contoh kti gt

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dewasa ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. The Third National Health and Examination Survey (NHANES III) melaporkan prevalensi PGK pada penduduk berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% pada tahun 1988-1994 menjadi 16.8% pada tahun 1999-2004 1 . Di sisi lain, National Kidney Foundation (NKF) juga mengemukakan bahwa pada tahun 2011, diperkirakan paling tidak terdapat 26 juta jiwa penduduk Amerika dewasa yang menderita penyakit ginjal kronik dan jutaan lainnya dengan resiko untuk mengalaminya 2 . Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pertumbuhan PGK di Indonesia mencapai sekitar 10% setiap tahunnya dengan insidensi berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk 3,4 . Angka kejadian PGK yang terus mengalami peningkatan diduga diperantarai oleh karena bertambahnya angka harapan hidup, meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, serta penyakit jantung-pembuluh darah yang semuanya merupakan faktor risiko timbulnya PGK itu sendiri 1 . Adapun Penyakit Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal berupa kelainan struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Dikatakan PGK apabila terjadi penurunan LFG < 60 ml/ menit per 1.73 /m 2 luas permukaan tubuh (LPT) selama > 3 bulan 5 . Dahulu, penyakit ginjal infeksi seperti glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGK, namun dewasa ini hipertensi dan diabetes telah menjadi dua penyebab utama penyakit ginjal kronik 6 . Penyakit ginjal kronik (PGK) dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Bila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat terjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pasien ESRD harus mendapatkan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau

Upload: iqbal-sirait

Post on 05-Aug-2015

275 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Contoh Kti Gt

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dewasa

ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. The Third National

Health and Examination Survey (NHANES III) melaporkan prevalensi PGK pada

penduduk berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% pada

tahun 1988-1994 menjadi 16.8% pada tahun 1999-20041. Di sisi lain, National

Kidney Foundation (NKF) juga mengemukakan bahwa pada tahun 2011,

diperkirakan paling tidak terdapat 26 juta jiwa penduduk Amerika dewasa yang

menderita penyakit ginjal kronik dan jutaan lainnya dengan resiko untuk

mengalaminya2.

Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik juga terus

meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pertumbuhan PGK di Indonesia

mencapai sekitar 10% setiap tahunnya dengan insidensi berkisar 100-150 per 1

juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk3,4

.

Angka kejadian PGK yang terus mengalami peningkatan diduga diperantarai oleh

karena bertambahnya angka harapan hidup, meningkatnya angka kejadian

diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, serta penyakit jantung-pembuluh darah

yang semuanya merupakan faktor risiko timbulnya PGK itu sendiri1.

Adapun Penyakit Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal berupa

kelainan struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal

yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Dikatakan PGK

apabila terjadi penurunan LFG < 60 ml/ menit per 1.73 /m2 luas permukaan

tubuh (LPT) selama > 3 bulan5. Dahulu, penyakit ginjal infeksi seperti

glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGK, namun dewasa ini hipertensi

dan diabetes telah menjadi dua penyebab utama penyakit ginjal kronik6.

Penyakit ginjal kronik (PGK) dapat mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal yang progresif. Bila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat terjadi penyakit

ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pasien ESRD harus

mendapatkan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau

Page 2: Contoh Kti Gt

2

transplantasi ginjal5. Sebagaimana banyak penyakit kronik lainnya, angka harapan

hidup pasien ESRD sangat berkurang. Tanpa transplantasi ginjal, pasien hanya

akan mampu bertahan beberapa bulan atau minggu sebelum akhirnya mengalami

uremia dan meninggal7. Angka kematian pasien yang menjalani dialisis paling

tinggi pada tahun pertama menjalani hemodialisis. Berdasarkan data USRDS (The

United States Renal Data System), angka kematian pada tahun pertama dialisis

pada tahun 2004 adalah 24,5%, yang setara dengan 17% lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kematian pada tahun kedua dan seterusnya8.

Oleh sebab itulah, tindakan pencegahan progresi PGK menjadi ESRD

menjadi sangat penting. Penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK memegang

posisi kunci agar tidak terjadi perburukan PGK sampai ke tahap ESRD5. Meski

mekanisme yang mendasari progresi penyakit ginjal kronik menuju ESRD sudah

dipahami sepenuhnya, pilihan terapi pasien PGK masih sangat terbatas. Akibatnya

sampai sekarang, progresi PGK menjadi ESRD masih menjadi salah satu masalah

terbesar dalam bidang nefrologi. Meskipun angiotensin-converting enzyme

inhibitors (ACEI) sekarang diakui sebagai agen terapeutik yang paling

menjanjikan dalam menghambat progresi renal fibrosis, namun baik ACEI dan

atau ARBs belum optimal dalam memperlambat progresifitas PGK, sementara itu

pilihan terapi yang spesifik masih belum tersedia9.

Proses renal fibrosis pada dasarnya merupakan proses kunci yang

mendasari progresi PGK menjadi ESRD10

. Gambaran histopatologi keparahan

fibrosis ginjal berkorelasi kuat dengan menurunnya fungsi ginjal pada pasien-

pasien PGK11

. Dengan demikian, proses renal fibrosis adalah target terapi yang

sangat penting dalam penanganan PGK. Yang menjadi masalah adalah kenyataan

bahwa patogenesis fibrosis ginjal sangatlah rumit dan melibatkan banyak

mediator serta sel. Akibatnya banyak monoterapi atau bahkan terapi kombinasi

yang gagal membendung proses fibrosis ginjal ini10

.

Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) telah lama diketahui memainkan

peranan sentral dalam proses fibrosis ginjal melalui suatu proses yang kompleks.

Penghambatan TGF- β telah terbukti menekan proses fibrosis pada ginjal pada

berbagai penelitian. Beberapa mediator diketahui berperan sebagai inhibitor TGF-

Page 3: Contoh Kti Gt

3

β1, diantaranya yang paling spesifik adalah Bone Morphogenetic Protein (BMP)

dan Hepatocyte Growth Factor (HGF).

Bone morphogenetic proteins (BMPs) sendiri adalah sekelompok faktor

pertumbuhan yang berfungsi sebagai sitokin dan berperan dalam berbagai proses

metabolisme tubuh 12

. Hingga sekarang, dua jenis BMP telah disetujui oleh Food

and Drug Administration (FDA) yakni BMP-2 (Medtronic) dan BMP-7 yang

disebut juga Osteogenic Protein/OP-1. Baik BMP-2 maupun BMP-7

menunjukkan potensi terapi jika diberikan pada penderita PGK. Keduanya telah

terbukti lebih ampuh daripada enalapril dalam mengurangi dan bahkan

menyembuhkan proses fibrosis interstisial ginjal pada berbagai model

eksperimen. Selain itu, pengobatan dengan BMP-7 dapat mengobati osteodistrofi

ginjal dan mengurangi kalsifikasi vaskular pada uremia13

. Di sisi lain, Hepatocyte

Growth Factor (HGF) juga terbukti bekerja sebagai antifibrotik yang potensial

lewat penghambatan Smad2/3 serta aktivasi SnoN, yang merupakan inhibitor

Smad210

. Pemberian HGF terbukti mampu mencegah aktivasi myofibroblast dan

proses fibrosis pada hewan coba yang mengalami obstruksi ginjal. Lebih lagi

sebagai faktor pertumbuhan, HGF telah terbukti mampu menginduksi proliferasi

dan diferensiasi selular, serta menginduksi regenerasi jaringan yang mengalami

fibrosis. Kemampuan HGF dalam menstimulasi proliferasi epitel tubulus ginjal

selama gagal ginjal akut telah diakui. Efek mitogenik HGF pada epitel tubulus

renal juga diperkirakan bermanfaat pada PGK, mengingat atropi tubular

merupakan gambaran utama fibrosis14

.

Pemanfaatan terapi kombinasi BMP dan HGF membawa harapan baru

dalam penanganan PGK. BMP dan HGF akan menghambat jalur sinyal TGF-β

yang berperan penting dalam patogenesis fibrosis renal. HGF juga akan

menginduksi proliferasi sel-sel ginjal sehingga bersifat spesifik dalam pengbatan

fibrosis ginjal pada PGK. Namun yang menjadi masalah, mengingat TGF-β

merupakan imunosupresan endogen tubuh yang kuat, penghambatan TGF-β akan

menimbulkan masalah. Tikus percobaan yang mengalami defisiensi reseptor

TGF-β terbukti meninggal akibat proses inflamasi multifokal10

. Untuk mengatasi

hal ini, pemanfaatan molekul pembawa obat yang selektif terhadap ginjal

diharapkan akan meningkatkan keberhasilan terapi dengan meningkatkan jumlah

Page 4: Contoh Kti Gt

4

obat lokal dalam ginjal serta menghindari interaksi obat dengan organ lain.

Franssen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa low molecular weight

proteins (LMWPs) seperti lysozyme (LZM) dapat dimanfaatkan sebagai molekul

pembawa obat yang spesifik terhadap sel ginjal. LMWPs sendiri adalah molekul

berukuran sangat kecil dibawah 20 kDa sehingga akan difiltrasi di glomerulus15

.

Penelitian sebelumnya berhasil menunjukkan LZM dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan penghantaran ACE-I ke ginjal16

. Dengan demikian pemanfaatan

LZM sebagai drug carrier BMP dan HGF akan menjadi agen terapeutik yang

spesifik dan mutakhir dalam penatalaksanaan PGK. Dilatarbelakangi oleh

keadaan tersebutlah, kami tertarik untuk mengangkat topik Potensi Pemanfaatan

Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan

Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif

dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP-

2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen

Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal

Kronik?

1.2.2 Bagaimana peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan

HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP-

2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen

Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal

Kronik.

1.3.2 Mengetahui peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan

HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

Page 5: Contoh Kti Gt

5

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Memberikan informasi tentang Pemanfaatan Lysozime Conjugated-Bone

Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor

(HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif dalam

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

1.4.2 Memberikan sumbangsih pemikiran dan bahan pertimbangan bagi peneliti

lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh tentang terapi

Antifibrotik pada Penyakit Ginjal Kronik.

1.4.3 Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan

teoritis ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang Penyakit Ginjal Kronik.

Page 6: Contoh Kti Gt

6

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kelainan ginjal struktural atau

fungsional, yang ditandai dengan adanya kelainan patologi atau petanda

kerusakan ginjal secara laboratorik ataupun radiologik, baik dengan atau tanpa

penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG) yang berlangsung > 3 bulan4. PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan

tiap negara memiliki data etiologi PGK yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat

misalnya, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar PGK, sementara

menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan Nefrologi

Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab PGK.

Sedangkan diabetes melitus, insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal

(12.85%) dan hipertensi (8.46%)5.

KDOQI (Kidney Disease outcome Quality Initiatiative) membuat

klasifikasi PGK dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang

dinilai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). PGK stadium I ditandai dengan

LFG ≥ 90 mL/menit/1.73 m2. PGK stadium 2 ditandai dengan LFG ≥ 60-89

mL/menit/1.73 m2. PGK stadium 3 ditandai dengan penurunan LFG mencapai 30-

59 mL/menit/1.73 m2 disebut. PGK stadium 4 ditandai dengan penurunan LFG

15-29 mL/menit/1.73 m2. Sedangakan PGK dengan LFG < 15 mL/menit/1.73 m

2

dikategorikan end stge renal disease (gagal ginjal) atau stadium 5 yang

membutuhkan terapi dialisis atau transplantasi ginjal untuk pengganti ginjal.

Sementara itu, NICE (National Institute for Health and Clinical Experience) juga

membagi stadium 3 menjadi 3A bila LFG mencapai 49-59 mL/menit/1.73 m2

dan

stadium 3B bila LFG 30-44 mL/menit/1.73 m2(4)

.

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik17

.

Stadium Gambaran GFR (ml/min/1.73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau

meningkat

≥90

Page 7: Contoh Kti Gt

7

2 Kerusakan ginjal dengan GFR yang sedikit

menurun

60-89

3A GFR yang menurun secara moderat 45-59

3B 30-44

4 GFR yang sangat menurun 15-29

5 Gagal ginjal (end-stage renal disease) <15

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

cadangan ginjal (renal reverse) pada keadaan dimana basal LFG masih normal

atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi

penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar

urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % penderita masih belum

merasakan keluhan, tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Pada saat LFG sudah mengalami penurunan hingga 30% mulai terjadi

keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual dan napsu makan

berkurang dan penurunan berat badan. pada LFG dibawah 30% akan

memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia, tekanan darah

meningkat, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan

lain sebagainya4.

Nilai laju filtrasi glomerulus merupakan parameter terbaik untuk

mengukur fungsi ginjal. Nilai ini dianjurkan dihitung dengan rumus Cockroft-

Gault atau rumus MDRD (modification of diet in renal disease). Stadium dini

penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan nilai laju

filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan

fungsi ginjal.pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi

pada sebagian pasien dengan kerusakan ginjal. Deteksi dini kerusakan ginjal

sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi

kerusakan dan komplikasi lebih lanjut4.

Cockroft-Gault : Klirens Kreatinin ) X (0,85,jika

Wanita)

MDRD: Laju Filtrasi Glomerulus = 186 X (Kreatinin serum)-1,154

X (umur)-

0,203 X (0,742 jika wanita) X (1,210 jika kulit hitam)

Page 8: Contoh Kti Gt

8

Gambar 1. Inisiasi dan Progresi pada Penyakit Ginjal Kronik18

.

Dalam penatalaksanaan penyakit ginjal kronik, hal yang diperhatikan ialah

proses perlambatan dari penurunan fungsi ginjal yang akan dinilai melalui kadar

serum kreatinin dan laju filtrasi glomerulus. Tidak semua penderita PGK tahap

awal akan mengalami perburukan menjadi gagal ginjal. Terdapat ber-bagai faktor

yang mempengaruhinya dan intervensi dini terhadap faktorfaktor ini dapat

memperlambat progresi PGK ke arah gagal ginja6. Umumnya terapi yang

dilakukan berhubungan dengan faktor resiko yang menyebabkan penyakit ginjal

kronik seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan untuk pasien obesitas,

pembatasan konsumsi alkohol, dan konsumsi obat untuk penyakit yang mungkin

menyertai PGK seperti hipertensi, dislipidemia, dan penyakit jantung-pembuluh

darah19

. Namun apabila PGK telah mencapai tahap gagal ginjal/ESRD, maka

diperlukan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau

transplantasi ginjal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya5.

2.2 Fibrosis Ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik

Terlepas dari etiologi yang mendasarinya, semua pasien dengan penyakit

ginjal kronis pada akhirnya akan mengalami penurunan progresif fungsi ginjal.

Fibrosis ginjal merupakan penyebab utama dari hal ini20

. Fibrosis ginjal juga yang

mendasari perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) menjadi end stage renal

disease (ESRD)21

. Gambaran histopatologi ESRD memperlihatkan proses

glomerulosklerosis, vaskulosklerosis, dan fibrosis tubulointerstitial. Dari ketiga

hal tersebut, fibrosis tubulointerstitial telah diakui sebagai penanda progresivitas

PGK yang paling akurat20

. Ginjal yang mengalami fibrosis dengan gangguan

Page 9: Contoh Kti Gt

9

fungsi yang berat akan mengalami gangguan asupan darah pada kapiler

peritubuler dan oksigenasi pada daerah tersebut. Walaupun kapiler peritubuler

masih utuh, fibrosis interstisial dapat mengganggu asupan oksigen peritubuler.

Hal ini disebabkan bertambahnya jarak kapiler dan sel tubulus sehingga

mengurangi efisiensi difusi oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia

berkepanjangan akan mengalami gangguan fungsi mitokondria sehingga terjadi

defisit energi yang persisten yang akan memicu terjadinya apoptosis22

.

Proses inflamasi glomerulus dan tubuloinsterstitial diketahui memainkan

peranan penting dalam proses fibrosis ginjal pada PGK23

. Setelah cedera awal,

jaringan ginjal akan mengalami sejumlah proses sebagai upaya perbaikan terhadap

kerusakan sel-sel ginjal. Proses ini melibatkan aktivasi resident cell yang akan

menyebabkan produksi sitokin-sitokin proinflamatori. Sel-sel inflamasi di

glomerulus dan interstitial ginjal yang teraktivasi kemudian akan memproduksi

sejumlah molekul termasuk ROS (Reactive Oxygen Species), sitokin

proinflamatori dan fibrogenik. Hal ini kemudian akan menstimulasi sel-sel

mesangial, fibroblas, dan epitel tubular ginjal untuk mengadakan suatu proses

transisi fenotipik dan menghasilkan sejumlah komponen extra cellular matrix

(ECM). Hal yang sama ditemukan pada proses cedera selular ginjal akut, hanya

saja kerusakan yang terjadi dalam proses ini dapat diatasi segera lewat regenerasi

tubular dan remodelling matriks, sehingga fungsi dan struktur jaringan ginjal

dapat kembali seperti semula. Sebaliknya pada proses cedera yang

berkepanjangan, jaringan mengalami maladaptasi menyebabkan produksi

berlebihan matriks ekstraselular yang memicu terjadinya scar fibrosis. Hal ini

karena pada kondisi kronik setelah cedera berulang, sinyal fibrogenik menjadi

menetap dan bahkan semakin diperkuat oleh hilangnya antagonis dari Smad24

.

Setelah kerusakan terjadi pada ginjal, tergantung pada etiologinya

sejumlah molekul seperti albumin, transferin, imunoglobulin, komplemen, growth

factors, angiotensin-II (Ang II), sitokin ataupun glukosa pada nefropati diabetik;

akan melewati glomerulus dan berinteraksi dengan sel-sel tubulus ginjal.

Molekul-molekul ini akan mengaktivasi sel-sel tubular dan mengaktifkan kaskade

fibrosis lebih lanjut. Albumin misalnya, akan merangsang produksi sejumlah

reactive oxygen species yang menyebabkan aktifnya nuclear factor-κB (NF-κB)

Page 10: Contoh Kti Gt

10

pada sel-sel tubular serta merangsang produksi sejumlah kemokin dan sitokin

seperti monocyte chemoattractant protein- 1 (MCP-1), regulated upon activation

normal T-cell expressed and secreted (RANTES) dan transforming growth factor-

β (TGF-β). MCP-1 and RANTES akan memfasilitasi infiltrasi monosit dan

neutrofil ke jaringan ginjal yang kemudian akan semakin memperparah proses

fibrosis ginjal lewat produksi sejumlah molekul profibrotik, termasuk ROS dan

TGF- β7. Selain itu, hipoksia dan stress oksidatif yang terjadi pada berbagai

kondisi patologis yang mendasari PGK juga akan menstimulasi aktifnya berbagai

sinyal proinflamasi dan profibrotik pada sel-sel tubulus ginjal25

.

Penelitian menunjukkan banyak mediator yang terlibat dalam patogenesis

fibrosis ginjal, termasuk sejumlah growth factors, sitokin, toksin metabolik, dan

sejumlah stress molecule yang bekerja lewat mekanisme yang berbeda. Diantara

berbagai molekul tersebut, transforming growth factor-β1 (TGF-β1) diketahui

sebagai mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal. Upregulation dari

TGF-β ditemukan pada semua jenis PGK oleh etiologi apapun. Secara in vitro,

TGF-β akan bekerja dengan menstimulasi sel-sel mesangial, interstitial

fibroblasts, dan sel-sel epitel tubular untuk mengalami aktivasi myofibroblastik

serta mengalami transisi menjadi sel-sel fibrogenik penghasil matriks (matrix-

producing fibrogenic cells)24

.

2.3 Bone Morphogenetic Proteins

Bone Morphogenetic Proteins (BMPs) adalah sekelompok faktor

pertumbuhan yang juga dikenal sebagai sitokin dan sebagai metabologen12

. BMP

merupakan anggota superfamili Transforming Growth Factor beta (TGF-β),

dimana anggota superfamili TGF-β lain mencakup sejumlah protein fungsional

seperti activins/inhibins, TGF-β, growth and differentiation factors (GDFs),

mullerian inhibiting substance, Drosophila dpp and Xenopus Vg1, dan lain-lain26

.

Protein ini pertama kali ditemukan oleh Urist di tahun 1965 dalam percobaannya

mengimplantasikan matriks tulang pada tikus untuk merangsang pertumbuhan

tulang. Kelompok protein ini telah terbukti memainkan peranan penting sebagai

regulator dalam merangsang pertumbuhan, pemeliharaan, serta perbaikan tulang,

serta menjadi faktor penentu perkembangan embriologis27

.

Page 11: Contoh Kti Gt

11

Sebagai anggota superfamili TGF-β, BMP bekerja pada kompleks reseptor

heteromerik tipe I dan II, yang keduanya merupakan serine/threonine kinase.

Reseptor tipe I akan diaktivasi setelah aktivasi reseptor tipe II28

. Setelah

teraktivasi, reseptor tipe I akan menfosforilasi sejumlah protein efektor

intraselular yakni Smad1/5/8, yang akan membentuk kompleks dengan common

Smad (Smad4), dan memasuki nukleus untuk menginduksi transkripsi sejumlah

gen. Smads adalah sekelompok protein intraselular yang berperan sebagai signal

transducing molecule untuk TGF-β. Setidaknya 10 protein Smad telah

diidentifikasi. Anggota famili Smads telah diklasifikasikan menjadi 3 subtipe, mis

R-Smads (Reseptor Smads), common-partner smads (Co-Smads), and inhibitory

smads (I-Smads). R-Smads meliputi Smad2 dan Smad3 (yang diaktifkan oleh

TGF-β dan activins) dan Smad1, Smad5 dan Smad8 (yang secara khusus diatur

oleh BMP dan faktor GDF), Smad4 bertindak sebagai Co-Smad, dan Smad6,

Smad7 berfungsi sebagai I-Smad untuk TGF-β29

.

Semenjak pertama sekali ditemukan, lebih dari 40 BMP telah

diidentifikasi. BMP adalah molekul dimer dengan dua rantai polipeptida yang

terdiri dari lebih 400 asam amino yang dihubungkan oleh rantai bi-sulfur dan

kebanyakan dari mereka memiliki potensi osteinduction dan pembentukan tulang

baru. Saat ini BMPs telah diproduksi secara luas untuk tindakan bedah ortopaedik.

Pada tindakan tersebut, BMPs biasanya diaplikasikan pada daerah fraktur lewat

implantasi untuk memicu pertumbuhan tulang. Saat ini, tercatat dua produk BMPs

sudah disetujui oleh FDA untuk operasi tulang belakang, penyembuhan fraktur

dan bedah. Kedua BMP itu adalah sediaan infus BMP-2 dan BMP-7 yang lebih

dikenal juga sebagai Osteogenic Protein/OP-113

.

Gambar 2. Struktur Molekuler BMP-7 (kiri) dan BMP-2 (kanan)30

.

Page 12: Contoh Kti Gt

12

Semenjak ditemukan, BMP telah dipelajari secara mendalam untuk

mengetahui kemungkinan aplikasinya dalam dunia kedokteran untuk penyakit

lainnya. Penelitian terbaru belakangan ini menunjukkan potensi pemanfaatan

BMP dalam penatalaksanaan penyakit ginjal kronik (PGK). Baik BMP-7 maupun

BMP-2 telah terbukti mampu menghambat dan memulihkan sklerosis glomerulus

ginjal pada hewan coba. BMP-7 juga terbukti mampu mencegah proses fibrosis

ginjal pada tikus diabetik31,32

.

2.4 Hepatocyte Growth Factor

Hepatocyte Growth Factor (HGF) merupakan polipeptida multifungsional

yang pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1980 sebagai protein unik yang

memicu ploriferasi hepatosit dan regenerasi liver. Bentuk matur dari HGF

mengikat heparin, dan merupakan glikoprotein heterodimer yang terdiri dari

sebuah rantai α 69 kDa dan sebuah rantai β 34 kDa yang disatukan oleh ikatan

disulfida. Aktivitas biologisnya diperantarai oleh reseptor c-met, produk dari

proto-onkogen c-met yang merupakan anggota dari reseptor tirosin kinase. HGF

akan mengikat trigger aktivasi dari reseptor c-met melalui autofosforilasi tirosin14

.

Gambar 3. Struktur dan reseptor HGF (kiri) dan Jalur sinyal HGF pada sel ginjal

(kanan)14,34

.

Hepatocyte growth factor (HGF) ialah faktor pertumbuhan yang

multifungsi. HGF dapat memperbaiki kerusakan pada berbagai model penyakit

ginjal kronik, termasuk sisa obstruksi unilateral ureter ginjal, dan diabetik

Page 13: Contoh Kti Gt

13

nefropati35

. Keseimbangan antara TGF-β dan HGF memiliki peranan penting

dalam menentukan apakah jaringan yang rusak akan melalui proses perbaikan

atau fibrogenesis. TGF-β telah diakui sebagai penyebab utama dalam patogenesis

fibrosis ginjal. Sementara, HGF berperan sebagai anti fibrosis yang melawan aksi

TGF-β. Melalui berbagai mekanisme, HGF memberi sinyal pada sel ginjal melalui

jalur yang efektif untuk mengganggu transduksi sinyal TGF-β/Smad. Salah

satunya dengan memicu protein kinase B/fosforilasi Akt pada sel ginjal melalui

phosphoinositide 3-kinase-dependent pathway, menekan ekspresi α-SMA yang

dipicu oleh TGF-β, memicu ekspresi protein anti apoptosis Bcl-xL, Aktivasi dari

Erk-1/2 dan SnoN. Selain itu, TGF juga menyebabkan respon selular melalui

seperti tubulogenesis, ploriferasi dan migrasi sel dengan memicu sinyal p85/p110

subunit dari phosphoinositide 3-kinase (PI-3K), kompleks Grb2/Sos/Ras,

phospholipase C- (PLC-), dan Gab-114

.

2.5 Lysozime Conjugate Drug Carrier

Dalam beberapa tahun ini, banyak penelitian yang mencari tahu materi

polimer yang dapat di biodegradasi sebagai karier obat dalam berbagai sistem

penghantaran obat. Terdapat beberapa karakteristik yang harus dipenuhi dalam

memilih senyawa polimer ini yaitu materi harus biocompatible dan dapat di

degradasi secara in vivo menghasilkan monomer non toksik, asam laktat, dan

asam glikolat lalu rata-rata lama pelepasan dari peptida dapat dikontrol dengan

memvariasikan berat molekul dari rasio karier dan ko-polimernya36

. Lysozime

dipilih sebagai contoh peptida sebab enzim ini sangat tergantung pada struktur

tersier untuk menjaga aktivitas enzimnya. Lysozime merupakan rantai polipeptida

tunggal dari 129 asam amino yang disilangkan dengan 4 ikatan disulfida. Ia

menghidrolisis ikatan β(1→4) antara asam N-acetylmuraminic dan residu N-

acetyl-D-glucosamine dalam peptidoglikan juga ikatan antara residu N-acetyl-D-

glucosamine dalam chitodextrin. Enzim ini sering dipakai untuk melisis sel

bakteri dengan menghidrolisis peptidoglikan pada dinding sel37

.

Penelitian yang dilakukan oleh Fransen et al mengemukakan bahwa

lysozime dapat digunakan sebagai karier obat secara spesifik ke ginjal. Lysozime

yang telah terfiltrasi dibawa oleh sel tubulus proksimal melalui reseptor megalin

Page 14: Contoh Kti Gt

14

secara endositosis yang diperantarai reseptor. Pada lisosom, protein kemudian

didegradasi secara enzimatik menjadi peptida kecil dan asam amino. Dengan

mengkonjugasi obat dengan LMWPs seperti lysozime, maka obat akan mengikuti

jalur degradasi LMWPs dan terlepas di dalam sel tubulus ginjal setelah degradasi

oleh lisosom38

.

Gambar 4. Target obat ginjal dengan menggunakan lysozime38

.

Page 15: Contoh Kti Gt

15

BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Sifat Penulisan

Karya tulis ilimiah ini bersifat kajian pustaka yang menjelaskan mekanisme

kerja Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Proteins (BMP-2/BMP-7) dan

Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif

dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

3.2 Metode Perumusan Masalah

Perumusan masalah ditentukan berdasarkan patomekanisme fibrosis ginjal

dan efek inhibisi BMP dan HGF terhadap TGF-β pada PGK. Selain itu, juga

efeknya dalam melindungi dan merangsang penyembuhan pada ginjal yang

mengalami fibrosis. Ruang lingkup permasalahan terletak pada mekanisme kerja

dari BMP dan HGF terhadap pencegahan, penyembuhan dan penatalaksanaan

fibrosis ginjal pada PGK.

3.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini

digambarkan pada skema berikut:

Aktivasi myofibroblastik sel-sel mesangial,

interstitial fibroblasts, dan sel-sel epitel tubular

Aktivasi TGF-β

Cedera selular

Ginjal Normal

Fibrosis Ginjal

Sitokin,

Komplemen

AGEs, ROS

albumin, transferin,

imunoglobulin

BMP dan

HGF

Regenerasi

selular

Page 16: Contoh Kti Gt

16

Gambar 5. Skema Kerangka Berpikir

Setelah kerusakan terjadi pada ginjal, sejumlah molekul seperti albumin,

transferin, imunoglobulin, komplemen, sitokin ataupun advance glycation end

products (AGEs) melewati glomerulus dan berinteraksi dengan sel-sel tubulus

ginjal. Molekul-molekul ini menyebabkan cedera selular dan aktifasi TGF-β.

TGF-β menstimulasi sel-sel mesangial, interstitial fibroblasts, dan sel-sel epitel

tubular untuk mengalami aktivasi myofibroblastik serta mengalami transisi

menjadi sel-sel fibrogenik penghasil matriks (matrix-producing fibrogenic cells).

Fibrosis ginjal yang berkepanjangan akan menimbulkan kerusakan permanen pada

ginjal hingga tahap end stage renal disease (ESRD). BMP dan HGF dapat

menghambat aktivasi TGF-β sehingga akan menghambat proses fibrosis pada

ginjal. Di sisi lain HGF akan merangsang regenerasi selular sehingga dapat

memperbaiki kerusakan ginjal yang terjadi akibat fibrosis ginjal pada PGK.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode studi pustaka yang

dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku

ilmiah, tesis, jurnal ilmiah, majalah dan artikel ilmiah, serta data dari internet.

Data-data tersebut dikaji dan dipilih berdasarkan teknik critical apraissal yakni

validitas, hasil, dan relevansinya dengan kajian tulisan yang akan dibahas.

3.5 Metode Analisis dan Pemecahan Masalah

Metode analisis data pustaka dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

1. Metode eksposisi, yaitu dengan memaparkan data dan fakta yang ada

sehingga pada akhirnya dapat dicari korelasi antara data-data tersebut.

2. Metode analitik, yaitu melalui proses analisis data atau informasi dengan

memberikan argumentasi melalui berpikir logis dan yang selanjutnya diambil

suatu kesimpulan.

ESRD

Page 17: Contoh Kti Gt

17

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

4.1 Mekanisme Patogenesis Renal Fibrosis Pada Penyakit Ginjal Kronik

Dalam beberapa tahun belakangan ini, TGF-β dan jalur ekstra maupun

intraselulernya telah menjadi subyek yang paling banyak dipelajari dalam

patogenesis fibrosis39

. TGF-β1 diketahui memainkan peran sentral dalam

timbulnya fibrosis. Pengikatan TGF-β1 pada reseptor TGF-β1 II (TβRII) dapat

mengaktifkan kinase terkait reseptor TGF-β I (TβRI) untuk memfosforilasi Smad2

dan Smad3, yang keduanya merupakan reseptor smads (R-Smads). Smad2 dan

diketahui mengalami peningkatan yang berlipat ganda pada berbagai penyakit

ginjal baik akut maupun kronik termasuk nefropati diabetes, penyakit ginjal

obstruktif, nefropati hipertensi, nefropati terkait obat, dan glomerulonefritis.

Banyak gen fibrogenik, seperti (ColIa1, ColIa2, ColIIIa1, ColVa2, ColVIa1, dan

ColVIa3) dan inhibitor jaringan MMP-1 (TIMP-1), merupakan target dari sinyal

TGF-β/Smad3. Dengan demikian, Smad3 diperkirakan menjadi mediator kunci

dalam induksi fibrosis oleh sinyal TGF-β/Smad40

. Sementara Smad2 berperan

dalam meningkatkan induksi Smad3 oleh TGF-β termasuk dalam fosforilasi,

translokasi nuklear, aktivasi promotor Smad3, ikatan Smad 3 ke collagen I

promoter (COL1A2) serta produksi matriks kolagen yang diinduksi Smad341

.

Selanjutnya Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi juga akan mengikat Smad4 dan

membentuk kompleks Smads, yang akan bertranslokasi ke dalam inti sel untuk

mengatur transkripsi sejumlah protein, termasuk kolagen dan juga inhibitor Smad

(I-smad) seperti Smad 6 dan Smad 7. Smad 6 dan Smad7 mencegah penumpukan

kolagen berlebihan melalui efek inhibisi terhadap Smad2 dan Smad3 dengan

menargetkan TβRI dan Smads untuk degradasi melalui mekanisme degradasi

ubiquitin proteasome40

.

Page 18: Contoh Kti Gt

18

Gambar 6. Mekanisme sinyal TGF-β/Smad intraselular39

.

Sebenarnya terdapat beberapa mediator yang dapat mengaktifkan Smad2

dan Smad3 independen dari TGF-β1 dengan berinteraksi dengan jalur sinyal lain

seperti jalur sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan memainkan

peran dalam proses-proses patofisiologi PGK. Dalam kondisi nefropati diabetik

misalnya, advanced glycation end-products (AGEs), dapat mengaktifkan Smad2

dan Smad3 independen melalui jalur MAP kinase-bergantung ERK/p38. Hal ini

didukung oleh temuan bahwa deplesi reseptor TGF-β1 ternyata tidak mampu

mencegah proses fibrosis dan aktivasi Smad2 dan Smad3 yang diinduksi AGEs .

Mediator lain seperti Angiotensin II pada nefropati hipertensi juga dapat

mengaktivasi jalur ERK/p38/MAPK40

. Dengan demikian, jalur induksi Smad baik

oleh TGF- β1 maupun independen TGF-β1 menjadi kunci utama fibrosis.

Gambar 7. Jalur fibrosis dan peradangan ginjal lewat jalur dependen dan

independen TGF-β/Smad. Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif,

sedangkan panah merah (simbol) mewakili regulasi positif40

.

Page 19: Contoh Kti Gt

19

Di sisi lain, ginjal normal sebenarnya memiliki mekanisme perlindungan

lewat inhibitor Smad (I-Smad) seperti Smad6 dan 7 yang mencegah fibrosis

berkelanjutan pada ginjal yang mengalami cedera. Dalam hal ini, ekspresi dari

Smad7 mencegah fosforilasi Smad2/3 baik dengan menurunkan jumlah reseptor

TGF-β (TβRI) maupun Smads itu sendiri melalui jalur degradasi ubiquitin (Ub),

sehingga menghambat fibrosis ginjal akibat aktivasi Smad3 oleh TGF-β1,

AGEs,maupun angiotensin II (Ang II). Selain itu, overekspresi Smad7 dapat

menginduksi IκBα, penghambat NF-kB, sehingga menghambat peradangan ginjal

yang diinduksi NF-kB. Dengan demikian Smad7 menempati posisi penting

sebagai regulator negatif baik dari peradangan maupun fibrosis ginjal. Smad7

menghambat sinyal TGF-β/Smad dengan merekrut ligases E3 seperti Smurf2 dan

Arkadia ke kompleks reseptor TGF-β atau Smads untuk merangsang degradasi

kompleks tersebut melalui jalur degradasi proteasomal-ubiquitin. Selain itu,

Smad7 dapat menginduksi ekspresi IκBα, sehingga mencegah fosforilasi dari NF-

kB. Yang menjadi masalah, Smad7 umumnya hilang pada ginjal yang mengalami

cedera kronik. Sebagai akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara TGF-β/Smad

dan jalur NF-kB sinyal, dan pada akhirnya timbullah fibrosis dan peradangan

ginjal40

.

Gambar 8. Mekanisme inhibitorik Smad7 terhadap fibrosis dan peradangan

ginjal40

.

Page 20: Contoh Kti Gt

20

4.2 Peranan Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dalam

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Bone morphogenetic proteins (BMPs) merupakan anggota dari superfamili

TGF- β . Meskipun protein tersebut pertama kali diidentifikasi dalam kapasitas

untuk mempromosikan pembentukan tulang endochondral, namun berbagai

penelitian telah berhasil membuktikan bahwa mereka terlibat dalam sejumlah

proses penting dalam tubuh termasuk dalam morfogenesis. Selain itu, BMP

memainkan peran penting setelah kelahiran dalam patofisiologi beberapa

penyakit, termasuk hipertensi pulmonal, osteoporosis, artritis, penyakit

serebrovaskular, kanker serta penyakit ginjal42

. Saat ini, tercatat dua produk BMP

telah disetujui oleh Food and Drug Administration yakni BMP-7 dan BMP-213

.

Baik BMP-2 maupun BMP-7 telah terbukti berpotensi dimanfaatkakan dalam

penatalaksanaan PGK.

BMP-7, yang juga dikenal sebagai osteogenic protein-1, adalah protein

35-kDa homodimeric, dan ginjal adalah tempat utama sintesis BMP-7 selama

embriogenesis serta pascakelahiran. Delesi genetik BMP-7 pada tikus

menyebabkan kerusakan parah pembentukan ginjal, dan mengakibatkan kematian

perinatal. Ekspresi BMP-7 di ginjal orang dewasa terbatas pada tubulus distal dan

podocytes dari glomerulus42

. Ekkspresi BMP-7 ditemukan mengalami penurunan

drastis pada berbagai model penyakit ginjal, termasuk cedera ginjal akut iskemik,

fibrosis tubulointerstitial, dan nefropati diabetes43

.

Baru-baru ini, beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian dosis

farmakologis BMP-7 berhasil menghambat dan memperbaiki cedera ginjal akut

dan kronis pada model hewan coba. BMP-7 mengahambat fibrogenesis oleh TGF-

β serta transisi epitel mesenkimal (EMT) yang disebabkan oleh TGF-β. BMP-7

juga ternyata merangsang dan menginduksi transisi balik mesenkim-ke-epitel

secara in vitro, menghambat induksi ekspresi dari sitokin-sitokin proinflamasi,

mengurangi infiltrasi ginjal oleh sel inflamasi, dan mengurangi apoptosis sel

epitel tubular pada model penyakit ginjal. Secara kolektif, BMP-7 memainkan

peran penting dalam memperbaiki proses-proses kerusakan tubulus ginjal pada

penyakit ginjal42

.

Page 21: Contoh Kti Gt

21

Efektivitas BMP-7 untuk penatalaksanaan penyakit ginjal kronik telah

dibuktikan oleh sejumlah studi44

yang berhasil menunjukkan secara nyata bahwa

pemberian rekombinan BMP-7 dapat melindungi ginjal pada model hewan gagal

ginjal akut maupun kronis (CRF).

Tabel 2. Penelitian-penelitian yang mebuktikan efektivitas terapi BMP-7 pada

penyakit ginjal akut dan kronik45-49

.

Model hewan Spesies Dosis BMP

optimum

(µg/kg)

Efek dari Terapi BMP Sumber

Nekrosis

Tubular Akut

Tikus 250 Berkurangnya kerusakan ginjal dan

percepatan regenerasi sel

45

Obstuksi ureter

unilateral

Tikus 300 Penghambatan atropi tubular dan

fibrosis interstitial

46

Nefritis Lupus Tikus 300 Penghambatan atropi tubular dan

fibrosis interstitial

47

Glomerulonefri

tis Akut

Tikus 300 Regresi fibrosis interstitial 48

Nefropati

Diabetik

Tikus 300 Perbaikan hipertropi sel-sel ginjal,

Perbaikan gambaran histopatologi,

Peningkatan GFR

49

Sementara itu, BMP-2 yang notabenenya merupakan satu-satunya dari

keluarga BMP selain BMP-7 yang telah diakui FDA untuk diproduksi ternyata

juga pada berbagai penelitian terbukti menghambat proses fibrosis pada ginjal.

Dengan demikian, semakin jelas terdapat keterlibatan kompleks BMP dalam

regulasi fibrosis ginjal. Ghosh dkk misalnya, berhasil menunjukkan bahwa BMP-

2 mampu menghambat efek biologis yang disebabkan faktor pertumbuhan

epidermal dalam sel mesangial glomerulus ginjal seperti sintesis DNA50

. Piscione

dkk BMP-2 menghambat proliferasi fibroblast sel tubulus kolektivus dan

merangsang apoptosis seluler. Di tahun 2009, Yang dkk juga meneliti pengaruh

Page 22: Contoh Kti Gt

22

BMP-2 pada model fibrosit tikus NRK-49F. Penelitian beliau membuktikan BMP-

2 dapat mengurangi fibronectin yang dirangsang oleh TGF-β. TGF-β juga

terbukti menurunkan half life reseptor TGF-β1, lewat mekanisme aktivasi

proteasomal51

.

Gambar 9. Pengaruh BMP-2 terhadap produksi fibronektin (A) dan reseptor TGF-

β (B) pada model ginjal tikus coba51

.

4.3 Mekanisme kerja BMP-7 sebagai Antifibrotik pada PGK

Pada dasarnya, terdapat sejumlah jalur yang dihambat oleh BMP-7 dalam

menghambat progresifitas fibrosis dan PGK. Pertama, BMP7 bekerja

menghambat fibrogenesis yang diinduksi oleh TGF-β, dengan menghambat efek

dari TGF-β dalam mensupresi degradasi matriks dan meningkatkan Plasminogen

Activator Inhibitor-1 (PAI-1). BMP7 melakukan hal ini dengan mengurangi

akumulasi Smad3 intranuklear dan menghambat transcriptional up-regulation

dari gen target TGF-β/Smad3, yaitu domain CAGA-lux. Penelitian juga

membuktikan bahwa ketika Smad5 didelesi lewat manipulasi genetik, ternyata

kemampuan BMP7 dalam menghalangi aktivasi CAGA-lux dan akumulasi PAI-1

oleh TGF-β hilang. Hal ini karena BMP-7 melakukan efek antifibrotiknya dengan

perantara aktivasi Smad 5, yang pada gilirannya akan menghambat efek fibrotik

dari Smad352

.

Kedua, BMP-7 dapat meningkatkan kadar inhibitor Smad sehingga

menghambat mekanisme aktivasi lebih lanjut Smad pada cedera ginjal yang

berkepanjangan. Wang dkk pada penelitian beliau menunjukkan pemberian BMP7

(200 pM) pada hewan coba secara substansial meningkatkan ekspresi Smad6

dalam sel mesangial. Sebaliknya, pemberian TGF-β isomolar mengurangi tingkat

Page 23: Contoh Kti Gt

23

mRNA Smad6 secara signifikan sampai sekitar 50% di bawah garis batas normal.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Smad 6 dan Smad 7 merupakan dua

inhibitor smad (I-Smad) yang bekerja dengan meningkatkan degradasi dan

ubikuitinisasi reseptor TGF-β1. Peningkatan Smad 6 akan meningkatkan

ubikuitinisasi reseptor TGF- β1 juga kompleks Smad 2, Smad 3 yang bertanggung

jawab dalam menimbulkan fibrosis pada organ. Dengan demikian BMP-7 dapat

mengganggu fibrogenesis baik yang dependen maupun independen TGF-β52

.

Gambar 10. Efek BMP-7 dan TGF-β terhadap ekspresi Smad 6

52.

Ketiga, BMP 7 menghambat induksi α-smooth muscle actin (α-SMA),

yang merupakan marker dari myofibroblas aktif oleh TGF-β1. TGFβ1 diketahui

menyebabkan hilangnya E-cadherin and aktivasi myofibroblastik lewat

peningkatan α-SMA pada proximal tubule epithelial cells (PTECs) melalui suatu

mekanisme yang tergantung Smad2/3. BMP-7 di sisi lain akan mengantagonis

efek TGFβ1 tersebut dalam menginduksi α-SMA53

.

Gambar 11. Mekanisme kerja BMP-7 dalam menurunkan ekspresi α-SMA53

.

Page 24: Contoh Kti Gt

24

4.4 Mekanisme Kerja BMP-2 sebagai Antifibrotik pada Penyakit Ginjal

kronik

Sama seperti BMP-7, BMP-2 juga mampu berperan sebagai antifibrotik

dengan merangsang degradasi reseptor TGF-β. Jika BMP-7 meningkatkan Smad6,

BMP-2 bekerja dengan merangsang peningkatan sebagaimana ditunjukkan pada

penelitian Yang dkk51

.

Gambar 12. Pengaruh BMP-2 terhadap Smad751

.

Secara umum mekanisme kerja BMP-2 dapat dijelaskan seperti pada gambar

berikut51

.

Gambar 13. Mekanisme antifibrotik BMP-2 (p: Fosforilasi; U: ubiquitinisasi;

ECM: Matrix Ekstraseluler)51

Page 25: Contoh Kti Gt

25

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, transduksi sinyal TGF-β1 tergantung

pada sejumlah Smads yang bekerja mentransduksikan stimulus ekstraseluler ke

dalam inti. Setelah dirangsang TGF-β1, Smad2/3 yang terfosforilasi akan

membentuk kompleks dengan Smad4, dan mengalami terlokalisasi dalam inti sel,

untuk mengaktifkan sejumlah gen terkait fibrosis. BMP-2 mengantagonis fibrosis

seluler yang disebabkan oleh TGF-β1dengan meningkatkan TGF-β RI melalui

polyubiquitination dan degradasi proteosomal. Hal ini diperantarai oleh aktivasi

Smad7 sebagaimana terlihat pada gambar51

. Dengan demikian, jika BMP-7 dan

BMP-2 dikombinasikan efek antifibrotik yang dihasilkan akan sangat meningkat,

mengingat dua Smad yang bekerja sebagai inhibitor yakni Smad 6 maupun Smad

7 keduanya diaktifkan.

4.5 Peran dan Mekanisme Kerja HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit

Ginjal kronik

Dalam tatalaksana fibrosis ginjal, HGF berperan sebagai agen mitogenik

pada sel renal tubulus ginjal, podosit, dan sel endotelial. HGF memberikan respon

morfogenik seperti induksi percabangan pada tubulogenesis di sel epitel ginjal.

Pada ginjal normal, HGF diekspresikan dalam sel intertisial, sel endotelial,

makrofag, dan sel mesangial. Delesi genetik HGF pada tikus glomerulonefritis

telah terbukti mempercepat akumulasi ekspresi TGF-β dan apoptosis tubular.

Sebaliknya, administrasi protein HGF kepada tikus tersebut menekan ekspresi

TGF-β dan mencegah fibrosis ginjal dan gagal ginjal kronik33,34

.

Gambar 14. Peran HGF dan TGF pada patogenesis PGK34

.

Page 26: Contoh Kti Gt

26

Sementara dalam proses penyembuhan disfungsi renal, injeksi HGF

bekerja melalui sistem feedback tubuloglomerular dengan pertumbuhan tubulus

pada sisa nefron yang masih utuh. Selain itu, HGF juga secara signifikan

menghambat ekspresi α-SMA, komponen matriks interstisial, dan reseptor tipe I

nya. Aktivitas pro survival dari HGF diperantarai oleh mekanisme yang meliputi

dua anggota protein Bcl-2. HGF akan memicu fosforilasi Akt kinase pada sel

epitel tubulus melalui jalur PIK-dependent. Aktivasi Akt memicu fosforilasi Bad

sehingga menginaktivasi protein pro apoptosis sementara HGF dapat juga memicu

ekspresi anti apoptosis protein Bcl-xL14

.

Gambar 15.Mekanisme yang mendasari penghambatan fibrosis ginjal yang

diperantarai HGF14

.

HGF juga berperan menghambat sinyal TGF-β dengan mengganggu

sinyal Smad. HGF akan mencegah translokasi dari Smad 2/3 yang terfosforilasi

dengan cara memotong transduksi sinyal Smad sedangkan pada sel mesangial dan

sel epitel tubulus, HGF akan meningkatkan jumlah ko-represor transkripsi Smad

seperti TGIF dan juga SnoN. TGIF akan mengikat ke Smad dan merusak

kemempuannya dalam memulai transkripsi target gen TGF lalu SnoN juga akan

mengikat dan mencegah fosforilasi ekspresi gen Smad 2/3 yang terfosforilasi14

.

Page 27: Contoh Kti Gt

27

Gambar 16. Efek HGF pada berbagai sel ginjal14

.

Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas HGF dalam

penatalaksanaan PGK. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Mizuno dkk

dengan membandingkan antara kelompok tikus yang diberi injeksi HGF 500 ηg

dengan tikus yang hanya diberikan injeksi salin normal secara subkutan selama 28

hari. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan HGF dalam mencegah

progresi renal fibrosis sebagai mana yang terlihat pada grafik di bawah ini33

.

Gambar 17. Efek terapeutik injeksi HGF dalm mencegah progresi PGK33

.

4.6 Masalah dalam Pemanfaatan Terapi Kombinasi BMP-HGF dan

Pemanfaatan Lysozime Conjugate sebagai Drug Carrier

Mengingat blokade sinyal TGF-β dan Smad sebagai jalur antifibrotik

utama dan fibrosis ginjal merupakan kunci progresivitas PGK menjadi ESRD,

BMP dan HGF menjadi dua agen potensial yang dapat dimanfaatkan dalam

penatalaksanaan penyakit ginjal kronik. Berbagai penelitian telah menunjukkan

efektivitas BMP dan HGF pada penatalaksanaan fibrosis ginjal pada hewan coba.

Namun mengingat pemberian dilakukan secara sistemik, dosis yang relatif tinggi

harus diberikan untuk mencapai dosis kumulatif pada ginjal untuk menimbulkan

efek terapi. Selain itu, administrasi sistemik inhibitor TGF-β mungkin

Page 28: Contoh Kti Gt

28

menimbulkan efek samping imunologi, karena TGF-β memainkan peran penting

dalam imunitas tubuh melalui regulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit. Jika

TGF-β dihambat secara total, akan terjadi reaksi inflamasi multifokal

sebagaimana terbukti pada hewan coba. Administrasi senyawa yang bekerja

menghambat TGF-β karena itu bukan tanpa risiko, bahkan cenderung

menimbulkan efek samping berat . Akibatnya, pengembangan inhibitor TGF-β

yang efektif telah menjadi tantangan selama beberapa dekade belakangan ini.

Untuk meminimalisasi efek samping dan meningkatkan efikasi pada sel target,

sekarang kita bertujuan untuk menghambat TGF-β secara lokal dalam ginjal54

.

Untuk meminimalkan efek samping dan meningkatkan keberhasilan dalam

penatalaksanaan fibrosis ginjal, maka penghambatan TGF-β harus dapat

dilakukan secara lokal pada ginjal. Pemanfaatan teknologi drug targetting

bertujuan untuk mencapai dosis kumulatif lokal yang diinginkan dengan dosis

obat yang lebih rendah serta meminimalkan efek samping potensial di organ non

target55

. Franssen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa low molecular

weight proteins (LMWPs) seperti lysozyme (LZM) dapat dimanfaatkan sebagai

molekul pembawa obat yang spesifik terhadap sel ginjal. LMWPs sendiri adalah

molekul berukuran sangat kecil dibawah 20 kDa sehingga akan difiltrasi di

glomerulus15

.Karena LMWPs akan menumpuk di ginjal, konjugasi BMP dan

HGF dengan lysozyme dapat digunakan untuk obat yang ditujukan pada ginjal

sebagai target pengobatannya. Setelah filtrasi glomerular, konjugat ini diserap

oleh sel-sel tubulus proksimal melalui reseptor khusus di tubulus yakni reseptor

megalin/gp33057

dan terdegradasi dalam lisosom. Akibatnya molekul BMP dan

HGF dibebaskan dari lysozyme, lysozyme akan didegradasi, sementara BMP dan

HGF akan dibebaskan dari kompartemen lisosomal dan menyebar ke bagian lain

dari ginjal56

.

Gambasr 18. Mekanisme LMWP sebagai renal specific drug carrier56

.

Page 29: Contoh Kti Gt

29

Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan efektivitas lysozime

sebagai molekul pembawa obat untuk renal targetting drug. Prakash dkk meneliti

efek injeksi subkutan dari captopril-lysozyme conjugate, Hasilnya kadar kaptopril

intrarenal lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang hanya diberi kaptopril

bebas. Sementara itu kadar kaptopril ditemukan lebih rendah dalam urin yang

menunjukkan bahwa akumulasi ginjal membaik serta peningaktan stabilitas obat

di tempat injeksi58

. Kok dkk juga melakukan Penelitian sejenis dengan

membandingkan farmakokinetik kaptopril yg terkonjugasi lysozyme dengan

kaptopril bebas yang tidak terkonjugasi. Hasil penelitian beliau, akumulasi

kaptopril di ginjal adalah enam kali lebih tinggi setelah pemberian dalam bentuk

terkonjugasi daripada jika diberikan dalam bentuk bebas59

.

4.7 Preparasi Lysozime Conjugated BMP (BMP-2/BMP-7) dan HGF

Preparasi dan sintesis Lysozime Conjugated BMP (BMP-2/BMP-7) dan

HGF dilakukan melalui serangkaian reaksi kimia sebagaimana yang dijelaskan

pada penelitian sebelumnya17-22

. Pertama-tama lysozyme (100mg, 7 μmol)

dilarutkan dalam larutan 0.1 M borate buffer pada pH 7.5 dan konsentrasi 20

mg/ml. Lalu, Succinimidyloxycarbonyl-α-methyl-α-(2-yridyldithio) toluene

(SMPT; 5.4 mg, 14 μmol) dilarutkan dalam 0.1 ml acetonitrile dan ditambahkan

secukupnya pada larutan lysozyme yang sudah dipersiapkan, kemudian divortex

selama 30 menit. Setelah itu, BMP baik BMP-2 maupun BMP-7 dan HGF yang

telah dilarutkan dalam 0.1 ml ethanol absolut diteteskan pada lysozime, untuk

mencapai homogenisasi larutan ini lalu divortex selama 2 jam. Konjugat yang

sudah bersatu disaring lewat cation exchange chromatography dan didialisis pada

air dengan suhu 4°C. Konjugat tersebut disimpan pada suhu -20°C untuk

mencapai stabilisasi sempurna.

Page 30: Contoh Kti Gt

30

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

5.1.1 Renal fibrosis merupakan proses kunci yang mendasari progresi Penyakit

Ginjal Kronik (PGK) menjadi end stage renal disease (ESRD).

5.1.2 BMP dan HGF berpotensi untuk dimanfaatkan dalam penatalaksanaan PGK

lewat kemampuannya dalam menghambat jalur TGF-β/Smad pada fibrosis

ginjal dan merangsang proliferasi ginjal sehat.

5.1.3 Untuk meningkatkan efisiensi pengahantaran BMP dan HGF ke sel-sel renal dan

menghindari efek samping sistemik, lysozime dapat dimanfaatkan sebagai drug

carrier conjugate terhadap BMP dan HGF.

5.1.4 Lysozime Conjugated Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan

Hepatocyte Growth Factor (HGF) berpotensi menjadi agen terapeutik yang

mutakhir dalam penanganan Penyakit Ginjal Kronik.

5.2 Saran

5.2.1 Dibutuhkan penelitian lebih lanjut terutama untuk mengetahui sejauh

mana efektivitas lysozime conjugated BMP dan HGF pada

penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

5.2.2 Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai efek samping dan potensi

kompikasi dari penggunaan lysozime conjugated BMP dan HGF pada

pasien Penyakit Ginjal Kronik.

5.2.3 Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai cara dan metode yang paling

aman dan ideal dalam aplikasi dan pemakaian lysozime conjugated BMP

dan HGF dalam penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

5.2.4 Perlu dilakukan sosialisasi kepada pemerintah, tenaga kesehatan,

penelitidan industri farmasi dunia mengenai potensi pemanfaatan lysozime

conjugated BMP dan HGF dalam penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik