chapter ii

18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Penyakit TB secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan nekrosis pada jaringan. Sebagian besar kuman TB menyerang paru karena perjalanan kuman TB paru melalui saluran pernafasan, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang ,tahan asam dan dapat bertahan pada tempat lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat sebagai dormant. (American Thoracic Society, 2000; Depkes, 2005) Gejala klinis TB paru di bagi menjadi gejala sistemik dan gejala respirasi. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya timbul pada sore dan malam hari , disertai dengan malaise, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan dan kadang-kadang pada perempuan ditemukan gangguan siklus haid. Gejala respirasi meliputi batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas disertai nyeri dada apabila telah mengenai jaringan pleura. (American Thoracic Society, 2000; Depkes, 2005) Patogenesis TB paru di bagi menjadi 4 fase. Penularan TB adalah melalui droplet berukuran 1-5μm tersebut akan menembus sistem mukosilier saluran nafas dan akhirnya sampai di bronchioles (fase1). Kuman M.TB akan menghadapi makrofag alveolar dan apabila mampu Universitas Sumatera Utara

Upload: goche29

Post on 28-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ch

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Penyakit TB secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma

dan nekrosis pada jaringan. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

karena perjalanan kuman TB paru melalui saluran pernafasan, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang

,tahan asam dan dapat bertahan pada tempat lembab. Dalam jaringan

tubuh kuman ini dapat sebagai dormant. (American Thoracic Society,

2000; Depkes, 2005)

Gejala klinis TB paru di bagi menjadi gejala sistemik dan gejala

respirasi. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya timbul pada sore

dan malam hari , disertai dengan malaise, nafsu makan berkurang,

penurunan berat badan dan kadang-kadang pada perempuan ditemukan

gangguan siklus haid. Gejala respirasi meliputi batuk terus menerus dan

berdahak selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas disertai nyeri dada

apabila telah mengenai jaringan pleura. (American Thoracic Society, 2000;

Depkes, 2005)

Patogenesis TB paru di bagi menjadi 4 fase. Penularan TB adalah

melalui droplet berukuran 1-5µm tersebut akan menembus sistem

mukosilier saluran nafas dan akhirnya sampai di bronchioles (fase1).

Kuman M.TB akan menghadapi makrofag alveolar dan apabila mampu

Universitas Sumatera Utara

hidup di dalam makrofag maka kuman ini akan mengalami repikasi setiap

25-32 jam. Kuman TB akan menyebar melalui kelenjar getah bening hilus

atau melalui monosit darah tepi menyebar melalui pembuluh darah kapiler

(fase 2). Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin maupun

eksotoksin sehingga tidak ada respon segera terhadap infeksi kuman ini.

Kelainan patologis akibat infeksi kuman tuberculosis bukan di sebabkan

endotoksin ataupun eksotoksin seperti bakteri pathogen lain tetapi

merupakan akibat respon imun terhadap kuman itu. Respon imun selular

dapat dideteksi dengan reaksi positif terhadap uji tuberkulin apabila jumlah

kuman mencapai 102 -104

Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh

Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia disediakan

dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).

Besarnya dosis yang diberikan tergantung dari berat badan.(Aditama

TY,2007)

(setelah 2-12 minggu). Proliferasi kuman akan

terhenti setelah terbentuk respon imun selular atau bila respon imun yang

terbentuk tidak cukup maka akan bekembang menjadi penyakit (fase 3).

Pada beberapa orang terjadi reaktivasi dari infeksi laten sehingga terjadi

nekrosis jaringan, pembentukan kavitas dan proliferasi jaringan (fase

4).(American Thoracic Society,2000;Depkes,2005)

Pemberian OAT dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

• Kategori 1

- Fase intensif (2 bulan) : Rifampisin/ Isoniazid/ Pirazinamid/

Etambutol (RHZE) : 150/75/400/275 mg

Universitas Sumatera Utara

- Fase lanjutan (4 bulan) : RH (150/150 mg) – pemberian

intermiten 3 x seminggu.

Tabel 2.1 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1

Berat Badan (kg)

Tahap Intensif (tiap hari selama 2

bulan) RHZE

Tahap Lanjutan (3 kali seminggu selama

4 bulan) RH

< 38 2 tablet 2 tablet

38-54 3 tablet 3 tablet

55-70 4 tablet 4 tablet

≥ 71 5 tablet 5 tablet

• Kategori 2

o Fase intensif (2 bulan) : RHZE (150/75/400/275) +

Streptomisin

o Fase intensif (1 bulan) : RHZE (150/75/400/275)

o Fase lanjutan (5 bulan ) : RH (150/150) + E (400)

Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif (setiap hari –

3 bulan ) RHZE

Tahap Lanjutan ( 3 kali seminggu

– 5 bulan) RH + E

Streptomisin (2 bulan

diawal tahap intensif

< 38 2 tablet 2 tablet RH + 2 tablet E 500 mg

38-54 3 tablet 3 tablet RH + 3 tablet E 750 mg

55-70 4 tablet 4 tablet RH + 4 tablet E 1000 mg

≥ 71 5 tablet 5 tablet RH + 5 tablet E 1000 mg

Dosis harian berdasarkan berat badan dihitung berdasarkan

formula: {(dosis harian fase intensif x hari berobat fase intensif) + (dosis

Universitas Sumatera Utara

harian fase lanjutan x hari berobat fase lanjutan)} / total hari berobat / BB

subjek.

2.2 Etambutol

Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air,

senyawa yang stabil dalam keadaan panas, dijual sebagai garam

hidroklorid, struktur dextro-isomer dari ethylene di-imino di-butanol.

(Katzung Betram G,1997; Noche RR.Nicolas MG dkk,1987)

Gambar 1 :Struktur Kimia Etambutol (Katzung Betram G, 1997)

Secara in vitro,banyak strain M Tuberculosis dan mikrobakteria lain

dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Mekanisme kerja

obat ini tidak diketahui. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus.

Setelah menelan obat ini 25mg/kg, kadar obat puncak dalam darah

berkisar 2-5 μg/ml yang dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15

m/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 µg/ml pada 2-4 jam.

Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol di dalam eritrosit 1-2

kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai

depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke

Universitas Sumatera Utara

dalam plasma.

Resistensi terhadap etambutol timbul segera dengan cepat

diantara mikrobakterium bila obat ini digunakan secara tunggal. Efektivitas

pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo ,sukar menciptakan

resistensi terhadap etambutol dan timbulnyapun lambat tetapi resistensi ini

timbul bila etambutol digunakan tunggal. Karena itu, etambutol selalu

diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain.

Etambutol hidroklorid 15 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal

harian yang dikombinasikan dengan INH atau rifampisin. Dosis obat ini

sebanyak 25 mg/kg mungkin dapat digunakan. Hipersensitivitas terhadap

etambutol jarang terjadi (Katzung,1997), ;Zubaidi,1995).

Lebih kurang 20% dari obat ini diekskresikan dalam tinja

dan 50% di urin dalam bentuk utuh, 10 % sebagai metabolit,berupa

derivate aldehid dan asam karboksilat. Ekskresi obat ini diperlambat pada

penyakit gagal ginjal. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak.

Etambutol dapat menembus sawar darah otak bila inflamasi

meningen,pada meningitis tuberkulosa, etambutol dalam cairan

serebrospinalis lebih dari 10-40% dari kadarnya di serum (Katzung Betram

G,1997;Zubaidi Y,1995).

Efek samping yang sering terjadi yaitu ganguan penglihatan

biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobular yaitu penurunan

ketajaman penglihatan,hilangnya kemampuan membedakan warna

merah-hijau terjadi pada beberapa penderita yang diberikan etambutol 25

mg/kg selama beberapa bulan. Kebanyakan perubahan-perubahan

tersebut membaik bila etambutol dihentikan. Namun demikian, uji

Universitas Sumatera Utara

ketajaman mata secara periodik sebaiknya dilakukan selama

pengobatan.

Bila ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum

menggunakan etambutol , perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum

terapi dengan etambutol dimulai. Dengan dosis 15 mg/kg atau kurang,

gangguan visual sangat jarang terjadi (Katzung,1997).

2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol

Efek toksik etambutol telah dibuktikan secara in vivo dan in vitro

pada tikus, dimana terjadi kematian sel-sel ganglion retina akibat jalur

eksotoksik glutamate yang diinduksi etambutol .Etambutol dapat mengikat

Cu dan Zn di sel-sel ganglion retina dan serabut-serabut saraf optik.

Metabolit etambutol ,asam ethylenediiminodibutyric adalah pengikat Cu

dan Zn yang kuat. Cuprum dan Zn diperlukan sebagai kofaktor sitokrom c

oksidase, enzim utama untuk rantai transport dan untuk metabolism

oksidase selular di dalam mitokondria. Selain mengurangi kadar Cu dan

Zn yang berguna untuk sitokrom oksidase, etambutol juga mengurangi

energy yang diperlukan untuk transport aksonal di sekitar saraf optik.

Insufisiensi mitokondria di serabut nervus optikus dapat menyebabkan

kerusakan transport di dalam nervus optikus sehingga terjadi neuropati

optik.

Etambutol bersifat toksik pada saraf retina terutama akson sel

ganglion retina. Toksisitas akan akan lebih tampak dan makin memberat

pada individu yang mempunyai kadar ion Zinc serum yang rendah . Hal ini

(Chung dkk, 2009)

Universitas Sumatera Utara

karena kemampuan Etambutol dalam mengikat ion Zinc intraseluer

menyebabkan konsentrasi ion tersebut di serum menurun. Penelitian

Hence ,penurunan konsentrasi ion Zinc menimbulkan terjadinya atrofi

optik toksik yang selektif . Sebaliknya, Heng melakukan penelitian pada

kultur retina tikus didapatkan glutamate neurotoksik sebagai mekanisme

selular dari etambutol yang menyebabkan kematian saraf ganglion

( Schield HS,Fox BC,1991)

Gambaran hilangnya sel (khususnya sel ganglion retina) akibat

toksisitas etambutol menyerupai kerusakan yang diperantarai glumat.

Penelitian pada sistem saraf pusat menemukan bahwa kerusakan saraf

akibat iskemik atau traumatik diperantarai oleh kadar eksitatory asam

amino yang berlebihan, khususnya glutamat. Lucas dan Newhouse

melaporkan efek toksik glutamat pada mata golongan mamalia ,dengan

melakukan injeksi glutamat sehingga menyebabkan kerusakan yang berat

pada lapisan dalam retina . Penelitian Lipton menyatakan bahwa bentuk

predominan eksitotoksisk dari sel ganglion retina di perantarai oleh

stimulasi yang berlebihan reseptor glutamat yang dapat menimbulkan

kadar berlebihan dari Ca inraseluler ( Schield HS,Fox BC,1991)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2: Skema Patogenesis Toksisitas Etambutol

(Kahana LM, 1990)

2.4 Manifestasi Klinis

Onset dari timbulnya gejala pada mata biasanya terlambat dan

mungkin terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Meskipun

jarang, kasus toksisitas beberapa hari setelah terapi inisiasi pernah

dilaporkan, satu pasien diresepkan dengan standar dosis 15 mg/kg per

hari, dan pasien lain diresepkan 25 mg/kg per hari. Tidak ada penelitian

yang melaporkan onset timbul setelah penghentian penggunaan

etambutol ( Su-Ann lim,2006; Zafar,Aftab,2008).

Gejala klinis pada mata bervariasi pada setiap individu. Pasien

mungkin mengeluhkan pandangan kabur yang progresif pada kedua mata

atau menurunnya persepsi warna. Penglihatan sentral merupakan

merupakan gangguan yang paling sering terkena. Beberapa individu

asimtomatik dengan abnormalitas dan terdeteksi hanya saat tes

penglihatan (Schield HS,Fox BC,1991;Sivakumaran P,1998).

Universitas Sumatera Utara

Diskromatopsia (abnormalitas persepsi warna) biasanya menjadi

tanda toksisitas yang paling awal, secara klasik ditunjukkan dengan

penurunan persepsi warna merah-hijau yang dinilai dengan kartu ishiara.

Berlawanan dengan ini, polak dkk melaporkan bahwa defek biru-kuning

adalah defek awal yang paling umum pada pasien tanpa gejala gangguan

peglihatan. Namun defek biru kuning hanya dapat dideteksi menggunakan

panel desaturasi Lantony yang jarang tersedia, bukan menggunakan

ishiara. Pada pemeriksaan funduskopi biasanya tidak ditemukan

kelainan.Untuk melihat perubahan nerve fiber layer menggunakan OCT

(Optical Coherence Tomografy). ( Zafar,Aftab,2008)

Gangguan penglihatan jarang terjadi sampai pasien berobat

selama 2 bulan. Umumnya gejala timbul antara 4 bulan sampai 1 tahun

setelah pengobatan. Efek samping dapat lebih cepat jika pasien

menderita penyakit ginjal karena berkurangnya ekskresi obat sehingga

level serum obat meningkat. Oleh karena itu dosis yang tepat pada pasien

dengan kerusakan ginjal sangatlah penting. Toksisitas obat ini tergantung

pada dosis, pasien yang menerima dosis 25 mg/kgBB/hari atau lebih

paling rentan terhadap kehilangan penglihatan. Namun, kasus gangguan

penglihatan dengan dosis yang jauh lebih rendah telah dilaporkan.

Perbaikan tajam penglihatan pada pengguna etambutol umumnya

terjadi pada periode beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah

obat dihentikan. Beberapa pasien dapat menerima etambutol hidroklorida

kembali setelah penyembuhan tanpa rekurensi dari penurunan tajam

Universitas Sumatera Utara

penglihatan. Follow up tajam penglihatan berkala tetap diperlukan pada

setiap pengguna etambutol ( Schield HS,Fox BC,1991).

2.5 Optical Coherence Tomography (OCT)

OCT adalah pemeriksaan dengan modalitas gambar resolusi tinggi

yang pada awalnya dirancang untuk menilai retina dan ketebalan RNFL

tapi dengan software yang baru dapat meningkatkan analisis terhadap

ONH. Secara umum telah dikenal mesin OCT yang dikelompokkan

menjadi 2 tipe yaitu OCT tipe Stratus (2D atau disebut Time Domain OCT)

dan OCT tipe Cirrus (3D atau Spectral/Fourier Domain OCT). (Dennis

S.L.,Yasuo T., Robert R., Srinivas K., 2008; Agustiawan R. 2011 )

Gambar 3. Stratus OCT™ Scanning time = 1.97 Sec (Dennis Yasuo T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008)

OCT dapat digunakan untuk melihat perubahan nerve fiber layer

pada pasien neuropati optik seperti pada neuropati akibat etambutol. Oleh

karena itu OCT dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan objektif

untuk memonitor pasien pengguna etambutol ( Zafar,Aftab,2008).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Tuberkulosis Okuli

Beberapa jenis kelainan choroidal yang disebabkan oleh

tuberkolosis seperti koroiditis,abses subretina,tuberkel dan tuberkulomas.

Yellowish subretinal abses dapat terjadi nekrosis dalam granuloma

tubercular. Vitritis dan perdarahan retina sering di jumpai berhubungan

dengan abses. Progresifitas terjadi sejalan dengan waktu dimana abses

dapat rupture masuk ke vitreous dan menyebabkan endophtalmitis.

Pemberian terapi antituberkulosis yang sesuai dapat mereabsorbsi abses

dan meninggalkan skar. Tuberkel koroidal adalah putih keabuan kecil

sampai nodul kuning lebih kecil dari keempat diameter disk dan berbatas

tidak tegas. Beberapa nodul dapat dijumpai pada satu atau kedua mata.

Tuberkel dapat tumbuh lebih besar seperti massa tumor sampai 14 mm

disebut tuberkuloma khoroidal. (Shirodkar A,Albini T,Miami,2010)

Gambar 4. Fundus photography (A dan B) dan fluorescein angiography (C dan D) pada pasien dengan riwayat tuberkulosis paru (Shirodkar A,Thomas A,2010 )

Universitas Sumatera Utara

2.7 Penatalaksanaan

Pemeriksaan mata dianjurkan setiap bulan untuk pemberian

etambutol dosis 15 mg/kgBB/hari. Belum ada aturan perawatan yang

standar berapa kali pasien harus di kontrol dan di periksa pada pasien

dengan dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari, maka di rekomendasikan

( Rick FW,Fritz FT,2009) :

1. Berikan inform consent pada pasien bahwa pemberian etambutol

dapat menyebabkan neuropati optik walaupun telah dilakukan

pemeriksaan mata regular dan hilangnya penglihatan dapat

memberat dan irreversible.

2. Lakukan pemeriksaan dasar termasuk pemeriksaan lapang

pandangan, ,penglihatan warna dan fundus dengan pupil dilatasi

untuk pemeriksaan nervus optikus dan tajam penglihatan.

3. Jika gejala penglihatan terjadi dan pasien putus obat maka harus

dilihat oleh ahli oftalmologi.

4. Dilakukan pemeriksaan setiap bulan untuk dosis lebih dari 15

mg/kgBB/hari. Meskipun demikian, pemeriksaan setiap bulan

pada pasien yang mendapat terapi dosis rendah menjadi penting

apabila mempunyai resiko tini terjadinya toksisitas :

Diabetes mellitus

Gagal ginjal kronik

Peminum alkohol

Orang tua

Anak-anak

Universitas Sumatera Utara

Gangguan mata lain

Ethambutol -induced peripheral neuropathy

Dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari

Etambutol dihentikan setelah dijumpai tanda-tanda hilangnya tajam

penglihatan, penglihatan warna atau defek lapang pandangan. (Rick

FW,Fritz FT,2009)

Etambutol harus segera dihentikan ketika toksisitas okuler yang

diinduksi etambutol mulai diketahui dan pasien langsung dirujuk ke

oftalmologis untuk evaluasi lebih lanjut. Penghentian terapi merupakan

manajemen yang paling efektif yang dapat mencegah kehilangan

penglihatan yang progresif dan sekaligus untuk proses penyembuhan.

Ketika terjadi toksisitas okuler yang berat, dipertimbangkan pemberian

agen antituberkulosis lain ( Rick FW,Fritz FT,2009).

2.8 Pencegahan

Rekomendasi dari “Preventive measure against drug induced

ocular toxicity during antituberculosis treatment” [dari Annual Report

(suppl) 2002, pelayanan tuberkulosis dan paru,Departemen kesehatan

,Hongkong]

Berdasarkan informasi klinis yang berlaku ,panduan internasional

dan pengalaman dari ahli setempat ,standart berikut di rekomendasikan

untuk pencegahan dari toksisitas okular selama pengobatan anti TB :

( Department of health Hongkong, 2002)

Universitas Sumatera Utara

a) Selama pelaksanaan pengobatan anti TB, pasien harus

dipertimbangkan untuk kemungkinan dan kontraindikasi dalam

penggunaan EMB. Pada keadaan tertentu dimana terjadi peningkatan

resiko toksisitas okular. Keuntungan pemakaian EMB harus

diseimbangkan dengan resikonya secara hati-hati. Ketersediaan,

kegunaan dan toksisitas dari obat-obatan alternatif perlu

diperhitungkan dalam memilih regimen pengobatan yang efektif. EMB

dapat menjadi kontraindikasi ataupun penurunan dosis menjadi

indikasi dalam beberapa keadaan:

(i) Gangguan penglihatan dasar dapat membuat pengawasan

terhadap tajam penglihatan menjadi sulit. Bagaimanapun,pada

keadaan seperti kelainan refraksi dan katarak ringan yang tidak

mempengaruhi perubahan penglihatan dengan cepa,harus

diawasi visusnya selama pengobatan EMB. EMB sebaiknya

dihindari pada pasien dengan visus yang sudah menurun dengan

signifikan.

(ii) Pasien yang sulit mengatakan atau melaporkan gejala pada

penglihatan dan perubahan dalam penglihatan, seperti pada

anak-anak atau pasien yang sulit berbicara akan mempersulit

pengawasan tajam penglihatan.

(iii) Gangguan fungsi ginjal bisa memicu perkembangan dari

toksisitas okular yang berhubungan dengan EMB. Oleh karena

itu,fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu dan selama

pengobatan anti TB dijalankan. Anjuran dosis EMB pada kasus

Universitas Sumatera Utara

gangguan fungsi ginjal seperti ini telah ada pada panduan

pengobatan TB masing-masing daerah.

b) Untuk pasien yang sedang menjalankan pengobatan anti TB termasuk

EMB,pendidikan kesehatan harus diberikan pada mereka yaitu

mengenai efek samping obat dan harus sangat berhati-hati terhadap

efek samping yang potensial yang dapat terjadi selama pengobatan.

Pasien harus diingatkan apabila gejala penglihatan bertambah,obat

harus dihentikan dan mereka harus segera melaporkannya pada staf

kesehatan. Anjuran pada pasien seharusnaya dicatat pada laporan

medis pasien tersebut. Pada kasus dimana perlu diberikannya EMB

pada anak-anak atau pasien yang kesulitan berbicara, peringatan yang

sama juga harus diberitahukan pada orangtua atau anggota keluarga

yang lain. Instruksi yang tertulis akan berguna di kemudian hari.

c) Pemeriksaan visus dasar yaitu tajam penglihatan dan persepsi warna

merah hijau (menggunakan snellen chart & kartu ishihara) harus

dilakukan sebelum terapi pengobatan dimulai. Ada kontroversial

tentang pemeriksaan visus apakah perlu diberikan hanya untuk pasien

yang memiliki faktor resiko, terutama pada pasien yang menggunakan

dosis tinggi (25 mg/kgBB/hari) atau pada pasien yang pengobatan

diperpanjang.

d) Pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dosis EMB yang dianjurkan

adalah 15 mg/kgBB/hari diluar dari pengobatan TB. Bagaimanapun

,dosis yang lebih tinggi dari 25 mg/kgBB/hari dipertimbangkan pada

berbagai kondisi tertentu seperti kasus TB yang berat, pasien yang

Universitas Sumatera Utara

resisten terhadap obat TB dan pasien dengan pengobatan berulang.

Dosis yang tinggi ini tidak boleh diberikan lebih dari 2 bulan . Berat

badan ideal harus dihitung pada pasien obesitas.

e) Selama konsultasi medikal pada pasien yang menjalani pengobatan

anti TB termasuk EMB, mereka harus menjelaskan gangguan

penglihatan yang mereka alami, dianjurkan dilakukan setiap bulannya.

f) Directly Observed Treatment (DOT) memungkinkan staf kesehatan

bisa mengawasi perkembangan gejala pasien.

g) Pasien yang menjalani dugaan toksisitas okular oleh karena obat

harus diperiksa dengan pemeriksaan tajam penglihatan (menggunakan

kartu snellen atau kartu ishihara). Pada penderita yang toksik, EMB

harus dihentikan dan pasien dirujuk pada ahli mata untuk pengobatan

lebih lanjut. Pemeriksaan ophtalmologi lebih lanjut seperti pemeriksaan

funduskopi, tajam penglihatan, pemeriksaan lapang pandangan

(perimetri) dan persepsi warna. Bila gangguan visus terjadi oleh karena

alasan lain seperti katarak. EMB dapat dilanjutkan dengan

mempertimbangkan kegunaan dan prokontra obat alternatif. Bila

gangguan penglihatan terjadi karena berhubungan dengan

pengobatan anti TB maka EMB harus dipertimbangkan. Pada kasus

demikian, perencanaan pengobatan yang baru perlu dibuat lagi untuk

menghilangkan faktor resiko misalnya pemeriksaan fungsi ginjal untuk

setiap gangguan yang baru timbul.

Universitas Sumatera Utara

h) Jika terjadi neuritis optikus ,maka harus dihentikan. Piridoxine dosis

tinggi (50-100 mg/hari) dipertimbangkan terutama untuk pasien dengan

faktor resiko seperti malnutrisi ,alkoholik dan pasien usia lanjut.

2.9 Kerangka Konsep

2.10 Defenisi Operasional

• Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di

sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis.

• Etambutol adalah obat anti tuberkulosis

• Snellen Chart adalah alat pemeriksa tajam penglihatan

• Kartu Ishiara adalah alat pemeriksa buta warna.

Pasien TB

Sebelum pemberian terapi etambutol ( dosis 275 mg/tablet)

Setelah 2 bulan pemberian terapi etambutol

- Snellen chart - Ishiara chart -Farnsworth munsell 28 hue test - Funduskopi -OCT - OCT - OCT

-Snellen chart -Ishiara chart -Farnsworth Munsell 28 hue test -Funduskopi -OCT -OCT -OCT

Gangguan visus,Gangguan warna, RNFL thickness

Universitas Sumatera Utara

• Fansworth munsell test adalah alat pemeriksa gangguan persepsi

warna.

• Tajam penglihatan adalah fungsi penglihatan setiap mata

• Gangguan persepsi warna adalah tidak bisa membedakan warna

pada pembacaan kartu ishiara dan Farnsworth munsell 28 hue test

(merah ,hijau, biru).

• Rnfl thickness adalah ketebalan dari lapisan saraf retina

• Optik Neuritis adalah peradangan pada saraf optic

• OCT adalah alat untuk memeriksa nerve fiber layer.

Universitas Sumatera Utara