css kegawatdaruratan gigitan hewan

24
 0 clinical science season KEGAWATDARURATAN LUKA GIGITAN HEWAN Oleh: M. Adithya Prawiranata (0618011029) Preceptor: dr. Yuzar Harun, Sp.B, FINACS SMF BEDAH Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek November 2011

Upload: dandy-wijaya

Post on 13-Jul-2015

455 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 1/24

0

clinical science season

KEGAWATDARURATAN LUKA GIGITAN HEWAN

Oleh:

M. Adithya Prawiranata (0618011029)

Preceptor:

dr. Yuzar Harun, Sp.B, FINACS

SMF BEDAH

Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek 

November 2011

Page 2: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 2/24

1.  GIGITAN ULAR 

I. Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan

  berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering

dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya

 pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling

kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah

satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan

subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka

untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi

mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa.

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.

Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa

memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat

saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara

subkutan atau intramuskular.

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut

merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah

 parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa

ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran

kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

II.  Tinjauan Pustaka

II.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme ³Kerja´ Bisa ular

Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga

  pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin

saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai

macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam

Page 3: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 3/24

seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim

  prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat

dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan

dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai

untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada

Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan

ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab

  pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel

vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-

nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum

 jelas. (Sudoyo, 2006).

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,

hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,

fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi  jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau

  pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak 

 bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998).

Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang

ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik,

sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak 

tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat ± 

zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo,

2006).

II.2 Jenis ± jenis ular berbisa 

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya

dari kira -kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa,

dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong,

1998)

Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa

hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat

diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:

1.  Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular 

sendok, ular anang dan ular cabai

Page 4: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 4/24

2.  Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular 

 bandotan puspo

3.  Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4.  Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat

dipakai rambu ± rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan

sebagai berikut:

Ciri ± ciri ular tidak berbisa:

y  Bentuk kepala segi empat

 panjang

y  Gigi taring kecil

y  Bekas gigitan, luka halus

 berbentuk lengkung

Ciri ± ciri ular berbisa:

y  Kepala segi tiga

y  Dua gigi taring besar di rahang

atas

y  Dua luka gigitan utama akibat

gigi taring

Page 5: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 5/24

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak 

dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :

y  Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon

rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae

menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun

 prokoagulan memicu kaskade pembekuan)

y    Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular 

sendok), ular kobra, ular laut.

  Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat padareseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti

-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang

mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.

Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik 

sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

II.3 Patofisiologi

Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah

mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan

 bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat

ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari

mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang

dikeluarkan.

Page 6: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 6/24

Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat

merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi

  pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular 

 berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah :

(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan

dengan menghancurkan mukopolisakarida.

(2)  fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk 

efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis

otot.

(3) enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan

mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan

konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005)

II.4 Gejala klinis

Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas

dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak 

sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis

  jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru,

dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang

terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa

lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala

dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual,

salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dansesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot

  pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai

mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)

Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka

yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach,

1987) :

y  Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit

 ± 24 jam)

y  Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,

hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur 

y  Gejala khusus gigitan ular berbisa :

o  Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,

  peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit

(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular 

diseminata (KID)

Page 7: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 7/24

o    Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis

oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma

o  Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

o  Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda ± tanda 5P (pain,

 pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). (Sudoyo, 2006)

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai

 berikut:

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :

  Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan

ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.

  Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap

12 jam.

Menurut WHO (Warrell, 2005) gejala local dan tanda pada tempat gigitan :

y  Bekas taring/gigitan

y   Nyeri dan pendarahan lokal

y  memar 

y  lymphangitis

y    pembesaran lymphonodi

y  inflamasi (bengkak, kemerahan, panas)

y  melepuh

y  infeksi lokal, formasi abses

y  nekrosis

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular :

Gigitan Elapidae

  Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa

sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat

gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan

gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan

melebar.

  Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,

kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan padalapisan luar mata.

  Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian

dalam bentuk paralisis dari urat ± urat di wajah, bibir, lidah dan

tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun,

susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan

kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot

Page 8: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 8/24

 pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun,

denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali

terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam

dapat timbul gejala ± gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24

 jam.

Gigitan Viperidae:

  Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa

  bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh

anggota badan, rasa sakit dekat gigitan

  Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa

muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang

dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah,

urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah.Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan

  jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang ± kadang tekanan darah

rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan

di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan

hebat.

Gigitan Hidropiidae:

  Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan

muntah

  Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri

menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot

ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai

dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik),

ginjal rusak, henti jantung.

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:

  Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri

  pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang perlu

dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin.

  Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting.

Gigitan Coral Snake:

Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus

fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal :

1. Tanda gigi taring

2. Nyeri lokal

3. Pendarahan lokal

4. Bruising

Page 9: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 9/24

5. lymphangitis

6. Bengkak, merah, panas

7. Melepuh

8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum :

Umum

Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration.

Kardiovascular (Viperidae) :

Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia

cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva.

Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) :

b  Perdarahan dari luka gigitan

b  Perdarahan sitemik spontan ± dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis,melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti

 petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva,

 perdarahan intrakranial

 Neurologik (Elapidae, Russell¶s viper) :

Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, ³heavy´

eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai

yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing

secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis

Otot rangka (sea snakes, Russell¶s viper) :

  Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria,

hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut

Ginjal (Viperidae, sea snakes) :

LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria,

oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea,

 pleuritic chest pain)

Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell¶s viper) :

y  Fase akut: syok, hypoglycaemia

y  Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of 

secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism.

(Warrell, 1999).

Page 10: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 10/24

II.5 Pemeriksaan

Pemeriksaan penunjang

  Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,

waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-

dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.

  Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

  EKG

  Foto dada

II.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :

  Anafilasis

  Trombosis vena bagian dalam

  Trauma vaskular ekstrimitas

  Scorpion Sting

  Syok septik 

  Luka infeksi

II.7 Penatalaksanaan

Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam

menangani gigitan ular (Warrell, 2005) :

y  Pertolongan pertama

y  Segera kirim ke RS

y  Resusitasi dan penanganan klinis segera

y  Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular 

y  Periksa lab

y  Pemberian SABU

y  Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya

y  Pemberian terapi suportif 

y

  Penanganan bekas gigitany  Rehabilitasi

y  Penanganan komplikasi kronis

Tujuan pertolongan pertama

y  mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun

y  mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa keRS

Page 11: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 11/24

10

y  mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya

y  mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis

y  Above all, do no harm! 

Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Cara

tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode penggunaan torniket (cara

ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang terlalu lama

karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak yang menjadi gangren),

insisi tempat gigitan, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit,

 pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti

manfaatnya dan bahkan membahayakan. (WHO, 2005)

Recommended first aid methods

y  Menenangkan korban yang mungkin sangat gelisah/ketakutany  Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena

setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh

darah atau limfe)

y  Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular  Elapidae 

y  Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi,

meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.

Tindakan Pelaksanaan

A.  Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah

y  Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

y  Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung

alkohol

y

  Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikatdaerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang

  berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan

adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

Page 12: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 12/24

11 

Petunjuk awal bahwa pasien mengalami gejala keracunan berat :

y  Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya

y  Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan

y  Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racuntelah menyebar pada saluran limfe.

y  Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah,diare, nyeri kepala hebat, ³berat´ pada kelopak mata, mudah mengantuk atau

 ptosis yang aal/opthalmoplegia

y  Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan

y  Urin berwarna coklat gelap

B.  Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai

 berikut:

y  Penatalaksanaan jalan napasy  Penatalaksanaan fungsi pernapasan

y  Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

y  Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,

imobilisasi (dengan bidai)

y  Periksa lab, Ambil 5 ± 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin,

APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,

elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,

menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati.

y  Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection

y  Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1ml berisi:

b  10-50 LD50 bisa Ankystrodon

b  25-50 LD50 bisa Bungarus

b  25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

b  Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose

5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi

lokal pada luka tidak dianjurkan. Dosis SABU pada anak dan dewasa sama,

karena ular menginjeksikan jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigitdewasa ataupun anak-anak.

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada

 bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes,

2001):

Page 13: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 13/24

12 

Pedoman terapi SABU menurut Luck :

b Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

b Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom

Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan

darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah

 pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin

spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole

blood or platelet concentrates.  Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun)

maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor 

  perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan

koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk 

tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.

b Terapi suportif lainnya pada keadaan :

  Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,

vitamin K, tranfusi trombosit

  Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

  Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

  Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan

  Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

  Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan

sulfas atropin

  Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

  Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan

obat ± obatan narkotik depresan

b Terapi profilaksis

  Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah

P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

  Beri toksoid tetanus

  Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular :

b  Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan

untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih

dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai

kaki

Page 14: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 14/24

13 

b  Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular 

b  Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak 

 ± semak 

b  Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti

b  Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang

tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

Page 15: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 15/24

14 

2.  RABIES

I.  PENDAHULUAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf 

  pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan

menular rabies terutama anjing, kucing dan kera.

Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan

Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994

  propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia

 pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat

ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadioutbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata pertahun kasus

gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies tiga tahun terakhir (1995-1997)

15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %) divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662

(1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun

( 1995- 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia,

seangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan

 positif rabies.

Mengingat akan adanya bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman

masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka

usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu

dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menujupada program pembebasan.

Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan

kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen

Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen

Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita

II.  TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang

disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkandari hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan

Page 16: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 16/24

15 

misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga

 penyakit anjing gila.

Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus  Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak 

  bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan.

II.2 Patogenesis

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 mingguvirus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak 

mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-

  perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu

sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak 

yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak.

Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap

sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.

Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudiankearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf 

otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringandidalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringanjaringannya, seperti kelenjar 

ludah, ginjal, dan sebagainya. 

II.3 Manifestasi Klinis

1.  Stadium Prodromal

Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri

ditenggorokan selama beberapa hari.

2.  Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas

luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan

terhadap rangsang sensorik.

3.  Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala

hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan

dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas

  pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal

diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot

 pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan

Page 17: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 17/24

16 

udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata atau dengan

menepuk tangan didekat telinga penderita.

Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi. Tindak-

tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-

saat responsif.

Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita

meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot

melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

4.  Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi Kadang-

kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis

otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang

 belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

II.4 Pemeriksaan laboratorium

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat

menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis

kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada

kasus dengan perjalanan yang agak lama , misalnya gejala paralis yang dominan

dan mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu

dalam menegakkan diagnosis.

Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan

dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1 ± 4 hari sakit. Hal ini berhubungan

dengan adanya neutralizing antibodies.

Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan

antigen virus di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, kulit dan

hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi tidak berhasil. FAT ini juga bisa

negatif, bila antibodi telah terbentuk.

Serum neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan

terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat

dengan cepat. Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6 ± 10setelah onset klinis pada penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik 

responimun ini, pada kasus yang divaksinasi dapat membantu diagnosis.

Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri bodies dengan

 pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10 % - 20 % kasus, terutama

  pada kasus- kasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan

hidup setelah lebih dari 2 minggu.

Page 18: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 18/24

17 

II.5 Penanganan Luka Gigitan Hewan Menular Rabies

Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan

cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang

masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan

dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit,

kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain).

Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun

di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti

di atas.

Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila

memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum

Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar 

luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping

itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus,

anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.

II.6 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau disertai Serum Anti Rabies

(SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-

hasil penemuan dibawah ini.

1.  Anamnesis :y  Kontak / jilatan / gigitan

y  Kejadian didaerah tertular / terancam / bebas

y  Didahului tindakan provokatif / tidak 

y  Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies

y  Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau

dibunuh dan dibuat.

y  Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies

y  Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan?

y  Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan?

2.  Pemeriksaan Fisik 

-Identifikasi luka gigitan (status lokalis).

3.  Lain ± lain

y  Temuan pada waktu observasi hewan

y  Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan

y  Petunjuk WHO

Page 19: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 19/24

18 

Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah

diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada

kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan

dan kaki.

Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk 

luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,

kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan

luka yang banyak (multipel).

Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies

atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada

kontak, maka tidak PERLU diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkanapabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka

diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan

air liur pada luka berbahaya.

Dosis dengan cara pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah

sebagai berikut :

I. Dosisi dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)  

1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) 

Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5

ml dalam syringe.a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)

- Cara pemberian :

disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anak±anak di

daerah paha).

- Dosis

 b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post

Exposure Treatment)

Page 20: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 20/24

19 

- Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a.

- Dosis

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)Kemasan :

- Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml.- Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.

a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)- Cara pemberian : Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan (sc) di

sekitar daerah pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intracutan (ic) di bagaian fleksor lengan bawah . -Dosis:

 b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit (PostExposureTreatment)

- Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.- Dosis

Page 21: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 21/24

20

II. Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)

1. Serum hetorolog (Kuda)

- Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)

- Cara pemberian :Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin,

sisanya disuntikkan intra maskuler.

- Dosis :

2. Serum Momolog

Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU )

- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin,

sisanya disuntikkan intra muskuler.- Dosis :

Page 22: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 22/24

21 

III. Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit

(Pre Exposure Immunization)

1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

Kemasan :

Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam

syringe.

- Cara pemberian (cara I) :Disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah

deltoideus.- Dosis :

- Cara pemberian (cara II) :Disuntikkan secara intra cutan ( dibagian fleksor 

lengan bawah ).- Dosis :

Page 23: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 23/24

22 

2. Suncling Mice Brain Vaccine (SMBV)Kemasan :

Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 mlDus berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.

- Cara pemberian : Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian flektor lengan bawah.

- Dosis :

Page 24: Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan

5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 24/24

23 

DAFTAR PUSTAKA

1.  Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and

Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.

www.eMedicine.com.

2.  De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

3.  Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen

POM

4.  Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

5.  Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.6.  Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite

in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre

for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,

Thailand.

7.  Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite

in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office

for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi

110002. India.

8.  Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous

snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November),doi: 10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

9.  Departeman Kesehatan Direktorat Jenderal PPM & PL. 2000. Petunjuk   perencanaan dan penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/rabies di

Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan10. Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program

Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Jawa dan Kalimantan.

11.  Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program

Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Sumatera dan Sulawesi.

12.  Gindo Simanjuntak, Winarno, Cecilia, Timoria, Sitti Ganefa, Toni Wandra,

Misriyah, Endang, Bahang and Thomas Ruosos. 1996 . preventiod and

Control of Zoonotic New Emerging and Remerging Diseases in Indonesia

Symposium on Prevention and Control of Selected Communicable DiseasesWith Epedemic Potential, SEARO, New Delhi, 3 ± 7 Juni 1996.