cover volume 3 no 3 2019 - jurnal ekonomi pertanian dan

211
Volume 3 Nomor 3, April 2019 P-ISSN 2614-4670 E-ISSN 2598-8174

Upload: others

Post on 24-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Volume 3 Nomor 3, April 2019

P-ISSN 2614-4670 E-ISSN 2598-8174

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019)

i

JEPA adalah Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis berada di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang berisi tentang hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait. Topik keilmuan yang melingkupi adalah bidang ekonomi

pertanian dan agribisnis secara luas.

SUSUNAN PENGURUS Ketua Redaksi

Dr. Rosihan Asmara, SE. MP

Dewan Penyunting Dr. Sujarwo, SP. MP. M.Sc.

Fahriyah, SP. MP. Condro Puspo Nugroho, SP. MP.

Neza Fadia Reyasa, SP. MS.

Penyunting Pelaksana dan Administrasi Bagus Andrianto, SP.

ALAMAT REDAKSI

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang -65145, Jawa Timur.

Telp/Fax. (0341) 580054. Website: http://jepa.ub.ac.id

E-mail redaksi [email protected]

JADWAL PENERBITAN

JEPA diterbitkan empat kali setahun (bulan Januari, April, Juli, dan Oktober). Frekuensi penerbitan akan ditambah bila diperlukan. P-ISSN 2614-4670 | E-ISSN 2598-8174

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada Mitra Bestari yang diundang oleh redaksi Jurnal JEPA – Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, yaitu :

1. Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., MS (Kepala Pusat Kajian Agribisnis FPUB) 2. Prof. Dr. Ir. Jabal Tarik Ibrahim (Guru Besar FP UMM) 3. Prof. Dr. Ir. Dompak Napitupulu, MSc. (Guru Besar FP Univ. Jambi) 4. Dr. Ir. Suhirmanto, MP (STPP, Kementerian Pertanian RI) 5. Hery Toiba, SP. MP. Ph.D. (Unit Bisnis Akademik UB) 6. Dr. Teti Sugiarti, SP., M.Si (Agribisnis, Universitas Trunojoyo Madura)

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019)

iii

DAFTAR ISI

SUSUNAN REDAKSI i

UCAPAN TERIMAKASIH ii

DAFTAR ISI iii

Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian Sebagai Upaya Meminimalkan Risiko Gagal Panen di Lahan Sawah (Studi Kasus Petani Padi di Kabupaten Oki Sumatera Selatan) Nurilla Elysa Putri, Muhammad Yamin, Eries Anggraini, Ary Hayati ......................... 459

Dampak Penurunan Kuantitas dan Kualitas Pepaya pada Perubahan Sosial Masyarakat di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember Nindri Dwita Nur Afkarina, Bening Dwita Kartikasari, Maginda Pungky Maulana .... 470

Pengaruh Lag Impor, Produksi, Harga Domestik, Harga Impor, Nilai Tukar dan PDB Terhadap Impor Jeruk Serta Peramalan Impor Jeruk di Indonesia Maria Pangestika, Yuliawati ...................................................................................... 477

Evaluasi Penggunaan Kerangka Sampel Area Sebagai Metode Baru Dalam Mengukur Produktivitas Padi di Indonesia Diana Dwi Susanti ..................................................................................................... 487

Kerentananketahanan Pangan Wilayah dan Hubungannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dalam Konsep “Wellbeing” Muhammad Yamin, Nurilla Elysa Putri, Eka Mulyana ............................................... 495

Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Penjualan Padi Sistem Tebasan dan Non Tebasan Pada Petani Padi Sawah di Desa Pojoksari Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang Helena Hardina Gamma Puspita ............................................................................... 503

Peran Lembaga Formal Dan Informal Dalam Pengembangan Agroindustri di Kabupaten Limapuluh Kota Rini Hakimi, Melinda Noer, Nofialdi, Hasnah ............................................................ 511

Manajemen Rantai Pasok dan Usahatani Bayam Hijau Organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk di Desa Penanggungan Trawas Mojokerto Deby Chyntia Wahyu Febriani1, Jani Januar, Joni Murti Mulyo Aji........................... 526

Peran Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Kelompok Tani Tanaman Hortikultura di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Desy Natasha V.D. Marbun, Sriroso Satmoko, Siwi Gayatri ....................................... 537

Analisis Biaya Transaksi pada Rantai Pasok Ikan Tuna di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sendangbiru Kabupaten Malang Yunita Pane, Budi Setiawan, Anthon Efani ................................................................. 547

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019)

iii

Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak dalam Pelayanan Inseminasi Buatan Menggunakan Analisis Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance Performance Analysis (IPA) Isna Sa’adah, Mukson , Yon Soepri Ondho ................................................................ 557

Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Indah Pratiwi, Setyowati, Mei Tri Sundari ................................................................. 568

Analisis Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya Iis Rina Mulyawati .................................................................................................... 578

Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata dan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Sapi Sonok di Pulau Madura Farahdilla Kutsiyah ................................................................................................... 587

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Penjualan dan Peramalan Volume Penjualan Kopi di PT Perkebunan Nusantara IX Madelin Christin Libriani Sinaga, Edy Prasetyo, Kustopo Budirahardjo .................... 601

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Tandan Buah Segar Buah (TBS) Kelapa Sawit di Kebun Bangun Bandar, PT. Socfin Indonesia Prian Ruri Pratama Manurung, Lestari Rahayu Waluyati, dan Slamet Hartono ......... 609

Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Pipit, Yudi Sapta Pranoto, Evahelda .......................................................................... 620

Model Pengembangan Usahatani Terubuk (Saccharum Edule Hassk) Reny Sukmawani, Ema Hilma Meilani, Asep M Ramdan ............................................ 632

Pengaruh Faktor Internal Penyuluh Terhadap Kompetensi Penyuluh Dalam Diklat Dasar Fungsional di BPP Lembang Lucy Natami Figna, Siti Amanah, Anna Fatchiya ....................................................... 641

Peningkatan Kinerja Agroindustri Pisang dengan Pendekatan Sustainable Livelihoods Dwi Retno Andriani, Budi Setiawan, Djoko Koestiono, Abdul Wahib Muhaimin ......... 647

Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Kota Batu Rini Mutisari, Deny Meitasari………………………………………………………………...

655

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 459-469

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.1

PERSEPSI PETANI TERHADAP ASURANSI PERTANIAN SEBAGAI UPAYA MEMINIMALKAN RISIKO GAGAL PANEN DI LAHAN SAWAH

(Studi Kasus Petani Padi Di Kabupaten OKI Sumatera Selatan)

PERCEPTION OF FARMERS ON AGRICULTURAL INSURANCE AS THE EFFORTS TO MINIMIZE THE RISK OF HARVEST IN THE FARM LAND

(Case Study of Rice Farmers in OKI District of South Sumatra)

Nurilla Elysa Putri*, Muhammad Yamin, Eries Anggraini, Ary Hayati Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Agricultural insurance is one solution for farmers to minimize the risk of crop failure. The condition of climate change, especially flooding that occurs in paddy fields, of course requires an effort to minimize the risk of crop failure for farmers, one of the efforts that have been made is to provide agricultural insurance for farmers. In Ogan Komering Ilir (OKI) Regency this agricultural insurance program has been implemented. Therefore research or study is needed on farmers 'perceptions of agricultural insurance as an effort to minimize the risk of crop failure, so the purpose of this study is to measure farmers' perceptions of agricultural insurance as an effort to minimize the risk of crop failure in rice fields. Identify what factors support and hinder the implementation of insurance and formulate recommendations for developing agricultural insurance that can be done. Hasil dari penelitian ini menujukkan bahwa Persepsi Petani terhadap asuransi Pertanian secara umum sangat baik. Indikator yang masih perlu diperbaiki adalah sosialisasi asuransi pertanian yang baru dilakukan satu kali serta perbaikan pada jumlah klaim asuransi yang diajukan petani baik dari lamanya waktu pembayaran maupun dalam jumlah klaim yang dibayarkan. Rekomendasi pengembangan program yang diprioritaskan agar asuransi pertanian dapat berkelanjutan adalah kegiatan sosialisasi secara berkala dari pihak perusahaan penyedian asuransi pertanian, pemilahan tingkat premi dan klaim berdasarkan tipologi lahan, peninjauan langsung oleh pihak asuransi saat ada klaim yang diajukan petani sehingga lebih objektif.

Keywords: Perception, Agricultural Insurance, Risk, Harvest Failure, Rice Field

ABSTRAK

Asuransi pertanian merupakan salah satu solusi bagi petani untuk meminimalkan risiko akibat gagal panen. Kondisi perubahan iklim khususnya banjir yang terjadi di lahan sawah ini tentunya memerlukan upaya dalam meminimalkan resiko gagal panen bagi petani, salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah memberikan asuransi pertanian bagi petani. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) program asuransi pertanian ini sudah dijalankan. Oleh karena itu diperlukan penelitian atau kajian tentang persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai

460 JEPA, 3 (3), 2019: 459-469

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

upaya meminimalkan resiko gagal panen, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah mengukur persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai upaya meminimalkan resiko gagal panen dilahan sawah. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan asuransi serta merumuskan rekomendasi pengembangan asuransi pertanian yang dapat dilakukan. Hasil dari penelitian ini menujukkan bahwa Persepsi Petani terhadap asuransi Pertanian secara umum sangat baik. Indikator yang masih perlu diperbaiki adalah sosialisasi asuransi pertanian yang baru dilakukan satu kali serta perbaikan pada jumlah klaim asuransi yang diajukan petani baik dari lamanya waktu pembayaran maupun dalam jumlah klaim yang dibayarkan. Rekomendasi pengembangan program yang diprioritaskan agar asuransi pertanian dapat berkelanjutan adalah kegiatan sosialisasi secara berkala dari pihak perusahaan penyedian asuransi pertanian, pemilahan tingkat premi dan klaim berdasarkan tipologi lahan, peninjauan langsung oleh pihak asuransi saat ada klaim yang diajukan petani sehingga lebih objektif.

Kata kunci: : Persepsi, Asuransi Pertanian, Risiko, Gagal panen, Lahan Sawah

PENDAHULUAN

Kondisi perubahan iklim khususnya banjir yang terjadi dilahan sawah ini tentunya memerlukan upaya dalam meminimalkan resiko gagal panen bagi petani, salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah memberikan asuransi pertanian bagi petani. Kehilangan hasil saat panen merupakan permasalahan yang dihadapi petani dilahan sawah, salah satunya adalah bencana banjir akibat adanya perubahan iklim. Banjir di lahan sawah seringkali mengaibatkan kerugian baik gagal tanam maupun gagal panen bagi petani sawah. Permasalahan ini perlu diberikan solusi agar tidak terjadi penurunan hasil produksi dan penurunan pendapatan petani.Untuk mendukung keberlanjutan program asuransi pertanian dan memberikan arahan pengembangannya maka diperlukan adanya penelitian atau kajian tentang persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai upaya meminimalkan resiko gagal panen. Sebagian besar penelitian seperti yang dilakukan oleh Townsend dan Morduch (1991) di India, Alderman dan Garcia (1992) di Pakistan, Deaton (1992) dan Udry (1990) di Nigeria menyatakan bahwa menolak model jaminan penuh (full ensurance model), namun banyak hasil penelitian menyatakan tetap konsisten pada beberapa tingkat risk-sharing. Menurut Morduch (1992) bahwa kendala modal potensial rumahatangga ditunjukkan dengan diversifikasi usahatani dibandingkan rumahtangga lain karena untuk mengurangi risiko.

Pemberian program Asuransi Pertanian sudah mulai dilaksanakan dan hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan resiko kehilangan hasil panen. Akan tetapi program ini belum dilakuan di semua daerah dan lokasi sawah yang mengalami banjir, saat ini yang baru melaksanakan salah satunya adalah di Kabupten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selata. Secara umum, tujuan asuransi pertanian adalah untuk (1) menstabilkan pendapatan petani melalui pengurangan tingkat kerugian akibat kehilangan hasil, (2) mendorong petani mengadopsi teknologi usahatani agar lebih produktif dan efisien, dan (3) mengurangi risiko yang dihadapi lembaga perkreditan serta meningkatkan akses petani ke lembaga tersebut (Nurmanaf et al, 2007:5; Sumaryanto dan Nurmanaf, 2007:94; PASEKP, 2009:17; Supartoyo dan Kasmiati, t.t.:2).

Oleh karena Asuransi Pertanian di Sumatera Selatan relatif baru, maka untuk mengembangkan Asuransi Petani perlu digali persepsi petani yang ikut asuransi tersebut. Menurut Leavit (dalam Sobur, 2003:445) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan

Nurilla Elysa Putri – Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

461

atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi (perception) adalah proses pembentukan kesan, yang sering menjadi dasar bagi tindakan masyarakat (Putri, 2015). Mahul dan Stutley (2010) dalam FAO (2011:21-22) mempertanyakan efektivitas asuransi pertanian apabila diterapkan secara terpisah dengan layanan pertanian lainnya seperti pelatihan dan penyuluhan, penyediaan faktor produksi tepat waktu (benih, pupuk dan pestisida) serta saluran pemasaran produk-produk pertanian yang efisien. Tingginya biaya untuk mensubsidi program asuransi pertanian juga sudah diingatkan oleh Siamwalla dan Valdes (1986) dalam Hazell et al (1986:117).

Sehingga diperlukan kajian atau penelitian yang dapat membantu rumahtangga petani melakukan upaya meminimalkan risiko akibat terjadinya banjir pada lahan usaha tani sawah melalui Asuransi Pertanian. Dari uraian diatas maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai upaya meminimalkan risiko gagal panen dilahan sawah. Sehingga tujuan dari penelitian ini adala mengukur persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai upaya meminimalkan resiko gagal panen di lahan sawah.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, wilayah penelitian dipilih dengan cara sengaja (purposive) yaitu Di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan karena provinsi tersebut telah melaksanakan asuransi pertanian dan juga sekaligus merupakan lumbung pangan. Dengan demikian hasil penelitian ini akan lebih bermanfaat karena dilakukan di daerah yang menjadi andalan nasional dalam penyediaan pangan. Daerah pertanian yang akan diambil sebagai contoh juga dipilih secara sengaja (purposive) dengan kriteria sebagai wilayah lumbung pangan provinsi Sumatera Selatan dan areal persawahannya terkena bencana banjir yang telah mengikuti asuransi pertanian. Upaya adaptasi berupa asuransi pertanianuntuk meminimalkan kerugian hasil panen akibat terjadinya bencana banjir karena adanya perubahan iklim memerlukan strategi dalam pengelolaan dan meminimalkan risiko agar rumahtangga petani mampu memiliki ketahanan ekonomi dari sumber pendapatan yang berkelanjutan ditengah bencana banjir akibat perubahan iklim sehingga dapat menjadi instrumen bagi pengambil kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan. Secara keseluruhan kegiatan penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, yang dimulai bulan Juni 2018 dan berakhir hingga bulan Desember 2018.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei (Mantra, 1998; Sugiyono, 2009), menjelaskan bahwa metode penelitian survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dan gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah dengan menggunakan sampel yang mewakili populasi. Metode survei digunakan untuk mengungkapkan masalah-masalah ataupun mendapatkan kebenaran tentang keadaan maupun praktek-praktek yang tengah berlangsung. Namun demikian analisisnya dilakukan masing-masing sejalan dengan metode penelitiannya.

Metode penarikan sampel wilayah yang digunakan adalah metode penarikan contoh yang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap terhadap wilayah penelitian. Sedangkan penentuan sampel petani dilakukan dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Adapun unit analisis (sample frame) dalam penelitian ini adalah petani padi yang sawahnya mengalami bencana banjir akibat perubahan iklim. Pada penelitian ini akan diambil

462 JEPA, 3 (3), 2019: 459-469

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

sampel sebanyak 30 orang dengan kata lain jumlah sampel proportionate di dua desa di wilayah Sumatera Selatan yang terkena banjir pada lahan sawah. Dengan asumsi sanple adalah homogen. Selain itu akan digali informasi dari instansi atau lembaga/pemerintah setempat yang berkaitan dengan penelitian ini. Supaya mendapatkan informasi yang penyeluruh maka akan dipilih secara sengaja tokoh-tokoh formal maupun nonformal untuk mewakili populasi yang memenuhi kriteria tersebut sebagai sumber informasi (key informan).

Data yang dikumpulkan akan diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan statistik serta konsep penghitungan sesuai kajian yang kemudian dilanjutkan dengan analisis deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil yang didapat dalam bentuk uraian yang sistematis. Metode analisis data yang dikumpulkan melalui kuisioner diperiksa ulang 10 % diantaranya untuk uji validitas dan reabilitas sehinga lebih diyakini kebenarannya. Sedangkan data sekunder dicek silang antar beberapa sumber data, dan setelah itu baru diedit dan disusun secara tabulatif dan dikelompokkan sesuai dengan jenis data serta tujuan penelitian. Data tersebut dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut: Interval Kelas: Untuk mengukur persepsi petani terhadap asuransi pertanian sebagai upaya meminimalkan resiko gagal panen dilahan sawah dilakukan pengukuran persepsi dengan menggunakan interval kelas (skoring). Data yang diperoleh dari lapangan diolah dengan berbagai cara. Data yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap asuransi pertanian akan diukur dengan skala ordinal berdasarkan penilaian skor yaitu; skor 1 untuk kategori tidak baik skor 2 untuk kategori kurang baik skor 3 untuk kategori baik skor 4 untuk kategori sangat baik Setelah pemberian skor data kemudian ditransformasikan kedalam indeks indikator. Rumus trasnformasi yaitu:

!"#$"&'()* = 100./0#$ℎ23450$* − ./0#$ℎ23450"' *(./0#$ℎ2345("8$9$" − ./0#$ℎ23450"'. )

Nilai indeks indikator berada pada selang nilai 0 – 100. Kriteria penilaiannya dibagi kedalam empat klasifikasi dengan panjang interval= 100-0/4 = 25,00. Interval skor dan konversi, serta kriterianya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Interval dan kriteria Skor

Nilai skor Interval skor Interval konversi Kriteria 1 1,00 - 1,75 0,00 - 25,00 Tidak Baik 2 1,76 – 2,50 25,01 - 50,00 Kurang Baik 3 2,51 - 3,25 50,01 - 75,00 Baik 4 3,26 – 4,00 75,01 - 100,00 Sangat Baik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Program Asuransi Pertanian di Desa Karang Agung Program Asuransi Pertanian yang dikaji dalam penelitian ini adalah asuransi pertanian yang

di ikuti oleh Gapoktan Karang Agung Makmur di Desa Karang Agung Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Komering Ilir. Gapoktan ini terdiri dari 13 Kelompok tani, dan mulai

Nurilla Elysa Putri – Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

463

mengikuti program Asuransi Pertanian seja tahun 2015 dengan Asuransi Pertanian PT Jasindo.Program Asuransi Pertanian ini merupakan program nasional dari PT Jasindo, Desa Karang Agung yang pertama kali masuk menjadi peserta Asuransi Pertanian di Kecamatan Jejawi dikarenakan selalu menderita gagal panen, penyebab gagal panen sangat bervariasi mulai dari serangan hama tikus, banjir dan kekeringan. Sehingga saat ada sosialisasi dari pemerintah daerah tentang asuransi pertanian ini maka banyak petani yang berminat untuk ikut serta.

Pada Tahun 2015 dilakukan uji coba asuransi pertanian di Desa Karang Agung dan berhasil, dimana dalam tahap ujicoba ini diberikan subsidi premi dari pemerintah Kabupaten OKI sebesar 80% yaitu Rp. 180.000/Ha/MT., sehingga petani hanya membayar sisanya sebesar Rp. 36.000,-/Ha/MT. Total premi setiap petani yang disetor ke pihak penyedia Asuransi dalam hal ini PT. Jasindo adalah sebesar Rp. 216.000,-/Ha/MT.

Tabel 2. Jumlah Premi dan Klaim Asuransi Pertanian Di Desa Karang Agung, OKI

No Keterangan Asuransi Pertanian Jumlah (RP/Ha/MT) 1 Subsidi Premi Yang dibayarkan Pemerintah Kabupaten

OKI (Ha/MT) Rp. 180.000,-

2 Premi yang dibayarkan Petani (Ha/MT) Rp. 36.000,- 3 Klaim Asuransi Pertanian yang diterima Petani Tahun

2016 Rp. 6.000.000,-

4 Klaim Asuransi Pertanian yang diterima Petani pada Tahun 2017

Rp. 1.500.000,-

Pada Tahun 2016 dilakukan lagi ujicoba tahap kedua untuk keikutsertaan asuransi pertanian

PT Jasindo, pada musim tanam pertama Tahun 2016 ini terjadi gagal panen dikarenakan banjir pada lahan sawah, dimana debit air terlalu tinggi sehingga sawah tergenang banjir dan gagal panen. Pada musim tana mini dilakukan Klaim premi kepada PT Jasindo dan setiap petani mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 6.000.000,0/Ha. Penagjuan klaim baru dapat dilakuka setelah umur padi lebih dari 15 hari, dengan dilengkapi bukti foto kondisi sawah yang tergenang banjir.Setelah keberhasilan klaim pertama ini maka banyak petani yang ikut serta dalam asuransi pertanian ini.

Pada Tahun 2017 terjadi gagal panen yang mencapai 99 Ha aibat deit air yang tinggi sehingga banjir dilahan sawah yang mengakibatkan gagal tanam. Pada kondisi ini diajukan klaim asuransi pertanian ke phak PT Jasindo, akan tetapi jumlah klaim yang disetujui hanya 26 persen yaitu sebesar Rp. 1.500.000,-. Untuk kondisi ini petani sendiri tidak memahami mengapa klaim hanya disetujui 25 persen, hal ini dikarenakan tidak adanya sosialisasi dari perusahaaan tentang kondisi klaim dan peraturan serta mekanisme klaim asuransi pertanian yang berlaku. Proses klaim diajukan melalui PUPT ke PT Jasindo dengan melengkapi persyaratan dari petani beserta bukti foto-foto kondisi kejadian banjir dilahan sawah. Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian

Pengukuran persepsi petani terhadap asuransi pertanian dilakukan berdasarkan enam indikator penilaian yang masing masing indikator terdiri dari tiga parameter. Hasil pengukuran persepsi petani peserta asuransi pertanian di Desa Karang Agung Ogan Komering Ilir, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi program Asuransi Pertanian yang telah dilaksanakan di Desa Karang Agung.

Sosialisasi Asuransi Pertanian

Pada tahap awal dimulainya program Asuransi Pertanian PT Jasindo ini telah dilakukan kegiatan sosialisasi oleh Pihak perusahaan bersama pemerintah daerah, kegiatan sosialisasi ini

464 JEPA, 3 (3), 2019: 459-469

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

di fasilitasimoleh PUTP Tingkat Propinsi Sumatera Selatan. Kegiatan sosialisasi ini dilaukan satu kali diawal program Asuransi Pertanian pada Tahun 2015. Dalam kegiatan sosialisasi ini diberikan penyampaian informasi tentang akan diadakannya asuransi pertanian bagi pengurangan resiko gagal tanam dan agal panen dilahan sawah. Kegiatan sosialisasi tahap awal ini telah berasil dilakukan meskipun tidak semua petani yang menjadi peserta telah mengikuti kegiatan sosialisasi ini. Karena Sosialisasi hanya dilakukan satu kali pada saat perkenalan program, banyak hal yang belum dipahami petani peserta asuransi terutama terkait laim asuransi. Pada Sosisalisasi ini petani memahami tentang pentingnya keikutsertaan dalam asuransi pertanian, sehingga para petani memutusan untuk menjadi peserta asuransi pertanian ini.

Tabel 3. Persepsi Petani terhadap Kegiatan Sosialisasi Asuransi Pertanian No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor

rata- rata

Kriteria Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Keikutsertaan dalam kegiatan sosialisasi sebelum mendaftar sebagai peserta asuransi pertanian

0,00%

30,00%

20,00%

50,00%

73.33

Baik

2 Informasi mengenai Asuransi Pertanian dari sosialisasi

0,00%

70,00%

30,00%

0,00%

47.78

Kurang Baik

3 Peningkatan pengetahuan mengenai asuransi pertanian

0,00% 26,67% 33,33% 40,00% 72,22 Baik

4 Total Rata-Rata 0,00% 42,22% 27,78% 30,00% 64.44 Baik Pada tabel terlihat bahwa hasil pengukuran terhadap indikator sosialisasi Asuransi

Pertanian berada pada kriteria baik dengan skor 64,44. Hal ini meunjukkan bahwa para petani peserta asuransi pertanian menganggap kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan pada tahap awal program telah dilakukan dengan baik, meskipun masih ada kekurangan yang dirasakan petani.

Jika dilihat pada kriteria hasil pengukuran maka parameter yang masih kurang baik yaitu informasi tetang asuransi pertanian dari sosialisasi, hal ini dikarenakan pada tahap sosialisasi petani belum mengetahui tentang prosedur klaim dan ketentuan klaim yang berlaku. Jika dilihat dari parameter keikutsertaan dalam sosialisasi berada pada kriteria baik dengan skor 73,33. Hal ini dikarenakan beerepa petani yang saat ini mejadi peserta asuransi pertanian belum mendaptkan sosialisasi karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali diawal program yaitu pada Tahun 2015, sehingga petani yang ikut serta setelahnya tidak mendaptan kegiatan sosialisasi ini.

Pendaftaran Sebagai Peserta Asuransi Pertanian

Pada tahap awal keikutsertaan petani sebagai peserta asuransi pertanian dilakukan pendaftaran calon peserta, prosedur pendaftaran dikelola oleh Dinas Pertanian Provinsi yang dilakukan pengajuan melalui dampingan dari PPL. Pendaftaran peserta cukup mudah degan syarat yang menurut petani tidak terlalu banyak.

Nurilla Elysa Putri – Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

465

Tabel 4. Persepsi petani terhadap sebagai Pendaftaran Peserta Asuransi Pertanian No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor

rata- rata

Kriteria Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Kemudahan mendaftar sebagai peserta asuransi pertanian

0,00%

3.33 %

3.33%

93.33%

96.67

Sangat Baik

2 Kemudahan Persyaratan pendaftaran asuransi pertanian

0,00%

0,00%

6.67%

93.33%

97.78

Sangat Baik

3 Kemudahan prosedur pengurusan dan pelayanan petugas asuransi pertanian

0,00%

0,00%

46.67 %

53.33%

84.44

Sangat Baik

4 Total rata-rata 0,00% 3.33% 46.77% 50.00% 92.96 Sangat Baik Pada tabel terlihat bahwa secara total hasil pengukuran menunjukkan kriteria sangat

baik dengan skor 92,96. Hal ini menunjukkan bahwa petani peserta asuransi pertanian ini merasakan bahwa cara pendaftran program ini sangat mudah, begitu juga dengan persayaratan yang harus dlengkapi juga mudah terlihat dari hasil skor perseps petani sebesar 97,78 yang berada pada kriteria sangat baik. Begitu juga dengan prosedur pengurusan dan pelayanan petugas asuransi dirasakan sangat mudah oleh petani, dikarenakan pengurusan dokumen di fasilitasi oleh PPL yang mengumpulkan dokumen dari petani ke pihak PT Jasindo sehungga petani merasakan kemudahan dalam pengurusan dokumen yang juga dibantu dalam melengkapinya.

Premi Asuransi Pertanian

Pada program asuransi pertanian yang diikuti petani di Desa karang Agung ini pembayaran premi saat ini masih mendapatan subsidi pemerintah yaitu sevesar 80% dari total premi yang harus dibayarkan petani, sehingga petani hanya membayarkan sisanya sebesar 20%. Hal ini dirasaan sangat membantu bagi petani karena premi yang sangat ringan dan resiko gagal panen yang diminimalkan dengan adanya jaminan klaim asuransi pertanian ini.

Tabel 5. Persepsi Petani Terhadap Premi Asuransi Pertanian No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor

rata-rata Kriteria

Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Premi asuransi pertanian sudah sesuai kesanggupan petani

0,00%

0,00%

3.33%

96.67%

98.89

Sangat Baik

2 Subsidi premi yang dibayarkan pemerintah sudah cukup

0,00%

0,00%

90.00%

10.00%

70.00

Baik

3 Kesanggupan membayar premi meskipun tidak ada lagi subsidi dari pemerintah

0,00%

0,00%

96.67%

3.33%

68.89

Baik

4 Total Rata-rata 0,00% 0,00% 3,33% 96.67% 79.26 Sangat Baik Pada indikator premi asuransi pertanian secara umum petani peserta asuransi pertanian

menyatakan sangat baik, hal ini terlihat pada skor ahsil pengukuran sebesar 79,26. Meskipun berada pada kriteria sangat baik, anamu ada beberapa parameter yang menurut petani peserta asuransi harus di tingkatkan lagi yaitu pada parameter kesanggupan membayar premi, dimana petani belum mengetahui hingga kapan dan berapa lama lagi pemerintah memberikan subsidi

466 JEPA, 3 (3), 2019: 459-469

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

pembayaran premi asuransi pertanian ini. Untuk kondisi saat in petani meraskan sanggup membayar premi yang terasa murah dikarenakan di subsidi pemerintah. Untuk itu petani berharap ada evaluasi dalam hal pemberian besar premi yang diberlaukan nantinya setelah tidak ada lagi subsidi dari pemerintah sehingga petani sanggup untuk terus menjadi peserta asuransi pertanian ini.

Klaim Asuransi Pertanian

Klaim yang diberikan pihak asuransi telah dirasakan petani pada gagal tanam tahun 2016 dimana 25 ha lahan sawah tergenang banjir, pada tahun ini klaim yang diajukan petani dipenuhi pihakm asuransi seesar Rp. 6.000.000/ha/MT. Jumlah klaim ini telah dirasajan sangat membantu meminimalkan resiko kerugian yang dialami petani sawah didaerah ini.

Tabel 6. Persepsi Petani Terhadap Klaim Asuransi Pertanian

No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor rata-rata

Kriteria Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Mekanisme klaim ketika gagal panen

0,00% 3.33 23.33 73.33 85.56

Sangat Baik

2 Jumlah ganti rugi yang diberikan sesuai

0,00% 3.33

80.00

16.67 71.11

Baik

3 Syarat pengajuan klaim sudah sesuai dan mudah dipenuhi petani

0,00%

0,00%

86.67

13.33

70.00

Baik

4 Total rata-rata 0,00% 3.33 83.33 13.33 75.56 Baik

Hasil pengukuran terhadap indikator klaim asuransi pertnian di Desa Karang Agung

menunjukkan bahwa para petani peserta asuransi berpendapat klaim yang diberikan baik, akan tetapi belum sangat baik dikarenakan adanya perbedaan jumlah gant rugi yang diberikan pada tahun 2016 dengan klaim yang dibayarkan pada tahun 2017. Klaim yang dibayarkan pada tahun 2017 hanya 25 persen dari nilai yang dibayarkan pihak asuransi ke petani pada tahun 2016. Hal inilah yang menyebabkan persepsi petani masih berada pada skor 71,11 pada parameter jumlah ganti rugi yang diberikan.

Selain itu petani juga mengharapkan adanya pihak asuransi yang datang langsung meninjau lokasi saat terjadi banjir sehinga klaim yang diajukan petani tidak dianggap laporan plasu dan petani bisa memperolwh klaim asuramsi yang sesuai dengan ketentuan asuransi.

Manfaat Asuransi Pertanian

Manfaat mengikuti program asuransi pertanian ini sangat dirasakan oleh petani, karena suransi telah membantu petani saat mengalami gagal panen sehingga penggatian klaim dapat digunakan untuk permodalan usahatani kembali pada musim tanam beerikutnya. Selain itu manfaat yang drasakan petani adaah rasa aman dalam berusahatani, tingat kerugian yang bisa diminimalkan membuat petani merasa lebih aman dan lebi bersemangat dalam melakukan kegiatan usahatani sawah meskipun pada lahan yang berisiko tinggi mengalami bencana banjir dan kekeringan.

Nurilla Elysa Putri – Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

467

Tabel 7. Persepsi Petani Terhadap Manfaat Asuransi Pertanian No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor

rata-rata Kriteria

Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Terjaminnya usahatani 0,00% 0,00% 33.33 66.67 88.89 Sangat Baik 2 Klaim dapat dijadikan

modal usahatani kembali setelah gagal panen

0,00%

0,00%

26.67

73.33

91.11

Sangat Baik

3 Kemudahan mengakses sumber sumber permodalan

0,00% 0,00% 90.00 10.00 70.00 Baik

4 Total rata-rata 0,00% 0,00% 36.67 63.33 83.33 Sangat Baik Hasil pengukuran persepsi pada indikator manfaat asuransi pertanian menujukkan

bahwa petani merasakan manfaat yang sangat baik, hal ini terlihat dari nilai skor sebesar 83,33 dan berada pada kriiteria sangat baik. Manfaat yang sangat tinggi adalam klaim yang isa diperoleh petani sehingga dapat digunakan sebagai modal kembali sehingga kerugian petani lebih kecil dari sebelumnya. Namun pada parameter kemudahan mengakse sumber permodalam masih relative rendah dengan skor 70,00 dikarenakan p-ada saat ini manfaat asuransi yang diiuti belum memberikan akses permodalan lainnya selain dari klaim asuransi pada saat gagal panen.

Potensi keberlanjutan Asuransi Pertanian

Potensi keberlanjutan program Asuransi Pertanian di Desa Karang Agng masih sangat besar, para petani yang menjadi peserta asuransi saat ini menyatakan bahwa asurans yang diikuti ini sangat membentu meminimalkan resiko usahatan yang dilaukan. Untuk keberlanjutan program asuransi ini petani erarap dapat juga dilakukan untuk komoditi selain padi, karena oara petani rata-rata juga menanam cabai dan palawija yang dijual setiap hari dan juga rentan mengalami kerugian akibat banjir dan hama tikus.

Keberlanjutan program juga terlihat degan masih banyaknya petani yang ingin menjadi pesrta asuransi pertanian di desa ini, dengan melihat adaya pesrta yang telah berhasil melakukan klaim dan memeproleh pertannggungan asuransi maka banyak petani lainnya yang juga berminat untuk ikutserta dalam asuransi pertanian.

Tabel 8. Persepsi Petani Terhadap Potensi Keberlanjutan Asuransi Pertanian No Parameter Frekuensi Jawaban Responden Skor

rata-rata Kriteria

Tidak Baik

Kurang Baik

Baik Sangat Baik

1 Keinginan petani untuk mengikuti terus asuransi pertanian

0,00%

0,00%

10.00%

90.00%

96.67

Sangat Baik

2 Program sudah sangat baik untuk dilanjutkan

0,00% 0,00% 6.67%

93.33%

96.67

Sangat Baik

3 Minat petani semakin banyak dan dapat dikembangkan ke desa desa lain

0,00%

0,00%

66.67%

33.33%

77.78

Sangat Baik

4 Total rata-rata 0,00% 0,00% 33.33% 66.67% 90.37 Sangat Baik

Hasil pengukuran persepsi terhadap potensi keberlanjutan asuransi pertanian menunjukan

berada pada kriteria sangat baik dengan skor 90,37. Hal ini dikarenakan masih tingginya minat petani yang belum menajadi pesrta untuk mendaftar sebagai peserta asuransi pertanian dan tingginya minat petani yang sudah menjadi peserta untuk terus menjadi pesrta asuransi pertanian ini. Desa desa sekitar yang assat ini mulai tertarik juga untuk mengikuti asuransi pertanian ini.

468 JEPA, 3 (3), 2019: 459-469

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari kegiatan penelitan yang telah dilakukan maka dapat diperoleh beberapa kesimpulah

yaitu persepsi petani terhadap asuransi Pertanian secara umum sangat baik, terutama pada indikator pendaftaran sebagai peserta asuransi yang dirasakan sangat mudah dan pada indikator potensi keberlajutan Asuransi Pertanian dimana minat petani untuk terus mengiuti asuransi ini sangat tinggi. Indikator yang masih perlu diperbaiki adalah sosialisasi asuransi pertanian yang hanya dilakukan satu kali sehingga dirasakan perlu dilakukan secara berkala serta perbaikan pada jumlah klaim asuransi yang diajukan petani baik dari lamanya waktu pembayaran maupun dalam jumlah klaim yang dibayarkan. Saran

Pembangunan sarana infrastuktur dapat di prioritaskan pada pembuatan saluran air dipersawahan untuk menurunkan resiko banjir dan kekeringan pada lahan sawah, sehingga penyedia asuransi juga memilki resiko yang rendah dalam memberikan penawaran asuransi pada petani di daerah ini.

DAFTAR PUSTAKA Assauri, Sofjan. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi Edisi Revisi 2004. Lembaga Penerbit

FE-UI, Jakarta. Baumol, J.W., 1972, Economics Theory And Operation Analysis. 3th Ed. Premtice Hall. Inc.

New Jersey Djunaedi. 2016. Analisis Asuransi Pertanian Di Indonesia: Konsep, Tantangan Dan Prospek.

Http://Samarinda.Lan.Go.Id/Jba/Index.Php/Jba/Article/View/209 Freeman III, A.M., 1996, Evaluating Changes in Risk and Risk Perceptions by Revealed

Preference.dalam The Handbook of Environmental Economics edited by Bromley, D.W. 1996, Blackwaell, Oxford, UK.

Hanslow, K., et al., 2014. Economic Impact of Climate Change on Australia Dairy Sector. The Australian Journal of Agriculture and Resources Economics, 58, hal. 66-

Jacoby, G. H., and E. Skoufias, 1998, Testing Theory of Consumption Behavior Using Information on Aggregate Shock: Income Seasonality and Rainfaal in Rural India, American Journal of Agricultural Economics, Vol.80, No.1, February 1998.

Koutsoyiannis, A., 1987, Modern Microeconomics, Macmillan, London. Ligon, E., J. Thomas and T. Worrall, 1998, Mutual Insurence and individual saving with limited

commitment, dalam Dercon Stefdn, 2001, Income risk, coping strategies and safety nets, Center for The Study of African Economies, Oxfort University.

Lambert, D.K., and Mc. Carl, B.A. (1985). Risk and Modeling Using Rirect Solution of NonlinearApproximation of the Utility Function. American Journal of Agricultural Economics. Vol. 67, February 1985.

Londo, P. 2012. Bencana Ekologi Dampak Perubahan Iklim, Tanggung Jawab Siapa?. Kompasiana. www.Kompasiana.Com (Diakses 14 November 2012)

Nurilla Elysa Putri – Persepsi Petani Terhadap Asuransi Pertanian ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

469

Mantra, I. B., 1998, Langkah-langkah Penelitian Survei Usulan Penelitian dan Laporan Penelitian, Badan Penerbitan Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Morduch, J., 1992, Risk Production and Saving: Theory and Evidence from India Household, Mimeo, Departement of Economics, Harvard University.

Nelson, G.C., et al., 2014. Agriculture and Climate Change in Global Scenarios: why don’t the models agree, Agricltural Economics,45, 2014, hal. 85-101.

Sadoulet, E., and A. D. Janvry, 1995, Quantitative Development Policy Analysis, The John Hopkins University Press, Baltimore.

Singarimbun, M dan S. Effendi, (eds), 1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Yogyakarta. Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.,

Alfabeta, Bandung. Takasaki, Y., B. L., Barham and O. T. Coomes, 2004, Risk coping strategies in tropical forests:

floods, illnesses, and resource extraction. Environtment and Development Economics, Cambridge University Press. UK.

Putri, N.E. 2010. Strategi Antisipasi Penurunan Produksi Akibat Banjir Pada Petani Sawah Di Kecamatan Belitang Kabupaten Oku Timur. Penelitian Dosen Muda Sateks Unsri. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Putri, N.E. 2012. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ipb. Bogor.

Sudaryono, 2002, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, Konsep Pembangunan Berkelanjutan, BPPT.

Rustiadi Et al. 2011. Perencanaan Dan Pengembangan wilayah. Crespent Press dan yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Pustaka Setia. Bandung Supranto, J. 2000. Teknik Sampling. Jakarta : Rineka Cipta.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 470-476

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.2

DAMPAK PENURUNAN KUANTITAS DAN KUALITAS PEPAYA PADA PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DI DESA SERUT

KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER

IMPACTS OF QUANTITY DECREASING AND QUALITY OF PAPAYA IN SOCIAL COMMUNITY CHANGE IN DESA SERUT KECAMATAN PANTI , KABUPATEN

JEMBER

Nindri Dwita Nur Afkarina, Bening Dwita Kartikasari, Maginda Pungky Maulana* Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 *Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The dominance of farming activities by farmers in Desa Serut Kecamatan Panti namely horticulture cultivating papaya fruit. The purpose of this research study is to know how the impact of a decrease in the quantity and quality of papaya on social change in Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Method of research done in this study by using qualitative descriptive method. Collecting data in this study using several methods such as interviews, literature review, field observation, focus group discussions, and documentation. The analytical method used is the method of fishbone. The results showed factors causing the decline in the quality and quantity of papaya among other factors the lack of water, the means of production, and pest attack, Impact of reduction in the quantity and quality of papaya on social change seen in changes in the interaction between farmers, changes in the livelihoods of farmers, as well as their motivation to improve their welfare.

Keywords: Impact, Social Change, Farm Papaya

ABSTRAK

Dominasi dari kegiatan usahatani oleh petani di Desa Serut Kecamatan Panti yaitu membudidayakan hortikultura buah pepaya. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu wawancara, studi pustaka, observasi lapang, focus group discussion, dan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan yaitu metode fishbone. Hasil penelitian menunjukan faktor penyebab penurunan kualitas dan kuantitas pepaya antara lain faktor kurangnya air, sarana produksi, dan serangan hama. Dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat terlihat pada perubahan interaksi antar petani, perubahan mata pencaharian petani, serta motivasi mereka dalam meningkatkan kesejahteraan.

Kata Kunci: Dampak, Perubahan Sosial, Usaha Tani Pepaya

Nindri Dwita Nur Afkarina – Dampak Penurunan Kuantitas Dan Kualitas Pepaya..........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

471

PENDAHULUAN

Menurut Soetriono (2016), Pertanian merupakan suatu kegiatan memanfaatkan ketersediaan sumber daya alam untuk dikelola sedemikian rupa dengan tujuan memperoleh hasil yaitu produk pertanian. Pertanian dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang hanya melakukan budidaya tanaman saja, sedangkan pertanian dalam arti luas yaitu pertanian yang mencakup seluruh pemanfaatan makhluk hidup baik pada tanaman maupun hewan seperti peternakan, perikanan, dan perkebunan. Kegiatan pertanian memiliki peran yang cukup besar bagi kehidupan. Masyarakat sangat yang mempunyai ketergantungan terhadap hasil dari pertanian, menjadikan kegiatan pertanian harus dilakukan secara kontinyuitas.

Desa Serut merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Penduduk yang mendiami wilayah tersebut sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, hal ini dikarenakan lahan yang tersedia banyak dimanfaatkan masyarakat dalam kegiatan pertanian. Komoditas yang dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Serut yaitu hortikultura buah, holtikultura sayuran, dan komoditas perkebunan. Tanaman holtikultura buah yang dikemb-angkan antara lain tanaman pepaya dan buah naga, tanaman holtikultura sayur yang dikembangkan antara lain brokoli dan kubis, sedangkan pada sektor perkebunan antara lain kopi dan kakao.

Dominasi dari kegiatan usahatani oleh petani yaitu membudidayakan hortikultura buah pepaya. Buah pepaya yang dibudidayakan di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti merupakan jenis buah Pepaya California. Pepaya California memang tampak sama dengan pepaya jenis lainnya, perbedaan Pepaya California dengan pepaya lain terletak dalam hal rasa, warna dan daging buahnya yang lebih tebal. Keunggulan lain dari Pepaya California yaitu unggul dalam hal panen yang cenderung lebih banyak. Buah pepaya dinilai memiliki keuntungan yang besar dibandingkan mengusahakan dengan komoditas lain, seperti pada tanaman pangan yaitu padi dan jagung, akan tetapi dalam melaksanakan kegiatan budidaya tanaman pepaya memiliki kendala yaitu berupa penurunan kuantitas dan kualitas pada pepaya. Penurunan kuantitas dan kualitas tersebut menyebabkan adanya perubahan sosial pada masyarakat di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember.

Pengaruh dari turunnya kuantitas dan kualitas pepaya dapat terlihat dalam segi perekonomian masyarakat Dusun Krajan, Desa Serut. Fenomena yang terjadi salah satunya adalah masyarakat pasrah terhadap turunnya penghasilan mereka karena belum ada solusi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pepaya. Fenomena yang diakibatkan juga berpengaruh terhadap hubungan petani dengan pihak pengairan dan petani lainnya karena adanya perebutan untuk memperoleh jatah air. Fenomena yang terjadi akibat dari penurunan kuantitas dan kualitas pepaya disebabkan oleh beberapa faktor, faktor-faktor tersebut yaitu kurangnya air terhadap lahan pertanian, selain itu dipengaruhi oleh kurangnya sarana produksi seperti pupuk dan adanya serangan hama seperti kutu loncat, bakteri dan jamur yang menyerang bagian tanaman. Berdasarkan fenomena tersebut, maka kelompok kami ingin mengetahui dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember.

472 JEPA, 3 (3), 2019: 470-476

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan penelitian terkait faktor-faktor penyebab penurunan kuantitas dan kualitas pepaya di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember, upaya yang dilakukan petani dan dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember.

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember dan upaya masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut.

METODE PENELITIAN

Metode penentuan lokasi mengguakan purposive method yaitu di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember dengan mempertimbangkan bahwa mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani pepaya. Hasil produksi dari tanaman pepaya tersebut dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi serta bernilai jual tinggi, namun kegiatan budidayanya mengalami penurunan kuantitas dan kualitas yang disebabkan oleh hama dan penyakit terutama serangan kutu loncat, pengaturan irigasi yang kurang memadai, dan pupuk yang langka. Metode penelitian meng-gunakan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari narasumber guna mendapatkan gambaran dan informasi tentang Kelompok Tani Randu 1 secara tepat untuk menganalisa masalah yang ada terutama dalam penurunan kuantitas dan kualitas pada tanaman pepaya.. Deskriptif kualitatif merupakan data berupa informasi berdasarkan latar belakang alami atau kenyataan yang ada di masyarakat dengan mencari hubungan secara menyeluruh dari suatu keadaan, kemudian dirumuskan dan ditafsirkan data yang ada sehingga memberikan gambaran dan informasi secara jelas mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Devi et al, 2015).

Pengumpulan data menggunakan beberapa metode diantaranya wawancara, studi pustaka, observasi lapang, focus group discussion, dan dokumentasi hasil lapang. Wawancara dilakukan peneliti di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember yaitu kepada ketua kelompok tani Randu I. Studi pustaka merupakan peng-umpulan data melalui internet, bahan bacaan seperti buku, jurnal, dan artikel. Observasi lapang yang dilakukan peneliti yaitu dengan berkunjung langsung ke lahan tempat penanaman komoditas pepaya yang memicu terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas dari komoditas tersebut.Metode FGD dilakukan guna mengetahui pendapat dari masing pihak mengenai permasalahan yang terjadi dan solusi yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Tujuan dari dilakukannya FGD yaitu mendapatkan informasi mengenai permasalahan dan solusi mengenai penurunan kuantitas dan kualitas pepaya. Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan rekam dokumen.

Penentuan informan ditentukan menggunakan Teknik Purposive Sampling. Informan yang terlibat dalam proses pengumpulan data yaitu ketua kelompok tani Randu I dan 15 anggota dari kelompok tani tersebut. Kelompok tani Randu I merupakan kelompok tani yang aktif dan sering mendapat bantuan dari pihak pemerintah. Penentuan ketua kelompok tani

Nindri Dwita Nur Afkarina – Dampak Penurunan Kuantitas Dan Kualitas Pepaya..........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

473

Randu I dan anggotanya sebagai informan, karena didukung oleh pengetahuan dan keahlian mereka dalam bercocok tanam komoditas hortikultura yang sesuai dengan permasalahan yang akan kami teliti. Berdasarkan data-data yang didapatkan melalui ketua kelompok tani dan anggotanya diperoleh informasi yang digunakan sebagai bahan penelitian. Penggunaan metode analisis data dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode fishbone. Metode fishbone merupakan suatu gambaran yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi semua penyebab maupun akibat yang berhubungan dengan suatu permasalahan (Wafa, 2017). Penggunaan metode ini guna mengetahui sebab dan akibat permasalahan yang terdapat di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor - Faktor Penyebab Penurunan Kuantitas dan Kualitas Pepaya di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember

Desa Serut merupakan salah satu desa yang terletak di sekitar kaki gunung Argopuro. Desa Serut termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Panti Kabupaten Jember, tepatnya berada di wilayah utara Kabupaten Jember. Desa Serut merupakan salah satu desa yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Terdapat beberapa kelompok tani di Desa Serut salah satunya yaitu kelompok tani Randu I. Kelompok tani Randu I merupakan kelompok tani yang kebanyakan anggotanya menanam komoditas pepaya sebagai komoditas utama.

Komoditas pepaya dengan jenis California saat ini banyak dikembangkan dan dibudidayakan di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Kegiatan budidaya tanaman pepaya yang dilakukan di Desa Serut akan tetapi untuk saat ini mengalami penurunan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu kekurangan air pada saat di lahan, kekurangan pupuk, adanya serangan hama serta penyakit yang menyerang bagian tanaman. Faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas memberikan hambatan dalam proses produksi dan dampak yang sangat besar terhadap hasil produksi.

Faktor penyebab yang pertama yaitu kekurangan air pada lahan. Air dari irigasi yang tersedia di Desa Serut memang sulit untuk diperoleh karena letak lahan yang jauh dengan sumber air yaitu sumber air terjun Tancak. Kurangnya air pada lahan juga terjadi karena adanya pembagian air yang tidak merata pada lahan petani, sehingga yang seharusnya mendapatkan air dalam dua minggu sekali ditunda untuk menunggu dalam waktu yang dua minggu berikutnya. Tanaman pepaya yang kekurangan air akan menghambat dalam proses pertumbuhan, selain itu akar dari tanaman pepaya akan kering hingga dampak yang ditimbulkan yaitu tanaman dapat mati.

Faktor penyebab penurunan kuantitas dan kualitas selanjutnya disebabkan karena kurangnya ketersediaan pupuk. Kelangkaan pupuk yang ada di Dusun Krajan Desa Serut dikarenakan masih kurangnya bantuan subsidi pupuk dari pemerintah, selain itu di daerah tersebut juga belum tersedianya kios pupuk. Kurangnya penyediaan pupuk pada budidaya tanaman pepaya akan menyebabkan kondisi tanah kekurangan unsur hara dalam tanah dan proses pertumbuhannya tidak optimal.

474 JEPA, 3 (3), 2019: 470-476

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Faktor penyebab berikutnya yaitu `adanya hama dan penyakit yang menyerang tanaman pepaya. Hama yang sering banyak dijumpai yaitu kutu loncat, sedangkan penyakit yang terjadi yaitu busuk akar, bercak putih pada daun dan buah yang disebabkan oleh tricodherma. Hama dan penyakit yang akan menyerang tanaman pepaya biasanya saat terjadi pergantian musim hujan, dan keterlambatan dalam pemberian air. Dampak yang diberikan ketika tanaman pepaya diserang hama dan penyakit yaitu rusaknya pada bagian tanaman. Upaya Petani dengan Adanya Penurunan Kuantitas dan Kualitas Pepaya di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember Upaya yang dilakukan oleh petani pada permasalahan kurangnya ketersediaan air di Dusun Krajan Desa Serut yaitu masih belum ada. Petani hanya bisa pasrah untuk menunggu giliran yang sudah ditetapkan oleh pihak pengairan. Letak dari irigasi atau sumber air yang mengairi lahan tanam pepaya saling berjauhan dimana kondisi tersebut menyebabkan petani mau tidak mau harus bersabar untuk memperoleh giliran air karena sistem pemberian air yaitu dimulai dari lahan yang dekat dengan sumber air atau yang letaknya diatas kemudian menuju lahan yang berada di bawah sendiri. Petani yang melakukan kegiatan budidaya tanaman pepaya sebenarnya sudah saling berdiskusi melalui rapat rutin yang diadakan oleh kelompok tani. Diskusi tersebut membahas mengenai rencana pengeboran di Dusun Krajan Desa Serut, akan tetapi dalam hasil diskusi diperoleh pertimbangan bahwa upaya tersebut dirasa tidak akan berhasil dan hasilnya tidak akan maksimal karena berapapun kedalaman yang dibuat dan digali akan tetap sulit untuk mengeluarkan sumber air. Upaya dari petani sendiri untuk menghindari dari terbatasnya pupuk yaitu petani rela membeli pupuk dengan harga yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama karena petani mau tidak mau harus membeli pupuk dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Petani pada umumnya akan membeli pupuk di luar desa yang tersedia penjualan pupuk. Hal tersebut dilakukan guna mencukupi proses budidaya tanaman pepaya.

Upaya yang bisa dilakukan oleh petani terkait dengan adanya hama kutu loncat yang menyerang tanaman pepaya yaitu menggunakan sabun “sunlight” dengan dicampurkan larutan air. Alasan petani dalam memilih sabun “sunlight” karena harga ekonomis dan mudah untuk diperoleh sehingga efisiensi biaya dapat diminimalisir. Cara petani dalam melakukan penanganan untuk mengusir hama kutu loncat sangat mudah dimana petani hanya perlu menyemprotkan sabun “sunlight” ke bagian tanaman yang diserang hama kutu loncat. Dampak Penurunan Kuantitas dan Kualitas Pepaya pada Perubahan Sosial Masyarakat di Dusun Krajan Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember

Penurunan kuantitas dan kualitas pepaya memberikan pengaruh ataupun perubahan terhadap kehidupan petani di Dusun Krajan Desa Serut. Pengaruh yang terjadi tidak hanya berdampak terhadap kondisi perekonomian petani, namun juga berdampak terhadap kondisi sosial para petani. Perubahan sosial yang dapat dilihat dari petani di Desa Serut adalah perubahan hubungan atau interaksi antar petani, perubahan mata pencaharian petani, serta motivasi mereka dalam meningkatkan kesejahteraan ataupun motivasi dalam memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik.

Nindri Dwita Nur Afkarina – Dampak Penurunan Kuantitas Dan Kualitas Pepaya..........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

475

Hasil wawancara dengan responden petani pepaya mengatakan bahwa hubungan atau interaksi sosial yang terjadi antara anggota keluarga dan masyarakat lainnya mengalami kemajuan. Hal ini dapat dilihat dari yang biasanya mereka melakukan pertemuan rutin yang sudah ditentukan jadwalnya disuatu tempat, namun karena adanya masalah penurunan kuantitas dan kualitas tanaman pepaya ,intensitas bertemunya petani semakin sering walaupun tidak dalam suatu pertemuan formal, untuk membahas penyelesaian masalah yang ada.

Dampak yang sangat terlihat dari penurunan kuantitas dan kualitas tanaman pepaya lainnya adalah berkurangnya petani yang menanam tanaman pepaya. Para petani yang awalnya terfokus dengan berusaha tani tanaman papaya sekarang banyak yang beralih ke komoditas lain seperti kembali berusaha tani tanaman padi dan jagung. Petani yang beralih kekomoditas lain beranggapan bahwa tanaman pepaya sudah tidak potensial lagi untuk dibudidayakan dan tidak lagi menguntungkan, sehingga dengan beralih komoditas seperti padi dan jagung dinilai akan lebih menguntungkan bagi para petani. Penurunan kuantitas dan kualitas pada tanaman pepaya juga memberikan pengaruh ataupun perubahan terhadap kehidupan ekonomi petani. Perubahan ekonomi yang dapat dilihat adalah perubahan pendapatan petani yang menurun. Pendapatan petani yang menurun menyebabkan petani kesulitan dalam memenuhi modal awal untuk budidaya tanaman pepaya karena pendapatan petani tersebut hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dampak berikutnya akibat adanya penurunan kuantitas dan kualitas tanaman papaya terhadap kehidupan ekonomi petani pengeluaran petani yang semakin menurun. Pengeluaran yang semakin sedikit pada petani setelah terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas papaya karena menyesuaikan kebutuhan hidup keluarga seperti pendidikan, konsumsi dan gaya hidup yang berubah. Pengeluaran yang semakin sedikit juga terlihat ketika petani membeli input untuk usahatani pepaya seperti benih, pupuk dan pestisida.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN Fakto-faktor penyebab penuru- nan kualitas dan kuantitas pepaya di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember antara lain faktor kekurangan air terhadap lahan pertanian, kurangnya ketersediaan pupuk, adanya serangan hama seperti kutu loncat dan penyakit yang menyerang bagian tanaman

Upaya petani dengan adanya penurunan kualitas dan kuantitas pepaya di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember diantaranya pada permasalahan irigasi masih belum ditemukan. Upaya petani untuk menghindari dari terbatasnya pupuk yaitu petani rela membeli pupuk dengan harga yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama karena petani mau tidak mau harus membeli pupuk walaupun jarak tempuh jauh. Upaya terkait dengan adanya hama yang menyerang tanaman pepaya yaitu menggunakan sabun “sunlight” dengan dicampurkan larutan air.

Dampak penurunan kuantitas dan kualitas pepaya pada perubahan sosial masyarakat di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember adalah perubahan hubungan atau interaksi antar

476 JEPA, 3 (3), 2019: 470-476

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

petani, perubahan mata pencaharian petani, serta motivasi mereka dalam meningkatkan kesejah-teraan ataupun motivasi dalam memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik.

SARAN

Saran dalam penelitian ini bagi pemerintah sebaiknya lebih meningkatkan bantuan kepada para petani pepaya di Desa Serut seperti bantuan pupuk subsidi serta memberikan solusi yang tepat terhadap masalah irigasi pada lahan budidaya tanaman pepaya di Desa Serut. Saran bagi peneliti lain sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Cholifah, S. 2017. Perubahan Sosial Masyarakat Desa Jampung. Paradigma, 5(3): 1-9. Granit. 2007. Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Yogyakarta :Keras Kepala Menjaga

Peradaban. Nawawi, I., Y. Ruyadi, S. Komariah. 2015. Pengaruh keberadaan Industri Terhadap Kondisi

Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Desa Lagadar Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung. Sosietas. 5 (1): 1-19.

Rahayu, S., dan A. Tjitraresmi. 2016. Review Artikel: Tanaman Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Manfaatnya dalam Pengobatan. Farmaka, 14(1): 1-17.

Soetriono, A. Suwandari. 2016. Pengantar Ilmu Pertanian. Malang: Intimedia Kelompok Intrans Publishing

Wafa, A. K., B. Purwanggono. 2017. Perhitungan Oee (Overall Equipment Effectiveness) Pada Mesin Komuri 2 Lithrone S40 Dan Heidelberg 4we Dalam Rangka Penerapan Total Productive Maintenance (Tpm). Industrial Engineering. 6(2) : 1-12.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 477-486

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.3

PENGARUH LAG IMPOR, PRODUKSI, HARGA DOMESTIK, HARGA IMPOR, NILAI TUKAR DAN PDB TERHADAP IMPOR JERUK SERTA PERAMALAN

IMPOR JERUK DI INDONESIA

INFLUENCE OF IMPORT LAG, PRODUCTION, DOMESTIC PRICE, IMPORT PRICE, EXCHANGE RATE AND GDP ON IMPORT ORANGE AND ORDER OF IMPORT

ORANGE IN INDONESIA

Maria Pangestika*, Yuliawati Program Studi Agribisnis Universitas Kristen Satya Wacana

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Orange is one of the fruits with abundant production volumes in Indonesia, but on the other hand Indonesia is also an importer of oranges. This study aims to: (1) determine the effect of import volume lag, production volume, domestic prices, import prices, exchange rates and GDP on the volume of oranges imports in Indonesia and (2) forecast the volume of oranges imports in Indonesia one year (four quarters) . This research is quantitative research carried out by multiple linear regression methods to determine the effect of several independent variables on the dependent variable, and the ARIMA method to predict the volume of imports in the future. The results showed that the import volume lag and domestic prices significantly affected the volume of imported oranges, while production volume, domestic prices, import prices, exchange rates and GDP did not affect the volume of oranges imports in Indonesia. In addition, the forecasting results show that the import volume will fluctuate in the coming year

Keywords: ARIMA, impor, orange

ABSTRAK

Jeruk merupakan salah satu buah dengan volume produksi yang melimpah di Indonesia, namun di sisi lain Indonesia juga menjadi negara pengimpor jeruk. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh lag volume impor, volume produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB terhadap volume impor jeruk di Indonesia serta (2) meramalkan volume impor jeruk di Indonesia satu tahun (empat triwulan) mendatang. Penelitian ini merupkan penelitian kuantitatif yang dilakukan dengan metode regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel independen terhadap variabel dependen, dan metode ARIMA untuk meramalkan volume impor dimasa mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lag volume impor dan harga domestik signifikan mempengaruhi volume impor jeruk, sedangkan volume produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB tidak mempengaruhi volume impor jeruk di Indonesia. Selain itu hasil peramalan menunjukkan bahwa volume impor akan berfluktuasi dalam satu tahun mendatang.

Kata kunci: ARIMA, jeruk, impor

478 JEPA, 3 (3), 2019: 477-486

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Tanaman buah menjadi salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Salah satu jenis buah tersebut adalah jeruk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2018) jeruk siam/keprok termasuk ke dalam salah satu jenis buah dengan jumlah produksi terbesar di Indonesia dalam kurun waktu 2014-2016. Jeruk siam/keprok berada diperingkat ketiga setelah pisang dan mangga secara berturut-turut dengan total produksi 5.543.817 ton dan rata-rata produksi 1.847.939 ton per tahun selama 2014-2016.

Besarnya jumlah produksi jeruk di Indonesia ternyata belum mampu menghentikan impor jeruk. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2016), Indonesia menjadi negara pengimpor jeruk terbesar ke empat diantara negara-negara ASEAN (Association Of South East Asia Nations) dengan kontribusi sebesar 12,84%, sedangkan Indonesia hanya mampu berkontribusi sebesar 0,05% dari total ekspor jeruk di ASEAN.

Indonesia mampu memproduksi jeruk dalam jumlah yang besar namun Indonesia juga menjadi mengimpor jeruk, sedangkan besarnya impor belum sebanding dengan ekspornya, kondisi tersebut tentu merugikan perekonomian negara. Dalam jangka panjang tentu diharapkan volume impor dapat berkurang, oleh karena itu diperlukan solusi yang tepat, namun terlebih dahulu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi impor jeruk di Indonesia dan juga meramalkan impor jeruk dimasa mendatang sehingga nantinya dapat diperoleh solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut.

Permadi (2007) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor jeruk dan meramalkan permintaan impor jeruk di Indonesia selama satu tahun ke depan. Variabel independen dari penelitian yang dilakukan Permadi (2007) adalah harga impor, lag impor, pendapatan nasional, nilai tukar dan dummy triwulanan. Adapun alat analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor adalah regresi OLS (Ordinary Least Square), sedangkan untuk meramalkan permintaan impor digunakan metode Double Exponential Smoothing, Trend Linear Analysis, Trend Quadratic dan metode Box-Jenkins (ARIMA). Hasil penelitian Permadi (2007) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan impor jeruk adalah harga impor, lag impor, pendapatan nasional, nilai tukar dan dummy triwulanan. Metode peramalan terbaik berbeda-beda antar variabel, dan penentuannya didasarkan pada nilai error terkecil.

Silitonga (2014) juga melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Komoditas Jeruk di Indonesia” dan hasilnya menunjukkan bahwa impor buah dipengaruhi oleh harga jeruk impor. Penelitian tersebut dilakukan dengan variabel independen produksi jeruk domestik, harga jeruk domestik, harga jeruk impor, nilai tukar dan dummy krisis. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan metode panel data dari tahun 2002-2012 dengan 6 negara (China, Hongkong, Malaysia, Pakistan, Australia dan Thailand).

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Nusantara (2006) tentang “Peramalan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Buah Indonesia” dimana faktor yang mempengaruhi impor buah di Indonesia adalah lag impor dan dummy musiman. Adapun variabel independen dalam penelitian Nusantara (2006) adalah lag impor, dummy musiman, nilai tukar, harga buah apel dan pasokan buah di Pasar Induk Keramat Jati. Penelitian tersebut menggunakan data sekunder berupa data time series bulanan dari tahun 2002-2005. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa metode peramalan yang paling sesuai untuk meramalkan impor adalah SARIMA.

Pada penelitian ini akan dilakukan uji terhadap variabel independen yang meliputi: lag volume impor, volume produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan produk domestik

Maria Pangestika – Pengaruh Lag Impor, Produksi, Harga Domestik, ............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

479

bruto (PDB) yang diduga dapat mempengaruhi volume impor jeruk di Indonesia. Selain itu juga akan dilakukan peramalan impor jeruk di Indonesia dalam satu tahun mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk; mengetahui pengaruh lag volume impor, produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB terhadap volume impor jeruk di Indonesia serta meramalkan impor jeruk di Indonesia satu tahun (empat triwulan) mendatang. Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Lag impor, produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB diduga dapat mempengaruhi impor jeruk di Indonesia. (2) Peramalan impor jeruk di Indonesia satu tahun (empat triwulan) ke depan diduga akan berfluktuasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta mampu melengkapi penelitian terdahulu dan dapat memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi tambahan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam kebijakan impor.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan impor jeruk sebagai obyek penelitian. Penelitian dilaksanakan di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pada Juni – Agustus 2018. Penelitian ini menggunakan data sekunder bersifat time series yaitu data triwulanan atau kuartal, dari kuartal 1 2008 hingga kuartal 4 2017. Penentuan jumlah data didasarkan pada ketersediaan data, adapun definisi dan pengukuran variabel serta sumber data penelitian disajikan dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Definisi dan Pengukuran Variabel

Variabel Definisi Satuan Skala Pengukuran

Sumber

Impor Volume jeruk yang dibeli dari luar negeri dengan kode HS 0805200000 tanpa memperhatikan negara asalnya.

Kg Rasio BPS

Lag Impor Volume impor saat t-1 Kg Rasio BPS Produksi Volume jeruk siam/keprok yang

diproduksi di Indonesia tanpa memperhatikan varietasnya dan daerah penghasilnya.

Kg Rasio BPS

Harga Domestik

Harga eceran jeruk pada tingkat konsumen di Indonesia

Rp/Kg Rasio BPS

Harga Impor Harga jeruk yang berlaku dalam perdagangan internasional

Rp/Kg Rasio BPS

Nilai Tukar Nilai dari setiap 1 US$ yang dinominalkan dalam Rupiah

Rp/ US$ Rasio BI

Produk Domestik Bruto (PDB)

Pendapatan nasional yang diukur dari total output yang dihasilkan (pendekatan produksi) yang diukur berdasarkan tahun berlaku (PDB nominal) pada sektor hortikultura

Milyar Rp

Rasio BPS

Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan

480 JEPA, 3 (3), 2019: 477-486

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

bantuan aplikasi EViews 8. Analisis regresi liner berganda dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

Yi = β0 + β1Xi1 + β2Xi2 + ... + βkXik + ɛi

dengan Yi merupakan nilai variabel dependen dalam pengamatan ke-i, β0 menunjukkan konstanta dari regresi, β1 hingga βk menunjukkan besarnya koefisien regresi setiap variabel independen (Xi1 hingga Xik), Xi1 hingga Xik merupakan variabel independen dalam pengamatan ke-i dan ɛi menunjukkan tingkat error (Rosadi, 2012).

Menurut Rosadi (2012) teknik analisis regresi linear berganda dibangun atas beberapa asumsi klasik yang diperlukan untuk memperoleh estimator OLS yang bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Adapun uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, multikolinieritas, heterokedastisitas dan autokorelasi. Selain memenuhi asumsi klasik ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktual harus diuji. Menurut Kuncoro (2011) ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya yang secara statistik dapat diukur dari nilai statistik t, nilai statistik F dan koefisien determinasi (R2) sebagai berikut: 1. Uji Statistik t

Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menenrangkan variabel dependen.

H0 : bi = 0 H1 : bi ≠ 0

Apabila nilai statistika t hitung > t tabel maka H1 yang menyatakan bahwa variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen dapat diterima dan H0 ditolak. 2. Uji Statistik F

Uji statistika F menunjukkan apakah seluruh variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen.

H0 : b1 = b2 = ... = bk = 0 H1 : b1 ≠ b2 ≠ ... ≠ bk ≠ 0

Apabila nilai statistika t hitung > t tabel maka H1 yang menyatakan bahwa variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen dapat diterima dan H0 ditolak. 3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi (R2) menunjukkanseberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R2 adalah diantara 0 dan 1, nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa variabel-variabel independen memberikan hampir seluruh informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.

Peramalan impor jeruk dilakukan dengan menggunakan metode Box-Jenkins atau ARIMA dengan menggunakan bantuan aplikasi EViews 8. Metode Box-Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) berasal dari gabungan Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA) (ARMA) yang sudah didiferen. Model AR, MA dan ARMA mengasumsikan bahwa data time series sudah bersifat stasioner namun pada kenyataannya data time series lebih banyak bersifat tidak stasioner atau terintegrasi. Pada metode ARIMA ini data didiferen atau diturunkan sebanyak d kali hingga data menjadi stasioner. Model ARIMA secara umum dituliskan seperti berikut:

ARIMA (p,d,q) dengan p menunjukkan komponen AR, d menunjukkan berapa kali diferen yang dilakukan dan q menunjukkan komponen MA (Winarno, 2009).

Tahapan dalam ARIMA diawali dengan perumusan model umum lalu dilakukan uji stasioneritas. Apabila data sudah stasioner maka model bisa langsung digunakan untuk melakukan peramalan, namun apabila data belum stasioner maka perlu dilakukan tahapan uji

Maria Pangestika – Pengaruh Lag Impor, Produksi, Harga Domestik, ............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

481

yang lain yang meliputi: identifikasi model tentatif, estimasi parameter atas model tentatif dan uji diagnostik untuk mengetahui apakah model sudah tepat atau belum, apabila sudah tepat maka model dapat digunakan untuk melakukan peramalan (Kuncoro, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Hasil analisis regresi dan uji asumsi klasik menunjukkan bahwa data sudah terdistribusi

normal dan terbebas dari masalah autokorelasi, heterokedastisitas serta multikolinieritas. Adapun hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil Analisis Regresi

Variabel Koefisien Regresi t-hitung Probabilitas C 22.655,88 0,637 0,5285

X1 0,651 4,186 0,0002* X2 -0,848 -0,263 0,7941 X3 -2,192 -1,979 0,0562** X4 0,724 0,706 0,4851 X5 2,181 0,693 0,4932 X6 -0,024 -0,069 0,9456 R2 0,548

F-hitung 6,656 Prob. F 0,000111 t-tabel 2,423 F-tabel 3,51

Keterangan: X1 : Lag volume impor * : Signifikan pada taraf kepercayaan 99% X2 : Volume produksi ** : Signifikan pada taraf kepercayaan 90% X3 : Harga domestik X4 : Harga impor X5 : Nilai tukar X6 : Produk domestik bruto (PDB) Sumber: Data sekunder (diolah), 2018 Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dirumuskan persamaan regresi sebagai berikut:

Y = 22.655,88+ 0,651X1- 0,848X2 - 2,192X3 + 0,724X4 + 2,181X5 - 0,024X6 Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa tanpa dipengaruhi lag volume impor, volume produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB, impor akan tetap terjadi sebesar 22.655,88 kg.

Hasil uji t menunjukkan bahwa secara individu hanya terdapat dua variabel yang terbukti secara statistik mempengaruhi volume impor jeruk, yaitu lag volume impor (X1) dan harga domestik (X3). Sedangkan secara bersama-sama, hasil uji F menunjukkan bahwa lag volume impor, volume produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB mempengaruhi volume impor pada selang kepercayaan 99%. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitian mampu menjelaskan 54,8% perubahan yang terjadi pada volume impor jeruk di Indonesia sedangkan sisanya yaitu sebesar 45,2% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian.

482 JEPA, 3 (3), 2019: 477-486

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Pengaruh Lag Volume Impor, Volume Produksi, Harga Domestik, Harga Impor, Nilai Tukar dan PDB terhadap Volume Impor Jeruk di Indonesia

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa lag volume impor yang merupakan volume impor pada saat t-1, signifikan mempengaruhi volume impor, hal tersebut ditunjukkan dari nilai thitung 4,186 > ttabel 2,423 pada selang kepercayaan 99%. Koefisien regresi dari lag volume impor sebesar 0,651 menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 kg volume impor jeruk ditahun sebelumnya, akan mengakibatkan peningkatan volume impor jeruk ditahun selanjutnya sebesar 0,603 kg. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Permadi (2007) dan Nusantara (2006). Permadi (2007) menyatakan bahwa lag impor mempengaruhi impor secara signifikan dengan arah hubungan positif. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Nusantara (2006), Nusantara (2006) melakukan analisis secara spesifik negara terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor jeruk (oranges dan mandarin). Adapun negara yang dimaksudkan adalah negara asal jeruk impor di Indonesia yaitu China, Amerika Serikat, Australia dan Pakistan, untuk setiap negara diperoleh hasil yang sama-sama menyatakan bahwa lag impor mempengaruhi permintaan impor jeruk. Hasil ini juga memperkuat asumsi yang menyatakan bahwa “data speak to themselves” yaitu nilai data pada masa sekarang dipengaruhi oleh nilai data pada masa sebelumnya (Winarno, 2009).

Selain lag volume impor, faktor lain yang mempengaruhi volume impor jeruk adalah harga jeruk domestik, hal tersebut ditunjukkan dari nilai thitung 1,979 > ttabel 2,423 dan signifikan pada taraf kepercayaan 90%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Silitonga (2014), namun hasil penelitian Silitonga (2014) menunjukkan arah hubungan positif antara harga domestik dengan volume impor, sedangkan hasil penelitian ini menunjukkan adanya arah hubungan negatif antara keduanya. Nilai koefisien regresi harga domestik sebesar -0,848 mengindikasikan bahwa setiap penurunan Rp 1 harga jeruk domestik mengakibatkan peningkatan volume impor jeruk sebesar 0,848 kg. Arah hubungan negatif ini mengindikasikan bahwa jeruk yang diimpor bukan semata sebagai produk substitusi namun sebagai produk komplementer. Menilik pada kode HS dari jeruk impor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0805200000 yang dalam deskripsinya merupakan jeruk mandarin dan termasuk di dalamnya clementine dan satsumas, dapat diketahui bahwa jeruk yang diimpor merupakan jeruk yang tidak diproduksi di dalam negeri. Sehingga ketika harga jeruk domestik rendah misalnya saat panen raya, pedagang mencoba mencari keuntungan dengan menawarkan jenis jeruk lain yang tidak diproduksi di dalam negeri.

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa volume produksi jeruk di dalam negeri tidak mempengaruhi volume impor, hal tersebut ditunjukkan dari nilai thitung 0,263 < ttabel 2,423 dan probabilitasnya yang melebihi tingkat signifikan yang ditentukan (0,01). Mengacu pada pernyataan Salvatore (1997) bahwa volume produksi yang belum mampu memenuhi permintaan di dalam negeri mengakibatkan dilakukannya impor, mengindikasikan bahwa volume produksi jeruk di dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan jeruk meskipun produksinya tergolong tinggi seperti nampak pada Tabel 1. Hal tersebut dikarenakan permintaan akan suatu barang dan jasa tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan barang dan jasa di dalam negeri, menurut Lipsey (1995) permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu, pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu yang biasanya dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga komoditas yang berkaitan, selera, dan distribusi pendapatan diantara rumah tangga.

Selain volume produksi jeruk dalam negeri, harga impor dan pendapatan juga tidak mempengaruhi volume impor jeruk. Harga jeruk impor tidak mempengaruhi volume impor ditunjukkan dari nilai thitung 0,706 < ttabel 2,423 dan nilai probabilitasnya yang melebihi tingkat signifikan yang ditentukan (0,01). Sehingga berapa pun harga jeruk impor, mahal atau murah

Maria Pangestika – Pengaruh Lag Impor, Produksi, Harga Domestik, ............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

483

tidak akan mempengaruhi perubahan volume impor. Begitu pula dengan pendapatan, dalam penelitian ini PDB tidak mempengaruhi volume impor, ditunjukkan dari nilai thitung 0,069 < ttabel 2,423 dan nilai probabilitasnya yang melebihi tingkat signifikan yang ditentukan (0,01). Menurut Mauna (2005) besarnya PDB sangat mempengaruhi pola konsumsi pada masyarakat di negara berkembang. Mauna (2005) menyatakan bahwa seiring meningkatnya pola konsumsi maka impor akan cenderung meningkat. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan suatu negara di dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dan kemampuan suatu negara dalam membeli barang impor sangat dipengaruhi oleh PDB negara tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume produksi, harga jeruk impor dan pendapatan tidak terbukti mempengaruhi volume impor, maka mengacu pada pernyataan Lipsey (1995), masih terdapat variabel lain yang diduga mempengaruhi volume impor namun diabaikan dalam penelitian ini yaitu selera. Selera atau preferensi ialah pilihan atau kesukaan konsumen terhadap suatu merek atau atribut produk. Preferensi ini terbentuk atas presepsi terhadap merek salah satu produk atau jasa. Dalam hal ini preferensi sangat berkaitan erat dengan penilaian konsumen, apakah konsumen akan merasa puas atau tidak terhadap merek dan atau atribut produk atau jasa, yang nantinya membuat konsumen memutuskan untuk membeli produk tersebut atau tidak (Jono, dkk. 2005). Hasil penelitian Jannah, dkk. (2018) tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Mengkonsumsi Buah Jeruk Impor di Kota Palu” menunjukkan bahwa selera secara signifikan mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengkonsumsi buah jeruk impor di kota Palu pada selang kepercayaan 90%, dan menurut Sumarwan (1999) usaha pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen buah-buahan tercermin dengan semakin membanjirnya buah impor baik dari ragam jenis buah maupun volumenya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap US$ tidak mempengaruhi volume impor, ditunjukkan dari nilai thitung 0,693 < ttabel 2,423 dan nilai probabilitasnya yang melebihi tingkat signifikan yang ditentukan (0,01). Menurut Mankiw (2000) nilai tukar tidak akan berpengaruh secara langsung terhadap volume impor, nilai tukar akan mempengaruhi harga dan selanjutnya harga akan mempengaruhi volume impor. Perubahan nilai tukar memang selalu disertai dengan perubahan harga jeruk impor dan volume impor, namun perubahan nilai tukar tidak berarti mempengaruhi perubahan volume impor karena keduanya tidak berhubungan langsung namun berhubungan melalui harga jeruk impor, dan harga jeruk impor tidak mempengaruhi volume impor jeruk. Hasil Analisis Tren dan Peramalan Impor Jeruk di Indonesia

Analisis tren dan peramalan diawali dengan melakukan uji stasioneritas. Uji stasioneritas meliputi uji grafik, uji correlogram dan uji Augmentasi Dickey-Fuller (ADF). Hasil uji menunjukkan bahwa data belum stasioner pada level 0 sehingga dilakukan transformasi dengan mendiferen data, hasilnya menunjukkan bahwa data sudah stasioner pada level 1. Setelah data menjadi stasioner selanjutnya dilakukan estimasi model hingga diperoleh model terbaik. Adapun model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model ARIMA (2,12,2) sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Analisis Model ARIMA (2,12,2)

Variabel Koefisien Std. Error t-hitung Prob. C -290.5849 4557.323 -0.063762 0.9497

AR(2) -0.547402 0.132784 -4.122512 0.0004* AR(12) 0.215787 0.082085 2.628819 0.0150** MA(2) 0.942237 0.038552 24.44092 0.0000*

R2 0.737048 Mean dependent var -3043.815 Adjusted R2 0.702750 S.D. dependent var 29656.49

484 JEPA, 3 (3), 2019: 477-486

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

S.E. of regression 16168.91 Akaike info criterion 22.35552 Sum squared resid 6.01E+09 Schwarz criterion 22.54750 Log likelihood -297.7995 Hannan-Quinn criter. 22.41261 F-statistic 21.48946 Durbin-Watson stat 2.504712 Prob(F-statistic) 0.000001 Keterangan: * Signifikan pada taraf kepercayaan 99% ** Signifikan pada taraf kepercayaan 95%

Sumber: Data sekunder (diolah), 2018 Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa model ARIMA (2,12,2) signifikan pada selang kepercayaan 99% dan 95%. Tren impor jeruk yang dimaksudkan adalah kecenderungan impor jeruk di indonesia selama 2008Q1-2017Q4, apakah meningkat, menurun, berfluktuasi atau justru stabil. Adapun hasil analisis tren adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Tren Impor Jeruk 2008Q1-2017Q4 Sumber: Data sekunder (diolah), 2018

Grafik di atas menggambarkan tren impor jeruk di Indonesia selama 2008Q1-2017Q4, dimana dapat ketahui bahwa setiap periodenya volume impor mengalami fluktuasi yang cukup tajam.

Setelah mengetahui tren impor, selanjutnya dapat dilakukan peramalan volume impor dimasa mendatang. Peramalan volume impor jeruk untuk periode QI-QIV 2018 dengan model ARIMA (2,12,2) nampak pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Peramalan Volume Impor Jeruk di Indonesia Tahun 2018 Periode Proyeksi Volume Impor (Kg) Persentase (%) 2018Q2 45.086.260 25,97% 2018Q2 35.074.310 -22,21% 2018Q3 26.126.590 -25,51% 2018Q4 34.407.180 31,69%

Sumber: Data sekunder (diolah), 2018 Hasil peramalan di atas menunjukkan bahwa volume impor jeruk di Indonesia tahun 2018

akan berfluktuasi. Pada 2018Q1 diproyeksikan volume impor jeruk akan mencapai 45.086.260 kg yang berarti terjadi kenaikan sebesar 25,97% dari volume impor pada 2017Q4. Selanjutnya pada 2018Q2 volume impor jeruk diproyeksikan akan menurun, kemudian pada 2018Q3 akan

Maria Pangestika – Pengaruh Lag Impor, Produksi, Harga Domestik, ............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

485

lebih menurun lagi dan pada 2018Q4 akan kembali meningkat dan mencapai volume impor sebesar 34.407.180 kg.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa impor jeruk di Indonesia

dipengaruhi oleh lag impor dan harga domestik. Sedangkan produksi, harga domestik, harga impor, nilai tukar dan PDB tidak mempengaruhi impor jeruk di Indonesia. Lag volume impor mempengaruhi impor dengan arah hubungan positif dimana setiap kenaikan 1 kg volume impor pada periode sebelumnya akan mengakibatkan kenaikan volume impor sebesar 0,651 kg ditahun selanjutnya. Sedangkan harga jeruk domestik mempengaruhi impor dengan arah hubungan negatif dimana setiap kenaikan Rp 1 harga jeruk impor akan mengakibatkan penurunan volume impor sebesar 2,192 kg. Adapun model peramalan terbaik dalam penelitian ini adalah model ARIMA (2,12,2) yang memproyeksikan bahwa volume impor jeruk triwulanan di Indonesia akan berfluktuasi pada tahun 2018. Saran

Bagi pihak akademis yang ingin mengambil topik serupa dapat menambahkan variabel selera konsumen untuk melihat pengaruhnya terhadap impor jeruk karena hasil penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh selera konsumen terhadap perubahan volume impor. Bagi pemerintah diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi sumber informasi dalam menetapkan atau memperbaiki kebijakan impor yang sudah ada atau yang berkaitan, mengingat volume produksi jeruk di dalam negeri yang cukup tinggi namun belum mampu menghentikan impor jeruk. Diharapkan kebijakan tersebut nantinya mampu menolong produsen sehingga tidak merugi dan disisi lain mampu memenuhi permintaan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Hortikultura. Dipetik May 9th, 2018, dari Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/subject/55/hortikultura.html#subjekViewTab6

Jono, M. dkk. 2005. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Preferensi Konsumen Produk Air Mineral dalam Kemasan di Bogor. J. Tek. Ind. Pertanian Vol. 13 No. 3, 97-107.

Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Jeruk. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian.

Kuncoro, M. 2011. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi (4th ed.). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Lipsey, R. G. 1995. Pengantar Mikroekonomi (10th ed.). Jakarta: Binarupa Aksara. Mankiw, N. G. 2000. Teori Ekonomi Makro (4th ed.). Jakarta: Erlangga. Mauna, N. 2005. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. Nur Jannah, dkk. 2018. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam

Mengkonsumsi Buah Jeruk Impor di Kota Palu. J. Agroland Vol. 25 No. 2, 121-129. Nusantara, T. S. 2006. Peramalan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Buah

Indonesia. Skripsi.

486 JEPA, 3 (3), 2019: 477-486

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Permadi, A. E. 2007. Analisis Peramalan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Jeruk di Indonesia. Skripsi.

Rosadi, D. 2012. Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan EViews. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional (5th ed.). (H. Munandar, Penerj.) Jakarta: Erlangga. Silitonga, Y. A. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Komoditas Jeruk di

Indonesia. Skripsi. Sumarwan, U. 1999. Mencermati Pasar Agribisnis melalui Analisis Perilaku Konsumsi dan

Pembelian Buah-buahan. Majalah Agribisnis, Manajemen dan Teknologi. Winarno, W. W. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews (2nd ed.).

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 487-494

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.4

EVALUASI PENGGUNAAN KERANGKA SAMPEL AREA SEBAGAI METODE BARU DALAM MENGUKUR PRODUKTIVITAS PADI DI INDONESIA

THE EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE AREA SAMPLING

FRAME AS A NEW METHOD TO PREDICT RICE PRODUCTIVITY IN INDONESIA

Diana Dwi Susanti Statistisi Ahli Muda – BPS Kota Pekalongan

Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

BPS has been implementing statistical method for predicting rice productivity for years which is based on household sample frame (RT), with reference by 2010 Population Census. However this method has an accuracy problem, because the RT method does not consider the location of the farmers’ paddy fields. The samples living in different locations, may have paddy fields at the same area, resulting non-random sampling sites of rice productivity. In order to solve the problem, BPS, in collaboration with BPPT, has developed a new prediction method, namely Area Sampling Framework (KSA). In this method, a sample is counted based on where the paddy field is located, instead of the location of the farmer’s residents.This study is therefore is aimed at the evaluation of the KSA method compared to the previous RT method. This study has resulted some important findings sample plot (ubinan) to improve the KSA method. Firstly, KSA shows better result than previous method since the location of the paddy field is considered instead of the farmer residential placse, as proved by distribution of tile plots. Secondly, in term of the ratio of the sample plots (ubinan), both prediction methods exhibit similar pattern of the ratio, where the sample plot ratio in the city (Kota) is smaller than that of the rural area (Kabupaten). The ratios of the sample plots in Kota and Kabupaten are 1:11 and 1:360, respectively for RT method, and 1:74 and 1:391, respectively for KSA method. Thirdly, to increase the accuracy of rice productivity, the size of sample plots in Kabupaten needs to be increased, especially for ratio of plot samples per hectare of more than 1000 ha, due to the fact that the area size of Kabupaten is usually larger than the size of Kota.

Keywords: Method, KSA, Plot Sample (Ubinan)

ABSTRAK

BPS telah menerapkan metode statistik untuk memprediksi produktivitas padi selama bertahun-tahun yang didasarkan pada kerangka sampel rumah tangga (RT) dengan acuan hasil Sensus Penduduk 2010. Namun metode ini memiliki masalah akurasi, karena metode RT tidak mempertimbangkan lokasi sawah petani. Sampel yang tinggal di lokasi yang berbeda, mungkin memiliki sawah di area yang sama, sehingga menghasilkan lokasi pengambilan sampel non-acak dari produktivitas padi. Untuk mengatasi masalah ini, BPS, bekerja sama dengan BPPT, telah mengembangkan metode prediksi baru, yaitu Area Sampling Framework (KSA). Dalam metode ini, sampel plot ubinan dihitung berdasarkan lokasi sawah, bukan lokasi rumah tangga tani. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengevaluasi sampel plot ubinan metode KSA dibandingkan dengan metode RT sebelumnya. Penelitian ini telah menghasilkan beberapa temuan penting untuk meningkatkan metode KSA. Pertama, KSA menunjukkan hasil yang lebih

488 JEPA, 3 (3), 2019: 487-494

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

baik daripada metode sebelumnya karena lokasi lahan sawah dianggap sebagai pengganti pendekatan rumah tangga petani, sebagaimana dibuktikan oleh sebaran plot. Kedua, dalam hal rasio petak sampel (ubinan), kedua metode prediksi menunjukkan pola rasio yang sama, di mana rasio petak sampel di kota (Kota) lebih kecil daripada di daerah pedesaan (Kabupaten). Rasio sampel di Kota dan Kabupaten adalah 1:11 dan 1: 360, masing-masing untuk metode RT, dan 1:74 dan 1: 391, masing-masing untuk metode KSA. Ketiga, untuk meningkatkan ketepatan produktivitas padi, sampel plot ubinan di Kabupaten perlu ditingkatkan, terutama untuk rasio sampel plot per hektar luas lebih dari 1000 ha, karena fakta bahwa luas wilayah Kabupaten biasanya lebih besar daripada ukuran Kota.

Kata kunci: Metode, KSA, Sampel Plot (Ubinan)

PENDAHULUAN

Data pangan terus menjadi perhatian oleh pemerintah. Data pangan yang akurat menjadi hal penting untuk menentukan arah kebijakan. Era baru dalam penghitungan data pangan terutama produksi beras menggunakan KSA untuk penghitungan angka luas panen.

Sampai saat ini data produksi padi diperoleh dari data luas panen dikalikan dengan data produktivitas. Data luas panen sebelum tahun 2018 dikumpulkan dari dinas pertanian melalui penaksiran dengan menggunakan sistem blok pengairan, laporan petani kepada kepala desa/lurah, banyaknya benih yang digunakan, dan eye estimate (pengamatan mata) berdasarkan luas baku (BPS, 2012). Tahun 2018, BPS sudah menggunakan KSA. KSA didefinisikan sebagai teknik pendekatan penyampelan yang menggunkan area lahan sebagai unit enumerasi. Sistem ini berbasis teknologi sistem informasi geografi (SIG), pengideraan jauh, teknologi informasi, dan statistika yang saat ini sedang diimplementasikan di Indonesia untuk perolehan data dan informasi pertanian tanaman pangan. Pendekatan KSA diharapkan mampu menjawab penyediaan data dan informasi yang akurat dan tepat waktu untuk mendukung perencanaan Program Ketahanan Pangan (BPS,2018). Pelaksanaan kegiatan KSA ini hasil kerjasama antara Badan Pusat Statistik, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Untuk penghitungan produksi padi dengan dengan pendekatan rumah tangga menggunakan 2 jenis kerangka sampel yaitu kerangka sampel pemilihan blok sensus dan kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga. Kerangka sampel tersebut dibangun dari kecamatan-kecamatan yang eligible. Kecamatan eligible adalah kecamatan yang memiliki informasi luas panen padi hasil pendataan Survei Pertanian (SP) tahun sebelumnya. Sedangkan kerangka sampel blok sensus diambil dari hasil pendataan Survei Pertanian (SP) tahun sebelumnya (BPS,2013).

Tidak hanya angka luas panen yang bisa dihitung oleh KSA. Tetapi pengambilan sampel angka produktivitas padi untuk sub round 3 juga menggunakan sampel area KSA yang siap panen pada sub round tersebut.

Untuk pengumpulan data produktivitas padi sebelum ada KSA, menggunakan pendekatan rumah tangga. Tidak jarang sampel padi jatuh mengelompok pada satu hamparan. Atau sampel yang terpilih jatuh pada petak-petak yang kurang subur di dataran tinggi sehingga hasilnya terlalu rendah (under estimate). Dataran tinggi menghasilkan produktivitas padi yang rendah. Hal ini disebabkan kurangnya intensitas matahari sehingga produktivitas padi tidak tumbuh maksimal seperti di dataran rendah. Tetapi kelebihan didataran tinggi memungkinkan tanam sampai 3x dalam setahun karena air melimpah. Hal lain yang menyebabkan rendahnya

Diana Dwi Susanti – Evaluasi Penggunaan Kerangka Sampel Area ................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

489

hasil produksi padi di dataran tinggi adalah intensitas curah hujan yang tinggi (Mohammad Chafid,2015).

Untuk menjawab semua permasalahan tersebut metode pendekatan area frame menjadi solusi untuk menggantikan metode yang lama. Metode dengan pendekatan area frame bisa diintegrasikan dengan KSA (Kerangka Sampel Area).

Tahun 2018 secara serentak BPS telah melakukan penghitungan luas panen, luas tanam dengan pendekatan frame area. Frame area ini dikenal dengan KSA (Kerangka Sampel Area). Di subround 3 tahun 2018 pengukuran ubinan sudah menggunakan metodologi area frame yang diintegrasikan dengan sampel Kerangka Sampel Area. Apakah metode ubinan dengan pendekatan sampel KSA ini lebih merata sebaran sampelnya?

Operasional KSA, mempunyai proses bisnis sebagai berikut. Pada tujuh hari terakhir setiap bulan, seorang petugas KSA terlatih melakukan pengamatan fase tumbuh padi pada segmen terpilih secara random/acak selama 12 bulan. Satu segmen berukuruan 9 ha dan terbagi menjadi 9 sub segmen dengan ukuran masing-masing 1 ha. Petugas KSA terlatih diwajibkan melakukan pemotretan di titik amat pada sub segmen dan melaporkan kondisi lahan sawah yang di amati apakah termasuk 1. Vegetatif awal atau 2. Vegetatif akhir atau 3. Generatif, atau 4. Panen, atau 5. Persiapan pengolahan lahan sawah, atau 6. Puso atau 7. Sawah tetapi tidak ditanami padi atau 8. bukan lahan sawah. Proses pengambilan gambar di titik amat dan pengiriman data ke server menggunakan aplikasi KSA berbasis android (BPS,2015).

Yang menjadi sampel ubinan adalah titik amat dengan fase generatif. Bagaimana perbandingan sebaran plot ubinan dengan metode pendekatan rumah tangga dengan sebaran plot pada pendekatan KSA akan dilakukan penelitian di jurnal ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian explorative dengan mengumpulkan sekunder, yang

akan dipakai menjawab pokok permasalahan yang telah diajukan. Dalam penelitian explorative tidak diperlukan hipotesis sehingga hasil yang akan didapat bukan merupakan pengujian hipotesis tetapi merupakan deskripsi kondisi dan pengukuran lapangan mengenai kondisi internal dan eksternal pada lokasi penelitian.

Teknik analisis menggunakan rata-rata sebaran plot ubinan di kabupaten/kota Pekalongan dengan pendekatan kerangka sampel Rumah Tangga dan sebaran plot sampel KSA.

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari data sekunder daftar sampel ubinan sub round tahun 2015 – 2016 dan daftar sampel KSA tahun 2018.

Penelitian sebaran plot ini menggunakan jumlah sampel ubinan di kabupaten/kota dibagi dengan luas baku sawah.

a. Rata-rata sebaran plot ubinan dengan pendekatan rumah tangga

Rata-rata sebaran plot ubinan di wilayah i = Jumlah ubinan di Wilayah i Luas Lahan Baku sawah di wilayah i

b. Rata-rata sebaran plot KSA

Rata-rata sebaran plot KSA di wilayah i = Jumlah segmen KSA di wilayah i Luas Lahan Baku sawah di wilayah i

Keterangan : - Wilayah i = wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah - Luas Baku sawah menggunakan data luas baku sawah dari dinas pertanian

490 JEPA, 3 (3), 2019: 487-494

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Hasil dari perhitungan tersebut dibandingkan untuk melihat sebaran plot ubinan pendekatan rumah tangga dan sebaran plot ubinan pendekatan KSA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini belum sempurna, karena untuk sampel pendekatan KSA hanya ada

sampel dalam sub round 3 tahun 2018. Kelemahan sampel pada sub round 3 adalah bahwa sub round ini biasanya mempunyai luas panen yang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan luas panen pada sub round 1 dan subround 2. Penelitian ini hanya melihat sebaran plot sampel ubinan dan tidak mempertimbangkan produktivitas padi. Selain itu luas baku sawah yang digunakan masih mengacu pada luas baku sawah tahun 2014. a. Sebaran sampel plot ubinan dengan pendekatan rumah tangga

Sampel pendekatan rumah tangga menggambarkan hasil yang masih signifikan. Tidak ada yang outlier. Walaupun dari pengamatan penyebaran plot, terlihat sampel plot banyak yang terkonsentrasi di daerah perkotaan. Ini terjadi karena luas baku lahan sawah di daerah perkotaan lebih kecil dan kepemilikan lahan petani di juga relatif sempit.

Grafik 1 Sebaran Plot Ubinan pendekatan rumah tangga Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015 - 2016

Sebaran sampel plot ubinan dengan pendekatan rumah tangga untuk daerah kota di Jawa Tengah lebih padat dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterwakilan sampel plot ubinan untuk daerah perkotaan 1 : 11 hektar. Jadi setiap 1 hektar diwakili oleh 1 sampel ubinan. Untuk hasil ubinan sangat mewakili untuk wilayah tersebut. Berbeda dengan kabupaten dengan luas sawah yang besar. Keterwakilan satu plot ubinan untuk 360 hektar sudah mencukupi jika sebaran plot menyebar di area frame sawah baku. Tetapi untuk pendekatan rumah tangga penyebarannya sesuai dengan tempat tinggal petani. Bukan dengan sawah yang terdapat dalam hamparan suatu wilayah tersebut. b. Sebaran sampel plot ubinan dengan pendekatan KSA

Sebelum membahas sebaran plot pada ubinan pendekatan KSA perlu dilihat sebaran plot pada sampel segmen yang menjadi titik amat KSA di kabupaten/kota se Jawa Tengah.

-200,00-100,00

,00100,00200,00300,00400,00500,00600,00700,00800,00

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69

Data

avg

std

UCL

LCL

outlier

Diana Dwi Susanti – Evaluasi Penggunaan Kerangka Sampel Area ................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

491

Pada gambar 2 , sebaran sampel segmen KSA kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah rata-rata 1 segmen mewakili 356 ha. Sebaran plot yang ada dibawah standart deviasi atau ada di wilayah kota dengan lahan sawah sempit memiliki sebaran plot 1:76 ha. Sedangkan wilayah kabupaten memiliki sebaran 1:391 hektar. Hampir sama dengan sebaran sampel ubinan pendekatan rumah tangga. Ada 7 kabupaten yang berada di puncak atau 1 segmen mewakili 500 ha luas sawah.

Grafik 2 Rata-rata Sampel segmen Kerangka Sampel Area Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2018

Titik amat pada sub round 3 tahun 2018 menghasilkan sebaran plot ubinan. Titik amat yang menjadi sampel ubinan adalah titik amat dengan fase vegetatif akhir dan generatif yang sudah siap panen pada bulan September – Desember 2018.

Di atas ini adalah grafik 2 yang menggambarkan sebaran plot dengan pendekatan sampel KSA. Ada 1 kabupaten yang outlier dan 1 kabupaten yang bernilai 0. Ini artinya pada sampel pengamatan KSA tidak ada lahan sawah yang siap panen pada bulan September – Oktober 2018. Dua kabupaten jika dilihat dari sampel KSA rata-rata 1segmen mewakili 500 hektar. Jadi berada pada titik mendekati UCL.

-200,0

0,0

200,0

400,0

600,0

800,0

1000,0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Data avg std UCL LCL outlier

492 JEPA, 3 (3), 2019: 487-494

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Grafik 2 Rata-rata Sebaran Plot sampel ubinan Dibandingkann Dengan Luas Baku Sawah Ubinan pendekatan Kerangka Sampel Area Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2018

Sampel plot ubinan pendekatan KSA menggambarkan ada satu kabupaten yang outlier dan ada garis terputus. Tetapi untuk kabupaten lainnya pergerakannya cenderung rata-rata sebesar 1:3265 ha.

Hasil sebaran sampel plot ubinan dengan pendekatan KSA sudah menggunakan pendekatan frame area dan sesuai dengan titik amat yang menjadi penghitungan luas panen. Ternyata untuk sub round 3 tahun 2018 ada outlier pada satu kabupaten dan nilai 0 yang berarti tidak ada panen pada sub round 3 tahun 2018.

Grafik 3 Rata-rata Sebaran Plot sampel ubinan Dibandingkann Dengan Luas Baku Sawah Ubinan pendekatan Kerangka Sampel Area Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2018 dengan menghilangkan outlier

Hasil sebaran yang telah menghilangkan outlier terlihat sebaran sampelnya lebih merata

walaupun masih ada beberapa kabupaten yang mendekati UCL. Masih ada 7 kabupaten dengan rata-rata sebaran plot segmen KSA berada diatas 1:1000 hektar. Untuk melihat sebaran normal maka dihilangkan kabupaten dengan sebaran plot segmen KSA 1:1000 hektar. Ini menggambarkan bahwa sampel titik amat masih terlalu sedikit untuk mewakili hamparan luas baku sawah diatas 1000 ha.

-30000,0-20000,0-10000,0

0,010000,020000,030000,040000,050000,060000,0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33

Data

avg

std

UCL

LCL

outlier

-3000,0

-2000,0

-1000,0

0,0

1000,0

2000,0

3000,0

4000,0

5000,0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31

Data

avg

std

UCL

LCL

outlier

Diana Dwi Susanti – Evaluasi Penggunaan Kerangka Sampel Area ................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

493

Grafik 3 Rata-rata Sebaran Plot sampel ubinan Dibandingkann Dengan Luas Baku Sawah Ubinan pendekatan Kerangka Sampel Area Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2018 dengan menghilangkan kabupaten rata-rata sebaran 1000 ha

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Perbandingan sebaran sampel plot ubinan pendekatan rumah tangga dan sebaran sampel

plot pendekatan KSA mempunyai sebaran yang hampir sama. Hal ini menunjukkan sampel ubinan dengan pendekatan rumah tangga dan sampel pendekatan KSA mempunyai tingkat akurat yang hampir sama.

Berdasarkan pengamatan lebih jauh pada diagram scater sebaran plot ubinan pendekatan rumah tangga terjadi ketimpangan yang sangat signifikan antara wilayah kota dan wilayah kabupaten. Walaupun masih didalam garis normal tetapi untuk daerah kota kurang efisien dalam pelaksanaan ubinan. Karena setiap 11 hektar diwakili satu sampel ubinan. Karena pendekatan ubinan rumah tangga tidak jarang sampel ubinan mengelompok pada satu hamparan.

Sebaran sampel plot ubinan dengan pendekatan area frame KSA lebih akurat. Karena mengukur produktivitas dari luas panen yang menjadi titik amat. Tetapi melihat diagram scater yang dihasilkan bahwa sampel segmen KSA yang mempunyai sebaran plot lebih dari 1 :1000 hektar cenderung berada pada titik outlier.

Saran 1. sampel ubinan lebih akurat menggunakan pendekatan KSA dibandingkan pendekatan

rumah tangga. Karena sampel akan lebih menyebar ke lahan sawah yang ada dalam satu wilayah.

2. penambahan sampel segmen KSA pada wilayah-wilayah yang memiliki luas lahan sawah lebih dari 1000 hektar.

3. penarikan sampel untuk segmen KSA hendaknya memperhatikan wilayah yang berada di dataran tinggi dan berada di dataran rendah.

4. penarikan sampel hendaknya dilakukan di kabupaten /kota. Sehingga lebih mudah menentukan strata wilayah dataran tinggi dan dataran rendah.

-500,0

0,0

500,0

1000,0

1500,0

2000,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Data

avg

std

UCL

LCL

outlier

494 JEPA, 3 (3), 2019: 487-494

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

DAFTAR PUSTAKA BPS (Badan Pusat Statistik). 2012. Buku Pedoman Pengumpulan Data Tanaman Pangan

Jakarta: Badan Pusat Statisik dan Kementerian Pertanian. BPS. Hlm 15 – 24 BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Buku Pedoman Pencacahan Pendataan Statistik Pertanian

Tanaman Pangan Terintegrasi Dengan Metode Kerangka Sampel Area (KSA) Jakarta: Badan Pusat Statisik dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. BPS. Hlm 31 – 37

Mohammad Chafid. 2015. Metodologi Area Frame Untuk PEngukuran Produktivitas Padi di Kabupaten Garut. Jurnal Informatika Pertanian, Vol. 24 No.1, juni 2015 : 39 - 52

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 495-502

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.5

KERENTANANKETAHANAN PANGAN WILAYAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI

DALAM KONSEP “WELLBEING”

VULNERABILITY OF FOOD RESILIENCE AND ITS RELATIONSHIP TO FARMERS 'SOCIO-ECONOMIC CHARACTERISTICS

IN THE CONCEPT OF "WELLBEING"

Muhammad Yamin*, Nurilla Elysa Putri, Eka Mulyana Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Overview of the conditions of food security vulnerability at the regional and household level so as to be able to provide recommendations in an effort to improve farm household welfare and increase regional food security. The purpose of this study was to assess the level of vulnerability of food security in the South Sumatra region, measure wellbeing through the level of objective welfare and subjective well-being of paddy farmer families in South Sumatra, provide recommendations to anticipate vulnerability to food security and increase wellbeing of rice farmers in South Sumatra. The method used is the survey method, the data collected includes primary data and secondary data. The method of data analysis carried out consisted of qualitative analysis and quantitative analysis. Quantitative analysis is carried out by evaluating the level of composite on the level of food insecurity in the region, then measuring objective wellbeing and subjective wellbeing is carried out. The Province of South Sumatra is in a food-resistant condition, where the IFI value is in the range of 0,00-0,43 which shows that in this area it is not prone to food, but still in priority 4 and 5 which shows the potential for food insecurity. The highest composite index is in Banyuasin and South OKU Districts and East OKU. Based on Objective wellbeing, results showed that farmers who have per capita income above the poverty line in Kayuara Batu Village amounted to 56.67 percent, while farmers who had per capita income below the poverty line were 43, 33 percent. Farmers who have per capita income above the poverty line 18.51 percent, while farmers who have per capita income below the poverty line are 81.49 percent. The total score of subjective welfare of rice farmers in Kayuara Batu Village scored 2.84 and Segayam Village got a score of 2.62 meaning that overall subjective well-being was included as a good criterion. This proves that farmers are satisfied with their personal and social life, happy in carrying out their daily lives and have meaning in their lives. Based on the calculations that have been done obtained r_s arithmetic of 0.201, the positive value obtained means that the relationship between the total income variable and subjective well-being is in the same direction, where the increase in income coincides with an increase in subjective well-being. and subjective well-being.

Keywords: Food Security, objective, subjective, Wellbeing

ABSTRAK

Gambaran kondisi kerentanan ketahanan pangan ditingkat wilayah dan rumahtangga sehingga mampu memberikan rekomnedasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan

496 JEPA, 3 (3), 2019: 495-502

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

rumahtangga petani serta peningkatan ketahanan pangan wilayah. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai tingkat kerentanan ketahanan pangan wilayah Sumatera Selatan, mengukur welllbeing melalui tingkat kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subyektif keluarga petani sawah di Sumatera Selatan, memberikan rekomendasi upaya antisipasi kerentanan ketahanan pangan dan peningkatan wellbeing petani sawah di Sumatera Selatan. Metode yang digunakan adalah metode survey, data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data skunder. Metode Analisis data yang dilakukan terdiri dari analisis Kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan melakukan penilaian tingkat komposit terhadap tingkat kerawanan pangan wilayah, selanjutnya dilakukan pengukuran objective wellbeing dan subjective wellbeing. Provinsi Sumatera Selatan berada pada kondisi tahan pangan, dimana nilai IFI berada pada range 0,00-0,43 yang memunjukkan bahwa di daerah ini belum rawan pangan, akan tetapi masih berada pada prioritas 4 dan 5 yang menunjukkan adanya potensi rawan pangan. Indeks komposit tertinggi yaitu di Kabupaten Banyuasin dan OKU Selatan serta OKU Timur.Berdasarkan Objective wellbeing diperoleh hasil bahwa petani yang memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan di Desa Kayuara Batu sebesar 56,67 persen, sedangkan petani yang memiliki pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan sebesar 43,33 persen. Petani yang memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan 18,51 persen, sedangkan petani yang memiliki pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan sebesar 81,49 persen. Skor total kesejahteraan subjektif petani padi di Desa Kayuara Batu memperoleh skor 2,84 dan Desa Segayam memperoleh skor 2,62 artinya secara keseluruhan kesejahteraan subjektif termasuk kriteria baik. Hal ini membuktikan petani puas terhadap kehidupan personal dan sosial, bahagia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan memiliki makna dalam hidupnya. Berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukan diperoleh r_s hitung sebesar 0,201, nilai positif yang didapatkan artinya hubungan antara variabel pendapatan total dan kesejahteraan subjektif searah, dimana peningkatan pendapatan bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan subjektif Nilai signifikansi 0,314 > 0,05 maka tidak terdapat hubungan yang siginifikan antara pendapatan total dan kesejahteraan subjektif.

Kata kunci: Kerentanan, Ketahanan Pangan, objective, subjective, Wellbeing

PENDAHULUAN

Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. (Keho, 2017).

Perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu desa dan kelurahan. Oleh karena itu tantangan untuk mengurangi permasalahan-permasalahan dalam setiap aspek ketahanan pangan di masyarakat sampai pada tingkat desa dan kelurahan membutuhkan pemantauan yang berkesinambungan (Harnani, et al., 2015).

Tingkat kesejahteraan petani merupakan faktor penting pembangunan sektor pertanian, dimana saat ini kesejahteraan petani sedang menjadi perhatian, utamanya semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani (Wiryono, 1997 dalam Kifli et al, 2015), maka kajian tentang kerentanan ketahanan pangan wilayah dan hubungannya dengan kakateristik sosial ekonomi

Muhammad Yamin – Kerentananketahanan Pangan Wilayah ..........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

497

petani dalam konsep wellbeing diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi ketahanan pangan dan sekaligus memetakan kondisi wellbeing petani yang ada di Sumatera Selatan. Hasil pemetaan tingkat kesejahteraanpetani melalui konsep wellbeing diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi kerentanan ketahanan pangan ditingkat wilayah dan rumahtangga sehingga mampu memberikan rekomendasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani berdasarkan karakteristik sosial ekonomi wilayah Sumatera Selatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan di 2 lokasi di Sumatera Selatan yaitu wilayah pedesaan

yang berbasis lahan sawah antara lain Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Muara Enim. Kedua lokasi studi tersebut dipilih secara sengaja (purvosive) dengan kriteria memiliki kerentanan ketahanan pangandan merupakan daerah pedesaan dengan kondisi kesejahteraan rendah di Sumatera Selatan, dan memiliki karakteristik sosial ekonomi petani yang khas. Selain itu di wilayah ini terdapat areal persawahan yang relatif cukup luas, sekaligus sebagailumbung pangan nasional. Metode penelitian yang digunaan adalah metode survey.

Metode penarikan contoh yang digunakan adalah metode penarikan contoh yang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap sumber informasi (key informan) yang dianggap mewakili populasi rumahtangga petani sawah, serta masyarakat yang mampu memberikan opini tentang kajian yang dilakukan.

Analisis Data dilakukan secara kuantitatif dengan perhitungan matematis dan metode Rural Rapid Appraisal (RRA) dan secara kualitatif dengan menggunakan metode Participation Rural Appraisal (PRA). Data yang dikumpulkan akan diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan konsep penghitungan sesuai kajian yang kemudian dilanjutkan dengan analisis deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil yang didapat dalam bentuk uraian yang sistematis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis wellbeing melalui tingkat kesejahteraan objektif dan kesejahteraa subyektif

keluarga petani sawah di Sumatera Selatan A.1. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah seluruh penerimaan dalam bentuk rupiah yang dihitung dengan cara dikurangi dengan biaya produksi dalam satu kali musim tanam. Penerimaan petani dihitung dengan mengalikan harga jual dan jumlah produksi. Semakin besar produksi dan harga jual akan berpengaruh terhadap penerimaan petani. Rata-rata harga jual, penerimaan, produksi dan pendapatan petani padi di Desa Kayuara Batu dan Desa Segayam dapat dilihat pada Tabel 10.

498 JEPA, 3 (3), 2019: 495-502

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 1. Rata-rata Produksi, Harga Jual, Penerimaan, Biaya Produksi, dan Pendapatan Usahatani Padi di Desa Kayu Ara Batu dan Desa Segayam

No Uraian Rata-rata Biaya Selisih Desa Kayu

Ara Batu Desa Segayam

1 Produksi (Kg) 3.457 2.295 1.162 2 Harga Jual GKP (Rp/kg) 4.500 4.200 300 3 Penerimaan (Rp/lg) 15.555.000 9.639.000 5.916.000 4 Biaya Produksi (Rp/lg) 7.769.439 5.028.422 2.741.017 5 Pendapatan 7.785.561 4.610.578 3.174.983

Berdasarkan Tabel 10. rata-rata jumlah produksi di Desa Kayuara Batu sebesar 3.457 kilogram per luas garapan per tahun sedangkan di Desa Segayam sebesar 2.295 kilogram per luas garapan per tahun. Penerimaan petani padi di Desa Kayuara Batu sebesar Rp.15.555.000 per luas garapan per tahun,sedangkan di Desa Segayam sebesar Rp. 9.639.000 per luas garapan per tahun penerimaan didapatkan dengan mengalikan jumlah produksi untuk Desa Kayuara Batu yaitu 3.457 kilogram dengan harga gabah kering panen (GKP) Rp. 4.500 per kilogram, dan untuk Desa Segayam dengan mengalikan jumlah produk 2.295 kilogram dengan harga gabah kering panen (GKP) Rp. 4.200 per kilogram. Untuk mendapatkan pendapatan usahatani padi dengan cara penerimaan dikurangi biaya produksi. Hasil yang didapat untuk pendapatan di Desa Kayuara Batu sebesar Rp. 7.785.561 per luas garapan per tahun, dan untuk Desa Segayam didapat sebesar Rp. 4.610.578 per luas garapan per tahun. A.2. Pendapatan Non Usahatani

Petani di Desa Kayuara Batu melakukan kegiatan sampingan luar usahatani. Petani bekerja dikarenakan untuk menambah pendapatan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Usahatani padi hanya dapat dilakukan satu kali musim tanam dalam satu tahun, selama tidak melakukan kegiatan usahatani petani bekerja sebagai nelayan bangunan dan pekerjaan lainnya. Rata-rata pendapatan non usahatani petani padi di Desa Kayuara Batu dan Desa Segayam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Pendapatan Non Usahatani di Desa Kayu Ara Batu dan Desa Segayam

No Uraian Rata-rata Biaya (Rp/th) Desa Kayu Ara Batu Desa Segayam

1 Nelayan 3.190.000 0 2 Lainnya 6.966.667 7.683.333 Jumlah 10.156.667 7.683.333

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat rata-rata pendapatan tertinggi dari pendapatan non

usahatani di Desa Kayuara Batu sebagai nelayan yaitu sebesar Rp. 3.190.000 per tahun. Petani contoh di Desa Kayuara Batu kebanyakan bekerja sebagai nelayan, beternak sapi, sisanya ada petani yang membuka usaha seperti warung, jahit, dan sebagai tukang buat Jaring . Pendapatan non usahatani sangat berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani di Desa Kayuara Batu. Didesa Segayam pendapatan non usahatani atau lainnya sebesar Rp. 7.683.333. Kebanyakan didapat dari menenun, hasil tenunan yang didapatkan nantinya dijual kepasar.

Muhammad Yamin – Kerentananketahanan Pangan Wilayah ..........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

499

Selain itu ada juga petani yang membuka warung kecil-kecilan sebagai tambahan pendapatan mereka.

A.3. Objective Wellbeing Rumahtangga Petani

Objective wellbeing yang diukur dalam penelitian ini berupa kesejahteraan secara objektif yang dinilai dari pendapatan rumahtanga petani di lokasi studi dalam hal ini di Desa Kayu Ara Batu Kecamatan Belida Darat Kabupaten Muara Enim dan Desa Segayam Kecamatan Pemulutan Selatan. Hasil perhitungan pendapatan akan dibandingan dengan standar garis kemisinan berdasarkan BPS, yang akan memperlihatkan status kemiskinan rumahtangga yang dalam hal ini dijadikan sebagai referensi kondisi kerentanan ketahanan pangan rumahtangga di lokasi studi.

Pendapatan total rumah tangga di Desa Kayuara Batu dan Desa Segayam didapatkan dengan menjumlahkan pendapatan usahatani padi dan non usahatani. Rata-rata pendapatan total rumah tangga petani padi di Desa Pelabuhan Dalam dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Total Rumah Tangga di Desa Kayu Ara Batu dan Desa Segayam

No Total Biaya

Rata-rata Pendapatan

Desa Kayu Ara Batu Desa Segayam

(Rp/th) % (Rp/th) % 1 Usahatani Padi 7.785.561 43,39 4.610.578 37,50 2 Non Usahatani 10.156.667 56,61 7.683.333 62,50

Jumlah 17.942.228 100,00 12.293.911 100,00

Berdasarkan Tabel Rata-rata pendapatan total rumah tangga petani di Desa Kayuara Batu sebesar Rp. 17.942.228 pertahun, dan untuk Desa Segayam yaitu sebesar Rp. 12.293.911 pertahun. Pendapatan petani di Desa Kayuara Batu berasal dari non usahatani padi sebesar Rp. 10.156.667 pertahun atau sebesar 56,61 persen, dan pendapatan petani di Desa Segayam berasal dari non usahatani padi sebesar Rp. 7.683.333 pertahun atau sebesar 62,50 persen, lalu pendapatan yang berasal dari usahatani di Desa Kayuara Batu sebesar Rp. 7.785.561 atau sebesar 43,39 persen dan untuk Desa Segayam sebesar Rp 4.610.578 atau sebesar 37,50 persen. Pendapatan non usahatani lebih tinggi dibandingkan pendapatan usahatani padi dalam satu tahun kebanyakan petani hanya bekerja selama kurang lebih 3-4 bulan dan dikurangi hari libur pada hari minggu. Selebihnya petani mencari pekerjaan lain selain usahatani padi untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Garis kemiskinan adalah representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bahan makanan. Angka garis kemiskinan di Desa Kayuara Batu tahun 2018 adalah Rp. 331.554,00. dan Desa Segayam tahun 2018 adalah Rp. 367.076,00.

500 JEPA, 3 (3), 2019: 495-502

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 1. Garis Kemiskinan Petani Padi di Desa Kayu Ara Batu

Gambar 2. Garis Kemiskinan Petani Padi di Desa Segayam

Berdasarkan Gambar 3, petani di Desa Kayuara Batu yang yang memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan berdasarkan pada tahun 2018 adalah Rp. 331.554,00. sebanyak 17 petani dan dibawah garis kemiskinan sebanyak 13 petani. Berdasarkan gambar 4, petani di Desa Segayam yang memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan di Desa Segayam pada tahun 2018 adalah Rp. 367.076,00. sebanyak 5 petani dan dibawah garis kemiskinan sebanyak 22 petani. Tabel 13 menunjukkan garis kemiskinan petani di Desa Kayuara Batu dan Desa Segayam B. Subective Wellbeing Petani

Subjective wellbeing atau Kesejahteraan subjektif adalah bagaimana cara petani mengevaluasi hidup yang didalamnya meliputi evaluasi kognitif yang berupa adanya kepuasan hidup (life satisfaction) maupun evaluasi afektif berupa adanya emosi positif (positive affect) dan emosi negatif (negative affect). Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan kepuasan personal, kepuasan sosial, perasaan (afeksi), dan tujuan hidup. Hasil pengukuran kesejahteraan subjektif akan dijelaskan dari masing-masing indikator. Skor total kesejahteraan subjektif petani padi di Desa Kayuara Batu kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim memperoleh skor 2,84 dan Desa Segayam Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan ilir memperoleh skor 2,62 artinya secara keseluruhan kesejahteraan subjektif termasuk kriteria baik. Hal ini membuktikan petani puas terhadap kehidupan personal

Muhammad Yamin – Kerentananketahanan Pangan Wilayah ..........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

501

dan sosial, bahagia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan memiliki makna dalam hidupnya.

Tabel 18. Skor Total Subjective Wellbeing Petani Padi di Desa Kayu Ara Batu dan Desa

Segayam No. Komponen Pengukuran Desa Kayu Ara Batu Desa Segayam

Σ Kriteria Σ Kriteria 1 Kepuasan Personal 2,71 B 2,60 B 2 Kepuasan Sosial 3,08 B 2,69 B 3 Perasaan (Afeksi) 2,65 B 2,50 B 4 Makna Hidup 2,92 B 2,71 B

Jumlah 11,36 B 10,5 B Rata-rata 2,84 B 2,62 B

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari kegiatan penelitan yang telah dilakukan maka dapat diperoleh beberapa kesimpulah

yaitu : 1. Berdasarkan Objective wellbeing diperoleh hasil bahwa petani yang memiliki pendapatan

perkapita diatas garis kemiskinan di Desa Kayuara Batu sebesar 56,67 persen, sedangkan petani yang memiliki pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan sebesar 43,33 persen. Petani yang memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan 18,51 persen, sedangkan petani yang memiliki pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan sebesar 81,49 persen.

2. Skor total kesejahteraan subjektif petani padi di Desa Kayuara Batu memperoleh skor 2,84 dan Desa Segayam memperoleh skor 2,62 artinya secara keseluruhan kesejahteraan subjektif termasuk kriteria baik. Hal ini membuktikan petani puas terhadap kehidupan personal dan sosial, bahagia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan memiliki makna dalam hidupnya.

Saran Berdasarakan hasil kajian yang telah dilakukan maka ada beberapa saran dan masukan yang

dapat diberikan antara lain : 1. Pembangunan infrastruktur kebutuhan dasar minimal diprioritaskan pada daerah yang

berpotensi rawan pangan 2. Perlu adanya sosialisasi tentang konsepsi subjective wellbeing pada petani di daerah yang

rentan terhadap ketahanan pangan sehingga ada perbaikan kondisi ketahanan pangan di daerah tersebut

DAFTAR PUSTAKA Astuti. 2017. Pemetaan Tingkat Kesejahteraan Keluarga di Kecamatan Banjarmasin Selatan.

Jurnal Pendidikan Geografi, 4(2) : 20-34.

502 JEPA, 3 (3), 2019: 495-502

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Boer, R and Meinke, H. 2002. Plant Growth and the SOI, in Will It Rain? The effect of the Southern Oscillatioon and El Nino in Indonesia. Department of Primary Industries Qweensland, Brisbane Australia

Basrowi dan Juariyah. 2010. Analisis Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Srigading Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, 7(1) : 58-81

Fitriani. 2016. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Kecil Di Desa Poncowarno Kecamatan Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2015. Skripsi. Lampung : Universitas Lampung.

Hahn, B. Micah, Anne M. Riederer, and Stanley O. Foster. 2009. The Livelihood Vulnerability Index: A Pragmatic Approach to Assessing Risks from Climate Vulnerability and Change – A Case Study in Mozambique. Global Environmental Change doi: 10.1016/j.gloenvcha.2008.11.002.

Hanani, Sujarwo, Asmara R. 2015. Indikator dan Penilaian Tingkat Kerawanan pangan Kelurahan untuk daeraha perkotaan. Agrise, Vol 15, No 2(2015), 1010.

Hidayat, P. 2016. Pengaruh Tekanan Ekonomi dan Strategi Hidup Dimensi Ekonomi Terhadap Kesejahteraab Subjektif Keluarga Petani. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Husaini, M. 2012. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Agribisnis, 2(4) : 320-332.

Keho. 2015. Kerawanan dan Ketahanan Pangan. Kehotanjung.Blogspot.com (diakses 8 Maret 2018)

Lontoh, J.V. 2016. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan di Sekitar Kawasan Reklamasi di Kecamatan Sario Kota Medan. Jurnal Ilmu Sosial dan Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan, 2(20) : 143-160.

Mulyo,J.H., Jamhari, Aw. Utami, Mi. Makruf Dan Sugiyarto. 2009 A. Studi Identifikasi Kerawanan Pangan Di Kabupaten Pemalang

Muflikhati et all. 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga : Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3(1) : 1-10.

Nasirotun, S. 2013. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi dan Pendidikan Orang Tua Terhadap Motivasi Melanjutkan Pendidikan Ke Perguruan Tinggi Pada Siswa. Jurnal Pendidikan Ekonomi IKIP Veteran Semarang, 1(2) : 15-24.

Nurcholis, H. 2010. Teori dan Praktik Pemerintah dan Otonomi Daerah. Jakarta : PT. Grasindo. Puspitawati, H. 2015. Gender dan Keluarga : Konsep dan Realitas Di Indonesia. Bogor : IPB

Press. Puspitasari, N. 2012. Peran Gender, Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Kesejahteraan

Keluarga Petani Hortikultura di Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Rustiadi Et al. 2011. Perencanaan Dan Pengembangan wilayah. Crespent Press dan yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Suandi et all. 2014. Hubungan Karakteristik Kependudukan Dengan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Jambi. Jurnal Piramida, 10(2) : 71-11

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 503-510

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.6

PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI TERHADAP PENJUALAN PADI SISTEM TEBASAN DAN NON TEBASAN PADA PETANI PADI SAWAH

DI DESA POJOKSARI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG

THE EFFECT OF SOCIAL ECONOMIC FACTORS ON RICE SALES OF TEBASAN AND NON TEBASAN SYSTEMS ON WASTE RICE FARMERS IN POJOKSARI

VILLAGE, AMBARAWA SUBDISTRICT, SEMARANG DISTRICT

Helena Hardina Gamma Puspita Mahasiswa Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Dan Bisnis, Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga * Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Rice is the main crop commodity for the majority of farmers in Pojoksari Village, Ambarawa Subdistrict, Semarang Regency, a suitable rice marketing system is needed. This study aims to (1) obtain an overview of the sale of rice with a tebasan and non-tebasan system for lowland rice farmers. (2) analyze the influence of socio-economic factors including age, education, farmer experience, land area, and number of workers, on the influence of rice sales with tebasan and non-tebasan systems on lowland rice farmers. The research method uses descriptive method with a quantitative approach with 60 samples using Simple Random Sampling Methods of data analysis using logistic regression. The results of the logistic regression analysis showed that the factors that influenced the sale of rice from the tebasan and non-tebasan system to lowland rice farmers were the level of education, experience of farmers, and the number of worker.

Keywords: Logistic Regression, Rice Sales System, Tebasan and Non-Tebasan.

ABSTRAK

Padi merupakan komoditi tanaman utama bagi mayoritas petani di Desa Pojoksari Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, dibutuhkan sistem pemasaran padi yang sesuai. Penelitian ini bertujuan (1) memperoleh gambaran tentang penjualan padi dengan sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah. (2) menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi yang meliputi usia, pendidikan, pengalaman petani, luas lahan, dan jumlah tenaga kerja, terhadap pengaruh penjualan padi dengan sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan 60 sampel menggunakan Simple Random Sampling Metode analisis data menggunkan regresi logistik. Hasil analisis regresi logistik yang menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan padi sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah adalah tingkat pendidikan, pengalaman petani, dan jumlah tenaga kerja.

Kata kunci: Regresi Logistik, Sistem Penjualan Padi, Tebasan Dan Non Tebasan

504 JEPA, 3 (3), 2019: 503-510

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut diantaranya berkaitan dengan letak geografis dan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sehingga memungkinkan pengembangan sektor ini sebagai salah satu usaha dalam memacu pembangunan nasional. Salah satu sektor pertanian yang masih akan terus dikembangkan adalah tanaman pangan. Sektor pertanian ini diharapkan dapat berperan dalam penyediaan pangan terutama tanaman padi yang cukup bagi kehidupan masyarakat bangsa ini (Soekartawi, 2006).

Komoditas padi sawah adalah salah satu tanaman pangan yang sangat pentingdan strategis kedudukannya sebagai sumber penyediaan kebutuhan pangan pokok yaitu berupa beras. Beras berkaitan erat dengan kebutuhan rakyat banyak dan dapat dijadikan sebagai alat politik. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan beras pun semakin meningkat, namun, produksi padi cenderung tetap bahkan menurun dan kondisi kesejahteraan petani itu sendiri juga terus mengalami penurunan (Mariyah, 2008).

Selain dari produksi dan budidaya yang tidak kalah pentingnya dalam budidaya tanaman padi adalah penanganan pascapanen seperti pemasaran/penjualan dari hasil panen tersebut. Menurut Kotler (2009) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Manusia harus menemukan kebutuhannya terlebih dahulu sebelum memenuhinya. Usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan suatu hubungan. Dengan demikian pemasaran bisa juga diartikan suatu usaha memuaskan kebutuhan pembeli dan penjual.

Sistem pemasaran amat penting peranannya dalam pengambilan keputusan mengenai pemasaran, peramalan permintaan, kebijaksanaan harga dan penjualan. Nurtika, et al (1992), tebasan merupakan cara penjualan yang dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi. Umumnya penjualan secara tebasan dilakukan saat akan dipanen, sedangkan pemeliharaan selanjutnya menjadi tanggung jawab pembeli. Sistem tebasan biasanya baru dilakukan oleh petani apabila harga cukup bagus.

Sistem tebasan adalah suatu cara penjualan hasil suatu jenis produk pertanian sebelum produk tersebut dipanen, di mana produk tersebut hasilnya sudah siap dipanen. Pada sistem tebasan biasanya transaksi jual beli sekitar satu minggu sebelum panen, petani bebas memilih kepada siapa komoditinya akan ditebaskan, serta bebas pula untuk tidak menebaskan hasil produksi pertaniannya (Windia, dkk., 1988).

Pada tingkat kasus, tebasan biasanya lebih disukai petani kaya atau juga petani yang tidak lagi mempunyai sumberdaya tenaga kerja memadai karena perubahan siklus usia rumah tangga. Siklus usia mengubah jumlah dan komposisi anggota rumah tangga. Seorang petani duda atau janda yang anak-anaknya sudah dewasa dan tidak lagi menerjuni pertanian (menjadi pegawai negeri, karyawan, atau pengusaha di kota) umumnya memilih tebasan untuk menjual panenan. Bagaimanapun, tunda-jual memerlukan pengerahan tenaga kerja tersendiri. Petani harus mengangkut panenan ke rumah, menjemur gabah hingga mencapai kekeringan tertentu sehingga layak disimpan, lalu menyediakan tempat di rumahnya untuk menyimpan. Dengan alasan-alasan di ataslah petani tua yang tidak bisa lagi mengerahkan sumberdaya memilih tebasan (Mulyono, 2010).

Dengan adanya sistem tebasan yang telah diterapkan muncul persepsi sisi positif dan juga sisi negatif. Sisi positif dari sistem penjualan dengan menggunakan tebasan yaitu petani tidak

Helena Hardina Gamma Puspita – Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Penjualan Padi .....

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

505

perlu mengeluarkan biaya panen, biaya tenaga kerja, dan juga petani mendapatkan hasil produksinya dalam bentuk uang secara langsung. Sedangkan untuk sisi negatifnya petani tidak mengetahui berapa hasil produksi, keuntungan yang diterima dan harga yang dipatok oleh tengkulak.

Berdasarkan jumlah produksi terdapat beberapa kecamatan di Kabupaten Semarang yang merupakan penghasil padi sawah salah satunya Kecamatan Ambarawa. Menurut Badan Pusat Statistik (2016) Kabupaten Semarang di wilayah Kecamatan Ambarawa merupakan pengahasil padi dengan luas panen 1 501,81 Ha, produksitivitasnya 5,81 ton/Ha dan produksinya mencapai 8 723,71 ton. Berbeda hal dengan wilayah Kecamatan Banyubiru dimana wilayah paling dekat dengan Kecamatan Ambarawa, hasil produksinya mencapai 11.882,11 ton, produktivitasnya hanya 5,67 dengan luas panen 2 095,24 Ha. Produktivitas usahatani padi dapat mengalami peningkatan maupun penurunan jumlah produksi yang disebabkan oleh kuantitas atau kualitas produksi.

Penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap penjualan padi sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah Di Desa Pojoksari, Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang yang meliputi: Faktor Usia, Pendidikan, Pengalaman Petani, Luas lahan, Tenaga kerja, Pendapatan, dan Jumlah Tanggungan Keluarga.

Dalam hal ini sebagian petani di Desa Pojoksari menjual hasil padinya menggunakan tebasan dan non tebasan. Karena sistem tebasan menjadi keuntungan tersendiri bagi petani yaitu mempercepat proses penjualan. Namun berbeda dengan non tebasan, pada sistem non tebas selama proses pemanenan petani akan mengawasi proses penen terutama pada saat perontokan padi dan pengangkutan gabah. Petani yang mengelola sendiri usahataninya pada proses pemanenan padi otomatis membutuhkan bantuan tenaga kerja sehingga petani yang mengelola sendiri usahataninya akan mencari sendiri tenaga kerja panen sebelum panen dilakukan.

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu : bagaimanakah pengaruh faktor pengaruh sosial ekonomi yang meliputi usia, pendidikan, pengalaman petani, luas lahan, tenaga kerja, sumber pendapatan lain, jumlah tanggungan keluarga petani terhadap pengaruh penjualan padi dengan sistem tebasan dan non tebasan di Desa Pojoksari.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Pojoksari, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Metode pengambilan sampel untuk penelitian ini menggunakan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan Simple Random Sampling yang merupakan pengambilan sampel ketika semua sampel memiliki tingkat peluang yang sama untuk terpilih. Jadi sampel yang diambil petani yang menjual dengan cara tebas sebanyak 30 orang dan yang non tebas sebanyak 30 orang. Dengan jumlah sampel adalah 60. Dan metode analisis data menggunkan regresi logistik. Untuk menjawab tujuan ke dua yaitu faktor sosial ekonomi yang meliputi usia, pendidikan, pengalaman petani, luas lahan, tenaga kerja, sumber pendapatan lain petani, jumlah tanggungan keluarga terhadap pengaruh penjualan padi dengan sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah. Dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan model sebagai berikut: !" = $% & '(

)*'(+ =βo + β1 X1 + β2 X2 +β3 X3 +β4 X4 +β5 X5 +ᶓ

506 JEPA, 3 (3), 2019: 503-510

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dilokasi penelitian petani yang menerapkan sistem penjualan padi dengan tebasan dan

tidak ditebas yaitu kelompok tani Ngudi Makmur yang berada di Desa Pojoksari, Kecamatan Ambarwa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Penjualan padi sistem tebas dan tidak tebas pada petani padi sawah kelompok tani Ngudi Makmur ini sudah mulai dilakukan 10 tahun terakhir untuk padi yang ditebas dan 10 tahun yang lalu untuk padi yang tidak ditebas. Namun sebagian petani pada masa ini masih ada yang menerapkan dengan menjual hasil padi dengan cara ditebas dan tidak ditebas.

Penjualan padi dengan sistem tebas pada kelompok tani Ngudi Makmur ini dilakukan satu bulan sebelum panen dengan si penebas memantau sawah terlebih dulu untuk melihat kualitas padi, dari hal ini terjadi tawar-menawar harga yang dilakukan sesuai dengan kualitas hasil panen padi tersebut. Jika terjadi kesepakatan harga maka penebas akan memberikan uang muka pembayaran antara Rp.1000.000- Rp.2000.000 dan sisanya akan dibayarkan pada saat panen.

Penjualan padi dengan sistem tidak ditebas pada kelompok tani Ngudi Makmur ini dilakukan pada saat petani melakukan sistem jual sendiri/non tebas mayoritas menjual hasil panen dalam bentuk gabah kering, namun terdapat pula petani yang menjual secara bertahap dalam bentuk gabah kering giling. Penjualan dalam bentuk bertahap yang artinya, gabah petani akan dibawa pulang dan dikeringkan selam 3-4 hari atau tergantung kondisi cuaca dan disimpan dalam bentuk gabah kering giling dengan penjualan bagah dilakukan apabila petani membutuhkan uang. Selain hasil panen padi dijual sebagian hasil panen padi dikonsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan simapanan untuk beberapa bulan kedepan.

Pada bab ini akan disajikan pembahasan dari hasil analisis penelitian yang telah dilakukan dengan menyajikan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi penjualan padi sistem tebasan dan non tebasan pada petani padi sawah. Analisis terhadap model regresi logistik akan melihat model tersebut secara keseluruhan (overall) dan sejumlah analisis parsial dari model tersebut meliputi keragaan dari variabel: usia (X1), tingkat pendidikan (X2), pengalaman petani (X3), luas lahan (X4), dan jumlah tenaga kerja (X5). Hasil dari pendugaan parameter model regresi logit ini menunjukkan nilai koefisien determinan regresi logistik yakni (negelkerke R square) = 0,524 yang berarti model ini memiliki arti, sehingga dapat dikatakan secara bersama-sama variabel bebas memiliki kontribusi terhadap variabel terikat adalah 52,4%.

Sedangkan untuk analisis secara parsial dari masing-masing variabel bebas (X) terhadap variabel tidak bebas (Y) akan dilakukan dengan menggunakan Wald Test atau uji W2, sehingga signifikansi masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas dapat dianalisis, Seperti pada sub bab dibawah ini dengan menggunakan tabel 1. Tabel .1. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Regresi Logistik

No. Variabel Parameter Dugaan Signifikansi Nilai Odds Ratio

Konstanta 4,285 0,241 72,622

1. Usia (X1) -0,092 0,080 0,912 2. Tingkat pendidikan (X2) -1,098 0,037 0,334 3. Pengalaman petani (X3) -0,205 0,001 0,815 4. Luas lahan (X4) -0,002 0,163 0,998 5. Jumlah tenaga kerja (X5) 1,818 0,052 6,157

Sumber : Data Primer yang diolah, 2018

Helena Hardina Gamma Puspita – Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Penjualan Padi .....

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

507

Pengaruh Usia (X1) Petani Terhadap Penjualan Padi Sawah dengan Sistem Tebasan dan Non Tebasan

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa usia petani tidak berpengaruh terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dan non tebasan, dengan nilai parameter sebesar -0,092. Nilai parameter dugaan tersebut bernilai negatif dan menunjukan nilai odds ratio sebesar 0,912 yang berarti bahwa rasio peluang petani terhadap penjualan padi sawah dengan non tebasan lebih tinggi 0,912 kali, dibandingkan dengan penjualan padi sawah dengan tebasan. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani yang usianya berbeda relatif dalam pekerjaan yang tidak sama terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan. Usia petani merupakan faktor penting dalam menjalankan usahataninya, petani usia produktif dianggap memiliki kemampuan fisik yang baik dalam mengelola usahataninya dibandingkan dengan petani usia tidak produktif karna dianggap kemampuan fisiknya sudah menurun, golongan usia produktif yakni mulai dari usia 15 - 64 tahun (Wiyono, 2015).

Pengaruh Tingkat Pendidikan(X2) Petani Terhadap Penjualan Padi Sawah dengan Sistem Tebas dan Non Tebas

Hasil analisis dan pengujian komputasi menunjukan bahwa tingkat pendidikan (X2) berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dan non tebasan dengan nilai parameter dugaan sebesar -1,098. Nilai parameter dugaan tersebut bernilai negatif dan menunjukan nilai odds ratio sebesar 0,334 yang bahwa rasio peluang petani terhadap penjualan padi sawah dengan non tebasan lebih tinggi 0,334 kali. Sebagian besar petani jenjang pendidikannya berbeda memiliki pengetahuan dan pemecahan masalah yang hampir sama. Tingkat pendidikan yang rendah menghambat intensitas petani dalam menggali informasi melalui penyuluh maupun media penyuluhan. Oleh karena itu, dengan semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka diharapkan kinerja semakin berkembang.

Hal ini berbeda dengan pernyataan Amien (2016) bahwa jika semakin tinggi tingkat pendidikan petani, maka petani akan cenderung lebih menggunakan tebasan. Tebasan merupakan sistem jual beli yang mengutamakan prinsip cash in hand. Petani yang menggunakan tebasan memiliki tujuan untuk mendapatkan uang secara cepat untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pengaruh Pengalaman Petani (X3)Terhadap Penjualan Padi Sawah dengan Sistem Tebas dan Non Tebas

Hasil analisis dan pengujian komputasi menunjukan bahwa pengalaman bertani (X3) berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dan non tebasan dengan nilai parameter dugaan sebesar -0,205. Nilai parameter dugaan tersebut bernilai negatif dan menunjukan nilai odds ratio sebesar 0,815 yang berarti bahwa rasio peluang petani terhadap penjualan padi sawah dengan non tebasan lebih tinggi sebesar 0,815 kali dibandingkan dengan penjualan padi sawah dengan tebasan.

Hal ini disebabkan karena petani memiliki pengalaman bertani yang tinggi, mereka akan lebih terampil. Semakin lama pengalaman bertani seseorang maka keterampilan yang dimiliki akan lebih tinggi, misalnya dalam bercocok tanam padi sawah dari pengolahan sampai pengolahan hasil panen hal ini membutuhkan pengalaman yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan petani yang memiliki pengalaman bertani yang lebih kecil.

508 JEPA, 3 (3), 2019: 503-510

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Pengaruh Luas Lahan(X4) Terhadap Penjualan Padi Sawah dengan Sistem Tebas dan Non Tebas

Hasil analisis dan pengujian komputasi menunjukan bahwa luas lahan (X4) berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan nilai parameter dugaan sebesar -0,002. Nilai parameter dugaan tersebut bernilai negatif dan menunjukan nilai odds ratio sebesar 0,998 yang berarti bahwa rasio peluang penjualan padi sawah non tebasan 0,998 kali dibandingkan dengan penjualan padi sawah menggunakan tebasan. Hal ini menunjukkan, semakin luasnya lahan yang dimiliki petani, maka menyebabkan penyediaan waktu yang lebih banyak untuk mengelola lahan dan melakukan aktivitas usaha tani lainnya, dibandingkan dengan luas lahan yang sedikit.

Pengaruh Jumlah Tenaga Kerja(X5) Terhadap Penjualan Padi Sawah dengan Sistem Tebas dan Non Tebas

Hasil analisis dan pengujian komputasi menunjukan bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dengan parameter dugaan sebesar 1,818. Nilai parameter tersebut bernilai positif dan menunjukan nilai odds ratio sebesar 6,157 yang berarti bahwa rasio peluang penjualan padi sawah tebasan lebih tinggi 6,157 kali dibanding dengan penjualan padi sawah non tebasan.

Hal ini dikarenakan petani yang menggunakan tenaga kerja pada penjualan padi sawah dengan menggunakan sistem tebasan lebih banyak bahkan dari pengolahan lahan sampai panen masih menggunkan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak, dibandingkan dengan non tebasan yang hanya menggunkan tenaga kerja tidak sampai tahap pemanenan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Sistem penjualan yang berlaku di daerah penelitian yaitu sistem penjualan tebasan dan non

tebasan. Sebagian petani melakukan sistem penjualan padi dengan tebasan dan non tebasan dikarenakan disaat petani kesulitan mencari tenaga kerja bahkan kebutuhan yang mendesak petani melakukan penjualan dengan tebasan, selain itu petani juga menganggap sistem tebasan lebih praktis dan cepat memperoleh uang untuk kebutuhan sahari-hari, sedangkan non tebasan hasil panen padi cenderung untuk konsumsi sendiri atau disimpan untuk bulan selanjutnya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Secara individu tingkat pendidikan (X2), pengalaman petani (X3), dan jumlah tenaga kerja (X5) berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dan non tebasan. Sedangkan usia (X1), dan luas lahan (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap penjualan padi sawah dengan sistem tebasan dan non tebasan

Saran Berdasarkan kesimpulan, dirumuskan saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi mengenai sistem penjualan dengan

memberikan informasi harga pasar terbaru agar petani dapat mengetahui dan juga dapat benar-benar mempertimbangkan sistem penjualan yang dipilih.

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh variabel-variabel yang belum dapat disimpulkan pengaruhnya pada analisis dalam penelitian ini.

Helena Hardina Gamma Puspita – Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Penjualan Padi .....

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

509

DAFTAR PUSTAKA Adiwilaga, Anwas, 1982. Ilmu Usahatani. Penerbit Alumni, Bandung. Amien, A. 2016 Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Petani Menggunakan Tebasan Serta

Akad Salam Sebagai Alternatif Pembiayaan Pertanian Di Kab. Tasikmalaya Dan Kab. Garut.

Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta: STIE YKPN. Asmara Rosihan, Hanani Nuhfil dan Suryaningtyas Risma. 2011. Analisis Usahatani Manggis

dan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Memengaruhi Keputusan Petani Memasarkan Hasil Usahatani Manggis Dengan Sistem Ijon. [Skripsi] Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Malang [ID] : Universitas Brawijaya

Dewi, M.U, dan Moch, M.M. 2017. Pengaruh pengambilan keputusan petani pada sistem penjualan padi (Oryza Sativa L.) dalam upaya peningkatan pendapatan usahatani. Studi kasus di Desa Watugede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Dewi, R. K. dan Sudiartini. 1999. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Sistem Penjualan Padi. Jurnal Jurusan Sosial Ekonomi. FP Universitas Udayana.Bali.

Fauzi, N.F. 2014Sistem Tebasan Pada Usahatani Padi Dan Dampaknya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Di Kabupaten Jember.

Ghozali I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Aplikasi IBM SPSS versi 19. Semarang [ID] : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hermanto, Fadholi, 1989. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta. Ida, Royani, Christina, S, 1998. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan

Petani Untuk Menanam Kubis Di Desa Kenteng, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Skripsi FP Uksw, Salatiga.

Kotler, P. 2005, 2009. Manajemen Pemasaran (Terjemahan). Edisi kedua belas. PT. INDEX. Jakarta.

Mamang, E. S. dan Sopiah. 2010. Metode Penelitian Pendekatan Praktik Dalam Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.

Mubyarto.1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LPES. Mulyono, Dede. 2010. Kapasitas Tunda Jual Petani Padi Studi Kasus Di Boyolali, Jawa Tengah.

www.kedaulatanpangan.net. Rahman, Arif. 2010. Strategi Dahsyat Marketing Mix. Transmedia. Jakarta. Santoso, Djoko. 1999. Perkembangan Teori Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Scoot, J.C, 1983. Moral Ekonomi Petani. LP3ES Anggota IKAPI. Jakarta Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Soekartawi. 1988, 1995, 2002, 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. Stanton, Agus. 1995. Prinsip-Prinsip Manajemen Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta: Bandung..

510 JEPA, 3 (3), 2019: 503-510

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Suwartini, Maria, 1997. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menanam Padi Jenis Lokal Di Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Skripsi FP UKSW Salatiga.

Ulrich Planch, 1990. Sosiologi Pertanian. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Umar, H. 2011. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. Windia, I W., A. Kusasi, I W. Widyantara, E. Lallo, dan I D. G. Agung, 1988, Dampak Sistem

Tebasan Terhadap Pengamanan Harga Dasar Kualitas Gabah dan Pendapatan Petani di Bali, Dalam Majalah Ilmiah FP Unud, Denpasar, No. 12 Tahun VIII.

Wiyono, S, dkk. 2015. Laporan Kajian Regenerasi Petani. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3(2019): 511-525

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.7

PERAN LEMBAGA FORMAL DAN INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

THE ROLE OF FORMAL AND INFORMAL INSTITUTIONS IN AGRO-INDUSTRY

DEVELOPMENT IN LIMAPULUH KOTA DISTRICT

Rini Hakimi*, Melinda Noer, Nofialdi, Hasnah Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

*Penulis korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

The food industry as one of the industrial groups that process agricultural products (agroindustry) plays a major role in regional development. It can be shown from its contribution to GDP and employment. Agro-industry development involves formal and informal institutions inside the region. This study aims to describe the role of formal and informal institutions in the development of cassava processed agro-industry. This study uses a qualitative approach. Data and information in this study were obtained from literature studies, observations, in-depth interviews and Focus Group Discussion (FGD) which were used for qualitative descriptive analysis. The results of the study show that formal institutions that play a role in the development of cassava agro-industries are local government, Regional-Owned Enterprises (BUMD), State-Owned Enterprises (BUMN), the formal institutions which are directly under the ministries and other formal institutions. Informal institutions that play a role in the development of cassava agro-industries are farmers, landlord, cassava processing industries, traders, consumers, traditional financial institutions and Local Cultural Institution (KAN). The roles of formal and informal institutions include as a catalyst, a facilitator, a regulator, a planner, an innovator, a financial services provider, a creditor, a seller and a buyer. However, this role must be supported by socialization and coordination through active interaction in a network among institutions so that the development of agro-industry can be realized.

Keywords: agro-industry, cassava processing, institutions, formal, informal.

ABSTRAK

Industri makanan sebagai salah satu kelompok industri yang mengolah hasil pertanian (agroindustri) berperan besar dalam pengembangan wilayah yang terlihat dari kontribusinya terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Pengembangan agroindustri melibatkan lembaga yang ada pada suatu wilayah, baik lembaga formal maupun lembaga informal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran lembaga formal dan lembaga informal dalam pengembangan agroindustri ubi kayu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dan informasi pada penelitian ini diperoleh dari studi literatur, observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) yang digunakan untuk analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lembaga formal yang berperan dalam pengembangan agroindustri adalah satuan perangkat daerah atau pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga formal yang langsung dibawah kementerian dan lembaga formal lainnya. Lembaga informal yang

512 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

berperan dalam pengembangan agroindustri olahan ubi adalah petani, pemilik lahan, industri olahan ubi, pedagang, konsumen, lembaga keuangan tradisional dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Peran lembaga formal dan informal diantaranya sebagai katalisator, fasilitator, regulator, perencana, inovator, penyedia jasa keuangan, kreditur, penjual dan pembeli. Namun peran tersebut harus ditunjang dengan sosialisasi dan koordinasi melalui interaksi yang aktif dalam sebuah jaringan diantara lembaga agar pengembangan agroindustri dapat terwujud.

Kata kunci: agroindustri, olahan ubi kayu, lembaga, formal, informal

PENDAHULUAN

Sektor pertanian memberikan sumbangan yang terbesar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Sumatera Barat sebesar 24,06 %, dimana tanaman pangan memberikan sumbangan sebesar 6,68% (Badan Pusat Statistik, 2017). Pengembangan sektor pertanian berkaitan erat dengan pengembangan sektor industri pengolahan terutama agroindustri (Sholahuddin, 2001; Supriyati & Suryani, 2006; Susilowati, Sinaga, Wilson, Limbong, & Erwidodo, 2007).

Agroindustri memainkan peran yang penting pada negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Karantininis, Sauer, & Furtan, 2010; Rao, 2006). Peran agroindustri terutama dalam hal sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (Karantininis et al., 2010; Supriyati, Setiyanto, Suryani, & Tarigan, 2006) dan penyerapan tenaga kerja (Depperindag, 2001; Lestari, 2010; Ririh, Anggrahini, & Amalia, 2011; Soekartawi, 2001; Supriyati et al., 2006). Hal ini terlihat dari kontribusi industri makanan dan minuman dalam PDRB Propinsi Sumatera Barat sebesar 4,78%. Disisi lain, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri pengolahan sebesar 8,78% dan pada sektor pertanian sebesar 36,44% (Badan Pusat Statistik, 2017). Salah satu agroindustri potensial yang dapat dikembangkan di Sumatera Barat adalah agroindustri makanan ringan. Agroindustri makanan ringan yang paling potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah agroindustri makanan ringan berbasis ubi kayu.

Pengembangan agroindustri sangat penting dilaksanakan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu (a) menarik dan mendorong munculnya industri baru di sektor pertanian (b) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh (c) menciptakan nilai tambah (d) menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki pembagian pendapatan (Soekartawi., 2000). Selain itu, agroindustri memiliki keterkaitan dengan sektor lain tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja (Rangarajan, 1982). Agroindustri merupakan suatu alternatif untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani dan penyerapan tenaga kerja di daerah pedesaan (Susilowati et al., 2007), karena agroindustri mendorong pertumbuhan sektor pertanian primer dengan adanya kebutuhan bahan baku dari agroindustri. Namun pengembangan agroindustri menghadapi beberapa kendala bahan baku, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, teknologi, pendanaan, inovasi produk, pemasaran, kebijakan dan koordinasi (Harisudin 2013; Junaidi, 2014; Ministry of Industry, 2016; Rao, 2006; Supriyati & Suryani, 2006). Untuk mengatasi kendala pengembangan agroindustri yang pada umumnya masih merupakan Industri Kecil Menengah (IKM) maka perlu dukungan dari berbagai lembaga atau aktor baik yang berasal dari perguruan tinggi, dunia usaha, pemerintah maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah bahwa untuk pengembangan industri agro diperlukan klaster industri yang didukung oleh sehimpunan lembaga dari pemerintah, perguruan tinggi dan dunia usaha yang saling bersinergi

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

513

untuk membantu IKM mencapai skala ekonomi yang baik, menciptakan lingkungan yang kreatif guna mendorong inovasi dan kerjasama (Bappeda, 2012).

Kajian tentang keterlibatan lembaga dalam pengembangan IKM memperlihatkan adanya aliran pengetahuan, teknologi dan bisnis yang melibatkan lembaga pemerintah, lembaga pendidikan/penelitian, lembaga keuangan, asosiasi dan industri (Chandra, 2014; Suroso, 2015). Penelitian lain yang membahas keterlibatan lembaga dalam pengembangan agroindustri menjelaskan bahwa setiap lembaga memiliki peran yang berbeda (Rao, 2006) dimana lembaga-lembaga tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya (Ikatrinasari, Maarif, Sa’id, Bantacut, & Munandar, 2009; Sholahuddin, 2001). Pada agroindustri ubi kayu juga terdapat keterkaitan antara berbagai aktor dalam supply chain (Suryaningrat, Amilia, & Choiron, 2015). Namun kajian yang membahas kelembagaan formal dan informal dalam pengembangan agroindustri masih terbatas. Berkaitan dengan hal diatas timbul pertanyaan lembaga formal dan informal apa saja dan bagaimana perannya dalam pengembangan agroindustri berbasis ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Penelitian ini dibatasi pada lembaga formal dan informal yang berada dalam wilayah geografis Kabupaten Lima Puluh Kota yang memiliki peran langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan agroindustri ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan peran lembaga formal dalam pengembangan agroindustri ubi kayu 2) mengidentifikasi dan mendeskripsikan peran lembaga informal dalam pengembangan agroindustri olahan ubi kayu.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu (Hasan, 2002). Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan dari bulan Januari – Agustus 2018. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Key informan pada penelitian ini dipilih secara purposive pada lembaga formal dan informal, agroindustri ubi kayu, konsumen. Sedangkan untuk petani, pemilik lahan dan pedagang dilakukan secara snowball. Survey agroindustri dilakukan pada lima nagari yaitu Nagari Koto Tangah Batu Hampa Kecamatan Akabiluru; Nagari Pandam Gadang Kecamatan Gunung Omeh, Nagari VII Koto Talago Kecamatan Guguak; Nagari Situjuah Gadang, Kecamatan Situjuah dan Nagari Sarilamak Kecamatan Harau. Pemilihan Nagari tersebut karena Nagari tersebut merupakan sentra agroindustri olahan ubi kayu dan pusat pemasaran produk olahan ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota. Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam, observasi, studi dokumen dan FGD. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data dan informasi kualitatif yang telah diperoleh dilakukan dengan analisis secara interaktif (interactive model). Analisis secara interaktif melalui tahapan reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan saran (Moleong, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Agroindustri Berbasis Ubi di Kabupaten Lima Puluh Kota

Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota No.10 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) menetapkan ubi kayu merupakan salah satu

514 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

komoditi unggulan (Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011). Perda ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 678 Tahun 2013 dengan menetapkan kawasan pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, dimana Kawasan Akabiluru (Kecamatan Akabiluru, Kecamatan Luak, Kecamatan Lareh Sago Halaban dan Situjuah Limo Nagari) dan Kawasan Padang Kandih (Kecamatan Payakumbuh, Kecamatan Gunuang Omeh, Kecamatan Harau, Kecamatan Guguak, Kecamatan Suliki dan Kecamatan Mungka) ditetapkan sebagai kawasan ubi kayu. Penetapan kawasan ini berdasarkan potensi produksi di setiap wilayah yang termasuk ke dalam kawasan ini. Adapun produksi ubi kayu untuk setiap Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Ubi Kayu Per Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016

No Kecamatan Produksi Ubi Kayu (Ton) 1. Gunuang Omeh 2.113,80 2. Suliki 2.720,14 3. Bukik Barisan - 4. Guguak 3.349,25 5. Mungka 731,65 6. Payakumbuh 10.895,60 7. Akabiluru 18.907,05 8. Luak 3.817,55 9. Situjuah Limo Nagari 7.593,93 10. Lareh Sago Halaban 12.292,77 11. Harau 5.701,32 12. Pangkalan Koto Baru 368,45 13. Kapur IX 460,80

Sumber : (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota, 2017)

Berdasarkan data diatas, lima daerah yang menjadi sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah Kecamatan Akabiluru, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kecamatan Payakumbuh, Kecamatan Situjuh Limo Nagari dan Kecamatan Harau. Potensi produksi ubi kayu ini banyak diolah menjadi produk makanan. Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang memproduksi olahan ubi ini tersebar hampir diseluruh kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota, namun yang menjadi sentra olahan ubi kayu terdapat di empat kecamatan yaitu Kecamatan Guguak di Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Situjuah di Nagari Situjuah Gadang, Kecamatan Akabiluru di Nagari Koto Tangah Batu Hampa dan Kecamatan Gunung Omeh di Nagari Pandam Gadang. Jenis produk yang dihasilkan di daerah sentra berbagai macam, namun masing-masing daerah sentra memiliki jenis produk unggulan seperti Nagari VII Koto Talago dengan kerupuk ganepo, Nagari Situjuah Gadang dengan kerupuk bulan, Nagari Koto Tangah Batu Hampa dengan kerupuk rubik dan sanjai serta Nagari Pandam Gadang dengan kerupuk ubi bergerigi. Adapun jumlah IKM untuk setiap daerah sentra ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

515

Tabel 2. Jumlah IKM dan Jenis Produk di Daerah Sentra Olahan Ubi Kayu Tahun 2017

No Kecamatan Jumlah IKM Jenis produk olahan ubi kayu yang dihasilkan

1. Kecamatan Guguak, Nagari VII Koto Talago 30 kerupuk ganepo

2. Kecamatan Situjuah, Nagari Situjuah Gadang 55 kerupuk bulan, kerupuk rubik,

kerupuk roda gandiang

3. Kecamatan Akabiluru, Nagari Koto Tangah Batu Hampa 40

kerupuk rubik, karak kaliang, sanjai, kerupuk sakura, roda gandiang, kerupuk ubi, tepung ubi, kerupuk merah

4. Kecamatan Gunung Omeh, Nagari Pandam Gadang 34 kerupuk ubi gerigi dan rubik

Sumber : Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Limapuluh Kota, 2018. Survei lapangan, 2018. Peran Lembaga Formal dalam Pengembangan Agroindustri Peran merupakan suatu tingkah laku atau tindakan yang diharapkan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang sesuai dengan kedudukannya (Kamus Bahasa Indonesia, 2016; Thoha, 1993). Kelembagaan bisa dimaknai sebagai aturan dan organisasi atau lembaga (Giddens, 2000 dalam Noer, 2004). Lembaga merupakan badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu usaha (Kamus Bahasa Indonesia, 2016). Lembaga bisa berbentuk organisasi dan bisa tidak berbentuk organisasi dimana ada kesepakatan untuk mencapai tujuan (N. Uphoff & Buck, 2006). Tujuan yang diinginkan suatu lembaga adalah memaksimumkan kesejahteraan atau utilitas (North, 1990). Lembaga merupakan tempat individu hidup dapat membentuk dan mempengaruhi individu (Scott, 2008). Sedangkan formalitas dicirikan oleh adanya aturan tertulis, ketetapan, prosedur, struktur, tujuan dan strategi (Berelson & Steiner, 1964).

Lembaga formal dalam penelitian ini merupakan badan atau organisasi yang melakukan suatu aktivitas dan biasanya memiliki struktur yang jelas dan aturan tertulis serta sasaran yang terencana dengan jelas. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, lembaga formal yang berperan dalam pengembangan agroindustri ubi kayu di Kabupaten Limapuluh Kota adalah pemerintahan daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga yang langsung berada dibawah kementerian dan lembaga formal lainnya. Peran lembaga formal diantaranya sebagai katalisator, fasilitator, regulator, perencana, penyedia jasa keuangan dan inovator. Pemerintah Daerah Pemerintah daerah Kabupaten Limapuluh Kota memiliki satuan perangkat daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas Daerah, Badan Daerah dan Kecamatan. Berdasarkan hasil tinjauan di lapangan peran sekretariat daerah dan sekretariat DPRD adalah sebagai katalisator yang dapat mempercepat proses pengembangan agroindustri melalui koordinasi dengan dinas daerah, badan daerah dan kecamatan. Koordinasi yang dilakukan sekretariat daerah melalui pelaporan, musrenbang dan Focus Group Discussion (FGD) terkait perencanaan dan pelaksanaan pengembangan agroindustri. Sekretariat daerah juga berkoordinasi dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Bank

516 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Perkreditan Rakyat (BPR) melalui pelaporan aktivitas usaha. Selain itu, sekretariat daerah bersama DPRD dan OPD terkait sudah melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2018-2038 yang dirumuskan oleh Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja. Disini terlihat bahwa DPRD melaksanakan fungsi regulasinya.

Sekretariat DPRD melalui aktivitas yang dilakukan DPRD berkoordinasi dengan pemerintahan daerah dalam bentuk musrenbang untuk perancanaan pengembangan agroindustri dan pembahasan laporan pertanggungjawaban kepala daerah termasuk Dinas dan Badan Daerah. DPRD melalui dana aspirasi anggota dewan yang bekerjasama dengan Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM, telah melakukan upaya percepatan pengembangan agroindustri dengan menyalurkan dana aspirasinya untuk membantu pengadaan peralatan produksi agroindustri. Namun, penyaluran dana aspirasi anggota DPRD untuk pengadaan peralatan produksi seharusnya dilakukan bekerjasama dengan Dinas Perindustrian, disini terlihat adanya ketidaksesuaian peran yang dilakukan Dinas dengan tupoksi yang diharapkan dan kurangnya koordinasi antar Dinas. Hal ini dikarenakan pemisahan kedua Dinas tersebut baru dilakukan tahun 2017 sehingga masih terbatas pemahaman lembaga lain akan perbedaan tupoksi kedua Dinas tersebut. Dinas daerah yang berperan dalam pengembangan agroindustri adalah Dinas Kesehatan, Dinas PU dan Penataan Ruang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, Dinas Komunikasi dan Informasi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Nagari, Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup Perumahan Rakyat dan Pemukiman, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, Dinas Pangan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Dinas daerah tersebut ada yang berperan langsung melalui interaksi langsung dengan agroindustri dan ada yang berperan dalam mendukung terlaksananya pengembangan agroindustri. Pada umumnya dinas daerah berperan sebagai fasilitator yang membantu dan memfasilitasi agroindustri untuk mengatasi permasalahannya. Peran sebagai fasilitator dilakukan melalui kegiatan pembinaan (penyuluhan, pelatihan, demonstrasi, konsultasi), menerbitan sertifikat atau izin yang dibutuhkan agroindustri dan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Selain sebagai fasilitator, Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM serta Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja juga berperan sebagai regulator dalam pengembangan agroindustri melalui kebijakan yang dirumuskan terkait pengembangan agroindustri dan UKM serta sebagai inovator melalui pengetahuan baru yang diberikan kepada agroindustri.

Dinas kesehatan berperan dalam memberikan penyuluhan keamanan pangan (PKP) agar agroindustri dapat menghasilkan produk pangan yang aman untuk kesehatan, pengawasan agroindustri dan memfasilitasi untuk pengurusan dan menerbitan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) atau yang lebih dikenal dengan P-IRT. Dinas PU dan Penataan Ruang berperan dalam menyediakan prasarana seperti jalan yang dapat membantu kelancaran aktivitas pemasaran produk agroindustri. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (PTSP) berperan dalam menyediakan fasilitas untuk pengurusan perizinan bagi agroindustri dan lembaga lain yang terlibat dalam pengembangan agroindustri. Perizinan yang bisa dilakukan adalah Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Izin Usaha Industri (IUI) dan Izin Usaha Perdagangan (IUP). Namun saat ini mayoritas agroindustri hanya memiliki surat keterangan usaha dari pemerintahan nagari/kecamatan dan hanya beberapa agroindustri yang memiliki SPP-IRT atau P-IRT.

Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM berperan dalam pembinaan dan merumuskan kebijakan terkait koperasi dan UKM. Pembinaan koperasi dilakukan dengan memberikan

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

517

penyuluhan terkait pengelolaan koperasi dan mensosialisasikan serta memfasilitasi mengenai bantuan permodalan untuk koperasi. Beberapa agroindustri ada yang memanfaatkan jasa simpan pinjam koperasi. Pembinaan UKM dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang manajemen usaha dan pemasaran produk. Namun saat ini mayoritas agroindustri masih cenderung menjual produknya ke pedagang dan belum mengembangkan teknik pemasaran online. Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja berperan besar dalam pengembangan agroindustri melalui pendataan agroindustri, penyuluhan, pelatihan, bantuan peralatan produksi dan kebijakan yang dirumuskan terkait pengembangan agroindustri (Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Limapuluh Kota tentang Rencana Pembangunan Industri). Dinas Perindustrian juga memberikan berbagai pengetahuan baru terkait perbaikan kualitas, variasi produk dan pengemasan produk. Namun agroindustri belum banyak yang mengembangkan variasi produk dan membuat kemasan produk yang lebih baik.

Dinas Komunikasi dan Informasi berperan dalam menyediakan fasilitas komunikasi dan informasi yang dibutuhkan oleh dinas lain terkait pengembangan agroindustri. Dinas ini juga melakukan pembinaan kepada operator yang bekerja pada dinas lain terkait media online yang digunakan. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Nagari berperan dalam mendorong penciptaan teknologi tepat guna melalui kompetisi yang diadakan setiap tahun termasuk teknologi tepat guna untuk agroindustri, pembinaan usaha rumah tangga dan ibu-ibu PKK terkait pengolahan ubi. Dinas Lingkungan Hidup Perumahan Rakyat dan Pemukiman berperan dalam penganalisaan dampak lingkungan dari kegiatan agroindustri dan peninjauan pada industri yang akan mengurus izin lingkungan. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan berperan dalam membina petani ubi kayu dan Unit Pelayanan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (UP3HP) yang menjadi cikal bakal tumbuhnya industri olahan ubi. Dinas ini juga memberikan bantuan peralatan produksi pada anggota UP3HP. Namun anggota UP3HP ada yang bukan pelaku pemula pengolahan produk tapi agroindustri yang sudah melakukan pengolahan, padahal diharapkan dari kegiatan UP3HP adalah munculnya pelaku-pelaku baru dalam pengolahan hasil pertanian termasuk ubi kayu. Seharusnya ketika sudah menjadi agroindustri yang mandiri, pembinaannya dipindahkan ke Dinas Perindustrian. Dinas Pangan berperan menyediakan sarana promosi untuk produk agroindustri dengan mengikutkan produk hasil olahan agroindustri dalam pameran pangan. Namun agroindustri olahan ubi kayu yang terjangkau dengan kegiatan promosi ini masih terbatas.

Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga bersama-sama dengan Sekretariat daerah, Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Dinas PUPR berperan dalam merumuskan Ranperda Pengembangan Industri termasuk agroindustri melalui FGD yang dilakukan dalam Tim Kelompok Kerja Penyusunan Ranperda.

Badan daerah yang berperan dalam pengembangan agroindustri adalah Badan Penelitian dan Pengembangan melalui koordinasi yang dilakukan dengan Dinas Daerah terkait rencana kegiatan yang dilakukan untuk pengembangan agroindustri dan menyediakan fasilitas untuk melakukan diskusi hasil penelitian terkait pengembangan agroindustri.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pemerintah daerah berfungsi menyediakan pelayanan dan kebijakan yang mendukung untuk kegiatan di sebuah daerah (Pemerintah Republik Indonesia, 2014) sehubungan dengan hal ini, pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota melalui perangkat daerahnya menjalankan perannya sebagai katalisator, fasilitator, pembuat kebijakan, planner dan inovator dalam pengembangan agroindustri ubi kayu. Hal ini sesuai dengan kajian yang menyatakan bahwa ada kelompok kelembagaan yang memiliki sifat dasar sebagai kelembagaan pemerintah dan berperan dalam pengembangan pertanian (Syahyuti, 2004).

518 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Hasil penelitian ini menguatkan beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah maupun pusat berperan dalam pengembangan agroindustri (UKM) (Chandra, 2014; Hasibuan, Listyati, & Pranowo, 2013; Sholahuddin, 2001).

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) BUMD merupakan badan usaha yang kepemilikan saham/modal utamanya ada di pemerintah daerah. BUMD yang berlokasi di Kabupaten Limapuluh Kota adalah Bank Nagari, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Badan Usaha Milik Nagari (BUMNAG). BUMD secara umum berperan sebagai penyedia jasa keuangan dalam pembayaran melalui pengiriman uang, penghimpunan dana simpanan masyarakat melalui tabungan serta pemberian pinjaman kepada agroindustri dan pedagang.

Bank Nagari adalah bank yang kepemilikan saham utamanya dipegang oleh pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat. Walaupun Bank Nagari merupakan lembaga yang memberikan jasa simpan pinjam, namun yang banyak dimanfaatkan oleh agroindustri dan pedagang saat ini adalah tabungan dan jasa pengiriman uang. BPR di Kabupaten Limapuluh Kota berperan dalam penyimpanan dan pengiriman uang serta pemberian pinjaman kepada agroindustri. Agroindustri di Kecamatan Akabiluru yang melakukan pinjaman kepada BPR walaupun bunga yang harus dibayar cukup besar, hal ini dilakukan oleh agroindustri kerupuk merah karena mengalami kesulitan untuk biaya produksi ketika terjadi kenaikan harga bahan baku tepung tapioka. BUMNAG merupakan badan usaha yang permodalannya berasal dari nagari (alokasi dana desa). BUMNAG Nagari Pandam Gadang yang menyediakan jasa untuk menabung, pengiriman uang dan mensosialisasikan persyaratan serta proses peminjaman dana KUR melalui BNI dan BRI. Namun agroindustri di Pandam Gadang belum ada yang melakukan peminjaman dana KUR, mereka baru meminta informasi tentang peminjaman dana KUR.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan(Pemerintah Republik Indonesia, 2003). BUMN yang berperan dalam pengembangan agroindustri di Kabupaten Limapuluh Kota adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Mandiri. Perbankan ini berperan sebagai penyedia jasa keuangan dalam bentuk pengiriman uang (transfer), penghimpunan dana simpanan masyarakat melalui tabungan, pemberian pinjaman dana KUR untuk kegiatan usaha agroindustri dan pedagang dengan bunga pinjaman rendah (7%); serta sebagai fasilitator dengan melakukan pembinaan melalui Rumah Kreatif BUMN. Berdasarkan tinjauan di lapangan hanya beberapa agroindustri yang meminjam dana KUR. Hal ini dikarenakan kebanyakan agroindustri menggunakan modal sendiri, selain itu karena kesibukan aktivitas produksi sehingga menjadi kendala bagi agroindustri untuk melakukan proses peminjaman dana KUR.

BUMD dan BUMN yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. BUMD dan BUMN yang berperan dalam pengembangan agroindustri ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota pada umumnya tergolong kepada lembaga keuangan yang berperan dalam memberikan jasa keuangan baik penyimpanan dana, transfer maupun peminjaman dana. Hasil penelitian ini menguatkan pandangan teoritis tentang fungsi lembaga keuangan sebagai menerima simpanan, memberikan kredit dan memberikan jasa lintas pembayaran (Kasmir, 2012).

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

519

Lembaga Formal yang Langsung Berada di Bawah Kementerian Lembaga yang termasuk dalam kategori ini adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Limapuluh Kota, Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) Kabupaten Limapuluh Kota, Polteknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Kantor Pertanahan Kabupaten Limapuluh Kota merupakan lembaga yang langsung berada dibawah kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia. Kantor pertanahan memiliki kegiatan legalisasi lokasi UMKM melalui sertifikasi lokasi kegiatan UMKM. Kantor pertanahan dalam pengembangan agroindustri berperan sebagai fasilitator melalui kegiatan penyuluhan tentang sertifikasi hak atas tanah UKM dan legalisasi (sertifikasi) lokasi UKM termasuk agroindustri. PLUT merupakan lembaga yang langsung berada dibawah Kementerian Koperasi dan UKM. PLUT berperan sebagai fasilitator, dimana Kegiatan yang dilakukan oleh PLUT dalam pengembangan agroindustri adalah dengan menyediakan fasilitas pelayanan melalui konsultasi langsung untuk mengatasi permasalahan agroindustri baik dalam hal produksi, SDM, pemasaran maupun pembiayaan. Agroindustri dapat berkonsultasi dengan mendatangi kantor PLUT atau ketika konsultan PLUT berkunjung ke agroindustri. Saat ini PLUT sedang membina 59 UMKM dan 25 Koperasi. Dari 59 UMKM yang dibina terdapat 7 UMKM yangmelakukan pengolahan ubi.

Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (Politani Payakumbuh) merupakan lembaga yang langsung berada dibawah Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Politani Payakumbuh berperan sebagai fasilitator melalui penelitian yang dilakukan terkait dengan teknik budidaya dan perbaikan proses produksi olahan ubi serta kegiatan pengabdian masyarakat dengan pelatihan, penyuluhan, penyewaan traktor untuk pengolahan lahan dan pemberian peralatan produksi untuk agroindustri. Politani merupakan lembaga yang memproduksi pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran dalam perencanaan pengembangan agroindustri di Kabupaten Limapuluh Kota. Peran sebagai inovator dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan dengan memberikan pengetahuan baru tentang perbaikan proses produksi seperti perbaikan/penambahan citarasa, pembuatan/perbaikan kemasan produk, pengelolaan usaha dan pemasaran produk. Selain itu, beberapa mahasiswa politani pernah melakukan praktikum lapangan dan magang di agroindustri olahan ubi, sehingga dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pengembangan agroindustri. Lembaga Formal Lainnya

Lembaga formal lainnya yang berperan dalam pengembangan agroindustri adalah Koperasi, Rumah Kreatif BUMN (RKB) dan BPOM atau Loka POM. Koperasi berperan sebagai fasilitator melalui jasa menyimpanan dana yang disediakan dan sebagai kreditur melalui jasa peminjaman yang diberikan kepada agroindustri. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa koperasi berperan dalam penyediaan jasa keuangan untuk kegiatan pertanian (N. T. Uphoff, 1986).

RKB didirikan oleh BUMN sebagai salah satu program BUMN untuk memajukan UKM. RKB di Kabupaten Limapuluh Kota berlokasi di Kanagarian Guguak VII Koto Talago Kecamatan Guguak. RKB ini pendiriannya diprakarsai melalui dana corporate sosial responsibility (CSR) BNI dan PT Bukit Asam. Namun dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan RKB ini lebih banyak berkoordinasi dengan Bagian Penyelia Pemasaran BNI Kota Payakumbuh dengan Kantor Cabang Pembantu (KCP) Danguang-danguang. Lebih lanjut Bagian Penyelia Pemasaran BNI Kota Payakumbuh ini berkoordinasi dengan Divisi CSR di BNI Propinsi.UKM olahan ubi atau agroindustri berbasis ubi yang dibina berjumlah 9 UKM yaitu Andespi, Clarisa, Usaha Kripik Nita, Chelsy & Chelsa, Sahabat Senada, Yanti Ganepo, Ganepo 99, Quella dan Sanjai Marsya. Peran RKB dalam pengembangan agroindustri adalah

520 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

sebagai fasilitator yang melakukan pembinaan kepada agroindustri olahan ubi melalui pelatihan untuk perbaikan manajemen usaha dan coaching dalam bentuk konsultasi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh agroindustri.

Kabupaten Limapuluh Kota termasuk dalam wilayah kerja Loka POM Kota Payakumbuh sebagai UPT BPOM yang berperan dalam pemerikasaan, pengujian, penerbitan sertifikat, edukasi dan informasi terkait pengawasan produk makanan yang dihasilkan agroindustri.

Berdasarkan uraian diatas, peran dan aktivitas lembaga formal dalam pengembangan agroindustri ubi kayu beserta aktivitas yang dilakukannya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Peran dan Aktivitas Lembaga Formal dalam Pengembangan Agroindustri

Berbahan Baku Ubi Kayu di Kabupaten Limapuluh Kota No Nama Lembaga Peran Aktivitas 1. Satuan Perangkat Daerah

atau Pemerintah Daerah Katalisator Melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk

mempercepat perencanaan dan perumusan kebijakan terkait pengembangan agroindustri

Fasilitator Melakukan pembinaan berupa penyuluhan, pelatihan, demonstrasi, konsultasi dan bantuan peralatan produksi. Menyediakan fasilitas untuk pengurusan perizinan dan dokumen yang dibutuhkan oleh agroindustri

Regulator Merumuskan dan membahas Ranperda tentang Pengembangan Industri (termasuk agroindustri ubi kayu) Membuat kebijakan pengembangan UKM/Agroindustri

Planner Merencanakan daerah pengembangan agroindustri dan kegiatan untuk pengembangan agroindustri.

Inovator Memberikan pengetahuan baru untuk perbaikan kualitas produk, kemasan dan pemasaran produk agroindustri

2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Penyedia jasa keuangan

Menyediakan jasa penyimpanan dan pengiriman uang Memberikan pinjaman modal usaha

3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Penyedia jasa keuangan

Menyediakan jasa penyimpanan dan pengiriman uang Memberikan pinjaman modal usaha

Fasilitator Melakukan pembinaan (penyuluhan dan konsultasi) melalui Rumah Kreatif BUMN (RKB)

4. Lembaga yang Langsung Berada dibawah Kementerian

Fasilitator Menyediakan fasilitas untuk pembuatan sertifikat lokasi usaha UKM termasuk agroindustri Melakukan pembinaan melalui penyuluhan, pelatihan, demonstrasi, konsultasi dan pemberian bantuan peralatan produksi

Innovator Memberikan pengetahuan baru terkait perbaikan teknik budidaya, kemasan dan pemasaran produk

5. Lembaga Formal Lainnya

Fasilitator Penyedia jasa keuangan

Melakukan pembinaan melalui penyuluhan dan konsultasi. Melakukan pemerikasaan, pengujian dan penerbitan sertfikat Meyediakan jasa penyimpanan dana dan peminjaman dana

Peran Lembaga Informal dalam Pengembangan Agroindustri Lembaga informal yang dimaksud dalam artikel ini merupakan badan atau oganisasi yang dibentuk dan tumbuh dari bawah (dari masyarakat) dan biasanya tidak memiliki sasaran yang tertruktur dan dirumuskan dengan jelas. Lembaga informal yang berperan dalam pengembangan agroindustri adalah petani, pemilik lahan, industri olahan ubi, pedagang, konsumen, lembaga keuangan tradisional dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Peran kelembagaan informal diantaranya sebagai penjual (seller), penyedia lahan, perencana (planner), pembeli (buyer), penyedia jasa keuangan (penyimpanan dan peminjaman), inovator dan fasilitator.

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

521

Petani berperan sebagai penjual dengan menjual bahan baku untuk kegiatan produksi agroindustri. Penjualan dilakukan petani secara tunai dengan mengantarkan ubi kayu hasil panen langsung ke lokasi produksi agroindustri. Pemilik lahan berperan menyediakan lahan untuk disewa oleh petani untuk usahatani ubi kayu atau disewa oleh agroindustri sebagai lokasi usaha. Industri olahan ubi atau agroindustri berperan sebagai pembeli bahan baku ubi kayu, produsen dan penjual produk olahan ubi, perencana (planner) untuk mengembangkan aktivitas usaha olahan ubi kayu dan sebagai inovator melalui kegiatan inovasi berupa penganekaragaman jenis olahan ubi kayu yang dihasilkan, variasi kemasan produk dan pemasaran online yang dilakukan.

Pedagang yang berperan dalam pengembangan agroindustri ubi kayu adalah : - Pedagang saprodi

Pedagang saprodi dalam kegiatan usahanya melakukan transaksi dengan petani untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi agar dapat melakukan kegiatan usahatani ubi kayu. Sarana produksi yang biasanya dibeli oleh petani adalah alat-alat pertanian dan pupuk. Pedagang saprodi dalam pengembangan agroindustri yang berperan sebagai penjual sarana produksi pertanian untuk usahatani ubi kayu.

- Pedagang cabe, pedagang kelontong atau kebutuhan harian dan pedagang kayu bakar. Pedagang cabe dan pedagang kebutuhan harian yang bertransaksi dengan agroindustri ada yang berlokasi di pasar dan ada yang berlokasi didekat tempat usaha agroindustri. Sedangkan pedagang kayu bakar biasanya mengantarkan kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan mobil pick up ke lokasi agroindustri untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar. Pedagang ini dalam pengembangan agroindustri berperan sebagai penjual bahan penolong untuk kebutuhan aktivitas produksi agroindustri olahan ubi.

- Pengecer Pengecer merupakan pedagang yang menjual produk yang dihasilkan oleh agroindustri kepada konsumen. Pengecer membeli produk agroindustri dalam kemasan besar (biasanya kemasan 10 kg). Pengecer dalam pengembangan agroindustri olahan ubi berperan sebagai pembeli dan penjual hasil produksi agroindustri olahan ubi kayu.

- Pedagang pengumpul nagari Pedagang pengumpul nagari merupakan pedagang yang mengumpulkan ubi kayu dari petani atau mengumpulkan hasil produksi agroindustri olahan ubi yang ada pada jorong-jorong didalam satu nagari dan menjualnya kembali kepada pihak lain dalam jumlah besar. Pedagang pengumpul nagari ada yang berperan sebagai pembeli dan penjual ubi kayu sebagai bahan baku untuk kebutuhan produksi dan pembeli dan penjual produk hasil olahan ubi kayu atau hanya memiliki salah satu peran.

- Pedagang pengumpul kecamatan Pedagang pengumpul kecamatan berperan sebagai pembeli dan penjual produk yang dihasilkan oleh agroindustri dan pemberi pinjaman kepada agroindustri untuk melaksanakan kegiatan usaha atau memenuhi kebutuhan lainnya.

- Pedagang pengumpul antar daerah dan pedagang besar berperan sebagai pembeli dan penjual produk yang dihasilkan oleh agroindustri.

Konsumen berperan sebagai pembeli produk agroindustri. Konsumen ada yang berasal dari masyarakat sekitar lokasi agroindustri, perantau, wisatawan domestik dan wisatawan manca negara. Pembelian yang dilakukan oleh konsumen ada yang untuk dikonsumsi sendiri atau sebagai oleh-oleh.

Lembaga keuangan tradisional atau yang sering disebut rentenir merupakan masyarakat disekitar lokasi agroindustri yang memberikan pinjaman modal usaha kepada agroindustri. Lembaga ini berperan sebagai pemberi pinjaman atau kreditur. Pinjaman yang

522 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

diberikan biasanya tanpa jaminan dan pembayarannya dengan dijemput langsung oleh peminjam secara harian atau mingguan atau bulanan. Agroindustri menggunakan kedus lembaga ini dalam melakukan pinjaman dengan alasan kepraktisan dan pembayaran cicilan dapat dijemput serta bisa dilakukan harian, mingguan atau bulanan, walaupun bunga pinjaman lebih besar dari bunga KUR.

Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaian perselisihan sako dan pusako (Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, 2007). Peran KAN dalam pengembangan agroindustri sebagai fasilitator yang berkontribusi dalam memberikan saran untuk pembangunan di Nagari melalui Musrenbang dan melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di lokasi usahatani atau lokasi usaha agroindustri. Namun kontribusi KAN lebih banyak dalam hal perencanaan pembangunan untuk publik, sedangkan dalam perencanaan pengembangan agroindustri belum terlihat.

Berdasarkan uraian diatas, peran dan aktivitas lembaga informal dalam pengembangan agroindustri olahan ubi beserta aktivitas yang dilakukannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Peran dan Aktivitas Lembaga Informal dalam Pengembangan Agroindustri Berbahan

Baku Ubi Kayu di Kabupaten Limapuluh Kota No Nama Lembaga Peran Aktivitas 1. Petani Penjual

(seller) Melakukan kegiatan usahatani ubi kayu dan menjual hasil produksi kepada agroindustri

2. Pemilik lahan Penyedia lahan

Menyewakan lahan untuk usahatani ubi dan lokasi usaha agroindustri

3. Industri olahan ubi Planner Merencanakan pengembangau usaha Penjual

(seller) Menjual produk yang dihasilkan

Inovator Melakukan penganekaragaman jenis produk, kemasan dan pemasaran produk

4. Pedagang Penjual (seller)

Menjual bahan baku dan bahan penolong yang dibutuhkan agroindustri untuk kegiatan produksi Menjual produk yang dihasilkan oleh agroindustri

Pembeli (buyer)

Membeli produk yang dihasilkan oleh agroindustri

Pemberi pinjaman (kreditur)

Memberikan pinjaman modal untuk agroindustri tanpa jaminan

5. Konsumen Pembeli Membeli produk yang dihasilkan oleh agroindustri 6. Lembaga Keuangan

Tradisional (Perorangan atau rentenir)

Kreditur Memberikan pinjaman modal untuk agroindustri tanpa jaminan

7. Kerapatan Adat Nagari (KAN)

Fasilitator Melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik tanah

Lembaga informal terlihat sangat besar perannya dalam pemasaran bahan baku untuk

kegiatan agroindustri, pemasaran produk agroindustri dan permodalan. Mayoritas agroindustri membeli bahan baku langsung dari petani karena mayoritas petani ubi kayu memasarkan produknya secara individu. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa perilaku petani dalam memasarkan produknya tidak harus dilakukan secara kolektif karena tekanan pasar cenderung mengharuskan petani untuk berperilaku efisien dan menguntungkan (Syahyuti, 2011). Peran kelembagaan informal dalam pemasaran sesuai dengan teori tentang kelembagaan lokal yang memperlihatkan bahwa private business sangat berperan dalam pemasaran (N. T. Uphoff,

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

523

1986). Peran lembaga informal dalam pemasaran lebih lanjut dikelompokkan menjadi kelembagaan-kelembagaan yang memiliki sifat dasar sebagai kelembagaan pasar (Syahyuti, 2004). Hal ini juga sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa private business dan lembaga keuangan tradisional sangat berperan dalam pengembangan UKM (Chandra, 2014; Purnomo, Pujianto, & Efendi, 2015). Selain itu, beberapa hasil penelitian juga telah memperlihatkan bahwa Kerapatan Adat Nagari (KAN) berperan dalam perencanaan pembangunan pada sebuah Nagari (Nasrul, 2013; Noer, 2006; Suradisastra, Dariah, & Suherman, 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Lembaga formal yang berperan dalam pengembangan agroindustri berbahan baku ubi kayu di Kabupaten Limapuluh Kota adalah satuan perangkat daerah atau pemerintahan daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga yang langsung berada dibawah kementerian, lembaga formal lainnya. Peran lembaga formal diantaranya sebagai katalisator, fasilitator, regulator, penyedia jasa keuangan (penyimpanan, transfer, peminjaman) dan inovator.

Lembaga informal yang berperan dalam pengembangan agroindustri berbahan baku ubi kayu adalah petani, pemilik lahan, industri olahan ubi, pedagang, konsumen, lembaga keuangan tradisional dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Peran lembaga informal diantaranya sebagai penjual (seller), penyedia lahan, perencana (planner), pembeli (buyer), penyedia jasa keuangan (penyimpanan dan peminjaman dana), inovator dan fasilitator.

Saran Berdasarkan hasil penelitian diatas beberapa hal yang disarankan adalah :

1. Perlu adanya koordinasi yang aktif antar Dinas agar pembinaan yang dilakukan tepat sasaran. Koordinasi ini sebaiknya dilakukan secara berkala untuk setiap kegiatan yang akan dilakukan terkait jenis kegiatan, peserta kegiatan, sasaran kegiatan dan keberlanjutan kegiatan.

2. Perlu dilakukan sosialisasi lebih sering tentang pentingnya keamanan produk pangan dan pengurusan sertifikat SPP-IRT atau P-IRT untuk pengembangan usaha agroindustri ubi. Sosialisasi ini sebaiknya dilakukan di sentra-sentra agroindustri ubi agar dapat mencapai sasaran yang lebih banyak.

3. Perlu dilakukan pendampingan terkait diversifikasi produk dan pemasaran produk secara online untuk dapat memperluas jaringan pemasaran agroindustri.

4. Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada agroindustri tentang pinjaman permodalam (KUR). Sosialisasi perlu menekankan kemudahan proses pengajuan KUR dan keuntungan bunga rendah yang dapat dimanfaatkan oleh agroindustri.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2017). Provinsi Sumatera Barat dalam Angka 2017. Padang, Sumatera

Barat.: Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Sumatera Barat. Berelson, B., & Steiner, G. A. (1964). Human Behavior: An Inventory Of Scientific Findings.

New York: Harcourt, Brace and World, Inc.

524 JEPA, 3 (3),2019: 511-525

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

BPS Kabupaten Lima Puluh Kota. (2017). Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota.

Chandra, P. (2014). Networks of Small Producers for Technological Innovation : Some Models. In R. Subramanian, M. Rahe, V. Nagadevara, & C. Jayachandran (Eds.), Rethinking Innovation : Global Perspective. India: Routledge.

Depperindag. (2001). Industri dan Perdagangan Sumatera Barat Dalam Angka. . Padang: Depperindag Propinsi Sumatera Barat. .

Harisudin , M. (2013). Pemetaan Dan Strategi Pengembangan Agroindustri Tempe Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 23 (2), 120-128 (2013).

Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hasibuan, A. M., Listyati, D., & Pranowo, D. (2013). Studi Model Kelembagaan Dalam Sistem Agribisnis Karet SIRINOV, Vol 1, No 2, Agustus 2013 ( Hal : 89 – 97).

Ikatrinasari, Z. F., Maarif, S., Sa’id, E. G., Bantacut, T., & Munandar, A. (2009). Model Pemilihan Kelembagaan Agropolitan Berbasis Agroindustri dengan Analytical Network Process Jurnal Teknologi Industri Pertanian, Vol. 19 (3), 130-137

Junaidi. (2014). Potensi Klaster Agroindustri Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah, Vol. 2 No. 1, Juli-September 2014. Retrieved from

Kamus Bahasa Indonesia. (2016). Kamus Bahasa Indonesia Online. www.KamusBahasaIndonesia.org

Karantininis, K., Sauer, J., & Furtan, W. H. (2010). Innovation and integration in the agri-food industry. Food Policy, 35(2), 112-120.

Kasmir. (2012). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lestari, E. P. (2010). Penguatan Ekonomi Industri Kecil Dan Menengah Melalui Platform

Klaster Industri. Jurnal Organisasi dan Manajemen,, Volume 6, Nomor 2, September 2010, , 146-157.

Ministry of Industry. (2016). Integrated Agro-Iindustrial Park in Ethiopia. Retrieved from Vienna, Austria:

Moleong, L. J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasrul, W. (2013). Peran Kelembagaan Lokal Adat Dalam Pembangunan Desa. Jurnal

Ekonomi Pembangunan, Volume 14, Nomor 1, Juni 2013, , 102-109 Noer, M. (2006). Pembangunan Berbasis Kelembagaan Adat: Sebuah Alternatif Pembelajaran

Dari Kasus Kinerja Kelembagaan Nagari Dalam Perencanaan Wilayah Di Propinsi Sumatera Barat. MIMBAR Jurnal Sosial dan Pembangunan, Volume 22, No. 2, hal: 234-257.

North, D. C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. New York: Cambridge University Press.

Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor : 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2005-2025 (2011).

Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, (2007).

Pemerintah Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Jakarta.

Rini Hakimi – Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Pengembangan Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

525

Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Purnomo, D., Pujianto, T., & Efendi, N. (2015). Unpad – Ibu Popon Collaboration; A Best Practice in Sustainable Assistance Model for Social Entrepreneurship in Agro-industrial Based SME's. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 3, 206-210.

Rangarajan. (1982). Agricultural Growth and Industrial Performance in India. Research Report 33. Retrieved from Washington DC:

Rao, K. L. (2006). Agro-industrial Parks : Experience from India Rome, Italy: Food And Agriculture Organization Of The United Nations.

Ririh, K. R., Anggrahini, D., & Amalia. (2011). Strategi Kebijakan Pengembangan Dan Pembinaan Ikm Konveksi Sebagai Salah Satu Industri Kecil Menengah Di Indonesia J@TI Undip,, Vol VI, No 3, September 2011

Scott, R. W. (2008). Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication.

Sholahuddin, A. (2001). Analisis Kelembagaan Pengembangan Agroindustri (Studi Kasus Kabupaten Tebo, Jambi). Jurnal Ilmiah Kesatuan, Vol 3, No 1, April 2001

Soekartawi. (2001). Pengantar Agroindustri. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Soekartawi. (2000). Pengantar Agroindustri. . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Supriyati, Setiyanto, A., Suryani, E., & Tarigan, H. (2006). Analisis Peningkatan Nilai

Tambah Melalui Pengembangan Agroindustri Retrieved from Bogor: Supriyati, & Suryani, E. (2006). Peranan, Peluang Dan Kendala Pengembangan Agroindustri

Di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi., Volume 24 No. 2, Desember 2006 92 - 106.

Suradisastra, K., Dariah, A., & Suherman. (2013). Peran Lembaga Adat Kerapatan Adat Nagari dalam Mekanisme Alih Informasi Pertanian di Sumatera Barat. In M. Ariani, K. Suradisastra, N. S. Saad, R. Hendayana, H. Soeparno, & E. Pasandaran (Eds.), Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Jakarta: IAARD Press. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian.

Suroso, J. S. (2015). Strengthening Of Innovation Network to Improve the Regional Competitiveness towards Social Transformation (Case Study in Cimahi). Procedia Computer Science 59 ( 2015 ) 382 – 391.

Suryaningrat, I. B., Amilia, W., & Choiron, M. (2015). Current Condition of Agroindustrial Supply Chain of Cassava Products: A Case Survey of East Java, Indonesia. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 3, 137-142.

Susilowati, S. H., Sinaga, B. M., Wilson, Limbong, H., & Erwidodo. (2007). Dampak Kebijakan Ekonomi Di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan Sektoral, Tenaga Kerja Dan Rumahtangga Di Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No 1, 11-36.

Syahyuti. (2004). Model kelembagaan penunjang pengembangan pertanian di lahan lebak. Paper presented at the Banjarbaru, Disampaikan dalam Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Balittra, 11 - 12 Oktober 2004.

Syahyuti. (2011). Gampang-Gampang Susah Mengorganisasikan Petani: Kajian Teori dan Praktek Sosiologi Lembaga dan Organisasi. Bogor: IPB Press.

Thoha, M. (1993). Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Rajawali Press. Uphoff, N., & Buck, L. (2006). Strengthening Rural Local Institutional Capacities For

Sustainable Livelihoods And Equitable Development. Retrieved from Washington DC Uphoff, N. T. (1986). Local Institutional Development : An Analytical Sourcebook With

Cases. United States of America: Kumarian Press.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 526-536

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.8

MANAJEMEN RANTAI PASOK DAN USAHATANI BAYAM HIJAU ORGANIK PADA KOMUNITAS TANI ORGANIK BRENJONK DI DESA PENANGGUNGAN

TRAWAS MOJOKERTO

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT AND ORGANIC SPINACH FARM MANAGEMENT AT BRENJONK ORGANIC FARMING COMMUNITY IN PENANGGUNGAN VILLAGE

TRAWAS MOJOKERTO

Deby Chyntia Wahyu Febriani1*, Jani Januar2, Joni Murti Mulyo Aji2 1Mahasiswa program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember

2Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember *Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This study was conducted to determine 1) the level of efficiency of production costs on organic spinach farming, 2) the flow of supply chain organic spinach from farmers to the final consumers, 3) value added on the process of organic spinach packaging. The research location was determined purposively (Purposive Method) in Penanggungan Hamlet, Penanggungan Village, Trawas Sub-district, Mojokerto Regency. Sampling method used were total sampling and snowball sampling method. The data used were primary and secondary data analyzed by using descriptive and analytic analysis. The analysis data were conducted by analyzing R/C ratio, analizing descriptive and analyzing added value with Hayami method. The results of the research showed that 1) the average value of R/C ratio on organic spinach farming is efficient, (2) there are three flows in supply chain organic spinach in Brenjonk Community namely the product flow, the financial flow and the information flow that is optimal, (3) calculations of added value to the packaging of organic green spinach have high value of 64,02% for grade A, 61,49% for grade B and 71,86 for grade C.

Keywords: organic green spinach, supply chain, efficiency, added value

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui 1) tingkat efisiensi biaya produksi pada usahatani bayam hijau organik, 2) alur aliran rantai pasok bayam hijau organik dari petani hingga ke konsumen akhir, 3) nilai tambah pada proses pengemasan bayam hijau organik. Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (Purposive Method) di Dusun Penanggungan Desa Penanggungan Kabupaten Mojokerto. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan analitik. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah total sampling dan metode snowball sampling. Alat analisis data yang digunakan adalah analisis R/C ratio, analisis deskriptif dan metode Hayami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) nilai rata-rata R/C ratio pada usahatani bayam hijau organik yang dilakukan sudah efisien, 2) terdapat 3 aliran dalam rantai pasok bayam hijau organik di Komunitas Tani Organik Brenjonk yaitu aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi yang berjalan secara optimal, 3) perhitungan nilai tambah pada pengemasan bayam hijau organik menjadi bayam hijau organik kemas memiliki nilai yang tinggi sebesar 64,02% grade A, 61,49% grade B dan 71,86 grade C.

Kata kunci: bayam hijau organik, rantai pasok, efisiensi, nilai tambah

Deby Chyntia Wahyu Febriani – Manajemen Rantai Pasok Dan Usahatani Bayam Hijau Organik ..

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

527

PENDAHULUAN

Tanaman hortikultura yang dikembangkan di Indonesia sebagai produk organik salah satunya yaitu sayuran organik. Usahatani sayuran organik merupakan suatu hal yang penting untuk masyarakat khususnya petani yang bergerak dibidang organik karena mampu memberikan suatu keuntungan dan nilai tambah bagi para pelakunya. Penelitian menunjukkan pada pemasaran produk pertanian organik dunia mengalami peningkatan 20% setiap tahun, sedangkan pada pasar organik Indonesia menunjukkan peningkatan sekitar 5 %per tahun dengan nilai penjualan sekitar 10 miliar (Aliansi Organik Indonesia/AOI, 2013), maka dari itu pengembangan usahatani pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman yang bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi pasar domestik dan ekspor (Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Salah satu komunitas yang mengembangkan pertanian secara organik adalah Komunitas Tani Organik Brenjonk yang terletak di Kabupaten Mojokerto. Komunitas tersebut merupakan suatu perkumpulan petani yang melakukan budidaya pertanian secara oragnik menggunakan konsep Urban Farming yang tidak memerlukan lahan yang luas. Petani tersebut telah bergabung dan bekerja sama dengan Komunitas Tani Organik Brenjonk untuk mengembangkan pertanian organik dan menghasilkan produk-produk organik untuk dipasarkan kepada konsumen. Produk pertanian organik yang dihasilkan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonk sudah memiliki sertifikasi penjamin mutu organik yang dikeluarkan oleh PAMOR Indonesia dan BIOCert. Produk tanaman hortikultura yang dihasilkan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonk bermacam-macam salah satunya adalah sayuran organik.

Bayam hijau organik yang dibudidayakan oleh petani Komunitas Tani Organik Brenjonk adalah jenis bayam cabut impor bervarietas spark. Jumlah selisih produksi dan penjualan bayam hijau organik tersebut banyak, dikarenakan dalam penjualan bayam hijau organik tersebut sebelum dipasarkan akan dilakukan kegiatan sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan bayam hijau organik. Sortasi dan grading tersebut dilakukan untuk memilah dalam penentuan grade bayam hijau organik tersebut, dimana terdapat grade A, grade B dan grade C. Komunitas Tani Organik Brenjonk memasarkan produk bayam hijau organik tersebut dengan dikemas plastik yang bersablon Brenjonk dan dipasarkan ke wilayah Surabaya melalui distributor dan pedagang pengecer. Permintaan konsumsi bayam hijau organik yang tinggi akan bepengaruh terhadap luas lahan yang dibutuhkan dalam berusahatani sehingga berdampak terhadap hasil produktivitas bayam hijau organik tersebut. Tingginya permintaan bayam hijau organik di pasar modern dengan supply petani yang masih rendah mengakibatkan permintaan konsumen atas produk bayam hijau organik tersebut tidak dapat terpenuhi. Ketidakseragaman produktivitas dikarenakan oleh berbagai faktor dan menyebabkan kapasitas produksi bayam hijau organik tidak maksimal. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada keuntungan petani bayam hijau organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk. Dalam memenuhi permintaan pasar, Komunitas Tani Organik Brenjonk berkeinginan meningkatkan hasil dengan alternatif menambah luasan lahan budidaya. Adanya alternatif tersebut secara langsung dapat mempengaruhi tingkat biaya usahatani dan pendapatan usahatani bayam hijau organik.

Rantai pasokan yang kurang optimal dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar bagi produsen (Tanujaya, 2008). Kegiatan dalam rantai pasok terdiri dari aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi. Rantai pasok merupakan proses penyampaian produk berubah bayam hijau organik menjadi kemasan bayam hijau organik yang siap dipasarkan.

528 JEPA, 3 (3), 2019: 526-536

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Penambahan nilai pada bayam hijau organik tersebut untuk memberikan nilai tambah pada suatu produk akan dilakukan pengemasan pada bayam hijau organik. Kegiatan pengemasan tersebut termasuk dalam agroindustri tipe 1, dimana suatu hasil produksi bayam hijau organik yang akan dilakukan dalam kegiatan sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) tingkat efisiensi biaya pada usahatani bayam hijau organik, (2) mekanisme rantai pasok bayam hijau organik dari petani hingga ke konsumen akhir, (3) nilai tambah pada proses pengemasan bayam hijau organik. Hipotesis peneliti dalam penelitian ini adalah: 1) tingkat efisiensi biaya usahatani bayam hijau organik efisien, 2) nilai tambah bayam hijau organik memberikan nilai tambah yang tinggi dalam kegiatan pengemasan bayam hijau organik.

METODE PENELITIAN

Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive method) yaitu di Desa Penanggungan Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto pada Komunitas Tani Organik Brenjonk dengan per-timbangan bahwa Komunitas Brenjonk merupakan salah satu produsen sayurn organik maupun komoditas lainnya yang memiliki sertifikat organik dan memilki kerjasama dengan lembaga pasar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitik. Menurut Nazir (2013), metode analitik bertujuan untuk menguji hipotesis dan memberikan intepretasi yang lebih dalam terhadap analisa terkait dengan efisiensi usahatani dan nilai tambah pada bayam hijau organik .Metode pengumpulan data menggunakan data primer dengan cara observasi, wawancara, sedangkan data sekunder dengan studi dokumen. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah total sampling dan metode snowball sampling. Metode total sampling adalah pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel (Sugiyono, 2013), sedangkan snowball sampling adalah penentuan sampel secara berantai pada suatu populasi yang sangat spesifik Juliandi et.al (2014). Metode analisis data untuk efisiensi biaya usahatani (R/C ratio) dengan menghitung biaya, penerimaan, pendapatan. Metode analisis data untuk aliran produk, informasi dan keuangan menggunakan analisis deskriptif. Metode analisis data untuk nilai tambah menggunakan nilai tambah metode Hayami. Perumusan masalah pertama mengenai efisiensi biaya usahatani menggunakan anaisis efisiensi biaya usahatani dengan menghitung biaya, pendapatan, penerimaan yang dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995) :

TC = FC + VC TR = P . Q Π = TR – TC

Keterangan: TC = Total Cost (Biaya total) FC = Fixed Cost (Biaya tetap) VC = Variable Cost (Biaya variabel) TR = Total Revenue (Total Penerimaan) P = Price (Harga) Q = Quantity (Jumlah Produksi) Π = Keuntungan Setelah itu, dapat dilakukan analisis efifiensi biaya usahatani dengan menghitung R/C ratio yaitu :

R/C%&'() = TotalPenerimaan(TR)TotalBiayaProduksi(TC)

Deby Chyntia Wahyu Febriani – Manajemen Rantai Pasok Dan Usahatani Bayam Hijau Organik ..

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

529

Kriteria pengambilan keputusan : a. Jika R/C > 1, maka usahatani yang dilakukan menguntungkan, karena penerimaan lebih besar

dari biaya total, b. Jika R/C < 1, maka usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan, karena penerimaan lebih

kecil dari biaya total, c. Jika R/C = 1, maka usahatani yang dilakukan tidak rugi maupun tidak untung, karena

penerimaan sama besar dengan biaya total Perumusan masalah kedua menngenai mekanisme rantai pasok bayam hijau organik terkait aliran produk, informasi dan keuangan menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan pada perumusan masalah ketiga mengenai nilai tambah pada proses pengemasan bayam hijau organik menggunakan perhitungan analisis nilai tambah metode Hayami sebagai berikut :

Tabel 1. Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Pengemasan Bayam Hijau Organik No Analisis Nilai Tambah Satuan Perhitungan 1 Output (kg/siklusproduksi) (1) 2 Input Bahan Baku (kg/siklus produksi) (2) 3 Input Tenaga Kerja (jam/siklus produksi) (3) 4 Faktor Konversi (4) = (1) / (2) 5 Koefisien Tenaga Kerja (jam/kg) (5) = (3) / (2) 6 Harga Produk (Rp/kg) (6) 7 Upah Tenaga Kerja (Rp/jam) (7) Penerimaan dan Keuntungan per kilogram 8 Harga Bahan Baku (Rp/kg) (8) 9 Input Bahan lain (Rp/kg) (9) 10 Nilai Output (Rp/kg) (10) = (4) x (6) 11 a.Nilai Tambah (Rp/kg) (11a) =(10) –(8) – (9) b. Ratio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a) /(10)x100% 12 a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/kg) (12a ) = (5) x (7) b. Ratio Tenaga Kerja (%) (12b) = (12a)/(11a) x 100% 13 a. Keuntungan (Rp/kg) (13a) = (11a) – (12a)

b. Ratio Keuntungan (%) (13b) = (13a)/(10) x 100% Sumber: Sudiyono (2002)

Berdasarkan Tabel 1 tentang perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami menunjukkan bahwa nilai tambah diperoleh dari nilai output dikurangi nilai harga bahan baku dan harga input lain. Menurut Reyne dalam Hubeis (1997), terdapat tiga indikator rasio nilai tambah, yaitu :

1. Besarnya rasio nilai tambah < 15%, maka nilai tambahnya rendah, 2. Besarnya rasio nilai tambah 15% - 40%, , maka nilai tambahnya sedang, 3. Besarnya rasio nilai tambah > 40%, maka nilai tambahnya tinggi.

530 JEPA, 3 (3), 2019: 526-536

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Efiensi Biaya Produksi Usahatani Bayam Hijau Organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk.

Proses produksi merupakan proses perubahan input menjadi output tertentu. Proses perubahan input menjadi output tertentu akan membutuhkan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Dengan adanya proses produksi suatu produk akan menghasilkan kuantitas produk dan keuntungan. Pengeluaran biaya produksi pada usahatani bayam hijau organik yang efisien akan mendapatkan keuntungan yang tinggi. Biaya usahatani bayam hijau organik yang dikeluarkan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan proses produksi usahatani bayam hijau organik. Analisis efisiensi biaya produksi usahatani bayam hijau organik yang dilakukan oleh petani bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan dan pengeluaran petani. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh petani dalam melakukan usahatani bayam hijau organik. Dalam analisis efisiensi biaya produksi bayam hijau organik yang dilalukan terdiri dari analisis penerimaan, biaya, pendapatan serta analisis R/C Rasio.

Penerimaan usahatani bayam hijau organik dihitung dari jumlah antara jumlah hasil produksi bayam hijau organik dengan harga jualnya. Jumlah rata-rata produksi bayam hijau organik yang dihasilkan oleh 37 petani bayam hijau organik adalah sebanyak 4.91 Kg grade A, 0.30 grade B, dan 0.10 Kg grdae C dengan harga jual pada komunitas tani sebesar Rp. 6.000,00/Kg untuk grade A, untuk grade B sebesar Rp. 4.000,00/Kg dan grade C sebesar Rp. 2.000,00/Kg. Penerimaan rata-rata yang diperoleh masing-masing grade pada bayam hijau organik tersebut yaitu sebesar Rp. 29,484.32/bulangrade A, Rp. 1,190.27/bulan grade B dan Rp.194.84/bulangrade C. Jumlah rata-rata total biaya yang dikeluarkan pada usahatani bayam hijau organik sebesar Rp. 20,288.11. Sedangkan pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya pengeluaran usahatani. Jumlah rata-rata pendapatan petani bayam hijau organik sebesar Rp. 10,549.73bayam hijau organik.

Analisis R/C Rasio digunakan untuk menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya sehingga dapat diketahui kelayakan usahatani yang diusahakan oleh petani bayam hijau organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk. Hasil rata-rata nilai R/C rasio petani bayam hijau oganik pada komunitas tani sebesar 1.55. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pengeluaran Rp. 1 dalam kegiatan produksi bayam hijau organik akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,55,- sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan biaya pada proses produksi bayam hijau organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk efisien. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil efisiensi > 1, sehingga kegiatan tersebut memberikann keuntungan. Mekanisme Rantai Pasok Bayam Hijau Organik Pada Komunitas Tani Organik Brenjonk

Terdapat beberapa aspek dalam mekanisme rantai pasokan yang perlu diperhatikan, yaitu aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi. Dalam ketiga aliran tersebut mengalir pada dis-tribusi bayam hijau organik. Komunitas Tani Organik Brenjonk menciptakan sebuah produk dengan tujuan akhir yaitu dijual atau dipasarkan pada pelanggannya sampai ke konsumen akhir. Komunitas Tani Organik Brenjonk sebagai produsen sayuran organik khususnya bayam hijau organik memiliki target pasar tertentu guna memasarkan produknya selama ini. Hasil dari pe-nelitian bahwa Komunitas Tani Organik Brenjonk memasarkan seluruh produknya ke surabaya. Pelanggan dari Komunitas Tani Organik Brenjonk terdiri dari MIK (Media Inovasi Kita), Kinagro, Flores dan D’Natural. Seluruh pelanggan Brenjonk menjadi

Deby Chyntia Wahyu Febriani – Manajemen Rantai Pasok Dan Usahatani Bayam Hijau Organik ..

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

531

pelanggan dengan sistem kontrak tertulis sesuai kesepakatan sebelumnya. Adapun mekanisme dari aliran rantai pasok bayam hijau organik sebagai berikut : 1. Aliran Produk Bayam Hijau Organik

Aliran produk pada Gambar 1, menunjukkan struktur aliran produk bayam hijau organik pada komunitas tani. Petani memperoleh benih bayam hijau organik dari Komunitas Tani Organik Brenjonk dengan harga 5000/60gr. Pada setiap aliran produk bayam hijau organik yang mengalir dari petani hingga ke konsumen akhir. Bayam hijau organik mempunyai 3 kriteria kualitas untuk dipasarkan, kriteria tersebut diantaranya adalah : 1. Grade A, dengan ukuran bayam hijau organik 25 cm – 30 cm. Warna daun hijau agak muda,

terlihat segar dan tidak ada daun yang berlubang. Pengemasan yang dilakukan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonkmenggunakan plastik kemas yang berlabel Brenjonk dengan bobot 200 gram. Harga yang dijual kepada pelanggan yaitu Rp. 4.500,-/200 gram.

2. Grade B, dengan ukuran bayam hijau organik lebih dari 30 cm. Warna daun hijau agak tua, terlihat segar dan ada daun yang berlubang sedikit. Pengemasan yang dilakukan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonk menggunakan plastik kemas yang berlabel Brenjonk dengan bobot 250 gram. Harga yang dijual kepada pelanggan yaitu Rp. 4.500,-/250 gram.

3. Grade C atau curah, dengan ukuran bayam hijau organik tidak setara atau tidak masuk dalam grade A ataupun grade B. Pada kriteria ini batang bayam hijau organik lebih besar dan keras karena terlalu tua. Pengemasan grade C yang dilakukan oleh komunitas tani langsung tanpa di kemas plastik.

Gambar 1. Aliran Produk Bayam Hijau Organik

2. Aliran Keuangan Bayam Hijau Organik Aliran keuangan pada Gambar 2, menunjukkan aliran keungan merupakan penyaluran jumlah nilai dalam bentuk rupiah mengenai biaya yang dibayarkan dan keuntungan yang diterima oleh setiap mata rantai pasokan bayam hijau organik yang terlibat dalam kegiatan. Aliran keuangan pada rantai pasokan bayam hijau organik mengalir dari konsumen, Kinagro, D’Natural, Bu Kumala, Media Inovasi Kita (MIK) dengan transaksi secara tunai, kemudian dari distributor dan pedagang pengecer transaksi secara non tunai menggunakan ATM dan dibayarkan setiap bulan sekali dan terkumpul di Komunitas Tani Organik Brenjonk dan setelah itu dibayarkan ke petani bayam hijau organik.

Petani Bayam Hijau Organik

Komunitas Tani Organik Brenjonk

Media Inovasi Kita (MIK)

Retail : - Kinagro - D’Natural - Bu

Kumala

Runch Market dan Hokky

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Input Benih : Komunitas Tani Organik Brenjonk

532 JEPA, 3 (3), 2019: 526-536

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 2. Aliran Keuangan Bayam Hijau Organik

3. Aliran Informasi Bayam Hijau Organik Aliran informasi pada Gambar 3, menunjukkan bahwa aliran informasi didalam rantai pasokan bayam hijau organik terjadi pada konsumen akhir, Media Inovasi Kita (MIK), Runch Market, Hokky, Kinagro, D’Natural, Bu Kumala, Komunitas Tani Organik Brenjonk, petani bayam hijau organik maupun sebaliknya. Aliran informasi merupakan suatu aliran yang terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya dari hilir ke hulu. Aliran informasi tersebut melibatkan setiap anggota mata rantai diantaranya yaitu pemasok, pengolah, pedagang dan konsumen. Informasi yang mengalir berkaitan dengan waktu tanam, waktu panen, hasil panen, harga bahan baku, jumlah permintaan, informasi harga kemasan, maupun informasi lainnya yang berkaitan dengan mata rantai pasok bayam hijau organik pada Komunitas Tani Organik Brenjonk. Aliran informasi tersebut mengalir secara vertikal yaitu terjadi komunikasi atau informasi antar mata rantai dalam rantai pasokan bayam hijau organik. Informasi untuk kelancaran koordinasi pada setiap mata rantai yang terlibat tersebut.

Gambar 3. Aliran Informasi Bayam Hijau Organik

Nilai Tambah Produksi Bayam Hijau Organik menjadi Produk Bayam Hijau Organik Kemas pada Komunitas Tani Organik Brenjonk

Petani Bayam Hijau Organik

Komunitas Tani Organik Brenjonk

Media Inovasi Kita (MIK)

Retail : - Kinagro - D’Natural - Bu Kumala

Runch Market dan Hokky

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Petani Bayam Hijau Organik

Komunitas Tani Organik Brenjonk

Media Inovasi Kita (MIK)

Retail : Kinagro

- D’Natural - Bu Kumala

Runch Market dan Hokky

Konsumen Akhir Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Deby Chyntia Wahyu Febriani – Manajemen Rantai Pasok Dan Usahatani Bayam Hijau Organik ..

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

533

Proses kegiatan pengemasan bayam hijau organik merupakan salah satu bentuk kegiatan yang mengakibatkan bertambahnya nilai pada bayam hijau organik. Komunitas Tani Organik Brenjonk melakukan kegiatan proses sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan pada bayam hijau organik yang diterima dari petani anggota. Semua hasil panen bayam hijau organik dari petani dijual kepada komunitas tani untuk dilakukan pengolahan produk menjadi produk kemasan. Produk kemasan tersebut dibedakan menjadi 3 kriteria yaitu grade A, grade B dan grade C. Komunitas tani untuk proses kegiatan sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan menggunakan tenaga kerja langsung. Banyaknya tenaga kerja yang diperlukan pada proses kegiatan tersebut untuk bayam hijau organik sebanyak 2 orang. kegiatan pra pengemasan 1 Kg bayam hijau organik yang dilakukan pada proses pengemasan akan menghasilkan 1.00 Kg kemasan grade A, 0.95 Kg kemasan grade B serta 0.94 Kg kemasan bayam hijau organik grade C. Nilai konversi tersebut didapatkan dari pembagian antara output bayam hijau organik kemasan dengan input bahan baku bayam hijau organik yang digunakan. Bayam hijau organik yang digunakan pada kegiatan proses pengemasan sebanyak 195.87 Kg. Nilai konversi tersebut menunjukkan adanya penyusutan bobot disebabkan oleh perbedaan kriteria atau grade akibat proses sortasi.

Hasil koefisien tenaga kerja pada proses sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan pada Komunitas Tani Organik Brenjonk sebesar 0.09 yang artinya kebutuhan input tenaga kerja untuk melakukan proses pra pengemasan 1 Kg bayam hijau organik menjadi bayam hijau organik kemasan adalah 0.09 HOK/Kg. Upah tenaga kerja langsung pada proses sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan yaitu Rp. 27,777.78/HOK sehingga dalam 9 hari selama satu bulan masing-masing pekerja mendapatkan upah sebanyak Rp. 250.000/bulan. Biaya yang digunakan dalam penggunaan input lain sebesar Rp. 2,096.36/Kg untuk grade A, untuk grade B sebesar Rp. 2,596.36/Kg dan untuk grade C sebesar Rp. 1,138.25/Kg. Biaya yang digunakan dalam grade A dan grade B meliputi biaya listrik, plastik kemas dan penyusutan alat yang digunakan dalam mengemas, sedangkan untuk grade C biaya yang digunakan hanya box tempat untuk meletakkan bayam hijau organik.

Nilai tambah yang dihasilkan dari proses kegiatan tersebut yaitu nilai tambah bayam hijau organik pada grade A sebesar Rp. 14,403.64/Kg, grade B sebesar Rp. 10,532.42/Kg dan grade C sebesar Rp.8,012.52/Kg. Penambahan nilai yang terjadi akibat proses sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan bayam hijau organik menjadi bayam hijau organik kemasan tersebut bernilai positif. Artinya kegiatan pengemasan bayam hijau organik yang dilakukan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonk memberikan nilai tambah. Pada grade A, grade B dan grade C masing-masing memiliki rasio nilai tambah sebesar 64.02%, 61.49% dan 71.86%. hal tersebut menunjukkan pada ketiga grade bayam hijau organik memiliki rasio lebih dari 40%, artinya kegiatan pengemasan tersebut memilki nilai tambah yang tinggi. Keuntungan yang diperoleh oleh Komunitas Tani Organik Brenjonk pada grade A, grade B dan grade C secara berturut-turut sebesar Rp. 11,860.92/Kg, Rp. 10,470.93/Kg dan Rp. 7,940.66/Kg dengan tingkat keuntungan sebesar 52.72%, 61.13% dan 71.21% yang artinya setiap proses sortasi, grading, penimbangan dan pengemasan sebanyak 1 kilogram bayam hijau organik menjadi bayam hijau organik kemasan akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 11,860.92/Kg untuk grade A, Rp. 10,470.93/Kg untuk grade B dan untuk grade C sebesar Rp. 7,940.66/Kg. Berdasarkan analisis nilai tambah bayam hijau organik yang dilakukan oleh Komunitas Tani Organik Brenjonkdapat disimpulkan bahwa proses kegiatan tersebut mampu memberikan nilai tambah yang tinggi per kilogram bahan baku bayam hijau organik.

534 JEPA, 3 (3), 2019: 526-536

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

No. Output, Input dan Harga Satuan Nilai1 Output

a. Grade A Kg 181.82 b. Grade B Kg 11.01 c. Grade C Kg 3.02

2 Input bayam hijaua. Grade A Kg 181.82 b. Grade B Kg 11.57 c. Grade C Kg 3.25 Total Keseluruhan Kg 196.64

3 Input tenaga kerja HOK 18.00 4 Faktor konversi

a. Grade A 1.00 b. Grade B 0.95 c. Grade C 0.93

5 Koefisien tenaga kerja HOK/Kg 0.09 6 Harga output

a. Grade A Rp/Kg 22,500.00 b. Grade B Rp/Kg 18,000.00 c. Grade C Rp/Kg 12,000.00

7 Upah tenaga kerja Rp/HOK 27,777.78

8 Harga bayam hijaua. Grade A Rp/Kg 6,000.00 b. Grade B Rp/Kg 4,000.00 c. Grade C Rp/Kg 2,000.00

9 Harga input laina. Grade A Rp/Kg 2,096.36 b. Grade B Rp/Kg 2,596.36 c. Grade C Rp/Kg 1,138.25

10 Nilai outputa. Grade A Rp/Kg 22,500.00 b. Grade B Rp/Kg 17,128.78 c. Grade C Rp/Kg 11,150.77

11 A. Nilai tambaha Grade A Rp/Kg 14,403.64 b. Grade B Rp/Kg 10,532.42 c. Grade C Rp/Kg 8,012.52 Total Keseluruhan Rp/Kg 32,948.58 B. Rasio Nilai Tambaha Grade A % 64.02 b. Grade B % 61.49 c. Grade C % 71.86

12 a. Pendapatan Tenaga Kerja Rp/Kg 2,542.72 b. Pangsa Tenaga Kerja % 7.72

13 A. Keuntungana Grade A Rp/Kg 11,860.92 b. Grade B Rp/Kg 10,470.93 c. Grade C Rp/Kg 7,940.66 B. Tingkat Keuntungana Grade A % 52.72 b. Grade B % 61.13 c. Grade C % 71.21

Tabel 2 Perhitungan Nilai Tambah pada Bayam Hijau Organik

Penerimaan dan keuntungan/kg Bayam Hijau Organik kemasan

Sumber : Data primer Diolah (2018)

Deby Chyntia Wahyu Febriani – Manajemen Rantai Pasok Dan Usahatani Bayam Hijau Organik ..

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

535

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Penggunaan biaya produksi bayam hijau organik pada petani Komunitas Tani Organik

Brenjonk efisien. 2. Mekanisme aliran rantai pasok bayam hijau organik pada Komunitas Tani Organik

Brenjonk yaitu : • Aliran produk mengalir dari petani ke Komunitas Tani Organik Brenjonk disalurkan

kepada distributor dan pedagang pengecer, dari distributor kepada supermarket, dari supermarket kepada konsumen akhir. Selain itu, dari pedagang pengecer kepada konsumen akhir.

• Aliran keuangan mengalir dari konsumen akhir kepada pedagang pengecer dengan sistem transaksi secara tunai, dari pedagang pengecer kepada distributor dengan sistem transaksi secara tunai setiap satu bulan sekali, dari distributor kepada Komunitas Tani Organik Brenjonk dengan sistem transaksi transfer melalui ATM milik komunitas tani tersebut begitupula dari melalui pedagang pengecer langsung. Setelah itu, uang yang sudah dikirimkan kepada Komunitas Tani Organik Brenjonk kemudian akan dibayarkan kepada petani bayam hijau organik. Petani mendapatkan hasil penjualan tersebut setiap satu bulan sekali.

• Aliran informasi terjadi antara petani dan komunitas tani berupa informasi panen dan pemupukan, antara komunitas tani dengan distributor, pedagang pengecer maupun konsumen mengenai jumlah permintaan dan ketersediaan bayam hijau organik, antara distributor dengan pedagang pengecer mengenai harga dan ketersediaan bayam hijau organik, kemudian antara pedagang pengecer dengan konsumen mengenai harga dan pemesanan bayam hijau organik.

3. Nilai tambah pada pengemasan bayam hijau organik memiliki nilai yang tinggi yaitu sebesar 64,02% untuk grade A, 61,49% untuk grade B dan 71,86% untuk grade C.

Saran 1. Perlu adanya perluasan lahan penanaman bayam hijau organik dengan memfokuskan satu

bedengan untuk bayam hijau organik saja sehingga produksi yang dihasilkan mampu memenuhi permintaan para pelanggan.

2. Kepada Komunitas Tani Organik Brenjonk selaku wadah dalam mengumpulkan dan memasarkan bayam hijau organik, perlu memiliki wawasan tentang pengembangan inovasi mengenai packaging bayam hijau organik sehingga kemasan dapat lebih bagus dan menarik.

3. Perlu menegaskan ketertiban mengenai pembayaran produk bayam hijau organik dengan memberikan aturan atau denda sehingga tidak ada pelaku mata rantai yang dirugikan.

536 JEPA, 3 (3), 2019: 526-536

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

DAFTAR PUSTAKA Badan Aliansi Organik Indonesia. 2013. Nilai Penjualan Pasar Oganik Indonesia Capai Rp. 10

M per Tahun. http://www.organicindonesia.org/05infodata-news.php?id=464 (diakses tanggal 27 November 2016).

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 2002. Prospek Pertanian Organik Di Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/ (diakses tanggal 20 November 2016).

Hubeis M. (1997). Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen Industri. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Juliandi., A, Irfan dan Manarung.,S. 2014. Metodologi Penelitian Bisnis (Konsep dan Aplikasi). Medan: UMSU Press.

Nazir, M. 2013. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press. Sudiyono, Armand. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Press. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).

Bandung: Alfabeta. Tanujaya, E. 2008.Case in Management :Indonesia’s Bussiness Chalengges. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 537-546

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.9

PERAN PENYULUH PERTANIAN DALAM PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI TANAMAN HORTIKULTURA DI KECAMATAN SIBORONGBORONG,

KABUPATEN TAPANULI

ROLE OF AGRICULTURAL EXTENSION WORKER IN DEVELOPING HORTICULTURAL PLANT FARMER GROUP IN SIBORONGBORONG DISTRICT,

TAPANULI UTARA COUNTRY

Desy Natasha V.D. Marbun1*, Sriroso Satmoko2, Siwi Gayatri2

1Program Studi S1Agribisnis, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. 2Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The aims of the research were to analyze the role of agricultural extension agents influences to the development of farmer group in Siborongborong District, Tapanuli Utara Country. This research was conducted in February 2018 until March 2018 at Siborongborong District. The respondents were choosen among horticultural plant farmers in Siborongborong District. There were 120 respondents in this research. Survey was used in this research. Multistage sampling was used to choose the sample. Multiple linear regression was used for data analysis. The results of the f test study shows that the role of agricultural extension agents as motivator, communicator, facilitator and innovator does not affect simultaneously on the development of farmer groups. The results analysis shows that the role of agricultural extension agents as communicator and facilitator partially affect the development of farmers groups, moreover the role of agricultural extension agents as motivator and innovator does not partially affect the development of farmer groups in Siborongborong District. It is recommended that the extension workers motivate groups to prioritize the participation of members in all stage of activities, from planning until evaluating gropus activities. Keywords: The role of instructor, farmers.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah peran penyuluh pertanian berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2018 s/d Maret 2018 di Kecamatan Siborongborong. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil jumlah petani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Jumlah petani di penelitian ini adalah sebanyak 120 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode penentuan sampel yang dipilih adalah metode sampel berganda (multistage sampling). Metode analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian uji F menunjukan bahwa peran penyuluh pertanian sebagai motivator, komunikator, fasilitator, dan inovator tidak berpengaruh secara serempak terhadap pengembangan kelompok tani, sedangkan hasil uji t peran penyuluh pertanian sebagai komunikator dan fasilitator secara parsial berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani, sedangkan peran penyuluh sebagai motivator dan inovator secara parsial tidak berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani di Kecamatan Siborongborong. Dari hasil ini disarankan agar para petani bekerjasama dalam merancang

538 JEPA, 3 (3), 2019: 537-546

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

kegiatan kelompok, dan lebih mengedepankan partisipasi anggota dalam segala lini, mulai dari perencanaan sampai evaluasi kegiatan.

Kata kunci: Peran Penyuluh, Kelompok Tani.

PENDAHULUAN

Penyuluhan pertanian adalah proses pendidikan dengan sistem pendidikan nonformal

untuk mengubah perilaku orang dewasa agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang lebih baik, sehingga sasaran dapat memilih dan mengambil keputusan dari berbagai alternatif pengetahuan yang ada untuk menyelesaikan permasalahan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Peningkatan program penyuluhan dalam pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipasif sehingga prinsip kesetaraan, tranparansi, tanggung jawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi perubahan baru dalam pemberdayaan petani. Penyuluhan adalah pendidikan non program perilaku utama dan pelaku usaha sebagai jaminan atas hak mendapatkan pendidikan, yang diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada guna memperbaiki dan meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan petani (Soeharto, 2005). Suatu kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara petani menjadikan kelompok tani tersebut dapat memiliki kemampuan untuk melakukan sumberdaya seperti sumberdaya alam, manusia, modal, informasi serta sarana dan prasarana dalam pengembangan usahatani yang dilakukannya. Kerjasama antara penyuluh dengan kelompok tani sangat diperlukan untuk menghasilkan petani yang baik dan berkualitas. Oleh karena itu, penyuluh berperan sebagai motivator, komunikator, fasilitator dan inovator, yaitu melakukan pembinaan kelompok tani yang diarahkan pada penerapan sistem agribisnis dan peningkatan peranan. Nazib (2010) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efektivitas dari kegiatan penyuluhan dan guna menumbuh dan mengembangkan peran serta petani dalam pembangunan pertanian, maka perlu dilakukan pembinaan terhadap kelompok tani yang terbentuk sehingga nantinya kelompok tersebut akan mampu untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang memadai dan selanjutnya akan mampu menopang kesejahteraan anggotanya.

Masalah yang sering ditemukan dalam kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong adalah kurangnya bantuan sarana maupun prasarana yang diberikan oleh pemerintah, contohnya masih kurangnya subsidi pupuk bagi para petani dan masih banyaknya ketidaksetaraan dalam pembagian berbagai jenis bantuan yang ada. Kegiatan penyuluhan di Kecamatan Siborongborong masih belum merata, hal ini diketahui dari hasil observasi kepada setiap anggota kelompok tani tanaman hortikultura, dimana masih adanya kelompok tani yang masih belum mendapatkan penyuluhan, bantuan, maupun informasi dari para penyuluh pertanian sehingga dapat menghambat pembangunan pertanian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran penyuluh pertanian (sebagai Motivator, Komunikator, Fasilitator, Inovator) dalam pengembangan kelompok tani di Kecamatan Siborongborong. Manfaat bagi peneliti adalah mampu menerapkan ilmu tentang penyuluhan dan menambah pengetahuan secara nyata melalui pengalaman di lapangan, sebagai bahan informasi bagi pengambil keputusan untuk perkembangan kelompok tani, dan sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan.

Desy Natasha V.D. Marbun – Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

539

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2018 s/d Maret 2018 di Kecamatan

Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja memilih tempat tersebut dikarenakan Kecamatan Siborongborong merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara yang memiliki jumlah kelompok tani yang paling banyak, serta jumlah produksinya terbilang cukup untuk memenuhi jumlah permintaan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yaitu dengan mengambil beberapa sampel dari populasi. Metode survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, test, wawancara dan sebagainya (Sugiyono, 2014). Metode penentuan sampel yang dipilih adalah metode sample bertahap ganda/multistage sampling. Metode multistage sampling adalah suatu teknik pengambilan sample dimana pengambilan sampelnya dilakukan secara bertahap (Cochran, 1997). Tahap pertama, dipilih Kecamatan yang kelompok tani paling banyak yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Tahap kedua adalah, dari semua kelompok tani yang terdapat di Kecamatan Siborongborong dipilih kelompok tani yang menanam jenis tanaman hortikultura. Terdapat 8 kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Sibrongborong dengan total jumlah seluruh anggota kelompok taninya sebanyak 161 petani (Balai Penyuluhan Pertanian, 2017). Tahap ketiga adalah, dipilih metode random sampling yaitu metode yang digunakan untuk memilih jumlah responden. Jumlah yang diambil adalah 15 petani dari setiap kelompok tani tanaman hortikultura yang ada di Kecamatan Sibrongborong, sehingga terdapat total 120 responden dari 8 kelompok tani tanaman hortikultura dalam penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Metode wawancara pengumpulan data yang diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden dengan menggunakan pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Menurut Usman dan Akbar dan Usman (2008), metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis dilakukan terhadap hal-hal yang sedang di teliti. Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data tersebut berupa jawaban langsung para responden dalam bentuk isian kuisioner. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi yang berkaitan dan sumber pustaka terkait.

Pengolahan data yang dilakukan dengan bantuan program Ms. Excel dan SPSS. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Model regresi berganda adalah model regresi yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh antara satu variabel terikat dengan beberapa variabel bebas (Hanun, 2011). Adapun rumus sistematisnya yaitu: Y= a+ b1X1+ b2X2+ b3X3+ e………………………………..(Hanun, 2011).

Keterangan : Y = Pengembangan Kelompok Tani (Skor) a = Konstanta (nilai Y saat X = 0) b1,b2,b3 = Koefisien regresi (intercept) = Tingkat Kesalahan X1 = Motivator (Skor) X2 = Komunikator (Skor) X3 = Fasilitator(Skor) X4 = Inovator (Skor)

540 JEPA, 3 (3), 2019: 537-546

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

e = error term

Kriteria pengujian : H0 : Diduga tidak ada pengaruh peran penyuluh pertanian terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. H1: Diduga ada pengaruh peran penyuluh pertanian terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. 5. Menguji Hipotesis

Digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y). Hipotesis yang digunakan adalah

H0 : b1 = b2 = b3= 0 (tidak ada pengaruh)

Hl : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ 0 (ada pengaruh)

Apabila sig >0,05 maka Ho diterima dan Hl ditolak. Apabila sig ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan Hl diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, responden yang paling muda berumur 30 tahun dan yang paling tua berumur 67 tahun dan tidak ada petani yang berumur dibawah 30 tahun. Hal ini diperlukannya strategi untuk meningkatkan motivasi anak muda untuk mau bekerja dibidang pertanian. Rata – rata umur petani di Kecamatan Siborongborong yang tetap masih bertani khususnya petani tanaman hortikultura dapat tergolong dalam usia dewasa tua. Anggota kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong lebih banyak berjenis kelamin laki – laki dari pada perempuan. Berdasarkan tabel 1 jumlah petani wanita lebih tinggi, sehingga dinas pertanian perlu mengedepankan program pertanian yang bertujuan untuk wanita. Latar belakang pendidikan responden di kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong adalah SD, SMP, dan SMA. Hal ini dikarenakan masalah di bidang ekonomi yang kurang baik, sehingga banyak masyarakat di Kecamatan Siborongborong yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi dan lebih memilih untuk bekerja sebagai petani, buruh, maupun bekerja di luar daerah (seperti TKI / TKW). Hasil persentase jumlah anggota keluarga responden ≤ 4 orang adalah 70 %. Responden yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang sebesar 30 %. Responden yang pekerja utama sebagai petani sebanyak 97 orang, sedangkan 23 orang anggota kelompok tani, pekerjaan utamanya adalah sebagai buruh. Persentase lama bekerja anggota kelompok tani tanaman hortikultura sebagai petani di Kecamatan Siborongborong >5 tahun adalah 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama petani yang bergabung dalam kelompok tani akan mempengaruhi sikap atau tingkat adopsi terhadap informasi atau teknologi yang diberikan oleh penyuluhan pertanian. Luas lahan yang dimiliki oleh responden kebanyakan kurang dari 0,3 ha, lahan yang paling luas adalah 0,18 ha dan yang paling kecil seluas 0,1 ha. Rata – rata lahan yang dikelola oleh para anggota kelompok tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong adalah merupakan lahan milik sendiri.

Desy Natasha V.D. Marbun – Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

541

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Karakteristik Responden Jumlah Persentase ---jiwa--- ---%--- Umur • 30-59 107 89,2

• ≥ 60 13 10,8 Jenis Kelamin • Laki-laki 62 51,7

• Perempuan 58 48,3 Pendidikan

• SD 26 21,7 • SMP 20 16,6

• SMA 74 61,7 Jumlah Anggota Keluarga

• ≤ 4 84 70 • > 4 36 30 Pekerjaan

• Utama 97 80,8 • Sampingan (Buruh) 23 19,2 Lama Bertani (Tahun) • 5 59 49,2 • >5 61 50,8 Luas Lahan • ≤ 0,3 ha 50 41,7 • > 0,3 ha 70 58,3 Status Lahan • Milik Sendiri • Sewa

105 15

87,5 12,5

B. Peran Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Kelompok tani Penyuluh pertanian merupakan suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya. Peran penyuluh pertanian terdiri dari motivator, fasilitator, komunikator, dan inovator.

542 JEPA, 3 (3), 2019: 537-546

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 2. Peran Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Kelompok Tani

Peran Penyuluh Variabel Frekuensi Persentase ---org--- ---%---

Motivator

Tinggi 71 59,2 Sedang 42 35 Rendah 7 5,8 Total 120 100

Komunikator

Tinggi 73 60,9 Sedang 37 30,8 Rendah 10 8,3 Total 120 100

Fasilitator

Tinggi 24 20 Sedang 63 52,5 Rendah 33 27,5 Total 120 100

Inovator

Tinggi 68 56,7 Sedang 45 37,5 Rendah 7 5,8 Total 120 100

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil persentase pendapat responden tentang

peran penyuluh sebagai motivator, untuk kategori tinggi adalah sebesar 59,2%, kategori sedang sebesar 35%, dan kategori rendah sebesar 5,8 %. Menurut pendapat responden peran penyuluh sebagai motivator terhadap pengembangan kelompok tani sebagian besar dalam kategori tinggi, hal ini karena menurut petani penyuluh sudah memotivasi petani dalam mengembangkan usahatani maupun kelompok taninya. Peran penyuluh sebagai motivator membantu petani dalam mendapatkan informasi tentang bagaimana cara mengolah hasil – hasil produksinya, memberikan arahan bagaimana cara mengolah lahan yang baik, cara menggunakan teknologi, cara bagaimana meningkatkan nilai tambah dari hasil produksi, serta memberikan contoh dan memotivasi petani tentang cara bertani yang baik. Hasil observasi di Kecamatan Siborongborong, penyuluh pertanian berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura, dimana penyuluh pertanian turun langsung ke lapangan untuk membantu petani dalam mengelolah lahan, hasil produksi, maupun pemasaran hasil produksinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Koesmono (2005) yang menyatakan bahwa peran penyuluh sebagai motivator adalah dapat menyalurkan dan mendukung perilaku petani, supaya mau bekerja dengan giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil persentase pendapat responden tentang peran penyuluh sebagai komunikator, untuk kategori tinggi adalah sebesar 60,9%, kategori sedang sebesar 30,8%, dan kategori rendah sebesar 8,3%. Menurut pendapat responden peran penyuluh sebagai komunikator terhadap pengembangan kelompok tani dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh pertanian berinteraksi dengan baik kepada petani, sehingga adanya perubahan perilaku petani dalam mengembangkan usahanya. Hal ini juga sesuai pendapat petani di Kecamatan Siborongborong, yang menyatakan bahwa penyuluh pertanian sebagai komunikator membantu petani dalam pengambilan keputusan, bagaimana cara menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh petani, membantu petani mempercepat arus informasi, membantu petani dalam meningkatkan kemampuan bertani, dan penyuluh pertanian di Kecamatan Siborongborong juga mudah ditemui saat petani mengalami kesulitan.

Desy Natasha V.D. Marbun – Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

543

Penyuluh pertanian juga setiap bulannya rutin mengadakan kegiatan penyuluhan kepada setiap kelompok tani. Hal ini sesuai dengan Suhardiyono (1992) yang menyatakan bahwa seorang penyuluh membantu para petani meningkatkan produksi dan mutu produksinya guna meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok tani.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil persentase pendapat responden tentang peran penyuluh sebagai fasilitator, untuk kategori tinggi adalah sebesar 20%, kategori sedang sebesar 53,5%, dan kategori rendah sebesar 27,5%. Peran penyuluh pertanian sebagai fasilitator di Kecamatan Siborongborong dapat dikategorikan sedang. Berdasarkan hasil observasi di Kecamatan Siborongborong peran penyuluh sebagai fasilitator, yaitu membantu petani dalam penyediaan sarana produksi dan peralatan pertanian, memberikan contoh kepada petani dalam menggunakan sarana produksi pertanian, penyuluh memfasilitasi petani dalam mengakses informasi dari pemerintah baik tentang kredit, kebijakan baru, harga pasar, serta memberikan jalan keluar/ kemudahan baik dalam menyuluh, maupun fasilitas dalam memanjukan usaha petani. Hal tersebut dapat membantu petani dalam mengembangkan kelompok taninya maupun usahanya. Peran penyuluh sebagai fasilitator berpengaruh dalam pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura yang ada di Kecamatan Siborongborong, dimana para petani mudah dalam mendapatkan informasi mengenai bagaimana cara meningkatkan hasil produksi pertanian, agar dapat meningkatkan pendapatannya, serta informasi tentang bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada seluruh kelompok tani. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekanto (2002) yang menyatakan bahwa fungsi penyuluh sebagai fasilitator adalah senantiasa memberikan jalan keluar atau kemudahan, baik dalam menyuluh, proses belajar mengajar, maupun fasilitas dalam memajukan usahataninya. Dalam hal menyuluh, penyuluh memfasilitasi dalam hal, kemitraan usaha, berakses pasar, permodalan, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil persentase pendapat responden tentang peran penyuluh sebagai inovator, untuk kategori tinggi adalah sebesar 56,7%, kategori sedang sebesar 37,5%, dan kategori rendah sebesar 5,8%. Peran penyuluh sebagai inovator di Kecamatan Siborongborong, berdasarkan sebagian besar responden dikategorikan tinggi, dimana memberikan dampak yang baik terhadap pengembangan kelompok tani maupun usahanya, karena penyuluh membantu petani dalam pengenalan teknologi baru (system pengairan yang baik untuk tanaman hortikultura), membantu petani dalam adopsi teknologi, memberikan inovasi dalam bercocok tanam, memperkenalkan kepada petani tentang benih unggul/ terbaru, mengajarkan petani bagaimana cara bertani yang ramah lingkungan, penggunaan pupuk organik, serta membantu petani dalam menerapkan perubahan tentang cara pembudidayaan tanaman hortikultura yang meliputi pembenihan, pembibitan, kultur jaringan, produksi tanaman, hama/ penyakit, proses panen, pengemasan, dan distribusi. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa peran penyuluh sebagai inovator berpengaruh terhadap petani, hal ini dapat dilihat dari kemauan petani dalam merubah pola pikir, serta perubahan baru tentang cara mengolah lahan menggunakan alat pertanian modern. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa peran penyuluh sebagai inovator, yaitu mendorong terjadinya perubahan – perubahan atau memberikan inovasi dalam bercocok tanaman, praktek – praktek, cara kerja, ataupun pengubahan pola pikir petani, sehingga dapat melaksakan dan menerapkan perubahan tersebut dalam kehidupan maupaun usahataninya. C. Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat dalam penelitian. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa peran penyuluh pertanian memiliki pengaruh terhadap pengembangan

544 JEPA, 3 (3), 2019: 537-546

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Hasil analisis regresi linear berganda dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Regresi Linear Berganda

Nilai Konstanta (-106.135)

B S.E. T Tolerance Sig.

Motivator (X1) 16.833 12.257 1.373 .600 .172 Komunikator (X2) .833 .153 5.470 .464 .000 Fasilitator (X3) 92.228 12.880 7.161 .739 .000 Inovator 24.938 15.029 1.659 .459 .100 R Square

.711

Adjusted R Square

.701

Berdasarkan Tabel 3. dapat disimpulkan bahwa hasil regresi linier berganda antara

variabel motivator (X1), komunikator (X2), fasilitator (X3), dan inovator (X4) terhadap pengembangan kelompok tani (Y) sebagai berikut: Y = -106.135 + 16.833 X1 + 0,838 X2 + 92.228 X3 + 24.938 X4 Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,701 atau 70%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peran penyuluh pertanian (motivator, komunikator, fasilitator, dan inovator) mempengaruhi pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura sebesar 70 % sedangkan sisanya sebesar 30 % dipengaruhi oleh faktor – faktor lain. Berdasarkan hasil observasi di Kecamatan Siborongborong penyuluh pertanian berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura.

Nilai konstanta bernilai negatif (-106.135) menunjukkan bahwa dengan mengasumsikan adanya variabel independen yang lain, jika variabel independen mengalami peningkatan, maka pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura tidak cenderung mengalami peningkatan. Nilai koefisien regresi positif yaitu X1 16.833 X2 0,838, X3 92.228, dan X4 24.938, menunjukkan apabila peran penyuluh sebagai motivator, komunikator, fasilitator, dan inovator mengalami peningkatan maka pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura juga cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa di Kecamatan Siborongborong peran penyuluh membantu petani dalam pengembangan kelompok taninya, seperti dalam mendapatkan informasi tentang cara pengelolaan lahan, nilai tambah dari hasil produksi, peningkatan hasil produksi maupun sarana produksi, meningkatkan pendapatan, akses pasar, maupun tentang adopsi teknologi, serta adanya pembinaan kepada setiap kelompok tani tentang bagaimana cara meningkatkan efektifitas usaha, sehingga kelompok tani mampu tumbuh dan berkembang dengan maju dan meningkatkan kesejahteraan setiap anggota kelompok taninya. Hal ini sesuai dengan pendapat Najib (2010) yang meyatakan bahwa untuk meningkatkan efektifitas dari kegiatan penyuluhan dan guna menumbuh dan mengembangkan peran serta petani dalam pembangunan pertanian, maka perlu dilakukan pembinaan terhadap kelompok tani yang terbentuk sehingga nantinya kelompok tani tersebut akan mampu untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang memadai dan akan mampu menopang kesejahteraan anggotanya.

D. Pengaruh Peran Penyuluh Pertanian Terhadap Pengembangan Kelompok Tani Berdasarkan hasil analisis uji t untuk peran penyuluh sebagai motivator diperoleh nilai

Sig. sebesar 0,172 > 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, yang artinya peran penyuluh sebagai motivator secara parsial tidak berpengaruh terhadap pengembangan

Desy Natasha V.D. Marbun – Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

545

kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemauan anggota kelompok tani dalam memotivasi dirinya untuk lebih giat meningkatkan kebutuhannya untuk mencapai hasil yang optimal. Tidak semua dari anggota kelompok tani hadir dalam mengikuti setiap kegiatan penyuluhan maupun kegiatan dari dinas pertanian, hal ini dapat dilihat dari nilai sig nya yang lebih besar dari 0,05. Koesmono (2005) menyatakan bahwa pentingnya motivasi adalah untuk menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja dengan giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.

Berdasarkan hasil analisis uji t untuk peran penyuluh sebagai komunikator diperoleh nilai Sig. sebesar 0,000 < 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya peran penyuluh sebagai komunikator secara parsial berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Penyuluh pertanian menjalin komunikasi yang baik dengan para anggota kelompok tani, sehingga dapat membantu petani dalam meningkatkan hasil produksinya, serta dapat memberikan inovasi kepada para anggota kelompok tani. Suhardiyono (1992) berpendapat bahwa seorang penyuluh membantu para petani dalam meningkatkan usaha mereka, baik produksi maupun mutu produksinya guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Berdasarkan hasil analisis uji t untuk peran penyuluh sebagai fasilitator diperoleh nilai Sig. sebesar 0,000 < 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya peran penyuluh sebagai fasilitator secara parsial berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Hal ini dikarenakan penyuluh pertanian membantu petani dalam memajukan usahanya, dimana penyuluh memberikan fasilitas, baik dalam hal kemitraan, akses pasar, modal, alat – alat pertanian, pupuk dan sebagainya. Soekanto (2002) berpendapat bahwa fungsi penyuluh sebagai fasilitator adalah senantiasa memberikan jalan keluar atau kemudahan – kemudahan, baik dalam menyuluh atau proses belajar mengajar, maupun fasilitas dalam memanjukan usahataninya.

Berdasarkan hasil analisis uji t untuk peran penyuluh sebagai inovator diperoleh nilai Sig. sebesar 0,100 > 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, yang artinya peran penyuluh sebagai inovator secara parsial tidak berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura di Kecamatan Siborongborong. Hal ini disebabkan peran penyuluh tidak berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan kelompok tani tanaman hortikultura, baik dalam penggunaan teknologi, cara pengolahan lahan, maupun cara bercocok tanam. Inovasi itu merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan usahaa para petani. Penyuluh dapat memberikan kegiatan kepada setiap kelompok tani tanaman hortikultura atau mengadakan sosialisasi tentang bagaimana cara bercocok tanam yang baik, cara penggunaan teknologi yang baru, sehingga dapat memberikan gambaran atau merubah pola pikir para petani bahwa dengan adanya inovasi baru tentang cara bercocok tanam dan teknologi baru yang dapat mnembantu petani dalam meningkatkan hasil kualitas maupun kuantitas produksinya, serta dapat meringangkan pekerjaan petani dalam pengolahan lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa peran penyuluh sebagai inovator, yaitu mendorong terjadinya perubahan – peerubahan atau memberikan inovasi dalam bercocok tanam, praktek – praktek ataupun cara kerja dan juga merubah pola pikir petani, sehingga dapat melaksanakan dan menerapkan perubahan tersebut dalam kehidupan maupun usaha taninya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

546 JEPA, 3 (3), 2019: 537-546

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Siborongborong dengan jumlah responden sebesar 120 dapat disimpulkan bahwa peran penyuluh pertanian berpengaruh terhadap pengembangan kelompok tani. Berdasarkan hasil analisis asumsi klasik, variabel X1 (motivator), X2 (fasilitator), X3 (komunikator), dan X4 (inovator) berpengaruh terhadap variabel Y (pengembangan kelompok tani), yang artinya peran penyuluh berpengaruh nyata terhadap pengembangan kelompok tani di Kecamatan Siborongborong.

Saran

1. Anggota kelompok tani sebaiknya dimotivasi untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh penyuluh pertanian dalam kelompok tani karena dapat meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan petani.

2. Dalam merancang kegiatan kelompok, sebaiknya kelompok tani lebih mengedepankan partisipasi anggota dalam segala lini, mulai dari perencanaan sampai evaluasi kegiatan kelompok.

3. Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan kinerja penyuluh dalam proses pengembangan kelompok tani, serta memberikan pelatihan yang lebih banyak kepada setiap penyuluh, agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta memberikan tambahan sarana dan prasarana untuk penyuluh.

4. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan kebutuhan yang diperlukan oleh kelompok tani, seperti, bibit, pupuk ataupun alat – alat pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penyuluhan Pertanian Kabupaten Tapanuli Utara. 2017. Data Kelompok Tani Di

Kecamatan Siborongborong. Gochran, W. G. 1997. Sampling Techniques, New York. Hanun, H. 2011. Perbandingan Metode Stepwise, Best Subset Regresion, dan Fraksi Dalam

Pemilihan Model Regresi Berganda Terbaik. Jurnal Penelitian Sains. (14) 2 : 1-6. Koesmono. 2005. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Serta

Kinerja Karyawan pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah di Jawa. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol 7 no 2 hal 171-188. Surabaya: Universitas Katholik Widya Mandala.

Mardikanto, T. 2009. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Najib, M. 2010. Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengeembangan Kelompok Tani Di Desa Bukit Raya Kecamatan Tangerang Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara Volume 28 Nomor 2, Juni 2010. Hal 116-128. Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Kalimantan.

Suhardiyono. 1992. Penyuluh Petunjuk Bagi Pertanian. Erlangga, Jakarta. Soeharto N.P. 2005. Program Penyuluhan Pertanian (materi dalam diklat dasar – dasar funsional

penyuluh). Soekanto, S. 2002. Teori Peranan, Bumi Aksara, Jakarta.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 547-556

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.10

ANALISIS BIAYA TRANSAKSI PADA RANTAI PASOK IKAN TUNA DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) SENDANGBIRU KABUPATEN MALANG

ANALYSIS TRANSACTION COSTS ON SUPPLY CHAINS OF TUNA FISH IN TPI

SENDANGBIRU MALANG REGENCY

Yunita Pane1*, Budi Setiawan2 , Anthon Efani3 1*Universitas Brawijaya

2Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 3Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The prime fish species of export in Malang Regency is tuna fish. Based on data from the Sendangbiru TPI Port in June 2016, tuna is the dominant fish caught, which is 64% of the total catch. The aim of this study: (1) Seeing the flow of tuna supply chain networks on TPI Sendangbiru. (2) Identify transaction costs along the supply chain flow in tuna on TPI Sendangbiru. (3) Analyzing business efficiency in tuna supply chain networks on TPI Sendangbiru. To answer the first goal, use qualitative descriptive analysis. In the supply chain of tuna fish at TPI Sendangbiru there are 4 components of transaction costs, namely negotiation costs, information seekers, waiting times, and enforcement of controls. The total transaction costs for fishermen are Rp. 13,795,800.00, while auction members are Rp. 10,308,480.00. Business efficiency in the tuna fish supply chain flow is influenced by the total revenue and the total cost used once. To determine the level of business efficiency, it is calculated using the R/C ratio. The calculation of business efficiency in fishermen is produced an average of 1.52, while for auction members the average is 1.74.

Keywords: tuna, supply chain, transaction costs

ABSTRAK

Potensi ikan hasil tangkapan di Kabupaten Malang mencapai 403.000 ton/tahun. Jenis ikan primadona ekspor perairan Kabupaten Malang adalah ikan tuna. Berdasarkan data Pelabuhan TPI Sendangbiru bulan Juni 2016 ikan tuna merupakan ikan yang dominan tertangkap yaitu 64% dari total tangkapan. Penelitian ini bertujuan: (1) Melihat alur jaringan rantai pasok ikan tuna di TPI Sendangbiru. (2) Mengidentifikasi biaya transaksi sepanjang alur rantai pasok pada ikan tuna di TPI Sendangbiru. (3) Menganalisis efisiensi usaha pada jaringan rantai pasok ikan tuna di TPI Sendangbiru. Pada alur rantai pasok ikan tuna di TPI Sendangbiru terdapat 4 komponen biaya transaksi yaitu biaya negosiasi, pencari informasi, waktu tunggu, dan penegakan kontrol. Untuk total biaya transaksi nelayan sebesar Rp 13.795.800,00, sedangkan anggota lelang sebesar Rp 10.308.480,00. Efisiensi usaha dalam alur rantai pasok ikan tuna dipengaruhi oleh total penerimaan dan total biaya yang digunakan satu kali melaut. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usaha maka dihitung menggunakan R/C ratio. Perhitungan efisiensi usaha pada nelayan dihasilkan rata–rata sebesar 1,52, sedangkan pada anggota lelang rata–rata sebesar 1,74.

Kata kunci: ikan tuna, rantai pasok, biaya transaksi

548 JEPA, 3 (3), 2019: 547-556

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Produksi perikanan di Kabupaten Malang bisa dikelompokkan menjadi perikanan tangkap dan umum. Produksi perikanan tangkap diperoleh dari kegiatan para nelayan menangkap ikan di laut, sedangkan produksi perikanan umum diperoleh dari budidaya. Potensi ikan hasil tangkapan di Kabupaten Malang mencapai 403.000 ton/tahun. Jenis ikan yang menjadi primadona ekspor dari perairan Kabupaten Malang adalah ikan tuna. Berdasarkan data dari Pelabuhan TPI Sendangbiru pada bulan Juni 2016 ikan tuna merupakan ikan yang dominan tertangkap yaitu sekitar 64% dari total tangkapan pada bulan tersebut. Selain itu perikanan tuna memberikan kontribusi terbesar bagi perokonomian bangsa Indonesia. Dengan melihat nilai ekonomis danpeluang perikanan tuna maka penelitian ini mengambil objek penelitian ikan tuna yang dihasilkan di TPI Sendangbiru.

Wilayah produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang tersebar pada sejumlah kecamatan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang bahwa Sumbermanjing merupakan kecamatan penghasil perikanan tangkap paling besar di Kabupaten Malang. Kecamatan Sumbermanjing memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap yang merupakan sentra pengembangan perikanan laut mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan maupun pemasarannya yang berlokasi di Dusun Sendangbiru. Di lokasi ini terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang menjadi pelabuhan ikan dan bongkar muat kapal–kapal hasil tangkapan nelayan. Dengan adanya PPP dan TPI, Dusun Sendangbiru merupakan penghasil perikanan tangkap terbesar yang ada di Malang.

Perikanan tangkap menghasilkan tangkapan ikan dengan jenis yang bermacam–macam, seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, layang, marlin dan lemadang. Berdasarkan data dari Pelabuhan Pondokdadap Sendangbiru pada bulan Juni 2016, ikan tuna merupakan ikan yang dominan tertangkap sekitar 64% dari total tangkapan pada bulan tersebut. Ikan tuna juga memiliki nilai ekonomis penting dan menjadikan sebagai salah satu komoditi utama dari subsektor perikanan nasional baik untuk konsumsi maupun komoditi ekspor (Jaya dkk, 2017). Selain itu perikanan tuna memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian bangsa Indonesia, khususnya dalam hal perolehan devisa negara dan masih mempunyai peluang untuk terus dikembangkan (Sumadhiharga, 2009). Dengan melihat nilai ekonomis dan peluang perikanan tuna, maka penelitian ini mengambil objek penelitian ikan tuna yang dihasilkan di TPI Sendangbiru, Kecamatan Sumbermanjing, Kabupaten Malang.

Produk perikanan seperti ikan tuna memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan produk lainnya. Produk ini juga memiliki sifat yang mudah rusak atau disebut dengan istilah perishable food. Untuk meningkatkan eksistensi dan penjualan ikan tuna hasil tangkapan Sendangbiru baik di pasar lokal maupun global, peranan manajemen rantai pasok sangat penting. Manajemen rantai pasok yang baik diperlukan agar ikan tuna sampai ke tangan konsumen tepat waktu, tepat jumlah, sesuai dengan kualitas yang inginkan konsumen dan tentunya dengan biaya yang rendah.

Rantai pasok ikan tuna di TPI Sendangbiru melibatkan banyak pihak, mulai dari nelayan, anggota lelang, firm (industri/pabrik pengolahan) dan konsumen. Pada rantai pasok ikan tuna terjadi aliran barang, uang atau biaya maupun informasi. Biaya yang terjadi pada rantai pasok tersebut, bukan hanya biaya produksi tapi juga biaya transaksi, misalnya biaya negosiasi antara nelayan dengan pedagang kecil, biaya negosiasi anatara pedagang kecil dengan pedagang besar, biaya mencari informasi, biaya menunggu, biaya kontrol dan biaya–biaya lainnya. Besarnya biaya transaksi tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat keefisienan rantai pasok ikan tuna. Semakin besar biaya transaksi yang terjadi maka efisiensi ekonomi rantai pasok ikan tuna akan

Yunita Pane – Analisis Biaya Transaksi Pada Rantai Pasok Ikan Tuna............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

549

semakin rendah dan akan menyebabkan penurunan daya saing ikan tuna Sendangbiru di pasar baik di pasar lokal maupun global.

Pada penelitian ini, biaya transaksi akan diidentifikasi pada tiap–tiap pemain dalam rantai pasok, mulai dari nelayan, anggota lelang, firm (industri/pabrik pengolah) dan konsumen. Hasil penelitian diharapkan mampu mengungkap fenomena apakah biaya transaksi yang terjadi lebih besar dari pada biaya produksi yang terjadi dan juga efisiensi usaha di daerah penelitian.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, dimana pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa TPI Sendangbiru merupakan tempat hasil pelelangan ikan tuna terbesar di Jawa Timur. Metode penentuan sampel dengan menggunakan metode snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang awalnya berjumlah kecil, kemudian jumlahnya membesar. Jumlah sampel yang digunakan sebagai responden adalah 30 orang. Analisis Data 1. Analisis Biaya Transaksi Masing–masing komponen biaya yang dihadapi setiap nelayan tidak selalu sama. Perbedaan kondisi social, rezim property right dan kondisi pasar yang dihadapi setiap nelayan menciptakan biaya transaksi yang berbeda. Secara umum menurut North & Thomas (1973) biaya transaksi (transaction cost) (TrC) mencakup biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi pasar (Z1j); biaya negoisasi (negotiation costs) yaitu biaya merundingkan syarat–syarat suatu transaksi/pertukaran (costs of negotiating the terms of the exchange) (Z2j); dan biaya pelaksanaan (enforcement costs) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu kontrak/transaksi (costs of enforcing the contract), biaya monitoring penegak hukum (Z3j). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya, termasuk juga biaya pemeliharaan sumberdaya alam (Z4j) dan biaya monitoring penegak hukum (Z5j). Beberapa literatur juga memasukkan biaya pemburuan rente (rent seeking cost) (Z6j) sebagai biaya transaksi bila dalam kegiatan pemburuan rente tersebut terjadi transfer informasi. Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi nelayan adalah:

TrCi = Σ Zij Rasio setiap komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (z) dihitung dengan:

Z ij = ; Σ Zij

Tingkat efisiensi ekonomi usaha nelayan di lihat dari rasio biaya transaksi terhadap penerimaan nelayan. Rasio biaya transaksi dan penerimaan dihitung menggunakan rumus:

=

Keterangan: TrCj = Total biaya transaksi (Rp/tahun) Zij = Komponen biaya transaksi Bj = Penerimaan (Rp/tahun) Guna menentukan besarnya proporsi biaya transaksi terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam kegiatan produksi, maka dihitung proporsi biaya transaksi terhadap total biaya (penjumlahan biaya produksi dan biaya transaksi) menggunakan rumus:

rtcj =

550 JEPA, 3 (3), 2019: 547-556

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Keterangan: rtcj = Rasio biaya transaksi terhadap total biaya TCj = Total biaya produksi (Rp/tahun) TrCj = Total biaya transaksi (Rp/tahun) 2. Analisis Miles dan Huberman

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data gabungan (triagulasi), dan dilakukan secara terus–menerus sampai datanya jenuh. Data yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak data kuantitatif), sehingga teknis analisis data yang digunakan belum ada polanya yang jelas. Oleh karena itu, sering mengalami kesulitan dalam melakukan analisis. Seperti dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1984), bahwa “The most serious and central difficulty in the use of qualitative data is that methods analysis are not well formulated“.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis model Miles dan Hubermen. Teknik analisis ini terdiri dari tiga tahapan yaitu: 1. Tahap Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti: merangkum, memilih hal–hal yang pokok, memfokuskan pada hal–hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Dengan reduksi, maka peneliti merangkum, mengambil data yang penting, membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka. 2. Tahap Penyajian Data/Analisis Data Setelah Pengumpulan Data

Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah menyajikan data. Penyajian data bisa dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sebagainya. Selain dalam bentuk naratif, penyajian data dapat juga berupa grafik, matriks dan network (jejaring kerja).

Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal. 3. Tahap Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti–bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun bila kesimpulan memang telah didukung oleh bukti–bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Hasil penarikan kesimpulan diharapkan merupakan temuan baru yang dapat berupa deskripsi atau gambaran pada rantai pasok ikan tuna di Sendangbiru serta biaya transaksi yang terjadi pada kegiatan rantai pasok tersebut.

Tahap verifikasi dan validasi dilakukan dengan metode triangulasi. Teknik triagulasi merupakan teknik yang menggunakan beberapa sumber informasi guna memverifikasi dan memperkuat data baik dalam metode pengumpulan data yang berbeda (wawancara dan observasi) maupun menggunakan informan pendukung. Pemeriksaan keabsahan data pada prinsipnya adalah proses analisis data dimana dalam penelitian ini dilakukan secara induksi yaitu lebih mengutamakan dan mementingkan proses dari pada hasil.

Yunita Pane – Analisis Biaya Transaksi Pada Rantai Pasok Ikan Tuna............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

551

Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multi metode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda–beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Triangulasi merupakan teknik yang dipakai untuk melakukan survei dari tanah daratan dan laut untuk menentukan satu titik tertentu dengan menggunakan beberapa cara yang berbeda. Ternyata teknik semacam ini terbukti mampu mengurangi bias dan kekurangan yang diakibatkan oleh pengukuran dengan satu metode atau cara saja. Pada masa 1950–an hingga 1960–an, metode tringulasi tersebut mulai dipakai dalam penelitian kualitatif sebagai cara untuk meningkatkan pengukuran validitas dan memperkuat kredibilitas temuan penelitian dengan cara membandingkannya dengan berbagai pendekatan yang berbeda (Rahardjo, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian mengenai analisis biaya transaksi pada rantai pasok ikan tuna di Sendangbiru, selain melakukan wawancara dan observasi pada nelayan, pedagang besar, pedagang kecil dan konsumen, peneliti juga melakukan observasi kepada pihak pengelola TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dalam hal ini adalah KUD Mina Jaya.

Jaringan rantai pasok ikan tuna terdiri dari nelayan, anggota lelang, perusahaan dan konsumen. Hubungan antara beberapa pihak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut beserta penjelasan untuk tiap–tiap pihak dalam rantai pasok hasil tangkapan ikan tuna di Sendangbiru.

Gambar diatas menjelaskan bahwa dalam penelitian ini terdapat 15 kelompok nelayan

yang berlayar dalam menangkap ikan tuna, kemudian hasil tangkapan ikan tuna tersebut di distribusikan kepada anggota lelang melalui tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola oleh KUD Minajaya. Semua hasil tangkapan akan masuk ke tempat penimbangan dan diberi label pada ikan tuna tersebut lengkap beserta berat dan harganya. Anggota lelang bebas untuk ikut berpartisipasi dalam pelelangan dengan catatan harus memberikan uang jaminan sebesar Rp 30.000.000 kepada pihak KUD Minajaya. Nelayan juga harus membayar biaya retribusi sebesar 0,5% dari total hasil tangkapan ikan tuna. Sehingga dalam proses distribusi ikan tuna ini menimbulkan biaya transaksi yang harus dibayarkan oleh nelayan.

Ikan tuna fillet Ikan tuna segar

Ikan tuna beku

KudD

Nelayan1

Nelayan15

Firm Konsumen

Anggota lelang1

Anggota lelang15

552 JEPA, 3 (3), 2019: 547-556

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Anggota lelang yang berhasil dalam memenangkan pelelangan akan mengangkut hasil lelangan dengan menggunakan tosa yang dikemudikan para pengangkut, dalam hal ini anggota lelang akan mengeluarkan biaya transaksi berupa biaya negosiasi dengan para pengangkut ikan. Dimana dalam penelitian lapangan didapatkan hasil untuk satu kali pengangkutan dengan menggunakan tosa dari tempat penimbangan menuju gudang penyimpanan anggota lelang diberikan tarif sebesar Rp 15.000 untuk sekali angkut. Dalam penelitian ini disebutkan anggota lelang memang sebanyak 15 namun tidak semua berpartisipasi dalam acara lelang setiap harinya. Mereka memiliki pertimbangan khusus, misalnya ketersediaan dana dan permintaan firm ataupun konsumen. 2. Biaya Transaksi a. Biaya Transaksi Nelayan

Komponen biaya transaksi yang dapat diidentifikasi dalam rantai pasok hasil tangkapan ikan tuna di TPI Sendangbiru terdapat empat komponen, antara lain: 1) biaya negosisai, 2) biaya pencarian informasi, 3) biaya waktu tunggu, 4) biaya penegakan kontrol. Keempat komponen ini diidentifikasi berdasarkan biaya–biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam setiap kegiatan produksi hingga mendistribusikan hasil tangkapan yang proses lelangnya melalui KUD Mina jaya di TPI Sendangbiru. Tabel 1. Komponen Biaya Transaksi Nelayan

No. Keterangan Rata–Rata 1. Biaya Negosiasi (Rp) 7.158.533,00 2. Biaya Pencari Informasi (Rp) 150.000,00 3. Biaya Waktu Tunggu (Rp) 520.667,00 4. Biaya Penegakan Kontrol (Rp) 5.966.600,00 5. Total Biaya Transaksi (Rp) 13.795.800,00

Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah) 1) Biaya negosiasi

Biaya negosiasi pada nelayan ditemukan pada proses penimbangan dan proses lelang dengan para anggota lelalng maupun pihak KUD Minajaya. Contoh biaya negosiasi ini dapat dideskripsikan seperti ketika nelayan membawa ikan tuna dalam keadaan kurang sempurna baik secara kualitas maupun fisik maka terjadi negosiasi antara pelaku di dalam alur rantai pasok antara nelayan dengan KUD Mina jaya ataupun nelayan dengan anggota lelang, negosiasi yang dilakukan baik berupa negosiasi harga maupun yang lainnya. Dalam satu tahun rata-rata biaya negosiasi yang harus dikeluarkan oleh pemilik kapal adalah sebesar Rp 7.158.533. 2) Biaya pencarian informasi

Biaya pencarian informasi yang dikeluarkan oleh nelayan berupa pemantauan dan pengecekan alat tangkap kegiatan produksi mulai dari penyediaan kebutuhan melaut, pendaratan kapal, perawatan kapal penimbangan hasil tangkapan dan pelelangan hasil tangkapan ikan tuna. Pencarian Informasi tentang alat tangkap yang digunakan adalah komponen biaya yang lumayan banyak dikeluarkan oleh nelayan berupa pembelian pulsa untuk bisa melakukan komunikasi dan berkoordinasi. Dalam satu tahun rata-rata nelayan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 150.000. 3) Biaya waktu tunggu

Nelayan yang menunggu hasil tangkapan juga mengeluarkan biaya berupa biaya waktu tunggu. Untuk sekali melaut nelayan ikan tuna membutuhkan waktu sekitar kurang lebih dua minggu, sehingga biaya waktu tunggu yang dikeluarkan oleh nelayan berupa biaya tambahan diluar komsumsi atau makanan sehari-hari seperti rokok, kopi dan makanan ringan yang telah

Yunita Pane – Analisis Biaya Transaksi Pada Rantai Pasok Ikan Tuna............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

553

dipersiapkan sebelum berangkat untuk melaut. Rata-rata kelompok nelayan mengeluarkan biaya waktu tunggu sebesar Rp 520.667. 4) Biaya Penegakan Kontrol

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahu 2000 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa: “hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di pasar grosir/tempat pelelangan ikan”. Selanjutnya nelayan akan dikenakan baiaya retribusi sebesar 0,5% dari total hasil tangkapan. Retribusi hasil tangkapan ikan tuna merupakan biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan. Kemudian nelayan juga dikenakan biaya ketertiban dan keamanan kapal baik ketika bersandar maupun pembongkaran hasil tangkapan. Dalam hal ini dapat dihitung bahwa besaran biaya penegakan kontrol yang harus dikeluarkan oleh nelayan rata-rata sebesar Rp 5.966.600,00. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 15 jumlah kapal yang melakukan penangkapan ikan tuna dengan biaya transaksi yang berbeda, data tersebut bisa dilihat pada tabel berikut ini: b. Biaya Transaksi Anggota Lelang

Komponen biaya transaksi yang dapat diidentifikasi dalam rantai pasok hasil tangkapan ikan tuna di TPI Sendangbiru pada anggota lelang sama halnya dengan komponen biaya transaksi pada nelayan yaitu terdiri dari empat komponen, yaitu: 1) biaya negosiasi, 2) biaya pencarian informasi, 3) biaya waktu tunggu, 4) biaya penegakan kontrol. Keempat komponen ini diidentifikasi berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh anggota lelang dalam setiap kegiatan proses lelang, pengangkutan hasil lelang, hingga mendistribusikan hasil tangkapan yang melalui KUD Minajaya di TPI Sendangbiru menuju firm atau perusahaan yang dituju. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 15 anggota lelang yang melakukan penangkapan ikan tuna dengan biaya transaksi yang berbeda, data tersebut bisa dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Komponen Biaya Transaksi Anggota Lelang

No. Keterangan Rata–Rata 1. Biaya Negosiasi (Rp) 4.507.380,00 2. Biaya Pencari Informasi (Rp) 157.500,00 3. Biaya Waktu Tunggu (Rp) 497.820,00 4. Biaya Penegakan Kontrol (Rp) 5.145.780,00 5. Total Biaya Transaksi (Rp) 10.308.480

Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah) 1. Biaya Negosiasi

Proses pelelangan ikan di TPI Sendangbiru dilakukan setiap pagi hari yang beranggotakan nelayan, anggota lelang, penimbang, dan kasir. Anggota lelang dikenakan biaya negosiasi berupa biaya administrasi sebesar Rp. 500.000, biaya monitoring nihil karena anggota lelang ikan tuna sendiri yang melakukan monitoring ke tempat pelelangan, dan biaya kartu bina mutu sebesar Rp. 5.000. Biaya transaksi paling besar yang harus dikeluarkan anggota lelang yaitu untuk membayar biaya administrasi yaitu sebesar Rp. 500.000. Dari rincian diatas, total biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh anggota lelang sebesar Rp. 4.507.380 yang meliputi biaya administrasi keanggotaan, kontrak dagang yang menggunakan jasa notaris.

Proses pelelangan dilaksanakan secara lelang terbuka dengan sistem penawaran meningkat. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Malang no. 1 Tahun 2009 adalah tentang penyelenggaraan pelelangan ikan di TPI dalam wilayah kab. Malang, dan untuk pelayanan penyelenggara pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan ditetapkan jasa lelang diputuskan menjadi 3% yaitu 1,5% dari penjual dan 1,5 dari pembeli. Proses pelelangan sampai dengan v proses administrasi berjalan dengan baik namun terdapat beberapa bakul yang kurang tertib.

554 JEPA, 3 (3), 2019: 547-556

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

2. Biaya Pencarian Informasi Biaya pencarian informasi pada anggota lelang dilakukan untuk mencari informasi

harga terendah dan kualitas terbaik di tempat pelelangan. Anggota lelang biasanya menghabiskan biaya sebesar Rp 50.000 untuk melakukan pendekatan dengan pihak pengelola KUD Minajaya sebagai fasilitator pelelangan, biaya untuk berkomunikasi sebesar Rp. 100.000 yaitu berupa pembelian pulsa , sementara untuk biaya monitoring tidak mengeluarkan biaya apapun karena anggota lelang langsung menghadiri dan monitoring proses pelelangan dan memastikan harga beserta kualitas ikan tuna tersebut. Sehingga rata-rata biaya yang harus dikeluarkan oleh anggota lelang sebesar Rp. 150.000. 3. Biaya Waktu Tunggu

Kapal penangkapan ikan tuna biasanya akan mendarat menuju pelabuhan di pagi hari namun tidak menutup kemungkinan akan ada kapal-kapal lain yang akan mendarat pada jam yang berbeda. Perbedaan waktu untuk kapal yang akan bersandar ini membuat para pemikul yang di pekerjakan oleh anggota lelang sebagai pedagang akan mengeluarkan biaya waktu tunggu. Ketika menunggu kapal yang lain bersandar maka tosa maupun kendaraan lain yang digunakan untuk mengangkut ikan tuna menjadi berhenti. Untuk satu kali pengangkutan dari TPI menuju gudang penyimpanan satu kali pengangkutan tosa dibayar sebesar Rp 15000, sehingga estimasi dalam satu jam harusnya tosa bisa mengangkut sebanyak 5 kali. Namun pada kenyataan dilapang waktu tunggu yang terbuang jaraknya hampir tiga jam antara pembongkaran kapal yang satu dengan yang lain. Sehingga dapat dihitung biaya waktu tunggu yang harus dikeluarkan anggota lelang rata-rata sebesar Rp 497.820. 4. Biaya Penegakan Kontrol

Dari data diatas biaya transaksi paling besar yang harus dikeluarkan oleh pedagang besar yaitu berupa biaya penegakan kontrol yaitu rata-rata sebesar Rp. 5.145.780. Dimana rincian biaya ini terdiri dari biaya retribusi, biaya kontrak dagang biaya keamanan lingkungan TPI dan gudang yang digunakan untuk menampung hasil pembelian lelang. Ada karyawan yang bertugas untuk menjaga keamanan lingkungan TPI sehingga para anggota lelang yang menyewa gudang penyimpanan ikan harus membayar iuran keamanan. Selain itu unit pelaksana teknis pelabuhan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan TPI Sendang biru juga memberikan tarif biaya retribusi kepada anggota lelang sebesar 1,5% dari total ikan tuna lelang yang dibeli. 3. Efisiensi Usaha Pada Rantai Pasok Hasil Tangkapan Ikan Tuna di TPI Sendangbiru a. Efisiensi Usaha Nelayan pada Rantai Pasok Efisiensi usaha dalam menghasilkan produk dipengaruhi oleh total penerimaan dan total biaya yang digunakan dalam satu kali melaut. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usaha maka dihitung dengan menggunakan R/C ratio, dimana semakin besar total penerimaan nelayan maka semakin efisien dan menguntungkan. Hasil penelitian, menunjukkan efisiensi usaha nelayan pada rantai pasok hasil tangkapan ikan tuna di TPI Sendangbiru.

Pada penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 kelompok nelayan yang melakukan penangkapan ikan tuna. Dari 15 anggota kelompok nelayan tersebut Kelompok Sumber Urip merupakan kelompok nelayan yang memiliki tingkat efisiensi tertinggi. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan Kelompok Nelayan Sumber Urip sebesar Rp 92.173.638 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 53.445.045 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,72. Sedangkan Kelompok Akas merupakan kelompok nelayan yang memiliki tingkat efisiensi terendah. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan Kelompok Nelayan Akas sebesar Rp 93.059.819 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 69.706.856 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,335.

Yunita Pane – Analisis Biaya Transaksi Pada Rantai Pasok Ikan Tuna............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

555

b. Efisiensi Usaha Anggota Lelang pada Rantai Pasok Efisiensi usaha dalam menghasilkan produk dipengaruhi oleh total penerimaan dan total biaya yang digunakan dalam satu kali melaut. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usaha maka dihitung dengan menggunakan R/C ratio, dimana semakin besar total penerimaan nelayan maka semakin efisien dan menguntungkan. Hasil penelitian, menunjukkan efisiensi usaha anggota lelang pada rantai pasok hasil tangkapan ikan tuna di TPI Sendangbiru.

Pada penelitian, menunjukkan bahwa terdapat 15 kelompok nelayan yang melakukan penangkapan ikan tuna. Dari 15 anggota lelang tersebut P. Sudarsono merupakan anggota lelang yang memiliki tingkat efisiensi tertinggi. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan P. Sudarsono sebesar Rp 111.350.380 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 60.964.692 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,84. Sedangkan Hj. Marwati merupakan anggota lelang yang memiliki tingkat efisiensi terendah. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan Hj. Marwati sebesar Rp 104.922.988 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 61.575.571 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,7.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Model jaringan rantai pasok ikan tuna yang dihasilkan di TPI Sendangbiru, mulai dari hulu

sampai dengan hilir terdiri dari nelayan yang beranggotakan nakhoda dan ABK yang berjumlah 6-8 oarang, anggota lelang yang telah terdaftar keanggotaannnya di KUD Minajaya, firm/perusahaan untuk mengekspor tuna fillet yang berada diluar kota yaitu Surabaya dan Bali konsumen.

2. Empat komponen yang ditemukan pada biaya transaksi nelayan dan anggota lelang yaitu: 1) biaya negosiasi dalam satu tahun rata-rata yang harus dikeluarkan oleh nelayan adalah sebesar Rp 7.158.533 sementara untuk anggota lelang sebesar Rp 4.507.380. 2) biaya pencarian informasi satu tahun rata-rata nelayan harus mengeluarkan sebesar Rp 150.000. sedangkan anggota lelang sebesar Rp 157.500 3) biaya waktu tunggu pada nelayan rata-rata sebesar Rp 520.667 dan anggota lelang sebesar Rp 497.820. 4) Biaya penegakan kontrol pada nelayan rata-rata mengeluarkan sebesar Rp 5.966.600 sementara untuk anggota lelang mengeluarkan rata–rata sebesar Rp 5.145.780

3. Hasil efisiensi usaha di jaringan rantai pasok ikan tuna dihasilkan di TPI Sendangbiru pada nelayan rata-rata sebesar 1,52. Sedangkan yang paling efisien adalah kelompok nelayan sumber urip. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan Kelompok Nelayan Sumber Urip sebesar Rp 92.173.638 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 53.445.045 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,72. Sedangkan Hasil efisiensi usaha di jaringan rantai pasok ikan tuna dihasilkan di TPI Sendangbiru pada anggota lelang rata-rata sebesar 1,74. Efisiensi ini didapatkan dari total penerimaan P. Sudarsono sebesar Rp 111.350.380 yang dibagi dengan total biaya sebesar Rp 60.964.692 sehingga menghasilkan nilai R/C ratio sebesar 1,84. Dimana hasil tersebut >1. Artinya analisis R/C Ratio baik untuk nelayan maupun anggota lelang > 1, sehingga keduanya dapat dikategorikan efisien.

Saran Biaya transaksi yang terjadi sepanjang alur rantai pasok pada ikan tuna dihasilkan di

TPI Sendangbiru sulit dihindari dan terjadi dimana-mana. Dilihat pada rasio biaya transaksi dan penerimaan serta rasio biaya transaksi dengan biaya total. Dimana biaya transaksi merupakan komponen yang menyebabkan terjadinya inefisiensi pada usaha nelayan. Salah satu upaya yang

556 JEPA, 3 (3), 2019: 547-556

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dapat dilakukan nelayan yaitu dengan membuka akses informasi pasar bagi nelayan dan membangun Fishers/Farmers Controlled Enterprise. Saran untuk pihak penyelenggara pelelangan ikan di TPI Pondok Dadap hendaknya meningkatkan kinerja dengan melakukan penyediaan fasilitas dalam kondisi yang baik secara rutin, serta peningkatan aktivitas dengan pelaksanaan lelang yang teratur. Dan pihak TPI harus lebih tegas dalam menegakkan aturan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA Dinas Perikanan Kabupaten Malang. 2016. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan

dan Subsektor di Kabupaten Malang Jaya, Made Mahendra; Wiryawan, Budy dan Simbolon, Domu. (2017). Keberlanjutan Perikanan

Tuna di Perairan Sendangbiru Kabupaten Malang. ALBACORE, Vol I, No 1, 111-125. Miles dan Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta. UI-Press. Rahardjo Mujia. (2010). Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif. Jakarta: UIN-Press Sumadhiharga OK. (2009). Ikan Tuna. Pusat Penelitian Oceanografi. Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 557-567

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.11

PENGUKURAN TINGKAT KEPUASAN PETERNAK DALAM PELAYANAN INSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN ANALISIS CUSTOMER SATISFACTION

INDEX (CSI) DAN IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS (IPA)

THE MEASUREMENT OF FARMER SATISFACTION LEVELS IN INSEMINATION SERVICES USING CUSTOMER SATISFACTION INDEX (CSI)

AND IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS (IPA)

Isna Sa’adah*, Mukson , Yon Soepri Ondho Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang

*Penulis korepondensi : [email protected]

ABSTRACT Increasing the population and community welfare have an impact on increasing demand for food, one of them is meat. Artificial Insemination (IB) is an effort to implement appropriate technology become main choice for increasing livestock population. The purpose of this study is to analyze the level of satisfaction of farmers in IB services in Jepara Regency. The study was conducted in three districts in Jepara Regency (Donorojo District, Bangsri District and Pakis Aji District). The research method uses the survey method. The data collection was conducted through interviews with farmers using questionnaires 150 respondents. The Analysis of the Customer Satisfaction Index (CSI) is used to determine the level of satisfaction of farmers, while Importance Performance Analysis (IPA) is used to determine the extent which the attributes measured affect satisfaction or dissatisfaction. The CSI results were 74.57%, the value indicated that farmers were satisfied with the IB service. The main priority whose performance must be improved is based on the results of the IPA analysis, namely sevice per conception attributes, the officers speed in fulfilling the farmer's call, consistency regarding IB fees, and post-IB pregnancy examinations. Keywords : Artificial insemination, Customer Satisfaction Index, Importance

Performance Analysis, and farmer satisfaction.

ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat berdampak pada peningkatan permintaan kebutuhan pangan salah satunya adalah daging. Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang menjadi pilihan utama untuk peningkatan populasi ternak.Tujuan penelitian adalah menganalisis tingkat kepuasan peternak dalam pelayanan IB di Kabupaten Jepara. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Jepara (Kecamatan Donorojo, Kecamatan Bangsri dan Kecamatan Pakis Aji). Metode penelitian menggunakan metode survai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan peternak menggunakan kuesioner kepada 150 orang responden. Analisis Customer Satisfaction Index (CSI) digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan peternak, sedangkan Importance Performance Analysis (IPA) digunakan untuk mengetahui sejauh mana atribut-atribut yang diukur mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan. Hasil CSI sebesar 74,57% nilai tersebut menunjukkan bahwa peternak puas dengan pelayanan IB. Prioritas utama yang kinerjanya harus ditingkatkan berdasarkan hasil analisis IPA yaitu atribut tingkat kebuntingan (service per

558 JEPA, 3 (3), 2019: 557-567

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

conception), kecepatan petugas memenuhi panggilan peternak, konsistensi mengenai biaya IB, dan pemeriksaan kebuntingan pasca IB. �

Kata kunci : Inseminasi Buatan, Customer Satisfaction Index , Importance Performance Analysis, dan kepuasan peternak.

PENDAHULUAN

Permintaan daging khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (2016), kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia mencapai 639.000 ton pada tahun 2015. Angka ini naik sekitar 8% dari kebutuhan tahun 2014 yaitu 590.000 ton dan 529.000 ton pada tahun 2013.

Pelaksanaan kegiatan IB merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama yang bertujuan meningkatan populasi dan mutu genetik ternak. Melalui kegiatan ini, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan biaya murah, mudah dan cepat, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bagi para peternak.

Kabupaten Jepara merupakan wilayah pelayanan IB swadaya dengan realisasi pelayanan IB rata-rata 12.000 dosis pertahun dengan angka Service per Conception (S/C) 2,0 pada tahun 2016 dan 1,9 pada tahun 2017 (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Jepara, 2017). Teknologi inseminasi saat ini sudah dikenal dengan baik oleh peternak di Jepara, hal tersebut dapat dilihat dari naiknya jumlah akseptor setiap tahun.

Pelayanan IB adalah bentuk pelayanan jasa, sehingga kepuasan pelayanan IB tergantung kualitas pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono 2008). Sedangkan menurut (Wijaya 2011) kualitas layanan adalah ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Kepuasan penting digunakan untuk mengevaluasi kinerja pelayanan dan meningkatkan daya saing (Ferreira and Fernandes 2015). Setelah menggunakan produk atau jasa konsumen akan merasakan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap produk atau jasa (Sumarwan, 2011). Kotler, (1995) menandaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dibaandingkan dengan harapannya. Engel et al.,(1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan.

Empat faktor utama yang mendukung keberhasilan Inseminasi Buatan di tingkat lapangan yaitu ketrampilan petugas, kemampuan deteksi birahi oleh peternak, ada tidaknya penyakit gangguan reproduksi dan kualitas semen beku. Peran pemerintah dan stakeholder lain sangat diperlukan dalam upaya mendukung keberhasilan pelayanan IB. Pemerintah sebagai lembaga birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebaliknya masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan. Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat kepuasan peternak mengenai pelayanan IB di Kabupaten Jepara.

Isna Sa’adah – Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak Dalam Pelayanan Inseminasi ...................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

559

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dengan wawancara dan penyebaran quesioner. Pengumpulan data sekunder dengan studi kepustakaan dan studi dokumentasi antara lain data mengenai gambaran umum pelayanan IB di Kabupaten Jepara, data realisasi IB dan angka service per conception (s/c).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan sampel purposive sampling dengan pertimbangan memiliki sapi betina dan menggunakan jasa Inseminasi Buatan. Pengambilan jumlah sampel ditentukan sebanyak 150 agar jumlah sampel sesuai dengan yang direkomendasikan dan cukup representatif untuk penelitian. Menurut Hair et al., (1995), ukuran sampel yang dibutuhkan untuk data multivariat adalah antara 100-200 sampel, atau bila menggunakan estimasi maksimum likelihood jumlah sampelnya sebesar 5 – 10 kali variabel indikator.

Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu pernyataan mengenai tingkat kepentingan (harapan) dan tingkat kinerja (kenyataan) dari atribut-atribut yang diukur dengan skala likert 1 (satu) sampai dengan 5 (lima). Sugiyono (2012) menerangkan bahwa skala likert digunakan untuk mengukur sikap atau pendapat seseorang atau sejumlah kelompok terhadap sebuah fenomena sosial dimana jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif.

Teknik analisis data untuk menganalisis tingkat kepuasan peternak terhadap kualitas pelayanan IB menggunakan rumus Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance Performance Analysis (IPA). Customer Satisfaction Index (CSI) digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan peternak secara keseluruhan mengenai kualitas pelayanan IB, sedangkan Importance Performance Analysis (IPA) digunakan untuk menjelaskan sampai sejauh mana tingkat kinerja kualitas pelayanan IB.

Tabel 1. Ilustrasi perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI)

Atribut Kepentingan ( I) Kinerja ( P ) Skor ( S)

Skala 1-5 Skala 1-5 S = (I) x (P) A - - - B - - - C - - - dst Skor Total Total ( I ) = (Y) Total (S) = (T)

Perhitungan keseluruhan CSI menurut Bhote (1996) diilustrasikan pada Tabel 1. Nilai

rata-rata pada kolom kepentingan (I) dijumlahkan sehingga diperoleh Y dan juga hasil kali I dengan P pada kolom skor (S) dijumlahkan dan diperoleh T. CSI diperoleh dari perhitungan (T/5Y) x 100%. Nilai 5 (pada 5Y) adalah nilai maksimum yang digunakan pada skala pengukuran. CSI dihitung dengan rumus:

CSI = "

#$ X 100% Dimana : CSI : Customer Satisfaction Index

560 JEPA, 3 (3), 2019: 557-567

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

T : Total skor tingkat kepentingan dikalikan skor tingkat kenyataan 5 : Skala pengukuran Y : Total skor tingkat kepentingan/harapan Penentuan kriteria hasil CSI berdasarkan tabel dibawah ini: Tabel 2. Kriteria Nilai CSI

No Nilai CSI Kriteria 1 X > 0,81 Sangat Puas 2 0,66 – 0,80 Puas 3 0,51 – 0,65 Cukup Puas 4 0,35 – 0,50 Kurang puas 5 0,00 – 0,34 Tidak Puas

Sumber : Aritonang, 2005 Importance Performance Analysis (IPA) mengaitkan antara tingkat kepentingan (importance) suatu atribut yang dimiliki obyek tertentu dengan kenyataan (performance) yang dirasakan oleh pengguna. Langkah pertama untuk analisis IPA adalah menghitung rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan untuk setiap item dari atribut dengan rumus ;

%&' = ∑ )*+*,-. /&' =

∑ 0*+*,-.

Dengan %&' = Bobot rata-rata tingkat kinerja item ke-i /&' = Bobot rata-rata tingkat kepentingan item ke-i n = Jumlah responden/sampel Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kinerja untuk keseluruhan item dengan rumus:

1&2 =∑ %3454678 :&2 =

∑ /3454678

Dimana : 1&2 = Nilai rata-rata kinerja item :&2 = Nilai rata-rata kepentingan 8 = jumlah item yang mempengaruhi kepuasan pelayanan IB

Setelah mendapatkan nilai rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari masing-

masing atribut kepuasan pelayanan IB, langkah selanjutnya adalah mencari kinerja rata-rata atribut kepuasan pelayanan IB secara keseluruhan kemudian memplotkan nilai-nilai tersebut kedalam diagram kartesius.

Diagram kartesius adalah sistem kordinat yang digunakan untuk meletakan titik pada penggambaran objek berdasarkan pemasukan nilai tuas sumbu x dan nilai tuas sumbu y dimana titik pertemuan ini nilai sumbu x dan sumbu y adalah titik kordinat dibentuk. Diagram kartesius digunakan untuk memetakan atribut-atribut kualitas jasa pelayanan IB dan ketersediaan sarana yang telah dianalisis. (Gambar 1).

Diagram Importance-Performance Analysis (IPA) terdiri dari empat kuadran, yaitu: 1) Kuadran I, wilayah yang memuat item-item dengan tingkat kepentingan yang relatif tinggi tetapi kenyataannya belum sesuai dengan harapan pengguna. Item-item yang masuk kuadran ini harus segera ditingkatkan kinerjanya.

Isna Sa’adah – Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak Dalam Pelayanan Inseminasi ...................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

561

Gambar 1. Pembagian Kuadran Importance-Performance Analysis (Sumber : Rangkuti, 2003).

2) Kuadran III, wilayah yang memuat item-item dengan tingkat kepentingan yang relatif rendah dan kenyataan kinerjanya tidak terlalu istimewa dengan tingkat kepuasan yang relatif rendah. Item yang masuk kuadran ini memberikan pengaruh sangat kecil terhadap manfaat yang dirasakan oleh pengguna. 3) Kuadran IV, wilayah yang memuat item-item dengan tingkat kepentingan yang relatif rendah dan dirasakan oleh pengguna terlalu berlebihan dengan tingkat kepuasan yang relatif tinggi. Biaya yang digunakan untuk menunjang item yang masuk kuadran ini dapat dikurangi agar dapat menghemat biaya pengeluaran. (Rangkuti, 2003)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pelayanan IB di Kabupaten Jepara

Upaya Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi lokal serta produksi peternakan adalah dengan Inseminasi Buatan (IB). Jumlah inseminator di Kabupaten Jepara sebanyak 25 orang tersebar di 15 Kecamatan, sedangkan kecamatan Karimunjawa belum memiliki petugas inseminator sehingga peternak mengandalkan kawin alam yang tingkat produktivitasnya rendah karena dipengaruhi oleh kualitas pakan dan pola pemeliharan.

Realisasi pelayanan IB di Kabupaten Jepara terus mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Data Realisasi pelayanan IB tahun 2015 sebanyak 9.400 dosis dan meningkat menjadi 12.926 dosis pada tahun 2016 dan mencapai 18.656 dosis pada tahun 2017. Peningkatan pelayanan IB di Kabupaten Jepara antara lain disebabkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan peternak tentang IB, keberhasilan sosialisasi oleh petugas IB, dan penambahan petugas IB oleh dinas terkait sehingga memperluas jangkauan wilayah pelayanan. Evaluasi terhadap keberhasilan IB dapat dilakukan dengan menghitung nilai Service per Conception (S/C). S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadi kebuntingan. Nilai S/C Kabupaten Jepara sebesar 1,9 pada tahun 2017. Nilai S/C yang normal antara 1,6-2 (Toelihere,1981).

Kep

entin

gan Kuadran I

(Prioritas Utama)

Kuadran II (Pertahankan

prestasi)

Kuadran III (Prioritas Rendah)

Kuadran IV (Berlebihan)

%; Kinerja

562 JEPA, 3 (3), 2019: 557-567

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Hasil Analisis CSI ( Customer Satisfaction Index) dan IPA ( Importance Performance Analysis)

Analisis CSI digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat kepuasan peternak secara menyeluruh dengan memperhatikan tingkat kepentingan/harapan dan kinerja dari atribut-atribut jasa yang diukur (Tabel 3).

Tabel 3. Atribut Kualitas Pelayanan dan Item-item Yang Diukur.

No Atribut Pernyataan 1 Bukti Fisik 1 Daya tahan terhadap penyakit 2 Pertumbuhan ternak 3 Tingkat kebuntingan 4 Tingkat kelahiran 5 Peningkatan pendapatan peternak 6 Kebersihan kantor/tempat pelayanan 7 Kerapihan petugas 2 Kehandalan 8 Ketepatan deteksi birahi oleh Inseminator 9 Inseminator menyediakan bIBit semen beku sesuai pilihan

peternak 10 Konsistensi mengenai biaya IB 11 Inseminator menepati janji jadwal pelayanan IB 12 Pemberian kartu IB 3 Daya tanggap 13 Petugas segera datang 14 Petugas bertanya mengenai waktu birahi 15 Kejelasan penyampaian informasi 4 Jaminan 16 Ketrampilan melakukan IB 17 Penggunaan air hangat saat thawing 18 Pemeriksaan kebuntingan 19 Kebersihan peralatan 20 Ketrampilan menenangkan ternak 21 Keramahan petugas 22 Penguasaan pengetahuan 5 Perhatian 23 Perhatian secara individu kepada peternak 24 Inseminator tidak membedakan status sosial peternak 25 Inseminator menanggapi setiap keluhan 26 Pemberian bantuan/fasilitasi 6 Ketersediaan sarana 27 Ketersediaan straw jenis PO Prasarana 28 Ketersediaan straw jenis merah (Simental, limousine,) 29 Penggunaan pakaian lapangan 30 Penggunaan sepatu booth 31 Ketersediaan straw jantan 32 Ketersediaan straw betina 33 Penggunaan glove 34 Penggunaan termos

Isna Sa’adah – Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak Dalam Pelayanan Inseminasi ...................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

563

Tabel 4. Hasil Perhitungan Customer Satisfaction Index

No Atribut Kepentingan ( I) Skala 1-5

Kinerja ( P) Skala 1-5

Skor ( S)= ( I) x (P)

1 Daya tahan terhadap penyakit 3,873 3,760 14,564 2 Pertumbuhan ternak 3,840 4,167 16,000 3 Tingkat kebuntingan 3,840 3,473 13,338 4 Tingkat kelahiran 3,940 3,783 14,919 5 Peningkatan pendapatan 4,193 4,053 16,997 6 Kebersihan kantor/tempat pelayanan 3,333 3,787 12,622 7 Kerapihan petugas 2,440 3,947 9,630 8 Ketepatan deteksi birahi oleh

Inseminator 3,887 4,037 15,832 9 Inseminator menyediakan bIBit

semen beku sesuai pilihan peternak 4,093 4,213 17,247 10 Konsistensi mengenai biaya IB 3,880 2,493 9,674 11 Inseminator menepati janji jadwal

pelayanan IB 3,973 4,000 15,893 12 Pemberian kartu IB 3,627 3,007 10,904 13 Petugas segera datang 4,073 2,553 10,401 14 Petugas bertanya mengenai waktu

birahi 3,747 4,073 15,261 15 Kejelasan penyampaian informasi 3,473 4,213 14,634 16 Ketrampilan melakukan IB 4,187 3,873 16,216 17 Penggunaan air hangat 3,600 3,420 12,312 18 Pemeriksaan kebuntingan 3,713 2,380 8,838 19 Kebersihan peralatan 4,000 4,180 16,720 20 Ketrampilan menenangkan ternak 4,040 4,007 16,187 21 Keramahan 3,020 4,060 12,261 22 Penguasaan pengetahuan 3,927 3,953 15,261 23 Perhatian secara individu kepada

peternak 2,487 4,007 9,963 24 Inseminator tidak membedakan

status sosial peternak 2,633 4,003 10,621 25 Inseminator menanggapi setiap

keluhan 3,427 3,933 13,478 26 Pemberian bantuan/fasilitasi 3,800 3,880 14,744 27 Ketersediaan straw jenis PO 4,067 4,040 16,429 28 Ketersediaan straw jenis merah

(Simental, limousine,) 4,033 4,047 16,322 29 Penggunaan pakaian lapangan 3,800 4,040 15,352 30 Penggunaan sepatu booth 3,313 3,160 10,470 31 Ketersediaan straw jantan 3,187 3,080 9,815 32 Ketersediaan straw betina 3,493 3,087 10,783 33 Penggunaan glove 4,040 4,013 16,214 34 Penggunaan termos 3,933 4,027 15,838

Rata-rata 3,674 3,730

Total Total ( I ) = (Y) 124,912 Total (S) = (T) 465,760

564 JEPA, 3 (3), 2019: 557-567

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Customer Satisfaction Index = <#=$ 1100 @A#,CAD

#=7E@,F7E 1100 = 0,7457 atau 74,57%

Hasil perhitungan CSI diperoleh angka sebesar 0,7457 , hal ini menggambarkan peternak

di Kabupaten Jepara puas dengan pelayanan IB, menurut Aritonang (2005) nilai CSI 0,66 – 0,88 termasuk kategori puas (Tabel 5). Interpretasi nilai tingkat kepuasan adakah tidak kurang dari 68% artinya jika nilai CSI dibawah 68% berarti terjadi ketidakpuasan sedangkan nilai CSI diatas 68% berarti pelanggan puas (Yanova 2015). Untuk melihat lebih dalam atribut apa saja yang memberi nilai kepuasan dan atribut apa saja yang dianggap tidak memuaskan maka dilakukan analisis Importance Performance Analysis (IPA).

Tabel 5. Kriteria Nilai CSI

No Nilai CSI Kriteria 1 X > 0,81 Sangat Puas 2 0,66 – 0,80 Puas 3 0,51 – 0,65 Cukup Puas 4 0,35 – 0,50 Kurang puas 5 0,00 – 0,34 Tidak Puas

Sumber : Aritonang, 2005 Importance-Performance Analysis (IPA), merupakan alat bantu dalam menganalisis yang

digunakan untuk membandingkan sampai sejauh mana antara kinerja/ pelayanan yang dapat dirasakan oleh pengguna jasa dibandingkan terhadap tingkat kepuasan yang diinginkan. Hasil Analisis IPA dapat digunakan untuk memperbaiki strategi perusahaan sehingga upaya tersebut lebih efektif (Mohebifar et al., 2016). Langkah pertama untuk analisis IPA adalah menghitung rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan untuk setiap item. Nilai rata setiap atribut dari tingkat kepentingan dan kinerja seperti yang terera pada Tabel 4 yaitu pada kolom kepentingan (I) dan kolom kinerja (P). Setelah memperoleh nilai rata-rata masing atribut selanjutnya adalah menghitung nilai rata-rata keseluruhan tingkat kepentingan dan tingkat kinerja. Pembuatan diagram kartesius pada analisis IPA ini menggunakan softwer SPSS. Hasil analisi IPA di sajikan dalam Gambar 2. Pada gambar tersebut dapat dilihat atribut-atribut yang masuk ke dalam kuadran I, II, III dan IV.

Pernyataan yang masuk kuadran I adalah atribut tingkat kebuntingan, respon cepat petugas terhadap panggilan peternak, konsistensi mengenai biaya IB, dan pemeriksaan kebuntingan setelah IB. Atribut yang masuk kuadaran ini dianggap oleh peternak memiliki tingkat kepentingan yang relatif tinggi tetapi dinilai memiliki kinerja yang relatif rendah. Petugas harus segera melakukan perbaikan sehingga kinerja atribut yang ada dalam kuadran ini akan meningkat.

Atribut yang masuk pada kuadran II adalah atribut ternak hasil IB lebih tahan terhadap penyakit, ternak hasil IB tumbuh lebih cepat, ternak hasil IB lahir dengan selamat, ketepatan deteksi birahi oleh Inseminator, inseminator menyediakan bibit semen beku sesuai pilihan peternak, inseminator menepati janji jadwal pelayanan IB, inseminator bertanya mengenai waktu dan ciri-ciri birahi pada petrernak, ketrampilan inseminator saat melakukan IB, inseminator mencuci peralatan IB sebelum digunakan, penggunaan air hangat, penguasaan pengetahuan inseminator mengenai IB, Pemberian bantuan/fasilitasi IB, ketersediaan straw jenis PO, ketersediaan straw jenis merah (Simental, limousin,), penggunaan pakaian lapangan khusus

Isna Sa’adah – Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak Dalam Pelayanan Inseminasi ...................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

565

oleh petugas, penggunaan glove (sarung tangan plastic) oleh petugas saat melakukan IB, dan penggunaan termos khusus penyimpan straw oleh petugas saat melakukan IB. Atribut-atribut ini harus tetap dipertahankan karena merupakan suatu keunggulan yang dimiliki petugas dimata peternak.

Gambar 2. Diagram hasil Importance-Performance Analysis

Atribut yang masuk pada kuadran III adalah pemberian kartu / catatan riwayat pelayanan IB, ketrampilan inseminator menenangkan ternak, penggunaan sepatu booth oleh petugas, ketersediaan straw jantan, dan ketersediaan straw betina. Atribut ini memiliki tingkat kepentingan yang relatif rendah dan pada kenyataannya tingkat kepuasan yang dirasakan peternak juga relatif rendah.

Atribut yang masuk pada kuadran IV adalah kebersihan tempat pelayanan, kerapihan petugas saat melakukan pelayanan, kejelasan penyampaian informasi oleh inseminator, keramahan inseminator saat melakukan pelayanan, perhatian secara individu oleh petugas kepada peternak, inseminator tidak membedakan status sosial peternak, dan inseminator menanggapi setiap keluhan. Atribut yang masuk kuadran ini dianggap peternak memiliki tingkat kepentingan yang relatif rendah tetapi memberikan tingkat kepuasan yang relatif tinggi. Apabila atribut yang berada di kuadran ini dalam pelaksanaannya mengeluarkan biaya, sebaiknya ada pengalihan biaya dari atribut yang berada di kuadran ini ke atribut yang terdapat pada kuadran I. Peningkatan kinerja pada atribut-atribut ini hanya akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumberdaya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis CSI, tingkat kepuasan peternak di Kabupaten Jepara terhadap

pelayanan IB sebesar 74,57% termasuk dalam kategori puas, hal ini berarti bahwa pelayanan IB yang diberikan oleh petugas secara keseluruhan dianggap peternak memberikan kinerja diatas harapan.

2. Berdasarkan hasil analisis IPA atribut prioritas yang harus ditingkatkan kinerjanya adalah tingkat kebuntingan, respon petugas terhadap panggilan peternak, konsistensi mengenai

Kuadran I (Prioritas utama)

Kuadran II (Pertahankan

prestasi)

Kuadran III (prioritas rendah)

Kuadran IV (Berlebihan)

566 JEPA, 3 (3), 2019: 557-567

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

biaya IB, dan pemeriksaan kebuntingan pasca IB, karena atribut ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun kinerjanya masih rendah.

3. Atribut yang masuk dalam kuadran II harus dipertahankan karena merupakan suatu keunggulan yang dimiliki petugas dimata peternak dan memberikan tingkat kepuasan bagi peternak.

Saran 1. Upaya meningkatkan kepuasan peternak dalam pelayanan IB dapat dilakukan dengan cara

meningkatkan kualitas pelayanannya, dan pemenuhan sarana-prasarana pelayanan IB. 2. Perlu upaya menurunkan angka S/C karena peternak tidak puas dengan tingkat kebuntingan

saat ini. Untuk meningkatkan tingkat kebuntingan, perlu adanya peningkatan kompetensi petugas IB melalui pelatihan teknis, perbaikan kondisi reproduksi ternak untuk menunjang keberhasilan IB, peningkatan kemampuan peternak dalam mendeteksi birahi melalui sosialisasi maupun pelatihan, dan tetap menjaga kualitas straw agar dalam kondisi baik.

3. Perlu adanya regulasi yang mengatur tentang besaran biaya IB karena selama ini besarnya biaya yang dikeluarkan peternak sangat variatif dan berdasarkan kesepakatan.

4. Pemeriksaan kebuntingan sebaiknya dilakukan untuk setiap ternak setelah dilakukan IB, sehingga dapat dilakukan evaluasi mengenai keberhasilan IB dengan lebih tepat.

5. Pembagian jumlah petugas IB dalam wilayah kerja sebaiknya memperhatikan jumlah akseptor dan luas wilayah agar asas pemerataan pelayanan pada masyarakat dapat terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA Aritonang, R.L. 2005. Kepuasan Pelanggan. Gramedia. Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Statistik Indonesia 2016 Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. Jepara Dalam Angka 2016. Bhote, K. R. 1996. Beyond Customer Satisfaction to Customer Loyalty: The Key to Greater

Profitability. AMA Membership Publications Division, American Management Association, New York.

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Jepara. 2017. Laporan Bidang Peternakan. Engel, J.F., Blackwell, R.D., Winiard, P.W. 1990. Consumer Behaviour. 6th Ed, The Dryden

Press. Chicago. Ferreira, Hélder Pires, and Paula Odete Fernandes. 2015. Importance-Performance Analysis

Applied to a Laboratory Supplies and Equipment Company. Procedia Computer Science 64: 824–831.

Ghozali,I. 2017. Structural Equation Modelling. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Hair,J.F.,Anderson, R.E.,Tatham,R.L.,and Black, W.C. 1995. Multivariate Data Analysis with Readings, (4thEd), Prentice Hall: New Jersey

Kotler, P., dan K.L Keller. 1995.Manajemen Pemasaran Analisis Perencanaan dan Implementasi. Salemba Empat. Jakarta.

Mohebifar, Rafat, Hana Hasani, Ameneh Barikani, and Sima Rafiei. 2016. Evaluating Service Quality from Patients’ Perceptions: Application of Importance–performance Analysis Method. Osong Public Health and Research Perspectives 7 (4): 233–238.

Isna Sa’adah – Pengukuran Tingkat Kepuasan Peternak Dalam Pelayanan Inseminasi ...................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

567

Rangkuti, F. 2003. Measuring Customer Satisfaction: Teknik Mengukur & Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan & Analisis Kasus PLN JP. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung Sumarwan, U. 2011. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghalia

Indonesia. Bogor Tjiptono, F. 2008. Strategi Pemasaran. Edisi Ketiga. Penerbit Andi. Yogyakarta. Toelihere, M.R. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wijaya, T. 2011. Manajemen Kualitas Jasa. Edisi 1. PT Indeks, Jakarta. Yanova, Natalia. 2015. Assessment of Satisfaction with the Quality of Education: Customer

Satisfaction Index. Procedia - Social and Behavioral Sciences 182: 566–573.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 568-576

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.12

ANALISIS MARJIN PEMASARAN KERIPIK KETELA UNGU DI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR

ANALYSIS OF MARKETING MARGIN OF PURPLE SWEET POTATO CHIP IN

TAWANGMANGU DISTRICT, KARANGANYAR REGENCY

Indah Pratiwi*, Setyowati, Mei Tri Sundari Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp/Fax (0271) 637457 *Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This research aims to determine the parttern of marketing channels, the amount of marketing costs, marketing profits, marketing margins and farmer’s share in purple sweet potato chips in Tawangmangu District, Karanganyar Regency. The selection of the research location was done purposively. Respondent of producent was selected by census technique. Meanwhile the respondent of the marketing agents was selected by snowballing sampling method. The results showed shows that there are five kind of marketing channels in purple sweet potato chips in Tawangmangu District, Karanganyar Regency, ie (1) Producer-consumer, (2) Producer-wholesaler-consumer, (3) producer-wholesaler-retailer-consumer, (4) Producer-retailer-consumer, (5) Producer-marketing agents outside surakarta residency-consumer. The total marketing cost of marketing channel I Rp. 395, total marketing profit Rp. 1,788, and total marketing margin Rp. 2,183. The total marketing cost of marketing channel II Rp 1,107, total marketing profit Rp 1,562, and total marketing margin Rp 2,669. The total marketing cost of marketing channel III Rp. 4,479, total marketing profit Rp. 9,368, and total marketing margin Rp. 13,847. The total marketing cost of marketing channels IV Rp 2,611, total marketing profit Rp. 5,509, and total marketing margin Rp. 8,120. The Farmer’s share from marketing channel I, II, III, and IV were 85,44%, 82,05%, 6,86% dan 48,05%.

Keywords: Farmer’s share, Marketing channel, Marketing margin, Purple sweet potato chips

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, besarnya biaya pemasaran, keuntungan pemasaran, marjin pemasaran dan farmer’s share dari pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive. Pengambilan responde produsen dilakukan dengan cara sensus. Sedangkan untuk responden lembaga pemasaran dilakukan dengan metode snowballing sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima saluran pemasaran pada pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, yaitu (1) Produsen-konsumen, (2) Produsen-pedagang grosir-konsumen, (3) Produsen-pedagang grosir-pedagang pengecer-konsumen, (4) Produsen-pedagang pengecer-konsumen, (5) Produsen-pedagang diluar wilayah Karesidenan Surakarta-konsumen. Total biaya pemasaran saluran pemasaran I Rp 395, total keuntungan pemasaran Rp 1.788, dan total marjin pemasaran Rp 2.183. Total biaya pemasaran saluran pemasaran II Rp 1.107, total keuntungan pemasaran Rp 1.562, dan total marjin pemasaran Rp 2.669. Total biaya pemasaran saluran pemasaran III Rp 4.479, total keuntungan pemasaran Rp 9.368, dan total marjin pemasaran Rp 13.847. Total biaya pemasaran saluran pemasaran IV Rp 2.611, total keuntungan pemasaran Rp 5.509, dan total

Indah Pratiwi – Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu ...................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

569

marjin pemasaran Rp 8.120. Farmer’s Share dari saluran pemasaran I, II, III dan IV secara berurutan adalah sebesar 85,44%, 82,05%, 6,86% dan 48,05%.

Kata kunci: Farmer’s share, keripik ketela ungu, marjin pemasaran, saluran pemasaran

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang penting bagi penduduk Indonesia yang dimana sebagian besar dari penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani (Sakernas, 2017). Sektor pertanian memiliki peranan yang penting karena menghasilkan bahan pangan yang menjadi salah satu kebutuhan primer manusia. Hasil pertanian yang melimpah mendorong penduduk Indonesia untuk mengelola hasil-hasil pertanian agar menjadi berbagai bentuk produk olahan sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Ketela rambat (Ipomea batatas) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki prospek cerah kedepannya, karena disamping dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, ketela rambat juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan industri. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya Irian Jaya dan Maluku menggunakan ketela rambat sebagai makanan pokok sehingga di daerah tersebut ketela rambat memiliki pangsa pasar yang baik. Demikian pula di beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, Taiwan dan Korea, pangsa pasar bagi ketela rambat juga sangat baik. Di negara-negara maju, ketela rambat telah diproses menjadi berbagai bentuk produk olahan makanan yang lebih sempurna sehingga dapat meningkatan harga dari ketela rambat tersebut menjadi lebih tinggi lagi (Dede dan Bambang, 2000).

Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah, hampir seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah membudidayakan ketela rambat. Kabupaten Karanganyar merupakan Kabupaten dengan jumlah produksi ketela rambat tertinggi di Provinsi Jawa Tengah, meskipun luas lahan panen yang dimiliki tidak menduduki luas lahan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan Kabupaten Karanganyar terletak pada ketinggian rata-rata 511 mdpl yang beriklim tropis dengan temperatur 22-310C serta memiliki tanah yang subur dan mengandung humus yang cukup (BPS, 2017). Sedangka menurut Rukmana (1997), daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ketela rambat adalah daerah bersuhu 21-270C. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Karanganyar merupakan daerah yang cocok untuk membudidayakan ketela rambat.

Kecamatan Tawangmangu merupakan Kecamatan yang termasuk kedalam 3 Kecamatan dengan jumlah produksi ketela rambat terbesar di Kabupaten Karanganyar, bersamaan dengan Kecamatan Matesih dan Kecamatan Jumantono. Melimpahnya bahan baku ketela rambat di Kabupaten Karanganyar membuka peluang usaha bagi para pengusaha di bidang agroindustri, khususnya di bidang pengolahan makanan yang dimana pengusaha agroindustri tersebut menciptakan nilai tambah bagi komoditas ketela rambat. Kecamatan Tawangmangu merupakan Kecamatan dengan jumlah industri keripik ketela ungu skala kecil terbanyak di Kabupaten Karangnyar. Kondisi tersebut menjadikan Kecamatan Tawangmangu menjadi sentra industri keripik ketela ungu. Menurut Kimbal (2015), sentra industri adalah kelompok jenis industri yang dari segi satuan usaha mempunyai skala kecil, tetapi membentuk satuan pengelompokkan atau kawasan industri yang terdiri dari kumpulan unit-unit yang menghasilkan barang sejenis.

Industri keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu memiliki prospek pasar yang baik, dikarenakan Kecamatan Tawangmangu merupakan kawasan wisata yang sudah cukup

570 JEPA, 3 (3), 2019: 568-576

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dikenal oleh masyarakat luas, sehingga membuat keripik ketela ungu dapat menjadi oleh-oleh khas daerah Tawangmangu. Selain itu, keripik ketela ungu juga sudah dipasarkan ke kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti wilayah Karesidenan Surakarta. Pemasaran merupakan aspek yang penting dalam pengembangan industri keripik ketela ungu. Terlebih lagi dikarenakan konsumen akhir dari keripik ketela ungu yang bukan hanya warga lokal maupun wisatawan yang datang ke Kecamatan Tawangmangu, tetapi sudah tersebar di beberapa Kota di Pulau Jawa, khususnya wilayah Karesidenan Surakarta. Oleh karena itu, untuk sampai ke tanggan konsumen akhir diperlukan saluran pemasaran yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola saluran pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, mengetahui berapa besar biaya pemasaran, keuntungan pemasaran dan marjin pemasaran pada pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui berapa besarnya farmer’s share pada pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

METODE PENELITIAN

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analytical description. Penentuan lokasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Karanganya, Kecamatan Tawangmangu termasuk kedalam 3 Kecamatan dengan jumlah produksi ketela rambat terbesar dan merupakan Kecamatan dengan jumlah industri keripik ketela ungu skala kecil terbanyak di Kabupaten Karanganyar. Metode penentuan produsen keripik ketela ungu dilakukan dengan cara sensus langsung di daerah yang menjadi tempat penelitian. Sedangkan metode penentuan lembaga pemasaran dilakukan dengan metode snowballing sampling. Menurut Umar (2002), snowballing sampling merupakan metode dengan teknik penentuan sample yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini akan menentukan responden lain yang akan dijadikan sampel lagi, begitu seterusnya hingga jumlah sampel menjadi semakin banyak hingga informasi yang didapatakan sudah dinilai telah cukup.

Untuk mengetahui besarnya biaya pemasaran, keuntungan pemasaran, marjin pemasaran dan farmer’s share digunakan analisis biaya pemasaran, keuntungan pemasaran, marjin pemasaran dan farmer’s share pada tiap lembaga pemasaran pada berbagai saluran pemasaran.

Besarnya biaya pemasaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Bp = Bp1 + Bp2 + Bp3 +...+ BPn Dimana Bp adalah biaya pemasaran, Bp1,2,3,...,n adalah biaya pemasaran tiap lembaga

pemasaran, dan 1,2,3,...,n adalah jumlah lembaga pemasaran. Besarnya keuntungan pemasaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut: Kp = Kp1 + Kp2 + Kp3 +...+ KPn Dimana Kp adalah keuntungan pemasaran, Kp1,2,3,...,n adalah keuntungan pemasaran tiap

lembaga pemasaran dan 1,2,3,...,n adalah jumlah lembaga pemasaran. Marjin pemasaran (marketing margin) adalah harga yang dibiayai oleh konsumen

dikurangi harga yang diterima oleh produsen (Hanafie, 2010). Besarnya marjin pemasaran dapat diperoleh dari persamaan sebagai berikut:

Indah Pratiwi – Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu ...................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

571

MP = Pr – Pf Dimana MP adalah marjin pemasaran, Pr adalah harga di tingkat konsumen dan Pf adalah

harga di tingkat produsen. Marjin yang diperoleh pedagang perantara dari sejumlah biaya pemasaran yang

dikeluarkan dan keuntungan yang diterima oleh pedagang perantara dapat dirumuskan sebagai berikut:

MP = Bp + Kp Dimana MP adalah marjin pemasaran, Bp adalah biaya pemasaran dan Kp adalah

keuntungan pemasaran. Untuk menghitung presentase marjin pemasaran dapat diperoleh dari persamaan sebagai

berikut:

MP = !"#$"%"% & '100%

Dimana MP adalah marjin pemasaran (%), Pr adalah harga di tingkat konsumen dan Pf adalah harga di tingkat produsen.

Untuk mengetahui berapa bagian yang diterima produsen (farmer’s share) dapat digunakan rumus sebagai berikut:

F = !1 − "#$"%"% & '100%

Dimana F adalah bagian yang diterima produsen, Pr adalah harga di tingkat konsumen dan Pf adalah harga di tingkat produsen.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Saluran Pemasaran

Saluran pemasaran adalah organisasi-organisasi yang terkait satu sama lain dan terlibat dalam penyaluran produk sejak dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Organisasi yang dimaksud bisa berupa pengecer, grosir, agen dan distributor fisik. Saluran pemasaran bisa terjadi secara sederhana, tetapi juga bisa memiliki beberapa tingkatan (Simamora, 2001). Dalam memperlancar pemasaran keripik ketela ungu dari produsen sampai ke konsumen, maka diperlukan adanya lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran ini merupakan perantara sehingga fungsi-fungsi pemasaran dapat terlaksana dengan baik. Dalam penelitian ini lembaga pemasaran yang terlibat dalam penyaluran keripik ketela ungu dari produsen sampai ke tangan konsumen antara lain: a. Pedagang Besar/Grosir

Pedagang besar/grosir merupakan pedagang yang menjalankan dua peran, yaitu membeli produk dari produsen dan menjualnya kembali ke pedagang lain (Griffin dan Ebert, 2006). Dalam penelitian ini terdapat 11 pedagang besar/grosir yang tersebar di wilayah Karesidenan Surakarta. Pedagang besar/grosir ini mendapatkan produk keripik ketela ungu langsung dari produsen yang ada di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Biasanya pedagang besar/grosir meminta produsen untuk mengemas produk dalam kemasan 2,5 kg, 4,5 kg, atau 5 kg. Dalam pemasarannya, biasanya pedagang besar/grosir tidak mengubah bentuk kemasan produk keripik ketela ungu. Sehingga pedagang besar/grosir menjualnya kembali dengan kemasan yang sama dengan

572 JEPA, 3 (3), 2019: 568-576

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

kemasan yang dikirim oleh produsen keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

b. Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah pedagang yang melakukan kegiatan usaha menjual barang

yang sebelumnya di beli dari pedagang besar/grosir atau produsen kepada konsumen akhir untuk keperluan non bisnis (Swasta dalam Khaswarina et al., 2014). Dalam penelitian ini terdapat 22 pedagang pengecer yang tersebar di wilayah Karesidenan Surakarta. Terdapat beberapa pedagang pengecer yang mendapatkan produk keripik ketela ungu langsung dari produsen yang berada di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, akan tetapi terdapat pula beberapa pedagang pengecer yang mendapatkan produk keripik ketela ungu dari pedagang besar/grosir yang tersebar di wilayah Karesidenan Surakarta. Dalam menjalankan pemasarannya, biasanya pedagang pengecer mejual keripik ketela ungu dengan kemasan atau ukuran berdasarkan dari permintaan dari konsumen yang akan membeli. Sehingga dalam pemasarannya, pedagang pengecer melakukan pengemasan kembali dari kemasan awal. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat lima pola saluran pemasaran

keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, yaitu: I. Produsen – Konsumen II. Produsen – Pedagang Besar/Grosir – Konsumen III. Produsen – Pedagang Besar/Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen IV. Produsen – Pedagang Pengecer – Konsumen V. Produsen – Pedagang di Luar Karesidenan Surakarta – Konsumen

Masing-masing pola saluran pemasaran mempunyai tingkatan yang lembaga yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis saluran pemasaran dari pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Saluran Pemasaran Keripik Ketela Ungu di Kecamatan Tawangmangu

Kabupaten Karanganyar No. Saluran Pemasaran Jumlah Produsen Jenis Saluran Pemasaran 1. Saluran I 21 Saluran tingkat satu 2. Saluran II 8 Saluran tingkat dua 3. Saluran III 8 Saluran tingkat tiga 4. 5.

Saluran IV Saluran V

5 16

Saluran tingkat dua Saluran tingkat satu

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Produsen keripik ketela ungu tidak hanya melakukan pemasaran dengan satu pola saluran

pemasaran saja, akan tetapi satu produsen dapat melakukan pemasaran dengan lebih dari satu jenis pola saluran pemasaran yang berbeda-beda. Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa pola saluran pemasaran dengan jumlah produsen terbanyak menggunakan adalah pola saluran pemasaran I dengan jenis saluran tingkat 1. Jumlah produsen yang menggunakan pola saluran pemasaran I ini adalah sebanyak 21 produsen, atau dapat dikatakan bahwa seluruh produsen keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu melakukan pemasaran dengan pola saluran pemasaran ini karena seluruh produsen juga melakukan penjualan langsung kepada konsumen akhir yang dimana kebanyakan dari konsumen akhir tersebut adalah wisatawan yang datang langsung untuk berkunjung ke tempat produsen keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar untuk melihat langsung bagaimana proses pembuatan keripik ketela ungu.

Indah Pratiwi – Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu ...................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

573

Pola saluran pemasaran II dan IV termasuk ke jenis saluran pemasaran tingkat dua. Dimana pola saluran pemasaran II melibatkan produsen dan pedagang grosir dalam memasarkan keripik ketela ungu. Sedangkan pola saluran pemasaran IV melibatkan produsen dan pedagang pengecer dalam memasarkan keripik ketela ungu. Pada pola saluran pemasaran IV biasanya terjadi perubahan kemasan yang dilakukan oleh pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran III termasuk jenis saluran pemasaran tingkat 3, dengan perantara yang terlibat adalah produsen, pedagang besar/grosir dan pedagang pengecer. Biasanya pada pola saluran pemasaran III juga terjadi perubahan kemasan yang juga dilakukan oleh pedagang pengecer.

Produsen keripik ketela ungu memasarkan hasil produksi bukan hanya di wilayah Karesidenan Surakarta saja, akan tetapi di beberapa daerah baik di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur maupun di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dari 21 produsen keripik ketela ungu terdapat 16 produsen yang memasarkan hasil produksi sampai keluar wilayah Karesidenan Surakarta, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Bali, Magelang, Pati, Trenggalek, dan Ngawi. Produsen yang memasarkan produknya sampai keluar wilayah Karesidenan Surakarta termasuk dalam produsen dengan pola saluran pemasaran V. Saluran Pemasaran V tidak termasuk kedalam saluran pemasaran yang diteliti dikarenakan wilayah yang diteliti sudah di luar dari wilayah Karesidenan Surakarta. Analisis Biaya Pemasaran, Keuntungan Pemasaran, Marjin Pemasaran dan Farmer’s Share

Marjin pemasaran merupakan selisih dari harga jual atau harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran (Rosmawati, 2011). Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran (Soekartawi, 1993). Besarnya biaya pemasaran akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Semakin besar marjin pemasaran akan menyebabkan harga yang diterima produsen menjadi semakin rendah sedangkan harga yang diterima oleh konsumen semakin tinggi (Tomek dan Robinson dalam Mahatama dan Miftah, 2013). Berikut adalah tabel yang menunjukkan total biaya pemasaran, total keuntungan pemasaran, total marjin pemasaran, presentase marjin pemasaran dan farmer’s share dari keempat saluran pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Tabel 2. Total Biaya, Total Keuntungan, Total Marjin Pemasaran dan Farmer’s Sbare dari

Keempat Saluran Pemasaran Keripik Ketela Ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar

Uraian Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Total Biaya Pemasaran (Rp/Kg) 395 1.107 4.479 2.611 Total Keuntungan Pemasaran (Rp/Kg)

1.788 1.562 9.368 5.509

Total Marjin Pemasaran (Rp/Kg) 2.183 2.669 13.847 8.120 Presentase Marjin Pemasaran (%) 14,56 17,95 93,14 51,95 Farmer’s Share (%) 85,44 82,05 6,86 48,05

Sumber: Analisis Data Primer, 2018

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui total biaya pemasaran, total keuntungan pemasaran, total marjin pemasaran dan farmer’s share dari masing-masing saluran pemasaran keripik ketela

574 JEPA, 3 (3), 2019: 568-576

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Total biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran berbeda-beda. Keadaan tersebut membuat keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran juga berbeda-beda. Penjumlahan antara biaya pemasaran dengan keuntungan pemasaran akan menghasilkan marjin pemasaran.

Pada pola saluran pemasaran I, produsen menjual keripik ketela ungu langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara lembaga pemasaran seperti pedagang besar/grosir dan pedagang pengecer. Pada pola saluran pemasaran ini, produsen sebagai lembaga pemasaran melakukan kegiatan pemasaran berupa pengemasan produk keripik ketela ungu. Total biaya pemasaran pada saluran pemasaran I adalah sebesar Rp 395,- per Kg dengan rata-rata harga jual sebesar Rp 17.171,- per Kg. Pada pola saluran pemasaran ini, produsen mendapatkan total keuntungan pemasaran sebesar Rp 1.788,- per Kg dengan total marjin pemasaran sebesar Rp 2.183,- per Kg.

Pada pola saluran pemasaran II, lembaga pemasaran yang terlibat antara lain produsen dan pedagang besar/grosir. Dari pedagang besar/grosir keripik ketela ungu dipasarkan langsung kepada konsumen akhir. Produsen dalam pola saluran pemasaran II mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya pengangkutan dan biaya pengemasan, sedangkan pedagang besar/grosir mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya bongkar muat. Sehingga total biaya pemasaran dari pola saluran pemasaran II adalah sebesar Rp 1.107,- per Kg. Rata-rata harga jual keripik ketela ungu kepada konsumen akhir pada pola saluran pemasaran II adalah sebesar Rp 17.536,- per Kg. Total keuntungan pemasaran yang didapatkan dari saluran pemasaran ini adalah sebesar Rp 1.562,- per Kg dengan total marjin pemasaran sebesar Rp 2.669,- per Kg.

Pada pola saluran pemasaran III lembaga pemasaran yang terlibat antara lain, produsen, pedagang besar/grosir, dan pedagang pengecer. Pedagang besar/grosir mendapatkan produk keripik ketela ungu langsung dari produsen keripik ketela ungu, lalu pedagang besar/grosir menjual kembali kepada pedagang pengecer yang kemudian pedagang pengecer akan menjual kembali produk keripik ketela ungu kepada konsumen akhir dengan kemasan sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dari konsumen akhir. Pada saluran ini, produsen mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya pengangkutan dan biaya pengemasan. Pedagang besar/grosir mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya bongkar muat, sedangkan pedagang pengecer mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya pengemasan kembali dan biaya pengangkutan. Sehingga total biaya pemasaran yang dikeluarkan pada pola saluran pemasaran III adalah sebesar Rp 4.479,- Kg. Harga jual kepada konsumen akhir dari pola saluran pemasaran III adalah sebesar Rp 28.714,- per Kg. Sehingga didapatkan total keuntungan pemasaran sebesar Rp 9.368,- per Kg dan total marjin pemasaran sebesar Rp 13.847,- per Kg.

Pada pola saluran pemasaran IV lembaga pemasaran yang terlibat adalah produsen dan pedagang pengecer. Dimana pedagang pengecer mendapatkan produk keripik ketela ungu langsung dari produsen keripik ketela ungu yang ada di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Pada pola saluran pemasaran IV produsen melakukan kegiatan pemasaran berupa pengemasan dan pengangkutan, sedangkan pedagang pengecer melakukan kegiatan pemasaran berupa pengemasan kembali. Sehingga didapatkan total biaya pemasaran sebesar Rp 2.611,- per Kg. Pedagang pengecer menjual keripik ketela ungu ke tangan konsumen dengan rata-rata harga Rp 23.750,- per Kg. Sehingga total keuntungan yang didapatkan adalah sebesar Rp 5.509,- per Kg dengan total marjin pemasaran sebesar Rp 8.120,- per Kg.

Dari tabel 2 juga dapat diketahui nilai farmer’s share dari masing-masing pola saluran pemasaran keripik ketela ungu. Masing-masing nilai farmer’s share dari pola saluran pemasaran I, II, III dan IV adalah 85,44%, 82,05%, 6,86% dan 48,05%. Dapat diketahui bahwa pola saluran pemasaran III memiliki nilai farmer’s share terendah dalam saluran pemasaran keripik ketela

Indah Pratiwi – Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu ...................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

575

ungu yang diteliti. Sedangkan saluran pemasaran I memiliki nilai farmer’s share tertinggi dalam saluran pemasaran keripik ketela ungu yang diteliti.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Marjin Pemasaran Keripik Ketela Ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar didapatkan kesimpulan, antara lain: A. Terdapat lima macam pola saluran pemasaran keripik ketela ungu di Kecamatan

Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, antara lain: 1) Produsen – konsumen 2) Produsen – pedagang besar/grosir – konsumen 3) Produsen – pedagang besar/grosir – pedagang pengecer – konsumen 4) Produsen – pedagang pengecer – konsumen 5) Produsen – pedagang diluar wilayah Karesidenan Surakarta – konsumen

B. Total biaya pemasaran pada saluran pemasaran I adalah Rp 395,- per kg; total keuntungan pemasaran yang diperoleh adalah Rp 1.788,- per kg dan margin pemasaran sebesar 14,56%. Total biaya pemasaran pada saluran pemasaran II adalah Rp 1.107,- per kg; total keuntungan pemasaran yang diperoleh adalah Rp 1.562,- per kg dan margin pemasaran sebesar 17,95%. Total biaya pemasaran pada saluran pemasaran III adalah Rp 4.479,- per kg; total keuntungan pemasaran yang diperoleh adalah Rp 9.368,- per kg dan margin pemasaran sebesar 93,14%. Total biaya pemasaran pada saluran pemasaran IV adalah Rp 2.611,- per kg; total keuntungan pemasaran yang diperoleh adalah Rp 5.509,- per kg dan margin pemasaran sebesar 51,95%.

C. Farmer’s Share dari saluran pemasaran I, II, III dan IV secara berurutan adalah sebesar 85,44%, 82,05%, 6,86% dan 48,05%.

Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan

adalah: A. Sebaiknya produsen dapat secara aktif mencari informasi mengenai pola saluran pemasaran

yang ada dalam pemasaran keripik ketela ungu, sehingga produsen dapat memilih pola saluran yang paling efisien yang dapat menguntungkan lebih lagi bagi produsen;

B. Sebaiknya antar produsen satu dan lainnya dapat bermusyawarah dengan wadah seperti asosiasi produsen keripik ketela ungu di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar atas harga yang akan ditawarkan serta ke pasar mana produk yang dihasilkan akan dipasarkan sehingga semua produsen dapat berkembang secara bersama-sama tanpa ada yang merasa dirugikan atau tertinggal dari produsen yang lainnya;

C. Sebaiknya produsen lebih mengembangkan kembali promosi dan pengembangan dalam pemasaran keripik ketela ungu dengan pola saluran saluran pemasaran I, karena pola saluran pemasaran ini merupakan pola saluran pemasaran dengan nilai farmer’s share tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2017. Karanganyar dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistika Karanganyar. Karanganyar

576 JEPA, 3 (3), 2019: 568-576

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Dede J, dan Bambang C. 2000. Ubi Jalar: Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Griffin, R.W. dan Ebert R.J. 2006. Bisnis, Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit Andi. Yogyakarta Khaswarina S., Evy M., Annisa Z.N. 2014. Analisis Saluran Pemasaran Produk Susu Bubuk

Kedelai (Studi Kasus: Industri Sumber Gizi Nabati, Pekanbaru). Pekbis Jurnal, Vol. 6, No.3, November 2014: 2018-217.

Kimbal, R.W. 2015. Modal Sosial dan Ekonomi Industri Kecil: Sebuah Studi Kualitatif. Penerbit Deepublish. Yogyakarta

Mahatama, E. dan Miftah F. 2013. Daya Saing dan Saluran Pemasaran Rumput Laut: Kasus Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 7 No. 1, Juli 2013.

Rosmawati, H. 2011. Analisis Efisiensi Pemasaran Pisang Produksi Petani di Kecamatan Lengkiti Kabupaten Ogan Komering Ulu. AgronobiS, Vol. 3, No. 5, Maret 2011.

Rukmana, H. 1997. Ubi Jalar, Budi Daya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Simamora, B. 2001. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitable. PT

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 577-585

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.13

ANALISIS KONTRIBUSI KATEGORI PERTANIAN TERHADAP PDRB KABUPATEN TASIKMALAYA

ANALYSIS OF AGRICULTURAL CATEGORIES CONTRIBUTION TO

TASIKMALAYA DISTRICT GRDP

Iis Rina Mulyawati Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya,

Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The Agriculture category is the biggest contributor to the GRDP in Tasikmalaya District besides the Trade Category, Construction and Processing Industry Category. The Agriculture category is the largest absorber of labor, with a positive growth rate every year. The purpose of this study is to analyze how much the contribution of the Agriculture Category to the formation of GRDP in Tasikmalaya Regency. The results of this study are the production value of the Agriculture Category of Tasikmalaya Regency from year to year has increased but the contribution of the Agriculture Category to the GRDP of Tasikmalaya Regency has decreased. One reason for the decline in the role of agriculture is the reduction in land area in the business field. The slow increase in the price of the business field products compared to other business products is also the reason for the decline in the role of the agricultural business field (BPS Tasikmalaya Regency, 2018). Agricultural products are increasingly displaced by the magnitude of other categories that contribute to increasing GDP and because of the economic potential of Tasikmalaya Regency which continues to shift from the Agriculture sector in the Primary group to the tertiary group which includes the Trade sector.

Keywords : GRDP, Agriculture Category, Primary Category Contributions

ABSTRAK Kategori Pertanian merupakan penyumbang paling besar terhadap PDRB di Kabupaten Tasikmalaya selain Kategori Perdagangan, Kategori Konstruksi dan Industri Pengolahan. Kategori Pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, dengan laju pertumbuhan yang cenderung positif setiap tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa besar kontribusi Kategori Pertanian terhadap pembentukan PDRB di Kabupaten Tasikmalaya. Hasil dari penelitian ini adalah nilai produksi Kategori Pertanian Kabupaten Tasikmalaya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan tetapi kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya mengalami penurunan. Salah satu penyebab menurunnya peranan Pertanian adalah berkurangnya luas lahan pada lapangan usaha tersebut. Lambatnya kenaikan harga produk lapangan usaha tersebut dibandingkan produk lapangan usaha lain juga menjadi penyebab turunnya peranan lapangan usaha Pertanian (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2018). produk petanian mengalami semakin tergeser oleh besarnya kategori-kategori lain yang memberikan kontribusi yang terus mengalami peningkatan terhadap PDRB dan dikarenakan potensi ekonomi Kabupaten Tasikmalaya yang terus bergeser dari sektor Pertanian yang masuk dalam kelompok Primer ke kelompok tersier yang diantaranya adalah sektor Perdagangan. Kata kunci : PDRB, Kategori Pertanian, Kontribusi Kelompok Kategori Primer

578 JEPA, 3 (3), 2019: 577-585

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak lepas dari peran pentingnya PDRB, dimana

semakin tinggi PDRB dalam suatu kategori maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonominya kategori tersebut tinggi. Untuk itu pemerintah khususnya Kabupaten Tasikmalaya diharapkan dapat terus menerus meningkatkan PDRB-nya khususnya Kategori Pertanian yang memilki prospek potensial untuk dikembangkan.

Salah satu penyumbang dalam PDRB adalah Kategori Pertanian. Kategori Pertanian merupakan Kategori yang banyak menyerap tenaga kerja. Laju pertumbuhan Kategori Pertanian yang positif tetapi kontribusinya terhadap PDRB dari tahun ke tahun mengalami penurunan . Oleh karena itu, Kategori Pertanian khususnya di Kabupaten Tasikmalaya menarik untuk dianalisis.

Pembangunan ekonomi dilakukan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi di Jawa Barat berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di suatu daerah sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan. Pembangunan pada masa sekarang terus berusaha untuk mencapai target-target pengembangan di sektor pertanian. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya dari tahun 2013-2017 cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2013 kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya sebesar 39,79 persen dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2017 hanya sebesar 38,00 persen.

Pengelolaan Kategori Pertanian pada dasarnya merupakan masalah yang dihadapi semua negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Walaupun intensitas dari masalah tersebut mungkin sekali berbeda karena adanya perbedaan pada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti laju pertumbuhan ekonomi, teknologi yang dipergunakan dan kebijaksanaan pemerintah. dilihat dari sudut pandang makro ekonomi, perluasan Kategori Pertanian dapat terjadi melalui pertumbuhan ekonomi yaitu melalui proses kenaikan output produksi secara konstan dalam jangka panjang. Untuk itu kontribusi Kategori Pertanian sangatlah penting dalam meningkatkan PDRB, dengan peningkatan output dari Kategori Pertanian maka tentu saja berdampak postif terhadap PDRB.

Permasalahan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya adalah kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB berjumlah maksimal meskipun output dari Kategori Pertanian terus meningkat namun peningkatannya masih kecil dibandingkan Kategori lainnya seperti Kategori perdagangan. Untuk itu perlu adanya peran pemerintah untuk dapat meningkatkan output produksi yang maksimal agar kontribusinya terhadap PDRB semakin baik dan konsisten.

Berkaitan dengan itu maka permasalahan pertumbuhan PDRB dan Kategori Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya harus mendapat perhatian yang menyeluruh dan terpadu, karena salah satu esensi yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah pengelolaan Kategori Pertanian yang cukup untuk mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang akan terus ke pasar kerja.

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat di antara variabel Kategori Pertanian terhadap peningkatan PDRB. Artinya, peningkatan PDRB akan mengalami perubahan jika terjadi perubahan pada Kategori Pertanian. Semakin banyak tersedianya Kategori Pertanian maka akan terjadi kenaikan dalam penciptaan output dan pendapatan masyarakat, yang bertendensi pada kenaikan permintaan, sehingga terjadi pertumbuhan dalam ekonomi.

METODOLOGI

Iis Rina Mulyawati– Analisis Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB ................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

579

Produk Donestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Pada dasarnya, PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu. PDRB dapat juga dikatakan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Ditinjau

dari segi produksi, merupakan jumlah nilai produk akhir atau nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah itu dalam jangka waktu tertentu. 2. Ditinjau dari segi pendapatan, merupakan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh factor produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah itu yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu. 3. Ditinjau dari segi pengeluaran, merupakan pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi Pemetaan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Arief Bachtiar) 5 pemerintah, pembentukan modal tetap perubahan stock dan ekspor netto (BPS)

PDRB adalah jumlah nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan disuatu wilayah atau daerah dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Dalam penyusunan PDRB diperlukan data dari berbagai kegiatan ekonomi yang berasal dari berbagai sumber. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang berkaitan dengan produksi, konsumsi, distribusi dan akumulasi kekayaan.

Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh bebagai unit produksi didalam suatu region dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit tersebut diatas dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 17 Kategori:

1. Kategori A : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2. Kategori B : Pertambangan dan Penggalian 3. Kategori C : Industri Pengolahan 4. Kategori D : Pengadaan Listrik dan Gas 5. Kategori E : Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 6. Kategori F : Konstruksi 7. Kategori G : Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8. Kategori H : Transportasi dan Pergudangan 9. Kategori I : Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 10. Kategori J : Informasi dan Komunikasi 11. Kategori K : Jasa Keuangan dan Asuransi 12. Kategori L : Real Estat 13. Kategori M,N : Jasa Perusahaan 14. Kategori O : Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 15. Kategori P : Jasa Pendidikan 16. Kategori Q : Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 17. Kategori R,S,T,U: Jasa lainnya

Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu : - Pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga - Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung (LNPRT)

580 JEPA, 3 (3), 2019: 577-585

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

- Konsumsi pemerintah, - Pembentukan modal tetap domestik bruto, - Perubahan stock, - Ekspor netto disuatu region dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). - Ekspor netto merupakan ekspor dikurangi impor. Ekspor dalam hal ini tidak terbatas hanya keluar negeri, tetapi termasuk juga yang hanya keluar Daerah/Wilayah baik lewat laut, udara maupun lewat darat. Demikian juga kebalikannya yaitu Impor.

Menurut pendekatan pendapatan, PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi disuatu region dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB, kecuali faktor pendapatan diatas, termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jumlah semua komponen pendapatan per Kategori ini disebut sebagai nilai tambah bruto Kategorial. PDRB merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari seluruh Kategori (lapangan usaha).

Dari ketiga metode pendekatan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah pengeluaran untuk berbagai kepentingan tadi harus sama dengan jumlah produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksinya. PDRB yang telah diuraikan diatas disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena mencakup komponen pajak tidak langsung netto. Kategori Pertanian

Pertanian adalah bidang mata pencaharian yang menggunakan ketrampilan dan ketekunan kerja dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya sebagai dasarnya. Sedangkan Pertanianan adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan Pertanian. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari Pertanian. Hasil Pertanian tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.

Selain itu, pengertian Pertanian menurut undang-undang tentang perPertanianan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Pertanian. Pertanian umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan Pertanian semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya dan politik.

Pada Perhitungan PDRB ini nilai untuk kategori pertanian meliputi juga Kehutanan, dan Perikanan. Ada beberapa Konsep dan Definisi dari Pertanian yaitu : 1. Pertanian pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah

suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya menjadi lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan Pertanian adalah jasa Pertanian dan pekerjaan perakitan (assembling).

2. Jasa Pertanian adalah kegiatan Pertanian yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiataan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain, sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapatkan imbalan sebagai balas jasa (upah maklon).

Pengelompokan Pertanian pengolahan biasanya didasarkan pada jumlah tenaga kerja yaitu: Pertanian Besar, Pertanian Sedang, Pertanian Kecil, dan Pertanian Mikro. Pertanian Besar

Iis Rina Mulyawati– Analisis Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB ................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

581

adalah perusahaan Pertanian yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih. Pertanian Sedang adalah perusahaan Pertanian yang mempunyai tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang. Pertanian Kecil adalah perusahaan Pertanian yang mempunyai tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang dan Pertanian mikro adalah perusahaan Pertanian yang mempunyai tenaga kerja antara 1 sampai 4 orang.

METODOLOGI PENELITIAN 1. Melihat besarnya kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB adalah :

Ki = Kategori Pertanian x 100% PDRB ADHB

Dimana: Ki : Kontribusi Kategori ke-i PDRB ADHB : Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku 2. Melihat Pertumbuhan Kategori Pertanian

Gt = Pt/P(t-1) x 100 - 100 Gt = pertumbuhan Kategori pertanian Pt = PDRB Kategori pertanian pada tahun yang dihitung P(t-1) = PDRB Kategori pertanian pada tahun sebelumnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

PDRB Kabupaten Tasikmalaya

Kinerja perekonomian di Kabupaten Tasikmalaya selama periode tahun 2013-2017 secara keseluruhan menunjukkan prestasi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto yang berfluktuasi meningkat. Data pertumbuhan PDRB di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya dari Tahun 2013 – 2017

Tahun PDRB (Milyar Rupiah) Pertumbuhan (%)

2014 23.238,43 4,77 2015 25.666,17 4,31 2016 27.995,95 5,91 2017 30.522,29 5,95

Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya 2018

Dalam kurun waktu 2013-2017 pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya mengalami kenaikan dari 4,65 % di tahun 2013 menjadi 5,95% di tahun 2017, dimana PDRB di tahun 2013 sebesar Rp 21,272,80 Milyar dan di tahun 2014 menjadi sebesar Rp. 23.238,43 Milyar. Kemudian di tahun 2015 mengalami perlambatan menjadi 4,31% dan mengalami kenaikan kembali di tahun 2016 sebesar 5,91% dan akhir di tahun 2017 pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya meningkat kembali menjadi sebesar 5,95%.

582 JEPA, 3 (3), 2019: 577-585

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi (LPE) PDRB Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2013-2017

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tasikmalaya menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tasikmalaya Atas

Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (Persen), 2013-2017 Kategori/ Lapangan Usaha 2013 2014 2015 2016* 2017**

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) A Pertanian, Kehutanan, danPerikanan 2,89 0,67 -0,31 4,55 5,20 B Pertambangan dan Penggalian 1,61 -0,28 0,39 -0,54 0,24 C Industri Pengolahan 6,37 7,56 6,35 6,54 6,59 D Pengadaan Listrik dan Gas 14,96 7,91 4,00 5,11 3,76 E

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang

3,78 2,62 3,41 5,68 7,98

F Konstruksi 4,49 6,91 5,90 5,57 7,84 G Perdagangan Besar dan Eceran;

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7,32 6,47 5,51 5,85 3,39

H Transportasi dan Pergudangan -0,65 0,71 9,82 6,11 6,49 I Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum 5,05 2,91 4,69 3,76 8,72

J Informasi dan Komunikasi 6,23 18,19 16,98 14,45 12,65 K Jasa Keuangan dan Asuransi 8,53 4,56 8,43 7,34 4,07 L Real Estate -3,32 2,20 4,16 2,74 9,97

M,N Jasa Perusahaan 6,10 8,62 8,76 9,18 9,92 O Administrasi Pemerintahan,

Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

1,33 2,69 2,49 2,31 0,91

P Jasa Pendidikan 12,25 18,58 11,51 10,79 10,70 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9,03 20,11 11,55 11,18 12,69

R,S,T,U Jasa lainnya 4,57 4,30 9,86 6,46 13,46 Produk Domestik Regional Bruto 4,65 4,77 4,31 5,91 5,95

Sumber : Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tasikmalaya Menurut Lapangan Usaha 2013-2017 * Angka sementara/Preliminary Figures

4,65 4,774,31

5,91 5,95

0

1

2

3

4

5

6

7

2013 2014 2015 2016 2017

Iis Rina Mulyawati– Analisis Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB ................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

583

** Angka sangat sementara/Very Preliminary Figures

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tasikmalaya dilihat menurut lapangan usaha bahwa pertumbuhan yang paling besar pada tahun 2013 adalah dari Kategori Pengadaan Listrik dan Gas yang mencapai hingga 14,96 persen kemudian disusul Jasa Pendidikan hingg mencapai 12,25 persen. Kategori Pertanian Kabupaten Tasikmalaya

Output dari Kategori Pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan kecuali di tahun 2015 mengalami penurunan, hal ini berpengaruh juga kepada pertumbuhan ekonomi yang mengalami percepatan dari tahun 2013 hingga 2017, kecuali di tahuun 2017 yang mengalami perlambatan mencapai -0,31 persen. Nilai produksi Kategori Pertanian dan pertumbuhannya dapat diihat pada tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. PDRB dan Pertumbuhan Kategori Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, Tahun 2013-

2017 Tahun Kategori Pertanian

(Milyar Rp) Pertumbuhan

(%) (1) (2) (3)

2013 8.463,68 2,89 2014 9.063,45 0,67 2015 9.842,98 -0,31 2016 10.737,03 4,55 2017 11.597,07 5,20

Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2018

584 JEPA, 3 (3), 2019: 577-585

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2018

Gambar 2. Pertumbuhan Kategori Pertanian dan Pertumbuhan Ekonmi di Kabupaten

Tasikmalaya Tahun 2013-2017 Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya

Nilai produksi Kategori Pertanian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan tetapi kontribusi Kategori Pertanian mengalami penurunan dalam kurun waktu 2013-2017. Pada tahun 2013 kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya sebesar 39,79 persen kemudian mengalami penurunan ditahun 2014 menjadi 39,00 persen. Dan terus mengalami penurunan hingga mencapai 38,00 persen di tahun 2017. Salah satu penyebab menurunnya peranan Pertanian adalah berkurangnya luas lahan pada lapangan usaha tersebut. Lambatnya kenaikan harga produk lapangan usaha tersebut dibandingkan produk lapangan usaha lain juga menjadi penyebab turunnya peranan lapangan usaha Pertanian (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2018). Hal lain dikarenakan juga semakin besarnya peningkatan kategori-kategori lain yang memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDRB, terutama adalah Kategori Perdagangan, Kategori Konstruksi dan Kategori Industri dan Pengolahan. Kategori tersebut mengalami pertumbuhan dan memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Terbukti dengan semakin meningkatnya bisnis perdagangan dengan dibangunnya mall-mall dan menjamurnya warung-warung modern seperti indomaret, Alfamidi dan lain sebagianya, hotel dan restoran. Semakin banyaknya pengangkutan baik angkutan darat, laut dan udara. bisa dikatakan bahwa Kabupaten Tasikmalaya bukan kota Pertanian tetapi Kabupaten Tasikmalaya adalah kota bisnis keuangan dan jasa.

Semakin menurunnya kontribusi Kategori Pertanian ini terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya disebabkan juga oleh semakin sedikitnya lahan untuk dijadikan Pertanian gambar 3 dibawah ini.

2,89

0,67-0,31

4,555,20

4,65

4,77

4,31

5,915,95

-2

0

2

4

6

8

10

12

2013 2014 2015 2016 2017

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Pertanian

Iis Rina Mulyawati– Analisis Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB ................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

585

Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2018

Gambar 2. Kontribusi Kategori Pertanian Terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya Tahun

2013-2017

KESIMPULAN

Nilai produksi Kategori Pertanian Kabupaten Tasikmalaya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan tetapi kontribusi Kategori Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya mengalami penurunan. Ini di karenakan oleh semakin sempitnya lahan pertanian yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Hal yang sama terjadi pula pada beberapa yang saling berhubungan dengan kategori pertanian yaitu perdagangan dan industri yang dikenal dengan sebutan Commudity Flow. Dimana ketika produksi pertanian mengalami penurunan komuditi perdagangan dan industri mengalami penurunan karena barang dagangan hasil pertanian dan bahan baku dari hasil pertanian akan dibawa ke ketagori bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2018, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tasikmalaya Menurut Lapangan

Usaha 2013-2017, Tasikmalaya Hadi, Nachrowi dan Usman Hardius, 2004, “Pendekatan Populer dan Praktis Ekonomitrika

Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”, Jakarta: FE-UI. Jhingan, M.L, 2002, “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, Jakarta : PT.Raja Grafindo

Persada. Setiawan, Sigit & Rudi Handoko, 2005, “Pertumbuhan Ekonomi 2006: Suatu Estimasi dan Arah

Pencapaian Pertumbuhan yang Merata dan Berkualitas, Kajian Ekonomi dan Keuangan”, Vol. 9.

Soekartawi, (2004), “Pengantar Ekonomi Makro”, Yogyakarta : BPFE. Sukirno, Sadono, (2004), “Ekonomi Pembangunan di Dunia Ketiga”, Jakarta :Erlangga.

39,79

39,00

38,35 38,35

38,00

37,00

37,50

38,00

38,50

39,00

39,50

40,00

2013 2014 2015 2016* 2017**

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 586-599

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.14

MENUMBUHKEMBANGKAN DESTINASI DESA WISATA DAN EKONOMI KREATIF BERBASIS BUDAYA SAPI SONOK DI PULAU MADURA

DEVELOPMENT OF RURAL TOURISM DESTINATION AND CREATIVE ECONOMIC

BASE ON SAPI SONOK CULTURE IN MADURA ISLAND

Farahdilla Kutsiyah IAIN Madura

Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT Global development through rural tourism that offers cultural diversity, natural beauty, education and creative economy is still a vigorous trend. One of the local wisdom of Madura Island is sapi sonok culture (sapi sonok is heifer madura who have superior perfoman, beautiful and ability to walk straight by following the handler's command). This research is based on its purpose is classified as explorative research type, which is intended to study the cultural potential of sapi sonok and to encourage the presence of rural tourism and creative economy in the northern region of Madura Island. Data types were explored through indepth interview and observation. The locations of the research were centered on three villages in Pasean, Waru and Batuputih sub-districts. The results showed that the cultural potential of sonok cattle has strategic strength. This culture is intertwined with the improvement of livestock performance, increasing the breeder's income, refinery of germplasm of madura cattle, social gathering (kolom taccek), facilitating of cow selling transaction and as interesting spectacle by local wisdom value such as sapi sonok contest, madura clothes, musical instrument (saronen and karawitan), traditional dance (nantheng), batik of madura and crafts. Moreover, the behavior and social interaction of this culture is unique. Therefore, it is expected to be a rural tourism destination of sapi sonok culture. The rural tourism should be made interesting, beautiful and memorable for tourists and contains everything related to socio-cultural society in the sapi sonok central area, ranging from aspects of farming, training, contest, cow display, kolom taccek, taccek shop, creative products (collaboration of batik, culinary, carving and other accessories such as pangangguy, madura regional clothes and saronen). Keywords: sapi sonok culture, rural tourism, Madura Island

ABSTRAK Pembangunan global melalui wisata pedesaan yang menawarkan keberagaman budaya, keindahan alam, edukasi dan ekonomi kreatif masih trend hingga saat ini. Kearifan lokal yang melingkupi masyarakat Pulau Madura salah satunya budaya sapi sonok. Penelitian ini berdasarkan tujuannya diklasifikasikan sebagai jenis penelitian eksploratif, yaitu bermaksud mengkaji potensi dan upaya menumbuhkembangkan atau memacu hadirnya desa wisata budaya sapi sonok dan ekonomi kreatif di wilayah bagian utara Pulau Madura. Jenis data sebagian besar deskriptif yang digali melalui indept interview dan observasi. Target titik-titik lokasi penelitian terpusat pada tiga desa di Kecamatan Pasean, Waru dan Batuputih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi budaya sapi sonok memiliki kekuatan yang bersifat strategis. Budaya ini berjalin kelindan dengan perbaikan performan ternak, peningkatan pendapatan peternak, pemurnian plasma nutfah sapi madura, ajang silaturahmi para peternak, mempermudah transaksi penjualan serta sebagai tontonan yang menarik, rancak dan kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti baju khas madura, alat musik (saronen dan karawitan),

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

587

tarian hingga kerajinan tangan. Disamping itu perilaku dan interaksi sosial yang melingkupi budaya ini khas, butuh ketelatenan dan atribut-atributnya spesifik karakter Madura. Oleh karena itu, dengan potensi yang dimilikinya diharapkan adanya destinasi desa wisata budaya sapi sonok. Wisata pedesaan tersebut dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan dan berisi segala hal terkait sosial-budaya masyarakat di sentra sapi sonok, mulai dari aspek budidaya, pelatihan, kontes, sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, produk kreatif (kolaborasi batik, kuliner, ukiran dan asesoris lainnya seperti pangangguy, baju kedaerahan madura dan saronen). Kata kunci: budaya sapi sonok, wisata pedesaan, Pulau Madura

PENDAHULUAN

Wisata pedesaan ada sejak akhir abad kesembilan belas di benua Eropa dan Amerika, sekitar tahun 1970an dan 1980an terdapat "jenis wisata pedesaan baru yang didorong oleh pasar, oleh masyarakat pedesaan dan komunitas, serta oleh pemerintah tanpa memperdulikan statusnya sebagai daerah yang indah atau terlindungi. (Augustyn, 1998; Fisher & Felsenstein, 2000). Hingga saat ini pariwisata pedesaan masih merupakan trend yang kuat di seluruh dunia (Barbieri

, 2013), yang memiliki fungsi tidak hanya sekadar memproduksi komoditas pertanian; tetapi juga sebagai situs rekreasi, pariwisata, tempat meluangkan waktu, produksi makanan khusus, konsumsi dan e-commerce (Saxena et al., 2007). Di antara fungsi tersebut yang terpenting saat ini adalah destinasi wisata pedesaan (Gao and Wu, 2017). Pengalaman wisata pedesaan harus dipahami sebagai pengalaman keseluruhan dari sejumlah besar sumber daya, atraksi, layanan, orang, lingkungan dan keragamannya yang ditawarkan oleh destinasi tersebut, memang tidak semuanya dirancang untuk penggunaan wisata, akan tetapi semua hal tersebut yang berdampak pada pengalaman dan berpotensi dicari dan dihargai oleh wisatawan. (Kastenholz et al., 2012).

Trend kedua yang memberi pengaruh luar biasa terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ekonomi kreatif. Hubungan antara keduanya yakni ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada something to see, something to do, dan something to buy. Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah dan something to see (seni pertunjukan kreatif) (Yoeti, 1985).

UNDP mendefinisikan ekonomi kreatif adalah bagian integratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya (UNDP, 2008). Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) merumuskan ekonomi kreatif sebagai upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Lingkup kegiatan dari ekonomi kreatif dapat mencakup banyak aspek. setidaknya 14 sektor yang termasuk yaitu periklanan arsitektur; pasar barang seni kerajinan (handicraft); desain fashion; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televise; riset dan pengembangan. Dengan kata lain, ekonomi kreatif menggunakan prinsip pengetahuan atau kreativitas intelektual sebagai basis pembangunan ekonomi (knowledge economy) yang berjalin kelindan dengan kearifan lokal

588 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

(budaya). Manfaat pengembangan ekonomi kreatif ini untuk penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah untuk mengentas kemiskinan melalui beragam pengembangan potensi sumberdaya dan budaya. Fakta menunjukkan keberhasilan dalam pengembangan ekonomi kreatif dapat meningkatkan daya saing, mengurangi pengangguran dan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.

Pengembangan ekonomi kreatif pada kabupaten/kota bisa dilakukan dengan memanfaatkan potensi daerah yang menjadi identitas kota/kabupaten, salah satunya berupa mengenalkan produk khas daerah. Identitas atau landmark disini dimaknai sebagai kharakteristik yang membuat suatu daerah unik dan berbeda dengan daerah lain. Identitas daerah ini dapat mengakar dari kearifan lokal yakni nilai-nilai budaya, kondisi sosiokultural, kondisi geografis dan demografis (Markplus Institute, 2015). Seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya trend saat ini menjamur wisata desa atau wisata di kampung-kampung karena banyak diminati oleh para wisatawan baik domestik dan mancanegara. Wisata desa ini memadukan antara keindahan alam, keberagaman budaya, edukasi, dan ekonomi kreatif (Park &Yoon, 2009). Wisata pedesaan menawarkan kepada turis merasakan kebebasan dan kesempatan untuk santai, melakukan kegiatan di luar ruangan dan dekat dengan alam, sesuai dengan motivasi dari jenis wisata yang ditawarkan (Frochot, 2009). Pengembangan pariwisata berbasis budaya dengan mengedepankan wisata minat khusus banyak sekali berkembang di wilayah Indonesia (Wulandari , 2014).

Kecenderungan global saat ini di mana pelancong mencari keaslian budaya. Pariwisata berbasis warisan budaya akan mampu memberi manfaat kepada ke dua belah pihak, yakni warga tuan rumah dan wisatawan sendiri. Dari sudut pandang warga komunitas, pariwisata berbasis warisan budaya dapat membantu mempertahankan sejarah, tradisi dan adat istiadat layaknya budaya secara keseluruhan. Pariwisata berbasis warisan budaya juga memberi manfaat secara sosial dan ekonomi lokal. Penduduk setempat dapat pula menjual hasil karya seni dan kerajinan sebagai cenderamata kepada para turis. Hasil karya seni dan kerajinan untuk tujuan ekspor berbeda dari yang dibuat untuk kebutuhan sendiri; kesenian dan kerajinan baru mengekspresikan apa yang mereka pikir pasar inginkan dan juga apa yang mereka ingin orang luar pikirkan tentang mereka (Graburn, 2000).

Identitas Pulau Madura adalah batik, sapi madura, garam, tembakau. Sebutan yang sering mengemuka adalah Madura sebagai Pulau Garam dan Pulau sapi. Tercatat jumlah sapi tahun 2015 sebanyak 917.061 ekor atau 22% dari jumlah populasi sapi yang ada di Jawa Timur (Dispet, 2016; Kutsiyah, 2009). Kondisi ini merupakan potensi yang mampu memberi peluang bagi pengembangan sub sektor peternakan baik sapi potong maupun komoditas ternak lainnya menuju pengembangan kawasan agribisnis berbasis ternak.

Sapi madura juga sebagai sahabat petani di Pulau Madura, sehingga tradisi dan budaya masyarakat tidak bisa dilepaskan darinya. Salah satu kharakteristik masyarakat di wilayah ini sangat gemar memelihara sapi dan ia benar-benar menjadi bagian dalam kehidupan mereka, sebagai bukti konkretnya memunculkan kesenian atau budaya karapan sapi dan dilanjutkan dengan kontes atau budaya sapi sonok. Budaya sapi sonok adalah tradisi masyarakat Madura khususnya Kabupaten Pamekasan dan Sumenep dalam bentuk sapi pajangan (taccek), kolom taccek (perkumpulan taccek), warung taccek, kontes sapi sonok dan manajeman pembibitan-produksi. Kehadiran budaya ini terbukti melanggengkan ketersediaan sapi madura unggul, peningkatan harga jual, sebagai sarana silaturahmi antar peternak dan tidak kalah pentingnya menyuguhkan tontonan menarik, indah dan rancak (Kutsiyah, 2015; 2017). Saat ini perkembangan sapi sonok meningkat sangat signifikan dari tahun ke tahun, dengan wilayah sentranya di Madura Bagian utara, khususnya Kecamatan Waru, Pasean, dan Batumarmar Kabupaten Pamekasan, serta Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep. Oleh

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

589

karena itu tujuan penulisan artikel ini untuk mendiskripsikan upaya menumbuhkembangkan dfestinasi desa wisata dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal: budaya sapi sonok di wilayah bagian utara Pulau Madura.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan konsep Desa Wisata, pendekatan ekonomi kreatif dan Resource Based View dengan kerangka VRIO (valuable, rare, costly to imitate dan exploited by institution). Desa Wisata adalah pengembangan suatu wilayah (desa) dengan memanfaatkan unsur–unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu dan memiliki tema (Putra, 2006). Desa wisata adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata (Yoeti, 1985). Nuryanti (1993) juga mengemukakan bahwa desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tatacara dan tradisi yang berlaku.

Kegiatan penelitian ini berdasarkan tujuannya diklasifikasikan sebagai jenis penelitian eksploratif, yaitu penelitian yang bermaksud mengkaji potensi budaya sapi sonok dan pemanfaatannya untuk memacu hadirnya desa wisata dan ekonomi kreatif di wilayah sentra sapi sonok yaitu di wilayah bagian utara Pulau Madura, baik dalam bentuk paket wisata desa budaya sapi sonok dan alternatif untuk pengembangan sumberdaya berbasis lokal sebagai turunannya untuk menjadi pengungkit tumbuhnya ekonomi kreatif pada masyarakat di pedesaan. Jenis data sebagian besar deskriptif yang digali melalui indept interview (wawancara mendalam) dan observasi.

Penentuan lokasi ditetapkan secara sengaja (purposive) di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Pasean dan Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan dan Kecamatan Batu Putih Kabupaten Sumenep. Target titik-titik lokasi penelitian terpusat pada tiga desa yakni Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean, Desa Waru Barat Kecamatan Waru dan Desa Batuputih Kenek Kecamatan Batuputih Sumenep. Pertimbangannya bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah sentra sapi sonok dan memiliki populasi sapi Madura paling tinggi di Kabupaten Pamekasan serta budaya sapi sonok terinternalisasi dalam kehidupan masyarakatnya. Sementara pemilihan tiga desa tersebut karena wilayah ketiganya paling dominan budaya sapi sonok dilterapkan dalam keseharian penduduk, mulai dari frekuensi koloman sapi taccek, jumlah tempat pemajangan sapi, perhelatan kontes sonok, peternak trampil dalam pembibitan dan budidaya sapi sonok. Sebagai keterangan tambahan Desa Dempo Barat tersebut di plot oleh Bappeda Pamekasan sebagai salah satu target Desa yang diusulkan diterapkan sebagai Desa OVOP (one village one product) (Kutsiyah, 2017).

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan resource based view dengan kerangka VRIO, yang mencakup empat parameter kunci yaitu (Valuable [bernilai], Rare [langka],Costly to Imitate [sulit untuk diimitasi] dan Exploited by Institution [sudah dikelola oleh insititusi]), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Kerangka VRIO ini bertujuan mengetahui keunggulan kompetitif budaya sapi sonok. Jumlah responden sebanyak 30 orang dari perwakilan satuan perangkat daerah baik itu dari Kecamatan, bagian sekretariat daerah dan dinas terkait.

590 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 1. Kerangka VRIO

Apakah sumberdaya dan kapabilitas Kekuatan dan kelemahan Bernilai? Langka? Sulit

ditiru? Dieksploitasi oleh organisasi

Tidak - - tidak Kelemahan (competitive disadvantage)

Ya Tidak - Kekuatan (competitive parity) Ya Ya Tidak Kekuatan dan kompetensi yang

membedakan (Temporary competitive advantage)

Ya Ya Ya Ya Kekuatan dan kompetensi yang membedakan serta berkesinambungan (sustained competitive advantage)

Sumber: Barney and Clark (2007; Mark Plus, 2015; Wandrial, 2011)

Sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki suatu wilayah dikatakan bernilai apabila dapat mengeksploitasi peluang dan menetralisir ancaman lingkungan eksternal. Disebut langka apabila sumber daya dan kapabilitas tersebut hanya dimiliki oleh suatu wilayah dan tidak dimiliki oleh wilayah lainnya. Dikatakan sulit diimitasi apabila wilayah lain mengalami kerugian biaya (cost disadvantage) dalam upayanya memenuhi atau mengembangkan sumber daya dan kapabilitas yang ingin diimitasi (Markplus, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN Profile Wilayah Sentra Sapi Sonok

Perkembangan sapi sonok saat ini meningkat sangat signifikan dari tahun ke tahun, dengan wilayah sentranya adalah Kecamatan Waru, Pasean, dan Batuputih. Kecamatan Waru terdiri atas dua belas desa. Mata pencaharian sebagian besar warganya adalah petani sekaligus peternak. Kawasan ini termasuk wilayah agropolitan, ini berarti Kecamatan Waru termasuk salah satu kota (politan) pertanian (agro), yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta diharapkan mampu melayani, mendorong, menarik, kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Jumlah penduduk di Kecamatan Waru pada tahun 2015 sebanyak 65.806 jiwa, dengan 16.304 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar masyarakatnya berpendidikan belum tamat Sekolah Dasar dan sebatas lulus SD. Salah satu desa di kawasan ini yakni Desa Waru barat memiliki pemandangan cukup bagus. Produk unggulan Kawasan Waru adalah empon-empon (rempah-rempahan dan obat-obatan organik) tembakau, sapi potong dan buah kelapa sebagai komoditas unggulan, sementara produk unggulan khusus adalah salak, jeruk, rambutan dan papaya (BPSa, 2017).

Kecamatan Pasean terletak di daerah utara Kabupaten Pemekasan, dengan jumlah sembilan desa, jumlah penduduk tahun 2015 yaitu 50.188, dengan jumlah kepala keluarga 14.620. Pendidikan penduduk didominasi belum tamat SD dan sebatas tamat SD. Kecamatan ini memiliki sejumlah sumberdaya alam potensial seperti pesisir laut yang menjadi sandaran masyarakat nelayan, sapi potong dan juga mempunyai potensi tanaman tembakau, pisang, cabe jamu dan jagung. Adapun produk unggulan kecamatan ini adalah tembakau dan hasil tangkapan ikan, terasi, dan petis (BPSb, 2017).

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

591

Kecamatan Batu Putih terletak di daerah utara Kabupaten Sumenep yang mencakup empat belas desa. Jumlah penduduknya mencapai 44.064 jiwa dan jumlah KK sebanyak 13.653. Komoditas unggulan kawasan ini adalah jagung, padi, tembakau, kedelai, kacang hijau, kelapa, kapuk randu dan siwalan serta cabe jamu. Pendidikan penduduk didominasi belum tamat SD yakni proporsinya 76% (BPS, 2017c).

Keragaan Peternakan Sapi Potong di Sentra Sapi Sonok

Potensi wilayah sentra sonok di bidang peternakan adalah (a)performan populasi sapi lokal (Madura) tergolong unggul (b)wilayah ini sebagai salah satu barometer pengembangan sapi Madura di Pulau Madura, sehingga keberhasilan wilayah tersebut akan berdampak luas, karena peternak dari Kabupaten Sumenep, Sampang dan Pamekasan bertransaksi sapi-sapi unggul di wilayah ini (c)untuk kecamatan Waru dan Pasean telah dijadikan sebagai wilayah perluasan Pelestarian Plasma nutfah Sapi Madura yang ditetapkan dalam peraturan Bupati Pamekasan melalui Surat keputusan Bupati Pamekasan Nomor :188/173/432.131/2015, tentang Penetapan Kawasan Pembibitan Sapi Madura (d)manajeman pembibitan-pemeliharaan tergolong cukup optimal karena telah melaksanakan seleksi ternak melalui seleksi silsilah, seleksi keturunan maupun seleksi individu. Begitupula dalam pemeliharaan dalam aspek sanitasi, pemberian jamu dan pakan (e)tradisi taneyan lanjang yakni keluarga besar berkumpul dalam bangunan berkelompok yang terdiri dari tiga atau lebih dari tiga kepala keluarga (KK), dengan bagian didalam bangunannya kandang besar dengan jumlah sapi yang dipelihara berkisar 5-10 ekor, banyak ditemui di daerah ini.

Populasi ternaknya tergolong tinggi terutama untuk Kecamatan Pasean dan Batuputih menduduki wilayah dengan jumlah ternak paling tinggi di bandingkan di kecamatan lain di masing-masing Kabupaten tersebut. Kharakteristik lainnya yakni termasuk kategori sumber bibit dengan proporasi sapi betina jauh lebih tinggi dari sapi jantan yakni ± 90% dari total populasi sapi. Adapun jumlah KK yang menjadi peternak lebih dari 50% untuk Kecamatan Pasean dan Batuputih. Sebagai keterangan tambahan selain sebagai peternak, mereka juga sebagai petani dan terkadang sebagai buruh, dengan kata lain kepemilikan ternak sapi sebagai pendapatan tambahan (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Populasi ternak dan, luas wilayah dan rumah tangga yang menjadi peternak (BPS, 2017abc)

Kecamatan Populasi sapi (ekor)

Rumah tangga peternak Jumlah desa

Luas wilayah (km2) KK % dari total KK

Pasean 30.632 9.865 67% 9 76,88 Batuputih 34.485 12.458 91% 14 112,31 Waru 13.514 12 70,03

Budaya Sapi Sonok

Budaya sapi sonok mencakup sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, kontes sapi sonok, dan manajeman pembibitan dan produksi sapi potong. Sapi pajangan adalah tempat untuk pemajangan sapi, selain itu berfungsi sebagai tempat penjemuran, dan pengobatan serta juga digunakan sebagai sarana melatih sapi sonok. Tempat pemajangan ini disebut taccek yang terbuat dari bahan kayu tetapi ada pula yang dari besi. Setiap rumah peternak biasanya dibagian halaman depan atau bagian samping terdapat tempat pemajangan ini. Di tempat itulah kebiasaan peternak berlama-lama memandang sapi yang dipajang serta merawatnya.

592 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Kolom taccek adalah sapi betina 24-50 ekor dijejer berbaris menurut ketinggian. Fungsi kolom taccek tersebut adalah salah satu tempat sebagai ajang silaturahmi antar peternak dan penyuluhan. Di samping itu sebagai media transaksi penjualan. Pada acara kolom taccek juga hadir peternak dari luar desa seperti dari kecamatan atau kabupaten lain. Nuansa kekeluargaan sangat kental dengan hidangan kopi dan gorengan. Mereka duduk bersila dengan mempercakapkan banyak hal.

Warung taccek adalah sarana untuk media transaksi jual beli sapi. Lokasinya berada dipinggir jalan, tepatnya disebelah kanan atau sebelah kiri tersedia lahan kosong tempat sapi dipajang. Lahan kosong ini bisa menampung 20 hingga 30 ekor sapi. Warung taccek ini juga sebagai tempat peternak minum kopi hingga silaturahmi (Kutsiyah, 2015).

Kontes sapi sonok adalah lenggak-lenggok sapi betina yang didandan cantik berpenampilan bersih, proporsional dan gemulai serta perilakunya jinak. Dalam kontes ini banyak tontonan lainnya yang menarik yakni tarian joki, sinden, musik saronen dan keunikan perilaku peternak sapi sonok yang spontan, bersahabat serta menyatu dengan irama budaya sapi sonok (Kutsiyah, 2017). Kondisi Sosial Budaya Masyarakat di Sentra sapi Sonok

Seringkali pandangan masyarakat tentang sapi sonok dipersepsikan sebatas kontes sapi saja. Mungkin sekilas hal tersebut yang paling mengemuka, namun jika ditelusuri mulai dari asal muasal hadirnya hingga sosial kultural masyarakat, budaya sapi sonok mencakup sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, kontes sapi sonok, dan manajeman pembibitan dan produksi. Kelembagaan (budaya) yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat di sentra sapi sonok adalah kegemaran terhadap kontes sapi sonok dan sapi pajangan dalam bentuk kolom taccek (perkumpulan sapi pajangan). Keduanya sebagai pertunjukan yang menarik untuk ditonton.

Budaya sapi sonok berjalin kelindan dengan perbaikan performan ternak, peningkatan pendapatan peternak hingga transaksi penjualan. Kehadiran budaya ini terbukti melanggengkan ketersediaan sapi madura unggul, peningkatan harga jual, sebagai sarana silaturahmi antar peternak dan tidak kalah pentingnya menyuguhkan tontonan menarik, indah dan rancak.

Pertama, Fakta budaya ini dapat melanggengkan ketersediaan sapi Madura unggul yaitu performan sapi Madura di wilayah tersebut tergolong unggul dibandingkan di wilayah lainnya di Pulau Madura, dengan berat badan kisaran 300-600 Kg. Faktor penyebabbnya karena telah diterapkan system seleksi keturunan (uji zuriat), individu dan silsilah dan pola pemeliharaannya tergolong cukup optimal. Kedua, peningkatan pendapatan peternak (Kutsiyah, 2012). Hasil penelitian Agustina (2013) pembibitan sapi sonok pendapatannya cukup menggiurkan. Penerimaannya diperoleh bukan hanya dari penjualan pedet (anak sapi) tetapi juga dari jasa sewa sapi sonok untuk kegiatan hajatan ataupun acara lainnya. Di samping itu harga sapi sonok lebih tinggi daripada sapi madura yang bukan kategori sapi sonok. Ketiga, transaksi penjualan sapi sonok dilakukan pada acara kolom taccek. Pada saat acara tersebut perternak memilih performan calon sapi yang disukainya disinilah transaksi jual beli terjadi.

Keseharian budaya sapi sonok yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Frekuensi kegiatan even kolom taccek dan kontes sapi sonok banyak ditemui.

Tempat pelaksanaan perkumpulan sapi taccek ini di lapangan dan halaman rumah

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

593

penduduk. Pelaksanaannya berpindah-pindah dari kelompok kepada kelompok lain. Setiap dusun memiliki kelompok kecil, dengan 2-3 kelompok kecil dan anggota minimal 24 orang. Kegiatan kolom taccek untuk satu perkumpulan digelar dua minggu sampai satu bulan sekali.

2) Masyarakat melatih sapi sonok. Sebagai penjelasan sapi sonok adalah sapi betina yang memiliki ciri-ciri cantik, bisa berjalan lurus mengikuti irama saronen dan komando pawang sampai ke arena finish dengan tumpuan kaki tepat saat dia menempatkannya pada ukuran balok setinggi 15 cm.

3) Tempat pemajangan (taccek) sapi dimiliki per kepala keluarga (KK), hampir semua petani memiliki tempat pemajangan sapi dan kandang. Biasanya taccek dibuat ala kadarnya, khusus sapi sonok dibuat dari besi dan dihiasi pohon-pohonan.

4) Terdapat beberapa peternak yang memiliki sapi pejantan unggul yang dijadikan pemacek. Para peternak lainnya baik yang memiliki sapi sonok ataupun sapi madura bukan tergolong sonok menggunakan jasa pejantan unggul tersebut.

5) Adanya warung taccek. Saat ini jumlah warung taccek sangat jarang ditemui, dan yang masih ada keadaannya sangat mengenaskan. Berkurangnya jumlah warung taccek karena banyaknya alih fungsi lahan.

6) Memproduksi pengangguy (pakaian dan pernak-pernik) dan pangonong untuk sapi sonok. Pangangguy ini mencakup hiasan kepala, hiasan kaki, leher dan tubuh sapi.

7) Keunikan perilaku peternak disini terlihat dari kebiasaan peternak yang sehariannya memandikan sapi, memijat serta melatih langkah sapi. Teknik pembibitannya maupun manajeman pakan agak berbeda dari sapi potong pada umumnya.Seklain itu ritualitas ketika pembelian sapi sering kali ditemui, yang biasanya melibatkan tetangga dekat untuk merayakannya.

8) Terdapat club atau kelompok penari dan pemain saronen dengan variasi kreativitas baik dari segi fashion, tarian maupun hal-hal lainnya.

Budaya sapi sonok sebagai Potensi Daerah Berikut hasil analisis lingkungan internal dari Budaya sapi sonok beserta turunannya sebagai Potensi Daerah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerangka analisis VRIO Budaya Sapi Sonok

Sumberdaya V R I O Implikasi kompetitif Kinerja ekonomi

Kon

tes s

api S

onok

Perlombaan lenggak lenggok sapi sonok

v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Saronen - v v v Temporary competitive advantage

Di atas normal

Tari nantheng v - - v Competitive parity normal Tari topeng Gettak v v - - Competitive parity normal Karawitan v - - v Competitive parity normal Pangangguy v v v - Temporary competitive

advantage Di atas normal

Keu

nika

n

Pajangan sapi v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Taneyan lanjhang v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Kolom taccek v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

594 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Warung taccek v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Pemeliharaan & pelatihan sapi sonok

v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Sum

berd

aya

man

usia

Budaya masyarakat v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Paguyuban sapi sonok v - - v Competitive parity normal Pembuatan jamu ternak v - - v Competitive parity normal Pengetahuan: pemeliha-raan dan pembibitan sapi

v - - v Competitive parity normal

Sikap ramah masyarakat lokal

v - - v Competitive parity normal

Tenaga pengelola, dan pelaku pariwisata

- - - - Competitive disadvantage Di bawah normal

Ker

ajin

an Batik Madura v v v v Sustainable competitive

advantage Di atas normal

Ornamen sapi sonok v v v - Temporary competitive advantage

Di atas normal

Baju Pesa’an - - - - Competitive disadvantage Di bawah normal Kerajinan dari bambu - - - - Competitive disadvantage Di bawah normal

Kul

iner

Soto madura - - - - Competitive disadvantage Di bawah normal Kaldu kikil v v - - Competitive parity normal Petis ikan v v - - Competitive parity normal Terasi - - - - Competitive disadvantage Di bawah normal Otok v v - - Competitive parity normal Poleh v v - - Competitive parity normal Tattabun v v - - Competitive parity normal Lepet v v - - Competitive parity normal

Fakt

or

pend

ukun

g la

inny

a

Keindahan alam: pantai slopeng, pantai lombang

v - - v Competitive parity normal

Karapan sapi v v v v Sustainable competitive advantage

Di atas normal

Terjaminnya keamanan, ketertiban dan kebersihan

v - - v Competitive parity normal

Produksi buah-buahan: srikaya, mangga, dll

v - - v Competitive parity normal

Dari Tabel 3 Potensi budaya sapi sonok memiliki kekuatan yang bersifat

strategis yaitu (1) Perlombaan lenggak lenggok sapi sonok: kedua pasang sapi lurus berjalan mengikuti irama saronen sampai ke arena finish dan kaki dengan tepat bertumpu /menenpatkan kedua kakinya pada ukuran balok setinggi 15 cm (2) pajangan sapi (3) kolom taccek (4) taneyan lanjhang, (4)pemeliharaan & pelatihan sapi sonok, (5)budaya masyarakat (6)saronen (7)pangangguy (8)kerajinan yang berupa ornamen sapi sonok (9)batik madura. Daftar kekuatan inilah yang menjadi modal besar bagi tumbuh kembangnya destinasi desa wisata dan ekonomi kreatif berbasis budaya sapi sonok di wilayah bagian utara Pulau Madura.

Destinasi Desa Wisata Budaya Sapi Sonok dan Keterkaitannya dengan Ekonomi Kreatif

Branding adalah sebuah proses membuat sebuah brand menjadi branded, prosesnya meliputi mengeksplor potensi daerah yang berbasiskan kearifan lokal, mengemas potensi daerah yang unggul secara terintegrasi dan mengekspos potensi tersebut agar dikenali dan diingat oleh dunia, baik nasional maupun internasional. Seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

595

identitas yang membuat daerah anda unik dan berbeda dengan daerah lain, artinya menggunakan keunikan untuk membedakan Madura dari daerah lain” identitas daerah dapat mengakar pada kearifan lokal: nilai-nilai budaya, kondisi geografis, kondisi demografis dan kondisi sosio cultural (Markplus, 2016).

Salah satu pendekatan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat desa berbasis budaya yang saat ini sedang trend adalah destinasi desa wisata budaya. Disinilah budaya sapi sonok dapat dijadikan sebagai pariwisata desa (rural tourism). Desa sapi sonok dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan. Desa sapi sonok harus berisi segala hal terkait budaya sapi sonok, mulai dari aspek pemeliharaan, pelatihan, kontes, sapi pajangan, warung taccek, souvenir, baju kedaerahan madura dan peralatan musik tradisional yang mengiringnya.

1. Kandang sapi 2. kebersihan, keunikan tempat pakan serta view tanpak luar dan dalam kandang.

Konsep eco-wisata diselipkan didalamnya, seperti penanganan limbah kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk, artinya perlu dibangun biogas di rumah-rumah peternak.

3. Tempat pemajangan sapi dibuat indah dan menarik. Mulai dari alas dasar di cor dengan semen, kemadian tacceknya dibuat dari besi serta diselingi dengan pernak pernik lainnya. taccek, tempat sapi dipajang yang berfungsi juga untuk memandikan, memijat, menjemur serta relaksasi sapi. Di samping itu sebagai sarana melatih sapi sonok dalam posisi menaikkan kaki depannya ke balok kayu (latihan jejek).

4. Adanya gazebo atau semacam langgar sehingga ada tempat nyaman untuk ngobrol dan berbincang-bincang). Di desa ini juga bisa diterapkan taneyan lanjang (kampong meji).

5. Lapangan untuk kontes dan atau lapangan untuk kolom taccek ditata sedemikian rupa. Lapangan ini digunakan untuk kontes sapi sonok, pertemuan kolom taccek dan juga sebagai tempat latihan bagi para penari/penggembira.

6. Tontonan atau klub sapi sonok lengkap dengan joki, penari dan peralatan music saronen.

7. Ruang untuk pembuatan jamu disediakan secara khusus, disini tidak hanya untuk meracik jamu sapi sonok tetapi juga ruang untuk para wisatawan yang mau belajar membuat jamu-jamuan terkait konsumsi sapi sonok. Mulai dari ronronan, paramtoan, srikaya dan lainnya.

8. ada outlet yang menyediakan souvenir (handicraft atau memorabilia) dan ornamen-ornamen lain sebagai daya tarik.

9. Adanya kios pangangguy (pakaian dan pernak-pernik sapi sonok) 10. Warung taccek adalah media untuk memperkenalkan kuliner khas Madura, mulai

dari soto, tattabun, lepet, krepik tette, rujak, krupuk tangguk, krupuk ikan khas dan yang lainnya. Tidak kalah pentingnya adanya pengolahan produk berbasis sumberdaya lokal di destinasi desa wisata budaya ini

11. Di wilayah lain perlu kontribusi seperti kolaborasi dengan produk. Batik sebagai salah satu ikon, maka perlu banyak inovasi, tidak hanya sebatas kualitas produk tetapi manajeman ekonomi kreatif perlu dikedepankan dan salah satu caranya dengan disandingkan bersama wisata budaya sapi sonok. Sampai saat ini bagi wisatawan berburu batik masih menjadi favorit, selain mengunjungi obyek wisata.

596 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Dengan kata lain desa sapi sonok akan menggiring wisatawan untuk melihat atraksi, berinteraksi atau merasakan pengalaman langsung dengan budayanya dan merangsang mereka membeli souvenir khas Madura. Oleh karena itu, diharapkan nantinya ada kegiatan ekonomi kreatif di Kabupaten Pamekasan dalam bentuk paket wisata desa sapi sonok yang secara rutin diterapkan.

Sebagai penegasan kembali bahwa destinasi Desa wisata budaya sapi sonok dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan. Desa sapi sonok harus berisi segala hal terkait budaya sapi sonok, mulai dari aspek pemeliharaan, pelatihan, kontes, sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, pangangguy sapi sonok, souvenir, baju kedaerahan madura dan peralatan musik tradisional serta klub/kelompok penari yang mengiringinya (Kutsiyah, 2015).

Desa wisata budaya sapi sonok adalah cara patas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena sekaligus lima keuntungan yang bisa diraih. Pertama, pemicu hadirnya ekonomi kreatif di sentra sapi sonok. Kedua, optimalisasi budaya sapi sonok, ini berarti semakin melanggengkan ketersediaan sapi madura unggul. Ketiga, village breeding centre mudah diterapkan, sebab setiap dusun memiliki koordinator wilayah dalam penaungan paguyuban sonok. Keempat, pertanian terpadu (agrotechnopark) akan lebih berhasil karena adanya pendampingan untuk terwujudnya desa wisata yang mengharuskan desa sapi sonok dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan. Kelima, corporate farming“ala Madura” mudah diterapkan, karena penerapannya memadukan dengan konsep taneyan lanjang yang merupakan tradisi dari masyarakat Madura (Kutsiyah et al, 2014; 2015).

Gambar 3. Pola pengembangan desa wisata budaya sapi sonok dan keterkaitannya

dengan ekonomi kreatif (Kutsiyah, 2015; dimodifikasi merujuk kharakteristik Kecamatan Batuputih, Waru dan Pasean).

Disinilah pola-pola pengembangan ekonomi kreatif sebagai pengungkitnya adalah sektor

wisata budaya sapi sonok dapat diterapkan mulai dari desa (kampung) sapi sonok hingga

Kontessapi

sonokOutlet

EKONOMI KREATIF

Pengembangan kontenbudaya sapi sonok

Wisata Ekonomi kreatifSomething to do Proses pembuatan batik tulis, tarian, musik

Something to buy Souvenir (kuliner khas madura, batik, kaos)

memorabilia

Venue penawaran

Penyerapanproduk kreatif

Pengembangan konten kontessapi sonok: diversifikasipermainan, musik danperkakas sapi sonok

Destinasi Desa wisata Budaya sapi sonok

Keberagaman budaya Kontes sapi sonok, kolom taccek, warung taccek dan turunannya yang melembaga dalam kehidupan masyarakat

Keindahan alam Pertanian dan pantai

Ekonomi kreatif Kolaborasi dengan budaya batik, kuliner, ukiran, asesoris lainnya

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

597

menyembulkan landmark “pencitraan wilayah Madura melalui paket wisata budaya sapi sonok, yang menawarkan kebergaman budaya dan ekonomi kreatif. Beberapa pakar pengamat bidang pariwisata menyebutkan, kelemahan konsep desa wisata di Indonesia tidak adanya link dengan industri kreatif untuk produksi souvenir, keduanya tidak bersanding tetapi berjalan secara terpisah. Secara umum pola pengembangan sapi sonok dapat dilihat pada pada Gambar 3.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi budaya sapi sonok memiliki kekuatan

yang bersifat strategis. Budaya ini berjalin kelindan dengan perbaikan performan ternak, peningkatan pendapatan peternak, pemurnian plasma nutfah sapi madura, ajang silaturahmi para peternak, mempermudah transaksi penjualan serta sebagai tontonan yang menarik, rancak dan kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti baju khas madura, alat musik (saronen dan karawitan), tarian hingga kerajinan tangan. Disamping itu perilaku dan interaksi sosial yang melingkupi budaya ini khas, butuh ketelatenan dan atribut-atributnya adalah spesifik karakter Madura. Oleh karena itu, dengan potensi yang dimilikinya diharapkan adanya destinasi desa wisata budaya sapi sonok. Wisata pedesaan tersebut dibuat menarik, indah dan memberi kenangan bagi wisatawan dan berisi segala hal terkait sosial-budaya masyarakat di sentra sapi sonok, mulai dari aspek budidaya, pelatihan, kontes, sapi pajangan, kolom taccek, warung taccek, produk kreatif (kolaborasi batik, kuliner, ukiran dan asesoris lainnya seperti pangangguy, baju kedaerahan madura dan saronen).

Ucapan Terima kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberi bantuan pendanaan hibah bersaing untuk pelaksanaan penelitian yang berjudul Kelembagaan pembibitan sapi Madura di Pulau Madura, Bappeda Kabupaten Pamekasan atas kepercayaan pada penulis untuk melaksanakan penelitian One Village One Product di Kabupaten Pamekasan, Balitbangda Kabupaten Pamekasan dengan mensponsori penelitian penulis dengan judul Desain menumbuhkembangkan ekonomi kreatif di sentra sapi sonok kabupaten Pamekasan. Sebagai keterangan tambahan artikel ini mengambil data dari tiga hasil penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Agustina, D.K. 2013. Pengembangan budidaya sapi sonok dalam prospektif ekonomi kreatif di

Waru – Pamekasan. Tesis. Program Pascasarjana, UPN “Veteran”Jawa Timur. Augustyn, M. 1998. National strategies for rural tourism development and sustainability: The

Polish experience. Journal of Sustainable Tourism, Vol 6(3): 191-209. Barbieri, C. 2013. Assessing the sustainability of agri-tourism in the US: A comparison between

agri-tourism and other farm entrepreneurial ventures. Journal of Sustainable Tourism, Vol 21(2): 252-270.

Barney, J., and D. Clark. 2007. Resource-Base Theory: Creating and Sustaining Competitive Advantage. New York: Oxford University Press

BPS(a). 2017. Statistik Daerah Kecamatan Pasean tahun 2017. http://pamekasankab.bps.go.id. Access date 2017.07.19

BPS(b). 2017. Statistik Daerah Kecamatan Waru tahun 2017. http://pamekasankab.bps.go.id. Access date 2017.07.19

598 JEPA, 3 (3), 2019: 586-599

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

BPS(c). 2017. Statistik Daerah Kecamatan Batuputih tahun 2017. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. http://pamekasankab.bps.go.id. Access date 2017.07.19

Purwanggono, D. 2009. Konsep desa wisata. Jurnal pariwisata Indonesia, Vol 4 (2) Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2008. “Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia 2025 : Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009 – 2025” Flisher, A., & Felsenstein, D. 2000. Support for rural tourism: Does it make a difference?

Annuals of Tourism Research, 21(4), 180-194. Frochot, I. 2005. A benefit segmentation of tourists in rural areas: A Scottish

perspective.Tourism Management, 26(3), 335–346. Gao, J and B, Wu. 2017. Revitalizing traditional villages through rural tourism: A case study of

Yuanjia Village, Shaanxi Province, China. Tourism Management 63 (2017) 223-233. journal homepage: www.elsevier.com/locate/tourman

Graburn, N.H.H. 2000. Preface. In Michael Hitccock and K. Teague (eds) The Material Culture of Tourism. Aldershot, Ashgate.

Kastenholz, E., M.J. Carneiro., C.P. Marques., J. Lima. 2012. Understanding and managing the rural tourism experience — The case of a historical village in Portugal. Tourism Management Perspectives, vol 4: 207–214

Kutsiyah, Farahdilla. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong di Pulau Madura. Volume 22 nomor 3. Wartazoa. 113-126.

Kutsiyah, Farahdilla. 2012. Kelembagaan dan Pembibitan Sapi Potong di Pulau Madura. Karya Putra Darwati, Bandung.

Kutsiyah, Farahdilla. 2015. Sapi Sonok dan Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat Madura. Plantaxia, Yogyakarta.

Kutsiyah, Farahdilla. 2016. Pengembangan Agribisnis sapi Bibit Madura Melalui Pendekatan one tambon one product (OTOP) di Pulau Madura. Maduranch, Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. Vol 1 No 1.

Kutsiyah, Farahdilla. 2017. Performa Desa yang diusulkan untuk penerapan One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Pamekasan. Iqtishadia, Jurnal Ekonomi & Perbankan Syariah, Vol.4 No.1

Markplus Institute. 2015. Ekonomi kreatif Indonesia. Jakarta. Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective And Challenges, makalah bagian dari laporan

konferensi internasional mengenai pariwisata Budaya. http://supertoolbar.ask.com/redict?client =ie&tb=NG2V5&o=&src=kw&q=id.wikipedia.org/wiki/desa_wisata&locale=en_US. Diaskses pada tanggal 10 februari 2013.

Ooi, Can-Seng (2006). ”Tourism and the Creative Economy in Singapore” Departement of International Economics and Management. Copenhagen Business School

Park, D., & Yoon, Y. (2009). Segmentation by motivation in rural tourism: A Korean case study. Tourism Management, 30(1), 99–108.

Prasiasa, Oka Dewa Putu. 2013. Destinasi Pariwisata Berbasis Masyarakat. Jakarta. Salemba Humanika.

Putra, A. M. 2006. Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata, Vol 5 (1) Putra, I Nyoman Darma (ed.). 2015. Pariwisata Berbasis Masyarakat Model Bali.Denpasar Saxena, G., Clark, G., Oliver, T., Ilbery, B., Clark, G., & Chabrel, M. (2007). Conceptualizing

integrated rural tourism. Tourism Geographies, 9(4), 347-370. UNDP (2008). “Creative Economy Report 2008”

Farahdilla Kutsiyah – Menumbuhkembangkan Destinasi Desa Wisata Dan Ekonomi Kreatif...........

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

599

Wandrial, Son. 2011. Analisis Internal Perusahaan (Strength & Weakness),Menggunakan konsep ‘Resource-Based View Of The Firm’ Dengan Kerangka VRIO. Binus Business Review. Vol. 2 No. 2 November 2011: 627-637

Wulandari, L.W. 2014. Pengembangan Pariwisata Ekonomi Kreatif Desa Wisata Berbasis Budaya Sebagai Niche Market Destination (Studi Kasus Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Sleman). ApLikasi Bisnis. 2014. 2140-2167

Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Angkasa Yoety, Oka A, 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 600-607

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME PENJUALAN DAN PERAMALAN VOLUME PENJUALAN KOPI DI PT PERKEBUNAN

NUSANTARA IX

ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING AND FORECASTING FOR COFFEE SALES VOLUME IN PT PERKEBUNAN NUSANTARA IX

Madelin Christin Libriani Sinaga*, Edy Prasetyo, Kustopo Budirahardjo

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted at PT Perkebunan Nusantara IX, Central Java. This research aimed to analyze factors that affect coffee sales volume in PT Perkebunan Nusantara IX and forecast coffee sales volume in December 2018. Purposive sampling was used to choose location. The research method used is a secondary data. Secondary data used are data 2014-2017. The method of data analysis is multiple regression linear and time series trend. The results of multiple regression linear show that cost of goods sold and marketing expenses have a positive influence on the volume of coffee sales. Product prices do not have a significant effect on the volume of coffee sales. The results of trend time series show that the best forecasting method to show coffee sales volume with seasonal data pattern is additive winters method with MAPE 152. Keywords: coffee, factors, sales, trends

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di PT Perkebunan Nusantara IX, Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX dan meramalkan volume penjualan kopi Desember 2018. Metode penentuan lokasi dilakukan secara sengaja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah data tahun 2014-2017. Metode analisis data dengan analisis regresi berganda dan analisis trend time series. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan harga pokok penjualan dan beban pemasaran memberi pengaruh positif terhadap volume penjualan kopi. Harga produk tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume penjualan kopi. Hasil analisis trend time series menunjukkan bahwa volume penjualan kopi metode winters additive sebagai metode peramalan yang paling baik digunakan untuk pola data musiman dengan MAPE 152. Kata Kunci: kopi, faktor-faktor, penjualan, trend

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan di Indonesia pada masa globalisasi bukan hanya di sektor industri, namun juga di sektor pertanian untuk menghadapi persaingan dengan negara lain. Perusahaan harus terus menerus beradaptasi pada perubahan tren dan mengelola

Madelin Christin Libriani Sinaga – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

601

faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan produk yang dihasilkan. Sektor pertanian merupakan salah satu usaha yang memberikan keuntungan yang cukup besar bagi suatu perusahaan dan negara. Salah satu sub sektor pertanian yang memberi keuntungan adalah perusahaan perkebunan.

Kopi merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai jual yang tinggi dan menjadi kebutuhan bagi masyarakat bukan hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri. Indonesia merupakan salah satu negara eksportir kopi terkuat di dunia. Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO) tahun 2016, Indonesia merupakan negara eksportir ke empat di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia dengan estimasi produksi kopi 667.700 ton per tahun. Nilai ekspor Indonesia dan daya saing perdagangan kopi Indonesia yang tinggi memerlukan manajemen perencanaan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan kopi bagi masyarakat di dalam negeri maupun di luar negeri.

PT Perkebunan Nusantara IX merupakan salah satu perusahaan perkebunan milik negara yang memiliki dua divisi, yaitu divisi tanaman tahunan dan divisi tanaman semusim. Divisi tanaman tahunan mengelola komoditas karet, teh, kopi dan usaha agrowisata dan industri hilir. Divisi tanaman semusim mengelola komoditas gula dan tetes. PT Perkebunan Nusantara IX memiliki 15 kebun dan 1 unit agrowisata/ hilir dalam mengelola divisi tanaman tahunan serta 8 pabrik untuk mengelola divisi tanaman semusim. Kopi merupakan salah satu komoditas yang dikelola oleh divisi tanaman tahunan PT Perkebunan Nusantara IX, dimana PT Perkebunan Nusantara IX dituntut untuk terus meningkatkan produksi dan efisiensi pengusahaan kopi untuk meningkatkan daya saing kopi Indonesia di kancah internasional.

Wilayah kerja PT Perkebunan Nusantara IX yang mengusahakan kopi adalah Kebun Getas Salatiga, Kebun Sukamangli, Kebun Ngobo, dan Kebun Jollong berada pada ketinggian 200 – 800 meter di atas permukaan laut, sehingga cocok ditanami untuk melalukan budidaya kopi jenis robusta. Hal ini sesuai dengan pendapat Prastowo et al. (2010), kopi robusta tumbuh dengan baik pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut. Wilayah kerja yang melakukan budidaya kopi di PT Perkebunan Nusantara IX yaitu : Kebun Getas, Kebun Jollong, Kebun Sukamangli, dan Kebun Ngobo. PT Perkebunan Nusantara IX tidak hanya membudidayakan kopi robusta, namun juga menjalankan usaha kopi dalam bentuk perdagangan dengan melakukan ekspor ke luar negeri serta memiliki usaha hilir. Ekspor kopi ke luar negeri dapat dilakukan dengan baik apabila jumlah produksi kopi PT Perkebunan Nusantara IX berlimpah dan stabil. Harga jual produk kopi, biaya produksi, biaya distribusi dan biaya promosi juga menjadi faktor penting agar PT Perkebunan Nusantara IX dapat bersaing dengan kompetitor dalam menjual produk kopi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX dan meramalkan volume penjualan kopi Desember 2018. Manfaat dari penelitian ini bagi perusahaan adalah dapat memberi informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan kopi dan peramalan volume penjualan kopi untuk Desember 2018, sedangkan bagi ilmuwan atau para peneliti adalah sebagai bahan referensi dan tambahan informasi.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober – November 2018 di Kantor Pusat PT Perkebunan Nusantara IX di Jalan Mugas Dalam, Mugassari, Semarang Selatan, Kota Semarang. Metode penelitian dengan menggunakan metode data sekunder. Data sekunder berupa data tahun 2014-2017. Metode analisis data dengan analisis regresi linier berganda

602 JEPA, 3 (3), 2019: 600-607

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dengan IBM SPSS 23 untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah volume penjualan (Y), sedangkan variabel independen yaitu, harga produk (X1), harga pokok penjualan (X2) dan beban pemasaran (X3). Metode yang digunakan untuk menganalisis peramalan adalah metode time series yaitu menggunakan metode yang terbaik menggunakan Minitab 16. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data volume penjualan kopi dari tahun 2014-2016 dan diamati setiap bulan.

Uji normalitas dan uji asumsi klasik dilakukan sebelum melakukan analisis regresi linier berganda. Uji asumsi klasik terdiri dari uji autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama dan mengetahui variabel independen mana yang berpengaruh paling dominan terhadap variabel dependennya. Persamaan analisis linier regresi berganda adalah sebagai berikut : Yi = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e ........................................................ (Ghozali, 2016) Keterangan : Yi = Volume Penjualan (kg/bl) X1 = Harga Produk (Rp/kg) X2 = Harga Pokok Penjualan (Rp/bl) X3 = Beban Pemasaran (Rp/bl) e = Perkiraan kesalahan pengganggu (error) a = Konstanta

Analisis trend time series dilakukan untuk meramalkan kondisi volume penjualan Desember 2018. Penentuan pola data harus dilakukan sebelum melakukan analisis dengan melihat grafik P-Plot dan Grafik Autocorrelation Function (ACF). Metode peramalan yang mungkin dilakukan pada pola data musiman adalah metode dekomposisi, winter’s, regresi deret waktu dan ARIMA Metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dekomposisi dan winter’s. Analisis trend time series yang terbaik dilihat dari nilai tengah galat persentase absolut (Mean Absolute Percentage Error) (Taylor III, 2005). Perhitungan MAPE (Mean Absolute Percentage Error) yang terbaik dengan memilih garis trend yang memberi MAPE terkecil (Juanda dan Junaidi, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Penjualan Kopi

Data volume penjualan kopi PT Perkebunan Nusantara IX digunakan sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independen yang digunakan adalah harga produk, harga pokok penjualan dan beban pemasaran. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda yang diperoleh, dapat dilihat seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Variabel Unstandardized Coefficients B Std. Error

(Constant) 35826,171 Harga Produk (X1) -1,041 1,361 Harga Pokok Penjualan (X2) 6,126E-6 0,000 Beban Pemasaran (X3) 7,637E-5 0,000

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nasional IX 2014-2017

Madelin Christin Libriani Sinaga – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

603

Selanjutnya, berdasarkan Tabel 1 dapat dituliskan persamaan regresi linier berganda sebagai berikut : Y = 35826,171 - 1,041X1 + 6,126E-6X2 + 7,637E-5X3 + e Berdasarkan persamaan analisis regresi linier berganda dapat dinyatakan bahwa harga produk (X1) berpengaruh negatif terhadap volume penjualan (Y), harga pokok penjualan (X2) berpengaruh positif terhadap volume penjualan (Y) dan beban pemasaran (X3) berpengaruh positif terhadap volume penjualan (Y). Nilai F signifikansi sebesar 0,001 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan bahwa harga produk, harga pokok penjualan dan beban pemasaran secara serempak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penjualan kopi. Berdasarkan hasil uji t diperoleh hasil seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Uji t

Variabel T Sig. Harga Produk (X1) -0,765 0,451 Harga Pokok Penjualan (X2) 3,963 0,000 Beban Pemasaran (X3) 2,220 0,035

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nusantara IX 2014-2017 Berdasarkan Tabel 2, hasil analisis uji t menunjukkan bahwa harga produk (X1) tidak

mempengaruhi volume penjualan (Y) kopi di PT Perkebunan Nasional IX dengan nilai sig 0,451 > 0,05. Harga pokok penjualan (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap volume penjualan (Y) kopi di PT Perkebunan Nasional IX dengan nilai sig. 0,000 ≤ 0,05. Beban pemasaran (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap volume penjualan (Y) kopi di PT Perkebunan Nasional IX dengan nilai sig. 0,035 ≤ 0,05. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghozali (2016) yang menyatakan apabila nilai signifikansi uji t hitung ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, menunjukkan bahwa variabel independen secara parsial (individu) mempengaruhi variabel dependen dan apabila nilai signifikansi uji t hitung > 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, menunjukkan bahwa variabel independen secara parsial (individu) tidak mempengaruhi variabel dependen. Harga pokok penjualan (X2) berpengaruh secara positif terhadap volume penjualan kopi (Y), dimana semakin tinggi harga pokok penjualan maka volume penjualan akan meningkat. Beban pemasaran (X3) berpengaruh secara positif terhadap volume penjualan kopi (Y), dimana semakin tinggi beban pemasaran maka volume penjualan akan meningkat.. Nilai Adjusted R Square sebesar 38,3%. Hal tersebut menunjukkan bahwa 38,3 % perubahan volume penjualan dapat dipengaruhi oleh harga produk (X1), harga pokok penjualan (X2) dan beban pemasaran (X3), sisanya sebesar 61,7 % dipengaruhi oleh variabel lain. Rendahnya nilai Adjusted R Square dapat dipengaruhi oleh variabel independen yang kurang konkret, dimana ada kemungkinan variabel lain yang mempengaruhi volume penjualan di PT Perkebunan Nusantara IX. Hasil penelitian sebelumnya dari Khulud et al., (2016) yang menyatakan bahwa tingkat harga dan biaya promosi berpengaruh positif secara signifikan terhadap volume penjualan kopi dan biaya produk, sedangkan biaya distribusi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penjualan kopi dengan nilai koefisien determinasi sebesar 76,4%. Analisis Peramalan Time Series Berdasarkan hasil analisis identifikasi pola data diperoleh hasil bahwa pola data volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX tidak stasioner dan memiliki unsur musiman. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanke dan Witchers (2005) bahwa pola musiman,

604 JEPA, 3 (3), 2019: 600-607

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

ditandai dengan adanya pola perubahan yang berulang secara otomatis dari tahun ke tahun. Hasil dapat dilihat dari Grafik 1. Grafik 1. Pola Data Penjualan 2014-2016

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nasional IX 2014-2016 Metode peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode dekomposisi dan metode winter’s. Pemilihan metode peramalan terbaik dilihat melalui nilai MAPE terkecil. Berdasarkan hasil analisis peramalan volume penjualan dengan metode dekomposisi dan metode winters diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 2. Analisis Time Series Volume Penjualan No Model Analisis MAPE Urutan Metode

Terakurat 1 Metode Dekomposisi Trend Plus Seasonal Multipticative 212 3 Trend Plus Seasonal Additive 214 4 Seasonal Only Multipticative 223 6 Seasonal Only Additive 216 5 3 Metode Winters Winters Multipticative 171 2 Winters Additive 152 1

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nusantara IX 2014-2016 Berdasarkan hasil pemilihan metode peramalan terbaik, maka metode winter’s additive adalah metode peramalan yang paling baik digunakan oleh PT Perkebunan Nusantara IX untuk meramalkan volume penjualan kopi di masa depan dengan nilai MAPE sebesar 152. Hasil analisis peramalan volume penjualan sebagai berikut :

JunDesJunDesJunDes

200000

150000

100000

50000

0

Month

Penj

uala

n

Time Series Plot of Penjualan

Madelin Christin Libriani Sinaga – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

605

Tabel 3. Hasil Peramalan Volume Penjualan Metode Winter’s Additive tahun 2018 No Bulan Hasil Peramalan Batas Bawah Batas Atas

-------------------------------kg------------------------------- 1 Januari 24450 -83866 132767 2 Februari 89180 -21788 200148 3 Maret 43186 -70503 156875 4 April 54265 -62209 170739 5 Mei 6856 -112462 126175 6 Juni 46888 -75331 169108 7 Juli 7336 -117836 132508 8 Agustus 12276 -115898 140449 9 September 36057 -95163 167276 10 Oktober 38303 -96000 172615 11 November 70693 -66741 208128 12 Desember 103696 -36902 244294

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nusantara IX 2014-2016 Berdasarkan analisis time series menggunakan metode winter’s additive diperoleh hasil nilai peramalan volume penjualan bulan Desember 2018 sebesar 103.696 kg dengan nilai minimum penjualan sebesar -36.902 kg dan nilai maksimum penjualan sebesar 244.294 kg. Hasil peramalan volume penjualan di PT Perkebunan Nusantara IX bergerak naik turun setiap bulannya, dimana pada bulan kelima dan bulan ketujuh merupakan penjualan terendah di PT Perkebunan Nusantara IX. Metode peramalan alternatif adalah metode dekomposisi trend plus seasonal multipticative sebagai metode peramalan yang dapat digunakan PT Perkebunan Nusantara IX untuk meramalkan volume penjualan kopi di masa depan dengan nilai MAPE sebesar 212. Hasil analisis peramalan volume penjualan kopi sebagai berikut : Tabel 4. Hasil Peramalan Volume Penjualan Metode Dekomposisi Trend Plus Seasonal

Multipticative 2018 No Bulan Index Hasil Peramalan

(kg) 1 Januari 0,43050 35122 2 Februari 2,18377 180707 3 Maret 1,27293 106820 4 April 1,43063 121722 5 Mei 0,00000 0 6 Juni 1,40999 123255 7 Juli 0,00000 0 8 Agustus 0,27396 24588 9 September 0,33101 30094 10 Oktober 0,32167 29620 11 November 1,28407 119736 12 Desember 3,06145 289043

Sumber : Data Sekunder PT Perkebunan Nusantara IX 2014-2016

606 JEPA, 3 (3), 2019: 600-607

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Persamaan analisis time series menggunakan metode dekomposisi trend plus seasonal multipticative yang didapat sebagai berikut : Yt = 24432 + 1166t Hasil peramalan setiap bulan cenderung bergerak positif, dimana hasil penjualan diramalkan selalu mengalami peningkatan. Hasil dari persamaan tersebut dikalikan dengan index peramalan agar mendapat data yang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Hasil nilai peramalan volume penjualan bulan Desember 2018 sebesar 289.043 kg dengan index sebesar 3,06145. Hasil peramalan volume penjualan di PT Perkebunan Nusantara IX bergerak naik turun setiap bulannya, dimana pada bulan kelima dan bulan ketujuh tidak ada penjualan di PT Perkebunan Nusantara IX. Penjualan tertinggi terjadi pada bulan Desember dengan penjualan sebesar 289.043 kg.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil nilai Adjusted R Square sebesar 38,3 %, yang berarti bahwa variabel independen, harga jual (X1), harga pokok penjualan (X2) dan beban pemasaran (X3) berpengaruh sebesar 38,3% terhadap volume penjualan dan 61,7% dipengaruhi oleh variabel lain. Harga jual (X1), harga pokok penjualan (X2) dan beban pemasaran (X3) secara serempak mempengaruhi volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX. Harga jual kopi (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX. Harga pokok penjualan (X2) dan beban pemasaran (X3) berpengaruh positif terhadap volume penjualan kopi di PT Perkebunan Nusantara IX. Metode peramalan volume penjualan kopi terbaik di PT Perkebunan Nusantara IX adalah metode winter’s additive dengan nilai MAPE (Mean Absolute Percentage Error) sebesar 152 diperoleh hasil peramalan kopi bulan Desember 2018 sebesar 103.696 kg dengan batas atas 244.294 kg dan batas bawah -36.902 kg. Metode peramalan alternatif yang dapat digunakan PT Perkebunan Nuantara IX adalah metode dekomposisi trend plus seasonal multiplicative dengan MAPE sebesar 212 diperoleh hasil peramalan kopi bulan Desember 2018 sebesar 289.043 kg. Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah PT Perkebunan Nusantara IX perlu memperhatikan harga pokok penjualan dan beban pemasaran sebagai faktor yang mempengaruhi volume penjualan kopi frngan melakukan perincian biaya-biaya yang termasuk dalam harga pokok penjualan dan beban pemasaran agar memberi informasi lebih baik dan bagi peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode peramalan lain yang dapat digunakan pada pola data musiman, selain metode dekomposisi dan metode winter’s.

DAFTAR PUSTAKA Andrews, L., A. Higgins, M. W. Andrews dan J. G. Lalor. 2012. Classic grounded theory to

analyse secondary data : reality and reflection. J. The Grounded Theory Review. 11 (1) : 12-26

Ghozali, I. 2016. Aplikasi Analisis Multivariete dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Madelin Christin Libriani Sinaga – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

607

Hanke, E. J., dan D. Witchers. 2005. Business Forecasting. Pearson Eduacation Inc, New Jersey. Juanda, B. dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu : Teori dan Aplikasi IPB Press, Bogor. Khulud, Z. Arifin dan Wilopo. 2016. Analisa pengaruh bauran pemasaran terhadap volume

ekspor (Studi dengan pendekatan biaya pada komoditi kopi di PT. Asal Jaya). J. Administrasi Bisnis. 32 (2) : 53-58.

Martana, I. K. Kirya dan N. Yulianthini. 2015. Pengaruh jenis produk, biaya promosi dan biaya produksi terhadap volume penjualan. J. Bisma. 3 (1) : 1-8.

Nachrowi, D. Dan H. Usman. 2006. Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Penerbit FE UI, Jakarta.

Prastowo, E. Karmawati, Rubijo, Siswanto, C. Indrawanto dan S. J. Munarso. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor

Taylor III, B. W. 2005. Sains Manajemen. Salemba Empat, Surabaya. Wardah, S. dan Iskandar. 2016. Analisis peramalan penjualan produk keripik pisang kemasan

bungkus (Studi kasus : Home Industry Arwana Food Tembilahan). J. Teknik Industri. 11 (3) : 135-142.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 608-618

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR BUAH (TBS) KELAPA SAWIT DI KEBUN BANGUN BANDAR, PT.

SOCFIN INDONESIA

ANALYSIS OF THE FACTORS INFLUENCING THE PALM OIL FRESH FRUIT BUNCH (FFB) PRODUCTION IN BANGUN BANDAR PLANTATION,

PT. SOCFIN INDONESIA

Prian Ruri Pratama Manurung1*, Lestari Rahayu Waluyati2, dan Slamet Hartono2

1Magister Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada 2Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

*Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This research was carried out on October 1 – November 30, 2017 at Bangun Bandar palm oil plantations, PT. Socfindo in Dolok Masihul, Serdang Bedagai Regency, North Sumatera province Bangun Bandar palm oil plantation was chosen because certain considerations. Consideration of Bangun Bandar plantations as a place of research because Bangun Bandar palm oil plantation has complete facilities to support the completeness of data on research. The Bangun Bandar palm oil plantation has 3.335,64 ha acres of area is divided into 4 Afdeling. In addition, the Bangun Bandar Plantation also has factories and Socfindo Seed Production and Laboratories (SSPL). This research aims to know the influence of production factor (wide of area, FFB base, age of plant, labour, and fertilizer) against FFB production. The research of using Multiple Linear regression analysis to analyze the factors that affect the production of palm oil FFB. The results showed that the independent variable which consists of wide of area, the age of the plant, labor, and fertilizer significantly affect variables significant at the level of free 99%. Wide of area variable, labor, and fertilizer is positively influencing variables are bound or an increase in the independent variables may improve palm oil FFB production and the age of plant variable negative effect against the palm oil FFB production. While the reductions did not affect crop production foreman and the losses of the oil palm. Keyword: Palm oil, Production, Multiple Linier Regression

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 – 30 November 2017 yang bertempat di perkebunan kelapa sawit Bangun Bandar PT. Socfindo di kecamatan Dolok Masihul, kabupaten Serdang Bedagai, provinsi Sumatera Utara.Pemilihan perkebunan bangun bandar sebagai tempat penelitian dilakukan dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan perkebunan Bangun Bandar sebagai tempat penelitian karena perkebunan Bangun Bandar memiliki fasilitas yang lengkap untuk menunjang kelengkapan data pada penelitian. Perkebunan Bangun Bandar memiliki areal seluas 3,335.64 ha yang terbagi menjadi 4 Afdeling. Selain itu, perkebunan Bangun Bandar juga memilki Pabrik dan Socfindo Seed Production and Laboratories (SSPL). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaruh faktor produksi (luas areal, basis janjang, umur tanaman, tenaga kerja, dan pupuk) terhadap produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Penelitian ini menggunakan analisis Regresi Linier Berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi TBS kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel independen yang terdiri dari luas areal, umur tanaman, tenaga kerja, dan pupuk signifikan mempengaruhi variabel bebas pada tingkat signifikan 99%. Variabel luas areal, tenaga kerja,

Prian Ruri Pratama Manurung – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi .................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

609

dan pupuk secara positif mempengaruhi variabel terikat atau memperngaruhi meningkatkan produksi TBS kelapa sawit dan variabel umur tanaman berpengaruh negatif terhadap produksi TBS kelapa sawit. Kata Kunci: Kelapa Sawit, Produksi, Analisis Regresi Berganda

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elais guineensis Jacq) adalah penghasil minyak nabati terbesar di dunia

Menurut data USDA tahun 2014 dalam Woittiez et al., (2017), Produksi minyak sawit diseluruh dunia diperkirakan 63 Mt minyak sawit mentah per tahun atau 36% dari total produksi minyak nabati didunia. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar didunia. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (2016), Luas perkebunan kelapa sawit dalam periode 1980-2016 telah meningkat 39 kali lipat. Peningkatan luas areal ini terjadi pada Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN), dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Berdasarkan status pengusahaan tersebut PBN menguasai 11,67% dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, PBS 50,77% dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dan PR 37,5% dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selama 100 tahun terakhir, tanaman kelapa sawit telah berubah dari tanaman agriforestri dan tanaman hias menjadi tanaman penghasil minyak nabati yang penting di dunia (Woittiez et al., 2017).

Sebagai negara penghasil minyak sawit nomor satu di dunia, Indonesia masih kalah produktif dari negara lain. Selama ini Indonesia hanya mengandalkan luas areal untuk meningkatkan produksi. Berdasarkan data dari rata-rata produktivitas minyak sawit tandan buah segar (TBS) menginformasikan, Guatemala ada pada peringkat pertama dengan tingkat produktivitas mencapai 21,17 ton / ha, diikuti oleh Malaysia yang mencapai 21,06 ton / ha, Nikagura mencapai 20,68 ton / ha, Kolombia 19,89 ton / ha, Kamerun 19,14 ton / ha, Thailand 18,37 ton / ha, dan Indonesia 16,99 ton / ha. Menurut Corley dalam Hafif et al., (2014) bahwa produktivitas yang relatif rendah tersebut masih jauh di bawah produksi optimal yang bisa dicapai, yaitu 30 ton TBS/ha/tahun. Sementara dalam bentuk CPO, rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 3-4 ton / ha, yang juga masih jauh dari potensi hasil yang dapat mencapai 8,6 ton / ha (Ardana & Kariyasa, 2016).

Namun Indonesia tidak lagi dapat bergantung pada peningkatan luas areal untuk meningkatakan produksi. Sebab, Presiden Indonesia Joko Widodo telah merencanakan untuk menyampaikan rencana moratorium membatasi pemberian izin baru untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan tambang untuk meminimalkan tingkat perusakan hutan dan lahan serta untuk mempromosikan pelestarian lingkungan (Purnomo et al., 2018). Oleh sebab itu, perusahaan serta petani kelapa sawit harus dapat mengoptimalkan penggunaan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi TBS kelapa sawit untuk dapat menjaga serta meningkatkan produksi TBS kelapa sawit. Produktifitas kelapa ditentukan oleh dua faktor utama yang saling terkait, yakni, penerapan teknis budaya dan kesesuaian lahannya (Anwar et al., 2014). Menurut Poeloeng et al dalam Matana & Mashud (2016), penggunaan bahan penanaman adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk memaksimalkan produksi karena untuk menghasilkan 1 ton tandan buah segar (TBS), dibutuhkan 6.3 kg 2.1 kg urea, TSP, 7.3 MOP, dan 4.9 kg Kiserit.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ptoduksi TBS kelapa sawit di kebun Bangun Bandar, PT. Socfin Indonesia dan mengetahui pengaruh kebijakan pengurangan mandor atau pengawas panen terhadap kehilangan produksi. Sebab menurut Andaya et al., (2017), kemampuan, ketelitian dan pengetahuan pemanen dalam melakukan kegiatan panen serta melihat kriteria matang panen buah kelapa sawit sangat

610 JEPA, 3 (3), 2019: 608-618

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

menentukan hasil panen. Jika pemanen tidak mengetahui kriteria buah kelapa sawit yang telah matang akan menyebabkan TBS mentah terpanen. Sehingga berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian ini juga menganalisis apakah kebijakan yang dilakukan perusahan sudah tepat atau tidak.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada 1-30 November 2017 di perkebunan kelapa sawit Bangun Bandar yang terletak di Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Perkebunan Bangun Bandar adalah salah satu perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT. Socfin Indonesia (PT. Socfindo). Perkebunan Bangun Bandar dipilih sebagai tempat untuk penelitian karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti. Perkebunan Bangun Bandar dipilih sebagai tempat penelitian karena kebun Bangun Bandar memiliki fasilitas yang lengkap untuk mendukung kelengkapan data penelitian. Perkebunan Bangun Bandar memiliki luas lahan 3,335.64 ha yang dibagi menjadi 4 divisi. Selain itu, perkebunan Bangun Bandar juga memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit dan Socfindo Seeds Production and Laboratories (SSPL). Pabrik kelapa sawit Bangun Bandar perkebunan memiliki kapasitas maksimum pengolahan 25 ton TBS/jam yang mengelola TBS menjadi CPO dan PKO. SSPL adalah Laboratorium PT. Socfindo, baru saja diresmikan pada tahun 2015. Laboratorium yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memecahkan masalah-masalah teknis yang ada di kebun.

Penelitian menggunakan data primer sebagai data utama dan sekunder data sebagai data pendukung untuk melengkapi hasil penelitian. Data yang digunakan sebagai data primer adalah data produksi TBS (ton/blok), luas lahan tiap blok (ha/blok), basis panen TBS tiap blok (TBS/blok), umur tanaman (tahun/blok), dan tenaga kerja (HKO/blok) pada tahun 2017. Data penggunaan pupuk yang digunakan adalah data pada tahun 2015. Hal ini karena tanaman sawit memerlukan waktu untuk proses pertumbuhan dan perkembangan vegetatif atau generatif. Selain itu, data primer juga didapat melalui wawancara dengan karyawan, mandor, asisten lapangan, asisten kepala, dan Estate Manager serta melalui pengamatan secara langsung untuk mendapatkan informasi tambahan. Berdasarkan waktu pengambilannya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam kurun waktu tertentu dari sampel (Widarjono, 2017). Data cross section yang digunakan adalah data setiap blok pada perkebunan Bangun Bandar, dengan jumlah blok yang dianalisis sebanyak 58 blok pada 4 divisi.

Sementara itu untuk pengaruh kebijakan pengurangan mandor data yang digunakan sebagai data primer adalah data jumlah losses buah mentah yang terpanen setiap harinya (janjang/hari) selama 97 sebelum penerapan kebijakan dan 97 hari setelah penerapan kebijakan pengurangan mandor/pengawas. Berdasarkan waktu pengambilannya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series. Data time series merupakan sekumpulan observasi dalam rentan waktu tertentu yang dikumpulkan dalam interval waktu secara konitnu, misalnya data mingguan, data bulanan, data kuartalan, dan data tahunan (Widarjono, 2017).

Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi. Sebelum menganalisis data dengan analisis regresi, metode analisis memiliki asumsi tes yang harus dipenuhi. Tes klasik asumsi adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam analisis regresi didasarkan pada Ordinary Least Square (OLS). Rumus persamaan yang digunakan antara lain:

Ln Yit = b0i + b1LnX1it + b2LnX2it + b3LnX3it + b4LnX4it + b5LnX5it + eit

Prian Ruri Pratama Manurung – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi .................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

611

Keterangan: LnY = Produksi TBS (ton/blok) b0 = Koefisien Intersep bi = Parameter Variabel (i = 1,2,3,...,5) LnX1 = Luas Areal (ha/blok) LnX2 = Basis Janjang (TBS/blok) LnX3 = Umur Tanaman (tahun/blok) LnX4 = Tenaga Kerja (HKO/blok) LnX5 = Pupuk (ton/blok) e = error terms t = Waktu (tahun)

Untuk mengetahui pengaruh pengurangan mandor terhadap kehilangan produksi digunakan paired sample t-test untuk menguji apakah rata-rata kehilangan produksi sebelum dan sesudah pengurangan mandor berbeda secara nyata atau tidak. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah kebijakan pengurangan mandor berpengaruh terhadap peningkatan kehilangan produksi dalam bentuk terpanennya buah mentah di perkebunan Bangun Bandar. Hipotesis: H0 = µ1 – µ2 = 0 H1 = µ1 – µ2 ≠ 0 Uji statistik yang digunakan adalah uji t dua sampel berpasangan: !"#$ = '(

)'√+,

Dimana: t = Nilai t hitung D = Rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2 SD = Standar Deviasi selisih pengukuran 1 dan 2 n = Jumlah sampel Kriteria uji: Apabila thit> ttab → H0 ditolak Apabila thit< ttab → H0 diterima

Jika H0 ditolak maka artinya kedua rata-rata populasi tidak identik atau rata-rata kedua sampel berbeda secara nyata. Sebaliknya apabila H0 diterima maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata kedua sampel identik atau tidak berbeda secara nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi TBS Kelapa Sawit Faktor-faktor produksi TBS di kebun Bangun Bandar terdiri atasluas lahan, umur

tanaman, basis TBS, tenaga kerja, dan pupuk. Luas lahan pada divisi 1 dan 3 terus menurun dari tahun 2015 - 2017. Sedangkan pada divisi 2 dan 4 menunjukkan hal sebaliknya, luas lahan pada kedua divisi tersebut terus mengalami peningkat selama tahun 2015 - 2017. Peningkatan dan penurunan luas lahan terjadi karena adanya kebijakan perusahaan. Perusahaan melakukan replanting di setiap divisi setiap tahun. Kebijakan dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.

Menurut Saragih (2016), terdapat dua strategi untuk untuk meningkatkan produktivitas. Strategi yang pertama (S1) adalah dengan meningkatan kegiatan perawatan tanaman kelapa sawit melalui pemupukan dan perbaikan kultur teknis kebun (best practices), serta memperbaiki

612 JEPA, 3 (3), 2019: 608-618

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

teknologi pada pabrik kelapa sawit (PKS). Dalam ilmu eknomi strategi ini strategi peningkatan produktivitas parsial (perbaikan kultur teknis tanpa mengganti varietas). Sedangkan pada strategi yang kedua (S2) peningkatan produktivitas dilakukan dengan melakukan replanting, sehingga mengganti varietas lama dengan varietas yang baru/unggul. Strategi ini dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai strategi peningkatan produktivitas total (total factor productivity). Menurut Nuryartono et al (2016), Total faktor produktivitas (TFP) biasanya didefinisikan sebagai rasio output agregat untuk agregat input dan jika total output tumbuh lebih cepat dari total input, maka disebut perbaikan di TFP. Penggantian varietas baru/unggul yang disertai dengan perbaikan kultur teknis akan menggeser kurva produktivitas S1 ke S2 (Gambar 1) sehingga produktivitas kelapa sawit menjadi lebih tinggi.

Kebijakan replanting dilakukan karena banyak tanaman yang sudah berumur tua dan tidak produktif lagi. Berdasarkan umur tanamannya, produktivitas kebun Bangun Bandar beragam. Namun, semakin semakin tinggi usia tanaman maka produktivitas yang dihasilkan oleh tanaman tersebut akan semakin rendah (Gambar 1). Kebun Bangun Bandar didominasi tanaman dengan umur 3-8 tahun dan umur 9-13 tahun. Hal ini karena kebun Bangun Bandar masih berada dalam proses replanting.Sehingga diharapkan dalam beberapa tahun kedepan, tanaman yang telah di replanting dapat meningkatkan produksi TBS karena menggunakan varietas benih yang lebih baik dari sebelumnya.

Gambar 1. Strategi Peningkatan Produkstivitas Kebun Kelapa Sawit (Sumber:

Saragih, 2016) Pemupukan adalah faktor yang penting untuk meningkatkan produksi dengan

memenuhi unsur hara yang diperlukan dalam tanah. Pupuk yang digunakan kebun Bangun Bandar adalah pupuk NPK, Urea, KCL, Rock Phosphate, Dolomite, Kieserite, and Borax. NPK adalah pupuk yang paling banyak digunakan, dengan jumlah penggunaan mencapai 1.116,280 ton, diikuti oleh Urea 228.950 ton, KCL 165.830 ton, Dolomite 136.950 ton, Rock Phospat 100.810 ton, Kieserite 82.290 ton, and Borax 14.780 ton. Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Berganda

Variabel Koefisien t-Statistik Probabilitas Konstanta 9,355318 15,98370 0,0000 LnLuas_Areal 0,320132*** 3,694101 0,0005 LnBasis_Janjang 0,021606ns 0,246686 0,8061 LnUmur_Tanaman -0,528047*** -5,668397 0,0000 LnTenaga_Kerja 0,624871*** 7,810601 0,0000

Prian Ruri Pratama Manurung – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi .................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

613

LnPupuk 0,053781*** 2,751485 0,0081 f-statistik 621,0114 Prob (F-statistik) 0,000000 R-Squared 0,983529 Adjusted R-Squared 0,981945

Sumber: Analisis data primer, 2017 Keterangan: *** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%.

** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. * = Signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. ns = Tidak signifikan

Hasil uji analisis regresi berganda menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,9835 yang artinya bahwa garis regresi dengan faktor produksi luas areal (X1), basis janjang (X2), umur tanaman (X3), tenaga kerja (X4), dan pupuk (X5) dapat dijelaskan 98,35% dengan variabel-variabel tersebut, sedangkan sisanya sebesar 1,65% dijelaskan oleh variabel residual yaitu variabel yang tidak dimasukkan dalam model (Tabel 1). Tingkat signifikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99%, 95%, dan 90% (α = 1%, α = 5% , α = 10%).

Berdasarkan hasil uji f diperoleh nilai f-statistik > f-tabel (2,39) dengan taraf nyata 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produksi TBS pada taraf nyata 5%. Sementara itu hasil uji t menunjukkan bahwa variabel luas areal (X1), umur tanaman (X3), tenaga kerja (X4), dan pupuk (X5) berpengaruh nyata terhadap produksi TBS dengan nilai p < α = 5%. Hasil ini juga dapat dilihat melalui nilai t hitung > t tabel (1,67469) pada semua faktor produksi tersebut dengan taraf nyata 5%, maka H0 ditolak yang artinya semua faktor produksi tersebut signifikan.

Berdasarkan hasil uji t, variabel luas areal berpengaruh positif terhadap produksi TBS dengan tingkat signifikansi 99%, hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu semakin luas areal perkebunan kelapa sawit maka produksi TBS yang dihasilkan akan semakin tinggi. Luas areal dapat menentukan banyaknya pohon kelapa sawit yang akan dipanen sehingga faktor luas areal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi TBS kelapa sawit. Nilai elastisitas luas areal adalah 0,320132yang artinya, setiap penambahan luas areal satu persen akan meningkatkan produksi TBS sebesar 0,320132 persen dengan faktor-faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Hal ini sejalan dengan kajian sebelumnya (Septianita, 2009) yang menyebutkan bahwa faktor produksi luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi dengan koefisien regresi sebesar 17,249 dengan nilai elastisitas lebih dari satu berarti dengan penambahan faktor tersebut akan meningkatkan produksi.

Basis janjang merupkan kebijakan batasan banyaknya janjang yang harus dipanen dalam satu blok untuk setiap tenaga kerja panen. Setiap blok memiliki basis janjang yang berbeda-beda, tergantung pada umur tanaman dan tinggi tanaman. Semakin tinggi umur tanaman, maka basis janjang akan semakin rendah. Hasil uji t pada tabel 1 menunjukkan bahwa basis janjang tidak mempengaruhi produksi TBS kelapa sawit dengan tingkat signifikan 99% dan 90% karena p-value basis janjang 0,8061 yang lebih besar dari α (0,1). Hal ini karena basis janjang hanya sebagai batas minimal janjang yang harus dipanen oleh tenaga kerja panen di setiap blok dan sebagai patokan untuk menentukan kebutuhan jumlah tenaga kerja panen setiap harinya. Namun, keadaan dilapangan sangat berbeda saat panen puncak karena jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidak mencukupi, sehingga tenaga kerja panen harus memanen lebih banyak dari basis janjang yang ditetapkan.

614 JEPA, 3 (3), 2019: 608-618

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel umur tanaman berpengaruh nyata terhadap produksi TBS dengan tingkat signifikansi 99%. Nilai koefisien regresi produksi adalah -0,528027 persen, menunjukkan bahwa peningkatan satu persen umur tanaman akan menurunkan produksi TBS sebesar -0,528027 persen dengan anggapan faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Melalui hasil penelitian Ismiasih (2017), menyebutkan bahwa variabel umur tanaman berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit. Umur tanaman merupakan salah satu faktor penting dalam produksi TBS, sebab melalui umur tanaman dapat diketahui tanaman tersebut pada masa produktif atau unprodukif.

Berdasarkan hasi uji t, faktor tenaga kerja berpengaruh terhadap produksi TBS secara positif dengan tingkat signifikansi 99%. Koefisien regresi faktor tenaga kerja adalah 0,624871 yang menunjukkanapabila bahwa penggunaan faktor tenaga kerja ditingkatkan satu persen maka jumlah produksi TBS akan meningkat menjadi 0,320132 persen (cateris paribus). Selain itu hasil penelitian (Alfayanti & Efendi, 2013) juga menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja secara positif berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit, faktor tenaga kerja merupakan bagian dari faktor produksi yang penting dalam proses produksi. Menurut Murphy dalam Woittiez et al.(2017), kurangnya tenaga kerja, terutama untuk panen, adalah masalah utama di Malaysia, dan untuk tingkat yang lebih rendah di Indonesia, mengarah ke putaran panen yang panjang, yang mengakibatkan berkurangnya rendemen minyak, buah yang terlalu matang (over ripe) dan buah mentah. Faktor tenaga kerja mempengaruhi produksi TBS paling besar dari semua faktor produksi yang dipakai. Hal ini karena manusia atau tenaga kerja merupakan faktor yang penting dalam melakukan setiap pekerajaan sehingga kegiatan produksi tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya menusia atau tenaga kerja, untuk itu faktor tenaga kerja memang perlu diperhatikan.

Berdasarkan uji secara parsial, faktor pupuk berpengaruh secara positif terhadap produksi TBS dengan tingkat signifikansi 99%. Faktor pupuk memiliki nilai elastisitas sebesar 0,05378. Artinya, penambahan pupuk pada produksi TBS sebesar satu persen akan meningkatkan produksi TBS sebesar 0,05378 persen dengan faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Hasil penelitian Hamini et al. (2012) menunjukkan perlakuan pemberian pupuk NPK Phonska berpengaruh sangat nyata terhadap peningkataan produksi tanaman kelapa sawit, dimana perlakuan terbaik pada perlakuan M2 (1,0 kg / pokok tanaman) dengan rata-rata berat TBS pada perlakuan m2 berturut – turut adalah 29,67 kg (panen pertama), 33,17 kg (panen kedua), 39,83 kg (panen ketiga) dan 30,83 kg (panen keempat). Hasil penelitian (Matana & Mashud (2016) menunjukkan bahwa tandan buah segar paling berat diperoleh dari kombinasi pupuk 1.000 g urea + 800 g SP36 + 1.500 g KCl + 700 g kieserit + 55 g boraks. Pupuk dalam proses produksi TBS digunakan sebagai pemenuh kebutuhan hara pada tanaman kelapa sawit untuk dapat meningkatkan produksi TBS. Pengaruh Kebijakan Pengurangan Mandor Terhadap Produksi dan Losses Buah Mentah

Tenaga kerja panen merupakan faktor yang penting dalam kegiatan produksi di perkebunan kelapa sawit. Tenaga kerja panen merupakan ujung tombak perusahaan untuk mencapai target produksi. Pada tabel 1 menunjukkan bahwa tenaga kerja panen memilki pengaruh paling besar terhadap produski TBS kelapa sawit diantara faktor-faktor produksi lainnya. Hasil penelitian Nuryartono et al (2016) juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana produksi minyak sawit dipengaruhi faktor lahan, pestisida, pupuk, dan tenaga kerja. pada penelitian tersebut tenaga kerja merupakan faktor yang mempengaruhi produksi paling besar. Sehingga berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan tenaga kerja merupakan ujung tombak perusahaan dalam meningkatkan produksi kelapa sawit.

Prian Ruri Pratama Manurung – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi .................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

615

Namun, sebagai ujung tombak dalam mencapai target perusahaan terkadang tenaga kerja juga dapat menyebabkan perusahaan kehilangan produksi/losses atau dapat mengurangi mutu TBS yang dihasilkan. Menurut Andaya, Hadi dan Yusri (2017), kemungkinan kejadian atau probabilitas kehilangan/losses produksi TBS mentah terpanen adalah sebesar 23,89%. tidak semua tenaga kerja panen mau mengerahkan kinerja yang dimiliki secara optimal, sehingga diperlukkannya pengawasan dalam bekerja. Hal ini berhubungan dengan kedisiplinan dan kelalaian tenaga kerja panen. Sering ditemukan adanya pemanen yang tidak disiplin dengan memanen buah mentah. Sehingga pengawas harus bertindak tegas agar pekerja tidak melakukan kelalaian dalam bekerja. Sehingga untuk melihat tepat atau tidaknya kebijakan pengurangan mandor yang dilakukan perkebunan Bangun Bandar dapat melihat hasil uji paired sample t test pada tabel 4. Tabel 2. Produksi dan Losses Buah Mentah Terpanen Sebelum Pengurangan Mandor

Sebelum Pengurangan Mandor Divisi Mandor

(Orang) Luas Areal

(ha) Karyawan (Orang)

Produksi (Janjang)

Buah Mentah (Janjang)

1 3 783,05 32 557.015 1.779 2 3 920,07 43 668.712 1.167 3 4 861,08 45 506.526 1.782 4 2 451,11 23 389.663 2.423

Jumlah 12 3.015,31 143 2.121.916 7.151 Sumber: Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebelum pengurangan mandor pada bulan Januari sampai April 2017 di setiap divisi terdapat beberapa mandor dengan luas areal dan tenaga kerja yang harus diawasi. Sebelum pengurangan mandor produksi dan losses buah mentah selama 95 hari secara berurut adalah 2.121.916 janjang dan 7.151 janjang, dengan persentase losses sebesar 0,337% dari produksi. Sedangkan untuk kinerja tenaga kerja panen sebelum pengurangan mandor sebesar 156 janjang/hari. Kinerja tenaga kerja panen tersebut sudah tergolong baik apabila dilihat dari nilai basis janjang pada setiap blok perkebunan yang memiliki nilai basis janjang terendah sebesar 35 janjang/hari (tahun tanam 1989-1991) dan tertinggi 220 janjang/hari (tahun tanam 2014) atau dari rata-rata basis janjang kebun Bangun Bandar sebesar 110 janjang. Secara garis besar kinerja mandor sebagai pengawas sebelum kebijakan pengurangan mandor sudah baik. Tabel 3. Produksi dan Losses Buah Mentah Terpanen Sesudah Pengurangan Mandor

Sesudah Pengurangan Mandor Divisi Mandor

(Orang) Luas Areal

(ha) Karyawan (Orang)

Produksi (Janjang)

Buah Mentah (Janjang)

1 2 783,05 32 574.059 1.707 2 2 920,07 43 633.504 1.055 3 3 861,08 45 612.467 2.415 4 2 451,11 23 420.766 2.335

Jumlah 9 3.015,31 143 2.240.796 7.512 Sumber: Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 3, produksi dan losses buah mentah sesudah kebijakan pengurangan mandor selama 95 hari adalah sebesar 2.240.796 janjang dan 7.512 janjang.Persentase losses sesudah pengurangan mandor sebesar 0,335% dari produksi.Sesudah pengurangan mandor terdapat sedikit kenaikan kinerja tenaga kerja panen menjadi 164 janjang/hari. Apabila dilihat

616 JEPA, 3 (3), 2019: 608-618

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dari rata-rata basis janjang di kebun Bangun Bandar yang sebesar 110 janjang/hari, maka kinerja tenaga kerja panen tersebut sudah tergolong baik. Sehingga dari data diatas, sesudah pengurangan mandor terjadi peningkatan kinerja tenaga kerja dan penurunan losses namun tidak terlalu besar. Tabel 4. Hasil Uji Paired Sample t-tests

Variabel Mean 95% confidence interval of the difference t.

hitung df Sig. Lower Upper Produksi -1.251,368 -2.504,146 1,409 -1,983 94 0,050 Losses -3,737 -9,759 2,285 -1,232 94 0,221

Sumber: Analisis data primer, 2017 Hasil uji paired sample t-test menunjukkan tidak ada perbedaan produksi dan losses

yang signifikan antara sebelum dan sesudah pengurangan mandor, nilai p >α = 0,05. Hal ini karena mandor yang ada mampu untuk mengawasi secara tegas tenaga kerja yang saat ini ia pegang. Hal ini disampaikan dalam hasil penelitian Alimah, Sayekti, & Soelaiman (2016), bahwa kinerja pemanen motivasi pemanen dalam bekerja memiliki hubungan dengan gaya kepemimpinan mandor panen dalam mengawasi pemanen bekerja. mandor panen memilki hubungan dengan motivasi kerja pemanen. Hal senada juga disebutkan dalam hasil penelitian Mubin & Ferida (2016), yang menyatakan bahwa kinerja karyawan pada bagian pengolahan pabrik perkebunan kelapa sawit dipengaruh oleh pengawasan dan motivasi. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengurangan mandor yang dilakukan oleh pengurus kebun Bangun Bandar sudah tepat dalam mengefisienkan dan mengefektifkan kegiatan produksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor produksi luas areal, umur tanaman, tenaga kerja, dan pupuk secara serempak maupun

parsial berpengaruh terhadap produksi TBS di kebun Bangun Bandar. Faktor tenaga kerja merupakan faktor yang paling besar berpengaruh terhadap produksi TBS jika dibandingkan dengan faktor lainnya.

2. Tenaga kerja merupakan ujung tombak perusahaan dalam mencapai target perusahaan dan merupakan faktor penting dalam produksi kebun Bangun Bandar. Kebijakan pengurangan mandor panen tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap produksi dan losses buah mentah di kebun Bangun Bandar. Hal ini menunjukkan kebijakan pengurangan mandor yang dilakukan oleh pengurus kebun Bangun Bandar sudah tepat dalam mengefisienkan dan mengefektifkan kerja pengawas/ mandor panen.

Saran

Kebun Bangun Bandar perlu meningkatkan jumlah tenaga kerja panen atau meningkatkan produktivitas tenaga kerja panen agar produksi pada saat panen puncak dapat tercapai, dimana produktivitas tenaga kerja panen masih dibawah basis janjang tertinggi yaitu 220 (tahun tanam 2014). Selain itu, perusahaan perlu meningkatkan denda/pinalti bagi tenaga kerja yang memanen buah mentah agar tenaga kerja lebih berhati-hati dalam bekerja dan menekan losses buah mentah yang terpanen.

Prian Ruri Pratama Manurung – Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi .................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

617

DAFTAR PUSTAKA

Alfayanti, & Efendi, Z. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Kelapa

Sawit Rakyat Di Kabupaten Mukomuko. Jurnal Agrisep Universitas Bengkulu, 13(1), 1–10.

Alimah, F. C., Sayekti, W. D., & Soelaiman, A. (2016). The Relation of Harvest Foreman Leadership Style and Work Motivation of Harvesters on Performance of Harvesters at PT Perkebunan Nusantara VII Part of Palm Oil Plantation atRejosari Natar of South Lampung. Jurnal Ilmu Ilmu Agribisnis, 4(3), 294–300.

Andaya, O., Hadi, S., & Yusri, J. (2017). Analysis The Risk Palm Oil Fresh Fruit Bunches (FFB) Post Harvest of The Core Estate Smallholders (CES) in Pagaruyung Village of Tapung Subdistrict Kampar Regency. Jurnal Online Mahasiswa Faperta UR, 4(1), 1–11.

Anwar, R., Sitorus, S. R. P., Fauzi, A. M., Widiatmaka, & Machfud. (2014). Technical Culture and Productivity of Oil Palm in Several Plantations in East Kalimantan. International Journal of Latest Research in Science and Technology, 3(2), 19–24.

Ardana, I. K., & Kariyasa, K. (2016). Influence of Technological Innovation and Use of Production Input on Productivity of Oil Palm in West Kalimantan Province. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 22(3), 125–134.

Ditjenbun. (2016). Outlook Kelapa Sawit. Kementerian Pertanian. Hafif, B., Ernawati, R., & Pujiarti, Y. (2014). Peluang Peningkatan produktivitas kelapa sawit

rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 20(2), 100–108. Hamini, Nigrahini, T., & Purwati. (2012). Penunasan Influence and Administration of NPK

Fertilizer Production Plant Phonska Against Palm Oil (Elaeis guineensis jacq). Jurnal Ilmu Pertanian, 1(2), 49–54.

Ismiasih. (2017). Technical Efficiency of Palm Oil Production in West Kalimantan. Jurnal Habitat, 28(3), 91–98.

Matana, Y. R., & Mashud, N. (2016). Response Growth and Yield of Eight Varieties Oilpalm TM to N , P , K , Mg , and B Fertilizer. Buletin Palma, 17(2), 105–113.

Mubin, A., & Ferida, L. (2016). Pengaruh Pengawasan dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Bagian Pengolahan Pabrik Pada PT. Adei Plantation and Industry Pinggir - Bengkalis ). Jurnal Online Mahasiswa FISIP UR, 3(1), 1–15.

Nuryartono, N., Pasaribu, S. H., Nadhilah, P., & Panggabean, K. (2016). Total Factor Productivity Analysis of Oil Palm Production in Indonesia. International Journal of Economic and Financial Issues, 6(4), 1570–1577.

Purnomo, H., Okarda, B., Ayu, A., Ali, M., Achdiawan, R., Kartodihardjo, H., … Juniwaty, K. S. (2018). Reducing Forest and Land Fires Through Good Palm Oil Value Chain. Forest Policy and Economic Journal, 91, 94–106.

Saragih, B. (2016). Produktivitas Sumber Pertumbuhan Minyak Sawit yang Berkelanjutan. Septianita. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit ( Elaeis quinensis

Jack) dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Keluarga di Desa Makartitama Kec. Peninjauan Kab. OKU. Agronobis, 1(2), 78–85.

Widarjono, A. (2017). Ekonometrika - Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan EViews

618 JEPA, 3 (3), 2019: 608-618

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

(4th ed.). Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Woittiez, L. S., Wijk, M. T. Van, Slingerland, M., Noordwijk, M. Van, & Giller, K. E. (2017).

Yield gaps in oil palm : A quantitative review of contributing factors. European Journal of Agronomy, 83, 57–77.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 619-630

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.17

ANALISIS VOLATILITAS HARGA DAGING SAPI DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PRICE VOLATILITY ANALYSIS OF BEEF IN PROVINCE OF BANGKA BELITUNG

ISLANDS

Pipit*, Yudi Sapta Pranoto, Evahelda Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka

Belitung *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The price of beef in the Province of Bangka Belitung Islands are inclined to fluctuate in the last 10 years. Price fluctuations can cause price volatility is high. This study aims to (1) analyze the volatility of the price of beef in the Province of Bangka Belitung Island and (2) analyze the factors that affect the volatility of the price of beef in the Province of Bangka Belitung Island. The Data used in this study is time series data for the period of January 2007 to December 2016. Analysis tools used in this research is the analysis of the model ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) and Generalized Autogressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH)) and the analysis of the VAR model/VECM (Vector Autoregression (VAR) or Vector Error Correction Model (VECM)) with the aid of Eviews 8.0. The results showed that the volatility of the price of beef in the Province of Bangka Belitung Islands is low with a value of the coefficient of ARCH of 0,467403 and will survive in the long term with the coefficient of GARCH by 0,807681. The factors that affect the volatility of the price of beef in the Province of Bangka Belitung in the long run the price of domestic beef with the value of the percentage of 4,60692, the interest rate with the value of the percentage of 3,41990 and the rupiah exchange rate with the value of the percentage of 3,03446. In the short term there are factors that affect the volatility of the price of beef in the Province of Bangka Belitung.

Keywords: Volatility, the Price of beef, fluctuations, ARCH-GARCH, VAR/VECM.

ABSTRAK

Harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung cenderung berfluktuasi pada 10 tahun terakhir. Fluktuasi harga dapat menyebabkan volatilitas harga yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series periode Januari 2007 sampai Desember 2016. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized Autogressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH)) dan analisis model VAR/VECM (Vector Autoregression (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM)) dengan bantuan aplikasi Eviews 8.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung rendah dengan nilai koefisien ARCH sebesar 0,467403 dan akan bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan koefisien GARCH sebesar 0,807681. Faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang yaitu harga daging sapi domestik dengan nilai presentase sebesar 4,60692, suku bunga dengan nilai

620 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

presentase sebesar 3,41990 dan nilai tukar rupiah dengan nilai presentase sebesar 3,03446. Pada jangka pendek tidak terdapat faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Kata kunci: Volatilitas, Harga daging sapi, fluktuasi, ARCH-GARCH, VAR/VECM

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan masih menjadi salah satu isu penting bagi Indonesia sesuai dengan isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan, 2011) isu strategis tersebut adalah perubahan iklim global, krisis pangan, dan energi yang berdampak pada kenaikan harga pangan sehingga negara-negara pengekspor pangan cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok pangan. Bangsa Indonesia yang pertumbuhannya mengarah positif, apabila tidak disertai dengan kenaikan produksi pangan, maka berpeluang akan kesulitan dalam menghadapi persoalan tentang pemenuhan kebutuhan pangan untuk konsumsi penduduknya di masa yang akan datang. Kebutuhan pangan senantiasa meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Dalam pemenuhannya, tidak semua kebutuhan pangan dapat dipenuhi, karena daya produksi dan distribusi pangan semakin terbatas. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan pangan antara kebutuhan pangan dan pemenuhannya secara nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS, 2016), standar kebutuhan protein penduduk Indonesia adalah 57 gram/kapita/hari. Salah satu penyumbang sumber protein hewani adalah daging sapi. Berdasarkan data BPS Indonesia (2016), rata-rata konsumsi protein hewani dari daging sapi di Indonesia sebesar 1,52 gram/kapita/hari sedangkan rata-rata konsumsi protein hewani dari daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 1,08 gram/kapita/hari. Berdasarkan data tersebut konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih di bawah rata-rata. Rendahnya konsumsi daging sapi bisa disebabkan oleh harga daging sapi yang tinggi.

Berdasarkan Data BPS Indonesia 2012-2016, terjadi kenaikan harga daging sapi setiap tahunnya. Pada tahun 2012 sampai 2016 harga daging sapi untuk satuan Kg di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengalami kenaikan berturut-turut sebesar Rp 77.539, Rp 96.834, Rp 105.809, Rp 107.574 dan Rp 112.288. Harga daging sapi Nasional pada tahun 2012 sampai 2016 untuk satuan Kg berturut-turut adalah Rp 68.741, Rp 84.180, Rp 94.028, Rp 101.931 dan Rp 108.362. Harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung cenderung meningkat sesuai dengan data BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini seringkali disebabkan berbagai faktor, baik fenomena alam (iklim), kegagalan pasar, dan juga masalah kelancaran distribusi. Fluktuasi harga daging sapi dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Pasokan daging sapi yang kurang memadai menyebabkan kurangnya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi sehingga harga daging sapi meningkat. Ada juga indikasi tingginya harga daging sapi disebabkan distribusi yang terhambat.

Fluktuasi harga yang terlalu tinggi dan bersifat unpredictable ini dapat meningkatkan volatilitas harga, Bourdon (2011) dalam Aditya (2016). Volatilitas harga pangan telah terjadi sejak beberapa tahun di berbagai negara. Volatilitas harga ini disebabkan oeh ketidakstabilan antara permintaan dan penawaran yang digambarkan dengan tidak terjadinya keseimbangan pasar. Berdasarkan yang disampaikan Lepitit (2011) dalam Pertiwi (2013), jika volatilitas semakin meningkat maka ketidakpastian harga di masa yang akan datang menjadi semakin tinggi sehingga diperlukan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga. Untuk memperoleh kebijakan stabilitasi harga yang tepat serta untuk meningkatkan efektivitas dari program

Pipit – Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi ...............................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

621

stabilitasi harga, dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai perilaku harga pangan termasuk volatilitasnya karena informasi tersebut bermanfaat untuk merumuskan tindakan antisipasi yang lebih efektif dan karena volatilitas harga sangat berkaitan dengan risiko dan ketidakpastian yang dihadapi dalam pengambilan keputusan Sumaryanto (2009) dalam Carolina (2016).

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung? dan (2) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama 10 tahun terakhir mengalami fluktuasi harga. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tahap persiapan bulan Desember 2017 sampai dengan penyelesaian skripsi pada bulan Juli 2018.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data deret waktu (time series). Data yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah data harga bulanan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data yang dianalisis adalah data harga bulanan dari Januari 2007 sampai Desember 2016. Selain itu data juga diperoleh melalui instansi-instansi pemerintahan, buku-buku, penelitian–penelitian terdahulu, internet dan literatur yang terkait. Data yang digunakan untuk menjawab tujuan kedua adalah data harga domestik daging sapi, inflasi Kepulauan Bangka Belitung, suku bunga dan nilai tukar rupiah. Data tersebut diperoleh dari BPS Kepulauan Bangka Belitung, BPS Indonesia dan Bank Indonesia.

Penelitian ini akan menghitung nilai volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada sepuluh tahun terakhir yakni tahun 2007 sampai dengan tahun 2016. Analisis yang digunakan untuk menghitung volatilitas harga daging sapi yaitu analisis model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedastic) dan GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity). Analisis model ARCH-GARCH terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu : (1) uji stasioneritas data, (2) uji ARIMA, (3) uji ARCH-LM, (4) pemilihan model terbaik dan peramalan volatailitas. Pada penelitian ini akan menganalisis pengaruh harga daging sapi domestik, inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, nilai tukar rupiah, dan suku bunga terhadap volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Adapun alat analisis yang digunakan yaitu Eviews 8.0 dengan model analisis Vector Autoregression (VAR) dengan beberapa tahapan yaitu : 1) Uji stasioneritas data, 2) Penentuan lag optimal, 3) Uji kestabilan model VAR dan 4) Uji kointegrasi. Apabila terjadi kointegrasi maka akan dilanjutkan dengan menggunakan VECM.

622 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN Volatilitas Harga Daging Sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 1. Uji Stasioneritas Data

Uji ini dilakukan pada setiap variabel yang digunakan dalam analisis untuk mendapatkan data yang stasioner. Pada penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan adalah uji akar-akar unit (unit root test) dengan metode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test) dengan taraf nyata 5 persen. Menentukan data yang digunakan stasioner atau tidak apabila nilai mutlak statistik ADF lebih besar dari nilai mutlak kritis MacKinnon maka data tersebut stasioner, sebaliknya apabila nilai mutlak statistik ADF lebih kecil dari nilai mutlak kritis MacKinnon maka data tersebut tidak stasioner (Juanda dan Junaidi, 2012).

Tabel 7. Uji Stasioneritas Data

Variabel Level First Difference

Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5%

Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5%

LN_RHDB -1,092788 -2,886074 -8,865649* -3,450073 Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *Stasioner pada taraf 5%

Tabel 7 menunjukkan hasil uji stasioneritas data dengan menggunakan metode ADF test. Pada tingkat level data harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (LN_RHDB) tidak stasioner yang ditandai dengan nilai statistik ADFnya lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon 5%. Data yang tidak stasioner pada tingkat level, perlu dilakukan proses pembedaan pertama (first difference). Pada tingkat first difference, data harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (LN_RHDB) nilai ADFnya lebih besar dari nilai kritis MacKinnon 5% yang artinya data tersebut stasioner pada tingkat first difference.

2. Uji Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Tahapan selanjutnya setelah melakukan uji stasioner data adalah uji ARIMA. Uji ini

dilakukan untuk menentukan model yang akan digunakan dalam uji tahap selanjutnya yaitu uji ARCH-GARCH. Pengambilan keputusan penentuan model adalah dengan melihat koefisien determinasi (R-squared) terbesar dan menggunakan kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Criterion (SC) yang terkecil (Juanda dan Junaidi, 2012). Berikut hasil pengujian penentuan model ARIMA dapat dilihat padal Tabel 8.

Tabel 8. Uji Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Model Kriteria

R-squared AIC SC AR(12) AR(28) 0,271081 18,79392 19,88073 MA(12) MA(28) 0,418830 19,34252 19,45405 AR(12) AR(28) MA(12) MA (28) 0,524638 18,69995 18,88411

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai R-squared terbesar dengan nilai 0,524638 adalah

model AR(12) AR(28) MA(12) MA (28) dan nilai AIC dan SC terkecil yakni 18,69995 dan 18,88411 adalah model AR(12) AR(28) MA(12) MA (28) yang artinya model tersebut merupakan model ARIMA yang terpilih. Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap model tersebut dengan menggunakan korelogram Q-statistik. Apabila korelogram Q-statistik sampai pada lag ke-36 tidak ada yang signifikan maka model tersebut sudah merupakan model terbaik (Nachrowi dan Usman, 2006).

Pipit – Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi ...............................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

623

3. Uji ARCH-LM Uji ARCH-LM dilakukan untuk melihat efek keberadaan ARCH pada model yang telah

didapat sebelumnya. Penentuan model terdeteksi heterokedastisitas atau tidak dapat ditentukan dengan melihat nilai probabilitas F dan nilai probabilitas Chi-square yang signifikan dengan taraf nyata 5% (Juanda dan Junaidi, 2012). Berikut hasil pengujian ARCH-LM yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Uji ARCH-LM Heterokedasticity Test: ARCH F-statistic 6,263789 Prob.F 0,0152 Obs*R-squared 5,841628 Prob. Chi-square 0,0157

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Berdasarkan hasil uji ARCH-LM pada Tabel 9 menunjukkan bahwa model ARIMA

terdeteksi heterokedastisitas atau keberadaan efek ARCH. Sesuai dengan yang dinyatakan Rosadi (2012), bahwa jika nilai probabilitas F dan nilai probabilitas Chi-square lebih kecil dari taraf nyata 5% atau 0,05 maka model tersebut terdapat efek ARCH. Apabila model tidak terdapat efek ARCH maka analisis yang dilakukan hanya sampai analisis model ARIMA, sebaliknya jika terdapat efek ARCH maka analisis akan dilanjutkan menggunakan analisis ARCH-GARCH.

4. Pemilihan Model Terbaik Tahapan selanjutnya setelah dilakukan uji ARCH-LM adalah pendugaan parameter model

ARCH-GARCH dan pemilihan model terbaik. Pemilihan model terbaik bertujuan untuk mendapatkan model yang akan digunakan dalam menghitung nilai volatilitas. Pendugaan parameter dilakukan dengan cara mencoba-coba (trial and error). Ada 5 model yang akan dianalisis yakni ARCH, GARCH, ARCH-M, TARCH dan EGARCH. Setelah didapatkan parameter model, selanjutnya melakukan pemilihan model terbaik dengan memperhatikan signifikansi parameter estimasi dengan taraf nyata 5%, Log Likelihood terbesar serta kriteria AIC dan SC terkecil (Nachrowi dan Usman, 2006). Ringkasan kriteria pemilihan model terbaik dengan pendugaan parameter model dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Ringkasan Kriteria untuk Pemilihan Model Terbaik

Model Signifikansi Parameter

Estimasi (α = 5%)

Log Likelihood

AIC

SC

AR(12) AR(28) MA(12) MA(28) ARCH (1) 0,0000* 0,0114* 0,8239 0,0000* -767,3191 17,4004 17,5961 GARCH (1,1)

0,0000* 0,0001* 0,0013* 0,0000* -741,1937 17,0734 17,1958

ARCH-M 0,1125 0,1690 0,0414* 0,0003* -819,5302 18,5961 18,8198 TARCH 0,0005* 0,0386* 0,0017* 0,0013* -849,9569 19,3024 19,5540 EGARCH 0,9348 0,0000* 0,9929 0,0000* -808,9760 18,3814 18,6331

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *Signifikan 5%

Berdasarkan hasil uji model ARCH-GARCH dapat disimpulkan bahwa model GARCH(1,1) merupakan satu-satunya model yang signifikan pada taraf nyata 5%, memiliki nilai Log Likelihood terbesar serta nilai AIC dan SC terkecil yang artinya model GARCH(1,1) merupakan model terbaik. Selanjutnya model tersebut yang akan digunakan dalam peramalan volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

624 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

5. Peramalan Volatilitas Harga Daging Sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nilai volatilitas besar atau kecil menggambarkan seberapa besar tingkat risiko yang akan

dihadapi pada masa yang akan datang. Perhitungan volatilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat volatilitas pada harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Informasi tentang volatilitas ini berfungsi bagi para pelaku pasar yaitu para penjual daging. Semakin tinggi volatilitas maka akan semakin besar risiko yang dihadapi. Hasil analisis ARCH-GARCH terhadap harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode waktu 2007 sampai 2016 menghasilkan model terbaik untuk estimasi volatilitas harga yaitu model GARCH(1,1). Model tersebut menghasilkan pola volatilitas harga daging sapi periode awal Januari 2007 sampai Desember 2016 dengan persamaan model yang diperoleh yakni ht = 7347893 + 0,467403ht-1 + 0,807681ε2

t-1. Nilai koefisien ARCH pada model menunjukkan tinggi rendahnya volatilitas harga daging

sapi sedangkan nilai koefisien GARCH pada model menunjukkan guncangan pada harga bertahan lama atau tidak (Burhani, 2013). Pada model yang diestimasi menghasilkan nilai ARCH sebesar 0,467403 yang artinya nilai tersebut relatif kecil (tidak mendekati angka satu) sehingga mengindikasikan bahwa volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung relatif kecil. Nilai koefisien GARCH yang dihasilkan sebesar 0,807681 yang artinya nilai tersebut relatif besar (mendekati angka satu) sehingga mengindikasikan bahwa shock (guncangan) pada varian harga akan bertahan lama (persistence) untuk berubah. Berdasarkan model GARCH(1,1) diketahui bahwa volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di masa yang akan datang cenderung semakin kecil dan persistence (berlangsung dalam waktu yang lama). Hal ini juga terjadi dengan penelitian Burhani (2013) bahwa volatilitas harga daging sapi dan ayam broiler di Indonesia tergolong rendah dimana nilai koefisien ARCH sebesar 0,440435 dan nilai koefisien GARCH sebesar 0,705391.

Volatilitas merupakan ukuran fluktuasi harga selama beberapa periode waktu atau prediksi pergerakan harga selama periode waktu. Volatilitas juga mengacu pada perubahan harga tak terduga tapi masih perlu diperkirakan. Beberapa ukuran volatilitas dan penilaian risiko didasarkan pada deviasi, standar deviasi dan koefisien variasi (Dewi, 2016). Nilai volatilitas harga daging sapi dapat dilihat berdasarkan Conditional Standard Deviation (CSD) atau simpangan baku bersyarat. Menurut Sumaryanto (2009) volatilitas yang tinggi dicirikan oleh CSD yang jauh lebih dari yang lainnya dan dalam grafik ditunjukkan oleh puncak-puncak grafik yang menjulang. Adapun hasil estimasi nilai volatililitas berdasarkan CSD dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Conditional Standart Deviation (CSD) Harga Daging Sapi di Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung

Conditional standard deviation

0.4

0.2

0.6

0.8

1.0

0.1

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Pipit – Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi ...............................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

625

Volatilitas harga yang besar atau kecil menggambarkan seberapa besar risiko harga yang akan dihadapi pada masa yang akan datang. Informasi tentang volatilitas penting bagi pelaku pasar yaitu para penjual daging sapi. Semakin nilai volatilitas maka akan semakin tinggi risiko yang akan dihadapi (Burhani, 2014). Terkait risiko yang akan dihadapi akibat volatilitas harga daging sapi maka perlu alternatif strategi seperti pengaturan distribusi dan pemasaran daging agar saluran pemasaran tidak panjang sehingga dapat meminimkan biaya produksi yang akan dikeluarkan. Kementan (2011) menyatakan kegiatan pengaturan distribusi dan pemasaran daging bertujuan untuk menjamin ketersediaan daging di wilayah Indonesia dan stabilitas harga daging. Dimana kegiatan tersebut terdiri dari peningkatan pengawasan dan distribusi daging lokal maupun impor. Pengaruh Harga Daging Sapi Domestik, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, dan Suku Bunga Terhadap Volatilitas Harga Daging Sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 1. Uji Stasioneritas Data

Tahapan pertama dalam analisis model VAR atau VECM adalah uji stasioneritas data. Uji ini dilakukan pada setiap variable yang digunakan dalam analisis untuk mendapatkan data yang stasioner. Hasil uji stasioneritas data dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Uji Stasioneritas Data

Variabel Level First Difference

Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5%

Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5%

VOL -4,287973* -3,448348 -9,179648* -3,448348 LN_HD -2,252422 -3,448021 -11,00716* -3,448348 LN_INF -8,980364* -3,448348 -9,652908* -3,449716 LN_NTTR -1,718230 -3,448021 -11,69546* -3,448348 LN_SB -2,210559 -3,448601 -4,396787* -3,448681

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *Stasioner pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 11 hasil uji stasioneritas data terdapat dua variabel yakni volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (LN_VOL) dan inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (LN_INF) yang stasioner pada tingkat level, dimana nilai ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon 5%. Variabel lain seperti harga daging sapi domestik (LN_HD), nilai tukar rupiah (LN_NTTR), suku bunga (LN_SB) tidak stasioner pada tingkat level karena nilai ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon 5% sehingga variabel tersebut perlu dilakukan pembedaan pertama (first difference). Pada tingkat first difference, nilai ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon 5% sehingga variabel harga daging sapi domestik (LN_HD), nilai tukar rupiah (LN_NTTR), suku bunga (LN_SB) stasioner pada tingkat first difference. 2. Menentukan Lag Optimal

Tahap selanjutnya adalah menentukan lag optimal. Pengujian lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR serta untuk mengetahui lamanya periode suatu variabel dipengaruhi oleh variabel masa lalunya dan variabel endogen lainnya (Iskandar, 2015). Penentuan lag optimal dapat menggunakan kriteria nilai Akaike

626 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Information Criterion (AIC) maupun Schwarz Information Criterion (SC). Hasil penentuan lag optimal dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Hasil Penentuan Lag Optimal Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -1780.233 NA 85959994 32.45878 32.58152 32.50856 1 -1745.521 65.63621 72085254 32.28220 33.01870* 32.5809* 2 -1711.539 61.16772 6139637* 32.1188* 33.46913 32.66656 3 -1694.849 28.52579 71913718 32.26997 34.23396 33.06658 4 -1670.149 39.96794 73277841 32.27544 34.85317 33.32098 5 -1637.453 49.9361* 65115741 32.13551 35.32698 33.42999 6 -1618.222 27.62244 74730245 32.24040 36.04562 33.78382 7 -1602.019 21.80091 91874678 32.40034 36.81931 34.19270 8 -1583.182 23.63190 1.10e+08 32.51240 37.54511 34.55369 9 -1555.788 31.87639 1.14e+08 32.46887 38.11533 34.75911

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan :*lag optimal yang disarankan

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa lag optimal yang disarankan berdasarkan kriteria SC adalah lag 1 sedangkan berdasarkan kriteria AIC adalah lag 2. Lag optimal yang akan digunakan adalah lag 1, berdasarkan pertimbangan bahwa nilai lag yang disarankan SC lebih konsisten dibandingkan AIC serta semakin panjang lag maka akan semakin banyak kehilangan observasi sehingga dibutuhkan observasi yang panjang (Sisherdianti, 2008). 3. Uji Stabilitas Model VAR

Tahap selanjutnya adalah uji stabilitas model VAR untuk melihat stabil atau tidak nya estimasi VAR yang telah terbentuk dengan menghitung akar-akar dan fungsi polynomial atau dikenal dengan roots of characteristics polynomial. Model VAR dikatakan stabil apabila nilai seluruh roots memiliki modulus lebih kecil dari 1. Hasil uji stabilitas model VAR dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13. Uji Stabilitas Model VAR Root Modulus 0.410711 0.410711 -0.186071 - 0.200265i 0.273365 -0.186071 + 0.200265i 0.273365 0.153482 0.153482 -0.086544 0.086544

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *model yang stabil

Hasil uji stabilitas model VAR menunjukkan bahwa lag optimal yang disarankan yaitu lag 1 memiliki nilai modulus lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa model VAR yang diestimasi sudah stabil. Sejalan dengan penelitian Oktiani (2017) tentang permodelan harga Ubi kayu yang juga memiliki nilai modulus lebih kecil dari 1 yakni 0,618238. 4. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak dalam jangka panjang. Apabila variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian tidak terkointegrasi maka analisis dilakukan sampai estimasi model VAR tetapi apabila terkointegrasi maka estimasi dilanjutkan dengan model Vector Error Correction Model (VECM). Metode uji kointegrasi yang digunakan adalah Johansen Cointegrasion Test dengan

Pipit – Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi ...............................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

627

melihat nilai trace statistic pada taraf nyata 5%. Apabila nilai trace statistic lebih besar dari critical value maka variabel-variabel tersebut terkointegrasi, sebaliknya jika nilai trace statistic lebih kecil dari nilai critical value maka variabel-variabel tersebut tidak terkointegrasi (Hasanah, 2014). Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan metode Johansen Cointegrasion Test dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.

Tabel 14. Uji Kointegrasi Hypothesized Eigenvalue Trace 0.05 Prob.** No. of CE(s) Statistic Critical Value

None * 0.527156 77.96747 76.97277 0.0419 At most 1 0.452236 49.50583 54.07904 0.1203 At most 2 0.306571 26.63323 35.19275 0.3077 At most 3 0.178572 12.72117 20.26184 0.3865 At most 4 0.128950 5.246133 9.164546 0.2575

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *terdapat satu persamaan yang terkointegrasi pada taraf nyata 5%

Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan hasil uji kointegrasi dengan metode Johansen Cointegrasion Test pada taraf nyata 5%, terdapat satu persamaan yang nilai trace statistic (77,96747) lebih besar dari nilai critical value (76,97277). Hal ini menunjukkan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi sehingga dilakukan analisis selanjutnya yakni menggunakan model VECM. 5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)

VECM merupakan suatu model analisis ekonometrika yang digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjang akibat adanya shock yang permanen (Subhi, 2014). VECM yaitu bentuk VAR yang digunkan karena data yang tidak stasioner pada level tetapi stasioner pada tingkat first difference dan terkointegrasi. VECM mengestimasi hubungan jangka panjang peubah-peubah endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek (Juanda dan Junaidi, 2012).

Estimasi model VECM bertujuan untuk menghasilkan dua output estimasi yaitu dalam jangka panjang dan jangka pendek. Pada penelitian ini estimasi model VECM menghasilkan output pengaruh harga daging sapi domestik, inflasi Provinsi Bangka Belitung, nilai tukar terhadap rupiah, dan suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Pengaruh variabel dalam jangka panjang maupun jangka pendek dapat diketahui dengan membandingkan nilai t-statistik dengan nilai t-tabel. Suatu variabel dinyatakan berpengaruh apabila nilai t-statistik lebih dari nilai t-tabel, Primanti (2011) dalam Subhi (2014). Pada penelitian ini nilai t-tabel pada taraf nyata 5% adalah 1,657.

Berdasarkan Tabel 15, terdapat tiga variabel yang memberikan pengaruh dalam jangka panjang yaitu harga daging sapi domestik, nilai tukar terhadap rupiah dan suku bunga dimana nilai t-statistik ketiga variabel tersebut lebih besar dari nilai t-tabel. Adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang ditunjukkan dengan adanya dugaan parameter error correction (CoeintEq1) yang bernilai negatif. Berdasarkan Tabel 15 nilai koefisien error correction (CointEq1) yang didapat sebesar -0,005099 yang artinya terdapat penyesuaian mekanisme dari jangka pendek ke jangka panjang pada estimasi VECM yang didapatkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Setiawan dan Hadianto (2014) tentang fluktuasi harga komoditas pangan dimana nilai koefisien error correction yang didapat sebesar -0,005947. Berdasarkan Ariefianto (2012), model error correction dinyatakan valid dan stabil jika nilai parameternya adalah negatif dan signifikan.

628 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 15. Estimasi VECM

Jangka Panjang Variabel Koefisien t-statistik

Ln_HD(-1) 2,209919 4,60692* Ln_INF(-1) 0,771108 0,61740

Ln_NTTR(-1) 1,542997 3,03446* Ln_SB(-1) 2,699913 3,41990*

C 4,093677 - Jangka Pendek

Variabel Koefisien t-statistik CointEq1 -0,005099 0,84726

D(VOL(-1)) 0,044672 1,31719 D(HD(-1)) 0,065911 0,32213 D(INF(-1)) 0,024546 0,42267

D(NTTR(-1)) 0,021532 0,23457 D(SB(-1)) -0,025398 -0,45375

Sumber : Eviews 8.0 (diolah) Keterangan : *signifikan pada taraf nyata 5% (t-hitung > t-tabel (1,657))

Berdasarkan Tabel 15, hasil estimasi VECM jangka panjang terdapat tiga variabel yang signifikan pada taraf nyata 5% sesuai dengan perbandingan t-hitung dan t-tabel. Variabel-variabel tersebut yaitu harga daging sapi domestik, inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan nilai tukar terhadap rupiah. Estimasi VECM jangka panjang yang signifikan juga menunjukkan koefisien yang positif yang artinya setiap kenaikan variabel yang dianalisis akan menyebabkan kenaikan pada harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang.

Variabel harga daging sapi domestik lag ke-1 signifikan pada taraf 5% dalam jangka panjang, dimana setiap kenaikan harga daging sapi domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan volatilitas harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang sebesar 4,6069 persen. Begitupula dengan variabel suku bunga lag ke-1 dimana setiap suku bunga mengalami kenaikan sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan volatilitas harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang sebesar 3,4199 persen. Serta variabel nilai tukar terhadap rupiah pada lag ke-1 dimana setiap kenaikan nilai tukar rupiah sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan volatilitas harga daging sapi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang sebesar 3,0344 persen. Sementara Variabel inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung lag ke-1 yang dianalisis tidak signifikan pada taraf 5 persen yang artinya inflasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak mempengaruhi volatilitas harga daging sapi Provinsi. Sejalan dengan penelitian Romli, Wulandari dan Pratiwi (2017) yang menyebutkan bahwa inflasi berpengaruh tidak signifikan terhadap volatilitas harga.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi volatilitas harga baik secara internal (permintaan dan perubahan iklim) maupun eksternal. Harga, inflasi dan perubahan nilai tukar rupiah merupakan faktor eksternal yang menjadi penyebab volatilitas harga Berdasarkan variabel yang diteliti, harga daging sapi domestik, suku bunga dan nilai tukar mempengaruhi volatilitas harga dalam jangka panjang. Kenaikan harga daging sapi yang secara terus menerus dan berfluktuatif dapat meningkatkan volatilitas harga daging sapi. Penelitian Muharam (2013) menyatakan nilai tukar rupiah mempengaruhi harga daging sapi dengan nilai koefisien 0,0779 dalam jangka panjang serta jika terjadi guncangan terhadap nilai tukar maka akan terjadi kenaikan pada harga

Pipit – Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi ...............................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

629

daging sapi. Burhani (2013) juga menyatakan harga daging sapi periode sebelumnya dan harga daging sapi dunia berpengaruh positif terhadap volatilitas harga daging sapi dan ayam broiler di Indonesia. Harga daging sapi domestik berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sesuai dengan pernyataan Wardani (2014) bahwa harga paritas impor berpengaruh positif terhadap harga daging sapi di dalam negeri. Begitupulan halnya dengan harga daging sapi lokal yang dipengaruhi harga daging sapi nasional dikarenakan distribusi yang panjang maka biaya yang akan dikeluarkan semakin besar sehingga harga pun akan semakin meningkat. Penelitian Hardjanto (2014) tentang volatilitas harga pangan dan pengaruhnya menyatakan Nilai tukar dan suku bunga adalah faktor umum penyebab volatilitas harga. Pada penelitian Hardjanto (2014) suku bunga mempengaruhi volatilitas harga beras, jagung dan kedelai dimana suku bunga tinggi mengakibatkan peningkatan penawaran atau menurunkan permintaan barang yang dapat disimpan.

Estimasi VECM pada jangka pendek tidak terdapat variabel yang signifikan pada taraf 5% yang artinya tidak terdapat pengaruh dalam jangka pendek, tetapi memiliki error correction negatif yang artinya ada hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Firdaus (2011) variabel yang berpengaruh signifikan dalam jangka pendek sedikit karena suatu variabel bereaksi terhadap variabel lainnya membutuhkan waktu (lag), sehingga pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Putra, Mukhlis dan Utomo (2017) tentang pertumbuhan ekonomi di Indonesia bahwa pada estimasi VECM yang dilakukan tidak terdapat variabel yang berpengaruh pada jangka pendek.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut: 1. Volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang

didapatkan dari model GARCH(1,1) yaitu koefisien ARCH sebesar 0,467403 dan koefisien GARCH sebesar 0,807681 yang artinya volatilitas harga daging sapi masih dikatakan rendah dan akan bertahan dalam jangka waktu yang lama.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam jangka panjang yaitu harga daging sapi domestik, suku bunga dan nilai tukar rupiah sedangkan dalam jangka pendek tidak terdapat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Saran Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran yang dipertimbangkan yaitu :

1. Koordinasi pemerintah provinsi, kabupaten/kota, serta Bank Indonesia perlu ditingkatkan dalam stabilitas harga daging sapi agar lebih efektif dengan upaya Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK2014).

2. Program integrasi sapi di lahan sawit merupakan keputusan menteri pertanian no 48 tahun 2015 perlu dilakukan pemerintah dengan bekerjasama perusahaan sawit di Bangka Belitung.

630 JEPA, 3 (3), 2019: 619-630

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

3. Untuk penelitian lanjutan bisa menganalisis volatilitas harga pangan lainnya seperti beras dan ayam ras serta menambahkan variabel lain yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung seperti permintaan daging sapi, volume impor daging sapi, curah hujan dan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, T. 2016. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Beras di Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Burhani, F.J. 2013. Analisis Volatilitas Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Carolina, RA., Mulatsih, S., Anggraeni, L. 2016. Analisis Volatilitas Harga dan Integrasi Pasar Kedelai Indonesia dengan Pasar Kedelai Dunia. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 34 No 1, Mei 2016.

Hardjanto, A. 2014. Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya Terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia. Thesis. IPB Bogor.

Hasanah, F.N. 2014. Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak Terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor. Skripsi. IPB Bogor

Iskandar, E. 2006. Analisis Risiko Investasi Saham Agribisnis Rokok dengan Pendekatan ARCH-GARCH. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Juanda, B., Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor : IPB Press. [Kementan] Kementerian Pertanian RI. 2011. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun

2011. Jakarta (ID). Muharam, A. 2013. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan Pengaruhnya Terhadap Harga-

harga Pangan di Indonesia. Perpustakaan Bappenas. Vol 19 No 2, 2013. Nachrowi, N.D., Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk

Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Oktiani, D. 2017. Permodelan Harga dan Produksi Ubi Kayu Menggunakan Model Vektor Autoregressive (VAR). Majalah Teknologi Agro Industri. Vol 9 No 2, Juni 2017.

Pertiwi, VI., Anindita, R., Dwiastuti, R. 2013. Analisis Volatilitas, Transmisi Harga dan Volatilitas Spillover Bawang Merah (Allium ascolanium L) di Jawa Timur. Jurnal Sosial Ekonomi. Vol 24 No 3, Desember 2013.

Rosadi, D. 2012. Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan Eviews. Yogyakarta : Andi.

Setiawan, A.F., dan Adi Hadianto. 2014. Fluktuasi Harga Komoditas Pangan dan Dampaknya Terhadap Inflasi di Provinsi Banten. Jurnal Ekonomi Pertanian, Sumberdaya dan Lingkungan. Vol 2 No 2, Oktober 2014.

Sisherdianti, D. 2008. Faktor-faktor Variabel Makroekonomi yang Mempengaruhi Kekuatan Bank Syariah (Studi Kasus Bank Muamalat Indonesia). Thesis. UI Jakarta

Subhi, C.P. 2014. Analisis Integrasi Pasar Modal Kawasan Asia-Pasifik (APEC): Implikasi Diversifikasi Internasional Periode 2009-2013. Skripsi. UIN Malang

Sumaryanto. 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 27 No 2, Oktober 2009.

Wardani, P.A. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 631-638

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.18

MODEL PENGEMBANGAN USAHATANI TERUBUK (saccharum edule Hassk)

DEVELOPMENT MODEL OF TERUBUK FARMING

Reny Sukmawani1*, Ema Hilma Meilani1, Asep M Ramdan2

1Program Studi Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Sukabumi 3Program Studi Administrasi Bisnis, Universitas Muhammadiyah Sukabumi

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The research is a case Study in Sukabumi Regency. Sukabumi Regency is choosen based on agriculture potency and many terubuk are found but there are not developed and got technology touches yet. Terubuk is endog tiwu in Sundanese (sugarcane’s roe-like), which is a perennial flower-plant resembling to sugarcane that is yet to grow up and blossom. The research aims at developing terubuk so far as terubuk farmer can take farming business which produces terubuk with best commodity characteristic. In particular, the research aims to design development model of terubuk farming business in Sukabumi Regency. The study of achievement development model terubuk farming business can be as a reference and concerns to focus development and support with government policy. Terubuk development will succeed if it concerns to six development main elements, there are human resource, land, product, technology, market, and institution. Such six elements if it can work the process and has good achievement so as to terubuk development will be effective. Keywords: model, farming business, terubuk

ABSTRAK

Penelitian merupakan studi kasus di Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi dipilih berdasarkan potensi pertanian dan banyaknya tanaman terubuk ditemukan tetapi belum dikembangkan dan belum mendapat sentuhan teknologi. Penelitian ini tujuan akhirnya adalah agar terubuk dapat dikembangkan sehingga petani turubuk dapat melaksanakan usahatani yang menghasilkan terubuk dengan karakter best comodity. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengembangan usahatani terubuk di Kabupaten Sukabumi. Model kinerja pengembangan usahatani terubuk yang dihasilkan dari kajian ini dapat dijadikan sebagai acuan dengan tetap memperhatikan aspek pengembangan secara terfokus dan dukungan serta kebijakan pemerintah. Pengembangan terubuk akan berhasil apabila memperhatikan enam unsur utama pengembangan yaitu: sumberdaya manusia, lahan, produk, teknologi, pasar dan kelembagaan. Keenam unsur itu apabila dapat melaksanakan proses dan kinerja dengan baik maka pengembangan terubuk akan efektif. Kata kunci: model, usahatani, terubuk

632 JEPA, 3 (3), 2019: 631-638

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Kebijakan pembangunan hendaknya mengacu pada potensi yang dimiliki daerah dan berpeluang untuk dikembangkan. Karena pembangunan daerah dipengaruhi diantaranya oleh potensi daerah tersebut, khususnya pada sektor pertanian. Oleh sebab itu, hendaknya setiap daerah dapat mengembangkan komoditas potensi unggulan daerahnya ke arah yang lebih baik berdasarkan spesifik lokasi. Agar komoditas potensi unggulan daerah mampu menjadi penggerak dan daya ungkit pembangunan ekonomi, perlu dilakukan suatu kajian secara mendalam terhadap karakteristik dari komoditas terkait berdasarakan kriteria unggul, sistem agribisnis dan kelayakan usahanya. Dengan demikian, komoditas tersebut dapat dikembangkan berdasarkan kesesuaian agroekologi dan daya dukung sumberdaya yang ada di daerah tersebut melalui model pengembangan komoditas potensi unggulan berbasis lokal. Model ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya peningkatan pembanguan pertanian secara spesifik lokasi di Kabupaten Sukabumi.

Kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 4.128 km2 (412.799,54 ha) atau 14,39% dari luas Jawa Barat atau 3,01% dari Luas Pulau Jawa terdiri dari 47 kecamatan (BPS, 2017). Berdasarkan kondisi wilayah dan geografisnya, Kebupaten Sukabumi yang berjarak 120 km dari ibu kota Republik Indonesia (Jakarta) dan 155 km dari Ibu kota Provinsi Jawa Barat (Bandung) ini memiliki potensi yang cukup baik di bidang pertanian. Sesuai dengan keadaan wilayahnya yang terdiri dari gunung, rimba, laut, pantai dan sungai (gurilaps), Kabupaten Sukabumi memiliki komoditas pertanian yang beragam. Diantara komoditas pertanian di Kabupaten Sukabumi, masih ada komoditas yang memiliki potensi tetapi belum mendapatkan perhatian secara khusus untuk pengembangannya, salah satunya adalah tanaman terubuk.

Terubuk (saccharum edule Hassk.) adalah tanaman potensi lokal Kabupaten Sukabumi yang memiliki kandungan gizi dan vitaminnya yang tinggi. Menurut Terra (1966) dalam SEAFAST CENTER (2012), bunga terubuk yang biasa dikonsumsi sebagai sayuran ini memiliki kandungan protein sekitar 4,6 – 6%. Selain itu, bunga terubuk juga mengandung kalsium, fosfor dan vitamin C.

Terubuk yang tanaman asli Indonesia dikenal dengan berbagai nama berbeda dibeberapa daerah. Di daerah sunda sering disebut dengan nama turubuk/tiwu endog/turubus, sedangkan di Jawa dikenal dengan sebutan tebu endog. Menurut Arsella, Primadiyanti (2011), tanaman dengan nama latin Saccharum edule Hassk. ini, banyak dijual per ikat (10 bunga per ikat) dan permintaannya di pasar khususnya pasar tradisional cukup tinggi. Hasil kajian Sukmawani, Reny dkk (2016) juga menemukan bahwa hampir di semua pedagang pengumpul dan di pasar terubuk dijual per ikat.

Di wilayah Kabupaten Sukabumi, terubuk ditemukan sebagian besar Sukabumi Selatan. Di wilayah itu, petani banyak yang menanam terubuk untuk berbagai kepentingan. Namun, sebagai tanaman sumber nabati berpotensi, tanaman terubuk ini belum diusahakan dan dikembangkan secara khusus. Penanaman belum mendapatkan sentuhan teknologi secara khusus sehingga belum menerapkan prinsip berusahatani yang baik (Good Agricultural Paracteces). Perhatian pemerintah terhadap pengembangannya pun belum pernah ada. Padahal, terubuk sebagai tanaman lokal memiliki potensi yang baik untuk dimaksimalkan perannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Beranjak dari latar belakang tersebut, penelitian ini diarahkan untuk memilih model pengembangan usahatani terubuk sebagai suatu upaya agar terubuk dapat berkembang dengan baik serta diharapkan dapat menjadi daya ungkit dan penggerak pembangunan perekonomian di daerah pengembangannya, mampu menyerap tenaga kerja secara optimal berdasarkan skala produksinya, serta mampu bertahan dalam jangka panjang. Model kinerja pengembangan

Reny Sukmawani – Model Pengembangan Usahatani Terubuk ........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

633

usahatani terubuk dari hasil kajian ini memiliki potensi baik untuk pengembangan ekonomi daerah sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani dan peningkatan pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Pilihan ini berdasarkan kecenderungan bahwa pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah akan meningkat apabila wilayah tersebut dapat mengembangkan sektor pertaniannya dengan baik berdasarkan potensi wilayahnya (Sukmawani, et al. 2014).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di 22 kecamatan dari 47 kecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi. Kecamatan tersebut adalah: Nyalindung, Pabuaran, Purabaya, Sagaranten, Curugkembar, Cidolog, Cidadap, Tegalbuleud, Bojonglopang, Japang Tengah, Lengkong, Surade, Jampang Kulon, Ciracap, Ciemas, Simpenan, Cikakak, Cisolok, Kabandungan, Cidolog, Ciambar dan Cibitung. Data yang telah dihasilkan dalam penelitian ini diolah dan dianalisis secara deskriptif. Teknik pengambilan sampel ditentukan berdasarkan hasil survey awal. Pengambilan sampel dilakukan dengan cluster sampling, yaitu dengan membagi kelompok berdasarkan area atau cluster. Beberapa cluster dipilih dulu sebagai sampel, kemudian dipilih lagi anggota unit dari sampel cluster tersebut (Nazir, M, 2005).

Pengambilan sampel dilakukan dua tahap, yakni pertama menentukan lokasi kecamatan dan desa. Pemilihan desa ditentukan berdasarkan petimbangan luas tanam. Kemudian pada tahap kedua, menentukan sampel petani secara acak di masing-masing desa terpilih. Adapun untuk penentuan sampel pedagang dilakukan secara sengaja tanpa acak (random).

Untuk perumusan model dilakukan melalui FGD dan Kaji terap. Berdasarkan hal tersebut penelitian dilaksanakan dalam 2 tahapan. Tahap satu merupakan perumusan model pengembangan sedangkan tahap dua kaji terap serta evaluasi model sehingga model yang terbentuk telah diujicobakan. Lebih jelasnya langkah-langkah dalam penelitian meliputi: a. Mengidentifikasi peta pertanaman dan kondisi eksisting usahatani terubuk dari hulu

hingga ke hilir dengan metode survei b. Menganalisis keunggulan dan kelayakan usahatani terubuk c. Menyusun strategi pengembangan terubuk d. Merumuskan model pengembangan usahatani turubuk e. Implementasi dan evaluasi model di 3 kecamatan terpilih dengan metode kaji terap f. Pemantapan dan finalisasi model melalui focus group discusion/FGD dengan melibatkan

pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian dalam pengembangan terubuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi dan Peta Pertanaman Terubuk di Kabupaten Sukabumi

Hasil survey menunjukan potensi terubuk di Kabupaten Sukabumi cukup baik, walaupun belum banyak yang secara khusus membudidayakan dalam skala pertanian/perkebunan. Petani umumnya baru menanam terubuk sebagai tanaman sela diantara tanaman padi dan palawija, dengan tujuan menguatkan pematang sawah, menahan erosi, sebagai tanaman pagar dan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman terubuk selalu tersedia sepanjang tahun, walaupun tidak dibudidayakan secara khusus oleh masyarakat. Namun demikian beberapa petani sudah ada yang menanam terubuk dengan tujuan komersil dan dipasarkan bukan hanya di Sukabumi tetapi juga luar Sukabumi seperti Bogor dan

634 JEPA, 3 (3), 2019: 631-638

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tangerang. Beberapa alasan masyarakat menanam terubuk di pematang sawan dan tanaman sela diantaranya adalah (1) rumpun tanaman terubuk dapat mencegah erosi tanah di pematang sawah sehingga pematang tidak mudah roboh/longsor masuk ke sawah, (2) terubuk merupakan tanaman sayuran yang enak dimakan baik mentah maupun dimasak terlebih dahulu. Hal ini menjadikan bunga terubuk yang siap petik dapat dijadikan sebagai lauk pauk pada saat petani membersihkan sawahnya, dan (3) Sebagai tanaman sela dari komoditas utama, terubuk dapat menambah pendapatan diluar panen komoditas utama.

Produksi terubuk di Kabupaten Sukabumi paling banyak ada di Kecamatan Nyalindung. Produksinya hampir konsisten setiap hari ada walaupun jumlahnya tidak besar. Pemasarannya sudah mencapai Supermarket di Bogor. Penjualan terubuk relatif lebih mudah, karena tidak tersedia dalam jumlah yang cukup banyak maka konsumen akan selalu kekurangan untuk mendapatkan terubuk ini. Harga jual di pasar tradisional dapat mencapai Rp. 50.000/ikat, sedangkan harga di tingkat petani dapat beragam. Mulai harga seribu rupiah per batang sampai dengan Rp. 5000/tiga batang.

Harga jual yang lumayan menunjukkan bahwa tanaman terubuk memiliki potensi yang dapat dijadikan andalan untuk menambah pendapatan petani. Selain bunga terubuk, biomassa dari tanaman terubuk juga memiliki potensi sebagai bahan pakan bagi ternak sapi. Hasil penelitian Chaniago (2013) menunjukkan sapi dengan pakan terubuk mengalami peningkatan berat badan 0,03 kg/ekor/hari. Hasil kajian Sukmawani Reny, dkk (2018) tentang pohon industri terubuk menunjukkan bahwa seluruh bagian tanaman terubuk dapat dimanfaatkan dan limbahnya bila dijadikan pakan sapi dalam bentuk silase dapat meningkatkan bobot badan sapi 0,6 – 0,8 kh/ekor/hari.

Selain dijadikan sebagai pakan ternak sapi, usahatani terubuk juga dapat diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak sapi. Hasil penelitian Chaniago (2015) menyebutkan bahwa integrasi tanaman terubuk dengan ternak sapi dapat memberikan pendapatan sebesar Rp. 20.605.800 per ha per ekor per tahun atau Rp. 1.717.150 per bulan di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Sayangnya di Kabupaten Sukabumi belum terdapat petani yang mengintegrasikan ternak sapi dengan terubuk sebagai pakannya.

Berdasarkan potensi pengembangannya, terubuk paling baik tumbuh dengan subur di tanah jenis podsolik merah kuning (alluvial). Tanah jenis ini dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Sukabumi berdasarkan ketinggian tempat. Meskipun demikian pada tanah jenis lain pun terubuk masih dapat tumbuh. Hal ini dapat dibuktikan dengan penyebaran tanaman terubuk di Kabupaten Sukabumi tidak terpusat di satu kecamatan, melainkan tersebar luas pada kecamatan-kecamatan dengan ketinggian tertentu tidak lagi bergantung pada jenis tanah yang digunakan sebagai lahan.

Potensi pengembangan terubuk di Kabupaten Sukabumi cukup menjanjikan. Baik dari segi produksi maupun dari segi harga. Dengan penyebaran terubuk yang cukup luas di Kabupaten Sukabumi, memungkinkan adanya penanaman secara intensif untuk memenuhi kebutuhan pasar. Potensi biomassa sebagai pakan dan integrasi dengan pemeliharaan ternak sapi belum tersentuh baik oleh petani itu sendiri maupun dalam program penyuluh.

Pemanenan terubuk dilakukan dengan memotong bagian tanaman yang ujung atasnya terlihat menggembung. Istilah masyarakat terhadap terubuk yang sudah demikian disebut reuneuh. Keadaan tanaman tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan bakal bunga yang tidak sempurna sehingga menyerupai telur ikan. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong malai tanaman terubuk yang memiliki bunga tersebut bersama dengan kelobotnya. Jika pemanenan dilakukan hanya bunga saja maka konsumsi terubuk harus segera dilakukan mengingat bagian bunga tersebut sudah bersentuhan dengan oksigen yang berada dalam udara. Namun jika

Reny Sukmawani – Model Pengembangan Usahatani Terubuk ........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

635

pemanenan dilakukan dengan menyertakan kelobot/pelepahnya, daya tahan terubuk akan lebih panjang sampai sekitar dua minggu setelah panen.

Harga tanaman terubuk bervariasi antara tingkat petani maupun di tingkat pasar. Hal ini sangat umum terjadi pada komoditas pertanian secara keseluruhan. Namun yang menarik dari harga terubuk adalah perbedaan antara tingkat petani dengan distributor atau pasar tidak terlalu jauh. Harga yang relatif stabil baik tingkat petani maupun harga di pasar merupakan potensi lain dalam pengembangan terubuk di Kabupaten Sukabumi. Terubuk dijual dalam bentuk satuan tanaman yang masih dibungkus kelobot/pelepah daun dapat bertahan dalam waktu satu sampai dua minggu tanpa mengubah rasa dan struktur bagian yang dikonsumsi. Sedangkan batang tanaman yang tersisa dapat dijadikan sebagai bibit baru yang dapat ditanam untuk menjadikan rumpun turubus yang baru.

Terubuk dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Sukabumi dengan beragam cara. Hal ini sangat berkaitan dengan aktivitas masyrakat petani itu sendiri, misalnya jika masyarakat sedang menanam padi di huma maupun sawah. Pada saat petani melakukan pemeliharaan tanaman padi mereka memungut turubus untuk dijadikan teman nasi yang dibawa dari rumah dengan langsung mengkonsumsi secara mentah. Di saat lain ketika masih tersisa terubuk di kebun, dibawa ke rumah untuk dijadikan lalaban yang direbus, atau dijadikan sayur dengan berbagai jenis bumbu. Jika cukup banyak tersisa, terubuk dijual kepada orang yang memang membutuhkan atau langsung ditawarkan ke pasar sebagai tambahan pendapatan bagi petani disamping komoditas lainnya.

Model Pengembangan Usahatani Terubuk

Sebelum merancang model, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada dalam pengembangan usahatani terubuk berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Variabel-variabel tersebut adalah: sumberdaya manusia, produk, lahan, teknologi, pasar dan kelembagaan.

Model yang dikembangkan pada penelitian ini berbasis riset yang didukung oleh teori yang ada, tujuannya untuk mengembangkan sebuah model yang mempunyai justifikasi secara teoritis, untuk mendukung upaya analisis terhadap suatu masalah yang sedang diteliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa strategi pengembangan usahatani terubuk harus dilakukan melalui pelaksanaan strategi sumberdaya manusia, strategi produk, strategi lahan, strategi teknologi, strategi pasar dan strategi kelembagaan. Berdasarkan strategi tersebut, maka hasil pengkajian secara mendalam di lapangan dan melalui diskusi terarah maka dapat dikembangkan model kinerja pengembangan usahatani terubuk sebagai berikut:

636 JEPA, 3 (3), 2019: 631-638

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 1. Usulan Model Pengembangan Usahatani Terubuk di Kabupaten Sukabumi

Setelah dilakukan kaji terap untuk memastikan efektifitas dari model, maka diperoleh 3

aspek utama dalam pembentukan model, yaitu: unsur, kerangka kerja dan proses. Usulan model kerja pengembangan usahatani terubuk ini disusun berdasarkan pada dua hal yang dapat dikemukan, yaitu: 1. Komoditas unggulan spesifik lokal dapat berkembang dengan baik apabila memperhatikan

faktor sumberdaya manusia, produk, lahan, teknologi, pasar dan kelembagaan. 2. Variabel-variabel yang harus diperhatikan dalam pengembangan komoditas unggulan

spesifik lokal akan berbeda untuk setiap daerah/wilayah, tergantung pada karakteristik dan potensi sumberdaya yang ada di wilayah yang bersangkutan.

Pengembangan usahatani terubuk memerlukan keterkaitan yang erat antara hulu (up stream) dan hilir (down stream). Kondisi ini disebabkan karena sumberdaya manusia yang dalam hal ini adalah petani yang ada di tingkat hulu yang didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam (lahan), memiliki keahlian dan kemauan untuk berproduksi, tetapi terdapat keterbatasan dalam mengakses pasar dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitasnya. Sementara itu di tingkat hilir, dalam hal ini industri, memiliki kekuatan dalam hal teknologi dan akses pasar, namun membutuhkan kontinyuitas dalam ketersediaan bahan baku (produk) . Kebutuhan yang berbeda antara hulu dan hilir dapat dijembatani oleh adanya kelembagaan.

Proses kerja dan kinerja kelembagaan menjadi sangat penting dan perannya sangat diharapkan dalam mendampingi, membimbing, memfasilitasi dan memonitor kegiatan yang berjalan di tingkat hulu. Sementara di tingkat hilir lembaga dapat berperan sebagai mediator yang memberikan masukan dan informasi tentang ketersediaan produk di tingkat hilir.

Usahatani terubuk akan berkembang dengan baik apabila komponen keunggulan dan nilai lebih tercapai. Untuk mencapainya tentu saja dibutuhkan kontribusi berbagai sumberdaya yang dapat melaksanakan proses kerja dan kinerja dengan baik. Berdasarkan hal itu maka semua unsur yang masuk dalam model kerja di atas harus memaksimalkan fungsi dan perannya. Penjelasan masing-masing komponen dalam model adalah sebagai berikut: 1. SDM/Tenaga Kerja/Petani

Reny Sukmawani – Model Pengembangan Usahatani Terubuk ........................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

637

Sebagai orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, petani harus dapat menjadi seorang manager bisnis yang.bertugas mengelola bisnis usahataninya. Dalam melaksanakan tugas dan perannya, petani tidak dapat berjalan sendiri melainkan harus berkelompok.

2. Sumberdaya Alam (lahan) Sumberdaya alam yang dimaksud di sini adalah lahan. Perluasan areal tanam dan penanaman secara intensif perlu didukung oleh adanya kemitraan dan perbaikan infrastruktur sehingga petani dapat menerapkan GAP dalam menjalankan usahataninya

3. Produk Keberhasilan usahatani dilihat salah satunya berdasarkan produktivitasnya. Agar produktivitas terubuk ini baik maka penting dilakukan upaya untuk meningkatkan nilai guna/tambah produk, perbaikan GAP (Good Agriculture Practic) dan pengaturan pola tanam serta pola panen yang tepat.

4. Teknologi Status teknologi yang jelas bagi usahatani terubuk ini sangat penting. Untuk mendapatkannya diperlukan suatu pedoman usahatani terubuk secara intesif melalui penyusunan GAP yang berorientasi pada kelestarian sumberdaya lokal. Sehingga teknologi yang dikembangkan harus non organik.

5. Pasar Produk sebanyak dan sebaik apapun tanpa adanya pasar menjadi tidak berarti. Oleh karena itu pasar menjadi penting dalam pengembangan komoditas unggulan lokal. Pasar berkaitan dengan kegiatannya bukan tempatnya. Agar pasar benar-benar diperoleh diperlukan adanya upaya dan kesepakatan yang saling menguntungkan dalam transaksinya. Persaingan sering terjadi di pasar, karena itu hanya dengan proses kerja dan kinerja yang baik maka pasar ini dapat dikuasai.

6. Kelembagaan Kelembagaan dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi. .Kelembagaan difasilitasi dan diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah agar tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya. Satu kelompok tani biasanya terdiri dari 20 -30 anggota. Kelompok tani harus dapat memaksimalkan perannya sebagai sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerjasama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang. Kelembagaan petani hendaknya dapat tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya. Untuk itu penting dilakukan pembinaan berorganisasi secara intensif

Disamping ke-enam variabel tersebut, optimalisasi peran dan kebijakan pemerintah perlu manjadi perhatian dan ditingkatkan dalam rangka menunjang pengembangan usahatani terubuk ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Terubuk memiliki potensi baik untuk dikembangkan berdasarkan sebaran penanamannya,

potensi pasarnya, manfaatnya sebagai sumber vitamin, penahan erosi dan tanaman pagar.

638 JEPA, 3 (3), 2019: 631-638

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

2. Model kinerja pengembangan usahatani terubuk yang dihasilkan dari kajian ini dapat dijadikan sebagai acuan dengan tetap memperhatikan aspek pengembangan secara terfokus dan dukungan serta kebijakan pemerintah.

3. Pengembangan terubuk akan berhasil apabila memperhatikan enam unsur utama pengembangan yaitu: sumberdaya manusia, lahan, produk, teknologi, pasar dan kelembagaan. Keenam unsur itu apabila dapat melaksanakan proses dan kinerja dengan baik maka pengembangan terubuk akan efektif.

Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat lainnya dari tanaman terubuk

terutama sebagai bahan pakan ternak dan sebagai barier bagi seragan hama tanaman yang dipagarinya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana cara peningkatan daya saing terubuk sehingga sebagai tanaman lokal yang memiliki kekhasan dan potensi baik, terubuk dapat dikembangkan menjadi tanaman unggulan spesifik lokal

3. Perlu dilakukannya kaji terap secara menyeluruh terhadap aspek produksi dan pengolahan terubuk sehingga menjadi suatu inovasi yang dapat dikembangkan dimasyarakat untuk sumber tambahan pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Arsela, Primadiyanti. 2011. In vitro regeneration of terubuk (Saccharum

edule). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53293 Chaniago, Ramadhani, Rahim Darma, dan Syamsuddin Garantjang. 2013. Integrasi Antara

Tanaman Terubuk (Saccharum Edule Hasskarl) Dengan Ternak Sapi Sebagai Usaha Pengembangan Ekonomi Pedesaan. http://118.97.33.150/jurnal/files/4dda31dcb08346e667ea733f79a60ffd.pdf

Chaniago Ramadhani.2015. Analisis Usahatani Integrasi Antara Tanaman Trubus (Saccharum edule Hasskarl) Dengan Ternak Sapi. Jurnal Galung Tropika, 4 (1) Januari 2015, hlmn. 36-41.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor. Sukmawani Reny, Maman Haeruman, Lies Sulistiyowati and Tomy Perdana. 2014. Determining

agricultural superior commodity in the district of Sukabumi through a combination method of LQ, description scoring, and competitive analysis. Research Journal of Agriculture and Environmental Management. Vol. 3(11), November, 2014.

Sukmawani Reny, Ema Hilma Meilani, Asep M Ramdan, Saprudin, dan Jujun Ratnasari. 2016. Potensi dan Pengembangan Trubus. CV. Nurani. ISBN: 978-602-7920-54-5

Sukmawani Reny, Aulia Miftahunnisa Exa P, Ema Hilma Meilani dan Asep M Ramdan. 2018. Pohon Industri Terubuk (Saccharum edule Hasskarl). Universitas Muhammadiya Sukabumi,Kemenristekdikti, dan Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. Kompilasi Ciptaaan. Hak Cipta Kemenhuum dan HAM No. 000119318.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 639-644

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.19

PENGARUH FAKTOR INTERNAL PENYULUH TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH DALAM DIKLAT DASAR FUNGSIONAL DI BPP LEMBANG

THE INFLUENCE OF INTERNAL FACTORS OF EXTENSION AGENTS TOWARDS

AGRICULTURAL EXTENSION COMPETENCE IN BASIC FUNCTIONAL TRAINING BY BBPP LEMBANG

Lucy Natami Figna*, Siti Amanah, Anna Fatchiya

Department of communication and community development, IPB University, Jl. Kamper IPB Darmaga, Bogor, West Java, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

Competent extension agents are those who are capable to perform field duties in accordance with the demands of the community, particularly the increasing of agricultural field. The objectives of this study is analyze the characteristics of basic functional training participant in 2011 and 2012 as well as characteristics of training components in BBPP Lembang. The research population included all agricultural extension agents that participated in basic functional education and training held by BBPP Lembang in 2011 and 2012 with the number of participant in two groups of 60 extension agents. Data collection was performed using a census method, while data analysis was performed quantitatively using descriptive and inferential statistic analysis. The result of Rank Spearman regression analysis showed that the characteristics of the extension works related to the increase of extension competences that were age and education. Meanwhile, other factors were the method of training, duration of training, formal education and motivation, the availability of facilities and infrastructure as well as the state of the working area, and the availability of infrastructure and the state of the field.

Key words: competencies of extension works, education and training.

ABSTRAK

Penyuluh yang kompeten adalah mereka yang mampu melakukan tugas lapangan sesuai dengan tuntutan masyarakat, khususnya peningkatan bidang pertanian. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis karakteristik peserta pelatihan fungsional dasar pada tahun 2011 dan 2012 serta karakteristik komponen pelatihan di BBPP Lembang. Populasi penelitian termasuk semua penyuluh pertanian yang berpartisipasi dalam pendidikan fungsional dasar dan pelatihan yang diselenggarakan oleh BBPP Lembang pada tahun 2011 dan 2012 dengan jumlah peserta dalam dua kelompok yang terdiri dari 60 penyuluh. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode sensus, sedangkan analisis data dilakukan secara kuantitatif menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Hasil analisis regresi Rank Spearman menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan penyuluhan berhubungan dengan peningkatan kompetensi penyuluhan yaitu usia dan pendidikan. Sementara itu, faktor lain adalah metode pelatihan, durasi pelatihan, pendidikan formal dan motivasi, ketersediaan fasilitas dan infrastruktur serta keadaan wilayah kerja, dan ketersediaan infrastruktur dan keadaan lapangan. Kata kunci: kompetensi pekerjaan penyuluhan, pendidikan, pelatihan.

640 JEPA, 3 (3), 2019: 639-644

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan bertindak yang dimiliki oleh

seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (Sumardjo, 1999). Adanya standar kompetensi yang dikuasai, seseorang akan mampu mengerjakan sesuatu tugas atau pekerjaan dengan terampil, mengorganisasikan pekerjaan yang dilaksanakan dengan cermat, bisa bertindak bila terjadi penyimpangan, dan menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda. Penyuluh yang kompeten merupakan penyuluh yang mampu melaksanakan tugas di lapangan sesuai dengan tuntutan kebutuhyan masyarakat.

Kondisi penyuluh di Indonesia saat ini dibantu oleh Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Diketahui jumlah penyuluh pertanian di Indonesia saat ini sebanyak 47.955 orang terdiri dari 57,3 % penyuluh PNS dan 42,7% Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) (Kementan, 2014). Keadaan penyuluh pertanian di Indonesia saat ini belum memenuhi kebijakan yang dikeluarkan Kementan yaitu 1 penyuluh untuk 1 desa. Jumlah penyuluh yang hanya 47.955 tersebut belum memenuhi untuk 75.224 desa/kelurahan di Indonesia. Kesenjangan inilah yang akhirnya menuntut seorang penyuluh harus meningkatkan kompetensi penyuluh. Selain itu kompetensi penyuluh THL dapat dikatakan masih rendah dalam menyampaikan inovasi yang ada. Peraturan Menteri (Permen) No 91 tahun 2013 menegaskan penyuluh pertanian adalah jabatan fungsional yang memiliki ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang penyuluh pertanian yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil yang diberi hak serta kewajiban secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan luar sekolah berguna untuk menumbuh kembangkan kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan) (Iskandar, 2006)

Pelatihan merupakan salah satu tindakan praktis penyuluhan, dimana menurut (Amanah, 2007) tindakan praktis penyuluhan merupakan upaya untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku pada individu, kelompok, komunitas, ataupun masyarakat agar mereka tahu, mau, dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Setelah mengikuti pelatihan, kompetensi penyuluh terbilang tinggi dari hasil posttest yang diadakan oleh BBPP Lembang sebagai lembaga yang telah mengadakan pelatihan. Kompetensi yang tinggi tersebut tentu belum bisa dibilang tinggi juga jika sudah kembali ke tempat kerja mengingat penyuluhan dilakukan di masyarakat pertanian yang menuntut penyuluh lebih ulet dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan Undang-Undang tentang sistem penyuluhan pertanian dan standar kompetensi penyuluh yang telah diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Tahun 2010.

Sebelum melakukan tugas di daerah penempatan, peningkatan kompetensi seorang penyuluh bisa dilakukan dengan cara melakukan pendidikan dan pelatihan yang salah satunya diadakan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan (BBPP). Banyak pihak yang berpendapat bahwa diantara faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kemampuan penyuluh adalah kurangnya perhatian instansi dalam memberikan program pendidikan dan pelatihan yang sesuai bagi penyuluh (Turere, 2013)

Berdasarkan kajian di atas, maka tujuan penelitian adalah : 1) menganalisis karakteristik peserta pelatihan dasar fungsional ahli tahun 2011 dan 2012 serta komponen pelatihan di BBPP Lembang

Lucy Natami Figna – Pengaruh Faktor Internal Penyuluh Terhadap Kompetensi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

641

METODE PENELITIAN

Data dikumpulkan mulai bulan Februari sampai dengan April 2015. Lokasi penelitian disesuaikan dengan lokasi penempatan peserta pendidikan dan pelatihan dasar fungsional ahli Tahun 2011 dan 2012.

Populasi penelitian adalah semua penyuluh pertanian yang menjadi peserta pendidikan dan pelatihan dasar fungsional ahli yang diadakan oleh BBPP Lembang pada Tahun 2011 dan 2012. Jumlah penyuluh yang menjadi peserta pada dua angkatan ialah 60 orang Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner yng disebarkan kepada responden dan wawancara mendalam dengan panitia pelaksanaan pelatihan serta beberapa informan. Data sekunder didapatkn melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan lingkup penelitian. Sumber-sumber tersebut antara lain perkembangan materi pelatihan serta laporan pelaksanaan pelatihan yang menunjang penelitian. Keseluruhan data diolah dengan menggunakan alat statistik Statistical Product and Service Solution 20 (SPSS 20) dengan menggunakan analisis regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian yang mempunyai tugas pokok “Melaksanakan dan mengembangkan pelatihan teknis, fungsional dan kewirausahaan di bidang pertanian bagi aparatur dan non aparatur pertanian”.

Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan

Karakteristik individu adalah perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Karakteristik individu merupakan bagian dari perilaku yang dapat membawa individu tersebut ke dalam suatu kehidupan kelompok. Karakteristik internal meliputi umur, pendidikan formal, jenis kelamin, masa kerja, dan motivasi mengikuti pelatihan.

Responden terdiri dari 33 orang laki-laki (55%) dan perempuan sebanyak 27 orang perempuan (45%). Laki-laki ataupun perempuan mengikuti pelatihan yang sama yaitu pelatihan fungsional penyuluh pertanian. Peserta yang ikut dalam pelatihan ditentukan oleh instansi terkait sesuai pengalaman pelatihan yang pernah diikuti. Berikut adalah jumlah dan persentase penyuluh peserta pelatihan menurut karakteristik individu (Tabel. 1).

642 JEPA, 3 (3), 2019: 639-644

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 1. Faktor Internal Penyuluh

Keterangan: n = 60

Umur penyuluh peserta pelatihan secara umum dewasa dan tua. Sedangkan jumlah penyuluh yang berada pada kategori muda hanya berjumlah 16 orang atau sekitar 26%. Nurdin (2013) menyimpulkan kisaran umur 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-55 tahun menunjukkan usia produktif. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh muda memiliki pola pikir dan penalaran yang relatif terbuka dan cepat menerima adopsi.

Pendidikan penyuluh pertanian peserta pelatihan di BBPP Lembang berpendidikan S1 adalah 57 orang dan yang telah menyelesaikan pendidikan S2nya ada 3 orang. Menurut (Soekartawi, 2005) secara umum penyuluh yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam menerapkan pengetahuan yang didapat. dari sehingga hal ini diharapkan dapat menjamin kemampuan penyuluh untuk meningkatkan kualitas kerja dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, sehingga mendukung keberhasilan program penyuluhan.

Tingkat pendidikan formal adalah faktor untuk mengetahui perkembangan sumberdaya manusia. Pendidikan formal peserta Dikat di BPP Lembang sebesar 95% memiliki latar belakang pendidikan sarjana (S1). Makin tinggi pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berpikirnya, dan daya nalarnya sehingga akan semakin respon terhadap inovasi baru yang diajarkan (Heliawaty, 2009)

Motivasi penyuluh berada pada kategori tinggi (55%). Menurut (Suhaenah Suparno, 2013) motivasi merupakan keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Artinya dalam menjalankan pekerjaannya memang penyuluh berkeinginan bahwa petani sasaran menjadi lebih maju lagi dalam meningkatkan proruktivitasnya walaupun ada beberapa hambatan dalam melakukan penyuluhan seperti kurangnya respon dan partisipasi petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan, sehingga kegiatan penyuluhan selalu dibarengi dengan pemberian bantuan dari pemerintah.

No Karakteristik Penyuluh

Kategori Jumlah (orang)

(%)

1 Umur (Tahun) Muda (30-40)

16 26,67

Dewasa (41-50)

25 41,67

Tua (>51)

19 31,67

2 Pendidikan Formal S1 57 95.00 S2 3 5.00 3 Jenis Kelamin Laki-laki 33 55.00 Perempuan 27 45.00 4 Masa Kerja (Tahun) Rendah (4-15) 21 35.00 Sedang (16-26) 17 28.33 Tinggi (27-36) 22 36.67 5 Motivasi Rendah 1 1.67 Sedang 25 41.67 Tinggi 33 55.00

Lucy Natami Figna – Pengaruh Faktor Internal Penyuluh Terhadap Kompetensi ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

643

Pengaruh Faktor Internal Penyuluh dalam Diklat Dasar Fungsional di BPP Lembang Karakteristik penyuluh peserta pelatihan yang diduga mempengaruhi kinerja dalam penelitian ini adalah: Umur, pendidikan formal, jenis kelamin, masa kerja, jumlah pertanian yang pernah diikuti serta motivasi mengikuti pelatihan. Berdasarkan analisis Regresi Linear, nilai koefisien regresi antara karakteristik penyuluh peserta pelatihan dengan kinerja penyuluh pertanian disajikan berikut: Tabel 2. Faktor Internal Mempengaruhi Penyuluh dalam Diklat Dasar Fungsional Ahli oleh BBPP Lembang

No Peubah/indikator Kinerja penyuluh 1 Umur 0.267 2 Pendidikan formal 0.08* 3 Masa kerja 0.369 4 Motivasi 0.09*

Tidak semua aspek karakteristik penyuluh peserta pelatihan mempengaruhi kompetensi

penyuluh pertanian. Berdasarkan tabel diatasa diketahui bahwa usia tidak berpengaruh dengan kinerja penyuluh, artinya penyuluh yang lebih tua tidak berarti kurang produktif daripada penyuluh muda, meskipun penyuluh yang sudah tua lebih banyak absen daripada penyuluh yang lebih muda. salah satu indikator yang mempengaruhi yaitu pendidikan formal dari penyuluh, hal ini sejalan dengan pendapat (Slamet, 2003) bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan yang menyebabkan tingkat pendidikan formal berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Namun berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan pendidikan tidak mempengaruhi peningkatan kinerja seorang penyuluh pertanian.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penyuluh pertanian peserta pelatihan fungsional ahli di BBPP Lembang tahun 2011-2012 berumur dewasa (41-50 tahun) dengan masa kerja tinggi (>27 tahun) dan memiliki moivasi kerja sebagai penyuluh pertanian pada kategori tinggi. Hal ini berarti bahwa penyuluh pertanian yang sudah mendapat pelatihan tersebut sebagian besar akan segera memasuki usia pensiun, memiliki pengalaman kerja dan tingkat pendidikan formal yang baik namun kurang mendapat dukungan dari keadaan lapang, seperti halnya dukungan atasan dan iklim kerja.

Faktor yang mempengaruhi kompetensi penyuluh pertanian setelah pelatihan diantaranya metode pelatihan, lamanya pelatihan, pendidikan formal dan motivasi, ketersediaan sarana dan prasarana serta keadaan wilayah kerja. Metode pelatihan menyangkut bagaimana metode bisa menyampaikan pesan dengan baik sehingga peserta mampu mengingat materi untuk diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya, lamanya pelatihan terkait dengan berapa banyak waktu yang dipakai dalam memberikan materi pelatihan. Motivasi merupakan hal yang signifikan karena ketika seorang mempunyai motivasi dan semangat dalam melakukan pekerjaannya maka lama kelamaan perilaku sikap dan keterampilan seorang penyuluh tersebut juga ikut meningkat.

644 JEPA, 3 (3), 2019: 639-644

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Selain itu, faktor yang juga mempengaruhi kompetensi seorang penyuluh yaitu ketersediaan sarana prasarana serta keadaan wilayah kerja Keadaan wilayah kerja yang mendukung juga akan mempengaruhi kompetensi seorang penyuluh ketika kegiatan penyuluhan diadakan. Saran

BBPP sebagai penyelenggara pelatihan perlu mengadakan pelatihan rutin untuk mengasah kemampuan serta keterampilan penyuluh pertanian agar penyuluhan yang diselenggarakan lebih baik karena penyuluh yang kompeten akan meningkatkan kualitas penyuuhan. Dalam pelaksanaan pelatihan alangkah baiknya waktu pelatihan mengikuti jadwal yang sudah dibuat sebelumnya agar peserta pelatihan tidak jenuh dan pelatihan diadakan dengan disiplin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah harus adanya pembinaan dari atasan demi peningkatan pengetahuan dan keterampilan seorang penyuluh serta adanya penghargaan terhadap penyuluh yang telah melakukan kegiatan penyuluhan dengan baik serta adanya intensif yang cukup demi kelancaran sebuah program penyuluhan.

DAFTAR PUSTAKA Amanah, S. (2007) ‘Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia’, Jurnal

Penyuluhan, 3(1). doi: 10.25015/penyuluhan.v3i1.2152. Heliawaty, N. (2009) ‘Sikap Petani Kakao terhadap Penerapan Metode PsPSP dalam Rangka

Peningkatan Produktifitas dan Kualitas Biji Kakao’, Agrisistem. Iskandar, J. (2006) ‘Petani Dan Pertanian’, Analisis sosial, 11(1). doi: 10.1016/S0034-

7450(14)60275-4. Modul Deptan Kementrian Pertanian Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2004 Slamet, M. (2003) Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Edited by I. Yustina.

Bogor: IPB Press. Soekartawi (2005) Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. Suhaenah Suparno (2013) Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional. Sumardjo (1999) Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan

Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat). Institut Pertanian Bogor. Turere, V. N. (2013) ‘Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan…’, Pengaruh Pendidikan Dan

Pelatihan Terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan Pada Balai Pelatihan Teknis Pertanian Kalasey, 1(3), pp. 10–19.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 645-654

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.20

PENINGKATAN KINERJA AGROINDUSTRI PISANG DENGAN PENDEKATAN SUSTAINABLE LIVELIHOODS

PERFORMANCE IMPROVEMENT OF BANANA'S AGROINDUSTRY WITH A

SUSTAINABLE LIVELIHOODS APPROACH

Dwi Retno Andriani*, Budi Setiawan, Djoko Koestiono, Abdul Wahib Muhaimin Program Studi Agribisnis, Universitas Brawijaya Malang

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the performance efficiency of banana agroindustry with internal and external factor approaches in resource ownership. The main problem is the improvement of superior agroindustry is the inability to optimize the resources possessed by agro-industry actors and manage their business environment, thus impacting on the low productivity, quality, and competitiveness of agro-industries. This condition triggers the performance of individual factors as a leading driver of agroindustry. These efforts relate to resource access indicators that are a component of Livelihood Asset. Steps to evaluate the performance of superior agroindustry in order to be able to realize an outcome that is in accordance with the company's vision, mission, goals and objectives through the formulation of a performance evaluation model as an effort to improve business productivity, quality and competitiveness. The data analysis method uses the Data Envelopment Analysis (DEA) design to see the level of efficiency of ownership of resources and the vulnerability of agro-industry actors to the performance of agro-industries.

Keyword : Sustainable Livelihood Asset, performance of banana’s agroindustry

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi kinerja agroindustri pisang dengan pendekatan faktor internal dan eksternal dalam kepemilikan sumberdaya. Permasalahan utama peningkatan agroindustri unggulan adalah ketidakmampuan dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki pelaku agroindustri dan mengelola lingkungan bisnisnya, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas, mutu, dan daya saing agroindustri. Kondisi tersebut memicu untuk melakukan kegiatan evaluasi kinerja dari faktor individu sebagai motor penggerak agroindustri unggulan. Upaya-upaya tersebut berhubungan dengan indikator akses sumber daya yang merupakan komponen dari livelihood Asset. Langkah-langkah untuk mengevaluasi kinerja agroindustri unggulan agar mampu mewujudkan suatu hasil yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan melalui perumusan model evaluasi kinerja sebagai salah satu usaha memperbaiki produktivitas, mutu, dan daya saing usaha. Metode analisis data menggunakan desain Data Envelopment Analysis (DEA) untuk melihat tingkat efisiensi kepemilikian sumber daya dan kondisi kerentanan pelaku agroindustri terhadap kinerja agroindustri.

Kata Kunci: : Sustainable Livelihood Asset, kinerja, agroindustri pisang.

646 JEPA, 3 (3), 2019: 645-654

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Agroindustri lebih menitikberatkan pada analisis pemanfaatan produk pertanian sebagai bahan baku untuk diolah menjadi produk yang siap dimanfaatkan atau dikonsumsi atau siap diolah lebih lanjut menjadi produk baru oleh suatu lembaga yang dikelola dengan manajemen profesional untuk memasuki pasar baik domestik maupun global. Terdapat dua kata kunci yang dapat digunakan untuk memberikan batasan antara agribisnis dengan agroindutsri, yaitu agribisnis menitikberatkan pada aktivitas atau operasi yang terkait dengan pertanian sedangkan agroindutsri menitikbertakan analisis pada aktivitas perusahaan.

Sebagai suatu sistem, pengukuran kinerja agroindustri hendaknya menggunakan pendekatan multikriteria (multicriteria approach). Kinerja agroindustri dapat diukur secara internal dan eksternal. Kinerja internal dianalisis berdasarkan subsistem agroindustri, sedangkan kinerja eksternal dianalisis berdasarkan output yang dihasilkan. Kinerja internal dapat dianalisis berdasarkan pengelompokan berupa : (1) kinerja subsistem rantai produksi, (2) kinerja subsistem kebijakan, (3) kinerja subsistem kelembagaan, dan (4) kinerja subsistem pemasaran (Didu, 2003).

Dalam penelitian ini mencoba untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja agroindustri unggulan dengan pendekatan Suistainable Livehoods Framework dimana akan menganalisis pengaruh faktor-faktor internal (Livelihoods Assets) dan ekternal (Vulnerability Context) yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja agroindustri unggulan di Kota Batu. Faktor internal dalam pendekatan ini menggunakan livelihood assets yang memiliki lima aspek modal yaitu meliputi modal fisik, modal keuangan, modal finansial, modal manusia dan modal alam yang digambarkan dengan kemampuan akses suatu individu. Selain itu dalam penelitian ini ditambahkan faktor entrepreneur behavior dan intuisi .

Kemampuan tersebut nantinya akan ditransformasikan menjadi sebuah struktur atau proses dalam pembentukan suatu keluaran yang berbentuk strategi atau kebijakan untuk pengembangan suatu individu serta mengentaskan dari kemiskinan. Namun, selain faktor internal, juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi proses transformasi. Faktor eksternal tersebut adalah vulnerability context yang merupakan konteks kerentanan suatu individu dalam menghadapi pengaruh luar. Kerentanan tersebut terkait dengan perkembangan trend saat ini, tekanan serta musiman yang nantinya juga akan mempengaruhi input dari kerangka kerja sustainable livelihood tersebut.

Permasalahan utama pada peningkatan agroindustri unggulan adalah ketidakmampuan dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki pelaku agroindustri dan mengelola lingkungan bisnis sehingga akan berdampak pada rendahnya produktivitas, mutu, dan daya saing agroindustri, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengevaluasi kenerja agroindustri unggulan agar mampu mewujudkan suatu hasil yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan melalui perumusan model evaluasi kinerja sebagai salah satu usaha memperbaiki produktivitas, mutu, dan daya saing usaha. Selain itu seiring dengan bertambahnya penduduk dan pembangunan sektor pariwisata Kota Batu yang semakin meningkat juga mengakibatkan lahan pertanian di Kota Batu semakin menurun.

Kegiatan evaluasi kinerja dipengaruhi oleh faktor individu yang menjadi motor penggerak agroindustri unggulan di Kota Batu. Upaya-upaya tersebut berhubungan dengan indikator akses sumber daya yang merupakan komponen dari livelihood

Dwi Retno Andriani – Peningkatan Kinerja Agroindustri Pisang .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

647

METODE PENELITIAN

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive atas pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan daerah penghasil agroindutri yang potensial untuk dijadikan produk olahan yaitu produk olahan pisang. Selain itu, daerah tersebut merupakan sentra agroindustri yang menjadi primadona oleh-oleh khas Kota Batu dan perlu mendapat perhatian untuk usaha pengembangannya. Metode penentuan responden untuk produsen peneliti menggunakan metode purposive sampling sesuai dengan tujuan penelitian. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penentuan responden yang menjadi sampel penelitian ini adalah perusahaan agroindustri pisang di Kota Batu dan akan menjadi informasi kunci (key informan). Informan kunci (key informan) yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemilik agroindustri pisang di Kota Batu dengan pertimbangan bahwa perusahaan agroindustri ini memang sudah lama mengetahui kondisi secara keseluruhan dari usaha olahan pisang serta mengetahui keadaan tempat penelitian. Sedangkan informan lain sisanya merupakan karyawan bagian produksi yang akan dijadikan sebagai informan biasa untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

Penentuan responden untuk konsumen atau pelanggan peneliti menggunakan nonprobability sampling dengan cara accidental sampling. Sugiyono (2004) menyatakan bahwa nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Metode ini digunakan dengan alasan banyaknya konsumen yang pernah membeli dan mengkonsumsi produk agroindustri pisang dan responden tidak dapat diketahui secara pasti.

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik analisis, yaitu: 1. Menggunakan Decision Making Unit (DMU) di dalam DEA, atau analisa faktor intenal dan faktor eksternal untuk memaksimalkan kinerja.�2. Regression Weight pada DEA yang digunakan untuk meneliti seberapa besar variabel-variabel penelitian yang saling mempengaruhi. Berikut analisis data berdasarkan variabel input dan output yang digunakan: 1. Menentukan Variabel Input dan Output

Gambar di atas menjelaskan bahwa terdapat 2 variabel input yang akan dijadikan ukuran tingkat pengaruh dan efisiensi kinerja agroindustri di Kota Batu yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari sumber daya yang dimiliki UKM dalam membangun dan memulai sebuah usaha di bidang pertanian. Sumber daya yang dijadikan ukuran terdiri dari lima yaitu modal manusia, modal sosial, modal finansial, modal fisik, modal alam. Berikutnya faktor eksternal yang terdiri kondisi lingkungan disekitarnya yang berpengaruh pada proses keberlangsungan industri pengolahan pisang.

Formulasi model dijelaskan sebagai berikut: Relasi kepemilikan sumber daya = 1. X1 + X2 + X3+ X4 + X5.

2. X6+ X47+ X8

Relasi sumberdaya pendukung = Z1+Z2 Relasi peningkatan kinerja unggulan = Y1 + Y2 + Y3+ Y4+ Y5

Formasi input untuk kepemilikan sumber daya livelihoods antara lain, X1 = Human Capital X5 = Nature Capital X2 = Social Capital X6 = Shock X3 = Financial Capital X7 = Seasonability X4 = Physical Capital X8 = Trends

Selanjutnya formasi input relasi untuk kepemilikan sumberdaya pendukung antara lain:

648 JEPA, 3 (3), 2019: 645-654

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Z1 = Enterpreneur Behaviour Z2 = Intuisi

Sedangkan, Formasi input kinerja relasi agroindustri unggulan terdiri dari: Y1 = Human Capital Y4 = Nature Capital Y2 = Social Capital Y5 = Shock Y3 = Financial Capital

Langkah-langkah analisis penggunaan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang memiliki indikator sama kemudian dikelompokkan pada setiap perspektif yang ingin diteliti, sehingga menghasilkan nilai relasi berdasarkan kinerja pada masing–masing kepemilikan sumberdaya dan hasil output yang dikeluarkan secara timbal balik. Setelah dianalisis akan dihasilkan nilai kinerja mulai 0 hingga 1, dimana nilai 1 menunjukkan skor efisiensi tertinggi yang merupakan kinerja terbaik. Maka dari itu, dalam pembahasan hasil penelitian menggunakan klasifikasi sesuai keeratan hubungan berdasarkan kinerja antar pelaku agroindustri kripik pisang di Kota Batu.

Langkah berikutnya, memperoleh hasil analisis kinerja keseluruhan dari setiap sumberdaya dan kinerja unggulan secara timbal balik sehingga dapat menghasilkan technical gap yang membandingkan kepemilikan sumberdaya dengan kinerja unggulan yang diterapkan selama ini. Analisis gap relasi tersebut berdasarkan kinerja antar pelaku agroindustri kripik

Gambar 1. Variabel Input dan Output

Variabel Output (Y):

Kinerja Agroindustri

Unggulan

Variabel Input (X) (Livelihood): 1. Human Capital (X1) 2. Social Capital (X2) 3. Financial Capital (X3) 4. Phisycal Capital (X4) 5. Nature Capital (X5)

Variabel Input (X) (Vulnarebility): 1. Shock (X6) 2. Seasonability (X7) 3. Trends (X8)

Intuisi (Z2)

Enterpreneur Behaviour (Z1)

Diversifikasi Produk (Y1)

Jenis dan Jumlah Produk (Y3)

Pemasaran (Y4) Kualitas (Y5) Produktifitas

(Y2)

Keterangan: = Faktor Utama = Faktor Pendukung = Pengaruh

Dwi Retno Andriani – Peningkatan Kinerja Agroindustri Pisang .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

649

pisang secara timbal balik, dalam analisis ini menghasilkan kesesuaian kinerja antar pelaku, antara lain (a) gap kepemilikan sumberdaya dengan kinerja agroindustri unggulan (b) gap pengetahuan faktor pendukung lingkungan dengan kineja agroindustri unggulan. Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Sumberdaya dari Analisis Kinerja Agroindustri Unggulan

di Kota Batu No Sumberdaya Kinerja Unggulan 1. 0,4 – 0,6 Tidak erat 2. 0,7 – 0,9 Cukup erat 3. 1 Erat

Sumber: Data Primer Diolah (2018) Kriteria yang ditetapkan dalam analisis gap kinerja tersebut yaitu (1) jika kepemilikan

sumberdaya 1 terhadap kinerja agroindustri 2 tidak jauh berbeda atau memiliki nilai gap sebesar ≤ 0,12 maka dapat dikatakan bahwa kinerja unggulan 2 memiliki kinerja yang sinkron, (2) jika kepemilikan sumberdaya 1 terhadap kinerja unggulan 2 memiliki rentang nilai gap 0,13–0,25 maka dapat dikatakan bahwa kepemilikian sumberdaya 1 dan 2 memiliki kinerja unggulan yang cukup sinkron dan (3) jika kepemilikan sumberdaya 1 terhadap kinerja unggulan 2 jauh berbeda atau memiliki nilai gap ≥ 0,26 maka dapat dikatakan bahwa kepemiliakan sumberdaya 1 dan 2 memiliki kinerja yang tidak sinkron.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Faktor Internal Keunggulan agroindustri dipengaruhi oleh kinerja yang selama ini dilakukan dengan

cara mengidentifikasi apa yang dimiliki, manajemen yang dilakukan, target yang direncanakan dan hasil yang diperoleh hari ini, sehingga melalui kinerja dapat memperlihatkan faktor-faktor apa saja yang perlu dikurangi dan ditingkatkan. Kinerja yang dimaksud di sini yaitu livelihood asset sebagai faktor internal untuk langkah pertama dalam mengidentifikasi kinerja agroindustri pisang di Kota Batu.

Gambar 1. Persentase Hasil Identifikasi Tingkat Kepemilikan Livelihood Asset

Berikut hasil masing-masing aset sumber daya internal yang paling tinggi yaitu nature capital dan physical capital sebesar 98% sedangkan sumber daya yang paling rendah yaitu social capital sebesar 49% dan financial capital sebesar 56%, hal ini dikarenakan minimnya relasi yang meraka jalin dan sehingga berpengaruh pada pengetahuan mereka tentang bagaimana mendapatkan sumber dana untuk mendukung modal ataupun manajemen bisnis mereka. 2. Faktor Eksternal

Pada penelitian ini mencoba mengidentifikasi faktor eksternal dengan menggunakan konsep vulnerability context.

0%

50%

100%

HUMAN…

SOCIAL…

FINANCIA…

NATURE…

PHYSICAL…

ENTERPR…

INTUISI

78%49% 56%

98% 98%78% 78%

22% 14% 15% 27% 27% 22% 22%

YA TIDAK

650 JEPA, 3 (3), 2019: 645-654

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 2. Persentase Hasil Tingkat Identifikasi Vulnarebility Context

Gambar 3 menyajikan bahwa keadaan yang dialami paling tinggi yaitu trend sebanyak 52%, bagi mereka trend ini selalu menghantui karena banyak anak-anak muda sekarang lebih kreativitas dalam melakukan usaha. Berbeda kemudian dengan mereka yang secara usia lebih tua, tingkat pendidikan juga rendah. Masalah yang kedua yaitu pada waktu musiman sebesar 56%. Tidak dipungkiri bahwa buah pisang hadir dalam waktu musim-musim tertentu, sehingga produksi mereka kadang terhenti karena bahan pokok tidak diperoleh. 3. Hasil Identifikasi Kinerja Agroindustri

Hasil identifikasi kinerja dari faktor internal (Livelihood Asset) dan eksternal (Vulnarebility Context) mempengaruhi kinerja agroindustri seperti sistem pemasaran, produktivitas, jenis produk, jumlah varian produk, dan diversivikasi produk.

Gambar 3. Hasil Identifikasi Kinerja dari Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Pada Gambar 4 membuktikan bahwa persentase paling tinggi yaitu jumlah varian dan sistem pemasaran sebesar 88%. Sebanyak 2 UKM sudah melaju cepat dengan menggunakan media sosial seperti instagram dan toko-toko online. 3 UKM sudah menggunakan media sosial meskipun belum terlalu maksimal, sedangkan 20 UKM masih menggunakan sistem pemasaran konvensional, dimana sistem pemasaran yang digunakan sekarang adalah sistem konvensional diantaranya penyebaran brosur, door to door,dan word of mouth. 4. Tingkat Efisiensi Kinerja Agroindustri Pisang di Kota Batu

Penyajian yang dipaparkan pada Tabel 2 yaitu tingkat efisiensi dari ke dua puluh lima UKM mecapai nilai 1, dalam artian nilai yang dihasilkan adalah efisien, dengan rata-rata 0,98 persen. Akan tetapi terdapat 1 UKM yang tidak efisien dalam penerapan kinerja dan hasil yang diperolehnya, yaitu UKM nomer 2.

Pada Tabel 3 menyajikan bahwa UKM yang paling efisien dalam kinerja yang dilakukan yaitu UKM nomer 1. Meskipun dalam Tabel 2 tertera nilai efisiensinya juga sempurna yaitu 1, namun yang paling efisien dari 23 UKM yaitu firm (UKM) nomer 1.

22% 52% 46%78%

48% 54%0%

50%

100%

SHOCK TREND MUSIMAN

YA TIDAK

88%55% 43%

88% 66%

12%45% 57%

12%34%

0%

50%

100%

SISTE…

PROD…

JENIS…

JUML…

DISER…

YA TIDAK

Dwi Retno Andriani – Peningkatan Kinerja Agroindustri Pisang .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

651

Tabel 1. Tingkat Efisiensi Kinerja Agroindustri Keseluruhan

Sumber: Data Primer Diolah (2018) Tabel 2. Kinerja UKM yang Paling Efisien

Sumber: Data Primer Diolah (2018)

Pada Tabel 4 menjelaskan bahwa target data input yang dapat digunakan yaitu data-data dari UKM yang diterapkan oleh nomer 1 dan 2 sebagai target input yang menghasilkan kinerja lebih optimal. Dengan catatan bahwa data input UKM 1 bisa di terapkan seperti merangkul pelanggan pasar sebagai pemasok perusahaan, hal tersebut dapat menambah omset dalam setiap harinya, kemdian acuan kinerja yang ditunjukkan oleh UKM nomer 1 yaitu tentang bagaimana pengelolaan sumber daya dan memanfaatkan peluang untuk menambah kreativitas pengolahan produk hingga bahan pokok, sortiran dan sampai limbah dapat di olah dan dipasarkan. Dari keunggulan kedua UKM tersebut dapat digabungkan untuk mecapai target input dalam memaksimalkan kinerja agroindustri pisang lainnya. Target data input yang dimasukkan dari menggabungkan kinerja UKM nomer 1 dan 2 akan menghasilkan output target seperti UKM nomer 1. Dengan perincian omset yang diperoleh memang sedikit namun jumlah pengeluaran operasionalnya juga sangat rendah, karena tidak ada bahan yang dibuang dengan sia-sia.

652 JEPA, 3 (3), 2019: 645-654

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 3. Hasil Data Kinerja Input yang Diuji

Sumber: Data Primer Diolah (2018) Tabel 4. Hasil Data Kinerja Output Target dari Input Target

Sumber: Data Primer Diolah (2018)

Tabel 5 menjelaskan bahwa target kinerja yang harus dioptimalkan mengacu pada UKM nomer 1 dan 2 untuk memasukkan dalam data input sebagai pengelolaan kinerja, kemudian dalam penerapannya mengacu pada UKM nomer satu untuk mengahasilkan target kinerja yang dilakukan, dengan prinsip efisiensi melakukan kinerja dan menejemen yang baik, sehingga menekan output biaya yang dikeluarkan, dan mengoptimalkan kinerja yang dapat menghasilkan biaya lebih. Selain itu juga mengoptimalkan kinerja dengan tujuan apa yang sudah dikerjakan tidak sis-sia, sehingga perlu adanya rencana yang tepat dan memetakan semua arah bisnis yang akan dijalani kemana, menentukan target pasar dan membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan biaya yang diperoleh. Seperti yang dilakukan oleh UKM nomer 1 bahwa tidak ada bahan baku yang terbuang sia-sia. Karena pada dasarnya semua bahan baku dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan oleh pelanggan.

Dwi Retno Andriani – Peningkatan Kinerja Agroindustri Pisang .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

653

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Hasil identifikasi antara kinerja agroindustri dengan pendekatan livelihood frameworks dan Vulenarebilty Context berpengaruh pada proses sistem pemasaran,produktivitas, jenis produk, jumlah varian dan diversivikasi produk. Livelihood frameworks dipengaruhi lima sumber daya internal yang dimiliki pelaku UKM dalam peningkatan kinerja. Selama proses produksi terdapat tiga sumber daya yang belum diolah secara optimal oleh pelaku UKM, diantaranya Human Capital sebesar 78%, Social Capital 49%, dan Financial Capital 56%. Sedangkan Vulnerability Context yang memiliki pengaruh besar selama proses produksi pada kondisi trend sebesar 52%

Selain livelihood frameworks dan vulnarebilty context, pelaku UKM memiliki enterpreneur behaviour dan intuisi sebesar 78%. Hal ini berpengaruh besar terhadap keberlangusngan manajemen kinerja agroindustri pisang di Kota Batu. Dari 25 UKM yang ada di Kota Batu menjelaskan bahwa omset yang dihasilkan tidak selalu menjadi patokan dalam proses peningkatan kinerja agroindustri, namun dipengaruhi oleh optimalisasi dari livelihood frameworks, vulenarebilty context, behaviour dan intuisi.

Evaluasi yang perlu dilakukan proses peningkatan kineja yaitu mengoptimalkan manajemen dari masing-masing sumber daya yang dimiliki, seperti manajemen modal sosial dan keuangan, kedua modal tersebut saling berkaitan dengan yang hubungan satu orang dengan orang lainnya. Oleh karena itu butuh pendampingan bagaimana mengelola sumber daya yang belum optimal.

UKM nomer 1 dapat dijadikan sebagai contoh UKM dengan kinerja yang efisien, karena UKM tersebut dapat memproduksi hasil pertanian dari bahan mentah hingga pemasaran konsumen terakhir, berbeda dengan UKM nomer 2 yang memiliki omset besar akan tetapi produksi yang dilakukan hanya fokus pada tingkat pemasaran skala besar (pemasok). Saran 1. Setiap agroindustri perlu meningkatkan sumber daya sosial untuk memicu peningkatan

sumber daya manusia dan keuangan, karena di dalam sumber daya sosial terdapat aspek jaringan, kepercayaan dan norma yang disepakati sesuai kemampuan UKM.

2. Untuk meningkatkan kinerja agroindustri pisang yang lebih efisien dengan melakukan optimalisasi produksi muali dari bahan mentah hingga pemasaran tingkat konsumen terakhir, dimana akan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari hasil sistem pemasaran,produktivitas, jenis produk, jumlah varian dan diversivikasi Produk.

3. Bagi DISPERINDAG Kota Batu sebagai pihak pemerintah perlu meningkatkan perkembangan agroindustri pisang melalui bantuan paket teknologi produksi, pendampingan manajemen secara langsung agar Agroindustri pisang Kota Batu tetap eksis.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Aang. 2014. Analisis Tourism Livelihoods Berkelanjutan Di Kota Batu: Pendekatan SLFT (Sustainable Livelihood Framework for Tourism) (DISERTASI). Universitas Brawijaya, Malang.

Barney, J.B. (1991). Firm Resources and suistained Competitive Advantange. Journal of Management 17 (1): pp. 99-120

Bharadwaj, S.G.P.R. Varadarajan, et al. (1993). Sustainable Competitve Advatange in Service Industries: A Conceptual Model and Research Propositions. Journal of Marketing 57

654 JEPA, 3 (3), 2019: 645-654

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

(October) : pp. 83 – 100. Bhargava,M. Dubelaar,C and S.Ramaswari. (1994). Reconciling Diverse Measures of

performance: A Conseptual Framework Test of Methodology. Journal of Business Research.Vol 31:pp.235-246

Didu, Said Muhammad, 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Agrimedia Volume 8. Herlambang, Andhika P. 2015. Analisa Tingkat Kemiskinan Masyarakat Nelayan Perikanan

Tangkap Jawa Timur (Metode Sustainable Livelihood Approach) (DISERTASI). Universitas Brawijaya, Malang.

Hunger, J. David dan Thomas L. Wheelen. 2001. Manajemen Strategis. ANDI . Yogyakarta Rahardi.F, 2003. Cerdas Beragrobisnis Mengubah Rintangan Menjadi Peluang Berinvestasi. PT. AgroMEDIA Pustaka. Depok. (Online) avaible at http://www.google.book.co.id// (Verified 09 Oktober. 2016).

Laeis, C.M Grabriel, 2016. Social Entrepreneurship in Tourism: Applying Sustainable Livelihoods Approaches. Emerald Group Publishing Limited.

Kusnadi. 2000. Pengantar Manajemen Strategi. Universitas Brawijaya. Malang. Pearce, Jhon A dan Richard B Robinson. 2014. Managemen Strategis : Formulasi, Implementasi

dan Pengendalian. Salemba Empat, Jakarta. Rue,L.W, Ibrahim,N.A.(1998). “The Ralationship between Planning Sophistication and

Performance in Small Businesses” Journal of Small Business Managment” October 1998, pp.24-32

Soekarwi. 2005. Agroindustri : Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. RajaGrfaindo Persada, jakarta.

Umar, Husein. 2003. Strategic Management in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019): 655-662

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.03.21

ANALISIS RISIKO PRODUKSI USAHATANI BAWANG MERAH DI KOTA BATU

PRODUCTION RISK ANALYSIS OF SHALLOT FARMING IN BATU CITY

Rini Mutisari*, Deny Meitasari

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *Penulis korespodensi : [email protected]

ABSTRACT

This study aimed to determine the production risk level of shallot farming in Batu City, farmer behaviour toward the risk,, and factors which influence the level of risk. The production risk level of shallot farming was identified through the coefficient of variation (CV)’s extent; and farmer behaviour was identified through K(S) coefficient, meanwhile, to look for factors which influenced the level of production risk was by using a method developed by Just and Pope. Its first procedure made the function of Cobb-Douglas production, then the level of risk was determined and the model was analyzed by linear regression multiple. The research location was purposively determined in Torongrejo Village, Junrejo Subdistrict, Batu City, while the sample determination method used a simple random sampling method by considering that the area cultivated by farmers was almost the same. Based on the analysis results it was found that the risk level of shallot farming in Batu City was included in the high category. Meanwile farmer behaviour in reseach area was Risk Averter. Factors influencing the risk level of shallot farming in Batu City are the number of workers, the use of NPK fertilizer and the use of pesticides.

Keywords: Production Risk, Farming, Shallot

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko produksi usahatani bawang merah di Kota Batu, perilaku petani terhadap risiko, serta faktor yang mempengaruhi tingkat risiko tersebut. Tingkat risiko produksi usahatani bawang merah diidentifikasi melalui besarnya koefisien variasi (CV), perilaku petani dalam menghadapi risiko dengan koefisien K(S), sedangkan untuk mencari faktor yang mempengaruhi tingkat risiko menggunakan metode yang dikembangkan oleh Just and Pope dimana prosedur pertama membuat fungsi produksi Cobb-Douglas, selanjutnya ditentukan tingkat risiko dan model dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Desa Torongrejo Kecamatan Junrejo Kota Batu sedangkan metode penentuan sampel menggunakan metode simple random sampling dengan pertimbangan bahwa luas lahan yang diusahakan oleh petani hampir sama. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tingkat risiko usahatani bawang merah di Kota Batu termasuk dalam kategori tinggi. Sementara itu perilaku petani di daerah penelitian rata-rata bersifat Risk Averter. Faktor yang mempengaruhi tingkat risiko usahatani bawang merah di Kota Batu adalah jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk NPK dan penggunaan pestisida. Kata kunci : Risiko Produksi, Usahatani, Bawang Merah

656 JEPA, 3 (3), 2019: 655-662

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditas yang intensif dibudidayakan oleh petani. Permintaannya yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (Susenas dan BPS Jawa Timur, 2017) menjadikan komoditas ini menjadi salah satu pilihan yang menarik bagi petani hortikultura untuk diusahakan. Tercatat bahwa produksi bawang merah terus mengalami peningkatan. Sebagai salah satu sentra produksi bawang merah di Indonesia, pada tahun 2016 produksi bawang merah di Jawa Timur mencapai 304.520 ton dimana jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012 yang hanya mencapai 277.123 ton.

Meski selama kurun waktu Tahun 2012-2016 produksi bawang merah mengalami peningkatan, namun selama periode waktu tersebut produksi bawang merah mengalami fluktuasi. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 menunjukkan bahwa produksi bawang merah sempat mengalami kenaikan dari Tahun 2012 hinggal 2014, dari 222,862 ton menjadi 293,179 ton. Kemudian produksinya mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 277,123 ton di Tahun 2015, dan mengalami kenaikan kembali pada tahun 2016. Walaupun ada peningkatan dari sisi produksi, ternyata dari sisi produktivitasnya justru cenderung mengalami penurunan dari Tahun 2012 hingga 2016. Kondisi produksi yang tidak stabil dan produkvitas yang terus turun mengindikasikan bahwa usahatani bawang merah memiliki risiko produksi yang cukup serius.

Sektor primer seperti pertanian, mempunyai risiko produksi yang tidak bisa dipisahkan dari proses produksinya. Terutama sektor pertanian di negara berkembang seperti Indonesia yang didominasi oleh pertanian subsisten, risiko merupakan masalah yang cukup menarik untuk dibahas (Asche & Tveteras, 1999). Hal ini dikarenakan dengan luasan lahan yang sempit (rata-rata kurang dari 1 ha), proses produksi yang menggunakan input efisien akan sulit untuk dicapai, sehingga risiko produksi juga akan tinggi. Termasuk dalam hal ini adalah komoditas hortikultura yang memang sangat rentan terhadap risiko karena selain luas lahan yang digarap tidak terlalu besar, juga adanya potensi serangan hama penyakit. Tidak hanya itu, kuantitas penggunaan input oleh petani selain berpengaruh terhadap produksi usahatani yang dihasilkan, juga berpengaruh terhadap viabiliti outpuntya (dalam hal ini adalah risiko produksi) (Kumbhakar dan Tsionas, 2008).

Tinggi rendahnya risiko tentu saja akan berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh petani dalam menentukan komoditas yang akan dibudidayakan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tingkat risiko usahatani bawang merah dan perilaku petani dalam menghadapinya, dan 2) mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat risiko usahatani bawang merah. Dengan harapan hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengurang tingkat risiko usahatani bawang merah.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Desa Torongrejo Kecamatan Junrejo Kota Batu. Desa Torongrejo dipilih atas dasar pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu desa sentra produksi bawang merah di Kota Batu dan juga bahwa produktivitas

Rini Mutisari, Deny Meitasai – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

657

bawang merah di Kota Batu cukup tinggi dibandingkan dengan produktivitas bawang merah rata-rata di Jawa Timur. Waktu penelitian dilakukan sekitar bulan Juni-Juli Tahun 2018 dengan mengambil data usahatani musim kedua (Maret-Mei 2018) di tahun tersebut. Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah petani bawang merah yang melakukan penanaman pada musim pertama Tahun 2018. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan kunci (ketua GAPOKTAN) diketahui bahwa jumlah populasi bawang merah di Desa Torongrejo sebesar 228 petani. Dengan pertimbangan bahwa jumlah luas lahan yang diusahakan petani bawang merah hampir sama, maka metode penentuan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Dengan menggunakan rumus Parel et al, (1973) maka didapatkan jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 62 responden. Metode Analisis Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat risiko usahatani bawang merah dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko usahatani bawang merah. Tingkat risiko bawang merah diidentifikasi dengan melihat besarnya koefisien variasi (CV), yang merupakan tingkat risiko relatif yang diperoleh dengan membagi standar deviasi produksi dengan nilai yang diharapkan. Secara matematis rumusnya adalah sebagai berikut:

!" = $

%& (1)

dimana CV adalah koefisien variasi, ' adalah simpangan baku (standar deviasi) dan (& adalah rata-rata produksi bawang merah dalam satuan kg. Kriteria yang dapat disimpulkan dari hasil hitung koefisien variasi adalah sebagai berikut: a) Apabila nilai CV < 0,5 maka dapat disimpulkan bahwa usahatani bawang merah di daerah

penelitian mempunyai risiko yang rendah b) Apabila nilai CV > 0,5 maka dapat disimpulkan bahwa usahatani bawang merah di daerah

penelitian mempunyai risiko yang tinggi.

Selain itu di dalam penelitian ini juga melihat perilaku petani bawang merah dalam menghadapi risiko dengan menggunakan parameter keengaan risiko K(S) (Olarinde et al., 2007) dengan kriteria perilaku menurut Moscardi and de Janvry (1977). Dimana rumus dari perhitungan ini sebagai berikut:

)(+) = -.(1 − 12343

156375) (2)

Keterangan: 8 = koefisien variasi dari produktivitas (8 = 9: ;:⁄ ) dimana 9:= standar deviasi

produktivitas dan ;: = produktivitas rata-rata >?@ = harga input ke-i (pada masing-masing responden) Xi = jumlah input ke-i (jumlah input yang paling signifikan dan mempunyai kontribusi

terbesar pada masing-masing responden) Py = harga produk bawang merah Fi = elastisitas produksi dari input ke-i (elastisitas dari input yang paling signifikan dan

mempunyai kontribusi terbesar) µy = produktivitas bawang merah K(S) = pengukuran parameter keengganan terhada[ risiko, S adalah variabel yang

mereprsentasikan karakteristik petani

658 JEPA, 3 (3), 2019: 655-662

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Parameter penolakan risiko K(S) digunakan untuk mengklasifikasikan petani menjadi 3 kategori yaitu:

a) Mengambil risiko (risk lover) atau risiko rendah (0<K(s)<0,4) b) Mengambil posisi netra; (risk neutral) atau risiko menengah (0,4≤K(s)<1,2) c) Menolak risiko (risk averter) atau risiko tinggi (1,2≤K(s)<2,0)

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat risiko usahatani bawang merah menggunakan model yang dikembangkan oleh Just and Pope (1979). Model ini menggunakan prosedur dua langkah yaitu yang pertama dengan membuat fungsi produksi Cobb-Douglas untuk mencari nilai estimasi produksinya. Berikut ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglas bawang merah:

AB( = AB + D-ABE- + DFABEF + DGABEG +DHABIH + DJABEJ + DKABIK + DLABEL (3) dimana a adalah intersep sedangkan b1-b5 adalah koefisien parameter. Y adalah jumlah produksi bawang merah (ton/ha), X1 jumlah benih bawang merah (kg/ha), X2 jumlah pupuk urea (kg/ha), X3 jumlah pupuk KCL (kg/ha), X4 jumlah pupuk NPK (kg/ha), X5 jumlah pupuk ZA (kg/ha), X6 jumlah pestida (liter/ha). X7 jumlah tenaga kerja (HOK/ha) dan X5 adalah luas lahan (ha). Risiko produksi dapat diformulasikan:

'F( = ((3 − (MN)F (4) 'F( adalah residual model regresi (varians produksi), Yi adalah produksi actual sedangkan (MN adalah hasil produksi estimasi, selanjutnya fungsi risiko produksi dijabarkan sebagai: AB'F( = AB + I-ABE- + IFABEF + IGABEG + IHABIH + IJABEJ + IKABIK + ILABEL (5) Dimana hipotesis dari model tersebut adalah: Ho : αi;βi ≠ 0 (tidak ada pengaruh signifikan antara variabel terikat ke i terhadap variabel

dependent ke j) Ha : αi;βi = 0 (tidak ada pengaruh signifikan antara variabel terikat ke i terhadap variabel

dependent ke j) Metode pendugaan parameter fungsi Regresi Berganda (3 dan 5) menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dimana metode ini dilakukan secara dua tahap, yaitu (1) pengujian terhadap pelanggaran asumsi klasik, dan (2) pengujian terhadap kesesuaian model. Pengujian asumsi klasik meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, dan heterokedastisitas, yang dilakukan untuk data cross-section (Gujarati, 1997). Karena jika asumsi klasik tidak terpenuhi maka metode OLS tidak bisa dipakai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Risiko Usahatani Bawang Merah di Kota Batu Sebelum mengidentifikasi tingkat risiko usahatani bawang merah di Kota Batu, perlu dihitung biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani bawang merah di Kota Batu. Rata-rata biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani bawang merah di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa rata-rata produksi bawang merah mencapai 11,322.14 kg/ha. Tingkat produktivitas ini bisa dikategorikan cukup tinggi, karena produktivitas bawang merah di Jawa Timur pun saat ini hanya sekitar 10.000 kg/ha. Dengan

Rini Mutisari, Deny Meitasai – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

659

harga jual rata-rata sebesar Rp 11,500/kg di tingkat petani, maka dapat diperoleh penerimaan sebesar Rp 130,204,610.00/ha dan dikurangi dengan biaya yang ada maka didapatkan rata-rata pendapatan selama satu musim tanam adalah sebesar Rp 64,194,995.70/ha. Tabel 1. Rata-rata Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Kota Batu No Keterangan Jumlah/Nilai 1 Produksi (kg/ha) 11,322.14 2 Harga jual (Rp/kg) 11,500.00 3 Total Penerimaan (Rp/ha) 130,204,610.00 4 Total Biaya Tetap (Rp/ha) 1,551,301.00 5 Total Biaya Variabel (Rp/ha) 64,458,313.30 a. Biaya Bibit 27,758,629.00 b. Biaya Urea 726,934.60 c. Biaya KCL 1,753,916.00 d. Biaya NPK 6,672,096.00 e. Biaya ZA 608,466.70 f. Biaya Pestisida 5,020,880.00 g. Biaya Tenaga Kerja 21,917,391.00 6 Total Pendapatan (Rp/ha) 64,194,995.70

Sumber: Data Primer, 2018 (diolah)

Komponen biaya variabel yang paling banyak dikeluarkan oleh petani adalah untuk bibit Rp 27,758,629.00/ha. Kemudian pupuk NPK Rp 6,672,096.00/ha, dan biaya pestisida sebesar Rp 5,020,880.00/ha. Penggunaan pupuk NPK paling banyak dibandingkan dengan penggunaan pupuk yang lain dikarenakan pupuk NPK sendiri merupakan jenis pupuk majemuk yang mempunyai 5 unsur hara yang dibutuhkan tanaman bawang merah. Sementara itu alasan dari biaya pestisida yang cukup tinggi karena serangan hama dan penyakit yang cukup tinggi, sehingga hampir setiap minggu petani akan mengaplikasikan pestisida untuk mengurangi serangan hama dan penyakit.

Petani selalu dihadapkan oleh berbagai risiko dalam kegiatan usahataninya. Mulai dari risiko produksi, risiko pasar, risiko keuangan hingga risiko kebijakan. Tingkat risiko ini akan mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan komoditi yang akan dibudidayakan. Hasil analisis tingkat risiko usahatani bawang merah di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Kota Batu Keterangan Nilai

Produksi rata-rata 3632.917 kg Luas lahan rata-rata 0.326 ha Simpangan baku 2206.954012 Ragam 4870646.01 Koefisien Variasi (CV) 0.6075 Koefisien risiko (KS) 1.5

Sumber: Data Primer, 2018 (diolah)

Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa tingkat risiko produksi usahatani bawang merah di daerah penelitian bernilai 0,6 yang termasuk dalam kategori tinggi. Sementara itu jika dilihat dari koefisien KS nya sebesar 1.5 mengindikasikan bahwa petani bawang merah di daerah penelitian rata-rata bersifat Risk Averter (menolak risiko). Hal ini sesuai dengan hasil interview

660 JEPA, 3 (3), 2019: 655-662

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dengan responden petani bawang merah yang telah dilakukan, risiko produksi yang ada lebih diakibatkan oleh tingginya serangan hama dan penyakit. Hal ini bisa dilihat juga dari biaya penggunaan pestisida di daerah penelitian cukup besar yaitu Rp 5,020,391.00/ha.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiningsih dan Pujiharto (2006) bahwa pengeluaran biaya produksi bawang merah terbanyak setelah biaya bibit adalah biaya pestisida karena pada umumnya tanaman bawang merah rawan terhadap serangan hama penyakit, sehingga tindakan pengendalian dengan pestisida merupakan salah satu cara petani mengurangi risiko kegagalan panen. Demikian juga menurut Horowitz dan Lichtenberg (1994) bahwa penggunaan pestisida yang berlebih cenderung akan dilakukan oleh petani dalam rangka menurunkan risiko terhadap kehilangan hasil karena gangguan hama penyakit.

2. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Risiko Usahatani Bawang Merah

di Kota Batu Hasil analisis faktor yang berpengaruh terhadap tingkat risiko produksi usahatani bawang merah dengan menggunakan metode regresi linear berganda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah

Variabel Koefisien Standar Eror t-Hitung Signifikansi Konstanta -3.164 9.753 -0.324 0.747 Bibit (X1) 1.117 1.208 0.924 0.360 Urea (X2) -0.642 1.527 -0.420 0.676 KCL (X3) -0.824 1.511 -0.546 0.588 NPK (X4) -3.268** 1.860 -1.757 0.085 ZA (X5) 1.249 1.602 0.780 0.439 Pestisida (X6) 2.900*** 1.439 2.015 0.049 TK (X7) 3.409*** 1.643 2.075 0.043 Variabel dependen Variance produktivitas R2 0.283 F-Hitung 2.930 Signifikansi 0.12(a)* *** (α=0.05) **( α=0.1) *( α=0.15)

Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah)

Dari hasil analisis regresi untuk fungsi risiko produksi dapat ditulis persamaannya:

AB'F( = -3.164 + 1.117LnX1 – 0.642LnX2 – 0.824LnX3 – 3.268LnX4 + 1.249LnX5 + 2.00LnX6 + 3.409Ln7

Hasil analisis regresi fungsi risiko yang ditampilkan di Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai R2 bernilai 0.283 dengan nilai signifikansi F sebesar 0.12 (signifikan pada tingkat kesalahan 15%). Artinya bahwa seluruh variabel independen di dalam model yaitu jumlah bibit, urea, KCL, NPK, ZA, Pestisida dan Tenaga Kerja mampu menjelaskan sebesar 28,3% variasi dari tingkat risiko produksi (variance produktivitas), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel yang tidak dimasukkan di dalam model.

Rini Mutisari, Deny Meitasai – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

661

Sementara itu jika dilihat dari pengaruh parsialnya, maka variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat risiko produksi adalah jumlah tenaga kerja (X7) yang mempunyai t hitung 2.075 dengan nilai signifikansi 0.043, jumlah pestisida (X6) dengan t hitung sebesar 2.015 dengan tingkat signifkansi 0.049, dan jumlah pupuk NPK yang mempunyai t hitung sebesar 3.409 dengan tingkat signifikansi 0.043. Sementara itu variabel penggunaan Bibit, Urea, KCL, dan ZA tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai signifkansi t hitung yang lebih besar dari 15%.

Nilai koefisen variabel TK dan Pestisida bertanda positif dengan besarnya koefisien masing-masing sebesar 3.409 dan 2.900. Artinya setiap ada peningkatan jumlah variabel tenaga kerja sebesar 1% akan meningkatkan risiko usahatani sebesar 3.409%, sedangkan setiap peningkatan jumlah pestisida yang digunakan sebesar 1% akan meningkatkan 2.900% risiko usahatani. Karena variabel TK bertanda positif, maka penggunaan TK pada usahatani bawang merah dalam hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan. Sebab jika penggunaannya berlebih akan menurunkan jumlah produksi yang dihasilkan dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko produksi. Demikian juga dengan variabel penggunaan pestisida, dimana peningkatan jumlah pestisida justru akan meningkatkan risiko. Hal ini bisa jadi merupakan indikasi dari munculnya resistensi pada hama yang ada terhadap pestisida kimia. Karena berdasarkan kondisi di lapang serangan hama dan penyakit terhadap tanaman bawang merah cukup tinggi, sementara itu petani bawang merah selama ini hanya menggunakan pestisida kimia untuk mengatasinya.

Sementara itu variabel penggunaan pupuk NPK berpengaruh negatif dengan nilai koefisien parameter sebesar 3.268. Hal itu berarti bahwa setiap 1% peningkatan pada aplikasi pupuk NPK akan menurunkan risiko produksi sebesar 3.268%. Karena merupakan satu-satunya variabel yang berpengaruh signifikan dan bertanda negatif, dalam hal ini petani bawang merah bisa menambahkan aplikasi pupuk NPK untuk mengurangi risiko menurunnya produksi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pupuk NPK adalah pupuk majemuk yang terdiri dari banyak unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman, dimana salah satu fungsinya adalah meningkatkan bobot umbi segar bawang merah terutama jika dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik. (Suwandi, et al, 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tingkat risiko usahatani bawang merah di Kabupaten Batu termasuk dalam kategori tinggi dan juga petani di daerah penelitian leih bersikap untuk menghidari risiko (Risk Averter). Sementara itu berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Regresi Linier Berganda dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat risiko usahatani bawang merah adalah jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk NPK dan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida erat kaitannya dengan serangan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah. Sehingga secara umum dapat disimpuljan juga bahwa salah satu penyebab risiko produksi yang ada adalah serangan hama dan penyakit. Saran Saran yang dapat diberikan adalah untuk mengatasi tingkat risiko usahatani bawang merah yang tergolong tinggi maka petani dapat menentukan kebutuhan tenaga kerja secara seksama, serta mencoba mengkombinasikan penggunaan pestisida organik untuk mengatasi risiko kehilangan produksi. Selain itu juga petani bisa mencoba untuk menggunakan pestisida alami sebagai

662 JEPA, 3 (3), 2019: 655-662

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

subtitusi pestisida kimia. Pupuk NPK juga perlu ditngkatkan karena berdasarkan hasil penelitian pupuk NPK bisa mengurangi tingkat risiko produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Asche, Frank & Tveteras, Ragnar. (1999). Modeling Production Risk with a Two-Step

Procedure. Journal Agriculture and Resources Economics 24(2): 424-439.

BPS. (2017). Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-buahan Semusim Indonesia. Badan Pusat Statistik-Indonesia.

Budiningsih, S. & Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes. AGRITECH, VOL. VIII NO. 1 JUNI 2006 : 127 – 10.

Gujarati, Damodar. (1995). Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarno Zain. Erlangga: Jakarta.

Horowitz, J.K dan Lichtenberg, E. (1994). Risk Reducing and Risk Increasing Effect of Pesticide. Journal of Agricultural Economics. Vol. 45. No.1.

Just, R.E., &Pope, R.D. (1978). Stochastic specification of Production Function and economic implications. Journal of Econometrics, &, 67-86, doi: 10.1016/0304-4076(78)90006-4.

Kumbhakar, S.C., & Tsionas, E.,G. (2008). Estimation of Production Risk and Risk Preference Function: a nonparametric approach. Springer Science+Business Media, LLC 2008, doi: 10.1007/s10479-008-0472-5.

Moschardi and De Janvry. (1977). Attitude Toward Risk Among Peasant: An Econometric Approach. American Journal of Agricultural Economics. 59(4): 710-716.

Parel, C.P, G.C Caldito, P.L Ferre, G.G De Guzman, C.C Sinsioco, dan R.H Tan. (1973). Sampling Design and Procedure. PSSC. Philippine.

Suwandi, G.A Sopha, dan M.P Yufdy. (2015). Efektivitas Pengelolaan Pupuk Organik, NPK, dan Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah. J. Hortikutura, Vol. 25 No.3, September 2015: 208-221.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 3 (2019)

PENYERAHAN NASKAH

Naskah merupakan karya ilmiah atau hasil penelitian yang belum dipublikasikan atau diterbitkan. Naskah dapat dikirim melalui system OJS pada laman: http://jepa.ub.ac.id/index.php/jepa/user/register atau e-mail: [email protected].

PEDOMAN PENULISAN NASKAH Format Naskah. Naskah yang berupa hasil penelitian disusun sesuai format baku: judul naskah, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka. Judul Naskah. Judul naskah ditulis secara jelas dan singkat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang menggambarkan isi pokok, maksimum 20 kata. Nama Penulis. Identitas penulis pertama ditulis lengkap tanpa gelar, disertai alamat institusi dan alamat email. Abstrak. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bersifat utuh dan mandiri, yang mengandung latar belakang dan tujuan, metode, hasil dan kesimpulan. Panjang tulisan tidak melebihi 250 kata dan disertai kata kunci (keyword). Pendahuluan. Menyampaikan informasi secara urut tentang latar belakang, maksud, dan tujuan, yang disajikan secara ringkas dan jelas. Metode Penelitian. Menyampaikan keterangan waktu dan tempat penelitian yang disajikan pada bagian awal, selanjutnya desain dan teknik penelitian, teknik pengumpulan data, serta metode analisis. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian disajikan secara berkesinambungan mulai dari hasil penelitian utama hingga hasil penunjang, dilengkapi dengan pembahasan, dapat dibuat dalam suatu bagian yang sama atau terpisah. Jika ada penemuan baru, hendaknya tegas dikemukakan dalam pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan dari hasil penelitian hendaknya dikemukakan secara jelas. Saran dicantumkan setelah kesimpulan, berisi masukkan yang dapat diperuntukkan kepada peneliti selanjutnya, pemerintah, dan masyarakat secara luas. Daftar Pustaka. Sumber pustaka yang dikutip, berupa majalah ilmiah, jurnal, buku, atau hasil penelitian (tesis atau disertasi) yang relevan. Sumber pustaka disusun mengikuti urutan alfabet, dan tahun penerbitan pustaka (tahun pustaka mundur 10 tahun dari waktu penelitian). Sumber pustaka (nama penulis) dalam daftar pustaka dimulai dari nama kedua (keluarga), kemudian diikuti nama pertama (dalam bentuk singkatan). Ini berlaku untuk semua sumber pustaka untuk orang pertama tetapi nama penulis kedua dan seterusnya tidak perlu dibalik. Cara pengutipan daftar pustaka adalah: Nama penulis. Tahun. Judul buku. Penerbit. Kota atau Negara. Halaman atau jumlah halaman. Bahasa. Tata bahasa yang digunakan mengikuti kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Subyek-Predikat-Objek (SPO). Naskah ditulis dalam MS-Word (kertas A4, font: Times New Roman, size 11, normal). Gambar, ilustrasi, dan foto dapat dimasukkan dalam file naskah. Satuan Pengukuran. Satuan pengukuran yang digunakan dalam naskah hendaknya mengikuti sistem internasional yang berlaku (termasuk dalam pemberian tanda titik (.) untuk desimal (dua digit di belakang koma) dan koma (,) untuk ribuan.