chapter ii

69
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demokrasi dan Pemilu Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat. 11 Kata demokrasi yang dalam bahasa Inggrisnya democracy berasal dari bahasa Perancis democratie yang baru dikenal abad ke 16, yang dirujuk dari bahasa Yunani (Greek) demokratia yang berasal dari kata demos berarti rakyat (people) dan kratos berarti tanaman (rule) Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Demokrasi dan Pemilu sering disederhanakan sebagai dua hal yang sama. Ada klaim bahwa sebuah negara dikatakan demokratis manakala telah dilaksanakannya Pemilu di negara tersebut. Padahal demokrasi tidak identik dengan Pemilu, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu, tetapi diselenggarakannya Pemilu bukanlah indikasi dari demokrasi. 12 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008, Ed. Ketiga, Cetakan Kelima), hlm. 249. 12 Held, David, Model of Democracy, Stanford University Press, Cambridge, 1996, hlm. 1. . Saat ini, demokrasi identik dengan legitimasi kehidupan politik modern, walaupun makna demokrasi menunjukkan modern yang sangat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Upload: vialy-cancerio-afryna

Post on 27-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jyjjh

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demokrasi dan Pemilu

Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya

turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan

rakyat.11

Kata demokrasi yang dalam bahasa Inggrisnya democracy berasal dari bahasa

Perancis democratie yang baru dikenal abad ke 16, yang dirujuk dari bahasa Yunani

(Greek) demokratia yang berasal dari kata demos berarti rakyat (people) dan kratos

berarti tanaman (rule)

Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang

mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua

warga negara.

Demokrasi dan Pemilu sering disederhanakan sebagai dua hal yang sama. Ada

klaim bahwa sebuah negara dikatakan demokratis manakala telah dilaksanakannya

Pemilu di negara tersebut. Padahal demokrasi tidak identik dengan Pemilu, meskipun

keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Tidak ada demokrasi tanpa

Pemilu, tetapi diselenggarakannya Pemilu bukanlah indikasi dari demokrasi.

12

11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008, Ed. Ketiga, Cetakan Kelima), hlm. 249. 12 Held, David, Model of Democracy, Stanford University Press, Cambridge, 1996, hlm. 1.

. Saat ini, demokrasi identik dengan legitimasi kehidupan

politik modern, walaupun makna demokrasi menunjukkan modern yang sangat

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

beragam dan luas, mulai dari pemerintah bervisi teknokrat sampai pada konsepsi

kehidupan sosial yang ditandai oleh ektensifnya partisipasi politik.

Demokrasi merupakan sebuah konsep yang berarti pemerintahan di mana

kekuasaan tertinggi (atau kedaulatan) ada di tangan rakyat atau sering juga dikatakan

bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau pemerintahan mayoritas.

Salah satu defenisi demokrasi yang paling umum, bahwa demokrasi adalah

pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan

langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem

pemilihan bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi, di

antaranya adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara langsung atau melalui

perwakilan, kedaulan di tangan rakyat, sistem pemilihan yang bebas. Prinsip

kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat penting dalam konsepsi tersebut di atas.

Selain prinsip-prinsip maka demokrasi juga mengandung unsur seperangkat praktek

dan prosedur dari sebuah proses pelembagaan kebebasan yang panjang dan berliku.

Dari prakteknya, maka demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk: langsung

dan tidak langsung (sering disebut ‘demokrasi perwakilan’). Demokrasi langsung

adalah sistem demokrasi yang semua warga biasanya aktif terlibat di dalam

pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh

negara; mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada

orang lain yang mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung adalah yang lebih

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

tua atau lebih dikenal sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena.

Demokrasi model ini biasanya dilaksanakan dalam sebuah negara yang kecil dan

dengan penduduk yang jumlahnya kecil.

Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan diberlakukan

oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah negara

yang sangat luas menyebabkan lebih dipilihnya model demokrasi tidak langsung atau

demokrasi perwakilan ini. Dalam model ini warga akan memilih wakil-wakil atau

pejabat-pejabat yang akan membuat keputusan atau kebijakan politik, merumuskan

undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama

mereka. Warga mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka

pada para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui Pemilu.

Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh penguasa atau pemerintah baik

untuk membuat keputusan atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya

diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan melalui Pemilu.

Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang

akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Dengan kata

lain ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat untuk mewakili mereka

di dalam Pemilu maka warga sekaligus memberikan mandat pada para wakil dan

pejabat tersebut untuk dan atas nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

kebijakan dan melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh

wakil atau pejabat yang mengatasnamakan rakyat maka pemilihan harus demokratis.

Untuk Indonesia, sejak masa pergolakan politik dalam rangka pencapaian

kemerdekaan, para pendiri negara memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam

menentukan pemikiran politik yang melandasi praktek-praktek kenegaraan dan

demokrasi. Secara historis, pelaksanaan (orde) demokrasi di Indonesia telah

melampaui 4 (empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi liberal (1950-1959),

demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1997), dan demokrasi

pasca orde baru (1998-sekarang).

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan sudah lama dikenal,

yang diperkirakan pertama kali diterapkan di Yunani kuno, sekitar 2500 tahun lalu.13

Pengertian itu bisa saja bertolak belakang atau bertabrakan, meski tidak jarang

juga ditemukan defenisi yang bisa ditarik “benang merahnya”. Sebagai contoh

perbedaan ini bisa diamati dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia—sejak merdeka

Bisa dipahami, betapa demokrasi menjadi pokok pembahasan yang tidak lekang

sepanjang zaman, hingga sekarang. Oleh karena itu, sebagaimana dilihat dari

berbagai literatur, pendefenisian secara beragam mengenai demokrasi oleh para ahli

dan demikian juga pilihan defenisi oleh negara-negara tertentu, menjadi tidak

terelakkan.

13 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yay. Obor Indonesia, 2001), hlm.9.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

hingga sekarang—yang mengenal nama “Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi

Pancasila”. Hingga kini, masih menjadi perdebatan yang tiada akhir tentang

demokrasi. Ini artinya, demokrasi sebagai konsep masih layak dijelajahi dan dicari

bentuk idealnya. Huntington, misalnya, mencatat bahwa pada pertengahan abad

ke 20, dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan umum.

Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi telah didefenisikan berdasarkan

sumber kewenangan bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan

prosedur untuk membentuk pemerintahan.14

Tidak ada defenisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa

defenisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika membicarakan Pilkada

sebagai sebuah proses politik yang sangat penting di negara kita dewasa ini. Prosedur

utama demokrasi, adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat

yang mereka pimpin. Rumusan modern terpenting dari konsep demokrasi ini

dikemukakan oleh Yoseph Schumpeter pada tahun 1942. Dalam studi perintisnya,

Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter menyatakan secara rinci

kekurangan dari apa yang diistilahkannya “teori demokrasi klasik” yang

mendefenisikan demokrasi dengan istilah-istilah “kehendak rakyat [the will of the

people]” (sumber) dan “kebaikan bersama [the common god]” (tujuan). Setelah

meruntuhkan secara efektif pendekatan itu, Schumpeter mengemukakan apa yang ia

14 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terj. Asril Marjohan (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 4.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

namakan “teori lain mengenai demokrasi”. Metode demokratis”, katanya, “adalah

prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu

memperoleh suara rakyat”.15

Huntington mendefenisikan sistem politik abad ke-20 sebagai demokratis

sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih

melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para

calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk

dewasa berhak memberikan suara. Dengan demikian, menurut defenisi Huntington,

demokrasi mengandung dua dimensi, yakni kompetisi dan partisipasi. Demokrasi

juga, kata Huntington lebih lanjut, mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan

politik yaitu kebebasan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi,

yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye

pemilihan itu.

16

Lebih lanjut, Huntington menjelaskan, defenisi demokrasi dari sudut prosedur

ini memberikan sejumlah patokan yang memungkinkan kita untuk menilai sejauh

manakah suatu sistem politik bersifat demokratis, membandingkan sistem-sistem dan

menganalisis apakah suatu sistem bertambah atau berkurang demokratis. Bila di

sebuah negara masih ada pembatasan hak pilih pada sebagian pihak, maka sistem itu

tidak demokratis. Begitu pula, suatu sistem menjadi tidak demokratis apabila oposisi

15 Ibid., hal. 4-5 16 Ibid., hal. 5-6.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

tidak diperbolehkan di dalam pemilihan umum, atau oposisi itu dikontrol atau

dihalang-halangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, atau koran-koran

oposisi disensor atau dibredel, atau hasilnya menimbulkan pertanyaan mengenai

tingkat kompetisi yang diperbolehkan oleh sistem itu. 17

Pendapat Huntington di atas tampaknya tidak jauh berbeda dengan pendapat

Robert A. Dahl, yang dikenal sangat intens membahas tema demokrasi. Menurut

Dahl,

18

Ketiga, pemahaman yang cerah. Dalam batas waktu yang rasional, setiap

anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari

kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi yang mungkin.

Keempat, pengawasan agenda. Setiap anggota harus mempunyai kesempatan

eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahn yang dibahas dalam

demokrasi adalah suatu sistem politik yang memberikan kesempatan untuk

beberapa hal berikut ini. Pertama, partisipasi efektif. Sebelum sebuah kebijakan

digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama

dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota

lainnya, sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. Kedua, persamaan suara.

Ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap

anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan

suara dan seluruh suara harus dihitung sama.

17 Ibid., hal. 6 18 Robert A. Dahl, op.cit., hal. 52-53.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh tiga kriteria sebelumnya tidak

pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasional tersebut selalu terbuka untuk dapat

diubah oleh para anggotanya jika mereka menginginkannya begitu. Kelima,

pencakupan orang dewasa. Semua, atau paling tidak sebagian besar orang dewasa

yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang

ditunjukkan oleh empat kriteria sebelumnya.

Lebih lanjut lagi, Dahl merumuskan lembaga-lembaga politik dalam

pemerintahan demokrasi perwakilan modern sebagai berikut:19

1. Para pejabat yang dipilih. Kendali terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih oleh warga negara. Jadi, pemerintahan demokrasi skala besar yang modern merupakan perwakilan;

2. Pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala. Para pejabat yang dipilih ditentukan dalam pemilihan umum yang sering kali diadakan dan dilaksanakan dengan adil, di mana tindakan pemaksaan agak jarang terjadi;

3. Kebebasan berkumpul. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya bahaya hukuman yang keras mengenai masalah-masalah persamaan politik yang didefenisikan secara luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada;

4. Akses ke sumber-sumber informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif dan bebas dari warga lain, para ahli, surat kabar, majalah, buku, telekomunikasi dan lain-lain. Lagi pula, sumber-sumber informasi alternatif yang ada secara nyata tidak berada di bawah kendali pemerintah atau kelompok politik lain yang berusaha mempengaruhi keyakinan dan tingkah laku masyarakat dan sumber-sumber alternatif ini secara efektif dilindungi undang-undang;

5. Otonomi asosiasional. Untuk mencapai hak mereka yang beraneka ragam itu, termasuk hak yang diperlukan untuk keefektifan tindakan lembaga-lembaga politik demokrasi, maka warga negara juga berhak membentuk perkumpulan atau

19 Ibid., hal. 118-120

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas;

6. Hak warga negara yang inklusif. Tak seorang dewasa pun yang menetap di suatu negara dan tunduk pada undang-undang tersebut dapat diabaikan hak-haknya, hal ini diberikan kepada warga lainnya dan diperlukan kelima lembaga politik yang baru saja disebutkan. Hak-hak tersebut meliputi hak memberikan suara untuk memilih para pejabat dalam pemilihan umum yang bebas dan adil; hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan; hak untuk bebas berpendapat; hak untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi politik; hak untuk mendapatkan sumber informasi yang bebas; dan hak untuk berbagai kebebasan dan kesempatan lainnya yang mungkin diperlukan bagi keberhasilan tindakan lembaga-lembaga politik pada demokrasi skala besar.

Tidak jauh berbeda dengan Dahl maupun Huntington, dalam pembahasan

lainnya, Linz & Stepan, mendefenisikan demokrasi sebagai berikut:20

Berdasarkan sejumlah indikator demokrasi yang dikemukakan sejumlah

ilmuwan politik, Afan Gaffar mencoba menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk

Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan dasar lain bagi setiap orang, persaingan yang bebas dan anti kekerasan di antara para pemimpin dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan mereka. Secara praktis, ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

20 Juan J. Linz & Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi” dalam Juan Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara lain (Bandung: Mizan-LIPI & Ford Foundation), hal.26-27.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

mengamati apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau

tidak, yakni:21

1. Akuntabilitas. Dalam demokrasi setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan, perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas;

2. Rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang untuk orang lain tertutup sama sekali;

3. Rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan satu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja;

4. Pemilihan umum. Dalam sebuah negara yang demokratis, Pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Warga bebas menentukan partai atau calon yang didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara;

5. Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat dan hak menikmati pers yang bebas. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, ia punya hak untuk ikut menentukan agenda yang diperlukan. Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi politik dan nonpolitik tanpa dihalang-halangi oleh siapa pun dan institusi manapun. Kebebasan pers dalam masyarakat yang demokratis mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang

21 Gaffar, Afan, Politik Indonesia:Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 7-9.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

perlu, sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut, ataupun mangadu-domba sesama warga masyarakat.

Untuk melengkapi beberapa teori demokrasi di atas, berikut indikatornya,

perlu kiranya dicatat satu hal penting lagi menyangkut hakekat demokrasi, yakni

tersedianya mekanisme cheks & balances dalam berbagai proses politik. Dalam

sistem politik demokrasi, menurut Ramlan Surbakti,22

2.2 Otonomi Daerah dan Desentralisasi

terdapat distribusi kekuasaan

yang relatif merata di antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Situasi ini

akan menimbulkan persaingan dan saling kontrol antara kelompok yang satu dan

kelompok yang lainnya, antara lembaga pemerintah yang satu dengan lembaga yang

lain (legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan antara kelompok sosial dan lembaga

pemerintahan. Akan tetapi, pada pihak lain, kelompok-kelompok sosial maupun

lembaga-lembaga pemerintah mempunyai suatu kesadaran dan kesepakatan bahwa

kekuasaan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat umum.

Maka untuk mewujudkan kesejahteraan umum diperlukan kesediaan untuk

berkompromi dan bekerja sama, bahwa pemerintah sebagai lembaga yang memadai

untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Jadi, persaingan dan saling kontrol di

antara pusat-pusat kekuasaan akan melahirkan konflik, sedangkan kesadaran dan

kesepakatan akan melahirkan konsensus.

22 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh, Grasindo, Jakarta:2010, hal. 220-221.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

Otonomi daerah (desentralisasi) bisa diartikan dalam berbagai cara sesuai

dengan perspektif masing-masing. Rodinelli dan Cheema mendefenisikan otonomi

daerah adalah sebagai berikut :23

Otonomi daerah atau desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat bagi

masyarakat di daerah ataupun pemerintah nasional. Shabbir Cheema dan Rondinelli

Decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal (italics in original) organization, local government or non-governmental orgainzation.

(Otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi-otonom dan parastatal (teks aslinya berhuruf miring), ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah.

Di Indonesia, salah satu wujud pengembangan desentralisasi dalam hubungan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah otonomi daerah. Hal ini berarti

bahwa desentralisasi mengacu kepada pembentukan sebuah area (teritory) yang

disebut sebagai daerah otonom yang berkedudukan sebagai tempat wewenang

diserahkan atau diatur, diurus, dan dilaksanakan. Daerah tersebut memiliki hak

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun demikian desentralisasi

(otonomi) tidaklah menghapuskan kekuasaan pemerintah pusat.

23 Said, M. Mas’ud, Arah Baru Otonomi Daerah Indonesia, Malang, UPT Penerbitan Univ. Muhammadiyah, 2008, hal. 5.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

menyampaikan paling tidak ada empat belas (14) alasan yang merupakan rasionalitas

dari desentralisasi, yaitu:24

1. Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.

2. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.

3. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistis dari pemerintah.

4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana sering kali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.

5. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.

6. Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga private di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka peluang bagi masyarakat di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan manajerial.

7. Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.

24 Syaukani, HR, H, Drs, dkk., Otonomi Daerah, Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal. 32-35.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

8. Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah. Propinsi, kabupaten, dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di dunia ke III di mana banyak sekali program pedesaan yang dijalankan.

9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti itu dapat merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada pemerintah.

10. Dengan menyediakan model alternatif cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.

11. Desentralisasi juga menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya.

12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.

13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.

14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.

Selain dampak positif (alasan rasional) desentralisasi atau otonomi dalam

sistem pemerintahan atau pola hubungan atara pemerintah pusat dan pemerintah

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

daerah sebagaimana dijelaskan di atas, desentralisasi atau otonomi juga mengandung

kelemahan, antara lain:25

1. Karena besarnya unsur pemerintahan, struktur pemerintahan bertambah kompleks sehingga dapat mempersulit koordinasi.

2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.

3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.

4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena memerlukan perundingan yang bertele-tele, dan

5. Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya lebih banyak dan sulit memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.

Namun demikian, di Indonesia, pilihan otonomi merupakan pilihan yang

sangat strategis dalam rangka memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah

lama kita bangun, dan kita pelihara. Dengan otonomi kita dapat mengembalikan

harkat, martabat, dan harga diri masyarakat di daerah, karena masyarakat di daerah

selama puluhan tahun bahkan sejak kemerdekaan telah mengalami proses

marginalisasi.

2.3 Perilaku Memilih dan Partisipasi Politik

2.3.1 Perilaku Memilih

Perilaku memilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang

berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak

25 Ishak, Posisi Politik Masyarakat Dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta: Penaku, 2010, hal. 20

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

memilih (to vote or not to vote) dalam sebuah pemilihan umum, bila pemilih

memutuskan untuk memilih (to vote) maka pemilih akan memilih atau mendukung

suatu partai politik atau kandidat tertentu.26

26 Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 185-186.

Beragam fenomena politik dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan

tingkah laku (behavioral approach). Salah satu aspek tingkah laku politik itu adalah

tingkah laku pemilih, yang khusus membahas tingkah laku individual warga negara

dalam hubungannya dengan kegiatan pemilihan umum. Persoalan ini menyangkut

serangkaian kegiatan untuk membuat keputusan apakah memilih atau tidak memilih

dalam pemilihan umum dan kalau memutuskan untuk memilih apakah memilih partai

atau kandidat A ataukah partai atau kandidat B. Persoalan memilih dan tidak memilih

merupakan hak seorang warga negara. Di Indonesia hak memilih dikenal dengan hak

pilih aktif yakni hak yang dimiliki seseorang untuk ikut dalam memberikan suara

pada saat pemilihan umum. Memilih dan tidak memilih juga dapat dikategorikan

sebagai partisipasi politik sepanjang kegiatan tersebut dilakukan secara sadar.

Untuk menjelaskan perilaku memilih, ada dua model pendekatan yang umum

digunakan, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.

2.3.1.1 Pendekatan Sosiologis

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

Pendekatan sosiologis merupakan produk Eropa yang disebut juga Mazhab

Columbia (Columbia School). Dipelopori oleh kajian Lazarsfeld (1948) yang

mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi perilaku memilih, agama, tempat

tinggal (desa-kota) dan status ekonomi. 27 Pendekatan sosiologis menempatkan

kegiatan pemilih dalam kaitan konteks sosial yakni, latar belakang demografi dan

sosial ekonomi seperti: jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), pendidikan,

pekerjaan, kelas dan agama. 28 Singkatnya, karakteristik sosial masyarakat

menentukan pilihan politiknya. Menurut Gaffar, kelemahan dari pendekatan

sosiologis terletak pada metodologinya. Bagaimana mengukur dan memastikan

konsep kelas atau konsep pendidikan misalnya? 29

Faktor aliran merupakan salah satu contoh pendekatan sosiologis. Menurut

Afan Gaffar, politik aliran merupakan orientasi dan perilaku keagamaan yang

mendasari pembentukan organisasi sosial dan politik. Perbedaan orientasi keagamaan

mengakibatkan orang-orang “abangan” memiliki orientasi politik yang berbeda

dengan orang-orang “santri”. Orang-orang abangan cenderung memilih partai politik

yang tradisional, sekuler dan nasionalistik, sedangkan orang-orang santri cenderung

memilih partai-partai Islam.

30

27 Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, London: George Allen & Unwin, 1983, hal 84. 28 Gaffar, Afan, Javanese Voters. A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992, hal. 4. 29 Ibid, hal. 7. 30 Gaffar, op,cit, hal. 126.

Peranan aliran dalam menjelaskan perilaku memilih

pasca orde baru terdapat dua pendapat yang berbeda. Dwight Y. King, menyatakan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

pada pemilu 1999 aliran masih mampu menjelaskan perilaku memilih di Indonesia,31

namun penelitian William Liddle dan Saiful Mujani menyatakan pemilu 1999 dan

2004, aliran tidak begitu penting lagi peranannya dalam menjelaskan perilaku

memilih.32

Model pendekatan sosiologis menggambarkan peta kelompok masyarakat dan

setiap kelompok dilihat sebagai basis dukungan terhadap partai tertentu, setiap

kelompok dalam masyarakat mempunyai tujuan, memiliki pemimpin aktivitas rutin

Model pendekatan sosiologis menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan

pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan

dalam menentukan perilaku memilih. Pengelompokan sosial seperti umur (muda-tua),

jenis kelamin (laki-laki), agama dan semacamnya, dianggap memiliki peran yang

cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Untuk itu pemahaman

terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti keanggotaan seseorang

dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal

seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan

suatu yang sangat vital dalam memahami perilaku kelompok, karena kelompok-

kelompok ini memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi

seseorang.

31 King, Dwight Y, Half-Hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, (Westport: Praeger, 2003), Chapter 6. 32).Liddle, R. William dan Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Lihat www. Isi.or.id.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

dan sistem komunikasi sendiri-sendiri, peranan masyarakat sebagai sistem yang

mempunyai stratifikasi dan kajian terhadap pekerjaan serta kedudukan seseorang di

tengah masyarakat sangat penting dalam memahami perilaku memilih, pendekatan

sosiologis mengasumsikan bahwa preferensi partai politik, sebagaimana juga

preferensi voting, adalah produk karakteristik sosio-ekonomi, seperti pekerjaan,

kelas, agama, dan ideologi.33

Dalam memahami perilaku kelompok, hal yang perlu mendapat perhatian

adalah pemahaman terhadap kognisi individu dalam interaksi dengan kelompok, di

mana kognisi yang sama antara anggota sub kultur terjadi karena sepanjang hidup

mereka yang dipengaruhi lingkungan fisik dan sosio-cultural yang relatif sama,

mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama, termasuk dalam

kaitannya dengan preferensi pihak politik.

34

Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak

benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu,

pengetahuan dan informasi sekarang dan persepsi yang berkesinambungan. Nilai

melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, pengharapan

mengandung citra seseorang tentang akan seperti apa keadaan setelah tindakan.

Dalam pendekatan sosiologis, karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan

33 Adman Nursal, Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.54. 34 Ibid

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

faktor yang mempengaruhi perilaku memilih dan pemberian suara yang pada

hakekatnya adalah pengalaman kelompok.35

Pendekatan psikologis lahir di Amerika disebut juga dengan Mazhab

Michigan (Michigan School). Pendekatan psikologis merujuk pada persepsi pemilih

terhadap partai-partai atau kedekatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.

Salah satu konsep penting dari pendekatan psikologis adalah identifikasi partai.

2.3.1.2 Pendekatan Psikologis

36

Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya

merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain. 37

Menurut Gaffar, kelemahan pendekatan psikologis karena kurang mampu

menjelaskan hubungan sikap dan perilaku. Bagaimana sikap mempengaruhi perilaku

dalam membuat keputusan? Dengan kata lain yang mana lebih dahulu sikap atau

perilaku dalam membuat keputusan? Disamping itu apakah sikap dan perilaku

perorangan merefleksikan sikap dan perilaku kelompok?38

Menurut Gaffar, studi tentang perilaku memilih di Indonesia masih diliput i

perdebatan klasik apakah perilaku memilih ditentukan oleh faktor budaya atau kelas.

Di Barat kelas golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan

35 Ibid 36 ). Kavanagh, op,cit, hal. 86. 37 ). Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 187. 38 ). Gaffar, op,cit, hal. 9.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

oleh posisi tertentu dalam proses produksi, memainkan peranan yang sangat penting

dalam membentuk perilaku politik. Menurut Seymour Martin Lipset, Pemilu di Barat

merupakan “ekspresi dari perjuangan kelas“. 39 Sementara di Indonesia diyakini

perilaku memilih masyarakatnya lebih ditentukan faktor budaya dibandingkan faktor

kelas. Kajian Gaffar tentang perilaku memilih pada masa orde baru menyimpulkan,

aliran, identifikasi partai politik dan kepemimpinan merupakan faktor yang lebih

berperan penting dalam mempengaruhi perilaku memilih dibanding dengan faktor

kelas atau status ekonomi.40 Pasca orde baru, kajian berdasarkan hasil Pemilu 1999

menunjukkan faktor agama dan etnis lebih berperan dalam mempengaruhi perilaku

memilih dibanding status ekonomi. 41

Angus Campbell seperti dikutip Afan Gaffar menyatakan dalam pendekatan

psikologis, selain konsep identifikasi partai, preferensi terhadap kandidat/pemimpin

dan preferensi terhadap isu-isu politik mempengaruhi perilaku memilih.

Penelitian ini secara eksplisit kembali

mengkonfirmasi bahwa faktor kelas bukan faktor determinan dalam membentuk

perilaku memilih di Indonesia. Dari beberapa penelitian tersebut, faktor kelas kurang

penting peranannya dalam menjelaskan perilaku memilih.

42

Pertama, identifikasi partai. Identifikasi partai merupakan orientasi individual

terhadap partai politik tertentu. Kedekatan seseorang secara emosional dengan partai

39 ). Ibid, hal. 5-6. 40). Ibid, hal. 164. 41 ). Aris Ananta,dkk, Indonesia Electoral Behavior. A Statistical Perspective (Singapore: Insitute Of Southeast Asian Studies ( ISEAS ), 2004), hal. 373-378, 391-395. 42 Gaffar, op. cit, hal 133.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

tertentu dibangun melalui proses sosialisasi politik. Sosialisasi politik merupakan

proses menanamkan nilai-nilai dan norma-norma politik dari generasi ke generasi

melalui orang tua, sekolah, media massa dan partai politik. Proses sosialisasi politik

ini menyebabkan kedekatan seseorang dengan partai tertentu dan menimbulkan sikap

pada orang itu cenderung memilih partai tertentu. Kajian Afan Gaffar pada masa orde

baru menunjukkan faktor identifikasi partai paling penting mempengaruhi perilaku

memilih. 43 Demikian juga penelitian R. William Liddle dan Saiful Mujani pada

Pemilu 1999 dan 2004 mengungkapkan bahwa faktor identifikasi partai adalah faktor

penting menjelaskan perilaku memilih.44

Kedua, Kepemimpinan. Menurut William Liddle, preferensi terhadap

pemimpin-pemimpin politik mempengaruhi perilaku memilih baik pada masa orde

lama, orde baru maupun pasca orde baru. Penelitian Liddle dan Mujani pada

pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 menunjukkan preferensi terhadap

kepemimpinan merupakan faktor terpenting menjelaskan perilaku memilih.

45

43 ). Gaffar, op,cit, hal. 124. 44 ). Liddle, R. William dan Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Lihat www. Isi.or.id. 45 ). Ibid.

Untuk

mengkaji perilaku memilih di daerah-daerah yang kultur tradisionalnya masih kuat,

diperlukan uraian terhadap pemimpin tradisional dan kharismatis.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

Dari beberapa pendekatan yang telah diuraikan itu, menurut Afan Gaffar, baik

pendekatan sosiologis maupun pendekata psikologis mempengaruhi perilaku pemilih

di Indonesia.46

Sementara itu, Ramlan Surbakti, mengelompokkan perilaku memilih menjadi

lima model pendekatan. Ke-lima model pendekatan tersebut adalah struktural,

sosiologis, ekologis, psikologi sosial, dan pilihan rasional:

47

Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini cenderung menempatkan kegiatan

memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam

pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti

Pendekatan struktural. Pendekatan ini menekankan bahwa kegiatan

memilih terjadi dalam konteks yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai,

peraturan Pemilu, dan lain-lain. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan

politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan

pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai,

basis sosial, sistem partai, dan program-program yang ditonjolkan mungkin berbeda

dari satu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut. Partai

Republik di Amerika, misalnya, basisnya adalah masyarakat industri dan kaum

kapitalis, sementara Partai Demokrat berbasiskan petani.

46 Gaffar, op, cit, hal. 10. 47 Ramlan Surbakti, op. cit., hal.186-187.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II

jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan,

dan agama.

Pendekatan Ekologis. Pendekatan ini hanya relevan apabila dalam suatu

daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial,

seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kalau di Amerika Serikat terdapat

distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe penganut agama

tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu, dan

profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi

penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas

perubahan hasil pemilihan umum. Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan

karena karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat propinsi berbeda

dengan karakteristik data kabupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda

dengan karakteristik data tingkat kecamatan.

Pendekatan Psikologi Sosial. Pendekatan ini melihat faktor psikologis yang

melatarbelakangi pilihan seseorang. Konsep yang ditawarkan adalah identifikasi

partai. Konsep ini mengacu kepada proses pemilihan melalui nama seseorang yang

merasa dekat dengan salah satu partai. Salah satu variabel yang banyak ditawarkan

oleh pendekatan ini adalah identifikasi partai. Identifikasi partai ini diartikan sebagai

perasaan yang dekat dan rasa memiliki dari seseorang kepada salah satu partai politik.

Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya

merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II

Pendekatan Rasional. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih

sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya

“ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang

diharapkan, tetapi ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri

untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih,

pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai

atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih

atau tidak ikut memilih? Yang terakhir ini membawa kita bukan pada pertanyaan,

mengapa warga negara yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilih?

Melainkan, pada pertanyaan mengapa banyak warga masyarakat bersusah payah

menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum? Jawaban yang diberikan dengan

pendekatan pilihan rasional tidak selalu memuaskan karena cukup banyak warga

masyarakat menggunakan hak pilih sebagai kebanggaan psikologis, seperti

menunaikan kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas kelompok, dan

menunjukkan loyalitas terhadap partai. Sebagian warga masyarakat juga

menggunakan hak pilih berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan akurat, seperti

tradisi, ideologi, dan citra partai. Keempat pendekatan di atas sama-sama berasumsi

bahwa memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan

paksaan dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di negara-negara berkembang,

perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana disebutkan oleh

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II

keempat pendekatan di atas, tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh tekanan

kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu.

2.3.2 Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan

berdemokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) adalah orang yang

paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena

keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan

memengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat berhak ikut

serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan

partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala

keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya.48

Dampak dari adanya komunikasi politik yang efektif adalah adanya partisipasi

politik rakyat yang sering diperhatikan dalam pelaksanaan pemilihan umum di

negara-negara demokratis. Karena itu, tingkat partisipasi politik masyarakat di negara

berkembang merupakan masalah yang menarik bagi para ahli politik. Secara umum

defenisi partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang

ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan

negara dan secara langsung dan tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah

48 Ibid, hal. 179-180.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II

(public policy). Kegiatan berpartisispasi tersebut di antaranya, memberikan suara

pada Pemilu, menghadiri rapat umum (kampanye), menjadi anggota parpol atau

organisasi sosial politik yang underbauw partai politik, mengadakan hubungan

dengan pejabat pemerintah atau parlemen yang bertujuan politik.

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya No Easy Choice:

Political Participation in Developing Countries menyatakan bahwa: partisipasi

politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang

dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi

bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,

secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.49

Partisipasi dapat berbentuk otonom (autonomous participation) dan partisipasi

yang dimobilisasi (mobilized participation). Pada umumnya orang beranggapan

Pemikiran mengenai partisipasi politik bagi negara demokratis berangkat dari

prinsip kedaulatan adalah di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan

bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk

menentukan orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan publik dan politis.

Jadi partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan

politik yang absah oleh masyarakat. Dalam negara demokratis makin banyak

masyarakat mengambil peran maka akan makin baik proses demokrasi terlaksana.

49 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 368.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II

bahwa demonstrasi, teror, pembunuhan (lawan) politik, dan bentuk kekuasaan lain

yang bermotif politik juga merupakan bentuk partisipasi. Namun Verba50

Menurut Surbakti, ada beberapa rambu-rambu partisipasi politik:

tidak mau

masuk dalam bentuk partisipasi yang rumit tersebut, akan tetapi membatasi diri pada

tindakan-tindakan yang legal. Metode atau cara berpartisipasi, intensitasnya terkait

dengan keterikatan atau posisi politik yang dimiliki seseorang.

51

Dalam pandangan Surbakti ini, pada sistem politik yang mantap, melembaga,

dan mendapat dukungan, hanya kegiatan konvensional dan tidak berupa kekerasan

Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk memengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk ke dalam pengertian ini, seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga, baik kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal memengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Keempat, kegiatan memengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara individu dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu memengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (nonviolence) seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka, dan menulis surat, maupun dengan cara-cara diluar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti demonstrasi (unjuk rasa), melakukan pembangkangan halus (seperti lebih memilih kotak kosong daripada memilih calon yang disodorkan pemerintah), huru-hara, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan revolusi.

50 Ibid. 51 Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 180-181.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II

yang dimasukkan ke dalam kategori partisipasi politik. Partisipasi politik di negara-

negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara,

tetapi dalam kenyataannya, persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari

satu negara dengan negara lain.

2.4 Sistem Politik Orde Baru dan Pasca-Orde Baru

Pembangunan ekonomi dan politik Indonesia sejak awal orde baru didasarkan

pada dua kebijakan utama, yaitu memacu pertumbuhan ekonomi yang setinggi-

tingginya dan hal ini ditumpukan pada pengetatan stabilitas politik dan keamanan.52

Atas dasar itulah dilakukan pengaturan kembali (restrukturisasi) sistem politik

yaitu dengan penyederhanaan sistem kepartaian dan berbagai bentuk regulasi yang

melarang aktivis-aktivis partai politik sampai ke tingkat desa dan dalam upaya

menjauhkan rakyat dari aktivitas politik (floating mass). Eksistensi organisasi-

Kedua pilar kebijakan ini didasarkan pada tesis bahwa untuk menyelamatkan

perekonomian dari kehancuran yang diwariskan rezim orde lama, masa depan

Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi

dilihat sebagai dosa masa lalu, yang menyebabkan ketidakstabilan politik dan

kehancuran ekonomi.

52 Hal ini telah dieksplorasi secara komprehensif oleh banyak ahli, antara lain, lihat Mohtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (terjemahan disertasi), Jakarta: LP3ES, 1989, terutama Bab I.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II

organisasi kemasyarakatan lainnya juga tidak luput dari pembatasan dan penekanan.

Pemilu dirancang untuk kemenangan mutlak (Partai) Golongan Karya sebagai partai

pemerintah, susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD diwarnai oleh sistem

pengangkatan dari berbagai golongan dan ABRI yang biasanya diidentifikasi sebagai

pendukung setia penguasa.

Militer diberi ruang hampir tak terbatas dalam kehidupan sosial-politik (dwi

fungsi) yang melahirkan apa yang sering disebut security approach, di mana militer

mendapatkan peran yang sangat signifikan dalam melakukan supervisi dan

manajemen politik, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemerintahan dan

penegakan hukum.53

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, kita menyaksikan perubahan-

perubahan besar berbagai aspek dalam sistem politik Indonesia kontemporer,

Militer, dengan demikian, bukan sekedar alat pertahanan negara

yang kita kenal dalam konsep negara demokrasi modern.

Semua pembatasan dan pengekangan itu dituangkan dalam “5 Paket UU

Politik”, yang secara praktis mampu memasung kebebasan rakyat dan memotong

jalur-jalur komunikasi aspirasi masyarakat secara fundamental. Oleh karenanya,

hampir tidak ada organisasi sosial yang luput dari campur tangan negara. Bahkan,

semua potensi kekuatan sosial-politik itu direkayasa sedemikian rupa melalui

organisasi-organisasi korporatik negara (state corporatism).

53 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Security Approach dan Prospek Penegakan Hukum”, makalah seminar “Demokrastisasi Menegakkan Rule of Law”, CESDA, Jakarta, 29 April 1993, hal. 47-50.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II

khususnya liberalisasi politik yang begitu luas pasca-lengsernya rezim otoritarian

Soeharto sejak tahun 1998. Perubahan itu, antara lain, adalah kebebasan hak-hak sipil

dan politik utamanya kebebasan mengemukakan pendapat, berorganisasi, pers;

desentralisasi pemerintahan; kebijakan multi-partai; perubahan dalam sistem

kepemiluan; serta perubahan dalam aspek ketata-negaraan yakni dengan munculnya

lembaga-lembaga negara baru untuk menopang demokratisasi seperti mahkamah

konstitusi, komisi yudisial, dewan perwakilan daerah, komisi pemilihan umum, dan

lain-lain. 54 Bahkan, di tingkat global Indonesia kini sudah dikategorikan sebagai

salah satu negara demokratis, walaupun harus diakui berkembangnya berbagai

persoalan pelik yang mengancam kualitas demokrasi itu sendiri, seperti menguatnya

politik identitas antara lain ditandai munculnya peraturan-peraturan daerah bernuansa

agama, kekerasan berbasis suku dan agama, terorisme, dan lainnya.55

Orde Baru

Secara sederhana, perubahan politik pasca-Orde Baru ini dapat

disederhanakan seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Perubahan Politik Pasca-Orde Baru

Reformasi

Demokrasi Pancasila (1966-1998) Demokrasi Era Transisi (1998-sekarang)

54 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. 55 Noorhaidi Hassan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Soeharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Volume One, 2008, hal. 23-51.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II

Karakteristik

• Kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan sangat tinggi.

• Partai politik dibatasi jumlah dan peran politiknya.

• Pemilu terselenggara teratur setiap lima tahun; tapi partai politik pemenangnya sudah dapat dipastikan.

• Tidak ada pergantian kekuasaan politik, Soeharto berkuasa selama lima periode Pemilu.

• Rekruitmen politik bersifat tertutup. • Peran militer sangat kuat dengan

konsep dwi-fungsi ABRI. • Kebebasan pers dibatasi,

Pembreidelan media massa kerap terjadi.

• Sistem pemerintahan sentralistik.

Karakteristik

• Sistem pemerintahan presidensial, tetapi parlemen terdiri dari banyak partai (multi-partai).

• Sistem pemilihan langsung untuk presiden dan kepala daerah.

• Pemilu setiap lima tahun dengan asas luber dan jurdil.

• Lembaga perwakilan dibagi menjadi DPR dan DPD.

• Peran militer dikurangi, menjadi hanya alat pertahanan negara (kembali ke barak).

• Lahir komisi-komisi independen negara.

• Pers bebas. • Desentralisasi kekuasaan dengan

model otonomi daerah.

Sumber: Diolah dari Kompas, 13 Agustus 2010.

2.5 Perkembangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah

2.5.1 Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat

Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru,

yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan

kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik di masa orde baru maupun di era

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II

reformasi, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan

di tangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan seolah-olah

berada di tangan partai politik. Partai politik, melalui fraksi-fraksinya di MPR dan

DPR, dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan

negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya,

seperti layaknya pada negara dengan sitem parlementer padahal negara kita menganut

sistem presidentil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat

menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.

Kekuasaan yang dimiliki partai politik ini, antara lain disebabkan oleh sistem

Pemilu yang kita anut di masa lalu, yaitu sistem proporsional. Dalam sistem ini para

pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik tertentu. Selanjutnya, partai

politiklah yang berhak menentukan siapa-siapa yang akan duduk sebagai wakil rakyat

(wakil partai politik?) di DPR atau DPRD. Akibatnya anggota dewan lebih

merasakan dirinya sebagai wakil partai politik, dari pada sebagai wakil rakyat

sehingga mereka lebih banyak berbuat untuk kepentingan partai dari pada

kepentingan rakyat. Dalam sistem ini seseorang yang tidak disukai dan tidak

didukung oleh rakyat pemilih, sepanjang yang bersangkutan masih disukai pimpinan

partainya, keberadaannya di dewan akan selalu terjamin.

Satu-satunya hak politik yang masih dimiliki rakyat adalah hak memberikan

suara pada saat Pemilu berlangsung. Sesudah itu semua hak politik yang dimiliki

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II

rakyat beralih kepada partai politik sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa lagi,

bahkan sudah dilupakan sama sekali. Untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan

rakyat, sistem Pemilu harus diubah, dengan sistem yang memberi peluang kepada

rakyat pemilih, untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Melalui

amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan menambahkan

pasal 6A dan pasal 22E, sistem Pemilu kita diubah menjadi Pemilu secara langsung,

baik untuk Pemilu legislatif, maupun untuk Pemilu presiden dan wakil presiden.

Untuk Pemilu legislatif yang diatur dengan pasal 22E, selanjutnya dijabarkan pada

UU No. 12 tahun 2003 dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 10 tahun 2008,

sedangkan untuk Pemilu presiden dan wakil presiden, diatur dalam pasal 6A yang

selanjutnya dijabarkan dalam UU No. 23 tahun 2003, dan selanjutnya diubah menjadi

UU No. 42 tahun 2008.

Sementara itu, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala

daerah secara langsung sesuai dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004,

merupakan jawaban atas tuntutan pemberian otonomi daerah yang lebih luas. Karena

daerah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sudah

seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan

secara langsung.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II

Warga masyarakat di daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan

yang merupakan hak asasi mereka yang telah dijamin oleh konstitusi kita, UUD

Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah,

berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberikan kesempatan untuk ikut

menentukan masa depan daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih

kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.

Pemilihan Kepala daerah secara langsung ini sangat penting, antara lain

untuk:56

1. Legitimasi yang sama antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan

DPRD

Seperti kita ketahui, anggota DPRD dipilih secara langsung oleg rakyat

pemilih melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila kepala

daerah dan wakil kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh

rakyat, tingkat legitimasi anggota DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang

dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2. Kedudukan yang Sejajar Antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

dengan DPRD

56 Abdullah, H. Rozali, Prof. SH., Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 53-55.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II

Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

pasal 16 ayat (2) dijelaskan bahwa DPRD, sebagai badan legislatif daerah,

berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Pasal 34 ayat (1) UU No.

22 tahun 1999, menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara

dalam pasal 31 ayat (2) jo pasal 32 ayat (3) UU No. 22 tahun 1999, dijelaskan bahwa

kepala daerah dan wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam hal

ini, logikanya adalah bahwa apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih

dan bertanggungjawab kepada DPRD, berarti kedudukan DPRD berada di atas kepala

daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan kedudukan

sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan DPRD,

maka kepala daerah dan wakil kepala daerah, harus dipilih secara langsung oleh

rakyat.

3. Mencegah Terjadinya Politik Uang

Pada era berlakunya UU nomor 22 tahun 1999, sering kita dengar isu,

mengenai terjadinya politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Hal ini sudah merupakan rahasia umum, dan terjadi hampir di semua

daerah. Masalah politik uang ini, dimungkinkan terjadi karena begitu besarnya

wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Dengan dilakukannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah secara langsung, kemungkinan terjadinya politik uang ini bisa dicegah atau

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II

setidak-tidaknya bisa dikurangi. Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin

melakukannya, mereka akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup

banyak.

2.5.2 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada Era Orde Baru

Prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah pada era orde baru diatur

dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah. Perangkat hukum tersebut menjadi satu-satunya UU Pemerintahan Daerah

yang telah diimplementasikan selama sekurang-kurangnya 25 tahun lamanya. Pada

dasarnya UU ini melengkapi paket 5 UU politik lainnya (pemilu, partai politik,

susunan kedudukan legislatif, referendum, organisasi kemasyarakatan) yang

mendukung gagasan sentralisme kekuasaan politik dan stabilitas politik, yang pada

muaranya mendukung proyek pembangunisme yang menjadi ciri utama rezim orde

baru. Potret ketidak-demokratisan UU ini bisa dilihat dari uraian berikut ini.

Pola pemilihan kepala daerah ini dituangkan dalam pasal 15 dan 16. Dalam

pasal 15 UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa:

Kepala Daerah Tingkat 1 dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II

DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut kemudian diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.

Tidak jauh berbeda dengan pola pemilihan gubernur, pemilihan

bupati/walikota juga diatur sebagai berikut:

Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Hasil pemilihan ini diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikit-dikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang di antaranya. 57

Hal ini diperjelas dalam pengaturan yang berbunyi:

Dari bunyi pasal di atas, terlihat jelas bahwa kewenangan pemerintahan pusat

dalam proses pemilihan kepala daerah sangat besar dan menentukan. Undang-undang

ini juga tidak menjelaskan apa saja peran partai politik tersebut. Dalam hal ini, peran

DPRD hanya sekedar ikut mengusulkan, karena proses pengusulan itu sendiri

dilakukan bersama pejabat pemerintah satu tingkat di atasnya. Penentuan hasil akhir

berada di tangan pemerintahan pusat. Dalam hal ini, Presiden diberi kewenangan

yang sangat besar dan menentukan karena bisa mengabaikan hasil pemilihan DPRD.

57 Dikutip dari Pasal 16 UU No. 5/1974.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II

Presiden dalam mengangkat kepala daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden. 58

58 Dikutip dari penjelasan Pasal 15 UU No. 5/1974.

Tidak jauh berbeda dengan pola pengambilan keputusan dalam proses

pengangkatan dan penetapan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dalam bagian

penjelasan pasal 16 UU No. 5 tahun 1974 juga ditegaskan bahwa Menteri Dalam

Negeri, yang bertindak atas nama Presiden, menetapkan calon bupati/walikota terpilih

dan tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon.

Ada alasan tersendiri kenapa intervensi pemerintahan pusat begitu besar dan

dibenarkan dalam proses pengangkatan kepala daerah. Dalam bagian penjelasan

umum (poin 4-e-1) UU No. 5/1974 ini disebutkan bahwa:

Dalam diri kepala daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang kepala daerah; dalam pengangkatan seorang kepala daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai kepala wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan. Dan sebagai kepala daerah otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II

2.5.3 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 22/1999

Setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, lahirlah UU No.

22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang merevisi secara total Undang-

undang Pemerintahan Daerah yang berlaku pada era orde baru. Undang-undang yang

dilahirkan pada era Presiden B.J. Habibie ini memperkenalkan sebuah pola baru

pemilihan dan pembentukan kepala daerah, yang pada muaranya membawa implikasi

terhadap hubungan antara kepala daerah dengan DPRD dan pemerintah pusat. Karena

mengandung semangat pemberian otonomi yang lebih luas bagi daerah, maka UU ini

sering juga disebut sebagai UU Otonomi Daerah.

Regulasi yang berkaitan dengan kepala daerah, telah dimuat dalam UU No. 22

tahun 1999, mulai dari Pasal 30 sampai dengan pasal 58. Untuk kebutuhan yang lebih

operasional, pemerintah juga menerbitkan beberapa regulasi, di antaranya Peraturan

Pemerintah No. 151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan

Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu, pemerintah juga

menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

Bila pada UU No. 5 tahun 1974 peran dan posisi DPRD sangat lemah, maka

dalam UU No. 22 tahun 1999 ini posisi DPRD justru begitu dominan atau

menentukan dalam proses pemilihan dan pemberhentian kepala daerah. Dalam pasal

18 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, disebutkan bahwa tugas dan kewenangan DPRD

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II

di antaranya adalah memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan

walikota/wakil walikota; serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian

gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota.

Dalam UU nomor 22 tahun 1999 tersebut, prosedur pemilihan kepala daerah

diatur dalam pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Pengisian jabatan kepala

daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara

bersamaan”. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: “Calon kepala daerah dan calon

wakil kepala daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan

pemilihan”. Hampir keseluruhan proses politik yang berkaitan dengan pemilihan

kepala daerah, lebih banyak dikendalikan oleh lembaga DPRD. Panitia

penyelenggaraan pemilihan 59

Selanjutnya dalam pasal 35 disebutkan, bahwa tugas panitia pemilihan

tersebut adalah a) melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakal calon

berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; b) melakukan kegiatan teknis

pemilihan calon; dan c) menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan.

Selain kepanitiaan berasal dari DPRD, proses penjaringan bakal calon juga dilakukan

, misalnya, berasal dari kalangan DPRD. Seperti dimuat

dalam pasal 34 ayat (4) yang berbunyi: “Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena

jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Pemilihan merangkap sebagai

anggota”.

59 Dalam pasal 8 PP No. 151/2000 diatur lebih rinci tentang kepanitian.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II

oleh fraksi di DPRD, bukan oleh partai politik.60

Dalam proses selanjutnya diatur bahwa sebelum bakal calon ditetapkan

menjadi calon, maka terlebih dahulu setiap fraksi atau beberapa fraksi memberi

penjelasan mengenai bakal calonnya. Pimpinan DPRD juga diberi peluang untuk

mengundang bakal calon agar bisa menjelaskan visi, misi serta rencana-rencana

kebijakannya. Dari proses itu, maka pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi

melakukan penilaian atas kemampuan dan kepribadian para bakal calon. Langkah

selanjutnya adalah proses penetapan sekurang-kurangnya dua pasang calon, yang

dihasilkan lewat mekanisme musyawarah atau voting di kalangan DPRD.

Berdasarkan pasal 36 UU No. 22

tahun 1999, dinyatakan bahwa setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon kepala

daerah/wakil kepala daerah untuk kemudian disampaikan ke pimpinan DPRD.

Dengan catatan, dua fraksi atau lebih diberikan kesempatan untuk bersama-sama

mengajukan pasangan bakal calon tertentu.

61 Setelah

proses penetapan calon, maka agenda selanjutnya adalah pemilihan. Khusus calon

gubernur/wakil gubernur, sebelum dilakukan pemilihan, masih perlu dikonsultasikan

dengan presiden.62

Proses pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat

paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah

60 Dalam Pasal 15 Ayat (3) PP No. 151/2000 disebutkan bahwa dalam proses penjaringan dan penelitian dokumen, masing-masing fraksi menerima dan menampung aspirasi dari perorangan, masyarakat, organisasi sosial politik dan lembaga kemasyarakatan serta menyosialisasikan nama-nama bakal calon. 61 Pasal 37 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. 62 Pasal 38 Ayat (2) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter II

anggota DPRD. Dalam hal ini, setiap anggota DPRD berhak untuk memberikan

suaranya kepada satu pasang calon. Pasangan calon yang dianggap sebagai pemenang

adalah pasangan calon yang mendapat suara terbanyak63, dalam pengertian mendapat

suara di atas 50% dari total suara yang ada. Ini artinya bila pada putaran pertama

tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara di atas 50%, maka dilakukan

pemilihan putaran kedua dengan memilih dua pasang calon yang mendapat suara

rangking pertama dan kedua pemilihan putaran pertama.64

Dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat

pengaturan dasar tentang tahapan dan kegiatan pemilihan umum kepala daerah/wakil

kepala daerah. Selanjutnya sebagai tindak lanjut UU tersebut, maka pemerintah

menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam

perkembangannya, beberapa materi dari UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 6 tahun

Setelah penentuan calon

terpilih, maka proses selanjutnya adalah penetapan yang dilakukan oleh DPRD,

pengesahan oleh presiden, serta pelantikan.

2.5.4 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

63 Pasal 40 Ayat (3) UU No.22/1999. 64 Tentang pengertian suara terbanyak dan mekanisme pemilihan dua kali putaran dapat dilihat Pasal 24 PP 151/2000.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter II

2005 tersebut mengalami sejumlah revisi sebagai dampak hasil uji material (judicial

review) yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).65

65 Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005.

Sebagai respon terhadap keputusan MK tersebut, maka pada 27 April 2005,

pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 3 tahun

2005 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR, yakni UU No. 8 tahun

2005 tentang Penetapan Perppu No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32

tahun 2004). Menyusul Perppu No. 3 tahun 2005 tersebut, maka terbit PP No. 17

tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Selanjutnya, pada tanggal 30 November 2006, Mahkamah Agung

menerbitkan sebuah putusan atas uji materi pasal 40 PP No. 6 tahun 2005, yakni

berkaitan dengan wajib-mundurnya seorang kepala daerah yang sedang memerintah

ketika mencalonkan diri kembali. Menyusul keputusan MA tersebut, maka

pemerintah kembali menerbitkan PP No. 25 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas

PP 6 tahun 2005. Dalam perkembangan berikutnya, UU No. 32 tahun 2004 ini di-

judicial-review lagi, yang menghasilkan sebuah keputusan Mahkamah Konstitusi

nomor 5/PPU–V/2007 berkaitan dengan dibukanya peluang bagi calon independen

dalam pemilu kepala daerah.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter II

Sebagai tindak lanjut dari keputusan MK tersebut, maka lahirlah UU No. 12

tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Di dalam UU tersebut diatur berbagai prosedur dan syarat-

syarat bagi calon perseorangan, termasuk tentang wajib mundurnya kepala daerah

atau wakil kepala daerah jika kembali mencalonkan diri. Setelah keluarnya UU No.

22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka pemilihan kepala daerah sudah

dimasukkan sebagai rezim pemilihan umum, dengan menegaskan hirarkisme lembaga

penyelenggara Pemilu.

Dalam Perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan

melalui putusan No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 04 Agustus 2008, yang menyebutkan

bahwa pasal 58 (q) Undang-undang No. 12 tahun 2008 tidak mengikat, dengan

demikian sejak dibacakannya putusan tersebut, tidak ada kewajiban mengundurkan

diri bagi calon yang sedang menduduki jabatannya, baik sebagai kepala daerah

maupun sebagai wakil kepala daerah. Selanjutnya menteri dalam negeri

mensyaratkan bahwa calon incumbent hanya diwajibkan cuti pada saat melakukan

kampanye.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter II

2.5.5 Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No.

22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaiman telah dikemukakan

sebelumnya, perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam undang-undang

baru ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. UU No. 32 tahun

2004 ini terdiri dari 240 pasal. Dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya

mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung,

yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119.

Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan

reformasi dan amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, UU ini

menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung

dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik. Dalam perkembangan berikutnya, sesuai dengan Undang-

undang No. 12 tahun 2008, pasangan calon juga dimungkinkan lewat jalur

perseorangan. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah sama dengan asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor

10 tahun 2008 dan Undang-undang nomor 42 tahun 2008, yaitu asas langsung,

umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter II

Sebagai sebuah “rezim” Pemilu, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah, adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dalam hal ini

adalah KPU kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun

2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam undang-undang No. 22 tahun

2007 ini, DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan

bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, karena melakukan “politik uang”. Kewenangan itu sekarang beralih kepada

KPU. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPU

dalam menyelenggarakan Pilkada, dari kemungkinan adanya intervensi dari pihak

DPRD. Substansi terpenting dari pembentukan KPU maupun KPU kabupaten/kota

adalah untuk mencegah adanya campur tangan penguasa dan pihak-pihak lain

terhadap penyelenggaraan Pemilu. Artinya adalah harus ada institusi yang

independen.

Sifat independen KPU yang ditegaskan dalam pasal 22E ayat (5) perubahan

ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang mengharuskan KPU tidak saja bersifat

nasional dan tetap, melainkan juga harus mandiri alias independen. Undang-undang

Pemilu berbunyi: Komisi Pemilihan Umum yang mandiri adalah Komisi Pemilihan

Umum yang tidak berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok,

golongan, partai, ataupun pemerintah. Artinya, dalam menyelenggarakan tugas dan

kewenangannya, KPU berpedoman semata-mata pada peraturan perundang-

undangan, dan membuat keputusan serta mengambil tindakan tanpa campur tangan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter II

ataupun intervensi dari manapun. Untuk itu sebagai organisasi yang ditetapkan

Undang-undang Dasar sebagai penyelenggara pemilu, KPU tentu harus memiliki

anggota dalam jumlah yang cukup, struktur organisasi dan tata kerja, kelompok

personel dengan kualifikasi dan jumlah yang memadai, serta anggaran yang cukup

untuk melaksanakan visi, misi, tujuan, dan sasaran strategisnya.

Karena itu, independensi KPU dapat dilihat dari (1) persyaratan dan

mekanisme penentuan keanggotaan, (2) susunan organisasi dan tata kerjanya, (3)

persyaratan dan mekanisme penentuan personel, dan (3) perumusan dan pengajuan

anggaran. KPU dinyatakan mandiri apabila keanggotaannya bersifat nonpartisan dan

dipilih secara terbuka secara kompetitif. Selain itu, KPU sendirilah yang menentukan

susunan organisasi dan personelnya, serta menyusun dan mengajukan anggaran

kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penyelenggaraan Pemilu, termasuk Pilkada dipandang tidak tepat bila

dilaksanakan oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif karena keduanya merupakan

peserta Pemilu. Sementara itu, lembaga yudikatif dipandang tidak tepat karena

bertugas menegakkan hukum, termasuk penegakan peraturan Pemilu. Karena itu,

penyelenggaraan Pemilu seyogyanya diserahkan kepada lembaga independen yang

orang-orangnya bersikap dan bertindak nonpartisan.

Independensi KPU tidak saja merupakan kepentingan setiap peserta Pemilu

karena akan mencegah keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada pesaing tertentu

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 49: Chapter II

dan lebih menjamin perlakuan yang adil dan setara kepada setiap pesaing. Tapi, juga

merupakan kebutuhan rakyat pemilih karena akan lebih menjamin pilihan mereka

yang akan menentukan siapa yang menjadi penyelenggara negara di pusat dan daerah.

Karena Pemilu menyangkut soal kepercayaan, independensi KPU akan lebih

menjamin kepercayaan dari seluruh peserta Pemilu maupun dari rakyat pemilih

terhadap hasil Pemilu.

2.6 Syarat-syarat Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan Undang-

undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya boleh diikuti oleh

pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Namun berdasarkan Undang-

undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor

32 tahun 2004, calon perseorangan telah dimungkinkan mencalonkan diri menjadi

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pada pasal 56 undang-undang nomor 12 tahun 2008 disebutkan: (1) kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan

secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Selanjutnya pada ayat (2) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 50: Chapter II

didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan

dalam undang-undang ini.

Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah telah merupakan rezim Pemilu, dengan asas yang sama dengan asas Pemilu

(ayat 1). Sedangkan ayat (2) telah menegaskan dibolehkannya calon perseorangan

mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan

merupakan perubahan mendasar dan sangat fundamental pada proses penentuan

pimpinan di tingkat lokal. Secara umum syarat-syarat warga negara untuk dapat

dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah

dapat dilihat pada pasal 58 undang-undang nomor 12 tahun 2008.

2.6.1 Calon Yang Diusung Partai Politik

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah dapat diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau

perseorangan. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan

pasangan calon apabila memenuhi perolehan sekurang-kurangnya 15 % (lima belas

persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 51: Chapter II

perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang

bersangkutan.66

Pada pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, pasangan

calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil

bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan

ketentuan:

Jika dukungan 15 % dari jumlah kursi DPRD oleh partai politik atau

gabungan partai politik menghasilkan angka pecahan (desimal) maka jumlah kursi

syarat dukungan adalah pembulatan ke atas. Sedangkan jumlah dukungan 15 % dari

akumulasi perolehan suara sah memungkinkan gabungan partai politik yang tidak

memiliki kursi di DPRD setempat untuk dapat mengusung pasangan calon sendiri.

2.6.2 Calon Perseorangan

67

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 % (enam koma lima persen);

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 % (lima persen);

66 UU No. 12 tahun 2008, pasal. 59 ayat (2). 67 Ibid, pasal 59 ayat (2b)

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 52: Chapter II

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 % (empat persen);

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 % (tiga persen).

Dukungan sebagaimana tersebut di atas harus tersebar pada lebih dari 50 %

(lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud untuk pemilihan

bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Dukungan yang dimaksudkan

adalah dukungan yang dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan foto

copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

2.7 Modal Calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) di Indonesia dilaksanakan

berdasarkan keputusan politik, yaitu dengan lahirnya Undang-undang nomor 32

tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Undang-ungdang

ini mulai dijalankan bulan Juni 2005 ditandai dengan Pilkada langsung pertama di

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dengan Pilkada langsung ini,

maka rakyat ditingkat lokal dapat berpartisipasi menentukan sendiri pimpinan

daerahnya, sehingga pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat dengan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 53: Chapter II

sendirinya telah berakhir. Pada Pilkada yang pertama kali dilaksanakan tersebut,

menghasilkan Syaukani Hassan Rais/Samsuri Aspar (Partai Golkar) sebagai

pasangan calon terpilih dengan perolehan suara mencapai 60,85 %.

Pilkada memiliki dua makna, sebagai keberhasilan dan kegagalan demokrasi.

Pilkada dikatakan berhasil karena sudah menunjukkan adanya partisipasi rakyat,

proses pencalonan yang diseleksi, kampanye, dan kontrak politik. Dalam hal ini,

prosedur sebagai demokrasi sudah dipenuhi dan dipraktekkan, terlepas dari hasil

yang dicapai. Sedangkan Pilkada disebut gagal karena masih menunjukkan praktik

uang, besarnya angka golput, ketidaktahuan pemilih dengan hak-hak politiknya

sebagai warga negara yang memiliki otonomi, pola rekruitmen calon, dan lainnya.68

Beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga

pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam Pilkada langsung, adalah :

69

1. Dengan Pilkada langsung penguatan demokrasi di tingkat lokal dapat terwujud, khususnya yang berkaitan dengan legitimasi politik. Karena asumsinya kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar warga.

2. Dengan Pilkada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas (pemerintah) lokal (local accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena obligasi moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai wujud pembangunan legitimasi politik.

68 Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Ed 21, Tahun VI 2005, Pilkadal, Yogyakarta: Insist Press, 2005, hal. 86 69 Agustino, Leo, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal. 9-11.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 54: Chapter II

3. Apabila local accountability berhasil diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal.

4. Melalui Pilkada, peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat diharapkan muncul. Masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dia anggap pantas dan/atau layak untuk menjadi pemimpin mereka ditingkat propinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, mekanisme ini juga memberikan jalan untuk “me-melek-kan” elite politik bahwasanya pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya tidak berada di tangannya, melainkan terletak di tangan rakyat.

Kalau mencermati prosedur maupun proses pemilihan dalam Pilkada secara

langsung, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berkemungkinan

memenangkan Pilkada secara langsung manakala memiliki tiga modal utama. Ketiga

modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital) dan

modal ekonomi (economical capital).70

Ketiga modal itu memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya

keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tetapi di antara ketiganya acapkali berkait

satu dengan yang lain. Artinya, calon kepala daerah itu memiliki peluang besar

terpilih manakala memiliki akumulasi lebih dari satu modal. Argumen yang terbagun

adalah bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga

modal itu, semakin berpeluang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala

daerah.

70 Marijan, Kacung, Demokratisasi Di Daerah, (Pelajaran Dari Pilkada Secara Langsung), Surabaya: Eureka dan PusDeHAM, 2006, hal 85.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 55: Chapter II

2.7.1 Modal Politik

Modal politik berarti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari

kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal

ini menjadi sentral bagi semua calon, baik dalam tahap pencalonan maupun dalam

tahap pemilihan. 71

Biasanya setiap pasangan calon kepala daerah, baik yang diusung oleh partai

politik atau gabungan partai politik maupun calon perseorangan, akan membentuk

tim sukses mulai dari tingkatan paling tinggi hingga tingkatan paling rendah

(propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa). Bahkan biasanya yang

“dipasang” sebagai saksi pada setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) adalah para

tim sukses itu sendiri.

Peranan partai politik maupun tim sukses sangat besar karena

akan menjadi “mesin” dalam menggerakkan upaya pencarian dukungan pemilih.

Dalam setiap pelaksanaan Pilkada, peranan partai politik pengusung pasangan

calon dan tim sukses sangat besar. Hal ini karena partai politik pengusung dan tim

sukses-lah yang bekerja sampai ke lapisan “akar rumput”. Dapat dipastikan, bahwa

jika partai politik pengusung maupun tim sukses bekerja dengan baik, maka hasilnya

akan baik pula. Demikian pula sebaliknya, jika partai politik pengusung maupun tim

sukses tidak bekerja dengan baik, maka hasilnya juga tidak baik.

71 Ibid.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 56: Chapter II

Uang memang dibutuhkan dalam rangka persiapan dan pelaksanaan

kampanye serta segala hal yang berkaitan dengan pengawasan penghitungan suara di

tingkat TPS, PPK, KPU kabupaten/kota, atau KPU propinsi. Namun saat ini

masyarakat pemilih sudah lebih dewasa dalam menghadapi godaan politik uang.

Tidak semua pemilih dengan gampang diiming-imingi sejumlah uang. Calon kepala

daerah dan wakil kepala daerah mesti sudah memahami dan menyadari bahwa jika

seorang atau sekelompok pemilih bersedia menerima suap untuk memilih mereka

maka bersiap dirilah untuk tidak terpilih.72

Secara teori an sich mungkin banyak calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah yang secara mendalam sudah menguasai teori ilmu politik. Bagaimana

implementasi di lapangan, tentu saja merupakan hal lain yang terkadang tidak selalu

match karena adanya distorsi antara teori dan praktek di lapangan. Tanpa bermaksud

mengesampingkan teori-teori yang ada, berikut ini disampaikan panduan 9

(sembilan) kunci sukses yang tepat dijalankan oleh para calon kepala daerah dan

wakil kepala daerah untuk terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah:

73

(1) Bercermin pada hasil analisis SWOT dan memenuhi kriteria standar seorang pemimpin

(2) Menawarkan visi, misi, strategi, kebijakan dan program kerja yang sederhana dan menyentuh kepentingan “akar rumput”. Untuk mensukseskan hal itu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus berpola pikir dan berperilaku sebagaimana chief executive officers (CEO’s) pada perusahaan holding company.

72 Herry, Achmad, SE, 9 Kunci Sukses Tim Sukses Dalam Pilkada Langsung, Yogyakarta: Galang Press, 2005, hal. 13. 73 Ibid, hal 15-16.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 57: Chapter II

(3) Memahami dan mematuhi semua aturan main yang ditetapkan oleh KPUD, termasuk jadwal, tahapan, dan jenis-jenis formulir.

(4) Menetapkan bentuk organisasi tim sukses yang efektif dan efisien dari tingkat propinsi atau kabupaten/kota hingga ke tingkat TPS. Memilih personalia yang profesional dan berpengalaman, memiliki integritas, loyalitas, komitmen, dan solidaritas sebagai anggota tim sukses.

(5) Menerapkan manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, sebelum, pada saat, dan sesudah masa kampanye. Memahami secara rinci aturan mengenai sumbangan dan dana kampanye serta audit dana kampanye.

(6) Menjalankan soft dan hard campaign yang efektif dan efisien. Memahami karakteristik pemilih dan melakukan komunikasi sambung rasa.

(7) Secara khusus membentuk Kelompok Pendukung Tingkat Kecamatan (KPC), Kelompok Pendukung Tingkat Desa/Kelurahan (KPD/L), dan kelompok pendukung untuk setiap TPS (KP-TPS).

(8) Menguasai secara detail mekanisme pendaftaran, pemutakhiran data, dan persyaratan pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS).

(9) Setiap anggota tim sukses di tingkat propinsi/kabupaten/kota dan KPC, KPD/L, KP-TPS memahami prosedur penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara disemua tingkatan termasuk pengisian berbagai jenis formulir.

2.7.2 Modal Sosial

Modal sosial adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust)

yang dimiliki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk

di dalamnya adalah sejauh mana pasangan calon itu mampu meyakinkan para

pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya74

74 Marijan, Kacung, op.cit, hal 91.

dan

memiliki integritas yang baik. Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 58: Chapter II

tanpa didahului oleh adanya perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja

kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya integritas.

Dalam Pilkada, modal sosial memiliki makna yang sangat penting, bahkan

tidak kalah pentingnya kalau dibandingkan dengan modal politik. Melalui modal

sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari

itu, melalui pengenalan itu, lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial

berjarak dekat, para pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu

benar-benar layak untuk dipilih atau tidak. Seseorang dikatakan memiliki modal

sosial, berarti calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi

kepercayaan.75

75 Ibid, hal 92.

Saat ini, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berlogika:

bagaimana para kandidat mampu memengaruhi dan merebut hati rakyat. Sebaliknya,

rakyat akan memberikan hak pilihnya pada kandidat yang sudah dia kenal, dalam

pengertian lain, bahwa jauh sebelumnya, kandidat tersebut sudah memiliki modal

sosial di tengah-tengah masyarakat. Jika kandidat belum memiliki modal sosial, dan

baru memperkenalkan diri sesaat menjelang dilaksanakannya Pilkada, dapat

dipastikan bahwa kandidat tersebut sulit mendapatkan dukungan yang mayoritas dari

masyarakat.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 59: Chapter II

Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik

yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif

oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil

(fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Agustiono, 2009). Dalam

konteks tersebut, disepakati bahwa kualitas demokrasi amat ditentukan oleh

berkualitas atau tidaknya proses rekruitmen para wakil dan pemimpin-pemimpin

rakyat. Karena itu, dihubungkan dengan Pilkada, demokrasi di tingkat lokal akan

mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para wakil rakyat berjalan dengan

kompetisi yang adil.

Selain itu, calon pemimpin yang berkualitas juga akan mendapat dukungan

dari masyarakat pemilih. Dalam menentukan pilihannya, masyarakat akan melihat

integritas seorang calon pemimpin. Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang

menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang

memancarkan kewibawaan, kejujuran. 76

Pilkada secara langsung jelas membutuhkan biaya yang besar. Modal yang

besar tidak hanya dipakai untuk membiayai kampanye, tetapi juga untuk membangun

Calon yang memiliki integritas akan

mendapat mandat dari rakyatnya.

2.7.3 Modal Ekonomi

76 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ketiga, Cet. Kelima, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hal. 437.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 60: Chapter II

relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk

memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye.

Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk mempengaruhi

pemilih. Misalnya saja, banyak ditemui kasus ada calon yang membagi-bagikan uang

atau barang kepada para pemilih. Biasanya pemberian barang atau uang itu tidak

diberikan oleh pasangan calon secara langsung, melainkan oleh tim sukses pasangan

calon. 77

77 Marijan, Kacung, op.cit, hal. 94-95.

Sangat sulit membedakan modal ekonomi atau politik uang, karena

pembuktian politik uang sangat sulit walaupun sering terjadi.

Meskipun demikian, modal ekonomi memiliki makna penting sebagai

‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai. Di dalam musim kampanye

misalnya, membutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayai berbagai

kebutuhan seperti mencetak poster, mencetak spanduk, membayar iklan, menyewa

kendaraan untuk mengangkut pendukung, dan berbagai kebutuhan lainnya termasuk

untuk pengamanan. Modal ekonomi bisa menjadi prasyarat utama ketika calon itu

bukan berasal dari partai politik yang mencalonkannya. Dalam prakteknya modal ini

tidak sepenuhnya berasal dari calon, tetapi dapat berasal dari simpatisan dan

pengusaha. Jika modal ekonomi hanya digunakan sebagai cost politic semata, tidak

menjadi masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika modal ekonomi tersebut

menjadi politik uang, karena dapat merusak proses demokrasi yang sedang dibangun.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 61: Chapter II

Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang

baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia

menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa

dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan

simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan

umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang,

sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk

menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau

calon yang bersangkutan.

Sejumlah potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dapat diidentifikasi. Motifnya

bermacam-macam, antara lain adalah :

1. Untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum

atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus

dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana

kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan

pasti karena berlangsung di balik layar.

2. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan

menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki

kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 62: Chapter II

sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar,

maka sulit mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya

dana yang diterima.

3. Untuk kabupaten/kota yang wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi,

pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat

menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana

yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih untuk

memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang

ditunjuknya di setiap desa.

4. Untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara

sebanyak lebih dari 30 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi

kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini,

penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap

desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.

Apabila identifikasi di atas benar sebagian atau seluruhnya, Setidak-tidaknya

tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah politik uang tersebut, yaitu melalui

mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye Pilkada langsung, penegakan hukum,

dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri.

Akan tetapi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 12

tahun 2008 serta peraturan turunannya, ternyata tidak memberikan sanksi bagi

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 63: Chapter II

penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah

maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.

Selanjutnya, apabila para pemilih mampu mengorganisasikan diri berdasarkan

preferensi pola dan arah kebijakan lokal dan berdasarkan preferensi watak dan

kapabilitas calon, gerakan para pemilih ini sekurang-kurangnya dapat menjadi

pesaing tangguh terhadap praktik kriminalitas yang terorganisasi (praktik politik

uang) tersebut. Pada Pemilu yang lalu sudah ada sejumlah embrio gerakan para

pemilih di beberapa tempat untuk bernegosiasi dengan partai/calon. Namun, memang

masih dibutuhkan banyak penggerak untuk pemilih terorganisasi untuk dapat

menghadapi kriminalitas terorganisasi tersebut.

2.8 Kampanye

Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau

calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya

untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.78

78 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 498.

Dalam

Pilkada, kampanye merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon

dan/atau tim kampanye/juru kampanye untuk meyakinkan para pemilih dalam rangka

mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dengan menawarkan visi, misi dan program

pasangan calon. Kampanye dalam Pilkada, yang dijadwalkan oleh KPUD,

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 64: Chapter II

disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan mendidik yaitu dengan tidak bersifat

provokatif, sehingga diharapkan tidak mengganggu stabilitas keamanan.

Dalam Pilkada, peranan kampanye ini sangat penting karena melalui

kampanyelah calon pemilih dapat mengenal para calon dan mengetahui program-

program yang ditawarkan jika terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala

daerah. Sehingga para calon pemilih dapat menentukan pilihannya. Tanpa kampanye,

dapat dipastikan bahwa calon pemilih tidak mengenal calon secara mendalam.

Semakin efektif kampanye yang dilakukan, akan semakin baik pula tingkat

keterkenalan calon tersebut bagi calon pemilih. Kampanye umumnya dilakukan

dengan slogan, pembicaraan, barang cetakan, penyiaran barang rekaman berbentuk

gambar atau suara, dan simbol-simbol. Pada sistem politik totaliter atau otoriter

kampanye sering dan biasa dilakukan ke dalam bentuk tindakan teror, intimidasi, dan

propaganda.

Secara umum, dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

dikenal berbagai bentuk kampanye, yaitu (1) Pertemuan Terbatas, (2) Tatap Muka

dan Dialog, dan (3) Melalui Media Massa.79

2.8.1 Pertemuan Terbatas

79 Agustino, Leo, op. cit, hal 101-109.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 65: Chapter II

Kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dilaksanakan dalam ruangan,

gedung atau tempat yang bersifat tertutup, jumlah peserta tidak melampaui kapasitas

sesuai dengan jumlah tempat duduk dengan peserta pendukung dan/atau undangan

lainnya yang bukan pendukung. Dalam kampanye ini dibenarkan membawa atau

menggunakan atribut, yaitu nomor urut dan foto pasangan calon, serta tanda gambar

partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan, simbol-simbol dan/atau

bendera atau umbul-umbul dari pasangan calon yang mengadakan kampanye di

tempat pertemuan terbatas. Atribut pasangan calon, hanya dibenarkan dipasang

sampai halaman gedung atau tempat pertemuan terbatas, dan tidak dibenarkan

dipasang di luar halaman gedung atau tempat pertemuan terbatas. Dalam kampanye

bentuk pertemuan terbatas, harus disertai dengan undangan tertulis.

Biasanya, dalam kampanye pertemuan terbatas ini, pasangan calon atau tim

kampanye pasangan calon akan menyampaikan visi, misi dan program pasangan

calon dalam bentuk orasi atau pidato politik dan berlangsung satu arah.

2.8.2 Tatap Muka dan Dialog

Kampanye dalam bentuk tatap muka dan dialog dilaksanakan dalam ruangan

tertutup/gedung dengan jumlah peserta tidak melampaui kapasitas, sesuai dengan

jumlah tempat duduk dengan peserta pendukung dan/atau undangan lainnya yang

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 66: Chapter II

bukan pendukung, atau lapangan terbuka. Dalam kampanye ini diadakan kegiatan

interaktif dan hanya dibenarkan menggunakan foto pasangan calon atau atribut,

simbol-simbol dan/atau bendera atau umbul-umbul dari pasangan calon yang

mengadakan kampanye di tempat pertemuan tatap muka dan dialog. Atribut pasangan

calon, hanya dibenarkan dipasang di luar halaman gedung atau tempat pertemuan

tatap muka dan dialog sampai dengan jarak tertentu sesuai dengan aturan KPU.

Kampanye dalam bentuk tatap muka dan dialog harus disertai dengan undangan

tertulis.

2.8.3 Melalui Media Massa

Kampanye melalui media massa adalah dalam bentuk penyebaran melalui

media cetak dan media elektronik dengan memberi kesempatan yang sama kepada

pasangan calon untuk menyampaikan visi, misi dan program dengan menentukan

durasi, frekuensi, bentuk, substansi pemberitaan/penyiaran berdasarkan kebijakan

redaksional. Materi dan substansi peliputan berita harus sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan serta media cetak dan media elektronik dapat menyediaakn

rubrik khusus bagi para pasangan calon sehingga penyelenggaraan dan penyampaian

visi, misi, dan program kampanye dapat dilakukan panjang disertai penjelasan

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 67: Chapter II

kelebihan dan kekurangan metodologi yang digunakan, misalnya jajak pendapat

umum (polling) dan survey, sehingga tidak mengelabui pemilih.

Saat ini, sesuai dengan kemajuan dunia maya, kampanye dapat juga dilakukan

melalui internet yang dimaksudkan untuk sebuah rekayasa pencitraan, kemudian

berkembang menjadi upaya persamaan pengenalan sebuah gagasan atau isu kepada

suatu kelompok tertentu yang diharapkan mendapatkan feedback/timbal

balik/tanggapan. Secara umum pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa

sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari

beberapa poin pembicaraan tentang isu-isu kebijakan. Poin-poin ini dirangkum dari

ide utama kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada

pemilih. Dalam banyak kampanye, para kandidat suatu partai politik atau seorang

calon berupaya mencoba untuk menjatuhkan kandidat atau calon lain (black

campaign).

2.9 Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, dalam pelaksanan Pilkada, apabila terdapat keberatan terhadap hasil

perhitungan suara, maka pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 68: Chapter II

Mahkamah Agung (MA) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan

hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.80

Dalam perkembangan berikutnya, sesuai dengan Undang-undang nomor 12

tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada

Mahkamah Konstitusi (MK).

81

Mahkamah Konstitusi adalah, lembaga kehakiman yang dibentuk berdasarkan

perubahan ketiga atas Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945, yang putusannya

bersifat final.

Ini berarti bahwa sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sesuai dengan Undang-undang

nomor 12 tahun 2008, menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

82 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir untuk:83

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

c. Memutus pembubaran partai politik, dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

80 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 106. 81 Undang-undang No. 12 tahun 2008 pasal 236 C. 82 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 pasal 24 dan 24C. 83 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 69: Chapter II

Dalam peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008 tentang

Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,

disebutkan bahwa objek perselisihan Pemilukada adalah hasil perhitungan suara yang

ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi:84

a. Penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putara kedua pemilukada, atau

b. Terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Namun demikian, dari sejumlah perselisihan Pilkada yang telah diputus oleh

Mahkamah Konstitusi, tidak lagi hanya terkait pada perolehan suara, tetapi

Mahkamah Konstitusi melakukan terobosan hukum lain, dengan memberikan putusan

yang menyangkut pada tahapan/proses Pilkada, seperti yang terjadi pada putusan atas

Pilkada Kabupaten Tapanuli Utara.

84 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara