chapter ii

Upload: irwan-cungkring

Post on 30-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI

    A. Defenisi Perjanjian Asuransi dan Tujuan Asuransi

    1. Defenisi Perjanjian Asuransi

    Terdapat beberapa batasan dan perbedaan dari pengertian asuransi hal ini

    disebabkan dari sudut pandang mana orang orang yang mendefenisikan asuransi

    itu melihatnya. Dari sudut pandang yuridisnya, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro

    mendefenisikan asuransi atau verzekering sebagai suatu pertanggungan yang

    melibatkan dua pihak, satu pihak sanggup menanggung atau menjamin, dan pihak

    lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan

    dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan

    terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.12

    Purwosutjipto juga mendefenisikan asuransi sebagai suatu perjanjian

    (timbal balik) dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada

    seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan

    penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan

    keuntungan yang diharapkannya, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu

    peristiwa tak tentu (onzeker voorval).

    13

    12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia. Penerbit Intermasa, Jakarta, 1996, hlm.12

    13 H.M.N. Purwosutjipto, Loc.Cit.

    Universitas Sumatera Utara

  • Selain pendapat diatas, pengertian asuransi sebenarnya juga sudah diatur

    secara limitatif dalam peraturan perundang - undangan. Dalam Kitab Undang

    Undang Hukum Dagang disebutkan dalam Pasal 246 KUHD bahwa asuransi atau

    pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung

    mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi

    untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau

    kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena

    suatu peristiwa yang tak tentu. Selain defenisi dari asuransi yang diberikan oleh

    Kitab Undang Undang Hukum Dagang, Undang - Undang No. 2 Tahun 1992

    tentang Usaha Perasuransian juga memberikan defenisi dari asuransi. Dalam

    Ketentuan Pasal 1 angka (1) disebutkan bahwa:

    Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

    Dari defenisi asuransi yang diberikan oleh Kitab Undang Undang

    Hukum Dagang dan Undang Undang No. 2 Tahun 1992, terdapat perbedaan

    diantara keduanya dimana dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang

    menyebutkan bahwa suatu perjanjian asuransi hanyalah perjanjian yang

    melibatkan 2 pihak saja yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan juga pihak

    tertanggung (yang membayar premi asuransi). Selain itu, unsur penting dari

    Universitas Sumatera Utara

  • perjanjian asuransi ini ialah hanya menunjuk kepada asuransi kerugian saja (loss

    insurance) yang objeknya hanya harta kekayaan saja.14

    Berbeda dengan Undang Undang No. 2 Tahun 1992, Undang Undang

    ini menyebutkan bahwa perjanjian asuransi tidak hanya melibatkan 2 pihak saja

    (penanggung dan tertangung) tetapi juga pihak ketiga yang dipertanggungkan

    serta unsur peristiwa dalam Undang Undang ini tidak hanya merujuk kepada

    Asuransi Kerugian (loss Insurance) yang objeknya hanya harta kekayaan saja

    tetapi juga merujuk kepada Asuransi Jiwa (life insurance). Hal ini bisa dibuktikan

    dari kalimat memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau

    hidupnya seorang yang dipertanggungkan. Jadi, dengan kata lain dapat dikatakan

    bahwa Undang Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

    memberikan defenisi asuransi yang lebih luas bila dibandingkan dengan defenisi

    asuransi yang diberikan oleh Pasal 246 KUHD.

    15

    Definisi yang lebih luas lagi dari asuaransi juga diberikan dalam Pasal 41

    New York Insurance Law. Menurut ketentuan Pasal 41 New York insurance Law

    ini

    16

    The Insurance contract is any agreement or other transaction where by one party herein called the insurer, is obligated to confer benefit of precuniary value upon another party, herein called the isured of beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have the time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A lortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be a

    :

    14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 9.

    15 Ibid, hlm.11. 16 Pasal 41 New York Insurance Law.

    Universitas Sumatera Utara

  • substantial extended beyond the control of either party. (Perjanjian asuransi adalah suatu persetujuan atau transaksi dengan orang lain dimana satu orang didalam hal ini disebut penanggung, diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang ada menfaatnya bagi pihak yang lainnya, inilah yang disebut dengan tertanggung atau penerima manfaat. Peristiwa apa yang secara kebetulan terjadi yang menimpa tertanggung atau penerima manfaat, atau merugikan harta benda yang diasuransikan yang menyebabkan kerugian dari peristiwa tersebut. Peristiwa atau kejadian tersebut terjadi di luar dari kehendak para pihak).

    Dalam definisi tersebut digunakan kata kata to confer benefit of

    precuniary value, tidak digunakan kata kata confer indemnity of precuniary

    value. Pengertian benefit tidak hanya meliputi ganti kerugian terhadap harta

    kekayaan, tetapi juga meliputi pengertian yang ada manfaatnya bagi

    tertanggung. Jadi, termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada asuransi jiwa.

    Defenisi dalam Pasal 41 New York Insurance Law meliputi asuransi kerugian

    (Schade Verzekering) dan asuransi sejumlah uang (Sommen Verzekering).

    Rumusan tersebut juga lebih luas daripada rumusan Pasal 246 KUHD.17

    Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam

    perundang undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian

    berasal dari kata asuransi yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas

    suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata

    asuransi diberi imbuhan per an, maka muncullah istilah perasuransian yang

    Selain istilah asuransi, juga dikenal istilah Perasuransian. Walaupun kedua

    kata tersebut hampir sama, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda.

    Untuk dapat membedakan pengertian dari kedua istilah tersebut, maka perlu juga

    diuraikan pengertian dari perasuransian.

    17 Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit.

    Universitas Sumatera Utara

  • berkenaan dengan usaha asuransi.18 Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2

    jenis yaitu:19

    a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance business). Perusahaan yang menjalankan kegiatan asuransi disebut Perusahaan Asuransi (insurance company)

    b. Usaha di bidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang asuransi (complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha penunjang usaha asuransi disebut perusahaan penunjang asuransi (complementary insurance company). Menurut Pasal 2 huruf (a) Undang Undang No. 2 tahun 1992 Tentang

    Usaha Perasuransian dinyatakan bahwa usaha asuransi adalah usaha jasa

    keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi

    asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa

    asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang

    tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.

    Sementara itu, Perusahaan Penunjang Asuarnsi adalah jenis perusahaan

    yang menjalankan usaha penunjang usaha asuransi. Dalam Pasal 2 huruf (b)

    Undang- Undang No. 2 Tahun 1992 dikatakan bahwa usaha penunjang usaha

    asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, jasa penilaian

    kerugian asuransi dan jasa aktuaria.

    2. Tujuan Asuransi

    Hidup tak ubahnya seperti permainan dari ketidakpastian. Secara awam,

    ketidakpastian itu diterjemahkan sebagai resiko. Sesuatu yang belum pasti terjadi,

    18 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung,1997, hlm. 13.

    19 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 5.

    Universitas Sumatera Utara

  • akibatnya tentu tidak dikehendaki juga. Misalnya resiko kecelakaan, kematian,

    kerugian dan lain sebagainya. Tak seorangpun mengetahui secara pasti kapan

    resiko itu akan terjadi. Berdasarkan uraian diatas, sejatinya yang menjadi fokus

    utama adalah resiko dibalik ketidakpastian yang umumnya tidak dikehendaki.20

    Berdasarkan uraian diatas, asuransi sebenarnya memiliki tujuan tujuan

    utama yang hendak dicapai. Tujuan tujuan tersebut antara lain:

    Namun, resiko itu dapat dialihkan kepada pihak lain (perusahaan asuransi) bila

    mereka menjadi anggota asuransi.

    21

    Dalam hal tidak terjadinya perstiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalahnya terhadap resiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak selamanya bahaya yang mengancam itu sungguh sungguh akan terjadi. Ini merupakan kesempatan kepada penanggumg mengumpulkan premi dari tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya.

    a. Teori Pengalihan Resiko

    Menurut teori pengalihan resiko, (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika harta kekayaan atau jiwanya terancam, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raga. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut, pihak tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung) sejak saat itu resiko beralih kepada pihak penanggung.

    b. Pembayaran Ganti Kerugian

    20 Menurut Agus Purwanto 1995 bahwa didalam industri asuransi, resiko diartikan sangat khusus dan sederhana. Secara operasional, resiko diartikan sebagai Uncertainty of financial loss atau kerugian yang tidak pasti. Jadi, resiko memiliki 2 (dua) unsur yaitu ketidakpastian dan kerugian (uncertainty and loss). Oleh karena itu, apapun yang dapat menimbulkan kerugian disebut dengan resiko. Dalam Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 15.

    21 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm. 12.

    Universitas Sumatera Utara

  • Jika suatu ketika peristiwa itu sungguh sungguh terjadi, yang menimbulkan kerugian, maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransi. Dengan demikian, tertangung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang dideritanya.

    c. Pembayaran Santunan

    Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dengan tertanggung (voluntary insurance). Akan tetapi, undang undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya, tertanggung terikat dengan penanggung karena undang undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini disebut dengan jenis asuransi sosial (social security insurance). Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh.

    Tertanggung yang telah membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang undang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka atau ahli warisnya akan memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang undang. Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.

    d. Kesejahteraan Anggota

    Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung. Sedangkan anggota pekumpulan bertindak sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayarkan sejumlah unag kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan.

    Wirjono Prodjodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan koperasi. Asuransi ini merupakan asuransi yang saling menanggung (onderlinge verzekering) atau asuransi usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan angota.22

    Setelah ditelaah dengan seksama, asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, tetapi hanya mempunyai unsur unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau sejumlah uang.

    22 Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit.

    Universitas Sumatera Utara

  • Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (seperti premi oleh tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya.

    B. Pihak pihak yang Terlibat dalam Perjanjian Asuransi Serta Unsur

    unsur Penting Asuransi

    1. Pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian asuransi

    Untuk mengetahui siapa siapa saja pihak yang terlibat dalam perjajian

    asuransi, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari subjek hukum itu

    sendiri sebab perjanjian asuransi juga sama halnya dengan perjanjian lainnya

    dimana salah satu sahnya perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak pihak yang

    memenuhi kriteria sebagai subjek hukum.

    Subjek hukum itu sendiri adalah segala sesuatu pendukung hak dan

    kewajiban yang terdiri dari manusia dan badan hukum. Jadi, sebagai subjek

    hukum, baik manusia maupun badan hukum mempunyai hak hak dan

    kewajiban kewajiban untuk melakukan tindakan hukum dimana mereka dapat

    mengadakan persetujuan persetujuan. Pada dasarnya, manusia dikatakan sebagai

    subjek hukum pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.

    Bahkan seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya dapat

    dikatakan sebagai subjek hukum bilamana kepentingannya mengkehendaki.23

    Walaupun hukum menentukan bahwa setiap orang tanpa terkecuali

    memiliki hak -hak, akan tetapi pada dasarnya tidaklah semua orang diperbolehkan

    bertindak sendiri dalam melaksanakan hak hak tersebut.

    23 Lihat Pasal 2 kitab Undang Undang Hukum Perdata.

    Universitas Sumatera Utara

  • Dalam hal ini ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dinyatakan

    tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri melakukan perbuatan

    hukum tetapi mereka harus dibantu atau diwakilkan oleh orang lain.

    Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan untuk melakukan sendiri

    perbuatan hukum adalah:24

    a. Orang yang masih dibawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun

    atau belum dewasa.

    b. Orang orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan

    pemboros, yaitu mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele).

    Demikian juga halnya dalam perjanjian selalu ada 2 (dua) macam subjek

    hukum yaitu disatu pihak seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat

    beban kewajiban untuk sesuatu, dan dilain pihak ada sesorang atau suatu badan

    hukum yang mendapat hak atau pelaksanaan kewajiban itu. Oleh karena itu dalam

    suatu perjanjian ada pihak yang berkewajiban dan ada pihak yang berhak.25

    Berbeda halnya dalam perjanjian asuransi, yang merupakan perjanjian

    timbal balik, dimana satu pihak tidak selalu menjadi pihak yang berhak,

    melainkan dari sudut lain mempunyai beban kewajiban juga terhadap pihak lain,

    yang dengan demikian tidak selalu menjadi pihak yang berkewajiban melainkan

    24Lihat Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 25 Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 30.

    Universitas Sumatera Utara

  • menjadi pihak yang berhak terhadap kewajiban dari pihak pertama yang harus

    dilaksanakan.26

    Jadi, dalam setiap mengadakan perjanjian asuransi, haruslah sekurang

    kurangnya ada 2 (dua) pihak dimana pihak yang satu disebut penanggung dan

    pihak lain disebut tertanggung. Dalam hal ini, pihak penanggung adalah pihak

    terhadapnya resiko tersebut dialihkan, yang seharusnya dipikul sendiri oleh

    tertanggung karena menderita suatu kerugian atas suatu peristiwa yang tidak

    tentu. Resiko ini hanya dialihkan kepada penanggung bila adanya premi yang

    diberikan oleh tertanggung. Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung

    mengikatkan dirinya untu menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh

    pihak tertanggung.

    27

    Sedangkan pihak tertanggung sebagai orang orang yang berkepentingan

    mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk

    membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau berangsur angsur, dengan

    tujuan akan mendapat penggantian atas kerugian yang mungkin akan dideritanya

    akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi.

    28

    2. Unsur Unsur Penting Asuransi

    Bila dilihat dari defenisi asuransi yang terdapat dalam Kitab Undang

    Undang Hukum Dagang, Pasal 246 disebutkan bahwa asuransi atau

    pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung

    26 Ibid., hlm. 31 27 Ibid. 28 Ibid.

    Universitas Sumatera Utara

  • mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi

    untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau

    kehilangan keuntungan yang diharapkan yang munkin akan dideritanya karena

    suatu peristiwa yang tak tentu. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (1) Undang

    Undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian disebutkan bahwa:

    Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang dihapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

    Berdasarkan 2 (dua) defenisi asuransi yang disebutkan diatas, maka

    asuransi itu sendiri memiliki unsur unsur yang terkandung didalamnya. Unsur

    unsur itu yaitu:29

    a. Pihak Pihak

    Subjek asuransi adalah pihak pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban. Penanggung wajib menerima resiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh premi. Sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian kepadanya bila peristiwa yang tidak pasti tersebut terjadi kepadanya.

    b. Status Para Pihak Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Tertanggung berstatus sebagai orang pribadi atau badan hukum atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan.

    c. Objek Asuransi Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut, ada tujuan tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak. Penanggung bertujuan memperoleh sejumlah premi dan

    29 Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit.

    Universitas Sumatera Utara

  • tertanggung bertujuan bebas dari resiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian pada dirinya.

    d. Peristiwa Asuransi Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) dapat berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenemen) mengancam benda asuransi dan syarat syarat yang berlaku dalam asuransi.

    e. Hubungan Asuransi Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Artinya sejak tercapainya kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung dan saat itu pula penanggung menerima pengalihan resiko.

    C. Prinsip prinsip Umum dalam Perjanjian Asuransi

    Dalam asuransi dikenal beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam

    mengadakan perjanjian asuransi. Prinsip Prinsip tersebut yaitu:30

    1. Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest)

    Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Inrusable Interest) merupakan syarat mutlak untuk mengadakan perjanjian asuransi. Apabila pihak tertanggung atau pihak yang dipertanggungkan tidak memiliki kepentingan pada saat mengadakan perjanjian auransi, dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau batal demi hukum31

    Diharuskannya ada prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian. Hal itu disebabkan, apabila sesorang yang tidak mempunyai kepentingan atas suatu objek tersebut, maka akibatnya tanpa menderita kerugian orang

    Prinsip kepentingan yang diasuransikan ini diatur dalam pasal 250 KUHD yang berbunyi:

    Apabila seseorang yang telah mengadakan asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberi ganti rugi.

    30 Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. hlm. 84 31 Ibid, hlm 31

    Universitas Sumatera Utara

  • tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki menimpa objek dimaksud.32Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang memiliki kepentingan atau tidak dalam asuransi dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

    33

    a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/objek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan;

    b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung;

    2. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Utmost Goodfaith)

    Dalam Kontrak asuransi, itikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang

    terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung. Hal ini dikarenakan

    tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang objek yang akan

    dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta

    material yang berkaitan objek pertanggungan tersebut secara akurat dan

    lengkap kepada Underwriter.34

    Prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) menyangkut

    kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan

    bukan dipenuhi dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup

    seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 KUH Perdata.

    35

    32 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, PT Alumni Bandung,1997, hlm. 16

    33 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta 2001, hlm. 12

    34 Underwriter adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan asuransi untuk menilai resiko yang akan dipertanggungkan, menentukan apakah menerima atau menolak resiko, atau menerima sebagian. Dan mengkalkulasi besaran premium yang wajar untuk suatu resiko yang dipertanggungkan. Dalam Kun Wahyu Wardana, Op. Cit., hlm. 34

    35 H. Gunanto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Tanggerang, 2003, hlm. 12

    Prinsip itikad baik yang sempurna ini juga diatur dalam Kitab Undang

    Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 251 KUHD disebutkan:

    Universitas Sumatera Utara

  • Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Mengenai kapan saja masa berlakunya prinsip itikad baik yang sempurna

    ini yang harus dimiliki oleh para pihak dalam perjanjian asuransi terutama

    tertanggung,

    AM. Hasan Ali, memiliki pendapatnya sendiri bahwa kewajiban untuk

    memberikan fakta fakta penting tersebut berlaku:36

    a. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut.

    b. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut c. Pada saat terjadi perubahan kontrak asuransi dan mengenai hal hal

    yang ada kaitannya dengan perubahan perubahan itu.

    Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip itikad

    baik yang sempurna (Utmost Good Faith) atau kejujuran yang sempurna

    harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapkan seluruh fakta

    material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang

    Underwriter.

    Jadi, itikad baik yang sempurna dalam suatu perjanjian merupakan suatu

    sikap yang dilandasi oleh kejujuran, tidak menyembunyikan sesuatu yang

    buruk yang dapat merugikan pihak lain yang harus dilakukan oleh para

    pihak yang membuat perjanjian.

    36 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analiis Historis, Teoritis dan Praktis, Prenada Media, Jakarat, 2004, hlm. 20.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle) Merupakan salah satu prinsip dalam perjanjian asuransi yang menyatakan bahwa besarnya penggantian kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh sungguh diderita oleh tertanggung. Penerapan prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) dalam asuransi ini, sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak sama dengan perjudian. Dalam perjudian tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diderita dalam perjudian merupakan konsekuensi yang harus diterima.37Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan suatu tujuan bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism. Mengalihkan atau membagi resiko yang kemungkinan akan diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Namun, satu hal yang perlu diketahui dalam prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) ini, bahwa tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi harus terlebih dahulu diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan. Sedangkan dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara finansial kerugian yang diderita, maka prinsip kepentingan ini tidak berlaku. Jadi, besarnya ganti rugi yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam membayar preminya. Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula nilai premi yang harus dibayarkan.

    38

    4. Prinsip Subrogasi.

    Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap objek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis. Tapi, suatu hal yang pelu diketahui, bahwa subrogasi hanya berlaku untuk contract of indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendapatkan penggantian lebih dari kerugian yang dideritanya.39

    37 Kun Wahyu Wardana, Op. Cit. hlm. 38 38 Ibid., hlm. 39 39 Ibid, hlm. 42.

    Pemahaman prinsip subrogasi ini juga diatur dalam ketentuan pasal 284

    KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut:

    Universitas Sumatera Utara

  • Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang orang ketiga itu.

    Prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 KUH

    Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut

    bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak

    yang dirugikan. Dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut

    ganti rugi kepda pihak yang menyebabkan kerugian. Oleh karena itu,

    untuk menghindari tertanggung mendapatkan keuntungan atas

    pemberlakuan pasal tersebut, yang memungkinkan tertanggung

    mendapatkan pemenuhan kembali kerugian dari perusahaan asuransi

    sebagai penanggung dan pihak ketiga yang manjadi penyebab kerugian,

    maka subrogasi menjadi prinsip yang menyertai prinsip keseimbangan.40

    D. Polis Asuransi dan Premi Asuransi.

    1. Polis Asuransi

    Dalam suatu perjanjian asuransi, biasanya dibuat dalam bentuk akte yang

    berisi perjanjian antara penanggung dengan tertanggung. Akte tesebutlah yang

    bernama polis asuransi. Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi

    harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya

    Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang

    Penyelenggaraan Usaha Perasuransian menentukan:

    40 Ibid, hlm. 43

    Universitas Sumatera Utara

  • Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.

    Berdasarkan ketentuan 2 (dua) pasal tersebut diatas, maka dapat dipahami

    bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah

    terjadi perjanjian asuransi anatara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti

    tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata

    kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan penafsiran sehingga

    mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban

    mereka dalam pelaksanaan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat

    kesepakatan mengenai syarat - syarat khusus dan janji janji khusus yang

    menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.

    Tetapi, yang perlu diketahui bahwa polis sebenarnya bukan merupakan hal mutlak

    yang harus ada dalam perjanjian asuransi akan tetapi sebagai alat pembuktian

    adanya perjanjian asuransi yang diadakan oleh pihak penanggung dengan

    tertanggung. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang,

    dimana dalam Pasal 257 KUHD disebutkan bahwa Perjanjian pertanggungan

    diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak hak dan kewajiban bertimbal balik

    dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan

    sebelum polisnya ditandatangani. Ketentuan yang hampir senada juga dalam Pasal

    258 KUHD yang berbunyi sebagai berikut:

    Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan namun demikian bolehlah lain lain alat

    Universitas Sumatera Utara

  • pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah ketetapan ketetapan dan syarat syarat khusus apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan - ketentuan undang undang, atas ancaman ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan.

    Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji janji khusus yang

    dirumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi.

    Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab

    penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang

    menimbulkan kerugian.41

    Sejatinya, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat

    syarat syarat khusus sebagai berikut:

    42

    a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;

    b. Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga; c. Uraian jelas mengenai benda yang diasuransikan; d. Jumlah yang diasuransikan; e. Bahaya bahaya (evenemen) yang ditanggung oleh penanggung; f. Saat bahaya (evenemen) mulai berjalan dan berakhir yang menjadi

    tanggungan penanggung; g. Premi asuransi; h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung

    dan segala janji - janji khusus yang diadakan para pihak.

    Apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung,

    maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung dalam tempo 24

    (dua puluh empat) jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan

    41 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm 59 42Lihat Pasal 256 KUHD

    Universitas Sumatera Utara

  • undang undang ditentukan tenggang waktu yang lebih lama.43 Berdasarkan

    ketentuan ini, maka pembuat polis adalah penanggung atas permintaan

    tertanggung. Penanggung menandatangani polis tersebut, setelah itu segera

    diserahkan kepada tertanggung. Pembuatan polis oleh penanggung sesuai dengan

    fungsi polis sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung. Namun, asuransi

    tidak hanya dapat diadakan untuk kepentingan sendiri, tetapi juga untuk

    kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan kuasa umum atau kuasa khusus,

    bahkan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan.44

    2. Premi Asuransi

    Apabila asuransi

    tersebut diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka menurut ketentuan Pasal

    265 KUHD, hal itu ditegaskan dalam polis apakah terjadi berdasarkan pemberian

    kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. Asuransi yang

    diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang

    berkepentingan, menurut ketentuan Pasal 266 KUHD adalah batal, apabila benda

    yang sama diasuransikan oleh yang berkepentingan atau oleh pihak ketiga atas

    perintahnya, sebelum diketahuinya asuransi yang diadakan tanpa pengetahuannya

    itu.

    Dalam perjanjian asuransi, terdapat salah satu unsur penting dalam

    asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib dipenuhi oleh

    tertanggung kepada penanggung. Unsur penting yang harus dipenuhi oleh

    tertanggung tersebut dinamakan premi asuransi. Premi asuransi merupakan suatu

    43 Pasal 259 KUHD. 44 Pasal 264 KUHD.

    Universitas Sumatera Utara

  • pembayaran dari tertanggung kepada penanggung sebagai imbalan uang ganti rugi

    apabila terjadi peristiwa yang tidak diiginkan terjadi. Premi ini merupakan hal

    mutlak dalam asuransi, sebab semakin besar suatu resiko yang ditanggung,

    semakin besar pula pembayaran asuransinya. Premi asuransi diatur dalam Pasal

    246 KUHD yang menyatakan dengan mana penanggung mengikatkan diri

    kepada tertanggung dengan menerima premi. Dalam hubungan hukum,

    penanggung menerima pengalihan resiko dari tertanggung dan tertanggung

    membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar,

    asuransi dapat dibatalkan atau setidaknya asuransi tidak berjalan. Premi harus

    dibayar lebih dahulu oleh tertanggung karena tertanggunglah pihak yang

    berkepentingan.45

    Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat konsensual, artinya sejak

    terjadi kesepakatan timbullah kewajiban dan hak kedua belah pihak. Akan tetapi,

    asuransi baru berjalan jika kewajiban tertanggung membayar premi telah

    dipenuhi, dan sejak saat itulah resiko beralih kepada pihak penanggung.

    46

    Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa premi dalam

    perjanjian asuransi merupakan unsur yang sangat penting dan syarat mutlak yang

    harus ada dalam perjanjian asuransi. Kriteria premi asuransi adalah sebagai

    berikut:

    47

    a. Dalam bentuk sejumlah uang;

    45 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 103 46 Ibid, hlm. 104. 47 Ibid.

    Universitas Sumatera Utara

  • b. Dibayar terlebih dahulu oleh tertanggung;

    c. Sebagai imbalan pengalihan resiko;

    d. Dihitung berdasarkan persentase terhadap nilai resiko yang dialihkan.

    Penetapan jumlah premi asuransi yang harus dibayarkan didasarkan atas

    penghitungan analisis resiko yang sehat dan juga atas dasar penilaian resiko yang

    akan dipikul oleh penanggung. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Peraturan

    Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian,

    premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan dan tidak

    diterapkan secara diskriminatif. Pada ayat (2) dikatakan tingkat premi dinilai tidak

    mencukupi apabila:

    a. Sedemikian rendah sehingga tidak sebanding dengan manfaat yang

    diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan;

    b. Penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan

    tingkat solvabilitas perusahaan;

    c. Penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak

    iklim kompetisi yang sehat.

    Tingkat premi dinilai berlebihan apabila sedemikian tinggi, sehingga

    sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi

    yang bersangkutan. Penerapan tingkat premi dinilai bersifat diskriminatif apabila

    Universitas Sumatera Utara

  • tertanggung dengan luas pengadaan yang sama serta dengan jenis tingkat resiko

    yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda.48

    48 Ibid, hlm. 106.

    Universitas Sumatera Utara