chapter ii

22
TINJAUAN PUSTAKA Atribut yang memuaskan pelanggan adalah atribut kualitas dari produk itu sendiri. Pengidentifikasian atribut – atribut kualitas produk yang menghasilkan kepuasan kepada pelanggan itu dapat dilakukan melalui pendekatan pengembangan dimensi kualitas dan pendekatan insiden kritis. Yang disertakan dalam pendekatan pengembangan dimensi kualitas mencakup bukan hanya pelanggan tetapi juga perusahaan penghasil produk. Sejalan dengan tingkat persaingan dan harapan pelanggan, maka setiap konsep ini mengalami evolusi sebagai upaya untuk merespon perubahan. 2.1 Model SERVQUAL Model kualitas jasa yang paling populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset dan kepuasan pelanggan adalah model SERVQUAL (singkatan dari service quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985, 1988, 1990, 1991, 1993, 1994). Model yang dikenal pula dengan istilah Gap Analysis Model ini berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada rancangan diskonfirmasi. Ancangan ini menegaskan bahwa bila kinerja pada suatu atribut (attribute performance) meningkat lebih besar daripada harapan (expectation) atas atribut bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas dan jasa akan positif dan sebaliknya. Perjalanan panjang model SERVQUAL dapat ditelusuri dalam delapan tahap utama yaitu kelahiran, instrumentasi, extended gap model, deteminan ekspektasi jasa, revisi instrumentas SERVQUAL, dampak SERVQUAL terhadap minat behavioral, sistem informasi kualitas jasa, dan e – SERQVUAL. 2.2 Kelahiran SERVQUAL (1983 – 1985) Universitas Sumatera Utara

Upload: aji-setiawan

Post on 10-Dec-2014

15 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

TINJAUAN PUSTAKA

Atribut yang memuaskan pelanggan adalah atribut kualitas dari produk itu sendiri.

Pengidentifikasian atribut – atribut kualitas produk yang menghasilkan kepuasan kepada

pelanggan itu dapat dilakukan melalui pendekatan pengembangan dimensi kualitas dan

pendekatan insiden kritis. Yang disertakan dalam pendekatan pengembangan dimensi

kualitas mencakup bukan hanya pelanggan tetapi juga perusahaan penghasil produk.

Sejalan dengan tingkat persaingan dan harapan pelanggan, maka setiap konsep ini

mengalami evolusi sebagai upaya untuk merespon perubahan.

2.1 Model SERVQUAL

Model kualitas jasa yang paling populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan

dalam riset dan kepuasan pelanggan adalah model SERVQUAL (singkatan dari service

quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985, 1988, 1990,

1991, 1993, 1994). Model yang dikenal pula dengan istilah Gap Analysis Model ini

berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada rancangan

diskonfirmasi. Ancangan ini menegaskan bahwa bila kinerja pada suatu atribut (attribute

performance) meningkat lebih besar daripada harapan (expectation) atas atribut

bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas dan jasa akan positif dan sebaliknya.

Perjalanan panjang model SERVQUAL dapat ditelusuri dalam delapan tahap

utama yaitu kelahiran, instrumentasi, extended gap model, deteminan ekspektasi jasa,

revisi instrumentas SERVQUAL, dampak SERVQUAL terhadap minat behavioral,

sistem informasi kualitas jasa, dan e – SERQVUAL.

2.2 Kelahiran SERVQUAL (1983 – 1985)

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Kolaborasi antara Parasuraman, Zeithalm dan Berry memaparkan secara rinci

lima gap kualitas jasa yang berpotensi menjadi sumber masalah kualitas jasa. Model ini

dikembangkan dengan maksud untuk membantu dalam menganalisa sumber masalah

kualitas dan memahami cara – cara memperbaiki kualitas jasa. Model ini diilustrasikan

pada gambar, garis putus – putus horizontal memisahkan dua fenomena utama, yaitu

bagian atas merupakan fenomena yang berkaitan dengan pelanggan, dan bagian bawah

mengacu pada fenomena pada perusahaan. Selain dipengaruhi pengalaman masa lalu,

kebutuhan pribadi pelanggan, komunikasi gethok tular, jasa yang diharapkan juga

dipengaruhi aktifitas komunikasi dan interaksi perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

Bagan 2.1. Model Konseptual SERVQUAL

PELANGGAN

GAP 5

PEMASAR GAP 4

GAP 1

GAP 2

Lima gap utama yang terangkum dalam gambar meliputi :

Komunikasi Gethok Tular

Kebutuhan Pribadi Pengalaman Masa Lalu

Jasa yang Diharapkan

Jasa yang Dipersepsikan

Komunikasi Eksternal kepada

Pelanggan

Persepsi Atas Harapan

l

Penyampaian Jasa

Spesifikasi Kualitas Jasa

GAP 3

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

1. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi perusahaan (knowledge gap).

Gap ini berarti, bahwa pihak perusahaan mempersepsikan bahwa ekspektasi

pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat. Beberapa kemungkinan

penyebabnya antara lain : informasi yang didapatkan dari lapangan dan analisis

permintaan kurang akurat, interpretasi yang kurang akurat atas informasi

ekspektasi pelanggan, tidak adanya analisis permintaan, buruknya atau tiadanya

aliran informasi ke atas dari staf kontak pelanggan ke pihak perusahaan, dan

terlalu banyak jenjang manajerial yang menghambat atau mengubah informasi

yang disampaikan dari karyawan kontak pelanggan ke pihak perusahaan. Sebagai

contoh, pihak perusahaan mungkin saja mengira bahwa pelanggannya lebih

mengutamakan ketepatan waktu pengisian bahan bakar, padahal mereka lebih

mementingkan akurasi dan ketepatan dalam jumlah pengisian.

2. Gap antara persepsi perusahaan terhadap harapan konsumen dan spesifikasi

kualitas jasa (standards gap).

Gap ini berarti antara spesifikasi kualitas pelayanan tidak konsisten dengan

persepsi perusahaan terhadap ekspektasi kualitas. Penyebabnya antara lain : tidak

adanya standar kinerja yang jelas, kesalahan perencanaan atau prosedur

perencanaan yang tidak memadai, manajemen perencanaan yang buruk,

kurangnya penetapan tujuan yang jelas dalam organisasi, kurangnya dukungan

dan komitmen manajemen puncak terhadap perencanaan kualitas pelayanan,

kekurangan sumber daya, dan situasi permintaan berlebihan. Contohnya pihak

perusahaan meminta para karyawannya agar melayani pelanggan dengan “cepat”

tanpa merinci standart waktu pelayanan yang bisa dikategorikan cepat.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa serta penyampaian jasa (delivery gap).

Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam

proses produksi dan penyampaian jasa. Sejumlah penyebabnya antara lain :

spesifikasi kualitas terlalu rumit atau terlalu kaku, para karyawan tidak

menyepakati spesifikasi tersebut dan karenanya tidak memenuhinya, spesifikasi

tidak sejalan dengan budaya korporat yang ada, manajemen operasi pelayanan

yang buruk, kurang memadainya aktifitas internal marketing, serta teknologi dan

sistem yang ada tidak memfasilitasi kinerja sesuai dengan spesifikasi. Kurang

terlatihnya karyawan, beban kerja terlampau berlebihan, dan standar kinerja tidak

dapat dipenuhi karyawan (terlalu tinggi atau tidak realistis) juga bisa

menyebabkan tejadinya gap ini. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan

pada standar – standar yang saling bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh,

para karyawan SPBU diwajibkan untuk melayani pelanggan dengan jangka waktu

yang cepat, tetapi di saat bersamaan, mereka juga harus tetap menjaga akurasi dan

ketepatan jumlah pengisian serta melayani keluhan pelanggan.

4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi serta interaksi eksternal

(communications gap).

Gap ini berarti bahwa janji – janji yang disampaikan melalui aktifitas komunikasi

dan interaksi perusahaan tidak konsisten dengan pelayanan yang disampaikan

kepada pelanggan. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

perencanaan komunikasi dengan pelanggan tidak terintegrasi dengan operasi jasa,

kurangnya koordinasi antara pemasaran eksternal dan operasi jasa, organisasi

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

gagal memenuhi spesifikasi yang ditetapkannya, sementara kampaye komunikasi

dalam sosialisasi pemasaran sesuai dengan spesifikasi tersebut, dan

kecenderungan untuk melakukan “over – promised, under deliver”. Iklan dan

slogan janji perusahaan sering mempengaruhi ekspektasi pelanggan. Jika pihak

perusahaan memberikan janji berlebihan, maka resikonya adalah harapan

pelanggan bisa membumbung tinggi dan sulit dipenuhi. Contohnya, pelanggan

akan merasa kecewa apabila kualitas produk yang telah mereka gunakan tidak

sebaik atau sebagus yang digambarkan atau yang dijanjikan.

5. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap).

Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa yang

diharapkan. Gap ini bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif, seperti

kualitas buruk dan masalah kualitas, komunikasi gethok tular yang negatif,

dampak negatif terhadap citra korporat atau citra lokal, dan kehilangan pelanggan.

Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja atau prestasi perusahaan

berdasarkan kriteria yang berbeda, atau bisa juga mereka keliru

menginterpretasikan kualitas jasa yang bersangkutan.

Sementara itu, jasa yang dipersepsikan pelanggan merupakan hasil dari

serangkaian keputusan dan aktivitas internal perusahaan. Persepsi perusahaan terhadap

ekspektasi pelanggan memandu keputusan menyangkut spesifikasi kualitas jasa yang

harus diikuti perusahaan dan diimplementasikan dalam penyampaian jasa kepada

pelanggan. Pelanggan mengalami proses produksi dan penyampaian jasa, sebagai

komponen kualitas berkaitan dengan proses dan solusi teknis yang diterima melalui

proses tersebut sebagai komponen kualitas berkaitan dengan hasil.sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

ditunjukkan dalam gambar, komunikasi dan interaksi antar perusahaan dan pelanggan

dapat mempengaruhi perceived services dan expected service.

Parasuraman juga mengidentifikasikan 10 dimensi pokok jasa yaitu reliabilitas,

daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan, komunikasi dan interaksi, kredibilitas,

keamanan, kemampuan memahami pelanggan dan bukti fisik.

2.3 Instrumentasi SERVQUAL (1985 – 1988)

Berdasarkan model konseptual yang disusun, kemudian Parasuraman dan kawan –

kawan menyusun skala pengukuran SERVQUAL dan mendefenisikan kualitas

pelayanan sebagai “penilaian global atau sikap menyangkut superioritas jasa”.

Operasionalisasi ini dirumuskan dalam persamaan yang sangat terkenal: Q = P – E.

Persepsi (P) didefenisikan sebagai keyakinan pelanggan berkenaan dengan jasa yang

diterima atau dialami. Sedangkan Harapan atau Ekspektasi (E) dirumuskan sebagai hasrat

atau keinginan konsumen yaitu apa yang mereka rasakan harus (dan bukan bakal)

ditawarkan penyedia layanan. Istilah “harapan atau ekspektasi” digunakan secara berbeda

dalam literatur kualitas jasa dan literatur kepuasan pelanggan dimana ekspektasi jasa (E)

tidak menunjukkan prediksi tentang apa yang bakal (would) ditawarkan penyedia jasa,

namun justru lebih dari pada apa yang harus (should) ditawarkan.

2.4 Extended Gap Model (1988 – 1990)

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

Dalam model ini, diidentifikasi sejumlah faktor internal yang mempengaruhi

tingkat kualitas jasa yang disampaikan kepada pelanggan. Berbasiskan faktor – faktor

tersebut, mereka menawarkan sejumlah strategi untuk memperkecil gap – gap kualitas

jasa.

Tabel 2.1

Strategi Mengurangi Gap – Gap Kualitas Jasa

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

GAP STRATEGI POKOK STRATEGI RINCI

Gap 1 Mempelajari apa yang diharapkan pelanggan

• Berusaha memahami ekspektasi pelanggan melalui riset, analisis komplain, panel pelanggan, dan lain – lain.

• Meningkatkan interaksi langsung antara perusahaan dan pelanggan dalam rangka meningkatkan pemahaman mengenai kebutuhan dan preferensi pelanggan

• Memperbaiki komunikasi ke atas (upward communication) dari karyawan ke pihak audit perusahaan, dan mengurangi jumlah jenjang/level manajemen di antara keduanya.

• Menindaklanjuti informasi dan wawasan yang diperoleh dari riset pelanggan.

Gap 2 Menyusun standart kualitas jasa yang tepat dan jelas

• Memastikan bahwa manajemen puncak menunjukkan komitmen konsisten pada kualitas berdasarkan sudut pandang pelanggan

• Melibatkan manajemen madya dalam penetapan, pengkomunikasian, dan penerapan standar pelayanan pelanggan dalam setiap unit kerja mereka.

• Membekali para karyawan dengan keterampilan untuk menyampaikan pelayanan yang berkualitas.

• Bersikap reseptif terhadap cara – cara baru dalam menjalankan bisnis yang bisa mengatasi berbagai hambatan dalam rangka mewujudkanjasa berkualitas.

• Membakukan tugas – tugas kerja repetitif demi menjamin konsistensi dan reliabilitas, baik melalui penerapan hard technology (seperti otamatisasi) maupun soft technology (penyempurnaan metode kerja).

• Menerapkan sasaran kualitas jasa yang jelas, menantang, relistis dan dirancang secara ekplisit untuk memenuhi harapan pelanggan.

• Mengklarifikasikan tugas – tugas kerja yang memiliki dampak terbesar pada kualitas dan karenanya harus mendapatkan prioritas utama.

• Memastikan bahwa karyawan memahami dan menerima sasaran dan prioritas yang disepakati.

• Mengukur kinerja dan menberikan balikan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

rutin. • Menghargai para karyawan atas keberhasilan

mereka dalam mencapai sasaran kualitas. Gap 3 Memastikan bahwa

kinerja pelayanan sesuai dengan standar

• Memastikan peranan setiap karyawan melalui deskripsi kerja yang jelas dan rinci.

• Memastikan bahwa setiap karyawan memahami kontribusi pekerjaan mereka terhadap kepuasan pelanggan.

• Menyelaraskan karyawan dengan pekerjaan melalui proses seleksi yang menekankan kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan setiap pekerjaan dengan baik.

• Menyediakan pelatihan teknis yang dibutuhkan karyawan dalam rangka pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada mereka secara efektif

• Mengembangkan metode – metode rekrutmen dan refensi inofatif untuk menarik karyawan terbaik dan menciptakan loyalitas mereka terhadap organisasi.

• Meningkatkan kinerja karyawan melalui pemilihan teknologi dan peralatan yang paling tepat dan andal.

• Mengajarkan berbagai aspek pemahaman mengenai pelanggan (seperti harapan, persepsi, dan harapan pelanggan) kepada karyawan.

• Melatih karyawan dalam hal keterampilan antar – pribadi khususnya menyangkut interaksi dengan pelanggan.

• Menghilangkan konflik peran di antara para karyawan dengan melibatkan mereka dalam proses penetapan standar.

• Melatih karyawan dalam hal penetapan prioritas dan manajemen waktu.

• Mengukur kinerja karyawan dan mengaitkan kompensasi serta penghargaan dengan penyampaian jasa berkualitas.

• Menyusun sistem penghargaan yang sederhana, tepat waktu, akurat dan fair.

• Memberdayakan para karyawan dalam hal pengambilan keputusan berkenaan dengan pelaksanaantugasnya melayani dan memuaskan pelanggan.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

• Memastikan bahwa setiap karyawan jasa pendukung internal benar – benar bersifat suportif kepada pelanggan.

• Membangun tim kerja sedemikian rupa sehingga para karyawan bisa bekerja sama dengan baik.

• Memperlakukan pelanggan sebagai “karyawan parsial”, mengklarifikasi peranan mereka dalam penyampaian jasa, melatih dan memotivasi mereka untuk melaksanakan perannya sebagai co – produser dengan baik.

Gap 4 Memastikan bahwa penyampaian jasa sesuai dengan janji yang diberikan

• Mengumpulkan masukan dari karyawan operasional sewaktu iklan baru sedang dibuat.

• Menyusun iklan yang menunjukkan karyawan riil yang sedang melakukan tugas mereka.

• Memberikan kesempatan kepada penyedia jasa untuk menelaah iklan sebelum diekspos kepada pelanggan.

• Meminta staf penjualan agar melibatkan staf operasi dalam pertemuan tatap muka dengan pelanggan.

• Menyusun kampanye internal yang bersifat edukasional dan motivasional untuk memperkuat keterkaitan antara departemen pemasaran, operasi dan sumber daya manusia.

• Memastikan bahwa standar pelayanan yang konsisten diberlakukan di semua lokasi penyedia pelayanan.

• Memastikan bahwa isi iklan dan sosialisasi mencerminkan secara akurat kharakteristik – kharakteristik pelayanan yang paling penting bagi pelanggan dalam interaksinya.

• Mengelola haparan pelanggan dengan cara menginformasikan kepada mereka apa saja yang mungkin dan tidak mungkin mereka terima, serta yang paling penting, disertai alasannya.

• Mengidentifikasi dan menjelaskan faktor – faktor di luar kendali organisasi dalam segala kekurangan.

• Menawarkan berbagai tingkat pelayanan dengan harga yang berbeda kepada para pelanggan, serta menjelaskan perbedaan di

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

antara macam – macam tingkat pelayanan tersebut.

2.5 Determinan Ekspektasi Jasa (1988 – 1990)

Hasil yang dicapai pada penyempurnaan model SERVQUAL ini adalah

pengembangan konsep zone of tolerance, yaitu area antara adequate service level dan

desire serviced level. Sebagai contoh, jika kita menginginkan kecepatan waktu saat

pengisian BBM, dalam hal waktu tunggu Anda mungkin 3 menit. Akan tetapi rata – rata

kita tidak bersedia menunggu lebih dari 5 menit (adequate service level). Perbedaan

antara waktu tunggu 3 menit dan 5 menit itu yang dinamakan zone of tolerance.

2.6 Dampak SERVQUAL terhadap Minat Behavioral (1994 – 1996)

Mengkaji literatur yang berkembang saat itu seputar hubungan antara kualitas

pelayanan dan laba, dan menguji secara empiris beberapa hubungan antara minat

behavioral pelanggan (seperti loyalitas, perilaku beralih pemasok, ketersediaan

membayar harga premium, komplain ke pihak ketiga, dan komplain ke penyedia

pelayanan) dan kualitas pelayanan. Terdapat kerangka konseptual dampak behavioral dan

finansial kualitas jasa. Kualitas jasa superior (inferior) berkaitan dengan minat behavioral

yang favorable (unfavorable), sementara minat behavioral yang favorable (unfavorable)

berhubungan dengan retensi (defeksi ) pelanggan yang pada gilirannya mempengaruhi

konsekuensi finansial positif (negatif). Hal ini menyimpulkan bahwa penyempurnaan

kualitas jasa berdampak positif terhadap minat behavioral. Perusahaan yang berusaha

meningkatkan layanan, terutama melebihi tingkat jasa yang diinginkan (desire service)

harus benar – benar mempertimbangkan cost effectivenesse langkah tersebut karena

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

sebagian pelanggan mungkin saja tidak bersedia untuk membayar kualitas jasa yang

terlalu besar. Selain itu, pelanggan yang tidak memiliki masalah jasa akan memiliki skor

minat behavioral tertinggi, diikuti pelanggan yang mengalami masalah yang tidak

terpecahkan.

2.7 Sistem Informasi Kualitas Jasa (1996 – 1997)

Berry dan Parasuraman menekankan pentingnya pengukuran kualitas layanan

bagi setiap organisasi. Mereka merekomendasikan agar setiap organisasi menerapkan

informasi kualitas jasa yang bersifat dinamis, yaitu sistem yang mengukur kualitas jasa

dari berbagai perspektif dan berbagai sudut pandang. Sulit untuk menangkap semua

perubahan atau dinamika sistem penyampaian jasa dan dampaknya bagi pelanggan dan

organisasi. Oleh sebab itu, diuraikan berbagai ancangan riset yang bisa diguanakan untuk

mensurvei pelanggan perusahaan, pelanggan pesaing dan karyawan. Komponen utama

dari sistem informasi kualitas jasa yang efektif terdiri atas survei transaksional,

pengumpulan komplain, komentar, dan pertanyaan pelanggan, dan survei pasar total.

Tergantung pada tipe organisasi dan produk/pelayanan yang ditawarkan.

2.8 Ukuran SERVQUAL

Model SERVQUAL didasarkan pada asumsi bahwa konsumen membandingkan

kinerja pelayanan pada atribut – atribut relevan dengan standart ideal / sempurna untuk

masing – masing atribut jasa. Bila kinerja sesuai dengan atau melebihi standar, maka

persepsi atau kualitas jasa keseluruhan akan positif dan sebaliknya. Dengan kata lain,

model ini menganalisis gap antara dua variabel pokok, yakni jasa yang diharapkan

(expected service) dan jasa yang dipersepsikan (perceived service).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

Perancangan kualitas pelayanan dalam model SERVQUAL didasarkan pada skala

multi – item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, serta gap

diantara keduanya pada lima dimensi utama kualitas jasa (reliabilitas, daya tanggap,

jaminan, empati, bukti fisik).

Tabel 2.2

Dimensi dan Atribut Model SERVQUAL

NO DIMENSI ATRIBUT

1. Reliabilitas 1. Menyediakan jasa sesuai yang dijanjikan. 2. Dapat diandalkan dalam menangani masalah layanan

pelanggan. 3. Menyampaikan layanan sesuai dengan waktu yang

dijanjikan. 4. Menyampaikan layanan secara benar sejak pertama kali. 5. Menyimpan catatan/dokumen tanpa kesalahan.

2. Daya Tanggap 6. Menginformasikan pelanggan tentang kepastian waktu pelayanan.

7. Layanan yang segera/cepat bagi pelanggan. 8. Kesediaan untuk membantu pelanggan. 9. Kesiapan untuk merespons permintaan pelanggan.

3. Jaminan 10. Karyawan menumbuhkan rasa percaya kepada pelanggan.

11. Membuat pelanggan merasa aman sewaktu melakukan transaksi.

12. Karyawan yang secara konsisten bersikap sopan. 13. Karyaawan yang mampu menjawab pertanyaan

pelanggan. 4. Empati 14. Memberikan perhatian individual kepada pelanggan.

15. Karyawan yang memperlakukan pelanggan secara penuh perhatian.

16. Sungguh – sungguh mengutamakan kepentingan pelanggan.

17. Karyawan yang memahami kebutuhan pelanggan. 18. Waktu beroperasi (jam buka/jam kantor ) yang nyaman.

5. Bukti Fisik 19. Peralatan modern. 20. Fasilitas yang berdaya tarik visual. 21. Karyawan yang berpenampilan rapi dan professional. 22. Meteri – materi berkaitan dengan layanan yang berdaya

tarik visual.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

Defenisi, penjelasan serta pernyataan mengenai kelima dimensi SERVQUAL di atas

dikemukakan sebagai berikut :

1. Reliabilitas

Dimensi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan

secara akurat dan andal, dapat dipercaya, bertanggung jawab atas apa yang dijanjikan,

tidak pernah memberikan janji yang berlebihan dan selalu memenuhi janjinya. Secara

umum, defenisi reliabilitas merefleksikan konsistensi dan keandalan (hal yang dapat

dipercaya, dipertanggungjawabkan) dari kinerja perusahaan.

2. Daya tanggap

Dimensi ini mencakup keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan

pelayanan yang cepat dan tepat, selalu memperoleh defenisi yang tepat dan segera

mengenai pelanggan. Dimensi ketanggapan ini merefleksikan komitmen perusahaan

untuk memberikan pelayanannya tepat pada waktunya. Dimensi ini berkaitan dengan

keinginan atau kesiapan pekerja untuk melayani.

3. Jaminan

Dimensi ini terdiri dari empat hal berikut ini :

a. Competency. Hal ini mencakup kepemilikan keteraampilan

b. Courtesy. Hal ini mencakup kesopanan, rasa hormat, perhatian dan keramahan

pelayanan.

c. Credibility. Hal ini mencakup kepercayaan terhadap dan kejujuran dari si

pemberi layanan.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

d. Security. Hal ini mencakup kebebasan dari bahaya, resiko, atau keragu –

raguan.

Dimensi ini mencakup pengetahuan dan kesopanan pekerja serta kemampuannya

untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan. Dimensi ini merefleksikan

kompetensi perusahaan, keramahan (kesopan – santunan) kepada pelanggan, dan

keamanan operasinya. Kompetensi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan

dalam memberikan jasa / pelayanan. Keramahan mengacu pada bagaimana pekerja

perusahaan berinteraksi dengan pelanggannya dan kepemilikan pelanggan. Keamanan

merefleksikan perasaan pelanggan bahwa ia bebas dari bahaya, resiko, dan keragu –

raguan.

4. Empati

Dimensi ini terdiri dari tiga hal berikut ini :

a. Accessibility. Hal ini mencakup kemudahan untuk mendekati dan

menghubungi.

b. Communication skills. Hal ini mencakup pemberian informasi kepada

pelanggan dengan bahasa yang dapat dimengerti, dan mendengarkan

tanggapan dan pertanyaan pelanggan.

c. Understanding the customer. Hal ini mencakup perlunya usaha untuk

mengetahui pelanggan dan kebutuhan khususnya.

Dimensi ini menunjukkan derajat perhatian yang diberikan kepada setiap

pelanggan. Dimensi ini juga merefleksikan kemampuan pekerja untuk menyelami

perasaan pelanggan sebagaimana jika pekerja itu sendiri mengalaminya.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

5. Bukti Fisik

Dimensi ini mencakup kondisi fisik fasilitas, peralatan, serta penampilan pekerja.

Karena jasa tidak dapat diamati secara langsung, maka pelanggan sering kali berpedoman

pada kondisi yang terlihat mengenai jasa dalam melakukan evaluasi. Kenyataan yang

berkaitan dengan perusahaan itu mencakup obyek yang sangat bervariasi seperti

pencahayaan, warna dinding, penampilan pekerja, keramahan pekerja dan sebagainya.

Dimensi ini terdiri dari dimensi yang berkaitan dengan peralatan dan fasilitas yang

digunakan serta personel dan materi komunikasi yang digunakan.

2.9 Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan untuk mengukur dan memantau

kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing. Kotler, et al (2004) mendidentifikasi

empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu sistem keluhan dan saran,

ghost shopping, last customers analysis, dan survei kepuasan pelanggan.

1. Sistem Keluhan dan Saran

Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan perlu menyediakan tempat

serta akses yang mudah dan nyaman bagi pelanggannya guna menyampaikan saran,

kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran

yang diletakkan di tempat – tempat strategis (yang mudah dijangkau atau dilewati

pelanggan), kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, websites, dan

sebagainya. Informasi – informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan

ide – ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

memungkinkannya untuk bereaksi secara tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah

yang timbul.

Berdasarkan kharakteristiknya. Metode ini bersifat pasif, karena perusahaan

menunggu inisiatif pelanggan untuk menyampaikan keluhan atau pendapat. Oleh

karenanya sulit mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai kepuasan dan

ketidakpuasan pelanggan melalui cara ini semata. Tidak semua pelanggan yang tidak

puas akan menyampaikan keluhannya. Bisa saja mereka langsung beralih pemasok atau

ke produk pesaing dan tidak akan membeli produk perusahaan itu lagi.

2. Ghost Shopping

Salah satu cara memperoleh kepuasan pelanggan adalah dengan memperkerjakan

beberpa orang ghost shoppers untuk berperan atau berpura – pura sebagai pelanggan

potensial produk perusahaan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf

penyedia jasa dan menggunakan produk dan merasakan pelayanan perusahaan.

Berdasarkan pengalamannya tersebut, mereka kemudian diminta melaporkan temuan –

temuannya berkenaan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing.

Biasanya para ghost shopper diminta mengamati secara seksama dan menilai cara

perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab

pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan pelanggan. Bilamana

memungkinkan, ada baiknya pula bila manajer perusahaan terjun langsung menjadi ghost

shopper untuk mengetahui bagaimana karyawannya berinteraksi dan memperlakukan

pelanggannya. Tentunya karyawannya tidak boleh tahu atasannya sedang melakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

penilaian atau penelitian. Bila karyawan tahu bahwa dirinya sedang dinilai, tentu saja

perilakunya akan menjadi “manis” dan hasil penilaian akan bias.

3. Lost Cusyomer Analysis

Sedapat mungkin, seyogyanya perusahaan menghubungi para pelanggan yang

telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa

hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan

selanjutnya. Bukan hanya exit interview saja yang perlu dilakukan, tetapi pemantauan

customer loss rate juga penting, dimana peningkatan customer loss rate menunjukkan

kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya.

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Survei adalah metode yang luas, informasi dikumpulkan melalui daftar kuesioner

yang telah terstruktur sedemikian rupa. Survei mewakili banyak orang, oleh karena itu

survei melibatkan banyak responden. Karena data yng dikumpulkan dari banyak orang,

maka dipakai konsep – konsep statistik seperti pengambilan statistik atau analisis

kuantitatif. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan metode kualitatif seperti wawancara

yang cenderung menggunakan lebih sedikit partisipasi dan menerapkan analisis kualitatif.

2.10 Dimensi Kualitas Barang

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

Selain dimensi yang berkaitan dengan kualitas jasa, kita juga dapat menemukan

dimensi kualitas yang berkaitan dengan barang, misalnya mengemukakan beberapa

dimensi berikut ini mengenai kualitas suatu barang.

1. Performance, yaitu kepuasan atau kharakteristik utaman beroperasinya produk.

2. Features, yaitu kharakteristik sekunder yang melengkapi fungsi dasar produk.

3. Reliability, yaitu kemungkinan produk gagal atau tidak berfungsi selama satu

periode tertentu.

4. Conformance, yaitu seberapa dekat kesesuaian antara desain, dan spesifikasi

produk sebagaimana spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya atau harapan

pelanggan.

5. Durability, yaitu jumlah manfaat yang diperoleh dari produk sebelum produk itu

secara fisik menjadi lebih buruk atau tak terpakai.

6. Serviceability, yaitu kecepatan , keramahan, kompetensi, dan kemudahan

direparasi.

7. Aesthetics, yaitu unsure penilaian subjektif pribadi mengenai bagaimana suatu

produk terlihat.

8. Reputation, yaitu citra dan reputasi umum perusahaan.

2.11 Harapan atau Ekspektasi Pelanggan

Dalam konteks kualitas produk, dan kepuasan pelanggan telah dicapai konsensus

bahwa harapan pelanggan memainkan peranan penting sebagai standar perbandingan

dalam mengevaluasi kualitas maupun kepuasan. Harapan / ekspektasi pelanggan

merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membelli suatu produk, yang

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

dijadikan standar acuan dalam menilai kinerja produk bersangkutan.kendati demikian,

konseptualisasi dan operasionalisasi pelanggan masih menyangkut isu kontroversial,

terutama menyangkut kharakteristik ekspektasi spesifik, jumlah standar yang digunakan,

dan sumber ekspektasi. Setiap konsumen mungkin aja memiliki beberapa ekspektasi pra

– konsumsi yang berbeda.

Berdasarkan kajian mendalam terhadap literatur kualitas pelayanan dan kepuasan

pelanggan, dapat diidentifikasikan defenisi ekspektasi pelanggan yang disusun dalam

sebuah hierarki ekspektasi, dari yang tertinggi hingga yang terendah:

1. Ideal expectation, yaitu tingkat kerja terbaik dan optimum atau terbaik yang

diharapkan dapat diterima konsumen. standar ideal identik dengan excellence

yakni standar sempurna yang membentu ekspektasi terbesar konsumen.

2. Normative expectation, yaitu tingkat kinerja yang dirasakan konsumen seharusnya

merka dapatkan dari produk yang dikonsumsi. Ekspektasi normatif lebih rendah

dibandingkan ekspektasi ideal, karena biasanya ekspektasi normatif dibentuk oleh

pemasok atau penyedia jasa. Tipe ekpektasi semacam ini ditumbuhkan melalui

sumber – sumber sosialisasi seperti iklan, atau pamflet. Karena ekspektasi

normatif terbentuk melalui janji – janji, maka konsumen menerapkan norma

bahwa pemasar harus memenuhi janjinya.

3. Desire expectation, yaitu tingkat kinerja yang diinginkan pelanggan dapat

diberikan produk atau jasa tertentu.dengan kata lain, metode ini mencerminkan

tingkat kinerja yang diinginkan atau diharapkan diterima pelanggan. Desire

performance merupakan perpaduan antara apa yang diyakini pelanggan dapat

(can be) dan seharusnya (should be) diterima.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

4. Tingkat kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen akan diterimanya,

berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. Tipe ekspektasi ini juga bisa

didefenisikan sebagai tingkat kinerja yang bakal atau mungkin terjadi pada

interaksi berikutnya antara pelanggan dan perusahaan. Standar ini dibentuk

berdasarkan pengalaman masa lalu dalam mengkonsumsi kategori produk atau

jasa tertentu dan persepsi konsumen terhadap kinerja produk tipikal. Pelanggan

mengandalkan standar yang mencerminkan kinerja seharusnya dari merek yang

dibelinya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginannya, namun

ekspektasi tersebut dibatasi tingkat kinerja yang diyakini pelanggan mungkin

direalisasikan pengalaman dengan merek – merek sebelumnya.

5. Evaluasi subyektif konsumen terhadap investasi produknya. Tipe ekspektasi ini

berkenaan dengan apa yang setidaknya harus terjadi pada interaksi berikutnya,

yakni layanan yang dinilai selayaknya didapatkan pelanggan. Ini berkaitan dengan

equity theory, yaitu teori yang menyatakan bahwa setiap individu akan

menganalisis rasio input dan hasil (outcome) yang diperolehnya dibandingkan

dengan rasio input dan hasil mitra pertukarannya. Input bisa berupa informasi,

usaha, dana, dan waktu yang dicurahkan untuk merealisasikan pertukaran,

sedangkan hasil mencakup manfaat dan kewajiban yang didapatkan dari

pertukaran, misalnya penghematan waktu, kinerja produk atau jasa, dan

kompensasi tertentu yang diterima. Apabila pelanggan mempersepsikan ada

ketidakadilan dalam transaksi pertukaran yang dilakukannya, maka ia cenderung

tidak puas, dan menilai kualitas yang diterimanya buruk.

Universitas Sumatera Utara