craniofacial dysostosis

Upload: lysia-ely

Post on 18-Jul-2015

558 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

CRANIOFACIAL DYSOSTOSIS Pendahuluan Tulang tengkorak manusia terdiri atas banyak sendi yang dihubungkan oleh sutura. Sutura-sutura tersebut akan menutup setelah pertumbuhan otak sempurna. Dalam kasus dimana sutura-sutura ini menutup lebih awal, akan mengganggu pertumbuhan normal dari otak. Otak yang bertumbuh akan mendesak tengkorak dan dapat tumbuh kearah sutura lain yang terbuka. Penutupan sutura yang prematur dapat berdiri sendiri atau bersamaan dengan kelainan yang lain, menyebabkan bermacam-macam sindrom. Craniofacial Disostosis (Sindrom Crouzon) adalah salah satu sindrom yang berhubungan dengan penutupan sutura yang prematur. 1 Sinostosis merupakan penyatuan antara tulang-tulang yang berdekatan. Disostosis adalah suatu defek pada proses penulangan (osifikasi). Disostosis sutura cranialis merupakan defek pada formasi sutura yang tidak spesifik. Craniosinostosis adalah penutupan prematur pada satu atau lebih sutura tulang tengkorak. Berdasarkan Hukum Virchow, penutupan sutura yang prematur mencakup pertumbuhan perpendicular kearah garis sutura yang terbatas, yang diperparah dengan pertumbuhan berlebihan secara paralel kearah sutura. Insidens dari craniosinostosis adalah 1:1000 kelahiran dan penyebabnya multifaktorial. Beberapa teori telah dikemukakan untuk menjelaskan penyatuan sutura yang prematur, seperti gaya in utero intrinsik dan ekstrinsik, sebagaimana perlukaan duramater dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tulang cranial. 2,3

1

Craniosinostosis dapat mengenai berbagai sutura di tulang kepala: metopik, sagital, lambdoidal atau coronal. Pada Craniosinostosis simpel, satu buah sutura menutup secara prematur, pada sinostosis sutura multiple, dua atau lebih sutura menutup secara prematur. Craniosinostosis dapat muncul berdiri sendiri yang menghasilkan suatu Craniosinostosis nonsindromik, atau penyakit ini dapat muncul bersama-sama dengan kelainan lainnya dalam pola yang dapat dikenali yang membuatnya secara klinis menjadi sindrom yang diakui. Kebanyakan kasus Craniosinostosis nonsindromik terjadi secara sporadic dengan laporan frekuensi 0,6 dari 1000 kelahiran hidup. Craniosinostosis sindromik kebanyakan bersifat genetik, dan memiliki pola autosom dominan, autosom resesif dan pewarisan sifat terkait kromosom X telah diteliti. Lebih dari 90 sindrom yang dilaporkan berhubungan dengan Craniosinostosis, dengan kebanyakan berhubungan dengan kelainan lengan dan tungkai, telinga dan system kardiovaskular. 4 Sindrom Apert, Crouzon, Pfeiffer, Saethre-Chotzen dan Carpenter menggambarkan sindrom Craniosinostosis yang diteliti oleh ahli bedah plastik. Sindrom Craniosinostosis familial ini memberikan beberapa ciri-ciri umum, termasuk midface hypoplasia,pertumbuhan basis crania yang abnormal, wajah yang abnormal serta lengan dan tungkai yang abnormal. Pada faktanya, gambaran craniofacial dari berbagai sindrom ini secara klinis sama, sehingga kelainan pada jari tangan dapat menjadi pembeda diantara bermacam-macam sindrom tersebut. Meskipun jelas bahwa sinostosis tulang-tulang cranial secara signifikan termasuk ke dalam perkembangan craniofacial yang abnormal pada anak-anak yang terkena

2

sindrom ini, namun terdapat kemungkinan adanya defek mesenkim pada basis crania yang juga bertanggung jawab terhadap deformitas craniofacial. 4 Patofisiologi Etiologi pasti Craniosinostosis dari anak-anak yang terkena sindrom ini masih belum jelas. Pengetahuan genetik molekuler memberikan wawasan menuju hubungan yang mungkin antara mutasi yang teridentifikasi dari gen Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR) dengan berbagai penyakit skeleton yang bersifat autosom dominan. Fibroblast Growth Factor ikut serta dalam regulasi, proliferasi, differensiasi dan migrasi sel dan berperan dalam morfogenesis normal tulang melalui cell signaling pathways yang kompleks. Transduksi sinyal dari Fibroblast Growth Factor ke sitoplasma dimediasi oleh sejumlah reseptor tirosin kinase transmembran yang dikenal sebagai Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR). Mutasi 3 dari 4 gen FGFR yang diketahui berlokasi pada kromosom 8, 10q dan 4p telah teridentifikasi pada sindrom Pfeiffer, Apert, Crouzon dan Jackson Weiss. Akondroplasia, kelainan skeletal yang menyebabkan dwarfisme, juga

dihubungkan dengan mutasi dari FGFR 1 dan FGFR2, sementara sindrom Crouzon dan Apert dihubungkan dengan mutasi dari FGFR kompleks. 4 Epidemiologi Frekuensi penyakit ini dilaporkan 1:25.000 kelahiran hidup. Sedangkan di AS prevalensi sindrom Crouzon 1:60.000 kelahiran hidup (kira-kira 16,5 kasus setiap juta populasi). Sindrom Crouzon sekitar 4,8% dari seluruh kasus

3

craniosynostosis. Penyakit ini tidak memiliki predileksi ras ataupun jenis kelamin tertentu. 4,5 Gejala Klinik Sindrom Crouzon (Acrocephalosyndactyly type II) ditandai oleh penutupan prematur dari sutura calvaria, hipoplasia midface, orbita yang dangkal, dan proptosis okular (Gambar 1). Gambaran klinik tersebut pertama kali digambarkan oleh Crouzon, seorang neurologist berkebangsaan Prancis, pada tahun 1912. Pola pewarisannya bersifat autosom dominan. Variabilitas jenis dari gambaran dominan yang membuat sindrom Crouzon dikenal secara luas. 4

Gambar 1Sindrom Crouzon pada pria muda. Perhatikan midface hypoplasia, shallow orbits dan proptosis okular

Penyatuan prematur dari kedua sutura menghasilkan bentuk kepala yang brachicephalik yang merupakan deformitas calvarial yang paling umum ditemukan. Akan tetapi scaphocephaly, Trigonocephaly, serta deformitas cloverleaf skull telah ditemukan. Craniosynostosis seringkali telah sempurna pada usia 2 hingga 3 tahun, akan tetapi ada kalanya sutura-sutura tersebut menyatu pada saat4

lahir. Sutura basis crania seringkali terlibat, menghasilkan midface hypoplasia atau hipoplasia maksilla. Hipoplasia maksilla ditunjukkan oleh lebar dental arch yang berkurang dan puncak palatal arch yang mengerut. Pertumbuhan normal mandibula menghasilkan suatu maloklusi kelas III. Midface hypoplasia digambarkan dengan tulang orbita yang dangkal dengan exorbitisme, yang selalu ditemukan dan menyebabkan konjungtivitis atau keratitis karena paparan cahaya. Exorbitisme dapat amat parah sehingga terjadi herniasi bulbus oculi melalui kelopak mata, yang membutuhkan tindakan reduksi segera. Sehingga pasien sindrom Crouzon sering memiliki penampakan frog-like (seperti kodok), dimana tulang midface mengalami retrusi, mennyebabkan exopthalmus dan exotropia. Masalah-masalah akut, strabismus dan hipertelorisme telah banyak dilaporkan. Defisit pendengaran konduktif tidak jarang ditemukan. Pada umumnya tidak dilaporkan kelainan jari-jari tangan pada populasi pasien ini. 4,6 Terdapat variasi gejala klinik dari Sindrom Crouzon, akan tetapi proptosis okular selalu didapatkan bahkan jika tidak ditemukan craniosynostosis yang merupakan syarat ditegakkannya diagnosis sindrom Crouzon. Gejala lain yang dihubungkan dengan kondisi ini yaitu hilangnya pendengaran, deviasi septum nasal, kalsifikasi ligamentum stylohyoideus, kelainan tulang cervical dan stenosis foramen jugular. 7 Aspek Fungsional Untuk memahami secara penuh penatalaksanaan bedah pada anak-anak dengan sindrom craniosynostosis ini, penting untuk mengetahui proses

5

pertumbuhan craniofacial dan bagaimana hubungannya dengan fungsi tertentu dari aspek perkembangan. Pertumbuhan craniofacial yang normal ditunjukkan oleh 2 proses : penggantian dan remodeling tulang. Selama tahun pertama kehidupan, otak berkembang 3 kali lipat dalam hal ukuran dan tumbuh dengan cepat kira-kira sampai usia 6 atau 7 tahun. Pertumbuhan otak menyebabkan penggantian pada tulang frontal, parietal dan occipital yang melapisi dalam keadaan fungsional sutura yang terbuka, dan ini menstimulasi pertumbuhan tulang dan remodeling pada tulang tengkorak dan fossa crania. Pertumbuhan dan maturasi dari wajah mengikuti gradient craniocaudal, yang berlangsung dari akhir masa kanak-kanak sampai dewasa, dengan maturasi dari bagian atas wajah, diikuti dengan maturasi bagian tengah wajah dan akhirnya mandibula. Aspek fungsional dari perkembangan, yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan abnormal dari craniofacial, dijelaskan secara terpisah di bawah ini. 4 Tekanan Intrakranial Ukuran otak bertambah 3x lipat selama tahun pertama kehidupan dan berlanjut tumbuh sampai umur 6 atau 7 tahun. Pasien craniosynostosis dapat ditemukan pertumbuhan terhambat dari calvaria crania, menghasilkan perbedaan antara ukuran otak dengan volume intracranial, yang menghasilkan peningkatan tekanan intracranial. 4 Peningkatan tekanan intrakranial dapat diketahui dengan didapatkannya papiledema pada pemeriksaan funduskopi, dan pada tingkatan selanjutnya dapat ditemukan thumb printing atau beaten cooper appearance pada foto radiologi.

6

Namun sayangnya belum ada indikator yang dapat dipercaya untuk peningkatan tekanan intracranial pada pemeriksaan CT scan. Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi peningkatan tekanan intracranial dengan sensor epidural pada 358 anak dengan tipe craniosynostosis yang berbeda-beda, ditemukan bahwa anakanak dengan sinostosis sutura multiple memiliki tingkat peningkatan tekanan intracranial yang lebih tinggi (26 s/d 54%) dan pada populasi sindromik peningkatan tekanan intrakranial tercatat 66% pada pasien sindrom Crouzon dan 43% pada anak-anak dengan sindrom Apert. Meskipun telah didokumentasikan oleh CT scan 3-dimensi bahwa peningkatan tekanan intracranial dan volume ventricular terjadi setelah pembentukan calvaria crania, dan bahwa tekanan intracranial menurun, kita tidak dapat secara akurat menentukan hanya dengan CT scan saja kelompok pasien craniosynostosis yang mana yang akan meningkat tekanan intrakranialnya. 4 Perubahan visus Craniosynostosis dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal dari tulang tengkorak dan pada populasi pasien sindromik, seringkali disertai dengan midface hypoplasia. Pertumbuhan lambat dari bulbus oculi yang dangkal atau bentuknya yang abnormal dapat menyebabkan mata dan struktur disekitarnya berpindah dari posisi normalnya; yang dikenal sebagai exorbitisme. Exorbitisme dapat menyebabkan terpaparnya kornea dan berkembangnya keratitis, nyeri, infeksi pertumbuhan jaringan parut pada kornea dan lebih buruk lagi, ulserasi dan kebutaan. Seringkali derajat exorbitisme sangat parah sehingga intervensi bedah dibutuhkan dengan segera untuk melindungi bulbus okuli. 47

Permasalahan motilitas ocular sering muncul secara sekunder akibat bentuk dan ukuran bulbus okuli yang abnormal. Strabismus dan exotropia umum ditemukan. Perkembangan dan proses yang abnormal dari otot-otot okular telah sering dilaporkan pada anak-anak dengan sindrom Crouzon ataupun sindrom Apert. 4 Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan papiedema dan atrofi optik yang berakhir dengan kebutaan. Apakah atrofi optik merupakan akibat sekunder dari peningkatan tekanan intrakranial atau akibat sekunder dari kerusakan saraf karena kompresi ataukah suatu kekurangan aliran darah yang telah teradaptasi belum sepenuhnya jelas. 4 Atkinson, yang pada tahun 1936 mengumpulkan kasus yang dilaporkan sejak tahun 1912, menyatakan bahwa terdapat 86 kasus yang khas untuk sindrom Crouzon dan 8 kasus tidak khas. Pada 5 kasus tidak dilaporkan adanya divergensi, nistagmus hanya dilaporkan terdapat pada 6 kasus dan pada 28 atau 33% dari kasus tidak ditemukan adanya faktor herediter maupun penyakit yang sama pada anggota keluarga lain. 8 Hidrocephalus Meskipun insiden hidrocephalus dan craniosynostosis jarang, tampak bahwa diantara anak-anak dengan sindrom craniosynostosis , insiden

hidrocephalus meningkat secara signifikan, yaitu dilaporkan berkisar antara 410%. Terdapat peningkatan yang jelas dari hidrocephalus diantara anak-anak dengan sindrom Apert. Penyebab hidrocephalus masih belum jelas. Namun ada

8

teori yang menyatakan bahwa hidrocephalus disebabkan oleh peningkatan tekanan vena pada sinus sagital sebagai akibat sekunder dari obstruksi aliran vena karena craniosynostosis. Baik Hidrocephalus komunikans ataupun non-komunikans telah dilaporkan, tetapi bentuk komunikans lebih umum ditemukan. Hidrocephalus dapat ditemukan tanpa pembesaran kepala (yang sulit untuk diketahui pada pasien dengan sindrom craniosynostosis) ataupun tekanan intrakranial yang meningkat. CT scan atau USG preoperatif membantu menetapkan populasi yang beresiko. Jika ditemukan tanda dini dari pembesaran ventrikel yang progresif, prosedur shunting harus dilakukan untuk mencegah cedera otak. 4 Penatalaksanaan Bedah Pembedahan craniofacial merupakan ilmu bedah rekonstruksi pada tulang tengkorak, tulang wajah serta jaringan lunak dari wajah. Penatalaksanaan bedah pada pasien dengan sindrom craniosynostosis tercatat sejak akhir abad ke 19, dimana pada awalnya teknik-teknik yang digunakan dimaksudkan hanya untuk mengoreksi aspek fungsional dari deformitas. Teknik yang paling awal, craniectomy linier dan fragmentasi calvaria crania, masih berguna untuk sebagian kasus deformitas yang lebih berat untuk memproteksi otak dan mata sementara waktu, hingga prosedur craniofacial yang lebih definitif dapat dilakukan. Craniectomy sederhana atau morcellization dilakukan pada penderita bayi, namun sayangnya, disertai oleh reosifikasi dalam jumlah yang tinggi dan hanya akan memberikan hasil paling sederhana jika mobilisasi bulbus okuli dan midface telah dilakukan secara bersamaan. Sebagai tambahan tulang yang ter-reosifikasi memiliki kualitas buruk, sehingga tindakan koreksi definitif lebih sulit dilakukan.9

Pada tahun 1967, Tessier pertama kali mempublikasikan hasil koreksinya pada region forehead dan supraorbita yang mengalami resesi dengan menggunakan pendekatan intracranial yang memungkinkan osteotomi, mobilisasi dan reposisi secara akurat. Saat ini, pendekatan penanganan bedah untuk anak dengan sindrom craniosynostosis disertai dengan defisiensi midface memerlukan remodeling frontoorbital dan calvaria crania dini, prosedur advancement midface dengan atau tanpa distraksi (Le Fort III atau monoblok) dan pembedahan orthognatic sekunder untuk mengoreksi berbagai deformitas dentofacial (Le Fort I, osteotomi mandibular).4,9 Intervensi bedah untuk mengoreksi deformitas craniofacial pada pasien dengan sindrom craniosynostosis dapat dibagi menjadi prosedur yang dilakukan pada awal kehidupan (4-12 bulan) untuk membebaskan sutura, dekompresi calvaria crania, serta pembentukan kembali/ advancement orbita atas, dan prosedur yang dilakukan pada usia lebih tua (4-12 tahun) untuk pembedahan deformitas midface dan rahang. Waktu dan sekuens yang tepat bagi masingmasing prosedur bedah yang disebutkan sebelumnya tergantung pada kebutuhan fungsional dan psikologikal dari pasien. Pembahasan yang paling konroversial berputar sekitar waktu dilakukannya osteotomi midface. Dua pendekatan yang saat ini dilakukan : (a) menunggu sampai pertumbuhan seluruh midface dan lower face sempurna sebelum melakukan osteotomi dan advancement definitif. Atau (b) Melakukan advancement midface pada saat anak-anak dengan menyadari bahwa advancement kedua akan diperlukan saat pertumbuhan mandibular sempurna. Karena advancement midface biasanya dilakukan menggunakan teknik distraksi,

10

komplikasi kehilangan darah dan infeksi telah berhasil ditekan, menyebabkan prosedur tersebut lebih umum pada anak-anak. 4 Advancement Frontoorbital Tujuan utama pembedahan advancement frontoorbital ada 3 : (a) untuk membebaskan tulang yang mengalami synostosis dan dekompresi calvaria crania (b) untuk membentuk ulang calvaria crania dan advancement tulang frontal dan (c) advancement batang supraorbital yang mengalami retrusi, menghasilkan peningkatan proteksi terhadap bulbus okuli dan perbaikan penampakan estetik. Prosedur ini dilakukan melalui suatu insisi koronal. Dengan bekerja sama dengan tim bedah saraf, craniotomi frontal dilakukan untuk membebaskan sutura yang mengalami synostosis dan tulang frontal yang mengalami elevasi. Contoh jelasnya, anak mungkin telah menjalani craniotomi frontal oleh tim dokter bedah saraf untuk membebaskan sutura coronal saat diduga terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Reosifikasi biasanya terjadi pada usia 1 tahun. Sekali tulang frontal dipindahkan, maka otak akan secara perlahan mengalami retraksi, menghadap batangan supraorbital yang mengalami retrusi dan di advanced dengan cara tongue-in-groove dan diamankan dengan plate atau sutura yang resorbabel. 4

11

Gambar 2a

Gambar 2b

Advancement frontorbital. 2a: Garis osteotomi untuk advancement forehead dan supraorbita. 2b:Advancement frontoorbital dengan cara tongue-in-groove dan fiksasi dengan wire

Remodelling calvaria crania tergantung pada bentuk kepala preoperatif, untuk turricephaly yang parah, dilakukan pembentukan total calvaria crania; prosedur ini memungkinkan reduksi signifikan puncak vertical dari tengkorak. Untuk anak-anak dengan turricephaly sedang, hanya 1/3 anterior calvaria crania yang diremodelling. Batang supraorbital dan forehead di advance ke dalam suatu posisi overcorrected untuk memungkinkan adanya ruang bagi otak untuk tumbuh.4 Melanjutkan prosedur advancement frontoorbital awal dan remodeling calvaria crania ini, anak kemudian disesuaikan dengan basis usia 6-12 bulan oleh tim craniofacial. Pertumbuhan selanjutnya dari calvaria crania dan midface dipantau ketat dengan CT scan 3 dimensi, dan juga observasi klinis. Meskipun advancement frontoorbital menghasilkan dekompresi yang sangat baik dari

12

craniosynostosis dan perbaikan moderat dari bentuk calvaria crania pada awal periode post operatif, pertumbuhan terbatas yang berlanjut pada region calvaria crania dan midface seringkali member hasil yang buruk secara estetik dalam waktu lama pada pasien-pasien sindrom ini. Jika tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, exorbitisme yang berat, atau perkembangan abnormal dari bentuk calvaria crania, kadang0kadang operasi advancement frontoorbital dan prosedur remodeling calvaria crania yang kedua bahkan ketiga diindikasikan. 4 Koreksi bedah untuk deformitas midface Upaya yang pertama kali dilakukan untuk mengoreksi deformitas midface pada pasien-pasien sindrom craniosynostosis dilakukan oleh Sir Harold Gillies, yang melakukan prosedur prosedur Le Fort III. Prosedur tersebut, pada awalnya ditinggalkan oleh Gillies, lalu kemudian dipopulerkan oleh Tessier. 4

Gambar 3a

Gambar 3b

Advancement Le Fort III. 3a:Garis osteotomi. 3b:Advancement dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

13

Dapat dilakukan prosedur Le Fort III saja atau jika seluruh gigi permanen telah mengalami erupsi, dapat dilakukan bersamaan dengan bedah advancement Le Fort I. Prosedur bedah advancement dari bagian Le Fort III dalam penyesuaian dengan batangan frontal, dikembangan oleh Ortiz Monasterio. 4

Gambar 4a

Gambar 4b

Advancement monobloc. 4a:garis osteotomi monobloc. 4b:Advancement dari midface,orbita dan tulang frontal dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

Prosedur monobloc, meskipun menghasilkan keuntungan karena secara bersamaan mengoreksi deformitas supraorbital dan midface, dihubungkan dengan kehilangan darah yang lebih banyak dan tingkat infeksi yang lebih tinggi, yang lebih mirip hasil hubungan langsung antara cavum cranial dan cavum nasal. Resiko yang tinggi ini membuat prosedur monobloc pada periode neonates merupakan kontraindikasi. Saat ini, prosedur Le Fort III melalui pendekatan subcranial mungkin merupakan prosedur pilihan untuk mengoreksi deformitas midface; meskipun hasil yang baik dengan monobloc, khususnya melalui distraksi

14

telah dilaporkan. Waktu yang tepat untuk melakukan koreksi menyisakan kontroversi diantara ahli bedah craniofacial. Sebagian center craniofacial menganjurkan koreksi bedah secara dini antara usia 4 s/d 7 tahun; sementara yang lain memilih untuk menunggu sampai tercapai kematangan skeletal semasa pubertas, terkecuali jika obstruksi jalan napas atau exorbitisme berat mengharuskan pembedahan dini segera. Penganut pendapat penundaan koreksi bedah menghubungkan dengan bukti tingginya insiden rekurensi maloklusi kelas III pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan paling awal (4-9 tahun), seringkali membutuhkan prosedur Le Fort III sekunder pada usia belasan tahun. Penganut bedah koreksi dini dari deformitas midface percaya bahwa perbaikan estetik secara keseluruhan akan memberikan efek positif yang berarti secara psikologis dan meningkatkan kepercayaan diri pada anak-anak ini, dan mereka menerima prosedur Le Fort III atau osteotomi monobloc sekunder sebagai langkah standar pada penanganan pasien-pasien ini. 4 Distraksi Osteogenesis dari Midface Pada tahun-tahun terakhir, alternative prosedur Le Fort III atau monobloc 1 tahap dikembangkan. Karena pembungkus jaringan lunak yang melapisi dapat secara fisik mengurangi jumlah tindakan advancement yang mungkin dan berpengaruh terhadap kekambuhan tulang. Advancement melalui distraksi osteogenesis bertahap, awalnya penggunaannya pada skeleton appendikular dan mandibula telah dilakukan. Prosedur tersebut melibatkan Le Fort III standar atau osteotomi monobloc, tanpa advancement akut, dengan penempatan semiburied external atau semiburied distractor.15

Gambar 5CT scan 3 dimensi menggambarkan sebuah distraktor buried Le Fort III setelah advancement monobloc.Ujung distal plat difiksasi dengan baut dan sekrub ke segmen facial yang mobile sementara ujung proksimal plat difiksasi ke tulang temporal yang stabil.

Gambar 6Distraktor external tipe halo. Kerangka difiksasi ke tulang temporal dengan sekrup. Batangan vertical menghubungkan alat tersebut dengan segmen Le Fort yang mobile melalui peralatan dental. Aktivasi dari peralatan lengkap akan menarik segmen ke depan sebagai bentuk tulang baru

Alat ini yang memungkinkan peregangan atau adaptasi dari jaringan lunak atau advancement dari wajah secara perlahan sementara tulang baru terbentuk pada celah osteotomi. Pada hari ke 5 s/d 7 post operasi, saat callus awal telah terbentuk pada lokasi osteotomi, alat tersebut teraktivasi, memungkinkan16

terjadinya advancement 1 mm per hari sampai kemajuan pergerakan yang diinginkan tercapai. Hal ini diikuti oleh periode beberapa bulan selama tulang yang baru terbentuk pada celah osteotomi dimungkinkan untuk menguat (mengalami kalsifikasi osteoid). Kemudian dilakukan pelepasan distraksi. 4 Keuntungan dari distraksi diantaranya : (1) Kehilangan darah yang sedikit dan waktu operasi yang singkat pada prosedur awal (2) Advancement yang lebih besar (s/d 20 mm atau lebih) dibanding dengan standar teknih advancement (maksimum 6-10 mm) (3) tidak memerlukan pencangkokan tulang karena tulang baru terbentuk pada celah osteotomi (karena itu dinamakan distraksi osteogenesis) (4) Resiko infeksi yang lebih rendah dengan prosedur monobloc, dan (5) Kekambuhan yang jarang. Kerugiannya meliputi : (1) Dibutuhkan waktu yang lama untuk distraksi dan konsolidasi (2) Memerlukan prosedur kedua untuk melepas alat buried tersebut dan (3) Perlu menggunakan alat eksternal untuk waktu yang lama. 4 Secara keseluruhan, distraksi osteogenesis telah meningkatkan hasil yang dapat diperoleh untuk advancement midface dan pada saat yang bersamaan meminimalkan komplikasi. 4 Pembedahan Orthognatic Pola yang abnormal dari pertumbuhan wajah pada anak-anak dengan sindrom craniosynostosis seringkali menyebabkan deformitas dentofacial yang berat. Maloklusi kelas III, sekunder dari retrusi midface, merupakan deformitas yang paling umum ditemukan dan seringkali berkembang. Walaupun penanganan

17

bedah midface yang sesuai telah dilakukan. Tim yang menangani abnormalitas rahang ini meliputi orthodontist, dokter gigi dan ahli bedah craniofacial. Sebagai akibat dari komplesi pertumbuhan maksilla dan mandibula dan beberapa terapi orthodonthic prabedah yang dibutuhkan, koreksi bedah meliputi paling tidak osteotomi Le Fort I dengan sliding genioplasty yang mungkin diindikasikan. Prosedur bedah ini paling tidak dilakukan antara usia 14-18 tahun, disaat tulang wajah telah matang. 4 Pembentukan Kontur Facial Akhir Pada komplesi pertumbuhan wajah dan seluruh osteotomi mayor, iregularitas kontur dari tulang wajah masih dapat ada. Prosedur pembentukan kontur akan dilakukan pada saat ini. Prosedur ini diantaranya memperhalus iregularitas, menambahkan bone grafts atau bone substitute pada area yang berbeda ( contohnya semen Ca Carbonat) dan menutup jaringan lunak seperti midface atau canthus. 4 Masalah dapat terjadi selama dan setelah operasi. Diantaranya obstruksi jalan nafas, edema cerebral, perdarahan intrkranial, hydrocephalus, kerusakan otak, epilepsy, meningitis, abses otak, infeksi tulang, dll. Beberapa dari masalah ini dapat menjadi fatal terkecuali pasien dirawat dengan tepat. Meski operasi dilakukan dengan penuh kewaspadaan oleh tim bedah yang berpengalaman masih terdapat tingkat mortalitas sebanyak 1% dan insiden komplikasi berat sekitar 10% jika seluruh operasi craniofacial dimasukkan. 10

18

Kesimpulan Pada waktu lampau, anak-anak dengan sindrom craniosynostosis mendapat stigma sebagai anak-anak yang dipertanyakan mentalnya karena penampakan craniofacial mereka, disaat pada faktanya, mereka seringkali memiliki intelegensi yang normal. Ditemukannya teknik-teknik pembedahan craniofacial, meskipun masih jauh dari sempurna, memberikan kepada anak-anak ini penampakan wajah yang lebih normal dan kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan bergabung secara sosial dengan sebaya mereka. Penggunaan teknik-teknik operasi craniofacial yang lebih baru, termasuk pembedahan endoskopik dan osteodistraksi, diharapkan dapat meningkatkan hasil yang dicapai dengan komplikasi yang lebih sedikit. Osteogenesis distraksi telah memberikan hasil yang menjanjikan pada cranium dan midface. 4 Bagaimanapun, masa depan sebenarnya dari anak-anak dengan sindrom craniosynostosis berada di tangan genetika molekuler. Kemajuan dalam bidang ini telah memungkinkan identifikasi gen-gen dan mutasi yang berhubungan untuk berbagai sindrom craniosynostosis. Pada akhirnya, kemampuan untuk melakukan screening secara genetik dari mutasi DNA ini akan memungkinkan keluarga yang bersangkutan melakukan konseling dan mungkin, di masa yang akan datang, menjalani terapi genetik untuk mengoreksi mutasi tersebut. 4

19