cover dalamnew.balitklimat.litbang.pertanian.go.id/wp-content/... · 2020-01-31 · makalah ini...

50

Upload: others

Post on 06-Mar-2020

21 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

COVER DALAM

2

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Penanggung Jawab: Harmanto Redaksi Teknis: Anggri Hervani, Yayan

Apriyana, Nani Heryani, Yulius Argo Baroto dan Husna Alfiani

Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Hari Kurniawan

Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia

Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909

PRAKATA

Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumber daya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat lima makalah, yang disajikan dalam

bahasa Indonesia.

Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan

kelayakan ilmiah tulisan.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR

Hariyanti, K. S. 2019. Estimasi Tinggi Planetary Boundary Layer dari Data Radiosonde dengan Metode Gradien di Indonesia. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 16 : 3-11.

Estimasi Tinggi Planetary Boundary Layer dari Data Radiosonde dengan Metode Gradien di

Indonesia. KHARMILA SARI HARIYANTI …...….

Hubungan IOD Terhadap Anomali Curah Hujan di Pantai Utara Jawa (Studi Kasus: Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten

Indramayu). DARIIN FIRDA .……………………

Koreksi Bias Curah Hujan Global Precipitation Climatology Centre (Gpcc), Studi Kasus: Jawa

Barat. MISNAWATI ………………….…………..

Integrating Spectroscopy In The Land Resources Monitoring To Support Agricultural Nutrient Management In Indonesia. SETYONO

HARI ADI .............................................................

Studi Pemodelan Spasial Banjir Dalam Men-dukung Pengembangan Pertanian Padi Rawa di

Sumatra Selatan. IMAN MUHARDIONO …..……

Introduction To Spatial And Tabular Data Analy-

sis With R. SETYONO HARI ADI ..………….……

3

12

20

25

34

42

@ 2019, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 16, 2019

Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

3

ESTIMASI TINGGI PLANETARY BOUNDARY LAYER DARI DATA

RADIOSONDE DENGAN METODE GRADIEN DI INDONESIA

Kharmila Sari Hariyanti

ABSTRAK

Planetary Boundary Layer (PBL) adalah lapisan terpenting dari troposfer yang memiliki pengaruh timbal balik

langsung dengan permukaan bumi. Ketebalan PBL adalah parameter penting untuk memahami proses

perubahan cuaca, iklim, dan kualitas udara namun informasi tinggi PBL secara spasial dan temporal di wilayah

indonesia belum banyak. Makalah ini membahas estimasi tinggi PBL menggunakan metode gradien dari data

observasi radiosonde untuk wilayah Indonesia. Pendekatan metode gradien berdasarkan parameter suhu

udara (T), suhu potensial (θ), suhu potensial virtual (θv), kelembaban Relatif (RH) dan mixing ratio (r).

Keragaman tinggi PBL akan dilihat secara temporal (harian dan bulanan) dan spasial. Analisis spasial

berdasarkan posisi stasiun radiosonde yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Bumi Belahan Utara Equator

(BBU), Bumi Belahan Selatan Equator (BBS) dan Equator (EQU). Hasil estimasi tinggi PBL dengan metode

gradien suhu potensial virtual memiliki nilai median tertinggi jika dibandingkan dengan empat metode lainnya.

Pada siang hari estimasi tinggi PBL secara signifikan lebih tinggi dari malam hari di semua wilayah. Hasil uji t

dan F menunjukkan bahwa metode gradien suhu aktual, suhu potensial, suhu potensial virtual dan

kelembaban relatif tidak berbeda secara signifikan. Variasi median rata-rata bulanan tinggi PBL di wilayah BBS

memiliki hubungan dengan pola hujan monsoonal, pada musim kemarau tinggi PBL lebih rendah dari musim

hujan.

Kata kunci: Estimasi Tinggi Planetary Boundary Layer, Radiosonde, Metode Gradien

PENDAHULUAN

Planetary Boundary Layer (PBL) adalah bagian dari lapisan troposfer yang memiliki pengaruh timbal

balik langsung dengan permukaan bumi dengan skala waktu hingga beberapa jam (Stull, R.B. 1988). Lapisan

ini sangat penting karena merupakan tempat terjadinya proses perubahan energi, massa dan momentum

antara bumi dengan atmosfer yang mengontrol kondisi cuaca, iklim dan kualitas udara (Oke, T.R. 1978).

Ketebalan PBL adalah parameter penting untuk memahami proses perubahan iklim, cuaca, dan kualitas udara

(Wang, X.Y., and Wang, K.C. 2014). Tinggi PBL bervariasi secara temporal (pagi, siang, sore dan malam hari)

dan spasial (lintang tinggi, lintang sedang, lintang rendah, darat dan lautan) (Pal Arya, S. 1999).

Kebutuhan akan informasi tinggi PBL semakin besar khususnya untuk bidang prediksi cuaca, iklim,

pencemaran udara dan penerbangan. Namun demikian ketersediaan data tinggi PBL secara spasial dan

temporal di wilayah indonesia belum ada. Salah satu upaya untuk mendapatkan informasi tinggi PBL adalah

dengan menggunakan data observasi vertikal atmosfer. Ketersediaan data obsevasi vertikal atmosfer dari

radiosonde di wilayah Indonesia sudah cukup banyak namun belum banyak dimanfaatkan untuk menentukan

Tinggi PBL.

4

Dasar penentuan atau metode estimasi tinggi PBL dari data radiosonde umumnya masih subyektif

yaitu dengan pengamatan visual profil vertikal suhu, kelembaban, atau kecepatan angin. Untuk menen-

tukan tinggi PBL secara obyektif dapat didekati dengan metode gradien dari parameter suhu udara (T),

suhu potensial (θ), suhu potensial virtual (θv), kelembaban Relatif (RH) dan mixing ratio (r) (Basha, G.,

and M. V. Ratnam 2009; Seidel, et al. 2010).

Makalah ini membahas estimasi tinggi PBL menggunakan lima metode gradien dari data observasi radio-

sonde untuk wilayah Indonesia. Untuk melihat metode mana yang paling konsisten (tidak berbeda secara

signifikan) akan dilakukan uji statistik. Selanjutnya untuk melihat keragaman tinggi PBL akan dilakukan an-

alisis secara temporal dan spasial. Analisis temporal meliputi analisis estimasi tinggi PBL harian (siang dan

malam hari) dan bulanan. Analisis spasial meliputi analisis estimasi tinggi PBL berdasarkan posisi stasiun

pengamatan radiosonde yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Bumi Belahan Utara Ekuator (BBU), Bumi

Belahan Selatan Ekuator (BBS) dan Ekuator (EKU).

BAHAN DAN METODE

Data Radiosonde

Data pengamatan harian (siang:12Z dan malam:00Z) stasiun radiosonde tahun 2013 diperoleh dari

uwyo.edu (http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html). Data yang tersedia adalah data tekanan (p :

hPa), tinggi geopotensial (z : m), temperatur (T : 0C), kelembaban relatif (RH : %), mixing ratio (r : g/kg),

arah angin (derajat) dan kecepatan angin (knot). Stasiun radiosonde yang digunakan dalam analisis ber-

jumlah sembilan stasiun dan dikelompokkan menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama adalah stasiun yang

berada di BBU dengan posisi lintang lebih besar dari 1o LU yaitu stasiun Polonia, Kucing dan Manado. Wila-

yah kedua adalah stasiun yang berada di sekitar ekuator dengan posisi lintang antara 1o LU sampai dengan

-1o LS yaitu stasiun Padang dan Palu. Wilayah ketiga adalah stasiun yang berada di BBS dengan posisi lin-

tang lebih kecil dari -1o LS yaitu stasiun Pangkal Pinang, Cengkareng, Surabaya, dan Ujung Pandang. Infor-

masi koordinat dan ketinggian stasiun radiosonde di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Informasi Koordinat dan Ketinggian Stasiun Radiosonde

5

Estimasi Tinggi PBL

Estimasi tinggi PBL dari data observasi 9 stasiun Radiosonde menggunakan lima metode gradien

yang berbeda (Basha, G., and M. V. Ratnam 2009; Seidel, et al. 2010):

1. Estimasi tinggi PBL berdasarkan level maksimum gradien vertikal suhu udara (dT/dz)

2. Estimasi tinggi PBL berdasarkan level maksimum gradien vertikal suhu potensial (dθ/dz)

3. Estimasi tinggi PBL berdasarkan level maksimum gradien vertikal suhu potensial virtual (dθv/dz)

4. Estimasi tinggi PBL berdasarkan level minimum gradien vertikal kelembaban relatif (dRH/dz)

5. Estimasi tinggi PBL berdasarkan level minimum gradien vertikal mixing ratio (dr/dz)

Suhu potensial dapat dihitung dengan persamaan berikut

(1) Suhu potensial virtual dapat dihitung dengan persamaan berikut

(2) Dimana T adalah suhu udara (0K), p adalah tekanan (mb), θ adalah suhu potensial (0K) dan r adalah

mixing ratio (kg/kg).

Evaluasi Tingkat Ketidakpercayaan

Untuk mengevaluasi tingkat ketidakpercayaan hasil estimasi tinggi PBL dari lima metode berbeda

dilakukan uji statistik. Ada tiga uji statistik yang digunakan yaitu uji T, Uji F, dan Uji Koefisien korelasi linier

person. Uji T digunakan untuk membandingkan rata-rata tinggi PBL, Uji F digunakan untuk

membandingkan varian tinggi PBL sedangkan Uji Koefisien Korelasi Linier Person digunakan untuk melihat

apakah kedua metode memiliki korelasi yang signifikan. Apabila hasil uji t dan F menunjukkan nilai P kecil

artinya kedua metode berbeda secara signifikan sedangkan apabila nilai P dari uji Koefisien korelasi linier

person kecil artinya kedua metode secara statistik berkorelasi signifikan.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Estimasi tinggi PBL antar Metode.

Analisis dilakukan untuk menentukan metode mana yang paling konsisten (tidak berbeda secara

signifikan) berdasarkan nilai median, frekuensi kejadian, dan uji statistik untuk estimasi tinggi PBL. Kelima

metode yang digunakan untuk menentukan tinggi PBL berdasarkan pada variabel vertikal yang berbeda.

Terkadang kelima metode tersebut bisa menghasilkan estimasi tinggi PBL yang sama akan tetapi bisa juga

berbeda.

Pada Gambar 1 disajikan distribusi nilai median hasil estimasi tinggi PBL dengan lima metode yaitu

metode gradien suhu aktual (dT/dz), gradien suhu potensial (dθ/dz), gradien suhu potensial virtual (dθv/

dz), gradien kelembaban relatif (dRH/dz) dan gradien mixing ratio (dr/dz). Hasil estimasi tinggi PBL dari

setiap metode dikelompokkan berdasarkan waktu pengamatan (siang dan malam) dan posisi stasiun di

BBU, BBS atau Ekuator.

Gambar 1. Distribusi nilai median estimasi tinggi PBL dengan lima metode pada siang dan malam hari di

tiga wilayah kajian (BBU, Equator, BBS)

Estimasi tinggi PBL dengan lima metode gradien baik secara temporal (siang dan malam) maupun

spasial (BBU, BBS, EQU) menunjukkan bahwa metode gradien suhu potensial virtual memiliki nilai median

tinggi PBL yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan empat metode lainnya. Sebagai contoh untuk stasiun

di wilayah equator pada siang dan malam hari, nilai median tinggi PBL adalah 2992 m dan 2906 m. Jika

dibandingkan dengan metode gradien mixing ratio lebih tinggi 298 m pada siang hari dan 210 m pada

malam hari (Gambar 2).

Berdasarkan distribusi nilai median estimasi tinggi PBL dari kelima metode di BBU pada siang hari

relatif sama dimana beda tinggi hanya 46 m berbeda dengan hasil estimasi pada malam hari dengan beda

tinggi mencapai 187 m. Sebaliknya di BBS pada siang hari perbedaan tinggi PBL antar metode lebih tinggi

(292 m) di bandingkan dengan malam hari (92 m).

7

Pada siang hari estimasi tinggi PBL dengan metode gradien suhu aktual (dT/dz), gradien suhu

potensial (dθ/dz) dan gradien suhu potensial virtual (dθv/dz) di semua wilayah cenderung sama dengan

beda tinggi 2 m - 57 m. Pada malam hari estimasi tinggi PBL dengan metode gradien suhu aktual (dT/dz)

relatif sama dengan gradien suhu potensial (dθ/dz) dan estimasi tinggi PBL dengan metode gradien

kelembaban relatif (dRH/dz) sama dengan gradien mixing ratio (dr/dz).

Selain membandingkan estimasi tinggi PBL antar metode berdasarkan distribusi nilai median juga

dibandingkan berdasarkan frekuensi kejadian. Pada tabel 2 disajikan Persentase Estimasi Tinggi PBL

berdasarkan frekuensi kejadian pada siang dan malam hari di BBU, BBS dan Equator. Persentase estimasi

tinggi PBL di bagi menjadi enam kelas dengan jumlah sampel data lebih dari 1000 set data untuk setiap

metode.

Hasil estimasi tinggi PBL di wilayah BBU, pada siang hari persentase kejadian tertinggi adalah 43%

dengan tinggi PBL 3 – 4 km sedangkan pada malam hari lebih rendah yaitu 37 % dengan tinggi PBL 2 – 3

km. Untuk wilayah Equator dan BBS persentase kejadian tertinggi pada siang dan malam hari relatif sama

berkisar 39% – 42% dan 38% – 40% dengan tinggi PBL 3 – 4 km. Pada siang hari di BBS estimasi tinggi

PBL 4 – 5 km persentase kejadian (17%) lebih besar dari malam hari (13%) (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase Estimasi Tinggi PBL berdasarkan frekuensi kejadian pada siang dan malam hari di BBU,

BBS dan Equator

Selanjutnya untuk mengevaluasi tingkat ketidakpercayaan hasil estimasi tinggi PBL dari lima metode

berbeda dilakukan uji statistik seperti disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil tiga uji statistik lima metode estimasi tinggi PBL

8

Berdasarkan hasil uji T seperti disajikan pada tabel 3 diperoleh nilai P metode gradien suhu aktual

dengan metode gradien suhu potensial, gradien suhu potensial virtual dan gradien kelembaban relatif

adalah > 0,05 artinya antara metode gradien suhu aktual dengan tiga metode lainnya tidak berbeda secara

signifikan sedangkan nilai p antara metode gradien suhu aktual dengan gradien mixing ratio kecil (< 0,05)

artinya kedua metode berbeda secara signifikan. Hal ini di perkuat dengan perbedaan rata-rata estimasi

tinggi PBL yang lebih dari 100 m (Tabel 3). Jika dilihat hasil uji T antara metode gradien kelembaban relatif

dengan gradien mixing ratio, p > 0,05 artinya kedua metode tidak berbeda secara signifikan dimana

perbedaan rata-rata estimasi tinggi PBL adalah 58 m. Berdasarkan hasil uji Koefisien korelasi linier person

semua metode secara statistik berkorelasi signifikan ini terlihat dari nilai p yang kecil (<0,05).

Variasi harian tinggi PBL di Stasiun Polonia Medan

Berdasarkan data hasil analisis Estimasi Tinggi PBL siang dan malam hari tanggal 21 April 2013 di

stasiun Polonia Medan seperti disajikan pada tabel 4 dan 5, terlihat bahwa pada siang hari estimasi tinggi

PBL mencapai 3285 m, ini lebih tinggi daripada hasil estimasi tinggi PBL malam hari (3156 m). Variasi ting-

gi PBL pada siang dan malam hari disebabkan pada siang hari terjadi proses pemanasan radiasi matahari

sehingga menyebabkan peningkatan suhu (proses konveksi).

Tabel 4. Analisis PBL pada siang hari tanggal 21 April 2013 di Polonia

Tabel 5. Analisis PBL pada malam hari tanggal 21 April 2013 di Polonia

9

Pada Gambar 2 disajikan hasil estimasi Tinggi PBL di Stasiun Polonia Medan pada siang hari. Tinggi

PBL hasil estimasi dengan metode gradien suhu udara (dT/dz), suhu potensial (dθ/dz) dan suhu potensial

virtual (dθv/dz) adalah sama 3285 m (Tabel 4a). Sedangkan Estimasi tinggi PBL dengan menggunakan

metode gradien kelembaban relatif (dRH/dz) lebih rendah yaitu 3142 m bahkan dengan metode gradien

mixing ratio (dr/dz) hanya 2989 m. Berdasarkan hasil estimasi tinggi PBL pada siang hari terdapat

perbedaan yang signifikan antar metode berbeda dengan estimasi tinggi PBL pada malam hari yang relatif

sama yaitu 3156 m (Gambar 3).

Variasi bulanan tinggi PBL

Untuk mendapatkan variasi bulanan tinggi PBL, hasil estimasi tinggi PBL harian setiap metode dari

beberapa stasiun radiosonde pada wilayah yang sama digabungkan. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata,

standar defiasi dan median untuk setiap bulan dan diplot seperti disajikan pada gambar 4.

Gambar 2. Estimasi Tinggi PBL di Stasiun Polonia

Medan pada siang hari (21 April 2013)

Gambar 3. Estimasi Tinggi PBL di Stasiun Polonia

Medan pada malam hari (21 April 2013)

10

Gambar 4. Variasi median rata-rata bulanan tinggi PBL dari lima metode gradien periode Januari sampai

Desember 2013. Garis vertikal menunjukkan standar deviasi dan diagram batang menunjukkan

jumlah data yang digunakan dalam analisis

Variasi median rata-rata bulanan dari kelima metode memiliki kecenderungan pola yang sama di

semua wilayah kecuali di equator pada bulan Juli dimana hasil estimasi tinggi PBL dengan metode gradien

kelembaban relatif dan mixing ratio (2,51 ± 0.48 km) lebih tinggi dari ketiga metode gradien suhu (2,99 ±

0,48 km).

Estimasi tinggi PBL di BBU tertinggi adalah bulan November (3,43 ± 0,64 km) dan minimum pada

bulan Februari, Mei dan September berturut-turut : 2,17 ± 0,44 km ; 2,50 ± 0,42 km ; 2,24 ± 0,44 km.

Estimasi tinggi PBL tertinggi di wilayah Equator adalah bulan Januari - Maret (3,02 ± 0,54 km) dan

terendah bulan Mei (2,53 ± 0,4 km). Berbeda dengan di wilayah BBU, Estimasi Tinggi PBL di BBS pada

bulan November adalah terendah (2,29 ± 0,53 km) diikuti dengan bulan Juni (2.48 ± 0.44 km). Sedangkan

tertinggi adalah bulan Januari – Februari (3,05 ± 0,52 km).

Berdasarkan hasil analisis variasi median rata-rata bulanan di wilayah BBS dengan pola hujan

monsoonal ada kecenderungan pada musim kemarau (Mei – Agustus) estimasi tinggi PBL dan nilai standar

deviasi lebih rendah yaitu 2,56 ± 0,42 km jika dibandingkan pada musim hujan (Des – Jan) yaitu 3,00 ±

0,50 km.

11

KESIMPULAN

1. Hasil estimasi tinggi PBL dengan metode gradien suhu potensial virtual memiliki nilai median terting-

gi jika dibandingkan dengan empat metode lainnya.

2. Pada siang hari estimasi tinggi PBL secara signifikan lebih tinggi dari malam hari di semua wilayah.

3. Hasil uji t dan F menunjukkan bahwa metode gradien suhu aktual, suhu potensial, suhu potensial

virtual dan kelembaban relatif tidak berbeda secara signifikan.

4. Variasi median rata-rata bulanan tinggi PBL di wilayah BBS memiliki hubungan dengan pola hujan

monsoonal, dimana pada musim kemarau rata-rata tinggi PBL lebih rendah dari musim hujan.

DAFTAR PUSTAKA

Stull, R.B. 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology. Kluwer Academic Publishers. London

Oke, T.R. 1978. Boundary Layer Climate. Second Edition. Methuen, Inc. New York

Wang, X.Y., and Wang, K.C. 2014. Estimation of Atmospheric mixing layer height from radiosonde data.

Under review for journal Atmospheric Measurement Teknique.

Pal Arya, S. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispertion. Oxford University Press. New York

Basha, G., and M. V. Ratnam (2009), Identification of atmospheric boundary layer height over a tropical

station using high resolution radiosonde refractivity profiles: Comparison with GPS radio occultation

measurements, J. Geophys. Res., 114, D16101,

Seidel, D.J., Ao, Chi O, and Li, Kun. 2010. Estimating climatological planetary boundary layer heights from

radiosonde observation : Comparison of methods and uncertainty analysi. Journal of Geophysical

Research. Vol 115. D16113.

http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html diakses Mei 2014.

12

HUBUNGAN IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) TERHADAP

ANOMALI CURAH HUJAN DI PANTAI UTARA JAWA

(Studi Kasus: Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan

Kabupaten Indramayu)

Dariin Firda

ABSTRAK

Analisis hubungan antara indeks IOD (Indian Ocean Dipole) dengan anomali curah hujan bulanan dilakukan

pada tiga Kabupaten di Pantai Utara Jawa dengan periode tiga bulanan, yaitu Desember-Januari-Februari

(DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA), dan September-Oktober-November (SON). Waktu

jeda yang digunakan dalam analisis adalah lag 0 sampai lag 3 dengan analisis korelasi dan signifikansi

dengan nilai p < 0,1. Data curah hujan bulananp ada 14 stasiun yang digunakan memiliki periode data >20

tahun dengan data kosong pada setiap stasiun <10%. Hasil analisis menunjukan bahwa IOD memiliki

korelasi kuat dengan anomali curah hujan bulanan. Periode musim yang paling banyak memiliki korelasi

dengan IOD positif adalah periode SON sebanyak 6 stasiun. Pada kondisi IOD negatif, periode MAM dan JJA

merupakan periode dengan jumlah stasiun terbanyak yang berkorelasi nyata dengan IOD. Pada kondisi IOD

positif, stasiun yang paling banyak berkorelasi nyata berada di wilayah Kabupaten Subang. Dalam kondisi

IOD negatif, sebagian besar stasiun berkorelasi nyata di wilayah Kabupaten Indramayu. Pengaruh IOD baik

positif maupun negatif, secara umum lebih kuat pada periode musim MAM sampai SON dan lebih rendah

pada periode musim DJF.

Kata kunci: IOD, DMI, Curah Hujan

PENDAHULUAN

Kondisi menghangatnya suhu permukaan laut di timur Samudera Pasifik, yang menyebabkan

penurunan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia yang disebut sebagai El Nino dan kondisi sebaliknya

yang disebut sebagai La Nina, sering digunakan dalam penelitian mengenai variabilitas iklim dan curah

hujan di Indonesia. Padahal, selain fenomena ENSO, terdapat beberapa mekanisme yang berpengaruh

terhadap iklim Indonesia, salah satunya adalah Indian Ocean Dipole (Estiningtyas, 2018) yang merupakan

anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia akibat adanya interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia

sekitar khatulistiwa. Interaksi tersebut menyebabkan peningkatan SPL (suhu permukaan laut) di barat

Samudera Hindia dan penurunan SPL di bagian timur Samudera Hindia (barat Sumatera) (Saji et.al, 1999).

IOD terjadi di wilayah Samudera Hindia bagian barat (100 LU- 100 LS; 500 BT-70 0BT) dan Samudera

Hindia bagian timur(00-100 LS ; 900 – 1100 BT) (Saji et al, 1999). Perbedaan suhu dengan nilai positif antara

bagian barat Samudera Hindia dengan bagian timur Samudera Hindia disebut fase Dipole Mode positif,

sedangkan perbedaan suhu permukaan laut antar dua wilayah tersebut bernilai negatif disebut Dipole Mode

negative (Rahayu et.al,2018). Perbedaan suhu antar dua wilayah di Samudea Hindia menyebabkan

perubahan arah angin yang mempengaruhi pergerakan massa air, sehingga mempengaruhi pola curah

hujan di daerah tropis. Dipole Mode positif menyebabkan suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian

13

timur lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian barat. Hal

tersebut menyebabkan massa air bergerak dari Samudera Hindia bagian timur menuju Samudera Hindia

bagian barat sehingga menyebabkan penurunan curah hujan dan kekeringan di Indonesia, terutama di

wilayah Sumatera Selatan, Jawa dan Nusa Tenggara (Mulyana, 2002). Sedangkan fase Dipole Mode negatif

terjadi jika suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur lebih tinggi dari normal, sehingga massa

air terbawa ke Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan hujan di Indonesia bagian barat.

Dampak IOD umumnya dirasakan di wilayah Indonesia bagian barat, terutama pada wilayah-

wilayah yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, seperti Sumatera bagian barat dan Jawa

bagian selatan. Menurut Mulyana (2002) IOD menyebabkan wilayah-wilayah bagian selatan di Sumatera,

Jawa dan Nusa Tenggara pada umumnya mengalami penurunan curah hujan, terutama pada bulan

September, Oktober, dan November. Pada penelitian lain disebutkan bahwa IOD hanya berpengaruh jelas

pada wilayah dengan pola hujan monsunal (Nugroho dan Yatini, 2007 dalam Prawoto 2011). Penelitian

inibertujuan untuk melihat hubungan antara kejadian IOD dengan anomali curah hujan yang terjadi di

kabupaten-kabupaten pantai utara Jawa dengan pola hujan monsunal, yaitu Kabupaten Karawang,

Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Subang.

METODOLOGI PENELITIAN

Data

Penelitian ini mencakup tiga kabupaten di pantai utara Jawa, yaitu Kabupaten Karawang,

KabupatenIndramayu, dan Kabupaten Subang. Data yang digunakan merupakan data curah hujan bulanan

dari stasiun-stasiun hujan dengan periode 1975-2014. Stasiun curah hujan yang diambil merupakan stasiun

yang memilikiperiode data curah hujan lebih dari 20 tahun dan kekosongan data kurang dari 10%, dalam

penelitian ini stasiun yang akan digunakan meliputi 4 stasiun di Kabupaten Karawang, 5 stasiun di

Kabupaten Indramayu, dan 5 stasiun di Kabupaten Subang (Tabel 1). Indian Ocean Dipole (IOD)

dinyatakan dalam Dipole Mode Index (DMI) yang diambil dari situs Jamstec: Low Lattitude Climate

Production Research dari tahun 1975-2014.

Tabel 1. Stasiun hujan yang digunakan

14

Metode

Anomali curah hujan dihitung untuk menghilangkan pengaruh musim pada data curah hujan

(Narulita, 2017) pada 14 stasiun tersebut dengan persamaan berikut:

Ket: Ano CHij = anomali curah hujan di stasiun ke-I bulan ke-j

Analisis korelasi dan signifikansi dilakukan antara anomali curah hujan bulanan dengan IOD positif

dan IOD negatif dengan periode per tiga bulanan, yaitu Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei

(MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA), dan September-Oktober-November (SON). IOD positif ditandai dengan nilai

indeks >0,4 sedangkan IOD negatif ditandai dengan nilai indeks <-0,4. Analisis lag juga akan digunakan

pada analisis korelasi antara anomali curah hujan dengan DMI dengan time-lag 0 hingga 3 bulan setelah

kejadian IOD. Penggunaan analisis lag bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya keterlambatan

respon akibat fenomena IOD terhadap anomali curah hujan di Kabupaten Karawang, Indramayu, dan

Subang.

Analisis korelasi dapat menggambarkan kekuatan dan arah hubungan antara indikator IOD dengan

curah hujan. Selang kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90% atau korelasi dapat

dikatakan signifikan atau berpengaruh nyata jika nilainya ρ<0,1. Analisis korelasi yang digunakan adalah

korelasi Pearson dengan nilai koefisien ρ Pearson dapat dihitung menggunakan rumus:

Dimana x̄ dan ӯ merupakan nilai rata-rata dari variabel x dan y. Dimana x merupakan indeks DMI

dan y merupakan anomali curah hujan bulanan. Sedangkan σ(x) dan σ(y) merupakan standar deviasinya.

Hasil analisis korelasi tersebut kemudian akan dipetakan, sehingga dapat dilihat stasiun mana yang

memiliki korelasi tinggi dengan kejadian IOD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Korelasi Anomali Curah Hujan dengan IOD positif

Hasil korelasi antara anomali curah hujan dengan DMI berbeda-beda pada setiap periode dan lag.

Hasil korelasi yang diambil adalah kelas korelasi kuat dengan nilai r ±0.5 – r ±0.75 dan kelas korelasi

sangat kuat dengan nilai r ±0.75 – r ±1. Ambang nilai kepercayaan yang diambil adalah 90% atau nilai p

<0.1. Pada periode DJF, hanya Kabupaten Subang yang memiliki korelasi kuat dengan kondisi IOD positif.

Korelasi kuat negatif tersebut menunjukan peningkatan DMI positif berpengaruh terhadap peningkatan

curah hujan di Kabupaten Subang pada lag 0, lag1, dan lag 2. Pada lag 0, Stasiun yang memiliki korelasi

kuat negatif berada pada stasiun Kasomalang di selatan Kabupaten Subang, dengan nilai r -0,7.

Peningkatan nilai DMI positif padalag 1 menyebabkan peningkatan curah hujan di stasiun Kasomalang dan

Dangdeur, sedangkan pada lag 2 peningkatan curah hujan terdapat pada stasiun Curug Agung dengan nilai

r-0,5. Sementara pada lag 3, tidak terdapat stasiun yang memiliki korelasi kuat dengan kejadian IOD

positif. Pada periode DJF, stasiun Kasomalang di Subang memiliki nilai korelasi negatif yang paling besar

dengan nilai r -0.7 seperti yang terlihat pada tabel 2.

15

Gambar 1. Korelasi anomali curah hujan dengan IOD positif pada periode DJF (kiri) dan MAM (kanan)

Pada periode MAM, seperti yang terlihat pada gambar 1 stasiun yang memiliki korelasi kuat dan

nyata dengan indeks IOD positif berada di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang. Menigkatnya

indeks IOD Positif pada lag 0 di stasiun Pedes yang berada di Utara Karawang, berdampak pada penurunan

curah hujan dengan nilai korelasi 0,6. Sementara peningkatan indeks IOD positif di bagian tengah

Kabupaten Subang berdampak pada menurunnya curah hujan di stasiun Cipendeuy dan stasiun Dangdeur

pada satu bulan setelah kejadian meningkatnya indeks IOD. Pada stasiun Kasomalang di selatan Subang,

kejadian IOD positif berkorelasi positif pada lag 2, dengan nilai korelasi mencapai 0,93.

Tabel 2. Stasiun hujan yang berkorelasi nyata dengan IOD positif

Pada periode JJA yang merupakan periode musim kemarau di Indonesia, hanya terdapat satu

Stasiun di bagian tengah Kabupaten Subang yang berkolerasi nyata dengan kejadian IOD positif, yaitu

stasiun Cipendeuy dengan nilai korelasi r -52 pada lag 1. Korelasi negatif tersebut menunjukan, curah

hujan di stasiun Cipendeuy mengalami peningkatan dengan waktu jeda 1 bulan setelah meningkatnya

indeks DMI positif.

16

Gambar 2. Korelasi anomali curah hujan dengan IOD positif pada periode JJA (kiri) dan SON (kanan)

Pada periode SON, terdapat 6 stasiun di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang yang

berkolerasi negatif dengan IOD positif. Peningkatan DMI positif berdampak pada meningkatnya curah

hujan di enam Stasiun tersebut dengan lag yang berbeda-beda. Seperti yang dapat dilihat pada gambar2,

Stasiun yang berkolerasi negatif pada lag 0 terdapat di utara Kabupaten Indramayu pada Stasiun

Juntinyuat dengan r -0,57 dan di selatan Kabupaten Subang, tepatnya di Stasiun Curug Agung dengannilai

r -0,5. Pada lag 1 dan lag 2, peningkatan DMI positif sama-sama berdampak pada peningkatan curah hujan

di Stasiun Dandeur dan Stasiun Kasomalang di Kabupaten Subang. Stasiun Dangdeur memiliki nilai r -0,62

pada lag 1 dan -0,51 pada lag 2, sedangkan Stasiun Kasomalang pada lag 1 memiliki nilai r -0,68 dan r -

0,61 pada lag 2 sesuaidegan yang dapatdilihat pada tabel2.

Periode SON menjadi periode dengan stasiun terbanyak yang berkolerasi nyata dengan kejadian

IOD positif. Rahayu, et al. (2018) menyebutkan bahwa IOD mencapai puncak pada bulan Oktober dan

mulai menghilang pada bulan November. Secara umum, korelasi nyata yang terjadi antar IOD positif dan

anomali curah hujan di wilayah pembahasan memiliki korelasi negatif. Nurutami dan Hidayat (2016)

menyatakan bahwa selama IOD positif, curah hujan di Sumatera menurun, sedangkan curah hujan di

PulauJawa secara umum meningkat hingga 150 mm/bulan. Peningkatan hujan di Jawa dapat disebabkan

karena tahun-tahun dengan IOD positif dapat diikuti dengan kejadian La Nina lemah, sehingga pada

beberapa wilayah Indonesia menjadi lebih basah (Nurutami dan Hidayat, 2016).

Korelasi Anomali Curah Hujan dengan IOD Negatif

Kejadian IOD negatif pada periode DJF pada lag 0 memiliki korelasi yang berbeda di 2 Stasiun

di Utara Karawang. Pada Stasiun Rawamerta, DMI negatif berkorelasi negatif dengan nilai r -1. Sedangkan

pada Stasiun Batujaya, peningkatan indeks DMI negatif menyebabkan peningkatan curah hujan dengan

nilai r 0,99. Korelasi positif tersebut juga ditemukan di Kabupaten Indramayu bagian utara pada lag 2,

dengannilai r 0,99.

17

Gambar 3. Korelasi anomali curah hujan dengan IOD negatif pada periode DJF (kiri) dan MAM (kanan)

Pada periode MAM, Stasiun Rawamerta di Kabupaten Karawang menunjukan korelasi positif pada lag

0, artinya peningkatan DMI negatif saat itu langsung mempengaruhi peningkatan curah hujan di stasiun

Ramamerta tanpa ada jeda bulan. Sedangkan pada lag 2, 4 Stasiun di kabupaten Indramayu dan 3 stasiun

di Kabupaten Subang memperlihatkan korelasi negatif seperti yang terlihat pada tabel 3. Sehingga saat

terjadi peningkatan indeks DMI negatif, akan memberikan pengaruh pada penurunan curah hujan pada

stasiun-stasiun di bagian selatan Subang dan Indramayu dengan persebaran Stasiun seperti pada gambar

3.

Tabel 3. Stasiun hujan yang berkorelasi nyata dengan IOD negatif

18

Memasuki periode musim kemarau JJA, stasiun Juntinyuat di selatan Indramayu memiliki

korelasinegatif pada lag 0. Namun, stasiun Ponggang di utara Subang pada lag 0 memiliki korelasi positif,

yang menunjukan saat kejadian IOD negatif, terjadi peningkatan curah hujan di stasiun tersebut. Pada lag

1, terdapat 1 stasiun di Kabupaten Subang dan 3 stasiun di Kabupaten Karawang yang berkorelasi positif

terhadap DMI negatif, serta 1 stasiun di Kabupaten Subang yang berkorelasi negatif dengan DMI negatif.

Dua stasiun hujan di selatan Subang seluruhnya berkorelasi negatif pada lag 2, yang menunjukan

terjadinya penurunan curah hujan pada stasiun-stasiun tersebut setelah 2 bulan terjadi peningkatan DMI

negatif.

Gambar 4. Korelasi anomali curah hujan dengan IOD negatif pada periode JJA (kiri) dan SON (kanan)

Pada periode SON, stasiun Kasomalang di selatan Subang memiliki korelasi positif pada lag 0 dengan

nilai r 1. Korelasi positif juga terdapat pada lag 2 di stasiun Juntinyuat Kabupaten Indramayu dengan nilai r

0,99 Sedangkan pada lag 1, seluruh stasiun yang berkolerasi dengan DMI negatif, memiliki korelasi negatif

yang terdiri dari stasiun Pengakaran di utara Karawang dan stasiun Kedokan Bunder serta stasiun

Sukadana di selatan Indramayu, yang menunjukan bahwa kejadian IOD negatif berdampak pada

menurunnya curah hujan pada stasiun-stasiun tersebut.

Periode dengan korelasi kuat dan nyata antara DMI negatif dengan anomali curah hujan banyak

terjadi pada periode MAM, JJA, dan SON. Menurut Nurutami dan Hidayat (2016), IOD berpengaruh kuat

terhadap curah hujan di wilayah Indonesia pada hujan di musim kemarau (Juni-November) dan

berpengaruh lemah pada musim hujan sekitar bulan Desember-Mei.

KESIMPULAN

DMI berkorelasi kuat dan berpengaruh nyata dengan anomali curah hujan di 14 stasiun yang diuji

dengan periode dan lag yang berbeda-beda. Periode musim yang paling banyak memiliki korelasi dengan

IOD positif adalah periode SON yang merupakan periode peralihan musim kemarau ke musim hujan.

Sedangkan pada kondisi IOD negatif, periode MAM dan JJA merupakan periode dengan jumlah stasiun

terbanyak yang berkorelasi nyata dengan IOD yaitu masing-masing sebanyak 9 stasiun. Pada kondisi IOD

positif, stasiun paling banyak yang berkorelasi nyata berada di wilayah Kabupaten Subang. Dalam kondisi

IOD negatif, sebagian besar stasiun yang berkorelasi nyata berada di wilayah Kabupaten Indramayu,

sebanyak 10 stasiun pada lag yang berbeda-beda. Pengaruh IOD baik positif maupun negatif, secara

umum lebih terlihat pada periode musim MAM sampai SON, sedangkan memiliki pengaruh yang lebih

rendah pada periode musim DJF.

19

DAFTAR PUSTAKA

Estiningtyas W, Susamti E, Syahbuddin H, Slaiman AA. 2018. Penentuan Wilayah Kunci Keragaman Iklim

Indonesia Menggunakan Indikator Global untuk Mendukung Adaptasi Perubahan Iklim. Jurnal Tanah

dan Iklim Vol. 42 No. 1:59-68

Jamstec: Low Lattitude Climate Production Research dari tahun 1975-2014

Mulyana E. 2002. Pengaruh Dipole Mode terhadap Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi

Modifikasi Cuaca. Vol. 3 No.1: 39-43

Narulita I. 2017. Pengaruh ENSO dan IOD pada Variabilitas Curah Hujan di DAS Cecuruk, Pulau Belitung.

Jurnal Tanah dan Iklim. Vol 41 No.1:45-60

Nurutami MN, Hidayat R. 2018. Influences of IOD and ENSO to Indonesian rainfall variability: role of at

mosphere-ocean interaction in the Indo-Pacific Sector. Procedia Environmental Sciences 33. 196-203

Prawoto, Imam, Azizah, N., Taufik, M. 2011. Tinjauan Kasus Banjir di Kepulauan Riau Akhir Januari 2011.

Jurnal Megasains Vol.2 (2)

Rahayu ND, Sasmito B, Bashit N. 2018. Analisis Pengaruh Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap

Curah Hujan di Pulau Jawa. Jurnal Geodesi Undip. Vol 7, No 1.

Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole Mode in The Tropical Indian

Ocean. Nature. Vol. 401

20

KOREKSI BIAS CURAH HUJAN GLOBAL PRECIPITATION

CLIMATOLOGY CENTRE (GPCC), STUDI KASUS: JAWA BARAT

Misnawati

ABSTRAK

Penggunaan data-data global curah hujan semakin meningkat karena minimnya ketersedian data observasi

curah hujan, akan tetapi curah hujan global masih memiliki bias terhadap curah hujan observasi sehingga

perlu dilakukan koreksi bias terhadap data-data global sebelum penggunaan lebih lanjut. Tujuan dari

penelitian ini adalah melakukan koreksi bias curah hujan Global Precipitation Climatology Centre (GPCC)

bulanan untuk wilayah Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah curah hujan GPCC sebelum

dikoreksi lebih tinggi dari curah hujan observasi (overestimate) dan setelah dilakukan koreksi bias, jumlah

curah hujan GPCC mendekati curah hujan observasi. Nilai korelasi (r) antara curah hujan GPCC terkoreksi

lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan GPCC yang belum dikoreksi yaitu 0.522 sebelum dikoreksi dan

0.947 setelah dikoreksi. Pola spasial curah hujan GPCC terkoreksi hampir sama dengan pola spasial curah

hujan observasi dan nilai perbedaan (gap) curah hujan GPCC terkoreksi lebih kecil dibandingkan dengan

GPCC yang belum terkoreksi.

Kata Kunci: koreksi bias, curah hujan, GPCC, Jawa Barat

PENDAHULUAN

Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting untuk sektor pertanian, hasil analisis curah

hujan sangat bermanfaat untuk perencanaan pertanian seperti penentuan waktu, pola tanam tanaman dan

kesesuaian agroklimat. Perencanaan pertanian yang baik akan menentukan tingkat keberhasilan pertanian

yang umumnya diukur dari produktivitas tanaman yang dibudidayakan. Produktivitas tanaman sangat

ditentukan oleh curah hujan karena berkaitan dengan jumlah ketersedian air, defisit air dapat menyebabkan

produktivitas menurun bahkan mengalami gagal panen. Oleh karena itu informasi curah hujan sangat

diperlukan untuk kebutuhan perencanaan pertanian seperti menentukan kalender tanam (Moron, 2009).

Informasi curah hujan yang akurat sangat ditentukan oleh ketersedian data curah hujan yang lengkap

dan kontinu secara spasial dan temporal, tetapi ketersedian curah hujan yang memadai menjadi kendala

karena data curah hujan yang tersedia tidak lengkap, banyak data yang kosong dan sebaran stasiun

penakar hujan yang tidak merata (Su et al. 2008). Sehingga diperlukan metode alternatif untuk mengatasi

permasalahan keterbatasan data curah hujan tersebut, salah satunya adalah pemanfaatan data curah hujan

reanalisis yang bersifat global yang berbasis data observasi.

Salah satu data curah hujan renalisis yang sering digunaka adalah GLOBAL PRECIPITATION CLIMATOLOGY

CENTRE (GPCC). GPCC merupakan data reanalysis yang kembangkan oleh The German Weather Service

melalui program the World Climate Research Programme (WCRP) and to the Global Climate Observing

System (GCOS) yang didukung oleh World Metorological Organization (WMO) berbasis data observasi yang

dikumpulkan dari berbagai negara sebanyak 75,152 stasiun, kemudian data tersebut diinterpolasi dengan

21

menggunakan ordinary kriging dan menghasilkan data dalam bentuk grid dengan beberapa resolusi,yaitu

2.5°, 1°, 0.5° dan 0.25° yang tersedia dari tahun 1901 sampai sekarang dengan skala waktu harian dan

bulanan (Schneider et al. 2017) Namun data curah hujan tersebut masih memiliki bias terhadap curah hu-

jan observasi, sehingga diperlukan koreksi bias terlebih dahulu sebelum penggunaan lebih lanjut.

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan koreksi bias curah hujan GPCC skala bulanan dan

mempelajari karakteristik curah hujan GPCC bulanan sebelum dan sesudah dikoreksi terhadap curah hujan

observasi.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian dan Data

Lokasi penelitian ini adalah Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data curah hujan bulanan ob-

servasi Jawa Barat tahun 1981-2010 sebanyak 378 stasiun (Gambar 1). Data curah hujan bulanan Global

Precipitation Climatology Centre (GPCC) yang digunakan adalah GPCC V.2018 (Schamm et al. 2014) tahun

1981-2010 dengan resolusi 0,25° x 0.25° (28 km x 28 km) yang dapat diunduh di website https://

www.dwd.de/EN/ourservices/gpcc/gpcc.html?nn=347042.

Gambar 1. Sebaran stasiun penakar curah hujan Jawa Barat

Ekstrak Data GPCC

Data curah hujan bulanan GPCC dalam bentuk grid diekstrak sesuai dengan koordinat stasiun untuk mem-

peroleh nilai masing-masing titik yang sesuai dengan koordinat stasiun sehingga dapat dibandingkan

dengan curah hujan observasi.

Koreksi Bias

Metode yang digunakan untuk melakukan koreksi bias curah hujan GPCC adalah metode rasio rata-rata

Lenderink et al. (2007), yaitu menggunakan rasio curah hujan rata-rata harian bulanan observasi dengan

data curah hujan rata-rata harian global sebagai faktor koreksi seperti yang dijelaskan pada persamaan

sebagai berikut:

Dimana:

P*model = Curah hujan model terkoreksi (mm) Pmodel = Curah hujan model (mm)

μmPobs = Curah hujan observasi (mm)

22

Untuk melihat performa curah hujan bulanan GPCC yang belum dan yang sudah dikoreksi terhadap

curah hujan observasi, maka dilakukan analisis statistik dengan menggunakan koefisien korelasi (r).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menunjukkan menunjukkan nilai rata-rata faktor koreksi antara curah hujan observasi

dengan curah hujan observasi, nilai faktor koreksi berkisar antara 0,51-1,64. Namun, Nilai faktor koreksi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai faktor koreksi per bulan untuk masing-masing stasiun

yang belum dirata-ratakan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai faktor koreksi curah hujan GPCC

Pola klimatologi curah hujan observasi, GPCC sebelum dan sesudah dikoreksi bias. Secara umum,

pola curah hujan rata-rata bulanan GPCC data mengikuti flukstuasi curah hujan rata-rata bulanan observa-

si, yaitu mengikuti pola curah hujan tipe monsunal dengan puncak hujan terjadi pada bulan Januari, Febru-

ari dan Maret. Namun, jumlah curah hujan rata-rata bulanan GPCC sebelum dikoreksi cenderung lebih ting-

gi dibandingkan dengan curah hujan rata-rata bulanan observasi. Setelah dilakukan koreksi bias, jumlah

curah hujan rata-rata bulanan GPCC mendekati curah hujan rata-rata bulanan observasi bahka ada yang

sama dengan curah hujan rata-rata bulanan observasi, yaitu terjadi pada bulan Januari, Agustus dan Ok-

tober (Gambar 2 dan Tabel 1).

Gambar 2. Pola klimatologi curah hujan bulanan observasi, GPCC dan GPCC terkoreksi

23

Gambar 3. Scatterplot curah hujan tahunan observasi dengan curah hujan bulan GPCC sebelum (a) dan sesudah dikoreksi bias (b)

Scatter plot pada Gambar 3a menunjukkan bahwa nilai curah hujan GPCC tahunan sebelum dikoreksi

banyak berada dibawah garis diagonal 1:1, artinya curah hujan GPCC cenderung lebih besar dari curah

hujan observasi dengan nilai korelasi (r) antara curah hujan tahunan observasi dengan curah hujan ta-

hunan GPCC sebelum dikoreksi sebesar 0.522. Setelah dilakukan koreksi bias (Gambar 3b), nilai-nilai curah

hujan tahunan GPCC berada mengumpul mendekati garis diagonal 1:1, artinya curah hujan tahunan GPCC

terkoreksi nilainya mendekati curah hujan tahunan observasi dengan nilai korelasi (r) jauh lebih tinggi

dibandingkan sebelum dilakukan koreksi bias, yaitu sebesar 0,947.

Gambar 4. Curah hujan tahunan rata-rata observasi (a), GPCC (b) dan GPCC terkoreksi (c)

Gambar 4 merupakan pola spasial curah hujan tahunan untuk observasi, GPCC dan GPCC terkoreksi.

Terlihat bahwa curah hujan tahunan GPCC yang belum dikoreksi (Gambar 4b) memiliki pola spasial yang

berbeda dengan curah hujan tahunan observasi (Gambar 4a), dimana keberagaman pola spasial curah hu-

jan tahunan GPCC lebih rendah dibandingkan curah hujan tahunan observasi. Sedangkan GPCC terkoreksi

(Gambar 4c) mempunyai pola spasial yang hampir sama dengan curah hujan tahunan observasi dan

keberagaman pola spasialnya juga hampir mengikuti curah hujan observasi.

24

Gambar 5. Nilai perbedaan (gap) antara curah hujan GPCC sebelum dan sesudah dikoreksi dengan curah

hujan observasi

Nilai perbedaan (gap) antara curah hujan tahunan GPCC sebelum dan sesudah dikoreksi dengan cu-

rah hujan tahunan observasi ditunjukkan pada Gambar 5. Nilai gap curah hujan tahunan GPCC sebelum

dikoreksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan GPCC yang sudah dikoreksi dan semua nilai perbedaannya

adalah negatif, artinya curah hujan tahunan GPCC sebelum dikoreksi lebih tinggi dari curah hujan tahunan

observasi. Nilai gap GPCC setelah koreksi jauh lebih kecil dengan nilai positif dan negatif dan nilainya

bahkan ada yang mendekati nol pada tahun 1998, 2001, 2002 dan 2003.

KESIMPULAN

Nilai curah hujan GPCC sebelum dikoreksi lebih tinggi (overestimate) dari curah hujan oservasi dan

setelah dikoreksi nilainya hampir mendekati curah hujan obsevasi bahkan ada nilai yang sama dengan cu-

rah hujan observasi. Secara spasial curah hujan GPCC sebelum dikoreksi berbeda dengan curah hujan ob-

servasi dan setelah dikoreksi pola spasialnya mendekati pola spasial observasi. Korelasi antara curah hujan

GPCC dengan curah hujan observasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi curah hujan GPCC

sebelum dikoreksi. Nilai perbedaan (gap) antara curah hujan GPCC sebelum dikoreksi dengan curah hujan

observasi jauh lebih besar dibandingkan dengan curah hujan GPCC setelah dikoreksi.

Performa curah hujan bulanan GPCC wilayah Jawa Barat meningkat setelah dilakukan koreksi bias,

dimana secara intensitas curah hujan bulanan GPCC terkoreksi sudah mendekati curah hujan observasi

bahkan ada nilai bulanannya sama dengan nilai curah hujan observasi, secara spasial curah hujan GPCC

terkoreksi juga mendekati pola spasial curah hujan observasi.

DAFTAR PUSTAKA

Lenderink G, Buishand A dan Deusen WV. 2007. Estimate of future discharges of the river Rhine using two

scenarios methodologies: direct versus delta approach. Hydrol. Earth Syst. Sci. 11 (3):145-1159.

Moron V, Robertson AW, Boer R. 2009. Spatial Coherence and Seasonal Predictability of Monsuun Onset

Over Indonesia. Journal of Climate 22:840-850.

Schamm K, Ziese M, Becker A, Finger P, Meyer-Christoffer A, Schneider U, Schröder M, Stender P. 2014.

Global Gridded Precipitation over Land: A Description of the New GPCC First Guess Daily Product.‖

Earth System Science Data. 6(1): 49–60. https://doi.org/10.5194/essd-6-49-2014.

Schneider U, Finger P, Meyer-Christoffer A, Rustemeier E, Ziese M, Becker A. 2017. Evaluating the

hydrological cycle over land using the newly-corrected precipitation climatology from the Global

Precipitation Climatology Centre (GPCC). Atmosphere (Basel). 8(3). doi:10.3390/atmos8030052.

Su F, Hong Y, Lettenmaier DP. 2008. Evaluation of Multi-satellite Precpitation Analysis (TMPA) and Its

Utility in Hydrologic Prediction in the La Plata Basin. Journal of Hydrometeorology. 9; 622-640. DOI:

10.1175/2007JHM944.1.

25

Integrating Spectroscopy in the Land Resources Monitoring

to Support Agricultural Nutrient Management in Indonesia

Setyono Hari Adi

ABSTRACT

Spectroscopy studies material responses to the incident electromagnetic radiation. This method has been

proven to be cost-effective for either soil or plant nutrient analysis. Furthermore, it offers rapid and high

throughput quantitative data measurement with non-destructive, waste-free and minimal sample

preparation processes. This article reviews potential use of spectroscopy technology in land resources

monitoring as the cost-effective solution, particularly in the developing nations where natural resources

monitoring might not be part of national development priority. The discussion is focused on the use of

visual/near-infrared spectroscopy (VNIRS) for soil nutrients prediction, particularly to support cropland

nutrient management of three main food crops in Indonesia, i.e. paddy, maize, and soybean.

Keywords: Land resources monitoring, soil-nutrient management, VNIRS

ABSTRAK

Spektroskopi mempelajari respon materi terhadap radiasi elektromagnetik yang terjadi. Metode ini telah

terbukti efektif dari segi biaya untuk analisis nutrisi tanah atau tanaman. Selain itu, Teknik spektroskopi

menawarkan pengukuran data kuantitatif yang cepat berpresisi tinggi dengan tanpa merusak sampel, bebas

limbah, dan presiapan sampel minimal. Artikel ini mengulas potensi penggunaan teknologi spektroskopi

dalam pemantauan sumber daya lahan sebagai solusi yang hemat biaya, terutama di negara-negara

berkembang di mana pemantauan sumber daya alam mungkin bukan merupakan prioritas pembangunan

nasional. Diskusi difokuskan pada penggunaan spektroskopi pada pita visual/inframerah-dekat (VNIRS)

untuk prediksi nutrisi tanah, terutama untuk mendukung pengelolaan nutrisi lahan pertanian dari tiga

tanaman pangan utama di Indonesia, yaitu padi, jagung, dan kedelai.

Kata kunci: Monitoring sumber daya lahan, management nutrisi-tanah, VNIRS

26

BACKGROUND

Anthropogenic pressure on the ecosystem services is increased with the global population growth,

which is expected to reach 9.7 billion people by 2050 (Cohen, 2003; United Nations, 2015). But since the

population increase is not balanced with the extension of the arable land, the ratio of the cultivated land

per person is decreasing overtimes, with global average at 0.2 ha/persons in 2014, which was 13% de-

crease from 2000 (World Bank, 2014). This ratio is particularly lower in the developing nations where high

population increases are expected to occur, i.e. 0.18 ha/person in an average of non-high-income coun-

tries, compared to 0.30 ha/person in high-income countries. As the land to people ratio receding, agricul-

tural land has been intensified to fulfill the increasing human needs for food in the past decades. However,

mismanagement on land uses has been degrading land quality that even lowering its productivity. For ex-

ample, the application of inorganic fertilizer, which is usually coupled with pesticide, is a common practice

to enhance crop productions. But misapplication due to less information on the status of the soil properties

might lead to over-fertilization that not only does not contribute to the plant growth but also increasing

pollution to the surrounding ecosystem (Brady and Weil, 2008). Furthermore, not only mismanagement in

land use practices, this condition is also worsened by the global climate change that increases the probabil-

ity of crop failure, due to the increasing frequency of flood or prolonged drought periods. Therefore, the

challenge to the land managers is increased on how to sustain food production while maintaining the quali-

ty of the land resources in the changing environment.

Resource information is the key to management before application of certain strategies. In term of

crops production, therefore, quantitative understanding of the status of the soil properties and plant nutri-

ents are needed before particular land management scenarios are going to be applied at any locations. Soil

and plant nutrients can be monitored at best precision through traditional sampling and laboratory analysis,

but these practices are resource demanding in term of money, time, and workload (Foley et al., 1998; van

Maarschalkerweerd and Husted, 2015); hence, feasible only at the smaller scale of observation. Further-

more, some of the laboratory procedures even produce wastes that later might be endangering the ecosys-

tem. At the other hand, qualitative monitoring, such as leaf color observation to identify plant diseases and

nutrient deficiencies, although simple and low cost but only gives vague results that later cannot be used

as the quantitative basis for resource use efficiency. A quantitative cost-effective method for land resources

monitoring is therefore needed to support continuous and extensive land resources management. This re-

view is intended to address this issue by proposing spectroscopy method as the cost-effective solution for

soil and plant monitoring to support land resources management, particularly in the developing nations

where natural resources monitoring might not be the part of the development program priority. The discus-

sion is going to be focused on the use of visual/near-infrared spectroscopy (VNIRS) for soil nutrients pre-

diction, particularly to support cropland nutrient management of three main food crops in Indonesia, i.e.

paddy, maize, and soybean.

27

Spectroscopy Application in Soil and Plant Nutrients Analysis

Spectroscopy studies material responses to the incident electromagnetic radiation. This method, es-

pecially the lower energy (less than 3.1 eV) spectroscopy that includes visible up to near-infrared region

(VNIR), has been proven to be cost-effective for either soil or plant nutrient analysis, and offers rapid and

high throughput quantitative data measurement with non-destructive, waste-free and minimal sample

preparation processes (Foley et al., 1998; Lee et al., 2010; Shepherd and Walsh, 2007; Viscarra-Rossel et

al., 2006). Furthermore, recent advances in spectroscopy also open the possibility to perform in-situ VNIR

spectral measurements, which result in comparable outcomes with laboratory-based spectroscopy analysis

(Viscarra-Rossel et al., 2009). The reflectance electromagnetic spectrum within this wavelength region

shows spectral signature for different molecules due to asymmetric vibration of the molecular bond, which

is caused by molecular stretching and/or bending, that absorbs incident light at the range of its vibration

frequency (Foley et al., 1998; Stenberg et al., 2010). The resulted reflectance/absorbance spectrum is,

therefore, an indirect measurement of the material properties containing spectrally active molecules, which

later needs to be calibrated with the known composition sample (Stenberg et al., 2010; van Maarschalker-

weerd and Husted, 2015). Furthermore, content or properties that are related to other spectrally non-active

molecules might also be retrieved by observing its correlation with the properties of the spectrally active

molecules (Brown et al., 2006; Idowu et al., 2008). Table 1 summarizes spectral signature of several

known compounds with its related properties in the range of VNIR wavelength (Stenberg et al., 2010; Vis-

carra-Rossel et al., 2009).

Table 1. Spectral signature at VNIR region of several known compounds

Spectroscopy has been applied in the quantitative nutrient monitoring of soil and plant with various

degree of precision. This technique has been more broadly applied in soil than in plant monitoring due to

its practicability, cost efficiency, and result stability (van Maarschalkerweerd and Husted, 2015). In agricul-

ture, crop nutrients availability can be measured with spectroscopy directly at the plant tissues or through

soil. While plant spectroscopy analysis might give instant reading about plant nutrient availability, this

method might be less practical since it is not only influenced by the individual properties of the crop spe-

cies, such as the crop cultivar or the individual crop health (related to pest and diseases), it is also time and

site-specific, and therefore, varies depending on the multiple parameters such as the growing stage, sea-

son, soil quality, and the sample conditions (Stenberg et al., 2010). Soil spectral measurement at the other

hand can be performed with the more stable sample at a more flexible time (before, during, or after the

growing season). Compare to plant, the soil has less variability and more resistance to changes so that the

sample represents the larger area and its analysis result might still valid for longer time periods. Therefore,

soil spectroscopy is more effective and efficient for agricultural management planning. For nutrient man-

agement, the pattern of the soil nutrient status can be monitored periodically at specific times during the

growing period, and the result, together with the recorded amount of soil amendment inputs, can then be

correlated with the crop productions, to define fertilizer recommendation. Furthermore, plant spectroscopy

might be utilized to confirm the results this recommendation.

28

Published literature have shown that several properties of the soil and plant have been successfully

predicted from its spectral pattern. In the region of VNIR (400 - 2500 nm), soil organic carbon is the soil

property with relatively high predictability, with adjusted coefficient of correlation on validation ( ) higher

than 0.85 (Chang et al., 2001; He et al., 2007; Vasques et al., 2010, 2009, 2008). The soil organic carbon

is highly predictable by spectroscopy method since the structure of the soil organic carbon is mainly com-

posed of O-H, C-O, and C-H bonding that are spectrally active in the near infrared region. Furthermore,

among the soil macronutrients, which the information is used for fertilizer recommendation, only soil availa-

ble nitrogen (N) is having high predictability, with for N and either of phosphorus (P) or potassium (K)

are in the range of more and lower than 0.85 respectively (Chang et al., 2001; He et al., 2007). High pre-

dictability of soil N is due to strong spectral signature of amide (C-N) and/or amine (N-H) bonding and also

its correlation to SOM content (Stenberg et al., 2010). Nevertheless, the N concentration in soil is also gen-

erally much higher than either P or K, which is in the order of g/kg and mg/kg, respectively; hence, having

better signal to noise ratio. At the sites where soil P concentration is higher, however, the predictability of

the soil available P is improved with more than 0,85 (Bogrekci and Lee, 2005). Other soil properties that

are discernable in the range of VNIR wavelength include: soil color and mineral composition, including iron

oxides (Haematite, Goethite), clays (ex. Smectite, Kaolinite, Attapulgite), and carbonates; soil structure,

which is derived from clay content; other soil nutrients, such as Calcium (Ca), Iron (Fe), Magnesium (Mg),

and Manganese (Mn); soil cation exchange capacity (CEC); and soil water content, including soil moisture

and 1.5 MPa water (Chang et al., 2001; Viscarra-Rossel et al., 2009). Further soil spectral observation in

the mid-infrared (MIR) region shows up to 10% improvement of the coefficient of correlation on the cali-

bration model generated by VNIRS, particularly for soil organic carbon and organic matter content (Knox et

al., 2015; Viscarra-Rossel et al., 2006). This result is mainly caused by stronger fundamental vibration for

organic matter molecules at the MIR region, compared to its weaker overtones that is observable at the

VNIR region (Foley et al., 1998; Knox et al., 2015; Stenberg et al., 2010; Viscarra-Rossel et al., 2006).

However, for mass application of land resources monitoring, it is worth noticing that the improvement from

MIR spectroscopy analysis is achieved by trading off the ease of use of VNIRS that offers more rapid meas-

urements, simple sample preparation, low cost of the instrumentation, and also the possibility of in-situ

measurement (Viscarra-Rossel et al., 2006).

VNIRS is vastly used to measure plant chlorophyll, from in-situ measurement up to satellite-based

remote sensing. The reflectance value at Red ( ) and NIR ( ) regions are used to construct formu-

la to calculate the normalized difference vegetation index ( ). Leaf with higher chlorophyll

content absorbs incident light at the Red region; hence, result in low reflectance, yielding NDVI value close

to 1 (van Maarschalkerweerd and Husted, 2015). Two plant minerals related to chlorophyll content that can

be predicted using VNIRS are N and Mg. Other detectable organic compounds include lipids and ester,

which is related to organic P content (van Maarschalkerweerd and Husted, 2015), and also phenolic and

lignin (Foley et al., 1998). Furthermore, for grass type plants, the VNIRS calibrations yield relatively high

prediction performance models for the plant macronutrient analysis (including N, P, K, Mg, and Ca), but

lower performance for the micronutrients (including Fe, Mn, Zn, and Cu), with average more and lower

than 0.8 respectively (de Aldana et al., 1995; Huang et al., 2009; Ward et al., 2011). The low predictability

of the plant micronutrients contents might be due to its lower concentration in the plant tissues, such that

its variability is overshadowed by the spectrum noises.

29

Agricultural Profile and Challenges in Indonesia

Indonesia is an archipelagic country with about 2/3 of its territorial area is the ocean. It is located on

the equator at about 120o longitude, with the total land area is about 181.2 million hectares. Its ratio of the

arable area to the total land area increased from about 10% at 1961 to 13% at 2014, but it is imbalance

with the population increasing rate, as Indonesia population increased from about 88 million to 254.5 mil-

lion at the same period; therefore, reducing the arable land to population ratio from 0.20 to 0.09 ha/person

(World Bank, 2014). As the result, food demand increased and croplands then were intensified, especially

for the three main food crop commodities in Indonesia, i.e. paddy, maize, and soybean. The intensification

was indicated by the increasing area of the irrigated agricultural lands, from about 130,000 to 530,000 hec-

tares in the period of 2008-2012 (Indonesia Directorate General of Agricultural Infrastructure and Facilities,

2012), and the increasing of the total fertilizer input per hectare of land, including Urea, Ammonium, Phos-

phate, NPK, and organic fertilizer, from about 390 to 500 kg/ha (national average) in the period of 2007-

2014, with increasing rate at about 15 kg/ha/year (Indonesia Center for Agricultural Data and Information,

2014; Indonesia Directorate General of Agricultural Infrastructure and Facilities, 2012; Indonesia Fertilizer

Producers Association, 2017). Furthermore, although highly variable, the fertilizer consumption to produce

one ton of food also shows increasing trend, at about 1 kg/ton/year. This trend not only becoming one of

the possible cause of the food price increases, but can also have two possible meaning, which is either (1)

inefficient fertilizer application, which increasing the risk of ecosystem pollution, and/or (2) the sign of soil

degradation, in which more soil amendment is required to stabilize its productivity. Inefficiency in fertilizer

application might relatively easy to be fixed by gradually reducing the fertilizer consumptions. But this inef-

ficiency needs to be assessed before such reduction is going to be implemented since this might have a

negative impact on the national food security. Furthermore, if the soil has been degraded, conservative

land management strategies need to be implemented to regain the soil health, but this also requires inten-

sive and integrated land resources assessment. Traditional laboratory analysis methods, which have been

done for the past decades, might produce higher precision data as the basis for the assessment, but only

covers plot at the smaller scales of analysis and were not be able to be conducted periodically due to its

expensive costs; therefore, it is not suitable for regular monitoring at the national scale. VNIRS, at the oth-

er hand, although might be less accurate compared to the laboratory analysis, offers high throughput data

with simpler analysis (Viscarra-Rossel et al., 2009), and therefore is a potential method as the cost-

effective solution for continuous land resources assessment at the national scale to support agricultural

nutrient management.

a The rate is the slope of the linear regression line of the annual ratio of the fertilizer consumption per hectare of the cropland ( ). This ratio was calculated by multiplying the ratio of the annual total fertilizer consumption to the food crops produc-tion with the annual average of croplands productivity (paddy and maize only). b This is rough approximation ( ), and cannot be referred as the exact number of the ratio of the fertilizer requirements per ton of food crop production. This number was calculated based on the total annual production of paddy and maize only, which represent more than 90% of the total domestic production of food crops in Indonesia.

Methodological Implementation of VNIRS for Agricultural Land Resources Monitoring

In the agricultural field, the main goal of nutrient management is to efficiently use soil amendments

for maintaining soil quality to enhance land productivity (Brady and Weil, 2008). Nutrient requirements can

be determined by interpreting the status of the soil properties and observing the pattern of the nutrient

balance over the growing periods. As an indirect method, VNIRS calibration model needs to be developed

before it can be integrated into spatial and temporal soil monitoring processes (Stenberg et al., 2010). This

model is developed based on the known sample properties, to predict soil status as a function of the soil

spectrum wavelengths. Therefore, three steps to implement VNIRS for nutrient management in the agricul-

tural land include (1) soil spectral database development, (2) calibration model development, and (3)

VNIRS implementation for soil monitoring.

30

Soil Properties and Spectral Database Development

The soil spectral database consists of two soil dataset that includes the soil spectral data (predictor)

and the soil properties data (predicted). For model development, soil spectrum is measured both at the

laboratory and the location (in situ). The differences between these two measurements need to be approxi-

mated since soil monitoring is going to be performed in situ using model that is developed in the laborato-

ry. The use of laboratory spectral measurement in the model development is preferable since it generally

has a better signal to noise ratio. Furthermore, the predicted parameters for soil nutrient management in-

clude not only soil macro and micronutrients status, but also soil properties for soil characterization that

includes organic matter (carbon), mineralogy, and clay content (Brown et al., 2006). During this phase,

however, the cost of the analysis is higher compared to the traditional soil analysis, due to the additional

spectral parameter measurements. But in the long run, this cost will be significantly reduced, since the la-

boratory analysis will be unnecessary.

To model the broad variation of the soil information at the national scale, sample variations needs to

represent all of the population (Foley et al., 1998). But, the number of the sample included needs to be

limited so that the database development is cost effective. Therefore, two strategies are available for data-

base development, including (1) utilization of freely available global soil spectral library, and (2) the devel-

opment of new Indonesia spectral library. The first strategy is the most cost-effective method that can be

implemented during the initial stage of the VNIRS application. A global spectral library that contains 785

soil profiles with 102 unique locations from Indonesia (soil sampling period 1980-1992) is available for free

download at the International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) websites (International Coun-

cil for Research in Agroforestry, 2013). However, this dataset might yield calibration model with low predic-

tion performance considering the lower number of the available samples and the data year that might not

represent current soil condition. Further improvement can be expected by spiking this dataset with new

representative soil samples. This technique, therefore, might yield model with considerable prediction per-

formance, while maintaining the lower cost of the required analysis.

The second strategy is the ideal method for VNIRS application and is expected to yield calibration

model with the best prediction performance. But this method is resource demanding due to intensive tradi-

tional laboratory analysis requirements. Soil sampling strategy is therefore required to reduce the cost of

the analysis. Stratified random sampling is one of the sampling strategies. Using this technique, Indonesia

region can be classified into map units using Geographical Information System (GIS) technique, based on

the soil forming factors that are relatively stable over longer time periods (longer than human periods),

from which random samples can then be collected. These factors include the soil classification information

(ex. soil taxonomy), topographic properties (ex. altitude, slope, landform), ecological characteristics (ex.

climatic zone, historical land use), and parent materials (Grunwald et al., 2011). For Indonesia region, this

factors can be retrieved either from the freely available global dataset (Ellis et al., 2010; Hartmann and

Moosdorf, 2012; Hengl et al., 2016; Jarvis et al., 2008; Kottek et al., 2006), or from the available national

geospatial dataset from the past land monitoring projects (Indonesia soil, topographic, climate, land use,

and geologic maps).

Calibration Model Development

Two steps on the calibration model development include data preprocessing and chemometrics. Data

preprocessing is performed mainly to improve the data quality so that it is more interpretable, but without

changing the original data structure (Wehrens, 2011). Basic data preprocessing, such as data transfor-

mation, centering, scaling, and normalization, can be applied to soil properties data, but more advanced

techniques need to be performed to dealing with soil spectral data (Varmuza and Filzmoser, 2009). Exam-

ple problem with VNIRS data includes spectrum noises due to instrument reading limitation and/or spectral

offset that is caused by scattering effect (Wehrens, 2011). Furthermore, common techniques for spectral

31

data smoothing and offsetting include the running mean/median, Savitzky-Golay filter, first and second de-

rivatives calculation, continuum removal technique, and/or combination of these techniques (Savitzky and

Golay, 1964; Varmuza and Filzmoser, 2009; Viscarra-Rossel et al., 2009; Wehrens, 2011). The application

of data preprocessing before calibration processes has been proven to improve the resulted model predic-

tion performance (Vasques et al., 2008). An important aspect of chemometrics is the application of statisti-

cal multivariate data analysis for chemistry-related problem solving (Varmuza and Filzmoser, 2009). There-

fore, multivariate data analysis is used to identify the type of molecular bond from a series of soil spectrum

measurement, so that the status of the related soil properties can then be quantified. Some popular meth-

ods that have been proven to yield calibration model with relatively high prediction performance include

partial least square regression (PLSR) (Knox et al., 2015; Vasques et al., 2010, 2009, 2008; Viscarra-Rossel

et al., 2009, 2006), principle component regression (PCR) (Chang et al., 2001), regression tree (Brown et

al., 2006), and random forest (Knox et al., 2015). Furthermore, for VNIRS, Savitzsky-Golay derivatives and

PLSR are considered to be a combination of data preprocessing and multivariate technique that yields rela-

tively high and stable prediction performance (Vasques et al., 2008), hence, are the candidate for calibra-

tion model development.

VNIRS Implementation Strategy for Agricultural Land Resources Monitoring in Indonesia

Two different approaches are proposed for VNIRS implementation. The soil database and spectral

library are developed using a centralized system to simplify the data management and model development

processes. Therefore, data and the calibration model are disseminated to the land managers through a top-

down approach. The soil monitoring processes, at the other hand, are applied in a distributed manner, us-

ing a bottom-up approach. Sampling is performed by the land managers, where the data is then uploaded

into the database. Implementation of in situ measurements, to reveal the status of particular soil properties

at specific times (ex. before and/or after fertilizer application during the crop growing period), which is

equipped with a geographical positioning system (GPS), are preferred whenever the cost of the implemen-

tation is reasonable. This method directly connects the central database to the farmer fields, so that land

managers can then use the model directly to guide in the nutrient management, while at the same time

scanning the samples where the data are automatically uploaded to the central database. Alternatively, if

the cost of the instrumentation is too high, a secondary spectroscopy laboratory network can be developed

at the provincial level, which serves as a bridge between the central database and the land managers. Soil

samples are collected by land managers and sent to this laboratory, where data samples are processed,

uploaded, and interpreted; and the results are sent back to the land managers. This alternative method

might introduce delays, due to additional time to send, process the samples, and disseminate the results;

but significantly reduces the implementation cost. Furthermore, the implementation of this monitoring sys-

tem should follow the existing agricultural institutional network. Currently, there is about 25,000 agricultur-

al extension personnel that potentially become the land managers (Indonesia Ministry of Agriculture,

2016). This personnel are distributed over 34 provinces and have the advantage of having a direct relation

to the local farmers.

Another important aspect in VNIRS implementation for agricultural land resources assessment is the

identification of representative locations for periodical soil monitoring. This location should be located in the

area with similar soil forming factors and land managements. For nutrient management of the annual

crops, this observation is particularly important to understand the nutrient balance over the growing period

and its relationship with the land productivity. Furthermore, continuous soil monitoring at the same repre-

sentative locations also opens the possibility to extend the analysis for agricultural decision support system

at the national scale.

32

CONCLUSION

Spectroscopy, especially VNIRS, has been proven to be a cost-effective method for soil status monitoring.

Particularly in the agricultural field, this method offers continuous and in situ observation of nutrient bal-

ance as an important information for land management; therefore, is potential to be integrated into agricul-

tural land resources assessment in Indonesia. As an indirect method, VNIRS requires calibration model to

be developed before its implementation. Furthermore, this model development requires the support from

representative samples that covers overall population variations. The resulted calibration model should then

be disseminated to and used by the land managers to generate information about soil property status over

particular growing time period, and then to guide the croplands nutrient management.

REFERENCES

Bogrekci, I., Lee, W., 2005. Spectral soil signatures and sensing phosphorus. Biosyst. Eng. 92, 527–533.

https://doi.org/10.1016/j.biosystemseng.2005.09.001

Brady, N., Weil, R., 2008. The nature and properties of soils.

Brown, D.J., Shepherd, K.D., Walsh, M.G., Mays, M.D., Reinsch, T.G., 2006. Global soil characterization

with VNIR diffuse reflectance spectroscopy. Geoderma 132, 273–290.

Chang, C.-W., Laird, D.A., Mausbach, M.J., Hurburgh, C.R., 2001. Near-infrared reflectance spectroscopy–

principal components regression analyses of soil properties. Soil Sci. Soc. Am. J. 65, 480–490.

Cohen, J.E., 2003. Human population: the next half century. Science 302, 1172–1175.

de Aldana, B.V., Criado, B.G., Ciudad, A.G., Corona, M.P., 1995. Estimation of mineral content in nat

ural grasslands by near infrared reflectance spectroscopy. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 26, 1383–

1396.

Ellis, E.C., Klein Goldewijk, K., Siebert, S., Lightman, D., Ramankutty, N., 2010. Anthropogenic transfor

mation of the biomes, 1700 to 2000. Glob. Ecol. Biogeogr. 19, 589–606.

Foley, W.J., McIlwee, A., Lawler, I., Aragones, L., Woolnough, A.P., Berding, N., 1998. Ecological applica

tions of near infrared reflectance spectroscopy–a tool for rapid, cost-effective prediction of the com

position of plant and animal tissues and aspects of animal performance. Oecologia 116, 293–305.

Grunwald, S., Thompson, J., Boettinger, J., 2011. Digital soil mapping and modeling at continental scales:

Finding solutions for global issues. Soil Sci. Soc. Am. J. 75, 1201–1213.

Hartmann, J., Moosdorf, N., 2012. The new global lithological map database GLiM: A representation of rock

properties at the Earth surface. Geochem. Geophys. Geosystems 13.

He, Y., Huang, M., García, A., Hernández, A., Song, H., 2007. Prediction of soil macronutrients content us

ing near-infrared spectroscopy. Comput. Electron. Agric. 58, 144–153.

Hengl, T., de Jesus, J.M., Heuvelink, G.B., Ruiperez, M., Gonzalez, M.K., Blagotic, A., Shangguan, W.,

Wright, M.N., Geng, X., Bauer-Marschallinger, B., others, 2016. SoilGrids250m: Global Gridded Soil Infor

mation Based on Machine Learning. PLOS One Rev. Hengl T Jesus JM MacMillan RA Batjes NH Heu

velink GBM Al2014 SoilGrids1km—Global Soil Inf. Based Autom. Mapp. PLoS ONE 9, e105992.

Huang, C., Han, L., Yang, Z., Liu, X., 2009. Exploring the use of near infrared reflectance spectroscopy to

predict minerals in straw. Fuel 88, 163–168.

Indonesia Center for Agricultural Data and Information, 2014. Indonesia Agricultural Statistics Database

[WWW Document]. URL http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/index-e.asp (accessed 2.24.17).

Indonesia Directorate General of Agricultural Infrastructure and Facilities, 2012. Agricultural Infrastructure

and Facilities Statistic 2012. Directorate General of Agricultural Infrastructure and Facilities, Ministry

of Agriculture, Republic of Indonesia, Jakarta.

Indonesia Fertilizer Producers Association, 2017. Fertilizer Production and Consumption on Domestic and

Export Market, Year 2007 - 2016. Indonesia Fertilizer Producers Association.

33

Indonesia Ministry of Agriculture, 2016. Indonesia Agricultural Statistics 2016. Ministry of Agriculture Re

public of Indonesia, Jakarta.

International Council for Research in Agroforestry, 2013. A Globally Distributed Soil Spectral Library Visible

Near Infrared Diffuse Reflectance Spectra. ISRIC - World Soil Information.

Jarvis, A., Reuter, H.I., Nelson, A., Guevara, E., 2008. Hole-filled SRTM for the globe Version 4. Available

CGIAR-CSI SRTM 90m Database Httpsrtmcsicgiarorg.

Knox, N., Grunwald, S., McDowell, M., Bruland, G., Myers, D., Harris, W., 2015. Modelling soil carbon frac

tions with visible near-infrared (VNIR) and mid-infrared (MIR) spectroscopy. Geoderma 239, 229–

239.

Kottek, M., Grieser, J., Beck, C., Rudolf, B., Rubel, F., 2006. World map of the Köppen-Geiger climate clas

sification updated. Meteorol. Z. 15, 259–263.

Lee, W., Alchanatis, V., Yang, C., Hirafuji, M., Moshou, D., Li, C., 2010. Sensing technologies for precision

specialty crop production. Comput. Electron. Agric. 74, 2–33.

Savitzky, A., Golay, M.J., 1964. Smoothing and differentiation of data by simplified least squares proce

dures. Anal. Chem. 36, 1627–1639.

Shepherd, K.D., Walsh, M.G., 2007. Infrared spectroscopy—enabling an evidence-based diagnostic surveil

lance approach to agricultural and environmental management in developing countries. J. Infrared

Spectrosc. 15, 1–19.

Stenberg, B., Rossel, R.A.V., Mouazen, A.M., Wetterlind, J., 2010. Visible and near infrared spectroscopy in

soil science. Adv. Agron. 107, 163–215.

United Nations, D. of E. and S.A., Population Division, 2015. World Population Prospects: The 2015 Revi

sion, Key Findings and Advance Tables. (Working Paper No. ESA/P/WP.241). United Nations.

Van Maarschalkerweerd, M., Husted, S., 2015. Recent developments in fast spectroscopy for plant mineral

analysis. Front. Plant Sci. 6.

Varmuza, K., Filzmoser, P., 2009. Introduction to multivariate statistical analysis in chemometrics. CRC

press.

Vasques, G., Grunwald, S., Sickman, J., 2008. Comparison of multivariate methods for inferential modeling

of soil carbon using visible/near-infrared spectra. Geoderma 146, 14–25.

Vasques, G.M., Grunwald, S., Harris, W.G., 2010. Spectroscopic models of soil organic carbon in Florida,

USA. J. Environ. Qual. 39, 923–934.

Vasques, G.M., Grunwald, S., Sickman, J.O., 2009. Modeling of soil organic carbon fractions using visible–

near-infrared spectroscopy. Soil Sci. Soc. Am. J. 73, 176–184.

Viscarra-Rossel, R.A., Cattle, S.R., Ortega, A., Fouad, Y., 2009. In situ measurements of soil colour, mineral

composition and clay content by vis–NIR spectroscopy. Geoderma 150, 253–266.

Viscarra-Rossel, R.A., Walvoort, D.J.J., McBratney, A.B., Janik, L.J., Skjemstad, J.O., 2006. Visible, near

infrared, mid infrared or combined diffuse reflectance spectroscopy for simultaneous assessment of

various soil properties. Geoderma 131, 59–75.

Ward, A., Nielsen, A.L., Møller, H., 2011. Rapid assessment of mineral concentration in meadow grasses by

near infrared reflectance spectroscopy. Sensors 11, 4830–4839.

Wehrens, R., 2011. Chemometrics with R: multivariate data analysis in the natural sciences and life scienc

es. Springer Science & Business Media.

World Bank, 2014. World Development Indicators: Rural environment and land use [WWW Document].

World Dev. Indic. World Bank. URL http://wdi.worldbank.org/table/3.1 (accessed 2.23.17).

34

STUDI PEMODELAN SPASIAL BANJIR DALAM MENDUKUNG

PENGEMBANGAN PERTANIAN PADI RAWA

DI SUMATRA SELATAN

Iman Muhardiono

ABSTRAK

Sumatera Selatan memiliki salah satu lahan rawa yang dimanfaatkan untuk budidaya padi sebagai prioritas penghasil beras nasional. Teknik budidaya padi di Lahan rawa memiliki masalah utama dimana mayoritas

berada di lahan yang datar, sehingga budidaya pertanian yang dikembangkan harus mengikuti karakteristik

cuaca yang kini sudah berubah umumnya memiliki permasalahan dalam tata kelola air dimana pada saat musim hujan, sering terjadi banjir yang menyebabkan kerugian pada sektor pertanian padi. Banjir

merupakan salah satu kondisi yang dapat membawa masalah sensitif bagi produksi beras pada lahan rawa yang dikendalikan untuk Indeks Pertanaman (IP) 300. Pada penelitian ini, analisa banjir secara spasial

penting dibutuhkan dilaksanakan agar memudahkan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan

budidaya sebagai pedoman dasar perencanaan melindungi dan mengembangkan area pertanaman. Penelitian ini terdiri dari 1) Analisa probabilitas hujan menggunakan LogNormal, Gumbel I, Gumbel II, dan

Log Pearson; 2) Analisa debit rencana kala ulang menggunakan hidrograf satuan sintetik HSS ITB I, Nakayashu, dan SCS-Synder, 3) Pemodelan hidrodinamik, 2D menggunakan HEC-RAS, 4) Analisa spasial, 5)

Rekomendasi. Hasil simulasi menunjukan dengan debit banjir rencana kala ulang 25 tahun, pola genangan

banjir dengan kala ulang 25 tahun pada lahan padi rawas. Sebanyak 22% dari total area tergenang sedalam >2 m, ha lini memperlihatkan bahwa Kecamatan yang menunjukan Muara Telang termasuk kedalam

kategori indeks kerentanan banjir sedang dari banjir. Rekomendasi adari beberapa aspek dibagi kedalam bentuk structural dan non-struktural. Aspek struktural adalah termasuk rehabilitasi tanggul, sedangkan

aspek non-struktural lebih mendekatkan kearah aspek terhadap mitigasi dan kewaspadaan bencana.

Kata kunci : Banjir, HEC-RAS, Indeks Kerentanan

ABSTRACT

South Sumatera has one the largest swamp land area for paddy cultivation where also become a national

source priority of rice production.Since swamp land has potential problem risk of water issues where most of the land tends to be flat, agriculture which are developed must follow characteristic of weather anomaly

nowadays In general, paddy cultivation in swamp land has a problem in water management where in rainy season, flood frequently cause disadvantage in paddy agriculture sector. Flood is one of condition which will

bring a sensitive issue for rice production where swamp lands are controlled for Cropping Index (CI) 300. In

this study flood analysis spatial are importantly needed as base planning for protecting and developing of agriculture areain order to help decision making in managing agriculture land. This study consists of 1)

Probable rainfall analysis using Log Normal, Gumbel I, Gumbel II, and Log Pearson; 2) Probable flood discharge analysis using unit synthetic hydrographHSS ITB I, Nakayashu, and SCS-Synder; 3) Hydrodynamic

modelling 2D HEC-RAS; 4) Spatial Analysis; 5) Recommendation. Simulation results spatial inundation map

based on shows with flood discharge25years return period, about in paddy swamp land area. 22% of total area inundated >2 m, this describes which Muara Telang Sub-District has moderate vulnerability index from

flood. Recommendation in some aspects are divided into structural and non-structural. iIn structural aspect including rehabilitation of embankment where non-structural aspect close to mitigation and hazard

awareness.

Keywords: Flood, HEC-RAS, VulnerabilityIndex

35

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 25,3 juta Ha lahan basah yang sesuai untuk pertanian, dan 9,8 juta Ha yang merupakan

lahan potensial tersedia, dimana 7,5 juta Ha berada di lahan rawa dan 2,3 juta Ha di non-lahan rawa.

Berdasarkan studi terdahulu, lokasi tersebut cocok untuk budidaya padi dimana mayoritas terletak di Pulau

Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Mulyani, Nursyamsi, & Muhammad Syakir, 2017). Indeks Pertanaman

(IP) di lokasi lahan rawa di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan telah mencapai 200, dalam hal ini

hampir seluruh wilayahnya dapat ditanam padi dua kali dalam setahun. Sejak lahan rawa diterapkan

teknologi untuk meningkatkan produktivitas (untuk mencapai Indeks Pertanaman (IP) 300), biaya produksi

pertanaman padi, biaya infrastruktur, biaya alat mesin pertanian, dan benih akan menjadi faktor penting

yang perlu dipertimbangkan apabila terjadi kegagalan pertanaman yang diakibatkan dari bencana alam

seperti banjir dan kekeringan. Semenjak lahan rawa difungsikan sebagai lahan budidaya tanaman,

pengelolaan air harus dilaksanakan dengan tepat sesuai karakteristik lahan, termasuk mengantisipasi

kejadian banjir. Pada penelitian ini, analisa spasial yang disebabkan oleh dampak banjir disimulasikan

berdasarkan kondisi hidrologis serta menggambarkan tingkat kerentanan banjir berdasarkan pola genangan

aliran dan kedalaman banjir pada lokasi studi.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Studi

ber dengan lokasi spesifiknya di Kecamatan Muara Telang. Muara Telang memiliki jarak sekitar 52 km dari

Kota Palembang. Berdasarkan kondisi hidrologisnya, Muara Telang terletak di DAS Musi, dimana . sSungai

Musi dan anak sungainya berasal dari Bukit Barisan. Hulu Sungai Musi terletak di Gunung Dempo dengan

ketinggian 3159 mdpl (diatas permukaan air laut), aliran sungai dan mengalir ke Utara dan bertemu

dengan sungai Kelingi, Semangus, Lakita, dan Rawas. Di pertemuan sungai Rawas, sungai Musi berubah

arah menuju ke Timur dan bertemu dengan sungai Harileko dan Lematang sebelum melewati Kota Palem-

bang. Terdapat dua (2) anak sungai, Ogan dan Komering yang mengalir dan berakhir di sebelah kanan

Kota Palembang. Di pertengahan Komering, sungai Musi berubah arah menuju ke Utara dan berakhir di

Selat Bangka. Luas DAS Musi adalah 59.942 km2 dengan panjang sungai 640 km dan terletak pada koordi-

nat di 2°17’ - 4°58’S dan 102°4’ -105°20’E. Peta lokasi disajikan pada Gambar 1.

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 1. Lokasi Studi di Kecamatan Muara Telang pada DAS Musi

36

Metode dan Analisa

Analisa Hujan. Analisis Curah Hujan dilakukan pada daerah tangkapan air berdasarkan pengukuran di tiga

lokasi stasiun hujan yakni Desa Tanjung Beringin, Karya Jaya, dan Makrayu yang memiliki kesamaan tahun

data pengukuran. Rata-rata curah hujan dianalisis dengan menggunakan metode polygon Thiessen karena

keterbatasan jumlah data yang diperoleh. Data curah hujan maksimum disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisa Curah Hujan

Parameter Statistik. Distribusi frekuensi (Gambar 2) digunakan untuk menentukan probabilitas curah hujan

dengan menggunakan metode Gumbel Tipe I, Log Normal, Gumbel Tipe II, dan Log Pearson III. Selanjut-

nya, analisisa dilanjutkan kedalam uji keandalan data Cchi-square dan Smirnov-Kolmogorov untuk menen-

tukan validitas dari data hujan terhadap vertikal dan horizontal deviasi data. Berdasarkan analisa, distribusi

uji Chi-square yang memenuhi persyaratan dan memiliki selisih terkecil dari adalah metode Gum-

bel Tipe I, nilai dimana X2 hitung (5,75) and dan X2 kritis (5,99). Data hasil uji keandalan tersaji pada

(Tabel 2).

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 2. Grafik Analisa Distribusi Frekuensi Tabel 2. Hasil Uji Keandalan Chi-square dan Smirnov-Kolmogorov

37

Hujan Efektif. Intensitas hujan dianalisas menggunakan formula Mononobe. Durasi hujan pada DAS Musi

diasumsikan selama enam (6) jam. Selanjutnya, analisa dilanjutkan dan diseleksi dengan menggunakan

metode Alternating Block Method (ABM) dimana probabilitas hujan dari Gumbel Tipe I didistribusikan se-

bagai curah hujan rencana jam-jaman.

Tabel 3. Hasil Analisa Curah Hujan Efektif Jam-Jaman

Analisa Debit Rencana Kala Ulang. Dalam menganalisa debit rencana, penelitian ini menggunakan Hidrograf

Satuan Sintetik (HSS) dengan menggunakan data curah hujan efektif jam-jaman. HSS ini dipergunakan

apabila data hujan dan karakteristik DAS yang tersedia untuk mendapatkan debit banjir dari hujan maksi-

mum harian (Natakusumah, Hatmoko, & Harlan, 2011). HSS membandingkan tiga (3) metode formulasi

ITB-1, SCS-Synder, dan Nakayashu untuk menunjukan perbedaan pada waktu debit puncak dan menen-

tukan debit terbesar untuk dimodelkan kedalam software HEC-RAS 5.0.3

Sumber: Hasil Analisa Gambar 3. Hasil Analisa HSS ITB-1

Berdasarkan analisa (Gambar 3), Metode HSS ITB-1 menghasilkan debit rencana kala ulang periode 2 ta-

hun sebesar 1674,95 m3/s; Kala Ulang 5 tahun 2598,51 m3/s; Kala Ulang 10 tahun 3210,11 m3/s; Kala

Ulang 20 tahun 3796,77 m3/s; Kala Ulang 25 tahun 3984,27 m33/s; Kala Ulang 50 tahun 4556,15 m3/s;

Kala Ulang 100 tahun 5125,20 m3/s.

38

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 4. Hasil Analisa HSS Nakayashu

Berdasarkan hasil (Gambar 4), Metode Nakayashu menghasilkan debit rencana kala ulang periode 2 tahun

sebesar 975,12 m3/s; Kala Ulang 5 tahun 1512,17 m3/s; Kala Ulang 10 tahun 1868,08 m3/s; Kala Ulang 20

tahun 2209,49 m3/s; Kala Ulang 25 tahun 2325,66 m3/s; Kala Ulang 50 tahun 2651,40 m3/s; Kala Ulang

100 tahun 2982,53 m3/s.

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 5. Hasil Analisa HSS SCS Synder

Berdasarkan hasil (Gambar 5), Metode HSS SCS-Synder menhasilkan debi rencana kala ulang periode 2

tahun sebesar 1670,08 m3/s; Kala Ulang 5 tahun 2589,41 m3/s; Kala Ulang 10 tahun 3198,87 m3/s; Kala

Ulang 20 tahun 3783,48 m3/s; Kala Ulang 25 tahun 3973,02 m3/s; Kala Ulang 50 tahun 4540,19 m3/s; Kala

Ulang 100 tahun 5107,25 m3/s.

39

Tabel 4. Rekapitulasi Debit Rencana DAS Musi

Perbandingan diantara tiga metode Hidrograf Satuan Sintetik memperlihatkan bahwa HSS ITB-1

yang memiliki debit rencana kala ulang 100 tahun terbesar 5125,20 m3/s. Selanjutnya, persyaratan debit

rencana kala ulang maksimum untuk perencanaan tanggul irigasi pada lokasi studi adalah 25 tahun, yang

dijadikan standar pertama dalam perencanaan banjir (Deviana, Kridasantausa, & Suryadi, 2011) dapat

digunakan sebagai bahan masukan model pada simulasi hidrodinamik menggunakan HEC-RAS 5.0.3..

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Simulasi Pemodelan

Pada penelitian ini, skema pemodelan bagian penampang sungai dianalisis menggunakan aplikasi HEC-RAS

5.0.3. Penampang sungai dianalisis kedalam bentuk 2D dan dimunculkan setelah data geometrik dimasuk-

kan kedalam aplikasi. Setelah data geometric selesai, kemudian dilakukan tahapan meshing dan kerapatan

simulasi agar semakin mendekati kondisi aktual. Penelitian ini menggunakan data DEMNAS sebagai analisa

input. Data aliran digunakan aliran tak tunak (unsteady flow) dengan debit rencana kala ulang 25 tahun

dan nilai manning (n) =0,045 (clean, winding, some pools and shoals) berdasarkan (Chow,1959).

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 6. Profil Penampang Sungai

Penampang sungai pada sungai utama yang terletak pada sisi kiri Kecamatan Muara Telang dibuat menjadi

tiga (3) titik yakni hulu (profil 1), tengah (profil 2), dan hilir (profil 3). Selanjutnya, dengan debit rencana

maksimum kala ulang 25 tahun (3984,27 m3/s), profile1 menunjukan ketinggian muka air (MA) pada eleva-

si 6,65 mdpl, profil 2 pada elevasi 6,29 mdpl, dan profil 3 pada elevasi 5,87 mdpl.

(a) Profil 1 (b) Profil 2 (c) Profil 3

40

Daerah Genangan

Simulasi menunjukkan keunikan ketinggian muka air (TMA) pada setiap profil dimana setiap analisis debit

menunjukan perbedaan tinggi muka air dari elevasi dasar lahan atau sungai khususnya pada budidaya

tanaman padi yang berisiko terdampak banjir. HEC-RAS mensimulasikan debit hidrograf dari hulu dan

dampaknya terhadap pola aliran air menuju lahan di bagian hilirnya. Pemodelan perambatan aliran banjir

2D dilakukan jika terjadi genangan di lahan (Putuhena & Ginting, 2013). Simulasi difokuskan pada kondisi

banjir maksimum. Simulasi tahapan hidrograf banjir saat debit sebesar 1369, 21 m3/s memperlihatkan

kondisi , air menggenangi daerah Kecamatan Muara Telang seluas 113 km2 dimana berkontribusi sebesar

27% dari total luas area seluruh wilayah Kecamatan. Saat kondisi debit 1399,06 m3/s, air menggenangi

sekitar 158 km2 atau sebesar 37% dari keseluruhan daerah dan kondisi debit sebesar 520,46 m3/s air

mengenani 361 km2 atau 85% keseluruhan daerah terdampak air, kemudian pada tahapan debit 90,01 m3/

s air menggenangi seluas 388 km2 atau 91% terhadap keseluruhan area.

Sumber: Hasil Analisa

Gambar 6. Hasil Simulasi 2D Tinggi Muka Air pada Kala Ulang 25 tahun (Profil 2 debit a= 1369,215 m3/s;

debit b= 1399,06 m3/s; debit c= 520,46 m3/s; debit d= 90,01 m3/s)

41

Hasil simulasi menunjukan, bahwa kedalaman air maksimal pada daerah studi berada antara 0,0 – 3.5

meters diatas elevasi dasarnya. Kedalaman air menunjukkan kerentanan, dimana semakin dalam air maka

semakin rentan terhadap banjir (Formánek, Silasari, Kusuma, & Kardhana, 2014). Indeks bahaya banjir

ditentukan berdasarkan kondisi sebagai berikut :

- Index 1. <10% daerah tergenang > 2 m : rendah

- Index 2. 10%-40% daerah tergenang > 2m : sedang

- Index 3. 40%-80% daerah tergenang > 2m : tinggi

- Index 4. 80% daerah tergenang > 2m : sangat tinggi

Mayoritas daerah Kecamatan Muara Telang memiliki kedalaman banjir 1 meter. Kedalaman banjir >2 me-

ter secara spasial terpetakan sebesar 93 km2 atau 22% dari total luas area Kecamatan. Luas 93 km2 ter-

pencar di beberapa titik dimana yang terluas berada di titik lokasi penampang profil 1 dimana percabangan

sungai berada. Berdasarkan hasil tersebut, maka Kecamatan Muara Telang memiliki nilai 2 dengan tingkat

kerentanan terhadap banjir tergolong sedang.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Secara umum, Kecamatan Muara Telang memiliki tingkat kerentanan terhadap bahaya banjir in-

deks sedang, dimana 22% dari total daerahnya tergenang dengan debit rencana periode kala

ulang 25 tahun. Peta spasial genangan banjir memberikan satu langkah kemajuan untuk pengel-

olaan air, khususnya dalam mendukung budidaya padi di lahan rawa untuk mencapai Indeks Per-

tanaman (IP) 300. Untuk pencegahan dan pengelolaan banjir yang lebih komprehensif, penelitian

harus dilanjutkan dengan berbagai simulasi masukan parameter variabel seperti tanggul

(struktural), ekonomi, sosial, atau mitigasi (non-struktural) dalam mengembangkan analisis dam-

paknya.

REFERENSI

Chow, Van Te. (1959). Open-Channel Hydraulics. McGraw-Hill, New York.

Deviana, A., Kridasantausa, I., & Suryadi, Y. (2011). Kajian Pemodelan Spasial Banjir untuk Mendukung

Kebijakan Sempadan Sungai dan Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus Wilayah Pengembangan Ba-

leendah). 1–21.

Formánek, A., Silasari, R., Kusuma, M. S. B., & Kardhana, H. (2014). Two-dimensional model of ciliwung

river flood in DKI Jakarta for development of the regional flood index map. Journal of Engineering and

Technological Sciences, 45 B(3), 307–325. https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2013.45.3.7

HEC-RAS. 2016. River Analysis System. US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center, Davis

Version 5.0.

Mulyani, A., Nursyamsi, D., & Muhammad Syakir. (2017). Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan untuk

Pencapaian Swasembada Beras Berkelanjutan. Jurnal Sumberdaya Lahan, 11(1), 11–22. https://

doi.org/10.2018/jsdl.v11i1.8187.g6987

Natakusumah, D., Hatmoko, W., & Harlan, D. (2011). Prosedur Umum Perhitungan Hidrograf Satuan Sin-

tetis Dengan Cara ITB Dan Beberapa Contoh Penerapannya. Jurnal Teknik Sipil ITB, 18(3), 251–291.

https://doi.org/10.5614/jts.2011.18.3.6

Putuhena, W. M., & Ginting, S. (2013). Pengembangan Model Banjir Jakarta. Jurnal Teknik Hidraulik, 4 No-

mor 1(June 2013), 63–78. Retrieved from https://www.researchgate.net/

publication/328265443_PENGEMBANGAN_MODEL_BANJIR_JAKARTA

42

INTRODUCTION TO SPATIAL AND TABULAR DATA ANALYSIS

WITH R

Setyono Hari Adi

ABSTRACT

Geographic Information System (GIS) has been extensively utilized in water resources management because

it features integrated tools to analyze spatial and tabular dataset. Proprietary software for GIS processing is

available in the market, but the cost is expensive that only certain organizations are able to make such

investment. This article covers technical introductory on data analysis and GIS processing using R Statistics.

R is a free statistical software that also support software extensions (packages) for spatial and tabular data

manipulation. These features enable R as an integrated tool for big data analysis in GIS to support water

resources modeling.

Keywords: R, GIS, modeling

ABSTRAK

Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak digunakan sebagai alat bantu analisis data spasial dan

tabular terintegrasi untuk pengelolaan sumber daya air. Perangkat lunak berbayar untuk pemrosesan GIS

sudah banyak tersedia, tetapi mahal sehingga hanya organisasi tertentu yang dapat melakukan investasi.

Artikel ini mencakup pengantar teknis tentang analisis data dan pemrosesan GIS menggunakan perangkat

lunak analisis statistik R. R adalah perangkat lunak statistik gratis yang juga mendukung ekstensi perangkat

lunak (paket) untuk manipulasi data spasial dan tabular. Fitur-fitur ini memungkinkan R sebagai alat

terintegrasi untuk analisis data besar dalam SIG untuk mendukung pemodelan sumber daya air.

Kata kunci: R, SIG, pemodelan

OVERVIEW

R is a free statistical software suite for data analysis and graphical data representation that

provides a flexible and interactive programming environment and contains large collections of packages,

including statistical modeling and data processing (Venables et al., 2016). R Statistics is an interpreter-based

software that supports extensions to reduce the data analysis complexity while increasing the processing

efficiency. This software tool has been used extensively in research particularly for statistical data analysis.

Apart from abundant statistical modeling extensions, R also include packages for spatial data processing,

tabular database management, and performance enhancement. This article therefore focused on

introduction to spatial and tabular data processing using R, with a brief discussion on how to enhance R

processing performance in handling big data analysis.

43

Spatial Data Manipulation with R

Spatial data are commonly used in environmental modeling, especially for distribution analysis over

space and time periods. This data can be originated from satellite observations, ground instrumentations,

or traditional surveys, in which each value of the parameters is bound into its geographic position. Several

dedicated Geographic Information System (GIS) software exist, such as ArcGIS, QGIS, SAGA, and Geo-

graphic Resources Analysis Support System (GRASS), although R also provides free packages for GIS-based

processing. These packages include software plug-ins for direct manipulation of vector-based and raster-

based data and functions that bridge communications between R and other GIS-based software. For the

latter, these functions enable R to run certain commands from other GIS software, so that the model flow

and parameterization can be controlled within a single R environment.

Spatial Data Processing

Spatial data have specific data formats, whether it is raster or vector. The Geospatial Data Abstrac-

tion Library (GDAL) is a library that provides translations for raster and vector data under Open Source Ge-

ospatial Foundation (OSGEO) standard formats. This library enables supported spatial data files to be im-

ported using the defined standard procedure. Four packages available for handling spatial data include

―sp‖, ―rgdal‖, ―raster‖ and ―fields‖.

The ―sp‖ package provides base classes to store the spatial objects and methods to access the

stored spatial objects of the imported spatial data so that the information inside the spatial data can be

stored, retrieved, or updated using a particular standard procedure (Bivand et al., 2013; Pebesma and Bi-

vand, 2005).

Figure 1. Example of spatial data processing with R

44

The standard classes and methods are valuable for other R developers to create specific functions for

spatial data processing. The ―rgdal‖ package (Bivand et al., 2016) provides a binding mechanism for GDAL

and functions to read and write GDAL supported spatial data files. Furthermore, the ―raster‖ package

(Hijmans, 2016) is built specifically for raster data analysis, while the ―fields‖ package contains functions for

spatial model definition (e.g., spline, kriging) that might be integrated within the raster data analysis

(Douglas Nychka et al., 2015). An example of R functions for spatial data processing is presented in Figure

1.

Communication with Other GIS Software

Along with packages that enable direct manipulation of spatial data, several other packages within R

also provide a standard mechanism to run the function from other GIS software. This mechanism enables

parameterization to be programmed within the R environment, passing the variables to be executed out-

side R, and then getting the execution results back to R for further processing. The three packages used in

this research consist of ―gdalUtils‖, ―rts‖ and ―RSAGA‖.

Moreover, OSGEO also provides a free command-line based application for spatial data processing (e.g.,

gdal_translate() command for spatial data conversion). For the R environment, this utility is wrapped under

the ―gdalUtils‖ package (Greenberg and Mattiuzzi, 2015). Because the actual executable functions are lo-

cated outside the R environment, to use the provided functions, the GDAL utility installation path has to be

defined using the gdal_setInstallation(search_path=‖GDAL installation folder‖) command. This command

automatically sets the ―gdalUtils‖ environment variables that are needed to run GDAL utilities.

The ―rts‖ package (Naimi, 2016) is a notable package for handling Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer (MODIS) data in the hierarchical data format (HDF). This package provides the

ModisDownload()function to download (and optionally to mosaic) MODIS data tiles for certain observation

date ranges. This function runs executable commands from the MODIS Reprojection Tool software

(abbreviated as MRT) to perform the data mosaicking process. Therefore, the installation path of the MRT

software needs to be defined inside this function. This function also requires the ―rcurl‖ package (Lang,

2016) to perform HyperText Transfer Protocol (HTTP) communications with the NASA website. Before the

download process can be initiated, the login information to authorize the download process from the NASA

website must be defined. This authentication process is performed using the setNASAauth() command. Fur-

thermore, the list of the MODIS data product can be run using the modisProducts() command. An example

of the R script to download, mosaic, mask, and convert HDF to the GeoTIFF format using a combination of

―rts‖ and ―gdalUtils‖ is presented in Figure 2.

Figure 2. R script to download, mosaic, mask, and covert MODIS HDF files to GeoTIFF

45

―RSAGA‖ is the R package to communicate with the System for Automated Geoscientific Analyses

(SAGA) software (Brenning, 2008). This package provides functions to run SAGA geoprocessing modules

from the R environment. The SAGA installation path is defined using the rsaga.env(path = ―SAGA-

installation-path‖) command. The SAGA geoprocessing modules are classified into libraries, where the list

of this libraries can be retrieved using the rsaga.get.libraries(saga.env$modules) command. Furthermore,

geoprocessing modules inside any particular library (e.g., hydrology library under ―ta_hydrology‖) can be

retrieved using the rsaga.get.modules(libs = "ta_hydrology", env = saga.env) command, while the usage

of certain modules (e.g., ―Topographic Wetness Index (TWI)‖ module under the ―ta_hydrology‖ library) is

run using the rsaga.get.usage(―ta_hydrology‖, "Topographic Wetness Index (TWI)", env=saga.env) com-

mand. The result of this command is the list of required parameters for the SAGA module. Finally, the geo-

processing module execution (e.g., TWI) is governed using the rsaga.geoprocessor(―ta_hydrology‖,

"Topographic Wetness Index (TWI)", env=saga.env, param=list(TWI-module-parameters)) command.

Database Management with R

R also provides packages to work with the Database Management System (DBMS) software. This

research used the DBMS software to manage large, millions of tabular data records, where data are struc-

tured in the form of relational tables to simplify the data query processes using the SQL language. The

DBMS software was built specifically for big data management; therefore, it offers better performance and

efficiency compared to traditional data handling. This research used the MySQL database server as the

DBMS software, where the ―RMySQL‖ package is used to bridge the communications between R and

MySQL.

―RMySQL‖ is an R package that provides an interface and driver for the MySQL database (Ooms et

al., 2016). This package provides basic functions to connect and pass the SQL query to be executed by the

MySQL server. The result of the select query is returned to R in the form of the data frame, which later can

be used for further analysis. The general syntax to execute the MySQL query using tahe ―RMySQL‖ package

is provided in Figure 3.

Figure 3. The general syntax of query execution in ―RMySQL‖

R Software Performance Enhancement

R is an interpreter-based software that provides an interactive programming environment. However,

due to the nature of the interpreter-based software, the execution of large amounts of command-scripts

(especially for-loop) could significantly decelerate the overall processes. This bottleneck process occurs due

to the nature of the interpreter-based program architecture, in which the command-scripts are executed

(interpreted) on-the-fly during the process. This back-and-forth interpretation processes create massive

communication between R and the computer processing unit that decelerate the overall performance. Fur-

thermore, because data processing is performed in the computer Random Access Memory (RAM), analyzing

large datasets could also potentially trigger memory problems. Therefore, two approaches are available for

large data management, which include parallel processing and virtual memory management.

46

Parallel Processing

Two packages to enable parallel processing in R are ―foreach‖ (Weston, 2015a) and

―doParallel‖ (Weston, 2015b). This combination is specially designed to enable parallel processing in asyn-

chronous processes that are wrapped into a for-loop. These packages utilize the advances of the multi-core

processor technology, in which asynchronous commands can be performed simultaneously (virtually paral-

lel) on different processor cores. At the end of the loop, the results of these processes are merged and re-

turned to the main command. The general syntax for parallel processing using these two packages is pre-

sented in Figure 4.

Figure 4. The general syntax for parallel processing in R

Virtual Memory Management

The virtual memory management in R is performed using the ―ffbase‖ package (Jonge et al., 2016),

which is the basic statistical function for the ―ff‖ package (Adler et al., 2014). This library enables atomic

data structures virtualization where the processed data are stored on disk, rather than in the memory, and

only a section of its structure are mapped into the RAM. This strategy enables R to efficiently process large

datasets without memory limitation. To use this function, the variable only needs to be defined as ―ff‖ or

―ffdf‖ for vector or data frame, respectively, using as.ff(vector( )) or as.ffdf(data.frame( )) commands. Fur-

thermore, the name of the function to manipulate the ff (or ffdf) variables is generally similar to the built-in

basic function of R with the additional ―.ff‖ (or ―.ffdf‖) suffix. For example, sum.ff to obtain the vector sum

and subset.ffdf to obtain the subset data frame. The complete list of the supported functions is available in

the help menu by executing the help(―ffdf‖) command within the R environment.

An example on how these techniques enhance the execution process in R is presented in Table 1.

Note that this result cannot be used as a reference since the actual performance is also influenced by the

algorithm efficiency and the computer specification.

Table 1. Comparison of time to process 10 parameters numerical weather data with more than 3.5 million of rows

47

Table 1 shows that the highest execution efficiency was achieved by combining both the virtual

memory management and parallel processing techniques. However, combining these two approaches

might also significantly increase the program’s complexity.

REFERENCES

Adler, D., Gläser, C., Nenadic, O., Oehlschlägel, J., & Zucchini, W. (2014). ff: Memory-efficient storage of

large data on disk and fast access functions. Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=ff

Bivand, R., Keitt, T., & Rowlingson, B. (2016). rgdal: Bindings for the Geospatial Data Abstraction Library.

Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=rgdal

Bivand, R. S., Pebesma, E., & Gomez-Rubio, V. (2013). Applied spatial data analysis with R (2nd ed.). New

York: Springer.

Brenning, A. (2008). Statistical geocomputing combining R and SAGA: The example of landslide susceptibil

ity analysis with generalized additive models. In J. Böhner, T. Blaschke, L. Montanarella (Eds.), SAGA

— Seconds Out. Hamburger Beiträge zur Physischen Geographie und Landschaftsökologie (2nd ed.,

Vol. 19, pp. 23–32).

Douglas Nychka, Reinhard Furrer, John Paige, & Stephan Sain. (2015). fields: Tools for spatial data. Re

trieved from www.image.ucar.edu/fields

Greenberg, J. A., & Mattiuzzi, M. (2015). gdalUtils: Wrappers for the Geospatial Data Abstraction Library

(GDAL) Utilities. Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=gdalUtils

Hijmans, R. J. (2016). raster: Geographic Data Analysis and Modeling. Retrieved from https://CRAN.R- pro

ject.org/package=raster

Jonge, E. de, Wijffels, J., & Laan, J. van der. (2016). ffbase: Basic Statistical Functions for Package ―ff.‖

Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=ffbase

Lang, D. T., & team, the C. (2016). RCurl: General Network (HTTP/FTP/...) Client Interface for R. Re

trieved from https://CRAN.R-project.org/package=RCurl

Naimi, B. (2016). rts: Raster Time Series Analysis. Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=rts

Ooms, J., James, D., DebRoy, S., Wickham, H., & Horner, J. (2016). RMySQL: Database Interface

and ―MySQL‖ Driver for R. Retrieved from https://CRAN.R-project.org/package=RMySQL

Pebesma, E. J., & Bivand, R. S. (2005, October 2). Classes and methods for spatial data in R. R

News, p. 5.

Ooms, J., James, D., DebRoy, S., Wickham, H., Horner, J., 2016. RMySQL: Database Interface and

―MySQL‖ Driver for R.

Pebesma, E.J., Bivand, R.S., 2005. Classes and methods for spatial data in R. R News 5.

Venables, W., Smith, D., & the R. Core Team. (2016). An Introduction to R: A Programming Environment f

or Data Analysis and Graphics Version 3.3.2. Bristol: Network Theory.

Weston, S., 2015a. foreach: Provides Foreach Looping Construct for R.

Weston, S., 2015b. doParallel: Foreach Parallel Adaptor for the ―parallel‖ package.

48

PEDOMAN BAGI PENULIS BULETIN BALITKLIMAT

Naskah hasil penelitian primer ditulis dalam bahasa indonesia atau inggeris dengan urutan pembagian bab sebagai berikut:

JUDUL & NAMA PENULIS ditulis dengan huruf besar pada awal setiap kata dan disertai catatan kaki yang ditulis lengkap (tidak disingkat) tentang profesi/jabatan dan nama instansi tempat penulis bekerja. Judul hendaknya singkat (tidak lebih dari 14 kata) dan mampu menggambarkan isi pokok tulisan. Contoh: Prospek dan Kendala Dam Parit di Lahan Kering.

ABSTRAK ditulis dalam bahasa indonesia, sebanyak-banyaknya 150 kata yang dituangkan pada satu alinea dengan susunan: judul, nama(-nama) penulis, dan ringkasan isi. ABSTRAK merupakan inti seluruh tulisan dan harus mampu memberikan uraian yang tepat, jelas tapi singkat tentang latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, metodologi yang digunakan dalam pencapaian tujuan, hasil penelitian yang terpenting, dan kesimpulan (apabila memungkinkan). Contoh: ABSTRAK <Judul> <Nama[-nama] penulis> <Abstrak isi>.

KATA KUNCI terdiri dari beberapa kata atau gugus kata yang menggambarkan isi naskah. Demi keseragaman format dan kemudahan dalam pen-database-an, dianjurkan untuk diawali dengan <nama komoditas> (apabila jenis komoditasnya tidak terlalu banyak). Contoh: Kedelai, Neraca air, Indeks Palmer.

ABSTRACT & KEY WORDS ditulis dengan bahasa inggeris dengan ketentuan seperti pada ABSTRAK & KATA KUNCI. Pada naskah berbahasa inggeris, bab ini mendahului ABSTRAK & KATA KUNCI. PENDAHULUAN (nama bab tidak ditulis), mencakup latar belakang masalah, alasan pentingnya penelitian itu dilakukan, temuan terdahulu yang akan disanggah atau dikembangkan (termasuk didalamnya telusuran pustaka terkait), pendekatan umum, dan tujuan penelitian. Nama jasad hidup yang menjadi topik penelitian harus disertai nama ilmiahnya. Contoh: Kedelai (Glyncine max L. [Merrill]).

BAHAN & METODE berisi penjelasan ringkas tentang waktu dan tempat penelitian, bahan dan teknik yang digunakan, rancangan percobaan, dan analisis data. Teknik yang dirujuk tidak perlu diuraikan (kecuali apabila dimodifikasi), tetapi cukup disebut nama sumbernya dan tahun atau metodenya.nama piranti lunak komputer yang digunakan untuk menganalisis data seyogyanya disebutkan.

HASIL & PEMBAHASAN merupakan kupasan penulis tentang hasil, menerangkan arti hasil penelitian, persamaan dan perbedaan hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu (baik dari dalam maupun luar negeri), peran hasil penelitian terhadap pemecahan masalah yang disebutkan di bab pendahuluan, hubungan antara parameter yang satu dengan yang lain, dan kemungkinan pengembangannya.

KESIMPULAN (apabila memungkinan) hasil kongkrit atau keputusan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran. Informasi yang bersifat faktual (e.g., umur tanaman, dll.) bukanlah kesimpulan, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam bab kesimpulan.

PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh: Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:

49

UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).

PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh:

Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.

Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:

Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522.

Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:

Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp.

PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.

Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Judul gambar terletak di bawah gambar yang bersangkutan Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas.

Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar menyerahkan file teks dan

gambar (format seperti tertera sebelumnya) file diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian

Agroklimat dan Hidrologi jl. Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.