chapter ii

15
BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease) untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 / 1991). 4 Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian No KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7 Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : “ Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama “. Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut : 4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 tahun 1991 Universitas Sumatera Utara

Upload: rendi-odi-revi

Post on 09-Nov-2015

223 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

EGI

TRANSCRIPT

  • BAB II

    ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING

    A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing

    Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha

    leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan

    pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha

    dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease)

    untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan

    pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 /

    1991).4

    Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri

    Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian No

    KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7

    Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : Setiap kegiatan

    pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk

    digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran

    secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk

    memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka

    waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama .

    Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi

    perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut :

    4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 tahun 1991

    Universitas Sumatera Utara

  • Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis

    barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas

    barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan

    barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan

    dalam suatu jangka waktu tertentu.5

    Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor

    (perusahaan leasing), Lesse (perusahaan/nasabah) dan supplier (penjual

    barang).

    Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: Company

    financing in the form of providding Capital Goods wish the user making

    periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to

    prolog the leasing period of the remainding value.

    Dapat diartikan bahwa leasing adalah:

    Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal

    dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-

    barang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu

    berdasarkan nilai sisa.6

    Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169/KMK

    01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing), yang dimaksud dengan

    leasing adalah:

    5 Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam

    Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang. Hal 5

    6 Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta. Hal 7-8

    Universitas Sumatera Utara

  • Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik

    dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) maupun sewa

    guna usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) untuk dipergunakan Lesse selama

    jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala.7

    Menurut Financial Accounting Standard Board ( FASB 13) leasing adalah

    suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu

    tertentu.

    8

    Dasar Hukum Leasing

    Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat

    sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang

    tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.

    Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah

    peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan

    lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal

    perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat

    administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih

    luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di

    Indonesia antara lain :

    7 Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit

    PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 9 8 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan

    Lainnya (Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999) hal 129

    Universitas Sumatera Utara

  • 1. Umum (General)

    a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-

    Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku

    bagi penduduk eropa

    b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asas-

    asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku

    III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak

    untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak

    betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan

    umum.

    c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata(Buku III sampai dengan Buku IV),

    yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada

    dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan

    kewajiban lessee.

    2. Khusus

    a. Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri

    Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No.

    KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974

    tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.

    b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI

    No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan

    usaha leasing

    Universitas Sumatera Utara

  • c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI

    No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan

    ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha

    leasing.

    d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL

    7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:

    1. Tata cara perizinan

    2. Pembatasan usaha

    3. Pembukaan

    4. Tingkat suku bunga

    5. Perpajakan

    6. Pengawasan dan Pembinaan

    e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal

    1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha

    sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan

    sewa-menyewa

    f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal

    31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha

    perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara

    asing pada perusahaan leasing.

    g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1

    September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor

    cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing

    Universitas Sumatera Utara

  • h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984

    tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial

    leasing.

    i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26

    Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.

    j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang

    kegiatan sewa guna usaha

    Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus

    mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang

    bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut

    diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang

    terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di

    Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi

    kebiasaan di negeri ini.

    B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang / Tunggakan dalam Perjanjian

    Fidusia

    Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam

    bukunya Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, memberikan

    pengertian sebagai berikut : Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan

    oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan

    Universitas Sumatera Utara

  • dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi

    tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata.

    Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan

    atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil

    penjualan benda-benda tertentu milik debitur.

    Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang

    piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut

    kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.

    Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta

    yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti

    kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan

    Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan

    hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian

    fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang

    Jaminan Fidusia.9

    Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai

    pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau

    di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan

    pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya

    harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah,

    misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan

    bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah

    9 Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

    Universitas Sumatera Utara

  • asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya,

    di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum

    dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang

    piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada

    pejabat yang berwenang.

    Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia

    menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa

    melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan

    kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas

    barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur

    sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga

    dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur

    dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan

    penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat

    dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam

    Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti

    kerugian.10

    Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia

    sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak

    eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan

    customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada.

    Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat

    10 Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

    Universitas Sumatera Utara

  • perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan

    notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi

    fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

    Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek

    barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama

    remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa

    tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena

    masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana.

    Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini

    termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga

    pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di

    bawah tangan.

    Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian pacta sun

    servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang

    bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya (diatur dalam Pasal 1338

    KUHPerdata), tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian.

    Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah

    tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan

    cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum

    acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang

    memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan

    terhadap hukum materil yang dikandungnya.

    Universitas Sumatera Utara

  • Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak

    menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan

    pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin

    besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang

    umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan

    transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum

    adalah penting.

    C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di

    Indonesia

    Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah

    perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak,

    misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash/

    tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya

    untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah,

    tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah.

    Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang

    dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap

    dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik

    benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas

    pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak

    kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut

    juga dapat dialihkan kepada pihak lain.

    Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir

    dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6-

    huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang

    disebut sebagai akta Jaminan Fidusia.

    Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang

    menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit,

    Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit

    dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet

    berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.

    Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005

    Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut :

    1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit

    dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar

    Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam

    kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit

    dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara,

    mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain

    tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila

    kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu

    sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara

    kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya

    Universitas Sumatera Utara

  • dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk

    dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas

    yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.

    2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan

    transaksi Kartu Kredit, maka

    a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas

    tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori

    kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang

    digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan

    b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain

    wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga

    wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.

    Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt

    collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil

    sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika

    penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak,

    tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah

    tunggakan.

    1. Mengarah ke Pidana

    Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum

    ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih

    utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank dan lembaga-

    Universitas Sumatera Utara

  • lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang

    bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain.

    Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara

    penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada

    aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing.

    Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar

    kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap

    yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah

    pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung

    maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara

    hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian,

    serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal

    4E, yang menyebutkan bahwa: "konsumen berhak mendapatkan advokasi,

    perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

    patut".

    Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian

    sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian

    langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang

    bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan

    kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector.11

    11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Penyelesaian secara patut

    Filosofi yang menyatakan bahwa "utang akan dibawa mati" tetap berlaku

    dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk

    menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi.

    Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan

    lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara

    langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai

    subyek hukum.

    Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Bank Indonesia Nomor

    7/7/PBI/2005 12

    Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang

    pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses

    pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga

    dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan

    membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan

    terjawab.

    tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa

    bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis

    mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta

    pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan

    penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia.

    Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak

    tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro

    12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005

    Universitas Sumatera Utara

  • penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif

    penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan

    mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif.

    Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika

    harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula

    kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini.

    Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk

    merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan

    tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia

    Nomor 6/30/PBI/2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen

    risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum

    persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank

    penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan

    aplikasi tidak mudah terjual.13

    Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan

    secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga

    termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan

    peninjauan (survey) yang mendalam terhadap calon debitur.

    13 Ibid

    Universitas Sumatera Utara