chapter ii

12
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Spora Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora dibentuk di dalam sel. Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama terbentuk di dalam sel, yang disebut dengan endospora dan spora yang terbentuk di luar sel yang disebut eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi untuk perkembangbiakan. Bentuk spora bermacam-macam, bulat atau bulat memanjang, bergantung pada spesiesnya. Ukuran endospora lebih kecil atau lebih besar daripada diameter sel induknya. Kebanyakan bakteri pembentuk spora adalah penghuni tanah, tetapi spora bakteri dapat tersebar dimana saja (Waluyo, 2007). Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi semua spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel, terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di dekat ujung. Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di dalam pencirian dan identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat enam marga bakteri penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium, Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermoactinomycetes. Sebelum digolongkan menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk Marga Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk marga Clostridium jika merupakan gram negatif (Hatmanti, 2000). Struktur spora dari dalam ke luar secara berurutan yaitu inti protoplasma yang mengandung komponen penting seluler seperti DNA, RNA, enzim, asam dipikolinik, kation divalen dan sedikit air. Sebuah membran dalam yang merupakan cikal bakal sitoplasma membran sel, dinding sel germinal yang mengelilingi membran dan merupakan cikal bakal dari dinding sel untuk memunculkan sel vegetatif. Setelah itu, korteks mengelilingi dinding sel yang mengandung peptida dan glikan. Sebuah membran luar paraspora dan mantel spora. Di bagian luar korteks dan membran mengandung lapisan protein yang Universitas Sumatera Utara

Upload: taranewleaf

Post on 18-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tara

TRANSCRIPT

  • 4

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pembentukan Spora

    Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora dibentuk di dalam sel.

    Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama terbentuk di dalam sel, yang

    disebut dengan endospora dan spora yang terbentuk di luar sel yang disebut

    eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi untuk perkembangbiakan. Bentuk spora

    bermacam-macam, bulat atau bulat memanjang, bergantung pada spesiesnya.

    Ukuran endospora lebih kecil atau lebih besar daripada diameter sel induknya.

    Kebanyakan bakteri pembentuk spora adalah penghuni tanah, tetapi spora bakteri

    dapat tersebar dimana saja (Waluyo, 2007).

    Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi semua

    spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel,

    terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di dekat ujung.

    Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di dalam pencirian dan

    identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat enam marga bakteri

    penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium,

    Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermoactinomycetes. Sebelum digolongkan

    menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok,

    yaitu termasuk Marga Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk marga

    Clostridium jika merupakan gram negatif (Hatmanti, 2000).

    Struktur spora dari dalam ke luar secara berurutan yaitu inti protoplasma

    yang mengandung komponen penting seluler seperti DNA, RNA, enzim, asam

    dipikolinik, kation divalen dan sedikit air. Sebuah membran dalam yang

    merupakan cikal bakal sitoplasma membran sel, dinding sel germinal yang

    mengelilingi membran dan merupakan cikal bakal dari dinding sel untuk

    memunculkan sel vegetatif. Setelah itu, korteks mengelilingi dinding sel yang

    mengandung peptida dan glikan. Sebuah membran luar paraspora dan mantel

    spora. Di bagian luar korteks dan membran mengandung lapisan protein yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 5

    menyediakan ketahanan untuk spora. Selama germinasi dan pertumbuhan, korteks

    dihidrolisis dan membran luar paraspora dan mantel spora dihilangkan diikuti

    dengan munculnya sel (Ray, 2004).

    Dinding spora bersifat impermeabel, tetapi zat-zat warna dapat diserap

    kedalamnya dengan jalan memanaskan preparat. Sifat impermeabel ini mencegah

    dekolorisasi spora oleh alkohol bila diperlakukan dalam waktu yang sama seperti

    pada dekolorisasi sel-sel vegetatif (Irianto, 2006). Lapisan luar spora merupakan

    penahan yang baik terhadap bahan kimia, sehingga spora sukar untuk diwarnai.

    Spora bakteri dapat diwarnai dengan dipanaskan. Pemanasan menyebabkan

    lapisan luar spora mengembang, sehingga zat warna dapat masuk (Lay, 1994).

    Spora bakteri sangat sulit diwarnai dengan pewarna biasa, oleh karena itu harus

    diwarnai dengan pewarna spesifik (Fardiaz, 1992). Bahan yang digunakan untuk

    pewarnaan spora dapat memakai larutan malachite green dan larutan safranin

    (Waluyo, 2010).

    Setiap sel bakteri hanya dapat membentuk satu spora. Struktur endospora

    bervariasi untuk setiap jenis maupun spesies, tetapi struktur umumnya hampir

    sama. Jika endospora ditempatkan di dalam suatu medium yang baik, akan terjadi

    germinasi, spora akan mengambil air dari sekelilingnya, membengkak dan

    berkecambah. Lapisan luar spora pecah dan spora akan tumbuh menjadi sel

    vegetatif (Fardiaz, 1992).

    Menurut Ray (2004), proses sporulasi dapat dibagi ke dalam 7 tahap.

    Pertama tahap penghentian replikasi DNA, diikuti dengan penjajaran kromosom

    di dalam filamen aksial dan pembentukan mesosom. Invaginasi membran sel dan

    pembentukan septum. Pembentukan prespora atau paraspora pun terjadi.

    Pembentukan dinding sel germinal dan korteks, akumulasi ion Ca2+

    dan sintesis

    DPN. Deposisi mantel spora, pematangan spora, dehidrasi protoplas dan resistensi

    untuk panas. Tahap akhir terjadi lisis enzimatis pada dinding sel dan pembebasan

    spora. Siklus sporulasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.

    Spora mengalami perubahan fisikokimia. Protein dengan berat molekul

    yang kecil dibentuk dalam jumlah yang besar untuk melapisi DNA dan

    memberikan perlindungan terhadap jenis kerusakan DNA. Protein diuraikan

    selama perkecambahan untuk menyediakan sumber asam amino. Asam

    Universitas Sumatera Utara

  • 6

    dipikolinik disintesis di dalam sel vegetatif untuk diberikan kepada prespora

    bersama dengan kation divalen (Ca2+

    ), hal ini menyebabkan dehidrasi dan

    mineralisasi spora (Todd et al., 2003).

    Gambar 2.1.1 Siklus sporulasi. (14) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan filamen aksial, (6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan

    prespora, (8) Pembentukan korteks, (9) Pembentukan mantel,

    (10) Spora bebas, (11) Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12)

    Pembengkakan spora, (13) Pertumbuhan sel (Ray, 2004)

    Sel bakteri memiliki kemampuan dalam memonitor sejumlah sinyal

    internal dan eksternal. Informasi disalurkan melalui sistem pengaturan yang

    terpisah. Komponen regulator transkripsi ini disebut dengan Spo0A. Spo0A

    dibentuk untuk mengontrol proses transkripsi dan aktivitas protein melalui proses

    fosforilasi. Fosforilasi Spo0A merupakan regulator sporulasi yang sangat penting

    dan bekerja mengaktifkan transkripsi pada beberapa proses sporulasi. Gen spesifik

    yang digunakan dalam proses sporulasi antara lain spoIIA, spoIIE dan spoIIG

    (Errington, 2003). Spo0A merupakan faktor penting pada proses sporulasi selama

    perkembangan sel vegetatif (Fujita & Losick, 2003). Fawcett et al. (2000) telah

    meneliti ratusan gen pada Bacillus subtilis, lebih dari 10% gen Bacillus subtilis

    dikontrol oleh Spo0A.

    Kontrol inisiasi dalam pembentukan spora secara substansial berbeda pada

    organisme yang berbeda. Hal ini mencerminkan adaptasi terhadap berbagai

    lingkungan. Beberapa dari bakteri yang telah diketahui secara luas, misalnya

    Epulopiscium yang merupakan bakteri pembentuk endospora. Epulopiscium

    Universitas Sumatera Utara

  • 7

    berbeda dengan bakteri pembentuk spora lainnya karena menghasilkan beberapa

    spora (Angert & Losick, 1998). Bahkan ada organisme yang berbentuk bulat,

    misalnya Sporosarcina yang sulit untuk membentuk sel yang asimetri saat

    memulai sporulasi, tetapi masih dapat membentuk endospora dengan

    menggunakan regulator yang umum digunakan (Chary et al., 2000).

    Sporulasi menghasilkan dua sekat pada sel dengan ukuran yang berbeda,

    bagian prespora berukuran lebih kecil dan sel vegetatif dengan ukuran yang lebih

    besar dengan pemisahan bahan kromosom di dalam setiap kompartemen.

    Pembentukan septum yang asimetris ini merupakan suatu tahap perkembangan

    yang diatur oleh beberapa ekspresi gen. Ekspresi gen ini mempunyai program

    yang berbeda di antara dua sel tersebut. Dua faktor sigma F dan E merupakan

    alat yang mengatur program sel spesifik untuk mengekspresikan gen. Dua faktor

    sigma tersebut dibentuk sebelum septum dibentuk (Errington, 2003). Selama

    sporulasi, pembelahan sel diarahkan pada masing-masing kutub sel kemudian

    terjadi modifikasi septum, sehingga septum mengandung material dinding sel

    (Yehuda & Losick, 2002).

    Setelah aktivasi F pada sekat prespora, E menjadi aktif di dalam sel

    vegetatif. Faktor E disintesis sebagai preprotein inaktif yang diaktifkan oleh

    proses proteolitik oleh SpoIIGA yang memiliki aktivitas protein serin (Labell et

    al., 1987). SpoIIGA membutuhkan protein spesifik prespora yang disebut dengan

    SpoIIR. Pengontrolan SpoIIR diatur oleh aktivitas F (Karow & Piggot, 1995;

    Vallejo & Stragier, 1995).

    Pembelahan sel yang asimetrik membentuk morfologi yang unik pada sel.

    Terbentuk prespora di bagian tepi, material dinding sel di bagian septum

    mengalami degradasi dimulai dari pusat dimana septum mengalami penutupan.

    Sepasang membran septum bermigrasi ke sekitar sitosol prespora, membran

    berpindah dan bertemu di ujung sel tempat terjadi fusi atau penggabungan.

    Kemudian dihasilkan prespora yang mempunyai protoplasma bebas yang dekat

    dengan sitoplasma sel vegetatif (Margolis et al., 1993). Korteks spora yang

    merupakan modifikasi dinding sel disintesis diluar membran protoplas spora.

    Mantel spora dibentuk dan berisi berlapis-lapis protein yang letaknya berada

    diluar korteks (Todd et al., 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8

    2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pembentukan dan Ketahanan

    Spora

    Menurut Sembiring & Fachmiasari (2004) selain media, kondisi fisik

    untuk pertumbuhan seperti temperatur, pH, dan ketersediaan oksigen memegang

    peranan penting dalam pertumbuhan dan sporulasi. Temperatur pertumbuhan

    Bacillus thuringiensis berkisar antara 15 C-45 C dengan temperatur optimum

    antara 26 C-30

    C, tidak terlalu sensitif terhadap pH dan dapat tumbuh pada pH

    5,5-8,5 dengan pH optimum 6,5-7,5. Ketersediaan oksigen yang cukup selama

    proses pertumbuhan memegang peranan penting dalam pertumbuhan Bacillus

    thuringiensis dan dalam produksi spora hidup. Faktor lingkungan yang

    mempengaruhi pembentukan dan ketahanan spora bakteri dijelaskan sebagai

    berikut.

    2.2.1 Temperatur

    Temperatur juga mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba. Keragaman

    temperatur dapat mengubah proses-proses metabolisme tertentu serta morfologi

    sel, karena semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena

    laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh temperatur, maka pola pertumbuhan bakteri

    sangat dipengaruhi oleh temperatur (Noviana & Raharjo, 2009).

    Beberapa bakteri termofilik pembentuk spora mampu tumbuh pada

    temperatur tinggi 55 C, antara lain bakteri anaerobik termofilik hidrogen yang

    menghasilkan sulfida (Desulfotomaculum), bakteri yang menghasilkan hidrogen

    dan karbon dioksida (Thermoanaerobacterium), Bacillus dan Geobacillus spp.

    (Doyle, 2007). Bacillus cereus dapat tumbuh pada temperatur optimum 30-40 C

    (ESR, 2010). Batas pertumbuhannya antara 4-55 C dan temperatur minimum

    pertumbuhannya pada temperatur 10 C (Schulz et al., 2004).

    Clostridium memiliki temperatur optimum untuk pertumbuhannya antara

    temperatur 10-65 C. Sporohalobacter tumbuh optimum pada temperatur 35-45

    C. Sulfidobacillus mengalami pertumbuhan optimum pada temperatur 50 C.

    Sporolactobacillus tumbuh optimum pada temperatur 35 C. Sporosarcina

    tumbuh optimum pada temperatur 15-37 C. Syntrophospora menghasilkan spora

    dan tumbuh optimum pada temperatur 30 C (Holt et al., 1994).

    Universitas Sumatera Utara

  • 9

    Bakteri pembentuk spora merupakan species yang dapat bertahan hidup

    setelah dipanaskan dengan uap 100 C bahkan lebih (Melliawati, 2009). Spora

    tahan terhadap temperatur yang mematikan sel vegetatif, spora Clostridium

    botulinum tahan terhadap temperatur mendidih selama beberapa jam (Waluyo,

    2007). Spora dari famili Bacillaceae tahan terhadap panas. Resistensi spora

    terhadap panas sebagian disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya (Irianto,

    2006). Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap panas, hal ini karena

    dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air,

    sehingga keadaan ini menyebabkan spora tidak mudah mengalami perubahan

    temperatur. Kadar air yang rendah dan pembungkus spora yang tebal merupakan

    faktor pendukung ketahanan spora terhadap panas. Spora mungkin masih dapat

    bertahan pada temperatur air mendidih selama 20 jam (Waluyo, 2007).

    Menurut Naufalin (1999) mekanisme ketahanan panas dari berbagai hasil

    penelitian menyatakan bahwa senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun

    korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, sangat berperan

    dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol

    kandungan air di dalam protoplas, yaitu mempertahankan kadar air yang rendah.

    Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut

    berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan

    beberapa kation multivalen.

    Spora Bacillus cereus tahan terhadap panas sampai temperatur 100 C

    yang menandakan ketahanan sporanya terhadap kondisi ekstrim. Sel vegetatif

    Bacillus cereus dapat diinaktivasi melalui pemanasan (ESR, 2010). Spora Bacillus

    cereus dibentuk pada siklus pertumbuhan selama 8 jam setelah mengalami

    perlakuan panas pada suhu 70-90 C selama 24 jam (Young & James, 1959).

    Bacillus stearothermophilus dapat membentuk spora dan tumbuh optimum pada

    suhu 65 C (Zeigler, 2001).

    2.2.2 Derajat Keasaman (pH) Pembentukan spora selama fermentasi merupakan hal yang sangat penting pada

    bakteri Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Semakin banyak spora yang

    dibentuk maka diharapkan semakin tinggi pula jumlah kristal protein yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    terbentuk sebagai bahan aktif bioinsektisida. Faktor lingkungan yang berpengaruh

    terhadap pertumbuhan dan produksi kristal protein pada Bacillus thuringiensis

    subsp. israelensis, salah satunya adalah pH. Pada interval nilai pH 5,5-8,0

    menunjukkan bahwa semakin tinggi pH awal medium yang digunakan

    menyebabkan semakin tinggi potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. Hal

    ini diduga proses sintesa kristal protein dan sporulasi berjalan optimal. Keadaan

    ini disebabkan oleh lingkungan pH yang tidak terlalu rendah sehingga

    pembentukan kompleks spora dan kristal protein dapat berjalan dengan baik

    (Ahdianto, 2006).

    Derajat keasaman (pH) optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri

    berlangsung antara pH 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam

    keadaan sangat masam atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH

    minimal dan maksimal ialah antara 4 dan 9 (Noviana & Raharjo, 2009). Pada pH

    < 5,0 dan > 8,0 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali bakteri asam

    asetat yang mampu tumbuh pada pH rendah dan bakteri Vibrio sp. yang dapat

    tumbuh pada pH tinggi (Zulaikhah, 2005).

    Bacillus cereus memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu pada pH 6-7 dan

    mempunyai batas pertumbuhan antara pH 4,5-9,5. Dari segi ketersediaan oksigen

    Bacillus cereus termasuk organisme anaerob fakultatif. Spora Bacillus cereus

    juga tahan pada kondisi asam antara pH 1,0-5,2. Sel vegetatif Bacillus cereus

    dapat diinaktivasi pada pH 3,7 sampai 5,6 (ESR, 2010). Bacillus laevolacticus

    DSM 6475 dan strain Sporolactobacillus, kecuali Sporolactobacillus racemicus

    IAM 12395 tahan terhadap pH 3,0. Bacillus racemilacticus dan Bacillus

    coagulans toleran terhadap konsentrasi empedu lebih dari 0,3 % (Hyronimus et

    al., 2000).

    Beberapa bakteri pembentuk spora mampu bertahan pada pH yang ekstrim

    antara lain, Sulfidobacillus menghasilkan spora yang tumbuh optimum pada pH

    1,9-2,4. Amphibacillus dapat tumbuh dengan baik dan dapat membentuk spora

    pada kondisi aerob dan anaerob fakultatif di dalam media glukosa yeast pepton

    pada pH 10,0. Thermococcus mampu bertahan hidup pada pH 4,0-8,0 (Holt et al.,

    1994). Amphibacillus jilinensis yang telah diisolasi dari sedimen danau soda di

    Cina dapat tumbuh pada pH 7,5-10,5 dan optimum pada pH 9,0 tidak dapat

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    tumbuh pada pH 7,0 atau 11,0 (Wu et al., 2010). Bacillus thermantarcticus M1

    mampu bertahan pada pH 5,5-9,0 (Zeigler, 2001).

    2.2.3 Kekeringan Kandungan air dalam lingkungan mikroorganisme juga mempengaruhi

    pertumbuhan mikroorganisme. Dalam lingkungan isotonik, konsentrasi cairan

    lingkungan setara dengan sel mikroorganisme. Dalam lingkungan ini, cairan

    dalam sel tidak mengalir keluar, demikian pula cairan dari lingkungan tidak

    masuk ke dalam sel. Dalam lingkungan hipotonik, konsentrasi cairan lebih rendah

    dibandingkan di dalam sel mikroorganisme yang menyebabkan cairan dari

    lingkungan mengalir masuk ke dalam sel mikoorganisme, sehingga sel

    membengkak dan dapat menjadi pecah. Bila kandungan air di sekitar

    lingkungannya tidak cukup, maka cairan dalam sel mikroorganisme mengalir

    keluar sehingga sel akan menciut dan menyebabkan plasmolisis. Sewaktu

    plasmolisis, metabolisme terhenti karena bahan yang terdapat di dalam sel sangat

    pekat dan menghambat aktivitas enzim. Kekeringan akan menginduksi

    pembentukan spora bakteri (Lay, 1994). Spora merupakan sel yang dorman yang

    sengaja dipersiapkan guna menahan pengeringan untuk waktu yang lama (Irianto,

    2006).

    Menurut Waluyo (2007) kekeringan tidak menyebabkan kematian pada

    spora. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Natalia et al. (2009)

    diketahui bahwa daya hidup bakteri dipengaruhi oleh kadar air dan nutrisi

    substrat. Kadar air spora mempengaruhi komponen-komponen yang ada di

    dalamnya, misalnya protein dan komponen genetik yang sensitif terhadap panas.

    Menurut Naufalin (1999), kadar air spora yang rendah bertujuan untuk membatasi

    mobilitas komponen-komponen tersebut. Sebaliknya bila kadar air spora tinggi,

    mengakibatkan peningkatan kapasitas mengikat air oleh protein dengan

    terbentuknya gugus sulfidril.

    Spora memiliki kandungan air yang rendah, yaitu kurang dari 10% dari

    beratnya, berbeda dengan sel vegetatif mengandung air 70% dari berat

    keseluruhan. Hal ini disebabkan karena selama germinasi, kandungan air

    protoplas spora bertambah. Kerusakan tidak langsung yang berasal dari

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    intraselular air menjadi sangat kecil pada bakteri pembentuk spora (Darwis,

    2006). Pertumbuhan Bacillus cereus dapat dihambat dengan kandungan air

    dibawah 0,91% (ESR, 2010). Spora Bacillus cereus mampu bertahan lama pada

    kondisi kering selama 48 minggu (Jaquette & Beuchat, 1998).

    Pengeringan sel mikroba serta lingkungannya akan mengurangi aktivitas

    metabolik. Pada umumnya, lamanya mikroorganisme bertahan hidup setelah

    pengeringan bervariasi tergantung dari jenis mikroorganisme, bahan pembawa

    yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme, kondisi fisik (cahaya, suhu,

    kelembaban) pada organisme yang dikeringkan. Spesies kokus gram negatif

    seperti Neisseria gonorrhoeae dan Neisseria meningitis sangat peka terhadap

    kekeringan, sehingga akan mati dalam waktu beberapa jam. Streptococcus jauh

    lebih resisten, beberapa species dapat bertahan berminggu-minggu setelah

    dikeringkan. Bacillus tuberculosis dapat bertahan dalam kekeringan selama

    jangka waktu yang lebih lama. Pada proses liofilisasi, mikroorganisme diberi

    perlakuan dehidrasi yang ekstrim dalam keadaan beku dan kemudian ditutup rapat

    dalam vakum. Liofilisasi lebih merupakan proses pengawetan daripada

    pembasmian mikroorganisme. Biakan mikroorganisme yang diliofilisasi akan

    tetap hidup selama bertahun-tahun (Pelczar & Chan, 2005).

    2.2.4 Radiasi

    Spora bakteri kurang peka terhadap radiasi atau mempunyai ketahanan yang lebih

    tinggi terhadap radiasi dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora.

    Hal ini disebabkan karena struktur spesifik dari spora. Jika spora bakteri sudah

    dapat diinaktifkan dengan radiasi, maka dianggap bakteri kontaminan lain yang

    tidak membentuk spora sudah dapat juga dihilangkan dengan proses radiasi yang

    sama. Daya hidup mikroorganisme setelah radiasi tergantung pada laju radiasi dari

    dosis yang diabsorbsi sewaktu melakukan radiasi. Clostridium sporogenens

    memiliki kemiripan katahanan terhadap radiasi dengan bakteri Clostridium

    botulinum yang bersifat sangat toksigenik dalam hal ketahanan terhadap radiasi.

    Tetapi radiasi dengan dosis 45 kGy dalam kondisi cryogenic (-79 C) dapat

    menghilangkan spora bakteri Clostridium sporogenens dan bakteri kontaminan

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    lainnya seperti Staphylococcus spp., Bacillus sp. dan koliform. Cobalt-60

    digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi (Natalia et al., 2009).

    Secara umum sumber sinar ultraviolet dapat diperoleh secara alamiah dan

    buatan. Sinar matahari merupakan sumber utama ultraviolet di alam. Sumber

    ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu fluorescent khusus, seperti lampu

    merkuri tekanan rendah (low pressure) dan lampu merkuri tekanan sedang

    (medium pressure). Lampu merkuri medium pressure mampu menghasilkan

    radiasi ultraviolet yang lebih besar daripada lampu merkuri low pressure. Namun

    lampu merkuri low pressure lebih efisien dalam pemakaian listrik dibandingkan

    lampu merkuri medium pressure. Lampu merkuri low pressure menghasilkan

    radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7 nm yang letal bagi

    mikroorganisme, protozoa, virus dan alga, sedangkan radiasi lampu merkuri

    medium pressure diemisikan pada panjang gelombang 180-1370 nm. Radiasi

    ultraviolet yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel akan menyebabkan

    kerusakan membran sel dan kematian sel (Cahyonugroho, 2010).

    Bakteri gram negatif adalah yang paling peka terhadap radiasi (Yulianita,

    2007). Untuk bakteri pembentuk spora, adanya kandungan air yang rendah dari

    spora menyebabkan resistensi spora terhadap radiasi. Selama germinasi,

    kandungan air protoplas spora bertambah dan karena itu resistensi radiasinya

    sangat berkurang (Darwis, 2006). Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang

    265 nm memiliki efisien bakterisidal tertinggi. Sinar X bersifat letal bagi

    mikroorganisme. Bakteri Escherichia coli dapat letal dengan penyinaran sinar X

    dengan dosis 5000 rad sedangkan Bacillus mesentericus dapat letal dengan dosis

    penyinaran sinar X sebesar 130.000 rad. Sinar X memiliki energi dan daya tembus

    yang tinggi (Pelczar & Chan, 2005).

    2.3 Bakteri Pembentuk Spora dan Bacillus sp.

    Kelompok bakteri pembentuk spora biasanya berbentuk bulat atau batang dan

    sebagian mempunyai filamen, berdiameter 0,3-2 m (kecuali Oscillospira). Dari

    hasil pewarnaan sebagian besar gram positif. Sel bersifat motil dengan flagel

    peritrik dan membentuk endospora yang resisten terhadap panas (Errington,

    2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    Bacillus merupakan bakteri pembentuk spora yang optimum tumbuh pada

    suhu mesofilik (35 C-55 C). Kelompok penting bakteri pembentuk spora lainnya

    adalah spesies Clostridium. Clostridium merupakan bakteri anaerob yang dapat

    tumbuh pada suhu mesofilik dan termofilik (Cousin, 1989). Clostridium spp.

    mampu mereduksi sulfat, membentuk spora basil, spora lebih kecil dari kista

    protozoa dan ookista. Spora Clostridium perfringens sangat tahan terhadap

    kondisi yang tidak menguntungkan termasuk suhu dan pH ekstrim, juga tahan

    terhadap proses desinfeksi seperti klorinasi (NHMRC & NRMMC, 2011).

    Beberapa bakteri menunjukkan tingkat resistensi tinggi terhadap klorin. Bakteri

    pembentuk spora seperti Bacillus atau Clostridium, Mycobacterium dan Nocardia

    sangat tahan terhadap desinfeksi klorin. Klorin dioksida sebanding dengan klorin

    bebas untuk inaktivasi bakteri dan virus pada pH netral (WHO, 2004).

    Desulfotomaculum menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval pada

    bagian terminal dan sunterminal yang menyebabkan pembengkakan pada sel.

    Sporohalobacter menghasilkan spora berbentuk bulat di bagian terminal.

    Sporolactobacillus menghasilkan spora berbentuk elips dan letaknya terminal,

    Sporosarcina menghasilkan spora berbentuk bulat diameternya 0,5-1,5 m,

    Sulfidobacillus menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval dan letaknya di

    bagian subterminal dan terminal. Syntrophospora menghasilkan spora berbentuk

    oval dan letaknya di bagian terminal serta membengkak pada sel (Holt et al.,

    1994).

    Transfer interspesifik dan intraspesifik pada DNA di antara beberapa jenis

    Bacillus telah dicapai, diantaranya pada Bacillus megaterium, Bacillus

    thuringiensis, Bacillus lichenniformis, Bacillus cereus, Bacillus coagulans,

    Bacillus brevis, Bacillus sphaericus, dan Bacillus stearothermophilus. Interaksi

    genetik ini memberikan pengaruh pada identifikasi isolat dari berbagai habitat

    (Hatmanti, 2000). Bacillus berbentuk batang panjang dan relatif besar, katalase

    positif, berspora, oksidasi positif atau negatif, bersifat aerobik atau anaerobik

    fakultatif, motil atau tidak motil, memfermentasi glukosa atau tidak dan dapat

    bersifat fermentatif, oksidatif atau tidak keduanya (Naufalin, 1999). Famili

    Bacillaceae kadang-kadang berbentuk streptobasil, flagel peritrik atau tanpa

    flagel, gram positif, parasit atau patogen terutama pada insekta (Irianto, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    Jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda pada

    medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih sampai

    kekuningan atau putih keruh, tepi koloni bermacam-macam namun pada

    umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, ada yang cenderung

    kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya

    sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Setiap jenis Bacillus spp. juga

    menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam menghadapi

    kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam,

    dan sebagainya (Hatmanti, 2000).

    Genus Bacillus memiliki 25 spesies dengan letak endospora di tengah atau

    di ujung sporangium (Irianto, 2006). Spora Bacillus mempunyai resistensi yang

    lebih dibandingkan sel vegetatifnya (Hatmanti, 2000). Spora Bacillus memiliki

    dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap kondisi fisik yang kurang

    menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan, radiasi, asam dan terhadap

    bahan-bahan kimia seperti desinfektan (Sembiring & Fachmiasari, 2004). Bila

    Bacillus subtilis berada dalam kondisi kekurangan nutrisi dalam media, Bacillus

    subtilis memiliki strategi bertahan termasuk motilitas, kemotaksis, produksi

    enzim, transformasi, pembentukan antibiotik untuk menekan persaingan nutrisi

    (Errington, 2003).

    Marga Bacillus mudah dibedakan dari kelompok bakteri penghasil

    endospora lain. Organisme diklasifikasikan dalam Marga Bacillus pada umumnya

    karena membentuk spora dan menunjukkan karakteristik pada beberapa tes

    fenotip. Pembagian grup dalam Marga Bacillus didasarkan pada bentuk spora dan

    letak sporangium. Bentuk spora yang dihasilkan oleh Bacillus spp. bermacam-

    macam tergantung jenisnya. Bacillus spp. membentuk tidak lebih dari satu

    endospora untuk tiap sel, Bacillus subtilis dan Bacillus cereus memproduksi spora

    berbentuk silinder, Bacillus polymixa dan Bacillus spaericus membentuk spora

    yang membengkak (lebih besar dari sel vegetatifnya) (Hatmanti, 2000).

    Universitas Sumatera Utara