cover depan -...

460
Cover depan

Upload: dangxuyen

Post on 25-Mar-2019

456 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Cover depan

Page 2: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Page 3: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Jilid 1

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi

Komoditas Tanaman Pangan

Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Kementerian Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Kerjasama dengan

FAPERTA Universitas Bengkulu

FAPERTA Universitas Muhammadyah Bengkulu

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)

Page 4: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Jilid 1 Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Pangan Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Tim Penyunting :

Dedi Sugandi Umi Pudji Astuti Supanjani Eva Oktavidiati Shannora Yuliasari Ahmad Damiri Ruswendi Sri Suryani M Rambe

Redaksi Pelaksana :

Taufik Hidayat Taupik Rahman

Desain/Tata letak :

Agus Darmadi

ISBN 978-602-9064-36-0 Diterbitkan oleh:

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 E-mail:[email protected] Hak cipta ada pada penulis, tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau keseluruhan isi

prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis.

Page 5: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

iii

KATA PENGANTAR

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan akan semakin beragam

dan komplek, untuk itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dituntut untuk mampu

melaksankan seluruh program kerjanya untuk mendukung empat suskes kementerian pertanian dengan

melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,

BUMN/swasta dan petani pengguna. Untuk itu, melalui penyelengggaraan seminar inovasi ini

diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian, pengkajian,

pengembangan dan penerapan (litkajibangrap) BPTP Bengkulu, maupun lembaga-lembaga penelitian

lainya yang ikut serta dalam kegiatan ini.

Seminar Nasional dengan tema “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”, yang telah diselenggarakan pada tanggal 8 November 2016

bertujuan untuk menyebarluaskan inovasi hasil penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi

pertanian spesifik lokasi kepada seluruh pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di

Provinsi Bengkulu, serta publikasi imiah dalam bentuk prosiding makalah yang disajikan pada saat

seminar. Seminar Nasional ini terselenggara atas kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Bengkulu - Badan Penelitian dan Pengembangangan Pertanian, Universitas Bengkulu,

Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi

Bengkulu dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI).

Makalah yang telah dipresentasikan dan memenuhi syarat, diterbitkan dalam prosiding

seminar. Prosiding dibagi menjadi 3 (tiga) jilid buku yang memuat makalah dalam bidang (1)

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Pangan, (2) Pengkajian Teknologi

Spesifik Lokasi Komoditas Perkebunan dan Hortikultura, (3) Pengkajian Teknologi Spesifik

Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya. Apresiasi dan ucapan terimakasih kami sampaikan

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya selama

penyelenggaraan seminar maupun dalam proses penyelesaian prosiding ini. Semoga buku prosiding ini

bermanfaat bagi pembaca dan pengambil kebijakan.

Bengkulu, 3 Februari 2017

Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

Page 6: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

iv

LAPORAN KEPALA BPTP

EKSPOSE INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK

DI PROVINSI BENGKULU

Assalammualikum warahmatulahi wabarokatuh....

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua...

Yang Terhormat Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI

Yang Kami Hormati :

Komandan Korem 041 Garuda Emas

Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP)

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah

Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, Universitas Ratu

Samban.

Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) seluruh Indonesia

Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di

wilayah Bengkulu

Narasumber/Pemakalah Utama, Peneliti/Penyuluh/Dosen dan seluruh peserta ekspose

serta hadirin yang berbahagia.

Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadhirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan dan kesempatan sehingga dapat hadir pada acara

Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami mulyakan dan Bapak/Ibu hadirin yang kami hormati,

Pembangunan Pertanian Nasional tidak lepas dari pengaruh global menuju pertanian modern

(modern agriculture). Ketahanan pangan, bioenergi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan

kesejahteraan petani adalah tujuan utama pembangunan pertanian yang perlu terus dilanjutkan.

Pertanian modern merupakan suatu cara optimalisasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan

yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk inovasi teknologi pertanian agar

berjalan lebih efektif dan efisien. Teknologi pertanian yang inovatif tidak hanya bertujuan untuk

peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap

produk pertanian.

Posisi Balitbangtan akan semakin strategis dalam pembangunan pertanian nasional dengan

adanya koordinasi dan dukungan intensif lintas sektoral. Hasil inovasi teknologi harus didiseminasikan

secara aktif, dimana harus melibatkan peneliti/penyuluh ataupun Perguruan Tinggi sebagai bagian dari

diseminasi aktif yang progresif. Untuk itu Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Bengkulu

menyelenggarakan kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu,

bekerjasama dengan Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian,

Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu, dan Perhimpunan Agronomi Indonesia.

Melalui kegiatan ini diharapkan terbangunnya komunikasi dan umpan balik antara pakar, peneliti,

penyuluh, akademisi, petani, praktisi dan penentu kebijakan lainnya dalam mempercepat pencapaian

diseminasi inovasi teknologi pertanian di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,

Perlu kami laporkan bahwa kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu, meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu (1) Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian

Page 7: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

v

Modern Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang dilaksanakan pada hari ini, tanggal 8

November 2016, (2) Pengukuhan Pengurus Komisariat Daerah Bengkulu Perhimpunan Agronomi

Indonesia (PERAGI) Masa Bhakti 2016 - 2019, yang dilaksanakan pada hari ini tanggal 8 November

2016, dan (3) Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian

Bioindustri, yang dilaksanakan pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma.

Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian akan dibuka secara resmi oleh Bapak Kepala

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI, sekaligus sebagai keynote

speaker dengan materi “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Menuju Pembangunan Pertanian

Berkelanjutan”.

Pada acara seminar nasional ini akan dipresentasikan 4 makalah utama dengan topik:

1. Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan, dalam hal ini akan

disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian RI)

2. Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pembangunan Pertanian

Berkelanjutan Berbasis Teknologi Pertanian Modern di Provinsi Bengkulu (Kepala

Bappeda Provinsi Bengkulu)

3. Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

oleh Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto, M.Sc (Guru Besar Universitas Bengkulu)

4. Peran Peragi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, yang

akan disampaikan oleh Prof. Dr. Alnopri, M.Sc (Ketua Komda PERAGI Bengkulu)

Perlu kami laporkan juga bahwa makalah penunjang yang akan diseminarkan berjumlah 162

makalah. Makalah berupa hasil penelitian/pengkajian, konsep pemikiran/gagasan dalam bentuk review

atau tinjauan, yang terdiri dari beberapa bidang bahasan yaitu bidang tanaman pangan, bidang sosial

ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan, bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan,

serta pascapanen dan pengolahan pangan. Seluruh makalah tersebut akan dipresentasikan baik secara

oral maupun poster. Seluruh makalah yang akan dipresentasikan pada seminar nasional ini telah

melalui dua kali proses evaluasi yang cukup ketat, yaitu evaluasi tahap abstrak dan evaluasi makalah

lengkap. Proses evaluasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas makalah. Pada awalnya, abstrak

yang masuk berjumlah 278 abstrak. Setelah melalui proses evaluasi, sebanyak 225 abstrak dinyatakan

diterima dengan beberapa saran perbaikan. Pada tahap evaluasi makalah lengkap, sebanyak 162

makalah diterima untuk dipresentasikan dari 184 makalah yang masuk ke panitia. Kami mohon maaf

karena berdasarkan hasil evaluasi tim evaluator ada beberapa makalah yang tidak dapat kami

akomodir dalam seminar nasional ini.

Jumlah peserta yang mengikuti seminar pada saat ini adalah 220 orang, berasal dari berbagai

kalangan yang terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian,

Kementerian Ristek, Dosen dan Mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah

Daerah, Perwakilan Petani dan Organisasi Profesi, yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh

Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau,

Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,

Gorontalo, Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Untuk itu kepada para peserta dari luar daerah Bengkulu kami ucapkan Selamat Datang di Kota

Bengkulu.

Pada kesempatan ini juga akan dilaksanakan Pengukuhan Pengurus Komisariat Bengkulu

Perhimpunan Agronomi Indonesia Masa Bhakti 2016 – 2019 oleh Ketua Umum Perhimpunan

Agronomi Indonesia (PERAGI) Pusat Bapak Dr. Ir. Muhammad Syakir, MS. Pembentukan Komda

Bengkulu PERAGI diinisiasi oleh BPTP Bengkulu bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas

Bengkulu dan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dan telah ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PERAGI No. 02/SK/PERAGI/KOMDA/IX/2016, pada

tanggal 6 September 2016. Pengurus Komda PERAGI Bengkulu Masa Bhakti 2016 – 2019 terdiri dari

34 orang ahli agronomi yang berasal dari berbagai instansi lingkup Provinsi Bengkulu, antara lain

Perguruan Tinggi, Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, dan BPTP Bengkulu. Kepengurusan Komda

Page 8: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

vi

Bengkulu BERAGI meliputi 4 (empat) bidang, yaitu Bidang Penelitian dan Pengembangan,

Pengabdian dan Kerjasama, Komunikasi dan Publikasi, serta Bidang Kajian Kebijakan dan Sertifikasi.

Pada kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian

Bioindustri, yang akan dilaksanakan esok hari pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma,

jumlah peserta yang akan hadir adalah 250 orang, berasal dari Jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten

Seluma, Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di wilayah

Bengkulu, Penyelia Mitra Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, dan perwakilan manajemen Hotel

dan Restoran di Kota Bengkulu.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut

andil mendukung terselenggaranya kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu ini, antara lain kepada: Badan Litbang Pertanian, BBP2TP, segenap panitia seminar dari

BPTP Bengkulu, mitra kerjasama Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, BPP

Stada Provinsi Bengkulu, dan PERAGI. Demikian juga kami sampaikan terima kasih kepada Santika

Hotel, dan semua pihak yang telah membantu demi suksesnya Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian

ini.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,

Pada saatnya nanti mohon kiranya Bapak berkenan memberikan sambutan dan arahan,

sekaligus membuka acara Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian ini secara resmi.

Akhir kata, kepada para peserta saya ucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan

dengan harapan semoga kegiatan ekspose ini mampu menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dan

ada tindak lanjut yang konkret dari seluruh stakeholder sebagai upaya kita untuk mewujudkan

pembangunan pertanian berkelanjutan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian modern. Kami

mohon maaf, jika dalam penyelenggaraan acara ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan bagi

Bapak/Ibu.

Demikian laporan yang kami sampaikan, lebih dan kurang kami mohon maaf.

Bilahi taufik wal hidayah wassalammualaikum warohmatulahi wabarakatuh.

Bengkulu, 8 November 2016

Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

Page 9: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

vii

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

pada

PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL

INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MODERN MENDUKUNG PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

Bengkulu, 8 November 2016

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Yang saya hormati,

Komandan Korem 041 Garuda Emas atau yang mewakili

Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah

Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, dan Universitas

Ratu Samban

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan pejabat struktural dan fungsional

lingkup Balitbangtan

Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi

Bengkulu

Ketua dan Anggota Komda Peragi Provinsi Bengkulu

Narasumber, Peneliti, Dosen, Penyuluh dan Perekayasa, peserta seminar serta hadirin

yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu WaTa’ala,

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini kita dapat

bertemu dan bersilaturrahmi dalam keadaan sehat wal’afiat, pada acara Ekspose dan Seminar dengan

tema ”Inovasi Teknologi Pertanian Modern untuk Mendukung Pembangunan Pertanian yang

Berkelanjutan”.

Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Universitas Bengkulu, Pemprov Bengkulu, khususnya

Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, Badan Litbang Statistik Daerah

Provinsi Bengkulu, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) atas inisiatif kolaborasi dan

prakarsanya dalam menyelenggarakan acara ini.

Page 10: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

viii

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,

Ekspose dan seminar yang kita laksanakan merupakan salah satu upaya diseminasi hasil

penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh para peneliti, dosen dan mahasiswa dari

Balitbangtan dan Perguruan Tinggi kepada pembuat kebijakan, pelaksana dan pengguna teknologi di

bidang pertanian. Pada forum ekspose dan seminar ini diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan,

pengalaman, dan informasi antara para peneliti maupun dengan praktisi dan pengambil kebijakan.

Kehadiran berbagai pihak yaitu para pakar, pengambil kebijakan dan praktisi, diharapkan

dapat mendorong pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi yang modern dan inovatif

berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal khususnya untuk wilayah Provinsi Bengkulu dan sekitarnya.

Bapak/Ibu dan Hadirin sekalian yang saya hormati,

Pardigma baru ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai

makna bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap

pendayagunan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan. Hal ini berarti

inovasi hasil penelitian dan pengkajian pertanian yang telah banyak dihasilkan, perlu dikemas

sedemikian rupa sehingga dapat secepatnya sampai kepada khalayak pengguna. Seminar ini

merupakan salah satu media untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh

Balitbangtan dan penelitian lainnya. Selain menyebarkan hasil-hasil penelitian, melalui forum ini juga

diharapkan adaanyaa umpan balik dari para pengguna teknologi untuk perbaikan program penelitian di

masa depan.

Selain melalui seminar, untuk lebih mempercepat proses diseminasi teknologi ini juga

dilakukan melalui berbagai media dan metode lainnya. Salah satunya adalah melalui gelar lapang

agroinovasi yang merupakan wahana untuk implementasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian

pertanian yang dilaksanakan di lahan petani dalam skala yang luas. Kegiatan ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai salah satu media yang dapat mempertemukan langsung antara sumber teknologi

dengan penyuluh sebagai pengguna antara dan petani sebagai pengguna akhir. Balitbangtan juga terus

melakukan pembaharuan inovasi yang telah diluncurkan dan dipublikasikan melalui berbagai media

termasuk menyediakan informasi dalam bentuk yang mudah dipahami calon pengguna atau petani.

Bapak/Ibu, serta hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan yang baik ini, sebagai Kepala Badan yang sekaligus juga sebagai Ketua

Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) periode 2016-2021, menyampaikan apresiasi

yang sebesar-besarnya dengan terbentuknya Komda Peragi wilayah Bengkulu. Oleh karena itu, kami

tetapkan tahun ini sebagai tonggak kebangkitan kembali Komda PERAGI yang diawali dengan

pelantikan KOMDA PERAGI wilayah Kalsel pada Agustus lalu, wilayah Maluku pada 12 Oktober,

Lampung pada 19 Oktober 2016, dan kali ini Bengkulu pada 8 November 2016. Kami berharap

kebangkitan Komda di Kalsel, Maluku, Lampung, dan Bengkulu mampu mendorong kebangkitan

Komda PERAGI di wilayah lain di Indonesia. Amin.

PERAGI dibentuk dengan maksud menghimpun masyarakat profesi Agronomi di Indonesia.

Agronomi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha

penyempurnaan budidaya tanaman. Sedangkan tujuannya adalah: a) Membina dan mengembangkan

ilmu dan profesi Agronomi di Indonesia; b) Menciptakan sarana dan wahana untuk lebih

meningkatakan dan pengamalan ilmu para anggota bagi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia,

dan c) Lebih mempererat hubungan dan kerjasama antara anggota masyarakat Agronomi di Indonesia.

Ekspose inovasi spesifik lokasi ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan

mulia PERAGI yaitu dengan mempererat kerjasama antara anggota dan antara organisasi dengan

Page 11: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ix

lembaga dan organisasi lain yang mempunyai sifat dan tujuan yang sama, milik pemerintah ataupun

swasta serta menyelenggarakan pertemuan ilmiah di tingkat daerah, nasional, regional maupun

internasional.

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,

Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan berguna bagi

upaya kita dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui teknologi modern dan

inovatif dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Semoga Allah Subhanahu

Wa Ta’alla senantiasa memberikan bimbingan dan petunjukNYA kepada kita semua, sehingga apa

yang kita rencanakan dapat terselenggara dengan baik, Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Wa Billahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi

Wabarakatuh

Kepala Badan

Dr. Ir. H. Muhammad Syakir, MS

Page 12: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

x

Page 13: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ iii

LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ....................................................................................... iv

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ............... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... xi

KEYNOTE SPEECH

Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kepala Badan Litbang Pertanian ............................................................................................................ 1

MAKALAH UTAMA ................................................................................................................. ......... 5

Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan

Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)

Kementerian Pertanian) ......................................................................................................................... 7

MAKALAH PENUNJANG ....................................................................................................... ......... 33

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Tanaman Pangan

1. Keragaman Penampilan Agronomi Galur-Galur Padi Gogo Toleran Naungan

(Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo, dan Suwarn) .................................................................. 35

2. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Jarak Tanam terhadap Emisi Metana (Ch4) di

Sawah Tadah Hujan

(Ika Ferry Yunianti, Miranti Ariani, dan Prihasto Setyanto) .......................................................... 41

3. Kesesuaian Teknologi Budidaya Padi Spesifik Lokasi Berdasarkan Pola dan

Kemampuan Bibit dalam Pembentukan Anakan Per Rumpun

(Wahyu Wibawa dan Dedi Sugandi)................................................................................................ 47

4. Keragaan Agronomis Ratun Padi Generasi F4 dari Persilangan Padi Varietas Lokal

Bengkulu Pada Lahan Rawa Lebak

(Sumardi,M. Chozin, dan Hermansyah) .......................................................................................... 55

5. Karakter Agronomi dan Daya Hasil Tiga Belas Galur Harapan Kedelai (Glycine max (l.)

merrill) di Lahan Masam

(Dotti Suryati, Resika Alvionita,dan Hartal) ................................................................................... 60

6. Produktivitas Kedelai Hitam pada Tanah Mineral Bergambut Lahan Pasang Surut pada

Sistem Budidaya Jenuh Air

(Hesti Pujiwati, Munif Ghulamahdi, Sudirman Yahya, Sandra Arifin Aziz, dan Oteng

Haridjaja) ........................................................................................................................................ 70

7. Keragaan dan Hasil Empat Kultivar Padi Gogo pada Kondisi La-Nina di Sumenep

(Tri Sudaryono, Sriyuniastuti, dan Fuad Nurazis) .......................................................................... 78

8. Uji Beberapa Dosis Pupuk Majemuk (NPK) untuk Meningkatkan Produksi Padi

(Siti Maryam Harahap, Andriko Notosusanto dan Timbul Marbun) .............................................. 83

9. Analisis Usahatani Jagung Komposit pada Lahan Masam Bukaan Baru

(Adri, yong Farmata dan Busyra) ................................................................................................... 90

10. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah melalui Introduksi Varietas Unggul Baru di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi

(Sigid Handoko, Yong Farmanta, dan Danadri) ............................................................................. 96

11. Implementasi Keunggulan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

(Yong Farmanta, Sigid Handoko, dan Busyra) ............................................................................... 101

12. Keragaan Pertumbuhan dan Produksi Empat Varietas Unggul Baru Padi Sawah dengan

Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

(Putu Suratmini dan K.K.Sukraeni) ................................................................................................. 105

Page 14: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xii

13. Performans Beberapa Varietas Unggul Baru Tanaman Padi Sawah Berdasarkan

Kelayakan Agronomi dan Ekonomi Di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau

(Dahono dan Yayu Zurriyati) .......................................................................................................... 111

14. Keragaan Empat Varietas Unggul Padi Sawah Irigasi dalam Kegiatan Perbanyakan

Benih di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan

(Waluyo) .......................................................................................................................................... 118

15. Perkembangan Teknologi Panen Padi dan Transformasi Kelembagaan (Kasus di

Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Bengkulu)

(Andi Ishak) ..................................................................................................................................... 124

16. Pemberian Kapur dan Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan

Rawa Lebak Dangkal Bukaan Baru dengan Teknologi Budi Daya Jenuh Air

(Endriani, M. Ghulamahdi, Eko Sulistyono) ................................................................................... 132

17. Pengaruh Kadar Air Gabah terhadap Mutu Fisik Beras pada Beberapa Tipe RMU di

Bone Bolango

(Muhammad Yusuf Antu, Hatta Muhammad, dan Taufik Rahman) ................................................ 141

18. Tingkat Ketahanan Plasma Nutfah Ubi Jalar Lokal Asal Bengkulu terhadap Hama Lanas

(Cylasformicarius) (Hertina Artanti dan Miswarti) ........................................................................ 148

19. Pengolahan Tanah dan Pemberian EM-4 untuk Meningkatkan Produktivitas Padi Gogo

(Marsid Jahari, Saripah Ulpah, Maizar, dan Ade Yulfida) ............................................................. 153

20. Kajian Penerapan Tanam Bibit Padi Secara Mekanik di Kabupaten Karang Anyar

(Ekaningtyas Kushartanti dan Tota Suhendrata) ............................................................................ 161

21. Pengaruh Paket Teknologi Pupuk Hayati terhadap Karakteristik Tanah dan Hasil Padi

Sawah Iskandar

(Ishaq, Oswald Marbun dan Liferdi) ............................................................................................... 169

22. Keragaan Populasi F2 Keturunan Hasil Persilangan Padi Gogo Lokal “Pendek” dengan

Padi IR 78581 pada Beberapa Taraf Cekaman Al (Alumunium)

(Kiky Nurfitri Sari, Catur Herison dan Mohammad Chozin) .......................................................... 177

23. Aplikasi Kompos Janjang Kosong Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan dan Hasil

Tanaman Jagung Manis

(Ummul Khair Hade, Fahrurrozi, dan Entang Inoriah) .................................................................. 182

24. Pengelolaan dan Pemasaran Sagu di Sulawesi Tenggara

(Bungati, Siti Rosmana dan Zainal Abidin) ..................................................................................... 190

25. Sebaran Helminthosporium Sigmoideum Penyebab Penyakit Busuk Batang pada

Tanaman Padi di Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta

(Dini Yuliani, Hertina Artanti, dan Sudir) ....................................................................................... 199

26. Respon Galur-Galur Harapan Padi terhadap Cekaman Genangan Air di Lahan Pasang

Surut

(Parlin H. Sinaga) ........................................................................................................................... 206

27. Pengaruh Penggunaan Tepung Lokal pada Pembuatan Cookies terhadap Tingkat

Kesukaan Panelis

(Lailatul I, Sri, H., dan Taufik, H.) ................................................................................................. 213

28. Teknologi Budidaya Padi Gogo Menggunakan Varietas Unggul untuk Meningkatkan

Produktivitas pada Lahan Kering di Kabupaten Aceh Timur

(Idawanni, Fenty Ferayanty, dan Emlan Fauzi) ............................................................................. 220

29. Persepsi Petani terhadap Teknologi Padi Sawah Spesifik Lokasi melalui Demonstrasi

Farming di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara

(Assayuthi Ma’suf, Sjamsiar, dan Rahmat Oktavia) ...................................................................... 227

30. Identifikasi Residu Endosulfan, Toxapene, dan Mirex di Lahan Sawah, Kabupaten

Wonosobo

(Ina Zulaehah, Sukarjo, dan Prihasto Setyanto) ............................................................................. 234

31. Prospek Penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada Lahan Sawah Irigasi di Provinsi

Bengkulu

(Yesmawati dan Wahyu Wibawa) .................................................................................................... 244

32. Kesesuaian Varietas Unggul Baru (VUB) Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Lokasi

Pengujian Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu

Page 15: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xiii

(Ahmad Damiri, Yartiwi dan Dedi Sugandi) ................................................................................... 250

33. Dominansi Gulma pada Lahan Sawah Dataran Rendah di Kabupaten Seluma

(Siti Rosmanah dan Alfayanti) ......................................................................................................... 258

34. Efektifitas Peningkatan Pengetahuan Petani Padi tentang Inovasi Teknologi Sistem

Tanam Jajar Legowo 2 : 1 di Bali

(Ni Ketut Kasih Sukraeni, Eko Kristanto) ....................................................................................... 264

35. Keragaan Agronomi dan Hasil Varietas Unggul Baru (VUB) Padi Sawah pada

Agroekosistem Berbeda di Provinsi Bengkulu

(Yartiwi, yulie oktavia dan a. Damiri) ............................................................................................. 269

36. Penentuan Komposisi Beras Analog dari Tepung Lokal Menggunakan Pencetak

Ekstruder

(Jonni Firdaus, Andi Dalapati dan Sumarni) .................................................................................. 276

37. Peningkatan Pengetahuan Petani tentang Teknologi Pengolahan Menir di Kabupaten

Seluma Provinsi Bengkulu

(Wilda Mikasari, Evi Silviyani, dan Engkos Kosmana) ................................................................... 384

38. Analisis Ekonomi Pengolahan Beras dan Preferensi Konsumen terhadap Beras Aromatik

(Wawan Eka Putra dan Andi Ishak) ................................................................................................ 390

39. Tingkat Preferensi Substitusi Tepung Pangan Lokal pada Pembuatan Roti Tawar

(A. Dalapati, Sumarni, dan Jonni Firdaus) .................................................................................... 298

40. Penerapan Model Penyediaan Beras Berkelanjutan di Bali

(I Ketut Mahaputra dan Nyoman Ngurah Arya) ............................................................................. 304

41. Kinerja Kelembagaan Tani dalam Pengembangan Sistem Integrasi Padi-Sapi di

Kabupaten Seluma

(Bunaiyah Honorita, Yesmawati, dan Hendri Suryanto) ................................................................. 310

42. Pertumbuhan dan Hasil Jagung Hibrida Bima 4, Bima 14, dan Jagung Komposit

Sukmaraga di Lahan Kering Provinsi Aceh

(Fenty Ferayanti, Idawanni dan Emlan Fauzi) ............................................................................... 317

43. Pengaruh Subtitusi Tepung dan Pati Ganyong terhadap Karakteristik Fisik Kimia dan

Penerimaan Konsumen Mie

(Sukmaya, Adetiya Rachman, dan Riswita Syamsuri) ..................................................................... 321

44. Sifat-Sifat Kimia Tanah dan Kebutuhan Pupuk Untuk Tanaman Padi Sawah di

Kecamatan Seluma Timur Kabupaten Seluma

(Irma Calista Siagian dan Tri Wahyuni) ......................................................................................... 332

45. Sifat Fisik, Kimia dan Sifat Organoleptik Beras Padi Inpari di Sawah Irigasi dan Sawah

Tambak di Lamongan

(Ita Yustina dan Eli Korlina) ........................................................................................................... 337

46. Analisis Risiko Produksi dan Harga Padi Sawah di Kabupaten Gorontalo

(Ari Abdul Rouf, Alfayanti dan Hatta Muhammad) ......................................................................... 343

47. Pemanfaatan Polymer Penyimpan (PPA) dan Paket Teknologi Pemupukan di Lahan

Sawah Tadah Hujan untuk Mengantisipasi Perubahan Iklim di Sumatera Utara

(Jonharnas, Novia Chairuman, dan Kusmea Dinata) ..................................................................... 350

48. Kelayakan Ekonomi Usahatani Padi pada Lahan Rawa dengan Sistem Tanam dan Dosis

Pupuk yang Berbeda di Kabupaten Seluma

(Alfayanti dan Wahyu Wibawa) ....................................................................................................... 358

49. Aplikasi Sistem Tanam “Jajar Legowo 4:1” pada Penanaman Padi “Inpari 14” di Lahan

Sawah Petani Kabupaten Oku Selatan

(Kiagus Abdul Kodir) ...................................................................................................................... 364

50. Kelayakan Usahatani Padi dengan Teknologi Mesin Tanam Indo Jarwo Transplanter di

Lahan Sawah Irigasi Kabupaten Bengkulu Utara

(Robiyanto dan Rahmat Oktafia) ..................................................................................................... 371

51. Tingkat Pengetahuan Petani Tentang Teknologi PTT Padi Rawa di Kecamatan

Semidang Alas Maras – Seluma

(Rahmat Oktafia, Engkos Kosmana, dan Wahyu Wibawa) ............................................................. 376

52. Pentingnya Penggunaan Lantai Jemur di Lahan Rawa Lebak Provinsi Sumatera Selatan

(Yeni Eliza Maryana dan Siti Rosmanah) ....................................................................................... 382

Page 16: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xiv

53. Keragaan Produktivitas Benih Sumber Varietas Unggul (VUB) Padi pada Sawah Irigasi

di Kabupaten Seluma

(Yahumri dan Harwi Kusnadi) ........................................................................................................ 388

Kajian Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Padi pada Lahan Sawah Tadah Hujan di

Jawa Barat

(Nana Sutrisna, Yanto Surdianto, Siti Lia M., dan Liferdi) ............................................................. 393

54. Antisipasi Pengendalian Penyakit Tungro pada Tanaman Padi

(Nila Wardani) ................................................................................................................................. 400

55. Peluang Pengembangan Kedelai sebagai Komoditas Unggulan di Kabupaten Nganjuk

(Siti Mutmaidah dan Herlena Bidi Astuti) ....................................................................................... 408

56. Analisis Kuantitatif Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max. L. Merrill) terhadap

Pemberian Konsentrasi Darah Sapi dan Macam Bioaktivator

(Fiana Podesta, Dwi Fitriani dan Suryadi) ..................................................................................... 417

57. Efikasi formulasi cendawan entomopatogen beauveria bassiana vuill. Isolat local

bengkulu pada kepik hijau (nezara viridula l.)

(Nadrawati dan hermansyah) ......................................................................................................... 423

Penutup

Daftar Pertanyaan

Rumusan Hasil Seminar Nasional

Daftar Hadir

Page 17: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xv

Page 18: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

1

Keynote speech

Kepala Badan Litbang Pertanian

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEPALA BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016

“Inovasi Teknologi Pertanian Modern

Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”

PENDAHULUAN

Perkembangan lingkungan strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah

membangun pertanian modern ramah lingkungan. Pertanian modern merupakan suatu cara

optimasilsasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas

maupun kuantitas, termasuk usaha teknologi pertanian agar berjalan lebih efektif dan efisien.

Teknologi pertanian yang modern dan inovatif tidak hanya bertujuan untuk peningkatan produksi,

tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap produk pertanian.

Ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan salah satu unsur penting dalam

mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Peran teknologi selain untuk meningkatkan

produktivitas, juga untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan mutu produk yang pada gilirannya

akan meningkatkan daya saing produk pertanian khususnya di pasar global.

Sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi pertanian modern, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menunjukkan peranannya yang nyata dengan

menghasilkan berbagai teknologi yang telah dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian, baik berupa

varietas dan benih unggul, pupuk, biopestisida, teknologi pengolahan serta alat dan mesin pertanian.

Potensi Balitbangtan sangat besar karena didukung oleh sumberdaya yang memadai. Balitbangan juga

memiliki kemampuan yang memandai dalam kegiatan diseminasi inovasi, baik secara mandiri maupun

bekerjama dengan pihak lain.

Program Strategis Penelitian dan Pengembangan Pertanian Modern mendukung Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan yang dlaksanakan oleh Balitbangtan difokuskan untuk komoditas padi,

jagung, kedelai, tebu, sapi, bawang merah dan cabai di samping komoditas unggulan lain yang

menjadi priotas program strategis daerah. Sedangkan litbang tematik strategis yang dikembangkan

oleh Balitbangtan sebagai berikut:

1. Litbang produksi benih melalui somatik embryogenesis (SE)

2. Litbang nano teknologi untuk produksi pangan dalam bentuk nano selulosa, nanonutrien,

maupun nanofortifikan.

3. Litbang transgenik yang dikembangkan untuk pengembangan komoditas dengan karakteristik

khusus.

4. Litbang bahan bakar nabati, yang memfokuskan pada penyediaan varietas unggul, teknologi

budidaya, pengolahan dan pengelolaan sumber BBN.

5. Pengembangan model pertanian bioindustri berbasis sumber daya lokal dan agroekologi di 33

provinsi.

Pertanian ke depan harus menjadi leading sector dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan

dan energi. Transformasi energi berbasis fosil perlu dilakukan ke arah bioenergi. Badan Litbang dalam

perspective ke depan harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan

datang melalui risetnya.

Indonesia sebagai negara equator penghasil pangan dan energi harus waspada terhadap remote

penduduk di luar equator (sebagai salah satu strategi jangka panjang dalam memperebutkan negara

equator penghasil pangan dan energi). Paradigma Balitbangtan dalan pengembangan pertanian sudah

mulai bergeser pada lahan suboptimal di samping optimasi sumber daya genetik pangan. Potensi

sumber daya genetik tanaman perludilakukan revolusi melalui peran teknologi bidang agronomi untuk

menghasilkan pa ngan dan energi yang berkelanjutan. Kita harus dapat memanfaatkan bonus

Page 19: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2

demografi untuk pengembangan sektor pertanian. Kurikulum dalam pendidikan bidang pertanian perlu

dilakukan sesuai dengab perkembangan lingkungan strategis. Pertumbuhan pangan nasional harus

kuadratik, tidak boleh linier agar dapat mengimbangi cepatnya pertumbuhan penduduk. Pertanian

modern dalam perspektif bioekonomi tidak mengenal limbah, namun biomassa yang dapat diolah

menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang bernilai ekonomi. Implementasi teknologi pertanian

inovatif modern perlu segera dilakukan dalam skala masif (minimal 10 ha). Hilirisasi teknologi

pertanian modern perlu dilakukan dari hulu sampai pada akses pasar dengan berbasis Teknologi

Informasi.

Tantangan sektor pertanian, pada tahun 2050 pendudk dunia mencapai 9,6 Trilyun. Pada tahun

2015 penduduk dunia mencapai 7,3 T (60% Di Asia), indonesia: No 4 setelah tiongkok, india dan

USA). Untuk itu, pada tahun 2050 produksi pangan harus meningkat minimal 70%. Beberapa hal yang

menjadi tantangan, yaitu lahan subur (arable land) terbatas, peningkatan kebutuhan terhadap air bersih

(aktivitas pertanian menghabiskan 70% suplai air dunia), perubahan iklim, terbatasnya pasokan energi,

dan pengelolaan SDM dan pemerataan kesejahteraan.

Kebijakan Pembangunan Pertanian

Kebijakan Kementerian Pertanian, meliputi (1) Peningkatan produksi dan provitas; fokus tujuh

komoditas, regulasi/deregulasi, membangun infrastruktur, mekanisasi, penguatan on-farm, kredit,

asuransi, dan penanganan pascapanen, (2) Hilirisasi produk pertanian; mendorong investasi industri

gula, jagung dan sapi, hilirisasi produk kelapa sawit, kakao, kopi, KUR untuk kopi, kakao, kopi,

pengolahan hasil padi, jagung dan pangan lainnya, integrasi sawit-sapi, pangan-ternak, (3) Tata niaga

domestik; fokus pada 11 Komoditas pangan strategis, regulasi/deregulasi,HPP , memperpendek rantai

tata niaga dan stabilisasi harga, sinergitas dengan Kemendag dan Bulog, tokoh Tani Indonesia (TTI),

dan (4) Kendalikan impor dan dorong ekspor; Fokus pada 11 Komoditas komersial/ekspor,

regulasi/deregulasi pengendalian impor, regulasi/deregulasi mendorong ekspor, peningkatan mutu dan

daya saing produk, dan sinergitas Kemendag dan Kemenperin.

Indikator Kesejahteraan Petani 2014-2015 adalah NTP dan NTUP tahun 2015 meningkat,

kecuali subsektor perkebunan rakyat menurun karena komoditas orientasi ekspor (sawit, karet, kopi,

kakao, dll) akibat harga dan krisis global. NTP : Nilai Tukar Petani, indeks yang diterima petani dibagi

indeks yang dibayarkan untuk seluruh pengeluaran rumah tangga petani. NTUP: Nilai Tukar Usaha

Pertanian, indeks diterima petani dibagi indeks yang dibayarkan untuk usaha pertanian.

Pertanian Modern dalam Perspektif Bioekonomi, meliputi Prospective Bio-economi; Securing

global nutrition, Ensuring sustainable agricultural production, Producing healthy and safe foods,

International cooperation, Technology transfer, Developing biomas-based energy carriers, Using

renewable resource for industry. Dengan landasan strategisnya adalah pertanian modern dam

implementasi bioekonomi yang meliputi Bioscience, Bioengineering, Automatization, Social

engineering, Bioinformatics. Strategi pertanian modern yang inovatif dan berdaya saing di Era MEA,

antara lain :

Produksi pangan berkelanjutan; Lahan dan air, Rekayasa teknologi produksi, Peningkatan nilai

tambah dan daya saing, Global value change and market intelligence, dan Rekayasa sosial

Energi terbarukan; Bioenergi berbasis tanaman pertanian, dan Pengembangan energ terbarukan

berbasis biomassa

Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Implementasi Pertanian Modern yang Inovatif;

yaitu (1) Nilai tambah dan daya saing produk, (2) Rekayasa teknologi produksi, (3) Bio-prospecting,

(4) Keanekaragaman hayati, (5) Lahan dan air, (6) Rekayasa sosial, (7) Global value chain, (8)

Bioenergi, (9) Market intelligence

Lahan dan Air

Identifikasi, pencegahan dan mitigasi ancaman terhadap kualitas sumberdaya lahan dan

biodiversitas dengan pengembangan alert system, serta peningkatan kualitas lahan produktif

dengan memanfaatkan nanoteknologi dan bioteknologi

Pengembangan sistem informasi land use dan land cover (peta, citra, database, decision support,

atau alert system)

Page 20: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

3

Studi dampak lingkungan terhadap perubahan land use dan land cover.

Networking database monitoring untuk pengembangan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya

lahan dan lingkungan.

Rekayasa Teknologi Produksi

Eksplorasi, konservasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman dan hewan.

Perakitan kultivar dan ras unggul berpotensi hasil tinggi.

Pengembangan produk transgenik yang aman dan berpotensi tinggi.

Advanced technology, seperti somatic embryogenesiss (perbanyakan benih), nanocoating

(viabilitas benih), nanofluidics (proses fertilisasi), produksi benih secara in vitro, media tanam &

packaging

Advanced urban farming system; pengembangan controled environmental agriculture (CEA), dan

fully computerized multi-storey plant factory (biosensing, dan nano solar cells)

Peningkatan Nilai tambah dan Daya Saing Produk

Penanganan pascapanen dengan rendeman yang tinggi serta mutu yang seragam: sensing

technology (sortasi & grading), nano-bio-preservative (kesegaran produk pert)

Pengembangan pangan sehat: fortifikasi, modifikasi struktur pangan & nano-delivery system dan

penemuan sumber pangan baru (biota laut)

Pengembangan produk non pangan dengan produk-produk turunan yang bernilai tinggi (teknologi

bioproses, separasi, & isolasi yang efisien).

Pengembangan material maju berbasis komposit biomassa (serat selulosa)

Teknologi Pertanian Modern yang Diimplementasikan dalam Pembangunan Pertanian Terkini

Penelitian dan Pengembangan untuk swasembada beras telah dilakukan pada (1)

pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu Padi amphibi: 9t/ha dan tahan bias, Padi rawa:

8t/ha toleran Fe dan tahan blas, Hibrida:>12-13 t/ha dan tahan HDB/blas, Inbrida:10-11 t/ha dan tahan

WBC dan HDB, Padi fungsional ;6-7 t/ha, Fe tinggi (>20 ppm), (2) Pendampingan UPSUS di 31

provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (BS, FS, SS):1.194 ton, (4) Teknologi PTT lahan sub optimal,

pascapanen dan Alsin 99 teknologi), (5) Sistem informasi Katam dan Standing crop, dan (6)

Revitalisasi PPK meningkatkan renemen beras 4% (13 provinsi). Penelitian dan Pengembangan untuk

swasembada Jagung 2017 dilakukan dengan (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) yaitu 3

varietas hibrida genjah umur <100 hari dan potensi hasil 12 t.ha, satu varietas inhibrida toleran

kekeringan, dan satu VUB komposit asam amino tinggi; anti oksidan tinggi, (2) Pendampingan

UPSUS di 8 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (95 ton), (4) Teknologi budidaya, pascapanen dan

alsin, (5) Peta kesesuaian lahan (120 kabupaten), dan (6) Model penanganan pascapanen jagung (4

provinsi).

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bawang merah, antara lain (1)

Varietas unggul baru (VUB) off season, Adaptif musim hujan, dan Provitas >24 t/ha, (2) Diseminasi

dan pengawalan UPSUS bawang merah (6 propinsi), (3) Penyediaan benih sumber (BS: 36 ton), (4)

Teknologi perbenihan, budidaya, dan pascapanen, dan (5) Peta kesesuaian lahan.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi kedelai, yaitu (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) adaptif lahan pasang surut dengan provitas 2,5 t/ha, dan adaptif lahan

kering dengan tahan pecah polong dan provitas 3 t/ha, (2) Pendampingan UPSUS di 12 provinsi, (3)

Penyediaan benih sumber (662 ton), (4) Teknologi budidaya pascapanen dan alsin, dan (5) Model

penanganan pascapanen kedelai

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi cabai, yaitu (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) off season, adaptif musim hujan, dan provitas > 18 t/ha, (2) diseminasi

dan pengawalan UPSUS cabai di 4 provinsi, (3) penyediaan benih sumber (36 kg), (4) peta kesesuaian

lahan, dan (5) teknologi budidaya pascapanen dan alsin.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi daging, antara lain (1)

pengembangan galur unggul sapi dengan Bobot lahir 25-27 kg: bobot sapi 125-142 kg dan jarak

beranak < 14 bulan: konsumsi pakan lebih efisien, (2) Variasi tanaman pakan ternak, tahan lahan salin,

Page 21: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

4

lahan masam dan tahan naungan, (3) Model pengembangan integrasi sapi-sawit dan bioindustri

berbasisi ternak (2 model), (4) Penyediaan pejantan unggul sap PO (20 ekor), (5) Pendampingan

UPSUS 26 provinsi, (6) Teknologi pemuliaan, pakan, reproduksi, veteriner, dan pascapanen (14

teknologi), dan (7) Rekomendasi kebijakan peternakan dan veteriner (4 rekomendasi).

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi Gula melalui (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) dengan provitas >120 t/ha dan rendemen 14%, (2) Pendampingan

UPSUS, kawasan pengembangan tebu, (3) Penyediaan benih unggul (3 juta budset tebu), (4) Sistem

informasi tebu terpadu: peta kesesuaian lahan 1:50.000, dan (5) Teknologi budidaya pascapanen dan

alsin.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bahan bakar nabati, yaitu (1)

pwngembangan Varietas unggul (kemiri sunan, jarak pagar) dengan kadar minyak dan provitas tinggi,

(2) Tanaman BBN potensial: kelapa sawit, tebu, kelapa, shorgum manis, jarak pagar, kemiri sunan, ubi

kayu, sagu, (3) Penyediaan benih unggul dengan teknologi SE, (4) Teknologi pengolahan : Biogas cair

(kriobenikembagan), bioetanol fuel grade, bioavtur, biodiesel (distilasi reaktif), bensin

nabati/biogasoline, dan (5) Penyediaan teknologi on farm (sambung pucuk pada kemiri sunan dan

jarak pagar, teknologi budidaya di lahan bekas tambang)

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi komoditas strategis lainnya, yaitu

Penciptaan: Varietas/galur unggul, teknologi budidaya/pakan, pengembangan model tanaman pangan :

kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorgum, gandum tropika, peternakan: kambing,

domba, ayam, itik, babi, tanaman perkebunan: kakao, jambu mete, lada, nilam, jahe, kapas, kelapa,

kopi, jarak pagar, kemiri sunan, dan hortikultura : jeruk, mangga, kentang, krisan .

Penelitian dan Pengembangan transgenik dilakukan pada tanaman padi untuk menghasilkan

benih golden rice dengan kandungan vitamin A tinggi; efisien pemupukan N; toleran kekeringan,

tanaman kedelai dengan umur genjah dan efisiensi pemupukan N, tebu dengan rendemen tinggi,

kentang yang tahan busuk dan phytoptora, jarak pagar yang toleran kekeringan, gandum yang adaptif

iklim tropis, nilam yang tahan penyakit sclerotium Rolfsii, kapas yang toleran kekeringan, dan jahe

yang tahan terhadap pseudomonas sp.

Penelitian dan Pengembangan Nano Teknologi pada kemasan (nanoselulosa, nanofilm),

pangan (nano selulosa, nanonutrien, nanofortifikan), pupuk (nano zeolit, nano pupuk), pPestisida

(biopestisida). Litbang produksi benih melalui somatik Embriogenesis (SE), tebu, kopi, jahe, jeruk,

bawang merah, nilam, dan kakao.

PENUTUP

Inovasi teknologi pertanian modern yang perlu dikembangkan untuk mendukung

pembangunan pertanian berkelanjutan adalah berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan

Biosciense, Bioengineering, social engineering & bioinformatics

Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi fokus

dalam mendorong produk pertanian untuk tetap menjadi andalan di pasar domestik maupun mampu

berkompetisi di pasar global

Page 22: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

5

MAKALAH UTAMA

Page 23: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

6

Page 24: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

7

ARAH DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

DIRECTION AND STRATEGY OF FUTURE AGRICULTURE DEVELOPMENT

Pantjar Simatupang

Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSKP).

Jl. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111,

Email: [email protected]

ABSTRAK

Arah dan strategi dapat dipandang sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan program pembangunan

jangka panjang sebagai salah satu komponen esensial dari tata kelola pembangunan yang baik. Tulisan

ini menguraikan dinamika jangka panjang konteks yang memengaruhi kinerja pertanian global, status

perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi pembangunan pertanian

Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat konstitusi, analisis konteks

dan prospek perkembangan tersebut. Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi

global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air

dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini

dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi

yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi

pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan

mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Selain untuk penyusunan suatu dokumen perencanaan

strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi para peneliti dan

pendidik pertanian.

Kata Kunci : Pertanian Masa depan, Strategi,

ABSTRACT

Directions and strategies can be seen as a reference in long-term policy making development program

as one of the essential components of the development of good governance. This paper outlines the

context of the long-term dynamics that affect the performance of global agriculture, the status of

development of agriculture in Indonesia, and thoughts about the direction and strategy of the future

agricultural development in Indonesia organized by destination according to the constitutional

mandate, the analysis of the context and the development prospects. Climate change, population

growth and advancement of the global economy is expected to lead to a perfect storm scenario

(perfect storm): the food crisis, water and energy by 2030. Although impressed pessimistic, Indonesia

must anticipate these threats in the preparation of policy and strategy of agricultural development in

the future. Due to that reason appropriate strategy is the development of agricultural systems

bioindustry. Therefore national development strategies must necessarily adopt agricultural paradigm

for development and the approach adopted agrobiobussines. In addition to the preparation of a

strategic planning document, this paper is also expected to be useful as reference material for

researchers and educators agriculture.

Keywords : Future agriculture, Strategy,

Page 25: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

8

I. PENDAHULUAN

Planning without action is futile, action without planning is fatal Cornelius Fichtner1

Adagium “rencana tanpa dikerjakan adalah sia-sia, bekerja tanpa perencanaan adalah fatal”

merupakan prisip dasar terkenal bagi para perencana dan manajer kebijakan, program atau proyek

pribadi, perusahaan, organisasi masyarakat atau pemertintah. Adagium itu menyatakan bahwa setiap

pekerjaan mestinya direncanakan. Pekerjaan tanpa direncakan tidak saja berpeluang besar gagal tidak

efektif dan tidak efisen, atau tidak berhasil mewujudkan tujuannya tetapi bahkan dapat menimbulkan

bencana atau kerugian tak terduga. Setiap manajer kebijkan, program atau proyek haruslah

direncanakan. Sebaliknya, perencanaan yang tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan implementasi

adalah sia-sia belaka, hanya membuang tenaga, dana dan waktu belaka. Perencanaan dapat dipandang

sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan. Perencanaan berbasis ilmu pengetahuan dan data

faktual mutlak perlu apalagi berkaitan dengan kebijakan dan program yang menyangkut penggunaan

dana besar dan kepentingan orang banyak. Pandangan “kerja,kerja dan kerja” haruslah dipandang

sebagai amanat untuk melaksanakan sutau kebijakan, program atau proyek yang sudah direncanakan

dengan baik berdasarkan pengetahuan (logis) dan realitas (fakta).

Pada masa Orde Lama, pembangunan pertanian dan pembangunan nasional didasarkan pada

suatu perencanaan sistematis dan berjenjang yang mencakupRencana Pembanghunan Jangka Panjang

(RPJP) untuk selama 25 tahun dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun oleh MPR

berdasarkan UUD 1945,selanjutnya oleh Presiden sebagai mandataris MPR dijabarkan kedalam

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Era Reformasi, GBHN ditiadakan

berdasarkan UUD 1945 perubahan, RPJP diganti dengan sebutan Rencana Pembangunan Jangaka

Panja Nasiopnal (RPJPN) untuk selama 20 tahun berdasarkan UU 17/2007, Repelita diganti dengan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Presiden terpilih

yang kemudian dijabarkan menjadi Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Masalahnya ialah

RPJPN itu amat umum sehingga dalam praksis RPJMN disusun seolah-olah tidak berkaitan satu sama

lain. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemungkinan besar tidak konsisten dan

koheren dalam jangka panjang.

Pembangunan pertanian amat penting untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi seluruh

rakyat, kesejahteraan ratusan juta rakyat dan fasilitator, dan dinamisator pembangunan nasional,

sementara kinerjanya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat eksternal dan tidak

menentu. Perencanan jangka panjang amat diperlukan dalam tatakelola pembanganan pertanian jangka

panjang. Arah dan strategi adalah landasan perumusan kebijakan dan program dalam suatu dokumen

perencanan strategis. Berikut ini diuraikan analisis tentang konteks yang memengaruhi kinerja

pertanian global, status perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi

pembangunan pertanian Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat

konstitusi, analisis konteks dan prospek perkembangan tersebut. Selain untuk penyusunan suatu

dokumen perencanaan strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi

para peneliti dan pendidik pertanian.

1Cornelius Fichtner on Twitter: ":-) Planning without action is futile ...

https://twitter.com/corneliusficht/status/2515541824, diunduh pada 31 Oktober 2016

Page 26: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

9

II. DINAMIKA LINKUNGAN STRATEGIS GLOBAL

2.1 Kekuatan utama penentu dinamika pertanian global

Perubahan demografis

Penduduk dunia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2,3 milyar jiwa, dari 7,0 miliar jiwa

pada 2011 menjadi 9,3 miliar jiwa pada 2050 atau dengan laju pertumbuhan sekitar 0,72 persen per

tahun. Hampir seluruh peningkatan penduduk tersebut terjadi di negara-negara berpendapatan rendah.

Penduduk negara-negara maju sudah mendekati tahapan stasioner, sedangkan penduduk negara-negara

berkembang dan terbelakang berturut-turut meningkat 0.83 %/tahun dan 1,77 %/tahun. Jika dilihat

menurut kawasan, pertambahan pendududuk tersebut sebagian besar (89,24 %) terjadi di Afrika dan

Asia. Pertambahan penduduk di dua benua ini Penduduk Afrika meningkat 1,1 miliar jiwa, dari 1,04

milyar jiwa pada 2011 menjadi 2,2 miulyar jiwa pada 2050 atau 1.85 %/tahun. Penduduk Asia

meningkat 935 juta atau 40,09 % dari pertambahan penduduk dunia namun pertumbuhannya hanya

0,5 %/tahun, jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Afrika (Tabel 1).

Tabel 1. Proyeksi pertumbuhan penduduk dunia 2011-2050

Wilayah Jumlah (juta

jiwa)

Pangsa (%) Pertumbuhan

(%/tahun)

% Usia lanjut

( >60 tahun)

2011 2050 2011 2050 2011-2050 2011 2050

Dunia 6974 9306 100 100 0.72 11 22

Negara-negara maju 1240 1312 17.8 14.1 0.14 22 32

Negara-negara berkembang 5734 7994 82.2 85.9 0.83 9 20

Negara-negara paling terbelakang 851 1726 12.2 18.6 1.77 5 11

Negara-negara berkembang lain 4883 6268 70.0 67.4 0.62 10 23

Afrika 1046 2192 15.0 23.6 1.85 6 10

Asia 4207 5142 60.3 55.3 0.50 10 24

Eropa 739 719 10.6 7.7 -0.07 22 34

Amerika Latin dan Karibia 597 751 8.6 8.1 0.58 10 25

Amerika Utara 348 447 5.0 4.8 0.63 19 27

Oseania 37 55 0.5 0.6 0.99 15 24

Source: United Nations (2011)

Dimensi kedua perubahan struktur demografi yang dipandang paling berpengaruh terhadap

permintaan pangan ialah urbanisasi yang berlangsung beriringan dengan transformasi struktur

ekonomi. Penduduk perkotaan di negara-negara maju meningkat dengan laju 0.52 %/tahun pada 2011-

2030 dan kemudian melambat menjadi 0.29 %/tahun pada 2030-2050 dengan kecepatan urbanisasi

0.29 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,23 %/tahun pada 2030-2050. Laju pertumbuhan penduduk

perkotaan di negara-negara berkembang meningkat jauh lebih cepat dari pada di negara-negara maju,

yakni dengan laju 2.02 %/tahun pada 2011-2030 dan kemudian melambat menjadi 1,34 %/tahun pada

2030-2050 dengan laju 0.95 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,69 %/tahun pada 2030-2050.

Perubahan kesejahteraan ekonomi

Hukum Engel mengatakan bahwa jumlah maupun kualitas konsumsi pangan meningkat

namun pangsa nilai pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan pangan.

Dengan hukum ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi pangan per kapita meningkat seiring dengan

peningkatan pendapatan per kapita namun besaran peningkatannya cenderung menurun. Dengan

perkataan lain, elastisitas permintaan pangan terhadap pendapatan lebih tinggi di negara yang

pendapatan per kapitanya lebih rendah. Hukum kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan

perubahan pola konsumsi pangan seiring dengan perubahan pendapatan ialah hukum Bennet: apabila

pendapatannya meningkat maka rumahtangga akan melakukan substitusi bahan pangan pokoknya

dengan mengurangi sumber karbohidrat bermutu rendah (ubikayu, barley, sorgum, jagung) dan

menambah sumber karbohidrat bermutu tinggi (beras, terigu) dan selanjutnya akan mengurangi

sumber karbohidrat maupun sumber protein nabati dan menambah sumber protein (daging, telur,

susu) maupun sayuran dan buah-buahan. Hukum Bennet dapat dipakai untuk menjelaskan bahwa

diversifikasi pangan akan berjalan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita (Thomson and

Page 27: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

10

Metz, 1988). Berdasarkan penelitian empiris dengan menggunakan data sejumlah negara Cranfield,

et.al. (1998) menggolongkan tiga pola konsumsi menurut tingkat pendapatan (Tabel 2)

Tabel 2. Komposisi umum bahan pangan menurut tingkat pendapatan

Peringkat nilai

pengeluaran

Tingkat pendapatan perkapita penduduk

Rendah Menengah Tinggi

1 Biji-bijian Produk ternak Produk ternak

2 Produk ternak Biji-bijian Pangan lainnya

3 Sayur dan buah Sayur dan buah Sayur dan buah

4 Pangan lainnya Pangan lainnya Biji-bijian

Sumber: Cranfield, et.al. (1998)

Globalisasi dan diet westernization

Globalisasi perdagangan dan investasi telah membuat setiap negara terbuka terhadap investasi

asing dalam bidang industri makanan dan minuman, restoran, perdagangan eceran (super markets) dan

pertanian. Globalisasi telah menciptakan gelombang “westernization of diet” yang dicirikan oleh

transformasi pola pangan dari berbasis diet tradisional menjadi berbasis diet barat (Pingali, 2004).

Gelombang westernization of diet dapat diamati dari pertumbuhkembangan restoran cepat saji

multinasional seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, yang kini sudah ada di hampir

seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Lebih jauh, Kelly, et al (2010) menyatakan bahwa

konvergensi pola pangan ke arah diet barat pada tataran global juga diikuti oleh divergensi menurut

status sosial ekonomi. Pada awalnya, diet barat diadopsi oleh kelompok penduduk berpendapatan

tinggi. Pada tahapan pembangunan yang lebih tinggi, kelompok penduduk berpendapatan tinggi, yang

lebih sadar akan resiko kesehatan diet barat dan lebih berkemampuan dalam mengatur pola

pangannya, akan cenderung menghindari diet barat sedangkan kelompok penduduk berpendapatan

rendah terus meningkatkan adopsinya terhadap diet barat. Fenomena inilah yang disebut divergensi

diet . Berdasarkan hipotesis konvergensi dan divergensi diet yang diajukan oleh Kelly, et al (2010),

substitusi pola pangan tradisional dengan pola pangan barat (konvergensi ke diet barat) terutama

terjadi di negara-negara sedang berkembang. Konvergensi diet yang terjadi menurut status sosial

ekonomi penduduk domestik akan menyebabkan kelompok penduduk miskin terperangkap dalam

pola pangan barat yang beresiko tinggi menimbulkan sindroma obesitas dan penyakit terkait makanan

lainnya.

Kelangkaan lahan dan air

Peningkatan kelangkaan lahan pertanian merupakan fenomena global. Berikut adalah faktor-

faktor utama penyebab penurunan luas lahan pertanian. GiovannuccI, et. al (2012) mengemukakan

bahwa sekitar 20.000-50.000 km2

lahan potensial produktif hilang tiap tahun karena erosi dan

degradasi dan 2.9 km2

dinilai berisiko tinggi berubah menjadi padang pasir, sejumlah besar

diantaranya di negara-negara berkembang. Erosi dan degradasi serta konversi ke penggunaan non

pangan diperkirakan menurunkan ketersediaan lahan untuk pangan sebesar 8-20 % hingga

2050.Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, pertumbuhan lahan pertanian global mengalami

perlambatan dari 0,17 %/tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Lahan

pertanian mengalami pertumbuhan positif dengan laju yang menurun tajam dari 0,65 %/tahun pada

1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Namun di negara-negara industri dan transisi

ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Lahan pertanian di Afrika Utara juga menurun dengan laju

yang semakin tinggi sejak tahun 1990an. Pertumbuhan lahan tertingi ialah di Sub-Sahara Afrika yang

mencapai 1,07 %/tahun pada 1990-2005 namun menurun tajam menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-

2050. Amerika Latin menduduki peringkat laju pertumbuhan tertinggi kedua pada periode 2015-2050

dengan laju 0,55 %/tahun. Laju pertumbuhan di Asia Timur menurun tajam dari 1,12 %/tahun

(peringkat tertinggi pertama) pada 1990-2005 menjadi 0,02 %/tahun pada 2015-2050.

Page 28: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

11

Tabel 3. Perluasan lahan pertanian global 1961/63-2050

Area Tanah pertanian yang digunakan (juta ha) Pertumbuhan (%/tahun)

1961/63 1989/91 2005 20015 2030 2050 1961-

2005

1990-

2005

2015-

2050

Sub-sahara Afrika 133 161 193 236 275 300 0.80 1.07 0.55

Amerika latin 105 150 164 203 234 255 1.01 0.64 0.52

Afrika utara 86 96 99 86 84 82 0.34 -0.02 -0.11

Asia selatan 191 204 205 206 211 212 0.15 0.07 0.07

Asia timur 178 225 259 235 236 237 0.99 1.12 0.02

China 73 94 102 105 109 112 0.85 0.71 0.15

Negara

berkembang

693 837 920 966 1040 1086 0.67 0.65 0.27

China dan India 426 536 594 666 740 789 0.75 0.66 0.39

Negara industri 388 401 388 388 375 364 -0.02 -0.21 -0.15

Negara transisi 291 277 247 247 234 223 -0.32 -0.90 -0.23 Dunia 1375 1521 1562 1602 1648 1673 0.30 0.17 0.10

Source: Bruinsma (2011)

Pertanian merupakan pengguna air terbesar. Kedepan, pertanian akan menghadapi masalah

kelangkaan air yang kian ketat sebagai konsekuensi dari perpaduan dua kecenderungan berikut.

Pertama, peningkatan permintaan air untuk non-pertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan

kemajuan ekonomi. Kedua, penurunan pasokan baku air sebagai akibat dari perubahan iklim dan

degradasi alam. Seperti halnya lahan, nilai manfaat (rente) penggunaan air untuk pertanian secara

umum lebih rendah daripada untuk non-pertanian. Oleh karena itu, pertanian akan terus mengalami

tekanan kelangkaan air yang semakin berat. GiovannuccI, et. al (20120) mengemukakan bahwa

kelangkaan air boleh jadi merupakan faktor yang paling kuat dalam menurunkan hasil pertanian.

Kelangkaan air, yang diperburuk oleh tekanan hama dan penyakit tanaman dan hewan, dapat

menurunkan hasil pertanian antara 5-25 %. Insiden kekeringan dalam 30 tahun terakhir telah

membunuh sekitar 20 %-62 % ternak dan memicu kelaparan di 6 negara Afrika.

Perubahan iklim global

Dampak utama perubahan iklim global mencakup (Hoffmann, 2011, Keane, et. al. , 2009):

1. Peningkatan suhu mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan dan petani, meningkatkan hama-

penyakit, menurunkan pasokan air meningkatkan resiko perluasan ariditas dan degradasi lahan.

2. Perubahan pola presipitasi akan memperkuat kelangkaan air dan tekanan kekeringan terhadap

tanaman dan mengubah pasokan air.

3. Meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman

dan ternak serta merusak infrastruktur pertanian.

4. Meningkatkan konsentrasi C02 atmosfir dalam jangka pendek dapat meningkatkan fertilisasi

karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman (namun dalam jangka panjang dapat

menurunkan produktivitas tanaman).

5. Meningkatkan permukaan air laut yang dapat mengurangi luas lahan dan ketersediaan air tawar

untuk pertanian, mengubah kondisi produksi akuakultur dan mengubah infrastruktur perdagangan

pertanian.

6. Mempersulit perencanaan produksi pertanian.

Tidak dapat dipungkiri, sebagian elemen perubahan iklim dapat berdampak positif terhadap

produksi pertanian. Peningkatan konsentrasi C02 atmosfir sampai kadar tertentu dapat fertilisasi

karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman tertentu. Namun secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa perubahan iklim berpengaruh negatif terhadap produksi pangan global. Seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 4, perubahan iklim dapat menurunkan secara nyata produksi pangan

global. Pada periode 2000-2050, perubahan iklim diperkirakan akan dapat menurunkan produk beras -

12.7 %, gandum -25.3 %, jagung -0.1%, millet -7.7% dan sorgum -2.5 %. Secara umum, dampak

negatif perubahan iklim ternyata lebih buruk di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-

negara maju. Kiranya dapat diperhatikan bahwa dampak perubahan iklim secara umum lebih parah

terhadap makanan pokok di setiap kawasan. Sebagai contoh, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik,

dampak negatif terparah ialah untuk beras yang merupakan bahan pangan pokok di kawasan tersebut.

Page 29: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

12

Untuk Asia Selatan, dampak negatif terparah ialah untuk gandum, beras dan jagung sedangkan untuk

kawasan Eropa dan Asia Tengah dampak negatif tertinggi ialah untuk gandum dan jagung yang

kesemuanya adalah pangan pokok di masing-masing kawasan. Persebaran demikian memperparah

dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global.

Tabel 4. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan 2000-2050 (tanpa penyerbukan karbon) (%)

Wilayah Beras Gandum Jagung Millet Sorghum

Asia Selatan -14.4 -46.2 -13.7 -14.2 -15.9

Asia Timur dan Pasifik -9.7 1.8 -1.9 6.25 4.05

Eropa dan Asia Tengah -0.5 -47.2 -28.6 -4.75 -6.5

Amerika Latin dan Karibia -20.5 14.4 -2.15 8.0 3.3

Timur Tengah dan Afrika Utara -36.3 -6.9 -16.6 -4.1 0.5

SubSahara Afrika -14.8 -34.6 -8.3 -7.2 -2.6

Negara-negara berkembang -11.2 -9.4 6.65 -4.3 -5.2

Negara-negara maju -12.8 -31.3 -6.15 -7.7 -2.0

Dunia -12.7 -25.3 -0.1 -7.7 -2.5

Keterangan: Rata-rata proyeksi model CSIRO dan NCAR Sumber: Nelson, et.al. 2009.

Pada tahap awal ini akan terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan

pemenuhan kebutuhan bioenergi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hayati dan

bioenjinering, bioenergi dapat pula dihasilkan dari sampah organik, selulosa (generasi kedua) dan alga

(generasi ketiga), tidak perlu lagi menggunakan bahan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan

pangan dan bioenergi tidak lagi bersifat trade-off. Oleh karena itulah penggunaan bahan pangan tidak

berubah atau bahkan menurun pada periode 2030-2050.

2.2 Ancaman badai sempurna (The perfect strorm): Krisis pangan, energi dan air

Perpaduan antara peningkatan kelangkaan dan harga bahan bakar fosil dan kemajuan dalam

ilmu pengetahuan dan teknologi biorefinery telah mendorong peningkatan pesat produksi bioenergi.

Pada periode 2015-2050, permintaan komoditas pangan untuk bioenergi diproyeksikan akan tumbuh

2,55 %/tahun sedangkan untuk pangan hanya tumbuh 0,79 %/tahun (Deutsche Bank, 2009). Pangsa

permintaan bioenergi meningkat dari 13,36 % pada 2015 menjadi 18,61 % pada 2050. Pada tahap

awal, produksi bioenergi masih menggunakan teknologi generasi pertama dengan feedstock komoditas

pangan utamanya jagung, kedelai, tebu, ubikayu dan tanaman minyak (khususnya kelapa sawit).

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, penggunaan beberapa komoditas pangan untuk bionergi

meningkat sangat tajam: serealia meningkat dari 65 juta ton pada 2005/2007 menjadi 182 juta ton pada

2050, minyak sayur meningkat dari 7 juta ton pada 2005/2007 menjadi 29juta ton pada 2050, tebu

meningkat dari 28 juta ton pada 2005/2007 menjadi 81 juta ton pada 2050, dan ubikayu meningkat

dari satu juta ton pada 2005/2007 menjadi delapan juta ton pada 2050 (Tabel 5).

Tabel 5. Penggunaan Komoditas Pangan untuk Bioenergi 2005/2007-2050

Komoditas Satuan 2005/ 2007 2030 2050

Serealia Juta ton 65 182 182

Serealia Persentase dalam total penggunaan 3.2 6.7 6.1

Minyak sayur Juta ton 7 29 29

Minyak sayur Persentase dalam total penggunaan 4.8 12.6 10.3

Sugar (equiv. tebu) Juta ton 28 81 81

Sugar (equiv. tebu) Persentase dalam total penggunaan 15.1 27.4 24.3

Ubikayu (segar) Juta ton 1 8 8

Ubikayu (segar) Persentase dalam total penggunaan 0.4 2.3 1.8

FAO (2012)

Proyeksi Idso (2011) menunjukkan bahwa dengan menerapkan Iptek maju total produksi

pangan dapat meningkat 0,84 %/tahun sementara bila penerapan Iptek maju dikombinasikan dengan

fertilisasi C02 maka total produksi pangan dapat meningkat 1,26 %/tahun (Tabel 6). Fertilisasi C02

sangat penting dalam peningkatan produksi pangan. Jelaslah kiranya bawa produksi pangan dunia

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Professor John Beddington(2009) kepala dewan ilmuan

Page 30: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

13

(Chief Scientist) Kerajaan Inggris bahkan memperkirakan scenario badai sempurna (the perfect storm

scenario) pada 2030 yang pada intinya memperkirakan bahawa permintaan pangan akan meningkat

1,5 %/tahun, energi 1,5 %/tahun dan air 0,9 %/tahun (akibat petumbuhan penduduk, perubahan

struktur demografi, pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah dijelaskan di muka), sementara kapasitas

produssi pangan dan air cederung menurun (akibat perubahan iklim) dan cadangan energi fosil kian

menipis shingga pada 2030 akan terjadi krisis pangan, air dan energi pada tataran global.

Tabel 6. Proyeksi Penawaran Pangan Global 2009-2050

Tanaman Pangsa

produks

i (%)

Produksi

2009 (juta

ton)

Produksi 2050 Pertumbuhan 2009- 2050

(%/tahun)

Iptek maju

(juta ton)

Iptek maju + fertilisasi

C02 (juta ton)

Iptek

maju

Iptek maju +

fertilisasi C02

Tebu 21.24 1.607 1.979 2.243 0,56 0,97

Jagung 10.28 801 1.283 1.366 1,47 1,72

Beras 9.44 667 867 982 0,73 1,15

Gandum 9.37 649 869 970 0,82 1,21

Kentang 4.87 329 416 466 0,64 1,01

Gula bit 3.88 233 440 515 2,17 2,95

Ubikayu 2.98 235 396 412 1,67 1,84

Kedelai 2.84 237 289 342 0,53 1,08

K. sawit 2.25 212 359 404 1,69 2,21

Barley 2.22 144 194 221 0,85 1,30

Ubijalar 1.97 109 42,2 60,0 -1,49 -1,10

Melon 1.22 106 192 203 1,97 2,23

Pisang 1.13 92,4 147,6 167 1,46 1,97

Jeruk 0.98 66,5 52,6 66,8 -0,51 0,01

Anggur 0.97 68,5 88,0 111 0,69 1,51

Apple 0.94 68,7 151 166 2,92 3,45

Kubis 0.93 73,8 67,0 82,0 -0,22 0,27

Lettuce 0.30 24,7 24,5 28,7 -0,02 0,39

Total 95.0 7.046 9.474 10.677 0,84 1,26

Sumber: Idso (2011)

Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan

arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang

tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional

mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan

agrobiobisnis Semua itu akan dibahas dalam bagian berikut.

III. PERUBAHAN KONTEKS DAN KONTEN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS

Kemajuan peradaban pada tataran global dalam enam dekade terakhir, telah menyebabkan

perubahan mendasar dalam context dan content pembangunan agribisnis. Perubahan context berkaitan

dengan perubahan lingkungan strategis sementara perubahan content berkaitan dengan berubahan

karakter internal dari sistem agribisnis. Perubahan context dan content telah mengubah arah, issu dan

kebijakan, yang berati pula paradigma pembangunan yang tepat untuk memahami dan mengelola

pembangunan agribisnis. Faktor-faktor pendorong utama (key drivers) yang mendorong perubahan

tersebut diuraikan berikut ini (Simatupang, 2015).

Pertama, perubahan tataran persaingan dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan

antar rantai nilai. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari globalisasi perekonomian dan perubahan

preferensi konsumen hasil usaha agribisnis. Seperti yang dijelaskan oleh Simatupang (1995),

globalisasi ekonomi dicirikan oleh liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga dayasaing menjadi

kunci bagi setiap perusahaan agar dapat bertahan hidup dan tumbuh-kembang. Liberalisasi

perekonomian merupakan konsekuensi dari kesepatan World Trade Organization (WTO) dan Tripple-

T Revolution (Telecommunication, Transportasi, Tourism). Perubahan preferensi konsumen dicirikan

oleh perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas atau produk menjadi

Page 31: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

14

permintaan terhadap atribut produk. Selain itu, konsumen juga menuntut adanya transparansi dan

ketelusuran (traceability) penggunaan input, produsen dan proses produksi serta sistem logistik hingga

produk sampai ke konsumen akhir. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui pengelolaan rantai nilai

secara eksklusif.

Kedua, kesadaran baru tentang orientasi pembangunan. Kini semakin disadari bahwa

orientasi kehidupan manusaia, yang berarti juga orientasi pembangunan setiap negara, bersifat multi-

dimensi. Tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi sosial dan lingkungan. Dimesi

sosial mencakup antara lain keadilan dan pemerataan pembangunan (justice and equity), partisipasi

demokratik, dan hak azasi manusia (bahkan juga hewan). Dimensi lingkungan mencakup

keberlanjutan sumberdaya alam serta kesehatan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan hidup.

Seiring dengan itu, usaha agribisnis tidak boleh lagi berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya

(dimensi ekonomi), tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup, keadilan dan pemerataan

pembagian hasil usaha, dan hak azasi pegawainya, turut bertanggung jawab atas penghidupan

masyarakat sekitar (dimensi sosial), serta bertanggunggung jawab atas kelestarian sumberdaya alam

dan lingkungan hidup. Keberlanjutan eksistensi perusahaan ditentukan oleh pelaksanaan ketiga

dimensi tersebut. Indikator kinerja perusahaan ini dikenal dengan konsep Profit (Ekonomi)-People

(Sosial)-Planet (Lingkungan Hidup). Dengan demikian, kesadaran baru itu telah mengubah orientasi

nilai manfaat yang diciptakan oleh perusahaan agribisnis dari semata-mata nilai ekonomi menjadi nilai

ekonomi plus nilai sosial dan nilai lingkungan hidup.

Ketiga, pandangan baru bahwa iklim global adalah barang publik global (global public good)

yang kini sudah mengalami perubahan yang mengancam eksistensi kehidupan di bumi. Iklim global

adalah barang publik global, yang berarti bahwa iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang dimana

saja, sehingga setiap orang dimana saja turut beranggung jawab untuk memeliharanya. Penelitian

menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah mendekati titik kritis, yang mengancam kenyaman dan

eksistensi manuasi dan mahluk hidup hidup secara umum. Perubahan iklim juga juga telah

menyebabkan penurunan produksi pertanian global. Perubahan iklim global tersebut merupakan

indikasi dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Setiap usaha agribisnis berkewajiban

untuk turut serta dalam memelihara iklim global.

Keempat, kebangkitan bioekonomi. Mengingat bahan fosil diperkirakan akan semakin langka

dan mahal sepanjang abad ke-21 dan akan habis keseluruhannya di awal abad ke-22, maka ke depan,

perekonomian setiap negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber

energi dan bahan baku asal fosil menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan baku baru dan

terbarukan, utamanya bahan hayati. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi

industri dan revolusi teknologi informasi berbasis bahan fosil telah berakhir, dan akan digantikan oleh

era revolusi bioekonomi yang digerakkan oleh revolusi bioteknologi dan bioenjinering yang mampu

menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk kemudian diolah menjadi bahan pangan, pakan,

energi, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bioproduk lain secara berkelanjutan (Kementerian

Pertanian, 2014). Bioekonomi itu pastilah berbasis agribisnis penghasil biomassa (agrobiomassa).

Banyak negara telah mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan lebih awal dari kebangkitan

revolusi bioekonomi tersebut dengan menyusun rencana strategis dan melaksanakannya dengan road

map yang komprehensif (Albrecht and Ettling, 2014). Era revolusi bioekonomi menjadi momentum

bagi kebangkitan kembali (renaissance) pertanian dan ilmu ekonomi pertanian (Sexton, 2013).

Kelima, saturasi teknologi Revolusi Hijau dan kebangkitan Revolusi Hayati. Pingali (2012)

mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau generasi pertama telah berakhir pada paruh pertama

dekade 1980’an. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan bahwa tren

produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade

1990’an. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi

Hayati (Biorevolution) menggantkan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang kini telah mengalami

pemudaran atau bahkan telah berubah menjadi sumber permasalahan bagi pertanian. Ciri-ciri

Revolusi Hayati itu dan perbandingannnya dengan Revolusi Hijau ditampilkan pada Tabel 1.

Penggerak utama Revolusi Hayati itu ialah Revolusi Bioekonomi (sebagaimana diuraikan di atas);

Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat. Perubahan iklim global dan internalisasinya

dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan

permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Kementerian Pertanian

(2014) telah menyusun kerangka dasar atau strategi induk pembangunan pertanian dalam rangka

Page 32: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

15

mengambil kesempatan pertama dari kebangkitan Revolusi Hayati tersebut. Namun demikian, kita

masih menunggu respon positif dari Pemerintah dan para pihak terkait dalam pelaksanaan gagasan

besar tersebut.

IV. ARAH DAN STRATEGI

4.1 Arah pembangunan pertanian jangka panjang

Pembangunan pertanian adalah bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia untuk

melaksanakan amanat konstitusi menjadi negara yang merdeka, berdaulat dan turut aktif dalam

menjaga ketertiban dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjamin pekerjaan, penghidupan

yang layak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu maka dalam jangka

panjang pembangunan pertaniqan diarahkan untuk mewujudkan Pertanian Indonesia yang

Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur(Kementerian Partanian, 2014).

Pertanian yang bermartabat berkenaan dengan tingkat harkat kemanusiaan petani Indonesia.

Petani Indonesia memiliki kepribadian luhur, harga diri, kebanggaan serta merasa terhormat dan

dihormati sebagai petani. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjamin kedaulatan petani

dalam mengelola usahanya serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan sehingga berusahatani

merupakan pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan dapat menjamin penghidupan yang sejahtera

bagi seluruh keluarga petani.

Pertanian yang mandiri tercermin pada kedaulatan negara dalam pembuatan kebijakan,

kedaulatan petani dalam mengelola usahatani, dan kemampuan sektor pertanian. Pada tataran

kebijakan, pertanian mandiri berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki

kebebasan dan kedaulatan penuh dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan

pertanian.Dalam hal petani dan usahataninya, pertanian mandiri berarti bahwa petani Indonesia

memiliki kemerdekaan dan kedaulatan dalam mengelola usahataninya. Secara sektoral, pertanian

mandiri berarti bahwa bahan pangan pokok, bahan baku industri maupun bahan baku energi hayati

(bio-energy) dapat dipenuhi dengan sebesar-besarnya mengandalkan pada hasil produksi pertanian

dalam negeri.

Pertanian maju terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di sepanjang rantai

nilai usaha perrtanian (business governance),tatakelola pembangunan (development governance), dan

tingkat kesejahteraan petani. Pertanian maju menerapkan inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan

teknologi terbaru. Pertanian maju juga dicirikan oleh derajat modernisasi tatakelola pertanian yang

dibangun oleh pemerintah dengan membuat regulasi dan standar, membangun infrastruktur publik,

menyediakan insentif usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat, yang secara keseluruhan

disebut lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Peningkatan nyata

kesejahteraan petani yang terbebas dari ancaman kerawanan pangan dan kemiskinan merupakan ciri

mutlak dari suatu pertanian yang maju. Pada tahapan yang lebih tinggi, pertanian maju dicirikan oleh

tingkat kesejahteraan petani yang setara dengan tingkat penghidupan warga negara yang bekerja di

sektor-sektor lainnya.

Pertanian yang adil berkaitan dengan pemerataan kesempatan berusahatani, berpolitik, dan

akses terhadap jaminan penghidupan (livelihood) secara horizontal antar individu petani, secara

spasial antar wilayah (desa-kota, antar pulau, antar kawasan), dan secara sektoral antar bidang

pekerjaan. Pemerataan kesempatan berusahatani mencakup pemerataan akses terhadap komponen-

komponen utama usahatani yang mencakup lahan, sarana dan prasarana, teknologi, modal, dan pasar.

Pemerataan kesempatan berusahatani, berpartisipasi politik dan memperoleh penghidupan saling

menguatkan satu sama lain. Pemerataan kesempatan berusahatani merupakan kunci untuk

mewujudkan pemerataan memperoleh pekerjaan dan pendapatan (penghidupan), sementara

pemerataan kesempatan berpartisipasi politik merupakan kunci untuk mewujudkan pemerataan

kesempatan berusaha bagi petani. Selain itu, pemerataan kesempatan berusahatani juga bermanfaat

untuk mewujudkan pemerataan memperoleh kesempatan berpartisipasi politik.

Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan seluruh petani yang serba berkecukupan

terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pertanian yang makmur merupakan resultante

dari pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan adil. Selanjutnya, pertanian yang makmur ini

merupakan instrument dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sehingga secara keseluruhan,

pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur merupakan cita-cita luhur pembangunan

Page 33: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

16

pertanian sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Karakteristik pertanian yang bermartabat,

mandiri, maju, adil dan makmur saling menguatkan satu sama lain. Kelima karakteristik pertanian ini

terrefleksikan dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahrteraan petani. Oleh karena itu

kiranya dapat dipahami kenapa visi Rencana Strategis Kemeterian Pertanian dirumuskan sebagai

berikut: “Terwujudnya Kedaualatan Pangan dan Kesejahteraan Petani”

4.2 Peran strategis sektor pertanian dalam pembangunan nasional

Sektor pertanian dapat diarahkan untuk mengemban paling sedikit sepuluh fungsi strategis

dalam pembangunan nasional (Kementerian Pertanian, 2014):

1. Ketahanan pangan;

2. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga (household livelihoodsecurity);

3. Pengembangan sumberdaya insani;

4. Basis (potensial) untuk ketahanan energi (pengembangan bioenergi);

5. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan;

6. Jasa lingkungan alam (ekosistem);

7. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri;

8. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan;

9. Penguatan daya tahan perekonomian nasional (economic resilient);

10. Sumber pertumbuhan berkualitas.

Ketahanan pangan memiliki nilai intrinsik dan nilai instrumental. Secara intrinsik, ketahanan

pangan bermanfaat untuk menjamin eksistensi hidup, mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat, dan

mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pula bermanfaat untuk mewujudkan tujuan akhir

pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi. Secara instrumental, ketahanan pangan

bermanfaat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial serta untuk menjamin keberadaan insan

berkualitas tinggi yang merupakan prasyarat pembangunan nasional secara umum.

Pertanian di Indonesia masih akan merupakan jangkar atau landasan ketahanan penghidupan

(livelihood security) bagi puluhan juta keluarga di Indonesia hingga beberapa dekade mendatang.

Sebagai jangkar penghidupan keluarga berarti bahwa pertanian merupakan tumpuan utama dalam

memenuhi kebutuhan dasar keluarga yang meliputi pekerjaan yang layak, akses pangan yang terjamin

dan pendapatan yang cukup untuk mengakses kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, pertanian

merupakan bagian dari kegiatan sosial dan budaya bagi penduduk perdesaan. Bagi sejumlah besar

petani marginal, pertanian bahkan menjadi andalan untuk dapat bertahan hidup layak. Bagi mereka,

pertanian merupakan masalah hidup-mati (survival).

Ketahanan pangan juga esensial untuk peningkatan kapasitas insani yang menjadi subjek,

objek dan pemanfaat pembangunan nasional. Menurut definisi, ketahanan pangan adalah kondisi

terjaminnya akses pangan yang cukup gizi bagi setiap orang untuk setiap waktu, aman bagi kesehatan

serta sesuai nilai sosial, agama dan kepercayaan agar dia dapat hidup sehat dan produktif. Rawan

pangan akan menyebabkan berbagai sindroma penyakit kurang gizi, termasuk kecerdasan otak,

kemantapan psikologis dan kekuatan fisik yang berarti pula penurunan kesejahteraan hidup rakyat

sebagai penikmat hasil pembangunan dan kapasitas insani selaku subjek dan objek pembangunan.

Energi merupakan kebutuhan dasar kehidupan rakyat dan sarana esensial dalam proses

produksi barang dan jasa. Perkembangan terbaru telah membuktikan bahwa perekonomian yang

sangat tergantung pada energi asal fosil (Bahan Bakar Minyak, Batubara) akan terus mengalami

penurunan daya saing dan hambatan pertumbuhan akibat peningkatan dan instabilitas harga energi

seiring dengan kelangkaan dan ketidakpastian pasokan. Ke depan, energi yang berasal dari biomassa

(bioenergi) merupakan tumpuan utama sumber pasokan energi terbarukan. Biomassa bahan baku

energi dapat dihasilkan oleh usaha pertanian. Dengan demikian, fungsi strategis pertanian yang akan

terus meningkat di masa datang ialah pemantapan ketahanan energi.

Kemajuan ilmu pengetahuan hayati (bioscience) dan enjinering hayati (bioengineering) telah

memungkinkan biomassa untuk diolah menjadi bionergi dan berbagai bioproduk (bioproducts) seperti

biomedikal, biokemikal, dan bio-material lainnya. Bioekonomi yang ditopang oleh sistem pertanian

ekologis yang juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan (ecological services) maupun biomassa

sebagai feedstock untuk biorefinery (bioenergi, biofarmaka-biomedika, bioindustri) telah berkembang

cepat di banyak negara dan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru perekonomian. Ke depan,

Page 34: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

17

fungsi bisnis dan ekonomi pertanian akan mengalami proses transformasi dari perspektif agribisnis

menjadi biobisnis dan dari agro-industri menjadi bioindustri.

Fungsi pertanian dalam penguatan kesehatan masyarakat merupakan resultante dari fungsi

pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan, pengembangan industri biofarmaka-biomedika serta

kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Fungsi pertanian sebagai penggerak, tumpuan, tulang

punggung atau poros, pembangunan nasional berkaitan dengan dampak pertumbuhan sektor pertanian

terhadap pertumbuhkembangan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian

mendorong tumbuh-kembangnya kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Dampak ini lebih dikenal

sebagai dampak pengganda sektor pertanian.

Dampak pengganda sektor pertanian bersumber dari hasil sinerginya dengan sektor-sektor lain

melalui berbagai media, seperti: (1) Keterkaitan faktor produksi (tenaga kerja, energi dan modal); (2)

Keterkaitan input-output antar industri (sektor) dan antar spasial; (3) Keterkaitan konsumsi;

(4)Keterkaitan melingkar.

Keterkaitan faktor produksi terjadimelalui realokasi antar wilayah,utamanya desa-kota.

Keterkaitan input-output (keterkaitan Johnston-Mellor) terjadi melalui peningkatan penggunaan hasil-

hasil sektor non-pertanian sebagai input dalam usaha pertanian (kaitan ke belakang) dan penggunaan

hasil pertanian sebagai input bagi sektor-sektor non-pertanian (kaitan ke depan). Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa sektor pertanian tergolong sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin

(leading sector) dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja dalam

perekonomian melalui keterkaitan input-output yang terbukti secara empiris relatif lebih tinggi

dibanding sektor-sektor lainnya. Keterkaitan konsumsi tercipta melalui penggunaan nilai tambah yang

dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung oleh sektor pertanian untuk membeli hasil produksi

seluruh sektor dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan melingkar

(keterkaitan Timmer) berkaitan dengan perbaikan kegagalan pasar berkat kebijakan dan hasil

pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang dapat menciptakan stabilitas sosial-ekonomi

dan politik bermanfaat dalam mengurangi resiko usaha sehingga ongkos untuk perlindungan terhadap

resiko usaha dapat diminimalisasi.

Kualitas pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kemampuannya dalam penciptaan lapangan

kerja, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan akhir pembangunan sebagai pelaksanaan

amanat konstitusi bahwa negara wajib menyediakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi

seluruh rakyat. Pemerataan pembangunan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi untuk

mewujudkan keadilan sosial. Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan bagian dari upaya

mewujudkan kesejahteraan hidup dan terjaminnya kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan.

Dengan demikian, tujuan pembangunan ekonomi tidaklah untuk meraih laju pertumbuhan yang

setinggi-tingginya melainkan pertumbuhan tinggi berkualitas, laju dan kualitas pertumbuhan sama-

sama tinggi. Inilah yang disebut prinsip jalur ganda pembangunan: Pro-pertumbuhan (pro-growth), pro

warga miskin (pro-poor), pro-lapangan kerja (pro-job) dan pro-keberlanjutan lingkungan hidup (pro-

sustainability).

Penelitian di banyak negara, termasuk Indonesia, telah membuktikan bahwa pertumbuhan

sektor pertanian adalah yang paling efektif menurunkan prevalensi kemiskinan dibandingkan dengan

pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian tidak saja efektif

menurunkan prevalensi kemiskinan di wilayah perdesaan tetapi juga di wilayah perkotaan.

Keunggulan sektor pertanian dalam menciptakan lapangan kerja terwujud tidak saja karena intensif

menggunakan tenaga kerja tetapi juga karena memiliki dampak pengganda output antar sektor yang

besar. Pertumbuhan sektor pertanian meningkatkan pemerataan pendapatan baik di dalam sektor

pertanian sendiri, antar sektor maupun antara wilayah (utamanya desa-kota). Oleh karena berkaitan

dengan pengelolaan lahan dan air untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan, dengan pengelolaan yang

baik maka pembangunan pertanian dapat berfungsi untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan

kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian, memacu pembangunan pertanian merupakan strategi

yang tepat untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Penguatan daya tahan perekonomian nasional berkaitan dengan daya lenturnya (resilient),

kemampuannya dalam mengurangi ancaman, menyesuaikan diri dan pulih kembali dari goncangan

eksternal. Pengalaman telah membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan jangkar penguat daya

tahan dan katup pengaman dalam menghadapi goncangan perekonomian.Tatkala diterpa oleh krisis

Page 35: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

18

multidimensi pada periode 1997-2000, seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia anjlok drastis,

bahkan mengalami pertumbuhan negatif kecuali sektor pertanian. Tidak saja yang paling rendah

penurunan laju pertumbuhannya, sektor pertanian adalah juga yang paling cepat pulih dari terpaan

krisis. lentur terhadap goncangan dan fleksibilitas dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian

berfungsi sebagai jangkar penguat dan katup pengaman di masa krisis.

4.3 Paradigma pembangunan nasional: Pertanian untuk pembangunan

Fungsi ganda pertanian dalam pembangunan berubah menurut tahapan pambangunan. Telah

lama diketahui bahwa pembangunan pertanian yang kuat merupakan prasyarat untuk dapat tumbuh

berkembang menjadi negara maju. Sementara itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa peran dan

fungsi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi menurun seiring dengan kemajuan ekonomi.

Oleh karena irtu, landasan pikir yang paling pas untuk pembangunan ekonomi suatu negara yang

berawal dari dominasi pertanian ialah paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for

Development), yang menekankan fungsi ganda pertanian dan oleh karena itu pembangunan pertanian

dilaksanakan terpadu antar sektor dan berdasarkan pada tahapan perkembangan pembangunan

nasional. Sudah barang tentu, penekanan dari setiap fungsi disesuaikan dengan tahapan perkembangan

perekonomian. Fungsi penciptaan lingkungan kondusif bagi pembangunan, penggerak pertumbuhan

dan penambah kualitas pertumbuhan akan menurun seiring dengan tahapan kemajuan transformasi

ekonomi menjauh dari basis pertanian menuju basis industri, jasa dan ilmu pengetahuan serta

peningkatan kesejahteraan sehingga seluruh rakyat terbebas dari ancaman rawan pangan dan

kemiskinan. Pada tahapan lanjut, pertanian mungkin lebih baik diposisikan sebagai jangkar penguat

ketahanan pangan serta pelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya nasional.

Pada tataran makro, paradigm Pembangunan Untuk Pertanian dilaksanakan dengan strategi

transformasi struktural berimbang dan menyeluruh, yang pada intinya merupakan landasan untuk

menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional, yang berarti pula landasan untuk

menetapkan strategi, kebijakan dan program pembangunan pertanian. Transformasi yang esensial

dalam merancang rencana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup (Kementerian Pertanian,

2014):

1. Transformasi demografi;

2. Transformasi ekonomi (intersektoral);

3. Transformasi spasial;

4. Transformasi institusional (sosial-budaya);

5. Transformasi tatakelola pembangunan.

Transformasi demografi berkaitan dengan pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan

penduduk menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal.

Dalam hal pemanfaat hasil pembangunan, jumlah dan pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan

untuk mengurangi tekanan dalam pemenuhan kebutuhan penyediaan pangan dan kebutuhan dasar

lainnya, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai subjek dan objek pembangunan, jumlah,

tingkat pendidikan, ketrampilan dan angkatan kerja yang sesuai merupakan kunci keberhasilan

transformasi sektoral, transformasi spasial, transformasi institusi, transformasi tatakelola

pembangunan dan transformasi pertanian. Secara umum, population dividend dan demographic

window merupakan kesempatan yang perlu dioptimalkan dalam perencanaan pembangunan jangka

panjang.

Transformasi ekonomi (intersektoral) berkaitan dengan perubahan struktur dan relasi antar

sektor dalam perekonomian nasional. Fakta terpola berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa

menunjukkan bahwa peta jalan kemajuan setiap perekonomian diawali dengan dominasi sektor

pertanian (perekonomian berbasis pertanian), dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring

dengan penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja, yang secara

bertahap posisi dominan diambil alih oleh sektor industri (perekonomian berbasis industri), lalu oleh

sektor jasa (perekonomian berbasis jasa), dan selanjutnya oleh sektor industri dan jasa berbasis inovasi

ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Penurunan secara absolut jumlah tenaga kerja di sektor

pertanian (Titik Belok Lewis) merupakan penanda dari keberhasilan transformasi intersektoral.Hingga

tahun 2013, Indonesia belum berhasil mencapai Titik Belok Lewis. Kegagalan dalam mewujudkan

transformasi intersektoral berimbang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem,

munculnya fenomena kemiskinan endemik petani dan perdesaan serta semakin besarnya jenjang

Page 36: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

19

ketertinggalan kesejahteraan petani dibanding dengan kelompok penduduk lainnya. Akar penyebabnya

ialah kesalahan industrialisasi, khususnya penempatan sektor pertanian dalam proses industrialisasi.

Transformasi spasial berkaitan dengan perubahan lokasi, aglomerasi dan relasi geografis

kegiatan ekonomi dan pemukinan penduduk. Fakta berpola pengalaman bangsa-bangsa, termasuk

Indonesia, menunjukkan bahwa setiap perekonomian diawali dengan dominasi wilayah perdesaan

yang ditopang oleh sektor pertanian, dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring dengan

penurunan peranan wilayah perdesaan dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja yang secara bertahap

posisi dominan diambil alih oleh wilayah perkotaan yang ditopang oleh sektor industri dan atau jasa.

Proses transformasi spasial desa-kota terjadi beriringan dengan transformasi sektoral. Di satu sisi,

perpindahan urbanisasi merupakan kunci dari pertumbuhan perekonomian perkotaan, utamanya

melalui pertumbuhan sektor industri dan jasa. Di sisi lain, urbanisasi merupakan jalan keluar dari

cengkeraman kemiskinan bagi penduduk perdesaan, termasuk petani. Urbanisasi juga merupakan

proses untuk mencapai Titik Belok Lewis yang juga merupakan prasyarat terjadinya titik belok

kecenderungan peningkatan petani gurem. Semakin tingginya senjang kesejahteraan penduduk

perdesaan dengan penduduk perkotaan merupakan penanda dari kegagalan transformasi spasial.

Mewujudkan transformasi spasial desa-kota yang berimbang dan serasi dengan transformasi

perekonomian secara sektoral merupakan agenda pembangunan nasional jangka panjang.

Mengintegrasikan perekonomian perdesaan-sektor pertanian-perkotaan merupakan strategi yang tepat

untuk itu.

Insitusi adalah norma, dalam pengertian peraturan dan organisasi yang menentukan relasi dan

pertukaran, sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah aksi kolektif (antar sektor, antar pekerjaan

antar perusahaan, antara perusahaan dan pekerja, antara perusahaan dan pemerintahan). Institusi

merupakan modal pembangunan yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan distribusi hasil-

hasilnya. Institusi pembangunan mencakup aturan perundangan resmi (modal regulasi), karakter dan

organisasi sosial-budaya (modal sosial), dan organisasi advokasi bisnis (modal politik). Transformasi

aturan perundangan diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dunia bisnis,

termasuk menjamin keamanan dan ketertiban umum, perlindungan hak kepemilikan, menjamin

kepastian berusaha, mencegah praktek usaha tidak sehat, yang kesemuanya merupakan prasyarat

tumbuh-kembangnya usaha ekonomi swasta, mengurangi ongkos transaksi dan instrumen serta

mencegah dan memperbaiki kegagalan pasar.Transformasi modal sosial dilakukan dengan

menumbuhkembangkan karakter bangsa, yang terkenal terpercaya, pekerja keras, disiplin,

bersemangat kerjasama dan peduli sesama, sebagai habitus seluruh rakyat, yang kesemuanya

merupakan modal dasar untuk meningkatkan produktivitas, memacu inovasi dan menurunkan biaya

transaksi serta penguatan modal politik. Transformasi politik diarahkan untuk menciptakan sistem

pembentukan kebijakan dan tatakelola pemerintahan yang baik, termasuk pembentukan dan

pemberdayaan organisasi petani untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan dukungan

politik para anggotanya.

Tatakelola pembangunan (development governance) adalah proses kolektif dalam

pengambilan keputusan, pelaksanaan dan perbaikan kebijakan dan program pembangunan. Sebagai

suatu proses kolektif, tatakelola pembangunan merupakan penerapan otoritas ekonomi politik dan

administrasi dalam mengelola pembangunan. Tatakelola pembangunan meliputi mekanisme, proses

dan institusi melalui mana setiap warga negara, kelompok dan perserikatan memperjuangkan

kepentingan, melaksanakan hak-hak hukum dan melakukan kewajiban masing-masing serta mencari

resolusi perbedaan diantara mereka. Transformasi tatakelola pembangunan ialah proses dalam

mewujudkan tatakelola pembangunan yang baik (good development governance). Transformasi

tatakelola pembangunan mencakup transformasi birokrasi pemerintahan sebagai penanggung jawab

administrasi pembangunan dan transformasi proses perumusan kebijakan pembangunan. Dalam hal

birokrasi pemerintahan, desentralisasi sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan

merupakan salah satu perwujudan dari transformasi tatakelola pembangunan yang secara teoritis lebih

baik dari sentralisasi. Penerapan tatakelola pembangunan yang baik dalam desentralisasi pemerintahan

merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian di masa datang.

Paradigma Pertanian untuk Pembangunan berpandangan bahwa strategi yang tepat untuk

mewujudkan transformasi ekonomi berimbang itu ialah dengan menjadikan transformasi pertanian

sebagai poros transformasi pembangunan nasional. Usaha pertanian terdiri dari usahatani rakyat dan

perusahaan besar pertanian, dan kemitraan antara usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian.

Page 37: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

20

Mengingat peranannya dalam menentukan hajat hidup rakyat yang jauh lebih besar, maka perhatian

pemerintah mestilah lebih difokuskan untuk pengembangan usahatani rakyat dan kemitraan antara

usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian. Transformasi pertanian diarahkan untuk

mempercepat komersialisasi usahatani rakyat dalam rangka peningkatan efisiensi, daya saing dan

peningkatan skala usahatani. Transformasi pertanian mencakup perubahan orientasi, skala, bentuk,

cakupan bidang dan manajemen rantai pasok dan teknologi usaha pertanian menurut komoditas, sub-

sektor, sektor dan lokasi spasial. Paradigma Pembangunan untuk Pertanian, berpandangan bahwa

transformasi pertanian merupakan poros penggerak transformasi pembangunan nasional secara

keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola sedemikian

rupa sehingga dapat berlangsung dengan terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses

transformasi pertanian (Gambar 1).

Gambar 1. Transformasi Pertanian sebagai poros transformasi pembangunan nasional

(Kementerian Pertanian, 2014)

4.4 Paradigma pembangunan pertanian: Pembangunan Sistem Pertanian-Bioindustri

Berkelanjutan

Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai dapat memanfaatkan teknologi Revolusi

Hijau pada akhir tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Teknologi Revolusi Hijau telah memungkinkan

sektor pertanian, utamanya subsektor padi-beras, tumbuh sangat pesat dan meraih swasembada beras

pada tahun 1984. Kini teknologi Revolusi Hijau telah mengalami saturasi hasil dan bahkan telah

menimbulkan dampak ikutan sindroma overintensifikasi sehingga hasil uasahatani padi mengalami

stagnasi atau bahkan cenderung turun. Pingali (2012) mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau

(generasi pertama) ialah 1965-1985. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan

bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak

akhir dekade 1990’an. Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kini sangat membutuhkan

terobosan (revolusi) teknologi baru pasca Revolusi Hijau (Pingali, 2013).

Oleh karena itu, masa depan pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan kita

dalam mentrasformasi teknologi Revolusi Hijau menjadi teknologi Revolusi Hayati. Teknologi

Revolusi Hijau sangat berbeda dari teknologi Revolusi Hayati Tabel Kesatuan usahatani hayati

(biofarming), biomedis dan bioindustri akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat

dinamis (yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian setiap negara maju di

masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor pertanian Indonesia sehingga

mampu mengemban multi-fungsinya serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pem

bangunan nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam membangun bioekonomi nasional.

Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati

(Biorevolution), yang akan mendorong perubahan mendasar dan cepat pada pertanian global di masa

Page 38: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

21

datang. Tenaga penggerak utama Revolusi Hayati antara lain: Kecenderungan semakin langkanya

energi asal fosil; Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat; Perubahan iklim global dan

internalisasi dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air;

Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Konsekuensi

dari setiap tenaga penggerak utama tersebut ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 7. Perbandingan Ciri-ciri Revolusi Hijau dan Revolusi Hayati

Aspek Revolusi Hijau RevolusiHayati

1.Sasaran output Bahanpangan(beras, terigu,

jagung)

Biomassa (bahanpangan, feedstock

biorefinery)

2.Sifatteknologi

Input

Pengolahan lahan

Toleransi lingkungan

Tinggi, eksternal

Intensif

Rendah, lingkungan

disesuaikan dengan teknologi

Rendah, internal

Minimal

Tinggi, atau teknologi disesuaikan

dengan lingkungan

3. Sistemusahatani Monokultur Sistemplurifarmingterpadu

4. Cakupankomoditas Tanamanpanganpokok: padi,

jagung, gandum

Tanamanpangan, tanaman hutan,

rumput, cacing, mikroba, ternak, ikan

5. Industripengolahan Industripangandanpakan Bioindustri

6. Produk Pangandanpakan Pangan, pakan, bionergi, biokimiawi,

enzim, biomaterial (plastik,

biomedikal, biopartikel)

7. Kepemilikanteknologi Terbuka Tertutup

8. Pelakudisseminasi Pemerintah Swasta, komunitas, individu, keluarga

9. Dampaksosial-ekonomi Kontroversial Kontroversial

10. Dampaklingkungan Kontroversial Kontroversial

(Kementerian Pertanian, 2014)

Tabel 8. Driving Force Revolusi Hayati

No Tren Besar Konsekuensi

1. Kelangkaan energi asal fosil

makin langka

Urgensi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan (bio-

energi)

2. Peningkatan kebutuhan pangan,

pakan, energi dan serat

Trade off food-feed-fuel-fibre berbasis bahan pangan dan

petrokimia: urgensi pengembangan bio-produk, perubahan

pola hidup, pola konsumsi (bio-kultura)

3. Perubahan iklim global dan

internalisasi dalam sistem

ekonomi-politik

Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi sistem pertanian

4 Peningkatan kelangkaan

Sumberdaya lahan dan air

Urgensi efisiensi dan konservasi: pengendalian konversi lahan

dan perbaikan jaringan irigasi, pertanian dengan limbah

minimal, pertanian dengan minimum input, pertanian ramah

lingkungan

5 Peningkatan permintaan terhadap

jasa lingkungan dan jasa ameniti

Peluang pengembangan pertanian ekologis,

Kualitas- lansekap pertanian (landscape quality agriculture)

6 Peningkatan petani marginal Urgensi pengembangan pluriculture

(sistem biosiklus terpadu)

(Kementerian Pertanian, 2014)

Kunci utama untuk dapat mewujudkan Revolusi Hayati itu ialah keberhasilan dalam

menumbuhkembangkan Biokultura yakni, kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem

produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi

kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis.Biokultura menjadi dalam merumuskan

etika dalam mengkaji ulang kondisi saat ini, mengevaluasi kondisi mendatang secara kritis dan

menyusun kebijakan kebijakan untuk mewujudkan dan menjaga kelestarian ekosistem.

Pada tataran praktis, transformasi pertanian dilaksanakan dengan pendekatan Sistem

Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang mencakup Sistem Usaha Pertanian terpadu (integrated

Page 39: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

22

farming system) pada tingkat mikro, Sistem Rantai Nilai Terpadu (integrated value chain) pada tingkat

industri atau rantai pasok dan Sistem Agribisnis Terpadu pada tingkat industri atau komoditas. Sistem

Usaha Pertanian Terpadu yang berlandaskan pada pemanfaatan berulang zat hara atau pertanian

biosiklus (bio-cyce farming) seperti sistem integrasi tanaman-ternak-ikan dan sistem integrasi usaha

pertanian-energi (biogas, bioelektrik) atau sistem integrasi usaha pertanian-biorefinery yang termasuk

Pertanian Hijau (Green Agriculture) merupakan pilihan sistem pertanian masa depan karena tidak saja

meningkatkan nilai tambah dari lahan tetapi juga ramah lingkungan.Pengembangan klaster rantai nilai

dilaksanakan dengan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan komponen-komponen

penunjangnya dalam satu kawasan guna memanfaatkan ekonomi aglomerasi.

V. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

5.1 Redefinisi pertanian

Pertanian pada hakekatnya ialah kegiatan budidaya yang sengaja dilakukan untuk

menghasilkan biomassa dan atau mengolah biomassa menjadi bahan pangan, pakan, energi dan

beragam bioproduk bernilai tinggi serta jasa lingkungan yang berguna untuk kelangsungan hidup

manusia yang sehat dan sejahtera. Kata kuncinya ialah menghasilkan dan atau mengolah biomassa.

Dalam hal ini tidak dipersoalkan jenis makhluk hidup yang dibudidayakan. Pertanian pada dasarnya

adalah proses produksi biomassa dari segala jenis organisma yang terdiri dari lima kerajaan (Wayne's

Word, 1998):

1. Monera: Organisme satu sel yang tidak memiliki nucleus, termasuk bakteri murni (eubacteria)

dan cyanobacteria (blue-green algae)

2. Protista: Organisme memiliki sel, termasuk protozoa satu sel dan algae satu sel atau multi-sel

3. Fungi: Termasuk berbagai jenis jamur

4. Tanaman: Termasuk tanaman biomassa, tanaman khusus energi, serta tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan, dan tanaman obat konvensional

5. Hewan: Termasuk cacing, serangga, moluska, serta ikan dan ternak yang konvensional

Pengertian di atas di satu sisi konsisten dengan pengertian pertanian modern sebagai:

“Agriculture is the art and science of growing plants and raising animals for food, other human needs

or economic gain.” (Bareja, 2008). Dalam definisi ini tidak ada pembatasan mengenai jenis tanaman

dan hewan yang dibudidayakan. Kata kunci pertanian ialah kemahiran dan kreativitas (seni) dan

penerapan ilmu dalam praktek budidaya tanaman dan hewan yang berguna untuk pangan, kebutuhan

manusia lainnya atau nilai tambah ekonomi. Jenis tumbuhan dan hewan yang dibudidayakan tidak

dibatasi. Budidaya cacing, serangga, moluska dan segala macam hewan atau tanaman non-

konvensional lainnya tercakup dalam arti pertanian modern. Namun demikian, organisme yang

dibudidayakan masih terbatas pada tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bidaya jamur sudah

lama dikenal sebagai salah satu jenis usaha pertanian yang cukup penting. Jamur memiliki kerajaan

sendiri, tidak termasuk kerajaan tanaman maupun kerajaan hewan. Perspektif Sistem Pertanian-

Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa budidaya mikroorganisme, bahkan organisme satu sel

pun, termasuk monera, protista dan fungi (bakteri, algae, bakterti, jamur, kapang) termasuk dalam

definisi pertanian.

Pertanian lazimnya dimaknai sebagai terjemamahan dari bahasa Inggris “agriculture”. Kata

“culture” dalam agriculture mengandung dua makna (Munck, 1990). Pertama, cuture diartikan

sebagai budaya sosial (makna orisinal). Dengan makna ini, pertanian berfungsi sebagai bagian dari

kebudayaan yang direfleksikan dalam tradisi bercocok tanam, budaya pangan, warisan keunikan

geografis (varietas tanaman, cita rasa hasil pertanian, panorama alam, kenyamanan lingkungan hidup).

Kedua, pertanian dapat pula diartikan sebagai budidaya organisme. Jenis organisme yang

dibudidayakan tidak dibatasi, mencakup kelima kerajaan: tanaman, hewan, fungi, protista (algae) dan

monera (bakteri). Dengan makna ini, pertanian berfungsi untuk menghasilkan komoditas yang bernilai

ekonomi, yaitu biomassa yang dapat bermanfaat langsung sebagai bahan pangan, pakan, dsb, atau

sebagai bahan baku bioindustri untuk menghasilkan pangan, pakan, energi dan beragam bioproduk.

Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa sebagai budidaya

organisme, pertanian tidak saja menghasilkan komoditas, tetapi juga berfungsi dalam menghasilkan

Page 40: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

23

jasa ekologi2. Sistem pertanian dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan siklus bio-

geo-kimia yang tertutup sehingga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan. Dengan demikian, pertanian memiliki tiga fungsi yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial-

budaya dan fungsi ekologis. Pertanian adalah upaya manusia dalam mengelola ekosistem dan

skalanya sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang lebih bermanfaat untuk peningkatan

kesejahteraannya. Pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan

teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip

ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem

pertanian ekologis atau sistem agroekologi.

Agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem

pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh

ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Walau

beragam, definisi agroekologi memiliki beberapa kesamaan prisip dasar dalam rangka merekonsiliasi

tantangan triple trade-off keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (Schaller, 2013):

1. Memanfaatkan fungsi ekosistem semaksimal mungkin

2. Maksimisasi biodiversitas fungsional melalui pertanaman campuran, diversifikasi antar petakan

dan pergiliran tanaman, serta diversifikasi usahatani (komplementaritas usahatani tanaman,

ternak, ikan, serangga, dsb).

3. Memperkuat regulasi biologis melalui penataan rantai makanan di dalam ekosistem. Untuk

pengendalian hama-penyakit tanaman misalnya, disarankan untuk menggunakan bilangan ganjil

(3,5,7 dsb) dalam menentukan jumlah level rantai makanan. Untuk tiga level rantai makanan,

misalnya, promosi rantai makanan level pertama (tumbuhan) dapat dilakukan dengan membatasi

keberadaan level kedua (predator) dengan menggunakan level ketiga (serangga bermanfaat).

Dengan lebih rinci, Altieri (2012) menjabarkan prisip dasar sistem pertanian ekologis sebagai berikut:

1. Daur ulang biomassa, dengan maksud optimasi dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi

2. Memperkuat sistem immun dari sistem pertanian melalui penguatan biodiversitas fungsional,

musuh alami, antagonis, dsb.

3. Menyediakan kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola

zat organik dan memperkuat aktivitas biologi tanah

4. Meminimumkan kehilangan energi, air, zat hara, dan sumberdaya genetik dengan memperkuat

konservasi dan regenerasi lahan, air, dan agro-biodiversitas

5. Meningkatkan diversitas spesies dan sumberdaya genetik di dalam agroekosistem menurut waktu

pada level usahatani dan kawasan lansekap.

6. Memperkuat interaksi dan sinergi bermanfaat diantara sesama komponen agro-biodiversitas,

sehingga dengan demikian mempromosikan fungsi-fungsi dan proses-proses ekologis utama.

Berdasarkan tujuannya, sistem pertanian ekologis dapat dibedakan menjadi sistem pertanian

konservatif ekologis dan sistem pertanian intensif ekologis. Sistem pertanian konservatif ekologis

berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan proses produksinya

mengandalkan pada input internal agroekosistem. Sistem pertanian intensif ekologis berorientasi

untuk menghasilkan nilai tambah usahatani sebesar mungkin, termasuk dengan cara menggunggakan

input eksternal, namun dengan dampak minimal terhadap kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan. Sistem pertanian konservatif ekologis tidak efektif untuk peningkatan pendapatan petani

dan memacu pertumbuhan pertanian secara agregat sehingga kurang sesuai untuk Indonesia hingga

beberapa tahun ke depan. Model ini mungkin cocok bagi Negara-negar yang sudah maju.

Pertanian intensif ekologis adalah rekaya biosistem. Sebagai sebuah sistem, arsitektur

pertanian intensif ekologis dirancang dalam dua tahapan. Pertama, penetapan batas-batas lokasi serta

karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis sosial ekonomi tapakan lokasi pengembangan

sistem pertanian intensif ekologis tersebut. Batas-batas tapakan, karakteristik sumberdaya dan

lingkungan strategis tapakan merupakan penentu skala pengembangan dan alternatif struktur biosistem

yang layak dikembangkan di lokasi tersebut. Dalam batas inilah biosistem direkayasa sehingga

berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Skala pengembangan sistem pertanian intensif

ekologis dapat mencakup satu perusahaan (usaha pertanian rakyat, perusahaan besar pertanian),

2 Uraian tentang jasa ekologis dapat dibaca pada Millenium Ecosystem Management ( 2005)

Page 41: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

24

komunitas usaha (kelompok perusahaan, termasuk kelompok tani, kemitraan petani rakyat dan

perusahaan besar pertanian), kawasan pengembangan khusus (klaster, zona), kawasan ekologis atau

lansekap.

Langkah kedua dalam perekayasaan sistem pertanian intensif ekologis ialah rekayasa

arsitektur struktur organisme di lokasi pengembangan. Struktur dimaksud mencakup jenis dan

populasi setiap spesies dan atau varietas (variasi genetik dalam satau species) sesuai dengan fungsi

ekologis masing-masing sehingga terjalin interrelasi harmonis dalam mewujudkan ciri-ciri tersebut di

atas. Secara umum, bauran biodiversitas sistem pertanian ekologis tersebut disebut organisme sekawan

(companion organisms). Salah satu contohnya ialah budidaya padi dengan pegendalian hama

berdasarkan strategi rekayasa ekologis (Heong, 2013), dengan menanam tanaman bunga nektar

(tanaman wijen, bunga matahari) yang berfungsi sebagai penarik dan tempat bernaung (refugia)

organisme pengganggu di sekeliling petakanan tanamam padi (Winarto, dkk 2013).Fungsi-fungsi

ekologis setiap jenis organisme dalam rumpun organisme sekawan tersebut mencakup:

1. Pemanfaatan optimal ruang budidaya: Organisme dapat dibudiyakan secara bersama-sama karena

mereka tidak saling bersaing atau bahkan sinergis karena berbeda dalam kebutuhan lahan, hara,

air dan matahari, berbeda kedalaman perakaran, berbeda ketinggian, berbeda musim tanam, dsb.

2. Pengendalian hama: Organisme yang bermanfaat dalam pengendalian hama-penyakit, misalnya

karena bersifat penarik (pest attractor) atau pemerangkap hama (pest trap), penjauh (pest

repellant)

3. Pendukung pollinasi: Organisme yang berkontribusi dalam peningkatan penyerbukan melalui

serangga atau organisme lain, termasuk lebah madu dan serangga lainnya serta tanaman penarik

serangga

4. Hewan herbivora dan omnivora (ternak dan ikan): Ternak ruminansia, unggas

5. Organisme dekomposer: Jamur, cacing, lalat, dsb untuk media budidaya dan sekaligus mengurai

sisa dan limbah biomassa hasil pertanian menjadi bahan pangan, pakan dan pupuk yang

selanjutnya dipergunakan dalam budidaya tumbuhan.

6. Sinergi habitat: Integrasi budidaya berbasis lahan dan berbasis air (akuakultur) dalam rangka

membangun rantai pangan (food chain) antar organisme budidaya serta daur bahan organik, daur

ulang air dan hara.

Gambar 2. Sketsa arsitektur umum sistem pertanian intensif ekologis

Page 42: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

25

Sistem pertanian intensif ekologis terdiri dari lima komponen: subsistem budidaya tanaman

darat sekawan, subsistem budidaya ternak, subsistem akuakultur, subsistem budidaya serangga

penyerbuk (pollinator), dan subsistem budidaya dekomposer (Gambar 2). Kelima subsistem tersebut

saling berinteraksi sinergis dalam suatu aliran sirkuler (semi) tertutup biogeokimia (materi biomassa,

hara, air dan energi). Subsistem budidaya tanaman darat sekawan merupakan produsen utama

biomassa primer. Tanaman air dalam subsistem akuakultur juga termasuk produsen biomassa primer.

Biomassa primer digunakan sebagai pakan ternak dan ikan. Salah satu penciri sistem pertanian

intensif ekologis ialah integrasi budidaya pertanian (tanaman-ternak) dengan budidaya perairan

(akuakultur), yang dikenal sebagai sistem integrasi pertanian akukultur yang sudad luas diterapkan di

Tiongkok, Vietnam dan beberapa daerah di Indonesia. Penciri kedua sistem pertanian intensif ekologis

ialah adanya subsistem budidaya serangga (pollinator) yang esensial bagi tanaman budidaya, dan juga

berfungsi sebagai usaha komersial. Penciri ketiga ialah subsistem dekomposer. Sisa dan limbah

biomassa pertanian diolah dalam budidaya dekomposer, yang mencakup budidaya jamur, biodigester

untuk menghasilkan biogas, budidaya cacing, dan budidaya serangga untuk menghasilkan belatung

berprotein tinggi.

5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis

Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg (1957) dan disempurnakan oleh

Davis (1968) dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian

kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam

menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian dalam era tahun 1960’an

hingga tahun 1990’an atau bahkan hingga awal dekade 2000’an, termasuk di Indonesia sejak akhir

decade 1980’an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang

berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaan-

perusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaan-

perusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan

lain, serta iklim usaha (agribusiness enabling environment) yang menentukan aturan main atau

koordinasi diantara para pelaku usaha (regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur

bisnis). Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang

terdiri dari lima subsistem (Gambar 3): Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), Subsistem

agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness),

Subsistem usaha penunjang agribisnis (agribusiness-supporting enterprises), dan Subsistem

lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Kiranya dicatat bahwa

Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator

dalalam konsep Goldberg (1968) dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem

agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg (1957) dan Saragih (2010).

Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis

relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem

agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan

pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk

akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir.

Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan

kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan

masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat

persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah

paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian

(agricultural value chain) pada dekade 1990’an hingga 2000’an. Paradigma agribisnis maupun rantai

nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang

berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan.

Page 43: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

26

Gambar 3. Sistem Agribisnis (Diolah dari Davis, 1968)

Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi

Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial

dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma

agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan

terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian (on farm).

Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga

memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal (pupuk kimia, air) dalam jumlah yang

terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan.

Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan

perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda

menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses

produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby (2011) mendefinisikan biobisnis sebagai

kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati (bioscience)

atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi (2006)

mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu

hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal (termasuk pemeliharaan kesehatan,

farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll), agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang

terkait (bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll). Pada definisi ini, biobisnis berkenaan

dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau

dituntun oleh ilmu hayati.

Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan

dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan

pangan, pakan, energi, dan bioproduk (European Commission, 2012). Dengan definisi ini, biobisnis

mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) yang

memproduksi (agro)biomassa, (bio)industri yang mengolah (mengonversi atau mentransformasi)

biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut

kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan

perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan

atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa

tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk.

Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian

(agrobiomassa). Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang

berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa (biomassa hasil pertanian) dan sistem ilmu

pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai

agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi

dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk,

serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut

kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,

Page 44: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

27

komersialisasi atau diseminasi, dan penyuluhan ilmu pengetahuan dan innovasi yang dipergunakan

dalam rantai nilai agrobiomassa.

Paradigma agrobiobisnis disusun dengan lima pilar pemikiran (Simatupang, . Pertama,

agrobiobisnis berorientasi untuk memaksimalkan nilai tambah (laba) ekonomi, manfaat sosil-

politik, dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang berdasarkan prinsip bisnis

berkelanjutan. Konsep ini berbeda dengan paradigma agribisnis konvenvensional yang hanya

berientasi pada perolehan laba ekonomi sebesar-besarnya. Orientasi manfaat sosil-politik dan jasa

lingkungan lingkungan hidup secara berimbang dengan laba ekonomi merupakan salah satu pembeda

utama paradigm agobiobisnis dari paradigm agribisnis.Paradigma agrobiobisnis berpandangan bahwa

nilai tambah sosial-politik dan jasa lingkungan tidak saja secara intrinsik bernilai kebajikan dari

perspektif publik bagi masyarakat umum, tetapi juga bernilai instrumental finansial dari perspektif

privat bagi perusahaan sendiri. Jasa lingkungan juga bernilai finansial bagi perusahaan karena tiga

alasan berikut. Pertama, usaha jasa lingkungan itu sendiri merupakan bidang usaha komersial.

Sebagai contoh, pertanian landsekap yang mencipatkan udara sehat serta panorma nyaman dan indah

dapat dijadikan sebagai bisnis pariwisata. Usaha jasa pengolahan limbah dan reklamasi lingkungan

juga dapat menjadi usaha komersial yang menguntungkan. Kedua, perusahaan dapat memperoleh

insentif atau imbalan finansial atas kontribusnya dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian sumbar

daya alam dan lingkungan hidup, seperti carbon credit, carbon trade, dll. Ketiga, kapitalisasi reputasi

perusahaan di mata konsumen yang tercermin dalam harga atau permintaan produk yang lebih tinggi.

Landasan pemikiran kedua paradigma agrobiobisnis ialah bahwapertanian adalah rekayasa

agroekosistem untuk menghasilkan biomassa dan jasa ekosistem. Perspektif agrobiobisnis

berpandangan bahwa pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu

dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip

ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem

pertanian ekologis atau sistem agroekologi (Gambar 2). Dalam perspektif praksis, agroekologi

didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang

sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi

tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam.

Ketiga, seluruh agrobiomassa yang dihasilkan dikonversi dan transformasi menjadi

beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, oleh fasilitas pengolahan terpadu

berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Fasilitas pengolahan demikian secara agregat

disebut agrobioindustri dan secara mikro perusahaan disebut kilang agrobioindustri (agrobiorefinery).

Agrobioindustri tidak sama dengan agroindustri. Dari segi cakupan bahan baku atau feedstock,

bioindustri lebih luas dari agroindustri. Agroindustri hanya menggunakan sebagian hasil pertanian

sebagai bahan bakunya, sementara agrobioindustri menggunakan segala jenis biomassa hasil

pertanian, termasuk sisa dan limbah. Dari segi tujuan, agrobioindustri berorientasi pada nilai tambah

sebesar-besarnya dengan menghasilkan beragam produk bernilai tinggi dari feedstock biomassa yang

digunakan dan dengan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Kilang agrobioindustri paling sesuai

dengan konsep industri berkelanjutan. Pertama, perdefinisi kilang agrobioindustri mengintegrasikan

beberapa alur proses (platform) pengolahan biomassa untuk menghasilkan beragam produk, sehingga

lebih banyak jenis biomassa yang diolah dan menghemat penggunaan input, termasuk feedstock,

energi dan input lainnya. Kedua, biokilang dapat mencakup proses pengolahan kembali atau

menggunakan kembali sisa dan limbah dari proses pengolahan lainnya. Sebagai contoh, onggok sisa

pengolahan ubikayu segar menjadi pati dapat diolah menjadi bahan pakan atau biogas. Ketiga,

biokilang dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan

feedstock. Sebagai contoh, sisa dan limbah proses pengolahan olahan ubikayu menjadi pati, termasuk

produk ikutan biodigester, dapat diolah menjadi pupuk yang digunakan sebagai input pada usahatani

ubikayu (Gambar 4). Kesatuan sistem pertanian (Gambar 2) dan agrobiobioindustri (Gambar 4)

ekologis dalam suatu sistem tertutup disebut sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan (Simatupang,

2014) atau Sistem Pertanian Bio-Siklus (Agus, 2014).

Keempat, sistem pertanian intensif ekologis dan agrobioindustri ekologis akan berhasil

ditumbuh-kembangkan bila dilaksanakan dengan pendekatan atau paradigma sistem

agrobiobisnis. Komponen sistem agrobiobisnis terdiri dari lima blok, yaitu blok Sistem Ilmu

Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis (Agrobiobusiness Knowledge and Innovation System), Sistem

Rantai Nilai Tambah Agrobioproduk, Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis, Sektor Masyarakat

Page 45: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

28

Konsumen, dan Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis). Kelima blok tersebut saling berhubungan secara

sirkuler dalam mengalirkan produk dagangan (input-ouput), informasi dan aturan main (Gambar 4).

Gambar 4. Sketsa arsitektur agrobioindustri ekologis

Blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis berfungsi untuk menyediakan

teknologi dan pengetahuan yang diperlukan oleh keempat blok lainnya. Di dalam blok ini termasuk

lembaga pendidikan, penelitian, serta pengembangan, komersialisasi dan penyuluhan teknologi. Blok

Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa berfungsi untuk meghasilkan agrobiomassa (pertanian, on-

farm), mengonversi dan mentransformasi agrobiomassa (agrobioindustri) menjadi beragam bahan

pangan, pakan, dan bioproduk bernilai tinggi (agrobioindustri), serta menghantarkannya

(agrobiologistik dan pemasaran) kepada konsumen. Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis adalah

sektor usaha swasta yang memberi dukungan untuk kelancaran usaha Sistem Ilmu Pengetahuan dan

Inovasi Agrobiobisnis dan Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa. Sistem Iklim Usaha

Agrobiobisnis adalah elemen-elemen pembentuk konteks lingkungan strategis bagi keempat blok

lainnya. Termasuk dalam blok ini ialah standar, regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis,

organisasai konsumen, dan organisasi masyarakat sipil.

Kelima, pembangunan inklusif berkelanjutan. Pembangunan agrobiobisnis adalah pilar

utama pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata

untuk sepanjang waktu. Kesejahteraan rakyat itu bersifat multi-dimensi, meliputi kesejahteraan

ekonomi, sosial-politik, dan lingkungan alam. Kesejahteraan ekonomi tercermin dari tingkat

pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesejahteraan sosial politik tercermin

terutama dari partisipasi dalam pembangunan, sosial dan politik, pemerataan pembagian manfaat

pembangunan, kebebasan dalam aktualisasi diri. Kesejahteraan terkait lingkungan hidup termasu

antara lain kesehatan, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup serta kepastian akan kelestarian

sumberdaya alam dan lingkungan sepanjang masa. Dengan perkataan lain, pembangunan

berkelanjutan berlandaskan pada tiga pilar: Manfaat Ekonomi (Profit), Kemanusiaan dan Keadilan

Sosial (People), dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Planet).

Page 46: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

29

Gambar 5. Sketsa Sistem Agrobiobisnis

Dengan demikian, pembangunan agrobiobisnis diarahkan untuk peningkatan nilai tambah

dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), dengan partisipasi sosial-politik yang adil

dan merata antar individu, golongan dan wilayah (inclusive, pro-equity), dan memelihara atau bahkan

meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (pro environment). Kiranya

dicatat bahwa satu-satunya sektor yang secara alamiah dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas

lingkungan hidup ialah pertanian (dalam arti luas, termasuk kehutanan dan perikanan). Oleh karena

itu, tidak boleh tidak agrobiobisnis haruslah dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan

berkelanjutan (Sustainable Development) atau ekonomi hijau (Green Economy) yang menjadi arus

utama arah pembangunan saat ini hingga mesa mendatang.

PENUTUP

Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan

menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030.

Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah

kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Selain mengantisipasi perubahan

lingkungan strategis, pembangunan pertanian hendaklah ditempatkan pada fungsinya yang bersifat

ganda. Pertanian tidaklah semata-mata untuk mewujudkan swasembada pangan dan stabilisasai harga

komoditas pangan volatile determinan inflasi. Pembangan pertanian hendaklah ditempatkan sebagai

poros dan mesin penggerak transformasi pembangunan nasional menuju negara maju berpendapatan

tingggi. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri.

Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk

pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Dokumen Strategi Induk Pembangunan

Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa

Depan yang telah disusun oleh Kementerian Pertanian dapat dijadikan sebagai referensi utama dalam

penjabaran lebih lanjut konsep tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. 2014. Desain Dan Pola Pengelolaan Sistem Pertanian Bio-Siklus Dalam Mendukung

Kemandirian Pangan Dan Energi. Makalah utama pada Seminar Nasional memperingati

Hari Pangan Sedunia ke 34, Hotel Grand Clarion, Makassar, 4 November 2014.

Page 47: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

30

Altieri, M. A. 2012. The scaling up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and

Resilience. SOCLA Rio+20 Position Paper.

Albrecht, K. and S. Ettling. 2014. Bioeconomy Strategies Across Globe. Rural 21 March 2014: 10-

13.

Bareja, B.G. 2010. So, What is Agriculture? What is the Definition of Agriculture?

http://www.cropsreview.com/what-is-agriculture.html; 20 juli 2014.

Beddington, J. 2009. Food, Energy, Water and the Climate: Aperfect stormof global events?

webarchive.nationalarchives.gov.uk/.../perfect-storm-paper.pd.. Diunduh pada 30

Oktober 2016.

Bruinsma, J. 2011. The Resource Outlook 2050: By How Much do Land, Water and Crop Yields Need

to Increase by 2050?’, In P. Conforti.Looking ahead in world food and agriculture:

Perspectives to 2050, pp. 233-278. Food And Agriculture Organization, Rome.

Cranfield, J. A. L; T.W. Hertel ; J.S. Eales; and P.V. Preckel. 1998. Changes in the Structure of

Global Food Demand. GTAP Working Papers.

Davis, J.H. and R.A. Goldberg. 1958. A concept of Agribusiness. Boston : Division of Research,

Graduate School of Business Administration, Harvard University, xiv, 136 p.

Deutsche Bank. 2009. Investing in Agriculture: Far-Reaching Challenge, Significant Opportunity.

European Comission. 2012. Strategy for Innovating for Sustainable Growth: A Bioeconomy for

Europe. Staf Working Dokumen (2012) 11 Final. European Comission COM (2012) 60

Final.

Gill, T. G. (2013). Case studies in agribusiness: An interview with Ray Goldberg. Informing Science:

the International Journal of an Emerging Transdiscipline, 16, 203-212.

Giovannucci, D., S. Scherr, D. Nierenberg, C. Hebebrand, J. Shapiro, J. Milder, and K. Wheeler. 2012.

Food and Agriculture: the future of sustainability. A strategic input to the Sustainable

Development in the 21st Century (SD21) project. Department of Economic and Social

Affairs, Division for Sustainable Development, United Nations : New York.

Goldberg, R.A. 1968. Agribusiness Coordination: A Systems Approach to the Wheat, Soybean, and

Florida Orange Economies. Harvard Business School, Boston, xix + 256 pp.

Grassini, P., K.M.Eskridge, and K.G. Cassman. 2013. Distiguishing between yield advanses and

yield plateaus in historical crop production trend. Nature Communication,December: 1-

11.

Heong. K.L. 2012. Three planks in ecological engineering for rice pest management.

http://ricehoppers.net/2012/05/three-planks-for-ecological-engineering-for-rice-pest-

management/; Di unduh pada 7 Juni 2014.

Hoffmann , U. 2011. Assuring Food Security in Developing Countries under the Challenges

ofClimate Change: Key Trade and Development Issues ofaFundamental Transformation

ofAgriculture. UNCTAD Discussion Papers No. 201.

Idso, C.D. 2011. Estimates of Global Food Production in the Year 2050: Will We Produce Enough to

Adequately Feed the World? Center for the Study of Carbon Dioxide and Global Change.

Keane , J., S. Page, ,A. Kergna and J. Kennan. 2009. Climate Change and Developing Country

Agriculture: An Overview of Expected Impacts, Adaptation and Mitigation Challenges,

and Funding Requirements. ICTSD/International Food & Agricultural Trade Policy

Council, Issue Brief No. 2

Kelly, M., C. Banwell, J. Dixon, S. Seubsman, V. Yiengprugsawan, and A. Sleigh. 2010. Nutrition

transition, food retailing and health equity in Thailand . Australas Epidemiol 17(3): 4–7.

Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-

Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Biro

Perencanaan. Jakarta.

Kruse, J. 2010. Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative

Millenium Ecosystem Management. 2005. Ecosystem and Humen Well-being: Synthesis. Island

Press, Washington, D.C.

Munck, L. 1990. From Biotechnology to Agriculture, from Biorefineries to Agri-industry: An outline

of options for cooperation. In L. Munck and R. Rexen (Eds). Agricultural Refineries_a

bridge from farm to industry. Department of Biotechnology, Carlsberg Research Centre,

Copenhagen, Denmark. Pp.1-29

Page 48: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

31

Pingali, P. 2012. Green Revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the

National Academy of Science (PNAS), Vol. 109, no. 31, July: 123022-12308.

Pingali, P. L. 2013. Green Revolution: Impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the

National Academy of Sciences of the United States of America 109 (31, July): 12302-

12308.

Saragih, B. 2010. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. IPB

Press : Food and Agribusiness Centre, Bogor, 286 p.

Schaller, N. 2013. Agroecology: Different Definitions, Common Principles. Analysis No. 52.

Centre for Studies and Strategic Foresight. France.

Sexton, R. 2013. The Renaissance of Agricultural Economics. The President’s Column, The

Exchange, newsletter of the AAAE, May-June 2013. Accessed at http://www.

aaea.org/publications/the-exchange/newsletter-archives/mayjune-2013/presidentscolumn

on December 3, 2013.

Shahi, G. 2006. Some Considerations: Biobusiness in Developing Countries. 3 rd Asian

Biotechnology Conference, Manila, November 10, 2006. Global BioBusiness Institute.

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan

Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Simatupang, P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontribusi Profesor

Bungaran Saragih. Dalam R. Pambudy, F.B.M. Dabukke, dan B. Krisnamurthi (Eds.).

Refleksi agribisnis : 65 tahun Profesor Bungaran Saragih. Institut Pertanian Bogor Press,

Bogor.

Simatupang, P. 2014. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Dalam Haryono

(Ed)“Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian”, hal 61-79.

IAARD Press, Jakarta.

Simatupang, P. 2015. Transformasi Paradigma Pembangunan Pertanian: Dari Paradigma Agribisnis

ke Paradigma Agrobiobisnis. Dalam F.B.M. Dabukke (Ed), “Membumikan Paradigma

Agribusiness: 70 tahun Profesor Bungaran Saragih, hal 271-292. Pusat Pangan

Agribisnis-Gaung Persada (GP) Pers, Jakarta.

Thomson, A. and M. Metz. 1988. Implications of Economic Policy for Food Security : A Training

Manual. Training Materials For Agricultural Planning 40. FA0,Rome.

United Nations. 2011. World Population Prospects: The 2010 Revision. Population Division of the

Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat.New York.

Wayne's Word. 1998. The Five Kingdoms of Life. http://waynesword.palomar.edu/trfeb98.htm;

Diunduh pada 11 Juni 2014.

Winarto, Y.T., R. Ariefiansyah and J.J. Fox. 2013. Indonesia experiments with sesame in ecological

engineering in Indramayu Regency, West Java. http://ricehoppers.net/2013/08/indonesia-

experiments-with-sesame-in-ecological-engineering-in-indramayu-regency-west-

java/;Diunduh pada 29 Agustus 2013.

Willoughby, K. W. 2011. Biobusiness 2010: Minnesota’s Competitive Position in the Biobusiness

Technology Industries. BioBusiness Alliance of Minnesota. Saint Louis Park,

Minnesota, USA.

Page 49: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

32

Page 50: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

33

MAKALAH PENUNJANG

Page 51: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

34

Page 52: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

35

KERAGAMAN PENAMPILAN AGRONOMI GALUR-GALUR PADI GOGO TOLERAN NAUNGAN

AGRONOMIC PERFORMANCE OF SHADING TOLERANT UPLAND RICE BREEDING LINES

Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo, Suwarno

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jalan Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, 41256, Telp. 0260-520157; Fax. 0260-521104

Email: [email protected]

ABSTRAK

Potensi lahan kering di Indonesia sangat besar untuk budidaya padi baik sebagai tanaman monokultur maupun sebagai tanaman sela di areal perkebunan. Hingga saat ini ketersediaan varietas unggul padi gogo yang sesuai untuk tanaman sela masih terbatas sehingga dibutuhkan program perbaikan varietas untuk mengembangkan padi toleran naungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penampilan agronomi galur-galur padi gogo di lahan kering pada kondisi ternaungi di bawah tegakan tanaman tahunan. Penelitian dilakukan terhadap 28 galur padi gogo dan dua varietas pembanding. Percobaan dilakukan di areal perkebunan kelapa dalam di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada MH 2015-2016. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 10 galur padi gogo yang memiliki produksi lebih tinggi dari varietas pembanding Jatiluhur. Tiga galur dengan hasil gabah tertinggi adalah B11908F-TB-1-1, B12825E-TB-2-4 dan B13604E-TB-59-WN-1, masing-masing memiliki hasil sebesar 3.67 t/ha, 3.66 t/ha dan 3.47 t/ha. Galur-galur yang terpilih dari pengujian ini perlu untuk dievaluasi lebih lanjut dalam pengujian daya hasil di lokasi-lokasi lain untuk mengetahui daya stabilitas dan adaptabilitasnya sebelum direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan kering secara nasional.

Kata Kunci: Padi gogo, lahan kering, naungan

ABSTRACT

National agriculture development is directed to achieve sustainable food security. Rice as the staple food in Indonesia has become the most strategic commodity in national agriculture development, therefore the government continuously make strong efforts to fulfill the rice demand through intensification and extensification programs. One of the national programs to increase rice production is through increasing planting area of rice to upland region. Upland has large potential rice planting area either as monoculture or intercropping. Rice cultivation as intercropping needs shading tolerant rice varieties for optimum production. However, the number of shading tolerant rice varieties is still limited, and therefore breeding program to develop shading tolerant rice varieties is important. The objective of this study was to evaluate agronomic performance of upland rice breeding lines under shading condition. A total of 28 upland rice breeding lines and two check varieties were used in this study. The experiment was conducted in the tall coconut plantation area in Sukabumi, West Java. The experiment was managed in randomized complete block design with three replications. Result from this study showed 10 upland rice breeding lines had higher yield compared to the check variety Jatiluhur. The top three high yielding upland rice lines were B11908F-TB-1-1, B12825E-TB-2-4 and B13604E-TB-59-WN-1, with the grain yield of 3.67 t/ha, 3.66 t/ha and 3.47 t/ha, respectively. Selected breeding lines from this study need to be evaluated further in multi locations to determine their stability and adaptability prior to nationally upscaled.

Keywords:Rice, upland, shading tolerance

Page 53: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

36

PENDAHULUAN

Beras sebagai bahan pangan utama di Indonesia menjadi komoditas paling strategis dalam program pembangunan pertanian nasional. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan beras nasional selalu mejadi program prioritas dalam pembangunan pertanian nasional untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Peningkatan produksi beras dapat ditempuh melalui program intensifikasi maupun ektensifikasi. Salah satu program ekstensifikasi yang saat ini menjadi prioritas adalah perluasan areal tanam padi di lahan kering.

Lahan kering hingga saat ini hanya menyumbang sekitar 10% dari total luas panen padi di Indonesia, mencakup luasan 1,16 juta ha (Kementan 2014). Luasan tersebut masih sangat kecil dibandingkan potensi lahan kering yang tersedia di seluruh propinsi di Indonesia. Abdurrachman et al. (2008) memperkirakan potensi lahan kering yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan termasuk padi di Indonesia mencapai sekitar 25 juta hektar. Selain itu rata-rata produksi padi di lahan kering secara nasional masih relatif rendah yaitu 3.3 ton/ha (Kementan 2014). Hal tersebut disebabkan berbagai kendala fisik dan biologis di lahan kering. Kendala fisik yang umum dijumpai di lahan kering antara lain kekeringan, kemasaman tanah, keracunan Al dan kesuburan tanah yang rendah (Toha et al. 2009; Toha 2012; Rochayati dan Dariah 2012). Sementara itu penyakit blas menjadi masalah biologis utama penanaman padi di lahan kering (Santoso et al. 2007; Sudir et al. 2014).

Lahan kering di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk budidaya padi baik sebagai tanaman monokultur maupun sebagai tanaman sela di areal perkebunan (Toha et al. 2009). Padi dapat ditanam di bawah tegakan tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, kelapa dalam, karet, dan coklat, dan hutan tanaman industri seperti jati, akasia dan meranti. Selain itu lahan kosong di antara tanaman hortikultura tahunan seperti pohon jeruk, durian dan yang lainnya juga potensial untuk dikembangkan untuk budidaya padi. Padi gogo dapat ditanam di sela-sela tanaman utama sampai naungannya mencapai 50% (Sopandie et al. 2003). Toha et al. (2009) memperkirakan setiap tahun terdapat sekitrar 2 juta hektar lahan kering di antara tanaman perkebunan dan HTI yang dapat dimanfaatkan untuk padi gogo.

Naungan merupakan kendala utama dalam produksi padi di bawah tegakan. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan terganggunya proses metabolisme tanaman, menurunkan laju fotosintesis dan biomass tanaman (Sopandie et al. 2003, Qi-Hua et al. 2014, Wang et al. 2015). Selain itu naungan juga diduga dapat menurunkan mutu beras seperti meningkatkan pengapuran (Qi-Hua et al. 2014). Oleh karenanya budidaya padi sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman tahunan membutuhkan varietas unggul yang toleran terhadap naungan. Hingga saat ini varietas unggul padi toleran naungan yang tersedia masih sangat terbatas, oleh karenanya dibutuhkan program perbaikan varietas untuk mengembangkan padi toleran naungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penampilan agronomi galur-galur padi gogo hasil pemuliaan di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BbPadi) di lahan kering pada kondisi ternaungi di bawah tegakan tanaman tahunan.

METODE PENELITIAN

Sebanyak 28 galur padi gogo generasi lanjut dan dua varietas pembanding diuji daya hasilnya di Desa Calincing, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi pada musim hujan (MH) 2015-2016. Varietas pembanding yang digunakan adalah Situpatenggang dan Jatiluhur.

Penelitian dilaksanakanmenggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga ulangan. Masing-masing genotipe ditanam pada petak berukuran 2 m x 5 m. Masing-masing galur ditanam dengan cara ditugal dengan jarak antar barisan 30 cm dan dalam barisan 15 cm. Pemupukan awal dilakukan dengan mengaplikasikan 200 kg NPK/ha pada 10 hari setelah tanam (hst). Pemupukan susulan dilakukan pada umur 35 hst (100 kg NPK/ha) dan pada saat primordia (100 kg Urea/ha). Pengendalian gulma dan hama penyakit dilakukan sesuai prinsip pengendalian hama penyakit terpadu. Pengamatan dilakukan terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, komponen hasil dan hasil gabah pada kadar air 14%. Pengukuran peubah-peubah tersebut mengacu pada sistem evaluasi tanaman padi yang telah dibakukan (IRRI 2014). Analisis ragam dilakukan dengan menggunakan Uji-F dan perbandingan nilai tengah antar genotipe dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5% (Gomez and Gomez 1984).

Page 54: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman karakter tinggi tanaman, jumlah anakan dan umur tanaman galur padi gogo toleran naungan

Pengujian daya hasil galur-galur padi gogo toleran naungan pada generasi lanjut dilakukan di lahan kering dan ditanam secara tumpang sari dísela tegakan pohon kelapa dalam. Sejumlah karakter agronomi penting diamati seperti tinggi tanaman, jumlah anakan dan umur tanaman (Tabel 1). Rata-rata tinggi tanaman semua genotipe padi gogo yang diuji adalah 149 cm dengan kisaran antara yang terpendek 115 cm sampai yang tertinggi 180 cm. Dua varietas pembanding yang digunakan dalam penelitian ini Jatiluhur dan Situpatenggang, masing-masing menunjukkan tinggi tanaman 144 cm dan 130 cm. Jika merujuk pada pedoman evaluasi tanaman padi (IRRI, 2014), tinggi tanaman yang ditunjukkan oleh genotipe padi pada penelitian ini tergolong tinggi (di atas 125 cm). Hal tersebut dapat disebabkan oleh proses fisiologis yang terjadi pada tanaman akibat kurangnya intensitas cahaya matahari, dimana tanaman cenderung mengalami pemanjangan batang (Sopandie et al. 2003; Vandenbussche et al. 2005).

Jumlah anakan produktif genotipe padi gogo bervariasi antara 5 sampai dengan 10 batang per rumpun (Tabel 1). Rata-rata jumlah anakan dari semua genotipe pada penelitian ini adalah 7 batang per rumpun. Jumlah anakan produktif merupakan salah satu komponen agronomi penting yang berperan positif meningkatkan hasil gabah. Beberapa galur yang menunjukkan jumlah anakan produktif diatas rata-rata antara lain galur B14170E-MR-2-22 (10 batang), B12476E-MR-11 (10 batang), B14168E-MR-34 (9 batang), B11923C-TB-3-1-3-1-1 (9 batang), dan B12154D-MR-10 (10 batang). Sopandie et al. (2003) mengindikasikan penurunan jumlah anakan pada genotipe yang toleran akibat naungan tidak diikuti oleh penurunan luas daun total. Hal tersebut menjadi salah satu mekanisme yang digunakan tanaman untuk beradaptasi dengan kondisi cahaya rendah yakni dengan meningkatkan luas daunnya dan mengurangi rasio klorofil a:b (Evans dan Poorter, 2001).

Keragaman dalam sifat umur tanaman juga diperlihatkan diantara galur-galur toleran naungan yang diuji (Tabel 1). Hasil análisis menunjukkan genotipe padi gogo rata-rata dapat dipanen pada 110 HSS. Umur panen galur padi gogo berkisar antara 104 HSS sampai dengan 114 HSS. Diantara galur yang diuji, galur B12476E-MR-11 menunjukkan umur yang paling genjah (104 HSS), sebanding dengan varietas cek Situpatenggang (103 HSS).

Tabel 1. Karakter tinggi tanaman, jumlah anakan dan umur tanaman galur padi gogo toleran naungan dalam uji daya hasil di Sukabumi, MH 2015-2016

No Galur/ varietas Tinggi

tanaman (cm)

Jumlah anakan produktif (batang)

Umur berbunga

(HSS)

Umur panen (HSS)

1 B14168E-MR-1 143 8 87 112

2 B14168E-MR-2 140 8 85 111

3 B14168E-MR-4 149 7 85 111

4 B14168E-MR-10 155 8 84 109

5 B14168E-MR-12 149 7 86 111

6 B14168E-MR-23 161 6 87 113

7 B14168E-MR-30 159 7 81 106

8 B14168E-MR-31 143 7 81 108

9 B14168E-MR-33 155 8 87 112

10 B14168E-MR-34 147 9 86 112

11 B14168E-MR-41 139 8 83 108

12 B14168E-MR-45 168 8 85 110

13 B14170E-MR-2-22 155 10 89 113

14 B14170E-MR-3-1 149 8 87 113

15 B13604E-TB-59-WN-1 151 6 89 114

16 B11908F-TB-1-1 134 7 81 106

17 B11592F-MR-4-6-1-6-2-3-2-TB-1

127 8 82 108

18 B11923C-TB-3-1-3-1-1 140 9 85 110

Page 55: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

38

19 B12828E-TB-2-3-1 180 6 80 106

20 IR66948-MR-178-1-1-TB-1 133 8 85 110

21 B11592F-MR-23-2 159 5 84 109

22 TB155J-TB-3-1-1 171 5 88 113

23 B13638E-TB-12-2-WN-1 163 7 84 109

24 B12154D-MR-10 166 9 89 114

25 B12492C-MR-21-2-1 166 7 86 111

26 B10580E-KN-28-1-1 134 5 87 112

27 B12825E-TB-2-4 140 8 83 108

28 B12476E-MR-11 115 10 79 104

29 Jatiluhur 144 7 85 110

30 Situpatenggang 130 7 78 103

Rerata 149 7 85 110

KK (%) 10.66 30.81 2.75 2.15

BNT 0.05 26 4 4 4

Keragaman karakter komponen hasil dan hasil galur padi gogo toleran naungan

Komponen hasil yang diamati pada uji daya hasil galur-galur padi toleran naungan meliputi jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1000 butir gabah (Tabel 2). Jumlah gabah isi per malai galur-galur padi gogo bervariasi dari yang terendah 76 bulir (galur B11923C-TB-3-1-3-1-1) hingga 116 bulir (galur B13638E-TB-12-2-WN-1). Rata-rata dari semua genotipe, jumlah gabah isi padi gogo sebesar 98 bulir per malai. Diantara kedua varietas pembanding, varietas Situpatenggang memiliki jumlah butiran gabah isi yang lebih tinggi (116 bulir) (Tabel 2). Sementara jumlah gabah hampa per malai galur-galur padi gogo berkisar antara 21 hingga 99 butir per malai (Tabel 2).

Variasi bobot butiran gabah galur padi gogo relatif kecil dimana sebagian besar galur memiliki bobot 1000 butir gabah sekitar 23 gram (Tabel 2). Butiran gabah yang lebih besar dari rata-rata umum dimiliki oleh galur B11908F-TB-1-1 dengan bobot 1000 butir 24.17 gram (Tabel 2).

Rata-rata hasil gabah kering giling genotipe padi gogo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sebesar 2.84 t/ha (Tabel 2). Varietas toleran naungan Jatiluhur pada pengujian ini menghasilkan GKG 2.96 t/ha, lebih tinggi dari rata-rata umum. Sementara Situpatenggang menghasilkan GKG yang lebih rendah yaitu 2.73 t/ha (Tabel 2). Terdapat 10 galur yang memiliki hasil diatas 3 t/ha atau lebih tinggi dibandingkan varietas toleran naungan Jatiluhur sebagai pembanding. Diantara galur yang diuji, galur B11908F-TB-1-1 menunjukkan hasil GKG tertinggi sebesar 3.67 t/ha. Galur-galur lain dengan hasil yang tinggi antara lain B12825E-TB-2-4 (3.66 t/ha) dan B13604E-TB-59-WN-1 (3.47 t/ha). Galur-galur dengan penampilan yang lebih baik dari varietas pembanding pada pengujian ini akan dilanjutkan pada pengujian pada musim berikutnya untuk mengetahui daya adaptasinya di lokasi-lokasi yang lain.

Page 56: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

39

Tabel 2. Karakter komponen hasil dan hasil galur padi gogo toleran naungan dalam uji daya hasil di Sukabumi, MH 2015-2016

No Galur/ varietas Jumlah gabah

isi/malai

Jumlah gabah hampa/ malai

Bobot 1000 butir gabah (g)

Hasil GKG (t/ha)

1 B14168E-MR-1 101 41 23.83 2.62

2 B14168E-MR-2 109 41 23.30 3.36

3 B14168E-MR-4 80 38 23.83 2.72

4 B14168E-MR-10 104 55 23.60 3.04

5 B14168E-MR-12 86 47 23.63 2.62

6 B14168E-MR-23 98 56 23.97 2.43

7 B14168E-MR-30 104 60 23.83 3.08

8 B14168E-MR-31 95 48 23.90 2.75

9 B14168E-MR-33 85 52 23.70 2.61

10 B14168E-MR-34 103 50 23.47 2.68

11 B14168E-MR-41 105 35 23.30 2.79

12 B14168E-MR-45 102 48 23.67 3.05

13 B14170E-MR-2-22 88 41 23.57 2.92

14 B14170E-MR-3-1 103 60 23.67 3.03

15 B13604E-TB-59-WN-1 98 99 23.57 3.47

16 B11908F-TB-1-1 90 43 24.17 3.67

17 B11592F-MR-4-6-1-6-2-3-2-TB-1 91 26 23.97 3.29

18 B11923C-TB-3-1-3-1-1 76 63 23.50 2.83

19 B12828E-TB-2-3-1 95 65 23.63 2.53

20 IR66948-MR-178-1-1-TB-1 83 52 24.07 2.61

21 B11592F-MR-23-2 115 35 23.70 2.35

22 TB155J-TB-3-1-1 111 37 23.57 2.42

23 B13638E-TB-12-2-WN-1 116 49 23.20 2.57

24 B12154D-MR-10 109 103 23.50 2.37

25 B12492C-MR-21-2-1 99 66 23.17 3.03

26 B10580E-KN-28-1-1 109 47 23.00 2.73

27 B12825E-TB-2-4 94 65 23.23 3.66

28 B12476E-MR-11 87 21 23.00 2.22

29 Jatiluhur 83 56 23.47 2.96

30 Situpatenggang 116 62 23.37 2.73

Rerata 98 52 23.58 2.84

KK (%) 23.55 33.29 1.37 30.51

BNT 0.05 38 28 0.53 1.42

KESIMPULAN

Dari pengujian daya hasil galur-galur padi gogo toleran naungan di bawah tegakan kelapa diperoleh 10 galur padi gogo yang memiliki produksi lebih tinggi dari varietas pembanding Jatiluhur. Tiga galur dengan hasil gabah tertinggi adalah B11908F-TB-1-1, B12825E-TB-2-4 dan B13604E-TB-59-WN-1, dengan hasil GKG masing-masing sebesar 3.67 t/ha, 3.66 t/ha dan 3.47 t/ha. Galur-galur yang terpilih dari pengujian ini akan dievaluasi lebih lanjut dalam pengujian daya hasil di lokasi-lokasi lain untuk mengetahui daya stabilitas dan adaptabilitasnya sebelum direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan kering secara nasional.

Page 57: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

40

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih penulis sampaikan kepada teknisi pemuliaan padi gogo dan penyuluh lapang di Kecamatan Tegalbuleud Sukabumi yang telah membantu pelaksaanan percobaan. Penelitian ini didanai oleh DIPA BBPadi tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman A., Dariah A., Mulyani A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27(2): 43-49

Evans JR, Poorter H. 2001. Photosynthetic acclimation of plants togrowth irradiance: the relative importance of specific leaf areaand nitrogen partitioning in maximizing carbon gain. Plant CellEnviron. 24:755-767.

Gomez, K.A., Gomez, A.A. 1984. Statistical procedure for Agriculture. Willey and Sons, New York, USA.

IRRI. 2014. Standard evaluation system for rice. IRRI. Los Banos, Phillippines. 57p Kementrian Pertanian (Kementan). 2014. Statistik Pertanian 2014. Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta 348 hal. Qi-hua L., Xiu W., Bo-cong C., Jia-qing M., Jie G. 2014. Effects of low light on agronomic and

physiological characteristics of rice including grain yield and quality. Rice Science 21 (5): 243-251.

Rochayati S. dan Dariah A. 2012. Pengembangan lahan kering masam: Peluang, tantangan dan strategi, serta teknologi pengelolaan. Dalam. Dariah A., Kartiwa B., Sutrisno N., Suradisastra K., Sarwani M., Soeparno H., Pasandaran E. (Ed) Prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Balitbangtan. Jakarta Hal. 187-204

Santoso, Nasution A., Utami D.W., Hanarida I., Ambarwati A.D. Moeljopawiro S., Tharreau D. 2007. Variasi genetik dan spektrum virulensi patogen blas pada padi asal Jawa Barat dan Sumatera. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(8): 150-155

Sopandie D., Chozin M.A., Sastrosumarjo S., Juhaeti T., Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 10(2): 71-75

Sudir, Nasution A., Santoso, Nuryanto B. 2014. Penyakit blas Pyricularia grisea pada tanaman padi dan strategi pengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan 9(2): 85-96

Toha H.M. 2012. Pengembangan padi gogo mengatasi rawan pangan wilayah marginal. Dalam. Dariah A., Kartiwa B., Sutrisno N., Suradisastra K., Sarwani M., Soeparno H., Pasandaran E. Prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Balitbangtan. Jakarta Hal. 143-163

Toha H.M., K. Pirngadi, K. Permadi, A.M. Fagi. 2009. Meningkatkan dan memantapkan produktivitas dan produksi padi gogo. Dalam: A.A. Daradjat, A. Setyono, A.K. Makarim, A. Hasanuddin (Ed). Padi Inovasi Tenologi Produksi Buku 2. LIPI Press. Jakarta

Vandenbussche, F., Pierik, R., Millenaar, F.F., Voesenek, L.A.C.J., and Van DerStraeten, D. (2005). Reaching out of the shade. Curr. Opin. Plant Biol. 8: 462–468.

Wang L. Deng F., Ren W.J. 2015. Shading tolerance in rice is related to better light harvesting and use efficiency and grain filling rate during grain filling period. Field Crops Research 180: 54-62

Page 58: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

41

PENGARUH PEMBERIAN BAHAN ORGANIK DAN JARAK TANAM TERHADAP EMISI METANA (CH4) DI SAWAH TADAH HUJAN

THE EFFECT OF ORGANIC MATTER AND PLANT SPACING ON METHANE (CH4) EMISSION IN RAINFED RICE FIELD

Ika Ferry Yunianti, Miranti Ariani dan Prihasto Setyanto

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Raya Jakenan-Jaken Km. 5 Telp/Fax (0295) 4749045/4749044

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Bahan organik memiliki peran penting terhadap kesuburan tanah, akan tetapi diduga dapat meningkatkan emisi salah satu gas rumah kaca (GRK), yaitu metana (CH4). Selain bahan organik,jaraktanamjugadidugaberpengaruhterhadapemisi GRK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan organik dan jarak tanam terhadap emisi CH4 di lahan sawah tadah hujan. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian pada musim tanam gogo rancah 2015/2016. Percobaan disusun dengan rancangan faktorial acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor I pemberian bahan organik berupa (1) pupuk kandang sapi 5 t/ha, (2) pupuk kandang ayam 5 t/ha, (3) tanpa BO, dan faktor II adalah jarak tanam berupa (1) legowo 2:1 dan (2) tegel 20 x 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CH4 terendah terdapat pada perlakuan tanpa bahan organik dengan jarak tanam legowo yaitu sebesar 153,11 kg CH4/ha/musim. Penambahan pupuk kandang ayam dengan jarak tanam legowo memberikan emisi CH4 tertinggi yaitu sebesar 418,78 kg CH4/ha/musim.

Kata Kunci: bahan organik, jarak tanam, emisi CH4

ABSTRACT

Organic matter has an important role in soil fertility, but can increase the emission of a greenhouse gas (GHG), namely methane (CH4). Besides organic matter, plant spacing is supposed to influence the GHG emissions. This study aimed to determine the effect of organic matter and plant spacing on the emission of CH4 in rainfed rice areas. The experiments were performed at the Research Station of Indonesian Agricultural Environment Research Institute in gogo rancah season 2015/2016. The experiment was arranged factorially in a randomized design with three replications. The treatment consisted of two factors, first factor is organic matter : (1) cattle manure 5 t/ha, (2) chicken manure 5 t/ha, (3) without organic matter, and the second factor is the plant spacing : (1) legowo 2:1 and (2) conventional spacing 20 x 20 cm. The results showed that the lowest CH4 emission was found in treatment without organic matter with a spacing legowo equal to 153.11 kg CH4/ha/season. The addition of chicken manure with a spacing legowo resulted in the highest CH4 emission equal to 418.78 kg CH4/ha/season.

Key Words: organic matter, plant spacing, CH4 emission

PENDAHULUAN

Pemantapan ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Keberhasilan upaya untuk menanggulangi tantangan tersebut terancam oleh perubahan iklim akibat dari pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (Balitbangtan, 2014). Salah satu isu lingkungan yang berkaitan dengan tanaman pangan, khususnya padi adalah adanya anggapan bahwa kegiatan budidaya padi sawah merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global. Setyantoet al. (2006), menyatakan bahwa budidaya padi sawah secara keseluruhan merupakan sumber terbesar emisi CH4 (21.9%) dari sumber-sumber lainnya dengan laju penambahan 1-2% per tahun. Pada tahun 1990, emisi CH4 dari tanah sawah mencapai 20-120 juta ton/tahun atau sekitar 12,5% dari emisi CH4 global sebesar 470-650 juta ton/tahun (Sudadi, 2002). Emisi CH4 yang berasal dari lahan sawah dan sumber lainnya di bumi dapat membentuk suatu lapisan pemancar panas di atmosfer atau dikenal dengan efek rumah kaca, sehingga menyebabkan pemanasan bumi secara global.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan maka dilakukan berbagai upaya peningkatan produksi padi, salah satunya yaitu dengan pemupukan. Pupuk yang aman dan baik bagi lingkungan adalah

Page 59: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

42

pupuk organik (bahan organik). Bahan organik memiliki peran penting terhadap kesuburan tanah baik secara fisika, kimia dan biologi, selain itu bahan organik juga merupakan sumber hara mikro bagi tanaman. Akan tetapi pemberian bahan organik diduga dapat meningkatkan emisi CH4. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik pada tanah sawah dapat meningkatkan produksi gas CH4. Bahan organik menstimulasi produksi metana melalui suatu rangkaian proses yang diakhiri dengan pembentukan CO2 dan CH4 (Sumani et al., 2009). Begitu pula Wihardjaka et al. (2006), yang menyatakan bahwa bahan organik tanah mengalami perombakan dengan bantuan mikro organisme (bakteri metanogen) menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, antara lain CH4. Bakteri metanogen ini hanya aktif bila kondisi tanah dalam keadaan tergenang (anaerobik).

Bakteri metanogen ini menggunakan CH4 sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa CH4 yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam pembuluh aerenkima untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir. Pemberian bahan organik dan pengaturan jarak tanam jika tidak dikelola dengan baik diduga berperan terhadap proses pembentukan dan pelepasan gas CH4. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan organik dan jarak tanam terhadap emisi CH4 di lahan sawah tadah hujan.

METODE PENELITIAN

Percobaan ini dilaksanakan pada musim tanam gogo rancah (gora) 2015/2016 di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati, Jawa Tengah. Percobaan disusun dengan rancangan faktorial acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor I pemberian bahan organik berupa (1) pupuk kandang sapi 5 t/ha, (2) pupuk kandang ayam 5 t/ha, (3) tanpa BO, dan faktor II adalah jarak tanam berupa (1) legowo 2:1 dan (2) tegel 20 x 20 cm. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang, benih ditanam pada plot berukuran 5 x 3 m secara tugal yaitu dengan memasukkan 3-4 benih tiap lubang tanam. Pupuk Urea, SP 36 dan KCl diberikan masing-masing dengan dosis 120 kg/ha N, 60 kg/ha P2O5 dan 90 kg/ha K2O. Pemberian pupuk Urea dan KCl dilakukan 2 kali, sedangkan pupuk SP 36 hanya sekali yaitu sebagai pupuk dasar. Pemberian pupuk Urea ke-2 didasarkan pada bagan warna daun. Pengairan dilakukan secara terus menerus, sedangkan untuk pemberantasan hama disesuaikan dengan kondisi lapang.

Pengambilan sampel CH4 di lapangan dilakukan dengan metode sungkup tertutup. Pengambilan sampel CH4 dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan interval waktu 3, 6, 9, 12 dan 15 menit di titik yang telah dipasang penampang dan bangku untuk pinjakan. Ukuran sungkup yang digunakan adalah 50 x 50 x 100 cm. Sampel CH4 dianalisis menggunakan gas kromatografi (GC Shimadzu 8A) dengan flame ionization detector (FID). Untuk menghitungemisiCH4menggunakan rumusdariIAEA(1993):

E = dc

dt x

Vch

Ach x

mW

mV x

273,2

(273,2+T)

dimana : E : Emisi gas CH4 (mg/m

2/hari)

dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit) Vch : Volume boks (m

3)

Ach : Luas boks (m2)

mW : Berat molekul CH4 (g) mV : Volume molekul CH4 (22,41 l) T : Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (

oC)

Parameter lain yang diamati antara lain pH tanah dan jumlah anakan yang diukur tiap kali pengambilan sampel dilakukan, selain itu komponen hasil yang meliputi bobot 1000 butir, prosentase gabah isi, berat biomassa bawah (akar) dan GKG dari masing-masing plot. Data yang terkumpul dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%.

Page 60: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

43

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran fluks CH4 pada penelitian ini dilakukan setiap 1 minggu sekali sampai menjelang panen.Pemberian bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara, akan tetapi dikhawatirkan dapat meningkatkan emisi CH4. Dari hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dan pengaturan jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap fluks CH4. Fluks CH4 yang dihasilkan menunjukkan pola yang beragam yaitu berkisar antara 6,30-1123,08 mg/m

2/hari. Besarnya nilai fluks harian CH4 pada tanah sawah yang sudah dilakukan penambahan

beberapa jenis bahan organik dan pengaturan jarak tanam disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pola fluks harian CH4 pada berbagai perlakuan saat musimgora 2015/2016

Fluks CH4 tertinggi terjadi saat tanaman padi berumur 30 hari setelah tanam (HST) yaitu pada

perlakuan pupuk kandang ayam dengan jarak tanam legowo yang mencapai nilai 1123,08 mg/m2/hari.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena tingginya laju dekomposisi bahan organik sehingga menyebabkan kondisi tanah menjadi reduktif. Pada tanah dengan kondisi reduktif aktivitas mikroba penghasil metana meningkat, sehingga gas CH4 yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Selain itu tingkat kematangan bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah juga dapat berpengaruh terhadap besaran fluks CH4 harian. Semakin belum matang bahan organik yang digunakan maka semakin tinggi fluks CH4 yang dihasilkan. Pada saat umur yang sama, fluks CH4 terendah terdapat pada perlakuan tanpa bahan organik dengan jarak tanam legowo yaitu sebesar 395,76 mg/m

2/hari. Hal ini dikarenakan

pada tanah tersebut tidak terdapat penambahan bahan organik sehingga tidak terjadi proses dekomposisi.

Pada Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa pada masa vegetatif pola fluks CH4 cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan masa generatif. Menurut Susilawati et al. (2014), hal ini disebabkan karena hasil fotosintetat yang berupa karbohidrat yang dihasilkan belum banyak digunakan untuk membentuk biji padi sehingga dilepaskan tanaman dalam bentuk eksudat akar dan akhirnya berpengaruh terhadap pembentukan CH4. Pada saat menjelang panen fluks CH4 mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena adanya perlakuan pengeringan pada plot percobaan. Pada saat tanah mengalami pengeringan ketersediaan O2 melimpah sehingga tanah bersifat oksidatif dan CH4 yang diemisikan cenderung lebih sedikit.

Perbedaan besaran emisi CH4 per musim berdasarkan masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 2. Jika dilihat secara keseluruhan maka penambahan pupuk kandang ayam dengan jarak tanam legowo menghasilkan emisi CH4 yang tertinggi (418,78kg/ha/musim), sementara tanpa penambahan bahan organik dengan jarak tanam legowo menghasilkan emisi terendah (153,19 kg/ha/musim). Menurut Xiaohong et al. (2011), pemberian pupuk organik sangat mempengaruhi emisi CH4 bila dibandingkan dengan pupuk lain. Tanaman padi mempunyai peranan yang penting dalam dinamika CH4, karena adanya jaringan aerenkhima yang berfungsi sebagai rongga pelepasan gas CH4. Kurang lebih 90% CH4 yang dilepas ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air (ebulisi).

Flu

ks C

H4

(m

g/m

2/h

ari)

HST

Pukan Sapi Legowo Pukan Ayam Legowo

Tanpa BO Legowo Pukan Sapi Tegel

Pukan Ayam Tegel Tanpa Bo Tegel

Page 61: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

44

Gambar 2. Total emisi CH4 permusim pada berbagai perlakuan saat musim gora 2015/2016

Jumlah anakan tanaman padi dapat mempengaruhi emisi gas CH4 yang di lepaskan. Semakin

banyak jumlah anakan tanaman padi maka semakin besar pula emisi CH4 yang dikeluarkan. Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa jumlah anakan tertinggi terjadi pada saat tanaman padi berumur 30 HST pada perlakuan pemberian pupuk kandang ayam dengan jarak tanam legowo yaitu sebanyak 31 anakan, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya nilai fluks CH4 pada perlakuan tersebut.

Gambar 3. Jumlah anakantanaman padi pada berbagai perlakuan saatmusim gora 2015/2016

Pada jumlah anakan yang banyak diduga produksi eksudat akar dari tanaman padi meningkat sehingga menyebabkan produksi metana juga meningkat. Menurut Panjaitan et al. (2015), salah satu indikator pertumbuhan tanaman yang baik adalah produksi eksudat akar tanaman padi yang lebih aktif. Eksudat akar menyediakan substrat untuk bakteri metanogen ataupun bakteri metanotrof yang terdiri atas karbohidrat, asam-asam organik, asam-asam amino, dan senyawa fenolik sehingga eksudat akar tersebut dapat mempertinggi emisi CH4.

Derajat kemasaman (pH) tanah merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan gas CH4. Pengukuran pH pada penelitian ini dilaksanakan setiap 1 minggu sekali yaitu bersamaan dengan pengambilan sampel gas CH4. Pembentukan gas CH4 maksimum terjadi pada pH 6,9-7,1. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antara 6-8. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa besarnya nilai pH tanah berkisar antara 4,5-6,4. Pada saat tanaman padi memasuki umur 43 HST nilai pH tanah mengalami penurunan yaitu berada dikisaran angka 4, hal inilah yang menyebabkan fluks CH4 juga mengalami penurunan. Nilai pH yang kurang dari 6 kurang begitu mendukung pembentukan gas CH4 karena bakteri metanogen tidak bekerja secara optimal.

Emis

i CH

4 (

kg/h

a/m

usi

m)

Jum

lah

an

akan

HST

Pupuk Sapi Legowo Pupuk Ayam LegowoTanpa BO Legowo Pupuk Sapi TegelPupuk Ayam Tegel Tanpa BO Tegel

Page 62: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

45

Gambar 4. Derajat kemasaman tanah pada berbagai perlakuan saatmusim gora 2015/2016

Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa hasil gabah tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk

kandang sapi dengan jarak tanam tegel (7,97 ton/ha), sedangkan hasil gabah terendah terdapat pada perlakuan tanpa bahan organik dengan jarak tanam tegel (6,96 ton/ha). Nilai Global Warming Potential (GWP) tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pupuk ayam legowo, kemudian berturut-turut diikuti oleh pupuk ayam tegel, tanpa bahan organik tegel, pupuk sapi legowo, pupuk sapi tegel dan tanpa bahan organik legowo. Penurunan GWP ini berbanding lurus dengan penurunan nilai emisi CH4. Kontribusi CH4 dalam GWP adalah paling besar bila dibandingkan dengan CO2 dan N2O (Susilawati et al., 2011).

Indeks emisi merupakan perbandingan antara gabah yang dihasilkan dengan emisi GRK yang dihasilkan. Indeks ini digunakan untuk menduga berapa emisi yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 ton gabah. Semakin tinggi nilai indeks emisi semakin besar peluang teknologi ini diterapkan karena mampu menekan emisi GRK dan meningkatkan produksi padi (Susilawati et al., 2014). Indeks emisi tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik legowo yaitu sebesar 2,02 t/t CO2-e. Hal ini berarti untuk menghasilkan 1 ton gabah akan menghasilkan emisi sebesar 0,50 t CO2-e ke atmosfer.

Tabel 1. Komponen hasil, emisi CH4 dan indeks emisi/gabah pada berbagai perlakuan

Perlakuan

Komponen hasil Emisi CH4 (kg/ha/

musim)

GWP

(t CO2-e/ha/

musim)

Indeks emisi (t/t CO2 eq)

berat 1000 butir (g)

% gabah isi

biomas bawah (g)

GKG (t/ha)

Pupuk Sapi Legowo 26.87 a 82.21 a 15.45 a 7.80 a 217.92 a 5.01 1.56

Pupuk Ayam Legowo 27.10 a 79.10 a 26.73 a 7.53 a 418.78 b 9.63 0.78

Tanpa BO Legowo 26.77 a 75.58 a 16.70 a 7.10 a 153.19 a 3.52 2.02

Pupuk Sapi Tegel 26.87 a 79.24 a 12.65 a 7.97 a 213.14 a 4.90 1.63

Pupuk Ayam Tegel 27.30 a 75.62 a 13.62 a 7.10 a 249.03 ab 5.73 1.23

Tanpa BO Tegel 26.87 a 78.65 a 13.30 a 6.96 a 239.81 ab 5.52 1.26

Sumber : Data primer (2015)

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menggunakan uji Tukey (P<0.05)

*GWP-Global Warming Potential : perhitungan GRK setara CO2, CH4 x 23 CO2-e, N2O x 296 CO2-e (sumber : IPCC Third Asssesment Report)

KESIMPULAN

1. Emisi CH4 terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik dengan jarak tanam legowo yaitu sebesar 153,11 kg CH4/ha/musim.

2. Penambahan pupuk kandang ayam dengan jarak tanam legowo memberikan emisi CH4 tertinggi yaitu sebesar 418,78 kg CH4/ha/musim.

pH

HST

Pupuk Sapi Legowo Pupuk Ayam Legowo

Tanpa BO Legowo Pupuk Sapi Tegel

Pupuk Ayam Tegel Tanpa BO Tegel

Page 63: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

46

3. Indeks emisi tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik legowo yaitu sebesar 2,02 t/t CO2-e

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para teknisi dan analis dari kelompok peneliti Emisi dan Absorbsi Gas Rumah Kaca Balai Penelitian Lingkungan Pertanian atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan, 2014. Pedoman umum pengembangan model pertanian ramah lingkungan berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

IAEA, 1993. Manual on measurement of methane and nitrous oxide emission from agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA)

Panjaitan, E., Didik Indradewa, Edhi Martono dan Junun Sartohadi. 2015. Sebuah dilema pertanian organik terkait emisi metan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 22, No.1, Maret 2015: 66-72

Setyanto, P., H. Lina Susilowati dan Sri Wahyuni. 2006. Pengaruh varietas padi pasang surut terhadap emisi gas metana (CH4) di lahan sawah pasang surut. Dalam prosiding yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret 2006 di Surakarta. Prosiding seminar nasional pengendalian pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu. Buku 2 : 205-217

Sudadi, U. 2002. Produksi padi dan pemanasan global. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor

Sumani, D.P. Ariyanto, J. Syamsiah, Mujiyo. 2009. Pengaruh imbangan pupuk organik dan anorganik terhadap emisi gas metana (CH4) di lahan sawah Palur, Sukoharjo, Jawa Tengah. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret Surakarta

Susilawati, H. L, Prihasto Setyanto, M. Ariani. 2011. Emisi dan absobsi karbon pada penggunaan amelioran di lahan padi gambut. Jurnal Tanah dan Iklim. No 34, Desember 2011: 26-32

Susilawati, H. L, Prihasto Setyanto, E. Yulianingsih, Dedi Nursyamsi. 2014. Mitigasi emisi gas rumah kaca melalui ameliorasi pada lahan padi sawah di tanah gambut. Jurnal Tanah dan Iklim. No 471/AU2/P2MI-LIPI/08/2012, Desember 2014: 27-40

Wihardjaka, A., H. Lina Susilowati dan Sri Wahyuni. 2006. Potensi produksi gas metana pada tanah sawah tadah hujan di Jawa Timur. Dalam prosiding yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret 2006 di Surakarta. Prosiding seminar nasional pengendalian pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu. Buku 2 : 194-204

Xiaohong, Zhao., He Jia, Cao Junxin. 2011. Study on mitigation strategies of methane emission from rice paddies in the implementation of ecological agriculture. Science Direct. Energy Procedia 5 (2011) 2474-2480

Page 64: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

47

KESESUAIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI SPESIFIK LOKASI BERDASARKANPOLA DAN KEMAMPUAN BIBIT DALAM PEMBENTUKAN ANAKAN PER RUMPUN

SUITABLE OF SITE SPECIFIC RICE CULTIVATION TECHNOLOGY BASED ON PATTERN AND ABILITY OF SEEDLING IN TILLERING PER HILL

Wahyu Wibawa dan Dedi Sugandi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Kelurahan Semarang Kota BengkuluTelp (0736) 23030

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Teknologi budidaya padi beragam dan berkembang sesuai dengan kondisi agroekosistem, sosial budaya, dan kondisi cekaman lingkungan. Teknologi yang berkembang saat ini adalah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), System of Rice Intensification (SRI), Jarwo Super, dan Hazton. Varietas dan jumlah bibit per lubang berpengaruh terhadap pola dan kemampuan bibit dalam pembentukan anakan per rumpun. Penelitian bertujuan untuk: (1). Mengkaji pola dan kemampuan bibit dalam pembentukan anakan per rumpun (2). Menentukan varietas yang sesuai untuk masing-masing teknologi budidaya padi. Percobaan dilakukan dari bulan April - Juli 2015 di rumah kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan 3 ulangan. Ada 2 perlakuan yang diujicobakan yaitu perlakuan varietas dan jumlah bibit per lubang. Varietas yang diujicobakan adalah Inpari 16, Inpari 23, dan Sintanur, sedangkan perlakuan jumlah bibit per lubang ada 5 yaitu 1; 3; 5; 10; dan 20 bibit per lubang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1). Penambahan jumlah anakan per rumpun yang paling banyakdihasilkan oleh varietas Inpari 23 (33,33 anakan) dan penanaman dengan 5 bibit per lubang (28,44 anakan) (2). Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun yang tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 23 (12,34 anakan) dan penanaman dengan 1 bibit per lubang (26,78 anakan) (3). Varietas Inpari 23 dan Sintanur sesuai untuk pendekatan PTT, Jarwo Super, dan SRI, sedangkan Inpari 16 sesuai untuk Hazton.

Kata Kunci: Budidaya, padi, pembentukan anakan

ABSTRACT

Rice cultivation technologies are various and developed based on condition of agroecosystem, social-culture, and environment stress. Nowadays, the technology developed are Integrated Crop Management (ICM), System of Rice Intensification (SRI), Jarwo Super, dan Hazton. Varieties and number of seedlings per hill affected for patterns and abilities of seedling in tillering per hill. Objectives of the assessment were: (1) To study patterns and abilities of seedling in tillering per hill (2). To determine proper varieties for each rice cultivation technology. Experiment was done on Glass House of Bengkulu Assessment Institute for Agriculture Technology (Bengkulu AIAT) from April until July 2015. Randomized Completely Block Design (RCBD) was used to arrange 2 treatments with 3 replication. The treatments were 3 the improved varieties (Sintanur, Inpari 16 and Inpari 23) and 5 numbers of seedling per hill namely 1; 3; 5; 10; and 20 numbers of seedling per hill. Result showed that: (1) The highest addition number of tillers per hill was produced by Inpari 23 variety (33.33 tillers) and planting 5 seedlings per hill (28.44 tillers) (2). The highest ability of each seedling in tillering per hill reached by Inpari 23 variety (12.34 tillers) and planting 1 seedlings per hill (26.78 tillers). (3). Inpari 23 and Sintanur were suitable for ICM, Jarwo Super, and SRI technology, whereas Inpari 16 was suitable for Hazton technology.

Key Words: Cultivation, rice, tillering

Page 65: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

48

PENDAHULUAN

Budidaya merupakan upaya untuk mengoptimalkan faktor lingkungan dan genetik dalam pencapaian pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman yang diharapkan (Wibawa dan Nurmegawati, 2014; Wibawa dan Honorita, 2016). Perhatian khusus diberikan untuk meningkatkan produktifitas padi melalui perbaikan teknologi budidaya tanaman (Jamil, dkk., 2016; Suryana dkk., 2001). Pendekatan budidaya padi beragam dan berkembang sesuai dengan kondisi agroekosistem, sosial budaya, dan kondisi cekaman lingkungan. Pendekatan sistem budidaya yang berkembang saat ini adalah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), System of Rice Intensification (SRI), Jarwo Super, dan Hazton.

Pendekatan teknologi PTT mempunyai ciri penggunaan varietas unggul yang bersertifikat, sistem tanam jajar legowo, tanam bibit muda (<21 hari), 2-3 bibit per rumpun, pemupukan berimbang, dan pengendalian OPT dengan pendekatan pengelolaan hama terpadu (PHT). Pendekatan Jarwo Super mempunyai ciri khusus dengan komponen utamanya adalah jajar legowo, perlakuan benih (seed treatment), penggunaan biodecomposer, serta penggunaan alat tanam dan mesin panen. Dengan pendekatan ini produktivitasnya mencapai lebih dari 10 t/ha (Jamil dkk., 2016). Pendekatan teknologi budidaya lainnya adalah SRI dan Hazton. SRI merupakan teknologi untuk merespon kondisi lingkungan yang memiliki keterbatasan air dan benih serta penurunan kesuburan tanah. Ciri khas dari teknologi SRI adalah penanaman 1 bibit per lubang, bibit ditanam pada umur 5-7 hari, penggunaan pupuk kompos 12 t/ha, jarak tanam lebar (25 x 25 cm atau 30 x 30 cm) dengan kebutuhan benih 10 kg/ha (Wardana dkk., 2015). Teknologi budidaya yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah Hazton. Penciri khusus dari teknologi ini adalah penanaman bibit tua umur 25-30 hari dan jumlah bibit 20-30 bibit/lubang (Badan Litbang Pertanian, 2015).

Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi utama dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan usahatani (Sugandi dkk., 2015; Wibawa dkk., 2013).Penggunaan benih unggul menunjukkan kontribusi terbesar terhadap produksi dibandingkan dengan penerapan teknologi lainnya (Saryoko, 2009).Disisi lain, nilai biaya benih hanya sekitar 5% dari total biaya input produksi padi. Hal ini berarti bahwa penggunaan benih unggul merupakan komponen intensifikasi pertanian yang mudah dan murah dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi tanaman. Penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap pemupukan dan toleran hama penyakit utama telah terbukti meningkatkan produktivitas (Sugandi dkk., 2015; Suprihatno dkk., 2010; Wahyuni, 2011).Secara empiris, pertumbuhan/hasil tanaman dapat dinyatakan sebagai fungsi dari genotipe x lingkungan = f (faktor pertumbuhan internal x faktor pertumbuhan eksternal). Faktor internal sering digambarkan sebagai sifat bawaan (genetik) (Gardner dkk., 1985; Wibawa dkk., 2015). Jumlah anakan dipengaruhi oleh faktor genetik yang dibawa oleh varietas.

Hampir semua teknologi budidaya mensyaratkan penggunaan varietas unggul spesifik lokasi yang berdaya hasil tinggi, toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik. Rekomendasi penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik sudah banyak dilaporkan, tetapi masih jarang yang melaporkan rekomendasi varietas berkaitan dengan pola pembentukan anakan dan kemampuan bibit dalam pembentukan anakan. Bahkan dalam deskripsi varietas, kemampuan varietas dalam pembentukan anakan jarang dimunculkan. Untuk itu kajian kesesuaian pendekatan teknik budidaya padi spesifik lokasi berdasarkan pola dan kemampuan bibit dalam pembentukan anakan per rumpun perlu dilakukan. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), System of Rice Intensification (SRI), Jarwo Super, dan Hazton merupakan teknologi budidaya padi yang berkembang saat ini. Pola pembentukan anakan dan kemampuan varietas dalam penambahan jumlah anakan penting untuk diketahui dan bermanfaat dalam penentuan kesesuaian varietas terhadap teknologi budidaya yang diterapkan. Penelitian bertujuan untuk: (1). Mengkaji pola dan kemampuan bibit dalam pembentukan anakan per rumpun (2). Menentukan varietas yang sesuai untuk masing-masing pendekatan sistem budidaya padi.

Page 66: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

49

METODE PENELITIAN

Percobaan dilakukan dari bulan April - Juli 2015 di rumah kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu. Alat yang digunakan diantaranya adalah ATK, meteran, kalkulator, hand counter, timbangan, timbangan analitik, handsprayer, ember plastik diameter 35 cm, amplop dan plastik. Bahan yang digunakan diantaranya adalah benih padi varietas Inpari 16, Inpari 23, Sintanur, pupuk Urea, SP-36 dan KCl, Furadan, tanah dari lahan rawa dan insektisida.

Tanah untuk media tanam diambil dari lahan rawa di Kelurahan Rawa Makmur Kota Bengkulu Tabel 1. Media tanah diletakkan pada ember plastik yang berdiameter 35 cm. Bibit dipindahtanamkan pada umur 17 hari setelah semai (HSS). Semua perlakuan dilakukan pemupukan dengan dosis, waktu, dan cara yang sama. Dosis yang digunakan adalah dengan NPK Ponska 300 kg/ha dan 200 kg/ha. Pupuk diberikan tiga kali pada umur 7, 21 dan 45 HST. Phonska diberikan 3 kali, masing-masing 3,71 gram/pot; Urea diberikan 2 kali pada umur 21 dan 45 HST masing-masing 3,8 gram/pot).

Tabel 1. Hasil analisis status hara tanah untuk media tanam padi

No. Sifat Kimia dan Fisika Nilai Keterangan*

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kadar air Tekstur pH(H2O) pH (KCl) C-Organik (%) N-total (%) C/N P tersedia K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) KTK (me/100g) Al (me/100g) Fe (%)

12 Lempung liat berdebu 4,88 3,96 7,32 0,35 20,91 8,04 0,04 1,88 15,43 0,52 25,97 0,1 2,20

- Masam Sangat tinggi Sedang Sedang Sedang Sangat rendah Sangat rendah Sangat tinggi Sedang Tinggi Sangat rendah Sangat tinggi

* Sumber: Hadjowigeno (2003).

Percobaan faktorial dilakukan pada lingkungan terkendali di rumah kaca BPTP Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 3 ulangan. Ada 2 perlakuan yang diujicobakan yaitu perlakuan varietas dan jumlah bibit per lubang. Varietas yang diujicobakan adalah 3 varietas padi sawah yaitu Inpari 16, Inpari 23, dan Sintanur, sedangkan perlakuan jumlah bibit per lubang ada 5 yaitu 1; 3; 5; 10; dan 20 bibit per lubang. Ada 15 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali.

Parameter yang diukur adalah jumlah anakan total, penambahan jumlah anakan, dan kemampuan pembentukan anakan dari masing-masing bibit per rumpun secara periodik pada umur 15, 30, 45, 60 dan 75 HST. Cara pengukuran dari masing-masing parameter adalah sebagai berikut:

1. Jumlah anakan total diukur dengan cara menghitung semua jumlah anakan per rumpun secara periodik pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST .

2. Penambahan jumlah anakan per rumpun

Penambahan jumlah anakan per rumpun dihitung dari jumlah anakan total dikurangi dengan jumlah bibit per lubang pada berbagai perlakuan jumlah bibit per lubang.

Penambahan jumlah anakan = Jumlah anakan total - Jumlah bibit per lubang

3. Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun

Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun dihitung dari jumlah anakan total per rumpun dibagi dengan jumlah bibit per lubang.

Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun = jumlah anakan total per rumpun : jumlah bibit per lubang.

Page 67: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

50

Data yang terkumpul di tabulasikan dan dianalisis dengan analisis of variance (ANOVA). Rerata antar perlakuan diuji lanjut dengan Least Significant Different (LSD) pada jenjang 5% (Steel and Torrie, 1960; Gomez and Gomez, 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Varietas dan jumlah bibit per lubang berpengaruh nyata terhadap penambahan jumlah anakan per rumpun pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST. Interaksi antara perlakuan varietas dan jumlah bibit per rumpun tidak signifikan. Rerata penambahan jumlah anakan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga 45 HST, selanjutnya melandai dan menurun pada umur 75 HST (Tabel 2).

Tabel 2. Rerata penambahan anakan per rumpun pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST.

Perlakuan Rerata Tambahan Anakan Per Rumpun

15 HST 30 HST 45 HST 60 HST 75 HST

Varietas

Sintanur 10,40b 11,80b 23,53b 24,20b 22,13b

Inpari 16 8,53a 9,73a 15,93a 15,27a 11,33a

Inpari 23 12,93c 17,20c 31,80c 33,33c 30,47c

Jumlah Bibit per Lubang 1 Bibit 4,44p 7,89p 20,89p 25,78q 22,33pq

3 Bibit 8,78q 12,00q 22,00p 24,78q 22,11q

5 Bibit 9,33q 12,67q 29,00q 28,44r 24,56r

10 Bibit 14,22r 15,22r 23,78p 24,00q 22,33qr

20 Bibit 16,33s 16,78r 23,11p 18,33p 15,22p

KK (%) 23,47 27,71 24,43 16,81 18,86

Sumber: Data primer (2015)

Keterangan : *Rerata pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat 5% dengan LSD.

Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas Inpari 23 menghasilkan tambahan jumlah anakan per rumpun yang lebih banyak dibandingkan varietas Sintanur dan Inpari 16 pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST. Pada kondisi pertumbuhan vegetatif akhir (60 HST) varietas Inpari 23 mempunyai kemampuan untuk menambah jumlah anakan per rumpun yang lebih tinggi (33,33 anakan/rumpun) dibandingkan dengan varietas Sintanur (24,20 anakan/rumpun) dan Inpari 16 (15,27 anakan/rumpun). Kondisi ini sesuai dengan deskripsi dari masing-masing varietas berkaitan dengan potensi hasil dan jumlah anakan per rumpun (Suprihatno dkk., 2010). Berdasarkan deskripsinya, varietas Inpari 23 memiliki potensi hasil 9,2 t/ha, sedangkan Sintanur dan Inpari 16 masing-masing 7,0 t/ha dan 7,6 t/ha (Suprihatno dkk., 2010). Tanaman dengan kemampuan pembentukan jumlah anakan yang tinggi diprediksi akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman dengan jumlah anakan yang sedikit (Susilo dkk., 2015). Hal ini tentunya harus didukung oleh faktor pertumbuhan dan lingkungan yang memadai (Wibawa dan Rahman, 2016).

Hasil ini membuktikan bahwa jumlah anakan dipengaruhi oleh sifat genetis. Jumlah anakan merupakan salah satu sifat genetik dan berperan penting dalam menentukan produktivitas tanaman padi. Anakan aktif dan produktif yang terbentuk cukup banyak karena tanaman ditumbuhkan dalam kondisi ideal, tidak ada faktor pembatas dari lingkungan biotik maupun abiotik termasuk ruang dalam pembentukan anakan (Gardner dkk., 1985). Hal ini berarti bahwa setiap pendekatan teknologi budidaya memerlukan varietas tertentu dikaitkan dengan pola dan kemampuan pembentukan anakan. Pendekatan teknologi budidaya yang mensyaratkan penanaman bibit muda dan sangat muda dengan jumlah bibit dan benih yang efisien (PTT, Jarwo Super, dan SRI) akan tepat jika menggunakan varietas dengan kemampuan pembentukan anakan yang banyak (Inpari 23 dan Sintanur)

Pola penambahan jumlah anakan per rumpun dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan jumlah bibit per lubang. Rerata pertambahan jumlah anakan per rumpun pada umur 15 - 45 HST sangat dipengaruhi oleh jumlah bibit per lubang tanam. Ada hubungan (korelasi) yang erat antara jumlah bibit per lubang dengan penambahan jumlah anakan per rumpun pada umur 15 - 45 HST. Penambahan

Page 68: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

51

jumlah anakan berbanding lurus dengan jumlah bibit per lubang. Semakin banyak bibit per lubang, semakin banyak tambahan jumlah anakannya. Kondisi ini tidak berlaku pada umur lebih dari 45 - 60 HST dimana penambahan jumlah anakan per rumpun tidak berbanding lurus dengan jumlah bibit per lubang. Pada umur 45 HST rerata penambahan jumlah anakan per rumpun berkisar antara 20,89 - 29,00 anakan per rumpun, di mana penambahan tertinggi dicapai pada perlakuan 5 bibit/lubang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penanaman dengan jumlah bibit per lubang yang banyak maupun sedikit pada akhirnya akan membentuk jumlah anakan yang setara. Kondisi ini terjadi karena adanya persaingan antar bibit dalam memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan yang tersedia. Pada awal pertanaman hingga sebelum umur 45 HST, persaingan antar bibit dari rumpun yang ditanam dalam jumlah banyak belum terjadi, sehingga peningkatan jumlah bibit per rumpun selalu diikuti dengan peningkatan penambahan jumlah anakan. Kondisi yang demikian tidak terjadi pada fase-fase pertumbuhan berikutnya. Dengan mengetahui pola pembentukan anakan berdasarkan jumlah bibit yang ditanam dapat ditentukan strategi untuk pencapaian produktivitas yang diinginkan.

Teknologi PTT, SRI, dan Jarwo Super punya kesamaan karakteristik yang diantaranya adalah dalam penggunaan bibit sangat muda dan muda, penanaman 1-3 bibit per lubang serta penggunaan benih yang efisien (10 - 25 kg/ha). Teknologi ini memerlukan varietas yang mampu membentuk anakan dengan cepat dan banyak untuk mencapai produktivitas yang tinggi, karena penanamannya dengan 1-3 bibit per lubang tanam. Jika menggunakan varietas yang kemampuan anakannya sedikit maka konsekuensinya adalah dengan penanaman bibit per lubang dengan jumlah yang banyak. Kondisi ini menuntut peningkatan jumlah benih yang harus disiapkan, yang berarti terjadi peningkatan input dan biaya. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas Inpari 23 dan Sintanur sesuai untuk teknologi PTT, SRI, dan Jarwo Super (Mikasari dan Wibawa, 2016). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Misran (2014) dan Susilo dkk. (2015) bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik hendaknya penggunaan bibit per lubang tidak lebih dari 3 bibit.

Teknologi Hazton mempunyai karakteristik yang berbeda dengan teknologi lainnya yang diantaranya adalah penanaman bibit tua (25-30 HST) dan penanaman bibit per lubang yang banyak (20-30 bibit per lubang), sehingga memerlukan benih yang sangat banyak (4-6 kali; 100-150 kg/ha) dibandingkan dengan teknologi lainnya. Teknologi Hazton mensyaratkan penanaman bibit 20-30 per lubang dan tidak mengharapkan penambahan anakan sekunder. Tambahan anakan justru dapat menurunkan mutu hasil dan gabah yang dihasilkan (Jamil dkk, 2016; Mikasari dan Wibawa, 2016). Untuk itu penggunaan varietas dengan kemampuan pembentukan anakan yang sedikit seperti Inpari 16 lebih sesuai untuk teknologi Hazton.

Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun penting untuk diketahui dalam implementasi penentuan jumlah bibit per lubang yang erat kaitannya dengan kebutuhan benih per ha. Semakin banyak jumlah bibit per lubang mempunyai konsekuensi makin banyak jumlah bibit yang harus disediakan. Penggunaan benih atau bibit yang banyak berdampak terhadap besarnya nilai input atau biaya yang harus disediakan oleh petani (Wibawa dan Honorita, 2016). Varietas dan jumlah bibit per lubang berpengaruh nyata terhadap kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST. Interaksi antara perlakuan varietas dan jumlah bibit per rumpun tidak signifikan (Tabel 3).

Page 69: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

52

Tabel 3. Rerata kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST.

Perlakuan Umur*

15 HST 30 HST 45 HST 60 HST 75 HST

Varietas Sintanur 3,26b 4,27b 8,88b 9,80b 8,76b

Inpari 16 2,88a 3,52a 5,97a 6,68a 5,35a

Inpari 23 3,72b 5,82c 10,62c 12,34c 11,12c

Jumlah Bibitper Lubang 1 Bibit 5,44s 8,89t 21,89s 26,78t 23,33t

3 Bibit 3,93r 5,00s 8,82r 9,26s 8,87s

5 Bibit 2,87q 3,53r 6,71q 6,69r 5,92r

10 Bibit 2,42q 2,52q 3,38p 3,40q 3,23q

20 Bibit 1,82p 1,83p 2,16p 1,92p 1,35p

KK (%) 22,05 24,65 23,57 24,33 17,21

Sumber: Data primer (2015)

*Rerata pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat 5% dengan LSD.

Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas Inpari 23 mempunyai kemampuan tiap bibit dalam

pembentukan anakan per rumpun yang paling tinggi, dan diikuti oleh varietas Sintanur dan Inpari 16 pada umur 15, 30, 45, 60, dan 75 HST. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa varietas Inpari 23 sesuai untuk ditanam dengan jarak tanam yang relatif sempit sampai lebar, sistem tanam jarwo, tanam bibit muda, jumlah bibit per lubang yang sedikit dengan pendekatan PTT, Jarwo Super, maupun SRI. Varietas Inpari 16 sesuai untuk ditanam dengan kondisi kerapatan tinggi, dan sesuai untuk teknologi budidaya yang mensyaratkan jarak tanam rapat, tanam bibit tua, jumlah bibit per lubang banyak dengan pendekatan Hazton.

Tabel 3 menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara jumlah bibit per lubang dengan kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah bibit per lubang, semakin kecil kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun. Pada umur 15 HST, kemampuan pembentukan anakan tiap bibit per rumpun berkisar antara 1,82 - 5,44 anakan, di mana kemampuan tertinggi dicapai oleh perlakuan dengan 1 bibit per lubang (5,44 anakan), sedangkan yang terendah (1,82 anakan) pada perlakuan dengan 20 bibit per lubang. Pada umur 60 HST, terdapat pola yang sama, di mana semakin banyak jumlah bibit per lubang, semakin kecil kemampuan pembentukan anakan tiap bibit per rumpun. Pada umur 60 HST, kemampuan pembentukan anakan tiap bibit per rumpun berkisar antara 1,92 - 26,78 anakan (Gambar 1).

Sumber: Data primer (2015)

Gambar 1. Rerata kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun pada umur 15, 30, 45, 60,

dan 75 HST.

15 HST 30 HST 45 HST 60 HST 75 HST

1 Bibit 5,44 8,89 21,89 26,78 23,33

3 Bibit 3,93 5,00 8,82 9,26 8,87

5 Bibit 2,87 3,53 6,71 6,69 5,92

10 Bibit 2,42 2,52 3,38 3,40 3,23

20 Bibit 1,82 1,83 2,16 1,92 1,35

AN

AK

AN

KEMAMPUAN TIAP BIBIT DALAM PEMBENTUKAN ANAKAN PER RUMPUN

Page 70: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

53

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada umur 60 HST tanaman padi yang ditanam dengan 1 bibit per lubang mampu membentuk anakan hingga 26,78 anakan, sedangkan rumpun yang ditanam dengan 20 bibit per lubang hanya mampu membentuk anakan 1,92 anakan per bibit yang ditanam. Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun semakin tinggi pada rumpun yang ditanam dengan jumlah bibit per lubang yang sedikit (1-3 bibit per lubang). Pada rumpun yang ditanam dengan jumlah bibit yang relatif banyak (>5 bibit per lubang), kemampuan tiap bibit untuk menghasilkan anakan semakin sedikit. Kenyataan ini menunjukkan bahwa penanaman dengan 1 - 3 bibit per lubang sudah memadai untuk menghasilkan anakan per rumpun yang cukup banyak (26,78 - 27,66 anakan) sebagai upaya untuk mendapatkan produktivitas tinggi jika semua kebutuhan lingkungan dan unsur hara esensialnya terpenuhi. Misran (2014) dan Susilo dkk. (2015) melaporkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik hendaknya penggunaan bibit per lubang tidak lebih dari 3 bibit. Hal ini diperkuat oleh laporan dari Christanto dan Agung (2014) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik cukup dengan menanam bibit tunggal dengan jarak yang relatif jarang.

KESIMPULAN

Penambahan jumlah anakan per rumpun yang paling banyakdihasilkan oleh varietas Inpari 23 (33,33 anakan) dan penanaman dengan 5 bibit per lubang (28,44 anakan)

Kemampuan tiap bibit dalam pembentukan anakan per rumpun yang tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 23 (12,34 anakan) dan penanaman dengan 1 bibit per lubang (26,78 anakan)

Varietas Inpari 23 dan Sintanur sesuai untuk pendekatan PTT, Jarwo Super, dan SRI, sedangkan Inpari 16 sesuai untuk Hazton.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Hendri Suyanto, SP. yang telah membantu dalam pelaksanaan percobaan dan pengumpulan data secara periodik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2015. Panduan teknologi budidaya Hazton pada tanaman padi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 19 p.

Christanto H. dan IGAM Sri Agung. 2014. Jumlah bibit per lubang dan jarak tanam berpengaruh terhadap hasil padi gogo (Oryza sativa L) dengan System of Rice Intensification (SRI) di lahan kering. Jurnal Bumi Lestari. 14 (1): 1-8

Gardner, F.P., R.B. Peace, dan R.L. Mitchell. 1985. Fisiologi tanaman budidaya. The Iowa State University Press.

Gomez, K.A dan A. A. Gomez. 1984. Statistic procedures for agricultural research. John Wiley & Sons. New York.680p.

Hardjowigeno, H.S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 p. Jamil, A., S. Abdulrachman, P. Sasmita, Z. Zaini, dan Wiratno. 2016. Petunjuk teknis budidaya padi

jajar legowo super. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: 27 p. Mikasari, W. dan W. Wibawa. 2016. Mutu fisik gabah dan beras Aromatik. Dalam Kumpulan

Makalah litkaji hasil penelitian pengembangan dan penerapan inovasi teknologi Pertanian Bengkulu tahun 2015, Seminar diselenggarakan pada tanggal Desember 2015 di Bengkulu: 55-63

Misran. 2014. Efisiensi penggunaan jumlah bibit terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 14 (1):39-43.

Saryoko, A. 2009. Kajian pendekatan penanda padi (Rice Check) di Provinsi Banten. Widyariset 12(2):43-52.

Steel, R.G.D., J.H. Torrie. 1960. Principles and procedures of statistics with special reference to the biological sciences. London.

Sugandi, D., Y. Farmanta, U.P. Astuti dan W. Wibawa. 2015. Upaya peningkatan produksi padi melalui pendekatan sistem dinamik dalam mewujudkan kemandirian pangan di Provinsi Bengkulu. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 4

Page 71: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

54

November 2014 di Makasar, Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia ke 34: Pertanian bioindustri berbasis pangan lokal potensial: 455 - 466.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki SE, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, IP Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.

Suryana, A, S. Mardianto & M. Ihksan, 2001. Dinamika kebijakan perberasan nasional. Sebuah Pengantar dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Penyunting: Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI).

Susilo J., Ardian, dan E. Ariani. 2015. Pengaruh jumlah bibit per lubang dan dosis pupuk N, P, dan K terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah (Oryza sativa L.) dengan metode SRI. JOP Faperta. 2 (1): 1-15

Wahyuni, S. 2011. Teknik produksi benih sumber padi. Makalah disampaikan dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2011 dan Koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Wardana P., Widyantoro, Rahmini, S. Abdulrachman, Z. Zaini, dan A. Jamil. 2015. Panduan teknologi budidaya SRI. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 14 p.

Wibawa, W. dan B. Honorita. 2016. Potensi dan peluang pengembangan Bioindustri berbasis integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma. Dalam Kumpulan Makalah litkaji hasil penelitian pengembangan dan penerapan inovasi teknologi Pertanian Bengkulu tahun 2015, Seminar diselenggarakan pada tanggal Desember 2015 di Bengkulu: 108 - 117

Wibawa, W. dan Nurmegawati. 2014. Potential of improved swamp rice varieties on tidal swamp in Bengkulu City. Dalam Prosiding Simposium Internasional yang diselenggarakan pada tanggal 17-18 September 2013 di Bengkulu, The 3rd internasional symposium for sustainable humanosphere (ISSH): 344 - 347.

Wibawa, W., Nurmegawati, dan D. Sugandi. 2015. Kajian kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 16 September 2014 di Palembang, Pertanian ramah lingkungan mendukung bioindustri di lahan sub optimal: 39 - 46.

Wibawa, W. dan T Rahman. 2016. Budidaya padi aromatik pada lahan sawah irigasi. Dalam Kumpulan Makalah litkaji hasil penelitian pengembangan dan penerapan inovasi teknologi Pertanian Bengkulu tahun 2015, Seminar diselenggarakan pada tanggal Desember 2015 di Bengkulu: 1 - 9

Wibawa, W., Yesmawati, dan D. Sugandi. 2013. Strategi pengembangan unit pengelola benih sumber dalam penyediaan dan percepatan penyebarluasan varietas unggul baru di Provinsi Bengkulu. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2013 di Bengkulu, Inovasi teknologi pertanian ramah lingkungan spesifik lokasi mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di Provinsi Bengkulu: 139 - 143.

Page 72: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

55

KERAGAAN AGRONOMIS RATUN PADI GENERASI F4 DARI PERSILANGAN PADI VARIETAS LOKAL BENGKULU PADA LAHAN RAWA LEBAK

AGRONOMIC PERFORMANCES OF RATOON OF F4 GENERATION OF RICE LINESDERIVED FROM CROSS OF BENGKULU LOCAL RICE VARIETIES AS GROWN ON

INLAND SWAMP

Sumardi, M. Chozin, Hermansyah

Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Bengkulu Jl. WR. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Budidaya ratun merupakan alternatif dalam upaya meningkatkan produktivitas padi pada lahan rawa. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keragaan agronomis ratun dari persilangan varietas padi lokal Bengkulu generasi F4 yang diseleksi dan dikembangkan untuk ekosistem rawa lebak. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan dan melibatkan delapan galur padi sebagai perlakuan, yaitu G1 (Hanafi Putih x Sidenuk), G2 (Batubara x Harum Curup), G3 (Tigo-tigo x Harum Curup), G6 (Diah Suci x Lubuk Durian), G7 (Harum Curup x Sidenuk), G9 (Lubuk Durian x Hanafi Putih), G10 (Tigo-tigo x Bestari) dan G11 (Harum Curup x Bestari). Data dikumpulkan dari pengamatan umur muncul ratun, jumlah ratun total, jumlah ratun produktif, tinggi ratun, umur panen, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 100 biji, persentase gabah bernas, dan bobot gabah per rumpun. Data dianalisis menggunakan uji Fisher dilanjutkan dengan uji rataan LSD (Least Significance Different ). Umur munculnya ratoon tidak memperlihatkan perbedaan antar galur, yakni sekitar 4,5 hari setelah panen utama. G11 merupakan galur yang menghasilkan jumlah ratun terbanyak diantara galur yang diuji, yakni sebanyak 9,33 batang, umur panen tergenjah yaknin 40,94 hari setelah panen utama dan hasil gabah per tanaman tertinggi, yakni 3 g/tanaman. G10 merupakan galur yang memiliki postur tanaman tertingi, yakni 47,20 cm, bobot 100 biji tertinggi, yakni 2,57 g.

Kata Kunci: ratun padi, rawa lebak, varietas lokal

ABSTRACT

Ratoon production offers an alternative solution for improving rice productivity on swampy area. Objective of this study was to compare the agronomic performances of rice inbred lines that previously selected and developed for inland swamp ecosystem. Experiment was arranged in a randomized complete block design with three replications and involved 8 rice inbred lines as the treatment, viz., G1 (Hanafi Putih x Sidenuk), G2 (Batubara x Harum Curup), G3 (Tigo-tigo x Harum Curup), G6 (Diah Suci x Lubuk Durian), G7 (Harum Curup x Sidenuk), G9 (Lubuk Durian x Hanafi Putih), G10 (Tigo-tigo x Bestari) dan G11 (Harum Curup x Bestari). Data were collected from observations of ratoon appearance date, total ratoon number, 100 grain weight, ratoon harvest date, percent of filled grain, and grain weight per plant. Data were analyzed using Fisher's exact test followed by a test average of LSD (Least Significance Different).Ratoon appearance date showed no significant different among the lines, with the average 4.5 days following main harvest. G11 produced the highest ratoon number (9.33), earliest harvest date (40,94 day following main harvest) and the highest grain yield per plant, ie 3 g/plant.G10 exhibited the tallest stature (47.20 cm) and 100 grain weight (2.57).

Keywords: rice ratoon, inland swamp, local varieties

Page 73: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

56

PENDAHULUAN

Program pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan terutama padi, saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan seperti pertumbuhan produksi yang cenderung menurun (levelling off), dan alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan ke non pangan. Permintaan pangan yang terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, memaksa kita untuk mengembangkan potensi yang ada untuk meningkatkan produksi pangan. Menurut data statistik estimasijumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai 284,8 juta jiwa dan tahun 2035 akan mencapai 305,7 juta jiwa (BPS, 2012).

Selain intensifikasi, ekstensifikasi merupakan program yang dinilai realistis untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya padi. Faktanya lahan yang sesuai untuk tanaman padi, khususnya padi sawah sudah semakin terbatas. Lahan yang relatif masih tersedia termasuk golongan lahan sub optimal atau marginal, baik lahan marginal kering maupun lahan marginal basah (rawa).

Lahan rawa merupakan ekosistem yang memiliki karakteristik yang spesifik, berbeda dengan ekosistem lainnya, trutama disebabkan oleh kondisi regim airnya. Berdasarkan kondisi regim airnya lahan rawa dibedakan menjadi laha rawa pasang surut dan lahan rawa lebak. Lahann rawa lebak adalah yang kondisi regim airnya dipengaruhi oleh curah hujan, baik yang turun di wilayah setempat maupun daerah sekitarnya atau bagian hulu (Sudana, 2005).

Indonesia memiliki lahan rawa seluas 33,4 juta hektar, 13, 28 juta hektar diantaranya merupakan rawa lebak (Notohadiprawiro, 1984). Lahan rawa dikategorikan sebagai lahan marginal, karena adanya beberapa faktor pembatas pertumbuhan tanaman seperti tingkat kesuburan tanah dan tata air yang fluktiatif. Berbgai daerah dengan kearifan lokalnya beberapa varietas padi dapat dibudidayakan pada ekosistem rawa secara berkelanjutan (Ar-riza et al., 2007; Noor et al., 2007).

Pemupukan pada lahan rawa yang selalu tergenang untuk meningkatkan hasil sebagaimana yang dilakukan pada lahan sawah dengan tanah mineral sering tidak efektif, karena pupuk akan hanyut. Budaya menanam satu kali dalam satu tahun juga membatasi indeks pertanaman (IP). Pemilihan varietas yang memiliki adaptasi baik di lahan rawa, yakni memiliki produktivitas yang tinggi serta mampu menghasilkan ratun produktif yang baik perlu diupayakan. Varietas dengan karakter tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan tanpa harus meningkatkan indeks pertanaman (Susilawati et al., 2012; Susilawati, 2013).

Pengelolaan ratun pada tanaman padi tergolong mudah, murah dan cepat. Secara umum tanaman padi yang telah dipanen akan menghasilkan ratun. Selanjutnya ratun akan menghasilkan malai dan bulir gabah yang dapat dipanen kembali dalm waktu yang singkat. Susilowati at al., (2012) mengemukakan bahwa gabah dari ratun padi sudah dapat dipanen sekitar 45-60 hari setelah panen utama dengan kisaran hasil mencapai 26-57% dari hasil penen utama.

Keberhasilan tananan utama menghasilkan ratun dan produktif sangat dipengaruhi oleh teknik budidayanya seperti tinggi pemotongan pada tanaman utama (Jones, 1993), waktu panen (Tari, 2011) dan pengelolaan unsur hara pada ratun (Oliver et al., 2014). Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas ratus adalah varietas padi, karena perbedaan varietas dapat memiliki daya ratun yang berbeda (Susilawati et al., 2010; Faruq et al., 2014). Demikian pula sifat-sifat agronomis pada tanaman utama seperti jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif juga mempengaruhi daya ratun (Oad et al., 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keragaan agronomis ratun dari persilangan varietas padi lokal Bengkulu generasi F4 yang diseleksi dan dikembangkan untuk ekosistem rawa lebak.

Page 74: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

57

BAHAN DAN METODE

Penelitian menggunakan galur-galur padi generasi F4 yang diseleksi dan dikembangkan untuk ekosistem rawa lebak. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan dan melibatkan delapan galur padi sebagai perlakuan, yaitu G1 (Hanafi Putih x Sidenuk), G2 (Batubara x Harum Curup), G3 (Tigo-tigo x Harum Curup), G6 (Diah Suci x Lubuk Durian), G7 (Harum Curup x Sidenuk), G9 (Lubuk Durian x Hanafi Putih), G10 (Tigo-tigo x Bestari) dan G11 (Harum Curup x Bestari). Percobaan dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2016. Data dikumpulkan dari pengamatan umur muncul ratun, jumlah ratun total, jumlah ratun produktif, tinggi ratun, umur panen, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 100 biji, persentase gabah bernas, dan bobot gabah per rumpun. Data dianalisis menggunakan Statistical Software CoStat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Umur munculnya ratun tidak memperlihatkan perbedaan antar galur, yakni sekitar 4,5 hari setelah panen utama. Galur 10 yang merupakan hasil persilangan Tigo-tigo x Bestari memiliki postur tanaman tertingi (47,20 cm) dan sebaliknya galur 2 (Batubara x Harum Curup) memiliki postur terendah dengan rata-rata tinggi ratun 34,3 cm (Tabel 1). Dari delapan galur yang diuji hasil persilangan Harum Curup x Bestari (G11) memiliki jumlah ratun terbanyak dibandingkan dengan galur lainnya, yakni rata-rata 9,33 batang, dan sebaliknya hasil persilangan Batubara x Harum Curup (G2) memiliki potensi ratun terendah, yakni 4,33 batang (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa kemempuan menghasilkan ratun berbeda antar varietas meskipun dalam lingkungan yang sama. Sejalan dengan hasil penelitian Susilawati et al., 2010, menyatakan bahwa yang mempengaruhi produktivitas ratus diantaranya adalah varietas padi.

Tabel 1. Penampilan Tinggi dan Jumlah Ratun Padi Generasi F4 dari Persilangan Padi Varietas Lokal Bengkulu pada Lahan Rawa Lebak

Galur Tinggi Ratun Jumlah Ratun

G10 (Tigo-tigo x Bestari) G9 (Lb Durian x Hanafi Putih) G3 (Tigo-tigo x Harum Curup) G6 (Diah Suci x Lubuk Durian) G11 (Harum Curup x Bestari) G1 (Hanafi Putih x Sidenuk) G7 (Harum Curup x Sidenuk) G2 (Batubara x Harum Curup)

47,21a 40,17b 39,48bc 36,86bc 36,28bc 36,18bc 35,79bc 34,30c

5,59bc 8,94ab 4,39c 5,17c 9,33a 6,11abc 5,33c 4,33c

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yanga sama, tidak berbeda pada taraf LSD 5%.

Tabel 2. Penampiulan Bobobot 100 biji dan Umur Panen Ratun Padi Generasi F4 dari Persilangan

Padi Varietas Lokal Bengkulu pada Lahan Rawa Lebak

Galur Bobot 100 biji (g) Umur Panen (hari)

G10 (Tigo-tigo x Bestari) G3 (Tigo-tigo x Harum Curup) G9 (Lb Durian x Hanafi Putih) G1 (Hanafi Putih x Sidenuk) G2 (Batubara x Harum Curup) G6 (Diah Suci x Lubuk Durian) G7 (Harum Curup x Sidenuk) G11 (Harum Curup x Bestari)

2,57a 250a 2,40ab 2,33abc 2,23bc 2,20bc 2,13c 2,10c

42,68bcd 46,83a 43,28b 41,17cd 43,89b 42,17bcd 42,06bcd 40,94d

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yanga sama, tidak berbeda pada taraf LSD 5%.

Persilangan Tigo-tigo x Bestari (G10) pada generasi F4, disamping memiliki postur yang

tinggi dibandingkan dengan tujuh persilangan lainnya, juga memiliki ukuran gabah yang lebih besar. Hal ini dilihat dari bobot gabah 100 biji, rata-rata 2,57 g. Semenmtara persilangan Harum Curup x Bestari (G11) disamping persilangan yang memiliki jumlah ratun terbanyak dibandingkan dengan tujuh hasil persilangan lainnya memiliki umur yang paling genjah, yakni rata-rata dapat dipanen setelah 40,94 hari setelan panen tanaman utama (Tabel 2), demikian pula hasil gabah per rumpun

Page 75: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

58

yakni 3 g/rumpun atau baru mencapai 14,64% dari panen utama, namun secara statistik tidak berbeda dengan tujuh persilangan lainnya. Hasil gabah per rumpun sangat dipengaruhi oleh komponen hasil lainnya seperti panjang malai, jumlah bulir per malai dan persentase bulir bernas. Komponen hasil tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi, kuantitas dan kualitas organ tanaman yang berkaitan erat dengan proses akumulasi bahan kering, yakni daun.

Panjang malai ratun dari delapan hasil persialngan yang diuji tidak menunjukkan adanya perbedaan. Rata-rata panjang malai terpanjang hanya 15,11 cm atau 66,27% dari panjang malai tanaman utama, yakni 22,8 cm diperoleh dari hasil persilangan Tigo-tigo x Bestari (G10). Demikian pula dengan jumlah gabah per malai dan persentase gabah bernas. Rata-rata jumlah gabah per malai pada hasil ratun terbanyak pada hasil persilangan diperoleh dari hasil persilangan Diah Suci x Lubuk Durian (G6), yakni 37,94 bulir atau 38,99% dari jumlah gabah per malai pada tanaman utama, yakni 97,30 bulir. Persentase gabah bernas tertinggi dihasilkan dari persilangan Harum Curup x Bestari (G11), yakni 61,23% atau 70,21% dari hasil panen utama, yaitu87,20%.

Berdasarkan hasil penelitian ini, potensi hasil ratun pada lahan rawa lebak dapat ditingkatkan disamping dengan menggunakan avrietas yang memiliki adaptasi baik pada lahan rawa, perlu pengelolaan lingkungan tumbuh setelah panen utama untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ratun yang lebih baik.

KESIMPULAN

Persilangan Harum Curup x Bestari (G11) merupakan galur yang menghasilkan jumlah ratun tertinggi (9,33 batang), umur panen tergenjah (40,94 hari setelah panen utama), dan hasil gabah per tanaman tertinggi, yakni 3 gram per tanaman. Hasil persilangan Tigo-tigo x Bestari (G10) merupakan galur yang memiliki postur tanaman tertingi (47,20 cm) dan bobot 100 biji tertinggi (2,57 g).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tahun 2016, yang telah mendanai penelitian ini.

2. Rahmat Setiawan, mahasiswa Fakultas Pertanian yang telah membantu pelaksanaan percobaan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-riza, I., N. Fauziati, dan H.D. Noor. 2007. Kearifan lokal sumber inovasi dalam mewarnai teknologi budidaya padi di lahan rawa lebak. In. Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (eds). Kearifan Budaya Lokal Dalam Pertanian Di Lahan Rawa . BBLitbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p 39-48.

Faruq, G., R.M. Taha, and Z.H. Prodhan. 2014. Rice ratoon crop: A sustainable rice production system for tropical hill agriculture. Sustainability 6: 5785 – 5800

Jones, D. B. (1993). Rice ratoon response to main crop harvest cutting height. Agronomy Journal, 85(6), 1139-1142.

Noor, M., M. Alwi, dan K. Anwar. 2007. Kearifan lokal dalam perspektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. In. Mukhlis, I. Noor, M. Noor, dan R.S. Simatupang (eds). Kearifan Budaya Lokal Dalam Pertanian di Lahan Rawa . BBLitbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p 61-69.

Notohadiprawiro, T., 1984. Mengenal Hakekat lahan rawa sebagai dasar pengembangannya untuk budidaya tanaman pangan. Makalah dalam “Diskusi Pola Pengambangan Pertanian Tanaman Pangan di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Dit. Bina Program Dit.Jen. Pertanian Tanaman Pangan. Palembang, 29 Juli-03 Agustus 1984.

Oad, F. C., M.A.Samo, Z.U, Hassan, P.S. Cruz, and N.L. Oad. 2002. Correlation and path analysis of quantitative characters of rice ratoon cultivars and advance lines. Int. J. Agric. Biol, 4: 204-207.

Page 76: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

59

Olivier, K., M. Cherif, B. Kone, D. Emmanuel, and K.K. Firmin. 2014. Growth, yields and ratooning performance of lowland rice Nerica L14 as affected by different fertilizers. Ind. J. Sci. Res. and Tech. 2: 18-24.

Sudana, W., 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. 3(2):141-151.

Susilawati. 2013. Peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani padi sistem ratun di lahan pasang surut. Buletin Inovasi Teknologi Pertanian 1: 12-17.

Susilawati, B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, dan E. Santosa. 2010. Keragaan varietas dan galur padi tipe baru indonesia dalam sistem ratun. Jurnal Agronomi Indonesia 38: 177-184.

Susilawati, B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, dan E. Santosa. 2012. Tingkat produksi ratun berdasarkan tinggi pemotongan batang padi sawah saat panen. Jurnal Agronomi Indonesia 40: 1-7.

Tari, D.B. 2011. Effect of harvesting time and plant residual on agronomic traits of rice ratoon. American-Eurasioan J. Agric. & Environ. Sci. 11: 129-132.

Page 77: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

60

KARAKTER AGRONOMI DAN DAYA HASIL TIGA BELAS GALUR HARAPAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) DI LAHAN MASAM

AGRONOMICAL CHARACTERISTICS AND YIELD POTENTIAL OF THIRTEEN SOYBEAN (Glycine max (L.) Merrill) ELITE LINES GROWN ON ACID SOIL

Dotti Suryati1, Resika Alvionita

1, Hartal

2

1Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

2Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

Jl. W.R. Supratman Telp (0736)-21290 e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan potensi hasil dan keragaman dari galur-galur harapan kedelai dengan varietas pembanding pada lahan masam. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya (Tahura)RajoleloAgustus sampai Desember 2015. Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), satu faktor perlakuan yaitu 15 genotipe kedelai,terdiri atas 13 galur harapan dan 2 varietas pembanding. Karakter kualitatif; bentuk daun, warna daun, warna bunga, skor kerebahan, warna biji, warna hilum, dan kriteria ukuran biji. Karakter kuantitatif; umur berbunga, bobot berangkasan kering, umur panen, tinggi tanaman, jumlah buku subur, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan bobot biji per petak. Hasil percobaan menunjukkan bahwa berdasarkan kemiripan, 13 galur harapan dan 2 varietas pembanding dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan bentuk daun dan warna hilum. Kelompok pertama (I);bentuk daun oval meruncing dan warna hilum coklat tua terdapat pada semua galur/varietas, kecuali G511H/Anj-1-3. Kelompok kedua (II) yaituG511H/Anj-1-3; bentuk daun oval membulat dan warna hilum coklat muda. Dari 13 galur harapan yang diuji hanya galur 13 ED, 14 DD, 19 BE dan 25 EC memiliki jumlah cabang produktif yang setara dengan varietas pembanding (Tanggamus dan Demas). Varietas pembanding memiliki umur berbunga lambat, umur panen sangat dalam, tinggi tanaman tertinggi, dan jumlah buku subur terbanyak dibanding 13 galur lainnya. Galur G2BB, 11 AB, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 memiliki bobot biji per petak lebih tinggi dibandingkan galur/varietas lainnya. Ketiga galur inimemiliki bobot 100 biji lebih besar dibanding varietas Tanggamus dan Demas, sehingga memiliki daya hasil tinggi.

Kata Kunci: kedelai, karakter agronomi, galur harapan.

ABSTRACT

Soybean (Glycine max (L.) Merrill) is a leguminous food crop commonly used as supplementary diet and animal feed. The domestic demand for soybean is steadily increased along with the population growth and the development of feed industries. Unfortunately, the current soybean production has not complied with the demand.The objective of this study was to compare the yield potential and agronomical characteristics of thirteen soybean elite lines developed for better adapted to acid soil. Experiment was conducted August 2015 to December 2015 at Bengkulu University Agriculture Experiments Station. A randomized Complete Block Design with three replications was used to allocate fifteen soybean genotypes, consisted of thirteen elite lines and two check varieties, on the experimental plots. The results of this research show that according to the similarity, 13 soybean lines and 2 check varieties soybeans can be classified into two groups based on the leaf shape and hilum color. First group (I) has taper oval leaf shape and dark hilum in all strain/varieties except G511H/Anj-1-3. The second group (II) which is G511H/Anj-1-3 has rounded oval leaf and light brown color. From 13 soybean lines, only 13 ED, 14 DD, 19 BE, and 25 EC had productive branches which proportionate with check varieties (Tanggamus and Demas). Check varieties had late flowering and maturity, higher plant stature, produced many fertile nodes than the thirteen lines. Line G2BB, 11 AB, and G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 produced higher yield per plot as compared to the other genotypes and, also, they had larger seed size than the check varieties.

Key Words: soybean, agronomic character, elite lines.

Page 78: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

61

PENDAHULUAN

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produktivitas kedelai dari tahun 2014 - 2015 mengalami peningkatan dari 15,51 kuintal/ha menjadi 15,69 kuintal/ha dengan penurunan luas panen dari 615.685 ha menjadi 613.886 ha. Namun angka ini masih kalah dibandingkan impor kedelai yang dilakukan Indonesia pada periode Januari hingga Agustus 2015, tercatat impor kedelai mencapai 1.525.748 ton.

Salah satu penyebab naiknya volume impor kedelai ialah akibat lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah masam Podsolik Merah Kuning yang tergolong dalam Ultisol. Tanah ini memiliki sifat buruk bagi tanaman akibat tingkat kemasaman dan kandungan Al yang tinggi. Kemasaman tanah dan kandungan Al yang tinggi dapat merusak perakaran tanaman sehingga kemampuan penyerapan air dan unsur hara terhambat, kandungan unsur hara makro dan mikro seperti N, P, K, Ca, Mg, dan Mo yang rendah, yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan mati (Sutjahjo, 2006).Terobosan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut ialah dengan melakukan peningkatan mutu dan hasil kedelai yang dapat dicapai dengan merakit varietas unggul yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lahan masam

Varietas mempunyai peranan penting dalam mencapai mutu dan produktivitas kedelai yang tinggi, hal itu sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam (Adisarwanto, 2007). Varietas unggul yang ideal adalah berdaya hasil tinggi, tahan hama penyakit utama, dan stabil pada berbagai lingkungan (Suratmini dan Nyoman, 2005). Ukuran biji besar merupakan sifat penting dalam perakitan varietas unggul di Indonesia yang memiliki potensi produksi tinggi (Wahdina, 2004). Penampilan karakter agronomi (tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen) sangat dipengaruhi oleh perbedaan varietas dan terlihat sesuai dengan sifat-sifat masing-masing genotipe (Yardha dan Asni, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkandaya hasil dan keragaman dari galur-galur harapan kedelai dengan varietas pembanding pada lahan masam.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Taman Hutan Raya Rajolelo(Tahura), Kota Bengkulu pada bulan Agustus sampai Desember 2015.Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan satu faktor perlakuan yaitu lima belas genotipe kedelai digunakan sebagai rancanagn percobaan., Lima belas genotipe kedelai terdiri dari13 galur harapan kedelai yang berasal dari Batan (Balai Tenaga Nuklir Nasional) yaitu G4AB (G1), G2BB (G2), G3CB (G3), G5EB (G4), G1DB (G5), berasal dari UNIB (Universitas Bengkulu) yaitu 11 AB (G6), 13 ED (G7), 14 DD (G8), 19 BE (G9), 25EC(G10), berasal dari Balitkabi (Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian) yaitu G115H/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 (G11), G511H/Anj//Anj-2-10 (G12), G511H/Anj-1-3 (G13) dan 2 varietas pembanding yaitu Tanggamus (G14) dan Demas 1 (G15). Perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh45 unit satuan percobaaan dengan 10tanaman sebagai sampel.

Lahan dibersihkan dari gulma kemudian diolah menggunakan traktor. Setelah lahan diolah, dibuat petakan dan digemburkan lagi menggunakan cangkul dengan ukuran 2 m x 4,5 m dengan jarak antar ulangan 1 m dan jarak antar petak 50 cm. Penanaman benih dilakukan dengan cara ditugal sedalam 2-3 cm, dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Sebelum benih ditanam, dilakukan penambahan furadan pada setiap lubang tanam dan benih yang akan ditanam dibasahi air sedikit dan ditaburi legin (rhizobium) sampai biji tersebut terbungkus legin. Benih dimasukkan ke dalam lubang tanam sebanyak 2 biji per lubang tanam, kemudian ditutup kembali dengan tanah gembur.

Pemberian pupuk kandang sapi 10 kg/petak (setara 10 ton/Ha) dilakukan 1 minggu sebelum tanam. Pupuk anorganikdiberikan secara alur disamping lubang tanam pada waktu tanam dengan dosis 225 g/petak(setara 250 kg/Ha) NPK Mutiara dan 75 g/petak (setara 100 kg/Ha) TSP. Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara dicabut dan secara mekanik menggunakan cangkul atau sabit pada 3 minggu setelah tanam. Penyiraman dilakukan secara rutin dua hari sekali. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan baik secara fisik (dipencet atau dimusnahkan langsung) maupun secara kimia dilakukan mulai 8 mst menggunakan insektisida berbahan aktif Deltametrin dengan konsentrasi 25 g/l dan insektisida berbahan aktif lamda Sihalotrin dengan konsentrasi 25 g/l diaplikasikan dua kali seminggu secara bergantian dan dihentikan pada dua minggu sebelum panen. Pemanenan dilakukan apabila 95 % polong pada satu tanaman telah berwarna kuning kecoklatan dan keringdilakukan dengan cara memotong menggunakan gunting.

Page 79: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

62

Data diperoleh dari pengamatan karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif; bentuk daun, warna daun, warna bunga, skor kerebahan, warna biji, warna hilum, dan kriteria ukuran biji. Sedangkan karakter kuantitatif; umur berbunga, b obot berangkasan kering, umur panen, tinggi tanaman, jumlah buku subur, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan bobot biji per petak. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan karakter kualitatif. Kedekatan karakter kualitatif antar galur dianalisis cluster dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Hasil analisis disajikan dalam bentuk dendrogram dengan jarak koefisien korelasi berupa persentase kemiripan. Semakin besar nilai persentase semakin besar pula kemiripan antar aksesi (Widodo, 2010). Analisis cluster adalah salah satu teknik multivariate (bertingkat) untuk mengidentifikasi sekelompok obyek yang memiliki kemiripan sifat - sifat tertentu yang dapat dipisahkan dengan kelompok obyek yang lainnya (Saparni, 2008).

Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis varians (ANAVA) dengan uji F taraf 5 %. Apabila terdapat perbedaan nyata dilakukan uji Scott-Knott. Uji Scott-Knott merupakan prosedur pengujian perbedaan diantara rata-rata perlakuan yang bisa digunakan meskipun data perlakuan sangat banyak sehingga memudahkan penginterpretasian informasi yang dihasilkan (Mardin, 2011). Data hasil yang diperoleh dari uji Scott-Knott dikelompokkan dan dibahas berdasarkan Panduan Pengujian Individual Kedelai (Departemen Pertanian, 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Lokasi Penelitian

Lahan penelitian banyak ditumbuhi berbagai jenis gulma rumput berdaun lebar. Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara pada bulan Agustus, September, Oktober dan November secara berturut-turut adalah 27,1

0C, 26,6

0C, 27,6

0C dan 27

0C; 82%, 83%, 83% dan 86%. Rata-rata suhu udara pada

saat penelitian tergolong kedalam suhu tinggi dengan rata-rata suhu udara 27,10C. Sumarno et al.

(2007) menyatakan suhu di atas 270C kurang optimal untuk kualitas biji sebagai benih, berkaitan

dengan laju pengisisan dan pemasakan biji yang kurang optimal. Kelembaban udara sudah tergolong optimal dengan rata-rata kelembaban udara 83,5%. Selama pelaksanaan penelitian, curah hujan pada bulan Agustus - Desember 2015 bervariasi. Curah hujan pada bulan Agustus, September, Oktober, dan November secara berturut-turut adalah 148 mm, 69 mm, 0 mm, dan 415 mm, dengan rata-rata curah hujan 158 mm/bulan yang merupakan kondisi yang cukup bagi pertumbuhan kedelai.

Jenis tanah di lokasi percobaan adalah Podsolik Merah Kuning (Ultisol) yang memiliki pH (H2O) 4,00 (masam) dengan kandungan unsur hara N-Total 0,14 %, C-Total 3,97 %, N-Total 0,14 %, P 3,0 ppm, K-dd 0,12 me/100 g, Na-dd 0,15 me/100 g, Ca-dd 0,86 me/100 g, Mg-dd 0,53 me/100 g, KTK 7,26 me/100 g, Al-dd 4,80 me/100 g, H-dd 0,48 me/100 g. Kurangnya kandungan unsur hara tersebut merupakan masalah tidak suburnya tanah di lokasi percobaan.

Selama penelitian berlangsung banyak terjadi serangan hama diantaranya pada fase vegetatif terdapat serangan ulat grayak (Spodoptera litura) pada umur 5 mst (minggu setelah tanam) dan belalang pada umur 4-9 mst. Pada fase generatif juga terdapat serangan penggerek polong (Etiella zinckenella) dan kepik penghisap polong (Nezara viridula).

Sifat Kualitatif Galur-Galur Harapan Kedelai

Analisis pengelompokan terhadap karakter kualitatif dari 13 galur harapan dan 2 varietas pembanding kedelai menghasilkan dendrogram dengan koefisien ketidakmiripan berkisar antara 5 sampai 20 (Gambar 1). Kemiripan maupun ketidakmiripan antar galur/varietas yang diuji dapat dilihat menggunakan Cluster Analysis (analisis kelompok) yang berupa pohon filogenetik atau disebut dendogram (Widodo, 2010)

Page 80: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

63

Gambar 1. Dendrogram berdasarkan kemiripan karakter kualitatif 13 galur harapan dan 2 varietas

pembanding kedelai

Berdasarkan hasil analisis kelompok terlihat bahwa 13 galur harapan dan 2 varietas pembanding memiliki tingkat ketidakmiripan rendah, karena mempunyai nilai koefisien mendekati 20. Pada koefisien ketidakmiripan 20 hanya dapat dibentuk dua cluster (kelompok). Kelompok pertama (I) memiliki bentuk daun oval meruncing dan warna hilum coklat tua dimiliki oleh semua galur/varietas yang diuji kecuali G511H/Anj-1-3. Kelompok kedua (II) yaitu galur G511H/Anj-1-3 memiliki tingkat kemiripan yang paling berbeda dibanding yang galur/varietas yang lain, memiliki bentuk daun oval membulat dan warna hilum coklat muda. Menurut Jantje (2011), dari analisis cluster dapat diinterpretasikan bahwa tingkat kemiripan ditentukan oleh koefisien. Semakin tinggi koefisien yang diperoleh maka semakin dekat kekerabatannya karena memiliki sifat-sifat yang hampir sama. Galur G511H/Anj-1-3 berbeda dengan galur yang lain terutama galur yang sejenis yaitu galur G511H/Anj//Anj-2-10 karena galur G511H/Anj//Anj-2-10 telah dilakukan persilangan sebanyak dua kali sedangkan galur G511H/Anj-1-3 hanya dilakukan persilangan satu kali. Oleh karena itu galur G511H/Anj//Anj-2-10 memiliki sifat kualitatif yang sama dengan galur yang lain dan berbeda dengan galur G511H/Anj-1-3.

Pertumbuhan dan Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai

Hasil analisis varians memperlihatkan bahwa antar genotipe berbeda nyata pada variabel umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah buku subur, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji per petak. Sedangkan pada variabel bobot brangkasan kering dan bobot biji per tanaman memperlihatkan bahwa antar genotipe berbeda tidak nyata (Tabel 1.).

Page 81: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

64

Tabel 1. Hasil analisis varians semua variabel pengamatan kuantiatif

Variabel pengamatan Kuadrat tengah F hitung

Galur/Varietas Galat

Umur berbunga (hst) 40,75 4,23 9,62*

Bobot berangkasan kering (g) 49,38 47,64 1,04tn

Umur panen (hst) 159,71 6,55 24,40*

Tinggi tanaman (cm) 412,63 27,63 14,94*

Jumlah buku subur 94,15 16,33 5,76*

Jumlah cabang produktif 2,03 0,52 3,94*

Jumlah polong per tanaman 1477,15 267,79 5,52*

Bobot biji per tanaman (g) 4,72 2,77 1,70tn

Bobot 100 biji (g) 27,48 1,41 19,45*

Bobot biji per petak (g) 13255,33 4421,16 3,00*

Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf α 5% tn = Berbeda tidak nyata Sumber : Pengamatan sendiri tahun 2015

Pertumbuhan Galur-Galur Harapan Kedelai

Untuk membandingkan variabel pertumbuhan galur-galur harapan dan varietas kedelai dapat diketahui dari uji lanjut Scott-Knott yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata umur berbunga (UB), umur panen (UP), tinggi tanaman (TT), jumlahbuku subur (JBS) dan jumlah cabang produktif (JCP) pada 13 galur harapankedelai dan 2 varietas pembanding di lahan masam

Galur/Varietas UB (hst) UP (hst) TT (cm) JBS (buah) JCP (buah)

G4AB 37,33 a 109,7 c 42,8 c 18,09 d 1,38 b G2BB 36,67 a 94,3 a 43,7 c 19,40 d 2,69 b G3CB 36,67 a 110,0 c 48,6 c 21,58 d 1,89 b G5EB 36,00 a 109,7 b 48,9 c 25,09 c 2,11 b G1DB 37,00 a 111,0 c 38,5 d 16,87 d 2,62 b 11 AB 36,67 a 93,3 a 46,0 d 21,96 d 2,67 b 13 ED 40,67 b 98,7 a 43,7 c 26,62 c 3,29 a 14 DD 39,33 b 105,0 b 41,6 c 26,13 c 3,40 a 19 BE 35,67 a 95,3 a 33,6 d 21,04 d 3,33 a 25 EC 39,00 b 103,7 b 40,7 c 28,27 c 4,56 a G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 36,67 a 102,7 b 51,8 c 19,18 d 2,60 b G511H/Anj//Anj-2-10 35,67 a 93,0 a 47,4 c 17,11 d 2,64 b G511H/Anj-1-3 36,67 a 103,3 b 33,7 d 17,51 d 2,56 b Tanggamus 47,00 d 112,7 d 71,6 a 35,85 a 4,07 a Demas 46,67 c 113,3 e 67,2 b 31,07 b 3,56 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Scott-Knott α 5%

Sumber : Pengamatan sendiri tahun 2015

Umur berbunga dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok berbunga sangat awal, awal, sedang, dan lambat. Kelompok berbunga sangat awal ditunjukkan oleh 10 galur harapan kedelai (G4AB, G2BB, G3CB, G5EB, G1DB, 11 AB, 19 BE, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, G511H/Anj//Anj-2-10, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 35,67 – 37,33 hst. Kelompok berbunga awal ditunjukkan oleh 3 galur harapan kedelai (13 ED, 14 DD, dan 25 EC) yaitu berkisar antara 39,00 – 40,67 hst. Kelompok berbunga sedang hanya dimiliki varietas Demas yaitu 46,67 hst dan kelompok berbunga lambat juga hanya dimiliki varietas Tanggamus yaitu 47,00 hst. Tanaman kedelai sangat peka terhadap panjangnya hari (fotoperiod). Perpindahan dari periode vegetatif ke periode reproduktif sangat dipengaruhi oleh lamanya penyinaran. Tanaman kedelai tergolong tanaman hari pendek yang berarti tidak akan berbunga apabila periode gelap yang diterimanya tiap hari kurang dari 10 jam. Periode ini tidaklah sama bagi tiap galur dan kultivar (Hidajat, 1985). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan umur berbunga.

Untuk umur panen dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok sangat genjah, genjah, medium, dalam dan, sangat dalam. Kelompok umur panen sangat genjah ditunjukkan oleh 5 galur harapan kedelai (G2BB, 11 AB, 13 ED, 19 BE, dan G511H/Anj//Anj-2-10) yaitu berkisar antara 93,0 – 98,7 hst. Kelompok umur panen genjah ditunjukkan oleh 5 galur harapan kedelai (G5EB, 14 DD, 25 EC, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 102,7 – 109,7 hst.

Page 82: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

65

Kelompok umur panen medium ditunjukkan oleh 3 galur harapan kedelai (G4AB, G3CB, dan G1DB) yaitu berkisar antara 109,7 – 111,0 hst. Kelompok umur panen dalam hanya dimiliki varietas Tanggamus yaitu 112,7 hst dan kelompok umur panen sangat dalam hanya dimiliki varietas Demas yaitu 113,3 hst. Umur berbunga dan umur panen dipengaruhi oleh fase vegetatif, jika fase pertumbuhan vegetatif baik akan menyebabkan umur berbunga dan umur panen lama. Fase vegetatif dipengaruhi oleh ukuran biji, biji yang berukuran besar mempengaruhi kecepatan pertumbuhan benih karena banyak memiliki cadangan makanan (Damanik et al., 2013). Perbedaan umur berbunga ini diduga juga karena perbedaan genetik dari masing-masing galur dan varietas. Menurut Sumarno et al. (2007), varietas yang sama jika ditanam dengan iklim yang berbeda maka umur berbunga dan umur panennya berbeda. Suhu berinteraksi dengan panjangnya penyinaran dalam menentukan waktu pembungaan dan waktu panen pada suhu optimal (23-26

0C), tanaman kedelai membentuk

pertumbuhan organ vegetatif dan generatif maksimal, dan pada suhu rendah atau suhu tinggi terjadi penghambatan. Hal tersebut terbukti karena pada suhu rata-rata penelitian ini yaitu 27,1

0C terjadi

penghambatan umur berbunga dan umur panen menjadi lebih dalam dibanding deskripsi varietas yang telah ada.

Tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang mudah dilihat dan diamati sehingga sering digunakan sebagai parameter untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Dari hasil analisis data, tinggi tanaman terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Kelompok sangat tinggi hanya dimiliki varietas Tanggamus yaitu 71,6 cm. Kelompok tinggi juga hanya dimiliki varietas Demas yaitu 67,2 cm. Kelompok sedang ditunjukkan oleh 9 galur harapan kedelai ( G4AB, G2BB, G3CB, G5EB, 13 ED, 14 DD, 25 EC, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, dan G115H/Anj//Anj-2-10) yaitu berkisar antara 40,7 – 48,9 cm. Kelompok rendah ditunjukkan oleh 4 galur harapan kedelai (G1DB, 11 AB, 19 BE, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 33,6 – 46,0 cm.

Jumlah buku subur terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu sangat banyak, banyak, sedang, dan sedikit. Kelompok jumlah buku subur sangat banyak dimiliki varietas Tanggamus yaitu 35,85. Kelompok banyak dimiliki varietas Demas yaitu 31,07. Kelompok sedang ditunjukkan oleh 4 galur harapan kedelai (G5B, 13 ED, 14 DD, dan 25 EC) yaitu berkisar antara 25,09 – 26,62. Kelompok sedikit ditunjukkan oleh 9 galur harapan kedelai (G4AB, G2BB, G3CB, G1DB, 11 AB, 19 BE, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, G511H/Anj//Anj-2-10, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 17,11 – 21,96. Untuk jumlah cabang produktif dibagi menjadi 2 kelas, yaitu banyak dan sedikit. Kelas banyak ditunjukkan oleh 4 galur harapan kedelai (13 ED, 14 DD, 19 BE, dan 25 EC) dan 2 varietas pembanding (varietas Tanggamus dan Demas) yaitu berkisar antara 3,29 – 4,56. Sedangkan kelompok sedikit ditunjjukan oleh 9 galur harapan kedelai (G4AB, G2BB, G3CB, G5EB, G1DB, 11 AB, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, G511H/Anj//Anj-2-10, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 1,38 – 2,69. Hal ini sejalan dengan penelitian Minarti (2006), galur 25 EC mempunyai jumlah cabang produktif dan buku subur tertinggi dibandingkan galur lainnya.

Page 83: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

66

Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai

Hasil uji lanjut Scott-Knott untuk membandingkan variabel hasil galur-galur dan varietas kedelai disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji lanjut nilai rata-rata jumlah polong per tanaman (JP), bobot 100 biji(B100B) dan bobot biji per petak (BBP).

Galur/Varietas JP (buah) B100B (g) BBP (g)

G4AB 54,2 b 13,39 c 143,00 b G2BB 54,0 b 18,91 a 260,76 a G3CB 50,7 b 12,12 c 88,99 b G5EB 78,1 b 15,47 b 166,01 b G1DB 45,9 b 10,42 d 90,10 b 11 AB 73,9 b 17,37 a 197,21 a 13 ED 73,0 b 14,72 b 143,82 b 14 DD 77,8 b 14,08 c 113,86 b 19 BE 65,8 b 14,87 b 151,38 b 25 EC 95,8 a 12,49 c 97,46 b G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 58,2 b 16,88 a 200,63 a G511H/Anj//Anj-2-10 43,0 b 18,61 a 277,82 a G511H/Anj-1-3 47,4 b 12,54 c 110,18 b Tanggamus 117,5 a 12,18 c 72,89 b Demas 105,3 a 8,03 e 51,61 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Scott-Knott α 5%.

Sumber : Pengamatan sendiri tahun 2015

Jumlah polong per tanaman terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok banyak dan sedikit.

Kelompok banyak ditunjukkan oleh 1 galur harapan kedelai (25 EC) dan 2 varietas pembanding (Tanggamus dan Demas) yaitu berkisar antara 95,8 – 117,5. Kelompok sedikit ditunjukkan oleh 12 galur harapan kedelai (G4AB, G2BB, G3CB, G5EB, G1DB, 11 AB, 13 ED, 14 DD, 19 BE, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, G511H/Anj//Anj-2-10, dan G511H/Anj-1-3) yaitu berkisar antara 43,0 – 78,1. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah polong per tanaman ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan jumlah buku subur (Tabel 2 dan 3). Hal ini didukung oleh Nurmayulis (2004) yang menyatakan bahwa jumlah cabang produktif dan jumlah buku subur berkolerasi positif terhadap jumlah polong yang dihasilkan. Jika jumlah buku subur yang terbentuk banyak maka jumlah polong yang terbentuk juga banyak (Contessa, 2009).

Bobot biji per petak terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok tinggi dan kelompok rendah. Kelompok tinggi ditunjukkan oleh 4 galur harapan kedelai (G2BB, 11 AB, G511H/Anj//Anj-2-10 dan G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6) yaitu berkisar antara 197,81 - 277,82 g. Kelompok rendah ditunjukkan oleh 9 galur harapan kedelai (G4AB, G2BB, G3CB, G5EB, G1DB, 13 ED, 14 DD, 19 BE, 25 EC,dan G511H/Anj-1-3) dan 2 varietas pembanding (Tanggamus dan Demas) yaitu berkisar antara 51,61 – 1661,01 g. Menurut Rasyad dan Idwar (2010), hasil biji tanaman sangat ditentukan oleh faktor genetik dan sekaligus menunjukan kontribusi interaksi genotipe x lingkungan (G x E) yang dominan atau adanya respon suatu genotipe pada lingkungan yang berbeda.

Bobot 100 biji terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok sangat besar, besar, sedang, kecil dan sangat kecil. Kelompok sangat besar ditunjukkan 4 galur harapan kedelai (G2BB, 11 AB, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6, dan G511H/Anj//Anj-2-10) yaitu berkisar antara 16,88 – 18,91 g. Kelompok besar ditunjukkan oleh 3 galur harapan kedelai (G5EB, 13 ED, dan 19 BE) yaitu berkisar antara 14,72 – 15,47 g. Kelompok sedang ditunjukkan oleh 5 galur harapan kedelai (G4AB, G3CB, 14 DD, 25 EC, dan G511H/Anj-1-3) dan 1 varietas pembanding (Tanggamus) yaitu berkisar antara 12,12 – 14,08 g. Kelompok kecil hanya dimiliki oleh galur G1DB yaitu 10,42 g dan kelompok sangat kecil juga hanya dimiliki oleh varietas Demas yaitu 8,03 g. Bobot 100 biji dipengaruhi oleh ukuran biji dan kadar air biji. Semakin besar ukuran biji dan semakin tinggi kadar air pada biji maka bobot 100 biji akan semakin tinggi (Rozison, 2012).

Page 84: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

67

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman

Tabel 4. Persentase serangan kepik penghisap polong (Nezara viridula) dan penggerek polong (Etiella zinckenella)

Galur/Varietas Serangan

Etiella zinckenella (%) Serangan

Nezara viridula (%)

G4AB 29,57 43,60 G2BB 22,07 50,27 G3CB 34,97 39,77 G5EB 31,17 45,79 G1DB 20,35 49,03 11 AB 28,82 49,13 13 ED 22,98 56,24 14 DD 27,38 52,17 19 BE 23,94 51,22 25 EC 17,33 65,97 G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 30,83 43,30 G511H/Anj//Anj-2-10 10,73 34,20 G511H/Anj-1-3 17,69 50,77 Tanggamus 33,87 52,52 Demas 19,97 66,05

Keterangan : Persentase serangan Etiella zinckenelladan Nezara viridula Sumber : Pengamatan sendiri tahun 2015

Hama Etiella zinckenella dan Nezara viridula merupakan hama yang memiliki persentase

serangan yang lebih besar daripada hama lain yang menyerang, sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh lebih kecil dibanding deskripsi varietas. Persentase serangan Etiella zinckenella tertinggi dimiliki oleh galur G3CB (34,97 %) dan yang terendah dimiliki oleh galur 25 EC (17,33 %). Menurut Yuliantoro et al. (2008), E. zinckenella merupakan spesies yang paling dominan dan mengakibatkan kehilangan hasil panen kedelai hingga 80%. Kehilangan hasil tersebut merupakan dampak dari gerekan larva pada polong dan biji. Bintik coklat pada polong yang tertutupi oleh benang pintal merupakan jalan masuknya larva dan lubang besar pada polong sebagai jalan keluar larva dewasa untuk melanjutkan stadium pupa di dalam tanah. Polong yang terserang juga ditandai oleh butiran-butiran kotoran yang terikat satu sama lain oleh benang pintal berwarna coklat kekuningan dan adanya gerakan pada biji.

Persentase serangan Nezara viridula tertinggi dimiliki oleh Varietas Demas (66,05 %) dan yang terendah dimiliki oleh galur G511H/Anj//Anj-2-10 (34,20 %). Kehilangan hasil yang disebabkan oleh N. viridula tergantung dari kepadatan populasi nimfa atau imago, tahap pembungaan polong dan biji serta frekuensi tusukan pada biji. Serangan N. viridula menyebabkan polong muda gugur, polong dan biji kempis, biji jadi hitam dan berkerut yang akhirnya menyebabkan kualitas dan kuantitas hasil panen serta daya tumbuh benih menurun (Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, 1992).

Salah satu penyebab tanaman kedelai yang ditanam pada saat penelitian sangat rentan terhadap serangan hama diduga akibat kurangnya kebutuhan hara kedelai. Pada penelitian ini pemberian pupuk masih berdasarkan rekomendasi yang bersifat umum yaitu 250 kg/Ha NPK + 100 kg/Ha TSP. Padahal kondisi status dan keseimbangan hara N, P, dan K disetiap lokasi sangat beragam. Menurut Manshuri (2012), Pemupukan N, P, dan K pada kedelai yang bersifat umum tidak efesien dan dapat mempercepat degradasi lahan, dikarenakan dosis pupuk yang diberikan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman dan daya dukung lahan. Oleh karena itu, pemupukan N, P, dan K yang diberikan harus sesuai dengan target hasil yang ingin dicapai, dan berdasarkan pemupukan spesifik lokasi untuk tetap mempertahankan status kesuburan lahan. Kebutuhan pupuk N, P, dan K pada kelas hara tanah dengan kategori rendah ialah 174 kg/Ha NPK, 104 kg/Ha SP36, dan 210 kg/Ha KCl.

Proses pembentukan dan perkembangan biji berkaitan erat dengan ketersediaan asimilat atau fotosintat dari laju fotosintesis pada fase pertumbuhan. Apabila proses ini belum berjalan secara optimal maka akan mempengaruhi perkembangan bobot biji. Buckman dan Brady (1982) juga menyatakan bahwa unsur P berperan menjaga keseimbangan efek pemberian N yang berlebihan, merangsang pembentukan jaringan dan memperkuat dinding sel, sehingga tanaman mempunyai sifat ketahanan terhadap serangan hama.

Page 85: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

68

KESIMPULAN

1. Berdasarkan kemiripan, 13 galur harapan dan 2 varietas pembanding kedelai dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan bentuk daun dan warna hilum. Kelompok pertama (I) memiliki bentuk daun oval meruncing dan warna hilum coklat tua dimiliki oleh semua galur/varietas kecuali G511H/Anj-1-3. Kelompok kedua (II) yaitu galur G511H/Anj-1-3 memiliki bentuk daun oval membulat dan warna hilum coklat muda.

2. Dari 13 galur harapan hanya galur 13 ED, 14 DD, 19 BE dan 25 EC memiliki jumlah cabang produktif yang sebanding/setara dengan varietas pembanding (Tanggamus dan Demas). Varietas pembanding memiliki umur berbunga lambat, umur panen sangat dalam, tinggi tanaman tertinggi dan jumlah buku subur terbanyak dibanding 13 galur harapan yang diuji.

3. Galur G2BB, 11 AB, G115/Kaba//Kaba///Kaba-8-6 memiliki bobot biji per petak lebih tinggi dibandingkan galur/varietas lainnya. Ketiga galur ini juga memiliki keunggulan bobot 100 biji yang lebih besar dibanding varietas Tanggamus dan Demas, sehingga memiliki daya hasil yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada bapak Dr. Ir. M. Muchlish Adie, MS. sudah mengajak penelitian bersama di tiga Provinsi dengan dana DIPA 2015 PusatPenelitianDanPengembanganTanamanPangan BalaiPenelitianTanamanAnekaKacangDanUmbi

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2007. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Data Produksi dan Impor Kedelai Indonesia. Dikutip

dariwww.bps.go.id. Diakses pada 11 Januari 2016. Buckman, H. O. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah (terjemahan Soegiman). BharatakaryaAksara. Jakarta. Contessa, T. A. 2009. Hubungan Komponen Pertumbuhan dan Komponen Hasil dengan Hasil Galur-

Galur Harapan Kedelai Persilangan Varietas Malabar dan Kipas Putih. Skripsi. Fakultas Pertanian UNIB. Bengkulu (tidak dipublikasikan).

Damanik. A. F., Rosmayati, dan H. Hasyim. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi Kedelai terhadap Pemberian Mikoriza dan Penggunaan Ukuran Biji pada Tanah Salin. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(2): 142-153.

Departemen Pertanian. 2007. Panduan Pengujian Individual Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) 27(1): 6-7.

Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. 1992. Pedoman pengenalan dan pengendalian hama tanaman kedelai. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta.

Hidajat. 1985. Morfologi tanaman kedelai dalam S.Somatmaja, M. Ismunadi, Sumarno, M. Syam, S. O. Manurung dan Yuswadi (Editor). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor.

Manshuri, A. G. 2012. Optimasi Pemupukan NPK Pada Kedelai Untuk Mempertahankan Kesuburan Tanahdan Hasil Tinggi di Lahan Sawah. Iptek Tanaman Pangan 7(1): 38-46.

Mardin, M. J. 2011. Aplikasi Uji Gugus Scott-Knott Dalam Bidang Pertanian. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Minarti, D. 2006. Pertumbuhan dan hasil galur-galur harapan kedelai hasil persilangan varietas Malabar/Kipas Putih di Pagaralam. Skripsi. Fakultas Pertanian UNIB, Bengkulu (tidak dipublikasikan).

Rasyad, A. dan Idwar. 2010. Interaksi Genetik x Lingkungan dan Stabilitas Komponen Hasil Berbagai Genotipe Kedelai Di Provinsi Riau. Jurnal Agronomi Indonesia 38(1): 25-29.

Rozison. 2012. Karakterisasi Galur-Galur Harapan Kedelai yang Efisien Menggunakan Fosfor (P). Skripsi. Fakultas Pertanian UNIB. Bengkulu (tidak dipublikasikan).

Sumarno dan A. G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia dalam, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Editor). Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang kacangan dan Umbi-umbian. Malang.

Page 86: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

69

Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim. 2007. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Suratmini, Putu dan I Nyoman Adijaya. 2005. Uji Adaptasi Beberapa varietas Jagung di Lahan Kering GerokgakBuleleng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bali.

Suryati, D., A. Munawar, Hasanudin, D.W. Ganefianti, dan D. Apriyanto. 2000. Perakitan varietas kedelai (Glycine max (L) Merrill) yang efisien dalam menyerap hara fosfor (P): Pewarisan SIfat efisiensi hara P. Laporan penelitian hibah bersaing UNIB. Bengkulu.

Suryati, D. 1988. Soybean Seed Filling Period Measurement Methods and Value for Parental Selection. Thesis. Associate Professor of Agronomi. University of Kentucky. Lexington Kentucky.

Sutjahjo, S.H. 2006. Seleksi in vitro untuk ketenggangan terhadap Aluminium pada empat genotype jagung. Akta Agrosia 9(2): 61-66.

Wahdina. 2004. Evaluasikemajuan seleksi generasi F3 dan F4 persilangan kedelai varietas Selamat X GH-09. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Widodo, F. 2010. Karakterisasi morfologi beberapa aksesi tanaman srikaya (Annona squamosa L.) di daerah Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Yardha dan Asni Nur. 2002. Tanggap Beberapa Varietas Kedelai terhadap Pemupukan di Lahan Kering.Jurnal Agronomi 9(2): 77-82.

Yuliantoro, B., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008. Penggerek polong kedelai, Etiella zickenella Treitschke(Lepidoptera: pyralidae), dan strategi pengendaliannya di Indonesia. Jurnal penelitian dan pengembangan pertanian. 27(4): 113-123.

Page 87: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

70

PRODUKTIVITAS KEDELAI HITAM PADA TANAH MINERAL BERGAMBUT LAHAN PASANG SURUT PADA SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR

BLACK SOYBEAN PRODUCTIVITY IN MINERAL PEATY TIDAL SOIL USING SATURATED WATER FARMING SYSTEM

Hesti Pujiwati1, Munif Ghulamahdi

2, Sudirman Yahya

2, Sandra Arifin Aziz

2, Oteng Haridjaja

3

1Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

3Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jl. WR. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Perbaikan lingkungan tumbuh dan penggunaan varietas yang beradaptasi dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman lingkungan di lahan marjinal. Penelitian ini bertujuan (1) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam pada kedalaman muka air yang berbeda (2) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam pada jenis amelioran yang berbeda (3) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam dengan varietas yang berbeda. Pada penelitian ini digunakan rancangan Split-split Plot 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah ketinggian muka air yakni: ketinggian muka air 10 dan 20 cm. Faktor ke-dua adalah varietas yakni: Tanggamus sebagai pembanding, Cikuray, Ceneng. Faktor ke-tiga adalah jenis amelioran yakni: air sungai air gambut dan air pasang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Ceneng pada kedalaman muka air 20 cm memiliki bobot petak panen dan produktivitas yang nyata paling tinggi masing-masing sebesar 567.10 g dan 3.97 ton ha

-1 dan tidak terdapat perbedaan nyata terhadap amelioran yang diberikan.

Kata kunci: amelioran, budidaya jenuh air, kedelai hitam, mineral bergambut

ABSTRACT

Improvement of growing environment and the use of varieties can be used to mitigate environmental stress of marginal land. An Experiment was conducted with several objectives (1) to identify growth and yield of black soybean at several depths of water table, (2) to identify growth and yield of black soybean as affected by application of several ameliorant, (3) to identify growth and yield of several black soybean varieties. Factors investigated were the depth of water table (10 and 20 cm), variety (Tanggamus – as control, Cikuray, Ceneng) and ameliorant type (river water, peat water, and high-tide water). These factors were arranged in a Split-plot Design with three replications. The results showed that, Cenangat a depth of 20 cm water level has harvesting weight and highest productivity of 567.10 g and 3.97 ton ha -1 and there are no real differences to ameliorant given.

Keywords: ameliorant, black soybean, saturated soil culture

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan bahan pangan penting sebagai sumber protein nabati. Kebutuhan kedelai masyarakat semakin meningkat tetapi produksi belum mencukupi. Berdasarkan data BPS (2013) produktivitas kedelai Indonesia pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 1.32 ton ha

-1

dibandingkan tahun 2011 dan diikuti dengan penurunan luasan panen 55.25 ha.

Kedelai hitam merupakan salah satu varietas yang mempunyai banyak kelebihan, baik dari segi kesehatan maupun ekonomis. Kandungan antosianin, isoflavon dan mineral Fe kedelai hitam lebih tinggi dibanding kedelai kuning. Hal ini menyebabkan kedelai hitam dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti iritasi lambung, sesak nafas, anti kanker dan obat awet muda. Kedelai hitam umumnya hanya digunakan untuk bahan baku kecap. Adie dan Krisnawati (2007) melaporkan bahwa kecap yang dibuat dari kedelai hitam selain mempunyai aroma dan rasa kecap yang enak juga memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning sehingga permintaan kedelai hitam meningkat. Ginting dan Suprapto (2004) melaporkan bahwa kedelai hitam varietas Merapi mempunyai kandungan protein lebih tinggi (37.4%) dibanding kedelai kuning varietas Argomulyo (34.0%) dengan kadarlemak lebih rendah, sehingga kadar protein kecapnya juga lebih tinggi.

Page 88: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

71

Untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri maka perlu dilakukan upaya-upaya seperti peningkatan luas areal penanaman (ekstensifikasi) dan juga penerapan teknologi budidaya kedelai yang dapat meningkatkan produktivitasnya. Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (Alihamsyah 2004). Selanjutnya menurut Haridjaja dan Herudjito (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat kandungan C-organik menjadi 3 kelompok yaitu: mineral (C-organik 18%), mineral bergambut (C-organik 18-38%) dan gambut (C-organik > 38%).

Pengembangan budidaya tanaman di lahan mineral bergambut pasang surut memiliki kendala tingginya kandungan Al dan Fe. Oksidasi pirit menyebabkan peningkatan ion H

+. Nilai pH yang

rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+

terlepas dari sulfat masam. Konsentrasi ion logam yang berlebihan dalam larutanakan menyebabkan keracunan tanaman. Pencegahan oksidasi pirit dapat dilakukan dengan pengelolaan air dan pemberian amelioran. Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan dibawah permukaantanah jenuh air dengan kondisi yang lebih anaerobik. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Budidaya jenuh air meningkatkan bobot kering akar dan bintil akar serta aktivitas bakteri penambat N bila dibandingkan cara irigasi biasa (Troedson et al. 1983). Banyaknya bintil dan akar tanaman kedelai pada budidaya jenuh air akan meningkatkan serapan hara daun, sehingga meningkatkan hasil kedelai dibandingkan cara konvensional (Ghulamahdi et al. 2009). Banyaknya perakaran yang muncul pada budidaya jenuh air karena adanya hormon etilen yang berasal dari prekursor ACC (1 amino siklopropana-1-asam karboksilat) (Ghulamahdi 1999).

Penggunaan amelioran bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa amelioran berfungsi meningkatkan nilai pH (Kurniawan 2007; Raihan 2007), meningkatkan ketersediaan unsur hara, memperbaiki kandungan air dan permeabilitas tanah (Kurniawan 2007). Bahan amelioran adalah bahan yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan produktivitas dari lahan yang diusahakan.

Pendekatan penting untuk mengatasi toksisitas Al dan Fe pada lahan mineral bergambut adalah menanam varietas kedelai hitam yang toleran. Penggunaan varietas kedelai hitam yang toleran dan penggunaan amelioran pada teknologi budidaya jenuh air diharapkan meningkatkan produktivitas kedelai hitam di lahan mineral bergambut pasang surut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam pada kedalaman muka air yang berbeda (2) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam pada jenis amelioran yang berbeda (3) memperoleh informasi pertumbuhan dan hasil kedelai hitam dengan varietas yang berbeda pada lingkungan tumbuh yang berbeda (kedalaman muka air dan amelioran).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di tanah mineral bergambut tipe luapan B lahan pasang surut Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian berlangsung selama 5 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai Agustus 2014. Lahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya sudah dua kali dilakukan penanaman kedelai.

Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan Split-split Plot 3 faktor dengan3 ulangan. Faktor pertama adalah ketinggian muka air yakni: ketinggian muka air 10 cm dan ketinggian muka air 20 cm. Faktor ke-dua adalah varietas yakni: Tanggamus sebagai pembanding, Cikuray dan Ceneng. Faktor ke-tiga adalah jenis amelioran yakni: air sungai, air gambut dan air pasang.

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: tanah lapisan atas diolah ringan. Amelioran diberikan seminggu sekali dengan dosis 2.4 l/kg

1 tanah dengan disiramkan pada permukaan

tanah. Amelioran air sungai berasal dari sungai di saluran primer lahan pasang surut, amelioran air pasang berasal dari saluran sekunder lahan pasang surut, amelioran air gambut berasal dari air gambut lahan pasang surut tipe luapan B. Pupuk dasar diberikan 1 minggu sebelum tanam. Pupuk dasar terdiri atas: 100 kg ha

-1 KCl dan 200 kg ha

-1 SP36. Pupuk Urea diberikan melalui daun dengan dosis 10 g/l

air diberikan pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam dengan volume semprot 400 L ha-1

maka

Page 89: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

72

kebutuhan urea sebesar 4 kg/ha. Benih yang telah diberi inokulan Rhizobium sp (5 g/kg benih) dan Marshal (insektisida berbahan aktif karbosulfon 25.53%) ditanam dengan jarak tanam 40 x 12.5 cm dengan ukuran petak percobaan 2 x 4 m.

Selama penelitian ketinggian muka air dalam saluran dipertahankan 10 cm dan 20 cm sesuai perlakuan dengan memasukkan air dari saluran tersier ke dalam saluran. Bambu berskala dipasang pada setiap saluran air untuk membantu mengontrol kedalaman muka air. Air untuk mempertahankan kondisi jenuh air diperoleh dari saluran tersier di lahan pasang surut.

Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiangan gulma serta pengendalian hama dan penyakit. Kedelai hitam dipanen jika sudah menunjukkan masak fisiologis yang ditandai dengan menguningnya daun dan polong berwarna coklat kehitaman. Peubah yang diamati meliputi: tinggi tanaman, jumlah cabang, petak panen dan produktivitas.Selain itu dilakukan analisis tanah sebelum penelitian dan analisis jaringan tanaman pada saat 6 MST.

Data penelitian dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan DMRT menggunakan program SPSS 13.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi tanah merupakan salah satu faktor yang dapat membatasi pertumbuhan dan hasil tanaman. Analisis tanah pada tanah mineral bergambut tipe luapan B disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis tanah awal lahan mineral bergambut tipe luapan B

Kriteria Mineral bergambut (tipe luapan B)

1. pH H2O 4.2 (sangat masam) 2. pH KCl 3.3 (sangat masam) 3. C Organik (%) 38 (mineral bergambut) 4. N total (%) 1.85 (sangat tinggi) 5. P tersedia (ppm) 45.8 (sangat tinggi) 6. Ca (me 100g

-1) 8.3 (sedang)

7. Mg (me 100g-1

) 2.76 (tinggi) 8. K (me 100g

-1) 0.71 (tinggi)

9. Na (me 100g-1

) 0.45 (sedang) 10. KTK (me 100g

-1) 89.68 (sangat tinggi)

11. Al (me 100g-1

) 2.5 (rendah) 12. Mn (ppm) 24.85 (sangat tinggi) 13. Fe (ppm) 59.76 (sangat tinggi) 14. KB (%) 13.6 (sangat rendah)

Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB (2014) Kriteria: Badan penelitian dan pengembangan pertanian 2012

Amelioran dapat digunakan untuk mengatasi pada tanah yang bercekaman. Kandungan amelioran pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis kandungan amelioran

No Kriteria Air gambut Air sungai Air pasang

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

pH C-organik (mg C/liter) N-total (mg N/liter) P-total (ppm) K-total (ppm) Ca-total (ppm) Mg-total (ppm) Fe-total (ppm) Cu-total (ppm) Zn-total (ppm) Mn-total (ppm) Asam humik (ppm) Asam fulfik (ppm)

4.30 175.6 27.86 0.38 1.63 1.43 0.44 0.76 ttd 0.04 ttd 3.46 0.87

6.10 51.7 27.86 0.62 7.38 3.09 1.71 0.07 0.02 0.33 1.97

4.30 58.75 12.82 34.98 4.25 1.30 4.38 2.27 0.33 0.08 0.32

Keterangan : ttd = tidak terdeteksi

Page 90: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

73

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara kedalaman muka air, amelioran dan genotipe. Terdapat interaksi antara kedalaman muka air dan genotipe. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kedalaman muka air 20 cm nyata meningkatkan tinggi tanaman pada genotipe Ceneng sebesar 105.50 cm, jumlah cabang genotipe Cikuray nyata lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm tetapi tidak berbeda nyata dengan Ceneng masing-masing sebesar 2.92 dan 2.78, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara genotipe dan kedalaman muka air kecuali pada Ceneng kedalaman air 10 cm yang nyata lebih rendah sebesar 16.02 (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman kedelai pada kedalaman muka air yang berbeda

Varietas

Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang 8 MST Jumlah daun 8 MST

Kedalaman muka air 10 cm

Kedalaman muka air 20 cm

Kedalaman muka air 10 cm

Kedalaman muka air 20 cm

Kedalaman muka air 10 cm

Kedalaman muka air 20 cm

Tanggamus 79.13 Ba 100.93 Aa

3.38 Aa 2.97 Ba

19.33 Aa 19.72 Aa

Cikuray 73.11 Aa 79.36 Ab

2.04 Bb 2.92 Aa

21.83 Aa 17.94 Aa

Ceneng 84.91 Ba 105.50 Aa 2.27 Bb 2.78 Aa 16.02 Ba 19.38 Aa

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf kapital pada baris (kedalaman muka air) yang sama atau huruf kecil pada kolom (genotipe) yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 3 menunjukkan bahwa Ceneng pada kedalaman muka air 20 cm memiliki bobot petak

panen dan produksitas yang nyata paling tinggi masing-masing sebesar 567.10 g dan 3.97 ton ha-1

.

Tabel 4. Rata-rata petak panen dan produktivitas tanaman kedelai pada kedalaman muka air yang berbeda

Varietas

Petak panen (g)

Produktivitas (ton ha-1

)

Kedalaman muka air 10 cm

Kedalaman muka air 20 cm

Kedalaman muka air 10 cm

Kedalaman muka air 20 cm

Tanggamus 340.68 Ba 486.95 Aab

2.39 Ba 3.41 Aab

Cikuray 416.80 Aa 452.76 Ab

2.92 Aa 3.10 Ab

Ceneng 361.18 Aa 567.18 Aa 2.61 Ba 3.97 Aa

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf kapital pada baris (kedalaman muka air) yang sama atau huruf kecil pada kolom (genotipe) yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah daun, jumlah cabang, jumlah polong, petak panen, dan produktivitas terhadap amelioran yang diberikan.

Tabel 5. Rata-rata jumlah daun, jumlah cabang, jumlah polong, petak panen dan produktivitas pada amelioran yang berbeda yang berbeda

Amelioran Jumlah daun

(lembar)

Jumlah cabang

Jumlah polong

Petak panen

(g)

Produktivitas (ton ha

-1)

Air sungai 17.77 2.56 54.42 459.27 3.83

Air gambut 17.63 2.92 57.92 414.82 3.46

Air pasang 17.89 2.69 64.22 438.68 3.66

Keterangan: angka-angka menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tanaman kedelai sistem BJA mengalami tahap aklimatisasi seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Tahap aklimatisasi pada budidaya jenuh air berlangsung 2-4 minggu.

Page 91: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

74

(a) Kedelai BJA umur 2 MST (b) Kedelai BJA umur 6 MST

Gambar 1 Aklimatisasi pada BJA

Tabel 6 menunjukkan kandungan N, P, K jaringan tanaman pada perlakuan varietas dan amelioran dengan tinggi muka air 10 cm tidak berbeda nyata kecuali pada kandungan P yang menunjukkan bahwa perlakuan amelioran terbaik adalah amelioran air pasang dengan kandungan P sebesar 0.42 diikuti dengan amelioran air gambut dan amelioran air sungai masing-masing dengan kandungan P sebesar 0.40 dan 0.37. Pada kedalaman muka air 20 cm menunjukkan bahwa kandungan N terbesar terdapat pada varietas cikuray namun tidak berbeda nyata dengan varietas ceneng masing-masing sebesar 2.90 dan 2.86. Kandungan N terendah terdapat pada varietas tanggamus. Kandungan P tertinggi terdapat pada perlakuan amelioran air pasang sebesar 0.41 yang diikuti dengan amelioran air gambut dan amelioran air sungai masing-masing sebesar 0.36. Tabel 6. Kandungan N, P dan K (%) pada daun 8 MST

N P K

Kedalaman muka air 10 cm

Tanggamus 2.78 0.39 2.98

Cikuray 2.96 0.40 3.01

Ceneng 2.91 0.40 3.02

Amelioran air sungai 2.83 0.37 c 2.99

Amelioran air gambut 2.81 0.40 b 3.03

Amelioran air pasang 3.00 0.42 a 3.00

Kedalaman muka air 20 cm

Tanggamus 2.53 b 0.37 2.96

Cikuray 2.90 a 0.39 3.11

Ceneng 2.86 a 0.39 2.86

Amelioran air sungai 2.68 0.36 c 2.89

Amelioran air gambut 2.81 0.38 b 2.98

Amelioran air pasang 2.80 0.41 a 3.06

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Kedalaman muka air dan genotipe menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Ceneng dengan kedalaman muka air 20 cm menghasilkan produktivitas yang nyata lebih tinggi sebesar 3.97 ton ha

-1. Tingginya produktivitas Ceneng didukung

oleh pengamatan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, dan petak panen (Tabel 3 dan 4).

BJA pada penelitian ini dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Kedalaman muka air 20 cm yang nyata meningkatkan produktivitas tanaman ini sejalan dengan penelitian penelitian yang dilakukan Sagalaet al. (2010) yang menunjukkan bahwa perlakuan pengaturan kedalaman muka air 20

Page 92: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

75

cm menghasilkan 4.63 ton ha-1

, sedangkan penelitian Sahuri (2010) menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman muka air 20 cm dengan lebar bedengan 2 meter mencapai 4.15 ton ha

-1. Pada kedalaman 20

cm, bagian oksidatif lebih banyak dibandingkan 10, hal ini menyebabkan perakaran lebih baik dibandingkan 10 cm. Lingkungan perakaran memerlukan udara untuk perkembangan akar dan mikroorganisme tanah. Menurut Soepardi (1974), pori aerasi diperlukan perakaran tanaman dalam mendukung ketersediaan udara di dalam tanah. BJA meningkatkan bobot akar dan bintil akar serta aktivitas penambat N dibandingkan cara irigasi biasa (Troedson et al. 1983). Pertumbuhan perakaran baru yang berlangsung terus menerus pada BJA terutama pada lapisan tanah bagian atas ± 5 cm (Ghulamahdi et al. 1991). Banyaknya perakaran yang muncul pada bagian atas pada BJA diduga karena adanya hormon etilen yang berasal dari prekursor ACC (1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid). Menurut Yang (1980) keadaan anaerob akan merangsang pembentukan ACC dan adanya etilen yang cukup merangsang pembentukan etilen. Hormon etilen tersebut akan merangsang terbentuknya jaringan aerenkhima dan munculnya akar-akar baru.

Produktivitas tertinggi pada penelitian ini dicapai pada genotipe Ceneng pada kedalaman 20 cm sebesar 3.97 ton ha

-1. Teknologi budidaya dengan pengaturan kedalaman muka air dan amelioran

mampu meningkatkan produktivitas tanaman. Selain itu kondisi lahan juga mempengaruhi produktivitas lahan. Pada lahan mineral bergambut tipe luapan B sudah pernah ditanami kedelai sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan produktivitas kedelai yang lebih tinggi dari penelitan sebelumnya. Prakasa (2014) menunjukkan bahwa penelitian BJA pada tanah mineral bergambut tipe luapan B menghasilkan produktivitas 1.5 ton ha

-1 .

Daya adaptasi Ceneng nyata lebih baik pada tanah mineral bergambut dibandingkan Tanggamus dan Cikuray. Tanah mineral bergambut memiliki kandungan Fe 59.76 sebesar ppm (sangat tinggi). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ketinggian muka air dan amelioran mampu meningkatkan daya adaptasi Ceneng pada tanah mineral bergambut. Berdasarkan indeks sensitivitas Gambar 8 dan Tabel 1 menunjukkan bahwa Ceneng merupakan genotipe moderat terhadap cekaman 0.1 mM Fe dan merupakan genotipe peka terhadap cekaman Al dan Al + Fe. Kemampuan daya adaptasi yang meningkat pada genotipe Ceneng berhubungan dengan mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman Fe. Tiga tipe utama strategi adaptasi yang dibedakan dan terdiri dari strategi includer dan excluder seperti halnya mekanisme avoidance dan tolerance. Merusak Tanaman memenfaatkan strategi I (eksklusi/avoidance), mengeluarkan Fe atau menahan Fe pada level akar sehingga menghindarkan Fe

+2 merusak jaringan tajuk. Strategi II, Fe

+2 diserap dalam akar tetapi

kerusakan jaringan dapat terhindar dengan kompartementasi (imobilisasi dari Fe aktif dalam tempat pembuangan, seperti daun tua atau jaringan daun yang kurang aktif melakukan fotosintesis) atau mengeluarkan dari symplast (imobilisasi dalam daun apoplas). Strategi III (inklusi/toleransi), tanaman secara nyata mentolerir kadar Fe

+2 yang meningkat dalam sel-sel daun, kemungkinan melalui

detoksifikasi enzimatik dalam simplas.

Lahan mineral bergambut memiliki kandungan Fe yang sangat tinggi, dalam keadaan tegenang (reduktif) Fe dalam jumlah yang berlebihan dapat meracuni tanaman kedelai. Penggunaan amelioran diharapkan dapat mengurangi cekaman Fe pada tanaman. Pemberian amelioran pada tanah mineral bergambut tipe luapan B tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tidak terdapat perbedaan pertumbuhan kedelai yang nyata antara amelioran yang diberikan pada tanah mineral bergambut tipe luapan B disajikan pada Tabel 13. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa amelioran air gambut mampu meningkatkan jumlah polong dan bobot biji per tanaman (Tabel 8). Tidak adanya perbedaan antar amelioran disebabkan karena tanah mineral bergambut pada penelitian ini memiliki lapisan bahan organik pada lapisan tanah dan tanah mineral bergambut dipengaruhi oleh kondisi pasang besar yang masuk ke lahan.

Budidaya jenuh air mengalami aklimatisas seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap jenuh air berlangsung selama 2 minggu (Troedson et al. 1983) atau antara 2-4 minggu (Lawn 1985) setelah pelaksanaan irigasi dimulai. Pada tahap aklimatisasi terjadi alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanaman untuk pertumbuhan akar dan bintil akar (Troedson et al. 1983). Tahap aklimatisasi ini diduga dapat dipercepat dengan adanya pemberian pupuk N lewat daun. Ghulamahdi etal. (2009) menunjukkan pemberian pupuk N dengan konsentrasi Urea 15 g L

-1 air menyebabkan daun menguning pada budidaya jenuh air di lahan

sawah beririgasi, dan perlakuan Urea 10 g L-1

air memberikan hasil tertinggi dibandingkan lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan P dan K termasuk cukup tetapi untuk N tidak mencukupi, Menurut Hardowigeno (2010) menyatakan bahwa kecukupan N, P, K pada tanaman kedelai masing-masing sebesar 4.2, 0.26, dan 1.71%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan N pada

Page 93: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

76

penelitian ini kurang. Kurangnya N pada penelitian ini diduga karena kurangnya dosis N yang diberikan dan kondisi lahan yang terpengaruh oleh pasang besar.

Tingginya kadar Fe sebesar 59.76 (Tabel 1) pada tanah mineral bergambut tipe luapan B menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman. Keracunan Fe menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil. Terhambatnya pembentukan klorofil karena dua atau tiga macam enzim yang mengkatalisis reaksi tertentu dalam sintesis klorofil tampaknya memerlukan Fe

2+ (Salisbury dan Ross

1995). Sopandie (2014) menyatakan bahwa toksisitas Fe menyebabkan penghambatan pertumbuhan, reduksi luas daun, daun berwarna hijau tua, daun tua menguning, (dari ujung tepi daun), serta berwarna ungu kemerahan, tajuk layu, nekrosis daun, ujung daun dan bagian bawah batang berwarna agak gelap, akar adventif terhambat, percabangan akar terhambat, akar rapuh, dan berwarna gelap.

Selain faktor pembatas pertumbuhan dan hasil, faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Tingginya produktivitas kedelai di lahan pasang surut ditentukan oleh tingginya suhu dan intensitas penyinaran masing-masing sebesar 26-27

oC dan 89-92%, curah hujan selama

penelitian berkisar 16-96 mm/bulan namun kondisi curah hujan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai karena pada sistem BJA kondisi air selalu tersedia. Menurut Soemarno et al. (2007) kondisi optimum untuk pertumbuhan dan hasil kedelai dengan curah hujan pada dua bulan sejak tanam dengan kisaran 100-150 mm/bulan, suhu 22-27

oC, kelembaban 79-90% selama

periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan 60-75% pada waktu pematangan polong hingga panen, dan intensitas penyinaran 100%.

KESIMPULAN

Terdapat interaksi antara kedalaman muka air dan genotipe. Kedalaman muka air 20 cm dengan genotipe Ceneng nyata meningkatkan produktivitas kedelai di tanah mineral bergambut tipe luapan B dan perlakuan amelioran tidak berbeda nyata. Pada kedalaman 20 cm, bagian oksidatif lebih banyak dibandingkan 10, hal ini menyebabkan perakaran lebih baik dibandingkan 10 cm. Pengaturan kedalaman muka air pada BJA dapat meningkatkan daya adaptasi Ceneng. Produktivitas tertinggi pada genotipe Ceneng dengan kedalaman muka air 20 cm sebesar 3.97 ton ha

-1. Tidak terdapat perbedaan

akibat pemberian amelioran pada tanah mineral bergambut karena pada penelitian ini memiliki lapisan bahan organik di atas permukaan tanah sedalam 10 cm dan dipengaruhi oleh kondisi pasang besar yang masuk ke lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Adie MM, Krisnawati A. 2007. Biologi Tanaman Kedelai, Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto,Kasim H, editor. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Malang.hlm 45-73.

Alihamsyah T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi dan Beras Indonesia. Dalam. F. Kasrino, E. Pasandaran, dan AM. Padi, editor. Badan Litbang Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Palawija di Indonesia. www.bps.go.id [22 September 2013]

Ghulamahdi M, Rumawas F, Wiroatmojo J, Koswara J. 1991. Pengaruh pemupukan fosfor dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Forum pasca sarjana. 14(1): 25-34.

Ghulamahdi M. 1999. Perubahan fisiologi tanaman kedelai (Glycine max (l.) merill) pada budidaya tadah hujan dan jenuh air [disertasi]. Bogor. Institut Pertanian. Bogor

Ghulamahdi M, Melati M, Sagala D. 2009. Production of soybean varieties under soil culture on tidal swamps. J. Agron.Indonesian 37: 226-232.

Ginting E, Suprapto. 2004. Kualitas kecap yang dihasilkan dari biji kedelai hitarn dan kuning. Di dalam: Hardaningsih S, Soejitno J, Rahmianna AA, Mawoto, Heriyanto, Tastra IK, Ginting E, Adie MM, Trustinah, editor. Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm 267-276.

Haridjaja O, Herujito D. 1978. Kematangan Fisik Tanah Mineral dan Tingkat Dekomposisi Tanah Gambut dalam Hubungannya dengan Beberapa Sifat Fisik Tanah Daerah Pasang Surut Karang Agung Sumatera Selatan.Dalam Prosiding Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia 428-437.

Page 94: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

77

Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta Kurniawan REK. 2007. Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap serapan hara kalium (K)

tanaman jagung pada tanah gambut ombrogen. Dalam: Mukhlis et al. (ed). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Revitalisasi Kawasan PLG dan lahan rawa lainnya untuk membangun lumbung pangan nasional. Kuala Kapuas 3-4 Agustus 2007. Buku I. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dan Pemerintah Kabupaten Kapuas.

Lawn B. 1985. Saturated Soil Culture Expanding the Adaptation of Soybeans. Food Legumes Newsletter. 3:2-3.

PrakasaAY. 2014. Studi pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut [tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor

Raihan S. 2007. Pemupukan dan pemberian bahan organik terhadap peningkatan hasil jagung di lahan rawa. Revitalisasi Kawasan PLG dan lahan rawa lainnya untuk membangun lumbung pangan nasional. Kuala Kapuas 3-4 Agustus 2007. Buku I. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dan Pemerintah Kabupaten Kapuas.

Sagala D, Ghulamahdi M, Melati M. 2010. Pola serapan hara dan pertumbuhan beberapa varietas kedelai dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut. J. Agroqua. 9:1-8.

Sahuri. 2010. Pengaruh kedalaman muka air dan lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan ahsil kedelai (Glycine max (L.Merril) di lahan pasang surut [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Salisbuty FB, Ross CW. 1995. Fisiologi tumbuhan. Jilid 1. ITB. Bandung. Soemarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H. 2007. Kedelai: Teknik Produksi dan

Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sopandie D. 2014. Fisiologi adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik pada agroekoistem tropika.

IPB press. Soepardi G. 1974. Sifat dan ciri tanah. Jilid I. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. Bogor. Troedson RJ, Lawn RJ, Byth DE, and Wilson GL. 1983. Saturated Soil Culture in Innovated Water

Management Option for Soybean in the tropics and Subtropics. In S. Shanmugasundaran and E.w. Sulzberger (ed). Soybean in Tropical and Subtropikal System. Proc. Symp. Tsukuba. Japan.

Yang SF. 1980. Regulation of Ethylene biosynthesis. Hort. Sci. 15:238-243.

Page 95: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

78

KERAGAAN DAN HASIL EMPAT KULTIVAR PADI GOGO PADA KONDISI LA-NINA DI SUMENEP

THE PERFORMANCE AND YIELD FOUR UPLAND RICE CULTIVAR ON LA-NINA CONDITION IN SUMENEP

Tri Sudaryono, Sri Yuniastuti, Fuad Nur Azis

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso KM.4 Malang 65152, Jawa Timur Telp 0341 494052, 485055 Fax 0341-471255.

ABSTRAK

Padi gogo sudah biasa di budidayakan di lahan marginal terutama di lahan kering. padi gogo biasanya ditanam pada musim hujan karena ketersediaan air yang rendah dan mudah dalam pengelolaan hama. Kabupaten Sumenep normalnya memiliki musim kering dari April sampai dengan September. Terjadinya fenomena La-Nina di Semenep menyebabkan masih adanya hujan di Bulan Maret sampai dengan Juli 2016. Hal ini digunakan oleh petani padi gogo untuk melakukan penanaman padi pada bulan ini. Penanaman bulan ini memiliki resiko adanya serangan OPT karena kondisi iklim hujan pada musim kemarau di wilayah Sumenep. Proses La-Nina dan penanaman padi gogo perlu dikaji keragaan morfologi dan ketahanan OPT pada beberapa varietas yang ada. Empat varietas padi gogo yang ditanam oleh petani di Desa Batuan, Kecamatan Batuan Kabupaten Sumenep dikaji pertumbuhan dan hasilnya. Varietas tersebut adalah Situ Patenggang, Inpago 5, Inpago 9, dan Inpari 4. Pengkajian yang dilakukan menunjukkan bahwa Situ Patenggang memiliki pertumbuhan yang superior dibandingkan varietas lain. Varietas Situ Patenggang memiliki tinggi tanaman 68,2 cm dan 17 jumlah anakan vegetatif sebanyak pada umur 74 hari. Inpago 5 memiliki kerentanan terhadap walang sangit lebih tinggi dibandingkan dengan tiga varietas lain. Hasil panen varietas Situ Patenggang (2,48 t/ha) dan Inpago 9 (1,37 t/ha) memiliki hasil yang sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 4. Gabah hampa varietas Situ Patenggang (25,5 gabah hampa per malai) lebih tinggi dibanding dengan Inpago 9 (11,6 gabah hampa per malai) dengan bobot 1.000 biji varietas Situ Patenggang (30,2 g) lebih tinggi dibandingkan varietas Inpago 9 (29,31 g). Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa varietas Situ Patenggang dan Inpago 9 merupakan varietas yang cocok ditanam pada lahan kering saat terjadinya La-Nina tahun 2016 ini karena memiliki hasil yang tinggi dan lebih tahan terhadap OPT walang sangit dibandingkan dengan Inpago 5 dan Inpari 4.

Kata Kunci: Padi gogo, La-Nina, Keragaan Hasil, Ketahanan, Walang Sangit

ABSTRACT

Upland rice commonly was cultivated on marginal land especially on dry land. Upland rice usually planted in the rainy season due to low water availability and easy in pest management. Sumenep normally has dry season from April to September. La Nina phenomenon in Sumenep led to the rain in March and July 2016. It is used by farmers for planting upland rice this month. Planting of this month has the risk of pest due to the climatic conditions of rain during the dry season in the region of Sumenep. La-Nina process and upland rice cultivation need to be studied the performance of morphology and pest resistance in several varieties. Four upland rice varieties grown by farmers in the village of Batuan, District Sumenep rocks studied the growth and the yields. These varieties are Situ Patenggang, Inpago 5, Inpago 9, and Inpari 4. Studies have shown that Situ Patenggang has superior growth compared to other varieties. Varieties Situ has a plant height of 68.2 cm and 17 the number of vegetative tillers at the age of 74 days. Inpago 5 susceptibility to stink bug higher than the other varieties. Yields of varieties Situ Patenggang (2,48 t / ha) and Inpago 9 (1,37 t / ha) have the same results and higher than the Inpari 4. Varieties Situ Patenggang empty grain (25,5 grains per panicle empty) higher than Inpago 9 (11.6 grains per panicle empty) with a weight of 1,000 grains varieties Situ (30,2 g) was higher than varieties Inpago 9 (29,31 g). The results of this study showed that the varieties Situ Patenggang and Inpago 9 is suitable varieties planted on dry land when the La-Nina in 2016 is because it has a high yield and more resistant to pest stink bug compared with Inpari Inpago 5 and 4.

Key Words: Upland Rice, La-Nina, Yield and growth, Resistance, Stink Bugs

Page 96: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

79

PENDAHULUAN

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama di Indonesia. Tingkat konsumsi padi di masyarakat indonesia menyebabkan perlu jaminan ketersediaan padi secara kuantitas dan kualitas sehingga tercapai keamanan pangan di Indonesia (Dewan Ketahanan Pangan, 2012). Lahan subur yang menjadi penyangga padi semakin berkurang karena adanya konversi lahan baku sawah menjadi lahan perumahan. Hal ini menjadi bertentangan dengan kebutuhan padi yang semakin meningkat setiap tahunnya (Sumaryanto et al., 2001; Panuju et al., 2013).

Menurut Swastika et al.(2007) kemampuan Indonesia dalam memenuhi swasembada beras menurun dalam waktu tiga dekade setelah terjadinya swasembada beras pada tahun 1984.. Konversi lahan sawah menjadi areal pembangunan sebesar 30,8% menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya swasembada pangan saat ini. Konversi lahan memperlemah ketahanan pangan di Indonesia.

Potensi produktivitas padi secara nasional dapat ditingkatkan melalui lahan-lahan non irigasi untuk mengganti lahan. Pemanfaatan lahan kering dapat digunakan untuk penanaman padi gogo. Lahan kering berupa tegalan dan lahan yang belum termanfaatkan di Indonesia mencapai lebih dari dua puluh empat juta hektar. Lahan tersebut jauh lebih luas dibanding dengan lahan irigasi yang berkisar antara tujuh juta hektar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2007). Salah satu lahan kering yang menjadi potensi untuk pertambahan luas tanam nasional berada di pulau madura yaitu di Kabupaten Semenep. Pemanfaatan lahan kering tersebut digunakan untuk menanam padi gogo. Penanaman padi gogo diharapkan dapat menambah produksi padi nasional.

Padi gogo sulit berkembang meskipun potensi penggunaan lahan di Indonesia sangat luas. Padi gogo kurang diminati oleh petani karena produktivitas dan kualitas padi gogo yang di peroleh petani lebih rendah dibandingkan dengan penanaman komoditas lain. Produktivitas dan kualitas yang rendah pada padi gogo mendorong pemulia tanaman untuk melakukan pengembangan kultivar baru. Pengembangan kultivar baru padi gogo meliputi peningkatan produktivitas padi, peningkatan kualitas padi dan peningkatan ketahanan OPT pada padi (Bernier et al., 2008).

METODE PENELITIAN

Bahan penelitian merupakan hasil pertanaman padi varietas unggul dari badan litbang yaitu Situpatenggang, Inpago 5, dan Inpago 9, dan Inpari 4. Tanaman ditanam pada bulan Maret 2016. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap dengan petani sebagai ulangan atau blok. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Uji F dan apabila nyata digunakan LSI. Variabel yang diamati adalah variabel pertumbuhan dan hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak La Nina pada Padi Gogo

Fenomena La Nina merupakan fenomena alam dimana ada anomali suhu di samudra pasific (Copotondi, 2015). Fenomena ini diduga terjadi pada tahun 2016. Kondisi dimana hujan masih berlangsung pada kondisi musim kemarau bulan April merupakan salah satu gejala adanya La Nina ini. Kondisi La Nina di bidang pertanian memiliki beberapa dampak diantaranya meningkatnya curah hujan sehingga dapat merangsang pertumbuhan produksi tanaman pangan, meningkatkan kadar air pada hasil panen, resiko kebanjiran, dan peningkatan serangan OPT (Wahyoo dan Subamar, 2012; Irawan, 2006; Tim Sintesis Kebijakan, 2008) .

Page 97: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

80

Gambar 1. Kejadian curah hujan (mm) pada bulan Maret-Juli 2016 di Kabupaten Sumenep.

Sumber: Bandara Udara Kalianget Kabupaten Sumenep

Gambar 1 memperlihatkan intensitas curah hujan pada bulan April meningkat dibandingkan dengan bulan Maret. Hal ini menjadikan petani mulai mencoba untuk melakukan budidaya tanaman padi. Ketersediaan air yang dirasa cukup oleh petani Sumenep menjadikan petani mencoba tanaman padi gogo sehingga dapat melakukan produksi padi dengan asumsi dapat tahan meskipun curah hujan akan menurn pada bulan-bulan berikutnya. Asumsi petani ini tidak seluruhnya benar curah hujan dan intensitas matahari pada suatu tempat sangat mempengaruhi hasil pada padi gogo. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum padi gogo menginginkan curah hujan tinggi dengan intensitas cahaya yang relatif tidak sebesar padi sawah. Ideotipe padi gogo menjadi kunci besarnya pengaruh perubahan cuaca pada hasil tanaman (Gupta and O’Toole, 1986). Wilayah Asia Selatan dan Asia tenggara curah hujan sangat berpengaruh besar. Hal tersebut dikarenakan wilayah ini mengikuti iklim muson. Padi non irigasi seperti padi gogo mengikuti kapan mulai terjadinya turun hujan di wilayah tersebut (Vergara, 1976). Hal ini menjadikan pertanaman padi gogo di luar musim hujan akan memiliki dampak terhadap hasil yang diperoleh.

Pertumbuhan dan Hasil 4 Varietas Padi Gogo yang di Tanam pada Kondisi La Nina

Pertumbuhan tanaman padi gogo yang di tanam pada kondisi El Nina nampak jelas pada umur 74 hari. Umur tanaman di usia ini sudah mencapai umur vegetatif maksimal dimana tidak akan melakukan pertumbuhan yang signifikan dalam waktu kedepan. Berdasarkan uji lanjut BNT yang dilakukan terlihat bahwa Inpago-5, Inpago-9, dan Inpari-4 memiliki tinggi yang sama namun Inpago 4 memiliki jumlah anakan total yang lebih rendah. Situ petenggang memiliki tinggi tanaman dan jumlah anakan total yang lebih tinggi dibandingkan ketiga varietas tersebut.

Gambar 2. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan total umur 74 hari

Keterangan: grafik yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Purwoko (2010) menyatakan tinggi tanaman memiliki korelasi dengan panjang malai dan jumlah anakan total berkorelasi dengan jumlah anakan produktif. Hal ini belum bisa berlaku pada

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Mar

et

Juli

Tin

ggi T

anam

an (

cm)

Jum

lah

An

akan

To

tal

Tinggi Tanaman Anakan Total

a a

b b b

b b

c

Page 98: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

81

pertumbuhan vegatatif yang ada pada empat varietas diatas. Hal ini karena jumlah anakan produktif dan panjang malai di empat varietas yang diuji memiliki rerata yang sama (Tabel 1). Hal ini dapat dikarenakan kondisi lingkungan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya sehingga meskipun ada perbedaan pada tinggi tanaman dan anakan total namun komponen hasil jumlah anakan produktif dan panjang malai memiliki rerata yang sama.

Tabel 1. Rerata dan CV Jumlah Anakan Produktif dan Panjang Malai

Jumlah anakan produktif Panjang Malai

Rerata 8,08 21,55

CV (%) 19,35 8,39

Kondisi iklim dengan suhu yang tinggi (Gambar 3) berkisar 28oC dan kelembaban diatas 70%

selama pertumbuhan menjadikan perkembangan OPT meningkat terutama walang sangit. Serangan walangsangit tertinggi terdapat pada varietas Inpago-5 sehingga varietas ini tidak dapat dikaji lebih lanjut karena seluruh tanaman rusak terkena walang sangit. Kesimpulan sementara dari fenomena ini adalah Inpago-5 memiliki kerentanan terhadap walang sangit dibanding dengan Inpago 9, Inpari-4 dan Situ Patenggang.

Gambar 3. Kondisi suhu dan kelembaban selama Bulan Maret sampai dengan Juli 2016 di wilayah Kabupaten Sumenep

Sumber: Bandara Udara Kalianget Kabupaten Sumenep

Tabel 2.Keragaan Komponen Hasil dan Hasil pada Tiga Kultivar Varietas Padi di Sumenep

Varietas Gabah Isi Per Malai

Gabah Hampa Per Malai

Bobot 1.000 Biji (g) Hasil (t/ha)

Uji F tn * * *

INPAGO-9

11,6 B 29,31 b 1,96 ab

INPARI-4

11,1 B 29,21 b 1,37 b

SITU PATENGGANG

25,5 A 30,02 a 2,48 a

Rerata 82,57

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Komponen hasil yang berbeda dari varietas yang ditanam ada pada jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1.000 biji. Gabah isi per malai keempat varietas memiliki jumlah yang sama yaitu 82,57. Situ patenggang memiliki jumlah gabah hampa paling tinggi namun dari bobot 1.000 biji varietas situ patenggang memiliki bobot terberat yaitu 30,02 g. Hal ini yang dapat menjadikan hasil situ patenggang paling tinggi (2,48 t/ha). Inpago-9 memiliki bobot 1.000 biji dan jumlah gabah per malai lebih rendah dibanding situ patenggang namun varietas ini masih memiliki hasil yang sama (1,96 t/ha) dengan situ patenggang.

Ke

lem

bab

an (

%)

Suh

u(°

C)

Suhu(°C) Kelembaban (%)

Page 99: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

82

KESIMPULAN

Varietas Situ Patenggang dan Inpago 9 merupakan varietas yang cocok ditanam pada lahan kering saat terjadinya La-Nina tahun 2016 ini karena memiliki hasil yang tinggi dan lebih tahan terhadap OPT walang sangit dibandingkan dengan Inpago 5 dan Inpari 4. Hasil panen varietas Situ Patenggang (2,48 t/ha) dan Inpago 9 (1,37 t/ha) memiliki hasil yang sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 4. Gabah hampa varietas Situ Patenggang (25,5 gabah hampa per malai) lebih tinggi dibanding dengan Inpago 9 (11,6 gabah hampa per malai) dengan bobot 1.000 biji varietas Situ Patenggang (30,2 g) lebih tinggi dibandingkan varietas Inpago 9 (29,31 g).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada Tim UPSUS Padi Jagung Kedelai BPTP Jawa Timur, TNI-AD, penyuluh dan Dinas Kabupaten Sumenep yang telah membantu berjalannya pengkajian padi gogo di sumenep di luar musim tanam padi gogo.

DAFTAR PUSTAKA

Bernier, J., G. N. Atlin, R. Serraj, A. Kumar, and D. Spaner. 2007. Review :Breeding Upland Rice for Drought Ressistance (Online). http://cropwiki.irri.org/gcp/images/f/f6/Review_Breeding_upland_rice_for_drought_resistance.pdf Diakses 12 Oktober 2014.

Capotondi, A. 2015. Atmospheric science: Extreme La Nina events to increase. Nature Climate Change, 5(2), 100-101.

Gupta, P.C. and J.C. O’Toole. 1986. Upland Rice A Global Perspective. International Rice Research Institute. Philippines. 360 pp.

Irawan, B. 2006. Fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina: kecenderungan jangka panjang dan pengaruhnya terhadap produksi pangan. In Forum Penelitian Agro Ekonomi (Vol. 24, No. 1, pp. 28-45).

Purwoko, B. B. S. 2010. Analisis korelasi dan koefisien lintas antar beberapa sifat padi gogo pada media tanah masam. Jurnal Floratek, 5(2), 86-93.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Data Penting Padi Dunia dan Beberapa Negara Asia. 95 Hal (Online) http://www.pustaka-deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp07001.pdf . Diakses 1 Januari 2014.

Swastika, K. S. Dewa, J. Wargiono, Soejitno, dan A. Hasanuddin. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 5:36-52.

Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasi. Pengembangan Inovasi Pertanian, 1(2), 138-140.

Vergara, B. S. 1976. Physiological and Morphological Adaptability of Rice Varieties to Climate. Dalam: Climate and Rice. International Rice Research Institute. Los Baños. 67-86pp.

Wahyono, T., & Subanar, S. 2012. Rancang Bangun Sistem “Permadi”: Peringatan Dini Serangan Hama Tanaman Padi Berbasis Data Historis Klimatologi. Jurnal Sistem Komputer, 2(1), 9-16.

Sumaryanto, Sumaryanto, Wahida Maghraby, and Masdjidin Siregar. 2016. "Determinan efisiensi teknis usahatani padi di lahan sawah irigasi." Jurnal Agro Ekonomi 21, no. 1 (2016).

Panuju, D. R., Mizuno, K., & Trisasongko, B. H. 2013. The dynamics of rice production in Indonesia 1961–2009. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences, 12(1), 27-37.

Page 100: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

83

UJI BEBERAPA DOSIS PUPUK MAJEMUK (NPK) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI PADI

SOME TEST COMPOUND DOSAGE OF FERTILIZER (NPK) TO INCREASE PRODUCTION OF RICE

Siti Maryam Harahap, Andriko NotoSusanto dan Timbul Marbun

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara

ABSTRAK

Produksi dan produktivitas hasil pertanian sering mengalami penurunan, penyebabnya antara lain pemakaian pupuk oleh petani sering melebihi dosis anjuran sehingga biaya produksi meningkat dan tanah mengalami kejenuhan terhadap unsur hara yang diberikan.. Uji beberapa dosis pupuk majemuk (NPK) untuk meningkatkan produksi pertanian bertujuan untuk untuk mengetahui manfaat dan tingkat efektifitas pupuk NPKterhadap produksi dan produktivitas padi. Kegiatan ini dilakukan di kebun percobaan BPTP Sumatera Utara letaknya di Pasar Miring Deli Serdang pada bulan Nopember 2015 – Pebruari 2016. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok non Faktorial (non faktorial randomized complete block designe) yang terdiri dari 4 (empat) ulangan dan data yang didapatkan diuji dengan menggunakan ANOVA . Pupuk majemuk NPK yang diuji terdiri dari 7 taraf yaitu : 50 kg/ha, 100 kg/ha, 150 kg/ha, 200 kg/ha, 250 kg/ha, 1 taraf tanpa diberi pupuk dan 1 taraf diberi pupuk sesuai anjuran setempat (Urea 200 kg, SP-36 150 kg/ha, KCl 150 kg/ha). Pemberian pupuk majemuk NPK dikombinasikan dengan pupuk urea (100 kg/ha) , pupuk SP-36 75 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Aplikasi pupuk majemuk NPK diberikan pada saat 7 HST dan Urea diberikan 2 kali yaitu pada saat 30 HST dan 45 HST dan. Hasil penelitian diperoleh bahwa tinggi tanaman pada umur 35, 45 dan 55 HST tidak terdapat pengaruh nyata pada masing-masing perlakuan yang diuji. Pengamatan terhadap parameter jumlah anakan umur 35 HST terdapatpengaruh nyata dengan adanya perlakuan pemberian pupuk NPK, begitu juga dengan parameter jumlah anakan produktif ada pengaruh nyata dengan nilai masing-masing adalah : (9,94) dan (8). Pengamatan terhadap produksi diketahui bahwa pemberian pupuk NPK memberikan pengaruh nyat. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan NPK6 (6.98 t/ha) dan terendah pada NPK0 (3.55 t/ha). Sedangkan sesuai rekomendasi setempat diperoleh hasil (NPK1 : 4.45 t/ha)

Kata Kunci: Padi, produktivitas, pupuk, uji pupuk

ABSTRACT

Production and agricultural productivity is often decreased, the causes include the use of fertilizers by farmers often exceed the recommended dosage so that the production cost increases and saturation of the soil are nutrient fertilizers applied. Test several doses of compound fertilizers (NPK) to increase agricultural production aimed to determine the benefits and the effectiveness of NPK fertilizer on the production and productivity of rice. This activity is carried out in an experimental garden BPTP North Sumatra is located in the Market Deli Serdang Leaning on the MT-II in November 2015 - February 2016. The purpose of this study was to determine the importance and effectiveness of NPK fertilizer on the production and productivity of rice. This activity is carried out in an experimental garden BPTP North Sumatra is located in Deli Serdang on November 2015 - February 2016. The study used randomized block design non-factorial (non-factorial randomized complete block design) consists of four (4) replicates. The data obtained were tested using ANOVA. NPK tested consisted of 4 levels: 50 kg / ha, 100 kg / ha, 150 kg / ha, 200 kg / ha, 250 kg / ha, 1 level without fertilizers and 1 level of fertilizer as recommended by the local ( urea 200 kg, SP-36 150 kg / ha, KCl 150 kg / ha. Treatment using a compound fertilizer (NPK) combined with urea 100 kg / ha, SP-36 fertilizer 75 kg / ha and 50 kg KCl / ha (half dose recommendation). Application of NPK given at 7 DAP and Urea given 2 times 30 and 45 DAP. The results showed that plant height at 35, 45 and 55 days after planting there is no real effect on each treatment tested. Observation of the parameters of the number of seedlings age 35 DAP there is a real effect with their treatment of NPK fertilizer, as well as the parameters of the number of productive tillers no real effect with the respective value is 9.94 and 8. Observation of the production of NPK fertilizer is known that significant effect. The highest yield was obtained in treatment NPK6 (6.98 t/ha) and the lowest in the NPK0 (3.55 t/ha). While appropriate local recommendations obtained results (NPK1 : 4.45 t/ha)

Keywords: Paddy, productivity, Fertilizer, fertilizer test

Page 101: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

84

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan beras terus mengalami peningkatan seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Tantangan yang dihadapi pada masa ini dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan khususnya beras dihadapkan pada berbagai kendala antara lain ketersediaan lahan subur semakin menurun akibat beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sehingga mengakibatkan pemakaian pupuk semakin meningkat.Sebagai contoh di Sumatera Utara penurunan lahan sawah dari tahun 2011 sampai 2012 terjadi penurunan 4,16% atau sekitar 18.193 ha (DISTAN SUMUT 2013).

Pemakaian pupuk setiap tahun terus mengalami peningkatan, karena semakin luasnya lahan pertanian yang mengalami penurunana kualitas tanah. Hal ini dicirikan oleh rendahnya kandungan hara, bahan organik, sedangkan kemasaman tanah meningkat serta peningkatan kandungan unsur-unsur yang bersifat racun dan sifat-sifat fisik tanah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman (Dariah et al., 2010). Selain itu penurunan kualitas tanah dapat juga disebabkan oleh sifat alami tanahnya (inherent) atau fenomena alam, namun tidak sedikit yang disebabkan oleh prilaku manusia, yakni pengelolaan yang belum tepat (Veheye, 2007). Akibatnya muncul permasalahan baru yang dihadapi oleh petani yaitu petani sering mengeluh karena kesulitan mendapatkan pupuk yang dibutuhkan untuk kebutuhan tanamannya khususnya pupuk yang mengandung unsur N, P dan K. Tidak jarang petani hanya memberikan satu jenis pupuk kedalam tanamannya misalnya pupuk urea sebagai sumber NAkibat dari pemberian pupuk yang tidak berimbang dapat menyebabkan kerugian bagi petani, karena tanaman akan mengalami defisiensi hara makro seperti P dan K yang berakibat produksi tanaman menjadi tidak maksimal, misalnya peningkatkan persentase gabah hampa, menurunkan bobot dan kualitas gabah, menghambat pemasakan, bahkan pada keadaan defisiensi P yang parah, tanaman padi tidak akan berbunga sama sekali (Dobermann dan Fairhurst. 2000). Selain itu tanaman yang mengalami defisiensi P juga dapat menurunkan respon tanaman terhadap pemupukan N. Menurut Adiningsih (2004) defisiensi P seringkali berasosiasi dengan kadar Fe yang meracun dan kekurangan Zn, terutama pada tanah ber pH rendah.

Pada masa sekarang ini manajemen pemupukan N sudah berubah yaiut 1) dari pendekatan menekan kehilangan hara menjadi pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman; 2) dari indikator utama recopery efficiency menjadi agronomic efficiency, yaitu setiap kg kenaikan hasil gabah per kg pupuk yang diberikan, dan partial factor productitvity yaitu jumlah gabah yang dihasilkan untuk setiap kg pemberian pupuk; 3) dari rekomendasi bersifat umum menjadi rekomendasi berdasarkan respon tanaman dan efisiensi agronomi; dan 4) dari pemberian N yang berlebihan pada tahap awal pertanaman menjadi menjadi pemberian sesuai stadia dan kebutuhan tanaman (Buresh. 2017 dalam Erityhrina dan Zaini 2015). Oleh karena itu dengan adanya perubahan ini mengharuskan pemberian pupuk berbeda antara musim, lokasi dan variets sehingga peluang untuk meningkatkan hasil perunit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk dan meningkatkan efisiensi agronomi pupuk dapat terlaksana (Zaini, 2012).

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pupuk Majemuk NPK dengan komposisi K2O (K:16) P2O5 (16) dan N: 16 perlu dikaji tingkat efisiensinya di lapangan dan diharapkan dapat menjadi pilihan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan tanamannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi pupuk majemukNPK yang mengandung kadar K2O:16, P2O5:16 dan N: 16 terhadap tanaman padi

Page 102: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

85

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan di kebun percobaan BPTP Sumatera Utara di Pasar Miring Deli Serdang pada bulan November 2015 – Maret 2016 pada lahan sawah irigasi. Analisis tanah dilakukan di laboratorium tanah dan tanaman BPTP Sumatera Utara disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis tanah awal pada lokasi penelitian uji efektivitas NPK di kebun percobaan pasar miring Deli Serdang, pada MH 2015 - 2016

No Macam analisis Satuan Nilai

1. C-Organik (%) 1.41 2. N-Total (%) 0.12 3. P-Bray I ppm 26.39 4. P2O5-Total mg/100g 70.19 5. K-dd mg/100g 0.76 6. Fe ppm 1209 7. Tekstur :

Pasir

Debu

Liat

(%) (%) (%)

69.83 21.55 8.62

Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok non factorial (non factorial randomized complete block designe) dengan 4 ulangan. Faktor yang akan diuji adalah dosis pupuk an-organik (NPK) yang terdiri dari 7 taraf yaitu :

NPK 0 : Tanpa diberi pupuk

NPK 1 : Rekomendasi pemupukan setempat (urea 200:TS-P 150:KCl 150)

NPK 2 : 50 kg/ha + ½ rekomendasi pemupukan setempat

NPK 3 : 100 kg/ha + ½ rekomendasi pemupukan setempat

NPK 4 : 150 kg/ha + ½ rekomendasi pemupukan setempat

NPK 5 : 200 kg/ha + ½ rekomendasi pemupukan setempat

NPK 6 : 250 kg/ha + ½ rekomendasi pemupukan setempat

Luas plot percobaan adalah 4 m x 5 m, luas plot yang ditanami 1.781 m2. Jarak antar plot 50 cm dan jarak antara ulangan 1 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm. Jumlah populasi dalam plot sebanyak 285 pupulasi. Varietas yang dipakai adalah Inpari 30

Pupuk NPK yang diuji memiliki kadar K2O: 16.35%, P2O5: 16.20, N: 16.16. Pupuk ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pupuk pilihan oleh pengguna pupuk untuk mensuplai kebutuhan unsur hara N, P dan K bagi tanaman. Pemberian pupuk ini dijadikan sebagai pupuk dasar diberikan pada saat tanam atau sampai umur 7 hari dilapangan. Selain pupuk majemuk NPK diberikan juga pupuk tunggal lain yaitu pupuk Urea. Pupuk urea diberikan sebanyak 2 kali pemberian, pemberian pertama diberikan dengan dosis 100 kg/ha, untuk pemberian ke-dua diberikan berdasarkan hasil pengamatan menggunakan bagan warna daun, diberikan pada saat tanaman berumur 25 hari. Sebagai pembanding antara yang menggunakan pupuk NPK dengan yang tidak menggunakan pupuk NPK dilakukan perlakuan kontrol yaitu tanpa diberi pupuk

Metoda analisis

Analisis data dilakukan untuk setiap taraf pupuk NPK yang diuji menggunakan analisis statistik sidik ragam ANOVA dengan taraf 5%, kemudian dilanjutkan dengan BNT untuk melihat perbedaan antara masing-masing perlakuan (Steel and Torrie, 1993). Analisis data ini dilakukan menggunakan program DSTAAT.

Page 103: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

86

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman

Pengaruh pemberian pupuk NPK terhadap komponen agronomis tanaman padi varietas Inpari 30 disajikan pada Tabel 2 berikut. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 35, 45 dan 55HST tidak ada pengaruh yang nyata antaramasing-masing perlakuan yang diuji,juga terhadap 86faktor tanpa diberi pupuk. Pada dasarnya tinggi tanaman lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetis tanaman. Namun tinggi tanaman merupakan salah satu parameter yang dapat dilihat apakah tanaman itu tumbuh secara normal atau tumbuh dalam suatu kondisi stress (tercekam).Keragaan hasil di lapangan pada stadia vegetatif masing-masing perlakuan di sajikan pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4. Pengaruh perbedaan dosis pupuk majemuk NPK (16:16:16)terhadap tinggi tanaman pada tanaman padi umur 35, 45 dan 55 HST di Kebun Percobaan BPTP Sumatera Utara Tahun 2016

PERLAKUAN Pengamatan tinggi tanaman (cm)

35 HST 45 HST 55 HST

NPK 0 (Kontro) 44,44 61,38 69,00

NPK 1 (dosis anjuran) 44,06 61,25 74,33

NPK 2 (50 kg/ha) 45,31 63,56 73,08

NPK 3 (100 kg/ha) 45,25 63,56 69,58

NPK 4 (150 kg/ha) 45,63 65,13 73,83

NPK 5 (200 kg/ha) 46,63 65,13 71,50

NPK 6 (250 kg/ha) 47,00 66,19 71,92

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yangsama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Jumlah Anakan dan Jumlah anakan Produktif

Hasil pengamatan terhadap parameter jumlah anakan diketahui bahwa pada pengamatan pertama (umur 35 HST) dan pengamatan terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan ada pengaruh yang nyata pada perlakuan pupuk dilakukan. Pada jumlah anakan produktif (NPK 0) diketahui bahwa perlakuan kontrol berbeda nyata dengan semua taraf perlakuan yang diuji. Sedangkan untuk parameter jumlah anakan umur 35 HST antara perlakuan kontrol (NPK 0) dan perlakuan dosis anjuran setempat (NPK1) tidak berbeda nyata. Kedua perlakuan ini berbeda nyata terhadap semua perlakuanyang menggunakan pupuk majemuk NPK. Pada parameter jumlah anakan umur 45 dan 55 HST diketahui antara masing-masing perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Masing-masing nilai parameter pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Pengaruh perbedaan dosis pupuk an-organik NPK terhadap parameter jumlah anakan dan jumlah anakan produktif pada tanaman padi varietas Inpari 30 pada musim tanam November 2015 – Pebruari 2016

Perlakuan Jumlah anakan (helai) Jumlah anakan

produktif 35 HST 45 HST 55 HST

NPK 0 (Kontro) 7,06c 10,31 11,75 5,00d NPK 1 (dosis anjuran) 7,00c 10,75 10,75 6,50c NPK 2 (50 kg/ha) 8,19b 11,88 10,75 6,25c NPK 3 (100 kg/ha) 8,25b 11,38 13,25 6,25c NPK 4 (150 kg/ha) 9,19a 12,13 13,00 7,00bc NPK 5 (200 kg/ha) 9,50a 12,31 15,00 7,75ab NPK 6 (250 kg/ha) 9,94a 12,25 13,75 8,00a

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yangsama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Page 104: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

87

Pengamatan Panjang Malai, Gabah Isi dan Gabah hampa

Hasil pengamatan secara statistik terhadap parameter jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa dan produksi pada perlakuan pupuk mejemuk NPK tidak berpengaruh nyata, tetapi pada masing-maing parameter (jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa dan produksi)tersebut jika diamati secara jumlah/nilai (angka) terdapat perbedaan. Nilai tertinggi untuk parameter jumlah gabah bernas diperoleh pada perlakuan NPK 6 250 kg/ha (132 butir), pajang malai 25.67 cm, jumlah gabah hampa (5 butir) dan produksi (6.98 t/ha).

Pemberian pupuk majemuk NPK diketahui memberikan pengaruh nyata terhadap parameter panjang malai. Perlakuan yang menggunakan pupuk NPK dengan dosis (NPK6 250 kg/ha) berbeda nyata terhadap semua dosis yang diuji termasuk juga terhadap kontrol.Nilai masing-masing pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh perbedaan dosis pupuk NPK (16:16:16) terhadap parameter panjang malai, Jumlah Gabah isi, jumlah gabah hampa dan produksi pada tanaman padi varietas Inpari 30 pada musim tanam November 2015 – Pebruari 2016 di Kebun Percobaan BPTP Sumatera Utara

Perlakuan Panjang malai (cm) Jumlah gabah isi

(butir) Jumlah gabah hampa (butir)

Produksi (t/ha)

NPK 0 (Kontro) 22,25c 78,25 12,25 3,55 a

NPK 1 (dosis anjuran) 22,25c 95,25 12,00 4,45 b

NPK 2 (50 kg/ha) 23,08bc 92,25 8,00 5,125 c

NPK 3 (100 kg/ha) 23,42bc 106,50 6,00 5,225 c

NPK 4 (150 kg/ha) 24,33b 111,50 6,00 6,175 d

NPK 5 (200 kg/ha) 24,17b 124,00 5,25 6,475 d

NPK 6 (250 kg/ha) 25,67a 132,00 5,00 6,975 e

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yangsama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Berdasarkan hasil peubah yang diamati diketahui bahwa pemberian pupuk NPK cenderung dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi varietas Inpari 30. Hasil penelitian diketahui bahwa produksi padi yang diberi pupuk NPK 250 kg/ha diperoleh hasil 6.98 t/ha gabah kering panen, sedangkan yang diberi pupuk sesuai rekomendasai menghasilkan padi gabah kering panen (4.45 t/ha). Peningkatan produksi ini juga didukung oleh parameter lain seperti tinggi tanaman, jumlah anakan produktif. Terjadinya peningkatan produksi ini diduga karena unsur hara N, P dan K yang terkandung dalam pupuk NPK dapat berperan dalam mendukung pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi, sehingga tanaman berproduksi lebih baik, karena hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk melakukan kegiatan fisiologi tanaman dapat tersedia dari pupuk NPK yang diberikan.

Diketahui bahwa hara N, P dan K merupakan unsur hara makro yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena hara ini merupakan hara yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme tanaman, misalnya dibutuhkan untuk: penyusun adenosin triphosphate (ATP) peran unsur P, juga berperan secara langsung dalam proses penyimpanan dan transfer energi yang terkait dalam proses metabolisme tanaman (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Oleh karena itu hara P sangat diperlukan tanaman padi terutama pada saat awal pertumbuhan yang berfungsi untuk memacu pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan Arimurti et al (2006) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk SP-36 dan Rock fosfat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada saat umur 10 HST dan 17 HST. Sedangkan unsur K dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan produksi dan juga tingkat resistensi terhadap hama dan penyakit serta unsur K ini dapat meningkatkan tingkat toleransi tanaman terhadap lingkungan yang tercekam.

KESIMPULAN

1. Pupuk an-organik NPK dapat memberikan suplai kebutuhan unsur hara N,P dan K bagi tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.

2. Pupuk majemuk yang mengandung hara N,P dan K masing-masing kadar hara K2O : 16.35%, P2O5: 16.20, N: 16.16 dapat memberikan peningkatan hasil terhadap tanaman padi.

Page 105: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

88

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Kebun Percobaan Pasar Miring yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini serta PT Mest Indonesiy yang sudah mendanai penelitian ini . Juga kepada tim teknisi di lapangan Kusnadi, Risna, Muainah yang sudah banyak membantu penulis dalam hal pengamatan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Arimurti,S, Setyati,D dan Mujib,M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan pupuk P terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah masam. Universitas Jember Jurusan FMIPA .

Barus,J. 2005. Respon tanaman padi terhadap pemupukan P pada tingkat status hara P tanah yang berbeda. Jurnal Akta Agrosia . 8(2): 52-55.

Buresh. R,J. 2017. Fertle Progress, Rice to day. July-Sept 2007. P 32-33 Dariah, A., N.L. Nurida, dan Sutono. 2007. Formulasi bahan pembenah tanah Untuk rehabilitasi lahan

terdegradasi. Disampaikan pada Seminar Sumberdaya Lahan dan Lingkungan. Bogor, 7-8 November 2007.

Dinas Pertanian Prpopinsi Sumatera Utara. 2014. Buku lima tahun statistk pertanian (2009 – 2013). Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara Medan.

Dobermann A and Fairhurst T. 2000. Rice Nutrition Disorder and Nutrient Management. International Rice Research Institute and Potash & Phosphate Institute of Canada

Erythrina dan Z. Zaini. 2015 Revitalisasi Pemupukan Padi sawah Berbasis Lingkungan. Iptek Tanaman Pangan Vol. 10. Nomor 1. 2015

Harahap, S.M. 2008. Aplikasi jerami padi untuk perbaikan sifat tanah dan produksi padi sawah. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan

Pakpahan R. Tulus. Situmorang M. 2013. Prediksi kebutuhan beras di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 – 2015 dengan Metode Fuzzy Berganda. Saintia Matematika Vol. 1 Nomor 4. 2013 pp. 313 - 324

Soepartini, M. 1995. Status kalium tanah sawah dan tanggap padi terhadap pemupukan KCL di Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk No. 13:27-40.

Soepartini, M., Sri Widati, Mangku, E. S. Dan Tini Prihatini 1996. Evaluasi kualitas dan sumbangan hara dari air pengairan di Jawa. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk No. 14, 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Sofyan, A., S. Moersidi, Nurjaya, dan J. Suryono. 2000. Laporan akhir penelitian status hara P dan K lahan sawah sebagai dasar penggunaan pupuk yang efisien pada tanaman pangan Tahun 1999/2000. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat Puslittanak.

Sri Adiningsih, J., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A,M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Suyamto dan Z. Zaini. 2010. Kapasitas produksi bahan pangan pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan. Dalamanalisis sumberdaya lahan menuju ketahanan pangan berkelanjutan. Penyunting Sumarno dan N. Suharta. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta.

Veheye, W.H. 2007. Integrating land degradation issues into a national soils policy. COUNTUR. Newsletter of The Asia Soil Conservation Network. ASOCON. Vol. XIX, No. 1.

Zaini, Z. 2012. Pupuk majemuk dan pemupukan hara spesifik lokasi pada padi sawah. Iptek Tanaman Pangan 7 (1); 1-7

Page 106: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

89

Lampiran 1. Hasil analisis kandungan hara dalam pupuk an-organik NPKyang dilaksanakan di Laboratorium Sucofindo Medan

Jenis Analisis Satuan Kadar

K2O (%) 60.34

Kadar Air (%) 0.29

Hg ppm <0.001

As ppm <0.002

Pb ppm 1.84

Cd ppm 1.08

Page 107: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

90

ANALISIS USAHATANI JAGUNG KOMPOSITPADA LAHAN MASAM BUKAAN BARU

FARMING ANALYSIS OF COMPOSITE CORNON NEW OPENINGS ACIDITY LAND

Adri, Yong Farmata dan Busyra

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi 36128

e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Lahan rawa pasang surut merupakan lahan harapan masa kini dan masa depan bagi pengembangan tanaman pangan, salah satunya jagung (Zea mays.L). Hal in tidaklah berlebihan karena terjadinya alih fungsi lahan subur untuk berbagai keperluan baik untuk perkebunan ataupun penggunaan untuk keperluan non pertanian, maka dari itu, pengembangan pertanian ke depan lebih diarahkan pada lahan sub.optimal seperti lahan pasang surut. Luas lahan pasang surut di Provinsi Jambi 684.000 ha.Lahan yang berpotensi dikembangkan untuk pertanian 246.481 ha, terdiri dari lahan pasang surut 206.852 ha dan lahan lebak 40.521 ha.Luas lahan yang telah direklamasi untuk pertanian seluas 34.547 ha terdiri dari lahan potensial 16.387 ha, sulfat masam 192 ha dan lahan gambut 17.136 ha. Masalah utama yang dihadapi di lahan pasang surut adalah status kesuburan yang rendah, kemasaman tinggi (pH rendah), serta gangguan hama dan penyakit.Penelitian dilaksanakan di Desa Suka Maju, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dari bulan April sampai dengan Agustus 2016.Komponen teknologi jagung Varietas Sukmaraga, dolomit dan pupuk kandang massing-masing 1 ton/ha, pupuk Phonska 200 kg/ha, NPK Mutiara 25 kg/ha, Furadhan 3G 17 kg/ha, Insektisida dan fungisida 1 liter/ha. Hasil Penelitian Keragaan komponen hasil varietas Sukmaraga adalah; panjang tongkol 16,9 cm, lingkaran tongkol 15,48 cm, jumlah baris/tongkol 13,6, jumlah biji/baris 34,7 dan produktivitas yang diberikan varietas Sukmaraga 6 ton/ha. Penerimaan petani Rp 17.400.000,- Biaya usahatani Rp 7.600.000,- termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga, keuntungan usahatani Rp 9.600.000,-/musim tanam. Ratio penerimaan dengan biaya (R/C) 2,3 atau ratio keuntungan usahatani dengan biaya usahatanii 1,3.

Kata Kunci: usahatani, jagung, komposit, lahan masam, bukaan baru

ABSTRACT

Recently tidal land is a hopefor present and future to develop of food crops, i.e. maize (Zea mays.L). It is true because the conversion of land for various purposes either for plantations or for non-agricultural use, therefore the development of future agricultural land is more focused on sub.optimal as tidal land. Jambi province has tidal land of 684,000 ha, with could potentially be developed for agricultural 246 481 ha, consisting of 206 852 ha of tidal land and swampy areas 40 521 ha. The area has been reclaimed for agriculture area of 34 547 ha consists of potential land 16 387 ha, 192 ha of acid sulphate and peat 17 136 ha. The main problem faced in the tidal area is the status of low fertility, high acidity (low pH is low), pests and diseases.The research was conducted in the village Suka Maju, District Geragai, Tanjung Jabung Timur from April to August 2016. Components technology were Sukmaraga maize varieties, dolomite and manure massing each 1 ton/ha, fertilizer Phonska 200 kg/ha, NPK Mutiara 50 kg/ha, Furadhan 3G 17 kg/ha, Insecticides and fungicides 1 liter/ha. Results yield components of Sukmaraga varieties showedlong corncob16.9 cm, circle corncob 15.48 cm, number of rows/corncob 13.6, the number of seeds/34.7 line and the productivity of a given variety Sukmaraga 6 tons/ha. Acceptance of farmers Rp 17.4 million, - The cost of farming Rp 7,600,000, - including the cost of labor in the family, farming profit of Rp 9.6 million/planting season. Ratio reception at a cost (R/C) of 2.3 or farming profits with cost farm 1.3.

Keywords: farming, corn, composite, acidity land, new openings

Page 108: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

91

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat disediakan sepanjang waktu dengan jumlah dan kualitas yang baik (Badan Litbang Pertanian, 2012).Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan program swasembada berkelanjutan untuk beras dan jagung serta mencapai swasembada kedelai tahun 2014. Walaupun produksi jagung meningkat dengan laju rata-rata 7,6% selama kurun waktu 2004-2008, akan tetapi produksi jagung belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Hadijah A.D, et al, 2011)

Hasil penelitian Suarni (2011) menunjukan bahwa jagung kaya dengan komposisi kimia, zat aktif sebagai bahan baku nutrisi, serat yang dibutuhkan tubuh (dietary fiber), pro vitamin A (ß-karoten), gula reduksi/komposisi karbohidrat, komposisi asam amino, rasio amilosa/amilopektin, mineral Fe dan lainnya yang merupakan nilai unggul dibanding serealia lainnya

Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan Kabupaten yang berada dibagian timur Provinsi Jambi.Jumlah penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur 211.690 jiwa yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian baik pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan perikanan.Dari luas wilayah 544.500 ha terdapat lahan potensial untuk pengembangan lahan sawah seluas 39.303 ha, lahan bukan sawah 370.484 ha dan lahan bukan pertanian seluas 134.713 ha (Distan Tanjab. Timur, 2013)

Menurut Sudirman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GMPT) kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan sebanyak 5 juta ton dan diperkirakan 3,5 juta ton dapat dipenuhi dari jagung dalam negeri, sisanya 1,5 juta impor. Pada kuartal I 2011 telah mengimpor jagung sebanyak 200.000 ton.

Impor jagung merupakan suatu dilema yang harus dicarikan jalan keluarnya, karena disatu sisi impor merugikan petani karena selama ini harga impor lebih murah dibandingkan jagung lokal, disisi lain kebutuhan pengusaha pakan tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri. Secara ekonomi terlihat terjadi perubahan yang sangat mendasar pada ekonomi jagung Indonesia, dari yang semuala sebagai bahan pangan pokok setelah padi menjadi komoditas bahan baku industri (Kasryno, et al. 2007). Lebih lanjut dikatakan oleh Sarasutha, et al (2007) bahwa penggunaan jagung untuk industri selalu meningkat dan diperkirakan lebih dari 76,2%

Salah satu solusi mengurangi impor jagung adalah melalui peningkatan produktivitas baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan menerapkan paket teknologi Varietas Unggul Baru (VUB), Budidaya, Panen dan Pasca Panen. Peluang peningkatan produktivitas jagung sangatlah memungkinkan karena jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, adaptasi luas, dapat tumbuh dan berproduksi pada berbagai agroekosistem dan jenis tanah (Iriany., dkk. 2007).

Kontribusi varietas unggul sangat nyata dalam peningkatan produksi dan produktivitas jagung nasional.Varietas unggul dibentuk dari serangkaian kegiatan perbaikan sumberdaya genetic (SDG).Produk dari SDG (germplasm improvement) pada tanaman jagung secara umum dapat digolongkan menjadi dua; varietas bersari bebas atau komposit dan varietas hibrida (Zubachtirodin dan Firdaus Kasim, 2012).Salah satu varietas unggul bersari bebas yang memiliki keunggulan toleran lahan masam adalah varietas Sukmaraga.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Suka Maju, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dari bulan April sampai dengan Agustus 2016.Penelitian dilaksanakan pada lahan Taman Teknologi Pertanian (TTP) BPTP Jambi seluas 1 ha yang dikelola langsung oleh petani kooperator penggarap tanah ini sebelumnya.

Data yang telah dikumpulkan ditabulasi kemudiaan dianalisis. Analsis kelayakan usaha (Soekartawi, 1995). Analisis ini bertujuan untuk melihat perbandingan (nisbah) penerimaan dan biaya. Secara matematik dapat dituliskan sebagaiberikut :

a = R/C, R=Py.Y, C={(Py.Y)/(FC+VC)} Dimana : R=penerimaan; C=biaya; Py=harga output; Y=output FC=biaya tetap; VC=biaya variable.

Page 109: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

92

Titik Impas (Break event point ) yang dianalisis adalah titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga (TIH). Dengan mempelajari hubungan antara biaya produksi, volume penjualan, maka dapat diketahui tingkat keuntungan serta kelayakan usahatani Jagung Sukamaraga pada lahan masan bukaan baru. Salah satu teknik dalam mempelajari hubungan antara biaya, penerimaan dan volume produksi adalah dengan menghitung titik impas produksi (Break Even Yield ) dan titik impas harga (Break Even Price).

Analisis titik impas produksi dan titik impas harga sangat penting bagi usaha tani Jagung Sukmaraga ini karena sehubungan dengan efisiensi produksi.Dengan alat analisis ini dapat diketahui pada tingkat produktivitas berapa usahatani Jagung Sukmaraga pada lahan masam bukaan baru memperoleh keuntungan, keuntungan normal ataupun mengalami kerugian. Analisis titik impas menghasilkan gambaran jumlah dan harga minimum yang akan diproduksi (Setiawan, 2008). TIP dan TIH dapat dirumusakan sebagai berikut:

TIP = Total Biaya/ Harga Produksi, dan TIH = Total Biaya / Jumlah Produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Tanaman Jagung di Provinsi Jambi.

Peningkatan produksi jagung di Provinsi Jambi tahun 2015 dibandingkan tahun sebelumnya sangat signifikan yaitu sebesar 69,8%. Wilayah penyebaran penanaman jagung di Provinsi Jambi merata pada 11 kabupaten / kota. Luas panen terluas jagung tahun 2014 terdapat di Kabupaten Muaro Jambi yaitu seluas 2.755 ha, kemudiaan dikuti oleh Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Bungo masing-msing 1.821 ha dan 1.041 ha.

Pada tahun 2015 total produksi jagung di Provinsi Jambi 43.617 ton dengan rata-rata produktivitas 54,95 ku/ha. Walaupun panen terluas di Kabupaten Muaro Jambi namun produktivitas tertinggi terdapat di Kabupaten Kerinci. Produktivitas jagung di Kabupaten Muaro Jambi 55,54 ku/ha dan di Kabupaten Kerinci 66,10 ku/ha.Tingginya produktivitas jagung di Kabupaten Kerinci dibandingkan dengan Kabupaten Muaro Jambi terutama disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah Kabupaten Kerinci lebih baik dibandingkan Kabupaten Muaro Jambi.

Tabel 1.Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Jagung Tahun 2010-2014

Komponen Tahun

2010 2011 2012 2013 2014

Luas Panen (ha) 8.280 6.706 6.587 6.504 7.937 Produksi (ton) 30.691 25.521 25.571 25.690 43.617

Produktivitas (Ku/ha) 37,07 38,06 38,82 39,50 54,95

Sumber : BPS Provinsi Jambi (2015)

Jika dilihat luas panen jagung tahun 2004 – 2009 (Tabel 2), maka luas panen jagung

berkurang pada kurun waktu 2010-2014 (Tabel 1), namun produksi dan produktivitas meningkat. Dalam kurun waktu 2004-2009 luas panen jagung terluas 10.112 ha pada tahun 2009 dengan produksi 38.169 ton dan produktivitas 37,75 ku/ha. Sedangkan luas panen jagung dalam kurun waktu 2010-2014 adalah 8.280 ha pada tahun 2010 dengan produksi 30.691 ton dan produktivitas masih rendah yaitu 37,07 ku/ha. Produktivitas mulai naik tahun 2011 sampai tahun 2014 yaitu 54,95 ku/ha pada tahun 2014.

Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Provinsi Jambi Tahun2004-2009

Tahun Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha)

2004 8.724 27.540 31,57

2005 8.874 29.679 33,44

2006 8.637 29.289 33,91

2007 8.655 30.028 34,69

2008 9.520 34.616 36,36

2009 10.112 38.169 37,75

Sumber BPS Provinsi Jambi Tahun 2009 dan 2010

Tahun 2004 – 2007 luas panen jagung hanya berkisar dari angka 8.637 ha – 8.874 ha dan pada tahun 2008 naik menjadi 9.520 ha, serta mengalami kenaikan lagi pada tahun 2009 menjadi 10.112 ha.

Page 110: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

93

Pada priode 2010-2014 luas panen jagung tidak dapat menembus angka 10.000-an.

Table 3.Luas panen, produksi dan produktivitas jagung per kabupaten / kota di Provinsi Jambi

No. Kabupaten / kota Luas panen (ha) Prodsuksi (ton) Produktivitas (ku/ha)

1. Kerinci 1.821 12.036 66,10 2. Merangin 338 1.570 46,46 3. Sarolangun 134 580 43,27 4. Batang Hari 59 272 46,15 5. Muaro Jambi 2.755 15.300 55,54 6. Tanjung Jabung Timur 799 4.000 50,06 7. Tanjung Jabung Barat 746 3.208 43,00 8. Tebo 105 486 46,18 9. Bungo 1.041 5.530 53,12 10. Kota Jambi 70 306 43,74 11. Kota Sungai Penuh 69 329 47,72 Provinsi Jambi 7.937 43.617 54,95

Sumber : BPS Provinsi Jambi (2015)

Agroekologi Zone (AEZ) wilayah penanaman jagung di setiap kabupaten/kota berbeda, terutama daerah-daerah sentra produksi.Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah rawa lebak, Kabuapten Kerinci merupakan daerah dataran tinggi iklim basah dan Kabupaten Bungo merupakan daerah lahan kering dataran rendah iklim basah.

Keragaan Agronomi dan Hasil

Tabel 4. Keragaan Agronomi, Komponen Hasil dan Produksi Jagung Sukmaraga

Variabel Hasil

Tinggi Tanaman (cm) 219,50 Tinggi Tertancapnya Tongkol (cm) 112,50 Kelobot tidak menutup penuh (%) 7,05 Panjang tongkol (cm) 16,90 Lingkaran tongkol (cm) 15,48 Jumlah baris / tongkol 13,60 Jumlah biji / baris 34,70 Produksi (ton/ha) 6,78

Sumber : Data Primer (2016)

Beberapa sifat agronomis yang diperoleh dari pengkajian ini tidak jauh berbeda dengan

deskripsinya. Dalam deskripsi tinggi tanaman jagung Sukmaraga dapat mencapai 220 cm, dilapangan ditemui tinggi tanaman 119,5 cm. Lain halnya dengan tinggi tertancapnya tongkol dalam deskripsi tinggi tertancapnya tongkol 90-100 cm, dilapnagn ditemui tinggi tertancapnya tongkol 112,5 cm.

Menutupnya kelobot pada tanaman jagung merupakan salah satu referensi petani dalam memilih varietas, karena ulat pengerek tongkol akan banyak pada kelobot terbuka. Pengamatan dilapangan kelobot yang terbuka hanya 7,05 % atau kelobot tertutup 92,95%, sedangkan dalam deskripsi kelobot tertutup 85%.

Produktivitas jagung Sukmaraga pada pengkajian ini 6,0 t/ha pipilan kering, hasil ini masih bias ditingkatkan dengan perbaikan lingkungan tumbuh biotik dan abiotok, karena jagung Sukmaraga memiliki potensi hasil 8,5 t/ha pipilan kering.

Mulai 3 minggu setelah tanam (MST) terlihat serangan ulat grayak, ulat jengkal, dan aphid jagung (Rophalosiphum maydis). Namun serangan hama tersebut tidak berarti dalam penurunan hasil.

Analisis Finansial

Analisis usahatani digunakan sebagai parameter kelayakan usahatani secara ekonomi.Indikator yang digunakan untuk melihat kelayakan usahatani jagung jenis komposit varietas Sukmaraga di lahan masam bukaan baru adalah; R/C, B/C, TIP dan TIH.

Pola tanam di daerah pasang surut umumnya padi-bera, padi-palawija, dan padi-padi. Ada sebaagian petani yang hanya melakukan penanaman satu kali dalam setahun, yaitu dengan menanam padi varietas lokal seperti varietas Botol dan atau Senapi. Pada beberapa tempat petani selalu menaman padi dan setelah itu dilakukan penanaman palawija, seperti kedelai dan atau jagung.Jarang

Page 111: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

94

petani yang melakukan penanaman padi-padi, kecuali ada program dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, seperti Program Gertaktanpadusta (Gerakan tanam padi dua kali setahun).

Tabel 5. Analsis kelayakan usaha jagung Sukmaraga di lahan masam

I. Bahan Jumlah Satuan Harga (Rp) Biaya (Rp)

Benih 15 Kg 12.500,- 187.500,- NPK Phonska 4 Zak 160.000,- 640.000,- NPK Mutiara 25 Kg 15.000,- 375.000,- Furadhan 5 Kotak 20.000,- 100.000,- Insektisida 1 Paket 82.500,- 82.500,- Fungisida 1 Paket 85.000,- 85.000,- Dolomit 20 Karung 26.000,- 520.000,- Pupuk kandang 1 Ton 1.000.000,- 1.000.000,- Sub.total I 2.990.000,-

II. Upah Olah tanah 1 Paket 1.250.000,- 1.250.000,- Tanam 13 Hok 80.000,- 1.040.000,- Siang bumbun 10 Hok 80.000,- 800.000,- Pupuk susulan 2 Hok 80.000,- 160.000,- Penyemprotan 2 Hok 80.000,- 160.000,- Panen 10 Hok 80.000,- 800.000,- Prosessing 5 Hok 80.000,- 400.000,- Sub.total II 4.610.000,- Total biaya (I+II) 7.600.000,- Nilai produksi 6000 kg 2.900,- 17.400.000,- Nilai pendapatan 9.800.000,- R/C 2,3 B/C 1,3 TIP (kg/ha) 2620,7 TIH (Rp/kg) 1266,7 Alokasi Biaya Untuk Bahan (%) 39,3 Alokasi Biaya Untuk Upah (%) 60,7

Sumber: Data Primer (2016)

Jumlah produksi yang didapat sebanyak 6.000 kg pipilan kering, hasil ini lebih tinggi

dibandingkan rata-rata produktivitas jagung di Provinsi Jambi, yaitu 5.495 kg (BPS, 2015). Hasil yang diperoleh dari pengkajian ini masih bisa ditingkatkan dengan perubahan tingkat kesuburan tanah, karena lahan yang ditanam saat penelitian merupakan lahan bukaan baru dengan pH tanah 3,5-4.

Harga jual jagung pipilan kering di tingkat petani Rp 2.900,- per kg, sehingga penerimaan petani dari usahatani jagung seluas 1 ha adalah sebesar Rp 17.400.000,-. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi jagung tersebut Rp 7.600.000,- dengan rincian Rp 2.990.000,- (39,3%) untuk pembeliaan bahan dan Rp 4.610.000,- (60,7%) untuk upah. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 9.800.000,-/ha/MT , lebih tinggi dibandingkan keuntungan usahatani jagung pada lahan tadah hujan yang dilakukan oleh Lalu et al (2012) sebesar Rp 7.240.019,- /ha/MT

Titik Impas Produksi (TIP) sebesar 2.620,7 kg/ha berarti bahwa tingkat produksi sebesar ini petani tidak mengalami kerugian maupun keuntungan. TIH Rp 1.266,7/kg, berarti apabila petani menerima harga jual sebesar itu maka petani tidak rugi dan juga tidak untung

Page 112: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

95

KESIMPULAN

1. Varietas jagung Sukmaraga tidak hanya beradaptasi pada lahan masam mineral, tetapi juga mampu beradaptasi dan berproduksi pada lahan masam bukaan baru mapu dapat

2. Jagung komposit Sukmaraga beradaptasi baik pada lahan masam bukaan baru dengan kemampuan produksi 6 t/ha

3. Usahatani jagung sukmaraga layak dan menguntungkan diusahakan dengan keuntungan bersih Rp 9.800.000/ha/MT

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2012. Inovasi Teknologi Membangun Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2009. Jambi Dalam Angka, 2009 Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2010. Jambi Dalam Angka, 2010 Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2015. Jambi Dalam Angka, 2015 Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2013. Dinas Pertanian Dalam Angka 2013. Dinas

Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Hadijah A.D., Arsyad., dan Bahtiar. 2011. Dinamika Usahatani Jagung Hibrida dan Permasalahannya

Pada Lahan Kering di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Serealia. ISBN : 978-979-8940-27-9. Inovasi Teknologi Serealia Menuju Kemandirian Pangan dan Agroindustri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

Iriany R. Neni., M. Yasin H.G., dan Andi Takdir M. 2007. Asal, Sejarah, Evolusi, dan Taksonomi Tanaman Jagung dalam Buku Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Kasryno Faisal., Effendi Pasandaran., Suyamto, dan Made O Adriyana.2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia.dalam Buku Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Lalu Margaretha Sadipun dan Zubachtirodin.2010. Evaluasi Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Jagung Secara Terpadu Pada lahan Sawah tadah Hujan dalam Iptek Tanaman Pangan.Volume 5 Nomor 2 Desember 2010.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Badan Penelitian dan Pemngembangan Pertanian.

Sarasuta I.G.P., Suryawati, dan Margaretha SL. 2007. Tata Niaga Jagung. dalam Buku Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Setiawan, D,H., dan Agus Andoko. 2008. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Penerbit PT.Agro Media Pustaka

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Suarni. 2011. Dinamika Usahatani Jagung Hibrida dan Permasalahannya Pada Lahan Kering di

Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Serealia. ISBN : 978-979-8940-27-9. Inovasi Teknologi Serealia Menuju Kemandirian Pangan dan Agroindustri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

Yasin M, HG., Sumarno, dan Amin Nur. 2014. Perakitan Varietas Unggul Jagung Fungsional. IAARD Press.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jln. Ragunan 29, Pasar Minggu, Jakarta 12540. Alamat Redaksi : Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jln Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122.

Zubachtirodin dan Kasim. 2012. Posisi Varietas Bersari Bebas Dalam Usahatani Jagung. Iptek Tanaman Pangan. Volume 7 Nomor 1 Juni 2012.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Page 113: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

96

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH MELALUI INTRODUKSI VARIETASUNGGUL BARU DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

IMPROVEMENT RICE PRODUCTIVITY THROUGH INTRODUCTION OF NEW VARIETIES IN DISTRICT OF TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

Sigid Handoko, Yong Farmanta, dan Adri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi 36128

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satu komponen penting dalam pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Penelitian ini bertujuan mengatasi berbagai cekaman lingkungan biotik dan abiotik, diharapkan mampu mendongkrak produktivitas padi sawah di Indonesia. Pelaksanaan penelitian di Desa Sukamaju, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada MK Mei-Agustus 2016 di lahan sub optimal, dengan luasan 2 ha. Pendekatan uji menggunakan On Farm Adaptive Research (OFAR), dengan 4 petak perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Tiga varietas yang diuji yaitu Inpara 3, Inpara 8 dan Inpari 30, serta ditambahkan varietas IR 42 sebagai kontrol, merupakan varietas yang sudah dibudidayakan petani setempat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa (1) Introduksi VUB dan perbaikan manajemen usahatani menggunakan pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivitas padi sawah dilokasi pengkajian pada kisaran 12,3 hingga 37,5%, (2) rerata produktivitas padi sawah dari VUB yang diintroduksikan tertinggi dicapai Inpara 3 sebesar 4,47 t/ha GKG, kemudian Inpara 8 sebesar 4,25 t/ha dan Inpari 30 sebesar 3,65 t/ha, ketiga VUB menunjukkan capaian produktivitas yang lebih tinggi dari kontrol pola petani dengan varietas IR 42 yaitu 3,25 t/ha, dan (3) hasil analisis finansial usahatani ketiga VUB yang diintroduksikan layak untuk dikembangkan.

Kata kunci : Varietas unggul baru, padi sawah, peningkatan, produktivitas

ABSTRACT

New varieties (VUB) is one of the important components in the approach of Integrated Crop Management (ICM) of paddy. High yielding varieties have also been proven to significantly overcome constraints environmental biotic and abiotic stresses of rice farming in various regions in Indonesia. High yielding varieties is also one component technology that has been proven to boost the productivity of paddy rice in Indonesia. VUB adaptation test has been carried out in the village Sukamaju, District Geragai, Tanjung Jabung Timur in sub-optimal land, in May-August 2016. Three varieties tested, namely Inpara 3, Inpara 8, and Inpari 30, as well as variety IR 42 as a control. Land that is used is the paddy fields owned by farmers with an area of 2 ha, test approach using the On-Farm Adaptive Research (OFAR), with four terraced planting and repeated 3 times. The results show that (1) Introductions VUB and farm management improvements using PTT approach to increase productivity of paddy in the location assessment in the range of 12.3 to 37.5%, (2) the average productivity of paddy rice from the VUB introduced Inpara 3 achieved the highest of 4.47 t/ha GKG, then Inpara 8 of 4.25 t/ha and Inpari 30 amounted to 3.65 t/ha, the third VUB indicate achievement of higher productivity than the control pattern of farmers with varieties of IR 42 is 3.25 t/ha, and (3) the results of the financial analysis that introduced three VUB to be developed.

Keywords: new superior varieties, paddy, improvement, productivity

Page 114: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

97

PENDAHULUAN

Pemenuhan kebutuhan bahan pangan, terutama beras masih menjadi prioritas bagi pembangunan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Karena beras memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Menurut Suryana, et al. (2009), setidaknya ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran tersebut, yaitu; (1) usahatani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan, (2) permintaan beras terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk, (3) produksi beras nasional masih menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana alam, serangan hama dan penyakit dan kenaikan harga pupuk dan pestisida, dan (4) usahatani padi masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja. Peran beras dalam perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam periode 2003-2006, PDB Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 2000 mengalami peningkatan 5,4 % per tahun (Suryana, et al. 2009).

Jambi sebagai salah satu provinsi penyangga beras nasional juga memiliki tingkat produktivitas padi yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Upaya untuk terus meningkatkan produksi dan produktivitas juga dihadapkan berbagai iklim dan serangan OPT, yang dapat menyebabkan kegagalan panen. Luas lahan pertanian di Jambi relatif tetap bahkan cenderung turun akibat konversi lahan pertanian ke non pertanian, dilain pihak kebutuhan beras di juga terus meningkat. Salah satu peluang untuk meningkatkan produksi beras di Jambi, adalah melalui penerapan inovasi teknologi yang mampu memberikan lonjakan peningkatan hasil persatuan luas. Introduksi varietas unggul baru yang mampu mengatasi cekaman biotik dan abiotik merupakan salah satu solusi cepat dalam rangka mengamankan produksi beras dari deraan anomali iklim dan serangan organisme penganggu tanaman (OPT).

Strategi untuk mencapai kembali swasembada pangan dapat ditempuh melalui Penguatan Teknologi, seperti penggunaan benih unggul, penguatan manajemen serta pemberdayaan petani (Apriantono, 2009 dalam Antara online 21 Januari 2009). Gaung swasembada beras juga direspon ditingkat wilayah provinsi maupun di kabupaten. Beberapa provinsi dan kabupaten penghasil beras mencanangkan kembali untuk dapat berswasembada beras. Tanjabtim, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki luas lahan sawah 26.218 ha yang terdiri dari sawah beririgasi teknis 15.856 ha, irigasi setengah teknis 1.640 ha, irigasi non teknis 7.723 ha dan sawah tadah hujan 999 ha (Bappeda dan BPS, 2009). Rata-rata produktivitas padi sawah di kabupaten Tanjabtim pada tahun 2009 adalah sebesar 5,24 t/ha, lebih rendah dari produktivitas padi Jawa Tengah sebesar 5,64 t/ha (Jateng Dalam Angka, 2010). Masih rendahnya produktivitas padi sawah di kabupaten Tanjabtim, membuka peluang yang cukup untuk meningkatkannya melalui introduksi VUB padi dan perbaikan manajemen usahatani. Beberapa VUB seperti Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13 berdasarkan deskripsi memiliki potensi hasil yang cukup tinggi antara 7 – 12 t/ha GKG (BPTP Jateng, 2010), dan berpotensi dikembangkan di Kab. Tanjabtim.

Program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT), merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong dan mempercepat peningkatan produksi beras nasional melalui penerapan inovasi teknologi dan pengelolaan sumberdaya secara terpadu, guna mencapai target produksi beras tahun 2011. Pemerintah menargetkan produksi beras sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 atau meningkat 7 % dari tahun sebelumnya. (Dirjentan, 2010).

Dalam rangka pendampingan program SLPTT di Kabupaten Tanjabtim, BPTP Jawa Tengah telah mengintroduksikan varietas unggul baru (VUB) padi sawah, pada sebagian lokasi SL melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Introduksi varietas ini bertujuan disamping untuk melakukan uji adaptasi dan melihat keragaan hasil pada kondisi lingkungan spesifik.

METODE PENELITIAN

Uji adaptasi VUB dilaksanakan di lahan sawah dengan jenis tanah rawa, di desa Sukamaju, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada MK 2016, yang dimulai pada bulan Mei-Agustus 2016. Tiga varietas yang diuji adalah Inpara 3, Inpara 8 dan Inpari 30 di tambah 1 varietas sebagai cek yaitu Ir 42 yang sudah dibudidayakan petani setempat. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah milik petani dengan luasan 2 ha, untuk ditanami 4 varietas. Pendekatan uji menggunakan On Farm Adaptive Research (OFAR), dengan 4 petak pertanaman dan diulang sebanyak 4 kali. Penerapan inovasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) meliputi:

Page 115: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

98

Tabel 1. Komponen teknologi pada uji adaptasi VUB di Desa Sukamaju, Tanjabtim 2016

No Komponen Varietas

Inpara 3 Inpara 8 Inpari 30 IR 42

1. Umur bibit 21 21 21 21 2. Jumlah bibit/lubang 2-3 2-3 2-3 3-5 3. Jarak tanam (12,5 x 25) x 50

cm Legowo 2:1

(12,5 x 25) x 50 cm Legowo 2:1

(12,5 x 25) x 50 cm Legowo 2:1

Tidak Pasti 25 x 25 cm Legowo 2:1

4. Pengairan berselang berselang berselang Cara petani

5. Pemupukan kg/ha: Urea ZA SP-36 Phonska

200 50 100 300

200 50 100 300

200 50 100 300

200 50 100 300

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Kondisi Usahatani Eksisting

Penggunaan lahan terluas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur utamanya adalah untuk lahan sawah seluas 310,05 km

2 atau sebesar 25,14%. Pada tahun 2013 produktivitas padi di Tanjabtim rata-

rata sebesar 3,61 t/ha (BPS Jambi, 2015) namun produktivitas tersebut masih rendah dibandingkan produktivitas padi di Provinsi Jambi pada tahun yang sama yaitu 4,56 t/ha.

Produktivitas di berbagai wilayah masih di bawah 4 t/ha. Wilayah kecamatan Geragai capaian produktivitasnya baru mencapai 3,73 t/ha sedikit lebih tinggi dari tingkat produktivitas di tingkat kabupaten yang mencapai 3,61 t/ha. Artinya melihat potensi hasil VUB yang diintroduksikan dapat mencapai kisaran 7-12 t/ha, maka peluang peningkatan produktivitas padi sawah di kabupaten Tanjabtim melalui introduksi VUB masih cukup terbuka.

Rendahnya potensi hasil yang dicapai di tingkat lapangan, tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan varietas yang diusahakan petani namun juga karena tingkat penerapan inovasi teknologi yang belum sesuai dengan kultur teknis yang tepat. Kondisi usahatani di lokasi pengujian, secara umum petani belum menerapkan komponen teknologi PTT secara lengkap, seperti jarak tanam tidak teratur, jumlah bibit per lubang lebih dari 3 bibit, umur bibit lebih dari 21 hss, dan ada kecenderungan pemberian pupuk an organik berlebihan. Dikemukakan oleh Suryana, et al. (2009), bahwa produktivitas dapat ditingkatkan melalui penciptaan teknologi sesuai kebutuhan petani dan penerapan teknologi secara baik. Implementasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah dengan beberapa komponen teknologi unggulannya (bibit muda 15-21 hss, tanam 2-3 bibit/lubang, pengairan berselang, sistem tanam legowo, pemupukan berimbang) telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi sawah di berbagai daerah.

Hasil Uji Adaptasi

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwa rerata tinggi tanaman pada Inpari 30 sebesar 100,6 cm, terendah pada varietas IR 42 sebesar 72,4 cm. Inpari 30 menunjukkan keragaan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan varietas lain yang diuji adaptasikan. Secara keseluruhan tinggi tanaman VUB yang diintroduksikan rerata lebih tinggi dari varietas unggul yang biasa di tanam petani. Keragaan tinggi tanaman yang berbeda disamping merupakan ekspresi faktor genetis, juga dapat disebabkan karena tingkat pengelolaan usahatani yang berbeda. Berdasarkan deskripsi tinggi tanaman VUB Inpara berkisar antara 100 – 120 cm (BPTP Jambi, 2010), dan hanya Inpari 8 yang keragaan pertumbuhannya kurang dari yang tercantum pada deskripsi. Ketiga VUB memiliki umur panen pada kisaran 110-115 hari setelah sebar. Hanya VUB Inpari 3 yang memiliki umur lebih genjah yaitu 110 hari.

Page 116: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

99

Tabel 2. Rerata Tinggi Tanaman, Malai Per Rumpun, Berat 1000 Biji Pada Uji Adaptasi, Tanjabtim MK 2016

Varietas Komponen Pengamatan

Tinggi tanaman gabah/malai Berat 1000 biji

Inpara-3 99,4 120 29

Inpara-8 78,2 102 29

Inpari-30 100,6 148 25

IR 42 72,4 105 27

Sumber ; Data Primer tahun 2016

Pengamatan terhadap hasil jumlah gabah per malai dan berat 1000 butir tertinggi dicapai pada

varietas Inpari-30 (tabel 2), namun tingginya dua komponen hasil ini tidak di dukung dengan jumlah anakan produktif, yang diekspresikan dalam jumlah malai per meter persegi yang tinggi, sehingga hasil gabah kering giling (GKG) (t/ha) yang dicapai tidak lebih baik dari Inpara-3 (tabel 3). Varietas Inpara 3, yang dalam deskripsi varietas memiliki potensi hasil hingga mencapai 8 t/ha, namun keragaan yang ditunjukkan dalam uji adaptasi di desa Sukamaju, kecamatan Geragai Tanjabtim yang memiliki jenis tanah rawa ini masih berada di bawah kondisi optimal, yaitu baru mencapai 4,47 t/ha, sementara Inpara 8 dapat mencapai 4,67 t/ha. Faktor penyebabnya dimungkinkan karena belum terpenuhinya secara optimal berbagai faktor tumbuh yang dikehendaki varietas tersebut untuk mengekpresikan kemampuan genetisnya dalam bentuk hasil gabah.

Tabel 3. Rerata Komponen Hasil Pada Uji Adaptasi, Tanjabtim MT 2016

Varietas Komponen Pengamatan

Rerata banyak malai/rumpun

% gabah isi Hasil ubinan t/ha GKP

Inpara-3 21,4 86,7 4,47 Inpara-8 22,7 78,3 4,67 Inpari-30 20,8 73,3 3,68 IR 42 13,1 90,2 3,25

Sumber ; Data Primer tahun 2016

Tingginya rerata potensi hasil yang dicapai pada varietas Inpara-3, didukung oleh komponen

hasil seperti banyak malai per rumpun yang mencapai rata-rata 21,4 malai, jumlah gabah per malai dan persentase gabah isi. Untuk varietas eksisting (IR 42), walaupun prosentase gabah isi lebih tinggi mencapai 90,2% malai, namun karena rerata jumlah gabah permalai kecil (13,1), maka berpengaruh terhadap hasil gabah. Hasil tanaman padi ditentukan oleh beberapa komponen hasil penting seperti, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan berat 1000 biji (Taslim et al., 1993: Fageria, 1992).

Gambar 1. Rerata Produktivitas (t/ha) VUB yang di uji Adaptasikan

Pada tabel 4, terlihat bahwa rerata hasil gabah yang tinggi dicapai pada VUB yang diintroduksikan, dan lebih tinggi dari varietas unggul eksisting. Hasil tertinggi dicapai pada varietas Inpara 8, dengan rata-rata produktivitasnya mencapai 4,67 t/ha dan produktivitas terendah dicapai pada varietas IR 42 (3,25 t/ha) sebagai kontrol. Dengan hasil yang rata-rata lebih tinggi dari tiga

Page 117: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

100

varietas unggul yang diintroduksikan, akan memberikan peluang bagi upaya peningkatan produksi padi sawah di wilayah tersebut.

Hal yang perlu dipertimbangkan apabila VUB yang diitroduksikan akan dikembangkan lebih lanjut sebagai varietas alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi sawah pada musim-musim yang akan datang, terutama apabila akan dikembangkan pada musim penghujan. Salah satu pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah ketahanan varietas terhadap penyakit terutama yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.

KESIMPULAN

1. Introduksi VUB dan perbaikan manajemen usahatani menggunakan pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivitas padi sawah di desa Sukamaju, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada MK 2016 pada kisaran 13,2 hingga 43,7%.

2. Produktivitas padi sawah tertinggi dicapai Inpara 8 sebesar 4,67 t/ha GKP, kemudian Inpara 3 sebesar 4,47 t/ha dan Inpari 30 sebesar 3,68 t/ha, sedangkan produktivitas pada teknologi petani dengan varietas IR-42 sebesar 3,25 t/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Sdr.Uus Effendi, teknisi BPTP Jambi yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

BPTP Jateng, 2010. Diskripsi Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah. Dirjentan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)

Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah. Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.

Dirjentan, 2011. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah. Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.

Fageria, N.K. 2009. The Use of Nutrients in Crops Plant. CRC. Press. Taylor and Francis Group. Boca Raton. London. New York.

Norsalis, E. 2011. Padi gogo dan padi sawah. http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/Padigogodansawah_ekonorsalis_17170.pdf [23 September] 2013.

Nurzakiah. S, Y. Lestari, dan Muhamad. 2011. Dinamika hara akibat aplikasi pupuk di lahan rawa. Jurnal Tanah dan Iklim. Edisi khusus rawa: 71-78.

Putra.I.P.C. 2012. Analisis usaha tani kentang sembalun. Prosiding seminar nasional “ Petani dan Pembangunan Pertanian”. Bogor 12 Oktober 2012. Hal 389-395.

Runtunuwu.E, H.Syahbudin,F.Ramadhani. A, Pramudia. D, Setyorini. K. Sari. Y, Apriana. E, Susanti, dan Haryono. 2013. Inovasi kelembagaan system informasi kalender tanam terpadu mendukung adaptasi perubahan iklim untuk ketahanan pangan nasional. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian Vol 6 (1). Hal 44-52.

Suryana, A., S. Mardianto, K. Kariyasa, dan I.P. Wardana. 2009. Kedudukan padi dalam perekonomian Indonesia. Dalam. Suyamto, et al.(Eds). Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Besar Penelitian tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian.

Suparwoto, Waluyo, dan Jumakir. 2004. Pengaruh varietas dan metode pemupukan terhadap hasil padi di rawa lebak. Jurnal Agronomi 8 (1) : 21-25.

Taslim, H., S. Partohardjono, dan Subandi, 1993. Pemupukan Padi Sawah. Dalam. Ismunadji, et al. (Eds). Padi. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. h.445-479.

Page 118: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

101

IMPLEMENTASI KEUNGGULAN SISTEM INFORMASI KALENDER TANAM TERPADU DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

IMPLEMENTATION OF RECOMMENDATIONS OF INTEGRATED INFORMATION SYSTEM CALENDAR PLANTING IN DISTRICT OF TANJUNG JABUNG TIMUR

Yong Farmanta, Sigid Handoko, dan Busyra

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi 36128

Email: [email protected]

ABSTRAK

Program upaya khusus (UPSUS) telah dicanangkan Kementerian Pertanian pada tahun 2015. Program ini memerlukan upaya yang terintegrasi dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan di pusat dan daerah. Sejalan dengan itu, Badan Litbang Pertanian mengembangkan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu yang menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun rencana pengelolaan pertanian tanaman pangan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi rekomendasi teknologi sistem informasi kalender tanam pada budidaya tanaman padi. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Sukamaju Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada bulan Mei hingga Agustus 2016. Pengkajian ini menerapkan rekomendasi yang ada pada sistem informasi kalender tanam yaitu varietas unggul baru dan rekomendasi pupuk seluas 2 ha. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul baru padi dan pemupukan spesifik lokasi dapat meningkatkan produktivitas rata-rata sebesar 65%. Rekomendasi varietas adaptif untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah Inpara 3 dan 8 dengan hasil rata-rata masing-masing 4,47 GKP t/ha dan 4,67 GKP t/ha. Rekomendasi pupuk untuk Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah NPK 225 kg/ha, dan Urea 175 kg/ha.

Kata kunci : Sistem informasi, kalender tanam terpadu, padi, produktivitas

ABSTRACT

Specific efforts Program (UPSUS) has declared the Ministry of Agriculture in 2015. This program requires integrated and comprehensive efforts of all stakeholders at national and regional. Correspondingly, IAARD develops a System of Integrated Information Planting Calendar which became a reference for policy makers to draw up a management plan for food crops. This assessment aims to determine the implementation of recommendationssystems of information planting calendar technology in rice cultivation. This study was conducted in the village Sukamaju Geragai District of Tanjung Jabung Timur in May and August 2016. These assessments implement the recommendations of the information system of planting calendar which new varieties and fertilizer recommendation of 2 ha. The study showed that the use of new varieties of rice and specific fertilization can increase productivity by an average of 65%. Recommended varieties adaptive to Tanjung Jabung Timur is Inpara 3, and 8 with an average yield of each 4.47 t/ha, and 4.67 t/ha. Fertilizer recommendations forGeragai District Tanjung Jabung Timur are NPK 225 kg/ha and 175 kg Urea/ha.

Keywords: information systems, integrated crop calendar, rice, productivity

PENDAHULUAN

Program upaya khusus (UPSUS) telah dicanangkan Kementerian Pertanian pada tahun 2015. Program ini memerlukan upaya yang terintegrasi dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan di pusat dan daerah (Runtunuwu et al, 2013). Di sisi lain, kita dihadapkan pada kondisi iklim yang tidak menentu, sehingga kita perlu bekerja lebih keras dalam memacu peningkatan dan kontinuitas produksi di tengah ancaman dampak perubahan iklim. Pada sektor pertanian, dampak perubahan iklim sudah semakin terasa, terutama pada sub sektor tanaman pangan, seperti ancaman banjir dan kekeringan, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), penurunan kualitas dan kuantitas produksi. Naylor et al. (2007) secara spesifik menyatakan bahwa produksi pertanian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh curah hujan, baik variasi antar musim maupun antar tahun,

Strategi dan upaya antisipasi dampak perubahan iklim di perlukan agar tidak berpengaruh terhadap produksi pangan nasional, termasuk pencapaian target swasembada dan swasembada

Page 119: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

102

berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan atau adaptasi kegiatan, teknologi dan pengembangan pertanian yang toleran (Resillience) terhadap perubahan iklim, antara lain melalui penyesuaian waktu dan pola tanam, penggunaan varietas yang adaptif, tahan terhadap OPT dan pengelolaan air secara efisien.

Salah satu hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbang Pertanian) adalah informasi kalender tanam tanaman padi tingkat kecamatan seluruh Indonesia. yang menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun rencana pengelolaan pertanian tanaman pangan. Informasi tersebut dikemas dalam bentuk sistem teknologi informasi kalender tanam berbasis web. Dalam sistem ini, selain informasi waktu tanam juga dilengkapi informasi mengenai rekomendasi teknologi pertanian (Ramadhani et al.2013).

Sistem teknologi informasi kalender tanam terpadu bersifat dinamis, yang perlu divalidasi untuk diperbaiki, diperbarui dan dikembangkan. Rekomendasi teknologi yang ada dalam informasi kalender tanam perlu divalidasi, untuk itu perlu dilakukan kajian implementasi rekomedasi teknologinya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat implementasi rekomendasi teknologi yang ada sistem informasi kalender tanam budidaya tanaman padi.

METODE PENELITIAN

Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2016 di Desa Sukamaju Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Materi yang digunakan dalam penelitian Implementasi rekomendasi sistem informasi kalender tanam terpadu ini yaitu rekomendasi varietas dan pemupukan, yaitu Inpara 3 dan Inpara 8 dengan rekomendasi pupuk NPK 225 kg/ha dan Urea 175 kg/ha pada luasan 2 ha. Teknologi yang digunakan dalam budidaya padi ini adalah komponen PTT yaitu antara lain, persiapan lahan dan persemaian, varietas yang digunakan Inpara 3, Inpara 8 dan varietas lokal sebagai kontrol dengan keperluan benih 25 – 30 kg/ha. Umur bibit yang digunakan 15 – 18 hss dengan jumlah bibit 1 – 3 batang/rumpun. Cara tanam yang digunakan yaitu jajar legowo 2 : 1 dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Data yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan (aktif dan produktif) dan komponen hasil (panjang malai, jumlah gabah per malai) dan data produksi. Data yang didapat kemudian dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen hasil yang terdiri dari jumlah malai yang mencerminkan jumlah anakan produktif, panjang malai, gabah bernas dan gambah hampa, bobot 1000 butir serta hasil Inpara 3, Inpara 8 dan Varietas lokal dapat dilihat Tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Komponen Hasil Dan Hasil Varietas Inpara 3

Sampel Tinggi

tanaman (cm)

Panjang Malai (cm)

Gabah Bernas (butir)

Gabah Hampa (butir)

Jumlah Bobot

1000 butir (gr)

Hasil (t/ha)

1 102 25.5 124 20 144 27.3

4.47 2 99 27 123 21 144 28.2 3 96 26.8 215 20 235 27.9 4 105 25.1 213 5 218 28.2 5 95 20.3 133 15 148 27.1 6 97 17.5 102 43 102 28.5

Rerata 99.00 23.70 151.67 20.67 165.17 27.87

Sumber ; Data Primer tahun 2016

Rata-rata tinggi tanaman Inpara 3 yaitu 99,00. Rata-rata panjang malainya 23,70 cm, ini termasuk panjang malai sedang. Menurut Norsalis (2011) panjang malai ditentukan oleh sifat baka (keturunan) dari varietas dan keadaan keliling. Panjang malai beraneka ragam, pendek (20 cm), sedang (20-30 cm) dan panjang (lebih dari 30 cm).

Panjang malai sangat mempengaruhi hasil gabah yang dihasilkan. Semakin baik panjang malai yang dihasilkan sebanyak pula gabah yang dihasilkan. Rata-rata Gabah bernas lebih tinggi dibanding gabah hampa,dengan rata-rata bobot 1000 butir 27,87 gr. Hasil gabah Inpara 3 sebesar 4,47 GKP t/ha. Jika dilihat dari deskripsinya maka hasil yang diperoleh masih di bawah rata-rata hasil pada deskripsi yaitu 5,6 t/ha.

Page 120: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

103

Rata-rata tinggi tanaman Inpara 8 yaitu 98.33. Rata-rata panjang malainya 24,97 cm, ini termasuk panjang malai sedang. Menurut Norsalis (2011) panjang malai ditentukan oleh sifat baka (keturunan) dari varietas dan keadaan keliling. Panjang malai beraneka ragam, pendek (20 cm), sedang (20-30 cm) dan panjang (lebih dari 30 cm).

Tabel 2. Komponen Hasil Dan Hasil Varietas Inpara 8

Sampel Tinggi

tanaman (cm)

Panjang malai (cm)

Gabah bernas (butir)

Gabah Hampa (butir)

Jumlah Bobot

1000 butir (gr)

Hasil (t/ha)

1 100 19.8 90 73 163 26.3

4,67

2 97 23.7 69 52 121 27.4 3 95 23.4 58 73 131 27.5 4 106 26.8 88 75 163 28.1 5 99 28.4 100 145 245 27.6 6 93 27.7 169 65 234 26.9

RERATA 98.33 24.97 95.67 80.50 176 27.30

Sumber ; Data Primer tahun 2016

Rata-rata panjang malai 24,97 sangat mempengaruhi hasil gabah yang dihasilkan. Semakin

banyak baik keragaan panjang malai yang dihasilkan baik pula gabah yang dihasilkan. Rata-rata Gabah bernas lebih tinggi dibanding gabah hampa,dengan rata-rata bobot 1000 butir 27.30 gr. Hasil gabah Inpara 8 sebesar 4.67 t/ha. Jika dilihat dari deskripsinya maka hasil yang diperoleh lebih rendah dengan rata-rata hasil pada deskripsi yaitu 6,0 t/ha.

Jumlah gabah bernas yang dihasilkan Inpara 3 dan 8 lebih tinggi dari gabah hampa, hal ini akan mempengaruhi persentase hasil gabah. Menurut Suparwoto, et al. (2004), tanaman berpotensi hasil tinggi mempunyai persentase gabah hampa yang rendah. Semakin rendah persentase gabah hampa berarti persentase gabah isi semakin tinggi. Menurut Abdullah (2009), rata-rata gabah hampa 24,2-28,2%, sedangkan rata-rata persentase gabah hampa varietas unggul baru padi sawah seperti Ciherang rata-rata 20% dan varietas Fatmawati 44%.

Dari hasil di atas terlihat bahwa penggunaan varietas unggul yaitu Inpara 3 dan Inpara 8 dan rekomendasi pemupukan yang sesuai yaitu spesifik lokasi terjadi peningkatan dari sebelumnya yaitu 3,95 t/ha Dengan demikian penggunaan varietas unggul padi memberikan sumbangan nyata terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Radjagukguk (2004) dalam Muslim et al. (2012) peningkatan produksi padi yang dilakukan salah satunya dengan penanaman varietas padi unggul.

Tabel 3. Komponen Hasil Dan Hasil Varietas Lokal

Sampel Tinggi

tanaman (cm)

Panjang Malai (cm)

Gabah Bernas (butir)

Gabah Hampa (butir)

Jumlah Bobot

1000 butir (gr)

Hasil (t/ha)

1 70 18.7 93 1 94 25.6

3.25 2 77 20.3 56 5 61 24.6 3 76 17.8 73 15 88 24.1 4 68 20.4 65 14 79 25.1 5 71 13.8 103 6 109 24.4 6 107 18.4 16 36 52 23.7

Rerata 78.17 18.23 67.67 12.83 80.50 24.58

Sumber ; Data Primer tahun 2016

Sebagai pembanding dengan varietas lain, pada penelitian ini di gunakan pembanding varietas

lokal. Rata-rata tinggi tanaman Varietas lokal yaitu 78.17. Rata-rata panjang malainya 18.23 cm, ini termasuk panjang malai pendek. Menurut Norsalis (2011) panjang malai ditentukan oleh sifat baka (keturunan) dari varietas dan keadaan keliling. Panjang malai beraneka ragam, pendek (20 cm), sedang (20-30 cm) dan panjang (lebih dari 30 cm).

Panjang malai sangat mempengaruhi hasil gabah yang dihasilkan. Semakin baik panjang malai yang dihasilkan sebanyak pula gabah yang dihasilkan. Rata-rata Gabah bernas lebih tinggi dibanding gabah hampa,dengan rata-rata bobot 1000 butir 24.58 gr. Hasil gabah varietas lokal ini sebesar 3,25

Page 121: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

104

GKP t/ha. Produksi ini rendah di bandingkan dengan varietas inpara 3 dan 8 yang di gunakan pada penelitian ini.

Demikian juga dengan pemberian pupuk, merupakan faktor penting dalam memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas. Putra (2012) menyatakan bahwa teknologi pemupukan merupakan salah satu faktor penentu di dalam meningkatkan produksi pangan. Nurzakiah et al. (2011) menambahkan bahwa untuk meningkatkan produksi padi terutama padi unggul diperlukan pupuk anorganik yang sesuai dengan takaran, waktu dan cara aplikasinya.

KESIMPULAN

1. Penggunaan varietas unggul baru padi dan pemupukan spesifik lokasi dapat meningkatkan produktivitas rata-rata sebesar 43 %.

2. Rekomendasi varietas adaptif untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah Inpara 3 dan Inpara 8 dengan hasil rata-rata masing-masing 4.27 GKP t/ha dan 4.67 GKP t/ha.

3. Rekomendasi pupuk untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah NPK 225 kg/ha dan Urea 175 kg/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Uus, teknisi yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. 2009. Perakitan dan pengembangan varietas padi tipe baru. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. hal 67-89.

Muslim. A, R. Permatasari, A. Mazid. 2012. Ketahanan beberapa Varietas Padi Rawa Lebak terhadap Penyakit Hawar Upih yang Disebabkan oleh Rhizoctonia solani.Jurnal Lahan Suboptimal 1(2) : 163-169

Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. PNAS 104(19): 7752-7757.

Norsalis, E. 2011. Padi gogo dan padi sawah. http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/Padigogodansawah_ekonorsalis_17170.pdf [23 September) 2013.

Nurzakiah. S, Y. Lestari, dan Muhamad. 2011. Dinamika hara akibat aplikasi pupuk di lahan rawa. Jurnal Tanah dan Iklim. Edisi khusus rawa: 71-78.

Putra.I.P.C. 2012. Analisis usaha tani kentang sembalun. Prosiding seminar nasional “ Petani dan Pembangunan Pertanian”. Bogor 12 Oktober 2012. Hal 389-395

Ramadhani, F. E, Runtunuwu. H, Syahbudin. Sistem teknologi informasi kalender tanam terpadu. Warta Informatika Pertanian vol 22 (2). Hal 103 – 112.

Runtunuwu.E, H.Syahbudin,F.Ramadhani. A, Pramudia. D, Setyorini. K. Sari. Y, Apriana. E, Susanti, dan Haryono. 2013. Inovasi kelembagaan system informasi kalender tanam terpadu mendukung adaptasi perubahan iklim untuk ketahanan pangan nasional. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian Vol 6 (1). Hal 44-52.

Suparwoto, Waluyo, dan Jumakir. 2004. Pengaruh varietas dan metode pemupukan terhadap hasil padi di rawa lebak. Jurnal Agronomi 8 (1) : 21-25.

Page 122: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

105

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH DENGAN PENDEKATAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

GROWTH AND PRODUCTION PERFORMANCE OF FOUR NEW HIGH YIELDING VARIETIES WITH INTEGRATED CROP MANAGEMENT APPROUCH.

Putu Suratmini dan K.K.Sukraeni

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. By Pas Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar Bali

Email : [email protected]

ABSTRAK

Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik dan biotik. Pengkajian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi dari empat VUB yang ditanam pada lahan sawah irigasi di Subak Tembuku, Bangli Bali tahun 2014. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 petani kooperator sebagai ulangan. Varietas Unggul Baru (VUB) yang ditanam adalah : Inpari 19, Inpari 24, Inpari 28 dan Ciherang sebagai pembanding. Penanaman dilakukan dengan inovasi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah seperti : tanam bibit muda (umur 13-15 hss), tanam 1-3 bibit/lubang, pemupukan dengan urea dan ponska masing – masing 200 kg/ha, pengairan berselang dan pengelolaan hama penyakit secara terpadu. Pupuk yang digunakan adalah 200 kg/ha urea, dan 200 kg/ha phonska diberikan 3 kali yaitu 1/3 pada umur 7 – 10 HST, 1/3 pada umur 20 – 25 HST, dan 1/3 pada umur 35 – 40 HST. Parameter yang diamati: tinggi tanaman maksimum (cm), jumlah anakan produktif per rumpun (batang), panjang malai (cm), jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai (butir), bobot 1000 butir gabah (g), dan berat gabah kering panen (GKP t/ha).Analisis data dilakukan dengan Analisis sidik ragam (analisis varian), sedangkan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNT 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa, hasil gabah kering panen Inpari 28 (8.30 t/ha) lebih tinggi 20.99% dan Inpari 24 (7.75 t/ha) lebih tinggi 16.03% akan tetapi hasil GKP Inpari 19 (5.94 t/ha) lebih rendah 15.48% dibandingkan dengan hasil GKP Varietas Ciherang (6.8 t/ha).Jadi Varietas Inpari 24 dan Inpari 28 yang ditanam di Subak Tembuku, Banglimenunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang,.

Kata kunci: produksi, varietas unggul baru, padi sawah, pengelolaan tanaman terpadu

ABSTRACT

New varieties are one reliable innovative technology to increase rice productivity, either through increased potency or power plant yield and resistance to biotic and abiotic stresses. An assessment conducted on irrigated land in Subak Tembuku, Bangli Bali in 2014. Assessment using randomized block design (RAK) with 6 farmer cooperators as replication. New high yielding Varieties (VUB) planted are: Inpari 19 Inpari 24 Inpari 28 and Ciherang as a control. Planting is done with the technological innovation of Integrated Crop Management (ICM) of paddy such as: planting young seedlings (age 13-15), planting 1-3 seeds / hole, fertilizing with urea and phonska each 200 kg / ha, intermittent irrigation and an integrated pest management. Fertilizer used is 200 kg / ha urea and 200 kg / ha Phonska given 3 times: 1/3 at the age of 7-10 DAP, 1/3 at the age of 20-25 DAP, and 1/3 at the age of 35-40 DAP. The observed parameters: plant height (cm), number of productive tillers, panicle length (cm), number of filled grain and empty grain per panicle (the grain), weight of 1000 grains (g), and the weight of harvest dry grain (t/ha). Analysis data using analysis of variances, and continued by LSD 5% to see the different between treatment. The result showed that the harvest of dry grain yield of Inpari 28 (8,30 t / ha) was higher 20.99% and Inpari 24 (7,75 t / ha) was higher 16.03%, but Inpari 19 (5.94 t/ha) was lower 15.48% compared with Ciherang (6.86 t / ha). So the growth and yield of Inpari 24 and Inpari 28 wich planted at Subak Tembuku, Bangli, higher and significantly different compared with Ciherang.

Keywords: production, high yielding variety, paddy rice, integrated crop management

Page 123: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

106

PENDAHULUAN

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,27-1,29% pertahun, dengan laju pertumbuhan tersebut pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta jiwa dengan kebutuhan beras sekitar 41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta ton gabah kering (Las et al., 2008). Penyediaan beras dalam jumlah yang cukup besar dan harga terjangkau merupakan prioritas utama pembangunan nasional. Selain merupakan makanan pokok untuk lebih 95% rakyat Indonesia, padi juga menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Makarim dan Ikhwani, 2014). Sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat vital dan strategis karena mempengaruhi tatanan politik dan stabilitas nasional (Deptan, 2008).

Kementerian Pertanian pada tahun 2016 mentargetkan produksi padi nasional sebesar 76,226 juta ton dengan strategi peningkatan ditempuh melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan areal tanam baik melalui peningkatan indek pertanaman (IP) maupun perluasan bahan baku sawah (Syakir, 2016). Pendekatan system budidaya untuk meningkatan produktivitas padi saat ini menggunakan pendekatan system pengelolaan tanaman terpadu (PTT)padi. Dengan pendekatan PTT yaitu penerapan teknologi spesifik lokasi ternyata mampu mrningkatkan produktivitas padi, mempersempit senjang hasil antar lokasi, menaikkan efisiensi system produksi, dan pendapatan petani (Makarim et al., 2009).

Pengelolaan tanaman terpadu ditujukan untuk memperbaiki system budidaya konvensional yang sebagian besar masih dilakukan oleh petani seperti tanam bibit 3-4 minggu, tanam bibit 4-7 bibit perlubang, system tanam tegel, penggenangan sampai 5-10 cm ( Sumarno, 2007). Adapun di dalam komponen teknologi pilihan PTT padi terdapat penggunaan bibit muda (< 3 minggu), tanam bibit hanya 1-3 bibit per lubang, system tanam jajar legowo, pengairan intermitten (pengairan berselang), Sedangkan komponen teknologi dasar PTT padi salah satunya adalah penggunaan varietas unggul baru (kementerian Pertanian, 2010). Dalam upaya mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi sejak tahu 2007 sampai tahun 2013 telah melepas berbagai varietas unggul baru (VUB) padi spesifik lokasi untuk semua agroekosistem budidaya padi (Mejaya et al., 2014). Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun toleran atau tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Suprihatno et al., 2011).

Varietas unggul yang ditanam terus menerus kemungkinan akan mengalami perubahan antara lain kemurnian varietas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu semakin menurun. Varietas unggul mempunyai gen ketahanan yang terbatas, bila terjadi perubahan strain di lapangan ketahanan akan patah dan varietas yang tadinya tahanmemberikan respon peka terhadap wabah dari strain yang muncul. Oleh karena itu diperlukan varietas unggul baru untuk menggantikan varietas unggul tersebut. Pembentukan Varietas Unggul Baru (VUB) terus berlangsung untuk menghasilkan varietas dengan keunggulan yang makin beragam atau makin spesifik lokasi sesuai dengan potensi agroekosistem, kendala, dan preferensi konsumen atau pengguna (Kustianto, 2004).Di Bali khususnya di Kabupaten Bangli Varietas Ciherang merupakan varietas unggul yang saat ini paling disenangi petani dan penyebarannya paling luas. Untuk mengantisipasi penurunan produktivitas dan daya tahan terhadap hama penyakit, serta untuk pergiliran tanaman maka selain varietas Ciherang perlu di perkenalkan varietas–varietas unggul baru. Ciherang merupakan varietas unggul yang sudah dilepas sejak tahun 2000, sedangkan Inpari 19, Inpari 24 dan Inpari 28 dilepas tahun 2011 dan 2012 (Mejaya, et al., 2014). Pengkajian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi dari empat varietas unggul baru yang ditanam pada lahan sawah irigasi di Subak Tembuku, Bangli.

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah irigasi di Subak Tembuku, Desa Tembuku, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli Provinsi Bali pada tahun 2014. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 petani kooperator sebagai ulangan. Varietas Unggul Baru (VUB) yang ditanam adalah : Inpari 19, Inpari 24, Inpari 28 dan Ciherang sebagai pembanding. Abdulrachman et al.( 2011) mmengatakan bahwa salah satu hal penting dalam upaya mendukung pencapaian target produksi padi nasional adalah melalui penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Inovasi teknologi PTT yang diterapkan di dalam pengkajian ini adalah : tanam bibit muda (umur 13-15 hss), tanam 1-3 bibit/lubang, pemupukan dengan urea dan ponska

Page 124: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

107

masing – masing 200 kg/ha, pengairan berselang dan pengelolaan hama penyakit secara terpadu.Luas petak per varietas disesuaikan dengan luas alami petakan petani. Pupuk yang digunakan adalah 200 kg/ha urea, dan 200 kg/ha phonska diberikan 3 kali yaitu 1/3 pada umur 7 – 10 HST, 1/3 pada umur 20 – 25 HST, dan 1/3 pada umur 35 – 40 HST (hari setelah tanam). Parameter yang diamati meliputi: tinggi tanaman maksimum (cm), jumlah anakan produktif per rumpun (batang), panjang malai (cm), jumlah gabah isi per malai (butir), jumlah gabah hampa per malai (butir), bobot 1000 butir biji (g), dan berat gabah kering panen (GKP t/ha).Analisis data dilakukan dengan analisis sidik rgam (analisis varian), sedangkan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNT 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari karakteristik atau deskripsi varietas Inpari 19, Inpari 24, Inpari 28 dan Ciherang (Tabel 1) menunjukkan bahwa Inpari 19 dan Inpari 24 cocok ditanam pada ketinggian 0-600 m dpl, Ciherang 0-500 m dpl sedangkan Inpari 28 sampai ketinggian 1100 m dpl. Varietas Ciherang sudah dilepas tahun 2000, jadi sudah dilepas 16 tahun yang lalu dan varietas ini adalah varietas yang paling disenangi dan penyebarannya paling luas untuk Kabupaten Bangli.

Tabel 1. Deskripsi varietas Inpari 19, Inpari 24, Inpari 28 dan Ciherang

Inpari 19 Inpari 24 Inpari 28 Ciherang

Nomor seleksi B11283-6C-PN-5 MR-2-3-SI-1-2-1-1

B11844-MR-7-17-3 RUTTST85B-5-2-2-2-0-J

S3383-1d-Pn-41-3-1

Asal seleksi BP342B-MR-1-3/BP226E-MR-76

Bio 12-MR-1-4-PN-6/BERAS MERAH

IR63872-14-2-2-1/CEA-1

IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64

Umur tanaman (Hari) 104 + 111 HARI + 120 hari setelah sebar

116-125 hari

Bentuk tan aman Tegak Tegak Tegak Tegak Tinggi tanaman (cm) 102 106 cm + 97 cm 107-115 cm Daun bendera Tegak Tegak Tegak Tegak Bentuk gabah Panjang/ramping Ramping Ramping Panjang ramping Warna gabah Kuning Kuning Kuning bersih Kuning bersih Kerontokan Sedang Sedang Sedang Sedang Kerebahan Tahan Tahan Tahan Sedang Tekstur nasi Pulemn Pulen Pulen Pulen Kadar amilosa 18.0% + 18% + 23,7 % 23% Berat 1000 butir 25 g 26 gr 27,4 g 27-28 gram Rata-rata hasil 6,7 t/ha GKG 6,7 t/ha GKG 6,6 t/ha GKG 5-7 t/ha Potensi hasil 9,5 t GKG 7,7 t/ha GKG 9,5 t/ha GKG Ketahanan terhadap Hama Tahan thdp WBC

biotipe1 dan 2, agak tahan thdp biotipe3

Agak rentan thdp wereng batang coklat biotipe 1,2 dan3

Agak rentan thdp WBC biotipe 1,2 dan 3

Tahan thdp WBC biotipe 2, agak tahan thdp WBC biotipe 3

penyakit Tahan thdp hawar daun bakteri patotipe III, agak tahan thdp patotipe IV, rentan thdp patotipe VIII

Tahan thdp hawar daun bakteri patotipe III, agak tahan thdp patotipe IV Agak rentan thdp patotipe VIII

Tahan thdp hawar daun bakteri patotipe III, agak rentan thdp patotipe IV dan VIII, agak tahan thdp blas ras 033 dan 073, rentan thdp ras 133 dan 173, rentan thdp tungro

Tahan thdp hawar daun bakteri patotipe III, rentan thdp patotipe IV dan VIII

Anjuran tanam Cocok utk ditanam dilahan irigasi dan tadah hujan dengan ketinggian 0-600 m dpl

Cocok utk ditanam disawah dataran rendah-sedang (0-600 m dpl)

Cocok utk ditanam di ekosistem sawah sampai ketinggian 1100 m dpl

Baik ditanam disawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl

Tahun dilepas 2011 2012 2012 2000

Sumber : Mejaya(2014)

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa varietas unggul baru yaitu inpari 19, Inpari 24

Gabusan dan Inpari 28 Kerinci menunjukkan daya adaptasi yang cukup baik dilihat dari pertumbuhan dan produksi tanaman. Pertumbuhan tanaman yaitu tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dari Inpari 24 dan Inpari 28 lebih tinggi dibandingkan dengan Varietas yang sudah beradaptasi dengan baik (Varietas Ciherang). Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif terlihat berbeda nyata antara Inpari

Page 125: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

108

24 dan Inpari 28 dibandingkan dengan Ciherang. Sedangkan tinggi tanaman dan jumlah anakan Inpari 19 tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan Ciherang (tabel 1).

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif (batang), panjang malai (cm) dari 4 VUB yang ditanam di Subak Tembuku, Bangli

Varietas Tinggi tanaman (Cm) Jap (batang) panjang malai(cm)

Inpari 19 86.2 c 12.6 b 22.15 c Inpari 24 95.0 b 15.8 a 24.12 b Inpari 28 99.0 a 16.6 a 26.12 a Ciherang 85.2 c 12.5 b 22.44 c

BNT 5% 3.0 1.5 1.5

Sumber : Data primer (2014).

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Dari tabel 2 juga terlihat panjang malai antar VUB menunjukkan perbedaan yang nyata,

dimana panjang malai yang lebih panjang ditunjukkan oleh Inpari 24 dan Inpari 28 dan berbeda nyata dengan Ciherang. Panjang malai Inpari 19 paling pendek dan tidak berbeda nyata dengan Ciherang. Umumnya terdapat korelasi positif antara jumah malai yang terbentuk dengan jumlah anakan, dimana semakin banyak jumlah anakan semakin banyak malai yang dihasilkan dan diharapkan semakin tinggi produktivitas padi. Jumlah anakan padi pada fase vegetatif lebih dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman dan tergantung pada sensitifitas dari varietas/ galur harapan yang dibudidayakan terhadap lingkungan (Guswara dan Samaullah, 2009).

Jumlah gabah isi yang paling banyak ditunjukkan oleh Inpari 28, kemudian diikuiti oleh Inpari 24 dan kedua varietas ini menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas Inpari 19 dan Ciherang. Sedangkan antara Inpari 19 dengan Ciherang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (tabel 3). Jumlah gabah isi Inpari 28 lebih tinggi 40.11% dan Inpari 24 lebih tinggi 24.10% dibandingkan dengan Ciherang. Jumlah gabah hampa pada Inpari 19 paling tinggi dibandingkan dengan varietas yang lain, sedangkan jumlah gabah hampa yang paling sedikit ditunjukkan oleh Inpari 28, kemudian diikuti oleh Inpari 24 dan berbeda nyata dengan Inpari 19 dan Ciherang. Pada tabel 3 juga terlihat bahwa berat 1000 butir gabah dari Inpari 28 paling tinggi dibandingkan dengan varietas lain, dimana berat 1000 butir gabah Inpari 28 lebih tinggi 7.84% dibandingkan dengan Ciherang, sedangkan berat 1000 butir gabah Inpari 24 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Berat 1000 butir gabah Inpari 19 lebih rendah dan berbeda nyata dengan Ciherang.

Tabel 3. Rata-rata jumlah gabah isi (butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai), berat 1000 butir gabah (g) dan berat gabah kering panen (t/ha) dari 4VUB yang ditanam di Subak Tembuku, Bangli

Varietas Jl gabah isi

(butir/malai)

Jumlah gabah hampa

Berat 1000 (g) Berat gabah kering panen

(t/ha)

Inpari 19 112.5 c 35.8 a 24.2 c 5.94 d

Inpari 24 138.0 b 18.0 c 26.0 b 7.75 b

Inpari 28 155.8 a 13.8 c 27.5 a 8.30 a

Ciherang 111.2 c 26.8 b 25.5 b 6.86 c

BNT 5% 10.0 5.0 1.0 0.5

Sumber : data primer (2014) Keterangan : angka-angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Panjang malai yang dihasilkan tanaman padi umumnya berkorelasi positif dengan jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa per malai, sedangkan jumlah gabah isi per malai merupakan salah satu komponen hasil yang menentukan tingkat produktifitas suatu vaeietas. Menurut Kamandalu dan Suastika (2007) dari hasil analisis korelasi didapatkan bahwa adanya korelasi positif antara jumlah gabah isi per malai dengan tingkat hasil gabah kering yang diperoleh.

Pada tabel 3 terlihat berat gabah kering panen(GKP)yang dihasilkan varietas Inpari 28 lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan Ciherang. Hasil Gabah kering panen Inpari 28 (8.30 t/ha) lebih tinggi 20.99% dan hasil GKP varietas Inpari 24 Gabusan (7.75 t/ha) atau lebih tinggi 16.03%

Page 126: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

109

dibandingkan dengan Ciherang(6.86 t/ha). Hasil GKP varietas Inpari 19(5.94 t/ha) lebih rendah 15.48% dibandingkan dengan Ciherang. Perbedaan hasil atau produksi suatu varietas terutama disebabkan oleh perbedaan sifat genetis dari varietas tersebut serta keadaan lingkungan tempat tumbuhnya. Perbedaan hasil suatu varietas disebabkan adanya perbedaan dari 4 komponen hasil yaitu jumlah anakan produktif, jumlah gabah/malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir

Berat gabah kering panen dari Inpari 28 dan Inpari 24 lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang, kemungkinan disebabkan oleh karena jumlah anakan produktif dan panjang malai lebih tinggi (tabel 2), dengan jumlah gabah isi yang lebih banyak dan jumlah gabah hampa yang lebih sedikit (tabel 3). Berat kering panen Inpari 28 lebih tinggi 20.99 % dan Inpari 24 lebih tinggi 16.03% dibandingkan dengan Ciherang. Sedangkan berat gabah kering panen dari Inpari 19 lebih rendah 15.48% dibandingkan dengan Ciherang, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena jumlah gabah hampa yang lebih tinggi dan berat 1000 butir gabah yang lebih rendah (tabel 3). Gabah hampa berpengaruh terhadap hasil, semakin tinnggi persentase gabah hampa maka pengaruhnya terhadap hasil padi semakin besar, dimana semakin tinggi butir hampa, hasil padi semakin rendah ( Sution dan Umar, 2014). Bobot 1000 butir gabah isi mengindikasikan bahwa varietas tersebut memberikan sumbangan dalam peningkatan produksi padi dan merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil gabah ( Guswara, 2010). Menurut Arifin et al. (1999), jumlah butir isi per malai berkorelasi positif dengan hasil tanaman begitu juga dengan jumlah butir hampa dan bobot butir gabah isi merupakan salah satu penentu terhadap hasil. Penampilan pertumbuhan dan hasil suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genotipe, faktor lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan. Beberapa genotipe menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan tertentu dan beberapa varietas yang diuji di berbagai lokasi menunjukkan daya produksi yang berbeda pada setiap lokasi (Harsanti et al., 2003). Hasil penelitian Marzuki et al. (1997) mendapatkan bahwa faktor lokasi, musim, varietas berpengaruh nyata terhadap hasil gabah, berat 1000 butir, banyaknya malai/rumpun, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa/malai.

KESIMPULAN

1. Varietas Inpari 24 Gabusan dan Inpari 28 Kerinci yang ditanam di Subak Tembuku, Bangli menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan varietas Ciherang.

2. Berat kering panen Inpari 28 lebih tinggi 20.99 % dan Inpari 24 lebih tinggi 16.03% dibandingkan dengan Ciherang. Sedangkan berat gabah kering panen Inpari 19 lebih rendah 15.48% dibandingkan dengan Ciherang,

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., M.J.Mejaya, P.Sasmita dan A.Guswara. 2011. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 46 hal.

Arifin, Z., Suwono, S. Roesmarkam, Suliyanto dan Satino. 1999. Uji adaptasi galur harapan padi sawah berumur genjah dan berumur sedang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karang Ploso. Malang. Badan Litbang Pertanian hal. 8-13.

Departeman Pertanian. 2008. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Departemen Pertanian Jakarta.

Guswara, A. 2010. Penampilan pertumbuhan dan hasil genotype padi tipe baru pada dua system tanam di lahan sawah irigasi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2012: Inovasi Teknologi Padi Mengatisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan abiotik. BB Tanaman Padi Balitbangta, Kementrian Pertanian. Dalam Faddjri Djufry (Eds). Buku 3. Hal. 905-913.

Guswara, A. Dan M.Y. Samaullah. 2009. Penampilan beberapa varietas unggul baru pada sistem pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di lahan sawah irigasi. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal. 629 – 637

Harsanti, L., Hanibal dan Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat (14)1:1-7

Kamandalu, A.A.N.B. dan I.B.K. Suastika. 2007. Uji daya hasil beberapa galur harapan (GH) padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Percepatan Alih Teknologi Pertanian Mendukung

Page 127: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

110

Ketahanan Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Hal.60-63.

Kustianto, B. 2004. Kriteria seleksi untuk sifat toleransi cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah pelatihan dan koordinasi program pemuliaan partsipatif (shuttle breeding) dan ujimultilokasi. Sukamandi 9-14 April 2004. 19 hal.

Las,I.H.Syahbuddin,E.Surmaini,danAchmadM.Fagi.2008.Iklim danTanamanPadi: TantangandanPeluang.Dalam:Suyamtoetal(Eds) BukuPadi,InovasiTeknologidan KetahananPangan,BalaiBesarPenelitianTanamanPadi,BadanLitbangPertanian. Hal .151- 189.

Makarim, A.K. dan Ikhwani. 2014. Perakitan dan penyesuaian teknologi budidaya untuk varietas baru padi sawah di kabupaten Subang. Prosiding Seminar Nasional 2013. Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Global Mendukung Surplus 10 juta ton beras tahun 2014. Buku 2.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal. 599-610.

Marzuki, A.R.,A. Kartohardjono dan H. Siregar. 1997. Potensi hasil beberapa galur padi resisten wereng coklat. Prosiding Symposium Nasional dan Konres III Perifi. Bandung. Hal. 118-124.

Mejaya, M.J., Satoto, P.Sasmita, Y.Baliadi, A.Guswara dan Suharna. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian pertanian. 73 hal.

Syakir, M. 2016. Kata Pengantar Petunjuk teknis budidaya padi jajar legowo super. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.25 hal.

Sumarno. 2007. Teknologi revolusi hijau lestari untuk ketahanan pangan nasional di masa depan. J.Iptek Tanaman Pangan 2-2:131-153

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E.Lubis, Baehaki, Sudir, S.D.Indrasari, I P.Wardana, M.J.Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 118 Hal.

Sution dan A. Umar. 2014. Adaptasi Varietas Unggul Baru dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan barat. Prosiding Seminar nasional 2013. Inovasi Teknologi Adaptif Perubahan Iklim Global mendukung Surplus 10 Juta Ton Beras tahun 2014. Badan penelitian dan Pengembangan pertanian, Kementerian Pertanian. Hal.873-881.

Page 128: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

111

PERFORMANS BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU TANAMAN PADI SAWAH BERDASARKAN KELAYAKAN AGRONOMI DAN EKONOMI DI KABUPATEN NATUNA

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

NEW SUPERIOR VARIETY RICE FIELD PERFORMANCE BASED ONECONOMIC ANDAGRONOMY FEASIBILITY AT NATUNA REGENCY RIAU ISLAND PROVINCE

Dahono dan Yayu Zurriyati

Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Kepulauan Riau Jl. Pelabuhan Sungaijang No. 38. Tanjung Pinang.

e_mail : [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan beras di Kabupaten Natuna sebagian besar didatangkan dari luar daerah hingga negara tetangga. Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya usaha untuk antisipasi, berpotensi terjadi kerawanan pangan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan data varietas unggul baru (VUB) padi sawah yang layak dikembangkan secara agronomi dan ekonomi di Kabupaten Natuna. Penelitian dilaksanakan di lahan seluas 2 ha milik petani kooperator di Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna pada bulan Februari – Desember 2015. Varietas VUB yang diuji adalah Inpago 8, inpari 13, inpari 32, inpari 31 dan inpago 5. Data yang dikumpulkan berupa tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi gabah kering panen/ha, analisis ekonomi, titik impas harga (TIH) dan titik impas produksi (TIP). Untuk membandingkan antar VUB dianalisis dengan T-test. Hasil Pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah anakan saat generatif memperlihatkan perbedaan yang nyata. Tanaman tertinggi pada VUB Inpago 8 dan anakan poduktif tertinggi pada inpari 32. Produksi gabah kering panen tertinggi pada Inpago 8 dengan total produksi 4,4 t/ha. Secara ekonomi, ke 5 VUB yang diuji belum layak dikembangkan, karena hanya memiliki B/C ratio 0,19. TIH harga di daerah kajian adalah Rp.4.590,-/kg (varietas inpago 8); Rp. 8.312,-(varietas Inpari 13) ; RP.10.500,-/kg (inpari 32) dan 19.950,-/kg (Inpari 31). Jumlah volume produksi yang harus dihasilkan agar tercapai BEP untuk tanaman padi sawah di wilayah kajian adalah 3,37 t/ha (varietas inpago), 3,325 t/ha (inpari 13, inpari 32 dan inpari 31).

Kata Kunci : Padi sawah, Varietas Unggul Baru, Agronomi, Ekonomi

ABSTRACT

Demand for rice in Natuna regency mostly imported from outside the region to neighboring countries. If this is left without any attempt to anticipate, potentially food insecurity. The research aims to obtain new varieties of data (VUB) of paddy viable agronomic and economic developed in Natuna. The experiment was conducted in an area of 2 ha property of farmer cooperators in the village Batubi Jaya, District Bunguran West Natuna in February to December 2015. VUB varieties tested were Inpago 8, Inpari 13 Inpari 32, Inpari 31 and Inpago 5. Data collected in the form of plant height, number of tillers, dry grain crop production / ha, economic analysis, breakeven prices (TIH) and the break-even point of production (TIP). To compare between VUB analyzed by T-test. Assessment results showed that plant height and number of tillers when generative a clear difference. The highest crop on VUB Inpago 8 and puppies highest production on Inpari 32. Production of dry grain harvest Inpago highest at 8 with a total production of 4.4 t / ha. Economically, to 5 VUB tested yet feasible to be developed, because it has a B / C ratio of 0.19. TIH prices in the study area is Rp.4.590, - / kg (varieties Inpago 8); Rp. 8312, - (Inpari 13); Rp.10.500, - / kg (Inpari 32) and 19,950, - / kg (Inpari 31).The total volume of production that must be produced in order to achieve BEP for rice crops in the study area is 3,37 t / ha (Inpago varieties), 3.325 t / ha (Inpari 13 Inpari 32 and 31).

Keywords : Paddy, New Varieties, Agronomy, Economy

Page 129: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

112

PENDAHULUAN

Sebagian besar kebutuhan pangan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau didatangkan dari luar provinsi seperti Riau, Jambi, Sumatera Barat dan Negara tetangga seperti Vietnam , Malaysia dan Thailand (BPS Natuna, 2014). Sementara dengan potensi lahan dan sumberdaya yang ada serta letaknya yang strategis, Kabupaten Natuna mempunyai peluang untuk mengembangkan jenis-jenis komoditas strategis baik untuk konsumsi lokal maupun tujuan eksport. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian yang menyeluruh terutama dalam mengintroduksikan beberapa varietas komoditas strategis yang adaptif terhadap lingkungan yang dikombinasikan dengan pengujian pupuk yang sesuai di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Sumber daya alam di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau cukup luas untuk pengembangan komoditas startegsi, berdasarkan agroekological zone (AEZ) lahan Kabupaten Natuna lahan berpotensi pengembangan tanaman pangan seluas 125.786 dengan faktor pembatas cukup seusai dengan retensi hara, tingkat ketersediaan air (S2rc.nr ; S2wa.rc.nr) dan sesuai marginal faktor pembatas retensi hara dan adanya bahaya erosi; dan ketersediaan air (S3eh.rc.nr, S3.wa.rc.nr) (Nasution et al, 2015). Beberapa inovasi teknologi yang telah dikaji di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau juga berpoptensi dalam peningkatan produksi dan nilai tambah bagi petani.

Tujuan dari kegiatan adalah untuk menginformasikan beberapa varietas unggul baru yang berpotensi dan layak secara agronomis dan ekonomi untuk dikembangkan di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Kegiatan pendampingan tanaman padidilaksanakan di sentra tanaman padi di Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. mulai

dari bulan Februari sampai dengan Desember 2015.

Pelaksanaan

Benih untuk kegiatan ini adalah benih bermutu dan berlabel dengan daya kecambah minimal 80 %. Varietas unggul baru (VUB) yang diuji adalah Inpago 8, inpari 13, inpari 32, inpari 31 dan inpago 5.

Pengolahan tanah dilakukan sesuai musim dan pola tanam dengan cara membenamkan tunggul jerami, gulma, dan bahan organik yang telah dikomposkan ke dalam tanah, bersamaan dengan pengolahan tanah pertama, tanah dipertahankan pada kondisi jenuh air untuk mempercepat proses pelapukan, memperbaiki dan memelihara galengan (pematang sawah), meratakan permukaan lahan, dengan cara melihat dari ada tidaknya genangan air atau bagian yang kekeringan setelah proses pengolahan tanah.

Penanaman dilakukan dengan cara pindah 1-3 batang/rumpun, umur bibit kurang dari 21 hari dengan sistim tanam jajar legowo 2 : 1. Pemupukan tanaman berdasarkan kebutuhan tanaman. Pupuk N menggunakan BWD (bagan warna daun), P dan K menggunakan PUTS (perangkat uji tanah sawah).

Pengendalian hama dan penyakitdengan cara Pengendalian hama terpadu (PHT). Pengairan dengan cara mengatur air di areal pertanaman pada kondisi tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Penyiangan dilakukan menjelang 21 hari setelah tanam, dan penyiangan berikutnya tergantung kepadatan gulma.

Panen tanaman padi dilaksanakan tepat waktu (90-95%) gabah telah bernas dan berwarna kuning, gabah segera dirontok.

Analisis data

Data yang dikumpulkan berupa tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi gabah kering panen/ha, analisis ekonomi, titik impas harga (TIH) dan titik impas produksi (TIP). Untuk membandingkan data keragaan agronomis antar VUB digunakan analisis uji T ( T-test).

Page 130: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

113

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Natuna, adalah salah satu kabupaten di ProvinsiKepulauan Riau, yang terletak paling utara di selat Karimata. Di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, di selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi, di bagian barat dengan Singapura, Malaysia, Riau dan di bagian timur dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat. Natuna berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea dan Taiwan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1. 400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000. barel, Kabupaten Natuna terletak pada posisi: 1°16’Lintang Utara sampai dengan 7°19’ Lintang Utaradan 105°00’ Bujur Timur sampai dengan 110°00’ Bujur Timur.Luas Wilayah Kabupaten Natuna adalah 14.190.120 Hektar atau 141.901,2 Km², terdiri dari daratan seluas 323.520 Ha (3.235,2 Km²) dan perairan seluas 13.866.600 Ha (138.666 Km²). Kabupaten ini terdiri dari 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Midai, Bunguran Barat,Bunguran Utara, Pulau Laut, Pulau Tiga, BunguranTimur, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah,Bunguran Selatan, Serasan, Subi dan SerasanTimur (BPS Kabupaten Natuna, 2014).

Sumberdaya lahan berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000), landform di Pulau Natuna dan sekitarnya terdiri dari: Dataran Fluvio Marin, Dataran Tektonik, Perbukitan Tektonik, Pegununganan Volkan. Sedangkan bentuk wilayahnya bervariasi dari datar sampai bergunung dengan variasi lereng antara 1 – 60 %. Di Pulau Natuna terdapat satu Gunung Utama yaitu Gunung Ranai yang mempunyai ketinggian 1.900 meter dari permukaan laut.

Di Pulau Natuna tanah-tanah utama berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2010) terdiri dari Ordo Entisols, Inceptisols, Histosols dan Ultisols (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2011). Sedangkan berdasarkan hasil kunjungan ke lapangan mendapatkan bahwa tanah yang dijumpai berdasarkan sistem klasifikasi Tanah Nasional (2014) terdiri dari Aluvial, Podsolik, Organosol atau Gambut dan Podzol.

Pengembangan Varietas Unggul Baru Tanaman Padi Sawah.

Salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian terutama tanaman padi adalah varietas unggul baru (VUB) yang dirakit sesuai untuk tujuan tersebut. Kontribusi varietas unggul terhadap peningkatan produksi terbukti nyata melalui keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Potensi varietas unggul dalam meningkatkan produksi dan mutu dapat dilihat dari karakter varietas unggul seperti daya hasil tinggi, ketahanan terhadap hama dan penyakit utama, umur genjah, kandungan khusus tertentu (pulen, pera, kadar protein tinggi, dan lain-lain) disamping VUB benih juga sangat berperan benih menentukan pertumbuhan dan tingkat mutu dan produksi suatu tanaman. Benih bermutu adalah salah satu input dalam teknologi budidaya tanaman dan sarana penting dalam Produksi tanaman (Yusuf et al, 2011), merupakan faktor penting dan sangat berpengaruh terhadap produktivitas, mutu hasil dan nila ekonomi (Pinem 2008), konstribusi melalui penggunaan benih, varetas unggul, pengairan dan perbaikan teknik budidaya sekitar 75 % (Fagi et al, 1996) dalam Yusuf et all, 2011).

Pertumbuhan VUB Tanaman padi sawah

Pertumbuhan tanaman yang terdiri dari tinggi tanaman dan jumlah anakan VUB padi lahan bukaan baru di desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat pada saat generative memperlihatkan perbedaan yang nyata (>0.05), bahwa varietas inpago 8 menghasilkan tinggi tanaman tertinggi, namun masih lebih rendah disbanding dengan deskripsi varietas (Balitpa, 2015), jumlah anakan terbanyak terdapat pada VUB padi varietas inpari 32 dan 31. Tinggi rendahnya tanaman dan banyaknya jumlah anakan yang di tanam dibanding deskripsi varietas, diduga disebabkan oleh kondisi agroekositstem yang berbeda. Enrizal dan Jumakir (2015) menyatakan bahwa keragaman sifat tanaman padi ditentukan oleh lingkungan dan keragaman genotype. Tanaman tersebut dicirikan pertumbuhan normal daun berwarna hijau dan vigor.

Page 131: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

114

Tabel 1. Tinggi tanaman saat Generatif beberapa varietas unggul baru (VUB) padisawah bukaan baru

No Varietas Unggul Baru (VUB)

Inpari 32 Inpari 31 Inpari 13 Inpago 8 Inpago 5

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

71,00 70,00 68,00 70,00 68,50 68,00 67,00 67,50 63,50 65,50 63,50 64,00 67,00 67,00 67,50 66,50 67,50 67,50 69,00 68,00

70,00 72,00 73,00 73,00 71,00 72,00 73,00 68,00 75,00 67,50 74,50 74,00 74,00 75,50 76,00 77,50 70,50 71,00 74,00 73,50

93,00 87,00 71,00 72,00 68,00 54,00 70,00 72,00 71,00 71,00 77,00 73,00 74,00 76,00 69,00 69,00 66,00 70,00 72,00 70,00

45,00 47,00 48,00 47,00 47,00 45,00 46,00 44,00 46,00 45,00 49,00 48,50 68,00 67,00 64,50 65,00 59,00 54,50 58,50 58,00

82,00 84,00 82,00 83,00 83,00 87,00 84,00 86,00 86,00 87,00 80,00 82,00 89,00 89,00 86,50 87,00 81,50 84,50 74,00 75,00

Rata-rata 67,33 c±2,03 72,75

b±2,56 72,25

b±7,68 83,63

a±4,01 52,60

d±8,36

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (P<0,05) T-test

Tabel 2. Jumlah anakan saat generatif beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Sawah bukaan baru

No Varietas Unggul Baru (VUB)

Inpari 32 Inpari 31 Inpari 13 Inpago 8 Inpago 5

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

20,00 22,00 22,00 23,00 25,00 13,00 21,00 21,00 25,00 27,00 21,00 20,00 19,00 20,00 27,00 26,00 19,00 21,00 18,00 16,00

23,00 16,00 20,00 19,00 26,00 23,00 14,00 8,00

27,00 11,00 8,00

17,00 22,00 25,00 26,00 15,00 12,00 18,00 24,00 20,00

9,00 11,00 20,00 12,00 8,00

18,00 11,00 9,00

16,00 18,00 21,00 10,00 11,00 16,00 16,00 19,00 25,00 25,00 16,00 19,00

3,00 4,00 9,00 6,00 3,00 4,00 8,00 4,00 7,00 9,00

13,00 12,00 9,00 9,00 9,00

11,00 6,00 9,00

10,00 4,00

8,00 9,00

14,00 13,00 7,00

12,00 9,00

12,00 12,00 11,00 17,00 16,00 11,00 24,00 8,00

15,00 18,00 19,00 13,00 17,00

Rata-rata 21,30 a± 3,57 18,70

ab± 5,96 15,50

b± 5,20 13,25

b± 4,33 7,45

d± 3,05

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (P<0,05).

Page 132: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

115

Produksi Gabah Kering Panen.

Hasil pengamatan Gabah Kering panen (GKP) tanaman padi sawah bukaan baru di lahan Petani Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna memperlihatkan bahwa dari jenis padi yang berpotensi untuk dikembangkan di wilayah kajian hanya varietas unggul baru (VUB) inpago 8, hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat produksi VUB tersebut.

Kalau dilihat pada Tabel 8 tersebut memang semuaVUB menghasilkan produksi yang masih rendah hanya dibawah 5,0 ton hal ini disebabkan oleh adanya angin utara dimalam hari dan diduga angin utara tersebut membawa butir-butir garam sehingga pada waktu satu hari setelah timbulnya angin utara tanaman tersebut menguning mirip penyakit Blas dengan tanda-tanda warna daun kuning kecoklatan, kering dan mati. Menurut informasi dari petani koperator bahwa satu hari sebelum adanya angin utara semua tanaman terlihat hijau dan subur dengan jumlah anakan 20-30 batang/rumpun. Perubahan warna pada daun tanaman padi tersebut menyebabkan produksi sangat rendah kecuali hanya inpago 8 yang memiliki ketahanan terhadap penyakit tersebut (Tabel 8).

Tabel 8. Hasil Ubinan Demplot

Varietas Produksi t/ha

Inpago 8

Inpari 13

Inpari 32

Inpago 5

Inpari 31

4,40

2,40

1,90

0,00

1,00

Analisis Usahatani Padi Sawah

Biaya produksi berusaha tani padi di Desa BatubiJaya, Kecamatan bUnguran Barat, Kabupaten Natuna sangat tinggi yaitu mula dari Rp.19.200.000,- sampai dengan Rp. 20.200.000,-. Biaya tenaga kerja mulai dari persiapan lahan sampai panen sebanyak Rp.2.050.000 sampai dengan Rp.3.050.000,-. Biaya tenaga kerja tersebut termasuk rendah karena sebahagian kegiatan usahataninya dapat dilakukan oleh petani dan keluarganya. Sementara pengeluaran untuk pembelian sarana produksi sangat tinggi (Rp. 17.150.000,-. Biaya tertinggi adalah pada pembelian pupuk kandang (Rp 5.000.000,-) dan kapur dolomite (Rp 7.000.000,-), sisanya adalah pembelian pupuk anorganik serta pestisida. Seandainya pupuk kandang dapat digantikan dengan bahan organic yang ada disekitar lahan sawah atau setiap petani sawah memiliki ternak yang pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usahatani sawah nya sendiri tentunya akan membantu pengurangan biaya produksi dan akan menambah pendapaan petani. Sementara untuk memenuhi kebutuan kapur yang membutuhkan biaya tertinggi diperlukan pengganti kapur dolomite untuk yang ada disekitar usahatani padi di desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna.

Layak atau tidaknya suatu usahatani dapat ditentukan dengan tingkat keuntungan yang dapat dicapai, nilai R/C adalah tingkat keuntungan, sementara B/C merupakan tambahan penerimaan atau keuntungan akibat penerapan teknologi (Swastika, 2004, Hidayah dan Susanto, 2008). Ditinjau dari aspek agribisnis, produktifitas yang dihasilkan harus diukur dari tingkat perolehan pendapatan yang dicapai. Oleh karena itu setiap pengelolaan usaha pertanian harus berorientasi kepada pasar. Hasil analisis finansial untuk menentukan kelayakan varietas padi yang diuji di sajikan pada Tabel 6.

Hasil analisis usahatani padi sawah dengan menggunakan varietas Inpago 8, inpari 13, inpari 32, inpago 5 dan inpari 31 belum layak dikembangkan secara agribisnis, hanya varietas inpago yang menguntungkan, namun sebenarnya belum layak dikembangkan di wilayah sentra produksi padi di desa Batubi Jaya, kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna.

Analisis Titik Impas.

Analisis titik impas adalah suatu titik dimana terjadi keseimbangan antara Dua alternatif yang berbeda sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan, usaha ini tidak memperoleh untung dan tidak menderita kerugian (Sigit Prabawa, 2013).

Titik impas (break even point) pada kegiatan usahatani padi sawah bukaan baru di desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, adalah varietas inpago 8 pada harga jual Rp.4.590,-/kg ; varietas inpari 13 adalah Rp. 8.312,-inpari 32 RP.10.500,-/kg dan Inpari 31 dengan harga 19.950,-/kg, jumlah volume produksi yang harus dihasilkan agar tercapai BEP untuk tanaman

Page 133: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

116

padi sawah di Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna dengan menggakan varietas inpago adalah 3,37 t/ha, inpari 13, inpari 32 dan inpari 31 adalah 3,325 t/ha.

Tabel 4. Analisis usahatani kajian uji adaptasi beberapa varietas unggul baru padi sawahbukaan baru di Provinsi Kepulauan Riau

Uraian Varietas

Inpago 8 Inpari 13 Inpara 32 Inpago 5 Inpari 31

Benih Pupuk - Urea - SP36 - KCl - Pupuk Kandang - Dolomit - Pestisida

250.000

1.200.000 1.050.000 1.050.000 5.000.000 7.000.000 1.600.000

250.000

1.200.000 1.050.000 1.050.000 5.000.000 7.000.000 1.600.000

250.000

1.200.000 1.050.000 1.050.000 5.000.000 7.000.000 1.600.000

250.000

1.200.000 1.050.000 1.050.000 5.000.000 7.000.000 1.600.000

250.000

1.200.000 1.050.000 1.050.000 5.000.000 7.000.000 1.600.000

Jumlah biaya 1 17.150.000 17.150.000 17.150.000 17.150.000 17.150.000 Tenaga Kerja (HKP) - Penyemprotan - Penyemaian - Penanaman - Penyiangan - Upah panen

400.000 150.000

1.000.000 500.000

1.000.000

400.000 150.000

1.000.000 500.000 750.000

400.000 150.000

1.000.000 500.000 750.000

400.000 150.000

1.000.000 500.000

0,00

400.000 150.000

1.000.000 500.000 750.000

Jumlah biaya 2 3.050.000 2.800.000 2.800.000 2.050.000 2.800.000

Jumlah biaya 1& 2 20.200.000 19.950.000 19.950.000 19.200.000 19.950.000

Produksi (Kg) 4.400,00 2.400,00 1.900,00 0,00 1000,00 Harga Jual 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000 Penerimaan 24.000.000 14.400.000 11.400.000 0,00 6.000.000 Keuntungan/laba (Rp) 3.800.000 -5.550.000 -8.850.000 -19.200.000 13.950.000

R/C 1,19 0,72 0,57 0,00 0,300

B/C 0,19 (0,28) (0,57) 0,00 (0,69)

BEP (Break Even Point) Harga

4.590,00 8.312.5 10.500 0.00 19.950

Keterangan :

- Harga benih : 15.000/kg - Harga Dithane M 45 Rp.50.000/kg - Harga pupuk Urea Rp. 7000/k - Harga Decis Rp.130.000/liter - Harga pupuk SP36 Rp.8000/kg

upah tenaga kerja - Pria Rp.50.000/HKP - Wanita Rp.40.000/HKW - Harga Gabah kering panen Rp.6.000/kg

KESIMPULAN

Hasil Pengkajian dapat disimpulkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah anakan saat generative memperlihatkan perbedaan yang nyata. tanaman tertinggi pada VUB Inpago 8 dan anakan poduktif tertinggi pada inpari 32. Produksi gabah kering panen tertinggi pada Inpago 8 dengan total produksi 4,4 t/ha. Secara ekonomis ke 5 VUB yang diuji belum layak dikembangkan, karena hanya memiliki B/C ratio 0,19. Akan tetapi apabila petani di desa Batubi Jaya Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna ingin mengembangkan padi sawah perlu dicari teknologi dengan biaya produksinya rendah. Titik impas harga di daerah kajian adalah Rp.4.590,-/kg (varietas inpago 8); Rp. 8.312,-(varietas Inpari 13) ; RP.10.500,-/kg (inpari 32) dan 19.950,-/kg (Inpari 31), titik impas produksi adalah 3,37 t/ha (varietas inpago), 3,325 t/ha (inpari 13, inpari 32 dan inpari 31).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah mendanai kegiatan ini dan staf LPTP kepulauan Riau yang telah berparstisipasi dalam kegiatan ini

Page 134: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

117

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Kajian Kelayakan Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian di Provinsi Kepuluan Riau. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.

BPS. 2014. Kabupaten Natuna dalam Angka. Bada Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Hidayah dan A N. Susanto. 2008. Analisis Kelayakan Finasial Teknologi Usahatani Kacang Hijau

Setelah Padi sawah di Desa Waekasar, Kecamatan Mako, Kabupaten Buru, Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian vol. 4 (1) :54-63 p.

Pinem R. 2008. Kebijakan perbenihan padi menunjang P2BN. Prosiding Seminar Aprisiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.2008. p.1-8.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, Skala 1 : 1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Sahrul Hadi Nasution, Zulfawilman , dan Dahono. 2015. Zona Agro ekologi Padi sawah dan jagung. Kabupaten Natuna. Laporan LPTP kepulauan Riau.(unpublikassi) Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Twelfth Edition, 2014. Natural Resources

Conservation Service-United States Department of Agricultural, Washington DC.362 p. Sigit Prabawas. 2013. Analisis-Titik Impas.http://abe.fp.unila.ac.id/wpontent/uploads

/sites/10/2013/09/P05-Analisis Titik-Impas.pdf. di upload % April 2014. Swastika, DKS. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi

Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1) :90-103 P Yusuf A., T. Marbun, A. Jamil, D. Harnowo. 2011. Produksi Benih Bermutu Beberapa Vareiats

Unggul Padi Tingkat Kelompok Tani dengan Penerapan PTT di Lokasi Primatani Kabupaten Madina. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Buku 1. Ed. Kasdi Subagyono et all. Pp 290-296. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, 2012

Page 135: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

118

KERAGAAN EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH IRIGASI DALAM KEGIATAN PERBANYAKAN BENIH

DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR SUMATERA SELATAN

PERFORMANCE OF FOUR NEW SUPERIOR PADDY VARIETY IN THE ACTIVITIES OF SEED PROPAGATION

IN EAST OGAN KOMERING ULU DISTRICT SOUTH SUMATERA PROVINCE

Waluyo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol.H. Burlian KM 6 Palembang. Tlp : (0711) 410155; Fax: (0711)411845)

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan keragaan empat varietas unggul padi sawah irigasi kegiatan pengkajian varietas unggul baru (VUB) bertujuan untuk melihat keragaan,hasil dan penyediaan benih padi bermutu dan penyebaran varietas unggul baru di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). Kegiatan dilaksanakan di desa Karang Sari, kecamatan Belitang III Kabupaten OKUT (MK) 2014 dengan memberdayakan Gapoktan Tani Maju dengan melibatkan dua kelompok tani dengan luas tanam 20 ha. Adapun varietas yang diusahakan Inpari 6, Inpari 15, Inpari 20, dan Inpari 22. keragaan dari empat varietas yang ditanam menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang sangat baik dengan potensi hasil sampai 5,2- 6,9 t/ha. Hasil diperoleh varietas Inpari 6 (6,9 t/ha) dan diikuti oleh varietas Inpari 22, Inpari 20 dan Inpari 15 masing-masing sebesar 6,4 t/ha, 5,6 t/ha dan 5,2 t/ha. Usaha perbenihan VUB memperoleh keuntungan Rp 21.520.000,- /ha, dengan B/C ratio 2,32. dan memberikan keuntungan lebih tinggi dari pada usahatani konsumsi dengan selisih keuntungan sebesar Rp 6.055.000,-/ha

Kata Kunci : Keragaan VUB, perbanyakan benih, sawah irigasi.

ABSTRACT

Four superior variety of rice propagation irrigation in rice field seed activity in the district Ogan Komering Ulu Timur South Sumatra. Activity performance of some varieties of paddy irrigation assessment activities of new varieties (VUB) aims to see the performance, yield and quality of rice seed supply and deployment of new varieties in Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). The activities carried out in the village of Karang Sari, district Belitang OKUT District III (MK) in 2014 to empower Gapoktan Maju involving two groups of farmers with planting area of 20 ha. The cultivated varieties Inpari 6, Inpari 15, Inpari 20, and 22. Inpari the performance of the four varieties grown show growth and excellent results with a potential yield of up to 5,2- 6,9 t / ha. Results obtained Inpari 6 (6.9 t / ha) and was followed by Inpari 22 Inpari Inpari 20 and 15 respectively of 6.4 t / ha, 5.6 t / ha and 5.2 t / ha. VUB seed business profit of Rp 21.520.000, - / ha, with B / C ratio of 2.32. and provide a higher profit than on-farm consumption by a margin of profit of Rp 6.055.000, - / ha.

Keywords :new varieties performances, seed multiplication, irrigated paddy field

PENDAHULUAN

Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 (Badan Litbang Pertanian, 2011). Disamping itu teknik budidaya yang dikenal dengan model pengelolaan tanaman terpadu dengan komponen utama antara lain penggunaan benih unggul, varietas unggul yang adaptif, tanam bibit muda 15-20 hari, jumlah bibit per lubang 1-3 batang, pemupukan berdasarkan bagan warna daun, dan pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, dapat meningkatkan produktivitas padi sawah hingga 20 % ((Badan Litbang Pertanian, 2007).

Benih sering menjadi masalah dalam usaha tani padi sawah, yang disebabkan antara lain terbatasnya ketersediaan benih sumber, kurangnya produsen atau penangkar benih local, tingginya resiko dan rendahnya keuntungan usaha perbenihan, dan kecendrungan petani menggunakan benih seadanya. Ilyas (2003) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi industri perbenihan tanaman pangan adalah menjaga kesinambungan produksi karena minimnya orientasi bisnis untuk mensuplai

Page 136: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

119

seluruh petani dengan benih berharga murah. Wahyuni (2005) menyatakan bahwa rendahnya efisiensi produksi industri perbenihan disebabkan oleh rendahnya produksi benih, tingginya persentase ketidak lulusan benih dalam uji dilaboratorium yang disebabkan oleh pengendaliaaan mutu yang tidak efektif, dan pembatalan oleh penangkar karena harga calon benih yang tidak menarik. Sementara ditingkat petani, beberapa penyebab rendahnya penggunaan benih padi bersertifikat antara lain benih padi secara tradisional telah tersedia di tangan petani dalam bentuk gabah hasil panen dari pertanaman sebelumnya.

Pengunaan benih padi bersertifikat oleh petani tahun 2008 sebesar 53,20% dan pada tahun 2009 diperkirakan penggunaan benih padi bersertifikat meningkat menjadi 62,89% (Sinar tani, 2010). Di Sumsel Penggunaan varietas unggul padi bersertitifikat sekitar 70%, yang didominasi varietas Ciherang sedangkan varietas lainnya sekitar 30 % (BPSB, 2012).

Secara umum selama ini petani telah menanam varietas unggul yang memiliki keunggulan dalam produktivitas serta secara ekonmis menguntungkan usahatani. Keunggulan varietas tersebut diantaranya adalah pertumbuhan tanaman seragam sehingga panen menjadi serempak, rendeman giling lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen, toleransii terhadap hama dan penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan sehingga dapat memperkecil pengunaan input(Suryana dan Prayogo, 1997).

Penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu perbaikan teknis budidaya yang erat dengan kaitannya dengan peningkatan produksivitas padi sawah. Persyaratan yang harus diperhatikan dalam penggunaan varietas unggul baru adalah percobaan dengan kondisi setempat, sehingga dapat diharapkan memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan petani. Untuk mempercepat adopsi teknologi produksi padi perlu dilakukan demplot pengenalan beberapa varietas unggul baru dengan penerapan PTT (Badan Litbang Pertanian, 2007). Pengkajian ini bertujuan untuk untuk melihat keragaan hasil empat varietas unggul baru dan analisis usahatani penyediaan benih varietas unggul baru di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT).

METODOLOGI

Kegiatan produksi benih padi VUB Inpari 6, Inpari 15, Inpari 20, dan Inpari 22 dilaksanakan menggunakan lahan petani atau anggota Kelompok Tani desa Karang Sari , kecamatan Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). Penanaman dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan September 2014. Untuk prosesing benih dan uji laboratorium dilaksanakan pada bulan Oktober- Novemberi 2014, dengan luasan lahan20 hektar melibatkan 40 petani. Benih padi yang diproduksi adalah benih padi VUB yang prospektif untuk dikembangkan petani meliputi Inpari 6, Inpari 15, Inpari 20, dan Inpari 22. Sedangkan varietas Mekongga sebagai pembanding. Semua benih berasal dari Balai Besar Penelitian Padi (Balitpa) Sukamandi, sedangkan varietas Ciherang dari penangkar kelompok Tani. Penanaman dilakukan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu, yaitu 1) Sistem tanam pindak legowo 4:1, 2) umur bibit <20 hari setelah semai (HSS), 3) jumlah bibit 1-3/lubang, pemupukan urea 200 kg/ha, phonska 200 kg/ha dan ditambah SP-36 100 kg/ha, 5) pengendalian hama dan penyakit serta gulma. Parameter yang diamati pada pengkajian ini meliputi karakteristik wilayah, data produksi, sarana produksi dan tenaga kerja serta dan kelayakan finansial usahatani padi meliputi pendapatan bersih dan nilai BC Ratio menggunakan metoda input-output analisis (Malian, 2004).

(RAVC) B C ratio = ----------------

TVC Dimana : BC ratio = Nisbah pendapatan terhadap biaya P = Harga jual padi (Rp/kg) TVC = Biaya total (Rp/ha/musim) RAVC = (Q x P) – TVC Q = Total produksi padi (kg/ha/musim), dengan keputusan : BC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas BC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan

Page 137: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

120

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi wilayah pengkajian

Kabupaten OKU Timur merupakan salah satu daerah penghasil beras terbesar di Sumatera Selatan. Hal ini di dukung oleh adanya Bendungan Perjaya dan jaringan irigasi yang memadai. Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur potensial dalam hal produksi dan luas areal tanaman bahan makanan setelah kondisi pemekaran. Petani banyak yang mengandalkan jaringan irigasi ini walaupun terdapat juga usaha pertanian perladangan dan sawah tadah hujan.

Desa Karang Sari merupakan berada dalam wilayah kerja penyuluh pertanian (WKPP) Kecamatan Belitang III. Tata guna lahan di desa Karang Sari sebagai lahan sawah 271,02 ha, topografi datar 2%, terletak pada ketinggian 40,3 m dpl dan rata-rata curah hujan 2600 mm/tahun . Tanah di desa Karang Sari memiliki karakterisik antara lain berwarna hitam kelabu sampai coklat tua karena bahan organiknya sudah berkurang, berstruktur remah dan tekstur lempung berpasir, kandungan unsur hara sedang dan pH tanah agak masam. Kondisi tanah tersebut memerlukan perbaikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan hasil padi. Penambahan bahan organik berupa pupuk kandang/kompos dapat menambah unsur hara, memperbaiki sifat fisik tanah dan dapat mengikat unsur hara mikro yang berlebihan (Buckman dan Brady, 1982). Berdasarkan hasil analisis tanah, beberapa sifat tanah dan ciri tanah yang optimal untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi adalah :1) pH antara 5,5-6,5, 2) tekstur tanah lempung, berdrainase baik, 3) tipe mineral liat 1:1 dan bahan induk kaya akan hara, 4) kandungan bahan organik sedang, 5) ketersediaan hara dan mikro cukup (Makarim, 2004).

Lokasi pengkajian mempunyai potensi sebagai kawasan usaha perbenihan padi karena telah memenuhi persyaratan antara lain : 1) merupakan hamparan persawahan beririgasi teknis yang mencangkup luasan 348,61 ha dengan pola tanam padi-padi, 2) mudah dijangkau dan tersedia kelembagaan pendukung kegiatan perbenihan padi, 3) petani dan instansi terkait bersikap kooperatif terhadap kegiatan penangkaran benih padi VUB. Ditinjau dari segi aksebilitas wilayah lokasi desa ini cukup baik dan terbuka, dicirikan antara lain tersedianya dukungan sarana dan prasarana tranportasi yang memadai.

Keragaan Komponen Hasil

Kegiatan benih sumber padi VUB di desa Karang Sari disajikan pada tabel 1. Diketahui bahwa tanaman tertinggi dicapai oleh varietas Inpari 6dengan tinggi tanaman 106 cm dan terendah varietas Inpari 20 dengan tinggi tanaman 97 cm, rata-rata panjang malai bervariasi dengan panjang malai antara 22,1 sampai 28,4 cm. Panjang malai terbesar dicapai varietas Inpari 6 (28,4 cm) dan panjang malai terendah varietas Inpari 22 (22,1 cm). Jumlah anakan anatara 22 - 30 batang per rumpun, dimana jumlah anakan terbanyak diperoleh diperoleh oleh varietas Inpari 6dengan jumlah anakan 30,0 batang dan terendah pada varietas Inpari 20sebanyak 22,0 batang perumpun, sedangkan produksi tertinggi dicapai pada varietas inpari 6(6,9 t/ha) dan terendah diperoleh pada varietas Inpari 20 dengan hasil 5,2 t/ha. Seperti disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Keragaan komponen hasil dan hasil rata-rata padi VUB benih padi kelas SS di desa Karang Sari Kecamatan Belitang III

Parameter Inpari 6 Inpari 15 Inpari 20 Inpari 22 Mekongga

Tinggi Tanaman (Cm) 106,0 105,0 97,0 101,0 105,0 Jumlah anakan(Batang) 30,0 23,0 22,0 27,0 25,0 Panjang malai (cm) 28,4 25,8 24,4 22,1 24,2 Jumlah gabah/malai 235 181 176 190 180 Hasil (ton/ha) 6,9 5,6 5,2 6,4 5,9

Sumber : Hasil analisis data primer, 2014.

Analisis usahatani perbenihan padi

Pada kegiatan perbenihan memerlukan biaya lebih tinggi dibandingkan dengan petani konsumsi sebesar Rp 2.415.000,- karena pada kegiatan penangkar benih ada proses prosesing benih setelah panen. Untuk kegiatan pengolahan tanah sampai tanam upah yang dikeluarkan besarnya sama. Nilai penerimaan usahatani sangat ditentukan oleh jumlah hasil panen (output) yang diperoleh dari kegiatan usahatani dan harga output persatuan.

Untuk mengetahui apakah dengan menjadi mitra penangkar benih, petani berhasil dalam mengelola usahatani, maka dalam analisis digunakan pula data petani biasa sebagai pembanding. Hasil

Page 138: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

121

analisis rata-rata pendapatan usahatani padi sawah per hektar di kabupaten OKUT dalam satu musim tanam antar petani penangkar dan non penangkar (petani konsumsi) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis usaha perbenihan padi dan usahatani padi di Desa Karang Sari Kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur, Tahun 2014.

Uraian Usaha perbenihan padi Usahatani padi (konsumsi) Biaya bahan (Rp) 1.955.000 1.755.000 Biaya tenaga kerja (Rp) 4.910.000 4.610.000 Biaya prosesing (Rp) 2.415.000 - Total Biaya 9.280.000 6.365.000 Produksi (kg gkp) 5900 5900 Produksi akhir (kg gkg) 4400 - Penerimaan (Rp) 30.800.000 21.830.000 Pendapatan (Rp) 21.520.000 15.465.000

B/C 2,32 2,45

Berdasarkan hasil analisis antara usahatani penangkar dengan usahatani konsumsi menunjukkan bahwa penerimaan usahatani penagkar sebesar Rp 30.800.000,- lebih tinggi dari usahatani konsumsi, sebesar Rp 21.830.000,- dengan produksi padi yang sama, yaitu 5900 kg gkp. Demikian juga pendapatan petani penangkar lebih besar dibandingkan dengan petani komsumsi. Pada petani penangkar maupun petani konsumsi untuk luasan lahan satu hektar dapat menghasilkan 5900 kg/ha gabah kering panen (GKP), dengan keuntungan sebesar Rp 21.520.000,- Sedangkan petani konsumsi dengan keuntungan sebesar Rp 15.465.000,-. Selisih keuntungan penjualan padi untuk konsumsi dengan untuk benih sebesar Rp.6.055.000,-/ha. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan petani penangkar lebih tinggi daripada petani biasa. Peningkatan hasil keuntungan ini diakibatkan petani penangkar menjual benih padi dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani konsumsi dengan menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen, dengan harga jual lebih rendah dibandingkan dengan harga jual benih, disajikan pada Lampiran 1.

Hasil panen yang tinggi diikuti pula oleh mutu produk yang baik, sehingga harga komoditi akan menyesuaikan kualitas yang baik tersebut. Bagi petani penangkar, selain berupaya meningkatkan produksi agar terjadi peningkatan keuntungan, juga dituntut untuk mengikuti pemeriksaan lapangan yang dijalankan petani penangkar benih melalui BPSB sebanyak 3-4 kali.

KESIMPULAN

1. Keragaan VUB perbenihan padi dan hasil cukup beragam. Hasil GKP tertinggi diperoleh varietas Inpari 6 sebesar 6,9 t/ha, diikuti oleh varietas Inpari 22, Inpari 20 dan Inpari 15 masing-masing sebesar 6,4 t/ha, 5,6 t/ha dan 5,2 t/ha.

2. Usaha perbenihan VUB memperoleh keuntungan Rp 21.520.000,- /ha, dengan B/C ratio 2,32. dan memberikan keuntungan lebih tinggi dari pada usahatani konsumsi dengan selisih keuntungan sebesar Rp 6.055.000,-/ha

3. Kendala kelompok perbenihan padi diantaranya modal, pembinaan dan pendampingan dalam penangkaran perbenihan padi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai kegiatan melalui Dana APBN Tahun 2014, dengan judul Produksi Benih Sumber Padi Di Provinsi Sumatera Selatan.

Page 139: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

122

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum, Unit Produksi Unit Pengelola Benih Sumber. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.

Buckman. H and Brady. NC. 1982. The Nature and Properties of Soil. The Macmillan Company, New York.

Badan litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan tanaman Terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Badan Litbang Pertanian Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Lahan Menurut Penggunaan di Sumatera Selatan. 64 p. Makarim AK. 2004. Teknik identifikasi wilayah sesuai untuk pengembangan varietas unggul tipe

baru. Makalah pelatihan pemasyarakatan dan pengembangan padi VUTB. Sukamandi, 31 Maret-3 April 2004

Malian AH. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi pada skala pengkajian. Makalah disajikan dalam pelatihan Analisis Finansial dan Ekonomi bagi

Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November- 9 Desember 2004.

Nugraha U.S dan B. Sayaka. 2004. Industri dan Kelembagaan Perbenihan Padi. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting F. Kasryno., E. Pasandaran dan A.M. Fagi. Badan Peneltian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

Sinar Tani.2010. dalam http://www.sinartani.com,mimbarpenyuluh/proses-benih padi- bersertifikat-dan-penggunaaan nya-para-petani-1265599338.htm

Suryana dan U.H. Prajogo, 1997. Subsid Benih dan Dampak nya Terhadap Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Analisi kebijakaan Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Wahyuni,S. 2005. Teknologi Produksi benih bermutu. Makalah di sampaikan pada Lokakarya Pengembangan Jaringan Alih Teknologi Produksi dan Distribusi Benih Sumber. Balitpa Sukamandi. 21-22

Page 140: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

123

Lampiran 1. Analisis Kelayakan Usahatani Benih Padi, di Desa Karang Sari Kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur, Tahun 2014.

I. Usahatani Penangkaran Benih Padi II. Usahatani padi konsumsi Selisih ( I – II )

Satuan Jumlah Nilai (Rp.000)

satuan Jumlah Nilai (Rp.000)

Nilai (Rp.000)

Biaya Usahatani

A. Sarana produksi xxxxxxx xxxxxxx xxxxxxxx xxxxxx xxxxx xxxxxxxx xxxxxxx

1. Benih Kg 25 375.000 Kg 25 275.000

2. Pupuk Urea Kg 100 200.000 Kg 100 200.000

3. Pupuk NPK (Ponska)

Kg 200 540.000 Kg 200 540.000

4. SP-36 Kg 100 260.000 Kg 100 260.000

5. Pestisida/Rodentisida

xxxxxxx xxxxxxx 500.000 xxxxx xxxxxx 400.000

6. Herbisida xxxxxxx xxxxxxx 80.000 xxxxxx xxxxxx 80.000

Sub total xxxxxxx xxxxxxx 1.955.000 xxxxx xxxxxx 1.755.000

B. Biaya Tenaga Kerja xxxxxxx xxxxxxx xxxxxxx xxxxxx xxxxxx xxxxxxx xxxxx

1. Pengolahan lahan (bajak dan garu)

borongan 600.000 600.000

2. Perbaikan pematang (tamping galeng)

400.000 400.000

3. Aplikasi Herbisida Pra Tumbuh

100.000 100.000

4. Pembuatan pesemaian

200.000 200.000

5. Cabut bibit, menarik atajale, tanam

680.000 680.000

6. Pemupukan, pengairan, penyiangan, pengendalian OPT

500.000 400.000

7. Rouging 5 OH 60.000 300.000 -- -- - --

8. Panen 2.230.000 2.230.000

Sub total xxxxxxx xxxxxxx 4.910.000 xxxxxxx xxxxxxx 4.610.000

C. Biaya prosesing GKG ke benih

xxxxxxx xxxxxxx xxxxxxx xxxxx xxxxxx xxxxxxxx xxxxxxx

1. Penjemuran/ box dryer

Rp 150/kg 4460 kg 669.000 -- -- -- --

2. Blower 600.000 -- -- -- --

3. Biaya Sertifikasi Rp 7/kg 3122 21.845 -- -- -- --

4. Biaya pembelian glangsing dan plastik kantong

937.500 -- -- -- --

5. Pengemasan dan stapel

187.500 -- -- -- --

Sub total biaya Pemrosesan gabah menjadi benih padi

xxxxxxx xxxxxxx 2.415845 xxxxxx xxxxxxx -- --

Total biaya (sub total A+B+C)

xxxxxxx xxxxxxx 9.260.845 xxxxxx xxxxxxx 6.360.000

Penerimaan Usahatani xxxxxxx xxxxxxx 21.854.000 xxxxxx xxxxxxx 15.610.000 xxxxxxxx

Produksi gabah Kg GKP xxxxxxx 5900 Kg GKP xxxxxxx 5900

Produksi akhir Kg Benih xxxxxxx 4400 Kg GKg xxxxxxx

Harga jual Rp/Kg Benih xxxxxxx 7000 Rp/KG GKP xxxxxxx 3700

Keuntungan Rp.000 xxxxxxx 21.520.000 Rp.000 xxxxxxx 15.465.000 6.055.000,-/

Keuntungan relatif usahatani penangkaran benih padi dibandingkan usahatani padi = baris terakhir kolom terakhir.

Page 141: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

124

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PANEN PADI DAN TRANSFORMASI KELEMBAGAAN (KASUS DI KECAMATAN SELUMA SELATAN, KABUPATEN SELUMA – BENGKULU)

DEVELOPMENT OF RICE HARVEST TECHNOLOGY AND INSTITUTIONSTRANSFORMATION (CASE IN SOUTH SELUMA SUBDISTRICT, SELUMA –

BENGKULU)

Andi Ishak

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penerapan teknologi pertanian merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani. Teknologi pertanian memerlukan kelembagaan pendukung agar dapat diterapkan secara berkelanjutan. Oleh karena itu perkembangan teknologi selalu mentransformasi kelembagaan pendukungnya. Salah satu teknologi yang terus berkembang adalah teknologi panen padi. Suatu penelitian tentang perkembangan teknologi panen dan transformasi kelembagaan para pemanen padi telah diteliti dengan mengambil latar pada daerah irigasi di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, pada bulan Agustus 2016. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) perkembangan teknologi panen padi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) transformasi kelembagaan pemanen padi. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan melibatkan 4 orang informan kunci melalui pendekatan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi panen berkembang dari teknik mengetam padi menggunakan ani-ani menuju penggunaan sabit, dari perontokkan padi dengan cara manual ke cara mekanis. Perkembangan teknologi panen tersebut dipengaruhi oleh serangkaian faktor yang kompleks yaitu faktor teknis, sosial budaya, politik, dan ekonomi. Perkembangan teknologi telah mentransformasi kelembagaan pemanen dari kelembagaan yang berbasis budaya – komunitas menuju basis ekonomi – individual.

Kata Kunci: teknologi, kelembagaan, transformasi, panen.

ABSTRACT

The application of agricultural technology is one driving factor increased productivity and farming efficiency. Agricultural technology requires institutional support to be implemented in a sustainable manner. Therefore, the development of technology has always transform institution. One evolving technology is the technology of rice harvesting. A study about harvesting technology development and institutional transformation of the rice harvester has been investigated by taking a background in irrigation area in the district of South Seluma, Bengkulu province, in August 2016. This study aims to analyze: (1) the development of the rice harvesting technology and factors that influence it, (2) institutional transformation of rice harvester. Data were collected through interviews with 4 key informants through qualitative analysis approach. The results showed that harvesting technology evolved from paddy harvest techniques using ani-ani to the use of the sickle, of manual rice thresher to mechanical means. Harvesting technology development is influenced by a complex set of factors that are technical factor, socio-cultural, political, and economic. Technological developments have transformed the harvester institutional from institution which cultural community-based to individual-based economic.

Keywords: technology, institutional, transformation, harvest.

Page 142: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

125

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian yang dilakukan sejak Rejim Orde Baru mulai awal 1970-an telah menyebabkan berbagai inovasi teknologi masuk dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pertanian dan pedesaan, khususnya bagi petani padi. Pembangunan pertanian yang dimotori pemerintah dilaksanakan dengan cara revolusioner untuk mengejar swasembada pangan nasional melalui berbagai program pembangunan seperti Program BIMAS (Bimbingan Massal).

Program BIMAS yang dilaksanakan sejak tahun 1969 sampai 1981 didukung oleh tiga unsur yaitu PPL (memberikan informasi dan mendorong adopsi Panca Usahatani), KUD (menyalurkan bibit unggul, pupuk dan pesitisida), dan BRI Unit Desa (menyediakan kredit bagi petani). Program BIMAS telah berhasil meningkatkan produksi padi sebesar 39% di Jawa, sedangkan di luar Jawa sebesar 41% dalam 12 tahun (1968 – 1979). Pada tahun 1984, FAO memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto atas prestasi Indonesia dalam swasembada beras (Soemardjan dan Breazale, 1993). Program BIMAS membuat petani padi mulai bersinggungan dengan teknologi baru dan akhirnya meninggalkan cara-cara lama dalam usaha pertanian padi.

Salah satu teknologi yang terus berkembang pada komunitas petani padi adalah teknologi panen (cara panen dan merontok padi). Menurut Sulistiaji (2007), cara panen padi di Indonesia terus berkembang dari cara panen tradisional menggunakan ani-ani yang kemudian digantikan dengan sabit, dan cara perontokan padi manual (menggunakan tenaga manusia) menuju penggunaan mesin perontok. Masuknya teknologi baru akan merubah teknologi yang lama. Schumpeter (1944 dalam Fauzi, 2011) menyebut perkembangan teknologi seperti ini sebagai fenomena the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif).

Perkembangan teknologi panen pada gilirannya akan mendorong transformasi kelembagaan pemanen padi yang semakin efisien. Kelembagaan sendiri dimaknai sebagai keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan manusia (Anantanyu, 2011).Kelembagaan memfasilitasi hubungan kerjasama dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Hayami dan Kikuchi, 1987).

Efisiensi merupakan kata kunci perkembangan teknologi dan transformasi kelembagaan. Sebagai contoh, Susilowati (2005) menyatakan bahwa terdapat berbagai bentuk kelembagaan pengupahan dalam kegiatan panen padi di Jawa, yaitu bawon, kedokan, upah harian, upah borongan, dan sambatan.

3 Perubahan sistem sambatan menuju sistem bawon, dan kemudian menjadi sistem upah

harian/borongan didorong untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja pemanen.

Penggunaan inovasi teknologi panen memang terbukti dapat meningkatkan efisiensi hasil dan penggunaan tenaga kerja. Menurut International Rice Research Institute (IRRI), diperkirakan tingkat kehilangan pascapanen padi sebesar 5-16% terjadi pada saat panen (pemanenan, perontokan dan pembersihan), sedangkan 5-21% terjadi pada proses pascapanen (pengeringan, penyimpanan dan penggilingan) (Ditjen P2HP, 2007 dalam Herawati, 2008). Menurut BPPSDMP (2015), penggunaan teknologi perontokan padi yang berbeda akan mempengaruhi kehilangan hasil gabah. Penggunaan power thresher menghasilkan tingkat kehilangan hasil terkecil yaitu hanya 0,34-1,54%, diikuti oleh iles atau injak-injak (3,99%), pukul (4,54%), dan banting/gebot (4,45-12,3%). Sementara itu, panen padi dengan sabit akan menghilangkan peluang pekerjaan sampai 58% dibandingkan dengan menggunakan ani-ani (Winarno, 2003). Hal ini karena perubahan teknologi panen, akan merubah pengorganisasian kerja para pemanen.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis: (1) perkembangan teknologi panen padi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan selanjutnya (2) menganalisis transformasi kelembagaan pemanen padi yang menyertainya.

3Bawon adalah upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani khususnya untuk

kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen.Sistem kedokan memberikan

hak panen kepada para pengedok (pekerja tanpa dibayar dalam kegiatan tertentu ketika

bersawah) untuk membatasi jumlah pemanen.Sambatan adalah sistem saling membantu

secara bergiliran atau pertukaran tenaga kerja.

Page 143: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

126

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma pada bulan Agustus 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara melibatkan empat orang informan kunci yaitu ketua KTNA Kecamatan Seluma Selatan, Koorluh BPP Seluma Selatan, ketua kelompok pemanen padi, dan buruh panen padi. Data yang dikumpulkan meliputi sejarah budidaya padi di Kecamatan Seluma Selatan, perkembangan teknologi panen, dan perubahan kelembagaan pemanen. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif menggunakan Model Analisis Interaktif (Miles dan Huberman, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Wilayah Kecamatan Seluma Selatan4

Kecamatan Seluma Selatan adalah salah satu dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Seluma.Kecamatan ini terdiri atas 9 desa dan 3 kelurahan, dengan luas wilayah 7.446 ha (Gambar 1) dan didiami oleh berbagai etnis. Penduduk lokal adalah etnis Serawai yang merupakan penduduk asli dari 9 desa yaitu Desa Pasar Seluma, Tanjung Seru, Tanjung Seluai, Tanjungan, Sengkuang, Tangga Batu, Padang Genting, Padang Merbau, dan Sukarami. Selain penduduk lokal, terdapat juga etnis Jawa dan Sunda yang mulai datang sebagai transmigran sejak tahun 1970. Mereka umumnya menempati tiga kelurahan yaitu Rimbo Kedui, Padang Rambun, dan Sidomulyo. Selain ketiga etnis tersebut, terdapat juga etnis lainnya seperti etnis Batak dan Minang yang datang kemudian. Jumlah penduduk Kecamatan Seluma Selatan pada tahun 2014 sebanyak 11.561 jiwa dengan sex ratio 1,2.

Gambar 1.Peta wilayah Provinsi Bengkulu (BPS Provinsi Bengkulu, 2013).

Kecamatan Seluma Selatan diklasifikasikan ke dalam wilayah pedesaan. Berdasarkan hasil

Sensus Pertanian Tahun 2013, terdapat 3.760 RTP (Rumah Tangga Pertanian), 39% diantaranya adalah RTP padi sawah. Daerah Kecamatan Seluma Selatan termasuk sentra beras di Kabupaten Seluma karena 11 dari 12 desa/kelurahannya masuk dalam wilayah pelayanan Daerah Irigasi Air Seluma. Oleh karena itu, usahatani padi dengan segala dinamika teknologi dan kelembagaannya tidak dapat dilepaskan dari sistem penghidupan masyarakat di kecamatan ini.

4Profil wilayah Kecamatan Seluma Selatan bersumber dari Kecamatan Seluma Selatan Dalam Angka Tahun 2015 (BPS

Kabupaten Seluma, 2015).

Kec. Seluma

Selatan

Page 144: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

127

Usahatani Padi di Kecamatan Seluma Selatan

Kegiatan usahatani padi telah dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Seluma Selatan pada lahan kering dan lahan rawa sebelum irigasi Air Seluma digunakan pada tahun 1982. Petani menanam padi dengan tujuan untuk pemenuhan subsistensi pangan keluarga.

Budidaya padi dilakukan masyarakat lokal dengan teknologi yang sederhana pada awalnya. Penggunaan input usahatani dan teknik budidaya dipelajari petani secara turun-temurun. Varietas yang digunakan adalah padi Randai yang berumur dalam (sekitar 6 bulan). Bibit padi sebanyak 50 kg/ha terlebih dahulu disemai selama 30 hari sebelum ditanam di rawa. Jarak tanam padi sekitar 30 x 40 cm. Padi mulai ditanam pada bulan Juni dan dipanen pada bulan Januari tahun berikutnya. Petani juga menanam padi pada lahan kering dengan cara ditugal. Hama yang sering menyerang tanaman padi adalah walang sangit, tikus, dan babi hutan.

Teknik budidaya padi di Kecamatan Seluma Selatan mulai berkembang sejak datangnya para transmigran dari Jawa pada awal tahun 1970-an yang mulai memperkenalkan teknik membajak sawah pada lahan sawah dengan memanfaatkan ternak sapi. Teknik pertanian padi tradisional kemudian mulai berkembang ke arah intensifikasi pertanian sejak dibangunnya irigasi dan pencetakan sawah irigasi dalam kurun waktu 1976 – 1982. Jenis padi lokal yang berumur dalam mulai berganti dengan varietas padi unggul berumur genjah seperti PB-8, IR-64 dan Ciherang, yang mengakibatkan indeks pertanaman meningkat. Teknologi budidaya tradisional yang bersifat self-sufficient telah bergeser ke arah teknik budidaya modern yang menyebabkan petani akhirnya begitu tergantung dengan input usahatani (seperti pupuk dan pestisida anorganik) dari pasar.

Intensifikasi teknologi budidaya padi telah membawa peningkatan produksi padi di satu sisi, namun di sisi lain juga menyebabkan perubahan kelembagaan masyarakat pertanian. Nilai-nilai gotong royong dan kekuatan kelompok-kelompok informal yang berbasis pada modal sosial petani semakin melemah seiring dengan proses intensifikasi dan mekanisasi pertanian yang berbasis pada modal ekonomi. Secara umum, perubahan teknologi budidaya dan dampaknya terhadap kelembagaan petani terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Dampak penerapan teknologi budidaya padi terhadap transformasi kelembagaan di Kecamatan Seluma Selatan.

Kegiatan usahatani Teknologi budidaya padi Dampak inovasi

Tradisional Modern Kegiatan usahatani Transformasi Kelembagaan

1. Pengelolaan air - Irigasi teknis Meningkatkan indeks pertanaman

Gotong royong memudar

2. Penyuluhan - PPL Intensifikasi teknologi budidaya

Formalitas peran penyuluh

3. Organisasi petani

Informal Formal Teknologi semakin cepat terdifusi

Kelompok tani menjadi agen pembangunan

4. Penggunaan benih

Benih lokal Benih unggul Umur tanaman semakin genjah

Penangkaran benih lokal menghilang

5. Pengolahan tanah

Tenaga manusia, TOT

Traktor Efisiensi tenaga kerja, mekanisasi

Perubahan kelembagaan tanam dan upah panen

6. Penanaman Gotong royong Upahan Efisiensi tenaga kerja

7. Pemakaian pupuk dan pestisida

- Pupuk dan pestisida anorganik

Intensifikasi budidaya

Pasar saprodi muncul dan berkembang

8. Panen Penggunaan ani-ani, sistem iles, gebot

Penggunaan sabit, mesin perontok

Efisiensi tenaga kerja, mekanisasi pertanian

Perubahan kelembagaan panen

9. Pemberasan Lumbung padi (kiang), lesung

Penggilingan padi/RMU

Mekanisasi Munculnya penggilingan padi, hilangnya lumbung padi

10. Hasil panen Subsistensi pangan keluarga

Kelebihan produksi dijual

- Kelembagaan pasar menguat

Sumber: Data primer (2016).

Page 145: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

128

Perkembangan Teknologi Panen

1. Alat pemotong padi (ani-ani dan sabit)

Ani-ani adalah alat pemotong padi tradisional yang sudah digunakan sejak lama di Kecamatan Seluma Selatan. Petani memakai ani-ani untuk mengetam padi lokal dengan cara memotong malainya. Kegiatan panen umumnya dilakukan oleh kaum wanita secara bersama-sama. Tenaga panen berasal dari kerabat dekat dengan sistem bawon. Besarnya bawon adalah 7:1 (dalam 7 bagian hasil panen, dikeluarkan 1 bagian untuk pemanen). Panen dilakukan tidak sekaligus karena pemanen akan mengetam terlebih dahulu malai padi yang sudah masak. Biasanya panen dilakukan sampai 3 kali dalam waktu 2-3 minggu.

Malai diangkut dan dijemur setelah panen, sebelum disimpan di dalam lumbung. Perontokan gabah dan pemberasan dilakukan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan petani. Perontokan gabah dilakukan dengan cara diinjak-injak (di-iles) atau dengan cara dipukul. Pemberasan dilakukan dengan cara gabah ditumbuk dengan lesung.

Sabit adalah teknologi yang lebih modern untuk memanen padi. Padi dipanen sekaligus dan langsung dirontok di lahan. Alat perontok gabah yang digunakan akan menentukan panjang batang padi yang disabit (Sulistiaji, 2007). Apabila perontokan gabah dengan cara di-iles, batang padi dipotong pendek (jerami plus malai + 30 cm). Apabila dirontok dengan cara dibanting, menggunakan pedal thresher atau power thresher, maka batang padi dipotong lebih panjang (+ 70 cm).

Praktek panen dengan sabit mulai dilakukan oleh para transmigran sejak tahun 1984 sampai dengan saat ini, setelah masuknya varietas padi unggul. Tinggi tanaman padi unggul seperti varietas PB-8 yang lebih pendek dengan tangkai malai yang juga lebih pendek dibandingkan padi varietas lokal, akan menyulitkan pemanenan dengan menggunakan ani-ani.

Penggunaan sabit menyebabkan terjadinya efisiensi tenaga kerja panen. Menurut Umar (2013), dengan ani-ani dibutuhkan kurang lebih 127 jam panen per hektar, sedangkan sabit hanya membutuhkan sekitar 80 jam/ha. Umumnya pemanen padi saat ini terdiri atas 10-15 orang penyabit sekaligus pengangkut padi dan perontok gabah.

2. Teknologi perontokan gabah (teknik manual dan mekanis)

Terdapat dua cara perontokan gabah yaitu cara manual dan cara mekanis yang telah dipraktekkan petani padi sawah di Kecamatan Seluma Selatan. Perontokan gabah dengan cara diinjak (iles), dipukul, dibanting/digebuk/disabet (gebot), dan pedal thresher termasuk kategori manual karena digerakkan oleh tenaga manusia. Sementara penggunaan power thresher termasuk dalam cara mekanis karena digerakkan oleh mesin.

Iles merupakan cara perontokan gabah yang paling tradisional dan telah dipraktekkan secara turun-temurun oleh penduduk lokal. Padi yang telah dipanen diletakkan di atas wadah (tikar, terpal), kemudian diinjak-injak agar gabah terlepas dari tangkainya. Saat ini petani di Kecamatan Seluma Selatan tidak lagi mempraktekkan cara ini.

Perontokkan gabah dengan cara dipukul adalah teknik yang sudah lebih maju. Tumpukan malai padi dipukul dengan pelepah daun kelapa agar gabah terlepas dari tangkainya. Cara ini juga sudah ditinggalkan sejak masuknya cara panen dengan teknik gebot.

Teknik gebot dilakukan dengan cara batang tanaman padi yang telah disabit dipukulkan ke alat gebot yang terbuat dari kayu/bambu berkali-kali agar gabahnya rontok. Teknik gebot diperkenalkan sekitar tahun 1984 oleh para transmigran.

Pedal thresher dapat digolongkan sebagai perkakas walaupun bukan alat panen mekanis. Padi dirontokkan dengan gigi perontok yang digerakkan dengan pedal sehingga lebih efisien tenaga kerja. Pedal thresher diperkenalkan oleh pemerintah melalui Dinas Pertanian seiring dengan program intensifikasi padi pada sekitar tahun 1986. Penggunaan pedal thresher diperkirakan kemudian mulai ditinggalkan oleh para petani sejak diperkenalkan power thresher sejak tahun 1992 oleh Dinas Pertanian. Pertimbangan utama pemanen menggunakan power thresher adalah efisiensi tenaga kerja.

Dari penjelasan tentang penerapan teknologi panen (pemotongan dan perontokan padi) di Kecamatan Seluma Selatan di atas, nampak bahwa Teknologi panen (pemotongan dan perontokan padi) di Kecamatan Seluma Selatan berkembang terutama karena dorongan efisiensi ekonomi kelompok pemanen sesuai dengan kondisi lingkungan yang dihadapi petani. Jalur perubahan (trajektori) teknologi panen secara sederhana disajikan pada Tabel 2.

Page 146: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

129

Tabel 2.Trajektori teknologi panen padi di Kecamatan Seluma Selatan.

Penggunaan teknologi panen

Tahun awal digunakan

Jumlah tenaga kerja Waktu panen/ merontok padi

per hektar

Agen inovasi

Pemotongan padi

1. Ani-ani Tidak diketahui - 2-3 minggu Tidak diketahui 2. Sabit 1984 10-15 orang 1-1,5 hari Transmigran Perontokkan gabah 1. Iles Tidak diketahui - Sesuai

kebutuhan Tidak diketahui

2. Gebot 1984 10-15 orang (2-3 orang per kelompok)

3 hari Transmigran 3. Pedal thresher 1986 2 hari Pemerintah

4. Power thresher 1992 10-15 orang (perontok padi 4 orang)

0,5 hari Pemerintah

Sumber: Data primer (2016).

Tabel 2 menunjukkan bahwa teknologi panen padi terus berubah secara linier dari cara tradisional ke arah modern, dari penggunaan tenaga kerja manusia (manual) menuju tenaga kerja mesin (mekanis). Para pemanen ingin meningkatkan hasil bawondengan cara mempersingkat waktu memotong dan merontok padi. Penggunaan teknologi panen yang lebih majuakan meningkatkan jumlah bawon yang diterima oleh tenaga pemanen dengan waktu kerja yang sama. Waktu panen yang dibutuhkan untuk memanen 1 ha lahan sawah adalah sekitar 2 hari dengan menggunakan sabit + power thresher, lebih cepat dibandingkan dengan sabit + pedal thresher (3 hari) atau sabit + gebot (4 hari), dengan tenaga kerja pemanen 10-15 orang.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa perubahan teknologi panen padi di Kecamatan Seluma Selatan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang kompleks yang meliputi aspek teknis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Aspek teknis terkait dengan penggunaan varietas unggul baru yang lebih praktis dipanen dengan sabit. Aspek sosial-budaya yaitu masuknya transmigran yang membawa teknologi panen padi yang lebih maju. Aspek politik yaitu menguatnya peran pemerintah melalui program intensifikasi teknologi padi. Sementara itu aspek ekonomi terkait dengan efisien tenaga kerja pemanen.

Transformasi Kelembagaan Panen

Perubahan teknologi panen menyebabkan proses panen padi semakin cepat, sehingga mobilitas pemanen dalam memanen padi juga semakin tinggi. Perubahan teknologi panen selanjutnya telah mempengaruhi pranata sosial atau nilai-nilai yang mengatur kelembagaan dan pengorganisasian kerja pemanen.

Cara memanen padi pada awalnya diorganisasikan secara kolektif oleh komunitas pedesaan di Kecamatan Seluma Selatan. Kolektivitas ini diikat oleh sistem kekerabatan antara petani padi dengan pemanen. Petani mengundang kerabatnya beramai-ramai dalam kegiatan panen dengan sistem bawon. Hal ini juga akan terjadi ketika sang kerabat memanen padi miliknya. Pertukaran tenaga kerja dalam proses panen menjadi semacam asuransi sosial yang menjamin keluarga besar tetap memiliki padi di lumbung (kiang). Asuransi sosial ini semakin meluas sejak para transmigran dari Jawa masuk ke wilayah Seluma Selatan tahun 1970-an. Para transmigran yang membutuhkan beras ikut juga membawon padi pada penduduk lokal di sekitar lokasi transmigrasi.

Penanaman padi lokal sekali setahun membuat petani tidak menjual padinya. Budidaya padi di lahan rawa atau di lahan kering semata-mata dilakukan petani dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi pangan keluarga. Tidaklah mengherankan jika padi dapat disimpan oleh penduduk lokal sampai 4 tahun di dalam kiang sebelum di-iles dan ditumbuk menjadi beras.

Petani mulai mengalami kesulitan untuk mengetam “padi pendek” (padi varietas unggul) ketika teknologi berubah akibat intensifikasi pertanaman padi di lahan sawah irigasi pada pertengahan tahun 1980-an. Transmigran memperkenalkan penggunaan sabit dan teknik gebot yang lebih praktis secara teknis dan lebih efisien secara ekonomis. Transmigran yang telah mempunyai ketrampilan dan pengalaman menggunakan sabit dan gebot dari daerah asal, memiliki kinerja hasil yang lebih baik dalam memanen padi. Penduduk lokal akhirnya juga lebih senang mengajak transmigran daripada

Page 147: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

130

kerabatnya untuk memanen padi dengan pertimbangan efisiensi biaya konsumsi yang harus ditanggung oleh pemilik sawah. Disinilah mulai terjadi pergeseran pengorganisasian kelembagaan pemanen yang awalnya berbasis kekerabatan ke basis ekonomi. Tenaga kerja panen akhirnya semakin terorganisir menjadi kelompok-kelompok kecil (3-4 orang), yang biasanya masih memiliki hubungan kekeluargaan.

Basis pengorganisasian pemanen dalam kelompok-kelompok kecil masih tetap bertahan pada saat pedal thresher masuk ke Seluma Selatan pada tahun 1986. Satu unit pedal thresher masih dioperasionalkan oleh 2-3 orang pemanen yang memiliki hubungan keluarga dekat.

Pengorganisasian tenaga kerja panen akhirnya semakin berbasis ekonomi pada saat power thresher diadopsi pemanen. Tidak semua pemilik pedal thresher mampu membeli power thresher karena harganya yang mahal. Power thresher hanya dapat dibeli oleh pemilik modal, yang kemudian menggabungkan kelompok-kelompok pemanen padi untuk mendapatkan bawon yang lebih banyak. Para pemanen umumnya adalah mereka yang sebelumnya memiliki pedal thresher atau orang lain yang ingin bergabung. Terjadi gejala perubahan yang bersifat siklis dari kelompok pemanen yang banyak tenaga kerja menuju kepada unit-unit kecil kelompok pemanen, dan kemudian berubah kembali menjadi kelompok pemanen dengan banyak tenaga kerja (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan siklikal kelembagaan pemanen padidi Kecamatan Seluma Selatan.

Terungkap dari penjelasan di atas bahwa kelembagaan pemanen padi berubah dari basis pengorganisasian komunitas yang menjunjung norma subsistensi pangan, menuju basis ekonomi yang didorong oleh efisiensi tenaga kerja (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh teknologi panen terhadap kelembagaan pemanen.

Teknologi panen Jumlah pemanen dalam satu kelompok

Basis kelembagaan pemanen

Ani-ani + Iles Banyak orang Budaya berbasis komunitas

Sabit + gebot 3-4 orang Ekonomi berbasis keluarga

Sabit + pedal thresher 3-4 orang Ekonomi berbasis keluarga

Sabit + power thresher 10-15 orang Ekonomi berbasis individu

Perubahan kelembagaan panen di Kecamatan Seluma Selatan bersifat linier dari tradisional – kolektif menjadi modern – individual. Perbedaannya adalah basis tenaga kerja kelompok pemanen dengan teknologi tradisional adalah nilai-nilai sosial budaya komunitas, sedangkan basis tenaga kerja pemanen dengan teknologi modern adalah nilai-nilai ekonomi individual.

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa:

1. Perubahan teknologi panen di Kecamatan Seluma Selatan berubah dari penggunaan teknik manual ke teknis mekanis, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang kompleks meliputi aspek teknis, sosial budaya, politik, dan ekonomi.

2. Kelembagaan pemanen padi di Kecamatan Seluma Selatan berubah dari kelembagaan yang mengusung nilai-nilai budaya berbasis komunitas ke arah kelembagaan yang berbasis ekonomi individual.

Kelompok besar

berbasis

komunitas

Kelompok-kelompok

kecil berbasis

keluarga

Kelompok besar

berbasis

individu

Page 148: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

131

DAFTAR PUSTAKA

Anantanyu, S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya. SEPA 7(2):102-109.

BPS Kabupaten Seluma. 2015. Kecamatan Seluma Selatan Dalam Angka Tahun 2015. BPS Seluma. BPS Provinsi Bengkulu. 2013. Provinsi Bengkulu Dalam Angka Tahun 2013. BPS Bengkulu. [BPPSDMP] Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. 2015. Pelatihan Teknis Budidaya

Padi bagi Penyuluh Pertanian dan Babinsa – Panen dan Pengelolaan Pascapanen Padi. BPPSDMP. Jakarta.

Fauzi, N. 2011. Menyegarkan Pemahaman tentang Kapitalisme Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Pra Rapat Kerja ELSAM, Selasa 1 November 2011. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. 7 hal. Tidak dipublikasikan.

Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Herawati. 2008. Mekanisme dan Kinerja pada Sistem Perontokan Padi. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 6(2):195-203.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tantang Metode-metode Baru. UI Press. Jakarta.

Soemardjan dan K. Breazale. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia – Impact of Village Development. Sebelas Maret University Press. Solo.

Sulistiaji, K. 2007. Buku Alat dan Mesin (Alsin) Panen dan Perontokan Padi di Indonesia. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Serpong – Tangerang.

Susilowati, S.H. 2005. Gejala Pergeseran Kelembagaan Upah pada Pertanian Padi Sawah. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23(1):48-60.

Umar, S. 2013. Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan untuk mendukung Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawarman 8(2):37-48.

Winarno, B. 2003. Komparasi Organisasi Pedesaan dan Pembangunan: Indonesia vis-à-vis Taiwan, Thailand dan Filipina. Media Pressindo.Yogyakarta.

Page 149: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

132

PEMBERIAN KAPUR DAN PUPUK HAYATI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI DI LAHAN RAWA LEBAK DANGKAL BUKAAN BARU DENGAN TEKNOLOGI

BUDIDAYA JENUH AIR

BIOFERTILIZER AND LIMING ON THE GROWTH AND YIELD OF SOYBEAN IN NEW OPENED WATERLOGGED LAND WITH SATURATED SOIL CULTURE TECHNOLOGY

Endriani1, M.Ghulamahdi

2, Eko Sulistyono

2

1Balai PengkajianTeknologi Pertanian (BPTP) Lampung

2 Departemen Agronomi dan Hortikultura , Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor

Jl. Hi.ZA. Pagar Alam No1A, Rajabasa, Bandar Lampung. Telp (0721)781776 email: e_mail; [email protected]

ABSTRAK

Permasalahan utama pemanfaatan lahan rawa lebak adalah kemasaman tanah yang tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk meningkatkan kesuburan tanah, khususnya pada lahan rawa. Penelitian bertujuan mendapatkan dosis kapur yang optimum untuk pertumbuhan dan hasil kedelai dilahan rawa lebak dangkal bukaan baru. Penelitian dilaksanakan di lahan rawa lebak dangkal bukaan baru Desa Labuhan Ratu 6, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, pada bulan April 2015 – Juli 2015. Penelitian disusun menggunakan rancangan faktorial dalam rancangan acak kelompok terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor kesatu dosis kapur yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0, 500, 1000 dan 1500 kg dolomit/ha. Faktor kedua yaitu pupuk hayati, tanpa pupuk hayati dan pakai pupuk hayati. Data penelitian dinalisis sidik ragam dengan uji F, apabila terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk melihat perbedaan antar perlakuan pada taraf α 0.05. Analisis menggunakan program software SAS (Statistical Analysis System). Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kedelai tertinggi pada lahan rawa lebak bukaan baru diperoleh pada perlakuan tanpa pupuk hayati (3.54 ton/ha dan dosis dolomit 1.5 ton/ha (3.52 ton/ha) pada pH tanah 5.6, dan p-tersedia sedang dengan nilai 12.9 ppm dan p-potensial tinggi (38.8 P205/100 g) dan berbeda nyata di bandingkan tanpa dolomit (3.09 ton/ha).

Kata kunci : dolomit, kedelai, pupuk hayati, produktivitas.

ABSTRACT

The main problem in waterlogged land utilization is high soil acidity which inhibits plant growth and development. Amelioration and fertilization are important components to improve soil fertility, especially in waterlogged land. The study aims to get the best dose of lime for the growth and yield of soybean. The research conducted in the new opened waterlogged land at Labuhan Ratu 6 village, District of Labuhan Ratu, East Lampung Regency, in April- July 2015. The study was compiled using factorial design in a randomized block design which consists of two factors with three replication. The first factors is dose of lime without lime (0 kg/ha), dolomite (500 kg/ha), dolomite (1000 kg/ha) and dolomite (1500 kg/ha). The second factor is treatment of biological fertilizers are without biological fertilizers and use of biological fertilizers. The results showed the highest soybean productivity in new opened waterlogged land obtained from the treatment without biological fertilizer (3.54 ton/ha) and a dose of dolomite 1.5 ton/ ha (3.52 ton/ha) on soil pH 5.6, and p-available medium with a value of 12.9 ppm and p-high potential (38.8 P205/100g) and significantly different compared with no dolomite (3.09 ton/ha).

Keywords: dolomite, soybean, biological fertilizers, productivity.

Page 150: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

133

PENDAHULUAN

Pengembangan produksi pangan di arahkan ke lahan rawa seperti lebak. Lahan rawa lebak cukup luas tersebar di seluruh penjuru tanah air, akan tetapi baru dimanfaatkan secara intensif hanya sekitar 5% dari luasan yang ada (Soehendi 2011). Pengembangan kedelai pada lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa lebak memerlukan suplai hara yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan hasil kedelai. Lahan rawa lebak bukaan baru mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya kedelai. Kendala dalam pengembangan kedelai di lahan rawa lebak bukaan baru, diantaranya pH tanah rendah, tingkat kesuburan tanah rendah, memerlukan biaya tinggi untuk pembukaan lahan, sistem tata air belum baik dan memerlukan biaya input produksi yang lebih tinggi dibandingkan lahan rawa lebak yang sudah dibudidayakan intensif.

Selanjutnya Noor dan Fadjry (2008) mengatakan bahwa kendala utama dalam pemanfaatan lahan rawa lebak selama ini adalah genangan yang tinggi dan kadang-kadang datangnya air secara tiba-tiba dan sukar diduga. Hujan di hulu dapat menimbulkan genangan di kawasan lebak sehingga pada musim hujan genangan meningkat 1-3 m. Kondisi genangan air tersebut sangat dipengaruhi oleh curah hujan setempat dan wilayah sekitarnya (Ismail et al. 1993).

Jenis tanah di lahan rawa lebak adalah mineral dan gambut (Alihamsyah 2005). Tanah mineral berasal dari endapan sungai dan marin. Tanah ini memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami rendah sampai sedang (Syahhuddin 2011).Kemasaman tanah bervariasi dari sedang sampai tinggi.Tingkat kemasaman tanah di lahan lebak umumnya dipengaruhi jenis tanah, kadar bahan organik dan perbedaan tingkat oksidasi. Lahan rawa lebak jenis mineral yang berasal dari endapan sungai cukup potensial untuk budidaya tanaman pangan.

Upaya pengembangan lahan rawa lebak untuk produksi pangan sangat perlu memperhatikan kemasaman tanah. Syahbuddin (2011) telah melaporkan, bahwa lahan rawa lebak umumnya mengandung hara N- total sedang (0.33%), P tersedia rendah (11.3 ml/100g), K sedang (0.20 ml/100g), dan C organik 10.8 %. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, perlu ada perbaikan kesuburan lahan. Lahan rawa lebak secara umum tingkat kesuburannya rendah dan tingkat kemasaman lahannya tinggi (Alihamsyah. 2005).

Lahan rawa lebakcenderung mempunyai pH tanah masam<5.5. Kemasaman tanah mempengaruhi ketersediaan unsur hara (Haryono et al 2013). Pengelolaan lahan rawa lebak dengan pemberian amelioran, pemupukan dan teknologi budidaya yang tepat serta pengelolaan air, dan pengaturan waktu tanam yang tepat merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya tanaman khususnya kedelai di lahan rawa lebak. Pupuk yang diberikan dalam jumlah yang cukup dapat diberikan secara merata dengan tanah sedalam 15-20 cm. Pupuk sebaiknya ditempatkan pada zona akar kedelai, atau sedikit dibawah benih yang akan ditanam (Effendi dan Gazali 1993).

Penggunaan pupuk hayati sebagai suatu alternatif untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan untuk menjaga kesuburan tanah dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk hayati dan dosis dolomit terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai di lahan rawa lebak bukaan baru dengan Budidaya Jenuh Air (BJA).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan rawa lebak bukaan baru Desa Labuhan Ratu 6, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, pada bulan April 2015 – Juli 2015. Bahan yang dipergunakan yaitu: benih kedelai varietas Tanggamus, pupuk Urea, SP-36, KCl, Dolomit, pupuk hayati, herbisida dengan bahan aktif paraquat, pestisida dan insektisida kimia. Bahan-bahan kimia untuk analisis tanah dan analisis hara di laboratorium. Sedangkan alat-alat yang dipergunakan adalah: bajak sapi, bambu, cangkul, sprayer, tali rafia, mistar, kamera, hand counter, kantong plastik, terpal, timbangan analitis, alat-alat tulis dan alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan analisis hara tanaman.Tahapan penelitian meliputi : persiapan lahan, seed treatment, penanaman, pengaturan air, pemupukan, pemeliharaan tanaman (penyiangan gulma dan pengendalian hama dan penyakit), pengamatan, panen dan pasca panen.Variabel pengamatan meliputi komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Penelitian disusun menggunakan rancangan faktorial dalam rancangan acak kelompok terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor kesatu dosis kapur dolomit yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0, 500, 1000 dan 1500 kg dolomit/ha faktor kedua yaitu pupuk hayati tanpa pupuk hayati (A0) dan pakai pupuk hayati (A1), sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Data yang dikumpulkan dianalisis sidik ragam dengan uji F, apabila terdapat perbedaan yang nyata diuji lanjut dengan uji

Page 151: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

134

DMRT (Duncan Multiple range Test) pada taraf signifikansi 5%. Analisis data mengggunakan program software SAS (Statistical Analysis System) versi 9.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum Penelitian

Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian, diketahui bahwa tanah mempunyai pH-H20 5.6 termasuk agak masam, dengan kandungan C-organik 1.11%, (rendah), N-total 0.12% (rendah), dan KTK tanah (9.69 cmol/kg) tergolong rendah. Kandungan hara P, Ca dan K pada lahan rawa lebak bukaan baru termasuk sedang, kandungan Fe dengan nilai 41 ppm (sangat tinggi) seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah sebelum penelitian di lahan rawa lebak bukaan baru

No Parameter Nilai Kriteria*

1 pH H2O 5.6 agak masam 2 pH KCl 4.7 3 C-organik (%) 1.11 Rendah 4 N total (%) 0.12 Rendah 5 P-tersedia Olsen (ppm) 12.9 Sedang 6 K-tersedia Morgan (ppm) 6.06 sangat

rendah 7 P-potensial (mg P205/100 g) 38.8 Tinggi 8 K- potensial(mg K20/100 g) 15.2 Rendah 9 K-dd (cmol/kg) 0.46 Sedang 10 Al-dd (cmol/kg) 0.06 11 H-dd (cmol/kg) 0.14 Sedang 12 Na-dd (cmol/kg) 0.38 Rendah 13 Mg-dd (cmol/kg) 0.93 Rendah 14 KTK (cmol/kg) 9.69 Rendah 15 Fe (ppm) 41 sangat tinggi

Keterangan : *= Kriteria penilaian hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah Bogor (2015).

Menurut Hardjowigeno (2007) secara umum untuk tanaman palawija berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan secara aktual termasuk kelas S3 (marginally suitable), dengan faktor penghambat kesuburan tanah, lereng dan erodibilitas tanah, namun faktor kesuburan tanah dapat diperbaiki dengan pemupukan, sedangkan erodibilitas tanah dapat diperbaiki misalnya dengan penambahan bahan organik, tetapi cukup sulit sehingga kelas kesesuaian lahan diperkirakan hanya meningkat satu kelas. Berdasarkan hasil analisis tanah awal dan kesesuaian lahan untuk tanaman kedelai, secara potensial tanah ini termasuk kelas S2 (moderately suitable) atau sesuai untuk tanaman kedelai.

Keragaan Pertumbuhan Tanaman Kedelai

Hasil sidik ragam terhadap karakter-karakter agronomi kedelai memperlihatkan respon yang tidak berbeda terhadap tinggi tanaman baik perlakuan pupuk hayati maupun dosis dolomit (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh pupuk hayati dan dosis dolomit terhadap tinggi tanaman

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST Panen

Pupuk hayati Tanpa pupuk hayati 19.78 39.19 66.16 91.00 91.38 87.44 63.35

Pakai pupuk hayati 20.08 39.17 64.64 93.49 93.63 89.94 63.86

uji F tn tn tn tn tn tn tn

Dolomit 0 kg/ha 20.38 38.30 64.92 90.80 91.72 88.05 65.88

500 kg/ha 19.57 40.65 66.12 91.52 93.33 89.02 62.15 1000 kg/ha 19.88 39.08 64.57 91.25 92.98 87.90 65.25 1500 kg/ha 19.87 38.68 66.00 95.42 91.97 89.80 61.14

uji F tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi tn tn tn tn tn tn tn

KK (%) 4.11 3.82 6.11 6.61 3.30 3.46 8.89

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Page 152: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

135

Jumlah Cabang Kedelai

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pupuk hayati berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah cabang kedelai pada 6 MST dan 8 MST (fase vegetatif maksimum) dan berbeda dibandingkan tanpa pupuk hayati. Pada peubah jumlah cabang tidak terdapat perbedaan yang nyata pengaruh pemberian dolomit dan tanpa dolomit seperti ditunjukkan pada (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh pupuk hayati dan dolomit terhadap jumlahcabang

Perlakuan jumlah cabang

4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST Panen

Pupuk hayati Tanpa pupuk 2.7 4.9 a 4.9 a 4.2 3.8 3.7

Pakai pupuk hayati 2.3 4.4 b 4.4 b 4.1 3.9 3.7

uji F tn ** ** tn tn tn

Dolomit (kg/ha) 0 2.4 4.9 4.9 4.1 3.8 3.5

500 2.7 4.8 4.8 4.2 3.8 3.9 1000 2.5 4.5 4.5 4.1 3.9 3.7 1500 2.5 4.5 4.5 4.2 3.9 3.4

uji F tn tn tn tn tn tn

Interaksi tn tn tn tn tn tn

KK (%) 20.82 10.36 9.69 8.12 5.69 10.07

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT

Jumlah Daun

Hasil sidik ragam terhadap peubah jumlah daun menunjukkan terdapat interaksi yang sangat nyata antara perlakuan pupuk hayati dan tanpa pupuk hayati pada jumlah daun 10 MST. Pengaruh dolomit terhadap jumlah daun 2 MST juga berbeda nyata dibandingkan tanpa dolomit. Keragaan pertumbuhan tanaman kedelai pada umur 35 HST di lahan rawa lebak bukaan baru ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Keragaan tanaman kedelai dengan teknologi budidaya jenuh air umur 35 HST pada lahan

rawa lebak bukaan baru.

Karakter morfofisologis tanaman seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat produktivitas, karena dapat mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Laju pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya, bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji (Sutoro et al. 2008). Keterbatasan source sering terjadi pada periode pengisian biji kedelai, tetapi keterbatasan sink terjadi dalam kondisi tanpa cekaman (Egli 2010). Faktor lingkungan yang menentukan keberhasilan produksi kedelai selain faktor tanah adalah faktor iklim. Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai diantaranya: intensitas sinar matahari, suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Kondisi iklim pada lokasi penelitian yaitu intensitas cahaya matahari tergolong tinggi, dengan suhu rata-rata harian 32

0C.Pengaruh interaksi dolomit nyata terhadap peubah jumlah

daun 2 MST dapat di lihat pada (Tabel 4).

Page 153: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

136

Tabel 4.Pengaruh pupuk hayati dan kapur terhadap jumlah daun

Perlakuan Jumlah daun

2 MST 4 MST 6 MST 10 MST 12 MST

Pupuk hayati

Tanpa pupuk hayati 2.9 6.0 7.6 19.1 b 24.4

Pakai pupuk hayati 3.0 6.1 7.9 21.9 a 24.7

uji F tn tn tn ** tn

Dolomit (kg/ha)

0 kg 2.9 b 6.0 7.7 20.7 24.9

500 3.0 a 6.3 7.8 19.9 24.3

1000 3.0 a 5.9 7.6 21.1 24.3

1500 3.0 a 6.1 7.9 20.3 24.8

uji F * tn tn tn tn

Interaksi * tn tn tn tn

KK (%) 0.68 6.81 6.37 9.13 3.67

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

MST : minggu setelah tanam.

Jumlah Polong

Pada peubah jumlah polong pada fase vegetatif maksimum pupuk hayati berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong 8 MST dan dolomit berpengaruh nyata terhadap jumlah polong, akan tetapi interaksi keduanya tidak berbeda nyata terhadap jumlah bunga pada masa vegetatif maksimum ditunjukkan pada (Tabel 5).

Tabel 5.Pengaruh pupuk hayati dan dosis kapur terhadap jumlah bunga dan jumlah polong

Perlakuan Jumlah bunga Jumlah polong

5 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST

pupuk hayati Tanpa pupuk 56.38 116.16 54.43 a 82.13 117.63

Pakaipupuk hayati 58.60 114.13 43.97 b 83.75 122.36

uji F tn tn ** tn tn

Dolomit (kg/ha) 0 58.60 115.98 45.57 b 78.88 121.85

500 57.48 114.37 50.23 a 81.30 120.17

1000 55.98 113.78 49.23 ab 84.65 118.43

1500 57.90 116.43 51.75 a 86.92 119.53

uji F tn tn * tn tn

Interaksi tn tn tn tn tn

KK (%) 5.51 5.04 6.39 21.50 5.15

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT. MST = minggu setelah tanam.

Kadar hara daun

Perlakuan pupuk hayati dan dosis dolomit berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, P dan K daun. Pemberian dolomit meningkatkan kadar hara N, P daun dan berbeda nyata dibandingkan tanpa dolomit. Pengaruh faktor tunggal pupuk hayati terhadap kadar hara daun kedelai pada umur 8 MST terdapat pada kadar hara N dan K daun. Tanpa pupuk hayati kadar hara N daun lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan pakai pupuk hayati, sedangkan untuk kadar hara K pemberian pupuk hayati meningkatkan kadar hara K daun dan berbeda nyata dibandingkan tanpa pupuk hayati (Tabel 6).

Page 154: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

137

Tabel 6. Pengaruh pupuk hayati dan dosis dolomit terhadap kadar hara daun kedelai 8 MST

Perlakuan N (%) P (%) K (%)

pupuk hayati Tanpa pupuk hayati 4.71 a 0.31 1.62 b

Pakai pupuk hayati 4.53 b 0.33 1.91 a

uji F * tn **

Dolomit (kg /ha) 0 4.27 b 0.29 b 1.81

500 4.70 a 0.34 a 1.84

1000 4.74 a 0.33 a 1.69

1500 4.77 a 0.33 a 1.72

uji F ** ** tn

Interaksi * tn tn

KK (%) 3.17 6.99 11.38

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Serapan hara NPK daun

Pengaruh faktor tunggal pupuk hayati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap serapan hara N, dan P daun, akan tetapi berpengaruh nyata terhadap serapan hara K daun tanaman kedelai. Pengaruh faktor tunggal dolomit tidak berpengaruh nyata terhadap serapan hara N, P, dan K daun tanaman kedelai. (Tabel 7).

Tabel 7. Serapan hara N, P, dan K daun kedelai pada perlakuan pupuk hayati dan dosis dolomit

Perlakuan Serapan N

( g/tanaman) Serapan P

(g/tanaman) Serapan K

(g/tanaman)

Hayati

Tanpa pupuk hayati 0.251 a 0.016 a 0.086 b

Pakai pupuk hayati 0.298 a 0.021 a 0.122 a

Uji F tn tn *

Dolomit (kg/ha)

0 0.246 ab 0.016 b 0.100 a

500 0.333 a 0.024 a 0.122 a

1000 0.227 b 0.015 b 0.087 a

1500 0.292 ab 0.020 ab 0.107 a

Uji F tn tn tn

Interaksi * * *

KK (%) 28.26 29.82 30.35

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT

Pemberian dolomit 500 kg/ha memberikan pengaruh nyata terhadap serapan hara P daun

sebesar 0.024 g/tan dibandingkan tanpa dolomit, akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap serapan hara N dan K daun kedelai. Interaksi pupuk hayati dan dolomit memberikan pengaruh nyata terhadap serapan hara N, P dan K daun tanaman kedelai (Tabel 8).

Page 155: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

138

Tabel 8. Pengaruh interaksi pupuk hayati dengan dolomit terhadap serapan hara NPK daun kedelai pada umur 8 MST

Hayati Dolomit (kg/ha)

0 500 1000 1500

Serapan hara N daun (g/tan)

Tanpa hayati 0.302 b 0.221 b 0.234 b 0.247 b Pakai hayati 0.191 b 0.446 a 0.220 b 0.337 ab

Serapan hara P (g/tan)

Tanpa hayati 0.018 b 0.015 b 0.015 b 0.016 b Pakai hayati 0.014 b 0.032 a 0.016 b 0.023 ab

Serapan hara K (g/tan)

Tanpa hayati 0.105 b 0.072 b 0.082 b 0.086 b Pakai hayati 0.095 b 0.172 a 0.093 b 0.128 ab

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Kondisi tanah sebelum penelitian dengan pH 5.6 menyebabkan pemberian dolomit dengan

dosis 500 kg/ha sudah cukup baik untuk pertumbuhan dan meningkatkan serapan hara N, P dan K daun tanaman kedelai.

Komponen hasil

Pengaruh pupuk hayati dan dosis kapur dolomit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap komponen produksi kedelai diantaranya pada peubah jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot 100 butir, akan tetapi pemberian dolomit menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap produktivitas kedelai. Kondisi tanah yang agak sesuai untuk pertumbuhan kedelai secara optimum menyebabkan perlakuan pupuk hayati dan dolomit tidak memberikan pengaruh nyata terhadap beberapa komponen hasil kedelai (Tabel 9).

Tabel 9. Pengaruh pupuk hayati dan dosis kapur terhadap komponen hasil kedelai

Perlakuan Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Bobot 100 butir (g) Produktivitas

(ton/ha)

pupuk hayati Tanpa pupuk 73.59 2.98 10.98 3.54 a

Pakai pupuk 81.22 3.50 11.42 3.10 b

uji F tn tn tn **

Dolomit 0 kg/ha 76.45 3.00 11.10 3.09 c

500 kg/ha 81.27 3.07 11.34 3.28 bc

1000 kg/ha 80.58 3.55 11.34 3.39 ab

1500 kg/ha 71.32 3.33 11.03 3.52 a

uji F tn tn tn **

Interaksi * tn tn tn

KK (%) 12.17 24.55 7.12 5.09

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Pemberian dolomit 1 ton/ha pada lahan rawa lebak bukaan baru mampu menghasilkan

produktivitas kedelai 3.39 ton/ha, sedangkan pemberian kapur 1.5 ton menghasilkan produktivitas 3.52 ton/ha, hal ini berbeda dengan pemberian dolomit di lahan rawa pasang surut. Menurut Noya, (2014) pemberian dolomit 3.85 ton/ha, pada lahan rawa pasang surut memberikan produktivitas kedelai 2.47 ton/ha. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian dolomit pada lahan rawa lebak bukaan baru lebih sedikit dibandingkan pada lahan rawa pasang surut, sehingga input produksi di lahan rawa lebak bukaan baru lebih rendah dibandingkan lahan rawa pasang surut.

Manfaat pengapuran pada tanah-tanah masam selain menaikkan pH yaitu: (1) pengapuran menurunkan konsentrasi Al dan Mn sampai pada tingkat yang tidak meracuni tanaman (2) pengapuran meningkatkan ketersediaan N, P, K, Mg, Ca, B dan Mo (3) semua bahan kapur yang biasa digunakan

Page 156: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

139

untuk pengapuran dapat memasok Ca, sebagai unsur hara esensial tanaman dan juga Mg, terutama dolomit (4) pengapuran meningkatkan aktivitas mikrobial (melalui pertumbuhan akar yang baik) yang dapat meningkatkan ketersediaan hara N dan mengurangi kehilangan gas N dari tanah (5) pengapuran memperbaiki struktur tanah, sebagian karena aktivitas mikrobial, yang lain akibat peningkatan residu tanaman dan pengaruh penurunan konsentrasi H dan peningkatan konsentrasi Ca dan Mg (Munawar 2011). Menurut Toyip (2012) kedelai varietas Tanggamus merupakan genotipe yang lebih responsif terhadap pemberian Ca dan P dibandingkan Anjasmoro sehingga memberikan produktivitas lebih tinggi di lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tersebut bahwa kedelai varietas Tanggamus menunjukkan keragaan pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi pada lahan rawa lebak dangkal dengan teknologi budidaya jenuh air.

Sistem Budidaya Jenuh Air (BJA) dapat menekan oksidasi pirit, kondisi jenuh air di bawah perakaran menyumbang ketersediaan air dan kelarutan hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman tanah (Welly 2013). Menurut Ghulamahdi (2016) menyatakan jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA menghasilkan polong 8-9 kali lebih banyak dibandingkan budidaya kering. Pengaruh tunggal pupuk hayati terhadap jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot 100 butir tidak berbeda nyata akan tetapi produktivitas berbeda nyata. Tanpa pupuk hayati menunjukkan produktivitas nyata dan lebih tinggi dibandingkan pakai pupuk hayati. Hal ini dimungkinkan ketersediaan hara di tanah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal dan mikroba dalam tanah masih cukup banyak tersedia dalam tanah.

Kondisi tanah yang mempunyai kandungan P-tersedia yang sedang dan kandungan P-potensial yang tinggi berperan dalam menunjang produktivitas kedelai. Pemberian dolomit 1500 kg/ha memperoleh produktivitas tertinggi pada lahan rawa lebak bukaan baru dengan produktivitas kedelai 3.52 ton/ha dan tidak berbeda nyata tanpa pemberian pupuk hayati, akan tetapi berbeda nyata di bandingkan tanpa dolomit dengan produktivitas 3.09 ton/ ha. Untuk meningkatkan pH pasang surut dari 4,5 menjadi 5,3 diperlukan kapur sebanyak 2 ton/ha (Badan Litbang Pertanian 2009). Fungsi pemberian dolomit adalah untuk menaikkan pH tanah, menambah unsur-unsur hara Ca dan Mg, menambah ketersediaan unsur-unsur P dan Mo, serta mengurangi keracunan Fe, Mn, dan Al, selain itu juga dapat memperbaiki kehidupan mikroorganisme dan memperbaiki pembentukan bintil-bintil akar.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kedelai tertinggi pada lahan rawa lebak bukaan baru diperoleh pada perlakuan tanpa pupuk hayati (3.54 ton/ha dan dosis dolomit 1.5 ton/ha (3.52 ton/ha) pada pH tanah 5.6, dan p-tersedia sedang dengan nilai 12.9 ppm dan p-potensial tinggi (38.8 P205/100 g) dan berbeda nyata di bandingkan tanpa dolomit (3.09 ton/ha).

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah T. 2005. Pengembangan lahan rawa lebak mitra usaha pertanian. Balittra. Banjarbaru. 53 hal.

Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman umum pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Kedelai. Jakarta: Puslitbangtan, Balitkabi.

Egli DB.2010. Soybean yield physiology: Principles and proceses of yield production. In: The Soybean: Botany, production and uses. Sing G (ed).CAB International.

Ghulamahdi, 2016. Pendekatan ekofisiologi untuk pengelolaan produksi kedelai di lahan pasang surut mendukung swasembada pangan nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. IPB. Bogor, 28 Mei 2016. hal.25.

Haryono M. Noor, H. Syahbudin, Sarwani M. 2013. Lahan rawa penelitian dan pengembangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Kementerian Pertanian. hlm.42-78.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID):Akademika Pressindo.hlm 59-117. Ismail I.G. 1993. Pertanaman kedelai pada lahan kering. Dalam Kedelai Ed.ke-2. Hal. 103-119.

Sadikin Somaadmadja, M.Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O. Manurung, Yuswadi (Penyunting). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Munawar A.2011. Kesuburan tanah dan nutrisi tanaman. IPB Press. hlm.56-94 Noor M dan Fadjry. 2008. Peluang dan kendala pengembangan pertanian pada agroekosistem rawa

lebak: kasus desa Primatani di Kalimantan Selatan. Prosiding lokakarya nasional percepatan penerapan IPTEK dan inovasi teknologi mendukung ketahanan pangan dan

Page 157: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

140

revitalisasi pembangunan pertanian.Jambi 11-12 Desember 2007. BPTP Jambi, Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi Jambi. BBP2TP. Badan Litbang.

Noya, A.I. 2014. Adaptasi kedelai pada lahan sulfat masam dengan teknologi budidaya jenuh air. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.IPB. Bogor.

Soehendi. 2011. PTT Padi rawa lebak. BPTP Sumsel, Palembang. 17 hal. Syahbuddin H.2011. Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim. Balittra, Banjarbaru. 71

Hal. Sutoro, N. Dewi dan M. Setyowati, 2008. Hubungan sifat morfofisiologis tanaman dengan hasil

kedelai. Toyip 2012. Pemupukan fosfor dan kalsium pada budidaya kering dan jenuh air terhadap serapan hara

dan produktivitas beberapa genotipe kedelai. Tesis Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Welly HD.2013. Pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam (Glycine

max (L.) Merr) dengan system budidaya jenuh air di lahan pasang surut. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Page 158: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

141

PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP MUTU FISIK BERAS PADA BEBERAPA TIPE RMU DI BONE BOLANGO

EFFECT GRAIN MOISTURE CONTENT OF QUALITY MILLED RICE IN BONE BOLANGO

Muhammad Yusuf Antu1, Hatta Muhammad

1 dan Taufik Rahman

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Muh. Van Gobel No.270 Iloheluma Kec. Tilong Kabila, Kab. Bone Bolango, Gorontalo 96183

Email : [email protected]

ABSTRAK

Beras dengan mutu giling baik menjadi prospek ekonomi bagi petani masa kini, karena harganya lebih tinggi dari beras dengan mutu giling biasa. Oleh karena itu perlu kajian mengenai kondisi eksisting mutu fisik beras giling di Bone Bolango. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui pengaruh kadar air gabah terhadap mutu beras giling di beberapa Rice Milling Unit (RMU) di Kabupaten Bone Bolango. Kajian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2015, bahan yang digunakan adalah gabah varietas Ciherang, IR64, Mekongga dan Inpari 30. Alat yang digunakan meliputi timbangan digital, moisture tester, dan RMU. Kajian dilaksanakan dengan cara survey menggunakan kuesioner terhadap 28 responden yaitu pemilik atau teknisi RMU, dan diikuti pengambilan sampel beras masing-masing sebanyak 100 gram pada setiap RMU yang diulang sebanyak dua kali untuk penentuan mutu fisik. Mutu fisik yang dianalisis meliputi beras utuh, beras kepala, beras patah, menir, beras hijau, beras kuning, beras kotor, beras rusak. Mutu dianalisis di laboratorium, dan hasilnya ditabulasi dalam bentuk rata-rata menggunakan perangkat lunak Excel, dan hasil survey dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kadar air dapat berpengaruh sebagai penentu mutu beras giling pada setiap RMU. Rata-rata kadar air gabah giling berkisar antara 10,7% – 10,91%. Tipe RMU dua fase memberikan hasil mutu fisik beras rata-rata berada pada kelas mutu V sesuai SNI (6128-2008) dengan beras kepala rata-rata 67.7% dan menir 14.3% serta butir patah 13,2%.

Kata kunci : Beras, mutu fisik, rice milling unit, kadar air

ABSTRACT

Good quality milled rice into the economic prospects for farmers todaybecause the price is more expensive than regular milled rice quality. Therefore it is necessary to study on the existing condition of the quality of milled rice in Bone Bolango. The purpose of the assessment is to determine the effect grain moisture content of the quality of milled rice in some Rice Milling Unit (RMU) in Bone Bolango. Studies conducted in the months of April to May 2015, The material are grain Ciherang, IR 64, Mekongga and Inpari 30. Tools used include digital scales moisture tester, and RMU. Studies carried out by means of a survey using a questionnaire to 28 respondents, the owner or technician RMU, and followed by retrieval of rice each as much as 100 grams in each RMU that is repeated twice to determine the physical quality. The Physical quality analyzed include whole rice, head rice, broken rice, brewers, green rice, yellow rice, and dirty rice. The physical quality of laboratory analyses, and the data obtained were tabulated in average shape using Excel software, and the survey results were analyzed descriptively. The results showed that the water content can be influential as a determinant of the quality of milled rice on each RMU. The average moisture content of milled rice ranged between 10.7% - 10.91%. RMU type of two-phase results of physical quality of rice on average is in accordance with SNI quality class V (6128-2008) with an average head rice and groats 67.7% 14.3% and 13.2% broken grains.

Keywords: Rice, quality, rice milling unit, moisture content

Page 159: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

142

PENDAHULUAN

Beras merupakan kebutuhan pokok sehari-hari yang sulit tergantikan dengan bahan pangan pokok lainnya seperti umbi-umbian dan sereal. Apapun bentuknya beras, konsumen tetap menginginkannya. Perubahan preferensi konsumen dari sekedar pemenuhan rasa lapar saat ini telah mengalami pergeseran kearah mutu. Salah satunya konsumen menginginkan beras berpenampilan baik yang dikenal dengan beras kepala atau beras premium, yang memiliki harga jauh lebih tinggi dari harga beras biasa. Prospek pasar akan beras bermutu sudah mengalami peningkatan, sehingga menuntut pengelola gilingan (RMU) dan petani untuk memperbaikinya.

Mutu giling beras yang baik sesuai dengan SNI (6128-2008) adalah komponen beras kepalanya 95% - 100% dan beras patah serta menirnya masing-masing 5% dan 0%. Namun terkadang ditingkat lapangan mutu beras belum mencapai standar mutu yang diinginkan. Beras masih banyak yang patah-patah dan juga perolehan menirnya besar. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : faktor varietas, teknik budidaya, agroekosistem, dan penanganan pascapanen (Suismono 2005; Hasbullah, 2009). Khusus untuk penanganan pascapanen, pengaruh kadar air sangat menentukan mutu penggilingan, dimana pada saat tahapan pemanenan dan pengeringan yang kurang tepat.

Secara spesifik kadar air gabah sistem penggilingan sangat mempengaruhi mutu beras yang dihasilkan karena rendahnya kadar air akan membuat beras patah dan banyak yang menjadi menir. Sedangkan gabah dengan kadar air tinggi akan berakibat pada pembusukan, karena menjadi tempat atau peluang berkembangnya mikroba, dimana beras masih mengandung aleuron dan pericarp. Selain itu kadar air yang tinggi akan didapatkan beras kepala yang optimal, namun berpeluang cepat rusak karena masih mengandung aleuron dan pericarp. Menurut Suismono et al (2005) kadar air optimal untuk gabah yang siap giling berkisar antara 12% - 14%, hal ini dapat meningkatkan rendemen dan mutu beras.

Berdasarkan hal tersebut perlu adanya kajian kualitas beras dibeberapa RMU yang ada di Bone Bolango, sehingga akan didapat infomasi terkait mutu fisik beras yang dihasilkan. Oleh karena itu tujuan kajian adalah untuk mengetahui pengaruh kadar air gabah terhadap mutu fisik beras giling.

METODOLOGI

Kajian dilaksanakan pada bulan Mei 2015 di 28 penggilingan padi RMU di Kab. Bone Bolango, dan dilanjutkan dengan pengambilan data mutu fisik beras di Laboratorium BPSB Provinsi Gorontalo. Bahan yang digunakan adalah gabah dari beberapa varietas milik petani yang meliputi varietas Ciherang, IR64, Mekongga, dan Inpari 30. Alat-alat yang digunakan dalam kajian adalah mesin penggiling padi, Grain Moisture Tester, dan timbangan analitik. Metode yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data melalui wawancara dengan pemilik atau teknisi RMU. Untuk pengambilan data mutu fisik beras di ambil contoh setiap beras sebesar 100 gram yang diulang sebanyak dua kali. Sebelumnya diukur kadar air gabah saat akan digiling, dan selanjutnya beras hasil penggilingan dipisahkan untuk mendapatkan kelas mutu sesuai SNI (6128-2008) yang meliputi persentase beras kepala, beras patah, menir, butir merah, butir kuning-rusak, dan butir mengapur. Mutu fisik dianalisis di laboratorium, dan data yang didapatkan ditabulasi dalam bentuk rata-rata menggunakan perangkat lunak Excel, serta hasil survey dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik RMU di Bone Bolango

Penggilingan padi di Bone Bolango didominasi oleh penggilingan padi tipe dua fase, dimana pengupas dan penyosohnya berada dalam kondisi terpisah. Tipe ini dapat dilihat pada peresentase karakteristik RMU Tabel 1. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa gilingan padi dua fase memberikan hasil rendemen sebesar 65%, dibanding dengan gilingan padi satu fase adalah sebesar 63,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian Jumali dan Wardana (2012) bahwa gilingan padi dua fase lebih unggul dari tipe satu fase karena konfigurasi mesinnya. Selain itu menurut Listyawati (2007) rendemen beras dengan persentase yang tinggi dipengaruhi oleh kadar air gabah sebelum penggilingan, dimana kadar air yang optimal adalah 14%, karena apabila kadar air gabah lebih tinggi atau kurang akan menyebabkan penurunan mutu. Kekerasan butiran gabah akan berbeda-beda jika pada kondisi kadar air demikian. Jika dihubungkan dengan kadar air pada kedua tipe penggilingan masing-masing dengan kadar air gabah sebelum penggilingan sangat rendah. Hal ini dapat dibuktikan

Page 160: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

143

dengan ketebalan gabah selama pengeringan yakni sebesar 1 – 1,5 cm. Ketebalan pengeringan tersebut di duga yang menjadi penyebab rendahnya kadar air, sehingga gabah menjadi sangat kering. Menurut Wibowo et al (2009), ketebalan penjemuran (<3 cm) akan mempercepat pengeringan dan mengakibatkan butir rusak.

Tabel 1. Karakteristik RMU di Bone Bolango

Karakteristik RMU Tipe RMU

Satu Fase Dua Fase

Jumlah (%) 28,5 71 kadar air (%) 10,4 – 11 10,2 – 12,5 Varietas yang di Giling Ciherang, Mekongga, Pandan

wangi Ciherang, IR64, Mekongga,

Inpari 30 Ketebalan Pengeringan (cm) 1,9 2,3 Lama Beroperasi (Tahun) 12,8 16,6 Pengalaman Teknisi (Tahun) 4,6 4,7 Rendemen (%) 63,6 65,0 Kapasitas Lantai Jemur (Ton) 10,5 9,7 Tenaga Kerja Penjemuran (Orang) 2,2 2,3 Tenaga Kerja Penggilingan (Orang) 5,6 6,2

Sumber : Data Primer (2015)

Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya rendemen adalah pengaruh operasional mesin

hingga mencapai 12 – 16 tahun, dan disertai teknisi yang kurang terlatih hanya mengandalkan pengalaman, tanpa adanya pengalaman pelatihan. Sehingga untuk menentukan kadar air giling hanya dengan perkiraan tanpa menggunakan alat tertentu atau pengukur kadar air, kondisi ini sama halnya dengan menyetel konfigurasi mesin. Menurut Kobarsih et al (2012), peralatan yang memadai dan teknisi yang terlatih akan memberikan dampak baik terhadap mutu beras, hal ini menghasilkan beras kepala yang tinggi sebesar 72,95%, dibanding dengan peralatan yang tidak terawat dan teknisi kurang terlatih memberikan hasil beras kepala sebesar 38,86% - 67,93%.

Penampilan Mutu Fisik Beras

Hasil uji mutu fisik beras dari berbagai varietas pada 28 RMU di Bone Bolango, didapatkan bahwa mutu fisik beras yang dihasilkan utamanya beras kepala berada pada kelas mutu V sebesar 67,7% sesuai SNI 6128-2008 pada tipe penggilingan dua fase (Tabel 2). Rendahnya persentase beras kepala diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : a). kadar air terlalu rendah seiring dengan lamanya pengeringan, b) konfigurasi mesin, 3) proses budidaya dan varietas. Menurut Hasbullah (2007) rendahnya mutu beras dipengaruhi oleh tipe konfigurasi mesin, dimana tipe single phase dapat menghasilkan beras kepala yang lebih tinggi dibanding dengan tipe double phase. Hal ini sesuai dengan hasil kajian bahwa tipe penggilingan padi dua fase lebih memperlihatkan keunggulan mutu fisik beras daripada penggilingan padi satu fase. Sementara Ahmad et al (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggilingan padi yang lebih instens dapat mempengaruhi kualitas beras yakni rendahnya beras kepala, dan tingginya produk beras pecah atau patah.

Selain beras kepala, mutu fisik beras patah yang dihasilkan adalah sebesar 13,2 – 14,9%, ini artinya beras tersebut berada pada kelas mutu III (Lampiran 1), hal yang sama pada mutu fisik beras kuning yaitu sebesar 0,2 – 0,24%. Beras patah secara eksisting masih sesuai dengan kelas mutu III sesuai SNI dengan persentase yang rendah. Rendahnya persentase beras patah diduga disebabkan bentuk beras. Mutu beras patah dipengaruhi oleh bentuk beras dengan ukuran bulat dan liat adalah beras yang pecah atau sulit patah, sedangkan untuk beras yang panjang dan ramping dapat mudah patah (Iswari, 2012; Dong et al, 2010). Hal ini sesuai dengan beras yang digiling secara eksisting didominasi oleh beras Ciherang, IR64, Mekongga, dan Inpari 30, beras tersebut memiliki ukuran dengan butiran yang panjang dan ramping. Namun secara spesifik bahwa keempat varietas tersebut yang menunjukkan mutu fisik yang baik diatas rata-rata adalah varietas mekongga pada penggilingan padi tipe dua fase (Tabel 3).

Page 161: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

144

Tabel 2. Mutu beras eksisting pada beberapa tipe RMU di Bone Bolango

Komponen Mutu Tingkat Mutu

Satu Fase Dua Fase Mutu IV

SNI Mutu V SNI

Beras Kepala (%,min) 62,2 67,7 73 60

Beras Patah (%,max) 14,9 13,2 25 35

Menir (%,min) 17,8 14,3 2 5

Kotoran (%,max) 0,01 0,0 0,05 0,2

Beras Rusak (%,min) 1,91 1,1 3 5

Butir Kapur (%,min) 3,28 3,6 3 5

Butir Merah (%,min) 0,15 0,0 3 3

Butir Kuning (%,min) 0,24 0,2 3 5

Sumber : Data Primer (2015)

Tabel 3. Mutu fisik beras pada beberapa varietas eksisting

Komponen Mutu

Mutu Fisik Beras Eksisting

Ciherang Mekongga IR64 Inpari 30

Satu Fase Dua Fase Satu Fase Dua Fase Satu Fase Dua Fase

Satu Fase

Dua Fase

Beras Kepala 61,8 67,5 67,5 76,0 57,5 65,0 46,1 61,7

Beras Patah 16,5 14,1 10,3 5,0 13,4 10,0 16,7 13,7

Menir 16,6 13,5 16,9 17,5 23,7 15,0 34,5 18,8

Kotoran 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Beras Rusak 2,5 1,2 0,6 1,7 1,6 0,8 0,1 0,6

Butir Kapur 2,8 3,6 3,4 4,6 3,8 3,9 3,5 5,1

Butir Hijau 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Butir Merah 0,1 0,2 0,0 0,1 0,1 0,0 0,5 0,0

Butir Kuning 0,2 0,2 0,0 0,0 1,6 0,1 0,1 0,0

Sumber : Data Primer (2015)

Menurut Jumali dan Wardana (2011), beras patah dipengaruhi oleh konfigurasi mesin, karena adanya konfigurasi mesin satu fase. Namun mutu eksisting pada kajian ini kelas mutunya berbeda dengan beras kepala yang ada pada SNI (6128-2008), dimana beras kepala lebih berkorelasi dengan perolehan beras menir. Nilai beras menir melewati kelas mutu yaitu sebesar 14,3 - 17,8% (Tabel 2). Besarnya nilai mutu beras menir disebabkan oleh kadar air yang sangat rendah. Menurut Setyono (2008), semakin rendah kadar air maka persentase beras menir semakin tinggi, hal ini disebabkan oleh gabah yang terlalu kering sehingga ketika masuk dalam penggilingan akan mudah retak ujung setiap gabah. Keretakan butiran gabah disebabkan oleh gabah bersifat higroskopis yang dapat menyerap air dari udara bila dipindahkan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya yang berbeda suhu dan kelembabannya. Menurut Jun et al (2016), seiring dengan peningkatan suhu pengeringan, maka bentuk gabah baik panjang dan lebarnya dapat mempengaruhi penurunan difusivitas kelembaban yang mengakibatkan fisura atau keretakan. Oleh karena itu fenomena tersebut dapat dipercepat oleh pengkondisian gabah setelah pengeringan selesai. Sehingga perlu untuk mengkondisikan gabah setelah dikeringkan pada kondisi suhu ruangan sampai 35

oC yang memadai yang disebut dengan tempering.

Nilai mutu lainnya seperti beras berkapur, dan beras kotor, kuning dan merah masih rendah, akan tetapi untuk beras berkapur dapat dikatakan tinggi yakni sebesar 3,28 – 3,6% pada kelas mutu V (Tabel 2). Tingginya kapur pada beras diduga disebabkan oleh proses budidaya dan kesalahan pascapanen. Menurut Wibowo et al (2007), tinggi rendahnya butir mengapur disebabkan oleh kualitas gabah saat pemrosesan, yaitu gabah dipanen belum masak optimum dan terfermentasinya gabah akibat penundaan pengeringan.

Page 162: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

145

Pengaruh Kadar Air Terhadap Mutu Fisik Beras

Kadar air merupakan penentu mutu beras sehingga diharapkan dalam penentuannya, dapat dilakukan dengan cermat. Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kadar air pada setiap gilingan dengan kisaran antara 10% - 12,5%, dimana semakin tinggi nilai kadar air gabah atau berada pada kadar air optimal maka persentase beras kepala semakin tinggi. Sedangkan pada Gambar 2 dan 3 masing-masing menunjukkan peningkatan persentase beras patah dan beras menir seiring dengan tingginya nilai kadar air gabah. Namun untuk beras patah menunjukkan sedikit kestabilan pada posisi kadar air optimal, dibanding dengan perolehan mutu beras menir. Hal ini jika dikaitkan dengan Tabel 2 bahwa persentase mutu beras yang paling tinggi adalah beras menir dibanding dengan beras patah, karena pada kadar air gabah yang terlalu rendah perolehan beras menir lebih besar daripada beras patah. Besarnya persentase beras menir diduga disebabkan terlalu rendahnya kadar air, ditambah dengan kenaikan suhu saat penyosohan yang mengakibatkan keretakan beras. Menurut Soerjandoko (2010) saat penyosohan akan diperoleh beras menir yang banyak sebagai akumulasi sisa-sisa beras patah akibat rendahnya kadar air. Selain itu rendahnya kadar air yang dapat menurunkan elatisitas dan tekstur gabah, sehingga menjadi lebih keras dan mudah patah Listyawati (2007). Menurut Siagian et al (2012) persentase kadar air 9 – 12% dapat mengakibatkan peningkatan beras patah. Sedangkan kondisi kadar air pada pada posisi 12 – 14% merupakan nilai optimum kadar air gabah yang digiling dengan kehancuran beras patah dan menir minimal Budijanto et al (2011).

Gambar 1. Pengaruh kadar air terhadap mutu beras kepala

Gambar 2. Pengaruh kadar air terhadap mutu beras patah

Page 163: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

146

Gambar 3. Pengaruh kadar air terhadap mutu beras menir

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil kajian menunjukkan bahwa kadar air gabah dapat mempengaruhi mutu fisik beras giling pada setiap RMU. Tinggi rendahnya kadar air dipengaruhi oleh proses pengeringan baik ketebalan pengeringan dan lamanya pengeringan serta pengalaman teknisi dan ketersediaan alat pengukur kadar air. Rata-rata kadar air gabah giling berkisar antara 10,7% – 10,91%. Tipe RMU dua fase memberikan hasil mutu fisik beras rata-rata berada pada kelas mutu V sesuai SNI (6128-2008) dengan beras kepala rata-rata 67.7% dan menir 14.3% serta butir patah 13,2%.

Harapan untuk mendapatkan beras dengan mutu fisik yang baik perlu dilakukan dengan beberapa strategi yaitu dengan melakukan perbaikan atau penguatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola RMU atau teknisi khususnya penyetelan RMU dan cara pengeringan gabah, dan revitalisasi mesin yang sudah tidak layak secara ekonomis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada saudara Hasyim Dj. Moko dan Moh. Rijal Lahmudin yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian baik di setiap RMU dan Laboratorium. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala BPSB Provinsi Gorontalo yang telah memfasilitasi laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., Alfaro, K., Awudzi, Y.M., Kyereh E., Dzandu, B., Bonilla, F., Chouljenko, A., Sathivel, S. 2017. Influence of milling intensity and storage temperature on the quality of Catahoula rice (Oryza sativa L.). LWT - Food Science and Technology 75 : 386 – 392.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI) Beras 6128-2008. Budijanto, S., Sitanggang, A.B. 2011. Produktivitas dan proses penggilingan padi terkait dengan

pengendalian faktor mutu berasnya. Jurnal Pangan 20 (2) : 141-152. Dong, R., Lu, Z., Liu, Z., Koide, S., Cao, W. 2010. Effect of drying and tempering on rice fissuring

analysed by integrating intra-kernel moisture distribution. Journal of Food Engineering 97 : 161–167.

Hasbullah, R. 2007. Gerakan nasional penekanan susut pascapanen suatu upaya menanggulangi krisis. Agrimedia (12) : 21 – 30.

Hasbullah, R., Dewi, R.A. 2009. Kajian pengaruh konfigurasi mesin penggilingan terhadap rendemen dan susut giling beberapa varietas padi. Jurnal Keteknikan Pertanian 23 (2): 119 - 124.

Iswari, K. 2012. Kesiapan teknologi panen dan pasca panen padi dalam menekan kehilangan jasil dan meningkatkan mutu.Jurnal Litbang Pertanian, 31 (2): 59 - 67.

Jumali., Wardana I.P. 2011. Perbedaan teknik penggilingan padi terhadap karakteristik mutu beras (Studi Kasus Di Provinsi Jawa Timur). ProsidingSeminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional hlm 1275- 1286.

Page 164: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

147

Jun L.X., Xin W., Yang, L., Ping, J., Hui, L. 2016. Changes in moisture effective diffusivity and glass transition temperature of paddy during drying. Journal Computers and Electronics in Agriculture 128 : 112 – 119.

Listyawati. 2007. Kajian susut pascapanen dan pengaruh kadar air gabah terhadap mutu beras giling varietas ciherang. [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian IPB hlm 1 - 56.

Kobarsih, M., Nugroho, S., Sulasmi. 2011. Studi kelayakan usahatani penggilingan padi di kabupaten Sleman. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. ProsidingSeminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional hlm 1499- 1508.

Setyono, A., Kusbiantoro, B., Jumali., Wibowo, P., Guswara, A. 2008. Evaluasi mutu beras dibeberapa wilayah sentra produksi. Prosiding Seminar Nasioanl Padi hlm 1429 - 1448.

Soerjandoko, R.N.E. 2010. Teknik pengujian mutu beras berskala laboratorium. Buletin Teknik Pertanian 15 (2): 44-47.

Siagian, I.C., Girsang, S.S., Nurmalia. 2011. Pengujian mutu beras skala laboratorium berdasarkan SNI 6128-2008 pada padi sawah irigasi intensif di kabupaten Langkat. ProsidingSeminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasionalhlm 1533-1540.

Suismono., Sudaryono., Safaruddin L., Munarso, S.J. 2005. Kajian Pengembangan Agribisnis Perberasan Melalui Penerapan Sistem Manajemen Mutu. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanianhlm 1217 - 1229.

Wibowo, P., Indrasari, S.D. Handoko, D.D. 2007. Preferensi konsumen terhadap karakteristik beras dan kesesuaiannya degan standar mutu beras di Jawa Tengah. Apresiasi hasil penelitian padi hlm 821 – 833.

Wibowo, P., Indrasari, S.D., Jumali. 2009. Identifikasi karakteristik dan mutu beras di Jawa Barat. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28 (1): 43 – 49.

Lampiran 1. Tabel standar mutu beras sesuai SNI (6128-2008)

Komponen Mutu Tingkat Mutu

I II III IV V

Derajat sosoh (%,min) 100 100 100 95 85

Kadar Air (%, max) 14 14 14 14 15

Beras kepala (%,min) 100 95 84 73 60

Beras utuh (%,min) 60 50 40 35 35

Butir patah (%,max) 0 5 15 25 35

Butir menir (%,min) 0 0 1 2 5

Butir merah (%,min) 0 0 1 3 3

Butir kuning /rusak (%,min) 0 0 1 3 5

Butir mengapur (%,min) 0 0 1 3 5

Benda asing (%,max) 0,02 0,05 0,2

Butir gabah(btr/100g,max) 0 0 1 2 3

Campuran varietas lain (%, max) 5 5 5 10 10

Sumber : BSN (2008)

Page 165: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

148

TINGKAT KETAHANAN PLASMA NUTFAH UBI JALAR LOKAL ASAL BENGKULU TERHADAP HAMA LANAS (CYLAS FORMICARIUS)

RESISTANCE LEVEL LOCAL SWEET POTATO GENETIC RESOURCES FROM BENGKULU PROVINCE AGAINST SWEET POTATO WEEVIL (CYLAS FORMICARIUS)

Hertina Artanti dan Miswarti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jalan Irian km. 6,5 Kelurahan Semarang Bengkulu 38119

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Hama lanas (Cylas formicarius) merupakan hama utama pada tanaman ubi jalar. Hama ini dapat menurunkan hasil antara 10-80% tergantung dari lokasi dan musim terutama pada tanaman yang ditanam di lahan kering. Upaya yang dianggap efektif dalam pengendalian hama ini yaitu penggunaan varietas tahan, namun sejauh ini varietas tahan yang tersedia masih sangat terbatas. Sumber gen diperlukan dalam perakitan varietas unggul berproduktivitas tinggi dan tahan hama melalui pemuliaan tanaman. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat ketahanan plasma nutfah ubi jalar lokal Bengkulu terhadap serangan hama lanas. Penelitian dilakukan pada bulan April - September 2015 di lahan penelitian BPTP Bengkulu. Pada penelitian ini diamati sebanyak 14 Genotipe Ubi Jalar (GUJ) lokal yang diulang sebanyak 3 kali. Umbi yang dihasilkan pada setiap genotip dihitung persentase jumlah umbi terserang dan tingkat ketahanan umbi terserang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketahanan genotipe ubi jalar lokal yaitu GUJ 1, GUJ 4, GUJ 5, GUJ 7, GUJ 14 termasuk tahan; genotipe GUJ 3, GUJ 6, GUJ 8, GUJ 9 termasuk agak tahan dan genotipe GUJ 2, GUJ 11, GUJ 12, GUJ 13 termasuk agak peka.

Kata kunci : Cylas formicarius, ketahanan, ubi jalar

ABSTRACT

Cylas formicarius is a major pest on sweet potato plant. These pests can reduce the yield between 10-80% depending on location and season, especially in plants grown on dry land. Efforts are considered effective in controlling this pest is using resistant varieties, but so far resistant varieties available are still very limited. Source of genes needed superior varieties the high productivity and resistant through plant breeding. The purpose this research is to determine the level resistance local sweet potato genetic resources from Bengkulu against attacked by Cylas formicarius. This research was conducted in April until September 2015 in BPTP Bengkulu field of research. In this research was observed by 14 local sweet potato genotypes were repeated 3 times. Tuber is produced on each genotype counted the number oftubers, observed tuber flesh color and counted the percentage tubers attacked with separating broken tubers with healthy tubers and see the score resistance reaction of tuber from Cylas formicarius attack andseverity of tubers affected. The results show that level endurance of genotype GUJ 1, GUJ 4, GUJ 5, GUJ 7, GUJ 14 have resistant; genotipe GUJ 3, GUJ 6, GUJ 8, GUJ 9 were moderately resistant and genotype GUJ 2, GUJ 11, GUJ 12, GUJ 13 were a bit sensitive.

Keyword : Cylas formicarius, endurance, sweet potato

PENDAHULUAN

Hama lanas (Cylas formicarius) merupakan hama utama pada tanaman ubi jalar, terutama pada tanaman yang ditanam di lahan kering. Hama lanas dapat menurunkan hasil antara 10-80% tergantung dari lokasi dan musim (Widodo et al. 1994). Hama lanas dapat merusak umbi pada masa pertanaman dan pada umbi yang telah disimpan di dalam gudang (Kalshoven, 1981).

Pada umumnya, larva, pupa, dan imago hama lanas tinggal di dalam umbi. Hama merusak umbi dengan cara serangga betina dewasa meletakkan telur pada umbi. Telur yang menetas akan langsung menggerek menuju umbi sehingga populasi hama lanas tetap berkembang di dalam umbi (Nonci, 2005). Kumbang dewasa makan, bertelur, dan berlindung pada akar, batang, dan umbi. Kumbang menyerang epidemis akar atau batang dan permukaan luar umbi dengan cara membuat lubang gerekan. Larva juga menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara yang sama, tetapi sisa gerekan ditumpuk di sekitar lubang gerekan dengan bau yang khas. Umbi yang rusak menghasilkan

Page 166: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

149

senyawa terpenoid sehingga terasa pahit, dan tidak dapat dikonsumsi walaupun kerusakannya rendah (Jansson et al., 1987).

Ketahanan klon memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya populasi hama lanas. Jika hama lanas hidup pada klon yang tahan akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan hama seperti kematian larva cukup tinggi, pertumbuhan terhambat, ukuran dan berat badan berkurang serta menghasilkan keturunan lebih sedikit. Hal ini dikarenakan jumlah dan mutu makanan yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan hidup hama sehingga memperlambat pertumbuhan dan perkembangan (Zuraida et al, 2005).

Kebanyakan varietas unggul komersial yang tersedia memiliki tingkat ketahanan antara agak tahan sampai agak peka. Kesulitan memperoleh varietas unggul tahan hama lanas diantaranya kurang tersedianya plasma nutfah sebagai sumber genetik ketahanan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menghasilkan varietas unggul melalui seleksi plasma nutfah lokal yang tersedia. Plasma nutfah yang memiliki keunggulan dalam produksi, daya adaptasi, kandungan gizi, dan tahan terhadap hama lanas. Pengendalian hama lanas masih kurang efektif karena kerusakan terbesar disebabkan oleh stadia larva hama yang terdapat dalam umbi di dalam tanah sehingga sulit untuk dikendalikan (Mau et al., 2011).

Upaya yang dianggap efektif adalah penggunaan varietas tahan, perakitan varietas unggul berproduktivitas tinggi dan tahan hama melalui pemuliaan tanaman memerlukan sumber genetik (Allard, 1960). Zuraida et al., (2005) menyatakan bahwa sumber genetik terdapat dalam plasma nutfah tanaman. Plasma nutfah merupakan kumpulan genotipe yang mengandung gen – gen yang dibutuhkan dalam perakitan suatu varietas tanaman, antara lain gen ketahanan terhadap hama. Untuk memperoleh sumber ketahanan terhadap hama diperlukan evaluasi ketahanan plasma nutfah tersebut, seperti evaluasi ketahanan plasma nutfah ubi jalar terhadap hama lanas.

Plasma nutfah merupakan sumber gen yang bermanfaat dalam mendukung program pemuliaan tanaman dalam rangka meningkatkan kualitas tanaman. Informasi mengenai sifat ketahanan ubi jalar terhadap hama lanas, belum banyak tersedia. Penelitian bertujuan mengevaluasi ketahanan plasma nutfah perlu ubi jalar lokal Bengkulu sehingga diperoleh tingkat ketahanan plasma nutfah terhadap hama lanas.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di lahan penelitian BPTP Bengkulu pada bulan April - September 2015. Penelitian dilakukan pada 14 Genotipe Ubi Jalar (GUJ) dengan tiga ulangan. Stek tanaman ubi jalar berasal dari lahan petani dan ditanam pada pot dengan diameter 60 cm. Umbi yang dijadikan bahan pengamatan memiliki karakteristik morfologi seperti pada Tabel 1. Morfologi umbi ubi jalar yang disajikan meliputi warna kulit, warna daging, dan ketebalan kulit umbi.

Tabel 1. Karakter morfologi 14 genotipe ubi jalar lokal Bengkulu

No Genotip Warna kulit

Umbi Warna

daging umbi Tebal kulit umbi

1 GUJ 1 ungu merah Krem sangat tipis

2 GUJ 2 ungu merah kuning pucat sangat tipis

3 GUJ 3 ungu tua kuning pucat sangat tipis 4 GUJ 4 Krem kuning pucat sangat tipis 5 GUJ 5 Krem jingga sedang sangat tipis 6 GUJ 6 Krem Krem sangat tipis 7 GUJ 7 Krem jingga pucat sangat tipis 8 GUJ 8 ungu merah jingga tua sangat tipis 9 GUJ 9 Krem Putih sangat tipis

10 GUJ 10 Krem Putih sangat tipis 11 GUJ 11 merah jambu jingga tua sangat tipis 12 GUJ 12 Kuning jingga sedang sangat tipis 13 GUJ 13 Kuning kuning pucat sangat tipis 14 GUJ 14 Krem Putih sangat tipis

Sumber : Data primer (2015)

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan intensitas serangan dan tingkat ketahanan umbi terserang. Intensitas umbi terserang dihitung dengan cara memisahkan umbi terserang dengan umbi sehat, selanjutnya persentase umbi terserang dihitung dengan rumus

Page 167: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

150

I = (a/b) x 100%

Keterangan : I : intensitas serangan; a : jumlah umbi yang terserang; b : jumlah keseluruhan umbi (umbi sehat dan umbi terserang) pada masing-masingunit sampel.

Pengamatan tingkat ketahanan umbi yang pertama kali dilakukan yaitu membelah umbi secara hati-hati pada luasan permukaan terbesar, kemudian luas kerusakan permukaan umbi terserang secara visual diperkirakan persentase luasan permukaan belahan umbi yang rusak dan diulang sebanyak tiga kali. Penentuan skor luas kerusakan permukaan umbi terdapat pada (Tabel 2).

Tabel 2.Penilaian luas kerusakan permukaan daging umbi akibat hama lanas

Skor Luas Kerusakan

Permukaan Umbi

1

2

3

4

5

<1%

1 – 25%

26 – 50%

51 – 75%

76 – 100%

Sumber: Mau et al., (2011)

Selanjutnya, untuk menentukan tingkat ketahanan genotipe ubi jalar terhadap serangan hama lanas ditentukan berdasarkan rata-rata skor luas kerusakan permukaan umbi terserang. Kriteria tingkat ketahanan genotipe ubi jalar disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3.Penilaian tingkat ketahanan umbi terhadap serangan hama lanas

Skor Rerata Skor Tingkat Ketahanan

1

2

3

4

1-<1,5%

1,5 – <2,5%

2,5 – <3,5%

3,5 – 5,0%

Tahan

Agak Tahan

Agak Peka

Peka

Sumber: Mau et al., (2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas Serangan Hama Lanas Pada Umbi Ubi Jalar

Intensitas serangan hama lanas pada 14 genotipe berkisar antara 0-75% (Tabel 4). Terdapat 3 genotipe ubi jalar yang tidak terdapat tanda serangan hama lanas yaitu genotipe GUJ 1, GUJ 4 dan GUJ 14, sedangkan intensitas serangan tertinggi terdapat pada genotipe ubi jalar GUJ 11 sebesar 75%.

Tabel 4. Intensitas serangan hama lanas pada 14 genotip ubi jalar

Genotip Jumlah Umbi Terserang Jumlah Umbi Yang Diamati Intensitas Serangan (%)

GUJ 1 0 15 0

GUJ 2 13 23 56,52

GUJ 3 11 32 34,37

GUJ 4 0 18 0

GUJ 5 2 14 14,28

GUJ 6 8 29 27,58

GUJ 7 4 24 16,67

GUJ 8 4 20 20

GUJ 9 4 20 20

GUJ 10 8 18 44,44

GUJ 11 18 24 75

Page 168: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

151

GUJ 12 9 19 47,37

GUJ 13 17 31 54,83

GUJ 14 0 18 0

Sumber : Data primer (2015)

Pada saat penelitian berlangsung tepat pada saat musim kemarau sehingga hal ini dimungkinkan memberikan pengaruh terhadap besarnya intensitas serangan hama lanas yang berkisar antara 0-75%. Nonci dan Sriwidodo (1993) melaporkan bahwa di kebun percobaan Bontobili Sulawesi Selatan, persentase umbi rusak oleh C. formicarius adalah 62,41%, 81,88%, 59,99% masing-masing untuk varietas Kalasan, Mendut, dan lokal Gowa yang ditanam pada musim kemarau.

Beberapa faktor dapat memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya intensitas serangan salah satunya faktor lingkungan. Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam terciptanya interaksi antara tanaman inang dengan hama lanas. Iklim berpengaruh terhadap tingkat perkembangan larva maupun serangga dewasa Cylas formicarius. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Larva C. formicarius berkembang selama 10 - 35 hari pada suhu 24-30

oC

(Nonci, 2005). Selain itu, menurut Supriyatin (2001) C. formicarius aktif menyerang tanaman ubi jalar pada musim panas, pada saat musim panas sering terdapat keretakan tanah sehingga memudahkan hama C.Formicarius masuk kedalam tanah dan dapat menyerang umbi ubi jalar.

Tingkat Ketahanan Genotipe Ubi Jalar terhadap Serangan Hama Lanas

Distribusi tingkat ketahanan umbi terhadap serangan hama lanas menunjukkan terdapat 5 genotipe ubi jalar atau 35,71% termasuk dalam kriteria tahan, 5 genotipe ubi jalar atau 35,71% termasuk dalam kriteria agak tahan dan 3 genotipe ubi jalar atau 28,58% termasuk dalam kriteria ketahanan agak peka (Tabel 5). Tabel 5. Reaksi ketahanan 14 genotip ubi jalar terhadap hama lanas

Genotip Rerata Skor Tingkat Ketahanan

GUJ 1 1 Tahan

GUJ 2 2,66 Agak Peka

GUJ 3 2,33 Agak Tahan

GUJ 4 1 Tahan

GUJ 5 1,33 Tahan

GUJ 6 2,33 Agak Tahan

GUJ 7 1 Tahan

GUJ 8 1,66 Agak Tahan

GUJ 9 2,33 Agak Tahan

GUJ 10 2 Agak Tahan

GUJ 11 3,66 Agak Peka

GUJ 12 2,66 Agak Peka

GUJ 13 2,66 Agak Peka

GUJ 14 1 Tahan

Sumber : Data primer (2015)

Tingkat ketahanan terhadap hama lanas tidak secara jelas dapat dikaitkan dengan karakteristik morfologis umbi ubi jalar. Karakter morfologi dari genotipe ubi jalar yang memiliki tingkat ketahanan tahan memiliki warna kulit umbi ungu merah dan krem, sedangkan warna daging umbi krem, kuning pucat, jingga sedang, jingga pucat dan putih. Pada genotipe ubi jalar yang memiliki tingkat ketahanan agak tahan memiliki warna kulit ungu tua, krem dan ungu merah sedangkan warna daging umbi kuning pucat, krem, jingga tua dan putih. Pada genotipe ubi jalar yang memiliki tingkat ketahanan agak peka memiliki warna kulit ungu merah, merah jambu, dan kuning sedangkan warna daging umbi kuning pucat, jingga tua dan jingga sedang. Dengan demikian, warna kulit umbi dan warna daging umbi tidak terkait erat dengan tingkat ketahanan.

Tingkat ketahanan genotip ubi jalar konsisten dengan persentase intensitas serangan hama lanas. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketahanan klon-klon tersebut merupakan ekspresi

Page 169: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

152

karakter genetik yang dimiliki individu tersebut. Bervariasinya tingkat ketahanan yang muncul menunjukkan adanya perbedaan ekspresi ketahanan terhadap serangan hama lanas.Menurut Mau et al., 2011 bahwa tingkat ketahanan umbi yang terserang dipengaruhi oleh latar belakang genetik klon-klon ubi jalar, dan perbedaan ekspresi genetik dipengaruhi kondisi lingkungan dimana umbi klon-klon ubi jalar tersebut diperoleh. Lokasi produksi umbi sedikit berpengaruh terhadap ekspresi ketahanan terhadap hama lanas, namun hasil akhirnya sangat ditentukan oleh jenis klon ubi jalar yang diuji. Perbedaan ekspresi ketahanan klon-klon ketika ditanam di lokasi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan jenis dan kandungan hara tanah maupun kondisi lingkungan penanaman, termasuk suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan ketinggian tempat. Kadar air umbi juga memberikan pengaruh terhadap ketahanan terhadap serangan hama lanas (Waluyo dan Prasadja, 1996).

KESIMPULAN

Plasma nutfah ubi jalar yang termasuk tahan yaitu GUJ 1, GUJ 4, GUJ 5, GUJ 7, GUJ 14 dengan karakteristik warna daging umbi krem, kuning pucat, jingga sedang, jingga pucat dan putih; agak tahan meliputi GUJ 3, GUJ 6, GUJ 8, GUJ 9 dengan karakteristik warna daging umbi kuning pucat, krem, jingga tua, putih; peka meliputi GUJ 2, GUJ 11, GUJ 12, GUJ 13 dengan karakteristik warna daging umbi kuning pucat, jingga tua, jingga sedang, dan kuning pucat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala BPTP Bengkulu, Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP. yang telah membantu dan mendukung kegiatan penelitian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W. 1960. Principles of plant breeding. John Wiley & Son, New York. 450 p. Jansson, R.K., H.H. Bryan, and K.A. Sorensen. 1987. Within-vine distribution and damage of sweet

potato weevil, Cylas formicarius elegentulus (Coleoptera: Curculionidae), on four cultivars of sweet potato in Southern Florida. Florida Entomologist 70(4): 523−526.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 701 p. Mau, YS., Ndiwa, AS., dan Arsa, IGBA. 2011. Tingkat Ketahanan Klon Potensial Ubi Jalar Lokal

Asal NTT Terhadap Hama Lanas (Cylas Formicarius FAB.). J.HPT Tropika. Vol. 11, No. 2: 139 – 146.

Nonci, N. 2005. Bioekologi dan Pengendalian Kumbang Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Curculionidae). Jurnal Litbang Pertanian, 24 (2) : 63-69.

Nonci, N. dan Sriwidodo. 1993. Pengaruh pengendalian Cylas formicarius pada ubi jalar terhadap kerusakan ubi pada penyimpanan. Laporan Hasil Penelitian Jagung dan Ubi-Ubian (no. 3): 89−97. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros.

Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija (no. 2):22−29. Waluyo dan Prasadja. 1996. Pengendalian hama lanas pada ubi jalar. Dalam Syam, M., Hermanto, dan

A. Musaddad (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4:1258-1269. Widodo, Y., Supriyatin, and A.R. Braun. 1994. Rapid assessment of IPM needs for sweet potato in

some commercial production areas of Indonesia. International Potato Center, South East Asia and the Pacific Region, Bogor, and MARIF, Malang, Indonesia. 19 p.

Page 170: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

153

PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN EM-4 UNTUKMENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO

TILLAGE SYSTEM AND APPLICATION OF EM-4TO INCREASE THE PRODUCTIVITY OF UPLAND RICE

Marsid Jahari1, Saripah Ulpah

2, Maizar

2 dan Ade Yulfida

1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau.

2Universitas Islam Riau

Jl. Kaharudin Nasution No. 341 Pekanbaru e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 dalam upaya meningkatkan produktivitas padi gogo. Penelitian ini dilaksanakan mulai Bulan Nopember 2014 hingga April 2015 di Kebun BBI Hortikultura Pekanbaru. Rancangan yang digunakan adalah Petak Terbagi yang disusun menurut Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama: sistem pengolahan tanah sebagai petak utama terdiri dari 4 cara yaitu: tanpa olah tanah (gulma dibakar), tanpa olah tanah (gulma direbahkan), pengolahan tanah satu kali, pengolahan tanah dua kali. Faktor kedua yaitu frekuensi pemberian EM-4 sebagai anak petak terdiri dari 4 taraf yaitu: tanpa EM-4 (kontrol), pemberian EM-4 satu kali, pemberian EM-4 dua kali, pemberian EM-4 tiga kali, sehingga terdapat 16 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan. Variabel yang diamati: tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif,umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas, persentase gabah bernas, berat 1000 gabah, dan produktivitas. Data hasil pengamatan masing-masing perlakuan dianalisis secara statistik dan dilanjutkan dengan Uji Lanjut BNJ taraf 5%. Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi perlakuan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 berpengaruh nyata terhadap umur berbunga dan berat 1000 gabah dengan perlakuan yang terbaik yaitu pengolahan tanah dua kali dan pemberian EM-4 tiga kali. Sistem pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif dengan perlakuan yang terbaik yaitu pengolahan tanah dua kali. Frekuensi pemberian EM-4 hanya berpengaruh nyata terhadap variabel umur berbunga dengan perlakuan yang terbaik yaitu pemberian EM-4 tiga kali.

Kata Kunci: pengolahan tanah, EM-4, produktivitas, pdi gogo.

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of tillage systems and frequency of EM-4 application to increase the productivity of upland rice. The study was conducted from the November 2014 until April 2015 in Pekanbaru. Split plot design arranged in a randomized block design was used in this assessment. The first factor isthe soil processing system as the main plot with consisted of four ways: no-tillage (weeds burned) , no-tillage (weeds recline), one tillage, tillage twice. The second factor is the frequency of EM-4 as the subplot with consistedof 4 levels ie : without EM-4 (control), one time application of EM-4, two time application of EM-4, three time application of EM-4, so there are 16 combinations treatments and 3 replications. The variables measured were: plant height, total tillers number, the number of productive tillers, flowering age, harvesting age, panicle length, number of total spikelets, number of filled spikelet, the percentage of filled spikelet, 1000 grain weight and productivity. The data of each treatment were analyzed statistically and continued by advanced Test of HSD level of 5%. The results showed that the interaction tillage systems and frequency of EM-4 application were significantly affected on flowering age and 1000 grain weight with the best treatment is tillage twiceand three times application of EM-4. Tillage system significantly affected the plant height, number of total tillers and the number of productive tillers. The best treatment is two times of tillage. The application of EM-4 was significantly affected by flowering age with the best treatment is three times application of EM-4.

Key Words: soil processing, EM-4, productivity, upland rice

Page 171: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

154

PENDAHULUAN

Propinsi Riau masih kekurangan beras sekitar 57,87% pertahun. Angka defisit ini didasarkan dari jumlah kebutuhan beras masyarakat Riau sebanyak 641.929 ton, sementara kemampuan daerah dalam memproduksi beras hanya 272.381 ton (Distannak Riau, 2014). Penyebab kekurangan beras tersebut disamping keterbatasan areal pengembangan juga disebabkan karena masih rendahnya produktivitas padi yang dihasilkan, terutama padi gogo yang hanya mencapai rata-rata 2,72 ton per hektar (BPS Riau, 2014).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi beras di Propinsi Riau, diantaranya yaitu memberikan benih unggul dan pupuk bersubsidi, garap lahan terlantar dan memanfaatkan lahan kosong diantara tanaman karet maupun tanaman sawit menjelang tanaman utama berproduksi (Ekalinda et al., 2011). Produktivitas yang masih rendah menjadi permasalahan utama dalam pengembangan padi gogo di Propinsi Riau. Ada beberapa penyebab rendahnya produktivitas padi gogo yaitu tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah, penggunaaan varietas lokal yang masih dominan dan penerapan teknis budidaya yang belum maksimal. Penerapan model PTT padi gogo sebagian besar sudah disosialisasikan kepada masyarakat, namun belum memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan produktivitas (Widyantoro et al., 2012) karena ada masalah lain yang sukar diatasi seperti distribusi hujan yang tidak merata dan tidak menentu sehingga sulit diprediksi serta tenaga kerja yang langka dan mahal.

Sistem pengolahan tanah untuk pertanaman padi gogo merupakan salah satu upaya perbaikan budidaya padi gogo yang selama ini kurang mendapat perhatian, sementara peranan pengolahan tanah sangat penting dalam memacu pertumbuhan dan produktivitas padi gogo yang diusahakan. Menurut Rahman et al. (2009), pengolahan tanah dalam budidaya padi gogo dianjurkan dua kali yaitu awal memasuki musim hujan dan menjelang tanam.

Penggunaan EM-4 akan memperoleh beberapa manfaat diantaranya: 1) memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, 2) meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, 3) menekan aktivitas serangga (hama) dan mikroorganisme pathogen serta 4) meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi tanaman (Wiwiet, 2011). Menurut Nainggolan (2013), menyatakan bahwa fungsi lain dari EM-4 adalah untuk mengaktifkan bakteri pelarut, meningkatkan kandungan humus tanah, sehingga mampu menguraikan bahan organik menjadi asam amino.

Pengolahan tanah sempurna akan menciptakan kondisi tekstur dan struktur tanah yang baik, sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik dan meningkatnya kemampuan butiran tanah menyerap air. Tanah yang gembur apabila disemprotkan dengan EM-4 diharapkan akan berkembang bakteri-bakteri yang menguntungkan bagi tanah dan tanaman. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi gogo; dan 2) Untuk mengetahui pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi gogo; dan 3) Untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian EM-4 terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi gogo.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Balai Benih Induk (BBI) Hortikultura Pekanbaru. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan November 2014 sampai dengan bulan April 2015. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: benih padi gogo varietas Situ Patenggang, Pupuk Urea, TSP, KCl, EM-4, pupuk organik (taspu) dan pestisida.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Petak Terbagi yaitu: sistem pengolahan tanah (P) terdiri dari empat cara dijadikan sebagai petak utama, sedangkan frekuensi pemberian EM-4 (E) dengan 4 taraf dijadikan sebagai anak petak. Sehingga diperoleh 16 kombinasi perlakuan dengan tiga ulangan. Adapun masing-masing faktor perlakuan adalah sebagai berikut:

Petak Utama : Sistem pengolahan tanah yang terdiri dari 4 cara:

P1 : Tanpa olah tanah, gulma kering dibakar

P2 : Tanpa olah tanah, gulma kering direbahkan

P3 : Tanah diolah satu kali

P4 : Tanah diolah dua kali

Anak Petak : Frekuensi Pemberian EM-4

E1 : Tanpa Pemberian EM-4 (kontrol)

Page 172: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

155

E2 : Pemberian EM-4 satu kali (1 hst )

E3 : Pemberian EM-4 dua kali (1 hst dan 20 hst)

E4 : Pemberian EM-4, tiga kali (1 hst, 20 hst dan 40 hst).

Ukuran Plot dibuat 3m x 3m dengan jarak antar plot dalam kelompok 0,75 m dan jarak antar kelompok adalah 1,0 meter. Benih padi gogo ditanam pada plot percobaan dengan sistem tugal dengan jarak tanam 25cm x 25cm. Dosis umum EM-4 yang digunakan adalah 2 liter /ha dengan konsentrasi 0,5% (5 ml/liter air). Untuk ukuran plot penelitian (3mx3m) diperlukan 1,8 ml EM-4 yang dilarutkan dalam 360 ml air. Untuk aplikasi perlakuan frekuensi pemberian EM-4 1 kali (E2) diberikan satu hari setelah tanam. Selanjutnya perlakuan frekuensi pemberian dua kali (E3) dan tiga kali (E4) diberikan pada umur tanaman 20 dan 40 hari setelah tanam.

Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah Urea 135 g/plot, TSP 90 g/plot dan KCl 90 kg/plot. Pupuk diberikan dua tahap yaitu; pemupukan I diberikan 7 hst ( urea 50% , TSP 100% dan KCl 100%), Pupuk II diberikan pada 40 hst (urea 50%). Data yang diamati adalah: tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur berbunga, pajang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas, persentase gabah bernas per malai, produktivitas dan berat 1000 gabah. Hasil pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan program SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman, jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif

Tinggi tanaman, jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif padi gogo hanya dipengaruhi oleh sistem pengolahan tanah, sedangkan frekuensi pemberian EM-4 dan interaksi keduanya tidak berpengaruh pada ketiga parameter tersebut. Data lengkap tinggi tanaman, disajikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1.Tinggitanaman,jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif padi gogo dengan sistem pengolahan tanah.

Sistem

Pengolahan Tanah

(Petak Utama)

Parameter yang diamati

Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah anakan total

(batang)

Jumlah anakan produktif

(batang)

P1 (TOT, gulma dibakar) 68,35 ab 5,22 b

4,96 bc

P2 (TOT, gulma direbahkan) 65,72 b 4,97 b 4,49 c

P3 (Pengolahan tanah satu kali) 72,94 ab 5,60 b 5,44 ab

P4(Pengolahan tanah dua kali) 75,31 a 6,34 a 6,12 a

Sumber: Data primer (2015)

Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa tinggi tanaman pada perlakuan P4 (pengolahan tanah dua

kali) yaitu 75,31 cm menunjukkan tinggi tanaman yang tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P2 (tanpa olah tanah, gulma tidak dibakar) yang hanya 65,72 cm. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1 (tanpa pengolahan tanah, gulma dibakar) dan perlakuan P3 (pengolahan tanah satu kali). Tinggi tanaman terbaik pada perlakuan P4 dibandingkan dengan perlakuan P3, P2 dan P1 disebabkan pada lahan dengan pengolahan tanah maksimum, pertumbuhan dan perkembangan perakaran jauh lebih baik disamping juga didukung oleh kemampuan partikel tanah yang juga lebih baik dalam menyerap dan menyimpan air dalam jangka waktu yang lama. Pada kondisi lahan yang diolah maksimum (dua kali), kemampuan perakaran lebih baik dalam menembus partikel tanah akan lebih leluasa dalam menyerap air dan unsur hara dibandingkan dengan tanah yang tidak diolah. Akibat pengolahan secara tidak langsung unsur hara dan air jadi tersedia yang menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman menjadi lebih baik. Menurut pendapat Forest dan Kalms dalam Nasution F.H. (2013) menyatakan bahwa kedalaman akar pada lapisan tanah juga mempengaruhi ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini dikarenakan air meningkat pada lapisan tanah yang lebih dalam. Menurut pendapat Widodo (2004) menyatakan bahwa pengolahan tanah pada tanaman padi gogo bertujuan untuk memperbaiki aerasi atau tata udara tanah, menghilangkan gas-gas atau senyawa dalam tanah, memperluas permukaan tanah yang terjangkau oleh akar dan sekaligus memberantas gulma yang

Page 173: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

156

masih hidup atau yang masih dalam bentuk biji yang terdapat dipermukaan maupun yang berada di dalam tanah.

Perlakuan sistem pengolahan tanah berpengaruh terhadap jumlah anakan total. Namun pada perlakuan frekuensi pemberian EM-4 dan interaksi kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah anakan total padi gogo. Dari hasil Uji Lanjut BNJ 5%, terlihat bahwa perlakuan P4 (pengolahan tanah dua kali) berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2 dan P3. Perlakuan P4 (pengolahan tanah dua kali) merupakan perlakuan yang terbaik terhadap jumlah anakan total yaitu mencapai 6,34 batang dibandingkan dengan P1(5,22), P2 (4,97) dan P3 (5,97).Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan tanah dua kali akan menjadikan kondisi tanah menjadi lebih baik, lebih gembur, agregat tanah menjadi lebih halus, sistem aerasi dan drainase menjadi lebih baik, akar berkembang dengan baik sehingga memudahkan akar dalam memperluas bidang serapan unsur hara dan air. Apabila tanah gembur dan air tersedia dengan baik, maka akan banyak pula jumlah anakan padi yang terbentuk.

Rendahnya anakan pada perlakuan P1, P2 dan P3 disebabkan karena tanah yang tidak diolah dan yang hanya diolah satu kali masih memiliki partikel-partikel padat, sehingga daya ikat tanah dalam menyerap dan menyimpan air menjadi kurang baik. Menurut pendapat Yoshida dalam Ritonga (2015) menyatakan bahwa tanaman yang hidup pada daerah kekeringan akan berusaha untuk mengefisienkan penggunaan air yaitu salah satunya dengan penurunan jumlah anakan sehingga akan mengurangi transpirasi dan mengoptimalkan distribusi asimilat kedalam jumlah anakan yang terbatas.

Perlakuan sistem pengolahan tanah mempengaruhi jumlah anakan produktif padi gogo. Pengolahan tanah dua kali merupakan perlakuan yang terbaik dengan menghasilkan jumlah anakan produktif yang terbanyak (6,12 batang) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah anakan produktif yang terbanyak pada perlakuan pengolahan tanah dua kali disebabkan karena pengolahan sebanyak dua kali bisa membentuk perkembangan perakaran yang lebih luas dan dalam sehingga pada kondisi kekeringanpun tanaman masih mampu menyerap air secara optimal untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anakan. Seperti juga yang diungkapkan oleh Yoshida, Fores dan Kalms dalam Nasution at al.,(2013) menyatakan bahwa kedalaman akar pada lapisan tanah juga mempengaruhi ketersediaan air bagi tanaman. Selanjutnya Rachman at al.,(2006) juga menyatakan bahwa pada tanah yang diolah akan tercipta kondisi optimal bagi pertumbuhan tanaman dengan menciptakan keseimbangan antara padatan, aerasi dan kelembaban tanah.

Perlakuan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 serta interaksi kedua perlakuan tidak mempengaruhi umur panen tanaman padi gogo. Umur berbunga tanaman padi gogo tidak selalu sejalan dengan umur panen karena umur panen selain ditentukan oleh genetik juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Prasetyo (2003) menyatakan bahwa pemasakan yang dimulai pada saat pembungaan sampai 30 hari kemudian. Tahap ini dapat bertambah lama dengan adanya hujan atau temperatur rendah. Cahaya matahari dan suhu yang relatif tinggi dapat memperpendek tahap ini. Kondisi curah hujan pada awal hingga pertengahan April 2015 atau dua minggu menjelang panen curah hujan berada di bawah normal untuk kebutuhan padi gogo, sehingga tanaman di lapangan mengalami kekeringan. Dari data umur panen padi gogo yang diperoleh berkisar antara 109 -111 hari adalah termasuk umur panen yang tercepat kalau dibandingkan dengan data umur panen pada deskripsi tanaman padi gogo varietas Situ Patenggang bisa mencapai 120 hari (Suprihatno at al., 2012).

Panjang malai tidak dipengaruhi oleh perlakuan sistem pengolahan tanah maupun oleh frekuensi pemberian EM-4, diduga karena pengaruh faktor genetis dari tanaman tersebut lebih besar daripada pengaruh interaksi dari kedua perlakuan karena panjang malai sangat dipengaruhi oleh asupan unsur hara dan kecukupan air selama masa pertumbuhan. Menurut Yoseftabar (2013) bahwa panjang malai dan jumlah gabah isi permalai sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen selama masa pertumbuhan tanaman padi. Dalam penelitian ini nitrogen (Urea) diberikan sama untuk semua perlakuan sehingga parameter panjang malai tidak berpengaruh dengan beberapa perlakuan yang diberikan.

Page 174: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

157

Umur panen, panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas, dan persentase gabah bernas.

Perlakuan sistem pengolahan tanah, frekuensi pemberian EM-4 dan interaksi keduanya tidak berbeda nyata terhadap variabel jumlah gabah total, jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas. Data umur panen, panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Umur panen, panjang malai, jumlah gabah total, jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas padi gogo dengan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4.

Perlakuan Umur panen

(hari)

Panjang malai (cm)

Gabah total permalai (butir)

Gabah bernas permalai (butir)

Persentase gabah bernas permalai

(%)

P1E1 111,0 28,3 145,5 64,7 44,8 P1E2 111,7 23,6 156,5 65,7 42,2 P1E3 110,0 23,5 151,1 67,6 45,2 P1E4 109,7 23,2 148,0 64,8 43,8 P2E1 109,7 24,0 145,6 67,7 43,1 P2E2 110,0 23,6 144,1 64,7 44,9 P2E3 111,7 24,0 165,3 63,0 38,4 P2E4 109,7 24,2 145,1 68,2 47,1 P3E1 110,7 24,0 149,3 66,7 45,0 P3E2 110,3 24,5 166,1 74,2 45,0 P3E3 110,3 24,2 157,9 69,4 44,0 P3E4 110,0 23,8 165,0 67,3 40,9 P4E1 111,0 24,4 158,0 69,0 47,5 P4E2 107,3 24,6 160,0 72,7 46,0 P4E3 109,7 24,4 156,7 70,5 45,0 P4E4 109,7 24,0 160,6 71,1 44,3

Peranan faktor iklim dan cuaca lebih cenderung yang mempengaruhi variabel jumlah gabah total, jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas daripada pengaruh faktor perlakuan. Intensitas matahari sangat diperlukan tanaman pada fase pematangan, hal ini terkait dengan aktivitas fotosintesis. Intensitas sinar matahari yang diterima tanaman rendah akan menurunkan asimilat yang terbentuk, akibatnya pembentukan biji terhambat. Seperti yang dikemukakan oleh Yosida dalam Usman (2015) bahwa intensitas cahaya matahari yang sangat berperan dalam pengisian gabah, terutama pada fase pemasakan. Persentase gabah benas permalai antara 38,4 hingga 47,5% dengan rata-rata sebesar 44,15%.

Tidak ada pengaruh interaksi perlakuan terhadap panjang malai, jumlah gabah total, gabah bernas dan persentase gabah bernas padi gogo karena masing-masing perlakuan tidak saling mendukung dalam proses pembentukan gabah dan kebernasan gabah. secara umum sifat genetik tanaman padi lebih dominan dibandingkan dengan perlakuan sistem pengolahan tanah dan pemberian EM-4 disamping juga faktor luar yang besar pengaruhnya terhadap jumlah gabah yang dihasilkan seperti kondisi iklim dan cuaca. Menurut Fagi at al., (2001) pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman padi cukup besar. Pada suhu yang tinggi menyebabkan pembungaan padi lebih cepat sehingga proses pembentukan malai dan pengisian gabah juga jadi lebih cepat.

Berat 1000 Gabah (gram)

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 secara tunggal tidak berbeda nyata, namun interaksi keduanya memperlihatkan ada pengaruh yang nyata pada variabel berat 1000 gabah. Perlakuan interaksi dengan berat gabah yang tertinggi yaitu pada interaksi P4E2 (30,37 gram), sedangkan berat yang terendah adalah P3E1 (26,48 gram). Data disajikan pada Tabel 3 berikut.

Page 175: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

158

Tabel 3. Berat 1000 gabah padi gogo dengan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4

Sistem Pengolahan Tanah

Frekuensi pemberian EM-4

E1 (kontrol)

E2 (satu kali)

E3 (dua kali)

E4 (tiga kali)

P1 (TOT, gulma dibakar) 28,06 ab 27,76 ab 27,38 ab 28,74 ab

P2 (TOT, gulma direbahkan) 29,28 ab 28,33 ab 26,72 b 27,33 ab

P3 (Pengolahan tanah satu kali) 26,48 b 29,53 ab 28,71 ab 27,65 ab

P4 (pengolahan tanah dua kali) 28,11 ab 30,37 a 29,60 ab 28,20 ab

Sumber: Data primer (2015).

Terjadinya pengaruh interaksi sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4

terhadap variabel berat 1000 gabah padi gogo karena pengolahan tanah mengakibatkan tanah menjadi gembur sehingga memperlancar aerasi dalam tanah. Aerasi yang lancar akan tersedianya oksigen dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan akar menjadi lebih baik, sehingga sistem penyerapan unsur hara untuk kebutuhan tanaman juga berjalan dengan baik. Menurut Khush dalam Suardi (2002) Perakaran yang dalam dan tebal, sehat danm mencengkeram tanah lebih luas serta kuat menahan kerebahan memungkinkan penyerapan air dan hara lebih efisien terutama pada stadia pengisian gabah, sehingga bobot gabah bisa lebih berat.

Produktivitas (kg/ha)

Perlakuan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 serta interaksi kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap hasil (produktivitas) padi gogo. Data lengkap disajikan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Produktivitaspadi gogo dengan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4.

Sistem Pengolahan Tanah

Produksi (Kg/ha)

Frekuensi Pemberian EM-4

Rerata E1 (kontrol)

E2 (1 kali)

E3 (2 kali)

E4 (3 kali)

P1(TOT, gulma dibakar) 3637,3 2922,7 2789,3 3472,0 3205,3

P2(TOT, gulma direbahkan) 3573,3 3061,3 2544,0 2741,3 2980,0

P3(pengolahan tanah 1 kali) 3936,0 3744,0 3797,3 3589,3 3766,7

P4(pengolahan tanah 2 kali) 3509,3 4170,7 3829,3 3685,3 3798,7

Rerata 3664,0 3474,7 3240,0 3372,0

Sumber: Data primer (2015)

Berkurangnya intensitas curah hujan pada fase primordia ini, sangat berdampak pada

pertumbuhan dan produksi yang dihasilkan. Peningkatan curah hujan terjadi ketika memasuki bulan ke empat penelitian ( Maret 2015) ini curah hujan sebesar 365,5 mm dengan jumlah hari hujan 21 hari. Selama masa periode tanam Desember 2014 s/d April 2015 hanya terdapat 2 bulan yang curah hujan >200 mm, sedangkan 3 bulan yang lainnya curah hujan <200 mm. kondisi yang demikian tentu akan menjadi salah satu faktor penghambat dalam meningkatkan produktivitas. Seperti yang ungkapkan Widyantoro at al.,(2012) Menyatakan bahwa tanaman padi gogo membutuhkan curah hujan > 200 mm/bulan minimal 4 bulan secara berurutan, sehingga untuk tanaman padi gogo dan gogo rancah disarankan untuk ditanam pada awal musim penghujan.

Page 176: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

159

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Interaksi perlakuan sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 berpengaruh nyata terhadap variabel umur berbunga, dan berat 1000 gabah. Secara umum interaksi perlakuan yang terbaik adalah sistem pengolahan tanah dua kali dan frekuensi pemberian EM-4 tiga kali.

2. Sistem pengolahan tanah berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman padi gogo, jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif. Perlakuan yang terbaik adalah sistem pengolahan tanah dua kali.

3. Frekuensi pemberian EM-4 hanya berpengaruh nyata terhadap umur berbunga padi gogo. Perlakuan yang terbaik adalah pada perlakuan frekuensi pemberian EM-4 sebanyak tiga kali.

Saran

1. Sistem pengolahan tanah dan frekuensi pemberian EM-4 ini perlu dilakukan penelitian lanjutan pada kondisi curah hujan yang normal.

2. Konsentrasi dan frekuensi pemberian EM-4 pada tanaman padi gogo juga perlu diteliti lebih lanjut pada beberapa wilayah yang berbeda agroekosistemnya untuk mendapatkan dosis/konsentrasi EM-4 yang optimal dalam meningkatkan produktivitas padi gogo.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Riau. 2014. Riau Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Riau. Pekanbaru. Distannak Riau. 2014. Buku Seri Data Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2013. Pemerintah

Provinsi Riau. Dinas Pertanian dan Peternakan. Pekanbaru. Ekalinda, O., Anggraini, R.S., Yusuf, R. 2011. Petunjuk Teknis Pendampingan SL-PTT Di Provinsi

Riau, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Pekanbaru Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kertaatmadja. 2001. Peran Padi sebagai Sumber Daya Genetik Padi

Modern. Dalam. Budidaya Padi, Prosiding Diskusi Panel dan Pameran Budidaya Padi Surakarta 28 Agustus 2001. Yayasan Padi Indonesia.

Nasution F.H., Ginting J., Siagian B. 2013. Tanggap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo Varietas Situ Bagendit terhadap Pengolahan Tanah dan Frekuensi Penyiangan Yang Berbeda. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.I, No.2, Maret 2013

Nainggolan S. 2013. Effective Microorganisme 4 (EM4). Tersedia pada: http:// sutrisarisabrinanainggolan. blogspot.co.id/2013/06/effective-microorganisme-4-em4-normal-0.html?m=1 [Diunduh Tgl 12 Mei 2015]

Prasetyo, Y. T. 2003. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta. Rachman A.,Parlin H.Sinaga, Rathi Frima Zona. 2009. Petunjuk Teknis Budidaya Padi. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Pekanbaru. Rachman A, Eliartati, Umar. 2006. Budidaya Padi Gogo, Padi Sawah, dan Padi Pasang Surut. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Pekanbaru. Ritonga E, 2015. Uji Adaptasi Galu-Galur Padi Ratun Pada Dua Lokasi Lahan Pasang Surut di

Propinsi Riau. Tesis 2015. Pascasarjana Universitas Islam Riau. Pekanbaru. Suardi, D. 2002. Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi tanaman terhadap kekeringan

dan hasil. Dalam Jurnal Litbang Pertanian 21(3). Hal 100-108. Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Satoto, Suwarno, Lubis, E., Baehaki, S.E. Sudir, S. Indrasari, S.D.,

Wardana I.P., Mejaya M.J. 2012. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Usman. 2015. Evaluasi Toleransi Genotipe Padi sawah (Oryza sativa L.) Pada Persaingan Dengan Gulma Echinochloa crus-galli. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2015

Widyantoro, Lalu M., Zarwazi, dan Husin M. Toha. 2009. Seminar Nasional Padi. Preferensi Petani Terhadap Beberapa Varietas Unggul Padi Gogo. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Widyantoro dan Husin, M.Toha. 2012. Peluang Pengembangan Padi Gogo IP 200. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011. Balai Penelitian Tanaman Padi. Subang Jawa Barat.

Page 177: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

160

Widodo. 2004. Pertumbuhan dan hasil padi gogo varietas Cirata terhadap tiga jenis media tanam dan ukuran pupuk urea. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian, UNIB. Jurnal Akta Agraria Vol. 7 No.1 Hal. 6-10. Jan-Jun 2004

Wiwiet, 2011. Fungsi EM-4 Bagi Tanaman. Tersedia pada: https://catrxcom.wordpress.com /fungsi EM4 bagi tanaman. [Diunduh Tgl 12 Juni 2014]

Yoseftabar, S. 2013. Effect nitrogen management on panicle structure and yeild in rice (Oryza sativa L.). J.Agri. Crop Sci. 5:1224-1227

Page 178: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

161

KAJIAN PENERAPAN TANAM BIBIT PADI SECARA MEKANIKDI KABUPATEN KARANGANYAR

STUDY ON APPLICATION OF RICE TRANSPLANTER IN KARANGANYAR DISTRICT

Ekaningtyas Kushartanti dan Tota Suhendrata

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Jl. Sukarno-Hatta KM 26 No. 10 Kotak Pos 124 Bergas, Telp. (0298) 5200107, Fax. (0298) 5200109

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu strategi peningkatan produktivitas dan produksi padi adalah dengan penerapan sistem tanam jajar legowo (produktivitas padi meningkat 10 – 15%). Namun, dalam penerapannya di lapang dijumpai beberapa kendala sehingga pengembangannya tidak sesuai yang diharapkan. Salah satunya kendala dalam pengembangan sistem tanam jajar legowo adalah kelangkaan tenaga kerja tanam sistem tanam jajar legowo tersebut. Solusi yang ditawarkan adalah menggunakan mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter) sistem tanam jajar legowo 2:1 (jarwo transplanter). Tujuan pengkajian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh penerapan paket teknologi ricetransplanter sistem tanam jajar legowo (jarwo) 2:1 terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan hasil panen, dan 2) mengetahui kinerja dan kelayakan penggunaan rice transplanter pada usahatani padi di Kabupaten Karanganyar. Pengkajian dilaksanakan di Desa Jungke, Kecamatan/Kabupaten Karanganyar pada bulan Juli – November 2014. Pengkajian terdiri dari 2 perlakuan yaitu paket teknologi ricetransplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 dan paket teknologi ricetransplanter sistem tanam tegel masing-masing perlakuan diulang 12 kali dengan luas lahan pengkajian sekitar 2,4 ha. Pengkajian melibatkan 6 orang petani, tiap petani melaksanakan 2 perlakuan dan 2 ulangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dianalisis menggunakan uji t berpasangan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan hasil gabah pada penerapan paket ricetransplanter sistem tanamjajar legowo 2:1 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan paket ricetransplantersistem tanam tegel. Kinerja kedua rice transplanter tersebut relatif sama. Secara finansial usahatani padi menggunakan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 dan ricetransplanter sistem tanam tegel layak untuk dikembangkan dengan MBCR 12,4 dan 5,4.

Kata kunci: rice transplanter, sistem tanam, jajar legowo, sawah irigasi

ABSTRACT

One strategy to increase productivity and production of rice is by applying jajar legowo planting system (rice productivity increased 10-15%). However, in its application in the field encountered some inhibition so that development is not as expected. One of these inhibitions in the development of jajar legowo planting system is scarce of workers. The solution offered is to use rice transplanter jajar legowo 2:1 planting system (jarwo transplanter). The purpose of this exercise is to 1) determine the effect of the application of technology packages of rice transplanter jajar legowo 2:1 planting system on plant height, number of productive seed, and rice yield, and 2) determine the performance and feasibility of using rice transplanter in rice farming in Karanganyar District. The research was conducted in the Jungke Village, Karanganyar District in July to November 2014. The research consists of two treatments, the technology package rice transplanter jajar legowo 2:1 planting system and the technology package rice transplanter tiles (square pattern)planting system each treatment was repeated 12 times with research of land area of about 2.4 ha. Research involves six farmers, each farmer carrying out two treatments and two replications. To determine the effect of treatment were analyzed using paired t-test. The result showed that the average height of plant, amount of productive seed and rice yield in the implementation of the package of rice transplanter jajar legowo 2:1 planting system higher and significantly different than rice transplanter tiles planting system. Financially of rice farming used rice transplanter jajar legowo 2:1 planting system and rice transplanter tiles planting system to be developed with MBCR 12.4 and 5.4.

Key Words: rice transplanter, cropping systems, irrigated fields

Page 179: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

162

PENDAHULUAN

Komoditas padi memiliki peranan pokok sebagai pemenuh kebutuhan bahan pangan karbohidrat. Kebutuhan bahan pangan tersebut setiap tahun cenderung terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Salah satu strategi peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas melalui penerapan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) barisan tanaman padi dan satu baris kosong. Salah satu keuntungan penerapan sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10 – 15%. Oleh karena itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian merekomendasikan penerapan sistem tanam jajar legowo 2:1 untuk meningkatkan produktivitas padi (Balitbangtan, 2013a). Namun, dilapangan ada beberapa kendala dalam penerapan sistem tanam jajar legowo sehingga pengembangannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa kendala antara lain (1) tanam lebih sulit dibandingkan sistem tanam tegel. Hal ini disebabkan karena jarak tanam dalam baris tidak sama dengan antar baris, dalam baris lebih sempit dibandingkan antar baris, (2) tanam membutuhkan waktu lebih lama karena jarak tanam tidak simetris dan ada bagian yang dikosongkan. Kondisi ini mengakibatkan butuh konsentrasi lebih bagi tenaga tanam, dan (3) biaya tanam lebih tinggi dibandingkan sistem tegel (Balitbangtan, 2013a). Kendala lain adalah dibeberapa sentra produksi padi terjadi kelangkaan tenaga kerja tanam. Solusi yang ditawarkan untuk menanggulangi kendala di atas adalah menggunakan mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter) sistem tanam jajar legowo 2:1 (indo jarwo transplanter) yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Mesin tanam tersebut telah di launching oleh Menteri Pertanian pada tangal 8 November 2013 (Balitbangtan, 2013b) dan saat ini telah dipasarkan secara komersial.

Rice transplanter adalah mesin tanam bibit padi yang dipergunakan untuk menanam bibit padi yang telah disemaikan pada areal khusus (tray/dapog) dengan umur tertentu, pada areal sawah kondisi siap tanam. Berdasarkan sistem tanamnya terdapat dua tipe rice transplanter yaitu rice transplanter sistem tanam tegel dengan jarak tanam 30 x 12/14/16/18/21 cm (Kubota dan Yanmar) dan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 10/13/15 x 40 cm (indo jarwo transplanter atau rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1). Penerapan rice transplanter sistem tanam tegel dan jajar legowo 2:1dapat (i) meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja tanam,(ii) mempercepat dan mengefisiensikan proses tanam, (iii) menekan biaya tanam,(iv) meningkatkan kualitas hasil tanam, dan (v) memperluas areal penerapan sistem tanam jajar legowo 2:1(Suhendrata, 2013; Suhendrata, 2014). Tujuan pengkajian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh penerapan paket teknologi ricetransplanter sistem tanam jajar legowo (jarwo) 2:1 terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan hasil panen, dan 2) mengetahui kinerja dan kelayakan penggunaan rice transplanterpada usahatani padi di Kabupaten Karanganyar.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam pengkajian ini terdiri dari benih padi, media tanam benih (tanah dan pupuk organik), pupuk Urea, pupuk Phonska, herbisida, fungisida, pestisida dan insektisida. Alat/mesin yang digunakan dapog/tray persemaian, penebar benih (seeder), traktor tangan roda 2, penyemprot (sprayer), mesin tanam bibit padi (rice transplanter sistem tanam tegel dan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1), penyiang padi (gasrok) dan perontok padi (power thresher).

Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah irigasi di Desa Jungke Kecamatan/Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah pada bulan Juli – November 2014 (MT-3 2014). Pengkajian terdiri dari 2 perlakuan paket teknologi sistem tanam dan masing-masing perlakuan di ulang 12 kali dengan total luas pengkajian ± 2,4 ha. Pengkajian melibatkan 6 orang petani, tiap petani melaksanakan 2 paket teknologi dengan 2 kali ulangan. Perlakuan terdiri dari dua paket teknologi sistem tanam yaitu paket teknologi tanam menggunakan mesin tanam bibit padi 4 baris sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 15 x 40 cm (rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1) dan paket teknologi tanam menggunakan mesin tanam bibit padi 4 baris (rice transplanter sistem tanam tegel dengan jarak tanam 30 x 18 cm). Yang dimaksud paket teknologi tanam menggunakan indo jarwo transplanter 4 baris adalah budidaya padi mulai dari persemaian menggunakan dapog (tray) sampai dengan tanam menggunakan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1. Sedangkan paket teknologi tanam menggunakan rice transplanter 4 baris sistem tanam tegel adalah budidaya padi mulai dari persemaian menggunakan dapog (tray) sampai dengan tanam menggunakan rice

Page 180: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

163

transplanter sistem tanam tegel. Paket teknologi yang diterapkan pada pengkajian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Paket teknologi yang diterapkan pada usahatani padi lahan sawah irigasi di Desa Jungke Kecamatan/Kabupaten Karanganyar pada bulan Juli – November 2014 (MT-3 2014).

No. Uraian Perlakuan paket sistem tanamrice transplanter

Paket sistem tanamtegel Paket sistem tanam jarwo

1. Benih Kelas SS Kelas SS 2. Varietas Sidenuk Sidenuk 3. Persemaian Sistem dapog 28 x 58 cm Sistem dapog 18 x 58 cm 4. Penebaran benih Seeder Seeder 5. Pengolahan lahan Olah tanah sempurna Olah tanah sempurna 6. Cara tanam Rice transplanter tegel Rice transplanter jarwo 7. Umur bibit 17-18 HSS 17-18 HSS 8. Jarak tanam 30 x 18 cm 20 x 15 x 40 cm 9. Pupuk: - Urea 200 kg/ha 200 kg/ha - Phonska 300 kg/ha 300 kg/ha 10. Penyemprotan Sprayer Sprayer 11. Penyiangan Gasrok Gasrok 12. Perontokan Power thresher Power thresher

Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif

(batang/rumpun), dan hasil gabah saat panen (gabah kering panen = GKP). Data hasil panen diambil dengan cara ubinan dari setiap petak perlakuan dan gabah hasil ubinan (kg) dikonversi ke gabah kering giling (GKG dengan kadar air 14%). Untuk mengkonversi gabah hasil ubinan digunakan rumus: hasil gabah per hektar (t/ha GKG) = hasil ubinan × {(100 – ka)/86}× (10/LU), dimana: ka = kadar air gabah waktu panen; LU = Luas Ubinan (m

2). Luas ubinan 2,4 x 5 m = 12 m

2

Analisis data untuk membandingkan antara 2 perlakuan paket sistem tanam dilakukan dengan uji t berpasangan dengan menggunakan software SPSS Statistics 17.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Produktif

Rata-rata tinggi tanaman varietas Sidenuk pada paket rice transplantersistem sistem tanam jarwo 2:1 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan tinggi tanaman pada paket rice transplanter sistem tanam tegel (Tabel 2). Rata-rata tinggi tanaman varietas Sidenuk pada paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 dan paket rice transplanter sistem tanam tegel lebih tinggi dibanding rata-rata tinggi tanaman pada deskripsinya yaitu 106,5 cm dan 102,9 cm dibandingkan 102 cm.

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif varietas Sidenuk di Desa Jungke Kecamatan/Kabupaten Karanganyar pada MT-3 2014

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan Produktif

(batang/rumpun)

Paketrice transplantersistem tanam tegel 102,9a 21,1c

Paket rice transplantersistem tanam jarwo 2:1 106,5b 22,7d

Keterangan: angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

Rata-rata jumlah anakan produktif/rumpun varietas Sidenuk pada paket rice transplanter

sistem tanam jarwo 2:1 lebih banyak dan berbeda nyata dibanding dengan jumlah anakan produktif/rumpun pada paket rice transplanter sistem tanam tegel. Jumlah anakan produktif/rumpun paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 lebih banyak 1,6 batang/rumpun yaitu 22,7 batang/rumpun dibandingkan 21,1 batang/rumpun atau meningkat 7,35% (Tabel 2). Rata-rata jumlah anakan produktif/rumpun varietas Sidenuk baik pada paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 maupun pada paket rice transplanter sistem tanam tegel lebih banyak dibandingkan jumlah anakan produktif/rumpun pada deskripsinya yaitu 15 batang/rumpun. Paket rice transplanter sistem tanam tegel dapat meningkatkan jumlah anakan produktif varietas Mekongga antara 1,9 – 2,6 batang/rumpun

Page 181: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

164

atau naik 9,59 – 13,13% dibanding paket sistem tanam tegel manual di Desa Tangkil Kecamatan/Kabupaten Sragen pada MT-3 2012 (Suhendrata dan Kushartanti, 2013). Pada paket rice transplanter jarwo 2:1 jumlah anakan produktif/rumpun varietas Pepe lebih banyak 1,7 batang/rumpun (10,43%) dibanding rata-rata jumlah anakan produktif/rumpun pada paket tanam jajar legowo secara manual di Desa/Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Sragen (Suhendrata, 2014a)

Produktivitas

Rata-rata hasil (produktivitas) gabah kering giling (GKG)/ha varietas Sidenuk pada paket rice transplanterjarwo 2:1 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan paket rice transplantersistem tanam tegel. Perbedaan hasil gabah sebesar 0,8 t/ha yaitu 7,0 t/ha dibanding 7,8 t/ha atau meningkat 11,73% (Tabel 3). Rata-rata hasil gabah varietas Sidenuk baik pada paket rice transplanter sistem tanam tegel maupun paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 manual lebih rtinggi dibandingkan rata-rata hasil pada deskripsinya yaitu 6,4 t/ha GKG tetapi lebih rendah dibandingkan potensi hasilnya yaitu 8,8 t/ha GKG.

Tabel 3. Rata-rata hasil gabah kering giling/ha varietas Sidenuk di Desa Jungke Kecamatan/Kabupaten Karanganyar pada MT-3 2014

Perlakuan Hasil Gabah (t/ha GKG)

Paketrice transplantersistem tanam tegel 7,0a Paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 7,8b

Keterangan: angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

Rata-rata hasil gabah kering giling/ha atau produktivitas(t/ha GKG) pada paket rice

transplanter sistem tanam jarwo 2:1 lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan paket rice transplantersistem tanam tegel. Hal ini dikarenakan jumlah populasi dan jumlah anakan produktif penerapan paket rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 lebih tinggi dibandingkan jumlah populasi dan jumlah anakan produktif penerapan paket rice transplanter sistem tanam tegel dan adanya pengaruh efek pinggir (border effect) karena pada sistem jajar legowo dua baris semua rumpun padi berada di barisan pinggir dari pertanaman. Jumlah akan produktif/rumpun pada paket rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 yang lebih banyak 7,35% (Tabel 2) dibanding jumlah anakan produktif/rumpun pada paket rice transplanter sistem tanam tegel dan jumlah populasi rumpun padi sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 15 x 40 cm (±222.222 rumpun) lebih banyak dibandingkan dengan populasi rumpun padi tanam sistem tegel dengan jarak tanam 30 x 18 cm (±185.185 rumpun).

Hasil pengkajian dibeberapa lokasi menunjukkan bahwa gabah (produktivitas) hasil penerapan paket rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 lebih tinggi dibandingkan gabah hasil penerapan paket rice transplanter sistem tanam tegel atau terjadi peningkatan hasil (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil penerapan rice transplanter sistem tanam tegel dan ricetransplantersistem tanam jajar legewo 2:1 pada MT-3 2014 dan MT-3 2015

No. Varietas Musim Tanam

Lokasi Hasil (t/ha GKP) Peningkatan

Trans Jarwo

Trans Tegel

(t/ha) GKG %

1 Ciherang MT-3 2014 Jetak Sragen 8,7 7,5 1,2 15,37 2 Mekongga MT-3 2014 Blimbing-Sragen 9,1 8,1 1,0 11,72 3 Mekongga MT-3 2015 Ngarum Sragen 12,0 10,5 1,4 13,43 4 Pepe MT-3 2015 Pilang Sragen 8,5 7,4 1,1 14,96

Rata-rata 9,5 8,4 1,2 13,87

Sumber: Suhendrata (2015a)

Hasil pengkajian dibeberapa lokasi menunjukkan bahwa hasil gabah penerapan paket rice

transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 lebih tinggi dibandingkan hasil penerapan paket sistem tanam jajar legowo 2:1 secara manual (Tabel 5). Terjadi peningkatan hasil pada paket rice transplantersistem tanam jajar legowo 2:1 dikarenakan tanam bibit muda 15-18 hari setelah semai, tanam dangkal, konsisten dan akurat sehingga jumlah anakan produktif meningkat.

Page 182: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

165

Tabel 5. Hasil penerapan paket rice transplantersistem tanam jajar legewo 2:1 dan paket sistem tanam jajar legowo 2:1 secara manual

No. Varietas Musim Tanam Lokasi Hasil (t/ha GKP) Peningkatan

Transplanter Manual (t/ha) GKP %

1 Pepe MT-2 2014 Sragen 7,7 6,8 0,9 13,09 2 Inpari 10 MT-3 2014 Sukoharjo 5,2 4,7 0,4 8,83 3 Ciherang MT-3 2014 Karanganyar 5,1 4,7 0,4 8,81

Rata-rata 6,0 5,4 0,6 10,24

Sumber : Suhendrata (2015a)

Perubahan cara tanam dari manual ke penggunaan mesin tanam bibit padi (rice transplanter)

berdampak terhadap peningkatan produktivitas usahatani padi terutama pada aspek hasil panen, pendapatan petani dan efisiensi waktu, biaya dan tenaga kerja (Suhendrata, 2015).

Kinerja Rice TransplanterJarwo 2:1

Kinerja rice transplantersistem tanam jajar legowo 2:1 relatif sama dengan rice transplantersistem tanam tegel. Operasional penggunaan rice transplanter dilakukan oleh 3 (tiga) orang terdiri dari satu orang sebagai operator atau yang menjalankan rice transplanter, satu orang sebagai penyedia bibit dan satu orang sebagai penyulam rumpun yang kosong dengan produkivitas kerja 6 -7 jam/ha. Menurut Suhendrata (2014a) ditinjau dari aspek tenaga kerja, produktivitas, kualitas tanam kinerja rice transplanter sistem tanamjarwo 2:1lebih efisien dibandingkan dengan sistem tanam jarwo 2:1 manual. Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan rice transplanter dapat mempercepat waktu tanam dan menghemat penggunaan tenaga kerja tanam (Tabel 4).

Tabel 4. Kinerja rice transplanter sistem tanam jarwo 2:1 dibandingkan dengan sistem tanam jarwo 2:1 manual

Parameter Rice TransplanterJarwo 2:1 ManualJarwo

Jumlah tenaga kerja 3 orang 10 – 15 orang Produktivitas 6-7 jam/ha 8-10 jam/ha Kualitas tanam konsisten kurang konsisten Kontrol tenaga kerja mudah sulit

Sumber: Suhendrata (2014)

Kelayakan Finansial

Struktur biaya pada usahatani padi menggunakan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 dan ricetransplanter sistem tanam tegel sama, perbedaan hanya pada nilai penerimaan dan keuntungan. Perbedaan nilai penerimaan dikarenakan produksi rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 lebih tinggi dibandingkan ricetransplanter sistem tanam tegel. Dengan demikian terjadi peningkatan keuntungan Rp. 3.500.000/ha/musim tanam atau terjadi peningkatan 18,03%, peningkatan R/C dari 2,61 menjadi 2,89 dan B/C dari 1,69 menjadi 1,89 (Tabel 6).

Apabila struktur biaya pada usahatani padi tanam menggunakan rice transplanter baik sistem tanam jajar legowo maupun system tanam tegel dibandingkan dengan struktur biaya pada usahatani padi tanam secara manualterdapat perbedaan nilai pada setiap struktur biaya kecuali pada biaya PBB dan P3A. Total biaya usahatani padi tanam secara manual lebih tinggi dibandingkan usahatani padi tanam menggunakan rice transplanter, tetapi sebaliknya penerimaannya lebih rendah sehingga keuntungan dan B/C usahatani padi tanam secara manual lebih rendah dibandingkan keuntungan usahatani padi tanam menggunakan ricetransplanter sistem tanam tegel maupun rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1.

Page 183: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

166

Tabel 6. Kelayakan usahatani padi tanam menggunakan cara manual, rice transplanter sistem tanam tegel dan ricetransplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 di Desa Jungke Kec./Kab. Karangaanyar pada MT-3 2014

No. Uraian Transplanter Tegel (Rp.)

Transplanter Jarwo (Rp.)

Manual (Rp.)

1 Biaya

- Bibit siap tanam 1.200.000 1.200.000 1.650.000

- Saprodi 3.855.000 3.855.000 3.760.000

- Tenaga kerja 6.460.000 6.460.000 6.610.000

- Biaya lain (PBB, P3A) 575.000 575.000 575.000

Jumlah Biaya\ 12.090.000 12.090.000 12.595.000

2 Penerimaan 31.500.000 35.000.000 29.255.814 3 Keuntungan 19.410.000 22.910.000 16.660.814 4 Peningkatan keuntungan

- Transplanter tegel ke transpalnter jarwo 3.500.000 18,03 (%)

- Manual tegel ke ricetransplanter tegel 2.749.186 16,50 (%)

- Manual tegel ke ricetransplanter jarwo 6.249.186 27,28 (%)

4 Kelayakan usahatani

- R/C 2,61 2,89 2,32

- B/C 1,61 1,89 1,32

- MBCR manual ke ricetransplanter tegel

5,4

- MBCR manual ke ricetransplanter jarwo

12,4

Secara finansial tanam menggunakan rice transplanter sistem tanam tegel dapat meningkatkan pendapatan/keuntungan Rp. 2.749.186 dengan Margin Benefit Cost Ratio (MBCR) 5,4 dibandingkan tanam secara manual. Sementara tanam menggunakan rice transplanter sistem jajar legowo 2:1 keuntungannya meningkat Rp. 6.249.186 dengan MBCR 12,4 dibandingkan tanam secara manual. Malian (2004) berpendapat bahwa teknologi usaha pertanian yang dikaji akan menarik petani bila secara intuitif nilai MBCR lebih besar atau sama dengan dua. Ini berarti bahwa perubahan cara tanam dari tanam secara manual menjadi tanam menggunakan ricetransplanter sistem tanam tegel dan rice transplanter sistem jajar legowo 2:1 layak untuk dijalankan dan dikembangkan (Gambar 1). Besaran nilai peningkatan pendapatan/keuntungan petani akibat perubahan penggunaan teknologi cara tanam baik dari cara manual menjadi mekanis menggunakan rice transplanter maupun dari rice transplanter sistem tanam tegel menjadi rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 sangat dipengaruhi oleh harga gabah dan volume kenaikan hasil gabah.

Tanam: rice transplanter tegel Tanam: rice transplanter jarwo

(a)

Page 184: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

167

Tanam: jarwo cara manual Tanam: rice transplanter jarwo

Gambar 1. Perubahan dari tanam rice transplanter sistem tanam tegel ke rice transplanter jarwo (a) dan dan manual jarwo ke rice transplanter jarwo (b)

KESIMPULAN

1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan produktivitas penerapan paket ricetransplanter sistem tanamjajar legowo 2:1lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan hasil penerapan paket ricetransplantersistem tanam tegel.

2. Kinerja rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 relatif sama dengan rice transplanter sistem tanam tegel yaitu menggunakan tiga tenaga kerja dengan produktivitas kerja antara 6-7 jam.

3. Secara finansial usahatani padi tanam menggunakan rice transplanter sistem tanam jajar legowo 2:1 dan ricetransplanter sistem tanam tegel layak untuk dikembangkan dengan MBCR 12,4 dan 5,4.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Karanganyar, PPL Desa Jungke, dan Kelompok Tani Sido Makmur III Desa Jungke Kecamatan Karanganyar serta Teknisi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), 2013a. Sistem tanama jajar legowo. Balitbangtan. Jakarta. 26 pp

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), 2013b. Indo jarwo transplanter dan indo combine harvester mendukung swasembada beras berkelanjutan. Balitbangtan. Jakarta. 12p

Malian, A.H., 2004. Analisis Ekonomi dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Makalah disampaikan pada Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November – 9 Desember 2004. 27pp.

Suhendrata, T. 2013. Prospek pengembangan mesin tanam pindah bibit padi dalam rangka mengatasi kelangkaan tenaga kerja tanam bibit padi. Jurnal SEPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta. 10 (1):97-102

Suhendrata, T., 2014. Penerapan mesin tanam bibit padi jajar legowo 2:1 (rice transplanter jajar legowo 2:1) pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Sragen. Dalam Prosiding Seminar Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 13 September 2014 di Fakultas Pertanian UGMYogyakarta, Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kedaulatan pangan.

Suhendrata, T., 2015. Dampak perubahan penerapan teknologi cara tanam bibit padi terhadap produktivitas usahatani padi di Kabupaten Sragen. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal19 September 2015 di Fakultas Pertanian UGM

(b

)

Page 185: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

168

Yogyakarta, Peningkatan Sinergi dan Inovasi Teknologi untuk Kedaulatan Pangan: 165 - 169

Suhendrata, T., 2015a. Penerapan mesin tanam bibit padi dalam mendukung swasembada padi berkelanjutan. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD Press: 33 - 51

Suhendrata, T., dan E. Kushartanti, 2013. Pengaruh penggunaan mesin tanam pindah bibit padi (transplanter) terhadap produktivitas dan pendapatan petani di Desa Tangkil Kecamatan/Kabupaten Sragen. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal17 April 2013 di Fakultas Pertanian UNS Solo, Akselerasi pembangunan pertanian berkelanjutan menuju kemandirian pangan dan energi.

Page 186: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

169

PENGARUH PAKET TEKNOLOGI PUPUK HAYATI TERHADAP KARAKTERISTIK TANAH DAN HASIL PADI SAWAH

FERTILIZER PACKAGE TECHNOLOGY EFFECT ON CHARACTERISTICS OF LAND AND YIELD OF PADDY FIELD

Iskandar Ishaq, Oswald Marbun dan Liferdi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jl. Kayuambon No 80 Lembang, Bandung Barat 40371

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Pupuk hayati dimaksudkan sebagai mikroorganisme hidup yang ditambahkan ke dalam tanah dalam bentuk inokulan atau bentuk lain untuk memfasilitasi atau menyediakan hara tertentu bagi tanaman. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh empat jenis pupuk hayati terhadap hasil dan pendapatan petani padi sawah. Penelitian dilakukan di Desa Kodasari, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka pada MK II 2013. Tanaman indikator yang digunakan adalah padi sawah varietas Inpari-19. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan 4 orang petani sebagai ulangan. Perlakuan terdiri atas trak(A) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Probio 15 lt/ha, (B) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Agrimeth 400 g/ha, (C) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Biovam 17,5 kg/ha, (D) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Remicr 6 lt/ha, dan (E) Petani yang menerapkan pemupukan N 180 kg/ha + P2O5 38 kg/ha + K2O 38 kg/ha tanpa menggunakan pupuk hayati (Kontrol). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penggunaan pupuk hayati berpengaruh terhadap kadar liat, bahan organik, nitrogen, fosfat dan kalium tanah, selain mampu meningkatkan hasil 17,7-43,3%.

Kata Kunci: Pupuk hayati; Hasil; Padi Sawah; Tanah; Karakteristik.

ABSTRACT

Biological fertilizer intended as living microorganisms that are added to the soil in the form of inoculant or other forms to facilitate or provide specific nutrients for plants. The purpose of the study determines the effect of four biological fertilizer on agronomic characteristics and yield of rice. The study was conducted at Kodasari Village, District Ligung, Majalengka in second dry season 2013. Plant indicatorsused arepaddyricevariety of Inpari-19.Research using a randomized block design with 5 treatments and 4 farmers as a replication. The treatments consist of (A) Famers that applied fertilizer package N 90 kg ha

-1 + P2O5 19 kg ha

-1 + K2O 19 kg ha

-1 + Probio biofertilizer 15 l ha

-1, (B)

Famers that applied fertilizer package N 90 kg ha-1

+ P2O5 19 kg ha-1

+ K2O 19 kgha-1

+ Agrimeth biofertilizer 400 g ha

-1, (C) Famers that applied fertilizer package (N 90 kg ha

-1 + P2O5 19 kg ha

-1 +

K2O 19 kg ha-1

+ Biovam biofertilizer 17,5 kg ha-1

), (D) Famers that applied fertilizer package ( N 90 kg ha

-1 + P2O5 19 kg ha

-1 + K2O 19 kg ha

-1 + Remicr 6 l ha

-1), and (E) Famers that applied fertilizer

package (N 180 kg ha-1

+ P2O5 38 kg ha-1

+ K2O 38 kg ha-1

without biofertilizer) (check).The results showed that application of biological fertilizer has effect to soil characteristic (clay, organic matter, nitrogen, phosphate and potassium respectively) and also beable to increase of yield from 17.7 to 43.3%.

Keywords: Biological fertilizer; Yield;Paddy Rice; Soil; Characteristic

Page 187: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

170

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi padi pasca revolusi hijau, diantaranya disebabkan penggunaan varietas unggul yang memiliki respons serapan hara (pemupukan) lebih tinggi yaitu 3,02 kali dibandingkan dengan varietas lokal (Dierolf et al., 2001 dalam Yuwono, 2007) dan sebagian besar kebutuhan pupuk tersebut dipenuhi oleh pupuk kimia. Oleh karena itu penggunaan pupuk kimia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan kebutuhan pupuk 1,5-1,7% per tahun (Saraswati, 2000; Simanungkalit, 2000). Menurut Sumarno dan Suyamyo (2008), beberapa dampak negatif penggunaan pupuk kimia yang cenderung terus meningkat pada lahan sawah, diantaranya dapat menyebabkan: (1) penurunan mutu lingkungan lahan sawah; (2) jaminan keberlanjutan sistem produksi padi; (3) cemaran residu yang berasal dari sarana produksi berupa bahan kimia berbahaya; dan (4) penurunan mutu lahan dan kesuburan tanah.

Pupuk hayati dimaksudkan sebagai mikroorganisme hidup yang ditambahkan ke dalam tanah dalam bentuk inokulan atau bentuk lain untuk memfasilitasi atau menyediakan hara tertentu bagi tanaman. Menurut Saraswati (2000), manfaat dari penggunaan pupuk hayati: (1) menyediakan sumber hara bagi tanaman, (2) melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit, (3) menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna sehingga memperpanjang usia akar, (4) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, (5) sebagai penawar beberapa logam berat, (6) sebagai metabolit pengatur tumbuh, dan (7) sebagai bioaktivator.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi dampak negatif penggunaan pupuk kimia berlebih, peningkatan efisiensi penggunaan pupuk kimia sekaligus peningkatan produktivitas tanaman, seiring dengan tumbuhnya kesadaran terhadap bahaya pencemaran lingkungan melalui penggunaan pupuk kimia yang berlebihan adalah melalui penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Aplikasi mikroorganisme dalam pupuk hayati mampu menurunkan dosis pupuk kimia 25%-83% pada tanaman pangan (Arifin, 2012; Goenadi, 1995; Young et al., 1988), menurunkan dosis pupuk kimia 50% pada tanaman buah semangka (Antonius dan Agustiyani, 2011) dan dapat meningkatkan hasil padi 15%-30% (Saraswati et al., 1999 dalam Suhartatik dan Sismiyati, 2000; Okon et al., 1989 dalam Saraswati, 2000), dan merupakan bagian dari sistem produksi pertanian berkelanjutan (Agus et al., 2008; Simanungkalit, 2000).

Tujuan penelitian mengetahui pengaruh empat jenis pupuk hayati terhadap karakteristik tanah dan hasil panen padi sawah.

Hipotesis yang diajukan adalah: (a) HO : rata-rata hasil panen padi sawah dan pendapatan petani yang menerapkan paket pemupukan yang ditambahkan pupuk hayati dengan hasil panen padi sawah yang tidak menerapkan paket pemupukan yang ditambahkan pupuk hayati adalah sama, dan (b) H1: rata-rata hasil panen padi sawah dan pendapatan petani yang menerapkan paket pemupukan yang ditambahkan pupuk hayati dengan hasil panen padi sawah dan pendapatan petani yang tidak menerpakan paket pemupukan yang ditambahkan pupuk hayati adalah berbeda.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Desa Kodasari, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka pada MK II 2013 (April-Agustus 2013). Topografi wilayah datar sampai sedikit bergelombang dengan tingkat kemiringan lahan 2-5%, ketinggian tempat 25–30 m dpl. Iklim sedang dengan suhu harian 22-30

OC,

dalam setahun terdiri atas 5 bulan basah dan 7 bulan kering. Curah hujan selama 10 tahun terakhir rata-rata 304 mm per bulan dengan jumlah hari hujan setiap bulannya rata-rata 10,6 hari hujan (BPP Ligung, 2012). Tanaman indikator yang digunakan adalah padi sawah varietas INPARI-19, sistem tanam yang digunakan adalah Legowo 2:1 dengan jarak tanam 25x15x40 cm, jumlah bibit yang ditanam 2-3 bibit per rumpun. Pupuk hayati yang dipergunakan 4 jenis, yakni Probio, Agrimeth, Biovam, dan Remicr. Penelitain menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan 4 orang petani sebagai ulangan. Rancangan perlakuan diatur sebagai berikut : (A) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Probio 15 lt/ha, (B) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Agrimeth 400 g/ha, (C) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Biovam 17,5 kg/ha, (D) Petani yang menerapkan paket pemupukan N 90 kg/ha + P2O5 19 kg/ha + K2O 19 kg/ha + Pupuk hayati Remicr 6 lt/ha, dan (E) Petani yang menerapkan pemupukan N 180 kg/ha + P2O5 38 kg/ha + K2O 38 kg/ha tanpa menggunakan pupuk hayati (Kontrol).

Page 188: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

171

Luas seluruh petak percobaan adalah 10 ha, sedangkan luas petak perlakuan masing-masing perlakuan bervariasi tergantung penguasaan lahan petani, yakni berkisar 1.400-7.000 m

2.

Ubinan merupakan cara pendugaan hasil panen yang dilakukan dengan menimbang hasil tanaman contoh pada petak panen. Tanaman contoh diambil pada pertengahan petak, tidak pada dua baris paling pinggir dekat pematang. Ukuran ubinan 9,75 m

2 di tengah petakan. Jumlah rumpun

tanaman dalam ubinan 128-198 rumpun, sebab jarak tanam yang digunakan adalah 40cmx(25x15cm). Posisi batas ubinan ditentukan pada pertengahan jarak antar tanaman. Panen dengan cara memotong batang bagian bawah pada kondisi 90% gabah pada malai telah berwarna kuning. Gabah dirontok dari malainya dan dibersihkan dari kotoran, kemudian ditimbang dan diukur kadar airnya sebagai gabah kering panen (GKP). Konversi hasil ubinan ke dalam gabah kering giling (GKG) dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Ishaq dan Ramdhaniati, 2009):

Hasil GKG 14% = ((100-Ka)/86) x GKP

Keterangan:

Ka : Kadar air (%)

GKP : Gabah Kering Panen

GKG : Gabah Kering Giling

Variabel yang diamati, meliputi : (a) karakteristik tanah meliputi komposisi pasir, debu dan liat; pH tanah, kandungan bahan organik tanah, kandungan unsur hara (N, P, K) dalam tanah, (b) karakteristik tanaman meliputi tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif, umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah gabah per malai, dan hasil/produktivitas (t/ha). Analisis data karakteristik agronomis tanaman dilakukan dengan menggunakan uji berganda duncan (DMRT) pada taraf 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data curah hujan diatas, rata-rata selama lima tahun terakhir adalah 2.143 mm/th atau 179 hari hujan/bln, dengan rata-rata bulan basah 6,4; rata-rata bulan lembab 3,4; dan rata-rata bulan kering 2,2. Berdasarkan nilai Q=0,36 menunjukan bahwa kecamatan Ligung termasuk dalam kategori hujan tipe C yang sifatnya sedang (agak basah). Keadaan curah hujan tersebut cukup menguntungkan bagi kegiatan usahatani.

Curah hujan akan berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembentukan bunga dan buah pada tanaman tropis (Sutarno et al., 1997). Di wilayah dengan empat musim, pengaruh suhu berlaku ganda. Pada waktu awal pertumbuhan suhu harus cukup tinggi agar pertumbuhan tidak terhambat. Suhu sebelum perubahan fase pertumbuhan itu terjadi sangat penting. Faktor lain yang memicu pembungaan adalah panjang hari atau panjang periode selama setiap 24 jam.

Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai macam unsur yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur penyusun lingkungan di atas tanah dan lingkungan di dalam tanah. Unsur lingkungan di dalam tanah umumnya dapat dikendalikan, sedangkan unsur yang terdapat di atas tanah pada umumnya sulit atau tidak dapat dikendalikan. Unsur penyusun lingkungan tersebut sering terdapat dalam kuantitas bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu, sehingga lingkungan merupakan faktor potensial penyebab keragaman pertumbuhan tanaman di lapangan.

Faktor lingkungan akan mempengaruhi proses fisiologi dalam tanaman. Unsur iklim yang mempengaruhi proses fisiologi dalam tanaman, diantaranya (a) tinggi tempat dari permukaan laut, (b) curah hujan dan distribusi hujan (Ashari, 2006), (c) radiasi matahari, dan (d) suhu (Guslim, 2007; Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Kondisi lingkungan yang sesuai selama pertumbuhan akan merangsang tanaman padi untuk berbunga dan menghasilkan malai (gabah) lebih baik. Ketinggian tempat adalah ketinggian dari permukaan air laut (elevasi). Tinggi tempat dari permukaan laut menentukan suhu udara dan intensitas sinar yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu udara tempat tersebut dan intensitas radiasi matahari akan semakin berkurang.

Perbedaan regional dalam topografi, geografi dan cuaca menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola tanam dan usahatani serta sistem sosial ekonomi. Pola tanam pada tanaman padi yang ditanam secara terus menerus akan meningkatkan kompleksitas serangan hama, penyakit dan gulma. Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi tanaman

Page 189: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

172

inang, musuh alami hama baik predator, parasitoid maupun patogen yang akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama.

Karakteristik Tanah

Hasil analisistanah sebelum dan sesudahpercobaan pada perlakukan pertanaman padi sawah yang menggunakan pupuk hayati menunjukkan, bahwa terjadi perubahan baik pada tekstur tanah, pH tanah maupun kandungan bahan organik tanah. Kandungan liat meningkat 2% dari semula 33% (awal) menjadi 35% (akhir) pada perlakukan pupuk hayati Remicr dan Biovam, sedangkan pada perlakuan aplikasi Probio dan Agrimeth peningkatan kandungan liat relatif lebih kecil (1%) yaitu dari semula 33% menjadi 34%.

Berdasarkan kandungan bahan organik, aplikasi pupuk hayati mampu meningkatkan kandungan C-organik tanah dari semula 0,98% (sangat rendah) menjadi berturut-turut 1,48% (rendah) pada perlakuan Probio, 1,31 % (rendah) pada perlakuan Remicr, 1,2% (rendah) pada perlakuan Agrimeth dan 1,12% (rendah) pada perlakuan Biovam.

Tabel 1. Karakteristik tanah pada saat sebelum dan sesudah aplikasi paket pupuk hayati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. MK-II 2013.

No.

Perlakuan

Tekstur pH Bahan Organik Pasir Debu Liat H2O KCl Walkiey &

Black C Kyeldahl N C/N

Sebelum 9 58 33 5,58 5,32 0,98 0,12 8

Sesudah 1. Pupuk anorganik 50% +

Remicr 7 58 35 5,8 5,58 1,31 0,18 7

2. Pupuk anorganik 50% + Probio

8 59 33 6,26 6,05 1,48 0,25 6

3. Pupuk anorganik 50% + Agrimeth

9 57 34 5,75 6,62 1,20 0,15 8

4. Pupuk anorganik 50% + Biovam

8 57 35 5,87 5,7 1,12 0,17 7

Sumber: Hasil analisis tanah di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor (2013)

Setelah aplikasi pupuk hayati kandungan nitrogen (N) dalam tanah meningkat 0,03-0,13%

dibandingkan kondisi sebelumnya, yaitu 0,12% menjadi 0,25% setelah aplikasi Probio (meningkat 0,13%), menjadi 0,18% setelah aplikasi Remicr (meningkat 0,06%), menjadi 0,17% setelah aplikasi Biovam (meningkat 0,05%) dan menjadi 0,15% setelah aplikasi Agrimeth (meningkat 0,03%). Rasio C/N setelah aplikasi umumnya terjadi penurunan (C/N=6-7), kecuali pada perlakuan aplikasi Agrimeth relatif tetap (C/N=8).

Aplikasi pupuk hayati dapat meningkatkan P2O5 dari semula 7 mg/100g (sedang) berturut-turut menjadi 8 mg/100g (sedang) pada Remicr dan Agrimeth, 10 mg/100g (sedang) pada Biovam, dan menjadi 12 mg/100g (sedang) pada Probio. Selain itu aplikasi pupuk hayati mampu meningkatkan kandungan P total (potensial) dan P tersedia.

Kandungan K2O menunjukkan peningkatan dari semula (sebelum pengkajian) 8 mg/100g (tinggi) menjadi berturut-turut 9 mg/100g (tinggi) pada Agrimethh, 10 mg/100g (tinggi) pada Remicr, 11 mg/100g (tinggi) pada Biovam, dan menjadi 13 mg/100g (tinggi) pada Probio. Kandungan total unsur hara mikro (Ca, Mg, K, Na) mengalami peningkatan dari semula (sebelum pengkajian) 10,22 cmol (+/kg) setelah pengkajian berturut-turut menjadi 10,95 cmol (+/kg) pada Agrimeth, 11,77 cmol (+/kg) pada Biovam, 12,67 cmol (+/kg) pada Remicr dan 13,88 cmol (+/kg) pada Probio.

Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan peningkatan setelah aplikasi dari semula (sebelum pengkajian) 17,58 cmol/kg berturut-turut menjadi 18,29 cmol/kg pada Agrimeth, 19,04cmol /kg pada Biovam, 19,45 cmol/kg pada Probio dan menjadi 20,14 cmol/kg pada Remicr.

Page 190: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

173

Tabel 2. Kandungan fosfat, kalium, hara mikro dan kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) dalam tanah saat sebelum (before) dan setelah (after) aplikasi pupuk hayati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. MK-II 2013.

No.

Perlakuan

Ekstrak HCl 25% Bray 1 P2O5

Morgan K2O

Ekstrak NH4

P2O5 K2O Jml Ca, Mg, Na

KTK KB

Sebelum 7 8 34,27 36,12 10,22 17,58 58

Sesudah 1. Pupuk anorganik

50% + Remicr 8 10 36,25 37,88 12,67 20,14 63

2. Pupuk anorganik 50% + Probio

12 13 54,22 60,25 13,88 19,45 71

3. Pupuk anorganik 50% + Agrimeth

8 9 39,67 42,23 10,95 18,29 60

4. Pupuk anorganik 50% + Biovam

10 11 43,12 47,38 11,77 19,04 62

Sumber: Hasil analisis tanah di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor (2013)

Kelas status hara dikategorikan rendah, sedang dan tinggi memberikan informasi tentang

respon hasil yang diharapkan (Rosmarkam dan Yuwono, 2002; Wijanarko dan Taufik, 2008), yaitu : (a) status hara rendah mengindikasikan kebutuhan pupuk yang lebih banyak, respon pemupukan tinggi, bila tidak dipupukgejala kahat hara akan muncul, pertumbuhan tanaman tidak normal, ada kemungkinan tanaman mati meskipun kecil dan tanaman tidak berbuah, (b) status hara sedang menunjukkan kebutuhan hara sedang, respon pemupukan sedang bila tidak dipupuk pertumbuhan tanaman kurang normal, gejala kahat hara tidak muncul dan produksinya rendah, dan (c) status hara tinggi memerlukan pupuk lebih sedikit, respon pemupukan rendah, tambahan pemberian pupuk hanya untuk pemeliharaan kesuburan tanah.

Karakteristik Agronomis Tanaman

Keragaan tinggi tanaman rata-rata dari semua perlakuan 120 cm. Pertumbuhan tanaman padi varietas Inpari-19 paling rendah adalah pada perlakuan Remicr (111 cm) dan tanaman tertinggi adalah pada perlakuan Biovam (126 cm) berturut-turut diikuti oleh perlakuan Agrimeth (123 cm), Probio (121 cm) dan Cara Petani (Kontrol) yaitu 119 cm. Bila dibandingkan dengan varietas Inpari-19 di dalam Deskripsi Varietas Padi Sawah (BB Padi, 2012), maka keragaan tanaman pada pengkajian lebih tinggi 17-24 cm diandingkan dalam deskripsi varietas.

Tabel 3. Keragaan beberapa karakter agronomis pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. MK-II 2013.

No. Perlakuan Tinggi

Tanaman (cm)

Jml Anakan Produktif

Umur (hari setelah tanam/HST)

Awal berbunga

50% Berbunga

Panen

1 Pupuk anorganik 50% + Remicr

110,61a 20,17a 30a

50a 85a

2 Pupuk anorganik 50% + Probio

121,28b 18,94a 30a

50a 85a

3 Pupuk anorganik 50% + Agrimeth

122,83b 18,94a 30a

50a 85a

4 Pupuk anorganik 50% + Biovam

125,56b 22,94a 30a

50a 85a

5 Kontrol 119,28ab 20,22a 30a 50a 85a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf 95% berdasarkan uji berganda duncan (DMRT).

Jumlah anakan produktif rata-rata dari semua perlakuan adalah 20 anakan. Jumlah anakan

produktif paling banyak pada perlakuan Biovam (23 anakan) dan paling sedikit adalah pada perlakuan Probio dan Agrimeth masing-masing 19 anakan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan Cara

Page 191: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

174

Petani (Kontrol) yakni 20 anakan. Keragaan anakan produktif hasil pengkajian (20 anakan) rata-rata lebih banyak 5 anakan dibandingkan dengan deskripsi varietas, yakni 15 (BB Padi, 2012).

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa umur awal berbunga adalah 30 hari setelah tanam/HST atau 47 hari setelah semai/HSS dan umur panen adalah 85 HST atau 102 HSS. Hal itu sesuai dengan deskripsi varietas yaitu 102 hari (BB Padi, 2012). Ketinggian tempat dari permukaan laut juga sangat menentukan waktu pembungaan dan panen tanaman. Tanaman yang ditanam di dataran rendah berbunga dan panen lebih awal dibandingkan dengan yang ditanam pada dataran lebih tinggi (Ashari, 2006; Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Dengan demikian pertumbuhan tanaman padi pada pengkajian dem-area PHUN di Desa Kodasari, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka dengan ketinggian tempat dari permukaan laut sekitar 25 m dpl adalah tergolong wilayah dataran rendah diperkirakan akan berbunga dan panen lebih awal dibandingkan dengan wilayah yang lebih tinggi. Keragaan tinggi tanaman, anakan produktif dan umur disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan jumlah gabah total pada setiap malainya, diketahui rata-rata jumlah gabah dari percobaan ini adalah 211 bulir per malai. Diantara empat perlakuan pupuk hayati yang diuji, maka hanya pupuk hayati Probio (232 bulir per malai) yang lebih banyak dibandingkan dengan cara petani (kontrol) yaitu 219 bulir per malai, sebaliknya pupuk hayati Remicr (192 bulir per malai), Agrimeth (209 bulir per malai), dan Biovam (205 bulir per malai) memiliki jumlah gabah lebih sedikit dibandingkan dengan cara petani (kontrol) yakni 219 bulir per malai. Namun demikian berdasarkan karakteristik jumlah gabah isi per malai diketahui, bahwa perlakuan pupuk hayati Probio (187 bulir per malai) memiliki jumlah gabah isi per malai lebih banyak dibandingkan dengan cara petani (kontrol), tetapi perlakuan pupuk hayati Biovam menunjukkan jumlah gabah isi per malai sama dengan cara petani kontrol (181 bulir per malai) dan memiliki jumlah gabah hampa paling sedikit (24 bulir per malai) dibandingkan dengan semua perlakuan pengujian (28-45 bulir per malai). Komponen hasil jumlah gabah total, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa per malai disajikan pada Tabel 4.

Penampilan komponen hasil panjang malai dari seluruh perlakuan yang diuji menunjukkan rata-rata sepanjang 28,37 cm dengan malai terpanjang berturut-turut pada perlakuan pupuk hayati Probio (28,87 cm); cara petani kontrol (28,64 cm); Biovam (28,45 cm); Agrimeth (27,99 cm); dan Remicr (27,90 cm). Ukuran malai relatif panjang pada perlakuan Probio dipengaruhi jumlah gabah total yang relatif banyak. Namun demikian jumlah gabah total relatif banyak pada perlakuan Probio tersebut diikuti pula peningkatan jumlah gabah hampa (Tabel 4).

Tabel 4. Keragaan komponen hasil pada pertanaman padi sawah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. MK-II 2013

No. Perlakuan Jumlah Gabah Panjang malai

(cm)

Produktivitas (t/ha)

Total Isi/malai Hampa/malai GKP GKG

1 Pupuk anorganik 50% + Remicr

191,91 164,44a 27,47ab 27,90a 5,06ab 4,65ab

2 Pupuk anorganik 50% + Probio

231,98 187,12a 44,86c 28,87a 5,24ab 4,81abc

3 Pupuk anorganik 50% + Agrimeth

208,97 178,68a 30,29ab 27,99a 5,86bc 5,12bc

4 Pupuk anorganik 50% + Biovam

205,01 181,39a 23,62a 28,45a 6,35c 5,66c

5 Kontrol 218,67 180,56a 38,11bc 28,64a 4,42a 3,95a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf 95% berdasarkan uji berganda duncan (DMRT).

Secara umum aplikasi pupuk hayati berpengaruh terhadap peningkatan hasil, baik dalam

bentuk gabah kering panen (GKP) dengan kadar air 22-26% maupun gabah kering giling (GKG) dengan kadar air 14-15%. Hal itu ditunjukkan dalam data produktivitas (hasil panen) sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Peningkatan hasil panen padi varietas Inpari-19 berturut-turut pada pupuk hayati Remicr 0,7 t/ha (17,72%); Probio sebesar 0,86 t/ha GKG (21,77%); Agrimeth sebesar 1,17 t/ha GKG (29,62%); dan pada pupuk hayati Biovam 1,71 t/ha GKG (43,29%).

Secara umum aplikasi pupuk hayati berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman padi. Hal itu ditunjukkan berdasarkan adanya peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman rata-rata 3,94 cm (kecuali pada Remicr) dan penambahan jumlah anakan produktif sebanyak 2 anakan per rumpun tanaman kecuali pada Remicr, Probio dan Agrimeth. Pupuk hayati Probio menunjukkan

Page 192: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

175

jumlah gabah total dan jumlah gabah isi per malai lebih banyak dibandingkan dengan kontrol, tetapi diikuti pula dengan peningkatan jumlah gabah hampa per malai yang lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, pupuk hayati Probio menunjukkan pengaruh terhadap panjang malai. Namun demikian, karakteristik malai yang relatif lebih panjang (panjang malai 28,87 cm) dibandingkan dengan perlakuan pupuk hayati lainnya tetapi karena diikuti pula oleh karakteristik jumlah gabah hampa lebih banyak (jumlah gabah hampa 45 bulir per malai atau 19,34%), maka hasil panen yang dapat dicapai relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pupuk hayati lainnya (Biovam dan Agrimeth). Hal itu sejalan dengan penelitian Arifin (2012), Saraswati (2000), dan Simarmata (1994), bahwa terdapat pengaruh pupuk hayati, dosis pupuk nitrogen dan fosfor terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan meningkatkan hasil panen tanaman padi.

KESIMPULANDAN SARAN

Aplikasi pupuk hayati berpengaruh terhadap karakteristik tanah dan karakter agronomis tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan hasil tanaman padi sawah. Dengan demikian hipotesis H0 ditolak. Penggunaan pupuk hayati terhadap tanaman padi sawah mampu meningkatkan hasil panen (produktivitas)17,7-43,3%.

Pengaruh pupuk hayati Remicr dan Probio berbeda tidak nyata dengan kontrol. Oleh karena itu disarankan untuk disempurnakan formulasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri J., M. Soepartini, A. Kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1995. Teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah dan lahan kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17-20 Januari 1995.

Agus, F. dan A. Mulyani. 2006. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice self sufficiency. Proceedings International Rice Conference, 12-14 Sept. Denpasar, Bali. Indonesian institute of Rice Research, Sukamandi.

Agus, F., D. Setyorini, dan Ai Dariah. 2008. Pelestarian sumberdaya lahan tanaman padi. h221-249 dalam Suyamto et al., (Eds.) Buku I Padi : Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 499h.

Antonius, S., dan D. Agustiyani. 2011. Pengaruh pupuk organik hayati yang mengandung mikroba bermanfaat terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman semangka serta sifat biokimia tanahnya pada percobaan lapangan di Malinau-Kalimantan Timur. Berk. Penel. Hayati (16):203-206.

Arifin, J. Juniawan. 2012. Pengaruh pupuk hayati dan dosis pupuk nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) varietas Ciherang. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. 89h.

Ashari, S 2006, Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta. Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis: Dukungan Aspek

Mekanisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2013.Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.65h. BPS, Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam angka Tahun 2009. BPS Jawa Barat, Bandung. BPP Ligung. 2012. Programa Penyuluhan Pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Ligung,

Kabupaten Majalengka. 23h. Danapriatna, N dan T. Simarmata, 2011. Viabilitas pupuk hayati penambat nitrogen (Azotobacter dan

Azospirillum ) ekosistem padi sawah pada berbagai formulasi bahan pembawa. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 3(1):2011.

Guslim, 2007. Agroklimatologi, USU Press, Medan. Ishaq, I dan S. Ramdhaniati, 2009. Petunjuk teknis display varietas. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian. h6-7. Ishaq, I. 2011. Konsumsi dan strategi pemenuhan kebutuhan beras pada 2015 di Jawa Barat h.217-229

dalam Sumarno et al (Eds.): IPTEK Tanaman Pangan 6(2):2011. 274h. Katupitya, S., and K. Vlassak. 1990. Colonization of wheat roots by Azospirillum brasilense. In:

Organic recycling in Asia and the Pacific. Rapa Bull. 6:8.

Page 193: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

176

Mashar Ali Zum, 2000. Teknologi Hayati Bio P 2000 Z sebagai upaya untuk memacu produktivitas pertanian organik di lahan marginal. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Teknologi Organik di Cibitung 22 Mei 2000.

Mugnisjah,W.Q. dan Setiawan, A. 1995, Produksi Benih, Penerbit Bumi Aksara Jakarta, bekerjasama dengan Pusat antar Universitas-Ilmu Hayat, Institut Pertanian, Bogor.

Rosmarkam, A., dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. 224h. Saraswati, R. 2000. Peranan pupuk hayati dalam peningkatan produktivitas pangan. h46-54 dalam

Suwarno et al., (Eds.): Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 347h.

Simanungkalit, R.D.M. 2000. Apakah pupuk hayati dapat menggantikan pupuk kimia?. h33-45 dalam Suwarno et al., (Eds.): Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 347h.

Simarmata, T. 1994. Prospek pemanfaatan bioteknologi tanah (Azotobacter sp. dengan pupuk kandang) dalam meningkatkan produktivitas lahan marginal Ultisol dengan indikator tanaman tomat (Lycopersicon esculentum). J. Agrikultura 5 (1) : 60–74

Suhartatik, E. Dan R. Sismiyati. 2000. Pemanfaatan pupuk organik dan agen hayati pada padi sawah. h81-98 dalam Suwarno et al., (Eds.): Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 347h

Sumarno dan Suyamto. 2008. Budidaya padi ramah lingkungan dan berkelanjutan. h360-387 dalamSuyamto et al., (Eds.) Buku I Padi : Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 499h.

Wahid, A. S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003

Wijanarko, A dan A. Taufiq. 2008. Penentuan kebutuhan pupuk P untuk tanaman kedelai, kacang tanah dan kacang hijau berdasarkan uji tanah di lahan kering masam ultisol. Bul. Palawija No 15:1-8.

Young, C.C., T.C. Juang, and C.C. Chao. 1989. Effect of rhizobium and vesicular arbuscular mycorrhizae inoculation on nodulation, symbiotic nitrogen fixation, and soybean yield in subtropical field. Biol. Fertil. Soils (6):165-169.

Yuwono, N.W. 2007. Kesuburan dan produktivitas tanah sawah. (http://nasih.wordpress.com/2010/06/07/permentan-no-28-th-2009-pupuk-organikpupukhayati). Diakses 14 September 2013.

Page 194: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

177

KERAGAAN POPULASI F2 KETURUNAN HASIL PERSILANGAN PADI GOGO LOKAL “PENDEK” DENGAN PADI IR 78581 PADA BEBERAPA TARAF CEKAMAN AL

(ALUMUNIUM)

PERFORMANCES OF F2 UPLAND RICE POPULATION GENERATED FROM CROSS BETWEEN “PENDEK” AND IR 78581 AT DIFFERENT LEVVELS OF ALUMINUM STRESS

Kiky Nurfitri Sari, Catur Herison dan Mohammad Chozin

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,Universitas Bengkulu Jl. W. R. Supratman Kandang Limun Bengkulu Telp. (0736) 21290

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Cekaman Al dapat menyebabkan kerusakkan pada akar tanaman dan menurunkan produksi tanaman. Persilangan padi gogo lokal “pendek” dengan IR 78581 diarahkan untuk menghasilkan varietas padi gogo yang toleran Al dan produksi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan populasi F2 dari persilangan padi gogo lokal “Pendek” dengan IR 78581 pada berbagai tingkat cekaman Al pada kultur hara dan mengevaluasi hasil tanaman populasi F2 terseleksi pada tanah Ultisol. Penelitian dilakukan di rumah kaca dan lahan percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga bulan Mei 2013 melalui dua tahap percobaan yaitu skrining genotipe pada kultur hara dan evaluasi hasil skrining pada tanah Ultisol. Pada tahap skrining, percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan untuk mengalokasikan 3 taraf konsentrasi Al. Hasil skrining menunjukkan bahwa cekaman Al nyata mempengaruhi panjang akar relatif dan volume akar relatif. Hasil evaluasi di lapangan menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan pada kultur hara tidak berkorelasi erat terhadap variabel pertumbuhan dan hasil evaluasi tanaman di tanah Ultisol karena tingkat cekaman Al pada kultur hara lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat cekaman Al di tanah Ultisol.

Kata kunci : cekaman alumunium, Oryza sativa L, toleran.

ABSTRACT

Aluminum (Al) stress can damage plant root system and reduce yield of rice. A cross between upland local variety “Pendek” and IR 78581 was made to generate a high yielding rice variety that tolerant to Al stress. Objectives of this study were to determine the Al concentration in nutrient media that best discriminating the Al tolerance of F2 population of pendek and IR 78581 cross and to evaluate their performances in Ultisol.The study was carried out at the greenhouse and experimental orchid of Agronomy Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu from December 2012 to May 2013. The greenhouse experiment was conducted on nutrient media containing three levels of Al concentrations and arranged in a completely randomized design with three replications. Significant differences in relative root length and relative root volume of seedlings were found among the Al concentrations. A completely randomized design with three replications was also used conduct field experiment with ultisol in polybag as the growing media for the seedlings resulted from nutrient culture. The correlation analysis showed low correlation between seedling characteristics and plant performances in Ultisol media, implying that seedlings performancesin nutrient culture containing 60 ppm Al cannot be used as selection criteria for the plant performances on Ultisol.

Keywords : aluminum stress, Oryza sativaL, tolerance.

Page 195: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

178

PENDAHULUAN

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama penghasil beras yang menjadi sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2012), produksi padi di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 65,7 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Namun demikian, untuk terus dapat memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan produksi padi di dalam negeri harus tetap dilakukan. Peningkatan produksi padi akan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan lahan sawah. Hal tersebut disebabkan oleh semakin sempitnya lahan sawah akibat alih fungsi lahan sehingga ektensifikasi merupakan alternatif yang tepat untuk meningkatkan produksi padi di lahan kering.

Lahan kering di Indonesia banyak didominasi oleh tanah Ultisol. Jika ditinjau dari segi luasnya, tanah Ultisol memiliki pontesi yang besar untuk dikembangkan dalam sistem pertanian. Namun demikian, Ultisol merupakan tanah masam dengan kendala utama pH rendah dan kejenuhan Al yang tinggi (Hairil 2013). Kejenuhan Al yang tinggi di dalam tanah dapat bersifat racun bagi tanaman karena mengganggu pertumbuhan akar dan penyerapan hara di dalam tanah.

Saat ini upaya pengembangan varietas-varietas padi gogo toleran Al khususnya telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Santika (2011) dan Purnamaningsih et al. (2008). Pujiwati et al. (2012), telah menyilangkan padi gogo lokal “Pendek” dengan padi IR 78581 yang diarahkan untuk menghasilkan genotipe yang sesuai untuk lahan masam, namun demikian evaluasi varietas toleransi hasil persilangan tersebut terhadap cekaman Al masih perlu dilakukan.

Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi keragaan populasi F2 keturunan hasil persilangan padi gogo lokal “Pendek” dengan padi IR 78581 pada berbagai tingkat cekaman Al melalui kultur hara dan mengevaluasi tanaman populasi F2 terseleksi pada tanah Ultisol.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga bulan Mei 2013 di rumah kaca dan lahan percobaan Faklutas Pertanian, Universitas Bengkulu. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap percobaan yang meliputi skrining dan evaluasi.

Larutan hara yang digunakan terdiri dari unsur hara makro dan mikro. Komposisi hara makro yang digunakan adalah 45,7 g N + 20,15 g P + 35,7 g K + 44,3 g Ca + 162 g Mg yang masing-masing unsur tersebut dilarutkan ke dalam 500 ml air. Sedangkan komposisi hara mikro terdiri dari 0,75 g Mn + 0,037 g Mo + 0,467 g B + 0,0175 g Zn + 0,031 g Cu + 3,85 g Fe + 5,95 g asam sitrat (Yoshida et al., 1976). Masing-masing unsur hara mikro tersebut dicampurkan menjadi satu dan kemudian dilarutkan ke dalam 500 ml air. Untuk pencampuran unsur hara mikro ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat. Selanjautnya penambahan larutan Al (stok 2000 AlCl3 ) disesuaikan dengan konsentrasi perlakuan yang diberikan.

Benih F2 yang telah dikecambahkan pada media pasir, dipilih dan dipindahkan ke media hara untuk ditumbuhkan selama 30 hari dengan menggunakan styrofoam. Evaluasi dilakukan terhadap 10% tanaman hasil skrining di kultur hara yang mewakili 8 kelompok toleransi tanaman berdasarkan tinggi bibit, panjang akar dan volume akar. Tanaman sampel dipindahkan ke polibag dengan menggunakan media tanam berjenis tanah Ultisol.

Variabel yang diamati pada tahap skrining terdiri atas tinggi bibit (cm), panjang akar (cm), volume akar (ml), PAR (panjang akar relatif) dan VAR (volume akar relatif). Sedangkan pada tahap evaluasi variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, umur berbunga, jumlah anakan produktif, panjang malai, bobot gabah kering dan bobot 1000 butir gabah.

Data skrining dianalisis secara statistik dengan analisis varian (uji F taraf 5%), peubah yang berpengaruh nyata pada uji F dianalisis dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Selanjutnya data hasil evaluasi di lapangan dianalisis secara statistik dengan mengkorelasikan antara variabel pertumbuhan di kultur hara dengan variabel pertumbuhan dan hasil evaluasi di tanah ultisol yang dilakukan dengan regresi korelasi sederhana.

Page 196: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

179

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Penampilan Keragaan Populasi F2 terhadap Cekaman Al

Penampilan populasi F2 selama 30 hari di kultur hara menunjukkan bahwa tinggi bibit tanaman, panjang akar, volume akar, panjang akar relatif (PAR) dan volume akar relatif (VAR) memiliki frekuensi keragaman berbeda-beda setelah diberi perlakuan cekaman Al. Keragaan tinggi tanaman populasi F2 menunjukkan bahwa rentang tinggi bibit tanaman rendah pada cekaman 0 ppm, 30 ppm Al dan 60 ppm Al berkisar dari 2,0 cm sampai dengan 16,0 cm. Frekuensi tinggi bibit tanaman terendah adalah 0 % (0 ppm Al), 1,1 % (30 ppm Al) dan 1,4 % (60 ppm Al). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi cekaman Al akan semakin mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Wiwik (2012), karakter vegetatif yang dipengaruhi oleh cekaman Al diantaranya adalah tinggi tanaman.

Hasil keragaan panjang akar populasi F2 terhadap cekaman Al menunjukkan bahwa frekuensi akar terpanjang (15 – 21,1 cm) pada cekaman 60 ppm Al (8,5 %) lebih rendah dibandingkan frekuensi pada cekaman 0 ppm Al (12,0 %) dan 30 ppm Al (12,1 %). Hal ini mengindikasikan bahwa cekaman Al yang diberikan mampu mempengaruhi pertumbuhan panjang akar tanaman. Penghambatan pertumbuhan tanaman khususnya pada akar merupakan dampak dari kerusakan sel akar oleh tingginya akumulasi Al (Utama 2015). Silva et al. (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa akar kedelai varietas Tanggamus yang diuji tidak mengalami gangguan pertumbuhan yang diduga karena memiliki sifat toleran terhadap Al.

Cekaman Al juga mempengaruhi pembesaran volume akar pada tanaman. Alumunium akan menghambat pertumbuhan akar adventif khususnya yang sangat erat hubungannya dengan jumlah akar dan volume akar (Nurlaela, 2007). Hal ini sesuai dengan hasil dari keragaan populasi F2 bahwa frekuensi volume akar terkecil lebih banyak terdapat pada cekaman 60 ppm Al (61,3 %) dari pada cekaman 0 ppm Al (53,4 %) dan 30 ppm Al (45,0 %).

Kondisi serupa juga dapat dilihat dari besarnya frekuensi PAR terendah yang dihasilkan pada cekaman 60 ppm Al (61,1 %) dibandingkan dengan cekaman 0 ppm Al (51,4 %) dan 30 ppm Al (35,8 %) dengan kisaran angka PAR yaitu 3,0 – 9,0 cm. Hasil dari penelitian Santika (2011), menyatakan bahwa dari 100 galur padi yang diuji, 50 galur diantaranya positif peka terhadap Al yang dihitung berdasarkan PAR. Keragaan VAR populasi F2 tertinggi dan terendah didominasi pada cekaman 60 ppm Al. Namun demikian Al tetap dikatakan menurunkan VAR pada tanaman karena frekuensi VAR terendah (3,0 – 8,0 mm) pada cekaman 60 ppm Al lebih besar (61,3 %) dibandingkan dengan frekuensi VAR tertinggi (15,0 – 20,8 mm) pada cekaman 60 ppm Al (6,3 %).

Analisis Varian terhadap Karakter Tanaman Padi pada Kondisi Tercekam Alumunium melalui Metode Kultur Hara

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa cekaman Al tidak mempengaruhi tinggi tanaman, panjang akar dan volume akar pada populasi F2 (Tabel 1). Hal tersebut mengindikasikan bahwa cekaman Al dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.

Tabel 1. Nilai hasil analisis varian terhadap karakter tanaman padi pada kondisi tercekam Al di kultur hara

Karakter KT

Tinggi tanaman 1.671 ns Panjang akar 0.286 ns Volume akar 0.359 ns

PAR 38.734 ** VAR 122. 928 **

Keterangan : ns : Berpengaruh tidak nyata, ** : Sangat berpengaruh nyata, taraf nyata 5%.

Sumber : Data primer (2013).

Hasil pengujian DMRT menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata PAR maupun VAR pada cekaman 30 ppm Al dan 60 ppm Al (Tabel 2). Artinya, bahwa cekaman Al yang relatif rendah mempunyai dampak yang setara dengan cekaman Al yang lebih tinggi. Menurut Pratiwi (2002), gejala cekaman Al mulai terlihat pada saat tanaman berumur 7 hari setelah perlakukan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian dari Nurlaela (2007), yang menyatakan bahwa

Page 197: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

180

semakin lama periode cekaman Al maka akan semakin besar peluang terhambatnya pertumbuhan akar tanaman.

Tabel 2. Rata-rata nilai PAR dan VAR populasi F2 terhadap cekaman Al di kultur hara

Perlakuan PAR VAR

0 ppm Al 100.00 a 100.00 a 30 ppm Al 29.44 b 22.17 b 60 ppm Al 13.41 b 9.00 b

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada BNT 5%, PAR : panjang akar relatif, VAR : volume akar relative.

Sumber : Data primer (2013).

Korelasi antara Variabel Pertumbuhan pada Kultur Hara dengan Variabel Pertumbuhan dan Hasil Evaluasi di Tanah Ultisol

Pada Tabel 3 disajikan derajat keeratan antara variabel pertumbuhan pada kultur hara dengan variabel pertumbuhan dan hasil evaluasi di tanah Ultisol. Secara umum, tinggi bibit pada kultur hara tidak menunjukkan korelasi yang erat dengan variabel yang diamati pada tanah Ultisol.

Tabel 3. Korelasi antara hasil kultur hara dengan hasil evaluasi di lapangan

Variabel Pertumbuhan Hasil di Tanah Ultisol

Variabel Pertumbuhan di Kultur Hara

Tinggi Bibit Panjang Akar Volume Akar

Tinggi tanaman 0,034 ns 0,035 ns -0,001ns

Jumlah anakan 0,012 ns -0,030 ns 0,105 ns

Jumlah biji bernas -0,156 ns -0,089 ns -0,014 ns

Bobot 1000 butir -0,081 ns -0,270 * -0,260 ns

Umur berbunga -0,152 ns 0,003 ns 0,037 ns

Keterangan : ns : Berpengaruh tidak nyata, ** : Sangat berpengaruh nyata, taraf nyata 5%.

Sumber : Data primer (2013).

Rendahnya korelasi antara variabel pertumbuhan tinggi bibit, panjang akar dan volume akar di

kultur hara dengan variabel yang diamati pada tanah Ultisol diduga disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat cekaman Al yang di berikan pada kultur hara dengan tingkat cekaman Al di tanah Ultisol. Cekaman Al pada kultur hara empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan cekaman Al di tanah Ultisol (3,31 x Aldd). Artinya tanah Ultisol yang digunakan sebagai media tanam belum memberikan cekaman Al yang berarti pada tanaman yang dievaluasi. Sehingga tanaman yang ditanam pada tanah Ultisol masih dapat tumbuh dan berproduksi tanpa ada perbedaan yang nyata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa cekaman Al pada kultur hara belum sepenuhnya mewakili cekaman Al pada tanah Ultisol (Bakhtiar et al., 2010).

KESIMPULAN

1. Populasi F2 berdasarkan tinggi tanaman, panjang akar, volume akar, panjang akar relatif dan volume akar relatif mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya cekaman Al.

2. Cekaman Al pada tanah Ultisol yang digunakan tidak dapat menunjukkan perbedaan toleransi genotipe padi yang ditetapkan melalui seleksi kultur hara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Catur Herison yang telah mendanai dan membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi padi tahun 2011. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta.

Bakhtiar, Bambang, S.P., Trikoesoemaningtyas dan Dewi, I.S. 2010. Analisis korelasi dan koefisien lintas antara beberapa sifat padi gogo pada media tanah masam. J. Floratek. 5: 86-93.

Page 198: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

181

Hairil, I. 2013. Soil ph and Solubility of Aluminum, Iron, and Phosphorus in Ultisols:the Roles of Humic Acid. J. Trop Soils 18(3): 203-208.

Makarim, A.K. 2006. Cekaman abiotik utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Balai Penelitian Tanaman. Sukamandi. Jurnal litbang pertanian. 25(2).

Nurlaela. 2007. Distribusi dan akumulasi alumunium pada akar padi dalam kondisi cekaman alumunium pada larutan hara. Skripsi Program Sarjana. IPB. Bogor (tidak dipublikasikan).

Pratiwi, C. 2002. Pewarisan sifat ketenggangan alumunium pada padi gogo (oryza sativa l.) di kultur hara. Skripsi Program Sarjana. IPB. Bogor (tidak dipublikasikan).

Pujiwati, H., Herison, C dan Herawati, R. 2012. Seleksi galur dari populasi persilngan pendek x IR 78581 dalam rangka perbaikan sifat padi gogo adaptif lahan masam. Laporan akhir penelitian hibah bersaing. UNIB.

Santika, A. 2011. Teknik pengujian galur padi gogo terhadap keracunan alumunium dirumah kaca. Buletin Teknik Pertanian. 16: 43-47.

Silva, S.O.P., Carnide, P.M., Lopes, M., Matos, H.G., Pinto, C., Santos. 2012. Zonal responses of sensitive vs tolerant wheat roots during Al exposure and recovery. J. Plant Physiol. 169: 760-769.

Utama, M.Z. 2015. Budidaya padi pada lahan marjinal kiat meningkatkan produksi padi. Yogyakarta: Andi Offset. Utama, M.Z.H., Haryoko, W., Munir, R., Sunadi. 2009. Penapisan varietas padi toleran salinitas pada lahan rawa, di Kabupaten Pesisir Selatan. J. Agron. Indonesia 37: 101-106.

Wiwik, M.S. 2012. Karakter vegetatif dan generatif beberapa varietas padi terhadap cekaman alumunium. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan (tidak dipublikasikan).

Yoshida, S., Forno, D.A., Cook, J.H., and Gomez, K.A. 1976. Laboratory Manual for

Physiological Studies of Rice (3rd

ED.). IRRI. Los Banos. Philippines.

Page 199: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

182

APLIKASI KOMPOS JANJANG KOSONG KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS

THE APPLICATION WAS COMPOSTING RUNGS EMPTY PALM TOWARDS GROWTH AND CROP YIELD OF SWEET CORN

Ummul Khair Hade, Fahrurrozi, Entang Inoriah

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,Universitas Bengkulu Jl. W. R. Supratman Kandang limun Bengkulu Telp. (0736) 21290

e_mail : [email protected]

ABSTRAK

Jagung manis merupakan tanaman hortikultura yang menginginkan keadaan tanah yang kaya unsur hara. Permasalahan pada tanah yang digunakan yaitu ketersediaan unsur hara seperti N, P dan K yang tergolong rendah. Kompos janjang kosong kelapa sawit dipilih untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian bertujuan untuk menentukan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit yang optimum terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan april sampai dengan juni 2016, di lahan percobaan Universitas Bengkulu, Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu, pada ketinggian ± 10 m diatas permukaan laut (dpl). Penelitian menggunkan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal dengan perlakuan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit yaitu K0 : 0 ton/ha, K1 : 5 ton/ha, K2 : 10 ton/ha, K3 : 15 ton/ha, K4 : 20 ton/ha, K5 : 25 ton/ha. Variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang, diameter tongkol berkelobot, berat tongkol berkelobot, diameter tongkol tanpa kelobot, berat tongkol tanpa kelobot, panjang tongkol, tingkat kemanisan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit 20 ton.ha

-1merupakan dosis terbaik yang mampu

meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, diameter tongkol berkelobot, diameter tongkol tanpa kelobot dan dosis 33,5 ton/ha merupakan dosis optimum untuk tingkat kemanisan sebesar 8 Brix

o

Kata kunci : Jagung, Janjang Kosong Kelapa Sawit, Kompos

ABSTRACT

Sweet corn is a horticultural crop who want a state of nutrient rich soil. Problems on the land used are the availability of nutrients such as N, P and K are relatively low. Compost oil palm empty bunch have to overcome these problems. The study aims to determine the dose of oil palm empty bunch compost optimum on the growth and yield of sweet corn. This research was conducted in April to June 2016, at the University of Bengkulu field trials, Kandang Limun Village, Bangkahulu Muara District, the city of Bengkulu, at a height of ± 10 m above sea level (asl). Research using the Random Group Complete (RAKL) single factor with a dosage of compost bunch of oil palm empty ie K0: 0 tons / ha, K1: 5 tons / ha, K2: 10 tons / ha, K3: 15 tons / ha, K4: 20 tons / ha, K5: 25 tons / ha. Variables observed were plant height, diameter rod, cob + husk diameter, cob+ husk weight, diameter cob without husk, weight cob without husk, cob length, degree of sweetness. Results showed that introducing oil palm empty bunch compost 20 ton/ha is the best dose that can improve plant height, stem diameter, the diameter cob + husk, husk and cob diameter without a dose of 33.5 tons / ha was the optimum dose to the level of sweetness by 8 Brix

0.

Keywords : Corn, palm oil empty rungs, compost

Page 200: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

183

PENDAHULUAN

Jagung manis dibutuhkan dalam keadaan segar karena tingkat kemanisan yang dimiliki masih tinggi. Jagung manis memiliki peranan penting sebagai sumber karbohidrat, protein, gula, vitamin dan lemak(Purwono, 2007)

Salah satu kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas jagung manis yaitu pembudidayaan di lahan yang berkesuburan rendah. Sebagian besar tanah di Indonesia yaitu tanah ultisol. Prasetyoet al., (2011) menyatakan bahwa Tanah Ultisol umumnya memiliki kejenuhan basa < 35%, pH tanah umumnya agak masam hingga sangat masam, serta memiliki kapasitas tukar kation yang tergolong rendah. Kandungan unsur hara tanah ultisol yang rendah ini dapat ditangani dengan pemupukan.Untuk meningkatkan produktivitas ultisol maka diperlukan masukan seperti pupuk organik yang dapat berasal dari pupuk kandang, pupuk kompos dan sisa-sisa tanaman. Salah satu pupuk organik yang dapat memperbaiki kesuburan tanah di lahan ultisol adalah pupuk kompos tandan kosong kelapa sawit. Didukung dengan penelitian Ermadani (2011) dimana residu dari kompos tandan kosong kelapa sawit dapat memperbaiki sifat kimia tanah, seperti peningkatan pH, C-Organik, P tersedia, K-dd dan penurunan al-dd.

Pupuk kompos yang berasal dari tandan buah kosong (TBK) dikomposkan selama 4 bulan yang didapat dari PT Bio Nusantara Bengkulu. Pemberian kompos dapat meningkatkan produksi tanaman dan memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika dan biologi tanah.Kompos limbah kelapa sawit ini mengandung unsur hara makro kompleks yang terdiri dari 4,59 % N-Total, 7,67 % P2O3, 4,93 % K2O, 21,11 % C-Organik dan 32,75 % Kadar Air (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2014). Menurut Fauziet al., (2012) kompos tandan kosong kelapa sawit mengandung hara yang penting bagi tanaman dan dapat diaplikasikan pada berbagai tanaman sebagai pupuk organik.Hasil penelitian Susana (2012) pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit hingga dosis 150g/polibeg dapat meningkatkan tinggi bibit tanaman jahe pada umur 12 mst mencapai 17,61 cm. Pemanfaatan kompos tandan kosong kelapa sawit belum banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai bagian dari budidaya tanaman jagung manis.

Pupuk yang berasal dari kompos tandan kosong kelapa sawit telah banyak digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi pada tanaman kedelai (Ermadani, 2011) tanaman melon (Tiara, 2016) kacang tanah (Eleni, 2013) tanaman jahe (Susana, 2009), tanaman tomat dan cabe (Mercy, 2009) dan tanaman pakchoy (Sundari, 2011). Dengan demikian perlu diteliti pemberian pupuk kompos janjang kosong kelapa sawit pada tanaman jagung manis.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis kompos tandan kosong kelapa sawit yang optimum terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis.

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2016, di lahan percobaan Universitas Bengkulu, Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu, pada ketinggian ± 10 m diatas permukaan laut (dpl). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung manis varietas Bonanza, pupuk kompos janjang kelapa sawit produksi PT. Bio Nusantara Teknologi Bengkulu, pupuk urea 150 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCL 100 kg/ha (dosis rekomendasi) dan Furadan 3G. Alat yang digunakan adalah cangkul, sabit, parang, meteran, timbangan, gunting, gembor, ember, tugal kayu, alat tulis, meteran, mistar, ajir, penetrometer, hand – held refractrometer, timbangan dan tali rapia.Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal dengan tiga ulangan. Perlakuan dengan aplikasi kompos janjang kosong kelapa sawit :

K0 = Tanpa penggunaan kompos janjang kosong kelapa sawit

K1 = 5 ton/ ha (Setara 2,5 kg per petakan)

K2 = 10 ton/ ha (Setara 5 kg per petakan)

K3 = 15 ton/ ha (Setara 7,5 kg per petakan)

K4 = 20 ton/ ha (Setara 10 kg per petakan)

K5 = 25 ton/ ha (Setara 12,5 kg per petakan)

Page 201: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

184

Tahapan Penelitian

Pengolahan lahan dilakukan dengan menggunakan traktor. Kemudian dilakukan pencangkulan dan dibuat petakan berukuran 1m x 5m

Pemupukan kompos janjang kosong kelapa sawit dengan dosis K0 = Tanpa penggunaan kompos, K1 = 5 ton/ ha, K2 = 10 ton/ ha, K3 = 15 ton/ ha, K4 = 20 ton/ ha, K5 = 25 ton/ ha diberikan setelah pengolahan tanah ketika petakan telah dibuat lalu kompos dicampur dengan tanah menggunakan cangkul.

Benih yang digunakan yaitu varietas bonanza. Benih jagung ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 75 cm.

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penjarangan, penyulaman, penyiangan, pembumbunan, penyiraman dan pengendalian hama. Penjarangan dilakukan 7 hari setelah tanam, dilakukan dengan cara memotong batang tanaman dan meninggalkan satu tanaman dari setiap lubang tanam. Tanaman yang dipertahankan adalah yang pertumbuhannya sama baik dengan tanaman lainnya dalam petak perlakuan. Penyiraman dilakukan pada pagi atau sore hari jika tidak turun hujan. Penyiangan dilakukan 2 minggu setelah tanam dan dilakukan setiap minggu sekali dengan menggunakan sabit dan pembumbunan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat tanaman mulai memasuki umur 15 dan 30 hari setelah tanam.Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 65 hari.

Variabel Pengamatan

1. Tinggi tanaman (cm), diukur 2 mst – 6 mst. Tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi terhadap 5 tanaman sampel yang ditentukan secara acak dari dua barisan tanaman plot dengan menggunakan meteran.

2. Diameter batang (mm), dilakukan dengan cara mengukur diameter batang pada ruas kedua dari tanah dengan menggunakan jangka sorong digital pada akhir fase vegetatif tanaman sampel.

3. Diameter tongkol berkelobot (mm), diukur pada pertengahan tongkol dengan menggunakan jangka sorong pada 5 tanaman sampel setelah tanaman dipanen.

4. Berat tongkol berkelobot (g) dilakukan dengan cara menimbang tongkol dengan menggunakan timbangan dari 5 tanaman sampel.

5. Diameter tongkol tanpa kelobot (mm) diukur pada pertengahan tongkol dengan menggunakan jangka sorong pada 5 tanaman sampel setelah tanaman dipanen.

6. Berat tongkol tanpa kelobot (g), dilakukan dengan cara menimbang tongkol dengan menggunakan timbangan dari setiap tanaman sampel.

7. Panjang tongkol (cm), dilakukan dengan cara mengupas kelobotnya, diukur dari pangkal hingga ujung biji terakhir dengan menggunakan mistar.

8. Tingkat kemanisan diukur dengan hand-held refractometer

Page 202: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

185

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa dosis kompos janjang kosong kelapa sawit berpengaruh tidak nyata terhadap variabel jumlah daun, tingkat kehijauan daun, bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa kelobot dan panjang tongkol. Variabel pengamatan pertumbuhan tanaman dengan perlakuan ini berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diameter batang, diameter tongkol berkelobot, diameter tongkol tanpa kelobot dan tingkat kemanisan.

Tabel 1. Nilai F hitung hasil analisis varians pada berbagai variabel dan nilai P < 0,05 uji linieritas pada perlakuan kompos janjang kosong kelapa sawit

No Variabel Pengamatan F-hitung Linier Quadratik

1 Tinggi Tanaman 11,16**

7,89 - 2 Jumlah Daun 0,73

ns - -

3 Tingkat Kehijauan Daun 4,14ns

- - 4 Diameter Batang 4,06

** 25,57 -

5 Diameter Tongkol Berkelobot 7,94 **

48,16 - 6 BobotTongkol Berkelobot 1,07

ns - -

7 Diameter Tongkol Tanpa Kelobot 6,19**

26,19 - 8 Bobot Tongkol Tanpa Kelobot 1,08

ns - -

9 Panjang Tongkol 2,80ns

- - 10 Tingkat Kemanisan 10,76

** - 4,94

Ket: **= berpengaruh sangat nyata pada taraf α 1% *= berbeda nyata pada taraf α 5% ns= tidak berbeda nyata pada taraf α 5% nilai F-Tabel= 3,33 dan taraf α 1% nilai F-Tabel= 4,10 Sumber : Data Primer (2016)

Pertumbuhan Tanaman

1. Tinggi Tanaman

Hubungan antara dosis pupuk kompos janjang kosong kelapa sawit dan tinggi tanaman membentuk hubungan linier dengan persamaan garis Y = 2,323x + 144,1 dengan nilai R² = 0,935 yang menunjukan bahwa tinggi tanaman jagung dipengaruhi oleh dosis kompos janjang kosong kelapa sawit sebesar 93%.

Gambar 1. Hubungan antara dosis kompos JJKS dan tinggi tanaman

Tinggi tanaman dipengaruhi oleh unsur N yang membantu pada proses metabolisme. Pemberian dosis kompos 20 ton/ha menghasilkan pertumbuhan tinggi tamanan tertinggi yaitu 194,93cm. Akan tetapi dosis kompos janjang kosong masih dapat ditingkat lagi untuk mendapatkan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit yang optimum. Ermadani (2011) melaporkan residu kompos janjang kosong kelapa sawit mampu meningkatkan dengan nyata pH dan menurunkan kandungan Al-dd tanah. Hal ini sejalan dengan penilitian Thomas (2013) sidik ragam tinggi tanaman jagung pada pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit memberikan pengaruh sangat nyata. Lanjut Jemrifs (2013) melaporkan bahwa adanya interaksi bahan organik dan urea pada tingkat tinggi tanaman jagung manis.

y = 2,323x + 144,1

R² = 0,935

Tin

ngi

Tan

aman

(cm

)

Dosis kompos janjang kosong

kelapa sawit (ton/ha)

Page 203: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

186

2. Diameter Batang

Hubungan antara dosis pupuk kompos janjang kosong kelapa sawit dan diameter batang membentuk hubungan linier dengan persamaan garis Y = 0,203x + 22,65.

Gambar 2. Hubungan antara dosis kompos JKKS dan diameter batang

Hasil percobaan menujukan bahwa pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit dengan perlakuan tanpa penggunaaan kompos menunjukan hasil diameter batang terendah yaitu 22,06 dan dosis 20 ton/ha menunjukan hasil diameter batang tertinggi sebesar 27,24. Akan tetapi penggunaan kompos janjang kosong kelapa sawit masih dapat ditingkatkan untuk mendapatkan dosis yang optimum. Kompos janjang kosong kelapa sawit mengandung hara K yang cukup tinggi. Sebagian besar N dan P dibawa ke titik tumbuh batang, daun dan bunga jantan lalu dialihkan ke biji. Sebanyak 2/3-3/4 unsur K tertinggal dibatang (Syafrudin et al., 2007). Pembesaran diameter batang dipengaruhi oleh ketersediaan unsur K yang mempercepat pertumbuhan meristematik terutama pada batang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Oktavia (2016) yang membuktikan bahwa pemberian pupuk organik padat limbah sawit berpengaruh nyata terhadap variabel diameter batang tanaman jagung manis.

Hasil Tanaman Jagung Manis

1. Diameter Tongkol Berkelobot dan Diameter Tongkol Tanpa Kelobot

Hubungan antara kompos janjang kosong kelapa sawit dan diameter tongkol berkelobot membentuk hubungan linier dengan persamaan garis Y = 0,385x + 45,33 dan hubungan antara kompos janjang kosong kelapa sawit dan diameter tongkol tanpa kelobot membentuk hubungan linier dengan persamaan garis Y = 0,257x + 37,52 dengan

Gambar 3. Hubungan antara dosis kompos JJKS dan diameter tongkol berkelobot

y = 0,203x + 22,65

R² = 0,928

Dia

met

er b

atan

(m

m)

Dosis kompos janjang kosong kelapa

sawit ton/ha

y = 0,385x + 45,33

R² = 0,982

Dia

met

er t

ongkol

ber

kel

ob

ot

(mm

)

Dosis kompos janjang kosong kelapa

sawit (ton/ha)

Page 204: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

187

Gambar 4. Hubungan antara dosis kompos JKKS dan diameter tongkol tanpa kelobot

Hasil jagung yang baik dicirikan dengan ukuran tongkol yang besar. Dilihat dari gambar bahwa semakin tinggi pemberian dosis semakin tinggi pula tingkat diameter tongkol berkelobot maupun tanpa kelobot. Perlakuan 20 ton/ha memberikan respon yang paling besar. Akan tetapi dosis kompos janjang kosong kelapa sawit masih dapat ditingkatkan untuk mendapatkan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit yang optimum. Kompos janjang kosong kelapa sawit mengandung P dan K yang cukup tinggi serta ditambah pupuk urea dan TSP sehingga mampu mencukupi kebutuhan hara pada tanaman yang dapat membantu perkembangan dan pembesaran buah yang menghasilkan diameter tongkol semakin baik.Hasil ini bertentangan dengan penelitian Thomas (2013) yang membuktikan bahwa pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap variabel lingkar tongkor jagung, diduga karena dosis yang diberikan masih rendah sehingga belum tercukupi untuk pertumbuhan dan hasil tanaman.

2. Panjang Tongkol

Rata-rata panjang tongkol jagung manis disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Rerata panjang tongkol jagung manis dengan pemberian perlakuan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit

Dosis Kompos JKKS Panjang Tongkol (cm)

K0 : Tanpa Penggunaan kompos 19,93 K1 : 5 ton/ha 20,86 K2: 10 ton /ha 21,06 K3 : 15 ton/ha 21,53 K4 : 20 ton/ha 22,2 K5 : 25 ton/ha 23

Sumber : Data Primer (2016)

Pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit belum memberikan makna terhadap panjang

tongkol jagung. Namun secara angka menunjukan kecenderungan meningkat sesuai dengan taraf perlakuan hingga dosis janjang kosong kelapa sawit 25 ton/ha dan panjang tongkol terendah pada perlakuan tanpa penggunaan kompos janjang kosong kelapa sawit. Hal ini diduga karena ada kecenderungan perilaku tanaman jagung dalam pembeian kompos janjang kosong kelapa sawit. Kalium di jaringan tanaman tetap berbentuk ion K+ (Hutapea, 2013). Jaringan tumbuhan mengandung unsur hara tertentu dengan konsentrasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maksimum, maka pada kondisi ini diduga tumbuhan dalam kondisi komsumsi mewah (luxury consumption).Hasil ini sejalan dengan dengan penelitian Kurniawan (2016) yang melaporkan bahwa formulasi kompos janjang kosong kelapa sawit memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap panjang tongkol jagung manis.

3. Bobot Tongkol Berkelobot dan Bobot Tongkol tanpa Kelobot

Semakin besar bobot jagung diidentifikasikan karena diameter tongkol besar, jumlah biji, tingkat kebernasan biji dan panjag tongkol. Rata-rata bobot tongkol berkelobot dan bobot tongkol tanpa kelobot jagung manis disajikan dalam tabel 5.

y = 0,257x + 37,52

R² = 0,894

Dia

met

er t

on

gko

l ta

np

a

kel

ob

ot

(mm

)

Dosis kompos janjang kosong

kelapa sawit (ton/ha)

Page 205: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

188

Tabel 5. Rerata bobot tongkol jagung manis dengan pemberian perlakuan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit

Variabel pengamatan

Dosis Kompos JKKS Bobot tongkol berkelobot (g) Bobot tongkol tanpa kelobot (g)

K0 : Tanpa Penggunaan kompos 330,53 257,8 K1 : 5 ton/ha 351,53 291,4 K2 : 10 ton/ha 348,66 286,73 K3: 15 ton/ha 327,06 263,2 K4 : 20 ton/ha 410,66 339,4 K5 : 25 ton/ha 391,73 322,26

Sumber : data Primer (2016)

Pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit belum memberikan makna terhadap bobot

tongkol berkelobot dan bobot tongkol tanpa kelobot. Namun secara angka menunjukan kecenderungan meningkat sesuai dengan taraf perlakuan hingga dosis janjang kosong kelapa sawit 20 ton/ha dan bobot tongkol terendah pada perlakuan tanpa penggunaan kompos janjang kosong kelapa sawit. Hal ini didukung oleh pernyataan Rafiki (2011) dalam penelitiannya bahwa dampak positif dari penggunaan kompos terhadap produksi dapat terlihat nyata pada tanaman yang berumur panjang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hartati (2016) yang membuktikan bahwa dengan pemberian trichokompos TKKS dan jerami padi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap berat tongkol berkelobot jagung manis.

Tingkat Kemanisan

Hubungan antara kompos janjang kosong kelapa sawit dan tingkat kemanisan membentuk hubungan kuadratik dengan persamaan Y = -0,001x

2 + 0,067x + 6,904.

Gambar 5. Hubungan antara dosis kompos JJKS dan tingkat kemanisan

Hasil percobaan menunjukan bahwa pemberian kompos janjang kosong kelapa sawit diduga pada taraf perlakuan dosis 33,5 ton/ha merupakan dosis optimum untuk tingkat kemanisan buah jagung sebesar 8 Brix

o. Namun pada percobaan ini dosis yang diberikan belum mencapai sampai taraf

dosis 33,5 ton/ha sehingga perlu penambahan dosis kompos janjang kosong kelapa sawit untuk mencapai dosis optimum. Salah satu keunggulan kompos janjang kosong kelapa sawit yaitu kandungan K yang cukup tinggi. Rasa manis pada jagung manis diduga dipengaruhi oleh adanya unsur hara K. Kalium diserap dalam bentuk ion K+. Hal ini sesuai dengan pernyataan Retno dan Darmanti (2008) yang menemukan bahwa kekurangan K dapat menurunkan kandungan gula pada biji jagung manis. Erina (2006) menyatakan bahwa meningkatnya serapan hara K, Ca dan Mg dalam larutan tanah akibat ketersediaan kation-kation K, Ca dan Mg dalam larutan tanah.

KESIMPULAN

1. Dosis 20 ton/ha merupakan dosis terbaik yang mampu meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, diameter tongkol berkelobot dan diameter tongkol tanpa kelobot.

2. Dosis 33,5 ton/ha merupakan dosis optimum untuk tingkat kemanisan sebesar 8 Brixo.

y = -0,001x2 + 0,067x + 6,904

R² = 0,982

Tin

gkat

kem

anis

an (

Bri

x0)

Dosis kompos janjang kosong

kelapa sawit (ton/ha)

Page 206: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

189

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Fahrurrozi dan Entang Inoriah yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Eleni, W. 2013. Pengaruh kompos tandan kosong kelapa sawit pada pertumbuhan dan hasil kacang tanah. Universitas Tamansiswa Padang. Padang.

Erina, R. A. 2006. Pengembangan tanaman melon dilahan gambut dan budidaya inovatif. Jurnal Agrosains.

Ermadani. 2011. Pengaruh Residu Kompos Tandan Buah Kosong Kelapa Sawit terhadap beberapa Sifat Kimia Ultisol dan Hasil Kedelai. Jurnal Pertanian. 13 (2) :11-18

Hutapea, J.M. 2013. Tanggap beberapa varietas jagung (Zea mays L.) terhadap pemberian pupuk organic. Jurnal Agroekoteknologi 12 (1) :489-497.

Ichwan, B. 2007. Pertumbuhan dan hasil jagung manis (Zea mays saccharata sturry) pada berbagai konsentrasi efektif mikroorganisme-4 (EM-4) dan waktu fermentasi janjang kelapa sawit. Jurnal Agronomi 11(2) :91-93.

Jemrifs, H. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Jagung pada berbagai Pemberian Nitrogen di Lahan Kering Regosol. Jurnal Ilmu Pertanian 16 (1) :77-89

Kurniawan, E. 2016. Pengaruh Formulasi Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis. Universitas Riau. Jom Faperta 13 (2) :56-64.

Oktavia, S. 2016. Respon Jagung Manis Pada Pemberian Pupuk Organik Padat dan Pupuk Urea. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu

Prasetyo, W., M. Santoso dan T. Wardiyati. 2011. Pengaruh Berbagai Macam Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata sturtL.). Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.

Rafiki, A. 2011. Respon pertumbuhan dan hasil jagung manis pada subsitusi pupuk anorganik dengan pupuk bokashi dan pupuk organic cair. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu (Tidak dipublikasikan)

Retno dan S. Darminanti.2009. Pengaruh Dosis Kompos Dengan Stimulator Tricoderma Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea Mas L.). Varietas pioner – 11 Pada Lahan Kering. Jurnal BIOMA 11 (2) :69 -75

Sutoro. W. A. 2003. Peranan Bahan Organik Dalam Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Universitas sebelas Maret Surakarta. 36 hal.

Syafruddin, Faesal, dan M. Akil. 2007. Pengelolaan Hara pada Tanaman Jagung, Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Jurnal Jagung: 10 (2) 205-218.

Tarigan. 2007. Ketersediaan Serapan NPK terhadap Pupuk Organik Cair di Lahan Ultisol pada Tanaman Jagung Manis. Universitas Padang, Padang.

Thomas, R. 2009. Pertumbuhan Dan Produksi Jagung (Zea mays L.) pada pemberian kompos tandan kelapa sawit. Jurnal Agroteknologi 1(1) :22-27.

Widiastuti, H. dan Tri Panji. 2007. “Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Jamur Merang (Volvariella Volvacea) (TKSJ) sebagai Pupuk Organik pada Pembibitan Kelapa Sawit”. Jurnal Menara Perkebunan: 75 (2) :70-79.

Page 207: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

190

PENGELOLAAN DAN PEMASARAN SAGU DI SULAWESI TENGGARA MANAGEMENT AND MERKETING OF SAGO IN SOUTHEAST SULAWESI

Bungati1, Siti Rosmana

2 dan Zainal Abidin

1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara,

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu,

Jl.Prof Muh Yamin No.89 Puwatu Kendari. Telp/Fax : (0401) 323180 e_mail : [email protected]

ABSTRAK

Sagu (Metroxylon,spp) merupakan penghasil pati/karbohidrat tertinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya seperti padi, jagung, dan ubikayu. Pati sagu dapat dikembangkan menjadi aneka produk yang bernilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan sagu di Sulawesi Tenggara selain sebagai makanan pokok, juga diolah menjadi makanan ringan misalnya kue bagea, ongol-ongol dan lainnya. Pengolahan tepung sagu di Sulawesi Tenggara masih bersifat konvensional, dengan produksi utama berupa tepung sagu basah yang diperdagangkan baik dalam wilayah Sultra maupun untuk di antar pulaukan terutama ke Jawa Timur. Pengolahan tepung sagu skala 25 pohon memberikan keuntungan sebesar Rp. 8.975.468, semetara usaha rumah makan sinonggi memberikan keuntungan perbulan sekitar Rp. 24.000.000 – 60.000.000, dan industri bagea memperoleh pendapatan usaha berkisar Rp,35.000.000 –Rp. 65.000.000 per bulan. Kedepan upaya peningkatan pengelolaan sagu melalui introduksi teknologi dan perbaikan jalinan pasar akan mendorong penciptaan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Kata Kunci: Sagu, Pengelolaan, Produk olahan, Pemasaran

ABSTRACT

Sago producesstarch/carbohydrate highest than other carbohydrate crops such as rice, maize, and cassava. Sago starch can be developed to various products that have high economic value. In Southeast Sulawesi sago uses as a staple food and also could be made some snacks like bagea, ongol-ongol and others. The processing of sago starch in South East Sulawesi still uses conventional model with wet sago starch as a main product. Sago starch production sells in local province and other province mainly to East Jawa. Processing sago starch in 25 trees scale gives benefit around IDR 8.975.468, besides processing sago starch for local food namely Sinonggi give benefit around IDR 24.000.000 – 60.000.000 per month and also processing sago starch for cake namely Bagea give benefit around IDR 35.000.000 – 65.000.000 per month. For the next improving technology to produce sago starch, processing of local food and cake industry from sago starch should be conducted and also initiate market collaboration with some stakeholders. That strategy can increase value added of sago and increase farmer income too.

Key Words: Sago, Management, Processed Products, Marketing

Page 208: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

191

PENDAHULUAN

Sebagian masyarakat Indonesia terutama Maluku, Papua dan Sulawesi Tenggara, sagu merupakan sumber karbohidrat. Sagu adalah salah satu jenis makanan pokok dari beberapa suku di Indonesia termasuk suku Tolaki yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara. Namun kebijakan pemerintah sejak orde baru yang beorientasi pangan nasional yaitu beras menjadi satu-satunya pangan pokok, sehingga pangan pokok nasional lainnya menjadi tersingkirkan. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat memiliki ketergantungan terhadap beras, termasuk sebagian masyarakat di Sulawesi Tenggara yang tadinya makanan pokoknya adalah Sinonggi (olahan sagu), perlahan – lahan beralih ke pangan nasional yaitu beras. Data Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan bahwa beras yang beredar di pasar dunia sebagian besar diserap oleh Indonesia. Dengan adanya ketergantungan Indonesia terhadap beras, medorong pemerintah mengembangkan pangan alternatif maupun pangan pokok demi ketahanan pangan yang dituangkan melalui Kepres No.20 tahun 1979. Penganekarangaman pangan membutuhkan teknologi yang tepat guna dan strategi agar upaya tersebut dapat diserap oleh pasar, baik pasar lokal, nasional maupun global. Sagu merupakan tanaman penghasil karbohodrat yang tertinggi per satuan luas, yaitu mampu menghasilkan pati kering 20 t/ha jauh melebihi beras dan jagung yang hanya 6 t/ha dan 5,5 t/ha (BPPT, 2006). Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan menjadi aneka produk yang bernilai ekonomi tinggi. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan capuran soun, mie, kerupuk dan lain-lain. Juga dapat dibutuhkan oleh industri tekstil, kertas dan industri kayu lapis.

Saat ini sagu mulai dipromisikan seiring dengan gerakan diverifikasi pangan. Berdasarkan laporan Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Tenggara. 2014, konsumsi beras penduduk Sulawesi Tenggara sejak tahun 2013 yaitu 91,3 kg/kapita per tahun, hal ini di bawah angka rata-rata konsumsi nasional yaitu 96,3 kg/kapita/tahun). Penurunan konsumsi itu dipenuhi dari konsumsi dari bahan pangan lain (pangan lokal) salah satu diantaranya adalah sagu.Produk yang terpenting dari sagu adalah aci (tepung) sagu yang jumlahnya sangat besar dan digunakan untuk berbagai tujuan (Abbas dan Ehara, 2012)

Pati sagu kering mengandung 71,0-97,7% karbohidrat; 0,31-0,70% protein; 0,20-0,25% lemak; 0,18-0,40% abu; 1,35-2,20% serat; 10,2-13,7% air (Alfons, 2011; Sitaniapessy, 1996; Karyadi et al., 1993; Wirakartakusuma et al., 1986). Sagu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, pada kondisi lingkungan yang baik, mampu berproduksi 15-25 ton/ha tepung sagu kering, terbaik bila dibandingkan dengan tanaman penghasil pangan lain (Stanton, 1986). Selain sagu efisien dalam memproduksi karbohidrat, juga memiliki keunggulan kamparatif dibandingkan tanaman sumber karbohidrat lainnya adalah; 1) sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa dan daerah pasang surut, dimana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh dengan baik; 2) dapat berkembang biak dengan anakan, sehingga tidak perlu melakukan peremajaan atau melakukan penanaman ulang (Watanabe, 1986); 3) dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim; 4) resiko terkena penyakit tanaman kecil (Bintoro, 1999).

Di Indonesia, daerah utama kawasan sagu meliputi Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara, Kalimantan terutama Kalimatan Barat serta Sumatra terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai Banten (Notohadiprawiro & Louhenapessy, 1993). Menurut Nanere, 2006, sagu merupakan tanaman strategis dan komoditi spesifik bagi Maluku, tetapi di Sulawesi Tenggara juga dapat dikatakan sebagai komoditas strategis sebab, beberapa jenis tanaman sagu yang tumbuh dan berkembang dengan baik dengan produksi tepung yang cukup tinggi, diantaranya sagu Tuni (Rangga Manu), Molat (Roe), Duri rotan(Rui) dan Barowila(Haryanto dan Pangloli, 1992). Namun menurut Tenda et al., 2003 bahwa ada tiga tipe sagu di Sulawesi Tenggara berdasarkan ada tidaknya duri dan karakter batangnya. Yang tidak berduri nama lokalnya adalah Tawaro Roe, sedangkan yang yang berduri Tawaro Rangga Manu dan Tawaro Rui. Sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan baik sebagai bahan pangan pokok, bahan baku industri, maupun sebagai tanaman konservasi air. Lokasi penghasil sagu di Provinsi Sulawesi Tenggara tercantum pada Tabel 1. Selanjutnya statistik Ekspor-Impor dan Perdagangan antar Pulau Sulawesi Tenggara Tahun 2012 menunjukkan bahwa ekspor sagu mencapai 671,50 ton atau 6,71% dari total produksi (Dinas Perindutrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012).

Page 209: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

192

Tabel 1. Luas dan produksi sagu kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012.

No Kabupaten/Kota Luas Areal Produksi

Ha % Ton %

1 Konawe 2.015 40,11 2.233 36,02

2 Kolaka 122,3 2,44 209,71 3,38

3 Kolaka Timur 786,3 15,66 2.581,29 41,64

4 Kendari 168 3,35 45 0,72

5 Konawe Selatan 1216 24,20 144 2,32

6 Bombana 26 0,52 3 0,05

7 Kolaka Utara 325 6,46 629 10,14

8 Konawe Utara 365 7,26 355 5,73

Sulawesi Tenggara 5.024 100 6.200 100

Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara/Statistik Tahun 2012

Pada tahun 2003 luas areal sagu di Sulawesi Tenggara sekitar 10.244 ha, dan 10 tahun

kemudian luas areal tinggal 5.024 ha. Penyebab menurunnya areal tersebut diantaranya adalah tidak adanya budidaya oleh petani. Selama ini sagu dibiarkan tumbuh dan dipanen pada umur tertentu, anakan tumbuh secara liar tidak ada sentuhan budidaya tanaman. Penurunan areal sagu kemungkinan juga disebabkan oleh adanya percetakan lahan sawah.

Pengelolaan sagu di Sulawesi Tenggara dikelolah secara tradisional, hal ini merupakan salah satu kendala pada pengembangan sagu secara ekonomis.Industri sagu belum berkembang seperti halnya di maluku. Industri tepung sagu telah ada namun masih skla kecil karena kebanyakan masyarakat masih menggunakan sagu basah. Industri kue bagea misalnya, masih memproduksi sendiri tepung sagu bahan baku pembuatan kue bagea. Industri kue bagea di Sulawesi Tenggara terdapat 12 industri rumah tangga (home industry), (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov.Sultra, 2014). Gurusamy, et al., 2011 menginformasikan bahwa di daerah Salem (Tamil Nadu, India) industri sagu saat ini merupakan tulang punggung perekonomian pedesaan.

Taridala, et al., 2013 mengatakan bahwa terdapat 20 restoran yang menyediakan pangan dengan bahan baku pati sagu yaitu “Sinonggi”. Sinonggi merupakan makanan sehat yang dikonsumsi dilengkapi dengan lauk pauk, serta sayuran yang merupakan sumber vitamin dan mineral. Bahan bakunya diekstraksi dari pohon sagu yang merupakan tanaman organik (tanpa pemberian pupuk dan pestisida). Kue Bagea dan Sinongi adalah dua jenis produk olahan sagu yang terdapat dipasaran khususnya di Sulawesi Tenggara, pada hal sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis olahan, olehnya itu diharapkan adanya diversifiksi olahan sagu.

PELUANG PENGELOLAAN SAGU

Di Sulawesi Tengara sagu telah lama dikenal dan merupakan makanan pokok secara turun temurun. Produk sagu pada umumnya berupa sagu basah dan masih sedikit yang diolah menjadi tepung kering karena hanya untuk dikonsumsi rumah tangga. Pengolahan sagu skala industri atau skala menengah besar, pada umumnya bersifat ekspliotasi hutan sagu, tanpa upaya pananaman kembali. Paradikma “natural sago forest” harus dirubah menjadi “sustainable sago plantation”, karena untuk kelanjutan pengusaha sagu skala industri perlu diikuti dengan program rehabilitasi hutan sagu, demi menjamin ketersediaan bahan baku indutsri Abner dan Miftahorrahman (2002) dalam Rusli Y(2007).

Page 210: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

193

Selain sebagai makanan pokok, tepung sagu juga dapat diolah menjadi makanan ringan dan juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan, seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Industri Hulu/Antar Hilir /Konsumen

Industri Hilir/Lanjutan/Konsumen

Gambar 1. Bagan pohon industri sagu (Direktorat Industri Pangan, DJIK.Departemen Perindusrtian dalam S.P. Soselisa, 2006)

Gambar 1 menunjukkan industri pengelolaan sagu, bahwa sagu mempunyai keterkaitan yang cukup jelas. Hal ini menunjukkan, tepung sagu mempunyai peluang untuk dikembangkan baik sebagai industri hulu maupun sebagai industri hilir. Peluang pengelolaan sagu di Sulawesi Tenggara dengan berdasarkan bagan pohon industri sagu, peluang pengembangan sangat besar karena di Sulawesi Tenggara olahan sagu masih terbatas padasinonggi yang merupakan makanan pokok di Sulawesi Tenggara dan bagea. Kedua produk inilah yang terdapat dipasaran. Pada hal sagu memiliki berbagai macam olahan, oleh sebab itu, sagu di provinsi Sulawesi Tenggara memiliki peluang pengembangan yang sangat besar.

Namun beberapa hal yang menyebabkan kurang berkembangnya industri pengolahan sagu di Sulawesi Tenggara adalah keterbatasan bahan baku khususnya tepung sagu, sebab para pengolah (pengrajin) sagu hanya manghasilkan sagu basah dan produk tersebut langsung dipasarkan, dikemas dalam karung goni. Sagu dalam bentuk tepung kering masih sangat terbatas.

Peranan industri pengelolaan sagu dalam diversifikasi pangan adalah ketergantungan tepung-tepungan atau mensubtitusi beras, tepung terigu dan tapioka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tepung sagu dapat mensubtitusi tepung terigu sampai 10% dalam pembuatan roti dan 39% dalam pembuatan kue kering, (Soselia.S.P, 2006). Pengelolaan sagu di Indonesia untuk ketahanan pangan nasional sangat menjanjikan dimasa mendatang, sebab sagu memiliki keunggulan komparatif dibanding komoditi pangan lainnya seperti padi, jagung, dan ubikayu yaitu: 1) pohon sagu dapat tumbuh pada dengan baik di rawa-rawa dan daerah pasang surut, dimana tanaman lainnya sulit tumbuh; 2) dapat berkembang biak dengan anakan, sehingga panen dapat berkelanjutan tampa

Arang Brikat

Industri Farmasi

Bahan bakar, medium jamur

Inustri Pestisida

Industi Makanan

Glukosa.........Fruktosa

Etanol Industri Kimia

Asam Organik Bahan energi

Industri Kimia

Senyawa Kimia Lainnya Industri Kimia

Single Cell Protein Makanan Ternak

Industri Kimia dan lain-lain

Bahan Bangunan

SAGU

Ampas

Hardboar, Biomas dsb

Industri Makanan

Industri Makanan Ternak

Tepung Sagu

Sagu Mutiara Industri Makanan

Diolah Langsung Industri Makanan Pokok, Selingan

Bihun Industri Makananan

Dextrin (Cyclodetrinn)

Industri Tekstil

Page 211: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

194

melakukan peremajaan atapun penanaman ulang (Watanabe, 1986); 3) dapat diolah atau dipanen tampa mengenal musim; dan 4) risiko terkena penyakit tanaman kecil (Bintoro, 1999).

Bungati et al (2014) bahwa pengolahan tepung sagu di Kab. Konawe Selatan masih memberikan insentif ekonomi yang cukup, sebagaimana pada Tabel 2 .

Tabel 2. Analisa ekonomi pengolahan sagu skala 25 pohon di Kab. Konawe Selatan

No Uraian

Jumlah Satuan

Satuan Harga Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

1 Biaya Tetap (Biaya Penyusutan alat)

Mesin Parut, alkon, parang, linggis, timbah, penampung (terpal)

499.532

2 Biaya Tidak Tetap

Bahan baku (batang sagu) 25 Batang 70.000 1.750.000

Bahan bakar 125 Liter 8.000 1.000.000

Tenaga kerja 100 Hok 100.000 10.000.000

Tempat ekstraksi (para-para) 1 Kali 200.000 200.000

Kemasan 350 Karung 1.500 525.000

Biaya penebangan 25 Batang 20.000 500.000

Biaya pengangkutan 350 Karung 5.000 1.750.000

Jumlah 15.725.000

3 Total Biaya 16.224.532

Batang sagu

Sagu basah (kg)

Harga (Rp)

4 Penerimaan 25 14.000 1.800 25.200.000

Pendapatan 8.975.468

R/C 1.52

Sumber: Hasil kajian Bungati et al, 2015

Dari Table 2 diatas dapat di jelaskan bahwa pengolahan sagu basah di kabupaten Konawe

Selatan masih meguntungkan. Namun demikian beberapa hal yang perlu di benahi dalam pengolahan sagu khususnya di lokasi kajian yaitu; tingginya biaya operasional yang diakibatkan oleh medan yang sangat sulit. Hal yang demikian mengakibatkan pemilik sagu, apabila tidak mampu mengolah dengan menggunakan tenaga kerja keluarga maka mereka lebih memilih untuk menjual dalam bentuk batang ketimbang mengolahnya. Biaya operasional yang bisa ditekan yaitu biaya tenaga kerja, terutama pengangkutan batang sagu atau hasil parutan empelur ke tempat ekstraksi.

Sagu Sebagai Bahan Pangan Tradisional

Pemanfaatan sagu secara tradisional telah lama di kenal oleh penduduk di daerah-daerah penghasil sagu baik di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia. Produk-produk tradisional dari sagu antara lain sinonggi atau papeda, sagu lempeng, buburnee, sinole, bagea, ongol-ongol, dan lain-lain namun penulis dapat memaparkan dua jenis produk pangan tradisional di Sulawesi Tenggara yaitu, Sinonggi dan Bagea.

a. Sinonggi

Sinonggi adalah jenis makanan khas suku Tolaki. Di Sulawesi Selatan dikenal dengan nama Pogalu atau Kapurung dan Papeda di Maluku dan Irian. Prinsif pembuatan makanan khas ini pada dasarnya sama. Perbedaanya adalah terletak pada cara penyajiannya atau cara menghidangkanya. Sinonggi dan papeda penyajiannya hampir sama, yaitu disajikan dengan cara sagu yang telah masak ditempatkan secara terpisah dengan kuah dan bahan pelengkapnya seperti sayur, ikan dan lain-lain, tetapi papeda tidak menggunakan sayur. Sinonggi atau papeda baru bibuat bulat-bulat pada saat akan disantap, lalu siram kuah sayur-sayuran ditambah dengan kuah ikan sesuai dengan selerah. Kapurung, sagu yang sudah matang dibuat bulat-bulat lalu dicampur dengan kuah bersama dengan bahan pelengkap lainnya. Hasil analisa ekonomi menurut Helviani, 2014 bahwa kelompok pemilik rumah makan Sinonggi di kota kendari yang berjumlah 15 orang memperoleh pendapatan usaha mulai dari Rp. 800.000 – 2.000.000 per hari, sehingga pendapatan usaha perbulan sekitar Rp. 24.000.000 – 60.000.000.

Page 212: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

195

b. Bagea

Kue bagea dikenal di daerah penghasil sagu ada bagea Ternate, bagea Saparua, bagea Suli dan sebagainya. Sagu yang dibungkus daun pisang atau daun sagu, lalu dipanaskan dalam belanga (Harianto dan Pangloli, 1992) itu adalah kue bagea Maluku. Kue bagea di Sulawesi Tenggara bahan terdiri dari tepung sagu di campur dengan telur, kacang tanah, kenari, soda kue, minyak sayur, kayu manis hingga rata da kalis. Dicetak sesuai dengan selerah lalau di panggang dalam oven hingga retak (mekar). Setelah masak dapat disimpan dalam stoples dalam keadaan dingin dan siap untuk disajikan. Hasil analisa ekonomi kelompok pemilik industri yang berjumlah 6 orang memperoleh pendapatan usaha berkisar Rp,35.000.000 –Rp. 65.000.000 per bulan (Helviani, 2014).

Sagu Sebagai Pangan Baru

Jenis-jenis makanan yang terbuat dari tepung pada umumnya terbuat dari tepung terigu, tapioka atau tepung beras dan bahan-bahan lain semacamnya. Jenis-jenis makanan ini sudah dapat diterima dan dikenal secara luas di masyarakat, bersifat komersil dan diproduksi dengan alat semi mekanis atau mekanis, misalnya: Roti, biskuit, mie (noodle), sohun, kerupuk, hunkue, bihun dan sebagainya.

Sejak tahun 1964, (FAO) organisasi paangan dan pertanian dunia yang berkedudukan di Romah sudah mulai memproklamirkan program penelitian penggunaan tepung campuran (Composite Flour) untuk produk-produk roti, kue-kue, gula-gula, produk pasta (spaghetti dan macaroni) dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian bahwa tepung sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat sama dengan tapioka, terigu, tepung beras, maizena dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa tepung sagu dapat digunakan untuk membuat produk-produk tersebut diatas, baik sebagai bahan subtitusi maupun sebagai bahan utama, tergantung dari jenis produknya (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Sagu Sebagai Bahan Industri bukan Pangan

Pati sagu sebagai bahan industri bukan pangan yaitu sebagai bahan perekat, bahan energi, pakan ternak, dan bahan industri lain. Sagu juga memiliki hasil sampingan antara lain pemanfaatan daun, kulit batang dan tangkai daun, serta ampas sagu dan ulat sagu. Beberapa hasil penelitian sagu sebagai industri yang bukan pangan diantaranya, pati sagu sebagai bahan energi bahwa secara teoritis satu ton pati sagu dapat menghasilkan 715,19 liter alkohol (Baker, 1980). Akan tetapi hasil penelitian Bambang Harianto, dkk (1982) bahwa dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa satu ton pati sagu hanya dapat menghasilkan 300 liter alkohon 95 %. Sedangkan menurut Holmes (1986) dalan skala pabrik yang menggunakan fermentor, satu ton pati sagu dapat menghasilkan sekitar 513 liter etanol. Kadar etanol dari pati sagu dapat mencapai 20% sehingga dapat dipakai untuk campuran bahan bakar mobil (Baker, 1980). Sebagai bahan bakar di Pedesaan, alkohol dari pati sagu tersebut dibuat spritus dan dicampur lilin untuk peneraangan rumah. Selain ini alkohol dari pati sagu dapat digunakan dalam bidang kedokteran untuk medis, industri kimia dan sebagainya(Haryanto dan Pangloli, 1992).

PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PERMASALAHAN

Pengembangan sagu di Sulawesi Tenggara bertujuan untuk mengoptimalkan sumberdaya sagu dan menjaga agar pengolahan hasil secara berkelajutann dalam upaya membangun ketahanan pangan lokal, regional dan nasional, serta mendorong perkembangan agribisnis sagu secara efisien, efektif dan berdaya saing.

Wujud kepedulian pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara, yaitu dengan adanya komitmen untuk menggali sumberdaya lokal, salah satunya adalah sagu (Metroxylon sp) yang menghasilkan makanan tradisional yaitu sinonggi. Karena itu untuk mewujudkan keomitmen tersebut pemerintah Kota kendari telah mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah, Surat Keputusan, Instruksi Walikota Kendari, yaitu:

1. Peraturan Walikota kendari No. 15 Tahun 2010 tentang aksi Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal.

2. Instruksi Walikota Kendari No.520/7241/2011 kepada seluruh SKPD lingkup Pemerintah Kota Kendari agar dalam setiap kegiatan menyajikan pangan lokal.

3. Himbauan terhadap manajer hotel dan restoran di Kota Kendari untuk terlibat dalam upaya peningkatan kepedulian terhadap keragama pangan lokal, yang ditindak lanjuti dengan pertemuan berkala.

4. Surat Walokota Kendari No. 427 tentang Pembentukan KMP Sikato (komunitas Masyarakat Pedulu Sinonggi, Kasuami, Kambose, Kabuto, yang anggotanya terdiri dari pelaku bisnis pangan dan para pemerhati pengembangan pangan lokal.

Page 213: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

196

5. Mengadakan secara rutin Festipal Paangan Lokal (Pendekatan Kultural). 6. Keputusan Walikota Kendari No. 846 Tahun 2013 tentang penetapan hari senin sebagai Satu Hari

Tampa Nasi (One Day No Rice) bagi PNS lingkup Pemerinta Kota Kendari. 7. Himbauan Walikota kepada warga Kota Kendari untuk makan nasi satu kali dalam satu hari. 8. Melakukan pembinaan terhadap warga kota yang berusaha dengan bahan baku sagu (ragam dan

kualitas masih terus ditingkatkan).

Berdasarkan hasil sintesa terhadap tulisan Alloreung, (1993) dan Balitbanghut (2005) bahwa teradapat beberapa kendala / hambatan yang dihadapi dalam upaya pengembangan sagu, pada umumnya hampir sama dengan permasalahan pengembangan sagu di Sulawesi Tenggara, bahwa.

1. Tanaman sagu belum dikembangkan secara optimal melalui teknologi budidaya tanaman (prapanen termasuk teknologi rehabilitasi tanaman), sehingga produksinya rendah.

2. Pemanfaatan tanaman sagu belum optimal karena dengan luasan hutan sagu dan produksi yang besar (27 juta ton/tahun) hanya sebagian kecil (350-500 ribu ton/tahun) pati sagu yang dimanfaatkan (Sidik et al, 1993).

3. Kelangkaan prasarana umum terutama perhubungan, baik darat maupun laut. 4. Kelembagaan masih bersifat tradisional. 5. Masih kurangnya kebijakan yang mendukung pola tata niaga sagu dari hulu sampai hilir.

Sulawesi Tenggara memiliki banyak potensi antara lain, sagu yang dikategorikan sebagai komoditas perkebunan karena rata-rata pohon sagu di Sulawesi Tenggara pada awal ditanam kemudian tumbuh tanpa adanya sentuhan budidaya, dan dilakukan penebangan tanpa melakukan penanaman ulang.

Menurut (Haryanto dan Pangloli, 1992) bahwa terdapat 4 jenis sagu yang dapat dikembangkan di Sulawesi Tenggara yaitu: (1) Runggamanu atau TuniTinggi batang sekitar 10 – 15 meter. Produksi tepung sagu tuni di Sulawesi Tenggara dapat mencapai 250-300 kg. Sagu ini merupakan jenis sagu yang paling besar ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya (Manan, dkk. dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). (2) Roe atau Molat, tinggi batang sekitar 10-14 meter. Setiap pohon dapat menghasilkan sagu basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg tepung kering. (3) Rui atau Rotan, jenis sagu ini dicirikan dengan tinggi batang yang relatif lebih pendek yaitu 7,20 meter, mengandung banyak serat, dan berwarna kemerah-merahan serta kandungan aci paling sedikit. Kandungan aci dalam empulur hanya sekitar 200 kg per pohon dan rasanya kurang enak. (3) BarowilaJenis sagu ini mempunyai tinggi batang sekitar 10 meter Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 120 kg aci kering. Produksi tepung sagu jenis barowila sangat sedikit jika dibandingkan dengan jenis sagu lainnya. Jenis sagu tersebut disinyalir merupakan hasil persilangan

PEMASARAN SAGU

Pemasaran adalah suatu proses perencanaan dan menjalankan konsep, harga, promosi dan distribusi sejumlah ide, barang dan jasa, dan untuk menciptakan pertukaran yang mampu memuaskan tujuan individu dan organisasi (Lamb, 2001). Kegiatan pemasaran merupakan hal yang sangat penting karena di dalamnya mencakup berbagai kegiatan yang menyebabkan barang bergerak ke pasar atau ke daerah konsumen. Pada sub sistem pemasaran, para pelaku pada umumnya memperhatikan secara benar tetang pentingnya pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran dalam kaitannya dengan pencapaian efisiensi pemasaran (Saediman et al., 2006dalam Taridala, et al., 2013).

Selama ini tepung sagu di Sulawesi Tenggara dipasarkan dalam bentuk tepung basah, baik langsung ke konsumen maupun melalui pedangan perantara atau pedagang pengumpul. Ditingkat petani sagu atau pemilik sagu, sebagian menjual sagu dalam bentuk batang ke para pengolah (industri), baik yang skala kecil maupun skala besar. Namun tidak sedikit pemilik sagu yang mengolah batang sagunya kemudian dijual dalam bentuk sagu basah.

Lembaga pemasaran adalah badan, usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, penyeluran jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk keinginan konsumen. Tugas lembaga pemasaran ini adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumem memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran ini berupa margin pemasaran (Sudiyono, 2004). Hasil penelitian Taridala, 2013,

Page 214: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

197

mengatakan bahwa lembaga pemasaran yang terlibat sepanjang saluran pemasaran sagu di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara adalah; pedagang pengumpul desa (PPD), pedangang pengumpul kecamatan (PPK), dan pedangang besar (PB)/pedagang antar pulau. Pedangang besar setiap bulannya mengantarpulaukan sagu basah sekitar 100 – 150 ton atau antara 4 -5 kontainer. Produk sagu dari Sulawesi Tenggara cukup diminati oleh pasar antar pulau khusunya di pulau jawa. Harga per kg berpariasi tergantung kualitasnya. Senong.A, 2013.

Selanjutnya dikatakan bahwa pola saluran pemasaran sagu basah khususnya di Kabupaten Konawe selatan yaitu: (1) Petani Pengola - PPD - Konsumen Akhir (Rumah Tangga), (2) Petani Pengolah – PPK – Pabrik Sohun (Agroindustri), (3) Petani Pengolah – PAP – Konsumen akhir (industri). Pola saluran pemasaran tersebut merupakan pola pemasaran sagu basah, hasil pengolah atau petani sagu di desa-desa. Abidin et al (2015) bahwa pemasaran sagu dimulai dari tingkat petani dalam bentuk pohon sagu dengan harga Rp. 100.000 per pohon. Selanjutnya pengolah memproduksi sagu basah dengan kapasitas 12 karung per pohon dengan harga Rp. 100.000 per karung (33 kg). Pola saluran pemasaran tersebut pada umunya terjadi di semua daerah Sulawesi Tenggara. Sedangkan “Sinonggi” disajikan di warung-warung makan kota kendari dan beberapa kota kabupaten di Sulawesi Tenggara dan bagea dipasarkan di pasar lokal dan bisanya dibeli untuk cendramata.

KESIMPULAN

1. Sagu dapat menjadi pangan alternatif, dapat pula diolah menjadi berbagai macam produk, baik itu bahan pangan maupun bahan non pangan. Potensi cukup melimpah, namun pemanfaatannya masih terbatas.

2. Pengolahan sagu skala 25 pohon memberikan keuntungan 8.975.468, usaha rumah makan sinonggi memberikan keungtungan perbulan sekitar Rp. 24.000.000 – 60.000.000, dan industri bagea memperoleh pendapatan usaha berkisar Rp. 35.000.000 –Rp. 65.000.000 per bulan

3. Produk olahan sagu masih terbatas sehingga pemasaran masih skala kecil dan hanya bisa menjangkau pasar lokal. Sagu basah telah menjangkau pulau jawa namun harga rendah akibat produk dibawah standar kualitas. Perlu upaya peningkatan nilai tambah, pengolah sagu basa di desa-desa, maka dapat dikembangkan industri tepung sagu kering dan industri berbagai jenis produk olahan sagu.

4. Konsumen sagu semakin meningkat seiring perkembangan jaman, tetapi luas lahan sagu semakin menurun olehnya itu diperlukan adanya pelindungan terhadap areal sagu.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Bungati, Bananiek S., dan Asaad. 2015. Kajian Model Bioindustri Sagu Terintegrasi Ternak di Sulawesi Tenggara. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Suawesi Tenggara. Kendari.

Alfons.B.J. 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian, Vol 7. No2, Desember 2011, Halaman 87-93.

Abbas, B. And H. Ehara, 2012. Assessement Genetic Variation and Relationship of Sago palm (Metroxylon, sagu Rottb.) in Indonesia bibased on specifik expression of sago gene (wx genes) markers. Afrikan Journal of Plant Science, 6 (12), 314 – 320.

Allorerung, D, 1993. Sumberdaya Sagu dalam Pembangunan daerah Irian Jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Halaman 4 – 7.

Badan Pusat Statistik. 2014. Kota Kendari dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Bintoro, H.M.H, 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Panagan Nasional.

Bungati dan Abidin Z, 2015. Analisa Pendapatan pengolahan Sagu di Kabupaten Konawe Sealatan. Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan, Kendari, 9 Maret 2015.

Dinas Perkebunan dan Hortikultura, 2012. Statistik Perkebunan. Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2012. Statistik Statistik Ekspor-Impor dan Perdagangan antar Pulau. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2014. Statistik Statistik Ekspor-Impor dan Perdagangan antar Pulau. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

Page 215: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

198

BKP. 2013. Statistik Pertanian 2012. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Gurusamy, M., A. Velsamy, dan DR,N, Rajasekar, 2011. A Study on Price Fluctuation in Sago

Industry at Salem City, Tamil Nadu. Zenith Internatonal Journal of Bussiness Economics and Management Research, 1 (3), 147-166.

Haryanto, B. dan P. Pangloli, 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. Herviani, 2014. Kajian preferensi konsumen sagu (rumah makan dan agroindustri) di Kota kendari.

Tesis Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari. Kendari.

Karyadi, D., Hermana, & M.K. Mahmud. 1993. Pemanfaatan dan Peningkatan Mutu Gizi Sagu. Hal. 61-64. Dalam Tim Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Eds.). Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon 12-13 Oktober, 1992.

Lamb, Hair, Mc Daniel. 2001. Pamasaran. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Nanere, J.L. 2006. Sagu dan Lingkungannya di Maluku. Dalam: Hetharia, M.E.Th, M.J. Pattinama,

J.A. Leatemia, E.Kaya. J.B Alfons, & M. Titahena (Eds.). Prosiding Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku. Ambon, 29-31 Mei. Hal 21-31.

Notohadipawiro, T. & J.E. Louhenapessy.1993. Potensi Sagu dalam Penganekaragaman bahan Pokok di Tinjau dari Persyaratan Lahan. Dalam Tim Fakultas Pertanian Unpati (Eds.). Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon, 12-13 Oktober.

Rusli, Y, 2007 . Pengembangan Sagu di Indonesia: Strategi, Potensi dan Penyebarannya. Prosiding Lokakarya Penegmbangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007.

Senong. A, 2013. Produk sagu Sultra cukup diminati pasar antar pulau. Pewarta. http://sultra.antaranews.com/berita/267101/produk-sagu-sultra-cukup-diminati-pasaran-antarpulau. Diupdate, 25 Septepber.

Sitaniapessy. S\P.M. 1996. Sagu Suatu Tinjauan Ekologi. Pp. 57-70. Dalam Haska, H.N, A. Rasyad. H.M.H. Bintoro, B. Haryanto, H. Henanto, Jose Christine C, & Restuhadi (Eds.). Prosising Simposium Nasional Sagu III. Pekan Baru, 27-28 Pebruari.

Soselia.S.P, 2006. Pengelolaan dan Pemasaran Sagu di Maluku. Lokakarya “Sagu Dalam Revitalisasi Pertanian Maluku”. Kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Maluku dan Fakultas Pertanian UNPATTI. 29-31 Mei 2006.

Stanton, W.R., 1986. Some Lesser Known Sogo Areas in Malaysia: Coastal Kelantan and the Kimanis Basin in Sabah. Dalam Yamada N.and K.Kainuma. Sago-85: Proceedings of The Third International Sago Simposium, Tokyo, 1985.

Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang Taridala, S. A.A. 2013. Pemasaran Sagu (Metroxylon,sp). Prosiding Seminar Nasional “ Menggagas

Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kedaulatan. Fakultas Pertanian Universitas Madura, Juni 2013.

Tenda E.F. Mangindaan dan J.Kumaunang. 2003. Ekplorasi jenis-jenis sagu potensial di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Sagu. Manado, 6 Oktober 2003.

Watanabe, H. 1986. A view on density msnagement of sago palm in Batu Pahat, Malaysia, p.71-74. In Yamada N. & Kainuma (eds) Sago 85. The Third Int. Sago Symp. Tokyo Jepang, Mey 20-23. The Sago Palm Research Fund.

Page 216: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

199

SEBARAN Helminthosporium sigmoideum PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BATANG PADA TANAMAN PADI DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA

DISTRIBUTION OF Helminthosporium sigmoideumTHE CAUSE OF STEM ROTDISEASES ON RICE AT CENTRAL JAVA AND YOGYAKARTAPROVINCE

Dini Yuliani1, Hertina Artanti

2, dan Sudir

1

1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya IX Sukamandi Subang 41256

2BPTP Bengkulu, Jl. Irian KM 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Busuk batang merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan Helminthosporium sigmoideum. Penyakit ini ditemukan di seluruh wilayah Indonesia baik di dataran rendah, sedang, maupun dataran tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui sebaran penyakit busuk batang padi di sentra produksi padi di Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan berupa survey dan pengamatan keparahan busuk batang di lapangan pada musim kemarau (MK) 2013 dan musim hujan (MH) 2013/2014. Masing-masing propinsi diambil dua sampai lima kabupaten daerah produksi padi. Tiap kabupaten diambil tiga kecamatan dan tiap kecamatan diambil dua desa. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan pada fase generatif dan dilakukan pada hamparan sawah seluas 0,1 hingga 0,5 ha. Hasil pengamatan pada MK 2013 di sembilan kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, keparahan penyakit busuk batang tertinggi sebesar 19,6% dijumpai di Ds. Karangmulya, Kec. Tambakromo, Kab. Pati. Sedangkan pengamatan pada MH 2013/2014 di tujuh kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, keparahan busuk batang tertinggi sebesar 31,7% ditemukan di Ds. Cinde, Kec. Kebonarum, Kab. Klaten.Di Propinsi D.I. Yogyakarta, busuk batang padi dengan keparahan tertinggi sebesar 24,4% ditemukan di tiga kabupaten yaitu Bantul, Sleman, dan Kulonprogo.Keparahan busuk batang yang ditemukan diPropinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta termasuk kategori rendah hingga sedang. Tingkat keparahanpenyakit busuk batang padi dapat dijadikan dasar rekomendasi pengendalian di beberapa sentra produksi padi di Propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.

Kata kunci:Sebaran, Busuk Batang, Padi.

ABSTRACT

Stem rotis one of the important ricediseasecaused by the fungusHelminthosporiumsigmoideum. Thisdiseaseis foundinall areas in Indonesiabothin the lowlands, medium, orhighlands. The aim of this researchto determine thedistribution ofthe ricestem rot diseaseinrice production centersinCentral Java andYogyakarta Provinces. The experiment was conductedin the form ofsurveysandobservations of stem rot severity inthe fieldduring the dry season(DS) in 2013andthe wetseason(WS) 2013/2014. Each provincewas takentwo untilfivedistrictsof rice production area. Each districtwas takenthree sub-districtsandeach sub-districtwas takentwo villages. Observationsmade onthe disease severity at thegenerative phasewas doneina paddy fieldarea of0.1 to0.5ha. Observations in the DS2013in nine districtsin Central Java, the higheststem rotdisease severityby 19.6% was found inKarangmulya Village, Tambakromo, Pati District. Whereasthe observationsonWS2013/2014 inseven districtsin Central Java, the highestseverity ofstem rotof 31.7% was foundin theCinde Village, Kebonarum, Klaten District. InYogyakarta Province,ricestem rotwiththe highestseverityof 24.4% was foundinthreedistricts ofBantul, Sleman, andKulonprogro. The severity ofstem rot was found in Central JavaandYogyakarta Provinces includinglow to moderatecategory. The severity ofstem rot diseasecanbe used asthe basis ofrecommendationsin thecontrol inseveralrice production centersin Central JavaandYogyakarta Provinces.

Key Words:Distribution, Stem Rot, Rice.

Page 217: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

200

PENDAHULUAN

Penyakit busuk batang merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh jamur Helminthosporium sigmoideum var. irregulare. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Italia oleh Cattaneo pada tahun 1876 yang menyerang kulit luar pelepah daun padi (Ou, 1985). Selain di Italia, penyakit ini juga ditemukan di Jepang, India, Srilanka, Vietnam, Amerika Serikat, Bulgaria, Kenya, Madagaskar, Mozambique, Brazil, Columbia, dan Guyana (Santoso dan Nasution, 2009). Di Indonesia, Penyakit ini ditemukan di seluruh wilayah baik di dataran rendah, sedang, maupun dataran tinggi. Patogen menginfeksi tanaman padi pada bagian pangkal batang dekat permukaan tanah. Kerusakan yang timbul akibat busuk batang adalah tanaman padi menjadi mudah rebah. Gangguan penyakit ini pada fase berbunga atau pengisian menyebabkan gabah menjadi hampa. Patogen H. sigmoideum var. irregulare memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan lama pada sisa tanaman dan dalam tanah sehingga sulit dikendalikan (Ou, 1985). Hingga saat ini belum tersedia varietas padi yang tahan terhadap penyakit busuk batang.

Penerapan pengendalian penyakit tanaman secara terpadu di lapangan belum mengintegrasikan pendekatan dengan analisis ekonomi. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang timbul di luar bidang fitopatologi dan biologi secara umum. Konsep pengendalian penyakit tanaman terpadu memerlukan interaksi antara berbagai bidang terkait dalam pengelolaan ekosistem agar diperoleh hasil dan keuntungan yang optimal bagi petani produsen (Untung, 1995).

Informasi sebaran penyakit busuk batang dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun strategi pengendaliannya. Teknik pengendalian yang tepat berdampak terhadap peningkatan efektifitas pengendalian penyakit, sehingga serangan penyakit dapat ditekan, kehilangan hasil dapat ditekan, pendapatan petani dapat ditingkatkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada musim kemarau (MK) 2013 dan musim hujan (MH) 2013/2014. Pengamatan dan pengambilan sampel tanaman padi terinfeksi penyakit dilakukan di beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masing-masing propinsi diambil dua sampai lima kabupaten daerah produksi padi. Tiap kabupaten diambil tiga kecamatan dan tiap kecamatan diambil dua desa. Pengamatan dilakukan pada fase generatif (pengisian malai) dan dilakukan pada hamparan sawah seluas kurang lebih 0,1 hingga 0,5 ha. Tiap hamparan di bagi tiga bagian dan tiap bagian dibuat sebagai ulangan. Tiap ulangan ditarik garis diagonal, selanjutnya untuk setiap garis diagonal diambil sekitar 20 rumpun tanaman sampel. Tiap rumpun sampel diamati keparahan penyakit busuk batang padi di lokasi sampel diamati tingkat keparahannya. Skoring keparahan menggunakan sistem evaluasi standar untuk padi (IRRI, 2002), dengan skala penilaian yaitu 0= tidak ada gejala infeksi; 1= infeksi <1%; 3= infeksi 1-5%; 5= infeksi 6-25%; 7= infeksi 26-50%; dan 9= infeksi 51-100%. Selanjutnya dari nilai tersebut dikonversi ke dalam rumus keparahan penyakit yaitu:P = [(∑ ni.vi)/N. V] x 100%. Dengan keterangan n= jumlah rumpun terinfeksi dengan nilai ke-I; i= nilai masing-masing skala; N= jumlah total rumpun yang diamati; dan V= nilai skala tertinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Penyakit Busuk Batang Padi di Jawa Tengah MK 2013

Pemantauan penyakit busuk batang padi pada MK 2013 di Propinsi Jawa Tengah dilakukan di sembilan kabupaten yaitu Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, dan Blora. Lokasi pengambilan sampel berada di daerah Utara Pulau Jawa yang umumnya dataran rendah dengan ketinggian tempat antara 1 hingga 280 meter diatas permukaan laut (mdpl). Penyakit busuk batang ditemukan berkembang di semua lokasi pengamatan, di Propinsi Jawa Tengah dengan keparahan penyakit antara 2,2 hingga 16,3% (Tabel 1).

Varietas Ciherang masih mendominasi pertanaman padi di Provinsi Jawa Tengah pada MK 2013. Keparahan penyakit busuk batang pada varietas Ciherang tertinggi ditemukan di kabupaten Batang (11,9%), Demak (10,0%), Jepara (13,7%), Pati (19,6%), dan Blora (16,3%). Sedangkan pada Varietas Sidenuk, keparahan penyakit busuk batang tertinggi dijumpai di Kabupaten Pemalang (11,9%), Pekalongan (15,9%), dan Rembang (13,3%). Keparahan penyakit busuk batang pada varietas Mekongga tertinggi hanya ditemukan di kabupaten Kudus sebesar 12,2%.

Page 218: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

201

Tabel 1. Keparahan penyakit busuk batang di sentra produksi padi di Jawa Tengah, MK 2013.

Sumber: Data primer (2013)

Sebaran Penyakit Busuk Batang Padi di Jawa Tengah MH 2013/2014

Pada MH 2013/2014, pemantauan penyakit busuk batang padi dilakukan di tujuh kabupaten yaitu Cilacap, Banyumas, Klaten, Kebumen, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen. Lokasi pengambilan sampel berada di daerah selatan Pulau Jawa yang umumnya dataran rendah hingga sedang dengan ketinggian tempat antara 6 hingga 500 mdpl. Penyakit busuk batang di Provinsi Jawa Tengah ditemukan dengan keparahan antara 15,7 hingga 25,9%(Tabel 2).

Varietas Ciherang masih mendominasi pertanaman padi di Provinsi Jawa Tengah pada MH 2013/2014. Keparahan penyakit busuk batang pada varietas Ciherang tertinggi ditemukan di kabupaten Banyumas (31,5%), Klaten (31,7%), dan Sukoharjo (29,4%). Sedangkan pada Varietas Muncul, keparahan penyakit busuk batang tertinggi dijumpai di Kabupaten Cilacap (25,9%) dan

Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Keparahan Penyakit (%)

Pemalang Pemalang Pekunden Kulon Si Denuk 7,8 Pemalang Pekunden Wetan Ciherang 5,2 Petarukan Petarukan Ciherang 2,2 Petarukan Kecapang Ciherang 11,5 Petarukan Iser Si Denuk 7,4 Bodeh Pendowo Si Denuk 11,9 Bodeh Kelang Ciherang 4,8

Pekalongan Kedungwuni Pakis Putih IR64 9,6 Kedungwuni Langkap Ciherang 12,6 Doro Kutosari Si Denuk 10,4 Doro Doro Si Denuk 15,9 Kajen Kebon Agung Bondoyudo 14,5 Kajen Sangkanjoyo St. Bagendit 10,0

Batang Batang Kesepuhan Si Denuk 8,9 Batang Depok IR64 10,0 Subah Kalimanggis Ciherang 11,9 Subah Jatisari W. Apoburu 8,8

Demak Demak Sedugenting Ciherang 4,5 Mijen Ngelo Wetan Ciherang 10,0 Mijen Bakung Ciherang 4,8

Jepara Welahan Kalipucang Ciherang 6,3 Tahunan Ngabul Ciherang 3,7 Jepara Mulyoharjo Ciherang 13,7 Kalinyamat Margoyoso Ciherang 6,3 Pecangaan Pengging Ciherang 4,1

Kudus Jekulo Hadipolo Ciherang 8,5 Bae Gondangmani Mekongga 12,2

Pati Pati Kalidoro Wetan Sintanur 11,1 Pati Kalidoro Kulon Mekongga 16,3 Tambakromo Karangmulyo Ciherang 19,6 Tambakromo Karangawen St. Bagendit 8,6 Gabus Gondang IR64 11,5 Gabus Koripan Ciherang 3,3 Winong Pagendisan Ciherang 4,1 Winong Winong Ciherang 9,3

Rembang Sulang Karanganyar Ciherang 3,2 Sulang Sulang Ciherang 8,2 Rembang Parerejo Mekongga 3,7 Rembang Tireman Ciherang 3,3 Pamotan Pamotan St. Bagendit 5,6 Pamotan Japerejo Si Denuk 13,3

Blora Blora Medang Ciherang 4,4 Blora Komahan Ciherang 4,8 Tunjungan Sembung Ciherang 12,4 Tunjungan Adirejo IR64 11,5 Ngawen Sambiroto Ciherang 16,3

Page 219: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

202

Kebumen (24,4%). Keparahan penyakit busuk batang tertinggi pada varietas lainnya yaitu Memberamo ditemukan di kabupaten Boyolali sebesar 25,0%, sedangkan pada varietas IR64 sebesar 17,6%.

Tabel 2. Keparahan penyakit busuk batang padi di sentra produksi padi di Jawa Tengah, MH 2013/2014.

Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Keparahan Penyakit (%)

Cilacap Maos Maos Lor Ciherang 24,8 Maos Karangkemiri Situbagendit 20,8 Maos Karangrena Ciherang 18,9 Maos Karangrena Ciherang 21,3 Maos Karangrena Situbagendit 15,7 Maos Karangrena Galur 16,3 Maos Karangrena Galur 21,7 Kawunganten Karangpucung Ciherang 20,8 Kawunganten Karangpucung Muncul 25,9 Kawunganten Jayagiri Ciherang 23,3 Kawunganten Bojong Ciherang 16,5 Sampang Sampang Muncul 17,2 Sampang Karangasem Ciherang 25,6

Banyumas Kebasen Bangsal Ciherang 30,7 Kebasen Kaliwedi Ciherang 21,7 Kebasen Adisana Ciherang 24,1 Kemranjen Kacila IR64 29,6 Kemranjen Kedungpring Ciherang 31,5 Sumpyuh Sumpyuh IR64 17,2 Sumpyuh Kradenan IR64 24,6

Kebumen Kutowinangun Kutowinangun Ciherang 16,5 Kutowinangun Mekarsari Ciherang 18,3 Kutowinangun Ngaran Ciherang 22,6 Kutowinangun Ngaran Ciherang 22,6 Prembun Prembun Muncul 24,4 Prembun Sidomangu Ciherang 19,4 Prembun Sidomangu Muncul 18,1

Klaten Klaten Selatan Jetis Ciherang 18,1 Klaten Selatan Jetis Situ Bagendit 12,4 Klaten Selatan Truno Ciherang 21,1 Klaten Selatan Truno Ciherang 22,8 Klaten Selatan Juragan Ciherang 25,9 Kebonarum Cinde Ciherang 31,7 Kebonarum Sambeng Ciherang 28,0 Kebonarum Kebonarum Ciherang 25,6 Kebonarum Kluneng Ciherang 15,0 Ngawen Getak Ciherang 20,0 Ngawen Getak Membramo 20,7 Ngawen Senden IR64 21,9 Ngawen Senden Membramo 17,9 Juwiring Juwiring Ciherang 14,5 Juwiring Juwiring Situ Bagendit 16,1 Juwiring Juwiring Ciherang 15,9 Juwiring Juwiring Situ Bagendit 16,1 Juwiring Juwiring Situ Bagendit 21,9

Boyolali Banyudono Kuwiran Situ Bagendit 23,7 Banyudono Cangkringan Situ Bagendit 18,0 Banyudono Cangkringan Membramo 25,0 Banyudono Ngaru Membramo 25,9 Banyudono Ngaru Situ Bagendit 24,8 Banyudono Ngaru Sintanur 14,1 Sawit Sawit Membramo 18,2 Sawit Kemasan Situ Bagendit 12,2

Sukoharjo Grogol Telukan Situ Bagendit 14,4 Grogol Telukan Ciherang 18,9

Page 220: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

203

Grogol Telukan Ciherang 23,1 Grogol Telukan Membramo 24,1 Sukoharjo Jetis Ciherang 24,3 Sukoharjo Carikan Situ Bagendit 26,7 Sukoharjo Combangan Situ Bagendit 26,1 Sukoharjo Combangan Ciherang 24,4 Tawangsari Pojok Ciherang 29,4 Tawangsari Dalangan Ciherang 28,0 Tawangsari Tawangsari Ciherang 26,7

Sragen Sambungmacan Jatisumo Ciherang 16,9 Sambungmacan Jatisumo Membramo 15,5 Sambungmacan Jatisumo IR64 12,2 Sambungmacan Banaran IR64 17,6 Sambungmacan Banaran Mentik 9,8 Sambungmacan Sumberagung Inpari4 13,2

Sumber: Data primer (2013)

Sebaran Penyakit Busuk Batang Padi diYogyakarta

Pemantauan penyakit busuk batang padi pada musim tanam MK 2013 di Propinsi D.I. Yogyakarta dilakukan di dua Kabupaten yaitu Sleman dan Bantul. Di Kabupaten Sleman pengamatan dilakukan di lima lokasi yang terdiri dari tiga Kecamatan yaitu Berbah, Kalitirto, dan Prambanan dengan ketinggian tempat 100 hingga 1.000 mdpl.Sedangkan di Kabupaten Bantul pengamatan dilakukan di tiga kecamatan yaitu Pleret, Sewon dan Piyungan dengan ketinggian tempat 25 hingga 500 mdpl. Busuk batangditemukan di semua lokasi pengamatan dengan keparahan penyakit antara 9,6 hingga 21,9%(Tabel 3). Varietas Ciherang menunjukkan keparahan penyakit busuk batang tertinggi (14,1%) di Kabupaten Sleman, sedangkan Situ Bagendit (21,9%) di Kabupaten Bantul.

Tabel 3. Keparahan penyakit busuk batang padi di sentra produksi padi di D.I. Yogyakarta, MK 2013.

Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Keparahan Penyakit (%)

Sleman Berbah Sendangtirto Sintanur 13,7 Berbah Sekarsuli Mekongga 11,9 Berbah Sekarsuli Ciherang 14,1 Kalitirto Jarakan Sintanur 11,5 Prambanan Madurejo Ketan 12,2

Bantul Pleret Kedaton Situ Bagendit 9,6 Pleret Segoroyoso Situ Bagendit 21,9 Sewon Pacar Situ Bagendit 11,9 Piyungan Banyakan Ciherang 11,9 Piyungan Sitimulyo Ciherang 19,6

Sumber: Data primer (2013)

Pemantauan penyakit busuk batang padi pada MH 2013/2014 di Propinsi D.I. Yogyakarta dilakukan di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulonprogo.Di Kabupaten Sleman, pengamatan dilakukan di Kecamatan Godean dan Moyudan.Di Kabupaten Bantul, pengamatan dilakukan Kecamatan Banguntapan dan Sedayu, sedangkan pengamatan di Kabupaten Kulonprogo dilakukan di Kecamatan Nanggulan dan Sentolo dengan ketinggian tempat berkisar 500 mdpl.Penyakit busuk batang ditemukan di semua lokasi pengamatan dengan keparahan antara 8,9 hingga 24,4%(Tabel 4). Varietas Ciherang menunjukkan keparahan penyakit busuk batang tertinggi (24,4%) di Kabupaten Sleman dan Kulonprogo, sedangkan Situ Bagendit (24,4%) di Kabupaten Bantul.

Page 221: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

204

Tabel 4. Keparahan penyakit busuk batang padi di sentra produksi padi di D.I. Yogyakarta, MH 2013/2014.

Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Keparahan Penyakit (%)

Sleman Godean Sidorejo Ciherang 24,4 Godean Sidoluhur Ciherang 14,4 Godean Joglo St. Bagendit 12,2 Moyudan Nalangan St. Bagendit 22,2 Moyudan Kruwet St. Bagendit 14,4 Moyudan Sumberagung IR64 20,0

Kulonprogo Nanggulan Wijimulyo Ciherang 17,8 Nanggulan Ploso Muncul 22,2 Sentolo Banguncipto Ciherang 24,4

Bantul Banguntapan Jambidan Ciherang 20,0 Banguntapan Potorono St. Bagendit 15,6 Banguntapan Wirokerten St. Bagendit 24,4 Sedayu Kalaan Ciherang 20,0 Sedayu Argosari IR64 22,2 Sedayu Sedayu IR42 11,1 Sedayu Argorejo IR64 15,6 Sedayu Argorejo St. Bagendit 8,9

Sumber: Data primer (2013)

Timbulnya penyakit merupakan hasil interaksi antara patogen, inang dan lingkungannya.

Timbulnya penyakit sampai pada proporsi yang merugikan disebabkan tersedianya patogen yang virulen, inang yang rentan, dan lingkungan yang mendukung. Pada kondisi lingkungan pertanian alam buatan (agroecosystem), campur tangan manusia menjadi faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan penyakit (Zadoks and Schein, 1979). Faktor lingkungan persawahan sangat bervariasi sesuai dengan aktifitas petani, yang berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain atau dari satu musim dengan musim yang lain. Aktifitas petani dalam menerapkan teknologi menyebabkan terjadinya perbedaan lingkungan fisik di sekitar pertanaman padi (mesoclimate) pada tiap agroekosistem. Keadaan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkah laku penyebab penyakit (patogen). Keparahan penyakit dapat meningkat atau menurun atau terjadi pergeseran dominasi patogen maupun ras patogen.

Penyakit busuk batang padi merupakan penyakit yang endemis dan selalu terdapat di daerah pertanaman padi yang intensif. Tingkat keparahan penyakit ini berkaitan erat dengan cara budidaya yang diterapkan oleh petani (Nuryanto, 2011).Saat ini, praktek budidaya padi unggul harus didukung dengan penggunaan pupuk anorganik supaya dapat mencapai hasil yang optimum. Akibatnya, penggunaan pupuk urea di lapangan ada kecenderungan melebihi dosis anjuran. Menurut Suprihanto et al. (2009), semakin tinggi dosis pupuk nitrogen menyebabkan tanaman padi semakin rentan terhadap penyakit busuk batang. Nitrogen tersedia dalam jumlah tinggi secara terus menerus dalam jaringan tanaman dapat meningkatkan keparahan penyakit (Nagarajan and Muralidharan 1995; Winarso, 2005). Penanaman padi dengan varietas rentan dan pemupukan nitrogen berlebihan serta didukung kondisi lingkungan fisik (suhu dan kelembaban yang cocok) memicu berkembangnya beberapa penyakit yang mendominasi di daerah setempat. Selain itu, penyakit busuk batang berkembang lebih baik pada tanaman yang berumur panjang (Sudir et al. 1992).

Penyakit busuk batang selalu menginfeksi padi pada setiap musim terutama pada lahan-lahan yang berdrainase jelek didukung oleh kelembaban yang tinggi akibat genangan air (Ou, 1985). Tinggi kedalaman genangan air berpengaruh nyata terhadap perkembangan penyakit busuk batang. Semakin tinggi kedalaman air menyebabkan penyakit busuk batang semakin berkembang (Suryadi et al. 1995).Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, pemantauan perkembangan penyakit dari musim ke musim sangat diperlukan untuk menentukan strategi pengendalian.

Page 222: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

205

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Hasil pengamatan di sembilan kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, keparahan penyakit busuk batang tertinggi sebesar 19,6% pada musim kemarau 2013 dijumpai di Ds. Karangmulya, Kec. Tambakromo, Kab. Pati. Sedangkan pengamatan di tujuh kabupaten di Propinsi Jawa Tengah pada musim hujan 2013/2014, keparahan penyakit busuk batang tertinggi sebesar 31,7% ditemukan di Ds. Cinde, Kec. Kebonarum, Kab. Klaten.

2. Di Propinsi D.I. Yogyakarta, busuk batang padi dengan keparahan tertinggi sebesar 24,4% ditemukan di tiga kabupaten yaitu Bantul, Sleman, dan Kulonprogo.Keparahan penyakit busuk batang diPropinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta termasuk kategori rendah hingga sedang.

Saran

Informasi penyakit busuk batang padi tersebut dapat dijadikan dasar rekomendasi pengendalian di beberapa sentra produksi padi di Propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

IRRI. 2002. Standart Evaluation System for Rice. IRTP. IRRI. 3rd

edition. Los Banos, Philippines. 57p.

Nagarajan, S., and Muralidharan, K. 1995. Dynamics of plant diseases. Allied Publisher. New Delhi, Bombay, Calcutta. India. 247p.

Nuryanto, B. 2011. Varietas, kompos, dan cara pengairan sebagai komponen pengendali penyakit hawar upih. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah. Yoyakarta.

Ou, S.H. 1985. Rice diseases (2nd

ed) CMI Kew. 380 p. Santoso, dan Nasution, A. 2009. Pengendalian penyakit blas dan penyakit cendawan lainnya. Daradjat,

A.A., Setyono, A., Makarim,A.K., dan Hasanuddin, A. (eds.). Inovasi Teknologi Produksi Padi. Hal: 531-563.

Sudir, Nuryanto, B.,dan Suparyono. 1992. Pengaruh bakteri antagonis terhadap penyakit hawar pelepah Rhizoctonia solani dan busuk batang Helminthosporium sigmoideum pada tanaman padi. Kumpulan Seminar Balai Penelitian Tanaman pangan Sukamandi Juli-Desember 1992.

Suprihanto, Guswara, A., dan Satoto. 2009. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap beberapa penyakit pada varietas padi hibrida. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi, hal. 443-451.

Suryadi, Y., Kadir, T.S., dan Suriapermana, S. 1995. Pengaruh kedalaman genangan air terhadap penyakit busuk batang Helminthosporium sigmoideum var. irregular. Prosiding Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta, 6-8 September 1993. Hal: 215-220.

Winarso, S. 2005. Kesuburan tanah: Dasar kesehatan dan kualitas tanah. Gava Media. Yogyakarta. 128p.

Zadoks, J.C., and ScheinR.D. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford University Press. 425p.

Page 223: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

206

RESPON GALUR-GALUR HARAPAN PADI TERHADAP CEKAMAN GENANGAN AIR DI LAHAN PASANG SURUT

RESPONSE OF ELITE LINES OF RICE TOWARD WATERLOGGING STRESS IN TIDAL LAND AREA

Parlin H. Sinaga

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. Kaharudin Nasution Km. 10 No. 341 Pekanbaru. Telp (0761)-674206

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Genangan air yang tinggi pada musim hujan menyebabkan lahan pasang surut tipe luapan B tidak dapat ditanami dengan varietas berbatang rendah yang tidak tahan genangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi galur-galur yang berasal dari turunan padi pasang surut terhadap genangan air pada fase vegetatif. Penelitian dilaksanakan pada lahan pasang surut tipe B di Desa Sei Tatas Kecamatan Pulau Petak dan pada lahan tipe luapan C di Desa Petak Batuah, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2013-2014. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok diulang tiga kali dengan perlakuan sepuluh galur ditanam di dua lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi adaptasi antar galur terhadap cekaman genangan air. Galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P5E-KK-A5 masih tumbuh baik walaupun tercekam genangan air 8 hari sejak tanam dengan hasil masing-masing 6.87, 6.70, 6.97 t ha

-1 GKP.

Galur yang tidak tahan terhadap genangan menunjukkan gejala keracunan besi dan bercak coklat yang cukup parah walaupun kadar Fe tanah lebih rendah dibanding lokasi yang tidak tergenang.

Kata Kunci: tahan genangan, pasang surut, galur padi, keracunan besi, adaptasi

ABSTRACT

The waterlogging during the rainy season causing tidal area overflow type B cannot be planted with short-stemmed varieties are not waterlogging resistant. This study aimed to determine the adaptation of derived lines from tidal rice to waterlogging on the vegetative phase. The experiment was conducted on tidal land type B in Sei Tatas Village, Pulau Petak Subdistrict and the type of overflow C in Petak Batuah Village, Dadahup Subdistrict, Kapuas District, Central Kalimantan Province in 2013-2014. Ten rice lines were planted in two environments according to randomized complete block design with three replicates. The results showed that there are variations among adaptation of rice lines towardwaterlogging stress. Lines P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P5E-KK-A5 were still growing well although gripped by waterlogging of 8 days after planting with the results respectively 6.87, 6.70, 6.97 t ha

-1dry milled grain. The lines were not resistant to waterlogging, showingsymptoms of iron toxicity

and brown spots were quite severe even though the soil Fe content was lower than the location which was not submergence.

Keywords: waterlogging, rice, tidal, submergence, Fe toxicity

Page 224: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

207

PENDAHULUAN

Pemasanasan global dan degradasi lingkungan telah menyebabkan cekaman rendaman di lahan-lahan pertanian yang rendah, daerah pesisir laut, dan sekitar sungai. Menurut CGIAR (2006), banjir akan sering terjadi akibat peningkatan curah hujan dan naiknya permukaan air laut.

Dampak buruk naiknya air laut terjadi pada sawah pasang surut yang secara langsung menerima pengaruh pasang surutnya air laut. Pada musim hujan, air yang melimpah di sungai tidak dapat terbuang ke laut karena permukaan air laut juga tinggi akibat pemanasan global dan pasang tunggal. Tanaman padi pasang surut yang menerima dampak rendaman air akan sangat tercekam jika kualitas air tidak baik, seperti keruh dan membawa serasah tanaman.

Perendaman rata-rata menurunkan hasil tanaman17,5% dari tanpa perendaman. Perendaman menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman, penurunan jumlah anakan, memperpanjang umur dan waktu pemasakan varietas-varietas padi toleran rendaman (Ikhwani, 2013).

Cekaman genangan menghambat sejumlah proses fisiologis di dalam tanaman. Pertama, konsentrasi oksigen terlarut di dalam larutan air tanah turun secara dramatis, dari 230 mmol m

-3 pada

tanah berdrainase bagus menjadi 50 mmol m-3

O2 pada kondisi tergenang (Grichko and Glick, 2001). Oksigen yang terbatas ini secara efektif membatasi pernafasan aerobik dan sintesis ATP di dalam mitokhondria akar (Greenway and Gibbs, 2003), menyebabkan penurunan energi yang tersedia dengan cepat. Penurunan energi berdampak pada aktivitas membran transporter mayor (pada plasma dan organel-organel membran), mempengaruhi metabolism sel, dan keseluruhan status nutrisi tanaman (Pang et. al., 2007). Tanaman yang tidak toleran terendam tidak dapat menyerap nutrisi dan air dengan baik pada saat terendam dan berlanjut dengan menguningnya daun, pertumbuhan terhambat, dan hasil tanaman turun. Varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap rendaman ditandai dengan pemulihan yang cepat pasca rendaman, pertambahan tinggi dan jumlah anakan tidak tertekan selama rendaman.

Salah satu strategi adaptasi untuk mengurangi dampak buruk akibat rendaman air adalah menanam varietas tahan rendaman. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan varietas-varietas padi tahan rendaman seperti Inpara 3 (Hairmansis et al., 2008), Inpara 4, dan Inpara 5. Varietas-varietas tersebut diintrogresi dengan gen tahan rendaman sub-1.

Tanaman pada percobaan-percobaan untuk ketahanan terhadap rendaman pada umumnya diberi cekaman rendaman pada saat pertumbuhan vegetatif atau beberapa minggu setelah tanam. Tetapi kenyataan di lapang, banjir bisa datang kapan saja termasuk pada saat tanaman baru dipindah tanam. Resiko tanaman mati akibat rendaman berhubungan dengan lamanya rendaman, kualitas air rendaman, material yang terbawa air rendaman, umur bibit, dan fase pertumbuhan tanaman pada saat terendam. Bibit muda yang baru dipindam tanam diduga lebih cepat mati pada saat terendam dibandingkan dengan jika banjir datang beberapa minggu sejak tanam.

Varietas yang mampu beradaptasi terhadap rendaman sesaat setelah pindah tanam sangat dibutuhkan di wilayah pasang surut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon galur-galur harapan padi terhadap cekaman rendaman air di lahan pasang surut. Luaran penelitian adalah galur padi yang tahan terhadap rendaman sejak pindah tanam.

METODE PENELITIAN

Galur dan varietas yang diuji adalah: P1F-KK-A1, P1F-B-A7, P1F-B-A15, P1D-KK-A26, P1D-KK-A45, P17E-B-A48, P1D-KK-A48b, Inpara 2, Batang Piaman, P1D-KK-A67, P5E-KK-A5, P253F-B-53. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk Urea 200 kg ha

-1, SP36 150 kg ha

-1, KCl 100

kg ha-1

, insektisida, dan fungisida. Alat bantu yang digunakan adalah timbangan digital, bagan warna daun, dan meteran.

Galur dan varietas tersebut ditanam di dua lokasi, yaitu: Desa Sei Tatas Kecamatan Pulau Petak (pasang surut tipe B, terendam) dan pada lahan tipe luapan C di Desa Petak Batuah, Kecamatan Dadahup (lahan pasang surut tipe C, tidak terendam), Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2013-2014. Metode budidaya adalah: (1) umur bibit 30 hari; (2) tanaman pada persemaian dipupuk dengan Urea 50 kg ha

-1, SP36 50 kg ha

-1, KCl 25 kg ha

-1 (Urea 25 kg, TSP, dan KCl

seluruhnya diberikan satu hari sebelum tebar benih, dan Urea 25 kg ha-1

diberikan saat umur persemaian 13-14 hari, luas persemaian 5% dari luas pertanaman; (3) jarak tanam 20 x 20 cm; (4) jumlah tanaman per lubang 2 batang; (5) pupuk dasar Urea 100 kg ha

-1, Sp36 150 kg ha

-1, KCl 50 kg

ha-1

; (6) pupuk susulan Urea 50 kg ha-1

dan KCl 50 kg ha-1

diberikan pada umur 35 hst; (7) penyiangan gulma secara manual; (9) pengendalian terhadap hama penyakit dengan metode PHT. Pupuk dasar di

Page 225: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

208

lokasi terendam diberikan satu hari setelah air surut, sedangkan di lokasi tidak terendam, pupuk dasar diberikan 1 hari sebelum tanam.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Satu unit plot penelitian berukuran 3 m x 4 m. Data dianalisis ragam (anova) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata Tukey 0.05. Variabel yang diamati adalah jumlah rumpun hidup pasca rendaman, lama rendaman, tinggi rendaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan hasil panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan

Lokasi di Desa Sei Tatas adalah lahan pasang surut tipe luapan B tetapi saluran pembuangan air tidak ada sehingga air hujan yang menggenangi sawah tidak dapat dialirkan. Sebelum penanaman, tinggi air di areal sawah ± 80 cm. Penanaman dilaksanakan pada saat tinggi air ± 50 cm. Seluruh tanaman terendam pada saat penanaman. Tinggi rendaman ± 50 cm berlangsung selama 3 hari sejak tanam. Warna air agak keruh tetapi tanaman yang terendam masih dapat dilihat dari permukaan air dua hari sejak tanam. Pada hari ke-4 air sudah mulai surut dan beberapa sentimeter ujung daun tanaman sudah terlihat muncul di permukaan air yang berlangsung hingga hari ke-8. Pada hari selanjutnya tinggi genangan ± 20 cm berlangsung selama beberapa hari hingga air kering. Pada fase vegetatif, sawah mengalami kekeringan.

Lokasi kedua di Desa Petak Batuah tidak pernah terendam air selama musim tanam. Air di petakan sawah terkendali dengan ketinggian bervariasi antara 0-7 cm. Tanah di dua lokasi penelitian bereaksi masam dan kadar besi sangat tinggi. Kadar besi di Sei Tatas lebih rendah dibandingkan dengan Petak Batuah (Tabel 1).

Tabel 1. Sifat fisika dan kimia lahan penelitian di lokasi penelitian

No Sifat dan Ciri Tanah Petak Batuah Sei Tatas

Nilai Kriteria Nilai Kriteria

1. Pasir (%) 0 - 0 - 2. Debu (%) 44 - 37 - 3. Liat (%) 56 - 63 - 4. C Organik (%) 2.63 sedang 3.35 tinggi 5. N Total (%) 0.15 rendah 0.21 sedang 6. C/N 17.68 tinggi 16.05 tinggi 7. pH tanah 3.93 sangat masam 4.07 sangat masam 8. Al

3+ (me/100 g) 8.71 sangat rendah 8.02 sangat rendah

9. P Bray (ppm) 130.5 sangat tinggi 62.39 sangat tinggi 10. Cadd (me/100 g) 0.48 sangat rendah 0.07 sangat rendah 11. Nadd (me/100 g) 0.21 rendah 0.27 rendah 12. Kdd (me/100 g) 0.31 sedang 0.22 rendah 13. KTK (me/100 g) 8.92 rendah 9.07 rendah 14. P2O5 potensial (mg/100 g) 45 sedang 58 tinggi 15. K2O potensial (mg/100 g) 18 rendah 13 rendah 16. Fe (ppm) 148 135

Sumber: Data primer tahun 2013

Pertumbuhan Tanaman

Secara umum pertumbuhan tanaman terhambat di lokasi terendam yang ditandai dengan tinggi tanaman dan jumlah anakan lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di lokasi tidak terendam di Desa Petak Batuah. Daun tanaman di lokasi terendam terlihat lebih lemah dan berwarna hijau cerah selama fase vegetatif dibandingkan dengan tanaman yang tidak terendam. Penyakit bercak coklat ditemukan pada semua genotipe yang diuji di lahan terendam dengan intensitas berbeda. Gejala keracunan besi pada beberapa genotipe dapat dilihat pada fase vegetatif di lahan terendam dan tidak terlihat di lahan yang tidak terendam.

Kekeruhan air rendaman berpengaruh terhadap keparahan kerusakan tanaman dan pemulihannya (Ikhwani dan Makarim 2009). Air yang tidak terlalu keruh dan tidak stagnan kelihatannya berpengaruh baik terhadap semua genotipe, karena tidak ditemukan genotipe yang semua rumpunnya mati saat terendam. Genotipe terburuk P1F-B-A7 kehilangan rumpun 53% dan kondisi ini

Page 226: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

209

lebih baik dibandingkan yang dilaporkan Ikhwani et al. (2010), yaitu kerusakan tanaman mencapai 50,0-63,3%.

Tabel 2. Jumlah rumpun hidup pada petak percobaan 3 m x 4 m

Galur Petak Batuah Sei Tatas

P1F-KK-A1 286 267

P1F-B-A7 292 141

P1F-B-A15 300 233 P1D-KK-A26 300 242 P1D-KK-A45 295 201 P17E-B-A48 280 284

P1D-KK-A48b 300 189 Inpara 2 268 289

Batang Piaman 294 176 P1D-KK-A67 300 270 P5E-KK-A5 296 288 P253F-B-53 300 265

Rerata Lokasi

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil atau huruf besar yang sama pada kolom dan baris berarti berbeda tidak nyata menurut uji Tukey 0.05.

Sumber: Data primer tahun 2014

Jumlah rumpun yang bertahan hidup pada kondisi terendam merupakan variabel penting yang langsung berhubungan dengan hasil panen. Galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P1D-KK-A67, P5E-KK-A5, P253F-B-53 memiliki daya tahan yang baik pada kondisi terendam. Galur-galur tersebut cepat pulih pasca terendam. Pertambahan tinggi beberapa galur tidak tertekan pada kondisi terendam seperti: P1F-KK-A1, P1F-B-A7, P1D-KK-A26, dan P17E-B-A48 (Tabel 3). Secara umum jumlah anakan lebih rendah pada kondisi terendam dibandingkan dengan kondisi tidak terendam tetapi galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, dan P5E-KK-A5 mampu menghasilkan anakan lebih banyak walaupun terendam selama 8 hari sejak tanam (Tabel 4).

Kerusakan tanaman yang sangat banyak ditemukan pada galur P1F-B-A7 dan P1D-KK-A48b, serta varietas Batang Piaman. Ketiga genotipe tersebut kehilangan rumpun masing-masing 53%, 37%, dan 41% dari populasi awal 300 rumpun. Kerusakan tanaman yang tidak toleran rendaman menunjukkan responnya yang sangat sensitif terhadap keadaan kekurangan O2 dan CO2 yang diperlukan dalam proses fotosintesis.

Galur-galur yang tidak toleran rendaman menunjukkan gejala senessen atau daun menua setelah bebas dari rendaman. Menurut Jackson et al. (1987) dan Ella et al. (2003), gas etilen yang terakumulasi dalam jaringan selama terendam menyebabkan senessen sehingga proses fotosintesis terhambat.

Toleransi tanaman terhadap genangan diduga sebagian besar ditentukan oleh kemampuan genotipe toleran untuk mengurangi efek merugikandari metabolit sekunder pada proses membran-transportasi di akar (khususnya,meningkatkan retensi K

+) (Pang et. al. 2007). Toleransi tanaman

terhadap metabolit sekunder dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pada proses pemuliaan padi tahan rendaman. Di sisi lain, Colmer dan Pedersen (2008) dan Pedersen et al. (2009), melaporkan bahwa daun yang terendam memiliki selaput gas yang berfungsi untuk pertukaran O2 dan CO2 antara daun dengan air di sekelilingnya. Hal tersebut akan meningkatkan fotosintesis netto di bawah air dengan menyediakan CO2 pada siang hari dan menyerap O2 untuk respirasi pada malam hari. Menurut Nishiuchiet al. (2012), padi mengatasi stres akibat genangan air dengan aerasi internal, mengendalikan pertumbuhan, membentuk lysigenous aerenchyma dan penghalang untuk mencegah kehilangan O2 di akar untuk memasoknya ke ujung akar.

Page 227: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

210

Tabel 3. Keragaan tinggi tanaman (cm)

Galur/varietas Petak Batuah Sei Tatas

P1F-KK-A1 123,3 d-g 139,3 ab

P1F-B-A7 120,3 efg 136,3 abc

P1F-B-A15 129,0 c-f 119,0 fg

P1D-KK-A26 125,3 d-g 133,3 bcd

P1D-KK-A45 145,3 a 139,7 ab

P17E-B-A48 123,3 d-g 131,3 bcd

P1D-KK-A48b 145,3 a 130,0 b-e

Inpara 2 96,0 j 104,7 ij

Btg Piaman 108,3 hi 100,3 ij

P1D-KK-A67 117,0 gh 97,0 j

P5E-KK-A5 137,7 abc 132,0 bcd

P253F-B-53 115,7 gh 104,3 ij

Rata-rata 123,9 122,3 KK (%) 2,85 2,45

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil atau huruf besar yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji Tukey 0.05.

Sumber: Data primer tahun 2014

Tabel 4. Jumlah anakan produktif

Galur/varietas Petak Batuah Sei Tatas

P1F-KK-A1 12,0 a-e 13,3 a-e

P1F-B-A7 12,3 a-e 7,0 e

P1F-B-A15 14,7 abc 10,7 a-e

P1D-KK-A26 15,3 abc 9,0 cde

P1D-KK-A45 14,3 abc 9,7 b-e

P17E-B-A48 12,0 a-e 13,3 a-e

P1D-KK-A48b 15,3 abc 7,7 de

Inpara 2 15,7 ab 16,3 a

Btg Piaman 11,7 a-e 11,0 a-e

P1D-KK-A67 14,0 a-d 13,3 a-e

P5E-KK-A5 9,3 b-e 13,0 a-e

P253F-B-53 13,0 a-e 10,3 a-e

Rata-rata 13,3 11,2 KK (%) 16,92 16,62

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil atau huruf besar yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji Tukey 0.05.

Sumber: Data primer tahun 2014

Jumlah biji bernas per malai dan bobot 1000 butir adalah komponen hasil. Semua galur menghasilkan jumlah biji bernas per malai lebih rendah dibandingkan jumlah biji bernas di sawah yang tidak terendam. Banyaknya bulir hampa di lahan terendam, tidak diikuti oleh naiknya rata-rata bobot 1000 butir. Sebagian besar galur menghasilkan bobot 1000 butir yang lebih rendah (Tabel 6).

Cekaman kekeringan pada fase berbunga dan pengisian bulir berakibat buruk terhadap pertumbuhan bulir. Penurunan jumlah biji bernas yang cukup besar di lahan terendam dibandingkan dengan lahan tidak terendam, ditemukan pada galur P1F-B-A7 sebesar 38%, diikuti oleh galur P5E-KK-A5, P1F-KK-A1, dan P1D-KK-A45 masing-masing sebesar 30%, 28%, dan 21% (Tabel 5).

Page 228: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

211

Tabel 5. Jumlah biji bernas per malai

Galur/varietas Petak Batuah Sei Tatas Penurunan jumlah biji bernas (%)

P1F-KK-A1 271,7 abc 196,3 ef 28 P1F-B-A7 303,0 a 189,0 f 38 P1F-B-A15 266,3 abc 230,7 b-f 13 P1D-KK-A26 292,3 ab 254,0 a-e 13 P1D-KK-A45 275,0 abc 218,3 c-f 21 P17E-B-A48 271,7 abc 224,3 c-f 17 P1D-KK-A48b 269,0 abc 217,0 c-f 19 Inpara 2 171,7 f 183,7 f -7 Batang Piaman 200,7 def 215,3 c-f -7 P1D-KK-A67 269,7 abc 261,0 a-d 3 P5E-KK-A5 308,3 a 215,7 c-f 30 P253F-B-53 277,0 abc 275,0 abc 1

Rata-rata 264,7 223,4 16

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil atau huruf besar yang sama pada kolom yang samaberarti berbeda tidak nyata menurut uji Tukey 0.05.

Sumber : Data primer tahun 2014

Tabel 6. Bobot 1000 butir

Genotipe Petak Batuah Sei Tatas

P1F-KK-A1 26,0 a-e 26,6 a-d

P1F-B-A7 25,2 c-g 26,1 a-e

P1F-B-A15 27,9 a 27,7 ab

P1D-KK-A26 25,8 a-e 24,8 d-g

P1D-KK-A45 24,5 efg 25,9 a-e

P17E-B-A48 26,0 a-e 23,7 fg

P1D-KK-A48b 27,3 abc 25,0 d-g

Inpara 2 23,3 g 25,6 b-f

Btg Piaman 26,6 a-d 26,2 a-e

P1D-KK-A67 24,8 d-g 24,1 efg

P5E-KK-A5 25,1 d-g 24,5 efg

P253F-B-53 27,5 ab 27,3 abc

Rata-rata 25,8 25,6

KK(%) 2,81 2,32

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil atau huruf besar yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut uji Tukey 0.05.

Sumber: Data primer tahun 2014

Hasil panen galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P1D-KK-A67, dan P5E-KK-A5 tidak berbeda di lokasi terendam maupun tidak terendam. Hal ini mengindikasikan keempat galur tersebut memiliki cadangan energi yang cukup dibatang untuk digunakan selama terendam. Penurunan hasil panen berhubungan dengan jumlah rumpun hidup. Varietas Inpara 2 menunjukkan adaptasi yang lebih baik terhadap rendaman dibandingkan pada kondisi kering. Jumlah rumpun hidupnya lebih banyak pada lokasi terendam dibandingkan lokasi tidak terendam. Pemulihan pertumbuhan pasca rendaman cukup cepat dengan menghasilkan banyak anakan dan jumlah anakan produktif Inpara 2 lebih banyak dari semua genotipe yang diuji.

Tabel 7. Hasil gabah kering giling galur-galur harapan yang ditanam di lokasi terendam dan tidak terendam

Galur Petak Batuah Sei Tatas

P1F-KK-A1 6,91 ab 6,87 ab

P1F-B-A7 6,56 a-e 3,96 e

P1F-B-A15 7,87 a 6,37 a-e

P1D-KK-A26 7,84 a 6,40 a-e

P1D-KK-A45 6,78 abc 4,57 b-e

P17E-B-A48 6,24 a-e 6,70 a-d

P1D-KK-A48b 7,40 a 4,10 cde

Inpara 2 6,10 a-e 7,07 ab

Page 229: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

212

Batang Piaman 5,73 a-e 4,03 de

P1D-KK-A67 7,38 a 6,97 ab

P5E-KK-A5 7,04 ab 6,97 ab

P253F-B-53 7,71 a 6,87 ab

Rerata Lokasi 6,96

5,91

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama padakolom dan baris berarti berbeda tidak nyata menurutuji Tukey 0.05.

Sumber: Data primer tahun 2014

Turunnya hasil panen banyak genotipe di lahan terendam juga disebabkan oleh serangan penyakit bercak coklat dan keracunan besi. Bercak coklat paling sedikit ditemukan pada varietas Inpara 2 dan paling banyak pada Batang Piaman, P1D-KK-A48b, P1D-KK-A26, dan P1D-KK-A45.

KESIMPULAN

Galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P1D-KK-A67, P5E-KK-A5, P253F-B-53 memiliki daya tahan yang baik pada kondisi 3 hari sejak tanam terendam penuh dan 5 hari sejak tanam terendam sebagian. Hasil panen galur P1F-KK-A1, P17E-B-A48, P1D-KK-A67, dan P5E-KK-A5 masing-masing 6,87 t ha

-1, 6,70 t ha

-1, 6,97 t ha

-1, dan 6,97 t ha

-1 GKG di lokasi terendam.

DAFTAR PUSTAKA

Colmer, T.D., Pedersen, O. 2008. Underwater photosynthesis and respiration in leaves of submerged wetland plants: gas films improve CO2 and O2 exchange. New Phytologist5:918–926.

Ella, E.S., Kawano, N., Yamauchi, Y., Tanaka, K., and Ismail, A.M. 2003. Blocking ethylene perception enhances flooding tolerance in rice seedlings. Funct. Plant Biol. 30:813–819.

Greenway H, Gibbs J. 2003. Mechanisms of anoxia tolerance in plants. II. Energy requirements for maintenance and energy distribution to essential processes. Funct Plant Biol 30:999–1036

Grichko, V.P. and Glick, B.R. 2001. Ethylene and flooding stress in plants. Plant Physiol Biochem 39:1-9.

Hairmansis, A., Kustianto B., Supartopo, Khairullah, I., Suwarno. 2008. Inpara 3: varietas unggul baru padi rawa toleran terhadap rendaman. ProsidingSeminar Nasional Padi 2008. Hal 103-112. BB Padi Sukamandi.

Ikhwani. 2013. Ketahanan Varietas Padi Toleran Rendaman dan Responnya terhadap Pemupukan. J. Lahan Suboptimal 2(1): 1-13.

Ikhwani, Pratiwi ,G.R., dan Makarim, A.K. 2009. Respon varietas padi IR 64 sub-1 terhadap perendaman dan pemupukan N. J. Tanah dan Lingkungan 11: 8−13.

Ikhwani, Suhartatik, E., Makarim, A.K. 2010. Pengaruh waktu, lama, dan kekeruhan air rendaman terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah IR64-sub1. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29( 2):63-71.

Jackson, M.B., Waters, I., Setter, T., and Greenway, H. 1987. Injury to rice plants caused by complete submergence: A contribution of ethylene (ethane). J. Exp. Bot. 38:1826–1838.

Nishiuchi, S., Yamauchi, T., Takahashi, H., Kotula, L., and Nakazono, M. 2012. Mechanisms for coping with submergence and waterlogging in rice. Rice (N Y)5(1): 2.

Pang, J.Y., Cuin, T., Shabala, L., Zhou, M.X., Mendham, N., Shabala, S. 2007. Effect of secondarymetabolites associated with anaerobic soil conditions on ion fluxes and electrophysiology in barley roots. Plant Physiol 145:266–276.

Pedersen, O., Rich, S.M., Colmer, T.D. 2009. Surviving floods: leaf gas films improve O2 and CO2

exchange root aeration, and growth of completely submerged rice. Plant Journal5:147–156.

Page 230: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

213

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG LOKAL PADA PEMBUATAN COOKIES TERHADAP TINGKAT KESUKAAN PANELIS

THE INFLUNCE OF THE USE OF LOCAL FLOUR IN MAKING COOKIES AGAINST ON THE LEVEL OF LIKES PANELIST

Lailatul Isnaini1, Sri Harwanti

1 dan Taufik Hidayat

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Raya Karangploso KM.4 Malang Telp (0341)-494052 e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Cookies merupakan jenis kue kering yang bahan baku utamanya adalah terigu. Selama ini kebutuhan terigu di Indonesia masih diperoleh dengan cara mengimport. Untuk mengurangi import yang terus meningkat, maka perlu adanya alternatif bahan pangan yang dapat digunakan sebagai substitusi terigu. Alternatif sumber karbohidrat yang dapat mensubstitusi terigu di antaranya bersumber dari ubi kayu ,jagung, ganyong dan pisang. Bahan baku tersebut dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti terigu dalam pembuatan cookies. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap 5 jenis tepung lokal yang cocok sebagai bahan baku cookies sehingga menghasilkan cookies yang paling disukai panelis. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen BPTP Jatim bulan Januari - februari 2016. Penelitian ini menggunakan RAK dengan parameter yaitu jenis tepung lokal 80% (tepung jagung, kasava, ganyong, mocaf dan pisang) dan tepung maizena 20%. Tahap pelaksanaanya terdiri dari pembuatan tepung, pembuatan cookies, pengukuran sifat fisik (Rendemen dan kadar air) serta uji organoleptik (metode ”hedonictest”) terhadap 12 orang panelis terlatih dan 10 orang tidak terlatih meliputi parameter warna, aroma, tekstur, rasa dan tingkat penerimaan secara umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung lokal memberikan pengaruh nyata terhadap rasa, warna, aroma dan tesktur. Rendemen paling tinggi dihasilkan pada tepung jagung (3,82%) serta kadar air tertinggi dihasilkan pada tepung ganyong (3,63%). Secara keseluruhan panelis menyukai cookies yang terbuat dari tepung jagung dengan skor warna (3,82), aroma (3,09), rasa (3,82), tekstur (3,78) dan kesukaan secara umum (3,46).

Kata Kunci: cookies, tepung ubi kayu, tepung jagung, tepung pisang, tepung ganyong

ABSTRACT

Cookies are one of the types of pastries with its main raw material is wheat. During this time the needs of wheat in Indonesia is still obtained by way of importing.To reduce the imports continue to increase, then the need for alternative feedstocks that can be used as substitutes for wheat flour.Alternative sources of carbohydrates that can be substituteflour of which are sourced from cassava, corn, canna and banana.The raw material can be used as an alternative substitute for flour in making cookies.This research aims to know the level of consumer preference towards the 5 types of local flour suitable as raw materials to produce cookies are the most preferred panelists. The research was carried out in the laboratory of Post-harvest of AIAT East Java January-February 2016. This research uses the rack with a parameter that is the kind of local flour 80% (corn flour, cassava, canna, mocaf and banana) and 20% cornstarch.The stage of its implementation consists of the manufacture of flour, making cookies, physical properties of cookies (Yield and moisture content) as well as the organoleptic (method "hedonic test") against 22 people panelists include the parameters color, aroma, texture, taste and level of acceptance in general.The results showed that the use of local flour gives real influence against the taste, colour, aroma and texture. Most high yield produced in corn flour (3.82%) as well as the highest water levels resulting in canna-flour (3.63). Overall the panelists liked the cookies made from corn flour with score of texture (3,78), aroma (3,09), color (3,82), taste (3,82) and level of acceptance in general.

Keywords: Cookies, cassava-flour, corn-flour, banana-flour, canna-flour

Page 231: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

214

PENDAHULUAN

Kue kering (cookies) merupakan biskuit yang berbahan dasar terigu. Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua importir gandum terbesar di dunia. Jika keadaan ini dibiarkan, ketergantungan pangan dari luar negeri dapat meningkatkan pengeluaran devisa negara. Oleh karena itu perlu adanya upaya mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan terigu dengan menggantikan sebagian/seluruh terigu pembuatan cookies yaitu dengan tepung lain misalnya tepung kasava, pisang, jagung, ganyong dan mocaf. Hal ini merupakan salah satu upaya memanfaatkan hasil tanaman pangan dan hortikultura serta penganekaragaman produk cookies.

Mocaf (Modified Cassava Flour) yaitu produk olahan singkong yang dimodifikasi . Bahan baku pembuatan mocaf tersedia cukup banyak dan harga singkong relatif murah dibandingkan harga gandum sebagai bahan baku terigu. Mocaf memiliki kandungan protein sedikit dan tidak memiliki kandungan gluten seperti pada terigu.

Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk setengah jadi lainnya, karena tepung lebih tahan di simpan, mudah dicampur, dapat diperkaya dengan zat gizi (fortifikasi), dan lebih praktis serta mudah digunakan untuk proses pengolahan lanjutan (Suarni, 2009). Jagung kuning /putih dapat diolah menjadi tepung jagung. Perbedaan produk hanya terletak pada warna tepung yang dihasilkan.

Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat (17,2-38%). Pemanfaatan tepung pisang sebagai bahan subtitusi pembuatan roti tawar, makanan bayi, biskuit maupun snack sebagai upaya untuk menambah keanekaragamaan dari tepung pisang, di samping itu produk tersebut cara pengolahannya mudah dan ekonomis (David, 1999)

Tepung ganyong dapat digunakan sebagai pengganti terigu dan mengandung karbohidrat tinggi. Kadar amilosa ganyong hampir sama dengan ubi kayu dan ubi jalar tetapi tidak mengandung senyawa anti nutrisi seperti HCN dalam ubi kayu fenol dan oligosakarida dalam ubi jalar (Susanto dan suneto, 1994). Berikut tabel komposisi kimia tepung lokal yang diperoleh dari berbagai sumber.

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Lokal (Tiap 100 gram bahan)

Jenis Tepung Komponen

Air (%) Protein (%) Lemak (%) KH (%) Abu (%)

Terigu* 12 8,9 1,3 77,3 0,5

Jagung* 10,9 5,8 0,9 80,2 0,4

Mocaf*** 13,0 1,0 0,4-0,8 85-87 0,2

Kasava*** 13,0 1,2 0,4-0,8 82-85 0,2

Pisang** 3 4,4 0,8 88,6 3,2

Ganyong**** 14 0,7 0,2 85,2 -

Sumber : * Astawan, (2008), **Widyaningrum, dkk (2005), ***Subagio, dkk (2008)

**** Susanto dan Suneto, 1994

Tepung maizena memiliki fungsi sebagai bahan pembantu dalam memperoleh tekstur kue

kering yang renyah. Pemakaian tepung maizena berkisar antara 10-20%, karena jika terlalu banyak maka kue kering akan mudah berjamur (tidak tahan lama). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tepung yang paling enak tepat sehingga diperoleh cookies yang mempunyai sifat fisik yang baik dan dapat diterima secara organoleptik oleh konsumen.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Lab. Pasca Panen BPTP Jawa Timur, bulan Januari - Februari 2016. Bahan :, tepung jagung, tepung pisang, tepung kasava, tepung mocaf , tepung ganyong, terigu, telur, mentega, susu bubuk, gula pasir, maizena, tepung panir dan cocho chip. Alat yang digunakan yaitu timbangan, mixer, baskom, oven dan solet.

Tahanpan Penelitian : Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu :1) Pembuatan tepung lokal. 2) Pembuatan cookies, 3) Karakteristik fisik dan pengujian organoleptik cookies.

Tahap 1. Pembuatan Tepung lokal : pembuatan tepung lokal bisa dilihat pada Lampiran 1.

Page 232: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

215

Tahap 2. Pembuatan Cookies : pembuatan cookies lima formulasi yaitu, Terigu (T1) sebagai kontrol, T. Jagung (T2), T. Kasava (T3), T. Ganyong (T4), T. Mocaf (T5) dan T.Pisang (T6) . Formulasi cookies disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Formulasi Cookies Tepung Lokal

Komposisi (g) Formulasi

T1 T2 T3 T4 T5 T6

Telor 70 70 70 70 70 70 Gula Pasir 150 150 150 150 150 150 Mentega 250 250 250 250 250 250 Maizena 150 150 150 150 150 150 Susu bubuk 25 25 25 25 25 25 Terigu 250 - - - - - T. Jagung - 250 - - -

T. Kasava - - 250 - - - T. Ganyong - - - 250 - - T. Mocaf - - - - 250 - T. Pisang - - - - - 250

Tahap 3. Karakteristik fisik dan Uji Organoleptik Cookies : Cookies yang dihasilkan selanjutnya dianalisis fisik dan sifat organoleptiknya. Pengujian komposisi fisik yaitu rendemen dan kadar air. Pengujian sifat organoleptiknya menggunakan uji hedonik dengan jumlah panelis 12 orang panelis terlatih dan 10 orang panelis tidak terlatih meliputi kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan kenampakan secara keseluruhan dengan skala nilai yaitu : 1 = sangat suka, 2 = suka, 3= cukup , 4= tidak suka, 5= sangat tidak suka (Rahayu, 1998)

Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (3 kali ulangan). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan dengan menggunakan uji DMRT 5%. Peubah yang digunakan adalah jenis tepung lokal 80% (jagung, kasava,ganyong, mocaf dan pisang).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Tepung Lokal Setelah pembuatan tepung lokal dilakukan pengukuran terhadap rendemen dan kadar air

tepung. Berikut ini hasil pengukuran bisa pada tabel 3.

Tabel 3.Hasil Analisa Kimia Berbagai Tepung Lokal

Perlakuan Rendemen (%) Kadar Air (%)

Terigu - - T.Jagung 3.818

a 2.727

c

T.Kasava 3.273 b 3.000

ab

T.Ganyong 2.500 c 3.409

b

T. Mocaf 3.182 b 3.091

ab

T.Pisang 2.182 c 3.626

a

Data Primer, (2016)

Rendemen merupakan parameter yang sangat penting guna mengetahui nilai ekonomis suatu

produk. Semakin tinggi rendemennya maka semakin tinggi nilai ekonomis produk tersebut, dan semakin rendah angka rendemennya maka produk tersebut bisa dianggap kurang bernilai ekonomis (Hanafi, 2012). Rendemen berbanding terbalik dengan kadar air suatu produk, semakin tingi rendemen semakin rendah kadar air, begitu juga sebaliknya. Rendemen paling tinggi pada tepung jagung (3,818%) dan terendah pada tepung pada tepung pisang (2,182). Hal ini disebabkan pada proses pembuatan tepung jagung, hampir tidak ada bahan baku yang terbuang kecuali kotoran jagung sehingga rendemen tinggi sedangkan pembuatan tepung pisang dengan berat awal yang sama banyak terbuang seperti kulit sehingga berkaitan erat juga nilai ekonomisnya. Jenis pisang yang bagus untuk dijadikan tepung yaitu pisang kepok namun harganya sangat mahal. Namun tidak menutup kemungkin semua jenis pisang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung.

Page 233: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

216

Kadar air dalam bahan pangan akan mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa. Besarnya kadar air sangat menentukan stabilitas dan keawetan cookies (Siregar, 2011). Kadar air suatu bahan menentukan tinggi rendahnya rendemen. Kadar air paling rendah pada tepung jagung (2,727%) dan tertinggi pada tepung pisang (3,626). Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu organoleptik cookies yang dihasilkan. Kandungan air yang tinggi dalam bahan membuat cookies tidak renyah dan teksturnya tidak disukai. Selain itu semakin rendah kadar air suatu bahan daya simpannya semakin lama.

Pengujian Organoleptik Cookies Tepung Lokal Warna merupakan faktor yang memegang peranan yang sangat penting pada makanan. Kesan

pertama yang didapat dari bahan pangan adalah warna. Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan terhadap suatu produk oleh konsumen (Indrasti, 2014).. Warna cookies dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, lemak, gula dan telur. Pada saat pemanggangan warna cookies menjadi gelap (Novita, 2011). Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies berkisar antara 2,50–3,82 (suka sampai agak tidak suka). Semakin tinggi kandungan tepung jagung, kesukaan terhadap warna cookies semakin tinggi (3,82) atau sangat suka. Warna cookies jagung dipengaruhi oleh derajat kuning yang cukup tinggi. Tepung jagung berwarna kuning tidak mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan.Berbeda dengan tepung pisang dan ganyong, warna cookies semakin tidak disukai akibat pencoklatan (browning) sedangkan formulasi tepung mocaf, terigu dan kasava menyebabkan cookies menjadi putih pucat sehingga cookies kurang menarik. Warna ini juga dipengaruhi oleh reaksi Maillard, yaitu reaksi gula pereduksi dengan asam amino yang terjadi pada waktu pemanggangan sekitar suhu 150-160ºC, juga karamelisasi gula sederhana (Rizal, 2000).Warna cookies dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, lemak, gula dan telur. Pada saat pemanggangan warna cookies menjadi gelap.

Tabel 4.Hasil uji organoleptik cookiestepung lokal

Perlakuan Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan

Kontrol 3.73 a 3.36

ab 3.23

ab 3.28

a 3.03

b

T.Jagung 3.82 a 3.09

bc 3.82

a 3.78

a 3.46

a

T.Kasava 2.18 c 2.73

c 2.23

c 2.82

b 2.36

c

T.Ganyong 3.27 b 3.64

a 2.41

c 2.55

c 3.32

a

T. Mocaf 3.18 b 3.41

ab 3.46

b 2.51

c 3.00

ab

T.Pisang 2.00 c 3.00

bc 2.46

b 3.18

ab 2.50

c

Coefisien variation 20,61% 21,83% 28,25% 27,89% 22,75%

Data Primer, (2016)

Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf

olfaktori yang berada dalam rongga hidung ketika makanan masuk ke mulut (Buckle, 1997). Nilai skor rata-rata dari aroma adalah 3,00–3,64 (suka sampai agak suka). Aroma cookies dipengaruhi oleh lemak, telur, susu skim, jenis dan konsentrasi tepung yang digunakan. Pada pembuatan cookies digunakan margarin dan telur dalam jumlah yang sama tetapi berbeda dalam komposisi tepung sehingga tepunglah yang berpengaruh terhadap aroma. Aroma yang tidak disukai panelis yaitu cookies dengan penambahan tepung kasava yang diakibatkan oleh rekasi Maillard saat pemanasan menimbulkan aroma cookies sedikit apek (tidak disukai) panelis . Reaksi browning enzimatik maupun non-enzimatik juga menghasilkan bau atau aroma yang kuat misalnya pencoklatan pada reaksi Maillard karena proses pemanasan (Rizal, 2000).

Rasa cookies sangat dipengaruhi oleh margarin, susu skim, gula, dan kandungan tepung yang digunakan. Cookies tepung lokal yang dihasilkan memiliki rasa yang manis dan gurih. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, kosentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Nilai skor rasa rata-ratanya adalah 2,23-3,82 (suka-agak suka). Skor rasa tertinggi pada cookies yaitu pada tepung jagung, sumber rasa yang sedikit manis dan agak kasar adalah karena penambahan tepung jagung. Selain itu suhu makanan akan mempengaruhi kemampuan kuncup kecapan untuk menangkap rasangan rasa. Makanan yang terlalu panas akan membakar lidah dan merusak kepekaan kuncup kecapan, sedangkan makan yang dingin dapat membius kuncup sehingga tidak peka lagi (Winarno F. G, 2002).

Page 234: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

217

Perubahan pada tekstur cookies terutama disebabkan oleh jumlah kadar air pada tepung yang ditambahkan. Semakin banyak tepung yang ditambahkan maka kadar air juga semakin tinggi. Pada Tabel 2, kadar air tepung paling tinggi terdapat pada tepung kasava, mocaf dan ganyong sehingga menyebabkan kerenyahan cookies berkurang. Sedangkan kadar air tepung terendah terdapat pada tepung jagung, terigu dan pisang. Hal ini menyebabkan tekstur cookies renyah dan lebih disukai panelis. Menurut Robertson, (1993) dalam Amandasari (2009), kerenyahan merupakan salah satu karakteristik yang penting pada produk makanan ringan, dimana konsumen akanmenolak jika produk makanan ringan tersebut tidak renyah.Tekstur yang baik dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Tekstur makanan juga mempengaruhi minat dari konsumen. Jika suatu makanan dari bentuk tidak bagus maka minat konsumen untuk mengonsumsi makanan tersebut akan berkurang (Prihatiningrum, 2012). Tekstur sebuah produk terutama cookies berhubungan dengan kadar air suatu produk tersebut. Menurut Brown (2000), kadar air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan teksturnya kurang disukai. Kadar lemak juga mempengaruhi tekstur dari cookies.

Secara keseluruhan cookies yang disukai panelis yaitu cookies pada penambahan tepung jagung dengan warna cookies kekuningan, aroma khas jagung , rasa gurih dan manis dengan tekstur agak kasar tetapi renyah akibat penambahan tepung jagung.

KESIMPULAN

1. Karakteristik fisik (rendemen dan kadar air ) dari ke 5 jenis tepung lokal dihasilkan rendemen tertinggi dan kadar air terendah pada tepung jagung (3,818%) dan (2,727%). Rendemen berbanding terbalik dengan kadar air suatu bahan.

2. Dari 5 jenis tepung lokal yang dicocok digunakan untuk cookies dan disukai panelist yaitu tepung jagung dengan konsentrasi tepung jagung : maizena sebesar 80% ; 20% dengan karakteristik cookies tekstur lebih renyah, aroma khas jagung, warna kekuningan sesuai dengan tepungnya serta rasa gurih dan lembut.

DAFTAR PUSTAKA

Amandasari, A. 2009. Pemanfaatan Lesitin pada Cookies (Kajian: Pengaruh Proporsi Tepung Beras Merah dan Tepung Tempe Kacang Tanah, serta Konsentrasi Lesitin). Jurnal Skripsi. FTP UB. Malang.

Brown, A. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. WadSworth Inc. Belmon. University of Hawaii

Buckle, K.A, Edward, R.A, Fleet, G.H, and Wotton, M., 1987, Ilmu Pangan, Penterjemah Hari Purnomo Adiono, Cetakan Pertama, Universitas Indonesia, Jakarta

David A. 1999. Benders’ Dictionary of Nutrition and Food Technology. Eighth edition .Woodhead Publishing Ltd, Abington Cambridge England

Hanafi, A. 2012. Potensitepung ubi jalar sebagai bahan subtitusi tepung terigu pada proses pembuatan cookies yang disuplementasi dengan kacang. Skripsi sarjana yang tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Indrasti, D. 2014. Pemanfaatan tepung talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam pembuatan cookies. Skripsi sarjana yang tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Novita, D. 2011. Evaluasi mutu gizi dan pendugaan umur simpan cookies tepung komposit berbasis talas Banten (Xanthosoma undipes K.Koch) sebagai makanan tambahan ibu hamil. Skripsi sarjana yang tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Prihatiningrum. 2012.Pengaruh Komposit Tepung Kimpul Dan Tepung Terigu Terhadap Kualitas Cookies Semprit. Food Science And Culinary Education Journal. FSCE 1 (1) (2012). Semarang

Rahayu, W.P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, IPB, Bogor

Rizal, D,dkk. 2000. Pengaruh Subtitusi Kacang Merah Terhadap Sifat Fisik Kimia dan Organolpetik “Cookies” Untuk Makanan Pendamping ASI. Di dalam media Gizi dan keluarga Tahun XXIV No.1. ISSBN:0261-9363. Jurusan GMSK IPB Bogor

Siregar, RJH. 2011. Pengaruh perbandingan tepung terigu dengan tepung talas dan karboksimetil selulosa (CMC) terhadap mutu roti tawar. Skripsi sarjana yang tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara,.

Page 235: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

218

Suarni. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung Untuk Kue Kering (Cookies).Jurnal Litbang Pertanian, 28 (2)

Susanto dan Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama .Jakarta

LAMPIRAN

1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Lokal

Page 236: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

219

2. Diagram Alir Pembuatan Cookies

Pisang

Pemisahan dari sisir

Perebusan 15 menit

Pengupasan

Pengirisan + 3 mm

Pengeringan

Penepungan

Pengayakan

Tepung Pisang

Pisang

Pemisahan dari sisir

Perebusan 15 menit

Pengupasan

Pengirisan + 3 mm

Pengeringan

Penepungan

Pengayakan

Tepung Pisang

Pisang

Pemisahan dari sisir

Perebusan 15 menit

Pengupasan

Pengirisan + 3 mm

Pengeringan

Penepungan

Pengayakan

Tepung Pisang

Pisang

Pemisahan dari sisir

Perebusan 15 menit

Pengupasan

Pengirisan + 3 mm

Pengeringan

Penepungan

Pengayakan

Tepung Pisang

Pisang

Pemisahan dari sisir

Perebusan 15 menit

Pengupasan

Pengirisan + 3 mm

Pengeringan

Penepungan

Pengayakan

Tepung Pisang

Page 237: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

220

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI GOGO MENGGUNAKAN VARIETAS UNGGUL UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADA LAHAN KERING

DI KABUPATEN ACEH TIMUR

UPLAND RICE CULTIVATION TECHNOLOGY USING SUPERIORVARIETIES ON DRY LAND TO INCREASE PRODUCTIVITYIN EAST ACEH REGENCY

Idawanni1, Fenty Ferayanty

1 dan Emlan Fauzi

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. P. Nyak Makam No 27 Lampieneung 23125 Telp/Fax : (0651) 7551811 e_mail : [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Budidaya padi gogo pada lahan kering menggunakan varietas unggul sangat potensial untuk dikembangkan karena lahan kering masih cukup luas untuk dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bukit Tiga Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh Timur dengan luas lahan 1 ha dan melibatkan satu kelompok taniyang beranggotakan 10 orang dimana lima orang melaksanakan teknologi petani dan lima orang teknologi introduksi. Tujuan Pengkajian ini untuk mendapat kan paket teknologi budidaya padi gogo yang meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Perlakuan penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok ( RAK ) 5 ulangan dimana petani sebagai ulangan. Pengkajian ini terdiri dua paket teknologi yaitu teknologi introduksi dan teknologi petani. Teknologi introduksi ( varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 200 kg ha

-1 urea,

150 kg ha-1

SP-36, 150 kg ha-1

KCL ; Dolomit 2 ton ha-1

; dilakukan pengendalian gulma ) dan teknologi petani ( varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 150 kg ha

-1 urea, 50 kg ha

-1

SP-36, 50 kg ha-1

KCL ; tanpa Dolomit ; tanpa pengendalian gulma). Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya dengan teknologi introduksi memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan teknologi petani. Teknologi petani menunjukkan hasil panen sebagai berikut; Inpago 8 menghasilkan 5.0 ton ha

-1, Situpatenggang menghasilkan 4.3 ton ha

-1, dan Batutegi meghasilkan 4.1 ton ha

-1.

Sebaliknya, Teknologi Introduksi memberikan hasil tertinggi pada varietas Inpago 8 5.7 ton ha-1

yang tidak berbeda nyata dengan varietas Situ patenggang 5.4 ton ha

-1, dan berbeda nyata dengan Batutegi

4.8 ton ha-1

. Varietas unggul yang adaptif dan cocok untuk di kembangkan di Kecamatan Peunaron yaitu Inpago 8 dan Situpatenggang dengan penerapan paket teknologi introduksi.

Kata Kunci : Padi gogo, lahan kering, varietas

ABSTRACT

Cultivation of upland rice on dry land using high yielding varieties is potentially developed in the dry land area which it still large to be optimally utilized. This research was conducted in the Bukit Tiga Village Peunaron Subdistrict of East Aceh Regency. The research was applied in one hectare land area using one group of ten farmers which of five using implemented farmer’s technology and others using implemented introduced technology. The purpose of this assessment was to get a package of an upland rice cultivation technology that increases both for its growth and yield. The experiment was arranged in a 5 replicates (farmers) Random Block Design (RBD). This study divided in two technology packages: the introduced technology and farmer’s technology. Introduced technology consisted of Inpago8 varieties, Situpatenggang, Batutegi; 200 kg ha

-1 urea, 150 kg ha

-1 SP-36, 150

kg ha-1

KCL; Dolomite 2 ton ha-1

to control weeds and farmer’s technology consisted of varieties Inpago 8, Situ, Batutegi; 150 kg ha

-1 urea, 50 kg ha

-1 SP-36, 50 kg ha

-1 KCL; without Dolomite; no

weed control). The results showed that the introduced technology gives the best results compared to farmer’s technology. The farmer’s technology indicates that result of Inpage 8 yield in 5.0 ton ha-1, Situpatenggangyield of 4.3 ton ha

-1and Batutegi yield of 4.8 ton ha

-1.On the other side, introduced

technology produced the highest yield of Inpago8 varieties with yield of 5.7 ton ha-1 were not significantly different from varieties of Situpatenggangyield of 5,4 ton ha

-1, and significantly different

from the variety Batutegi yield of 4.8 ton ha-1

. Adaptive high yielding varieties and suitable to be developed in the District Peunaron are Inpago 8 and Situpatenggang with the application of introduced technology.

Keywords: Upland rice, dry land, varieties

Page 238: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

221

PENDAHULUAN

Indonesia masih menghadapai persoalan pangan, dimana bahan pangan terutama padi sangat srategis kedudukannya dalam kehidupan ekonomi dan politik. Permintaan terhadap beras sebagai makanan pokok penduduk indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut Swastika et al., (2000), proyeksi permintaan beras akan mengalami peningkatan dan diperkirakan pada tahun 2025 sampai 78 juta ton (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2002), dan defisit beras diperkirakan sebesar 13,50% per tahun apabila tidak dilakukan peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen. Arifin et al., (2000) melaporkan bahwa jika tidak terdapat terobosan teknologi yang efisien dan efektif, maka keamanan pangan akan terganggu.

Penurunan areal sawah akibat alih fungsi lahan yang berubah menjadi areal perumahan dan pabrik industri, tingginya biaya membuka areal sawah baru, serta peruntukan air irigasi padi sawah yang semakin terbatas menyebabkan padi gogo menjadi penting untuk dikembangkan (Rachman et al., 2003).

Budidadaya padi gogo pada lahan kering merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi. Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu sumber daya yang mempunyai potensi besar untuk pemantapan swasembada pangan maupun untuk pembangunan pertanian ke depan. Luas panen padi gogo pada tahun 2013 di Aceh sekitar 6.374 ha dengan produksi 15.756 ton GKG dan produktivitas 2,47 ton ha

-1 (BPS Aceh 2014). Produktivitas padi sawah adalah

4,75 ton ha -1

sedangkan produktivitas padi di lahan kering rata-rata masih 2,52 ton ha-1

( Badan Pusat Statistik, 2012).

Rendahnya hasil padi gogo pada tingkat petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan gulma. Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat sampai dilahan petani adalah penerapan varietas unggul (Pikukuh et al., 2009). Hingga saat ini sudah banyak varietas unggul baru padi yang sudah dirakit dan dilepas oleh Badan Litbang Pertanian, tetapi yang digunakan dan dikembangkan oleh petani masih terbatas (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Menurut Suyamto et al., 2007 varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984.Varietas padi yang mempunyai sifat-sifat unggul tertentu merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di Indonesia (Balitpa, 2005).

Peningkatan produksi padi gogo masih memerlukan perbaikan teknologi budidaya karena teknologi mempunyai peran strategis dalam mendukung peningkatan produksi pertanian dan teknologi merupakan syarat mutlak pembangunan pertanian (Mosher et al.,2003)

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas untuk meningkatkan produktivitas padi gogo pada lahan kering maka dilakukan pengkajian ini dengan tujuan untuk mendapat kan paket teknologi budidaya padi gogo yang meningkatkan pertumbuhan dan hasil.

METODE PENELITIAN

Pengkajian ini dilaksanakan di lahan petani di Desa Bukit tiga Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh Timur dari bulan Juli - Desember 2015.

Pengkajian ini merupakan kegiatan lapangan yang bersifat partisipatif dan kemitraan antara peneliti/penyuluh BPTP Aceh, PPL, kelompok tani, BPP Kecamatan, dan lain–lain.

Alat-alat yang digunakan dalam pengkajian ini terdiri atas cangkul, sabit timbangan, meteran, sprayer dan lain-lain. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih padi klas Breeder Seed yang terdiri dari varietas Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi. Pupuk yang digunakan terdiri atas pupuk Urea, SP-36 dan KCL, kapur dolomite dan untuk pengendalian hama, penyakit dan gulma digunakan insectisida dan herbisida glyposhate.

Pengkajian ini melibatkan 10 petani kooperator dengan luas lahan ± 1 ha, dimana5 orang petani kooperator melaksanakan teknologi petani dan 5 orang petani kooperator dengan teknologi introduksi. Perlakuan penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok ( RAK ) 5 ulangan dimana petani sebagai ulangan. Pengkajian ini terdiri dari dua paket yaitu paket teknologi introduksi dan teknologi petani. Teknologi introduksi ( varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 200 kg ha

-1 urea, 150 kg ha

-1 SP-36, 150 kg ha

-1 KCL ; Dolomit 2 ton ha

-1 ; dilakukan pengendalian gulma

) dan teknologi petani ( varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 150 kg ha-1

urea, 50 kg ha

-1 SP-36, 50 kg ha

-1 KCL ; tanpa Dolomit ; tanpa pengendalian gulma).

Page 239: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

222

Penanaman benih dilakukan dengan cara langsung dengan tugal sebanyak 5 butir benih per lubang tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm untuk teknologi petani dan sedangkan untuk teknologi intoduksi jajar legowo 2 : 1. Penyiangan dengan penyemprotan herbisida, dilakukan 2 kali yaitu pada , 4 dan 7 minggu setelah tanam pada teknologi introduksi.

Pengamatan dilakukan terhadap parameter tinggi tanaman yang diukur mulai permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi pada umur 6 dan 10 MST, jumlah anakan dihitung pada umur 6 dan10 MST, sedangkan panjang malai, pesentase gabah isi, berat 1.000 biji, dan hasil gabah ton ha

-1

dilakuakan setelah panen.

Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995).

Tabel 1. Perlakuan paket teknologi introduksi dan teknologi petani padi gogo pada lahan kering di Kabupaten Aceh Timur.

Komponen Teknologi Teknologi introduksi Teknologi petani

1. Varietas Inpago 8, Situpatenggang Batutegi

Inpago 8, Situpatenggang Batutegi

2. Takaran Pupuk 200 kg ha-1

urea 150 kg ha

-1 SP-36

150 kg ha-1

KCL

150 kg ha-1

urea, 50 kg ha

-1 SP-36

50 kg ha-1

KCL 3. Pengapuran 2 ton

-1 Tanpa pengapuran

4. Jarak tanam Legowo 2 : 1 20 cm x 20 cm 5. Pengendalian hama dan

penyakit Dilakukan sejak awal penanaman

sampai panen Kurang diperhatikan

6. Penyiangan dan Pengendalian gulma

Dilakukan pengedalian sejak awal tanam sampai panen

Dilakukan hanya pada saat pembersihan lahan saat mau tanam

Sumber : Laporan Tahunan BPTP Aceh (2014)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman

Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman (tabel 2) secara statistik menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman dari ketiga varietas yang ditanam pada umur 6 dan 10 Minggu Setelah Tanam (MST) pada teknologi introduksi Batutegi merupakan varietas yang paling tinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan yang paling rendah diperoleh pada varietas Situpatenggang. Sedangkan pada teknologi petani pada umur 6 MST varietas Inpago 8 menunjukkan pertumbuhan tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya.

Sedangkan pada umur 10 MST varietas Batutegi merupakan varietas yang paling tinggi diantara varietas lainnya. Sedangkan yang paling rendah juga diperoleh pada varietas Situpatenggang. Varietas Batutegi mempunyai pertumbuhan tanaman tertinggi dimana dalam deskripsi varietas ini memang mempunyai vigor pertumbuhan yang lebih tinggi dari situpatenggang dan inpago 8 (Balitpa, 2002)

Karakter tinggi tanaman tergolong karakter yang cukup penting, karena tinggi tanaman sangat berpengaruh pada tingkat kerebahan dan efisiensi dalam pemanenan (Diptaningsari, 2013).

Perbedaan tinggi tanaman padi gogo yang diamati diduga lebih dipengaruhi oleh faktor genetik suatu individu, dimana perbedaan faktor genetis yang ada pada tanaman mengakibatkan keragaman penampilan tinggi tanaman. Hal ini berkaitan dengan pendapat Mildaerizanti (2008), bahwa perbedaan tinggi tanaman lebih ditentukan oleh faktor genetis daripada faktor lingkungan.

Page 240: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

223

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman umur 6 dan 10 MST tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.

Keragaan vegetatif Teknologi introduksi Teknologi petani

Tinggi tanaman (cm) 6 MST

Tinggi tanaman (cm) 10 MST

Tinggi tanaman (cm) 6 MST

Tinggi tanaman (cm) 10 MST

1. Inpago 8 52,6 a 107 a 55,5 b 108 a 2. Situpatenggang 51,5 a 111 a 49,6 a 104 a 3. Batutegi 57,5 b 117 b 48,5 a 115 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Duncan 0,05).

Sumber : Data primer diolah (2015)

Jumlah Anakan

Hasil rata-rata pengamatan jumlah anakan (Tabel 3) secara statistik menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan dari ketiga varietas yang ditanam pada umur 6 dan 10 MST pada teknologi introduksi varietas Inpago 8 merupakan varietas yang paling banyak jumlah anakan yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan pada teknologi petani pada umur 6 dan 10 MST varietas Inpago 8 juga menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan jumlah anakan paling rendah pada umur 6 MST diperoleh pada varietas Batutegi yang tidak berbeda dengan Situpatenggang pada teknologi introduksi dan teknologi petani. Pada umur 10 MST jumlah anakan terendah di jumpai pada varietas Situpatenggang yang tidak berbeda dengan varietas Batutegi pada teknologi petani sedangkan pada teknologi itroduksi varietas Batutegi.

Varietas yang memiliki daya adaptasi yang baik juga akan membentuk anakan yang banyak, sedangkan varietas yang tidak mampu beradaptasi akan terhambat dalam pembentukan anakan. Hal ini sesuai pendapat khoiri et al. (2012) bahwa kemampuan masing-masing varietas berbeda dalam menghasilkan anakan sesuai dengan genotip yang dimiliki masing-masing varietas.

Jumlah anakan akan maksimal apabila memiliki genetik yang baik dan kondisi lingkungan yang menguntungkan atau sesuai untuk pertumbuhan dimana teknologi budidaya seperi tersedianya unsur hara sesuai kebutuhan, jarak tanam yang sesuai, pengendalian hama dan penyakit serta dilakukan pengendalian gulma. Persaingan gulma dengan tanaman padi dalam hal unsur hara, air dan cahaya sangat merugikan dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan seperti jumlah anakan, pengisian biji ( Miah et al. 2008)

Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan umur 6 dan 10 MST tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.

Keragaan vegetatif Teknologi introduksi Teknologi petani

Jumlah anakan 6 MST

Jumlah anakan 10 MST

Jumlah anakan 6 MST

Jumlah anakan 10 MST

7. Inpago 8 16,8 b 20,8 b 14,8 b 17,7 b 8. Situpatenggang 11,3 a 15,8 a 11,2 a 13,7 a 9. Batutegi 12,3 a 15,3 a 10,3 a 14,5 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan 0,05).

Sumber : Data primer diolah (2015)

Panjang Malai

Hasil rata-rata pengamatan panjang malai (Tabel 4) secara statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang malai dari tiga varietas yang ditanam bervariasi dimana varietas inpago 8 mempunyai panjang malai tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas situpatenggang dan Batutegi pada pola introduksi. Sedangkan panjang malai pada pola petani varietas inpago 8 mempunyai panjang malai tertinggi akan tetapi tidak berbeda dengan varietas lainnya.

Page 241: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

224

Tabel 4. Rata-rata panjang malai tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.

Keragaan vegetatif Teknologi introduksi Teknologi petani

Panjang malai (cm) Panjang malai (cm)

1. Inpago 8 27,60 b 25,30 a 2. Situpatenggang 25,60 a 24.20 3. Batutegi 23,66 a 22,30 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Duncan 0,05).

Sumber : Data primer diolah (2015)

Panjang malai pada teknologi introduksi lebih tinggi dibandingkan dengan panjang malai pada

teknologi petani, akan tetapi panjang malai tertinggi sama-sama dijumpai pada varietas inpago 8 disusul varietas Batutegi dan Situpatenggang. Dengan demikian varietas Inpago 8 memiliki adaptasi yang baik pada lokasi kegiatan ini dibanding dengan varietas lainnya. Sesuai hasil penelitian Sirappa et al. (2009) bahwa panjang malai dipengaruhi oleh faktor genetik dari varietas serta daya adaptasi varietas itu pada lingkungan tumbuh tanaman. Panjang malai ini dapat diterima petani dengan baik dengan kriteria tanaman padi memiliki panjang malai yang optimal dan memiliki gabah yang tingkat pematangan yang serempak dan tidak terdapat butir hijau.

Panjang malai biasanya juga berhubungan dengan hasil tanaman padi dimana semakin panjang malai diharapkan semakin banyak jumlah gabah total sebagaimana menurut Khairullah et al.(2001) yang melaporkan adanya kecenderungan peningkatan hasil gabah biasanya pada malai yang lebih panjang.

Persentase Gabah Isi dan Berat 1000 biji

Hasil analisis ragam (Tabel 5.) menunjukkan bahwa persentase gabah berisi pada teknologi introduksi dan teknologi petani varietas inpago 8 menunjukkan nilai tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya, sedangkan pada berat 1000 biji pada teknologi introduksi dan teknologi petani nilai tertinggi juga pada varietas inpago 8 akan tetapi tidak berbeda nyata pada semua varietas. Persentase gabah berisi dan berat 1000 biji menunjukkan nilai tertinggi pada teknologi introduksi dibandingkan dengan teknologi petani. Hal ini diduga pada teknologi introduksi ketersedian unsur hara N, P, dan K pada teknologi ini cukup tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat Krismawarti (2007); Hafsiah, et al., (2012) penggunaan pupuk N, P dan K dapat meningkatkan berat 1000 gabah dan respon nyata pada padi gogo.

Unsur nitrogen merupakan unsur makro yang berperan dalam pembentukan protein dan molekul klorofil. Nitrogen juga dapat meningkatkan jumlah klorofil dalam tanaman sehingga dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis yang akhirnya fotosintat yang dihasilkan akan digunakan dalam pengisian gabah. Hal ini sesuai dengan pendapat Suriatna (2002) bahwa ketersediaan unsur hara yang cukup dapat mempengaruhi proses pertambahan berat dan memperbaiki kualitas hasil.

Tabel 5. Rata-rata persentase gabah isi per malai dan berat 1000 biji tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.

Keragaan vegetatif Teknologi introduksi Teknologi petani

% gabah isi per malai

Berat 1000 biji (gr)

% gabah isi per malai

Berat 1000 biji (gr)

Inpago 8 99,2 b 25,5 a 92,2 b 24,5 a Situpatenggang 84,3 a 25,1 a 78,3 a 24,2 a Batutegi 81,1 a 24,6 a 76,1 a 23,6 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Duncan 0,05).

Sumber : Data primer diolah (2015)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hasil per ha (Tabel 6.) tertinggi diperoleh varietas Inpago 8 yang tidak berbeda nyata dengan varietas situpatenggang dan berbeda nyata dengan varietas Batutegi pada teknologi introduksi. Sedangkan pada teknologi petani varietas Inpago 8 juga memperoleh hasil tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Hasil Per ha teknologi Introduksi lebih baik dibandingkan dengan teknologi petani. Hal ini diduga rendahnya hasil pada teknologi petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, dalam hal dosis pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, gulma. Sesuai pendapat Makarim dan Las (2005) bahwa untuk mencapai hasil maksimal diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil

Page 242: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

225

dan keunggulannya dapat terwujud. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi dapat dibagi dua golongan yaitu pertama faktor alamiah seperti tanah, iklim, biologis. Faktor kedua yaitu sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan varietas.

Tabel 6. Rata-rata hasil per ha tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.

Keragaan vegetatif Teknologi introduksi Teknologi petani

Hasil per ha (ton) Hasil per ha (ton)

Inpago 8 5,7 b 5,0 a Situpatenggang 5,4 b 4,3 b Batutegi 4,8 a 4,1 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Duncan 0,05).

Sumber : Data primer diolah (2015)

Peningkatan hasil juga bisa dengan sistem tanam yang digunakan hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arafah (2006) dimana sistim tanam legowo 2 : 1 nyata meningkatkan jumlah gabah/malai padi dibandingkan sistem tegel (20 x 20 cm) hal ini disebabkan pada pada legowo 2 : 1 setiap tanaman mempunyai ruang kosong yang cukup sehingga mengurangi persaingan terhadap cahaya, air dan udara sehingga pembentukan biji dapat terjadi dengan sempurna. Hal ini juga diperkuat oeh penelitian Sudarsono dan Makarim (2008) legowo 2 : 1 jumlah malai/m

2adalah 411, sedangkan sistem tegel (20 x

20 cm) hanya 322.

KESIMPULAN

1. Paket budidaya teknologi introduksi memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan teknologi petani

2. Teknologi introduksi memberikan hasil tertinggi pada varietas Inpago 8 5.7 ton ha-1

yang tidak berbeda nyata dengan varietas Situ patenggang 5.4 ton ha

-1, dan berbeda nyata dengan Batutegi

4.8 ton ha-1

.

3. Varietas unggul yang adaptif dan cocok untuk di kembangkan di Kecamatan Peunaron yaitu Inpago 8 dan Situpatenggang dengan penerapan paket teknologi introduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah. 2008. Kajian berbagai sistim tanam pada dua varietas unggul baru padi terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Jurnal Agrivigor 6 : 18 - 25

Arifin, Z., I. Sumono, & L.I. Mangestuti. 2000. Keragaan dan analisis sistem usahatani berbasis padi (SUTPA) di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian 3: 59 - 67. BPTP Karangploso.

Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 40 Hal.

Badan Pusat Statistik. 2012. Data produksi padi dan jagung. bps.go.id/tnmn.png Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Pengelolaan tanaman terpadu inovasi sistem produksi padi

sawah irigasi (Brosur). Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005. Padi gogo dan pola pengembangannya. Departemen Pertanian Biro Pusat Statistik. 2014. Aceh dalam angka tahun 2013. Biro Pusat Statistik Aceh, Banda Aceh. Diptaningsari, D. 2013. Analisis keragaman karakter agronomis dan stabilitas galur harapan padi gogo

turunan padi lokal Pulau Buru hasil kultur antera. (disertasi). Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gomez, K.A. & A.A. Gomez.1995. Prosedur statistik untuk pertanian ( edisi 2) Hafsiah, Muhammad Taufik, Wijayanto T. 2012. Uji daya hasil dan ketahanan padi gogo lokal

terhadap penyakit blast ( Pyricularia oryzae ) pada berbagai dosis pemupukan. Kendari. Berkala Penelitian Agronomi. Vol 1. No 1. Hal. 26-36.

Khairullah , I, S. Subowo, dan S. Sulaiman. 2001. Daya hasil dan penampilan fenotipik galur-galur harapan padi lahan pasang surut di Kalimantan Selatan. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional Perhipi. Peran Pemuliaan dalam Memakmurkan Bangsa. Peripi Komda DIY dan Fak. Pertanian Universitas Gajah Mada. p. 169-174

Page 243: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

226

Khoiri, M.A., Zuhri, E., dan Muslimin. 2012. The yield test for some varieties of superior rice (Oryza sativa L.) in Padang Mutung Village Kampar District. Prosiding seminar nasional dan rapat tahunan bidang ilmu-ilmu pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2012. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Krismawati. A, dan M. Sabran. 2003. Eksplorasi buah-buahan spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah, Vol.9 (1) : 12-15

Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi melalui pengembangan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Dalam Suprihatno et al. (Penyunting). Inovasi teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Hal. 115-127

Miah M. N, Islam S, dan Hadiuzzaman. 2008. An iImproved protocol form multiple shoot regeneration from seedling and mature explants of Citrus macroptera ( M.). Plant. Tiss. Cult. & Biotech . 18(1): 17-24.

Mildaerizanti. 2008. Keragaan beberapa varietas padi gogo di daerah aliran sungai Batanghari.http://katalog.pustaka-deptan.go.id/ pdf. Mosher, Christine M. and Chris B. Barrett. 2003. “The disappointing adoption dynamics of a yield-

increasing, low external input technology: The case of SRI in Madagascar” dalam Agricultural Systems 76, 1085—1100.

Pikukuh, B., D. Setyorini, Handoko, M. Purwoko. 2007. Inovasi teknologi varietas padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Departemen.

Sirappa, M.P., dan Edwen D. Waas, 2009. Kajian varietas dan pemupukan terhadap peningkatan hasil padi sawah di dataran Pasahari, Maluku Tengah. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 12(1):79-90.

Sudarsono, Makarim AK. 2008. Peningkatan hasil padi melalui perbaikan cara tanam jajar legowo dan introduksi varietas unggul di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua, hal 601-609. Prosiding Sem.Nas.Padi.

Suyamto, R. Hidajat, S. Wahyuni, Y. Samaullah. 2007. Pedoman bercocok tanam padi. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Suriatna. 2002. Pupuk dan pemupukan. Medyatama Perkasa. Jakarta. Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, & N. Ilham. 2000. proyeksi penawaran dan permintaan komoditas

tanaman pangan: 2000-10. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Page 244: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

227

PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI MELALUI DEMONSTRASI FARMING DI KOTA KENDARIPROVINSI SULAWESI

TENGGARA

FARMERS PERCEPTION TO PADDY TECHNOLOGY SPECIFIC LOCATION THROUGH DEMONSTRATION FARMING IN KENDARI CITY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE

Assayuthi Ma’suf1, Sjamsiar

1, dan Rahmat Oktavia

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara,

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Prof Muh. Yamin No. 89, Puuwatu Kendari 93114

email : [email protected]

ABSTRAK

Penerapan teknologi padi sawah di lahan milik petani memiliki tantangan yang berbeda pada masing-masing wilayah. Meskipun sebelumnya telah dilakukan penyuluhan, tidak semua petani menerima teknologi yang dianjurkan. Salah satu metode penyuluhan pertanian yang dapat mempercepat penyebarluasan inovasi teknologi baru adalah demonstrasi farming (demfarm). Implementasi demfarm diharapkan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani serta keluarganya. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi melalui demfarm di Kota Kendari. Metode pengkajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif kepada kelompok tani dengan luasan lahan demfarm 5 Ha. Waktu pengkajian dilakukan pada bulan Februari-Mei 2016. Data yang dikumpulkan adalah produktivitas VUB dan tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah. Penilaian tingkat persepsi menggunakan interval kelas dan item pertanyaan menggunakan pilihan ganda menggunakan skala likert. Analisis data menggunakan pendekatan ‘with and without’ dan analisis persepsi. Paket teknologi padi sawah yang diintroduksikan adalah pengolahan tanah sempurna, penggunaan VUB Inpari 30, penggunaan benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan alat tanam benih langsung jajar legowo, pemupukan berdasarkan perangkat uji tanah sawah (PUTS) dan bagan warna daun (BWD), pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT), dan panen tepat waktu. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa produktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 di lokasi demfarm lebih tinggi yang mencapai 7,88 t/ha dibandingkan dengan hasil non demfarm yang hanya mencapai 5,6 t/ha. Tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah tergolong kategori tinggi yaitu seluruh petani (100%) menilai positif inovasi teknologi padi sawah.

Kata Kunci: persepsi, teknologi padi sawah, demfarm

ABSTRACT

Adoption of paddy technology by the farmer has different challenges in each region. Although previously been done counseling, not all farmers receive the recommended technology. One as agricultural extension methods to accelerate the dissemination of new technological innovations is a demonstration farming (demfarm). Demfarm implementation expected to change knowledge, attitudes, and behavior of farmers and their families. The purpose of this study was to determine the farmers perception on paddy technology in Kendari. Methods assessment is using a participatory approach to farmers' groups with demfarm area of 5 ha. Time assessment conducted in February-May 2016. The data collected are VUB productivity and the level of farmers perception on paddy technology. The level rate of perception using the class interval and items with multiple choice questions using a likert scale. Data analysis using 'with and without' approach and perception analysis. Technology package were introduced was perfect tillage, use of VUB Inpari 30, use quality seeds and labeled, organic matter, row space planting system with row space direct seeding tool, fertilization based paddy soil test devices(PSTD) and leaf color chart (LCC), control of pests and diseases with the approach of integrated pest management (IPM), and timely harvest. The study showed that productivity Inpari 30 Ciherang Sub 1 at locations demfarm higher at 7.88 t / ha compared with the results of non-demfarm which only reached 5.6 t / ha. To the level perceived of farmers paddy to technology relatively high category that all farmers (100%) positive rate of paddy technology innovation.

Keywords: perception, paddy technology, demfarm

Page 245: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

228

PENDAHULUAN

Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, pemerintah telah menetapkan pencapaian swasembada pangan berkelanjutan menuju kemandirian pangan yang harus dicapai dalam waktu 3 (tiga) tahun. Untuk pencapaian swasembada berkelanjutan tersebut diperlukan upaya peningkatan produksi yang luar biasa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang bersinergi dengan lintas instansi, penuh semangat menyingsingkan lengan, menyatukan isi, mengikis rasa ego sektoral, berjibaku bekerja, bekerja dan bekerja menyongsong program swasembada pangan (Balitbangtan, 2015).

Melalui program UPSUS tiga komoditas utama padi jagung kedelai (pajale), pemerintah sangat bertekad untuk mensukseskan kedaulatan pangan dalam 3 tahun ini, yaitu pada tahun 2017. Pada kegiatan UPSUS pajale, segala strategi dan upaya dilakukan untuk peningkatan luas tanam dan produktivitas di daerah-daerah sentra produksi pangan (Kurniawan, 2015).

Sulawesi Tenggara memiliki peluang yang besar dalam mendukung program pembangunan pertanian nasional antara lain daya dukung lahan masih cukup luas. Potensi lahan sawah di Sulawesi Tenggara sebesar 350.000 ha, dan sawah fungsional seluas 121.222 ha. Penggunaan lahan untuk usahatani tanaman padi sawah seluas 94.921 ha dengan tingkat produktivitas sebesar 4,30 t/ha. Sementara produksi beras tahun 2013 Sulawesi Tenggara 315.651 ton, kebutuhan konsumsi 231.387 ton sehingga surplus 84.264 ton (Distan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014). Kota Kendari merupakan salah satu daerah di Sulawesi Tenggara yang memiliki sumberdaya lahan sawah untuk pengembangan tanaman padi sawah seluas 1.319 ha dengan luas panen 897 ha dan produktivitas 3,89 t/ha (Distan Kota Kendari, 2014).

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara telah banyak melakukan uji adaptasi dan pengkajian teknologi spesifik lokasidi wilayah Sulawesi Tenggara. Namun demikian masih ada kendala dalam transfer teknologi dari penghasil ke pengguna utamanya di lapangan. Penerapan teknologi padi sawah di lahan milik petani merupakan hal yang tidak mudah. Meskipun sebelumnya telah dilakukan penyuluhan, tidak semua petani mau dan berani melaksanakan semua teknologi yang dianjurkan. Petani masih menanam satu varietas secara terus menerus, pemupukan tidak sesuai rekomendasi, kurangnya pemeliharaan yang konsisten baik pemupukan, penyiangan, maupun pengendalian OPT. Hal ini diduga karena adanya faktor teknis atau kendala sosial ekonomi.

Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan pendampingan inovasi teknologi secara terus menerus agar terjadi percepatan penyebarlusan inovasi teknologi kepada petani. Keberhasilan peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah perlu disebarluaskan kepada para petani melalui penyuluhan. Salah satu metode penyuluhan pertanian yang dapat mempercepat penyebarluasan inovasi baru adalah demonstrasi farming (demfarm). Implementasi demfarm diharapkan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani serta keluarganya. Dengan adanya adopsi terhadap inovasi teknologi padi melalui demfarm, perilaku petani dan keluarganya dalam melakukan usahatani yang pada awalnya bersifat tradisional dan belum menerapkan teknologi pertanian yang baik dan benar diharapkan akan berubah menjadi lebih baik. Petani diharapkan akan memberikan perubahan yang nyata dalam hal perbaikan produksi, memperbaiki mutu gabah padi sawah, dan menerapkan inovasi atau teknologi baru budidaya padi sawah secara kontinu.

Sebelum petani mengambil keputusan untuk menerapkan inovasi teknologi pertanian tersebut, petani akan menilai/mempersepsikan inovasi teknologi tersebut baik keunggulan dari inovasi itu sendiri, kesesuaian, kerumitan, kemudahan untuk dicoba maupun kemudahan untuk dilihat hasilnya.Hendayana (2014) menyatakan bahwa persepsi petani terhadap informasi teknologi itu bisa positif, negatif, atau bahkan netral. Persepsi petani yang positif akan mendorong adopsi, sebaliknya jika yang terbentuk adalah persepsi negatif, maka petani akan menolak teknologi yang ditawarkan kepadanya. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi melalui demfarm di Kota Kendari.

Page 246: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

229

METODE PENGKAJIAN

Waktu pelaksanaan pengkajian ini dimulai bulan Februari-Mei 2016. Kegiatan ini dilaksanakanpada diKecamatanBaruga,Kota Kendari dengan lahan demfarm seluas 5 ha. Metode yang digunakan dalam introduksi inovasi baru oleh BPTP Sultra adalah demfarm yang dilaksanakan pada MT 1 tahun 2016 di lahan milik kelompok tani.

Kegiatan demfarm teknologi padi sawah menggunakan pendekatan secara partisipatif kepada kelompok tani. Melalui pendekatan partisipatif tersebut dapat dipahami apa masalah yang sebenarnya dihadapi petani. Dengan demikian ada umpan balik teknologi yang benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya teknologi yang diintroduksikan tersebut diterapkan di dalam demfarm sebagai media pembelajaran langsung oleh petani yang dilakukan di lahan petani. Paket teknologi yang diintroduksikan tersebut adalah pengolahan tanah sempurna, penggunaan VUB Inpari 30 Ciherang Sub 1, penggunaan benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan atabela jajar legowo, pemupukan berdasarkan PUTS dan BWD, pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT), dan panen tepat waktu.

Penilaian tingkat persepsi menggunakan item pertanyaan tipe pilihan berganda (multiple choice) menggunakan skala likert. Adapun cara penggolongan tingkat persepsi digunakan rumus interval kelas. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 20 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data komponen teknologi demfarm dan data tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi.

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pengkajian yaitu menggunakan pendekatan with and without dananalisis persepsi. Pendekatan with and without digunakan untuk menganalisis yang membandingkan teknologi yang diterapkan dilokasi demfarm dengan teknologi yang dilakukan dilokasi non demfarm. Untuk analisis persepsi petani menggunakan penskalaan likert, dengan skala berjenjang 3. Untuk pengukuran persepsi, skor 1 menyatakan tidak setuju, skor 2 menyatakan tidak yakin/ ragu dan skor 3 menyatakan setuju. Persamaan yang digunakan untuk mengukur persepsi menggunakan nilai dengan formula sebagai berikut:

K = n/N x 100% (Hendayana, 2014)

Dimana :

K = nilai konstanta

n = jumlah responden yang menyatakan (orang)

N = total jumlah responden

Pengukuran persepsi pada pengkajian ini menggunakan pendekatan tertimbang. Pendekatan tertimbang pada analisis persepsi dilakukan dengan cara menghitung rasio atau perbandingan antara jumlah individu yang memberikan pernyataan tertentu terhadap jumlah keseluruhan responden. Pernyataan tertentu itu, menunjukkan persepsi individu terhadap suatu obyek atau fenomena yang dapat dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi pernyataan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dan dianalisis dalam bentuk tabel frekuensi/tabulasi dan disajikan dalam bentuk deskriptif dan proporsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai inovasi teknologi budidaya padi telah dikembangkan dan disebarluaskan kepada para petani. Namun, hal tersebut sering menghadapi kendala, baik dari sisi daya serap atau pengetahuan petani maupun faktor lingkungan setempat. Pendekatan secara langsung dengan membuat suatu demfarm dilakukan agar para petani lebih memahami dan segera dapat mengadopsi inovasi teknologi dalam rangka peningkatan produksi padi.

Pelaksanaan Demfarm Teknologi Padi Sawah Spesifik Lokasi

Paket teknologi padi sawah yang diintroduksikan dalam pelaksanaan kegiatan demfarm adalah pengolahan tanah secara sempurna, penggunaan VUB Inpari 30 Ciherang Sub 1, penggunaan benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan atabela jajar legowo, pemupukan berimbang berdasarkan PUTS dan BWD, pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT), serta panen tepat waktu. Perbandingan paket teknologi antara petani kooperator dan non kooperator dapat dilihat pada tabel 1.

Page 247: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

230

Tabel 1. Paket teknologi padi sawah pada petani kooperator dan petani non koopeartor di Kota Kendari

No. Teknologi Petani Kooperator Petani Non Kooperator

1. VUB yang digunakan Inpari 30 Ciherang Sub 1 Mekongga, Ciherang 2. Pengolahan Lahan Pengolahan lahan secara sempurna Pengolahan lahan secara sempurna 3. Penggunaan Benih 25 kg/ha 40 kg/ha 4. Cara Tanam Tabela (menggunakan atabela jajar

legowo 2:1) Habela

5. Pemupukan Phonska (15:15:15) dan penambahan Urea dengan deteksi alat BWD (Bagan Warna Daun)

Pupuk majemuk (aplikasi belum sesuai rekomendasi)

6. Pengendalian Hama/ Penyakit

Pendekatan PHT Mengutamakan penggunaanpestisida

7. Panen Tepat waktu, alat panen combine harvester

Tepat waktu, alat panen combine harvester

Sumber: Data primer (2016)

Hasil pengamatan pada kegiatan demfarm menunjukkan bahwa paket teknologi yang

diterapkan memberikan peningkatan produktivitas sebesar 2,28 t/ha (Tabel 2). Hasil penerapan teknologi spesifik lokasi pada musim tanam Februari-Mei 2016, menunjukkan produktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 mencapai 7,88 t/ha. Sedangkan rata-rata hasil petani non demfarm menunjukkan produktivitas mencapai 5,6 t/ha. Hal ini berarti bahwa produkstivitas padi sawah dengan penerapan teknologi spesifik lokasi lebih tinggi dibandingkan teknologi kebiasaan petani.

Suharno (2015) menyatakan bahwa adopsi teknologi varietas unggul, cara tanam jajar legowo dan pemupukan yang berdasarkan rekomendasi pemupukan yang berimbang di kabupaten kolaka telah mampu meningkatkan produksi padi sawah di Kecamatan Baula dari 4,2 t/ha menjadi 5,2 t/ha (23,80%) dan di Kecamatan Pomalaa dari 4,2 t/ha menjadi 5,3 t/ha (26,19%).

Tabel 2. Peningkatan Produktivitas

No. Uraian Produktivitas (t/ha)*

Demfarm Non Demfarm

1. Produktivitas 7,88 5,6 2. Peningkatan Produksi 2,28 -

Sumber: Data primer (2016) Keterangan : *) produktivitas dalam bentuk GKP

Masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan hasil sebagian besar disebabkan oleh

penerapan teknologi yang tidak tepat, termasuk varietas yang ditanam, padahal ketepatan pemilihan komponen teknologi diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal. Contohnya adalah penggunaan varietas yang sama secara terus menerus sehingga memacu kehadiran organisme pengganggu (OPT). Berdasarkan hasil kajian, inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diintroduksi telah meningkatkan hasil panen. Meningkatnya hasil panen tersebut berarti dapat juga meningkatkan pendapatan petani sehingga jumlah petani dan luasan sawah yang menerapkan teknologi tepat guna akan bertambah pada musim tanam selanjutnya. Hal ini diungkapkan oleh Rusdin (2015) menyatakan bahwa rendahnya penerapan pengelolaan PTT khususnya penggunaan varietas unggul berlabel, waktu tanam yang tidak serempak, dan penggunaan pupuk yang tidak berimbang akan mengakibatkan rendahnya produktivitas padi, seperti yang terjadi di Kota Bau-Bau produktivitas padi kurang dari 4 ton/ha.

Persepsi Petani Terhadap Teknologi Padi Sawah Spesifik Lokasi

Inovasi teknologi padi sawah yang disampaikan melalui demfarm padi sawah ini merupakan inovasi teknologi yang dibutuhkan dan menambah pengetahuan petani. Berkaitan dengan hal tersebut diharapkan petani yang melihat demfarm padi sawah ini memiliki persepsi yang positif terhadap inovasi teknologi padi sawah yang diintroduksikan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi termasuk dalam kategori tinggi dikarenakan seluruh petani (100%) memberikan respon yang positif terhadap paket teknologi padi sawah tersebut (Tabel 3). Secara rinci mengenai pernyataan yang membentuk tingkat persepsi petani tersebut disajikan pada Tabel 4.

Page 248: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

231

Tabel 3. Tingkat persepsi terhadap paket teknologi padi sawah spesifik lokasi di Kota Kendari

No. Kategori tingkat Persepsi Jumlah Skor Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Rendah 08,00 - 13,32 0 00,00 2 Sedang 13,33 - 18,66 0 00,00 3 Tinggi 18,67 - 24,00 20 100,00 Jumlah 20 100,00

Sumber : Data primer (2016)

Pada tabel 4, terlihat secara terperinci persepsi petani terhadap komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi. Komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 100% oleh petani antara lain pengolahan tanah yang sempurna, penggunaan benih berlabel, pemberian bahan organik, dan panen tepat waktu. Hal ini dikarenakan petani menganggap penggunaan teknologi tersebut memberikan hasil dan manfaat yang baik dalam usahatani padi sawah. Selanjutnya, komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 90% oleh petani antara lain produktivitas VUB Inpari 30, pemupukan berdasarkan PUTS dan penggunaan alat BWD, serta pengendalian hama/penyakit secara PHT. Dalam hal ini, masih ada 10% petani yang ragu karena belum merasakan manfaat secara langsung karena belum pernah menggunakan VUB, cukup rumit menggunakan PUTS/BWD yang dan belum paham cara pengendalian hama/penyakit sesuai tingkat serangannya sehingga perlu pengulangan pembelajaran terkait hal tersebut. Kemudian berdasarkan pernyataan yang membentuk tingkat persepsi, penggunaan atabela jajar legowo merupakan komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 80% oleh petani. Masih ada 20% petani yang ragu untuk menggunakannya karena masih terbatasnya alat tanam ini di daerah tersebut dan hanya efektif diterapkan jika cuaca mendukung untuk diaplikasikan dilahan sawah karena setelah dilakukan penanaman maka selama 2-3 hari setelah sebar (HSS) maka kondisi lahan sawah perlu dijaga agar tidak tergenang air ataupun terkena air hujan agar benih tidak terhambur dan hanyut bersama air.

Tabel 4. Pernyataan yang membentuk tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi di Kota Kendari

Pernyataan Persepsi (%)

Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Total

Pengolahan tanah yang sempurna ditandai dengan komposisi tanah dan air yaitu 1:1

100 0 0 100

Benih berlabel memiliki kualitas benih yang baik 100 0 0 100

Produktivitas VUB Inpari 30 cukup tinggi 90 10 0 100

Pemberian bahan organik meningkatkan produktivitas padi

100 0 0 100

Penggunaan atabela Jarwo 2:1 mudah digunakan

80 20 0 100

Penggunaan pupuk berdasarkan PUTS dan alat BWD memberikan pengaruh yang baik untuk tanaman padi

90 10 0 100

PHT mampu mengendalikan hama/penyakit 90 10 0 100

Hasil panen yang tepat waktu menghasilkan kualitas bulir padi yang baik

100 0 0 100

Sumber : Data primer (2016)

Menurut Fachrista (2014), persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi merupakan proses

pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh petani, sebelum petani mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Persepsi merupakan tahap kedua dalam proses adopsi. Pada tahap pertama petani telah memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai PTT padi sawah. Kemudian, tahap selanjutnya petani kemudian mempersepsikan dan mulai menilai inovasi tersebut (positif, netral atau negatif) berdasarkan sifat inovasinya yaitu; keunggulan nisbih, kesesuaian, kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat hasilnya. Hasil penelitian Fachrista (2014) yang berjudul persepsi petani terhadap inovasi teknologi PTT padi sawah menunjukkan bahwa mayoritas petani Desa Labu, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka memiliki persepsi positif terhadap inovasi teknologi tersebut. Hal ini dikarenakan petani menganggap bahwa inovasi teknologi PTT padi sawah lebih menguntungkan, sesuai dengan nilai dan kebutuhan

Page 249: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

232

masyarakat, memiliki kerumitan yang rendah, mudah diterapkan, dan hasilnya dapat dengan mudah dilihat.

Persepsi petani yang positif terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi diharapkan mampu mempercepat adopsi teknologi padi sawah spesifik lokasi. Hasil penelitian Sugiman (2015) mengenai tingkat adopsi PTT padi sawah menunjukkan bahwa komponen teknologi PTT yang adopsinya tergolong tinggi adalah penggunaan varietas unggul baru, dan panen-pasca panen, sedangkan komponen teknologi PTT yang adopsinya tergolong rendah atau sulit diadosi adalah penambahan bahan organik, benih bermutu dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Maka, Sjamsiar (2016) menegaskan bahwa untuk mempercepat adopsi teknologi PTT padi sawah, diperlukan gelar teknologi (demontrasi teknologi) secara terus menerus dengan melibatkan petani, pendampingan kelompok secara kontinyu, sehingga petani dapat belajar dan melihat langsung hasilnya. Hasil kajian Sjamsiar (2016) terkait penerapan teknologi PTT yang dilaksanakan di Amohalo Kelurahan Baruga Kec. Baruga Kota Kendari pada bulan Januari-Juli 2014 menunjukkan tingkat adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah relatif tinggi sebesar 89,63%. Komponen teknologi yang diterapkan adalah penggunaan VUB Inpari 15, pengolahan tanah, tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen. Hasil kajian diperoleh bahwa penerapan teknologi PTT padi sawah VUB Inpari 15 menghasilkan produksi 6,1 t/ha GKG.

KESIMPULAN

1. Produktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 di lokasi demfarm lebih tinggi yang mencapai 7,88 t/ha dibandingkan dengan hasil non demfarm yang hanya mencapai 5,6 t/ha.

2. Tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah tergolong kategori tinggi yaitu seluruh petani (100%) menilai positif inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Asaad dan Suharno dalam mengarahkan pengkajian ini, Bapak Abdul Rauf Serry, RD. Teguh Wijanarko, Didik Raharjo, dan Yuliani Zainuddin dalam membantu pelaksanaan dilapangan dan pengumpulan data, Bapak Kadek Sumitra (Penyuluh Kecamatan Baruga) dan Bapak Daud (Babinsa Kecamatan Baruga) sebagai mitra kerjasama kami dilapangan, dan Kelompok Tani Samaturu I sebagai petani kooperator, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan. 2015. Rumusan Sementara Hasil Rapat Badan Litbang Pertanian, pada tanggal 8 – 10 Januari 2015.

Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Padi, Jagung, dan Kedelai. Disampaikan pada acara Koordinasi UPSUS di BPTP Sulawesi Tenggara, Desember 2015.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Kendari. 2014. Data Produktivitas Tanaman Pangan di Kota Kendari. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Kendari.

Fachrista, I. A. dan M. Sarwendah. 2014. Persepsi dan tingkat adopsi petani terhadap inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Agriekonomika - Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian3(1) : 1-10.

Hendayana, R. 2014. Persepsi dan Adopsi Teknologi (Teori dan Praktek Pengukuran). Disajikan Dalam Kegiatan: Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Peneliti Sosial Ekonomi Dalam Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Bogor, 19 Oktober – 1 November 2014.

Kurniawan, H. 2015. Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. http://biogen.litbang.pertanian.go.id/index.php/2015/02/upaya-khusus-upsus-swasembada-pangan-2015-2017/. [Diunduh Tgl 11 Januari 2016].

Mustaha, M.A., Sarjoni, R.D.T. Wijanarko, dan Rusdi. 2015. Deskripsi varietas unggul padi, jagung, dan kedelai adaptif di Sulawesi Tenggara. Diterbitkan atas kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.

Page 250: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

233

Rusdin. 2015. Peningkatan produktivitas padi untuk mendukung ketahanan pangan melalui pengelolaan tanaman terpadu di Kota Bau-Bau. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari, Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis sumberdaya lokal: 129-135.

Sjamsiar dan Wardah. 2016. Percepatan penerapan PTT padi sawah melalui gelar teknologi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam Buku I Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 25-26 Agustus 2015 di Gorontalo, Seminar nasional membangun kedaulatan pangan yang berkelanjutan : 115-120.

Suharno dan E. Tando. 2015. Adopsi teknologi varietas, cara tanam dan pemupukan padi sawah di Kabupaten Kolaka. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari, Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis sumberdaya lokal: 148-157.

Sugiman, S.B. dan M. Asaad. 2015. Dampak program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) terhadap adopsi teknologi PTT di Sulawesi Tenggara. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari, Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis sumberdaya lokal : 317-325.

Page 251: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

234

IDENTIFIKASI RESIDU ENDOSULFAN, TOXAPENE, DAN MIREX DI LAHAN SAWAH, KABUPATEN WONOSOBO

IDENTIFICATION OF ENDOSULFAN, TOXAPHENE, AND MIREX RESIDUES IN THE RICE FIELD LAND, WONOSOBO DISTRICT

Ina Zulaehah1, Sukarjo

2 dan Prihasto Setyanto

3

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken KM 5, Kotak Pos 59182 Jaken, Pati, Jawa Tengah

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Tingginya kebutuhan pangan terutama beras mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Penggunaan pestisida secara intensif dan melebihi ambang batas yang diijinkan akan menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Identifikasi status residu pestisida khususnya endosulfan, toxapene dan mirex di lahan sawah dilakukan untuk mengetahui keberadaan residunya, sehingga dapat dilakukan tindakan yang sesuai untuk meminimalisir keberadaan senyawa tersebut di lingkungan pertanian. Penelitian dilakukan dari bulan Januari-Desember 2015. Pengambilan sampel tanah dilakukan di titik-titik sampel penelitian yang ditentukan secara gridpada satuan (unit) lahan sawah. Satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual (subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Pengujian residu endosulfan, toxapene dan mirex secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas (KG) mengacu pada metode SNI 06-6991.1-2004. Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah sampel terdeteksi senyawa endosulfan 57 sampel, senyawa toxapene 13 sampel dan senyawa mirex 24 sampel dari total 319 sampel. Sebagian kecil sampel mengandung senyawa endosulfan yang melebihi batas maksimum residu (BMR) yaitu 0,94%, dan senyawa toxapene 0,94%, sedangkan senyawa mirex masih di bawah BMR pada semua sampel.

Kata kunci : endosulfan, toxapene, mirex, sawah, Wonosobo

ABSTRACT

The high demand for food especially rice, encouraging the farmer to increase agricultural land productivity. One of way is by using pesticides to solve the pests and diseases attacks. The using of pesticide intensively and exceeding the permitted limit will inflict bad effect on human health and the surrounding environment.Identification status of pesticide residue especially endosulfan, toxaphene, and mirex in rice field was conducted to determine the presence of the residue, therefore can doright action to reducethe existence of these compound in agricultural land. The study was conducted from January to December 2015. The taking of soil sample was conducted in the sample point which decided by grid unit of rice fields. One of sampling point consists of 5-10 individual sample (sub-sample), with taking each sub-sample distance for 25-50 m in the field. The residue analyzing of endosulfan, toxapheneand mirex by extraction using n-hexane solvent by Gas Chromatography (GC) refers to a method SNI 06-6991.1-2004. The results of this study showed a number of compounds detected endosulfan residues are 57 samples, 13 samples for toxaphene compounds and for compounds mirex are 24 samples from a total of 319 samples. A small part of the sample containing 0.94% endosulfan compounds and 0.94% toxaphene compound which are exceeding the Maximum Residue Limits (MRL), whereas mirex compound still below from MRL in all samples.

Key Words: endosulfan, toxaphene, mirex, rice field, Wonosobo

Page 252: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

235

PENDAHULUAN

Penggunaan bahan agrokimia seperti pestisida digunakan untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Residu pestisida yang ada dilingkungan dapat berasal dari tempat aplikasi pestisida, maupun terbawa oleh gerakan air sungai, air tanah, dan laut, serta gerakan angin.

Soemirat (2005) menyatakan perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan pencemaran lingkungan oleh bahan kimia. Di antara polutan-polutan tersebut, terdapat polutan organik yang disebut organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah.

Keberadaan senyawa organoklorin seperti endosulfan, toxapene, dan mirex masih dijumpai pada tanah, air, dan tanaman dikarenakan sifatnya yang persisten dan mempunyai waktu paruh yang cukup lama. Meskipun penggunaan senyawa Persistent Organic Pollutant (POPs) golongan organoklorin telah lama dilarang penggunaannya namun residu insektisida ini masih terdeteksi seperti BHC, aldrin, endosulfan di tanah sawah Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan endosulfan di Jawa Timur. Kadar residu insektisida dalam tanah dan air sawah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat lebih tinggi daripada di daerah Jawa Timur (Ardiwinata et al. 1999), Jatmiko et al. (1999), Harsanti et al. (1999).

Karakteristik senyawa POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan (2003) adalah: terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam lingkungan untuk waktu yang lama; masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar larut dalam air sertadapat terbawa jauh melalui udara dan air.

Organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang. Pestisida organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan cenderung disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata pada beberapa zat kimia dibanding dengan zat lainnya. (Yuantari,2011)

Komoditas tanaman pangan seperti padi sawah banyak ditanam oleh petani di kabupaten Wonosobo yang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Serayu. Untuk mengurangi keberadaan senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di lahan padi sawah maka perlu dilakukan identifikasi seberapa besar jumlahnya di dalam tanah, sehingga dapat dilakukan tindakan sesuai dengan tingkat cemarannya di dalam tanah.

METODE PENELITIAN

Bahan dan alat

Bahan peta yang digunakan adalah: (1) peta administratif skala 1:250.000 dan 1:50.000, (2) peta rupabumi/topografi skala 1:25.000 dan 1:50.000, (3) peta tanah skala 1:250.000 dan 1:50.000, (4) peta landuse/penggunaan lahan skala 1:50.000, dan peta geologiskala 1:250.000. Bahan kemikalia antaralain: diklormetana,aseton (CH3COCH3) p.a, n-heksan (C6H14) p.a, air suling bebas senyawa organoklorin atau mengandung senyawa organoklorin dengan kadar lebih kecil dari limit deteksi, natrium klorida (NaCl 10%), natrium sulfat, natrium boraks, fluoro 2,4-dinitrobenze (FdNB), celite.Bahan larutan standar pestisida organoklorin: endosulfan, gas nitrogen, N2 UHP (ultra high pure) 99,9995%; Glass wool atau kapas bebas lemak yang telah dicuci dengan n-heksan. Peralatan yang digunakan antaralain : GC (Gas Chromatography) dengan dilengkapi ECD untuk deteksi residu insektisida, kolom kromatografi, homogenator,rotary evaporator, corong pisah, corong buchner, timbangan analitik, tabung digestion & blok digestion,pengocok tabung mekanik; dispenser; tabung sentrifusi, botol kocok, tabung reaksi 10 ml yang bertutup dan berskala; vial bertutup 1 ml dan 2 ml, labu jantung bertutup 300 ml; jarum suntik (micro syringe), ayakan dengan ukuran pori 2 mm, gelas ukur bertutup 50 ml, 100 ml dan 500 ml, gelas piala 100 ml, batang pengaduk, spatula, statif, mortar dan alu, dan pipet volumetrik 1 ml, bor tanah, abney level, kompas, dan GPS.

Page 253: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

236

Metode survei Kegiatan penelitian dilaksanakan di DAS Serayu HuluKabupaten Wonosobo propinsi Jawa

Tengah tahun 2015. Jenis sampel yang diambil yaitu lapisan olah tanah sawah.Metode yang digunakan yaitu metode survei, yang diawali dengan eksplorasi data dukung penelitian berupa informasi dari dinas terkait. Pengumpulan data primer dilakukan pada titik-titik sampel penelitian yang ditentukan secara grid pada satuan (unit) lahan sawah.Menurut Rayes (2007) peta tanah semi detil (skala 1:50.000 s/d 1:25.000) adalah peta yang menyajikan informasi spasial tentang penyebaran dan luasan satuan tanah dan sifat-sifatnya pada suatu wilayah yang cukup luas, biasanya mencakup 50.000 ha atau lebih. Intensitas pengamatan lapangan adalah tiap 12,5 ha-50,0 ha bergantung karakterisitik lahan. Pada peta skala ini, 1 cm

2 setara dengan 6,25-25 ha di lapangan. Lahan datar (kemiringan <3%) satu titik

sampling dapat mewakili luasan 50-100 hektar, dan lahan dengan kemiringan > 3% satu titik sampling mewakili luasan 50 hektar (Hazelton dan Murphy, 2007; Schoknecht et al., 2008).

Pengambilan sampel

Satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual (subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Pengambilan subcontoh tanah diambil pada lapisan olah dengan kedalaman 20 cm. Contoh-contoh individual tersebut dimasukkan ke dalam ember dan dicampur sampai homogen, kemudian diambil seberat 0,5-1 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran 15×25 cm dan diberi label, diikat dengan benang wol. Pengisian/penulisan label dalam dan label luar terdiri dari tanggal pengambilan, kode pengambil dan nomor contoh serta nama lokasi (desa, dan kecamatan) dan jenis sampel. Contoh tersebut merupakan satu contoh komposit. Contoh tanah setelah dikering udarakan, digiling kemudian disaring dengan saringan 2 mm.

Pengujian kadar pestisida

Cara uji pestisida organoklorin secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas (KG) mengacu pada metode SNI 06-6991.1-2004. Senyawa pestisida organoklorin dalam contoh uji tanah diekstrak dengan pelarut organik n-heksan, kemudian dimurnikan (clean up), hasil pemurnian dipekatkan dan selanjutnya disuntikkan ke dalam KG.

Tanah yang dikumpulkan dari masing-masing titik sampling (lokasi) dilakukan analisis secara kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Wonosobo terletak antara 7°.43'.13" dan 7°.04'.40" garis lintang selatan (LS) serta 109°.43'.19" dan 110°.04'.40" garis bujur timur (BT)dengan luas wilayah 98.468 ha berada di tengah wilayah Jawa Tengah. TopografiWonosobo berbukit-bukit, terletak pada ketinggian antara 200 sampai 2.250 m di atas permukaan laut. Kecamatan Kejajar memiliki ketinggian tempat tertinggi (1.378 dpl) dan Kecamatan Wadaslintang dengan ketinggian terendah (275 dpl). Suhu udara di Wonosobo rata-rataantara 14,3–26,5

oC dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1713 -

4255 mm/tahun. Luas lahan sawah yang dilakukan delineasi dalam kegiatan ini yaitu 11.732 ha.

Guna mengendalikan populasi hama dan penyakit maka banyak petani yang menggunakan pestisida. Selain memberikan dampak yang positif untuk menigkatkan produksi pertanian, perlu dicermati pula dampak negatif yang ditimbulkan dari residu pestisida. Aplikasi pestisida yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dll. Pestisida endosulfan, toxapene, dan mirex termasuk kedalam golongan organoklorin. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin (Yuantari, 2011).

Batas Maksimum Residu (BMR) senyawa POPs yang diijinkan di dalam tanah dalam penelitian ini mengacu pada referensi berikut : endosulfan 0.0085 ppm (Alberta Tier 1, 2009), toxapene 0.5000 ppm (Australia SSW Stand, 2010), dan mirex 0.0270 ppm (US Soil Standard, 2012). Dari hasil analisis residu senyawa POPs terhadap 319 sampel tanah di kabupaten Wonosobo, ditemukan senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex dengan nilai yang bervariatif seperti disajikan dalam Tabel 1.

Page 254: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

237

Tabel 1. Kandungan residu senyawa POPs dalam tanah (ppm) di kabupaten Wonosobo

Residu Pestisida

Kadar Residu (ppm) BMR (ppm) Terdeteksi < LOD < BMR > BMR

Endosulfan 0.0034 ± 0.0027 0.0085 57 262 54 3

Toxapene 0.8908 ± 1.9047 0.5000 13 306 10 3

Mirex 0.0057 ± 0.0061 0.0270 24 295 24 0

Ket: LOD: Limit of Detection; BMR: Batas Maksimum Residu; n=319

Sumber: data primer (2015)

Kandungan residu senyawa POPs yang terdeteksi berturut-turut dari besar ke kecil di

kabupaten Wonosobo yaitu endosulfan > mirex > toxapene. Senyawa endosulfan terdeteksi 17,9% dari total sampel, sedangkan senyawa toxapene dan mirex masing-masing terdeteksi 7,5% dan 4,1% dari total sampel.

Terdapat 58 desa yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex dari 122 desa yang diambil sampel tanahnya di 9 kecamatan di Wonosobo. Kandungan residu pestisida dari senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di beberapa desa disajikan dalam tabel 2. Ditemukan 3 sampel tanah yang mengandung residu endosulfan yang melebihi batas BMR yaitu di desa Gunturmadu, kecamatan Mojotengah sebesar 0,01511 ppm, di desa Jebengplampitan, kecamatan Leksono sebesar 0,01152 ppm, dan desa Punggangan kecamatan Mojotengah sebesar 0,00955 ppm.

Tabel 2. Kandungan residu pestisida dari senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di Kabupaten Wonosobo

Kecamatan Desa (ppm)

Endosulfan Toxapene Mirex

Garung Larangan Lor 0,00187 Kalikajar Butuh 0,00167 Kalikajar 0,00133

0,00242 Kalikuning

0,01344

Tegalombo

0,00237 Maduretno 1 0,00335 0,37503

Maduretno 2 0,00135 Mangunrejo 0,00150 Rejosari 0,00183 Kejajar Kejajar 0,00220 Serang 0,00602 Sigedang 0,00213

0,00177

Kertek Kapencar 0,00405 0,27523 Candiyasan

0,00156

Ngadikusuman 1

0,01610 Ngadikusuman 2

0,00422

Kertek 0,00290 0,50286 Purbosono 0,00274

Reco 1 0,00161

0,00274 Reco 2

0,00176

Sindupaten 0,00169 Sudungdewo 1 0,00367 Sudungdewo 2 0,00253 Sumberdalem 1 0,00412 0,13896

Sumberdalem 2 0,00360 Sumberdalem 3 0,00198 Wringinanom 0,00207 0,22415 0,00657

Leksono Besani 0,00267 Durensawit 0,00709 Jebengplampitan 0,01152

0,00185 Kupangan 0,00166

Pacarmulyo

0,00330 Sojokerto 1 0,00125 0,20617

Sojokerto 2 0,00109 Suroyudan 0,00644

Page 255: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

238

Mojotengah Candirejo 0,00159 Gunturmadu 1 0,00134 Gunturmadu 2 0,01511 Gunturmadu 3 0,00734 Mojosari 0,00603 Punggangan 0,00955

0,00286 Mudal

0,00228

Sukorejo

0,00190

Selomerto Adiwarno 1 0,00318 Adiwarno 2 0,00167 Bumitirto 1 0,00125

0,01497 Bumitirto 2 0,00602

Gunungtawang 0,00324 Kalierang 0,00527 Kecis 0,00333 0,29353

Krasak 0,00127 Plobangan 0,00457 0,17269

Simbarjo 0,00360 Sumberwulan 1 0,00206

0,02547 Sumberwulan 2 0,00118

0,00132

Selomerto

0,00625 Tumenggungan

0,00273

Wilayu 0,00114 Wulungsari 0,00208 Watumalang Limbangan 1 0,00595 1,36876 0,01081

Limbangan 2 0,00499 Limbangan 3 0,00252 Lumajang 0,00121 Gondang

0,00431

Pasuruhan

0,00244

Wonosobo Jaraksari 0,00110 Jlamprang

0,32145

Jogoyitnan

0,23186 Kramatan 0,00217 0,32754 Rojoimo 0,00159

Wonolelo 0,00255

0,00282 Wonosari 0,00293 7,14248

Sumber: data primer (2015)

Residu toxapene yang melebihi batas BMR ditemukan di desa Wonosari, kecamatan

Wonosobo sebesar 7,14248 ppm, di desa Limbangan, kecamatan Watumalang sebesar 1,36876 ppm, dan desa Kertek kecamatan Kertek sebesar 0,50286 ppm. Sedangkan senyawa Mirex masih berada dibawah batas maksimum residu. Berdasarkan hasil analisa residu pestisida yang diperoleh, terdapat 7 desa yang sampel tanahnya mengandung kedua senyawa endosulfan dan mirex, dan 9 desa sampel tanahnya mengandung kedua senyawa endosulfan dan toxapene. Namun tidak ada desa yang sampel tanahnya mengandung keduanya mirex dan toxapene, tetapi hanya salah satu saja.

Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kecamatan yang ada di Wonosobo ditunjukkan dalam grafik 1. Dua peringkat persentase tertinggi senyawa endosulfan didapati di kecamatan Selomerto (25%) dan Kertek (19%), sedangkan toxapene di kecamatan Kertek dan Wonosobo dengan angka yang sama sebesar 31%, serta senyawa mirex terdapat di kecamatan Kertek 25% dan Selomerto 21%.

Page 256: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

239

Grafik 1. Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kecamatan

Sumber: data primer (2015)

Berdasarkan hasil analisa tanah, diketahui bahwa rata-rata residu endosulfan, toxapene, dan mirex lebih dari 75% terdapat dilahan sawah tadah hujan dan sebagian kecil < 25%ditemukan di sawah irigasi. Pada pengairan sawah tadah hujan diduga residu pestisida akan lama terdegradasi karena sistem pengairan dari air hujan yang intensitas aliran airnya sifatnya tidak sepanjang tahun. Jika dengan pengairan air irigasi residu pestisida disamping terikat dalam tanah juga akan memasuki perairan melalui irigasi, dan dapat berpindah ke tanah di lokasi lain karena air larian.

Sesuai kemiringan lahan sampel tanah yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex >50% berada pada kemiringan 25-40% seperti yang disajikan pada grafik 2.

Grafik 2. Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kemiringan lahan

Sumber: data primer (2015)

Jika dilihat dari bentuk lahan maka senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex banyak ditemukan (>50%) di lahan yang berbukit, <10% pada lahan bergunung dan datar, sedangkan sisanya pada lahan berbukit kecil dan bergelombang seperti ditunjukkan pada grafik 3.

Kecamatan

Endosulfan

Toxapene

Mirex

Kemiringan lahan

Endosulfan

Toxapene

Mirex

Page 257: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

240

Grafik 3.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan bentuk lahan

Sumber: data primer (2015)

Dari grafik 4 dapat dilihat bahwa persentase jumlah sampel tertinggi yaitu sebanyak 42%

senyawa endosulfan, 62% senyawa toxapene, dan 33% senyawa mirex berada pada lereng lahar yang tertoreh dan agak curam. Kurang dari 10% ditemukan di punggung gunung yang panjang di atas napal dengan singkapan-singkapan batuan, gunung berapi strato muda basa/sedang, lereng lahar yang agak curam pada daerah dataran tinggi. Sisanya berada pada aliran lava basa/sedang yang agak tertoreh dan punggung bukit sangat curam di atas vulkanik basa (RePPProt, 1987).

Grafik 4.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan deskripsi lahan

Sumber: data primer (2015)

Berdasarkan klasifikasi landform, maka 18% senyawa endosulfan ditemukan dilereng volkan

tengah, dan 23% senyawa toxapene terdapat di lereng volkan bawah, sedangkan persentase tertinggi senyawa mirex berada di lereng volkan bawah (25%) dan lereng volkan atas (25%). Sejumlah sampel yang terdeteksi lainnya terdistribusi di landform yang berbeda-beda seperti ditunjukkan pada grafik 5.

bentuk lahan

Endosulfan

Toxapene

Mirex

De

skri

psi

lah

an

Mirex

Toxapene

Endosulfan

Page 258: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

241

Grafik 5.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan landform

Sumber: data primer (2015)

Berdasarkan jenis batuan induk maka senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex sebagian

besar atau >50% dari batuan gunungapi Sundoro, sisanya dengan persentase kecil atau <20% memiliki jenis batuan anggota breksi, batuan diorit, batuan gunungapi Dieng, batuan gunungapi Jembangan, batuan gunungapi Sumbing, formas Waturanda, dan morposet Patukbanteng-Jeding (RePPProt, 1987) seperti digambarkan dalam grafik 6.

Grafik 6.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan nama batuan induk

Sumber: data primer (2015)

Berdasarkan bahan induk 3 jenis senyawa POPs ini sebagian besar ditemukan pada bahan induk jenis andesit, andesit dan basalt, dan hanya sebagian kecil berjenis endapan liat, serta batuliat berkapur dan batupasir. Ditemukan lebih dari 65% lahan yang terdeteksi endosulfan, toxapene, dan mirex berada pada lahan dengan ketinggian 700-1500 mdpl, sedangkan kurang dari 35% ketinggian 200-700 mdpl.

Berdasarkan karakteristik lahan ditemukannya sampel tanah yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex didapatkan persamaan bahwa sebagian besar sampel terdeteksi di lahan dengan kemiringan 25-40%, berbentuk bukit, pada lereng lahar yang tertoreh dan agak curam, dari bahan induk andesit, dan batuan induk batuan gunungapi Sundoro.Seperti diketahui bahwa kabupaten Wonosobo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian lokasi 250 dpl - 2250 dpl dan sebesar 50% dari seluruh areal berada pada rentang 500 dpl - 1.000 dpl serta dikelilingi beberapa pegunungan. Tanah-tanah yang terbentuk dari abu vulkanik menjadikan tanah di wilayah ini banyak mengandung bahan organik. Residu insektisida dalam tanah sangat erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanah, makin tinggi kandungan

lan

dfo

rm Mirex

Toxapene

Endosulfan

Batuan induk

Endosulfan

Toxapene

Mirex

Page 259: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

242

insektisida. Insektisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini karena lapisan tersebut mengandung bahan organik sehingga insektisida mudah diabsorpsi dan sukar untuk keluar (Connel dan Miller, 1995).

Korelasi antara residu senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di dalam tanah dengan sifat fisik dan kimia tanah ditunjukkan dengan KTK, C Organik dan kandungan liat dalam tanah. Hasil analisis sifat-sifat tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Korelasi antara keberadaan residu senyawa POPs dengan sifat fisik dan kimia tanah

No. Endosulfan Toxapene Mirex KTK*)

Corg*)

Liat*)

1 + - - 2 3 liat

2 + - - 3 3 liat berdebu

3 + - - 4 2 liat

4 + - - 3 4 pasir berlempung

5 - - + 3 3 liat berpasir

6 - - + 2 4 liat berdebu

7 + - - 3 3 lempung berpasir

8 - - + 5 2 lempung berpasir

9 + + - 4 2 liat

Keterangan: *)

Harkat KTK, C Organik, Liat (Balittanah, 2007) Sumber : data primer (2015)

Tanah sawah yang ditemukan satu atau lebih senyawa POPs mempunyai nilai KTK: sedang-

sangat tinggi, kadar C organik: sedang-sangat tinggi dan kadar lempung pada kategori lempung sedang-lempung berat. Keberadaan senyawa POPs di dalam tanah dipengaruhi oleh ketiga sifat tanah tersebut. Dari 9 sampel tanah yang terdeteksi senyawa POPs 7 (77,78%) sampel tanahnya mempunyai nilai KTK (sedang-sangat tinggi) atau C organik (sedang-sangat tinggi) dan kandungan liatnya sedang-berat atau dua sifat tanahnya mempunyai harkat tinggi atau ketiga-tiganya harkatnya tinggi. Hanya 22,22% sampel yang ditemukan senyawa POPs mempunyai KTK, C organik dan kadar liat berharkat sedang, tetapi tidak ada yang berharkat rendah. Cheng et al (1990) mengemukakan bahwa keberadaan senyawa POPs di dalam tanah erat kaitannya dengan KTK, C organik dan kadar lempung. Sifat fisik dan kimia dari senyawa POPs di dalam tanah terutama dikendalikan oleh karakteristik tanah sehingga sangat penting untuk mempelajari berbagai sifat tanah.

KESIMPULAN

Sebagian lahan sawah di Kabupaten Wonosobo terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex. Terdapat 3 sampel (0,94%) yang melebihi batas maksimum residu (BMR) senyawa endosulfan dan toxapene, sedangkan senyawa mirex seluruh sampel masih di bawah BMR. Dengan diketahuinya residu senyawa endosulfan dan toxapene yang melebihi BMR maka diperlukan upaya tindak lanjut kegiatan remediasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para peneliti dan teknisi Kelti EP3 yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Page 260: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

243

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. Hal 91-105 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas padi di lahan sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan.

Cheng H H, M. 1990. Pesticides in the soil environment: processes, impacts, and modeling. Soil Science Society of America, Inc, ISBN 0-89118-791-X, Madison, Wisconsin, USA.

Connell, D.W. dan Miller, G.J.. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan Y. Koestoer. Universitas Indonesia. Jakarta.

Gorman, S and Tynan, E. 2003. Persistent Organic Pollutants of Environmental Harm and Threats to Health. Environ Strategy Notes 6. WorldBank.

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Hal 119-128 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas padi di lahan sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan.

Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekosistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Hal 106-118 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas padi di lahan sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan.

Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Andi. Yogyakarta. 298p. RePPProt, 1987. Peta landsystem Pulau Jawa, Regional Physical Planning Programme for

Trasmigration (RePPProT), Departemen Transmigrasi. Jakarta. Schoknecht N, Wilson PR, Heiner I. 2008. Survey specification and planning. In ‘Guidelines for

surveying soil and land resources (2nd edn).’ (Eds NJ McKenzie, MJ Grundy, R Webster, AJ Ringrose-Voase) pp 205-223 (CSIRO Publishing:Melbourne)

SNI 06-6990.1-2004. Air – Bagian 1: Cara uji pestisida organoklorin secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas-Spektrofotometer Massa (KG-SM)

Soemirat. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: GadjahMada University Press. Yuantari M., 2011. Dampak pestisida organoklorin terhadap kesehatan manusia dan lingkungan serta

penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011.187-199

Page 261: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

244

PROSPEK PENGGUNAAN INDO JARWO TRANSPLANTER PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU

PROSPECTS OF THE USE OF INDO JARWO TRANSPLANTER ON LAND IRRIGATED RICE FIELD IN BENGKULU PROVINCE

Yesmawati dan Wahyu Wibawa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5. Kel. Semarang Kota Bengkulu. Telp. 0736 23030

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu seluas 96.250 hektar dan sebagian besar mempunyai topografi yang datar dengan lapisan olah yang dangkal (< 25 cm). Produksi padi di Provinsi Bengkulu dapat ditingkatkan melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Ketersediaan tenaga kerja tanam menjadi masalah dalam peningkatan IP. Pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter yang memiliki banyak keunggulan diharapkan dapat menjadi solusi dari kelangkaan tenaga kerja tanam. Tujuan pengkajian adalah: (1). Menghitung rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu (2). Menganalisis efisiensi teknik dan ekonomis penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu (3). Menganalisis persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanterdi Provinsi Bengkulu. Pengkajian dilaksanakan pada bulan November - Desember 2014 di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Data ekonomi dan data sosial diperoleh melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) terhadap 60 orang petani. Rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter dihitung berdasarkan persentase antara luas sawah yang berpotensi dengan luas total sawah irigasi pada tingkat kabupaten dan provinsi. Efisiensi penggunaan Indo Jarwo Transplanter dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kelayakan teknis (alokasi waktu) dan kelayakan ekonomi (alokasi biaya) antara Indo Jarwo Transplanter dengan cara tanam petani. Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan interval kelas. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: (1). Rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter mencapai 62%. (2). Secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter lebih efisien dan dapat menghemat 399,86 jam yang setara dengan 50 Hari Orang Kerja (HOK) (3). Secara ekonomis biaya penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter memerlukan biaya Rp. 1.100.000,- dan lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani yang memerlukan biaya Rp. 2.280.000,- (4).Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter sangat baik yang diindikasikan oleh skor yang sangat tinggi (4,01 dan 4,08). (5). Penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai prospek yang baik berdasarkan rasio lahan, efisiensi teknis dan ekonomis, serta persepsi petani.

Kata Kunci: Caplak roda,sawah irigasi, transplanter.

ABSTRACT

Irrigated rice field in Bengkulu Province upto 96,250 ha and dominated by flat topography with soil solum less than 25 cm. Rice production in Bengkulu Province can be increased by increasing Planting Index (PI). Insufficient of labours, especially for transplanting rice, is a problem in increasing PI. Transplanter machine (Indo Jarwo Transplanter) having many advantages are available and can be bought easily. Using Indo Jarwo Transplanter can be a problem solving for insufficient of labour to transplant rice. Objectives of this assessment were: (1). To calculate land ratio having potency to use Indo Jarwo Transplanter in Bengkulu Province (2). To analyze technical and economical efficiency in using Indo JarwoTransplanter in Bengkulu Province (3). To analyze farmers' perception in using Indo Jarwo Transplanter in Bengkulu Province. The assessment was conducted from November until December 2014 in Seluma and North Bengkulu. Land ratio having potency to use Indo Jarwo Transplanter was calculated in percentage between land having potency with total of irrigated rice field in regency and province level. Efficiency in using Indo Jarwo Transplanter was analyzed descriptively by compared technical and economical proper between Indo Jarwo Transplanter with conventional planting rice done by farmers. Farmers' perception toward using Indo Jarwo Transplanter were analyzed descriptively with interval class by Likert Summated Ratings (LRS). Results showed that: (1). Land ratio having potency to use Indo Jarwo Transplanter in Bengkulu

Page 262: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

245

Province upto 62% (2). Technically, using Indo Jarwo Transplanter was more efficient and saved 399.86 hours equivalent with 50 day people working (3). Economically, planting rice using Indo Jarwo Transplanter needed cost Rp. 1,100,000,-/ha and more efficient than conventional planting rice done by farmers needed cost Rp. 2,280,000,-/ha (4). Farmers' perception toward using Indo Jarwo Transplanter were very good indicated by high scores (4.01 and 4.08) (5). The using Indo Jarwo Transplanter had good prospect based on land ratio, technical and economical efficiency, and farmers' perception.

Keywords: Transplanter, caplak roda, irrigated rice field

PENDAHULUAN

Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian di Provinsi Bengkulu karena merupakan sektor utama yang memberikan peranan terbesar (31,21%) dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, 2015). Padi merupakan komoditas utama pada sektor pertanian dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Kebutuhan pangan di Provinsi Bengkulu terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, disisi lain produktivitas padi di Provinsi Bengkulu baru mencapai 4,24 ton GKG/ha (BPS Provinsi Bengkulu, 2015).

Provinsi Bengkulu memiliki lahan sawah irigasi yang cukup luas yaitu 96.250 hektar (Dinas Pertanian, 2014) dengan jumlah traktor sudah cukup memadai untuk mengolah lahan sawah secara cepat, namun belum mampu menjamin terlaksananya tanam serentak dalam suatu hamparan. Anjuran tanam serentak dalam satu hamparan menjadi permasalahan di Provinsi Bengkulu, karena keterbatasan tenaga kerja tanam. Kegiatan penanaman merupakan salah satu kegiatan yang penting dan kritis karena harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan berdasarkan jadwal penggunaan air irigasi. Keterbatasan tenaga kerja pertanian termasuk tenaga kerja tanam pindah (transplanting) padi menyebabkan sulit tercapainya tanam serempak dalam satu hamparan. Dampak dari penanaman yang tidak serempak diantaranya adalah menurunnya efisiensi lahan dan pemanfaatan air, serta tingginya serangan OPT yang memicu penurunan produktivitas dan produksi padi (Ahmad dan Haryono, 2007).

Berbagai kajian menyimpulkanbahwa alat dan mesin pertanian merupakankebutuhan utama sektor pertanian sebagaiakibat dari kelangkaan tenaga kerja pertaniandi pedesaan. Alat dan mesin pertanianberfungsi antara lain untuk mengisi kekurangantenaga kerja manusia yang semakin langkadengan tingkat upah semakin mahal,meningkatkan produktivitas tenaga kerja,meningkatkan efisiensi usahatani melaluipenghematan tenaga, waktu dan biaya produksiserta menyelamatkan hasil dan meningkatkanmutu produk pertanian (Unadi dan Suparlan,2011).

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pemanfaatan mekanisasi pertanian Indo Jarwo Transplanter. Indo Jarwo Transplanter mempunyai kapasitas kerja 6-7 jam/ha (Balai Besar Mekanisasi Pertanian, 2013). Penggunaan Indo Jarwo Transplanter, diharapkan mampu menjadi titik ungkit dalam penghematan waktu penanaman bibit (lebih cepat) dengan biaya yang murah serta peningkatan produktivitas dan produksi padi di Provinsi Bengkulu.

Di Provinsi Bengkulu, pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter masih belum berkembang. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian mengenai propek penggunaan Indo Jarwo Transplanter yang bertujuan untuk: (1) menghitung rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu, (2) menganalisis efisiensi teknis dan ekonomis penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu, (3) menganalisis persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu.

METODE PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu pada bulan November – Desember 2014. Penentuan lokasi dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa lokasi pengkajian merupakan sentra pengembangan padi paling luas di Provinsi Bengkulu.

Data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data luas sawah irigasi, luas sawah yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter, dan data ekonomi (biaya tenaga kerja tanam: penyiapan tempat persemaian, pembuatan bibit dalam dapok, pemeliharaan bibit, pencabutan bibit, pendistibusian bibit ke sawah, pencaplakan,

Page 263: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

246

penanaman, dan penyulaman) serta data sosial (persepsi petani). Selanjutnya data sekunder diperoleh dari informasi dari dinas/instansi terkait dan literatur yang berkenaan dengan pengkajian.

Pengumpulan data ekonomi dan data sosial dilakukan melalui metode wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) terhadap 60 orang petani, dengan masing-masing kabupaten terdiri dari 15 petani yang menggunakan Indo Jarwo Transplanter dan 15 orang responden dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda.

Prospek penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada pengkajian ini diukur berdasarkan rasio lahan, efisiensi dan persepsi. Rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter diukur berdasarkan persentase antara luas lahan yang berpotensi dengan luas total sawah irigasi pada tingkat kabupaten dan provinsi. Semakin tinggi rasionya berarti semakin tinggi potensi sawah yang potensial untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter.

Efisiensi penggunaan Indo Jarwo Transplanter dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kelayakan teknis dan ekonomis antara Indo Jarwo Transplanter dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda. Efisiensi teknis dihitung berdasarkan perbandingan alokasi waktu (jam) yang diperlukan selama proses persiapan tanam sampai dengan tanam dam penyulaman. Semakin kecil alokasi waktu berarti semakin efisien. Efisiensi ekonomis/finansial dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan selama proses persiapa, penanaman sampai dengan penyulaman. Semakin kecil biaya yang dikeluarkan berarti semakin efisien suatu cara/metode penanaman yang diaplikasikan. Persepsi adalah pandangan dan penilaian petani mengenai penggunaan Indo Jarwo transplanter dengan alternatif jawabannya: sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat setuju dengan 4 kriteria: sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana :NR: Nilai Range PI : Panjang Interval NST: Nilai Skor TertinggiJIK : Jumlah Interval Kelas

NSR: Nilai Skor Terendah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Lahan Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu

Provinsi Bengkulu memiliki lahan sawah irigasi seluas 96.250 hektar dan terdapat 59.959 hektar yang berpotensi untuk penggunaan alat tanam pindah bibit Indo Jarwo Transplanter dengan rasio 62% (Tabel 1). Suhendrata (2013) melaporkan bahwa pada kondisi petakan sawah yang luas, datar dengan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm, mesin transplanter dapat membantu memecahkan permasalahan kekurangan tenaga tanam padi sawah.

Tabel 1. Luas sawah irigasi dan rasio lahan yang potensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu Tahun 2014

No Kabupaten Luas Sawah Irigasi (ha) Berpotensi (ha) Rasio (%)

1 Bengkulu Selatan 11.290 6.774 60 2 Rejang Lebong 9.881 5.929 60 3 Bengkulu Utara 14.521 11.620 80 4 Kaur 8.132 4.880 60 5 Seluma 18.130 14.504 80 6 Mukomuko 9.544 6.204 65 7 Lebong 9.605 3.362 35 8 Kepahiang 5.287 1.850 35 9 Bengkulu Tengah 7.765 4.193 54

10 Kota Bengkulu 2.095 943 45

Jumlah 96.250 59.959 62

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi (2014)

Tabel 1 menunjukkan bahwa rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo

Transplanter di Provinsi Bengkulu cukup tinggi (62%) dan lokasi yang mempunyai rasio lahan tertinggi terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Seluma yaitu 80%. Rasio tinggi

Page 264: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

247

(>60%) berarti lahan sawah yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter juga tinggi dan sesuai dengan persyaratan teknis dari Indo Jarwo Transplanter. Persyaratan teknis dari Indo Jarwo Transplanter diantaranya lahan datar, petakan luas, tanah tidak berbatu dengan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm (BB Mektan, 2013). Semakin tinggi persentase rasio lahan berarti semakin tinggi potensi sawah yang potensial untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter.

Ada 6 kabupaten yang potensial untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter yaitu Bengkulu Utara, Seluma, Mukomuko, Bengkulu Selatan dan Kaur sedangkan 4 kabupaten lainnya mempunyai rasio/potensi yang rendah untuk memanfaatkan Indo Jarwo Transplanter. Keempat kabupaten tersebut adalah Kota Bengkulu, Kepahiang, Bengkulu Tengah, dan Lebong. rendahnya rasio dari keempat wilayah tersebut terutama disebabkan oleh topografi lahan yang berlereng, petakan kecil, kedalaman lapisan tanah, dan kondisi lahan yang berbatu serta sulit dalam pengaturan air.

Analisis Kelayakan Teknis dan Ekonomis

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu mempunyai kinerja yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda. Alokasi waktu yang dibutuhkan dengan menggunakan Indo Jarwo Transplanter hanya 88,14 jam/ha sedangkan dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda memerlukan alokasi waktu yang lebih tinggi yaitu 424,00 jam/ha (Tabel 2).

Tabel 2. Efisiensi finansial dan ekonomis penanaman di Provinsi Bengkulu tahun 2014.

No Parameter

Indo Jarwo Transplanter Cara Tanam Petani

Alokasi Waktu (Jam)

Nilai (Rp) Alokasi Waktu Nilai (Rp)

1 Pembuatan tempat pesemaian - - 24,00 240.000

2 Pembuatan bibit dalam dapok 32,00 160.000 - -

3 Pemeliharaan bibit 16,00 80.000 16,00 80.000

4 Pencabutan bibit - - 72,00 360.000

5 Penyebaran bibit ke sawah - - 8,00 40.000

6 Pencaplakan - - 8,00 80.000

7 Penanaman 8,14 700.000 296,00 1.480.000

8 Penyulaman 32,00 160.000 - -

Jumlah 88,14 1.100.000 424,00 2.280.000

Sumber : Data Primer (2014)

Tabel 2 menunjukkan bahwa melalui cara tanam petani dengan alat bantu caplak roda memerlukan alokasi waktu yang cukup tinggi yaitu mencapai 296 jam/ha atau setara dengan 37 HOK. BB Mektan (2013) melaporkan bahwa kebutuhan tenaga kerja penanaman padi secara manual mencapai 30 – 50 HOK/ha atau 240 – 500 jam/ha. Ini artinya melalui cara petani dengan menggunakan caplak roda memerlukan waktu yang lama dan tenaga kerja yang banyak. Alokasi waktu yang tinggi dan kekurangan tenaga kerja pada kegiatan penanaman mengakibatkan tertundanya waktu tanam serentak, rendahnya cakupan garapan dan indeks pertanaman (IP) padi di Provinsi Bengkulu. Tanam yang tidak sesuai musim dan tidak serentak akan meningkatkan resiko kegagalan akibat dari kekurangan air maupun ledakan serangan hama dan penyakit (BB Mektan, 2013).

Berdasarkan spesifikasinya Indo Jarwo Transplanter memiliki kapasitas kerja 6-7 jam/ha (BB Mektan, 2013). Dalam kajian ini kapasitas kerja dari Indo Jarwo Transplanter masih di bawah spesifikasi yaitu 8,14 jam/ha, hal ini dipengaruhi oleh keterampilan operator yang belum begitu mahir dan kondisi lahan sawah yang datar tapi dengan petakan sawah yang tidak begitu luas. Namun, Tambunan dan Sembiring (2007)menyatakan bahwa pembangunan pertaniandewasa ini tidak lagi dapat dilepaskan dariperkembangan teknologi alat dan mesinpertanian.

Keberadaan Indo Jarwo Transplanter dirasa tepat untuk mengatasi kekurangan dan kelangkaan tenaga kerja untuk tanam padi di Provinsi Bengkulu, karena dari kegiatan penanaman saja sudah dapat menghemat waktu 287,86 jam/ha atau mengurangi penggunaan tenaga kerja sebanyak 36 HOK Selain tenaga tanam masih banyak tenaga yang dapat dihemat dari kegiatan penyiapan lahan persemaian, pencabutan bibit, penyebaran bibit ke sawah dan pencaplakan sampai bibit siap tanam dengan jumlah 112 jam/ha atau setara dengan 14 HOK. Unadi dan Suparlan (2011) menyatakan

Page 265: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

248

bahwa fungsi dari alat dan mesin pertanian adalah untuk: (1). Mengisi kekurangan tenaga kerja manusia dan ternak yang semakin langka; (2). Meningkatkan produktivitas tenaga kerja; (3). Meningkatkan efisiensi usaha tani melalui penghematan tenaga, waktu dan biaya produksi; (4). Menyelamatkan hasil dan meningkatkan mutu produk pertanian. Pembangunan pertanian dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi alat dan mesin pertanian (Tambunan dan Sembiring, 2007). Hasil pengkajian membuktikan bahwa kinerja teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda dan layak untuk digunakan pada kegiatan penanaman di Provinsi Bengkulu.

Selain kelayakan kinerja teknis yang lebih efisien, penggunaan Indo Jarwo Transplantersecara ekonomis juga lebih efisien dalam mengurangi beban kerja petani. Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan sistem tanam yang sama (legowo 2:1), biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan Indo Jarwo Transplanter lebih kecil (Rp. 1.100.000,-) dibandingkan dengan cara petani menggunakan alat bantu caplak roda Rp. 2.280.000,-). Hal ini berarti penggunaan Indo Jarwo Transplanter secara ekonomis lebih efisien dibandingkan dengan cara petani menggunakan alat caplak roda. Penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter lebih murah karena tidak perlu biaya pembuatan tempat persemaian, biaya pencabutan bibit, biaya distribusi bibit ke sawah dan biaya pencaplakan yang mencapai 720.000,-. Di samping lebih murah (efisien), penggunaan Indo Jarwo Transplanter juga lebih cepat dan sedikit menggunakan tenaga kerja (Suhendrata, 2013) sehingga memungkinkan untuk tanam serentak dan memperluas cakupan garapan serta memungkinkan untuk meningkatkan IP padi. Penanaman serentak dimaksudkan sebagai upaya untuk memutus siklus perkembangan organisme penggangu tanaman (OPT) antara lain wereng coklat, penggerak batang dan tikus (Baehaqi, 2012).

Persepsi Petani terhadap Penggunaan Indo Jarwo Transplanter

Prospek penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada pengkajian ini diukur berdasarkan persepsi petani. Persepsi petani terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter merupakan pandangan yang dimiliki petani dalam melihat manfaat yang diperoleh dari penggunaan Indo Jarwo Transplanter. Persepsi meliputi sikap kognitif petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter. Sikap kognitif petani adalah sikap yang berkaitan dengan pengetahuan, keyakinan/kepercayaan petani terhadap suatu inovasi teknologi. Persepsi yang baik terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter selanjutnya akan mempengaruhi motivasi petani dalam menggunakan Indo Jarwo Transplanter tersebut dan juga mempengaruhi percepatan proses adopsi serta mempermudah dalam menentukan kebijakan bagi stakeholders. Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persepsi petani terhadap penggunaa Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu tahun 2014.

No Parameter Kabupaten Seluma Kabupaten Bengkulu Utara

Skor Kriteria Skor Kriteria

1 Kapasitas Kerja 4,07 Sangat Tinggi 4,29 Sangat Tinggi 2 Penggunaan Biaya 4,07 Sangat Tinggi 4,29 Sangat Tinggi 3 Kemudahan dalam Operasional 3,75 Tinggi 4,04 Sangat Tinggi 4 Solusi Pengurangan Tenaga Kerja Tanam 4,00 Sangat Tinggi 4.07 Sangat Tinggi 5 Solusi Tanam Serentak 4,02 Sangat Tinggi 4,06 Sangat Tinggi 6 Pesaing Tenaga Tanam 4,14 Sangat Tinggi 3,71 Tinggi

Rata-rata 4,01 Sangat Tinggi 4,08 Sangat Tinggi

Sumber : Data Primer (2014) Keterangan *) : 1,00 ≤ x ≤ 1,99 = Rendah ; 2,00 < x ≤ 2,99 = Sedang

3,00 < x ≤ 3,99 = Tinggi; 4,00 < x ≤ 5,00 = Sangat Tinggi

Tabel 3 menunjukkan bahwa di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Utara rata-rata skor kognitif petani terhadap Indo Jarwo Transplanter adalah 4,01 dan 4,08, petani responden mempunyai persepsi yang sangat tinggi terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter. Hal ini berarti bahwa petani di Kabupaten Seluma maupun Bengkulu Utara tahu dan sangat yakin, Indo Jarwo Transplanter dapat memberikan manfaat dan menguntungkan dalam menghemat waktu dan biaya tenaga kerja tanam padi pada usahatani mereka. Hal ini berarti bahwa penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di Provinsi Bengkulu.

Page 266: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

249

KESIMPULAN

1. Rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu cukup tinggi (62%).

2. Secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter lebih efisien dan dapat menghemat 399,86 jam yang setara dengan 50 Hari Orang Kerja (HOK).

3. Secara ekonomis biaya penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter memerlukan biaya Rp. 1.100.000,- dan lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani yang memerlukan biaya Rp. 2.280.000,-.

4. Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter sangat baik yang diindikasikan oleh skor yang sangat tinggi (4,01 dan 4,08).

5. Penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai prospek yang baik berdasarkan rasio lahan, efisiensi teknis dan ekonomis, serta persepsi petani.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dedi Sugandi, MP yang telah memberikan masukan, arahan dan perbaikan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan pengumpulan data pengkajian, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu.

Balai Besar Mekanisasi Pertanian. 2013. Mesin tanam Indo Jarwo Transplanter. http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?view=artice.

Baehaqi, S.E. 2012. Strategi pengendalianhama terpadu tanaman padi dalampraktek pertanian yang baik (goodagricultural practices). PengembanganInovasi Pertanian 2 (1), 2009: 65-78.

Ditjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis : Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Dirjen Tanaman Pangan. 134Hal.

Rentha, T. 2007. Identifikasi perilaku, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah irigasi teknis sebelum dan sesudah kenaikan harga pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Sugandi, D., Wibawa, W., Suparlan dan Astuti, U.P. 2014. Kajian pemanfaatan mesin tanam pindah bibit padi sawah sistem legowo (Jarwo Transplanter) Di Provinsi Bengkulu. Laporan Akhir Kegiatan. BPTP Bengkulu.

Suhendra, T., 2013. Prospek pengembangan mesin tanam pindah bibit (rice transplanter) dalam rangka mengatasi klangkaan tenaga kerja tanam bibit padi. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Angibisnis (SEPA) Fakutas Pertanian UNS. Surakarta (inpress).

Suhendrata, T., dan E. Kushartanti. 2013. Pengaruh penggunaan mesin tanam pindah bibit padi (Transplanter) terhadap produktivitas dan pendaptanan petani di Desa Tangkil Kecamatan/Kabupaten Sragen. Prosiding Seminar Nasional Akselarasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian UNS. (inpress).

Tambunan, A.H. dan E. N. Sembiring. 2007. Kajian kebijakan alat dan mesin pertanian. Jurnal Kteknikan Pertanian. Vol.21 (4).

Unadi, A. dan Suparlan, 2011. Dukungan teknologi pertanian untuk industrialisasi agribisnis perdesaan. Makalah Seminar Nasional Penyuluhan Pertanian pada Kegiatan Soropadan Agro Expo Tanggal 2 Juli 2011. Balai besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.

Page 267: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

250

KESESUAIAN VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DI LOKASI PENGUJIAN KABUPATEN SELUMAPROVINSI BENGKULU

SUITABILITYOF NEW PADDY SUPERIOR VARIETIESON IRRIGATION PADDY FIELD ATASSESMENT LOCATIONIN SELUMA DISTRICT BENGKULU PROVINCE

Ahmad Damiri, Yartiwi dan Dedi Sugandi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jalan Irian km 6,5 Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Varietas unggul baru (VUB) merupakan salah satu trobosan inovasi teknologi untuk meningkatkan produkstivitas padi. Terobosan inovasi teknologi tersebut akan terwujud bila varietas yang ditanam sesuai dengan kondisi lahan pada suatu lokasi yang digunakan. Tujuan pengkajian untuk memperoleh varietas yang cocok pada lahan sawah lokasi pengujian. Pengkajian dilakukan pada lahan sawah irigasi di Kelurahan Lubuk Kebur, Kecamatan Seluma Kota, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Januari 2016. Rancangan yang digunakan dalam pengkajian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal yaitu varietas padi Inpari yang terdiri dari 3 jenis yaitu Inpari 16, 22, 30 dan Turunan Cigeulis. Masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Teknologi yang diterapkan adalah komponen teknologi PTT padi sawah irigasi. Data yang dikumpulkan meliputi data komponen pertumbuhan tanaman, komponen hasil, dan hasil. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan DMRT. Sementara untuk mengkaji kemampuan varietas mencapai potensi hasil, dianalisis secara deskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa persentase terhadap pencapaian potensi hasil, tertinggi dicapai oleh varietas Inpari 22 sebesar 92,78% dan dikuti oleh Inpari 16, 30, dan Turunan Cigeulis masing-masing senilai 82,63%; 72,91%; dan 53,75%. Rata-rata berat 1.000 butir varietas Inpari 22 dan 30 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap Turunan Cigeulis dengan berat masing-masing 29,14 g; 28,08 g; dan 24,76 g. Namun berat 1.000 butir varietas Inpari 22 dan 30 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap varietas Inpari 16 dengan berat 26,43 g. Untuk produktivitas GKP per ha, antara varietas Inpari 16, 22, 30 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan berat masing-masing 6,28 t/ha; 7,00 t/ha; 7,33 t/ha. Namun berbeda nyata terhadap varietas Turunan Cigeulis dengan produktivitas sebesar 4,3 t/ha. Dengan demikian, varietas Inpari 16, 22, 30 sesuai ditanam di lokasi pengujian di Kabupaen Seluma Provinsi Bengkulu.

Kata kunci : Varietas, Padi, Kesesuaian Lokasi

ABSTRACT

New varieties are one of the breakthrough technological innovation to improve the productivity of rice. The innovative technology will be realized if the varieties are grown in accordance with the conditions of the land in a location that is used. The objective of assessment to obtain varieties suitable to land test site. Tests conducted on irrigated land in the village of Lubuk Kebur, Sub-district Seluma City, District Seluma, Bengkulu Province from October 2015 through January 2016. The design used in the study is a randomized block design (RBD) single factor, namely rice varieties Inpari consisting of 3 types Inpari 16, 22, 30 and derivatives Cigeulis. that repeated 6 times. The technology applied is the PTT irrigation paddy field technology component. Data collected includes data components plant growth, yield components, and results. Data were analyzed by analysis of variance (ANOVA) with Duncan Multiple further. Meanwhile, to assess the ability to achieving the yield potential of varieties, analyzed descriptively. The results showed that the percentage of achievement of the potential yield, the highest achieved by Inpari 22 amounted to 92.78% and followed by Inpari 16, 30, and derivatives Cigeulis each valued at 82.63%; 72.91%; and 53.75%. The average weight of 1,000 grains Inpari 22 and 30 showed significant differences on derivatives Cigeulis with each weighing 29.14 g; 28.08 g; and 24.76 g. However, the weight of 1000 grains Inpari 22 and 30 did not show significant differences against Inpari 16 with a weight of 26.43 g. GKP productivity per ha, between Inpari 16, 22, 30, did not show significant differences with each weighing 6.28 t/ha; 7,00 t / ha; 7.33 t/ha. But significantly different with Cigeulis derivative varieties with the productivity of 4.3 t/ha. Thus, Inpari 16, 22, 30 according planted at test sites in Seluma District Bengkulu Province.

Keywords: Variety, Paddy, LocationConformity

Page 268: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

251

PENDAHULUAN

Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan salah satu terobosan inovasi teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. VUB juga merupakan inovasi teknologi yang paling mudah di adopsi petani karena teknologi ini murah dan penggunaannya sangat praktis. Varietas unggul adalah galur hasil pemuliaan yang mempunyai berbagai keunggulan seperti potensi hasil tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap cekaman lingkungan, dan mutu produk yang baik, serta telah resmi dilepas oleh pemerintah. Penggunaan varietas yang cocok dan spesifik lokasi sangat diperlukan dalam mendukung peningkatan produksi tanaman pangan di suatu wilayah. Untuk dapat menunjukkan potensi hasilnya, varietas memerlukan kondisi lingkungan atau agroekosistem tertentu (Rubiyo dkk., 2005). Tidak semua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil yang optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai (Kustiyanto, 2001).

Berdasarkan agroekosistem, Provinsi Bengkulu mempunyai kesesuaian lahan yang cocok untuk tanaman padi. Menurut BPS Provinsi Bengkulu(2015);ProvinsiBengkulu memiliki lahan sawah seluas 96.250 ha dengan tingkat produktivitas 4,3 t/ha serta indeks pertanaman 137, sementara potensi hasilnya dapat mencapai 6,5 t/ha. Diduga penyebabnya adalah masih rendahnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di tingkat petani yaitu sekitar 40-50%, penggunaan pupuk belum rasional dan efisien, penggunaan pupuk organik belum biasa, dan budidaya spesifik lokasi masih belum diadopsi dan terdifusi secara baik.

Melihat kondisi demikian, uji kesesuaian varietas unggul baru (VUB) terhadap lahan-lahan yang ada perlu dilakukan guna mendapatkan hasil sesuai dengan harapan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kustiyanto (2001) bahwa tidaksemua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil yang optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai. Tujuan dilakukan pengujian adalah untuk memperoleh varietas yang sesuai pada lahan sawah irigasi di lokasi pengujian.

METODE PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan pada lahan sawah irigasi milik petani di Kelurahan Lubuk Kebur, Kecamatan Seluma Kota, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Januari 2016. Pelaksanaan pengkajian dilakukan melalui pendekatan On Farm Adaptive Research (OFAR), seluas 6 ha yang melibatkan 12 orang petani.

Rancangan yang digunakan dalam pengkajian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal 4 varietas padi yaitu varietas padi Inpari yang terdiri dari 3 jenis (Inpari 16, 22, 30) yang penanamannya menerapkan komponen teknologi PTT dan Turunan Cigeulis yang penanamannya berdasarkan perlakuan petani. yang masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Varietas padi Turunan Cigeulis merupakan kontrol perlakuan menerapkan teknologi yang biasa dilakukan petani.

Pada varietas Inpari 16, 22, dan 30, teknologi yang diterapkan adalah teknologi PTT yang terdiri atas komponen varietas padi Inpari kelas BP (Benih Pokok), jumlah benih 25 kg/ha, luas petak persemaian sebesar 5% dari luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda <21 hari setelah semai (hss) dengan sistem tanam legowo 2:1 (jarak tanam 20 x 10 x 40 cm) dan pupuk NPK Phonska 225 kg/ha dan Urea 175 kg/ha, frekuensi pemupukan 3 kali. Masing-masing waktu pemupukan: I = 7 hari setelah tanam (hst), II = 22 hst dan III = 35 hst, pengendalian gulma secara manual, pengendalian hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) serta panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threser.

Data yang dikumpulkan meliputi data pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan jumlah anakan), komponen hasil (panjang malai, gabah bernasi/malai, gabah hampa/malai, berat 1000 butir), dan produktivitas. Masing-masing data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan DMRT. Sementara untuk mengkaji kemampuan masing-masing varietas terhadap potensi, dilakukan secara deskriptif.

Page 269: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

252

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kelurahan Lubuk Kebur

Kelurahan Lubuk Kebur adalah bagian dari administrasi Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma, merupakan salah satu sentra padi di Kabupaten Seluma yang ketinggian tempat dari permukaan laut lebih kurang 10 meter. Berdasarkan luas lahan pertaniannya, Kelurahan Lubuk Kebur memiliki luas lahan 185 ha. Dari luas lahan tersebut, peruntukannya terdiri dari 65 ha merupakan lahan sawah, dan 120 ha merupakan lahan perkebunan lainnya (Kecamatan Seluma. 2014).

Dilihat dari rekomendasi pemupukan untuk padi pada lahan sawah Kecamatan Seluma Kota (termasuk Kelurahan Lubuk kebur), dosis pupuk yang direkomendasikan yaitu: 1) Urea = 175 kg, 2) NPK Phonska = 225 kg/ha (Badan Litbang Pertanian, 2015a). Berdasarkan petunjuk rekomendasi pemupukan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) yang merupakan salah satu sumber penyusun rekomendasi pemupukan padi sawah Kalender Tanam Terpadu/KATAM, kondisi kesuburan lahan sawah di Kelurahan Lubuk Kebur termasuk lahan dengan kandungan N dan P tinggi dan kandungan K rendah.

Pertumbuhan Tanaman dan jumlah anakan

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman keempat varietas yang uji menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan terendah pada varietas Turunan Cigeulis dan berbeda nyata dengan Inpari 22. Sementara Varietas Inpari 22 menunjukkan keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Inpari 16 maupun Inpari 30 yang di uji kesesuaian lokasi. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang berbeda disamping merupakan ekspresi faktor genetis, juga dapat disebabkan karena tingkat pengelolaan usahatani yang berbeda. Berdasarkan deskripsi padi tinggi tanaman VUB Inpari berkisar antara 100-120 cm (Suprihatno, dkk 2011).

Hasil pengamatan terhadap jumlah anakan produktif, varietas Inpari 16 dan 22 menunjukkan tinggi tanaman yang berbeda terhadap Turunan Cigeulis, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas Inpari 30. Rata-rata hasil pengukuran terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan produktif (anakan) masing-masing perlakuan.

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (anakan)

Inpari 16 112,27ab

14,10a

Inpari 22 117,53a 13,38

a

Inpari 30 114,40ab

12,67ab

Turunan Cigeulis 98,45

b 8,42

b

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Pada tanaman padi, tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman

padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingginya tingkat produksi (Suprapto dan Dradjat, 2005). Sebagai contoh, tanaman akan tumbuh lebih rendah bila ditanam pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut (Simanulang, 2001). Pertumbuhan merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran, pertambahan bobot, volume dan diameter batang dari waktu ke waktu. Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan.

Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifat/perilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.

Page 270: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

253

Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai sebagai tempat kedudukan biji/bulir padi. Varietas unggul baru biasanya mempunyai 20-25 anakan, namun kebanyakan hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya

Jumlah anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai yang merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Semakin banyak anakan produktif maka semakin banyak jumlah malai yang terbentuk. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil karena semakin banyak jumlah malai, semakin tinggi juga hasil tanaman padi. Sama halnya dengan hasil penelitian Muliadi dan Pratama (2008) yang menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata terhadap hasil tanaman.

Jumlah anakan padi juga berkaitan dengan periode pembentukan phyllochron. Phyllochron adalah periode muncul satu sel batang, daun dan akar yang muncul dari dasar tanaman dan perkecambahan selanjutnya. Semakin tua bibit dipindah ke lapang, semakin sedikit jumlah phyllochron yang dihasilkan, sedangkan semakin muda bibit dipindahkan, semakin banyak jumlah phyllochron yang dihasilkan sehingga anakan yang dapat dihasilkan juga semakin banyak (Sunadi, 2008).

Komponen Hasil

Pada parameter panjang malai secara statistik menunjukkan bahwa varietas Inpari 22 menunjukkan panjang malai tertinggi (48,60 cm) yang berbeda nyata dengan Inpari 30 yang 41,39 cm dan Turunan Cigeulis yang 21,17 cm, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Inpari 16 yang 44,24 cm. Sedangkan pada gabah hampa, Inpari 30 menunjukkan jumlah gabah hampa paling sedikit (9,92 butir) dan berbeda nyata dengan varietas lainnya.

Pada jumlah gabah bernas dan jumlah gabah, Inpari 30 menunjukan jumlah gabah bernas tertinggi dan jumlah gabah paling banyak masing-masing 97,42 butir dan 117,72 butir) serta berbeda nyata denganInpari 16 yang 78,76 butir dan 96,38 butir, dan Turunan Cigeulis yang 62,85 butir dan 89,04 butir, namun tidak berbeda nyata dengan Inpari 22 yang 81,36 butir dan 104,94 butir. Pada berat 1.000 butir gabah, Turunan Cigeulismenunjukkanberat gabah terkecil (24,76 gram) dan berbeda nyata dibandingan dengan Inpari 22 yang 29,14 gram dan Inpari 30 yang 28,08 gram, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Inpari 16 yang 26,43 gram seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata panjang malai (cm), jumlah gabah hampa (butir), jumlah gabah bernas (butir), jumlah gabah (butir), dan berat 1.000 butir (gram).

Perlakuan Panjang Malai

(cm) Gabah Hampa

(butir) Gabah Bernas

(butir) Jumlah Gabah

(butir) B-1000 butir

(g)

Inpari 16 44,24ab

17,62b 78,76

b 96,38

b 26,43

ab

Inpari 22 48,60a 16,18

b 81,63

ab 104,94

ab 29,14

a

Inpari 30 41,39b 9,92

a 97,42

a 117,72

a 28,08

a

Turunan Cigeulis 21,17c 26,19

c 62,85

c 89,04

c 24,76

bc

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Panjang malai menunjukkan gambaran banyaknya gabah pada suatu malai tanaman padi.

Semakin banyak malai pada suatu rumpun sangat menentukan hasil panen secara keseluruhan. Manurung dan Ismunaji (1989) menerangkan bahwa adanya suatu stadia tumbuh yang merupakan stadia akhir dari anakan efektif yakni stadia dimana jumlah anakan sama dengan jumlah malai pada stadia masak. Oleh karena itu, jumlah gabah permalai sangat tergantung pada banyaknya malai dalam rumpun tanaman padi itu sendiri.

Produksi suatu malai merupakan salah satu penambahan berat kering suatu tanaman. Besar kecilnya produksi malai suatu tanaman sangat tergantung pada faktor-faktor pertubuhan. Pertumbuhan tanaman tergantung dari dua faktor yaitu faktor internal yang berasal dari tanaman tersebut seperti kemampuan tumbuh dan deskripsi tanaman, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan seperti tanah dan iklim.

Page 271: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

254

Varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dicirikan dengan jumlah anakan yang banyak, persentase anakan produktif dan gabah bernas yang tinggi. Semakin tinggi jumlah gabah bernas, semakin besar peluang memberikan hasil yang tinggi. Menurut Vergara (1985), varietas padi memiliki jumlah gabah per malai tinggi berkisar 80-120 butir per malai. Sementara untuk berat 1.000 butir, ke tiga varietas introduksi Inpari 16, 22, dan 30, masing-masing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Menurut Rafaralahly (2002), berat 1.000 biji gabah biasanya merupakan ciri yang stabil dari suatu varietas yang besarnya butir ditentukan oleh ukuran kulit biji gabah. Ukuran butir itu sendiri sudah ditentukan selama malai keluar, sehingga perkembangan karyopsis dalam mengisi butir sesuai dengan ukuran butir yang telah ditentukan. Bobot 1.000 biji gabah bernas juga menggambarkan kualitas dan ukuran biji yang tergantung pada hasil asimilat yang bisa disimpan.

Kemampuan Varietas Mencapai Potensi Hasil

Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16, 22, 30 dan Turunan Cigeulis yang diintroduksi serta persentase kemampuan varietas mencapai potensi hasil seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16, 22, 30 dan Turunan Cigeulis yang diintroduksi serta persentase kemampuan varietas mencapai potensi hasil.

Varietas Padi

Produktivitas t/ha GKG Kemampuan Varietas

Mencapai Potensi Hasil (%) Pengkajian* Deskripsi**

Rata-Rata Hasil Potensi Hasil

Inpari 16 6,28 6,3 7,6 82,63 Inpari 22 7,33 5,8 7,9 92,78 Inpari 30 7,00 7,2 9,6 72,91

Turunan Cigeulis 4,30 5,8 8,0 53,75

* Data primer diolah

**Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al., 2011.

Tabel 3, menunjukkan bahwa produktivitas gabah kering giling (GKG) yang tinggi dicapai pada VUB yang diiintroduksikan, dan lebih tinggi dari varietas eksisting Turunan Cigeulis. Hasil tertinggi dicapai pada varietas Inpari 22 dengan rata-rata produktivitasnya mencapai 7,33 t/ha dan produktivitas terendah dicapai pada varietas Turunan Cigeulis sebesar 4,30 t/ha. Varietas Inpari 16 dan 30 dengan produktivitas masing-masing 6,28 t/h dan 7,00 t/ha, dalam deskripsi memiliki produktivitas rata-rata 6,3 t/ha dan 7,2 t/ha dan potensi hasil masing-masing sebesar 7,6 t/ha dan 9,6 t/ha (Badan Litbang Pertanian. 2015).

Dari ke empat varietas yang ditanam, hanya varietas Inpari 22 dengan produktivitas 7,33 t/ha yang mampu melampaui produktivitas rata-ratanya sebesar 5,8 t/ha, walaupun belum mencapai potensi hasil yang mencapai 7,9 t/ha. Faktor yang menyebabkan belum tercapainya potensi hasil, dimungkinkan karena belum terpenuhinya secara optimal berbagai faktor yang berpengaruh terhadap potensi hasil yang harus dicapai. Menurut Ikhwani (2014), untuk mencapai hasil maksimal diperlukan ketepatan pemilihan komponen teknologi pada suatu kondisi iklim, varietas dengan sifat genetik yang memiliki potensi hasil tertentu yang disebut dengan potensi hasil G x X, dimana hasil akhir merupakan pengaruh interaksi antara faktor genetik varietas tanaman, kondisi lingkungan, dan cara pengelolaannya (G x X x M) melalui suatu proses fisiologik sejak fase bibit hingga fase masak.

Berdasaran data pada Tabel 3, pencapaian potensi hasil pada semua varietas yang ditanam bervariasi antara Inpari 16, Inpari 22, Inpari 30, dan Turunan Cigeulis masing-masing 82,63%, 92,78%, 72,91%, dan 53,75%. Tidak tercapainya potensi hasil tersebut diduga disebabkan oleh : 1) kualitas benih yang kurang baik. Ini ditunjukkan oleh varietas Cigeulis yang telah ditanam berulang-ulang (Turunan), 2) Dosis pupuk yang belum tepat, hal ini karena dosis yang digunakan merupakan dosis pupuk kecamatan secara umum yang berasal dari Kalender Tanam Terpadu (KATAM) Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma. Sementara pada saat penanaman dilakukan, kondisi musim kemarau tetapi dengan keadaan air yang melimpah.

Page 272: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

255

Dengan demikian diketahui bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas keempat varietas yang dikaji jika teknologi yang digunakan tepat guna. Tinggi dan rendahnya produktivitas, salah satunya tergantung pada teknologi yang diterapkan dan kesesuaian iklim di lokasi setempat. Sampai batas tertentu, semakin baik teknologi yang diterapkan pada kondisi iklim yang mendukung, produktivitas yang dicapai akan semakin tinggi. Menurut Ikhwani, et al (2013) bahwa cara tanam jajar legowo berpeluang menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam tegel melalui populasi yang lebih banyak, dengan varietas yang lebih cocok.

Provitas Hasil

Provitas hasil merupakan kemampuan tanaman dalam memberikan hasil persatuan luas lahan satu hektar. Provitas padi Turunan Cigeulis menunjukkan provitas terendah sebesar 4,3 ton per hektar dan berbeda nyata dengan varietas lainnya yaitu Inpari 16 sebesar 6,28 ton per hektar, Inpari 22 sebesar 7,33 ton per hektar, dan Inpari 30 sebesar 7,00 ton per hektar. Namun tidak ada perbedaan yang nyata provitas antara Inpari 16 dengan Inpari 22 dan Inpari 30 seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4.Rata-rata provitas (ton/hektar).

Perlakuan Provitas (t/h)

Inpari 16 6,28a

Inpari 22 7,33a

Inpari 30 7,00a

Turunan Cigeulis 4,3b

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh lima komponen, yaitu panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah bernas, persentase gabah hampa dan berat 1000 butir gabah (Yoshida, 1981). Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin berat suatu gabah seperti terlihat pada Tabel 3, maka produktivitas yang dihasilkan semakin tinggi seperti terlihat pada Tabel 5. Hal ini ditunjukkan oleh varietas Inpari 16, 22, dan 30. Sebaliknya, semakin rendah berat gabah, maka produktivitas yang dihasilkan semakin rendah seperti yang ditunjukkan oleh varietasTurunan Cigeulis.

Introduksi VUB (Inpari 16, 22, dan 30) dimasa mendatang, diharapkan mampu meningkatkan produksi dibandingkan varietas yang ditanam pada musim sebelumnya yang banyak ditanam varietas Turunan Cigeulis. Hasil kajian Sirappa, dkk (2007), membuktikan bahwa intorduksi varietas unggul baru yang didukung teknologi lainnya mampu memberikan hasil 21-54% lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian hasil suatu varietas harus didukung oleh teknologi dan lingkungan tumbuh yang optimal. Dalam pelaksanaan pengkajian, rakitan teknologi yang diterapkan adalah perpaduan antara inovasi teknologi pendekatan PTT dengan tingkat kemampuan petani, sehingga varietas yang cobakan memberikan keragaan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik. varietas yang diintroduksikan sebagai varietas unggul baru yang mampu beradaptasi dengan baik pada daerah tersebut.

Seiring dengan hasil penelitian Anggraini, dkk (2013) bahwa tanaman padi dengan perlakuan umur bibit 7 dan 14 hari mampu meningkatkan jumlah malai per rumpun, bobot gabah per rumpun, produksi GKG t/ha bila dibandingkan umur bibit 21 dan 28 hari. Sedangkan menurut Horie, dkk (2004) bahwa bibit muda (<10 hari) dengan 2-3 phyllochron, mempunyai bahan makanan cadangan pada endosperm benih untuk pertumbuhan bibit dan kadar nitrogen pada daun yang lebih tinggi. Penggunaan umur bibit tua >21 hss masih dapat dilakukan namun hasil tanaman padi yang dicapai lebih rendah bila dibandingkan dengan umur bibit muda.

Tanaman padi mempunyai daya adaptasi yang cukup besar terhadap kerapatan tanaman melalui mekanisme pengaturan terhadap jumlah malai, jumlah gabah per malai, dan persentase gabah bernas. Peningkatan populasi tanaman dapat dilakukan dengan sistem tanam legowo atau tandur jajar 20 cm x 20 cm. Pada kondisi radiasi matahari yang rendah, terutama pada musim hujan, peningkatan populasi tanaman menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah dan efisiensi penggunaan pupuk N karena lebih sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk (De Datta, 1981).

Selain itu salah satu faktor penting dalam budidaya untuk menunjang pertumbuhan hidup tanaman adalah pemupukan. Tanaman tidak cukup hanya mengandalkan unsur hara dalam tanah,

Page 273: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

256

tetapi tanaman perlu diberi unsur hara tambahan dari luar yaitu berupa pupuk (Simanungkalit, dkk., 2006).

KESIMPULAN

1. Introduksi VUB dan perbaikan manajemen usahatani menggunakan pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivitas padi pada lahan sawah di lokasi pengujian.

2. Ke tiga varietas yang diintroduksikan yaitu varietas Inpari 16, 22, dan 30, cocok untuk ditanam pada lahan sawah irigasi di lokasi pengujian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tinggunya kepada Kepala BPTP Bengkulu, Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP. Yang telah membantu dan mendukung kegiatan pengkajian hingga penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem Tanam dan Umur Bibit Pada Tanaman Padi Sawah (Oryza Sativa. L.) Varietas Inpari 13. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1(2).

Badan Litbang Pertanian. 2015. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Kementerian Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2015a. Kalender Tanam Terpadu Musim Tanam MK/2015 (April -

September) Kecamatan Seluma Kabupaten Seluma. BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Bengkulu Dalam Angka. BPS. 2015. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons, Inc., USA. Departemen Pertanian. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (Paddy Soil Test Kit)

Versi 1.1. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980s? Paper on International Crop Science Congress. p. 1-24.

Ikhwani. 2014. Dosis Pupuk dan Jarak Tanam Optimal Varietas Unggul Baru Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 33 No 3 2014. 188-185 p.

Ikhwani, GR. Pratiwi, E. Paturrohman, dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi melalui Penerapan Jarak Tanam jajar Legowo. Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 No. 2. 72-79 p.

Kecamatan Seluma. 2014. Profil Kelurahan Lubuk Kebur. Kantor Kelurahan Lubuk Kebur. Kabupaten Seluma.

Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi.

Manurung, S.O. dan M. Ismunadji. 1989. Morfologi Padi. Dalam Padi Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Hal. 319

Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi Antara Komponen Hasil dan Hasil Galur Harapan Padi Sawah Tahan Tungro. Prosiding. Seminar Nasional Padi; Inovasi teknologi padi mengantisipasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan (1):165-171. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Pemerintah Kabupaten Seluma. 2010. Daftar Isian Profil Desa/Kelurahan Tingkat Desa. Desa Rimbo Kedui. Kecamatan Seluma Selatan. Kabupaten Seluma.

Rafaralahy, S, 2002. An NGO Perspective on SRI and Its Origins in Madagascar. Assessments of The System of Rice Intensification (SRI) :Proceeding of an International Conference held in Sanya, China, April 1-4 2002. Ithaca NY : Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development.

Rubiyo, Suprapto, dan Aan Drajat. 2005. Evluasi beberapa galur harapan padi sawah di Bali. Buletin Plasma Nutfah. Vol 11. No 1:6-10.

Page 274: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

257

Simanulang, Z.A. 2001.Kriteria Seleksi untuk Sifat Agonomis dan Mutu.Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14 April 2001. Balitpa.Sukamndi.

Simanungkalit, R.D.M, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Styorini, W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.

Sunadi. 2008. Modifikasi paket teknologi SRI (The System or Rice Intensification) untuk meningkatkan hasil padi sawah. (Oryza sativa. L). Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjanan Unand. Padang.

Suprapto dan A. Dradjat. 2005 uletin Plasma Nutfah Vol. 11 No. 1 tahun 2005. Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. Dewi Indrasari., I Putu

Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.

Suryana, A., S. Mardianto, K. Kariyasa dan I.P. Wardana. 2009. Kedudukan padi dalam Perekonomian Indonesia dalam Suyamti, dkk (Eds). Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Pbesar Penelitian Tanaman Padi. Balitbangtan.

Vergara, B.S. 1985. Komponen Hasil Unsur–unsur yang Mempengaruhi Hasil Padi. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines.

Page 275: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

258

DOMINANSI GULMA PADA LAHAN SAWAH DATARAN RENDAH DI KABUPATEN SELUMA

WEEDS DOMINANCE IN LOW LAND PADDY FIELD PLAIN IN SELUMA

Siti Rosmanah dan Alfayanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp. (0736) 23030, Fax. (0736) 345568

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Keberadaan gulma pada tanaman padi akan menyebabkan penurunan produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan dominansi glma pada lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Penelitianini dilaksanakan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu pada bulan Oktober-November 2015 dengan luas lahan penelitian 1 ha. Pengambilan sampel gulma dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 1 m x 1 m. sampel yang diamati sebanyak 5 titik yang diambil secara acak.Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, jumlah individu, serta tajuk masing-masing jenis. Identifikasi gulma dilakukan secara desk study dengan menggunakan buku identifikasi gulma, sedangkan dominansi gulma dihitung berdasarkan nilai Summed Dominance Ratio (SDR). Hasil penelitian di Kelurahan Rimbo Kedui Kabupaten Seluma, teridentifikasi sebanyak 25 jenis gulma yang tersebar pada 11 famili dan merupakan golongan gulma berdaun lebar, berdaun sempit dan teki. Jenis gulma yang mendominasi adalah Echinochloa colonum (Linn) (SDR 18,89%) Hedyotis biflora (SDR 12,52%) dan Fimbristylis miliacea (Linn.) (SDR 10,10%) dengan rekomendasi pengendalian tanam dan pengenangan lebih awal serta penyiangan dengan tangan.

Kata kunci : dominansi,identifikasi, gulma, sawah

ABSTRACT

The presence of weeds in rice plants will cause a decrease in production. This study aims to identify the type and dominance of weeds in paddy fields in lowlandSeluma Bengkulu Province. The study was conducted in the village of Rimbo Kedui District of South Seluma Bengkulu province in October-November 2015. The study carried out on an area of 0.50 ha of paddy fields. Sampling was conducted using the method of weed squares measuring 1 m x 1 m. Examples were observed by 5 points taken at random. Data collected include the name of the type, number of individuals, as well as the header of each type. Weed identification is done by using a desk study weed identification book. The dominance ofweeds is calculated based on the value Summed Dominance Ratio (SDR). Weeds were identified in low-lying paddy fields in Seluma as many as 25 species, distributed in 11 families which are a class of broad-leaved weeds, narrow-leaved and puzzles. The dominant weeds are Echinochloa colonum (Linn) (SDR 18.89%), Hedyotis biflora (SDR 12.52%) and Fimbristylis miliacea (Linn.) (SDR 10.10%) with control recommendations and irrigation early planting and weeding with hand.

Keywords: identification, dominance, weed, paddy

PENDAHULUAN

Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra pengembangan padi di Provinsi Bengkulu. Lahan sawah di Kabupaten Seluma seluas 18.130 ha yang terdiri dari lahan sawah irigasi, tadah hujan, pasang surut dan rawa lebak. Lahan sawah irigasi mempunyai areal yang paling luas dibandingkan jenis sawah yang lain yaitu 10.265 ha atau sekitar 56,62% dari total luas lahan sawah di Kabupaten Seluma (BPS Provinsi Bengkulu, 2015). Secara umum, lahan sawah di Kabupaten Seluma berada pada dataran rendah yaitu 20 meter di atas permukaan laut (m dpl). Dataran rendah merupakan agroeskosistem yang berada pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut (Djaenudin, 2009).

Ketinggian tempat akan menyebabkan adanya perbedaan jumlah populasi jenis gulma yang teridentifikasi. Menurut Tjitrosoedirjo et al. (1984), pada dataran rendah populasi yang akan ditemukan lebih banyak akan tetapi mempunyai jumlah individu yang lebih sedikit, sedangkan gulma pada dataran tinggi jumlah populasi lebih banyak akan tetapi jumlah individunya lebih sedikit.

Page 276: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

259

Gulma sebagai tumbuhan yang tidak berguna keberadaanya cenderung tidak diharapkan di dalam kegiatan budidaya. Hal ini disebabkan karena gulma dapat mempengaruhi dan menurunkan produksi tanaman (Tjitrosoedirdjoet al., 1984).Menurut Miranda et al. (2011), gulma merupakan salah satu permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas padi. Keberadaaan gulma pada tanaman padi akan menyebabkan penurunan produksi apabila gulma tidak dikendalikan secara efektif (Pane dan Jatmiko, 2002). Adanya gulma pada kegiatan budidaya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan menurunkan produksi tanaman pangan.

Menurut Nantasomsaran dan Moody (1993) dalam Pane dan Jatmiko (2009), persaingan gulma dengan tanaman padi pada lahan irigasi dapat menurunkan hasil antara 10-40%, tergantung pada jenis dan kepadatan gulma, jenis tanah, pasokan air serta keadaan iklim. Selain itu, keberadaan gulma pada lahan sawah juga merupakan organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Lamid (2011), gulma merupakan salah satu OPT yang mampu beradaptasi, tumbuh dan berkembang pada semua agroekosistem dan dalam kondisi iklim yang telah berubah.

Kanekaragaman tumbuhan pada ekosistem sawah cenderung rendah (Mardiyantiet al., 2013). Keberadaan tumbuhan yang dianggap tidak berguna perlu diketahui dengan tujuan untuk mengetahui cara pengendaliannya. Dinamika populasi gulma akan menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Menurut Kastanja (2011) agar pengendalian gulma dapat dilakukan secara tepat,maka perlu dilakukan identifikasi mengenai jenis gulma yang berada pada suatu ekosistem. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan dominansi gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Seluma.

METODE PENELITIAN

Kajian dilaksanakan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma pada bulan Oktober-November tahun 2015. Lokasi kajian merupakan lahan sawah yang berada di dataran rendah dengan ketinggian 20 m dpl. Lahan sawah yang diamati seluas 1 ha. Berdasarkan penggunaanya, lahan sawah yang digunakan merupakan lahan yang biasa digunakan untuk kegiatan budidaya padi sebanyak 2 kali/tahun dengan sistem penanaman padi-bera-padi.

Pengambilan sampel dengan menggunakan metode kuadrat yang berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali ulangan yang diambil secara acak. Selanjutnya gulma yang terdapat pada petak contoh diidentifikasi nama jenis, famili serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis gulma yang ditemukan. Identifikasi gulma dilakukan secara desk study, sedangkan dominansi gulma dianalisis untuk dicari nilai Summed Dominance Ratio (SDR). Nilai SDR tersebut di peroleh dari perhitungan nilai Kerapatan Nisbi Suatu Spesies (KNSS), Dominansi Nisbi Suatu Spesies (DNSS), Frekuensi Nisbi Suatu Spesies (FNSS) serta Nilai Penting (NP). Perhitungan nilai-nilai tersebut menggunakan persamaan menurut (Tjitrosoedirdjoet al., 1984) sebagai berikut :

1. Kerapatan nisbi suatu spesies

KNSS (%) = Kerapatan mutlak jenis itu

x 100% Jumlah kerapatan mutlak semua jenis

Dimana kerapatan mutlak suatu jenis sama dengan jumlah individu jenis itu dalam petak contoh.

2. Dominansi nisbi suatu spesies

DNSS (%) = Nilai dominansi mutlak suatu jenis

x 100% Jumlah semua petak contoh yang diambil

Dominansi mutlak suatu jenis adalah jumlah dari nilai kelindungan atau nilai luas basal atau nilai biomassa atau volume dari jenis itu. Kelindungan dihitung dengan rumus :

Kelindungan = d1 x d2

x 2/π 4

Dimana d1 dan d2 adalah diameter proyeksi tajuk suatu jenis.

3. Frekuensi nisbi suatu spesies

FNSS (%) = Nilai frekuensi mutlak suatu jenis

x 100% Jumlah nilai frekuensi mutlak semua jenis

Dimana frekuenis mutlak (FM) suatu jenis diperoleh dari persamaan sebagai berikut :

FM = Jumlah petak contoh yang berisi jenis itu

Jumlah semua petak contoh yang diambil

Page 277: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

260

4. Nilai Penting (NP)

NP = Kerapatan Nisbi + Dominansi nisbi + frekuensi nisbi

5. SDR = NP/3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Jenis

Berdasarkan hasil identifiksi diperoleh sebanyak 25 jenis gulma yang tersebar pada 11 famili dan terdiri dari 3 golongan yaitu berdaun lebar, berdaun sempit dan teki-tekian (Tabel 1). Jenis yang termasuk kategori berdaun lebar merupakan gulma yang paling banyak teridentifikasi yaitu sebanyak 15 jenis, berdaun sempit sebanyak 6 jenis dan teki-tekian sebanyak 4 jenis. Populasi gulma yang diperoleh sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mercado (1979) dan Lamid (1996) dalam Lamid (2011) bahwa populasi gulma padi sawah dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu berdaun sempit (semua jenis dari famili Gramineae), gulma berdaun lebar (jenis gulma berdaun lebar, batang berkayu, dan tulang daun menyirip) serta teki (semua jenis dari famili Cyperaceae).

Tabel 1. Identifikasi jenis gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma tahun 2015.

No Jenis Famili Jumlah individu

Golongan

1 Synedrella nudiflora Asteraceae 11 Berdaun lebar

2 Porophyllum ruderele (Jacq.) Cass. Asteraceae 1 Berdaun lebar

3 Eclipta alba (L.) Hassk Asteraceae 1 Berdaun lebar

4 Vernonia cinerea (L.) Lass Asteraceae 1 Berdaun lebar

5 Emilia soncivilia Asteraceae 1 Berdaun lebar

6 Cleome rutidosperma Capparidaceae 13 Berdaun lebar

7 Drimaria cordata Caryophyllaceae 1 Berdaun lebar

8 Fimbristylis miliacea (Linn.) Cyperaceae 58 Teki

9 Cyperus iria Cyperaceae 7 Teki

10 Cyperus killingia Cyperaceae 1 Teki

11 Cyperus compressus Linn Cyperaceae 1 Teki

12 Phylanthus niruri Euphorbiaceae 33 Berdaun lebar

13 Euphorbia heterophylla L. Euphorbiaceae 3 Berdaun lebar

14 Echinochloa colonum (Linn.) Link Gramineae 251 Berdaun sempit

15 Eleusine indica Gramineae 81 Berdaun sempit

16 Digitaria adscendens Gramineae 4 Berdaun sempit

17 Digitaria setigera Gramineae 9 Berdaun sempit

18 Paspalum comersonii Gramineae 63 Berdaun sempit

19 Sporobolus indicus Gramineae 1 Berdaun sempit

20 Ludwigia perennis Onagraceae 24 Berdaun lebar

21 Rumex acetosella L. Polygonaceae 1 Berdaun lebar

22 Hedyotis biflora Rubiaceae 206 Berdaun lebar

23 Hedyotis corymbosa (L.) Lam Rubiaceae 1 Berdaun lebar

24 Physalis angulata Solanaceae 14 Berdaun lebar

25 Melochia concatenata L. Sterculiaceae 2 Berdaun lebar

Sumber : Data Primer (2015)

Menurut Harsono (2011), kelompok teki umumnya termasuk famili Cyperaceae, mempunyai daya tahan luar biasa terhadap pengendalian mekanik karena memiliki umbi batang (stolon) di dalam tanah yang mampu bertahan hidup di bawah cekaman lingkungan yang berat. Kelompok berdaun sempit termasuk famili Gramineae umunya berdaun sempit, mempunyai akar rimpang (rhizoma) yang membentuk jaringan rumit di dalam tanah dan sulit diatasi secara mekanik. Sedangkan gulma berdaun lebar merupakan jenis gulma dari ordo dicotyleneae. Gulma golongan berdaun lebar biasanya tumbuh dengan habitus yang besar, sehingga kompetisi yang terjadi dengan tanaman terutama dalam memperebutkan cahaya.

Menurut Kristanto (2006) salah satu jenis gulma yang termasuk famili Cyperaceae adalah Cyperus rotundus L. Jenis ini merupakan gulma yang sangat mengganggu pada pertanaman jagung

Page 278: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

261

dan beberapa tanaman lain. Gulma ini proses tumbuhnya secara berumpun dan rapat sehingga peluang zat alelopati yang dikeluarkan lebih banyak dari pada gulma lain (Miranda et al., 2011). Melalui mekanisme alelopati, teki menyebabkan penghambatan pembelahan sel dan pertumbuhan, aktivitas enzim, sintesis protein, proses fotosintesis, permiabilitas membran sel dan penyerapan unsur hara serta meningkatkan respirasi secara berlebihan (Sastroutomo, 1990). Melalui mekanisme persaingan, teki bersaing untuk mendapatkan faktor tumbuh dengan tanaman di sekitarnya berupa air, unsur hara, udara, cahaya dan ruang tumbuh.

Jenis gulma dengan jumlah individu yang banyak ditemukan adalah Echinochloa colonum sebanyak 251 rumpun dan Hedyotis biflora sebanyak 206 batang. E. colonum merupakan salah satu jenis gulma berdaun sempit yang tergolong ke dalam famili Gramineae dan merupakan jenis gulma yang banyak ditemukan pada lahan budidaya, tempat-tempat terbuka dan lembab dengan jenis tanah berpasir atau tanah liat (Barnes, 1972), sedangkan H. biflora merupakan jenis gulma yang banyak ditemukan pada tanaman budidaya lahan kering, tanaman perkebunan dan sayuran (Moody et al., 1984). Kedua jenis tersebut merupakan gulma yang biasanya tumbuh pada lahan kering.

Dominansi Gulma

Dominansi merupakan proyeksi vertikal dari tajuk (canopy) suatu jenis pada area yang diambil samplingnya, dinyatakan dalam persen luas secara penaksiran. Dapat dinyatakan berdasarkan penaksiran dengan kelas atau dihitung berdasar suatu rumus (Tjitrosoedirdjo, dkk, 1984). Berdasarkan hasil, terdapat tiga jenis gulma dominan pada lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Seluma yaitu Echinochloa colonum (Linn.), Hedyotis biflora dan Fimbristylis miliacea. Menurut Caton et al. (2011) gulma E. colonum merupakan jenis gulma yang mempunyai daya saing tinggi dan salah satu jenis gulma terburuk di dunia, sedangkan F. miliacea mempunyai daya saing sedang dan merupakan jenis gulma yang toleran kegaraman. Struktur komposisi gulma di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma disajikan pada Tabel 2.

Gulma E. colonum mempunyai nilai SDR yang paling tinggi dibandingkan dengan H. biflora dan F. Miliacea. Nilai KNSS menunjukkan banyaknya jumlah individu jenis E. colonum yang ditemukan pada petak contoh, DNSS menunjukkan luasan areal yang ditumbuhi sedangkan FNSS menunjukkan bahwa gulma E. colonum ditemukan hampir pada semua petak contoh. Pada jenis H. biflora, tingginya nilai SDR disebabkan oleh jumlah individu dan frekuensi, sedangkan jenis F. miliaceae tingginya nilai SDR didukung oleh dominansi yang artinya jenis ini mempunyai jumlah individu yang sedikit dan ditemukan hanya pada beberapa petak contoh. Menurut Lamid (2011), pada dinamika populasi gulma, golongan gulma yang dominan merupakan target utama untuk dikendalikan karena berpotensi sebagai pesaing tanaman budidaya.

Menurut Pane dan Jatmiko (2009) metode pengendalian gulma berbeda dengan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Hal ini disebabkan oleh 4 faktor yaitu : 1) komunitas gulma lebih beragam, 2) merugikan tanaman sejak awal sampai panen, 3) gulma berasosiasi dengan hama, patogen, dan musuh alami, serta 4) gulma tumbuh berasosiasi dengan tanaman. Sehingga tujuan pengendalian gulma adalah1) membentuk gulma yang kaya spesies tetapi miskin populasi sehingga pengendalian secara mekanis maupun dengan pergiliran tanaman jadi lebih mudah, serta 2) eradikasi total diarahkan pada gulma jahat. Pengendalian gulma padi di lahan sawah irigasi biasanya merupakan kombinasi antara pengendalian secara tidak langsung dan secara langsung. Teknik pengendalian gulma secara tidak langsung dapat dilakukan melalui pengolahan tanah, pengelolaan air irigasi, cara pemupukan dan pengaturan populasi tanaman, sedangkan teknik pengendalian langsung adalah penyiangan dengan tangan, mekanis dan penggunaan herbisida.

Page 279: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

262

Tabel 2. Struktur gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma, tahun 2016.

No Jenis KNSS (%) DNSS (%) FNSS (%) NP SDR

1 Echinochloa colonum (Linn.) 31,81 15,04 9,80 56,66 18,89

2 Hedyotis biflora 26,11 1,64 9,80 37,55 12,52

3 Fimbristylis miliacea (Linn.) 7,35 17,08 5,88 30,31 10,10

4 Eleusine indica 10,27 10,47 5,88 26,62 8,87

5 Phylanthus niruri 4,18 11,83 9,80 25,82 8,61

6 Cyperus iria 0,89 17,26 5,88 24,03 8,01

7 Paspalum comersonii 7,98 5,73 1,96 15,68 5,23

8 Ludwigia perennis 3,04 1,93 7,84 12,81 4,27

9 Physalis angulata 1,77 3,59 3,92 9,29 3,10

10 Cleome rutidosperma 1,65 1,47 5,88 9,00 3,00

11 Synedrella nudiflora 1,39 3,03 3,92 8,35 2,78

12 Sporobolus indicus 0,13 4,60 1,96 6,68 2,23

13 Melochia concatenata L. 0,25 1,03 3,92 5,20 1,73

14 Digitaria setigera 1,14 1,10 1,96 4,20 1,40

15 Cyperus compressus Linn 0,13 1,50 1,96 3,59 1,20

16 Eclipta alba (L.) Hassk 0,13 1,41 1,96 3,49 1,16

17 Cyperus killingia 0,13 0,65 1,96 2,73 0,91

18 Digitaria adscendens 0,51 0,00 1,96 2,47 0,82

19 Vernonia cinerea (L.) Lass 0,13 0,28 1,96 2,36 0,79

20 Euphorbia heterophylla L. 0,38 0,00 1,96 2,34 0,78

21 Emilia soncivilia 0,13 0,23 1,96 2,31 0,77

22 Hedyotis corymbosa (L.) 0,13 0,16 1,96 2,24 0,75

23 Porophyllum ruderele (Jacq.) 0,13 0,00 1,96 2,09 0,70

24 Drimaria cordata 0,13 0,00 1,96 2,09 0,70

25 Rumex acetosella L. 0,13 0,00 1,96 2,09 0,70

Sumber : Data primer (2015)

Menurut Caton et al. (2011) pengendalian gulma E. colonum dan F. miliacea dilakukan secara

budidaya yaitu meliputi tanam dan pengenangan dilakukan lebih awal serta penyiangan dengan tangan. Genangan air irigasi cukup efektif untuk menekan persentase perkecambahan beberapa spesies gulma yaitu Fimbristylis littoralis, Cyperus iria, Monocharia vaginalis, dan Cyperus difformis. Selain itu, genangan air juga dapat menurunkan bobot bobot gulma dan jumlah gulma yang tumbuh. Pada genangan yang dalam spesies gulma yang masih banyak tumbuh adalah M. vaginalis, sedangkan pada kondisi tanah yang jenuh air atau lembab, gulma yang dominan tumbuh adalah Echinochloa spp dan F. miliacea (Pane dan Jatmiko, 2009).

KESIMPULAN

1. Gulma yang teridentifikasi pada lahan sawah di Kelurahan Rimbo Kabupaten Seluma sebanyak 25 jenis dan tersebar pada 11 famili yang merupakan golongan gulma berdaun lebar, berdaun sempit dan teki.

2. Gulma yang dominan yaitu Echinochloa colonum (Linn) dengan SDR 18,89%, Hedyotis biflora (SDR 12,52%) dan Fimbristylis miliacea (Linn.) (SDR 10,10%) dan merupakan jenis gulma yang mampu beradaptasi tinggi serta toleran kegaraman.

3. Rekomendasi pengendalian untuk ketiga jenis gulma tersebut adalah tanam dan pengenangan lebih awal serta penyiangan dengan tangan.

Page 280: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

263

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP dan Ir. Sri Suryani M. Rambe, M.Agr atas saran dan masukan di dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, D.E and M. M. Chandapillai. 1972. Common Malaysian weeds and their control. Kualalumpur.

BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.

Caton, B.P., M. Mortimer, J.E. Hill dan D.E. Johnson. 2011. Panduan lapang praktis untuk gulma padi di Asia. International Rice Research Institute.

Djaenudin, U. D. 2009. Prospek penelitian potensi sumber daya lahan di wilayah Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (4) : 243-257.

Harsono, A. 2011. Implementasi Pengendalian Gulma Terpadu Pada Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 11 halaman.

Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman padi gogo (Studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara). Jurnal Agroforestri 6 (1) : 40-46.

Kristanto, B. A. 2006. Perubahan karakter tanaman jagung (Zea mays L.) akibat alelopati dan persaingan teki (Cyperus rotundus L.). Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture 31 (3) : 189-194.

Lamid, Z. 2011. Integrasi pengendalian gulma dan teknologi tanpa olah tanah pada usaha tani padi sawah menghadapi perubahan iklim. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 4 (1) : 14-28.

Mardiyanti, D. E., K. P. Wicaksono dan M. Baskara. 2013. Dinamika keanekaragaman spesies tumbuhan pasca pertanaman padi. Jurnal Produksi Tanaman (1) : 24-35.

Mercado, B.L. 1979. Introduction to Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.

Miranda, N., I. Suliansyah dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi gulma pada padi sawah lokal (Oryza sativa L.) di Kota Padang. Jurnal Agronomi 4 (1) : 45-54.

Moody, K., C. E. Munroe., R.T. Lubigan, and E. C. Paller. 1984. Major weeds of the Philipines. Weed Science Society of the Philipines, University of the Philipines at Los Banos. College, Laguna, Philipines.

Pane, H. dan S. Y. Jatmiko. 2009. Pengendalian gulma pada tanaman padi. www.litbang.pertanian.go.id. [diakses 5 September 2016].

Sastroutomo, S. S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo. dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan gulma di perkebunan.

Gramedia. Jakarta.

Page 281: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

264

EFEKTIFITAS PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI PADI TENTANG INOVASI TEKNOLOGI SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO 2 : 1 DI BALI

IMPROVE KNOWLEDGE ON TECHNOLOGY INNOVATION RICE FARMERS CROPPING SYSTEMS JAJAR LEGOWO 2 : 1 IN BALI

Ni Ketut Kasih Sukraeni1, Eko Kristanto

2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran – Denpasar, Bali. Telp/Fax.(0361) 720498. e_mail: [email protected].

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan menerapkan inovasi teknologi. Salah satu inovasi teknologi yang digunakan untuk meningkatkan produksi adalah penerapan inovasi teknologi sistem tanam Jajar Legowo 2:1. Tingkat pendidikan petani yang relatif rendah dan umur yang sudah relatif tua (≥ 50 tahun) adalah faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan inovasi teknologi. Metode yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 adalah demonstrasi cara dan demplot. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali mulai Januari-Desember 2014. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), alasannya bahwa kabupaten tersebut merupakan salah satu produsen beras di Bali dan adanya permohonan dari dinas terkait untuk pelaksanaan pendampingan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dalam mendukung pencapaian produksi beras nasional Tahun 2014. Sampel yang digunakan adalah petani kooperator yang merupakan petani kooperator SL sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan adalah pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dan komponen teknologi usahatani padi. Analisis data menggunakan pendekatan efektifitas peningkatan pengetahuan dan efektifitas program yang dilakukan melalui penilaian tes awal (pre test) dan tes akhir (pos test) pada pelaksanaan demplot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas peningkatan pengetahuan dengan kriteria cukup efektif, sedangkan efektifitas program dengan kriteria efektif. Parameter yang diamati adalah tingkat pengetahuan petani sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan demplot dan program penyuluhan tentang inovasi teknologi jajar legowo 2 : 1 serta komponen teknologi budidaya padi.

Kata kunci: Metode penyuluhan, teknologi, jajar legowo 2 : 1, peningkatan pengetahuan.

ABSTRACT

One effort to increase rice production is by applying technological innovations. One of the innovations of technology used to increase production is the application of technological innovations cropping systems Jajar Legowo 2 : 1. The education level of farmers is relatively low and the already relatively old age ( ≥ 50 years ) as an influential factor in the successful implementation of technological innovation. The method used to increase their knowledge of Legowo row planting system 2 : 1 is a demonstration of how and demonstration plots. The activities carried out in Karangasem Bali Province started from January to December 2014. Location research by purposive sampling methods, arguing that the district is one of the producers of rice in Bali and the request from the relevant government agencies for the implementation of assistance row planting system legowo 2 : 1 in support of the achievement of 2014 national rice production. Respondents were measured by 30 people as farmer cooperators. The data collected were age, level of education, land and farmers' knowledge about legowo row planting system 2: 1. Analysis of data using approaches the effectiveness of increasing the knowledge and effectiveness of the program is done through assessment tests early and final test on the implementation of the activity project.The results showed that the effectiveness of the improvement of knowledge with the criteria sufficiently effective, while the effectiveness of programs with effective criteria.

Keywords : Extention method, technology, planting legowo system 2 : 1, an increase in knowledge.

Page 282: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

265

PENDAHULUAN

Padi merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pula permintaan terhadap padi. Untuk peningkatan produksi padi di Indonesia, pemerintah melaksanakan dua program, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian (Fagi dan Eko, 2005). Kebutuhan beras nasional meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras nasional pada tahun 2012 cukup tinggi, yaitu mencapai 2,7 – 2,8 juta ton per bulan dengan asumsi bahwa konsumsi beras rata-rata 316 gram/kapita/hari padahal cukup dengan 275 gram/kapita/hari (Suswono, 2012).

Sejak tahun awal tahun 2007 pemerintah bertekad untuk meningkatkan produksi beras 2 juta ton dan selanjutnya meningkat 5% per tahun hingga tahun 2009. Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) diluncurkan untuk mencapai target tersebut dengan mengimplementasikan empat strategi yaitu: 1) peningkatan produktivitas, 2) perluasan areal, 3) pengamanan produksi dan 4) kelembagaan dan pembiayaan serta peningkatan koordinasi (Purwanto, 2008).

Upaya untuk mencapai produksi beras tersebut salah satunya adalah dengan menerapkan inovasi teknologi seperti sistem tanam jajar legowo. Suhendra (2008) menyatakan sistem tanam legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun maupun antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun di dalam barisan dan memperlebar jarak antar barisan. Abdulah (2004) menyatakan bahwa hasil padi pada cara tanam legowo lebih tinggi dibandingkan cara petani (sistem tegel). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya populasi tanaman serta efek tanaman pinggir (border effect) yang cenderung menghasilkan gabah bernas yang lebih tinggi. Menurut Jamal (2009), menyatakan buruh tani merasa direpotkan bila harus mengatur tanaman dengan pola legowo sehingga dalam upaya penerapan inovasi tersebut diperlukan kajian dengan melibatkan petani yang nantinya sebagai pengguna.

Petani di Indonesia khususnya di Provinsi Bali, berusahatani padi pada umumnya masih menerapkan cara yang konvensional, sehingga produktivitas yang dicapai masih rendah. Usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan meningkatkan intensifikasi pertanian melalui pengenalan dan penerapan teknologi untuk meningkatkan produksi petani. Salah satu teknologi yang sudah dilakukan dan memberikan dampak yang positif adalah penerapan sistem tanam jajar legowo dengan komponen teknik budidaya padi spesifik lokasi.

Kabupaten Karangasem merupakan salah satu wilayah di Provinsi Bali penghasil padi dengan luas panen 11.857 hektar dengan rata-rata produksi sekitar 5,8 ton/ha (BPS, 2012). Salah satu usaha yang perlu dilaksanakan adalah dengan melaksanakan program pendampingan melalui kegiatan diseminasi penerapan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 padi sawah.

Tingkat pendidikan petani yang relatif rendah dan umur petani yang sudah diatas 50 tahun merupakan faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan suatu teknologi yang dilaksanakan. Hasil atau dampak dari penerapan teknologi tersebut belum dapat dirasakan oleh petani bahkan cenderung dianggap merugikan. Untuk itu perlu metode yang tepat sehingga teknologi tersebut dapat dirasakan manfaatnya bagi petani. Salah satu metode yang dilakukan adalah dengan demonstrasi hasil berupa demplot yang dilaksanakan di areal petani. Petani akan terlibat langsung dalam semua tahapan kegiatan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani terhadap teknologi yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan tujuan penelitian yaitu mengetahui efektifitas peningkatan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi sistem tanam jajar legowo 2 : 1 Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah sarana produksi berupa benih, pupuk, pestisida dan bahan-bahan lain yang mendukung usahatani padi. Metode yang digunakan adalah demonstrasi hasil berupa demonstrasi plot (demplot) dengan menggunakan lahan milik petani serta melibatkan petani dalam usahatani padi khususnya penerapan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 secara menyeluruh. Efektifitas peningkatan pengetahuan petani dapat diketahui melalui penilaian tes awal (pre test) sebelum demplot dan tes akhir (pos test) setelah pelaksanaan demplot yang dianalisis dalam bentuk tabulasi. Alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani adalah kuisioner sebanyak 20 pertanyaan dengan nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 1. Kriteria nilai ditetapkan dengan:

- Nilai 1 kriteria tidak baik,

- Nilai 2 kriteria kurang baik,

Page 283: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

266

- Nilai 3 kriteria cukup,

- Nilai 4 kriteria baik,

- Nilai 5 kriteria sangat baik.

Parameter yang diamati adalah tingkat pengetahuan petani tentang teknik budidaya padi sistem tanam jajar legowo 2 : 1 serta komponen teknologi usahatani padi lainnya, seperti: pesemian, pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, panen dan pasca panen. Berdasarkan kriteria tersebut, maka skor maksimum 20 x 5 = 100, dan skor minimum 20 x 1 = 20, dengan kategori:

Kategori tingkat respon: 20 ≤ kurang < 50 skor 20 s/d 49 dikategorikan kurang.

50 ≤ cukup < 70 skor 50 s/d 69 dikategorikan cukup.

70 ≤ baik < 90 skor 70 s/d 89 dikategorikan baik. 90 ≤ sangat baik ≤ 100 skor 90 s/d 100 dikategorikan sangat baik.

Menurut Ginting dalam Arofi (2009), evaluasi perubahan peningkatan pengetahuan responden dianalisis dengan menggunakan rumus efektifitas peningkatan pengetahuan dan efektifitas program sebagai berikut:

Efektifitas Program

= Nilai Post test x 100 %

Target

Efektifitas Peningkatan Pengetahuan

= Nilai Post test - Nilai Pre test x 100 %

Kesenjangan

Peningkatan Pengetahuan = Rata-rata Nilai Post test – Rata-rata Nilai Pre test.

Kesenjangan = Target - Rata-rata Nilai Pre test

Kriteria Efektifitas Program dan Efektifitas Peningkatan Pengetahuan:

- Jika < 33,33 % = Kurang Efektif - Jika 33.34 % – 66.66 % = Cukup Efektif - Jika > 66.67 = Efektif

Evaluasi terhadap petani dilakukan oleh penyuluh untuk mengetahui tingkat perubahan

pengetahuan petani setelah penyuluhan berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Dalam evaluasi penyuluhan ini berpatokan pada 9 indikator keberhasilan penyuluhan pada poin ke 4 yang berbunyi: terdiseminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani (Wahjuti, 2007), dan indikator inilah yang melatarbelakangi kegiatan evaluasi terhadap petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian berupa demplot dan pengukuran efektifitas peningkatan pengetahuan petani kooperator dilaksanakan di Subak Gantalan II, yaitu di Tempek Pangi dan Tempek Manggungan. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kegiatan diseminasi dalam bentuk kegiatan penyuluhan pertanian melalui metode demonstarsi cara dan demplot, maka perlu diketahui karakteristik petani meliputi umur, tingkat pendidikan dan luas lahan yang dianggap berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam menerima inovasi. Karakteristik petani kooperator kegiatan demplot disajikan seperti pada Tabel 1.

Page 284: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

267

Tabel 1. Karakteristik Petani Kooperator Kegiatan Demplot

No Nama Responden Umur (Th) Pendidikan Luas Lahan (are)

1 I Wyn Derana 56 SD 15 2 I Wyn Keredek 51 SD 19 3 I Gde Rai 42 SD 15 4 I Kt Suka 47 SD 15 5 I Md Santika 55 SD 10 6 Ngh Patra 52 SD 25 7 Nym Rai 50 SD 25 8 I Wyn Kawiarta 60 SD 30 9 Kt Rusti 55 SD 15

10 I Ngh Oka 75 SD 20 11 I Wyn Seribok 50 SD 10 12 I Md Sudarsana 50 SD 20 13 I Nym Cagus 70 SD 30 14 I Gde Mirta 50 SD 15 15 I Ngh Sridana 60 SMP 20 16 I Kdk Widia 26 SMA 20 17 I Ngh Suda 43 SD 10 18 I Kt Rai 64 SD 30 19 I Wyn Mangku 45 SD 15 20 I Wyn Murdi 43 SD 20 21 I Wyn Rudana 26 SMP 20 22 I Gde Krada 56 SD 56 23 I Nym Sukarta 40 SD 10 24 I Wyn Putra Astawa 53 SD 15 25 I Nym Sandri 45 SMP 10 26 I Wayan Murda 40 SMA 25 27 I Gde Sudana 45 SD 30 28 I Wyn Sarna 47 SD 20 29 I Md Gendra 50 SD 25 30 I Wyn Jaya 39 SMP 25

Sumber: data primer diolah, 2014.

Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa dari 30 orang responden anggota subak rata-rata tingkat pendidikannya dikategorikan masih rendah, yaitu SD 24 orang (80 %), SLTP sebanyak 4 orang (13 %) dan SLTA sebanyak 3 orang (7 %). Tingkat pendidikan memberikan pengaruh positif terhadap tingkat adopsi inovasi. Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi suatu inovasi, walaupun jenjang pendidikan yang dilalui tidak spesifik tentang inovasi tersebut. Begitu juga sebaliknya yang berpendidikan rendah, mereka agak sulit menerapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekartawi 1988 dalam Azwardi (2001), menyatakan bahwa dalam prakteknya hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat adopsi pertanian adalah berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka yang belajar secara spesifik tentang inovasi baru tersebut. Sedangkan usia dari petani responden dikategorikan non produktif, karena petani yang berusia 25 – 50 tahun dalam kategori produktif sebanyak 14 orang (46 %) sedangkan dalam usia non produktif sebanyak 16 orang (54 %). Mardikanto (1992) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka semakin lambat dalam mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat. Semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam hal inovasi tersebut. Sedangkan untuk kepemilikan lahan usahatani anggota subak sangat sempit yaitu antara 10 – 30 are. Hal inilah menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode dan teknik penyuluhan pertanian agar sesuai dengan karakter sasaran sehingga materi yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik.

Hasil evaluasi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa tingkat respon sasaran sebelum SL berada pada kriteria cukup dengan skor nilai 68.8, sedangkan setelah kegiatan SL pada kriteria baik dengan skor 83.2 dengan peningkatan 14.4. Sedangkan efektivitas peningkatan pengetahuan petani

Page 285: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

268

setelah pelaksanaan penyuluhan pertanian melalui metode diskusi dan demonstrasi cara berdasarkan indikator yang ditetapkan sebelumnya berada pada kriteria cukup efektif dengan peningkatan sebesar = 46.15 %, serta efektifitas program berada pada kriteria efektif dengan skor nilai 83.2. Hasil perhitungan selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Target pengetahuan yang diharapkan adalah 100.

2. Hasil evaluasi sebelum penyuluhan (Pre test) jumlah skor 2.066 dengan rata-rata skor 68.8.

3. Hasil evaluasi sesudah penyuluhan (Post test) jumlah skor 2.496 dengan rata-rata skor 83.2.

4. Peningkatan Pengetahuan = 83.2 – 68.8 = 14.4

5. Kesenjangan = 100 – 68.8= 31.2

6. Efektifitas Program = 83.2

100𝑋 100 % = 83.2 (efektif)

7. Efektifitas Peningkatan Pengetahuan = 14.4

31.2𝑋 100% = 46.15 %

(cukup efektif).

KESIMPULAN

Hasil kegiatan dalam pengukuran efektifitas peningkatan pengetahuan petani dalam penerapan inovasi teknologi jajar legowo 2 : 1 dan efektifitas program yang dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 meningkat yang dapat dilihat dari hasil evaluasi penyuluhan pertanian yang dilaksanakan dengan tes awal dan tes akhir yang menunjukkan efektifitas peningkatan pengetahuan dengan kriteria cukup efektif dengan skor 46,15 %, sedangkan efektifitas program dengan nilai 83,2 dengan kriteria efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, S. 2004. Kajian Alternatif Teknologi Produksi Padi. Dalam: Suprihanto, B, A.K. Makarim, I N.Widiarta, A. Setyono, H. Pane, Hermanto dan A. S. Yahya; Penyunting.Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku Tiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Hal.667-682.

Arofi, F. 2009. RancanganPenyuluhan Peningkatan Adopsi Petani Terhadap Teknologi System Of Rice Intensification(SRI)Di Desa Pancoran Kecamatan Bondowoso Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Malang: STPP.

Azwardi, D., 2001. Kajian Tingkat Teknologi Pembenihan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) pada Sentra Benih Ikan di Sumatera Barat. Thesis, Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

BPS Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. Denpasar Fagi, A.M., dan Eko.A. 2005. Lahan Rawa Dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Kedepan.

Dalam : Ar-Riza,I., Undang Kurnia, Izzuddin Noor dan Achmadi Jumberi (ed). 2005. Proseding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendaian Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pegembangan Pertanian.

Jamal, E. 2009. Telaah Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi: Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Jurnal Analisis Kebijakan 7(4): 337-349.

Mardikanto, T., 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Purwanto, S. 2008. Implementasi Kebijakan untuk Pencapaian P2BN. Prosiding Seminar Apresiasi

Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Suhendra, T. 2008. Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Peningkatan Produktivitas Padi Sawah untuk Mendukung Ketahanan Pangan.Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian, Yogyakarta, 18-19 November 2008.

Suswono, 2012. Mentan: Konsumsi beras Indonesia terlalu banyak. http://beritanasionalumum.republika.co.id/16/10/03.b. Diakses tanggal 16 Oktober 2013.

Wahjuti, 2007. Metodologi Penyuluhan Pertanian Partisipatif. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. Malang.

Page 286: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

269

KERAGAAN AGRONOMI DAN HASILVARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI SAWAH PADA AGROEKOSISTEM BERBEDA DI PROVINSI BENGKULU

PERFORMANCE AND YIELD OF NEW IMPROVED VARIETIES (VUB) PADDY IN DIFFERENT AGROEKOSISTEM BENGKULU PROVINCE

Yartiwi, Yulie Oktavia dan A. Damiri

Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pemilihan benih padi varietas unggul baru merupakan salah satu faktor pendukung dalam peningkatan produktivitas dan pendapatan petani padi sawah. Tujuan penelitian adalah untuk menguji daya hasil dan mendapatkan varietas unggul baru yang adaptif pada agroekosistem yang berbeda di Propinsi Bengkulu. Penelitian di lakukan pada dua Kabupaten yaitu Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada bulan Oktober2015 sampai dengan bulan Januari 2016. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal yaitu varietas padi Inpari yang terdiri3 jenis yaitu Inpari 16, 22 dan 30, dengan 6 ulangan.Data yang dikumpulkan meliputi : a) komponen pertumbuhan, b) komponen hasil. Selanjutnya data dianalisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Rejang Lebong varietas inpari 30 menunjukkan hasil yang tertinggi pada berat 1000 butir dan produktivitas GKP per ha masing-masing 26,21 gr dan 6,72 t/ha. Sedangkan di Kabupaten Seluma varietas Inpari 22 menunjukkan hasil tertinggi pada berat 1000 butir dan produktivitas 29,14 gr dan 7,33 t/ha.

Kata kunci : agroekosistem, keragaan, padi, varietas

ABSTRACT

Improved Varieties is one contributing factor in increasing productivity and production of paddy. Determinate of varieties necessary for cropgrowing and high yield. The aim of assessment was done to obtain new varieties that have broad adaptability and able to provide high yields with different ecosystem conditions in Bengkulu. The assessment done in two districts, Seluma and Rejang Lebong Bengkulu province in October 2015 until January 2016. The assessment method is compared between treatments on two assessment locations (districts Seluma and Rejang Lebong). The design used randomized block design (RAK) with single factor, the treatment is rice varieties Inpari which consists of 3 types Inpari 16, 22 and 30, with 6 replication. Data collected includes: a) components of growth, b) yield components, and productivity. Furthermore, the data analysis of variance (ANOVA) with Duncan Multiple further. The assessment showed that Inpari 22 and 30 have a high yield stability compared with Inpari 16. The productivity of each Inpari 22 and 30 are 6.45 t/ ha and 6.72 t / ha compared with only Inpari 16 is 5,74 t / ha.

Keywords: paddy, location specific, new varieties

Page 287: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

270

PENDAHULUAN

Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal menghasilkan produktivitas tinggi pada berbagai agroekosistem dan cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Varietas padi juga merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi karena teknologinya murah dan penggunaannya sangat praktis (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Sebagai galur hasil pemuliaan varietas unggul mempunyai beberapa keunggulan seperti potensi hasil tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap cekaman lingkungan, mutu produk, dan atau sifat-sifat lainnya, serta telah dilepas secara resmi oleh pemerintah. Penggunaan varietas yang adaptif dan spesifik lokasi sangat diperlukan dalam mendukung peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan di Provinsi Bengkulu. Untuk dapat menunjukkan potensi hasilnya, varietas memerlukan kondisi lingkungan atau agroekosistem tertentu (Rubiyo dkk., 2005). Tidak semua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil yang optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai (Kustiyanto, 2001).

Berdasarkan agroekosistem dan kesesuaian lahannya, tanaman padi mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk dikembangkan di Provinsi Bengkulu. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sawah di Provinsi Bengkulu. Menurut BPS Provinsi Bengkulu(2015);ProvinsiBengkulu memiliki lahan sawah seluas 96.250 ha dengan produktivitas yang masih rendah yaitu 4,3 t/ha dengan indeks pertanaman 137. Sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai 6,5 t/ha. Penyebabnya antara lain adalah penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di tingkat petani masih relatif kurang (sekitar 40-50%), penggunaan pupuk yang belum rasional dan efisien, penggunaan pupuk organik yang belum biasa dan budidaya spesifik lokasi masih belum diadopsi dan terdifusi secara baik.

Oleh karena itu perlu dilakukan pengujin penanaman padi pada agroekosistem yang berbeda. Dalam pengujiannya inovasi teknologi yang diterapkan merupakan inovasi teknologi pendekatan PTT dengan varietas unggul baru Inpari 16, 22 dan 33. Model teknologi PTT merupakan sistem penerapan komponen teknologi yang sinergis satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan karakteristik biofisik lingkungan tanaman, kondisi sosial, ekonomi dan budidaya petani yang diharapkan ada efek sinergisme terhadap pertumbuhan tanaman spesifik lokasi serta dinamis dalam susunan teknologinya karena adanya sistem introduksi inovasi secara terus menerus (Makarim dan Las, 2004). Tujuan penelitian dilakukan adalah untukuntuk menguji daya hasil dan mendapatkan varietas unggul baru yang adaptif pada agroekosistem yang berbeda di Propinsi Bengkulu.

METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini adalah percobaan lapangan pada lahan sawah irigasi di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Januari 2016. Kabupatn Seluma merupakan dataran rendah, sedangkan Kabupaten Rejang Lebong merupakan dataran tinggi.Pelaksanaan peelitian dilakukan di lahan petani melalui pendekatan On Farm Adaptive Research(OFAR),seluas 12 ha yang melibatkan 20 orang petani.

Metode penelitian yaitu membandingkan keragaan pertumbuhan dan hasil 3 varietas padi sawah (Inpari 16, 22 dan 30) pada dua lokasi (Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong). Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal yaitu varietas padi Inpari yang terdiri dari 3 jenis yaitu Inpari 16, 22 dan 30, dengan 6 ulangan. Data yang dikumpulkan meliputi : a) komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan), b) komponen hasil (panjang malai, gabah isi/malai, gabah hampa/malai, berat 1000 butir dan hasil produktivitas. Selanjutnya data di analisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan penerapan inovasi teknologi pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang terdiri atas komponen varietas padi Inpari 16, 22 dan 30 dengan kelas benih BP (Benih Pokok), jumlah benih 25 kg/ha, dengan petak persemaian 1/20 luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda <21 hari setelah semai (hss) dengan sistem tanam legowo 2:1 (jarak tanam 20 x 10 x 40 cm) dan pupuk (Kabupaten Seluma : NPK Phonska 225 kg/ha dan Urea 175 kg/ha dan Kabupaten Rejang Lebong : NPK Phonska 200 kg/ha dan Urea 150 kg/ha), rekomendasi pemupukan menggunakan Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong MK 2015/2016 . Frekuensi pemupukan 3 kali. Masing-masing waktu pemupukan: I = 7 hari setelah tanam (hst), II = 22 hst dan III = 35 hst, pengendalian gulma secara manual,

Page 288: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

271

pengendalian hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) serta panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threaser.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Lokasi Penelitian

a. Kabupaten Seluma

Kelurahan Lubuk Kebur adalah bagian dari administrasi Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma, merupakan salah satu sentra padi di Kabupaten Seluma yang ketinggian tempat dari permukaan laut lebih kurang 10 meter dengan jenis tanah regosol. Suhu udara rata-rata 26,24

oC.

Dengan jumlah curah hujan rata-rata 7,2 mm, dengan jumlah hari hari hujan sepanjang tahun 12 hari/bulan (Kabupaten Seluma dalam angka, 2014).

b. Kabupaten Rejang Lebong

Desa Tanjung Beringin adalah bagian administrasi Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong, Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu sentra padi di Kecamatan Curup Timur. Kemiringan tanah 5-30% dengan ketinggian tempat dari permukaan laut lebih kurang 600 m dengan jenis tanah andosol (90%) dan Latosol (10%). Suhu udara rata-rata maksimal 22,7

oC. Rata-rata

kelembaban 40 – 80%. Dengan jumlah curah hujan rata-rata 2,410 mm/tahun, dengan jumlah hari hari hujan 156 hari/tahun, dengan intensitas penyinaran matahari rata-rata 5-8 jam/hari (Kecamatan Curup Timur, 2014).

2. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil

a. Pertumbuhan Tanaman

Hasil pengukuran terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ketiga varietas yang diujikan di dua agroekosistem yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan produktif (anakan) masing-masing perlakuan.

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (Anakan)

Rejang Lebong Seluma Rejang Lebong Seluma

Inpari 16 108.23b 112.27

ab 10.22

ab 14.10

a

Inpari 22 124.77a 117.53

a 9.56

b 113.38

a

Inpari 30 122.04ab

114.4ab

11.79 a 12.67

ab

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman antara 3 varietas yang ditanam di kabupaten

rejang lebong varietas Inpari 22 tidak menunjukan perbedaan yang signifikan, namun menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap varietas Inpari 16 terhadap parameter tinggi tanaman, sedangkan pada parameter jumlah anakan varietas inpari 30 tidak berbeda nyata dengan inpari 16 namun berbeda nyata dengan inpari 22. Pada kabupaten seluma ketiga varietas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan merupakan ekspresi faktor genetis. Menurut Suprihatno, dkk (2011) bahwa tinggi tanaman VUB Inpari berkisar antara 100-120 cm.

Pertumbuhan merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran, pertambahan bobot, volume dan diameter batang dari waktu ke waktu. Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suprapto dan Dradjat (2005) yang menyatakan bahwa pada tanaman padi, tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingginya tingkat produksi.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa ketiga varietas mempunyai prilaku dan kemampuan yang sama terhadap pemanfaatan sarana tumbuh. Dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifat/perilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal

Page 289: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

272

memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.

Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai sebagai tempat kedudukan biji/bulir padi. Varietas unggul baru biasanya mempunyai 20-25 anakan, namun kebanyakan hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya

Jumlah anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai yang merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Semakin banyak anakan produktif maka semakin banyak jumlah malai yang terbentuk. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil karena semakin banyak jumlah malai semakin tinggi juga hasil tanaman padi, sama halnya dengan hasil penelitian Muliadi dan Pratama (2008) yang menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata terhadap hasil tanaman.

Jumlah anakan padi juga berkaitan dengan periode pembentukan phyllochron. Phyllochron adalah periode muncul satu sel batang, daun dan akar yang muncul dari dasar tanaman dan perkecambahan selanjutnya. Semakin tua bibit dipindah ke lapang, semakin sedikit jumlah phyllochron yang dihasilkan, sedangkan semakin muda bibit dipindahkan, semakin banyak jumlah phyllochron yang dihasilkan sehingga anakan yang dapat dihasilkan juga semakin banyak (Sunadi, 2008).

Menurut Suprihatno (2007), padi varietas unggul dengan anakan banyak ditanam petani di dataran rendah dan menengah (0-500 m dpl). Padi unggul dengan anakan banyak umumnya memiliki tipe tanaman pendek. Sebagai contoh, varietas Cisadane memperlihatkan tingkat keparahan hawar pelepah yang lebih rendah dibandingkan dengan Ciherang (Nuryanto 2011), karena merupakan varietas padi tipe tanaman tinggi (> 105 cm) dengan jumlah anakan sedikit.

MenurutHardjowigeno danRayes (2005),fasemasapertumbuhan anakan tanamanpadirata-ratamencapaiumur30-40 hst, setelah fase tersebut pertumbuhan anakan akan terhenti dan masuk pada periodepemanjangan batang.

b. Komponen Hasil dan Hasil

Hasil pengukuran terhadap jumlah gabah hampa, jumlah gabah hampa dan jumlah gabah total permalai ketiga varietas yang diujikan di dua agroekosistem yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 berikut

Tabel 2. Rata-rata pengukuran gabah hampa (butir), gabah isi (butir), dan jumlah gabah (butir) masing-masing perlakuan.

Perlakuan

Gabah Hampa (butir) Gabah Bernas (butir) Jumlah Gabah (Butir)

Rejang Lebong Seluma Rejang Lebong

Seluma Rejang Lebong

Seluma

Inpari 16 22.3b 17,62

bc 59,2

b 78,76

b 81.5

ab 89,82b

Inpari 22 16.24ab

16,18b 70,63

a 81,63

ab 86,87

a 104,94

ab

Inpari 30 14.36a 9,92

a 67,02

ab 97,42

a 81,34

ab 117,72

a

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ketiga varietas inpari 16, 22 dan 30 yang diujikan di

kabupaten Rejang Lebong jumlah gabah tertinggi varietas inpari 16 yaitu rata-tara 81,5 butir/malai sedangkan di kabupaten Seluma inpari 30 yaitu 117,72 butir/malai. Sedangkan jumlah gabah terendah sebaliknya inpari 16 terendah di kabupaten Seluma yaitu 89,82 butir/malai, untuk kabupaten Rejang Lebong inpari 30 yaitu 71 butir/malai.

Rendahnya jumlah gabah varietas inpari 30 di kabupaten rejang lebong dikarenakan persentase jumlah gabah hampanya tinggi yaitu 20,23 % dibandingkan yang ditanam di kabupaten seluma persentase jumlah gabah hampa lebih sedikit yaitu 8,43 %.

Jumlah gabah bernas per malai menentukan produktifitas akhir tanaman padi, gabah pada satu malai dipilah antara yang hampa dan yang tidak kemudian dihitung untuk menentukan berapa banyak gabah yang penuh terisi. Jumlah gabah isi per malai akan menentukan produktifitas tanaman

Page 290: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

273

tersebut apabila malai yang terbentuk banyak menghasilkan padi yang bernas, maka produktifitas tanaman padi tinggi. Jumlah gabah ditentukan oleh banyaknya jumlah anakan produktif dan umur berbunga lebih awal, dimana penyerbukan akan berhasil dan menghasilkan banyak padi yang bernas.

Tingkat kebernasan gabah juga ditentukan oleh faktor lingkungan seperti suhu disekitar tanaman terutama pada fase pembungaan. Suhu dilokasi pengkajian masih dalam klasifikasi normal. Berdasarkan hasil pengukuran suhu di Kabupaten Seluma 26,24

oC dan di Kabupaten Rejang Lebong

22,7oC . kondisi ini menunjukkan Suhu yang normal untuk pertumbuhan padi. Suhu dikatakan tidak

normal atau suhu tinggi ekstrim apabila suhu sudah diatas 35oC. Suhu diatas 35

oC ini akan

mengganggu proses pembungaan. Menurut Osada et al. (1973), bahwa ekspose tanaman terhadap suhu tinggi ekstrim pada stadia pembungaan dalam beberapa jam mengurangi viabilitas tepungsari, dan menyebabkan kehilangan hasil. Sterilitas gabah naik cepat pada suhu lebih dari 35

oC.

Selain itu juga jumlah gabah juga dipengaruhi oleh panjang malai, dimana nanti akan berpengaruh terhadap produktivitas. Adapun hasil pengukuran panjang malai, berat 1000 butir dan produktivitas tertera pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Rata-ratahasil pengukuran panjang malai (cm), berat 1000 butir (g) dan produktivitas (t/ha) masing-masing perlakuan.

Perlakuan

Panjang Malai (cm) B-1000 Butir (gr) Produktivita (t/ha)

Rejang Lebong Seluma Rejang Lebong

Seluma Rejang Lebong

Seluma

Inpari 16 39.5b 44,24

b 20.91

b 26,43

b 5.2

b 6,28

b

Inpari 22 28.72c 48,60

a 22.34

b 29,14

a 5.57

b 7,33

a

Inpari 30 43.19a 41,39

c 28,08

a 28,18

ab 6.44

a 7,00

ab

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Pada tabel 3. menunjukkan bahwa pada parameter rata-rata panjang malai ketiga varietas yang

diuji di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 berbeda nyata degan inpari 16 dan inpari 22. Sedangkan yang ditanam diseluma varietas inpari 22 juga menunjukan perbedaan yang nyata dengan varietas inpari 16 dan inpari 30. Rata-rata panjang malai varietas inpari 30 yang ditanam di kabupaten Rejang Lebong merupakan panjang malai terpanjang, sedangkan jika ditanam di kabupaten Seluma panjang malai yang terbentuk lebih pendek. Untuk di kabupaten Seluma varietas inpari 22 panjang malai terpanjang.

Pada parameter berat 1000 butir dan produktivitas hasil ketiga varietas yang ditanam di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas inpari 16 dan inpari 22. Sedangkan yang ditanam di kabupaten seluma varietas inpari 22 tidak berbeda nyata dengan varietas inpari 30, namun berbeda nyata dengan varietas inpari 16 baik itu berat 100 butir maupun produktivitas.

Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifat/perilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.

Rafaralahly (2002) menyatakan bahwa berat 1.000 biji gabah biasanya merupakan ciri yang stabil dari suatu varietas, besarnya butir juga ditentukan oleh ukuran kulit yang terdiri dari lemma dan pallea, berat 1.000 biji gabah bernas ditentukan oleh ukuran butir, namun ukuran butir itu sendiri sudah ditentukan selama malai keluar, sehingga perkembangan karyopsis dalam mengisi butir sesuai dengan ukuran butir yang telah ditentukan dan bobot 1.000 biji gabah bernas juga menggambarkan kualitas dan ukuran biji tergantung pada hasil asimilat yang bisa disimpan.

Sejalan dengan hal tersebut Bilman (2008), menegaskan bahwa bobot 1000 biji merupakan cerminan berat kering yang diakumulasikan ke gabah. Selain itu, berat 1000 biji juga mencerminkan ukuran gabah padi yang tergantung pada ukuran kulitnya (lemma dan pallea).

Page 291: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

274

3. Perbandingan Hasil Pengujian dengan Deskripsi Varietas

Perbandingan antara produktivitas hasil penelitian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16, 22, 30 yang diintroduksi adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Perbandingan hasil pengujian dengan deskripsi varietas yang di introduksi oleh Balai Besar Penelitian Padi

Uraian

Produktivitas t/ha GKG

Pengujian* Deskripsi**

Rejang Lebong Seluma Rata-rata hasil Potensi Hasil

Inpari 16 5.2 6.28 6,3 7,6

Inpari 22 5.57 7.33 5,8 7,9

Inpari 30 6.44 7 7,2 9,6

* Data primer diolah (2015) **Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi (Jamil., dkk. 2015)

Tabel 4 menunjukkan bahwa ketiga varietas yang ujikan inpari 16, 22 dan 30 yang dihasilkan

di kabupaten rejang lebong masih dibawah rata-rata hasil di deskripsi varietas, sedangkan di kabupaten Seluma sudah diatas rata-rata hasil deskripsi varietas. Ketiga varietas inpari 16, 22 dan 30 dalam deskripsi varietas memiliki potensi hasil hingga mencapai 7,6 t/ha, 7,9 t/h dan 9,6 t/ha.

Berdasarkan hasil produktivitas tersebut diatas masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas keempat varietas yang dikaji jika teknologi yang digunakan tepat guna. Tinggi dan rendahnya produktivitas tergantung dengan teknologi yang diterapkan dan kesesuaian iklim di lahan setempat. Semakin baik teknologi yang diterapkan dengan kondisi iklim yang mendukung, produktivitas yang dicapai akan lebih baik. Menurut Ikhwani, dkk (2013) bahwa cara tanam jajar legowo berpeluang menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam tegel melalui populasi yang lebih banyak, varietas yang lebih adaptif pada kondisi pertanaman rapat, yang ditunjukkan oleh dengan rendahnya penurunan hasil akibat ditanam rapat dibandingkan cara tanam biasa/tegel.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa varietas yang adaptif di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 dengan rata-rata produktivitas 6,72 t/ha, sedangkan yang ditanam di kabupaten seluma varietas yang adatif yaitu varietas inpari 22 dengan rata-rata produktivitas 7,33 t/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :Dr. Wahyu Wibawa, MP, yang telah memberi masukan dan saran pada penulisan makalah ini hingga selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah (Oryza Sativa. L.) Varietas Inpari 13. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1(2).

BadanLitbangPertanian.2007.Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Jakarta:BadanLitbangPertanian,Departemen Pertanian. 25 hlm.

BadanLitbangPertanian.2015. Deskripsi varietas unggul baru padi sawah. Kementerian Pertanian.

BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Bengkulu dalam angka. Provinsi Bengkulu. Hardjowigeno,H.SdanRayes,M.L,2005. Tanah sawah karakteristik, kondisi, dan permasalahantanah

sawahdiIndonesia. Penerbit Bayumedia Publishing. Jatim. 208 hal. Ikhwani, GR. Pratiwi, E. Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan produktivitas padi

melalui penerapan jarak tanam jajar legowo. Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 (2) : 72-79 p. Hermawati,T.2009.KeragamanPadiVarietas indragiri padaperbedaan umurbibit dengan

metodeSRI(SystemOfRiceIntensification).Percikan:Vol. 99EdisiApril2009.

Page 292: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

275

Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980. Paper on International Crop Science Congress. p. 1-24.

Jamil. A, Satoto, Priyatna. S, Yuliantoro. B, Agus. G dan Suharna. 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi Inpari, Hipa, Inpago dan Inpara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.

Kasim,M.2004.Manajemen penggunaan air : meminimalkan penggunaanair untukmeningkatkan produksipadi sawahmelaluisistim intensifikasi padi(thesystem ofrice intensification-SRI). Pidato Pengukuhan SebagaiGuruBesar Tetapdalam Bidang IlmuFisiologi Tumbuhan padaFakultasPertanian UniversitasAndalasPadang.42 hal.

Kecamatan Seluma. 2014. Profil Kelurahan Lubuk Kebur. Kantor Kelurahan Lubuk Kebur. Kabupaten Seluma.

Kecamatan Curup Timur. 2014. Profil Desa Tanjung Beringin. Kantor Desa Tanjung Beringin. Kabupaten Rejang Lebong.

Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi.

Makarim, A.K. dan I. Las, 2004. Terobosan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi melalui pengembangan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Seminar Kebijakan Padi pada Pekan Padi Nasional II, 15 Juli 2004, Sukamandi.

Manurung, S.O. dan M. Ismunadji. 1989. Morfologi padi. Dalam Padi Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Hal. 319

Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi antara komponen hasil dan hasil galur harapan padi sawah tahan tungro. Prosd. Seminar Nasional Padi; Inovasi teknologi padi mengantisipasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan (1):165-171. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Nuryanto, B.2011.Varietas, kompos,dan cara pengairansebagai komponen pengendalipenyakithawar upih. Disertasi. ProgramPascaSarjana,UniversitasGadjahMada.Yoyakarta.

Osada, A., V. Sasiprapa, M. Rahong, S. Dhammanuvong and H. Chakrabandhu. 1973. Abnormal occurrence of empty grains of indica rice plants in the dry hot season in Thailand. Proc. Crop Sci. Soc. Japan. 42:103-109.

Rafaralahy,S,2002.AnNGOPerspective onSRIandItsOrigins in Madagascar.Assessments ofThe systemof Rice Intensification (SRI) :Proceeding of an International Conference held in Sanya, China, April 1-4 2002. IthacaNY:Cornell International InstituteforFood,Agriculture and Development.

Rubiyo, Suprapto, dan Aan Drajat. 2005. Evluasi beberapa galur harapan padi sawah di Bali. Buletin Plasma Nutfah. Vol 11 (1) : 6-10 p.

Simanulang, Z.A. 2001.Kriteria seleksi untuk sifat agonomis dan mutu. Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14 April 2001. Balitpa. Sukamndi.

Sunadi. 2008. Modifikasi paket teknologi SRI (The System or rice intensification) untuk meningkatkan hasil padi (Oryza sativa. L) sawah. ). Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjanan Unand. Padang.

Suprihatno,B.,A.A.Daradjat,Satoto, S.E.Baehaki,N.Widiarta,A. Setyono,S.D.Indrasari,O.S.Lesmana,dan H.Sembiring. 2007.Deskripsi varietaspadi.BalaiBesarPenelitian Tanaman Padi. Sukamandi80p.

Page 293: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

276

PENENTUAN KOMPOSISI BERAS ANALOG DARI TEPUNG LOKAL MENGGUNAKAN PENCETAK EKSTRUDER

DETERMINATION OF ARTIFICIAL RICE COMPOSITION FROM LOCAL FLOUR USING EKSTRUDER

Jonni Firdaus, Andi Dalapati dan Sumarni

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah Jl. Lasoso, 62, Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Beras merupakan makanan pokok yang kebutuhannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan adanya dampak perubahan iklim, konsumsi pangan tidak dapat hanya bergantung pada satu komoditas saja, melainkan juga harus melirik pada komoditas lain. Oleh karena itu, diversifikasi pangan mutlak dilakukan dengan mengutamakan bahan pangan lokal. Dalam pencapaian diversifikasi pangan, teknologi pengolahan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi ketersediaan pangan. Beberapa kendala dalam mengkonsumsi bahan lokal sebagai bahan makanan pokok adalah minimnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok, merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi, dan adanya anggapan belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Oleh karena itu perlu dikembangkan alternatif pangan menyerupai beras yang disebut beras buatan. Penelitian ini bertujuan untuk menetukan komposisi bahan yang tepat agar terbentuk beras analog menggunakan ekstruder. Penelitian dilakukan di workshop pasca panen BPTP Sulawesi Tengah pada Juli-November 2015. Bahan yang digunakan adalah tepung mocaf, tepung Jagung Merah Sigi, tepung tapioka dan sagu. Mesin yang digunakan adalah pembentuk beras analog tipe ekstruder. Penentuan komposisi tepung terbaik dilakukan dengan trial and error dengan kriteria tidak melengket, terbentuk butiran berbentuk silinder, tidak hancur saat pencucian dan pemasakan, dan terbentuk butiran nasi setelah dikukus. Uji organoleptik beras analog terbaik dilakukan terhadap 28 panelis yang telah terbiasa mengkonsumsi jagung dan ubi kayu sebagai pengganti makan pokok dengan cara skoring. Dari hasil penelitian diperoleh komposisi terbaik yaitu 28,5% tepung mocaf, 66,5% tepung jagung, 5% pati sagu. Pada proses pencampuran ditambahkan 50% air dan pengemulsi sp 2% dari berat campuran. Sebelum dibentuk dilakukan preglatinasi dengan cara disangrai 5-10 menit. Hasil uji organoleptik menunjukan bahwa tingkatan kesukaan panelis dari segi rasa adalah suka (skor 1,321), suka (skor 1,333) untuk warna, suka (skor 1,444) untuk tekstur dancukup suka (skor 1,885) untuk aroma.

Kata kunci : Berasanalog, ekstruder, tepung lokal, diversifikasi

ABSTRACT

Rice is the staple food that the needs increase along with population growth. Because of the climate change effects, food consumption not only depends on one commodity, but also must look for an alternative commodities. Therefore, it is absolutely necessary diversification, with emphasis on local food. In achieving diversification, processing technology is one of the things that affect food availability. Some of the obstacles in consuming local food as a staple food are the psychological condition of people who do not want to replace the staple food, bored to the consumption of tubers which does not vary, and the assumption that has not eaten if not eat rice. Therefore, it is necessary to develop alternative food resembling rice called artificial rice. This study aimed to determine the formulation of artificial rice using an extruder. This research was conducted in post-harvest workshop BPTP Central Sulawesi in July to November 2015. In this study, the materials used was mocaf flour, flour of Sigi Red Corn, tapioca and sago and to form artificial rice was used an extruder. Determining the best flour composition was done by trial and error with the following criteria ai. not sticking, to form cylindrical granules, not destroyed when washing and cooking, and formed rice granules after steaming. Organoleptic test of artificial rice was done using scoring method.The results showed that the best composition of artificial rice was 28.5% mocaf flour, 66.5% corn starch, 5% sago starch with added 50% water and 2% emulsifier from the total weight of the mixture. Prior to making of artificial rice, preglatination was done for 5-10 minutes. The results of the organoleptic test showed that the panelists liked the taste (1,321), color (1,333) and texture (1,444) of the artificial rice, but less like the smell (1,885).

Keywords: Artificial rice , extruder, local flour, diversification

Page 294: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

277

PENDAHULUAN

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap beras semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap sektor pertanian terutama pada sub sektor tanaman pangan. Pengaruh dampak perubahan iklim salah satunya ditandai dengan perubahan cuaca yang tidak menentu dan pergeseran musim hujan sehingga terjadi musim kering yang berkepanjangan yang berpengaruh pola dan waktu tanam (Hosang, et al. 2012). Dalam kondisi ini konsumsi pangan tidak dapat bergantung hanya pada satu komoditas saja, melainkan juga harus melirik pada komoditas lain oleh karena itu diversifikasi pangan mutlak dilakukan.

Diversifikasi pangan yakni peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang yang berbasis pada potensi sumber daya lokal (UU Pangan No. 18/2012). Salah satu yang perlu diperhatikan dalam upaya pencapaian diversifikasi pangan adalah ketersediaan teknologi pengolahan sehingga bahan pangan lokal dapat dinikmati dalam berbagai macam produk olahan.

Ketergantungan terhadap beras menjadi masalah jika tingkat konsumsi beras yang tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Meskipun masyarakat di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang mengkonsumsi pangan non beras, namun makanan pokok pengganti beras masih didominasi dari bahan terigu yang saat ini ketersediaanya tergantung pasokan impor. Padahal produk bahan lokal penghasil tepung dan pati sangat beragam jenisnya dan kandungan gizi tidak kalah dengan beras, diantaranya ubi kayu, sagu, dan jagung yang dapat dijadikan sebagai pengganti beras berbasis lokal.

Beberapa kendala dalam mengkonsumsi bahan pangan lokal non beras sebagai bahan makanan pokok diantaranya kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, secara psikologis masyarakat belum siap untuk mengganti makanan pokok, adanya anggapan bahwa belum makan jika belum mengkonsumsi nasi dan kurangnyaalternatif ketersediaan produk pangan. Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras.Oleh karena ituperlu dikembangkan alternatif pangan menyerupai beras namun tidak murni terbuat dari beras. (Gultom, et al., 2014)

Karbohidrat merupakan salah satu unsur utama yang harus dipenuhi untuk kecukupan gizi per hari. Pemanfaatan bahan pangan sumber karbohidrat non beras pada umumnya masih sebagai pangan selingan. Bahan pangan sumber karbohidrat non beras dapat diolah menjadi tepung, yang dapat digunakan dalam pembuatan aneka pangan. Tepung tersebut dapat diolah menjadi aneka olahan pangan seperti mie, kue, biscuit, dan es krim (Suarni, 2001; Djaafar dkk. 2007; Richana dkk. 2008). Selain itu tepung dapa juga dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan beras tiruan (beras analog) yang dapat digunakan pengganti beras (Gultom, 2014).

Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad 2003; Deptan 2011) sementara itu Yuwono dan Arrida (2008) menyebutkan bahwa beras analog adalah beras tiruan yang terbuat dari bahan baku selain beras dan terigu.

Pencetakan beras analog dapat digunakan melalui proses ekstrusi menggunakan alat yang disebut ekstruder. Prinsip proses ekstrusi adalah mengalirkan bahan secara paksa melalui suatu tabung dengan variasi kondisi proses pencampuran, pemanasan, pengaliran dan melewatkan bahan pada plat pecetak yang didisain untuk membentuk/mengembangkan hasil ekstrusi. Penggunaan teknologi ekstrusi dalam pembuatan beras analog memiliki kelebihan seperti kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan dan pembentukan (Budi, et al. 2013).

Jenis bahan penyusun beras analog dan komposisi campuran bahan berpengaruh terhadap keberhasilan pembentukan beras analog sehingga perlu diketahui komposisi yang tepat agar tercipta bentukan seperti beras. Penelitian ini bertujuan untuk menetukan komposisi bahan yang tepat agar terbentuk beras analog menggunakan ekstruder.

Page 295: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

278

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di workshop pasca panen BPTP Sulawesi Tengah pada Juli-November 2015. Bahan yang digunakan adalah tepung dari bahan pangan lokal berupa tepung mocaf, tepung Jagung Merah Sigi, tepung tapioka dan sagu. Alat yang digunakan adalah alat pencetak beras analog tipe ekstruder, kompor, wajan dan oven pengering.

Penentuan komposisi tepung dilakukan dengan metode trial and error. Penentuan komposisi terbaik dilakukan secara visual terhadap hasil beras analog yang terbentuk dengan kriteria tidak melengket, terbentuk butiran beras dengan bentuk silinder, tidak hancur saat dilakukan persiapan pemasakan, dan terbentuk butiran nasi setelah dikukus.

Pada percobaan pertama, perbandingan komposisi bahan baku dalam porsi yang sama yaitu masing-masing 25%. Selanjutnya penentuan komposisi pada percobaan berikutnya berdasarkan pengamatan beras analog hasil percobaan sebelumnya. Demikian seterusnya hingga diperoleh beras analaog sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Setelah diperoleh beras analog dengan komposisi terbaik, selanjutnya dilakukan uji proksimat dan uji organoleptik. Parameter uji organoleptik berupa rasa, warna, tekstur dan aroma. Uji organoleptik dilakukan terhadap 28 orang panelis yang telah terbiasa mengonsumsi jagung dan ubi sebagai pengganti makanan pokok dengan cara skoring. Nilai skor terdiri dari tiga tingkatan kesukaan yaitu : 1= suka, 2= cukup suka, dan 3= tidak suka. Penilaian tingkat kesukaan panelis dilakukan berdasarkan kecendrungan nilai rata-rata skor melalui pembulatan. Uji organoleptik dilakukan di Desa Labuan Kanggoma dan Desa Lumbu Mamara, Kabupaten Donggala.

Penelitian dimulai dengan pembuatan tepung mocaf dan tepung jagung sedangkan tepung tapioka dan pati sagu produk yang sudah ada di pasar. Pembuatan beras analog dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Bagan alur pembuatan tepung mocaf dan tepung jagung

Pencucian

Pengupasan

n

Perajangan dengan

ketebalan 1-2 mm

Perendaman dengan

Bimo-CF (1gr/Kg

bhn/liter air)

Selama 12 jam Penjemuran

Penepungan

Pengayakan

100 mesh

Tepung Ubi kayu

termodivikasi

(Mocaf)

Ubi kayu

Penggilingan

(menjadi beras

jagung)

Perendaman dengan

Ragi (1gr/Kg bhn/liter

air)

Selama 2 hari

Penjemuran

Penepungan

Pengayakan

100 mesh

Tepung Jagung

Jagung Pipil Kering

Page 296: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

279

Gambar 2 Bagan alur pembuatan beras analog Gambar 3Alat Pencetak beras analog tipe ekstruder

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan komposisi beras analog menggunakan ekstruder

Penbuatan beras analog dilakukan dengan cara trial and error. Pada percobaan ke 17 diperoleh beras analog yang diinginkan. Hasil pembuatan beras analog dengan berbagai komposisi tepung bahan pangan lokal dapat dilihat pada Tabel 1 dan tampilan beras analog dengan komposisi terbaik terlihat pada Gambar 4.

Tabel 1. Percobaan penentuan komposisi beras analog

Run Komposis Bahan (%)

Pra glatinasi Penampakan visual hasil beras

analog Mocaf Jagung Tapioka Sagu Air *

1 25 25 25 25 70

2 25 25 28 22 70 X tidak terbentuk

3 25 25 28 22 70 X tidak terbentuk

4 26 23 28 23 70 X terbentuk, namun setelah kering direndam hancur

5 60 - 20 20 50 √ hasil melengket dan menyatu

6 90 - 5 5 60 X terbentuk, namun setelah kering direndam hancur

7 80 - 10 10 50 X jadi, namun setelah kering direndam hancur

8 80 - 10 10 50 √ hasil melengket dan menyatu

9 100 - - - 50 √ hasil melengket dan menyatu

10 60 40 - - 50 √ terbentuk,direndam tidak hancur, dimasak masih melengket, bentuk nasi terbentuk tapi masih memnyatu, seperti bubur

11 40 60 - - 50 √ terbentuk, namun hasil masakan nasi masih melengket

Formulasi beras analog dari

kombinasi tepung bahan pangan

lokal

Pencampuran dan pengadukan

Serta penambahan air

Pra gelatinsai dengan cara

digongseng selama 5-10

menit

Pencetakan menggunakan

ekstruder

Pengeringan

Beras analog

Cara Masak :

Direndam dalam air 2-3

menit,

Dikukus hingga matang

Page 297: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

280

Run Komposis Bahan (%)

Pra glatinasi Penampakan visual hasil beras

analog Mocaf Jagung Tapioka Sagu Air *

dan menyatu seperti bubur

12 38 57 - 5 50 √ terbentuk, sedikit melengket

13 30 40 - 30 58 √ Melengket dan menggabung

14 29 68 - 2 49 √ Melengket dan menggabung

15 27 63 - 10 50 √ awal terbentuk namun diakhir lengket, kondisi alat masih basah

16 27 63 - 10 50 √ awal terbentuk namun diakhir lengket

17 28,5 66,5 - 5 50 √ Terbentuk, hasil cetakan tidak lengket, penembahan 2% sp, dikukus, nasi jadi.

*) komposisi air terhadap total adonan; Praglatinasi : x (tidak) ; √ (iya: disangrai 5-10 menit).

Sumber : Data Primer (2015)

Beras analog Nasi beras analog

Gambar 4. Penampilan beras analog dan nasinya dengan komposisi terbaik

Dari beberapa percobaan diperoleh bahwa komposisi terbaik untuk pembuatan beras analog adalah 28,5% tepung mocaf, 66,5% tepung jagung, dan 5% pati sagu. Dengan komposisi tersebut beras analog yang dihasilkan dapat terbentuk, tidak melengket dan tidak rapuh . Bentuknya berupa silinder dengan rata-rata diameter 1,87 mm dan rata-rata panjang 5,50 mm. Beras analog yang yang dihasilkan bentuknya belum seperti beras. Walaupun demikian setelah dilakukan pemasakan dengan cara dikukus, bentuk nasi yang diperoleh mirip dengan nasi yang berasal dari beras menir.

Pada proses pembuatan beras analog ditambahkan air. Penambahan air dilakukan sebanyak 50% dari berat total campuran bahan. Air merupakan faktor penting dalam pembentukkan beras analog karena air berperan dalam proses gelatinisasi (Widara, 2012). Selain itu air juga berfungsi untuk menurunkan viskositas dan energi mekanik, menghasilkan produk yang lebih padat dan menghambat timbulnya gelembung (Budi et al., 2013).

Pada pembuatan beras analog ditambahkan bahan pengikat. Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk mempertahankan bentuk beras analog (Budi et al, 2013) sehingga tidak rapuh. Jenis bahan pengikat yang digunakan adalah pengemulsi (SP) sebanyak 2% dari berat total adonan. Pemberian pengemulsi SP dilarutkan dalam air saat pencampuran adonan.

Sebelum dilakukan proses pencetakan terlebih dahulu dilakukan proses praglatinasi. Praglatinasi bertujuan untuk memecah struktur pati sehingga adonan dapat saling mengikat pada kandungan air yang sesuai. Proses praglatinasi dilakukan dengan cara menyangrai adonan selama 5-10 menit.

Untuk mendapatkan nasi dari beras analog dilakukan pemasakan dengan cara dikukus hingga matang. Sebelum dilakukan pengukusan, beras analog direndam dengan air selama lebih kurang 5 menit dengan tujuan untuk membasahi beras. Proses perendaman ini juga bertujuan untuk mencuci beras analog, hanya saja dalam perendaman ini tidak dilakukan pengadukan seperti pada pencucian

Page 298: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

281

beras padi. Pengadukan pada proses perendaman beras analog dapat menyebabkan beras menjadi hancur.

Kandungan gizi beras analog

Untuk melihat kandungan gizi beras analog maka dilakukan uji proksimat. Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan karbohidrat merupakan kandungan zat gizi terbesar yaitu 82,49%. Nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan karbohidrat dari beras Varietas Mekongga (80,27%).

Tabel 2 Perbandingan kandungan gizi beras analog dengan beras (padi)

Parameter Pengamatan Beras analog* Beras Mekongga**

Karbohidrat (%) 82,49 80,27 Protein (%) 5,62 10,11 Lemak (%) 0,73 0,43

Abu (%) 1,23 0,20 Air (%) 9,93 8,14

Energi (Kkal/100g) 359,01 365,39

Sumber : *Data Primer (2015), **Purwani et al. (2007)

Sementara itu nilai kandungan protein beras analog lebih rendah dibandingkan dengan beras Varietas Mekongga. Hal ini disebabkan karena bahan penyusun beras analog merupakan bahan pangan sumber karbohidarat. Agar kandungan protein beras analog dapat menyerupai beras padi, maka disarankan dalam komposisi beras analog ditambahkan tepung yang berasal dari bahan pangan dengan kandungan protein tinggi seperti kacang kacangan. Kemudian untuk kandungan lemak, beras analog lebih tinggi bila dibandingkan dengan beras yang berasal dari padi.

Energi yang terkandung dalam beras analog lebih kecil bila dibandingkan dengan beras Varietas Mekongga. Walaupun kandungan karbohidrat beras analog lebih besar dibandingkan dengan beras Varietas Mekongga, namun kandungan proteinnya jauh lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan energi yang terkandung pada berass analog lebih kecil dari beras Varietas Mekongga

Uji Organoleptik

Untuk melihat tingkat preferensi beras analog maka dilakukan uji organoleptikterhadap 28 panelis yang telah terbiasa mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan kedua selain beras. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Uji Organoleptik beras analog

Parameter Rataan Skor Pembulatan*

Nilai Skor Tingkat Kesukaan

Rasa 1,321 1 Suka

Warna 1,333 1 Suka

Tekstur 1,444 1 Suka

Aroma 1,885 2 Cukup suka

Sumber : Data Primer (2015); 1=suka, 2=cukup suka, 3=tidak suka

Hasil uji organoleptik memperlihatkanbahwa dari segi rasa beras analog yang dihasilkan

disukai oleh para panelis dengan skor 1,321, hal ini terjadi karena di masyarakat tempat tinggal panelis telah terbiasa mengkonsumsi jagung dan ubi kayu sebagai makanan selingan maupun makanan pokok kedua selain beras beras dalam bentuk beras jagung dan ubi rebus. Hasil wawancara 57,1% panelis mengungkapkan bahwa rasanya enak bahkan sebanyak 7,14 % panelis mengungkapkan rasanya sudah seperti nasi beras putih namun agak sedikit kenyal. Rasa kenyal tersebut dimungkinkan timbul karena penggunaan pengemulsi (Sp). Pada pengkajian ini tujuan penggunaan pengemulsi (Sp) adalah sebagai perekat adonan sebagai pengganti gliserin monosterat yang banyak digunakan pada pembuatan beras analog.

Demikian juga dari segi warna, panelis menyukai warna beras analog dengan skor 1,333, karena warna beras analog yang dihasilkan kuning menyerupai beras jagung yang biasa mereka konsumsi. Dari segi tekstur para panelis juga meyukai beras analog dengan skor 1,444, hal ini karena tekstur beras analog terasa lembut dan pulen berbeda dengan nasi jagung yang terasa keras.

Page 299: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

282

Dari segi aroma rata rata panelis menilai cukup suka dan ada 10,7 % responden menyatakan tidak suka. Hal ini terjadi karena aorma jagung terlalu dominan, terlebih –lebih pada saat nasi beras analog dalam keadaan panas/hangat. Namun aroma jagung yang sangat menyengat tersebut akan berangsur hilang bila nasi beras analog tersebut menjadi dingin.

Beberapa panelis/responden menyarankan agar pada beras analog diberi tambahan bumbu-bumbu penyedap ataupun garam sehingga rasanya menjadi lebih enak. Rodianawati et al .(2014) menyebutkan penambahan tepung ikan pada beras analog dapat meningkatkan nilai organoleptik menjadi lebih disukai demikian juga dengan Wahjuningsih dan Kunarto (2013) menyebutkan bahwa beras analog dengan penambahan tepug kacang-kacangan menghasilkan sifat organoleptik yang sangat disukai. Beberapa responden juga menyarankan bahwa penyajian beras analog sangat enak bila dikombinasi dengan sayur kelor yang merupakan sayur khas di lokasi penelitian.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Komposisi beras analog terbaik adalah 28,5% tepung mocaf, 66,5% tepung jagung, 5% pati sagu. Pada proses pencampuran ditambahkan 50% air dan pengemulsi (Sp) 2% dari berat campuran. Sebelum dibentuk dilakukan preglatinasi dengan cara disangrai 5-10 menit.

2. Beras analog yang dihasilkan berbentuk silinder dan belum menyerupai beras namun penampakan setelah pemasakan bentuknya menyerupai nasi yang berasal dari beras menir.

3. Kandungan gizi beras analog hampir mendekati kandungan gizi beras padi kecuali kandungan proteinnya masih lebih rendah.

4. Hasil uji organoleptik menunjukan bahwa tingkatan kesukaan panelis dari segi rasa adalah suka (skor 1,321), suka (skor 1,333) untuk warna, suka (skor 1,444) untuk tekstur dancukup suka (skor 1,885) untuk aroma

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki bentuk beras analog yang masih belum menyerupai beras padi, sehingga secara psikologis dapat lebih meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi beras analaog

DAFTAR PUSTAKA

Budi, FS., P. Haryadi, S. Budijanto, dan D. Syah, 2013. Teknologi Proses Ekstrusi untuk Beras Analog, Jurnal Pangan, 22(3):263-274.

[DEPTAN] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan penganekaragaman konsumsi pangan 2011. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Deptan

Djaafar TF, Gardjito M, Suherman RDM, Dalapati A. 2007. Karakteristik Fisiko-Kimia Dari Dua varietas Ubijalar Ungu (Ipomea batas L.). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal. Sulawesi Tengah: Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

Gultom, RJ., Sutrisno, S. Budijanto, 2014. Optimasi proses gelatinisasi berdasarkan respon surface methodology pada pencetakan beras analog dengan mesin twin roll, Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, 11(2) 2014 : 67 - 79

.Hosang, PR, J. Tatuh, dan Johannes EXR. 2012. Analisis dampak perubahan iklim terhadap produksi beras Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013 – 2030. Eugenia Volume 18, No. 3 : 255-249.

Rodianawati I., H. Rasulu, ERM. Saleh, M. Assagaf, dan Marliani, 2014. Kajian sifat organoleptik pada beras analog dengan fortifikasi tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis. L). Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-33 : Optimalisasi Sumberdaya Lokal Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Hal. 814-832

Purwani, EY., S. Yuliani, SD. Indrasari, S. Nugraha dan R. Thahir, 2007. Sifat fisiko kimia beras dan indeks glikemiknya, Jurnal Teknol dan Industri Pangan, Vol. XVIII (1): 59-66.

Richana N, Widaningrum, Widowati S. 2008. Potensi Komoditas Harapan (Aneka Umbi Lokal) Dalam Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Di dalam: Broto W, Prabawati S., penyunting. Teknologi Pengolahan untuk Konsumsi Pangan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Page 300: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

283

Samad MY. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu, Jurnal Saint dan Teknologi ,BPPT VII.IB.0

Suarni dan IGP Sarasutha, 2001. Teknologi Pengolahan Jagung untuk Meningkatkan Nilai Tambah dan Pengembangan Agroindustri. Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah.

Wahjuningsih, SB. dan B. Kunarto, 2013. Pembuatan tepung mocaf dengan penambahan biang fermentasi alami untuk beras analog. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, Vol.11(2):221-230.

Widara, SS., 2012. Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Yuwono, SS dan Arrida AZ, 2015, Formulasi Beras Analog Berbasis Tepung Mocaf dan Maizena dengan Penambahan CMC dan Tepung Ampas Tahu, Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3(4) : 1465-1472.

Page 301: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

284

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN MENIR DI KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU

IMPROVEMENT OF KNOWLEDGE ABOUT GROATS FARMERS PROCESSING

TECHNOLOGY IN THE PROVINCE SELUMA BENGKULU

Wilda Mikasari, Evi Silviyani,dan Engkos Kosmana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 Telp. (0736) 23030

email : [email protected]

ABSTRAK

Menir merupakan produk samping dari proses penggilingan beras. Pemanfaatan menir belum dilakukan secara optimal. Sebagai beras patah, menir dianggap memiliki mutu yang rendah. Nilai tambah menir dapat ditingkatkan melalui teknologi pengolahan menjadi tepung beras dan produk turunannya. Informasi teknologi pengolahan menir di tingkat petani masih terbatas dan tergolong baru. Penyampaian inovasi teknologi pengolahan menir perlu dilakukan guna meningkatkan pengetahuan petani terhadap pemanfaatan hasil samping padi. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui perubahan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2016 dengan melibatkan Kelompok Wanita Tani (KWT) dan kelompok pengolah hasil pertanian di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Pre test dan post test design adalah wawancara terstruktur dengan daftar pertanyaan (kuesioner). Metode penyuluhan yang digunakan adalah pelatihan. Data yang diambil berupa data primer yang meliputi karakteristik dan tingkat pengetahuan petani. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan interval kelas. Hasil kajian menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan petani dari 3,82 menjadi 7,19 atau sebesar 37,44%.

Kata kunci: menir, pengetahuan, Pengolahan, Petani, teknologi

ABSTRACT

Groats is a by-product of rice milling. Groats utilization is not optimal. As broken rice, brewers are considered to have low-quality. Groats added value can be increased through processing technology into rice flour and its derivatives. Groats information procession technology at the farm level is still limited and relatively new. Delivery of technological innovation groats processing needs to be done in order to improve the knowledge offarmers on the use of a by-product of rice. The purpose of the assessment is to assess changesin their knowledge of farmers about groats processing technology. Assessment conducted in May2016 involving a group of women farmers and processors of agricultural product in village Rimbo Kedui Seluma southern province Bengkulu. Pre-test and post-test design is structured interview with a list of questions (questionnaire). Extension method used is training. Data taken in the form of primary data include characteristic and knowledge level of farmers. Before and after the data analysis performed descriptively and using class intervals The result of the study showed an increasing farmers knowledge from3,82 to 7,19 or by 37,44%.

Keywords: groats, farmer, Knowledge, Processing, Technology

Page 302: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

285

PENDAHULUAN

Komoditas padi memiliki arti strategis dan mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian. Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan secara nasional. Padi memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (Wibawa, 2010). Menir merupakan salah satu bentuk hasil samping dari penggilingan padi yang dapat dimanfaatkan dan diolah lebih lanjut menjadi produk olahan pangan baik untuk produk antara seperti tepung maupun produk akhir seperti bihun dan kerupuk legendar. Dengan proses lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan sosial ekonomi menir karena selama ini masyarakat beranggapan bahwa menir merupakan beras bermutu rendah sehingga hanya dikonsumsi oleh masyarakat strata sosial rendah (Widowati, 2001).

Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah sentra padi di Provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki lahan sawah seluas 20.150 ha (BPS Bengkulu, 2013). Menurut Pendampingan Program Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Seluma tahun 2016, jumlah produksi padi pada tahun 2014 adalah mencapai 63.439 ton dengan luas panen 21.545 Ha. Adanya potensi serta dukungan program yang digalakan pemerintah melalui upaya khusus swasembada beras, diharapkan dapat meningkatkan produksi padi beserta hasil samping penggilingan padi khususnya menir. Berdasarkan hasil observasi RMU di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan, diperoleh informasi bahwa dalam penggilingan padi mampu menghasilkan produk samping berupa dedak sebesar 15% dan menir sebesar 0,1%. Jika gabah yang diproses mencapai 1.975 ton/th maka diperkirakan dedak dan menir yang dihasilkan sebanyak 296,25 ton/th dan 2,0 ton/th. Dedak saat ini sudah dimanfaatkan sebagai pakan ternak, khususnya sapi sedangkan untuk menir pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal (Wibawa, et.all 2015).

Peningkatan pengetahuan petani dapat ditempuh melalui penyuluhan. Hafsah (2009), menyatakan bahwa penyuluhan pertanian harus mampu memberdayakan masyarakat pedesaan yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, agar semakin maju efisien dan tangguh, melalui strategi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian secara terpadu. Secara konseptual, peranan penyuluh adalah:1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, 2) mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai bidangnya, 3) memberikan rekomendasi yang menguntungkan, 4) mengusahakan berbagai fasilitas usahatani dan menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan (Padmanegara dalam Slamet, 1978).

Di Kabupaten Seluma, inovasi teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras masih tergolong baru sehingga belum banyak diketahui petani. Untuk itu diperlukan adanya penyampaian informasi tersebut melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu kegiatan penyuluhan untuk memberdayakan masyarakat tani. Susilo (2014), menambahkan bahwa pelatihan merupakan kegiatan alih pengetahuan dan keterampilan baik berupa teori dan praktek dari fasilitator kepada peserta/penerima melalui pendekatan partisipatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai tingkat pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir.

METODE PENGKAJIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2016 di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi merupakan salah satu daerah sentra padi di Provinsi Bengkulu. Metode penyuluhan yang digunakan adalah pelatihan dengan peserta Kelompok Wanita Tani (KWT) dan kelompok pengolah hasil pertanian sebanyak 21 orang. Pelaksanaan pelatihan dilakukan secara partisipatif dengan metode ceramah, diskusi dan demonstrasi.Untuk menunjang kegiatan ini digunakan media berupa bahan informasi tercetak dalam bentuk folder.

Metode kajian yang digunakan adalah pre test dan pos testdesign dengan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir diukur dari 10 indikator yang meliputi: 1). definisi menir, 2). manfaat menir, 3). peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung beras dan produk turunannya, 4). kandungan tepung menir dengan tepung dari beras utuh, 5). bahan-bahan dalam pembuatan tepung beras menir, 6). tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, 7). lama perendaman dalam pembuatan tepung beras menir, 8). tahapan pembuatan keripik pegagan, 9). tahapan pembuatan keripik pare, serta 10). tahapan pembuatan kue lapis.

Data primer yang diambil meliputi: karakteristik petani dan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir baik sebelum pelaksanaan pelatihan (pre test) dan sesudah pelaksanaan

Page 303: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

286

pelatihan (pos test). Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan menggunakan interval kelas. Menurut Rentha, (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Keterangan: NR : Nilai Range PI : Panjang Interval NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas NSR : Nilai Skor Terendah

Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator

No Nilai interval kelas Kriteria nilai

1 0,00 < x < 0,20 Sangat rendah 2 0,20 < x <0,40 Rendah 3 0,40 < x <0,60 Cukup 4 0,60 < x <0,80 Tinggi 5 0,80 < x < 1,00 Sangat Tinggi

Sumber: Data primer terolah (2016)

Menurut Padmowihardjo (1999), untuk mengetahui tingkat perubahan pengetahuan digunakan indikator penilaian dengan rumus :

N = Nilai pos test – Nilai pre test x 100%

Nilai Maksimal

Indikator keberhasilan penyuluhan tersebut terdiri dari 4 kategori, yaitu: 1) < 25% = Kurang berhasil, 2) 26 – 50% = Cukup berhasil, 3) 51 – 75% = Berhasil, serta > 76% = Sangat berhasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani

Karakteristik petani adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang petani yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan terhadap lingkungannya (Mislini, 2006). Karakteristik petani yang diamati meliputi : umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga.Berdasarkan umurnya, mayoritas petani berumur 36 – 45 tahun atau sebesar 52,38%. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi empat kelompok yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sarjana (SI) dengan tingkat pendidikan mayoritas adalah SMP yaitu sebesar 38,10%. Pengelompokan responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi 3 kelompok. Mayoritas petani memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 3–4 orang atau sebesar 47,62%.Secara rinci karakteristik petaniterhadap teknologi pengolahan menir di Kecamatan Seluma Selatan disajikan pada Tabel 2.

Pada tabel 2 menunjukkan bahwa usia petani tergolong produktif. Menurut Tjiptoherijanto (2001),struktur umum penduduk dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) kelompok umur muda (dibawah 15 tahun), 2) kelompok umur produktif (15 − 64 tahun) dan3) kelompok umur tidak produktif (diatas 65 tahun). kemajuan fisik dan berpikir seseorang secara alamiah akan dipengaruhi oleh umur. Umur juga menggambarkan pengalaman seseorang dalam menjalankan kehidupannya, sehingga akan berdampak pada pengetahuan dan keterampilan yang didapat. Umur muda bisanya memiliki semangat ingin tahu lebih tinggi, sedangkan yang semakin tua akan lebih lambat dalam menerima hal-hal baru dan cenderung mengikuti kebiasaan (Mardikanto, 1993). Mappiare (1983)menambahkan bahwa ada kecenderungan bagi seseorang yang berusia 35 tahun ke atas untuk lebih memantapkan dirinya dalam bekerja, berkenaan dengan semakin tingginya biaya hidup yang dikeluarkan.

Page 304: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

287

Tabel 2. Karakteristik petani responden di Kecamatan Seluma Selatan

No. Karakteristik Petani Kelompok Jumlah (orang) %

1. Umur 25 – 35 36 – 45 46 – 55

5 11 5

23,81 52,38 23,81

Jumlah 21 100,00

2. Pendidikan SD SMP SMA Sarjana

4 8 7 1

19,05 38,10 33,33 9,52

Jumlah 21 100,00

3. Jumlah tanggungan 1-2 3-4 5-6

6 10 5

28,57 47,62 23,81

Jumlah 21 100,00

Sumber : Data primer terolah (2016)

Anwar (1997), menyatakan bahwa pendidikan akan berpengaruh terhadap wawasan, pengetahuan, keterampilan, pilihan bidang usaha dan penguasaan teknologi yang diterapkan. Coirutunnisa, et.all. (2008), menambahkan bahwa berbagai macam target produksi pertanian akan berhasil baik apabila ketersediaan dan keterampilan para petani untuk berproduksi bisa ditingkatkan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.

Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Teknologi Pengolahan Menir

Pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003), merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang.

Dalam teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras dan produk turunannya, pengukuran meliputi: 1). definisi menir, 2). manfaat menir, 3). peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung beras dan produk turunannya, 4). kandungan tepung menir dengan tepung dari beras utuh, 5). bahan-bahan dalam pembuatan tepung beras menir, 6). tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, 7). lama perendaman dalam pembuatan tepung beras menir, 8). tahapan pembuatan keripik pegagan, 9). tahapan pembuatan kue lapis. Pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir di Kecamatan Seluma Selatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir di Kecamatan Seluma Selatan

Teknologi Pengolahan Menir Sebelum Sesudah

Skor Kriteria Skor Kriteria

Definisi Menir 0,62 Tinggi 0,81 Sangat Tinggi Manfaat Menir 0,57 Sedang 0,95 Sangat Tinggi Peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung beras dan produk turunannya

0,29 Sangat Rendah 0,48 Rendah

Kandungan Menir dengan Beras Utuh 0,29 Sangat Rendah 0,76 Tinggi Bahan-bahan dalam pembuatan tepung beras menir 0,81 Sangat Tinggi 0,86 Sangat Tinggi Tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras 0,10 Sangat Rendah 1,00 Sangat Tinggi Lama perendaman dalam pembuatan tepung beras menir

0,33 Sangat Rendah 0,71 Tinggi

Tahapan pembuatan keripik pegagan 0,43 Rendah 0,86 Sangat Tinggi Tahapan pembuatan kue lapis 0,38 Sangat Rendah 0,76 Tinggi

Jumlah 3,82 Rendah 7,19 Tinggi

Sumber:Data primer (2016)

Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan yang paling tinggi terdapat pada materi

tentang tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, yaitu dari sangat rendah (0,10)menjadi sangat tinggi (1,00) atau terjadi peningkatan sebesar 90%. Sedangkan peningkatan paling rendahterjadi pada materi tentang bahan-bahan dalam pembuatan menir menjadi tepung beras dari

Page 305: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

288

nilai 0,81 (sangat tinggi) menjadi 0,86 (sangat tinggi) atau meningkat sebesar 5%. Skor pada pre test sudah berada pada level sangat tinggi sehingga peningkatan yang terjadi tidak terlalu besar. Pelatihan teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras dan produk turunannya dapat meningkatkan pengetahuan petanisebesar 37,44% dari 3,82 (sebelum pelatihan) menjadi7,19(sesudah pelatihan) atau dapat dikategorikan bahwa kegiatan pelatihan cukup berhasil namun belum optimal.

Peningkatan pengetahuan petani ini menunjukkan bahwa pelatihan merupakan salah satu metode yangefektif dalam menyampaikan inovasi teknologi kepada petani. Pelatihan bertujuan untuk memberdayakan petani agar mampu berpartisipasi aktif pada proses perubahan lingkungan usahataninya. Melalui pelatihan petani diharapkan mampu merubah kebiasaannya menjadi lebih positif guna memajukan usahataninya. Hal ini senada dengan Sudirman (2006), yang menyatakan bahwa kegiatan pemberdayaan melalui pelatihan diperlukan apabila seseorang atau masyarakat menyadari perlunya mengembangkan potensi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan maupun kepuasan hidupnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan petani sebagai bagian dari perilaku penerapan inovasi. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor dari dalam diri petani seperti umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup) dan faktor lingkungan seperti kosmopolitan, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti pelatihan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi (BPTP Bengkulu, 2015).

KESIMPULAN

Peningkatan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir sebesar 37,4 %, Kondisi ini masih perlu ditingkatkan melalui pendekatan metode yang lain atau kombinasi dengan metode lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala BPTP Bengkulu yang telah memberikan dukungan moril dan materi melalui DIPA kegiatan tahun 2016, rekan-rekan tim pengkajian dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. 1997. Sanitasi makanan dan minuman pada institusi pendidikan tenaga sanitasi. pusat pendidikan tenaga sanitasi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

BPS Bengkulu. 2013. Bengkulu dalam angka tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. 2015. Kumpulan hasil penelitian pengkajian pengembangan dan penerapan inovasi teknologi pertanian BPTP Bengkulu tahun 2015.

Coirutunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan model pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Agritext No. 24 Desember, 2008.

Hafsah, MJ. 2009. Penyuluhan Pertanian di era otonomi daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Mappiere. 1983. Psikologi orang dewasa. Surabaya:Usaha Nasional.

Mardikato, T. 1993. Penyuluhan pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Hal 121.

Mislini. 2006. Analisis jaringan komunikasi pada kelompok swadaya masyarakat. kasus KSM di Desa Taman Sari Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat [Tesis], Bogor: Program Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor.

Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Padmowihardjo S. 1999. Evaluasi penyuluhan pertanian. Jakarta: Universitas Terbuka.

Rentha, T. 2007. Identifikasi perilaku, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah irigasi teknis sebelum dan sesudah kenaikan harga pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur [Skripsi]. Universitas Sriwijaya Palembang.

Salikin KA. 2003. Sistem pertanian berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Page 306: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

289

Saragih, B. 2001. Pembangunan sistem agribisnis di Indonesia dan peranan public relation. Makalah seminar peranan publik relation dalam pembangunan pertanian, Bogor, 19 April 2001.

Sudirman. 2006. Model pelatihan keterampilan terpadu bagi petani sebagai upaya alih komoditas (Studi terhadap petani penggarap lahan perhutani di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung [disertasi]. Program pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta.

Susilo Astuti, H. 2014. Penyelenggaraan pelatihan dalam sistem LAKU. http//cybex.deptan.go.id/penyuluhan/penyelenggaraan-pelatihan-dalam sistem-laku. BPPSDMP Kementan.

Tjiptoherijanto, Prijono. 2001. Proyeksi penduduk, angkatan kerja, tenaga kerja, dan peran serikat pekerja dalam peningkatan kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan.

Wibawa W. 2010. Petunjuk pelaksanaan pendampingan SL-PTT padi dan jagung di Provinsi Bengkulu. BPTP Bengkulu. Bengkulu.

Wibawa, W et.all. 2015. Rancangan diseminasi hasil penelitian model sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi sapi di Provinsi Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.

Widowati, Sri. Pemanfaatan hasil samping penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di Pedesaan. Buletin AgroBio 4(1): 33 – 38.

Page 307: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

290

ANALISIS EKONOMI PENGOLAHAN BERAS DAN PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS AROMATIK

(KASUS PADA GAPOKTAN RIMBO JAYA, KABUPATEN SELUMA - BENGKULU)

ECONOMIC ANALYSIS OF RICE PRCESSING AND CONSUMER PREFERENCE ON AROMATIC RICE (CASE IN GAPOKTAN RIMBO JAYA, SELUMA DISTRICT – BENGKULU)

Wawan Eka Putra dan Andi Ishak

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Usaha penggilingan padi umum ditemui di daerah pedesaan yang berbasis padi, namun belum banyak hasil penelitian yang menunjukkan efisiensi ekonomi usaha pengolahan beras aromatik dan non aromatik serta preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai tambah dan keuntungan usaha pengolahan beras aromatik dan non aromatik, sekaligus menganalis perbandingan preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut. Pengumpulan data tentang pengolahan beras dilakukan melalui wawancara dan pengamatan pada unit usaha penggilingan padi pada Gapoktan Rimbo Jaya, Kelurahan Rimbo Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu untuk memperoleh data input dan output usaha pengolahan beras. Selain itu juga dilakukan survei preferensi konsumen terhadap beras aromatik dan non aromatik yang melibatkan 30 orang responden. Keuntungan ekonomi dianalisis dengan menggunakan analisis nilai tambah dan R/C ratio. Sementara itu preferensi konsumen dianalisis secara dekriptif dan statistik dengan menggunakan uji chi-square (χ

2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai tambah usaha pengolahan beras aromatik sedikit lebih tinggi daripada usaha pengolahan beras non aromatik yaitu sebesar Rp. 6.596/kg berbanding Rp. 6.396/kg. Sebaliknya, R/C ratio pengolahan beras aromatik sedikit lebih rendah yaitu sebesar 1,25 berbanding 1,26. Selain itu preferensi konsumen terhadap beras aromatik dan beras non aromatik relatif sama.

Kata Kunci: nilai tambah, keuntungan, preferensi, beras aromatik.

ABSTRACT

Rice milling unit (RMU) are commonly in rice-based rural area, but has not been a lot of research demonstrating the economic efficiency of business processing of aromatic and non-aromatic rice and consumer preferences towards both types of rice. Therefore, this study aimed to compare the added value and benefits processing business aromatic and non-aromatic rice, as well as analyzing the ratio of consumer preferences towards them. The collection of data about the processing of rice is done through interviews and observations on the RMU that operated by Gapoktan Rimbo Jaya, Rimbo Kedui Village, South Seluma Subdistrict, Seluma District, Bengkulu Province to obtain data input and output of rice processing. It also conducted a survey of consumer preferences of the aromatic and non-aromatic rice involving 30 respondents. Economic advantages were analyzed using analysis of value added and R/C ratio. Meanwhile, consumer preferences were analyzed by descriptive and statistics using chi-square test (χ

2). The results showed that the value added aromatic rice processing

is slightly higher than the non-aromatic (Rp. 6596/kg compared to Rp. 6396/kg). Instead, the R/C ratio of aromatic rice processing slightly lower at 1.25 versus 1.26. In addition, consumer preferences to aromatic and non-aromatic rice is relatively the same.

Keywords: value added, benefit, preference, aromatic rice.

Page 308: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

291

PENDAHULUAN

Kegiatan pengolahan hasil pertanian skala kecil di pedesaan merupakan salah satu subsistem agribisnis yang menunjang usaha pertanian pada komunitas petani. Usaha penggilingan padi atau pengolahan gabah menjadi beras adalah pengolahan hasil yang umum ditemui pada daerah pedesaaan berbasis sawah. Julianto (2013) mencatat bahwa terdapat sekitar 182 ribu penggilingan padi pada tahun 2012. Jumlah penggilingan padi skala kecil sangat dominan yaitu mencapai 94% diantaranya. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi usaha penggilingan padi skala kecil akan besar pengaruhnya terhadap perekonomian di pedesaan.

Usaha penggilingan padi tentu saja ditujukan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan berapa besar keuntungan ekonomi tersebut, diantaranya adalah dengan menghitung nilai tambah dan keuntungan usaha. Nilai tambah didefinisikan sebagai pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu siklus produksi (Suprapto, 1999). Sementara itu keuntungan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Keuntungan usaha dapat dihitung dengan R/C ratio (Revenue Cost Ratio), yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya (Soekartawi, 2006). Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara volume produksi dengan harga jual produk, sedangkan biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan oleh produsen dalam mengelola usahanya. Nilai R-C ratio = 1 artinya usaha tidak untung/rugi, nilai R-C ratio > 1 berarti usaha menguntungkan/efisien, sedangkan nilai R-C ratio < 1 berarti usaha merugikan/tidak efisien.

Usaha penggilingan padi masih menguntungkan. Hasil penelitian Putri et al. (2013), misalnya, menunjukkan bahwa R/C ratio usaha penggilingan padi per ton beras di Cianjur – Jawa Barat mencapai 1,29 sampai 3,71. Demikian juga Mauliddar et al. (2014) menyatakan bahwa R/C ratio usaha penggilingan beras di Deli Serdang – Sumatera Utara antara 1,01 – 1,13.

Mutu beras yang dihasilkan merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha pengolahan beras karena hal ini akan mempengaruhi preferensi konsumen. Jenis beras aromatik adalah beras khusus yang memiliki keunggulan mutu karena aromanya yang spesifik.

Beberapa jenis beras aromatik yang terkenal di dunia adalah beras Basmati dari India dan Jasmin (Khao Daok Mali) dari Thailand (Chaudary, 2003 dalam Suhartini dan Wardana, 2011). Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian juga telah menghasilkan sejumlah varietas padi aromatik seperti Gilirang, Batang Gadis, Sintanur, Situ Patenggang, dan Inpari 23 Bantul (BB Padi, 2015).

Hasil-hasil penelitian tentang beras aromatik telah ditemukan dalam berbagai literatur. Elsera et al. (2014) menyatakan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi aroma beras aromatik. Mutu beras giling padi aromatik terbaik diperolehdari padi aromatik yang ditanam pada ketinggian 500-800 m dpl (Suhartini dan Wardana, 2011).Jumali et al. (2011) membuktikan bahwa umur simpan beras aromatik ditentukan oleh jenis bahan pengemas. Namun demikian, penelitian tentang preferensi konsumen tentang beras aromatik masih jarang ditemukan. Oleh karen itu penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai tambah dan keuntungan usaha pengolahan beras aromatik dan non aromatik, sekaligus membandingkan preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2016. Data dikumpulkan dengan cara wawancara, pengamatan dan survei. Wawancara dan pengamatan proses pengolahan beras dilakukan pada unit usaha pengolahan beras Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rimbo Jaya di Kelurahan Rimbo Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, karena Gapoktan Rimbo Jaya telah melakukan usaha pengolahan beras aromatik di Provinsi Bengkulu. Survei dilakukan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap beras aromatik dengan melibatkan 30 orang responden. Responden adalah anggota KPN Agri-Teknologi BPTP Bengkulu yang menjadi konsumen beras hasil produksi Gapoktan Rimbo Jaya. Jumlah responden dianggap telah memadai sesuai dengan pendapat Rescoe (1982 dalam Sugiyono, 2012), yang menyebutkan bahwa ukuran sampel yang layak untuk penelitian adalah antara 30-500 sampel. Data yang dikumpulkan meliputi input, output dan harga jual produk usaha pengolahan beras, serta preferensi konsumen terhadap beras aromatik.

Analisis ekononomi pengolahan beras dilakukan dengan menggunakan analisis nilai tambah dan keuntungan. Analisis nilai tambah mengikuti metode Hayami (Hayami et al., 1987 dalam Slamet,

Page 309: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

292

2005), sebagaimana pada Tabel 1. Sementara itu analisis keuntungan menggunakan R/C ratio dengan rumus sebagai berikut:

Preferensi konsumen terhadap beras aromatik dianalisis secara deskriptif dan statistik dengan

menggunakan uji kebaikan (goodness of fit) menggunakan chi-square (χ2). Uji chi-square berguna

untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel nominal atau lebih dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Usman dan Akbar, 2000). Pengujian hipotesis uji chi-square adalah sebagai berikut:

df = 1 χ2(0,05;1) = 3,84; H0 diterima jika : χ

2<3,84; ditolak χ

2>3,84

Untuk menghitung nilai χ2 digunakan rumus:

k (nij – eij)2

χ2 = Σ

1=i eij

dimana:

nij = frekuensi yang diamati

eij = frekuensi yang diharapkan

Tabel 1. Cara perhitungan nilai tambah mengikuti Metode Hayami (Hayami et al., 1987 dalam Slamet, 2005).

Variabel Nilai Cara perhitungan

Output, Input dan Harga

Hasil produksi (kg) 1

Bahan baku (kg) 2

Tenaga kerja (org) 3

Faktor konversi 4 =1/2

Koofisien tenaga kerja 5 =3/2

Harga produk (Rp/kg) 6

Upah tenaga kerja (Rp/org) 7

Penerimaan dan Keuntungan

Harga produk (Rp/kg) 8

Sumbangan input lain (Rp/kg) 9

Nilai produksi (Rp/kg) 10 =4x6

Nilai tambah (Rp/kg) 11a =10-9-8

Rasio nilai tambah (%) 11b =(11a/10)x100%

Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) 12a =5x7

Pangsa tenaga kerja (%) 12b =(12a/11a)x100%

Keuntungan (Rp/kg) 13a =11a-12a

Tingkat keuntungan (%) 13b =(13a/11a)x100%

Balas jasa faktor produksi

Marjin (Rp/kg) 14 =10-8

Imbalan tenaga kerja (%) 14a =(12a/14)x100%

Sumb.angan input lain (%) 14b =(9/14)x100%

Keuntungan pemilik modal (%) 14c =(13a/14)x100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Usaha Pengolahan Beras Gapoktan Rimbo Jaya

Gapoktan Rimbo Jaya didirikan pada tahun 2008, terdiri atas 17 kelompok tani, diantaranya 7 kelompok tani sawah. Luas lahan sawah anggota gapoktan adalah 156,5 ha yang diusahakan oleh 204 keluarga petani. Salah satu usaha gapoktan adalah unit usaha penggilingan padi dan pemasaran beras.

Usaha penggilingan padi dan pemasaran beras dimulai ketika gapoktan mendapatkan bantuan 1 unit mesin penggilingan padi dari Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu pada tahun 2015. Gapoktan

R-C ratio = Penerimaan Usaha

Biaya

Page 310: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

293

Rimbo Jaya mengolah gabah dari berbagai jenis varietas padi non aromatik, misalnya IR-64, Ciherang, Cigeulis, dan jenis-jenis padi Inpari. Usaha pengolahan beras aromatik dimulai gapoktan sejak awal tahun 2016 dengan mengolah hasil panen dua varietas padi aromatik (Sintanur dan Inpari 23 Bantul) pada tahun 2015 hasil penelitian BPTP Bengkulu di lahan petani anggota gapoktan.

Gapoktan Rimbo Jaya saat ini telah menghasilkan dua jenis produk beras dalam kemasan yang dinamai dengan RASSE, kependekan dari Beras Seluma (non aromatik) dan Beras Aromatik. Gapoktan telah menjual sekitar 30 ton beras yang diproduksi sejak awal sampai dengan pertengahan tahun 2016. Kendala yang dihadapi gapoktan dalam produksi beras adalah keterbatasan modal pembelian gabah dan kekurangan lantai jemur. Produksi beras aromatik juga masih belum kontinyu karena petani yang menanam beras aromatik masih terbatas.

Proses pengolahan beras pada unit pengolahan beras di Gapoktan Rimbo Jaya membutuhkan waktu beberapa hari. Gabah kering panen dibeli dari petani dengan kadar air sekitar 24%. Selanjutnya dilakukan penjemuran gabah di atas alas terpal dengan ketebalan tumpukan 3-6 cm. Gabah dibalik setiap 2-3 jam selama penjemuran agar gabah kering merata. Proses penjemuran dilakukan selama 1-2 hari untuk mendapatkan gabah kering giling (GKG) dengan kadar air sekitar 14%. Gabah kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik dan dan disimpan di tempat penggilingan padi. Penggilingan gabah dilakukan dengan menggunakan 2 unit mesin yaitu mesin pemecah kulit (memisahkan sekam dengan beras) dan mesin pemoles beras (mengelupaskan kulit ari beras sehingga membuat beras lebih bersih dan lebih putih). Waktu yang dibutuhkan untuk proses penggilingan padi dan pemolesan beras adalah sekitar 1 jam 15 menit untuk menghasilkan 1-1,5 ton beras. Beras selanjutnya dikemas dalam karung plastik dengan ukuran 20 kg per karung dan disimpan sebelum dipasarkan. Proses penjemuran gabah sampai dengan pengemasan beras membutuhkan tenaga kerja 2 orang per ton beras. Alur proses usaha pengolahan dan pemasaran beras yang dilakukan oleh Gapoktan Rimbo Jaya ditampilkan pada Gambar 1.

Pembelian GKP Kadar air + 24%

Penjemuran GKP menjadi GKG Selama 1-2 hari sehingga kadar

air menjadi + 14%

Penggilingan GKG dan pemolesan beras

Mesin 2 phase kapasitas 1-1,5 ton per jam

Pengemasan beras Kemasan karung plastik 20 kg

Pemasaran beras Ke wilayah Kab. Seluma dan

Kota Bengkulu

Gambar 1. Alur proses usaha pengolahan dan pemasaran beras.

Sumber: Data Primer (2016)

Harga jual beras bervariasi tergantung dengan jenis beras yang dijual. Beras aromatik dijual sedikit lebih mahal yaitu Rp. 11.000/kg dibandingkan dengan beras non aromatik yaitu Rp. 10.600/kg. Kedua jenis beras ini telah dipasarkan di dalam wilayah Kabupaten Seluma hingga ke Kota Bengkulu. Pemasaran beras disesuaikan dengan pesanan konsumen. Pemasaran beras di Kabupaten Seluma umumnya dilakukan untuk memenuhi pesanan pegawai di kantor-kantor pemerintah. Sementara itu pemasaran beras di Kota Bengkulu dilakukan dengan cara menitipkan beras kepada para pedagang pengecer dan kantor-kantor sesuai dengan pesanan langganan. Pemasaran beras ke Kota Bengkulu dilakukan oleh Gapoktan Rimbo Jaya 2 kali dalam seminggu. Jumlah beras yang dipasarkan dalam sekali pengiriman minimal 800 kg. Pembayaran umumnya dilakukan secara tunai oleh para pengecer atau pelanggan.

Page 311: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

294

Analisis Ekonomi Usaha Pengolahan Beras

1. Nilai Tambah

Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja (Kustiari, 2011). Perbandingan nilai tambah antara pengolahan beras aromatik dan non aromatik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis perbandingan nilai tambah pengolahan beras aromatik dan non aromatik di Gapoktan Rimbo Jaya tahun 2016.

Variabel Nilai

Beras aromatik Beras non aromatik

Output, Input dan Harga

Hasil produksi beras 1.000 kg 1.000 kg

Bahan baku GKG 2.000 kg 2.000 kg

Tenaga kerja 4 HOK 4 HOK

Faktor konversi 0,5 0,5

Koofisien tenaga kerja 0,002 0,002

Harga beras Rp. 11.000/kg Rp. 10.600/kg

Upah tenaga kerja Rp. 100.000/HOK Rp. 100.000/HOK

Penerimaan dan Keuntungan

Harga GKP Rp. 4.000/kg Rp. 3.800/kg

Sumbangan input lain Rp. 404/kg Rp. 404/kg

Nilai produksi beras Rp. 11.000/kg Rp. 10.600/kg

Nilai tambah Rp. 6.596/kg Rp. 6.396/kg

Rasio nilai tambah 60,00% 60,30%

Imbalan tenaga kerja Rp. 200/kg Rp. 200/kg

Pangsa tenaga kerja 30,3% 31,3%

Keuntungan Rp. 6.396/kg Rp. 6.196/kg

Tingkat keuntungan 97,0% 96,9%

Balas jasa faktor produksi

Marjin Rp. 7.000/kg Rp. 6.800/kg

Imbalan tenaga kerja 2,90% 2,90%

Sumbangan input lain 5,77% 5,94%

Keuntungan pemilik modal 91,37% 91,18%

Sumber: Data primer (2016). Diasumsikan dalam 1 kali proses produksi dihasilkan 1.000 kg beras.

Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha pengolahan beras aromatik memiliki nilai tambah yang

lebih tinggi yaitu Rp. 6.596/kg dibandingkan dengan beras non aromatik yaitu Rp. 6.396/kg. Terdapat selisih Rp. 200/kg yang berasal dari selisih marjin antara kedua jenis beras ini. Marjin yang diperoleh dalam pengolahan beras aromatik adalah Rp. 7.000/kg, sedangkan beras non aromatik Rp. 6.800/kg. Perbedaan marjin yang diterima berasal dari nilai jual output (beras) dan harga input (GKP). Harga jual beras aromatik adalah Rp. 11.000/kg dengan harga GKP Rp. 4.000/kg. Sedangkan harga jual beras non aromatik adalah Rp. 10.600/kg dengan harga GKP Rp. 3.800/kg.

Sumbangan input lain yang dibutuhkan dalam satu kali proses pengolahan beras (untuk menghasilkan 1 ton beras yang dipasarkan) antara kedua jenis beras ini adalah sama yaitu Rp. 404/kg beras. Sumbangan input lain tersebut berasal dari biaya-biaya sebagaimana tercantum pada Tabel 3.

Page 312: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

295

Tabel 3. Sumbangan input lain dalam proses pengolahan beras.

Biaya/input lain Jumlah satuan Harga (Rp.) Harga total

Solar 6 liter 6.500 39.000

Karung plastic 50 lembar 3.000 150.000

Listrik RMU 1 kali 2.000 2.000

Benang jahit karung 1 gulung 10.000 10.000

Oli mesin 0,1 liter 30.000 3.000

Transportasi penjualan 1.000 kg` 200 200.000

Jumlah total 404.000

Jumlah rata-rata biaya input lain per kg beras 404

Sumber: Data primer (2016).

2. Keuntungan

Keuntungan usaha pengolahan beras diperoleh dengan cara menghitung penerimaan (Revenue) yang didapatkan dari perkalian antara jumlah beras yang dihasilkan dikalikan dengan harga jualnya, kemudian dikurangi dengan nilai seluruh biaya (Cost) yang dikeluarkan. Biaya yang dikeluarkan adalah biaya tidak tetap (biaya variabel) dalam proses produksi. Analisis R/C terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan efisiensi usaha pengolahan besar.

Uraian Beras aromatik Beras non aromatik

Satuan Harga Satuan (Rp.)

Jumlah harga (Rp.)

Satuan Harga Satuan (Rp.)

Jumlah harga (Rp.)

Biaya produksi

GKP 2.000 kg 4.000 8.000.000 2.000 kg 3.800 7.600.000

Karung plastik 50 buah 3.000 150.000 50 buah 3.000 150.000

Biaya listrik RMU 1 kali 2.000 2.000 1 kali 2.000 2.000

Benang jahit karung 1 gulung 10.000 10.000 1 gulung 10.000 10.000

Solar 6 liter 6.500 39.000 6 liter 6.500 39.000

Oli mesin 0,1 liter 30.000 3.000 0,1 liter 30.000 3.000

Biaya tenaga kerja 4 HOK 100.000 400.000 4 HOK 100.000 400.000

Transportasi penjualan 1.000 kg 2.000 200.000 1.000 kg 2.000 200.000

Jumlah biaya - - 8.804.000 - - 8.404.000 Hasil penjualan beras 1.000 kg 11.000 11.000.000 1.000 kg 10.600 10.600.000 Keuntungan - - 2.196.000 - - 2.196.000 R-C ratio - - 1,25 - - 1,26

Sumber: Data primer (2016).

Tabel 4 memperlihatkan bahwa usaha pengolahan beras di Gapoktan Rimbo Jaya

menguntungkan. Efisiensi usaha pengolahan beras aromatik (R/C rasio 1,25) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan beras non aromatik (R/C rasio 1,26). Hal ini berarti bahwa usaha pengolahan beras aromatik memiliki tingkat keuntungan yang sedikit lebih kecil daripada pengolahan beras non aromatik. Dalam 1 rupiah biaya tidak tetap untuk memproduksi beras diperoleh keuntungan 1,25 rupiah untuk beras aromatik dan 1,26 rupiah untuk beras non aromatik. Walaupun demikian, Gapoktan Rimbo Jaya lebih senang memproduksi beras aromatik daripada beras non aromatik karena beras aromatik relatif lebih disukai konsumen atau lebih cepat laku, sehingga putaran modalnya lebih cepat. Disamping itu karena nilai tambah usaha beras aromatik juga sedikit lebih tinggi.

Preferensi Konsumen terhadap Beras Aromatik

Preferensi konsumen didefinisikan sebagai pilihan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk (barang atau jasa) tertentu yang dikonsumsi. Pilihan konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada (Kotler, 1997). Preferensi terhadap beras aromatik diketahui dari jawaban responden anggota KPN Agri-Teknologi Bengkulu. Deskripsi responden disajikan pada Tabel 5.

Page 313: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

296

Tabel 5. Deskripsi responden survei.

Deskripsi responden Keterangan Keterangan

Umur rata-rata 43 tahun - Lama pendidikan formal rata-rata 14 tahun - Pendapatan per bulan rata-rata Rp. 3.827.753 - Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 4 orang - Preferensi terhadap beras aromatic 60% 18 dari 30 responden

Sumber: Data primer (2016). Jumlah responden = 30 orang.

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen (60%) lebih menyukai beras aromatik

daripada beras non aromatik. Alasan konsumen umumnya adalah karena aroma beras aromatik yang wangi. Secara statistik tidak ada perbedaan preferensi konsumen terhadap beras aromatik dibandingkan dengan beras non aromatik (nilai χ

2 = 1,20) berdasarkan hasil uji Goodness of Fit

sebagaimana ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 . Distribusi frekuensi preferensi konsumen terhadap beras aromatik.

Suka beras aromatik Suka beras non aromatik Jumlah

Frekuensi yang diamati 18 12 30 Frekuensi yang diharapkan 15 15 30

Sumber: Data primer (2016).

Nilai chi-square (χ

2) dapat ditentukan berdasarkan angka-angka pada Tabel 6 dengan

perhitungan sebagai berikut.

k (nij – eij)2

(18-15)2 (12-15)

2

χ2 = Σ = + = 1,20 < 3,84

1=i eij 15 15

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen menyatakan lebih suka dengan beras aromatik daripada beras non aromatik. Meskipun demikian, tidak semua konsumen yang menyatakan suka beras aromatik tersebut akan selalu membelinya dengan pertimbangan bahwa harga beras aromatik relatif lebih mahal dibandingkan dengan beras non aromatik. Terdapat 33% responden yang suka beras aromatik tapi tidak akan selalu membelinya karena terjadi peningkatan konsumsi beras rumah tangga. Konsumsi beras rumah tangga akibat membeli beras aromatik umumnya meningkat sampai dengan 25% sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Peningkatan konsumsi beras rumah tangga.

Peningkatan konsumsi beras Jumlah responden

(orang) Persentasi (%)

<25-% 15 83 >25-50% 2 11

>50 1 6

Jumlah 18 100

Sumber: Data primer (2016).

Menurut Kementan (2015), konsumsi beras rata-rata pada tingkat rumah tangga di Indonesia

dalam periode 2010-2014 sebesar 98,57 kg/kapita/tahun. Apabila diasumsikan bahwa konsumsi beras rumah tangga meningkat sebesar 25% per tahun karena mengkonsumsi beras aromatik, maka konsumen akan menanggung biaya lebih tinggi untuk membeli beras sebesar Rp. 1.241.982/tahun atau Rp. 103.499/bulan. Perhitungannya ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Peningkatan biaya konsumsi beras rumah tangga.

Jenis beras Kebutuhan beras (kg/kapita/tahun)

Kebutuhan beras rumah tangga tahun (kg/tahun)**

Pengeluaran beras rumah tangga (Rp./tahun)***

Non aromatic 98,57 394,28 4.179.368 Aromatik 123,21* 492,85 5.421.350

Selisih 24,64 98,57 1.241.982

Keterangan: * Konsumsi beras aromatik diasumsikan meningkatkan konsumsi beras 25%. ** Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 4 orang. *** Harga beras aromatik Rp. 11.000/kg dan non aromatik Rp. 10.600/kg.

Page 314: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

297

KESIMPULAN

1. Nilai tambah pengolahan beras aromatik sedikit lebih besar yaitu Rp. 6.596/kg dibandingkan dengan beras non aromatik (Rp.6.396/kg). Sebaliknya, R/C ratio pengolahan beras aromatik sedikit lebih kecil yaitu 1,25 berbanding 1,26. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun proporsi keuntungan pengolahan beras aromatik lebih rendah, namun keuntungan riilnya lebih tinggi daripada pengolahan beras non aromatik.

2. Preferensi konsumen terhadap beras aromatik dan non aromatik tidak berbeda nyata atau relatif sama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Wahyu Wibawa, MP sebagai Penanggung Jawab Kegiatan Bioindustri yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan data yang terkait dengan padi aromatik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2015. Aroma Wangi Pandan pada Pertanaman Padi Aromatik. http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/ index.php/berita/info-teknologi/content/177-aroma-wangi-pandan-pada-pertanaman-padi-aromatik. [Diunduh tgl 29 Agustus 2016].

Elsera, T., Jumali, dan B. Kusbiantoro. 2014. Karakteristik Flavor Beras Varietas Padi Aromatik dari Ketinggian Lokasi yang Berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33(1):27-35.

Julianto. 2013. Perbaikan Rendemen Penggilingan Dongkrak Produksi Padi. Tabloid Sinar Tani, 1 Oktober 2013. http://tabloidsinartani.com/content/ read/perbaikan-rendemen-penggilingan-dongkrak-produksi-padi/. [Diunduh tgl 30 Agustus 2016].

Jumali, S., D. Indrasari, dan B. Kusbiantoro. 2011.Pengaruh Bahan Pengemas terhadap Mutu Beras Padi Aromatik selama Penyimpanan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(3):154-163.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Kementan. Jakarta.

Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. PT. Prenhalindo. Jakarta.

Kustiari, R. 2011. Analisis Nilai Tambah dan Imbalan Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil Pertanian. Dalam Prosiding Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian yang diselenggarakan pada tanggal 12 Oktober 2011 di Bogor. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Hal. 75-84.

Mauliddar, A.N., M.B. Darus, dan L. Fauzia. 2014. Analisis Usaha Penggilingan Padi di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=184301. [Diunduh tgl 29 Agustus 2016].

Putri, T.A., N. Kusnadi, dan D. Rachmina. 2013. Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi Kasus pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di Ciajur, Jawa Barat. Jurnal Agribisnis Indonesia 1(2):143-154.

Slamet, U.U. 2005. Nilai Tambah dan Balas Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil-hasil Pertanian. Bulletin Penelitian Nomor 8:1-8.

Soekartawi. 2006. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian – Teori dan Praktek. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Suhartini dan I.P. Wardana. 2011. Mutu Beras Padi Aromatik dari Pertanaman di Lokasi dengan

Ketinggian Berbeda. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2):101-106. Suprapto, A. 1999. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan dalam memasuki Pasar Global.

Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Musyawarah Nasional V POPMASEPI yang diselenggarakan pada tanggal 16 Maret 1999 di Medan.

Usman, H. dan R.P.S. Akbar. 2000. Pengantar Statistika. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 315: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

298

TINGKAT PREFERENSI SUBSTITUSI TEPUNG PANGAN LOKAL PADA PEMBUATAN ROTI TAWAR

PREFERENCES OF LOCAL FOOD FLOUR SUBSTITUTE IN BREAD MAKING

A. Dalapati, Sumarni, dan Jonni Firdaus

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jl. Lasoso N0. 62 Lolu Sigi Biromaru Sulawesi Tengah Telp (0451)-482546

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Roti tawar merupakan salah satu pangan yang biasanya digunakan sebagai pengganti nasi, utamanya pada saat sarapan pagi. Konsumsi roti tawar cukup mengenyangkan, karena roti tawar mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 50 gram/100 gram roti tawar. Roti tawar pada industri bakery umumnya terbuat dari tepung terigu, dimana bahan bakunya yaitu gandum, masih diimpor dari luar negeri. Penggunaan tepung terigu pada pembuatan roti tawar dapat dikurangi dengan memanfaatkan tepung dari pangan lokal. Pangan lokal yang dapat dibuat tepung khususnya di Sulawesi Tengah banyak tersedia, antara lain ubi kayu dan jagung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat preferensi subtitusi tepung pangan lokal (mocaf dan jagung) pada pembuatan roti tawar. Penelitian ini dilakukan di laboratorium pasca panen BPTP Sulawesi Tengah, bulan Juli-September 2015. Subtitusi tepung pangan lokal, baik tepung mocaf maupun tepung jagung terhadap tepung terigu pada pembuatan roti tawar sebesar 0%, 20%, 30% dan 40%. Analisa preferensi panelis melalui uji organoleptik dari segi rasa, warna bagian luar, warna bagian dalam, aroma dan tekstur. Skor penilaian adalah 1 = suka, 2 = cukup suka, 3 = tidak suka. Panelis yang dilibatkan adalah 25 orang panelis tidak terlatih. Data yang dihasilkan dianalisa dengan uji Anova dan dilanjukan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan, secara keseluruhan subtitusi tepung mocaf 30% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka. Untuk tepung jagung, secara keseluruhan subtitusi tepung jagung 30% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka.

Kata Kunci: roti tawar, subtitusi, tepung mocaf, tepung jagung

ABSTRACT

Bread is one food that is usually used as a substitute for rice, especially during breakfast. Consumption of bread is quite filling because the bread contains carbohydrates are high enough that 50 grams/100 grams of bread. Bread in the bakery industry is generally made from wheat flour, where the raw material is wheat, still imported from abroad. The use of flour baking test can be reduced by using flour from local food. Local food, especially flour that can be made widely available in Central Sulawesi, including cassava and maize. This study aims to look at the level of local food preferences substitution flour (mocaf and maize) in bread making. This research was conducted in the laboratory of post-harvest BPTP Central Sulawesi, in July-September 2015. The substitution of local food flour, both mocaf flour or corn flour to wheat flour baking test at 0%, 20%, 30% and 40%. Analysis panelists through organoleptic preferences in terms of taste, the color of the exterior, the inner color, aroma and texture. Assessment score was 1 = liked, 2 = quite like it, 3 = dislike. Panelists involved are 25 trained panelists. The resulting data were analyzed by Anova and continued with DMRT at the 5% significance level. The results showed that overall 30% substitution mocaf flour baking test can still be accepted by the panelists with enough votes likes. For maize, the overall 30% substitution of corn flour baking test can still be accepted by the panelists with enough votes likes.

Key Words: bread, substitution, mocaf flour, corn flour

Page 316: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

299

PENDAHULUAN

Roti tawar merupakan salah satu pangan yang biasanya digunakan sebagai pengganti nasi, utamanya pada saat sarapan pagi. Penyajian roti tawar yang praktis dan cepat juga menjadikan roti tawar sebagai pilihan utama pengganti nasi. Selain itu konsumsi roti tawar cukup mengenyangkan, karena roti tawar mengandung karbohidrat sebagai sumber energi yang cukup tinggi yaitu 50 gram/100 gram roti tawar. Konsumsi roti tawar masyarakat Indonesia, umumnya dari tahun ketahun semakin meningkat, utamanya di perkotaan, sehingga olahan roti tawar berpeluang untuk dikembangkan.

Roti tawar pada industri bakery umumnya terbuat dari tepung terigu, dimana bahan bakunya yaitu gandum, masih diimpor dari luar negeri. Penggunaan tepung terigu pada pembuatan roti tawar dapat dikurangi dengan memanfaatkan tepung dari pangan lokal. Pangan lokal yang dapat dibuat tepung khususnya di Sulawesi Tengah banyak tersedia, antara lain ubi kayu dan jagung. Data BPS untuk produksi ubi kayu di Sulawesi Tengah adalah 84688 ton, sedang untuk jagung adalah 170203 ton (BPS, 2015). Ubi kayu dan jagung yang tersedia tersebut berpotensi untuk diolah menjadi tepung mocaf dan tepung jagung. Tepung merupakan salah satu bentuk olahan antara dari ubi kayu maupun jagung, dari tepung ini dapat lagi diolah menjadi aneka olahan pangan, salah satunya adalah roti. Kandungan gizi dari tepung mocaf dan jagung juga tidak kalah dari tepung terigu. Untuk kandungan karbohidrat, kedua tepung dari pangan lokal ini lebih tinggi dibanding tepung terigu, yaitu tepung mocaf 86,96%, tepung jagung 81,99 % (Firdaus, dkk. 2015) sedang tepung terigu 69,3% (Widaningrum dkk., 2005). Namun untuk kandungan protein, tepung terigu masih lebih tinggi yaitu 14,9% (Widaningrum dkk., 2005) sedang tepung mocaf 2,38% dan tepung jagung 8,29% (Firdaus, dkk. 2015).

Tepung untuk pembuatan roti harus mengandung gluten. Gluten merupakan komponen protein yang bersifat elastis saat bercampur dengan air dan mampu menahan gas yang terbentuk pada saat fermentasi, sehingga pada pembuatan roti tawar menyebabkan volume roti dapat mengembang dan menghasilkan pori-pori seragam dalam roti (Krisnawati R., 2014).Kandungan gluten banyak terdapat pada tepung terigu (9,2 g/100 g bahan), untuk tepung jagung mengandung gluten < 1 g/100 g bahan (Suarni dan Sarasutha, 2001) sedang untuk tepung mocaf tidak mengandung gluten (Ratnasari, 2014). Oleh karena itu jika ingin memanfaatkan tepung mocaf ataupun jagung dalam pembuatan roti tawar harus perlu dilakukan pencampuran dengan tepung terigu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat preferensi subtitusi tepung pangan lokal (mocaf dan jagung) pada pembuatan roti tawar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di laboratorium pasca panen BPTP Sulawesi Tengah, bulan Juli-September 2015. Tahap kegiatan berupa pembuatan tepung mocaf dan tepung jagung dilanjutkan dengan pembuatan roti tawar kemudian dilakukan uji organoleptik.

Pembuatan tepung mocaf

Bahan yang dibutuhkan pada pembuatan tepung mocaf adalah ubi kayu, starter BIMO-CF, air. Alat yang dibutuhkan adalah pisau, alat penyawut, alat pengering, alat penggiling tepung, ayakan dan sealer.

Tepung mocaf sengaja dipilih pada pembuatan roti tawar ini, karena tepung mocaf merupakan modifikasi dari ubi kayu yang ditambahkan starter Bimo-CF. Keunggulan tepung mocaf dibanding tepung ubi kayu adalah tingkat keputihan tepung lebih tinggi dan aroma ubi kayu pada tepung lebih minimal. Tepung mocaf menurut Misgiyarta dkk. (2009) dapat mensubtitusi tepung terigu 30-40% pada pembuatan roti tawar. Proses pembuatan tepung mocaf adalah ubi kayu dikupas, lalu dicuci bersih, setelah itu ubi kayu disawut. Hasil sawutan dimasukkan dalam baskom berisi air yang telah dicampur dengan starter BIMO-CF (1 g BIMO-CF : 1 kg sawutan ubi kayu : 1 liter air), kemudian didiamkan selama 12 jam. Setelah 12 jam, sawutan ubi dicuci bersih, kemudian dijemur menggunakan alat pengering. Proses pengeringan dihentikan ketika sawutan ubi mudah untuk dipatahkan. Sawutan ubi yang telah kering, digiling pada alat penenepung kemudian diayak. Tepung ubi kemudian dikemas dalam kemasan plastik yang ditutup rapat menggunakan sealer.

Page 317: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

300

Pembuatan tepung jagung

Bahan yang dibutuhkan pada pembuatan tepung jagung adalah jagung pipilan, ragi tape, air. Alat yang dibutuhkan adalah alat penyawut, alat pengering, alat penggiling tepung, ayakan dan sealer.

Tepung jagung yang dibuat sedikit berbeda dengan tepung jagung biasa, dimana tepung jagung yang dibuat untuk roti tawar ini, sebelum beras jagungnya dikeringkan dan digiling, melalui proses perendaman dengan ragi tape. Pembuatan tepung jagung termodifikasi dengan cara perendaman dengan ragi tape menurut Richana (2010) secara umum tidak menurunkan nilai gizi, tetapi justru meningkatkan sifat fungsionalnya dan memperbaiki kualitas adonan serta memperbaiki daya mengembang dan lebih baik sebagai bahan baku roti maupun mi. Tepung jagung dibuat dengan cara, menggiling jagung pipilan sehingga berbentuk seperti beras, diayak untuk menghilangkan kotoran dan kulit ari jagung. Beras jagung kemudian direndam dalam air yang telah dicampur dengan ragi tape (1 kg beras jagung : 2 g ragi tape : 1 liter air) selama dua hari. Setelah dua hari beras jagung dicuci bersih, bagian yang mengapung dibuang, lalu ditiriskan lalu dikeringkan menggunakan alat pengering. Setelah jagung kering, jagung digiling, diayak, kemudian tepung jagung dikemas dalam kemasan plastik yang ditutup rapat menggunakan sealer.

Pembuatan roti tawar

Bahan yang digunakan pada pembuatan roti tawar adalah tepung mocaf atau tepung jagung dan tepung terigu, mentega putih, ragi, gula pasir, susu bubuk, garam, telur dan air. Alat yang digunakan adalah timbangan, mixer pembuat roti, cetakan roti tawar, oven.

Proses pembuatan roti tawar diawali dengan pencampuran tepung pangan lokal (tepung mocaf atau tepung ubi jalar) dengan tepung terigu sesuai dengan komposisi perlakuan. Setelah kedua macam tepung teraduk rata, dimasukkan gula pasir, susu, ragi lalu diaduk rata. Hasil campuran semua bahan kering kemudian ditambahkan telur dan air dingin, kemudian diaduk hingga rata menggunakan mixer pembuat roti. Setelah rata lalu mentega putih dan garam dimasukkan, lalu diaduk sampai adonan kalis. Adonan kalis kemudian didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, adonan dikempiskan, lalu dibentuk dan dimasukkan dalam cetakan roti tawar. Adonan kembali didiamkan selama 1 jam, kemudian dipanggang di oven dengan suhu 200

0C hingga matang.

Rancangan penelitian

Subtitusi tepung pangan lokal, baik tepung mocaf maupun tepung jagung terhadap tepung terigu pada pembuatan roti tawar adalah sebesar 0%, 20%, 30% dan 40%.

Analisa preferensi panelis melalui uji organoleptik dari segi rasa, warna roti tawar bagian luar, warna roti tawar bagian dalam, aroma dan tekstur. Skor penilaian adalah 1 = suka, 2 = cukup suka, 3 = tidak suka. Panelis yang dilibatkan sebanyak 25 orang dan merupakan panelis tidak terlatih. Data yang dihasilkan dianalisa secara statistik dengan uji Anova dan dilanjukan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Roti tawar dari tepung mocaf

Pada pembuatan roti tawar, subtitusi tepung mocaf terhadap terigu yang diujikan adalah adalah 0%, 20% , 30%, dan 40%. Untuk melihat preferensi panelis terhadap subtitusi tepung mocaf pada pembuatan roti tawar dilakukan uji organoleptik berdasarkan tingkat kesukaan panelis dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur roti tawar yang dihasilkan. Hasil uji organoleptik subtitusi tepung mocaf pada pembuatan roti tawar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji organoleptik subtitusi tepung mocaf pada pembuatan roti tawar

Penilaian Perlakuan Subtitusi Tepung Mocaf

0% 20% 30% 40%

Rasa 1.44a 1.36

a 2.04

b 2.36

b

Warna bagian luar 1.40ab

1.24a 1.68

b 2.24

c

Warna bagian dalam 1.36ab

1.20a 1.64

b 2.40

c

Aroma 1.52a 1.44

a 2.04

b 2.44

c

Tekstur 1.36a 1.28

a 2.20

b 2.60

c

Sumber : Data primer (2015) Ket : Huruf yang sama pada satu baris menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf 0,05%; tn =

tidak nyata; Skor penilaian : 1 = suka, 2 = cukup suka, 3 = tidak suka

Page 318: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

301

Dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur perlakuan 0% tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20%. Dengan penambahan 20% tepung mocaf pada pembuatan roti tawar penilaiannya tidak berbeda nyata dengan roti tawar dari terigu 100% yaitu mendapat penilaian suka. Hal ini disebabkan karena sifat tepung mocaf memiliki karakteristik fisik yang menyerupai terigu, yaitu putih, lembut, tidak beraroma singkong (Widanti, 2015), sehingga ketika ditambahkan dengan tepung terigu dalam jumlah yang minimal (20%) dalam pembuatan roti, tidak terlalu mempengaruhi rasa, warna, aroma dan tekstur dari roti tawar yang dihasilkan. Sedang untuk perlakuan 30% dan 40% mendapat penilaian cukup suka untuk hampir semua aspek penilaian, kecuali perlakuan 40% pada penilaian tekstur mendapat kategori tidak suka. Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa semakin naik persentasi penambahan tepung mocaf maka pengembangan roti semakin menurun. Pada penambahan 40% tepung mocaf adonan roti yang dihasilkan kurang mengembang/cukup padat, kurang membentuk pori-pori roti, berbeda dengan pori-pori roti yang dihasilkan oleh roti tawar tepung terigu, sehingga panelis tidak suka terhadap teksturnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arlene dkk., (2009) bahwa tepung singkong dalam hal daya kembang tidak sepenuhnya dapat mensubtitusi tepung terigu, jaringan yang terbentuk dalam adonan tidak dapat menahan gas CO2 yang terbentuk selama fermentasi sehingga adonan tidak dapat mengembang.

Secara keseluruhan penambahan tepung mocaf 30% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka, namun penambahan 20% tepung mocaf menghasilkan penilaian yang terbaik, karena tidak berbeda nyata dengan penilaian roti tawar dari tepung terigu.

0% 20% 30% 40%

Gambar 1. Penampilan roti tawar dari berbagai tingkat substitusi tepung mocaf

Roti tawar jagung

Preferensi terhadap subtitusi tepung jagung pada pembuatan roti tawar dapat dilihat dari hasil uji organoleptik berdasarkan tingkat kesukaan terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur roti tawar tepung jagung (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil uji organoleptik subtitusi tepung jagung pada pembuatan roti tawar.

Penilaian Perlakuan Subtitusi tepung jagung

0% 20% 30% 40%

Rasa 1.45a 1.95

b 2.15

b 2.30

b

Warna bagian luar 1.15a 1.75

b 1.75

b 1.90

b

Warna bagian dalam 1.15a 1.85

b 2.10

bc 2.35

c

Aroma 1.45a 2.00

bc 1.80

ab 2.20

c

Tekstur 1.20a 1.85

b 2.15

bc 2.40

c

Sumber : Data primer (2015)

Ket : Huruf yang sama pada satu baris menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf 0,05%; tn = tidak nyata; Skor penilaian : 1 = suka, 2 = cukup suka, 3 = tidak suka

Dari segi rasa, warna, dan tekstur, perlakuan 0% berbeda nyata dengan 20%, 30% dan 40%.

Roti tawar dari tepung terigu mendapat penilaian suka dari semua aspek penilaian, sedang roti tawar

Page 319: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

302

dengan penambahan tepung jagung mendapat penilaian cukup suka dari panelis. Untuk rasa, penambahan 20%, 30%, 40% tepung jagung memberi rasa khas terhadap roti tawar yang dihasilkan, dimana semakin banyak penambahan tepung jagung maka rasa khas dari tepung jagung semakin terasa. Dari segi warna semakin banyak penambahan dengan tepung jagung menghasilkan warna kuning yang lebih gelap, mengingat warna tepung jagung yang kekuningan, tidak putih bersih seperti warna tepung terigu.Tepung jagung berwarna kekuningan disebabkan jagung mengandung betakaroten yang menimbulkan warna kuning (Fitriani, 2013) dan warna kuning ini tidak hilang selama proses penepungan. Dari gambar 2juga dapat dilihat bahwa semakin naik persentasi penambahan tepung jagung maka pengembangan roti semakin menurun.

0% 20% 30% 40%

Gambar 2. Penampilan roti tawar dari berbagai tingkat substitusi tepung jagung

Secara keseluruhan penambahan tepung jagung 40% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Richana dkk., 2012, bahwa tepung jagung dalam pembuatan roti tawar dapat mensubtitusi terigu hingga 40%. Penilaian umum untuk uji organoleptik roti subtitusi tepung jagung (cukup suka) belum sama dengan penilaian untuk roti dari tepung terigu (suka), walaupun cenderung tidak ditolak. Adanya aroma dan rasa yang khas pada roti tawar tepung jagung akibat penambahan tepung jagung ini, menyebabkan tingkat penerimaannya sebatas cukup suka saja. Adanya aroma dan rasa yang khas dari bahan baku dapat menurunkan penerimaan dari suatu produk, hasil penelitiaan Waruwu, dkk. (2015) menunjukkan pada pembuatan roti dengan penambahan tepung kedelai, semakin banyak tepung kedelai yang ditambahkan maka semakin menurun penilaian organoleptik dari segi aroma dan rasa. Sebagaimana diketahui tepung kedelai juga memiliki aroma dan rasa yang khas.

Untuk penelitian ini subtitusi tepung jagung sebesar 30% pada pembuatan roti tawar lebih disarankankarena secara fisik penambahan tepung jagung 30%, masih memperlihatkan pengembangan yang lebih baik dibanding pemgembangan roti tawar dengan subtitusi tepung jagung 40%.

KESIMPULAN

Subtitusi tepung mocaf 30% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka, begitupun untuk tepung jagung, secara keseluruhan subtitusi tepung jagung 30% pada pembuatan roti tawar masih dapat diterima oleh panelis dengan penilaian cukup suka.

DAFTAR PUSTAKA

Arlene, A., Judy, R.W., Maria, F. 2009. Pembuatan roti tawar dari tepung singkong dan tepung kedelai. Simposium Nasional RAPI VIII 2009: 80 – 84.

[BPS], Badan Pusat Statistik, 2015. Sulawesi Tengah Dalam Angka. http://sulteng.bps.go.id/frontend/linkTabelStatis/view/id/306 [Diunduh Tgl 28 Okteber 2016].

Firdaus, J., Dalapati, Sumarni. 2015. Pengkajian perakitan inovasi teknologi diversifikasi pangan berbasis pangan lokal di sulawesi tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.

Page 320: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

303

Fitriani AAN dan Nugrahani A. 2013. e-journal boga 2 (3): 34 – 43. Pengaruh proporsi tepung jagung dan mocaf terhadap kualitas “jamor rice” instan ditinjau dari sifat organoleptik.

Krisnawati, R. 2014. Pengaruh subtitusi puree ubi jalar ungu (Ipomea batatas) terhadap mutu organoleptik roti tawar. e-journal boga 3 (1): 79 – 88.

Misgiyarta, Suismono, Suyanti. 2009. Tepung kasava bimo kian prospektif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31 (4): 1 - 4.

Ratnasari Y. 2014. Pengaruh substitusi mocaf (modified cassava flour) dan jumlah air terhadap hasil jadi choux paste. e-journal boga 3 (1): 141 – 148.

Richana N. 2010. Tepung jagung termodifikasi sebagai pengganti terigu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32 (6): 1 - 7.

Richana N., Ratnaningsih, Haliza W. 2012. Teknologi pascapanen jagung. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Suarni dan IGP Sarasutha, 2001. Teknologi pengolahan jagung untuk meningkatkan nilai tambah dan pengembangan agroindustri. Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah.

Waruwu, F., Elisa J., Sentosa G. 2015. Evaluasi karakteristik fisik, kimia, dan sensori roti dari tepung komposit beras, ubi kayu, kentang, dan kedelai dengan penambahan xanthan gum. J. Rekayasa Pangan dan Pert. 3 (4): 448 – 457.

Widanti, YA dan Akhmad M. 2015. Karakteristik organoleptik brownies dengan campuran mocaf dan tepung ketan hitam dengan variasi lama pemanggangan. Joglo XXVII (2) : 272 – 280.

Page 321: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

304

PENERAPAN MODEL PENYEDIAAN BERAS BERKELANJUTAN DI BALI (Studi Kasus di Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, Bali)

APPLICATION SUSTAINABLE DELIVERY MODEL OF RICE IN BALI (Case Study in the Gubug village, District of Tabanan, Bali)

I Ketut Mahaputra dan Nyoman Ngurah Arya

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar, Telp/Fax: 0361-720498,

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pertanian di Indonesia merupakan pertanian tanaman pangan, dimana padi merupakan tanaman pangan utama selain sagu, jagung dan umbi-umbian. Produksi padi yang berupa beras ditempatkan sebagai komoditas utama dalam penyusunan konsep dan implementasi kebijakan perekonomian bangsa, karena beras merupakan kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan beras juga semakin meningkat. Di Bali selain pemenuhan beras untuk masyarakat, juga dibutuhkan oleh penduduk luar yang datang sebagai wisatawan, sehingga dikhawatirkan dalam tahun mendatang produksi beras di Bali sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan itu telah dilakukan kajian penerapan model penyediaan beras di Bali, yang dilaksanakan pada TA. 2014 di Kabupaten Tabanan sebagai sentra produksi beras di Bali. Metode kajian yang digunakan yaitu mengimplementasikan teknologi PTT padi untuk meningkatkan produktivitas dari 5,75 ton/ha menjadi 6,49 ton/ha, meningkatkan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 62,28% atau setara nasional, menurunkan gabah tercecer dari 5,4% menjadi 4,86%. Analisis data menggunakan analisis sistem dinamik. Hasil kajian menunjukkan dengan skenario gabungan yang diterapkan mampu memenuhi peningkatan kebutuhan beras secara keseluruhan di Provinsi Bali sampai dengan tahun 2018, dengan surplus beras berpotensi mencai 39.821 ton. Oleh karena itu, untuk mencapai target swasembada beras harus menerapkan skenario gabungan, yaitu mengimplementasikan teknologi PTT padi untuk meningkatkan produktivitas dari 5,75 ton/ha menjadi 6,94 ton/ha, meningkatkan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 67,80% atau setara nasional serta menurunkan gabah tercecer dari 5,4% menjadi 2,26%.

Kata kunci: Penerapan, Model, penyediaan, beras

ABSTRACT

Agriculture in Indonesia is an agricultural plant food crops, where rice is the main food crops in addition to corn and tubers. Production of rice in the form of rice placed as a major commodity in the drafting and implementation of economic policy. Rice has a vital position in the Indonesian economy, because rice is the basic needs of the majority of the Indonesian people. With the rapid population growth, demand for rice also increased. In Bali, in addition to the fulfillment of rice to the public, also required by the colonists who came as tourists, so feared in the coming year rice production in Bali have been unable to meet the needs of the community. Along with it has done studies the application of models of delivery of rice in Bali, which was held on TA. 2014 in Tabanan as a center of rice production in Bali. Assessment methods used are PTT rice implement technology to improve the productivity of 5.75 ton/ha to 6.49 ton/ha, increase the yield of milled rice from 58.99% to 62.28%, or national equivalent, lower grain spilled on the 5.4% to 4.86%. Analyzed using dynamic system. The results showed the combined scenario that is applied is able to meet the increasing needs of the overall rice in Bali until 2018, with a surplus of 39 821 tonnes. Therefore, to achieve rice self-sufficiency target should implement joint scenarios, namely PTT rice implement technology to improve the productivity of 5.75 tonnes / ha to 6.94 t / ha, increase the yield of milled rice from 58.99% to 67, 80% or the equivalent of a national as well as lowering of grain spilled from 5.4% to 2.26%.

Keywords: Application, model, delivery, rice

Page 322: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

305

PENDAHULUAN

Provinsi Bali bukan merupakan sentra produksi beras di Indonesia, namun produktivitas padi di Bali (5,88 t/ha) relatif lebih tinggi dibandingan produktivitas secara nasional (5,15 t/ha) dengan pangsa sekitar 1.24% terhadap produksi padi nasional. Berdasarkan luas areal panen padi sawah, kabupaten Tabanan merupakan sentra produksi padi sawah di provinsi Bali dengan luas panen 41,611 ha atau sekitar 27,78% dari seluruh luas panen padi sawah di provinsi Bali dengan produktivitas 5,62 t/ha. Kontribusi produksi padi sawah dari kabupaten Tabanan sebesar 26,52% terhadap produksi padi sawah di Bali (BPS Provinsi Bali, 2013).

Pada tahun 2012, produksi padi telah terealisasi mencapai 865.554 ton GKG. Dengan asumsi jumlah proyeksi penduduk Bali tahun 2012 mencapai 4.007.986 jiwa dan rata-rata tingkat konsumsi 112,95/kapita/tahun maka total kebutuhan konsumsi penduduk Bali mencapai 479.211 ton beras. Bila hasil produksi padi di Bali tahun 2012 mencapai 865.554 ton GKG, sedangkan penggunaan gabah padi untuk non pangan mencapai 63.185 ton dan penggunaan beras untuk non pangan mencapai 27.885 ton beras, maka ketersediaan beras untuk pangan di Bali mencapai 47.21 ton (BPS Provinsi Bali, 2012).

Lebih lanjut BPS Provinsi Bali (2012) melaporkan bahwa jika dibandingkan antara ketersediaan beras dengan kebutuhan beras, maka ketersediaan beras di Bali masih dalam kondisi surplus 26.509 ton. Dengan kata lan produksi beras di Bali dalam setahun jika dikonsumsi penduduk Bali saja (belum termasuk wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara), ketersediaan beras masih akan mengalami surplus selama 21,37 hari. Oleh karena itu bila ditinjau dari kebutuhan penduduk Bali saja, maka secara hitungan angka, produksi padi di Bali tidak begitu mengkhawatirkan, dengan asumsi perdagangan gabah atau beras antar pulau seimbang dan stabil.

Hasil perhitungan BPS Provinsi Bali, ternyata beras yang tidak bisa dikonsumsi (terbuang) oleh masyarakat mencapai 53.216 ton beras. Kehilangan ini bersumber dari susut dan tercecer pada kondisi gabah kering giling mencapai 46.739 ton GKG, susut tercecer pada kondisi beras mencapai 12.667 ton dan konsumsi untuk upacara mencapai 10.999 ton. Jika kehilangan beras ini dapat diminimalisasi dan bisa dimanfaatkan untuk konsumsi pangan penduduk, maka beras ini dapat menghidupi penduduk Bali selama 42,91 hari. Jadi untuk meningkatkan ketersediaan beras di Bali selain dengan cara meningkatkan produksi padi, mendatangkan beras dari luar daerah (impor), pemerintah daerah harus bisa meminimalisasi kehilangan (loses) baik dari proses panen sampai menjadi beras ke tingkat konsumen. Upaya pemenuhan kebutuhan beras melalui peningkatan produksi juga masih menghadapi beberapa kendala internal yang berkaitan dengan terbatasnya kapasitas produksi nasional yang disebabkan oleh (a) konversi lahan pertanian ke non pertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan tanah akibat degradasi lingkungan dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), (c) semakin terbatas dan tidak pastinya ketersediaan air irigasi untuk mendukung kegiatan usahatani padi sebagai akibat perubahan iklim mikro dan persaingan pemanfaatan sumberdaya air dengan sektor pemukiman dan industri, (d) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi sehingga sekitar 30% diantaranya mengalami kerusakan dan (e) semakin tidak pastinya pola musim akibat perubahan iklim global (Suryana et al, 2009).

Memperhatikan permasalahan dan potensi yang ada, maka perlu dicoba untuk diterapkan suatu model perberasan berbasis inovasi teknologi untuk memperoleh strategi yang efektif untuk menjaga stabilas keberlanjutannya. Karena masalah perberasan merupakan masalah yang kompleks dan dinamis, maka penelitian ini didekati dengan model sistem dinamik. Tujuan dari kajian ini adalah mengetahui skenario model rekomendasi yang diterapkan dapat memenuhi kebutuhan beras untuk masyarakat di Bali.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan secara purposive di Desa Gubuk Kecamatan Tabanan Kabupaten Tabanan dengan asumsi bahwa kabupaten tersebut merupakan sentra produksi beras di Provinsi Bali. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2014. Hasil simulasi menunjukkan, tidak ada satu skenario pun yang mampu memenuhi peningkatan kebutuhan beras secara keseluruhan di Provinsi Bali. Sampai dengan tahun 2018, defisit beras akan semakin meningkat. Terkait hal tersebut telah disusun skenario kebijakan didasarkan atas analisis sensitivitas (Kamandalu, dkk. 2013), sehingga diketahui parameter yang sensitif atau pengungkit produksi beras di Bali. Salah satu kajian yang mungkin dilakukan guna menjaga ketersediaan beras di Bali, yaitu mengimplementasikan teknologi PTT padi untuk meningkatkan produktivitas dari 5,75 ton/ha menjadi minimal 6,49 ton/ha, meningkatkan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 62,28% atau setara nasional serta

Page 323: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

306

menurunkan gabah tercecer dari 5,4% menjadi 4,86%. Selanjutnya untuk menganalisis status keberlanjutan model yang dihasilkan, dilakukan dengan analisissistem dinamik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil simulasi menunjukkan pada Gambar 1, tidak ada satu skenariopun yang mampu memenuhi peningkatan kebutuhan beras secara keseluruhan di Provinsi Bali. Sampai dengan tahun 2018 defisit beras akan semakin meningkat. Oleh karena itu untuk mencapai target swasembada beras harus menerapkan skenario gabungan, yaitu menurunkan laju alih fungsi lahan dari 0,419% per tahun paling tidak hanya mencapai 0,21%, mengimplementasikan teknologi PTT padi untuk meningkatkan produktivitas dari 5,75 ton/ha menjadi 6,49 ton/ha, meningkatkan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 62,28% atau setara nasional, menurunkan gabah tercecer dari 5,4% menjadi 4,86%; serta menurunkan konsumsi beras untuk masyarakat lokal dari 113 kg/kapita/tahun menjadi 100 kg/kapita/tahun. Terkait dengan sistem penyediaan beras, ada dua sub sistem yang saling terkait yaitu sub sistem produksi dan sub sistem konsumsi. Sub sistem produksi terkait dengan berbagai faktor atau komponen antara lain: tata guna lahan (alih fungsi lahan), luas panen, susut panen, varietas yang ditanam, teknologi budidaya, agroekosistem (sawah irigasi / tadah hujan), indeks panen (IP), dan permasalahan lainnya (Yasa, 2012).

Gambar 1 . Potensi peningkatan produksi beras di Bali dengan beberapa skenario yang di mulai tahun 2013

Keterangan : - Skenario 1 (Menurunkan laju alih fungsi lahan dari 0,49% per tahun menjadi 0,21% per tahun - Skenario 2 (Meningkatkan produktivitas 0,75 ton/ha dari 5,75 ton/ha menjadi 6,49 ton/ha

melalui SLPTT) - Skenario 3 (Peningkatan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 62,28%) - Skenario 4 (Penurunan susut panen dari 5,4% menjadi 4,86%) - Skenario 5 (Menggabungkan Skenario 1-4) - Skenario 6 (Menurunkan konsumsi beras masyarakat lokal dari 113 kg/kapita/tahun menjadi

100 kg/kapita/tahun) Hampir sama dengan permasalahan pada sektor pertanian di tingkat nasional, Bali juga

mengalami permasalahan yang sangat penting yang mempengaruhi produksi beras antara lain permasalahan alih fungsi lahan. Dalam penyusunan sub model produksi, data dan asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Luas sawah di Bali tahun 2008 adalah 81.482 ha (Bali Dalam Angka 2012), menyusut 0,25% per tahun

- Produktivitas padi 2008-2012 rata-rata 5.749 ton/ha (BPS, 2008-2012)

- Pakan ternak/unggas : 0,44% dari total gabah yang diproduksi (Distan Bali, 2013)

- Untuk benih sebanyak 0,90%;

- Beras untuk bahan baku industri non makanan : 0,66%

444.569 448.499

502.564

469.361

451.696 456.296

543.870 541.585

496.815

597.503

440.000

460.000

480.000

500.000

520.000

540.000

560.000

580.000

600.000

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Pro

du

ksi

da

n k

ebu

tuh

an

ber

as

(to

n/t

ah

un

)

Tahun

Produksi aktual

Skenario 1 (Penurunan alihfungsi lahan)

Skenario 2 (Peningkatanproduktivitas mll PTT)

Skenario 3 (Peningkatanrendemen gabah)

Skenario 4 (Penurunan susutpanen)

Skenario 5 (gabungan 1-4)

Skenario 6 (Kebutuhan berasdgn menurunkan konsumsi dari113 mjd 110/kapita/tahun)

Page 324: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

307

- Konversi dari gabah kering panen (GKP) menjadi Beras : 58,99% (BPS, 2013)

- Susut panen rata-rata sebanyak 5,4% (7,48% untuk teknik gebot dan 3,19% apabila menggunakan alat threser (Tjahjohutomo, 2006).

Hasil analisis menunjukkan, sebagai dampak dari meningkatkan alih fungsi lahan, dengan

produktivitas yang hampir stagnan, yaitu 5,79 ton/ha gabah kering panen per hektar, maka produksi beras di Bali cenderung menurun, yaitu dari 469.041 menjadi 457.171 ha.

Salah satu strategi yang diterapkan dalam upaya mendukung peningkatan produksi padi sawah adalah melalui penerapan inovasi teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas diantaranya melalui mengembangkan Pengelolaaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT ini telah menjadi program nasional sejak 2003 dan dijadikan sebagai landmark pangan nasional oleh Kementerian Riset dan Teknologi serta Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). Menurut Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2010) upaya peningkatan produksi terfokus pada penerapan SL-PTT telah berhasil meningkatkan produksi padi sebesar 5,91% pada tahun 2009.

Terkait dengan hasil simulasi tersebut dalam kegiatan penerapan model ini merujuk pada Tupoksi BPTP yaitu penekanan kepada skenario 2, 3 dan 4 yang dilaksanakan pada tingkat lapangan dengan melbatkan petani dilokasi kajian yaitu :1) Peningkatan produktivitas melalui rekomendasi penerapan PTT padi sawah dengan menggunakan VUB dengan sistem tanam legowo 2:1, rekomendasi pemupukan yang dibutuhkan yaitu 100 kg Urea + 300 NPK + 2 ton pupuk organic, penanaman bibit muda (umur 10-20 hari setelah sebar) dengan jumlah 1-3 batang per rumpun, pengaturan pengairan serta penanganan panen dan pascapanen, pengendalian hama terpadu; 2) Menekan susut panen.

Secara umum produktivitas (GKP) dicapai dalam kajian ini adalah sebanyak 6,943 ton/ha atau 69,43 kwt/ha dengan kadar air saat panen sebesar 20. Kalau dilihat dari kondisi aktual GKP adalah sebanyak 58,99 kwt/ha, dengan parameter naik sebanyak 10% target minimal tercapai adalah sebanyak 64,89 kwt/ha. Dari hasil tersebut secara rata-rata produktivitas dicapai telah melampaui target ditetapkan, sehingga dengan kondisi yang belum maksimal (produktivitas belum merata) melalui penerapan PTT-padi, produktivitas masih dapat ditingkatkan lagi.

Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah tingginya kehilangan hasil selama pascapanen. Kegiatan pascapanen meliputi proses pemanenan padi, penyimpanan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga menjadi beras. Dalam penanganan pascapanen padi, salah satu permasalahan yang sering dihadapi adalah masih kurangnya kesadaran dan pemahaman petani terhadap penanganan pascapanen yang baik sehingga masih tingginya kehilangan hasil dan rendahnya mutu gabah (Hasbi, 2012). Susut panen dan pascapanen dapat terjadi pada setiap tahap dalam setiap kegiatan pascapanen. Besarnya kehilangan pascapanen terjadi kemungkinan dikarenakan sebagian besar petani masih menggunakan cara-cara tradisional atau meskipun sudah menggunakan peralatan mekanis tetapi proses penanganan pascapanennya masih belum baik dan benar. Namun demikian pada lokasi kajian dengan persiapan panen yang direncanakan sedemikian rupa kondisi gabah tercecer sangat kecil yaitu sebesar 2,11%. Pemilihan verietas unggul, jadwal panen yang tepat sangat berpengaruh terhadap kerontokan gabah saat dilakukan panen.

Selain gabah tercecer saat panen, peningkatan produksi beras melalui peningkatan rendemen potensial dilakukan. Upaya-upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya kegiatan pasca panen sangat dibutuhkan saat ini. Seandainya tingkat kehilangan (losses) panen bisa ditekan sampai minimal 0,5 sampai 1 persen untuk setiap kegiatan pasca panen dan secara bertahap dapat dikurangi sampai 3 sampai 5 persen berarti total produksi padi yang bisa diselamatkan mencapai 1,59 sampai 2,65 juta ton. Suatu jumlah yang sangat besar untuk mendukung mengamankan target produksi beras nasional setiap tahunnya (Purwanto, 2005). Hal ini sejalan dengan rekomendasi model yang diterapkan dalam kajian terkait upaya penyediaan beras berkelanjutan khususnya di Propinsi Bali.

Program peningkatan rendemen GKG dari 58,99%, menjadi minimal sama dengan rata-rata nasional 62,28% juga realistis diterapkan karena peluang peningkatan rendemen beras melalui perbaikan usaha penggilingan padi masih terbuka. Rendemen giling laboratorium untuk varietas unggul baru (VUB) berkisar antara 68-73% dan untuk varietas lokal 67-71% (Sumardi dan Thahir 1993 dalam Thahir, 2010). Rendemen di daerah lain sebagai perbandingan, untuk Jawa Timur mencapai 62,64%, di DKI 70,05%. Menurut informasi yang diperoleh melalui hasil FGD, di Bali perlu dilakukan modernisasi mesin penyosohan beras yang ada, karena yang secara umum sudah tua. Tipe mesin penyosoh berpengaruh terhadap mutu dan rendemen beras serta hasil sampingnya.

Page 325: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

308

Penggilingan dengan kapasitas besar yaitu penggilingan padi yang menggunakan tenaga penggerak lebih dari 60 HP (Horse Power) dan kapasitas produksi lebih dari 1000 kg/jam, dan kontinu, umumnya menghasilkan beras dengan mutu bagus dan rendemen beras keseluruhan tinggi (63-67%) (Wiedowati, 2001).

Pada kajian yang dilakukan di Subak Gubug I, Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan, untuk faktor pertama telah dilakukan teknik budidaya menggunakan VUB Inpari 24 dengan komponen PTT-padi, demikian halnya dengan alat mesin penggilingan dilakukan pada dua mesin penggilingan yang berbeda. Untuk derajat sosoh, kinerja mesin penggiling seperti umumnya dilakukan di lokasi dengan sekali polesh. Hal ini dilakukan pada jenis VUB Inpari 24 yaitu agar warna merah beras masih terlihat. Namun yang terpenting diketahui bahwa kualitas gabah akan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan. Kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Hasil rendemen yang diperoleh kelompok petani koperator adalah sebesar 67,80%. Nilai ini sudah mencapai kriteria rendemen yang baik karena menurut target nilai parameter ditetapkan adalah minimal 64,89%. Untuk lebih lengkapnya mengenai nilai parameter dan hasil kajian diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter dan hasil kajian di Subak Gubug I, Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan TA. 2014

No Parameter Kondisi Aktual Nilai parameter naik 10%

Hasil Kajian

1 Rendemen GKG menjadi beras (%) 58,99 64,89 67,80 2 Susut tercecer (%) 5,40 4,86 2.26 3 Produktivitas padi (ton/ha) 5,75 6,30 6,94

Keterangan : Parameter sensitif apabila parameter diubah 10%, dampaknya terhadap kinerja model 5-14%, sangat sensitif bila dampaknya 15-34%, dan sangat-sangat sensitif bila dampaknya lebih besar dari 35%.

Selanjutnya data tersebut dimasukkan dalam model dengan memperoleh hasil potensi hasil

seperti pada Tabel 2. Hasil simulasi menunjukkan, dengan skenario gabungan yang diterapkan akan mampu memenuhi peningkatan kebutuhan beras secara keseluruhan di Provinsi Bali. Sampai dengan tahun 2018, defisit beras kemungkinan tidak akan menjadi masalah lagi, sehingga penyediaan beras berkelanjutan dapat dipenuhi. Pada Tabel 2 terlihat sampai dengan tahun 2018, surplus beras berpotensi mencai 39.821 ton.

Tabel 2. Potensi peningkatan produksi beras di Bali melalui peningkatan produktivitas, susut tercecer, rendemen serta konsumsi beras TA. 2014.

Tahun Kebutuhan beras (ton) Produksi beras skenario gabungan (ton) Surplus beras (ton)

2008 444.596,30 469,122 24,526 2009 456.854,72 467,921 11,066 2010 469.611,22 467,673 (1,939) 2011 482.912,97 468,153 (14,760) 2012 496.815,37 471,759 (25,057) 2013 511.383,79 478,995 (32,389) 2014 526.695,59 498,985 (27,711) 2015 542.842,72 525,917 (16,925) 2016 559.934,74 570,968 11,033 2017 578.102,58 623,835 45,732 2018 597.503,07 637,324 39,821

Sumber : Data primer (2014)

KESIMPULAN

Penerapan model yang dapat digunakan untuk mencapai target swasembada beras di Provinsi Bali harus menerapkan skenario gabungan, yaitu mengimplementasikan teknologi PTT padi untuk meningkatkan produktivitas dari 5,75 ton/ha menjadi 6,94 ton/ha, meningkatkan rendemen gabah kering giling dari 58,99% menjadi 67,80% atau setara nasional, menurunkan gabah tercecer dari 5,4% menjadi 2,26%. Alternatif lainnya sebagai tindakan antisipatif perlu dilakukan sosialisasi sumber karbohidrat selain beras guna menurunkan konsumsi beras untuk masyarakat lokal dari 113 kg/kapita/tahun menjadi 100 kg/kapita/tahun.

Page 326: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

309

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang tidak terhingga kami sampaikan kepada rekan-rekan BPTP Bali yang telah banyak membantu kajian ini, juga kepada Bapak/Ibu Koordinator PPL maupun PPL Wilayah Binaan Desa Gubug serta Pengurus (Kelian) Subak Gubug I dan anggota yang telah dengan sungguh-sungguh melaksanakan kegiatan dilapangan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Bali. 2012. Statistik Tanaman Padi dan Palawija. BPS Provinsi Bali. Denpasar. BPS Provinsi Bali. 2013. Bali Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Bali. Denpasar Hasbi, 2012. Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi di lahan Sub Optimal. Jurnal Lahan Sub Optimal,

Volume 190-195. Irawan, B. 2001. Pencadangan Lahan Pertanian di Jawa. Buletin Agro Ekonomi. Vol. I (2): 1 – 6.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Kamandalu, A.A.N.B., S. Aryawati., I B K Suastika., dan I M Suijana 2012. Laporan Akhir Pendampingan Program Padi Sawah di Provinsi Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.

Kamandalu, AANB., I M R Yasa, I N Adijaya, S Guntoro, I P A Kertawirawan, I M Sugianyar, P Anggoro, J Rinaldi. 2013. Model Penyedian Beras Berkelanjutan Berbasis Inovasi Teknologi di Provinsi Bali. BPTP Bali. Denpasar.

Purwanto, Y.A. 2005. Kehilangan pasca panen padi kita masih tinggi. Inovasi Online Vol. 4/XVII/Agustus 2005.

Suryana A., S. Mardianto, K. Kariyasa dan I.P. Wardhana. 2009. Kedudukan Padi Dalam Perekonomian Indonesia dalam Padi, Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal 7- 31.

Thahir, R. 2010. Revitalisasi Penggilingan Padi Melalui Inovasi Penyosohan Pendukung Swasembada Beras dan Persaingan Global. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 171-183

Tjahjohutomo, R. 2006. Perontok Padi Pedal Model Lipat. Mengurangi Susut Panen.Warta penelitian dan pengembangan pertanian Vol 8 (23) 2006 pp: 1-8

Wiedowati, S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam Menunjang Sistem Agroindustri di Pedesaan. Buletin AgroBio 4 (1):33-38

Yasa. 2012. Model Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan (Studi Kasus Kecamatan Gerokgak Buleleng Bali). Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 327: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

310

KINERJA KELEMBAGAAN TANI DALAM PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI PADI-SAPI DI KABUPATEN SELUMA

FARMER INSTITUTIONAL PERFORMANCE DETERMINE THE SUCCESS OF PADDY-CATTLE INTEGRATION SYSTEM DEVELOPMENT IN SELUMA DISTRICT

Bunaiyah Honorita, Yesmawati, dan Hendri Suryanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5. Kel. Semarang Kota Bengkulu. Telp. 0736 23030

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan sistem integrasi padi-sapi didukung oleh posisi dan fungsi kelembagaan petani yang merupakan bagian pranata sosial dalam memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja kelembagaan dalam sistem usahatani integrasi padi-sapi merupakan hal penting. Kinerja kelembagaan yang baik diharapkan dapat mendorong penerapan usahatani yang optimal dalam pengembangan sistem integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma. Tujuan dari pengkajian ini adalah (1) mengukur kinerja kelembagaan tani pelaksana pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi, (2) mengukur tingkat kemampuan kelembagaan tani pelaksana pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu pada bulan Februari-Juni 2016. Kinerja kelembagaan tani diukur dari 9 indikator (kepemimpinan, kebijakan dan strategi, pengelolaan anggota, kemitraan, proses produksi, kepuasan anggota, kepuasan mitra, hasil, dan dampak terhadap masyarakat) dan tingkat kemampuan kelembagaan tani diukur dari 3 indikator (merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan kegiatan). Kinerja dan tingkat kemampuan kelembagaan tani dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan interval kelas terhadap 30 responden (Gapoktan Rimbo Jaya). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa (1) pengembangan sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi didorong oleh kinerja kelembagaan tani yang cukup baik dengan skor rata-rata 3,26; (2) diperlukan peningkatan kinerja Gapoktan dalam hal: (a) kebijakan dan strategi; (b) pengelolaan dan kepuasan anggota; dan (c) kepemimpinan; (3) Gapoktan cukup mampu dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan kegiatan usahatani dengan skor rata-rata 2,37.

Kata Kunci: integrasi padi-sapi, kinerja, kelembagaan

ABSTRACT

The development of paddy-cattle integration system is supported by the position and function of farmer institution that is part of social institutions in facilitating social interaction or social interplay in a community. Attempts to conduct an assessment of the institutional performance in the paddy-cattle integration farming system is important. Good institutional performance is expected to encourage the adoption of optimal farming systems development in paddy-cattle integration in Seluma District. The purposes of this study are (1) to measure institutional performance of agriculture bioindustry practicer based on the integration of paddy-cattle, (2) to measure the level of institutional capability agriculture bioindustry practicer based on the integration of paddy-cattle. The assessment was conducted in Seluma District Bengkulu Province in February to June 2016. The farmer institutional performance is measured from 9 indicators (leadership, policy and strategy, managing member, partnership, production processes, member satisfaction, partner satisfaction, outcomes, and impacts on society) and the level of farmer institutional capability is measured from 3 indicators (planning, organizing, and conducting the activity). The performance and the level of farmer institutional capability were analyzed descriptively by using a class interval of the 30 respondents (Gapoktan Rimbo Jaya). The study showed that (1) the development of bioindustry farming system based on paddy-cattle integration is driven by quite good institutional performance with an average score of 3.26; (2) required the improved performance of farmer institutional in terms of: (a) policy and strategy; (b) the management and member satisfaction; and (c) leadership; (3) The farmer institutional is enough to be able to plan, organize and carry out farming activities with an average score of 2.37.

Key Words: institutional, paddy-cattle integration, performance

Page 328: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

311

PENDAHULUAN

Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian di Provinsi Bengkulu karena merupakan sektor utama yang memberikan peranan terbesar (31,21%) dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, 2015). Sumber daya usaha pertanian, terutama padi dan sapi, merupakan komoditas ekonomi yang potensial untuk dikembangkan dan telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan karena berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan. Ternak berperan sebagai bagian integral dalam sistem integrasi usahatani tanaman-ternak untuk saling mengisi dan bersinergi yang memberikan nilai tambah dan berperan dalam mata rantai daur hara melalui pakan ternak (Badan Litbang Pertanian, 2002).

Padi sawah merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Berdasarkan agroekosistem dan kesesuaian lahannya, tanaman padi mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk dikembangkan di Kabupaten Seluma. Kabupaten Seluma memiliki lahan sawah 18.130 ha dengan produktivitas relatif masih rendah dibandingkan dengan produktivitas nasional. Pada tahun 2014, rata-rata produktivitas padi sawah di Kabupaten Seluma baru mencapai 3,06 ton GKG/hektar, sedangkan produktivitas provinsi sudah mencapai 4,24 ton GKG/hektar (BPS Provinsi Bengkulu, 2015).

Ternak sapi sebagai salah satu komoditi peternakan merupakan sumber protein hewani yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat. Budidaya ternak sapi potong sudah ada sejak dahulu hingga sekarang. Tetapi budidaya ternak sapi masih dijalankan secara tradisional (Hamdan, 2011, Hoddi, 2011). Pengetahuan peternak yang masih sangat terbatas menyebabkan mereka kesulitan dalam menjalankan usahanya. Kurangnya ketersediaan pakan di musim kemarau dengan harga yang fluktuatif menjadi kendala bagi peternak. Modal usaha yang besar dengan waktu balik modal yang cukup lama merupakan pertimbangan untuk memulai usaha sapi potong. Disamping itu, perlu adanya peran kelembagaan tani dalam memotivasi dan memfasilitasi anggota dalam pelaksanaan sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi.

Proses integrasi antara padi sawah dan usaha sapi potong merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan petani peternak (Sariubang, 2002, Suwono, 2004). Pengembangan usahatani terintegrasi yaitu memanfaatkan lahan padi sebagai sumber pakan dan limbah sapi sebagai bahan pupuk organik (Sudaratmadja, 2004). Integrasi antara usahatani padi dan sapi potong diharapkan dapat menciptakan biaya produksi minimal dan pemanfaatan sumber daya lokal. Proses usahatani padi dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar tempat usahatani tanpa mendatangkan dari luar daerah (Ismail dan Djajanegara, 2004).

Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Proses diseminasi teknologi akan berjalan lebih mulus bila disertai dengan pemahaman dan pemanfaatan potensi elemen-elemen kelembagaan dan status petani dalam suatu proses alih teknologi atau diseminasi teknologi baru (Suradisastra, 2008). Dalam pelaksanaan program pembangunan pertanian, diperlukan kegiatan pemberdayaan kelembagaan tani guna meningkatkan motivasi dan kinerja kelembagaan.

Kehadiran kelembagaan tani di tengah-tengah masyarakat tani masih sangat dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petani sehingga secara mandiri mereka dapat mengelola unit usahataninya. Kelembagaan tani biasanya melakukan penyuluhan pertanian, penyelenggaraan pelatihan dan kegiatan pendampingan lainnya. Pengukuran terhadap kinerja kelembagaan tani dipandang perlu dalam menyusun arah dan strategi kelembagaan menjadi lebih baik dan optimal. Upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja dalam pengembangan sistem integrasi padi-sapi merupakan hal penting. Kinerja kelembagaan tani yang baik diharapkan dapat mendorong penerapan usahatani yang optimal serta menghasilkan produktivitas lembaga yang baik pula dalam sistem integrasi padi-sapi. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk: (1) mengukur kinerja kelembagaan tani pelaksana pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma. Irawati dan Yantu (2015) menyebutkan bahwa kinerja kelompok tani menggambarkan bagaimana kerjasama antar petani dalam menyelesaikan masalah usahatani hingga mencapai hasil kerja yang ingin diwujudkan; (2) mengukur tingkat kemampuan kelembagaan tani pelaksana pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma.

Page 329: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

312

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2016 dengan responden adalah anggota Gapoktan Rimbo Jaya Kelurahan Rimbo Kedui Kabupaten Seluma sebanyak 30 orang. Lokasi dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan salah satu sentra pengembangan padi dan ternak sapi serta lokasi pelaksanaan kegiatan Model Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Padi – Sapi Spesifik Lokasi di Provinsi Bengkulu. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah wawancara terstruktur kepada petani contoh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).

Jenis data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer, meliputi kinerja kelembagaan tani dantingkat kemampuan kelembagaan tani pelaksana pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma. Kinerja Gapoktan Rimbo Jaya Kelurahan Rimbo Kedui Kabupaten Seluma dinilai dari 6 indikator, yaitu (1) Kepemimpinan; (2) Kebijakan dan strategi; (3) Pengelolaan dan kepuasan anggota; (4) Kemitraan; (5) Proses produksi; dan (6) Hasil dan dampak terhadap masyarakat.Identifikasi tingkat kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya diukur dari 3 indikator, yaitu: (1) Merencanakan kegiatan; (2) Mengorganisasikan kegiatan; dan (3) Melaksanakan kegiatan.

Kinerja kelembagaan tani dan tingkat kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Pertanyaan pada setiap indikator dibagi menjadi 3 skor: 1 (tidak mampu/rendah); 2 (cukup mampu/sedang); dan 3 (mampu/tinggi). Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana :NR: Nilai Range PI: Panjang Interval NST: Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas NSR: Nilai Skor Terendah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Kelembagaan Tani Pelaksana Kegiatan Model Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Padi-Sapi

Penguatan kelembagaan dilakukan dengan evaluasi kinerja kelembagaan pelaksana kegiatan model sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi. Menurut Syahyuti (2003), kelembagaan di dunia pertanian terdiri atas lima kelompok, yakni kelembagaan sarana input produksi, kelembagaan produksi, kelembagaan pengolahan hasil, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan pendukung. Choliq dan Ambarsari (2007) menyatakan bahwa kelembagaan yang bergerak di bidang usahatani produksi meliputi rumah tangga petani sebagai unit usaha terkecil dan kelembagaan tani dalam bentuk kelompok tani. Pengukuran terhadap kinerja Gapoktan dipandang perlu dalam menyusun arah dan strategi Gapoktan menjadi lebih baik dan optimal.

Gambar 1. Grafik persentase jumlah anggota Gapoktan Rimbo Jaya berpersepsi terhadap kinerja

gapoktan.

89.47%

100%

89.47%

100% 100%

94.74%

84

86

88

90

92

94

96

98

100

102

Kepemimpinan Kebijakan dan

strategi

Pengelolaan dan

kepuasananggota

Kemitraan Proses produksi Hasil dan

dampak terhadapmasyarakat

Persentase (%) jumlah anggota

Page 330: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

313

Kinerja Gapoktan Rimbo Jaya Kelurahan Rimbo Kedui Kabupaten Seluma dinilai dari 6 indikator, yaitu (1) Kepemimpinan; (2) Kebijakan dan strategi; (3) Pengelolaan dan kepuasan anggota; (4) Kemitraan; (5) Proses produksi; dan (6) Hasil dan dampak terhadap masyarakat. Hasil survey menunjukkan sebanyak 89,47% anggota berpendapat bahwa dilihat dari sisi kepemimpinan serta pengelolaan dan kepuasan anggota, kinerja Gapoktan sudah cukup baik. Sebanyak 94,74% menyatakan bahwa kinerja Gapoktan juga sudah cukup baik dilihat dari hasil dan dampaknya terhadap masyarakat, serta 100% dari anggota setuju bahwa dilihat dari sisi kebijakan dan strategi, kemitraan serta proses produksi yang dilaksanakan oleh Gapoktan Rimbo Jaya selama ini juga sudah cukup baik. Skor dan kriteria kinerja Gapoktan secara rinci tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Skor dan kriteria kinerja Gapoktan Rimbo Jaya Tahun 2016

Kinerja Gapoktan Rimbo Jaya Skor Kriteria

Kepemimpinan 3,17 Rendah Kebijakan dan strategi 3,03 Rendah Pengelolaan dan kepuasan anggota 3,06 Rendah Kemitraan 3,36 Cukup Proses produksi 3,39 Tinggi Hasil dan dampak terhadap masyarakat 3,55 Tinggi

Rata-rata 3,26 Cukup

Sumber: Data primer (2016) Keterangan : *3,03 ≤ x ≤ 3,20 = Rendah; 3,21 < x ≤ 3,38 = Cukup; 3,39 < x ≤ 3,56 = Tinggi

Dari tabel di atas, diketahui bahwa kinerja Gapoktan Rimbo Jaya dinilai cukup baik dengan

skor rata-rata 3,26. Dari keenam indikator kinerja gapoktan, kinerja gapoktan yang paling tinggi adalah dilihat dari sisi hasil dan dampaknya terhadap masyarakat dan proses produksi dengan skor rata-rata 3,55 dan 3,39. Anggota meyakini bahwa inovasi yang selama ini diperoleh gapoktan telah disebarluaskan ke masyarakat, keberadaan gapoktan memberikan manfaat kepada masyarakat, serta usahatani dan proses produksi yang dilakukan oleh gapoktan membantu/bermanfaat dalam meningkatkan perekonomian di Kelurahan Rimbo Kedui.

Dari sisi produksi, Gapoktan telah menerapkan teknologi yang direkomendasikan dalam usahataninya serta memasarkan produk/hasil pertaniannya dengan baik. Sedangkan kinerja gapoktan yang terendah adalah dilihat dari kebijakan dan strategi yang telah diterapkan oleh gapoktan selama ini, dengan skor rata-rata 3,06. Gapoktan belum secara optimal melakukan pelestarian lingkungan terutama dalam pemanfaatan limbah pertanian, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pertanian organik, dan pemanfaatan sumberdaya air. Gapoktan belum memanfaatkan sumberdaya (tenaga, sarana, teknologi, modal, dan pemasaran) yang ada pada gapoktan secara efektif. Perencanaan kegiatan usahatani yang berorientasi pada analisa usaha, peningkatan usaha kelompok, produk sesuai permintaan pasar, pengolahan dan pemasaran hasil, penyediaan jasa dalam gapoktan juga belum dilaksanakan dengan baik.

Dilihat dari sisi kemitraan, kinerja gapoktan sudah cukup baik dengan nilai skor rata-rata 3,36. Dari sisi kemitraan, gapoktan telah menjalin hubungan yang baik dengan lembaga lainnya, seperti sekolah, pasar, koperasi, KUBE, kios tani, dan PKK, lembaga penyuluhan, pemerintah desa/kelurahan, serta pemerintah daerah setempat (seperti dinas pertanian, dinas perdagangan).

Kinerja gapoktan dilihat dari sisi kepemimpinan serta pengelolaan dan kepuasan anggota juga berada dalam kriteria rendah dengan skor rata-rata 3,17 dan 3,06. Perencanaan kegiatan gapoktan belum dilaksanakan dengan baik, pembagian tugas anggota dan pengurus juga belum sesuai dengan kompetensi dan keahlian (skill), serta namun sudah memiliki kepengurusan (ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi) dan aktif dalam organisasi. Begitu juga dengan pengelolaan dan kepuasan anggota, baru kemauan/motivasi belajar anggota kelompok dan manfaat pembelajaran kelompok untuk anggota yang sudah mempunyai kinerja yang baik.

Menurut Sudermayanti (2009), kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti prestasi kerja, pelaksanan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja dan penampilan kerja. Juraemi (2012) menyebutkan bahwa keberhasilan usaha agribisnis yang dilakukan oleh petani memerlukan dukungan kelembagaan. Keberhasilan kelembagaan itu tidak hanya ditentukan oleh peran kelembagaan itu saja, tetapi juga memerlukan keterlibatan para petani secara aktif dalam kelembagaan bersangkutan. Jika peran kelembagaan dan keterlibatan para petani belum optimal, maka kinerja kelembagaan sebagai salah satu subsistem sulit diharapkan dukungannya dalam membentuk keragaan sistem agribisnis yang

Page 331: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

314

kondusif. Keragaan sistem agribisnis yang kurang kondusif bukan saja menyebabkan rendahnya produktivitas dan hasil produksi, tetapi juga menyebabkan rendahnya pendapatan petani.

Upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja di suatu organisasi dalam sistem usahatani integrasi padi-sapi merupakan hal penting. Kinerja gapoktan yang baik diharapkan dapat mendorong penerapan usahatani yang optimal dalam pengembangan sistem integrasi padi-sapi di Kabupaten Seluma. Dari hasil pengkajian diketahui bahwa perlu adanya peningkatan kinerja gapoktan, khususnya dalam hal kepemimpinan, kebijakan dan strategi, pengelolaan dan kepuasan anggota, kemitraan, proses produksi, serta hasil dan dampaknya terhadap masyarakat. Upaya peningkatan kinerja Gapoktan tersebut dapat dilakukan melalui pembinaan dan bimbingan yang intensif, memberikan sosialisasi, advokasi, dan motivasi, melaksanakan pelatihan, serta melakukan pengawasan (monitoring) dan evaluasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan kinerja gapoktan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Indikator peningkatan kinerja gapoktan

No. Indikator Kinerja Keterangan

1. Kepemimpinan Gaya kepemimpinan yang diterapkan (cukup baik)

Pertemuan/musyawarah gapoktan selama 1 tahun terakhir (sangat jarang dilakukan)

Aturan tertulis dalam gapoktan seperti pertemuan, keuangan, keikutsertaan dalam kegiatan, perjanjian dengan pihak lain (kurang efektif)

2. Kebijakan dan strategi

Pemanfaatan sumberdaya (tenaga, sarana, teknologi, modal, pemasaran) pada Gapoktan (kurang efektif)

Pelestarian lingkungan seperti pemanfaatan limbah pertanian, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pertanian organik, dan pemanfaatan sumberdaya air (sangat jarang diterapkan)

Perencanaan kegiatan usahatani berdasarkan analisa usaha, peningkatan usaha kelompok, produk sesuai permintaan pasar, pengolahan dan pemasaran hasil, penyediaan jasa dalam gapoktan (cukup baik)

3. Pengelolaan dan kepuasan anggota

Mengakomodir (mengajak anggota) dalam menyusun Rencana kegiatan definitif kelompok (RDK) dan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) (jarang dilakukan)

Peran anggota dalam pertemuan/musyawarah (kurang aktif)

Kehadiran anggota dalam kegiatan kelompok (jarang)

Mentaati peraturan dalam kelompok (kadang-kadang)

Frekuensi pembelajaran dalam kelompok tani (enam bulan sekali dilaksanakan)

Evaluasi RDK dan RDKK (jarang dilakukan)

Evaluasi kegiatan kelompok (kadang-kadang) 4. Kemitraan Mentaati kesepakatan/interaksi dengan kelompok lain (kadang-

kadang dilakukan)

Bekerjasama dengan Lembaga Permodalan seperti Bank dan koperasi dalam penyediaan modal (jarang dilakukan)

5. Proses produksi Kemampuan dalam memupuk modal (cukup)

Mengembangkan modal usaha (cukup) 6. Hasil dan dampak

terhadap masyarakat Sebagian hasil usahatani disepakati untuk digunakan untuk

kesejahteraan anggota gapoktan (kadang-kadang dilakukan)

Sumber: Data primer (2016)

Tingkat Kemampuan Kelembagaan Tanu Pelaksana Kegiatan Model Sistem Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Padi-Sapi

Identifikasi tingkat kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya diukur dari 3 indikator, yaitu: (1) Merencanakan kegiatan; (2) Mengorganisasikan kegiatan; dan (3) Melaksanakan kegiatan. Hasil survey menunjukkan bahwa tingkat kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan kegiatan berada pada kriteria sedang dengan nilai skor rata-rata 2,37 (Tabel 3). Hal ini memperlihatkan bahwa Gapoktan Rimbo Jaya cukup mampu dalam merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan kegiatan.

Page 332: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

315

Tabel 3. Tingkat kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya Tahun 2016

Tingkat Kemampuan Gapoktan Rimbo Jaya Skor Kriteria

Merencanakan kegiatan 2,11 Sedang

Mengorganisasikan kegiatan 2,43 Sedang

Melaksanakan kegiatan 2,58 Sedang

Rata-rata 2,37 Sedang

Sumber: Data primer (2016)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa kemampuan gapoktan dalam melaksanakan kegiatan lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan dengan nilai skor rata-rata 2,58; 2,43; dan 2,11. Dilihat dari kemampuan gapoktan dalam melaksanakan kegiatan, hanya kemampuan dalam memupuk modal dan mengembangkan modal usaha yang masih rendah, dikarenakan dalam memupuk modal gapoktan masih bergantung pada bantuan pemerintah serta penambahan modal gapoktan < 20% per tahun. Di sisi lain, gapoktan telah mampu dengan baik dalam melaksanakan kegiatan yang ada, seperti > 75% anggota merasakan manfaat pembelajaran kelompok tani, sudah ada kepengurusan (ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi) dan pengurus aktif dalam organisasi, 51 – 75% rencana pembelajaran dilaksanakan dan anggota kelompok hadir dalam pembelajaran, pelaksanaan pertemuan kelompok 1 kali/bulan, 50 – 75% anggota disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, kesepakatan kelompok dilaksanakan anggota, dan anggota telah menerapkan rekomendasi teknologi, fasilitas/sarana kerja tersedia sesuai kebutuhan anggota, evaluasi telah dilakukan dan hasilnya untuk bahan perencanaan selajutnya.

Kemampuan gapoktan dalam mengorganisasikan kegiatan juga dinilai masih cukup baik. Gapoktan telah melakukan pengembangan usahatani kelompok tani berupa unit saprodi, unit pemasaran, dan unit produksi dengan baik. gapoktan juga cukup mampu dalam mengkoordinir anggotanya dalam pertemuan/musyawarah dan kegiatan kelompok, mendorong kemauan/motivasi belajar anggota, mengembangkan aturan tertulis organisasi berupa pertemuan, keuangan, dan keikutsertaan dalam kegiatan, mentaati peraturan dalam kelompok, serta mengkoordinir pembagian tugas anggota dan pengurus. Namun, baru 1 – 25% kesepakatan dengan pihak lain dilaksanakan oleh gapoktan.

Dari ketiga indikator tingkat kemampuan gapoktan, yang paling rendah adalah kemampuan gapoktan dalam merencanakan kegiatan. Isi rencana kegiatan belajargapoktan masih terbatas (1-2 materi) dan rencana pemanfaatan sumberdaya (tenaga, sarana, teknologi, modal, pemasaran) 3 tahun terakhir baru ada di 1 tahun terakhir.

Abdullah (2008) menyatakan bahwa kelompok tani yang sudah ada (existance) seyogyanya diteruskan dan secara berkesinambungan digalang, dijaga dan dikelola oleh petani-peternak sendiri. Rencana-rencana yang sudah dibuat maupun yang diprogramkan diharapkan terus dilaksanakan dan memungkinkan para petani-peternak dapat mengevaluasi kembali dan membuat penyesuaian dengan caranya sendiri. Kinerja kelompok yang ada masih lemah dan proses menuju kemandirian tidak dapat dibiarkan berkembang apa adanya dengan kemampuan mereka sendiri. Kelompok-kelompok yang sudah terbentuk dan berjalan ini, dipantau secara berkala guna mempertahankan semangat berkelompok.

Identifikasi terhadap tingkat kemampuan gapoktan merupakan salah satu upaya untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kemajuan gapoktan dalam melaksanakan fungsinya. Melalui identifikasi ini, diharapkan terjadi peningkatan kemampuan gapoktan dalam merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan kegiatannya melalui pendampingan serta bimbingan yang intesif dan berkelanjutan. Penumbuhan dan pembinaan gapoktan yang dilaksanakan secara berkesinambungan diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan gapoktan dalam melaksanakan fungsinya sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi sehingga mampu mengembangkan usaha agribisnis dan menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri.

Page 333: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

316

KESIMPULAN

1. Pengembangan sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi-sapi didorong oleh kinerja kelembagaan tani yang cukup baik dengan skor rata-rata 3,26.

2. Diperlukan peningkatan kinerja Gapoktan dalam hal: (a) kebijakan dan strategi; (b) pengelolaan dan kepuasan anggota; dan (c) kepemimpinan.

3. Gapoktan cukup mampu dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan kegiatan usahatani dengan skor rata-rata 2,37.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dedi Sugandi, MP dan Dr. Wahyu Wibawa, MP atas kepercayaan dan dukungannya dalam pelaksanaan pengkajian. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada anggota tim pengkajian dan teknisi yang telah membantu dalam aplikasi sampai dengan pengumpulan data pengkajian, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 2008. Identifikasi kelas kemampuan kelompok tani ternak di Kecamatan Herlang Kabupaten Bulukumba. Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2008, Vol.8, No.1, 77 – 82.

Badan Litbang Pertanian. 2002. Panduan teknis sistem integrasi padi-ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu.

Choliq dan Ambarsari. 2007. Aksesibilitas petani terhadap kelembagaan di perdesaan dalam menunjang usahataninya. http://jateng.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 13 April 2016.

Hamdan. 2011. Analisis efisiensi faktor produksi dalam usahatani padi sawah di Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.

Hoddi, A.H., M.B. Rom be dan Fahrul. 2011. Analisis pendapatan peternakan sapi potong di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Jurnal Agribisnis Vol. X (3) September 2011. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan.

Irawati, E. dan Yantu, M.R. 2015. Kinerja kelompok tani dalam menunjang pendapatan usahatani padi sawah di Desa Sidera Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi. e-J. Agrotekbis 3 (2) : 206 – 211, April 2015. ISSN: 2338-3011.

Ismail, I. G. dan A. Djajanegara. Kerangka dasar pengembangan SUT tanaman- ternak. Proyek PPATP. Departemen Pertanian. Jakarta.

Juraemi. 2012. Hubungan antara kinerja kelembagaan dengan keragaan sistem agribisnis pada perusahaan inti rakyat perkebunan kelapa sawit. EPP.Vol.1.No.2.2004:33-40.

Rentha, T. 2007. Identifikasi perilaku, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah irigasi teknis sebelum dan sesudah kenaikan harga pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Sariubang, M., A. Ella., A. Nurhayu, dan D. Pasambe. 2002. Kajian nilai ekonomi usaha ternak sapi melalui pemanfaatan jerami padi. Wartazoa 11 (1): 28-35.

Sudaratmadja, I.G.A.K.N., Suyasa, I.G.K Dana Arsana. 2004. Subak dalam perspektif sistem integrasi padi-sapi di Bali. Jurnal Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Sudermayanti. 2009. Sumberdaya manusia dan produktivitas kerja. Mandar Maju. Bandung. Suradisastra, K. 2008. Strategi pemberdayaan kelembaan petani. Jurnal Forum Penelitian Agro

Ekonomi, Volume 26 No. 2, Desember 2008: 82-91. Suwono, M., M.A. Yusron dan F. Kasiyadi. 2004. Penggunaan pupuk organik dalam sistem

integrasi tanaman-ternak di Jawa Timur. Jurnal Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Syahyuti. 2003. Bedah konsep kelembagaan: strategi pengembangan dan penerapannya dalam penelitian pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Page 334: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

317

PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG HIBRIDA BIMA 4, BIMA 14, DAN JAGUNG KOMPOSIT SUKMARAGA DI LAHAN KERING PROVINSI ACEH

GROWTH AND YIELD OF HYBRID MAIZE BIMA 4, BIMA 14 AND COMPOSITE SUKMARAGA IN ACEH PROVINCE DRY LAND

Fenty Ferayanti1, Idawanni

1 dan Emlan Fauzi

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh

2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Panglima Nyak Makam No. 27 Banda Aceh Kode Pos (23125) e_mail : [email protected]

ABSTRAK

Provinsi Aceh merupakan salah satu propinsipenghasil jagung di Indonesia dengan produksi jagung yang masih tergolong rendah.Peningkatan produksi jagung dapat dicapai salah satunya dengan penggunaan varietas unggul baru jagung hibrida dan komposit. Tujuan kajian ini yaitu untuk melihat pertumbuhan dan hasil dari masing-masing VUB jagung hibrida dan komposit di lahan kering di Propinsi Aceh. Kajian ini dilaksanakan di Desa Simpang Mulia Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen pada bulam April hingga Oktober 2015. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 3 perlakuan yang terdiri dari 2 varietas jagung hibrida (Bima 4 dan Bima 14) dan 1 varietas jagung komposit (Sukmaraga), yang masing-masing diulang sebanyak lima kali. Pemupukan yang digunakanyaitu400 kg/haNPK Phonska, 270 kg/ha Urea, 50 kg/ha KCl dan 3 ton/ha pupuk kandang. Parameter yang diamati pada kajian ini yaitutinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, panjang tongkol, berat tongkol tanpa klobot, berat 100 biji dan hasil per hektar. Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistik menggunakan uji T taraf 5%. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Bima 14 memiliki hasil yang tertinggi yaitu 10,64 ton/ha pipilan kering.

Kata Kunci: varietas Bima 4, Bima 14, komposit Sukmaraga, lahan kering

ABSTRACT

Aceh is one corn produced province in Indonesia with production was relatively low. Increased corn production can be achieved either by the use of new varieties of maize hybrids and composites. The purpose of this study is to see the growth and yield of each maize hybrids and composites. This study was held in Simpang Mulia village, Juli subdistrict, Bireuen district from April to October 2015, The study used a randomized block design with three replications in which farmers as replication. The varieties used in this study are Bima 4, Bima 14, and Sukmaraga. Fertilizer used were 400 kg/ha NPK Phonska, 270 kg/ha urea, 50 kg/ha KCl and 3 tonnes/ha manure. The data was statistically analyzed using T-test level of 5%. The parameters were observed in this study are plant height, stem diameter, number of leaves, cob weight, weight of 100 seeds and yield per hectare. The results showed that the varieties bima 14 had the highest results 10,64 tonnes / ha.

Key Words: hybrid maize varieties, Bima 4, Bima 14, Sukmaraga

PENDAHULUAN

Tanaman jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat setelah padi dan gandum, banyak dikembangkan di Indonesia sebagai bahan makanan, pakan dan bahan baku industri. Kebutuhan jagung terus meningkat sejalan dengan peningkatan taraf hidup ekonomi masyarakat dan kemajuan industri pakan ternak sehingga perlu upaya peningkatan produksi melalui sumber daya manusia dan sumber daya alam, ketersediaan lahan maupun potensi hasil dan teknologi (Permadi, 2012). Produksi jagung terus meningkat 5,6 % pada tahun 2015 seiring dengan meningkatnya produktivitas dan luas penanaman jagung. Namun produksi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri yang meningkat 6,4 %. Strategi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ialah dengan membangkitkan kesadaran petani untuk menanam jagung (Kasyrno F, 2002). Di Indonesia jagung ditanam pada berbagai agroekologi termasuk lahan kering/tegalan, lahan sawah irigasi, sawah irigasi sederhana, dan sawah tadah hujan, yang umumnya dalam kondisi suboptimal. Budidaya jagung di lahan kering seringkali menghadapi masalah kemasaman tanah, kesuburan tanah yang rendah serta kekeringan (Miti et al., 2010).

Page 335: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

318

Provinsi Aceh merupakan salah satu propinsi yang memiliki lahan kering yang luas yaitu ± 562.789 ha (BPS, 2014), yang sebagian besarnya merupakan lahan kering suboptimal yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian khususnya jagung. Luas tanam tanaman jagung di Propinsi Aceh ± 52.326 dengan produksi mencapai ± 202.319 ton, masih sangat jauh jika dibandingkan dengan daerah sentra produksi jagung lainnya di Sumatera yaitu Lampung (± 1.801.556 ton). Pada tahun 2014 produksi jagung di Kabupaten Aceh Tenggara 122.331 ton, luas panen 28.634 ha dengan produktifitas 42,72 kw/ha. Kabupaten Aceh Selatan 45.166 ton, luas panen 10.572 ha dengan produktifitas 42,72 kw/ha. Kabupaten Bireuen 3.584 ton, luas panen 839 ha dengan produktifitas 42,71 kw/ha dan Kabupaten Pidie Jaya 572 ton, luas panen 134 ha dengan produktifitas 42,68 kw/ha (BPS Aceh, 2015).

Untuk meningkatkan produksi jagung di Aceh dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan menggunakan varietas unggul jagung hibrida dan komposit. Penyebaran varietas unggul baru selama ini berjalan lambat, hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang bervariasi dari waktu ke waktu dan beragam pada berbagai lokasi, namun jagung tipe hibrida sangat peka terhadap lingkungan tumbuhnya, sedangkan keragaman penampilannya dipengaruhi oleh perbedaan susunan genetik. Keragaman genetik merupakan suatu untaian genetik yang diekspresikan pada suatu fase atau keseluruhan pertumbuhan yang berbeda yang diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman (Ginting et al., 2013).

Untuk memperbanyak alternatif varietas unggul jagung berdaya hasil tinggi yang dapat menjadi pilihan petani maka perlu dilakukan introduksi varietas unggul baru jagung hibrida dan komposit untuk melihat daya adaptasi melalui penampilan fenotipe terhadap pertumbuhan dan produksi pipilan kering pada lingkungan tumbuh di lokasi sentra pengembangan jagung di Propinsi Aceh. Tujuan kajian ini yaitu untuk melihat pertumbuhan dan hasil dari masing-masing VUB jagung hibrida dan komposit di lahan kering di Propinsi Aceh.

METODE PENELITIAN

Kajian pertumbuhan dan hasil beberapa VUB jagung hibrida dan kompositdi lahan kering dilaksanakan di Desa Simpang Mulia Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen mulai dari April hingga Oktober 2015, menggunakan rancangan acak lengkapdengan 3 ulangan dimana petani sebagai ulangan.Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih jagung varietas Bima 4, Bima 14 dan Sukmaraga.

Kajian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 3 perlakuan yang terdiri dari 2 varietas jagung hibrida (Bima 4 dan Bima 14) dan 1 varietas jagung komposit (Sukmaraga), yang masing-masing diulang sebanyak lima kali. Parameter yang diamati pada kajian ini yaitutinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, panjang tongkol, berat tongkol tanpa kolobot, berat 100 biji dan hasil per hektar. Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistik menggunakan uji T taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Pertumbuhan Tanaman

Hasil rata-rata tinggi tanaman jagung Bima 4, Bima 14 dan Sukmaraga pada 5, 6, 7 dan 8 MSTdapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada setiap interval waktu pengamatan. Tinggi tanaman tertinggi dijumpai pada varietas Bima 14 pada semua waktu pengamatan, yang diikuti oleh varietas Bima 4 dan Sukmaraga.

Adanya perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh sifat genetik dan karakteristik serta kemampuan adaptasi dari masing-masing varietas yang berbeda terhadap lingkungannya (Ermanita et al.,2004). Selanjutnya menurut Zulaiha et al. (2012), perbedaan tinggi tanaman antar varietas dipengaruhi oleh struktur genetik dan lingkungan tumbuh yaitu sinar matahari, tanah dan air, sedangkan keragaman penampilan menunjukkan bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh yang nyata untuk beradaptasi sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Sejalan dengan hasil penelitian Tahir et al. (2013), tinggi tanaman merupakan faktor yang dipengaruhi genetik dan lingkungan, sehingga setiap varietas jagung hibrida mempunyai tinggi tanaman yang berbeda. Hal ini karena tinggi tanaman merupakan faktor genetik yang terkontrol sedangkan pengaruh faktor lingkungan tergantung dari pemilihan varietas tanaman yang tepat yang dapat beradaptasi terhadap

Page 336: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

319

kondisi lingkungan setempat. Menurut Gardner et al., (2008), laju pemanjangan batang dan jumlah daun tanaman dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan.

Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan tanaman jagung Bima 4, Bima 14 dan Sukmaraga pada 5, 6, 7 dan 8 MST.

Parameter Varietas

BIMA 4 BIMA 14 SUKMARAGA

Tinggi Tanaman (cm) 5 MST 79,9b 98,1a 77,3b 6 MST 139,4b 153,8a 125,2c 7 MST 177,6b 182,9a 163,4c 8 MST 232,4a 237,7a 218,2b Diameter Batang (cm) 5 MST 1,89b 2,77a 1,59c 6 MST 3,12b 4,47a 2,53c 7 MST 3,19b 4,60a 2,94b 8 MST 3,47b 4,86a 3,13b Jumlah Daun (helai) 5 MST 5,75b 6,55a 5,95b 6 MST 7,95b 8,1a 7,05b 7 MST 9,85a 9,90a 8,95b 8 MST 12,1a 12,6a 11,35b

Sumber : Data asli yang diolah Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda

nyata (uji T0,05).

Komponen Hasil

Komponen hasil yang terdiri dari panjang tongkol, berat tongkol tanpa klobot, berat 100 biji kering dan hasil jagung pipilan kering dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas pada semua parameter yang diamati.

Tabel 2. Komponen hasil tanaman jagung pada kajian pertumbuhan dan hasil jagung hibrida Bima 4, Bima 14, dan jagung komposit Sukmaraga di lahan kering Provinsi Aceh.

Parameter Varietas

BIMA 4 BIMA 14 SUKMARAGA

Panjang tongkol (cm) 24,14b 28,23a 21,91c

Berat tongkol tanpa klobot (g) 265,35b 296,45a 248,15c

Berat 100 biji kering jagung (g) 36,43b 41,89a 32,58c

Hasil jagung pipilan kering (t ha-1) 9,23b 10,64a 9,02c

Sumber : Data asli yang diolah Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda

nyata (uji T 0,05).

Perbedaan panjang tongkol antara tiap varietas dipengaruhi oleh kemampuan sifat genetik dari

tanaman dalam memanfaatkan faktor lingkugan.Sifat genetik merupakan sifat yang sangat mempengaruhi sehingga terjadinya keragaman tanaman. Menurut Masdar et al. (2006) program genetik yang akan diekspresikan pada berbagai sifat tanaman mencangkup bentuk dan fungsi yang menghasilkan keragaman tanaman.

Pada pengamatan berat tongkol tanpa kolobot menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas dimana yang tertinggi dijumpai pada varietas Bima 14 (296,45 gr), sedangkan yang terendah dijumpai pada varietas Sukmaraga (248,15 gr). Perbedaan berat tongkol tanpa kolobot antar varietas sangat dipengaruhi oleh faktor genetik seperti bentuk daun, jumlah daun dan panjang atau lebar daun yang akan mempengaruhi dalam proses fotosintesis tanaman. Fotosintesis akan meningkat apabila penyerapan energi sinar matahari berlangsung dengan maksimal, sehingga produksi biji dalam jagung juga akan meningkat dan beratnya bertambah. Hal ini sesuai dengan Susilowati (2001), dimana hasil tanaman jagung ditentukan oleh bobot segar tongkol per tanaman. Semakin tinggi bobot tongkol per tanaman maka akan diperoleh hasil yang semakin tinggi.

Page 337: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

320

KESIMPULAN

Varietas jagung hibrida Bima 14 mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari varietas Bima 4 dan Sukmaraga dari seluruh parameter pertumbuhan dan hasil yaitu tinggi tanaman 237,7 cm, diameter batang 4,86 mm, jumlah daun 12,6 helai, panjang tongkol 28,23 cm, berat tongkol tanpa klobot 296,45 gram, berat 100 biji kering jagung 41,89 gram dan hasil jagung pipilan kering yaitu 10,64 ton/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan yang baik ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yth: Bapak M.Ramlan, SP dan rekan-rekan penyuluh atas bantuan dan masukannya dalam pelaksanaan kegiatan ini dan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik Aceh. 2015. Aceh dalam angka tahun 2015. Banda Aceh. Ermanita, Yusnida Bev dan Firdaus LN.2004. Pertumbuhan vegetatif jagung pada tanah gambut yang

diberi limbah pulp dan paper. Jurnal Biogenesis Vol, 1(1): 1-8. Gardner, F.,T., Pearce R.B., Mitchell, R.L., 2008. Fisiologi tanaman budidaya. Penerjemah Herawati

Susilo, pendamping Subiyanto. Ginting, E. S., Bangun, M. K., dan Lollie Agustina P. Putri. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi

tanaman jagung (Zea mays L.) varietas hibrida dan non hibrida terhadap pemberian pupuk posfat dan bokashi. Jurnal Online Agroteknologi, 1 (2) : 67-75.

Kasyrno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat decade yang lalu dan implikasinya bagi indonesia. Makalah disampaikan pada diskusi nasional agribisnis jagung. Bogor, Badan Litbang Pertanian

Masdar, Kasim. M. Rusman. B. Hakaim dan Helmi. 2006. Tingkat hasil dan komponen hasil sistim intensifiksi padi (SRI) tanpa pupuk organik di daerah curah hujan tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia.127 hal.

Miti F., P. Tongoona, and J. Derera. 2010. S1 selection of local maize landraces for low soil nitrogen tolerance in Zambia. African Journal of Plant Science, Vol. 4(3):67-81.

Permadi, K. 2012. Inovasi Teknologi budidaya jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 31p.

Susilowati. 2001. Pengaruh pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis (Zea mays saccharata Stury). Jurnal Budidaya Pertanian. Vol. 7(1):36-45.

Tahir, M., Tanveer, A., Ali, A., Abbas, M. and Wasaya, A. 2008. Comparative yield performance of different maize (Zea mays L.) hybrids under local conditions of Faisalabad-Pakistan. Pakistan Journal of Life and Social Sciences. 6(2): 118-120.

Zulaiha S, Suprapto, dan Dwinardi Apriyanto. 2012. Infestasi beberapa hama penting terhadap jagung hibrida pengembangan dari jagung lokal bengkulu pada kondisi input rendah di dataran tinggi andisol. Naturalis Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 1(1) : 15-28.

Page 338: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

321

PENGARUH SUBTITUSI TEPUNG DAN PATI GANYONG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK KIMIA DANPENERIMAAN KONSUMEN MIE

THE EFFECTS OF CANNA FLOUR AND STARCH SUBSTITUTION TO THE PHYSICAL AND CHEMICAL PROPERTIES AND CONSUMER ACCEPTANCE OF NOODLE

Sukmaya1, Adetiya Rachman

1 dan Riswita Syamsuri

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat,

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian 9BPTP) Sulawesi Selatan,

JL.Kayuambon, No. 80, Lembang-Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia, Telp 022 2786238

e_mail: [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan pangan di Indonesia berkembang dengan pesat sejalan dengan pertumbuhanpenduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan memerlukan suatu strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal. Peningkatan pemanfaatan umbi-umbian lokal misalnya ganyong yang diolah menjadi menjadi tepung dan pati merupakan salah satu strategi dalam memenuhi kebutuhan pangan. Pengembangan produk olahan sangat diperlukan dalam mendukung diversifikasi pangan, salah satu produk yang dapat dikembangkan yaitu mie. Mie merupakan jenis makanan yang banyak dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat, dan saat ini bahan bakunya menggunakan terigu. Tujuan dari pengkajian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung dan pati gayong terhadap karakteristik fisik kimia dan penerimaan konsumen mie. Pengkajian menggunakan metode eksperimen dengan perlakuan perbandingan tepung terigu, tepung ganyong dan pati yaitu 100% tepung terigu (kontrol); 90%:10%; 80%:20% ; 70%:30%; tepung ganyong dan 90%:10%; 80%:20% ; 70%:30%; perbandingan tepung terigu dengan pati ganyong. Dengan perlakuan 7 macam dan ulangan 15. Parameter yang diamati yaitu sifat mutu fisik-kimia (kadar air dan kadar abu, protein, karbohidrat, lemak dan serat) serta uji organoleptik untuk mengetahui perlakuan terbaik. Uji organoleptik meliputi rasa, tekstur, aroma, warna dan penampilan keseluruhan dengan menggunakan uji kesukaan (hedonik). Hasil analsis statistik menunjukkan formulasi tepung terigu, jenis tepung/pati dan interaksi formulasi dan jenis tepung/pati berbeda nyata terhadap tekstur mie. Uji lanjut menunjukkan mie yang dibuat dari 30% tepung/pati ganyong berbeda nyata dibandingkan mie yang dibuat dengan perlakuan lainnya. Substitusi pati ganyong 10 -30% mampu meningkatkan penerimaan/preferensi konsumen terhadap tekstur mie yang dihasilkan, pada parameter aroma, rasa dan penampilan keseluruhan. Parameter penerimaan warna pada formulasi 30% tepung/pati tidak berbeda nyata dengan warna mie perlakuan 100% terigu. Perlakuan terbaik dari pengolahan mie ganyong yaitu jenis pati ganyong dengan persentase substitusi 30%.

Kata kunci: tepung ganyong, pati ganyong, substitusi, mie

ABSTRACT

The needs of food in Indonesia are growing rapidly in line with population growth. Food needs require an appropriate strategy to meet the needs of local food. Increased utilization of local tubers for example canna root is processed into modified canna-flour is one strategy to meet food needs. Development of processed products indispensable in supporting diversification, one of the products that can be developed is noodle. The objective of this study was to determine the effect of substitution canna-flour to the chemical and physical characteristics of noodle consumer acceptance. Assessment was using the experimental method to the treatment comparison flour, canna and starch that is 100% wheat flour (control); 90%: 10%; 80%: 20%; 70%: 30%; cann- flour and 90%: 10%; 80%: 20%; 70%: 30%; ratio of flour to starch canna. Observed parameters were the physical-chemical properties (moisture content and ash content, protein, carbohydrates, fat and fiber) and hedonic test to determine the best treatment. Hedonic test covers the taste, texture, aroma, color and overall appearance. Statistical analysis showed flour formulation, the type of flour / starch and its interaction was significantly different to the texture of the noodles. Further trials showed noodles are made from 30% canna starch was significantly different than noodles made with other treatments. Substitution 10 -30% canna starch can increase acceptance / preference of consumers towards the texture of noodles produced, the parameters of aroma, taste and overall appearance. Colour acceptance on 30% canna

Page 339: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

322

starch formulation was not significantly different with noodles treatment from 100% wheat. The best treatment of noodles processing was a type of canna starch with a percentage of 30% substitution.

Keyword: canna-flour, canna starch, substitution, noodle

PENDAHULUAN

Masalah pangan merupakan masalah yang kompleks, karena pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak asasi setiap insan. Oleh sebab itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk (Sawit, 2000). Adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya dan ketergantungan masyarakat terhadap produk pangan impor sumber karbohidrat terutama terigu, merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan untuk menjaga kestabilan ketahanan pangan.

Selain itu, sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Dengan tingkat konsumsi beras sebesar 130 kg/kap/th membuat Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia, jauh melebihi Jepang (45 kg), Malaysia (80 kg), dan Thailand (90 kg). Di sisi lain menurut Sadjad (2000) dalam Widowati (2003), bahwa walaupun di beberapa wilayah di Indonesia, penduduk masih mengkonsumsi pangan alternatif seperti gaplek, beras jagung, sagu ataupun ubi jalar, namun fakta yang dihadapi menunjukkan bahwa terigu lebih adaptif dan adoptif daripada pangan domestik. Gejala tersebut bukan saja bagi golongan menengah keatas, tetapi juga dari kalangan bawahsudah terbiasa menyantap mie, jajanan, roti atau kue yang berbahan baku terigu.

Pemanfaatan tepung umbi-umbian sebagai pengganti tepung terigu maupun beras sangatlah tidak mudah. Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah potensi dan penyimpanan pasca panennya serta pola konsumsi masyarakat yang lebih menyukai bahan makanan berbasis terigu. Oleh sebab itu, Indonesia harus mulai melakukan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal.Salah satu pangan non beras yang berasal dari umbi-umbian yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan subtitusi terigu adalah ganyong. Ganyong merupakan tanaman yang memiliki akar rizhoma atau rimpang, tetapi umumnya digolongkan ke dalam tanaman umbi-umbian.Sentra tanaman ganyong di Jawa Barat terdapat di Garut, Sumedang, Ciamis dan Majalengka. Penduduk lokal umumnya memanfaatkan ganyong untuk dikonsumsi sebagai cemilan dengan cara direbus atau dibuat kerupuk. Kurangnya pengetahuan penduduk mengenai pengolahan dan pemanfaatan ganyong menyebabkan belum optimalnya pemanfaatan ganyong. Umbi ganyong dalam perkembangan selanjutnya diambil untuk diproses menjadi pati melalui proses ekstraksi.

Pati ganyong telah diperdagangkan secara internasional sebagai Queensland Arrowroot Starch.Pati ganyong dapat dimanfaatkan sebagai bahan komplementer terhadap ubi kayu dan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan sohun di Vietnam (Hermann, 1996). Pati ganyong juga dapat dijadikan sebagai subsitusi tepung terigu dan tepung beras.Pati ganyong di Indonesia masih dihasilkan dari industri kecil dan rumah tangga. Permintaan terhadap pati ganyong cukup tinggi, namun ketersediaan bahan baku masih terbatas sehingga pati ganyong yang ada saat ini telah terserap oleh pasar meskipun dengan mutu yang masih rendah. Pengembangan pati ganyong harus memperhatikan aspek mutu dari pati ganyong agar dapat ditingkatkan untuk memperluas pasar. Untuk memperkenalkan nilai manfaat dari tepung dan pati ganyong secara meluas diperlukan suatu pembuktian yang bisa diterima oleh masyarakat. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman petani,petugas lapang dan stake holder lainnya dalam memanfaatkan sumber pangan lokal sebagai alternatif pemenuhan konsumsi pangan

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Yang Digunakan

- Bahan utama kegiatan terdiri dari ganyong, tepung terigu,bioaktifatordan bahan-bahan lain seperti telur,gula pasir, mentega, bumbu, dll.

- Alat pembantu pengkajian terdiri dari papan nama, label, dan kantong plastikbak/ember, pisau, baki/alas pengering, alat penepung, kompor, oven, alat pencetak mie, baskom plastik, talenan, serta alat uji analisis sifat fisiko-kimia (oven, tuner, cawan, dll).

Page 340: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

323

Metode Pelaksanaan Kegiatan

a. Identifikasi dan karakterisasi sumber pangan alternatif, dilakukan di Kecamatan Sukamantri kabupaten Ciamis. Data yang dikumpulkan adalah kondisi wilayah biofisik, sosial, ekonomi, potensi, kelembagaan dan masalah dalam pengembangan ganyong

b. Teknologi pengolahan Tepung/Pati Ganyong dengan perlakuan sebagai berikut :

1. Teknologi pengolahan tepung ganyong (konvensional-pengering, fermentasi-nonfermentasi)

2. Teknologi pengolahan pati cara konvensional (dijemur, tanpa perendaman sodium metabisulfit)

3. Teknologi pengolahan pati cara modern (alat pengering dan aplikasi perendaman sodium metabisulfit) Rancangan percobaan menggunakan pendekatan with and without. Analisis data

menggunakan t-test untuk menentukan perlakuan terbaik untuk masing-masing komoditas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Teknologi Eksisting

Secara umum budidaya tanaman ganyong tersebar di 4 desa yang ada di Kecamatan Sukamantri yaitu Desa Sukamantri seluas 2 Ha, Cibeureum seluas 2 Ha, Sindanglaya 4 Ha dan Desa Tenggeraharja seluas 8 Ha, sehingga total luasan kebun gayong yang ada di Kecamatan Sukamantri seluas 16 Ha. Luasan ini sangat jauh menurun dan sdari luasan kebun ganyong pada awal pengembangan ganyong pada tahun 2001 – 2007 yang mencapai 60 Ha. Kondisi kebun ganyong yang ada sekarang tidak terawat dan semakin mengecil luasnya karena harga jual ganyong yang relatif murah yaitu Rp 500,- per kg. Harga ini tidak sebanding dengan biaya kerja terutama untuk panen umbi ganyong yang relatif sulit karena harus digali dan dibersihkan dari akar yang cukup banyak.Usaha budidaya ganyong menurut petani relatif mudah dan tidak memerlukan perawatan yang khusus, tetapi pengembangan ganyong terkendala harga jual umbi yang dirasakan petani kurang menguntungkan.

Pengembangan ganyong di Kecamatan Sukamantri dilakukan mulai dari budidaya hingga pengolahan ganyong menjadi pati ganyong. Unit pengolahan ganyong telah ada di dua desa yaitu Desa Tenggeraharja dan Desa Sindanglaya dan telah mendapat bantuan paket peralatan pengolahan aci/pati ganyong dari dinas pertanian tanaman Pangan Kabupaten Ciamis. Permasalahan yang ada pada pada sektor pengolahan yaitu rendemen aci/pati ganyong yang hanya berkisar 9-12%.Hal ini membuat harga pati ganyong lebih mahal dibandingkan harga aci singkong atau aci aren. Pati ganyong dijual pada harga Rp 7.000,- per kg, jauh lebih tinggi dari harga aci singkong sebesar Rp 4.200,-/kg atau harga tepung aren sebesar Rp 5.200,-/kg. Proses penanganan pascapanen ganyong yang dilakukan di tingkat petani masih dilakukan secara sederhana.

Page 341: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

324

Teknologi eksisting untuk produk olahan ganyongmenjadi pati ganyong yang telah dilakukan oleh kelompoktani wibawa mukti adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Pati Ganyong Kegiatan implementasi pengolahan ganyong dilakukan di tingkat kelompoktani dengan

mengolah ganyong menjadi pati dan tepung dengan beberapa perlakuan. Anggota kelompoktani secara langsung terlibat dalam kegiatan dengan melakukan sendiri kegiatan pengolahan. Pengolahan ganyong menjadi pati pernah dilaksanakan petani namun terkendala oleh masalah rendemen yang kecil, sedangkan pengolahan tepung belum pernah dilaksanakan petani atau pelaku usaha pengolahan di Desa Tenggerraharja.

Implementasi Pengolahan Tepung Ganyong

Tahapan pengolahan tepung ganyong yaitu pembersihan/penyiangan akar, pencucian, pengirisan, pengeringan/penjemuran dan penepungan. Teknologi yang diintroduksikan BPTP Jawa Barat yaitu tahapan perendaman pada natrium metabisulfit untuk mencegah perubahan warna mengingat ganyong memiliki getah yang keluar pada saat proses pengirisan yang menyebabkan perubahan warna coklat atau browning pada daging umbi ganyong. Teknologi pengolahan yang diintroduksikan selanjutnya yaitu fermentasi dengan starter atau bioaktifator yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fungsional tepung yang diperoleh. Perlakuan yang diimplementasikan pada pembuatan tepung ganyong yaitu:

C11 : tanpa fermentasi dan pengeringan matahari

C12: fermentasi dan pengeringan pengeringan matahari

C21: tanpa fermentasi dan pengeringan dengan mesin pengering

C22: fermentasi dan pengeringan dengan mesin pengering

air

Ganyong

Pencucian

Penyaringan/Pemerasan

Pembersihan/penyiangan akar

Penjemuran

Pengendapan

Pengemasan

ampas

Pemarutan

Page 342: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

325

Diagram alir teknologi proses pengolahan tepung ganyong dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini :

Gambar 2. Diagram alir teknologi proses pengolahan tepung ganyong Hasil implementasi teknologi pengolahan tepung ganyong menunjukkan rendemen tepung

kasava yang dihasilkan dari daging umbi singkong sebesar 31,96% hingga 36,56%, sedangkan rendemen dari berat awal berkisar antara 24,50% hingga 28,52%. Rendemen tepung setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Rendemen Tepung Ganyong Beberapa Perlakuan

Perlakuan Rendemen (%)

C11 14,04 C12 13,11 C21 10,45 C22 13,08

Sumber: Data primer hasil analisis

Perlakuan fermentasi maupun jenis pengering tidak mempengaruhi rendemen tepung ganyong

yang dihasilkan. Rendemen tepung lebih dipengaruhi oleh kadar air bahan baku awal dan kadar air akhir produk. Kadar air bahan baku dan tepung ganyong masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :

Ganyong

Pencucian

Pengirisan

Pengepresan

Fermentasi dalam starter e-kozi

2 gr/lt, 24 jam (perlakuan C12, C22)

Pembersihan/penyiangan akar

Penepungan

Pengeringan

Pengemasan

Perendaman dalam sodium metabisulfit (sms) 5 gr/lt, 30 menit

Pencucian

Tanpa fermentasi

(perlakuan C11, C21)

Mesin pengering (perlakuan C21, C22)

Matahari (perlakuan C11, C12)

Page 343: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

326

Tabel 2. Kadar air bahan baku awal dan tepung ganyong dari beberapa perlakuan

Jenis sampel kadar air (%)

Ganyong segar 79,26

C11 11,50

C12 10,63

C21 8,48

C22 10,90

Sumber: Data primer hasil analisis

Kadari air ganyong segar dari tabel sebesar 79,26% menunjukkan berat kering atau rendemen

maksimum yang dapat diperoleh dari pengolahan tepung ganyong sebesar 100% – 79,26% = 20,74% pada kadar air 0% atau 23,57% pada kadar air 12% dari berat daging umbi ganyong. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi yang dilaksanakan belum optimal terutama kadar air produk yang terlalu rendah.

Standar mutu tepung ganyong belum ditetapkan dalam SNI. Syarat mutu yang dapat digunakan yaitu SNI untuk tepung singkong karena sama-sama merupakan tepung yang berasal dari sumber pangan alternatif. Kadar air yang dipersyaratkan SNI 2997-1996 tentang tepung singkong sebesar maksimum 12% menunjukkan semua perlakuan pengolahan tepung ganyong telah memenuhi standar SNI.

Analisis sifat fisik-kimia lain yang dilakukan yaitu kadar abu. Komposisi kadar air, kadar abu dan standar yang disyaratkan SNI 2997-1996 tentang tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat Fisik Kimia Tepung Gayong

Sifat fisik-kimia C11 C12 C21 C22 SNI

Kadar air (%) 11,50 10,63 8,48 10,90 maks 12,0

Kadar abu (%) 1,78 2,73 4,73 1,66 maks 1,5

Sumber: Data primer hasil analisis

Kadar abu dari semua sampel yang diuji belum memenuhi standar SNI untuk tepung singkong

sebesar maksimum 1,5 %. Hal ini menunjukkan kualitas bahan baku yang kurang baik terutama dari kandungan kulit umbi ganyong. Proses pengolahan tepung ganyong tidak melalui pengupasan umbi ganyong dengan tujuan agar semua bagian umbi dapat diolah menjadi tepung. Hal ini menyebabkan tepung ganyong memiliki kandungan abu yang relatif tinggi dan warna tepung yang relatif lebih pucat. Selanjutnya sifat fungsional tepung ganyong hasil analisis amilograf dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat Fungsional Tepung Ganyong

No. Jenis Sampel

waktu gelatinisasi (menit)

Suhu gelatinisasi (⁰C)

waktu gelatinsasi puncak (menit)

Suhu gelatinsasi puncak (⁰C)

viskositas puncak (BU)

Visk. balik (BU)

1. B11 43 93 (menit 1) - - - (+) 40

2. B12 45 93 (menit 3) - - - (+) 60

3. B21 39 88.5 - - - (+) 50

4. B22 39 88.5 - - - (+) 80

Sumber: Data primer hasil analisis

Tabel 4 menunjukkan tepung ganyong yang diperoleh melalui proses fermentasi (B12 dan

B22) menghasilkan viskositas balik terbesar dan berbeda signifikan dibandingkan tepung yang diolah tanpa fermentasi. Perlakuan jenis pengeringan matahari (B11 dan A21) atau oven (B12 dan B22) tidak menghasilkan nilai sifat fungsional yang berbeda signifikan. Sifat fungsional tepung ganyong berdasarkan hasil ini hanya dipengaruhi oleh perlakuan jenis fermentasi, dimana perlakuan fermentasi menghasilkan tepung tapioka dengan mutu fungsional yang lebih baik dibandingkan tanpa fermentasi.

Page 344: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

327

a. Implementasi Pengolahan Pati Ganyong

Tahapan pengolahan pati ganyong yaitu pembersihan/penyiangan akar, pencucian, pemarutan, penyaringan/pengepresan, pengendapan, pengeringan/ penjemuran dan penepungan. Teknologi yang diintroduksikan BPTP Jawa Barat yaitu tahapan perendaman pada natrium metabisulfit untuk mencegah perubahan warna mengingat ganyong memiliki getah yang keluar pada saat proses pemarutan. Teknologi pengolahan yang diintroduksikan selanjutnya yaitu pengeringan menggunakan mesin pengering. Perlakuan yang diimplementasikan pada pembuatan pati ganyong yaitu:

D11 : tanpa perendaman sodium metabisulfit dan pengeringan matahari

D12 : perendaman sodium metabisulfit dan pengeringan pengeringan matahari

D21 : tanpa perendaman sodium metabisulfit dan pengeringan denganmesin pengering

D22 : perendaman sodium metabisulfit dan pengeringan denganmesin pengering

Gambar 3. Diagram Alir Teknologi Proses Pengolahan Pati Ganyong Rendemen pati ganyong yang dihasilkan dariberat awal umbi ganyong berkisar antara 10,44%

hingga 11,97%. Rendemen tepung setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini :

Tabel 5. Rendemen Pati Ganyong Beberapa Perlakuan

Perlakuan Rendemen Dari Berat Awal

(%)

D11 8,06 D12 7,86 D21 6,28 D22 7,14

Sumber: Data primer hasil analisis

Ganyong

Pencucian

Pemarutan

Perendaman dalam sms 5 gr/lt, 30 menit (perlakuan D12, D22)

Pembersihan/penyiangan akar

Penepungan

Pengeringan

Pengemasan

Pengendapan

Tanpa perendaman (perlakuan D11, D21)

Mesin pengering(perlakuan D21, D22) Matahari (perlakuan D11, D12)

Air (D11, D21) Larutan sms 5 gr/lt

(D12, D22)

Penyaringan/ pemerasan

ampas

air

Page 345: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

328

Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa perlakuan perendaman sms maupun jenis pengering tidak mempengaruhi rendemen pati ganyong yang dihasilkan. Rendemen pati lebih dipengaruhi oleh komposisi kimia (kandungan karbohidrat), kadar air bahan baku awal, kadar air akhir produk dan proses produksi yang dilakukan. Rendemen yang didapat hampir sama dengan rendemen yang diperoleh dari penelitan Utami (2009) yang melakukan penelitian mengenai peningkatan mutu pati ganyong melalui perbaikan proses produksi. Rendemen yang diperoleh Utami sebesar7,04 % hingga 9,38% .

Nilai rendemen pati ganyong dipengaruhi oleh kadar air bahan baku ubi kayu segar, kadar air produk dan komposisi kimia ganyong yaitu kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat ganyong putih yang digunakan dalam pengkajian menurut penelitian Utami (2009) yaitu sebesar 14,93% (bb). Hal ini menunjukkan potensi rendemen ganyong yang dapat diperoleh dalam pengolahan pati ganyong.

Sifat fisik-kimia pati ganyong yang dianalisis yaitu kadar air dan kadar abu yang menunjukkan kualitas pati yang dihasilkan. Tabel 6 menunjukkan kadar air dan dan kadar abu pati ganyong serta perbandingannya dengan standar SNI untuk tapioka.

Tabel 6. Sifat Fisik Kimia Pati Ganyongdan SNI Tapioka

Sifat fisik-kimia D11 D12 D21 D22 SNI

Kadar air (%) 13,73 15,72 11,57 12,56 maks 14,0

Kadar abu (%) 0,29 0,36 0,22 0,39 maks 0,5

Sumber: Data primer hasil analisis

Kadar air dan kadar abu pati ganyong dari semua perlakuan yang diimplementasikan

menunjukkan seluruh nilai kadar air dan kadar abu telah memenuhi SNI untuk tepung tapioka. Hal ini menunjukkan kualitas pati ganyong yang dihasilkan sudah baik. Kadar abu pati ganyong jauh lebih rendah dari tepung ganyong disebabkan kulit umbi tidak tercampur dengan pati sehingga pati yang dihasilkan relatif lebih bersih dari kotoran dan kandungan abu. Selanjutnya sifat fungsional pati ganyong hasil analisis amilograf dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 7. Sifat Fungsional Tepung Ganyong

No. Jenis Sampel

waktu gelatinisasi (menit)

Suhu gelatinisasi (⁰C)

waktu gelatinsasi puncak (menit)

Suhu gelatinsasi puncak (⁰C)

viskositas puncak (BU)

Visk. balik (BU)

1. D11 28 72.0 - - - (+) 720

2. D12 27 70.5 - - - (+) 740

3. D21 29 73.5 44 93,0 (mnt 2) 230 (+) 120

4. D22 28 72.0 42 93.0 240 (+) 80

Sumber: Data primer hasil analisis

Tabel 28 menunjukkan pati ganyong yang diperoleh melalui proses perendaman atau tanpa

perendaman Natrium Metabisulfit tidak menunjukkan perbedaan waktu gelatinisasi maupun suhu gelatinisasi. Perlakuan jenis pengeringan matahari (D11 dan D21) atau oven (D12 dan D22) juga tidak menghasilkan nilai sifat fungsional yang berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan perlakuan perendaman Natrium Metabisulfit dan jenis pengeringan tidak mempengaruhi mutu fungsional pati ganyong yang dihasilkan.

Implementasi Teknologi Pengolahan Produk Olahan Tepung/Pati Ganyong menjadi mie

Mie ganyong diproses menggunakan bahan baku tepung dan pati ganyong untuk membandingkan jenis tepung terhadap produk mie yang dihasilkan. Teknologi pengolahan yang diintroduksikan yaitu substitusi tepung terigu dengan tepung ganyong dan pati ganyong. Perlakuan yang diimplementasikan pada pembuatan mie ganyong yaitu:

1) A0 : formulasi 100% tepung terigu (kontrol) 2) A11: formulasi 10% tepung ganyong : 90% tepung terigu 3) A12: formulasi 20% tepung ganyong : 80% tepung terigu 4) A13: formulasi 30% tepung ganyong : 70% tepung terigu 5) A21: formulasi 10% pati ganyong : 90% tepung terigu 6) A22: formulasi 20% pati ganyong : 80% tepung terigu 7) A23: formulasi 30% patiganyong : 70% tepung terigu

Page 346: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

329

Analisis fisik kimia yang dilakukan yaitu kadar air dan kadar abu untuk mengetahui pengaruh jenis tepung dan formulasi terhadap sifat mutu mie yang dihasilkan. Kadar air dan kadar abu mie yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kadar air dan kadar abu mie ganyong

Perlakuan Kadar air (%) Kadar abu(%)

100% terigu 8.36 4.32

10% tepung ganyong 7.43 4.32

20% tepung ganyong 8.72 6.61

30% tepung ganyong 8.86 5.19

10% pati ganyong 7.36 4.16

20% pati ganyong 7.65 3.98

30% pati ganyong 7.50 3.78

SNI 01-2974-1996 mutu I maks 8,00 maks. 3

SNI 01-2974-1996 mutu II maks 10,00 maks.3

Sumber: Data primer hasil analisis

Kadar air semua perlakuan yang diuji telah memenuhi SNI mutu I untuk mie kering,

sedangkan kadar abu belum memenuhi nilai yang dipersyaratkan. Hal ini menunjukkan mie yang diproses dengan penambahan tepung atau pati ganyong mampu menghasilkan mutu yang sama dengan mie yang dihasilkan dari 100% tepung terigu dan memenuhi standar SNI yang ditetapkan untuk mie kering.

Mie berbahan baku tepung dan pati ganyong selanjutnya diuji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap mie yang dihasilkan. Hasil analisis organoleptik mie dari tepung dan pati ganyong dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram batang penerimaan konsumen produk mie dari tepung dan pati ganyong

Hasil analsis statistik menunjukkan formulasi tepung terigu, jenis tepung/pati dan interaksi formulasi dan jenis tepung/pati berbeda nyata terhadap tekstur mie. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan formulasi menunjukkan mie yang dibuat dari 30% tepung/pati ganyong berbeda nyata dibandingkan mie yang dibuat dengan perlakuan lainnya. Uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan menunjukkan jenis pati ganyong pada berbagai formulasi berbeda nyata dibandingkan jenis tepung terigu dan tepung ganyong pada berbagai formulasi. Nilai terbaik didapat dari subset atau kelompok substitusi pati ganyong 10 – 30%. Hal ini menunjukkan substitusi pati ganyong 10 -30% mampu meningkatkan penerimaan/preferensi konsumen terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Hal yang sama ditemui untuk parameter aroma, rasa dan penampilan keseluruhan.

Parameter penerimaan konsumen lainnya yaitu warna menunjukkan nilai berbeda nyata terhadap semua perlakuan dan interaksinya. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan formulasi menunjukkan formulasi 30% tepung/pati tidak berbeda nyata dengan warna mie perlakuan 100% terigu.Interaksijenis tepung dan formulasi juga menunjukkan jenis pati ganyong pada berbagai formulasi berada pada satu kelompok dengan perlakuan 100% tepung terigu.Hal ini menunjukkan warna mie yang dihasilkan dari substitusi pati ganyong pada berbagai formulasi tidak berbeda dengan

Pe

ne

rim

aan

Perlakuan

Teksturwarnaaroma

Page 347: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

330

mie yang terbuat dari 100% tepung terigu. Perlakuan terbaik dari pengolahan mie ganyong yaitu jenis pati ganyong dengan persentase substitusi 30%.

KESIMPULAN

1. Hal ini menunjukkan mie yang diproses dengan penambahan tepung atau pati ganyong mampu menghasilkan mutu yang sama dengan mie yang dihasilkan dari 100% tepung terigu dan memenuhi standar SNI yang ditetapkan untuk mie kering.

2. Uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan menunjukkan jenis pati ganyong pada berbagai formulasi berbeda nyata dibandingkan jenis tepung terigu dan tepung ganyong pada berbagai formulasi. Nilai terbaik didapat dari subset atau kelompok substitusi pati ganyong 10 – 30%. Hal ini menunjukkan substitusi pati ganyong 10 -30% mampu meningkatkan penerimaan/preferensi konsumen terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Hal yang sama ditemui untuk parameter aroma, rasa dan penampilan keseluruhan.

3. Dengan substitusi tepung ganyong 30 % masih memperlihatkan hasil yang bisa diterima dengan baik oleh panelis dilihat dari tekstur, warna, aroma, rasa dan keseluruhan penampilan

DAFTAR PUSTAKA

Ahsol dan Yusuf. 2008.Diversifikasi Produk Ubi JalarSebagai Bahan Pangan Substitusi Beras. Tabloid Sinar Tani.

Bandan Standardisasi Nasional [BSN]. 2011. Standar Nasional Indonesia Tepung Tapioka. SNI 01-3451-2011. BSN, Jakarta.

Bandan Standardisasi Nasional [BSN]. 1996. Standar Nasional Indonesia Tepung Singkong. SNI 2997-1996. BSN, Jakarta.

Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. 2002. Petunjuk Teknis Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber karbohidrat Lokal. Jakarta.

Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) kecamatan Sukamantri. 2013. Programma Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukamantri 2013.

Damardjati, D.S. dan S. Widowati. 1994. PemanfaatanUbi Jalar dalam Program DiversifikasiGuna Mensukseskan Swasembada Pangan.Dalam Winarto A., Y. Widodo, S.S. Antarlina,H. Pudjosantosa, dan Sumarno (Eds). RisalahSeminar Penerapan Teknologi Produksi danPascapanen Ubi Jalar MendukungAgroindustri. Balittan Malang.

Damayanti, N. 2001.Karakterisasi sifat fisikokimia tepung ganyong (Canna edulis Kerr.) dan kesesuaiannya untuk produk pangan.Dalam Himpunan Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan (Buku A: Teknologi Pangan dan Rekayasa). Semarang.

Djuwardi, A. 2008. Optimalisasi potensi tepung ganyong, Prospek Bisnis dan Peluangnya”. Makalah disampaikan pada Seminar Teknologi Pendukung Pengembangan Industri Tepung Umbi-Umbian. Bandung.

Gomez, A.K. and A.A. Gomez.1995.Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Heni P., T.F. Djaafar dan S. Rahayu. 2006. Diversifikasi Teknologi Pengolahan Jagung untuk Menunjang Agroindustri di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Hermann, M. 1996. Starch Noodle from Edible Canna. p. 507-508. In: J. Janick (ed.), Progress in New Crops. ASHS Press, Arlington, VA.

http://www.iptek.net.id. 2005. TTG Pengolahan Pangan. Tepung Tapioka, diakses pada tanggal 8 Januari 2013.

Nyoman, 2011.Kebijakan dan program pengembangan Agroindustri ubi kayu. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

Rahmawati, F dan K. Komariah. 2013. Pelatihan Pembuatan ’’Sosis Ikan’’ Sebagai UpayaPengembangan Usaha Hasil Olahan Ikan Guna MenunjangKegiatan Pariwisata di Daerah SrandakanKabupaten Bantul. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/artikel%20sibermas%20sosis%20srandakan.pdf diakses 8 Januari 2013

Rukmana, R. 200. Ganyong.Budidaya dan pascapanen. Penerbit Kanisisus. Jakarta. Sawit, M.H. 2000. Arah Pembangunan pangan dan Gizi. Makalah pada diskusi Peningkatan

Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Page 348: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

331

Saleh, N dan Erliana Ginting. 2007. Teknologi Pangan Ubi Jalar untuk Mendukung Diversifikasi Pangan dan Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan baku lokal. Bahan Presentasi pada Pelatihan PTT Ubi Jalar di Purwakarta. Balitkabi Malang.

Southeast Asian Food & Agricultural Science &Technology [Seafast] Center. 2013. Pengolahan Singkong. http://seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-content/uploads/2013/06/6-pengolahan-singkong.pdf diakses 11-06-2013

Setyono, A., R. Thahir,Soeharmadi. 1993. Penanganan pascapanen ubi kayu menunjang pengembangan agroindustri di pedesaan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Bogor, 23-25 Aug 1993. Puslitbangtan, Bogor.

Sucihatiningsih, D.W.P., E. Sutrasmawati, dan I.S.W. Fajarini. 2013. Analisis Persepsi Dan Preferensi Ibu Rumah Tangga Terhadap Produk Pangan Olahan Berbasis Tepung Ubi Jalar dalamMeningkatkan Keanekaragaman Pangan http://ep.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/sucihatiningsih-dian-wisika2.pdf

Suismono,N. Richana dan Suyanti. 2006. Pengolahan dan pemanfaatan ganyong. Pedoman Teknis. Badan Penelitian dan Pengemabngan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Utami, P.Y. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) Melalui Perbaikan Proses Produksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widowati, S.2001. Tehnik produksi aneka tepung dan pati dari bahan pangan sumber karbohidrat serta potensi pemanfaatannya. Makalah disampaikan pada ”Alih Teknologi Produksi Aneka Tepung dan Pemanfaatannya dalam Menunjang Ketahanan pangan”. BALITKABI.

Widowati, S. 2003. Prospek tepung sukun untuk berbagai produk makanan olahan dalam upaya menunjang diversifikasi pangan. http://rudyct.topcities.com. Diakses pada tanggal 3 September 2005.

Widowati, S., B.A.S. Santosa, R. Sunarlim, Hernani, Suismono, R. Rachmat, I. Mulyawanti, Febriyezi, H. Herawati. 2010. Model penerapan teknologi produksi 1ton Tepung Sukun Bermutu Premium Dengan Efisiensi Biaya Produksi 50% Dan Pengembangan 5 Macam Produk Olahannya (Snack Food) di Kab. Cilacap. Laporal Hasil Penelitian BB Pascapanen, Bogor

Wijandi, S., 1986. Ilmu Pengetahuan Bahan Umbi-Umbian. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB-Press, Bogor.

Winarno, F.G. 2002.Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Page 349: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

332

SIFAT-SIFAT KIMIA TANAH DAN KEBUTUHAN PUPUK UNTUK TANAMAN PADI SAWAH DI KECAMATAN SELUMA TIMUR KABUPATEN SELUMA

CHEMICAL PROPERTIES OF SOIL AND FERTILIZER REQUIREMENT FOR PADDY IN EAST SELUMA SUBDISTRICT SELUMA REGENCY

Irma Calista Siagian dan Tri Wahyuni

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Indonesia Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Identifikasi sifat-sifat kimia tanah sangat penting dilakukan karena sifat-sifat tersebut berkaitan erat dengan potensi kesuburan tanah serta merupakan dasar penyusunan strategi pengelolaan tanah seperti pemupukan. Kesuburan tanah merupakan landasan untuk mempertahankan potensi produksi tanaman. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengidentifikasi sifat-sifat kimia tanah serta kaitannya dengan kebutuhan pupuk NPK untuk tanaman padi sawah. Metodologi yang digunakan meliputi pengambilan sampel tanah lapisan atas (0-20) cm yang diambil secara komposit dari 5 desadi Kecamatan Seluma Timur lokasi kemudian dilakukan analisis kimia tanah di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu pada bulan Oktober hingga November 2013 dan berikutnya dilakukan penghitungan kebutuhan pupuk. Tanah yang dianalisis merupakan tanah pada beberapa desa pada Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma. Sifat-sifat kimia tanah yang dianalisi meliputi pH, Kadar C-Organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, KTK, Kejenuhan Basa (KB) dan kemasaman dapat ditukar (Al dan H). Hasil analisis unsur hara hara makro N, P, K di Kabupaten Seluma berturut-turut adalah N sangat rendah hingga sedang (0,13 – 0,23), P sangat rendah hingga rendah (3,78 – 6,43), dan K rendah hingga sangat tinggi (0,28 – 0,78).Rekomendasi kebutuhan pupuk untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Seluma yaitu urea dengan dosis 200 - 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 50-100 kg/ha.

Kata Kunci: kimia tanah, pemupukan, padi, sawah, Seluma Timur

ABSTRACT

Identification ofthe chemical characteristics ofthe soilis veryimportant becausethese propertiesare closely relatedto theestimation of potentiallfertility ofthe soil andis the basis forstrategic management ofthe landasfertilizer. Soil fertilityis the foundationformaintainingcropproduction potential. The purpose ofthis study was toidentifythe chemical properties ofthe soiland its relation tothe needs ofNPK fertilizer, limeandorganic matterforpaddy ricecrops. The methodologycoversthe top layerof soil sampling(0-20) cm as compositetakenfrom 5 locationsthen performedsoil chemical analysisin the laboratory ofAssessment Institute for Agriculture Technology (AIAT)Bengkulufrom October toNovember 2013andthe nextis donecalculation offertilizer requirements. Soil that analyzed was takenfromseveral villagesin theEasternSeluma, SelumaDistrict. The chemical properties ofsoilareanalyzedincludepH, levels ofC-Organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, CEC, Base saturation(KB) andexchangeableacidity(Al and H). The results of the macro nutrients analysis (N, P, K) in Selumas that result of N is very low to moderate (0.13 to 0.23), P is very low to low (3.78 to 6.43), and K is low to very high (.28-.78). Recommendation of fertilizer for rice crops in Selumaare 200-250 kg / haof urea, 100 kg / ha of SP-36 and 50-100 kg / ha of KCl.

Keywords: soilchemical, fertilizer, ricepaddy, eastern seluma

Page 350: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

333

PENDAHULUAN

Provinsi Bengkulu memiliki luas baku lahan sawah pada tahun 2014 sebesar 100.054 hektar. Hal ini merupakan modal bagi daerah ini untuk dapat menyediakan tanaman pangan,sehingga dapat menyediakan pasokan pangan secara mandiri. Kabupaten Seluma memiliki luas lahan sawah terbesar yaitu 19.862 hektar di Provinsi Bengkulu (BPS Provinsi Bengkulu, 2015).

Sistem pertanian berbasis bahan high input energy (bahan fosil) seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan pada akhirnya akan menurunkan produktifitas tanah untuk waktu yang akan datang. Sistem pertanian alternatif yang menggunakan teknologi masukan rendah (low input energy) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktifitas tanah.

Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi tanaman, tetapi untuk nutrisi tanaman yang efisien, peranannya tidak boleh ditawar lagi. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis dari tanah. Bahan organik memiliki peranan kimia dalam menyediakan N, P, dan S untuk tanaman, peranan biologis mempengaruhi aktivitas organisme mkroflora dan mikrofauna, serta peranan fisik mempengaruhi struktur tanah dan lainnya. Penggunaan bahan organik ke dalam tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Engelstad, 1991).

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh sifat-sifat kesuburan tanahnya yakni kesuburan fisik, kesuburan kimia dan kesuburan biologis. Kesuburan fisik lebih mengutamakan tentang keadaan fisik tanah yang banyak kaitannya dengan penyediaan air dan udara tanah, sedangkan kesuburan kimia berperan dalam menentukan dan menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang menyangkut dalam masalah--masalah ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mencapai maksud tersebut, maka pembahasan mengenai sifat kimia tanah ini kita batasi pada hal-hal yang berkaitan erat dengan masalah-masalah antara lain: reaksi tanah (pH), koloid tanah, pertukaran kation, dan kejenuhan basa.

Kimia tanah sawah merupakan sifat tanah sawah yang sangat penting dalam hubungannya dengan teknologi pemupukan yang efisien. Aplikasi pupuk baik jenis, takaran, waktu, maupun cara pemupukan harus mempertimbangkan sifat kimia tersebut. Sebagai contoh adalah teknologi pemupukan nitrogen dimana jenis, waktu dan cara pemupukan harus memperhatikan perubahan perilaku hara N dalam tanah sawah agar pemupukan lebih efisien. Sumber pupuk N disarankan dalam bentuk amonium (NH4

+), dimasukkan ke dalam lapisan reduksi dan diberikan 2-3 kali. Tujuan

pengkajian ini adalah untuk mengidentifikasi sifat-sifat kimia tanah serta kaitannya dengan kebutuhan pupuk untuk tanaman padi sawah di Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma.

METODE PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan di Kecamatan Seluma Timur dan selanjutnya dilakukan analisa di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu. Pengkajian dilakukan pada bulan Oktober–November 2013. Metodologi yang digunakan meliputi pengambilan sampel tanah lapisan atas (0-20) cm yang diambil secara komposit dari beberapa lokasi kemudian dilakukan analisis kimia tanah, dan berikutnya dilakukan penghitungan kebutuhan pupuk. Tanah yang dianalisis merupakan tanah pada beberapa desa pada Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma antara lain Desa Selebar, Desa Sembayat dan Desa Rawa Sari. Sifat-sifat kimia tanah yang dianalisi meliputi pH, Kadar C-Organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, KTK, Kejenuhan Basa (KB) dan kemasaman dapat ditukar (Al dan H).

Pengambilan contoh tanah dilakukan secara komposit 5 titik per petak sawah dengan metode zigzag. Seperangkat alat untuk analisis sifat fisik dan kimia disiapkan, demikian juga bahan kimia untuk analisis sebagai berikut : penetapan bahan organik menurut metode yang dikembangkan oleh Walkey and Black (Prawirowardoyo, et al., 1987) kandungan N total tanah metode Kjehdal, kandungan P tersedia tanah metode Bray I, kandungan K tersedia tanah, kandungan asam humat dan fulfat, kapasitas pertukaran kation tanah dengan penjenuhan Amonium acetat pH 7,0 (Tan and Goenadi, 1991). Perhitungan kebutuhan pupuk berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS).

Page 351: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

334

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kabupaten Seluma

Kabupaten Seluma terletak pada koordinat 03O49’ – 04

O21’ Lintang Selatan serta antara

101O17’ – 102

O59’ Bujur Timur. Kabupaten Seluma memiliki sawah terluas di Provinsi Bengkulu

yaitu 18.130 ha atau 18,84% yang diikuti oleh Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan masing-masing 14.521 ha dan 11.290 ha atau 15,09% dan 11,73% (BPS Provinsi Bengkulu, 2015). Pada tahun 2014, produksi padi di Kabupaten Seluma mengalami penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan produksi tahun 2013 yaitu dari 82.727 ton menjadi 61.609 ton (BPS Kabupaten Seluma, 2015).

Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia pada tanah sawah di Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah sawah di Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma

Jenis Analisis Desa

Selebar (Remah Kelumpang)

Selebar (Paloh Beringin)

Selebar (Kernanding Jaya)

Sembayat Rawa Sari

Kadar Air (%) 4.80 3.80 3.80 4.20 10.60 pH H2O 5.92 5.90 5.97 5.39 4.49 pH KCl 4.96 5.08 4.90 4.12 3.89 C-Organik (%) 1.61 1.53 1.43 1.65 40.60 N-Total (%) 0.13 0.21 0.23 0.15 1.66 C/N 12.38 7.28 6.21 11 24.45 P-Bray I (ppm) 5.16 3.78 6.43 4.55 4.27 K-dd (me/100 gr) 0.31 0.28 0.78 0.65 0.32 Na (me/100gr) 0.44 0.38 0.37 0.37 0.21 Ca (me/100gr) 1.41 3.25 1.74 2.13 1.78 Mg (me/100gr) 17.88 12.64 11.98 10.04 1.54 KTK (me/100gr) 34.47 28.71 28.08 22.36 28.71 Al-dd 0.21 1.66 0.42 1.88 4.03 H-dd 0.21 0.21 0.21 0.63 0.45 Kejenuhan basa (%) 58.13 57.68 52.95 58.98 13.40

Sumber: Data Primer (2013)

Dari tabel 1 diketahui bahwa nilai pH KCl di Desa Rawa Sari cukup rendah dan perlu

pemberian kapur untuk meningkatkan pH tanah. Nilai pH tanah yang rendah dapat membatasi pertumbuhan tanaman, menurunkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman, menurunkan aktivitas biologi tanah dan meningkatkan keracunan aluminium (Brady and Weil, 2002). Nilai pH Tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Kandungan pH tanah di Kecamatan Seluma Timur tergolong masam hingga agak masam.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa Desa Rawa Sari memiliki kandungan N yang sangat tinggi, hal ini diduga karena petani sawah hanya mengaplikasikan pupuk Urea di lahan sawahnya sehingga menyebabkan kandungan Nitrogen lebih tinggi dibanding unsur hara lainnya. Nitrogen merupakan unsur hara makro yang sangat penting, menyusun sekitar 1,5% bobot tanaman dan berperan penting dalam pembentukan protein (Hanafiah, 2005).

Kandungan bahan organik umumnya bervariasi mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi dengan Nisbah C/N untuk tanah yang normal sekitar 12 dan pada tanah sawah Kecamatan seluma Timur memiliki kandungan C/N dari rendah hingga tinggi (1,61 – 40,60 %).KandunganC/N dengan rata-rata rendah tersebut dikarenakan kurangnya pemberian kompos di lahan sawah. Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika dan biologi tanah. Kandungan C-Organik di tanah dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah dan jumlahnya tidak kurang dari 2 persen (Mustofa, 2007), sehingga waktu pengolahan tanah, penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun.

Kandungan P-Bray di Kecamatan Seluma Timur pada umumnya rendah dari hasil analisa tanah. Tanah-tanah tua di Indonesia umumnya berkadar alami P rendah dan berdaya fiksasi tinggi,

Page 352: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

335

sehingga penanaman tanpa memperhatikan suplai P, kemungkinan besar akan gagal akibat defisiensi P (Hanafiah, 2005). Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6-7 (Sarwono, 2003).

Kalium merupakan unsur hara ketiga setelah Nitrogen dan Fosfor yang diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K

+. Ketersediaan Kalium merupakan Kalium yang dapat dipertukarkan dan dapat

diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya sendiri (Hakim et al., 1986). Kandungan Kalium di Kecamatan Seluma Timur tergolong rendah ke tinggi sehingga masih diperlukan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan sawah untuk meningkatkan hasil produktivitas (Gambar 1).

Gambar 1. Kandungan N-total, P-bray (ppm), dan K-dd di Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten

Seluma

Gambar 2. Kejenuhan Basa dan Kapasitas Tukar Kation di Kecamatan Seluma Timur,

Kabupaten Seluma

Gambar 2 menunjukkan bahwa kejenuhan basa tertinggi dimiliki oleh Desa Sembayat yaitu

sebesar 58,98%. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Sembayat dan tiga desa lainnya yaitu Remah Kelumpang, Paloh Beringin, dan Kernading Jaya memiliki kesuburan sedang. Sedangkan Desa Rawa Sari dengan nilai KB 13,40% menunjukkan daerah yang kurang subur. Kejenuhan basa biasanya dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya > 80 %, memiliki kesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 80 dan 50 %, serta tidak subur jika kejenuhan basanya < 50 % (Tan and Goenadi, 1991). Pengapuran merupakan cara yang umum untuk meningkatkan persen kejenuhan basa tanah.

Tanah dengan KTK tinggi mampu menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. KTK digunakan sebagai ukuran kesuburan tanah, kapasitas retensi hara, dan kapasitas untuk melindungi tanah dari kontaminasi kation (Robertson et al, 1999).Pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation berubah dengan berubahnya pH tanah. pH tanah penting bagi

N-Total (%)

P-Bray I /10 (ppm)

K-dd (me/100 gr)

KTK (me/100gr)

Kejenuhan basa (%)

Page 353: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

336

KTK karena dengan meningkatnya pH tanah, jumlah muatan negatif pada koloid juga meningkat, sehingga dapat meningkatkan KTK.

Kebutuhan Pupuk

Analisa tanah yang telah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan suatu nilai yang akan membantu meramalkan jumlah unsur hara yang diperlukan untuk menunjang suplai unsur hara dalam tanah. Berdasarkan hasil analisa tanah sawah di Kecamatan Seluma Timur maka dapat disusun rekomendasi kebutuhan pupuk untuk tanaman padi sawah yaitu pemberian pupuk urea dengan dosis 200 - 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 50-100 kg/ha.

Ada sedikit perbedaan jika dibandingkan dengan rekomendasi pemupukan berdasarkan Kalender Tanam terpadu (KATAM). Berdasarkan KATAM, rekomendasi pemupukan untuk Kecamatan Seluma Timur adalah pemberian pupuk urea sebanyak 250 kg/ha, SP-36 sebanyak 50 kg/ha, dan KCl sebanyak 50 kg/ha (Kementerian Pertanian, 2016). Perbedaan ini dapat terjadi karena KATAM dalam melakukan pengambilan sampel dilakukan secara sampling tidak spesifik perdesa.

Rekomendasi pemupukan nitrogen sangat tergantung pada banyak faktor termasuk jumlah nitrat dalam profil tanah, jenis tanaman musim sebelumnya, sasaran hasil, dan pemupukan yang dilakukan pada musim sebelumnya. Tanah dapat diuji kembali dalam 2-3 tahun untuk melihat apakah koreksi pemupukan diperlukan lagi. Kemudian penambahan dosis pupuk dilakukan untuk menggantikan kehilangan hara dari tanah, melalui panen, erosi, pencucian dan fiksasi.

KESIMPULAN

1. Lahan sawah di Kecamatan Seluma Timur dalam kategori kesuburan rendah sampai sedang dengan kandungan unsur hara N 0,13 -1,66, P 3,78 – 6,43, K 0,28 – 0,78, KB 13,40 – 58,98, dan KTK 22,36 – 34,47 .

2. Rekomendasi kebutuhan pupuk untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Seluma yaitu urea dengan dosis 200 - 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 50-100 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Bengkulu Dalam Angka. Bengkulu. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Seluma. 2015. Seluma Dalam Angka. Brady, N., and R. Weil. 2002. Soil Phosphorus annd Potassium. The Nature and Properties of Soils

(13th Ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc.

Hakim, N., M. Nyakpa, A. Lubis, S. Nugroho, M. Saul, M. Diha, G. Hong, and H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Buku, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kemeterian Pertanian. 2016. Katam Terpadu Modern Versi 2.5. Musim Hujan (MH) Oktober 2016 –

Maret 2017. Jakarta. Mustofa, A. 2007. Perubahan Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Tanah Pada Hutan Alam yang Diubah

Menjadi Lahan Pertanian di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prawirowardoyo, S., A. Rosmarkam, D. Shiddieq, M. Hidayat, and M. Ma’shum. 1987. Prosedur Analisa Kimia Tanah. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Robertson, G. P., P. Sollins, B. G. Ellis, and K. Lajtha. 1999. Exchangeable Ions, pH, and Cation Exchange Capacity, Standard Soil Methods for Long-term Ecological Research. Oxford University Press. New York. 106 – 114.

Sarwono, H. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesisi. Akademika Pressindo. Jakarta. Tan, K. H., and I. D. H. Goenadi. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press.

Page 354: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

337

SIFAT FISIK, KIMIA DAN SIFAT ORGANOLEPTIK BERAS PADI INPARIDI SAWAH IRIGASI DAN SAWAH TAMBAK DI LAMONGAN

PHYSICAL, CHEMICAL AND ORGANOLEPTIC PROPERTIES OF INPARI RICE ON IRRIGATION PADDY FIELD AND SEA SIDE PADDY FIELD

Ita Yustina dan Eli Korlina

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang. Email: [email protected]

ABSTRAK

Mutu beras menentukan penerimaan konsumen terhadap varietas beras. Mutu beras meliputi mutu fisik dan mutu kimia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ukuran dan bentuk, kadar air, amilosa dan sifat sensoris nasi yang berasal dari varietas Inpari yang berbeda dan ditanam di sawah irigasi dan sawah tambak. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor yaitu 1) faktor I: Jenis lahan yaitu sawah irigasi dan sawah tambak, sedangkan 2) faktor II: varietas padi, yaitu Inpari 10, Inpari 16, Inpari 23, Inpari 25, Inpari 30.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran beras, kadar air dan amilosa beras tidak dipengaruhi oleh jenis lahan namun dipengaruhi oleh varietas padi. Kadar air berkisar antara 6,97-12,74%. Kadar amilosa setiap perlakuan berbeda nyata, dengan amilosa terendah 0,23% pada perlakuan Inpari 23 ditanam di sawah tambak. Sifat sensoris nasi secara keseluruhan paling disukai adalah Inpari 23 dengan skor 5,81 (suka-sangat suka).

Kata kunci: Beras, Inpari, amilosa, sifat sensoris nasi

ABSTRACT

Rice quality determines consumer acceptance for rice varieties. Rice qualities are including physical and chemical qualities. The purpose of this study was to determine size and shape, moisture content, amylose and sensory properties of rice from different varieties which planted in irrigated rice and paddy pond. The experimental design used was randomized block design (RAK) with factorial, the first factorwas type of land that is irrigated rice and paddy pond, and the second factor was rice varieties that are Inpari 10, Inpari 16 Inpari 23 Inpari 25 Inpari 30. Result shows that shape and size of the rice, water content and amylose rice was not affected by land type but it is affected by rice varieties. Water content was ranged from 6.97 to 12.74%. Amylose contents are significantly different with the lower was 0.23% for Inpari 23 grown in ponds. In overall, rice sensory properties as the most preferred was Inpari 23 which scores 5.81 (like -really like).

Keywords: rice, Inpari variety, amylose, steamed rice, sensory characteristic

PENDAHULUAN

Nasi/beras merupakan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan beras nasional. Sawah tambak selama ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya padi. Padahal sawah tambak memiliki residu pupuk yang cukup tinggi sehingga dapat menghemat dosis pupuk.

Mutu beras menentukan seberapa besar penerimaan konsumen terhadap varietas beras. Mutu beras meliputi mutu fisik antara lain rendemen, % butir kepala, % butir kapur, ukuran dan bentuk butiran, serta mutu kimia yaitu kadar amilosa, suhu gelatinisasi, konsistensi gel, kadar nutrisi atau protein dan lainnya. Menurut Iswari (2012) Mutu kualitatif yang terdiri atas bebas hama penyakit, bebas bau busuk, asam atau yang lainnya, bebas dari bekatul dan bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang berbahaya dan mutu kuantitatif menjadi persyaratan mutu beras maupun gabah. Menurut Soerjandoko (2010) mutu beras dipengaruhi oleh faktor ekternal dan internal. Faktor eksternal antara lain sarana mekanis yang digunakan dalam penggilingan, cuaca, penanganan pascapanen, sedangkan faktor internal seperti mutu gabah yang dipengaruhi oleh genetika tanaman seperti kadar air, amilosa, protein, dll.

Persyaratan mutu beras yang baku sudah diatur dalam SNI 6128:2008, namun dalam persyaratan tersebut tidak mengatur mengenai tekstur atau kadar amilosa beras. Hal ini disebabkan

Page 355: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

338

karena perbedaan selera yang menjadi kesukaan masyarakat di masing-masing daerah. Menurut Soerjandoko (2010) pemilihan beras bersifat subyektif dan dipengaruhi lokasi, suku bangsa/etnik, lingkungan, tingkat pendidikan dan status social ekonomi. Jawa dan sekitarnya menyukai beras pulen (etnis Jawa dan Bali), sementara masyarakat di Madura (etnis Madura) dan Sumatra Barat (etnis Minang) lebih menyukai beras yang pera sedangkan di Kalimantan Selatan menyukai nasi pera yang berbentuk ramping (Ningsih dan Nafisah 2014; Suismono et al. 2003)). Penilaian terhadap mutu beras di berbagai daerah masih sangat beragam sehingga klasifikasikan beras berkelas-kelas masih menemui kesulitan. Menurut Damardjati dan Purwani (1998) penilaian mutu beras berdasarkan keragaan mutu giling, mutu rasa, mutu tanak, mutu gizi, sedangkan menurut Suismono et al. (2003) mutu beras yang digunakan dalam perdagangan antara lain mutu giling, mutu rasa yaitu keutuhan beras kepala, kebeningan beras dan kepulenan nasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu beras dan preferensi panelis terhadap nasi yang dihasilkan dari padi varietas unggul Inpari yang dibudidayakan di sawah tambak dan sawah irigasi. Menurut Hairmansis, dkk (2007) varietas unggul tidak hanya harus berdaya hasil tinggi, mampu beradaptasi terhadap kondisi tipe lahan, mempunyai karakteristik tipe tanaman yang sesuai di daerah pengembangan selain itu juga sesuai selera konsumen setempat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi khususnya bagi petani sawah tambak, kualitas beras varietas inpari yang dibudidayakan di sawah tambak, sehingga dapat menjadi varietas padi alternatif.

METODOLOGI

Waktu dan tempat

Peneltian dilaksanakan di Lamongan mulai bulan April2014 hingga Oktober 2014. Penanaman padi di sawah irigasi dilaksanakan pada tanggal 25 April 2014 di Desa Sidoarjo, Kecamatan Sugio. Pemanenan pada tanggal 17 Juli 2014. Pemupukan menggunakan pupuk organik 300 kg/ha, urea 250 kg/ha, SP36 150kg/ha, NPK 15:15:15 150 kg/ha, ZA 150 kg/ha. Sedangkan penanaman padi di sawah tambak dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2014 di Desa Banyuurip, Kecamatan Karangbinangun. Pemupukan menggunakan pupuk organik 300 kg/ha, urea 100 kg/ha, SP36 100kg/ha, NPK 15:15:15 200 kg/ha.

Desain penelitian dan Parameter pengamatan

Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok faktorial menggunakan 2 faktor, yaitu 1) Varietas padi yang diuji coba yaitu inpari 10, inpari 16, inpari 23, inpari 25, inpari 30 dan 2) jenis lahan yaitu sawah irigasi dan sawah tambak. Pengamatan dilakukan terhadap beras dan nasi sesuai dengan Kustianto (2009), antara lain:

1) Ukuran panjang dan lebar, serta bentuk beras. Panjang dan lebar beras diukur dari 10 butir beras utuh menggunakan jangka sorong, sedangkan bentuk beras diperoleh dari panjang dibagi lebar. Penentuan kategori panjang dan bentuk beras berdasarkan pedoman dari IRRI (1996).

2) Amilosa beras. Klasifikasi kelas beras berdasarkan berdasarkan Cruz dan Khush (2000).

2) Kadar air beras, menggunakan metode oven.

3) Sifat sensoris nasi. Sifat sensoris diuji pada beras yang sudah ditanak dengan cara yang seragam, yaitu beras sebanyak 200 gr dicuci sebanyak 2 kali, tanpa diremas-remas, beras dimasak menggunakan air yang sudah mendidih sebanyak 300 ml menggunakan rice cooker (Hairmansis, dkk. 2007). Nasi yang diuji sifat sensorisnya adalah nasi yang sudah dingin. Penilaian sifat sensoris nasi menggunakan metode hedonic (kesukaan) dengan panelis sebanyak 40 orang yang terdiri atas peneliti, penyuluh, teknisi, staf administrasi dan siswa dan mahasiswa PKL. Skor dalam pengujian sifat sensoris terdiri dari 5 level yaitu sangat suka, suka, netral, tidak suka, dan sangat tidak suka.

Page 356: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

339

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Dan Ukuran Beras

Bentuk dan ukuran beras merupakan daya tarik pertama konsumen dalam memilih beras. Menurut Suismono (2003) ukuran dan bentuk gabah/beras menentukan tingkat penerimaan konsumen. Umumnya masyarakat yang suka nasi pulen, tidak terlalu memilih bentuk beras, ramping atau bulat. Namun daerah yang masyarakatnya suka nasi bertekstur pera biasanya suka yang berbentuk ramping dan panjang. Hasil penelitian Wibowo, P., S. Dewi Indrasari dan Dody Dwi Handoko (2007) masyarakat Jawa Tengah menyukai beras berukuran panjang, dan ramping.

Tabel 1. Ukuran panjang dan lebar beras Inpari.

Perlakuan Panjang (mm) Lebar (mm) Bentuk (P/L)

Varietas Padi: Inpari 10 67,7b 22,7b 2,99b Inpari 16 73,5a 22,4b 3,29ab Inpari 23 75,6a 22,0b 3,44a Inpari 25 75,8a 25,0a 3,07b Inpari 30 77,0a 22,3b 3,48a

KK (%) 6,332 7,35 10,71

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>95%)

Berdasarkan hasil analisa statistik ternyata tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan

varietas padi terhadap sifat fisik beras, yaitu panjang, lebar dan bentuk beras (tabel 1). Varietas padi secara tunggal berpengaruh nyata terhadap panjang, lebar maupun bentuk beras. Menurut Soerjandoko (2010) padi varietas yang sama ditanam di lokasi berbeda akan menyebabkan perbedaan jumlah beras kepala, namun tidak pada bentuk beras. Berdasarkan IRRI (1996) beras Inpari 10 dan 16 termasuk beras yang berukuran panjang (L), sedangkan beras inpari 23, 25, 30 termasuk beras berukuran sangat panjang. Klasifikasi bentuk beras, beras inpari 16, 23, 25 dan 30 berbentuk Ramping (S), Sedang Inpari 10 berbentuk sedang (M).

Ukuran beras mempengaruhi densitas beras. Densitas beras menunjukkan berat beras pada volume tertentu. Densitas beras di Amerika berkisar antara 540-580 g/L (Juliano 2003) densitas gabah padi di Indonesia berkisar antara 454-577 g/L (Suismono et al. 2003). Bentuk beras berpengaruh terhadap%beras kepala dan %beras patah. Beras yang pendek bentuk bulat dan liat lebih sulit patah, sedangkan beras panjang dan langsing lebih mudah patah. Antara beras pendek dan beras panjang rendemennya berbeda hingga 5% (Iswari, 2012).

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan. Air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bahan pangan rusak yang diakibatkan oleh hama, mikroorganisme dan jamur berkembang biak.

Tabel 2. Kadar amilosa dan kadar air beras varietas Inpari di sawah irigasi dan sawah tambak.

Perlakuan Amilosa(%) Kadar air (%)

Jenis lahan*Varietas Padi:

Sawah irigasi*Inpari 10 5,09c 10,5c

Sawah irigasi*Inpari 16 5,50b 11,07bc

Sawah irigasi*Inpari 23 3,58e 12,15ab

Sawah irigasi*Inpari 25 0,73f 10,65c

Sawah irigasi*Inpari 30 5,26bc 11,51abc

Sawah tambak*Inpari 10 6,07a 12,74a

Sawah tambak*Inpari 16 5,04c 11,48abc

Sawah tambak*Inpari 23 4,42d 12,36ab

Sawah tambak*Inpari 25 0,23g 11,65abc

Sawah tambak*Inpari 30 4,47d 6,97d

KK (%) 3,47 5,24

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>95%)

Page 357: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

340

Dari hasil analisis statistik ada interaksi antara jenis lahan dan varietas padi terhadap kadar air beras, kadar air beras berkisar 6,97% - 12,74% (Tabel 2). Menurut Bulog (2003) kadar air tersebut merupakan kondisi yang baik untuk penyimpanan. Menurut Wibowo, P., Dewi Indrasari dan Dody Dwi Handoko (2007) kadar air beras dibawah 14% lebih tahan ketika disimpan. Kadar air beras saat disosoh berpengaruh terhadap jumlah beras utuh dan penampakan beras, kadar air 15% menghasilkan beras utuh lebih banyak dan penampakan beras lebih baik namun beras menjadi lebih mudah rusak (Iswari 2012).

Amilosa

Dari hasil analisis statistik ada interaksi antara jenis lahan dan varietas padi terhadap amilosa beras, dalam hal ini amilosa beras dari Inpari 25 yang ditanam di sawah irigasi dan sawah tambak lebih rendah dibanding perlakuan yang lain (tabel 2). Kadar amilosa tertinggi (6,07%) terdapat pada padi inpari 10 yang ditanam di sawah tambak sedangkan terendah (0,23%) terdapat pada Inpari 25 yan g ditanam di sawah tambak.

Berdasarkan tabel tersebut kadar amilosa berkisar antara 0,23-6,07%. Menurut Cruz dan Khush (2000), beras tersebut digolongkan pada beras amilosa sedang hingga ketan. Menurut Damardjati dan Purwani (1998) kekerasan nasi berbanding lurus dengan kadar amilosa. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nasi yang memiliki cita rasa yang tinggi adalah yang tidak keras/pulen yaitu beras kadar amilosanya rendah-sedang.

Sifat Sensori Mutu beras seringkali ditunjukkan oleh beras kepala, beras patah, butir menir, butir kapur,

serta butir kuning dan rusak (Soerjandoko 2010). Namun karena masyarakat mengkonsumsi beras yang sudah ditanak, maka sangat penting untuk mengetahui mutu beras yang sudah ditanak, yaitu melalui uji sensoris pada nasi antaralain warna, aroma, rasa, tekstur, kilap, dan lain-lain.

Tabel 3. Sifat organoleptik nasi

Perlakuan Sifat organoleptik

Warna Aroma Rasa Tekstur Kilap Kesukaan

Jenis lahan:

Sawah irigasi 4,228 a 3,672 b 4,117 a 3,609 a 3,786 a 5,488 a

Sawah tambak 4,299 a 3,852 a 3,708 b 3,414 a 3,765 a 5,218 ab

Varietas Padi:

Inpari 10 4,5625 a 3,9531 b 4,0156 ab 2,9688 b 3,5469 b 5,5156 ab

Inpari 16 4,0833 b 3,5000 c 3,5694 c 3,1690 b 3,5775 b 4,9286 c

Inpari 23 4,2250 b 4,3625 a 4,3000 a 4,3462 a 4,2436 a 5,8158 a

Inpari 25 4,2222 b 3,5833 c 3,9859 ab 4,1408 a 4,0423 a 5,2000 bc

Inpari 30 4,2188 b 3,3906 c 3,7344 bc 2,9531 b 3,4688 a 5,3281 bc

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>95%)

1. Warna

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan varietas padi terhadap warna nasi. Varietas padi secara tunggal berpengaruh nyata terhadap warna nasi, dalam hal ini warna nasi yang berasal dari padi inpari 10 lebih disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan karena nasi tampak putih cerah sehingga dapat meningkatkan selera makan.

Selain varietas padi, warna nasi dapat dipengaruhi oleh derajat sosoh beras. Beras yang berwarna putih setelah ditanak akan menghasilkan nasi yang berwarna putih juga. Masyarakat umumnya menyukai beras berwarna putih. Derajat putih berbanding lurus dengan derajat sosoh. Derajat putih beras 38-42 diintrepretasikan sama dengan derajat sosoh 95-100%. Derajat sosoh yang memenuhi standar adalah antara 95-100% (Wibowo, P., S. Dewi Indrasari dan Dody Dwi Handoko 2007; setyono dan wibowo 2008)

2. Aroma

Aroma nasi sering kali dipengaruhi oleh lama penyimpanan beras. Aroma nasi dan lama penyimpanan berbanding terbalik, beras yang telah disimpan lama, bila ditanak akan menghasilkan nasi yang hilang aroma wanginya.

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan varietas padi terhadap aroma nasi (tabel 3). Varietas padi dan jenis lahan secara tunggal berpengaruh

Page 358: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

341

nyata terhadap aroma nasi. Aroma nasi yang berasal dari padi varietas Inpari 23 lebih disukai disbanding varietas Inpari yang lain, dan nasi yang berasal dari varietas Inpari yang ditanam di sawah tambak lebih disukai dibanding sawah irigasi.

3. Rasa

Rasa merupakan sensasi yang dihasilkan oleh indera pengecap yaitu lidah. Lidah dapat mengecap rasa manis, asin dan asam. Ketika dikunyah nasi memiliki rasa sedikit manis. Pada umumnya lidah menilai enak tidaknya objek makanan dari kombinasi antara rasa, tekstur dan aroma. Rasa beras organik yang enak dan pulen menjadi faktor pertimbangan dan menjadi daya tarik khusus buat konsumennya (Rusma, Hubeis dan Suharjo 2011)

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan varietas padi terhadap rasa nasi (tabel 3). Varietas padi dan jenis lahan secara tunggal berpengaruh nyata terhadap rasa nasi. Nasi yang berasal dari padi yang ditanam di sawah irigasi menghasilkan rasa yang lebih disukai daripada sawah tambak. Sedangkan berdasarkan jenis padi, rasa nasi dari inpari 23 disukai (4,3) tidak berbeda nyata dengan inpari 10 dan 25. Bila dibandingkan dengan inpari 16 dan 20, rasa nasi dari inpari 23 berbeda nyata dan lebih disukai.

4. Tekstur

Tekstur nasi terdiri atas pulen dan pera. Pada umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai tekstur nasi pulen, namun sebagian kecil konsumen terutama di Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan suka terhadap beras dengan tekstur nasi pera (Sembiring 2007). Beras yang bertekstur pulen sudah banyak digunakan petani antara lain varietas Ciherang, Cigeulis, Cobogo. Beras pera terdapat pada varietas batang piaman. Nasi pera menunjukkan kandungan amilosanya yang tinggi, dan sebaliknya nasi pulen mengandung amilosa yang rendah.

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan varietas padi terhadap tekstur nasi (tabel 3). Varietas padi secara tunggal berpengaruh nyata terhadap tekstur nasi, dalam hal ini nasi yang berasal dari varietas padi Inpari 23 dan 25 lebih disukai. Pada penelitian ini panelis didominasi dari suku Jawa sehingga tekstur nasi yang mereka sukai adalah yang bertektur pulen. Menurut Wibowo, P., S. Dewi Indrasari dan Dody Dwi Handoko (2007) masyarakat Jawa Tengah lebih menyukai beras dengan tingkat kepulenan yang sedang (kadar amilosa 19-23%) dan tekstur nasi sedang sampai lunak (konsistensi gel 41-60 dan >62 mm).

5. Kilap

Pada umumnya masyarakat menyukai nasi yang tampak kilap. Kilap pada nasi dapat meningkatkan selera makan. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis sawah dan varietas padi terhadap aroma nasi (tabel 3). Varietas padi secara tunggal berpengaruh nyata terhadap aroma nasi. Nasi yang berasal dari inpari 23, 25 dan 30 sifat sensoris kilapnya lebih disukai dibandingkan dengan nasi yang berasal dari inpari 10 dan 16.

Kilap pada nasi dapat dipengaruhi oleh nilai keterawangan (translucency) dan berbanding lurus dengan pengapuran (chalky). Semakin besar/luas daerah chalky pada butiran beras, beras semakin kurang disukai, sebaliknya makin jernih butiran semakin disukai. (setyono dan Wibowo 2008)

6. Kesukaan

Kesukaan keselutruhan panelis merupakan kesukaan panelis terhadap gabungan sifat sensoris dari suatu objek. Pada tabel, jenis lahan tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan secara keseluruhan pada nasi yang berasal dari inpari 10, 16, 23, 25 maupun 30. Sedangkan jenis padi berpengaruh nyata terhadap kesukaan secara keseluruhan nasi. Nasi yang berasal dari inpari 23 tidak berbeda nyata dengan inpari 10. Nasi yang berasal dari inpari 23 dan 10 lebih disukai dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa gabungan sifat sensoris warna, aroma, rasa, tekstur dan kilap yang lebih disukai terdapat pada nasi yang berasal dari inpari 23 dan 10.

Page 359: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

342

KESIMPULAN

1. Interaksi perlakuan jenis lahan dan varietas padi menghasilkan bentuk dan ukuran beras yang tidak berbeda nyata. Ukuran dan bentuk beras dipengaruhi secara tunggal oleh varietas padi. beras Inpari 10 dan 16 termasuk beras yang berukuran panjang, beras inpari 23, 25, 30 berukuran sangat panjang. Beras inpari 16, 23, 25 dan 30 berbentuk Ramping (S), sedangkan Inpari 10 berbentuk sedang (M).

2. Kadar amilosa beras dipengaruhi oleh varietas padi namun tidak dipengaruhi oleh jenis lahan. Demikian pula pada kadar air beras. Kadar amilosa terendah (0,23%) terdapat pada Inpari 25 yan g ditanam di sawah tambak. Kadar air beras terendah adalah 6,97% terdapat pada padi Inpari 30 yang ditanam di sawah tambak.

3. Jenis lahan berpengaruh nyata terhadap aroma dan rasa nasi, varietas padi berpengaruh nyata terhadap sifat organoleptik nasi. Nasi yang berasal dari varietas Inpari 23 lebih disukai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih diperuntukkan kepada Ibu Yuni Astuti yang telah memberikan dukungan pada terselesaikannya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia Beras Giling. SNI 6128:2008. Badan Standarisasi Nasional. 9 hlm.

Cruz N.D. dan G.S. Khush. 2000. Rice grain quality evaluation procedures. Didalam Singh R.K., U.S. Singh and G.S. Khush (Eds.). Aromatic Rice. Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi. Hal 16-28 di dalam Hairmansis, A., Bambang Kustianto, Supartopo, Angelita Puji Lestari dan Suwarno. 2007. Keragaan Mutu Beras Galur-galur Padi Rawa. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Hal: 713-724.

Damardjati, D.S. dan E.Y. Purwani. 1998. Determinan mutu beras di Indonesia. Dalam: Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buku I. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal. 416-442.

Hairmansis, A., Bambang Kustianto, Supartopo, Angelita Puji Lestari dan Suwarno. 2007. Keragaan Mutu Beras Galur-galur Padi Rawa. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Hal: 713-724.

IRRI (International Rice Research Institut). 1996. Standard Evaluation System for Rice. IRRI. Los Banos, Philippines.

Iswari, Kasma. 2012. Kesiapan Teknologi Panen dan Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras. Jurnal Litbang Pertanian 31(2). Hal 58-67

Kustianto, Bambang. Produkstivitas Galur Harapan Padi di Lahan Pasang Surut dan Rawa Lebak. Penelitian pertanian tanaman pangan vol 28 no 1. Hal 34-38

Ningsih, Rina D. dan Khairatun Nafisah. 2014. Preferensi Konsumen Kalimantan Selatan terhadap Beras dan Rasa Nasi Varietas Unggul. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”. Banjarbaru. Hal 265-271.

Rusma, J., Musa Hubeis, Budi Suharjo. 2011. Kajian Preferensi Kunsumen Rumah Tngga Beras Organik di Wilayah Kota Bogor. Manajemen IKM. Vol 6, No 1. Hal 49-54.

Sembiring, H. 2007. Kebijakan Penelitian dan Rangkuman Hasil Penelitian BB Padi dalam Mendukung Penngkatan Produksi Beras Nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Hal 39-59.

Soerjandoko R.N.E. 2010. Teknik Pengujian Mutu Beras Skala Laboratorium. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 15 No. 2. Hal 44-47.

Suismono, A. Setyono, S.D. Indrasari, P. Wibowo dan I. Las. 2003. Evaluasi Mutu Beras berbagai Varietas Padi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Padi. 41 p.

Wibowo, P., S. Dewi Indrasari dan Dody Dwi Handoko. 2007. Preferensi konsumen terhadap karaketristik beras dan keseuaian dengan standar mutu beras di Jawa Tengah. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Hal. 821-833.

Page 360: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

343

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAN HARGA PADI SAWAH DI KABUPATEN GORONTALO

PRODUCTION AND PRICE RISK ANALYSIS OF PADDY FARMING IN GORONTALO REGENCY

Ari Abdul Rouf1, Alfayanti

2 dan Hatta Muhammad

1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Jl Muh Van Gobel 270 Bone Bolango Gorontalo, Telp (0435) 827627 [email protected]

ABSTRAK

Produksi usahatani padi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah faktor yang tidak dapat dikontrol oleh petani seperti iklim, curah hujan serta serangan hama dan penyakit. Faktor tersebut menyebabkan usahatani padi menghadapi berbagai risiko. Tujuan penelitian ini adalah mengukur risiko harga jual, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah di Kabupaten Gorontalo. Data primer diperoleh dari 40 petani sawah yang dipilih secara simple random sampling. Penelitian dilakukan pada bulan April-November 2015. Analisis data yang digunakan adalah analisis usahatani (analisis pendapatan dan revenue cost ratio) dan risiko usaha (koefisien variasi). Hasil kajian menunjukan bahwa petani menghadapi risiko harga input dan output yang rendah, hal ini tercermin dari nilai koefisien variasi (CV) harga input dan output antara 0,01-0,1. Sejalan dengan hal tersebut, bahwa risiko produksi padi juga cukup rendah dengan nilai CV sebesar 0,33 dengan nilai produksi rata-rata sebesar 4,72 t/ha. Sebaliknya risiko pendapatan usahatani padi relatif tinggi yang dicerminkan oleh nilai CV sebesar 0,52 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 13.207.930 ha/musim. Mengingat nilai risiko produksi lebih tinggi dibandingkan risiko harga maka petani perlu menjaga stabilitas hasil produksi sehingga tidak mengalami penurunan produksi yang tinggi.

Kata Kunci: padi, usahatani, risiko produksi, harga input dan output

ABSTRACT

Rice production is influenced by external and internal factors. External factors are factors that can not be controlled by farmers such as climate, rainfall and pests or diseases. These factors caused paddy face various risks. The purpose of this study was to measure the risk of the input-output price, production and farm income of paddy in the Gorontalo regency. Primary data were obtained from 40 rice farmers were selected by simple random sampling. The study was conducted on April-November 2015. Farm analysis (benefit analysis and revenue-cost ratio) and business risks analysis (coefficient variation) was used to analyze data. The study results showed that farmers face low price risk, which is reflected in the value of the coefficient of variation (CV) 0,01-0,1. Likewise, with production risk, that rice production risk is quite low (CV=0.33) with value of average production is 4.72 t/ha. Instead of rice farm,revenue risk is relatively high, as reflected by the CV value of 0.52 with an average income of Rp 13.207.930/ha/season.

Key Words: paddy, farming, production risk, output and input price

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas strategis bagi Indonesia. Peran strategis tersebut tercermin dari peran padi sebagai sumber pangan dan sumber pendapatan bagi masyarakat Indonesia. Demikian halnya di Kabupaten Gorontalo bahwa komoditas padi merupakan tanaman pangan utama yang diusahakan oleh masyarakat. Laporan BPS Gorontalo (2016) menyebutkan bahwa luas sawah di Kabupaten Gorontalo adalah tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya yaitu mencapai 13.857 Ha atau 43,22% dari keseluruhan luas sawah di Provinsi Gorontalo yang mencapai 32.058 Ha. Demikian halnya bahwa kontribusi hasil produksi padi Kabupaten Gorontalo terhadap pasokan beras terhadap regional provinsi juga tertinggi yaitu mencapai 153.515 ton atau 47,47% dari produksi total yang mencapai 323.384 ton. Agregat produksi padi Provinsi Gorontalo memiliki tren positif sepanjang 5 tahun terakhir yaitu dari 273.773 ton di tahun 2011 kemudian meningkat menjadi 323.384 ditahun 2016. Namun demikian capaian produktivitas di tahun 2015 antar kabupaten di Provinsi Gorontalo menunjukan variasi yaitu antara 48,78 t/ha (Kabupaten Boalemo) hingga 63,62 t/ha (kabupaten Bone

Page 361: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

344

Bolango). Hal ini menunjukan adanya keragaman hasil produksi. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti varietas yang digunakan, sistem tanam, serangan hama/penyakit, musim, kesuburan tanah, dll. Semua hal tersebut menyebabkan usaha pertanian khususnya padi akan selalu menghadapi berbagai risiko usaha. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa produksi padi dipengaruhi oleh benih, urea, pupuk NPK, pupuk organik, tenaga kerja, air, (Sianipar et al. 2009; Prabandari et al., 2013) varietas, luas lahan, pestisida, umur bibit, musim tanam, sistem tanam dan pengendalian hama terpadu (Suharyanto et al., 2015).

Fluktuasi hasil produksi yang beragam merupakan sebuah risiko yang perlu dihadapi oleh petani. Menurut (Harwood et al., 1999) bahwa risiko adalah peluang terjadinya kerugian dimasa datang dan berdampak pada menurunnya kesejahteraan individu. Berkaitan dengan petani maka petani akan memutuskan untuk melakukan kombinasi input yang diharapkan dapat menurunkan ketidakpastian produksi atau pendapatan. Lebih lanjut disebut bahwa terdapat lima sumber risiko yang dihadapi oleh petani yaitu fluktuasi produksi, perubahan harga, risiko kelembagaan (perubahan peraturan atau kebijakan), risiko manusia (kesehatan produsen, tujuan usaha) dan risiko keuangan (sumber modal). Lebih spesifik bahwa risiko produksi padi akan dipengaruhi oleh luas lahan, penggunaan pupuk organik dan pestisida (Suharyanto et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis risiko produksi, harga dan pendapatan petani padi sawah di Kabupaten Gorontalo.

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Gorontalo sebagai salah satu sentra produksi padi di Provinsi Gorontalo. Pengambilan data dilakukan pada bulan April-Desember 2015.

Metode Pengambilan Contoh

Data primer diperoleh dari hasil survei terhadap 40 petani di Kabupaten Gorontalo yang dipilih dengan metode acak sederhana. Pengambilan data primer dibantu dengan kuesioner terbuka. Data yang digali diantaranya karakteristik petani dan sarana produksi beserta harganya serta hasil produksi.

Analisis Data

Terdapat dua analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu analisis usahatani dan analisis risiko usaha. Analisis usahatani dihitung dengan rumus (Shinta, 2011):

𝜋𝑡𝑙 = 𝑁𝑃 − 𝐵𝑡𝑙

Dimana :

𝜋𝑡𝑙 = Pendapatan atas biaya total (Rp)

𝑁𝑃 = Penerimaan (Rp)

𝐵𝑡𝑙 = Biaya total (Rp)

Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dihitung dengan membagi penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. RC rasio dikatakan layak jika bernilai lebih dari satu. Sebaliknya tidak layak jika nilai RC kurang dari satu dan bernilai impas jika bernilai sama dengan satu.

Analisis Risiko Usaha

Guna mengukur risiko usaha maka dilakukan analisis yang meliputi nilai hasil yang diharapkan, risiko, koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan (Kadarsan, 1995). Analisis risiko dihitung dengan rumus sebagai berikut.

a. Hasil yang diharapkan

Hasil yang diharapkan merupakan pendapatan yang diharapkan akan diterima di masa mendatang, dihitung dengan rumus :

𝑬 = ∑𝑬𝒊

𝒏

𝒏

𝒊=𝟏

Di mana:

E = Keuntungan rata-rata hasil yang diharapkan (Rp/bulan)

Page 362: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

345

Ei = Keuntungan bulan ke i (Rp/bulan)

N = Jumlah Pengamatan

b. Risiko (V)

Risiko usaha diukur sebagai simpangan baku. Risiko di sini berarti besarnya fluktuasi keuntungan sehingga semakin tinggi nilai simpangan bakunya maka semakin tinggi pula risiko yang dihadapi. Simpangan baku dirumuskan sebagai berikut:

𝑽 = √∑(𝑬𝒊 − 𝑬)𝟐

𝒏 − 𝟏

𝒏

𝒊=𝟏

Di mana:

V = Risiko/Simpangan Baku (Rp/bulan)

Ei = Hasil bersih bulan ke-i (Rp/bulan)

E = Keuntungan rata-rata hasil yang diharapkan (Rp/bulan)

n = Jumlah pengamatan

c. Koefisien Variasi (CV)

Koefisien variasi merupakan perbandingan antara risiko yang harus ditanggung peternak dengan keuntungan yang akan diperoleh. Semakin besar nilai koefisien variasi menunjukan bahwa risiko yang ditanggung peternak semakin besar. Rumus koefisien variasi :

𝑪𝑽 = 𝑽

𝑬

d. Batas Bawah Hasil Tertinggi (L)

Nilai L menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima oleh peternak. Nilai ini dicari dengan mengurangi arus kas dengan sejumlah simpangan baku yang cukup menjamin bahwa dalam distribusi yang normal, kemungkinan kejadian akan terjadi dengan pasti. Dengan sendirinya, kita dapat menggunakan kelipatan dari simpangan baku. Rumus L adalah :

L = E-V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Pengelolaan tanaman padi akan sangat tergantung pada karakteristik dari masing-masing petani. Karakteristik responden merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi cara pengelolaan usahatani. Gambaran umum mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik responden petani padi di Kabupaten Gorontalo

Karakteristik Rata-rata Simpangan baku

Usia (tahun) 42,1 13,2

Pendidikan * 2,2 0,6

Pengalaman usahatani (tahun) 21,4 13,8

Tanggungan keluarga (orang) 2,9 0,9

Luas lahan 1,5 1,2

Sumber: Data Primer (2015) Ket : * 1= tidak tamat SD; 2= Tamat SD; 3= Tamat SMP; 4= >Tamat SMA

Tabel 1 memperlihatkan bahwa petani di Kabupaten Gorontalo berusia rata-rata 42,1 tahun sehingga masih tergolong usia produktif. Pada usia tersebut diasumsikan petani masing memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola usahatanimya. Adapun, rata-rata pendidikan yang diselesaikan oleh petani adalah sekolah dasar. Tingkat pendidikan yang telah ditempuh tersebut telah

Page 363: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

346

cukup memberikan kemampuan dasar bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya padi. Peningkatan pengetahuan tersebut dapat diperoleh petani melalui berbagai media seperti media cetak (buku, leaflet atau koran), media elektronik (radio, televisi atau VCD) maupun melalui komunikasi atau pertemuan/kegiatan penyuluhan dengan sumber teknologi seperti penyuluh, petani maju atau peneliti. Sementara rata-rata pengalaman usahatani padi adalah sekitar 21,4 tahun. Jumlah periode pengalaman yang dimiliki petani tersebut relatif cukup lama sehingga dengan pengalaman yang telah dimiliki tersebut petani diharapkan telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam berusaha tani. Sementara itu, berkenaan dengan jumlah tanggungan keluarga (jumlah anggota keluarga terdiri dari orang tua, anak atau famili yang tinggal serumah dan masih dibiayai oleh kepala keluarga), diketahui bahwa petani memiliki jumlah rata-rata tanggungan keluarga sebanyak 3 orang. Jumlah anggota keluarga tersebut dapat dipandang sebagai sumber tenaga kerja dalam keluarga yang dapat membantu budidaya usahatani padi. Sementara luas lahan yang diusahakan rata-rata adalah 1,5 Ha.

Budidaya Padi Sawah di Kabupaten Gorontalo

Varietas yang ditanam di Kabupaten Gorontalo diantaranya ciherang, cigeulis, mekongga, bestari, inpari 30, inpari 29, inpari 27 dan inpari 13. Adapun varietas yang dominan ditanam adalah ciherang dan cigeulis, hal ini dikarenakan petani menilai varietas tersebut dapat memberikan hasil produksi yang memadai. Selain itu, konsumen relatif telah mengenal varietas tersebut sehingga mudah dipasarkan.

Benih yang disemai oleh petani sekitar 34,8 kg/ha. Jumlah benih yang disemai biasanya lebih tinggi dibandingkan yang digunakan untuk penanaman karena mengantisipasi penyulaman. Penyemaian benih yang terukur merupakan hal penting agar tidak menimbulkan pemborosan biaya. Jumlah benih yang disemai ini relatif tidak berbeda dengan yang diterapkan di Halmahera Tengah yaitu antara 30-40 kg/ha (Hidayat et al., 2012) atau di Bali yang sebesar 29,95 kg/ha (Suharyanto et al., 2015). Adapun pupuk yang diberikan utamanya adalah pupuk urea dan NPK majemuk, walaupun ada sebagian petani yang menggunakan pupuk organik. Penggunakan pupuk urea sebanyak 197 + 80 kg/ha sedangkan pupuk npk majemuk sebanyak 287 + 109 kg/ha. Jumlah pupuk urea yang diaplikasikan sedikit lebih rendah dengan penerapan di Bali yang sebesar 218,304 kg/ha (Suharyanto et al., 2015). Adapun pengendalian hama penyakit umumnya adalah pestisida kimia sintetis, pestisida ini diaplikasikan sejalan dengan tingkat serangan hama yang terjadi. Beberapa hama yang sering menyerang diantaranya penggerek batang, walang sangit, kepinding tanah dan keong. Sistem tanam padi yang digunakan adalah tegel dan legowo. Sistem tanam legowo pada dasarnya telah didiseminasikan kepada petani namun demikian aplikasinya masih relatif kurang nampak dilapang. Banyak faktor yang mempengaruhi penerapan sistem tanam legowo seperti keyakinan petani terhadap perubahan (peningkatan) produksi padi dibandingkan tegel, ketersediaan dana (upah tanam sistem legowo lebih tinggi dibandingkan tegel) maupun ketersediaan tenaga kerja. Padahal penerapan sistem tanam jajar legowo berdampak positif terhadap kenaikan produksi padi (Suharyanto et al., 2015). Panen dilakukan setelah tanaman menguning sekitar 95% dan pemotongan dilakukan oleh regu panen. Namun demikian, saat ini pemotongan padi dengan menggunakan mesin harvester telah cukup berkembang di Kecamatan Tolangohula dan Asparaga. Pemanenan dengan mesin harvester dianggap lebih ekonomis dan efisien dibandingkan dengan regu tanam karena sedikit mengeluarkan biaya makan pekerja (tenaga kerja mesin harvester hanya tiga orang sedangkan regu tanam bisa lebih dari sepuluh orang).

Analisis Usahatani Padi

Tujuan petani berusahatani adalah untuk memperoleh pendapatan. Petani akan selalu mempertimbangkan biaya usahatani yang dikeluarkan dengan hasil produksi yang akan diterima. Struktur usahatani per hektar selama satu musim dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 364: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

347

Tabel 2. Struktur usahatani per hektar selama satu musim di Kabupaten Gorontalo, 2015.

Input atau Output Kuantitas Harga Nilai Persentase

Penerimaan

Beras 2.542 kg 8.185 20.808.665

Biaya

Benih 35 kg 8.650 301.712 4,33 Pupuk urea 196 kg 1.800 352.512 5,06 NPK majemuk 285 kg 2.300 655.592 9,41 Pestisida 9,03 btl 60.000 541.800 7,78 Herbisida 1,30 btl 120.000 156.000 2,24 Pupuk cair 2,15 btl 65.000 139.750 2,01 Tenaga kerja 79,17 HOK 60.000 4.750.200 68,17 Biaya penyusutan 1 musim

30.165 0,43

Biaya lain-lain 1 musim

40.093 0,56 Total Biaya

6.967.824 100,00

Keuntungan

13.840.840

RC rasio 2,98

Sumber: Data primer (2015)

Tabel 2 menunjukkan bahwa pengeluaran biaya tertinggi dibayarkan untuk biaya tenaga kerja

yang meliputi pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiangan, penyemprotan hama dan pemanenan yaitu mencapai 68,17 persen. Tingginya alokasi tersebut mengharuskan petani dapat melakukan efisiensi biaya tenaga kerja. Tahap pengolahan, penanaman dan pemanenan merupakan tahap yang membutuhkan biaya tinggi karena melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak. Pengeluaran biaya tertinggi selanjutnya adalah biaya pupuk NPK majemuk yaitu sebesar 9,41 persen. Kemudia diikuti oleh pengeluaran pestisida sebanyak 7,78 persen. Sementara biaya yang terendah dikeluarkan untuk biaya penyusutan peralatan yang mencapai 0,43 persen. Berkenaan dengan penerimaan diketahui bahwa petani memperoleh penerimaan sebesar Rp 20.808.665/ha. Hasil tersebut diperoleh dari nilai produksi beras yang mencapai 2.542 kg/ha. Sementara biaya total yang dikeluarkan oleh petani mencapai Rp 6.967.824/ha sehingga pendapatan yang diperoleh mencapai Rp 13.840.840. Keuntungan usahatani padi ini masih lebih rendah dibandingkan kajian (Rauf dan Murtisari 2014) yang menyatakan bahwa dengan penerapan sistem jajar legowo di Kecamatan Dungaliyo Kabupaten Gorontalo maka pendapatan usahatani dapat mencapai Rp 21. 844.604. Namun hasil kajian ini masih lebih tinggi dibandingkan kesimpulan penelitian pendapatan usahatani padi di Kabupaten Parigi Moutong yaitu mencapai Rp 4.209.207/ha (Supartama et al., 2013) dan di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu antara Rp 2.454.000-5.585.000/ha. Berdasarkan analisis kelayakan usaha bahwa usahatani padi layak diusahakan. karena dapat memberikan keuntungan kepada petani yang dicerminkan oleh nilai RC rasio sebesar 2,98. Hasil ini sejalan dengan peneletian sebelumnya bahwa usahatani padi layak diusahakan karena memiliki nilai RC rasio diatas satu (Rauf dan Murtisari 2014; Supartama et al., 2013; Hidayat et al., 2012).

Analisis Risiko Usahatani Padi

Petani dalam menjalankan usahanya akan menghadapi berbagai risiko. Risiko tersebut dapat berasal dari luar sehingga relatif sulit dikendalikan dan ada pula yang berasal dari dalam diri petani. Risiko utama yang dihadapi petani diantaranya adalah risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi menjadi penting karena produksi diantaranya dipengaruhi oleh faktor yang tidak dapat terkontrol seperti cuaca, hama dan penyakit. Demikian halnya, perubahan harga juga merupakan faktor yang menimbulkan risiko dikarenakan terbentuknya harga baik untuk komoditas output atau sarana input merupakan sebuah mekanisme pasar melibatkan konsumen (permintaan) dan produsen (penawaran). Gambaran berbagai risiko yang dihadapi petani dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 365: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

348

Tabel 3. Risiko harga, produksi dan pendapatan usahatani padi di Kabupaten Gorontalo, 2015.

Faktor risiko Nilai Harapan SimpanganBaku KoefisienVariasi Batas bawah Keuntungan

Produksi GKP(t/ha) 4.72 1.56 0.33 3.16

Harga jual beras (Rp/kg) 8185 263.65 0.03 7921

Harga benih (Rp/kg) 8650 901.57 0.10 7748

Harga pupuk urea 1812.5 33.49 0.02 1779

Harga pupuk NPK 2302.5 15.81 0.01 2287

Penerimaan (Rp/ha) 20848190.61 7204370 0.35 13643821

Keuntungan 13207930 6845663 0.52 6362267

Sumber: Data primer (2015)

Tabel 3 menunjukkan bahwa risiko fluktuasi hasil produksi padi di tingkat petani sangat bervariasi. Hal ini dicerminkan dari nilai koefisien variasi yang sebesar 0,33. Nilai ini relatif tinggi dibandingkan risiko lainnya seperti risiko harga output dan input. Semakin tinggi nilai CV produksi maka semakin tinggi pula risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Beragamnya hasil produksi antar petani disebabkan perbedaan berbagai pilihan yang diterapkan petani dalam budidaya padi dimulai dari pemilihan varietas, dosis pemupukan, sistem tanam, penanggulangan hama dan cara pemanenan serta faktor eksternal lainnya seperti intensitas serangan hama yang menyerang padi. Semua hal tersebut menyebabkan perbedaan dalam hasil produksi yang diperoleh. Tingkat risiko produksi yang dihadapi oleh petani di Kabupaten Gorontalo lebih rendah dibandingkan risiko produksi yang dihadapi oleh petani padi di Kecamatan Karanganyar Jawa Tengah yang mencapai 0,53 (Renthiandy et al., 2014) namun lebih tinggi diabndingkan petani di Provinsi Gorontalo (Suharyanto et al., 2013). Berkenaan dengan risiko harga ouput dan input diketahui bahwa risiko harga input dan output yang dihadapi oleh petani relatif kecil tercermin dari nilai CV antara 0,01-0,1. Relatif rendahnya risiko harga input disebabkan karena fluktuasi harga input relatif rendah terlebih lagi untuk harga pupuk telah ditetapkan harga jualnya serta seragam sehingga relatif tidak berbeda. Demikian halnya denga risiko harga jual beras yang relatif rendah tercermin dari nilai CV sebesar 0,1. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa fluktuasi harga jual antar petani relatif rendah di Karanganyar dengan nilai CV sebesar 0,05 (Renthiandy et al., 2014). Hal ini disebabkan harga jual beras antar petani relatif tidak jauh menyimpang dari rata-ratanya karena pada saat menjual beras bahwa antar petani telah mengetahui harga pasaran beras. Adapun risiko penerimaan dan keuntungan petani relatif tinggi dibandingkan risiko harga dan risiko produksi. Hal ini disebabkan risiko penerimaan dan keuntungan merupakan nilai resultan dari risiko produksi dan harga sehingga dengan semakin berfluktuasinya kedua faktor tersebut maka risiko penerimaan dan keuntungan juga akan semakin meningkat.

Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa risiko yang relatif tinggi dihadapi oleh petani adalah risiko produksi. Terdapat beberapa hal yang dapat disarankan untuk meminimalisir risko produksi dan harga tersebut, diantaranya: a) perhatikan jadwal hambur yang telah disarankan oleh pengamat hama setempat sehingga dapat mengurangi serangan hama atau penyakit dipersemaian, b) melakukan tanam serempak sehingga siklus hidup hama terputus c) Gunakan varietas padi spesifik lokasi yang bermutu dan berlabel (tahan serangan hama tertentu yang dominan atau preferensi konsumen) dan sesuai musim kemarau atau hujan, d) Gunakan dosis pemupukan spesifik lokasi agar efisien secara ekonomi dan tidak merusak sifat fisik tanah, e) jika tersedia, gunakan mesin panen (harvester) sehingga kehilangan hasil panen padi menurun; 2) untuk antisipasi kerugian hasil maka petani dapat mengikuti asuransi pertanian; 3) untuk membagi risiko petani dapat melakukan diversifikasi; 4) terapkan pengendalian hama terpadu saat penanggulangan hama; 5) aktif dalam kelompok tani sehingga selalu terbaharukan dalam informasi teknologi budidaya serta harga input dan output.

Page 366: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

349

KESIMPULAN

Karakteristik petani padi di Kabupaten Gorontalo umumnya berusia produktif, berpendidikan sekolah dasar dan memiliki luas garapan yang relatif rendah. Usahatani padi di Kabupaten Gorontalo layak diusahakan karena memberikan keuntungan. Sementara dalam menjalankan usahanya petani menghadapi risiko hasil produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan risiko fluktuasi harga input dan ouput.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pengkajian ini tidak dapat terlaksana tanpa adanya dukungan pembiayaan dari Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Indonesia. Oleh karena itu, kami menyampaikan terimakasih atas pendanaan penelitian ini. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini kami sampaikan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Gorontalo. 2016. Gorontalo dalam Angka 2016. Gorontalo: Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo.

Harwood, J., Heifner, R., Coble, K., Perry, J., Somwaru, A. 1999. Managing Risk in Farming: Concepts, Research, and Analysis. Washington, DC.

Hidayat, Y., Saleh, Y., Waraiya, M. 2012. Kelayakan usahatani padi varietas unggul baru melalui PTT di Kabupaten Halmahera Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan: 31(3):166–172.

Kadarsan, H. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Jakarta: PT Gramedia.

Prabandari, A., Sudarma, M., Wijayanti, P. 2013. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah pada daerah tengah dan hilir aliran sungai ayung. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata:2(3): 89–98.

Rauf, A., Murtisari, A. 2014. Penerapan sistem tanam legowo usahatani padi sawah dan kontribusinya terhadap pendapatan dan kelayakan usaha di Kecamatan Dungaliyo Kabupaten Gorontalo. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah: 2(2): 71–76.

Renthiandy, P., Sutrisno, J., Sundari, M. 2014. Analisis risiko usahatani padi di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karang Anyar. Jurnal SEPA: 2(2): 1–12.

Shinta, A. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: UB Press. Sianipar, J., Silitonga, P., Hartono, S., Sriwidodo, Dwidjono. 2009. Analisis fungsi produksi

intensifikasi usahatani padi di Kabupaten Manokwari. Informatika Pertanian: 18(2): 107–118.

Suharyanto, Mulyo, J., Darwanto, D., Widodo, S. 2015. Analisis produksi dan efisiensi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Provinsi Bali.Penelitian Pertanian Tanaman Pangan: 34(2): 131–144.

Suharyanto, Rinaldy, J., Arya, N. 2013. Analisis risiko produksi usahatani padi sawah di Provinsi Bali. Jurnal Agraris: 1(2): 71–77.

Supartama, M., Antara, M., Rauf, R. A., Kabupaten, B., Moutong, P. 2013. Analisis pendapatan dan kelayakan usahatani padi sawah di subak baturiti Desa Balinggi Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Agrotekbis:1(2): 166–172.

Page 367: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

350

PEMANFAATAN POLYMER PENYIMPAN AIR (PPA) DAN PAKET TEKNOLOGI PEMUPUKAN DILAHAN SAWAH TADAH HUJAN UNTUK MENGANTISIPASI

PERUBAHAN IKLIM DI SUMATERA UTARA

THE USE OF POLYMER WATER STORAGE (PWS) AND PACKAGES FERTILIZATION TECHNOLOGY IN RAINFED TO ANTICIPATE CLIMATE CHANGE IN NORTH SUMATRA

Jonharnas1, Novia Chairuman

1, dan Kusmea Dinata

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara.

2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jln Jend. A.H. Nasution No. 1 B Medan HP : 08126317603 e_mail ;[email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk meningkatkan hasil padi sawah tadah hujan dan mendapatkan model pengelolan lahan sawah tadah hujan yang mengacu kepada rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT), terdiri dari 1). Pemakaian polimer penyimpan air (PPA) sebagai petak utama (P0 = Tanpa PPA dan P1 = Dengan PPA 4 kg/ha); 2). Paket pemupukan sebagai anak petak, terdiri dari : A = Cara Petani (Urea 200 kg + Ponska 200 kg + ZA 100 kg/ha), B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +KCl 50 kg/ha), C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha), D = Rekomendasi SKMentan No. 40/Permentan/OT.140/2007 (Urea 250 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg/ha), E = Rekomendasi berdasarkan analisis tanah di laboratorium (Urea 200 kg + SP-36 75 kg + KCl 50 kg/ha). Dari kelima paket pemupukan di atas, paket B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha) memberikan hasil yang lebih tinggi bila di bandingkan dengan paket lainnya, baik pada penggunaan PPA 4 kg/ha maupun tanpa PPA yaitu 6,26 t/ha dan 4,74 t/ha. Demikian juga pemberian PPA 4 kg/ha pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan hasil tanaman padi sawah tadah hujan dari 4,49 ton menjadi 5,74 ton/ha yaitu peningkatan sebesar 1,25 ton/ha (27,84 %). Peningkatan hasil juga di ikuti dengan peningkatan pendapatan petani dari Rp 11.045.320 menjadi Rp 18.481.350 yaitu meningkat sebesar Rp 7.436.030. Pemberian PPA 4 kg/ha juga dapat menghemat biaya pompa air dari Rp 2.760.000 menjadi Rp 1.780.000, hal ini merupakan tindakan mengantisipasi terhadap perubahan iklim di Sumatera Utara.

Kata kunci : polymer, pemupukan,sawah tadah hujan, perubahan iklim, Sumatera Utara

ABSTRACT

The purpose of this study is to increase the yield of rainfed production and obtain amanagement model of rainfed areas which refer to specific fertilization recommendation area to anticipate the impact of climate change. Using Design Plots Divided (DPD), consists of 1). The use of polymer water-storage (PWS) as the main plot (P0 = Without PWS and P1 = PWS 4 kg / ha); 2). Package fertilization as a subplot, consistS of: A = How Farmers (Urea 200 kg + Phonska 200 kg + ZA 100 kg / ha), B = Recommendation of paddy soil test devices (PUTS) (Urea 250 kg/ha + SP-36 50 kg/ha + KCl 50 kg/ha) , C = Recommendation based on PUPS (Urea Phonska 250 kg + 250 kg / ha), D = Recommendation SK Mentan No.40 / Permentan / OT.140 / 2007 (250 kg Urea + SP-36 100 kg + 50 kg KCl / ha), E = Recommendations based on soil analysis laboratory (Urea 200 kg + SP-36 75 kg + 50 kg KCl / Ha). The fifth package of fertilization above, package B = Recommendation PUTS (Urea 250 kg + SP-36 50 kg + 50 kg / ha) performed the highest yield when compared with other fertilization packages, both in the use of PWS 4 kg/ha or without PWS is 6,26 t / ha and 4.74 t / ha. Likewise, the provision of PWS 4 kg / ha in rainfed areas can increase the yield of rainfedrice crops from 4.49 tonnes to 5.74 tonnes / ha namely an increase of 1.25 tonnes / ha (27.84%). Increased yield also followed by an increase in farmers' income of Rp 11,045,320 to Rp 18,481,350 which is an increase of USD 7.43603 million. Giving PWS 4 kg / ha can also save the cost of pumping water from Rp 2.76 million to Rp 1.78 million, it is the anticipation of action against climate change in North Sumatra.

Keywords: polymer, fertilization, rainfed paddy fields, climate change, North Sumatra

Page 368: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

351

PENDAHULUAN

Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahan swasembada beras. Diantaranya adalah tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi lahan sawah subur ke tanaman lainnya yang bernilai jual lebih tinggi, pembangunan kawasan perumahan, perkantoran, kawasan industri, meningkatnya kompetisi antar usahatani, keterbatasan sumberdaya air, terjadinya banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim karena pemanasan global (Suyamto dan Zaini, 2010).

Issu yang sedang berkembang saat ini adalah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim, hal ini dicirikan oleh pola curah hujan yang tidak menentu serta peningkatan frekuensi anomali (penyimpangan) iklim. Pada sektor pertanian, dampak perubahan iklim sudah semakin terasa, terutama pada sub-sektor tanaman pangan, seperti ancaman banjir dan kekeringan, serangan hama penyakit tanaman, penurunan rendemen dan kualitas produksi. Oleh sebab itu, diperlukan strategi dan upaya dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim agar tidak berpengaruh terhadap produksi pangan nasional, termasuk pencapaian target swasembada pangan berkelanjutan.

Sistem intensifikasi padi merupakan teknologi budidaya alternatif yang berpeluang besar untuk dapat meningkatkan produktivitas padi sawah di Indonesia, dimana metode ini terdapat perubahan dalam managemen tanaman, tanah, air dan hara (Bakti, 2005). Konsep dasar sistem intensifikasi padi adalah : produksi tinggi, input rendah (tidak butuh input tambahan), tidak membutuhkan air yang banyak, diterima petani (teknologi sederhana) dan sustainable (berkelanjutan) (Kasim, 2004).

Menurut data BPS Sumut (2011), Sumatera Utara mempunyai luas lahan sawah irigasi 135.872 ha dan luas sawah tadah hujan 149.547 ha. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang mempunyai lahan sawah tadah hujan cukup luas. Luas lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang adalah 44.367 ha, dimana luas lahan irigasi 25.002 ha dan tadah hujan 19.365 ha. (Distan Deli Serdang, 2011). Produktivitas padi pada lahan tadah hujan umumnya lebih rendah dari hasil padi di lahan sawah irigasi. Pada tingkat petani produktivitas padi sawah tadah hujan berkisar antara 3,0-3,5 t/ha (Fagi, 1995; Setiobudi and Suprihatno, 1996).

Upaya peningkatan produksi padi di berbagai daerah umumnya difokuskan pada lahan dengan fasilitas irigasi dimana ketersediaan air selalu tersedia sepanjang musim. Namun kontribusi lahan sawah tadah hujan dalam meningkatkan produksi padi juga mampu mengimbangi lahan sawah irigasi apabila pengelolaan air dan hara dikelola dengan baik. Alternatif strategi untuk memperbaiki produktivitas di lahan sawah tadah hujan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Tadah Hujan (Pramono et al., 2005). Berdasarkan pengalaman penerapan model PTT padi sawah tadah hujan pada tingkat penelitian, meningkat 37%. Pada skala pengkajian meningkat 27% dan pada tingkat petani meningkat 16%.

Kendala utama pada lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air yang sangat tergantung kepada curah hujan, sehingga lahan mengalami kekeringan pada musim kemarau (Permadi et al., 2005 dan Subagyono et al., 2001). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna hingga kekeringan dimana hal ini sering terjadi dalam musim yang sama. Perubahan kondisi tanah mempunyai konsekuensi terhadap ketersediaan hara dan untuk strategi adaptibilitas tanaman (Wade, 1998). Selain itu, tingkat penerapan teknologi introduksi di lahan sawah tadah hujan relatif rendah karena pendapatan dan modal petani tidak memadai (Pane et al. 2002).

Selain menggunakan varietas toleran kekeringan, untuk mengatasi kekurangan air pada musim kering, ketersediaan air hujan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan pemanfaatan Polymer Penyimpan Air (PPA). PPA merupakan produk non pupuk yang berfungsi untuk menyimpan air tanah bagi keperluan pertanian. PPA ini adalah butiran penyimpan air yang apabila dicampur air, berubah menjadi gel yang berfungsi menyimpan air. PPA yang diaplikasikan di lahan persawahan terutama pada musim kemarau dapat menghindari tanaman dari cekaman kekeringan dan mengurangi biaya pompa memasukkan air ke sawah.

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan sawah tadah hujandan mengantisipasi dampak perubahan iklim seperti kekeringan, perlu adanyamodel dalam pengelolaan hara dan pengelolaan air berupa paket teknologi, sehingga diperoleh rekomendasi pemupukan spesifik lokasi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim di Sumatera Utara. Tujuan dari pengkajian pemanfaatan polymer penyimpan air (PPA) dan paket pemupukan untuk meningkatkan hasil lahan sawah tadah hujan dan mengantisipasi perubahan iklimdi Sumatera Utara.

Page 369: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

352

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada musim tanam I (April-Juli 2014) di Desa Serdang, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Bahan dan alat yang digunakan : benih padi varietas unggul baru Mekongga, Urea, SP 36, KCl, ZA, Ponska, polymer penyimpan air (PPA), pestisida, timbangan, ajir, tali rafia, meteran, buku dan alat tulis. Menggunakan Rancangan Petak Terbagi, dengan perlakuan terdiri dari :

1). Pemakaian Polimer Penyimpan Air (PPA) sebagai petak utama, terdiri dari :

P0 = Tanpa PPA

P1 = Dengan PPA 4 kg/ha

2). Paket Pemupukan sebagai anak petak, terdiri dari :

A = Cara Petani ( Urea 200 kg +Ponska 200 kg +Za 100 kg/ha)

B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha)

C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha)

D = Rekomendasi SKMentan No. 40/Permentan/OT.140/2007 (Urea 250 kg + SP-36

100 kg + KCl 50 kg/ha)

E = Rekomendasi berdasarkan analisis laboratorium ( Urea 200 kg + SP-36 75 kg + KCl 50 kg/ha).

Sebelum pengolahan lahan terlebih dahulu diawali dengan pengambilan sampel tanah yang

diambil secara acak sebanyak 10 titik. Masing-masing sampel tanah sebanyak 0,5 kg dikumpulkan, diaduk secara komposit dan dibersihkan dari sisa-sisa jerami, kayu dan batuan kecil. Selanjutnya tanah dianalisis dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan analisis laboratorium. Sedangkan rekomendasi pemupukan berdasarkan PuPS diunggah melalui website http://webapps.irri.org/nm/id/. Petak percobaan dibuat dengan ukuran 4 x 5 m dengan membuat parit drainase untuk mengatur saluran air masuk dan keluar. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna, yaitu tanah diolah dengan cangkul sedalam 20 cm, dibiarkan satu minggu kemudian dilanjutkan dengan cangkul kedua sekaligus diratakan. Pemberian PPA dilakukan setelah tanam dengan cara ditabur pada petakan yaitu bersamaan dengan saat pemupukan.

Penanaman menggunakan sistem tanam legowo 2:1, jarak tanam 20 x 10 cm x 40 cm, Varietas yang ditanam Mekongga, bibit dipindahkan umur 15 hari dengan jumlah bibit 1-2 batang per lubang tanam, penyulaman dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam. Air untuk pengolahan tanah sampai tanam dengan cara menggunakan pompa yang sumbernya diambil dari sumur boor. Dosis pupuk yang digunakan disesuaikan dengan perlakuan. Pupuk SP-36, Phonska, KCl, diberikan sekaligus saat pemupukan I (7 HST), Urea diberikan masing-masing sepertiga dosis pada saat pemupukan I,II (28 HST), dan III (40 HST), sedangkan ZA diberikan pada saat pemupukan II sesuai perlakuan.

Untuk pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit tanaman disemprot dengan insektisida dan fungisida sesuai dosis anjuran dan tingkat serangan di lapangan serta tetap dengan memperhatikan konsep pengendalian pengendalian hama terpadu. Penyiangan terhadap gulma dilakukan sebanyak dua kali dengan cara manual, yaitu pada saat tanaman berumur 20-25 HST dan 40-45 HST. Panen dilakukan setelah gabah sudah 95% telah berwarna kuning (masak).

Pengumpulan data iklim sepuluh tahun terakhir dan selama masa tanam, serta pengamatan terhadap pertumbuhan agronomis tanaman meliputi : tinggi tanaman, anakan maksimum dan anakan produktif per meter persegi, gabah isi permalai, jumlah gabah hampa per malai, bobot 1000 butir, dan hasil.

Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Rancangan petak terpisah (Split Plot), analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995). Data input dan output untuk mengetahui kelayakan ekonomi dengan analisis keuntungan (Malian, 2004).

Page 370: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

353

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lokasi Pengkajian

Desa Serdang berada di Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa dan Batang Kuis. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sikabu. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Paya Gambir Kecamatan Batang Kuis.

Desa Serdang memiliki luas lahan sawah tadah hujan 300 ha, dengan kondisi pada musim kemarau lahan sawah sering mengalami kekeringan, sehingga petani memompa air dari sumur bor yang mereka buat sebagai sumber air untuk mengairi sawah. Pada musim hujan, sawah sering tergenang sehinga petani juga menggunakan pompa untuk mengeluarkan air agar tanaman tidak kebanjiran dan terhindar dari hama keong mas.

Pola Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan bulanan di Stasiun Kebun Batang Kuis yang diambil selama 10 (sepuluh) tahun mulai tahun 2004 sampai 2013, kondisi curah hujan tidak menentu sepanjang tahun. Jumlah hujan bulanan setiap tahunnya tidak sesuai dengan pola musim hujan dan kemarau. Curah hujan pada bulan April tahun 2013, pada musim tanam MT I (MK) 163 ml termasuk dalam kategori bulan lembab. Pada bulan Mei curah hujan turun menjadi 65 ml yang termasuk dalam kategori bulan kering, selanjutnya pada bulan Juni curah hujan mencapai 100 ml dan pada saat akan panen bulan Juli curah hujan menurun menjadi 47 ml. Pada Musim kemarau curah hujan tidak mencukupi untuk tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Petani biasanya membuat sumur bor sebagai sumber air dan menggunakan pompa untuk memasukkan air ke lahan sawah. Oleh sebab itu petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memompa air ke lahan sawah.

Pertumbuhan dan Hasil Padi

Secara umum perlakuan PPA menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua parameter yang di ukur. Pemberian PPA 4 kg/ha menunjukkan pengaruh yang lebih baik dibandingkan tanpa PPA. Berdasarkan pengaruh masing-masing paket pemupukan tanpa PPA berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan dengan pemberian PPA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Jumlah anakan maksimum, baik dengan pemberian PPA maupun tanpa PPA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada masing-masing perlakuan paket pemupukan. Jumlah anakan maksimum pada semua paket pemupukan mengalami peningkatan dengan pemberian PPA dibandingkan dengan tanpa PPA dan anakan maksimum terbanyak pada paket pemupukan dengan PUTS (Tabel 1).

Pada Tabel 1, jumlah anakan produktif yang diberikan PPA 4 kg lebih banyak bila dibandingkan dengan tanpa PPA. Lahan sawah tanpa pemberian PPA tampak mengalami kekeringan, sedangkan lahan yang diberi PPA kondisinya tetap dalam keadaan lembab. Hal ini disebabkan oleh butir-butir gel yang mampu mengikat air sehingga tanah tidak mengalami kekeringan dan tanaman tidak kekurangan air. Pemberian PPA 4 kg dapat mengatasi cekaman kekeringan pada musim kemarau karena tanah mempunyai kemampuan menyimpan air dalam waktu tertentu. Disamping itu paket rekomendasi PUTS dapat meningkatkan jumlah anakan produktif lebih banyak dibandingkan dengan paket pemupukan lainnya. Ketersediaan air selama pertumbuhan tanaman sangat mempengaruhi fase vegetatif dan generatif padi, karena air berperan melarutkan unsur-unsur hara dan mengangkutnya ke akar dan seluruh jaringan tanaman.

Tabel 1. Tinggi tanaman saat akan panen dan jumlah anakan maksimum per m2 (batang) di Desa

Serdang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Paket Teknologi

Tinggi tanaman (cm) ∑ Anakan maksium/m2

(batang)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA 4 kg/ha)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA 4 kg/ha)

A = Cara Petani ( Urea 200 kg + Ponska 200 kg +Za 100 kg/ha)

92.33 b 100.00 a 259.33 a 343.33 a

B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha)

94.00 b 101.00 a 357.67 a 428.33 a

C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha)

102.67 a 102.33 a 346.67 a 381.33 a

D = Rekomendasi SKMentan No. 97.00 ab 101.67 a 342.67 a 379.33 a

Page 371: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

354

40/Permentan/OT.140/2007 (Urea 250 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg/ha)

E = Rekomendasi berdasarkan analisis laboratorium ( Urea 200 kg + SP-36 75 g + KCl 50 kg/ha).

97.33 ab 100.00 a 300.33 a 364.33 a

Rata-Rata 97.67 B 101.00 A 321.33 B 379.33 A

CV (%) 5.39 4.00 3.59 16.44

Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT Sumber : Data primer (2014)

Pada musim kemarau tanaman sering mengalami cekaman kekeringan, cekaman kekeringan

terjadi ketika ketersediaan air tanah menurun dan kondisi atmosfir menyebabkan kehilangan air terus menerus melalui transpirasi atau evaporasi (Jaleel et al, 2009). Penurunan ketersediaan air sangat mempengaruhi absorpsi unsur hara oleh tanaman, proses fisiologi tanaman menjadi terganggu sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan, hasil, dan kualitas tanaman. Apabila kekeringan berlanjut maka akan menyebabkan pertumbuhan fase generative terganggu, terjadinya senesense dan bahkan kematian. Dalam hal ini PPA berfungsi mengikat air dengan jumlah yang banyak pada polimer bentuk butiran-butiran kristal kecil dan mempertahankannya dalam waktu yang cukup lama. Kemampuan menyerap dan menyimpan air pada media tanam akan meningkat sehingga air tidak banyak yang terbuang dan frekuensi penyiraman menjadi sangat berkurang.

Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan produktif per m2 (batang) dan jumlah gabah isi/malai (butir) di

Desa Serdang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Paket Teknologi

∑ Anakan produktif/m2

(batang) ∑ Gabah isi/malai

(butir)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA 4 kg/ha)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA 4 kg/ha)

A = Cara Petani ( Urea 200 kg +Ponska 200 kg +Za 100 kg/ha)

185.00 b 225.33 b 90.67 a 98.60 A

B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha)

290.67 a 320.33 a 112.80 a 132.80 A

C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha)

267.33 a 297.33 ab 98.33 a 112.33 A

D = Rekomendasi SKMentan No. 40/Permentan/OT.140/2007 (Urea 250 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg/ha)

246.33 ab 301.67 ab 100.20 a 107.53 A

E = Rekomendasi berdasarkan alisis laboratorium ( Urea 200 kg + SP-36 75 kg + KCl 50 kg/ha).

275.00 a 312.33 a 97.80 a 118.07 A

Rata-Rata 252.87 B 291.40 A 99.96 B 113.87 A

CV (%) 25.08 15.59 49.24 20.78

Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT Sumber : Data primer (2014)

Jumlah gabah isi pada masing-masing perlakuan paket pemupukan tidak berbeda nyata, baik

dengan PPA 4 kg/ha maupun tanpa PPA. Jumlah gabah isi terbanyak pada paket pemupukan rekomendasi PUTS dengan pemberian PPA 4 kg/ha. Jumlah gabah hampa pada perlakuan tanpa PPA lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan PPA. Jumlah gabah hampa lebih sedikit pada paket pemupukan rekomendasi PUTS dengan PPA. Rekomendasi pemupukan PUTS dengan PPA dapat mengurangi jumlah gabah hampa dan memperbanyak jumlah gabah isi. Gabah hampa lebih banyak pada perlakuan tanpa PPA, mengindikasikan tanaman mengalami cekaman kekeringan sehingga penyerapan hara terganggu dan pengisian gabah terganggu (Tabel 2 dan 3). Kekeringan bisa terjadi pada saat masa vegetatif dan pembungaan dimana penurunan hasil paling tinggi. Terhambatnya perakaran padi masuk ke dalam tanah akibat terbentuknya lapisan padat pada proses pelumpuran tanah menyebabkan tanaman cepat mengalami kekeringan bila pengairan atau hujan terlambat. Disamping ketersediaan air, berkurangnya penyerapan unsur hara terutama P sangat berpengaruh terhadap pengisian bulir-bulir padi. Hara P sangat diperlukan tanaman padi terutama pada saat awal pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan tanaman tersebut, P berfungsi memacu pembentukan akar dan

Page 372: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

355

penambahan jumlah anakan. Disamping itu, P juga berfungsi mempercepat pembungaan dan pemasakan gabah (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Tanaman yang cukup menyerap hara fosfat memacu pembentukan senyawa ATP dan NADPH. Pemecahan ATP dan NADPH melepaskan energi yang dimanfaatkan oleh tanaman untuk pembentukan bunga, pengisian dan pemasakan malai, sehingga hasil gabah meningkat (Marchener, 1995 dan Yoshida, 1981).

Tabel 3. Rata-rata jumlah gabah hampa dan berat 1000 butir di Desa Serdang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

Paket Teknologi

∑ Gabah hampa/malai (butir) Berat 1000 butir (g)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA

4 kg/ha)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA

4 kg/ha)

A = Cara Petani ( Urea 200 kg +Ponska 200 kg +Za 100 kg/ha)

30.67 a 22.53 a 26.63 a 27.00 a

B= Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha)

22.53 a 9.13 a 27.19 a 27.54 a

C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha)

25.20 a 19.53 a 26.88 a 27.15 a

D=Rekomendasi SKMentan No. 40/Permentan/OT.140/2007 (Urea 250 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg/ha)

26.13 a 22.20 a 26.57 a 27.25 a

E=Rekomendasi berdasarkan analisis laboratorium ( Urea 200 kg + SP-36 75 kg + KCl 50 g/ha).

25.57 a 15.80 a 26.07 a 27.70 a

Rata-Rata 26.02 A 17.84 B 26.67 B 27.33 A

CV (%) 35.84 35.30 2.92 3.25

Keterangan : Angka pada kolom diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT Sumber : Data primer (2014)

Berat 1000 butir, baik dengan pemberian PPA maupun tanpa PPA tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata pada masing-masing perlakuan paket pemupukan (Tabel 3). Secara umum, rata-rata hasil gabah pada lahan yang diberi PPA menunjukkan hasil lebih tinggi (5,74 t/ha) dibandingkan tanpa PPA (4,49 t/ha).

Tabel 4. Rata-rata hasil (ton/ha) di Desa Serdang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Paket Teknologi

Hasil (t/ha)

PO (tanpa PPA)

P1 (PPA

4 kg/ha)

A = Cara Petani ( Urea 200 kg +Ponska 200 kg +Za 100 kg/ha)

4.35 a 5.31 a

B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +KCl 50 kg/ha)

4.74 a 6.26 a

C = Rekomendasi PuPS (Urea 250 kg + Ponska 250 kg/ha) 4.64 a 5.50 a D=RekomendasiSKMentan No. 40/Permentan/OT.140/2007

(Urea 250 kg + SP-36 100 kg + KCl 50 kg/ha) 4.46 a 5.66 a

E= Rekomendasi berdasarkan analisis laboratorium (Urea 200 kg + SP-36 75 kg + KCl 50 kg/ha).

4.26 a 5.96 a

Rata-Rata 4.49 B 5.74 A

CV (%) 5.80 10.78

Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT. Sumber : Data primer (2014)

Walaupun masing-masing paket pemupukan tanpa PPA dan dengan PPA tidak berbeda nyata, tetapi hasil gabah kering panen pada paket pemupukan PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +KCl 50 kg/ha) dengan menggunakan PPA menunjukkan hasil tertinggi (6,26 t/ha) dibandingkan paket pemupukan lainnya.

Page 373: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

356

Analisis Usahatani

Analisisi usahatani yang dihitung berdasarkan biaya pompanisasi dengan pemanfaatan Polymer Penyimpan Air (PPA) seperti disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tanpa menggunakan PPA petani memompa air sebanyak 10 kali selama satu musim tanam, sedangkan dengan menggunakan PPA, petani hanya memompa air sebanyak 5 kali.

Tabel 5. Analisis usahatani tanpa PPA dan pemberian PPA di lahan sawah tadah hujan Desa Serdang Kabupaten Deli Serdang.

No. Uraian P0= tanpa PPA (Rp) P1 = PPA 4kg/ha (Rp)

A HASIL . Gabah Kering Giling (ton/ha. Harga jual gabah Rp 5.500/kg

4.49 24.695.000

5.74 31.570.000

B BIAYA 1. Bibit (25 kg) 2. Pupuk

. Urea kg (230)

. SP-36 kg (45)

. KCl kg ( 30 )

. PONSKA kg (90)

. ZA kg (20) 3. Polimer Penahan Air 4 kg (PPA) 4. Biaya memompa air 5. Pestisida

. Curater kg (20)

. Bestox ltr (2)

. Aplaud kg (2)

. Racun Keong ltr (2) 6. Upah Harian Lepas

. Pengolahan Tanah

. Servis pematang

. Mertakan dan buat parit disekeliling

. Pesemaian/cabut bibit

. Tanam

. Penyiangan

. Penyemprotan

. Panen

. Prosesing hasil

13.649.680 250.000

250.000 150.000 210.000 300.000

50.000 -

2.760.000

300.000 300.000 280.000 300.000

1.000.000

180.000 240.000 400.000

1.000.000 1.500.000

400.000 3.206.680

573.000

13.088.650 250.000

250.000 150.000 210.000 300.000

50.000 400.000

1.380.000

300.000 300.000 280.000 300.000

1.000.000

180.000 240.000 400.000

1.000.000 1.500.000 400.0000 3.557.650

641.000

C Keuntungan 11.045.320 18.481.350

D B/C Rasio (%) 0,81 1.41

Sumber : Data primer (2014)

Pemberian PPA 4 kg/ha pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan hasil tanaman padi

sawah tadah hujan dari 4,49 ton menjadi 5,74 ton/ha yaitu peningkatan sebesar 1,25 ton/ha (27,84 %). Peningkatan hasil juga diikuti dengan peningkatan pendapatan petani dari Rp 11.045.320 menjadi Rp 18.481.350 atau meningkat sebesar Rp 7.436.030, selain itu juga dapat menghemat biaya pompa air dari Rp 2.760.000 menjadi Rp 1.780.000, hal ini merupakan tindakan mengantisipasi terhadap perubahan iklim di Sumatera Utara.

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajianmodel pengelolaan lahan sawah tadah hujan dalam meningkatkan produksi padi dan antisipasi perubahan iklim di sumatera utara dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Dari kelima paket pemupukan di atas, paket B = Rekomendasi PUTS (Urea 250 kg +SP-36 50 kg +50 kg/ha) memberikan hasil yang lebih tinggi bila di bandingkan dengan paket lainnya, baik pada penggunaan PPA 4 kg/ha maupun tanpa PPA yaitu 6,26 t/ha dan 4,74 t/ha. Demikian juga pemberian PPA 4 kg/ha pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan hasil tanaman padi sawah tadah hujan dari 4,49 ton menjadi 5,74 ton/ha yaitu peningkatan sebesar 1,25 ton/ha (27,84 %). Peningkatan hasil juga di ikuti dengan peningkatan pendapatan petani dari Rp 11.045.320 menjadi Rp 18.481.350 yaitu meningkat sebesar Rp 7.436.030. Pemberian PPA 4 kg/ha juga dapat menghemat biaya pompa air dari

Page 374: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

357

Rp 2.760.000 menjadi Rp 1.780.000, hal ini merupakan tindakan mengantisipasi terhadap perubahan iklim di Sumatera Utara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam mensukseskan penelitian ini dan juga tak lupa terima kasih kami kepada Bapak Dr. Ir. Catur Hermanto MP, yang telah banyak membantu kami dalam pelaksanaan dan penulisan tulisan ini semaoga Bapak selalu diberikan kesehatan oleh Allah Aamiin YRA.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian, 2009. Pedoman umum PTT padi sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Bakti, A.S. 2005. Indonesia pertahankan swasembada beras. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0510/09/nas1.htm Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang. 2011. Dinas Pertanian Dalam Angka Kabupaten Deli

Serdang 2011. Dobermann, A and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute (IRRI). Potash & Phophate Institute/Potash & Phosphate Institute

of Canada. p: 139-144. Fagi, A.M., 1995. Strategies for improving rain-fed lowland rice production systems in Central Java.

p.:189-199 in rainfed lowland rice. Agricultural Research for High-Risk Environments. IRRI. Phi-lippines.

Gomez, K.A dan A.A Gomez, 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. (terjemahan). Universitas Indonesia.

Jaleel, C.A., P. Manivannan, A. Wahid, M. Farooq, R. Somasundaram, R.Panneerselvam, 2009. Drought stress in plants: a review on morphological characteristics and

pigments composition. In. J. Agric.Biol., 11: 100-105. Kasim, M. 2004. Manajemen penggunaan air: meminimalkan penggunaan air untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui sistem intensifikasi padi (The System of Rice

Intensification-SRI). Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar. Unand.Padang. Marschner, H., 1986. Mineral nutrition of higher plants. Academic Press. London. Malian, H.A., A. Jauhari, dan M.G. Van Der Veen. 1987. Analisis ekonomi dalam penelitiansistem

usahatani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Pramono, J., S Basuki dan Widarto. 2005. Upaya peningkatan produktivitas padi Sawah melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian, Jawa Tengah. Pane, H., P. Bangun dan S.Y. Jatmiko, 1999. Pengendalian gulma pada pertanamn padi gogorancah

dan walikjerami di lahan sawah tadah hujan. p.: 150-159 Dalam Menuju Sistem Produksi Padi

Permadi, K., Indah Nurhati, dan Yati Haryati. 2005. Penampilan padi gogorancah varietas singkil dan ciherang melalui model teknologi pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu

di sawah tadah hujan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bandung. Setiobudi, D. and B. Suprihatno, 1996. Res-ponse of flooding in gogorancah rice and moisture stress effect at repro-ductive stage in walik jerami rice. p.: 80-90 In Physiology of Stress

Toleran-ce in Rice (V.P. Singh, R.K. Singh, B.B. Sing and R.S. Zeigler, ed.). NDUAT, India – IRRI, Philippines.

Subagyono, K, A. Dariah, E. Surmaini, U. Kurnia. 2001. Pengelolaan air pada tanah sawah. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Suyamto dan Zulkifli Zaini, 2010. Kapasitas produksi bahan pangan pada lahan sawah irigasi dan

tadah hujan. Analisis Sumberdaya Lahan Menuju Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. September 2010.

Wade L. J. 1998. Nutrient research in rainfed lowlandrice in relation to the 1995 review. In Ladha J. K., Wade L. J. Doberman A., Reichardt W., Kirk G. J. D., Piggin C. Rainfed

lowland rice advanced in nutrient management research in Rainfed Lowlands, 12-15 Oct. 1998, Ubon Ratchathani, Thailand. Manila (Philippines): International Rice Reserach Institute. P. 3-28.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines.

Page 375: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

358

KELAYAKAN EKONOMI USAHATANI PADI PADA LAHAN RAWA DENGAN SISTEM TANAM DAN DOSIS PUPUK YANG BERBEDA DI KABUPATEN SELUMA

FEASIBILITY SWAMP LAND FARMING WITH DIFFERENT CROPPING SYSTEM AND FERTILIZER DOSES IN BENGKULU PROVINCE

Alfayanti dan Wahyu Wibawa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Kelurahan SemarangKecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Lahan rawa merupakan salah satu lahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Salah satu teknologi yang dapat dikembangkan pada lahan rawa adalah sistem tanam dan pemupukan. Salah satu pertimbangan petani untuk mengadopsi suatu inovasi teknologi adalah inovsi tersebut dapat memberikan keuntungan ekonomi . Penelitian bertujuan untuk menentukan kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang paling menguntungkan dan layak secara ekonomi untuk dikembangkan pada usahatani padi rawa. Penelitian dilakukan dari bulan Mei-Agustus 2016 di Desa Karang Anyar Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma. Sistem tanam yang diterapkan adalah sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan sisip dan tanpa sisip. Dosis pupuk yang digunakan terdiri atas 3 dosis yaitu sesuai dengan rekomendasi analisis tanah, 30% diatas rekomendasi dan 60% diatas rekomendasi. Data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah data primerberupadata usahatani untuk menghitung keuntungan dan kelayakan ekonomi. Keuntungan usahatani dihitung menggunakan analisis parsial sedangkan sedangkan kelayakan ekonomi dihitung dengan melihat nilai titik impas (Break Even Point) dan R/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tanam jajar legowo sisip dengan dosis pupuk sesuai rekomendasi memberikan keuntungan yang terbesar yaitu Rp 14.514.400,-/ha, tetapi kombinasi sistem tanam tidak sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% memiliki nilai R/C tertinggi yaitu 2,94.

Kata Kunci: dosis, kelayakan, rawa, sistem tanam, teknologi

ABSTRACT

Swamp land is one land with the potential to be utilized in food needs of society. Rice cultivation technology on swamp land has started to develop as well as irrigated land. One of the technologies that can be developed in wetlands is cropping systems and fertilization. The study aims to: (1). Calculating profit swamp rice farming with cropping systems and different dosages (2). Determine the combination of cropping systems and fertilizers is most feasible to develop on swamp rice farming. The study was conducted from May to August 2016 in Karang Anyar Village District of Semidang Alas Maras Seluma Regency. Cropping system applied is legowo row planting system 2:1 with the insert and without insert. The dose of fertilizer used consisted of 3 doses are in accordance with the recommendations soil analysis, 30% above and 60% above recommendations. The data used to achieve the purpose of the research is the primary data from farming data to calculate profits and economic feasibility. Farming profitscalculated by using a partial analysis while the economic feasibility is calculated by looking at the value of Break Even Point (BEP) and B/C ratio. The results showed that legowo row planting system inline with recommended doses giving the greatest gain of Rp 14.514.400, - / ha but combination of inline cropping systems with a dose of fertilizer increased 30% have the highest R / C ratio of 2.94

Keywords : fertilizer doses, feasibility, swamp land, cropping system

Page 376: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

359

PENDAHULUAN

Lahan rawa merupakan salah satu lahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Berdasarkan agroekosistemnya, lahan rawa terbagi dalam 3 tipologi, yaitu rawa pasang surut air asin, rawa pasang surut air tawar dan rawa lebak. Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (12.411 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2010).

Potensi pengembangan lahan rawa lebak di Bengkulu untuk komoditas padi masih terbuka. Pada lahan ini umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik karena adanya proses penambahan unsur hara dari luapan air sungai yang membawa lumpur dari daerah hulu (Alihamsyah dan Ar-riza, 2006). Namun keracunan besi dan penggunaan teknologi (varietas, sistem tanam dan pemupukan) yang masih sederhana menyebabkan produktivitas padi yang diusahakan pada lahan rawa masih rendah ( Saidah dkk, 2015; Firison dkk, 2013).

Perbaikan teknologi seperti penerapan sistem tanam jajar legowo dan pemupukan berimbang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan meningkatkan keuntungan bagi petani. Penggunaan sistem tanam jajar legowo akan mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal dengan produksi tinggi dan kualitas mutu beras yang baik karena adanya manipulasi posisi tanaman pinggir yang lebih banyak (Firdaus, 2015; Ariwibawa, 2012). Penggunaan pupuk yang ditentukan berdasarkan keseimbangan hara akan lebih efisien dan dapat meningkatkan pendapatan petani (Kasno dkk, 2009). Perbedaan dosis pemupukan tanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT, pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Syahri dan Somantri, 2013)

Keuntungan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan usahatani dipengaruhi oleh banyak unsur seperti biaya, penerimaan, pendapatan dan sebagainya (Saihani, 2012). Teknik budidaya yang diterapkan, tingkat harga yang berlaku, hasil yang dicapai serta efisien dalam penggunaan input juga mempengaruhi pendapatan dan keuntungan usahatani padi (Rachman dan Saryoko, 2008; Makarim dan Suhartatik, 2006).

Lakitan (2014) menyatakan bahwa teknologi yang dihasilkan jarang yang relevan dengan kebutuhan petani, sehingga tidak diadopsi. Peningkatan pendapatan merupakan salah satu pertimbangan petani untuk mengadopsi inovasi teknologi yang direkomendasikan. Inovasi teknologi berpeluang untuk diadopsi oleh petani apabila teknologi yang diintroduksikan memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1) bermanfaat bagi petani secara nyata, 2) lebih unggul dibandingkan dengan teknologi yang telah ada, 3) bahan, sarana, alat mesin, modal dan tenaga untuk mengadopsi teknologi tersedia, 4) memberikan nilai tambah dan keuntungan ekonomi, 5) meningkatkan efisiensi dalam berprodksi, 6) bersifat ramah lingkungan dan menjamin keberlanjutan usahatani pertanian, 7) laku dijual/dipasarkan, 8) sesuai dengan preferensi konsumen (Kartono, 2009).

Penelitian bertujuan untuk: (1). Menentukan kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang memberikan keuntungan tertinggi pada usahatani padi rawa (2). Menentukan kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang paling layak untuk dikembangkan pada usahatani padi rawa

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan 6 orang petani kooperator seluas 3 ha di Desa Karang Anyar Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma pada bulan Mei-Agustus 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pencatatan usahatani (farm record keeping) untuk mengumpulkan data primer.

Komponen teknologiyang diterapkan mengacu pada komponen teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi rawa antara lain 1) penggunaan varietas modern Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu Inpara 2, 2) bibit bermutu dan sehat, 3) pemupukan N, P dan K berdasarkan rekomendasi uji tanah di Laboratorium tanah BPTP Bengkulu yaitu 92 N (200 kg Urea), 36 P2O5 (100 kg SP 36) dan 60 K2O (100 KCl), 4) pengendalian hama terpadu sesuai organisme pengganggu tanaman sasaran. Sistem tanam yang diterapkan adalah sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak (20x40) x 10 cm yang disisip dan tanpa sisip. Dosis pupuk yang digunakan terdiri atas 3 dosis yaitu sesuai dengan rekomendasi analisis tanah, 30% diatas rekomendasi dan 60% diatas rekomendasi.

Data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah data primerberupadata usahatani untuk menghitung keuntungan dan kelayakan ekonomi. Keuntungan usahatani dihitung menggunakan analisis parsial (partial budget analisyst). Biaya terdiri dari biaya variabel/variable cost

Page 377: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

360

(VC) seperti pengeluaran untuk benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja dan biaya tetap/fixed cost (FC) seperti pengeluaran untuk sewa lahan dan penyusutan alat. Biaya ini ada yang langsung dibayarkan (seperti biaya benih, pupuk dan tenaga kerja luar keluarga) dan ada biaya yang diperhitungkan (misalnya tenaga kerja dalam keluarga). Jumlah biaya variabel dan biaya tetap menjadi total biaya (total cost). Total penerimaan tunai usahatani (total revenue) dihitung dengan mengalikan jumlah produk (quantum) dengan harga produk (price). Pendapatan merupakan total penerimaan dikurangi jumlah biaya yang langsung diperhitungkan, sedangkan keuntungan (benefit) merupakan pengurangan total peneriman dengan total biaya. Secara matematis keuntungan diformulasikan sebagai berikut:

TR = Q x P

B = TR – (VC+FC)

B = TR - TC

Kelayakan ekonomi usahatani yang dilakukan dengan menghitung nilai R/C rasio dengan rumus:

R/C = Penerimaan = Q x P

Total biaya VC+FC

dengan kriteria:

Apabila R/C > 1, maka usahatani tersebut layak untuk dilanjutkan sedangkan apabila R/C < 1, maka usahatani tersebut tidak layak untuk dilanjutkan.

Selain itu juga dihitung batasan titik impas (Break Even Point) yaitu dimana usaha berada dalam keadaan tidak untung dan tidak rugi dengan perhitungan:

BEP harga (Rp/kg) = Total biaya (Rp)/Jumlah produksi (kg)

BEP produksi (kg) = Biaya tetap/(Harga jual per unit – biaya variabel per unit)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang memberikan keuntungan tertinggi

Kombinasi sistem tanam jajar legowo sisip dengan menggunakan dosis pupuk sesuai rekomendasi memberikan keuntungan tertinggi dibandingkan dengan kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang lain yaitu Rp 14.514.400,-/ha/mt. (Tabel 1). Tingginya keuntungan yang diperoleh ini berkaitan erat dengan tingginya produksi yang didapatkan.

Kombinasi dosis pupuk rekomendasi dan sistem tanam sisip pada hakikatnya telah menerapkan 3 komponen yang memang menjadi pengungkit dalam peningkatan produksi padi yaitu penggunaan VUB, dosis pupuk sesuai rekomendasi serta sistem tanam jajar legowo. Penggunaan benih varietas unggul bermutu diyakini dapat menghasilkan daya perkecambahan yang tinggi dan seragam, tanaman yang sehat dengan perakaran yang baik, tanaman tumbuh lebih cepat, tahan terhadap hama dan penyakit, berpotensi hasil tinggi dan mutu hasil yang lebih baik (Dirjen Tanaman Pangan, 2013).

Pemberian pupuk berdasarkan rekomendasi uji tanah akan memberikan takaran pupuk yang lebih tepat, efisien dan efektif karena mempertimbangkan faktor kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan hara tanaman (Setyorini dkk, 2004).Penelitian Rochayati dkk (2002) yang melakukan penelitian di 18 Provinsi di Indonesia melaporkan bahwa jika takaran pemupukan yang diterapkan sesuai dengan rekomendasi uji tanah jika dibandingkan dengan takaran anjuran umum seperti saat ini akan diperoleh penghematan berupa pupuk atau biaya produksi yang cukup nyata.

Sistem tanam jajar legowo, khususnya 2:1, sudah diakui dapat meningkatkan produktivitas hingga 18,12% (Suhendra dan Kushartanti, 2013). Misran (2014) melaporkan bahwa penerapan sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen hasil gabah kering panen, dan dapat meningkatkan hasil gabah kering panen sekitar 19,90-22%. Penelitian Mayunar (2014) di Kabupaten Serang Provinsi Banten menunjukkan bahwa penerapan sistem tanam jajar legowo meningkatkan produkstifitas sebesar 17,7 % dibandingkan dengan sistem tanam tegel. Penggunaan sistem tanam jajar legowo akan mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal dengan produksi tinggi dan kualitas mutu beras yang baik karena adanya manipulasi posisi tanaman pinggir yang lebih banyak (Firdaus, 2015; Ariwibawa, 2012).

Page 378: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

361

Tabel 1. Biaya produksi penerimaan pendapatan dan keuntungan usahatani padi rawa dengan sistem tanam dan dosis pupuk yang berbeda di Kabuaten Seluma tahun 2016

Uraian

Rekomendasi 30% 60%

Sisip tdk sisip Sisip tdk sisip sisip tdk sisip

Vol Nilai (000)

Vol Nilai (000)

Vol Nilai (000)

Vol Nilai (000)

Vol Nilai (000)

Vol Nilai (000)

Biaya yang dibayarkan

1.Benih (Kg) 25 175 25 175 25 175 25 175 25 175 25 175

2.Pupuk (Kg)

a. Urea 122 244 122 244 159 318 159 318 195 390 195 390

b. NPK Phonska 240 600 240 600 312 780 312 780 384 960 384 960

c. KCL 40 240 40 240 52 312 52 312 64 384 64 384

3.Pestisida

300

300

300

300

300

300

4.Tenaga kerja luar keluarga (HOK)

a. Pengolahan Tanah 26 1.280 26 1.280 26 1.280 26 1.280 26 1.280 26 1.280

b. Pencaplakan 1.5 75 1.5 75 1.5 75 1.5 75 1.5 75 1.5 75

c. Cabut bibit 6 300 6 300 6 300 6 300 6 300 6 300

d. Penanaman 43 1.500 16 800 43 1.500 16 800 43 1.500 16 800

e. Panen 30 1.200 30 1.200 30 1.200 30 1.200 30 1.200 30 1.200

f. Perontokan gabah 5 250 4 200 5 250 5 250 4 200 4 200

g. Pengangkutan

336

264

324

324

234

294

Total biaya yang dibayarkan

6.500

5.678

6.814

6.114

6.998

6.358

Biaya yang diperhitungkan

1. Tenaga kerja alam keluarga (HOK)

a. Persemaian 2 100 2 100 2 100 2 100 2 100 2 100

b. Penyulaman 3 105 3 105 3 105 3 105 3 105 3 105

c. Pemupukan 3 150 3 150 3 150 3 150 3 150 3 150

d. Penyiangan 8 350 8 350 8 350 8 350 8 350 8 350

e. Penyemprotan 3 300 3 300 3 300 3 300 3 300 3 300

2. Penyusutan alat

146

146

146

146

146

146

Total biaya yang diperhitungkan

1.151

1.151

1.151

1.151

1.151

1.151

Total Biaya (Rp)

7.651

6.829

7.965

7.265

8.149

7.509

Produksi (kg) 5.883

4.583

5.625

5.625

4.063

5.104

Penerimaan (Rp)

22.165,4

17.415,4

21.375

21.375

15.439,4

19.395,2

Pendapatan (Rp)

15.665,4

11.737,4

14.561

15.261

8.441,4

13.037,2

Keuntungan (Rp)

14.514,4

10.586,4

13.410

14.110

7.290,4

11.886,2

sumber: Data primer (2016)

Kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk yang paling layak

Secara umum semua kombinasi sistem tanam dan dosis pupuk layak untuk dilanjutkan karena memiliki R/C > 1 namun kombinasi sistem tanam tidak sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% dari rekomendasi memiliki nilai R/C yang tertinggi. Titik impas harga masing-masing kombinasi perlakuan berada pada kisaran Rp 1.471,19 – Rp 2.005,06 dengan titik impas produksi 58,08 kg - 74,76 kg (Tabel 2).

Page 379: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

362

Tabel 2. R/C rasio serta BEP usahatani padi rawa dengan sistem tanam dan dosis pupuk yang berbeda di Kabupaten Seluma tahun 2016

Uraian Rekomendasi 30% 60%

Sisip Tanpa sisip Sisip Tanpa sisip sisip Tanpa sisip

R/C 2,90 2,55 2,68 2,94 1,89 2,58 BEP Harga (Rp) 1.311,60 1.490,07 1.416,00 1.291,55 2.005,06 1.471,19 BEP Produksi (Kg) 58,08 67,51 59,21 59,21 74,76 62,67

Sumber : Data primer (2016)

Kombinasi sistem tanam sisip dengan pupuk sesuai rekomendasi memang menghasilkan produksi tertinggi, namun untuk sisi biaya yang dikeluarkan sedikit lebih besar dibandingkan dengan kombinasi sistem tanam tanpa sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30%. Selisih biaya yang terjadi pada kedua kombinasi ini adalah pada biaya pupuk, tenaga kerja tanam dan pengangukutan.

Pada kombinasi kombinasi sistem tanam tanpa sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% terjadi peningkatan biaya pupuk sebesar Rp. 346.000,-/mt/ha dibandingkan kombinasi sistem tanam sisip dengan pupuk sesuai rekomendasi. Namun nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan selisih biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh kombinasi sistem tanam sisip dengan pupuk sesuai rekomendasi dibandingkan kombinasi sistem tanam tanpa sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% yaitu sebesar Rp 700.000,-/mt/ha.

Menurut Balai Besar Mekanisasi Pertanian (2013) kebutuhan tenaga kerja penanaman padi secara manual mencapai 30-50 HOK/ha. Pada lokasi penelitian kombinasi sistem tanam sisip dengan pupuk sesuai rekomendasi membutuhkan tenaga kerja tanam sebanyak 43 HOK sedangkan kombinasi sistem tanam tanpa sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% hanya membutuhkan tenaga kerja tanam sebanyak 16 HOK. Jumlah ini lebih kecil dikarenakan populasi tanaman pada sistem tanam jarwo tanpa sisip dibandingkan dengan sistem tanam jarwo sisip sehingga waktu tanam pun menjadi lebih cepat. Sistem tanam legowo 2:1 sisip mempunyai populasi sebanyak 333.333 rumpun/ha sedangkan sistem tanam tanpa sisip hanya 166.666 rumpun/ha.

Analisis titik impas harga dan produksi dilakukan untuk mengetahui berapa harga terendah dan produksi minimum yang harus diperoleh agar usahatani dapat menguntungkan (Rachman dan Saryoko, 2008). Harga jual gabah di lokasi penelitian adalah Rp 3.800,0/kg. Nilai titik impas masing-masing kombinasi perlakuan yang berada pada kisaran Rp 1.471,19/kg – Rp 2.005,06/kg menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan akan memberikan keuntungan. Begitu juga dengan nilai titik impas produksi yang lebih kecil dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan oleh masing-masing kombinasi.

KESIMPULAN

1. Kombinasi sistem tanam jajar legowo sisip dengan dosis pupuk sesuai rekomendasi memberikan keuntungan yang terbesar (Rp 14.514.400,-/mt/ha).

2. Kombinasi sistem tanam jajar legowo tanpa sisip dengan dosis pupuk dinaikkan 30% memiliki nilai R/C rasio tertinggi yaitu 2,94.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Dr. Dedi Sugandi, MP dan Dr. Supanjani untuk saran dan perbaikan makalah serta Tim pengkajian Optimasi Lahan Rawa Spesifik Lokasi di Provinsi Bengkulu Tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah T. dan Ar-riza, I. 2006. Teknologi pemanfaatan lahan rawa lebak. dalam Karakteristik dan pengelolaan lahan rawa. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Ariwibawa, I.B,. 2012. Pengaruh sitem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi pada lahan sawah dataran tinggi beriklim basah. Prosiding Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Balai Besar Mekanisasi Pertanian. 2013. Mesin Tanam Indo Jarwo Transplanter. http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id. [1 Desember 2016]

BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu dalam Angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu.402 p.

Page 380: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

363

Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Petunjuk Teknis Pelaksanaan SL PTT Padi dan Jagung. Kementerian Pertanian Republik Indonesia

Firdaus. 2015. Sistem tanam jajar legowo 2:1.http://nad.litbang.pertanian.go.id. [Diunduh tanggal 29 Januari 2015]

Firison,J., S.Rosmanah dan W. Wibawa. 2013. Adaptasi varietas unggul baru Inpara pada lahan rawa lebak di Kabupaten Mukomuko. pse.litbang.pertanian.go.id/pros2013-E20-Jhon. [Diunduh 29 September 2016]

Kartono. 2009. Membangun SDM peneliti pengkaji penyuluh yang amanah di lingkup BPTP. Dalam peningkatan kapasitas peneliti dan penguasaan metodologi pengkajian kerjasama BBp2TP dengan ACIAR SADI

Kasno,A., Ibrahim A.S, dan A.Rachman. 2009. Pengelolaan hara tanah dan peningkatan pendapatan petani dalam pola tanam sayuran dataran tinggi di Kopeng dan Buntu. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Datara Tinggi. Balittanah.litbang.pertanian.go.id [Diunduh tanggal 9 Okober 2015]

Lakitan,B. 2014. Inclusive and sustainable management of suboptimal land for productive agriculture in Indonesia. Jurnal Lahan Suboptimal Volume 3 (2): 181-192

Makarim,A dan E. Suhartatik. 2006. Budidaya padi dengan masukan in situ menuju perpadian masa depan. Buletin Iptek Tanaman Pangan Volume 1 (1): 19-29

Mayunar. 2014. Tingkat produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah melalui sistem tanam jajar legowo dan tegel di Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. http://banten.pertanian.go.id[9 Oktober 2015]

Misran. 2014. Studi Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap Peningkatan Produktivitas Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14 (2): 106-110

Rachman, B dan A. Saryoko. 2008. Analisis titik impas dan usahatani melalui pendekatan pengelolaan

padi terpadu di Kabupaten Lebak Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Volume 11 (1) : 54-60

Rochayati, S., D. Setyorini, dan J. Sri Adiningsih. 2002. Peranan uji tanah dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Makalah disajikan pada seminar sehari “Teknologi untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk di Indonesia”. BPPT. Jakarta, 6 Mei 2002.

Saidah, A. Irmadamayanti dan Syafrudin. 2015. Pertumbuhan dan produktivitas beberapa varietas unggul baru dan lokal padi rawa melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Boi Diversiti Indonesia. Volume 1 (4): 935-940

Saihani, A. 2012. Analisis finansial usahatani padi Ciherang pada sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Sungai Tabukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Propinsi Kalimantan Selatan. Jurna Ziraa’ah Volume 33 (1): 22-27

Setyorini,D., L.R. Widowati, dan S.Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan lahan hara sawah intensifikasi. balittanah.litbang.pertanian.go.id. [Diunduh tanggal 8 Oktober 2015]

Suhendrata, T., dan E. Kushartanti. 2013. Pengaruh Penggunaan Mesin Tanam Pindah Bibit Padi (Transplanter) Terhadap Produktivitas dan Pendaptanan Petani di Desa Tangkil Kecamatan/Kabupaten Sragen. Prosiding Seminar Nasional Akselarasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian UNS. (inpress)

Syahri dan R.U. Somantri. 2013. Respon pertumbuhan tanaman padi terhadap rekomendasi pemupukan PUTS dan KATAM hasil Litbang Pertanian di lahan rawa lebak Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal Vol 2 (2): 170-180

Page 381: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

364

APLIKASI SISTEM TANAM “JAJAR LEGOWO 4:1” PADA PENANAMAN PADI “INPARI 14” DI LAHAN SAWAH PETANI KABUPATEN OKU SELATAN

THE APPLICATION OF “JAJAR LEGOWO 4:1” ON PLANTING PADDY “INPARI 14” IN FARMER RICE FIELD OF SOUTH OKU DISTRICT

Kiagus Abdul Kodir

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jalan Kol. H. Barlian, KM 6. No. 83 Palembang

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penerapan inovasi teknologi pertanian masih belum merata ditingkat petani, padahal, hal tersebut diperlukan untuk peningkatan produksi pertanian secara luas. Inovasi teknologi tanam Jajar Legowo dan penggunaan varietas unggul padi Inpari 14 telah dicobakan di lahan sawah petani Kabupaten OKU Selatan, tujuannya adalah mengenalkan kepada petani, keunggulan sistem tanam jajar legowo dan varietas unggul padi Inpari 14. Percobaan aplikasi dilakukan pada areal demplot seluas 1 ha dengan metode observasi dan membandingkan cara eksisting petani. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan hasil panen dengan mengambil sampel sebanyak 20 sampel masing-masing secara acak, data pengamatan pada masing-masing variabel dianalisis dengan Uji t pada taraf nyata 5% dan 1%. Hasil pengamatan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang dilakukan pada umur 25 hari, 45 hari dan 75 hari semuanya menunjukkan bahwa penerapan jajar legowo 4:1 dengan varietas Inpari 14 menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang lebih dibanding cara eksisting petani. Rata-rata hasil panen padi ubinan pada percobaan Jajar Legowo dengan Inpari 14 adalah 5,31 kg, berbeda nyata dengan teknologi eksisting petani yang hanya 4,34 kg.

Kata Kunci :Jajar Leowo, Inpari 14, Hasil Padi

ABSTRACT

The application of agricultural technology innovation is still not evenly distributed at the farm level, whereas, it is necessary to increase agricultural production is wide. Jajar Legowo technological innovation and the use of high yielding varieties of paddy Inpari 14 has been applied in the farmer rice field of South OKU District. Experiments conducted in the 1 ha area of application of demonstration plot with observation method and compare how existing farmers. Observations were made on plant height, number of tillers and harvest by taking a sample of 20 samples of each randomized, observational data on each variable was analyzed by T Test at significance level of 5% and 1%. The observation of plant height and number of tillers were performed at 25 days, 45 days and 75 days all showed that the application of Jajar Legowo 4: 1 with Inpari 14 were higher than the ways of existing farmers. The average of rice yields of Jajar Legowo with Inpari 14 is 5.31 kg, significantly different with existing technology of farmers only 4.34 kg.

Keywords: Jajar Legowo, Inpari 14,Rice Yields

PENDAHULUAN

Saat ini pemerintah telah melakukan program upaya khusus (UPSUS) peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai guna mewujudkan swasembada pangan. Upaya tersebut cukup berhasil. Pada Tahun 2015 capaian produksi padi nasional 74,99 juta ton, yaknimelampaui target 73,44 juta ton. Pada tahun 2016 ini, pemerintah menargetkan produksi 76,23 juta ton dari luasan tanam 14.31 juta ha (Dirjend Tanaman Pangan, 2015). Untuk peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, setidaknya perlu adanya dukungan penerapan teknologi (Lestari,et al., 2012), misalnya penggunaan varietas unggul baru (VUB) spesifik lokasi dengan jarak tanam jajar legowo. Disinyalir hingga saat ini di beberapa lokasi SLPTT belum sepenuhnya menerapkan inovasi teknologi tersebut, padahal Kementerian Pertanian Republik Indonesia melalui Badan Litbang Pertanian sebenarnya telah banyak menghasilkan teknologi spesifik lokasi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.

Penggunaan padi VUB dan penerapan sistem tanam jajar legowo sebagai usaha untuk meningkatkan produksi telah dilakukan di beberapa tempat (Nurkalis, 2015; Ikhwan et al.,2013). Penerapan penanaman padi “Inpari 14” dengan “Jajar Legowo 4:1” di lahan sawah petani di Desa Kotaway, Kabupaten OKU Selatan, setidaknya bertujuan untuk mengenalkan kepada petani dan

Page 382: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

365

mengetahui bahwa penggunaan varietas padi Inpari 14 dengan system tanam jajar legowo 4:1 akan memberikan hasil produksi yang lebih tinggi dibanding penggunaan varietas Ciherang atau varietas lain seadanya pada petani dan dengan sistem tanam yang biasa dilakukan mereka.

Badan Litbang Pertanian sudah melepas VUB padi dan sudah disosialisasikan di seluruh wilayah Indonesia dengan serial nama Inpari (Inbrida padi irigasi), Inpara (Inbrida padi rawa) dan Inpago (Inbrida padi gogo) serta Hipa (padi hibrida). Untuk Padi irigasi tahan cekaman biotik berupa Hama dan Penyakit Tanaman, varietas yang direkomendasikan adalah Inpari 6 Jete, Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, Inpari Sidenuk, Inpari 23, Inpari 31, Inpari 33, Hipa 19 untuk mengatasi daerah endemik Wereng (WBC). Untuk daerah endemik telah direkomendasikan Inpari 6 Jete, Inpari 11, Inpari 17, Inpari 25 opak jaya (ketan), Inpari 32, dan Hipa 18. Untuk daerah yang ada gejala serangan Tungro, telah direkomendasikan Inpari 7 Lanrang, Inpari 8, Inpari 9 Elo. Sedangkan untuk daerah rawan Blast, telah direkomendasikan Inpari 12, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15 Parahyangan, Inpari 17, Inpari 21 Batipuah, Inpari 22, Inpari 26 (Badan Litbang Pertanian, 2012).

Menurut informasi Dinas Pertanian Kabupaten OKU Selatan bahwa daerah ini termasuk rawan Blast, oleh karena itu dalam percobaan ini dikenalkan varietas Inpari 14 Pakuan guna mengantisipasi serangan Blast di wilayah tersebut. Berdasarkan deskripsinya, padi Inpari 14 Pakuan memiliki umur panen ± 113 hari setelah sebar, tingginya mencapai 103 cm, daun bendera tegak, bentuk gabah ramping, warna gabah kuning bersih, kerontokan sedang, tahan rebah, tekstur nasi pulen, kadar amilosa ± 22,5%, berat 1000 butir ± 25,9 gram, rata-rata hasil 6,6 ton/ha GKG, potensi hasil 8,2 ton/ha GKG, agak tahan terhadap Hawar Daun Bakteri patotipe III dan Blas. Padi ini cocok ditanam di ekosistem sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m di atas permukaan laut (Badan Litbang Pertanian, 2012).

Sistem tanam jajar legowo telah cukup lama dikenalkan kepada petani tetapi untuk petani di Kabupaten OKU Selatan,nampaknya belum merata, bahkan cara tanam padi sawah di daerah ini masih ada yang belum menggunakan jarak tanam anjuran. Menurut Ikhwan et al.,(2013), jajar legowo adalah cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan tanaman kemudian diselingi oleh 1 baris kosong. Cara tanam jajar legowo untuk padi sawah secara umum bisa dilakukan dengan berbagai tipe, yaitu legowo 2:1, 3:1, 4:1 dan 6:1 dengan jarak tanam dasar 20x20 cm. Keuntungan penanaman dengan cara tanam jajar legowo, yaitu menambah populasi tanaman. Misal pada legowo 2 : 1, populasi tanaman akan bertambah sekitar 30 %. Bertambahnya populasi tanaman akan memberikan harapan peningkatan produktivitas hasil melalui pemanfaatan sinar matahari bagi tanaman yang berada pada bagian pinggir barisan. Semakin banyak sinar matahari yang mengenai tanaman, maka proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi sehingga akan mendapatkan bobot buah yang lebih berat. Selain itu, system tanam jajar legowo dapat mengurangi kemungkinan serangan hama, terutama tikus. Pada lahan yang relatif terbuka, hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya dan menekan serangan penyakit (Ikhwan, et al, 2013). Pada lahan yang relatif terbuka, kelembaban akan semakin berkurang, sehingga serangan penyakit juga akan berkurang. Mempermudah pelaksanaan pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Posisi orang yang melaksakan pemupukan dan pengendalian hama penyakit bisa leluasa pada barisan kosong di antara 2 barisan legowo (Asnawi, 2014).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi, Bahan dan Alat

Observasi dilakukan di lahan sawah kelompok tani petani di Desa Kotaway, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan pada musim tanam bulan April hingga September Tahun 2013. Luasan observasi meliputi; areal demplot SL-PTT padi seluas ± 1,0 ha yang ditanami padi varietas Inpari 14. Areal demplot dibagi dua yaitu masing-masing ± 0,5 ha. Satu bagian ditanam dengan sistem tanam Jajar Legowo 4:1 dengan ukuran jarak tanam 20 x 20 x 40 x 10 cm dan bagian ± 0,5 ha lainnya ditanam dengan jarak tanam biasa (tegel) 20 x 20 cm.

Alat yang digunakan mulai dari pengolahan lahan sampai penanaman antara lain adalah : mesin bajak (hand tractor), cangkul, dan sabit. Bahan yang digunakan mulai pengolahan lahan sampai penanaman yaitu : benih padi 20 kg, 300 kg/ha Phonska, 200 kg/ha Urea dan 2,5 ton/ha pupuk kandang.

Pengamatan dan Analisis

Pengamatan dilakukan dengan pengambilan sampel sebanyak 20 tanaman secara acak pada masing-masing plot area pertanaman padi. Pengamatan meliputi ; jumlah anakan dan tinggi tanaman

Page 383: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

366

pada 25 HST, 45 HST dan 75 HST serta hasil panen (GKP). Data pengamatan pada masing-masing variabel dianalisis dengan Uji T pada taraf nyata 5% dan 1%. Penghitungan t hitung dengan rumus sebagai berikut :

𝑡 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =Mx − My

√(SDx

√N−1)

2+ (

SDy

√N−1)

2

𝑆𝐷𝑥, 𝑦 =∑ x2, y2

√N

Keterangan Rumus :

X = Nilai masing – masing variabel pengamatan padi Inpari 14 dengan Jajar Legowo 4:1.

Y = Nilai masing-masing variabel pengamatan padi Inpari 14 dengan jarak tanam cara eksisting petani.

Mx,my = Rata-rata nilai variabel x dan y. N = Jumlah sampel tanaman. SDx,SDy = Standar deviasi variabel x dan y.

Hipotesis :

Ho = Budidaya padi sawah Inpari 14 dengan sistem tanam Jajar Legowo 4:1.

memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap pertumbuhan

dan produksi padi Inpari 14 dengan jarak tanam biasa petani yaitu 20x20

cm (t hitung < t tabel).

H1 = Budidaya padi sawah Inpari 14 dengan sistem tanam Jajar Legowo 4:1.

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan

produksi padi Inpari 14 dengan jarak tanam biasa petani yaitu 20x20 cm

(t hitung > t tabel).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis uji t terhadap variabel yang diamati areal pertanaman padi Inpari 14 dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 menunjukkan perbedaan yang nyata lebih baik dibandingkan cara eksisting petani yang menanam padi dengan jarak tanam yang biasa mereka lakukan.

Tabel 1. Variabel pengamatan vegetatif dan generatif tanaman padi sistem tanam

No Variabel Pengamatan

Rata-Rata Hasil

t hitung Hasil Teknologi Eksisting Petani

Teknologi Inovasi

1 Tinggi tanaman pada 25 HST 40,25 cm 51,70 cm 4,82 HS

Tinggi tanaman pada 45 HST 69,95 cm 77,80 cm 3,38 HS

Tinggi tanaman pada 75 HST 93,55 cm 98,60 cm 2,17 S

2 Jumlah anakan pada 25 HST 14,8 btg 19,7 btg 2,30 S

3 Jumlah anakan pada 45 HST 21,0 btg 24,5 btg 2,33 S

Jumlah anakan pada 75 HST 32,6 btg 36,8 btg 2,34 S

4 Jumlah anakan Produktif 11,2 btg 17,2 btg 11,33 HS

5 Hasil Gabah Kering Panen 6,9 ton 8,5 ton 7,21 HS

Keterangan:

t tabel 5 % = 2.02 btg = batang

t tabel 1 % = 2.71

HS (highly significant) = Berbeda sangat nyata

S (significant) = Berbeda nyata

NS (non significant) = Berbeda tidak nyata

Page 384: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

367

Tabel 1 mengungkapkan bahwa hasil aplikasi teknologi inovasi berbeda nyata dengan hasil teknologi eksisting petani. Pada tabel tersebut terlihat bahwa tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan hasil gabah kering panen menunjukkan hasil yang sangat nyata antara penerapan sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan varietas padi Inpari 14 (Teknologi Inovasi) dengan teknologi eksisting petani (sistem tanam biasa).

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa tinggi tanaman padi Inpari 14 yang ditanam dengan sistem tanam Jajar Legowo pada hari ke 25, 45 dan 75 HST berturut-turut adalah 51,70 cm, 77,80 cm dan 98,60 cm. Hasil ini menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman padi yang ditanam petani dengan cara biasa 20 x 20 cm (Gambar 1).

.

Dari hasil pengamatan jumlah anakan diketahui bahwa pada tanaman padi Inpari 14 dengan sistem jajar legowo 4:1 lebih banyak menghasilkan anakan hingga 20, 25, dan 37 anakan, sedangakan pada eksisting petani hanya dapat menghasilkan 15, 21, dan 33 anakan pada 25 HST, 45 HST, dan 75 HST.

Berdasarkan pengukuran hasil panen sampel ubinan, maka pada penerapan sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan varietas Inpari 14, dapat menghasilkan lebih banyak produksinya yaitu mencapai

Series1; Tinggi

Tanaman 25 HST

Teknologi Eksisting Petani; 40,25

Series1; Tinggi

Tanaman 25 HST

Teknologi Inovasi; 51,70

Series1; Tinggi

Tanaman 45 HST

Teknologi Eksisting Petani; 69,95

Series1; Tinggi

Tanaman 45 HST

Teknologi Inovasi; 77,80

Series1; Tinggi

Tanaman 75 HST

Teknologi Eksisting Petani; 93,55

Series1; Tinggi

Tanaman 75 HST

Teknologi Inovasi; 98,60

Series1; Jumlah Anakan

25 HST Teknologi Eksisting

Petani; 15

Series1; Jumlah Anakan

25 HST Teknologi Inovasi; 20

Series1; Jumlah Anakan

45 HST Teknologi Eksisting

Petani; 21

Series1; Jumlah Anakan

45 HST Teknologi Inovasi; 25

Series1; Jumlah Anakan

75 HST Teknologi Eksisting

Petani; 33

Series1; Jumlah Anakan

75 HST Teknologi Inovasi; 37

Gambar 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman Padi (cm)

Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Anakan Tanaman Padi (cm)

Page 385: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

368

5,32 kg atau jika di konversikan ke hektar mencapai 8,51 ton/ha. Sedangkan pada teknologi eksisting petani produksinya hanya mencapai 4,36 kg atau 6,98 ton/ha.

Sistem tanam jajar legowo merupakan cara penanaman yang menggunakan prinsip pengaturan cara dan jarak tanam pada suatu lahan dengan tujuan manipulasi tata letak suatu tanaman, sebagai tanaman pinggir (border effeck). Penerapan sistem tanam legowo memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi tanaman seperti yang tergambar pada Gambar 1. Pertumbuhan tersebut terjadi selain dari pengaruh tanaman pinggir, juga dipengaruhi dari segi kerapatan populasi. Tanaman yang terlalu rapat akan berkompetisi dalam mendapatkan sinar matahari untuk berfotosintesis, hal tersebut juga berdampak terhadap padi dalam pembentukan anakan.

Menurut Ikhwani (2014), penampilan varietas unggul baru dapat dioptimalkan melalui penerapan jarak tanam dan pemupukan yang sesuai. Tanaman yang terlalu rapat akan menghasilkan anakan yang lebih sedikit, dibandingkan dengan penanaman padi dengan jarak yang lebih leluasa, seperti yang digambarkan pada Gambar 2. Penerapan sistem tanam jajar legowo 4:1 menghasilkan lebih banyak anakannya dibanding cara eksisting petani dengan jarak tanam 20x20 cm. Hasil tersebut serupa dengan penelitian Anggraini, et.al.,(2013) yang menerangkan bahwa sistem tanam legowo memberikan hasil pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih baik dan jumlah anakan lebih banyak, sehingga meningkatkan indeks luas daun dan produksi gabah per satuan luas. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ikhwani(2014), bahwa tanaman yang tinggi lebih banyak menggunakan asimilatnya untuk pembentukan batang dan daun dibandingkan untuk pembentukan anakan. Selain pengaruh kerapatan populasi yang disebabkan penggunaan legowo 4:1, pembentuakn anakan juga dipengaruhi dari ketersediaan air.

Peningkatan hasil gabah akan lebih nyata dengan memilih varietas-varietas adaptif pada kondisi pertanaman rapat, seperti padi varietas Inpari 14 (Pratiwi, Paturrohman, & Makarim, 2013). Menurut Astuti (2010), hal tersebut juga dipengaruhi efek tanaman pinggir dalam mendapatkan sinar matahari dan terjadinya metabolisme tanaman yang efektif. Berdasarkan hasil pengukuran produksi padi Inpari 14 dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 memberikan perbedaan yang nyata, terlihat dari Gambar 3. Penerapan jajar legowo 4:1 hasilnya lebih tinggi, yaitu 8,51 ton/ha dibanding dengan cara eksisting petani yang hanya 6,98 ton, hal tersebut disebabkan karena peningkatan jumlah anakan yang lebih banyak, jumlah malai yang lebih banyak, dan efek tanam pinggir pada penerapan cara tanam jajar legowo sehingga pemanfaatan kebutuhan dalam asimilasi tanaman lebih efektif. Selain itu dalam melakukan tindakan pengendalian hama serta gulma yang merupakan OPT (organisme pengganggu tanaman) lebih terkontrol dan mudah.

Menurut Suharno (2013), penerapan jajar legowo mempermudah pelaksanaan pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman yaitu dilakukan melalui barisan kosong/lorong. Mengurangi kemungkinan serangan hama dan penyakit terutama hama tikus. Pada lahan yang relatif terbuka hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya dan dengan lahan yang relatif terbuka kelembaban juga akan menjadi lebih rendah, sehingga perkembangan penyakit dapat ditekan. Menghemat pupuk, karena yang dipupuk hanya bagian tanaman dalam barisan. Penerapkan sistem

Series1; Teknologi

Inovasi; 5,32

Series1; Teknologi Eksisting

Petani; 4,36

Teknologi Inovasi

Teknologi EksistingPetani

Gambar 3. Rata-Rata Hasil Sampel Ubinan Panen Tanaman Padi (kg)

Page 386: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

369

tanam jajar legowo akan menambah kemungkinan barisan tanaman untuk mengalami efek tanaman pinggir dengan memanfaatkan sinar matahari secara optimal bagi tanaman yang berada pada barisan pinggir. Semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai tanaman maka proses metabolisme terutama fotosintesis tanaman yang terjadi di daun akan semakin tinggi sehingga akan didapatkan kualitas tanaman yang baik ditinjau dari segi pertumbuhan dan hasil (Pangerang, 2013).

Kelebihan dari penerapan cara tanam legowo merupakan manfaat yang sangat dibutuhkan, namun di segi kelebihan sistem ini memiliki kelemahan. Penerapan jajar legowo di lapangan masih menunjukkan banyak variasi. Hal ini dimungkinkan akibat dari pemahaman mengenai sistem tanam legowo masih sangat beragam walaupun memiliki kesamaan konsep dasar yang dipahami (Abdurachman., dkk, 2013). Menurut Suharno (2013), sistem tanam legowo memiliki kelemahan dalam membutuhkan tenaga dan waktu tanam yang lebih banyak, benih dan bibit lebih banyak karena adanya penambahan populasi. Pada baris kosong jajar legowo biasanya akan ditumbuhi lebih banyak rumput/gulma, sistem tanam jajar legowo yang diterapkan pada lahan yang kurang subur akan meningkatkan jumlah penggunaan pupuk tetapi masih dalam tingkat signifikasi yang rendah, biaya lebih banyak dibandingkan tanam bukan legowo.

KESIMPULAN

Aplikasi sistem tanam “jajar legowo 4:1” pada penanaman padi “Inpari 14” di lahan sawah petani di Kabupaten OKU Selatan, menunjukkan hasil yang nyata hingga sangat nyata lebih baik dibandingkan cara penanaman yang biasa dilakukan petani. Hal ini ditunjukkan dari hasil pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan dan hasil gabah kering panennya. Rata-rata hasil panen padi ubinan pada percobaan Jajar Legowo adalah 5,31 kg atau setara dengan 8,51 ton/ha, berbeda sangat nyata dengan hasil panen dari cara eksisting petani yang hanya 4,34 kg atau setara 6,98 ton/ha. Hasil ini stidaknya telah membuka mata petani dan menambah wawasan mereka sehingga dapat menerapkan inovasi teknologi yang didemonstrasikan tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, terutama kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan yang telah memfasilitasi terlaksananya kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman,.dkk. 2013. Sistem tanam legowo. Badan Litbang dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Sukamandi.

Anggraini, F., Suryanto, A., & Aini, N. (2013). Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah ( Oryza sativa L .) varietas inpari 13 cropping system and seedling age on paddy ( Oryza sativa L .) INPARY 13 VARIETY. Jurnal Produksi Tanaman, 1(2), 52–60.

Asnawi, R. (2014). Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kabupaten Pesawaran , Lampung Increasing of Productivity and Farmers Income Through Application of Integrated Crops Management Model on Paddy. Penelitian Pertanian Terapan, 14(1), 44–52.

Astuti, 2010. Pengaruh sistem penghairan terhadap pertumbuhan dan produktivitas varietas padi sawah (Oryza sativa L.). Departemen agronomi dan hortikultura fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.

Badan Litbang Pertanian, 2012. Varietas padi unggulan badan litbang pertanian. http://www.litbang.pertanian.go.id.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, 2015. Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai. Presentasi Rakornas UPSUS Tanggal 10-12 Desember 2015.

Ikhwani (2014). Dosis Pupuk dan Jarak Tanam Optimal Varietas Unggul Baru Padi. Jurnal Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. PP33/03 2014: 188-195

Ikhwan, Pratiwi, Paturrohman, dan Makarim, 2013. Peningkatan produktivitas padi melalui penerapan jarak tanam legowo. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, Subang. http: //www. pangan.litbang.pertanian.go.id.

Page 387: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

370

Lestari, A. P., Lubis, E., Supartopo, dan Suwarno (2012). Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Hasil Padi Gogo Pada Sembilan Lokasi Percobaan, Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan, Desember 2012 Vol. 1 No.1 Hal : 1-7

Pangerang, 2013. Keuntungan dan kelebihan sistem jarak tanam jajar legowo padi sawah.PPL kabupaten Maros. http://cybex.pertanian.go.id.

Pratiwi, G. R., Paturrohman, E., & Makarim, A. K. (2013). Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo, Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 No. 2. 2013, 72–79.

Suharno, 2013. Sistem tanam jajar legowo (tajarwo) salah satu upaya peningkatan produktivitas padi. Lektor Kepala/Pembina TK.I. Dosen STTP Yogyakarta. Yogyakarta. DESKRIPSI PADI

VARIETAS INPARI 14 PAKUAN :

Nomor seleksi : BP3308B-2E-5-B*4

Asal seleksi : Cipeundeuy C/Carreon// Wae Apo Buru// IR64

Golongan : Cere

Umur tanaman : ± 113 hari setelah sebar

Bentuk tanaman : Tegak

Tinggi tanaman : 103 cm

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Ramping

Warna gabah : Kuning bersih

Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Tahan

Tekstur nasi : Pulen

Kadar amilosa : ± 22,5%

Berat 1000 butir : ± 25,9 gram

Rata-rata hasil : 6,6 ton/ha GKG

Potensi hasil : 8,2 ton/ha GKG

Ketahanan Hama : Agak rentan terhadap Wereng Batang Coklat biotipe 1, dan 2, Rentan terhadap Wereng Batang Coklat biotipe 3

Ketahanan terhadap : Agak tahan terhadap Hawar Daun Bakteri patotip

Penyakit III, Rentan terhadap Hawar Daun Bakteri patotipe IV, Agak rentan terhadapa Hawar Daun Bakteri patotipe VIII, Agak tahan terhadap blas ras 033 dan 133, Rentan terhadap ras 073 dan 173, Rentan terhadap tungro

Anjuran tanam : Cocok ditanam di ekosistem sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl

Pemulia : Aan A. Daradjat, Cucu Gunarsih, dan Trias Sitaresmi

Tahun dilepas : 2011, SK Menteri Pertanian, Nomor 2015/ pts/SR.120/4/2011

Page 388: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

371

KELAYAKAN USAHATANI PADI DENGAN TEKNOLOGI MESIN TANAM INDO JARWO TRANSPLANTER DI LAHAN SAWAH IRIGASI KABUPATENBENGKULU UTARA

THE FEASIBILITY OF PADDY FARMING WITH PLANTING MACHINE TECHNOLOGY INDO JARWO TRANSPLANTER IN WETLAND IRRIGATION DISTRICT NORTH

BENGKULU

Robiyanto dan Rahmat Oktafia

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl.Irian Km 6,5 Kelurahan Semarang, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Padi merupakan komoditas utama subsektor tanaman pangan dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Permasalahan yang dihadapi adalah belum terlaksananya tanam serentak. Kesulitan tenaga kerja tanam menjadi faktor penghambat anjuran tanam serentak menyebabkan jadwal tanam menjadi tidak serempak yang berdampak pada menurunnya produksi padi. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usahatani padi teknologi mesin tanam indo jarwo transplanter dilahan sawah irigasi kabupaten Bengkulu Utara. Metode kajian yang digunakan adalah metode survey. Kajian dilaksanakan pada bulan April-Desember 2015, dengan responden 12 orangpetani di Desa Rama Agung Kabupaten Bengkulu Utara. Pemilihan lokasi kegiatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi sentra tanaman padi di Kabupaten Bengkulu Utara. Data yang diambil berupa data primer yaitu karakteristik petani, input usaha tani padi, harga input, produksi dan harga produksi. Analisis data menggunakan tabulasi dan analisis finansial. Hasil kajian menunjukkan total biaya usahatani cara manual lebih tinggi dibandingkan dengan indo jarwo transplanter, karena pada cara manual ada tambahan biaya pencabutan bibit dan penanaman sebesar ± 1.260.000,-/ha sedangkan dengan indo jarwo transplanter biaya yang dikeluarkan hanya untuk pembuatan dapok dan tenaga operator sebesar Rp 664.000,-/ha. Dari sisi penggunaan tenaga kerja tanam ada selisih biaya sebesar 596.000,-/ha atau 47,3%. Produktivitas padi dengan indo jarwo transplanter 5,97 ton/ha dengan tingkat pendapatan Rp.15.166.000,-, sedangkan dengan cara manual produktivitasnya 5,77 ton/ha dengan tingkat pendapatan 13.915.000. Penggunaan mesin indo jarwo transplanter lebih menguntungkan dibanding cara manual sehinggalayak digunakan untuk usahatani padi sawah irigasi dengan nilai B/C 2,65%. Teknologi iniperlu disebarluaskan kepada petani disentra produksi padi sehinggatanam serempak dapat terlaksana.

Kata Kunci : kelayakan,usahatani padi, indo jarwo transplanter, lahan sawah

ABSTRACT

Paddy is the main commodity of food crops and is vital to the achievement of food security but have not been capable of planting simultaneously. Labor difficulties cropping factors that inhibit the suggestion of planting simultaneously causing planting schedule becomes simultaneously impacting the decline in paddy production. Objective assessment was to determine the feasibility of transplanting paddy farm machinery technology Indo Jarwo Transplanter on North Bengkulu district irrigated fields. Participatory appraisal method is on Farm Research / Demonstrstion farming (denfarm) rice by means of mechanization of 5 ha. implemented in April - December 2015, with respondents 12 farmer cooperators in the village of Rama the Great North Bengkulu. Location selection is done intentionally (purposive) considering that the site is the location of the center of the rice crop in North Bengkulu. Data taken from Primary data came from respondents, characteristics of farmers, rice farming inputs, input prices at the time, production and producer prices. Tabulation and data analysis using financial analysis. The results showed the total cost of farming manual way higher than the Indo Jarwo Transplanter, because of the manual way no extra charge and planting seedlings revocation of ± 1,260,000, - / ha, while the Indo Jarwo Transplanter only the costs incurred for manufacturing and labor dapok operator Rp 664,000, - / ha. From the use of labor is no difference in cost of planting 596,000, - / ha or 47.3%, which means the use of machinery Indo Jarwo Transplanter 47.3% more efficient than the manual way. In conclusion The use of Indo Jarwo Transplanter planting machines suitable for use in rice farming rice fields irrigated with the B / C 2.65% so it is necessary disseminated to farmers planting rice production so that simultaneous and timely harvest can be simultaneously and use of labor can be saved

Keywords: feasibility, paddy, indo jarwo transplanter, wetland

Page 389: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

372

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas utama dari subsektor tanaman pangan dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Padi memberikan kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional (Abdulrahman, 2008). Dalam rangka mencapai swasembada beras yang berkelanjutan, pada tahun 2011 pemerintah telah menetapkan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN). Instrumen yang digunakan dalam peningkatan produksi adalah: (1) perluasan areal (pencetakan sawah baru, optimalisasi lahan, dan peningkatan Indeks Pertanaman (IP); (2) peningkatan produktivitas (penggunaan varietas unggul, pemupukan, jajar legowo, pengendalian OPT: pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT); (3) rekayasa teknologi dan sosial (demplot, demfarm dan SL-PTT).

Keterbatasan tenaga kerja tanam pada daerah sentra produksi padi dewasa ini menjadi faktor pembatas bagi usahatani padi terutama tenaga kerja untuk kegiatan tanam bibit karena kegiatan tersebut memerlukan curahan waktu kerja yang lebih banyak dari kegiatan lainnya. Oleh karena itu dengan terbatasnya jumlah tenaga kerja pada saat tanam pindah bibit padi menyebabkan jadwal tanam menjadi tidak serempak yang berdampak pada menurunnya produksi padi (Ahmad dan Haryono, 2007).

Dalam upaya mengatasi kelangkaan tenaga kerja saat musim tanam dan mempercepat introduksi tanam jajar legowo 2:1 atau 4:1. Mesin indojarwo transplanter yang dirancang oleh Badan Litbang Pertanian diharapkan mampu memecahkan permasalahan kekurangan tenaga kerja saat musim tanam padi (Suhendrata, 2013). Untuk meyakinkan petani terhadap penggunaan mesin tersebut perlu dilakukan kajian untuk mengetahui kelayakan teknologi mesin tanam indo jarwo transplanterdi lahan sawah irigasi Kabupaten Bengkulu Utara.

METODE PENELITIAN

Kajian dilaksanakan untuk mengetahui kelayakan usahatani padi teknologi mesin tanam indo jarwo transplanter dilahan sawah irigasi kabupaten Bengkulu Utara. Metodeyang digunakan adalah metode survey dilaksanakan pada bulan April-Desember 2015, dengan responden 12 orangpetani di Desa Rama Agung Kabupaten Bengkulu Utara. Pemilihan lokasi kegiatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi sentra tanaman padi di Kabupaten Bengkulu Utara. Data yang diambil berupa data primer yaitu karakteristik petani, input usaha tani padi, harga input, produksi dan harga produksi. Analisis data menggunakan tabulasi dan analisis finansial

Untuk menghitung penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani terlebih dahulu harus diketahui tingkat pendapatan total dan pengeluaran pada periode tertentu. Pendapatan total petani didekati dengan persamaan sebagai berikut (Soekartawi, 1995):

1. TC = FC + VC

Dimana TC = Total Biaya; FC = Biaya Tetap; VC = Biaya Tidak Tetap

2. TR = Y x PY

Dimana TR = Total Penerimaan Y = Produksi PY = Harga Produksi

3. Pd = TR – TC

Dimana Pd = Pendapatan TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara jumlah pendapatan bersih

dengan jumlah biaya bersih yang diperhitungkan nilainya pada saat ini (present value). Kriteria pengukuran dalam analisis ini adalah :

(a) jika Net B/C > 1, maka usaha tersebut layak untuk diusahakan

(b) jika Net B/C < 1, maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan

(c) jika Net B/C = 1, maka usaha tersebut berada pada posisi Break Event Point (BEP).

Rumusnya secara sederhana adalah sebagai berikut :

Total Pendapatan Net B/C Ratio =

Total Biaya

Page 390: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

373

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani

Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikan (Tabel 1). Pengelompokkan responden berdasarkan kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif. Tingkat pendidikandibagi tiga yaitu tidak sekolah, pendidikan dasar (SD,SMP, SMA) dan Sarjana.

Tabel 1. Karakteristik petani padi diDesa Rama Agung, Kecamatan Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara, tahun 2015.

No. Karakteristik Kelompok Petani

Jumlah (orang) %

1. Umur 25 – 55 56 -69

10 2

83,33 16,67

Jumlah 12 100

2. Pendidikan Tidak sekolah Pendidikan Dasar

Sarjana

2 9 1

16,67 75,00 8,33

Jumlah 12 100

Sumber : Data primer (2015)

Tabel 1 menunjukkan 83,33% responden berada pada kisaran usia produktif (25 – 55 tahun)

Dimana pada usia produktif petani lebih kuat tenaganya, lebih rajin dalam berusaha tani. Menurut Astuti et al. (2015), usia mempengaruhi mereka dalam mengadopsi inovasi teknologi yang didiseminasikan. Karena pada usia ini, petani masih memiliki semangat untuk belajar serta meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap teknologi. Hal ini juga didukung oleh pendapat Cruz dalam Choirotunnisa et al. (2008) bahwa petani yang lebih muda dalam hal usia dan pengalaman bertani, mempunyai kemungkinan yang lebih besar dia akan menerima ide dan sedikit meninggalkan metode lama.

Tingkat pendidikan petani kooperator 75 % berpendidikan dasar (SD, SMP dan SMA). Dimana pada pendidikan dasar petani lebih sulit menerima teknologi baru, sehingga perlu ada pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan petani. Menurut Nazariah (2015) pendidikan mempengaruhi pola pikir, keterampilan, sikap dan pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi dalam menerima informasi, menyerap dan memahami suatu informasi inovasi teknologi. Hal ini didukung oleh Bandolan (2008) tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diberikan dalam berusahatani.

Kelayakan Usahatani

Kelayakan usaha adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha, digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak gagasan usaha tersebut (Soekartawi, 1995). Dengan adanya analisis kelayakan ini resiko kegagalan dapat dihindari.

Tabel 2 menunjukkan bahwa total biaya usahatani cara manual lebih tinggi dibandingkan dengan indo jarwo transplanter, karena pada cara manual ada tambahan biaya pencabutan bibit dan penanaman sebesar ± 1.260.000,-/ha sedangkan dengan indo jarwo transplanter biaya yang dikeluarkan hanya untuk pembuatan dapok dan tenaga operator sebesar Rp 664.000,-/ha. Dari sisi penggunaan tenaga kerja tanam ada selisih biaya sebesar 596.000,-/ha atau 47,3% yang berarti penggunaan mesin indo jarwo transplanter lebih hemat 47,3% dibanding cara manual.

Hal ini sejalan dengan penelitian di daerah lain yang juga menyatakan bahwa penggunaan mesin tanam indo jarwo transplanter menghemat biaya operasional. Penelitian di Jawa Tengah biaya tanam menggunakan ricetransplanter sebesar 1.650.000,-/ha dibandingkan cara tanam manual sebesar 1.700.000,-/ha. Dengan demikian penerapan paket tanam ricetransplanter dapat menghemat biaya sebesar 50.000,-/ha atau 2,49% (Suhendra, 2015), sedangkan di Padang pada penelitian Harnel (2012) biaya tanam menggunakan transplanter sebesar 653.343/ha sehingga dapat menekan biaya tanam sebesar 49,7%. Penggunaan mesin tanam indo jarwo transplanter sangat menguntungkan dan dapat menekan biaya tanam dibandingkan cara tanam manual. Penggunaan mesin tanam indo jarwo transplanter di Bengkulu Utara lebih hemat biaya tenaga kerja dibandingkan Jawa Tengah, tidak lebih hemat dibandingkan Padang.

Page 391: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

374

Tabel 2. Perbedaan struktur biaya usahatani cara manual dengan indo jarwo transplanter Desa Rama Agung Kecamatan Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2015.

NO Uraian Biaya (Rp)

cara manual dengan indo jarwo transplanter

1. Produksi 5,77 5,97 2. Total Biaya 6.280.000,- 5.729.000,- a. Benih 225.000,- 270.000,- b. Pupuk

- Urea - Phonska

208.000,- 931.000,-

208.000,- 931.000,-

c. Pestisida 1.200.000,- 1.200.000,- d. Pengolahan Lahan 1.000.000,- 1.000.000,- e. Penanaman

- Indo Jarwo Transplanter - Manual

0 1.260.000,-

664.000,- 0

f. Pemupukan 80.000,- 80.000,- g. Penyiangan 160.000,- 160.000,- h. Panen 1.216.000,- 1.216.000,- 3. Harga Produksi 3.500,- 3.500,- 4. Total Penerimaan 20.195.000,- 20.895.000,- 5. Total Pendapatan 13.915.000,- 15.166.000,- 6. B/C 2,22 2,65

Sumber : Data primer (2015)

Analisis benefit-cost ratio (B/C) merupakan perbandingan nisbah antara total nilai kini

penerimaan dengan total nilai kini biaya, jika net B/C ratio>1, maka kajian tersebut layak diusahakan, jika net B/C ratio <1 maka kajian tersebut tidak layak diusahakan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa B/C ratio cara tanam menggunakan indo jarwo transplanter (2,65) lebih tinggi dibandingkan cara tanam manual (2,22). Hal ini membuktikan bahwa cara tanam dengan indo jarwo transplantersecara ekonomis layak dikembangkan untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja disektor pertanian dan daerah-daerah yang mulai mengalami kelangkaan tenaga kerja.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penggunaan mesin tanam indo jarwo transplanter layak digunakan untuk usahatani padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara dengan nilai B/C 2,65.

2. Penggunaan alat mesin tanamindo jarwo transplanter perlu disebar luaskan kepada petani di sentra produksi padi sehingga tanam serempak dapat terlaksana.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada penanggung jawab kegiatan Kajian Mekanisasi Dilahan Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu Bapak Yong Farmanta, SP, M.Si

2. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Umi Pudji Astuti, MP. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

3. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Ir. Sri Suryani Rambe, M.Agr. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Page 392: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

375

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, D.R. dan Haryono. 2007. Peluang Usaha Jasa Penanaman Padi Secara Mekanis Dengan Dukungan Industri Persemaian. Apresiasi Hasi Penelitian Padi.

Astuti, U. P. dan B. Honorita. 2015. Kajian Pengetahuan Petani terhadap Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kota Bengkulu. Kumpulan hasil Penelitian Pengkajian Pengembangan dan Penerapan Inovasi Teknologi Pertanian. BPTP Bengkulu 2015.

Badan Litbang Pertanian. 2005. Kumpulan Teknologi Unggulan pendukung PRIMA TANI. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Balai Besar Mekanisasi Pertanian. 2013. Mesin Tanam Indo Jarwo Transplanter. http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/ind/index. [Diunduh Tgl 5 Oktober 2015].

Bandolan Y, A. Aziz dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi petani Terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem: 4 (2).

BPS Provinsi Bengkulu. 2013. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Bappeda dan BPS Provinsi Bengkulu.

Budiman. D. A dan Koes Soelitiadji. 2008. Studi Pengembangan Alsin Penanaman Bibit Padi Manual Tipe IRRI di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi 2008.

Choirotunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Agritexts: (24).

Harnel. 2012. Kajian Teknis dan Ekonomi Alat Tanam Pindah Bibit Padi Manual (Transplanter) Modifikasi. Balai Besar Pengembangan Pertanian. Journal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian: 15 (1).

Soekartawi. Analisis Usahatani. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 1995 Suhendra, T., 2013. Prospek Pengembangan Mesin Tanam Pindah Bibit (rice transplanter) dalam

Rangka Mengatasi Kelangkaan Tenaga Kerja Tanam Bibit Padi. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Angibisnis (SEPA) Fakultas Pertanian UNS. Surakarta (inpress).

Suhendrata, T., dan E. Kushartanti. 2013. Pengaruh Penggunaan Mesin Tanam Pindah Bibit Padi (Transplanter) Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Petani di Desa Tangkil Kecamatan/Kabupaten Sragen. Prosiding Seminar Nasional Akselarasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian UNS. (inpress).

Page 393: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

376

TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TENTANG TEKNOLOGI PTT PADI RAWA DI KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS - SELUMA

LEVEL OF FARMERS KNOWLEDGE FOR TECHNOLOGY OF INTEGRATED CROP MANAGEMENT OF SWAMP RICE IN SEMIDANG ALAS MARAS DISTRICT SELUMA

REGENCY

Rahmat Oktafia, Engkos Kosmana, dan Wahyu Wibawa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Kel. Semarang Kec.Sungai Serut Kota Bengkulu

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penerapan komponen teknologiPengelolaan Tanam Terpadu (PTT) padi rawa di petani, khususnya di Desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma sudah tinggi. Kondisi ini menunjukan bahwa telah terjadi adopsi di petani terhadap teknologi tersebut, Petani padi rawa telah menerapkan pemakaian varietas unggul baru,benih bermutu dan berlabel, jajar legowo, tanam bibit muda, tanam 2-3 benih perlubang, PHT dan pemupukan. Dengan pendekatan PTT diharapkan mampu menjadi penyumbang produksi beras yang cukup signifikan di Provinsi Bengkulu. Salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi PTT padi lahan rawa adalah tingkat pengetahuan petani, oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang tingkat pengetahuan petani, yang bertujuan untuk : (1). Mengkaji tingkat pengetahuan petani terhadap pendekatan PTT padi rawa. (2). Mengetahui seberapa erat hubungan/korelasi antara pendidikan dan pengetahuan terhadap implementasi pendekatan PTT. Kajian dilakukan dari bulan Mei sampai dengan Juli 2016, di Desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupeten Seluma. Data dikumpulkan melalui wawancara individual menggunakan kuesioner terhadap 29 orang responden. Analisis data menggunakan interval kelas dan korelasi rank spearman dengan menentukan nilai p menggunakan SPSS. Hasil kajian menunjukkan bahwa; 1). Pengetahuan petani terhadap pertanaman padi rawa dengan pendekatan PTT padi rawa tinggi dengan hasil penilaian sebesar 68,97%. 2). Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan pengetahuan tentang komponen teknologi PTT padi rawa.

Kata kunci : Budidaya, padi rawa, pengetahuan, petani

ABSTRACT

Application of technology component for Integrated Crop Management of swamp rice in Karang Anyar Village Semidang Alas Maras District Seluma Regency is high. This condition showed that farmers have adopted technology of ICM. Farmer have adopted new improved varieties, certificated seed, jajar legowo, planting young seedlings, planting 2-3 seedling per hill, Integrated Post Management (IPM) and rational fertilization. ICM technology is expected able to support rice production significantly in Bengkulu Province. One of factor affecting adoption of ICM technology on swamp rice is level of farmers knowledge, so that assessment about the level of farmers knowledge. Objectives of this study were ; (1). To study level of farmers knowledge toward adoption of ICM for swamp rice. (2). To study correlation between formal education dan knowledge for implementation of ICM technology. The study was conducted from May to July 2016 in Karang Anyar Village Semidang Alas Maras District Seluma Regency. Data were collected by individual interview using questionnaire for 29 respondent. Data were analyzed by class interval and spearmen rank correlation and determined P value by SPSS. Result showed that (1). Farmer knowledge toward swamp rice cultivation was in high level proved by value of interval class up to 68,97%. (2). There was a close relationship between education and farmers education in implementing technology components of swamp rice ICM. .

Keywords: Cultivation, swamp rice, farmer knowledge

Page 394: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

377

PENDAHULUAN

Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (5.335 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 4.781 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 554 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2015). Potensi pengembangan lahan rawa di Bengkulu untuk komoditas padi masih terbuka. Karakteristik sawah rawa tergantung pada iklim terutama pada pola curah hujan, pada umumnya lahan rawa sering mengalami banjir serta genangan lebih sukar di prediksi, Salah satu pemanfaatannya melalui penanaman padi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) untuk padi rawa yang meliputi: varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau pupuk kandang ke sawah dalam bentuk kompos, pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) secara pendekatan PHT (pengendalian hama terpadu), pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Badan Litbang Pertanian, 2010).

Dalam Penerapan teknologi PTT padi rawa di tingkat petani perlu proses adopsi teknologi, hal ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan penyuluhan dan faktor sumberdaya manusia. Proses penyuluhan sebagai pendidikan non formal dalam meningkatkan perilaku petani sangat memiliki perananan penting.

Cepat atau lambatnya adopsi teknologi dalam suatu penyuluhan dipengaruhi juga oleh umur dan tingkat pendidikan formal sasaran (petani), Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya.(Soekartawi,1988).

Salah satu tujuan dari penyuluhan adalah perubahan pengetahuan, karena Pengetahuan mempunyai peranan penting dalam sebuah proses adopsi sebagaimana di ungkapkan Rogers dan Shoemaker (1987) dalam Mulyadi dkk, “pengetahuan “teknis” (psikomotor) yang paling diperlukan oleh seorang adopter dan pengetahuan “prinsip” (afektif) berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu inovasi”.

Berdasarkan hasil observasi langsung (2016) menunjukan Pada kondisi riil di petani telah menerapkan berbagai komponen teknologi PTT padi rawa, ini menunjukan bahwa telah terjadi proses adopsi teknologi PTT padi rawa. Hal ini bisa terjadi karena tingkat Pengetahuan petani berupa pengalaman bertani padi. Pengetahuan yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media masa. Banyak teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, sehingga mempengaruhi perilaku petani tersebut. Dengan demikian, upaya penggalian pengetahuan petani tentang bertanam padi perlu dilakukan untuk melakukan kajian. Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai input dalam meningkatkan pengetahuan petani. Kajian ini difokuskan untuk mengkaji tingkat pengetahuan petani terhadap pendekatan PTT padi rawa dan mengukur hubungan antara pendidikan dan pengetahuan terhadap implementasi pendekatan PTT.

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu

Pengkajian dilaksanakan di Desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma dari bulan Maret sampai dengan bulan Juli tahun 2016. Metode kajian dengan pendekatan partisipatif on farm research dan wawancara terstruktur.

Data dan Metode Pengambilan

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya. Responden adalah petani kooperator dan petani sekitar yang berjumlah 29 orang. Data yang diambil meliputi

Page 395: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

378

karakteristik petani danpengetahuan petani yang berkaitan denganpertanaman padi rawa dengan pendekatan PTT.

Pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT dilihat dari 5 indikator, yaitu (1) perlakuan benih, (2) pengolahan lahan, (3) umur bibit pindah tanam dan jumlah bibit per rumpun, (4) persemaian, (5) Sistem tanam jajar legowo. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) untuk mengumpulkan data dan informasi dari responden yang telah ditetapkan.

Pengetahuan petani terhadap padi sawah melalui pendekatan PTT dianalisis dengan pendekatan interval kelas, dan keeratan hubungan antara pendididkan dan pengetahuan dilakukan dengan analisis Rank Spearman. Adapun rumus Rank Spearman (Martono, 2010) sebagai berikut:

Pertanyaan pada setiap indikator dibagi menjadi 5 skor: 1 (sangat tidak tahu); 2 (tidak tahu); 3 (cukup tahu); 4 (tahu); dan 5 (sangat tahu). Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana :NR: Nilai Range PI : Panjang Interval

NST: Nilai Skor Tertinggi JIK: Jumlah Interval Kelas NSR: Nilai Skor Terendah

Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji pada Tabel 1 serta jenis dan sumber data, teknik pengambilan sampel, jumlah sampel serta teknik analisis dan sumber acuan teknik analisis berdasarkan tujuan pengkajian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator.

No. Interval Kelas (Per Pertanyaan) Kriteria Nilai

1. 2. 3. 4. 5.

1,05 ≤ x ≤ 1,75 1,75< x ≤ 2,46 2,46< x ≤ 3,16 3,16< x ≤ 3,87 3,87< x ≤ 4,57

Sangat tidak tahu Tidak tahu Cukup tahu

Tahu Sangat tahu

Sumber : Data Primer terolah (2016)

Tabel 2. Jenis dan sumber data, teknik pengambilan sampel, jumlah sampel serta teknik analisis dan

sumber acuan teknik analisis.

Tujuan Jenis dan Sumber Data

Teknik Pengambilan Sampel

Jumlah Sampel

Teknik Analisis dan Sumber Acuan Teknik Analisis

Mengetahui tingkat pengetahuan petani terhadap budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT

Data primer bersumber dari responden

Pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling)

29 orang interval kelas untuk analisis pengetahuan petani: Nasution dan Barizi dalam Rentha, (2007) dan Korelasi Rank Spearman untuk hubungan pendidikan dan pengetahuan (Nanang Martono (2010)

Analisis korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan petani menggunakan korelasi Rank Spearman merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis asosiatif dua varieabel bila datanya berskala ordinal (ranking). Korelasi ini dikemukakan oleh Carl Spearman,

Page 396: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

379

yang disimbolkan dengan “p” (dibaca : rho). Korelasi Spearman. Untuk uji signifikan 5%, kita harus menilai p velue (Sig.) :

Nilai p velue ≤ 0,05, maka hubungan kedua variabel adalah signifikan

Nilai p velue ˃ 0,05, maka hubungan kedua variabel adalah tidak signifikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikan (Tabel 3). Rata-rata umur petani adalah 49,7 tahun dan tergolong usia produktif. Penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dan usia produktif (antara 15 sampai 64 tahun). (BPS, 2016).

Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan umur dan Pendidikan.

No. Karakteristik Kelompok Petani

Jumlah (orang) %

1. Umur 31 – 63 65 – 70

24 5

83 17

Jumlah 29 100,00

2. Pendidikan SD SMP SMA Diploma S1

2 7 16 3 1

6,90 24,14 55,17 10,34 3,45

Jumlah 29 100,00

Sumber : Data Primer,2016

Tabel 3. menunjukkan bahwa rata-rata usia petani/responden termasuk usia produktif umur

31-63 tahun 83% dengan tingkat pendidikan petani Sekolah Menengah Atas 55,17 %. Pada usia produktif, individu masih memiliki minat yang tinggi untuk belajar. Kondisi ini akan mempengaruhi perilaku (baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan), pola pengambilan keputusan, dan cara berpikir. Bandolan (2008) melaporkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diberikan. Senada dengan hal tersebut, Drakel (2008) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Dalam hal menerima inovasi baru, responden dengan kondisi ini tergolong dalam kelompok mudah menerima inovasi baru. Hal ini dapat memudahkan untuk berubah dari satu sistem ke sistem yang lain.

Pada kondisi diatas kondisi karakteristik petani baik dari segi umur maupun tingkat pendidikan lebih dari 50% pada umur produktif dan memiliki tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA. Dengan kondisi ini merupakan kondisi ideal dalam menerima pengetahuan baru sehingga akan lebih mudah menerima pengetahuan baru ataupun menerapkan inovasi baru.

Tingkat Pengetahuan Petani

Hasil pengkajian menunjukan bahwa pengetahuan petani yang telah mengetahui teknologi PTT berjumlah 20 orang (68,97%) dan responden yang tidak mengetahui teknologi tersebut sebanyak 5 orang (17,24%) serta yang cukup tahu teknologi tersebut sebanyak 7 orang (13,79%). Ini menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang komponen teknologi PTT sudah pada kriteria tinggi, ini berdasarkan hasil analisis pendekatan dengan interval kelas sebesar 20 orang (68,97%) responden yang telah mengetahui teknologi PTT dengan demikian untuk penyampaikan inovasi mudah dilakukan,karena pengetahuan dapat mempertinggi kemampuan dalam mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. (Tabel 4).

Page 397: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

380

Tabel 4. Tingkat pengetahuan petani di Desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma terhadap pendekatan PTT Padi Rawa tahun 2016.

No. Kriteria

Nilai Skor Terendah

Nilai Skor Tertinggi

Jumlah Orang Persentase Respon Petani*

1. 2. 3. 4. 5.

Sangat Tidak Tahu Tidak Tahu Cukup Tahu Tahu Sangat Tahu

1,05 1,75 2,46 3,16 3,87

1,75 2,46 3,16 3,87 4,57

3 2 4 7 13

10,34 6,90

13,79 24,14 44,83

Sumber : Data Primer, 2016

Dilihat dari tabel di atas, sebagian besar petani responden sudah tahu, dengan tingkat

pengetahuan yang tinggi, hal ini dapat disebabkabkan oleh banyak faktor, salah satu faktornya adalah usia dan tingkat pendidikan. Hal ini senada dengan Soekartawi, (1988) yang menyatakan bahwa Semakin muda usia petani biasanya mempunyai semangat tinggi untuk mengetahui berbagai hal yang belum diketahui. Dengan demikian mereka biasanya berusaha lebih cepat untuk melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman terhadap adopsi inovasi tersebut. Tingkat pendidikan seseorang juga dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Hal senada juga diungkapkan Mayasari, dkk (2012) menyatakan bahwa penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia responden. Usia responden produktif berusia berkisar 31–63 tahun, sehingga di mungkinkan terjadi peningkatan pengetahuan terhadap diri petani tersebut baik dari kegiatan penyuluhan maupun kegiatan lainnya.

Korelasi antara Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan

Hasil pengujian rank Spearman dengan SPSS memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan petani. Dengan nilai hubungan signifikan kedua variabel sebesar (0,048).

Korelasi antara pendidikan dan tingkat pengetahuan petani tentang pertanaman padi rawa dengan pendekatan PTT.

Correlations

Tingkat Pendidikan Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pendidikan

Pearson Correlation 1 .370*

Sig. (2-tailed) .048

N 29 29

Tingkat Pengetahuan

Pearson Correlation .370* 1

Sig. (2-tailed) .048

N 29 29

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber : Data primer terolah (2016)

Dari hasil pengujian rank Spearman dengan SPSS, dapat di interpretasi bahwa Nilai p value

(Sig.) pada output SPSS menunjukkan nilai sebesar 0,048 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut signifikan (karena p value < 0,05).

Saridewi dan Siregar (2010), melaporkan bahwa tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional. Dengan demikian seseorang akan terus mengembangkan kemampuannya serta mencari informasi-informasi yang dibutuhkan oleh dirinya, maka secara otomatis pengetahuan tentang hal baru akan semakin tinggi.

Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka akan tinggi pula kebutuhan belajar nya, dengan demikian akan terjadi peningkatan pengetahuan dari proses belajar, baik belajar secara informal maupun secara formal, hal ini didukung oleh pernyataan dari Mulyadi dkk (2007) yang mengemukan bahwa kebutuhan belajar yang memiliki hubungan yang nyata saling mempengaruhi dengan tahap kesadaran/peningkatan pengetahuan.

Page 398: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

381

Dengan demikian tingkat pendidikan akan mempermudah seseorang dalam meningkatkan pengetahuannya, semakin tinggi tingkat pendidikan formalnya maka akan semakin mudah menerima informasi inovasi dan meningkat pengetahuannya karena tingkat kesadaran, wawasan dan daya nalarnya semakin tinggi (Sukartawi,1988). Peningkatan pengetahuan tersebut bisa melalui proses penyuluhan, pelatihan, mencari informasi sendiri dari berbagai media, belajar sesama petani maupun belajar dari pengalaman sendiri, hal ini yang menyebabkan pengetahuan petani di Desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma terhadap komponen teknologi PTT tinggi.

KESIMPULAN

1. Tingkat pengetahuan petani tentang teknologi PTT padi rawa tinggi (68,97%.)

2. Terjadi hubungan antara pendidikan formal yang dimiliki dengan pengetahuan PTT Padi Rawa dengan mempunyai korelasi signifikan sebesar 0,048.

DAFTAR PUSTAKA

Ariwibawa, I.B,. 2012. Pengaruh Sitem Tanam Terhadap Peningkatan Produktivitas Padi pada Lahan Sawah Dataran Tinggi Beriklim Basah. Prosiding Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.

Anonim, 2006. UU No.16 tahun 2006, Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan. Balai Besar Padi. 2015. Keunggulan dan Karakter yang Berbeda Pada Inpara.

http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id. [29 Januari 2015] Bandolan Y., dkk. 2008. Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di Desa

Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. Vol. 4 No. 2. Desember 2008. Hal: 5 – 12.

BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam Angka. BPS Provinsi Bengkulu. BPS Jakarta. 2016. https://www.bps.go.id/index.php/istilah/index?Istilah_page=4m. BPS Jakarta. [14

Oktober 2016] Drakel, Arman. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa

Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008.

Firdaus. 2015. Sistem tanam jajar legowo 2:1. http://nad.litbang.pertanian.go.id. [29 Januari 2015] Kasno, A., Ibrahim A.S, dan A.Rachman. 2009. Pengelolaan Hara Tanah dan Peningkatan Pendapatan

Petani dalam Pola Tanam Sayuran Dataran Tinggi di Kopeng dan Buntu. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Datara Tinggi. Balittanah.litbang.pertanian.go.id [diakses 9 Okober 2015]

Mulyadi, dkk.2007. Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak Di Kabupaten Manokwari – Papua Barat. Jurnal Penyuluhan September 2007: Vol. 3 No. 2 Hal 110-118.

Martono, N. 2010. Statistik sosial teori dan aplikasi program SPSS. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Mayasari, Rika,dkk. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan

Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia Volume 6 No.3 Tahun 2012.

Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Saidah, A. Irmadamayanti dan Syafrudin. 2015. Pertumbuhan dan Produktivitas Beberapa Varietas Unggul Baru dan Lokal Padi Rawa Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Boi Diversiti Indonesia. Volume 1 (4): 935-940

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 399: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

382

PENTINGNYA PENGGUNAAN LANTAI JEMURDI LAHAN RAWA LEBAK PROVINSI SUMATERA SELATAN

POTENTIAL USEDOF DRYING FLOORAT VALLEY SWAMP IN SOUTH SUMATRA

Yeni Eliza Maryana

1 dan Siti Rosmanah

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Puntikayu Palembang 30153 e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Lahan rawa lebak yang ada di Kabupaten Banyuasin memiliki peranan penting dan strategis bagi pengembangan pertanian di Sumatera Selatan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan rawa lebak melalui peningkatan produktivitas, intensitas pertanaman dan penerapan mekanisasi pertanian. Namun upaya tersebut juga menimbulkan permasalahan bagi petani yaitu kesulitan dalam hal pengeringan gabah. Hal ini disebabkan karena terbatasnya lahan sebagai tempat penjemuran gabah. Penelitian ini mengkaji potensi penerapan lantai jemur di lahan rawa lebak. Studi ini dilaksanakan di Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan pada Bulan April s/d Agustus 2016. Metode yang digunakan adalah dengan metode survey. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 75 % petani melakukan proses penjemuran gabah di atas tanah yang dialasi terpal, dan sebanyak 25 % menggunakan lantai jemur. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa lantai jemur berpotensi dikembangkan di lahan rawa lebak, mengingat jumlah gabah yang harus dikeringkan di Desa Sako sebanyak 46,6 ton/hari.

Kata kunci: Lantai jemur, pengeringan gabah, rawa lebak

ABSTRACT

Swampland in Banyuasin District has important and strategic role in the development of agriculture in South Sumatra. The government has made great efforts to support the development of agriculture in swamp-land through improved productivity, cropping intensity and the application of agricultural mechanization. However, many such efforts also make new problems for farmers such as difficulty in grain drying. This is due to the limited land drying space. This research was held in Sako village Rambutan Subdistrict, Banyuasin regency of South Sumatra Province in April to August, 2016. The used method is survey method. Data collected consist of primary and secondary data. Collected data in field processed with tabulation and then analyzed descriptively. The study shows that 75% of farmers do the process of drying grain on groundwith cover, and 25% drying on the floor with cover. Based on these data shows that the drying floor could potentially be developed in the swampy wetlands, given the amount of grain to be dried in the village Sako as much as 46.6 tons / day.

Keywords: drying floor, drying grain, swamp-land

PENDAHULUAN

Lahan rawa berperanan penting mendukung ketersediaan di sektor pangan, terutama dengan pesatnya pertambahan penduduk dan berkurangnya lahan untuk berbagai keperluan di sektor non pertanian. Ketersediaan komoditas pangan khususnya beras tidak dapat bergantung penuh pada produksi padi dari lahan sawah irigasi dan tadah hujan. Lahan-lahan sub-optimal seperti lahan rawa lebak juga memiliki potensi yang luas dan memiliki prospek pengembangan yang baik. Lahan rawa lebak diharapkan sebagai lahan alternatif untuk produksi tanaman pangan dalam mendukung ketersediaan pangan. Luas lahan rawa lebak di Indonesia yang potensial diperkirakan mencapai 13,3 juta hektar, yang terdiri dari 4,2 juta hektar rawa lebak dangkal, 6,1 hektar lahan rawa lebak tengahan dan 3,3 juta hektar lahan rawa lebak dalam. Dari total luas lahan tersebut lahan rawa lebak terluas ada di Pulau Sumatera yaitu sekitar 6,1 juta hektar dan 314.679 hektar diantaranya telah diusahakan untuk areal pertanaman padi. Lahan lebak di Sumatera Selatan yang telah diusahakan untuk usaha pertanian khususnya padi baru sekitar 146.279 hektar (Alihamsyah, 2004).

Page 400: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

383

Pemanfaatan lahan rawa lebak di Sumatera Selatan dihadapkan pada berbagai kendala diantaranya kendala hidrotopografi (genangan air) dimana banjir dan tinggi genangan air merupakan faktor penghambat dan bahaya bagi pertumbuhan tanaman padi. Faktor lain yang menjadi penghambat adalah masih rendahnya penerapan teknologi yang digunakan petani. Selain itu, kesuburan tanah yang rendah, kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara juga merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak. Hama dan penyakit juga merupakan faktor penghambat bagi pertanaman padi di rawa lebak Provinsi Sumatera Selatan (Suparwoto et al., 2012).

Produktivitas pertanian di lahan rawa lebak masih kecil karena indeks pertanaman rendah. Pada umumnya petani menanam padi hanya satu kali dalam setahun pada musim kemarau, dimana penanaman padi dilakukan setelah air pada rawa lebak dangkal mulai menyurut dan selanjutnya diikuti oleh lebak tengahan dan dalam. Bila pada lahan lebak dalam, genangan air masih dalam biasanya tidak ditanami (Waluyo, 2010). Kondisi ini terjadi disebabkan minimnya pengetahuan dan keterampilan petani, terbatasnya jumlah petani di lahan rawa, dan tingginya tantangan pertanian di lahan rawa membuat petani hanya dapat panen padi satu kali per tahun.

Dalam dua tahun terakhir pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan rawa lebak seperti melalui peningkatan indeks pertanaman (IP). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Litbang Pertanian jika lahan rawa di 10 provinsi di tingkatkan indeks pertanamannya dari IP 100 menjadi IP 200 maka akan didapatkan tambahan produksi sekitar 778.899 ton GKG dari lahan rawa lebak (Haryono, 2013). Aplikasi IP 200 di rawa lebak juga diimbangi dengan pengenalan mesin-mesin pertanian terutama mesin panen padi. Selain menguntungkan bagi petani penerapan alat ini juga menimbulkan permasalahan bagi petani yaitu kesulitan dalam hal pengeringan gabah. Dahulu panen padi membutuhkan waktu berhari-hari, sekarang dengan adanya mesin panen padi proses pemanenan menjadi lebih singkat. Kondisi ini menyebabkan petani harus menjemur gabah dalam jumlah yang banyak secara bersamaan sementara lokasi tempat menjemur gabah terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi penerapan lantai jemur di lahan rawa lebak Provinsi Sumatera Selatan. Aplikasi lantai jemur di lahan rawa lebak belum banyak dilakukan oleh petani, oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang menggambarkan potensi penerapan lantai jemur di lahan rawa lebak Kabupaten Banyuasin.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan pada Bulan April s/d Agustus 2016. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dimana sampel diambil berdasarkan pertimbangan keterwakilan ciri-ciri fenomena populasi. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani, wwancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berkaitan dengan data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini. Data primer yang dikumpulkan meliputi : karakteristik wilayah dan keragaan teknologi pengeringan yang dilakukan petani. Responden pada penelitian ini adalah petani sebanyai 32 orang yang mengusahakan usahatani padi di lahan rawa lebak. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah Pengkajian

Lahan rawa lebak memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian yang produktif dalam mendukung tercapainyan tujuan pembangunan di bidang pertanian nasional yang berkaitan dengan program peningkatan ketahanan pangan nasional.

Kabupaten Banyuasin mempunyai wilayah seluas 11.833 Km2 dengan topografi 80 % wilayah

datar berupa lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Sektor pertanian terutama tanaman pangan merupakan sektor unggulan di Kabupaten Banyuasin. Produksi padi sawah dan padi ladang pada tahun 2014 mencapai 915.442 ton dengan luas panen 209.122 hektar. Dari total produksi padi tersebut 131.500 ton padi dihasilkan dari sawah rawa lebak (BPS Banyuasin, 2015).

Lahan rawa lebak di Kabupaten Banyuasin terdapat di Kecamatan Rambutan, Kecamatan Rantau Bayur, dan sebagian kecil di Kecamatan Banyuasin I. Desa Sako merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di Kecamatan Rambutan-Kabupaten Banyuasin dengan luas wilayah 2.500 hektar. Daerah ini termasuk daerah rawa lebak bertipe dangkal dan tipe tengahan dengan jenis

Page 401: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

384

tanah yang ada tergolong lahan basah yang termasuk lahan kering podsolik merah kuning (PMK). 'I'ingkat keasaman tanah (PH) berkisar antara masam sampai dengan agak masam (4,2 - 5) dan (5 – 5,5) kecuali untuk lahan lebak tengahan yang dipengaruhi pasang surut PH-nyamendekati netral : yaitu 5,5 – 6. (BPS Kecamatan Rambutan, 2015). Berdasarkan informasi petani di daerah penelitian menyatakan bahwa sejak musim tanam pada tahun 2015 terjadi perubahan frekuensi tanam padi yang mulanya 1 kali menjadi 2 kali dalam 1 tahun. Luas panen pada musim kemarau sebesar 700 hektar sedangkan pada musim hujan luas panen 20 hektar, dengan rata-rata total produksi GKP per hektar sebesar 5.5 ton/hektar.

Keragaan Teknologi Pengeringan Di Tingkat Petani

Pengeringan gabah merupakan usaha yang sangat penting untuk menghasilkan beras yang berkualitas di lahan lebak Kabupaten Banyuasin. Hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa proses pengeringan gabah yang banyak dilakukan adalah dengan penjemuran dibawah sinar matahari langsung. Prinsip pengeringan dengan cara penjemuran adalah memanfaatkanperpindahan suhu panas sinar matahari ke sekeliling bahan yang dikeringkan. Pada penjemuran gabah hal yang perlu diperhatikan adalah adanya sifat higroskopis bahan, sehinggaselama proses pengeringan berlangsung terjadi kenaikan kadar air biji.Kenaikan kadar air biji akan terjadi apabila tekanan uap air jenuh di sekelilingbahan meningkat, karena adanya tekanan osmotik dari jaringan pipa kapilertanah di bawah tempat penjemuran, atau suhu di lingkungan penjemuranturun pada malam hari.Hasil wawancara dengan responden dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Cara pengeringan di tingkat petani, tahun 2016

No Nama Responden Luas sawah (Ha)

Produksi Padi (ton)

Cara Pengeringan

Di atas tanah dialasi terpal

Lantai jemur tanpa terpal

Lantai jemur dialasi terpal

Alat pengering

1 Soniman 1 3 v - - -

2 Abdul Haris Nasution 1 6.5 v - - -

3 Amir Hamzah 1.5 5 v - - -

4 Oemar El Habby 0.5 1.5 v - - -

5 Ali Yohan 2 4 v - - -

6 Edi Sopian 1 4.5 v - - -

7 Mulyono 1 4 v - - -

8 Ibnu Bustomi 1 3.5 v - - -

9 Maladia 1.2 4 v - - -

10 Rosdi Lakoni 2 5 v - - -

11 Dedi Nasution 0.5 2.5 v - - -

12 Supardi 1 1.5 v - - -

13 Zely Seprianus 0.25 1 v - - -

14 M. Harafik 2 6 v - - -

15 Triadi 2 12 v - - -

16 Antoni 0.5 2.5 v - - -

17 Edi Marsa 1.5 1.5 v - - -

18 Suparman 1.25 5 v - - -

19 Tukiyo 0.5 3.8 v - - -

20 Tasman 0.6 4 v - - -

21 Mahida 1 6.5 v - - -

22 M. Edi 1 4 v - - -

23 Suharjo 0.6 2.5 v - - -

24 Sapari 1.5 7.5 v - - -

25 Sugiharto 1.75 5 - - v -

Page 402: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

385

26 M. Sali 2 6 - - v -

27 Neli Susiani 1.5 4 - - v -

28 Tasina 0.25 1 - - v -

29 Eti Susiana 0.5 1 - - v -

30 Jana 30 240 - - v -

31 Kasporit 1 4 - - v -

32 Umar 0.8 1.5 - - v -

Sumber : Data primer diolah (2016)

Dari total responden yang diwawancarai 75 % mengeringkan di atas tanah yang dilapisi terpal

dan 25 % melakukan pengeringan dengan lantai jemur yang dilapisi terpal. Petani tidak ada yang mengeringkan gabah dengan alat pengering. Alasan petani lebih menyukai mengeringkan gabah di atas tanah yang dialasi terpal adalah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk upah pengeringan. Pengeringan gabah dilakukan sendiri dengan dibantu anggota keluarga. Rata-rata petani melakukan pengeringan di halaman rumah. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa alasan petani yang menjemur gabah dengan lantai jemur adalah hasil penjemuran lebih baik, namun untuk menjemur petani harus mengeluarkan biaya pengeringan yaitu Rp. 6.000/1 karung (1 karung 50 kg). Lantai jemur yang digunakan untuk menjemur hanya 1 unit yang terdapat di kelompok tani bukan milik perseorangan.

Potensi Lantai Jemur

Petani di Desa Sako Kecamatan Rambutan-Kabupaten Banyuasin sebagian besar merupakan petani skala kecil. Dari hasil kajian diketahui bahwa rata-rata luas sawah yang dimiliki petani sebesar 1 Ha dengan rata-rata produksi padi 4 ton/Ha. Total luas areal pertanaman padi lebak di Desa Sako adalah 700 Ha. Panen padi dalam 1 musim berlangsung selama 60 hari. Dari data ini maka dapat diketahui perkiraan jumlah gabah yang dipanen dalam 1 hari adalah sebanyak 46,6 ton, sementara diperkirakan total halaman petani hanya mampu menampung gabah 11,6 ton/hari. Dari perkiraan perhitungan ini diketahui dalam 1 hari terjadi penundaan pengeringan gabah sebanyak 35 ton.

Permasalahan ini terjadi semenjak penggunaan combine harvester. Sebelum dikenalkan dengan combine harvester petani di lahan rawa lebak biasanya melakukan proses panen selama 2 – 3 hari/ha namun semenjak adanya combine harvester proses pemanenan dapat dilakukan dengan waktu hanya 2-3 jam/ha. Kondisi ini menyebabkan gabah harus dikeringkan secara bersamaan dan dalam jumlah besar.

Permasalahan penundaan pengeringan gabah di Desa Sako akan mempengaruhi mutu beras. Gabah yang mengalami keterlambatan pengeringan akan menghasilkan beras dengan kualitas rendah, hal ini disebabkan karena gabah hasil panen mengandung kadar air yang tinggi. Dengan kondisi yang lembab proses respirasi akan berjalan dengan cepat, akibatnya terjadi butir gabah yang busuk, berjamur, berkecambah maupun terjadi reaksi browning enzimatis yang dapat menyebabkan beras berwarna kuning atau kuning kecoklatan (Nugraha S et al., 2007). Untuk mengatasi permasalahan tersebut petani perlu dikenalkan dengan teknologi pengering seperti penggunaan alat pengering buatan dan lantai jemur. Di Desa Sako alat pengering buatan belum tersedia hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti keterbatasan modal untuk membeli, keterbatasan pengetahuan petani, serta kapasitas pengering biasanya besar sehingga tidak efektif bagi petani yang berskala kecil menggunakan alat pengeringan modern tersebut. Oleh sebab itu, pengeringan secara tradisional seperti lantai jemur dengan menggunakan sinar matahari masih menjadi pilihan sebagian petani di lahan rawa lebak. Pengeringan dengan sumber energi sinar matahari dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pengeringan langsung di atas lantai jemur, (2) pengeringan dengan alas terpal di atas lantai jemur.

Dalam penggunaan lantai jemur, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan di antaranya adalah kapasitas lantai jemur. Menurut Daywin et al., (1992) ada dua jenis kapasitas lapang yang biasa digunakan dalam pertanian, yaitu kapasitas lapang teoritis dan kapasitas lapang efektif. Kapasitas lapang teoritis adalah kemampuan kerja suatu alat di dalam suatu bidang tanah, Perhitungan kapasitas lapang teoritis menggunakan lebar kerja mesin dan kecepatan teoritis. Kapasitas lapang efektif merupakan rata-rata dari kemampuan kerja mesin di lapang untuk menyelesaikan suatu bidang tanah atau jumlah dari produktivitas yang benar-benar terjadi saat bekerja.

Page 403: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

386

Kapasitas penjemuran per meter persegi lantai jemur sangat perlu diperhatikan untuk memperkirakan hasil ataupun kapasitas jemur lantai jemur tersebut. Pengeringan dengan menggunakan lantai jemur dilakukan dengan penumpukan padi setebal 3 – 5 cm pada musim hujan atau 5 – 7 cm pada musim kering. Petani Desa Sako biasanya melakukan penjemuran gabah dengan ketebalan gabah saat dijemur rata-rata 4 - 5 cm. Petani menjemur di atas terpal yang berukuran 4 m x 6 m dengan jumlah gabah yang dikeringkan untuk setiap terpalnya adalah 100 kg. Dari data ini dapat diketahui bahwa setiap satu meter per segi lantai jemur, petani sako menjemur gabah sebanyak ± 4 kg. Lantai jemur yang selama ini telah ada di Desa Sako berukuran 300 m

2 (12 m x 25 m), dengan

demikian jika petani menjemur dengan ukuran tersebut maka gabah yang dapat dikeringkan adalah sebanyak 1200 kg. Dengan mengetahui kapasitas lantai jemur maka permasalahan penundaan pengeringan sebanyak 35 ton dapat ditanggulangi dengan cara membangun lagi 29 unit lantai jemur. Perhitungan ini tidak dapat mutlak dipastikan karena pengeringan dengan media lantai jemur (tanpa mesin) ini sangat memungkinkan terjadinya human error misalnya pada penumpukan gabah yang tidak merata.

Penggunaan lantai jemur di Desa Sako sangat berpotensi untuk diterapkan, dengan adanya lantai jemur diharapkan dapat mempercepat proses pengeringan gabah dibandingkan penjemuran di atas tanah. Pengeringan dengan lantai jemur lebih panas dibandingkan dengan di atas tanah hal ini disebabkan panas (energi) yang diserap lantai jemur seimbang dengan panas yang diradiasikan sedangkan pada penjemuran di atas tanah lebih banyak menyerap panas daripada yang diradiasikan. Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hempi R (2006) terhadap beberapa jenis alas pengeringan, diperoleh data bahwa gabah yang dijemur diatas lantai jemur menghasilkan persentase mutu fisik yang terbaik yaitu butir kepala 80,84 %, butir utuh 78,57 %, butir patah besar 7,29 %, butir patah besar 5,39 %, menir 3,59 % dengan rendemen giling 91,34 %.

KESIMPULAN

Pengeringan gabah dengan lantai jemur sangat berpotensi diterapkan di Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin mengingat produksi padi yang dihasilkan di daerah tersebut cukup banyak sementara sarana pengeringan terbatas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai beberapa kegiatan yang pernah dilakukan di lahan rawa lebak Sumatera Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Daulay. 2003. Penumbuhan kantong penyangga padi di lahan rawa lebak. Pertemuan Nasional Penumbuhan Kantong Penyangga Padi Di Lahan Rawa Lebak 2003, tanggal 25 – 26 Februari 2003.

Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi padi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

BPS. 2015. Banyuasin dalam angka. http://banyuasinkab.bps.go.id. [Diunduh Tgl 6 September 2016]. BPS. 2015. Statistik daerah kecamatan rambutan. http://banyuasinkab.bps.go.id. [Diunduh Tgl 6

September 2016]. Daywin, J.F., Sitompul, G., Hidayat, I. 1992. Mesin-mesin budidaya pertanian. IPB Press. Bogor Hasbi. 2012. Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi di Lahan Suboptimal. Jurnal Lahan Suboptimal.

Vol. 1(2). p: 186-196 Haryono. 2013. Lahan rawa lumbung pangan masa depan indonesia. IAARD Press. Jakarta. Hempi, R. 2006. Pengaruh ketebalan dan jenis alas penjemuran gabah terhadap mutu fisik beras giling

kultivar ciherang. Jurnal Agrijati 2 (1): 38-47 Imoudu PB, Olufayo AA. 2000. The Effect of Sun-Drying on Milling Yield and Quality of Rice.

Bioresource Technology (74): 267-269. Nugraha, S., Thahir, R., Sudaryono. 2007. Keragaan Kehilangan Hasil Pascapanen padi pada 3

agroekosistem. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol 3 : 42 - 49 Raharjo, B., Hadiyanti, D., Kodir, A., 2012. Kajian Kehilangan Hasil pada Pengeringan dan

Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol 1 (1). P: 72-82

Page 404: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

387

Suparwoto, Soehendi, R., Waluyo. 2012. Kajian usahatani beberapa varietas unggul padi di lahan rawa lebak tengahan Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dalam : Achmad Subaidi, Enti Sirnawati, Astrina Yulianti, Yovita A.D, dan Istriningsih (Ed). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Medan. Halaman : 288-296.

Sutrisno, Astanto, Ananto EE. 1999. Pengaruh Cara Pengeringan Gabah Terhadap Rendemen dan Mutu Beras Di Lahan Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Tabasum, M., and V.K. Jindal.1992. Effect Of Drying On Moisture Removal Rate And Head Yield Of Basmati-370, Pakistan. J. Agric. Res. Technol. Vol.13(4). p: 312-319.

Waluyo, Suparwoto, Supartha IW. 2010. Usaha padi di lahan rawa lebak sumatera selatan melalui pendekatan PTT. Dalam : Sarlan A, Husin M Toha dan Anischan Gani (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 2. Badan Litbang Pertanian Sukamandi. Halaman : 815-823.

Page 405: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

388

KERAGAAN PRODUKTIVITAS BENIH SUMBER VARIETAS UNGGUL (VUB) PADI PADA SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN SELUMA

PRODUCTIVITY SEED NEW IMPROVED VARIETY (NIV) RICE ON RICE FIELD IN IRRIGATION DISTRICT OF SELUMA

Yahumri dan Harwi Kusnadi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu

*E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap pemupukan dan toleran terhadap serangan hama penyakit utama telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas. Banyak permasalahan dan tantangan dalam penyediaan dan penyebarluasan benih bermutu maupun Varietas Unggul Baru (VUB) padi spesifik lokasi.Salah satu hambatan dalam pencapaian swasembada padi di Provinsi Bengkulu adalah ketersediaan benih sumber yang belum memadai dan produktivitas belum optimal, masih rendahnya produktivitas padi di Kabupaten Seluma serta masih terbatasnya informasi kajian produktivitas padi sawah irigasi yang dihasilkan dari produksi benih sumber. Oleh karena itu perlu adanya terobosan upaya peningkatan produktivitas tanaman padi yang berasal dari produksi benih sumber. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui keragaan produktivitas padi yang berasal dari produksi benih sumber. Pengkajian ini dilaksanakan di lahan sawah irigasi dari bulan Juni sampai bulan September 2015pada Musim Kemarau 2015 di Desa Taba Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yang diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan terdiri atas 4 varietas yaitu Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4 dan Ciherang sebagai varietas pembanding. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan diuji lanjut dengan DMRT pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa 3 VUB (Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4) mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding (Ciherang) yaitu masing-masing adalah 7,5 t/ha, 5,3 t/ha, 5,2 t/ha dan 4,2 t/ha.

Kata Kunci: Benih sumber, produktivitas, varietas unggul baru

ABSTRACT

The use of high yielding varieties are high yielding, responsive to fertilization and pest tolerant to major diseases have been shown to increase productivity. Many problems and challenges in the supply and distribution of quality seeds and new improved varieties (NIV) rice for a specific location. One of the obstacles in achievement/self-sufficiency in rice in Bengkulu Province is the availability of seed sources are inadequate and productivity is not optimal. The purpose of this study to assess the productivity of rice through seed production resources based on the yield potential of each variety. This assessment was conducted in irrigated land from June to September 2015 on Drought in 2015 in the village of Taba District of Talo Kecil Seluma. Assessment using a randomized block design (RBD) with 4 treatments were repeated 5 times. The treatment consisted of four varieties Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4 and Ciherang as varieties. Data were analyzed by analysis of variance and tested further by DMRT at 5% level. The study showed that 3 NIV (Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4) capable of producing higher than the check varieties (Ciherang) respectively was 7.5 t/ha, 5.3 t/ha, 5.2 t/ha and 4.2 t/ha.

Key Words: New improved varieties, productivity, Seed sources

Page 406: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

389

PENDAHULUAN

Salah satu hambatan dalam pencampaian swasembada tanaman pangan di Indonesia adalah ketersediaan benih yang belum memadai. Saat ini, produksi benih baru memenuhi sekitar separuh produksi benih nasional, sisanya dipenuhi dengan cara mengimpor. Selain permasalahan tersebut, petani juga kesulitan memperoleh benih yang bermutu, sehingga petani menggunakan benih asalan untuk memenuhi kebutuhannya. Benih merupakan salah satu komponen produksi yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam peningkatan produktifitas tanamanpadi di Provinsi Bengkulu. Akan tetapi sering kali ditemukan permasalahan perbenihan antara lain keterbatasan ketersediaan benih sumber dan benih sebar bagi penangkar. Penggunaan benih bermutu perlu didukung oleh sistem penyediaan benih secara 6 tepat: waktu, varietas, tempat, jumlah, mutu, harga (Purba dkk., 2012).

Penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap pemupukan dan toleran terhadap serangan hama penyakit utama telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas (Nugraha dkk., 2007). Sistem perbenihan yang tangguh (produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan penyediaan benih padi dan peningkatan produksi beras nasional.

Varietas Unggul Baru (VUB); Inpari, Inpara, dan Inpago yang dilepas sejak tahun 2008 masih masih belum dominan di petani. Hal ini menunjukkan bahwasistem diseminasi masih lemah. Wahyuni (2011) melaporkan bahwa lambatnya adopsi VUB juga dipicu oleh terbatasnyaketersediaan benih sumberserta belum dapat dilayaninya permintaan VUB dari stakeholdersmaupun petani secara tepatwaktu, jumlah, varietas, tempat, harga, dan kualitas. Penyebarluasan informasi tentang keunggulan VUB padi spesifik lokasi serta ketersediaan benih sumber berpengaruh terhadap percepatan proses adopsi. Keunggulan suatu varietas akan dapat dirasakan manfaatnya apabila tersedia benih dalam jumlah cukup untuk ditanam oleh petani (Daradjat dkk., 2008).

Akhir-akhir ini petani di Bengkulu sudah mulai berminat untuk menggunakan varietas unggul berlabel secara mandiri. Ada 4 alasan utama bagi petani dalam pemilihan varietas yaitu produktivitas tinggi, toleran terhadap serangan OPT, berumur genjah, dan nasinya pulen (Wibawa dkk., 2012).

Untuk mendorong percepatan penggunaan benih bermutu diperlukan upaya penangkaran dan sertifikasi benih. Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) dilembagakan sebagai bentuk tindakan reponsif atas lemahnya kinerja kelembagaan perbenihan di daerah, kurangnya promosi dan diseminasi VUB oleh sumber inovasi, serta minimnya stok dan logistik benih VUB spesifik lokasi (BBP2TP, 2013).

Banyak permasalahan dan tantangan dalam penyediaan dan penyebarluasan benih bermutu maupun VUB padi spesifik lokasi. Secara umum persepsi petani terhadap benih berlabel adalah negatif, yang berarti bahwa tingkat kepercayaan petani terhadap kualitas benih berlabel rendah. Hal ini beralasan karena sering kali petani mendapatkan benih berlabel tetapi dengan kualitas rendah dari berbagai program bantuan benih unggul. Tingginya kotoran dan gabah hampa serta rendahnya daya kecambah menjadi indikator utama dari ketidaksesuaian antara label dengan kondisi fisik dan fisiologi benih. Keyakinan masyarakat tani terhadap mutu benih berlabel harus dipulihkan melalui pencitraan bahwa label adalah jaminan mutu yang bersifat mutlak. UPBS sudah memulai untuk meyakinkan penangkar/petani bahwa benih berlabel berarti benih bermutu/berkualitas yang memenuhi persyaratan baku sesuai dengan kelas benihnya.

Masih rendahnya produktivitas padi di Kabupaten Seluma serta masih terbatasnya informasi kajian produktivitas padi sawah irigasi yang dihasilkan dari produksi benih sumber. Oleh karena itu perlu adanya terobosan upaya peningkatan produktivitas tanaman padi yang berasal dari produksi benih sumber. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui keragaan produktivitas padi yang berasal dari produksi benih sumber di Kabupaten Seluma.

Page 407: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

390

METODE PENELITIAN

Kajian produktivitas benih varietas unggul baru (VUB) padi pada sawah irigasi dilaksanakan di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma, dengan luas lahan pengkajian lebih kurang 5 ha. Varietas padi yang digunakan adalah inpari 6, inpara 2 dan inpara 4. Kegiatan ini dilaksanakan secara partisipatif dengan petani penangkar benih padi di Desa Taba dengan pendekatan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi dan kalender tanam (KATAM) terpadu musim kemarau (MK) 2015, sebagai pembanding adalah padi yang biasa ditanam oleh petani setempat yaitu varietas ciherang. Beberapa komponen teknologi PTT yang diterapkan pada kegiatan ini disajikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komponen Teknologi PTT Padi dan rekomendasi KATAM MK. 2015 yang diterapkan pada lokasi pengkajian.

No Komponen Teknologi Keterangan

1 VUB Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4 dan Ciherang 2 Pengolahan tanah Olah Tanah Sempurna 3 Benih bermutu dan berlabel Breeder Seed (BS) dan Foundation Seed (FS) 4 Umur Bibit < 21 hari 5 Jumlah bibit/lubang 1-3 batang per lubang 6 Pengaturan populasi Sistem tanam legowo 2:1 7 Pemupukan Rekomendasi KATAM MK. 2015

Phonska 300 kg/ha, Urea 200 kg/ha 8 Pengairan Berselang 9 Penyiangan Minimal 2 x dilakukan secara manual atau kimia 10 Pengendalian OPT Dengan PHT 11 Panen Tepat waktu dan segera dirontok

Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2015 di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 ulangan. Tiga VUB berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, yaitu Inpari 6, Inpara2, dan Inpara4. Sebagai pembanding adalah varietas Ciherang yang ditanam petani di sekitar lokasi pengkajian.

Tahapan kegiatan diawali dengan pengolahan tanah, tanah diolah dengan teknologi olah tanah sempurna (maximum tillage). Benih padi disemaikan pada umur 15-21 hari setelah semai (HSS) dipindahkan ke lapangan. Bibit ditanam sebanyak 1-3 batang/lubang, dengan sistem tanam yanga digunakan jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam [(20 cm x 10 cm)x 40 cm)]. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan adalah Phonska 300 kg/ha dan Urea 200 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pupuk pertama umur 7-14 hari setelah tanam (HST) (150 kg/haphonska dan 50 kg/ha urea), pupuk kedua umur 20-25 HST(150 kg/haphonska dan 50 kg/ha urea), dan pupuk ketiga umur 40 - 45 HST (urea 100 kg/ha).

Parameter yang diamati yaitu komponen hasil yang terdiri dari tinggi tanaman maksimal, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, berat 1000 butir dan produktivitas. Data pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan menggunakan software SPSS Statistics 20 dan diuji lanjut dengan uji beda rata Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%, bila dalam uji F memperlihatkan pengaruh yang nyata (Stell dan Torrie 1995). Sedangkan data hasil gabah dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Pertumbuhan

Hasil analilis ragam terhadap komponen pertumbuhan yaitu tinggi tanaman dan anakan produktif disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas Inpara 2 dan Inpari-6 memiliki tinggi tanaman maksimum nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya (114,20 cm dan 103,27 cm). Sedangkan varietas pembanding (ciherang) memiliki tinggi tanaman terendah (93,73 cm). Pada parameter jumlah anakan produktif tidak berbeda nyata antar varietas.

Page 408: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

391

Tabel 2. Keragaan agronomis tiga varietas benih sumber dibandingkan dengan varietas ciherang padi irigasi di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma MK. 2015.

Perlakuan (Varietas) Parameter

Tinggi Tanaman(cm) Anakan Produktif (batang)

(V1) Inpari 6 103,27b 11,93

a

(V2) Inpara 2 114,20a 11,93

a

(V3) Inpara 4 94,53c 10,73

a

(V4) Ciherang 93,73c 11,47

a

Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Data Primer (2015).

Menurut Munarso (2011) bahwa jumlah anakan yang tidak terlalu banyak, tingkat persaingan antara individu tanaman relatif lebih rendah. Oleh karena itu, tanaman lebih efisien dalam memanfaatkan unsur hara, Jumlah anakan sedang juga menciptakan kondisi iklim mikro di sekitar tanaman menjadi lebih baik, sehingga memberikan hasil yang lebih tinggi.

Komponen Hasil

Komponen pertumbuhan yang diamati meliputi jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah per malai (gabah berisi dan gabah hampa), bobot 1000 butir, dan panjang malai tersaji pada Tabel 3. Selanjutnya hasil analisis ragam terhadap komponen hasil menunjukkan bahwa gabah hampah per malai paling sedikit terdapat pada varietas Inpari 6 dan berbeda sangat nyata dengan varietas lainnya, hal tersebut terlihat dari jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah, berat 1000 butir dan panjang malai dimana benih sumber dari VUB menunjukkan keragaan hasil yang nyata dibandingkan dengan varietas ciherang.

Tabel 3. Keragaan komponen hasil tiga varietas benih sumber dibandingkan dengan varietas ciherang padi irigasi di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma MK. 2015.

Perlakuan (Varietas)

Parameter

Gabah Hampah (butir/malai)

Gabah Isi (butir/malai)

Jumlah Gabah (butir/malai)

Berat 1.000 Butir (g)

Panjang Malai (cm)

(V1) Inpari 6 12,97 a 177,69 a 190,66 ab 27,52 ab 21,93 a (V2) Inpara 2 25,76 b 170,11 a 195,87 a 26,37 ab 21,33 b (V3) Inpara 4 23,94 b 166,81 ab 190,75 ab 28,03 a 21,22 b (V4) Ciherang 24,94 b 146,80 b 171,74 b 26,28 c 20,40 c

Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Data Primer (2015).

Beragamnya jumlah gabah isi per malai selain dipengaruhi oleh sifat genetis juga disebabkan

oleh perbedaan tanggapan masing-masing varietas yang dikaji terhadap kondisi lingkungan yang terjadi selama fase reprodukif dan pemasakan. Terdapat hubungan yang erat antara panjang malai dengan hasil gabah. Semakin sempurna inisiasi malai, semakin besar peluang terbentuknya bakal gabah. Pembentukan bulir yang banyak pada malai yang panjang menjadi tidak berarti terhadap hasil gabah jika terdapat banyak gabah hampa (Susanti dkk, 2010).

Tabel 4. Hasil gabah tiga VUB dibandingkan dengan varietas ciherangpada lokasi pengkajian di sawah irigasi di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma MK. 2015.

Perlakuan (Varietas) Produktivas (t/ha) Peningkatan (%)

(V1) Inpari 6 7,5 78,6 (V2) Inpara 2 5,3 26,2 (V3) Inpara 4 5,2 23,8 (V4) Ciherang 4,2 0

Hasil gabah yang diperoleh dari masing-masing varietas cukup bervariasi yaitu 4,2 t/ha - 7,5 t/ha. Hasil gabah tertinggi adalah Inpari 6 (7,5 t/ha) dengan peningatan hasil (78,6%), diikuti oleh Inpara 2, Inpara 4 masing-masing 5,3 t/ha dan 5,2 t/ha dengan peningkatan hasil masing-masing (26,2% dan 23,8%). Sedangkan hasil yang terendah pada varietas ciherang yaitu 4,2 t/ha. Karakter komponen hasil sangat menentukan hasil panen. Hasil penelitian Pang et al. (1999), menunjukkan bahwa VUB memiliki jumlah gabah rata-rata lebih tinggi dibanding Ciherang. Perbaikan kondisi lingkungan untuk meningkatkan optimalisasi pengisian bulir padi memungkinkan meningkatan

Page 409: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

392

kontribusi terhadap hasil. Potensi hasil yang berbeda suatu varietas tidak dapat dipisahkan dengan tingkat adaptasi maupun kemantapan penampilannya pada suatu lingkungan tumbuh (Flinn dan Garrity, 1986).

KESIMPULAN

Perbanyakan benih dengan penggunaan varietas unggul baru (VUB) yang berasal dari benih sumber dapat meningkatan produktivitas padi yang ditanam pada sawah irigasi di Desa Taba, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma. Ketiga VUB (Inpari 6, Inpara 2, Inpara 4) mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding (Ciherang) yaitu masing-masing adalah 7,5 t/ha, 5,3 t/ha, 5,2 t/ha dan 4,2 t/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2013. Petunjuk pelaksanaan UPBS. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi teknologi produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.

Flinn JC and DP Garrity. 1986. Yield stability and modern rice technology. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.

Peng, S., K. G. Cassman, S.S. Virmani, J. Sheehy, G.S. Khush. 1999. Yield potential trends of tropical rice since the release of IR8 and the challenges of increasing rice yield potential. Crop Sci. 39: 1552-1559.

Purba, R., Kardiyono dan A. Saryoko. 2012. Kajian produksi benih FS padi sawah dalam mendukung penyediaan benih unggul di Provinsi Banten. Buletin IKATAN BPTP Banten. Vol. 2 tahun: 2012.

Munarso, YP. 2011. Keragaan padi hibrida pada sistem pengairan intermittent dan tergenang. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 30 No. 3. Tahun: 2011. Hal: 189-195.

Nugraha, U.S, Sri Wahyuni, M.Y. Samaullah, dan A. Ruskandar. 2007. Perbenihan di Indonesia. Prosiding hasil penelitian padi tahun 2007. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.

Susanti, Z., S. Abdulrachman, dan H. Sembiring. 2010. Kuantifikasi respon dua tipe padi terhadap pupuk nitrogen, fosfor, dan kalium. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. p. 665-681.

Wahyuni, S. 2011. Teknik produksi benih sumber padi. Makalah disampaikan dalam workshop evaluasi kegiatan pendampingan SL-PTT 2001 dan koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Wibawa, W., Yahumri, Yesmawati, Y. Oktavia, S. Rosmanah, Nurmegawati, J. Firison, T. Rahman, T. Wahyuni, B. Honorita, dan T. Hidayat. 2012. Laporan akhir tahun kegiatan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu: Kementerian Pertanian.

Steel, R.G. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan prosedur statistika: Suatu pendekatan bometrik. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 410: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

393

KAJIAN SISTEM PERTANIAN BIOINDUSTRI BERBASIS PADI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI JAWA BARAT

ASSESSMENT OF AGRICULTURAL BIOINDUSTRY SYSTEM BASED ON RICE AT WETLAND RAINFED IN WEST JAVA

Nana Sutrisna, Yanto Surdianto, Siti Lia M dan Liferdi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Jl. Kayuambon No. 80, Lembang, Bandung

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat setiap tahun mampu meningkatkan produktivitas padi lebih dari 6%, termasuk di lahan sawah tadah hujan. Namun demikian, manfaat dan dampak peningkatan produksi padi belum dirasakan sepenuhnya, terutama oleh petani yang skala usahataninya < 0,5 ha. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan usahatani padi di wilayah tersebut adalah penerapan sistem pertanian bioindustri dengan mengembangkan padi organik yang diintegrasikan dengan ternak sapi. Pengkajian dilaksanakan di Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang dengan tujuan mengetahui kelayakan teknis dan finansial penerapan sistem pertanian bioindustri integrasi padi organik dan ternak sapi pada lahan sawah tadah hujan berlereng. Pengkajian menggunakan pendekatan penelitian adaptif pada skala luas lahan 15 ha. Sistem pertanian bioindustri yang diterapkan adalah usatahi padi organik, usaha ternak, dan usaha pengolahan limbah padi organik untuk pakan, dan limbah ternak sapi untuk pupuk. Data yang dikumpulkan terdiri atas: (1) data teknis: pertumbuhan tanaman dan hasil padi organik serta ternak dan (2) data ekonomi: pengeluaran usahatani, pendapatan usahatani, dan penambahan nilai tambah usahatani. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui Farm Record Keeping (FRK) dan pengamatan langsung di lapang. Analisis data menggunakanUji-t untuk mengetahui kelayakan teknis dan Benefit Cost Ratio (BCR) serta Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) untuk mengetahui kelayakan finansial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pertanian bioindustri intergrasi padi organik dengan ternak sapi secara teknis dan finansial layak untuk dikembangkan. Produktivitas padi organik meskipun pada musim tanam ke-1 menurun dari 5,8 menjadi 5,54 t/ha Gabah Kering Panen (GKP), namun pada musim ke-2 meningkatkan menjadi 7,59 t/ha GKP. Secara finansial sistem pertanian biondustri intergrasi padi organik dengan ternak sapi layak dekembangkan dengan BCR sebesar 1,45 dan MBCR sebesar 3,32.

Kata Kunci: Pertanian Biondustri, Berbasis Padi, Lahan Sawah Tadah Hujan

ABSTRACT

Sumedang regency, West Java province each year is able to increase rice productivity by over 6%, including in the rainfed areas. However, the benefits and the impact of increased rice production has not been fully felt, especially by farmers who scale farming < 0.5 ha. One effort that can be done to improve the income of rice farming in the region is the implementation of the agricultural system bioindustry by developing organic rice that is integrated with cattle. The assessment was conducted in Pasir Biru Village, Sub District Rancakalong, Sumedang District in order to know the technical feasibility and financial application integration system bioindustry organic rice farming and cattle on the slopes rainfed areas. Assessment using adaptive research approach on a scale land area of 15 ha. Bioindustry agricultural system that is applied is an organic rice farm, farming, and waste processing business of organic rice for feed and cattle waste for fertilizer. The data collected consisted of: (1) technical data: the growth and yield of organic rice and livestock, and (2) economic data: farm expenditures, farm income, and the addition of value-added farming. Data was collected through Farm Record Keeping (FRK) and direct observations in the field. Data analysis using t-test to determine the technical feasibility and Benefit Cost Ratio (BCR) and Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) to determine the financial feasibility. The results showed that agricultural systems integration bioindustry organic rice with beef cattle are technically and financially feasible to develop. Organic rice productivity in spite of the growing season to-1 decreased from 5.8 to 4.9 t / ha of wet paddy (harvest dry), but in season two increases to 7.7 t / ha GKP. Financially system integration biondustry organic rice farming with cattle worthy of be building BCR of 1.45 and MBCR of 3.32.

Keywords: Agriculture Bioindustry, Based on Rice, Wetland Rainfed

Page 411: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

394

PENDAHULUAN

Provinsi Jawa Barat memiliki sumberdaya lahan sawah yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian bioindustri berbasis padi. Luas lahan sawah di Jawa Barat diperkirakan mencapai 942.974 hadan tersebar di beberapa kabupaten (BPS, 2013). Dari luasan tersebut, hanya sekitar 60% atau seluas 565.784 ha merupakan lahan sawah tadah hujan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2014).

Pemanfaatan sumberdaya lahan sawah tadah hujan hingga saat ini belum optimal. Idenks Pertanaman (IP) padi dua kali dalam satu tahun. Dengan IP 2 dan luas kepemilikan lahan < 0,5 ha belum cukup bagi petani untuk menjadikan lahan tersebut sebagai sumber pendapatan keluarga, termasuk di lahan sawah tadah hujan berlereng. Hasil padi yang diperoleh sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, sisanya baru dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Hasil PRA (Participatory Rural Appraisal) di lokasi pengkajian menunjukkan bahwa hasil usahatani padi sebesar 60-70% digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, sedangkan yang dijual hanya sekitar 30-40%.

Salah satu sistem usaha tani yang dapat meningkatkan pendapatan usahatani padi di lahan sawah tadah hujan berlereng adalah sistem pertanian bioindustri berbasis padi dengan mengintegrasikan padi organik dengan ternak sapi. Ciri utama dari pengintegrasian padi organik dengan ternak sapi adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman padi dengan ternak. Keterkaitan tersebut dapat terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah darimasing-masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran, et al., 2005).

Sistem integrasi padi organik dengan ternak sapi terdiri dari komponen budidaya tanaman, budidaya ternak, dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masing-masing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi tersebut. Agar sistem integrasi berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan poduktivitas, maka petani harus menguasai dan menerapkan inovasi teknologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pasandaran, et al. (2005) yang mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi adalah kemampuan mengelola informasi yang diperlukan dalam sistem integrasi termasuk informasi mengenai teknologi integrasi tanaman ternak. Selain itu, keberhasilan petani dalam penerapan sistem integrasi tanaman ternak perlu didukung oleh kelembagaan yang kuat. Kelembagaan tersebut diantaranya adalahlembaga sosial masyarakat, lembaga agroinput, lembaga keuangan, lembaga pemasaran, dan lembaga penyuluhan (Fagi et al., 2002).

Sistem pertanian bioindustri integrasi padi organik dengan ternak sapi, akan terjadi peningkatan bahan organik di lahan sawah, penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang menggunakan pupuk nitrogen dan sebagainya. Lahan sawah memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesuburan tanah serta kecukupan unsur hara tanaman (Uphoff et al., 2002). Penggunaan pupuk an-organik secara terus menerus dalam waktu yang lama dapat merusak kondisi tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, sebagian lahan sawah menuntut perlunya penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan peroduktivitas tanah.

Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya sistem pertanian bioindustri dengan mengintegrasikan padi organik dengan ternak sapi sebaiknya berada dalam suatu kawasan. Kawasan tersebut akan memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai. Itulah yang disebut sistem pertanian bioindustri.

Pertanian bioindustri merupakan konsep pengembangan pertanian yang memandang lahan pertanian tidak semata-mata merupakan sumberdaya alam namun juga industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan serta produk lain yang dikelola menjadi bioenergi serta bebas limbah dengan menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle). Selain itu, harus memberikan nilai tambah, ramah lingkungan agar sumberdaya lahan lestari dan berkelanjutan, serta memperhatikan kearifan lokal.

Sistem pertanian bioindustri perlu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani dapat menanam padi organik sebagai basisnya dan menanam tanaman lain yang potensial serta beternak, antara lain sapi. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai

Page 412: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

395

pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen padi organik, limbahnya berupa jerami dapat digunakan untuk pakan ternak.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut di atas perlu dilakukan pengkajian, kemudian disosialisasikan dan didiseminasikan yang pada akhirnya akan berkembang ke wilayah lain yang memiliki agroekosistem serupa pada lahan sawah tadah hujan berlereng. Tujuan pengkajian adalah mengetahui kelayakan teknis dan finansial penerapan sistem pertanian bioindustri integrasi padi organik dan ternak sapi pada lahan sawah tadah hujan berlereng.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan berlereng di Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Waktu pelaksanaan pengkajian selama 2 musim tanam, yaitu: (1) Musim Kemarau (MK) 2015 dan (2) Musim Hujan (MH) 2015/2016.

Pengkajian menggunakan pendekatan On Farm Client Oriented Adaptive Research (OFCOAR) atau Penelitian Adaptif di Lahan Petani berorientasi Pengguna (PAOP). Petani peserta pengkajian dilibatkan langsung dalam pelaksanaan pengkajian mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan termasuk dalam pengamatan (Sumarno dan Kasdi, 2013). Hal ini dilakukan untuk mempermudah adopsi dari teknologi inovasi yang dihasilkan.

Sistem pertanian bioindustri berbasis padi diimplementasikan berupa unit percontohan berskala pengembangan, yaitu seluas 15 ha untuk padi organik dan 13 ekor sapi pembibitan. Jumlah petani kooperator yang terlibat pada usahatani padi organik sebanyak 25 orang dan usaha ternak sapi sebanyak 7 orang.

Varietas padi organik yang dikembangkan adalah Sintanur dan Inpari 24. Dipilih varietas Sintanur karena berasnya beraroma khas, sedangkan Inpari 24 karena berasnya berwarna merah. Beras dari varietas tersebut sangat diminati oleh konsumen padi organik Sementara itu, jenis sapi yang dikembangkan adalah sapi Peranakan Ongole (PO), berumur sekitar 2 tahun.

Data yang dikumpulkan terdiri atas:

(1) Keragaan teknis padi organik (tinggi tanaman, jumlah anakan, dan produktivitas).

(2) Keragaan teknis ternak sapi (penambahan bobot dan jumlah populasi)

(3) Biaya input (pengeluaran sarana produksi) usahatani padi organik dan ternak sapi.

(4) Pendapatan hasil usahatani padi organik dan ternak

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui Farm Record Keeping (FRK), pengamatan, dan pengukuran langsung di lapang.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan:

(1) Perbedaan dua nilai rata-rata dengan Uji-t untuk mengetahui konsistensi penerapan teknologi/kelayakan teknis

(2) Analisis finansial untuk menganalisis biaya dan pendapatan (kelayakan teknologi dan usaha) meliputi BCR dan MBCR (Musyafak dan Djamaluddin, 2000).

Analisis Finansial

HP x P 1. BC Ratio = ---------------- ............................................... (1) BP

Keterangan: BC = Benefit Cost HP = Harga produksi (Rp/kg) P = Produksi (kg/ha) BP = Biaya produksi (Rp/ha)

KBT1 2. MBCR = ------------ ............................................. (2) KBT2

Keterangan: MBCR = Marginal Benefit Cost Ratio, KBT1 = Keuntungan bersih teknologi penggunaan pupuk organik granular dan anorganik majemuk, KBT2 = Keuntunhan bersih teknologi petani

Page 413: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

396

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Teknis Padi Organik

Pertumbuhan Tanaman

Hasil pengamatan tinggi tanaman dan jumlah anakan padi organik umur 30 Hari Setelah Tanam (HST) dan 60 HST pada MK 2015 (Tabel 1) menunjukkan bahwa introduksi varietas Sintanur dan Inpari 24 menunjukkan perbedaan yang nyata baik tinggi tanaman maupun jumlah anakannya dibandingkan dengan varietas lokal yang selama ini biasa di tanam oleh petani.

Tabel 1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Padi Organik Umur 30 dan 60 HST pada MK 2015.

No. Varietas

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan

30 HST 60 HST 30 HST 60 HST

K NK K NK K NK K NK

1. Sintanur 60,5 94,7 15,3 19,2 2. Inpari 24 58,2 85,4 14,6 17,8 3. Joglo 71,2 108,6 11,6 15,4 4. Midun merah 68,6 92,1 10,8 15,2 5. Midun putih 67,3 90,4 11,1 14,8 Rata-rata 59,35 69,03* 90,05 97,03* 14,90* 11,17 18,00* 14,80

Keterangan: * = Berbeda nyata dengan Uji-t pada taraf 5% N = Kooperator NK = Non-Kooperator

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa meskipun varietas unggul Sintanur dan Inpari 24 lebih

pendek namun jumlah anakan produktifnya lebih banyak. Berdasarkan deskripsi varietas tinggi tanaman varietas Sintanur dan Inpari 24 masing adalah 120 cm dan 106 cm.

Pada MH 2015/2016 petani baik kooperator maupun non kooperator sebagian besar sudah menggunakan varietas Sintanur dan Inpari 24. Pengkajian pada budidaya padi organik lebih diarahkan pada penggunaan pupuk organik. Selain pupuk organik padat dari limbah kotoran ternak sapi yang dipelihara oleh petani, diintroduksikan pupuk hayati dengan merek dagang Kayabio. Menggunakan pupuk hayati Kayabio karena pupuk tersebut sudah banyak beredar di pasar, sehingga jika hasil pengkajian baik dan petani membutuhkan akan sangat mudah memperolehnya.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas Inpari 24 dan Sintanur yang menggunakan pupuk hayati Kayabio (kooperator), lebih baik dibandingkan dengan varietas yang sama tanpa menggunakan pupuk hayati Kayabio (non kooperator) yang ditunjukkan dengan perbedaan tinggi tanaman dan jumlah anakan (Tabel 2).

Tabel 1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Padi Organik Umur 30 dan 60 HST pada MK 2015.

No. Varietas

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan

30 HST 60 HST 30 HST 60 HST

K NK K NK K NK K NK

1. Sintanur 62,6 58,1 97,5 82,4 16,5 14,6 22,2 17,1 2. Inpari 24 57,2 52,6 86,3 78,8 14,8 11,3 18,4 15,2 Rata-rata 59,90* 55,35 91,90** 80,60 15,65ns 12,95 20,30* 16,15

Keterangan: * = Berbeda nyata dengan Uji-t pada taraf 5% ** = Berbeda sangat nyata dengan Uji-t pada taraf 5% ns = Tidak berbeda nyata N = Kooperator NK = Non-Kooperator

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk hayati Kayabio pada budidaya padi

organik sangat berpengaruh nyata terhadap perbaikan kesuburan tanah terutama meningkatkan ketersediaan hara baik N, P, dan K dalam tanah. Pemberian jerami padi juga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan N dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Cho dan Kobata (2000) jerami merupakan bahan organik yang paling potensial keberadaannya bagi usaha tani padi sawah. Oleh karena itu pengelolaan bahan organik pada padi sawah yang dikombinasikan dengan pupuk hayati seperti Kayabio sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas padi.

Page 414: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

397

Produktivitas

Hasil ubinan (Tabel 3) menunjukkan bahwa produktivitas padi organik pada petani Kooperator, baik pada MK 2015 maupun MH 2015/2016 lebih tinggi dibandingkan dengan petani Non Koopertaor. Produktivitas padi organik pada MK 2015 mengalami penurunan dibandingkan dengan musim tanam sebelumnya (budidaya padi non organik). Namun demikian. pada MH 2015/2016 produktivitas padi organik kembali meningkat bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum dikembangkan padi organik.

Peningkatan produktivitas padi organik pada MH 2015.2016 diduga selain menggunakan pupuk organik padat yang berasal dari kotoran ternak sapi dan jerami juga menggunakan pupuk hayati Kayabio. Pupuk hayati Kayabio dapat meningkatkan produktivitas padi sebesar 27,99% pada padi varietas Inpari 24 dan 25,04% pada varietas Sintanur. Peningkatan hasil yang diperoleh sangat tinggi dan ini menunjukkan efektivitas penggunaan pupuk hayati Kayabio.

Tabel 3. Produktivitas Padi Organik Petani Kooperator dan Non Kooperator pada MK 2015 dan MH 2015/2016.

No Varietas Produktivitas (t/ha)

Peningkatan (%) Kooperator Non Kooperator

MK 2015 1. Sintanur 5,80 2. Inpari 24 5,28 3. Joglo 4,88 4. Midun merah 4,48 5. Midun putih 5,12 Rata-rata 5,54ns 4,82 MH 2015/2016 1. Inpari 24 7,50 5,86 2. Sintanur 7,69 6,15 7,59** 6,00 24,51%

Keterangan: ** = Berbeda sangat nyata dengan Uji-t pada taraf 5% ns = Tidak berbeda nyata

Pupuk hayati Kayabio mampu menciptakan kondisi kesuburan tanah menjadi lebih baik

terutama meningkatkan ketersediaan hara baik dari yang ditambahkan melalui pupuk atau dari hara yang sudah tersedia di dalam tanah, seperti P-organik. Pupuk hayati Kayabio dapat mengurai P-organik di dalam tanah menjadi tersedia bagi tanaman. Sebagaimana telah diketahui bahwa hara fosfor, dan kalium merupakan 397nsure pembatas utama untuk produktivitas padi sawah (Arafah dan Sirappa, 2003).

Selain itu, pemberian bahan organik berasal dari jerami ke dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Adiningsih (2000) menyatakan bahwa bahan organik juga memegang peranan penting dalam meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas secara berkelanjutan. Bahan organik meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Mikroba tanah bersama-sama bahan organik merupakan komponen penting di dalam tanah dan berperan sebagai penyangga biologi tanah yang menjaga keseimbangan hara dan menyediakan hara dalam jumlah berimbang bagi tanaman. Beberapa mikroba penting antara lain adalah mikroba penambat N dari udara, mikroba pelarut P dan mikroba yang dapat mengubah belerang elemen (S) menjadi sulfat yang tersedia bagi tanaman serta mikroba yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik sehingga unsur hara cepat tersedia.

Page 415: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

398

Keragaan Teknis Usaha Ternak Sapi Pembibitan

Kegiatan usaha ternak sapi pada petani kooperator diawali dengan pembuatan pakan yang berasal dari jerami padi dengan sistem fermentasi (Gambar 1).Nilai manfaat jerami padi sebagai bahan pakan ternak dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu dengan mengoptimumkan lingkungan saluran pencernaan atau dengan meningkatkan nilai nutrisi jerami. Optimasi lingkungan saluran pencernaan terutama rumen, dapat dilakukan dengan pemberian bahan pakan suplemen yang mampu memicu pertumbuhan mikroba rumen pencerna serat seperti bahan pakan sumber protein.

Hasil fermentasi jerami dari luasan 5 ha diperoleh pakan siap digunakan sebanyak 20,14 t. Namun demikian, pakan yang digunakan tidak hanya mengandalkan dari fermentasi jerami tetapi juga menggunakan rumput pakan alami yang masih banyak tersedia di sekitar Lokasi.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penambahan bobot badan (PBB) sapi petani kooperator selama pemeliharaan 8 bulan rata-rata sekitar 0,202 kg/hari/ekor. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan di petani non kooperator yang dipelihara petani disekita Lokasi rata-rata PBB sebesar 0,150 kg/hari/ekor. Hasil lain yang diperoleh adalah anakan sapi, saat ini populasi sudah bertambah 1 ekor.

Hasil usaha ternak sapi yang sangat bermanfaat dan mendukung usahatani padi organik adalah kotoran (pupuk kandang). Setiap satu ekor sapi menghasilkan kotoran padat basah sekitar 8-10 kg/hari atau kering 4-5 kg/hari dan cair (urine) 5-7 liter/hari, sehingga 13 ekor sapi menghasilkan kotoran padat kering sekitar 52-65 kg/hari.

Kelayakan Finansial Padi Organik

Analisis keyakan finansial hanya dilakukan pada usahatani padi organik karena usaha ternak sapi pembibitan sapi belum memberikan hasil yang signifikans. Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani padi menggunakan pupuk hayati Kayabio lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanpa Kayabio walaupun ada penambahan pupuk an-organik. Selain karena produktivitasnya lebih tinggi, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani juga lebih rendah.

Tabel 4. Analsis Kelayakan Finansial Usahatani Padi Organik.

No. Uraian Kooperator Non Kooperator

1. Biaya input produksi a. Sarana produksi 4.020.000 2.360.000 b. Tenaga Kerja 4.620.000 4.380.000 c. Lain lain (sewa/pajak/ceblokan) 7.060.000 7.060.000 15.700.000 13.800.000 2. Penerimaan a. Inpari 24 37.500.000 29.300.000 b. Sintanur 38.450.000 30.750.000 3. Pendapatan a. Inpari 24 21.800.000 15.500.000 b. Sintanur 22.750.000 16.950.000 4. BC Ratio a. Inpari 24 1,39 1,12 b. Sintanur 1,45 1,23 5. MBCR a. Inpari 24 3,32 b. Sintanur 3,05

Keterangan: Produktivitas (Tabel 3) x harga gabah Rp. 5.000,-/kg

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa usahatani petani kooperator (menggunakan pupuk hayati

Kayabio) dan non kooperator (tanpa pupuk hayati Kayabio) secara finansial layak dan menguntungkan

Gambar 1. Limbah Pertanian yang Dijadikan

Pakan Sapi

Page 416: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

399

yang ditunjukkan dengan nilai BC Ratio lebih dari 1. Pemberian setiap satu satuan input pupuk hayati Kayabio dapat meningkatkan pendapatan usahatani padi sebesar 3,32 kali pada varietas Inpari 24 dan 3,05 pada varietas Sintanur. Dengan demikian penggunaan pupuk hayati Kayabio sangat efisien dan dapat dikembangkan ke petani lainnya.

Beras organik yang dihasilkan sebelum dipasarkan dikemas dan berlabel dengan berat setiap kemasan 1,0 kg; 2,5 kg; dan 5,0 kg, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Meskipun belum bersertifikat namun sudah dipasarkan ke luar daerah (kabupaten). Harga beras organik putih varietas Sintanur Rp. 18.000,-/kg, sedangkan beras merah varietas Inpari 24 Rp. 20.000,-/kg.

KESIMPULAN

1. Sistem pertanian bioindustri berbasis padi dengan mengembangkan intergrasi padi organik dengan ternak sapi secara teknis dikembangkan. Produktivitas padi organik meskipun pada musim tanam ke-1 menurun dari 5,8 menjadi 5,54 t/ha Gabah Kering Panen (GKP), namun pada musim ke-2 meningkatkan menjadi 7,59 t/ha GKP.

2. Sistem pertanian bioindustri dengan mengembangkan padi organik secara finansial layak untuk dekembangkan dengan BCR sebesar 1,45 dan MBCR sebesar 3,32.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Pimpinan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat atas pembiayaan penelitian ini; Kepada Kepala Dinas Pertanian Perikanan, dan Perkebunan Kabupaten Sumedang yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan pengkajian di lapang; dan terimakasih kami sampaikan juga kepada tim peneliti yang telah membantu sejak perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan laporan hasil penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri J. 2000. Pengaruh Pengolahan Tanah, Pengairan Terputus, dan Pemupukan terhadap Produktivitas Lahan Sawah Baru pada Inceptisols dan Ultisols Muarabeliti dan Tatakarya. Jurnal Tanah dan Iklim. 29-38.

Arafah, M.P. Sirappa. 2003. Kajian penggunaan jerami dan pupuk N, P, K pada lahan sawah beririgasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 1(4):15-24. Diakses 25 Mei 2007.

Cho, Y. S and Kobata T. 2002. N Top – Dressing and Rice Straw Application for Low Input Cultivation of Transplanted Rice in Japan. Korea J Crop Sci. 47 (4) : 273 – 278.

Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2014. Data Pokok Pertanian Di Jawa Barat. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat.

Fagi, A.M., S. Partohardjono, dan E. Ananto. 2002. Strategi Pembaharuan Kebutuhan Pangan Beras 2010. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sukamandi 4 – 7 Maret 2002. Balai Penelitian Padi. Sukamandi. Jawa Barat.

Musyafak, A. dan Djamaluddin Sahari, 2000. Analisis Finansial dan Keunggulan Kompetitif Usahatani Bawang Putih Spesifik lokasi di Kabupaten Magelang. Jawa Tengah. Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Spesifik Lokasi di Kalimantan Barat. Pontianak, 29-30 November 1999. Hlm 35-43.

Pasandaran E., Djajanegara A., Kariyasa K., dan Kasryno F. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Sumarno dan Kasdi Subagyono. 2013. Penelitian Adaptif. Panduan Kegiatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Uphoff, N., Fernandes, E.C., Yuan L.P., Peng, J., Rafaralahy, S., dan Rabenandrasana, J. 2002. (Eds). Assessments of The System of Rice Intensification (SRI) :Proceeding of an International Conference held in Sanya, China, April 1-4 2002. Ithaca NY : Cornell International Institute for Food, Agriculture and Devel.

Gambar 2. Kemasan Beras Organik

Page 417: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

400

ANTISIPASI PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO PADA TANAMAN PADI ANTICIPATION DISEASE CONTROL TUNGRO ON RICE

Nila Wardani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. ZA. Pagar Alam No. IA, Rajabasa Bandar Lampung

ABSTRAK

Padi merupakan tanaman pangan yang penting bagi kehidupan manusia, sebagai makanan pokok bagi

sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu kendala dalam budidaya tanaman padi adalah adanya hama

dan penyakit, diantaranya adalah penyakit tungro. Penyakit tungro disebabkan oleh virus yang

ditularkan oleh vektor wereng hijau. Ada korelasi antara banyaknya populasi wereng hijau dengan

keparahan penyakit di pertanaman. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

tingkat populasi wereng hijau dan keparahan penyakit dilakukan pengamatan lapangan dengan metode

sweeping dengan jaring serangga dan skoring tingkat keparahan penyakit tungro. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa tingkat intensitas penyakit meningkat dengan semakin meningkatnya populasi

serangga vektor. Populasi serangga vektor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain curah

hujan, komposisi varietas padi, luas tambah tanam, jumlah serangga penular infektif yang migrasi,

stadia tanaman saat terjadinya infeksi, musuh alami.

Kata kunci: Penyakit tungro, wereng hijau, padi

ABSTRACT

Rice is a crop that is essential for human life, as a staple food for most of Indonesian people. One of

the constraints in rice cultivation is the presence of pests and diseases, which are Tungro. Tungro

disease caused by a virus that is transmitted by the green leafhopper vector. There is a correlation

between the amount of green leafhopper populations with the severity of disease in the crop. This

assessment aims to determine the relationship between the level of green leafhopper population and

severity of disease conducted field observations by the method of sweeping with insect nets and

scoring of disease severity of the disease. The results showed that the level of intensity of the disease

increases with the increasing population of insect vectors. Vector insect populations can be affected

by several factors such as rainfall, the composition of the rice varieties, plus extensive planting, the

number of transmitting infective insect migration, stadia current crop of infection, natural enemies.

Keywords: Tungro disease, the green leafhopper, Rice

PENDAHULUAN

Padi merupakan sumber makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia. Dalam sistem budidaya serangan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas produksi. Salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh virus adalah penyakit tungro.

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi di negara-negara Asia Tropik. Epidemi tungro sering terjadi terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Lampung, dan Sumatera Utara yang merupakan sentra produksi padi (Raga 2007).

Virus tungro terdiri dari dua partikel, rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro sperical waikavirus (RTSV). Penularan RTBV dipengaruhi oleh partikel RTSV. Gejala pada padi disebabkan oleh partikel RTBV dan lebih diperkuat oleh RTSV. Virus ditularkan secara efisien oleh N. virescens dan secara tidak efisien oleh N. nigropictus dan Recilia dorsalis.

Interaksi antara serangga vektor dengan virus tungro relatif spesifik dalam hal periode makan akuisisi, periode makan inokulasi, periode retensi. Dalam tubuh serangga virus tungro berada di bagian luar lapisan kutikula alat mulut (stylet) dan atau di dalam saluran makanan depan (foregut), sehingga termasuk dalam golongan virus stylet borne, masa retensi virus tungro dalam tubuh serangga vektor yang relatif panjang dari virus stylet borne lainnya yang memunculkan istilah semi persisten (Gray & Banerjee 1999 dalam ladja. FT 2009)

Page 418: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

401

Wereng hijau dapat menularkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak mampu menularkan RTBV dari tanaman yang terinfeksi RTBV. RTBV dapat ditularkan oleh wereng hijau yang sebelumnya telah memperoleh RTSV. Dengan demikian RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV berfungsi sebagai pembantu (helper). Kedua partikel virus tersebut tidak bersirkulasi dalam tubuh vektor. Virus ini juga tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun dari stadia perkembangan imago. Virus tungro tidak dapat berkembang pada tubuh vektor sehingga keefektifan paling lama 7 hari, setelah itu bebas virus kalau tidak menghisap ke tanaman terinfeksi, apabila menghisap pada tanaman terinfeksi mengakibatkan vektor aktif kembali. Rentang waktu saat tanaman tertular dan muncul gejala antar 6-15 hari.

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi karena potensi merusaknya tinggi dan dapat meluas dengan cepat terutama apabila ada faktor-faktor pendukung perkembangannya seperti : kepadatan populasi vektor tinggi, sumber infeksi tersedia, penanaman varietas peka, pola tanam tidak serempak, dan faktor lingkungan yang menguntungkan.

Pengamatan di lapang pada areal sawah yang terinfeksi tungro bertujuan untuk mengetahui korelasi kelimpahan serangga dengan kejadian penyakit.

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah : Pertanaman padi yang terserang penyakit virus tungro, dengan luasan lebih kurang 50 x 50 m. Jaring serangga, untuk menangkap vektor serangga wereng, dan musuh alami yabg ada dipertanaman. Kamera digital, untuk

mendokumentasikan keadaan pertanaman di lapangan.

Tempat dan Waktu Pengamatan

Pengamatan dilakukan bulan Mei 2014, pada padi sawah di desa Cangkurawok,

Dramaga umur tanaman 45 HST, dengan luasan lebih kurang 50 x 50 m. Pengamatan

dilakukan pada tanaman padi mulai sebelum keluar malai sebanyak 4 kali pengamatan dengan

selang waktu 1 minggu.

Kepadatan populasi serangga vektor diamati dengan menggunakan jaring serangga

(sweeping net) sebanyak 25 kali ayunan tunggal, dari ayunan jaring pertama ke ayunan

berikutnya berjarak + 45-50 cm. Arah ayunan berlawanan, lebar ayunan + 100 cm, sehingga

luas 25 kali ayunan tunggal + 10 m2.

Pengamatan

Intensitas penyakit dihitung dengan cara: Mengamati 20 rumpun tanaman kemudian

menghitung jumlah tanaman terserang atau menunjukkan gejala tungro, dan melakukan

skoring tingkat keparahan penyakit. Skoring dilakukan berdasarkan hasil gejala yang dilapang

kemudian digunakan sebagai acuan skoring untuk menentukan keparahan penyakit (Tabel. 1)

Page 419: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

402

Tabel. 1. Skoring tanaman yang terinfeksi tungro

1 (0%)

2 (1-5%)

3 (6-10%)

4 (11-25%)

5 (26-40%)

6 (41-65%)

7 (66-100%)

Analisa data:

Data dianalisa dengan menggunkanan tabulasi sederhana, dan kemudian dibuat grafik

perkembangan penyakit, serangga vektor dan musuh alaminya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Kondisi pertanaman padi dilapangan

Pada saat pengamatan pertama, kondisi pertanaman padi belum berbunga, kurang lebih berumur 1,5 bulan. Saat itu kondisi pertanaman mulai terlihat bergejala penyakit tungro, tetapi belum begitu banyak. Padi ditanam dengan jejer tegel, dengan jarak tanam 22x22 cm. Disekeliling pertanaman, padi ditanam tidak serentak, yaitu pada hamparan terdapat beberapa stadia tanaman padi. Pertanaman padi tidak pernah disemprot dengan pestisida.

Gejala penyakit

Gejala khas yang ditimbulkan oleh penyakit tungro yaitu daun tanaman padi berwarna kuning oranye. Selanjutnya berkembang ke bagian lamina daun bawah, jumlah anakan terserang berkurang dan tanaman kerdil serta malai yang terbentuk lebih pendek dan banyak yang hampa.

Pada pengamatan pertama tanaman masih terlihat hijau dan ada sedikit yang bergejala oranye yang mebentuk spot-spot. Rangkaian intensitas serangan penyakit tungro dari awal pengamatan sampai pengamatan terakhir ditunjukkan oleh Gambar 1.

Pengamatan I Pangamatan II

Page 420: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

403

Pangamatan III Pengamatan IV

Gambar 1. Gejala yang ditimbulkan di lapang pada empat kali pengamatan

Dari hamparan tersebut tidak terlihat secara jelas gejala infeksi tungro tetapi terbentuk spot-

spot yang menunjukkan gejala, apabila spot-spot tersebut diperbesar akan terlihat gejala seperti yang

ditunjukkan pada gambar 2.

Gejala ringan Gejala berat

Gambar 2. Spot-spot gejala di lapangan yang terlihat samar pada area yang luas

Penyebab Penyakit Tungro

Berdasarkan gejala yang terlihat di lapang menunjukkan bahwa tanaman padi yang diamati terserang oleh penyakit tungro. Penyakit tungro disebabkan oleh partikel virus berbentuk baciliform dengan ukuran 100-300 x 30-35 nm dan partikel berbentuk spirakel atau bola dengan ukuran 30 nm (Gambar. 3) (Muhsin. 1998).

Gambar 3. Partikel virus tungro (Muhsin. 1998).

Dua partikel tersebut adalah rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice

tungro sperical waikavirus (RTSV). Penyakit tungro merupakan salah satu penyakit penting

pada tanaman padi yang dapat tersebar secara cepat dan menjadi epidemi. Serangan penyakit

tungro mampu mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas produksi, dalam jangka

Page 421: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

404

waktu 20 tahun terakhir penyakit ini menjadi sangat penting, karena kerusakan yang

diakibatkan lebih dari 200.000 hektar areal pertanaman padi dapat mengakibatkan kerugian

mencapai jutaan dolar setiap tahunnya (Soeroto et al. 1992).

Serangga vektor yang berperan dalam penyebaran penyakit

Vektor yang menularkan adalah Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. Malayanus dan R.

Dorsalis. Dan N. virescens merupakan vektor utama yang menularkan virus tungro secara semi

persisten, sehingga virus pada tubuh vektor tidak memerlukan masa inkubasi, dan oleh karena itu

vektor dapat langsung dapat menularkan virus setelah mendapatkan virus pada tanaman sakit. Untuk

mengetahui kelimpahan populasi serangga vektor di dalam area yang terinfeksi tungro dapat dilakukan

sampling dengan perangkap jaring. Hasil dari perangkap jaring yang dilakukan maka diperoleh hasil

seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. Dimana pada grafik tersebut mempunyai trend pada

pengamatan pertama kelimpahan serangga vektor meningkat sampai pengamatan ketiga dan

kemudian mengalami penurunan pada pengamatan keempat yang diamati dari 20 ayunan jaring. Dari

keduapuluh sampling tersebut memiliki trend yang konsisten.

Gambar 4. Perkembangan populasi serangga vektor pada 4 kali pengamatan.

Peningkatan populasi serangga yang tertangkap pada pengamatan 1 sampai ke 3 dikarenakan tanaman padi yang masih muda dan masih disukai oleh serangga vektor. Dan kelimpahan serangga vektor mengalami penurunan jumlah populasi pada akhir pengamatan diduga disebabkan makin tuanya umur tanaman sehingga banyak serangga vektor yang berpindah ke tempat lain, karena di sekitar tanaman pengamatan terdapat tanaman padi yang masih muda, dan juga disebabkan oleh adanya populasi musuh alami seperti predator dan parasitoid yang ditemukan di pertanaman yang tertangkap bersamaan pada saat penangkapan menggunakan jaring. Predator yang ditemukan di pertanaman seperti laba-laba serigala (Lycosa pseudoanulata), dan belalang bertanduk panjang (Conocephalus longipennis). Selain predator di pertanaman juga ditemukan parasitoid, namun jenisnya tidak diidentifikasi. Jumlah populasi predator ini cukup banyak untuk dapat menekan populasi vektor wereng hijau.

Kejadian dan keparahan penyakit tungro di lapang

Kejadian penyakit dilapang dari awal pengamatan sampai pengamatan terakhir mengalami peningkatan, secara berurutan diperkirakan mencapai 20%, 40%, 65%, dan pada pengamatan terakhir kira-kira mencapai 75% dari total luasan yang diamati, sedangkan keparahan penyakitnya mengalami penurunan pengamatan minggu ke dua. Peningkatan kejadian penyakit kemungkinan dipengaruhi oleh

Po

pu

lasi

se

ran

gga

vekt

or

(eko

r)

Sampel spot ayunan jaring

kelimpaha populasi serangga vektor dalam empat minggu pengamatan

Page 422: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

405

penyebaran vektor pada tanaman sedangkan keparahan penyakit dilapang pada awalnya meningkat dikarenakan tanaman yang terinfeksi masih muda dan gejala terlihat berat kemudian setelah tanaman mengalami fase perkembangannya tanaman menjadi pulih kembali dengan menghasilkan anakan baru. Bahwa telah diketahui tanaman yang terinfeksi oleh patogen memiliki mekanisme ketahanan seperti mekanisme toleran dimana tanaman yang terinfeksi oleh patogen, dimana patogen dapat berkembang tetapi tanaman masih tetap tahan. Kemungkinan inilah yang menyebabkan tanaman mampu merekoveri pertumbuhannya. Dari pengamatan tidak diketahui varietas padi yang ditanam sehingga tidak diketahui varietas yang digunakan apakah varietas tahan atau toleran. Menurut Holt (1996) dalam Ladja (2009) menyatakan bahwa proporsi varietas tahan di lapangan cukup kecil namun berpengaruh nyata mengurangi keberadaan tungro.

Pengaruh kelimpahan vektor terhadap kejadian dan keparahan penyakit

Dari hasil pengamatan serangga vektor, kejadian penyakit dan keparahan penyakit dapat dilihat hubungannya bahwa Peningkatan populasi serangga vektor diikuti oleh peningkatan kejadian penyakit (nilai R > 1,6). Namun pada minggu ke dua terjadi penurunan keparahan penyakit meskipun populasi serangga masih meningkat (peningkatan relatif rendah) (Gambar 5), hal ini terjadi karena adanya rekoveri oleh tanaman dan mungkin juga disebabkan adanya rumpun-rumpun baru yang mulai berkembang. Pada waktu populasi serangga vektor mengalami penurunan yaitu pada pengamatan ke tiga terlihat bahwa keparahan penyakit mulai stagnan dan tidak lagi mengalami peningkatan atau penurunan. Penurunan populasi vektor kemungkinan disebabkan adanya musuh alami dan berpindahnya vektor pada tanaman dengan stadia yang lebih muda.

Gambar 5. Hubungan antara kelimpahan vektor dan keparahan penyakit

PEMBAHASAN

Penyakit tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang dapat tersebar secara cepat dan menjadi epidemi. Penyebab penyakit tungro adalah rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan rice tungro sperical waikavirus (RTSV). Vektor yang menularkan adalah Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. Malayanus dan R. Dorsalis. Dan N. virescens merupakan vektor utama yang menularkan virus tungro secara semi persisten. Masa retensi virus pada serangga 1-5 hari, dan infektifitas akan hilang setelah ganti kulit. Vektor yang menghisap tanaman sakit dengan kandungan dua partikel RTBV dan RTSV dapat menularkan ke tanaman sehat dengan kandungan kedua partikel atau salah satu saja. Bila hanya ada satu partikel, maka yang mengandung RTSV saja yang dapat ditularkan, sedangkan kalau hanya ada RTBV saja tidak bisa ditularkan karena RTBV hanya dapat ditularkan jika ada RTSV. RTBV hanya bisa ditularkan jika di dalam stilet serangga sudah mengandung RTSV. Virus ini tidak ditularkan melalui telur serangga, dan juga tidak dapat menular melalui biji, tanah, air, angin dan secara mekanis. Infeksi tungro dapat terjadi mulai di persemaian. Pada fase persemaian sampai dengan 45 hari setelah tanam (hst) sangat sensitif terhadap

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Intensitas penyakit

(%)

Pengamatan Intensitas penyakit

Populasi wereng hijau

Jumlah populasi

Page 423: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

406

infeksi virus tungro. Apabila infeksi terjadi pada fase persemaian maka gejala tungro mungkin tampak pada tanaman umur 14 - 21 hari setelah tanam (hst). Gejala muncul 10-15 hari setelah infeksi tungro oleh serangga yang viruliferus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiarta dkk (2006) bahwa fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan serangan hama wereng hijau (Nephotettix virescens) adalah saat fase vegetatif yaitu mulai dari persemaian sampai pembentukan anakan maksimum, yaitu ± 35 hari setelah tanam).

Daur transmisi virus (semi persisten) Sumber inokulum penyakit tungro adalah bibit ceceran gabah (voluntir), singgang serta rumput inang yang terinfeksi. Tanaman inang tungro selain padi adalah rumput belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum distichum) dan padi liar (Oryza spp.).

Serangga vektor meletakkan telur tegak lurus dengan pinggir pelepah daun, diletakkan berkelompok dengan bentuk seperti peluru terpisah satu sama lain. Telur diletakkan didalam batang padi bagian bawah. Produksi telur tertinggi terjadi pada suhu 29-33C. Pada suhu 20C imago betina mati sebelum bertelur, sedangkan pada suhu 35C produksi telur rata-rata rendah karena masa imago lebih pendek (Fachruddin, 1980). Serangga yang masih muda berwarna hijau muda, yang dewasa mempunyai bintik-bintik hitam pada ujung dan tengah sayap. Wereng betina dapat bertelur 64-497 butir yang menetas lebih kurang 1 minggu setelah peletakkan telur. Periode telur 4-7 hari. Nimpha awal berwarna putih kemudian berubah menjadi hijau, Umur nimpha + 16 hari, dewasa berumur + 21-31 hari. Dan satu generasi dapat mencapai waktu selama 29,6 hari (Kalshoven.1981). Menurut penelitian Yuliani (2014) mengatakan bahwa ketinggian tempat tidak berpengaruh nyata pada dinamika kelimpahan populasi wereng hijau.

Usaha pengendalian yang sudah pernah dilakukan merupakan pengendalian hama terpadu dengan komponen pengendalian antara lain yaitu memilih waktu tanam yang tepat, waktu tanam yang dianjurkan adalah satu bulan sebelum puncak musim penghujan. Pemunduran waktu tanam ini akan menghidari tanaman padi dari terinfestasi pada puncak pupulasi vektor wereng hijau. Tanaman peka terinfeksi tungro sampai usia 45 HST sehingga diperlukan waktu tanam yang tepat untuk menghindarkan terjadinya infeksi. Waktu tanam padi perlu dipelajari agar waktu yang tepat berhubungan dengan pola fluktuasi kerapatan wereng hijau dan kejadian tungro spesifik lokasi. Waktu tanam yang tepat untuk pantai Barat Sulawesi tidak terlalu banyak berubah, sedangkan untuk pantai Timur mengalami perubahan maju satu bulan. Semakin muda tanaman terinfeksi, maka semakin besar presentase kehilangan hasil yang ditimbulkan (Hasanuddin 2009)

Mengurangi pemencaran vektor dapat dilakukan dengan memanipulasi kondisi di pertanaman dimana kondisi sawah dijaga dalam kondisi macak-macak karena pada kondisi kering memicu pemencaran wereng hijau. Penanaman dengan cara legowo dua baris atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau. Tanam serentak dalam radius 20-40 ha. Hubungan yang nyata antara derajat ketidak singkronan dengan penyebaran penyakit di bawah radius yang lebih kecil dari 600 m

Rotasi dengan varietas tahan, karena rata-rata ketahanan hidup koloni Nephotettix virescens berbeda pada varietas yang berbeda. Contohnya di Philipina : var IR 62 lebih tahan dari pada varietas IR 68. Tanam varietas tahan, varietas tahan yang sudah dilepas digolongkan varietas tahan wereng hijau dan varietas tahan terhadap penyakit tungro.

Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan insektisida yang bersifat anti feedants seperti Imidacloprid dan Nytenpyram yang merupakan antifeedats yang baik. Imidacloprid merupakan senyawa anti feedants yang menghambat akuisisi dan inokulasi virus. (Widiarta. 1998). Secara hayati dapat menggunakan insektisida botani seperti sambiloto yang dapat menekan perolehan maupun penularan oleh wereng hijau (Widiarta et al. 1999)

KESIMPULAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat intensitas penyakit meningkat dengan semakin meningkatnya populasi serangga vektor. Populasi serangga vektor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, komposisi varietas padi, luas tambah tanam, jumlah serangga penular infektif yang migrasi, stadia tanaman saat terjadinya infeksi, musuh alami.

Page 424: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

407

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ibu Damayanti, yang telah membantu dan bekerjasama dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Fachrudin. 1980. Bionomi Nephotettix virescens (Distant). (Homoptera: Cicadellidae:Eucellidae). Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 181 pp.

Hasanuddin A. 2009. Status tungro di Indonesia Penelitian dan Strategi Pengelolaan ke Depan. Disampaikan pada orasi purnabakti Puslitbangtan,

Bogor 31 Maret 2009.

Kalshoven LGE. 1981. The pests of crops in Indonesia. Revised and translated by van der laan. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve. 710p.

Ladja FT. 2009. Pengaruh Cendawan Entomopatogen Vertilicillum lecanii dan

Beauveria bassiana terhadap Kemampuan Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadelidae) dalam Menularkan Virus Tungro. [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ladja FT, IN Widiarta. 2012. Varietas Unggul Baru Padi untuk Mengantisipasi Ledakan

Penyakit Tungro. IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 7, No. 1.

Muhsin, M. 1998. Teknik ELISA untuk mendeteksi virus-virus tungro padi. Prosiding Temu Ilmiah Tahunan Bioteknologi Pertanian 1998. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor.

Raga IN. 2007. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Tungro di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Strategi Pengendalian Penyakit Tungro Mendukung Peningkatan Produksi Beras”. Makassar, 7-8 September 2007.

Soeroto et al. 1992. Laporan akhir tungro dan wereng hijau : kerjasama teknis

Indonesia-Jepang bidang perlindungan tanaman pangan. Dirtjen Tanaman pangan. Jakarta

Widiarta IN. 1998. The role of vektor control in tungro management. Rice Tungro

Management Workshop, 9-11 November 1998, IRRI, Los Banos.

Widiarta, N., 2006. Wereng Hijau (Nephotettix veriscens Distants) : Dinamika Populasi dan Strategi Pengendaliannya Sebagai Vektor Penyakit Tungro. Jurnal Litbang Pertanian. 24(3) : 85-92.

Yuliani D. 2014. Kelimpahan Wereng Hijau, Insiden Penyakit Tungro, dan Efektivitas Sumber Inokulum pada Ketinggian Tempat Berbeda. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol. 19 (3): 125 129.

Page 425: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

408

PELUANG PENGEMBANGAN KEDELAI SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN NGANJUK

THE OPTIMIZE OF SOYBEANS DEVELOPMENT AS A LEADING COMMODITY IN NGANJUK REGENCY

Siti Mutmaidah1 dan Herlena Bidi Astuti

2

1Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO BOX 66 Malang, Indonesia

2 BPTP Bengkulu. JL. Irian KM 6,5 Semarang Bengkulu 38119 email: [email protected]

ABSTRAK

Tanaman pangan merupakan komoditas pertanian yang penting dan strategis. Kedelai sebagai salah

satu komoditas sektor pertanian di kenal karena kualitas protein tinggi, seimbang, lengkap, murah dan

terjangkau. Konsumsi kedelai di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya seiring

bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per kapita dan kesadaran masyarakat akan

gizi. Tetapi, pertumbuhan produksi kedelai domestik lebih lambat jika dibandingkan permintaannya,

sehingga, 70 % kebutuhan kedelai nasional masih di impor. Tujuan penelitian ini adalah

mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah, keuntungan usaha tani, keunggulan kompetitif dan

daya saing kedelai sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Nganjuk. Penentuan lokasi penelitian

dilakukan secara purposive di dua kecamatan Kabupaten Nganjuk pada September 2015 sampai Maret

2016. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan

kuesioner yang disebarkan kepada 80 petani secara Stratified Random Sampling. Analisis data

menggunakan Location Quotient, analisis usaha tani, Policy Analysis Matrix serta analisis

produktifitas dan harga minimum. Hasil penelitian menunjukan bahwa sektor pertanian dan komoditas

kedelai mempunyai karakter basis. Berdasarkan analisis PAM secara finansial kedelai mempunyai

keunggulan kompetitif, namun daya saingnya terhadap jagung dan kacang hijau rendah.

Kata kunci: kedelai, komoditas unggulan, Kabupaten Nganjuk

ABSTRACT The Optimization of soybeans development as leading commodities in Nganjuk Regency: Food crop is one of the important agricultural commodities and strategic. Soybean as food crop commodities are known for high quality protein, balanced, complete, cheap and affordable. The consumtion of soybean in indonesia will continue to increase every year. However, the growth in domestic soybean production is slower than demand. Indonesia needs to import about 70 % soybean every year. The aim of this study is to identified potential of soybean as the leading commodity in Nganjuk regency. The study was conducted in two districts on Nganjuk regency from September 2015 to March 2016 using the survey method. eighty respondents representing food crop farmers were Stratified Random Sampling. Analysis of data using location quotient, farming analysis, policy analysis matrix and analysis of productivity and minimum prices. The result showed that the agricultural sector and the soybean is a basis. Based on PAM analysis soybean have a competitive advantage with mayze and mungbean. However the competitive advantage of soybean was lower than maize and mungbean.

Keywords :Soybean, leading commodity, Nganjuk Regency

Page 426: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

409

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan kebijakan pembangunan ekonomi daerah adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengelola potensi sumberdaya yang ada di masing-masing daerah (Mulyanto, 2008). Pengelolaan sumber daya tersebut tentunya harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut (Susantono, 2009). Konsep pengembangan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya lokal tentunya erat dengan komoditas unggulan yang ada pada suatu daerah. Dalam upaya pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan pengembangan terhadap semua sektor secara serentak. Oleh karena itu, pemerintah daerah penting untuk menentukan sektor unggulan yang memiliki potensi lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Sektor unggulan daerah, pada dasarnya adalah sektor yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi yang besar pada daerah, bukan hanya untuk daerah itu sendiri namun juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lain. Komoditas unggulan adalah barang yang dihasilkan masyarakat melalui nilai lebih dibanding dengan produk lain (Alian dan Ciptomulyono, 2013). Pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan kita. Banyak negara agraris yang berhasil menjadi negara yang kuat dalam hal pangan, dikarenakan telah memiliki produk unggulan di sektor pertanian (Kurniawan, 2014). Kontribusi sektor pertanian tidak hanya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa tetapi juga sebagai penyedia pangan, modal, jasa-jasa lingkungan juga sebagai pasar potensial bagi sektor produksi (Daryanto, 2009). Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian. Tanaman pangan merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi bagi setiap rakyat Indonesia, hal ini tercantum dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan. Salah satu komoditas tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat adalah kedelai.

Kedelai sebagai salah satu komoditas sektor pertanian dijuluki sebagai gold from the soil karena kualitas protein tinggi, seimbang, lengkap, murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat mengolah kedelai menjadi berbagai produk pangan seperti tempe, tahu, tauco, kecap, susu dan lain-lain dengan permintaan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Konsumsi kedelai di Indonesia dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya seiring bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per kapita dan kesadaran masyarakat akan gizi makanan (Aldillah, 2014). Akan tetapi, secara empiris pertumbuhan produksi kedelai domestik lebih lambat jika dibandingkan permintaan. Pada tahun 2014 kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,7 juta ton, tetapi produksi nasional hanya mencapai 921 ribu ton, sehingga harus mengimpor sebesar 1,785 juta ton atau senilai $1.101 juta. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Indonesia masih mengimpor kedelai rata-rata mencapai 70 persen dari kebutuhan nasional per tahunnya (Pusdatin, 2014). Oleh karenanya, potensi pasar kedelai di Indonesia akan terus berkembang dan sangat luas.

Kabupaten Nganjuk sebagai salah satu wilayah kabupaten di Jawa Timur memiliki cukup banyak potensi untuk dikembangkan dalam mendukung perekonomian daerah, salah satunya pertanian. Potensi sektor pertanian masih dominan dalam menunjang sektor ekonomi di Kabupaten Nganjuk (Agrenawan, 2011 dan Mahmud, 2015). Data BPS (2015) menyebutkan, bahwa dari 43,026 ha lahan sawah di Kabupaten Nganjuk hanya sekitar 22% nya saja yang dimanfaatkan untuk usaha tani kedelai.

Potensi komoditas unggulan telah diteliti antara Yulianto dan Santoso (2014), Indrawati (2011), Kartikaningdyah (2009) yang menjelaskan bahwa di lokasi penelitiannya sektor pertanian mempunyai karakter basis. Sedangkan, aspek daya saing kedelai dengan beberapa komoditas telah diteliti antara lain oleh Firdaus (2007), Zakaria et al. (2010), Saraswati et al. (2011) yang menjelaskan bahwa usaha tani kedelai di berbagai tipe agroekosistem sawah secara finansial maupun ekonomis mempunyai keunggulan kompetitif. Tetapi, Rozi et al. (2003) dan Krisdiana (2012), menyimpulkan bahwa komoditas kedelai mempunyai daya kompetitif yang rendah terhadap jagung, kacang tanah dan kacang hijau. Spesifikasi komoditas dan daya saing kedelai dalam hal pengembangan sektor unggulan untuk mendukung perkembangan wilayah di Kabupaten Nganjuk belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana potensi pengembangan, keunggulan kompetitif dan daya saing kedelai sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Nganjuk penting untuk dilakukan.

Page 427: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

410

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dari September 2015 sampai Maret 2016. Berdasarkan jenis data yang diambil adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive mengambil lokasi di 2 kecamatan. Penelitian di Kecamatan Loceret di Desa Sekaran dan Desa Kwagean dan di Kecamatan Pace dilakukan di Desa Gemenggeng. Pada tiap desa di Kecamatan Loceret diambil di ambil 30 petani responden sedang di Kecamatan Pace di ambil 20 petani responden yang melakukan kegiatan usaha tani utama padi, jagung dan kacang hijau atau kedelai. Pengamatan dilakukan pada tingkat rumah tangga tani (total 80 responden). Penentuan petani sampel dilakukan secara stratified random sampling. Sedangkan untuk informan kunci seperti PPL dan tokoh masyarakat ditentukan secara sengaja (purposive) dengan maksud untuk mempermudah perolehan informasi yang lebih mendalam dan terarah. Sedangkan data sekunder dihimpun melalui penelusuran berdasarkan studi pustaka baik dari Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DP2KAD) dan BPS.

Data yang terkumpul di analisis menggunakan empat metode yaitu Location Quotient untuk mengkaji potensi internal yang dimiliki suatu daerah, analisis usaha tani untuk mengetahui kelayakan usaha tani kedelai, Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif dan analisis produktifitas dan harga minimum untuk melihat daya saing kedelai. Berikut ini dijelaskan secara ringkas keempat metode tersebut:

1. Analisis Location Quetient (LQ)

Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan dipakai Isserman (1997) dan Hood (1998). Metode LQ merupakan pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Perbandingan relatif ini dapat dinyatakan secara matematika sebagai berikut (Warpani 2001, Rustiadi et al., 2009) :

LQ=Si/S

Ni/N

Keterangan :

LQ : Nilai Location Quotient; Si : PDRB sektor i di Kab. Nganjuk

S : PDRB total di Kab. Nganjuk; Ni : PDRB sektor i di Prop. Jawa Timur

N : PDRB total di Propinsi Jawa Timur

Analisis Usaha Tani Kedelai

Analisis usaha tani yang dilakukan meliputi analisis biaya, penerimaan, keuntungan, R/C ratio dan BEP. Untuk menghitung keuntungan usaha tani terlebih dahulu harus diketahui tingkat penerimaan dan pengeluaran pada periode tertentu. Keuntungan petani didekati dengan persamaan berikut (Boediono, 1993);

= TR – TC dimana TR = P x Q dan R/C ratio = TR / TC serta BEP produksi= TC/ Q (2)

Dimana :

= Keuntungan (Rp) P = Total Produksi (Kg/ha)

TR = Total penerimaan (Rp/ha) Q = Harga satuan (Rp)

TC = Total Biaya (Rp)

Analisis ini menunjukkan tingkat effisiensi ekonomi usaha tani kedelai, yang dicapai apabila :

R/C ratio > 1 berarti usaha tani effisien dan menguntungkan

R/C ratio = 1 berarti usaha tani tidak rugi dan tidak untung

R/C ratio < 1 berarti usaha tani belum effisien dan tidak untung

Page 428: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

411

2. Analisis Policy Analysis Matrix (PAM)

Analisis matrik kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu analisis yang lazim

diterapkan untuk menganalisis kelayakan secara private maupun secara sosial. Dengan pendekatan ini keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi dapat diketahui.

Untuk mengetahui keunggulan kompetitif produk kedelai menurut Monke and Pearson (1989) dapat diketahui dengan Private Cost Ratio (PCR).

PCR= c

(A−B)

Keterangan :

A : penerimaan ; B : input yang diperdagangkan ; C : faktor domestik

Kriteria Pengambilan Keputusan:

PCR ≤ 1, maka terdapat keunggulan kompetitif pada produk kedelai.

PCR > 1, maka tidak terdapat keunggulan kompetitif pada produk kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil usaha tani kedelai di Kabupaten Nganjuk

Luas lahan kedelai di Jawa Timur tahun 2014 adalah 214.880 ha, dengan produksi 355.464 ton dan produktivitasnya 16,54 kw/ha. Berkontribusi 37,3 % terhadap produksi kedelai nasional (BPS, 2015). Kabupaten Nganjuk adalah salah satu sentra produksi kedelai di Propinsi Jawa Timur. Memiliki luas lahan kedelai terluas ke-8 dan produktivitas tertinggi ke-2 dari 29 kabupaten di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Nganjuk menyumbang sekitar 5,40 % produksi kedelai Propinsi Jawa Timur dan produktivitas kedelai pada tahun 2014 sebesar 19,67 Kw/ha, (BPS, 2015)

Potensi pengembangan kedelai di Kabupaten Nganjuk dapat diidentifikasi dari luas lahan pertanian. Luas areal tanaman kedelai dari tahun 1998-2013 cenderung menurun. Penambahan areal tanam kedelai dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang. Misal di bawah lahan tegakan hutan dengan menggunakan varietas tahan naungan, lahan kering dengan menggunakan varietas tahan kekeringan ataupun lahan sawah dengan sistem relay cropping. Dari data BPS (2015), Luas wilayah Kabupaten Nganjuk adalah 1.224,33 Km2, luas lahan sawah 42.986,4 ha (35 %), tanah kering 32.437 ha (27%) dan tanah hutan 47.007 ha (38%). Peluang penambahan areal lahan kedelai masih sangat terbuka menginggat, luas lahan yang termanfaatkan untuk pertanaman kedelai pada tahun 2014 hanya 9.520 ha atau hanya 22 % dari luas lahan sawah atau 7,78% dari total lahan pertanian.

Areal pertanaman kedelai tersebar di semua wilayah Kabupaten Nganjuk, terutama di empat wilayah yaitu Kecamatan Rejoso, Loceret, Gondang dan Bagor. Di Kabupaten Nganjuk terdapat empat pola musim tanam kedelai, yaitu (1) awal musim hujan pada lahan kering dan lahan kawasan hutan, (2) MK I (tanam bulan Februari-Maret) pada lahan sawah pengairan terbatas, (3) pada lahan sawah pengairan teknis (tanam bulan Juni/Juli), dan (4) pada MK II pada lahan sawah dengan teknik relay cropping (tanam bulan September) (Anonimus, 2016). Pola tanam di lokasi penelitian adalah padi-padi-jagung-kedelai/kacang hijau atau padi-jagung-jagung atau padi-padi-jagung-hortikultura. Pada sistem tanam relay cropping di Kecamatan Loceret dan Kecamatan Pace kacang hijau atau kedelai di tanam ketika jagung berumur 85-90 hari. Varietas kedelai yang digunakan umumnya di beli dari pedagang di desa dan tidak bersertifikat. Menurut Adie et all. (2013) hanya 3 % petani yang menggunakan benih aneka kacang yang bersertifikat. Rata-rata varietas kedelai yang di pakai adalah Lokal Surya, Wilis dan Argomulyo. Benih Lokal Surya yang di tanam petani kebanyakan berasal dari wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi. Sedangkan benih Wilis berasal dari penangkar di Kabupaten Nganjuk.

Page 429: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

412

Gambar 1. Luas lahan, produksi dan produktifitas kedelai di Nganjuk Tahun 1998-2013

Analisis LQ untuk potensi pengembangan kedelai

Analisis LQ menggambarkan tingkat kemampuan suatu sektor usaha sebagai penyumbang kebutuhan ekonomi regional. Analisis LQ di hitung dari PDRB Kabupaten Nganjuk dan Propinsi Jawa Timur atas dasar harga konstan 2010 menurut lapangan usaha.

Tabel 3. LQ Kabupaten Nganjuk berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2010

Lapangan Usaha 2011 2012 2013 2014 Rerata Karakter

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2,60 2,62 2,54 2,55 2,58 Basis

Pertambangan dan Penggalian 0,38 0,37 0,39 0,40 0,39 Non-basis

Industri Pengolahan 0,44 0,45 0,45 0,45 0,45 Non-basis

Pengadaan Listrik dan Gas 0,12 0,13 0,14 0,14 0,14 Non-basis

Pengadaan Air dll. 1,14 1,07 1,11 1,09 1,10 Basis

Konstruksi 0,98 0,99 1,00 1,00 0,99 Non-basis

Perdagangan 0,94 0,96 0,99 1,02 0,98 Non-basis

Transportasi dan Pergudangan 0,48 0,48 0,49 0,49 0,48 Non-basis

Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum 0,35 0,35 0,36 0,37 0,36 Non-basis

Informasi dan Komunikasi 0,93 0,94 0,93 0,90 0,93 Non-basis

Real Estate 1,03 1,01 1,02 1,02 1,02 Basis

Administrasi Pemerintahan dll. 2,02 1,99 2,03 2,06 2,03 Basis

Jasa-jasa 1,24 1,23 1,25 1,23 1,24 Basis

Sumber : BPS Kabupaten Nganjuk dan BPS Propinsi Jawa Timur, 2015 diolah

Nilai LQ pada sektor pertanian dari tabel 3 diatas menunjukkan besaran lebih dari 1 artinya

sub sektor pertanian di Kabupaten Nganjuk merupakan basis sehingga sektor pertanian bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan daerah lain. Dari Tabel 3 dapat diketahui selama kurun waktu 2011-2014 yang termasuk sektor basis di Kabupaten Nganjuk ada 5 sektor ekonomi yaitu, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, real estate, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib dan sektor jasa.

Hasil perhitungan LQ pada keenam komoditas palawija diketahui bahwa ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kacang hijau memiliki karakter non basis artinya tidak tetap produksinya, tidak bisa didistribusikan ke daerah di luar Kabupaten Nganjuk, bahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Nganjuk harus di impor dari daerah lain. Nilai LQ >1 dari komoditas jagung dan kedelai menunjukkan karakter basis, artinya jagung dan kedelai bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan Kabupaten Nganjuk sendiri tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan daerah lain. Potensi komoditas kedelai sebagai komoditas berkarakter basis di Kabupaten Nganjuk menunjukan bahwa kedelai menjadi produk yang bisa diunggulkan masyarakat Kabupaten Nganjuk.

0

10

20

30

0

100000

200000

300000

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

Luas Panen Jumlah Produksi produktifitas

Linear (Luas Panen) Linear (Jumlah Produksi) Linear (produktifitas)

Page 430: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

413

Tabel 4. LQ produksi komoditas palawija di Kabupaten Nganjuk tahun 2010-2014

Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-rata Karakter

Jagung 1,21 1,17 1,15 0,99 1,22 1,15 Basis

ubi kayu 0,69 0,79 0,82 0,99 0,66 0,79 Non-basis

ubi jalar 0,86 0,60 0,25 0,63 0,42 0,55 Non-basis

kacang tanah 0,21 0,26 0,31 0,69 0,40 0,37 Non-basis

Kedelai 1,63 1,48 1,93 1,69 1,86 1,72 Basis

kacang hijau 0,46 1,06 0,34 1,016 0,42 0,66 Non-basis

Sumber: BPS Kabupaten Nganjuk dan BPS Provinsi JawaTimur, 2015 diolah

Analisis usaha tani kedelai Usaha tani adalah organisasi produksi petani dalam mengusahakan alam, tenaga kerja dan

modal mereka untuk menghasilkan produksi dan pendapatan di sektor pertanian. Untuk mengetahui seberapa jauh suatu usaha tani dapat menguntungkan, maka perlu dilakukan analisis usaha tani. Tujuan dari analisis usaha tani adalah untuk mengetahui tingkat keuntungan yang dapat di capai melalui investasi untuk usaha tani tersebut (Soekartawi, 1995).

Tabel 5. Analisis usaha tani di Kabupaten Nganjuk 2016

Lokasi Penerimaa

n

(Rp)

Biaya

(Rp/ha)

Keuntunga

n

(Rp/ha)

R/

C

Produksi

Aktual

(Kg/ha)

BEP

produ

ksi

Harga

Aktua

l

(Rp)

BEP

harga

Kec. Loceret

Kedelai 11.100.000 5.969.500 5.130.500 1,8

6

1.850 995 6000 3.226

Padi 28.560.000 19.480.000 9.080.000 1,4

7

8400 5.729 3400 2.319

Jagung 27.000.000 19.619.500 7.380.500 1,3

8

10.000 7.266 2700 1.962

K. Hijau 13.325.000 7.791.000 5.534.000 1,7

1

1.025 599 13000 7.601

Kec.

Pace

Kedelai 11.780.000 6.385.500 5.394.500 1.8

4

1900 1.030 6200 3.360

Padi 28.220.000 18.462.475 9.757.525 1,5

3

8300 5.430 3400 2.224

Jagung 26.865.000 19.492.400 7.372.600 1,3

8

9950 7.219 2700 1.959

Sumber: data primer diolah, 2016 dalam Mutmaidah dan Rozi, 2016

Data yang digunakan untuk analisis usaha tani adalah data dari makalah Mutmaidah dan Rozi (2016). Sebagian besar pola tanam di lahan sawah dalam satu tahun adalah padi-padi-jagung-kedelai/kacang tanah/kacang hijau. Padi di tanam pada bulan Desember dan Maret, jagung di tanam pada Juni dan di panen akhir September sampai pertengahan Oktober. Kedelai di tanam pada awal sampai pertengahan September. Sistem tanam yang digunakan adalah relay cropping dengan tanaman pertama adalah jagung. Pada waktu jagung umur 85-90 hst dilakukan defoliasi/rompes/oset daun dibawah tongkol jagung untuk mempermudah penanaman kedelai/kacang tanah/kacang hijau. Dengan sistem relay cropping, indeks pertanaman di Kabupaten Nganjuk dapat ditingkatkan menjadi 4.

Usaha tani padi mempunyai nilai pendapatan dan keuntungan paling besar diikuti oleh jagung, kacang hijau dan kedelai. Tetapi, biaya produksi terbesar pada usaha tani jagung. Biaya terbesar untuk pembelian bibit. Untuk biaya tenaga kerja terbesar terserap untuk biaya panen usaha tani kacang hijau. Pada analisa usaha tani terlihat bahwa R/C ratio yang dihasilkan untuk komoditas kedelai, padi, jagung dan kacang hijau bernilai lebih dari satu. Nilai tersebut menunjukan bahwa usaha tani padi, jagung, kacang hijau dan kedelai secara finansial menguntungkan dan effisien. Hal ini sejalan dengan Zakaria et al. (2010), Nurasa (2012) dan Dirjen Tanaman Pangan (2004) bahwa usaha tani kedelai menguntungkan secara finansial.

Page 431: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

414

BEP (Break Event Point) produksi/harga merupakan produksi/harga minimum yang harus dicapai pada tingkat produksi aktual agar usaha tani yang diusahakan oleh petani tidak mengalami kerugian. BEP produksi semua komoditas usaha tani di Kabupaten Nganjuk masih berada di bawah produksi aktual yang di capai petani. Demikian juga BEP harga padi, jagung, kedelai dan kacang hijau juga berada di bawah BEP harga aktualnya. Artinya, usaha tani padi, jagung, kacang hijau dan kedelai masih menguntungkan. Hal ini senada dengan penelitian Sari et al.(2012) bahwa BEP produksi dan harga usaha tani kedelai di Kabupaten Pati di bawah produksi dan harga yang di capai petani.

Tingkat keunggulan kompetitif usaha tani kedelai

Dari hasil analisis didapatkan nilai PCR baik di kedua kecamatan kurang dari 1 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukan bahwa kedelai di Kabupaten Nganjuk efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini sesuai dengan penelitian Zakaria et al. (2010) dimana usaha tani kedelai di lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR kurang dari 1.

Tabel 6. Analisis PAM usaha tani kedelai di Kab. Nganjuk 2016

Uraian Penerimaan Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan PCR

Harga Privat A B C D(A-B-C)

Kec. Loceret 11.100.000 1.214.500 4.755.000 5.130.500 0,481

Kec. Pace 11.780.000 1.620.500 4.765.000 5.394.500 0,469

Sumber: data primer diolah, 2016.

Daya saing kedelai dengan tanaman pesaing

Analisis tingkat harga dan produksi mengevaluasi tingkat produksi dan harga minimum dari suatu usaha tani agar dapat kompetitif dengan usaha tani komoditas lain yang menjadi pesaingnya.

Hasil analisis produk dan harga minimal di Kecamatan Loceret dan Kecamatan Pace menurut Mutmaidah dan Rozi (2016), menunjukkan kedelai belum mampu bersaing secara kompetitif dengan jagung dan kacang hijau. Kedelai mampu bersaing dengan jagung bila produksinya naik 20,27% menjadi 2.225 kg/ha di Kecamatan Loceret dan 2.219 kg/ha di Kecamatan Pace atau harganya menjadi Rp. 7.216,-. di Kecamatan Loceret dan Rp. 7.241,- di Kecamatan Pace Kedelai mampu bersaing dengan kacang hijau bila produksinya naik sebesar 3,62 % menjadi Rp 1.917 atau harganya menjadi Rp 6.218,-. Harga aktual yang diterima petani jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 7700,-/kg (Permendag, 2015).

Hasil penelitian serupa juga ditunjukkan oleh Krisdiana (2012) di Jawa Tengah kedelai tidak mempunyai keunggulan kompetitif terhadap pesaingnya seperti jagung, kacang hijau, dan kacang tanah. Lebih lanjut Rozi (2003, 2004) menyatakan bahwa kedelai belum mampu bersaing dengan kacang tanah dan jagung. Kedelai mampu bersaing dengan jagung apabila produksinya 2,70 ton/ha dengan harga berkisar antara Rp 2.300,- sampai Rp 4.250,-/kg. Menurut Ramli dan Dewa (2005) untuk usaha tani kedelai di lahan pasang surut Kalimantan Tengah, kedelai mampu bersaing dengan jagung bila produksinya minimum mencapai 1.033 kg/ha.

Implikasi Penelitian

Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi kontributor terbanyak dalam PDRB Kabupaten Nganjuk tahun 2014 yaitu sebesar 32,91 %. Pengembangan kedelai di Kabupaten Nganjuk dapat dioptimalkan dengan penambahan luas tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan pertanian di bawah tegakan hutan, lahan kering maupun sawah. Semakin berkembangnya teknologi pertanian baik itu varietas unggul maupun teknik budidaya diharapkan dapat di gunakan untuk peningkatan produksi dan pengembangan luas areal tanam kedelai di Kabupaten Nganjuk. Peningkatan peran Dinas Pertanian dan Pemerintah Daerah dalam hal peningkatan produksi, luas tanam dan perlindungan harga kedelai mutlak diperlukan.

Peran dinas terkait dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kegiatan penyuluhan ke petani serta upaya penerapan teknologi termasuk di dalamnya penggunaan varietas kedelai unggul yang potensi hasilnya di atas 2 ton/ha. Hal ini di dukung oleh pendapat Rozi (2004) yang menyimpulkan bahwa penggunaan varietas unggul kedelai yang mempunyai produksi diatas 2 ton/ha penting untuk meningkatkan daya saing komoditas kedelai. Sampai tahun 2014 sudah dilepas sekitar 85 varietas unggul kedelai di Indonesia dengan potensi hasil rata-rata 2,5 ton/ha (Anonimus, 2015). Menurut Krisdiana (2012), penyebaran varietas unggul kedelai di Jawa Timur adalah Anjasmoro (35%),

Page 432: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

415

Argomulyo (26%), lokal (18%), dan sisanya Galunggung, Baluran, Wilis, dan Mansyuria. Beragamnya varietas unggul baru kedelai membuat petani lebih leluasa memilih varietas yang sesuai dengan lingkungan, keinginan dan tujuan pertanaman.Upaya lain adalah pembinaan dan kegiatan pelatihan terhadap usaha penangkaran benih. Kemampuan industri benih harus mampu memenuhi aspek efisiensi, daya saing dan kontinuitas merupakan prasyarat dalam percepatan pengembangan varietas unggul baru. Selanjutnya untuk mempercepat transfer teknologi dan adopsinya di tingkat petani dilakukan dengan kegiatan diseminasi.

Upaya lain agar daya saing kedelai meningkat adalah melindungi harga kedelai dalam negeri. Kebijakan yang dapat melindungi harga kedelai dalam negeri dan dapat mendorong petani berusaha tani kedelai untuk mencapai swasembada sangat diperlukan (Suyamto dan Widiarta, 2010). Lebih lanjut Zakaria (2010) selama tidak ada insentif harga bagi petani maka peningkatan produksi sulit dilakukan. Petani enggan menanam kedelai jika tidak menguntungkan, kecuali untuk konsumsi keluarga. Pemerintah sudah berupaya melindungi harga pembelian di tingkat petani dengan mengeluarkan peraturan pemerintah tetapi harga yang diterima petani masih rendah yaitu sekitar Rp 5.000-Rp 6.800,-. Menurut Krisdiana (2012) dan Aldillah (2014) peningkatan harga nasional yang diimbangi penaikan harga impor perlu dilakukan agar petani tetap memilih menanam kedelai.

KESIMPULAN

Dari aspek luas lahan, analisis LQ, analisis usaha tani dan keunggulan kompetitifnya usaha

tani kedelai di Kabupaten Nganjuk sangat berpeluang untuk dikembangkan. Tetapi, daya saing

kedelai dibandingkan usaha tani jagung dan kacang hijau masih rendah. Implikasinya, untuk lebih

meningkatkan produksi agar keuntungan usaha tani yang dilakukan dapat sama dengan usaha tani

jagung atau kacang hijau, penggunaan varietas unggul mutlak dilakukan. Upaya lain agar daya saing

kedelai meningkat adalah dengan perlindungan harga di tingkat petani.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto. T. 2008. Budidaya kedelai tropika. Penebar Swadaya. Jakarta. Adie, M. Muchlish, Novita Nugrahaeni, Titik Sundari, Marwoto, I. Ketut K., I Nyoman Widiarta

dan Didik Harnowo. 2013. Pedoman umum produksi dan distribusi benih sumber kedelai. Kementerian Pertanian.

Adyana, M. O. dan Kariyasa. 1995. Model keuntungan kompetitif sebagai alat analisa dalam memilih komoditas pertanian unggulan. Pusat Penyiapan Program Badan Litbang Pertanian. Informatika pertanian Vol. 5 (2): 281-258. . Jakarta.

Agrenawan, Domas. 2011. Analisis pengembangan sektor unggulan daerah di Kabupaten Nganjuk tahun 2000-2009. Skripsi.Universitas Jember. Jember

Aldillah, Rizma. 2014. Analisis produksi dan konsumsi kedelai nasional. Tesis. IPB. Bogor. Alian, M.R. dan Udisubakti Ciptomulyono. 2013. Penentuan dan pengembangan komoditas unggulan

klaster agroindustri dalam penguatan sistem inovasi daerah Kabupaten Malang. Paper. ITS

Anonimus. 2016. Panduan temu lapang “sosialisasi varietas unggul kedelai dan teknologi budidayanya pada lahan sawah”di Kabupaten Nganjuk. Balitkabi-Puslitbangtan.

Anonimus. 2015. Meski banyak varietas unggul, petani masih enggan menanam kedelai. http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/meski-banyak-varietas-unggul-petani-masih-enggan-tanam-kedelai. Diunduh 20 Mei 2015.

BPS. 2015. Kabupaten Nganjuk dalam angka 2015. BPS. 2015. Propinsi Jawa Timur dalam angka 2015. Daryanto. 2009. Dinamika daya saing industri peternakan. IPB Press. Bogor. Daryanto, A. 2004. Keunggulan daya saing dan teknik identifikasi komoditas unggulan dalam

mengembangkan potensi ekonomi regional. J. Agrimedia, Vol. 9 (2): 51-62. Firdaus, M. 2007. Analisis daya saing kedelai di Jawa Timur. J-SEP 1(2):16-27. Indrawati, Leni. 2011. Potensi strategi pengembangan sektor basis di Kabupaten Banyuwangi. Skripsi.

Universitas Jember. Kartikaningdyah, E. 2009. Analisis Location Quetient dalam penentuan produk unggulan pada

beberapa sektor Di Kabupaten Lingga Kepulauan Riau. Skripsi. Batam Polytechnics.

Page 433: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

416

Krisdiana, R. 2012. Daya saing dan faktor determinan usaha tani kedelai di lahan sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 31(1): 6-12.

Kurniawan, R. 2014. Aplikasi Location Quotient (LQ) sebagai metode penentuan komoditas palawija unggulan di Kabupaten Nganjuk. Jurnal riset ekonomi dan bisnis 1(2): 114-119.

Mahmud, M. Wildan. 2015. Analisis struktur ekonomi dan identifikasi sektor unggulan di Kabupaten Nganjuk. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Monke dan Scott Pearson.1989. The policy analysis matrix for agriculture development. London. Cornel University Press.

Miller. M.M, J.L.Gibson, dan G.N. Wright. 1991. ‘Location quotient basis tool for economic development analysis’ economic development review 9(2); 65

Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-prinsip pengembangan wilayah. Graha Ilmu. Semarang. Mutmaidah, S. dan Fachrur Rozi. 2017. Daya saing kedelai terhadap tanaman pesaingnya pada tingkat

usahatani. Prosiding seminar nasional hasil penelitian tanaman aneka kacang dan umbi. Balitkabi-Puslitbangtan.

Nurasa, T. 2012. Usaha tani kedelai peserta SLPTT berdasarkan agroekosistem lahan kering, lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan. Prosiding seminar nasional ”petani dan pembangunan pertanian”. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Hal 103-120.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (PUSDATIN) Kementerian Pertanian, 2014. Statistik Pertanian 2014.

Peraturan Menteri Perdagangan. 2015. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:01/Mendag/Per/1/2015 tentang penetapan harga pembelian kedelai petani dalam pengamanan harga kedelai di tingkat petani.

Ramli, R dan Dewa, K. S. Swastika. 2005. Analisis keunggulan kompetitif beberapa tanaman palawija di lahan pasang surut Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8 (1): 67-77.

Ron Hood. 1998. Economic Analysis: A Location Quotient. Primer. Principal Sun Region Associates, Inc.

Rozi, F., Heriyanto, Ruly, K., Margono, R. Prasetyaswati, dan I. Sutrisno. 2003. Keunggulan kompetitif dan komparatif usaha tani komoditas kedelai. Laporan Teknis. Balitkabi, Malang. 14 p.

Rozi, F. 2004. Akankah kedelai selalu berdaya saing rendah?. Dalam: Prosiding hasil seminar kinerja penelitian mendukung agribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbangtan. Bogor. Hal. 549-558.

Rustiadi, E., Saefulhakim, S., Panuju, D. R., dan Pravitasari, A. E. 2009. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta : Crestpent Press, Yayasan Obor Indonesia.

Saraswati, R., Salyo Sutrisno dan T. Adisarwanto. 2011. Analisis daya saing kedelai terhadap tanaman padi dan jagung. Jurnal Buana Sains Vol.11 (1):97-102.

Simatupang, P., Marwoto dan Dewa K.S. Swastika. 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia. Lokakarya pengembangan kedelai di lahan sub optimal. Balitkabi.

Soekartawi, 1995. Analisis usaha tani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sudaryanto, T., I Wayan Rusastra dan Saptana. 2001. Perspekstif pengembangan ekonomi kedelai di

Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bogor Vol.19 (1): 1-29.

Suyamto dan I Nyoman Widiarta. 2010. Kebijakan pengembangan kedelai nasional. Prosiding simposium dan pameran teknologi aplikasi isotop dan radiasi. Halaman 37-50. Puslitbangtan. Bogor.

Warpani, S. 1984. Analisis kota dan daerah. Bandung. Penerbit ITB. Yulianto, Dwi P dan Eko Budi Santoso. 2014. Identifikasi potensi komoditas unggulan pada koridor

jalan lintas selatan Jatim di Kabupaten Tulung Agung-Trenggalek. Skripsi. Intitut Teknologi Surabaya. Surabaya.

Zakaria, Amar K., Wahyuning K. Sejati dan Reni Kustiari. 2010. Analisis daya saing komoditas kedelai menurut agro ekosistem: kasus di tiga provinsi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 28 (1): 21-37.

Page 434: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

417

ANALISIS KUANTITATIF PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (GLYCINE MAX. L. MERRILL) TERHADAP PEMBERIAN KONSENTRASI

DARAH SAPI DAN MACAM OAKTIVATOR

QUANTITATIVE ANALYSIS OF SOYBEAN GROWTH (GYCINE MAX 1. MERRIL) TOWARD GIVING CONCENTRATE OF COW BLOOD AND SEVERAL ACTVATOR

Fiana Podesta, Dwi Fitriani dan Suryadi

Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Jl. Bali No 118 Tlp (0736) 22765

e- mail : [email protected]

ABSTRAK

Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus pada tanaman kedelai dapat mengakibatkan kerusakan tanah, produktivitas lahan menjadi rendah, dan pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat digunakan pupuk organik dari darah sapi yang merupakan limbah belum termanfaatkan di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan macam bioaktivator terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Penelitian dilaksanakan bulan Mei hingga Agustus 2016 di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu dengan 20 m dpl. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari 2 Faktor. Faktor Pertama yaitu macam-macam Bio aktivator yaitu A0 = Kontrol, A1 = Ragi dengan Darah Sapi, A2 = Nasi Basi dengan Darah Sapi, A3 = m-BIO dengan Darah Sapi, A4 = Em-4 dengan Darah Sapi, dan A5 = MOL dengan Darah Sapi. Faktor kedua: Konsentrasi Bioaktivator yang terdiri dari : B0 = 15 %, B1 = 30 %, dan B2 = 45 %. Apabila berbeda nyata antar perlakuan akan dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT. Parameter yang diamati yaitu Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Jumlah cabang, Luas Daun, berat basah dan berat kering tanaman yang diamati dari umur 2 – 6 MST. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi bioaktivator darah sapi belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai pada tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, luas daun, berat basah maupun berat kering tanaman. Bioaktivator terbaik dihasilkan pada MOL diaplikasikan dengan darah sapi, yang menunjukkan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max L. merrill) yang terbaik pada Jumlah daun, Jumlah cabang, Berat basah, berat kering dan pola daun pada minggu ke- 4 setelah tanam.

Kata kunci: Keragaan, kedelai, bioaktivator,dan darah

ABSTRACT

The use of inorganic fertilizers continuous soybean crop may result in damage to land, land productivity is low, and environmental pollution. To overcome these problems, it can be used organic fertilizer from cow blood that are untapped waste in the province of Bengkulu. This study aims to determine the effect of concentration and kinds of bio-activator to the growth of soybean plants. The research held on May until August 2016 at Experimental Station Agriculture Faculty Universitas Muhammadiyah Bengkulu as 20 m asl. It uses A Complete Random Design by two factors. First factor is consist of several bioactivator that is A0 = Control, A1 = Yeast with Cow blood, A2= Stale rice with cow blood, A3 = m-BIO with Cow Blood, A4 = Em-4 with Cow Blood, and A5 = MOL with Cow Blood. Second factor is Concenteration of Bioactivator that consist of B0 = 15 %, B1 = 30%, and B2 = 45%. If there get differences, then continued to DMRT. The parameters observed to plant from 2-6 MST: height, number or leaves, large of leaves, and number of observed branches, wet weight and dry weight. The results showed that concentration of bio-activator cow blood has not shown any significant effect on the growth of soybean plant height, total of leaves, total of branches , large of leaves, wet weight and dry weight. The best bio-activator is produced in MOL and cow's blood showed growth of soybean (Glycine max L. Merrill) is best in number of leaves, number of branches, wet weight, dry weight and leaf patterns in week 4 after planting.

Keywords : performance, soy, bioactivator, and blood

Page 435: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

418

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max L.Merrill) merupakan tanaman kacang-kacangan yang kandungan proteinnya paling tinggi, ini dapat mengantikan kebutuhan protein dari hewani. Secara umum kedelai mengandung protein 30-35%. Hasil penelitian Podesta (1997) menunjukkan bahwa kandungan protein pada kacang kedelai bisa mencapai 35-40% yang diberi perlakuan zat pengatur tumbuh 2,4-D dengan konsentrasi 1,2ppm. Menurut BPS (2014), luas lahan tanaman kedelai di provinsi Bengkulu baru mencapai 3.987 ha dengan produktivitas 1,072 ton/ha. Melihat dari hasil tersebut produksi kedelai yang dihasilkan provinsi Bengkulu masih rendah bila dibandingkan dengan produksi kedelai Nasional yang mencapai 2,5–3 ton/ha. Sedangkan kebutuhan akan kacang kedelai untuk kebutuhan diprovinsi Bengkulu masih mengimpor dari daerah lain seperti dari Jawa dan propinsi Lampung.

Mengingat kebutuhan akan kedelai dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang sehat penganti protein hewani maka kebutuhan akan kedelai terus meningkat. Kedelai yang diharapkan adalah kedelai yang bebas dari kandungan bahan kimia, makanan yang bebas dari bahan pestisida dan bahan kimia lainnya, sehingga berkembangnya sistem pertanian organik.

Dalam sistem pertanian organik penggunaan bahan kimia sintetis baik sebagai pupuk maupun pestisida tidak di bolehkan. Hal ini mendorong para petani dan ahli pertanian untuk menemukan bahan-bahan alternatif berbahan dasar alami untuk digunakan sebagai pupuk organik. Pemilihan jenis bahan yang akan digunakan haruslah didasarkan pada ketersediaan bahan tersebut dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah didapatkan, selain itu bahan tersebut harus mengandung unsur hara yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Salah satu bahan dasar yang menunjang kreteria di atas adalah darah sapi yang merupakan produk sisa pemotongan hewan yang sekarang masih merupakan limbah, yang belum dimanfaatkan.

Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Provinsi Bengkulu (2014), bahwa hewan sapi dan kerbau yang dipotong sebanyak10-15 ekor/hari, sedangkan darah sapi merupakan salah satu pupuk organik yang bisa dimanfaatkan karena selain merupakan limbah yang bisa menyebabkan pencemaran udara dan air, juga mengandung unsur hara yang tinggi seperti N, P,K yang paling tinggi dari pada jenis hewan ternak lain, dimana darah sapi cukup untuk memenuhi unsur hara bagi tanaman. Adapun kandungan unsur hara sapi total N = 14,9%, total P= 0,45%, total K= 0,59%, total Ca=615mg/kg, total Mg=405mg/kg, Fe=0,26%, Zn= 117mg/kg, Cu=10mg/kg, Mn=11mg/kg (Tjiptadi,1990). Selain itu darah sapi mengandung unsur makro dan mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur mikro seperti Fe bermanfaat menunjang proses fotosintesis tanaman (Dwidjosoeputro, 2001) .

Salah satu tindakan untuk meningkatkan produksi kedelai adalah dengan penggunaan pupuk organik yang mengandung mikroorganisme yang dapat meningkatkan efektifitas penggunaan pupuk, seperti pupuk organik yang bisa dimanfaatkan adalah limbah darah sapi, yang selama ini hanya sebagai pencemar lingkungan. Darah sapi yang digunakan sebagai pupuk hendaknya telah mengalami fermentasi.

Fermentasi dapat memperbaiki sifat tertentu dari bahan seperti lebih muda dicerna, lebih tanah disimpan dan dapat menghilangkan senyawa racun yang terkandung didalamnya, sehingga nilai ekonomis bahan dasar menjadi lebih baik (Saono, 1988). Selain itu fermentasi juga dapat meningkatkan kandungan protein bahan karena tubuh kapang itu sendiri mengandung 19 – 38 % protein (Zulkarnain, et al, 2010). Fermentasi akan mengakibatkan perubahan pH, perubahan dalam aktifitas enzim dan juga menyebabkan perubahan ionisasi pada enzim, substrat dan akan menghasilkan asam-asam organik.

Hasil penelitian pupuk cair darah adalah pupuk cair yang terbuat dari media darah Pada proses fermentasi dalam pembuatan pupuk cair darah dengan menggunakan bakteri fermentasi Effective Microorganism-4 (EM-4). pupuk tersebut dapat mengurangi timbulnya penyakit pada tanaman, meningkatkan kualitas rasa pada sayur dan buah, meningkatkan kemampuan menyerap nutrisi dari tanaman karena mikroba membantu menyediakan nutrisi yang siap diserap tanaman (Iswaraorchid, 2008).

Pupuk Cair Darah dapat dilakukan dengan menggunakan Mikro Organisme Lokal (MOL), Effective Microorganism-4 (EM-4) dan M-Bio, Ragi dan nasi basi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2012) yang menyatakan bahwa untuk pembuatannya pupuk organik cair membutuhkan bahan dasar yaitu bahan organik dan bahan pemicunya dan sudah sangat mudah ditemui dipasaran. Sebagai starter kita membutuhkan produk EM-4 (Effective Microorganism -4) atau M-Bio yaitu yang mengandung bakteri mikroorganisme yang masih dalam keadaan tidur atau belum aktif. Untuk itu

Page 436: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

419

bakteri mikroorganisme ini perlu kita aktifkan untuk menguraikan bahan organik yang kita siapkan yang akan menjadi pupuk organik dalam waktu yang relatif lebih cepat.

Mikroorganisme Lokal (MOL)yang mudah didapat adalah dari nasi basi dan ragi untuk pembuatan tape pun dapat digunakan sebagai Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan sebagai bioaktivator dalam proses fermentasi.

Pembuatan Pupuk Cair Darah, darah dicampur dengan Effective Microorganism-4 (EM-4), nasi basi ataupun ragi. Hal tersebut bertujuan untuk mempercepat fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Umniyatie (2012), yang menyatakan bahwa penggunakan EM-4 dalam pengomposan memiliki keunggulan antara lain cepat masa fermentasinya, irit biaya dan kompos yang dihasilkan memiliki karakter kompos yang baik misalnya bau warna dan C/N ratio kompos.

Pembuatan Pupuk Cair Darah, darah dicampur dengan M-Bio. Hal tersebut bertujuan untuk mempercepat fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonimb (2012), yang menyatakan bahwa M-Bio merupakan hasil teknologi tinggi yang berisi koloni mikroba rumen sapi yang diisolasi dari alam untuk membantu penguraian struktur jaringan pakan yang sulit terurai.

Mengingat Penggunaan pupuk organik darah sapi belum banyak dilakukan maka perlu untuk melakukan penelitian limbah darah sapi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai.

.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 bulan dimulai dari bulan Mei 2016 sampai bulan Agustus 2016 di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu . Pada Ketinggian Tempat lebih kurang 20 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) disusun secara faktorial. Terdiri dari 2 Faktor yaitu: Faktor Pertama adalah Macam-macam Bioaktivator Darah Sapi A0 = Kontrol, A1 = Ragi, A2 = Nasi Basi, A3 = m-Bio, A4 = Em-4, dan A5 = MOL dengan Darah Sapi dan Faktor Kedua adalah Konsentrasi Bioaktivator Darah Sapi : B1 = 15 %, B2 = 30 %, B3 = 45 %.

Darah sapi diperoleh di tempat pemotongan hewan Pulai Baai Kota Bengkulu dimasukkan ke dalam derigen 20 liter, kemudian difermentasi dengan macam-macam bioaktivator sesuai dengan perlakuan. Setelah difermentasi 14 hari , pupuk darah sapi diaplikasikan sesuai dengan perlakuan.

Perlakuan ini diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 6 × 3 × 3 = 54 satuan percobaan, setiap satuan percobaan terdapat 2 tanaman, sehingga di peroleh 108 tanaman. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah pertumbuhan tanaman kedelai seperti : Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, luas daun, berat basah dan berat kering tanaman pada masa pertumbuhan vegetative hingga tanaman berumur 6 MST.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Sidik ragam perngaruh konsentrasi dan macam bioaktivator terhadap pertumbuhan

tanaman kedelai dapat dilihat pada pada Tabel 1.

Tabel 1: Sidik Ragam pengaruh pemberian Konsentrasi darah Sapi dan macam bioaktivator terhadap tinggi tanaman (cm) 1 - 5 MST

Peubah Perlakuan

Konsentrasi Bioaktivator Interaksi

Tinggi tanaman

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

2.76 tn

0.57 tn

0.03 tn

0,26 tn

3.07 tn

1,41 tn

0,47 tn

0,20 tn

1.95 tn

1.19 tn

tn

0.55 tn

tn

0.74 tn

1,31 tn

Jumlah Daun

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

0.09 tn

2.27 tn

0.21 tn

2.18 tn

0.36 tn

0.37 tn

0.90 tn

2,47 tn

tn

tn

0.54 tn

1.39 tn

1.65 tn

0.22 tn

0.93 tn

Page 437: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

420

Jumlah Cabang

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

-

-

-

2.10tn

0.36 tn

-

-

-

*

1.48 tn

-

-

-

1.06 tn

0.93 tn

Luas Daun

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

1.23 tn

2.48 tn

0.55 tn

0.23 tn

2.07 tn

1.08 tn

1.62 tn

1.04 tn

*

5.08 **

tn

0.90 tn

1.87 tn

1.94 tn

0.55 tn

Berat Basah

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

0.08 tn

1.31 tn

0.68 tn

0.86 tn

0.36 tn

0.91 tn

0.70 tn

4.32 **

3.15 *

tn

tn

1.03 tn

2.32 *

0.64 tn

0.93 tn

Berat Kering

1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

5 MST

0.12 tn

0.22 tn

2.31 tn

1.46 tn

0.56 tn

6.61 **

0.64 tn

1.13 tn

*

0.93 tn

1.32 tn

1.60 tn

1.93 tn

0.64 tn Sumber : Data Primer (2016)

Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bawah pengamatan pada 4 dan 5 MST baru menunjukkan

pengaruh yang nyata terhadap Jumlah cabang, luas daun, berat basah dan berat kering tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Pada pertumbuhan tanaman kedelai terlihat bahwa jumlah cabang terbentuk pada minggu ke-4 setelah tanam. Peubah pengamatan sidik ragam pada Tabel 1. di atas yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT yang dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pengaruh Macam-macam Bioativator terhadap Jumlah daun, Luas Daun, Berat Basah, dan

berat kering.

Peubah Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

Jumlah Daun 4 MST 32.11 a 24.11 b 27.44 ab 27.88 ab 26.33 ab 31.88 a

Jumlah Cab. 4 MST 1.88 ab 1.33 b 1.77 b 1.66 b 1.77 b 2.55 a

Luas Daun 4 MST 427.21 abc 347.87 c 416.65 abc 375.65 bc 467.10 ab 496.45 a

Luas Daun 5 MST 685.39 a 461.18 b 636.99 a 612,32 a 671.51 a 719.71 a

Berat basah 4 MST 14.55 b 12.77 b 13.88 b 12.33 b 14.44 b 16.88 a

Berat basah 5 MST 25.00 a 18.00 b 23.66 a 22.77 a 20.77 ab 25.33 a

BeratKering 4 MST 3.28 ab 2.68 b 3.12 ab 2.50 b 3.26 ab 3.80 a

Berat kering 5 MST 5.58 a 4.04 b 5.51 a 5.00 ab 5.61 a 5.83 a Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf 5 %. A1 (Kontrol), A2 (Ragi), A3 (Nasi basi), A4 (M-Bio ), A4 (M-Bio ) A5 (EM-4) dan

A6 (MOL)

Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa macam bioaktivator berpengaruh terhadap jumlah

daun, jumlah cabang, luas daun, berat basah dan berat kering tanaman pada 4 atau 5 MST. Macam bioaktivator, yang terbaik ditunjukkan pada perlakuan bioaktivator MOL yang dicampur/difermentasikan pada darah sapi pada peubah Jumlah daun mencapai 31, 88 lembar, Luas daun pada umur 4 MST mencapai luas daun 496.45 cm2, pada umur 5 MST mencapai luas daun 719.71 cm2, jumlah cabang 2.55 cabang, Berat basah pada umur 4 dan 5 MST yaitu 16.88 gr dan

Page 438: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

421

25.33 gr. Sedangkan untuk peubah Berat kering tanaman pada umur 4 dan 5 MST mencapai 3.80 dan 5.83 gr.

Berat basah sejalan dengan berat kering, dengan peningkatan berat basah maka berat keringpun akan semakin meningkat, dan pada perlakuan bioaktivator demgan MOL menunjukan hasil yang tertinggi pada pengamatan 4 MST

Tabel 3. Pengaruh Macam-macam Konsentrasi Bioativator Darah Sapi terhadap Jumlah daun,

jumlah cabang, Luas Daun, Berat Basah, dan berat kering.

Peubah Perlakuan

B1 (15 %) B2 (30 %) B3 (45%)

Jumlah Daun 4 MST 30.55a 27.22 a 27.11 a

Luas Daun 4 MST 433,79 a 414,55 a 417.13 a

Luas Daun 5 MST 660.43 a 649.12 a 583.99 a

Berat basah 4 MST 14,66 a 13,94 a 13,83 a

Berat basah 5 MST 22.72 a 23.55 a 21.50 a

BeratKering 4 MST 3.36 a 2.98 a 2.97 a

Berat kering 5 MST 5,48a 5,26a 5.04a Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf 5 %. B1 (15 %), B2 (30 %), dan B3 (45 %).

Konsentrasi macam bioaktivator belum menunjukkan pengaruh yang nyata pada semua

peubah yaitu pada jumlah daun, jumlah cabang, luas daun, berat basah maupun berat kering tanaman, namun kecendrungan dengan peningkatan konsentrasi yang diaplikasikan maka pertumbuhannya semakin rendah untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 di atas.

Bioaktivator adalah bahan yang dapat dimanfaatkan antara lain dalam pembuatan pupuk organik, pembuatan hormon alami, pembuatan biogas, dan lain sebagainya. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan bahan yang mengandung mikroorganisme efektif yang secara aktif dapat membantu mendekomposisi dan memfermentasi sampah organik , menghambat pertumbuhan hama dan penyakit tanaman dalam tanah, membantu meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman, menyediakan nutrisi bagi tanaman serta membantu proses penyerapan dan penyaluran unsur hara dari akar ke daun, meningkatkan kualitas bahan organik sebagai pupuk , memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan kualitas pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, menghasilkan energi, misalnya pada proses pembuatan biogas. Berdasar Tabel di atas terlihat bahwa tinggi tanaman dari pengamatan 1 sampai 5 MST belum menunjukan pengaruh yang nyata baik untuk perlakuan Kosentrasi, macam bioaktivator maupun interaksi keduanya. Hal ini sebabkan oleh factor genetik dari tanaman kedelai, sejalan dengan Adie dan Krisnawati (2013), bahwa tinggi tanaman varietas Wilis tergolong Agak tinggi, dengan skala 6, sedangkan varietas Argomulyo tergolong pendek dengan skala 4, varietas Argopuro skala 5.

Sedangkan pada pengamatan Luas daun pada 1 – 3 MST dan 5 MST belum menunjukkan pengaruh yang nyata, namun 4 MST terdapat pengaruh yang nyata pada perlakuan macam bioaktivator sedangkan untuk faktor konsentrasi dan interaksi keduanya belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Pada macam bioaktivator ini yang menggunakan ragi berbeda nyata dengan darah sapi yang diberi nasi basi, m-Bio, EM-4 dan MOL. Diduga ragi memiliki mikroorganisme yang tidak dapat berkembang baik di dalam darah sapi tergambar dari luas daun yang didapat pada minggu ke-4 MST hanya mencapai 461,18 mm2 hal ini berbeda dengan bioativator MOL (mikroorganisme Lokal yang berasal dari rumen sapi) dengan luas daun lebih tinggi 56,11 %, 48,61 % dibandingkan dengan kontrol, 38,12 %, 32,77 %, dan 45, 60 %. Macam-macam bioaktivator yang diberikan semua mempunyai pengaruh yang hampir sama terlihat bahwa macam bioaktivator tidak berpengaruh nyata, sehingga bioaktivator MOL yang mudah didapat dan belum termanfaatkan sama pengaruhnya dengan darah sapi yang diberi EM-4 atau m-Bio yang ada dipasaran dan harga lebih mahal.

Pada Berat basah tanaman berkaitan erat dengan berat kering tanaman yang diamati pada pengamatan ke-4 dan ke-5 MST. Akumulasi Bahan kering merupakan kemampuan tanaman dalam meningkat energy dari cahaya matahari melalui proses fotosintesis, serta interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan, distribusi akumulasi berat kering pada bagian tanaman merupakan gambaran produktivitas tanaman. Berat kering pada daun merupakan akumulasi Bahan makanan cadangan dalam organ daun yang merupakan aktivitas tumbuhan yang sangat nyata yang pada fase Vegetatif akan ditranslokasi keorganan bunga dan akhirnya pada biji. Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan

Page 439: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

422

tanaman akan berpengaruh terhadap produksi, perkembangan merupakan proses yang berjalan sejajar dengan pertumbuhan (Harjati, 2005)

Untuk peubah jumlah cabang pada pengamatan 4 MST menunjukan pengaruh yang nyata pada perlakuan macam bioaktivator yang diberikan, tetapi untuk faktor konsentrasi dan interaksi antara konsentrasi dan macam bioaktivator belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Begitu juga dengan pengamatan 5 MST kedua faktor dan interaksi keduanya belum menunjukkan pengaruh yang nyata.

Untuk pengamatan luas daun pada 1 – 3 MST belum menunjukkan pengaruh yang nyata sedangkan untuk 4 – 5 MST perlakuan nyata sedangkan konsentrasi dan interaksinya belum menunjukan pengaruh yang nyata namun untuk faktor macam bio aktivator berpengaruh nyata dan sangat nyata. Begitu juga dengan Berat basah sedangkan untuk berat kering tanaman perlakuan bioaktivator berpengaruh nyata pada 1 MST, 4 MST dan 5 MST.

Menurut Saraswati (2013), bahwa penggunaan pupuk mikroba dipadukan dengan pupuk organik merupakan keharusan dalam usahatani kedelai yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah meningkatkan efisiensi pemupukan N, P, dan K serta meningkatkan efisiensi perombakan bahan organik di dalam tanah. Hal ini terlihat bahawa perlakuan bioaktivator, ragi, nasi basi, m-bio, EM-4, dan MOL menunjukan pengaruhnya masing masing karena antar bioaktivator tersebut belum menunjukan pengaruh tidak nyata namun bioaktivator dengan ragi berpengaruh nyata.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil Penelitian di tarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Darah sapi bisa dimanfaatkan sebagai pupuk pelengkap cair.

2. Konsentrasi Bioaktivator darah sapi belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai pada tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, luas daun, berat basah maupun berat kering tanaman.

3. Bioaktivator yang terbaik dihasilkan pada bioaktivator MOL diaplikasikan pada darah sapi menunjukkan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max L. merrill) yang terbaik pada Jumlah daun, Jumlah cabang, Barat basah, berat kering dan pola daun pada minggu ke- 4 setelah tanam.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kemenristek Dikti atas bantuan dana yang telah diberikan, Rektor UMB, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang telah memberikan fasilitas demi terlaksananya penelitian ini dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini.

Page 440: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

423

DAFTAR PUSTAKA

Adie Muchlish dan Krisnawati A, 2013. Biologi Tanaman Kedelai. Dalam Sumarno, Suyatmo, Widjono A, Hermanto, dan Kasim H. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2013.

Anonim 2012. Starbio http://starbio-stardec.blogspot.com//2012/12/starbio.html.diakses tanggal 20 Januari 2015

Anonim. 2014. Produksi Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan 2014) Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Bengkulu, Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Bengkulu,. N0. 38/07/17/Th.VIII, 1

Juli 2011.

BPS. 2014. Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 dan Survai Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013. N0. 40/07/17/Th.I, 1 Juli 2014.

Dwidjsapoetro, 2001. Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta.

Harjati, S, 2005. Dasar-dasar Agronomi. Gramedia. Jakarta.

Niki Adhiati, 2011. Pemanfaatan Limbah Darah Sapi Sebagai upuk Organik Cair dalam Upaya Meningkatkan Kelimpahan Fitoplankton. http://elibrary.ub.ac.id/handle/ 123456789/ 32449. Minor Thesis.

Podesta P., 1997.Masukan Energi Jumlah Panas dan Konsentrasi 2,4-D Terhadap Hasil, Mutu Benih dan Kualitas Gizi Kedelai (Glycine max L. Merrill). Program Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.

12 No. 2 Juli – Desember 2009: 174-177. Bengkulu.

Saraswati S., 2013. Potensi Penggunaan Mikroba secara terpadu Pada kedelai. dalam Sumarno, Suyatmo, Widjono A, Hermanto, dan Kasim H. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2013.

Tjiptadi, W. 1990. Pengendalian Limbah Pertanian. Makalah pada Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan HidupBagi Eidyaswara, Sespa, Sepadya, Sepala dan Sespa. Antar Departemen. Jakarta.

Zain M,N., Jamarun and Zulkarnain, 2010. Effect of Phosphorus and Sulfur Supplementation ini Growing Beef Cattle Diet Based on Rice Strow Ammoniated. Asia Jurnal of Scientific Recearch, 3 : 184-188.

(Iswaraorchid, 2008). Membuat Pupuk Organik dengan menggunakan limbah darah. http://iswaraorchid.wordpress.com//2008/09/13/Membuat-Pupuk-Organik-dengan-menggunakan-limbah darah/

Page 441: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

424

EFIKASI FORMULASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana Vuill. ISOLAT LOCAL BENGKULU

PADA KEPIK HIJAU (Nezara viridula L.)

FORMULATION EFFICACY of ENTOMOPATHOGENIC FUNGI Beauveria bassiana Vuill. of BENGKULU LOCAL ISOLATE AGAINT

GREEN STINK BUG (Nezara viridula L.)

Nadrawati 1 dan Hermansyah

2 1Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas PertanianUniversitas Bengkulu

2Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

e-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Kepik hijau (Nezara viridula L.) merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang penting selain kepik coklat (Riptortus linearis). Pengendalian yang dilakukan selama ini hanya mengandalkan insektisida kimia, namun perkembangan populasi di lapangan terus meningkat. Cendawan entomopatogen B. bassiana isolat lokal merupakan solusi pengendalian berwawasan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi tepung dengan bahan tambahan yang bisa meningkatkan virulensi atau efektivitas Beauveria bassiana terhadap kepik hijau. Untuk mencapai tujuan tersebut diujikan lima jenis bahan yang ditambahkan pada media perbanyakan. Penelitian dilakukan di laboratorium Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu bulan April sampai Agustus 2016. Percobaan terdiri dari lima perlakuan dengan empat ulangan yang disusun dalam rancangan acak lengkap. Bahan yang ditambahkan pada media perbanyakan yaitu tepung tapioka, tepung kulit udang, tepung kepik hijau dan tepung jangkrik. Media perbanyakan yang digunakan adalah beras jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana yang ditumbuhkan pada media beras jagung dengan penambahan tepung tapioka 50%, tepung kulit udang 5%, tepung kepik hijau 1% dan tepung jangkrik 5% berpotensi digunakan sebagai pengendali hama kepik hijau Nezara viridula. Mortalitas kepik hijau berkisar 60 – 75 %. Jumlah konidia per g media masing-masing formulasi satu bulan setelah inokulasi 2,25 sampai 4,6 x 109, tidak menunjukkan adanya perbedaan pada berbagai medium.

Kata kunci: formulasi, B. bassiana, kepik hijau, virulensi

ABSTRACT

The green stink bug (Nezara viridula L.) is one of the important soybean pod sucking bug besides

brown stink bug (Riptortus linearis). Up to now, pest control mostly rely on the chemical insecticides,

but developments in the field population continues to increase. Entomopathogenic fungi B. bassiana

of local isolate was an environmentally sound control. This study was to obtain powder formulations

with a variety of ingredients that can increase the virulence of Beauveria bassiana against green

beetle. To achieve these objectives tested four kinds of materials are added to the propagation

medium. The study was conducted in the laboratory of Plant Protection, Faculty of Agriculture,

University of Bengkulu April to August 2016. The experiment consisted of five treatments with three

replications were arranged in a completely randomized design. The five treatments were media made

up of corn-rice (corn-rice based media) each added with four different materials such as tapioca

powder, chitosan powder, green stink bug powder, crickets powder and corn-rice media. The result

showed that B. bassiana entomopathogenic fungi grown on corn-rice media added of each of tapioca

powder, chitosan powder, green stink bugs powder and crickets powder potentially be used as a pest

controller N. viridula green stink bug. Green stink bug mortality ranges from 60-75%. The number of

conidia per g of each formulation media one month after inoculation of 2.25 to 4.6 x 109, did not show

any differences in a variety of mediums. Keywords: formulation, B. bassiana, green stink bug

Page 442: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

425

PENDAHULUAN

Kepik hijau termasuk dalam famili Pentatomidae dan ordo Hemiptera, merupakan salah satu pengisap polong kedelai yang cukup penting. Hama ini memiliki tanaman inang yang cukup luas meliputi tanaman pangan, aneka buah, hias, sayuran bahkan beberapa jenis gulma. Kepik hijau hinggap pertama kali di pertanaman kedelai pada waktu berbunga, yaitu umur kurang lebih 35 hari setelah tanam (HST). Imago di pertanaman bertujuan meletakkan telurnya pada permukaan daun (Kalshoven, 1981; Saleh, 2007; Balitkabi, 2008). Kepik hijau merupakan salah satu di antara tiga hama yang sangat penting, yang penyebarannya meliputi hampir semua propinsi di Indonesia. Selain banyak ditemui di Indonesia dan Asia, hama tersebut juga sebagai perusak tanaman kedelai di Afrika, Australia, dan Amerika Serikat. Sudah sejak lama di Provinsi Bengkulu permasalahan hama pada tanaman palawija khususnya kacang-kacangan banyak mengalami kendala, misalnya berbagai kasus resurjensi hama akibat penggunaan pestisida yang berlebihan, resistensi hama dan matinya musuh alami.

Dalam rangka mendukung pengembangan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, diperlukan kajian tentang peranan musuh alami sebagai agensia pengendali hama. Salah satu agensia hayati yang potensial sebagai sarana pengendali hama adalah cendawan Beauveria bassiana ( Balitkabi, 2008). Cendawan ini sejak lama diketahui memiliki potensi sebagai agensia hayati yang dapat mengendalikan populasi serangga. Pemanfaatannya semakin luas, lebih dari 100 spesies hama sasaran meliputi beberapa ordo termasuk Coleoptera, Homoptera, Diptera, Lepidopera, dan Hymenoptera. Selain itu kedua cendawan tersebut aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami (Soetopo & Indrayani, 2007).

Di Indonesia B. bassiana telah digunakan untuk mengendalikan kumbang penggerek buah kopi Hypothenemus hampei dan penggerek batang kakao Zeuzera coffeae (Kalshoven, 1981). Pada tahun 1993/1994, cendawan ini juga telah digunakan secara luas untuk mengendalikan penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella di daerah Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, dan Timor Timur (Haryono et al., 1993). Penelitian lain menunjukkan cendawan B. bassiana mampu membunuh kutu kebul Bemisia tabaci dengan mortalitas mencapai 50% pada kerapatan konidia 108/ml (Juniawan et al., 2013), dan Diaphorina citri 70 % dengan kerapatan 108 konidia/ml (Nadrawati et al 2014).

Pengembangan cendawan entomopatogen dalam skala luas memerlukan produksi secara massal dengan teknik formulasi yang tepat agar produk yang dihasilkan memiliki viabilitas dan infektivitas yang tetap stabil apabila diaplikasikan di lapangan. Menurut Kumar

et al., (2005), jenis formulasi yang tepat menentukan viabilitas dan efikasi dari cendawan entomopatogen sebagai bioinsektisida. Selain itu, jenis formulasi media yang sesuai dan tepat dapat mempertahankan viabilitas dan efikasi bioinsektisida dalam rentang waktu yang lebih lama (Verhaar et al., 2004). Tujuan utama dari formulasi ini adalah untuk mempertahankan mikroorganisme sebagai bahan aktif tetap hidup, baik dalam keadaan dorman maupun aktif tumbuh, memanipulasi kondisi untuk produksi formula secara besar-besaran dan proses pengiriman, memelihara aktivitas organisme yang diintroduksi, dan menekan pertumbuhan kontaminan yang potensial. Derakshan et al., (2008) mengemukakan bahwa stabilitas efikasi formulasi agens hayati dapat dipertahankan apabila bahan formula yang digunakan mengandung cukup nutrisi dan bahan pembawa. Formulasi bioinsektisida yang umum digunakan adalah dalam bentuk cair (liquid ) dan tepung (powder). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian mengenai formulasi cendawan entomopatogen kaitannya dengan pengendalian hama berwawasan lingkungan.

Tujuan Penelitian adalah untuk mendapatkan formulasi tepung dengan bahan pembawa yang efektif dan mematikan kepik hijau di atas 50%.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Penelitian dilakukan April sampai Agustus 2016. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan ulangan sebanyak empat kali. Penelitian meliputi:

Uji Formulasi cendawan B. bassiana terhadap stadia imago kepik hijau. Perlakuan adalah berbagai formulasi tepung cendawan B. basiana yaitu: A). Beras jagung + tapioka 50%. B). Beras Jagung + tepung kulit udang 5%. C). Beras Jagung + tepung kepik hijau 1%. D). Beras jagung +

Page 443: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

426

tepung Jangkrik 5% dan E). Beras jagung. Jumlah kepik yang diuji sebanyak 5 ekor tiap ulangan sehingga total serangga yang digunakan setiap perlakuan sebanyak 20 ekor.

Perbanyakan kepik hijau. Kepik hijau sebagai serangga uji diperoleh dari lahan tanaman cabai, kemudian dipelihara dan dibiakkan pada tanaman kacang hijau yang ditanam di lahan dan juga dalam stoples sampai diperoleh jumlah yang cukup untuk perlakuan. Kepik hijau yang digunakan untuk penelitian ini adalah kepik hijau dewasa.

Perbanyakan cendawan B. bassiana. Cendawan B. bassiana yang digunakan adalah isolat lokal Bengkulu yang diisolasi dari walang sangit. Isolat untuk bahan perbanyakan dikulturkan dalam medium SDYA. Setelah berumur 3 minggu, cendawan diperbanyak pada medium beras jagung. Beras jagung dicuci, dikukus selama 5 menit, diangkat, didinginkan di dalam nampan, dimasukkan kedalam botol kaca sebanyak 100 gram, ditambahkan dengan masing-masing perlakuan kemudian disterilkan menggunakan otoclave dengan temperatur 121 °C selama 30 menit, didinginkan, selanjutnya diinokulasi dengan B bassiana yang sudah ditumbuhkan sebelumnya pada medium SDYA, diinkubasi selama 1 bulan (Nadrawati, 2014).

Pembuatan formulasi tepung spora B. bassiana. Media yang sudah ditumbuhkan dengan cendawan B. bassiana dimasukkan kedalam kertas yang dibuat seperti amplop, dikeringkan dengan inkubator suhu 30 °C selama 3 hari, kemudian digerus sampai diperoleh formula tepung.

Aplikasi cendawan B. bassiana pada kepik hijau. Biakan cendawan B. bassiana yang berumur 1 bulan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang dicampur dengan air kemudian dikocok menggunakan shaker selama kurang lebih 10 menit dengan tujuan merontokkan konidia yang terbentuk. Suspensi konidia ditambah Tween 80 0,05% sebanyak 5 ml/l sebagai bahan perata kemudian dikocok agar homogen, selanjutnya disaring menggunakan saringan untuk memisahkan konidia dengan media biakan cendawan. Jumlah konidia dihitung menggunakan haemocytometer hingga memperoleh kerapatan konidia 108/ml. Aplikasi masing-masing perlakuan dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi konidia pada kepik hijau yang sudah dimasukkan ke dalam stoples kaca sesuai dengan perlakuan sampai merata. Setiap dua hari, kacang hijau sebagai pakan imago yang diuji diganti dengan kacang hijau yang segar.

Pengamatan. Peubah yang diamati adalah mortalitas imago setelah disemprot cendawan B.

bassiana. 1. Persentase mortalitas kepik dihitung dengan rumus P = A/B x 100%, dengan P = persentase kematian kepik; A = jumlah kepik mati selama 10 hari pengamatan; B = jumlah kepik awal

per unit perlakuan. 2. Jumlah konidia pada masing-masing perlakuan setelah inokulasi 1 bulan. 3. Gejala pada pada kepik hijau terinfeksi cendawan.

Analisis Data. Semua data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis menggunakan program SPSS. Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan’s multiple range test) pada taraf nyata 0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh berbagai medium formulasi tepung terhadap kepik hijau.

Aplikasi formulasi tepung dengan berbagai penambahan bahan pada medium perbanyakan cendawan B. bassiana menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap mortalitas kepik hijau. Penambahan berbagai bahan pada medium perbanyakan cendawan B. bassiana dengan bahan dasar beras jagung setelah diperlakukan pada kepik hijau tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas kepik hijau diduga karena beras jagung sudah mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan cendawan B. bassiana. Shah et al. (2005) mengatakan bahwa sumber nutrisi merupakan faktor penentu pertumbuhan dan virulensi cendawan entomopatogen, karena laju perkecambahan, pertumbuhan, dan sporulasi adalah indikator tingkat virulensi (Altre et al., 1999). Menurut Safavi et al. (2007), nutrisi dibutuhkan jamur untuk biosintesa dan pelepasan energi sebagai faktor utama pendukung viabilitas, kemampuan hidup, dan keberlanjutan koloninya. Selain itu, makroelemen seperti karbon, nitrogen, oksigen, sulfur, dan fosfat merupakan komponen utama nutrisi yang dibutuhkan oleh cendawan. Gao et al. (2007) dalam studinya mengenai pengaruh perbedaan nutrisi terhadap pertumbuhan dan sporulasi beberapa agensi hayati menyimpulkan bahwa pertumbuhan miselium dan produksi spora pada media buatan tergantung karakter isolat dan kandungan nutrisi dalam media. Beras dan jagung mempunyai kandungan nutrisi cukup tinggi, termasuk bagi cendawan

Page 444: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

427

entomopatogen. Hal tersebut menyebabkan beras dan jagung menjadi media alternatif perbanyakan cendawan B. bassiana (Wahyudi et al., 2008).

Mortalitas kepik hijau akibat penggunaan berbagai medium formulasi cendawan B. bassiana yang dilakukan berkisar 55-75%. Perlakuan dengan medium beras jagung + tepung kulit udang 5%, beras jagung + tepung kepik hijau 1% dan beras jagung + tepung jangkrik 5% masing-masing mematikan imago kepik hijau 70, 75 dan 75% (Gambar 1). Penambahan tepung tapioka, tepung kulit udang, tepung kepik hijau maupun tepung jangrik pada media beras jagung ternyata meningkatkan kemampuan B. bassiana mematikan kepik hijau. Tepung tapioka mengandung karbohidrat, protein, dan berfungsi juga sebagai perekat yang sangat dibutukan dalam pertumbuhan dan aplikasi cendawan B.bassiana.Tepung kulit udang, tepung kepik hijau dan tepung jangkrik banyak mengandung kitin dan protein. Hasil penelitian Herlinda (2006) menunjukkan penambahan bahan yang mengandung kitin dan protein seperti tepung jangkrik pada media biakan dapat merangsang B. bassiana menghasilkan enzim khitinase. Samsinakova et al. (1971) melaporkan B. bassiana menghasilkan enzim khitinase yang mampu mendegradasi khitin pada kutikula serangga. Dengan demikian, peningkatan kemampuan B. bassiana membunuh kepik hijau disebabkan adanya peningkatan enzim kitinase yang mendegradasi kutikula dan kitin serangga uji pada proses infeksi.

Gambar 1. Rerata mortalitas kepik hijau setelah diperlakukan dengan cendawan B. bassiana pada

berbagai media

Gejala kepik hijau yang terinfeksi B. bassiana . Gejala kepik hijau terinfeksi B. bassiana

menunjukkan aktivitas gerak dan aktivitas makan yang berkurang, jatuh di dasar stoples atau

menempel pada polong kacang hijau. Kepik hijau yang mati diambil dan diletakkan ke dalam

petridish, dan di dalam petridis diletakkan bola-bola kapas lembab untuk menjaga kelembaban. Tiga

atau empat hari kemudian muncul miselia B. bassiana yang berwarna putih dan akhirnya menjadi

konidia yang menutupi tubuh kepik hijau (Gambar 2).

A

B

Gambar 2. Pertumbuhan miselia cendawan B. bassiana pada permukaan kepik hijau.

A. Miselia diawali pada ruas-ruas kaki B. Konidia sudah menutupi kepala dan thorax

0

20

40

60

80

Beras jagung

+ tapioka

50%

Beras jagung

+ tepung

kulit udang

5%

Beras

Jagung +

tepung kepik

hijau 1%.

Beras jagung

+ tepung

Jangkrik 5%

Bers jagung

Mort

alit

as k

epik

hij

au

Media Perbanyakan

Page 445: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

428

Pengaruh berbagai medium formulasi tepung terhadap produksi konidia B. bassiana

Jumlah produksi konidia cendawan pada berbagai medium beras jagung tidak menunjukkan

perngaruh yang nyata setelah 1satu bulan inokulasi . Hal ini menunjukkan semua medium yang

digunakan sudah mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan

pembentukan konidia B. bassiana. Cendawan membutuhkan unsur karbon dan nitrogen sebagai

makronutrien dan mineral-mineral sebagai mikronutrien untuk pertumbuhan. Unsur-unsur tersebut

terkandung dalam medium yang digunakan pada penelitian ini. Karbon memegang peranan yang

sangat penting bagi pertumbuhan cendawan.

Kebutuhan karbon dipenuhi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat serta unsur organik

lain sebagai sumber energi sel dimana tepung jagung, tepung tapioka mengandung unsur-unsur

tersebut (Wahyudi, 2008). Jumlah konidia satu bulan setelah inokulasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Jumlah konidia pada Gambar 2 berkisar 2,25 sampai 4,6 x 109 konidia per g medium. Jumlah

konidia ini relatif sama dengan yang diteliti peneliti sebelumnya. Wahyudi (2002) menemukan jumlah

konidia pada medium tepung jagung + tepung beras adalah 6,41 x 109 konidia/g. Metode yang umum

digunakan untuk memproduksi konidia B. bassiana adalah metode fermentasi cair dan fermentasi

padat.

Gambar 1. Rerata jumlah konidia B. bassiana pada berbagai medium perbanyakan

Fermentasi substrat padat berarti penggunaan substrat atau bahan-bahan padat untuk

pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme seperti jagung, beras dan tepung-tepungan. Pada

penelitian ini didapatkan jumlah konidia yang banyak pada berbagai medium yang digunakan dan

mortalitas yang tinggi terhadap kepik hijau, hal ini menunjukkan potensi pengembangan dan

penggunaan B. bassiana pada medium padat seperti diatas perlu dikaji lebih lanjut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian penambahan beberapa bahan pada medium perbanyakan B.

bassiana dapat diambil kesimpulan bahwa Jagung cukup potensial sebagai media tumbuh cendawan

B. bassiana dan sebagai pengendali kepik hujan. Penambahan tepung tapioka, tepung kulit udang,

tepung kepik hijau dan tepung jangkrik berpotensi meningkatkan produksi konidia B. bassiana.

Jumlah konidia B. bassiana pada media tersebut berkisar 2,25 sampai 4,6 x 109 konidia per g media.

Mortalitas kepik hijau berkisar 55 sampai 75%

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari riset yang didanai oleh Proyek Riset Hibah Bersaing

Tahun Ke-1, Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia Tahun 2016 a.n. Nadrawati dan

0

1

2

3

4

5

Beras jagung+ tapioka

50%

Beras jagung+ tepung kulit

udang 5%

Beras Jagung+ tepung

kepik hijau1%.

Beras jagung+ tepung

Jangkrik 5%

Bers jagungJum

lah k

onid

ia x

10

9

Medium perbanyakan

Page 446: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

429

Hermansyah, dan kami peneliti mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu

dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Altre, J.A.,Vandenberg, J.D. and Cantone, F.A. 1999. Pathogenicity of Paecilomyces fumoso-roseus

isolates to Diamondback moth, Plutella xylostella: Correlation with spore size, germination speed, and attachment to cuticle. J. Invertebrate Pathology 73(3):332-338.

Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian). 2008. Hama dan Penyakit Kedelai Penting dan Potensi Agensia Hayati di Jawa Timur. http://balitkabi.malang.te.net.id/index.php. Diakses tanggal 20 Juni 2014

Derakhshan, A., Rabindra, R.J., Ramanujam, B. and Rahimi, M. 2008. Evaluation of

different media and methods of cultivation on the production and viability of entomopathogenic fungi Verticillium lecanii (Zimm.)k. J. of Biol. Sci. :1-4

Gao, L., Sun, M.H., Liu, X.Z. and Yong, C.S. 2007. Effects of carbon concentration and carbon to nitrogen ratio on the growth and sporulation of several biocontrol fungi. Mycol. Res. 111(1): 87-92.

Haryono, H., Nuraini, S dan Riyatno. 1993. Prospek penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman perkebunan. Dalam prosiding simposium Patologi serangga I pada tanggal 12-13 Oktober di Yogyakarta. Halaman 75-81

Herlinda S, Muhamad D.U, Yulia. P & Suwandi. 2006. Kerapatan dan viabilitas spora Beauveria bassiana akibat subkultur dan pengayaan media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.). JHPT. Tropika 6(2): 70-78.

Juniawan, M.F., Ulfi. F., Isnawati, dan Prayogo, Y. 2013. Pengaruh kombinasi jenis jendawan entomopatogen dan frekuensi aplikasi terhadap mortalitas kutu kebul (Bemisia tabaci). Lentera Bio :2 (1):37–41

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of crops in Indonesia revised and translated by P.A. an der Laan & G.H.L. Rothschild. PT Ichtiar Baru- van Hoeve. Jakarta.

Kumar, P.S., Singh, L. and Tabassum, H. 2005. Potential use of polyethylene glycol in the mass production of nonsynnematous and synnematous strains of Hirsutella thompsonii Fisher in submerged culture. J. Biol. Control 19(2):105-113.

Nadrawati., Ginting br.S. dan Tri, S. 2014. Eksplorasi, isolasi dan seleksi cendawan entomopatogen terhadap hama tanaman jeruk Diaphorina citri Kuwayama. Jurnal Akta Agrosia : (17) 1 Januari – Juli.

Saleh, N. 2007. Sistem produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan benih bebas virus. Iptek Tanaman Pangan 2 (1): 66-78.

Soetopo, D. & Indrayani, I. 2007. Status teknologi dan prospek Beauveria bassiana untuk

pengendalian serangga hama tanaman perkebunan yang ramah lingkungan. Perspektif 6 (1): 29-46.

Verhaar, M.A., Hijwegen, M. and Zadoks, J. C. 2004. Improvement of the efficacy of Verticillium lecanii used in biocontrol of Sphaerotheca fuliginea by addition of oil formulation. Biol. Contr. 44(1):73-87.

Safavi, S.A., Farooq, A. S., Azis, K.P., Reza, R. G., Ali, R.B. and Tariq, M.B. 2007. Effect of nutrition on growth and virulence of the entomopatho-genic fungus Beauveria bassiana. FEMS Mi-crobiol. Lett. 270(1):116-123

Saleh, N. 2007. Sistem produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan benih bebas virus. Iptek Tanaman Pangan 2 (1): 66-78.

Samsinakova, A., S. Misikova, J. Leopold. 1971. Action of enzymatic system of Beauveria bassiana on cuticle of the greater wax moth larvae (Galleria mellonella). J. Invert. Pathol.18:322-330.

Wahyudi, P. 2008. Enkapsulasi propagul jamur entomopatogen Beauveria bassiana menggunakan alginat dan pati jagung sebagai produk mikoinsektisida. Jurnal ilmu kefarmasian Indonesia. 6 (2): 51-56

Page 447: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

430

DAFTAR PERTANYAAN

No.

Makalah

Judul Makalah Saran/Pertanyaan Tanggapan Pemakalah

13 Performance Beberapa

Varietas Unggul Baru

Tanaman Padi Sawah

Berdasarkan Kelayakan

Ekonomi di Kabupaten

Natuna Provinsi Kepulauan

Riau

Bagaimana tingkat kesukaan

petani terhadap VUB di Natuna

Riau?

Di kabupaten Natuna terdapat

2 etnis yaitu jawa dan

melayu. Etnis jawa menyukai

nasi yang pulen sedangkan

etnis melayu menyukai nasi

yang pera

15 Perkembangan Teknologi

Panen Padi dan

Transformasi Kelembagaan

(Kasus di Kec Seluma

Selatan, Kab Seluma

Bengkulu)

1. Dr. Rudi Hartono

- Metodologi belum

menggambarkan metode

untuk mencapai tujuan;

tujuan kedua belum jelas

datanya; transformasi

kelembagaan belum dibahas

secara mendalam.

2. Dr. Umi Pudjiastuti

- Transformasi kelembagaan

belum terlihat di kesimpulan.

Tujuan penelitian memang

untuk menganalisis;

transformasi tidak melihat

suatu etnis dengan

dipengaruhi faktor teknis,

sosial budaya dan politis.

18 Variasi Tingkat Ketahanan

Plasma Nutfah Ubi Jalar

Lokal Asal Bengkulu

terhadap Hama Lanas

(Cylas formicarius) (Hertina

A dan Miswarti)

Dr. Wahyu Wibawa

Bagaimana cara memberikan skor

untuk mengetahui tingkat

ketahanan GUJ ?

Masukan:

1. Perhatikan penulisan nama

latin. Sudah ada standarnya.

2. Untuk tujuan jangan hanya

“mengetahui”

3. Pendahuluan harus lebih fokus

ke bahasan yang akan di

bahas?

4. Apa hanya ada 14 galur di 10

Kab/Kota?

Skoring tingkat ketahanan

dilakukan dengan cara

membelah umbi

31 Prospek Penggunaan Indo

Jarwo Transplanter pada

Lahan Sawah Irigasi di Prov

Bengkulu

1. Ir. Sri Suryani Rambe

- Nilai 62% didapat darimana

pada potensi rasio lahan

sawah yang berpotensi

menggunakan indo jarwo?

Rasio lahan berdasarkan

sawah yang berpotensi

dengan total luas lahan sawah

yang ada diperoleh dari hasil

wawancara dengan instansi

setempat.

32 Kesesuaian Varietas Unggul

Baru (VUB) Padi pada

Lahan Sawah Irigasi di

Lokasi Pengujian Kab.

Seluma Prov Bengkulu

1. Dr. Shannora

- Sitasi dikaitkan dengan data

yang diperoleh.

2. Ir. Sri Suryani Rambe, M. Agr.

- Apakah penulisan varietas

turunan Cigeulis sudah

benar? Potensi hasil dan

produktivitas merujuk pada

deskripsi masing-masing

varietas.

3. Dr. Wahyu Wibawa

- Referensi disesuaikan dengan

pokok bahasan, kata

memperoleh dalam abstrak

diganti dengan menentukan,

provitas sebaiknya dijadikan

dalam satu tabel.

Data yang diperoleh sudah

dikaitkan dengan sitasi dan

makalah akan diperbaiki.

Page 448: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

431

33 Identifikasi Jenis dan

Dominansi Gulma pada

Lahan Sawah Dataran

Rendah di Kab Seluma

1. Yulie Oktavia

- Apakah ada hubungan antara

identifikasi gulma dengan

produksi padi?

36 Peningkatan Pengetahuan

Petani tentang Teknologi

Pengolahan Menir di Kab

Seluma Prov Bengkulu

1. Ir. Ahmad Damiri

- Kenapa alasan menurunnya

tingkat pengetahuan petani

setelah pelatihan tidak

dijelaskan?

2. Ir. Sri Suryani Rambe

- Persentase peningkatan

pengetahuan dihitung dengan

rumus apa? Sebaiknya

penyampaian hasil tingkat

pengetahuan digolongkan

berdasarkan kriteria.

Alasan belum ditampilkan

dan makalah akan diperbaiki.

37 Analisis Ekonomi

Pengolahan Beras dan

Preferensi Konsumen

terhadap Beras Aromatik

(Kasus pada Gapoktan

Rimbo Jaya Kab Seluma

Bengkulu)

1. Ir. Ahmad Damiri

- Berapa luas lahan yang

diamati; R/C dan B/C tidak

terdapat perbedaan pada

kedua usaha tersebut.

2. Dr. Rudi Hartono

- Mengapa tidak ada perbedaan

preferensi antara beras

aromatik dengan beras biasa?

3. Dr. Wahyu Wibawa

- Bila preferensi beras aromatik

tidak signifikan perlu dibahas

alasannya.

Saran diterima dan makalah

akan diperbaiki.

40 Kinerja Kelembagaan Tani

Menentukan Keberhasilan

Pengembangan Sistem

Integrasi Padi-Sapi di Kab

Seluma

1. Ir. Ahmad Damiri

- Kesimpulan kurang sesuai

dengan pembahasan

2. Dr. Rudi Hartono

- Sebaiknya judul diganti

Kinerja Kelembagaan Tani

Pengembangan Sistem

Integrasi Padi-Sapi

Saran diterima dan makalah

akan diperbaiki.

43 Sifat-sifat kimia tanah

dan Kebutuhan pupuk

untuk tanaman padi

sawah di kecamatan

Seluma Timur (Tri

Wahyuni)

Erpan Ramon, S.Pt

Seberapa besar sifat kimia

tanah dapat menurunkan

kesuburan tanah?

Sifat kimia tanah tidak

menurunkan kesuburan

tanah tapi hanya

menunjukkan kandungan

unsur kimia tanah

47 Kelayakan Ekonomi

Usahatani Padi pada Lahan

Rawa dengan Sistem Tanam

dan Dosis Pupuk yang

Berbeda di Prov Bengkulu

1. Dr. Umi Pudjiastuti

- Rekomendasi pemupukan

kurang jelas; kesimpulan

belum sesuai; kenapa terjadi

penurunan produksi padi

rekomendasi 30% dan 60%?

2. Dr. Rudi Hartono

- Pustaka ada tetapi di daftar

pustaka tidak ada: kelayakan

belum dibahas secara

mendalam.

Saran diterima dan akan

dilakukan perbaikan;

rekomendasi pupuk

berdasarkan analisi tanah.

49 Kelayakan Usahatani Padi

dengan Teknologi

Mekanisasi di Lahan Sawah

Irigasi Kab Bengkulu Utara

1. Dr. Shannora

- Apa hubungan antara

karakteristik petani dengan

kelayakan?

- Mengapa penggunaan benih

Saran diterima dan makalah

akan diperbaiki.

Page 449: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

432

berbeda antara cara manual

dengan menggunakan indo

jarwo?

2. Ir. Ahmad Damiri

- Perlu dijelaskan hasil lebih

tinggi karena indo jarwo.

50 Tingkat Pengetahuan Petani

tentang Teknologi PTT Padi

Rawa di Kec Semidang Alas

Maras Seluma

1. Ir. Ahmad Damiri

- Coba dilihat kembali jumlah

komponen PTT untuk padi

rawa

2. Ir. Sri Suryani Rambe

- Analisa korelasi

menggunakan metode

Spearman atau Pearson?

Makalah akan diperbaiki

sesuai saran.

52 Produktivitas Benih Sumber

Varietas Unggul Baru Padi

pada Sawah Irigasi di Kab

Seluma

1. Dr. Shannora

- Bandingkan antar varietas

dalam pembahasan

- Apakah var Ciherang

diproduksi dengan metode

PTT juga?

- Hasil produksi dibahas per

varietas

- Belum ada pembahasan

alasan rendahnya

produktivitas var Ciherang

- Sitas yang dipakai harus

berkaitan dengan data yang

ditampilkan

2. Ir. Sri Suryani

- Kata keragaan dalam judul

sebaiknya diganti

produktivitas

3. Ir. Ruswendi

- Sitasi yang dicantumkan

harus sitasi terbaru

4. Dr. Wahyu Wibawa, MP

- Ciherang termasuk kelas

benih apa? Apakah semakin

tinggi kelas benih, benih

semakin baik?

5. Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

- Perhatikan pemilihan kata

kunci, lengkapi dengan

ucapan terimakasih, judul

sebaiknya keragaan agronomi

- Penyajian tabel jangan

terpotong, metodologi

diperbaiki, kesimpulan harus

menjawab tujuan.

- Varietas Ciherang

digunakan sebagai

pembanding yang ditanam

disekitar lokasi UPBS

dengan waktu tanam yang

sama dan pemupukan

berdasarkan rekomendasi

KATAM.

Page 450: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

433

RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL

Di Hotel Santika Bengkulu, 8 November 2016

1. Seminar Nasional yang dilaksanakan tanggal 8 November 2016 di Hotel Santika bertema Inovasi

Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di buka

oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian merupakan

bagian dari pelaksanaan Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu. Seminar Nasional dihadiri 220 orang peserta, berasal dari berbagai kalangan yang

terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek,

dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah Daerah, Perwakilan

Petani dan Organisasi Profesi yang berasal dari berbagai wilayah (24 Provinsi) di seluruh

Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan

Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Utara, Gorontalo,Bali dan Nusa Tenggara Barat.

2. Seminar Nasional ini merupakan salah satu upaya mewujudkan dan meningkatkan Scientific

Recognition yang dihasilkan oleh para peneliti, penyuluh, dosen dan penentu kebijakan, pelaksana

dan pengguna teknologi di bidang pertanian. Dari seminar ini diharapkan terjadi pertukaran

pengetahuan, pengalaman, dan informasi antara para peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan.

3. Makalah yang diseminarkan terdiri atas 4 makalah utama dan 162 makalah pendukung yang

dibagi dalam 2 kelompok yaitu makalah yang dipresentasikan secara oral dan poster dari berbagai

aspek, bidang tanaman pangan, bidang sosial ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan,

bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan, serta pasca panen dan pengolahan pangan.

4. Paradigma baru “Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai makna

bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap

pendayagunaan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan.

5. Peranan Inovasi Teknologi menuju Pertanian Modern dan Berkelanjutan mendudukan sektor

Pertanian menjadi Leading dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan dan energi. Melalui

kegiatan RISETnya, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dalam perspective ke depan

harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan datang.

6. Inovasi teknologi pertanian modern perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan

pertanian berkelanjutan berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan Biosciense, Bioengineering,

social engineering dan Bioinformatics.

7. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi

fokus dalam mendorong produk pertanian untuk tetapmenjadi andalan dipasar domestik maupun

mampu berkompetisi di pasar global.

8. Masa depan Pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh transformasi teknologi Revolusi Hijau

menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution). Kegiatan Biorevolution antara lain : biofarming,

biomedis dan bioindustri yang akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat dinamis

(yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian negara di masa

mendatang. Oleh karena itu pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus mampu berperan

multi-fungsi serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pembangunan nasional.

9. Peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain

menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang pertanian dan menciptakan dan

melakukan inovasi teknologi dimulai dari kegiatan riset dasar dan terapan yang mendukung

pertanian berkelanjutan.

10. Peran Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) diharapkan dalam meningkatkan

produktivitas melalui misinya antara mengembangkan peran yang bermakna dalam

Page 451: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

434

pengembangan pertanian nasional dan peningkatan kesejahteraan petani serta mengembangkan

IPTEK pertanian yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.

11. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas tanaman pangan dan hortikultura dilakukan

melalui teknologi pengelolaan tanaman terpadu (benih unggul, penggunaan bahan organik,

penggunaan alat mesin pertanian modern, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian hama penyakit

secara bijaksana, dan panen yang tepat). Melalui upaya peningkatan produksi, kualitas dan

pendapatan petani bidang perkebunan dilakukan antara lain melalui perbaikan klon unggul,

pemupukan dan panen tepat waktu. Peningkatan produksi dan populasi ternak sebagai sumber

penghasil pangan asal ternak harus diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan

melalui optimalisasi pemanfaatan dukungan sumberdaya alam pertanian sebagai pakan alternatif

hasil ikutan atau limbah pertanian dalam mewujudkan pertanian modern berkelanjutan.

12. Dari hasil eksplorasi plasma nutfah diperoleh berbagai komoditas yaitu tanaman pangan, sayuran,

buah-buahan, perkebunan dan peternakan. Tindak lanjut yang diperlukan adalah penelitian

selanjutnya dari Balit komoditas, konservasi tanaman agar tidak punah dan pengembangannya

oleh pemerintah daerah.

13. Hasil kajian bidang penyuluhan menunjukkan bahwa berbagai metode dan media penyuluhan

mampu merubah perilaku sasaran penyuluhan berupa peningkatan pengetahuan petani dan

penerapan inovasi teknologi yang direkomendasikan.Oleh karena itu, metode dan media

penyuluhan perlu terus dikembangkan dengan inovasi terkini yang berbasis IT.

Bengkulu, 8 November 2016

Tim Perumus :

Dr. Rudi Hartono, MP (Ketua)

Dr. Wahyu Wibawa, MP (Anggota)

Dr. Umi Pudji Astuti, MP (Anggota)

Ir. Sri Suryani M.Agr (Anggota)

Ir. Ruswendi, MP (Anggota)

Ir. Ahmad Damiri, M.Si (Anggota)

Dr. Eva Oktafidianti (Anggota)

Dr. Supanajani (Anggota)

Page 452: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

435

DAFTAR HADIR PESERTA

SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016

No Nama Instansi

1 Moh Takdir Mulyadi BPTP Balitbangtan Jambi

2 Sri Budhi Lestari BPTP Balitbangtan Yogyakarta

3 Yong farmanta BPTP Balitbangtan Jambi

4 Sigid handoko BPTP Balitbangtan Jambi

5 Minangsari Dewanti Balai Penelitian Tanaman Hias

6 Majestika Disnak dan Keswan Prov. Bengkulu

7 Adri BPTP Balitbangtan Jambi

8 Kgs a Koda BPTP Balitbangtan SUMSEL

9 Riadi taregan Bakorluh Prov. Bengkulu

10 Ika ns PUSLITBANGBUN

11 Ragapadmi P BB Biogen

12 Rahmiwati yusuf BPTP Balitbangtan Riau

13 Yossie yumiati UNiversitas Dehasen Bengkulu

14 Darman hary BPPTP Bengkulu

15 Sumilah BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

16 Lina widawati Universitas Dehasen

`17 Ratna Andam Dewi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

18 Muhammad ichwan BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

19 Dahono LPTP

20 Umi salamah Universitas Ratu Samban

21 Atra Romeida Universitas Bengkulu (UNIB)

22 Farihul ihsan Balitbu Tropika

23 Nofiarli Balitbu Tropika

24 Ika Ferry Y Balingtan

25 Fiana Podesta UNIB

26 Dwi Fitriani UNIB

27 Endang Wisnu BPTP Balitbangtan Yogyakarta

28 Reni Andesta UNIB

29 Imelda Riska Andani UNIB

30 Pantjar Simatupang PSE – KP

31 Busyra BPTP Balitbangtan Jambi

32 Rika Meilasari BALITHI

33 Jonni Firdaus BPTP Balitbangtan SULTENG

34 Rossa Yunita BB-Biogen

35 Lela Nurletina BPTP Balitbangtan Jambi

36 Tri Sudaryono BPTP Baltbangtan Jawa Timur

37 Prasatyo UNIB

38 Linda Harta BPTP Balitbangtan Bengkulu

39 Rika Dwi Yulihartika UNIVED

40 Evi Andriani UNIVED

41 Kiky Nurfitri Sari UNIB

42 Ummul Khair Hade UNIB

43 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu

44 Herlena Bidi Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu

Page 453: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

436

45 Suardi BPTP Balitbangtan Bengkulu

46 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Bengkulu

47 Eko Kristanto BPTP Balitbangtan Bengkulu

48 Zainani BPTP Balitbangtan Bengkulu

49 Alfayanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

50 Kusmea Dinata BPTP Balitbangtan Bengkulu

51 Jhon Firison BPTP Balitbangtan Bengkulu

52 Hamdan BPTP Balitbangtan Bengkulu

53 Rudi Hartono BPTP Balitbangtan Bengkulu

54 Wahyu Wibawa BPTP Balitbangtan Bengkulu

55 Narkum Karantian Pertanian

56 A Sembiring Karantian Pertania

57 Sundari BBP2TP Bogor

58 Anggita T BBP2TP Bogor

59 Tuti Tutuarina UNIB

60 Wawan Eka Putra BPTP Balitbangtan Bengkulu

61 Supanjani UNIB

62 Hertina Artanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

63 Liferdi BPTP Balitbangtan Jawa Barat

64 Eva Oktavidianti Universita Muhammadiyah Bengkulu (UMB)

65 Nurhaita UMB

66 M Taufik UNIB

67 Sumardi UNIB

68 Nadrawati UNIB

69 Tunjung Pamekas UNIB

70 Neli Definiati UMB

71 Nasriati BPTP Balitbangtan Lampung

72 Fahrurrozi UNIB

73 Andi Ishak BPTP Balitbangtan Bengkulu

74 Dini Yuliani BB- Padi

75 Nyoman Suyasa BPTP Balitbangtan Bali

76 Ni Putu Suratmini BPTP Balitbangtan Bali

77 Ade Ayu Putu Parwati BPTP Balitbangtan Bali

78 M Taufik UNIB

79 Jemmy Rinaldi BPTP Balitbangtan Bali

80 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali

81 Nyoman Ngurah Arya BPTP Balitbangtan Bali

82 Fauziah Dinas Pertanian Prov. Bengkulu

83 Merakati Handajaningsih UNIB

84 Afrizon BPTP Balitbangtan Bengkulu

85 Heryan Iswadi BPTP Balitbangtan Bengkulu

86 Busri Saleh UNIB

87 Yartiwi BPTP Balitbangtan Bengkulu

88 Haryuni UNIB

89 Odit Ferry Kurniadinata Univ Mulawarman KALTIM

90 Hidayat PEMDA

91 Saiful

92 Yayu Zurriyati LPTP Kepri

Page 454: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

437

93 Sarina Univ. Hazairin Bengkulu

94 Fithri Mufriantie Univ. Muhammadiyah Bengkulu

95 Rita Feni Univ. Muhammadiyah Bengkulu

96 Elma Basri BPTP Balitbangtan Lampung

97 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung

98 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung

99 Gohan Octora Manurung BPTP Balitbangtan Lampung

100 Hengki. S Bapeda Prov. Bengkulu

101 Youzon HP Bapeda Prov. Bengkulu

102 Dothi Suryadi UNIB

103 Djamilah UNIB

104 Rina Delfi Karantina Bengkulu

105 Emperus Sitorus BPPTP Bengkulu

106 Misnarti Bapeda Prov Bengkulu

107 Hotlan Sinurat BPPTP Bengkulu

108 Lukman H UNIB

109 Nana Sutrisna BPTP Balitbangtan JABAR

110 Sukmaya BPTP Balitbangtan JABAR

111 Adetya Rahman BPTP Balitbangtan JABAR

112 Riswita BPTP Balitbangtan SULSEL

113 Liferdi BPTP Balitbangtan JABAR

114 Erni Gustiani BPTP Balitbangtan JABAR

115 Yayan Rismayanti BPTP Balitbangtan JABAR

116 Meksi Dianawati BPTP Balitbangtan JABAR

117 Agus Nurawan BPTP Balitbangtan JABAR

118 Wuri Marsigit UNIB

119 Oswaid M BPTP Balitbangtan JABAR

120 Iskandar Ishaq BPTP Balitbangtan JABAR

121 Ririn Harini Univ. Muhammadiyah Bengkulu

122 Irwansyah BPP STADA Bengkulu

123 Dilisti Univ. Dehasen Bengkulu

124 Erpan Ramon BPTP Balitbangtan Bengkulu

125 Zul effendi BPTP Balitbangtan Bengkulu

126 Yeni Eliza BPTP Balitbangtan SUMSEL

127 Bungati BPTP Balitbangtan SULTRA

128 Bandi Hermawan UNIB

130 R Kiko R Sekretariat Balitbangtan

131 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung

132 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung

133 Gohan O Manurung BPTP Balitbangtan Lampung

134 Melli Fitriani LPTP Kepri

135 Tofik UNIB

136 Hemey P. Karantina

137 Melda A BAPEDA Prov. Bengkulu

138 Matriyani Dinas Pertanian Kota Bengkulu

139 Endriani BPTP Balitbangtan Lampung

140 Hesti Pujiwati UNIB

141 Syafrizal BKP3 Kota Bengkulu

Page 455: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

438

142 Maya Dhania Sari BPTP Balitbangtan SUMSEL

143 Edi Susilo UNRAS

144 Parwito UNRAS

145 Alnopri UNIB / Ka PERAGI

146 Risuan Anwa R UNIHAZ

147 Novitri Univ. Muhammadiyah Bengkulu

148 Parlin H Sinaga Univ. Muhammadiyah Bengkulu

149 Diahirianti Ka. Komnas SDG Bengkulu

150 Marulak S UNIB

151 Kuswandi BALITBU Tropika

152 Sukarmin BALITBU Tropika

153 Sri Hadiati BALITBU Tropika

154 Harmanto BPTP Balitbangtan SUMSEL

155 Waluyo BPTP Balitbangtan SUMSEL

156 Harwi Kusnadi BPTP Balitbangtan Bengkulu

157 Aulia Evi Susanti BPTP Balitbangtan SUMSEL

158 Zulfa wilman LPTP KEPRI

159 Fahroji BPTP Balitbangtan RIAU

160 Sri Swastika BPTP Balitbangtan RIAU

161 Rachmiwaty yusuf BPTP Balitbangtan RIAU

162 Eliartati BPTP Balitbangtan RIAU

163 Marsid Jahari BPTP Balitbangtan RIAU

164 Ina Zulaehah BALINGTAN

165 Yudi Sastro BPTP Balitbangtan Jakarta

166 Teddy Suparno UNIB

167 Rahmat Wijaya UNIB

168 Nurwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta

169 Ari Widyastuti BPTP Balitbangtan Yogyakarta

170 Siti Maryam H BPTP Balitbangtan SUMUT

171 T. Marbun BPTP Balitbangtan SUMUT

172 Yulie Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu

173 Irma Calista Siagian BPTP Balitbangtan Bengkulu

174 Johardi BPTP Balitbangtan Bengkulu

175 Siswani Dwi Daliani BPTP Balitbangtan Bengkulu

176 Sri S Rambe BPTP Balitbangtan Bengkulu

177 Yahumri BPTP Balitbangtan Bengkulu

178 Wilda Mikasari BPTP Balitbangtan Bengkulu

179 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu

180 Tri Wahyuni BPTP Balitbangtan Bengkulu

181 Emlan Fauzi BPTP Balitbangtan Bengkulu

182 Bambang Harianto Balitbu Tropika

183 Nini marta Balitbu Tropika

184 Mansur Lolit Tungro

185 Nanik Setyowati Universitas Bengkulu

186 Masdar Universitas Bengkulu

187 Lina Ivanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

188 Nurmegawati BPTP Balitbangtan Bengkulu

189 Ahmad Damiri BPTP Balitbangtan Bengkulu

Page 456: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

439

190 Murwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta

191 Sutardi BPTP Balitbangtan Yogyakarta

192 M. Ghulamahdi BPTP Balitbangtan Lampung

193 Eko sulistyono BPTP Balitbangtan Lampung

194 Muhammad yusuf antu BPTP Balitbangtan Gorontalo

195 Nanang Buri BPTP Balitbangtan Gorontalo

196 Ari Widya handayani BPTP Balitbangtan Gorontalo

197 Miswarti BPTP Balitbangtan Bengkulu

198 Saripah Ulpah BPTP Balitbangtan Riau

199 Maizar BPTP Balitbangtan Riau

200 Ade Yulfida BPTP Balitbangtan Riau

201 Ekaningttyas Kushatanti BPTP Balitbangtan Jawa Tengah

202 Tota Suhendra BPTP Balitbangtan Jawa Tengah

203 Oswald Marbun BPTP Balitbangtan Jawa Barat

204 Catur Herison Universitas Bengkulu

205 Muhammad Chozin Universitas Bengkulu

206 Entang Inoriah Universitas Bengkulu

207 Zainal Abidin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

208 Siti Rosmanah BPTP Balitbangtan Bengkulu

209 Sudir BB Padi

210 Lailatul Isnaini BPTP Balitbangtan Jawa Timur

211 Sri Harwanti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

212 M. Ferizal BPTP Balitbangtan Aceh

213 Idawanni BPTP Balitbangtan Aceh

214 Fenty Ferayanti BPTP Balitbangtan Aceh

215 Assayuthi Ma’suf BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

216 Sjamsiar BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

217 Rahmat Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu

218 Ina Zulaiehah Balingtan

219 Sukarjo Balingtan

220 Prihasto Setyanto Balingtan

221 Dedi Sugandi BPTP Balitbangtan Bengkulu

222 Ni Ketut Kasih Sukraeni BPTP Balitbangtan Bali

223 Titin Sugianti BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

224 Eni Fidiyawati BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

225 Siti Mutmaidah Balitkabi

226 Evi Silviyani BPTP Balitbangtan Bengkulu

227 Engkos Kosmana BPTP Balitbangtan Bengkulu

228 A. Dalapati

229 Sumarni BPTP Balitbangtan Sulawesi Tengah

230 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali

231 Siti Aminah BPTP Balitbangtan Jakarta

232 M. Yanis BPTP Balitbangtan Jakarta

233 T. Ramdhan BPTP Balitbangtan Jakarta

234 Adetiya Racman BPTP Balitbangtan Jawa Barat

235 Riswita Syamsuri BPTP Balitbangtan Jawa Barat

236 Ita Yustina BPTP Balitbangtan Jawa Timur

237 Eli Korlina BPTP Balitbangtan Jawa Timur

Page 457: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

440

238 Yuni Astuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

239 Ari Abdul Rouf BPTP Balitbangtan Gorontalo

240 Hatta Muhammad BPTP Balitbangtan Gorontalo

241 Jonharnas BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

242 Novia Chairuman BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

243 I Ketut Kariada BPTP Balitbangtan Bali

244 I. B. Aribawa BPTP Balitbangtan Bali

245 Kiagus Abdul Kodir BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

246 Robiyanto BPTP Balitbangtan Bengkulu

247 Hasrianti Silondae BPTP Balitbangtan Sulawesi Utara

248 Maryana BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

249 Shannora Yuliasari BPTP Balitbangtan Bengkulu

250 Bina Br Karo KP Berastagi Balittas

251 Agustina E Marpaung KP Berastagi Balittas

252 Taufiq Hidayat. RS Balai Penelitian Tanaman Serat dan Pemanis

253 Dedeh Hadiyanti BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

254 Suparwoto BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

255 Nia Rachmawati Pustaka

256 Yanto Surdianto BPTP Balitbangtan Jawa Barat

257 Siti Lia M BPTP Balitbangtan Jawa Barat

258 Fiana Pondesta Universitas Muhammadiyah Bengkulu

259 Suryadi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

260 Rima Purnamayani BPTP Balitbangtan Jambi

261 Araz Meilin BPTP Balitbangtan Jambi

262 A.A.N.B. Sarmudadinata BPTP Balitbangtan Bali

263 Reni Andista Universitas Bengkulu

264 Usman Kris Joko Universitas Bengkulu

265 Suharjo Universitas Bengkulu

266 Sahrul Hadi Nasution LPTP Kepulauan Riau

267 Anis Fahri BPTP Balitbangtan Riau

268 Heri Widyanto BPTP Balitbangtan Riau

269 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Riau

270 L.T. Nguyen

271 Taufik Rahman BPTP Balitbangtan Bengkulu

272 Lutfi Ihzar BPTP Balitbangtan Jambi

273 Jondri S BPTP Balitbangtan Jambi

274 Oktariani I S BPTP Balitbangtan Jambi

275 Neni Rostini Balithi

276 Murdaningsih H Balithi

277 Anas K Balithi

278 Ida Bagus Gede Suryawan BPTP Balitbangtan Bali

279 Afrima Sari Universitas Bengkulu

280 Widodo Universitas Bengkulu

281 Bambang Gonggo M Universitas Bengkulu

282 Oktiana Sari Universitas Bengkulu

283 Prasetyo Universitas Bengkulu

284 Enggar Apriyanto Universitas Bengkulu

285 Siswahyono Universitas Bengkulu

Page 458: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

441

286 Makful Balitbu Tropika

287 Sahlan Balitbu Tropika

288 Mega Andini Balitbu Tropika

289 Andre Sparta Balitbu Tropika

290 Yulia Irawati Balitbu Tropika

291 Jhon David BPTP Balitbangtan Kalimantan Barat

292 Yesmawati BPTP Balitbangtan Bengkulu

293 Yuliani Zainudin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

294 Yudi Irawan BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

295 Sudarmansyah BPTP Balitbangtan Bengkulu

296 Yuniarto K Balithi

297 Suryawati Balithi

298 A. Qosim Balithi

299 M. Rachmadi Balithi

300 N. Wicaksana Balithi

301 Bunaiyah Honorita BPTP Balitbangtan Bengkulu

302 Kiki Kusyaeri BPTP Balitbangtan Jawa Barat

303 Meksy Dianawati BPTP Balitbangtan Jawa Barat

304 Oktariani Indri Safitri LPTP Balitbangtan Kepulauan Riau

305 Tini Siniati Koesno BPTP Balitbangtan Jawa Timur

306 Suharyanto BPTP Balitbangtan Bangka Belitung

307 Rubiyo BPTP Balitbangtan Bangka Belitung

308 Rachmiwati Yusuf BPTP Balitbangtan Riau

309 Fitriana Nasution Balitbu Tropika

310 Rahmi Wahyuni BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

311 Yanovi Hendri BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

312 Suprio Guntoro BPTP Balitbangtan Bali

313 Widia Siska BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

314 M. Prama Yufdi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

315 Umi Pudji Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu

316 Jefrey M. Muis BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

317 Hermansyah Universitas Bengkulu

318 Susi Handayani Universitas Bengkulu

319 Salfina Nurdin A LPTP Kepulauan Riau

320 Zulfa Willman LPTP Kepulauan Riau

321 Afriyani LPTP Kepulauan Riau

322 Hesti Nur'aini Universitas Dehasen Bengkulu

323 Septi Widiawati Universitas Dehasen Bengkulu

324 Agung Prabowo BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

325 Joni Karman BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

326 Fitria Zulhaedar BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

327 Wa Ode Aljumiati BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

328 Miftah BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

329 J. H. P. Sidadolog

330 Zuprizal

331 Khairiah BPTP Balitbangtan Lampung

332 Sri Haryani Sitindaon BPTP Balitbangtan Lampung

333 Hadis Jayanti BPTP Balitbangtan Bali

Page 459: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

442

334 Anggri Hervani Balingtan

335 Miranti Ariani Balingtan

336 Sri Wahyuni Balingtan

337 Wiendharti I W BPTP Balitbangtan Yogyakarta

338 Sugiyanti BPTP Balitbangtan Yogyakarta

339 Anthony Mrt BPTP Balitbangtan Yogyakarta

340 Desi Hernita BPTP Balitbangtan Jambi

341 Ikrarwati BPTP Balitbangtan Jakarta

342 Susi Sutardi BPTP Balitbangtan Jakarta

343 Aris Hairmansis BB Padi

344 Yulianida BB Padi

345 Supartopo BB Padi

346 Suwarno BB Padi

347 Sri Yuniastuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

348 Fuad Nur Aziz BPTP Balitbangtan Jawa Timur

349 Dotti Suryati Universitas Bengkulu

350 Resika Alvionita Universitas Bengkulu

351 Harta Universitas Bengkulu

352 Timbul Marbun BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

353 Andriko Noto Susanto BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

354 Sudirman Yahya Universitas Bengkulu

355 Sandra Arifin Aziz Universitas Bengkulu

356 Oteng Haridia Universitas Bengkulu

357 Roedhy Poerwanto Universitas Mulawarman

358 Darda Efendi Universitas Mulawarman

359 Ade Wachiar Universitas Mulawarman

360 Willy Bayuardi Universitas Ratu Samban

361 Suwarno Universitas Ratu Samban

362 Hajrial Aswidinnoor Universitas Ratu Samban

363 Ika Mariska BB Biogen

364 Agustin Zarkani Universitas Bengkulu

365 Tri Sunardi Universitas Bengkulu

366 Sukisno Universitas Bengkulu

367 Indra Agustian Universitas Bengkulu

368 Hery Suhartoyo Universitas Bengkulu

369 Salwati BPTP Balitbangtan Jambi

370 Izhar L BPTP Balitbangtan Jambi

371 Marwanto Universitas Bengkulu

372 Raindra Efendi Universitas Bengkulu

373 Jefri Universitas Bengkulu

374 Sihombing Universitas Bengkulu

375 Bona Rosmanton Haloho Universitas Bengkulu

376 Yeni Sariasih Universitas Bengkulu

377 Nofi A Rokhma BPTP Balitbangtan Jakarta

378 Lukman Hakim BPTP Balitbangtan Jakarta

379 Afriyanto Universitas Muhammadiyah Bengkulu

380 Suliasih Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Page 460: Cover depan - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-pangan-jilid... · Cover depan . Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

443

Cover belakang