daftar pustaka

100
2.1 Pengertian Gizi Gizi berasal dari bahasa Arab yaitu ”Al-Gizzai” yang artinya makanan dan manfaatnya untuk kesehatan, serta sari manfaat yang bermanfaat untuk kesehatan (Persagi dalam Depkes 2009). Menurut Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto (1990) dalam I Dewi Supariasa dkk (2002), gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta mengahasilkan energi. 2.2 Status Gizi Menurut Deswani Idrus dan Gatot Kunanto dalam I Dewi Supariasa dkk (2002) status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dan nutriture dalam bentuk varibel tertentu. Keadaan gizi merupakan keseimbangan antara

Upload: dinia-putri-al-muda

Post on 29-Dec-2015

202 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dp

TRANSCRIPT

Page 1: DAFTAR PUSTAKA

2.1 Pengertian Gizi

Gizi berasal dari bahasa Arab yaitu ”Al-Gizzai” yang artinya makanan dan

manfaatnya untuk kesehatan, serta sari manfaat yang bermanfaat untuk kesehatan

(Persagi dalam Depkes 2009).

Menurut Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto (1990) dalam I Dewi Supariasa dkk

(2002), gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,

serta mengahasilkan energi.

2.2 Status Gizi

Menurut Deswani Idrus dan Gatot Kunanto dalam I Dewi Supariasa dkk (2002)

status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel

tertentu, atau perwujudan dan nutriture dalam bentuk varibel tertentu. Keadaan

gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan

penggunaan zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat tersedianya zat gizi

dalam seluler tubuh. Keadaan patologis akibat kekurangan gizi atau kelebihan gizi

secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Kelainan gizi dapat

digolongkan menjadi empat yaitu, under nutrition, specifyc defisiency, over

nutrition, imbalance. Under nutrition adalah kekurangan konsumsi pangan secara

relatif atau absolut untuk periode tertentu. Over nutrition adalah kelebihan

konsumsi pangan untuk pereiode tertentu.

Page 2: DAFTAR PUSTAKA

2.3 Klasifikasi Status Gizi

Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut

reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah

WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics)

dengan melihat nilai Z-SCORE. Kategori Status Gizi berdasarkan standar WHO

2005 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

< - 3 SD BB Sangat Kurang

≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

< - 3 SD TB Sangat Pendek

≤ - 3SD - < -2 SD TB Pendek

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD TB Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD TB Lebih dari normal

> 3 SD TB Lebih dari normal 17

Page 3: DAFTAR PUSTAKA

3. Berat Badan Menurut Panjang (Tinggi) Badan (BB/TB)

< - 3 SD Sangat Kurus

≤ - 3SD - < -2 SD Kurus

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk

> 3 SD Obese

4. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)

< - 3 SD Sangat Kurus

≤ - 3SD - < -2 SD Kurus

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk

> 3 SD Obese

5. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)

< - 3 SD Sangat Kecil

≤ - 3SD - < -2 SD Kecil

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Besar

> 3 SD Sangat Besar

6. Lingkar Kepala Menurut Umur

Page 4: DAFTAR PUSTAKA

< - 3 SD BB Sangat Kurang

≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal 18

Page 5: DAFTAR PUSTAKA

> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

Dalam buku riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010 status gizi buruk dan

balita dapat digabungkan dalam istilah berat kurang atau status gizi underweight.

2.4 Kegunaan Zat Gizi

Sesuai dengan fungsinya, zat-zat gizi dapat kita golongkan menjadi tiga yaitu zat

tenaga, yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Zat pembangun berupa

protein, mineral dan air. Zat pengatur tubuh terdiri dari vitamin, mineral, protein

dan air (Achmad Djaeni S, 1996: 22). Zat-zat tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh

untuk metabolisme.

1) Karbohidrat

Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat

merupakan sumber utama energi bagi penduduk di seluruh dunia, karena banyak

didapat di alam dan harganya relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan

4 kalori. Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah

sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan sebagai

glikogen dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah menjadi lemak untuk

kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Sunita

Almatsier, 2009: 42-43).

Page 6: DAFTAR PUSTAKA

nutrition, imbalance. Under nutrition adalah kekurangan konsumsi pangan secara

relatif atau absolut untuk periode tertentu. Over nutrition adalah kelebihan

konsumsi pangan untuk pereiode tertentu.

2.3 Klasifikasi Status Gizi

Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut

reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah

WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics)

dengan melihat nilai Z-SCORE. Kategori Status Gizi berdasarkan standar WHO

2005 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

< - 3 SD BB Sangat Kurang

≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

< - 3 SD TB Sangat Pendek

≤ - 3SD - < -2 SD TB Pendek

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD TB Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD TB Lebih dari normal

Page 7: DAFTAR PUSTAKA

> 3 SD TB Lebih dari normal 17

Page 8: DAFTAR PUSTAKA

3. Berat Badan Menurut Panjang (Tinggi) Badan (BB/TB)

< - 3 SD Sangat Kurus

≤ - 3SD - < -2 SD Kurus

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk

> 3 SD Obese

4. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)

< - 3 SD Sangat Kurus

≤ - 3SD - < -2 SD Kurus

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Gemuk

> 3 SD Obese

5. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U)

< - 3 SD Sangat Kecil

≤ - 3SD - < -2 SD Kecil

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD Normal

> 2 SD - ≤ 3 SD Besar

> 3 SD Sangat Besar

6. Lingkar Kepala Menurut Umur

Page 9: DAFTAR PUSTAKA

< - 3 SD BB Sangat Kurang

≤ - 3SD - < -2 SD BB Kurang

≥ - 2 SD - ≤ 2 SD BB Normal

Page 10: DAFTAR PUSTAKA

> 2 SD - ≤ 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

> 3 SD BB Lebih (Periksa BB/TB nya)

Dalam buku riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010 status gizi buruk dan

balita dapat digabungkan dalam istilah berat kurang atau status gizi underweight.

2.4 Kegunaan Zat Gizi

Sesuai dengan fungsinya, zat-zat gizi dapat kita golongkan menjadi tiga yaitu zat

tenaga, yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Zat pembangun berupa

protein, mineral dan air. Zat pengatur tubuh terdiri dari vitamin, mineral, protein

dan air (Achmad Djaeni S, 1996: 22). Zat-zat tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh

untuk metabolisme.

1) Karbohidrat

Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat

merupakan sumber utama energi bagi penduduk di seluruh dunia, karena banyak

didapat di alam dan harganya relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan

4 kalori. Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah

sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan sebagai

glikogen dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah menjadi lemak untuk

kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Sunita

Almatsier, 2009: 42-43).

Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi-umbian, kacang-

kacangan kering dan gula. Hasil olahan bahan-bahan ini adalah bihun, mie, roti,

Page 11: DAFTAR PUSTAKA

tepung-tepungan, selai, sirup dan sebagainya. Sebagian besar sayur dan buah tidak

banyak mengandung karbohidrat. Sayur umbi-umbian, seperti wortel dan bit serta

sayur kacang-kacangan relatif lebih banyak mengandung karbohidrat daripada

sayur daun-daunan. Bahan makanan hewani seperti daging, ayam, ikan telur dan

susu sedikit mengandung karbohidrat (Sunita Almatsier, 2009: 44).

2) Protein

Fungsi protein di dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan hidup sel. Dapat

dikatakan bahwa setiap gerak hidup sel selalu bersangkutan dengan fungsi protein.

Dalam hal ini protein mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Protein sebagai zat pembangun. Protein merupakan bahan pembangun sel-sel

tubuh yang membentuk bagian-bagian tubuh seperti otot, kelenjar-kelenjar,

hormon, darah, organ-organ tubuh.

b. Protein sebagai zat pengatur, baik secara langsung maupun tidak langsung di

dalam tubuh. Protein mengatur berbagai proses antara lain: protein merupakan

bagian dari hemoglobin (Hb), yaitu bagian dari darah merah yang berfungsi

mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh, sebagai protein plasma berfungsi

untuk mengatur tekanan osmosa dan mampertahankan keseimbangan cairan

dalam jaringan dan saluran darah.

20

Page 12: DAFTAR PUSTAKA

Sebagai protein darah berperan dalam mengatur keseimbangan asam basa dalam

tubuh. Kekebalan tubuh terhadap penyakit disebabkan oleh adanya zat-zat anti

yang juga terbuat dari protein. Enzim-enzim dan hormon yang mengatur berbagai

proses dalam tubuh terbuat dari protein (Achmad Djaeni S, 1996: 74-75).

Sumber makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah

maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Sunita

Almatsier, 2009: 100).

3) Lemak

Lemak dalam bahan makanan tidak mengalami pencernaan di dalam rongga

mulut, karena tidak ada enzim yang dapat memecahnya (Achmad Djaeni S., 1996:

95). Kebutuhan tubuh akan lemak ditinjau dari sudut fungsinya:

a. Lemak sebagai sumber utama energi

b. Lemak sebagai sumber PUFA (Polynusaturated fattyacid)

c. Lemak sebagai pelarut vitamin-vitamin yang larut lemak (vitamin-vitamin A,

D, E dan K) (Achmad Djaeni S., 1996: 101-102).

4) Vitamin

Page 13: DAFTAR PUSTAKA

Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan,

dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari

enzim (Sunita Almatsier, 2009: 152).

Fungsi vitamin untuk pertumbuhan sel terutama pada vitamin A yang berpengaruh

terhadap sintesis protein. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan

sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi (Sunita Almatsier,

2009: 160).

5) Air

Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh. Air sebagai pelarut zat-

zat gizi dan alat angkut. Air juga berfungsi sebagai katalisator dalam berbagai

reaksi biologic dalam sel, termasuk dalam saluran cerna. Air diperlukan untuk

pertumbuhan dan zat pembangun (Sunita Almatsier, 2009: 221).

6) Mineral

Kira-kira 6% tubuh manusia dewasa terbuat dari mineral. Mineral yang

dibutuhkan manusia diperoleh dari tanah. Mineral merupakan bahan anorganik

dan bersifat essensial (Baliwati, 2004: 55-56). Fungsi mineral dalam tubuh

sebagai berikut:

a. Memelihara keseimbangan asam tubuh dengan jalan penggunaan mineral

pembentuk asam (klorin fosfor, belerang) dan mineral pembentuk basa (kapur,

besi, magnesium, kalium, natrium).

Page 14: DAFTAR PUSTAKA

b. Mengkatalisasi reaksi yang bertalian dengan pemecahan karbohidrat, lemak,

dan protein serta pembentukan lemak dan protein tubuh.

c. Sebagai hormon (I terlibat dalam hormon tiroksin; Co dalam vitamin B12; Ca

dan P untuk pembentukan tulang dan gigi) dan enzim tubuh (Fe terlibat dalam

aktifitas enzim katalase dan sitokrom).

d. Membantu memelihara keseimbangan air tubuh (klorin, kalium, natrium).

e. Menolong dalam pengiriman isyarat keseluruhan tubuh (kalsium, kalium,

natrium).

f. Sebagai bagian cairan usus (kalsium, magnesium, kalium, natrium).

g. Berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, gigi dan jaringan tubuh

lainnya (kalsium, fosfor, fluorin) (Baliwati, 2004: 56).

2.5 Jumlah Makanan atau Zat Gizi yang Dibutuhkan

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya

Nasional Pangan dan Gizi 2004 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan

Gizi

(AKG)

Rata-

Berat

Badan

(Kg)

Tinggi

Badan

(cm)

Energi

(Kkal)

Protei

n

(g)

Lemak

(g)

Vitami

n A

(RE)

Vitami

n C

(mg)

Page 15: DAFTAR PUSTAKA

rata

Perhari

Golon

gan

Umur

Balita

0-6 bln 6 60 550 10 13 375 40

7-12

bln

8.5 71 650 16 19 400 40

1-3 thn 12 90 1000 25 28 400 40

4-6 thn 17 110 1550 39 29 450 45

2.6 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam

metode langsung dan metode tidak langsung.

2.6.1 Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri,

klinik dan biofisik.

1. Antropometri

a. Pengertian

Page 16: DAFTAR PUSTAKA

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan

tingkat gizi (Supariasa, 2002 : 19).

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropomoteri. Parameter

adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain : umur, berat badan, tinggi

badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal

lemak di bawah kulit (Supariasa, 2002: 56).

b. Penggunaan

Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan protein

dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan

proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh

(Supariasa, 2002 : 19).

c. Kelebihan Pengukuran Antropometri

Penentuan status gizi dengan menggunakan metode antropometri mempunyai

beberapa keuntungan seperti yang dikutip oleh Hadju (1999), yaitu:

1. Prosedur pengukurannya sederhana, aman, tidak invasif sehingga dapat

dilakukan di lapangan dan cocok dengan jumlah sampel yang besar.

Page 17: DAFTAR PUSTAKA

2. Alat yang dibutuhkan tidak mahal, mudah di bawah, serta tahan (durabel) dan

dapat dibuat atau dibeli di setiap wilayah.

3. Tidak membutuhkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya.

4. Metode yang digunakan tepat dan akurat, sehingga standarisasi pengukuran

terjamin.

5. Hasil yang diperoleh menggambarkan keadaan gizi dalam jangka waktu yang

lama dimana tidak dapat diperoleh dengan tingkat kepercayaan yang sama dengan

teknik lain.

25

Page 18: DAFTAR PUSTAKA

6. Prosedur ini dapat membantu mengidentifikasi tingkat malnutrisi (ringan

sampai berat).

7. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya perubahan yang

terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya, suatu fenomena yang dikenal

sebagai secular trend.

8. Dapat digunakan sebagai skrining test untuk mengidentifikasi individu yang

mempunyai resiko tinggi terjadinya malnutrisi.

d. Parameter dalam Antropometri

1. Berat Badan

Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain :

a) Parameter yang baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena

perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.

b) Memberikan gambaran status gizi sekarang.

c) Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum.

d) Ketelitian pengukur tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.

26

Page 19: DAFTAR PUSTAKA

2. Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan

umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran

TB dan BB yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan

umur yang tepat (Supariasa , 2002: 38).

Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980) dalam Supariasa (2002), batasan umur

yang digunakan adalah tahun umur penuh (Completed Year) dan untuk anak umur

0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (Completed Year).

e. Indeks Antropometri

1) Berat badan menurut umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa

tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan

atau menurunnya jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam

keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara

konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang

mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2

kemungkinan perkembangan 27

Page 20: DAFTAR PUSTAKA

berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal

(Supariasa, 2002 : 56-57).

Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur

digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik

berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi

seseorang saat ini (Supariasa, 2002 : 56-57).

2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif

kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh

defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan Nampak dalam waktu yang relatif

lama (Supariasa, 2002).

3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan

normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan

dengan 28

Page 21: DAFTAR PUSTAKA

kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai

status gizi saat ini (Supariasa, 2002: 58).

Dari berbagai jenis indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan

ambang batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi.

Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen terhadap median,

persentil, dan standar deviasi unit.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik seseorang sangat erat

hubungannya dengan status gizi. Atas dasar ini ukuran-ukuran dengan

menggunakan metode antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat

diandalkan bagi penentuan status gizi untuk negara-negara berkembang. (Suharjo,

1996).

Ukuran antropometri terbagi atas 2 tipe, yaitu ukuran pertumbuhan tubuh dan

komposisi tubuh. Ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan meliputi: tinggi

badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, tinggi lutut. Pengukuran

komposisi tubuh dapat dilakukan melalui ukuran: berat badan, lingkar lengan atas,

dan tebal lemak di bawah kulit (Hadju, 1999). Ukuran pertumbuhan lebih banyak

menggambarkan keadaan gizi masa lampau, sedangkan ukuran komposisi tubuh

menggambarkan keadaan gizi masa sekarang atau saat pengukuran (Supariasa,

2002).

2.6.2 Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

Metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan

faktor-faktor ekologi.

Page 22: DAFTAR PUSTAKA

1. Survei Konsumsi Makanan

a. Pengertian

Pengukuran konsumsi makanan merupakan salah satu metode yang digunakan

dalam penentuan status gizi masyarakat ataupun seseorang di samping metode

pengukuran status gizi lainnya seperti antropometri, biokimia, dan klinis. Hasil

survei makanan tersebut hanya digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan

terjadinya kekurangan gizi pada seseorang (Supariasa, 2002:87). Metode

pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh

dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode

yang bersifat kulitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi

konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang

kebiasaan makan. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui

jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya.

30

Page 23: DAFTAR PUSTAKA

b. Penggunaan

Menurut Gibson (1990) jika penelitian bertujuan untuk mendapatkan angka yang

akurat jumlah gizi yang dikonsumsi responden, terutama bila jumlah sampel kecil

maka penimbangan makanan selama beberapa hari adalah cara yang terbaik. Bila

penelitian bertujuan untuk menentukan proporsi dari masyarakat yang

konsumsinya kurang dari yang seharusnya maka beberapa kali recall 24 jam

sudah cukup (Jalal, 1991).

c. Metode Recall 24 jam

Prinsip dari metode recall 24 jam adalah dilakukan dengan mencatat jenis dan

jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.

Dalam metode ini, responden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh

menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu

(kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat

tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan

wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2002: 94). 31

Page 24: DAFTAR PUSTAKA

d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Recall 24 jam

1) Kelebihan

Pelaksanaannya mudah dan cepat, mengurangi beban pada subyek, biaya relatif

murah, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, dan memberikan

gambaran nyata makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat dihitung intake zat

gizi sehari.

2) Kekurangan

Masalah daya ingat dan kebenaran keterangan yang diberikan, banyaknya variasi

dalam diri individu dan variasi makanan dari hari ke hari, membutuhkan tenaga

atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT.

Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari, maka recall jangan

dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, selamatan dan lain-lain.

Dan tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya

dilakukan recall satu hari.

2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Unicef, faktor yang mempengaruhi status gizi digolongkan atas

penyebab langsung, penyebab tidak langsung, penyebab pokok dan akar masalah

(Thaha, 1999). Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. Bagan

32

Page 25: DAFTAR PUSTAKA

di bawah ini menyajikan berbagai faktor penyebab kekurangan gizi yang

diperkenalkan oleh UNICEF dan telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dari

kerangka pikir ini terlihat tahapan penyebab timbulnya kekurangan gizi pada ibu

dan anak adalah penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok

masalah (Bappenas, 2011).

Bagan 2.1

Penyebab Masalah Gizi

Dalam Rancangan Aksi Pangan dan Gizi 2011-2015

Banyak pendapat mengenai faktor determinan yang dapat menyebabkan

timbulnya masalah gizi pada bayi di antaranya menurut Schroeder (2001) dalam

Sri DA (2008), menyatakan bahwa kekurangan gizi dipengaruhi konsumsi makan

makanan yang kurang dan adanya penyakit infeksi, sedangkan penyebab

mendasar 33

Page 26: DAFTAR PUSTAKA

adalah makanan, perawatan (pola asuh) dan pelayanan kesehatan seperti

diterangkan pada bagan 2.2.

Bagan 2.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Anak

Sumber : Schroeder (2001) dalam Sri Dara A (2008)

Interaksi dari berbagai faktor sosial ekonomi dapat menyebabkan jatuhnya

seorang anak pada keadaan kekurangan gizi perlu dipertimbangkan. Menurut

Martorell dan Habicht (1986) dalam Sri DA (2008), status ekonomi

mempengaruhi pertumbuhan bayi, melalui konsumsi makan dan kejadian infeksi.

Status sosial ekonomi terhadap konsumsi makan mempengaruhi kemampuan

rumah tangga untuk memproduksi dan/atau membeli pangan, menentukan praktek

34

Page 27: DAFTAR PUSTAKA

pemberian makanan bayi, kesehatan serta sanitasi lingkungan. Jus’at (1992)

membuat model mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak

antara lain: karakteristik keluarga, karakteristik anak, status kesehatan dan

ketersediaan bahan makanan.

Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan

adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula

kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis

pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan

secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat

istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Sunita Almatsier, 2004).

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan

anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan

pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi

lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor

yang saling berhubungan. Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi

di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam,

yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya

penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman,

2000). 35

Page 28: DAFTAR PUSTAKA

2.7.1 Pendapatan Keluarga

Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Pieter Evers (1984: 322) dalam Dewi A

(2007), dalam kehidupan sehari-hari pendapatan erat kaitannya dengan gaji, upah,

serta pendapatan lainnya yang diterima seseorang setelah orang itu melakukan

pekerjaan dalam kurun waktu tertentu.

Ada beberapa definisi pengertian pendapatan, salah satunya menurut Badan Pusat

Statistik sesuai dengan konsep dan definisi pengertian pendapatan keluarga adalah

seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh Anggota Rumah

Tangga Ekonomi (ARTE). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

pendapatan adalah segala bentuk penghasilan atau penerimaan yang nyata dari

seluruh anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga terutama

pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat pada kekurangan gizi yang

berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Pemenuhan

kebutuhan pangan dipengaruhi oleh jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh

keluarga. Sehingga pendapatan keluarga mempengaruhi status gizi balita

(Bappenas, 2011).

Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh

peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain

yang mengadakan interaksi dengan 36

Page 29: DAFTAR PUSTAKA

status gizi yang berlawanan hampir universal (Achmad Djaeni Sediaoetama.

1985 : 50).

Berdasarkan penelitian Dewi A (2007) dari 75% balita yang berstatus gizi baik,

berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi 39,7%, dan dari analisis bivariat

diperoleh p = 0,002, RP=11,200, (95% CI=1,575-79,649) yang berarti ada

hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita keluarga.

Sedangkan dari 25 % balita yang gizi buruk, berasal dari keluarga berpenghasilan

tinggi 1,5 % dan dari keluarga yang berpenghasilan rendah 23,5 %. Berdasarkan

penelelitian Ade Syahbudin (2002) nilai rasio Odss (OR) antara pendapatan

dengan kejadian KEP adalah 2,50. artinya, pendapatan keluarga yang rendah

mempunyai resiko 2,50 kali anak balitanya kekurangan energi dan protein (KEP)

dibanding dengan pendapatan keluarga yang tinggi.

2.7.2 Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Ibu

Faktor pendidikan dan pengetahuan yang rendah dari sebagian ibu akan

pentingnya pemberian makanan bergizi dan seimbang untuk anaknya dapat

dikaitkan dengan masalah KEP. Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orang

tua khususnya ibu, merupakan faktor penyebab mendasar terpenting, karena

sangat mempengaruhi tingkat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat

dalam rangka mengelola sumber daya yang ada, untuk mendapatkan kecukupan

bahan makanan serta sejauh mana sarana 37

Page 30: DAFTAR PUSTAKA

pelayanan kesehatan gizi dan sanitasi lingkungan tersedia dimanfaatkan sebaik-

baiknya (Depkes, 1997). Pendidikan mempunyai tujuan memberikan bantuan

terhadap perkembangan anak seutuhnya. Berarti mengembangkan potensi fisik,

emosi, sikap moral, pengetahuan dan ketrampilan semaksimal mungkin agar dapat

menjadi manusia dewasa (R. Tillar dan Sardin Pabbadja, 1979: 13 dalam Dewi A

(2007)).

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun

menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,

maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang

diperolehnya untuk dikonsumsi (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000: 12-13).

Berdasarkan penelitian Ade S (2002) terdapat hubungan bermakna secara statistik

antara pengetahuan ibu dengan kejadian KEP. Nilai OR diperoleh 4,43, artinya

ibu yang berpengetahuan kurang baik mempunyai resiko 4,43 kali anak balitanya

kekurangan energi dan protein dibanding dengan ibu yang berpengetahuan baik.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap

dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan

landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan

gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap

adanya masalah gizi di 38

Page 31: DAFTAR PUSTAKA

dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003 : 113).

Berdasarkan penelitian M. Ade S (2002) nilai OR variabel pendidikan ibu dengan

kejadian KEP adalah 4,94. Artinya, ibu balita yang berpendidikan rendah

memiliki rasio 4,94 kali lebih besar anak balitanya terjadi KEP dibandingkan

dengan ibu yang perpendidikan tinggi.

Adapun berdasarkan penelitian Dewi A (2007) menunjukkan bahwa dari 75%

balita yang berstatus gizi baik, 51,5% tingkat pendidikan bersekolah, dan dari

analisis bivariat diperoleh p=0,379, RP=1,630, (95% CI=0,723-3,671) berarti

tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita

keluarga petani.

2.7.3 Perilaku

Faktor pendidikan dan pengetahuan sangat erat hubungannya dengan faktor

perilaku. Faktor perilaku ini bersama-sama dengan rendahnya daya beli

kemungkinan berjalan sinergis terhadap timbulnya kasus kurang gizi. Adanya

anggapan bahwa banyak makan ikan menyebabkan kecacingan, atau tidak mau

makan sayur karena sayuran dianggap makanan ternak, merupakan contoh kecil

yang tidak sedikit ditemukan di masyarakat. Pandangan yang salah terhadap jenis-

jenis makanan tertentu menyebabkan mereka tidak mau mengkonsumsi atau tidak

memberikan makanan tersebut kepada anaknya (Hadju, 1999).

Perilaku seseorang terdiri dari tiga bagian penting yaitu kognitif, afektif, dan

psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau

Page 32: DAFTAR PUSTAKA

tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktek) yang dilakukan

(Notoatmojo, 2007).

Green (1991) menjelaskan bahwa perilaku dilatarbelakangi oleh tiga faktor pokok,

yakni faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi, dan nilai. Faktor pendukung (enabling

factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya

fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,

alat-alat kontrasepsi dan jamban. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors)

yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. (Notoatmodjo, 2007).

Ketiga faktor penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan tingkat

pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan,

pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat ketahanan

pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga

memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Faktor-faktor tersebut yaitu

penyebab tidak langsung seperti ketahanan pangan tingkat keluarga, pola

pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Ketahanan pangan di keluarga (household food 40

Page 33: DAFTAR PUSTAKA

security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh

anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu

gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk

menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh

kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan

kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana

pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang

membutuhkan.

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal

kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi

kasih sayang dan sebagainya. Pelayanan kesehatan, adalah akses atau

keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan

pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana

kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter,

rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan

(karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan

pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara

baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status

gizi anak. 41

Page 34: DAFTAR PUSTAKA

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan

dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat

nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan

masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan

keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan

memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (Thaha, 1999).

2.7.4 Ketahanan Pangan Keluarga

Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil

produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli

keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu

ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga

yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga

tersebut sehingga tidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat

memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu.

Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak

cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP- ASI).

Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan

dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan.

Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan 42

Page 35: DAFTAR PUSTAKA

ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan

yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk (Sri DA,

2008).

2.7.5 Pola Asuh

Menurut Sri D A (2008) menyatakan bahwa peranan pengasuhan ini pertama kali

diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania dan

kemudian digunakan pada berbagai studi positive deviance di berbagai negara.

Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana

pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan

bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap

pertumbuhan bayi (Engel, 1992 dalam Sri Dara A, 2008 : 30-31).

Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran,

pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzat A, 2000).

Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk

menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh

dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola

pengasuhan anak berupa sikap dan pengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya

dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. 43

Page 36: DAFTAR PUSTAKA

Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan

kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti

pemberian makanan, mandi, dan menyediakan dan memakaikan pakaian buat

anak. Termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan

obat, dan merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional.

Pengasuhan anak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan,

pemeliharaan fisik dan perhatian terhadap anak (Haviland,1988 Bahar, 2002

dalam Sri DA (2008)). Berdasar pengertian tersebut "pengasuhan" pada dasarnya

adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap anak yang

dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi, perawatan dasar

(termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine

perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih,

1995). Serupa dengan yang diajukan oleh Mosley dan Chen 1988 (Bahar,2002)

dalam Sri DA (2008) pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait

gizi/penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit,

memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah.

Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan

mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak berkaitan

erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, 44

Page 37: DAFTAR PUSTAKA

pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak (Suharsih, 2001 dalam

Sri DA (2008)). Menurut Notoatmodjo (1997), suatu sikap belum otomatis

terwujud dalam suatu praktek atau tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi

praktek, diperlukan faktor pendukung antara lain fasilitas dan support dari pihak

lain, misal suami, orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung

terbentuknya praktek. Praktek adalah perbuatan atau tindakan nyata dan

pengukurannya dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara

terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau beberapa bulan

yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau

kegiatan responden. Praktik dibagi dalam empat tingkatan yaitu persepsi, respon

terpimpin, mekanisme dan adaptasi. Persepsi adalah tahap mengenal dan memilih

berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang diambil (praktek tingkat

pertama), misalnya ibu dapat memilih makanan yang bergizi untuk anaknya.

Respon terpimpin, bila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang

benar berdasarkan contoh (praktek tingkat kedua), misal ibu dapat memasak sayur

dengan benar, mulai dari mencuci, memotong, dan lamanya memasak. Tahap

mekanisme adalah bila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis atau sudah merupakan kebiasaan, misalnya ibu mengimunisasikan

anaknya pada umur-umur tertentu tanpa diperintah, maka ibu ini sudah mencapai

praktik tingkat tiga. Adaptasi merupakan praktik atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik 45

Page 38: DAFTAR PUSTAKA

artinya tindakan sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi tingkat

kebenarannya, misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi

untuk anaknya dengan bahan yang mudah didapat dan murah.

Menurut Husaini (2000), peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan

menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi

makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol

besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak.

Berdasarkan hasil penelitian Ninik A R (2005) dalam Dewi A (2007) hubungan

pola asuh dan status gizi setelah diuji statistik Chi Squer menunjukan 18,379

dengan signifikan 1% diperoleh nilai kritik 9,21 berarti ada hubungan yang

signifikan antara pola asuh gizi dan status gizi.

2.7.6 Status Pekerjaan Ibu

Lama seseorang bekerja sehari-hari yang baik pada umumnya 6-8 jam, sisanya

(16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga masyarakat, istirahat,

tidur, dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan

baik selama 40-50 jam. Ini dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan

pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Kerja No 14 Tahun 1969 (Sumakmur, 1996:

310).

Pandji Anoraga (2005) dalam Dewi S menyatakan bahwa wanita sebagai pekerja

mempunyai potensi dan hal ini sudah dibuktikan dalam 46

Page 39: DAFTAR PUSTAKA

dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi

wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus

mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut tetek

bengek rumah tangganya. Menurut Pandji Anoraga (2005) dalam Dewi S (2007)

pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu,

sekalipun mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai

menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya KEP adalah para ibu yang

menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan balitanya dari pagi

sampai sore, anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan

tidak mendapatkan perhatian, dan pemberian makanan tidak dilakukan dengan

semestinya.

Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan

perhatian penuh terhadap anak balitanya, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun

tidak semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban

kerja yang ditanggungnya dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam

menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Karena itu di dalam sebuah

penelitian menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi

zat gizi terutama Energi dan Protein dengan kebutuhan tubuh pada kelompok anak

yang berusia diatas 1 tahun (Sjahmien Moehji, 1995 : 35). 47

Page 40: DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan penelitian Dewi S (2007) mendapatkan hasil nilai p=0,198, RP=0,

467, (95% CI=0,170-1,283) berarti tidak ada hubungan antara status pekerjaan

ibu dengan status gizi balita keluarga petani.

2.7.7 Besarnya Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada

masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat

miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus

diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga

yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga

tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang

besar tersebut (Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap

kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil

biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar

keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang

tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan

relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-

anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suhardjo, 2003 dalam Dewi

A, 2007). 48

Page 41: DAFTAR PUSTAKA

Menurut suhardjo (1986) dalam Dewi A (2007) anak-anak, wanita yang sedang

hamil dan menyusui merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi.

Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan

dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi atau gangguan gizi akan timbul.

Berdasarkan penelitian Dewi A (2007) hubungan antara besar keluarga dengan

status gizi balita diperoleh nilai p=0,091, RP=0,431, (95% CI=0,180-1,030)

berarti tidak ada hubungan antara besar keluarga dengan status gizi balita keluarga

petani.

2.7.8 Pantangan Makanan Balita

Suatu pantangan makanan berarti suatu sikap negatif yang lebih kuat terhadap

penggunaan makanan atau makanan yang tidak dapat diterima. Pelanggaran

peraturan yang telah tertanam kuat mengenai pantangan makanan (beberapa

makanan) biasanya mengakibatkan adanya hukuman secara keagamaan atau gaib

(Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).

Dewi A 92007) menyatakan sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang

pantas untuk dimakan, dijumpai banyak pantangan, takhayul, dan larangan pada

beberapa kebudayaan dan daerah yang berlainan di dunia. Beberapa pantangan

dianut oleh golongan masyarakat atau oleh bagian besar dari penduduk. Meskipun

hanya sebagian atau 49

Page 42: DAFTAR PUSTAKA

sekelompok tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan masalah gizi atau

kekurangan gizi akan timbul. Misalnya pada waktu persediaan pangan kurang,

pantangan makan akan merugikan status gizi buruh tani sewaktu kerja keras, ibu

hamil dan menyusui serta anak-anak yang sedang tumbuh kembang

(G.Kartasapoetra dan H. Marsetyo. 2001: 12).

2.7.9 Konsumsi Energi dan Protein

Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan

merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktifitas

manusia. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya

pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia

selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup

pula ke dalam tubuhnya.

Menurut Sulaeman dan Muchtadi (2003) dalam Sri Dara A (2008) pemberian

makanan bergizi dalam jumlah yang cukup pada masa balita merupakan hal yang

perlu mendapat perhatian serius agar anak tidak jatuh ke keadaan kurang gizi.

Apalagi dalam masa itu terjadi penyapihan yaitu peralihan antara penyusuan dan

makanan dewasa sebagai sumber energi dan zat gizi utama. Pada masa

penyapihan biasanya pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI

berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizi anak

perlu diberi makanan tambahan. Makanan 50

Page 43: DAFTAR PUSTAKA

yang dikonsumsi dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizi anak khususnya

energi dan protein.

Manusia yang kurang makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik

atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima

tubuhnya yang dapat menghasilkan energi. Seseorang tidak dapat menghasilkan

energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali jika

meminjam atau menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan

meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan yang gawat, yaitu kekurangan

gizi khususnya energi (Suhardjo, 2003 dalam Dewi A, 2007).

Menurut Supariasa (2002) untuk menilai tingkat konsumsi makanan (untuk energi

dan zat gizi), diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan yaitu Angka

Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowance (RDA).

Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes RI (1990),

klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi empat dengan cut of points masing-

masing sebagai berikut: dikatakan baik bila > 100 % AKG; sedang antar 80 – 90

% AKG ; kurang antara 70 – 80% AKG dan tergolong defisit bila kurang dari 70

% AKG.

Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Protein

merupakan bagian dari semua sel-sel hidup, hampir setengah jumlah protein

terdapat di otot, 1/5 terdapat di tulang, 1/10 terdapat di kulit, 51

Page 44: DAFTAR PUSTAKA

sisanya terdapat dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein mempunyai fungsi

sebagai berikut :

a) Membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

b) Memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang rusak

atau mati.

c) Menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim

pencernaan dan metabolisme serta antibodi yang diperlukan.

d) Mengatur keseimbangan air yang terdapat dalam tiga kompartemen yaitu

Intraseluler, Ekstraseluler dan Intravaskuler.

e) Mempertahankan kenetralan (asam basa) tubuh (Yayuk Farida Baliwati, 2004:

52).

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat

pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan.

Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di

dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain.

Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh.

Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas

maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang

sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekuat. Kalau konsumsi baik dari kuantitas

dan kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka

Page 45: DAFTAR PUSTAKA

akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik

kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau

kondisi defisit (Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000 : 25).

Tingkat kesehatan gizi sesuai dengan konsumsi, tingkat kesehatan gizi terbaik

adalah kesehatan gizi optimum. Dalam kondisi ini jaringan jenuh oleh zat gizi

tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi

yang sebaik-baiknya, serta mempunyai daya tahan setinggi-tingginya. (Achmad

Djaeni Sediaoetama, 2000 : 25).

Berdasarkan penelitian sebelumnya hubungan antara asupan energi dan protein

dengan kejadian KEP bermakna secara statistik. Menurut hasil penelitian M. Ade

S (2002) hubungan keduanya memiliki nilai OR 6,73. Begitu juga dengan asupan

protein, memiliki nilai OR 3,49. Variabel asupan energi dan protein memiliki

pengaruh yang besar terhadap status gizi balita.

2.7.10 Status Kesehatan (Penyakit Infeksi)

Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya

prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak-anak yaitu

Kwashiorkor atau Marasmus sering didapatkan pada taraf yang sangat berat.

Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui

muntah-muntah dan diare. Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama

lain, walaupun diakui sulit menentukan 53

Page 46: DAFTAR PUSTAKA

kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya (Soegeng

Santoso, 2004 : 84).

Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan

mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Antara gizi buruk dan

penyakit infeksi sesungguhnya terdapat hubungan timbal balik yang sangat erat,

sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari kedua keadaan itu yang

datang lebih dahulu. Kadang- kadang sukar dijawab pertanyaan apakah gizi buruk

yang menyebabkan anak mudah menderita infeksi atau penyakit infeksilah yang

menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Dalam banyak kejadian terjadi sinergisitas

antara gizi buruk dan penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja sangat

fatal (Moehji, 2009: 13).

Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau

demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang

makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam

keadaan demikian mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu

makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Depkes dan WHO, 2000).

Kekurangan energi dan protein disebabkan oleh masukan (intake) energi dan

protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini akan lebih

cepat terjadi bila anak mengalami diare dan penyakit infeksi lainnya. Persediaan

makanan yang terbatas dan seringnya anak 54

Page 47: DAFTAR PUSTAKA

menderita penyakit infeksi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan

kurang gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo bahwa penyakit infeksi

(diare dan saluran pernafasan) mempunyai hubungan sinergis dengan keadaan

gizi. Di antara penyakit infeksi tersebut, diare merupakan penyebab utama

gangguan pertumbuhan anak Balita. Pada kelompok umur 18-36 bulan,

pengenalan terhadap lingkungan semakin luas sehingga jika lingkungan kurang

sehat anak akan lebih mudah terkena infeksi.

Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur,tetapi lebih nyata

pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi

energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan

makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali

kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan

deplesi otot dan glikogen hati (Thaha, 1995).

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk.

Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan

turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru

memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare

dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi

seperti mineral, dan sebagainya (Moehji, 2003). 55

Page 48: DAFTAR PUSTAKA

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi

yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini

bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek

demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan

ricketsia, dua penelitian yaitu Maltene (1991) dan Walker (1992) menunjukkan

adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan.

Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran

pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat

badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes, 1996).

Menurut Soegeng Santoso dan Anne Lies (2004) dalam Dewi A (2007), gangguan

gizi dan infeksi sering saling bekerja sama, dan bila bekerja bersama-sama akan

memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan bila kedua faktor tersebut

masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan

sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi

penyakit infeksi. Kuman-kuman yang tidak terlalu berbahaya pada anak-anak

dengan gizi baik, akan bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi

buruk. Selain itu, status gizi atau tingkat konsumsi pangan maupun bagian penting

dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi

kesehatan, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi (Soehardjo,

2003). 56

Page 49: DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan penelitian Ingan (2003) hubungan status diare dengan status gizi,

menunjukkan bahwa sebelum krisis tidak ada hubungan bermakna, tetapi pada

saat krisis jelas terlihat hubungan yang bermakna dimana kemungkinan terjadinya

gizi kurang pada anak 2,1 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diare.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perubahan prevalensi ISPA pada saat

krisis cenderung meningkat yaitu dari 35,6% menjadi 44,9%. Pada beberapa

penelitian ISPA, diare, dan campak mempengaruhi status gizi anak. Apabila

faktor ISPA dikaitkan dengan status gizi anak, terlihat bahwa sebelum krisis

secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna, tetapi pada saat krisis ada

hubungan yang bermakna, dimana kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak

ISPA 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak ISPA. Kondisi

lingkungan yang tidak sehat seperti tidak adanya sirkulasi udara di sekitar anak

akan mendukung munculnya ISPA. Menurut studi Rowland yang dikutip oleh

Djamilus menyatakan bila Balita menderita ISPA maka berat badannya akan turun

dan ini berpengaruh pada status gizi anak tersebut.

Berdasarkan jurnal Richard (2010), malnutrisi juga berhubungan dengan

tuberkolosis pada anak. Anak yang gizi buruk karena kekurangan energi dan

protein merupakan faktor risiko yang tinggi terhadap perkembangan atau

terjadinya tuberkolosis. Studi pada anak yang pneumonia di Gambia menyatakan

bahwa M. tuberculosis bukan penyebab utama pneumonia, terutama pada anak

yang malnutrisi. Di Bulawayo, 57

Page 50: DAFTAR PUSTAKA

Zimbabwe pada autopsi 184 anak dibawah 5 tahun yang meninggal menunjukan

bahwa 4 % dari mereka terkena tuberkolosis dan seluruh anak yang meninggal

karena tuberkolosis terrena marasmus. Tuberkolosis dan infeksi HIV merupakan

faktor risiko independen yang mempengaruhi kegagalan pertumbuhan pada anak

di India.

Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap

hari selama ISPA berlangsung (Noor, 1996). Diperkirakan panas yang menyertai

ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien karena

menurunnya nafsu makan anak (Thaha, 1995). Hasil penelitian Thamrin (2002) di

Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor risiko

yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita. Diare

merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara

berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2

tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi

sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi

penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia

pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan

kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh

akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat

menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila 58

Page 51: DAFTAR PUSTAKA

episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan

meningkat (Depkes RI, 1999 : 3).

Adapun kerangka teori penelitian berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan

sebelumnya dapat dilihat pada bagan 2.3. 59

Ade, M. Syahbudin. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekurangan

energi protein (KEP) pada balita umur 7-36 bulan di Puskesmas Munjul

Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka, [Tesis]. Program pasca sarjana

fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama.

Amri, Muthowif Saiful. 2009. Hubungan antara kejadian diare dengan status gizi

anak balita di kelurahan bekonang kecamatan mojolaban kabupaten sukoharjo

tahun 2009, [thesis]. Universitas Muhammadiyah Surakarta. [diakses 27 Agustus

2011] dari http://etd.eprints.ums.ac.id

Andarwati, Dewi. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi

balita pada keluarga petani di Desa Purwojati Kecamatan Kertek Kabupaten

Wonosobo, [Skripsi]. Fakultas ilmu keolahragaan jurusan ilmu kesehatan

masyarakat Universitas Semarang.

Anggraini, Cintia. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi

balita di provinsi Bangka Belitung tahun 2007, [Skripsi]. Program Studi

Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan.

Depok : FKM UI.

Page 52: DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta EGC. 123

Page 53: DAFTAR PUSTAKA

Arnisam. 2007. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan status gizi

anak usia 6-24 bulan diwilayah Tahun 2007, [thesis]. Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta. [diakses 25 Agustus 2011] dari http://etd.ugm.ac.id.

Budi Eko M dan Liliek Hariani. 2008. Gizi dan Kesehatan Prespektif Al-Qur’an

dan Sains. Malang : UIN Malang Press

Dara , Sri Ayu. 2008. Pengaruh program pendampingan gizi terhadap pola asuh,

kejadian infeksi dan status gizi balita kurang energi protein, [Tesis]. Program

pascasarjana gizi masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.

Dewan I Nyoman Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Dinas Kesehatan. 2009. Profil Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes

Kabupaten Majalengka.

Dinas Kesehatan. 2010. Penilaian Status Gizi. Majalengka : Dinkes Kabupaten

Majalengka.

Dinas Kesehatan. 2010. Profil Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes

Kabupaten Majalengka.

Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2008. Pedoman Cepat Respon

Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Depkes RI.

Djaeni Achmad S. 1996 dan 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid

II. Jakarta : Dian Rakyat.

Djaeni Achmad S. 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta :

Dian Rakyat.

Djaeni, Ahmad Sediaoetama. 1985. Faktor Gizi. Jakarta: Bhatara Karya Akbar.

124

Page 54: DAFTAR PUSTAKA

Hadju V, 1999. Penilaian Status Gizi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanuddin, Makassar.

http : //www.gizi.net/lain/gklinis/AKG2004/htm. Tabel Angka Kecukupan Gizi

2004 Bagi Orang Indonesia.

http://islam-itu-indah.blogspot.com/2007/11/makanan-halal-bergizi.html, [Online]

diakses pada tanggal 27 Agustus 2011.

http://www.khalifah.co.id/news/1215-siapakah-anak-#comment-37 [Online],

diakses pada tanggal 27 Agustus 2011.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dampak dari Kurang Gizi Sulit Diperbaiki.

Artikel online [diakses 10 september 2011] dari http://balitakami.wordpress.com

Jalal, F. 1991. Survei Diet (Pengukuran Konsumsi Makanan) Kursus Singkat

Epidemiologi Gizi. Depok : FKMUI.

Jus’at I, dkk, 2000. Penyimpangan Positif Masalah KEP di Jakarta Utara dan di

Pesedesan Kab. Bogor-Jabar. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII 2000.

LIPI, Jakarta hlm 145-157.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan

Gizi 2011-2015. Jakarta.

Moehji, Sjahmien. 2009. Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : PT

Bharatara Niaga Media.

Notoatmodjo S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rieneka Cipta,

Jakarta.

Page 55: DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka

Cipta. 125

Page 56: DAFTAR PUSTAKA

Puskesmas Leuwimunding. 2010. Laporan Tahunan Kejadian Diare.

Majalengka : Puskesmas Leuwimunding.

Puskesmas Leuwimunding. 2010. Laporan Tahunan Kejadian ISPA. Majalengka :

Puskesmas Leuwimunding.

Richard D. Semba, Ian Darnton-Hill, and Saskia de Pee. Addressing tuberculosis

in the context of malnutrition and HIV coinfection. Food and Nutrition Bulletin,

vol. 31, no. 4 (supplement) Tahun 2010, The United Nations University. [diakses

28 Mei 2011] dari http://search.ebscohost.com/

Sabri Luknis dan Sutanto Priyo Hastono. 2008. Statistik Kesehatan. Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada.

Sardjana dan Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : UIN

Jakarta Press.

Sjahmien Moehji. 1995. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bharata.

Soegeng Santoso dan Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka cipta.

Soekirman. 2000. ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.

Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran,,

Jakarta.

Su’dan, R.H. 1997. Al-quran dan Panduan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Dana

Bhakti Prima Yasa.

Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.

Suharjo. 1996. Perencanaan dan Gizi . Bumi Aksara, jakarta.

Page 57: DAFTAR PUSTAKA

Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Toko

Gunung Agung. 126

Page 58: DAFTAR PUSTAKA

Thaha AR, Hardiansyah, Ala A. 1999. Pembanguanan Gizi dan Pangan dari

Perspektif Kemandirian Lokal. DPP Pergizi Pangan Indonesia, Bogor.

Thomas C. Timmreck. 2004. Epidemiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : EGC

Ukur , Ingan Tarigan. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status

Gizi Anak Umur 6-36 Bulan Sebelum Dan Saat Krisis Ekonomi Di Jawa Tengah.

Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, Badan Litbangkes. [diakses 28

Mei 2011] dari http://www.mdpi.com/

Universitas Sutra Utara. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Balita,

[skirpsi]. [diakses 25 Agutus 2011] dari http://www.mdpi.com/

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantasannya. Semarang : Erlangga.

Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka Kecukupan Gizi rata-rata

yang dianjurkan setiap kategori umur.

Wiyastuti, Palupi dan Erita Agustin Hardiyanti. 2009. Gizi Kesehatan

Masyarakat. Jakarta : EGC.

Yayuk Farida Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar

Swadaya

Zumroti. 2010. Hubungan antara pola asuh gizi, karateristik keluarga, dan

budaya pantang makan dengan status gizi anak usia 2-3 tahun di Kecamatan

Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan, [Skripsi]. Program Studi Kesehatan

Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Page 59: DAFTAR PUSTAKA

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas: Jakarta.

Page 60: DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

2. Pudjiadi S. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru; 2005.

3. Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak.Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011.

11. Anwar K,Juffrie M,Julia M.Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten

Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat.Jurnal Gizi Klinik Indonesia

[Internet].2005[cited 2011 Desember 14]:2(3):81-85.Available

from:http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/

12. Effendi.Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC;

1998.

13. Hidayat AAA.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan

Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika;2008.

14. Razak AA,Gunawan IMA,Budiningsari RD. Pola Asuh Ibu Sebagai Faktor

Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) Pada Anak Balita.Jurnal Gizi

Klinik Indonesia[Internet].2009[cited 2011 Desember 14]:6(2):95-103.Available

from: http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=10761

15. Kosim, Sholeh M.Buku Ajar Neonatologi Edisi I.Jakarta: Badan Penerbit

IDAI;2008.

16. Supartini Y.Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak.Jakarta:EGC; 2002.

Page 61: DAFTAR PUSTAKA

22. Paryanto E.Gizi Dalam Masa Tumbuh Kembang.Jakarta:EGC;1997.

23. Soendjojo RD,Sritje H,Mien S.Menstimulasi Anak 0-1 Tahun.Jakarta:PT

Elexmedia Komputindo.2000.

24. Departemen Kesehatan RI.Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta:

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI;2002.

25. Kliegman R.Nelson Textbook of Pediatrics. USA: Saunders Elsevier;2007.

26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia.Buku Kuliah

Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika;2007.

27. Walker,Allan.Pediatric Gastrointertinal Disease.USA:DC Decker;2004.

28. Dini L.Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis

Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka;2000.

29. Soekirman.Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan

Masyarakat.Jakarta:EGC;2000.

30. Rumiasih. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada

Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang: Universitas

Diponegoro;2003.

32. Departemen Kesehatan RI.Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI;2002.

Page 62: DAFTAR PUSTAKA

34. Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi

Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun 2002[karya

tulis ilmiah].Jakarta:Universitas indonesia;2002.

35. Abu A.Ilmu Sosial Dasar.Jakarta:Rineka Cipta;1997.

36. Departemen Kesehatan RI.Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta:Depkes RI;2004.

37. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED.Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Dasar (PONED).Jakarta:EGC;2008.

26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia.Buku Kuliah

Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika;2007.

28. Dini L.Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis

Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka;2000.

29. Soekirman.Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan

Masyarakat.Jakarta:EGC;2000.

30. Rumiasih. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada

Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang: Universitas

Diponegoro;2003.

32. Departemen Kesehatan RI.Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI;2002.

Page 63: DAFTAR PUSTAKA

34. Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi

Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun 2002[karya

tulis ilmiah].Jakarta:Universitas indonesia;2002.

35. Abu A.Ilmu Sosial Dasar.Jakarta:Rineka Cipta;1997.

36. Departemen Kesehatan RI.Analisis Situasi dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta:Depkes RI;2004.

37. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED.Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Dasar (PONED).Jakarta:EGC;2008.

38. Dahlan S.Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:

PT Arkans;2006.