cover diskusi topik

30
KEGANASAN DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROK Merupakan keganasan pada membran mukosa dan jarngan pemben!uk daera" ke dan #e"er$ !ermasuk ku#!% &erokok bera! dan pemnum a#ko"o#$ mempun'a resko !mbu# karsnoma se# skuamosa pada rongga mu#u!$ (arng$ dan #arng% Snar ma!a"ar sanga! memperngaru" resko !mbu#n'a kanker !rod dan ke#enjar #ur% Dua per !ga dar se#uru" keganasan kepa#a dan #e"er !erdapa! pada rongga mu#u! dan #arng% Ds!rbus keganasan d bdang !e#ng "dung dan !enggorok !erdapa! kra)kra *+, !umor ganas rongga #arng$ .-, oro(arng dan "po(arng$ /, ke#enjar #ur besar$ *, naso(arng$ * snus paranasa#$ dan 0, !rod ser!a jarngan ka! #ann'a% . Se"ubungan dengan !erdapa!n'a !umor prmer pada organ !e#nga$ "dung !e !umor prmer n akan memberkan geja#a)geja#a pada !empa! !ersebu! s ds(aga$ !rsmus$ (e!or e1 ore$ ganggguan ben!uk muka$ neuropa!a$ sumba!an " mmsan$ geja#a aspras$ sumba!an ja#an napas$ kerusakan pda mukosa dan ku#! ser!a pembesaran ke#enjar d daera" #e"er dan sek!arn'a% . Un!uk k#as(kas !umor dpaka ss!em TNM$ dgunakan sebaga ss!em k#a sebe#um !erap% Ss!em n d!ujukan un!uk meneg!a"u per#uasan !umor se dengan penger!an3 T3 per#uasan dar !umor prmer N3s!a!us !erdapa!n'a ke#enjar #m(e rgona# M3 ada a!au !dakn'a me!as!ass jau"%

Upload: wan-gisca-ayu-astrini

Post on 05-Oct-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

KO

TRANSCRIPT

KEGANASAN DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROKMerupakan keganasan pada membran mukosa dan jaringan pembentuk daerah kepala dan leher, termasuk kulit. Perokok berat dan peminum alkohol, mempunyai resiko timbulnya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, faring, dan laring. Sinar matahari sangat memperngaruhi resiko timbulnya kanker tiroid dan kelenjar liur. Dua per tiga dari seluruh keganasan kepala dan leher terdapat pada rongga mulut dan laring. Distribusi keganasan di bidang teling hidung dan tenggorok terdapat kira-kira 42% tumor ganas rongga mulut, 25% laring, 15% orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar, 4% nasofaring, 4% hidung dan sinus paranasal, dan 3% tiroid serta jaringan ikat lainnya.1Sehubungan dengan terdapatnya tumor primer pada organ telinga, hidung tenggorok, tumor primer ini akan memberikan gejala-gejala pada tempat tersebut seperti odinofagia, disfagia, trismus, fetor ex ore, ganggguan bentuk muka, neuropatia, sumbatan hidung, mimisan, gejala aspirasi, sumbatan jalan napas, kerusakan pda mukosa dan kulit, perdarahan serta pembesaran kelenjar di daerah leher dan sekitarnya. 1Untuk klasifikasi tumor dipakai sistem TNM, digunakan sebagai sistem klasifikasi sebelum terapi. Sistem ini diitujukan untuk menegtahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian:T: perluasan dari tumor primerN:status terdapatnya kelenjar limfe rgionalM: ada atau tidaknya metastasis jauh.

KLASIFIKASI KLINIS SISTEM TNMT (Tumor Primer)

TxTumor primer tidak dapat ditemukan

T0Tidak ada tumor primer

TisTumor primer in situ

T1,T2,T3,T4Besarnya tumor primer

N (Kelenjar Limfa regional)

NxTidak dapat ditemukan pada kelenjar limfe regional

N0Tidak ada metastasis kelejar limfe regional

N1,N2,N3Besarnya kelenjar limfa regional

M (metastasis jauh)

MxTidak ditemukan metastasis jauh

MoTidak ada metastasis jauh

M1Terdapat metastasis jauh

Tabel 1. Klasifikasi Klinis TNMNxKelenjar limfa reional tidak ditemukan

N0Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran 3 cm, atau kurang.

N2Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran lebih dari 3 cm, kurang dari 6 cm atau multipel, pada satu sisi dan tidak lebih dari 6 cm atau bilateral/ kontralateral juga tidak lebih dari 6 cm.

N2aMetastasis pada satu sisi, tunggal lebih dari 3 cm tidak lebih dari 6 cm.

N2bMetastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm.

N2cMetastasis bilateral/kontralateral tidak lebih dari 6 cm

N3Metastasis, ukuran lebih dari 6 cm

Stadium IT1N0M0

Stadium IIT2N0M0

Stadium IIIT3N0M0,atau T1 atau T2 atau T3N1M0

Stadium IVT4N0 atau N1M0Tiap TN2 atau N3 M0Tiap T tiap N M1

Tabel 2. Klasifikasi Kelenjar Limfe regional (UICC)

Tabel 3. Stadium Tumor Ganas Leher dan Kepala (UICC dan AJCC)kecuali Tumor kelenjar Liur dan TiroidALIRAN LIMFA LEHER

Sistem aliran limfa leher penting untuk dipelajari karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan bermanifestasi ke kelenjar limfa dan leher.Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang ha,pir selau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pad arangkaian jugularis interna, yang terbentang antara clavicula hingga dasar tengkorak.Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran yang berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis, dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisialis, dan kelenjar limfa submandibula. Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal langsung dari subglotik laring, sinus pririformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar jugularis interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bawah. Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang berasal langsung dari galndula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjatr limfa jugularis interna superior dan kelenjar limfa paratrakea.Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan m.omohioid didalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi,gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen membawa aliran limfa ke kelenjar mandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.Kelenjar limfa submandibula terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menrima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole, 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior.Kelenjar limfa servikal superfisialis erletak di sepanjang vena jugularis eksterna, menerima aliran limfa yangg berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar pasrotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior.Kelenjar limfa retrofaring terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai leher dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran kelenjar limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah, dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinalis asesorius bagian superior.Metastasis dari tumor ganas yang primernya berada dikepala dan leher lebih dari 90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden tertinggi metastasis dari karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring, hipofaring, laring, dan nasofaring adalah rangkaian kelenjar limfa jugularis interna superior.Adanya massa tumor di preaurikula umumnya disebabkan oleh tumor primer dari kelenjar parotis atau metastasis tumor ganas kulit muka, kepala, dan telinga homolateral. Masssa tumor pada kelenjar yang berada di bawah m. sternokleidomastoideus bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasanya berasal dari tumor ganas di nasofaring, orofaring, dan bagain posterior sinus maksila.Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung, atau bibir dan dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dappat berasal dari tumor primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor yang berasal dari kulit muka homoateral, bibir, rongga mulut, atau sinus paranasal.Pada daerah jugularis interna superior, dapat berasal dari tumor ganas di rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring. Tumor yang tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring, hipofaring, atau tiroid.21. TUMOR HIDUNG DAN SINONASALKanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal disekitar hidung. Rongga hidung merupakan sebuah ruang dibelakang hidung dimana udara melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah daerah yang dipenuhi-udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus maksila), diatas dan diantara mata (sinus etmoid dan sinus frontal), dan dibelakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari 1% seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat rendah. Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai tumor ganas hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini. Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Gejala dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis. 1.1 Angka KejadianDi Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4% (2)), 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%. (4) Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. 1.2 EtiologiRahang atas merupakan satu dari sedikit lokasi di kepala dan leher dimana etiologi pasti telah ditetapkan untuk beberapa jenis tumor (Lund. 1991). Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk, 1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus paranasal. 1.3 PatologiBerbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang. Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun 1.4 Gejala dan tanda Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut 1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. 3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. 5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.2.5 Jenis tumorRongga hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan penghasil-mukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa, sel kelenjar saliva kecil, sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel pembuluh darah. Beberapa jenis tumor pada sel dan jaringan ini adalah: Karsinoma Sel SkuamosaMerupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. (1,7) Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. (1) Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi. AdenokarsinomaDimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah. Melanoma malignaBerkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk. EstesioneuroblastomaEstesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial.2.6 Pemeriksaan Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol- benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leherPemeriksaan Penunjang Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi2.7 penatalaksanaanYang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi. Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor. Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganasUntuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas. Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M = Metastasis. Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang. GARIS OHNGRENOhngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:Kategori T untuk karsinoma sinus maksila T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.T2 : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau meatus medius.T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau sinus etmoid anterior.T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak.Kategori N untuk karsinoma sinus maksila N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau kurang.N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.Kategori M untuk karsinoma sinus maksila Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.M0 : Tidak ada metastasis jauh.M1 : Ada metastasis jauh.Penentuan stadium karsinoma sinus maksila Stadium I : T1, N0, M0Stadium II : T2, N0, M0Stadium III : T3, N0, M0 atau: T1, T2 atau T3, N1, M0Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau: semua T, N2 atau N3, M0 atau: semua T, semua N, M1Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2), stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumorPengobatanRencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah inoperable atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi. Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi. Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah inoperable dan hanya diberikan penyinaran saja. MetastasisKe nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata bermetatase ke area servikal. Hanya 10% pasien yang pernah mengalami metastase jauh.

PrognosisPada umumnya prognosis kurang baik. Beberapa hal yang mempengaruhi prognosis antara lain adalah 1) diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat tumor secara en bloc; 2) sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga; 3) sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh. Untuk stadium dini, angka kesembuhan 5 tahun lebih dari 70%, sedangkan untuk stadium lanjut berkisar antara 20-30% saja. Paska operasi dengan pemasangan obturator pengganti palatum sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas hidup penderita terutama untuk proses menelan dan berbicara yang tidak terlalu banyak mendapat kesulitan. 2 KARSINOMA NASOFARING2.1 EpidemiologiKarsinoma nasofaring lebih banyak ditemukan di belahan dunia lain seperti Asia dan Afirika Utara, misalnya saja China bagian Selatan banyak kasus ditemukan untuk penyakit ini. Sementara itu, Indonesia sebagai bagian dari Asia mencatat bahwa tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia adalah Karsinoma nasofaring, dimana jenis tumor yang satu ini termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Dan dalam Roezin dan Adham (2007) disebutkan bahwa hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapiNasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).

Anatomi Nasofaring

2.2.Etiologi Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Berikut ini dipaparkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya karsinoma nasofaring: Epstein-Barr Virus (EBV),Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinomanasofaring yaitu :1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :- benzopyrenen- benzoanthracene- gas kimia- asap industri- asap kayu- beberapa ekstrak tumbuhan4. Ras dan keturunan5. Radang kronis daerah nasofaring Penggunaan tembakau, adalah salah satu faktor risiko terbesar kanker pada kepala dan leher, 85% kanker kepala dan leher disebabkan oleh factor ini.6. Alcohol, konsumsi yang sering dan tinggi adalah faktor risiko kanker pada kepala dan leher. 7. Jenis Kelamin, laki-laki 2 kali lebih berpotensi menderita penyakit ini dibandingkan wanita.8. Usia, karsinoma nasofaring lebih sering menyerang seseorang yang berusia diatas 30 tahun.

2.3 HistopatologiKlasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh OrganisasiKesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi selSkuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHOpada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

2.4. Manifestasi KlinisPengetahuan tentang gejala klinis dari karsinoma nasofaring dan perluasannya, sangat diperlukan untuk memudahkan dalam pembuatan suatu diagnosis. Gejala ditentukan oleh hubungan anatomik antara nasofaring dengan organ sekitarnya. Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :1. Gejala nasofaring: Epistaksis, Sumbatan hidung. Gangguan pada telinga: Kataralis/oklusi tuba eustachius, Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran2. Gangguan neurologi Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis khususnya kelumpuhan saraf kranial3. Metastasis ke kelenjar getah bening leher Tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastikdan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar getah bening leher. Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher dan tertahan di sana dan karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh4. KomplikasiSel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf cranial.5. 2.5 Pemeriksaan diagnostikAda beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan, meliput:1. Anamnesis / pemeriksaan fisik2. Nasofaringoskopi3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.4. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan5. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.6. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis

2.6 STADIUMPenentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.T0 : Tidak tampak tumorT1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaringT2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaringT3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaringT4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otakN = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkanN2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapatdigerakkanN3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,yang sudah melekat pada jaringan sekitar.M = Metastase, menggambarkan metastase jauhM0 : Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :Stadium I : T1 N0 M0Stadium II : T2 N0 M0Stadium III : T3 N0 M0T1,T2,T3 N1 M0Stadium IV : T4 N0,N1 M0Tiap T N2,N3 M0Tiap T Tiap N M12,3,9-13Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging darinasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :Tis : Carcinoma in situT1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang takdapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dandindinglateral.T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial(atau keduanya).

2.6 Pelatalaksanaan Medis Radioterapi merupakan pengobatan utama Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat RADIOSENSITIZER.2.7 Pencegahan Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat dikontrol, ada beberapa yang dapat dihindari dengan melalkukan perubahan gaya hidup. Menghentikan penggunaan rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi risiko karsinoma nasofaring. Selain itu pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.

3. TUMOR GANAS RONGGA MULUTTumor ganas rongga mulut adalah tumor ganas yang terdapat di daerah yang terletak mulai dari perbatasan kulit-selaput lender bibir atas dan bawah sampai ke perbatasan palatum durum-palatum mole dibagian atas dan garis sirkumvallatea di bagian bawah.3.1 EtiologiUmumnya penyebab pasti belum diketahui. Factor rokok dan alkohol disebut-sebut sebagai penyebab utama. Alcohol sebagai suatu zat yang memberikan iritasi, menyebabkan terjadinya pembakaran pada tempat tersebut secara terus menerus dan meningkatkan permeabilitas selaput lendir. Hal ini menyebabkan zat karsinogen yang terdapat di dalam alcohol atau pun rokok oleh selaput lendir . Tumor rongga mulut lebih sering terdapat pada usia lanjut. Faktor etnis juga menentukan.

3.2 Gejala klinis Umumnya pasien tumor ganas ini mempunyai keluhan-keluhan rasa nyeri di telinga, rasa nyeri waktu menelan. Kadang-kadang pasien tidak bisa membuka mulut. Terdapatnya bercak keputihan (leukoplakia) dan bercak kemerahan( eritroplakia) yang tidak hilang dengan pengobatan biasa harus di curigai kemungkinan ada keganasan. Terdapat suatu massa tumor dengan permukaan yang tidak rata dan mem berikan rasa nyeri, karena adanya rangsangan pada organ-organ rongga mulut yang di persyarafi oleh cabang N. trigeminus dan cabang N. fasialis, dapat menjadi pertanda ada suatu keganasan.3.3 Stadium tumorMenurut American join committee on cancer tahun 1992 dibagi dalam TX ( karsinoma insitu)T1 : diameter 2 cm atau kurang dari 2 cmT2 : diameter antara 2-4 cmT3 : jika diameter lebih dari 4 cm meter.

NX kalau tidak terdeteksi sel tumor pada kelenjarN0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau kurang.N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.MX : tidak di ketahui dimana metastasisM0 : Tidak ada metastasis jauh.M1 : Ada metastasis jauh.Secara patologi-anatomi, tumor ganas rongga mulut yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.3.4 PrognosisSudah dapat di pastikan bahwa makin besar tumor atau makin lanjut stadiumnya, prognosisnya bertambah jelek. Dengan terdapatnya metastasis, prognosis lebih jelek , terutama pada tumor pangkal lidah , oleh karena pada tempat ini terdapat banyak jaringan limfa yang bersifat bercampur dan bermuara ke kelenjar linfa leher. Tumor yang hanya terdapat pada permukaan dengan tebal 2-3 mm mempunyai prognosis yang lebih baik..Pemberian radiasi (radioterapi) saja hanya dilakukan pada tumor dengan T1 kecil. Selanjutnya pada tumor yang lebih besar harus di operasi. 4.TUMOR LARING4.1 Etiologi Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.4.2 Histopatologi Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 98% dari semua tumor ganas laring, dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai adalah karsinoma anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma.Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan tetapi klinis ganas. Insidennya 1 2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan kontraindikasi

4.3 klasifikasiBerdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1988, klasifikasi dan stadium tumor ganas laring terbagi atas : 1. Supraglotis 2. Glotis 3. Subglotis Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC : 1. Tumor primer (T) Supra glottis : T is: tumor insitu T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi. T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara palsu T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi ke dalam. T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.

Glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli T 1b : tumor mengenai kedua pita suara T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu. T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring Sub glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada subglotis T 1a : tumor terbatas pada satu sisi T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli denganpergerakan normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring. 2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) N x : kelenjar tidak dapat dinilai N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar. N 1 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter 3 cm

N 2 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 3 cm - 6 cm. N 2b :klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter 6 cm N 3 :kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral N 3 a :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm N 3 b :klinis terdapat kelenjar bilateral N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral 3. Metastase jauh (M) M 0 : tidak ada metastase jauh M 1 : terdapat metastase jauh 4. Stadium : Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0, T1/ T2/ T3, N1, M0 Stadium IV : T4, N0, M0 Setiap T, N2, M0 atau setiap T, setiap N , M1

4.4 Gejala Dan Tanda Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah : Suara serak Sesak nafas dan stridor Rasa nyeri di tenggorok Disfagia Batuk dan haemoptisis Pembengkakan pada leher

4.5 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan :1. Anamnesis2. Pemeriksaan THT rutin 3. Laringoskopi direk 4. Radiologi foto polos leher dan dada 5. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI 6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti

4.6 Pengobatan Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.a.Pembedahan Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :1) LaringektomiLaringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II. 2) Laringektomi total Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea. b. Diseksi Leher Radikal Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh. c. Radioterapi Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan.

d.Kemoterapi Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ. 4,7 Rehabilitasi Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation. 4.8 Prognosa Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.

DAFTAR PUSTAKA1. Asroel, H. A., 2002, Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring, USU Digital Library, diakses pada 19 September 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf2. Kartika, Henny. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. 2008. Dari http://en.wordpress.com3. Munir, Masrin. Keganasan di Bidang Telinga, Hidung, Tenggorok dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-enam. Balai Penerbit FKUI. 20074. Roezin, Averdi. Sistem Aliran Limfa leher. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-enam. Balai Penerbit FKUI. 20075. Rusdiana, Munir, D., & Syregar Y., 2006, Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. USU Digital Library, diakses pada 21 Januari 2011, http://library.usu.ac.id/download/fk/rusdiana.pdf.