catatan untuk komentar terhadap sadur

49
Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku Penghilangan dan Penyesatan dalam Pengkajian Sastra Melayu/Indonesia Amin Sweeney Siapa tahu, judul ini akan mencetuskan bayangan antik-antik pemerintah yang represif, tak kira Malaysia, entah Indonesia. Maaf, kerajaan dan pemerintah masing-masing baik- baik saja. Lebih seru lagi, agen pembungkaman ialah lembaga asing. Sayangnya, bukan Mossad, bukan CIA, melainkan—ya anti-klimaks sedikit— EFEO Jakarta. Pada tanggal 8 Desember 2009, saya menerima hadiah buku yang baru diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), karena saya salah satu pengarang yang diundang menyumbangkan artikel untuk buku tersebut. Ya, memang artikel itu termasuk prosiding seminar di Paris 1 yang mendasari buku baru ini. Ya, seluruh biaya untuk saya ke Paris pada tahun 2002 itu ditanggung pihak promotor Prancis. Makalah asli yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan atas prakarsa promotor tersebut. Karena terjemahan itu jauh dari memuaskan, makalah itu saya alihbahasa-budayakan sendiri ke dalam bahasa Melayu/Indonesia tujuh tahun yang lalu. Makalah versi Inggris juga telah menerima sentuhan seorang copy editor, yaitu Ibu Rosemary Robson. Versi-versi final telah 1 “International Workshop: The History of Translation in Indonesia and Malaysia”, yang ditaja oleh UMR 8093 (CNRS – EHESS) dan École française d'Extrême-Orient. Bengkel ini diadakan di Centre International d'Études Pédagogiques (CIEP), 1 av. Léon Journault, 92318 Sèvres, Paris, Selasa 2 – Jumat 5 April 2002

Upload: dangphuc

Post on 27-Dec-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Penghilangan dan Penyesatan dalam Pengkajian Sastra Melayu/Indonesia

Amin Sweeney

Siapa tahu, judul ini akan mencetuskan bayangan antik-antik pemerintah yang represif, tak kira Malaysia, entah Indonesia. Maaf, kerajaan dan pemerintah masing-masing baik-baik saja. Lebih seru lagi, agen pembungkaman ialah lembaga asing. Sayangnya, bukan Mossad, bukan CIA, melainkan—ya anti-klimaks sedikit—EFEO Jakarta.

Pada tanggal 8 Desember 2009, saya menerima hadiah buku yang baru diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), karena saya salah satu pengarang yang diundang menyumbangkan artikel untuk buku tersebut. Ya, memang artikel itu termasuk prosiding seminar di Paris1 yang mendasari buku baru ini. Ya, seluruh biaya untuk saya ke Paris pada tahun 2002 itu ditanggung pihak promotor Prancis. Makalah asli yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan atas prakarsa promotor tersebut. Karena terjemahan itu jauh dari memuaskan, makalah itu saya alihbahasa-budayakan sendiri ke dalam bahasa Melayu/Indonesia tujuh tahun yang lalu. Makalah versi Inggris juga telah menerima sentuhan seorang copy editor, yaitu Ibu Rosemary Robson. Versi-versi final telah dikirimkan kepada saya oleh pihak École française d’Extrême-Orient (EFEO).2

1 “International Workshop: The History of Translation in Indonesia and Malaysia”, yang ditaja oleh UMR 8093 (CNRS – EHESS) dan École française d'Extrême-Orient. Bengkel ini diadakan di Centre International d'Études Pédagogiques (CIEP), 1 av. Léon Journault, 92318 Sèvres, Paris, Selasa 2 – Jumat 5 April 2002

2 Fail-Fail: sweeney-E-revision; sweeney-RR; sweeney-I-as.

Page 2: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Alkisah walaupun KPG menjadi penerbitnya, tetapi dalam kasus edisi Indonesia buku ini, yang berjudul Sadur; Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, ternyata bahwa KPG hanya menerbitkan begitu saja bahan yang diserahkan oleh pihak EFEO tanpa dikutak-katik. Maka ketika membelek-belek halaman buku tersebut, kami, yaitu teman-teman di KPG dan saya baru saja melihat bahwa artikel saya sudah tercecer dari Sadur ini. Ya, lebih tepat, dicecerkan oleh pihak EFEO tanpa pemberitahuan apapun pada KPG atau saya. Lucu, karena hanya satu saja orang Malaysia yang diundang menghadiri seminar di Paris. Aku! Untung, orang Malaysia ini tidak dikurung dalam Tugu Selamat Datang bohongan bersama nama-nama penyumbang makalah yang lain. Pengap! Lihat saja sampul bukunya. Hanya dua orang yang lolos. Mereka berdiri di atas tugu, melambai-lambai kelegaan!

Sebenarnya, kata-kata “lega” dan “lolos” bukan candaan. Ironisnya, justru artikel yang dihilangkan itu menjadi saksi, karena di situ terpapar keraguan saya tentang kemungkinan puluhan makalah, hasil seminar, dapat diolah menjadi sebuah sejarah terjemahan yang koheren dan terpadu sebagai keseluruhan. Jelas, kenyataan jauh lebih buruk daripada yang

dikhawatirkan. Masalahnya bukan dengan tulisan undangan per se, yang berjumlah lebih daripada enam puluh artikel, melainkan dengan wadah yang menampungnya. “Pendahuluan”, yang seharusnya menjadi bab kunci, tidak berhasil memperlihatkan

2

Page 3: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

sebuah kerangka sejarah yang bakal memberi struktur pada buku ini. Yang disajikan hanya rentetan gagasan usang yang sering keliru serta saling bercanggahan. Pemikiran ini diperkembangkan dalam bab “Transkripsi Sebagai Terjemahan”, yang tidak ada sangkut-paut dengan terjemahan antara bahasa. Bab tersebut, yang tidak disampaikan di Paris melainkan baru selesai ditulis pada tahun 2009, merupakan bab yang paling bermasalah dalam seluruh buku. Kenyataan ini akan diperlihatkan secara terperinci di bawah.

Bisa dibayangkan ada pembaca yang akan menyangka bahwa tulisan saya ini dicetuskan oleh perasaan tersinggung. Maaf, perasaan pribadi tidak harus ada tempat di sini. Saya menulis ini untuk meluruskan yang bengkok. Usaha ini dimulai dalam artikel yang dihilangkan, karena sebagian artikel tersebut seolah-olah menjadi “pra-resensi” terhadap buku Sadur yang belum berwujud! Sebenarnya kritikan saya merupakan tanggapan terhadap proposal yang mendasari proyek Sadur, dan sebagian besar “Pendahuluan” didasarkan pada proposal tersebut. Nah, sudahlah suara saya dibungkam, ternyata masalah belum selesai. Meskipun Bpk. Chambert-Loir mengira perlu membicarakan Hikayat Abdullah dalam kedua bab yang ditulisnya, ia berpura-pura seolah-olah edisi Hikayat Abdullah saya tidak berwujud, padahal suara saya sepertinya tidak luput dari benaknya ketika menulis, karena masih kedengaran dalam tulisannya. Sebagian signifikan tulisan Bpk. Chambert-Loir tentang “Transkripsi” dalam Sadur itu pula ditujukan kepada saya. Ini juga bukan gede rasa! Dapat dibuktikan. Selain edisi Hikayat Abdullah, perbandingan surel (e-mail) Bpk. Chambert-Loir dengan tulisannya dalam Sadur memperlihatkan beberapa bagian yang sama, verbatim. Tulisannya ini dalam sebuah buku yang mungkin tersebar luas bakal menyesatkan pembaca

3

Page 4: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

yang bukan ahli. Saya bernafas dengan bahasa Melayu/ Indonesia selama setengah abad. Saya berhasrat melihat bidang saya ini hidup subur pada masa depan.

Judul buku ini mengelirukan. Pertama, ini bukan sebuah sejarah; paling-paling dapat disebutkan survei. Kedua, dan lebih serius, judul ini merupakan pengiklanan palsu. Siapa saja yang membeli buku ini dengan harapan membaca tentang sejarah Malaysia pantas meminta uangnya dikembalikan. Tujuan promotor proyek ini kelihatan dalam proposal awal, sebagaimana disinggung dalam artikel saya. Hanya “Indonesia dan Malaya” disebutkan! Maaf, ya, Malaysia sudah lama merdeka. Tidak ada satu pun tulisan dari orang Malaysia dalam buku. Dan tulisan ini semua atas undangan. Terdapat hanya secebis informasi tentang Malaya, dan Malaysia tidak disentuh.

Timbullah tanda tanya: bagaimana buku ini lolos diterbitkan oleh KPG, sebuah penerbit yang sangat profesional dan harum namanya? Seri saya, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, 1-3, (seterusnya: KLAAKM) diterbitkan KPG dengan cara yang sangat memuaskan. Masalahnya, KPG seolah-olah terikat oleh semacam kesepakatan dengan agensi Prancis, EFEO. KPG sebagai penerbit “bekerjasama” dengan EFEO. Dalam kenyataan, ini berarti bahwa bahan siap cetak diserahkan kepada KPG, yang tidak diizinkan membuat perubahan apapun. KPG yang memiliki segala fasilitas sebagai penerbit sepertinya harus tunduk pada mitos ‘kelebihan Eropa’. “Kerja sama” begini tanpa penilaian luar yang independen membawa risiko buat penerbit. Buktinya justru buku ini. Walau tanpa penilaian luar sekalipun, seandainya pihak KPG membaca secara terperinci naskah yang diserahkan kepadanya, pasti kaget. Lihat saja berapa banyak salah cetak dan kekeliruan dasar yang lain

4

Page 5: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

dalam bab “Transkripsi Sebagai Terjemahan”, tulisan penyunting buku ini sendiri.3

Baik. Ini bukan buku sejarah terjemahan di Malaysia. Ini buku sejarah? Ini buku? Sebuah buku ilmiah atau semi-ilmiah harus mengandung indeks. Tanpa indeks, tulisan itu paling-paling dianggap sebagai sebuah monograf. Oleh Bpk. Chambert-Loir indeks itu dianggap tidak penting. Malah EFEO Jakarta tidak memiliki kemampuan untuk menyusun sebuah indeks.4

Sayang sekali, begitu banyak sumbangan yang cemerlang oleh puluhan orang diberi wadah yang begini menyedihkan. Dalam Jilid 2 seri KLAAKM, saya menghujat tulisan yang membibitkan potongan ilmu palsu mengenai Abdullah sehingga menjadi ‘klise terbang’ yang menyesatkan. Dalam buku Sadur, penyunting terdorong untuk membicarakan tulisan Abdullah Munsyi dalam dua bab yang ditulisnya. Dalam kedua bab itu dinyatakan bahwa Hikayat Abdullah itu “mahakarya Abdullah Munsyi (1847)”. Ini bukan salah cetak karena diulang bahwa Hikayat Abdullah “pertama kali terbit tahun 1847”. Juga:

Kutipan ini berdasarkan Kassim Ahmad (ed.) 2004: 128-132. Nomor halaman merujuk pada

3 Mungkin perlu diterangkan bahwa saya menawarkan seri KLAAKM kepada KPG, bukan kepada EFEO. EFEO kemudian meminta diturutsertakan dalam proyek ini. Selama saya mengerjakan Jilid 1 dan 2, memang dapat ‘kerja sama’ yang luar biasa menyenangkan dari pihak EFEO Jakarta di bawah pimpinan Daniel Peret dan Andrée Feillard. Pejabat EFEO berikut, Bpk. Chambert-Loir mungkin kurang paham situasi, sehingga ia berusaha keras untuk mengambil alih penyelenggaraan Jilid 3. Masalahnya, EFEO bukan penerbitnya! Ini semua disayangkan karena ketika masih di Paris, beliau mengirimi saya informasi yang sangat berguna tentang bahan yang tersimpan di Paris.

4 Jika dikatakan bahwa cetak ulang buku Denys Lombard dari EFEO memang ada indeks, ya benar. Saya yang membuatnya. Gratis, tanpa penghargaan! Nah, ini baru sakit hati!

5

Page 6: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

dokumen asli, yakni litografi tahun 1847 (hlm. 19).

Meskipun saya pernah (tahun 2006) menegaskan kepada Bpk. Chambert-Loir bahwa Hikayat Abdullah pertama kali dicetak pada tahun 1849, kesalahan ini tetap dimunculkannya.

Lebih menyesatkan lagi adalah kenekatan Bpk. Chambert-Loir (seterusnya HC-L) untuk terus-menerus memutarbalikkan konsep transliterasi dan transkripsi. Ini menghasilkan pendekatan yang sangat eksentris dalam usaha penyuntingan teks Melayu beraksara jawi. Anehnya, satu bab tentang “transkripsi” diselipkan dalam buku mengenai terjemahan ini.

Dalam yang berikut saya mulai dengan sorotan utama terhadap bab berjudul “Transkripsi Sebagai Terjemahan”.

Kesan Pertama “Transkripsi Sebagai Terjemahan”Pandangan sekilas langsung memperlihatkan betapa mentah keadaan teks ketika dicetak. Jangankan ada pengeditan; hasil ketikan pun tidak dibaca ulang. Maka terdapat bentuk seperti ‘pernerjemahan’, ‘pernerjemah’, ‘menerjemahakan’; kata ‘ditranskripsi’ menjelma sebagai ‘ditanskripsi’, ‘ditranskrispi’ dan ‘ditransripsi’. Juga ‘menhapuskan’, ‘kirannya’, ‘piliahan’, ‘penyutingan’, ‘terjandung’, ‘Salalat al-Salatin’, ‘semerta’, dan seterusnya.

Di beberapa tempat, bahasa dalam artikel juga meminta perawatan. Ini bukan mau nyinyir tentang gaya bahasa, melainkan menegur kalimat yang kurang jelas artinya. Misalnya:

Soal apparatus criticus ialah sejauh mana mau kelihatan di samping teks (hlm. 799).

6

Page 7: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

…memaksakan sebuah irama yang kiranya sangat berbeda dengan teks itu patut dibaca (hlm. 804).

Di sini pun [tentang tanda baca] seperti dalam contoh lain di atas, apa yang dalam tulisan Jawi bersifat potensial dijadikan nyata berwujud dalam tulisan Latin (hlm. 804).Melihat bagaimana HC-L berulang kali berseru

tentang betapa perlunya Ejaan yang Disempurnakan ditaati, maka terasa ironi setitik ketika ia sendiri tetap memilih memakai beberapa bentuk ejaan tidak baku, seperti ‘nasehat’, ‘formil’, ‘hakekat’, dsb. Untuk kata ‘sastra’ ia konsisten dengan EYD. Mengapa pula digunakan dengan tidak kurang konsisten ejaan Malaysia ‘kesusasteraan’? Saya menerima saja dengan segala toleransi. Hanya terasa alangkah baik jika diamalkan segala yang dikhotbahkan.

Terdapat beberapa kekeliruan yang menarik. Misalnya, tentang kelahiran Abdullah Munsyi:

Selanjutnya kebanyakan penulis terus membuat perkiraannya sendiri (1895, 1896, 1897) [sic] sambil terus salah menafsirnya [sic] kalimat kunci (hlm. 804).

Kiranya aksara jawi yang dimaksud:…kesusasteraan Melayu lama yang bertulisan Jawa (Arab)… (hlm. 792).

Pengarang dan KhalayakMenghadapi sebuah teks, pembaca perlu bertanya: siapa berbicara dengan siapa dengan tujuan apa? Apa dampak yang dikehendaki pembicara dari khalayaknya? Cara-cara apa yang dimanfaatkan pembicara untuk meyakinkan khalayaknya, serta tentang apa? Baik pembicara maupun khalayaknya merupakan ciptaan pengarang. Mereka hidup dalam

7

Page 8: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

teksnya5. Pembaca yang berdarah daging ditawari peranan sebagai khalayak andaian yang tersirat dalam teks tadi. Pokoknya, khalayak andaian bukan orang, melainkan satu peran ciptaan yang terdiri dari jalinan nilai, gagasan, dan norma tadi yang dapat diterima atau ditolak oleh manusia yang membaca tulisan itu.

Jelas bahwa khalayak yang diandaikan dalam tulisan ini pembaca awam, yang perlu diberi tahu segala sesuatu tentang penyuntingan teks apalagi naskah Melayu. Antara lain harus diterangkan apa itu apparatus criticus, edisi diplomatik, dan resensi. Tentang edisi yang pernah diterbitkan:

Semua teks itu merupakan hasil kerja sejumlah penyunting, yakni akademisi yang mempunyai pendidikan filologi di universitas dan yang menghasilkan buku-buku tercetak dalam tulisan Latin atas dasar teks-teks bertulisan lain yang terkandung dalam naskah-naskah kuno (hlm. 792).

Tentang teks yang diterjemahkan:Teks-teks tersebut diterjemahkan pada periode yang berbeda-beda dan dalam konteks yang berbeda pula tetapi akhirnya menyatu dalam keseluruhan tradisi tulis Indonesia. (hlm. 12).

Tentang rahasia filologi (yang menjemput senyum!):…Bo' Sangaji Kai, tetapi teksnya begitu korup sehingga baru dapat direstitusikan dan dimengerti melalui suatu pekerjaan filologi yang cukup rumit (lih. Chambert-Loir & Salahuddin… (hlm. 17).

Tentang van Ronkel: …seorang pakar Belanda masa lalu (hlm. 794).

Kepada pembaca teks Muhammad Bakir:

5 KLAAKM , Jilid 1:17-20.

8

Page 9: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Dan siapa mengingat asal kata “kolam”? (hlm. 801).

Oh ya, tetapi khalayak ini tahu pula maksud “huruf Jawi”.

Bagaimanapun, HC-L dapat melampaui pengandaian khalayak biasa sebagai jalinan halus nilai, gagasan, dan norma. Ia menciptakan langsung pembaca utuh, menyapurata dalam tanggapannya terhadap pembaca yang dibayangkannya secara umum serta memperlihatkan bakatnya membaca pikiran pembaca itu:

Khalayak pembaca, seperti juga sejumlah ahli filologi, percaya bahwa dalam hal edisi naskah, masalah baru mulai dengan adanya beberapa naskah… Sebetulnya, masalah mulai dengan keperluan mentranskripsikan naskah, sekalipun tunggal (hlm. 799).

dan…karena nama Drewes yang benar-benar patut dikagumi dan dihormati, maka pembaca cenderung menganggap sedang membaca sebuah edisi diplomatik (hlm. 798).

Meskipun ini seolah-olah meremehkan ‘pembaca’, tapi lebih mungkin HC-L, secara sadar atau tidak, hanya mengajukan sebagai reaksi umum apa yang dirasakan normal buat dirinya sendiri. Maaf, itu bukan reaksi saya. Saya pula yang menulis artikel resensi terhadap kerja Drewes dan Brakel.

Masih menyerempet soal khalayak, ketika seorang pengarang berusaha mengajukan argumentasi khususnya, ia harus berhati-hati. Jangan dulu diasumsikan bahwa pengalaman dan reaksi pembaca dapat diterima jadi akan mirip dengan yang diutarakan pengarang sehingga terus-menerus digabungkan pembicara dan khalayak dalam teks sebagai “kita”. Misalnya:

9

Page 10: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Telah kita lihat di atas bahwa tulisan Jawi tidak dapat ditransliterasikan… (hlm. 801).

Bila membaca satu teks kita sering puas dengan pengertian yang dangkal atau rumpang (tidak lengkap)… (hlm. 805).

Pungtuasi termasuk proses transkripsi karena sebuah teks dalam tulisan Latin mutlak harus memakai tanda baca. Kita tidak bisa membayangkan sebuah teks bertulisan Latin yang berupa sebuah kalimat tunggal sepanjang 200 halaman (hlm. 803).

Masalahnya, “kita” tidak melihat dan “kita” tidak puas. Begitu juga, jika pembaca merasa bahwa membayangkan teks demikian mudah saja maka sukarlah diterima peranan yang ditawarkan. Malah pembaca, ya saya, akan merasa bosan disajikan alinea sekitar 380 kata panjangnya hanya untuk menggambarkan rupa bentuk teks Latin tanpa tanda baca. Pengarang berusaha mengajukan argumen yang cacat, karena terjebak dalam salah-anggapan bahwa petunjuk baca harus berupa tanda baca Eropa. Padahal teks Jawi mengandung berbagai tanda untuk memudahkan pembacaan. Selain huruf tebal dan rubrikasi, terdapat kata-kata yang berfungsi sebagai tanda baca yang berbunyi6. Abdullah Munsyi juga menyebutkan tempat perhentian dan kuat perlahan dalam pembacaan hikayat. Frasa kuat perlahan memberi indikasi bahwa pembacaan itu dibunyikan. Begitu juga dalam naskah yang tidak menggunakan tanda-tanda baca yang berasal dari Eropa, tempat perhentian merujuk pada kata-kata yang mengisyaratkan tempat bernafas.

Seterusnya, HC-L berusaha memperlihatkan bagaimana pembubuhan tanda baca dalam

6 Lihat Sweeney 1987, A Full Hearing; Orality and Literacy in the Malay World, Berkeley: U.C. Press: 202-240; KLAAKM, 3: 216-219, 555, 558.

10

Page 11: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

“transliterasi” sebuah teks jawi bisa mengakibatkan tafsiran yang keliru. HC-L mengajukan “salah satu contoh yang paling hebat” kekeliruan demikian. Akan tetapi ini kekeliruan HC-L sendiri yang “paling hebat”: contohnya diambil dari terjemahan Hill dalam bahasa Inggris! Dalam teks-teks Melayu (rumi) yang pernah saya baca, tidak ada koma di tempat yang dihebohkan.

Bagi sebagian sarjana Barat, terjemahan Hill sepertinya telah menjadi begitu berwibawa sehingga mampu menggeserkan teks Melayu serta menjadi versi resmi Hikayat Abdullah, ya ‘Hikayat Hill’, meskipun mutu terjemahan itu buruk.7 Karena terkondisi begini, HC-L membesar-besarkan kekeliruan Hill tentang tarikh kelahiran Abdullah sehingga ditampilkannya sebagai penemuan baru. Begitu juga:

Hikayat Abdullah pertama kali terbit tahun 1847 [sic]; perdebatan tentang tahun tersebut mulai sejak tahun 1865 waktu J.T. Thomson… (hlm. 804).

Tidak pernah ada “perdebatan”. Seterusnya:Kita boleh heran bahwa sampai baru-baru ini seorang pakar Malaysia (Kassim Ahmad 2004: 356) masih mengutip interpretasi Hill seolah-olah benar (hlm. 804-805).

Rasanya kurang heran; sudah ada dalam KLAAKM, Jilid 3: xvi. Kekeliruan Hill tentang tentang kelahiran Abdullah juga disebutkan pada halaman yang sama. Oh ya, teks Melayu naskah Thomson juga dari saya…

“Transkripsi”Melihat bahwa khalayak andaian yang tercipta dalam tulisan ini ternyata pembaca ‘awam’ yang tidak memahami kerja mengedit teks, maka agak mengherankan melihat HC-L memaparkan suatu pendekatan yang sangat eksentris. Menurutnya, pengalihaksaraan sebuah teks bersifat transkripsi dan 7 Lihat Sweeney KLAAKM, 3: xiv-xv.

11

Page 12: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

bukan transliterasi. Pengertian yang salah ini disebabkan oleh pengandalan pada etimologi, padahal etimologi hanya balik pada dirinya sendiri dan tidak akan menguraikan makna sebuah kata.8 Salah pengertian mendorong HC-L untuk menyatakan bahwa:

…tidak ada transliterasi (pengalihan huruf demi huruf) dalam bahasa Melayu-Jawi, yang ada hanya transkripsi (pengalihan kata demi kata (hlm. 799).

Seterusnya ia berdebat tetapi tidak jelas dengan lawan bicara spesies apa, sehingga ia merasa perlu menolak “transliterasi” berupa “a d fw n mk” dan seterusnya selama empat baris. Kebetulan, dalam Jilid 3 saya, diberi contoh yang mirip biarpun dengan nada yang berbeda, “Seandainya sebuah pengalihaksaraan berusaha memberi padanan setiap huruf jawi, hasilnya tentu nonsens: mnjadi sprt tulisn aurng gil.”9

Sepanjang artikelnya, HC-L berusaha membuktikan bahwa “transkripsi” (baca: perumian, transliterasi atau pengalihaksaraan) menyamai “terjemahan” (hlm. 792). Malah transkripsi adalah terjemahan. Ya, boleh saja diterima bahwa pengalihaksaraan itu merupakan sejenis penerjemahan. Kedua-duanya memerlukan interpretasi, transformasi, pemindahan. Maka untuk sampai ke situ tidak perlu sebuah artikel. Namun, HC-L mencari segala segi dan sisi untuk memperlihatkan kesamaan antara keduanya. Masalahnya, ini jalan yang beranjau lagi buntu, karena mau tak mau tidak boleh ditutup-tutupi lagi jurang perbedaan yang menganga dalam konteks spesifik. Meskipun trans-literasi dan terjemahan melibatkan transformasi atau translasi, jenis transformasinya sangat berbeda.

8 Frederic Jameson, 1972, The Prison House of Language, Princeton University Press: 6.

9 KLAAKM, 3: 204.

12

Page 13: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Kutipan berikut dimulai dengan sebuah non sequitor. Yang mendahuluinya justru usaha yang keliru untuk menolak jenis “transliterasi” yang sia-sia. Makanya tidak masuk akal jika alinea berikut dimulai dengan “Maka jelas”. Tetapi yang menjadi fokus di sini adalah “Buktinya yang paling nyata”:

Maka jelas transkripsi merupakan perombakan teks yang mutlak. Buktinya yang paling nyata, ialah dua edisi dari satu teks selalu berbeda. Lihat misalnya keempat edisi naskah Raffles 18 (satu versi Sulalat al-Salatin); perbedaan antaranya adalah hasil berbagai kekeliruan yang dibuat oleh masing-masing penyunting, bukan karena memakai metode yang berlainan… (hlm. 799).

Sebuah perumian yang jelek tidak menjadi bukti bahwa proses perumian per se merupakan perombakan! Jika ingin dikatakan bahwa sebuah transliterasi merupakan hasil perombakan, pembongkaran, transformasi dsb., ya silakan saja; itu tidak perlu dibuktikan lagi. Kritikan panjang lebar terhadap edisi Sulalat al-Salatin yang disunting Muhammad Haji Salleh, jika tepat, hanya akan memperlihatkan perombakan yang kacau. Tidak ada fungsinya di sini.

Kemampuan HC-L melihat ke dalam benak manusia lain tidak terbatas pada pembaca:

Penyunting yang memilih metode pertama, seperti juga penyunting yang hanya memiliki satu naskah saja, percaya bersikap seratus persen obyektif waktu mentranskripsikan naskah tersebut dengan hati-hati… (hlm. 798).

Pertamanya, konsep “obyektif” sudah usang, serta jarang lagi dipakai orang terdidik, sebab tidak ada yang bisa dilihat secara obyektif. Tetapi, anehnya, HC-L mendasarkan wahyunya hanya atas pernyataan “tulus” dua orang yang mengatakan bahwa

13

Page 14: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

perumiannya dilakukan “seadanya”.10 Perasaan hati orang yang akan menyunting juga tidak tersembunyi:

Sebuah edisi teks hampir selalu merupakan pilihan suatu versi di antara versi lain; pilihan itu mengikuti patokan yang bersifat “modern” dan “ilmiah”… (hlm. 795).

Berarti para penyunting ingin berlagak saja!

TeksHC-L bertanya, “Apa hakekatnya sebuah teks?” Setelah memberi tahu bahwa teks terdapat dalam berbagai bentuk naskah, ia mengatakan:

Ada alasan tertentu kenapa [sic] teks-teks itu berada dalam bentuk naskah yang berbagai dan beraneka ragam (hlm. 793).

dan alasan itu?memang demikianlah keadaan suatu teks dalam konteks tradisional (hlm. 793).

Maaf, ini tidak membantu. Alangkah baiknya jika HC-L membiasakan dirinya dengan studi Noetika, atau Kelisanan dan Keberaksaraan yang dapat menguraikan berbagai masalah tentang budaya kirografis atau pernaskahan. Walter J. Ong, penulis terkenal tentang noetika, memang memulai karirnya sebagai seorang filolog tradisional. Setelah Pak A. Teeuw sudah pensiun, beliau juga sadar tentang peri perlunya perkembangan ini. Lihat saja resensinya dalam Kompas (31 Oktober, 1988) terhadap buku A Full Hearing, Orality and Literacy in the Malay World. Oh ya, maaf lagi. Itu buku saya…

Seterusnya, HC-L sampai pada mendefinisikan konsep “teks”.

10 Tentang pemakaian bahasa yang ‘patut’, yang sering dibaca orang asing secara harfiah, lihat KLAAKM, 2: 258; 3: 120.

Page 15: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Setiap kali, “teks” bertambah dengan sebuah unsur baru, namun tetap dapat didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan naskah yang berjudul demikian (hlm. 794).

Menurutnya, sebuah teks merupakan akumulasi keseluruhan, tetapi kata “teks” diberi tanda kutip. Lalu:

Transkripsi dan penerbitan satu unsur dari teks itu (baik transkripsi satu naskah maupun penyuntingan beberapa naskah) berakibat unsur tersebut tiba-tiba menjadi “teks”-nya sendiri (hlm. 794).

Berarti tulisan dalam sebuah naskah yang, menurut kebiasaan dianggap sebagai teks, hanya merupakan satu unsur dari teks, sehingga jika diselenggarakan, baru menjadi “teks” yang mendapat giliran ditanda-kutipi. Supaya jelas, HC-L mengulang definisi “teks”:

Kembali kepada definisi satu teks sebagai keseluruhan naskah-naskah yang berjudul sama… (hlm. 794).

Paham ini mirip dengan anggapan Brakel (1980:128-30) bahwa “teks” merupakan “konsep yang agak abstrak”. Saya mengira bahwa anggapan demikian sudah terkubur tiga puluh tahun yang lalu, seusai polemik Russell Jones (1980), Brakel (1980), dan Kratz (1981)11.

JudulMendefinisi konsep teks dengan ukuran semua naskah yang berjudul sama berarti menempuh jalan yang banyak ranjaunya, yang malah membawa ke lingkaran setan. Kata HC-L:

11 Lihat juga Sweeney, A Full Hearing (1987:29-30), yang membicarakan polemik tersebut serta memberi rujukan seperlunya.

Page 16: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Para penyunting teks lama biasa memberikan sebuah judul kepada teks yang disuntingnya (hlm. 794).

Jika begitu, penyuntinglah yang menciptakan “teks”.12

Ya, sudah tentu, pengumpulan naskah itu berdasarkan isinya, baru diberikan judul. Tetapi definisi teks tadi lebih terancam lagi, karena:

Ternyata judul itu acap bermasalah, karena banyak teks tidak mempunyai judul, bahkan di luar bidang agama, belum tentu konsep judul ada dalam tradisi Melayu. Kalau satu teks mulai dengan kalimat, “Ini Hikayat Dewa Mendu”, barangkali harus diartikan “ini cerita seseorang bernama Dewa Mendu”, bukan “Ini teks yang berjudul Hikayat Dewa Mendu” (hlm. 794).

Ini luar biasa eurosentris. Tentu saja Hikayat Dewa Mendu berarti cerita/ kisah, ya, hikayat Dewa Mendu. Tidak ada “barangkali”-nya. Berarti jika tidak bermakna “teks yang berjudul Hikayat Dewa Mendu” maka bukan judul namanya? Aneh-aneh ’aja. Perlu ditegaskan bahwa konsep judul, atau lebih baik dalam konteks sastra Melayu, “tajuk cerita”, tidak semestinya mirip dengan istilah titre atau title bahasa Eropa. Makanya, misalnya, “Hamba ini Syair …” tetap merupakan tajuk. Dan jika tiada tajuk sama sekali, biasanya akan diberi tajuk dalam interaksi lisan.

Saya pernah membicarakan hal tajuk atau judul dengan panjang lebar dalam buku Malay Word Music

12 Ada kalanya teks diberi cap ‘wujud’ hanya setelah diselenggarakan oleh penyunting Eropa. Membaca tulisan HC-L, teringatlah saya pada beberapa teks yang disunting oleh mahasiswa saya di Universiti Kebangsaan Malaysia sebagai Latihan Ilmiahnya pada tahun 1974. Saya pernah merujuk pada teks tersebut dalam tulisan saya sejak tahun 1975. Lihat misalnya rujukan pada Hikayat Maresekalek, Hikayat Raja-raja Siam, Hikayat Perintah Negeri Benggala dalam Sweeney, Reputations Live On, Berkeley: University of California Press, 1980: 12.

Page 17: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

(Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1994, bab 2). Di situ juga dibahas konsep teks. Filologi yang mengabaikan media lain dari pernaskahan adalah filologi terkandas. Malah filolog yang akan membicarakan peralihan dari budaya pernaskahan ke budaya percetakan perlu berkecimpung sedikit banyak dalam lautan ilmu noetika. Tanpa konteks demikian, pembicaraan mengenai pemindahan dari bentuk naskah ke bentuk buku—yang hanya melihat aspek pengalihaksaraan naskah jawi menjadi edisi teks rumi—akan bersifat sangat simplistis, sebagaimana bagian “Perubahan Konteks Sosial”. Misalnya:

Naskah biasanya dimaksudkan untuk dibacakan seseorang di depan umum dengan suara lantang. Buku dimaksudkan untuk dibaca seorang individu secara diam. Ciri ini sudah banyak dibicarakan (hlm. 793).

Pernyataan ini jelas tidak terbatas pada persiapan edisi aksara Latin. Ya, ciri ini sudah banyak saya bicarakan, yaitu interaksi di antara bentuk naskah dan cetak. Kedua-duanya bisa berbentuk buku, jadi biarlah disebut buku cetak saja di sini. Jika buku cetak dimaksudkan dibaca secara diam, baik juga ditanya “dimaksudkan” oleh siapa? Belum tentu oleh pencetak; malah maksud pencetak belum tentu relevan apalagi mungkin tidak diketahui. Buku berbentuk cetak batu (litografi) memang pernah didendangkan depan umum.13 Yang penting adalah maksud pengarang. Munsyi Abdullah justru menulis pada zaman peralihan dari pernaskahan ke percetakan. Hikayat Abdullah mula-mula dihasilkannya sebagai naskah pada tahun 1843. Kemudian pada 1849, diselesaikan revisinya dalam bentuk… naskah juga! Tetapi naskah untuk dicetak

13 Lihat Sweeney 1980, Authors and Audiences in Traditional Malay Literature, Berkeley. Lihat juga catatan kaki 6 di atas.

17

Page 18: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

batu. Nah ingin saya ajukan pertanyaan: seperti apa petunjuk dalam tulisan Abdullah yang menunjukkan bahwa tulisannya dimaksudkannya untuk dibaca secara diam-diam? *

Anggapan HC-L bahwa, “Tulisan Jawi sebenarnya bukan saja rumpang (tidak lengkap) tetapi juga cacat (tidak memadai)” mungkin tidak terlalu janggal jika contoh yang ditampilkan dilihat dalam konteks keberaksaraan cetak rumi kini. Ya, sejujurnya, teringat pada sikap eurosentris Jack Goody yang melihat tulisan Tionghoa sebagai “protoliterate”.14

Akan tetapi, dalam konteks perkembangan keberaksaraan, pernyataan HC-L hanya memperlihatkan pemikiran statis. Ia tidak mampu menafsirkan bahan yang disorotnya dalam jalinan noetika yang dinamis, yaitu dalam konteks interaksi antara media: kelisanan dan keberaksaraan; seterusnya antara keberaksaraan pernaskahan dan media HC-L sendiri, keberaksaraan cetak. Memang HC-L mengulang beberapa aspek uraian saya yang dahulu lagi,15 tetapi tanpa hasil. Memadailah di sini jika disampaikan kutipan pendek dari buku terkini:

Selanjutnya, dapat diandaikan bahwa biarpun pembaca siratan itu dijangka tidak lagi menunjangi penggunaan formula melainkan mampu memahami gaya bahasa Abdullah yang “baru” itu, namun berkurangnya formula itu harus diimbangi pada peringkat ejaan. Kalau dibandingkan kadar penggunaan formula dengan kadar penggunaan huruf vokal dalam tulisan Melayu sepanjang empat abad, maka kita melihat suatu corak yang agak jelas: Semakin banyak dipakai ungkapan tetap yang umum diketahui bentuknya, yaitu formula, semakin sedikit digunakan huruf vokal. Semakin berkurangnya pemakaian formula itu, semakin

14 Sweeney 1980, Authors and Audiences: 10-11.15 Lihat Sweeney 1987, A Full Hearing; dan KLAAKM, 2005,

2008.

18

Page 19: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

banyak diperlukan huruf vokal (KLAAKM, Jilid 3: 48).

DanSehubungan dengan ini ialah keluhan para filolog zaman silam tentang tidak konsistennya ejaan dalam naskah lama; terdapat sungutan tentang “kecerobohan” pengarang karena sering terjadi pembauran antara misalnya ‘c’ dan ‘j’; ‘k’ dan ‘g’; ‘gh’ dan ‘ng’. Buat manusia beraksara cetak, masuk akal jika dikatakan bahwa masalah penafsiran ejaan diimbangi pada peringkat formula. Akan tetapi ini sudut pandang yang sungsang. Buat penulis dalam sistem pernaskahan berorientasi lisan, justru karena pengandalannya pada bahasa formulaik untuk berkomunikasi dengan jelas, maka tidak terlintas dalam benak untuk mengembangkan sistem ejaan yang lebih “konsisten”—menurut ukuran sekarang (Jilid 3: 49).

Daftar seperti timbang-tumbang-tambang dan seterusnya merupakan contoh ejaan lama. Sarjana Belanda yang asyik mendirikan hukum ejaan jawi justru memilih ejaan yang kuno seperti ini sebagai dasar:

Penjinakan ejaan Melayu oleh beberapa sarjana Belanda begini tidak berhenti di situ. Hasilnya diwariskan kepada generasi demi generasi siswa Indonesia yang diajari sistem bacaan jawi ketinggalan zaman ratusan tahun (KLAAKM, Jilid 2:56-57).

Menurut HC-L, tulisan bahasa Arab juga “rumpang alias tidak lengkap (defective)”, sehingga “dapat menimbulkan ketaksaan”. Sadarlah bahwa keambiguan diatasi bukan hanya berkat morfologi. Dijamin dengan harakat. Tidak ada ketaksaan.

Ortografi

19

Page 20: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Pengarang-dalam-teks dalam bagian mengenai ejaan berbicara seperti orang yang menderita depresi berat. Pernyataan berikut penuh keluhan yang sama sekali tidak berdasarkan kenyataan:

Wacana tentang filologi Melayu amat jarang, dengan konsekuensi masing-masing penyunting bertolak dari permulaan, seolah-olah tidak ada kemajuan (memang hampir tidak ada), bahkan tidak ada pengalaman selama 200 tahun ini, seolah-olah tidak tercapai hasil apa pun selama ini. Kalau ada pertukaran pendapat, baik secara lisan selama suatu simposium, atau secara diam melalui publikasi, ternyata tidak ada kesepakatan tentang metode filologi yang paling tepat, tidak ada perkembangan yang terus-menerus. Pada tahun 2009 ini, para ahli masih memperdebatkan cara yang terbaik untuk mentranskripsi tulisan Jawi. Apakah patut memakai ejaan modern “yang disempurnakan”, ataukah perlu memakai huruf dan tanda yang menunjukkan bahasa yang bersangkutan bersifat arkais? (Hlm. 800).

Para penyunting bertolak dari nol? Hampir tidak ada kemajuan atau pengalaman (?) selama 200 tahun? Ini nonsens murni. Wacana tentang filologi amat jarang? Tidak! Ya, sebagian sarjana yang meneliti karya sastra pernaskahan memang menghindari julukan “filolog” karena membawa konotasi tertentu yang diwarisi dari zaman kolonial. Akan tetapi pertukaran pikiran antara mereka yang menaruh minat terhadap naskah Melayu sering terjadi. Misalnya, pada tahun 2007, terdapat obrolan bersemangat lewat surel (emel) di antara sekumpulan sarjana mengenai tulisan jawi (‘handwiting again’). Tidak ada masukan sama sekali dari Bpk. Chambert-Loir. Prinsip pendorong HC-L adalah persepsi, perasaan, dan selera pribadi tertentu, yang belum tentu dimiliki orang lain. Keluhan bahwa tidak ada kesepakatan tentang mode transliterasi

20

Page 21: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

(bukan transkripsi!) yang terbaik adalah keluhan pribadi. Memang ada mode pengalihaksaraan yang umum dipakai selama puluhan tahun. Tentu saja terdapat perbedaan tergantung pilihan penyunting masing-masing. Tetapi ada syarat mutlak, yaitu metode transliterasi yang dipakai harus konsisten. Selain itu terdapat sikap luwes dan toleran.

Kekecualiannya justru Bpk. Chambert-Loir sendiri. Makanya kalimatnya—dikutip di atas—yang berbunyi, “Pada tahun 2009 ini…tulisan Jawi” perlu ditanggapi. Tidak ada debat apapun antara “para ahli”. Yang terjadi? Pada tanggal 15 Februari 2006, saya menerima surel dari Bpk. Chambert-Loir yang mengkritik metode “transkripsi” saya serta berusaha memaksa-maksakan mode transkripsinya sendiri. Jika beliau memilih mengumumkan dalam Sadur isi pertukaran pikiran lewat email, ya silakan saja. Tetapi yang diungkapkannya bukan pertukaran pikiran, melainkan hanya pendapat HC-L. Surelnya dari 2006 itu memaparkan pendekatan transliterasi yang eksentris, tidak konsisten, penuh kekeliruan dan bakal menyesatkan. Malah pengirimnya menganut paham yang anti-filologis. Saya membalas surelnya sewajarnya.

Jika saya menyelenggarakan edisi rumi dari karya jawi, termasuk naskah, cetak batu dan cetak huruf, sorotan saya adalah pada teks jawi; tujuan saya ialah menguraikan segala sesuatu mengenai teks itu untuk pembaca edisi rumi. Untuk menjangkau tujuan tersebut perlu sekali diungkapkan prinsip kepengarangan serta perkembangan sistem komposisi yang diandalkan pengarangnya. Usaha ini sangat memerlukan sorotan tajam terhadap sistem ejaan, termasuk berbagai kecenderungan atau malah aliran yang terdapat untuk mencapai tujuan yang sama. Penggapaian ini menghendaki perumian yang menyampaikan informasi sebanyak mungkin tentang teks aslinya, namun perumian tersebut harus tetap

21

Page 22: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

mudah dibaca. Supaya teks tidak dibebani, diadakan komentar terperinci dan anotasi yang lengkap. Yang sulit jangan dipersulit lagi. Betapapun rumit masalah yang dihadapi, bisa dan pantas diterangkan secara sederhana.

Sebuah perumian tentu saja akan berdasarkan ejaan modern yang dimiliki bersama oleh Indonesia dan Malaysia (EYD di Indonesia). Namun untuk menerangkan berbagai hal tentang ejaan Munsyi Abdullah dan penyalin karyanya, termasuk sarjana Belanda, maka diadakan modifikasi kecil seperlunya. Misalnya, tetap dilambangkan dua huruf yang telah disingkirkan dalam ejaan terkini, yaitu ‘ain (‘) dan angka dua (2). Ini diuraikan dengan panjang lebar dalam Jilid 1-3 Seri Karya Lengkap Abdullah. Perbedaan antara ejaan modern Indonesia dan Malaysia tidak menjadi masalah; misalnya, tidak perlu memilih antara hujung/ujung, wang/uang, khabar/kabar, karena/kerana,16 dan sebagainya supaya patuh pada aturan di Malaysia atau Indonesia. Pilihan ditentukan oleh bentuk jawi. Sistem EYD sendiri mengandung banyak bentuk yang tidak “konsisten”. Misalnya, kabar dan Kamis tetapi akhir dan ikhtiar. Sebenarnya ini sangat normal, malah sistem EYD jauh lebih konsisten daripada sistem ejaan bahasa lain yang pernah saya lihat.17 Penciptaan sistem ejaan rumi yang memang muncul dari pengalihaksaraan tulisan jawi menghasilkan sebuah sistem yang cenderung begitu fonemik sehingga kini ada pihak berwenang lagi sinting yang ingin menggiling EYD sehingga tidak ada kekecualian; menyeterika tata bahasa Indonesia sehingga semua tertib pada hukum. Sudahlah menterjemahkan menjadi menerjemahkan; bagaimana pula mempunyai dijadikan memunyai?

16 Baik kerana maupun karena terdapat dalam ejaan jawi Semenanjung Tanah Melayu.

17 Lihat hlm. 26 di bawah.

22

Page 23: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Gilinglah! Seterikalah! Jadikanlah bahasa Melayu ini sistem mekanis tanpa jiwa.

Nah balik ke HC-L, pengarang-dalam-teks di bab Sadur. Menurut HC-L, hasil kerja yang disebutnya “transkripsi” harus ditampilkan dengan EYD. Hebatnya, ia bisa tahu motivasi para residivis yang “tidak mau menaati ejaan modern”. Mereka ingin “menunjukkan secara beruntun bahwa teks yang bersangkutan bukan teks modern”; serta “memakai huruf dan tanda yang menunjukkan bahasa yang bersangkutan bersifat arkais”.

Melihat bahwa beberapa bagian dalam surelnya (2006) dimasukkannya verbatim (dalam terjemahan) ke dalam tulisan Sadur ini, maka sangat mungkin HC-L terpancing oleh pemakaian frasa sense of the archaic dalam balasan saya. Jika tidak, dari mana muncul dugaan HC-L yang aneh-aneh? Sayangnya, tersebutnya archaic dalam tulisan saya itu tidak ada sangkut-paut dengan metode perumian saya! Sebaliknya, saya bermaksud mengusulkan bacaan yang mungkin berguna buat HC-L, supaya berhasil mengatasi kerterbatasannya berpikir serta memahami konsep “pentradisian kembali”. Akan dilihat bahwa ini justru relevan pada anggapannya yang keliru tentang terjemahan.

Dasar argumen yang cacat lalu ditumpangtindihi silogisme yang juga cacat:

Teks asing diterjemahkan ke dalam bahasa termodernTranskripsi adalah terjemahanMaka, teks patut ditranskripsikan ke dalam ejaan termodern

Aduh, alangkah baiknya jika dipelajari sedikit banyak tentang seni terjemahan sebelum membuat generalisasi yang konyol. Lihat saja keanekaragaman jenis teks yang pernah diterjemahkan, serta kepelbagaian gaya bahasa yang dimanfaatkan untuk

23

Page 24: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

menampung transformasi teks asli dalam wadah yang sesuai. Ya, Homerus belum diterjemahkan ke dalam ragam bahasa koran. Dalam proyek saya terkini, yaitu menerjemahkan seluruh puisi Taufiq Ismail ke dalam bahasa Inggris, perlu kehati-hatian ketika berhadapan dengan karya dari tahun 1950-an, supaya terjemahan tidak terjerumus ke dalam anakronisme yang lucu. Penyair sendiri sering bermain dengan konvensi bahasa dan gaya bahasa lama dan baru. Apakah ini harus diabaikan penerjemah supaya “menaati” konvensi termodern?

Maaf, ini benar-benar terasa seperti persiapan untuk kuliah tahun pertama. Ya, transkripsi bukan transliterasi, transliterasi apalagi transkripsi juga bukan terjemahan bahasa asing.

Tersebutnya ejaan van Ophuijsen dan Soewandi18

hanya memperlihatkan dugaan keliru HC-L bahwa saya mencontoh sistem ejaan yang usang. Sebaliknya saya berusaha menggunakan sistem perumian terkini yang cocok untuk menguraikan hakikat teks jawi. Ini sudah saya paparkan dengan panjang lebar dalam Jilid 1-3. Misalnya:

Seandainya ada pembaca yang melihat ada yang “aneh-aneh” begitu dalam teks Hikayat Abdullah ini, maka itulah reaksi yang diharapkan! Berarti pembaca menerima isyarat bahwa Abdullah tidak menulis dalam bahasa Malaysia atau Indonesia yang baik dan benar, melainkan dalam bahasa Melayu menurut seleranya sendiri (KLAAKM, 3: 203).Segala sesuatu yang ditampilkan HC-L sebagai

argumentasi sebenarnya berupa fatamorgana semata. Cimera ini menutupi kenyataan bahwa yang diajukan sebagai kesimpulan hanya berupa pernyataan perasaan dan persepsi pribadi semata-mata. Kepribadian itu pula ditutup-tutupi lagi dengan 18 Belanda tidak mempunyai monopoli. Jangan lupa ejaan

Wilkinson!

24

Page 25: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

dengan dua cara: perasaan pribadi dijadikan perasaan khalayak; dan diajukannya dengan kalimat bertele-tele bersifat kuasi-ilmiah. Dalam kasus ejaan, HC-L berpanjang lebar untuk menolak pelambangan huruf ‘ayn dalam teks rumi. Berulang kali dinyatakan perasaan yang itu-itu juga. Misalnya:

Bila huruf Arab ‘ayn ditranskripsi sebagai apostrof (menghasilkan ejaan “do‘a”) maka petunjuk yang diberikan kepada pembaca dapat saja diartikan lain, ialah [sic] ditangkap sebagai petunjuk etimologi (“kata ini Arab”). Dan ini mempunyai akibatnya sendiri karena nyaris semua kata yang diberi tanda demikian adalah kata Arab (hlm. 800).…unsur yang kelihatan begitu sederhana seperti ejaan sebetulnya dapat mempunyai dampak besar karena (dalam contoh di atas) menggarisbawahi kata-kata Arab dan hanya kata Arab saja (hlm. 800).…unsur yang lazim dalam suatu tulisan dijadikan mencolok dalam tulisan lain. Menulis [kata dengan ‘ayn] berakibat menarik perhatian atas konsonan Arab ‘ayn padahal sudah lama hilang atau diganti huruf “k” (hlm. 800-801).

Berkali-kali saya membaca ini mencari makna yang rasional, tanpa hasil. Yang “sudah lama hilang” tidak hilang dari teks yang dikaji. Tidak terlalu mengherankan jika penggunaan ‘ayn memperlihatkan kata yang berasal dari bahasa Arab. Kita berurusan dengan aksara jawi, yaitu Arab-Melayu!

Ternyata HC-L curiga bahwa penggunaan huruf ‘ayn menyembunyikan konspirasi! Ya, “akibatnya sendiri”, ya “dampak besar”. Kebiasaan ini merupakan “manipulasi ideologi”!

Selain itu pula, manipulasi ideologi boleh dikatakan banyak kalau termasuk rinci-rinci transkripsi yang kelihatan sepele, hanya

25

Page 26: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

menyangkut ejaan saja, tetapi berakibat menggarisbawahi kata-kata asal Arab, sehingga menambah nuansa Arab teks asli, yang kelihatan lebih bersifat Islam dalam transkripsi daripada dalam naskah (hlm. 797).

Ah, masalahnya Islam! Siapa dulu tukang manipulasi! Belum tentu semua teks jawi bersifat Islam. Bagaimana, misalnya, Kitab Giok Lek Nabi Maharaja Orang Cina?

Keperluan HC-L untuk menghapus segala kesan sistem ejaan jawi dari “transkripsi” menjadi obsesi yang aneh. Misalnya, perbedaan antara ejaan Indonesia dan Malaysia, yang “seharusnya disatukan”, menjadi masalah baginya:

Pilihan antara ejaan Indonesia dan Malaysia dengan semerta [sic] melahirkan sebuah rona lokal yang tidak terdapat dalam teks asli. Perbedaan antara kedua sistem ejaan tersebut masih ada sekarang ini, meski keduanya seharusnya disatukan sejak tahun 1972 (hlm. 801).

Jika dipilih sistem perumian yang waras, tidak akan ada masalah. Tetapi buat HCL, gara-gara perbedaan ejaan:

Akibatnya ciri yang dalam tulisan Jawi terdapat secara potensial menjadi terwujud dalam tulisan Latin (hlm. 801).

Pembubuhan tanda baca bakal berakibat yang sama:Di sini pun seperti dalam contoh lain di atas, apa yang dalam tulisan Jawi bersifat potensial dijadikan nyata berwujud dalam tulisan Latin (hlm. 804).Melihat bahwa Bapak Chambert-Loir telah

menerbitkan verbatim beberapa bagian surelnya, saya juga merasa wajar diungkapkan bahwa dalam surel tersebut beliau sangat menentang penggunaan angka

26

Page 27: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

dua. Ya, karena tidak menepati ejaan yang betul dan benar di sisi sistem EYD. Misalnya:

Saya pikir apostrof terbalik dan angka dua merupakan sebagian mainan ahli pilologi [sic] yang tidak punya tempat dalam buku anda.19

Nah, dalam buku Sadur, HC-L telah mengundurkan diri setapak dengan akibat yang menarik. Kini hanya satu bentuk angka dua yang mau dihujatnya. Sayangnya, karena keteledoran, tidak jelas bentuk mana persis yang tidak disenanginya:

Terdorong keinginan memberikan pembaca indikasi tentang sistem ejaan Jawi, sementara penyunting menggunakan ejaan semisal “bua2han” [sic] (padahal sebenarnya tidak persis sama dengan ejaan Jawi). Akibatnya kata “buah2han” [sic] yang ganjil ini mencolok di tengah-tengah sebuah teks yang tertulis sesuai dengan ejaan biasa. … Menulis “bua2han” [sic] ialah merancukan transkripsi dan pengalihan huruf (hlm. 801-802).

HC-L menolak kebiasaan ini atas dasar sikap anti ‘transliterasi’-nya. Anehnya, untuk ini ia memanfaatkan keahliannya dalam bahasa Arab, yang kurang jelas relevansinya di sini:

Para penyunting teks Arab sudah lama menetapkan bahwa tidak ada gunanya menulis “jbl” dan “bldn” sebagai transkripsi kata Arab… (hlm. 801-802).

“Para punyunting teks Arab” mana? Kapan? Bukankah masuk akal jika mengandalkan harakat? Apa sangkut-pautnya dengan contoh angka dua tadi? Memang dalam teks-teks Abdullah terdapat empat bentuk begini: buah2an, buah2han, buah-buahan dan

19 I think these reverse apostrophs [sic] and angka dua are part of the ahli pilologi toys that have no place in your book.

27

Page 28: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

buahan2. Ya, menurut dogma HC-L harus digunakan hanya buah-buahan. Tapi bua2han? Dua kali?

Sekarang sampai ke pengunduran diri HC-L setapak tadi. Setapak besar! Dalam “Pendahuluan” buku Sadur ini, HC-L mengajukan sebuah kutipan panjang dari Hikayat Abdullah. Rujukannya:

Kutipan ini berdasarkan Kassim Ahmad (ed.) 2004: 128-132. Nomor halaman merujuk pada dokumen asli, yakni litografi tahun 1847 [sic] (hlm. 19).

Melihat bahwa kata transliterasi berarti transkripsi dalam kamus HC-L, apakah kata berdasarkan juga harus diberi tafsiran lain dari yang konvensional? Soalnya, jika pembaca mengira bahwa kutipan tersebut merupakan transkripsi atau salinan yang patuh pada teks Kassim Ahmad, maka kenyataannya jauh berbeda. Sedangkan Kassim menurut aturan EYD dalam hal penggandaan, kutipan HC-L justru melanggar hukumnya sendiri; semua bentuk penggandaan menggunakan angka dua! Ada teman-teman yang merasa yakin bahwa kutipan itu disalin dari Jilid 3 saya. Tetapi itu perlu dilihat secara teliti.

Ada kekeliruan dalam teks Kassim yang sudah diperbaiki dalam “kutipan”. Tidak diberi tahu sumbernya! Misalnya:

Kassim (salah) HC-L (betul)Hampirlah —— kitab itu kubacabukan— jalan bahasa Melayu

hampirlah habis kitab itu kubacabukannya jalan bahasa Melayu

Tetapi ada juga tempat HC-L taat pada kesalahan Kassim.

Kassim (salah) HC-L (salah) Betuldalam surat-surat Melayumembacakan,

dalam surat2 Melayumembacakan,

dalam surat Melayumembaca, akan

28

Page 29: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

akan tetapi akan tetapi tetapi

Seterusnya, HC-L mengutak-ngatik teks. Gara-gara ‘koreksinya’ pada ejaan yang “tepat”, pembaca tidak akan tahu bahwa noktah, rahasia dan tahu diubah dari nokta, rahsia dan tau, yang lebih mencerminkan teks asli, serta digunakan dalam perumian lain, termasuk edisi Datoek Besar dan Roolvink. Rosak juga diubah menjadi rusak. Namun, banyak kata lain dibiarkan ejaannya, walau bertentangan dengan EYD: hairan, fikir, erti, sahaja, dan Inggeris. Edisi Datoek Besar dan Roolvink malah lebih ‘pra-taat’ pada EYD. Hasilnya, “kutipan” menjadi teks kacukan.

Intipati dogma HC-L berbunyi:…kalau dieja dengan tepat dalam tulisan Jawi, maka semestinya dieja dengan tepat pula dalam tulisan Latin20 (hlm. 801).

Pemikiran begini didasari anggapan bahwa terdapat semacam ejaan jawi yang tepat untuk semua zaman, semua daerah! Dan yang menghakimi benar salahnya tulisan jawi? Tentu HC-L sendiri. Kriteria? Jika tidak dieja dengan tepat? Masalahnya, segala sesuatu yang dikhotbahkannya cenderung bersifat angin lewat, tidak dilakukan sendiri. Tulisannya penuh kritikan terhadap kekeliruan orang lain baik secara khusus seperti Muhammad Haji Salleh, Khalid Hussain, Drewes dsb., atau secara umum, “para penyunting”, “sementara penyunting” dsb., sedangkan ia sendiri tidak kunjung sunyi dari kekeliruan merata-rata.

Kerajaan BimaKetika membaca surel Bpk. Chambert-Loir, saya merasa penasaran untuk melihat bagaimana pendekatannya dalam bukunya yang relatif baru diterbitkan, yaitu Kerajaan Bima.21 Ternyata sebagian besar buku tersebut merupakan cetak ulang dari 1982 20 Dalam surel: “…as long as they are correctly spelled in

jawi, they should be correctly spelled in rumi”.

29

Page 30: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

dan 1985; komentar dan anotasi diterjemahkan dari bahasa Prancis. HC-L menekankan bahwa buku yang diterbitkan dalam seri Kerajaan Bima ditujukan kepada pembaca ‘awam’. Namun diadakan sedikit sekali keterangan dan anotasi mengenai isi teks yang ditampilkan. Saya menguji kemampuan beberapa pembaca Indonesia sebidang memahami beberapa bagian teks Kerajaan Bima. Contohnya yang representatif:

Maka pada seorang-orang menterinya itu tujuh laksa tujuh keti tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh orang yang berbaju besi dan berketopong besi lain daripada segala rakyat bala tentaranya tiadalah tepermanai banyaknya.

Tak seorang pun mengerti kata-kata yang dihurufmiringkan, tetapi tidak disediakan penerangan apapun. Kata sahlat muncul beberapa kali dalam teks. Tidak ada yang paham; tidak mengherankan. Harus disisir buku, baru ditemukan catatan kaki pada hlm.105. Masalahnya, dalam penyuntingan ini, terdapat bentuk ejaan yang memang diterjemahkan ke dalam EYD—kadang-kadang lebih tepat disebutkan kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—yang cenderung menghilangkan ciri-ciri asli teks sehingga benar merupakan terjemahan dari bahasa Melayu teks asli ke dalam bahasa Indonesia metropolitan kejawaan; ada pula bentuk yang lebih mencerminkan bentuk asli; ada varian ejaan yang tidak dianotasi; ada pula banyak kekeliruan dan bentuk yang tidak konsisten serta tidak patuh pada EYD, baik dalam komentar maupun perumian. Hasilnya sebuah teks yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji bahasa asli teks tersebut. Berikut beberapa contoh:

21 Henri Chambert-Loir (ed), Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Kepustakaan Populer Gramedia, École française ďExtrême-Orient, Jakarta, 2004.

30

Page 31: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Belum sampai ditampilkan perumian, komentar mengandung berbagai bentuk menarik. Mengapa memberitahu dan menghisap, ejaan Malaysia, dan bukan memberi tahu dan mengisap ala EYD?

HC-L juga sering tidak patuh pada bentuk yang tidak konsisten dalam EYD. Seharusnya khatib dan kabar, tetapi HC-L menggunakan khatib dan khabar, yang masuk akal. Tapi Kidir? Malah bentuk EYD yang konsisten acapkali tidak ditaati: fikir, bukan pikir.

Terdapat kecenderungan untuk memakai ejaan yang bukan standar EYD: sangau, mesjid, seksama, hakekat.

Ditemukan juga bentuk aneh seperti handak, momohonkan dan paraduan yang tidak diterangkan. Jelas kesalahan. Mengempalakan? Munjelis? Bagainda? Sendrik? Terdapat kata yang diberikan ejaan yang berbeda-beda. Tidak jelas apakah ini varian, karena tidak ada anotasi: emas dan mas, diantar dan dihantar, pendeta dan pandita; malah pada halaman yang sama terdapat mahkota dan makota.

Dalam kutipan di atas, saya merasa tertarik untuk mengetahui bentuk asli kata tentaranya dan tepermanai, yang mungkin merupakan pengindonesiaan bentuk asli Melayu tenteranya dan tepermenai. Mengapa pula kata Melayu loceng harus diterjemahkan ke dalam lonceng? Mengapa kerana dijadikan karena?

Walau “ejaan asli” kata-kata tertentu diubah supaya sesuai dengan EYD, namun:

…beberapa kata dipertahankan ejaan aslinya kalau dianggap termasuk satu ragam bahasa yang khas, seperti hujung, menengar, dan lain-lain (hlm. 77).

Yang “menganggap” tentu HC-L. Tetapi dengan kata lain, seperti mengadap, mengadang, mengunus, diharung, terhurai, dsb.:

31

Page 32: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

…ejaan dibetulkan dengan menambah atau mengurangi huruf h tersebut oleh karena dalam hal itu ejaan naskah tidak mempunyai arti fonetik yang dapat dirumuskan (hlm. 245).

Berarti jika HC-L tidak dapat merumuskan “arti fonetik”, maka berhak mengutak-ngatikkan ejaannya. Orang Melayu Malaysia, yang memakai diharung, terhurai dsb., pantas bertanya: “arti fonetik” bahasa mana? Apalagi, mengadang memang ejaan EYD!

Bagaimanapun, secara bercanggahan, ada pula dilestarikan varian di beberapa tempat. Misalnya terdapat sair di samping syair. Diketahui ini bukan salah cetak hanya karena ditampilkan foto halaman berkenaan.

Pendekatan yang normatif dan menyempitkan jelas kelihatan dalam pernyataan tentang “huruf h awal yang kelebihan”, yang harus “dibetulkan”. Tetapi sebagian huruf ‘h’ ini tidak “kelebihan” dalam bahasa Malaysia. Lihat saja kata menghisap yang dipakai HC-L sendiri.

Perumian ejaan varian bahasa Melayu Bima juga tidak konsisten. Misalnya, kata letap dibetulkan menjadi letak; di tempat lain yang dikatakan “ejaan asli” dimasukkan dalam teksnya dengan catatan kaki; di tempat lain lagi, ada pula digunakan baik bentuk yang dibetulkan maupun bentuk asli tanpa keterangan. Lihat gelap dan gelab.

Pernyataan HC-L yang menyingkapkan kejahilannya menyeluruh tentang hukum dasar ejaan jawi berbunyi sebagai berikut:

Dan huruf k pada akhir kata dasar empat kali digandakan di depan akhiran –an (seolah-olah dikelirukan dengan akhiran –kan): bait 300, 356, dan 362: kedudukkan dan bait 403: kenaikkan (hlm. 244).

Hukum tersebut: Akhiran –an menjadi –kan jika kata asalnya berakhirkan kaf atau qaf mati.

32

Page 33: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Terjemahan?Setelah selesai tahap pertama kampanye untuk menegaskan bahwa proses penyuntingan (yaitu pengalihaksaraan) itu mirip dengan penerjemahan, HC-L sadar bahwa ia terpaksa memperlihatkan perbedaan antara keduanya karena artikelnya membicarakan pengalihaksaraan, bukan terjemahan dalam arti biasa. Namun terasa ada dalih untuk mengelabui mata. Dikatakan bahwa teks dalam bahasa kuno disajikan pada khalayak masa kini dalam:

…bentuk yang sedikit banyak diubah dan disesuaikan, yang sebenarnya tidak lain dari terjemahan. Itulah pula yang terjadi dengan sejumlah teks Indonesia lama, misalnya teks berbahasa Jawa Kuno… (hlm. 792).

Maaf, kasus Jawa Kuno tidak melibatkan “sedikit banyak diubah” dan sebagainya. Teks Jawa Kuno menjalani terjemahan murni, “ke dalam bahasa Indonesia”. Tambahan lagi, mengandalkan perbandingan dengan kasus Prancis kuno tidak akan membantu pembaca Indonesia.22

Pembedaan yang diadakan di antara penerjemahan dan pengalihaksaraan tetap kabur:

Yang menjadi perhatian kita, bukanlah peralihan dari sebuah teks kuno ke dalam sebuah bahasa modern (tulisan sama, ragam bahasa berbeda), melainkan peralihan dari sebuah tulisan kuno ke dalam sebuah tulisan modern (tulisan lain, bahasa sama) (hlm. 792).

Ini seharusnya berbunyi: bahasa modern (tulisan sama, bahasa lain); tulisan modern (tulisan lain, ragam bahasa berbeda)

HC-L melihat bahwa:22 Untuk pembicaraan tentang pengalihbudayaan khalayak, lihat

artikel saya yang dicecerkan: “Di Bawah Pucuk Gunung Es”.

33

Page 34: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Sebuah persamaan lain antara transkripsi dan terjemahan adalah mitos keterbalikannya. Maksudnya sebuah teks yang ditranskrispi [sic]/diterjemahkan dengan tepat dapat ditranskripsi/diterjemahkan balik sedemikian rupa menghasilkan teks aslinya kembali… (hlm. 801).

Di sini Umberto Eco harus berurusan dengan HC-L. Konon, sebuah terjemahan/pengalihaksaraan dari bahasa/aksara A ke bahasa/aksara B, jika dapat diterjemahkan/dialihaksarakan balik dari B ke A, hasilnya, “bukan sebuah terjemahan yang baik, hanya, sebuah pengalihan kata yang tepat” dan “bukan sebuah transkripsi yang baik, hanya sebuah pengalihan aksara yang tepat”, walaupun “persis seadanya”. Tidak jelas apa ukuran untuk nilai “baik” dalam ini! Pikiran waras akan mengira bahwa jika latihan tadi mencapai tujuannya maka berhasil. Malah jika diperlihatkan yang “didaur ulang”, orang tidak akan tahu bahwa ini bukan yang asli. Lalu? Apa sangkut-pautnya dengan ini semua?Spekulasi dan Generalisasi tanpa Dasar Selain spekulasi dan generalisasi yang sudah ditampilkan, masih ada yang wajar dicatat. Tidak ada salahnya berspekulasi asalkan terdapat tanda atau petunjuk yang mendorong ke satu arah, serta spekulasi demikian tidak diajukan sebagai argument berdasarkan bukti. Tetapi andaian menembak buta seperti yang berikut menimbulkan tanda tanya:

Andaikan edisi-edisi yang selama ini dikerjakan oleh orang asing diperbandingkan dengan edisi oleh orang pribumi, mungkin sekali akan tampak perbedaan sikap, yang sebagian bersifat ideologi (hlm. 797).

Ya, bandingkanlah! Tentang banyak edisi yang belum saya lihat:

34

Page 35: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Banyak edisi tampak seperti mayat di meja forensik: teks tertutup oleh ribuan tanda, simbol, font khusus, catatan dan kurung… (hlm. 799-800).

Tentang ejaan bahasa di negeri-negeri Eropa terdapat generalisasi luar biasa dan keliru. Coba saja bahasa Gaelige:

Masalah ejaan amat rumit di Indonesia (dibandingkan misalnya dengan negeri-negeri Eropa) oleh karena ejaan modern (Latin) pernah beberapa kali dimodifikasi sejak tahun 1900… (hlm. 802).

Tentang penyalinan naskah yang kacau urutannya, ada yang unik:

Kekacauan ini merupakan fenomena unik dan ganjil dalam bidang filologi Melayu… (hlm. 795).

Edisi hasil perumian biasanya masuk lingkungan para akademisi:

Buku (dalam hal transkripsi teks sastra lama) langsung termasuk suatu lingkungan tertentu, biasanya lingkungan terbatas para akademisi (hlm. 793).

Tetapi yang diajukan sebagai contoh kebiasaan ini kurang sesuai. Contoh tersebut mengacu pada “edisi kritis pertama”, yang ditujukan pada golongan yang jelas belum akademisi, paling dalam bidang Melayu.

Edisi sastra Melayu lama dalam aksara rumi yang paling luas tersebar adalah teks dalam Malay Literature Series (MLS) dan seri lain, yang dimanfaatkan di sekolah-sekolah Semenanjung Tanah Melayu. Apalagi setelah Tanah Melayu merdeka, ratusan teks sastra lama diterbitkan; sebagian besar, misalnya, oleh Dewan Bahasa dan Pustaka. Tetapi HC-L hanya mengajukan 27 teks EFEO dan 34 teks KITLV

35

Page 36: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

yang ditekankan keilmiahannya. Maaf, buat saya, ada kalanya teks MLS lebih nyaman diandalkan.23

“Pendahuluan”Untuk mengelak pengulangan yang bertele-tele, saya akan berusaha mengharungi (oh, ya itu ejaan Melayu!) bab “Pendahuluan” tanpa banyak komentar. Tambahan lagi, sebagian tanggapan saya sudah termasuk artikel yang menghilang. Namun sambil mengarung, saya membuat catatan pendek di sana sini. Misalnya:

Terjemahan dari bahasa Melayu ke dalam satu bahasa Nusantara lain juga berarti bahwa proses penerjemahan berganda: dari bahasa aslinya dulu, kemudian dari bahasa Melayu24 (hlm. 12).

“Berarti” bagaimana? Ada pula jumlah yang rasanya kurang tepat hitungannya:

Di antara 65 [sic] karangan yang terkumpul, hanya 11 ditulis langsung dalam bahasa Indonesia, berhubung sejumlah penulis Indonesia juga menyumbangkan tulisannya dalam bahasa Inggris. Alhasil, 54 [sic] artikel perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia… (hlm. 19).

Pada satu ketika, dikatakan bahwa, “Sastra Melayu pun banyak berhutang pada sastra Jawa.” Tetapi sebentar lagi kita diberi tahu bahwa:

23 HC-L menyebutkan “…larangan mengimpor buku dari Malaysia, sehingga teks-teks Melayu lama… tidak juga terjangkau oleh publik umum di Indonesia…” (hlm. 792). Meskipun judul buku ini ialah Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia , tetapi akibat larangan ini, buku-buku tersebut sepertinya tidak masuk perhitungan. Lihat bagaimana alinea berikut dimulai dengan “Namun demikian”.

24 Kecuali jika tidak pernah ada karya bahasa Melayu yang diterjemahkan?

36

Page 37: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

…sebelum zaman modern, tidak ada terjemahan Melayu dari teks dalam salah satu bahasa Nusantara yang lain (hlm. 12).

Bagaimana cerita Panji?Dua hal memerlukan sorotan yang lebih tajam.

Yang pertama mengenai soal teori terjemahan di dunia Kristiani25 dan Islam. Paham HC-L simplistis dan keliru:

Di dunia Barat, antara lain karena usaha yang terus menerus untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam segala bahasa di dunia (suatu usaha yang sangat bertentangan dengan konsep Islam tentang kesakralan mutlak bahasa al-Qur’an), teori penerjemahan sudah berkembang selama lebih dari dua puluh abad… (hlm. 10).

Saya pernah menulis panjang lebar tentang persoalan ini.26 Pendeknya, dorongan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam “segala bahasa di dunia” dimulai hanya setelah berkembang agama Kristen Protestan. Malah timbulnya gerakan Protestan itu hanya mungkin dalam masyarakat beraksara cetak. Agama Katolik dahulu berpegang teguh pada pemakaian bahasa Latin, bahasa ilmiah Eropa, bahasa yang dipelajari.27

Namun, sarjana Katolik tidak kalah dalam bidang penerjemahan. Keengganan menerjemahkan al-Qur’an di dunia Islam sama sekali tidak menghambat kemajuan teori dan praktek terjemahan. Bukankah “dunia Barat” mewarisi falsafah Yunani kuno dari terjemahan yang dilakukan sarjana Islam?

Daripada mencari ilham dalam tulisan Schleiermacher dari 1813, yang kini menarik hanya dari segi sejarah, lebih baik seorang calon penerjemah mengkaji ilmu “Retorika Baru”, baru mungkin terungkap segala macam pengarang dan khalayak di 25 Istilah lain manakah yang dapat merangkumi Katolik dan

Protestan? Dalam bahasa Indonesia, Katolik bukan Kristen!26 Untuk bahasa Indonesia, lihat KLAAKM Jilid 1:28 dst.27 Lihat Sweeney, 1987, A Full Hearing: 19-20, 34-35, 45-52.

37

Page 38: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

muka bumi. Tetapi yang konon dibicarakan di sini adalah terjemahan di Nusantara. HC-L mengatakan:

…selama satu milenium sampai beberapa dasawarsa belakangan ini, tidak pernah ada di Nusantara suatu renungan spesifik dalam bahasa apa pun mengenai kerja dan seni terjemahan (hlm. 10).

Ini keliru. Renungan yang paling spesifik serta panjang lebar apalagi perseptif dalam sastra Melayu datang dari pena Munsyi Abdullah dalam Hikayat Abdullah. Dalam Jilid 3, saya memperlihatkan betapa senada pandangan Abdullah dan Daud Soesilo, yang menulis pada tahun 2001. Seterusnya:

Abdullah sering dikatakan “mendahului zamannya” tetapi tanpa penjelasan, ungkapan itu hanya masuk koleksi “klisé mengenai Abdullah”. Di sini, ternyata bahwa pendapat Abdullah mengenai mutu penerjemahan Injil serta sebab musababnya merupakan hasil pemikiran orisinal, yang tidak mungkin diresapi dari misionaris, misalnya, karena justru mereka yang dikritiknya. Diperlukan kurun waktu lebih dari satu abad untuk para penginjil menyuarakan masalah yang telah diungkapkan Abdullah pada tahun 1843. Itu baru mendahului zamannya! (KLAAKM, 3: 194)

Di sini bertemu lagi dunia Barat dan Islam, tetapi ternyata misionaris yang menjadi majikan Abdullah tidak memiliki perbekalan teori. Yang mampu menguraikan rahasia terjemahan justru Abdullah.

Akhirnya, dibicarakan pembabakan sejarah. Menurut HC-L:

Selama satu milenium itu terjemahan terbagi atas tiga babak, yang sesuai dengan pembabakan sejarah Nusantara pada umumnya, yakni periode pengaruh India, pengaruh Islam dan pengaruh Eropa. Di antara ketiga babak itu terdapat persamaan yang mencolok, yaitu setiap kali, penerjemahan dari suatu bahasa tertentu

38

Page 39: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

mengiringi peminjaman suatu sistim tulis, suatu bahasa dan suatu agama. Pada masa pengaruh dari India, seperti juga pada periode awal zaman Islam, perpindahan suatu agama (Hindu dan Buddha, kemudian Islam) mengiringi peminjaman suatu sistim tulis (tulisan Palawa, kemudian huruf Arab) dan suatu bahasa (bahasa Sanskerta, kemudian bahasa Arab). Babak ketiga sedikit berbeda karena pengaruh politik dan ideologi yang diakibatkan penjajahan juga diiringi peminjaman suatu sistim tulis (Latin) dan penerjemahan berbagai teks, tetapi tidak disertai perpindahan bahasa dan agama yang dapat diperbandingkan dengan kedua masa sebelumnya (hlm. 11).

Jika dibicarakan hal terjemahan, tentu saja kita berhadapan dengan pengaruh asing. Tetapi lihat skemanya—ya, pakemnya—yaitu “tiga babak yang sesuai dengan pembabakan sejarah Nusantara pada umumnya”. Saya mengira bahwa paham usang kolonialis ini sudah lama terkubur! Ternyata anggapan bahwa sejarah Nusantara hanya sejarah pengaruh asing masih bernyawa! Dalam bidang sastra Melayu pun, pembabakan menyesatkan demikian dilakukan Winstedt 70 tahun yang lalu, memper-lihatkan bahwa hampir tidak ada apa pun yang asli dalam sastra Melayu.28 Walau kemerdekaan fisik belum tertu berarti kemerdekaan mental, syukur, paham itu juga sudah lama masuk kubur.

Walau terjemahan jelas berurusan dengan yang asing, pembagian pada periode kronologis berdasarkan pengaruh asing itu menanggung risiko. Apakah terjemahan dari Pancatanderan bahasa Tamil yang dilakukan oleh Munsyi Abdullah dan temannya pada tahun 1835, berjudul Galila dan Damina, harus dimasukkan dalam periode pengaruh India? Bagaimana dengan:

28 Lihat A Full Hearing: 24-43.

39

Page 40: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Buku Alf laila wa laila (Seribu Satu Malam) umpamanya disadur ke dalam bahasa Melayu dari satu versi Belanda oleh penerjemah Indo… (hlm. 12).

Ini masuk periode Arab atau Eropa? Bagaimanapun, bukan topik usang ini yang akan dibicarakan di sini. Saya lebih tertarik untuk menatap “persamaan yang mencolok” antara tiga babak tadi. Dikatakan bahwa penerjemahan “mengiringi peminjaman” sistem tulis, bahasa, dan agama. Tiba-tiba, yang konon “mencolok” jelas tidak mencolok. Di sini kata “peminjaman”, dan kemudian “perpindahan”, yang menjadi masalah. Peminjaman bahasa Sanskerta dan Arab bagaimana? Ini tak mungkin bermaksud bahwa orang Nusantara berbahasa Sanskerta dan Arab sehari-hari. Sehingga penerjemahan pada babak ketiga “tidak disertai perpindahan bahasa yang dapat dibandingkan…”? Ya, bisa saja dibandingkan, baru akan diketahui di mana perbedaan yang dimaksud. Paham tentang “peminjaman” agama tidak kurang simplistis. Tanya saja orang Manado dan sebagian besar orang Batak. Apalagi orang Minang menganut agama Islam secara umum hanya beberapa ratus tahun setelah Islam ‘datang’ ke Nusantara. Kalau meminjam agama Islam, kapan harus dikembalikan, pak?

Seterusnya, pada halaman berikut, HC-L kembali ke babaknya:

Persamaan antara ketiga babak di atas menjadi alasan kuat untuk beranggapan bahwa kita boleh mengajukan hipotesis mengenai masa silam atas dasar kenyataan pada zaman modern (hlm. 12).

Persamaan tadi, yang akhirnya dikatakan tidak berlaku untuk babak ketiga, selain sistem tulisan, kurang relevan di sini. Kalimat yang bertele-tele melalui tiga tahap dari alasan lewat beranggapan sampai boleh mengajukan hipotesis masih tidak berhasil mengemukakan sebuah hipotesis. Hanya

40

Page 41: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

diberikan contoh untuk mendukung sesuatu yang tidak dijelaskan:

Sebagai satu contoh saja, peranan yang dimainkan oleh para penerjemah nonpribumi (Tionghoa, Belanda dan Indo) pada paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20 kiranya memperkuat dugaan bahwa komunitas non-pribumi dan peranakan juga memainkan peranan penting pada masa silam (hlm. 12).

Pokoknya, persamaan itu tidak mengajukan apa-apa. Paling jauh, dapat dikatakan bahwa terjemahan dilakukan oleh orang yang bilingual, dan sebagian besar peranakan menguasai dua bahasa.

PenutupTerasa ada semacam fatamorgana pasca-modernisme dalam tulisan HC-L ini. Dia sendiri menciptakan fakta dalam bentuk pernyataan. Yang diitampilkan sebagai argumentasi cenderung berupa penyulaman dan penyulapan yang hanya balik pada pernyataan tadi. Dengan cara demikian, perasaan dan selera pribadi diajukan sebagai ukuran mutlak. Perasaan itu hanya perlu dinyatakan, langsung menjadi fakta. Jika sesuatu menyolok mata HC-L, itu bukan reaksi pribadi lagi; itu dinaikkan ke peringkat sejagat: “mencolok”. Begitulah dalam menghasilkan perumian, ia menumpukan fokusnya hanya pada yang dianggapnya signifikan. Dialah menjadi hakim yang menentukan segala sesuatu yang signifikan. Masalahmya, teks yang dihasilkannya menjadi teks tertutup, tersegel, yang tidak memungkinkan orang lain menemukan signifikansi baru, kini dan pada masa depan. Teks itu tidak berusaha menguraikan isi naskah asli, padahal itulah misi para filolog serta peneliti sastra pernaskahan lain yang tidak lagi ingin dijuluki filolog. HC-L menggembar-gemborkan kata “filologi” lima belas kali dalam babnya tentang transkripsi, tetapi misinya lebih bersifat anti-filologi.

41

Page 42: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Amin Sweeney

Fokus pada segala sesuatu yang bersifat pribadi bisa membawa pada hal yang tidak wajar, sehingga perasaan orang yang di luar pembicaraan bisa terluka. Contoh yang paling mengagetkan dalam tulisan HC-L ini menyinggung kepengarangan edisi puisi Hamzah Fansuri:

Buku ini diterbitkan atas nama J.W.J. [sic] Drewes dan L.F. Brakel, tetapi bukan rahasia dikerjakan oleh Drewes seorang, yang malah selalu menulis “aku”, bukan “kami” (hlm. 806).

Sayalah menulis artikel yang disebutkan malah dipuji-puji HC-L dalam Sadur. Saya berurusan dengan pengarang-dalam-teks edisi itu. Namun, sesudah terbit artikel tersebut, saya mendapat informasi tentang segala seluk-beluk tragedi kemanusiaan yang melatari penyuntingan edisi tersebut. Sumber saya bisa diandalkan, yaitu Profesor A. Teeuw, yang kebetulan menjadi tamu saya di Berkeley, dan Dr. Clara Brakel, yang menghubungi saya lewat surat-menyurat mengenai mendiang suaminya, Lode Brakel. Sebagian besar kerja tekstual mempersiapkan edisi ini dilakukan Brakel. Memang kurang teliti, tetapi inilah manusia yang sedang menderita penyakit kanker terminal. Ia meneruskan kerjanya dengan gigih, tetapi jauh sebelum selesai kerjanya itu, Maut sudah menjemput. Drewes, dalam usia amat lanjut, meneruskan kerja edisi sampai diterbitkan. Kesinambungan dan penyelarasan jelas tidak memuaskan, sehingga edisi hasil kerjanya tidak baik. Kesehatan Drewes pada masa itu telah merosot, sehingga tidak lama kemudian sampailah juga ajalnya. Versi HC-L tidak benar dan kurang sensitif. Aneh, EYD memakai ejaan fitnah, bukan pitnah…

Judul lengkap KLAAKM

42

Page 43: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangku

Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1-3, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005-2008.

43

Page 44: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Sebagian Kutipan dari Hikayat Abdullah dalam “Pendahuluan” Saduran (hlm. 18)

Sweeney Chambert-Loir Kassim AhmadMaka serta aku sampai ke rumahku, lalu duduklah aku membaca kitab itu. Kuperhati2kan segala noktanya itu perlahan2. Setelah satu muka kitab itu kubaca maka kemudian daripada itu kubacalah dengan derasnya semalam2man itu, hampirlah habis kitab itu kubaca. Akan tetapi kitab itu hurufnya Melayu dan bunyinya Melayu, tetapi jalan bahasanya itu bukannya jalan bahasa Melayu. Dan lagi yang bukan2 tempat perkataan itu dipakaikannya, dan di tempat bukan2 hubungannya perkataan itu dihubungkannya.

Maka serta aku sampai ke rumahku, lalu duduklah aku membaca kitab itu. Kuperhati2kan segala noktahnya itu perlahan2. Setelah satu muka kitab itu kubaca maka kemudian daripada itu kubacalah dengan derasnya semalam2an itu, hampirlah habis kitab itu kubaca. Akan tetapi kitab itu hurufnya Melayu dan bunyinya Melayu, tetapi jalan bahasanya itu bukannya jalan bahasa Melayu. Dan lagi yang bukan2 tempat perkataan itu dipakaikannya, dan di tempat bukan2 hubungannya perkataan itu dihubungkannya,

Maka serta aku sampai ke rumahku, lalu duduklah aku membaca kitab itu. Kuperhati-hatikan segala nokta{h}nya itu perlahan-lahan. Setelah satu muka kitab itu kubaca maka kemudian daripada itu kubacalah dengan derasnya semalam-malaman itu. Hampirlah —— kitab itu kubaca. Akan tetapi kitab itu hurufnya Melayu dan bunyinya Melayu, tetapi jalan bahasanya itu bukan— jalan bahasa Melayu. Dan lagi yang bukan-bukan tempat perkataan itu dipakaikannya, dan di tempat bukan-bukan hubungannya perkataan itu

Page 45: CATATAN UNTUK KOMENTAR TERHADAP SADUR

Jangan Bungkam Suaraku, Jangan Bunuh Bidangkudihubungkannya.

45