana itu agar diserahkan kepada masyarakat. “Biarlah masyarakat yang mengelola.

Bayangkan dana yang dibutuhkan untuk mengukur ulang lahan 3.550 hektar paling tinggi hanya Rp 2

miliar. Berarti dana saving itu lebih dari cukup,” ujarnya.

Menurut Herman, ada sejumlah langkah agar proses penyelesaian konflik ini berjalan baik. Pertama,

warga Suku Anak Dalam Batin 9 tidak dibuat terpecah-belah seperti saat ini. Mereka mestinya dibuatkan

satu wadah yang bersifat satu arah.

Page 11: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 11 | 13

Kedua, pengelolaan lahan 2.000 hektar harus fair. SK Bupati Nomor 180 itu membuat mereka seperti

karyawan PT Asiatic. Harus bikin surat kepemilikan lahan yang kuat secara hukum dan kolektif agar

masyarakat tak bisa memperjualbelikan lahan sewaktu-waktu. “Biarlah lahan ini kami kelola bermitra

dengan pemerintah. Perusahaan sebaiknya melepaskan diri,” ujarnya.

Ketiga, proses verifikasi asli atau tidaknya SAD Batin 9 hendaknya dilakukan tim independen,

beranggotakan pemerintah dan ketemenggungan SAD Batin 9.

“Ukuran asli menurut saya jelas. Anak jantan turun jantan. Keaslian itu menurut garis ayah. Dari suku

manapun ibunya, yang penting ayahnya adalah orang Batin 9. Kalau sebaliknya, itu berarti semendo,”

katanya.

Keempat, bagi orang Batin 9 yang sudah terlanjur menjual lahan, maka ia tak berhak mendapat gantirugi

lahan. Haknya jatuh ke tangan pembeli.

Kelima, barulah proses pengukuran ulang di lahan 3.550 hektar dilanjutkan.

“Saya yakin dengan fakta-fakta hukum yang ada, kami optimis lahan tersebut dikembalikan ke tangan

kami,” katanya.

PADA Oktober 2013, sebuah tim dari Yayasan CAPPA, Setara, Perkumpulan Hijau, dan AGRA,

dimoderatori Sarikat Hijau, pernah menganalisis “Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam” di lima

komunitas SAD Batin 9. Kelimanya di dusun Simpang Macan, dusun IV Sungai Beruang, desa Bukit

Makmur, desa Pinang Tinggi, dan desa Pompa Air—semuanya di kecamatan Bajubang, Batanghari.

Lima komunitas ini telah berkonflik bertahun-tahun dengan perusahaan. Dalam perhitungan dan metode

sederhana organisasi-organisasi itu, total kontribusi kelima komunitas terhadap pendapatan asli daerah

kabupaten sekira Rp 69 miliar/ tahun.

Rincian terendah hingga tertinggi: Simpang Macan Rp 201,5 juta, Sungai Beruang Rp 1,5 miliar, Pompa

Air Rp 4,8 miliar, Pinang Tinggi Rp 5,1 miliar, dan Bukit Makmur Rp 57,4 miliar.

Kusnadi Wirasaputra dari Sarikat Hijau mengatakan, studi kasus ini mengklasifikasikan tiga hal: nilai

guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai pilihan.

Menurutnya, indeks terendah ada di Dusun Simpang Macan, dengan melihat penghasilan satu orang

sekitar Rp 6.434/ hari atau Rp 193 ribu/ bulan. Perhitungannya, total produksi pertahun Rp 201,5 juta

dibagi 87 jiwa dibagi 12 bulan dan dibagi lagi 30 hari.

Page 12: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 12 | 13

Indeks tertinggi, pendapatan Rp 79.710/ hari atau Rp 2,4 juta/ bulan bagi setiap jiwa di Bukit Makmur,

sebuah desa transmigrasi yang diretas 20 Januari 1994. Luas desa 8.146 hektar dengan jumlah penduduk

sekitar 2.000 jiwa. Aset produksi desa antara lain 3.000 hektar kebun sawit, 10 hektar kebun karet, 300

hektar hutan dan 540 sumur.

“Kami kaget. Tidak menyangka ternyata desa kami kaya raya,” kata Bambang Kriswono, perwakilan dari

Bukit Makmur. Pendapatan warga desa melampaui upah minimum provinsi Jambi sebesar Rp 1,7 juta.

Apakah artinya pendapatan khusus di Bukit Makmur sudah bisa dikategorikan hidup layak? Menurut

Kusnadi, bila dibandingkan konflik dengan perusahaan yang tak kunjung reda, kondisi ini suatu “fakta

yang fantastis.”

“Biasanya daerah konflik itu justru membuat ekonomi lumpuh. Ini kan tidak. Mereka masih tetap

survive,” ujar Kusnadi.

Namun orang SAD Batin 9 sulit keluar dari kemiskinan. Salah satu faktornya pendidikan. Sekitar 80

persen penduduknya tak pernah mengenyam sekolah formal.

Herman Basir misalnya, memiliki 4 saudara kandung, hanya ia yang menamatkan SMP. Herman kini

menikah dengan seorang guru dan ia berkeinginan meneruskan studi paket C dan melanjutkan kuliah.

Perkiraan Herman, hanya 20 persen orang Batin 9 yang pernah sekolah. Ketika mendistribusikan lahan

2.000 hektar, PT Asiatic berjanji memberikan pendidikan gratis. Namun janji itu hingga kini belum

tampak. Bangunan sekolah belum didirikan.

Pendapat yang sama diucapkan Mat Samin, ketua Komunitas Pasirah Pintang Iman yang mendapat bagian

lahan dari 2.000 hektar dari PT Asiatic sekaligus sekretaris Koperasi Berkah Bersatu. Menurutnya,

mayoritas orang Batin 9 buta huruf. Masih langka orang yang menamatkan SMA. Faktor konflik

berkepanjangan jadi penyebab utama. Selain pula faktor pernikahan beda suku. Pada umumnya, suami-

istri Suku Anak Dalam tak mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Mat Samin merasa beruntung menikah dengan perempuan Jawa. Ketiga anaknya bersekolah. Anak

keduanya saat ini kuliah keperawatan. “Setahu saya, di komunitas kami, baru empat orang yang kuliah,”

katanya.

Konflik tak hanya berdampak terhambatnya akses pendidikan. Laku pengetahuan lokal makin memuih.

Yang tersisa tinggal adat menikah dan tari Besale. Adat menikah mengikuti ajaran agama Islam. Boleh

dibilang hanya Besale yang masih rutin digelar setiap tahun.

Saya pernah sekali menyaksikan tarian Besale ketika orang Batin 9 berdemo di depan komplek kantor

provinsi Jambi pada 6 Januari 2014. Dua lelaki paruh baya melepas baju hingga telanjang dada diiringi

Page 13: Dalam Selimut Konflik

PINDAI.ORG – Dalam Selimut Konflik / 31 Desember 2014

H a l a m a n 13 | 13

seorang perempuan meliuk-liuk mengikuti irama rebana. Baju yang mereka lepas dilambai-lambaikan.

Dua lelaki lain, tanpa melepas baju, memegangi pinggang mereka, mengikuti tarian. Besale hanya

dimainkan sekitar lima menit. Mereka langsung duduk bersimpuh seraya menundukkan kepala di depan

Abunyani, ketua Lembaga Adat Batin 9 dan pemukul rebana.

“Ini merupakan tarian untuk mengobati sakit sekaligus ucapan syukur kami yang tiba di sini dalam

keadaan segar bugar,” kata Abunyani.

Mayoritas orang Batin 9 yang belum mendapatkan tanah, bekerja serabutan. Ada yang berburu babi,

pemulung, mencari rotan dan jernang, atau mencari ikan, memasang jerat untuk kancil, landak, rusa, dan

kijang.

“Kalau hari sedang panas, kami mencari betiruk (labi-labi) buat sekadar beli beras. Jika dapat, harga labi-

labi super bisa mencapai Rp 35 ribu perkilo. Hidup kami benar-benar sangat sulit,” kata Amat Nuri, kini

berumur 54 tahun. Nuri bercerita sambil bertelanjang dada. Nada suara dan wajahnya, sungguh, tak ingin

minta dikasihani.

Sebelum pulang, saya bertanya kepada Amat Nuri, “Bagaimana jika persoalan ini tak juga selesai?”

“Kalo dak selesai-selesai jugo, yo pake caro kami lah. Berapo desa yang ado kito terjunkan galo.”

Maksudnya, kalau memang selimut konflik terus mengungkung, biarlah pakai cara mereka sendiri.

Mengerahkan semua warga di semua desa yang terpapar konflik, menuntut perusahaan mengembalikan

hak tanah ulayat mereka.*

-----

Catatan editor:

Jogi Sirait telah mencoba mendatangi kantor PT Asiatic Persada di kota Jambi dan bertemu dengan

Sudjatmoko dari bagian logistik yang berkata “tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan” dari Sirait

untuk dimintai pendapat dan konfirmasi tentang konflik lahan dengan Suku Anak Dalam Batin 9.

“Telepon di kantor kebun tak ada. Handphone para petinggi kami juga tak punya,” ujar Sudjatmoko.

Sirait berusaha mengontak nomor seluler Supriyadi, Humas PT Asiatic, yang diangkat sekali dan seketika

berkata “sedang rapat” kala mengenalkan diri untuk keperluan wawancara. Sirait menelepon sekurangnya

10 kali lagi namun tak diangkat Supriyadi. Keperluan Sirait ingin mendapatkan jawaban menurut versi PT

Asiatic.