contoh proposal
DESCRIPTION
anakTRANSCRIPT
PERSETUJUAN
Proposal Penelitian/Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Kadar Ferritin
Dengan Bilirubin Pada Pasien Thalassemia di Bangsal Anak RSUD Dr.
Moewardi
Eko Dewi Ratna Utami, NIM: G0010067, Tahun: 2013
Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian/Tim
Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari….., Tanggal….. 20 …….
Pembimbing Utama
Prof. DR. Harsono Salimo, dr.,Sp.A(K)
NIP. 19441226 197310 1 001
Penguji Utama
Annang Giri Moelyo, dr.,Sp.A,M.Kes
NIP.19730410 200501 1 001
Pembimbing Pendamping
Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si
NIP. 19670215 194403 2 001
Penguji Pendamping
Prof. DR. Kiyatno, dr.M.Or.,PFK.,AIFO
NIP. 19480118 197603 1 002
Tim Skripsi
Nama
NIP.
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam proposal skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,
Eko Dewi Ratna Utami
G0010067
PROPOSAL PENELITIAN
I. Nama : Eko Dewi Ratna Utami
NIM : G0010067
II. Judul : Hubungan Antara Kadar Ferritin Dengan Bilirubin Pada
Pasien Thalassemia di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi
III. Bidang Ilmu : Ilmu Kesehatan Anak
IV. Latar Belakang Masalah
Thalasemia merupakan salah satu kelainan darah herediter yang
diturunkan secara autosomal resesif. Thalassemia terjadi karena penurunan
kecepatan sintesis atau kemampuan produsi salah satu atau lebih rantai
polipeptida (-α atau -β) yang membentuk molekul hemoglobin manusia
dewasa (HbA, α2β2) (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009; Andriastuti et
al., 2011). Sampai saat ini, thalassemia masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat dengan prevalensi tertinggi di daerah dengan
endemik malaria (WHO, 2013). Berdasarkan buletin World Health
Organization 2008, gangguan Hb (anemia sel sabit dan thalassemia)
endemik di 66% dari 229 negara, berpotensial memberi efek pada 75%
kelahiran. Sekitar 1,1 % pasangan di dunia mempunyai resiko memiliki
keturunan dengan gangguan Hb dan mempengaruhi 2,7 per 1000 konsepsi,
khusus untuk thalassemia 0,46 per 1000 konsepsi. Estimasi WHO setiap
tahun ada 332.043 konsepsi atau kelahiran yang terpengaruh. Sekitar
276.168 menderita anemia sel sabit, 42.409 thalasemia-β, dan 13.466
thalassemia-α (Modell dan Darlison, 2008).
Di Asia tenggara, thalassemia-α, thalasemia-β, Hb-E, dan HbCS
umum ditemukan (Fucharoen dan Winichagoon, 2011). Dari kesemuanya,
thalassemia-β menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling utama
baik di Asia tenggara maupun di Bangladesh dan Burma. Di Sri lanka,
hampir sebagian dari anak-anak dengan thalassemia yang bergantung pada
transfusi darah dipastikan menderita thalassemia-β. Di Thailand rata-rata
muncul 3.000 kasus baru setiap tahunnya (Premawardhena et al., 2005;
Olivieri et al., 2010). Sedangkan di Indonesia, angka kejadian thalassemia
terus meningkat. Data yang diperoleh dari Pusat Thalassemia Departemen
Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sampai dengan akhir
tahun 2008 terdaftar 1.455 pasien yang terdiri dari 50% thalassemia-β,
48,2% thalassemia-β/ Hb-E, dan 1,8% pasien thalassemia-α (Wahidiyat,
2009). Kemudian pada bulan Juli 2010 jumlah pasien menjadi 1.544,
terdiri atas thalassemia-β 50,4%, thalassemia-β/HbE 47,1%, thalassemia-α
2%, dan sisanya lain-lain (Andriastuti et al., 2011). Sedangkan di Jawa
Tengah, berdasarkan Riskedas tahun 2007, prevalensi thalassemia di
Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,5‰. Prevalensi tertinggi di Purworejo
(2,2‰.), terendah di Pemalang (0,3‰.) dan kota Surakarta (0,3‰)
(Depkes RI, 2008).
Salah satu pengobatan suportif bagi pasien thalassemia adalah
transfusi darah. Transfusi darah ini berguna untuk mempertahankan kadar
hemoglobin darah (Andriastuti et al., 2011). Selain itu, disebutkan oleh
Higgs, Thein, dan Wood dalam Damardjati dan Oswari (2003) bahwa
transfusi darah pada thalassemia dapat memperbaiki kondisi anemia agar
tumbuh kembang anak dapat dipertahankan secara optimal. Akan tetapi,
pada transfusi setiap satu unit darah membawa 200 mg besi ke tubuh
resipien sehingga pasien menerima 3 U setiap 4 minggu (39 U per tahun)
yang akan terakumulasi menjadi 7,8 gram dalam setahun. Padahal tubuh
tidak mempunyai mekanisme untuk mengeksresi kelebihan besi
(Cappellini et al., 2006).
Harrison dan Arosio dalam Shi et.al. (2008) menyebutkan bahwa
ferritin merupakan protein penyimpan besi yang utama. Pada keadaan
kelebihan besi, ferritin akan meningkat (Khan et al., 2009). Ketika
kapasitas penyimpanan besi telah habis, besi bebas (free iron) akan
mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil berkonsentrasi tinggi yang
akan menyebabkan kerusakan membran dan denaturasi protein. Proses ini
akan mengakibatkan kerusakan jaringan dan akhirnya meningkatkan
morbiditas dan mortalitas (Cappellini et al., 2006). Berdasarkan data
WHO tahun 2008, banyak pasien thalassemia yang bergantung pada
transfusi darah mengalami kelebihan besi dan meninggal, dari 40.618
kelahiran dengan thalasemia-β yang mendapat pengobatan, 25.511
bergantung pada transfusi darah dan 2.988 diantaranya meninggal karena
kelebihan zat besi (Modell and Darlison, 2008).
Disebutkan oleh Takatoku et al. (2007) bahwa kelebihan besi
pada transfusi yang kronik bisa menyebabkan kerusakan pada hati. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Kartoyo dan Purnamawati (2003)
bahwa penimbunan besi bisa menyebabkan hemokromatosis, fibrosis,
sirosis, dan memperberat penyakit hepatitis C. Berdasarkan analisis
retrospektif selama 15 tahun ke belakang yang dilakukan oleh Perifanis et
al. (2005) didapatkan bahwa penyakit hati umum didapatkan pada pasien
thalasemia-β mayor dengan 40% nya dikarenakan oleh kelebihan besi
(Worwood, 2007).
Ttg bilirubin sebagai salah satu tes fungsi hati.
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara kadar ferritin dengan fungsi hati pada
pasien thalassemia. Penelitian ini dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr.
Moewardi.
V. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien
thalassemia?
VI. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar ferritin
dengan bilirubin pada pasien thalassemia.
VII. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai hubungan antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien
thalassemia.
2. Aspek Aplikatif
a. Dapat dilakukan pencegahan kasus penyakit hati akibat kelebihan
besi pada pasien thalasemia yang bergantung pada transfusi darah.
b. Memberikan pengetahuan kepada pasien thalassemia dan
pendampingnya tentang efek samping transfusi berulang.
c. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
VIII.Tinjauan Pustaka
A. Thalassemia
Thalassemia berasal dari bahasa Yunani “thalassa” yang
berarti laut dan “haima” yang berarti darah (Galanello dan Origa,
2010). Thalassemia termasuk kelainan darah yang diwariskan dimana
terjadi perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai
globin (α atau β) yang dapat menimbulkan defisiensi produksi
sebagian atau seluruh rantai globin tertentu. Jenis-jenis thalassemia:
1. Thalassemia-α
Terjadi karena defisiensi parsial (thalassemia α+) atau tidak
diproduksinya (thalassemia α0) rantai globin α.
2. Thalassemia-β
Terjadi karena defisiensi parsial (thalassemia β+) atau tidak
diproduksinya (thalassemia β0) rantai globin β.
3. Thalassemia-δβ, thalassemia-γδβ, thalassemia-αβ
Terjadi karena defisiensi parsial atau tidak diproduksinya kedua
rantai globin (α dan β).
4. Heterozigot ganda thalassemia α atau β dengan varian hemoglobin
thalassemik
Misal thalassemia-β/HbE berarti diwarisi dari salah satu orang tua
pembawa sifat thalassemia β dan yang lainnya pembawa sifat HbE
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
1. Etiologi
Sindrom thalassemia dapat terjadi akibat kelainan pada
sekuens pengkode, transkripsi, pengolahan atau defek pada
translasi gen yang berakibat adanya gangguan atau tidak adanya
pembentukan rantai globin. Delesi keempat lokus rantai α
menyebabkan mRNA untuk sintesis rantai α hilang sama sekali
sedangkan delesi atau kelainan berat pada dua gen sedikit
mengurangi mRNA tanpa gangguan atau disertai penurunan ringan
sintesis rantai (Sacher dan McPherson, 2004a).
2. Patofisiologi
a. Patofisiologi thalssemia-β
Pada thalassemia-β terjadi penurunan produksi rantai β
dan produksi berlebihan rantai α yang berpresipitasi pada
prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang (Galanello
dan Origa, 2010). Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan
pada pematangan eritrosit dan eritropoiesis sehingga akan
timbul anemia. Anemia memicu terjadinya proliferasi eritroit
yang terus menerus dalam sumsum tulang, sehingga terjadi
ekspansi sumsum tulang. Hal ini akan menimbulkan deformitas
skeletal dan ganguan pertumbuhan serta metabolisme.
Kemudian anemia akan timbul kembali akibat hemodilusi
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
b. Patofisiologi thalssemia-α
Kelainan dasar thalassemia-α sama dengan thalassemia-
β yaitu keeetidakseimbangan sintesis rantai globin. Hilangnya
gen globin-α tunggal tidak berdampak pada fenotip tapi
thalassemia-2a-α homozigot (-α/-α) atau thalassemia-1a-α
heterozigot (αα/- -) memberi fenotip seperti thalassemia-β
carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-α memberikan fenotip
tingkat penyakit berat menengah, disebut HbH disease.
Thalassemia α0 homozigot (--/--) tidak dapat bertahan hidup,
disebut sebagai Hb-bart’s hydrops syndrome (Atmakusuma dan
Setyaningsih, 2009). Pada Hb-bart’s hydrops syndrome terjadi
kematian janin intrauterus pada pertengahan kehamilan karena
janin hanya dapat bertahan hidup dengan hemoglobin
embrionik sampai trimester kedua (Sacher dan McPherson,
2004a).
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Laboratorium darah dan sediaan
apus
Elektroforesis hemoglobin
Estimasi HbA2 dan HbF
RasRiwayat keluargaUsia awal penyakitPertumbuhan
PucatIkterusSplenomegaliDeformitas skeletalPigmentasi
Hb, MCV, MCH, retikulositGambaran darah tepi termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulangPresipitasi HbH
Adanya Hb abnormalTermasuk analisis pH 6-7 untuk HbH dan H Bart’s
Distribusi HbF intraseluler
Sintesis rantai globin
Analisis struktural Hb
varian
Untuk memastikan thalassemia-β
3. Diagnosis
Berikut adalah langkah-langkah penentuan diagnosis thalassemia:
Gambar 2.21Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia (Lichtman, et al. 2007;
Atmakusuma, 2009).
4. Thalassemia-β
Thalassemia-β terdiri atas 3 bentuk utama, yaitu
thalassemia mayor (kadang disebut “Cooley's Anemia" dan
"Mediterranean Anemia”), thalassemia intermedia, dan thalassemia
minor (“beta-thalassemia carrier", "beta-thalassemia trait" atau
"heterozygous beta-thalassemia”). (Galanello dan Origa, 2010).
a. Thalassemia-β mayor
1) Genotip dan Fenotip
Genotipnya homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-β.
Fenotip berupa kelainan yang berat karena penderita
bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang usia
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
2) Gejala Klinis
Gejala klinis mulai muncul pada usia 6-24 bulan antara lain
susah diberi makan, diare, iritabilitas, demam, dan bisa terjadi
pembesaran abdomen yang progresif karena hepatomegali dan
splenomegali (Galanello dan Origa, 2010). Selain itu, pada
thalassemia-β mayor bisa mengalami anemia berat, anemia
mikrositik hipokromik, hepatosplenomegali, dan biasanya
memerlukan perhatian medis setelah berumur 2 tahun (Borgna-
Pignatti, 2004). Pada negara yang berkembang, karena
kurangnya perawatan dan pengobatan, gejala klinis thalassemia
mayor ditandai dengan retardasi, pucat, ikterik, pertumbuhan
otot buruk, genu valgum, hepatosplenomegali, borok di kaki,
terbentuk massa dari hematopoiesis ekstramedullar dan
perubahan skeletal karena ekspansi sumsum tulang (Galanello
dan Origa, 2010).
3) Gambaran Laboratoris
Hb 3 atau 4 g% atau < 7 g/dL. Eritrosit hipokrom, sangat
poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit.
MCV (Mean Corpuscolar Volume) 50-60 fL, MCH (Mean
Corpuscolar Hb) 12-20 pg. Hitung retikulosit 1-8 %.
Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF, sedikit
peningkatan HbA2, HbA tidak ada sama sekali atau menurun.
Besi serum sangat meningkat, TIBC (Total Iron Binding
Capacity) normal atau sedikit meningkat, saturasi transferring
80% atau lebih, ferritin serum biasanya meningkat
(Atmakusuma, 2009; Galanello dan Origa, 2010).
b. Thalassemia-β intermedia
1) Genotip dan Fenotip
Genotipnya berupa homozigot dan heteroigot ganda
thalassemia-β+ minor atau heterozigot thalassemia-β yang
diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi
alfa dalam bentuk homozigot maupun heterozigot.
Fenotipnya bisa asymptomatic tapi kadang juga
memerlukan transfusi darah yang tujuannya tidak untuk
mempertahankan hidup (Atmakusuma dan Setyaningsih,
2009).
2) Gejala Klinis
Pasien mengalami anemia ringan, pembesaran hati dan
limpa, perubahan tulang yang tpikal, dan jaundice ringan-
sedang. Kadang-kadang pasien bisa asymptomatic sampai
dewasa hanya dengan anemia ringan (Weatherall dan
Clegg, 2001). Gejala klinis yang lebih berat muncul di
antara usia 2 dan 6 tahun, walaupun bisa bertahan hidup
tanpa transfusi rutin, pertumbuhan dan perkembangannya
terlambat (Galanello dan Origa, 2010).
3) Gambaran Laboratoris
Hb antara 7-10 g/dL. Morfologi eritrosit mirip thalassemia
mayor. MCV (Mean Corpuscolar Volume) 50-80 fl, MCH
(Mean Corpuscolar Hb) 16-24 pg. Elektroforesis Hb
menunjukkan HbF 2-100 %, HbA2 sampai dengan 7 %, dan
HbA 0-80 % sesuai dengan fenotip penderita
(Atmakusuma, 2009; Galanello dan Origa, 2010).
c. Thalassemia-β minor
1) Genotip dan Fenotip
Genotipnya berupa heterozigot thalassemia-β atau
thalassemia minor, fenotipnya tidak menimbulkan gejala
(asymptomatic) (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
2) Gejala Klinis
Asymptomatic, tapi terkadang mengalami anemia ringan
(Galanello dan Origa, 2010).
3) Gambaran laboratoris
MCV (Mean Corpuscolar Volume) dan MCH (Mean
Corpuscolar Hb) berkurang, sedangkan HbA2 meningkat
(Galanello dan Origa, 2010).
5. Thalassemia-α
a. Thalassemia-2-α trait (-α/ αα)
Hanya ada delesi satu rantai α(-α) yang diwarisi dari salah satu
orang tuanya, rantai α lainnya lengkap (αα) diwarisi dari orang
tuanya dengan rantai α normal. Fenotipnya tidak memberikan
gejala dan tanda (asymptomatic).
b. Thalassemia-1-α trait (-α/-α atau αα/- -)
Delesi dua loki, dapat berbentuk thalassemia-2a-α homozigot (-
α/-α) atau thalassemia-1a-α heterozigot (αα/- -). Fenotipnya
menyerupai fenotip thalassemia-β minor.
c. Hemoglobin H disease (- -/- α)
1) Genotip dan Fenotip
Ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda
untuk thalassemia-2-α dan thalassemia-1-α (--/-α).
Fenotipnya lebih berat berupa thalassemia intermedia
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
2) Gejala Klinis
Anemia hemolitik sedang-berat dengan eritropoiesis yang
lebih ringan (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
Biasanya pasien juga mengalami splenomegali dan
terkadang terdapat komplikasi hipersplenisme. Terdapat
ikterik dalam berbagai derajat dan anak-anak biasanya
mengalami keterlambatan pertumbuhan. Komplikasi lain
meliputi infeksi, borok di kaki, batu empedu, defisiensi
asam folat dan episode hemolitik akut karena obat dan
infeksi (Weatherall dan Clegg, 2001; Laosombat, 2009).
3) Gambaran Laboratoris
Hb antara 7-10 g%, retikulosit 5-10 %. Eritrosit mikrositik
hipokromik dengan poikilositosis yang nyata termasuk sel
target (Atmakusuma, 2009).
d. Hydrops fetalis dengan Hb Bart’s
1) Genotip dan Fenotip
Ditemukan delesi 4 loki sehingga sama sekali tidak
diproduksi rantai globin α (Atmakusuma dan Setyaningsih,
2009).
2) Gejala Klinis
Terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal
jantung kongestif, dan meninggal dalam uterus
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009). Juga terdapat
hepatosplenomegali, keterlambatan pertumbuhan otak,
deformitas skeletas dan kardiovaskular, dan pembesaran
plasenta yang mencolok. Biasanya bayi Hydrops fetalis
dengan Hb Bart’s meninggal dalam uterus (23-38 minggu)
atau sesaat setelah lahir, sedikit kasus neonatus yang hidup
diberikan terapi intensif dan transfusi darah (Harteveld dan
Higgs, 2010).
3) Gambaran Laboratoris
Pada saat lahir bayi menunjukkan anemia hipokromik
mikrositer (Atmakusuma, 2009).
6. Transfusi Darah Pada Thalassemia
Pengobatan mutakhir untuk thalassemia berat (thalassemia
mayor dan itermedia adalah transfusi darah (Sacher dan
McPherson, 2004a). Pengobatan transfusi darah ini berguna untuk
mempertahankan kadar hemoglobin darah (Andriastuti et al.,
2011). Berdasarkan Thalassemia International Federation, jika
program transfusi rutin yang mempertahankan Hb 9.5-10.5 g/dL
sudah dimulai, pertumbuhan dan perkembangan anak akan
cenderung normal sampai 10-12 tahun (Galanello dan Origa,
2010). Hal ini dudukung oleh Higgs, Thein, dan Wood dalam
Damardjati dan Oswari (2003) bahwa transfusi darah pada
thalassemia dapat memperbaiki kondisi anemia agar tumbuh
kembang anak dapat dipertahankan secara optimal. Dengan
program transfusi rutin dan terapi kelasi, pertumbuhan dan
perkembangan menjadi lebih baik dan akan memperpanjang umur
sampai dekade ke-tiga dan ke-lima (Borgna-Pignatti et al., 2004).
Borgna-Pignatti dan Galanello dalam Galanello dan Origa
(2010) memaparkan bahwa transfusi darah pada pasien thalassemia
dilakukan ketika pasien mengalami anemia yang parah (Hb<7 g/dL
lebih dari dua minggu, kecuali adanya penurunan Hb dikarenakan
proses infeksi). Pada pasien dengan Hb>7 g/dL harus
dipertimbangkan perubahan raut muka, pertumbuhan yang buruk,
ekspansi tulang, dan splenomegali yang semakin besar. Sebaiknya
pemberian transfusi tidak ditunda sampai tahun ke-dua atau ke-tiga
dikarenakan resiko terbentuknya antibodi sel darah merah dan
sulitnya mencari darah donor.
Berdasarkan Thalassemia International Federation pada
tahun 2008, jumlah darah yang ditransfusikan pada pasien
thalassemia bervariasi tergantung berat badan, target kenaikan Hb,
dan hematokrit.Umumnya jumlah RBC (Red Blood Cell) yang
ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari dengan
kecepatan 5 ml/kg/jam. Untuk mengetahui keefektifan transfusi,
harus dilakukan monitoring terhadap Hb sebelum dan sesudah
transfusi, hematokrit darah, penurunan Hb setiap harinya, dan
interval transfusi (Borgna-Pignatti et al., 2004).
Setelah 1-2 tahun dimulainya transfusi, besi mulai
tertimbun di tubuh sehingga pemberian iron chelating atau kelasi
besi sangat diperlukan pada pasien transfusi berulang (Fischer et
al., 2005). Kelasi besi ini berfungsi untuk meningkatkan eksresi
besi. Pemberian kelasi besi sebaiknya dimulai ketika kadar ferritin
meningkat diatas 1.000 mg/L. Kelasi besi yang sering digunakan
adalah Deferoxamine mesylate (Desferal), Deferiprone (Ferriprox),
dan Deferasirox (Exjade) (Vermylen, 2008).
B. Ferritin
Feritin merupakan protein penting dalam metabolisme besi,
terdiri atas 24 subunit 18,5 kDa yang mengelilingi dalam bentuk misel
sekitar 3000-4500 atom feri (Murray, 2009b). Ferritin tersusun atas 2
subunit, yaitu H dan L. Subunit H merupakan hasil isolasi dari jantung,
sedangkan subunit L hasil isolasi dari hati. Rasio subunit H dan L yang
menyusun protein ferritin bervariasi tergantung pada tipe jaringan dan
tahap perkembangan (Worwood et al. dalam Wang et al., 2010).
Dalam keadaan normal ferritin berfungsi untuk menyimpan
besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan
(Murray, 2009b). Sel hati mengandung protein apoferritin yang dapat
bergabung dengan besi membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini didalam hati sampai diperlukan. Sehingga sistem
apoferritin-ferritin berfungsi sebagai penyangga besi darah dan
penyimpan besi (Guyton dan Hall, 2006).
Jumlah ferritin berhubungan dengan kadar besi sel karena
adanya sekuens spesifik yang tidak ditranslasikan pada mRNA kedua
protein (iron response element) berinteraksi dengan protein sitosol
yang peka terhadap variasi kadar besi sel. Pada kadar besi rendah
mRNA TfR distabilkan dan terjadi peningkatan sintesis reseptor,
sementara mRNA feritin disimpan dalam bentuk inaktif. Sedangkan
pada kadar besi tinggi jumlah ferritin dalam plasma sangat meningkat
karena sel menggunakan mRNA feritin simpanan untuk mensitesis
ferritin dan mRNA TfR mengalami degradasi (Murray, 2009b).
Sumber lain mengatakan bahwa kelebihan besi akan
menyebabkan kerusakan oksidatif yang akan menginduksi transkripsi
gen ferritin dengan mengubah interaksi ARE (Antioxidant Response
Element) dengan DNA transcription regulator bach. Bahkan
disebutkan sebelum besi mencapai keadaan toksik, ferritin tambahan
sudah disintesis melalui ikatan mRNA ferritin dengan ribosom (Khan
et al., 2009).
Jumlah ferritin dalam plasma dapat diukur dengan sensitif dan
spesifik oleh radioimmunoassay (RIA) (Murray, 2009b). Sedangkan
immunoradiometric assay (IRMA) mengukur ferritin dalam serum dan
plasma. Perbedaannya adalah RIA menggunakan ferritin berlabel,
sedangkan IRMA menggunakan antibodi berlabel (Worwood, 2007).
Disebutkan oleh Jacobs et al. dalam Wang et al. (2010) bahwa ferritin
serum meningkat pada pasien dengan kelebihan besi dan menurun
pada defisiensi besi.
Sampai saat ini ferritin serum masih digunakan untuk
mengetahui simpanan besi walaupun banyak sekali faktor lain yang
dapat meningkatkan ferritin serum seperti inflamasi, infeksi, dan
keganasan. Selain sebagai alat diagnosis, ferritin serum juga bisa
digunakan untuk mengevaluasi keadaan suatu penyakit antara lain
anemia defisiensi besi dan kondisi kelebihan besi yang herediter dan
didapat (misalnya hemokromatosis herediter dan terapi transfusi
kronika) (Wang et al., 2010). Berikut ini adalah tabel rata-rata dan
kisaran feritin serum normal pada bayi, anak-anak, dan remaja:
UsiaRata-rata Ferritin
Serum (μg/L)Kisaran Ferritin Serum
(μg/L)0,5 bulan 238 90-6281 bulan 240 144-3992 bulan 194 87-4304 bulan 91 37-223
0,5-15 bulan 30 7-1425-11 tahun 21 10-455-9 tahun 15 2-1076-11 tahun 29 12-6712-18 tahun 23 atau 21 10-63 atau 6-48510-19 tahun 18 atau 17 3-125 atau 2-11612-17 tahun 28 atau 25 11-68 atau 6-65
Tabel 2.1 Rata-Rata Dan Kisaran Feritin Serum Normal Pada Bayi, Anak-Anak,
Dan Remaja (Worwood, 2007)
Dari tabel tersebut diketahui bahwa konsentrasi ferritin serum normal
berkisar antara 15-300 μg/L dan lebih rendah pada anak-anak dari pada
dewasa.
Pada pasien dengan kelebihan besi karena transfusi
(transfusion-assosiated iron overload) misalnya thalasemia, ferritin
serum akan meningkat. Dari suatu penelitian observasi analitik yang
dilakukan pada pasien anak-anak dengan kelebihan besi karena
transfusi yang dipaparkan oleh Wang et al. (2010) diketahui bahwa
kadar kurang dari 1500 ng/mL mengindikasikan kelebihan besi yang
masih dapat dikompensasi, kadar lebih dari atau sama dengan 3000
ng/mL mengindikasikan kelebihan besi yang signifikan dan
berhubungan dengan liver injury.
Selain itu, ferritin serum juga merupakan marker untuk
inflamasi akut dan kronik, meningkat tidak signifikan pada penyakit
ginjal kronik (Kalantar-Zadeh et al., 2006), arthritis rheumatoid,
penyakit autoimun lain (Zandman-Goddard dan Shoenfeld, 2007),
infeksi akut, dan keganasan. Peningkatan ferritin serum ini
mencerminkan peningkatan penyimpanan besi dalam tubuh, akan
tetapi simpanan besi ini terasingkan dan tidak bisa digunakan untuk
hematopoiesis (Ganz dan Nemeth, 2009). Diterangkan oleh Cazzola et
al. dalam Wang et al. (2010) pada keganasan, peningkatan ferritin
dalam sirkulasi berhubungan dengan pergeseran susunan ferritin
menjadi lebih kaya akan subunit H.
C. Bilirubin
Bilirubin adalah sebuah pigmen kuning kehijauan dengan
struktur tetrapirol yang tidak larut air (Amirudin, 2009). Bilirubin
merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin sel darah merah.
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan
Hemoglobin
Globin
Asam amino
Pool protein
Disimpan/ digunakan
lagi
Heme
ProtoporfirinCOFe
Pool besi
Disimpan/ digunakan
lagi
Bilirubin indirek
Bilirubin direk
Empedu
Feses: Sterkobilinogen
Urine: Urobilinogen
Hati
Gambar 2.1 Skema destruksi eritrosit (Hoffbrand, 2001)
Ketika sel darah merah sudah mengalamai penuaan (rata-rata
120 hari) membran selnya pecah atau rusak dan hemoglobin yang
lepas difagositosis oleh jaringan makrofag di seluruh tubuh.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Globin diurai menjadi
asam amino pembentuknya dan heme memasuki kompartemen besi
untuk didaur ulang. Katabolisme besi terjadi melalui suatu kompleks
enzim (heme oksigenase) yang hasilnya akan membebaskan besi feri
dan menghasilkan karbon monoksida dan terbentuk biliverdin.
Biliverdin ini akan direduksi oleh biliverdin reduktase untuk
menghasilkan bilirubin bebas yang akan mengalami metabolisme di
hati (Murray, 2009a).
Bilirubin bebas yang berikatan kuat dengan albumin dalam
perjalanannya ke hati ini disebut bilirubin indirek bilirubin tidak
terkonjugasi. Sewaktu memasuki sel hati, bilirubin dilepaskan dari
albumin plasma dan segera setelah itu berkonjugasi dengan asam
glukoronat membentuk bilirubin sulfat atau bilirubin direk (bilirubin
terkonjugasi) (Sacher dan McPherson, 2004b; Guyton dan Hall, 2006).
Bilirubin terkonjugasi akan disekresi ke dalam empedu melalui
transport aktif. Sesampainya di ileum terminal dan usus besar,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim khusus (β-glukoronidase), pigmen
tersebut kemudian direduksi oleh flora feces menjadi sekelompok
senyawa tetrapirol tak berwarna disebut urobilinogen yang mudah
teroksidasi menjadi urobilin yang berwarna. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan dieksresikan melalui feces (Sacher dan
McPherson, 2004b; Murray, 2009a).
Bilirubin merupakan alat diagnosis penyakit darah hemolitik
dan berbagai penyakit hati (Guyton dan Hall, 2006). Apabila hati
kesulitan menyerap bilirubin dari sirkulasi atau mengkonjugasikannya,
fraksi indirek dalam serum akan meningkat dan jumlah bilirubin yang
masuk ke usus berkurang (Sacher dan McPherson, 2004b). Estimasi
bilirubin serum berdasarkan reaksi van den Bergh diazo (Sherlock dan
Dooley, 2002). Bilirubin dibedakan menjadi bilirubin direk dan indirek
berdasarkan cara pengukurannya. Reaksi langsung pada satu menit
akan memberikan estimasi kadar bilirubin terkonjugasi. Sedangkan
bilirubin indirek dihitung dari selisih antara bilirubin total dengan
bilirubin direk, hasilnya merupakan nilai kadar bilirubin tidak
terkonjugasi (Thapa dan Walia, 2007). Bilirubin total ditentukan
dengan adanya accelerator berupa kafein benzoate atau methanol
(Sherlock dan Dooley, 2002).
: diteliti: tidak diteliti
Thalassemia
Transfusi berulang
Fe (besi) meningkat (↑) Ferritin meningkat (↑)
Ditimbun di dalam jaringan
LimpaJantung KulitHati
Sintesis protein hati (↓)
Albumin ↓
Bilirubin serum ↑
Kadar bilirubin beserta interpretasinya.
Kadar bilirubin normal adalah 5-18 μmol/L. Meningkat ringan:
penyakit hati, jaundice fisiologis, hiperbilirubinemia herediter.
Meningkat sedang: EHBA, IHBA, obat-obatan, hepatitis virus,
hiperbilirubinemia herediter (Amirudin, 2009).
D. Hubungan penimbunan besi dengan bilirubin
E. Kerangka Pemikiran
F. Hipotesis
Ada hubungan positif antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien
thallassemia. Semakin tinggi kadar ferritin maka semakin tinggi bilirubin.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional
analitik, yaitu melakukan analisis hubungan antara variabel bebas
(faktor resiko) dan variabel terikat (faktor efek), dengan menggunakan
pendekatan cross sectional dimana pengumpulan data dilakukan
sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr.
Moewardi.
3. Subjek Penelitian
a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien thalasemia di Bangsal
Anak RSUD Dr. Moewardi.
b. Sampel
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling. Untuk menentukan sampel dari populasi tersebut
digunakan kriteria tertentu.
Berikut kriteria inklusi yang ditetapkan kepada sampel:
1) Anak berusia <18 tahun
2) Menderita thalassemia yang mendapatkan transfusi berulang.
3) Kadar ferritin >1000 ng/mL
4) Orang tua setuju dan bersedia ikut dalam penelitian yang
dinyatakan dengan menandatangani informed consent.
Sedangkan kriteria ekslusi yang ditetapkan antara lain:
1) Infeksi akut
2) Keganasan
Pasien thalassemia
Sampel
Diperiksa kadar ferritin
Purposive sampling
Turun (↓) Normal Naik (↑)
Analisis statistik
Diperiksa bilirubin Diperiksa bilirubin Diperiksa bilirubin
3) Penyakit autoimun
4) Tidak bersedia ikut dalam penelitian.
Besar sampel adalah seluruh populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi sampel (total sampling).
4. Rancangan (Desain) Penelitian
5. Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas: Bilirubin
b. Variabel terikat: Kadar Ferritin
c. Variabel perancu
1) Terkendali: usia, pemberian kelasi besi
2) Tidak terkendali: kelebihan besi terjadi karena faktor nutrisi
6. Definisi Operasional Variabel
a. Kadar Ferritin
b. Bilirubin
7. Alat dan Bahan Penelitian
a. Lembar identitas pasien
b. Informed concent
c. Status pasien atau rekam medis
8. Cara Kerja
9. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji
korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara kafar ferritin
dengan bilirubin. Kemudian dilakukan uji kemaknaan hubungan
dengan Uji T.
H. Jadwal Penelitian
KeteranganMinggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pembuatan proposal
Pembimbingan dan usulan proposal
Ujian proposal
Pengumpulan data
Analisis data
Pembuatan laporan
Ujian skripsi
I. Daftar Pustaka
American Academy of Pediatrics. 2004. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics, 114:297–316.
Amirudin R. 2009. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 627-633.
Andriastuti M, Sari TT, Wahidiyat PA, Putriasih SA. 2011. Kebutuhan transfusi darah pasca-splenektomi pada thalassemia mayor. Sari Pediatri, 13(4): 44-249.
Atmakusuma D. 2009. Thalassemia: Manifestasi klinis, pendekatan diagnosis, dan thalassemia intermedia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1387-1393.
Atmakusuma D dan Setyaningsih I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp:1379-1386.
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, Zhao H, Cappellini MD, Del Vecchio GC, et al. 2004. Survival and complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine. Haematologica, 89(10):1187-93.
Cappellini MD, Cohen A, Piga A, Bejaoui M, Perrotta S, Agaoglu L, Aydinok Y, et al. 2006. A phase 3 study of deferasirox (ICL670), a once daily oral iron chelator, in patients with beta thalassemia. Blood, 107:3455–3462.
Damardjati F dan Oswari H. 2003. Hepatitis C pada thalassemia mayor: Pengaruh iron overload pada perjalanan penyakit. Sari Pediatri 5(1): 16-20.
Depkes RI. 2008. Riskesdas Jawa Tengah 2007. http://www.dinkesjatengprov.go.id/download/mi/riskesdas_jateng2007.pdf Diakses 14 Februari 2013.
Fischer R, Piga A, Harmatz P, Nielsen P. 2005. Monitoring longterm efficacy of iron chelation treatment with biomagnetic liver susceptometry. Ann N Y Acad Sci., 1054:350–357.
Fucharoen S and Winichagoon P. 2011. Haemoglobinopathies in Southeast Asia. Indian J Med Res., 134: 498-506.
Galanello R dan Origa R. 2010. Beta-thalassemia. Orphanet Journal of Rare Diseases, 5(11): 1-15.
Ganz T, Nemeth E. 2009. Iron sequestration and anemia of inflammation. Semin Hematol, 46:387-393.
Guyton AC dan Hall JE. 2006. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta: EGC, pp: 905-907.
Harteveld CL dan Higgs DR. 2010. α-thalassaemia . Orphanet Journal
of Rare Diseases 5(13): 1-21 doi:10.1186/1750-1172-5-13.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. 2001. Essential Hematology. 4th
Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publication.
Kalantar-Zadeh K, Kalantar-Zadeh K, Lee GH. 2006. The fascinating but deceptive ferritin: To measure it or not to measure it in chronic kidney disease? Clin J Am Soc Nephrol., 1:S9–S18.
Kartoyo P dan Purnamawati SP. 2003. Pengaruh Penimbunan Besi Terhadap Hati pada Thalassemia. Sari Pediatri 5(1): 34 – 38.
Khan MA, Walden WE, Goss DJ, Theil EC. 2009. Direct Fe2+ sensing by iron-responsive messenger RNA × repressor complexes weakens binding. J Biol Chem, 284:30122–30128.
Laosombat V, Viprakasit V, Chotsampancharoen T, Wongchanchailert M, Khodchawan S, Chinchang W, Sattayasevana B. 2009. Clinical features and molecular analysis in Thai patients with HbH disease. Ann Hematol 2009, 88:1185-1192.
Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT (eds). 2007. Disorders of Globin Synthesis: The thalassemia. Williams Hematology seventh edition. Mc Graw Hill.
Modell B and Darlison M. 2008. Global epidemiology of haemoglobin disorders and derived service indicators. Bulletin of the World Health Organization, 86(6): 417-496.
Murray RK. 2009a. Porfirin & pigmen empedu. Dalam: Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi ke 27. Jakarta: EGC, pp:288-303.
Murray RK. 2009b. Protein plasma & imunoglobulin. Dalam: Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi ke 27. Jakarta: EGC, pp:605-623.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, pp: 37-41.
Olivieri NF, Thayalsuthan V, O’Donnell A, Premawardhena A, Rigobon C, Muraca G et al. 2010. Emerging insights in the management of hemoglobin E beta thalassemia. Ann NY Acad Sci., 1202: 155-7.
Perifanis V, Tziomalos K, Tsatra I, Karyda S, Patsiaoura K, Metaxa MA. 2005. Prevalence and severity of liver disease in patients with β thalassemia major. A single-institution fifteen-year experience. Haematologica/ The Hematology Journal, 90(8): 1136-1138.
Premawardhena A, Fisher CA, Olivieri NF, de Silva S, Arambepola M, Perera W. et al. 2005. Haemoglobin E thalassaemia in Sri Lanka. Lancet 366: 1467-70.
Sacher RA dan McPherson RA. 2004a. Anemia hemolitik. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp:
Sacher RA dan McPherson RA. 2004b. Uji Fungsi Hati. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi ke-11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 360–84.
Sherlock S dan Dooley J. 2002. Disease of the liver and biliary sytem. Eleventh edition. Blackwell Science Ltd.
Shi H, Bencze KZ, Stemmler TL, Philpott CC. 2008. A cytosolic iron chaperone that delivers iron to ferritin. Science, 320(5880): 1207–1210.
Takatoku M, Uchiyama T, Okamoto S, et al. 2007. Retrospective nationwide survey of Japanese patients with transfusion-dependent MDS and aplastic anemia highlights the negative impact of iron overload on morbidity ⁄ mortality. Eur J Haematol, 78:487–94.
Thapa B.R. and Walia Anuj. 2007. Liver Function Tests and their Interpretation. Indian Journal of Pediatrics, 74: 663-671.
Vermylen C. 2008. What is new in iron overload? Eur J Pediatr., 167:377–381.
Wahidiyat PAW. 2009. Faktor-faktor genetik pengubah manifestasi klinis thalassemia-β/ HbE: interaksi antara mutasi thalassemia-α, -β, polimorfisme Xmnl-Gγ, dan SNPs pada klaster gen globin-β. Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Disertasi.
Wang W, Knovich MA, Coffman LG, Torti FM, Torti SV. 2010. Serum ferritin: Past, present and future. Biochim Biophys Acta., 1800(8): 760–769 doi:10.1016/j.bbagen.2010.03.011.
Weatherall DJ dan Clegg JB. 2001. The thalassemia syndromes. 4th Ed, Blackwell Science Ltd.
WHO. 2013. Genes and Human Disease. http://www.who.intgenomicspublicgeneticdiseasesenindex2.html Diakses 7 Februari 2013.
Worwood M. 2007. Indicators of the iron status of pupulations: ferritin. http://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/anaemia_iron_deficiency/9789241596107_annex2.pdf Diakses 11 Februari 2013.
Zandman-Goddard G, Shoenfeld Y. 2007. Ferritin in autoimmune diseases. Autoimmun Rev., 6:457–463.