chapter ii

37
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo (2004), diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe 2 (non insulin dependent diabetes mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007). Diabetes mellitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan diabetes mellitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi, Universitas Sumatera Utara

Upload: omiinktrypapillio

Post on 17-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hgh

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Diabetes Mellitus

    2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

    Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo

    (2004), diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

    karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

    atau kedua-duanya.

    Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan

    antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia

    dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

    Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe 1 (insulin

    dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe 2 (non insulin dependent diabetes

    mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang

    berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang

    abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan

    diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007).

    Diabetes mellitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya

    insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan diabetes mellitus tipe 2

    mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin belum

    menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi,

    Universitas Sumatera Utara

  • sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit

    meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru terjadi diabetes tipe 2

    yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (Waspadji, 2007).

    Penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami penurunan sensitivitas terhadap

    kadar glukosa, yang berakibat pada pembentukan kadar glukosa yang tinggi. Keadaan

    ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

    ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

    insulin perifer (Perkeni, 2003).

    Gejala klasik diabetes mellitus tipe 2 adalah adanya rasa haus yang

    berlebihan, sering buang air kecil terutama di malam hari, dan berat badan turun

    cepat, kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat

    lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun dan luka sukar sembuh

    (Waspadji, 2007).

    2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus

    Diabetes mellitus tipe 2 meliputi lebih dari 90% dari semua populasi diabetes.

    Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari

    orang dewasa.

    Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dilaporkan lebih dari 40% adalah dewasa

    dengan umur lebih dari 40 tahun, rata-rata prevalensi di Amerika Latin antara 15-41%

    orang dewasa dengan umur lebih dari 45 tahun dengan gaya hidup barat dan sebesar

    3% yang menderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gaya hidup setempat. Prevalensi

    umur 30-64 tahun di Pasific Island of Kiribati dan Samoa barat 11-16%, dan

    Universitas Sumatera Utara

  • Melanesians Papua New Guinea 37% (The Diabetes Preventation Program Research

    Group, 2003).

    Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia dilaporkan sebesar 6,15% di

    Manado, Jakarta sebesar 12,8%, Jawa Barat sebesar 1,1%, dan Makasar sebesar 2,9%

    (Soegondo, 2004).

    Diabetes mellitus tipe 2 sangat sulit untuk ditanggulangi karena penyebab

    terjadinya diabetes mellitus tipe 2 belum diketahui secara pasti, namun dari beberapa

    penelitian diketahui beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian diabetes

    mellitus tipe 2 misalnya umur, riwayat keluarga, pola makan, obesitas, aktifitas fisik,

    hiperlipidemia dan hipertensi (Rimbawan, 2004).

    a. Agent (Bibit Penyakit)

    Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh

    masuknya agent tertentu dari luar tubuh penderita, melainkan karena disebabkan

    oleh faktor individu itu sendiri. Beberapa teori tentang penyebab diabetes

    mellitus tipe 2 telah diajukan tetapi belum ditemukan hasil yang memuaskan.

    b. Host (Penjamu)

    Beberapa pendapat menyebutkan adanya hubungan faktor individu yang

    berpengaruh terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2, antara lain umur,

    hipertensi, obesitas, riwayat keluarga (Turtle, 1999).

    1. Umur

    Penelitian yang dilakukan CDC (Centre Disease Control and Preventation) di

    Atlanta dari suatu survey epidemiologi bahwa prevalensi penderita diabetes

    Universitas Sumatera Utara

  • mellitus diderita dewasa berumur 18 tahun sebesar 20% jika ada faktor riwayat

    keluarga. Prevalensi diabetes mellitus pada umur 40 tahun meningkat menjadi

    40%. Berdasarkan Perkeni (2003) DM diderita usia lebih dari 45 tahun, dan

    semakin tingginya usia harapan hidup maka kemungkinan akan menderita

    diabetes.

    2. Hipertensi

    Penelitian di Hongkong China (1997) oleh Chan, dilaporkan bahwa prevalensi

    hipertensi meningkat dari kurang 5% pada orang normal menjadi 15-25% dengan

    intoleransi glukosa. Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia,

    meningkatnya albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan

    orang yang menderita diabetes mellitus.

    3. Obesitas

    Obesitas adalah faktor risiko utama untuk diabetes mellitus. Berat badan yang

    lebih dapat membuat dan menggunakan hormon insulin dengan baik. Diabetes

    Program Prevention (DPP) menunjukkan bahwa berkurangnya berat badan dapat

    membantu mengurangi risiko peningkatan diabetes mellitus karena hal itu akan

    membantu hormon insulin yang digunakan oleh tubuh lebih efektif. Orang-orang

    yang berat badannya turun antara 5-7% akan mengurangi risiko terkena diabetes

    mellitus sebesar 58%.

    Moore, et.al (2003) menunjukkan bahwa penurunan berat badan 3,7 6,8 kg

    pada individu yang berusia 30-50 tahun mengurangi risiko diabetes mellitus

    sebesar 33% dibandingkan dengan berat badan yang tetap gemuk. Hal ini

    Universitas Sumatera Utara

  • menunjukkan faktor risiko obesitas merupakan faktor utama untuk terjadinya

    penyakit diabetes mellitus.

    4. Riwayat Keluarga

    Pada banyak keluarga dan studi kembar, komponen yang besar dari faktor

    genetik pada etiologi diabetes mellitus. Rata-rata penderita diabetes mellitus

    dengan kembar monozygot sebesar 70-80%, kembar dizygot sebesar 10-20%.

    Hal yang menarik tentang diabetes mellitus dari beberapa studi menunjukkan

    bahwa ibu kandung yang menderita diabetes mellitus lebih menurunkan kepada

    anak dari pada bapaknya yang menderita diabetes mellitus (The Diabetes

    preventation Research Group, 2003).

    c. Environment (Lingkungan)

    Faktor lingkungan merupakan salah satu pemicu timbulnya diabetes mellitus.

    Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah gaya hidup (lifestyle) yang terdiri

    dari pola makan dan aktifitas fisik. Kedua faktor ini sangat berperan

    menyebabkan tingginya kasus diabetes mellitus.

    1. Pola Makan

    Diet merupakan salah satu determinan penting penyebab obesitas dan

    banyak hal penting dalam perkembangan diabetes mellitus. Suatu studi

    historical menunjukkan diabetes mellitus diantara orang-orang yang terpapar

    dengan makanan yang kurang dan makanan yang lebih pada populasi yang

    banyak di Nauruans, dengan masukan kalori yang tinggi dan tingkat obesitas

    Universitas Sumatera Utara

  • yang tinggi, mendukung hubungan yang signifikan untuk terjadinya diabetes

    mellitus.

    Heather, et.al., (2001) menunjukkan bahwa karbohidrat yang berbeda

    akan memberikan efek berbeda pada kadar glukosa darah dan respon insulin,

    walaupun diberikan dalam jumlah sama. Jumlah karbohidrat bukan dasar yang

    cukup untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Hasil penelitian bahwa

    pangan dengan Index Glicemi rendah dapat memperbaiki pengendalian

    metabolik pada penderita diabetes mellitus (Rimbawan, 2004).

    2. Aktifitas Fisik

    Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter selama lima

    tahun menemukan bahwa kasus diabetes mellitus lebih tinggi pada kelompok

    yang melakukan latihan jasmani kurang dari satu kali perminggu

    dibandingkan dengan kelompok yang melakukan latihan jasmani lima kali

    perminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama delapan tahun pada 87.353

    perawat wanita yang melakukan latihan jasmani ditemukan penurunan risiko

    diabetes mellitus (The Diabetes preventation Research Group, 2003).

    2.1.3 Patofisiologi dan Riwayat Alamiah Diabetes Mellitus Tipe 2

    Glukosa yang diserap dari usus ke pembuluh darah dan diedarkan keseluruh

    tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ dalam tubuh sebagai bahan bakar, supaya

    dapat berfungsi glukosa harus masuk kedalam sel untuk di metabolisme yang

    menghasilkan energi. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan sangat

    Universitas Sumatera Utara

  • penting untuk memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau

    hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

    Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah bisa lebih dari

    normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang.

    Glukosa yang masuk kedalam sel sedikit, maka sel akan kekurangan bahan bakar

    (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Berbeda dengan diabetes

    mellitus tipe 1, pada awalnya diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa darah

    tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal, hal ini disebut dengan resistensi insulin.

    Penyebab resistensi insulin tidak begitu jelas, tetapi ada faktor-faktor yang berperan

    seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang aktifitas fisik dan

    faktor keturunan.

    Secara alamiah diabetes mellitus tipe 2 berawal dari beberapa kombinasi

    herediter dan faktor lingkungan menuju ke keadaan diabetes mellitus tipe 2 yang

    menetap. Munculnya diabetes mellitus tipe 2 biasanya terjadi pada awal usia 18 tahun

    atau lebih (Soegondo, 2004).

    2.2 Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat (PIO)

    2.2.1 Defenisi Komunikasi

    Komunikasi berasal dari bahasa latin Communicare atau Communis yang

    berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang

    lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut

    menjadi miliknya.

    Universitas Sumatera Utara

  • Secara terminologis, menurut Nueman (2000) komunikasi diartikan sebagai

    pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan

    suatu media. Sebagai makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi satu sama lain.

    Dalam kehidupan nyata mungkin ada yang menyampaikan pesan/ide; ada yang

    menerima atau mendengarkan pesan; ada pesan itu sendiri; ada media dan tentu ada

    respon berupa tanggapan terhadap pesan. Secara ideal, tujuan komunikasi bisa

    menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama terhadap ide atau pesan yang

    disampaikan.

    Menurut William (2004) dalam Yudistira (2009) manfaat yang dapat

    diperoleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif diantaranya adalah :

    1. Tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas

    sesuai dengan yang dimaksudkan.

    2. Adanya kesepahaman antara komunikator dan komunikan dalam suatu

    permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi.

    3. Menjaga hubungan baik dan silaturahmi dalam suatu persahabatan atau

    komunitas.

    Adapun unsur-unsur dalam komunikasi menurut Green (2000) antara lain :

    1. Komunikator : pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan

    dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam

    komunikasi karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi

    2. Komunikan : penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator,

    kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Media : saluran (chanel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai

    sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya

    berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain

    sebagainya.

    4. Pesan : isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh

    komunikator kepada komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan

    sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi

    5. Tanggapan : merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas

    penerimaan pesan. Diimplementasikan dalam bentuk umpan balik (feed back)

    atau tindakan sesuai pesan yang diterima.

    Hewitt (2001) dalam Liliweri (2007), menjabarkan proses komunikasi secara

    spesifik yaitu :

    1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu

    2. Mempengaruhi perilaku seseorang

    3. Mengungkapkan perasaan

    4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain

    5. Berhubungan dengan orang lain

    6. Menyelesaikan sebuah masalah

    7. Mencapai sebuah tujuan

    8. Menurunkan ketegangan dan menyelesaikan konflik

    9. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain

    Universitas Sumatera Utara

  • Berikut ini diagram proses komunikasi menurut Liliweri (2007), terlihat pada

    Gambar 2.1 :

    Gangguan Gangguan

    Simbol/Isyarat

    Diagram 1 : Proses Komunikasi (Liliweri, 2007)

    1. Pengirim pesan (sender) dan isi pesan/materi

    Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada

    seseorang dengan harapan dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan

    sesuai dengan yang dimaksudkannya. Pesan adalah informasi yang akan

    disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan. Pesan dapat verbal

    (dilakukan secara langsung melalui tanya jawab, wawancara, sharing) atau

    non verbal (melalui media poster, gambar, leaflet dan lainnya) dan pesan akan

    lebih efektif (dapat lebih mudah diserap oleh penerima pesan) bila diorganisir

    secara baik dan jelas melalui teknik dan metode yang dapat disesuaikan

    dengan situasi dan kondisi audience (lingkungan tempat si penerima pesan

    berada).

    Materi pesan dapat berupa :

    Pengirim pesan

    Balikan

    Penerima pesan

    Media (Saluran) Mengartikan Kode/Pesan

    Universitas Sumatera Utara

  • a. Informasi

    b. Ajakan

    c. Rencana kerja

    d. Pertanyaan dan sebagainya.

    2. Simbol/isyarat

    Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga pesannya

    dapat dipahami oleh orang lain. Biasanya pengirim pesan menyampaikan

    pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan anggota badan (tangan,kepala,mata,

    dan bagian muka lainnya). Tujuan penyampaian pesan adalah untuk

    mengajak, membujuk, mengubah sikap, perilaku atau menunjukkan arah

    tertentu.

    3. Media/penghubung

    Adalah alat untuk penyampaian pesan seperti : TV, radio, surat kabar, papan

    pengumuman, telepon dan lainnya. Pemilihan media ini dapat dipengaruhi

    oleh isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan, situasi dsb.

    4. Mengartikan kode/isyarat

    Setelah pesan diterima melalui indera (telinga, mata dan seterusnya) maka

    sipenerima pesan harus dapat mengartikan simbol/kode dari pesan tersebut,

    sehingga dapat dimengerti/dipahaminya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 5. Penerima pesan

    Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dari sipengirim

    meskipun dalam bentuk kode/isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang

    dimaksud oleh pengirim

    6. Balikan (feedback)

    Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari sipenerima pesan

    dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa balikan seorang pengirim

    pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap si penerima pesan. Hal ini

    penting bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan sudah diterima

    dengan pemahaman yang benar dan tepat. Balikan dapat disampaikan oleh

    penerima pesan atau orang lain yang bukan penerima pesan. Balikan yang

    disampaikan oleh penerima pesan pada umumnya merupakan balikan

    langsung yang mengandung pemahaman atas pesan tersebut dan sekaligus

    merupakan apakah pesan itu akan dilaksanakan atau tidak balikan yang

    diberikan oleh orang lain didapat dari pengamatan pemberi balikan terhadap

    perilaku maupun ucapan penerima pesan. Pemberi balikan menggambarkan

    perilaku penerima pesan sebagai reaksi dari pesan yang diterimanya. Balikan

    bermanfaat untuk memberikan informasi, saran yang dapat menjadi bahan

    pertimbangan dan membant menumbuhkan kepercayaan serta keterbukaan

    diantara komunikan, juga balikan dapat memperjelas persepsi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7. Gangguan

    Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi

    mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi

    hampir selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal yang

    merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah

    menafsirkan pesan yang diterimanya.

    2.2.2 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

    Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara

    ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan penggunaan

    terapi dari obat. Informasi obat mencakup nama kimia, struktur kimia, identifikasi,

    indikasi diagnostik atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, bioekivalen, toksisitas,

    mekanisme kerja, waktu mulai bekerja dan durasi obat, dosis dan jadwal pemberian,

    dosis yang direkomendasikan, konsumsi, absorpsi, metabolisme, detoksifikasi,

    ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga,

    keuntungan, tanda, gejala, dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif,

    data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lain yang berguna dalam

    diagnosis, dan pengobatan pasien dengan obat (Siregar,2004).

    Menurut Santoso (1997), Informasi Obat adalah keterangan mengenai obat,

    terutama yang dapat mendukung tercapainya tujuan pengobatan (terapi) yang tepat,

    rasional, efisien dan aman dalam penggunaannya. Informasi yang diperlukan oleh

    pasien, paling tidak mencakup dua hal yaitu : (1) Informasi mengenai jenis

    penyakitnya dan pengobatannya, dan (2) Informasi mengenai obat yang diberikan

    Universitas Sumatera Utara

  • padanya. Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada konsumen kesehatan

    (pasien) terkait penggunaan obat antara lain : (a) Nama obat ( merek dagang ) dan

    kegunaannya, (b) Tujuan dan manfaat terapi, (c) Cara penyediaan obatnya, (d) Dosis,

    bentuk obat, rute pemberian dan lama pemberian, (e) Efek samping, interaksi dan aksi

    obat, (f) Pantangan selama penggunaan obat, (g) Cara Penyimpanan obat, (h)

    Informasi pengulangan obat, (i) Interaksi dan kontraindikasi, (j) Cara monitoring

    terapi atau keberhasilan tercapai, (k) Tindakan terhadap persediaan obat yang tersisa

    padahal sakit sudah dirasakan sembuh, (l) Tindakan apabila terjadi kesalahan dosis

    maupun kesalahan makan obat, (m) Tindakan pencegahan dari jangkauan anak kecil.

    Menurut SK Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004, Pelayanan

    Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker

    untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,

    apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

    Menurut Depkes RI (2004) kegiatan PIO meliputi : (1) Memberikan dan

    menyebarkan informasi kepada pasien secara aktif dan pasif, (2) Menjawab

    pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap

    muka, dan (3) Membuat bulletin, leaflet, dan label obat.

    Menurut SK Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI No.

    HK.01.DJ.II.093 tahun 2004 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah

    Sakit, tersedianya pedoman dalam rangka pelayanan informasi obat yang bermutu

    dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya penggunaan obat yang

    Universitas Sumatera Utara

  • rasional di Rumah Sakit. Untuk itu diperlukan upaya penyediaan dan pemberian

    informasi yang meliputi :

    1. Lengkap, yaitu dapat memenuhi kebutuhan semua pihak sesuai dengan

    lingkungan masing-masing rumah sakit.

    2. Memiliki data cost effective obat, informasi yang diberikan terkaji dan tidak bias

    komersial.

    3. Disediakan secara berkelanjutan oleh institusi yang melembaga.

    4. Disajikan selalu baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

    teknologi kefarmasian dan kesehatan.

    Widayati dan Zairina (1996) menyatakan Apoteker merupakan tenaga ahli

    dalam memberikan informasi tentang obat, baik kepada pasien maupun tenaga

    kesehatan lain, dan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi

    tersebut. Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien memahami tujuan dari

    pengobatan dan ketepatan penggunaannya, untuk itu apoteker perlu mengembangkan

    tampilan dalam menyampaikan informasi agar pasien dapat mematuhinya. Pengertian

    dan kerjasama pasien terhadap peraturan obat yang telah diresepkan merupakan

    syarat penting untuk mencapai terapi yang efektif.

    Juliantini dan Widayati (1996) menyatakan dalam memberikan PIO,

    diperlukan langkah-langkah sistematis sebagai berikut:

    1. Permintaan Informasi Obat, meliputi : (a) mencatat data permintaan informasi, dan

    (b) mengkategorikan permasalahan, antara lain : (1) aspek farmasetika (identifikasi

    obat, perhitungan farmasi, stabilitas, dan toksisitas obat) (2)ketersediaan obat, (3)

    Universitas Sumatera Utara

  • harga obat, (4) efek samping obat, (5) dosis obat, (6) interaksi obat, (7)

    Farmakokinetik, (8) Farmakodinamik, (9) aspek farmakoterapi, dan (10)

    keracunan.

    2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan, meliputi : (a)

    menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien, dan (b) menanyakan tentang

    informasi yang diperoleh pasien sebelumnya.

    3. Penelusuran sumber data, meliputi : (a) Dimulai dari rujukan umum (b) Disusul

    dengan rujukan sekunder (c) Bila perlu diteruskan dengan rujukan primer.

    4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan, meliputi : (a) Jawaban harus

    jelas, lengkap dan benar, (b) Jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal, dan

    (c) Tidak boleh memasukkan pendapat pribadi.

    5. Pemantauan dan Tindak Lanjut, yakni menanyakan kembali kepada penanya

    manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis.

    Langkah-langkah sistematis tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini :

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.2. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat

    Sumber : Juliantini dan Widayati, 1996.

    Penanya

    PIO

    Isi Formulir Klasifikasi Penanya Pertanyaan

    Informasi latar belakang

    Kumpulan data dan evaluasi data

    Formulir jawaban Dokumentasi

    Komunikasi

    Umpan balik

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.2. Dapat dijelaskan bahwa penanya berada di ruang PIO, petugas

    mengisi formulir mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang

    ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit

    mulai muncul, petugas melakukan penelusuran sumber data dengan mengumpulkan

    data yang ada kemudian data dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh

    petugas lalu kemudian dikomunikasikan kepada penanya. Informasi yang

    dikomunikasikan petugas kepada penanya akan menimbulkan umpan balik atau

    respon penanya.

    Menurut Depkes RI (2004), tujuan PIO adalah : (1) menyediakan informasi

    mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit, (2)

    menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan

    dengan obat, terutama bagi panitia/Komite Farmasi dan Terapi (KFT), (3)

    meningkatkan profesionalisme Apoteker, dan (4) menunjang terapi obat yang

    rasional.

    Siregar (2004) menyatakan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga,

    kelompok orang, kepanitian, dan penerima informasi obat tersebut, seperti tertera di

    bawah ini :

    1. Dokter, dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta

    regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari

    apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional, yang bertujuan untuk :

    (a) Menetapkan sasaran terapi dan titik akhir dari terapi obat, (b) Pemilihan zat

    aktif terapi yang paling tepat untuk terapi obat yang bergantung pada variabel

    Universitas Sumatera Utara

  • penderita dan zat aktif, (c) Penulisan regimen obat yang paling tepat, (d)

    Pemantauan efek dari terapi obat didasarkan pada indeks dari efek, dan (e)

    Pemilihan metode untuk pemberian obat. Dokter harus dibuat waspada terhadap

    efek samping yang mungkin timbul, sifat distribusi obat dalam tubuh, dan efek

    obat pada metabolisme. Dokter juga harus diberi informasi tentang stabilitas

    suatu sediaan obat dan harga obat.

    2. Perawat, dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada perawat dalam

    rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang

    berbagai aspek obat pasien tertentu, terutama tentang pemberian obat. Sebagai

    contoh tentang kompatibilitas atau inkompatibilitas tiga obat parenteral yang

    perlu diberikan pada waktu yang sama kepada pasien dengan hanya satu

    pembuluh (pipa) intravena. Perawat adalah juga profesional kesehatan yang

    paling banyak berhubungan dengan pasien. Oleh karena itu, perawatlah pada

    umumnya yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau mendengar

    keluhan mereka. Apoteker harus siap berfungsi sebagai sumber utama informasi

    obat bagi perawat. Berbagai hal yang dipertanyakan oleh perawat misalnya bahan

    pengencer suatu rekonstitusi sediaan obat, gejala efek samping, kecepatan

    timbulnya gejala efek samping dan penanganan/tindakan jika terjadi efek

    samping.

    3. Pasien, dalam tahap pemantauan efek obat serta tahap edukasi dan konseling

    dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker secara aktif memberikan

    informasi kepada pasien.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Tenaga Farmasi, agar apoteker mampu menjawab pertanyaan sendiri dan

    bertindak sebagai sumber utama dari informasi obat bagi professional kesehatan

    lain, tenaga farmasi harus mempunyai akses kepustakaan sebagai acuan yang

    memadai dan pengetahuan tentang sumber alternatif dari informasi obat.

    5. Pihak lain, seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain yang

    berguna dalam penyusunan kebijakan kebijakan di Rumah Sakit.

    Menurut Rantucci (2007), PIO dengan berbagai macam bentuknya,

    membawa dampak yang positif baik bagi apoteker maupun bagi pasien yang

    bersangkutan. Bagi Apoteker PIO memberi manfaat berupa : (1) legal protection,

    karena sudah melakukan kewajiban profesi Apoteker yang diatur oleh undang-

    undang, (2) pemilihan status keprofesian, dimana keberadaan Apoteker akan lebih

    diakui oleh masyarakat, (3) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Apoteker

    sehingga dapat mewujudkan hubungan yang lebih harmonis antara Apoteker dengan

    pasien, (4) meningkatkan pendapatan, karena tambahan pelayanan yang diberikan

    berupa informasi obat, sehingga menjaga kepuasan pasien, dan (5) peningkatan

    kepuasan kerja (job satisfaction) dan mengurangi stress (job stress).

    Pasien juga mendapat manfaat dengan adanya PIO, yaitu : (1) mengurangi

    resiko terjadinya kesalahan dan ketidakpatuhan pasien terhadap aturan pemakaian

    obat, (2) mengurangi resiko terjadinya efek samping obat, dan (3) menambah

    keyakinan akan efektivitas dan keamanan obat yang digunakan.

    Rantucci (2007) menyatakan bahwa, ada banyak faktor yang harus

    diperhatikan dalam memberikan pelayanan informasi kepada pasien. Faktor-faktor ini

    Universitas Sumatera Utara

  • meliputi karakteristik pasien, jenis obat yang diresepkan atau kondisi penyakit yang

    sedang diobati, dan berbagai aspek yang berkaitan dengan situasi. Selain itu, ada

    beberapa faktor yang berkaitan dengan apoteker sendiri.

    (1) Karakteristik Pasien, karakteristik pasien akan mempengaruhi penekanan yang

    perlu diberikan pada aspek tertentu dalam konseling. Usia pasien dapat

    mempengaruhi konseling dengan berbagai cara. Pasien manula mungkin

    menggunakan beberapa macam obat untuk mengatasi beberapa kondisi penyakit

    dan mungkin mengalami reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat sebagai

    akibat dari perubahan fisiologis di usia yang semakin menua. Oleh karena itu

    apoteker kemungkinan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk pasien ini

    dibandingkan untuk pasien lain dalam mengidentifikasi masalah, menjelaskan

    petunjuk-petunjuk yang diperlukan, dan membantu pasien mengatur jadwal

    dosis. Demikian juga, pasien pediatrik membutuhkan perhatian lebih dalam

    mengidentifikasi masalah karena anak-anak memiliki kondisi fisiologis yang

    berbeda dari orang dewasa. Latar belakang budaya pasien juga dapat

    memengaruhi penekanan yang diberikan dalam konseling. Beberapa pasien

    memiliki cacat tertentu yang memengaruhi pemilihan tempat yang tepat untuk

    melaksanakan konseling, materi edukasi yang digunakan, dan jenis informasi

    yang mungkin dibutuhkan. Jenis pekerjaan dan gaya hidup pasien kemungkinan

    juga perlu diperhatikan. Bentuk sediaan, jadwal dosis, dan efek samping

    kemungkinan perlu dimodifikasi dan pengaturan khusus mungkin perlu

    dilakukan. Sebagai contoh pengemudi truk akan mendapat kesulitan bila minum

    Universitas Sumatera Utara

  • obat yang membuatnya mengantuk. Jenis kelamin, status pekerjaan, atau situasi

    sosial ekonomi pasien tidak seharusnya mengubah jenis konseling yang

    diberikan; akan tetapi, faktor-faktor ini sebaiknya diperhitungkan oleh apoteker

    saat melaksanakan suatu diskusi agar apoteker tidak membuat pasien malu atau

    melukai hati pasien.

    1. Karakteristik Obat, isi konseling bervariasi tergantung pada obat yang

    didapatkan oleh pasien, apakah obat resep atau obat tanpa resep. Selain itu, obat

    tertentu lebih cenderung menimbulkan masalah ketaatan penggunaan obat, efek

    samping, atau tindakan pencegahan dibandingkan obat yang lain. Apoteker

    harus memberi penekanan bila suatu obat diketahui beresiko tinggi mengalami

    interaksi atau menimbulkan efek merugikan. Hal lain yang perlu

    dipertimbangkan sehubungan dengan obat kemungkinan adalah waktu yang

    diperlukan sampai pasien merasakan suatu efek, seperti pada obat

    antihipertensi, dalam situasi seperti ini, hal yang penting dilakukan adalah

    membantu pasien menemukan cara mengenali efek obat dengan tujuan

    mendorong ketaatan pasien mengikuti pengobatan (misalnya, menyarankan

    pasien mengecek sendiri tekanan darahnya).

    3. Karakteristik Kondisi, kondisi tertentu kemungkinan lebih membangkitkan emosi

    atau kekhawatiran pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh,

    diagnosis dan prognosis tekanan darah tinggi sering sulit dipahami. Demikian

    juga, diagnosis gangguan psikiatri dapat membuat pasien merasa malu dan

    cemas akan reaksi orang lain. Khususnya, bila sakit yang diderita pasien fatal,

    Universitas Sumatera Utara

  • misalnya kanker atau AIDS, pasien akan memiliki berbagai kekhawatiran dan

    emosi sehingga memerlukan perhatian khusus dari apoteker. Selain itu, sangat

    penting menekankan bahwa obat bekerja untuk mengontrol atau mengurangi

    gejala yang muncul dan bukan menyembuhkan penyakit, serta konsekuensi bila

    terlewat minum obat. Beberapa kondisi lebih memerlukan adanya perubahan

    gaya hidup pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh, merokok,

    kegemukan, atau diabetes memerlukan perubahan kebiasaan dan diet, Apoteker

    perlu meluangkan waktu konseling yang cukup banyak untuk mendiskusikan

    isu-isu ini, membuat rujukan bantuan lebih lanjut, dan memberikan konseling

    lanjutan untuk terus mendukung pasien.

    4. Karakteristik Situasi, situasi tertentu dapat menciptakan tantangan dan

    membutuhkan penekanan yang berbeda dalam konseling. Situasi yang

    menyebabkan pasien marah, ketakutan, atau kecewa secara emosional dapat

    membuat konseling berjalan sangat sulit bagi apoteker. Selain itu, apoteker

    sering dimintai konsultasi oleh pasien mengenai berbagai kekhawatiran yang

    tidak berhubungan dengan terapi obat. Meskipun situasi tersebut tidak

    memerlukan konseling pengobatan, namun apoteker harus menanggapi situasi

    tersebut karena apoteker berkedudukan sebagai sumber daya kesehatan

    masyarakat yang ada di komunitas dan sebagai individu yang mempedulikan

    sesama manusia.

    5. Karakteristik Pemberi Informasi (Apoteker), dalam pemberian informasi kepada

    pasien (konseling), tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari

    Universitas Sumatera Utara

  • pasien melainkan juga yang berasal dari apoteker sendiri. Tingkat pengetahuan

    apoteker tentang pasien (kekhawatiran, situasi keluarga, kondisi, dan gejala

    pasien) menentukan pemahaman apoteker tentang cara mendekati pasien,

    jumlah informasi yang perlu diberikan, dan kenyamanan apoteker dalam

    menghadapi pasien. Pengetahuan apoteker tentang kondisi dan pengobatan

    pasien yang dibicarakan dalam konseling juga penting karena apoteker harus

    mampu mengantisipasi isu-isu yang harus dibicarakan dan memberikan

    informasi yang diperlukan. Kemampuan Apoteker untuk berkomunikasi dengan

    pasien dan profesional kesehatan lain yang terlibat dalam pengobatan pasien

    juga sangat penting. Penggunaan empatilah yang terpenting dalam menghadapi

    situasi yang menantang sehingga apoteker mampu menghadapi emosi pasien

    seperti kemarahan, rasa malu, rasa takut, dan kebingungan yang umumnya

    muncul dalam situasi seperti ini. Apoteker harus memiliki toleransi, empati, dan

    ketertarikan pada masing-masing pasien. Hal ini akan dirasakan oleh pasien dan

    akan membantu mengembangkan hubungan yang berhasil.

    2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS)

    PKMRS adalah upaya penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan di rumah

    sakit, yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman pasien dan keluarganya

    tentang penyakit yang diderita pasien, serta hal-hal yang perlu dan dapat dilakukan

    oleh keluarga, untuk membantu penyembuhan dan mencegah terulangnya kembali

    penyakit yang diderita. Dalam hal ini PKMRS berusaha menggungah kesadaran serta

    minat pasien dan keluarganya untuk berperan secara positif dalam penyembuhan dan

    Universitas Sumatera Utara

  • pencegahan penyakit. Oleh karena itu penyuluhan kesehatan harus merupakan bagian

    yang tidak terpisahkan dari upaya pelayanan kesehatan di RS, karena dengan PKMRS

    upaya penyembuhan pasien akan lebih berhasil (Depkes RI, 1999).

    Rumah Sakit mempunyai peran yang besar untuk menyebarkan informasi

    kesehatan, pengembangan sikap dan perubahan perilaku kepada pasien, keluarga

    pasien, masyarakat dilingkungan rumah sakit, dan juga kepada petugasnya.

    A. Visi PKMRS

    Mewujudkan rumah sehat yang para warganya hidup dengan perilaku yang

    bersih dan sehat, serta dalam lingkungan yang sehat pula.

    B. MISI

    1. Mengupayakan adanya kebijakan rumah sakit yang Bersih dan Sehat baik

    warga, tampilan fisik rumah sakit, maupun lingkungan sekitarnya.

    2. Mengembangkan iklim atau suasana kondusif bagi terselenggaranya

    kegiatan penyuluhan di rumah sakit.

    3. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk berperilaku

    hidup bersih dan sehat bagi warga dan lingkungan rumah sakit.

    C. KEBIJAKAN PKMRS

    1. PKMRS difokuskan pada upaya pemberdayaan masyarakat di rumah sakit

    untuk hidup sehat dan mengembangkan lingkungan yang sehat.

    2. PKMRS merupakan bagian dari program rumah sakit secara keseluruhan,

    untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. PKMRS dilakukan secara edukatif-persuasif, dan praktis-pragmatis,

    dengan membuka jalur komunikasi, menyediakan informasi dan

    melakukan edukasi (proses pembelajaran).

    4. PKMRS dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat di rumah sakit secara

    kemitraan dan berkesinambungan.

    5. PKMRS dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman, serta sesuai

    dengan budaya dan kondisi setempat.

    Adapun pesan atau materi PKMRS disesuaikan dengan masalah kesehatan

    yang sedang diderita pasien atau penyakit terbanyak yang ditemukan di rumah sakit

    (masalah lokal/SMF), atau masalah penyakit yang bersifat nasional (yang cenderung

    meningkat secara nasional seperti : penyakit jantung, tekanan darah tinggi, TBC,

    kanker, dsb) dengan aspek pencegahannya.

    Secara garis besar, isi penyuluhan dapat dibagi menjadi 3 hal, yaitu :

    1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan individu maupun kelompok.

    2. Mencegah terserang suatu penyakit atau penyakit yang diderita kambuh

    kembali. Juga mencegah penularan penyakit kepada atau dari orang lain.

    3. Membantu proses penyembuhan dan pemulihan.

    Metode penyuluhan yang dapat dikembangkan dalam PKMRS dapat

    dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan langsung adalah

    penyuluhan/komunikasi tanpa menggunakan alat perantara, dimana penyuluh

    berbicara langsung kepada seseorang/sekelompok orang di hadapan penyuluh seperti:

    tanya jawab perorangan, ceramah pada kelompok, dan konseling. Penyuluhan tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • langsung adalah penyuluhan/komunikasi melalui alat bantu atau media perantara

    seperti : radio kaset, video kaset, flipchart, poster, booklet, leaflet, dan pameran.

    Indikator keberhasilan PKMRS di lihat dari :

    1. Adanya Tim pengelola PKMRS

    2. Adanya kegiatan PKMRS yang berkesinambungan dan didukung oleh sumber

    dana yang memadai

    3. Adanya sarana dan media PKMRS yang memadai

    4. Adanya peningkatan penampilan RS yang bersih dan sehat

    5. Adanya peningkatan Perilaku Bersih dan Sehat dari petugas,

    pasien/pengunjung.

    2.3 Kepatuhan Pasien

    Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka menuruti, disiplin.

    Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat prilaku penderita

    dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan

    hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak

    patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat

    mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

    Menurut Sacket (Niven, 2002) kepatuhan pasien adalah sejauhmana perilaku

    pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

    Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan

    resiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk

    Universitas Sumatera Utara

  • kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah

    opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan

    pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu

    faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang

    memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya

    bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi

    kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan kearah

    penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang

    menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota

    keluarga.

    Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi

    empat bagian yaitu :

    1. Pemahaman Tentang Informasi

    Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi

    yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih

    dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang

    instruksi yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional

    kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah

    medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

    Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

    DiNicola dan DiMatteo (Niven, 2002) yaitu :

    a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

    Universitas Sumatera Utara

  • b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

    c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,

    maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal

    yang pertama kali ditulis.

    d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal

    yang perlu ditekankan.

    2. Kualitas Interaksi

    Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian

    yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi

    professional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan

    umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien

    membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang

    dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

    3. Isolasi Sosial dan Keluarga

    Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

    keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program

    pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan

    membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

    4. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

    Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-

    pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian

    secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-

    Universitas Sumatera Utara

  • orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

    sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan

    yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

    Blumenthal et al (Niven, 2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang

    disebutkan diatas tersebut menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari

    program pengobatan.

    Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang

    mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada

    hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut yaitu :

    1. Pendidikan

    Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan

    tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

    2. Akomodasi

    Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat

    memengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat

    merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara

    pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus

    diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan

    teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

    3. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

    Hal ini berarti membangun dukungan social dari keluarga dan teman-teman.

    Kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap

    Universitas Sumatera Utara

  • program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti

    merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

    4. Perubahan model terapi

    Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien

    terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-

    komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk

    selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

    5. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien

    Adalah suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien

    setelah memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang

    kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi

    seperti itu. Konsultasi dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

    Menurut Schwart dan Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan

    ketidaktaatan pasien didasarkan atas pandangan mengenai pasien sebagai penerima

    nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang

    yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

    mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas

    sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat

    meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan

    pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara

    mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau

    situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional

    Universitas Sumatera Utara

  • dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan

    sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika

    hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenai kesehatannya.

    Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :

    1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

    Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk

    penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau

    resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama,

    pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, dan perilaku

    yang tidak pantas.

    Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk

    menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

    78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat

    tersebut menurun sampai 54%.

    2. Komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan

    Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan

    memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan

    yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan

    petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan

    (Bart,1994).

    3. Variabel-variabel sosial

    Universitas Sumatera Utara

  • Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara

    umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan

    pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya

    cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada pasien yang kurang

    mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang

    sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh

    normatif pada pasien, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan

    atau menghambat perilaku ketaatan.

    4. Ciri-ciri individual

    Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.

    Sebagai contoh : di Amerika Serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang

    tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart,1994).

    2.4 Landasan Teori

    Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

    banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan

    pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006).

    Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004,

    bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya

    (30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti

    pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari

    Universitas Sumatera Utara

  • dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat

    tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah.

    Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan

    cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan (Smet, 1994).

    Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa kepatuhan mengacu

    pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan

    beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Trekas

    (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita DM untuk

    mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang

    berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat

    meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan

    kesehatannya.

    Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang

    mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor

    lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi

    professional kesehatan dengan pasien.

    Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik

    dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan anjuran

    kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa penderita DM

    yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena

    komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.

    Universitas Sumatera Utara

  • Meningkatnya interaksi tenaga kesehatan melalui komunikasi dengan pasien,

    adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah

    memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa

    penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

    Informasi yang diperoleh pasien dapat membantu pasien untuk lebih memahami

    kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani, dalam hal ini

    cara penggunaan obat yang benar. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan

    dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang terjalin baik oleh tenaga kesehatan.

    Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang

    lengkap guna meningkatkan pemahaman pasien dalam setiap instruksi yang diberikan

    kepadanya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam

    menjalankan terapi (Niven, 2002).

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di poliklinik

    penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik

    terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap kepatuhan

    dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. ( Palestin, 2002 ).

    Pritchard (1989) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan

    merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun

    suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor disengaja atau tidak disengaja dan

    biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak

    patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan

    kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti

    Universitas Sumatera Utara

  • pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan

    banyak teknik persuasif (Palestin, 2002).

    Menurut Smet (1994), salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan

    adalah pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan

    keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal

    ini pemberian informasi yang jelas tentang penggunaan obat secara benar, sehingga

    pasien dapat paham dan akhirnya patuh terhadap anjuran pengobatan.

    Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih dari 60% pasien

    yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi

    yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional

    kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah

    medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

    Merujuk pada teori dan penelitian diatas dan berdasarkan survei pendahuluan

    yang dilakukan peneliti terkait dengan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat, maka

    kajian komunikasi petugas informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien

    diabetes mellitus menjadi sangat penting untuk dilakukan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.5 Kerangka Konsep

    Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep

    dalam penelitian ini dapat kita lihat dalam bagan dibawah ini :

    Variabel Bebas Variabel Terikat

    Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

    Kepatuhan Minum Obat

    Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat

    1. Isi informasi 2. Metode informasi 3. Peran petugas

    Universitas Sumatera Utara