daftar puisi yang bisa dipertimbangkandepts.nanzan-u.ac.jp/ugrad/gaikokugo/faculty/fa/item... ·...

24
DAFTAR PUISI SEBAGAI BAHAN LOMBA PIDATO 2019 1. INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU oleh Ahmadun Yosi Herfanda Indonesia, aku masih tetap mencintaimu Sungguh, cintaku suci dan murni padamu Ingin selalu kukecup keningmu Seperti kukecup kening istriku Tapi mengapa air matamu Masih menetes-netes juga Dan rintihmu pilu kurasa? Burung-burung bernyanyi menghiburmu Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu? Apakah kau tangisi hutan-hutan Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha? Apakah kau tangisi hutang-hutang negara Yang terus menumpuk jadi beban bangsa? Apakah kau tangisi nasib rakyatmu Yang makin tergencet kenaikan harga? Atau kau sekadar merasa kecewa Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika Dan IMF, rentenir kelas dunia itu, Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu? Ah, apapun yang terjadi padamu Indonesia, aku tetap mencintaimu Ingin selalu kucium jemari tanganmu Seperti kucium jemari tangan ibuku Sungguh, aku tetap mencintaimu Karena itulah, ketika orang-orang Ramai-ramai membeli dolar amerika Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAFTAR PUISI SEBAGAI BAHAN LOMBA PIDATO 2019 1. INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU oleh Ahmadun Yosi Herfanda Indonesia, aku masih tetap mencintaimu Sungguh, cintaku suci dan murni padamu Ingin selalu kukecup keningmu Seperti kukecup kening istriku Tapi mengapa air matamu Masih menetes-netes juga Dan rintihmu pilu kurasa? Burung-burung bernyanyi menghiburmu Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu? Apakah kau tangisi hutan-hutan Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha? Apakah kau tangisi hutang-hutang negara Yang terus menumpuk jadi beban bangsa? Apakah kau tangisi nasib rakyatmu Yang makin tergencet kenaikan harga? Atau kau sekadar merasa kecewa Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika Dan IMF, rentenir kelas dunia itu, Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu? Ah, apapun yang terjadi padamu Indonesia, aku tetap mencintaimu Ingin selalu kucium jemari tanganmu Seperti kucium jemari tangan ibuku Sungguh, aku tetap mencintaimu Karena itulah, ketika orang-orang Ramai-ramai membeli dolar amerika Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

2. PERNYATAAN CINTA oleh Acep Zamzam Noor Kau yang diselubungi asap Kau yang mengendap seperti candu Kau yang terus bersenandung dari balik penjara Tanganmu buntung karena menyentuh matahari Sedang kakimu lumpuh Aku mencintaimu Dengan lambung yang perih Pikiran yang dikacaukan kenaikan harga Pemogokan serta kerusuhan yang meletus Di mana-mana. Darah hitamku tumpah Seperti timah panas yang dikucurkan ke tanah Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara Lalu bersama mereka aku melempari toko Membakar pasar, gudang dan pabrik Sebagai pernyataan cinta Betapa berat mencintaimu tanpa kartu kredit Tanpa kamar hotel, bar atau kapal pesiar Kulihat para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi Ke tengah-tengah kota Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama Kudengar bunyi rel tengah menciptakan lagu Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru Aku mencintaimu dengan mengisap knalpot Dan menelan butiran peluru Wahai kau yang diselubungi asap Wahai kau yang mengendap seperti candu Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin Tunggulah aku yang akan segera menjemputmu Dengan sebotol minuman keras (1998-1999)

3. PACAR SENJA oleh Joko Pinurbo Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli. Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. “Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.” Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja yang masih megap-megap oleh ciuman senja. “Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.” Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak. (2003)

4. ANTARA TIGA KOTA oleh Emha Ainun Najib Di Yogya aku lelap tertidur angin di sisiku mendengkur seluruh kota pun bagai dalam kubur pohon-pohon semua mengantuk di sini kamu harus belajar berlatih tetap hidup sambil mengantuk kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga? Jakarta menghardik nasibku melecut menghantam pundakku tiada ruang bagi diamku matahari memelototiku bising suaranya mencampakkanku jatuh bergelut debu kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga Surabaya seperti di tengahnya tak tidur seperti kerbau tua tak juga membelalakkan mata tetapi di sana ada kasihku yang hilang kembangnya jika aku mendekatinya kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga?

5. CUCIAN KOTOR SUATU PAGI oleh Afrizal Malna Hidup mungkin bisa berubah – kata orang. Rupanya ada asbak jatuh dari meja, abu dan puntung rokok terserak: Aku jatuh cinta pada seorang lelaki. Hidungnya berair, suaranya melengking seperti asbak pecah, 5 menit yang lalu. Tetapi ia sering mengejekku dalam bahasa Inggris. Tahu, aku tak bisa bertengkar dalam bahasa itu, setelah penjajahan yang lalu: Negeri- negeri dunia ketiga yang tak bisa menjual jagung. Hari berlalu, asbak yang lain jatuh, juga tak mudah membuat persahabatan. Kedengkian jadi tak terduga, menyuruh orang berhenti di sebuah tikungan, menjelang jam 7 malam. Ada tetangga di situ, menunggu nasib di depan pintu, seperti seorang nyonya menyimpan diri, dalam 130 kilo berat badannya. Suatu pagi – hidup mungkin bisa berubah, seperti seseorang yang menyentuh tubuhnya dalam genangan sabun: “Tak ada lagi kata yang bisa dihayati, di sebuah tempat, tanpa melihat jam dinding.” Kota memang telah meninggalkannya, jam 6 pagi yang lalu. Cucian kotor menumpuk di situ. Lalu setiap benda yang disentuh terasa bersabun, seperti hidung lelaki itu. Suatu pagi, cucian kotor menghias koran-koran, berita- berita nasional, surat pembaca, busa sabun yang berjatuhan dari tangan. Dan sebuah puisi, yang dibaca orang lewat kecemasan. (1995)

6. KRAWANG – BEKASI oleh Chairil Anwar Kami yang kini terbaring antara Krawang – Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang – Bekasi. (1948)

7. SELAMAT PAGI, YAYANG oleh Arifin C. Noer Ketika cahaya matahari tumpah lewat kaca jendela Angin pun memainkan pucuk dedaunan, Bunga-bunga genit jadinya Kita sama-sama menggeliat tanpa saling menatap Diam-diam berterimakasih kepada udara - kepada hidup Karena kita masih mau percaya pada cinta Di atas karpet berserakan sisa-sisa Percakapan-percakapan kita Mimpi-mimpi kita semalam Di antara sepatu-sepatu sandal-sandal Celana-celana baju-baju Asbak yang penuh putung, gelas-gelas kosong botol-botol kosong Langit pagi ini langit kita Berwarna biru muda rata dan terbuka Biarkan bening biarkan hening Jangan putar kaset dulu Jangan ada gerak dulu Aku hanya ingin mendengar Menghirup desah nafasmu Dan menatap matamu Pandanganmu yang selalu bagai malam Kita harus berterimakasih kepada hidup Karena kita masih mempercayai cinta Sekarang segeralah mandi Berpakaian yang rapi sisir rambut Biarkan terjulai seperti biassanya Kalau mau pake sipat hati-hati, Jangan kena bolamata nah segeralah Selamat pagi, sayang kita akan mulai lagi Mengikuti matahari entah ke mana (4 Oktober 1977)

8. DALAM DOAKU oleh Sapardi Djoko Damono Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu (1989)

9. GEMA SUMPAH PEMUDA TAHUN 1928 oleh Sitor Situmorang

dipersembahkan kepada kenangan jasa para founding fathers R.I.

“Jangan pernah berhenti menyanyikan tanah-air tercinta!” demikian kutulis kubaca tulisan pada poster pameran karya lukisan seniman muda generasi pewaris panggilan di millenium ke-3 kata-kata itu mengalir dari sanubari saat aku diminta menyambut dengan sepatah kata pameran kaum muda ingin menyumbang pada budaya bangsa lalu kami bersalam seperti sama-sama mohon restu leluhur dengan salam yang mengandung hikmah sumpah penyambung antar-generasi Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa nusa di antara berbagai nusa bangsa dalam taman bangsa-bangsa bertautan di seantero dunia membina ragam budaya manusia Satu Bahasa: Jiwa Merdeka Satu Semangat: Peri-Kemanusiaan terpadu dalam getaran Jiwa sumbangan kita: Roh Budaya Indonesia panggilan Nusantara Bahari dalam lagu khidmat sederhana berisi himbauan leluhur: “Jangan kamu pernah berhenti menyanyikan lagu cinta tanah-airmu!” “Apakah di masa tersulit atau di saat paling bahagia!”

Lagukan-lah selalu Lagu tunggal: Lagu “Tanah-air Tercinta” Disertai janji pengabdian Sedalam-dalamnya! Selama hayat dikandung badan! (28 Oktober 2001)

10. RUMAH SAKIT oleh Joko Pinurbo Rumah adalah rumah sakit yang paling nyaman dan murah, sebab, kalau mau, kau bisa sakit sepuasmu. Ada perawat seksi yang, meskipun bawel, tak pernah bosan menemanimu, sangat sabar mengasuh sakitmu supaya makin kuat dan dewasa dan makin mengasihimu. Sementara nafasmu terengah-engah dan nyerimu bertambah parah, enak saja ia bicara, “Hanya orang lemah yang tak mau sakit.” Bahkan ia suka menantang, “Kalau mau sakit, jangan setengah-setengah.” Perawat yang satu ini selalu hadir di setiap sudut rumah. Di album foto yang banyak bercerita tentang masa kecil kurang bahagia. Di almarhum kalender yang cuma bisa meninggalkan sekian banyak rencana. Di ruang tidur yang penuh dengan insomnia. Di kamar mandi yang saat kau mandi pintunya tetap kaukunci walau kau cuma sendirian di rumah – entah kau takut atau malu pada siapa. Di robekan celana yang kaujahit malam-malam sambil tersedu-sedu sehingga kau malah menjahit jarimu. Bila tak ada lagi obat yang kauanggap mujarab, dengan lembut dan hangat perawatmu mencium jidatmu: “Minumlah aku, telanlah aku, makanlah aku.” (2004)

11. ORANG-ORANG MISKIN oleh W.S. Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergelutan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presidan tak perlu berdasi seperti Blanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya menyuapi putra-putramu. Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu. Mereka tak bisa kamu hindarkan. Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan dan buku programma gedung kesenian. Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada,

bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah: orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim. (Yogyakarta, 4 Februari 1978)

12. JAKARTA oleh Oka Rusmini - barak murah, Cijantung I

sebuah sungai dengan getek yang mengapung hutan bambu, kesegaran jambu klutuk bunga pohon rambutan yang mencium tanah dekat rumah haji betawi pesta selalu diadakan dekat kali anak-anak menggantung tubuhnya di akar melilitkan tangannya pada rakit bercanda dengan air sesekali buaya-buaya besar menggigit rakit anak-anak tertawa menyentuh taring putihnya esok siang seseorang harus menjadi ratu, juga raja tak ada yang mau semua ingin jadi jenderal kami berperang pistol batang daun pisang tak ada yang menang bapak kami semua kopral kami tetap berpesta anak perempuan merajang daun-daun menanak air kali “kami istri jenderal” tak pernah ada ratu tak pernah ada raja pesta terus berjalan matahari melepas tubuh (1998)

13. KUDA KHATULISTIWA oleh Dami N. Toda Madomala kuda khatulistiwa berpacu dari karang-karang menerjang Timor kemarau nafasnya angin kering mencakar padang Mautenda dan Hilihintir mengais debu tanah kapur bawa berita dataran retak dan batu Pongkor gemetar ranting-ranting koli ranggas tanpa musim sia-sia menunggu burung kowak mengabarkan hujan kukung-kukung liar dan batang kosambi bertekuk: wahai langit berikan air! adanya dulu tanpa ia mau harus berpacu kini terus peluhnya menitik ke lembah jadi embun bau padang di tubuhnya adakah baginya rumput segar di Mars adakah air sejuk di Venus adakah kandang di Matahari? menggelinjang kuda Madomala jadi surau lautan desisnya gelombang adakah tonggak tambatan cinta di pantai karang? langit menganga di atas makin lebar makin kosong menelannya menelannya menyepak kuda Madomala ke langit lintas khatulistiwa menyiram bau sperma membiakkan tangis-tangis di atas Timor dan PaluE ringkiknya amis ikan asin dan jagung bakar bumi pura-pura tak tahu adalah saksinya

14. SUAMI oleh Goenawan Mohamad Ia tahu wanita itu ingin cepat-cepat menutup pintu. Ia tahu wanita itu ingin mengisyaratkan sesuatu. Karena itu ia berhenti melangkah pada setombak jarak, dan kebun yang basah. Sesuatu telah berubah. Senja hanya berdiri. Lampion kian lemah. Gerit tak ada lagi. “Aku tak mengira kau akan datang. Beberapa hari ini dusun hanya tenang.” Wajah itu pucat. Seperti huruf sunyi pada kawat yang mendesakkan sesuatu – tapi tak termuat. “Malam ini suamiku akan sampai Malam ini malam kami yang damai.” Sudah berapa lamakah batu-batu itu tersusun dalam kesedihan sebuah kebun? Ada pernah ia lihat lukisan unggas terbang, di atas teratai yang luas. Lalu perempuan itu pun cepat-cepat menutup pintu. “Aku harus menisik tanda pada kelambu,” katanya. “Karena itu selamat malam – Karena itu selamat malam, suamiku.” (1979)

15. LUKISAN PEREMPUAN oleh Sitok Srengenge Kulukis perempuanku, bersayap kupu-kupu, terbang mengitari kuncup kanak-kanakku yang selalu luruh jadi humus masa lalu Rambut jerami putih – tempat istirah angin letih, tubuh lampai telentang sepasrah padang, lelaki menggaruk membajak menggali, mengharap tumbuh benih kasih Kupajang lukisan itu di kamarku, seruang gua tanpa gaung dan lelawa Bintang-bintang pun menjauh, mungkin jatuh, dipagut laut dan gelap membekap dengan telapak kasap tak kasat mata Aku tersedu di rahim perempuanku, sebagai janin takut bising dan dingin Kusapukan warna emas pada paras, kudamba cinta dari cahaya matanya Kulit tanah liat, menahan geliat hasrat Bukit-bukit cadas, sepasang payudara mengeras Lembah semak belukar, kawah gairah berahi liar Aku bersimpuh di bawah teduh perempuanku, kulepas derita di ambang gerbang yang terbuka di telapak kakinya, dari sana kutempuh langkah demi langkah berliku: melukis hidupku Serupa tiang utama rumah, di mana penat ditambat, perempuanku menjulang serapuh kenangan, menyangga rusuk-rusuk rinduku yang selalu luruh bila hujan menjamahku (2006)

16. PENJUAL BUAH oleh Joko Pinurbo Setiap pagi penjual buah itu lewat di kampung kami, keluar masuk gang sambil melantunkan kata-kata hafalan: Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya. Dara-dara remaja senang sekali mendengarnya; mereka cepat-cepat berdiri di depan cermin dan menyaksikan bahwa pohon waktu mulai berbuah. Ibu-ibu muda dengan gembira merubungnya dan merasakan betapa pohon cinta sedang lebat buahnya. Hanya perempuan-perempuan tua suka tersenyum kecut dan kadang ada yang menangis sambil merengek manja, “Kembalikan buah saya, kembalikan buah saya.” “Pisangnya masih, Pak Adam?” demikian ibu-ibu setengah baya suka bertanya, dan sambil tersenyum bangga, penjual buah itu menggoda, “Aduh, kok pisang lagi yang diminta?” Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya. Kata-kata ini terus saja diulangnya walu segala buah yang dijajakannya sudah terbeli semua. Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul di kampung kami. Kata seorang nenek yang diam-diam mengaguminya, penjual buah itu tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah, yang belum tentu manis rasanya, yang mungkin pahit rasanya. “Bukan buah sembarang buah,” ujar seorang perawan tua sambil menikmati apel yang tampak merah dagingnya. (2001)

17. NONTON HARGA oleh Wiji Thukul ayo keluar kita keliling kota tak perlu ongkos tak perlu biaya masuk toko perbelanjaan tingkat lima tak beli tak apa lihat-lihat saja kalau pengin durian apel pisang rambutan atau anggur ayo kita bisa mencium baunya mengumbar hidung cuma-cuma tak perlu ongkos tak perlu biaya di kota kita buah macam apa asal mana saja ada kalau pengin lihat orang cantik di kota kita banyak gedung bioskop kita bisa nonton posternya atau ke diskotik di depan pintu kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma mendengarkan detak musik denting botol lengking dan tawa bisa juga kaunikmati aroma minyak wangi luar negeri cuma-cuma aromanya saja ayo kita keliling kota hari ini ada peresmian hotel baru berbintang lima dibuka pejabat tinggi dihadiri artis-artis ternama dari ibukota lihat mobil para tamu berderet-deret satu kilometer panjangnya kota kita memang makin megah dan kaya tapi hari sudah malam ayo kita pulang ke rumah kontrakan sebelum kehabisan kendaraan

ayo kita pulang ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan besok pagi kita ke pabrik kembali kerja sarapan nasi bungkus ngutang seperti biasa (1996)

18. SEBUAH TANYA oleh Soe Hok Gie akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui apakah kau masih berbicara selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku (kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendalawangi kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin) apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat (lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita) apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta (hari pun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang kita tidak mengerti seperti kabut pagi itu) manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru (1969)

19. PILIHAN oleh Mustofa Bisri Antara kaya dan miskin tentu kau memilih miskin Lihatlah kau seumur hidup tak pernah merasa kaya Antara hidup dan mati tentu kau memilih mati Lihatlah kau seumur hidup mati-matian mempertahankan kematian Antara perang dan damai tentu kau memilih damai Lihatlah kau habiskan umurmu berperang demi perdamaian Antara beradab dan biadab tentu kau memilih beradab Lihatlah kau habiskan umurmu menyembunyikan kebiadaban dalam peradaban Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani Lihatlah kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia ini Antara dunia dan akhirat tentu kau memilih akhirat Lihatlah kau sampai menamakan amal-dunia sebagai amal akhirat Antara ini dan itu Benarkah kau memilih itu?

20. AKU MENCINTAI CINTAMU oleh Sagitta Detrawina awal aku terpana masih terlalu muda ketika itu kau yang mengajarkan tentang cinta kau yang mengumbar tentang puja kau yang menggebu tentang nafsu lebih sewindu aku nikmati dan aku merasa tersanjung semua tentang cintamu semua tentang pujamu semua tentang nafsumu ketika aku menyadari ketika waktu nyaris mempersatukan kita ini bukan tentang cintaku ini bukan tentang pujaku ini bukan tentang nafsuku lalu kita terpisah oleh waktu yang merentang jarak antara kita senyap tentang cintamu senyap tentang pujamu senyap tentang nafsumu lalu kita dipertemukan lagi oleh waktu empat windu bukan rentang yang pendek kau masih miliki cinta itu kau masih miliki puja itu kau masih miliki nafsu itu dan lagi aku tersanjung dan lagi aku tersandung sejenak dan terhentak manakala berita itu datang bahwa kau pergi dengan segalanya yang kau miliki untukku bahkan hingga di batu nisanmu aku tersanjung, dan aku tersandung (Lampung, Medio Juli 2018)

21. HARI RAYA PENGEMIS oleh Ketut S. Fatuba Lil Ghurobbah kawan lihat matahari sudah terbit diufuk timur kemasi semua pakaian yang sudah sobek-sobek dan angkat koper-koper usang penuh sampah lalu berjalanlah ke sana ke sebuah terminal kasih Tuhan kau diundang pesta hari ini; setahun sekali memasaklah tenang-tenang makanlah kenyang-kenyang di pinggir-pinggir jalan di emper-emper toko di kaki-kaki gunung sampah kipaslah segala lukamu hari ini dengan kipas cendana pemberian si amil kini dengarlah pula burung-burung pipit berdendang sepanjang hari menyebut kebesaran Tuhan kaupun mestinya harus turut bersimpuh (bukankah masih ada Tuhan dalam dirimu?) nah, berbisiklah : Allahu Akbar tangan kananmu yang koreng gatal tidak usah kau julurkan di keramaian pasar julurkan saja ke langit di pasar kau tak pernah berak tapi mungkin saja kau pernah menjolok langit minta ampunlah kepadaNya hari ini Dia sedang sabar nah, kini lihat matahari telah terbenam kembali hari pun kelabu kembalilah ke rumahmu dimana-mana kembalilah kehidupanmu pesta sudah usai tapi jangan patah semangat masih ada bahagia mengukur di hatimu masing-masing karunia Tuhan (Kamar Biru, 13 Juli 1983)