cekungan sedimentasi

Download Cekungan sedimentasi

If you can't read please download the document

Upload: kane-damaniks

Post on 29-Jun-2015

837 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

PAPPER TEKNIK SEDIMEN, PLAT SEDIMEN DALAM BASIN DAN HUBUNGAN SUPLY SEDIMEN DENGAN CEKUNGAN SEDIMENTeori tektonik lempeng merupakan suatu teori baru yang sangat berkembang. Dalam teori ini, kulit bumi digambarkan terdiri atas kepingan-kepingan atau 'lempeng-lempeng' batuan atau litosfir, yang dapat bergerak satu terhadap lainnya dengan arah dan kecepatan yang berubahubah sepanjang zaman Astenosfir (upper mantle) yang bersifat semiplastis menghasilkan sel-sel arus konveksi yang dapat menggerakkan lempeng-lempeng kulit bumi yang terdiri atas batuan yang bersifat kaku. Sel-sel arus konveksi itulah yang merupakan mesin yang menciptakan sejumlah energi yang terkumpul dalam kulit bumi. Energi akan terkumpul di tempat-tempat yang menyebabkan dua lempeng kulit bumi selalu bertemu atau berbenturan. Akibat dari benturan tersebut, batuan akan mengalami tegangan dari waktu ke waktu serta mengalami gesekan satu dengan lainnya yang mengakibatkan sebagian dari batuan itu akan leleh, lebur, dan membentuk massa yang leleh pijar yang disebut magma. Gaya yang membangun energi dalam kulit bumi dinamakan gaya tektonik. Energi yang terkumpul dalam kulit bumi (batuan) itu sewaktu-waktu dapat terlepas. Karena, batuan yang menahannya sudah tidak mampu dan berwujud sebagai letusan gunung api akibat energi yang terkumpul dalam magma mendesak ke atas dan menyembur keluar. Lepasnya energi yang umumnya terjadi secara tiba-tiba juga dapat disebabkan patahnya batuan (kulit bumi) akibat sudah tidak mampu lagi menahan tegangan. Patahnya batuan yang disertai dengan pergeseran akan disertai dengan munculnya gempa bumi. Gaya tektonik yang bekerja dalam kulit bumi juga bertanggung jawab terhadap pembentukan cekungan-cekungan pengendapan akibat lenturnya kulit bumi. Kemudian, itu akan diisi dengan endapan-endapan sedimen yang dalam waktu lama akan menghimpun lapisan-lapisan batuan yang sangat tebal. Cekungan-cekungan seperti itu dikenal sebagai tempat-tempat terbentuknya sumber daya alam hidrokarbon (minyak dan gas bumi). Dalam ilmu tektonik, fenomena-fenomena alam yang berwujud sebagai gempa bumi, vulkanisme, atau meningkatnya kegiatan gunung api ditafsirkan sebagai respons dari gerak-gerak lempeng kulit bumi. Lempeng-Lempeng kulit bumi dimotori oleh sel-sel arus konveksi dalam astenisfir yang bergerak terus dengan kecepatan yang berbeda-beda. Lempeng India-Australia

terlihat bergeser ke utara, kemudian berbenturan dan menyusup di bawah Asia Tenggara. Zona di tempat-tempat di mana dua lempeng saling bertemu dan berbenturan akan merupakan tempattempat terjadinya pelenturan (deformasi) kulit bumi yang disertai oleh penghimpunan energi yang sewaktu-waktu dapat dilepas sebagai gempa bumi, vulkanisme, pembentukan cekungan, dan pegunungan. Cekungan yang berada di belakang jalur gunung api akan terus menurun selama gerak tektonik benturan terjadi. Kemudian, itu akan diisi oleh sedimen-sedimen yang berasal dari pengikisan pegunungan yang terus terangkat serta produk gunung api yang aktif yang secara berkala memuntahkan bahannya dan diangkut oleh sungai-sungai yang bermuara dicekungan. Pengisian cekungan yang berlangsung cepat itu akan menambah tekanan pada cekungan yang berakibat ikut mendorong turunnya cekungan tersebut. Pengisian cekungan yang cepat serta tekanan gaya tektonik mendorong lapisan batuan yang tebal yang bersifat lentur, seperti lempung, untuk naik ke atas melalui celah-celah dalam batuan yang berupa patahan-patahan. Fenomena seperti itu disebut gejala diapir. Apabila diapir-diapir seperti itu berhasil mencapai permukaan bumi, gejalanya dinamakan ekstrusi lumpur atau mud extrusion. Jika sifatnya yang agak kental sehingga membentuk kerucut seperti gunung api, itu dinamakan gunung (api) lumpur atau mudvolcano. Akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 para ahli geologis mengasumsikan bahwa komponen utama bumi telah berada dalam bentuk yang tetap, dan kebanyakan fitur geologis seperti pegunungan merupakan hasil pergerakan vertikal seperti yang dijelaskan dalam teori geosinklinal. Teori plate tektonik berasal dari teori continental drift (hanyutan benua) yang pertama kali dikemukanan oleh Alfed Wegener di tahun 1912 yang menyatakan bahwa benua saat ini pertama kali dibentuk dari sebuah masa daratan besar yang saling menjauhi satu sama lainnya, mengapung diatas inti batuan cair. Tetapi karena tanpa bukti dan perhitungan yang detail maka teori ini masih dikesampingkan (Gross.1990; Davies, 2001). Bukti pertama datang dengan penemuan variabel arah medan magnet dai dalam batu karang yang berasal dari berbagai zaman yang berbeda, dari bukti ini teori Wegener semula dianggap menyimpang mulai dapat diterima. Berdasarkan anomali medan magnetik yang tergambar kan oleh garis paralel simetris saling sebelah menyebelah pada sisi sisi mid ocenic ridge. Oceanic crust dihasilkan dari proses hanyutan benua, saling menekan kebawah benua (subduksi) di bagian benua yang lain yang merupakan kelanjutan dasar lempeng samudera yang

selanjutnya kan disubduksi dan diabsorbsi oleh lapisan panas. Lapisan kuli bumi terdiri dari cairan panas, batuan semi liquid yang mempunyai sirkulasi yang sangat lambat.(Gross, 1990; Davies, 2001; Kenyo and Turcotte, 1987) Ketika bagian yang cair bergerak keatas , aktivitas vulkanik bawah laut terjadi dan lava mengalir keluar dan secara cepat akan menjadi solid di dasar laut dalam tersebar, menyusut sedikit demi sedikit dan menyebar dan akan terdeposit di bagian atas kerak samudera. Di zona subduksi, kerak samudera didorong kebawah benua, secara berangsur-angsur meleleh kembali kedalam mantel. Di dalam proses sedimen juga akan ditarik ke bawah juga, karena panas dan tekanan sebagian dari material akan meleleh melalui kerak benua, menyebabkan aktivitas vulkanik dan kerak benua baru terbentuk (Gross,1990; Bott and Kusznir, 1984). Perkembangan Teori Plate Tektonik 1. Continental Drift Yang pertama-tama mengemukakan bahwa bumi ini pernah bersatu adalah seorang ahli klimatologi dan geofisika yang bernama Alfred Wegener selama tahun 1912-1930 dengan teorinya tentang Pengapungan Kontinen. Akan tetapi ide atau teori ini ditolak oleh sebagian besar ahli ilmu bumi. Tetapi, selama periode tahun 1950-an sampai 1960-an banyak bukti-bukti yang ditemukan oleh para peneliti yang mendukung teori tersebut, sehingga teori yang sudah pernah ditinggalkan ini menjadi pembicaraan lagi atau mulai diperhatikan lagi. Sampai tahun 1968, dengan perkembangan teknologi banyak dilakukan pemetaan pada lantai samudera, serta ditemukannya data-data yang banyak tentang aktivitas seismik dan medan magnit bumi. Sehingga muncul teori baru yang dinamakan Teori Tektonik Lempeng (Kennet, 1982; Duxbury et.al, 1991). Benua pertama yang ada bernama Pangea pertama kali terpecah 300 tahun yang lalu, setengah di bagian utara yang disebut Laurasis (Eropa dan Asia) dan setengah lagi di selatan yang disebut Gownwanaland (Amerika Selatan, Afrika, India, Antartika, Australia dan New Zealand). Dari gambar di bawah terlihat benua yang saling menyebar, kurva merah menunjukan bidang benturan , sedangkan garis biru merupakan sebaran dasar lautan. Lokasi terjadinya tabrakan benua membentuk deretan pegunungan seperti Ereopa yang bertabrakan dengan afrika membentuk Pyrenees dan pegunungan Alpen, pegunungan Himalaya terjadi ketika India dan Asia (Duxbury et.al, 1991)

Ahli geologi Robert Dietz dan John Holden memberikan penjabaran tentang perihal Pangea (berarti benua secara keseluruhan) sebelum dan sesudahnya. Mereka berpendapat bahwa sebelum Pangea terbentuk, massa-massa benua mungkin telah mengalami berbagai episode fragmentasi yang sama dengan yang telah kita ketahui sekarang. Kontinen-kontinen purba tersebut dulu telah bergerak saling menjauhi satu dengan yang lainnya. Selama periode antara 500 225 juta tahun yang lalu, fragmen-fragmen yang sebelumnya telah menyebar, mulai bersatu membentuk Pangea. Bukti dari adanya tumbukan awal ini meliputi Pegunungan Ural di Uni Soviet dan Pegunungan Appalacian di Amerika Utara. Hal ini didasarkan dengan mencoba mengekstrapolasikan kembali pergerakan lempeng, yang dihubungkan dengan perjalanan waktu, dan dibantu oleh data-data seperti orientasi struktur volkanik, distrubusi dan pergerakan transform, serta paleomagnetism, Dietz dan Holden telah mampu untuk merekonstruksi Pangea. Dengan menggunakan data penanggalan radiometri, kedua ahli ini juga dapat menentukan kapan Pangea ini mulai terbentuk dan kapan mulai terpecah. Kemudian berdasarkan data-data posisi relatif dari hot spot, maka juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari setiap kontinen, (Duxbury et.al, 1991). Sedangkan Menurut Alfred Wegener (1912) dalam Thurmann (1990) mengatakan bahwa terdapat dua kontinen yang membentuk Pangea (dimana Pangea ini dikelilingi oleh satu samudera yang luas yakni Panthalassa) yakni Laurasia untuk bagian utara (sekarang ini merupakan bagian daratan Amerika Utara, Eropa dan Asia) dan Gondwanaland untuk bagian selatan (sekarang ini merupakan bagian daratan Amerika Selatan, Afrika dan India, Australia dan Antartika) yang dipisahkan oleh satu samudera yakni Laut Tethis (Tethys Sea). Menurut teori Tektonik Lempeng, diperkirakan bahwa Pangea mulai terpecah sekitar 200 juta tahun yang lalu, dimana terjadi fragmentasi yang diikuti oleh jalur-jalur pergerakan dari setiap kontinen dan terdapat dua buah celah besar yang terjadi akibat fragmentasi ini. Celah antara Amerika Utara dan Afrika menyebabkan munculnya batuan basal yang berumur Trias secara besar-besaran di sepanjang Pantai Timur Amerika Serikat. Penanggalan radiometri pada basal ini menunjukkan bahwa celah tersebut terbentuk antara 200 165 juta tahun yang lalu. Waktu ini sekaligus digunakan sebagai waktu terbentuknya Atlantik Utara. Celah yang terbentuk di bagian selatan Gondwanaland berbentuk hurup Y, yang menyebabkan termigrasinya Lempeng India ke bagian Utara dan sekaligus memisahkan Amerika Selatan Afrika dari Australia Antartika.

Sekitar 135 juta tahun yang lalu, posisi kontinen Afrika dan Amerika Selatan mulai memisah dari Atlantik Selatan. Pada saat ini India sudah berada separuh jalan menuju ke Asia, dan bagian selatan dari Atlantik Utara telah mulai melebar. Pada Kapur Akhir, sekitar 65 juta tahun yang lalu, Madagaskar telah terpisah dari Afrika, dan Atlantik Selatan berubah menjadi laut terbuka. Sekitar 45 juta tahun yang lalu, India telah bersatu dengan Asia, yang kemudian menyebabkan terbentuknya pegunungan tertinggi di dunia, yakni Himalaya yang tersebar di sepanjang Dataran Tinggi Tibet. Kemudian terjadi pemisahan Greendland dari Eurasia, dan bersamaan juga terjadi pembentukan Semenanjung Baja dan Teluk Kalifornia. Peristiwa tersebut ditaksir terjadi kurang dari 10 juta tahun yang lalu, (Thurmann,1990; Duxbury et.al, 1991) Sebuah penjelasan sederhana bagaimana mekanisme tersebut terjadi adalah, secara umum crust/kerak terbentuk dari arus konveksi yang berasal dari perbedaan temperatur antar titik di lapisan batuan cair. Bagian bumi yang dingin dibagian dalam tertembus bagian yang panas, Titik panas yang muncul dibawah lapisan continental akan memanaskan bagian atasnya yang lebih dingin sehingga bagian tersebut akan retak danmenyebabkan adanya aliran batuan panas yang juga akan mendorong kearah yang berlawanan (Taylor & McLennan, 1996). Bukti Teori Hanyutan Benua Bukti-bukti untuk mendukung hal tersebut seperti kesesuian kontinen, kesamaan fosil, kesamaan tipe dan struktur batuan, dan bukti paleoklimatik a. Kesesuaian Kontinen Bukti yang paling kuat adalah kesamaan antara kontinen Amerika Selatan dan Afrika. Sebagaimana telah dijelaskan tentang terpecah-pecahnya Pangea di atas, bahwa sebelumnya benua Afrika dan Amerika Selatan merupakan satu daratan yang bergabung pada mid-Atlantic oceanic ridge. Ketika lapisan kerak bumi pada ridge baru terbentuk, daratan ini didesak secara perlahan-lahan, dan terpisah satu sama lain. Rata-rata kecepatan gerakan memisah ke arah timur dan barat, terbukti seimbang, oleh karena itu ridge ini sekarang terletak pada jarak yang sama dari kedua benua (Alfred Wegener, 1913-1930 dalam Kennet, 1982). Hal ini juga telah dibuktikan oleh Sir Edward Bullard dan kawan-kawannya pada tahun 1960-an. Bukti tersebut berupa peta yang digambar dengan menggunakan bantuan komputer, dimana datanya diambil

dari kedalaman 900 meter di bawah muka air laut b. Bukti-Bukti Fosil Bukti- bukti fosil ini telah ditemukan oleh Alfred Wegener (1913-1930) dan para ahli geologi lainnya seperti : Fosil tumbuhan Glassopteria yang ditemukan menyebar secara luas di benua-benua bagian Selatan, seperti Afrika, Australia dan Amerika Selatan. Fosil ini diperkirakan berumur Mesozoikum. Fosil tersebut kemudian ditemukan juga di benua Antartika. Fosil reptil Mesosaurus dan hewan amphibi yang ditemukan di Amerika Selatan bagian timur dan Afrika bagian Barat dan benua lainnya yang diperkirakan hidup pada Periode Triassic (kira-kira 200 juta tahun yang lalu)dan Kapur Akhir ( kira-kira 75 juta tahun yang lalu), (Gambar 6). Ditemukannya fosil karang (jenis brachiopods). Seperti terlihat pada gambar 4, ternyata banyak terdapat di daratan Eropa bagian timur, Amerika Utara, Asia, pegunungan Alpen dan Himalaya yang diperkirakan hidup sekitar 300 juta tahun. Ini menandakan bahwa daerah ini sebelumnya merupakan wilayah lautan, karena menurut ilmu koral (koralogi) bahwa karang hanya hidup pada daerah perairan dan di atas suhu 18o C atau hanya bisa berkembang pada daerah khatulitiwa, sedangkan kedua benua tersebut berada pada daerah subtropis (Rogers and Adams, 1966 dan Duxbury, et.at., 1991). c. Kesamaan Tipe dan Struktur Batuan Salah satu contoh kesamaan batuan yang ditemukan adalah pada daerah Busur Pegunungan Appalachian yang berarah timur laut dan memanjang sampai ke bagian timur Amerika Serikat, yang tiba-tiba menghilang di bagian pantai Newfoundland. Pegunungan yang mempunyai umur dan struktur yang sama dengan pegunungan di atas, ditemukan di Greendland dan Eropa Utara. Jika kedua benua tersebut (Amerika dan Eropa) disatukan kembali, maka pegunungan di atas juga akan bersatu menjadi satu rangkaian pegunungan. d. Bukti Paleoklimatik Dari hasil penelitiannya, Wegener menemukan bahwa pada Akhir Paleozoikum, sebagian besar daerah di belahan bumi bagian selatan telah ditutupi oleh lempengan-lempengan es yang

tebal. Daerah-daerah tersebut adalah Afrika bagian Selatan, Amerika Selatan, India dan Australia. Wegener juga menemukan bukti bahwa pada saat yang sama (Paleozoikum Akhir), daerah-daerah sekitar 30o di dekat khatulistiwa yang beriklim tropis dan subtropis juga ditutupi oleh es. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka Wegener menyimpulkan bahwa dulunya secara keseluruhan daerah di bagian selatan bumi telah ditutupi oleh lapisan es. Kemudian secara perlahan-lahan sebagian massa benua di bagian tersebut bergerak ke arah utara, yaitu ke arah khatulistiwa. Hal ini terbukti karena adanya lapisan es yang ditemukan di daerah sekitar khatulistiwa tersebut. Wegener menyimpulkan hal ini, karena secara logis tidak mungkin terbentuk lapisan es yang luas dan tebal di daerah khatulistiwa, yang diketahui beriklim tropis dan subtropis. 1. Teori Floating Continent Konsep umum dari teori ini adalah ada lapisan cangkang statik yang ada di bawah bumi. Pengamatan awal menunjukan bahwa ketika batuan granit yang merupakan penyusun benua, lantai lautan tersusun dari batuan basal yang lebih berat, sehingga diasumsikan bahwa lapisan batuan basal akan berada di bawah lapisan basal. Akan tetapi terdapat anomali Pegunungan Andes di Peru memiliki lapisan batuan yang lebih berat dan mengarah ke bawah. Konsep ini dibuktikan dengan studi gravitasi Himalaya untuk mendeteksi kepadatan lapisan. Tetapi teori ini belum dapat menjwab pertanyaan apakah lapisan tersebut melingkupi batuan basal atau terapung seperti Iceberg. 2. Teori Plate Tektonik Penerbitan teori ilmiah geologis Amerika Harry hess yang menyatakan bahwa sebagai pengganti teori yang menyatakan bahwa benua bergerak melewati kerak samudera (continental drift), bahwa kerak samudera dan kerak benua bergerak bersama dalam satu unit yang sama. Penjelasan dari teori Hess adalah penemuan potngan pita magnetis yang simetris di sekitar punggung bukit samudera (mid oseanic ridge). Sejak saat itu para ilmuwan mulai berteori bahwa mid ocean ridge di tandai dengan zona yang lemah dimana lantai samudera terbelah menjadi dua bagian sepanjang ridge. Magma baru mudah keluar dari bagian yang lemah ini dan menciptakan oceanic crust yang baru. Proses ini kemudian dikenal dengan nama sea floor

spreading. Hipotesis ini didukung dengan beberapa bukti : Dekat dengan lereng ridge batuan lebih muda dan semakin tua pada daerah yang lebih jauh. Batuan yang muda memiliki polaritas yang normal Terjadi pergantian polaritas pada batuan yang beradadi lereng crest yang menunjukan bahwa bayak perubahan medan magnit (Bott and Kusznir, 1984;Duxbury, et.at., 1991; Taylor & McLennan, 1996). Pergerakan Lempeng Pengertian yang baik bahwa pergerakan lempeng sangat berhubungan erat denga aktivitas gempa bumi . Kebanyak gerakan terjadi sepanjang zona yang sempit diantara lempeng , ada empat tipe pergerakan lempeng .

Divergent Boundaries Divergent boundaries terjadi sepanjang pusat penyebaran dimana lempeng bergerak terpisah kearah yang berlawanan. Contoh terbaik dari tipe ini adalah Mid Atlantic Ridge, yang merupakan pegunungan bawah air yang meluas dari kutub utara ke ujung selatan Afrika yang melingkari bumi. Tingkat sebaran lempeng ini bergerak rata-rata adalah 25 cm/tahun. Konsekuensi gerakan ini dapat dilihat dengan mudah dengan adalah adanya gunung berapi Krafla di bagian timur laut islandia disini terjadi retakan tanah yang melebar dan selalu muncul retakan baru setiap beberapa bulan. Di Afrika proses penyebaran telah memisahkan Saudi Arabia dari benua Afrika, membentuk Laut Merah (Duxbury, et.at., 1991;Taylor & McLennan, 1996). Convergence Boundaries Ukuran bumi sudahtidak berubah sjak 600 juta tahun yang lalu, bentuk bumi yang tidak berubak mengindikasikan bahwa kerak yang terbentuk harus dihancurkan dalam jumlah yang sama dengan jumlah kerak baru yang terbentuk. Proses penghancuran terjadi sepanjang perbatasan lempeng dimana lempeng saling bergerak satu sama lainnya, kadang salah satu lempeng tenggelam di bawah yang lainnya. Lokasi dimana lempeng tenggelam terjadi disebut zona subduksi. Tipe konvergensi yang sangat lambat disebut collisiondimana tergantung jenis

batuan lithosphere yang dilibatkan. Konvergensi dapat terjadi antara lempeng oseanik dan lempeng kontinental yang lebih besar, atau antara dua lempeng oseanik yang besar, atau antara dua lempeng kontinental yang besar (Duxbury, et.at., 1991; Taylor & McLennan, 1996). Konvergensi Oceanic Continental Konvergensi ini akan membentuk trench (palung laut) sepanjang ribuan kilo meter dengan kedalaman 8 10 kilometer. Akhir pantai Amerika Selatan sepanjang Peru-Chile, Oceanic Nazca Plate mendorong kedalam dan tersubduksi ke bawah bagian continental di bagaian selatan , sehingga bagian benua akan terangkat dan menciptakan Pegunungan Andes. Gempa bumi kuat yang bersifat merusakdan pengangkatan yang cepat dari rangakaian pegunungan merupakan ciri umum pola konvergensi ini. Konvergensi ini juga banyak memicu aktivitas gunung berapi. Erupsi/letusan gunung berapi jelas berhubungan dengan subduksi. (Duxbury, et.at., 1991; Taylor & McLennan, 1996). Konvergensi Oceanic-oceanic Ketika dua oceanic plate bertemu maka salah satu biasanya akan tersubduksi di bawah yang lain dn dalam prosesnya akan membentuh trench dan membentuk gunuung berapi. Contoh nyata dari peristiwa ini adalah terbentuknya marianas trench. Pembentukan gunung berapi yang terjadi selama berjuta tahun, hasil erupsinya akan tertimbun dai samudera dan lama kelamaan akan muncul kepermukaan sebagai daratan baru. Rangkaian pegunungan berapi yang muncul dari dasar lautan ini dikenal sebagai Island Arc. (Duxbury, et.at., 1991; Taylor & McLennan, 1996). Konvergensi Continental-continental Pegunungan Himalaya merupakan contoh dramatis yang nyata terlihat dari plate tektonik. Ketia dua kontinen bertabarakan tidak terjadi subduksi karena batuan kontinent relatif ringan seperti tabrakan dua gunung es, lapisan pelindungnya akan bergerak kebawah, sebagai gantinya kerak akan mengangkat dan mendorong ke atas atau ke samping. Tubrukan india dengan asia 50 juta tahaun yang lalu menyebabkan lempeng eurasian menyilang keatas melewati indian plate. Setelah tubrukan konvergensi yang lambat terus berlangsung antara dua lempeng lebih dari berjuta tahun dan membentuk pegunungan himalaya dan tibet plateau. (Duxbury, et.at., 1991; Taylor & McLennan, 1996). Transform Fault Zona diantara dua lempeng yang sling meluncur secara horizontal disebut tansform fault,

yang konsep aslinya dikemukakan oleh geologis Canada J. Tuzo Wilson yang mengusulkan bahwa patahan besar atau fracture zonemenghubungkan dua pusat sebaran (divergent plate boundaries) atau sekurangnya trench (convergent plate boundaries). Kebanyakan transform fault ditemukan di dasar samudera, umumnya mengganti penyebaran lereng aktif, menghasilkan plate margin zig-zag dan biasanyadicirikan dengan gempa bumi dangkal. Bagaimanapun beberapa terjadi di daratan, sebagai contoh patahan San Andreas di California. KECEPATAN PERGERAKAN LEMPENG Pergerakan lempeng merupakan suatu gerakan yang secara relatif melambat, yang arahkan oleh arus-arus ikonveksi termal dan permulaan aktivitas berhubungan dengan geologi jauh di dalam mantel bumi .Teori dari tektonika lempeng menggantikan yang sebelumnya satu hanyutan benua, di mana itu ditentukan hanya benua-benua sendiri mengapung di atas permukaan bumi. pada dasarnya terdapat delapan plat yang besar -Dari Afrika, Antarctic, Indo(eropa), Indian-Australian, Nazca, Amerika Utara, Pacific dan Selatan Amerika; dan berbagai beberapa yang lebih kecil -Anatoliah, Arab, Caribbean, Cocos, Pilipina, Somali, dan Juan de Fuca. Kebanyakan dari riset menhidupkan teori-teori dan bukan data bersifat percobaan pengukuranpengukuran yang diperoleh adalah rerata-rerata atau penilaian-penilaian. Mayoritas riset menunjukkan bahwa plat-plat berpindahkan rata-rata antara kira-kira 0,60 cm/yr sampai 10 cm/yr. Beberapa sumber menyatakan bahwa di dalam Lautan Atlantik yang Utara, tingkat pergerakan itu hanyalah sekitar 1 cm (sekitar 0,4 inchi) per tahun, sementara di Pasifik lebih dari 4 cm (hampir 2 inchi), secara umum, pergerakan berkisar dari 5 sampai 10 cm/yr. A. TATANAN GEOLOGI KELAUTAN INDONESIA Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan kelautan dunia, karena berada pada pertemuan paling tidak tiga lempeng tektonik: Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia-Lempeng Samudera India serta Lempeng Benua Asia. Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut Indonesia dibagi menjadi zona dalam (inboard) dan luar (outboard) yang menempati regim zona tambahan (contiguous), Zona Ekonomi Eksklusif dan Landan Kontinen. Bagian barat zona dalam ditempati oleh Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang merupakan sub-sistem dari lempeng benua Eurasia, dicirikan oleh kedalaman dasar laut maksimum 200 m yang terletak pada bagian

dalam gugusan pulau-pulau utama yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (menurut Toponim internasional seharusnya disebut pulau Borneo). Bagian tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem paparan bagian barat dan sistim laut dalam di bagian timur. Kedalaman laut pada zona transisi ini mencapai lebih dari 3.000 meter yaitu laut Bali, Laut Flores dan Selat Makasar. Bagian paling timur zona dalam adalah zona sistem laut Banda yang merupakan cekungan tepian (marginal basin) dicirikan oleh kedalaman laut yang mencapai lebih dari 6.000 m dan adanya beberapa keratan daratan (landmass sliver) yang berasal dari tepian benua Australia (Australian continental margin) seperti pulau Timor dan Wetar (Curray et al, 1982, Katili, 2008). Zona bagian luar ditempati oleh sistem Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, laut Arafura, laut Filipina Barat, laut Sulawesi dan laut Cina Selatan. Menurut Hamilton (1979), kerumitan dari tatanan fisiografi dan geologi wilayah laut Nusantara ini disebabkan oleh adanya interaksi lempeng-lempeng kerak bumi Eurasia (utara), Hindia-Australia (selatan), PasifikFilipina Barat (timur) dan Laut Sulawesi (utara). Proses geodinamika global (More et al, 1980), selanjutnya berperan dalam membentuk tatanan tepian pulau-pulau Nusantara tipe konvergen aktif (Indonesia maritime continental active margin), dimana bagian luar Nusantara merupakan perwujudan dari zona penunjaman (subduksi) dan atau tumbukan (kolisi) terhadap bagian dalam Nusantara, yang akhirnya membentuk fisiografi perairan Indonesia B. MODEL TEKTONIK TEPIAN LEMPENG AKTIF Lempeng samudera bergerak menunjam lempeng benua membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut). Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan dibagian timurnya atau sebalah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara selatan yang disebut Ninety East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000 3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada Lempeng Indo-

Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008). Gambar 2. Memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007). Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979) Hasil identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut maka dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah dikenali.

III. SATUAN GEOMORFOLOGI TEPIAN LEMPENG AKTIF 1. Geomorfologi Zona Subduksi Lempeng Samudera India merupakan kerak yang tipis yang ditutupi laut dengan kedalaman antara 1.000 5.000 meter. Lempeng Samudera dan lempeng benua (Continental Crust) dipisahkan oleh Subduction Zone (Zona Penunjaman) dengan kedalaman antara 6.0007.000 meter yang membujur dari barat Sumatera, selatan Jawa hingga Laut Banda bagian barat yang disebut Java Trench (Parit Jawa). Geomorfologi zona subduksi ini merupakan gabungan yang erat antara proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuansi dari tepian aktif, maka banyak proses tektonik yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta kemunginan aktivitas gunung api (hot spot?). Salah satu diantaranya adalah terbentuknya gunungapi (submarine volcano atau seamount?) di luar

busur volkanik. Indikasi adanya gunungapi atau tinggian seperti yang ditemukan Tim ekspedisi CGG Veritas (BPPT-LIPI-PPPGL-Berlin University) pada bulan Mei 2009 yang lalu sebenarnya bukan merupakan gunungapi baru. Beberapa peta batimetri dan citra satelit telah mencantumkan adanya tinggian tersebut, hanya sampai saat ini belum diberikan nama resmi (toponimi) yang tepat (PPPGL, 2008). Lintasan survei deep-seismic CGGV-04 telah mendeteksi adanya puncak gunung bawah laut pada posisi koordinat 421.758 LU, 9925,002 BT. Puncak gunung bawah laut ini berada pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki gunung pada kedalaman 5.902 m. Hasil interpretasi data memperlihatkan bahwa gunung bawah laut ini memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki gunung sekitar 50 km. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak 320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu (Gambar 3). Namun demikian, berdasarkan konsepsi tektonik, gunungapi di Lantai Samudera tidak seberbahaya dibandingkan gunungapi yang terbentuk di tepian benua aktif.

Gambar 3. Gambaran geomorfologi pada zona subduksi dan kenampakan seamount di kerak samudera India, sumbu palung laut dan prisma akresi di lepas pantai Bengkulu. 2. Geomorfologi Palung Laut Palung laut merupakan bentuk paritan memanjang dengan kedalaman mencapai lebih dari 6.500 meter. Umumnya palung laut ini merupakan batas antara kerak samudera India dengan tepian benua Eurasia sebagai bentuk penunjaman yang menghasilkan celah memanjang tegak lurus terhadap arah penunjaman (Gambar 4). Gambar 4. Satuan geomorfologi palung samudra di sebelah selatan Jawa (PPPGL, 2008). Beberapa patahan yang muncul di sekitar palung laut ini dapat reaktif kembali seperti

yang diperlihatkan oleh hasil plot pusat-pusat gempa di sepanjang lepas pantai pulau Sumatera dan Jawa. Sesar mendatar Mentawai yang ditemukan pada Ekspedisi Mentawai IndonesiaPrancis tahun 1990-an terindikasi sebagai sesar mendatar yang berpasangan namun di berarapa bagian memperihatkan bentuk sesar naik. Hal ini merupakan salah satu sebab makin meningkatnya tekanan kompresif dan seismisitas yang menimbulkan kegempaan. Di bagian barat pulau Sumatera, pergerakan lempeng samudera India mengalibatkan terangkatnya sedimen (seabed) di kerak samudera dan prisma-prisma akresi yang merupakan bagian terluar dari kontinen. Sesar-sesar normal yang terbentuk di daerah bagian dalam yang memisahkan prisma akresi dengan busur kepulauan (island arc) mengakibatkan peningkatan pasokan sedimen yang lebih besar (Lubis et al, 2007). Demikian pula akibat terjadinya pengangkatan tersebut maka morfologi palung laut di kawasan ini memperlihatkan bentuk lereng yang terjal dan sempit dibandingkan dengan palung yang terbentuk di kawasan timur Indonesia. 3. Geomorfologi Prisma Akresi Pembentukan prisma akresi di dasar laut dikontrol oleh aktifitas tektonik sesar-sesar naik (thrusting) yang mengakibatkan proses pengangkatan (uplifting). Proses ini terjadi karena konsekuensi dari proses tumbukan antar segmen kontinen yang menyebabkan bagian tepian lempeng daerah tumbukan tersebut mengalami proses pengangkatan. Proses ini umumnya terjadi di kawasan barat Indonesia yaitu di samudra Hindia. Pulau-pulau prisma akresi merupakan prisma akresi yang terangkat sampai ke permukaan laut sebagai konsekuensi desakan lempeng Samudera Hindia ke arah utara dengan kecepatan 6-7 cm/tahun terhadap lempeng Benua Asia-Eropa sebagai benua pasif menerima tekanan (Hamilton, 1979). Oleh sebab itulah pengangkatan dan sesar-sesar naik di beberapa tempat, seperti yang terjadi di Kep. Mentawai, Enggano, Nias, sampai Simelueu yang terangkat membentuk gugusan pulau-pulau memanjang parallel terhadap arah zona subduksi (Lubis, 2009). Gambar 5. memperlihatkan prisma akresi yang naik ke permukaan laut membentuk pulau-pulau prisma akresi di lepas pantai Aceh, sedangkan contoh prisma akresi yang belum naik ke permukaan laut diperlihatkan pada Gambar 6. yaitu prisma akresi di lepas pantai selatan Jawa. Selain itu proses pembentukan lainnya yang lazim terjadi di kawasan ini adalah aktifnya patahan (sesar) dan amblasan (subsidensi) di sekitar pantai sehingga pulau-pulau akresi yang terbentuk terpisah dari daratan utamanya (Cruise Report SO00-2, 2009).

Prisma akresi merupakan wilayah yang paling rawan terhadap kegempaan karena pusat-pusat gempa berada di bawahnya. Batuan prisma akresi memiliki ke-khasan tersendiri yaitu ditemukannya batuan campur-aduk (melange, ofiolit) yang umumnya berupa batuan Skist berumur muda. Sejarah kegempaan di kawasan ini membuktikan bahwa episentrum gempagempa kuat umumnya terletak pada prisma akresi ini karena merupakan gempa dangkal (kedalaman < 30 Km). Gempa kuat yang pernah tercatat mencapai skala 9 Richter pada tagl 26 Desember 2004. Beberapa ahli geologi juga masih mengkhawatirkan suatu saat akan terulang gempa sebesar ini di kawasan barat Bengkulu, karena prisma akresi di kawasan ini masih belum melepaskan energi kegempaan (locked zone) sementara kawasan disekitarnya sudah terpicu dan melepaskan energi melalui serangkaian gempa-gempa sedang-kuat. Di Sumatera ditemukan dua prisma akresi, yaitu accretionary wedge 1 di bagian luar & accretionary wedge 2 di bagian dalam outer arc high yang memisahkan prisma akresi dengan cekungan busur muka (Mentawai forearc asin). Adanya outer arc high yang memisahkan dua prisma akresi tersebut mengalibatkan sedimen yang berasal dari daratan induknya tidak dapat menerus ke bagian barat tetapi terendapkan di cekungan busur muka.

Gambar 5. Geomorfologi prisma akresi yang naik kepermukaan sebagai pulau prisma akresi di lepas pantai sebelah barat Aceh.

Gambar 6. Geomorfologi prisma akresi di selatan Jawa yang belum muncul ke permukaan laut. Geomorfologi Cekungan Busur Muka Survey kemitraan Indonesia-Jerman Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tahun 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil. Hasil interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi cekungan busur muka Simelue merupakan cekungan a-symetri laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-1.500m, makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai 5.000m lebih. Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar mendatar (kelanjutan Sesar Mentawai?) yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga mengakibatkan deformasi struktur batuan sedimen pada tepian cekungan. Berdasarkan seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan terjadi pematangan sebagai source rock (IPA, 2002). Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju pengendapan yg relatif cepat di laut dalam, demikian pula dengan pengaruh proses pematangan diagenesa volkanisme di bagian timur yang jaraknya terlalu jauh. Salah satu contoh terbaik terbentuknya cekungan busur muka adalah cekungan Lombok yang telah teridentifikasi memiliki komponen toponimi yang lengkap, seperti koordinat (x,y,z), batas-batas cekungan, luas, kedalaman, dsb. (Gambar 7).

Gambar 7. Geomorfologi cekungan Lombok sebagai cekungan busur muka (PPPGL, 2008) Cekungan sedimentasi .Asal muasal cekungan tidak pernah dibahas secara mendetail tapi bentuk dan keterdapatannya selalu bisa di identifikasi. Cekungan Sedimentasi suatu cekungan yang terjadi akibat proses tektonik dimana tempat tersebut menjadi wadah untuk menampung segala proses sedimentasi. Sempat membaca apabila kita berbicara mengenai cekungan sedimentasi ,maka sama saja kita membayangkan sebuah baskom dimana baskom tersebut merupakan tempat untuk menampung air.

Baskom itu biasa di gunakan untuk menampung air. Disitulah letak kuncinya dimana terjadi

sedimentasi terbanyak pada lingkungan air. Mulai dari Upstream sampai downstrem aliran air ada yang membawa material hasil erosi dari luar maupun dari dalam atau dari kikisan pada dinding sungai. Yang kemudian terdeposit pada suatu wadah berupa danau ataupun laut. Sejalan dengan aktivitas organisme dan mikroorganisme yang ikut terkubur bersamaan dengan pengendapan dalam suatu wadah yang di sebut cekungan.

Cekungan Sedimentasi Berjalan dengan terkubur organisme dan mikroorganisme tersebut pada cekungan sedimentasi yang kemudian terus berlangsung proses pengendapan. Yang akhirnya terjadi proses pembebanan sehingga timbul tekanan di dalam bersamaan dengan adanya temperature dari dalam maka organisme dan mikroorgainisme menjadi fluid. Berkaitan dengan unsur carbon yang dibawa dari luar ataupun dalam maka terbentuklah oil and gas dan juga batubara dalam waktu jutaan tahun, yang sampai sekarang digunakan sebagai sumber energi (khususnya di Indonesia). Di Indonesia energi tersebut diklasifikasikan sebagai sumber energi primer. Begitulah hasil jalan-jalan dalam pikiran mengenai cekungan sedimentasi, bukan dari literature tapi dari hasil pemikiran sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bott , M. P and Kusznir, N. J. 1984. The Origin of Tectonic Stress in The Lithosphere tectonophysics 105 1- 14. Cruise Report SO200-2., 2009. Subduction Zone Segmentation and Controls on Earthquake Rupture: The 2004 and 2005 Sumatera Earthquakes. National Oceanography Centre, Southampton University, UK. Curray, J.R., Emmel F.J., Moore D.G., and Raitt R.W., 1982. Structure, Tectonics, and Geological History of the Northeastern Indian Ocean. The Indian Ocean, The Ocean Basin and Magins, vol. 6. Davies, G. F. 2001. Dynamic Earth. Cameroon University Press. ISBN 0-273-01590 Duxbury, A.S.; Hison J.D; and Alex R.D., 1991. An Introduction To The Worlds Ocean. 3th Edition. Wm.C. Brown Publisher. Chicago. Gross, M.G., 1993. Oceanography, 6th Edition. Prentice-Hall Inc, Company Englewood GINCO-1, 1999. Geoscientific Investigations on the Active Convergence Between the East Eurasian and Indo-Australian Plates Along Indonesia, Cruise Report, Sonne Cruise So-137 (Unpublished). Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Government Printing Office, Washington DC. IPA, 2002. Indonesia Basins, April 23, 2002 EK, IPA Publication. Katili, J.A., 2008. Tectonics and Resources: Collection og Geological Studies. Marine Geological Institute, Bandung. Kennett, J., 1982. Marine Geology. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Kenyon, P. M. And Turcotte, D. L., 1983. Convection in a Two Layer Mantle With a Strongly Temperatur dependent Viscosity. Jounal Geographic. Res.88 B8 64036414. Lubis S, Hutagaol P.J., and Salahuddin M, 2007. Tectonic Setting in the Vicinity of Subduction Zone off West Sumatera and South Java. Proceeding APRU/AEARU Research Symposium 2007, Jakarta. Lubis, S., 2009. Pengelompokan Pulau Pulau Kecil Indonesia: Kiprah Geologi Kelautan. PPPGL, Bandung. Rogers J.J.W. and J.A.A. Adams, 1966. Fundamentals of Geology, Harper & Row, Publisher Inc. New York. S R Taylor, S. R and S. M. McLennan.1996. The evolution of continental crust. Sci Am. p7681 Thurman, H.V., 1990. Essentials of Oseanography 4thEdition. Merril Publishing Company. New York.