chapter ii (2)

24

Click here to load reader

Upload: kiyomasa-kato

Post on 19-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hrearheaeh

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II (2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sirosis Hati

Sirosis hati merupakan perjalanan patologi terakhir dari kerusakan hati

kronik akibat berbagai macam penyakit hati. Ada banyak keadaan yang akan

menyebabkan SH yang dapat kita lihat pada Tabel 2.1 (Choudhury, 2006).

SH sering tanpa gejala dengan prevalensi 4-10% dari pemeriksaan autopsi.

Jumlah pasien yang menderita SH di German diperkirakan sekitar 600.000 –

700.000 dengan kematian 25.000 pertahun (peringkat ke-9 penyebab kematian

dan ke-5 untuk kelompok usia 45-65 tahun) (Kuntz, 2008). Pada masyarakat

di Amerika Utara prevalensinya sekitar 3.6 per 1.000 (Choudhury, 2006),

Prevalensi SH di Indonesia dari beberapa laporan rumah sakit umum hanya

berdasarkan diagnosis klinis didapatkan prevalensi SH sekitar 3.5% (4.044

pasien) dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam (115.783

pasien) (Kusumobroto, 2007). Progesivitas kerusakan hati ini dapat

berlangsung dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun (Kuntz, 2008).

Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Choudhury, 2006)

1. Hepatitis C Kronis (26%)

2. Penyakit Alkoholik hati (21%)

3. Penyebab kriptogenik (18%)*

4. Hepatitis B ± Hepatitis D (15%)

5. Penyebab lain :

• Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol

• Hemokromatosis

• Penyakit Wilson

• Defisiensi α-1-antitripsin

• Hepatitis autoimun

• SH Bilier Primer

• SH Bilier Sekunder

• Kolangitis Sklerosing Primer

• Sindroma Budd-Chiari

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II (2)

• Akibat obat ( Metotreksat, amiodarone)

*bisa termasuk beberapa kasus dari Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol

WHO memberi batasan histologi SH sebagai proses kelainan hati yang

bersifat difus, ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk

nodul-nodul abnormal (Kusumobroto, 2007).

Pada pasien dengan kemungkinan SH perlu dilakukan 3 pendekatan yaitu:

1. Menegakkan diagnosis SH

Diagnosis kemungkinan SH dapat dibuat berdasar anamnesis, pemeriksaan

fisik atau pemeriksaan laboratorium rutin namun kebanyakan dari perubahan

klinis dan pemeriksaan laboratorium ini tidak spesifik. Diagnosis SH yang

paling akurat dalah biopsi hati namun tidak selalu perlu dilakukan pada semua

kasus tetapi dapat dengan dijumpainya gagal hati, komplikasi dari SH dan

hipertensi portal.

2. Menentukan penyebab SH

3. Evaluasi prognosis pasien. (Choudhury, 2006), (Dancygier, 2010)

Tabel 2.2 Gambaran Klinis dan Kelainan Laboratorium pada Sirosis Hati (Choudhury, 2006) Pemeriksaan Klinis Kelainan Laboratorium

- Spider angioma

- Palmar eritema

- Kontraktur Dupuytren

- Muehrcke’s dan Terry’s nail

- Ginekomasti

- Hilangnya rambut aksial dan pubis

- Atrofi testikular

- Asites

- Hepatomegali

- Splenomegali

- Kaput medusa

- Fetor hepaticus

- Asterexis

- Cruveilhier Baumgarten

- Hiperbilirubin

- Peningkatan aminotransferase

- Peningkatan alkali fosfat

- Hipoalbumin

- Profil kelainan koagulasi

- Trombositopenia

- Peningkatan A-glutamil

transpeptidase

- Hiperglobinemia

- Hiponatremia

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II (2)

2.2. Prognosis Sirosis Hati

Model prognosis sangat berguna untuk memperkirakan keparahan

penyakit, dan harapan hidup dan hal ini dipakai untuk membuat keputusan

mengenai terapi spesifik. Sejumlah besar penyakit-penyakit kronis, termasuk SH,

membutuhkan suatu alat untuk memprediksi hasil akhir. SH termasuk kelompok

dengan kondisi berat yang mana pada prinsipnya harapan hidup merupakan hasil

akhir. Pasien SH kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama bila tidak

berkembang menjadi dekompesata. Pasien SH kompensata memiliki harapan

hidup 10 tahun sekitar 45 sampai 50%. Kompensasi jangka panjang bisa

dipertahankan sekitar 40-45% dari kasus. Pada pasien terkompensasi akan terjadi

komplikasi berat sekitar 55-60% dan dekompensasi terjadi 45-50% dari kasus.

Angka harapan hidup rerata SH kompensata 8.9 tahun sementara itu SH

dekompensata hanya 1.6 tahun. Prognosis pasien SH tergantung pada 2 hal yaitu:

tingkat keparahan dari gagal hati dan adanya komplikasi dari SH. Skor prognosis

pada SH bukan hanya untuk memperkirakan kemungkinan kematian pada jangka

waktu yang ditentukan akan tetapi juga menggambarkan perkiraan kuantitatif dari

sisa fungsi hati dan kemampuan untuk bertahan dengan pembedahan atau terapi

intervensi agresif lainnya. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), (Dancygier,

2010).

Gambar 2. 1 Harapan hidup pasien SH dekompensata dan kompensata

(Dancygier, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II (2)

2.2.1 Skor Prognosis Child Pugh

Konsep Dasar

Skor Child yang pertama skor Child-Turcotte melibatkan 5 variabel

(bilirubin, albumin, asites, ensefalopati dan status nutrisi) dikategorikan menjadi 3

grup dengan tingkatan keparahan penyakit (Tabel 2.3) (Guha, 2007), (Durand

dkk, 2005).

Tabel 2.3 Skor Child Turcotte (Guha, 2007) Variabel A B C

Bilirubin serum (mg/100ml)

Albumin serum (gr/100ml)

Asites

Gangguan neurologi

Nutrisi

< 2.0

>3.5

-

-

Sangat baik

2.0-3.0

3.0-3.5

Mudah dikontrol

Minimal

Baik

>3.0

<3.0

Sulit dikontrol

Berat, koma

Buruk

Skor Child-Turcotte dimodifikasi 10 tahun kemudian dengan skor Child

Pugh (Tabel 2.4) dengan menggantikan status nutrisi dengan waktu protrombin

atau Internasional Normalized Ratio (INR) dan juga nilai terendah albumin dari

3.0 menjadi 2.8 gr/dl. Variabel dari Child Pugh menggambarkan fungsi hati dalam

hal sintesis (albumin dan protrombin) dan ekskresi (bilirubin) (Durand dkk, 2005),

(Choudhury, 2006).

Tabel 2.4 Skor Child Pugh (Choudhury, 2006)

Parameter Nilai

1

Nilai

2

Nilai

3

Asites

Bilirubin, mg/dL

Albumin, gr/dL

Protrombin time

- Memanjang (detik)

- INR

Ensefalopati

(-)

<2

>3.5

1-3

<1.7

(-)

Ringan

2-3

2.8-3.5

4-6

1.8-2.3

Derajat I-II

Sedang

>3

<2.8

>6

>2.3

Derajat III-IV

Child A skor : 5-6, Child B skor : 7-9, Child C skor :10-15 Catatan : harapan hidup 2 tahun : Child A (85%), Child B (60%) dan Child C (35%)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II (2)

Nilai prognosis dari Skor Child Pugh telah ditunjukkan pada banyak

kondisi yang melibatkan SH lebih dari 30 tahun. Analisis multivariat yang

mengunakan skor Child Pugh telah menunjukkan bahwa skor Child Pugh

memiliki nilai prognosis independen pada keadaan asites, ruptur varises esofagus,

ensefalopati subklinis, karsinoma hepatoseluler, pembedahan hati, SH alkoholik,

SH dekompensata yang berhubungan dengan virus Hepatitis C, kolangitis

sklerosis primer dan sindrom Budd-Chiari.

Aplikasi

Penggunaan skor Child Pugh terutama untuk mengklassifikasikan atau

memilih pasien untuk analisa prognosis, untuk penilaian retrospektif dari

pemberian terapi atau untuk randomized control trial (RCT). Skor Child Pugh

secara klinis digunakan secara luas sebagai deskripsi sederhana atau indikator

prognosis dan sering berhubungan dengan indikator lain.

Keterbatasan

Keterbatasan pertama dari Child Pugh berhubungan dengan fakta bahwa 5

komponen dasar dari Skor Child Pugh telah dipilih secara empirik. Variabel-

variabelnya tidak semua memiliki pengaruh independen, seperti albumin dan

faktor koagulasi keduanya disintesis di hati dan keduanya sangat kuat saling

berhubungan. Keterbatasan kedua mengenai nilai ambang batas dari variabel

kuantitas yang belum ada bukti batasan tersebut berhubungan dengan mortalitas.

Keterbatasan ketiga bahwa kekuatan yang sama dari tiap variabel yang bisa

menjadikan penilaian yang berlebihan atau sebaliknya terabaikan dampak

sebenarnya variabel tersebut. Keterbatasan keempat adalah karena pada

kenyataannya faktor prognosis yang penting tidak diperhitungkan seperti adanya

keterlibatan fungsi ginjal dan hipertensi portal. Terakhir Child Pugh tidak

memperhitungkan penyebab SH, kemungkinan koeksistensi beberapa faktor dan

proses kerusakan yang menetap seperti penyalahgunaan alkohol, replikasi virus

Hepatitis B atau Hepatitis C yang sedang berlangsung atau aktivitas peradangan

dari hepatitis autoimun (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II (2)

2.2.2 Skor Prognosis Model of Endstage Liver Disease (MELD)

Konsep dasar

Persoalan yang kompleks dari indikasi optimal untuk transplantasi dan

prioritas dari pemilihan transplantasi hati telah menjadi pendorong dari

perkembangan dan perluasan dari skor MELD. Skor MELD awalnya dibuat

dengan tujuan untuk memprediksi harapan hidup setelah dilakukan Transjugular

intrahepatic porto-systemic (TIPS) yang keadaannya bisa berbeda dari yang

kandidat transplantasi. Skor MELD terdiri dari 4 variabel objektif yang memiliki

pengaruh signifikan dan independen terhadap harapan hidup yaitu bilirubin,

kreatinin, INR dan penyebab dari SH (alkoholik dan kolestatis dibandingkan

penyebab lain) (Tabel 2.5). Secara statistik kuantitas dari nilai variabel dan

kekuatan tiap variabel ditransformasikan dan akhirnya didapatkan skor MELD :

R=0. Namun skor ini tidak bisa secara langsung menentukan harapan hidup pasien

walaupun nilai bilirubin, kreatinin dan INR telah didapatkan dalam klinis. Selama

bertahun-tahun penempatan dari transplantasi hati berdasarkan waktu menunggu

namun berdasarkan penelitian yang penting hal ini tidak sesuai sehingga

dibutuhkan kriteria lain yang efisien dan adil dalam penempatan organ. Penelitian

selanjutnya dengan sedikit modifikasi skor MELD (diuji pada populasi pasien SH

berbeda). Penelitian ini menunjukkan bahwa skor MELD adekuat memprediksi

mortalitas di rumah sakit sama baiknya dengan pasien rawat jalan.

Validitas

Variabel skor MELD telah dipilih dari populasi yang ditentukan dan telah

divalidasi kemudian di sampel independen. Penelitian telah mengkonfirmasi

bahwa MELD adalah skor resiko kuat pada pasien yang akan menjalani TIPS

dengan statistik c untuk 1 tahun harapan hidup sekitar 0.70. Skor MELD telah

diuji pada kondisi gagal hati akut dan pengulangan segera transplantasi pada

kegagalan transplantasi.

Aplikasi

Skor MELD telah diaplikasikan dalam mengurutkan kandidat untuk

transplantasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II (2)

Keterbatasan

Skor MELD dan Child Pugh memiliki beberapa keterbatasan yang sama.

Keterbatasan pertama walaupun sudah menggunakan analisa multivariat namun

data dasarnya tetap secara empiris sehingga variabel yang penting belum

diperhitungkan dalam analisanya. Hal kedua adalah mengenai variabel pada

MELD, variabelnya bersifat objektif berlawanan dengan ensefalopati yang

dipengaruhi secara subjektif. Variabel nilai kreatinin dan bilirubin bisa berubah

dengan intervensi terapi (terutama diuretik), sepsis dan hemolisis. Pemilihan

variabel INR dibandingkan petanda koagulasi lain yang menjadi bahan

kontroversial karena beberapa pusat pelayanan tidak memakai INR pada pasien

SH. Keterbatasan lain skor MELD telah ditetapkan dari populasi yang menjadi

kandidat TIPS jadi walaupun MELD sudah terbukti sebagai skor prognosis yang

efisien dan kuat pada kandidat transplantasi namun mungkin skor ini secara

spesifik disesuaikan pada transplantasi hati belum lebih efektif pada kondisi lain.

Evaluasi prospektif dari skor MELD pada situasi yang berbeda atau perbedaan

intervensi terapeutik bisa menimbulkan nilai ambang batas yang berbeda,

membuat proses pengambilan keputusan yang lebih rumit jika dibandingkan

pemakaian secara universal kelompok-kelompok Child Pugh. Keterbatasan yang

prinsip dari skor MELD adalah membutuhkan komputerisasi dan memiliki

keterbatasan dalam praktek sehari-hari. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).

Tabel 2.5 Skor MELD (Kusumobroto, 2007)

Skor MELD : 3.8*log [bilirubin] + 11.2*log [INR] + 9.6* [kreatinin] + 6.4

Interval skor MELD = 6-40

Untuk menilai kandidat penerima donor transplantasi hati

2.2.3 Perbandingan Skor prognosis MELD dan Child-Pugh

Karakteristik dari prinsip skor MELD dan Child Pugh dapat kita lihat di Tabel 2.6

Tabel 2.6 Perbandingan Skor Child Pugh dan MELD (Durand dkk, 2005)

Komponen Child Pugh MELD

Jumlah variabel

Kuantitas variabel

Pemilihan variabel

5

3/5

Empirik

3

3/3

Statistik

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II (2)

Kekuatan variabel berdasarkan

pengaruhnya

Dampak “batas” dari kuantitas

Transformasi logaritma

Perlu komputerisasi

Variabel dipengaruhi penilain personal

Tipe skor

Tidak

Ada

Tidak

Tidak

Ya

diskret

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Kontinu

Dalam membuat keputusan dalam penanganan secara individu, kelebihan

MELD dibandingkan Child Pugh menjadi lebih sedikit terbukti karena perlunya

komputerisasi sementara itu Child Pugh lebih mudah dipakai. Hasil temuan yang

mengejutkan bahwa keakuratan MELD dalam memprediksi hasil akhir dari pasien

SH tidak selalu lebih baik dari skor Child Pugh (dan bisa lebih inferior) pada

Tabel 2.7 (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008),

Tabel 2.7 Perbandingan keakuratan Child dan MELD (Durand dkk, 2005) Penelitian Thn Populasi penelitian Pasien Hasil

Akhir

Mortal.

Statistic i

Child MELD

Kamath PS et al.

Angermayr B et al.

Schepke M et al.

Botta F et al.

Wiesner RH et al.

Degre D et al.

Said A et al.

2001

2002

2003

2003

2003

2004

2004

TIPS

TIPS

TIPS

SH

SH, Transplantasi hati

SH, Transplantasi hati

Penyakit hati kronis

282

475

162

129

3437

137

1611

3 bulan

1 bulan

3 bulan

1 tahun

1 bulan

3 bulan

1 tahun

1 tahun

3 bulan

3 bulan

3 tahun

0.84

0.78

0.7

0.66

0.71

0.67

0.74

0.69

0.76

0.72

0.83

0.87

0.73

0.72

0.66

0.72

0.73

0.73

0.67

0.83

0.70

0.79

Statistik indeks (i) menggambarkan karakteristik kurva ROC yang memetakan sensitivitas terhadap 1-spesifivitas. Validitas skor meningkat jika i mendekati 1.

2.3 Malnutrisi

Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakadekuatan nutrisi bisa berarti

kurang nutrisi ataupun berlebihan. Istilah malnutrisi umumnya dipakai untuk

menggambarkan suatu keadaan tidak adekuatnya protein, kalori atau keduanya

dan lebih tepatnya disebut KKP. KKP terjadi dengan jalur yang berbeda, yaitu

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II (2)

KKP primer dan sekunder. KKP primer disebabkan oleh tidak adekuatnya asupan

protein dan/atau kalori atau kadang-kadang karena rendahnya kualitas asupan

protein. KKP sekunder disebabkan oleh penyakit atau cedera. Penting mengetahui

komposisi tubuh dan jenis jaringan yang hilang atau berkurang dari penurunan

berat badan karena malnutrisi dalam menentukan pembagian patologis. Lean body

mass (LBM) tempat menghasilkan energi lebih dari 95% yang merupakan tempat

metabolisme terbesar yang mempertahankan hemostatis dan kompartemen inilah

yang paling penting dipertahankan. LBM bisa dibagi menjadi kompartemen

protein somatik dan viseral, sel darah dan tulang, dan lean mass ekstraseluler,

seperti plasma dan matriks tulang (Gambar 2.2). Penyakit atau cedera akan

meningkatkan kebutuhan kalori dan protein dan akhirnya berakibat pada

katabolisme protein yang tidak sebanding dengan sintesisnya. Hal ini akan

menyebabkan mobilisasi asam amino dari otot skelet akan digunakan sebagai

sumber kalori melalui glukoneogenesis dan asam amino ini juga diambil oleh hati

dan organ viseral lainnya. Keadaan ini menyebabkan pergeseran asam amino dari

kompartemen somatik ke viseral dan pada kondisi semistarvation atau total maka

jaringan adiposa menjadi sumber energi yang dominan. Oleh karena itu perubahan

metabolisme akibat cedera atau penyakit menimbulkan hilangnya proporsi massa

otot yang sebanding atau melebihi hilangnya fat mass (FM). Hilangnya LBM

awalnya terutama dari kompartemen protein somatik namun dengan menetapnya

stress maka akan melibatkan kompartemen protein visceral (Mason, 2010).

Malnutrisi kronik ditandai dengan penurunan progresif dari lean body mass = free

fat mass (FFM) atau sarkopenia dan FM. Penurunan berat badan dan BMI tidak

sensitif untuk mendeteksi hilangnya FFM sehingga penilaian komposisi tubuh

merupakan teknik yang bermanfaat dalam mengetahui status nutrisi. (Thibault dan

Pirchard, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II (2)

Gambar 2.2 Analisa komposisi tubuh pasien dewasa sehat (Mason,

2010)

Penilaian gizi adalah suatu proses yang digunakan untuk mengevaluasi

status nutrisi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan individu mana yang

sangat membutuhkan bantuan gizi. Penilaian status gizi terdiri dari 4 komponen :

riwayat nutrisi, penilaian fisik, pengukuran antropometri dan analisis

laboratorium. Riwayat nutrisi meliputi penurunan berat badan, asupan makanan,

adanya malabsorpsi, adanya defisiensi nutrien tertentu, dampak penyakit dengan

kebutuhan nutrisi dan status fungsional. Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya

status hidrasi, deplesi jaringan, fungsi otot dan defisiensi nutrien tertentu.

Pengukuran antropometrik merupakan pengukuran tubuh manusia dan yang

penting meliputi tinggi badan dan berat badan yang selanjutkan diukur BMI.

Pengukuran lipatan kulit memberikan suatu penilaian dari lemak tubuh yang

sering digunakan adalah lipatan kulit pada otot trisep lengan atas (triceps

skinfold/TSF). Lingkar otot lengan (arm muscle circumference/AMC)

menggambarkan massa otot . Hal ini ditentukan dengan mengukur lingkar lengan

(AC= arm circumference) dan TSF pada lengan atas. Untuk pemeriksaan

laboratorium bisa dengan kadar protein serum yaitu albumin (penurunan kadar

albumin serum sering pada penyakit hati dan nefrosis), transferin, prealbumin dan

retinol-binding protein (RBP), jumlah limfosit total, creatinin hight index (CHI)

dan keseimbangan nitrogen negatif, (Moore, 1997) (Mason, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II (2)

Tabel 2.8 Klassifikasi Status Nutrisi dengan BMI pada Dewasa (Mason, 2010)

Body Mass Index (kg/m2) Status Nutrisi

<16.0

16.0 – 16.9

17.0 – 18.4

18.5 – 24.9

25.0 – 29.9

30.0 – 34.9

35.0 – 39.9

≥ 40

Malnutrisi berat

Malnutrisi sedang

Malnutrisi ringan

Normal

Overweight

Obesitas kelas I

Obesitas kelas II

Obesitas kelas III

Tabel 2.9 Klassifikasi Stadium Malnutrisi (Yovita dkk, 2004)

2.4 Malnutrisi pada SH

Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui

produksi asam empedu dan fungsinya sebagai perantara metabolisme protein,

karbohidrat, lemak dan vitamin sehingga penderita panyakit hati sangat mungkin

terjadi gangguan metabolisme zat makanan dengan segala akibatnya (Setiawan,

2007) (Balbino dan Silva, 2012). Istilah malnutrisi dan metode pengukuran pada

SH belum jelas dan tidak ada definisi standar tentang istilah ini. Malnutrisi pada

SH terutama ditandai dengan penurunan protein viseral (kadar albumin serum

yang lebih rendah) maupun defisiensi protein somatik yang bermanifestasi

sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan disertai kelemahan otot

dan gangguan kualitas hidup. Sarkopenia atau hilangnya massa otot, penurunan

massa lemak dan kurangnya kedua hal tersebut baik massa otot dan lemak atau

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II (2)

kaheksia telah dilaporkan pada pasien SH. (Dasarathy dkk, 2011) (Norman dan

Pirlich, 2010).

Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang

penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap

komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari

malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas

dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan

nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup,

mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati.

(Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).

Gambar 2.3 Malnutrisi sebagai prediktif dari harapan hidup pasien SH.

Angka harapan hidup dengan MMC dibawah persentil ke 5 (kelompok 1), ke 10

(kelompok 2), dan ke 75 (kelompok 3) dan di atas persentil ke-75 (kelompok 4).

P>.001 pada 6, 12 dan 24 bulan antara pasien dengan malnutrisi berat dan sedang

(kelompok 1 dan 2) dan mereka yang normal dan nutrisi berlebih (kelompok 3

dan 4)

. (O’Brien dan Williams, 2008)

2.4.1 Prevalensi Malnutrisi pada SH

Malnutrisi hampir didapati pada keseluruhan penyakit hati stadium akhir.

Awalnya penelitian malnutrisi pada penyakit hati kronik lebih difokuskan pada

pasien SH alkoholik namun ternyata prevalensi KKP meningkat semua bentuk SH

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II (2)

(Gambar 2.4). Pada penyakit hati alkoholik, prevalensi KKP bisa sampai 80%

tergantung dari tingkat keparahan penyakit namun insidensi dan tingkatan KKP

ternyata sangat sama pada pasien penyakit hati kronik dengan alkoholik maupun

bukan alkoholik. Prevalensi malnutrisi pada pasien yang menunggu transplantasi

hati hampir 100%, pada pasien SH sekitar 80% dan bahkan pada beberapa uji

klinis pada pasien dengan kategori Child Pugh A didapatkan prevalensi malnutrisi

mencapai 25%. KKP jarang dijumpai pada pasien stadium sebelum SH dari

penyakit hati kecuali pada keadaan obstruksi biliar ektrahepatik. Pada satu

penelitian dilaporkan adanya malnutrisi pada pasien SH kompensata Child Pugh

A sekitar 20% dan 50-60% pada pasien dekompensata Child Pugh C. Perbedaan

laporan prevalensi dipengaruhi oleh bagaimana dilakukannya pemeriksaan status

nutrisi (Matos dkk, 2002) (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).

Gambar 2.4 : Prevalensi KKP pada SH alkoholik dan bukan alkoholik (McCullough,2006) 2.4.2 Etiologi Malnutrisi pada SH

Ada banyak alasan potensial kenapa malnutrisi terjadi pada penyakit hati

tahap lanjut, namun yang paling penting adalah asupan diet yang kurang (Matos

dkk, 2002).

Faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi pada penyakit hati :

a. Gangguan pencernaan: Asupan nutrisi kurang adekuat sering terjadi akibat

gangguan pencernaan itu sendiri atau adanya pembatasan asupan makanan

selama dirawat di rumah sakit. Gejala gangguan pencernaan pada pasien SH

antara lain anoreksia, mual, muntah dan rasa cepat kenyang (perut penuh).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II (2)

b. Pembatasan asupan garam dan makanan: pasien SH dengan asites biasanya

diberikan diit rendah garam yang tentu akan mengurangi selera makan

penderita. Asupan protein juga sering dibatasi pada pasien dengan ensefalopati

atau sindrom hepatorenal yang tentunya juga dapat menyebabkan terjadinya

malnutrisi.

c. Perubahan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein: perubahan utama

adalah terjadinya hipermetabolisme dengan akibat peningkatan keluaran

energi dan peningkatan stress.

d. Perubahan metabolisme karbohidrat: hati mengatur metabolisme karbohidrat

dengan cara pembuatan, penyimpanan dan pemecahan kembali glikogen. Hati

berperan mengupayakan agar kadar glukosa darah dalam keadaan normal dan

jika glukosa kurang maka hati akan memecah glikogen. Cadangan glikogen

berkurang maka terjadi proses glukoneogenesis dengan bahan asam amino

sehingga terjadi pemecahan protein dan menyebabkan malnutrisi.

e. Perubahan metabolisme lemak: pada SH sintesis dan eskresi asam empedu

menurun dengan akibat akan terjadinya asupan lemak menurun dan terjadi

mobilisasi cadangan lemak dan menyebabkan malnutrisi.

f. Perubahan metabolisme protein: gangguan metabolisme protein merupakan

kelanjutan dari asupan bahan energi yang kurang, glukoneogenesis dan

lipolisis yang berlebihan dengan akibat pemakaian cadangan protein yang

berlebihan. Hal ini menyebabkan degradasi protein otot sehingga asam amino

glukogenik terutama asam amino rantai cabang dilepaskan selanjutnya dengan

proses tranaminasi terbentuk alanin. Alanin ini yang akan menghasilkan

glukosa sebagai sumber energi (Setiawan, 2007).

Tabel 2.10 Etiologi Malnutrisi pada Sirosis Hati (McCullogh, 2006)

Faktor Etiologi dari Malnutrisi pada SH Pasien rawat jalan

Diet yang tidak adekuat Kuantitas Iatrogenik (Pembatasan protein, restriksi cairan/garam)

Malabsorpsi Defisiensi garam empedu dan pankreas

Anoreksia, mual dan muntah

Efek dari toksisitas alkohol

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II (2)

Perubahan metabolisme protein dan kalori

Oksidasi asam amino Percepatan oksidasi lemak dan glukoneogenesis Peningkatan pemecahan protein Penurunan sintesis protein

Pasien rawat inap

Keadaan puasa Tes diagnostik Perdarahan saluran cerna Perubahan status neurologi

Sterilisasi dan toksisitas neomisin

Diet yang tidak enak Komplikasi pemberat

2.4.3 Dampak Malnutrisi pada pasien SH

Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa malnutrisi pada

SH mempengaruhi harapan hidup, kualitas hidup dan terjadinya komplikasi pada

SH (Periyalwar dan Dasarathy, 2012).

Dampak malnutrisi terhadap harapan hidup

Dampak malnutrisi pada harapan hidup pasien SH telah diteliti pada 13 penelitian

(Muller dkk, 1992; Deschenes dkk, 1997; Selberg dkk, 1997; Bathgate dkk, 1999;

Le Cornu dkk, 2000; Alvares-da-Silva & Reverbel da, 2005; Shahid dkk, 2005;

Bilboa dkk, de Carvalho dkk, 2010; Englesbe dkk, 2010; Fiqueredo dkk, 2010;

Merli dkk, 2010; Montano-Loza, 2011) dengan keseluruhan sampel 1187 pasien

didapatkan prevalensi malnutrisi sebelum transplantasi sekitar 9.4%-69.0%.

Malnutrisi meningkatkan morbiditas dan mortalitas, termasuk penolakan segera

setelah transplantasi dan lama rawatan intensif lebih lama. Secara statistik

dijumpai hubungan bermakna antara tingkat keparahan malnutrisi dan mortalitas.

(Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak malnutrisi dengan transplantasi baru-

baru ini juga mendapatkan bahwa status nutrisi yang buruk merupakan masalah

yang umum dihadapi oleh pasien yang menunggu transplantasi hati dan

merupakan faktor risiko untuk morbiditas dan mortalitas setelah transplantasi.

Keadaan nutrisi akan memburuk secara cepat selama periode setelah operasi

karena stress dari prosedur bedah, terapi imunosupressif dan pada beberapa pasien

dengan disfungsi hati atau ginjal atau dengan sepsis (Gero dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II (2)

Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup

Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup telah diteliti pada 7 penelitian

(Arguedas dkk, 2003; Poon dkk, 2004; Poupon dkk, 2004; Kalaitzakis 2006;

Norman dkk, 2006; Les dkk, 2010; Wunsch dkk, 2011) dengan jumlah sampel

1104 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi19%-59%. Pasien dengan malnutrisi

secara statistik meningkatkan gejala gastrointestinal dan menurunkan kualitas

hidup dengan kuisioner Chronic Liver Disease Questionnaire (CLQD), Short

Form (SF)-36 dan Notthingham Health Profile (NHP) (Periyalwar dan Dasarathy,

2012).

Dampak Malnutrisi dengan komplikasi klinis SH

Komplikasi utama yang dikenal mengancam jiwa pada SH yang meliputi asites,

spontaneous bakteri peritonitis, hipertensi portal dan perdarahan gastrointestinal,

hepatik ensefalopati dan sindrom hepatorenal dan semua ini dipengaruhi oleh

malnutrisi. Namun hanya sedikit penelitian secara sistematis mengevaluasi

dampak malnutrisi terhadap terjadinya dan pemberatan komplikasi.

Dampak

malnutrisi terhadap komplikasi SH telah diteliti pada 7 penelitian ( Asites oleh

Campillo dkk, 2003; Semua komplikasi oleh Alvares-da-Silva & Reverbel da,

2005; HE oleh Kalaitzakis dkk, 2007; Hipertensi Portal oleh Sam & Nguyen,

2009; Hipertensi Portal oleh Montomoli dkk, 2010; SBP oleh Merli dkk, 2010;

HE oleh Ndraha dkk, 2011; Semua komplikasi oleh Hulsman dkk, 2011) dengan

sampel 751 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi 6.1%-67.0%. Komplikasi SH

yaitu asites, SBP, hipertensi portal, sindrom hepatorenal dan HE secara statistik

signifikan meningkat pada malnutrisi (Periyalwar dan Dasarathy, 2012).

2.4.4 Penanganan Malnutrisi pada SH

Karakteristik utama dari malnutrisi pada SH adalah menurunnya protein

viseral (kadar albumin serum rendah) sejalan dengan defisiensi protein somatik

yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan akan

disertai dengan kelemahan otot dan penurunan kualitas hidup. Delapan penelitian

telah melaporkan perubahan komposisi tubuh setelah dilakukan TIPS terhadap

152 pasien yang dipantau 3-12 bulan didapatkan perbaikan dari FFM (Dasarathy

dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II (2)

Tabel 2.11 Penanganan Malnutrisi pada Penyakit Hati (McCullogh, 2006) Keadaan Klinis Protein

(g/kg/ hari)

Kalori (kcal/kg/hari)

%KH %Lemak Target Nutrisi

1. Hepatitis (akut atau kronik)

1.0-1.5 30-40 67-80 20-33 Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi

2. SH ( tanpa komplikasi)

1.0-1.2 30-40 67-80 20-33 Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi

3. SH ( dengan komplikasi)

a. Malnutrisi

1.2-1.8

40-50

72

28

Mengembalikan ke status nutrisi normal.

b. Kolestatis 1.0-1.5 30-40 73-80 20-27 Pencegahan malnutrisi Penanganan malabsorpsi lemak

c. Encefalopati Grade 1 atau 2

0.5-1.2

25-40

75

25

Mempertahankan kebutuhan nutrisi tanpa mencetuskan ensefalopati

Grade 3 atau 4 0.5 25-40 75 25

4.Transplantasi hati a. Sebelum

transplantasi

1.2-1.8

30-50

70-80

20-30

Mengembalikan ke status nutrisi normal.

b. Sesudah transplantasi

1.0 30-35 >70 ≤30 Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal

2.5 Pemeriksaan Status Nutrisi Pasien SH

Tujuan dari penilaian gizi adalah untuk mengidentifikasi KKP yang bisa

hampir tidak kelihatan namun sebagian besar kasus terdeteksi ketika penilaian gizi

yang sistematis dilakukan. Contoh malnutrisi kalori yang hampir tidak terlihat tapi

secara klinis signifikan ditemukan pada SH alkoholik Child Pugh A yang

biasanya muncul dengan gizi baik. Salah satu kriteria untuk menentukan status

kelas Child Pugh A adalah kadar albumin serum normal namun dengan whole-

body nitrogen telah menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari kelas A tersebut

individu memiliki kurang dari 80% protein tubuh total yang merupakan ambang

batas yang jika dibawahnya meningkatkan morbiditas terkait malnutrisi. Penilaian

status nutrisi dengan kadar albumin memiliki keterbatasan karena biasanya

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II (2)

memang menurun pada penyakit hati lanjut dan berfluktuasi selama terjadi

peradangan (Mason, 2010 ) (Balbino dan Silva, 2012).

Pada stadium awal penyakit hati parameter-parameter pengukuran nutrisi

objektif yang biasa dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi. Namun jika

dijumpai tanda dari penyakit hati stadium akhir maka parameter objektif tidak

selalu sahih. Pada satu penelitian yang mencari hubungan antara pengukuran

antropometri, kadar prealbumin dan transferin serum dalam mengevaluasi status

nutrisi pada 30 pasien SH didapatkan adanya hubungan prealbumin dan transferin

dengan Child Pugh. Namun tidak dijumpai antara hubungan antara Child Pugh

dengan pengukuran antropometrik sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai dalam

menilai status nutrisi. Beberapa pemeriksaan yang lebih spesifik bisa dilakukan

dengan menilai komposisi tubuh adalah dual energy X-ray absorptiometry

(DEXA), Deuterium Oxide dilution in vivo neutron activation analysis (IVNAA)

dan bioelectrical impedance analysis. BIA dibandingkan DEXA dan IVNAA

lebih sederhana, tidak invasif, tidak mahal dan metode yang cepat menilai body

cell mass (BCM). BIA telah menunjukkan sebagai alat yang sahih dalam menilai

KKP dengan mendeteksi penurunan BCM pada pasien SH terutama yang tanpa

asites dijumpai hubungan yang sangat baik dan sangat signifikan antara BCM

yang diukur dengan BIA dengan BCM yang diukur dengan kadar total kalium

(Pirlich dkk, 2000), (Yovita dkk, 2004) (Campillo, 2010).

2.6 Bioelectrical impedance analysis (BIA)

Penilaian komposisi tubuh adalah teknik yang bermanfaat untuk menilai

status gizi. Pertama penilaian ini bisa mengevaluasi status nutrisi melalui

pengukuran FFM dan kedua melalui pengukuran FFM dan phase angle dengan

BIA dapat menilai prognosa dan hasil akhir. Pengukuran parameter komposisi

tubuh seperti fat tissue mass, lean body mass (LBM), body cell mass (BCM), total

body water (TBW) dan extracellular water (ECW) dapat dengan DEXA yang

memberikan gambaran detil dan distribusi fat tissue mass, free fat mass (FFM)

dan bone mineral content namun DEXA biayanya mahal dan tidak bisa sering

diulangi karena radiasi. Oleh karena itu BIA yang relatif murah dan non invasif

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II (2)

telah dipakai dalam pengukuran TBW, ECW, FFM (Thibault dan Pichard, 2011),

(Jaffrin, 2009), (Lee dan Gallagher, 2000), (Kotler dkk, 1996).

Prinsip BIA

Metode ini berdasarkan kemampuan tubuh dari tubuh menghantarkan

listrik dan dengan BIA akan mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang

didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor

silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi

sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan

berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga

berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan

terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik

yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.

Resistance (R) dari materi konduksi yang homogen dari daerah penampangnya

adalah sebanding dengan panjangnya (L) dan berbanding terbalik dengan luas

penampangnya (A), (Gambar 3) (Balbino & Silva, 2012) (Kyle dkk, 2004).

Gambar 2.5 Prinsip BIA dari karakteristik fisik komposisi tubuh (Kyle dkk, 2004)

Tubuh memang bukan suatu silinder yang seragam dan konduktivitasnya

tidak seragam tetapi secara empiris hubungan ini dapat ditetapkan dengan hasil

bagi (Lenght2/R) dan volume air yang terdiri dari elektrolit sebagai penghantar

listrik dalam tubuh. Masalah yang lain tubuh memiliki dua tipe R yaitu

Capasitative R (reactance) dan Resistive R (biasa disebut Resistance). Resistance

merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intrasel dan

ekstrasel sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II (2)

dihasilkan oleh jaringan dan membran sel. Impedance adalah istilah dari

kombinasi Capasitanse dan Resistive (Gambar 4) (Kyle dkk, 2004), (Goswami

dkk, 2007).

Gambar 2.6 Pemasangan standar dari elektroda BIA di tangan dan kaki. (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007)

2.6.1 Parameter BIA dalam penentuan komposisi tubuh

Body Cell Mass (BCM)

BCM didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh, yang terutama

berisi kalium tubuh (98-99%). BCM pada hakekatnya merupakan massa dari

seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif

dari metabolism tubuh. Pada individu normal, pada jaringan otot terdiri dari

sekitar 60% BCM, jaringan organ sekitar 20% BCM, dan sisanya 20% terdapat

pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposit, tendon, tulang dan tulang

rawan. BCM merupakan kompartemen kaya protein yang dipengaruhi keadaan

katabolik dan kehilangan BCM berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Free Fat mass (FFM)

FFM adalah semua yang bukan lemak tubuh yang merupakan kombinasi

dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).

Fat Mass (FM)

Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass (FM)

sama dengan berat badan aktual dikurangi dengan Fat free Mass (FFM). Nilai

normalnya pengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II (2)

Resting Metabolic Rate (RMR)

Energi merupakan kebutuhan pokok bagi proses biologik. Tanpa energi,

proses dasar biologik bagi kehidupan tidak terjadi. Metabolisme terjadi melalui 2

fase yang berbeda: 1). Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan

energi dan disimpannya dalam ikatan atomnya. 2). Anabolisme, di mana bagian

komponen dan energi itu digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan

melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang

dibutuhkan setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup (Lukaski,1985),

(Kyle dkk, 2004).

Gambar 2.7 Skema diagram dari FFM, TBW, ICW, ECW dan BCM (Kyle dkk, 2004) Tabel 2. 12 Nilai rerata kompartemen komposisi tubuh (Thibault dan Pichard, 2012) Kompartemen seluruh tubuh

Kompartemen spesifik

Tingkat kompertemen

Persentase dari TBW

Nilai absolute

pada 70 kg FFM (termasuk TBW) FM

Protein Tubuh ICW ECW Jaringan Tulang ACM TBW Total FFM -

Molecular Selular Selular Jaringan Selular Molecular Seluruh tubuh -

13 36 24 7 49 60 80 20

9 25 17 5 34 42 56 14

ACM= active cell mass, ECW= extracellular water, ICW= intracellular water, TBW= total body water.

Phase angle

Dari keseluruhan dampak yang diperlihatkan tubuh terhadap perubahan

arus ada dua yaitu Resistance dan Reactance (Xc). FFM di tubuh manusia

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II (2)

mewakili resistance dan BCM sebagai reactance. Phase angle merupakan

metode pengukuran secara linier hubungan antara resistance dan reactance pada

rangkaian seri atau parallel. Phase angle = sudut (reactance/resistance). Nilai

phase angle dari 0-90’, 0’ jika sirkuit hanya resistive (sistem tanpa membrane sel)

dan 90’ jika sirkuit hanya capacitive (semua membrane tanpa cairan). Phase angle

45’ menggambarkan jumlah reactance dan resistance sama, nilai yang lebih

rendah menandakan reactance yang rendah dan kematian sel atau kerusakan

permebilitas membrane sel. Nilai phase angle yang normal pada pasien yang sehat

berbeda berdasarkan jenis kelamin dan ras (Tabel 2.13) (Kyle dkk, 2004).

Tabel 2.13 Data BIA pada 419 orang sehat di Malaysia (Wong, 2004)

2. 7 Manfaat Prognosis dari BIA

KKP berhubungan dengan prognosis buruk pada penyakit hati kronis dan

untuk mengetahui malnutrisi protein pada pasien SH diperlukan pengukuran yang

sahih. BIA merupakan pemeriksaan yang sensitif, aman dan tidak mahal yang

dapat menentukan status nutrisi dan dengan BIA dapat ditentukan BCM yang

dapat memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan yang tersedia lainnya

yang kurang akurat seperti antropometri atau pendekatan kreatinin. BIA telah

divalidasi untuk penilaian dari komposisi tubuh dan status nutrisi pada berbagai

populasi termasuk pasien kanker (Setiawan, 2007), (Balbino dan Silva, 2012),

(Pirlich dkk, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II (2)

Malnutrisi ditandai dengan perubahan integritas membran sel dan

perubahan pada keseimbangan cairan oleh karena itu pengukuran komposisi tubuh

merupakan komponen penting dari keseluruhan evaluasi nutrisi. BIA mengukur

komponen resistance dan capacitance tubuh yang mana akan menggambarkan

phase angle yang merefleksikan kontribusi dari cairan (resistance) dan membran

sel (capacitance) dari tubuh. Phase angle telah ditemukan sebagai faktor

prognosis pada beberapa keadaan klinis seperti infeksi HIV, SH, PPOK,

hemodialisis, sepsis dan kanker paru (Gupta dkk, 2004) (Balbino dan Silva,

2012). Phase angle merupakan indikator prognosis pada pasien dengan kanker

stadium lanjut seperti kolorekti lanjut. Pada pasien kanker paru non small sel

stage IIIB dan IV didapati phase angle BIA merupakan indikator prognosis

independen dan intervensi nutrisi memperbaiki phase angle bisa potensial

membawa perbaikan harapan hidup pasien (Silvana dkk, 2009),(Gupta dkk,

2009), (Gupta dkk, 2004). BIA phase angle juga merupakan indikator potensial

pada kanker kolorekti tahap lanjut dan bahkan pada pada kanker pankreas tahap

lanjut phase angle merupakan indikator prognosis yang kuat (Gupta,Lis, dkk,

2004), (Gupta dkk, 2008). Saat ini parameter-parameter BIA juga telah dipakai

pada pasien PPOK dan juga parameter phase angle distandarisasi sebagai faktor

prognosis harapan hidup pada pasien kanker. (Paiva dkk, 2011), (Walter-Kroker

dkk, 2011). Pada pasien SH satu penelitian yang melibatkan pasien sehat, pasien

yang dirawat di rumah sakit dan pasien dengan SH ditemukan pada pasien SH

dijumpai peranan prognosis dari phase angle jika phase angle <5.4 memiliki

harapan hidup secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan pasien lain, Gambar

2.8 (Selberg, 2002), (Schloerb, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II (2)

Tabel 2.14 Statistik dari Dampak Prognosis Phase angle (disadur Norman dkk, 2012) Populasi Penelitian

n Nilai ambang

batas

Dampak klinis pada pasien dengan nilai dibawah ambang batas

HIV 75 5.6 Penurunan harapan hidup: perkiraan parameter dengan test LR: -0.799, p<0.0001

HIV 469 5.3 Penurunan harapan hidup: 463 hari vs 670 hari, p<0.0001

Kanker Paru

63 4.5 Penurunan harapan hidup: OR=1.25, p=0.04 Stadium IIIB 3.7 vs 12.1 bulan, Stadium IV: 1.4 vs 5.0 bulan

Kanker Kolorekti

52 5.57 Penurunan harapan hidup: 8.6 vs 40.4 bulan, p=0.0001, peningkatan mortalitas RR:10.7(p=0.007)

Kanker Pankreas

58 5.08 Penurunan harapan hidup: 6.3 vs 10.2 bulan, p=0.02 Reduksi dari RR 0.75 tiap 1

Kanker Payudara

259 5.6 Penurunan harapan hidup: 23.1 vs 49.9 bulan, p=0.031, Reduksi dari RR 0.82 tiap 1

HD* 131 L: 4.5 P: 4.2

Penurunan 2 tahun harapan hidup, 59.3% vs 91.3% p<0.0, peningkatan mortalitas: RR:2.6, p<0.0001

HD* 3009 3.0 3.0-4.0

Peningkatan mortalitas: RR:2.2, p<0.05 Peningkatan mortalitas: RR:1.3, p<0.05

Peritoneal Dialisis

53 6.0 Penurunan harapan hidup 5 tahun (p=0.004); RR=0.536, p=0.01

SH 305 5.4 Penurunan harapan hidup 4.5 tahun, p<0.01 Geriatri 1071 3.5 Peningkatan 4x mortalitas di RS dari 20% HD = Hemodialisis

Gambar 2.8 Waktu harapan hidup pasien SH dikelompokkan dengan phase anglenya. (Selberg, 2002)

Universitas Sumatera Utara