coal ii genesa batubara
DESCRIPTION
pdfTRANSCRIPT
supandi.ver 1-2011 | 1
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
BAB 2 GENESA BATUBARA
1. Pembentukan Batubara
Ada dua hal penting yang harus diketahui untuk memahami proses pembentukan
endapan batubara yaitu:
a) Lingkungan pengendapan yang memungkinkan proses pembentukan batubara
b) Tahapan dan proses yang berlangsung dan menyertai proses pembentukan
batubara yang dimulai penguiraian tanaman hingga menjadi endapan batubara.
Berikut ini akan dibahas teori yang mendukung proses pembentukan batubara
berdasar teori tumpukan lempeng.
2.1 Tumbukan Lempeng (Kerak Bumi) dan Kaitannya dengan Pembentukan
Cekungan Pengendapan Batubara di Indonesia
Bumi merupakan suatu lapisan padat yaitu kerak atau lempeng bumi yang
menyelimuti sebuah benda cair panas. Suatu massa panas yang selalu bergejolak, dan
adanya rotasi bumi menghasilkan energi yang luar biasa. Pengaruh energi ini dirasakan
sampai ke kerak bumi bagian atas. Hal ini ditandai dengan munculnya pergerakan,
pergeseran, tumbukan dan pemekaran kerak (lempeng) samudra.
Di Indonesia terdapat beberapa lokasi tumbukan lempeng yaitu di sebelah barat,
dan selatan Indonesia, serta di Indonesia bagian timur. Salah satu tumbukan lempeng
yang terkenal adalah tumbukan antara Lempeng Benua Asia dari utara dan Lempeng
Samudra Hindia yang bergerak dari selatan mendesak ke utara.
Akibat tumbukan itu menghasilkan suatu morfologi yang khas, yaitu palung
(jurang laut yang sempit dan dalam), punggungan (melange) akibat sesar naik,
cekungan-cekungan, dan jajaran gunung-gunung api atau jalur batuan beku. Munculnya
cekungan-cekungan dari model morfologi yang terbentuk akibat tumbukan ini, sangat
terkait erat dengan proses pembentukan batubara. Cekungan-cekungan ini
dikelompokkan menjadi cekungan busur muka, cekungan antar pegunungan dan
cekungan busur belakang.
supandi.ver 1-2011 | 2
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
Gambar 2.1Batas Lempeng Tektonik
Cekungan antar pegunungan jarang terjadi, namun apabila ada sesar mendatar
yang sangat besar, seperti yang membelah Pulau Sumatra hingga bagian barat Myanmar
dapat menghasilkan cekungan antar pegunungan. Batubara di Ombilin adalah contoh
endapan batubara yang terbentuk di cekungan antar pegunungan
Endapan batubara daerah Jawa terbatas pada daerah tepian cekungan busur
muka. Oleh karena tidak dijumpai sesar mendatar yang cukup besar di Jawa, maka
cekungan antar gunung yang mengandung batubara tidak berkembang. Sampai saat ini
di Jawa belum ada penemuan batubara yang berarti di daerah cekungan busur belakang.
Cekungan busur belakang membentang mulai pesisir timur Pulau Sumatra dan
utara Pulau Jawa hingga Pulau Kalimantan. Gambut dan batubara dengan endapan yang
besar banyak ditemukan di cekungan ini. Batubara di Bukit Asam terjadi di cekungan
busur belakang, demikian pula gambut batubara di seluruh Kalimantan terbentuk di
cekungan busur belakang.
supandi.ver 1-2011 | 3
CEKUNGAN ANTARCEKUNGAN MINYAK GUNUNGSUMATRA TENGAHCEKUNGAN BUSUR MUKAMENGANDUNG MINYAKMENGANDUNG MINYAK BUMI DANMENGANDUNG MINYAK BUMI DANBUMI DAN BATUBARABATUBARA BATUBARA15.000
JALUR VULKANOAKTIFPEGUNUNGAN BARISAN TIMUR10
5
0MUKA LAUT
CEKUNGAN MENTAWAI-5
-10
PETA INDEKS-15.000
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
Cekungan Busur Belakang
Jalur Gunung Api
Cekungan Busur Muka
Punggungan Kerak Bagian Dalam
Terangkat
Palung
Kerak Benua
Kerak Samudra Hindia
Meleleh
Gambar 2.2Model Tektonik Indonesia Bagian Barat
Gambar 2.3Penampang Barat Daya-Timur Laut Memotong Sumatra Bagian
Tengah
supandi.ver 1-2011 | 4
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
PEMBATUBARAAN - COALIFICATION
Secara umum telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan yang karena proses-
proses geologi, maka terbentuklah endapan batubara yang kita lihat sekarang.
Pembentukan tumbuhan mati menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu
tahap diagenesa gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification).
1. Tahap biokimia/diagenesa gambut (peatification)
Tahap diagenesa gambut merupakan tahap awal pembentukan batubara, yaitu
mencakup perubahan oleh mikroba dan proses kimia. Dimulai dari pembusukan
tumbuhan sampai terbentuk gambut (peat). Pada tahap ini dicirikan oleh aktivitas bakteri
aerob (membutuhkan oksigen) dan anaerob (tidak membutuhkan oksigen).
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang
secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zone, yaitu zone permukaan yang umumnya
perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zone tengah sampai kedalaman 0,5
m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada zone peatigenic
terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan
menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan yang material
utamanya adalah cellulose. Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa.
Cellulose akan diubah menjadi glikose dengan cara hidrolisis:
H2O c C6H12O6
Tahap Metamorfosa
BATUBARALigniteSub-bituminus Bituminous
supandi.ver 1-2011 | 5
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
C6H10O5 +(cellulose)
Materi Asal (Tumbuhan)
(glikose)
Tahap Diagenesa
Berkurang Bertambah
H2O %VM % (daf) H % (daf) O % (daf)
C % (daf)Nilai Kalori (CV)
Gambar 1.5Tahapan Pembentukan Batubara
Rawa Gambut Dibedakan atas
macamlingkungan
Proses Penggambutan: Pengrusakan / penguraian oleh mikroba Pembentukan humin (bentuk jelly) Penurunan
Sedimen Organik (gambut)
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada
supandi.ver 1-2011 | 6
lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 c 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid
dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin
umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya
kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa
tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang
sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi
tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses
pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan
berkurang (mati) dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana
kehidupan bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama
kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan
mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan mengubahnya menjadi produk
bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka
hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai
pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic
layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon
mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena
pada lapisan tersebut kaya substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan
humicellulose yang diubah secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan proses
penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi dimana bakteri
supandi.ver 1-2011 | 7
beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan berikut ini:
1. Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
2. Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan
untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
3. Suplai oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
4. Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984) menyebutkan bahwa
pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka
potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri dan
penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses penggambutan berjalan
atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam kaitannya dengan ketersediaan
oksigen (Tabel 3.1), dimana salah satu dari empat proses biokimia di bawah ini akan
terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1. Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration),
menghasilkan zat terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan
sisa yang tidak padat. Beberapa unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe
ubahan ini, misal resin dan lilin.
2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi
humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air
lembab. Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan
yang terakmulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan
yang reduksi dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi
hancur, kemudian terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan
menghasilkan humic coal.
4. Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian hancuran tanaman akuatik (terutama
algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang
supandi.ver 1-2011 | 8
adalah batubara sapropelik.
Secara umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis (Diessel, 1992),
yaitu:
1. Vitrinisasi (vitrinisation path)
Hasil humifikasi pada dekomposisi hidrolik terhadap tumbuhan yang telah mati
akan mengalami suatu deret kestabilan dari kandungan sel-sel yang lunak menjadi
celulose, hemicelulose, dan beberapa komponen yang lebih tahan seperti lignin
(Waksman dan Stevens, 1929). Fluida humik akan berubah sepanjang tahapan
humifikasi. Kompaksi dan dehidrasi gambut akibat penambahan beban oleh lapisan
penutup mengakibatkan fluida humik mengental. Dalam batubara muda fluida
humik muncul sebagai humocollinit (jika berupa koloid) dan humodetrinit (jika
bercampur dengan fragmen-fragmen sisa sel). Koloid humik dapat mengisi ruang-
ruang sel jaringan tumbuhan dan setelah pembatubaraan pada tingkat batubara
bitumen akan muncul sebagai gelocollinit. Setelah presipitasi, koloid humik dapat
berupa granular (sebagai porigelinit) dan kemudian lumer (gelify) berbentuk larutan
atau zat yang jernih (sebagai eugellinit).
2. Fusinitisasi (fusinitisation path)
a. Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang
mempunyai kandungan karbon tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan
tumbuhan ini sebelum sedimentasi berakhir telah mengalami dehidrasi pada
suatu periode kering dan oksidasi yang intensif (fusinitisasi). Ada tiga model
proses fusinitisasi, yaitu:
b. Pengawetan akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid
humik yang kemudian terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan
melanjutkan hidrolisa. Hasilnya disebut oxi-semifusinite yang memperlihatkan
efek humifikasi akibat mikroba dengan baik.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
c. semifusi sebag akib dekomposi selekt ol
supandi.ver 1-2011 | 9
organisme terhadap jaringan kayu, terutama jaringan yang lunak (degrado
semifusinit).
d. Akibat pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka
akan menyebabkan perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan
dengan berbedanya kedalaman.
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1. Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat sellulose (pada brown coal
cellulose tidak hadir).
5. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan
brown coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.
2. Tahap geokimia/pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai
tahap fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi
batubara secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi
anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur
dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan
sedimen, maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan
meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah
akan mengakibatkan peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal.
supandi.ver 1-2011 |
temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik
lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi
gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan
gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta
peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor
yang menentukan “kualitas” batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu
seri menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta
hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan
reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.
Perubahan-perubahan fisika-kimia berlangsung secara bertahap, yaitu:
1. Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai
membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit
CO2 membentuk C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada
ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
2. Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah
dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%,
hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
3. Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai
tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada
tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom
oksigen tertinggal di molekul.
4. Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen
menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan
empat adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
5. Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap
dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
1. Gambut = 28 - 45%
2. Lignite = 17 - 28%
3. Bituminous coal = 10 - 17%
4. Anthracite = 5 - 10%
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Meningkatnya tekanan dapat disebabkan oleh penambahan ketebalan lapisan penutup
(lapisan sedimen di atasnya) atau penurunan post-depositional. Akibat tekanan yang
tinggi, maka porositas pada gambut akan menurun dan sejalan dengan
terdekomposisinya senyawa OH grup akan mengakibatkan menurunnya kandungan air.
Di samping itu, grup senyawa yang lain (COOH, CH3, CO) akan terpecah, sehingga
terbentuk karbondioksida dan makin meningkatnya oksigen yang hilang, maka
kandungan karbon akan meningkat.
Derajat batubara tergantung pada temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan
beku, gradien geotermal, dan konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier
di Upper Rhein Graben dengan gradien hidrotermal 7-80C/100 m, menghasilkan
batubara bituminous pada kedalaman 1500 m, sedangkan di daerah dingin yang gradien
hidrotermalnya 40C/100m dapat mencapai derajat yang sama pada kedalaman 2600m.
Faktor waktu menurut hasil penelitian pada gambut lepas setebal 10-12 ft akan
menghasilkan 1 ft gambut padat memmerlukan waktu sekitar 100 tahun. Dalam proses
dari gambut menjadi batubara terjadi pemampatan dan jika diambil contoh kayu sebagai
basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume dalam %
adalah:
Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut
termampatkan adalah 100 tahun, maka dengan menggunakan persentasi di atas dapat
diasumsikan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut hingga diperoleh
ketebalan batubara 1 ft, yaitu:
1. Lignite = 160 tahun
2. Bituminous = 260 tahun
3. Anthracite = 490 tahun
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Angka-angka di atas hanya untuk menggambarkan bahwa laju akumulasi gambut dan
batubara sedemikian lambatnya, sementara kondisi di alam demikian banyak faktor yang
mempengaruhinya.
Pengaruh waktu akan berarti bila diikuti temperatur yang tinggi, seperti contoh
berikut ini. Di Gulf Coast of Louisiana yang mengandung batubara Miosen Akhir,
terbenam pada kedalaman 5440 m selama 17 juta tahun dengan temperatur 1400C
menghasilkan high volatile bituminous (35-40% VM), sedangkan pada batubara Karbon
dengan kedalaman yang sama selama 270 juta tahun hanya mencapai low volatile
bituminous (14-16% VM). Contoh lain yang terkenal adalah lignit di Moscow Basin
yang berumur Karbon Bawah, tetapi sampai sekarang tidak pernah menjadi batubara,
karena temperaturnya tidak tercapai.
Selanjutnya, tercapainya derajat batubara juga dapat tergantung pada gabungan
temperatur dan waktu. Sebagai contoh, pada batubara dengan kandungan zat terbang
19% dapat terbentuk pada kondisi:
1. 2000C selama lebih dari 10 juta tahun
2. 1500C selama lebih dari 50 juta tahun
3. 1000C selama lebih dari 200 juta tahun
4. 50-600C tidak pernah terbentuk batubara
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada prinsipnya derajat batubara ditentukan
oleh faktor temperatur, tekanan, dan waktu, sehingga bisa disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mengendalikan adalah:
1. Derajat batubara sebelum terganggu kegiatan intrusi atau struktur geologi.
2. Ukuran dan bentuk kegiatan intrusi atau struktur geologi.
3. Jumlah dan asal tekanan.
4. Jarak batubara dari gangguan.
5. Suhu batubara dari gangguan
6. Lama gangguan berlangsung.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
2.2 Proses dan Tahapan Pembentukan Batubara
Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan. Berikut ini penjelasan tentang syarat
pembentukan dan tahapan terjadinya batubara.
2.2.1 Syarat-Syarat Pembentukan Batubara :
Syarat minimal terbentuknya endapan batubara adalah sebagai berikut :
a) Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
b) Morfologi tempat pengendapan yang sesuai yaitu: kondisi rawa yang ideal untuk
perkembangan organisme anaerob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
c) Penurunan dasar cekungan/rawa pada saat pengendapan :
(i) Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan sedimentasi
bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan dasar rawa.
(ii) Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro organisme
dalam lingkungan bebas oksigen).
d) Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter):
(i) Proses-proses geotektonik
(ii) Terjadi fase biokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh proses-
proses alam yang terjadi di dalam bumi.
supandi.ver 1-2011 |
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
Gambar 2.4Proses Pembentukan Batubara
2.2.2 Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara
Tahapan dan proses pembentukan batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian
yaitu tahap pertama: tahap(fase) diagenesa yaitu proses perusakan dan penguraian
oleh organisme. Proses ini sering disebut sebagai tahap(fase) biokimia. Tahap kedua
adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Proses ini
sering disebut sebagai tahap geokimia. Proses terjadinya endapan batubara secara
detil dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Tahap/fase Diagenesa (Biokimia)
Ekosistem rawa berbeda bila dibandingkan dengan ekosistem sungai dan
danau, sehingga berbeda pula kondisi air dan tanahnya. Sirkulasi air pada
lingkungan rawa sangat minimum bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama
sekali. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen di lingkungan
rawa. Dalam lingkungan tersebut, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati
tidak bisa membusuk secara wajar, karena untuk proses pembusukan diperlukan
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
oksigen, bakteri-bakteri aerob (suka oksigen). Pada akhirnya yang
supandi.ver 1-2011 |
adalah bakteri-bakteri jenis anaerob.
Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos
(busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian
ini terjadi di lingkungan yang bebas atau minim oksigen. Lingkungan rawa yang
selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi
air yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri anaerob
sehingga dapat berkembang biak dan aktif mengurai tanaman menjadi gel.
Tahap selanjutnya gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk
sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan
kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-
bahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).
b) Fase Metamorfosa (Geokimia)
Pada fase ini terjadi perubahan yang mendasar terhadap sifat-sifat fisik
dan kimiawi dari bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini
ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air, hidrogen, oksigen, karbon
dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Pada tahap
ini bakteri tidak lagi berperan, namun yang berperan adalah perubahan-
perubahan dan aktifitas-aktifitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya
perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.
Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus
menurun, ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan
meter. Hal ini mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang
cukup tinggi hingga sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll)
akan berkurang dan hilang. Akibat berkurangnya kandungan zat-zat tersebut
akan menambah kandungan C dalam batubara, sehingga tahap pembatubaraan
(coalifikasi) menjadi semakin baik, yang ditandai dengan kenaikan kelas (rank)
batubara. Berdasarkan unsur C inilah nilai kalori batubara dihitung. Semakin
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
tinggi prosentase unsur C dalam batubara, maka nilai kalori menjadi
supandi.ver 1-2011 |
tinggi.
Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi
magma atau larutan hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena
intrusi hingga radius tertentu akan mendapat tekanan (P) dan temperatur (T) yang
lebih tinggi dibandingkan gambut dan batubara di tempat lain sehingga kelas
batubaranya akan naik.
2. Tempat Terbentuknya Batubara
Berdasarkan tempat terjadinya, maka pembentukan batubara dapat dibagi menjadi
batubara yang terbentuk secara in-situ dan batubara yang bahan pembentuknya sudah
mengalami transportasi (drift) atau disebut juga dengan autochthonous coals dan
allochthonous coals (Hacquebard & Donaldson, 1969 dalam Roy D. Merrit, 1986).
a) Teori Insitu (Autochonous Coals)
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuk
di tempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Setelah tumbuhan tersebut mati dan belum
mengalami proses transportasi namun segera tertutup oleh lapisan sedimen sehingga
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk melalui proses ini
mempunyai penyebaran luas dan merata, dengan kualitas lebih baik karena memiliki
kadar abu relatif kecil.
Autochthonous coals
Batubara yang bahan-bahan pembentuknya berasal dari tumbuhan yang tumbang di
tempat tumbuhnya dan membentuk batubara di tempat itu juga.
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadirnya seat earths.
2. Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3. Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
4 Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan
supandi.ver 1-2011 |
maupun lapisan antar seam.
5. Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan drainase buruk.
6. Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan batubara.
7. Ketebalannya seragam (kurang bervariasi) cenderung tipis dan berbentuk lentikuler.
8. Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9. Kandungan karbonan berangsur pada kontak antara batubara dengan lapisan
sedimen di atasnya (roof).
10. Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps, low-lying swamps, dan raised
swamps.
11. Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain, clarain, durain, dan
fusain.
b) Teori Drift (Allochthonous Coals)
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi di
tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang.
Tumbuhan yang telah mati terangkut oleh media air dan terakumulasi di suatu tempat,
tertutup oleh batuan sedimen, dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang
terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, dan mengandung material
pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman
ke lokasi sedimentasi.
Allochthonous coals
Batubara yang bahan pembentuknya (bagian-bagian dari tumbuhan) berasal dari tempat
lain dimana tumbuhan asal berada, kemudian tertransport, terendapkan, dan membentuk
batubara.
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya seat earths.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
2 Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok pohon yang tegak
supandi.ver 1-2011 |
bidang perlapisan.
3. Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4. Berasosiasi dengan endapan delta.
5. Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara dengan lapisan sedimen di atasnya.
6. Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
7. Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan penutup.
8. Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
9. Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.
10. Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites dan inertinites dengan mineral
matter yang melimpah.
supandi.ver 1-2011 |
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
A. In-situ (autochthonous)
Rawa gambut
Penurunan dasar rawa
Sedimentasi bahan organis (biokimia- biotektonik)
Proses-proses geotektonik dan geokimia menghasilkan batubara
Coal
B. Drift (allochthonous)
Sedimentasi dan Kompaksi
Transportasi oleh aliran air
Batubara tersingkap, lapuk, pecah-pecah
Gambar 2.6Terjadinya Batubara Insitu Dan Drift
Schlatter’s (1973) menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan proses
yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi, karena ada bermacam-macam
proses yang berbeda satu dengan lainnya yang mempengaruhi pembentukan batubara,
baik derajat maupun jenis batubaranya pada suatu cekungan (Gb. 3.1).
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Proses pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks, sehingga perlu
dipelajari dari berbagai aspek. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan
batubara yaitu :
a) Posisi Geotektonik
Posisi geoteknik adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-
gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geoteknik
merupakan faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokal dan
morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya.
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum,
dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim,
morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan, jenis
flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal type), derajat
batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk (Gambar 3.2).
Pada daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama
pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi
dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida,
klorit, dan karbonat.
Cekungan batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik (lihat
kuliah cekungan batubara). Batubara di Sumatera Selatan terjadi di cekungan belakang
busur pada lingkungan yang sebagian besar berair payau, sedangkan batubara Ombilin
terjadi di cekungan intra-montane pada lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu
terjadi cekungan muka busur di lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur pada
delta yang progradasi, seperti di Delta Mahakam.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
b) Topografi Dan Morfologi
Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam menentukan penyebaran
rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai datar dan tidak berbukit
merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan batubara, demikian juga di daerah
cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan
mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan
permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.
Morfologi cekungan pada saat pembentukan gambut merupakan faktor sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk.
Topografi mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung
pada posisi geoteknik.
c) Iklim
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan dipengaruhi
oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah beriklim tropik dan
subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan
dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu, suhu yang lebih panas tidak hanya
mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga mempercepat pembusukan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus
pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di
iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai
ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi
oleh lumut, sedangkan daerah tropik didominasi pohon.
Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis
dan basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara
yang terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara
Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris, Glossopteris,
Cycadophyta, dan Conifers.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal
dan cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit
batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu
iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan
yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering
dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin
dibanding suhu sekarang.
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan tanaman dan kondisi yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi geotektonik.
Temperatur yang lembab pada iklim tropis dan sub tropis pada umumnya sesuai untuk
pertumbuhan tanaman dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Hasil penelitian
menyatakan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7–9 tahun
dengan ketinggian pohon sekitar 30 m. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin
ketinggian pohon hanya mencapai 5–6 m dalam selang waktu yang lama.
d) Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam
tumbuhan. Umur geologi batuan secara tidak langsung menentukan sejarah pengendapan
batubara. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga
terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Batubara mempunyai umur geologi lebih tua
sering mengalami fenomena deformasi tektonik yang akan membentuk struktur
perlipatan atau patahan pada lapisan batubara.
e) Tumbuhan
Tanaman merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari
kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Tumbuhan
merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan
hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin
kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak memiliki
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient bagi
supandi.ver 1-2011 |
penyebab pembusukan.
Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap
perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam,
cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak,
dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan,
sehingga kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam
perubahan bentuk tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan
merupakan bahan dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin
juga dihasilkan oleh tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan
oksigen dan belerang dalam jumlah kecil. Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan
kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan
tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di
daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan
tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen.
Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan
yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.
f) Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang merupakan bagian
transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka yang
berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh kerja
bakteri dan jamur, terutama di daerah yang bertemperatur hangat dan lembab daripada di
daerah kering dan bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen,
mula-mula menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose,
protoplasma, dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air
dan sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka relatif unsur karbon
supandi.ver 1-2011 |
bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi gambut.
Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan
dan proses pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka
akan terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah
mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan
berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga menyulitkan
penguraian oleh bakteri.
Pembusukan umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu
berganti, yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan
berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.
g) Penurunan dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Apabila
penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal.
Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan
pengendapannya. Hal ini menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral sehingga
mempengaruhi kualitas dari batubara yang terbentuk.
Jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan
endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi
pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi
material dan mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan
mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga
kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya
permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
Posisi geografi (geographical position)
Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik
dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah sedang, di daerah
kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara akan baik pada
rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut
dipengaruhi oleh:
1. Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga
endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
2. Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa
dari abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir
sungai dan abrasi laut.
3. Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus
akan menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan
daratan (limnic) dan pantai laut (paralic). Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut
memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun, sehingga
endapan organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi demikian
tergantung posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi
pantai dimana air laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa
dekat pantai. Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
Lapisan batubara yang tebal mempunyai nilai ekonomi tinggi. Salah satu syarat
pembentukan lapisan batubara yang tebal adalah dasar suatu cekungan yang turun secara
perlahan-lahan karena adanya beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di
atasnya.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
h) Struktur Cekungan Batubara
Pada umumnya terbentuknya batubara pada suatu cekungan akan mengalami
deformasi gaya tektonik, sehingga menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk
tertentu. Adanya proses erosi yang intensif dapat menyebabkan bentuk lapisan batubara
tidak menerus.
Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa di daerah tepi pantai. Dasar
cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara
memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil. Apabila terjadi
proses geologi yang menyebabkan dasar cekungan turun secara cepat, maka air laut akan
masuk ke dalam cekungan sehingga mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.
Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut
yaitu batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan
batulempung yang memungkinkan terbentuknya kembali kondisi rawa. Proses
selanjutnya adalah akumulasi bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas
lapisan batulempung. Demikian seterusnya sehingga akan terbentuk lapisan batubara
berseling antara lapisan batulempung dan batugamping.
i) Waktu geologi (Geological Age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman
Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut
perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur
endapan batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal
oleh endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada
batubara yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh
erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan
tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi.
Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai
peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di
Suban, Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.
j) Sejarah setelah pengendapan (Post-Depositional History)
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik
sehingga mempengaruhi perkembangan batubara. Secara singkat akan terjadi proses
geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut. Sejarah geologi
endapan batubara memegang peranan terhadap terbentuknya struktur cekungan batubara
berupa perlipatan, pensesaran, intrusi magmatik dan sebagainya.
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena posisi
geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh pada
tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan
metamorfose organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara,
lipatan, sesar, atau terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap
aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara.
k) Metamorfosa organik (Organic Metamorphism)
Setelah tahap biokimia, tahap kedua dalam pembentukan batubara adalah
penimbunan oleh sedimen baru. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air
lembab, oksigen, zat terbang, penambahan prosentase karbon padat, belerang dan
kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkan oleh faktor tekanan dan waktu.
Adanya tekanan dapat disebabkan oleh adanya lapisan sedimen penutup yang sangat
tebal atau karena gejala tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan
percepatan proses metamorfosa organik. Proses metamorfosa organik dapat mengubah
gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia dan fisik.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang
susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi
menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses
geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia,
kenaikan suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan
oksigen yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin
meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang
menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara
tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan
cekungan, dan waktu geologi.
2.1 Reaksi Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama cellulosa.
Proses pembentukan batubara (coalification) yang dibantu oleh faktor fisika dan kimia
alam mengubah cellulosa menjadi lignit, subbituminus, bituminus dan antrasit. Reaksi
pembentukan batubara adalah sebagai berikut :
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
cellulosa lignit gas metan
6(C6H10O5) C22H20O3 + 5CH4 + 10H2O + 8CO2 + CO
cellulosa bituminus gas metan
Batulempung
Batubara
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Keterangan :
Cellulosa (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara
Unsur C dalam lignit lebih sedikit dibanding bituminus
Semakin banyak unsur C semakin baik mutu batubaranya
Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bituminus.
Semakin banyak unsur H dalam lignit makin kurang baik mutunya
Senyawa CH4 (gas metan) dalam lignit lebih sedikit dibanding dalam bituminus
Semakin banyak kandungan CH4 semakin baik kualitas batubaranya
3. Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara. Beberapa bentuk lapisan
batubara yaitu :
(a) Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan material penutup melengkung ke
arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan lapisan batubara kearah lateral mempunyai
kemungkinan sama atau dapat menjadi lebih kecil atau menipis.
Gambar 1.7Endapan Batubara Bentuk Horse Back
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
(b) Bentuk
supandi.ver 1-2011 |
Batulempung
Batupasir
Batubara
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis misalnya
batulempung. Sedangkan di atas lapisan batubara secara setempat umumnya ditutupi
oleh batupasir.
Gambar 1.8Endapan Batubara bentuk Pinch
(c) Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian endapan batubara terdapat urat
lempung. Bentuk ini terjadi apabila lapisan batubara mengalami gejala patahan. Pada
bidang patahan yang merekah akan terisi oleh material lempung ataupun pasir.
supandi.ver 1-2011 |
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
P andangan D epan
U rat L em pungB atubara
P andangan A tas
B atubara
U rat L em pung
Gambar 1.9Endapan Batubara Bentuk Clay Vein
(d) Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah pembentukan lapisan batubara terdapat suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”.
Gambar 1.10Endapan Batubara Bentuk Burried Hill
(e) Bentuk Fault
Bentuk ini terjadi apabila lapisan batubara mengalami patahan. Keadaan ini dapat
menyulitkan di dalam pekerjaan penaksiran sumberdaya atau cadangan batubara.
Kesulitan penaksiran tersebut disebabkan oleh adanya pergeseran perlapisan akibat
pergerakan ke arah vertikal.
supandi.ver 1-2011 |
Batupasir
Batulempung
Batubara
BATUBARA – GENESA BATUBARASTTNAS
Yogyakarta
Gambar 1.11Endapan Batubara Bentuk Fault
(f) Bentuk Fold
Bentuk ini terjadi apabila di daerah pembentukan lapisan batubara mengalami
perlipatan. Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan menyebabkan makin
komplek struktur batubara.
Gambar 1.12 Endapan Batubara Bentuk Fold
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
4. Pengaruh Sulfur Dalam Batubara
Sulfur di dalam batubara terdiri dari dua jenis yaitu sulfur organik dan sulfur
anorganik. Sulfur organik biasanya ada dalam batubara seiring dengan pembentukan
batubara dan berasal dari tumbuhan pembentuk batubara tersebut. Sulfur organik juga
berasal dari luar tumbuhan yang dikarenakan suatu reaksi kimia yang terjadi pada saat
peatifikasi dan coalifikasi pada saat perubahan diagenetik dan perubahan kimia.
Sedangkan anorganik sulfur berasal dari lingkungan dimana batubara tersebut
terbentuk, atau dari mineral yang berada di sekeliling batubara atau bahkan yang
berada dalam seam batubara yang membentuk parting, spliting, band dan lain-lain.
Sulfur anorganik dibagi menjadi dua jenis yaitu pyritic sulfur dan sulfat sulfur.
Dalam analisis di laboratorium sulfur-sulfur ini ditentukan dengan parameter yang
disebut form of sulfur. Dimana laporannya terdiri dari pyritic sulfur, sulfat sulfur dan
organik sulfur. Yang ditentukan di laboratorium dengan tes hanya pyritic sulfur dan
sulfat sulfur sedangkan organik sulfur merupakan hasil kalkulasi selisih antara total
sulfur dan jumlah dari pyritic dan sulfat sulfur.
Form of sulfur biasa digunakan untuk memprediksi secara awal apakah sulfur
dari batubara tersebut dapat dikurangi dengan cara separasi media atau washibility
density. Organik sulfur secara teoritis tidak dapat dipisahkan dari batubara dengan
metode separasi yang menggunakan dens minimum plan atau washing karena sulfur
tersebut terikat secara organik dalam molekul batubara.
Sedangkan anorganik sulfur dapat dikurangi atau dihilangkan dengan cara
separasi media karena termasuk ke dalam mineral matter yang memiliki density lebih
tinggi dibanding batubara. Selain itu pyritic sulfur juga digunakan sebagai bahan acuan
dalam memprediksi kecenderungan batubara tersebut untuk terbakar secara spotan
pada waktu penyimpanan di stockpile. Karena pyritic sulfur dapat mengkatalisasi
terjadinya self heating pada batubara yaitu dengan reaksi oksidasi yang menghasilkan
panas. Selain itu dari reaksi tersebut dapat menyebabkan desintegrasi partikel batubara
sehingga menambah luas permukaan batubara yang juga dapat menambah
kecenderungan batubara tersebut untuk teroksidasi yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya pembakaran spontan.
BATUBARA – GENESA STTNASYogyakar
supandi.ver 1-2011 |
Hidrogen disulfida atau FeS2 di dalam batubara terdiri dari dua tipe yaitu cubic
yellow pyrit dan rombic marcasite. Dan marcasite inilah yang disinyalir lebih reaktif
terhadap oksigen dibanding pyrit.
Dalam utilisasi di industri, sulfur yang tinggi sangat tidak diharapkan karena
dapat menimbulkan emisi SO2 yang konsentrasinya tidak boleh tinggi karena dapat
menyebabkan hujan asam. Batas SO2 yang diijinkan tergantung dari negara dimana
industri tersebut berada, karena peraturan masing-masing berbeda. Selain itu SO2 juga
termasuk corrosive constituent bersama chlorine yang dapat merusak metal dalam boiler.