dalam edisi ini · ... pmr indonesia bersama mitra kerja pemerintah ... ahli, dan tim pmr ......

7
PMR Project Management Unit (PMU) Menara Ravindo Jl. Kebon Sirih no. 75, lantai 12 Jakarta Pusat P. +62 21 39831804 F. +62 21 3908598 www.pmr-indonesia.org e-mail : [email protected] Main Finding, Studi Profil Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Industri Pengembangan Cap Emisi GRK Sektor Pembangkit Pembangkitan Tenaga Listrik Dalam edisi ini : Reviu Capaian NDC, Dua Kementerian Gagas Pertemuan Lintas Sektor Mitigasi Perubahan Iklim Dengan Pasar Karbon Pelajari Pasar Karbon 'domestik di Thailand, PMR Indonesia Bersama Mitra Kerja Pemerintah Indonesia Kunjungi TGO Office di Bangkok Our Office :

Upload: ngominh

Post on 30-Jun-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PMR Project Management Unit (PMU) Menara Ravindo  Jl. Kebon Sirih no. 75, lantai 12  Jakarta Pusat P. +62 21 39831804 F. +62 21 3908598 www.pmr-indonesia.org e-mail : [email protected]

Main Finding, Studi Profil Emisi Gas

Rumah Kaca Sektor Industri

Pengembangan Cap Emisi GRK Sektor

Pembangkit Pembangkitan Tenaga Listrik

Dalam edisi ini : 

Reviu Capaian NDC, Dua Kementerian

Gagas Pertemuan Lintas Sektor 

Mitigasi Perubahan Iklim Dengan Pasar

Karbon

Pelajari Pasar Karbon 'domestik di

Thailand, PMR Indonesia Bersama Mitra

Kerja Pemerintah Indonesia Kunjungi

TGO Office di Bangkok

Our Office :

1

Mitigasi Perubahan Iklim dengan Pasar Karbon

Samyanugraha melanjutkan, harga kredit karbon yang cukup menarik akan mendorong investasi proyek rendah karbon contohnya ketika pasar karbon menjadi sebuah keharusan seperti diatur berdasarkan Protokol Kyoto. Berdasarkan Protokol Kyoto, negara-negara maju memiliki kewajiban (mandatory) untuk menurunkan emisi GRK dan sebagian dari kewajiban ini bisa dipenuhi dengan memberikan insentif untuk penurunan emisi di negara berkembang yang mana adalah dasar pembentukan dari CDM. Ketika periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012, harga kredit jatuh dan pasar karbon internasional melambat. Meski demikian, Samyanugraha meyakini peluang bagi pasar karbon untuk berkembang khususnya yang di tataran domestik tetap terbuka asal didukung oleh kebijakan pemerintah. “Itu menjadi vital karena esensi dari pasar karbon adalah memungkinkan mitigasi perubahan iklim dengan biaya rendah dan itu yang dibutuhkan untuk mencapai target NDC Indonesia” tegasnya. Salah satu kebijakan yang bisa memicu pasar karbon domestik adalah penerapan pembatasan emisi (Cap). Menurut dia, secara global saat ini ada 51 pasar karbon domestik dimana 49 diantaranya merupakan pasar karbon mandatory. Pada acara Pasar Karbon berikutnya, sesi II, Selasa, 08 Agustus 2018 dengan sub tema 'Pembelajaran dari Instrumen Pasar Karbon', hadir sebagai narasumber, penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin menjelaskan, Persetujuan Paris tetap menyediakan ruang untuk pasar karbon dalam bentuk kerja sama sukarela untuk meningkatkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan menjaga integritas lingkungan. Meskipun tetap dalam konteks NDC yang sudah didaftarkan masing-masing negara. Ruang bagi pasar karbon yang tetap terbuka juga tak lepas dari perlu didorongnya peran aktor di luar negara (non-state actors), seperti swasta dan pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Namun Masripatin mengingatkan pentingnya transparansi yang harus menjadi tulang punggung dari kerja sama yang dilakukan. Dalam hal ini, kerja sama yang dilakukan juga harus di daftarkan dalam Sistem Registri Nasional (SRN) pengendalian perubahan iklim agar dapat menjadi bagian dari NDC Indonesia sesuai panduan transparansi dalam Persetujuan Paris. Sementara itu Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Parjiono menjelaskan pemerintah saat ini sedang merancang Badan Layanan Umum (BLU) sebagai akselerator pendanaan lingkungan hidup termasuk aksi mitigasi perubahan iklim. BLU tersebut merupakan amanah dari PP No 46 tahun 2017 tentang InstrumenEkonomi Lingkungan Hidup. “Draf-nya sedang dalam pembahasan,” ungkap Parjiono. Parjiono menambahkan, pada tahun 2017 lalu terdapat Rp 81,7 triliun anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kegiatan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun beliau menekankan, pendanaan perubahan iklim yang bersumber dari dana publik sangat terbatas, mungkin hanya mencukupi untuk 30-40% dari biaya pencapaian target regulasi dan instrumen yang dibutuhkan.

'Pasar Karbon' di Pojok Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Instrumen Berbasis Pasar dalam peningkatan upaya mitigasi perubahan iklim fokus pada satu hal yaitu memberikan nilai ekonomis bagi setiap unit penurunan emisi, atau lebih dikenal dengan carbon pricing. Menyusuli terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, Indonesia semakin siap menerapkan Instrumen mitigasi berbasis pasar. PP ini memberikan pijakan hukum untuk penerapan instrumen mitigasi berbasis pasar secara domestik. Partnership for Market Readiness (PMR) Indonesia yang didukung oleh United

Nation Development Program (UNDP) bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Forum Pojok Iklim, secara rutin menggelar pertemuan tematik yang dilaksanakan setiap pekan selama bulan Agustus 2018 membahas mengenai Karbon (Carbon Pricing) dan mengapa instrumen berbasis pasar dan Carbon Pricing diperlukan. Kegiatan tersebut dilaksakan di Kantor KLHK, Gedung Manggala Wanabhakti-Jakarta. Forum tersebut mengangkat berbagai tema yang berhubungan dengan Pasar Karbon setiap minggunya, serta menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan mulai dari pemerintah, akademisi, pakar serta swasta. Kegiatan diskusi ini terbuka untuk umum, pada setiap pertemuan sekitar 100 peserta dari berbagai latar belakang hadir dan secara aktif mengikuti jalannya kegiatan. Sarwono Kusumaatmaja secara rutin membuka gelaran ini. Sarwono yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK dalam sambutannya menggarisbawahi bahwa pencapaian target penurunan emisi dalam Persetujuan Paris tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja. “Peran sektor swasta untuk melakukan mitigasi pengurangan emisi juga diperlukan” imbuh Sarwono. Beliau juga menyatakan Indonesia sejatinya telah memiliki payung hukum bagi penerapan instrumen berbasis pasar lewat PP 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Beliau juga mengingatkan, mekanisme pasar karbon jangan sampai menjadi ajang white washing, dimana investor yang membeli karbon kredit adalah mereka yang sebelumnya melakukan praktik high

carbon economy. Bapak Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-KLHK dalam paparannya di sesi I Pojok Iklim pada hari Selasa, 01 Agustus 2018 dengan sub tema 'Instrumen Mitigasi Berbasis Pasar dan Pencapaian Target NDC' menyampaikan bahwa Índonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dibawah tingkat Business As Usual (BAU) pada tahun 2030. “Hal ini tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan kepada UNFCCC pada bulan November 2016” imbuh Ruandha. Sementara itu, pakar pasar karbon PMR Indonesia, Andi Samyanugraha mengungkapkan, telah ada sejumlah proyek rendah karbon yang didukung oleh instrumen berbasis pasar. Diantaranya adalah 47 proyek Clean

Development Mechanism (CDM) senilai 1 miliar dolar AS dengan kredit karbon setara 32 juta ton CO2. Selain itu ada juga 29 proyek yang terdaftar dalam joint credit mechanism (JCM) senilai 129 juta dolar AS. “Pasar karbon bisa mendorong investasi rendah karbon di Indonesia,” ungkapnya.

2

Sesi I, Tema 'Instrumen Mitigasi Berbasis Pasar dan Pencapaian Target NDC' Melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), Indonesia

telah mengambil manfaat dari instrumen mitigasi berbasis

pasar dibawah Protokol Kyoto. Namun dengan segera

berakhirnya periode kedua Protokol Kyoto dan dimulainya

periode implementasi Persetujuan Paris, apakah

perdagangan karbon internasional masih dapat memberikan

manfaat bagi Indonesia? Bagaimana dengan perdagangan

karbon yang dilakukan di luar UNFCCC, misalnya pasar

karbon domestik dan voluntary? Sesi Pojok Iklim ini

mendiskusikan berbagai aspek instrumen mitigasi berbasis

pasar khususnya yang terkait dengan upaya Indonesia

mencapai target NDC-nya.

Sesi II, Tema 'Pembelajaran dari Instrumen Pasar Karbon''

Cukup banyak aksi mitigasi di Indonesia yang sudah mengikuti

mekanisme pasar karbon dari berbagai jenis. Salah satu

pertanyaan krusial terkait hal tersebut adalah seberapa

signifikan dorongan dari pasar karbon dalam meningkatkan aksi

mitigasi? Sesi Pojok Iklim pada minggu kedua memaparkan

pengalaman, pembelajaran dan harapan dari pengembang aksi

mitigasi di berbagai sektor.

Sesi III, Tema 'Kesiapan Data Emisi untuk Instrumen Mitigasi Berbasis Pasar'

Sesi IV, Tema 'Kesiapan Kebijakan Nasional mengenai Instrumen Mitigasi Berbasis Pasar'

Berbagai kebijakan nasional yang secara

langsung ataupun tidak langsung telah

memberikan target ataupun batas emisi

gas rumah kaca. Sesi IV Pojok Iklim

membahas perkembangan kebijakan

terkini dan kesiapan penerapan pasar

karbon dalam kerangka kebijakan saat ini.

Sesi V, Tema 'Strategi Penerapan Instrumen Berbasis Pasar Berdasarkan Potensi dan Biaya Mitigasi'

Instrumen mitigasi berbasis pasar diterapkan untuk

memobilisasi insentif bagi mitigasi perubahan iklim namun

disadari bahwa sumber insentif pun terbatas sehingga

diperlukan perencanaan dan prioritisasi agar

manfaatnya optimal. Sesi Pojok Iklim di penghujung

Agustus ini mendiskusikan strategi penerapan instrumen

berbasis pasar berdasarkan potensi dan biaya mitigasi

serta kesiapan data potensi dan biaya mitigasi yang

telah dimiliki dan/atau sedang disiapkan Indonesia.

Pengembangan energi terbarukan berbasis hutan untuk

menyokong pengendalian perubahan iklim butuh

dukungan pembiayaan termasuk yang berasal dari

pasar karbon.

Setiap unit yang diperjualbelikan dalam perdagangan karbon

umumnya mewakili satu ton setara-karbon-dioksida. Oleh

karena itu data sangat penting untuk menjamin bahwa benar

ada emisi atau penurunan emisi sejumlah unit yang

berpindahtangan, bukan sekedar claim. Karena itu, kesiapan

data sangat menentukan kesiapan dalam menerapkan

instrumen mitigasi berbasis pasar. Sesi Pojok Iklim ketiga

(15/8) akan memaparkan berbagai inisiatif pemerintah dalam

menyiapkan data emisi atau penurunan emisi yang valid dan

kredibel. Selain itu, ditambah dengan adanya peluang untuk

sinkronisasi sistem pelaporan emisi GRK guna mempermudah

dalam melaporan data emisi.

3

Partnership for Market Readiness (PMR) Indonesia bersama dengan Ditjen. Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM telah melaksanakan serangkaian Focus Group Discussion

(FGD) series untuk mengkoordinasikan nilai ambang batas atas (Cap) emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor pembangkitan tenaga listrik. Kegiatan FGD tersebut dilaksanakan dalam rangka merumuskan kebutuhan simulasi skenario CAP . Pertemuan dilaksanakan secara series dengan melibatkan stakeholder terkait (Kemenko. Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, PT PLN (Persero), PJB, IP, Tenaga Ahli, dan Tim PMR-UNDP). Menindaklanjuti hasil dari FGD seri kelima, PLN bersama dengan DJK KESDM telah melakukan workshop penghitungan emisi GRK dengan mengundang unit pembangkit dibawah manajemen PLN. Berdasarkan hasil kegiatan ini dan hasil FGD sebelumnya, PLN telah mengusulkan usulan besaran nilai cap emisi GRK unit pembangkit listrik ke DJK KESDM. DJK berencana untuk menindaklanjuti usulan dari PLN dan hasil dari meeting FGD series sebelumnya dengan mengadakan kajian cap.

Kegiatan DJK ESDM yang didukung oleh PMR ini dilaksanakan untuk mendukung komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca yang tertuang didalam Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bagian dari komitmen

global Paris Agreement, dimana Indonesia berkomitmen untuk menurunkan jumlahemisi GRK sebanyak 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% apabila ada dukungan internasional dibawah Baseline as Usual (BAU) pada tahun 2030. Tahukan anda, emisi dari sektor pembangkitan listrik adalah sekitar 130 juta ton- setara-CO2 pada tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 812 juta ton-setara-CO2 pada tahun 2030. Dalam persentase, ia adalah sekitar 28% dari emisi GRK sektor energi pada tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 48,6% dari emisi GRK sektor energi pada tahun 2030. Dalam NDC Indonesia, sektor energi diharapkan dapat menurunkan emisi sebesar 11% dari emisi sektor energi yang diperkirakan di tahun 2030 atau sebanyak 314 juta ton CO2e. Untuk dapat mencapai target NDC ini tentu memerlukan peran yang signifikan dari sektor pembangkitan tenaga listrik dan diperlukan dukungan pendanaan yang tidak sedikit, untuk itu keterlibatan pemerintah serta stakeholder terkait sangat diperlukan. DJK KESDM sebagai koordinator Kelompok Kerja Pembangkit Listrik Program PMR Indonesia telah menjalin komunikasi dengan EBTKE ESDM selaku focal point program Global Green Growth Institute (GGGI) di sektor energi di Indonesia terkait rencana kolaborasi dukungan pengembangan cap emisi GRK sektor pembangkitan tenaga listrik. Rencana kolaborasi telah didiskusikan pada rapat yang dilaksanakan tanggal 19 September 2018 di Jakarta yang dihadiri oleh Kemenko. Bidang Perekonomian, Bappenas, EBTKE ESDM, DJK KESDM, PMR- UNDP, dan GGGI. Salah satu output dari rapat tersebut adalah rekomendasi agar GGGI mendukung pelaksanaan kajian cap emisi GRK sektor pembangkitan tenaga listrik. Kajian cap akan dikembangkan dibawah koordinasi DJK KESDM dan EBTKE ESDM. Kajian cap direncanakan akan dilaksanakan di tahun 2019.

Pengembangan Cap Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pembangkitan Tenaga Listrik

Munir, selaku Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM, dalam beberapa rapat tersebut menyampaikan, sebagaimana tujuan dari pertemuan, harapan kepada para peserta untuk dapat memberikan masukan dalam perancangan dan penetapan cap di sektor pembangkitan listrik dengan menyesuaikan aspek teknis yang diperlukan. Munir menginformasikan bahwa Kementerian ESDM sedang menyusun Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Inventarisasi dan Mitigasi GRK bidang energi dimana Menteri ESDM akan bertugas untuk menentukan cap emisi GRK sub bidang ketenagalistrikan dan sub bidang minyak dan gas bumi. Beliau menambahkan bahwa cap emisi GRK sub bidang ketenagalistrikan dihitung oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan berdasarkan hasil koordinasi dengan pemangku kepentingan subbidang ketenagalistrikan. Penetapan cap emisi GRK sektor pembangkitan tenaga listrik juga dilaksanakan selaras dengan amanat PeraturanPemerintah No. 46 tahun 2016 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan hidup dimana mandat untuk pengembangan sistem perdagangan emisi GRK paling lambat 7 tahun setelah PP ditetapkan.

4

Bahkan dibawah skema TCOP, perusahaan-perusahaan yang telah menghitung CFP maupun CFO dan telah di sertifikasi oleh TGO, dapat meng-claim produk mereka sebagai “carbon zero product” dan organisasi mereka sebagai “carbon neutral organization”, dengan cara meng-offset emisi mereka dari kredit karbon yang dihasilkan dari TVER, JCM kredit karbon yang dihasilkan di Thailand, CDM maupun VCS. Tentunya, prosedur transaksi ini akan dicatat dibawah skema TCOP dan diatur oleh Pemerintah Thailand, yang dalam hal ini TGO. Dengan adanya carbon labeling dan CFO di Thailand, maka dapat menjadi sumber demand tambahan (outside demand) untuk skema carbon pricing di Thailand.

Pelajari Pasar Karbon Domestik di Thailand, PMR Indonesia Bersama Mitra Kerja Pemerintah

Indonesia Kunjungi Thailand Greenhouse Gas

Management Organization (TGO Office) di Bangkok

Rabu, 5 September 2018, PMR Indonesia bersama dengan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KLHK, Kementerian Perindustrian, dan Kantor Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim, telah pertemuan bilateral dengan Pemerintah Thailand, dalam hal ini adalah TGO, di Kantor TGO, Bangkok, Thailand. Untuk diketahui bersama bahwa Pemerintah Thailand telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 20-25% pada tahun 2030, sebagaimana yang tercantum didalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Thailand, yang disampaikan kepada UNFCCC pada 1 Oktober 2015. Sebagai sesama negaraberkembang di Asia Tenggara, Thailand memiliki banyak tantangan yang serupa dengan Indonesia, termasuk dalam hal mitigasi perubahan iklim. Saat ini Thailand masih mengembangkan strateginya dalam meningkatkan mitigasi perubahan iklim, dan bagaimana Thailand melibatkan partisipasi non-party

stakeholder dalam upayanya. Beberapa inisiatif mekanisme berbasis pasar telah dikembangkan, seperti carbon offset, carbon label, sistem perdagangan izin emisi, dan lain-lain yang dapat dijadikan pembelajaran. Beberapa model Instrumen Berbasis Pasar yang tengah dikembangkan diantaranya ; 1) Mekanisme Clean Development Management (CDM) yang sejak tahun 2007 hingga per Agustus 2018 jumlah proyek yang tergistrasi di CDM sebanyak 154 Proyek (setara dengan 7,41 MtCO2e/tahun); 2) Thailand Voluntari

Emission Reduction (TVER) 2013, yang merupakan mekanisme mitigasi GRK dalam skala domestik dan telah memiliki total 37 metodologi, 120 proyek yang teregistrasi dan jumlah proyek TVER yang disetujui sebanyak 64 (setara dengan penurunan emisi 1.925.618 tCO2e); 3) Thailand Carbon Offsetting Program (TCOP) pada tahun2009, yang merupakan program offset untuk mendukung TVER, dimana tujuannya adalah mendorong sektor swasta, pemerintah local dan pihak yang beminat lainnya untuk menurunkan emisi GRK-nya; 4) Thailand Voluntary Emission

Trading Scheme (TVETS). Fase I skema TVETS (tahun 2015-2017) dimulai dengan implementasi ujicoba ETS yang bertujuan untuk menguji sistem MRV (tanpa trading) dan merancang fitur ETS, seperti cap setting dan alokasi allowances. Saatini, Fase II ETS (2018-2020) masih melanjutkan implementasi dari kegiatan ujicoba. Sistem cap-and-trade di Thailand (TVETS) yang saat ini masih bersifat voluntary, akan menjadi sumber demand untuk skema carbon pricing yang dibangun baik secara domestik, bilateral maupun internasional, seperti TVER, kredit JCM yang dihasilkan di Thailand, dan CDM. Saat ini, Pemerintah Thailand sedang mempersiapkan skema TVETS menjadi mandatory (studi dilakukan dibawah program PMR), yang mana peluang demand-nya akan menjadi semakin meningkat. Di bawah program PMR saat ini juga sedang dikembangkan program

Low Carbon City (voluntary), yang mana nantinya akan menghasilkan unit penurunan emisi yang dinamakan dengan LCC-TVER. LCC-TVER ini akan menjadi salah satu supplier kredit karbon yang baru untuk skema TVETS.

Pembelajaran Dari Proses Pengembangan Instrumen Berbasis Pasar di Thailand

Mendorong pasar karbon domestik untuk mendukung target mitigasi

nasional Berdasarkan pengalaman dari CDM, Thailand telah mencoba mengembangkan beberapa instrumen berbasis pasar. Hingga saat ini, Thailand memiliki tiga skema

carbon pricing yang sudah saling terkait satu sama lain sebagai supply dan demand. Sementara itu, sejak Thailand memiliki Program Carbon Labelling, beberapa organisasi dan produk juga bersaing untuk mendapatkan kriteria “green”. Dengan program-program tersebut, diharapkan dapat mendukung target mitigasi domestik di Thailand. Meningkatkan peran sektor swasta untuk ikutserta dalam pasar karbon

Sejak program carbon pricing di Thailand masih bersifat sukarela, salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand untuk mendorong sektor swasta adalah mendukung pengembang proyek untuk melakukan proses validasi dan verifikasi, termasuk peningkatan kapasitas. Selain itu, TGO juga mengadakan acara besar setiap tahun untuk memberikan sejenis sertifikat/reward untuk pengembang proyek yang telah mencapai program TVER. Hal ini cukup menarik bagi sektor swasta agar melakukan kegiatan rendah karbon. Peran pemerintah untuk mendukung insentif

Di Thailand, insentif adalah sistem co-benefit yang berasal dari efisiensi energi danfeed-in-tariff dari energi terbarukan, yang disediakan oleh Kementerian Energi untuk industri. Selain itu, Thailand juga mencoba untuk mengembangkan insentif tax exemption untuk pengembang proyek, tapi masih dalam tahapan awal untuk menguji pajak dari penjualan kredit karbon dan dalam tahap diskusi.

Sistem registri Sistem registri yang dikembangkan di Thailand dikelola oleh TGO dengan menghubungkan registri antar instrumen, sehingga memudahkan pencatatan jika terjadi transaksi dan menghindari terjadinya double counting. Saat ini, TGO-pun mencoba mengembangkan trading platform.

Selain itu, adanya sistem Carbon Labeling di Thailand, berdampak pada peningkatan daya saing perusahaan/organisasi untuk mendapatkan label yang menunjukkan besarnya emisi dari suatu produk ataupun pencapaian penurunan emisi.

5

Reviu Capaian NDC, Dua Kementerian Gagas Pertemuan Lintas Sektor

Partnership for Market Readiness (PMR) Indonesia bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggelar pertemuan koordinasi lintas sektor membahas perkembangan capaian komitmen penurunan emisi gas rumah kaca pada Senin (16/7) di Jakarta. Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bapak Dida Gardera, menjelaskan bahwa pertemuan dilaksanakan dalam rangka review pencapaian NDC serta melaporkan capaian kerja kegiatan PMR Indonesia bersama dengan kementerian terkait, kegiatan review profil dan baseline emisi gas rumah kaca serta penyusunan pedoman sistem pelaporan emisi gas rumah kaca(Monitoring-Reporting and Verification) untuk sektor industri dan sektor pembangkit. Hal tersebut juga didukung oleh Montty Girianna , Deputi Bidang

Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup, yang mengarahkan agar opsi-opsi mitigasi pengurangan emisi GRK yang efektif dapat disosialisasikan secara masif sehingga menjadi rekomendasi dan diterima oleh sektor terkait. Pada kesempatan yang sama Asisten Utusan Khusus Presiden, Pengendalian Perubahan Iklim, Ibu Moekti Handajani turut menyampaikanmengenai potensi implementasi pasar karbon. “Dengan kesiapan pedoman penghitungan dan pelaporan emisi gas rumah kaca serta cap (penentuan cap/ambang batas emisi berdasarkan analisa) yang didiskusikan selama ini, dapat dijadikan basis sebagai acuan kebijakan penetapan pasar karbon” jelas Moekti. Ia juga menambahkan bahwa kajian profil dan baseline review emisi gas rumah kaca menjadi sangat penting. “Dari kajian tersebut kita dapat melihat emisi grk yang dihasilkan dari aktivitas produksiper tahun dan dengan data tersebut juga dapat mengukur potensi pengurangan emisi dengan investasi yang memungkinkan” tutupnya.

“Data yang akurat dan kredibel yang dimiliki oleh sektor dijadikan pijakan awal kesiapan terkait pembangunan rendah emisi dengan mempertimbangkan keberadaan mekanisme pasar karbon” ungkap Dida. Hasil dari kegiatan kajian tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi dan referensi kepada pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan mekanisme pasar kedepannya.

Sementara itu, penasehat Senior Menteri Bidang PPI dan Konvensi International, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Nur Masripatin menyampaikan bahwa dalam pencapaian NDC, diperlukan adanya kerjasama dari seluruh pihak. “Baik provinsi, kabupaten, kota untuk peran serta semua aktor secara integratif”, tegas Nur.

Main Finding, Studi Profil Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Industri

Indonesia telah memainkan peran penting dalam upaya global untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Nationally Determined Contribution (NDC) pertama Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2016 menetapkan target pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 29 persen dan target bersyarat hingga 41 persen dibandingkan dengan skenario business-as-usual (BAU) pada tahun 2030, di mana emisi dalam skenario BAU adalah diproyeksikan sekitar 2,86 GtCO2-e pada tahun 2030. Target NDC sebesar 29 persen dan pengurangan emisi 41 persen setara dengan 0,834 GtCO2e dan 1,08 GtCO2-e. Sektor industri khususnya industri manufaktur non-migas, telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, memberikan kontribusi 18,2 persen terhadap total GDP pada tahun 2016. Berdasarkan penelitian, di antara industri manufaktur tersebut, delapan sub- sektor industri (Semen, Pupuk, Keramik dan Kaca, Kimia, Pulp dan Kertas, Tekstil, Besi dan Baja, dan Makanan dan Minuman), adalah industri yang mengkonsumsi energi tertinggi dan juga kontributor utama untuk emisi gas rumah kaca di sektor industri. PMR Indonesia bersama dengan Kementerian Perindustrian melakukan studi tentang “Profil Emisi Gas Rumah Kaca untuk Sektor Industri”. Perkiraan emisi GRK untuk tujuh sub-sektor telah dilakukan menggunakan Pedoman IPCC 2006

sementara estimasi untuk sub-sektor semen telah didasarkan pada Cement Sustainability Initiative (CSI) Protocol versi 3.1 dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) . Studi ini berfokus pada tiga GRK utama: CO2, CH4, N2O, dikategorikan ke dalam tiga sumber: 1) Energi (Langsung dan Tidak Langsung), 2) Limbah dan 3) Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU) dengan tingkat akurasi yang berbeda (Tingkat ). Data aktivitas dan parameter relevan lainnya untuk mengembangkan profil emisi GRK diperoleh dari perusahaan (tingkat data pabrik) melalui survei menggunakan kuesioner, kunjungan lapangan, tinjauan pustaka dan konsensus pemangku kepentingan. Beberapa asumsi dan penyesuaian data dibuat seperlunya. Di sektor industri, emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, penggunaan listrik yang dibeli, proses industri dan produk yang digunakan (IPPU), dan kegiatan pengolahan air limbah. Tingkat emisi gas rumah kaca dari kegiatan ini di delapan industri sub-sektor (Semen, Pupuk, Keramik dan Kaca, Kimia, Pulp dan Kertas, Tekstil, Besi dan Baja, dan Makanan dan Minuman), menunjukkan bahwa kedelapan industri tersebut berkontribusi sekitar 55,9 persen. emisi GRK nasional dari penggunaan energi di sektor industri manufaktur secara keseluruhan sebagai emisi langsung dan tidak langsung pada tahun 2016. Pada tahun 2016, kontribusi dari delapan sub-sektor industri dari kegiatan IPPU adalah lebih dari 90 persen emisi gas rumah kaca nasional dari kegiatan IPPU, sementara kontribusi mereka dalam emisi gas rumah kaca nasional dari kegiatan pengolahan air limbah industri adalah sekitar 14,16 persen

6

MACC untuk beberapa sub-sektor industri menunjukkan bahwa hampir semua peluang pengurangan yang dievaluasi lebih murah daripada biaya teknologi baseline, ini hanya karena pengembangan teknologi dan biaya energi alternatif yang relatif lebih murah. Dengan menghitung potensi pengurangan dari aksi mitigasi utama yang dipilih dari masing-masing sub-sektor, jumlah peluang pengurangan yang digambarkan dalam MACCs dari semua delapan sub-sektor kira-kira 43.22 MtCO2e. Lebih dari 50 persen dari total potensi pengurangan berasal dari implementasi Energy Efficiency , diikuti oleh optimalisasi proses industri di IPPU dan limbah. Untuk kedelapan sub-sektor secara keseluruhan, mengingat besarnya biaya peluang pengurangan yang positif kecil, Pemerintah Indonesia dapat lebih fokus pada peraturan dan intervensi untuk membiayai investasi. Tanpa dukungan fiskal dan moneter, serta dukungan internasional, peluang pengurangan dapat menghadapi hambatan yang besar di depan. Spektrum kebijakan untuk memicu investasi dapat diarahkan ke tiga tujuan ekonomi: a). memaksimalkan produktivitas / pertumbuhan, b). menyediakan lebih banyak pekerjaanatau c). meminimalkan inflasi. Pemerintah Indonesia juga akan fokus pertama pada peluang pengurangan biaya terbesar, paling efektif, dan terendah di delapan sub sektor industri, yang terutama dari Energy Efficiency. Ini dapat dikejar dengan memberikan insentif untuk penggunaan produk dan bahan hemat energi.

Tingkat emisi gas rumah kaca di delapan sub-sektor industri akan terusmeningkat seiring dengan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil dan kapasitas produksi. Berdasarkan skenario baseline, tingkat emisi GRK pada tahun 2016 diperkirakan meningkat sekitar 61 persen pada tahun 2030 dari aktivitas penggunaan energi, 68 persen dari kegiatan IPPU, dan sekitar 27 persen dari kegiatan pengolahan air limbah. Tingkat ini dapat dibandingkan dengan tingkat proyeksi 2030 dari baseline emisi GRK nasional dari sektor industri manufaktur nasional, dimana 8 sub-sektor industri itu sendiri diharapkan berkontribusi sekitar 46,55% dari emisi gas rumah kaca dari energi, IPPU, dan kegiatan pengolahan air limbah.

Peluang Penurunan berdasarkan Sektor Berdasarkan Kurva Biaya Penurunan Marginal (MACC)

Untuk mempromosikan pengurangan emisi GRK, prakarsa pengembangan teknologi perlu dipercepat, yang akan membutuhkan dukungan pemerintah dan swasta serta pendanaan. Pemerintah Indonesia mewajibkan untuk mendukung mekanisme kerjasama teknologi untuk transfer, sharing dan funding untuk teknologi pengurangan untuk sub sektor industri tertentu; dukungan ini akan membantu a pipeline on inventions dan mendorong adopsi pasar teknologi baru, dan standar kinerja teknologi dapat berkontribusi terhadap keberhasilan target penurunan emisi GRK nasional. Selain itu, sektor industri Indonesia harus mempersiapkan dan melengkapi diri dengan kapasitas dan pengetahuan yang cukup untukmengelola dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu pendekatan kunci untuk mencapai tujuan adalah melakukan peningkatan kapasitas dalam manajemen emisi gas rumah kaca untuk institusi terkait baik di sektor publik maupun swasta. Ruang lingkup manajemen emisi GRK termasuk mengembangkan inventarisasi GRK, menghitung dan memproyeksikan emisi GRK (baseline), dan menentukan langkah-langkah yang tepat untuk pengurangan GHG, serta mengembangkan sistem MAC Curve dan MRV. Sektor industri telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia dan diperkirakan akan terus melakukannya di masa depan untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ini, bagaimanapun, datang dengan biaya - konsumsi energi oleh sektor ini terus meningkat, yang mengarah pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Target pengurangan emisi sebagaimana dinyatakan dalam NDC Indonesia, mengharuskan sektor industri untuk mengurangi emisinya secara substansial. Kebutuhan untuk mengidentifikasi aksi mitigasi potensial yang dapat diterapkan oleh setiap sub-sektor dengan biaya paling rendah denganpeluang mitigasi tertinggi. Implementasi aksi mitigasi yang teridentifikasi akan menciptakan kerangka kebijakan yang memungkinkan dengan membuat perubahan pada peraturan industri yang ada dan praktik terbaik di seluruh sektor industri.

Mitra