contagious zone (for everyone)

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana terlihat di dalam sejarah, bahwa laut terbukti mempunyai berbagai macam fungsi seperti, sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa, 1 termasuk juga sebagai pemanfaatan dalam kepentingan pelayaran. 2 Melihat betapa pentingnya wilayah laut bagi kehidupan umat manusia, menjadi pertimbangan bagi para ahli untuk mencurahkan perhatiannya terhadap permasalahan hukum laut,. Dimulai dari abad ke-7 sudah dikenal Hukum Laut Rhodia (mengenai Laut Tengah), kemudian abad ke-12 kompilasi mengenai peraturan-peraturan laut di Eropa 3 sampai pada lahirnya Geneva Convention 1958 (terdiri dari 4 konvensi) dan United Nations Convention on Law Of the Sea 1982 (“UNCLOS 1982”). Tentunya ini bukanlah merupakan suatu proses yang mudah, begitu banyak pertentangan dan perdebatan hingga akhirnya mencapai kesepakatan dari negara-negara berbentuk konvensi internasional. Fungsi laut yang sebagai jalan raya perdagangan serta 1 Dr. Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Bandung: Binacipta. 1979. Hlm. 1. 2 Chairul Anwar, S.H. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta: Djambatan. 1989. Hlm. 1 3 Ibid.

Upload: hansel-ng

Post on 23-Jan-2017

27 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Contagious Zone (For Everyone)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana terlihat di dalam sejarah, bahwa laut terbukti mempunyai berbagai

macam fungsi seperti, sebagai sumber makanan bagi umat manusia, sebagai jalan raya

perdagangan, sebagai sarana untuk penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai

tempat bersenang-senang dan rekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa,1

termasuk juga sebagai pemanfaatan dalam kepentingan pelayaran.2

Melihat betapa pentingnya wilayah laut bagi kehidupan umat manusia, menjadi

pertimbangan bagi para ahli untuk mencurahkan perhatiannya terhadap permasalahan

hukum laut,. Dimulai dari abad ke-7 sudah dikenal Hukum Laut Rhodia (mengenai Laut

Tengah), kemudian abad ke-12 kompilasi mengenai peraturan-peraturan laut di Eropa3

sampai pada lahirnya Geneva Convention 1958 (terdiri dari 4 konvensi) dan United

Nations Convention on Law Of the Sea 1982 (“UNCLOS 1982”). Tentunya ini bukanlah

merupakan suatu proses yang mudah, begitu banyak pertentangan dan perdebatan hingga

akhirnya mencapai kesepakatan dari negara-negara berbentuk konvensi internasional.

Fungsi laut yang sebagai jalan raya perdagangan serta pelayaran domestik maupun

internasional membuat pentingnya pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran terkait

fiskal, imigrasi, maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang dimiliki suatu

negara atas wilayah teritorialnya.4 Hal ini yang menjadi manfaat atau kegunaan dari

adanya wilayah zona tambahan (Contiguous Zone) bagi suatu negara kepulauan

(archipelagic state).

Mengingat bahwa laut menjadi salah satu wilayah perbatasan bagi archipelagic

state, serta menjadi tempat berlalu-lintasnya kapal-kapal baik asing maupun bukan

sehingga dapat menimbulkan kemungkinan terhadap masalah-masalah seperti, kesehatan

(transmission disease), penyelundupan barang-barang (smuggling), perdagangan orang

(human trafficking) bahkan sampai pada permasalahan keamanan terhadap negara

1 Dr. Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Bandung: Binacipta. 1979. Hlm. 1.

2 Chairul Anwar, S.H. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta: Djambatan. 1989. Hlm. 13 Ibid.4 Article 33 (1) UNCLOS 1982

Page 2: Contagious Zone (For Everyone)

2

(security and safety) maka manfaat dari zona tambahan pun tidak dapat dipungkiri.

Sebagaimana termaktub di dalam Konvensi Jenewa 1958 yang terdiri dari 4

konvensi, antara lain:

1. Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone;

2. Convention on High Seas;

3. Convention on Fishing and Conservation of the living resources of the high

seas;

4. Convention on Continental Shelf.

Melihat hal diatas, maka jelas bahwa kesadaran negara-negara akan adanya kebutuhan

zona tambahan (poin pertama) sudah ada sejak Konvensi Jenewa 1958 tersebut sebelum

pada akhirnya dimuat kembali di dalam UNCLOS 1982.

Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terluas yang terdiri dari

lebih 17.4995 pulau dan 200 juta penduduk6, tidak lain sangat membutuhkan pengaturan

terhadap hukum laut. Berbagai perjuangan juga telah dilakukan oleh Indonesia terhadap

hukum laut Indonesia.7

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, pengaturan daripada zona tambahan

(contiguous zone) sudah sejak Konvensi Jenewa 1958, namun Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa

1958 Mengenai Hukum Laut, baru mengesahkan 3 konvensi yang termaktub dalam

Konvensi Jenewa 1958, yaitu:

1. Convention on High Seas;

2. Convention on Fishing and Conservation of the living resources of the high

seas;

3. Convention on Continental Shelf.8

Sehingga ketentuan mengenai zona tambahan, belum disahkan dalam bentuk undang-

undang oleh Indonesia.

5 Surat Edaran Kepala Dishidros Mabes TNI-AL No. SE/1241/IV/2012 tanggal 10 April 2012 tentang Data Wilayah Negara Kesatuan Negara Indonesia.6 M. Husseyn Umar, S.H. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia (Buku 3). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001. Hlm. 1737 Indonesia sebagai negara yang memperjuangkan konsepsi negara kepulauan sebagai satu kesatuan wilayah yang bulat dan utuh, serta menambahkan lebar laut teritorial menjadi 12 mil, salah satu caranya dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.8 Ketentuan Menimbang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa 1958 Mengenai Hukum Laut

Page 3: Contagious Zone (For Everyone)

3

Kemudian, dimulai pada tahun 19739 kembali diadakan konferensi oleh negara-

negara untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaturan hukum laut internasional.

Konferensi ini pun berakhir dengan menghasilkan sebuah konvensi pada tahun 1982 yang

dikenal dengan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi

ini yang menjadi payung hukum mengenai hukum laut sampai pada saat ini.

UNCLOS 1982 ini telah memodifikasi Konvensi Jenewa 1958 sebelumnya. Ada

beberapa ketentuan yang mengikuti Konvensi Jenewa 1958 termasuk ketentuan mengenai

zona tambahan, tetapi ada juga ketentuan-ketentuan yang disempurnakan oleh UNCLOS

198210.

Dengan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan bagi archipelagic state, banyak

negara-negara yang telah meratifikasi, menerima atau menyetujui UNCLOS 1982 ini.

Terhitung pada tanggal 2 Februari 1989, telah mencapai jumlah 37 negara (termasuk

Indonesia).11

Indonesia mengesahkan UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS 1982).

Berangkat dari hal tersebut, ketentuan mengenai zona tambahan (contiguous zone)

yang berada di dalam UNCLOS 1982 telah berlaku di dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut. Maka

Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk12 melakukan pengawasan

dalam bidang-bidang kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan, termasuk

juga penetapan terhadap batas terluar zona tambahannya (namun tidak boleh melebihi 24

mil terhitung dari garis pangkal mulainya penarikan garis untuk laut teritorial13).

Beranjak dari hal diatas, maka penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

apa itu zona tambahan (contiguous zone) serta kewenangan apa saja yang dimiliki oleh

negara pantai terhadapnya. Makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut terkait dengan

permasalahan ini.

9 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 12.10 Seperti contoh lebar laut teritorial yang belum ditemukan titik temu pada Konvensi Jenewa 1958, karena masih banyaknya perdebatan antar negara-negara.11 Ibid. Hlm. 13.12 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.13 Article 33 United Nations Convention on Law of the Sea 1982.

Page 4: Contagious Zone (For Everyone)

4

1.2 Rumusan Pembahasan

Berdasarkan judul makalah tentang “Zona Tambahan (Contiguous Zone) dan

Kewenangan Negara Pantai (Indonesia) Terhadapnya”, beberapa hal yang perlu dibahas

dalam makalah ini, sebagai berikut:

1) Apa yang dimaksud dengan Zona Tambahan (Contiguous Zone)?

2) Kewenangan apa saja yang dimiliki terhadap Zona Tambahan (Contiguous

Zone)?

3) Dimana ketentuan Zona Tambahan (Contiguous Zone) diatur di Indonesia?

1.3 Tujuan

Berkenaan dengan poin 1.2 diatas, adapun tujuan dari makalah ini, antara lain:

1) Ingin menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan Zona Tambahan

(Contiguous Zone);

2) Ingin menjelaskan mengenai kewenangan negara pantai (Indonesia) terhadap

Zona Tambahan (Contiguous Zone);

3) Ingin menjelaskan mengenai Pengaturan Zona Tambahan (Contiguous Zone)

di Indonesia.

Page 5: Contagious Zone (For Everyone)

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Terdapat berbagai macam definisi dari Zona Tambahan (Contiguous Zone) yang

diberikan. Zona Tambahan (contiguous zone) secara tradisional adalah bagian dari laut

lepas, tetapi negara dapat melakukan fungsi-fungsi tertentu di dalam zona tersebut.14

Brierly berpendapat15, contiguous zone, yaitu zona dari laut lepas yang bersambung

dengan laut teritorial. Menurut pandangan Indonesia sendiri, Contiguous Zone berfungsi

sebagai intermediary antara laut wilayah dan laut bebas, yang digunakan untuk menjamin

dihorati dan ditaatinya aturan-aturan negara pantai di dalam laut wilayahnya.16

Prinsip dari Contiguous Zone ini untuk menghidari adanya kemungkinan kapal-

kapal asing akan berkeliaran di sepanjang laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorial

negara pantai untuk menanti dan mencari kesempatan guna menyelinap masuk ke laut

wilayah. Maka dari itu prinsip ini memperkecil kemungkinan pelanggaran terhadap

wilayah negara pantai, khususnya di bidang penyelundupan.17

Menurut ketentuan umum hukum internasional, negara-negara tidak memiliki

yurisdiksi douane (bea cukai) terhadap kapal-kapal asing di laut lepas. Pengecualian

terhadap hal ini hanya apabila terdapat perjanjian internasional.18

Tidak seperti wilayah laut teritorial dimana negara memiliki kekuasaan penuh

atasnya, pada zona tambahan negara-negara hanya memiliki hak-hak yurisdiksi yang

sifatnya terbatas.19

A. Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958

Pada saat Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 pernah diajukan usul

konsepsi Zona Tambahan namun gagal. Kemudian, Pengaturan mengenai Zona

Tambahan secara internasional akhirnya pertama kali dalam Konvensi Jenewa 1958 pada

Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut Teritorial

14 Richard N. Swift, International Law, Current and Classic. 1969. Hlm. 257.15 Brierly, The Law of Nations, Oxford University Press, 1985. Hlm. 204-205.16 Dr. Hasyim Djalal, Op. Cit. Hlm. 9917 Ibid.18 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 39.19 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.

Page 6: Contagious Zone (For Everyone)

6

dan Zona Tambahan). Sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 Convention on Territorial

Sea and Contiguous Zone, antara lain20:

“Ayat 1: In a zone of the high seas21 contiguous to its territorial sea, the

coastal State may exercise the control necessary to:

a) Prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary

regulations within its territory or territorial sea;

b) Punish infringement of the above regulations committed within its territory

or territorial sea.”

Melihat rumusan pasal diatas, maka terlihat bahwa negara pantai memiliki kewenangan

pada wilayah laut lepas yang bersebalahan (high seas contiguous) dengan laut

teritorial (teritorial sea), wilayah laut lepas yang bersebelahan dengan laut teritorial ini

yang disebut dengan contiguous zone (zona tambahan). Tetapi, jika ditelaah pada rumusan

selanjutnya, kewenangan yang dimiliki hanya terbatas kepada 2 (dua) hal, yaitu:

a. Mencegah terjadinya pelanggaran terhadap bea cukai, fiskal, imigrasi atau

peraturan terkait sanitasi22 terhadap wilayah teritorial maupun laut

teritorialnya23.

b. Untuk menghukum terhadap pelanggaran ketentuan diatas di dalam wilayah

teritorial maupun laut teritorialnya.

Maka fungsi dari zona tambahan (Contiguous Zone) bersifat 2 (dua) hal:

1. Pencegahan (Preventive)

2. Penghukuman (Repressive)

“Ayat 2: The contiguous zone may not extend beyond twelve miles from the

baseline from which the breadth of the territorial sea is measured.”

Dalam ayat (2) dikatakan, bahwa zona tambahan (contiguous zone) tidak boleh melewati

12 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk menghitung laut teritorial24. Pada masa 20 Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958.21 Berdasarkan Pasal 1 Geneva Convention on High Seas 1958, High Seas (Laut Lepas) berarti adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau laut dalam dari sebuah negara.22 Berdasarkan Pasal 1 angka 6 RUU tentang Zona Tambahan, pengaturan tentang sanitasi adalah peraturan hukum positif Indonesia yang berhubungan dengan penyakit karantina yang membahayakan orang, ikan dan hewan lainnya, dan tumbuh-tumbuhan.23 Lebar laut teritorial adalah selebar 12 mil berdasarkan Pasal 3 UNCLOS 1982, tetapi pada masa itu lebar laut teritorial masih berdasarkan hukum kebiasaan internasional, berasal dari teori tembakan meriam (Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional cetakan ketiga, Bandung: Binacipta, 1986. Hlm. 20-21.) Indonesia sendiri pada masa itu memiliki lebar laut teritorial selebar 3 mil berdasarkan Pasal 1 ayat (1) yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442. 24 Garis Pangkal untuk menghitung lebar laut teritorial yang dimaksud berdasarkan Pasal 3 Geneva Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone adalah garis air laut pada saat surut sepanjang pantai

Page 7: Contagious Zone (For Everyone)

7

itu, lebar laut teritorial rata-rata setiap negara adalah 3 mil, namun ada juga yang lebih

daripada itu25 sesuai tembakan meriam. Berarti, garis pangkal penghitungan 3 mil itu yang

digunakan juga untuk menghitung 12 mil zona tambahan tersebut.

“Ayat 3: Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of

the two States is entitled, failing agreement between between them to the contrary, to

extend its contiguous zone beyond the median line every point of which is equidistant

from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of

the two States is measured.”

Ayat (3) menyatakan bahwa apabila terdapat dua (2) negara pantai yang bersebrangan

ataupun berdekatan satu dengan yang lain namun memiliki hak atas laut tambahan

tersebut, dalam hal mereka gagal dalam membuat perjanjian maka zona tambahan itu

dibagi sama jarak (equidistant) dimulai dari garis pangkal masing-masing negara yang

digunakan untuk menghitung lebar laut teritorialnya.

B. United Nations Convention on Law of the Sea 1982

Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terjadi perubahan pandangan terkait

konsepsi Zona Tambahan, yang sebelumnya dipandang bagian dari laut lepas sekarang

dipandang bersambung dengan laut teritorial.26

Berdasarkan Pasal 33 UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa27:

“Ayat 1: In a zone contiguous to its territorial sea, described as the

constiguous zone, the coastal State may exercise...”

Perbedaan terletak pada kata-kata yang digaris bawahi diatas, pada konvensi Jenewa 1958

dikatakan “...zone of the high seas contiguous to its territorial sea...” sedangkan pada

UNCLOS 1982 disebutkan demikian. Maka tampak perbedaan pengertian bahwa dalam

Konvensi Jenewa 1958 Zona Tambahan merupakan laut lepas yang menjadi kelanjutan

dari laut teritorial, sedangkan dalam UNCLOS 1982 Zona Tambahan merupakan zona

lanjutan dari laut teritorial.

yang ditandai pada grafik skala besar yang resmi diakui oleh negara pantai tersebut.25 Kebiasaan internasional ini tergantung pada kemampuan teknologi setiap negara. Maka dari itu, hasilnya pun bisa berbeda-beda.26 Chairul Anwar, S.H. Op. Cit. Hlm. 40.27 UNCLOS 1982.

Page 8: Contagious Zone (For Everyone)

8

“Ayat 2: The contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from

the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.”

Selanjutnya, perbedaan juga terdapat pada ayat (2), yang lebar dari zona tambahan

bertambah dari 12 mil (Konvensi Jenewa 1958) menjadi 24 mil.

Secara garis besar, maka pengertian dari Zona Tambahan terdiri dari tiga unsur

pokok28:

1. Unsur letak serta batas kewilayahan (sui generis29);

2. Unsur lingkup kewenangan (jurisdiction); dan

3. Hak dan kewajiban dari negara-negara

C. Pembatasan Terhadap Zona Tambahan Bagi Negara Pantai

Pembatasan ini berguna30 mencegah negara pantai tidak menyamakan Zona

Tambahan dengan Laut Teritorial. Brownlie mengemukakan pandangan Sir Gerald

Fitmaurice tentang pasal 24 ayat (1) dari Convention on the Territorial Sea and

Contiguous Zone 1958 yang dikatakan bahwa, maksud dari pasal 24 ayat (1) tersebut

ialah untuk menghindai agar pelanggaran-pelanggaran itu tidak dilakukan, dan juga

kekuasaan negara pantai dapat dibedakan yaitu kekuasaan mencegah (preventive) atas

kaal-kapal yang akan masuk dan kekuasaan menghukum terhadap kapal-kapal yang

meninggalkan zona tambahan (repressive).

Dalam kasus “The Grace and Ruby United States, District Court, District of

Massachusetts 1922, 283 F. 475.”31: dikatakan bahwa: “Berapa jauhnya kita (Amerika

Serikat) dapat menggunakan kekuasaan kita menangkap kapal asing yang telah

melanggar hukum kita, hal ini diserahkan kepada departemen politik dari pemerintah, dan

bukanlah pengaidlan yang menetapkannya. Fakta bahwa penangkapan tiga mil diluar

batas tidak mengakibatkan bahwa penangkapan kapal tidak sah dan berada diluar

yurisdiksi si penangkap karena pemakaian kekuasaan yang terbatas pada perairan yang

bersambung dengan pantai kita terhadap kapal yang telah melanggar hukum kita.”

28 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.29 Sui generis berarti zona spesial, dalam hal zona tambahan ini berarti zona spesial yang dimiliki negara pantai antara laut lepas dan laut teritorial.30 Chairul Anwar, S.H., Op. Cit. Hlm. 41.31 Bishop, International Law, Cases and Materials, 1960. Hlm. 260-262.

Page 9: Contagious Zone (For Everyone)

9

2.2. Kewenangan Negara Pantai pada Zona Tambahan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa zona tambahan merupakan

zona spesial (sui generis) diantara laut teritorial dan laut lepas. Maka secara keruangan

zona tambahan berada pada posisi yang cukup ekstrem, karena pada laut bebas diketahui

sebagai kebebasan dari seluruh negara (res communis32), sedangkan laut teritorial

merupakan kedaulatan penuh (absolute) yang dimiliki oleh negara pantai (state

sovereignty).

Namun, di dalam zona sui generis tersebut, negara pantai tidak memiliki

kekuasaan mutlak (absolute power) melainkan hanya memiliki kewenangan-kewenangan

tertentu, antara lain33:

1. Penegakan hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan nasional (Kepabeanan, kefiskalan, keimigrasian dan

kekarantinaan);

2. Negara pantai juga akan sangat berkepentingan untuk melakukan upaya

pencegahan terhadap penyebaran hama dan penyakit menular serta

organisme pengganggu (penyakit MERS misalnya). Maka negara dapat

mencegah suatu penyakit sebelum sampai masuk ke dalam wilayahnya;

3. Berkepentingan terhadap kegiatan pengangkatan benda-benda berharga

muatan kapal tenggelam (BMKT), seperti benda-benda arkeologi dan

bernilai sejarah (historical value) dari dasar laut yang berbatasan dengan laut

wilayahnya;

4. Hak negara pantai untuk melakukan hot pursuit (pengejaran seketika)

terhadap pelanggaran yang terjadi di laut wilayahnya. Hak ini telah diakui

dalam hukum kebiasaan internasional (customary law34), tetapi harus

dilakukan berkesesuaian dengan pasal 111 UNCLOS 1982.

Persyaratan Dilakukannya Pengejaran Seketika (hot pursuit)

Berdasarkan pasal 111 UNCLOS 1982 pengejaran seketika (hot pursuit)

terdiri dari 7 (tujuh) persyaratan, antara lain35:

32 Paham bahwa laut adalah milik bersama, oleh karenanya tidak dapat dimiliki oleh suatu negara manapun.33 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.34 Berdasarkan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, bahwa hukum kebiasaan internasional sebagai salah satu dari sumber hukum internasional.35 UNCLOS 1982

Page 10: Contagious Zone (For Everyone)

1

“Ayat 1: Pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal asing hanya dapat

dilakukan apabila negara pantai memiliki alasan yang jelas terkait dengan

pelanggaran yang dilakukan kapal asing tersebut terhadap peraturan perundang-

undangan negara pantai. Pengejaran juga hanya dapat dilakukan apabila kapal

asing berada di wilayah laut internal (internal waters), laut kepulauan

(archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea) atau zona tambahan

(contiguous zone) dari negara yang melakukan pengejaran, serta dapat

melanjutkan pengejaran sampai diluar laut teritorial maupun zona tambahan

apabila pengejaran itu tidak terhenti (continuously).

Ayat 2: Hak pengejaran seketika (hot pursuit) dapat dilakukan secara mutatis

mutandis terhadap pelanggaran di wilayah zona ekonomi eksklusif (exclusive

economic zone) atau pada landasan kontinen (continental shelf), termasuk juga

daerah aman (safety zones) disekitar instalasi landasan kontinen, atas peraturan

perundang-perundangan dari negara pantai yang dapat diterapkan sesuai dengan

Konvensi ini pada zona ekonomi eksklusif maupun landasan kontinen.

Ayat 3: Hak pengejaran seketika terhenti apabila kapal telah memasuki laut

teritorial negaranya maupun laut teritorial negara ketiga.

Ayat 4: Pengejaran seketika tidak dinyatakan dimulai kecuali jika kapal pengejar

telah yakin secara praktis bahwa didapatkan kapal yang dikejar atau salah satu

kapal itu maupun kapal lainnya yang bekerja sebagai kelompok yang

menggunakan kapal yang dikejar sebagai induk kapal, berada di dalam zona

tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau diatas landasan kontinen. Pengejaran

hanya dapat dimulai jika secara penglihatan atau pendengaran terhadap

peringatan berhenti terhadap kapal asing tersebut berada di jarak yang terlihat

atau terdengar olehnya.

Ayat 5: Hak untuk melakukan pengejaran hanya dapat dilakukan dengan kapal

perang atau kapal militer, atau kapal lainnya yang secara resmi telah ditandai dan

dapat diidentifikasikan oleh pemerintah.

Ayat 6: Pengejaran dipengaruhi oleh pesawat terbang (aircraft) jika:

Page 11: Contagious Zone (For Everyone)

1

a) Terhadap ketentuan ayat (1) sampai (4);

b) Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal- kapal

perang atau pesawat udara militer, atau kapal-kapal atau pesawat udara

lainnya yang diberi tanda yang jelas sebagai aparat pemerintah yang

berwenang untuk tugas itu;

Ayat 7: Pelepasan terhadap kapal yang ditangkap di dalam jurisdiksi dari negara dikawal

sampai pada pelabuhan untuk tujuan pemeriksaan sebelumnya oleh pihak yang

berwenang. Bahkan dapat dilakukan pengawalan sampai pada zona ekonomi eksklusif

atau laut lepas jika keadaan memerlukan.

Ayat 8: Dimana kapal yang telah diberhentikan atau ditahan diluar laut teritorial dalam

keadaan yang tidak dapat dilakukannya hak pengejaran, maka dapat dilakukan

kompensasi atau ganti rugi terhadap kehilangan atau kerusakan yang diakibatkannya.”

Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, maka terlihat bahwa pengejaran

seketika (hot pursuit) dilakukan berdasarkan syarat-syaratnya, tidak dilakukan dengan

tanpa syarat. Bahkan ketentuan diatas menyediakan adanya kompensasi atau ganti

kerugian apabila terdapat kesalahan dalam penangkapan maupun penahanan.

2.3. Pengaturan Zona Tambahan (Contiguous Zone) di Indonesia

Indonesia belum mengatur mengenai zona tambahannya secara terperinci. Namun,

Indonesia masih menggunakan hukum kebiasaan internasional yang berlaku terhadap

zona tambahannya.

Dasar hukum berlakunya zona tambahan di Indonesia juga berdasarkan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the

Law of the Sea. Yang mana termuat di dalam pasal 33 Konvensi tersebut.

Namun memang beberapa usaha sudah berkali-kali dilakukan sampai pada

akhirnya Rancangan Undang-Undang yang terbaru sebagaimana termaktub di dalam

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan.

Rancangan Undang-Undang ini terdiri dari VIII BAB, dan 17 Pasal. Pentingnya

pengaturan tentang zona tambahan bertujuan untuk memberikan adanya kepastian hukum.

Page 12: Contagious Zone (For Everyone)

1

Supaya Indonesia sendiri memiliki landasan hukum yang kuat terkait dengan adanya zona

tambahan.

Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan ini akan dilampirkan pada

makalah ini.

Kandungan Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan36

A. Asas dan Tujuan Zona Tambahan

Berdasarkan Pasal 2 Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, zona

tambahan memiliki asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Kepentingan Nasional

b. Asas Manfaat

c. Asas Keterpaduan

d. Asas Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan

Tujuan dari Zona Tambahan adalah sebagai landasan bagi Pemerintah untuk menerapkan

ketentuan hukum nasionalnya serta melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan dan

penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan nasional di bidang

kepabeanan, fiskal, keimigrasian, kesehatan dan/atau kekarantinaan, dan benda-benda

cagar budaya di dalam laut.

B. Hak dan Kewajiban Pemerintah

Sebagaimana termaktub di dalam Pasal 3, hak pemerintah antara lain; (1) menerapkan

hukum nasionalnya selama berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, kefiskalan,

kesehatan (karantina), dan benda-benda cagar budaya di dalam laut, (2) melakukan

pengawasan untuk mencegah ketentuan poin (1), tetapi pemerintah memiliki kewenangan

tidak terbatas terhadap kekarantinaan hewan dan tumbuhan, benda-benda muatan kapal

tenggelam, penyelundupan (human trafficking), penyalahgunaan obat dan psikotropika

serta kejahatan lintas batas lainnya, (3) menghukum para pelanggar ketentuang-ketentuan

diatas, (4) mencapai keamanan dan ketertiban nasional (security of Indonesia), (5)

memberikan sanksi terhadap pelanggar.

36 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.

Page 13: Contagious Zone (For Everyone)

1

Pasal 4 (1) mengatakan, bahwa yurisdiksi Indonesia hanya meliputi pada permukaan

airnya, kolom air dan dasar laut di dalamnya maka berlaku ketentuan mengenai Zona

Ekonomi Eksklusif dan Zona Tambahan.

Ayat (2) mengatakan, bahwa pemerintah menjamin kebebasan pelayaran dan penerbangan

internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan

prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku, kecuali ada indikasi kuat

pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia.

C. Benda-Benda Cagar Budaya di Dalam Laut

Pengaturan ini tertulis di dalam Pasal 5, yang pokoknya adalah, Pemerintah Indonesia

berwenang mengendalikan dan melindungi benda-benda cagar budaya di dalam laut,

negara lain yang ingin melakukan pengangkatan terhadap benda-benda cagar budaya

tersebut harus memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia, kerangka kapal atau barang

berharga lainnya dalam waktu 30 hari apabila lebih maka dianggap ditinggalkan oleh

pemiliknya.

D. Terkait dengan Penegakan pada Zona Tambahan

Pasal 6 memuat mengenai instansi-instansi berwenang yang memiliki yurisdiksi masing-

masing dalam hal menindaki permasalahan-permasalahan yang diatur dalam RUU ini

sebelumnya,

Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur mengenai Tanggung Jawab serta Ganti Kerugian apabila

terdapat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Hukum Nasional

Indonesia maupun hukum internasional yang menimbulkan kerugian, maka pihak yang

melakukannya harus mengganti kerugian tersebut.

Pasal 9 - 14 mengatur mengenai prosedural penegakan hukum terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang terjadi di zona tambahan.

Pasal 15 mengatur mengenai ketentuan sanksi terhadap para pelanggar.

Page 14: Contagious Zone (For Everyone)

1

Page 15: Contagious Zone (For Everyone)

1

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Zona Tambahan merupakan suatu zona spesial yang sangat penting bagi

kehidupan negara-negara terutama bagi negara pantai. Meskipun telah terjadi banyak

pertentangan maupun ketidaksepakatan sebelumnya, pertama kali zona tambahan diatur

secara internasional di dalam Geneva Convention on Territorial sea and Contiguous Zone

1958. Tetapi, akhirnya zona tambahan pun disepakati oleh negara-negara melalui United

Nations Convention on Law of the Sea 1982. Dengan melalui pergantian pengertian di

dalamnya, sebelumnya yang hanya seluas 12 mil maksimalnya, setelah UNCLOS 1982

menjadi 24 mil lebar maksimalnya. Secara yuridis zona tambahan ini diatur di dalam

Pasal 33 UNCLOS 1982. Meskipun bukan merupakan wilayah kedaulatan dari negara

pantai yang mana bukan kekuasaan tertinggi seperti pada laut teritorial (territorial sea)

Namun, negara pantai memiliki hak-hak yurisdiksi serta kewenangan terhadap zona

tambahan tersebut. Ini menjadi penting dalam hal negara pantai mempertahankan

kedaulatannya supaya dapat dicegah sebelum permasalahan-permasalahan masuk

kedalam wilayah kedaulatannya.

Negara-negara pantai memiliki kewenangan terhadap zona tambahan (contiguous

zone), antara lain; (1) Penegakan hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan nasional. (2) Negara pantai juga akan sangat berkepentingan untuk

melakukan upaya pencegahan terhadap penyebaran hama dan penyakit menular serta

organisme pengganggu (3) Berkepentingan terhadap kegiatan pengangkatan benda-benda

berharga muatan kapal tenggelam (BMKT). (4) Hak negara pantai untuk melakukan hot

pursuit (pengejaran seketika) terhadap pelanggaran yang terjadi di laut wilayahnya.

Indonesia secara spesifik belum mengatur mengenai zona tambahan. Namun,

pemberlakuan zona tambahan di Indonesia masih mengacu kepada UNCLOS 1982

berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention on Law of the Sea. Pengaturan spesifik mengenai zona tambahan masih

berwujud Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan.

Page 16: Contagious Zone (For Everyone)

1

3.2 Saran

Mengingat bahwa pentingnya zona tambahan bagi kepentingan negara pantai.

Indonesia merupakan negara pantai maka sudah sepatutnya pengaturan yang lebih

spesifik mengenai zona tambahan seharusnya diatur. Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang tidak akan menjadi apa-apa apabila belum mendapatkan pengesahan dari

pemerintah Indonesia sendiri. Demi terwujudnya kesejahteraan di bidang maritim

khususnya, saran kami pemerintah Indonesia secepatnya untuk melakukan pengesahan

terhadap Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan. Agar

Indonesia memiliki kepastian hukum serta landasan yuridis dalam zona tambahannya.

Page 17: Contagious Zone (For Everyone)

1

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta: Djambatan, 1989.

Bishop, Jr. William, International Law, Cases and Materials, 1960.

Brierly, J.L., The Law of Nations, Oxford University Press, 1985.

Djalal, Dr. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1979.

Kusumaatmadja, Prof. Mochtar, Hukum Laut Internasional Cetakan Ketiga, Bandung: Binacipta, 1986.

Umar, S.H., M. Husseyn, Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia/Cetakan 1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Swift, Richard, N., International Law, Current and Classic, 1969.

Geneva Convention 1958

Geneva Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958

Geneva Convention on High Seas 1958

International Court of Justice Statute

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan, Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2014.

Surat Edaran Kepala Dishidros Mabes TNI-AL No. SE/1241/IV/2012 tanggal 10 April 2012 tentang Data Wilayah Negara Kesatuan Negara Indonesia.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa

1958 Mengenai Hukum Laut

United Nations Convention on Law of the Sea 1982.