contagious zone (for everyone)
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana terlihat di dalam sejarah, bahwa laut terbukti mempunyai berbagai
macam fungsi seperti, sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya
perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai
tempat bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa,1
termasuk juga sebagai pemanfaatan dalam kepentingan pelayaran.2
Melihat betapa pentingnya wilayah laut bagi kehidupan umat manusia, menjadi
pertimbangan bagi para ahli untuk mencurahkan perhatiannya terhadap permasalahan
hukum laut,. Dimulai dari abad ke-7 sudah dikenal Hukum Laut Rhodia (mengenai Laut
Tengah), kemudian abad ke-12 kompilasi mengenai peraturan-peraturan laut di Eropa3
sampai pada lahirnya Geneva Convention 1958 (terdiri dari 4 konvensi) dan United
Nations Convention on Law Of the Sea 1982 (“UNCLOS 1982”). Tentunya ini bukanlah
merupakan suatu proses yang mudah, begitu banyak pertentangan dan perdebatan hingga
akhirnya mencapai kesepakatan dari negara-negara berbentuk konvensi internasional.
Fungsi laut yang sebagai jalan raya perdagangan serta pelayaran domestik maupun
internasional membuat pentingnya pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran terkait
fiskal, imigrasi, maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang dimiliki suatu
negara atas wilayah teritorialnya.4 Hal ini yang menjadi manfaat atau kegunaan dari
adanya wilayah zona tambahan (Contiguous Zone) bagi suatu negara kepulauan
(archipelagic state).
Mengingat bahwa laut menjadi salah satu wilayah perbatasan bagi archipelagic
state, serta menjadi tempat berlalu-lintasnya kapal-kapal baik asing maupun bukan
sehingga dapat menimbulkan kemungkinan terhadap masalah-masalah seperti, kesehatan
(transmission disease), penyelundupan barang-barang (smuggling), perdagangan orang
(human trafficking) bahkan sampai pada permasalahan keamanan terhadap negara
1 Dr. Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Bandung: Binacipta. 1979. Hlm. 1.
2 Chairul Anwar, S.H. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta: Djambatan. 1989. Hlm. 13 Ibid.4 Article 33 (1) UNCLOS 1982
2
(security and safety) maka manfaat dari zona tambahan pun tidak dapat dipungkiri.
Sebagaimana termaktub di dalam Konvensi Jenewa 1958 yang terdiri dari 4
konvensi, antara lain:
1. Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone;
2. Convention on High Seas;
3. Convention on Fishing and Conservation of the living resources of the high
seas;
4. Convention on Continental Shelf.
Melihat hal diatas, maka jelas bahwa kesadaran negara-negara akan adanya kebutuhan
zona tambahan (poin pertama) sudah ada sejak Konvensi Jenewa 1958 tersebut sebelum
pada akhirnya dimuat kembali di dalam UNCLOS 1982.
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terluas yang terdiri dari
lebih 17.4995 pulau dan 200 juta penduduk6, tidak lain sangat membutuhkan pengaturan
terhadap hukum laut. Berbagai perjuangan juga telah dilakukan oleh Indonesia terhadap
hukum laut Indonesia.7
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, pengaturan daripada zona tambahan
(contiguous zone) sudah sejak Konvensi Jenewa 1958, namun Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa
1958 Mengenai Hukum Laut, baru mengesahkan 3 konvensi yang termaktub dalam
Konvensi Jenewa 1958, yaitu:
1. Convention on High Seas;
2. Convention on Fishing and Conservation of the living resources of the high
seas;
3. Convention on Continental Shelf.8
Sehingga ketentuan mengenai zona tambahan, belum disahkan dalam bentuk undang-
undang oleh Indonesia.
5 Surat Edaran Kepala Dishidros Mabes TNI-AL No. SE/1241/IV/2012 tanggal 10 April 2012 tentang Data Wilayah Negara Kesatuan Negara Indonesia.6 M. Husseyn Umar, S.H. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia (Buku 3). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001. Hlm. 1737 Indonesia sebagai negara yang memperjuangkan konsepsi negara kepulauan sebagai satu kesatuan wilayah yang bulat dan utuh, serta menambahkan lebar laut teritorial menjadi 12 mil, salah satu caranya dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.8 Ketentuan Menimbang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa 1958 Mengenai Hukum Laut
3
Kemudian, dimulai pada tahun 19739 kembali diadakan konferensi oleh negara-
negara untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaturan hukum laut internasional.
Konferensi ini pun berakhir dengan menghasilkan sebuah konvensi pada tahun 1982 yang
dikenal dengan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi
ini yang menjadi payung hukum mengenai hukum laut sampai pada saat ini.
UNCLOS 1982 ini telah memodifikasi Konvensi Jenewa 1958 sebelumnya. Ada
beberapa ketentuan yang mengikuti Konvensi Jenewa 1958 termasuk ketentuan mengenai
zona tambahan, tetapi ada juga ketentuan-ketentuan yang disempurnakan oleh UNCLOS
198210.
Dengan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan bagi archipelagic state, banyak
negara-negara yang telah meratifikasi, menerima atau menyetujui UNCLOS 1982 ini.
Terhitung pada tanggal 2 Februari 1989, telah mencapai jumlah 37 negara (termasuk
Indonesia).11
Indonesia mengesahkan UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982).
Berangkat dari hal tersebut, ketentuan mengenai zona tambahan (contiguous zone)
yang berada di dalam UNCLOS 1982 telah berlaku di dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut. Maka
Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk12 melakukan pengawasan
dalam bidang-bidang kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan, termasuk
juga penetapan terhadap batas terluar zona tambahannya (namun tidak boleh melebihi 24
mil terhitung dari garis pangkal mulainya penarikan garis untuk laut teritorial13).
Beranjak dari hal diatas, maka penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
apa itu zona tambahan (contiguous zone) serta kewenangan apa saja yang dimiliki oleh
negara pantai terhadapnya. Makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut terkait dengan
permasalahan ini.
9 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 12.10 Seperti contoh lebar laut teritorial yang belum ditemukan titik temu pada Konvensi Jenewa 1958, karena masih banyaknya perdebatan antar negara-negara.11 Ibid. Hlm. 13.12 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.13 Article 33 United Nations Convention on Law of the Sea 1982.
4
1.2 Rumusan Pembahasan
Berdasarkan judul makalah tentang “Zona Tambahan (Contiguous Zone) dan
Kewenangan Negara Pantai (Indonesia) Terhadapnya”, beberapa hal yang perlu dibahas
dalam makalah ini, sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan Zona Tambahan (Contiguous Zone)?
2) Kewenangan apa saja yang dimiliki terhadap Zona Tambahan (Contiguous
Zone)?
3) Dimana ketentuan Zona Tambahan (Contiguous Zone) diatur di Indonesia?
1.3 Tujuan
Berkenaan dengan poin 1.2 diatas, adapun tujuan dari makalah ini, antara lain:
1) Ingin menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan Zona Tambahan
(Contiguous Zone);
2) Ingin menjelaskan mengenai kewenangan negara pantai (Indonesia) terhadap
Zona Tambahan (Contiguous Zone);
3) Ingin menjelaskan mengenai Pengaturan Zona Tambahan (Contiguous Zone)
di Indonesia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Zona Tambahan (Contiguous Zone)
Terdapat berbagai macam definisi dari Zona Tambahan (Contiguous Zone) yang
diberikan. Zona Tambahan (contiguous zone) secara tradisional adalah bagian dari laut
lepas, tetapi negara dapat melakukan fungsi-fungsi tertentu di dalam zona tersebut.14
Brierly berpendapat15, contiguous zone, yaitu zona dari laut lepas yang bersambung
dengan laut teritorial. Menurut pandangan Indonesia sendiri, Contiguous Zone berfungsi
sebagai intermediary antara laut wilayah dan laut bebas, yang digunakan untuk menjamin
dihorati dan ditaatinya aturan-aturan negara pantai di dalam laut wilayahnya.16
Prinsip dari Contiguous Zone ini untuk menghidari adanya kemungkinan kapal-
kapal asing akan berkeliaran di sepanjang laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorial
negara pantai untuk menanti dan mencari kesempatan guna menyelinap masuk ke laut
wilayah. Maka dari itu prinsip ini memperkecil kemungkinan pelanggaran terhadap
wilayah negara pantai, khususnya di bidang penyelundupan.17
Menurut ketentuan umum hukum internasional, negara-negara tidak memiliki
yurisdiksi douane (bea cukai) terhadap kapal-kapal asing di laut lepas. Pengecualian
terhadap hal ini hanya apabila terdapat perjanjian internasional.18
Tidak seperti wilayah laut teritorial dimana negara memiliki kekuasaan penuh
atasnya, pada zona tambahan negara-negara hanya memiliki hak-hak yurisdiksi yang
sifatnya terbatas.19
A. Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958
Pada saat Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 pernah diajukan usul
konsepsi Zona Tambahan namun gagal. Kemudian, Pengaturan mengenai Zona
Tambahan secara internasional akhirnya pertama kali dalam Konvensi Jenewa 1958 pada
Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut Teritorial
14 Richard N. Swift, International Law, Current and Classic. 1969. Hlm. 257.15 Brierly, The Law of Nations, Oxford University Press, 1985. Hlm. 204-205.16 Dr. Hasyim Djalal, Op. Cit. Hlm. 9917 Ibid.18 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 39.19 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.
6
dan Zona Tambahan). Sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 Convention on Territorial
Sea and Contiguous Zone, antara lain20:
“Ayat 1: In a zone of the high seas21 contiguous to its territorial sea, the
coastal State may exercise the control necessary to:
a) Prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary
regulations within its territory or territorial sea;
b) Punish infringement of the above regulations committed within its territory
or territorial sea.”
Melihat rumusan pasal diatas, maka terlihat bahwa negara pantai memiliki kewenangan
pada wilayah laut lepas yang bersebalahan (high seas contiguous) dengan laut
teritorial (teritorial sea), wilayah laut lepas yang bersebelahan dengan laut teritorial ini
yang disebut dengan contiguous zone (zona tambahan). Tetapi, jika ditelaah pada rumusan
selanjutnya, kewenangan yang dimiliki hanya terbatas kepada 2 (dua) hal, yaitu:
a. Mencegah terjadinya pelanggaran terhadap bea cukai, fiskal, imigrasi atau
peraturan terkait sanitasi22 terhadap wilayah teritorial maupun laut
teritorialnya23.
b. Untuk menghukum terhadap pelanggaran ketentuan diatas di dalam wilayah
teritorial maupun laut teritorialnya.
Maka fungsi dari zona tambahan (Contiguous Zone) bersifat 2 (dua) hal:
1. Pencegahan (Preventive)
2. Penghukuman (Repressive)
“Ayat 2: The contiguous zone may not extend beyond twelve miles from the
baseline from which the breadth of the territorial sea is measured.”
Dalam ayat (2) dikatakan, bahwa zona tambahan (contiguous zone) tidak boleh melewati
12 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk menghitung laut teritorial24. Pada masa 20 Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958.21 Berdasarkan Pasal 1 Geneva Convention on High Seas 1958, High Seas (Laut Lepas) berarti adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau laut dalam dari sebuah negara.22 Berdasarkan Pasal 1 angka 6 RUU tentang Zona Tambahan, pengaturan tentang sanitasi adalah peraturan hukum positif Indonesia yang berhubungan dengan penyakit karantina yang membahayakan orang, ikan dan hewan lainnya, dan tumbuh-tumbuhan.23 Lebar laut teritorial adalah selebar 12 mil berdasarkan Pasal 3 UNCLOS 1982, tetapi pada masa itu lebar laut teritorial masih berdasarkan hukum kebiasaan internasional, berasal dari teori tembakan meriam (Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional cetakan ketiga, Bandung: Binacipta, 1986. Hlm. 20-21.) Indonesia sendiri pada masa itu memiliki lebar laut teritorial selebar 3 mil berdasarkan Pasal 1 ayat (1) yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442. 24 Garis Pangkal untuk menghitung lebar laut teritorial yang dimaksud berdasarkan Pasal 3 Geneva Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone adalah garis air laut pada saat surut sepanjang pantai
7
itu, lebar laut teritorial rata-rata setiap negara adalah 3 mil, namun ada juga yang lebih
daripada itu25 sesuai tembakan meriam. Berarti, garis pangkal penghitungan 3 mil itu yang
digunakan juga untuk menghitung 12 mil zona tambahan tersebut.
“Ayat 3: Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of
the two States is entitled, failing agreement between between them to the contrary, to
extend its contiguous zone beyond the median line every point of which is equidistant
from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of
the two States is measured.”
Ayat (3) menyatakan bahwa apabila terdapat dua (2) negara pantai yang bersebrangan
ataupun berdekatan satu dengan yang lain namun memiliki hak atas laut tambahan
tersebut, dalam hal mereka gagal dalam membuat perjanjian maka zona tambahan itu
dibagi sama jarak (equidistant) dimulai dari garis pangkal masing-masing negara yang
digunakan untuk menghitung lebar laut teritorialnya.
B. United Nations Convention on Law of the Sea 1982
Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terjadi perubahan pandangan terkait
konsepsi Zona Tambahan, yang sebelumnya dipandang bagian dari laut lepas sekarang
dipandang bersambung dengan laut teritorial.26
Berdasarkan Pasal 33 UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa27:
“Ayat 1: In a zone contiguous to its territorial sea, described as the
constiguous zone, the coastal State may exercise...”
Perbedaan terletak pada kata-kata yang digaris bawahi diatas, pada konvensi Jenewa 1958
dikatakan “...zone of the high seas contiguous to its territorial sea...” sedangkan pada
UNCLOS 1982 disebutkan demikian. Maka tampak perbedaan pengertian bahwa dalam
Konvensi Jenewa 1958 Zona Tambahan merupakan laut lepas yang menjadi kelanjutan
dari laut teritorial, sedangkan dalam UNCLOS 1982 Zona Tambahan merupakan zona
lanjutan dari laut teritorial.
yang ditandai pada grafik skala besar yang resmi diakui oleh negara pantai tersebut.25 Kebiasaan internasional ini tergantung pada kemampuan teknologi setiap negara. Maka dari itu, hasilnya pun bisa berbeda-beda.26 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 40.27 UNCLOS 1982.
8
“Ayat 2: The contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from
the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.”
Selanjutnya, perbedaan juga terdapat pada ayat (2), yang lebar dari zona tambahan
bertambah dari 12 mil (Konvensi Jenewa 1958) menjadi 24 mil.
Secara garis besar, maka pengertian dari Zona Tambahan terdiri dari tiga unsur
pokok28:
1. Unsur letak serta batas kewilayahan (sui generis29);
2. Unsur lingkup kewenangan (jurisdiction); dan
3. Hak dan kewajiban dari negara-negara
C. Pembatasan Terhadap Zona Tambahan Bagi Negara Pantai
Pembatasan ini berguna30 mencegah negara pantai tidak menyamakan Zona
Tambahan dengan Laut Teritorial. Brownlie mengemukakan pandangan Sir Gerald
Fitmaurice tentang pasal 24 ayat (1) dari Convention on the Territorial Sea and
Contiguous Zone 1958 yang dikatakan bahwa, maksud dari pasal 24 ayat (1) tersebut
ialah untuk menghindai agar pelanggaran-pelanggaran itu tidak dilakukan, dan juga
kekuasaan negara pantai dapat dibedakan yaitu kekuasaan mencegah (preventive) atas
kaal-kapal yang akan masuk dan kekuasaan menghukum terhadap kapal-kapal yang
meninggalkan zona tambahan (repressive).
Dalam kasus “The Grace and Ruby United States, District Court, District of
Massachusetts 1922, 283 F. 475.”31: dikatakan bahwa: “Berapa jauhnya kita (Amerika
Serikat) dapat menggunakan kekuasaan kita menangkap kapal asing yang telah
melanggar hukum kita, hal ini diserahkan kepada departemen politik dari pemerintah, dan
bukanlah pengaidlan yang menetapkannya. Fakta bahwa penangkapan tiga mil diluar
batas tidak mengakibatkan bahwa penangkapan kapal tidak sah dan berada diluar
yurisdiksi si penangkap karena pemakaian kekuasaan yang terbatas pada perairan yang
bersambung dengan pantai kita terhadap kapal yang telah melanggar hukum kita.”
28 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.29 Sui generis berarti zona spesial, dalam hal zona tambahan ini berarti zona spesial yang dimiliki negara pantai antara laut lepas dan laut teritorial.30 Chairul Anwar, S.H., Op. Cit. Hlm. 41.31 Bishop, International Law, Cases and Materials, 1960. Hlm. 260-262.
9
2.2. Kewenangan Negara Pantai pada Zona Tambahan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa zona tambahan merupakan
zona spesial (sui generis) diantara laut teritorial dan laut lepas. Maka secara keruangan
zona tambahan berada pada posisi yang cukup ekstrem, karena pada laut bebas diketahui
sebagai kebebasan dari seluruh negara (res communis32), sedangkan laut teritorial
merupakan kedaulatan penuh (absolute) yang dimiliki oleh negara pantai (state
sovereignty).
Namun, di dalam zona sui generis tersebut, negara pantai tidak memiliki
kekuasaan mutlak (absolute power) melainkan hanya memiliki kewenangan-kewenangan
tertentu, antara lain33:
1. Penegakan hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan nasional (Kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian dan
kekarantinaan);
2. Negara pantai juga akan sangat berkepentingan untuk melakukan upaya
pencegahan terhadap penyebaran hama dan penyakit menular serta
organisme pengganggu (penyakit MERS misalnya). Maka negara dapat
mencegah suatu penyakit sebelum sampai masuk ke dalam wilayahnya;
3. Berkepentingan terhadap kegiatan pengangkatan benda-benda berharga
muatan kapal tenggelam (BMKT), seperti benda-benda arkeologi dan
bernilai sejarah (historical value) dari dasar laut yang berbatasan dengan laut
wilayahnya;
4. Hak negara pantai untuk melakukan hot pursuit (pengejaran seketika)
terhadap pelanggaran yang terjadi di laut wilayahnya. Hak ini telah diakui
dalam hukum kebiasaan internasional (customary law34), tetapi harus
dilakukan berkesesuaian dengan pasal 111 UNCLOS 1982.
Persyaratan Dilakukannya Pengejaran Seketika (hot pursuit)
Berdasarkan pasal 111 UNCLOS 1982 pengejaran seketika (hot pursuit)
terdiri dari 7 (tujuh) persyaratan, antara lain35:
32 Paham bahwa laut adalah milik bersama, oleh karenanya tidak dapat dimiliki oleh suatu negara manapun.33 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.34 Berdasarkan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, bahwa hukum kebiasaan internasional sebagai salah satu dari sumber hukum internasional.35 UNCLOS 1982
1
“Ayat 1: Pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal asing hanya dapat
dilakukan apabila negara pantai memiliki alasan yang jelas terkait dengan
pelanggaran yang dilakukan kapal asing tersebut terhadap peraturan perundang-
undangan negara pantai. Pengejaran juga hanya dapat dilakukan apabila kapal
asing berada di wilayah laut internal (internal waters), laut kepulauan
(archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea) atau zona tambahan
(contiguous zone) dari negara yang melakukan pengejaran, serta dapat
melanjutkan pengejaran sampai diluar laut teritorial maupun zona tambahan
apabila pengejaran itu tidak terhenti (continuously).
Ayat 2: Hak pengejaran seketika (hot pursuit) dapat dilakukan secara mutatis
mutandis terhadap pelanggaran di wilayah zona ekonomi eksklusif (exclusive
economic zone) atau pada landasan kontinen (continental shelf), termasuk juga
daerah aman (safety zones) disekitar instalasi landasan kontinen, atas peraturan
perundang-perundangan dari negara pantai yang dapat diterapkan sesuai dengan
Konvensi ini pada zona ekonomi eksklusif maupun landasan kontinen.
Ayat 3: Hak pengejaran seketika terhenti apabila kapal telah memasuki laut
teritorial negaranya maupun laut teritorial negara ketiga.
Ayat 4: Pengejaran seketika tidak dinyatakan dimulai kecuali jika kapal pengejar
telah yakin secara praktis bahwa didapatkan kapal yang dikejar atau salah satu
kapal itu maupun kapal lainnya yang bekerja sebagai kelompok yang
menggunakan kapal yang dikejar sebagai induk kapal, berada di dalam zona
tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau diatas landasan kontinen. Pengejaran
hanya dapat dimulai jika secara penglihatan atau pendengaran terhadap
peringatan berhenti terhadap kapal asing tersebut berada di jarak yang terlihat
atau terdengar olehnya.
Ayat 5: Hak untuk melakukan pengejaran hanya dapat dilakukan dengan kapal
perang atau kapal militer, atau kapal lainnya yang secara resmi telah ditandai dan
dapat diidentifikasikan oleh pemerintah.
Ayat 6: Pengejaran dipengaruhi oleh pesawat terbang (aircraft) jika:
1
a) Terhadap ketentuan ayat (1) sampai (4);
b) Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal- kapal
perang atau pesawat udara militer, atau kapal-kapal atau pesawat udara
lainnya yang diberi tanda yang jelas sebagai aparat pemerintah yang
berwenang untuk tugas itu;
Ayat 7: Pelepasan terhadap kapal yang ditangkap di dalam jurisdiksi dari negara dikawal
sampai pada pelabuhan untuk tujuan pemeriksaan sebelumnya oleh pihak yang
berwenang. Bahkan dapat dilakukan pengawalan sampai pada zona ekonomi eksklusif
atau laut lepas jika keadaan memerlukan.
Ayat 8: Dimana kapal yang telah diberhentikan atau ditahan diluar laut teritorial dalam
keadaan yang tidak dapat dilakukannya hak pengejaran, maka dapat dilakukan
kompensasi atau ganti rugi terhadap kehilangan atau kerusakan yang diakibatkannya.”
Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, maka terlihat bahwa pengejaran
seketika (hot pursuit) dilakukan berdasarkan syarat-syaratnya, tidak dilakukan dengan
tanpa syarat. Bahkan ketentuan diatas menyediakan adanya kompensasi atau ganti
kerugian apabila terdapat kesalahan dalam penangkapan maupun penahanan.
2.3. Pengaturan Zona Tambahan (Contiguous Zone) di Indonesia
Indonesia belum mengatur mengenai zona tambahannya secara terperinci. Namun,
Indonesia masih menggunakan hukum kebiasaan internasional yang berlaku terhadap
zona tambahannya.
Dasar hukum berlakunya zona tambahan di Indonesia juga berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea. Yang mana termuat di dalam pasal 33 Konvensi tersebut.
Namun memang beberapa usaha sudah berkali-kali dilakukan sampai pada
akhirnya Rancangan Undang-Undang yang terbaru sebagaimana termaktub di dalam
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan.
Rancangan Undang-Undang ini terdiri dari VIII BAB, dan 17 Pasal. Pentingnya
pengaturan tentang zona tambahan bertujuan untuk memberikan adanya kepastian hukum.
1
Supaya Indonesia sendiri memiliki landasan hukum yang kuat terkait dengan adanya zona
tambahan.
Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan ini akan dilampirkan pada
makalah ini.
Kandungan Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan36
A. Asas dan Tujuan Zona Tambahan
Berdasarkan Pasal 2 Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, zona
tambahan memiliki asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Kepentingan Nasional
b. Asas Manfaat
c. Asas Keterpaduan
d. Asas Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan
Tujuan dari Zona Tambahan adalah sebagai landasan bagi Pemerintah untuk menerapkan
ketentuan hukum nasionalnya serta melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan dan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan nasional di bidang
kepabeanan, fiskal, keimigrasian, kesehatan dan/atau kekarantinaan, dan benda-benda
cagar budaya di dalam laut.
B. Hak dan Kewajiban Pemerintah
Sebagaimana termaktub di dalam Pasal 3, hak pemerintah antara lain; (1) menerapkan
hukum nasionalnya selama berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, kefiskalan,
kesehatan (karantina), dan benda-benda cagar budaya di dalam laut, (2) melakukan
pengawasan untuk mencegah ketentuan poin (1), tetapi pemerintah memiliki kewenangan
tidak terbatas terhadap kekarantinaan hewan dan tumbuhan, benda-benda muatan kapal
tenggelam, penyelundupan (human trafficking), penyalahgunaan obat dan psikotropika
serta kejahatan lintas batas lainnya, (3) menghukum para pelanggar ketentuang-ketentuan
diatas, (4) mencapai keamanan dan ketertiban nasional (security of Indonesia), (5)
memberikan sanksi terhadap pelanggar.
36 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.
1
Pasal 4 (1) mengatakan, bahwa yurisdiksi Indonesia hanya meliputi pada permukaan
airnya, kolom air dan dasar laut di dalamnya maka berlaku ketentuan mengenai Zona
Ekonomi Eksklusif dan Zona Tambahan.
Ayat (2) mengatakan, bahwa pemerintah menjamin kebebasan pelayaran dan penerbangan
internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku, kecuali ada indikasi kuat
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia.
C. Benda-Benda Cagar Budaya di Dalam Laut
Pengaturan ini tertulis di dalam Pasal 5, yang pokoknya adalah, Pemerintah Indonesia
berwenang mengendalikan dan melindungi benda-benda cagar budaya di dalam laut,
negara lain yang ingin melakukan pengangkatan terhadap benda-benda cagar budaya
tersebut harus memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia, kerangka kapal atau barang
berharga lainnya dalam waktu 30 hari apabila lebih maka dianggap ditinggalkan oleh
pemiliknya.
D. Terkait dengan Penegakan pada Zona Tambahan
Pasal 6 memuat mengenai instansi-instansi berwenang yang memiliki yurisdiksi masing-
masing dalam hal menindaki permasalahan-permasalahan yang diatur dalam RUU ini
sebelumnya,
Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur mengenai Tanggung Jawab serta Ganti Kerugian apabila
terdapat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Hukum Nasional
Indonesia maupun hukum internasional yang menimbulkan kerugian, maka pihak yang
melakukannya harus mengganti kerugian tersebut.
Pasal 9 - 14 mengatur mengenai prosedural penegakan hukum terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi di zona tambahan.
Pasal 15 mengatur mengenai ketentuan sanksi terhadap para pelanggar.
1
1
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Zona Tambahan merupakan suatu zona spesial yang sangat penting bagi
kehidupan negara-negara terutama bagi negara pantai. Meskipun telah terjadi banyak
pertentangan maupun ketidaksepakatan sebelumnya, pertama kali zona tambahan diatur
secara internasional di dalam Geneva Convention on Territorial sea and Contiguous Zone
1958. Tetapi, akhirnya zona tambahan pun disepakati oleh negara-negara melalui United
Nations Convention on Law of the Sea 1982. Dengan melalui pergantian pengertian di
dalamnya, sebelumnya yang hanya seluas 12 mil maksimalnya, setelah UNCLOS 1982
menjadi 24 mil lebar maksimalnya. Secara yuridis zona tambahan ini diatur di dalam
Pasal 33 UNCLOS 1982. Meskipun bukan merupakan wilayah kedaulatan dari negara
pantai yang mana bukan kekuasaan tertinggi seperti pada laut teritorial (territorial sea)
Namun, negara pantai memiliki hak-hak yurisdiksi serta kewenangan terhadap zona
tambahan tersebut. Ini menjadi penting dalam hal negara pantai mempertahankan
kedaulatannya supaya dapat dicegah sebelum permasalahan-permasalahan masuk
kedalam wilayah kedaulatannya.
Negara-negara pantai memiliki kewenangan terhadap zona tambahan (contiguous
zone), antara lain; (1) Penegakan hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan nasional. (2) Negara pantai juga akan sangat berkepentingan untuk
melakukan upaya pencegahan terhadap penyebaran hama dan penyakit menular serta
organisme pengganggu (3) Berkepentingan terhadap kegiatan pengangkatan benda-benda
berharga muatan kapal tenggelam (BMKT). (4) Hak negara pantai untuk melakukan hot
pursuit (pengejaran seketika) terhadap pelanggaran yang terjadi di laut wilayahnya.
Indonesia secara spesifik belum mengatur mengenai zona tambahan. Namun,
pemberlakuan zona tambahan di Indonesia masih mengacu kepada UNCLOS 1982
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Law of the Sea. Pengaturan spesifik mengenai zona tambahan masih
berwujud Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan.
1
3.2 Saran
Mengingat bahwa pentingnya zona tambahan bagi kepentingan negara pantai.
Indonesia merupakan negara pantai maka sudah sepatutnya pengaturan yang lebih
spesifik mengenai zona tambahan seharusnya diatur. Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tidak akan menjadi apa-apa apabila belum mendapatkan pengesahan dari
pemerintah Indonesia sendiri. Demi terwujudnya kesejahteraan di bidang maritim
khususnya, saran kami pemerintah Indonesia secepatnya untuk melakukan pengesahan
terhadap Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan. Agar
Indonesia memiliki kepastian hukum serta landasan yuridis dalam zona tambahannya.
1
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta: Djambatan, 1989.
Bishop, Jr. William, International Law, Cases and Materials, 1960.
Brierly, J.L., The Law of Nations, Oxford University Press, 1985.
Djalal, Dr. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1979.
Kusumaatmadja, Prof. Mochtar, Hukum Laut Internasional Cetakan Ketiga, Bandung: Binacipta, 1986.
Umar, S.H., M. Husseyn, Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia/Cetakan 1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Swift, Richard, N., International Law, Current and Classic, 1969.
Geneva Convention 1958
Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958
Geneva Convention on High Seas 1958
International Court of Justice Statute
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.
Surat Edaran Kepala Dishidros Mabes TNI-AL No. SE/1241/IV/2012 tanggal 10 April 2012 tentang Data Wilayah Negara Kesatuan Negara Indonesia.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa
1958 Mengenai Hukum Laut
United Nations Convention on Law of the Sea 1982.