chapter ii(20)

33
BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU 2.1 Konsep Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku Bonai, tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori. Adapun penjabarannya adalah seperti berikut ini. 2.1.1 Pengertian Mantera Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang mengandung unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo, dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana mantera itu wujud. Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga dianggap berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media Universitas Sumatera Utara

Upload: riau82

Post on 24-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kiers

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II(20)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU

2.1 Konsep

Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku Bonai,

tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori. Adapun penjabarannya adalah

seperti berikut ini.

2.1.1 Pengertian Mantera

Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera ialah

semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang mengandung

unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo, dengan tujuan kebaikan

atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk

memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi

menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat erat hubungannya dengan

kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana mantera itu wujud.

Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga dianggap

berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II(20)

komunikasi yang berbeda. Ketika nenek moyang mengekspresikan artikulasi pesan

Tuhan dalam formula lisan, pesan itu menjadi tuturan. Mantera kemudian menjadi sarana

komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk supranatural, dan

juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari kuasa tersembunyi.

Mengucapkan mantera atau formula dari leluhur akan dapat membangkitkan kekuatan

spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang dulu. (Kang, 2005:69)

Dalam istilah Goffman (1979), mantera meliputi tiga tingkatan penutur: Tuhan

sebagai penutur tertinggi mantera, leluhur sebagai penulis (author), dan pelaku sekarang

sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantera-mantera tetap efektif karena kata-

kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-ulang kata-kata

itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang sama seperti ketika

digunakan oleh para leluhur. Dengan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh

para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks masa kini.

2.1.2 Pengertian Ritual

Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang

berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara etimologis

ritual merupakan ikatan kepercayaan antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai

bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam

masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual

yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong

masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II(20)

bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi

seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan.

Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat diklasifikasikan

menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan

dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika

dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis

karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai

negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan

bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut

antara lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan

memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau

kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana

pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual

akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa ritual

merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna, memiliki

suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai fenomena budaya.

Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda dalam praktek dan

penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan agama, keduanya

sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktek di kehidupan

masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.

2.1.3 Masyarakat Suku Bonai Riau

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II(20)

Masyarakat suku Bonai merupakan salah masyarakat suku asli yang terdapat di

Provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai ini berdomisili di kawasan sepanjang sungai

Rokan yang menghubungkan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan

Kabupaten Rokan Hilir. Di dua Kabupaten inilah masyarakat suku Bonai tinggal dan

menetap. Namun demikian, jumlah masyarakat suku Bonai yang mendiami Kabupaten

Rokan Hulu lebih mayoritas dibandingkan dengan masyarakat Bonai yang mendiami

Kabupaten Rokan Hilir.

Berdasarkan informasi dari wawancara dengan salah seorang masyarakat suku

Bonai, asal usul nama suku Bonai berasal dari kata Manai. Manai dalam bahasa Bonai

berarti pemalas, kata Manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai. Bonai merupakan

sebuah pohon yang tingginya tidak lebih dari empat meter, berdaun kecil-kecil, buahnya

bulat-bulat berwarna kemerahan dan bila telah masak berwarna hitam serta rasanya agak

sedikit asam. Buah bonai ini merupakan bahan baku dalam membuat masakan ikan,

dimasak dengan air secukupnya dan dijadikan kuah ikan dengan rasa kuah yang asam

(sumber: Rasyid, 2012).

Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang teguh

tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk agama Islam,

masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya aturan hukum adat,

budaya, dan tradisi, demi mempertahankan identitas sosial mereka. Masyarakat suku

Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan tradisinya dengan cara menyatukan dan

membawa budaya dan tradisi dalam kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam.

Menurut mereka dengan memadukan keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa

meninggalkan agama yang telah dianut.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II(20)

2.1.4 Pengertian Tradisi Lisan

Menurut Pudentia (2008) bentuk tradisi lisan tidak hanya berupa cerita, mitos,

dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan

kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan

dan religi serta berbagai hasil seni.

Pandangan Dick van der Meij (2011) bahwa tradisi lisan mencakup semua

kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara

tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang

lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.

Membicarakan suatu tradisi lisan adalah membicaraan tradisi dalam arti

serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi

berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat

tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah

mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar

dibatasi batas waktunya.

Menurut Endaswara (2008:151) (dalam Yunita 2011), mengatakan tradisi lisan

adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun.

Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni:

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.

2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa

penciptanya.

3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II(20)

4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.

5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.

6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.

Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang

apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga

adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan

juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.

2.1.5 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha

manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap

terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di

atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang

dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil

penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah

wisdom sering diartikan sebagai kearifan.

Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai

yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di

dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau

manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut

setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun

hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang

sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II(20)

akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka

(http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf,

diunduh 2 Maret 2012).

Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang muncul

dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya

dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu

panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber

energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara

dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan

tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan

masyarakat penuh keadaban.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi

kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita,

kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan,

dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya

tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.

Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam

kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat

tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati

melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan dalam

http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf, diunduh

pada tanggal 21 November 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II(20)

Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan

pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya

masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah laku atau pikiran-

pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan keinginan dan budaya

mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran, kearifan lokal juga merupakan

suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan bagaimana sistem kehidupan suatu

masyarakat dalam menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan sekitar yang

merupakan urat nadi kehidupan mereka.

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat

maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa

lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal

tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Menurut Sibarani (2012), nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal

tersebut, antara lain:

1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin

kerja),

2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama),

3. Kerukunan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya),

4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum

adat),

5. Kesehatan (penjagaan hidup baik secara pribadi maupun masyarakat),

6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal),

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II(20)

7. Penjagaan lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai

kehidupan),

8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan

budaya),

9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya),

10. Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat),

11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus

dipatuhi).

Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal

merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas

daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang

terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan

berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan

untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti

penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan

budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.

Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan

demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang,

yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.

2.2 Tinjauan Teoretis

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II(20)

Tinjauan teoretis merupakan konsep dan kerangka teori apa yang digunakan

peneliti dalam penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan dua kerangka teori, yaitu

kerangka teori etnografis dan kerangka teori linguistik yang lebih khususnya teori

semiotik sosial. Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kerangka teori etnografi Koentjaraningrat, kemudian konsep teori semiotik yang

digunakan adalah konsep teori semiotik sosial. Adapun dua kerangka teori tersebut

adalah:

2.2.1 Kerangka Teori Etnografi

Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

etnografi Koentjaraningrat. Etnografi menurut Koentjaraningrat (1998:1) adalah suatu

deskripsi dan analisa tentang suatu masyarakat didasarkan pada penelitian lapangan

sebagai data dalam penelitian. Etnografi menyajikan data-data yang bersifat hakiki untuk

semua penelitian antropologi budaya.

Menurut Koenjtaraningrat (1998:6), dalam melakukan penelitian mengenai

kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka teori etnografi, akan

terdiri dari beberapa bagian penting yang harus diteliti. Ada beberapa bagian penting

yang menjadi acuan dalam penelitian kebudayaan yang disusun menurut kerangka teori

etnografi. Bagian-bagian penting yang akan diuraikan dengan lebih mendalam pada

penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.

(1) Lokasi, lingkungan alam, dan demografi. Dalam menguraikan lokasi dan

penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri

geografinya, yaitu iklim, sifat daerahnya, suhunya dan curah hujannya. Suatu etnografi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II(20)

juga dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang

diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat mungkin juga menurut

tingkat umur dengan interval lima tahun.

(2) Asal mula dan sejarah suku bangsa. Sebuah etnografi ada baiknya juga dilengkapi

dengan keterangan mengenai asal mula dan sejarah suku bangsa yang menjadi pokok

deskripsinya. Keterangan mengenai asal mulla suku bangsa yang bersangkutan biasanya

harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan

penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan di

daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi.

(3) Bahasa. Pembahasan tentang bahasa atau sistem perlambangan manusia yang

lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Penelitian

etnografi member deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh

suku bangsa yang bersangkutan, beserta variasi-variasi dari bahasa itu.

(4) Sistem teknologi. Pembahasan tentang sistem teknologi atau cara-cara

memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa. Dalam

penelitian etnografi cukup membatasi diri terhadap teknologi tradisional, yaitu teknologi

dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi

yang berasal dari kebudayaan luar.

(5) Sistem mata pencarian. Sistem mata pencarian yang dimaksud adalah sistem

mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat

tradisional saja, terutama dalam kebudayaan suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem

tersebut adalah: (a) berburu dan meramu; (b) beternak; (c) bercocok tanam; (d)

menangkap ikan; dan (e) bercocok tanam menetap dan irigasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II(20)

(6) Organisasi sosial. Pembahasannya adalah unsur-unsur dalam organisasi sosial

kehidupan masyarakat yang diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai

macam kesatuan didalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari.

Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu

keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan

di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas.

(7) Sistem pengetahuan. Dalam etnografi biasanya ada berbagai bahan keterangan

mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Bahan

itu biasanya yang meliputi penegetahuan mengenai teknologi, pengetahuan mengenai

obat-obatan, mengenai pembangunan, mengenai kepandaian berlayar, dan pengetahuan

yang lain-lainnya.

(8) Kesenian. Pembahasannya adalah segala sesuatu yang bersifat tradisi yang

memiliki unsur seni dalam suatu suku bangsa. Seni ini bisa berupa seni pertunjukan

seperti teater, tari, musik, dan lainnya. Bisa juga seni rupa dan kerajinan, seperti lukisan,

patung atau arca, arsitektur tradisional, dan lainnya. Seni adalah ekspresi keindahan dari

seorang atau sekelompok orang yang didasari oleh kebudayaan di mana seni itu hidup.

(9) Sistem religi. Pada bagaian ini, pembahasannya adalah mengenai upacara

keagamaan suku-suku bangsa itu. Masalah asal mula dari suatu unsur yang universal

seperti agama. Sistem religi ini adalah aspek yang universal dalam kebudayaan manusia.

Inti dari sistem religi adalah kepercayaan manusia bahywa di atas dirinya ada sesuatu

yang berkuasa baik terhadap dirinya dan alam sekitar. Oleh karena itu harus diadakan

ritus-ritus kepada yang menguasai dirinya ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II(20)

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini penulis akan

menggunakan konsep teori di atas untuk mendeskripsikan paparan etnografi pada

masyarakat suku Bonai. Alasan memilih teori di atas bertujuan memperlihatkan mengapa

dan bagaimana masyarakat suku Bonai merevitalisasi dan mempergunakan tradisi mereka

di tengah perubahan sosial yang terjadi.

2.2.2 Kerangka Teori Semiotik

Ilmu semiotik adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotik atau semiotika

berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya

diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada

simtomatologi dan diagnostik inferensial.

Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai

sumber makna semiotik yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu

kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma

kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui

kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma

dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi nilai-

nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-

nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara terus menerus,

apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah,

dan negara menjadi tidak tampak.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II(20)

Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-peristiwa

kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotik karena manusia sebagai

makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi

agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya tanda itu bisa

dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari

salah pengertian.

Menurut Kress dan Van Leeuwen (1996:5) ada tiga aliran besar semiotik yang

menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain non-linguistik

sebagai sarana komunikasi di abad ini. Yang pertama adalah Aliran Praha (Prague

School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh pakar linguistik

formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk

fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik, pada kajian seni

(Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum (Bogatyrev). Setiap

sistem-sistem semiotik dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama (fungsi refensial

dan fungsi puitis).

Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an

dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer, potografi

(Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik (Frenault-

Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini pada studi

kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-

strukturalisme. Istilah-istilah semiotik “langue” dan “parole”, signifier” dan “signified”,

“arbitrary” dan “motivated”, “sign”, “icons”, “indexes”, dan “symbols”, “syntagmatics”

dan “paradigmatics”.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II(20)

Aliran ketiga dinamakan semiotik sosial (Social Semiotics) yang diperkenalkan

oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik

Fungsional (SFL). Semiotik sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold,

Thibault dan kawan-kawan, semiotik visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik

oleh van Leeuwen dan sarana semiotik oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotik sosial

adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti

dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan

lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa

sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik,

leksikogramatika, dan fonologi/ grafologi.

2.2.2.1 Semiotik Aliran Paris: Teori Peirce

Teori semiotik model Peirce disebut sebagai semiotik pragmatik karena bertolak

dari wujud luar tanda yang dapat di indera manusia (representamen) (Hoed, 2001: 87).

Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat tanda, simbol,

dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah dan teks

mantera ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak

(triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu

menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala

tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3)

bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai

(Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses pemaknaan triadic ini

yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri,

sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai mediator antara objek dan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II(20)

interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga kemungkinan itu sangat penting untuk

memahami jargon-jargon lainnya.

Dengan tiga penjelasan di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi

pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis (hubungan

antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda yang

menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau hubungan sebab

akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan

petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi ketiga adalah term (rheme),

proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1 Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce

(dalam Christomy, 2004:116)

Relasi dengan representamen

Relasi dengan objek

Relasi dengan Interpretan

Kepertamaan (firstness)

Bersifat potensial (qualisign)

Berdasarkan keserupaan (ikonis)

Terms (rheme)

Keduaan (secondness)

Bersifat keterkaitan (sinsign)

Berdasarkan penunjukkan (indeks)

Suatu pernyataan yang bisa benar bisa salah (proposisi atau dicent)

Ketigaan (thirdness)

Bersifat kesepakatan (legisign)

Berdasarkan kesepakatan (simbol)

Hubungan proposisi yang dikenal dalam bentuk logika tertentu (internal) (argument)

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh

jenis:

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II(20)

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras menunjukkan

kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau

ada sesuatu yang diinginkan.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan.

Contoh : foto, diagram, peta, dan tanda baca.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang

secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.

Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan

dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya,

dilarang mandi di sini.

4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.

Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma hukum. Misalnya,

rambu lalu lintas.

6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu,

misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan

dijawab, “Itu!”

7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk

subjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil

ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang sedang

dibawa ke rumah sakit.

8. Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan

objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II(20)

9. Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang

berkata, “Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta

kita pergi.

10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu

berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap

sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004: 42-43)

Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual, ruang,

perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian, sebuah

tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi

kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.

Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling

terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang

mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi.

Gambar 1. Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce (dalam Christomy, 2004:117)

Objek (O)

Representamen (R) Interpretan (I)

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II(20)

2.2.2.2 Semiotik Sosial: Halliday, dkk

Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem

semiotik bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks

yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial

merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa.

Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik.

Konsep umum yang esensial dalam teori sosiosemiotik bahasa menurut Halliday

(1978: 108) adalah teks, situasi, register, kode (mengikuti pandangan Berstein), sistem

linguistik (termasuk sistem semantik), dan struktur sosial, kemudian konsep tersebut

dikembangkan oleh pengikut Halliday (Martin, 1984 dan Kress, 1993) dengan

menambahkan konsep konteks budaya dan ideologi.

Pandangan Halliday (1978), bahwa konsep ‘teks’ adalah instansiasi interaksi

linguistik yang di dalamnya terdapat interaksi manusia (apa saja yang diujarkan, atau

ditulis), dalam konteks operasional dibedakan dari konteks situasi seperti yang terdapat

dalam kamus. Teks adalah unit semantik, sebagai unit dasar proses semantik. Artinya teks

dapat merepresentasikan pilihan, seperangkat pilihan-pilihan yang mengkonstitusi apa

yang dapat dimaknai.

‘Situasi’ adalah lingkungan yang di dalamnya ada teks berperan. Istilah situasi

berasal dari konteks situasi yang diperkenalkan Malinowski (1923, 1935) dan dibuat

lebih jelas lagi penerapannya dalam praktik bahasa oleh Firth pada tahun 1957. Konteks

situasi merepresentasikan jenis situasi (situation type) yang oleh Bernstein (1971, 1973)

dinamakan konteks sosial. Struktur semiotik sebuah jenis situasi mempunyai 3 dimensi,

yakni aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity) hubungan peran

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II(20)

yang terlibat (the role relationships involved) dan sarana simbolik atau retorik yang

merujuk pada medan (field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).

‘Kode’ mengawasi gaya semantik suatu budaya, namun bukan sebagai varitas

bahasa, dialek, atau register. Kode sebagai jenis semiotik sosial atau berada di atas sistem

linguistik, diaktualisasikan dalam bahasa melalui register karena kode menentukan

orientasi semantik penutur dalam konteks sosial tertentu; apa yang dimaksudkan sebagai

varian adalah karakteristik-karakteristik sebuah register berasal dari bentuk kode tersebut.

Kode mentransmisi atau mengawasi transmisi pada dasar subkultur atau kultur.

Dalam ‘sistem linguistik’ ada sistem semantik yang menjadi perhatian utama

adalah sistem semantik, leksikogramatika, dan fonologi. Kerangka konsep ini dinamakan

sistem fungsional yang terdiri atas metafungsi, ideasional, interpersonal, dan tekstual.

Komponen fungsional adalah sarana makna yang hadir dalam bahasa sehari-hari

manusiadalam setiap konteks sosial. Sebuah teks adalah sebuah produk dan tiga

komponen tersebut yang terjalin direalisasi sebagai integrasi struktur .

Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday (1985),

yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional

merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai

sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya

dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal

menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual

menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara

internal maupun eksternal.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II(20)

Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotik situasi dengan

komponen fungsi semantik (Halliday, 1979:143)

Semiotic structures associated with functional component of situation of semantics field (type of social action) “ experiential tenor (role relationships) “ interpersonal mode (symbolic organization) “ textual

‘Konteks budaya’ dalam masyarakat jelas terlihat dalam setiap interaksi sosial

berbahasa. Konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena

anggota dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks

yang disampaikan dapat dipahami. Menurut Martin (1984), genre adalah budaya di dalam

suatu kegiatan berbahasa yang bertahap, bertujuan yang digunakan oleh sekelompok

masyarakat. Konsep genre dalam istilah Sistemik Fungsional adalah tujuan yang harus

dicapai dalam suatu kegiatan dengan melalui tahapan-tahapan. Setiap genre mempunyai

struktur generik atau skematika yang merujuk kepada masing-masing konfigurasi.

‘Konsep ideologi’ adalah pahaman atau kepercayaan yang diyakini oleh satu

masyarakat. Biasanya ideologi diawasi oleh suatu kekuasaan kelompok yang

mendominasi. Menurut Kress (1993) ideologi terjadi karena adanya kekuasaan terhadap

sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya yang membentuk pandangan

masyarakat dalam meyakini suatu konsep.

Ilmu semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda visual, tanda

yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada

kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-

unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II(20)

Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan

gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan

dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika

visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan

untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).

Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)

Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana

struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi

dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam

bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal

maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan

antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan

melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur komposisi

yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena bahasa visual itu

spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan

dalam dunia timur.

Pendekatan semiotik sosial menurut Kress dan van Leeuwen (1996:11)

menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan partisipan

untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks tertentu,

kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan kepada

partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang ditandai oleh

perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II(20)

memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat memaksakan

partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal,

sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik

dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang

tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting

tersebut secara maksimal.

Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk

ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut

mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.

Prinsip semiotik sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna

semiotik baik berupa ungkapan verbal, konteks budaya, konteks situasi, ideologi, makna

semantik, dan makna visual seperti imaji, tanda atau simbol, seperti berikut:

Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis mendengar suara prosodik,

intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan atau menatap, kita

memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara During interaction, 1) you’re aware of

your friends’ spoken language in order to hear the verbal choices, the content, the

prosody and the pitch, 2) aware of facial expression, clothing, standing/sitting,

nodding/leaning back or forward, 3) aware of environment where it takes place, etc

(Kress dan van Leeuwen, 2006: 177)

Analisis semiotik mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan

menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan van

Leeuwen (2006: 178) memperkenalkan semiotik sosial sebagai “multimodal texts”, i.e.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II(20)

“any text whose meanings are realized through more than one semiotic code”. Analisis

multimodal dapat diintegrasikan dengan analisis kode semiotik bahasa misalnya dengan

aspek metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan

ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal

dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada desain visual

tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi

lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotik mendekorasi

suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai suatu semiotik

sosial.

Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis dan

dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi juga

teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan media

cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan analisis

multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis seluruhnya

secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotik kebahasaan maupun aspek dan unsur

semiotik non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang

dikategorikan sebagai “visual representation” (lihat mis. Kress & Leeuwen 1996).

Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi dalam

menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (Information Value), tonjolan

(Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal,

tetapi juga pada teks multi-semiotik. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan mata

seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central aspect

of the interpersonal metafunction establishing interaction between the participants in the

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II(20)

communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai imaji menatapkan

mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para

penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis hubungan

‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi

teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya. Analisis ini

disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203). Salience dari bagian

kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender

dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain dalam tubuh imaji. Tatapan

mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus

memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga menanti respon dari

penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-objek pendukung seperti

sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana, saputangan, dll yang

mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’ yang

tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang bersifat interpretasi atau

‘interpretive gaps’ (lihat juga Baumgarten 2008).

Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang

diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour), ketajaman

fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is very important

in creating meaning.”

2.3 Penelitian Sebelumnya

Banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penellitian ini, maka

pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II(20)

bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, yaitu penelitian mengenai Untaian

Kata Leluhur, Kata-kata untuk Bertahan: marjinalitas, emosi, dan kuasa kata-kata magi

di kalangan orang Petalangan Riau (Yoonhee Kang, 2005). Penelitian ini ingin

menunjukkan subjektivitas dan keragaman marjinalitas dengan mengkaji keterkaitan

antara marjinalitas, emosi, dan genre lisan di kalangan orang Petalangan, Riau. Berfokus

pada emosi sebagai sarana tafsir dan praktik, kajian ini mengungkap bagaimana wacana

kultural khas orang Petalangan mengenai emosi berlaku dalam relasinya dengan

marjinalitas melalui praktik bahasa tertentu. Penelian ini juga memperlihatkan, mengapa

dan bagaimana orang Petalangan merevitalisasi dan mempergunakan tradisi lisan mereka

di tengah perubahan sosial yang terjadi.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Amanriza, dkk

(1989) mengenai Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan Hilir).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesusasteraan Melayu Riau merupakan bagian dari

kesusasteraan Nusantara yang tumbuh dan berkemabang di semenanjung Melayu dan di

daerah Riau. Sebagai sastra sub-kultur Melayu, maka kesusasteraan Melayu Riau

berwujud sebagai sastra lisan atau oral tradition dan tradisi tulis atau written tradition.

Tradisi lisan sulit diterka kapan mulainya, barangkali sama tuanya dengan masyarakat

Melayu itu sendiri. Tradisi lisan diperkirakan mulai ketika masuknya pengaruh Islam di

Semenanjung Melayu sekitar abad ke-7 Masehi. Tardisi tulis mengalami perkembangan

pesat dari abad ke-14 sampai abad ke-19 dengan mempergunakan tulisan Arab. Setelah

itu tradisi tulis mempergunakan tulisan Latin.

Kesusasteraan Melayu Riau yang berwujud sastra lisan adalah bagian dari tradisi

lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Riau, tradisi lisan ini diungkapkan dalam tiga

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II(20)

bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-kata atau bahasa, (2)

pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui gerak atau tari. Adapun

jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu Riau, antara lain:

mantera, pantun, syair, ungkapan (pepatah petitih), seni tutur/teater tutur, kayat, nyanyi

panjang, koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas tidak merata dimiliki oleh pesukuan

atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu Riau. Banyak ragam tradisi lisan ini

antara lain disebabkan keadaan alam daerah Riau yang sebagian terdiri dari wilayah

lautan dan sebagian lainnya merupakan daratan (hutan belantara) serta pulau-pulau

(kepulauan).

Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian Negara,

Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan Kearifan

Lokal”, Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan

lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta

memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di

Indonesia dalam perspektif Antropologi Hukum.

Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat

adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di

bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian

mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan

lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber

daya pesisir dan lautan.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II(20)

Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat

Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil

penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di

Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah

masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat.

Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan

zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit

mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering

satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektifitas waktu, sehingga

penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon

yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan

pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor internal

penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara

perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan/kronologis upacara

perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat.

Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja

jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan mereka

tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut

kepada pelaku adat.

Penelitian Suastika (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan (Satua) di Bali Kajian

Bentuk, Fungsi, dan Makna. Hasil penelitiannya adalah tradisi lisan di Bali, yang dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II(20)

istilah masyarakat Bali masatua telah lama dikenal. Dalam tradisi masatua ini peranan

orang tua, yaitu ayah ibu, kakek nenek sangatlah penting melakukan usaha berupa

menyampaikan cerita lisan ini dengan terus menerus sebagai milik bersama di waktu

malam ketika akan menidurkan anak-anak dan cucunya. Tradisi masatua di Bali memiliki

berbagai fungsi, antara lain untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang,

menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-dialongya

termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya menyelesaikan masalah

tersebut.

Sebagian masyarakat masih melakukan kegiatan masatua itu, sebagian lagi

masyarakat Bali menganggap tradisi itu kurang relevan lagi dalam dunia modern. Ada

sebagian pula masyarakatnya menganggap kegiatan masatua tersebut sudah tidak aktual

lagi, kemudian menceritakan cerita modern atau wayang, bahkan tokoh-tokoh dari luar

negeri yang sedang ngetop di televisi. Kenyataannya tradisi masatua semakin tahun

semakin memudar terutama di kota-kota besar.

Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotik Tradisi Bermantra

Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi

Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan salah

satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya dilakukan

secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak pernah

dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan walaupun

mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar diri dapat

dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran manusia yang

tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat dalam mantra-

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II(20)

mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno dan sebagainya.

Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan semiotik yang

terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan kepada makhluk

gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan, baik kejahatan

yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.

Penelitian Daud (2001), mengenai Mantera Melayu Analisis Pemikiran,

menjelaskan bahwa mantera Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan

dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk

kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan

sebuah mantera itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantera

menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan

suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk

memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan

sebagainya. Mantera sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik,

terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima,

aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anaphora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain

mantera dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung

dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan lain-

lain. Sehubungan itu mantera memang boleh diterima sebagai dokumen sosiobudaya dan

sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran tentang masyarakat

Melayu.

Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa mantra

merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya secara lisan

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II(20)

atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal dikenal dan

dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya menyebutnya dengan

sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada tradisi lisan. Hal tersebut

terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam hal demikian, masyarakat

tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu mendayagunakan bahasa lisan (orality)

sebagai medium pengucapan sastra daripada bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan

digunakan kemudian secara intensif sekitar abad ke-19.

Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra

yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai

sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis

sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain.

Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan

dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2010) yang

berjudul Menumbai: Upacara Mengambil Madu Lebah Dalam Masyarakat Petalangan

Kabupaten Kampar Daerah Riau. Hasil penelitiannya membicarakan suatu kegiatan

budaya seperti menumbai (upacara mengambil madu lebah) yang merupakan suatu kajian

yang mempelajari aspek-aspek manusia atau kelompok masyarakat tertentu dalam

hubungannya dengan alam pikiran, perasaan dan cara mereka memandang alam.

Penelitian ini mengamati ekspresi manusia dalam bentuk dan arti simbol yang

dipergunakan oleh suatu komunikasi tertentu. Penelitian ini juga mencoba membaca dan

menafsirkan berbagai simbol dan kiasan yang digunakan dalam kehidupan masyarakat

Petalangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II(20)

Upacara menumbai memperlihatkan diri dalam warna kehidupan masyarakat

Petalangan sebagai kekuatan kiasan melalui pengucapan halus (mantera). Karena itu

menumbai juga memperlihatkan dirinya merupakaan kekuatan batin, yang sering dalam

istilah antropologi disebut kekuatan magis. Meskipun demikian, yang lebih penting lagi

tentulah makna upacara sebagai budaya manusia Petalangan dalam keseluruhan kegiatan

kehidupan mereka.

Kekuatan kiasan yang mempergunakan pengucapan halus berupa pantun-pantun

dan mantera dalam menumbai lebah sialang, bisa dilihat dari segi dunia budaya pada sisi

esoteriknya, serta yang utama dari segi alam pikiran pesukuan Petalangan dari warisan

tradisi lama.

Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah penelitian

yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian Lukah atau

Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual tarian lukah

yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat Melayu Pesisir

Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantera Tarian Lukah atau Jambang

Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas mengenai paparan etnografi

masyarakat Melayu Pesisir Asahan yang menghubungkan tradisi naratif suatu

kebudayaan dalam kegiatan lisan khalayaknya dengan lembaga masyarakat.

Penelitian di atas sangat berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis.

Namun, ada perbedaan antara dua penelitian ini, yaitu pada penelitian sebelumnya

melakukan penelitian terhadap teks-teks atau mantera tarian lukah atau jambang lukah

menari di masyarakat Melayu Pesisir Asahan. Sedangkan penelitian yang dilakukan

penulis adalah Tradisi Mantera Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II(20)

Provinsi Riau. Ruang lingkup penelitian ini adalah membahas paparan etnografi

masyarakat Suku Bonai serta menganalisis bentuk semiotik dari peralatan pembuatan LG

dan mantera LG.

Hasil penelitian Sinar (2011, 2012) tentang analisis multimodal imaji visual

menjelaskan proses Conversion pada teks menemukan bahwa Aktor dan Gol sekaligus

sebagai partisipan aktif dan pasif yang menunjukkan efek secara langsung dari suatu

imaji. Sementara itu, Setting berfungsi sebagai latar yang menjelaskan keunggulan dan

tonjolan yang terlihat dalam imaji. Hubungan Additive dalam teks multimodal

menjelaskan berbagai informasi visual melalui teks verbal yang sifatnya saling

melengkapi dan hubungan Comparative melalui Setting yang terdapat dalam imaji

tersebut. Metafungsi interpersonal teks visual di atas menjelaskan hubungan antara

Partisipan dengan masyarakat pembaca. Interaksi antara Partisipan dengan pembaca

diwujudkan melalui kontak mata yang berfungsi sebagai Demand. Dalam hal ini,

Partisipan sedang mengungkapkan sesuatu mengenai produk yang ditawarkan, yang

kemudian dapat diketahui melalui berbagai teks verbal yang menunjukkan kelebihan-

kelebihan produk tersebut sekaligus efek yang diberikannya melalui Gol. Salience

sebagai komponen utama metafungsi tekstual menunjukkan pesan utama teks melalui

Partisipan. Pesan utama yang dijelaskan Partisipan kepada pembaca adalah pesan yang

terdapat dalam imaji yang ditampilkan.

Universitas Sumatera Utara