cekungan sumatera

35
GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA UTARA Cekungan sumatera Utara secara tektonik terdiri dari berbagai elemen yang berupa tinggian, cekungan maupun peralihannya, dimana cekungan ini terjadi setelah berlangsungnya gerakan tektonik pada zaman Mesozoikum atau sebelum mulai berlangsungnya pengendapan sedimen tersier dalam cekungan sumatera utara. Tektonik yang terjadi pada akhir Tersier menghasilkan bentuk cekungan bulat memanjang dan berarah barat laut – tenggara. Proses sedimentasi yang terjadi selama Tersier secara umum dimulai dengan trangressi, kemudian disusul dengan regresi dan diikuti gerakan tektonik pada akhir Tersier. Pola struktur cekungan sumatera utara terlihat adanya perlipatan-perlipatan dan pergeseran-pergeseran yang berarah lebih kurang lebih barat laut – tenggara Sedimentasi dimulai dengan sub cekungan yang terisolasi berarah utara pada bagian bertopografi rendah dan palung yang tersesarkan. Pengendapan Tersier Bawah ditandai dengan adanya ketidak selarasan antara sedimen dengan batuan dasar yang berumur Pra-tersier, merupakan hasil trangressi, membentuk endapan berbutir kasar – halus, batulempung hitam, napal, batulempung gampingan dan serpih. Transgressi mencapai puncaknya pada Miosen Bawah, kemudian berhenti dan lingkungan berubah menjadi tenang ditandai dengan adanya endapan napal yang kaya akan fosil foraminifora planktonik dari formasi Peutu. Dibagian timur cekungan diendapkan formasi Belumai yang berkembang menjadi 2 facies yaitu klastik dan karbonat. Kondisi tenang terus berlangsung sampai Miosen tengah dengan pengendapan serpih dari formasi Baong. Setelah pengendapan laut mencapai maksimum, kemudian terjadi proses regresi yang mengendapkan sedimen klastik (formasi Keutapang, Seurula dan Julu Rayeuk) secara selaras diendapkan diatas Formasi Baong, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan Tufa Toba Alluvial. Proses tektonik cekungan tersebut telah membStratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara dengan urutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut : 1. Basement Pre-Tersier Terdiri dari dari batuan beku, batuan metamorf, karbonat dan dijumpai fosil Halobia yang berumur Trias terletak tidak selaras menyudut dibawah batuan sedimen diatasnya. 2. Formasi Parapat (Awal Oligosen)

Upload: mayang-bunga

Post on 25-Jul-2015

2.028 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: CEKUNGAN SUMATERA

GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA UTARACekungan sumatera Utara secara tektonik terdiri dari berbagai elemen yang berupa tinggian, cekungan maupun peralihannya, dimana cekungan ini terjadi setelah berlangsungnya gerakan tektonik pada zaman Mesozoikum atau sebelum mulai berlangsungnya pengendapan sedimen tersier dalam cekungan sumatera utara.Tektonik yang terjadi pada akhir Tersier menghasilkan bentuk cekungan bulat memanjang dan berarah barat laut – tenggara. Proses sedimentasi yang terjadi selama Tersier secara umum dimulai dengan trangressi, kemudian disusul dengan regresi dan diikuti gerakan tektonik pada akhir Tersier. Pola struktur cekungan sumatera utara terlihat adanya perlipatan-perlipatan dan pergeseran-pergeseran yang berarah lebih kurang lebih barat laut – tenggaraSedimentasi dimulai dengan sub cekungan yang terisolasi berarah utara pada bagian bertopografi rendah dan palung yang tersesarkan. Pengendapan Tersier Bawah ditandai dengan adanya ketidak selarasan antara sedimen dengan batuan dasar yang berumur Pra-tersier, merupakan hasil trangressi, membentuk endapan berbutir kasar – halus, batulempung hitam, napal, batulempung gampingan dan serpih.Transgressi mencapai puncaknya pada Miosen Bawah, kemudian berhenti dan lingkungan berubah menjadi tenang ditandai dengan adanya endapan napal yang kaya akan fosil foraminifora planktonik dari formasi Peutu. Dibagian timur cekungan diendapkan formasi Belumai yang berkembang menjadi 2 facies yaitu klastik dan karbonat. Kondisi tenang terus berlangsung sampai Miosen tengah dengan pengendapan serpih dari formasi Baong.Setelah pengendapan laut mencapai maksimum, kemudian terjadi proses regresi yang mengendapkan sedimen klastik (formasi Keutapang, Seurula dan Julu Rayeuk) secara selaras diendapkan diatas Formasi Baong, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan Tufa Toba Alluvial.Proses tektonik cekungan tersebut telah membStratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara dengan urutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :1. Basement Pre-Tersier Terdiri dari dari batuan beku, batuan metamorf, karbonat dan dijumpai fosil Halobia yang berumur Trias terletak tidak selaras menyudut dibawah batuan sedimen diatasnya.2. Formasi Parapat (Awal Oligosen)Terdiri dari batupasir kasar dan konglomeratan dibagian bawah seta diatasnya dijumpai sisipan serpih. Secara regional dibagian bawah diendapkan dalam lingkungan fluviatil dan bagian atas dalam lingkungan laut dangkal.3. Formasi Bampo (Akhir Oligosen)Terdiri dari serpih hitam tidak berlapis, berasosiasi dengan lapisan tipis batugamping dan batulempung karbonat, dimana formasi ini miskin fosil dan diendapkan dalam lingkungan reduksi.4. Formasi Belumai (Awal Miosen)Dibagian timur cekungan ini berkembang formasi belumai yang identik dengan formasi Peutu yang berkembang pada bagian barat dan tengah. Formasi belumai terdiri dari batupasir Glaukonitan berselingan dengan serpih dan batugamping. Didaerah Arun, bagian atas formasi ini berkembang lapisan

Page 2: CEKUNGAN SUMATERA

batugamping kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut dangkal sampai neritik.5. Formasi Baong (Miosen Tengah – Akhir Miosen bagian bawah) Penyusun utama formasi ini adalah batulempung abu-abu kehitaman, napalan, lanauan, pasiran dan pada umumnya kaya akan fosil Orbulina Sp dan Globigerina Sp, Kadang-kadang diselingi lapisan tipis batupasir. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut dalam.Formasi ini didaerah Aru dibagi menjadi 3 satuan :a. Bagian bawah didominasi oleh lanau dan batulempung dengan sisipan batupasir dan batugampingb. Bagian tengah (MBS) didominasi oleh batupasir glaukonitan dan lempung dengan sisipan lanau serta lapisan tipis batugamping. Pada anggota inin dikenal beberapa lapisan batupasir yang telah terbukti mengandung hidrokarbon, yaitu Sembilan sand dan besitang river sand (BRS).c. Bagian atas didominasi oleh lanau dan lempung dengan sisipan batupasir dan lapisan tipis batugamping.6. Formasi Keutapang (Akhir Miosen)Terdiri dari selang-seling antara batupasir berbutir halus – sedang, serpih, lempung dengan sisipan batugamping dan batubara. Dibagian Barat daerah Aru batupasirnya bertambah kearah atas, dibagian timur serpih lebih dominan. Formasi ini merupakan lapisan utama penghasil hidrokarbon dan merupakan awal terjadinya siklus regresi, diendapkan dalam lingkungan delta sampai laut dangkal.7. Formasi Seurula (Awal Pliosen)Terdiri dari batupasir, serpih dan lempung. Dibandingkan dengan formasi Keutapang, formasi seurula berbutir lebih kasar, banyak ditemukan fragmen-fragmen moluska yang menunjukkan endapan laut dangkal atau neritik.8. Formasi Julu Rayeu (Akhir Pliosen)Terdiri dari batupasir halus – kasar dan lempung, kadang-kadang mengandung mika dan fragmen molusca yang menunjukkan endapan laut dangkal – Neritik.9. Volkanik Toba (Kwarter)Terdiri dari Tufa hasil aktivitas volkanik toba, menutupi secara tidak selaras diatas formasi seurula.10. Endapan AluvialTerdiri dari kerakal, kerikil, pasir dan Batulempung.

Cekungan di Sumatera Tengah

RABU, APRIL 27, 2011

Diterbitkan oleh Ichwan DwiCekungan tidak begitu dalam sehingga tebal endapan juga tidak setebal di Sumatra Selatan (kurang dari 3.000 m). Karena itu pelipatan akibat compressing settling juga lemah. Daerah ini lebih dominan dengan patahan blok yang mubngkin juga disebabkan oleh gaya tarikan gravitasi/ tensional stress ke arah Lautan Hindia, sehingga Sumatera Timur mengalami patahan memanjang berbentuk sejumlah horst dan graben. Pegunungan tigapuluh yang posisinya di sumbu idiogeosinklinai nampaknya merupakan

Page 3: CEKUNGAN SUMATERA

pengangkatan bentuk dome pada era Mesozoikum akhir ketika daerah ini menjadi busur dalam dari orogene sumatera (batuannya batuan Pratersier). Pegunungan Tigapuluh ini mengalami pengangkatan lagi pada zaman Pliosen sebagai pengelompokan imigran seperti halnya di Pegunungan Meratus – Samarinda, Zone Bogor-Serayu Utara-Kendeng Ridge yang posisinnya disumbu geosinklin. Sebelah barat laut Pegunungan Tigapuluh merupakan daerah minyak di Sumatera Tengah dengan lapangan minyak terpenting: Di Cekungan Jambi: umumnya lapangan minyak sudah tua, tinggal sisa-sianya saja misalnya kenali asam dan tampino. Di cekungan Palembang Tengah ladang minyak Mangunjaya, Kluang, bakat Ukui dsb. Di Talang Akar –Pendopo: ladangn minyak Talang Akar-Pendopo, Limau, Air Benakat, talang Jimar. Dimuara Enim-Baturaja: umumnya sudah tua dan tidak menghasilkan lagi, antara lain ladang kampung minyak, Sungai Taham, Saban Jerigi. Minas (1944): kedalaman 800 m, produksinya telah melampaui 1 milyar barrel. Tergolong lapangan minyak raksasa didunia (Raksasa bila cadangan minyak > 500 juta barrel). Duri (1940): kedalaman 200 m, produksinya sudah lebih 100 juta barrel. Kota Batak (1952): belum lama berproduksi Lain-lain: Sago, Ukai, Lirik, Molek.Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan busur belakang (Back-Arc Basin) yang berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di barat daya Asia Tenggara. Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudera Hindia yang bergerak relatif ke arah utara (N 6o E) dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen.Geometri dari cekungan ini berbentuk asimetri dengan bagian terdalam berada di baratdaya dan melandai ke arah timur laut (Mertosono dan Nayoan, 1974). Produk lain yang dihasilkan oleh interaksi kedua lempeng tektonik ini adalah unit fisiografi parallel berarah NW berupa busur kepulauan sepanjang muka pantai barat daya Sumatra, cekungan muka busur Nias, busur volkanik Barisan, cekungan belakang busur dan zona sesar Sumatra (Great Sumatra Fault Zone) atau yang dikenal dengan sebutan Sesar Semangko.Struktur dengan arah barat laut (NW) dan kesatuan topografi merupakan fenomena pada Kenozoikum Akhir yang menghasilkan Busur Asahan dengan arah timur laut (NNE), Tinggian Lampung dan Tinggian Tigapuluh yang berarah timur-timur laut (ENE). Busur dan Tinggian ini bergabung secara efektif membagi daratan Sumatra menjadi Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah dan Cekunga Sumatra Selatan. Cekungan Sumatra Tengah bagian barat daya dibatasi oleh up-lift Bukit Barisan, bagian barat laut dibatasi oleh Busur Asahan, di sebelah tenggara dibatasi oleh Tinggian Tigapuluh dan pada timurlaut dibatasi oleh Kraton Sunda (Mertosono dan Nayoan, 1974). Basement Pra-Tersier pada Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari dua litologi utama, di sebelah barat adalah Greywacke Terrain yang merupakan bagian mikroplate Mergui dan di sebelah timur Quartzite Terrain dari mikroplate Malaka. Kedua Terrain ini dipisahkan oleh garis Kerumutan. Zona sentuh ini terdiri dari chert laut dalam, limestone, serpih mauve, dan basalt. Basement Pra-Tersier dicirikan dengan refleksi seismik yang baik, dimana akustik impedan sangat kontras dengan bagian bawah Pematang.Struktur lineamen Tersier tertua pada Cekungan Sumatra Tengah mempunyai arah barat laut-tenggara seperti pada tinggian Minas dan Duri dan berarah utara-selatan pada busur trough Pematang. Tektonik transtensional utama terjadi pada daratan Sunda selama waktu Eosen Awal dan bertanggung jawab pada trough Pematang, Kiri, Mandau, dan Bengkalis. Pada umumnya, Trough pada area ini adalah Half-Graben yang dibatasi oleh patahan normal.Lower Red Bed dari grup pematang berasosiasi dengan onset trough formasi dan terdiri dari konglomerat, batu pasir, batu lempung yang diendapkan sebagai alluvial fan yang mempunyai hubungan unconformable di atas basement. Lower Red Bed telah menunjukkan potensial sebagai reservoar hidrokarbon pada semua seting struktural/stratigrafi pada bagian trough. Karena cekungan terus

Page 4: CEKUNGAN SUMATERA

menurun, danau semakin dalam kemudian Brown Shale diendapkan selama Oligosen Tengah.Brown Shale yang terdiri dari serpih hitam hingga coklat tua adalah batuan induk utama hidrokarbon di Sumatra Tengah. Bentuk Lower Red Bed dan Brown Shale dibatasi terutama oleh trough Paleogen. Pada Oligosen Akhir, Upper Red Bed Pematang diendapkan pada lingkungan fluvio alluvial di atas Brown Shale dan juga di atas basement di daerah yang lebih tinggi. Upper Red Bed juga bermanfaat sebagai reservoar terutama pada areal trough. Pada umumnya Grup Pematang dipotong oleh major unconformity terutama pada graben. Hubungan ini ditampilkan dengan refleksi seismik yang baik. Grup Pematang ketebalannya melebihi 7000 kaki pada beberapa Eo-Oligosen trough.Penurunan perlahan pada Miosen Awal dikombinasikan dengan kenaikan relatif sea level menghasilkan batupasir Grup Sihapas yang tersebar luas. Grup sihapas diendapkan di atas ketidakselarasan Pematang, pasir Sihapas adalah reservoar hidrokarbon utama. Pasir ini berakumulasi pada lingkungan yang beragam termasuk endapan braided dan meandering (Formasi Menggala), endapan inner neritik (Formasi Bangko), endapan delta dan tidal flat (Formasi Bekasap dan Duri). Minas dan Duri, lapangan minyak terbesar di sini, meghasilkan hidrokarbon dari Formasi Bekasap dan Duri. Reservoar ini umumnya terdiri dari butir-butir kuarsa yang berasal dari granit dan quartzite terrain daratan Sunda. Formasi Sihapas diasosiasikan dengan kualitas seismik refleksi dengan kualitas tinggi dan menerus. Ketebalan Sihapas bervariasi diantara 500-1500 kaki, dan dapat dipetakan pada seluruh bagian cekungan.Pada Miosen Tengah, tektonik konvergen menunjukkan perkembangan konfigurasi saat ini dari sistem busur kepulauan di Sumatra. Pengunungan Bukit Barisan berasosiasi dengan aktivitas busur vulkanik mulai tumbuh selama waktu ini. Pada cekungan tengah, kejadian tektonik ini ditandai dengan angular unconformity pada top Formasi Telisa. Karenanya, penstrukturan pada permulaan cekungan dan perubahan cekungan menjadi back arc pada lingkungan yang terbatas. Formasi Petani diendapkan selama Miosen Tengah hingga Pliosen pada cekungan yang terbatas ini ketika suplai sedimen berasal dari pegunungan Bukit Barisan tapi juga bercampur dengan dentritus vulkanogenik dari aktivitas vulkanik.Pada profil seismik, Petani sangat jelas terlihat sebagai unit sedimen utama yang berprogradasi dari barat ke timut. Formasi Petani terdiri dari batu lempung berwarna abu-abu kehijauan dan batulanau dengan lapisan tipis batu pasir dan sedikit lapisan limestone dan batubara. Batu pasir Petani diendapkan sebagai Off Shore Bar Sand dan kadang-kadang mengandung gas biogenik yang potensial. Formasi Petani mencapai ketebalan maksimum melebihi 6000 kaki disepanjang sisi-sisi sesar Dalu Dalu pada baratdaya cekungan. Selama Plio-Pleistosen, tektonik oblig konvergen mencapai puncaknya karena tekanan utama dan dilengkapi dengan jalinan tektonik pada seluruh Cekungan Sumatra Tengah. Pengaruh antara tekanan dan jalinan tektonik selama akhir masa ini menghasilkan perkembangan perangkap struktural yang berharga pada hampir seluruh lapangan minyak di Sumatra Tengah.

Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.

Page 5: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar 1. Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk, 2005).

Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 1).Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005). Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun.Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):

1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang memisahkan dari lereng trench.

2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-arcdengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra.

3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.

5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-arc basin.

Page 6: CEKUNGAN SUMATERA

Struktur Utama Cekungan Sumatra SelatanMenurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat.Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.

Page 7: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar 2. Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen

(Ginger dan Fielding, 2005).

Perkembangan TektonikPeristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:

Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit berumur Jurasik – Kapur.

Page 8: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar 3. Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).

Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.

Gambar 4. Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).

Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.

Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.

Page 9: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar 5. Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).

Cekungan Bengkulu

2009 MARCH 22

tags: Cekungan Bengkulu

by admin

Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc artinya cekungan

yang berposisi di depan jalur volkanik (fore - arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya

demikian berdasarkan posisi geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari dulu begitu? Belum

tentu, dan inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin

(1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya di proceedings IPA baik untuk dipelajari

soal Bengkulu Basin.

Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini

adalahvolcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada

Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basinBengkulu

sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.

Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan

Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah

Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari

Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan

Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).

Page 10: CEKUNGAN SUMATERA

Setting tektonik regional Sumatra (sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/File:Sumatra_map.jpg)

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari

dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen,

stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat.

Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang

sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan

Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam

daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang

masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para

operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang

sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air

Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami

pengangkatan dan inversi.

Page 11: CEKUNGAN SUMATERA

Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu—yaitu

Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang

terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem sesar besar yang

memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar

Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-

Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar

yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tensionatau membuka wilayah

yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua

sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang

mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan

terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.

Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun berkembang

terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini.

Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-

target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang

komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—

proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).

Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling banyak

dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil

menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas

komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang

menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-

Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.

Cekungan Bengkulu akan merupakan harapan pertama untuk penemuan minyak di sistem Paleogennya.

Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor oleh operator Fina pada tahun 1992 (Arwana-1)

menemukan oil shows dan menembus sedimen Oligo-Miosen yang berkualitas baik sebagai batuan

induk minyak. Kemudian, berdasarkan data sumur ini pula, diketahui bahwa termal cekungan ini panas

(4,5-5 F/100 ft) sebuah anomali bagi “cool basin“—sebutan yang terkenal untuk Cekungan-

cekungan forearc.

Gradient geothermal yang besar ini merupakan anomali pada sebuah forearc basin yang rata-rata di

Indonesia sekitar 2.5 F/100 ft atau di bawahnya (Netherwood, 2000); Bila dibandingkan

cekungan forearc lain, memang banyak publikasi menyebutkan thermal Cekungan Bengkulu di atas rata-

Page 12: CEKUNGAN SUMATERA

rata. Itu pula yang dipakai sebagai salah satu pemikiran bahwa Cekungan ini dulunya bersatu dengan

Cekungan Sumatera Selatan (pada Paleogen)—pemikiran yang juga didukung oleh tatanan

tektonostratigrafinya.

Gradient geothermal dipengaruhi konduktivitas termal masing-masing lapisan pengisi cekungan

dan heatflow dari basement di bawah cekungan. Apabila basementnya kontinen, maka ia akan

punya heatflow yang relatif lebih tinggi daripada basement intermediat dan oseanik. Selain itu,

kedekatan dengan volcanic arc akan mempertinggi thermal background di wilayah ini dan berpengaruh

kepada konduktivitas termal. Gradient geothermal yang diluar kebiasaan ini, tentu saja baik bagi

pematangan batuan induk dan generasi hidrokarbon.

Sekuen syn-rift dan post-rift di cekungan ini belum tertembus, di situlah harapan akumulasi migas

berada. Diperlukan data seismik yang lebih baik untuk target dalam dan diperlukan sumur-sumur dalam

untuk menembus target-target Paleogen.

Selain data seismik, rembesan minyak dipermukaan juga menjadi data yang sangat berharga apabila bisa

diplot di peta geologi permukaan yang cukup detail, lalu dilihat penampang geologinya. Nanti akan

diketahui dari batuan mana rembesan itu berasal. Yang tak kalah penting adalah melakukan serangkaian

analisis geokimia kepada rembesan minyak itu, hal ini akan memberi tahu kita sifat batuan induk yang

telah menggenerasikan minyak tersebut.

cekungan sumatera tengah

A. Kerangaka tektonik pulau sumatera Pulau Sumatra terletak di barat daya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.

Sumber: http://geoenviron.blogspot.comGambar: Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatera

Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier. Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun.

Page 13: CEKUNGAN SUMATERA

Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic di busur depan dan volcano-plutonik di busur belakang. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):1. Busur luar sunda, berada sepanjang batas cekungan busur depan Sunda dan yang memisahkan dari lereng trench.

2. Cekungan busur depan Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan busur luar dengan bagian di bawah permukaan dan volkanikbusur belakang Sumatra.

3. Cekungan busur belakang Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.

5. Busur tengah Sumatra, dipisahkan oleh pengangkatan berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip padabusur depan dan busur belakng basin. Busur depan Basin adalah depresi dasar laut yang terletak antara zona subduksi dan terkait dengan busur vulkanik. Sedimentasi yang terbentuk merupakan endapan material kerak samudra yang terendapkan di tepi-tepi pulau disampingnya. Sedangkan, Back-arc basin menggambarkan gerakan mundur dari zona subduksi terhadap gerakan lempeng yang sedang menumbuk. Sebagai zona subduksi dan parit yang ditarik ke belakang, penipisan kerak yang terbentuk dalam cekungan pada belakang busur. Sedimentasi sangat asimetris, dengan sebagian besar sedimen dipasok dari busur magmatik aktif yang regresi sejalan dengan rollback parit.

B. Geologi Regional Cekungan Sumatera TengahCekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon

terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur. Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur.

Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan. Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara.

Sumber:http://psdg.bgl.esdm.go.id

Gambar: peta cekungan sumatera tengah

Cekungan Sumatra Tengah mempunyai 2 (dua) set sesar yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara. Sesar-sesar yang berarah utara-selatan diperkirakan berumur Paleogen, sedangkan yang berarah barat laut-tenggara diperkirakan berumur Neogen Akhir. Kedua set sesar tersebut berulang kali diaktifkan kembali sepanjang Tersier oleh gaya-gaya yang bekerja.

Page 14: CEKUNGAN SUMATERA

Berdasarkan teori tektonik lempeng, tektonisme Sumatra zaman Neogen dikontrol oleh bertemunya Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Asia. Batas lempeng ditandai oleh adanya zona subduksi di Sumatra-Jawa. Struktur-struktur di Sumatra membentuk sudut yang besar terhadap vektor konvergen, maka terbentuklah dextral wrench fault yang meluas ke arah barat laut sepanjang busur vulkanik Sumatra yang berasosiasi dengan zona subduksi.

C. Perkembangan cekungan tertier sumatera tengahPerkembangan tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dibagi menjadi 4 episode tektonik, yaitu:

(1) Pra Tertier, (2) berlangsung pada Eosen-Oligosen, (3) berlangsung pada Miosen Awal-Miosen Tengah, (4) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen.

1. Pre-TertierBatuan dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan

samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut debagai elemen struktur pra tertier. Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara-selatan yang merupakan sesar geser (Transform/Wrench Tectonic) berumur Karbon dan mengalami reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang terbentuk pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang. Tinggian-tinggian tersebut menjadi batas yang penting pada pengendapan sedimen selanjutnya.

2. Eosen-Oligosen Pada kala Eosen-Oligosen disebut juga Rift Phase. Pada zaman ini, terjadi deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Asia maka terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan. Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen Kelompok Pematang. Pada akhir eosen-oligosen terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.

3. Miosen Awal-Miosen TengahPada kala Miosen Awal terjadi fase amblesan (sag phase), diikuti oleh pembentukan Dextral

Wrench Fault secara regional dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang berarah utara-selatan terjadi Release, sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben, dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada masa ini, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas,

Page 15: CEKUNGAN SUMATERA

tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan.

4. Miosen Tengah-Resen.Pada kala Miosen Tengah-Resen disebut juga Barisan Compressional Phase. Pada masa ini,

terjadi pembalikan struktur akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di sepanjang jalur Wrench Fault yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan dengan pembentukan Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen-sedimen Formasi Petani diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak selaras.

CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

BAB III

GEOLOGI UMUM

III.1. Geologi Regional

Kerangka tektonik regional Indonesia bagian barat terdiri dari paparan sunda yang stabil, jalur geosinklin

yang terdiri dari busur dalam vulkanic dan busur luar non vulkanic. Busur dalam vulkanis memanjang

dari Sumatera bagian barat sampai Pulau Jawa bagian tengah. Busur non vulkanic merupakan jalur

pulau-pulau disebelah barat Sumatera hingga pegunungan samudera di selatan Pulau Jawa

(Koesoemadinata & Pulonggono, 1975). Cekungan Sumatera Selatan termasuk pada daerah Indonesia

bagian barat, merupakan salah satu cekungan sedimen tersier yang berada pada zona antara Paparan

Sunda dan busur dalam vulkanik (gambar III.1.)

Page 16: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar III.1. Skema Sayatan Tegak Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Pulonggono, 1986)

Daerah telitian termasuk dalam Cekungan Sumatera Selatan, Sub Cekungan Jambi yang berada di sayap

utara Depresi Jambi. Cekungan Sumatera Selatan dibatasi Daratan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian

Lampung di sebelah tenggara, Pegunungan Bukit Barisan disebelah barat daya serta Pegunungan Dua

Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut. Cekungan Sumatra Selatan dibagi menjadi dua

sub cekungan utama, antara lain :

· Sub Cekungan Palembang

· Sub Cekungan Jambi

Page 17: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar III.2. Pembagian Cekungan Sumatera Selatan

(Pertamina, 1988, dalam Setyo Mulyo, 1999)

Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu bagian dari Cekungan Sumatera Timur. Cekungan ini

pola pengembangan tektoniknya sangat dipengaruhi oleh sesar-sesar mendatar mengkanan Sumatera

(Sesar Semangko) yang terjadi akibat konvergen antara lempeng samudra Hindia-Australia dan lempeng

Mikrosunda yang serong (Davies P.R., 1984; Sukendar Asikin, 1988) dengan sudut pertemuannya antara

Page 18: CEKUNGAN SUMATERA

15 – 30 derajat dibandingkan dengan kekuatan penunjaman. Pola tektonik tersebut menghasilkan

cekungan-cekungan Pull Apart Basin (Rodgers, 1980 Vide Davies P.R., 1984 vide Sukendar Asikin, 1988)

yang dicirikan oleh :

· Proses pengendapan yang tinggi

· Pola asimetri dari urutan-urutan sedimen dan fasies

· Bentuk pengendapan menunjukan batas dengan sesar pada bagian tepi cekungan (gambar III.3.)

Page 19: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar III.3. Pembentukan Pull Apart Basin dengan ciri pengendapannya

(Sukendar Asikin, 1988)

III.2. Struktur Geologi Regional

Kawasan Indonesia bagian barat (Sumatera, Jawa dan sebagian Kalimantan) merupakan bagian

dari Sunda Land yang termasuk lempeng benua Asia. Struktur tektonik Indonesia bagian barat

dipengaruhi benturan lempeng Benua Asia dengan lempeng kerak Samudra Hindia – Australia. Eubank

dan Makki, 1981 (dikutip dari Setyo Nulyo K, 1999) berpendapat bahwa cekungan-cekungan di Sumatera

terjadi akibat dari benturan antara kedua lempeng tersebut, dimana lepas pantai Sumatera Barat

merupakan zona penekukan yang masih aktif (gambar III.4.)

Page 20: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar III.4. Peta Tektonik Indonesia bagian Barat

(Eubank & Makki, 1981; Setyo Mulyo K, 1999)

Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu dari cekungan-cekungan tersebut dan

merupakan cekungan busur belakang (back arc) (gambar III.5.)

Gambar III.5. Skema Penampang Melintang Cekungan Sumatera Selatan

Page 21: CEKUNGAN SUMATERA

(Pertamina EP – II, 1988; Setyo Mulyo K, 1999)

Pada Akhir Kapur sampai Awal Tersier (Eosen Awal - Oligoen Awal) di Indonesia bagian barat

terjadi pergerakan tektonik yang menghasilkan pola kekar dan sesar berarah utara–selatan, baratlaut–

tenggara dan timurlaut–baratdaya. Perkembangan dari pergerakan lempeng-lempeng tersebut

membentuk komplek sesar yang mengakibatkan sobekan-sobekan pada kerak bumi sehingga

membentuk depresi lokal dikenal sebagai Pull Apart, sedangkan disekitarnya terjadi tinggian-tinggian

lokal (Davies, 1984; Sukendar Asikin, 1988). Depresi dan tinggian inilah yang membentuk konfigurasi

batuan dasar dimana merupakan tempat terakumulasinya endapan Tersier. Pada masa Tersier terjadi

gaya tension sehingga sesar-sesar yang sudah terbentuk aktif kembali membentuk sesar tumbuh. Pada

masa Pliosen – Plistosen terjadi gaya kompresi yang membentuk lipatan dengan arah baratlaut –

tenggara dan mengakibatkan kembali sesar-sesar geser dan sesar-sesar normal (gambar III.6.)

Page 22: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar III.6. Peta Struktur Sub Cekungan Palembang dan Sub Cekungan Jambi (Modifikasi dari

Pulunggono, 1983, Vide Sukendar Asikin, 1988)

III.3. Stratigrafi Regional

Stratigrafi daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak dibahas oleh para ahli geologi terdahulu,

khususnya yang bekerja dilingkungan perminyakan. Pada awalnya pembahasan dititik beratkan pada

sedimen Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan hanya berlaku di lingkungan sendiri.

Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi umum Cekungan Sumatera Selatan, antara

lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956), Pulunggono (1969), De Coster

2(1974), Pertamina (1981).

Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga

kelompok yaitu kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter.

1. Batuan Pra-Tersier

Page 23: CEKUNGAN SUMATERA

Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier.

Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster, 1974)

Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa slate dan yang

berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-

Tersier ini diperkirakan telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah

sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah (De

Coster, 1974).

2. Batuan Tersier

Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan

dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen

yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari

umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF),

Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut

disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air

Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).

a. Formasi Lahat (LAF)

Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar, yang terdiri

atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas menjadi batu lempung

tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian bawah.

Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan.

Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan,

konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan

dalam air tawar daratan. Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang

lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal,

tejadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan

ini mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan “Lava

Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.

b. Formasi Talang Akar (TAF)

Page 24: CEKUNGAN SUMATERA

Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah

digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956). Formasi Talang

akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier. Formasi

ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang

stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama

dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya

Kota Prabumulih (Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand”

terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan

semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir

konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan mengandung mika,

terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-

sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen ini merupakan

endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956) anggota transisi pada

bagian bawahnya terdiri atas selang-seling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan

batulempung serta lapisan batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping

tipis dan batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung

fosil-fosil Molusca,Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil, diendapkan pada lingkungan paralis,

litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini

berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan cekungan

mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih

300 meter (De Coster, 1974).

c. Formasi Baturaja (BRF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar. Terdiri

dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas

berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini

mengandung foram besar antara lain Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain

sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan

Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van

Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d.

Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten

Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di

pabrik semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).

Page 25: CEKUNGAN SUMATERA

d. Formasi Gumai (GUF)

Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan sedimen-

sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya dengan Formasi

Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada

beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari

dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal

tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap. Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir

glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment

pada formasi ini banyak mengandungGlobigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941)

menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan

mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini

adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono (1986)

berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).

e. Formasi Air Benakat (ABF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan Kelompok

Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir

hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang

berselang-seling dengan batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang

kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini dijumpaiGlobigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia

spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt

(1956) ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran

dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran

dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang gampingan. Diendapkan dalam

lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster,

1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937),

terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara

Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower

Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).

Page 26: CEKUNGAN SUMATERA

f. Formasi Muara Enim (MEF)

Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi ini dapat

dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota Coklat (Brown

Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran halus

sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota

Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang

berwarna biru hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus

berwarna putih sampai kelabu terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai

kandungan Foraminifera dan Mollusca selain batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b”

selain batubara dan sisa tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides

spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada

lingkungan litoral yang berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi

tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)

g. Formasi Kasai (KAF)

Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian bawah

terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan, kemudian terdapat

konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada bagian

teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan

berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung

tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp,

umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar

luas dibagian timur Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.

3. Satuan Endapan Alluvial

Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian sungai-sungai besar berupa meander-

meander ditengah dan ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan satuan ini terdiri dari

hasil rombakan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran pasir halus

hingga kerakal.

Page 27: CEKUNGAN SUMATERA

GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

RABU, APRIL 27, 2011

Diterbitkan oleh Ichwan DwiAdapun Struktur Geologi Regionalnya adalah Pola struktur di Cekungan Sumatra Tengah dicirikan oleh blok-blok patahan dan Transcurent Faulting. Sistem blok-blok patahan mempunyai orientasi sejajar dengan arah utara-selatan membentuk rangkaian Horst dan Graben. Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil sekurang-kurangnya 3 (tiga) fase tektonik utama yang terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum Tengah, Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa Plio-Plistosen (De Coster, 1974). Orogenesa Mesozoikum Tengah menyebabkan termalihkannya batuan-batuan Paleozoikum dan Mesozoikum. Batuan-batuan tersebut kemudian terlipatkan dan terpatahkan menjadi blok-blok struktural berukuran besar yang diterobos oleh intrusi granit. Lajur-lajur batuan metamorf ini tersusun oleh strata litologi yang berbeda, baik tingkat metamorfismenya maupun intensitas deformasinya.Cekungan Sumatra Tengah mempunyai 2 (dua) set sesar yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara. Sesar-sesar yang berarah utara-selatan diperkirakan berumur Paleogen, sedangkan yang berarah barat laut-tenggara diperkirakan berumur Neogen Akhir. Kedua set sesar tersebut berulang kali diaktifkan kembali sepanjang Tersier oleh gaya-gaya yang bekerja (Eubank & Makki, 1981).Berdasarkan teori tektonik lempeng, tektonisme Sumatra zaman Neogen dikontrol oleh bertemunya Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Asia. Batas lempeng ditandai oleh adanya zona subduksi di Sumatra-Jawa. Struktur-struktur di Sumatra membentuk sudut yang besar terhadap vektor konvergen, maka terbentuklah dextral wrench fault yang meluas ke arah barat laut sepanjang busur vulkanik Sumatra yang berasosiasi dengan zona subduksi (Yarmanto & Aulia, 1988).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara terperinci tentang perkembangan tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dengan membaginya menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase 1) berlangsung pada Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung pada Miosen Awal-Miosen Tengah, dan F3 (fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut sebagai fase 0 (F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.

Gambar 1: Perkembangan Episode Tektonik Tersier Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick & Aulia, 1993)

1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut debagai elemen struktur F0. Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara-selatan yang merupakan sesar geser (Transform/Wrench Tectonic) berumur Karbon dan mengalami reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang terbentuk pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang. Tinggian-tinggian tersebut menjadi batas yang penting pada pengendapan sedimen selanjutnya.

2. Episode F1 (26 - 50 Ma)Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosen disebut juga Rift Phase. Pada F1 terjadi deformasi

Page 28: CEKUNGAN SUMATERA

akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia, 1993). Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen Kelompok Pematang. Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.

3. Episode F2 (13 – 26 Ma)Episode F2 berlangsung pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah. Pada kala Miosen Awal terjadi fase amblesan (sag phase), diikuti oleh pembentukan Dextral Wrench Fault secara regional dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang berarah utara-selatan terjadi Release, sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben, dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada episode F2, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen dari Kelompok Sihapas diendapkan.

4. Episode F3 (13–Recent)Episode F3 berlangsung pada kala Miosen Tengah-Resen disebut juga Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi pembalikan struktur akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di sepanjang jalur Wrench Fault yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan dengan pembentukan Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada episode F3 Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen-sedimen Formasi Petani diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak selaras.

Gambar 2. Perkembangan tektonik Cekungan Sumatra Tengah pada fase F2 dan F3 (Heidrick dan Turlington, 1994

Page 29: CEKUNGAN SUMATERA

Gambar 3. Peta Struktur Top Basement Cekungan Sumatra Tengah(Heidrick & Aulia, 1993)