contoh proposal tesis
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian sastra terus berkembang dari waktu ke waktu. Pendekatan yang digunakan
untuk meneliti karya sastra juga semakin beragam. Penelitian terhadap karya sastra
tidak lagi hanya tertuju pada unsur-unsur intrinsik, tetapi telah meluas mencakup
unsur-unsur ekstrinsik. Dari segi ekstrinsik, implementasi penelitian karya sastra telah
bersinergi dengan disiplin ilmu lain. Salah satu cabang ilmu yang ikut memperkaya
khazanah penelitian sastra adalah ilmu psikologi, khususnya psikoanalisis yang
dipelopori oleh Sigmund Freud.
Sastra dan psikologi mempunyai hubungan yang erat. Freud memandang
karya sastra sebagai wujud pemenuhan hasrat seorang sastrawan yang tertolak oleh
prinsip realitas dan terlarang oleh kode-kode moral. Ia juga mengemukakan bahwa
para sastrawan dan filsuf sebenarnya telah menemukan the unconscious (“taksadar”)
sebelum dirinya dan ia menindaklanjuti dengan menemukan metode ilmiah untuk
mempelajari apa yang telah mereka temukan. Metode tersebut dianggap mampu
menjelaskan motif tersembunyi dalam “taksadar” manusia yang memang telah tersirat
dalam karya sastra (Henderson & Brown, 1997:2). Freud membuktikan hasil
penelitiannya tersebut melalui interpretasi mimpi yang dialami tokoh utama cerpen
La Gradiva karya Wilhelm Jensen dan membandingkannya dengan hasil analisis
mimpi yang ia lakukan terhadap pasien-pasiennya. Selain itu, ia juga meneliti karya-
2
karya klasik semacam Oedipus-Rex dan Hamlet untuk memperkuat argumennya
(lihat: Milner, 1992; Eagleton, 1996; Minderop, 2010). Dengan demikian, studi yang
dilakukan Freud telah membangun jembatan penghubung antara sastra dan psikologi
sekaligus memberi peluang bagi ilmu sastra untuk memanfaatkan ilmu psikologi
dalam penelitian karya sastra.
Kajian hukum psikologi dalam ranah sastra dikenal sebagai psikologi sastra
(Wellek & Warren, 1993:90). Karya sastra memungkinkan ditelaah melalui
pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, yang
walaupun imajinatif, dapat menunjukkan berbagai problem psikologis (Minderop,
2010:55). Oleh karena itu, psikologi sastra merupakan pendekatan yang tepat untuk
meneliti persoalan psikologis para tokoh fiksional dalam karya sastra.
Pendekatan psikologi sastra secara khusus sesuai untuk diterapkan pada
karya-karya fiksi psikologis. Fiksi psikologis adalah salah satu aliran sastra yang
berusaha mengeksplorasi pikiran sang tokoh utama, terutama pada bagiannya yang
terdalam yaitu alam bawah sadar (Stanton, 2007:134). Contoh karya sastra yang dapat
dikategorikan ke dalam aliran tersebut adalah novel-novel karya D.H. Lawrence yang
terbit pada era Modernism1.
1 The Routledge History of Literature in English mencatat bahwa fase sejarah kesusastraan Inggris pada paruh awal abad ke-20 – The Twentieth Century: 1900-1945 – juga dikenal sebagai era Modernism. Lahirnya era tersebut diinisiasi oleh terbitnya On the Origin of Species (1859) karya Charles Darwin dan berakhirnya era Victorian (Ratu Victoria meninggal pada tahun 1901). Istilah Modernism sendiri mengacu pada masa-masa post-Darwinian di mana agama, stabilitas sosial, dan etika mulai dipertanyakan (Carter & McRae, 1997:349-350).
3
D.H. Lawrence sering menampilkan dinamika kejiwaan manusia melalui
representasi para tokoh dalam novel-novelnya, terutama berkaitan dengan hasrat
seksual. Ia menyatakan bahwa, “Sex had a meaning which it was disquieting to think
that we, too, might have to explore” (Merkin, 2009:v-vi). Ia percaya bahwa hasrat
seksual memiliki makna yang meresahkan untuk dipikirkan sehingga layak untuk
dikaji. Akan tetapi model kisah percintaan dalam novel-novelnya yang mengandung
cerita erotic fulfillment (pemenuhan hasrat seksual) dikecam oleh banyak kalangan
masyarakat Inggris karena dianggap tabu dan tidak bermoral. T.S. Eliot, sebagai
sesama pengarang, bahkan memberikan komentar sarkastik, “Seems to me to have
been a very sick man indeed” (Merkin, 2009:vi). T.S. Eliot menilai D.H. Lawrence
sebagai “orang yang benar-benar sakit”.
Terlepas dari kecaman berbagai pihak, D.H. Lawrence merupakan pengarang
yang cakap dalam menyampaikan ide-ide imajinatifnya. Secara eksplisit ia mampu
menceritakan persoalan erotis dalam sebuah kisah percintaan sebagai sisi yang
humanis dan natural dalam diri setiap individu namun tetap dalam balutan tata bahasa
sastra yang sarat dengan nilai estetika. Kehebatannya tersebut diakui oleh seorang
penulis kenamaan, E.M. Forster, yang menyebut D.H. Lawrence sebagai novelis
terhebat pada masanya (Kelbelová, 2006:15). Pujian juga datang dari kritikus sastra
asal Inggris, F.R. Leavis, yang menilai D.H. Lawrence jauh lebih baik daripada James
Joyce dalam konteks kebahasaan dan kreativitas (Merkin, 2009:vi).
4
Dalam Literature: The Evolving Canon, D.H. Lawrence (1885-1930) tercatat
sebagai salah satu sastrawan yang berpengaruh pada abad ke-20. Terlahir dengan
nama lengkap David Herbert Lawrence, ia merupakan seorang sastrawan yang
berasal dari keluarga kelas pekerja di daerah pertambangan Nottinghamshire, Inggris.
Novel pertamanya, The White Peacock, ditulis pada tahun 1909 dan setelah
peluncuran novel tersebut ia memutuskan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya
pada sastra. Selain mengarang novel, ia juga menulis puisi, naskah drama, dan esai. Ia
menjadi sosok kontroversial terutama karena tiga novelnya, The Rainbow (1915),
Women In Love (1920), dan Lady Chatterley’s Lover (1928), dan skandal asmaranya
dengan istri seorang cendekiawan ternama di Inggris (Birkerts, 1996:316).
Dari ketiga karya kontroversial D.H. Lawrence di atas, novel berjudul The
Rainbow dipilih untuk dijadikan objek material penelitian ini. Pemilihan tersebut
didasarkan pada keunikan The Rainbow, baik dari segi penyajian maupun isi. Dalam
hal penyajian, The Rainbow merupakan novel yang secara panjang lebar mengisahkan
kehidupan tokoh-tokoh dalam satu keluarga selama tiga (3) generasi secara berurutan,
yakni kehidupan keluarga Brangwen. Fokus cerita tidak hanya terarah pada satu
tokoh saja, melainkan pada beberapa tokoh yang mewakili tiap-tiap generasi. Tokoh-
tokoh tersebut adalah Tom Brangwen yang mewakili generasi pertama, Anna
Brangwen yang mewakili generasi kedua, dan Ursula Brangwen yang mewakili
generasi ketiga. Ursula Brangwen sebagai generasi ketiga secara khusus memperoleh
porsi cerita yang relatif lebih banyak dan lebih kompleks daripada dua generasi
sebelumnya.
5
Dalam hal isi, The Rainbow adalah novel yang banyak menceritakan konflik
internal yang terjadi dalam diri para tokoh. Penceritaan konflik internal, dengan
penekanan pada narasi pikiran dan perasan para tokoh, lebih banyak dan lebih rumit
daripada konflik verbal yang terjadi antartokoh. Berkaitan dengan hal ini, D.H.
Lawrence menegaskan bahwa novelnya tersebut merupakan sebuah terobosan baru,
“It’s all crude as yet, but it’s new, so really a stratum deeper than I think anybody
has gone in a novel” (Becker, 2002:5). Ia menempatkan The Rainbow pada “satu
strata yang lebih dalam” dari segi cerita dibandingkan dengan novel-novel lain
meskipun ia mengakui bahwa karyanya tersebut masih mentah.
Seperti karya-karya D.H. Lawrence yang lain, tema hubungan percintaan
mengemuka dalam The Rainbow. Dalam tiap hubungan percintaan yang terjalin
antartokoh selalu muncul konflik batin. Konflik batin, yang terjadi dalam pikiran dan
perasaan para tokoh, tidak diungkap oleh satu tokoh kepada tokoh-tokoh lain yang
sebenarnya memiliki kaitan dan/atau peran terhadap terjadinya konflik tersebut.
Konflik batin semacam inilah yang dipaparkan D.H. Lawrence secara naratif dalam
novelnya. Selain sebagai bentuk ekspresi nilai-nilai humanisme, pemaparan konflik
batin para tokoh merupakan representasi aspirasi pengarang menyikapi keadaan
masyarakat Inggris pada era Industrial Revolution2 yang melupakan hak-hak dasar
manusia, terutama ekspresi hasrat seksual yang mengakomodasi hak fisik.
2 Industrial Revolution (Revolusi Industri) yang bermula pada awal abad ke-18 tidak hanya melahirkan perubahan di bidang teknologi tetapi juga transformasi mental di kalangan masyarakat Inggris. Dalam lingkup keluarga, suami dan istri sering terpisah secara fisik dan mental karena keduanya sibuk bekerja di luar rumah (Baysal, 2006:194-195).
6
Deskripsi konflik batin dalam The Rainbow berkaitan dengan hubungan
percintaan terlihat dalam beberapa situasi yang menceritakan kegalauan perasaan dan
pikiran yang dialami para tokoh dari keluarga Brangwen. Tokoh Tom Brangwen,
misalnya, yang sejak kecil hidupnya selalu diatur dan dikendalikan oleh ibunya harus
berada pada posisi di mana ia harus mengambil keputusan atas keinginannya untuk
memiliki Lydia, wanita yang dicintainya. Pengambilan keputusan menjadi sulit bagi
Tom karena ia telah terbentuk menjadi karakter pasif yang tidak berani berinisiatif.
Padahal ketika dihadapkan pada situasi tersebut, Tom tidak punya lagi sosok ibu yang
dianggap selalu mengetahui dan memutuskan apa yang terbaik untuknya. Akibatnya
muncul berbagai macam perasaan dan pertimbangan dalam diri Tom yang saling
berbenturan dan membuatnya frustrasi. Di samping itu ketertarikan Tom kepada
Lydia, seorang janda yang relatif jauh lebih tua darinya, dan ketidaktertarikan Tom
terhadap wanita yang sebaya dengannya juga menjadi poin yang patut dicermati.
Konflik batin dalam percintaan dengan sendirinya selalu berkaitan dengan
aspek kejiwaan tokoh. Permasalahan yang dialami batin tokoh Tom merupakan efek
dari benturan antara pengalaman hidupnya di masa kecil beserta norma-norma
keluarga/masyarakat yang mengendap dalam alam bawah sadar dan dorongan seksual
yang bersifat instingtif. Persoalan tersebut merupakan wilayah “taksadar” dalam diri
individu yang merupakan ranah ilmu kejiwaan. Dengan demikian, konflik yang
terjadi dalam batin satu tokoh dalam karya sastra, seperti yang terjadi pada tokoh
Tom, dapat dengan sistematis ditelusuri dan dijelaskan dengan pendekatan psikologi
sastra.
7
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal bab ini, pendekatan psikologi
sastra merupakan metode yang relevan untuk meneliti novel psikologis semacam The
Rainbow. Adapun pendekatan psikologi sastra yang dipilih adalah pendekatan
psikoanalisis model Sigmund Freud mengingat ia merupakan salah satu tokoh yang
mampu memadukan psikologi dengan sastra. Teori psikoanalisis Freudian telah
terbukti efektif untuk menafsirkan kondisi kejiwaan tokoh-tokoh rekaan dalam karya
sastra.
Pemilihan psikoanalisis Freudian untuk meneliti The Rainbow juga didasarkan
pada komentar provokatif seorang kritikus sastra, Graham Hough. Ia mengatakan
bahwa novel The Rainbow merupakan “the first Freudian novel in English”. Novel
keempat D.H. Lawrence tersebut dinilai sebagai novel berbahasa Inggris pertama
yang membawa semangat Freudian. Padahal pada waktu itu D.H. Lawrence belum
membaca tulisan-tulisan Freud (Merkin, 2009:vii-viii).
Membahas karya sastra melalui pendekatan psikoanalisis berarti membuka
suatu wilayah yang tidak pasti, yakni wilayah hasrat “taksadar”, melalui arti yang
mungkin jelas dan terungkap dalam karya sastra (Minderop, 2010:65). Oleh karena
itu, dinamika batin para tokoh dalam The Rainbow yang dipaparkan D.H. Lawrence
merupakan data-data yang dapat diolah dan diinterpretasikan dengan psikoanalisis.
Dalam penelitian ini psikoanalisis dimanfaatkan untuk mengungkap dan
menginterpretasikan penyebab, bentuk, dan akibat dari konflik batin dalam percintaan
yang dihadapi oleh para tokoh.
8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dalam
novel The Rainbow;
b) penyebab konflik batin dalam percintaan yang dihadapi tokoh-tokoh
tersebut;
c) bentuk konflik batin dalam percintaan yang dihadapi tokoh-tokoh tersebut;
d) solusi tokoh-tokoh tersebut untuk mengatasi konflik batin yang mereka
hadapi.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dirumuskan, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
a) mengungkapkan tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula
Brangwen dalam novel The Rainbow.
b) mengungkapkan penyebab konflik batin dalam percintaan yang dihadapi
oleh tokoh-tokoh tersebut;
c) mengungkapkan bentuk konflik batin dalam percintaan yang dihadapi oleh
tokoh-tokoh tersebut;
9
d) mengungkapkan solusi tokoh-tokoh tersebut untuk mengatasi konflik
batin yang mereka hadapi.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuannya, hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan
praktis. Manfaat teoretis yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini adalah menambah
pemahaman pembaca mengenai tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula
Brangwen dalam novel The Rainbow dan mengenai penerapan pendekatan
psikoanalisis untuk menelaah penyebab, bentuk, serta solusi konflik batin dalam
percintaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut.
Adapun manfaat praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan
referensi tambahan bagi para pembaca dan pembelajar ilmu susastra, khususnya bagi
mereka yang ingin mempelajari kajian psikoanalisis terhadap karya sastra bergenre
novel.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana
data dan referensi diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terkait dengan objek
yang diteliti. Objek material penelitian ini adalah novel karya D.H. Lawrence
berjudul The Rainbow yang pertama kali dirilis pada tahun 1915, sedangkan objek
formalnya adalah konflik batin dalam percintaan para tokoh yang dianalisis dengan
pendekatan psikoanalisis. Dengan demikian, ruang lingkup penelitian dibatasi pada
10
penjelasan mengenai tokoh Tom Brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen
dalam novel The Rainbow dan mengenai penyebab, bentuk, serta solusi konflik batin
dalam percintaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut dengan pendekatan psikoanalisis.
1.5. Metode dan Langkah Kerja Penelitian
1.5.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan psikoanalisis yang
dikemukakan Sigmund Freud. Psikoanalisis Freud berhubungan dengan fungsi dan
perkembangan mental manusia dan dianggap memberikan prioritas pada masalah
seksual (Minderop, 2010:11). Dengan demikian, pendekatan tersebut sesuai untuk
menganalisis novel-novel psikologis D.H. Lawrence yang mengandung unsur
seksualitas dalam percintaan, seperti The Rainbow yang dijadikan objek kajian dalam
penelitian ini. Secara spesifik teori yang digunakan sebagai bahan acuan adalah teori
psikoanalisis Freud mengenai struktur kepribadian, kecemasan, dan mekanisme
pertahanan diri serta sedikit menyinggung teori mengenai interpretasi mimpi.
Penerapan teori psikoanalisis terhadap para tokoh tersebut diawali dengan penerapan
teori tentang tokoh sebagai titik tolak analisis.
1.5.2. Langkah Kerja Penelitian
Untuk menjawab rumusan permasalahan, langkah kerja penelitian yang
diambil adalah sebagai berikut. Pertama, mengungkapkan tokoh dari tiga (3) generasi
keluarga Brangwen dalam novel The Rainbow, yaitu Tom Brangwen, Anna
11
Brangwen, dan Ursula Brangwen. Kedua, mengungkapkan hubungan percintaan
tokoh-tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh lain dalam novel The Rainbow. Ketiga,
mengungkapkan konflik batin yang muncul sebagai konsekuensi logis dari interaksi
dan hubungan cinta yang terjadi antara tokoh-tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh lain
dalam novel The Rainbow dengan pendekatan psikoanalisis.
1.6. Landasan Teori
Landasan teori utama dalam penelitian ini adalah psikoanalisis yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud. Secara garis besar penerapan psikoanalisis dalam
karya sastra dapat dibagi menjadi empat (4) macam menurut objek perhatiannya,
yaitu pengarang karya, isi karya, konstruksi formal karya, dan pembaca karya. Dari
keempat aspek tersebut, isi karya dipilih untuk dijadikan sebagai objek kajian
psikoanalisis. Psikoanalisis isi berarti mengomentari motivasi taksadar dari tokoh,
atau sigifikansi dari psikoanalisis objek atau peristiwa dalam teks (Eagleton,
1996:155). Berkaitan dengan hal tersebut, psikoanalisis isi dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap motivasi taksadar para tokoh yang mengarahkan
mereka pada tindakan-tindakan dan pengambilan keputusan. Adapun psikoanalisis
Freudian yang digunakan adalah premis-premis mengenai struktur kepribadian,
kecemasan, dan mekanisme pertahanan diri.
Struktur kepribadian manusia menurut pandangan psikoanalisis dibagi
menjadi menjadi tiga sistem, yaitu id, ego, dan super-ego. Freud menjelaskan ketiga
12
sistem tersebut dalam The Ego and The Id (1923) – terdapat dalam The Complete
Works of Sigmud Freud yang dikompilasi oleh Ivan Smith.
Id:…pleasure principle reigns unrestrictedly in the id…the id contains the passion (Freud, 2010:3959).
Ego:…By virtue of its relation to the perceptual system it (ego) gives mental processes an order in time and submits them to ‘reality testing’…the ego tries to mediate between the world and the id, to make the id pliable to the world (Freud, 2010:3989-3990).
Super-ego:…It (super-ego) represents an energetic reaction-formation against those choice (object-choices of the id). Its relation to the ego is not exhausted by the precept…it also comprises the prohibition (Freud dalam Smith, 2010:3968).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi
id adalah menuntut pemenuhan hasrat dan bekerja berdasarkan pleasure principle
(prinsip kenikmatan). Menanggapi id, ego berfungsi menyesuaikan kebutuhan dengan
realitas dan melakukan mediasi antara id dan kenyataan yang ada di luar/lingkungan
masyarakat. Adapun super-ego berfungsi menekan kebutuhan yang diinginkan id
dengan aturan-aturan dan larangan-larangan (kode moral yang ideal). Dalam diri
manusia, ketiga elemen tersebut bekerja secara bersama-sama. Adanya dominasi id
atau super-ego yang berusaha mempengaruhi ego agar merealisasikan keinginan id
atau super-ego akan menimbulkan konflik batin. Konflik batin para tokoh dalam
novel The Rainbow akan dijelaskan dengan sistematis melalui pemaparan dinamika
yang terjadi di antara id, ego, dan super-ego tokoh-tokoh tersebut.
13
Konflik yang terjadi antara ketiga sistem dalam struktur kepribadian para
tokoh memicu timbulnya perasaan resah atau tidak tenang dalam diri mereka. Dalam
psikoanalisis hal tersebut dikenal sebagai anxiety (kecemasan). Freud merumuskan
pendapatnya mengenai kecemasan dalam Inhibitions, Symptoms, and Anxiety (1926).
Anxiety, then, is a special state of unpleasure with acts of discharge along particular paths…anxiety is based upon an increase of excitation which on the one hand produces the character of unpleasure and on the other finds relief through the acts of discharge already mentioned (Freud dalam Smith, 2010:4289).
Dapat dikatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan yang tidak
menyenangkan (secara emosional) yang disebabkan oleh eksitasi yang meningkat
dalam diri sesorang. Eksitasi tersebut menghasilkan karakteristik perilaku yang
menunjukkan keadaan yang tidak menyenangkan atau keadaan cemas. Tugas untuk
melepaskan diri dari kecemasan tersebut dilakukan oleh ego melalui suatu
mekanisme pertahanan yang dikenal dengan ego defense mechanisms (mekanisme
pertahanan ego).
Mekanisme pertahanan ego pada dasarnya adalah strategi yang digunakan ego
untuk mengatasi ancaman dan bahaya yang muncul dari kecemasan (Hall, 1956:85).
Bentuk dari mekanisme pertahanan tersebut bermacam-macam sesuai dengan
karakteristiknya dalam mengatasi kecemasan. Berdasarkan pada premis mengenai
kecemasan dan mekanisme pertahanan ego yang dikemukakan oleh Freud, bentuk-
bentuk kecemasan dan mekanisme pertahanan ego para tokoh dalam The Rainbow
akan dijelaskan.
14
Teori psikoanalisis mengenai struktur kepribadian, kecemasan dan mekanisme
pertahanan didukung teori tentang tokoh sebagai bagian dari elemen intrinsik dalam
fiksi. Teori tersebut digunakan mengingat pada dasarnya psikologi sastra memberikan
perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya
sastra (Ratna, 2003:343). Berkaitan tokoh fiksional yang ditelaah dengan
psikoanalisis, Seymour Chatman – seorang pakar naratologi – mengajukan
argumennya.
When fictional characters are psychoanalyzed as if they were real people, hard-nosed critics may be right to challenge the effort. But characters as narrative constructs do require terms for description, and there is no point in rejecting those out of the general vocabulary of psychology, morality, and any other relevant area of human experience. The terms themselves do not claim psychological validity. Validity is not at issue: a fictional-character trait, as opposed to a real-person trait, can only be a part of the narrative construct (Chatman, 1978:138).
Penerapan psikoanalisis terhadap tokoh relevan untuk dilakukan apabila tokoh
tersebut tidak dilihat sebagai real people (sosok manusia yang nyata) melainkan
sebagai sosok yang berada dalam konstruksi naratif yang membutuhkan deskripsi
berdasarkan pengalaman manusia. Dengan demikian, penokohan diperlukan untuk
menjelaskan identitas dan perwatakan para tokoh dalam novel agar bisa dijelaskan
secara deskriptif dengan pendekatan psikoanalisis. Analisis tokoh dan penokohan
juga dimaksudkan agar penelitian ini tetap berada pada hakikatnya sebagai penelitian
15
sastra sekaligus untuk memberi batasan antara ranah penelitian sastra dan penelitian
psikologi.
Selain teori tentang tokoh dan penokohan dalam karya sastra dan teori
psikoanalisis tentang struktur kepribadian, kecemasan, dan mekanisme pertahanan,
teori tentang interpretasi mimpi dalam konteks psikoanalisis juga menjadi acuan
untuk menjelaskan mekanisme mimpi dan/atau lamunan tokoh berkaitan dengan
hasrat-hasratnya yang terrepresi. Pandangan Freud tentang konflik juga dimanfaatkan
sebagai referensi untuk mendampingi teori utama dengan pertimbangan bahwa
penelitian ini berusaha menelisik konflik dalam kisah percintaan para tokoh.
Penjelasan komprehensif mengenai teori psikoanalisis, tokoh dan penokohan, dan
teori-teori pendukung tersebut akan dipaparkan dalam bab berikutnya.
1.7. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas dari empat (4) bab dan disusun dengan sistematika
sebagai berikut.
Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja
penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan.
Bab 2 adalah tinjauan pustaka yang memuat penelitian-penelitian sebelumnya
terhadap novel-novel D.H. Lawrence pada umumnya dan novel The Rainbow pada
khususnya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai landasan teori yang digunakan
dalam penelitian.
16
Bab 3 menyajikan hasil analisis terhadap novel The Rainbow yang berisi
tokoh dan penokohan Tom brangwen, Anna Brangwen, dan Ursula Brangwen dan
konflik batin dalam percintaan yang mereka hadapi. Penyebab konflik batin dan
solusi para tokoh tersebut untuk menghadapi konflik batin juga dipaparkan dalam bab
ini.
Bab 4 merupakan penutup yang memuat kesimpulan. Kesimpulan dibuat
berdasarkan hasil analisis yang dimuat pada bab sebelumnya.