contoh proposal tesis dewi peternakan

17
DETEKSI KEBUNTINGAN TERNAK SAPI DENGAN METODA PUNYAKOTI PROPOSAL Oleh : DEWI RAHMAYUNI 1021204016 PROGRAM STUDY ILMU TERNAK PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2011

Upload: mediahelpdesk

Post on 31-Dec-2015

558 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

memuat kontent contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

TRANSCRIPT

Page 1: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

DETEKSI KEBUNTINGAN TERNAK SAPI DENGAN METODA

PUNYAKOTI

PROPOSAL

Oleh :

DEWI RAHMAYUNI

1021204016

PROGRAM STUDY ILMU TERNAK

PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

2011

Page 2: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan

setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam

hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB,

sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan

penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau diculling. Hal ini bertujuan

untuk menekan biaya pada breeding program dan membantu manajemen ternak

secara ekonomis.

Biasanya para peternak mendeteksi kebuntingan dengan memperhatikan

tingkah ternak tersebut, apabila ternak telah dikawinkan tidak terlihat gejala estrus

maka peternak menyimpulkan bahwa ternak bunting dan sebaliknya. Namun cara

tersebut tidaklah sempurna dan sering terjadi kesalahan deteksi kebuntingan. Menurut

Partodihardjo (1992) tidak adanya gejala estrus bisa saja karena adanya corpus

luteum persistent atau gangguan hormonal lainnya, hingga siklus berahi hewan

terganggu.

Pemeriksaan kebuntingan ternak khususnya sapi umumnya dilakukan dengan

explorasi rectal atau palpasi rektum. Dalam melakukan palpasi rektum, tidak semua

orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang

tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh daerah

Page 3: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

khususnya daerah Sumatera Barat. Sedangkan beternak sapi lebih banyak dilakukan

oleh rakyat yang ada di pedesaan.

Metoda punyakoti adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi

menggunakan urine yang pernah dilakukan di sebuah veterinary college di Bangalore

India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana

disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya diminta

untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut

didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam

waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh (Istiana, 2010).

Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh

dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya. Uji ini

cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan

hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada

di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa

memanfaatkan uji punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan metoda punyakoti

sebagai penelitian untuk deteksi kebuntingan ternak sapi dengan judul : “Uji

Kebuntingan Dini Pada Sapi Dengan Metode Punyakoti Menggunakan Gabah

Padi”.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Apakah gabah padi dapat digunakan pada uji Punyakoti untuk mendeteksi

kebuntingan ternak sapi ?

Page 4: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui kebuntingan dini pada sapi dengan metode punyakoti dengan

menggunakan gabah padi.

2. Untuk menentukan dosis terbaik dan waktu kebuntingan terpendek yang bisa

terdeteksi dengan metode Punyakoti.

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN

Metoda Punyakoti menggunakan gabah padi dapat mendeteksi kebuntingan

ternak sapi.

Page 5: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEBUNTINGAN

Kebuntingan adalah suatu periode sejak terjadinya fertilisasi sampai terjadi

kelahiran (Frandson, 1992). Kebuntingan merupakan keadaan di mana anak sedang

berkembang dalam uterus seekor hewan betina (Ilawati, 2009). Menurut Salisbury

dan Van Demark (1985) selama kebuntingan terjadi pertumbuhan dan perkembangan

individu baru yang merupakan hasil dari perbanyakan, pertumbuhan, perubahan

susunan serta fungsi sel. Perubahan tersebut meliputi bertambahnya volume dan

sirkulasi darah kelenjer uterus yang tumbuh membesar dan bekelok–kelok serta

infiltrasi sel darah putih yang mempersiapkan saluran reproduksi betina untuk

kebuntingan.

Setiap individu memiliki lama bunting bervariasi, hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu faktor genetik, faktor maternal, fetal dan lingkungan.

Contohnya sapi dara pada umur muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih

pendek dari sapi yang lebih tua (Toelihere, 1981).

2.3 METODA DETEKSI KEBUNTINGAN

Menurut Lestari (2006), ada beberapa metoda diagnosa kebuntingan pada sapi,

a. Non Return to Estrus (NR)

Page 6: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Pada sapi dan kerbau, ketidakhadiran estrus setelah perkawinan digunakan

secara luas oleh peternak dan sentra-sentra IB sebagai indikator terjadinya

kebuntingan, tetapi ketepatan metoda ini tergantung dari ketepatan deteksi estrusnya.

Pada kerbau, penggunaan metoda NR ini tidak dapat dipercaya karena sulitnya

mendeteksi estrus (Lestari, 2006).

b. Eksplarasi Rektal

Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan

pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus

melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan,

fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan

ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya rongga pelvic

pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus

tidak dapat dilakukan (Arthur et.al., 1996).

c. Ultrasonografi

Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk

mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe

untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat

mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Harga alat ini

masih sangat mahal,diperlukan operator yang terlatih untuk dapat

menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko kehilangan

embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe.

Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada

Page 7: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas

30 hari ( Youngquist, 2003 dalam Lestari, 2006).

d. Diagnosa Imunologik

Menurut Lestari (2006) teknik Imunologik untuk diagnosa kebuntingan

berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau

ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik dapat

mengukur dua macam cairan yaitu:

1. Pregnancy Specific yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF.

2. Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi

dalam darah maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate.

Beberapa protein-like substance telah diidentifikasi dari dalam peredaran

darah maternal selama terjadi kebuntingan. Substansi ini merupakan produk yang

berasal dari konseptus yang dapat digunakan sebagai indikator adanya kebuntingan

(Jainudeen dan Hafez, 2000).

e. Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon

Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan

dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air

susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan

metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Menurut Djojosoebagjo (1987) dalam

Illawati (2009), metode RIA mempunyai kemampuan untuk menentukan zat-zat

fisiologis sampai konsentrasi yang sangat rendah sekali mencapai konsentrasi

pictogram (1 pg = 10-12 gram) untuk setiap satuan ml. Dengan metode ini hampir

semua hormon dapat diukur kadarnya. Akan tertapi secara komersil, metoda RIA

Page 8: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

terlalu mahal untuk digunakan sebagai metoda diagnosis kebuntingan (Partodihardjo,

1992).

2.3 METODE PUNYAKOTI

Metode punyakoti adalah sebuah metode deteksi kebuntingan ternak sapi

dengan menggunankan urine. Metode ini hampir sama dengan uji kebuntingan

modern pada manusia menggunakan HCG dari urine sebagai senyawa yang

menentukan kebuntingan. Pada uji Punyakoti, ada senyawa lain yang menyusun urine

yang digunakan untuk menentukan kebuntingan baik pada manusia maupun sapi

(ruminansia). Selain urea dan asam urat yang dikeluarkan oleh urine sapi, bagian

terpenting yang menentukan dalam uji Punyakoti ini adalah hormon tumbuhan yang

disebut abscisic acid (ABA) (Istiana, 2010). Sedangkan hormon progesteron dan

estrogen yang tergandung dalam urine tidak mempengaruhi uji ini, karena kedua

hormon ini tidak mempengaruhi perkecambahan biji (Nirmala, G.C., Veena, T .,

Jyothi, M.S dan Suchitra, B. R, 2008)

Pada ternak sapi dilakukan dengan mengencerkan 1 ml urine sapi dengan 14

ml air di cawan petri yang berisi kertas saring dan 15 biji gandum. Juga disiapkan

kelompok kontrol berisi air 15 ml. Setelah 5 hari dilihat pertumbuhan biji gandum

yang sudah direndam dalam larutan urine sapi tadi (Veena, T, Narendranath, R dan

Sarma, P.V, 1997 dalam Dilrukshi, 2009).

2.4 HORMON TUMBUHAN

Page 9: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Menurut Salisbury dan Ross (1995), hormon tanaman adalah zat pengantur

tumbuhan yang diproduksi oleh tanaman. Terdapat ratusan hormon tumbuhan atau

zat pengatur tumbuh (ZPT) yang dikenal orang, baik yang endogen maupun yang

eksogen. Pengelompokan dilakukan untuk memudahkan identifikasi, dan didasarkan

terutama berdasarkan perilaku fisiologi yang sama, bukan kemiripan struktur kimia.

Pada saat ini dikenal lima kelompok utama hormon tumbuhan, yaitu auksin (auxins),

sitokinin (cytokinins), giberelin (gibberellins, GAs), asam absisat (abscisic acid,

ABA), dan etilena (etena, ETH) (Wikipedia, 2011)..

Dalam urine sapi juga mengandung sejumlah auksin yang berasal dari

makanannya berupa tumbuhan, terutama dari ujung tanaman, dimana tumbuhan

tersebut di dalam sistem pencernaannya diolah sedemikian rupa sehingga auksin

diserap bersama dengan zat-zat yang ada pada tumbuhan tersebut, karena auksin tidak

terurai dalam tubuh, maka auksin dikeluarkan sebagai filtrat bersama-sama dengan

urine. Auksin sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tanaman mempunyai

peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Seiring dengan

berkembanganya ilmu pengetahuan, dari hasil penelitian ternyata rooton f juga

terdapat dalam urine sapi (air kencing sapi).

Penelitian yang telah dilakukan terhadap urine sapi diantaranya adalah Naswir

(2003) melaporkan bahwa urine sapi mengandung zat perangsang tumbuh yang dapat

digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya IAA.

Page 10: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Fungsi auksin pada tanaman antara lain merangsang pertumbuhan dan

mempertinggi persentase timbulnya bunga dan buah, mendorong partenokarpi yaitu

suatu kondisi dimana tanaman berbuah tanpa fertilisasi atau penyerbukan,

mengurangi gugurnya buah sebelum waktunya, serta mematahkan dominasi pucuk

atau apikal yaitu suatu kondisi dimana pucuk tanaman atau akar tidak mau

berkembang (Naswir, 2003).

ABA adalah hormon tanaman yang dianggap sebagai hormon stress

diproduksi dalam jumlah besar ketika tanaman mengalami stress. Keadaan rawan

tersebut antara lain kurang air, tanah bergaram dan suhu tanah dingin atau panas.

ABA membantu tanaman mengatasi keadaan rawan tersebut (Salisbury dan Ross

1995).

2.5 URINE SAPI

Urine merupakan salah satu jenis pupuk kandang. Namun karena sulitnya

menampung urine ternak maka urine jarang digunakan sebagai pupuk, padahal

menurut Novizan (2002), kandungan hara urine lebih banyak dari kotoran padat.

Urine ternak mengandung 90-95% air dan beberapa unsur hara lainnya, sebagian

besar berbentuk urea. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Hara Urine Ternak

Sumber

Pukan

Kadar air Bahan

organik

N P2O5 K2O CaO

Sapi

Kerbau

Kambing

92

81

86,3

4,8

-

9,3

1,21

0,6

1,47

0,01

Sedikit

0,05

1,35

1,61

1,96

1,35

Sedikit

0,16

Page 11: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Babi

Kuda

96,6

89,6

1,5

8

0,38

1,29

0,1

0,01

1,99

1,39

0,02

0,45

Sumber : Anonimus (1993).

Namun berdasarkan penelitian Dilrukshi (2009) urine sapi bunting secara

dramatis menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tunas dari biji kacang hijau

dibandingkan sapi non bunting. Penghambatan ini efek berlanjut selama kehamilan.

Hal ini disebabkan kosentrasi hormon asam abisik lebih tinggi dalam urine sapi

bunting yaitu 170,62 nm/ml urine dari sapi yang tidak bunting yaitu 74,46 nm/ml

urine (Veena et.al., 2003 dalam Dilrukshi, 2009).

2.6 GABAH PADI

Gabah padi adalah padi yang telah dipisahkan dari jerami. Pemisahan ini

biasanya dilakukan dengan cara memukul seikat padi sehingga gabah terlepas atau

dengan bantuan mesin pemisah gabah. Padi (bahasa latin: Oryza sativa L.) adalah

salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Padi diduga berasal dari

India dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan

Asia sekitar 1500 SM (Wikipedia, 2011).

Sumatera barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang memproduksi

padi cukup banyak, yaitu 2.105.790 ton pada tahun 2009. Oleh sebab itu padi di

Sumatera Barat cukup mudah untuk ditemukan, sehingga selain untuk dikonsumsi

padi dapat dimanfaatkan untuk hal yang mendukung pengetahuan seperti uji

kebuntingan.

Page 12: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

BAB III

MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 MATERI PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan sapi bangsa Simmental Cross yang telah

diIB selama 22 hari. Jumlah sapi yang diteliti yaitu 45 ekor. Sampel yang dipilih

memiliki kondisi sama yaitu kondisi tubuh sedang. Hal ini bertujuan untuk

mengeliminasi pengaruh faktor makanan yang berbeda. Menurut Santosa (2005)

kondisi tubuh sedang ditandai sebagian tulang rusuk yaitu kurang dari delapan buah,

biasanya empat sampai lima buah tampak membayang di kulit.

Bangsa sapi Simmental Cross yang dipilih memiliki ciri-ciri berwarna kuning

muda belang dan kuning mengkilat, pada bagian muka berwarna putih, sekeliling

mata berwarna merah (Saladin, 1983). Pemilihan sampel dilakukan secara Purposive

Sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan pertimbangan

perorangan atau peneliti (Sudjana, 2005) dengan ketentuan :

1. Sapi dengan kondisi tubuh sedang

2. Telah di IB selama 22 hari

3.2 METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya

kontrol (Nazir, 2005). Metode penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu :

Page 13: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Tahap I. Uji Punyakoti

Bahan yang akan digunakan dalam uji ini yaitu urine sapi yang diperkirakan

bunting, air bersih, dan beberapa gabah padi. Sedangkan alat yang akan digunakan

yaitu botol minuman bekas sebagai pengganti cawan petri dish yang funsignya

sebagai wadah, dan kertas saring yang fungsinya sebagai alas gabah padi di dalam

wadah. Menurut Veena et.al. (1997) cara melakukan uji ini adalah sebagai berikut :

1. Campurkan secara homogen urine betina bunting sebanyak 1 ml dengan 14 ml

air di wadah yang berisi kertas saring dan 15 biji gabah padi.

2. Campurkan secara homogen urine betina tidak bunting sebanyak 1 ml dengan

14 ml air di wadah yang berisi kertas saring dan 15 biji gabah padi.

3. Sebagai alat kontrol, maka sediakan suatu wadah berisi kertas saring, 15 biji

gabah dan 15 ml air.

4. Lalu dilakukan pengamatan selama 5 hari.

Peubah yang diamati adalah perkecambahan padi selama 5 hari pada tiap-tiap

perlakuan.

Tahap II. Menentukan dosis terbaik dan waktu terpendek metode Punyakoti

Dalam menentukan dosis terbaik dan waktu terpendek metode punyakoti,

diasumsikan sapi yang digunakan pada pengujian ini adalah bunting. Dosis urine dan

air yang digunakan terdiri dari 3 macam yaitu 1:12 (1 ml urine : 12 ml air), 1:16 (1 ml

Page 14: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

urine : 14 ml air), 1:16 (1 ml urine : 16 ml air). Sehingga data yang diperoleh akan

ditabulasikan seperti Tabel 1, Tabel 3 dan Tabel 2.

Tabel 1. Uji punyakoti 22 hari pasca IB

Dosis

Hasil 22 hari pasca IB

Jumlah Bunting Tidak Bunting

Jumlah % Jumlah %

A (1:12)

B (1:14)

C (1:16)

Tabel 2. Uji punyakoti 44 hari pasca IB

Dosis

Hasil 44 hari pasca IB

Jumlah Bunting Tidak Bunting

Jumlah % Jumlah %

A (1:12)

B (1:14)

C (1:16)

Tabel 3. Uji punyakot 66 hari pasca IB

Dosis

Hasil 66 hari pasca IB

Jumlah Bunting Tidak Bunting

Jumlah % Jumlah %

A (1:12)

B (1:14)

C (1:16)

Tahap III. Hasil Palpasi Rektal

Bila pada palpasi rektal ternyata ada sapi yang tidak bunting maka sapi - sapi

tersebut tidak memenuhi asumsi pada percobaan ke2 sehingga harus dikoreksi dengan

mengeluarkan sapi yang tidak bunting tersebut. Koreksi ini digunakan untuk

menghindari bahwa sapi yang diasumsikan bunting ternyata tidak bunting.

3.3 Analisis Data

Page 15: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Untuk memenuhi tujuan penelitian ini maka digunakan analisis uji Khai

kuadrat (Nazir, 2005), dengan rumus:

∑( )

Keterangan :

= Jumlah bunting, kategori ke i

= Jumlah bunting yang diharapkan, kategori ke i

k = Jumlah kategori

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di daerah Sumatera Barat yaitu Kodya Padang

pada bulan September 2011.

Page 16: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1993. Urine-A Wasted. Renewable Natural Resource. Noragric,

Norwegia.

Arthur, G. F.; Noakes, D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary

Reproduction and Obstetrics. London : W.B.Sounders.

Dilrukshi, H.N.N and Perera, A.N.F. 2009. Evaluation of an ancient technique to

diagnose the pregnancy in cattle using urine. No 1252245657 Pp (10-15).

Wayamba Journal of Animal Science.

Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Illawati, R. W. 2009. Efektifitas penggunaan berbagai volume asam sulfat pekat

(H2SO4) untuk menguji kandungan estrogen dalam urine sapi Brahman Cross

bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Peternakan. Sijunjung.

Istiana, S. 2010. Pemeriksaan Kebuntingan pada Ternak dengan Menggunakan Urine.

http://drhsitiistiana.blogspot.com/2010/07/pemeriksaan-kebuntingan-pada-

ternak.html.

Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis. Dalam Hafez, E.S.E

and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams

& Wilkins. Philadelphia.

Lestari, D.L. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan Pada Ternak Sapi. Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran.

Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi Yang Dipermentasi sebagai Nutrisi Tanaman.

Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Selatan.

Nirmala, G.C., Veena, T., Jyothi, M.S and Suchitra, B.R. 2008. Effect of estrogen dan

progesteron an seed germination. Vol. I (8): 241-242. Veterinary World.

Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka, Tangerang

Partodihadjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Ternak. Edisi ke-3. Sumber Widya, Jakarta.

Salisbury,G.W dan N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi

Buatan pada sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 17: Contoh Proposal Tesis Dewi Peternakan

Salisbury, Frank B. dan Ross, Cleon W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Hal. 3-16 dan

156-160. Jilid I. Terjemahan ITB. Bandung.

Toelihere,M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Wikipedia. 2011. Hormon Tumbuhan. http://id.wikipedia.org/wiki/ Hormon_

tumbuhan.