chapter ii(20)
DESCRIPTION
kiersTRANSCRIPT
BAB II
KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU
2.1 Konsep
Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku Bonai,
tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori. Adapun penjabarannya adalah
seperti berikut ini.
2.1.1 Pengertian Mantera
Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera ialah
semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang mengandung
unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo, dengan tujuan kebaikan
atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk
memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi
menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat erat hubungannya dengan
kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana mantera itu wujud.
Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga dianggap
berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media
Universitas Sumatera Utara
komunikasi yang berbeda. Ketika nenek moyang mengekspresikan artikulasi pesan
Tuhan dalam formula lisan, pesan itu menjadi tuturan. Mantera kemudian menjadi sarana
komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk supranatural, dan
juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari kuasa tersembunyi.
Mengucapkan mantera atau formula dari leluhur akan dapat membangkitkan kekuatan
spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang dulu. (Kang, 2005:69)
Dalam istilah Goffman (1979), mantera meliputi tiga tingkatan penutur: Tuhan
sebagai penutur tertinggi mantera, leluhur sebagai penulis (author), dan pelaku sekarang
sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantera-mantera tetap efektif karena kata-
kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-ulang kata-kata
itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang sama seperti ketika
digunakan oleh para leluhur. Dengan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh
para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks masa kini.
2.1.2 Pengertian Ritual
Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang
berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara etimologis
ritual merupakan ikatan kepercayaan antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai
bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam
masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual
yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong
masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati
Universitas Sumatera Utara
bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi
seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan.
Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan
dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika
dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis
karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai
negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan
bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut
antara lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan
memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau
kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana
pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual
akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa ritual
merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna, memiliki
suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai fenomena budaya.
Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda dalam praktek dan
penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan agama, keduanya
sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktek di kehidupan
masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.
2.1.3 Masyarakat Suku Bonai Riau
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat suku Bonai merupakan salah masyarakat suku asli yang terdapat di
Provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai ini berdomisili di kawasan sepanjang sungai
Rokan yang menghubungkan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan
Kabupaten Rokan Hilir. Di dua Kabupaten inilah masyarakat suku Bonai tinggal dan
menetap. Namun demikian, jumlah masyarakat suku Bonai yang mendiami Kabupaten
Rokan Hulu lebih mayoritas dibandingkan dengan masyarakat Bonai yang mendiami
Kabupaten Rokan Hilir.
Berdasarkan informasi dari wawancara dengan salah seorang masyarakat suku
Bonai, asal usul nama suku Bonai berasal dari kata Manai. Manai dalam bahasa Bonai
berarti pemalas, kata Manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai. Bonai merupakan
sebuah pohon yang tingginya tidak lebih dari empat meter, berdaun kecil-kecil, buahnya
bulat-bulat berwarna kemerahan dan bila telah masak berwarna hitam serta rasanya agak
sedikit asam. Buah bonai ini merupakan bahan baku dalam membuat masakan ikan,
dimasak dengan air secukupnya dan dijadikan kuah ikan dengan rasa kuah yang asam
(sumber: Rasyid, 2012).
Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang teguh
tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk agama Islam,
masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya aturan hukum adat,
budaya, dan tradisi, demi mempertahankan identitas sosial mereka. Masyarakat suku
Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan tradisinya dengan cara menyatukan dan
membawa budaya dan tradisi dalam kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Menurut mereka dengan memadukan keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa
meninggalkan agama yang telah dianut.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Pengertian Tradisi Lisan
Menurut Pudentia (2008) bentuk tradisi lisan tidak hanya berupa cerita, mitos,
dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan
kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan
dan religi serta berbagai hasil seni.
Pandangan Dick van der Meij (2011) bahwa tradisi lisan mencakup semua
kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara
tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang
lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.
Membicarakan suatu tradisi lisan adalah membicaraan tradisi dalam arti
serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat
tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah
mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar
dibatasi batas waktunya.
Menurut Endaswara (2008:151) (dalam Yunita 2011), mengatakan tradisi lisan
adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun.
Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni:
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa
penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.
Universitas Sumatera Utara
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.
Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang
apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga
adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan
juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.
2.1.5 Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di
atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang
dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil
penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah
wisdom sering diartikan sebagai kearifan.
Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai
yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di
dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau
manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut
setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun
hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang
sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang
Universitas Sumatera Utara
akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka
(http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf,
diunduh 2 Maret 2012).
Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang muncul
dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya
dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber
energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara
dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan
tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan
masyarakat penuh keadaban.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi
kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita,
kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan,
dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya
tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam
kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati
melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan dalam
http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf, diunduh
pada tanggal 21 November 2011).
Universitas Sumatera Utara
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan
pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya
masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah laku atau pikiran-
pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan keinginan dan budaya
mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran, kearifan lokal juga merupakan
suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan bagaimana sistem kehidupan suatu
masyarakat dalam menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan sekitar yang
merupakan urat nadi kehidupan mereka.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa
lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Menurut Sibarani (2012), nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal
tersebut, antara lain:
1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin
kerja),
2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama),
3. Kerukunan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya),
4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum
adat),
5. Kesehatan (penjagaan hidup baik secara pribadi maupun masyarakat),
6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal),
Universitas Sumatera Utara
7. Penjagaan lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai
kehidupan),
8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan
budaya),
9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya),
10. Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat),
11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus
dipatuhi).
Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal
merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas
daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang
terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan
berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan
untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti
penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan
budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.
Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan
demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang,
yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
2.2 Tinjauan Teoretis
Universitas Sumatera Utara
Tinjauan teoretis merupakan konsep dan kerangka teori apa yang digunakan
peneliti dalam penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan dua kerangka teori, yaitu
kerangka teori etnografis dan kerangka teori linguistik yang lebih khususnya teori
semiotik sosial. Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kerangka teori etnografi Koentjaraningrat, kemudian konsep teori semiotik yang
digunakan adalah konsep teori semiotik sosial. Adapun dua kerangka teori tersebut
adalah:
2.2.1 Kerangka Teori Etnografi
Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
etnografi Koentjaraningrat. Etnografi menurut Koentjaraningrat (1998:1) adalah suatu
deskripsi dan analisa tentang suatu masyarakat didasarkan pada penelitian lapangan
sebagai data dalam penelitian. Etnografi menyajikan data-data yang bersifat hakiki untuk
semua penelitian antropologi budaya.
Menurut Koenjtaraningrat (1998:6), dalam melakukan penelitian mengenai
kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka teori etnografi, akan
terdiri dari beberapa bagian penting yang harus diteliti. Ada beberapa bagian penting
yang menjadi acuan dalam penelitian kebudayaan yang disusun menurut kerangka teori
etnografi. Bagian-bagian penting yang akan diuraikan dengan lebih mendalam pada
penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.
(1) Lokasi, lingkungan alam, dan demografi. Dalam menguraikan lokasi dan
penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri
geografinya, yaitu iklim, sifat daerahnya, suhunya dan curah hujannya. Suatu etnografi
Universitas Sumatera Utara
juga dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang
diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat mungkin juga menurut
tingkat umur dengan interval lima tahun.
(2) Asal mula dan sejarah suku bangsa. Sebuah etnografi ada baiknya juga dilengkapi
dengan keterangan mengenai asal mula dan sejarah suku bangsa yang menjadi pokok
deskripsinya. Keterangan mengenai asal mulla suku bangsa yang bersangkutan biasanya
harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan
penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan di
daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi.
(3) Bahasa. Pembahasan tentang bahasa atau sistem perlambangan manusia yang
lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Penelitian
etnografi member deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh
suku bangsa yang bersangkutan, beserta variasi-variasi dari bahasa itu.
(4) Sistem teknologi. Pembahasan tentang sistem teknologi atau cara-cara
memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa. Dalam
penelitian etnografi cukup membatasi diri terhadap teknologi tradisional, yaitu teknologi
dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi
yang berasal dari kebudayaan luar.
(5) Sistem mata pencarian. Sistem mata pencarian yang dimaksud adalah sistem
mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat
tradisional saja, terutama dalam kebudayaan suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem
tersebut adalah: (a) berburu dan meramu; (b) beternak; (c) bercocok tanam; (d)
menangkap ikan; dan (e) bercocok tanam menetap dan irigasi.
Universitas Sumatera Utara
(6) Organisasi sosial. Pembahasannya adalah unsur-unsur dalam organisasi sosial
kehidupan masyarakat yang diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan didalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari.
Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu
keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan
di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas.
(7) Sistem pengetahuan. Dalam etnografi biasanya ada berbagai bahan keterangan
mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Bahan
itu biasanya yang meliputi penegetahuan mengenai teknologi, pengetahuan mengenai
obat-obatan, mengenai pembangunan, mengenai kepandaian berlayar, dan pengetahuan
yang lain-lainnya.
(8) Kesenian. Pembahasannya adalah segala sesuatu yang bersifat tradisi yang
memiliki unsur seni dalam suatu suku bangsa. Seni ini bisa berupa seni pertunjukan
seperti teater, tari, musik, dan lainnya. Bisa juga seni rupa dan kerajinan, seperti lukisan,
patung atau arca, arsitektur tradisional, dan lainnya. Seni adalah ekspresi keindahan dari
seorang atau sekelompok orang yang didasari oleh kebudayaan di mana seni itu hidup.
(9) Sistem religi. Pada bagaian ini, pembahasannya adalah mengenai upacara
keagamaan suku-suku bangsa itu. Masalah asal mula dari suatu unsur yang universal
seperti agama. Sistem religi ini adalah aspek yang universal dalam kebudayaan manusia.
Inti dari sistem religi adalah kepercayaan manusia bahywa di atas dirinya ada sesuatu
yang berkuasa baik terhadap dirinya dan alam sekitar. Oleh karena itu harus diadakan
ritus-ritus kepada yang menguasai dirinya ini.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini penulis akan
menggunakan konsep teori di atas untuk mendeskripsikan paparan etnografi pada
masyarakat suku Bonai. Alasan memilih teori di atas bertujuan memperlihatkan mengapa
dan bagaimana masyarakat suku Bonai merevitalisasi dan mempergunakan tradisi mereka
di tengah perubahan sosial yang terjadi.
2.2.2 Kerangka Teori Semiotik
Ilmu semiotik adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotik atau semiotika
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada
simtomatologi dan diagnostik inferensial.
Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai
sumber makna semiotik yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma
kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui
kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma
dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi nilai-
nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-
nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara terus menerus,
apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah,
dan negara menjadi tidak tampak.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-peristiwa
kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotik karena manusia sebagai
makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi
agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya tanda itu bisa
dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari
salah pengertian.
Menurut Kress dan Van Leeuwen (1996:5) ada tiga aliran besar semiotik yang
menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain non-linguistik
sebagai sarana komunikasi di abad ini. Yang pertama adalah Aliran Praha (Prague
School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh pakar linguistik
formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk
fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik, pada kajian seni
(Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum (Bogatyrev). Setiap
sistem-sistem semiotik dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama (fungsi refensial
dan fungsi puitis).
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an
dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer, potografi
(Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik (Frenault-
Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini pada studi
kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-
strukturalisme. Istilah-istilah semiotik “langue” dan “parole”, signifier” dan “signified”,
“arbitrary” dan “motivated”, “sign”, “icons”, “indexes”, dan “symbols”, “syntagmatics”
dan “paradigmatics”.
Universitas Sumatera Utara
Aliran ketiga dinamakan semiotik sosial (Social Semiotics) yang diperkenalkan
oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik
Fungsional (SFL). Semiotik sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold,
Thibault dan kawan-kawan, semiotik visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik
oleh van Leeuwen dan sarana semiotik oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotik sosial
adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti
dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan
lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa
sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik,
leksikogramatika, dan fonologi/ grafologi.
2.2.2.1 Semiotik Aliran Paris: Teori Peirce
Teori semiotik model Peirce disebut sebagai semiotik pragmatik karena bertolak
dari wujud luar tanda yang dapat di indera manusia (representamen) (Hoed, 2001: 87).
Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat tanda, simbol,
dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah dan teks
mantera ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak
(triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu
menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala
tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3)
bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai
(Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses pemaknaan triadic ini
yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri,
sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai mediator antara objek dan
Universitas Sumatera Utara
interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga kemungkinan itu sangat penting untuk
memahami jargon-jargon lainnya.
Dengan tiga penjelasan di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi
pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis (hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda yang
menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau hubungan sebab
akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan
petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi ketiga adalah term (rheme),
proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1 Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
(dalam Christomy, 2004:116)
Relasi dengan representamen
Relasi dengan objek
Relasi dengan Interpretan
Kepertamaan (firstness)
Bersifat potensial (qualisign)
Berdasarkan keserupaan (ikonis)
Terms (rheme)
Keduaan (secondness)
Bersifat keterkaitan (sinsign)
Berdasarkan penunjukkan (indeks)
Suatu pernyataan yang bisa benar bisa salah (proposisi atau dicent)
Ketigaan (thirdness)
Bersifat kesepakatan (legisign)
Berdasarkan kesepakatan (simbol)
Hubungan proposisi yang dikenal dalam bentuk logika tertentu (internal) (argument)
Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh
jenis:
Universitas Sumatera Utara
1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras menunjukkan
kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau
ada sesuatu yang diinginkan.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan.
Contoh : foto, diagram, peta, dan tanda baca.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang
secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.
Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan
dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya,
dilarang mandi di sini.
4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.
Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.
5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma hukum. Misalnya,
rambu lalu lintas.
6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu,
misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan
dijawab, “Itu!”
7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk
subjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil
ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang sedang
dibawa ke rumah sakit.
8. Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan
objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau.
Universitas Sumatera Utara
9. Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung
menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang
berkata, “Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta
kita pergi.
10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu
berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap
sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004: 42-43)
Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual, ruang,
perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian, sebuah
tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi
kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.
Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling
terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang
mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi.
Gambar 1. Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce (dalam Christomy, 2004:117)
Objek (O)
Representamen (R) Interpretan (I)
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2 Semiotik Sosial: Halliday, dkk
Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem
semiotik bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks
yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial
merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa.
Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik.
Konsep umum yang esensial dalam teori sosiosemiotik bahasa menurut Halliday
(1978: 108) adalah teks, situasi, register, kode (mengikuti pandangan Berstein), sistem
linguistik (termasuk sistem semantik), dan struktur sosial, kemudian konsep tersebut
dikembangkan oleh pengikut Halliday (Martin, 1984 dan Kress, 1993) dengan
menambahkan konsep konteks budaya dan ideologi.
Pandangan Halliday (1978), bahwa konsep ‘teks’ adalah instansiasi interaksi
linguistik yang di dalamnya terdapat interaksi manusia (apa saja yang diujarkan, atau
ditulis), dalam konteks operasional dibedakan dari konteks situasi seperti yang terdapat
dalam kamus. Teks adalah unit semantik, sebagai unit dasar proses semantik. Artinya teks
dapat merepresentasikan pilihan, seperangkat pilihan-pilihan yang mengkonstitusi apa
yang dapat dimaknai.
‘Situasi’ adalah lingkungan yang di dalamnya ada teks berperan. Istilah situasi
berasal dari konteks situasi yang diperkenalkan Malinowski (1923, 1935) dan dibuat
lebih jelas lagi penerapannya dalam praktik bahasa oleh Firth pada tahun 1957. Konteks
situasi merepresentasikan jenis situasi (situation type) yang oleh Bernstein (1971, 1973)
dinamakan konteks sosial. Struktur semiotik sebuah jenis situasi mempunyai 3 dimensi,
yakni aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity) hubungan peran
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat (the role relationships involved) dan sarana simbolik atau retorik yang
merujuk pada medan (field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).
‘Kode’ mengawasi gaya semantik suatu budaya, namun bukan sebagai varitas
bahasa, dialek, atau register. Kode sebagai jenis semiotik sosial atau berada di atas sistem
linguistik, diaktualisasikan dalam bahasa melalui register karena kode menentukan
orientasi semantik penutur dalam konteks sosial tertentu; apa yang dimaksudkan sebagai
varian adalah karakteristik-karakteristik sebuah register berasal dari bentuk kode tersebut.
Kode mentransmisi atau mengawasi transmisi pada dasar subkultur atau kultur.
Dalam ‘sistem linguistik’ ada sistem semantik yang menjadi perhatian utama
adalah sistem semantik, leksikogramatika, dan fonologi. Kerangka konsep ini dinamakan
sistem fungsional yang terdiri atas metafungsi, ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Komponen fungsional adalah sarana makna yang hadir dalam bahasa sehari-hari
manusiadalam setiap konteks sosial. Sebuah teks adalah sebuah produk dan tiga
komponen tersebut yang terjalin direalisasi sebagai integrasi struktur .
Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday (1985),
yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional
merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai
sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya
dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal
menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual
menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara
internal maupun eksternal.
Universitas Sumatera Utara
Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotik situasi dengan
komponen fungsi semantik (Halliday, 1979:143)
Semiotic structures associated with functional component of situation of semantics field (type of social action) “ experiential tenor (role relationships) “ interpersonal mode (symbolic organization) “ textual
‘Konteks budaya’ dalam masyarakat jelas terlihat dalam setiap interaksi sosial
berbahasa. Konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena
anggota dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks
yang disampaikan dapat dipahami. Menurut Martin (1984), genre adalah budaya di dalam
suatu kegiatan berbahasa yang bertahap, bertujuan yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat. Konsep genre dalam istilah Sistemik Fungsional adalah tujuan yang harus
dicapai dalam suatu kegiatan dengan melalui tahapan-tahapan. Setiap genre mempunyai
struktur generik atau skematika yang merujuk kepada masing-masing konfigurasi.
‘Konsep ideologi’ adalah pahaman atau kepercayaan yang diyakini oleh satu
masyarakat. Biasanya ideologi diawasi oleh suatu kekuasaan kelompok yang
mendominasi. Menurut Kress (1993) ideologi terjadi karena adanya kekuasaan terhadap
sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya yang membentuk pandangan
masyarakat dalam meyakini suatu konsep.
Ilmu semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda visual, tanda
yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada
kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-
unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual.
Universitas Sumatera Utara
Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan
gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan
dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika
visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan
untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).
Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)
Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana
struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi
dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam
bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal
maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan
antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan
melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur komposisi
yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena bahasa visual itu
spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan
dalam dunia timur.
Pendekatan semiotik sosial menurut Kress dan van Leeuwen (1996:11)
menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan partisipan
untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks tertentu,
kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan kepada
partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang ditandai oleh
perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan
Universitas Sumatera Utara
memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat memaksakan
partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal,
sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik
dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang
tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting
tersebut secara maksimal.
Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk
ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut
mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.
Prinsip semiotik sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna
semiotik baik berupa ungkapan verbal, konteks budaya, konteks situasi, ideologi, makna
semantik, dan makna visual seperti imaji, tanda atau simbol, seperti berikut:
Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis mendengar suara prosodik,
intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan atau menatap, kita
memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara During interaction, 1) you’re aware of
your friends’ spoken language in order to hear the verbal choices, the content, the
prosody and the pitch, 2) aware of facial expression, clothing, standing/sitting,
nodding/leaning back or forward, 3) aware of environment where it takes place, etc
(Kress dan van Leeuwen, 2006: 177)
Analisis semiotik mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan
menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan van
Leeuwen (2006: 178) memperkenalkan semiotik sosial sebagai “multimodal texts”, i.e.
Universitas Sumatera Utara
“any text whose meanings are realized through more than one semiotic code”. Analisis
multimodal dapat diintegrasikan dengan analisis kode semiotik bahasa misalnya dengan
aspek metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan
ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal
dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada desain visual
tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi
lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotik mendekorasi
suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai suatu semiotik
sosial.
Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis dan
dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi juga
teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan media
cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan analisis
multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis seluruhnya
secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotik kebahasaan maupun aspek dan unsur
semiotik non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang
dikategorikan sebagai “visual representation” (lihat mis. Kress & Leeuwen 1996).
Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi dalam
menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (Information Value), tonjolan
(Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal,
tetapi juga pada teks multi-semiotik. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan mata
seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central aspect
of the interpersonal metafunction establishing interaction between the participants in the
Universitas Sumatera Utara
communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai imaji menatapkan
mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para
penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis hubungan
‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi
teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya. Analisis ini
disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203). Salience dari bagian
kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender
dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain dalam tubuh imaji. Tatapan
mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus
memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga menanti respon dari
penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-objek pendukung seperti
sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana, saputangan, dll yang
mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’ yang
tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang bersifat interpretasi atau
‘interpretive gaps’ (lihat juga Baumgarten 2008).
Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang
diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour), ketajaman
fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is very important
in creating meaning.”
2.3 Penelitian Sebelumnya
Banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penellitian ini, maka
pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada
Universitas Sumatera Utara
bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, yaitu penelitian mengenai Untaian
Kata Leluhur, Kata-kata untuk Bertahan: marjinalitas, emosi, dan kuasa kata-kata magi
di kalangan orang Petalangan Riau (Yoonhee Kang, 2005). Penelitian ini ingin
menunjukkan subjektivitas dan keragaman marjinalitas dengan mengkaji keterkaitan
antara marjinalitas, emosi, dan genre lisan di kalangan orang Petalangan, Riau. Berfokus
pada emosi sebagai sarana tafsir dan praktik, kajian ini mengungkap bagaimana wacana
kultural khas orang Petalangan mengenai emosi berlaku dalam relasinya dengan
marjinalitas melalui praktik bahasa tertentu. Penelian ini juga memperlihatkan, mengapa
dan bagaimana orang Petalangan merevitalisasi dan mempergunakan tradisi lisan mereka
di tengah perubahan sosial yang terjadi.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Amanriza, dkk
(1989) mengenai Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan Hilir).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesusasteraan Melayu Riau merupakan bagian dari
kesusasteraan Nusantara yang tumbuh dan berkemabang di semenanjung Melayu dan di
daerah Riau. Sebagai sastra sub-kultur Melayu, maka kesusasteraan Melayu Riau
berwujud sebagai sastra lisan atau oral tradition dan tradisi tulis atau written tradition.
Tradisi lisan sulit diterka kapan mulainya, barangkali sama tuanya dengan masyarakat
Melayu itu sendiri. Tradisi lisan diperkirakan mulai ketika masuknya pengaruh Islam di
Semenanjung Melayu sekitar abad ke-7 Masehi. Tardisi tulis mengalami perkembangan
pesat dari abad ke-14 sampai abad ke-19 dengan mempergunakan tulisan Arab. Setelah
itu tradisi tulis mempergunakan tulisan Latin.
Kesusasteraan Melayu Riau yang berwujud sastra lisan adalah bagian dari tradisi
lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Riau, tradisi lisan ini diungkapkan dalam tiga
Universitas Sumatera Utara
bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-kata atau bahasa, (2)
pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui gerak atau tari. Adapun
jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu Riau, antara lain:
mantera, pantun, syair, ungkapan (pepatah petitih), seni tutur/teater tutur, kayat, nyanyi
panjang, koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas tidak merata dimiliki oleh pesukuan
atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu Riau. Banyak ragam tradisi lisan ini
antara lain disebabkan keadaan alam daerah Riau yang sebagian terdiri dari wilayah
lautan dan sebagian lainnya merupakan daratan (hutan belantara) serta pulau-pulau
(kepulauan).
Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian Negara,
Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan Kearifan
Lokal”, Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan
lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta
memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di
Indonesia dalam perspektif Antropologi Hukum.
Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat
adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di
bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian
mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan
lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber
daya pesisir dan lautan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat
Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil
penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di
Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah
masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat.
Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan
zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit
mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering
satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektifitas waktu, sehingga
penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.
Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon
yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan
pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor internal
penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara
perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara
perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan/kronologis upacara
perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat.
Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja
jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan mereka
tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut
kepada pelaku adat.
Penelitian Suastika (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan (Satua) di Bali Kajian
Bentuk, Fungsi, dan Makna. Hasil penelitiannya adalah tradisi lisan di Bali, yang dalam
Universitas Sumatera Utara
istilah masyarakat Bali masatua telah lama dikenal. Dalam tradisi masatua ini peranan
orang tua, yaitu ayah ibu, kakek nenek sangatlah penting melakukan usaha berupa
menyampaikan cerita lisan ini dengan terus menerus sebagai milik bersama di waktu
malam ketika akan menidurkan anak-anak dan cucunya. Tradisi masatua di Bali memiliki
berbagai fungsi, antara lain untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang,
menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-dialongya
termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya menyelesaikan masalah
tersebut.
Sebagian masyarakat masih melakukan kegiatan masatua itu, sebagian lagi
masyarakat Bali menganggap tradisi itu kurang relevan lagi dalam dunia modern. Ada
sebagian pula masyarakatnya menganggap kegiatan masatua tersebut sudah tidak aktual
lagi, kemudian menceritakan cerita modern atau wayang, bahkan tokoh-tokoh dari luar
negeri yang sedang ngetop di televisi. Kenyataannya tradisi masatua semakin tahun
semakin memudar terutama di kota-kota besar.
Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotik Tradisi Bermantra
Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi
Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan salah
satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya dilakukan
secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak pernah
dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan walaupun
mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar diri dapat
dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran manusia yang
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat dalam mantra-
Universitas Sumatera Utara
mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno dan sebagainya.
Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan semiotik yang
terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan kepada makhluk
gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan, baik kejahatan
yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.
Penelitian Daud (2001), mengenai Mantera Melayu Analisis Pemikiran,
menjelaskan bahwa mantera Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan
dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk
kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan
sebuah mantera itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantera
menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan
suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk
memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan
sebagainya. Mantera sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik,
terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima,
aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anaphora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain
mantera dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung
dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan lain-
lain. Sehubungan itu mantera memang boleh diterima sebagai dokumen sosiobudaya dan
sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran tentang masyarakat
Melayu.
Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa mantra
merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya secara lisan
Universitas Sumatera Utara
atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal dikenal dan
dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya menyebutnya dengan
sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada tradisi lisan. Hal tersebut
terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam hal demikian, masyarakat
tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu mendayagunakan bahasa lisan (orality)
sebagai medium pengucapan sastra daripada bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan
digunakan kemudian secara intensif sekitar abad ke-19.
Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra
yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai
sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis
sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain.
Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan
dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2010) yang
berjudul Menumbai: Upacara Mengambil Madu Lebah Dalam Masyarakat Petalangan
Kabupaten Kampar Daerah Riau. Hasil penelitiannya membicarakan suatu kegiatan
budaya seperti menumbai (upacara mengambil madu lebah) yang merupakan suatu kajian
yang mempelajari aspek-aspek manusia atau kelompok masyarakat tertentu dalam
hubungannya dengan alam pikiran, perasaan dan cara mereka memandang alam.
Penelitian ini mengamati ekspresi manusia dalam bentuk dan arti simbol yang
dipergunakan oleh suatu komunikasi tertentu. Penelitian ini juga mencoba membaca dan
menafsirkan berbagai simbol dan kiasan yang digunakan dalam kehidupan masyarakat
Petalangan.
Universitas Sumatera Utara
Upacara menumbai memperlihatkan diri dalam warna kehidupan masyarakat
Petalangan sebagai kekuatan kiasan melalui pengucapan halus (mantera). Karena itu
menumbai juga memperlihatkan dirinya merupakaan kekuatan batin, yang sering dalam
istilah antropologi disebut kekuatan magis. Meskipun demikian, yang lebih penting lagi
tentulah makna upacara sebagai budaya manusia Petalangan dalam keseluruhan kegiatan
kehidupan mereka.
Kekuatan kiasan yang mempergunakan pengucapan halus berupa pantun-pantun
dan mantera dalam menumbai lebah sialang, bisa dilihat dari segi dunia budaya pada sisi
esoteriknya, serta yang utama dari segi alam pikiran pesukuan Petalangan dari warisan
tradisi lama.
Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah penelitian
yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian Lukah atau
Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual tarian lukah
yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat Melayu Pesisir
Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantera Tarian Lukah atau Jambang
Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas mengenai paparan etnografi
masyarakat Melayu Pesisir Asahan yang menghubungkan tradisi naratif suatu
kebudayaan dalam kegiatan lisan khalayaknya dengan lembaga masyarakat.
Penelitian di atas sangat berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis.
Namun, ada perbedaan antara dua penelitian ini, yaitu pada penelitian sebelumnya
melakukan penelitian terhadap teks-teks atau mantera tarian lukah atau jambang lukah
menari di masyarakat Melayu Pesisir Asahan. Sedangkan penelitian yang dilakukan
penulis adalah Tradisi Mantera Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai
Universitas Sumatera Utara
Provinsi Riau. Ruang lingkup penelitian ini adalah membahas paparan etnografi
masyarakat Suku Bonai serta menganalisis bentuk semiotik dari peralatan pembuatan LG
dan mantera LG.
Hasil penelitian Sinar (2011, 2012) tentang analisis multimodal imaji visual
menjelaskan proses Conversion pada teks menemukan bahwa Aktor dan Gol sekaligus
sebagai partisipan aktif dan pasif yang menunjukkan efek secara langsung dari suatu
imaji. Sementara itu, Setting berfungsi sebagai latar yang menjelaskan keunggulan dan
tonjolan yang terlihat dalam imaji. Hubungan Additive dalam teks multimodal
menjelaskan berbagai informasi visual melalui teks verbal yang sifatnya saling
melengkapi dan hubungan Comparative melalui Setting yang terdapat dalam imaji
tersebut. Metafungsi interpersonal teks visual di atas menjelaskan hubungan antara
Partisipan dengan masyarakat pembaca. Interaksi antara Partisipan dengan pembaca
diwujudkan melalui kontak mata yang berfungsi sebagai Demand. Dalam hal ini,
Partisipan sedang mengungkapkan sesuatu mengenai produk yang ditawarkan, yang
kemudian dapat diketahui melalui berbagai teks verbal yang menunjukkan kelebihan-
kelebihan produk tersebut sekaligus efek yang diberikannya melalui Gol. Salience
sebagai komponen utama metafungsi tekstual menunjukkan pesan utama teks melalui
Partisipan. Pesan utama yang dijelaskan Partisipan kepada pembaca adalah pesan yang
terdapat dalam imaji yang ditampilkan.
Universitas Sumatera Utara