chapter ii

22
BAB 2 Tinjauan Pustaka Adapun konsep yang terkait dalam penelitian ini adalah : diabetes mellitus, penyembuhan luka diabetes, dan manfaat madu. Konsep-konsep yang dipaparkan sebagai berikut : 1. Diabetes Mellitus 1.1 Defenisi Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I (insulin dependen diabetes mellitus atau IDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu, terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa dan diabetes mellitus gestasional (Sukaton, 1985 dikutip dari Waspadji, 1988). Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor resiko diabetes mellitus tipe II antara lain usia, obesitas, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe II, etnis, penyebaran lemak adroid (tubuh bagian atas atau tipe apel). Kebiasaan diet dan kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II Universitas Sumatera Utara

Upload: riyanrestu

Post on 28-Dec-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

BAB 2

Tinjauan Pustaka

Adapun konsep yang terkait dalam penelitian ini adalah : diabetes mellitus,

penyembuhan luka diabetes, dan manfaat madu. Konsep-konsep yang dipaparkan

sebagai berikut :

1. Diabetes Mellitus

1.1 Defenisi

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah

akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995).

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh

adanya hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4

kategori yaitu tipe I (insulin dependen diabetes mellitus atau IDDM), diabetes

mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain

itu, terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu

kerusakan toleransi glukosa dan diabetes mellitus gestasional (Sukaton, 1985

dikutip dari Waspadji, 1988).

Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor resiko

diabetes mellitus tipe II antara lain usia, obesitas, riwayat keluarga dengan

diabetes mellitus tipe II, etnis, penyebaran lemak adroid (tubuh bagian atas atau

tipe apel). Kebiasaan diet dan kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

keterbatasan respon sel beta pankreas yang memproduksi insulin terhadap

hiperglikemia tampak menjadi faktor utama berkembangnya penyakit ini. Klien

dengan diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan sensivitas terhadap kadar

glukosa, yang berakibat pada pembukaan kadar glukosa tinggi. Keadaan ini

disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

insulin perifer (Tjokroprawiro, 1982). Komplikasi akut mayor diabetes mellitus

adalah diabetik ketoasidosis (DKA), sindrom nekrotik hiperosmolar hiperglikemia

(SKNH), dan hipoglikemia.

Pada diabetes mellitus tipe II komplikasi yang sering terjadi adalah

penyakit mikrovaskuler dan neuropati. Gangguan kesehatan komplikasi diabetes

mellitus antara lain gangguan mata (retinopati), gangguan ginjal (nefropati),

gangguan pembuluh darah (vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Komplikasi

yang sering terjadi adalah perubahan patologis pada anggota gerak yang bisa

menyebabkan luka ulkus, atau luka gangren yang bila tidak ditangani dengan tepat

akan menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada amputasi (Iqbal,2008).

1.2 Patofisiologi

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel

yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat

berfungsi dengan baik. Sumber energi bagi tubuh berasal dari bahan makanan

yang kita makan sehari-hari, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.

Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian kelambung dan

selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan makanan diolah menjadi bahan

dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein memjadi asam

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh

usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh

untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai sumber energi.

Supaya dapat berfungsi sebagai bahan energi, zat makanan itu harus masuk

terlebih dahulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan

terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil akhirnya adalah

timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme

insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan

glukosa dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi.

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak

kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian

di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada,

maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di

dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak

ada sumber energi didalam sel (Suyono, 2004).

Pada diabetes mellitus tipe I tidak ditemukan insulin karena pada jenis ini

timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta yang

disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)

yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan

macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes

dan lain-lain. Umumnya yang diserang pada insulitas itu adalah sel beta, dan

biasanya sel alfa dan delta tetap utuh (Suyono, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,

tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat,

kurang aktivitas, dan faktor keturunan. Pada DM tipe II jumlah sel beta berkurang

sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah

adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut amilin.

Baik pada DM tipe II kadar glukosa darah jelas meningkat bila kadar itu melewati

batas ambang ginjal, maka glukosa akan keluar melalui urin (Suyono, 2004).

1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus

1.3.1 Gaya Hidup

Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjdinya diabetes

mellitus. Diit dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya

diabetes mellitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga

meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

1.3.2 Usia

Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.

Diabandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40 tahun

berisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar gula darah

yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50

tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.

1.3.3 Ras dan Suku Bangsa

Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai, dan

sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih

tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi,

obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

1.3.4 Riwayat Keluarga

Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak

diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda

dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang

diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes maupun meningkat. Ada

empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal

autosomal. Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20

keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1

jika satu orang tua menderita diabetes. Pengaruh genetik sangat kuat, karena

angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100 persen.

Resiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIIDM lebih tinggi

dibanding diabetes tipe 1. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan

sepertiga keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes

yang jelas.

1.3.5 Kegemukan (Obesitas)

Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan resiko

sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan.

Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi,

dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe II, penyakit gallblader,

disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan jenis kanker tertentu. Penyakit

kronik yang paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi,

dan hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12%

orang dengan BMI 27 menderita dibetes tipe 2. Obesitas merupakan faktor resiko

utama pada penderita diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

1.4 Komplikasi Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling

banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus,

sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya.

Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah

menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat

penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran

saraf dan kulit. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung

menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat

terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).

Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi

darah yang buruk melalui pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan

pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa

melukai mata, saraf, dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita

diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya

tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan

adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa

menyebabkan gangguan penglihatan, akibat kerusakan pada retina mata

(retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal

sehingga penderita harus menjalani cuci darah. Gangguan saraf dapat

bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya jika satu saraf mengalami

kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi

lemah. Jika saraf yang menuju ketangan, dan tungkai mengalami kerusakan, maka

pada lengan dan tungkai bisa merasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

atau kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit sering mengalami

cedera karena penderita tidak dapat merasakan perubahan tekanan maupun suhu.

Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan ulkus atau borok

diamana proses penyembuhannya akan berjalan secara lambat hingga

menyebabkan amputasi (Soegondo, 2007).

2. Luka Diabetik

2.1 Defenisi

Luka diabetik adalah : luka yang terjadi pada pasien diabetik yang

melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka

diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan

pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan

baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi

(Prabowo, 2007).

Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar glukosa darah

penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah berkelanjutan dan dalam jangka

waktu yang lama dapat menimbulkan masalah ada kaki penyandang diabetes

(nita-medicastore.com).

Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori, autonomik dan sistem

pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien kehilangan

sensasi nyeri sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat. Peripheral

vascular disease ini terjadi karena arteriosklerosis dan aterosklerosis. Pada

arteriosklerosis adalah terjadi penurunan elastisitas dinding arteri. Pada

aterosklerosis adanya akumulasi ”plaques” pada dinding arteri berupa ; kolesterol,

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit, dan kalsium (Suriadi, 2004).

Kelangsungan hidup pasien dalam 5 tahun setelah amputasi adalah rendah,

diperkirakan hanya sekitar 25%.

2.2 Klasifikasi Luka Diabetik

Wagner (1983) berdasarkan luas dan kedalaman luka membagi gangren

diabetik menjadi 6 bagian yaitu, (1) kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat

neuropati, (2) draft I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit, (3) draft II :

ulkus dalam, menembus tendon/tulang, (4) draft III : Ulkus dengan atau tanpa

osteomilitis, (5) draft IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa

selulitis (infeksi jaringan), (6) draft V : gangren seluruh kaki atau sebagian

tungkai bawah (Misnadiarly, 2008). Sedangkan Brand dan Ward (1987) membagi

gangren berdasarkan faktor pencetusnya menjadi 2 golongan yaitu : (1) kaki

diabetik akibat iskemia (KDI), disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai

akibat adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar di

tungkai, terutama daerah betis. Gambaran klinis KDI adalah penederita mengeluh

nyeri saat istirahat, pada perabaan terasa dingin, pulsasi pembuluh darah kurang

kuat, didapatkan ulkus sampai gangren. (2) Kaki diabetik akibat neuropati (KDN),

terjadi kerusakan saraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi.

Pada klinis ini di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, edem

kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

2.2.1 Gangren Diabetik

Gangren diabetik adalah luka diabetik yang sudah membusuk dan bisa

melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau

karena diseratai pembusukan oleh bakteri (Ismayanti, 2007). Beberapa faktor

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

secara bersama-sama berperan pada terjadinya ulkus atau gangren diabetes.

Banyak faktor yang mempengaruhi luka diabetes, dimulai dari faktor pengelolaan

kaki yang tidak baik pada penderita diabetes, adanya neuropati , faktor komplikasi

vaskuler yang memperburuk aliran darah ke kaki tempat luka, faktor kerentanan

terhadap infeksi akibat respons kekebalan tubuh yang menurun pada keadaan DM

tidak terkendali, serta kemudian faktor ketidaktahuan pasien sehingga terjadi

masalah gangren diabetik (Rinne, 2006).

Secara umum, gangren diabetik biasanya terjadi akibat, (1) neuropati

perifer, (2) insufisiensi vaskuler perifer (iskemik), (3) infeksi, (4) penderita yang

berisiko tingi mengalami gangren diabetik yaitu pasien dengan lama penyakit

diabetes yang melebiihi 10 tahun, usia pasien yang lebih dari 40 tahun, riwayat

merokok, penurunan denyut nadi perifer, penurunan sensibilitas, deformitas

anatomis atau bagian yang menonjol (seperti bunion atau kalus), riwayat ulkus

kaki atau amputasi, pengendalian kadar gula darah yang buruk (Rinne, 2006).

Rangkaian yang khas dalam proses timbulnya gangren diabetik pada kaki

dimulai dari edem jaringan lunak pada kaki, pembentukan fisura antara jari-jari

kaki atau didaerah kaki kering, atau pembentukan kalus. Jaringan yang terkena

mula-mula berubah warna menjadi kebiruan dan terasa dingin bila disentuh.

Kemudian jaringan akan mati, menghitam dan berbau busuk. Rasa sakit pada

waktu cedera tidak dirasakan oleh pasien yang kepekaannya sudah menghilang

dan cedera yang terjadi bisa berupa cedera termal, cedera kimia atau cedera

traumatik. Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan (akibat selulitis) pada

gangren biasanya merupakan tanda-tanda pertama masalah kaki yang menjadi

perhatian penderita (Rinne, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Prinsip dasar pengelolaan gangen diabetik, adalah (1) evaluasi keadaan

kaki dengan cermat, keadaan klinis luka, gambaran luka radiologi (adakah benda

asing, osteomielitis, gas subkutis), lokasi luka, vaskularisasi luka, (2)

pengendalian keadaan metabolik sebaik-baiknya, (3) debridement luka yang

adekuat dan radikal, sampai bagian yang hidup, (4) biakan kuman baik aerob

maupun anaerob, (5) antibiotik yang adekuat, (6) perawatan luka yang baik,

balutan yang memadai sesuai dengan keadaaan luka, (7) mengurangi edem, (8)

non weight bearing : tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki

khusus, total contact casting, (9) perbaikan sirkulasi-vakuler, (10) tindakan bedah

atau rehabilitatif untuk mencegah perluasan luka dan kecepatan penyembuhan,

(11) rehabilitasi.

2.3 Patofisiologi

Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi

terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait

dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal

sebagai neuropati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami

gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan

“pheripheral vasculal diseases”. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan

kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak

pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan

organ visceral.

Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah

terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah.

Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian anti

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

biotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak

memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi

neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis; yang

memudahkan kulit menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren.

Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kapada

saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi nyeri,

tekanan dan perubahan temparatur (Suryadi, 2004).

2.4 Perawatan luka diabetik

Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka

diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses

pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan

timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah

melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau

disertai pembusukan oleh bakteri.

Gangren diabetik diklasifikasikan menjadi lima tingkatan yaitu (1) Tingkat

0, Resiko tinggi untuk megalami luka pada kaki, tidak ada luka. (2) Tingkat 1,

luka ringan tanpa adanya infeksi, biasanya luka taerjadi akibat kerusakan saraf,

kadang timbul kalus. (3) Tingkat 2 luka yang lebih dalam, sering kali dikaitkan

dengan peradangan jaringan sekitarnya. Tidak ada infeksi pada tulang dan

pembentukan abses. (4) Tingkat 3 luka yang lebih dalam hingga ketulang dan

berbentuk abses. (5) Tingkat 4 gangren yang teralokasi, seperti pada jari kaki,

bagian depan kaki atau tumit. (6) Tingkat 5, gangren pada seluruh kaki (Rinne,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan

hipotensif bila membutuhkan. Antibiotik pun diberikan bila ada infeksi. Pilihan

antibiotik berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan

golongan aktif seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob.

Prinsip terapi bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan

nekrotik dan mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan

operatif pada luka diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan

pengaliran abses, debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan

berdasarkan indikasi yang tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah

tejadinya luka baru, jangan membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut

dapat menjadi besar dan akhirnya mengarah pada luka gangren yang proses

penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008).

Penyembuhan luka terjadi melalui tahapan yang berurutan mulai proses

inflamasi, proliferasi, pematangan dan penutupan luka. Pada gangren, tindakan

debridement yang baik sangat penting untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang

perawatan luka diabetik yang memuaskan dengan melihat kondisi luka terlebih

dahulu, apakah luka yang dialami pasien dalam keadaan kotor atau tidak, ada apus

atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah dikaji , barulah dilakukan

perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya menggunakan antiseptik dan

kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik sebaiknya dibuang daengan cara digunting

sedikit demi sedikit sampai kondisi luka mengalami granulasi (jaringan baru yang

mulai tumbuh). Lihat kedalam luka, pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat

sinus (luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus,

sebaiknya disemprot (irigasi) dengan NaCl sampai pada kedalaman luka, sebab

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

pada sinus terdapat banyak kuman. Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua

kali (pagi dan sore), setelah dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah

sudah tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang

dibasahi larutan NaCl). Setelah luka dibersihkan lalu tutup dengan kassa basah

yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan

kassa jaga agar jaringan luar luka tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup

akan menimbulkan maserasi (pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa

basah bercampur NaCl, lalu tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk

selanjutnya dibalut (Ismayati, 2007).

Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada

penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab

pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka

(Hermawati, 2007).

3. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses

penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi

berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan

terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan

komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya

perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi

klinis saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang

berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaiaan bahan

pengobatan yang berhasil memberikan kesembuhan.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu bertanggung

jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan

selama proses konstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukan, pemaparan sel fibroblast

sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah

terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam

daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan

beberapa substansi (Kolagen, elastin, Inyalruounc acid, fibronectin dan

profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.

Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru

(connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblast,

memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas

sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.

Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru

tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

fibroblas dengan aktivitas sintetiknya di sebut fibroblasia, migrasi, deposit

jaringan matriks, kontraksi luka.

Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka,

mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.

Vaskularisai yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat

(preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya

ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka

merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di

daerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

proses terintegrasi dan di pengaruhi oleh substansi yang di keluarkan oleh platelet

dan makrofag (growth factors).

Proses selanjutnya adalah epitelasi, dimnana fibrobalas mengeluarkan

“karatinocyle growth factor” (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

epitel. Keratinasasi akan di mulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,

pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan

mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan

baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.

Fungsi kontraksi akan leibh menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan

dengan defek luka. Minimal Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan

lapisan kolagen terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh

berbagai growth factor yang dibentuk makrofag dan platelet.

Fase maturasi fase ini terjadi pematangan yang terdiri dari penyerapan

kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai dengan gravitasi, pada

minggu ke 3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan

dari fase maturasi adalah penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi

jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai

meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang

karnea pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak

untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai

puncaknya pada minggu ke 10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah di

mulai sejak fase proliferasi akan di dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang terbentuk pada fase

proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan

struktur yang lebih baik (proses re-modelling).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal di perlukan keseimbangan

antara kolagen yang diproduksi dengan yang di pecahkan. Kolagen yang

berlebihan akan mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau

hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan

kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka di katakan sembuh

apabila telah terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga

mampu melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka

sama bagi setiap penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari

kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita

muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan yang

kurang gizi, dan yang disertai oleh penyakit sistemik (diabetes mellitus) (Tawi,

2004).

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi luka gangren diabetes mellitus

Faktor-faktor yang mempengaurhi penyembuhan luka gangren diabetes

mellitus secara umum adalah faktor intrinsika yaitu; (1) usia, semakin tua aka

semakin lama proses penyembuhan luka berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh

adanya penurunan elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang

mempengaurhi penyembuhan luka, (2) status penyakit dan pengobatan, penderita

yang mengalami penyakit seperti DM, yang dapat menyebabkan terjadinya

mikroangiopai, neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada penderita akan

mempersulit penyembuhan, (3) status nutrisi, zat makanan yang masuk kedalam

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

tubuh seperti protein sangat dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi,

proliferasi fibroblast, sintesa kolagen dan remodelling luka. Asam amino adalah

komponen struktural protein dan merupakan bagian penting dari deoxyribonucleic

acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis sel

dan enzim yuang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan, (4) oksigenasi dan

perfusi jaringan, oksigen berpengaruh dalam angiogenesis, fungsi fibroblast,

epitelisasi dan resistensi terhadap infeksi. Perfusi jaringan saling terkait dengan

oksigenasi jaringan.

Perfusi jaringan yang baik merupakan hal yang essensial untuk oksigenasi.

Volume darah beredar yang adekuat membawa hemoglobin yang kaya 02 ke

jaringan. Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi dapat

diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia, (5) merokok, hal

ini juga mengurangi perfusi dan oksitgenasi jaringan dan menimbulkan efek

mergikan pad aproses penyembuhan luka. Kemudian faktor Ekstrinsika yaitu, (1)

adanya teknik pembedahan yang buruk, jika jaringan di tangani secara kasar

selama pembedahan, maka jaringan mengalami kerusakan yang luas,

mengakibatkan hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi akibat

hematom yang pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika jaringan

tidak diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang untuk

berkembangnya infeksi luka, (2) drug treatment, obat juga mempengaruhi

penyembuhan luka seperti steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi

radiasi. Steroid menghambat seluruh fase penyembuhan luka, menghambat

fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis, (3) manajemen luka yang tidak

tepat, penggunaan teknik pembalutan yang tidak tepat, pemilihan dan penggunaan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

bahan balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution yang

semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan luka, (4)

psikososial yang merugikan, berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan

efek merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan

penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan

perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image

(Morison, 1992), (5) infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan

luka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi jika selama

persiapan pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan tidak

dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik yang baik. Jenis luka dan lokasi

pembedahan juga mempengaurhi resiko infeksi pada luka insisi.

3.3. Kriteria Luka Sembuh

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera

jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa

cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus

tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat

tindakan bedah. Push Score (length x widht, tissue type, exudate amount) adalah

salah satu acuan dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan

mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut

terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison,

2004). Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah exudate

berkurang, jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

4. Madu

Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari kantung

madu. Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya menghasilkan madu

dalam sarangnya. Madu dihasilkan oleh serangga lebah madu (Apis mellifera)

termasuk dalam superfamili apoidea. Madu adalah obat alami karena tidak pelru

diolah di laboratorium. Madu sudah ada di alam dan tinggal diolah dari sarangnya

(Susan, 2008).

4.1. Kandungan Madu

Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat

dapat membunuh mikroorganisme patogen. Berdasarkan hasil penelitian

Kamaruddin (1997), peneliti dari fakultas kedokteran Universitas Malaysia, di

Kuala Lumpur adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri antara lain

seperti polypenol, dan glikosida. Selain itu dalam madu terdapat banyak sekali

kandungan vitamin, asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh

sebagai pengobatan secara tradisional, antibod, dan penghambat pertumbuhan sel

kanker, atau tumor. Madu juga mengandung antioksidan, asam amino essensial,

dan non essensial.

4.2 Pemanfaatan Madu

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai

antiseptik dan antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan memperlancar

proses sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka) (Yudith,

2003). Madu juga merangsang pertumbuhan jaringan baru sehinga selain

mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka

pada kulit. Medu memiliki efek osmotik dengan tinginya kadar gula dalam madu

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki

efek osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan

mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang. Madu

memiliki kadar asam yang tingi dengan pH sekita antara 3.2-4.5 (sangat asam).

Dengan adanya kadar asam yang tingi inilah mikroorganisme yang tidak tahan

asam (seperti kuman TBC) akan mati. Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah

atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut.

Madu menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan

dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi

sebagai antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu.

Secara tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada pada tubuh

kita (Abdillah, 2008).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan salah satunya oleh Dr. Jamal

Burhan dari universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1991 menyebutkan madu

sangat efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan eksperimen pengobatan

terhadap luka bakar dengan mengunakan madu dan setelah dilakukan

perbandingan dengan pengobatan modern yaitu SS, hasilnya setelah 7 hari,

kelompok yang diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang

diobati dengan SS hanya 7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15

hari, 87% pasien yang diobati madu sembuh sedangkan yang diobati dengan SS

hanya 10%yang sembuh. Penelitian pada tahun 1992 dan 1993 juga membuktikan

bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu, hanya 20% yang menyisakan

luka luka ditubuhnya, sedangkan pengobatan modern dengan obat farmakologis

menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas luka (Suryadhine, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

Pengobatan madu yang dicampur dengan minyak zaitun dan lilin lebah para

dokter di Dubai Specialized Medical Centre dibawah pimpinan Noori Al Wali

telah berhasil mencapai tingkat penyembuhan tertingi 86% untuk penyakit infeksi

kulit karena jamur (Iqbal, 2008).

Peneliti Jennifer Edy dari Universitas Wisconsin menyebutkan madu

efektif dalam mengobati luka diabetes karena kandungan airnnya rendah, juga pH

madu yang asam serta kandungan hidrogen peroxidanya mampu membunuh

bakteri dan mikroorganisme yang masuk kedalam tunuh kita (Iqbal, 2008).

Dalam perawatan luka diabetes madu dapat digunakan dengan cara madu

ditaruh pada balutan, kemudian sebelum luka diabalut terlebih dahulu luka

haruslah terlebih dahulu diolesi dengan madu sampai merata menutup seluruh

permukaan luka. Setelah itu luka dibalut dengan balutan yang telah diolesi madu

terlebih dahulu. Namun pada kondisi luka yang penuh dengan cairan cara ini tidak

dianjurkan (Iqbal, 2008).

Untuk luka yang mengeluarkan cairan yang banyak, pembalut madu yang

kedua dapat diterapkan diatas pembalut yang pertama untuk menampung

rembesan cairan dari pembalut pertama. Madu aman untuk dioleskan langsung

kedarerah luka yang terbuka karena madu selalu larut dalam air dan mudah

dibersihkan.

4.3 Terapi Madu pada luka Gangren

Pengunaan madu pada luka gangren tergantung dari jumlah cairan yang

keluar dari luka. Frekuensi penggantian pembalut madu tergantung dari beberapa

cepat madu tercampur dengan cairan yang keluar dari luka. Luka yang tidak

mengeluarkan cairan, penggantian pembalut dapat dilakukan 3 kali semingu. Cara

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

pemeberian madu yang baik adalah madu ditaruh dahulu pada pembalut yang

dapat menyerap madu, karena apabila dituangkan langsung, madu akan menyebar

kemana-mana dan tidak mengenai sasaran. Balutan yang digunakan harus yang

berpori agar madu dapat mencapai bagian tubuh yang luka. Pembalut alginate

yang diisi madu dapat juga diapakai sebagai pengganti pembalut dari selulosa

karena alginate akan berubah menjadi gel yang lunak yang mengandung madu.

Madu aman untuk dioleskan langsung ke daerah luka yang terbuka karena madu

selalu larut dalam air dan mudah dibersihkan. Dianjurkan selama pengunaan madu

ini, pasien tetap dalam pengawasan dokter (Iqbal, 2008) penerapan terapi madu

pada luka gangren diabetes dapat dilihat pada protokol penelitian efektivitas

madu terhadap penyembuhan luka DM.

Universitas Sumatera Utara