content jurnal fk sad

Upload: dimz-raaf-i

Post on 09-Oct-2015

84 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal fakultas kedokteran

TRANSCRIPT

Pengaruh Diet Vegan Terhadap Insiden Terjadinya Kanker PayudaraOlehLoo Hariyanto RaharjoDepartemen Biokimia Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabayae-mail: [email protected] I. ABSTRAK Tujuan penulisan : Untuk menambah pengetahuan mengenai peranan diet vegan didalam mengurangi resiko terjadinya kanker payudara. Metoda penulisan: melakukan suatu tinjauan pustaka dari beberapa studi yang dimuat didalam jurnal internasional mengenai peranan diet vegan didalam mengurangi resiko terjadinya kanker payudara. Pembahasan: Diet vegan menyebabkan kadar fitoestrogen dalam darah yang lebih tinggi sehingga dapat menghambat ikatan antara estrogen dengan reseptornya. Ikatan estrogen dengan reseptornya dapat meningkatkan proliferasi dari sel-sel payudara yang cenderung menimbulkan suatu keganasan. Kesimpulan : Diet vegan yang merupakan sumber fitoestrogen dapat menekan resiko terjadinya kanker payudara. Kata kunci : diet vegan, fitoestrogen, estrogen, kanker payudara.

Vegan Diet Effect Against Breast Cancer Incidence occurrenceByLoo Hariyanto RaharjoBiokimia Department Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya e-mail: [email protected]

ABSTRACT Background: This article to increase knowledge about influence of vegan to reduce risk of breast cancer Method: the book observation from some international journal about role of vegan to reduce risk of breast cancer Results: vegan diet can increase blood phytoestrogen level and then inhibit estrogen-receptor bind. When estrogen binding to the receptor then increase proliferation of breast cells which tend to malignation. Conclusion: vegan is source of phytoestrogen which can reduce risk of breast cancer. Key words: vegan, phytoestrogen, estrogen, breast cancer

8

II. PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan suatu penyakit keganasan yang sering terjadi pada wanita dan sering menimbulkan kematian akibat derajat keganasan yang sudah lanjut pada saat terdeteksi. Melalui karya tulis ini, kami ingin memberikan wawasan mengenai pentingnya pencegahan terjadinya kanker payudara melalui pemberian diet vegan yang pada beberapa penelitian dibuktikan mampu menurunkan insiden kanker payudara. Selain itu pada wanita yang terdeteksi menderita kanker payudara dengan pemberian diet rendah lemak / diet vegan akan memberikan survival rate yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian diet tinggi lemak / diet omnivora (Verreault R, 1988 dan Hebert JR, 1989). Selain itu juga terdapat hubungan yang terbalik antara insiden kanker payudara dengan konsumsi serat dan makanan yang kaya serat (Shanker,1991).

III. BAHAN DAN METODAPada penulisan artikel ilmiah ini kami melakukan tinjauan pustaka yang kami kumpulkan dari beberapa jurnal ilmiah internasional yang berhubungan dengan masalah terjadinya kanker payudara, pandangan mengenai diet vegetarian menurut American Dietetic Association (ADA), serta beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan pemberian diet vegetarian untuk menekan insiden terjadinya kanker payudara.

IV. PEMBAHASANDIET VEGETARIANVegetarianisme merupakan suatu pola diet yang tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari hewan, baik hewan yang ada di darat, air, maupun udara. Ada beberapa macam tipe vegetarianisme, yaitu:1. Lacto-ovo-vegetarian: pola diet yang tidak mengkonsumsi sumber makanan hewani, tetapi masih mengkonsumsi telur, susu, serta produk olahannya.2. Lacto-vegetarian: pola diet yang tidak mengkonsumsi sumber makanan hewani, tetapi masih mengkonsumsi susu dan produk olahannya.3. Ovo-vegetarian: pola diet yang tidak mengkonsumsi sumber makanan hewani, tetapi masih mengkonsumsi telur dan produk olahannya.4. Strict vegetarian (vegan): pola diet yang tidak mengkonsumsi sumber makanan hewani termasuk tidak mengkonsumsi susu, telur, serta produk olahannya.

Diet vegetarian berhubungan dengan sejumlah kondisi kesehatan yang menguntungkan seperti kadar kolesterol yang rendah, resiko penyakit jantung yang rendah, resiko hipertensi dan diabetes tipe 2 yang rendah. Selain itu diet vegetarian cenderung menimbulkan Body Mass Index (BMI) yang rendah dan resiko untuk terjadinya kanker yang rendah. Diet vegetarian cenderung mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang rendah serta banyak mengandung serat, magnesium dan potassium, vitamin C dan E, folat, karotenoid, flavonoid serta fitokimia lainnya (American Dietetics Association, 2009).Obesitas merupakan faktor yang signifikan untuk meningkatkan resiko terjadinya kanker. Pada orang yang bervegetarian cenderung mempunyai Body Mass Index yang lebih kecil dibandingkan dengan orang yang non-vegetarian, sehingga dengan berat badan yang lebih ringan mungkin merupakan faktor yang penting untuk menurunkan insiden kanker.Pada beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayuran secara teratur mempunyai korelasi yang signifikan terhadap penurunan resiko terjadinya beberapa kanker. Buah dan sayuran mengandung beraneka ragam fitokimia yang kompleks, yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang poten, antiproliferatif, serta aktivitas protektif terhadap kanker. Fitokimia-fitokimia inilah yang berpengaruh terhadap proses beberapa sel yang mengalami keganasan sehingga dapat ditekan progresivitasnya. Mekanismenya meliputi inhibisi terhadap proliferasi sel, inhibisi terhadap pembentukan DNA-adduct, inhibisi terhadap signal transduction pathways dan ekspresi onkogen, induksi terhadap penghentian siklus sel dan apoptosis, menghambat aktivasi Nuclear Factor Kappa Beta (NFk) serta menghambat proses angiogenesis (Liu RH, 2004).

ESTROGEN DAN KANKER PAYUDARAHormon estrogen diperlukan untuk perkembangan seksual dan fungsional organ-organ kewanitaan secara normal terutama yang berhubungan dengan kemampuan melahirkan anak seperti uterus dan ovarium. Estrogen juga berperan terhadap siklus menstruasi dari wanita, pertumbuhan payudara secara normal dan juga berperan terhadap pemeliharaan jantung dan tulang yang sehat.Estrogen juga berpengaruh terhadap terjadinya kanker payudara yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:1. Estrogen berperan sebagai stimulator pembelahan sel payudara.2. Estrogen bekerja pada periode kritis (critical period) dari pertumbuhan dan perkembangan payudara.3. Estrogen mempengaruhi kerja hormon lain yang berperan dalam pembelahan sel payudara.4. Estrogen dapat memacu pertumbuhan tumor-tumor yang responsif terhadap estrogen.Wanita sepanjang hidupnya selalu terpapar dengan estrogen sehingga wanita ini mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terjadinya kanker payudara.Gaya hidup dapat berpengaruh terhadap kadar estrogen didalam tubuh melalui beberapa hal, yaitu:1. Diet: makanan yang dikonsumsi oleh seorang wanita dapat mempengaruhi kadar estrogen dalam tubuhnya. Pemberian diet yang rendah lemak dan tinggi serat dapat mengurangi kadar estrogen dalam tubuh. Sebaliknya diet yang tinggi lemak dan rendah serat dapat meningkatkan resiko kanker payudara yang secara langsung berhubungan dengan peningkatan kadar estrogen dan secara tidak langsung berhubungan dengan terjadinya obesitas. Obesitas dapat meningkatkan resiko kanker payudara pada wanita post menopause.2. Diet yang mengandung fitoestrogen: fitoestrogen adalah estrogen yang ditemukan dalam makanan nabati seperti kacang kedelai, tofu, gandum,buah-buahan dan sayuran. Kata Phyto berasal dari bahasa latin yang berarti tumbuh-tumbuhan. Pemberian diet yang kaya fitoestrogen merupakan cara untuk mengurangi insiden kanker payudara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang diberikan diet tinggi fitoestrogen, termasuk vegan, dan wanita yang banyak mengkonsumsi kedelai dan produk olahannya, mempunyai resiko kanker payudara yang lebih rendah. Kebanyakan fitoestrogen tidak disimpan dalam tubuh, tetapi langsung dipecah. Fitoestrogen merupakan estrogen yang lemah, tetapi dapat mencegah ikatan antara estrogen manusia yang lebih kuat dengan reseptornya. Jika estrogen yang lemah berikatan dengan reseptor estrogen, sebagai pengganti estrogen yang kuat, maka akan mengurangi proses pembelahan sel payudara. Wanita yang diberikan diet tinggi fitoestrogen juga akan mengekskresi estrogen lebih banyak didalam urinnya, dan mempunyai kadar estrogen dalam darah lebih rendah. Beberapa studi menunjukkan bahwa wanita yang diberikan diet tinggi fitoestrogen mempunyai waktu menstruasi lebih panjang, karena itu siklus menstruasinya lebih sedikit. Semua faktor tersebut diatas dapat mengurangi resiko terjadinya kanker payudara.3. Berat badan: beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelebihan berat badan pada orang dewasa, terutama sebelum dan sesudah menopause, meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara. Setelah wanita menopause, ovarium akan menghentikan produksi estrogen dan sumber primer untuk produksi estrogen pada wanita ini berasal dari lemak tubuh. Oleh karena itu pada wanita dengan kadar lemak tubuh yang tinggi selama masa menopause diperkirakan akan mempunyai kadar estrogen dalam tubuh yang lebih besar daripada wanita yang kurus. Salah satu cara untuk mengurangi resiko terjadinya kanker payudara pada wanita adalah dengan membatasi pertambahan berat badan pada lanjut usia dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan melakukan olah raga setiap hari dengan rutin.4. Olah raga: beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang berolah raga secara teratur mempunyai resiko kanker payudara lebih rendah. Hal tersebut didukung beberapa data yang menunjukkan kadar estrogen dalam sirkulasi darah yang lebih rendah pada wanita yang berolah raga secara teratur. Lemak tubuh biasanya berkurang pada wanita yang berolah raga dan disertai penurunan kadar estrogen dalam tubuh.Waktu menstruasi yang lebih panjang akan menyebabkan jumlah siklus menstruasi yang lebih sedikit sepanjang hidup, akibatnya paparan estrogen pada tubuh juga lebih sedikit sepanjang hidupnya.5. Alkohol: beberapa penelitian menunjukkan bahwa minum alkohol dapat meningkatkan resiko kanker payudara dan peningkatan resiko ini juga berkaitan dengan jumlah alkohol yang dikonsumsi.6. Pil kontrasepsi: terdapat perdebatan mengenai efek pemakaian pil kontrasepsi terhadap timbulnya kanker payudara. Hal ini dipengaruhi oleh kadar estrogen yang terdapat dalam pil kontrasepsi, lamanya pemakaian, dan usia wanita mulai pakai pil kontrasepsi.7. Terapi hormon pada wanita post menopause (terapi sulih hormon): sesudah memopause, ovarium tidak memproduksi estrogen lagi. Hilangnya produksi estrogen ini berhubungan dengan resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah, osteoporosis dan sejumlah keadaan tidak nyaman yang bersifat temporer yang berhubungan dengan menopause.Untuk mengatasi hal tersebut maka diberikan terapi dengan estrogen. Terapi hormon dengan hanya memberikan estrogen saja dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker uterus, maka perlu ditambahkan hormon progesteron untuk menekan terjadinya hal tersebut. Terapi hormon estrogen saja diberikan pada wanita yang mengalami histerektomi dan tidak mempunyai rahim. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi hormon pada wanita post menopause dengan estrogen dan progresteron dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.

fitoestrogenFitoestrogen adalah estrogen lemah yang didapatkan pada tanaman. Istilah fitoestrogen berhubungan dengan beberapa kelas senyawa kimia seperti flavones, flavanones, isoflavones, coumestans, dan lignans. Senyawa-senyawa tersebut memiliki struktur yang mirip dengan estrogen endogen, tetapi memberikan efek campuran antara efek estrogenik dan efek anti-estrogenik.Beberapa studi menunjukkan bahwa isoflavones mempunyai konsentrasi yang tinggi pada kacang kedelai dan daun semanggi merah (red clover), selanjutnya yang lebih rendah konsentrasinya yaitu flavones, kemudian coumestans. Lignan lebih banyak didapatkan pada buah-buahan dan sayuranFitoestrogen mempunyai afinitas terhadap reseptor estrogen 1.000 10.000 kali lebih kecil daripada estradiol. Fitoestrogen dapat menstimulasi sintesa sex-hormone binding globulin di dalam liver dan menimbulkan inhibisi kompetitif terhadap ikatan antara estrogen dan reseptornya, maka ia memegang peranan untuk menurunkan resiko terjadinya kanker payudara dan penyakit-penyakit hormonal lainnya. Kelompok polong-polongan banyak mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen diekskresikan melalui urin, dimana diet vegetarian dan makrobiotik berhubungan dengan tingginya kadar lignan dalam urin.Metabolisme fitoestrogen pada wanita premenopause juga dipengaruhi secara hormonal. Puncak dari ekskresi lignan didapatkan pada fase luteal dari siklus menstruasi dan peningkatan ekskresi juga terjadi pada awal kehamilan.Pada percobaan yang dilakukan oleh Pamela L. Dan kawan-kawan, insiden kanker payudara pada wanita muda lebih banyak didapatkan pada kelompok wanita afro-amerika daripada kelompok wanita kulit putih atau wanita latin. Pada kelompok wanita afro-amerika ini didapatkan kadar estrogen yang diekskresikan lebih rendah, hal ini berkaitan dengan hipotesa bahwa peningkatan resiko kanker payudara disebabkan kurangnya paparan terhadap efek antipromosi dari fitoestrogen.

Mekanisme kerja fitoestrogen untuk menurunkan resiko kanker payudara.Beberapa percobaan in vitro menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menghambat aktifitas enzim pengendali proses steroidogenesis (enzim aromatase) sehingga dapat menghambat sintesa estradiol dari androgen dan estrogen sulfat. Dari semua kelompok fitoestrogen, flavones dan flavanones merupakan inhibitor potent terhadap enzim aromatase.Isoflavones merupakan inhibitor yang lemah terhadap aktifitas aromatase pada cell-free maupun pada whole-cell preparations (Le Bail, et al. 2000; Lacey, et al. 2005). Almstrup, et al. (2002) menyatakan bahwa formononetin, biochanin A, dan ekstrak dari daun semanggi merah dapat menghambat aktivitas enzim aromatase pada dosis rendah (< 1 M), tetapi mempunyai aktivitas estrogenik pada dosis tinggi.Flavones mempunyai kemampuan inhibisi terhadap aromatase lebih baik daripada isoflavones, yang disebabkan karena mempunyai struktur kimia yang berbeda. Pada suatu studi mutagenesis, Kao, et.al. (1998) menyatakan apabila 4-hydroxyphenol group masuk ke cincin C2 dari isoflavones dan flavones, maka cincin A dan C dari fitoestrogen tersebut akan bereaksi mirip seperti cincin C dan D dari substrat androgen.Isoflavones juga menghambat 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-1, enzim yang merubah estrone menjadi estradiol. Pada sel granulosa dan sel kanker payudara, produksi estradiol meningkat beberapa kali lebih tinggi bila dipakai androstenedion sebagai substrat dibandingkan dengan testosteron, serta perubahan estrone menjadi estradiol lebih tinggi daripada perubahan androstenedion atau testosteron menjadi estradiol.Fitoestrogen juga dapat meningkatkan sex-hormones binding globulin yang mengakibatkan berkurangnya kadar hormon aktif di dalam sirkulasi darah.Fitoestrogen dapat berperan sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat Reactive Oxygen Species (ROS) yang memegang peranan dalam terjadinya kanker payudara.

V. KESIMPULANData-data epidemiologi menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen dengan konsentrasi tinggi pada masa pertumbuhan atau bahkan sejak usia dini merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya resiko keganasan pada usia lanjut. Fitoestrogen merupakan senyawa kimia yang ada pada tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pada orang yang mengkonsumsi diet vegan mempunyai resiko terjadinya kanker payudara yang lebih rendah daripada orang dengan diet omnivora.

DAFTAR PUSTAKAClark R. A., Snedeker S., Devine C., 2002. Estrogen and Breast Cancer Risk: What Factors Might Affect a Womans Exposure to Estrogen?. Fact sheet of the Cornell University Program on Breast Cancer and Environmental Risk Factors in New York State (BCERF);10:1-4.Hebert JR, Toporoff E., 1989. Dietary exposures and other factors of possible prognostic significance in relation to tumour size and nodal involvement in early-stage breast cancer. International Journal Epidemiology;18:518-26.Kao Y-C, Zhou C, Sherman M, Laughton CA & Chen S.1998. Molecular basis of the inhibition of human aromatase (oestrogen synthetase) by flavone and isoflavone phytoestrogens: a site directed mutagenesis study. Environmental Health Perspectives; 106: 8592.Lacey M, Bohday J, Fonseka S, Ullah A & Whitehead SA.2005. Doseresponse effects on phytoestrogens on the activity and expression of 3b-hydroxsteroid dehydrogenase and aromatase in human granulosa-luteal cells. Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology; 96: 279286.

Le Bail JC, Champavier Y, Chulia AJ & Habrioux G. 2000. Effects on phytoestrogens on aromatase 3 and 17-hydroxysteroid dehydrogenase activities and human breast cancer cells. Life Sciences 66 12811291.Liu RH., 2004. Potential synergy of phytochemicals in cancer prevention: Mechanism of action. Journal Nutritional.;134(suppl):3479S-3485S.Pamela L., et.al. 1997. Urinary Phytoestrogen Levels in Young Women from a Multiethnic population. Cancer Epidemiology, Biomarkers and prevention;6 :339-45.Position of the American Dietetic Association:Vegetarian Diets. 2009. Journal of the AMERICAN DIETETIC ASSOCIATION;109: 1266-82.Rice S., Whitehead S.A.,2006. Phytoestrogens and breast cancer promoters or protectors?. Endocrine related cancer; 13: 995-1015.Shanker S., Lanza E., 1991. Dietary fiber and cancer prevention. Hematology Oncology Clinical North American; 5:25-41.Verreault R., et.al. 1988. Dietary fat in relation to prognostic indicators in breast cancer. Journal National Cancer Instute;80:819-25.

DIPYLIDIASISBagus Uda PalgunadiDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakDipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang bersifat zoonosis dan disebabkan oleh Dipylidium caninum. Sebagai Definitif host selain anjing adalah kucing dan carnivora lain sedangkan manusia adalah occasional host. Cacing ini menular dari hewan yang terinfeksi ke manusia melalui intermediate host yaitu flea (Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis dan Pulex irritans) ataupun kutu (Trichodectes canis). Kejadian dypilidiasis pada manusia sangat tergantung pada kejadian dyplidiasis pada hewan dan ada tidaknya intermediate host. Pernah ada penelitian terjadinya kasus dipylidiasis pada anjing di Indonesia walaupun belum ada penelitian mengenai kejadian dipylidiasis pada manusia di Indonesia. Potensi terjadinya penyakit ini sangat dimungkinkan mengingat anjing dan kucing adalah hewan peliharaan yang umum pada sebagian orang.

Kata kunci : Dipylidiasis, zoonosis

DIPYLIDIASISBagus Uda PalgunadiLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstract

Dipylidiasis a tapeworm disease in dogs that are zoonotic and are caused by Dipylidium caninum. As a Definitive hosts are cats and dogs than other Carnivora, while humans are occasional hosts. This worm is transmitted from infected animals to humans through the intermediate hosts of flea (Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis and Pulex irritans) or lice (Trichodectes canis). Dypilidiasis incidence in humans is highly dependent on the incident dyplidiasis on animals and whether there is an intermediate host. Been no studies of dipylidiasis cases in dogs in Indonesia, although there has been no research on the incidence dipylidiasis in humans in Indonesia. The potential occurrence of this disease is very possible considering dogs and cats are common pets in some people.

Keywords: Dipylidiasis, zoonotic

PENDAHULUAN Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita yang secara primer terjadi pada anjing. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis karena dapat ditularkan kepada manusia melalui hospes perantara berupa pinjal atau kutu anjing. Di Indonesia kasus dypilidiasis pada manusia belum pernah dilaporkan. Dari Laporan hasil penelitian terjadinya dipylidiasis pada anjing Bali disebutkan bahwa 18% dari anjing yang diperiksa , positif terinfeksi Dipylidium caninum ( Dharmawan NS dkk, 2003)ETIOLOGI Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang disebabkan oleh Dipylidium caninum. Selain anjing, hospes definitif lainnya adalah kucing dan karnivora liar. Manusia terutama anak anak dapat sebagai occasional host . Sebagai intermediate hostnya (hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides canis) , pinjal kucing (Ctenocephalides felis). Selain itu Pulex irritans dan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) juga diduga sebagai intermediate host. (Levine ND,1994)Morfologi dan siklus hidup :Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglottid. Scolex cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4 buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal. Proglottid mature berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya mempunyai 2 perangkat alat reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah tengah sisi lateralnya. Proglottid gravid penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 dan berisi oncosphere yang mempunyai 6 kait. Proglottid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2 sampai 3 segmen. Segmen segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per jam dan keluar melewati anus atau bersama feces.Pinjal (flea) dari anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing ( Ctenocehalides felis) atau kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan intermediate host ( hospes perantara ) dari Dipylidium caninum ini. Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh larva dari hospes perantara, maka oncosphere akan keluar dari telur dan menembus dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva cysticercoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva cysticercoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitive serta tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari. ( Soulsby,1982 ; Brown,1975)

EPIDEMIOLOGI :Dipylidiasis pada manusia umumnya dilaporkan terjadi pada anak anak usia di bawah 8 tahun. Penularan biasanya terjadi per oral malalui makanan , minuman atau tangan yang tercemar pinjal anjing atau kucing serta kutu anjing yang mengandung cysticercoid . (Soedarto,2003). Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang orang yang menyayangi hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut.Penyebaran penyakit ini pada hewan maupun manusia sangat tergantung pada ada atau tidaknya hospes perantara karena perkembangan telur Dipylidium caninum untuk menjadi larva yang infektif yaitu cysticercoid harus di dalam tubuh hospes perantara yaitu pinjal atau kutu anjing. PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS :Pada anjing atau kucing yang terinfeksi ringan tidak terlihat gejala yang jelas, hanya tampak gelisah dan menggosok gosokkan anusnya ke tanah. Pada infeksi berat terlihat diare , konstipasi dan obstruksi usus. (Soulsby, 1982)Infeksi pada manusia umumnya sangat ringan , kadang kadang terjadi nyeri epigastrium, diare atau reaksi alergi disertai penurunan berat badan ( Soedarto,2008)

DIAGNOSA:Berdasarkan anamnesa yaitu perilaku keeratan hubungan dengan anjing atau kucing peliharaannya dan status kesehatan anjing atau kucing peliharaannya serta gejala klinis yang tampak dapat diprediksi kemungkinan menderita dipylidiasis. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadang kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.

PENGOBATAN : Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al, 1992)Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982)

PENCEGAHANPenularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida ( Soedarto,2007)

KESIMPULAN DAN SARANMengingat bahwa anjing dan kucing merupakan hewan peliharaan yang semakin banyak diminati , maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan penularan dipylidiasis dari hewan peliharaan kepada manusia.Sebelum memelihara anjing ataupun kucing, perlu memilih dengan seksama dan memperhatikan status kesehatannya misalnya telah divaksinasi, bebas penyakit baik yang zoonosis maupun yang bukan zoonosis.Selama pemeliharaan hendaknya selalu menjaga kesehatan anjing atau kucing peliharaannya dengan secara teratur memeriksakan kepada dokter hewan untuk diberikan anthelmintik.Menjaga kebersihan lingkungan ataupun kandang hewan peliharaan dengan penyemprotan insektisida untuk memberantas pinjal dan kutu juga perlu dilakukan untuk mencegah reinfeksi.

DAFTAR PUSTAKABROWN HW, 1975. Basic Clinical Parasitology.4thEd.Appleton Century Crofts. 185-187.DHARMAWAN NS. SURATMA NA, DAMRIYASA M, MERDANA IM.2003. Infeksi Cacing Pita pada Anjing Bali dan Gambaran Morfologinya.Jvet.Vol 4(1).LEVINE ND.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163-164,480.MARKELL EK, VOGE M, JOHN DT. 1992.Medical Parasitology.7thEd.WB Saunders Company.254-255.NATADISASTRA D, AGOES R. 2009.Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC.122-123.SOEDARTO.2003.Zoonosis Kedokteran.Airlangga University Press.67.SOEDARTO.2007.Sinopsis Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.SOEDARTO.2008.Parasitologi Klinik.Airlangga University Press.37-39.SOULSBY EJL.1982.Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7thEd.Bailliere Tindal London. 105.

TERAPI TERKINI UNTUK KANKER OVARIUMOleh Harry Kurniawan GondoProgram Pendidik Dokter Specialis (PPDS) 1 Obstetri & GinekologiFakultas Kedokteran Udayana RS SanglahDenpasar BaliDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakWalaupun penyakit tumor ovarium biasanya menunjukkan gejala yang serupa, diagnosis awal kanker ovarium lebih menekankan pada penemuan secara klinis bukan pada metode ilmiah yang canggih. Begitu terjadi pembesaran, ada kompresi yang progresif pada struktur pelvik disekitarnya, yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen, dispepsia, peningkatan frekuensi buang air kecil, dan tekanan dalam pelvik. Variabel yang paling penting yang mempengaruhi terapi dan prognosis pada kasus kanker ovarium adalah stadium atau luasnya penyakit. Sistem staging yang dipakai adalah memungkinkan perbandingan hasil terapi diantara pada masing masing institusi berbeda, oleh karena itu terapi kanker ovarium sebaiknya dilakukan berdasarkan stadium. Survival tergantung pada stadium lesi, grade diferensiasi lesi, temuan gross makroskopik saat operasi, jumlah tumor residu setelah operasi dan terapi tambahan setelah operasi. Pada banyak institusi, pilihan terapi untuk kanker ovarium adalah total abdominal hysterectomy dan bilateral salpingo-oophorectomy (TAH-BSO), omentektomi dan pemberian kemoterapi intraabdominal (32P). Pusat penelitian lain memilih irradiasi pelvik dan abdominal sebagai terapi pasca operasi. Institusi lain menunjukkan kesuksesan dengan kombinasi irradiasi pelvik dan kemoterapi sistemik. Secara umum radioisotope dan terapi iiradiasi bukanlah terapi lini pertama untuk karsinoma ovarium. Biasanya dilakukan operasi dan kemudian diikuti dengan kemoterapi, biasanya terapi kombinasi yang berbasis Platinum.

THE LATEST THERAPY FOR OVARIAN CANCER ByHarry Kurniawan GondoPhysician Educator Program Specialist (PPDS) 1 Obstetrics & GynecologyFaculty of Medicine Udayana - SanglahDenpasar - BaliLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstractAlthough disease of ovary tumor usually show the similar symptom, diagnosed early ovary cancer more emphasizing at invention by klinis non sophisticated erudite method. That so happened magnification, there is progressive compressive at structure pelvik, causing to feel is not balmy at abdomen, dyspepsia, frequency urinate, and pressure in pelvik Variable influencing therapy and prognosis of case of ovary cancer is stadium or disease broadness. System Staging weared enable the comparison of result of therapy among institution differ, therefore therapy of ovary cancer better be done by pursuant to stadium. Survival depend on peaky stadium, peaky grade diferensiasi, macroscopic gross finding moment operate for the, amount of tumor residu after additional therapy and operation after operation A lot of institution, therapy choice for the cancer of ovary is totally abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy (TAH-BSO), omentektomy and gift of kemoterapi intraabdominal (32P). Other research center chosen the irradiasi pelvik and abdominal as therapy pasca operate for the. Other institution show the successfulness with the combination of systematical irradiasi pelvik and kemoterapi. In general radioisotope and therapy iiradiasi is not first therapy lini for the karsinoma of ovary. Usually operated and later then followed by kemoterapi, usually combination therapy being based on Platinum.

73

I. PILIHAN TERAPI PRIMER

I.1 Neoplasma Epithelial Maligna BorderlinePada 3 dekade terakhir, ada bukti jelas yang telah menunjukkan adanya tumor ovarium epithelial yang gambaran histologi dan biologinya berada diantara tumor yang jinak dan neoplasma ovarium yang maligna. Neoplasma maligna borderline ini, yang mencakup kurang lebih 15% dari semua kanker ovarium epithelial, seringkali dimasukkan ke dalam kategori cystadenoma proliferative, tumor dengan low malignant potential. Dibandingkan dengan neoplasma ovarium epithelial yang ganas, tumor epithelial borderline cenderung lebih banyak ditemukan pada populasi yang lebih muda. Survival rate 10 tahun untuk penyakit ini mencapai kurang lebih 95%. Namun, rekurensi simtomatis dan kematian mungkin terjadi dalam waktu 20 tahun setelah terapi Pada beberapa pasien, neoplasma ini lebih tepat disebut dengan low malignant potential. Berdasarkan sifatnya yang paling jinak, banyak ahli ginekologi memberikan terapi konservatif, terutama pada pasien yang masih ingin memiliki keturunan dan memiliki penyakit stadium Ia. Mayoritas pasien dengan borderline serous tumor memiliki tumor stadium I (70%-85%). Sekitar 30% pasien memiliki tumor diluar ovarium (bukan berasal dari ovarium, extra-ovarian) pada saat diagnsosis, dengan jumlah pasien yang memiliki tumor stadium II dan III, hampir sama. Sebagian besar kematian akibat tumor terjadi pada pasien dengan neoplasma stadium II atau III, namun ada beberapa perbedaan yang penting dari adenocarcinoma ovarium. Lebih dari 50% pasien dengan tumor ekstra-ovarium bertahan walaupun reseksi tidak komplit. Perjalanan penyakit tumor yang panjang menyebabkan follow up yang panjang, merupakan komponen penting dari penyelidikan ilmiah. Waktu survival yang panjang dan penyembuhan yang jelas pada pasien dengan advanced-stage proliferating serous tumor masih belum jelas dan mengarah pada spekulasi bahwa beberapa pasien memiliki proliferasi multifocal pada epitel selomik yang melibatkan pada satu atau dua ovarium dan lokasi ekstra-ovarium, termasuk beberapa lokasi yang tidak biasa, seperti dalam pelvik dan limfonodi abdominal. Baik bukti klinis dan patologis tersedia untuk mendukung hipotesis bahwa tumor ekstra-ovarium, setidaknya pada beberapa pasien, mewakili proliferasi multifocal bukannya implantasi atau metastasis.Terapi operasi standar yang ada saat ini adalah Total Abdominal Hysterectomy dan Bilateral Salpingo-Oophorectomy (TAH-BSO). Banyak ahli percaya bahwa terapi ajuvan belum terjamin tanpa memperhatikan stadium penyakit karena neoplasma ekstra-ovarium apapun harus dilihat sebagai multifocal dan insitu, bukan metastasis. Isu ini jelas memerlukan studi lebih lanjut yang mencakup evaluasi yang teliti dalam grading deposit tumor ekstra-ovarium, dan juga pada neoplasma ovarium, dan hubungan antara munculnya dan hasil akhirnya. Lesi berulang mungkin terjadi setelah interval laten kurang lebih 20-50 tahun. Setelah follow-up yang panjang, kurang lebih 25% pasien yang diteliti meninggal. Rekurensi biasanya memiliki gambaran histologi yang serupa dengan tumor primer, yang menunjukkan bahwa sel-sel tumor borderline tidak mengalami anaplasia progresif dengan berjalannya waktu. Metastase ke limfonodi terkadang muncul, namun metastase hematogenus dan perluasan keluar rongga peritoneal jarang ditemukan.Terapi tumor stadium III masih belum ditentukan. Banyak dokter yang percaya bahwa terapi radiasi atau kemoterapi efektif terhadap populasi slow-dividing cell ini. Tidak ada studi prospektif atau yang terkontrol dengan baik terhadap penyakit stadium lanjut yang telah dilakukan, walaupun ada banyak laporan tentang respon penyakit terhadap kemoterapi. Fort, melaporkan pengalaman dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center dengan tumor ovarium epithelial dengan low malignant potential diterapi dengan kemoterapi. Studi ini mencakup 29 pasien dengan penyakit stadium I, 5 pasien stadium II, 11 pasien stadium III, dan 1 pasien stadium IV. Sembilan belas pasien memiliki residu penyakit setelah operasi. Kesembilan belas pasien tersebut mendapat kemoterapi ajuvan, terapi radiasi atau kombinasi. Dua belas pasien dengan penyakit residu ditemukan bebas penyakit pada penilaian operasi kedua setelah terapi ajuvan. Review ini mengindikasikan bahwa terapi ajuvan mengeradikasi penyakit residu pada beberapa pasien dengan tumor ovarium epithelial dengan low malignant potential. Ditemukan operasi eksisi pada tumor merupakan terapi yang paling efektif dan dari eksplorasi berulang ditemukan bahwa kemoterapi diberikan pada pasien dengan ascites atau yang gambaran histologis tumornya berubah atau menunjukkan pertumbuhan yang cepat.

I.2 Terapi neoplasma epithelial malignaKanker epithelial pada ovarium yang paling sering terjadi dikategorikan secara histologi menjadi serous, musinus, endometrioid, dan tipe clear cell (mesonephroid). Walaupun ada beberapa kontroversi di masa lalu, dimana sekarang varietas histologi yang berbeda ini bersifat serupa baik dalam stadium maupun grade. Beberapa tipe, seperti musinus dan endometrioid, lebih sering ditemukan pada stadium awal. Satu teori pertumbuhan kanker epithelial ovarium menunjukkan bahwa penyakit ini awalnya tumbuh lokal, dan menginvasi kapsul dan mesovarium, dan kemudian menginvasi organ disekitarnya dan menyebar melalui aliran limfa. Pada saat neoplasma maligna mencapai permukaan eksternal kapsul, sel-sel mengalami eksfoliasi ke rongga peritoneal, dimana sel ini bebas untuk bersirkulasi dan kemudian berimplantasi. Metastasis limfatik local dan regional mungkin melibatkan uterus, tuba fallopii, dan limfonodi pelvik. Keterlibatan limfonofi para-aortik pada ligament infundibulopelvik juga sering terjadi.Woodruff, menyebutkan mekanisme lain penyebaran penyakit yang mungkin terjadi pada kanker epithelial ovarium, bahwa seluruh epitel selomik dapat menimbulkan lesi ini dibawah pengaruh agen karsinogenik yang mungkin memiliki akses ke rongga peritoneal dari vagina melalui tuba fallopii. Bahkan lesi mungkin berasal dari distribusi multifocal, dengan banyaknya porsi epitel selomik. Teori ini menjelaskan observasi penyakit stadium lanjut pada pasien yang diperiksa dengan teliti dalam waktu tidak lama sebelumnya dan bebas dari penyakit tanpa massa pelvik yang teraba.

Stadium Ia, Ib, dan IcTerapi yang terbaik untuk lesi stadium I adalah total abdominal hysterectomy dan bilateral salpingo-oophorectomy (TAH-BSO) dengan staging operasi yang akurat. Pada banyak institusi, omentectomy adalah bagian dari staging untuk lesi stadium I. Omentum adalah organ yang tampaknya menarik sel-sel tumor (absorsi) dan menunjukkan penyakit mikroskopik pada pasien dengan lesi stadium I yang jelas. Nilai omentektomi sebagai modalitas terapi untuk lesi stadium I masih belum ditegakkan. Limfonodi pelvik dan peraaortik mungkin terlibat dalam 10-20% penyakit stadium I, dan limfadenektomi diperkirakan merupakan prosedur diagnostik dan terapeutik yang penting. Burghardt dkk, menyebutkan tentang 23 pasien dengan kanker epithelial ovarium stadium I, dimana semua menjalani limfadenektomi komplit, dan 7 pasien menunjukkan keterlibatan limfonodi (30%). Buchsbaum dkk, melaporkan insiden keterlibatan limfonodi pelvik yang lebih rendah dari studi the Large Gynecologic Oncology Group (GOG) (0% untuk stadium I, 19,5% untuk stadium II, dan 11,1% untuk stadium III). Studi GOG hanya memasukkan pasien dengan lesi metastase dengan diameter < 3 cm. Burghardt dkk, melaporkan sejumlah pasien dengan semua ukuran lesi yang menjalani limfadenektomi pelvik dan peraaortik komplit, dan keterlibatan limfonodi pelviknya diketahui lebih tinggi (15% untuk stadium I, 57% untuk stadium II, and 64% untuk stadium III). Baiocchi dkk, mereview pengalaman mereka pada 242 wanita yang menjalani limfadenektomi pelvik dan paraaortik yang lesi kankernya ditemukan hanya pada ovarium (stadium I). Metastasis nodal ditemukan pada 32 pasien (13,2%). Adenokarsinoma serous memiliki insiden metastasis ke limfonodi yang tertinggi (27 dari 106, 25,4%). Mereka dengan lesi grade 3 mengalami 38,5% metastasis (15 dari 39) dibandingkan dengan 5,8% (9 dari 155) lesi grade 1 dan 2. Ada 33 wanita dengan tumor low malignant potential dan 7 diantaranya (21%) mengalami metastasis nodal. Bila hanya satu dari tiga limfonodi yang terlibat, metastasis biasanya terjadi ipsilateral, namun pasien ini juga mengalami metastasis ke limfonodi illiaka komunis atau paraaorta. Limfonodi paraaorta terlibat tanpa ada metastase pelvik. Keterlibatan limfonodi pelvik bilateral terutama ditemukan bila limfonodi multiple mengalami metastasis. Pada analisis multivariate, stadium, tipe histologi dan grade bukan merupakan alat prediktif survival. Creasman dkk, mendeskripsikan empat pasien dengan kanker ovarium yang setelah kemoterapi atau imunokemoterapi kombinasi, ditemukan mengalami penyakit retroperitoneal pada saat laparotomi eksploratif kedua, walaupun tidak ada bukti adanya residu kanker intraabdominal. Kanker ovarium dapat bermetastase ke limfonodi pelvik dan paraaorta, sehingga area ini harus dievaluasi untuk penilaian yang lebih teliti untuk mencari luasnya penyakit pasien kanker ovarium. Tanpa operasi staging yang menyeluruh, metastasis tersembunyi mungkin terjadi dan tidak disadari. Penggunaan terapi ajuvan dan peranannya pada kanker ovarium stadium I masih terus diteliti. Dalam sebuah studi retrospektif dari Inggris. Ahmed dkk, mereview sebuah kasus pada 194 pasien dengan panyakit stadium I, dimana 103 pasien diperkirakan di staging dengan baik (low malignant potential dieksklusi). Tidak satupun dari pasien tersebut mendapat terapi pasca operasi. Ada banyak faktor yang dievaluasi sehubungan dengan prognosis, dan dalam analisis multivariate, hanya grade (grade 1 atau grade 2 hingga grade 3), adanya asites dan tumor permukaan ovarium yang bermakna untuk relaps namun tidak memiliki dampak pada survival. Angka relaps penyakit ini adalah 6,5%, 24,7%, dan 38,1% untuk stadium Ia, Ib, dan stadium Ic. Pasien yang megalami relaps diterapi secara eksklusif dengan Carboplatin atau Cisplatin dengan angka respon 44%. Beberapa institusi memilih memberikan kemoterapi sebagai terapi pasca operasi untuk stadium Ib dan Ic dan untuk tipe histologi undifferentiated. Pada era terakhir, ajuvan terapi yang dipilih biasanya analog Platinum atau dalam kombinasi dengan agen Alkylating atau Paclitaxel (Taxol). Pada penanganan lesi grade rendah (grade 1). Dokter harus memperhitungkan kemungkinan manfaat kemoterapi ajuvan dibandingkan dengan resikonya, tidak direkomendasikan pemberian kemoterapi ajuvan pada pasien stadium Ia, Ib, lesi grade 1 dan 2. Pasien stadium I, lesi grade 3 adalah masalah yang sulit diputuskan. Insiden rekurensi pada grup ini mencapai 50%, pada kasus dalam grup ini harus diberi kemoterapi ajuvan multiagen walaupun tidak ada data jelas yang menunjukkan hasil yang superior dibandingkan dengan terapi agen tunggal. Terapi ajuvan yang paling sesuai untuk pasien dengan lesi stadium I dimana telah dilakukan total abdominal hysterectomy dan bilateral salpingo-oophorectomy (TAH-BSO) masih kontroversi. Beberapa peneliti menyebutkan tidak perlu pemberian terapi ajuvan. Sedangkan yang lain mengusulkan irradiasi seluruh abdomen dengan atau tanpa kemoterapi, tetapi dapat dipilih kemoterapi multiagen yang berbasis Platinum untuk grup pasien resiko tinggi ini.Studi oleh the GOG dan The Ovarian Cancer Study Group telah melaporkan bahwa pasien stadium Ia dan Ib dan grade penyakit 1 atau grade 2 diacak untuk mendapat Melphalan (0,2 mg/m2/hari per oral selama 5 hari) selama 12 siklus dan mereka yang tidak mendapat terapi lanjutan. Survival 5 tahun pada kedua kelompok studi sangat baik (>90%). Dengan mempertimbangkan toksisitas, biaya, ketidaknyamanan pasien, dan resiko neoplasma maligna sekunder yang diasosiasikan dengan terapi agen Alkylating , maka menentukan pasien yang tidak memerlukan terapi tambahan perlu dipertimbangkan. Uji GOG Ovarian Cancer Study Group lainnya memasukkan semua pasien yang memiliki penyakit stadium Ic tanpa residu mikroskopik, pasien stadium Ia dan stadium Ib dengan ruptur kapsul, pasien yang mengalami lesi stadium Ia dan Ib grade 3, dan pasien yang memiliki penyakit stadium II yang tidak menunjukkan bukti adanya residu makroskopik. Pasien tersebut dikelompokkan secara acak untuk mendapat melphalan atau 15 mCi koloid 32P intraperitoneal. Survival dan disease free survival pada kedua kelompok serupa (kurang lebih 80%). Frekuensi efek samping berat adalah rendah pada kedua kelompok. Namun, 32P diasosiasikan dengan efek samping yang lebih sedikit daripada Melphalan, dan hanya 25% pasien yang diterapi dengan 32P mengalami toksisitas. Pada follow-up, GOG mempelajari populasi stadium awal yang beresiko tinggi yang sama dan membandingkan kombinasi kemoterapi Siklofosfamid plus Cisplatin, dengan koloid 32P intraperitoneal. Angka kematian pasien yang diterapi dengan kemoterapi 17% lebih rendah daripada koloid radioaktif. Saat ini tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam survival, namun angka rekurensi yang lebih rendah pada kelompok yang mendapat kemoterapi dan angka komplikasi yang lebih tinggi pada kelompok koloid 32P mengarah pada kesimpulan bahwa kemoterapi yang berbasis Platinum lebih dianjurkan. Sebuah studi terhadap 271 pasien kanker ovarium stadium I oleh The Intalian Gynecologic Group dikelompokkan menjadi 2 uji. Pasien dimasukkan menjadi kelompok stadium Ia dan Ib, grade 2 atau grade 3, kemudian diacak untuk mendapat Cisplatin (6 seri) dan kelompok yang tidak mendapat terapi. Angka relaps berkurang secara signifikan pada kelompok Cisplatin, namun angka survival pada kedua kelompok tidak berbeda secara bermakna (88% pada kelompok cisplatin vs 82% pada kelompok tanpa terapi) pada median 76 bulan follow-up). Pada pasien yang dikelompokkan kedalam kelompok stadium Ia2, stadium Ib2, dan stadium Ic, diacak untuk mendapat Cisplatin dan 32P (intraperitoneal). Angka relaps pada kelompok cisplatin lebih rendah, namun secara keseluruhan survival 5-tahun kedua kelompok serupa. The European Gynecologic Group melaporkan suatu analisis kombinasi uji ICON 1 dan ACTION. Lebih dari 900 pasien dengan kanker ovarium stadium awal yang mendapat baik kemoterapi ajuvan berbasis platinum atau observasi hingga kemoterapi diindikasi. Setelah median follow-up lebih dari 4 tahun, keseluruhan survival pada saat 5 tahun adalah 82% untuk pasien dengan kemoterapi primer dan 74% pada pasien kelompok observasi. Disease-free survival pada 5 tahun adalah 76% versus 65%. Disimpulkan bahwa recurrence-free survival dan keseluruhan survival pada 5 tahun meningkat pada kemoterapi yang berbasis Platinum. Pada uji European Organization for Research and Treatment Group of Cancer (EORTC)-ACTION lain terhadap 448 pasien, mereka menemukan bahwa manfaat kemoterapi terbatas pada pasien yang kurang mendapat operasi staging yang komprehensif, sehingga memunculkan perlunya terapi ajuvan pada pasien dengan karsinoma ovarium stadium awal yang distaging dengan baik. Karena protokol terapi untuk penyakit stadium lanjut telah menunjukkan peningkatan survival dengan menggantikan Siklofosfamid dengan Paclitaxel, GOG mengevaluasi Carboplatin (AUC 7,5) dan Paclitaxel (175 mg/m2) pada penyakit stadium awal resiko tinggi. Uji ini membandingkan 3 siklus kemoterapi dengan kemoterapi 6 siklus. Setelah lebih dari 3 tahun interval, 457 pasien direkrut dan dievaluasi setelah median follow-up 6,8 tahun. Sementara angka rekurensi pada kelompok 6 siklus 24% lebih rendah (P=0,18), keseluruhan angka kematian pada kedua kelompok serupa (hazard ratio 1,02). Studi ini menyimpulkan bahwa tambahan 3 siklus menyebabkan peningkatan toksisitas (11% neurotoksisitas grade 3 dan atau 4 versus 2% pada kelompok 3 siklus) tanpa hasil akhir yang terlalu bermakna. Pada wanita muda dengan penyakit stadium Ia yang menginginkan memiliki keturunan dikemudian hari, unilateral salpingo-oophorectomy (USO) diasosiasikan dengan peningkatan resiko rekurensi minimal, dan menyediakan prosedur staging yang teliti dan berdasarkan pertimbangan untuk melakukan grading dan self-containment neoplasma yang ada.

Stadium IIa, IIb, dan IIcPada banyak institusi, pilihan terapi untuk penyakit stadium IIa dan IIb adalah total abdominal hysterectomy dan bilateral salpingo-oophorectomy (TAH-BSO), omentectomy dan pemberian 32P. Pusat penelitian lain memilih irradiasi pelvik danabdominal sebagai terapi pasca operasi. Institusi lain menunjukkan kesuksesan dengan kombinasi irradiasi pelvik dan kemoterapi sistemik. Secara umum radioisotope dan terapi iiradiasi bukanlah terapi lini pertama untuk karsinoma ovarium. Biasanya dilakukan operasi dan kemudian diikuti dengan kemoterapi, biasanya terapi kombinasi yang berbasis Platinum. Sedangkan pada penyakit stadium I nilai omentektomi masih belum jelas. Namun, banyak pihak yang setuju bahwa pada semua stadium omentektomi bertindak sebagai alat diagnostik yang berharga. Operasi staging yang baik sangat penting artinya bagi kesuksesan rencana terapi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pasien dengan penyakit stadium II diterapi dengan cara yang serupa dengan penyakit stadium III yang optimal debulked.

Stadium IIISetiap usaha harus dilakukan untuk membuat operasi usus mayor untuk mengeluarkan massa tumor (bulk) termasuk omentum yang cukup luas setelah dilakukan TAH-BSO. Studi retrospektif menyebutkan bahwa angka survival pasien dengan penyakit stadium III berhubungan dengan jumlah residu tumor pasca operasi, dimana pasien dengan residu tumor yang lebih sedikit memiliki prognosis yang lebih baik dengan terapi ajuvan. Pasien dengan penyakit stadium III harus diterapi dengan kemoterapi. Sebagian besar pusat kanker kini memilih kemoterapi agen multiple yang berbasis Platinum seperti Carboplatin dan Paclitaxel, karena grup pasien ini memiliki angka respon yang baik.Durasi terapi agen multiple biasanya 6-8 siklus. Bila pasien selamat selama periode waktu ini dan tidak menunjukkan bukti klinis adanya penyakit, biasanya dipertimbangkan untuk melakukan prosedur operasi kedua. Namun kemudian hal ini mengalami transisi dimana banyak peneliti tidak menganjurkan untuk melakukan laparotomi kedua kecuali pasien masuk dalam suatu studi. Saat ini, analisis sekunder terhadap studi GOG #158 menunjukkan tidak ada manfaat pada hasil akhir dengan melakukan operasi kedua. Namun, laparotomi kedua merupakan suatu alat diagnostik sehingga mungkin bermanfaat bagi pasien yang sebelumnya belum mendapat intervensi pembedahan yang adekuat.Sebelumnya ada laporan bukti yang menunjukkan bahwa grup optimal (pasien dengan diameter residu yang kurang dari 1-2 cm), angka survival dan respon terhadap kemoterapi setara dengan irradiasi abdominal dan pelvik. Namun, morbiditas jangka panjang pada terapi irraadiasi lebih besar dan faktor ini mempengaruhi terapi pasca operasi untuk penyakit stadium III sehingga sebagian besar pusat memberikan kemoterapi agen multiple sebagai terapi primer bukan terapi irradiasi. Studi prospektif awal pada beberapa grup pasien yang diacak untuk mendapat kemoterapi agen tunggal dan mereka yang mendapat agen multipel, dan sebagian besar menyimpulkan (sehubungan dengan respon tumor) bahwa polikemoterapi memiliki keuntungan yang bermakna dibandingkan dengan regimen tunggal pada penyakit stadium lanjut, non-optimally debulked. Isu ini sangat penting karena morbiditas pada polikemoterapi lebih besar daripada regimen tunggal aen Alkylating.

Stadium IVPenanganan ideal untuk stadium IV adalah mengeluarkan sebanyak mungkin kanker dan memberikan kemoterapi setelah operasi. Keseluruhan survival pada stadium ini lebih rendah daripada pasien stadium lain. II. USAHA OPERASI MAKSIMALAda axiom diantara banyak ahli ginekologi onkologi bahwa adalah bijaksana untuk mengeksisi sebanyak mungkin tumor yang dapat dieksisi bila ditemukan penyebaran penyakit pada saat operasi primer untuk kanker ovarium. Telah diketahui bahwa terapi yang bermakna dapat dicapai dengan reduksi atau mengurangi beban tumor yang berat. Munnell, melaporkan angka survival 5 tahun sebesar 28% pada pasien yang menjalani usaha operasi maksimal dibandingkan dengan angka survival 5 tahun sebesar 9% pada pasien yang menjalani reseksi parsial dan 3% pada pasien yang hanya menjalani biopsy. Pada 14 pasien yang bertahan pada Munnells, usaha operasi maksimal yang terdiri dari histerektomi, bilateral salpingo-oophorectomy, dan omentectomy (TAH-BSO Omentektoy)Aure dkk, menunjukkan peningkatan survival yang signifikan diantara pasien penyakit stadium III yang semua tumornya diangkat. Hasil yang serupa diperoleh oleh Griffiths dkk, yang menggunakan multiple linear regression equation dengan survival sebagai variabel dependen untuk mengontrol terapiutik multiple dan faktor biologis yang mempengaruhi hasil akhir pasien secara simultan. Faktor yang paling penting adalah grade histologi tumor dan ukuran massa residu terbesar setelah operasi primer. Operasi sendiri tidak mempengaruhi survival kecuali mempengaruhi reduksi ukuran massa residu terbesar tumor hingga dibawah batas 1,6 cm. Prosedur debulking saat ini mendapat perhatian lebih dalam penanganan kanker ovarium. Konsep yang ada adalah mengurangi atau menghilangkan residu tumor hingga ukuran dimana terapi ajuvan dapat bekerja secara efektif. Semua bentuk terapi ajuvan akan lebih efektif bila residu tumor yang tersisa minimal. Hal ini terutama berlaku untuk karsinoma ovarium, yang merupakan salah satu tumor solid yang sensitif terhadap kemoterapi. Sebuah operasi yang teliti dan persisten dapat mengangkat massa tumor yang besar yang pada kesan pertama tidak dapat direseksi. Dengan menggunakan area retroperitoneal yang bersih, dokter dapat mengidentifikasi ligamentum infundibulopelvik dan suplai darah ovarium. Begitu pembuluh darah ini dikenali dan ditranseksi, pengangkatan massa ovarium yang besar secara retrograde menjadi lebih mudah dan lebih aman. Ureter sedapat mungkin harus dilindungi dari diseksi sehingga kemungkinan trauma struktur pelvik ini dapat diminimalisir. Area yang bersih biasanya ditemukan pada kolon transversum dimana area omentum yang besar pada kanker ovarium diangkat setelah pembuluh darah gastroepiploic kanan dan kiri diligasi. Pengangkatan massa tumor yang besar dan omentum yang terlibat sering mereduksi beban tumor hingga 80-99%. Nilai teoretikal dari prosedur debulking ada pada reduksi jumlah sel dan keuntungan hal ini dalam terapi ajuvan. Hal ini terutama relevan pada bulky solid tumor seperti kanker ovarium, dimana pengangkatan sel dalam jumlah yang besar pada fase istirahat (G0) menggerakkan sel residu ke fase proliferatif yang lebih rentan. Beberapa studi retrospektif menunjukkan peningkatan angka survival pada pasien yang berada dalam status beban tumor minimal melalui operasi. Laporan dari MD Anderson Hospital and Tumor Innstitute menunjukkan suatu peningkatan angka lini kedua yang signifikan pada pasien dengan kanker epithelial stadium II dan III dimana operasi awal tanpa ada residu tumor atau tidak ada residu massa tumor tunggal yang berdiameter lebih dari 1 cm. Laporan ini merefleksikan angka survival 2 tahun sebesar 70% pada pasien kanker stadium III dimana tidak ada penyakit makroskopis yang tersisa dan angka survival sebesar 50% bila nodul residu berdiameter kurang dari 1 cm. Hal ini lebih baik daripada angka survival biasa. GOG ingin meneliti lebih dalam tentang operasi sitoreduksi primer dengan analisis yanhg lebih detil mengenai hasil operasi pada pasien stadium lanjut. Pada studi awal, dibandingkan survival pasien stadium III yang memiliki penyakit abdominal 1 cm dengan pasien yang memiliki penyakit > 1 cm namun setelah sitoreduksi tumor menjadi berdiameter 1 cm. Apabila operasi merupakan satu-satunya faktor yang penting, survival mungkin akan ditemukan serupa pada kedua kelompok. Pasien yang memiliki penyakit dengan volume lebih kecil bertahan lebih lama daripada mereka yang menjalani sitoreduksi hingga volume tumor menjadi lebih kecil, yang menunjukkan bahwa biologi tumor juga memiliki signifikansi prognosis. Pada studi kedua, GOG mengevaluasi efek diameter terbesar tumor terhadap survival pasien dengan sitoreduksi suboptimal. Studi ini menunjukkan bahwa sitoreduksi hingga residu massa terbesar yang ada berukuran 2 cm menunjukkan hasil survival yang signifikan, namun semua residu yang berukuran > 2 cm juga memberikan survival yang ekuivalen. Sehingga kecuali massa dapat direduksi menjadi 2 cm, diameter residu tidak mempengaruhi survival. Dalam mengevaluasi sitoreduksi optimal dan suboptimal, penelitian oleh GOG menunjukkan bahwa ada tiga grup yang berbeda muncul : residu mikroskopik, residu massa < 2 cm, dan residu > 2 cm. Dari studi ini jelas diketahui bahwa pasien dengan penyakit mirkoskopik memiliki angka survival 4 tahun sebesar 60%, sedangkan pasien dengan penyakit makroskopik 2 cm memiliki angka survival 4 ahun sebesar 35%. Di sisi lain, pasien yang tumornya tidak disitoreduksi hingga 2 cm memiliki angka survival 4 tahun sebesar