daftar isi halaman judul i lembar persetujuan … · lembar persetujuan pembimbing ... segenap...
TRANSCRIPT
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ . iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
RINGKASAN ................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 16
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 16
1.3.1. Tujuan Umum .......................................................................... 16
ii
1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................................... 17
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 17
1.4.1 Manfaat Teoritis ........................................................................ 17
1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 17
1.5. Landasan Teoritis .............................................................................. 18
1.6. Metode Penelitian ............................................................................. 28
1.6.1. Jenis Penelitian ......................................................................... 28
1.6.2. Jenis Pendekatan ...................................................................... 29
1.6.3. Sumber Bahan Hukum ............................................................. 31
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 32
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................. 32
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PRA KONTRAK, KONTRAK,
DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN SISTEM HUKUM
CIVIL LAW DAN COMMON LAW .................................................... 35
2.1. Tinjauan Umum Tentang Pra Kontrak ........................................... 35
2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Tentang Kontrak ............................. 41
iii
2.2.1. Pengertian Kontrak ............................................................... 41
2.2.2. Sumber Hukum Kontrak ........................................................... 45
2.2.3. Syarat Sahnya Kontrak ............................................................. 49
2.2.4. Unsur-Unsur Perjanjian atau Kontrak ....................................... 55
2.2.5. Jenis-Jenis Kontrak .................................................................. 58
2.3. Tinjauan Umum Tentang Doktrin Promissory Estoppel ..................... 63
2.4. Tinjauan Umum Tentang Sistem Civil Law dan Common Law .......... 68
2.4.1 Civil Law System ...................................................................... 68
2.4.2 Common Law System ................................................................ 71
BAB III PENGATURAN PENYELESAIAN GANTI RUGI
PADA TAHAP PRA KONTRAK MENURUT SISTEM HUKUM
DI INDONESIA ............................................................................... 76
3.1. Penyelesaian Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ................................................................................. 76
3.1.1. Ganti Rugi Berdasarkan Wan Prestasi ..................................... 79
3.1.2. Ganti Rugi Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum .............. 91
3.2. Penyelesaian Ganti Rugi Pada Tahap Pra Kontrak
iv
Melalui Jalur Pengadilan ................................................................... 99
BAB IV PENGADAPTASIAN DOKTRIN PROMISSORY
ESTOPPEL DALAM HUKUM KONTRAK DI INDONESIA .... 111
4.1. Pengaturan Akibat Hukum Pada Tahap Pra Kontrak
Sesuai Dengan Doktrin Promissory Estoppel ................................. 111
4.2. Penyelesaian Ganti Rugi Pada Tahap Pra Kontrak Dengan
Adanya Doktrin Promissory Estoppel ............................................ 130
BAB V PENUTUP .............................................................................. 142
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 142
5.2. Saran ...............................................................................................143
DAFTAR PUSTAKA
v
ABSTRAK
ADAPTASI DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DALAM PENYELESAIAN
GANTI RUGI PADA TAHAP PRA KONTRAK PADA HUKUM KONTRAK
DI INDONESIA
Tahap pra kontraktual adalah merupakan tahap awal dari sebuah perundingan
antara para pihak yang membuat. Dalam tahap ini bisa disebut juga tahap negosiasi
atau perundingan atau kesepahaman awal sebelum memasuki kontrak yang
sebenarnya. Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah
dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam
uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka
mengenai kontrak bisnis yang di rundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu
pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan
oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan
tidak tercapai kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees,
royalties atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat di tuntut ganti rugi atas segala
biaya, investasi yang telah dikeluarkan oleh rekan bisnisnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam
penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan penyelesaian ganti rugi menurut
system hukum di Indonesia, dan (2) Bagaimanakah pengadaptasian Doktrin
Promissory Estoppel dalam hukum kontrak di Indonesia.
Berangkat dari adanya kekosongan norma dimana tidak diaturnya akibat hukum
pada tahap pra kontraktual baik dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan hukum kontrak, maka penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan
perbandingan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum
dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik
pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan study kepustakaan. Teknik
analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik sistematis, dan
teknik argumentatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pengaturan penyelesaian ganti
rugi belum diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kontrak. Dalam KUHPerdata,
ganti rugi hanya diberikan jika terjadi wan perstasi dan perbuatan melawan hukum.
vi
Namun, jika salah satu pihak merasa dirugikan dalam tahap pra kontraktual bisa
menggugat ke pengadilan negeri. (2) Pengadaptasian doktrin hukum Promissory
Estoppel ke dalam system hukum Indonesia bisa dilakukan karena adanya kemiripan
sistem hukum di common law (Inggris, Amerika) dengan system hukum di Indonesia,
sehingga pengadilan di Indonesia bisa memakai doktrin tersebut untuk mengisi
kekosongan hukum dalam hukum kontrak.
Kata Kunci: Doktrin Promissory Estoppel, Ganti Rugi, Tahap Pra Kontraktual.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai subjek hukum yang hidup secara berkelompok dalam suatu
komunitas tertentu dalam suatu wilayah tertentu disebut masyarakat, dalam
kehidupannya didasari adanya suatu interaksi satu sama lainnya. Masyarakat sesuai
kodratnya tidak bisa hidup sendiri, tetapi adanya saling berhubungan. Berinteraksi
semacam itu berarti melibatkan dua pihak, dalam arti masing-masing pihak
berkeinginan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan. Hal ini disebabkan kedua
belah pihak menjadi saling terikat karenanya, dengan demikian yang dilakukan
segenap kelompok sudah barang tentu adanya suatu ikatan-ikatan yang muncul yang
memerlukan aturan.
Manusia yang berinteraksi sehingga menimbulkan ikatan di antara mereka, jelas
kegiatan ini bersifat privat. Mengingat sifatnya privat, di Indonesia aturannya
dijumpai dalam KUHPerdata, masalah perikatan yang dilakukan oleh segenap
anggota masyarakat dapat dijumpai aturannya dalam Buku III tentang Perikatan,
ketentuannya diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata dinyatakan bahwa perikatan itu
dapat lahir dari undang-undang dan perjanjian.
Setiap anggota masyarakat dalam kesehariannya akan selalu terikat dengan pihak
lain, bisa karena undang-undang tetapi juga karena perjanjian. Jika seseorang terikat
dengan yang lain dikarenakan undang-undang, maka unsur kehendak dari mereka
yang terikat tidak mengambil peran. Berbeda jika mereka terikat akibat berinteraksi
karena kontrak, para pihak sadar dan sengaja menghendaki untuk memperoleh
manfaat atau keuntungan yang sudah sejak awal dikehendaki dan diperhitungkan.
Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.1 Dalam kontrak atau perjanjian pada umumnya janji-janji para
pihak itu saling berlawanan, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak
menginginkan barang, sedangkan pihak lainnya menginginkan uang karena tidak
mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.2
Biasanya kalau seorang berjanji kepada orang lain, kontrak atau perjanjian
tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak dimana
hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang
yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan atas
sesuatu yang diterimanya. Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret, yang
dilakukan secara tertulis.3 Hal ini berbeda dengan perikatan yang tidak konkret,
tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat
dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk
memenuhi apa yang dijanjikan.
1Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, Cetakan Ke III, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 2
2Ibid.
3Ibid.
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang
dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk
melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini dapat berupa orang perorangan
atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum.
Dalam melakukan kontrak, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut
dapat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, namun dapat pula
bertindak atas nama sendiri, namun untuk kepentingan orang lain bahkan dapat
bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.
Kepercayaan juga menjadi dasar yang sangat penting bagi seseorang untuk
mengikatkan dirinya dengan orang lain atau dengan beberapa orang atau bahkan
badan hukum. Kepecercayaan ini erat kaitannya dengan itikad baik seseorang.
Seseorang dapat mempercayai orang lain untuk mengikatkan diri dengan orang
tersebut ketika orang tersebut memiliki kehendak atau keinginan yang baik terhadap
dirinya dan terhadap kontrak yang akan dibuat tersebut.
Seperti hal nya dalam pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian, ada dua syarat dalam pasal tersebut, yakni syarat subyektif dan
syarat objectif. Syarat subyektif berkaitan dengan subyek hukum, dalam hal ini
adalah orang atau badan hukum dan syarat objektif berkaitan dengan objek
perjanjian. Kepercayaan disini berkaitan dengan syarat subyektif tersebut.
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal 1320 KUHPerdata adalah
persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya penawaran dan
penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai melalui berbagai cara baik tertulis maupun
tidak tertulis. Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (perjanjian). Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk
sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas.
Syarat keempat mengenai sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi
perjanjian.4
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa kedua pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus melakukan kesepakatan mengenai hal-hal pokok yang mereka
perjanjikan. Betapa pentingnya kesepakatan itu, Subekti menyatakan bahwa hukum
perjanjian dari KUHPerdata menganut asas konsensualisme artinya ialah : hukum
perjanjian dari KUHPerdata menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian
cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu (dan dengan demikian “perikatan” yang
ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus
sebagaimana diatas pada detik tersebut perjanjian sudah mengikat, bukannya pada
detik-detik yang lain yang terkemudian atau sebelumnya.5
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu
kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya.
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya penawaran (offer) dan penerimaan
(acceptance). Yang dimaksud dengan penawaran (offer) adalah suatu janji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan dating.
Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Penawaran dan permintaan antara
kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak
4 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2013, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
1456 BW , Cetakan Ke – 5, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 68
5 H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai
Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, hal. 18
berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Hal yang harus diperhatikan agar kontrak itu
dikatakan sah adalah adanya meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak tentang objek kontrak.6
Sebuah kontrak memiliki berbagai konsekuensi yuridis. Konsekuensi-konskuensi
ini ditentukan oleh :
1. Konsekuensi yang disepakati para pihak. Dengan cara ini, prinsip dasar
kebebasan berkontrak dinyatakan.
2. Sebagai pelengkap : konsekuensi yang menurut sifat kontrak, dihasilkan dari
hukum, penggunaan, atau persyaratan kewajaran dan keadilan.7
Fungsi kontrak, terutama dalam dunia bisnis, adalah untuk melindungi
kepentingan para pihak dalam rangka mengatur hak dan kewajiban, sehingga tercipta
kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Lazimnya dalam dunia bisnis,
perjanjian dibuat secara tertulis, yakni dengan pembuatan kontrak. Sebelum
memasuki kontrak, para pihak biasanya memasuki tahap pra kontak, yakni tahap
dimana para pihak mempunyai suatu kesepahaman awal untuk memasuki suatu
kontrak.
Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan
mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation,
salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli
tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak
bisnis yang di rundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu
percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan
bisnisnya.8 Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak tercapai
6 Salim HS, et. Al, 2011, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU),
Cetakan Ke – 5, Sinar Grafika, hal. 11 - 12
7 Rosa Agustina, et.al., 2012, Hukum Perikatan (Law Of Obligations), Pustaka Larasan, Denpasar,
hal. 153
8 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Cetakan Ke-1, Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 1
kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees, royalties atau
jangka waktu lisensi, maka tidak dapat di tuntut ganti rugi atas segala biaya, investasi
yang telah dikeluarkan oleh rekan bisnisnya.9
Tentunya pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut merasa
dirugikan apabila perbuatannya tersebut adalah perbuatan yang dilakukan sebelum
terjadinya kontrak yang final atau mengalami jalan buntu diantara para pihak yang
melakukan perjanjian atau dengan kata lain salah satu pihak menarik janji-janji yang
telah diucapkan yang mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pihak lain.
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan
hukum untuk membayar ganti rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut
mengenai ganti kerugian tersebut. Pasal 1371 ayat (2) KUHPerdata memberi
pedoman sedikit untuk itu dengan menyebutkan : “juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan”. Pedoman selanjutnya dapat ditemukan pada Pasal 1372 ayat (2)
KUHPerdata yang menyatakan : “Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus
memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”.
Dalam hukum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan pengertian antara
kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan hukum disatu pihak dan kerugian
sebagai akibat dari tidak terlaksananya suatu perjanjian di lain pihak. Pasal 1365
KUHPerdata menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagai “scade”
9 Ibid.
(rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 KUHPerdata di
namakan “Kosten, scaden en interessen” (biaya, kerugian dan bunga).10
Dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem hukum civil law belum
diatur secara tegas mengenai akibat hukum dari perjanjian pada tahap pra kontrak.
Apabila ada pihak yang mengalami kerugian dalam tahap pra kontrak dan
mengajukan gugatan ke pengadilan, tentu saja gugatan tersebut akan kalah.
Selama ini para hakim di Indonesia memutus perkara tidak hanya melihat dari
kepastian hukum semata, melainkan dari sisi keadilan juga. Perjanjian pra kontrak
dimata beberapa hakim Indonesia dianggap bukanlah suatu perjanjian yang sah
karena tidak atau belum memiliki suatu hal tertentu yang diperjanjikan sehingga ganti
kerugian atas wanprestasi terhadap perjanjian pra kontrak tidak dapat dimintakan.
Pengadilan sebagai gerbang menuju keadilan, dimana orang-orang mencari keadilan
harus bertindak secara adil kepada setiap warga Negara.
Seperti dalam kasus N.V. Aniem melawan Said Wachidin No.235/1953/Pdt,
tertanggal 13 Agustus 1958, Pengadilan banding Surabaya mempertimbangkan
bahwa N.V. Aniem penyedia/penyalur listrik tidak berkewajiban untuk memasok
listrik bagi bioskop milik Said Wachidin. Perjanjian antara N.V. Aniem dan Said
Wachidin tidak mengatur perihal kuantitas pasokan listrik dan keran itu tidak ada
kontrak mengikat tentang hal itu. Dalam kasus ini, Wachidin harus membayar
peralatan listrik sendiri. Lebih lagi, Wachidin juga menuntut ganti rugi atas dasar
kehilangan keuntungan yang diharapkan sejumlah Rp. 297.822,- yang
10 Rosa Agustina, op.cit, hal. 10
diperhintungkan dari 21 Pebruari 1952, tatkala N.V. Aniem seharusnya sudah
memasok listrik kepada bioskop miliknya sampai 16 Mei ketika ia memutuskan
untuk menyalurkan listrik sendiri bagi kepentingan bioskopnya. Mahkamah Agung
berpihak kepada N.V. Aniem karena menurut pertimbangannya tidak ada kontrak
dank arena itu tidak ada kewajiban untuk memasok/menyalurkan listrik.
Di dalam kasus lain pihak yang terlibat adalah konsumen perumahan. Konsumen
ini membaca iklan dalam brosur yang dibagikan bahwa perusahaan real estate akan
menyediakan fasilitas pemancingan dan rekreasi di lokasi perumahan. Beranjak dari
janji yang termuat dalam brosur tersebut, konsumen membeli rumah dari perusahaan
dengan menggunakan fasilitas pinjaman perumahan dari Bank Tabungan Negara.
Dalam kenyataan tidak tersedia pemancingan maupun fasilitas rekreasi. Mereka (para
konsumen yang tertipu) kemudian mengajukan gugatan. Namun Mahkamah Agung
dalam putusan No.3138/K/Pdt/1984 tertanggal 29 April 1997 menolak gugatan
tersebut. Menurut Mahkamah Agung, rencana pembangunan perumahan (site plan)
tidak menunjukkan bahwa akan dibangun fasilitas pemancingan maupun rekreasi.
Site plan tersebut telah diverifikasi oleh pemerintah daerah dank arena itu pula tidak
ada kewajiban bagi perusahaan pengembang untuk membangun fasilitas tersebut.
Tahap pra kontraktual adalah tahap di mana para pihak melakukan perundingan
untuk menentukan isi perjanjian yang nantinya akan mereka sepakati. Kesepakatan
ini merupakan salah satu syarat penting untuk menerbitkan hubungan hukum selain
syarat-syarat lain seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Selain
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dalam membuat perjanjian para pihak juga harus
memperhatikan asas-asas dalam perjanjian.11
Di Negara-negara maju yang menganut common law system seperti Inggris dan
Amerika Serikat, berdasarkan doktrin promissory estoppels atau detrimental reliance,
janji-janji pada tahap pra kontrak bisa bisa dituntut ganti kerugian apabila ada pihak
yang merasa dirugikan. Doktrin promissory estoppels ini adalah suatu doktrin hukum
yang mencegah seseorang pemberi janji (promissor) untuk menarik kembali janjinya,
dalam hal pihak yang menerima janji (promise) karena kepercayaannya terhadap janji
tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga
penerima janji akan menderita kerugian.12 Maka pada tahap negosiasi atau pra
kontrak dapat dituntut ganti kerugian. Hal ini untuk melindungi pihak penerima janji
yang telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, sehingga akan
mengalami kerugian apabila pihak pemberi janji menarik janjinya.
Pada intinya doktrin ini merupakan larangan untuk mencegah segala bentuk
argumentasi yang bertentangan dengan apa yang telah dilakukan seseorang walaupun
tidak secara tegas diperjanjikan karena berdasarkan tindakan tersebut pidak lain
percaya akan adanya suatu perjanjian. Suatu gugatan ingkar janji dapat dibuat dan
diajukan ke pengadilan jika ada perjanjian sebelumnya, namun apabila salah satu
pihak dirugikan karena perjanjian itu belum ada atau belum terjadi maka disitulah
11 Antari Innaka, 2013, “Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Pra Kontraktual Pada Perjanjian Jual
Beli Perumahan” Mimbar Hukum Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Oktober 2012
12 Bisdan Sigalingging, 2014, “Teori Tentang Perjanjian”, Serial Online, (Cited 2016 may. 11),
available from : URL : https://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/teori-tentang-perjanjian.html
doktrin promissory estoppels ini dapat menjadi pelindung bagi pihak yang dirugikan
tersebut.
Untuk memahami bagaimana suatu janji mengikat para pihak dalam system
hukum common law, perlu dijelaskan dulu pengertian consideration atau konsiderasi.
Suatu janji tanpa konsiderasi tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaanya.
Dalam system common law, suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-
cuma, seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada konsiderasi. Consideration is
something be given in return, consideration can be viewed as counter promise, price,
or action. Jadi konsiderasi adalah suatu kontra prestasi, yang berupa janji, harga atau
perbuatan. Pada umumnya kontrak bisnis memang bersifat timbale balik. Penerapan
doktrin consideration dapat mengakibatkan suatu kontrak tidak dapat dituntut
pemenuhannya secara hukum.13
Pengadilan di Amerika Serikat dan Inggris memberlakukan doktrin promissory
estoppels tersebut untuk mengatasi kekakuan doktrin consideration. Ketentuan ini
diputuskan dalam kasus London Property Trust Ltd melawan High Tress House Ltd.
Pada tahun 1937 penggugat menyewakan a block of flates di London kepada tergugat
untuk jangka waktu 99 tahun dengan harga 2.500 poundsterling per tahun. Ketika
terjadi perang sangat sulit bagi tergugat untuk mencari penghuni yang bersedia
tinggal di flates tersebut sehingga penggugat setuju untuk menurunkan harga menjadi
1.250 poundsterling selama waktu perang. Setelah selesai perang penggugat
menuntut supaya tergugat membayar penuh uang sewa untuk seluruh periode sewa.
Pengadilan memutuskan bahwa janji penggugat untuk mengurangi uang sewa
mengikat meskipun janji tersebut diberikan tanpa konsiderasi dari penyewa, karena
berdasarkan doktrin promissory estoppels suatu janji mengikat meskipun diberikan
tanpa konsiderasi.14
Dilihat dari system common law, syarat sahnya perjanjian bisa dibagi menjadi 4
(empat), yakni :
a. Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan)
b. Meeting of mind (persesuaian kehendak)
c. Consideration (prestasi)
13 Suharnoko, 2012, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media Group, Jakarta,
hal. 12-13
14 Ibid.
d. Competent parties and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak dan
pokok persoalan yang sah).15
Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu secara khusus pada masa yang akan dating. Yang berhak dan berwenang
mengajukan penawaran adalah setiap orang yang layak dan memahami apa yang
dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat adanya penawaran, yaitu :
1. Adanya konsiderasi (prestasi)
2. Sesuai dengan undang-undang
3. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral contract
4. Under doctrine promissory estoppels, dan
5. By virtue of a sealed instrument16
Acceptance (penerimaan) adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar
tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan itu
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penawaran itu harus
bersifat absolute dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang belum
disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan tawaran.17
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk
luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Hal
yang harus diperhatikan agar kontrak tersebut dikatakan sah adalah adanya meeting of
minds, yaitu adanya persesuaian kehendak antara para pihak tentang objek kontrak.
Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak tersebut
15 Salim HS, 2014, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, Hal. 35
16 Ibid.,
17 Ibid., hal. 36
dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress),
dan penyalahgunaan keadaan (undue influence) kontrak tersebut menjadi tidak sah.18
Limitatifnya hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dari Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian
apabila ada :
1. Sepakat.
2. Cakap dalam hukum
3. Suatu hal tertentu.
4. Kausa yang halal.
Tak ada perjanjian apabila keempat syarat ini tidak terpenuhi, maka tujuan utama
hukum perikatan Indonesia semata-mata hanya menjamin kepastian hukum tanpa
dibarengi dengan konsep keadilan bagi para pihak. Hukum perikatan Indonesia juga
masih bersifat tradisional dikarenakan pasal 1320 KUHPerdata tidak menyediakan
ruang kosong untuk kehadiran perjanjian pra kontrak. Permasalah mengenai pra
kontrak ini menjadi relevan dengan konsep hukum estoppel karena seperti dibahas
sebelumnya konsep hukum estoppel akan mengambil bagian pada saat absennya
element Consideration dalam suatu kontrak dimana elemen ini dalam sistem hukum
18 Salim HS, 2011, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MOU), Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 12
perikatan di Indonesia mempunyai pengertian yang linear dengan syarat sah nya suatu
perjanjian poin ketiga yaitu suatu hal tertentu.19
Sebagai suatu prinsip umum, kontrak tercipta tatkala ada perjumpaan kehendak.
Hal ini disebut pula sebagai prinsip konsensual yang melandasi perjanjian
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) KUHPerdata. Apapun
kontrak yang dibuat, dapat dikatakan bahwa kesepakatan bersama merupakan prinsip
dasar yang menentukan keabsahan kontrak. Ada empat syarat yang harus dipenuhi
sebelum suatu kontrak dapat dinyatakan mengikat secara hukum : kontrak harus
dibuat beranjak dari kehendak bebas para pihak, pihak yang membuat kontrak harus
memiliki kecakapan hukum untuk bertindak, kontrak harus mengenai hal tertentu dan
yang diperjanjikan tidak boleh melawan hukum.20
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan : “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal ini bermakna perjanjian yang telah disepakati
oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai dengan kepatutan dan keadilan. Untuk
menjamin adanya itikad baik demikian, maka hakim pengadilan perdata memiliki
kewenangan diskrisioner untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak dan menjamin
adanya itikad baik demikian dengan menggunakan prinsip keadilan dan kemasuk
akalan. Hal ini berarti bahwa dalam praktiknya hakim dapat menyimpangi bunyi
19 Robert Sidauruk, 2012, “Estoppel, Teori Unik Sistem Hukum Common Law Untuk Keadilan
Dalam Kontrak”, Serial Online, (Cited 2015 march. 1), available from : URL :
https://robertsidauruk.wordpress.com/tag/hukum-2/
20 Rosa Agustina, op.cit, hal. 81
kontrak jika penyimpangan demikian diperlukan untuk menjamin dan memenuhi
prinsip itikad baik.21
Di Negara-negara maju yang menganut civil law system, seperti Perancis,
Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam
tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak, tetapi juga dalam tahap
perundingan (the duty of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra kontrak
mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari.22
Untuk itu, sudah sepatutnya akibat hukum dari tahap pra kontraktual ini diatur secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penelitian hukum ini beranjak dari adanya kekosongan norma (Leemten Van
Normen), yakni belum adanya pengaturan mengenai akibat hukum dari tahap pra-
kontraktual. Untuk itu, penulis dalam hal ini melakukan penelitian hukum normatif
dengan judul “ADAPTASI DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DALAM
PENYELESAIAN GANTI RUGI PADA HUKUM KONTRAK DI
INDONESIA”
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran
dengan media internet ditemukan beberapa judul Tesis yang menyangkut pra kontrak.
Adapun judul-judulnya adalah sebagai berikut :
a. Tesis yang berjudul : “Asas itikad baik dalam buku III kitab undang-undang
hukum perdata dan penerapannya pada tahap pra kontrak” oleh Adhari
21 Ibid.
22 Suharnoko, op.cit, hal. 3
Suryaputra, Universitas Indonesia, Tahun 2011. Penelitian hukum ini didasarkan
pada penelitian hukum Normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perbandingan asas itikad baik dalam hukum perdata di Indonesia dan
dalam hukum asing?
2. Bagaimana penerapan asas itikad baik pada tahap pra kontrak?
b. Tesis yang berjudul : “Tinjauan Terhadap Janji-Janji Pra Kontrak Menurut
Hukum Kontrak” oleh Zuraida, Universitas Gadjah Mada, Tahun 2012.
Penelitian hukum ini didasarkan pada penelitian hukum Normatif, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan hukum janji-janji yang dibuat dalam pra kontrak?
2. Bagaimana tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tidak dipenuhi
janji-janji yang dibuat dalam pra kontrak?
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan beberapa rumusan masalah, diantaranya :
1. Bagaimana pengaturan penyelesaian ganti rugi dalam tahap pra kontrak menurut
sistem hukum di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengadaptasian Doktrin Promissory Estoppel dalam hukum
kontrak di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan karena dengan adanya tujuan yang jelas
dapat memberikan arah yang jelas pula dalam mencapai tujuan tersebut. Adapun
tujuan tersebut antara lain :
1.3.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mengkaji bagaimana doktrin Promissory Estoppel memberikan perlindungan hukum
terhadap pihak yang sudah melakukan perbuatan hukum sebelum kontrak atau
perikatan final tercapai.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam mengenai apakah pihak
yang dirugikan dalam tahap pra kontrak dapat menuntut ganti kerugian.
2. Untuk mengetahui apa dasar upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang
merasa dirugikan dalam tahap pra kontrak atau kontrak (perjanjian) yang belum
final.
1.4 Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan
perkembangan ilmu hukum.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan
Doktrin Promissory Estoppel dalam melindungi pihak yang telah melakukan
perbuatan hukum dalam tahapan pra kontrak.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan
hukum ini.
c. Menambah wawasan bagi masyarakat luas tentang akibat hukum maupun
konsekuensi pada tahap pra kontrak.
d. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah bersama legislator untuk membuat
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pra kontraktual.
e. Dapat digunakan sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian berikutnya.
1.5 Landasan Teoritis
Untuk menggali makna lebih jauh dari aturan hukum, tidak cukup dilakukan
penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, tetapi lebih mendalam lagi
memasuki teori hukum. Apabila penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, isu
hukum mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian hukum
berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi, untuk penelitian pada tataran teori
hukum harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum dapat dirumuskan sebagai
suatu gagasanyang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup
bermasyarakat secara tertib.23
23 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum : Edisi Revisi, Prenada Media Group, Jakarta,
hal. 112
Penelitian hukum dalam tataran teori ini dilakukan untuk meningkatkan dan
memperkaya pengetahuannya dalam penerapan aturan hukum. Dengan melakukan
telaah mengenai konsep-konsep hukum, akan lebih meningkatkan daya interpretasi
dan juga mampu menggali teori-teori yang ada dibelakang ketentuan hukum
tersebut.24
Landasan teoritis tidak sama pengertiannya dengan landasan teori. Landasan
teoritis cakupannya lebih luas dibandingkan dengan landasan teori, yang meliputi:
teori hukum itu sendiri, ajaran hukum, asas hukum, konsep hukum, dan adagium
(maxim). Dalam kaitan ini, teori hukum yang dijadikan landasan teori untuk
pemecahan masalah hukum konkret atau yang langsung diterapkan pada praktik
hukum adalah pemikiran para teoritis hukum yang telah diakui kebenarannya dari
masa kemasa secara universal.25
Adapun teori-teori hukum yang digunakan untuk menganalisis dan memecahkan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Teori Kontrak
Teori Kontrak atau disebut juga dengan the contract theory, atau contract
theorie, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan karena teori ini menganalisis hubungan
hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lainnya.
David J. Mack menyajikan pengertian kontrak. A Contract is : “An Agreement
between two or more parties that creates an obligation on all parties to perform (or
not perform) a particular action or set of related action”. Kontrak dalam definisi ini
dikonstruksikan sebagai sebuah persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk
menciptakan kewajiban hukum semua pihak, yaitu untuk melakukan (atau tidak
melakukan) tindakan tertentu atau serangkaian tindakan terkait. Unsur-unsur kontrak
dalam definisi ini meliputi :
24Ibid.
25 I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 129
a. Adanya persetujuan;
b. Adanya para pihak atau subyek hukum;
c. Adanya kewajiban hukum dari semua pihak; dan
d. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu
Sementara itu, objek kajian dari teori kontrak, yaitu :
a. Hubungan hukum para pihak;
b. Adanya subyek hukum;
c. Adanya hak dan kewajiban;26
Hubungan hukum atau disebut juga legal relationship atau rechtsverhouding,
yaitu keadaan yang berhubungan atau bersangkut paut atau ikatan yang berkaitan
dengan hukum. Yang pada gilirannya, menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya
hak dan kewajiban. Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak atau
disebut right atau recht dikonsepkan sebagai kewenangan atau kekuasaan dari para
pihak untuk melakukan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu karena
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kewajiban atau disebut juga
dengan duty atau obligation atau responsibility verplichting dikonsepkan sebagai
sesuatu yang harus dilaksanakan oleh para pihak.27
Teori ini nantinya akan digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua pada
Bab IV. Sebab dalam teori ini jelaskan bahwa janji-janji yang di ucapkan dalam tahap
pra kontrak sudah merupakan suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Ajaran-ajaran dalam teori
kontrak ini nantinya digunakan juga dalam mengalisis pengadaptasiam doktrin
promissory estoppels tersebut.
26 Munir Fuady, op.cit, hal. 68
27 Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Buku Ke - 2 PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 241
2. Autonomy Of Contract atau Teori Kontrak Otonom
Autonomy Of Contract theory atau teori kontrak otonom difokuskan pada
pendekatan keadilan para pihak dalam suatu sengketa yang berkaitan dengan kontrak.
Andrew S. Gold membagi teori kontrak otonom menjadi tiga macam, yaitu:
a. Promissory theories;
b. Reliance theories; and
c. Transfer theories
Promissory theories merupakan teori yang menjelaskan tentang mengikatnya
kontrak karena adanya persetujuan para pihak. Persetujuan merupakan komponen
dasar dari kontrak. Persetujuan itu sebagai dasar di dalam melaksanakan hak dan
kewajiban para pihak. Promissory theories dibangun atas dasar pendekatan moral.28
Reliance theories atau teori ketergantungan merupakan teori yang difokuskan
pada kepentingan promisse. Promise, yaitu orang menerima tawaran dari penawar
(promisor). Idenya, bahwa promisor meminta kepada promise untuk melaksanakan
kewajiban kontraktualnya. Transfer theories atau teori transfer merupakan teori yang
menganalisis tentang pelaksanaan kontrak, karena promise telah memperoleh hak-hak
dari promisor. Ini berarti bahwa promise harus memindahkan atau melaksanakan
kewajiban kontraktualnya.
Teori ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua dikarenakan
teori ini menekankan pada sisi keadilan bagi para pihak dalam suatu kontrak.
Disamping itu dalam pembagian teori ini yakni reliance teori menyatakan bahwa si
28 Ibid.
pemberi dan penerima janji memiliki hak dan kewajibannya masing-masing dalam
pelaksanaan kontrak.
3. Teori Keadilan
Teori keadilan ini dikemukakan oleh Aristoteles. Keadilan adalah tindakan yang
terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi hak nya.29
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu :
1. Keadilan dalam arti umum;
2. Keadilan dalam arti khusus30
Keadilan dala arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi semua orang. Tidak
membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Justice for all.
Keadilan dalam arti khusus merupakan keadilan yang berlaku hanya ditujukan pada
orang tertentu saja (khusus). Disamping itu, aristoteles juga membagi keadilan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan distributif;
2. Keadilan korektif31
Keadilan distributif dijalankan dalam distribusi kehormatan, kemakmuran, dan
aset-aset lain yang dapat dibagi dari komunitas yang bisa dialokasikan diantara para
anggotanya secara merata atau tidak merata oleh legislator. Prinsip keadilan
29 Asrur Rifa, 2016, “Teori Keadilan Menurut Aristoteles”, Serial Online, (Cited 2016 may. 22),
available from : URL : http://www.siswamaster.com/2016/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles-dan-
contoh.html?m=1
30 Hans Kelsen, 2008, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, Hal. 146
31 Ibid., hal. 146-148
distributif adalah kesetaraan yang proporsional (seimbang). Keadilan korektif
merupakan keadilan yang menyediakan prinsip korektif dalam transaksi privat.
Keadilan korektif dijalankan oleh hakim dalam menyelesaikan perselisihan dan
member hukuman terhadap pelaku kejahatan.32
Teori ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua. Adaptasi
doktrin promissory estoppels tersebut erat kaitannya dengan rasa keadilan seseorang
dalam tahap pra kontrak. Hal ini dikarenakan doktrin tersebut memberikan
perlindungan bagi pihak yang menerima janji dari adanya kerugian yang diakibatkan
jika pihak yang memberikan janji menarik janjinya secara sepihak.
Selain teori-teori tersebut diatas, adapun yang akan digunakan oleh penulis untuk
menganilisis atau membedah permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum
Salah satu ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri adalah
kepastian hukum, apabila hal tersebut berkaitan dengan aturan hukum yang sifatnya
tertulis. Tanpa adanya suatu kepastian dalam hukum, maka akibatnya hukum tersebut
akan kehilangan nilainya dan tidak dapat dijadikan pedoman perilaku bagi
masyarakat. Tujuan dari hukum salah satunya kepastian. Dengan adanya kepastian
akan menyebabkan keteraturan di dalam masyarakat karena masyarakat memiliki
pedoman perilaku yang jelas dalam hidup mereka, disamping itu keteraturan
merupakan inti dari kepastian tersebut. Adanya keteraturan dalam masyarakat
menyebabkan masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya secara pasti tanpa adanya
32 Salim HS, op.cit, hal. 27-28
hambatan. Untuk memahami lebih mendalam mengenai kepastian hukum, ada
pendapat dari beberapa ahli yang akan diuraikan sebagai berikut:
Menurut pendapat Gustav Radbruch menyatakan ada 4 (empat) hal mendasar
yang erat kaitannya dengan kepastian hukum, yaitu:
1. Hukum itu bersifat positif yakni artinya hukum itu dibuat dalam bentuk undang-
undang tertulis.
2. Hukum itu harus berdasarkan pada apa yang benar-benar terjadi di lapangan atau
di masyarakat.
3. Hukum harus diungkapkan secara jelas dan gambling sehingga menghindari
adanya multi tafsir dan memberikan kemudahan dalam melaksanakannya.
4. Hukum bersifat tidak gampang dirubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif
yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu
ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.33
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
33 H. Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 306
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum; dan
e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.34
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah
hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang
seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal
certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat
dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum
dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan
keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,
34 Ibid.
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.35
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.36
Nusrhasan Ismail berpendapat, diperlukan beberapa syarat agar peraturan
perundang-undangan bisa memiliki kepastian, syarat tersebut berhubungan dengan
struktur internal dan aturan hukum itu sendiri. Syarat tersebut antara lain:
1. Konsep yang digunakan harus jelas.
2. Adanya kejelasan mengenai tingkatan kewenangan dari lembaga legislatif. Hal ini
berhubungan dengan sah atau tidaknya, mengikat atau tidaknya aturan hukum
yang di buat.
3. Tidak adanya pertentangan norma yang satu dengan yang lainnya.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
35 H. Salim HS, op.cit, hal. 306
36 Amgasussari, 2013, “Memahami Kepastian (Dalam) Hukum”, Serial Online, (Cited 2016 jan.
06), available from : URL : https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.37
Asas kepastian hukum ini digunakan untuk menganalisis permasalahan satu dan
permasalahan dua. Dikarenakan dalam KUHPerdata tidak diatur mengenai akibat
hukum dari janji-janji pada tahap pra kontrak dan juga tidak diatur mengenai tahap-
tahap pra kontrak itu sendiri. KUHPerdata hanya mengatur bagaimana pelaksanaan
kontrak itu sendiri tanpa melihat sisi pra kontraknya, padahal tahap pra kontrak
merupakan tahap yang penting dalam pembuatan kontrak yang baik.
Kepastian hukum ini begitu penting sebab tujuan dari hukum itu sendiri
kepastian dan dari kepastian akan menimbulkan ketertiban dalam kehidupan
masyarakat. Dengan adanya aturan hukum yang jelas dapat dijadikan pedoman
perilaku dalam masyarakat. Dengan adanya pengadaptasian dari doktrin promissory
estoppels ini dapat mengisi adanya kekosongan norma dalam hukum kontrak di
Indonesia sehingga menciptakan adanya kepastian hukum.
2. Asas Itikad Baik
Merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Begitu pentingnya itikad baik
tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak,
kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang
dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut
37 Salim HS, op.cit, hal. 90
bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengikat kepentingan-
kepentingan yang wajar dari pihak lain.38
Asas ini akan digunakan untuk menganalisa permasalahan pertama pada bab III.
Dalam KUHPerdata asas itikad baik ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata, hanya saja penerapannya dalam tahap pelaksanaan kontrak, bukan pada
tahap pra kontrak. Semestinya asas itikad baik tersebut harus ada sejak pertama
kontrak di buat, yakni pada tahap pra kontrak, pelaksanaan kontrak dan tahap
berakhirnya kontrak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak
tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji
tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini
dapat Dilihat dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) yang menentukan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Arti harfiah dari pacta sunt servanda adalah bahwa kontrak itu mengikat secara
hukum. Istilah lengkapnya untuk pacta sunt servanda adalah pacta convent quae
neque contra leges neque dalo malo inita sunt omnimodo observanda sunt, yang
38 Ahmadi Miru, Cetakan Ke III, op.cit, hal. 5
berarti suatu kontrak yang tidak dibuat secara ilegal dan tidak berasal dari penipuan
harus sepenuhnya diikuti.39
Asas ini akan digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama pada bab III
sebab jika para pihak telah berjanji dan telah bersepakat untuk melakukan suatu
perbuatan dalam tahap pra kontrak, maka janji tersebut haruslah dipatuhi karena janji
tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4. Konsep Ganti Rugi
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat,
terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada wan
prestasi dan tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum.
Apabila tuntutan ganti rugi didasarkan pada wanprestasi, terlebih dahulu tergugat dan
penggugat terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga yang dirugikan
tidak dapat menuntut ganti rugi dengan alasan wan prestasi.40
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda
seseorang. Sementara itu, kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata
yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Walaupun kerugian atas diri (fisik) seseorang atau kerugian yang menimpa harta
benda, akan tetapi jika dikaitkan dengan ganti rugi, keduanya dapat dinilai dengan
39 Munir Fuadi, 2013, Teori – Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cetakan Ke-2, Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 210
40 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 79
uang (harta kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta benda dapat pula berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan, pengertian kerugian seharusnya adalah
berkurangnya atau tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang
disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma oleh pihak lain.
Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar, pada dasarnya harus
berpegang pada asas bahwa ganti rugi yang harus dibayar sedapat mungkin membuat
pihak yang rugi dikembalikan kepada kedudukan semula seandinya tidak terjadi
kerugian, atau dengan kata lain, ganti rugi menempatkan sejauh mungkin orang yang
dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata perjanjian dilaksanakan
secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian ganti
rugi harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memerhatikan
unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan atau
kekayaan pihak-pihak yang bersangkutan.41
Konsep ganti rugi ini nantinya akan digunakan untuk menganalisa permasalahan
kedua yakni berkaitan dengan pengadaptasian doktrin promissory estoppels dalam
kaitannya menyelesaikan ganti kerugian kepada pihak yang menerima janji.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan disini adalah penelitian Hukum Normatif, yakni
beranjak dari adanya kekosongan norma (leemten van normen). Dalam tataran
dogmatik hukum, kondisi demikian dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal
41 Ibid, hal. 81
dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan, serta keragu-raguan dan
ketidakpastian dalam penerapan peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan
peraturan hukum baru dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat.42
1.6.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).43
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Perbandingan
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan
hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan
penelitian hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk
membandingkan hukum suatu Negara dengan hukum Negara lain atau hukum dari
suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain.
Disamping itu juga membandingkan putusan pengadilan yang satu dengan
putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi
42 Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan.
Denpasar 17-9-2013, hal. 52
43 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 133
penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang
sama dari dua Negara atau lebih.
2. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
Pendekatan kasus bertujuan untuk mengetahui secara mendalam terhadap suatu
individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang,
keadaan/kondisi, factor-faktor atau interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat.44
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang
terjadi di Indonesia maupun di Negara lain.45 Dalam penelitian ini, peneliti akan
menelaah kasus yang terjadi di Indonesia.
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan
hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan
hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam penelitian hukum normatif disini
peneliti meneliti tentang akibat hukum dari perjanjian pra kontrak yang dalam
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia belum diatur secara tegas. Disini
penulis dituntut untuk membangun konsep untuk dijadikan acuan dalam
penelitiannya, pendekatan konsep yang digunakan dalam hal ini adalah konsep ganti
rugi.
44 H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10
45 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 134
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang semestinya
diperlukan sumber-sumber penelitian. Berdasarkan atas penggunaan Bahan Hukum
Primer dan Bahan Hukum Sekunder dalam penelitian Hukum Normatif, masing-
masing dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.
Bahan Hukum Primer yang digunakan disini yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Statute of The
International Institute For The Unification of Private Law
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat digolongkan atas bahan hukum sekunder dalam
arti sempit dan bahan hukum dalam arti luas. Dalam arti sempit pada umumnya
berupa buku-buku hukum yang berisi ajaran atau doktrin atau treaties, terbitas berkala
berupa artikel-artikel tentang ulasan hukum atau law review, dan narasi tentang arti
istilah, konsep, phrase, berupa kamus hukum atau ensiklopedi hukum. Dalam arti luas
adalah bahan hukum yang tidak tergolong bahan hukum primer atau termasuk segala
karya ilmiah hukum yang tidak dipublikasikan atau yang dimuat di Koran atau
majalah populer.46
Adapun Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini
terdiri atas :
a. Buku-buku literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti
46 I Made Pasek Diantha, op.cit, hal. 144-145
b. Website
c. Jurnal-jurnal hukum
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study document).
Teknik telaah kepustakaan dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-
masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul digunakan teknik
analisis seperti :
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum pada penelitian
tesis ini adalah teknik deskripsi, teknik sistematis dan teknik evaluasi. Teknik
deskripsi yaitu menganalisa bahan hukum dengan menggambarkan serta menjelaskan
kaitan antara bahan-bahan hukum tersebut dengan permasalahan-permasalahan yang
akan dibahas dalam tesis ini. Dengan penjelasan yang apa adanya maka akan
didapatkan suatu kesimpulan dari permasalah-permasalahan yang dibahas. Sedangkan
teknik sistematis yaitu upaya yang dilakukan dalam mengaitkan rumusan suatu
konsep hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang
tidak sederajat. Teknik evaluasi disini adalah berupa upaya memberikan penilaian
berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak
sah terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik
yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.