daftar pustaka
DESCRIPTION
dpTRANSCRIPT
2.1 Pengertian Gizi
Gizi berasal dari bahasa Arab yaitu ”Al-Gizzai” yang artinya makanan dan
manfaatnya untuk kesehatan, serta sari manfaat yang bermanfaat untuk kesehatan
(Persagi dalam Depkes 2009).
Menurut Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto (1990) dalam I Dewi Supariasa dkk
(2002), gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,
serta mengahasilkan energi.
2.2 Status Gizi
Menurut Deswani Idrus dan Gatot Kunanto dalam I Dewi Supariasa dkk (2002)
status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dan nutriture dalam bentuk varibel tertentu. Keadaan
gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan
penggunaan zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat tersedianya zat gizi
dalam seluler tubuh. Keadaan patologis akibat kekurangan gizi atau kelebihan gizi
secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Kelainan gizi dapat
digolongkan menjadi empat yaitu, under nutrition, specifyc defisiency, over
nutrition, imbalance. Under nutrition adalah kekurangan konsumsi pangan secara
relatif atau absolut untuk periode tertentu. Over nutrition adalah kelebihan
konsumsi pangan untuk pereiode tertentu.
2.3 Klasifikasi Status Gizi
Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut
reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah
WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics)
dengan melihat nilai Z-SCORE. Kategori Status Gizi berdasarkan standar WHO
2005 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
< - 3 SD BB Sangat Kurang
≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
< - 3 SD TB Sangat Pendek
≤ - 3SD - < -2 SD TB Pendek
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD TB Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD TB Lebih dari normal
> 3 SD TB Lebih dari normal 17
3. Berat Badan Menurut Panjang (Tinggi) Badan (BB/TB)
< - 3 SD Sangat Kurus
≤ - 3SD - < -2 SD Kurus
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk
> 3 SD Obese
4. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
< - 3 SD Sangat Kurus
≤ - 3SD - < -2 SD Kurus
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk
> 3 SD Obese
5. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)
< - 3 SD Sangat Kecil
≤ - 3SD - < -2 SD Kecil
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Besar
> 3 SD Sangat Besar
6. Lingkar Kepala Menurut Umur
< - 3 SD BB Sangat Kurang
≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal 18
> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
Dalam buku riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010 status gizi buruk dan
balita dapat digabungkan dalam istilah berat kurang atau status gizi underweight.
2.4 Kegunaan Zat Gizi
Sesuai dengan fungsinya, zat-zat gizi dapat kita golongkan menjadi tiga yaitu zat
tenaga, yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Zat pembangun berupa
protein, mineral dan air. Zat pengatur tubuh terdiri dari vitamin, mineral, protein
dan air (Achmad Djaeni S, 1996: 22). Zat-zat tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk metabolisme.
1) Karbohidrat
Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat
merupakan sumber utama energi bagi penduduk di seluruh dunia, karena banyak
didapat di alam dan harganya relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan
4 kalori. Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah
sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan sebagai
glikogen dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah menjadi lemak untuk
kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Sunita
Almatsier, 2009: 42-43).
nutrition, imbalance. Under nutrition adalah kekurangan konsumsi pangan secara
relatif atau absolut untuk periode tertentu. Over nutrition adalah kelebihan
konsumsi pangan untuk pereiode tertentu.
2.3 Klasifikasi Status Gizi
Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut
reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah
WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics)
dengan melihat nilai Z-SCORE. Kategori Status Gizi berdasarkan standar WHO
2005 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
< - 3 SD BB Sangat Kurang
≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
< - 3 SD TB Sangat Pendek
≤ - 3SD - < -2 SD TB Pendek
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD TB Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD TB Lebih dari normal
> 3 SD TB Lebih dari normal 17
3. Berat Badan Menurut Panjang (Tinggi) Badan (BB/TB)
< - 3 SD Sangat Kurus
≤ - 3SD - < -2 SD Kurus
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk
> 3 SD Obese
4. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)
< - 3 SD Sangat Kurus
≤ - 3SD - < -2 SD Kurus
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk
> 3 SD Obese
5. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)
< - 3 SD Sangat Kecil
≤ - 3SD - < -2 SD Kecil
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD Besar
> 3 SD Sangat Besar
6. Lingkar Kepala Menurut Umur
< - 3 SD BB Sangat Kurang
≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang
≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal
> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)
Dalam buku riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010 status gizi buruk dan
balita dapat digabungkan dalam istilah berat kurang atau status gizi underweight.
2.4 Kegunaan Zat Gizi
Sesuai dengan fungsinya, zat-zat gizi dapat kita golongkan menjadi tiga yaitu zat
tenaga, yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Zat pembangun berupa
protein, mineral dan air. Zat pengatur tubuh terdiri dari vitamin, mineral, protein
dan air (Achmad Djaeni S, 1996: 22). Zat-zat tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk metabolisme.
1) Karbohidrat
Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat
merupakan sumber utama energi bagi penduduk di seluruh dunia, karena banyak
didapat di alam dan harganya relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan
4 kalori. Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah
sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan sebagai
glikogen dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah menjadi lemak untuk
kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Sunita
Almatsier, 2009: 42-43).
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi-umbian, kacang-
kacangan kering dan gula. Hasil olahan bahan-bahan ini adalah bihun, mie, roti,
tepung-tepungan, selai, sirup dan sebagainya. Sebagian besar sayur dan buah tidak
banyak mengandung karbohidrat. Sayur umbi-umbian, seperti wortel dan bit serta
sayur kacang-kacangan relatif lebih banyak mengandung karbohidrat daripada
sayur daun-daunan. Bahan makanan hewani seperti daging, ayam, ikan telur dan
susu sedikit mengandung karbohidrat (Sunita Almatsier, 2009: 44).
2) Protein
Fungsi protein di dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan hidup sel. Dapat
dikatakan bahwa setiap gerak hidup sel selalu bersangkutan dengan fungsi protein.
Dalam hal ini protein mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Protein sebagai zat pembangun. Protein merupakan bahan pembangun sel-sel
tubuh yang membentuk bagian-bagian tubuh seperti otot, kelenjar-kelenjar,
hormon, darah, organ-organ tubuh.
b. Protein sebagai zat pengatur, baik secara langsung maupun tidak langsung di
dalam tubuh. Protein mengatur berbagai proses antara lain: protein merupakan
bagian dari hemoglobin (Hb), yaitu bagian dari darah merah yang berfungsi
mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh, sebagai protein plasma berfungsi
untuk mengatur tekanan osmosa dan mampertahankan keseimbangan cairan
dalam jaringan dan saluran darah.
20
Sebagai protein darah berperan dalam mengatur keseimbangan asam basa dalam
tubuh. Kekebalan tubuh terhadap penyakit disebabkan oleh adanya zat-zat anti
yang juga terbuat dari protein. Enzim-enzim dan hormon yang mengatur berbagai
proses dalam tubuh terbuat dari protein (Achmad Djaeni S, 1996: 74-75).
Sumber makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah
maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Sunita
Almatsier, 2009: 100).
3) Lemak
Lemak dalam bahan makanan tidak mengalami pencernaan di dalam rongga
mulut, karena tidak ada enzim yang dapat memecahnya (Achmad Djaeni S., 1996:
95). Kebutuhan tubuh akan lemak ditinjau dari sudut fungsinya:
a. Lemak sebagai sumber utama energi
b. Lemak sebagai sumber PUFA (Polynusaturated fattyacid)
c. Lemak sebagai pelarut vitamin-vitamin yang larut lemak (vitamin-vitamin A,
D, E dan K) (Achmad Djaeni S., 1996: 101-102).
4) Vitamin
Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan,
dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari
enzim (Sunita Almatsier, 2009: 152).
Fungsi vitamin untuk pertumbuhan sel terutama pada vitamin A yang berpengaruh
terhadap sintesis protein. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan
sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi (Sunita Almatsier,
2009: 160).
5) Air
Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh. Air sebagai pelarut zat-
zat gizi dan alat angkut. Air juga berfungsi sebagai katalisator dalam berbagai
reaksi biologic dalam sel, termasuk dalam saluran cerna. Air diperlukan untuk
pertumbuhan dan zat pembangun (Sunita Almatsier, 2009: 221).
6) Mineral
Kira-kira 6% tubuh manusia dewasa terbuat dari mineral. Mineral yang
dibutuhkan manusia diperoleh dari tanah. Mineral merupakan bahan anorganik
dan bersifat essensial (Baliwati, 2004: 55-56). Fungsi mineral dalam tubuh
sebagai berikut:
a. Memelihara keseimbangan asam tubuh dengan jalan penggunaan mineral
pembentuk asam (klorin fosfor, belerang) dan mineral pembentuk basa (kapur,
besi, magnesium, kalium, natrium).
b. Mengkatalisasi reaksi yang bertalian dengan pemecahan karbohidrat, lemak,
dan protein serta pembentukan lemak dan protein tubuh.
c. Sebagai hormon (I terlibat dalam hormon tiroksin; Co dalam vitamin B12; Ca
dan P untuk pembentukan tulang dan gigi) dan enzim tubuh (Fe terlibat dalam
aktifitas enzim katalase dan sitokrom).
d. Membantu memelihara keseimbangan air tubuh (klorin, kalium, natrium).
e. Menolong dalam pengiriman isyarat keseluruhan tubuh (kalsium, kalium,
natrium).
f. Sebagai bagian cairan usus (kalsium, magnesium, kalium, natrium).
g. Berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, gigi dan jaringan tubuh
lainnya (kalsium, fosfor, fluorin) (Baliwati, 2004: 56).
2.5 Jumlah Makanan atau Zat Gizi yang Dibutuhkan
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi 2004 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan
Gizi
(AKG)
Rata-
Berat
Badan
(Kg)
Tinggi
Badan
(cm)
Energi
(Kkal)
Protei
n
(g)
Lemak
(g)
Vitami
n A
(RE)
Vitami
n C
(mg)
rata
Perhari
Golon
gan
Umur
Balita
0-6 bln 6 60 550 10 13 375 40
7-12
bln
8.5 71 650 16 19 400 40
1-3 thn 12 90 1000 25 28 400 40
4-6 thn 17 110 1550 39 29 450 45
2.6 Penilaian Status Gizi
Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam
metode langsung dan metode tidak langsung.
2.6.1 Penilaian Status Gizi Secara Langsung
Penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri,
klinik dan biofisik.
1. Antropometri
a. Pengertian
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Supariasa, 2002 : 19).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropomoteri. Parameter
adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain : umur, berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal
lemak di bawah kulit (Supariasa, 2002: 56).
b. Penggunaan
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan protein
dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh
(Supariasa, 2002 : 19).
c. Kelebihan Pengukuran Antropometri
Penentuan status gizi dengan menggunakan metode antropometri mempunyai
beberapa keuntungan seperti yang dikutip oleh Hadju (1999), yaitu:
1. Prosedur pengukurannya sederhana, aman, tidak invasif sehingga dapat
dilakukan di lapangan dan cocok dengan jumlah sampel yang besar.
2. Alat yang dibutuhkan tidak mahal, mudah di bawah, serta tahan (durabel) dan
dapat dibuat atau dibeli di setiap wilayah.
3. Tidak membutuhkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya.
4. Metode yang digunakan tepat dan akurat, sehingga standarisasi pengukuran
terjamin.
5. Hasil yang diperoleh menggambarkan keadaan gizi dalam jangka waktu yang
lama dimana tidak dapat diperoleh dengan tingkat kepercayaan yang sama dengan
teknik lain.
25
6. Prosedur ini dapat membantu mengidentifikasi tingkat malnutrisi (ringan
sampai berat).
7. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya perubahan yang
terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya, suatu fenomena yang dikenal
sebagai secular trend.
8. Dapat digunakan sebagai skrining test untuk mengidentifikasi individu yang
mempunyai resiko tinggi terjadinya malnutrisi.
d. Parameter dalam Antropometri
1. Berat Badan
Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain :
a) Parameter yang baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena
perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
b) Memberikan gambaran status gizi sekarang.
c) Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum.
d) Ketelitian pengukur tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.
26
2. Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan
umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran
TB dan BB yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan
umur yang tepat (Supariasa , 2002: 38).
Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980) dalam Supariasa (2002), batasan umur
yang digunakan adalah tahun umur penuh (Completed Year) dan untuk anak umur
0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (Completed Year).
e. Indeks Antropometri
1) Berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan
atau menurunnya jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang
mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2
kemungkinan perkembangan 27
berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Supariasa, 2002 : 56-57).
Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur
digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik
berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi
seseorang saat ini (Supariasa, 2002 : 56-57).
2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan Nampak dalam waktu yang relatif
lama (Supariasa, 2002).
3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan
dengan 28
kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat ini (Supariasa, 2002: 58).
Dari berbagai jenis indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan
ambang batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi.
Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen terhadap median,
persentil, dan standar deviasi unit.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik seseorang sangat erat
hubungannya dengan status gizi. Atas dasar ini ukuran-ukuran dengan
menggunakan metode antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat
diandalkan bagi penentuan status gizi untuk negara-negara berkembang. (Suharjo,
1996).
Ukuran antropometri terbagi atas 2 tipe, yaitu ukuran pertumbuhan tubuh dan
komposisi tubuh. Ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan meliputi: tinggi
badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, tinggi lutut. Pengukuran
komposisi tubuh dapat dilakukan melalui ukuran: berat badan, lingkar lengan atas,
dan tebal lemak di bawah kulit (Hadju, 1999). Ukuran pertumbuhan lebih banyak
menggambarkan keadaan gizi masa lampau, sedangkan ukuran komposisi tubuh
menggambarkan keadaan gizi masa sekarang atau saat pengukuran (Supariasa,
2002).
2.6.2 Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan
faktor-faktor ekologi.
1. Survei Konsumsi Makanan
a. Pengertian
Pengukuran konsumsi makanan merupakan salah satu metode yang digunakan
dalam penentuan status gizi masyarakat ataupun seseorang di samping metode
pengukuran status gizi lainnya seperti antropometri, biokimia, dan klinis. Hasil
survei makanan tersebut hanya digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan
terjadinya kekurangan gizi pada seseorang (Supariasa, 2002:87). Metode
pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode
yang bersifat kulitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi
konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang
kebiasaan makan. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya.
30
b. Penggunaan
Menurut Gibson (1990) jika penelitian bertujuan untuk mendapatkan angka yang
akurat jumlah gizi yang dikonsumsi responden, terutama bila jumlah sampel kecil
maka penimbangan makanan selama beberapa hari adalah cara yang terbaik. Bila
penelitian bertujuan untuk menentukan proporsi dari masyarakat yang
konsumsinya kurang dari yang seharusnya maka beberapa kali recall 24 jam
sudah cukup (Jalal, 1991).
c. Metode Recall 24 jam
Prinsip dari metode recall 24 jam adalah dilakukan dengan mencatat jenis dan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.
Dalam metode ini, responden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh
menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu
(kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat
tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan
wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2002: 94). 31
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Recall 24 jam
1) Kelebihan
Pelaksanaannya mudah dan cepat, mengurangi beban pada subyek, biaya relatif
murah, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, dan memberikan
gambaran nyata makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat dihitung intake zat
gizi sehari.
2) Kekurangan
Masalah daya ingat dan kebenaran keterangan yang diberikan, banyaknya variasi
dalam diri individu dan variasi makanan dari hari ke hari, membutuhkan tenaga
atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT.
Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari, maka recall jangan
dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, selamatan dan lain-lain.
Dan tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya
dilakukan recall satu hari.
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Unicef, faktor yang mempengaruhi status gizi digolongkan atas
penyebab langsung, penyebab tidak langsung, penyebab pokok dan akar masalah
(Thaha, 1999). Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. Bagan
32
di bawah ini menyajikan berbagai faktor penyebab kekurangan gizi yang
diperkenalkan oleh UNICEF dan telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dari
kerangka pikir ini terlihat tahapan penyebab timbulnya kekurangan gizi pada ibu
dan anak adalah penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok
masalah (Bappenas, 2011).
Bagan 2.1
Penyebab Masalah Gizi
Dalam Rancangan Aksi Pangan dan Gizi 2011-2015
Banyak pendapat mengenai faktor determinan yang dapat menyebabkan
timbulnya masalah gizi pada bayi di antaranya menurut Schroeder (2001) dalam
Sri DA (2008), menyatakan bahwa kekurangan gizi dipengaruhi konsumsi makan
makanan yang kurang dan adanya penyakit infeksi, sedangkan penyebab
mendasar 33
adalah makanan, perawatan (pola asuh) dan pelayanan kesehatan seperti
diterangkan pada bagan 2.2.
Bagan 2.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Anak
Sumber : Schroeder (2001) dalam Sri Dara A (2008)
Interaksi dari berbagai faktor sosial ekonomi dapat menyebabkan jatuhnya
seorang anak pada keadaan kekurangan gizi perlu dipertimbangkan. Menurut
Martorell dan Habicht (1986) dalam Sri DA (2008), status ekonomi
mempengaruhi pertumbuhan bayi, melalui konsumsi makan dan kejadian infeksi.
Status sosial ekonomi terhadap konsumsi makan mempengaruhi kemampuan
rumah tangga untuk memproduksi dan/atau membeli pangan, menentukan praktek
34
pemberian makanan bayi, kesehatan serta sanitasi lingkungan. Jus’at (1992)
membuat model mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak
antara lain: karakteristik keluarga, karakteristik anak, status kesehatan dan
ketersediaan bahan makanan.
Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan
adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula
kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis
pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan
secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat
istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Sunita Almatsier, 2004).
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan
pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi
lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor
yang saling berhubungan. Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi
di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam,
yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya
penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman,
2000). 35
2.7.1 Pendapatan Keluarga
Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Pieter Evers (1984: 322) dalam Dewi A
(2007), dalam kehidupan sehari-hari pendapatan erat kaitannya dengan gaji, upah,
serta pendapatan lainnya yang diterima seseorang setelah orang itu melakukan
pekerjaan dalam kurun waktu tertentu.
Ada beberapa definisi pengertian pendapatan, salah satunya menurut Badan Pusat
Statistik sesuai dengan konsep dan definisi pengertian pendapatan keluarga adalah
seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh Anggota Rumah
Tangga Ekonomi (ARTE). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendapatan adalah segala bentuk penghasilan atau penerimaan yang nyata dari
seluruh anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga terutama
pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat pada kekurangan gizi yang
berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Pemenuhan
kebutuhan pangan dipengaruhi oleh jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh
keluarga. Sehingga pendapatan keluarga mempengaruhi status gizi balita
(Bappenas, 2011).
Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh
peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain
yang mengadakan interaksi dengan 36
status gizi yang berlawanan hampir universal (Achmad Djaeni Sediaoetama.
1985 : 50).
Berdasarkan penelitian Dewi A (2007) dari 75% balita yang berstatus gizi baik,
berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi 39,7%, dan dari analisis bivariat
diperoleh p = 0,002, RP=11,200, (95% CI=1,575-79,649) yang berarti ada
hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita keluarga.
Sedangkan dari 25 % balita yang gizi buruk, berasal dari keluarga berpenghasilan
tinggi 1,5 % dan dari keluarga yang berpenghasilan rendah 23,5 %. Berdasarkan
penelelitian Ade Syahbudin (2002) nilai rasio Odss (OR) antara pendapatan
dengan kejadian KEP adalah 2,50. artinya, pendapatan keluarga yang rendah
mempunyai resiko 2,50 kali anak balitanya kekurangan energi dan protein (KEP)
dibanding dengan pendapatan keluarga yang tinggi.
2.7.2 Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Ibu
Faktor pendidikan dan pengetahuan yang rendah dari sebagian ibu akan
pentingnya pemberian makanan bergizi dan seimbang untuk anaknya dapat
dikaitkan dengan masalah KEP. Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orang
tua khususnya ibu, merupakan faktor penyebab mendasar terpenting, karena
sangat mempengaruhi tingkat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat
dalam rangka mengelola sumber daya yang ada, untuk mendapatkan kecukupan
bahan makanan serta sejauh mana sarana 37
pelayanan kesehatan gizi dan sanitasi lingkungan tersedia dimanfaatkan sebaik-
baiknya (Depkes, 1997). Pendidikan mempunyai tujuan memberikan bantuan
terhadap perkembangan anak seutuhnya. Berarti mengembangkan potensi fisik,
emosi, sikap moral, pengetahuan dan ketrampilan semaksimal mungkin agar dapat
menjadi manusia dewasa (R. Tillar dan Sardin Pabbadja, 1979: 13 dalam Dewi A
(2007)).
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun
menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,
maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang
diperolehnya untuk dikonsumsi (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000: 12-13).
Berdasarkan penelitian Ade S (2002) terdapat hubungan bermakna secara statistik
antara pengetahuan ibu dengan kejadian KEP. Nilai OR diperoleh 4,43, artinya
ibu yang berpengetahuan kurang baik mempunyai resiko 4,43 kali anak balitanya
kekurangan energi dan protein dibanding dengan ibu yang berpengetahuan baik.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap
dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan
landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan
gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap
adanya masalah gizi di 38
dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003 : 113).
Berdasarkan penelitian M. Ade S (2002) nilai OR variabel pendidikan ibu dengan
kejadian KEP adalah 4,94. Artinya, ibu balita yang berpendidikan rendah
memiliki rasio 4,94 kali lebih besar anak balitanya terjadi KEP dibandingkan
dengan ibu yang perpendidikan tinggi.
Adapun berdasarkan penelitian Dewi A (2007) menunjukkan bahwa dari 75%
balita yang berstatus gizi baik, 51,5% tingkat pendidikan bersekolah, dan dari
analisis bivariat diperoleh p=0,379, RP=1,630, (95% CI=0,723-3,671) berarti
tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita
keluarga petani.
2.7.3 Perilaku
Faktor pendidikan dan pengetahuan sangat erat hubungannya dengan faktor
perilaku. Faktor perilaku ini bersama-sama dengan rendahnya daya beli
kemungkinan berjalan sinergis terhadap timbulnya kasus kurang gizi. Adanya
anggapan bahwa banyak makan ikan menyebabkan kecacingan, atau tidak mau
makan sayur karena sayuran dianggap makanan ternak, merupakan contoh kecil
yang tidak sedikit ditemukan di masyarakat. Pandangan yang salah terhadap jenis-
jenis makanan tertentu menyebabkan mereka tidak mau mengkonsumsi atau tidak
memberikan makanan tersebut kepada anaknya (Hadju, 1999).
Perilaku seseorang terdiri dari tiga bagian penting yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau
tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktek) yang dilakukan
(Notoatmojo, 2007).
Green (1991) menjelaskan bahwa perilaku dilatarbelakangi oleh tiga faktor pokok,
yakni faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi, dan nilai. Faktor pendukung (enabling
factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,
alat-alat kontrasepsi dan jamban. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. (Notoatmodjo, 2007).
Ketiga faktor penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat ketahanan
pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Faktor-faktor tersebut yaitu
penyebab tidak langsung seperti ketahanan pangan tingkat keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan di keluarga (household food 40
security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu
gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi
kasih sayang dan sebagainya. Pelayanan kesehatan, adalah akses atau
keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan
pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana
kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter,
rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan
(karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan
pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara
baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status
gizi anak. 41
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan
dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat
nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan
masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan
keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (Thaha, 1999).
2.7.4 Ketahanan Pangan Keluarga
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil
produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu
ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga
yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga
tersebut sehingga tidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat
memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu.
Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak
cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP- ASI).
Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan
dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan.
Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan 42
ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan
yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk (Sri DA,
2008).
2.7.5 Pola Asuh
Menurut Sri D A (2008) menyatakan bahwa peranan pengasuhan ini pertama kali
diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania dan
kemudian digunakan pada berbagai studi positive deviance di berbagai negara.
Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana
pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan
bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan bayi (Engel, 1992 dalam Sri Dara A, 2008 : 30-31).
Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran,
pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzat A, 2000).
Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola
pengasuhan anak berupa sikap dan pengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya
dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. 43
Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan
kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti
pemberian makanan, mandi, dan menyediakan dan memakaikan pakaian buat
anak. Termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan
obat, dan merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional.
Pengasuhan anak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan,
pemeliharaan fisik dan perhatian terhadap anak (Haviland,1988 Bahar, 2002
dalam Sri DA (2008)). Berdasar pengertian tersebut "pengasuhan" pada dasarnya
adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap anak yang
dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi, perawatan dasar
(termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine
perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih,
1995). Serupa dengan yang diajukan oleh Mosley dan Chen 1988 (Bahar,2002)
dalam Sri DA (2008) pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait
gizi/penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit,
memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah.
Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan
mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak berkaitan
erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, 44
pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak (Suharsih, 2001 dalam
Sri DA (2008)). Menurut Notoatmodjo (1997), suatu sikap belum otomatis
terwujud dalam suatu praktek atau tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi
praktek, diperlukan faktor pendukung antara lain fasilitas dan support dari pihak
lain, misal suami, orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung
terbentuknya praktek. Praktek adalah perbuatan atau tindakan nyata dan
pengukurannya dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara
terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau beberapa bulan
yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau
kegiatan responden. Praktik dibagi dalam empat tingkatan yaitu persepsi, respon
terpimpin, mekanisme dan adaptasi. Persepsi adalah tahap mengenal dan memilih
berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang diambil (praktek tingkat
pertama), misalnya ibu dapat memilih makanan yang bergizi untuk anaknya.
Respon terpimpin, bila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang
benar berdasarkan contoh (praktek tingkat kedua), misal ibu dapat memasak sayur
dengan benar, mulai dari mencuci, memotong, dan lamanya memasak. Tahap
mekanisme adalah bila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis atau sudah merupakan kebiasaan, misalnya ibu mengimunisasikan
anaknya pada umur-umur tertentu tanpa diperintah, maka ibu ini sudah mencapai
praktik tingkat tiga. Adaptasi merupakan praktik atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik 45
artinya tindakan sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi tingkat
kebenarannya, misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi
untuk anaknya dengan bahan yang mudah didapat dan murah.
Menurut Husaini (2000), peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan
menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi
makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol
besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak.
Berdasarkan hasil penelitian Ninik A R (2005) dalam Dewi A (2007) hubungan
pola asuh dan status gizi setelah diuji statistik Chi Squer menunjukan 18,379
dengan signifikan 1% diperoleh nilai kritik 9,21 berarti ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh gizi dan status gizi.
2.7.6 Status Pekerjaan Ibu
Lama seseorang bekerja sehari-hari yang baik pada umumnya 6-8 jam, sisanya
(16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga masyarakat, istirahat,
tidur, dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan
baik selama 40-50 jam. Ini dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan
pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Kerja No 14 Tahun 1969 (Sumakmur, 1996:
310).
Pandji Anoraga (2005) dalam Dewi S menyatakan bahwa wanita sebagai pekerja
mempunyai potensi dan hal ini sudah dibuktikan dalam 46
dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi
wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus
mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut tetek
bengek rumah tangganya. Menurut Pandji Anoraga (2005) dalam Dewi S (2007)
pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu,
sekalipun mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai
menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya KEP adalah para ibu yang
menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan balitanya dari pagi
sampai sore, anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan
tidak mendapatkan perhatian, dan pemberian makanan tidak dilakukan dengan
semestinya.
Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan
perhatian penuh terhadap anak balitanya, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun
tidak semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban
kerja yang ditanggungnya dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam
menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Karena itu di dalam sebuah
penelitian menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi
zat gizi terutama Energi dan Protein dengan kebutuhan tubuh pada kelompok anak
yang berusia diatas 1 tahun (Sjahmien Moehji, 1995 : 35). 47
Berdasarkan penelitian Dewi S (2007) mendapatkan hasil nilai p=0,198, RP=0,
467, (95% CI=0,170-1,283) berarti tidak ada hubungan antara status pekerjaan
ibu dengan status gizi balita keluarga petani.
2.7.7 Besarnya Keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada
masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat
miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus
diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga
yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga
tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang
besar tersebut (Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap
kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil
biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar
keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang
tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan
relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-
anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suhardjo, 2003 dalam Dewi
A, 2007). 48
Menurut suhardjo (1986) dalam Dewi A (2007) anak-anak, wanita yang sedang
hamil dan menyusui merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi.
Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan
dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi atau gangguan gizi akan timbul.
Berdasarkan penelitian Dewi A (2007) hubungan antara besar keluarga dengan
status gizi balita diperoleh nilai p=0,091, RP=0,431, (95% CI=0,180-1,030)
berarti tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan status gizi balita keluarga
petani.
2.7.8 Pantangan Makanan Balita
Suatu pantangan makanan berarti suatu sikap negatif yang lebih kuat terhadap
penggunaan makanan atau makanan yang tidak dapat diterima. Pelanggaran
peraturan yang telah tertanam kuat mengenai pantangan makanan (beberapa
makanan) biasanya mengakibatkan adanya hukuman secara keagamaan atau gaib
(Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).
Dewi A 92007) menyatakan sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang
pantas untuk dimakan, dijumpai banyak pantangan, takhayul, dan larangan pada
beberapa kebudayaan dan daerah yang berlainan di dunia. Beberapa pantangan
dianut oleh golongan masyarakat atau oleh bagian besar dari penduduk. Meskipun
hanya sebagian atau 49
sekelompok tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan masalah gizi atau
kekurangan gizi akan timbul. Misalnya pada waktu persediaan pangan kurang,
pantangan makan akan merugikan status gizi buruh tani sewaktu kerja keras, ibu
hamil dan menyusui serta anak-anak yang sedang tumbuh kembang
(G.Kartasapoetra dan H. Marsetyo. 2001: 12).
2.7.9 Konsumsi Energi dan Protein
Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan
merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktifitas
manusia. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya
pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia
selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup
pula ke dalam tubuhnya.
Menurut Sulaeman dan Muchtadi (2003) dalam Sri Dara A (2008) pemberian
makanan bergizi dalam jumlah yang cukup pada masa balita merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian serius agar anak tidak jatuh ke keadaan kurang gizi.
Apalagi dalam masa itu terjadi penyapihan yaitu peralihan antara penyusuan dan
makanan dewasa sebagai sumber energi dan zat gizi utama. Pada masa
penyapihan biasanya pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI
berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizi anak
perlu diberi makanan tambahan. Makanan 50
yang dikonsumsi dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizi anak khususnya
energi dan protein.
Manusia yang kurang makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik
atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima
tubuhnya yang dapat menghasilkan energi. Seseorang tidak dapat menghasilkan
energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali jika
meminjam atau menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan
meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan yang gawat, yaitu kekurangan
gizi khususnya energi (Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).
Menurut Supariasa (2002) untuk menilai tingkat konsumsi makanan (untuk energi
dan zat gizi), diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan yaitu Angka
Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowance (RDA).
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes RI (1990),
klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi empat dengan cut of points masing-
masing sebagai berikut: dikatakan baik bila > 100 % AKG; sedang antar 80 – 90
% AKG ; kurang antara 70 – 80% AKG dan tergolong defisit bila kurang dari 70
% AKG.
Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Protein
merupakan bagian dari semua sel-sel hidup, hampir setengah jumlah protein
terdapat di otot, 1/5 terdapat di tulang, 1/10 terdapat di kulit, 51
sisanya terdapat dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein mempunyai fungsi
sebagai berikut :
a) Membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
b) Memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang rusak
atau mati.
c) Menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim
pencernaan dan metabolisme serta antibodi yang diperlukan.
d) Mengatur keseimbangan air yang terdapat dalam tiga kompartemen yaitu
Intraseluler, Ekstraseluler dan Intravaskuler.
e) Mempertahankan kenetralan (asam basa) tubuh (Yayuk Farida Baliwati, 2004:
52).
Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat
pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan.
Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di
dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain.
Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh.
Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang
sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekuat. Kalau konsumsi baik dari kuantitas
dan kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka
akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik
kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau
kondisi defisit (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000 : 25).
Tingkat kesehatan gizi sesuai dengan konsumsi, tingkat kesehatan gizi terbaik
adalah kesehatan gizi optimum. Dalam kondisi ini jaringan jenuh oleh zat gizi
tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi
yang sebaik-baiknya, serta mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. (Achmad
Djaeni Sediaoetama, 2000 : 25).
Berdasarkan penelitian sebelumnya hubungan antara asupan energi dan protein
dengan kejadian KEP bermakna secara statistik. Menurut hasil penelitian M. Ade
S (2002) hubungan keduanya memiliki nilai OR 6,73. Begitu juga dengan asupan
protein, memiliki nilai OR 3,49. Variabel asupan energi dan protein memiliki
pengaruh yang besar terhadap status gizi balita.
2.7.10 Status Kesehatan (Penyakit Infeksi)
Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya
prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak-anak yaitu
Kwashiorkor atau Marasmus sering didapatkan pada taraf yang sangat berat.
Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui
muntah-muntah dan diare. Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama
lain, walaupun diakui sulit menentukan 53
kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya (Soegeng
Santoso, 2004 : 84).
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan
mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Antara gizi buruk dan
penyakit infeksi sesungguhnya terdapat hubungan timbal balik yang sangat erat,
sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari kedua keadaan itu yang
datang lebih dahulu. Kadang- kadang sukar dijawab pertanyaan apakah gizi buruk
yang menyebabkan anak mudah menderita infeksi atau penyakit infeksilah yang
menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Dalam banyak kejadian terjadi sinergisitas
antara gizi buruk dan penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja sangat
fatal (Moehji, 2009: 13).
Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau
demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu
makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Depkes dan WHO, 2000).
Kekurangan energi dan protein disebabkan oleh masukan (intake) energi dan
protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini akan lebih
cepat terjadi bila anak mengalami diare dan penyakit infeksi lainnya. Persediaan
makanan yang terbatas dan seringnya anak 54
menderita penyakit infeksi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan
kurang gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo bahwa penyakit infeksi
(diare dan saluran pernafasan) mempunyai hubungan sinergis dengan keadaan
gizi. Di antara penyakit infeksi tersebut, diare merupakan penyebab utama
gangguan pertumbuhan anak Balita. Pada kelompok umur 18-36 bulan,
pengenalan terhadap lingkungan semakin luas sehingga jika lingkungan kurang
sehat anak akan lebih mudah terkena infeksi.
Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur,tetapi lebih nyata
pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi
energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan
makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali
kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan
deplesi otot dan glikogen hati (Thaha, 1995).
Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk.
Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan
turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru
memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare
dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi
seperti mineral, dan sebagainya (Moehji, 2003). 55
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi
yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini
bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek
demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia, dua penelitian yaitu Maltene (1991) dan Walker (1992) menunjukkan
adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan.
Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran
pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat
badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes, 1996).
Menurut Soegeng Santoso dan Anne Lies (2004) dalam Dewi A (2007), gangguan
gizi dan infeksi sering saling bekerja sama, dan bila bekerja bersama-sama akan
memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan bila kedua faktor tersebut
masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan
sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi
penyakit infeksi. Kuman-kuman yang tidak terlalu berbahaya pada anak-anak
dengan gizi baik, akan bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi
buruk. Selain itu, status gizi atau tingkat konsumsi pangan maupun bagian penting
dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi
kesehatan, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi (Soehardjo,
2003). 56
Berdasarkan penelitian Ingan (2003) hubungan status diare dengan status gizi,
menunjukkan bahwa sebelum krisis tidak ada hubungan bermakna, tetapi pada
saat krisis jelas terlihat hubungan yang bermakna dimana kemungkinan terjadinya
gizi kurang pada anak 2,1 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diare.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perubahan prevalensi ISPA pada saat
krisis cenderung meningkat yaitu dari 35,6% menjadi 44,9%. Pada beberapa
penelitian ISPA, diare, dan campak mempengaruhi status gizi anak. Apabila
faktor ISPA dikaitkan dengan status gizi anak, terlihat bahwa sebelum krisis
secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna, tetapi pada saat krisis ada
hubungan yang bermakna, dimana kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak
ISPA 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak ISPA. Kondisi
lingkungan yang tidak sehat seperti tidak adanya sirkulasi udara di sekitar anak
akan mendukung munculnya ISPA. Menurut studi Rowland yang dikutip oleh
Djamilus menyatakan bila Balita menderita ISPA maka berat badannya akan turun
dan ini berpengaruh pada status gizi anak tersebut.
Berdasarkan jurnal Richard (2010), malnutrisi juga berhubungan dengan
tuberkolosis pada anak. Anak yang gizi buruk karena kekurangan energi dan
protein merupakan faktor risiko yang tinggi terhadap perkembangan atau
terjadinya tuberkolosis. Studi pada anak yang pneumonia di Gambia menyatakan
bahwa M. tuberculosis bukan penyebab utama pneumonia, terutama pada anak
yang malnutrisi. Di Bulawayo, 57
Zimbabwe pada autopsi 184 anak dibawah 5 tahun yang meninggal menunjukan
bahwa 4 % dari mereka terkena tuberkolosis dan seluruh anak yang meninggal
karena tuberkolosis terrena marasmus. Tuberkolosis dan infeksi HIV merupakan
faktor risiko independen yang mempengaruhi kegagalan pertumbuhan pada anak
di India.
Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap
hari selama ISPA berlangsung (Noor, 1996). Diperkirakan panas yang menyertai
ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien karena
menurunnya nafsu makan anak (Thaha, 1995). Hasil penelitian Thamrin (2002) di
Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor risiko
yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita. Diare
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara
berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2
tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi
sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi
penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia
pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan
kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh
akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila 58
episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan
meningkat (Depkes RI, 1999 : 3).
Adapun kerangka teori penelitian berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan
sebelumnya dapat dilihat pada bagan 2.3. 59
Ade, M. Syahbudin. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekurangan
energi protein (KEP) pada balita umur 7-36 bulan di Puskesmas Munjul
Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka, [Tesis]. Program pasca sarjana
fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Amri, Muthowif Saiful. 2009. Hubungan antara kejadian diare dengan status gizi
anak balita di kelurahan bekonang kecamatan mojolaban kabupaten sukoharjo
tahun 2009, [thesis]. Universitas Muhammadiyah Surakarta. [diakses 27 Agustus
2011] dari http://etd.eprints.ums.ac.id
Andarwati, Dewi. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
balita pada keluarga petani di Desa Purwojati Kecamatan Kertek Kabupaten
Wonosobo, [Skripsi]. Fakultas ilmu keolahragaan jurusan ilmu kesehatan
masyarakat Universitas Semarang.
Anggraini, Cintia. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
balita di provinsi Bangka Belitung tahun 2007, [Skripsi]. Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan.
Depok : FKM UI.
Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta EGC. 123
Arnisam. 2007. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan status gizi
anak usia 6-24 bulan diwilayah Tahun 2007, [thesis]. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta. [diakses 25 Agustus 2011] dari http://etd.ugm.ac.id.
Budi Eko M dan Liliek Hariani. 2008. Gizi dan Kesehatan Prespektif Al-Qur’an
dan Sains. Malang : UIN Malang Press
Dara , Sri Ayu. 2008. Pengaruh program pendampingan gizi terhadap pola asuh,
kejadian infeksi dan status gizi balita kurang energi protein, [Tesis]. Program
pascasarjana gizi masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.
Dewan I Nyoman Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Dinas Kesehatan. 2009. Profil Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes
Kabupaten Majalengka.
Dinas Kesehatan. 2010. Penilaian Status Gizi. Majalengka : Dinkes Kabupaten
Majalengka.
Dinas Kesehatan. 2010. Profil Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes
Kabupaten Majalengka.
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2008. Pedoman Cepat Respon
Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Depkes RI.
Djaeni Achmad S. 1996 dan 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid
II. Jakarta : Dian Rakyat.
Djaeni Achmad S. 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta :
Dian Rakyat.
Djaeni, Ahmad Sediaoetama. 1985. Faktor Gizi. Jakarta: Bhatara Karya Akbar.
124
Hadju V, 1999. Penilaian Status Gizi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin, Makassar.
http : //www.gizi.net/lain/gklinis/AKG2004/htm. Tabel Angka Kecukupan Gizi
2004 Bagi Orang Indonesia.
http://islam-itu-indah.blogspot.com/2007/11/makanan-halal-bergizi.html, [Online]
diakses pada tanggal 27 Agustus 2011.
http://www.khalifah.co.id/news/1215-siapakah-anak-#comment-37 [Online],
diakses pada tanggal 27 Agustus 2011.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dampak dari Kurang Gizi Sulit Diperbaiki.
Artikel online [diakses 10 september 2011] dari http://balitakami.wordpress.com
Jalal, F. 1991. Survei Diet (Pengukuran Konsumsi Makanan) Kursus Singkat
Epidemiologi Gizi. Depok : FKMUI.
Jus’at I, dkk, 2000. Penyimpangan Positif Masalah KEP di Jakarta Utara dan di
Pesedesan Kab. Bogor-Jabar. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII 2000.
LIPI, Jakarta hlm 145-157.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan
Gizi 2011-2015. Jakarta.
Moehji, Sjahmien. 2009. Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : PT
Bharatara Niaga Media.
Notoatmodjo S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rieneka Cipta,
Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta. 125
Puskesmas Leuwimunding. 2010. Laporan Tahunan Kejadian Diare.
Majalengka : Puskesmas Leuwimunding.
Puskesmas Leuwimunding. 2010. Laporan Tahunan Kejadian ISPA. Majalengka :
Puskesmas Leuwimunding.
Richard D. Semba, Ian Darnton-Hill, and Saskia de Pee. Addressing tuberculosis
in the context of malnutrition and HIV coinfection. Food and Nutrition Bulletin,
vol. 31, no. 4 (supplement) Tahun 2010, The United Nations University. [diakses
28 Mei 2011] dari http://search.ebscohost.com/
Sabri Luknis dan Sutanto Priyo Hastono. 2008. Statistik Kesehatan. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Sardjana dan Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : UIN
Jakarta Press.
Sjahmien Moehji. 1995. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bharata.
Soegeng Santoso dan Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka cipta.
Soekirman. 2000. ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran,,
Jakarta.
Su’dan, R.H. 1997. Al-quran dan Panduan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Dana
Bhakti Prima Yasa.
Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suharjo. 1996. Perencanaan dan Gizi . Bumi Aksara, jakarta.
Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung. 126
Thaha AR, Hardiansyah, Ala A. 1999. Pembanguanan Gizi dan Pangan dari
Perspektif Kemandirian Lokal. DPP Pergizi Pangan Indonesia, Bogor.
Thomas C. Timmreck. 2004. Epidemiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : EGC
Ukur , Ingan Tarigan. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Gizi Anak Umur 6-36 Bulan Sebelum Dan Saat Krisis Ekonomi Di Jawa Tengah.
Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, Badan Litbangkes. [diakses 28
Mei 2011] dari http://www.mdpi.com/
Universitas Sutra Utara. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Balita,
[skirpsi]. [diakses 25 Agutus 2011] dari http://www.mdpi.com/
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Semarang : Erlangga.
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka Kecukupan Gizi rata-rata
yang dianjurkan setiap kategori umur.
Wiyastuti, Palupi dan Erita Agustin Hardiyanti. 2009. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : EGC.
Yayuk Farida Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar
Swadaya
Zumroti. 2010. Hubungan antara pola asuh gizi, karateristik keluarga, dan
budaya pantang makan dengan status gizi anak usia 2-3 tahun di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan, [Skripsi]. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
2. Pudjiadi S. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru; 2005.
3. Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak.Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011.
11. Anwar K,Juffrie M,Julia M.Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat.Jurnal Gizi Klinik Indonesia
[Internet].2005[cited 2011 Desember 14]:2(3):81-85.Available
from:http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/
12. Effendi.Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC;
1998.
13. Hidayat AAA.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika;2008.
14. Razak AA,Gunawan IMA,Budiningsari RD. Pola Asuh Ibu Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) Pada Anak Balita.Jurnal Gizi
Klinik Indonesia[Internet].2009[cited 2011 Desember 14]:6(2):95-103.Available
from: http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=10761
15. Kosim, Sholeh M.Buku Ajar Neonatologi Edisi I.Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2008.
16. Supartini Y.Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak.Jakarta:EGC; 2002.
22. Paryanto E.Gizi Dalam Masa Tumbuh Kembang.Jakarta:EGC;1997.
23. Soendjojo RD,Sritje H,Mien S.Menstimulasi Anak 0-1 Tahun.Jakarta:PT
Elexmedia Komputindo.2000.
24. Departemen Kesehatan RI.Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta:
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI;2002.
25. Kliegman R.Nelson Textbook of Pediatrics. USA: Saunders Elsevier;2007.
26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia.Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika;2007.
27. Walker,Allan.Pediatric Gastrointertinal Disease.USA:DC Decker;2004.
28. Dini L.Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis
Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka;2000.
29. Soekirman.Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan
Masyarakat.Jakarta:EGC;2000.
30. Rumiasih. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada
Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang: Universitas
Diponegoro;2003.
32. Departemen Kesehatan RI.Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI;2002.
34. Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi
Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun 2002[karya
tulis ilmiah].Jakarta:Universitas indonesia;2002.
35. Abu A.Ilmu Sosial Dasar.Jakarta:Rineka Cipta;1997.
36. Departemen Kesehatan RI.Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta:Depkes RI;2004.
37. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED.Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED).Jakarta:EGC;2008.
26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia.Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika;2007.
28. Dini L.Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis
Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka;2000.
29. Soekirman.Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan
Masyarakat.Jakarta:EGC;2000.
30. Rumiasih. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada
Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang: Universitas
Diponegoro;2003.
32. Departemen Kesehatan RI.Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI;2002.
34. Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi
Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun 2002[karya
tulis ilmiah].Jakarta:Universitas indonesia;2002.
35. Abu A.Ilmu Sosial Dasar.Jakarta:Rineka Cipta;1997.
36. Departemen Kesehatan RI.Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta:Depkes RI;2004.
37. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED.Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED).Jakarta:EGC;2008.
38. Dahlan S.Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
PT Arkans;2006.