chapter ii

60
9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009). Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer Society, 2013). 2.1.1 Epidemiologi Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO (2013), kanker payudara merupakan kanker yang paling umum pada perempuan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Kanker Universitas Sumatera Utara

Upload: retna-gumilang

Post on 14-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

breast cancer

TRANSCRIPT

  • 9

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kanker Payudara

    Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan

    struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga

    dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor

    genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor

    ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada

    jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara

    merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan

    penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009).

    Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal

    cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers),

    sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir

    seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer

    Society, 2013).

    2.1.1 Epidemiologi

    Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit

    kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health

    Estimates, WHO (2013), kanker payudara merupakan kanker yang paling umum

    pada perempuan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Kanker

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan

    di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor

    ganas.

    Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per

    100.000 perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa

    Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40

    per 100.000 perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar

    negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah

    tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara

    maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di

    negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013).

    Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker

    payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker

    payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana

    sekitar 13.668 kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru

    pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada

    sekitar 49.961 kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk

    setiap 100.000 perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat,

    tahun 2011, diperkirakan 230.480 kasus baru kanker payudara invasif dan 57.650

    kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013).

    Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia.

    Tingkat insidensi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan lebih tua, terkait

    dengan status hormonal. Di Inggris 48% kasus kanker payudara perempuan

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan

    dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009,

    51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia 50-69

    tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada

    kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013).

    Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi

    di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang,

    hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah

    40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat

    kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan

    telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode 1982-1987 dan

    2006-2010, kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi

    89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat

    kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama

    disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi

    proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya

    fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013).

    Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan

    meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013),

    karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium

    penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada

    tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait

    kanker pada perempuan Australia, dimana sekitar 15,3% dari semua kematian

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    akibat kanker pada perempuan. Terdapat 2.864 kematian akibat kanker payudara

    yaitu 2.840 perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada

    tahun 2011, sekitar 39.520 perempuan di Amerika Serikat meninggal akibat

    kanker payudara (Mandal, 2013).

    Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun

    2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang

    datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker

    payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker

    payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang

    paling banyak ditemukan adalah antara 40-49 tahun yaitu sebanyak 37,82%,

    sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara 70-79 tahun yaitu sebanyak

    2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah

    invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%.

    Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah

    stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium

    II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik

    Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien

    baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah

    onkologi RSUP. H. Adam Malik.

    Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang

    sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/

    dokter (>50%) sudah dalam keadaan stadium lanjut. Setiap tahunnya 100 kasus

    baru terjadi diantara 100.000 penduduk. Meningkatnya pengguna rokok,

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/

    olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia.

    Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit

    kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun,

    kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan

    kembali pada usia >65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih

    tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011).

    2.1.2 Faktor risiko

    Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan

    munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor

    risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak

    memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia)

    tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013).

    Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain:

    2.1.2.1 Jenis kelamin

    Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan

    pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan

    progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker

    payudara (Ostad and Parsa, 2011).

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    2.1.2.2 Usia

    Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya

    usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun

    sampai rentang usia 45-50 (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari

    8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45

    tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada

    perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013).

    2.1.2.3 Riwayat keluarga

    Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor

    risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki

    riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker

    payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki

    anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari

    kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan

    dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu,

    saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat

    seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara.

    Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko

    sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15%

    perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita

    kanker payudara juga. Ini berarti bahwa sebagian besar (>85%) perempuan yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker

    payudara (American Cancer Society, 2013).

    2.1.2.4 Riwayat pribadi kanker payudara

    Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat

    pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan

    dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko

    berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara

    yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan

    (recurrence).

    2.1.2.5 Ras dan etnis

    Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi

    kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih

    umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar

    disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki

    pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang

    lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka,

    termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen

    dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya

    kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status

    estrogen reseptor (ER)/progesteron reseptor (PR) termasuk ER-/PR-, ER+/PR+,

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis

    bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011).

    2.1.2.6 Jaringan payudara yang padat

    Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan

    kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti

    yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan

    kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan

    jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker

    payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya,

    jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat.

    Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status

    menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause),

    kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013).

    2.1.2.7 Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak

    Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki

    peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi,

    sesuai dengan gambaran subkategori histopatologis nya (Terry and Rohan, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :

    (American Cancer Society, 2013)

    a. Lesi non-proliferasi

    Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara

    yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi

    risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat

    kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain

    fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan,

    adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma

    tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan

    apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma,

    hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis

    (infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara.

    b. Lesi proliferatif non-atipia

    Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di

    dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan

    risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1-2 kali lebih

    tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam

    kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma,

    adenosis sklerosis, beberapa papiloma (papillomatosis), bekas luka radial.

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    c. Lesi proliferatif atipia

    Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di

    dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel

    tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada

    risiko kanker payudara 3 - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007).

    Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain

    hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan

    hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH).

    Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia

    atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker

    payudara.

    Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga

    merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat

    seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara,

    tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia)

    kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai

    kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker

    invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali

    lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini,

    perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007;

    American Cancer Society, 2013).

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    2.1.2.8 Periode menstruasi

    Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka

    mulai menstruasi lebih awal (55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara

    (Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan

    seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron

    (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011).

    2.1.2.9 Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui

    Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan

    risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003).

    Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah

    usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007;

    Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda

    mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama

    yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and

    Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup,

    yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013).

    Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko

    kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1-2 tahun, dikarenakan

    berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003;

    Wrensch, et.al., 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 20

    2.1.2.10 Kontrasepsi

    Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi

    (Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone

    Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker

    payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon

    estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi

    dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003)..

    Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara

    masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker

    payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang (>7 tahun) (DEPKES

    RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan

    yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang

    dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007).

    Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko

    kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi

    yang dilakukan di Oxford yang meneliti 52.705 wanita yang menggunakan HRT

    5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang

    menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000

    wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001).

    Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah

    digunakan selama bertahun-tahun untuk membantu meringankan gejala

    menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terapi hormon estrogen tuggal

    setelah menopause tidak meningkatkan risiko kanker payudara, akan tetapi

    Universitas Sumatera Utara

  • 21

    menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause

    meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan

    kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat

    hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti

    populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi

    hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007).

    2.1.2.11 Peminum alkohol

    Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker

    payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi

    konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker.

    Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis

    terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan

    dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi

    sekunder (Poschl and Seitz, 2004).

    Dibandingkan dengan yang tidak peminum, perempuan yang

    mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki

    risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang

    tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003).

    2.1.2.12 Kelebihan berat badan atau obesitas

    Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan

    risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Sebelum menopause ovarium

    Universitas Sumatera Utara

  • 22

    menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak

    menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika

    ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen

    perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan

    lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara

    (McTiernan, et.al., 2003).

    2.1.2.13 Kurangnya aktivitas fisik

    Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat

    memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik

    menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang

    berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee,

    et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat

    sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker

    payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013).

    2.1.2.14 Bahan kimia di lingkungan

    Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat

    yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi,

    pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di

    jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi

    menunjukkan bahwa paparan bahan kimia tersebut akan meningkatkan risiko

    terkena kanker payudara, akan tetapi data yang ada masih kontroversial, sehingga

    Universitas Sumatera Utara

  • 23

    diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa

    tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011).

    2.1.2.15 Asap rokok

    Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau

    mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon

    polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsinogen yang

    ditemukan dalam asap tembakau tersebut dapat melewati membran alveolar dan

    masuk ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat diangkut ke payudara melalui

    lipoprotein plasma. Karena bersifat lipofilik, karsinogen yang terkait tembakau

    tersebut dapat disimpan dalam jaringan adiposa payudara dan kemudian

    dimetabolisme dan diaktivasi oleh sel epitel payudara (American Cancer Society,

    2013; Terry and Rohan, 2002).

    Temuan adanya mutasi gen p53 dalam jaringan payudara perokok

    mendukung secara biologis adanya hubungan positif antara merokok dan kanker

    payudara, seperti halnya deteksi aktifitas karsinogenik dalam cairan payudara.

    Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi mutasi

    gen p53 yang lebih tinggi ditemukan dalam jaringan payudara perokok

    dibandingkan dengan bukan perokok, yang secara biologis membuktikan adanya

    hubungan positif antara merokok dan risiko kanker payudara. Peningkatan risiko

    kanker payudara dapat terjadi bila merokok untuk jangka waktu yang lama,

    merokok saat hamil, dan perokok pasif. (Terry and Rohan, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 24

    Pada tahun 2009, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker

    menyimpulkan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan merokok 30 tahun

    memiliki risiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan dengan perempuan

    yang tidak merokok (Wrensch, et.al., 2003).

    2.1.3 Penyebab

    Faktor genetik berkontribusi terhadap insiden kanker payudara.

    Diperkirakan sekitar 5% dari semua kasus kanker payudara dan sekitar 25% dari

    kasus yang terkait genetik didiagnosis pada usia muda (

  • 25

    Gen BRCA1 dan BRCA2 bertanggung jawab atas 80-90% dari semua

    kanker payudara yang bersifat familial (Ergul and Sazci, 2000). Jika seseorang

    telah mewarisi salinan gen yang bermutasi dari orang tua, memiliki risiko hingga

    80% terkena kanker payudara selama masa hidup mereka (Ergul and Sazci, 2000;

    Mandal, 2013). Seseorang yang memiliki mutasi gen BRCA1 berisiko terkena

    kanker payudara sekitar 45-65% (tertinggi 80%), sedangkan yang memiliki mutasi

    gen BRCA2 risiko lebih rendah, sekitar 45% (Miki, et.al., 1994). Terjadinya

    mutasi pada gen BRCA1 atau BRCA2 menyebabkan hilangnya atau berkurangnya

    fungsi gen, yang menjadi predisposisi tumbuh dan berkembangnya kanker

    payudara (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001; Stefansson, et.al., 2012). Kanker

    payudara terkait dengan mutasi gen ini terjadi lebih sering pada perempuan

    dengan usia lebih muda dan lebih sering terjadi pada kedua payudara. Perempuan

    dengan mutasi gen ini juga memiliki peningkatan risiko untuk terkena kanker

    lainnya, seperti kanker ovarium (American Cancer Society, 2013).

    Upaya untuk mengisolasi gen BRCA1 pertama sekali dilakukan pada

    penelitian yang dilakukan oleh Hal, et al. pada tahun 1990. Gen BRCA1 dipetakan

    pada kromosom 17q21.3 dengan panjang 100 kb dan mengkode protein yang

    terdiri dari 1863 asam amino. Gen ini ditranskripsikan dalam beberapa jaringan,

    paling banyak diekspresikan dalam thymus, testis, payudara dan ovarium. BRCA1

    terlibat dalam perbaikan DNA, transaktivasi transkripsi, apoptosis dan kontrol

    siklus sel (Miki, et.al., 1994; Ergul and Sazci, 2000; Kumar, 2007).

    Stimulasi estrogen dari sel epitel payudara diduga menjadi faktor utama

    dalam memicu perkembangan kanker payudara. Protein BRCA1 berfungsi

    Universitas Sumatera Utara

  • 26

    mengatur respon seluler terhadap estrogen, dimana gen BRCA1 wild type

    menghambat sinyal ER. Protein BRCA1 wild type berikatan pada sejumlah

    protein selular, termasuk DNA repair protein Rad 51, RNA polymerase II

    holoenzyme, RNA helicase A, CtBP-interacting protein, c-myc, BRCA1-

    associated RING domain protein (BARD1), BRCA2 protein, dan sebagainya.

    Protein-protein tersebut memediasi fungsi BRCA1. Oleh karena itu, mutasi

    BRCA1 dapat mempengaruhi komposisi kompleks tersebut dan disregulasi fungsi

    protein tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan berkembangnya keganasan.

    BRCA1 juga berinteraksi dengan p53 secara in vitro dan in vivo, dimana protein

    BRCA1 berfungsi sebagai co-aktivator p53 (Ergul and Sazci, 2000).

    Selain gen BRCA1, mutasi gen kerentanan kanker payudara lainnya yaitu

    gen BRCA2, dipetakan pada kromosom 13q12-13 (Miki, et.al., 1994; Ergul and

    Sazci, 2000; Kumar, 2007). Gen BRCA2 lebih besar dari BRCA1, dengan 10.254

    pasangan basa yang menkode 3418 asam amino. BRCA2 paling banyak

    diekspresikan dalam thymus dan testis, sedangkan dalam kelenjar payudara dan

    prostat diekspresikan pada level moderat. Protein BRCA2, seperti BRCA1,

    memainkan peranan dalam regulasi transkripsi dan perbaikan DNA. Hal ini

    menunjukkan bahwa BRCA2 berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel.

    (Ergul and Sazci, 2000).

    Kanker payudara terkait gen BRCA terkesan lebih agresif, disebabkan

    oleh ketidakstabilannya dalam kromosom secara intrinsik, kegagalan perbaikan

    DNA dan regulasi sentrosom yang disfungsional (Hedenfalk, et.al., 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 27

    Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang bersifat

    diturunkan, akan tetapi lebih jarang dan sering tidak meningkatkan risiko kanker

    payudara seperti gen BRCA.

    2.1.3.2 ATM

    Gen ATM berperan dalam membantu memperbaiki kerusakan DNA.

    Dalam studi terbaru, dibuktikan bahwa gen ataksia telangiektasia (AT), yang

    disebut ATM, berperan dalam perkembangan kanker payudara (Ergul and Sazci,

    2000). Bila mewarisi 2 salinan abnormal gen ini dapat menyebabkan timbulnya

    penyakit ataksia- telangiektasia, bila mewarisi 1 salinan mutasi gen berisiko tinggi

    terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013).

    Gen ATM diidentifikasi berada pada kromosom 11q22 23, sebesar

    13.000 bp yang mengkode protein yang terdiri dari 3.500 asam amino. Target

    kunci ATM di downstream adalah p53, yang difosforilasi dan distabilkan oleh

    ATM, sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Hilangnya fungsi ATM pada sel

    menyebabkan gangguan dalam perbaikan DNA dan kontrol checkpoint siklus sel,

    hal ini menyebabkan berkembangnya kanker (Ergul and Sazci, 2000).

    Pasien ataksia telangiektasia (AT) homozigot memiliki insiden kanker

    yang sangat tinggi, dimana pasien AT dengan mutasi homozigot mengalami

    peningkatan risiko kanker 100-200 kali lipat. Sementara pada pasien AT dengan

    mutasi heterozigot mengalami peningkatan risiko terkena kanker payudara 3-5

    kali lipat (terutama kanker payudara pada perempuan). Kebanyakan pasien AT

    Universitas Sumatera Utara

  • 28

    tidak dapat bertahan hidup sampai usia di mana umumnya kanker payudara

    terjadi. (de Jong, et.al., 2002)

    2.1.3.3 Tp53

    Gen Tp53 mengkode pembentukan protein p53 yang merupakan faktor

    transkripsi dan juga memainkan peran penting dalam membantu menghentikan

    pertumbuhan sel-sel abnormal (tumor supresor gen). Gen Tp53 terletak pada

    kromosom 17p13.1, berisi 393 kodon dan mengkode protein inti 53.000 D (Ergul

    and Sazci, 2000).

    Mutasi yang menonaktifkan gen Tp53 terjadi pada berbagai jenis kanker,

    termasuk kanker payudara (de Jong, et.al., 2002; Gasco, et.al., 2002; Ergul and

    Sazci, 2000). Mutasi somatik gen Tp53 pada kanker payudara dilaporkan

    mencapai 19%-57% (de Jong, et.al., 2002).

    Mewarisi mutasi gen Tp53 secara autosomal dominan menyebabkan

    sindrom Li-Fraumeni. Individu dengan sindrom ini memiliki peningkatan risiko

    terjadinya kanker payudara, serta beberapa jenis kanker lain seperti leukemia,

    tumor otak, dan osteosarkoma, karsinoma adrenokortikal (de Jong, et.al., 2002;

    Ergul and Sazci, 2000). Dalam sebuah penelitian terhadap 231 pasien dengan

    mutasi germline p53, kanker payudara merupakan kanker yang paling umum

    terjadi (Ergul and Sazci, 2000). Risiko terkena kanker payudara sebelum usia 45

    tahun menjadi 18 kali lipat lebih tinggi untuk perempuan yang terkena sindrom ini

    dibandingkan dengan populasi normal. Peningkatan risiko paling banyak pada

    Universitas Sumatera Utara

  • 29

    usia di bawah 20 tahun dan menurun seiring dengan bertambahnya usia ( de Jong,

    et.al., 2002).

    Pada kanker payudara, mutasi p53 dikaitkan dengan kondisi penyakit yang

    lebih agresif dan prognosis buruk (Gasco, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000).

    Frekuensi mutasi p53 lebih rendah pada kanker payudara dibandingkan pada

    tumor padat lainnya. Perubahan, baik genetik maupun epigenetik, mempengaruhi

    pada pengendalian aktivitas p53 dan beberapa target transkripsi p53 di

    downstream pada kanker payudara. Analisis patologi molekuler dari struktur dan

    ekspresi konstituen jalur p53 bernilai dalam menentukan diagnosis, prognosis dan

    penatalaksanaan kanker payudara (Gasco, et.al., 2002).

    2.1.3.4 PTEN

    Pada manusia gen PTEN dipetakan pada kromosom 10q23. PTEN

    merupakan fosfatase, tetapi tidak seperti fosfatase lain. Bukan merupakan protein,

    tetapi merupakan molekul lemak di sela membran sel. Target lipid adalah

    phosphatidylinositol-3,4,5-trifosfat (PIP3) dan merupakan komponen kunci dari

    jalur utama kontrol pertumbuhan sel, bertindak untuk merangsang pertumbuhan

    sel dan menghambat apoptosis. Dengan melepaskan satu dari tiga fosfat pada

    PIP3, PTEN mengendalikan jalur pertumbuhan dan memungkinkan terjadinya

    proses kematian sel (Ergul and Sazci, 2000).

    Mutasi gen PTEN pada proses tumorigenesis membuat jalur PIP3 tidak

    tepat diaktifkan, yang memungkinkan sel-sel yang seharusnya mati bermutasi dan

    tumbuh tak terkendali (Ergul and Sazci, 2000). Mutasi gen PTEN terjadi pada

    Universitas Sumatera Utara

  • 30

    80% penderita sindrom Cowden (kelainan autosomal dominan). Pada penderita

    sindrom Cowden perempuan dengan mutasi gen PTEN memiliki risiko kanker

    payudara 25-50% seumur hidupnya ( de Jong, et.al., 2002).

    2.1.4 Gejala dan tanda

    Skrining menggunakan mammogram telah meningkatkan jumlah kasus

    kanker payudara yang terdeteksi sebelum menimbulkan gejala apapun. Namun,

    masih ada beberapa jenis kanker payudara yang tidak terdeteksi oleh

    mammogram. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah adanya

    benjolan atau massa yang tidak nyeri dan massa padat dengan tepi yang tidak

    teratur. Tapi kanker payudara dapat juga berupa massa yang lembut dan berbatas

    tegas dan sangat nyeri. Oleh karena itu, bila dijumpai massa di payudara harus

    segera diperiksakan ke dokter yang ahli dan berpengalaman dalam mendiagnosis

    penyakit payudara (DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013).

    Kemungkinan tanda-tanda lain dari kanker payudara antara lain

    pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau dimpling,

    nyeri payudara atau puting, retraksi puting (lipatan puting), kemerahan atau

    penebalan pada puting atau kulit payudara, keluar cairan dari puting/ selain ASI

    (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society,

    2013)

    Kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di bawah

    lengan atau di sekitar tulang selangka dan menyebabkan benjolan atau

    pembengkakan di daerah tersebut, bahkan sebelum tumor primer di jaringan

    Universitas Sumatera Utara

  • 31

    payudara cukup besar. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh hal-

    hal lain selain kanker payudara, jika seseorang memilikinya, mereka harus

    melaporkan kepada dokter sehingga penyebabnya dapat ditemukan segera

    (DEPKES RI 2009; American Cancer Society, 2013).

    2.1.5 Penegakan diagnosis

    Kanker payudara sering ditemukan setelah gejala muncul, karena

    kebanyakan kanker payudara stadium dini tidak memiliki gejala. Jika ada sesuatu

    yang mencurigakan ditemukan setelah dilakukan skrining, atau jika dijumpai

    salah satu dari gejala kanker payudara seperti yang dijelaskan di atas, dokter akan

    menggunakan satu atau beberapa metode pemeriksaan untuk mendeteksi kanker

    payudara, antara lain sebagai berikut :

    2.1.5.1 Riwayat medis dan pemeriksaan fisik

    Riwayat medis meliputi gejala, masalah kesehatan lainnya, dan faktor-

    faktor risiko yang mungkin untuk berkembangnya kanker payudara. Pemeriksaan

    payudara untuk menilai tekstur, ukuran, dan hubungan dengan kulit dan otot dada,

    perubahan pada puting atau kulit payudara. Kelenjar getah bening di aksila dan di

    atas tulang selangka juga diraba, karena pembesaran kelenjar getah bening dapat

    mengindikasikan penyebaran kanker payudara. Juga dilakukan pemeriksaan fisik

    lengkap untuk menilai kesehatan secara umum dan membuktikan apakah kanker

    telah menyebar. Jika dari gejala dan/ atau hasil pemeriksaan fisik mengarah

    kepada dugaan kanker payudara, maka akan dilakukan pemeriksaan tambahan,

    Universitas Sumatera Utara

  • 32

    seperti tes pencitraan, pemeriksaan sampel nipple discharge, atau melakukan

    biopsi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).

    2.1.5.2 Tes Pencitraan

    Tes pencitraan dapat dilakukan untuk untuk membantu mendiagnosis

    kanker, mengetahui seberapa jauh kanker telah menyebar, dan untuk monitoring

    terapi. Tes pencitraan yang dapat dilakukan antara lain : (Sjamsuhidajat dan de

    Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)

    a. Rontgen dada

    Tes ini dapat dilakukan untuk melihat apakah kanker payudara telah

    menyebar ke paru-paru

    b. Mammogram

    Untuk mendeteksi area yang abnormal pada payudara

    c. Scan tulang

    Dapat membantu menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke tulang.

    d. Computed Tomography (CT)-Scan

    Untuk melihat apakah kanker telah menyebar ke organ lain di luar

    payudara.

    Universitas Sumatera Utara

  • 33

    e. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

    Menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat. Digunakan untuk

    mencari kanker yang telah menyebar ke berbagai bagian tubuh, sama

    seperti CT scan. MRI scan sangat membantu dalam melihat otak dan

    tulang belakang.

    f. Ultrasonography (USG)

    Digunakan untuk mencari kanker yang telah menyebar ke beberapa bagian

    tubuh yang lain, terutama untuk melihat organ di daerah perut seperti hati

    atau organ perut lainnya.

    g. Positron emission tomography (PET) scan

    Sejauh ini, studi menunjukkan PET scan kurang membantu untuk kanker

    payudara dini, tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi tumor yang sangat

    besar, kanker payudara inflamasi, atau untuk kanker payudara yang telah

    menyebar.

    Tes pencitraan terbaru yaitu scintimammography dan tomosynthesis, masih

    belum digunakan secara umum dan manfaatnya masih sedang terus dipelajari

    (American Cancer Society, 2013).

    Universitas Sumatera Utara

  • 34

    2.1.5.3 Biopsi

    Biopsi dilakukan ketika pada pemeriksaan dengan mammogram, tes

    pencitraan lainnya, atau pemeriksaan fisik ditemukan adanya perubahan/ kelainan

    pada payudara yang mungkin kanker. Hingga saat ini biopsi adalah satu-satunya

    alat diagnostik untuk memastikan kanker atau tidak. Sampel diambil dari bagian

    tubuh yang dicurigai, dalam bentuk sediaan hapusan jaringan untuk dilihat di

    bawah mikroskop oleh dokter ahli patologi anatomi. Ada beberapa jenis biopsi,

    seperti, biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy), biopsi jarum

    inti/ besar ( core /large needle biopsy) , dan biopsi bedah (surgical biopsy). Jenis

    biopsi yang digunakan tergantung pada kondisi khusus pasien, dimana masing-

    masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang menjadi

    pertimbangan dalam pemilihan jenis biopsi adalah besar lesi yang dicurigai, posisi

    lesi pada payudara, banyaknya lesi, dan sebagainya.

    a. Biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/ FNA),

    Pada biopsi aspirasi jarum halus (FNA) digunakan jarum berongga sangat

    tipis yang melekat pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah

    kecil jaringan dari daerah yang dicurigai, yang kemudian dilihat di bawah

    mikroskop (Taghian AG, 2010). Biopsi FNA merupakan jenis biopsi yang

    paling mudah, tetapi memiliki beberapa kelemahan. Hasil positif pada

    pemeriksaan ini bukan indikasi untuk bedah radikal karena hasil positif

    palsu dapat terjadi, sementara hasil negatif palsu juga sering terjadi

    (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Kanker bisa tidak terdeteksi jika jarum

    Universitas Sumatera Utara

  • 35

    ditempatkan tidak tepat di antara sel-sel kanker. Bahkan jika sel-sel kanker

    ditemukan, biasanya sulit ditentukan apakah kanker invasif. Jika hasil

    biopsi FNA masih belum jelas, maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi

    jenis lainnya untuk konfirmasi (Taghian AG, 2010).

    b. Biopsi jarum inti ( core needle biopsy)

    Biopsi inti menggunakan jarum yang lebih besar dibandingkan dengan

    jarum untuk biopsi FNA untuk aspirasi sampel yang penentuan lokasinya

    dipandu dengan menggunakan USG atau mammogram. Dikenal sebagai

    stereotactic core needle biopsy. Potongan jaringan yang diambil lebih

    besar dari biopsi FNA, sehingga hasilnya lebih jelas untuk penegakan

    diagnosis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Taghian AG, 2010),

    meskipun masih ada beberapa jenis kanker yang belum jelas dengan

    menggunakan metode ini.

    c. Biopsi bedah/ biopsi terbuka (surgical biopsy)

    Kanker payudara biasanya dapat didiagnosis cukup dengan menggunakan

    biopsi jarum. Operasi jarang dilakukan untuk membuat hapusan semua

    atau sebagian dari benjolan untuk diperiksa di bawah mikroskop, tapi

    kadang biopsi bedah (terbuka) diperlukan, tergantung lokasi lesi, bila

    biopsi jarum tidak memberikan hasil yang jelas (Taghian AG, 2010;

    American Cancer Society, 2013).

    Universitas Sumatera Utara

  • 36

    d. Biopsi kelenjar getah bening

    Jika kelenjar getah bening di bawah aksila membesar (baik dengan diraba

    atau dengan tes pencitraan seperti mamografi atau USG), perlu diperiksa

    untuk mengetahui penyebaran kanker. Dilakukan dengan biopsi kelenjar

    getah bening sentinel (sentinel lymph node biopsy) dan / atau diseksi

    kelenjar getah bening aksila (American Cancer Society, 2013).

    Sampel biopsi jaringan payudara diperiksa di laboratorium untuk

    menentukan ada atau tidaknya kanker, menentukan jenis sel kanker, grading

    kanker, menilai status reseptor estrogen dan progesteron, serta status HER2/neu.

    2.1.5.4 Tumor Marker

    Tumor marker adalah suatu zat yang dijumpai pada urin, darah, atau

    jaringan orang normal, yang dapat diproduksi lebih banyak pada penderita kanker.

    Zat tersebut dapat berupa enzim, hormon, oncofetal antigen atau reseptor (Duffy

    and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013). Tumor

    marker dapat dihasilkan baik oleh kanker sendiri ataupun oleh tubuh sebagai

    respon terhadap kanker. Secara umum, peningkatan kadar tumor marker masih

    sedikit pada tahap awal penyakit (tapi lebih tinggi dari normal) dan semakin

    meningkat pada penyakit tahap lanjut. Selanjutnya, kadarnya akan menurun

    sebagai respon terhadap pengobatan dan meningkat kembali ketika kanker

    berkembang (Henry and Hayes, 2006; Harris, et.al., 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 37

    The American Society of Clinical Oncology (ASCO) mengadakan panel

    ahli yang pertama kali menerbitkan panduan mengenai rekomendasi penggunaan

    tumor marker berbasis jaringan dan darah untuk kanker payudara pada tahun 1996

    dan kemudian panduan tersebut diperbarui pada tahun 2001 (Henry and Hayes,

    2006). Tabel 2.1, menunjukkan tumor marker yang lazim diperiksa untuk

    membantu menegakkan diagnosis pada sangkaan kanker payudara.

    Tabel 2.1 Tumor marker kanker payudara

    Sumber: Henry and Hayes, 2006.

    a. Tumor marker berbasis darah

    Panel ASCO mengevaluasi beberapa tumor marker serum untuk kanker

    payudara, termasuk tes CA15-3/ CA27.29, carcinoembryonic antigen

    (CEA), dan HER-2/neu domain ekstraselular yang bersirkulasi. Panel tidak

    merekomendasikan pemeriksaan tumor marker tersebut untuk skrining,

    diagnosis, penentuan stadium, atau monitoring kondisi pasien.

    Pemeriksaan CA15-3 atau CA27.29 dan/ atau CEA direkomendasikan,

    namun hanya untuk pasien kanker payudara yang telah mengalami

    Universitas Sumatera Utara

  • 38

    metastasis dan akan menjalani terapi paliatif (Henry and Hayes, 2006;

    Harris, et.al., 2007). Hal tersebut dikarenakan oleh peningkatan level

    CA15-3

  • 39

    melakukan pemeriksaan reseptor estrogen dan progesteron dari sel kanker

    payudara hasil biopsi. Sel kanker bisa tidak memiliki kedua reseptor

    tersebut (ER-/PgR-), bisa hanya memiliki salah satu (ER+/PgR- atau ER-

    /PgR+), atau memiliki kedua reseptor tersebut (ER+/PgR+). Kanker

    payudara dengan reseptor hormon-positif cenderung tumbuh lebih lambat

    dan berespon baik terhadap terapi hormon dibandingkan kanker payudara

    tanpa reseptor ini. Peran utama dari reseptor steroid, seperti estrogen

    reseptor (ER), adalah untuk mengatur laju transkripsi gen tertentu dengan

    berikatan sebagai kompleks reseptor hormon ke sekuensi DNA tertentu

    yang disebut hormone response element (HRE). Interaksi antara reseptor

    steroid dengan HRE dapat mengakibatkan perubahan regulasi transkripsi,

    tergantung pada ikatan dan aktivitas faktor spesifik tambahan terhadap gen

    target dan jaringan. Polimorfisme gen ER dapat mempengaruhi ikatan

    estrogen dan transkripsi berikutnya dalam gen target (Ergul and Sazci,

    2000). Status ER dan PgR telah lama dijadikan sebagai marker patologi

    kanker payudara dan sekarang menjadi gold standar dalam menentukan

    terapi adjuvant (Kon, 2010).

    Fitur lain yang diuji untuk kanker payudara adalah amplifikasi Human

    Epidermal growth factor Receptor 2 (HER2/neu), merupakan reseptor

    yang mengaktifkan tirosin kinase, terikat pada permukaan membran sel.

    HER2 merupakan famili reseptor epidermal growth factor (ErbB), terlibat

    dalam jalur transduksi sinyal yang memicu pertumbuhan sel dan

    diferensiasi sel (Kon, 2010). Sekitar 1 dari 5 kanker payudara memiliki

    Universitas Sumatera Utara

  • 40

    banyak protein pemicu pertumbuhan sel yang disebut HER2/neu (sering

    disingkat menjadi hanya HER2). Gen HER2/neu memberi perintah kepada

    sel untuk membentuk protein ini. Tumor dengan peningkatan kadar

    HER2/neu disebut sebagai HER2positif. Perempuan penderita kanker

    payudara dengan HER2-positif memiliki banyak salinan gen HER2/neu,

    sehingga jumlah protein HER2/neu lebih besar dari perempuan normal.

    Kanker ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih agresif daripada kanker

    payudara lainnya. Semua kanker payudara yang baru didiagnosis harus

    dilakukan pemeriksaan HER2/neu, untuk menentukan jenis terapi yang

    akan diberikan, dimana kanker payudara dengan HER2-positif, jauh lebih

    efektif pengobatan bila diberikan terapi yang targetnya protein HER2/neu

    yaitu trastuzumab (Herceptin ), antibodi monoklonal yang menghambat

    HER-2/neu (Henry and Hayes, 2006).

    Untuk tumor marker berbasis jaringan lainnya seperti p53 dan cathepsin,

    tidak cukup data untuk merekomendasikan penggunaannya dalam praktek

    klinis rutin (Henry and Hayes, 2006).

    2.1.6 Jenis kanker payudara

    Jenis kanker payudara terdiri dari : (American Cancer Society, 2013)

    2.1.6.1 Karsinoma duktal in situ

    Karsinoma duktal in situ (Ductal carcinoma in situ/ DCIS , juga dikenal

    sebagai karsinoma intraductal) dianggap kanker payudara noninvasif atau pre-

    Universitas Sumatera Utara

  • 41

    invasif. Perbedaan antara DCIS dengan kanker invasif adalah bahwa sel belum

    menyebar (menginvasi) melalui dinding duktus ke sekitar jaringan payudara.

    2.1.6.2 Karsinoma lobular in situ

    Jenis ini bukan kanker atau pre - kanker

    2.1.6.3 Karsinoma duktal invasif (infiltratif)

    Jenis ini yang paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktal

    invasif/ infiltratif (Invasive Ductal Carcinoma /IDC ) dimulai pada saluran susu

    dari payudara, menerobos dinding duktus , dan berkembang ke dalam jaringan

    lemak payudara. Dapat menyebar (bermetastasis) ke bagian lain dari tubuh

    melalui sistem limfatik dan aliran darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif

    merupakan IDC.

    2.1.6.4 Karsinoma lobular invasif (infiltratif)

    Karsinoma lobular invasif (Invasive lobular carcinoma/ ILC ) dimulai

    pada kelenjar yang memproduksi susu (lobulus). Seperti IDC, dapat menyebar

    (metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Sekitar 1 dari 10 kanker payudara invasif

    merupakan ILC. Karsinoma lobular invasif lebih sulit dideteksi oleh mammogram

    daripada karsinoma duktal invasif .

    Universitas Sumatera Utara

  • 42

    2.1.7 Klasifikasi kanker payudara

    Manajemen kanker payudara bergantung pada ketersediaan faktor

    prognostik dan prediktif patologis dan klinis yang baik untuk memandu

    pengambilan keputusan terhadap pasien dan pemilihan jenis terapi. Pada kanker

    payudara tiga faktor penentu prognostik utama yang digunakan dalam praktek

    rutin adalah status keterlibatan kelenjar getah bening (lymph node/ LN), ukuran

    tumor, dan grade histopatologi (Rakha, et.al., 2010; Dalar, et.al., 2010).

    Ada banyak faktor prognostik yang digunakan untuk menilai

    kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Beberapa faktor prognostik telah

    digabungkan ke dalam klasifikasi TNM atau yang terbaru dengan Nottingham

    Prognostic Index (NPI), keduanya sangat baik sebagai prediktif untuk

    memperkirakan kelangsungan hidup jangka panjang. Penentuan stadium sistem

    TNM berdasarkan ukuran tumor primer, keterlibatan kelenjar getah bening

    regional, dan adanya metastasis jauh, sedangkan untuk sistem NPI berdasarkan

    ukuran tumor, grade, dan keterlibatan kelenjar getah bening. Identifikasi faktor

    prognostik yang berhubungan dengan metastasis atau potensi pertumbuhan tumor

    primer dapat membantu dokter dalam menentukan terapi adjuvant dan

    memprediksi kelangsungan hidup pasien. Terapi adjuvant pada pasien berisiko

    tinggi dapat meningkatkan hasil secara keseluruhan (Dalar, et.al., 2010).

    2.1.7.1 Klasifikasi berdasarkan grading histopatologi

    Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi sel dan jaringan

    organisme secara mikroskopis. Analisis histologi dilakukan dengan memeriksa

    Universitas Sumatera Utara

  • 43

    irisan tipis dari jaringan di bawah mikroskop cahaya (mikroskop optik) atau

    mikroskop elektron. Setelah urutan prosedur teknis untuk persiapan jaringan

    (fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, dan staining),

    gambar histologi dapat dihasilkan dengan teknik pencitraan yang berbeda-beda,

    didasarkan pada analisis manual atau otomatis yang dapat dilakukan untuk

    mendeteksi jaringan yang abnormal. Grading histopatologi umumnya dianggap

    sebagai standar emas untuk diagnosis klinis kanker dan identifikasi target

    terapeutik dan prognostik (He, et.al., 2014).

    Grading tumor secara histopatologi didasarkan pada derajat diferensiasi

    dari jaringan tumor. Pada kanker payudara, mengacu pada evaluasi semi-

    kuantitatif karakteristik morfologi dan merupakan metode yang relatif sederhana

    dan lowcost. Irisan jaringan tumor diwarnai dengan hematoxylin-eosin, dinilai

    oleh ahli patologi anatomi yang terlatih menggunakan protokol standar (Rakha,

    et.al., 2010).

    Grading tumor tidak sama dengan stadium kanker. Stadium kanker

    mengacu pada ukuran dan/ atau batas lokasi tumor primer dan apakah sel kanker

    telah menyebar di dalam tubuh. Stadium kanker didasarkan pada faktor-faktor

    seperti lokasi tumor primer, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening

    regional (penyebaran kanker ke kelenjar getah bening di dekatnya), dan jumlah

    tumor yang hadir (Rakha, et.al., 2010). Sedangkan grading tumor merupakan

    deskripsi tumor yang didasarkan pada bagaimana kondisi abnormal sel-sel tumor

    dan jaringan tumor yang terlihat di bawah mikroskop. Hal ini merupakan

    indikator seberapa cepat tumor tumbuh dan menyebar. Jika sel-sel tumor dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 44

    susunan jaringan tumor mendekati sel-sel dan jaringan normal, tumor ini disebut

    "berdiferensiasi baik" (well-differentiated). Tumor ini cenderung tumbuh dan

    menyebar lebih lambat dari tumor yang "berdiferensiasi buruk" (undifferentiated/

    poorly differentiated) yang memiliki lebih banyak sel-sel abnormal dan sedikit

    atau bahkan tidak memiliki struktur jaringan normal (Rakha, et al., 2010).

    Metode untuk grading histopatologi pada kanker payudara pertama kali

    dijelaskan pada tahun 1957 oleh Bloom dan Richardson. Tiga faktor histopatologi

    yang menjadi penentu grade kanker payudara, yaitu formasi tubulus,

    pleomorfisme nukleus dan aktivitas mitosis. Meskipun banyak bukti studi

    menunjukkan sistem grading Bloom-Richardson (BRG), yang didasarkan pada

    penilaian formasi tubulus, pleomorfisme nukleus, dan aktivitas mitosis,

    memberikan informasi prognostik independen yang penting untuk pasien kanker

    payudara, akan tetapi sistem ini tidak diterima secara universal, terutama karena

    bersifat subjektif (Grazio and Bracko, 2002; Rakha, et.al., 2010). Kemudian

    dilakukan perbaikan oleh Elston dan Ellis dengan memodifikasi sistem grading

    BRG, yang mendefinisikan kriteria dengan jelas, terutama dengan menerapkan

    batas numerik untuk pengukuran formasi tubulus dan jumlah mitosis. Jumlah

    relatif dari hiperkromatik nukleus dan tingkat mitosis dianalisis dengan

    menggunakan sistem BRG yang asli, sementara tingkat mitosis yang

    teridentifikasi dengan jelas dievaluasi dengan sistem baru. Modifikasi BRG ini,

    sekarang umum dikenal sebagai Nottingham Grading System (NGS). Secara

    umum, setiap elemen diberi skor 1 sampai 3 (1 yang terbaik dan 3 yang terburuk)

    dan skor dari ketiga komponen ditambahkan untuk menentukan "grade". Skor

    Universitas Sumatera Utara

  • 45

    terendah adalah 3 (1 +1 +1 = 3), merupakan tumor yang well differentiated,

    bahwa semua bentuk tubulus dan memiliki tingkat mitosis rendah (< 10/10 hpf).

    Skor tertinggi yang mungkin adalah 9 (3 +3 +3 = 9) ( Grazio and Bracko, 2002;

    Tavassoli F.A, 2003).

    Relevansi prognostik NGS pada kanker payudara pertama sekali

    ditunjukkan pada tahun 1991 dan kemudian divalidasi dalam beberapa studi

    independen. Selanjutnya NGS digabungkan dengan status keterlibatan LN dan

    ukuran tumor yang tergabung menjadi Nottingham Prognostic Index (NPI).

    Beberapa studi independen telah menunjukkan bahwa NGS memiliki nilai

    prognostik yang setara dengan status LN dan memiliki nilai prognostik yang lebih

    besar dari ukuran tumor. Informasi prognostik sistem NGS dijadikan pedoman

    dalam menentukan kemoterapi adjuvan. (Rakha, et.al., 2010).

    Saat ini, NGS menjadi sistem penilaian yang direkomendasikan oleh

    berbagai badan profesional internasional (World Health Organization/WHO,

    American Joint Committee on Cancer/AJCC, European Union/EU, dan the Royal

    College of Pathologists/UK RCPath), dan konsensus internasional menyatakan

    bahwa sistem NGS dianggap sebagai 'standar emas' (gold standard) untuk grading

    kanker payudara (Rakha, et.al., 2010). Modifikasi ini telah meningkatkan

    kemampuan untuk menentukan grading oleh ahli patologi anatomi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 46

    Gambar 2.1 Gambaran histopatologi irisan jaringan kanker payudara pada

    Nottingham Grading System (Sumber: Rakha, et.al., 2010)

    Gambar 2.2 Kriteria skoring berdasarkan Nottingham Grading System

    (sumber: http://tvmouse.ucdavis.edu/bcancercd/311/grading_diagram.html)

    Universitas Sumatera Utara

  • 47

    Menurut hasil penelitian terbaru, ada korelasi yang sangat signifikan

    antara grading histopatologi dengan prognosis, bila grade tumor meningkat maka

    kelangsungan hidup menurun. Grading histopatologi telah terbukti berpotensi

    menjadi faktor prognostik independen yang penting pada pasien kanker payudara.

    Ketika dikombinasikan dengan ukuran patologis tumor dan keterlibatan kelenjar

    getah bening, NPI, menjadi sangat baik untuk dijadikan pedoman manajemen

    pasien. Terapi adjuvan bisa direncanakan lebih tepat dengan menggunakan

    indikator grade tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening (Dalar, et.al., 2010).

    Analisis manual histopatologi jaringan pada saat ini masih tetap menjadi

    cara utama untuk mengidentifikasi jaringan kanker, yang sangat tergantung pada

    keahlian dan pengalaman masing-masing ahli patologi anatomi, sehingga hasilnya

    sangat subjektif (He, et.al., 2014).

    2.1.7.2 Klasifikasi berdasarkan stadium (sistem TNM)

    Dalam penegakan diagnosis, gambaran klinis standar seperti ukuran

    tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis jauh, semuanya telah

    diintegrasikan dalam klasifikasi TNM, yang berperan dalam menentukan

    prognosis dan pilihan terapi (Kon, 2010). American Joint Committe on Cancer

    Staging System (AJCC) merekomendasikan cara penentuan stadium dengan

    sistem TNM. Penentuan stadium kanker dengan sistem TNM, adalah sebagai

    berikut: (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Tavassoli FA, 2003; Taghian AG,

    2010; American Cancer Society, 2013).

    Universitas Sumatera Utara

  • 48

    a. T = Primary Tumor (0-4)

    Menunjukkan ukuran tumor dan penyebarannya. Jika nilainya tinggi

    berarti ukuran tumor lebih besar dan sudah menyebar ke jaringan sekitar

    payudara. Kategorinya sebagai berikut :

    Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai.

    T0 : Tidak ada tumor primer.

    Tis : Karsinoma in situ (DCIS, LCIS, atau Paget disease of the nipple

    tanpa terkait massa tumor).

    T1 : (T1a, T1b, dan T1c) Ukuran tumor 2 cm atau kurang.

    T2 : Ukuran Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm.

    T3 : Ukuran Tumor lebih dari 5 cm.

    T4 : (T4a, T4b, T4c, dan T4d) Tumor dari berbagai ukuran tumbuh ke

    dalam dinding dada atau kulit. Pada kategori ini termasuk kanker

    payudara inflamasi.

    b. N = Nearby lymph nodes (0-3)

    Menunjukkan apakah kanker payudara telah menyebar ke kelenjar getah

    bening di sekitar payudara. Jika ada, berapa banya kelenjar getah bening

    yang terkena. Kategorinya sebagai berikut :

    Nx : Kelenjar getah bening terdekat tidak dapat dinilai

    N0 : Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.

    N0 (i+): Sejumlah kanker ditemukan pada kelenjar getah bening

    aksila baik dengan menggunakan pewarnaan rutin ataupun

    Universitas Sumatera Utara

  • 49

    pewarnaan khusus. Area penyebaran kanker pada kelenjar getah

    bening kurang dari 200 sel atau lebih kecil dari 0,2 mm.

    N0 (mol +): Sel-sel kanker tidak dapat dilihat pada kelenjar getah

    bening aksila (bahkan dengan menggunakan pewarnaan khusus),

    namun terdeteksi menggunakan RT-PCR.

    N1 : Kanker telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening aksila

    dan/ atau dalam jumlah kecil kanker ditemukan pada kelenjar

    getah bening mamaria interna (dekat tulang dada ) dengan sentinel

    lymph node biopsy.

    N1mi : mikrometastasis, sel kanker dijumpai pada 1 sampai 3

    kelenjar getah bening di aksila. Area penyebaran kanker pada

    kelenjar getah bening 2 mm atau kurang (sedikitnya 200 sel

    kanker atau sekitar 0.2mm ).

    N1a : Kanker telah menyebar ke 1-3 kelenjar getah bening aksila

    dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2

    mm.

    N1b : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening mamaria

    interna, tetapi penyebaran ini hanya bisaditemukan pada sentinel

    lymph node biopsy.

    N1c : Gabungan kriteria N1a dan N1b.

    N2 : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, atau

    kanker telah membesar pada kelenjar getah bening mamaria

    interna (baik N2a atau N2b, tetapi tidak keduanya).

    Universitas Sumatera Utara

  • 50

    N2a : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening

    aksila, dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar

    dari 2 mm.

    N2b : Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah

    bening mamaria interna dan membesar.

    N3 : Salah satu dari berikut,

    N3a : Kanker telah menyebar ke 10 atau lebih kelenjar getah

    bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker

    lebih besar dari 2mm, atau kanker telah menyebar ke kelenjar

    getah bening di bawah tulang selangka (klavikula) dengan

    setidaknyasatu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm.

    N3b : Kanker ditemukan setidaknya pada satu kelenjar getah

    bening aksila (dengan setidaknya satu area penyebaran kanker

    lebih besar dari 2 mm) dan kelenjar getah bening mamaria interna

    telah membesar, atau kanker telah menyebar ke 4 atau lebih

    kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area

    penyebaran kankerlebih besar dari 2 mm), dan sejumlah kecil

    kanker ditemukan di kelenjar getah bening mamaria interna pada

    sentinel lymph node biopsy.

    N3c : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di atas

    tulang selangka (klavikula) dengan setidaknya satu area

    penyebaran kanker lebih besar dari 2mm.

    Universitas Sumatera Utara

  • 51

    c. M = Metasiasis (0-1)

    Menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke organ jauh, misalnya ,

    paru-paru atau tulang.

    Kategorinya sebagai berikut :

    Mx : Metastasis tidak dapat dinilai.

    M0 : Tidak ada ditemukan penyebaran jauh dengan menggunakan

    sinar-x (atau prosedur pencitraan lain) atau dengan pemeriksaan

    fisik.

    cM0 (i+) : Sejumlah kecil sel kanker ditemukan dalam darah

    atau sumsum tulang (hanya ditemukan dengan tes khusus), atau

    area penyebaran kanker yang kecil (tidak lebih dari 0,2 mm)

    ditemukan pada kelenjar getah bening yang jauh dari payudara.

    M1 : Kanker telah menyebar ke organ yang jauh dari payudara. (organ

    yang paling umum adalah tulang, paru-paru, otak, dan hati.)

    Pengelompokan stadium kanker payudara berdasarkan TNM: (American

    Cancer Society, 2013; Kumar, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).

    Stadium 0 = Tis, N0, M0

    Stadium Ia = T1, N0, M0

    Stadium Ib = T0 atau T1, N1mi, M0

    Stadium IIa = T0/ T1, N1 (N1a/ N1b/ N1c, tapi bukan N1mi), M0 atau T2, N0,

    M0

    Stadium IIb = T2, N1, M0 atau T3, N0, M0

    Universitas Sumatera Utara

  • 52

    Stadium IIIa = T0/ T1/ T2, N2, M0 atau T3, N1/ N2, M0

    Stadium IIIb = T4, N0/ N1/ N2, M0

    Stadium IIIc = T1-4, N3, M0

    Stadium IV = T1-4, N1-3, M1

    Berdasarkan data AJCC, angka harapan hidup selama 5 tahun penderita

    kanker payudara berdasarkan stadium, yaitu : (American Cancer Society, 2013).

    Stadium 0 = 100%

    Stadium I = 100%

    Stadium II = 93%

    Stadium III = 72%

    Stadium IV = 22%

    2.2 MicroRNA (miRNA/ miR)

    2.2.1 Definisi miRNA

    Dogma sentral dalam biologi molekuler menjelaskan bahwa DNA

    mereplikasikan informasi genetik yang terkandung dalam urutan nukleotida dan

    mentranskripsikannya menjadi mRNA. MRNA dimodifikasi dengan cara splicing

    dan ditransport dari nukleus ke sitoplasma. MRNA membawa informasi kode

    nukleotida ke ribosom. Ribosom menterjemahkan kode tersebut untuk sintesis

    protein. Beberapa studi yang berbeda telah mengidentifikasi sejumlah besar gen

    Non-coding RNA (ncRNA). NcRNA tampaknya memiliki peran yang sangat

    banyak, seperti dalam mengarahkan regulasi ekspresi gen postranskripsional atau

    Universitas Sumatera Utara

  • 53

    dalam mengarahkan modifikasi RNA. RNA yang berasal dari intron ini

    tampaknya memberikan sinyal internal yang mengontrol berbagai tingkat ekspresi

    gen. Ribosomal RNA (rRNA), transfer RNA (tRNA), small nuclear RNA dan

    small nucleolar RNA, interference RNA (RNAi), short interfering RNA (siRNA)

    dan microRNA (miRNA) termasuk kedalam golongan ncRNA (Sen, et.al., 2009;

    Esteller, 2011).

    MicroRNA(miRNA/miR) merupakan noncoding-RNA pendek yang terdiri

    dari sekitar 18-22 nukleotida, yang ditranskripsi dari regio intergenik dan genic

    pada genom, yang merupakan regulator gen yang baru (Rodriguez, et.al., 2004).

    MiRNA pertama, lin-4 (Lee, et.al., 1993) dan let-7 (Reinhart, et.al., 2000),

    ditemukan selama pengembangan Caenorhabditis elegans (Valencia-Sanchez,

    et.al., 2006; Huntzinger, et.al., 2011). MiRNA mengikat target gen nya di 3'-

    untranslated regio (3'-UTRs), menyebabkan degradasi langsung mRNA atau

    represi translasi (Huntzinger, et.al., 2011; Mendes, et.al., 2009; Valencia-Sanchez,

    et.al., 2006). Pada manusia, setidaknya 10% mRNA pengkode protein merupakan

    target langsung dari miRNA (Blenkiron, et.al., 2007). Ini berarti bahwa miRNA

    mampu meregulasi ekspresi ratusan bahkan ribuan gen. Dengan demikian, tidak

    mengherankan bahwa miRNA terlibat dalam regulasi dari semua fungsi selular

    utama.

    Baru-baru ini, identifikasi target miRNA mendapat banyak perhatian.

    Memahami mekanisme kerja dan mengidentifikasi target mRNA fungsional dari

    miRNA yang spesifik sangat penting untuk mengetahui fungsi biologis miRNA

    tersebut dan untuk membantu pengembangan obat berbasis miRNA (Martinez-

    Universitas Sumatera Utara

  • 54

    Sanchez, et.al., 2013).

    Strategi untuk menentukan target miRNA termasuk

    prediksi bioinformatika dan tes eksperimental. Metode prediksi bioinformatika

    terutama didasarkan pada konsep konfirmasi interaksi antara miRNA dan

    targetnya, dan dilakukan oleh program, seperti miRanda, TargetScan,

    TargetScanS, RNAhybrid, DIANA-microT, PicTar, RNA22 and FindTar, yang

    mengikuti prinsip yang dikenal. Alat tes eksperimen untuk menemukan target

    miRNA menggunakan imunopresipitasi protein AGO untuk mengidentifikasi

    mRNA yang berinteraksi, atau analisis level mRNA atau protein untuk

    mengidentifikasi gen yang dapat diregulasi oleh miRNA (Xia, et.al., 2009).

    Bentwich et.al. mengembangkan pendekatan integratif menggabungkan prediksi

    bioinformatika dengan analisis microarray dan sequence-directed cloning, yang

    mengungkapkan bahwa lebih dari 800 miRNA ada pada manusia. Saat ini, lebih

    dari 45.000 lokus gen miRNA pada 3'UTR telah diidentifikasi pada manusia.

    MiRNA diperkirakan mengatur translasi lebih dari 60% gen penyandi protein.

    MiRNA terlibat dalam mengatur banyak proses, termasuk proliferasi, diferensiasi,

    apoptosis dan perkembangan, sehingga kuncinya, miRNA meregulasi tingkat

    ekspresi ratusan gen secara bersamaan, dan berbagai jenis miRNA meregulasi

    targetnya secara kooperatif (Esteller, 2011; Friedman, et.al., 2009). Dengan terus

    bertambahnya daftar miRNA, muncul kesadaran akan potensial dan pentingnya

    miRNA dalam regulasi ekspresi gen.

    Universitas Sumatera Utara

  • 55

    2.2.2 Biogenesis MicroRNA

    2.2.2.1 MicroRNA primer (primary miR/ pri-miR)

    MicroRNA berada di daerah intron, yang menjadi bagian dari gen mRNA.

    MiRNA dapat ditranskripsi bersama dengan promoter gen induk atau memiliki

    promoter spesifik sendiri (Saini, et.al., 2007). Promoter miRNA intergenik,

    khusus lokasi awal transkripsi (Transcriptional Start Site/TSS), telah dipetakan

    pada jarak sekitar 1-100 kb jauhnya dari lokus miRNA yang matur (Ozsolak,

    et.al., 2008). MiRNA ditranskripsikan oleh RNA polimerase II (pol II) di dalam

    nukleus. Hasil biogenesis molekul regulator RNA yang kecil ini keluar sebagai

    transkrip primer yang disebut miRNA primer /pri-miR (Sen, et.al., 2009; Bartel,

    et.al., 2004). Pri-miR memiliki struktur capped dan polyadenylated (poli A) tails,

    ciri khas sifat transkrip gen kelas II. Aspek kunci dari proses awal pri-miR adalah

    proses melipatnya regio tertentu menjadi struktur seperti jepit rambut (hairpin

    structure). Selain pol II, Borchert et.al. menemukan bahwa miR C19MC,

    termasuk miR-515, miR-517a, miR-517c dan miR-519a, diekspresikan oleh RNA

    polimerase III (pol III).

    2.2.2.2 Prekursor microRNA (pre-miR)

    Setelah ditranskripsi oleh pol II atau pol III, pri-miR yang dibentuk

    dibelah oleh kompleks mikroprosesor inti untuk menghasilkan prekursor-miRNA

    (pre-miR), yang merupakan dsRNA hairpin structure tunggal yang terdiri dari 60-

    100 nukleotida. Mikroprosesor kompleks ini dibentuk oleh RNase III enzim

    DROSHA (RNASEN) dan DGCR8 (DiGeorge critical region 8), juga dikenal

    Universitas Sumatera Utara

  • 56

    sebagai Pasha (Pertner of Drosha) yang diteliti pada D. melanogaster dan C.

    elegans. Setelah proses di nukleus, pre-miR diekspor ke sitoplasma oleh Ran-GTP

    yang bergantung pada enzim exportin-5. (Sen, et.al., 2009; Han, et.al., 2006)

    2.2.2.3 MicroRNA matur (mature miR)

    Pre-miR lebih lanjut diproses di sitoplasma oleh RNase III DICER, yang

    membentuk kompleks RISC (RNA Induced Silence Complex) dengan Argonaute 2

    (Ago2) dan TRBP (Tar RNA binding protein), yang memotong hairpin loop pre-

    miR untuk menghasilkan untaian duplex miR dengan 22-nukleotida. (Gregory,

    et.al., 2005). Duplex miR ini berupa miR matur yang disebut sebagai untaian

    pemandu (guide strand) dan untaian pelengkap (complementary strand) yang

    disebut sebagai passenger strand (miR*). Setelah pengolahan, satu untaian

    duplex miR/ miR* (biasanya untai pemandu) dimasukkan ke dalam miR-inducer

    silencing complex (miRISC) yang terdiri dari DICER dan protein terkait lainnya,

    sedangkan miR* dilepaskan dan cepat terdegradasi. Sebagai bagian dari miRISC,

    miR adalah pasangan basa dari mRNA target untuk menginduksi represi translasi

    atau degradasi langsung. Target site miRNA umumnya terjadi dalam 3' UTR

    mRNA, namun kini target site juga dapat terjadi pada coding region (open

    reading frame) dan pada 5'UTR. (Sen, et. al., 2009)

    Universitas Sumatera Utara

  • 57

    Gambar 2.3 Jalur biogenesis miRNA (Sumber: Chen L.J., et.al., 2012)

    2.3 MicroRNA dan Kanker Payudara

    2.3.1 MicroRNA sebagai biomarker baru kanker payudara

    Biomarker merupakan indikator biologis suatu penyakit yang digunakan

    untuk menentukan jenis tumor (Hui, et.al., 2011). Biomarker yang efektif dan

    relevan secara klinis sangat penting untuk penentuan terapi (Hauptman, et.al.,

    2013) serta menilai efektivitas terapi (Hui, et.al., 2011).

    Meskipun saat ini banyak dilakukan penelitian mencari biomarker yang

    tepat sebagai alat diagnostik dan prognostik kanker, akan tetapi masih belum

    ditemukan tehnik deteksi dini yang efektif agar dapat menurunkan angka

    Universitas Sumatera Utara

  • 58

    kematian yang disebabkan kanker (Hauptman, et.al., 2013), dimana deteksi dini

    merupakan faktor utama yang dapat berkontribusi terhadap penurunan tingkat

    kematian tahunan akibat kanker payudara, yang sekitar 2,3 % selama 10 tahun

    terakhir (Weir, et.al., 2003; Zhu, et.al., 2009).

    Metode pemeriksaan histopatologi merupakan metode yang terpercaya

    dalam mendiagnosis kanker payudara dari lesi payudara, akan tetapi hal ini sangat

    bergantung pada cara pengambilan sampel dan kemampuan pembacaan hasil oleh

    ahli patologinya (Oakley and Going, 1995). Karenanya, kesahihan hasil

    pemeriksaan masih subjektif. Oleh karena itu diperlukan upaya yang

    berkesinambungan untuk memperoleh biomarker yang lebih objektif, sensitif dan

    spesifik. Salah satu calon biomarker kanker yang potensial di masa depan yang

    sedang banyak diteliti akhir-akhir ini adalah miRNA.

    MicroRNA merupakan regulator ekspresi mRNA dan protein yang

    memainkan peranan penting dan kompleks dalam terbentuknya kanker (Hui, et.al.,

    2011). MiRNA berperan penting dalam proses diferensiasi seluler, perkembangan,

    proliferasi dan apoptosis (Calin, et.al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa

    miRNA terlibat dalam proses karsinogenesis, yang berkontribusi baik pada

    inisiasi ataupun perkembangan kanker. MiRNA yang tumor spesifik berpotensi

    menjadi biomarker kanker karena ekspresi miRNA dapat lebih spesifik dalam

    mengidentifikasi jaringan asal tumor, membedakan jenis kanker, sebagai

    parameter evaluasi hasil terapi, penentuan jenis terapi (Cortez, et.al., 2011; Hui,

    et.al., 2011; Hauptman, et.al., 2013), serta memprediksi risiko kekambuhan pada

    pasien kanker (Hui, et.al., 2011).

    Universitas Sumatera Utara

  • 59

    Sejumlah penelitian, dengan menggunakan berbagai teknik, termasuk Real

    Time qPCR, microarray dan bead-based flow cytometric untuk menilai profil

    ekspresi miRNA, menunjukkan bahwa ekspresi miRNA mengalami perubahan

    pada banyak jenis kanker (Blenkiron, et.al., 2007). Hal ini membuktikan bahwa

    miRNA sangat berpotensi untuk deteksi kanker (Chen, et.al., 2008; Mar-Aguilara,

    et.al., 2013). Beberapa mekanisme dapat memediasi perubahan ekspresi miRNA

    pada kanker, termasuk mutasi lokus miRNA, atau kelainan epigenetik. Kesalahan

    pada biogenesis miRNA juga dapat mempengaruhi ekspresi miRNA, sebagai

    contoh, penurunan ekspresi DROSHA dan DICER terkait dengan prognosis buruk

    pada kanker ovarium, paru-paru, dan payudara. MiRNA dapat mengalami

    peningkatan ataupun penurunan ekspresi, berfungsi sebagai tumor suppressor

    (seperti, miR-15a dan miR-16-1) atau sebagai onkogen (seperti, miR-155 atau

    miR-21), tergantung pada target gen di downstream (Calin, et.al., 2006; Zhu,

    et.al., 2009; Hui, et.al., 2011).

    Bukti pertama keterlibatan miRNA pada penyakit kanker berasal dari studi

    molekuler Calin (2002) mengidentifikasi peran miR-15a dan miR-16-1 sebagai

    tumor suppressor di kromosom 13q14 pada penderita leukemia limfositik kronis,

    dengan target gen kedua miRNA tersebut adalah Bcl-2 (Hui, et.al., 2011). Calin

    menemukan bahwa delesi lengan kromosom 13q14 mengakibatkan miR-15a dan

    miR-16-1 tidak terekspresi, sehingga tidak terjadi apoptosis (Kon, 2010). Pada

    penelitian yang sama, pada translokasi kromosomal pasien CLL, ditemukan

    penurunan regulasi miR-16-1 dan/ atau miR-15a sebesar 50%-60% (Iorio, et.al.,

    2005; Blenkiron, et.al., 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 60

    Tidak lama setelah itu, perubahan ekspresi miRNA pada kanker telah

    terbukti juga terjadi pada kasus lain. Hasil penelitian Michael et.al. menunjukkan

    adanya penurunan ekspresi miR-143 dan miR-145 pada kanker kolorektal dan

    hasil penelitian Metzler menunjukkan adanya peningkatan ekspresi miR-155 pada

    Burkitt Limfoma. Pada tahun 2004, Takamizawa menunjukkan adanya delesi let-7

    pada kanker paru-paru. Mereka juga menemukan bahwa peningkatan ekspresi let-

    7 eksogen pada cell line kanker paru-paru menyebabkan penghambatan

    pertumbuhan (Iorio, et.al., 2005; Blenkiron, et.al., 2007; Kon, 2010). Gen BIC,

    yang mengandung miR-155, mengalami peningkatan regulasi pada limfoma

    Burkitt dan kanker payudara (Iorio, et.al., 2005; Blenkiron, et.al., 2007).

    Semakin banyak bukti yang mendukung analisis miRNA untuk diagnosis,

    prognosis dan terapi kanker (He, et.al., 2005; Calin, et.al., 2006). Saat ini lebih

    dari 700 miRNA telah diidentifikasi dari jaringan manusia. Beberapa di antaranya

    terkait dengan keganasan. Sebagai contoh, sebuah publikasi terbaru

    mengidentifikasi 29 miRNA yang mengalami perubahan regulasi ekspresi dalam

    jaringan kanker payudara primer. Dari 29 miRNA tersebut, miR-10b, miR-125b,

    dan miR-145 mengalami penurunan regulasi, sementara miR-21 dan miR-155

    mengalami peningkatan regulasi (Iorio, et.al., 2005; Mar-Aguilara, et.al., 2013).

    Dari hasil penelitian Blenkiron (2007), yang menganalisa 31 jenis miRNA,

    sebagian besar miRNA menunjukkan perubahan ekspresi yang tidak terlalu

    menonjol pada sampel kanker grade I/ ER+. Namun beberapa miRNA

    menunjukkan perubahan ekspresi yang sangat menonjol pada sampel kanker

    grade III/ ER-. Blenkiron C., et.al, dalam penelitiannya tidak menemukan adanya

    Universitas Sumatera Utara

  • 61

    hubungan yang kuat antara perubahan ekspresi miRNA dengan stadium, invasi

    vaskular, NPI, atau status HER2 (Kon, 2010).

    Tabel 2.2 MicroRNA dari sampel jaringan dan darah yang potensial sebagai

    biomarker kanker

    Sumber: Hauptman, et.al., 2013

    MicroRNA tersimpan dengan baik dalam sampel jaringan, bahkan

    beberapa tahun setelah fiksasi formalin dan perendaman paraffin (Blenkiron,

    et.al., 2007; Szafranska, et.al., 2008; Lu, et.al., 2012). Bila mRNA mengalami

    degradasi saat fiksasi formalin dan kerusakan semakin banyak bila disimpan

    dalam jangka waktu yang lama, berbeda dengan miRNA yang tidak terpengaruh

    oleh fiksasi formalin dan degradasi dalam waktu yang lama, serta dapat dengan

    mudah diisolasi dari sampel Formalin-Fixed Paraffin-Embedded (FFPE) karena

    ukurannya yang pendek (sekitar 22 nukleotida) dan sangat stabil, sehingga tetap

    masih dapat terdeteksi dan diukur. Tidak seperti molekul RNA yang berukuran

    panjang seperti mRNA yang membutuhkan sampel beku yang masih segar

    (Hauptman, et.al., 2013). Ekspresi miRNA dapat dimanfaatkan ketika hasil uji

    klinis yang lain tidak meyakinkan (Hauptman, et.al., 2013). Hal ini semakin

    Universitas Sumatera Utara

  • 62

    menguatkan miRNA untuk dipertimbangkan menjadi biomarker kanker (Hui,

    et.al., 2011).

    2.3.2 MicroRNA-155 sebagai biomarker kanker payudara

    Iorio (2005), mengidentifikasi miR-155 mengalami peningkatan ekspresi

    pada kanker payudara dibandingkan dengan jaringan payudara normal, yang

    menunjukkan bahwa miR-155 berperan dalam aktivitas onkogenik. Semakin

    banyak bukti yang kuat menyatakan bahwa miR-155 merupakan onkogen dan

    mengalami peningkatan ekspresi pada keganasan, termasuk pada limfoma sel B,

    kanker payudara, paru-paru, usus, kepala/ leher,dan ginjal. Selain itu, beberapa

    studi membuktikan adanya hubungan antara peningkatan ekspresi miR-155

    dengan stadium lanjut dan prognosis yang buruk pada beberapa jenis kanker

    (Kon, 2010).

    Pada analisis microarray lebih dari 1.000 jenis tumor primer, ditemukan

    bahwa hampir pada semua jenis kanker menunjukkan perubahan regulasi ekspresi

    miRNA yang berbeda dari ekspresi miRNA pada jaringan normal. Hal ini

    menunjukkan pentingnya miRNA yang mengalami disregulasi pada kanker. Pada

    kanker payudara, miRNA yang mengalami disregulasi berpotensi untuk

    digunakan sebagai alat prognostik. Di antara spektrum yang luas dari miRNA,

    miR-155 yang mengalami peningkatan regulasi merupakan salah satu miRNA

    yang paling ampuh untuk menekan apoptosis pada sel kanker payudara. MiR-155

    diperkirakan memiliki lebih dari 400 gen target (Mattiske, et.al., 2012). Salah

    satunya, miR-155 menekan ekspresi tumor protein p53-induced nuclear protein 1

    (TP53INP1) dan dengan demikian melemahkan siklus sel karena diinduksi oleh

    Universitas Sumatera Utara

  • 63

    penurunan ekspresi TP53INP1 dan penurunan apoptosis (Lu, 2012). Selain itu,

    miR-155 yang mengalami peningkatan menurunkan ekspresi FOXO3A, dimana

    penurunan ekspresi FOXO3A terkait dengan kejadian kekambuhan kanker setelah

    radioterapi atau kemoterapi (Mattiske, et.al., 2012). Selain menekan ekspresi

    TP53INP1 dan FOXO3A, miR-155 juga dapat menekan ekspresi beberapa gen

    target lainnya, seperti ekspresi RhoA, FADD, JARID2, ARNTL, AICDA,

    SMAD5, HIF1, dan CEBPB (Zheng, et.al., 2011; Mattiske, et.al., 2012). Secara

    keseluruhan, hasil tersebut menegaskan bahwa miR-155 merupakan oncomiR

    pada kanker payudara.

    Gen host dari miR-155, BIC (pada kromosom 21q21.3), pertama kali

    dijelaskan pada tahun 1989 dan diduga terlibat dalam perkembangan limfoma

    (Clurman, et.al., 1989; Rodriguez, et.al., 2004; Blenkiron, et.al., 2007). Pada

    tahun 2002, Lagos-Quintana mengidentifikasi miR-155 sebagai regulator RNA.

    MiR-155 diklasifikasikan sebagai miRNA yang multifungsi, memiliki peran

    penting dalam proses normal maupun patologis dari sistem imunitas, inflamasi,

    kanker dan penyakit kardiovaskular (Zhu, et.al., 2009).

    MicroRNA-155 dianggap sebagai biomarker untuk prognosis buruk.

    Analisis signifikansi microarray (SAM) dan analisis prediksi microarray (PAM)

    dari enam jenis tumor padat (paru-paru, payudara, kolon, lambung, prostat dan

    tumor pankreas) membuktikan miR-21 dan miR-155 sebagai top oncomiR.

    Perubahan ekspresi miR-155 terlibat dalam berbagai proses patologis dan

    signaling onkogenik (Lu, et.al., 2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • 64

    Sebagian besar pasien kanker meninggal dalam kondisi kanker sudah

    mengalami metastasis. Untuk itu, perlu memahami mekanisme molekuler dan

    seluler yang meyebabkan tumor primer bermetastasis. Langkah yang paling

    penting dari proses tumor primer bermetastasis dikaitkan dengan proses yang

    dikenal sebagai epithelial-mesenchymal transition/ EMT. Pada penelitiannya, Kon

    (2010) membuktikan bahwa miR-155 diregulasi oleh jalur transforming growth

    factor- (TGF-)/Smad yang berperan dalam pengaturan plastisitas sel epitel

    payudara, dengan RhoA sebagai target. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

    Kon (2010) didapatkan 28 miRNA, yang terdeteksi mengalami perubahan

    ekspresi, menyebabkan terjadinya EMT yang diinduksi oleh jalur TGF/ Smad

    pada sel epitel kelenjar payudara tikus normal (normal mouse mammary gland

    epithelial cells/ NMuMG), tetapi tidak demikian pada sel NmuMG yang gen

    Smad4 delesi (knock out). Di antara miRNA yang mengalami peningkatan

    ekspresi, miR-155 yang paling signifikan peningkatan ekspresinya. Pada

    penelitian tersebut didapati bahwa miR-155 merupakan target transkripsi

    langsung dari jalur TGF/ Smad4 dan memediasi EMT yang diinduksi oleh

    TGF. Peningkatan ekspresi miR-155 merusak tight junction formation dan

    memicu migrasi dan invasi sel. Delesi miR-155 menekan terjadinya EMT yang

    diinduksi TGF, pengrusakan tight-junction, migrasi dan invasi sel. Selanjutnya,

    ekspresi miR-155 ektopik menyebabkan berkurangnya protein RhoA dan

    mengganggu pembentukan tight junction. Dengan demikian, miR-155 diatur oleh

    jalur TGF/ Smad dan berperan dalam plastisitas sel epitel payudara melalui

    target RhoA (Kon, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • 65

    Semakin banyak bukti penelitian yang menunjukkan peran miR-155 dalam

    perkembangan kanker payudara, dimana peningkatan ekspresi miR-155 terkait

    dengan grade kanker yang tinggi, stadium lanjut, invasi ke kelenjar limfe dan

    metastasis, sehingga peningkatan ekspresi miR-155 disebut sebagai indikator

    prognosis buruk (Mattiske, et.al., 2012). Pada sampel jaringan dibuktikan bahwa

    level ekspresi miR-155 pada jaringan kanker payudara meningkat lima kali lipat

    dibandingkan dengan jaringan normal. Selain itu, ekspresi miR-155 berkorelasi

    terbalik dengan ekspresi ER dan PR, ekspresi miR-155 meningkat pada jaringan

    kanker payudara dengan status ER-/ PR-, terlepas dari status HER2 (Lu, et.al.,

    2012). Pada penelitan lain, Blenkiron (2007) membuktikan bahwa ekspresi miR-

    155 berbeda pada sampel kanker payudara ER+ dan ER-, dimana didapati

    ekspresi miR-155 meningkat pada sampel kanker payudara yang ER- (Lu, et.al.,

    2012).

    Temuan terbaru tentang peran miR-155 pada kanker payudara adalah

    keterlibatan miR-155 dengan BRCA1. BRCA1, gen yang terlibat dalam perbaikan

    kerusakan DNA dan perkembangan siklus sel. Mutasi gen BRCA1 berhubungan

    dengan risiko tinggi terkena kanker payudara. Pada mencit, mutasi BRCA1

    menyebabkan peningkatan ekspresi miR-155. Hasil ini sejalan dengan hasil

    pemeriksaan pada sel manusia, dimana sel yang tidak memiliki BRCA1 memiliki

    level miR-155 yang lebih tinggi 50 kali lipat dibandingkan dengan sel yang

    memiliki BRCA1 fungsional. Selanjutnya, peningkatan ekspresi BRCA1

    menurunkan ekspresi miR-155. Mekanisme BRCA1 dalam meregulasi miR-155

    adalah dengan cara protein BRCA1 berikatan langsung ke bagian promoter gen

    Universitas Sumatera Utara

  • 66

    BIC, gen host miR-155, yang selanjutnya merekrut histone deacetylase (HDAC)

    untuk menekan ekspresi dari gen BIC. Asosiasi yang dekat antara miR-155

    dengan gen BRCA1, yang merupakan gen kerentanan kanker payudara,

    memperkuat pentingnya miR-155 pada kanker payudara (Mattiske, et.al., 2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • 67

    2.4 Kerangka Teori

    miRISC Kompleks

    Gambar 2.4 Skema Kerangka Teori

    Gen BIC

    (Kromosom 21q 21.3)

    miR-155

    Degradasi/ represi translasi mRNA gen target, seperti :

    TP53INP1, FOXO3A, RhoA

    Kontrol Siklus Sel

    Proliferasi dan

    differensiasi sel kanker

    (dilihat dengan

    pemeriksaan histopatologi

    Grading)

    Invasi dan Metastasis

    Kekambuhan pasca

    kemoterapi dan

    radioterapi

    EMT

    Universitas Sumatera Utara

  • 68

    2.5 Kerangka Konsep

    Keterangan : Ruang lingkup Penelitian

    = Variabel terikat

    = Variabel bebas

    Gambar 2.5 Skema Kerangka Konsep

    Ekspresi

    miR-155

    Jaringan

    Payudara

    Wanita

    penderita

    kanker

    payudara

    Grade I

    Histopatologi

    Grade III

    Histopatologi

    Grade II

    Histopatologi

    Diagnostik

    Terapeutik

    Prognostik

    Universitas Sumatera Utara