catatan kuliah blok imunologi oragastra
DESCRIPTION
Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRATRANSCRIPT
Immunology
Acadeic Division | ORAGASTRA
DAFTAR ISI
IMUNOLOGI DASAR .............................................................................................. 1 RESPON IMUN FISIOLOGIS .................................................................................... 8 RESPON IMUN PATOLOGIS .................................................................................... 19 PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI ...................................................................... 34 REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN ............................ 39 IMUNOPARASITOLOGI .......................................................................................... 43 IMUNOFARMAKOLOGI .......................................................................................... 48 IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL .......................................................................... 63 LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES)-4 ........................................................... 69 POLYARTERITIS NODUSA-1 ................................................................................... 84 POLIMIALGIA REUMATIK (PMR)-3A ....................................................................... 87 ANAFILAKSIS-4A .................................................................................................... 90 DEMAM REUMATIK-3A ......................................................................................... 96 ARTHRITIS RHEUMATOID- 3A ................................................................................ 99 JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA)-2 .................................................................. 103 HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA-2 ....................................................................... 108 ERYTHEMA MULTIFORME-2 .................................................................................. 111 HIV-4 .................................................................................................................... 113
1 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
IMUNOLOGI DASAR
Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan tubuh.
Terminologi kata “imunologi” berasal dari kata “immunitas” dari bahasa latin yang berarti
pengecualian atau pembebasan.
Imunitas adalah suatu kemampuan tubuh untuk melawan organisme atau toksin yang
cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.
KOMPONEN SISTEM IMUN
A. Organ Limfoid
Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, spleen, timus dan sumsum tulang.
Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh limfatik dan
dinamakan sesuai dengan tempatnya. Di organ limfoid, terdapat jaringan limfoid dan di
jaringan limfoid terdapat banyak limfosit yang akan melawan agen perusak seperti
organisme asing atau toksin. Jaringan limfoid yang letaknya tersebar ini menguntungkan
dalam tubuh untuk menahan invasi organisme sebelum lebih luas.
Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi jaringan
perifer tubuh
Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang masuk
melalui saluran pernapasan
Jaringan limfoid di spleen, timus dan sumsum tulang untuk melawan antigen
yang berhasil mencapai sirkulasi darah
Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang masuk
melalui usus
Perjalanan organisme asing atau toksin setelah masuk ke tubuh yaitu agen sampai di
cairan jaringan, kemudian agen ini akan dibawa melalui pembuluh limfe ke nodus limfe
atau jaringan limfoid lainnya.
Selain sebagai “gudang” limfosit, beberapa organ limfoid juga memiliki fungsi khusus,
yaitu :
2 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Kelenjar limfe untuk membersihkan limfe
Spleen untuk membersihkan darah
Timus sebagai tempat matur limfosit-T
Sumsum tulang untuk memproduksi leukosit
(cancerresearchuk.org)
B. Makrofag
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit, juga ada berjuta-juta makrofag. Adapun
mekanisme makrofag dalam melawan antigen yang masuk dalam tubuh manusia yakni
dengan :
1. Organisme yang menginvasi akan difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh
makrofag, kemudian produk antigeniknya di lepaskan ke dalam sitosol makrofag. Lalu
makrofag mentransfer antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara
kontak sel-ke-sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.
2. Makrofag menyekresikan Interleukin-1, yaitu zat pengaktivasi khusus yang
meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.
3 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
C. Limfosit
a. Limfosit-B
Limfosit-B membentuk antibodi yang
menyerang agen yang masuk ke dalam
tubuh.
Gambar : (Reseptor sel B untuk antigen;
terdiri dari molekul immunoglobulin
permukaan)
b. Limfosit-T
Limfosit-T berperan dalam imunitas yang diperantai sel (imunitas sel-T) untuk
menghancurkan benda asing. Di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara cepat
sambil membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai
antigen spesifik
4 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
TIPE SEL-T DAN FUNGSINYA
1. Sel T Pembantu (CD4)
Sel T Pembantu merupakan sel T yang jumlahnya paling banyak. Sesuai
namanya, sel ini membantu untuk melakukan fungsi imun. Sel ini meyekresikan
limfokin, yaitu sejenis mediator protein yang bekerja pada sel-sel lain dalam
sistem imun dan sumsum tulang. Sekresi limfokin di antaranya :
Interleukin-2 Interleukin-6
Interleukin-3 Faktor perangsang-koloni
Interleukin-4 granulosit-monosit
Interleukin-5 Interferon-ɣ
Fungsi sel T pembantu :
a. Perangsangan pertumbuhan dan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T
supresor. Efek perangsangan terbesar yaitu Interleukin-2 dan yang lain
memiliki efek potensial yang lebih sedikit.
b. Perangsangan pertumbuhan dan diferensiasi sel B untuk membentuk sel
plasma dan antibody. Hampir semua interleukin berperan dalam
perangsangan, khususnya interleukin 4, 5, dan 6. Maka ketiga interleukin
ini disebut faktor perangsangan sel B atau faktor pertumbuhan sel B.
c. Aktivasi sistem makrofag. Pertama, limfokin memperlambat atau
menghentikan migrasi makrofag—setelah secara kemotaktik tertarik ke
area meradang—agar makrofag-makrofag ini berkumpul. Kedua, limfokin
mengaktifkan makrofag ini untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih
efisien, sehingga makrofag menghancurkan agen perusak dalam jumlah
yang lebih banyak.
Beberapa interleukin, interleukin-2 khususnya memiliki efek umpan balik
positif yang mempu merangsang aktivasi sel T pembantu.
5 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
2. Sel T Sitotoksik (CD8)
Sel T sitotoksik disebut juga sel pembunuh. Protein reseptor pada
permukaan sel T sitotoksik meyebabkan sel ini berikatan erat dengan
organisme atau sel yang mengandung antigen spesifik sel T sitotoksik
menyekresikan perforin, yaitu protein pembentuk lubang pada membran sel
yang diserang cairan interstisial dan substansi sitotoksik dari sel sel T
sitotoksik masuk sel T sitotoksik keluar dari sel korban sel membengkak
dan kemudian terlarut.
Keluarnya sel T sitotoksik sebelum sel korban terlarut membuat sel T
sitotoksik dapat membunuh lebih banyak sel lagi.
3. Sel T Supresor
Fungsi sel T supresor adalah untuk menekan fungsi sel T pembantu dan
sel T sitotoksik agar tidak menyebabkan reaksi imun berlebihan yang dapat
merusak jaringan tubuh sendiri (toleransi imun).
PEMBAGIAN SISTEM IMUN
Secara umum, imunitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Imunitas Bawaan
Imunitas bawaan yaitu jenis imunitas yang berasal dari proses umum tubuh, mempunyai
spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Imunitas
bawaan meliputi :
a. Proses fagositosis dengan peran dari neutrofil, monosit, dan makrofag.
b. Penghancuran organisme yang tertelan oleh asam lambung dan enzim pencernaan.
c. Daya tahan kulit terhadap invasi (masuknya) organisme.
d. Senyawa kimia yang mampu menghancurkan organisme atau toksin, seperti lisozim
(membuat bakteri larut), polipeptida dasar (menonaktifkan bakteri gram positif) ,
kompleks komplemen dan natural killer lymphocyte.
Respon imunitas jenis ini tetap walaupun terpapar organisme penyebab penyakit yang
sama berulang-ulang. Imunitas bawaan disebut juga pertahanan tubuh nonspesifik, dibagi
menjadi dua, yaitu :
6 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
1. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal
Merupakan pertahanan pertama yang berperan penting dalam menahan benda asing
seperti bakteri. Di antaranya kulit, membran mukosa, dan sekresi dari kulit dan
membran mukosa.
2. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Internal
Merupakan garis pertahanan kedua, jika pertahanan pertama dapat ditembus. Di
antaranya sel darah putih fagositik, protein anti mikroba, dan respon peradangan.
2. Imunitas Didapat (Adaptif)
Imunitas didapat yaitu jenis imunitas yang sangat kuat dengan cara membentuk antibody
dan/atau menghancurkan agen penyerang spesifik, seperti bakteri, virus, toksin atau
jaringan asing. Imunitas didapat dibentuk berminggu-minggu atau berbulan-bulan sejak
tubuh pertama kali diserang. Ada dua tipe imunitas didapat, yaitu :
a. Imunitas yang Diperantarai Sel (Imunitas Sel-T)
Limfosit-T membentuk limfosit T teraktivasi dalam jumlah besar, khusus untuk
menghancurkan benda asing.
b. Imunitas humoral (Imunitas Sel-B)
Limfosit-B membentuk antibody yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam
plasma darah. Antibody ini kemudian menyerang agen yang masuk ke dalam tubuh.
Jadi intinya, imunitas didapat merupakan produk limfosit tubuh. Respon kedua pada
imunitas didapat akan lebih kuat disbanding respon pertama jika terpapar agen penyerang
yang sama.
FUNGSI SISTEM IMUN
1. Pertahanan
Fungsi pertahanan sistem imun adalah membentuk imunitas spesifik untuk melawan agen
yang mematikan, seperti bakteri, virus, toksin dan bahkan jaringan asing yang masuk ke
dalam tubuh.
7 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
2. Homeostasis
Sistem imun mempunyai peran homeostasis agar tubuh dapat mempertahankan
keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam. Sistem imun memiliki fungsi sebagai
eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua.
3. Pengawasan
Sistem imun dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang
menjadi ganas.
REFERENSI :
Baratawidjaja, KG. 2000. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Peter et al. 2000. The Immune System First Of Two Parts. Volume 343 number 1, Massachusetts Medical
Society, The New England Journal Of Medicine
muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id
Imunitas didapat tidak akan terbentuk sampai ada invasi organisme asing, maka terdapat
mekanisme tertentu untuk mengenali invasi ini. Mekanismenya yaitu setiap jenis organisme atau
toksin hampir selalu mengandung satu atau lebih senyawa kimia spesifik (protein atau polisakarida
besar dengan berat molekul 8000 atau lebih dan terdapat epitop pada permukaannya) yang
membuatnya berbeda dari seluruh senyawa lainnya. Senyawa ini disebut antigen (antibody
generations).
Setelah limfosit yang spesifik diaktifkan oleh antigennya, maka ia akan berkembang biak dengan
cepat dan membentuk sel limfosit turunan. Jika itu adalah limfosit-T, keturunannya adalah sel T
spesifik dilepaskan ke cairan limfe diangkut darah disirkulasi ke seluruh cairan jaringan
kembali ke limfe. Sirkulasi ini bisa terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Jika itu
adalah limfosit-B, keturunannya akan menyekresikan antibody spesifik yang kemudian bersirkulasi
ke seluruh tubuh.
8 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Pada masa embrio, kedua macam limfosit (limfosit-T dan limfosit-B) berasal dari sel stem
hematopoietic pluripoten. Pada masa ini, hanya ada “segmen gen”—sebenarnya, terdiri dari
beratus-ratus segmen—tetapi tidak seluruh gen untuk jutaan jenis antibodi dan limfosit -T. Sebelum
ke jaringan limfoid, limfosit “sekolah” dahulu dengan cara sebagai berikut.
A. Limfosit-T
Pembentukan limfosit-T di sumsum tulang bermigrasi ke kelenjar timus di kelenjar
timus, limfosit-T membelah secara cepat sambil membentuk keanekaragaman yang
ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik didapatkan ribuan jenis
limfosit timus dengan reaktivitas spesifik untuk melawan ribuan jenis antigen timus
menyeleksi limfosit-T dengan cara mencampurkan limfosit-T dengan antigen yang berasal
dari jaringan tubuh sendiri. Jika limfosit-T bereaksi, maka dia akan dihancurkan dan
difagositosis. Jika tidak bereaksi, limfosit-T akan dilepaskan limfosit-T yang lolos seleksi
kemudian meninggalkan timus menyebar ke seluruh tubuh melalui darah limfosit-T
mengisi jaringan limfoid di setiap tempat.
B. Limfosit-B
- Pada masa pertengahan kehidupan janin, limfosit-B diolah di hati
- Pada masa akhir janin dan sesudah lahir . limfosit-B diolah di sumsum tulang
Limfosit B memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit-T, sampai berjuta-juta
antibody dengan berbagai reaktivitas spesifik.
Kemudian selama proses pengolahan, segmen-segmen gen ini menjadi tercampur satu sama lain
dalam kombinasi acak, dan dengan cara ini akhirnya membentuk seluruh gen. Jadi jika ada beberapa
ratus segmen gen, maka terdapat jutaan kombinasi segmen yang dapat tersusun dalam sel tunggal.
9 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
RESPON IMUN FISIOLOGIS
Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan melindungi
integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan zat yang berbahaya di
lingkungan yang dapat merusak dirinya.
PENGOLAHAN PENDAHULUAN TERHADAP LIMFOSIT T DAN B
Limfosit T diolah lebih dulu di kelenjar timus
Limfosit T, setelah pembentukannya di sumsum tulang, mula-mula bermigrasi ke kelenjar
timus. Di kelenjar timus, limfosit T membelah secara cepat dan pada waktu yang bersamaan
membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen
spesifik. Artinya, tiap satu limfosit di kelenjar timus membentuk reaktivitas yang spesifik untuk
melawan satu antigen. Kemudian limfosit berikutnya membentuk spesifitas terhadap antigen
yang lain. Berbagai tipe limfosit T yang telah diproses sekarang meninggalkan timus dan
menyebar ke seluruh tubuh untuk mengisi jaringan limfoid di setiap tempat.
Sebagian besar proses pengolahan limfosit T dalam timus berlangsung beberapa saat sebelum
bayi lahir dan selama beberapa bulan setelah lahir.
Limfosit B diolah lebih dulu di hati dan sumsum tulang
Pengolahan limfosit B yang rinci lebih sedikit diketahui daripada proses pengolahan limfosit T.
Pada manusia, limfosit B diketahui diolah lebih dulu di hati selama periode pertengahan
kehidupan janin, dan di sumsum tulang selama masa akhir kehidupan janin dan setelah lahir.
Limfosit B berbeda dengan limfosit T dalam dua hal:
1. Berbeda dengan seluruh sel yang membentuk aktivitas terhadap antigen, limfosit B secara
aktif menyekresikan antibodi yang merupakan bahan reaktif.
2. Limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit T, jadi
membentuk banyak sekali sampai berjuta-juta antibodi tipe limfosit B dengan berbagai
reaktivitas yang spesifik.
Setelah diolah, limfosit B bermigrasi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh, tempat limfosit B
menempati daerah yang berdekatan dengan limfosit T tetapi sedikit lebih jauh.
10 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
MEKANISME UNTUK MENGAKTIFKAN SUATU KLON LIMFOSIT
Setiap klon limfosit hanya spesifik terhadap satu tipe antigen (atau terhadap beberapa antigen
serupa yang sifat stereokimianya hampir sama). Alasan terjadinya hal ini:
Pada limfosit B, masing-masing mempunyai kira-kira 100.000 molekul antibodi pada permukaan
membran selnya yang akan bereaksi sangat spesifik dengan satu macam antigen spesifik saja. Jadi,
bila ada antigen yang cocok, maka antigen ini segera melekat dengan antibodi di membran sel,
keadaan ini menimbulkan proses aktivasi.
Pada limfosit T, di permukaan membran sel nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan
antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (atau penanda sel T) dan ternyata protein ini
juga bersifat sangat spesifik terhadap satu antigen spesifik yang mengaktifkannya.
Peran Makrofag Dalam Proses Pengaktifan
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit juga terdapat berjuta-juta makrofag. Makrofag
melapisi sinusoid-sinusoid pada nodus limfe, limpa, dan jaringan limfoid lain, dan makrofag ini
terletak bersebelahan dengan banyak limfosit dalam nodus limfe. Kebanyakan organisme yang
menginvasi mula-mula difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh makrofag, kemudian
produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian
mentransferkan antigen-antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara kontak sel
ke sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik. Selain itu, makrofag juga
menyekresikan zat pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksii
limfosit spesifik. Zat ini disebut interleukin-I.
Peran sel T dalam mengaktifkan limfosit B
Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang bersamaan.
Beberapa sel T yang terbentuk, disebut sel pembantu, kemudian menyekresikan bahan khusus
(disebut limfokin) yang mengaktifkan limfosit B spesifik. Tanpa bantuan sel pembantu ini,
jumlah antibodi yang dibentuk oleh limfosit B biasanya sedikit.
11 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Aktivasi sistem makrofag
Pertama, limfokin memperlambat atau menghentikan migrasi makrofag setelah makrofag
secara kemotaktik tertarik ke dalam area jaringan yang meradang, dengan demikian
menyebabkan pengumpulan makrofag dalam jumlah banyak.
Kedua, limfokin mengaktifkan makrofag untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih efisien,
sehingga memungkinkan makrofag untuk menyerang dan menghancurkan organisme atau
agen perusak jaringan lainnya dalam jumlah lebih banyak.
MEKANISME IMUNITAS TERHADAP ANTIGEN YANG BERBAHAYA
Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di
lingkungannya yaitu:
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat
dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung serta
lisosim dalam air mata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi
mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity.
4. Imunitas spesifik yang didapat.
Innate Immunity
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik yang mencegah masuknya dan menyebarnya
mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa
komponen innate immunity yaitu :
1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag.
2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi
aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.
5. Produksi interferon alfa (IFN α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN β) oleh fibroblast yang
mempunyai efek antivirus.
12 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan
granula yang mengandung perforin.
7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat
merusak membran parasit.
Imunitas Spesifik Didapat
Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan
membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini
memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu.
Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari:
1. Imunitas humoral
Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent).
2. Cell mediated immunity (CMI)
Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui:
a. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya.
b. Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).
Prosesi dan Presentasi Antigen
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi
oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan
menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel
limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan
mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini
kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen.
Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi
sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan
komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan
darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti
bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol.
13 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Peran Major Histocompatibility Antigen (MHC)
Telah disebutkan di atas bahwa respons imun terhadap sebagian besar antigen hanya dimulai bila
antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu sel T hanya
mengenal imunogen yang terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. Ada 2 kelas MHC yaitu
:
1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi
antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel
mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc
tersebut.
2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi
antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini
diperlukan untuk respons imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan
poros penting dalam mengontrol respons imun tersebut.
Respons Imun terhadap Bakteri Ekstraselular
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu :
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi. Sebagai
contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat.
2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin
dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu
lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta
aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik
dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri menghambat sintesis
protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis
semua peptida. Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang
menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus
merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang
menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan.
Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas
14 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta
netralisasi efek toksin.
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme
fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis
dan penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa
adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur
alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek
opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane
attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan
respons inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang
merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular.
Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa
sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8.
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah merangsang
inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan
menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti
migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat
efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang
demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator
sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam
jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan
dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh
infeksi bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang
progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan
pada syok endotoksin ini.
Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap
bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding
15 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini
dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig) M spesifik yang kuat.
Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype
switching rantai berat oleh sitokin.
Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4
berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan
mikrobisid makrofag.
Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan
bakteri, yakni :
1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc_ pada
monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik
yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3
dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap
infeksi piogenik yang hebat.
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target
serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan
mediator inflamasi akut.
Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di
dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam
makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah
fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel
fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam
mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.
16 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell mediated
immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya
untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T
terutama interferon α (IFN α). Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri
mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya
muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit
T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN α. Sitokin IFN α ini akan mengaktivasi makrofag
termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten
sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan
lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk
mencegah penyebarannya.
Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas
yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama
oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal
ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara
langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis
akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit.
Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu
yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi
granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya.
Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah
manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.
KONSEP DASAR IMUNISASI
1. Pengertian imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit
(Ranuh. et. all, 2008:40).
17 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya dari beberapa
penyakit tertentu (Wahab, A. Samik, 2002: 22).
Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas, memberikan imunitas protektif
dengan menginduksi respon memori terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan
preparat antigen non virulen/non toksik (Wong. DL, 2008: 28).
2. Jenis Vaksin
Pada dasarnya vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
b. Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif).
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin
ini digunakan.
Vaksin hidup attenuated
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar
ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan pembiakan berulang-ulang.
Vaksin hidup yang tersedia: berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan
(parotitis), rubella, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri yaitu
vaksin BCG dan demam tifoid.
Vaksin inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan
kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan
hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida
dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini selalu membutuhkan dosis
multipel, pada dasarnya dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya
memacu atau menyiapkan sistem imun.
18 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Vaksin polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik
terdiri atas rantai panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri
tertentu. Vaksin ini tersedia untuk tiga macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus,
dan haemophillus influenzae type b.
Vaksin rekombinan
Terdapat tiga jenis vaksin rekombinan yang saat ini telah tersedia :
1. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B
ke dalam gen sel ragi.
2. Vaksin tifoid (Ty21a) adalah bakteri salmonella typhi yang secara genetik diubah sehingga
tidak menyebabkan sakit.
3. Tiga dari empat virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera
rhesus yang diubah secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila
mereka mengalami replikasi.
19 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
RESPON IMUN PATOLOGIS
HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Suharti, 2012)
Reaksi-reaksi klinis hipersensitivitas meliputi reaksi cepat (diperantarai-antibodi) dan
reaksi lambat (diperantarai-aktivitas limfosit). Keduanya terjadi bila sebelumnya satu individu
pernah mengalami kontak dengan agen khusus yang memiliki karakteristik kimia tertentu,
sehingga menyebabkan individu tersebut sensitif terhadap partikel tertentu. Terpajannya
kembali dengan antigen tersebut dapat menyebabkan sel yang sudah tersensitisasi
menghasilkan respons “pertahanan” yang khusus. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang
dibutuhkan untuk reaksi, reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Alergi)
Hipersensitivitas tipe I juga disebut sebagai immediate atau anaphilactic
hypersensitivity. Hipersensitivitas tipe ini dimediasi oleh IgE. Komponen seluler primer
pada hipersensitivitas ini adalah sel mast atau basofil. Reaksinya diperkuat dan/atau
dimodifikasi oleh trombosit, eosinofil, dan neutrofil. Mekanisme dari reaksi ini
melibatkan produksi IgE, dalam respon antigen tertentu (sering disebut alergen).
Pada reaksi ini, individu tersensitisasi oleh imunogen (partikel yang mampu
menginduksi respon imun) tertentu melalui pajanan sebelumnya. Pada kontak awal,
diproduksi IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel
mast dan basofil. Saat tubuh kembali berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi
antara imunogen dengan antibodi (IgE) yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan
pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi, seperti histamin,
yang terkandung dalam sel-sel tersebut.
Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan di daerah yang terbatas, maka
pelepasan mediatornya juga lokal. Pada situasi ini, akibatnya adalah terjadinya
vasodilatasi lokal disertai peningkatan permeabilitas dan pembengkakan. Namun,
apabila imunogen masuk dalam jumlah besar dan secara intravena ke dalam orang yang
20 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
sudah peka, maka pelepasan mediator-mediator dapat sangat banyak dan meluas dan
menimbulkan reaksi anafilatik. Yang sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah
serangga, serbuk sari, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Hipersensitivitas tipe II juga disebut sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan
mungkin mempengaruhi berbagai jaringan dan organ. IgG atau IgM dalam darah
berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan di
permukaan sel.
Akibat dari reaksi ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis
sel sasaran setelah terjadi pengaktifan sistem C. Apabila sel sasaran adalah agen
penginvasi, misalnya bakteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermanfaat bagi tubuh.
Apabila sel sasaran adalah sel tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin
adalah suatu bentuk anemia hemolitik.
Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang
dependen-antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap
antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit, seperti
neutrofil dan makrofag, yang memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc)
molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan
menghancurkannya.
Adapun terapinya melibatkan anti-inflammatory dan immunosuppressive agents.
21 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Imun Kompleks)
Reaksi ini mungkin umum (seperti serum sickness), atau mungkin melibatkan
organ individual termasuk kulit (seperti systemic lupus erythematosus, Arthus reaction),
ginjal (seperti lupus nephritis), paru-paru (seperti aspergillosis), pembuluh darah (seperti
polyarteritis), persendian (seperti rheumatoid arthritis), atau organ-organ lain.
Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan diperantarai oleh
kompleks imun (kompleks imunogen dengan imunoglobulin, biasanya IgG) yang
mengendap di jaringan, arteri, dan vena. Mekanisme dasarnya adalah pembentukan
kompleks imunogen-imunoglobulin di dinding pembuluh. Unsur kunci dalam reaksi ini
adalah pengaktivan jenjang C oleh kompleks iimun yang mengendap di dinding
pemnuluh darah, walaupun sel-sel vaskular bukan merupakan sumber imunogen;
imunogen berdifusi ke dalam dinding pembuluh dari darah. Pengaktivan C menyebabkan
terbentuknya faktor-faktor kemotaktik yang menarik neutrofil dari sirkulasi. Kerusakan
pembuluh berlanjut apabila neutrofil mengalami degranulasi (melepaskan enzim-enzim
litik) ke daerah sekitar. Kerusakan di jaringan sekitar disebabkan oleh pembentukan
mikrotrombus, peningkatan permeabilitas vaskular, dan pelepasan enzim-enzim yang
menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan, dan bahkan kematian jaringan.
Reaksi tipe III berbeda dari reaksi tipe II. Kerusakan sel selama reaksi tipe II
terbatas pada tipe sel tertentu yang merupakan “sasaran” spesifik, sedangkan reaksi tipe
III menghancurkan jaringan atau organ di mana saja tempat kompleks imun mengendap.
Adapun untuk terapi meliputi anti-inflammatory agents.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Delayed Type Hypersensitivity)
Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan
imunogen yang sesuai. Sel-sel CD4 (sel T Helper) melepaskan sitokin yang menarik dan
merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila
imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat
berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik, misalnya berkumpulnya sel-sel
mononukleus di daerah kerusakan jaringan.
22 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Berbagai imunogen, seperti virus, bakteri, fungus, hapten, dan obat, dapat
memicu reaksi tipe IV. Reaksi tipe IV juga merupakan penyebab utama penolakan yang
terjadi pada beberapa transplantasi organ.
Referensi :
Ghaffar Abdul (2010). Immunology - Chapter Seventeen Hypersensitivity Reactions. University of South
Carolina School Of Medicine. http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm. Diakses pada
April 2013.
23 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta:
EGC.
Sudiana IK. Imunopatologi. ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf diakses pada April 2013.
Suharti N. 2012. Hipersensitivitas. repository.unand.ac.id/18428/2/HIPERSENSITIVITAS.... Diakses April
2013.
PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun merupakan berbagai penyakit di mana sistem imun seseorang
memproduksi suatu respon yang tidak seharusnya, yaitu melawan sel, jaringan dan/atau organ
itu sendiri, yang menyebabkan inflamasi dan damage.
Diagnosis penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun
terhadap diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan
autoimun biasanya ditetapkan berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi
penderita.
Ada dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun.
Yang pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit untuk
mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah autoimun
disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang mengandung beberapa
sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Nampaknya
kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit
autoimun.
Penyakit autoimun biasanya didiagnosis dan dimonitor oleh medical specialist
menggunakan suatu kombinasi dari riwayat klinis, tes darah (autoantibodies, inflammation,
organ function) dan investigasi lain, seperti x-rays. Kadangkala biopsi dari affected tissues juga
dibutuhkan untuk diagnosis.
Ada lebih dari 80 penyakit autoimun yang berbeda, dan dapat dikategorikan menjadi 2
tipe umum :
24 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
1. Penyakit autoimun yang spesifik organ
Meskipun penyakit imun yang spesifik organ pada dasarnya mempengaruhi satu
organ atau jaringan, namun efek ini seringkali meluas ke organ atau sistem tubuh yang
lain.
Examples of localised (organ specific) autoimmune diseases :
Multiple sclerosis (nervous system) Hashimoto’s thyroiditis (thyroid)
Myasthenia gravis (nerves, muscles) Addison’s disease (adrenal)
Guillain-Barre syndrome (nervous system) Pernicious anaemia (stomach)
Coeliac disease (gastrointestinal tract) Primary biliary cirrhosis (liver)
Crohn’s disease (gastrointestinal tract) Sclerosing cholangitis (liver)
Ulcerative colitis (gastrointestinal tract) Autoimmune hepatitis (liver)
Diabetes Mellitis Type 1a (pancreas) Grave’s disease (thyroid)
2. Penyakit autoimun yang umum/sistemik (tidak spesifik organ)
Penyakit autoimun sistemik dapat mempengaruhi organ tubuh dan jaringan dalam
waktu yang sama. Penyakit autoimun spesifik secara luas dapat diklasifikasikan menjadi
rheumatological/connective tissue disease dan vasculitis (inflammation of blood vessels).
Examples of rheumatological systemic autoimmune diseases :
Antiphospholipid antibody syndromes (blood cells)
Dermatomyositis (skin, muscles)
Mixed connective tissue disease
Polymyalgia rheumatica (large muscle groups)
Polymyositis (skin, muscles)
Primary Raynaud’s disease (blood vessels)
Rheumatic fever
Rheumatoid arthritis (joints, less commonly lungs, skin, eyes)
Scleroderma (skin, intestine, less commonly lungs, kidneys)
Sjögren’s syndrome (salivary glands, tear glands, joints)
25 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Systemic Lupus Erythematosus (skin, joints, kidneys, heart, brain, red blood cells,
other)
Vasculitis disorders biasanya jarang terjadi dan merupakan akibat dari inflamasi
pembuluh darah. Gejalanya meliputi fatigue, penurunan berat badan, rashes, sore joints,
atau keringat malam.
Examples of vasculitis :
Vasculitis (small blood vessel)
Churg-Strauss syndrome (lungs, skin, nerves)
Cryoglobulinaemia (skin, kidneys, nerves)
Goodpasture’s syndrome (lungs, kidneys)
Henoch-Schonlein purpura (skin, joints, kidneys, gut)
Microscopic polyangitis (skin, kidneys, nerves)
Wegener’s granulomatosis (sinuses, lungs, kidneys, skin)
Vasculitis (medium blood vessel)
Behcet’s disease (mucous membranes, skin, eyes)
Central nervous system vasculitis (brain)
Kawasaki syndrome (skin, mucous membranes, lymph nodes, blood vessels)
Polyarteritis nodosa (kidneys, gut, nerves, skin)
Vasculitis (large blood vessel)
Giant cell (temporal) arteritis (arteries of the head and neck)
Takayasu arteritis (arteries of the head and neck)
REFERENSI :
Australian Society of Clinical Immunology and Allergic Inc. (2010). Autoimmune Disease.
http://www.allergy.org.au/patients/autoimmunity/autoimmune-diseases. Diakses pada April
2013.
Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Universitas Hasanudin. Penyakit Autoimun.
med.unhas.ac.id/obgin/datanya/.../PENYAKIT%20AUTOIMUN.doc – Diakses pada April 2013.
26 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
IMUNOHEMATOLOGI
Immunohematology adalah cabang hematologi yang mempelajari reaksi antigen-
antibodi dan fenomena yang analog sejauh berkenaan dengan patogenesis dan manifestasi
klinis gangguan darah.
Antigen yaitu setiap zat yang mampu, dalam kondisi yang sesuai, menginduksi suatu
respons imun spesifik dan bereaksi dengan produk respons tersebut, yakni, dengan antibodi
spesifik atau limfosit T yang disensitisasi secara khusus atau keduanya. Atau dengan kata lain,
antigen adalah substansi (biasanya eksogen) yang berikatan secara spesifik dengan antibodi.
Antigen dapat berupa zat yang terlarut, seperti toksin dan protein asing, atau partikel, seperti
bakteri dan jaringan. Akan tetapi, hanya sebagian molekul protein atau polisakaridanya saja,
yang diketahui sebagai antigenic determinant (q.v.), yang bergabung dengan antibodi atau
suatu reseptor spesifik pada suatu limfosit.
Antibody adalah molekul imunoglobulin yang mempunyai suatu rantai asam amino
spesifik, yang hanya berinteraksi dengan antigen yang menginduksi sintesis molekul ini di
dalam sel seri limfoid (khususnya sel plasma). Antibody yaitu glikoprotein plasma yang
disekresikan oleh limfosit B aktif.
Antigen Eritrosit
Menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 29 sistem golongan
darah dan 600 antigen eritrosit. Setiap individu memiliki 1 set antigen eritrosit spesifik yang
diturunkan secara genetik. antigen eritrosit menonjol di permukaan membran eritrosit,
sehingga bisa dikenali oleh molekul antibodi yang mengakibatkan reaksi antigen-antibodi dan
terjadi aglutinasi. Kepentingan klinis dari penggolongan darah adalah untuk :
1) transfusi darah
2) transplantasi
3) haemolytic disease of the fetus and newborn (HDFN)
4) disease association
27 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Komplikasi yang paling serius dari
transfusi darah adalah akibat dari interaksi
antara antibodi pada plasma resipien dan
antigen dari eritrosit pendonor.
Inkompatibilitas antara antigen eritrosit
pendonor dan antibodi plasma resipien bisa
mengakibatkan produksi antigen-antibody
complex yang mengakibatkan fiksasi
komplemen, hemolysis intravascular, dan
destruksi hebat dari darah yang ditransfusikan.
Tabel 1 dan 2. Kecocokkan golongan darah pendonor dan resipien.
Landsteiner’s Rule :
1. A person does not have antibody to his own antigens.
2. Each person has antibody to the antigen he lacks (only in the ABO system).
Berbagai jenis antigen eritrosit mempunyai imunogenitas yang berbeda. Yang paling
imunogenik adalah antigen ABO dan Rhesus (Rh).
ABO Blood Groups
Antigen ABO merupakan oligosakarida yang terkait secara langsung pada lipid
membran eritrosit. Terjadinya antigen ABO dan lokasi ekspresi antigen ABO dikendalikan
28 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
secara genetik oleh 3 lokus gen yang berbeda di kromosom 9q : H, ABO, dan Se. Gen H
mengontrol produksi antigen H (prekursor antigen A dan antigen B). Gen ABO
mengontrol sintesis antigen A dan antigen B yang menentukan fenotip golongan darah.
Gen Se menentukan ekspresi antigen ABO soluble dalam cairan tubuh.
Gen H – alel H dan h (H adalah alel dominan, h adalah amorph, produk gen tidak
terdeteksi). Gen ABO – alel A, B, dan O (A& B mengkode functional glycosyltransferase
yang mengubah antigen H, O mengkode non-functional glycotransferase). Gen Se
(secretor) – alel Se (dominan) dan se (amorph). Antigen A, B, dan H disekresikan ke
dalam plasma, saliva, semen, keringat, dan cairan tubuh lain, kecuali LCS.
Antigen H adalah prekursor antigen A dan B. Group O tidak mempunyai antigen A
dan B, tetapi kaya antigen H. Antigen ABO sudah terdeteksi 5-6 minggu in utero. Bayi
baru lahir memiliki ekspresi antigen lebih sedikit dibandingkan orang dewasa.
Perkembangan antigen berjalan lambat, ekspresi penuh saat usia 2-4 tahun.
IgM adalah antibodi yang dominan pada individu golongan A dan B. IgG (dan
sedikit IgM) adalah antibodi yang dominan pada individu golongan O. Antibodi anti ABO
biasanya terbentuk pada 3-6 bulan in utero. Stabil setelah usia 5-10 tahun. Bayi baru
lahir mendapat antibodi maternal secara pasif melalui plasenta.
Fenotip O Bombay
Yakni individu dengan fenotip O, genotip hh. Tidak punya antigen H dan antigen
A,B,O. Mempunyai anti A, anti B, dan anti H dalam plasma. Bila mendapat transfusi
dari grup O akan mengalami hemolisis karena reaksi antara antigen H darah donor
pengan anti H resipien. Hanya compatible bila mendapat transfusi dari donor
dengan fenotip O Bombay. Dapat mendonorkan darahnya ke semua golongan
darah sistem ABO.
29 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Tabel 3 dan 4. Sistem penggolongan darah ABO
Rh Blood Groups
Penggolongan Rh positive atau Rh negative merujuk pada ada tidaknya antigen D
saja. Antigen D merupakan polipeptida yang hanya terdapat pada membran eritrosit,
tidak terdapat dalam cairan tubuh dan material alamiah. Tidak seperti sistem ABO, tidak
adanya antigen D tidak berkorelasi dengan pembentukan anti D dalam plasma. Produksi
anti D memerlukan stimulasi imunologis berupa paparan eritrosit yang mengandung
antigen D pada individu yang tidak mempunyai antigen D. Paparan terjadi melalui
transfusi atau kehamilan.
Inkompatibilitas Rhesus pada ibu dengan Rhesus negatif dan fetus dengan
Rhesus positif. Anti D yang dihasilkan ibu akibat paparan antigen fetus bisa
menyebabkan destruksi eritrosit fetus.
30 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Sensitisasi sistem imun ibu oleh antigen fetus dapat terjadi pada saat:
1. Kehamilan trimester III
2. Persalinan
3. Abortus, kehamilan ektopik atau perdarahan antepartum
4. Prosedur diagnostik atau terapeutik antenatal invasif
5. Trauma plasenta
6. Transfusi darah
Tindakan terpenting untuk menurunkan insiden kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin
yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram
anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Jika ada antigen dari bayi masuk,
anti D ini akan langsung menangkap antigen D tersebut. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah pembentukan sel memori pada ibu.
Sumber :
Jensen M, Schroeder M. ABO Blood Group System.
http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm -
diakses pada April 2013.
Slide kuliah dr Arin, immunohematology
Tonya, Cafemom: The Meeting Place for Moms (2009). Your Blood Type Explained.
http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm -
diakses pada April 2013.
Unsri. Rhesus. digilib.unsri.ac.id/download/RHESUS.pdf – diakses pada April 2013.
31 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
IMMUNODEFISIENSI
Adanya sistem imun yang kompeten merupakan hal esensial bagi individu untuk dapat
menahan serangan antigen asing. Dengan demikian, seseorang dapat mengalami penyakit
apabila ia menderita defisiensi salah satu komponen sistem imun.
Imunodefisiensi mungkin memengaruhi bagian dari sistem imun. Kondisi ini terjadi
ketika sel limfosit T atau B (atau keduanya) tidak bekerja semaksimal mungkin, atau ketika
tubuh tidak bisa memproduksi antibodi yang cukup.
Defisit kekebalan humoral (yaitu diperantarai oleh antibodi) biasanya mengganggu
pertahanan melawan bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini yang berkapsul. Pengukuran
imunoglobulin serum dengan alat nefelometri sekarang telah banyak digunakan untuk
mengukur kadar imunoglobulin-IgG, IgA, IgM, dan IgD- pada serum manusia. Metode yang
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antibodi yang spesifik terhadap antigen difokuskan
pada :
1. Penentuan antibodi (IgM) yang terdapat secara alamiah pada golongan darah ABO yang
tidak ada pada eritrosit subjek. Orang normal secara konsisten memperlihatkan
isohemaglutinin seperti ini pada umur 1 tahun.
2. Tes Schick pada pasien yang telah diimunisasi toksoid diteri. Jika sudah dihasilkan kadar
antibodi khusus (IgG) yang cukup, maka pemecahan jaringan di tempat toksin dicegah.
3. Penentuan titer antibodi sebelum dan sesudah pemberian bahan imunisasi nonviable
(toksoid tetanus dan vaksin influenza) atau polisakarida pneumokokus (Pneumovax).
Defisiensi imunologik dapat bersifat primer atau sekunder. Defisiensi imunologi primer
memiliki dasar genetik, dan berbagai bagian dari sistem imun dapat terlibat. Salah satu contoh
defek pada imunitas humoral adalah agamaglobulinemia terkait-X yang disebabkan oleh
defisiensi sel B. Penyakit ini menyebabkan pasien hampir sama sekali tidak memproduksi
imunoglobulin, dengan konsekuensi infeksi rekuren atau kronik yang disebabkan oleh bakteri
piogenik misalnya Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan stafilokokus.
Imunodefisiensi humoral dapat hanya mengenai imunoglobulin tertentu, misalnya
defisiensi IgA terisolasi. Individu dengan penyakit ini memperlihatkan peningkatan angka
infeksi saluran nafas dan GI dan mungkin mengalami reaksi anafilaksis berat apabila ditransfusi
dengan darah normal (karena mereka mungkin memiliki antibodi terhadap IgA dalam jumlah
32 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
cukup besar). Imunodefisiensi humoral terutama mencolok pada beberapa penyakit
keganasan tertentu, seperti mieloma multiple dan leukimia limfositik kronik, dan perlu
mendapat perhatian bila sel-sel tumor menginfitrasi struktur limforetikular.
Defisiensi primer sel T (misalnya, sindrom DiGeorge) atau bahkan severe combined
immunodeficiency disease (SCID) juga dapat terjadi. SCID mengakibatkan gangguan fungsional
imunitas humoral dan seluler. Bayi dengan penyakit ini rentan terhadap infeksi, bakteri,
fungus, dan virus dan sering meninggal dalam tahun pertama kehidupannya. Perhatian yang
serius terhadap setiap orang yang menderita defisiensi sel T yang jelas adalah pada
ketidakmampuannya untuk membersihkan sel-sel asing termasuk leukosit viabel dari darah
lengkap yang ditransfusikan.
Semakin kita tua, sistem imun berkurang keefektifannya. Jaringan sistem imun
(khususnya jaringan lymphoid seperti thymus) menyusut dan jumlah dan aktivitas sel darah
putih menurun.
REFERENSI :
Dugdale DC (2012). MedlinePlus. Immunodeficiency Disorder.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000818.htm - diakses pada April 2013.
Ghaffar Abdul, Naggarkatti M (2010). Immunology Chapter Nineteen: Immunodeficiency.
http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunodef2000.htm - diakses pada April 2013.
PriceSA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta:
EGC
33 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI
Imunologi adalah spesialisasi medis yang berkaitan dengan kekebalan dan semua aspek
dari kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit yang disebabkan oleh patogen
(organisme penyebab penyakit, yang biasanya adalah mikro-organisme). Imunologi mencakup studi
tentang semua aspek dari sistem kekebalan tubuh dalam semua organisme. Ini berkaitan dengan,
antara lain, fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan penyakit,
malfungsi sistem kekebalan tubuh pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hypersensitivities,
defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari
sistem kekebalan tubuh secara in vitro, in situ, dan in vivo.
Pemeriksaan imunologi bersifat klinis dan dilakukan dalam laboratorium imunologi. Di dalam
laboratorium ini dapat melakukan pemeriksaan seperti :
Pengukuran kadar Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1)
Pemeriksaan kadar kortisol
Pengukuran kadar Prostate Spesific Antigen (PSA)
Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA)
Luminex (Multiplex Flow Cytometry Assay)
FACS CALIBUR (Flowcytometry)
Pengembangan Vaksin Dengue (Teknologi Sub Unit Protein Rekombinan)
Pengukuran kadar testosteron
Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan CRP (C-reactive protein)
Pemeriksaan hsCRP
Rheumatoid Arthritic Factor (RAF)
Pemeriksaan AFP (Alpha fetoprotein)
Pemeriksaan Carcinoembryonic antigen (CEA)
Pengukuran kadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
Pengukuran Neuron Specific Enolase (NSE)
Pengukuran Thyroid stimulating hormone (TSH)
34 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Pemeriksaan kadar prolaktin
Pemeriksaan serum progesterone
Adapun peralatan pada laboratorium imunologi adalah sebagai berikut :
1. Peralatan Diagnostika
2. Peralatan Mikrobiologi
3. Pereaksi Serologi
4. Perlengkapan dan Pereaksi Laboratorium Imunologi
5. Sistem Tes Imunologikal
6. Sistem Tes Imunologikal Antigen Tumor
PRINSIP PEMERIKSAAN METODE ELISA, PCR, DAN ELEKTROFORESE
Prinsip pemeriksaan imunologis
- Umumnya berdasarkan pada interaksi antigen (Ag) dan antibody (Ab)
- Interaksi Ag dan Ab terbagi atas:
Tingkat primer
Merupakan awal reaksi ikatan molekuler antara Ag dan Ab
Reaksi tidak terlihat dengan mata telanjang (biasa)
Perlu indikator: radioisotope (RIA), enzim (ELISA), atau warna fluoresen
(immunoflouresensi)
Indikator dilengketkan ke Ag atau Ab
Nama metode pemeriksaan, untuk menentukan interaksi anatara Ag dan Ab
disesuaikan dengan nama indicator.
Ilmu yang mempelajari reaksi Ag dan Ab serologi
Tingkat sekunder
Presipitasi
Aglutinasi
Tingkat tertier
Interaksi antara Ag dan Ab terjadi dalam tubuh manusia/invivo
35 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
A. TEKNIK ELISA
Untuk menentukan kadar Ag atau Ab
Indikator berupa enzim dilengketkan pada Ag atau Ab
Ada beberapa metode
Prinsip metode elisa:
Bila kita mau mendeteksi Ag:
Ag (serum) + AbE Ag – Ab
E komplek cuci
Inkubasi dengan substrat kromogenik (semula tak berwarna) berwarna
bila dihidrolisis oleh enzim intensitas warna yang terjadi diukur dengan
fotometer/spektrofotometer kadar antigen
Hidrolisis oleh enzim berlangsung dalam waktu tertentu.
Reaksi berhenti bila ditambahkan asam atau basa kuat
Reaksi harus berlangsung dalam keadaan optimal dimana kadar reaktan,
temperature dan masa inkubasi yang telah ditentukan secara eksperimental
setiap reagen dari fabric berbeda prosedur berbeda
Metode ELISA
Metode kompotitif
Umumnya untuk menentukan Ag
Ab spesifik (dilekatkan pada partikel/sumur) dicampur bersama Ag*
Tambahkan serum (ag) yang akan bersaing dengan Ag* untuk mengikat ab
diatas kompleks Ag* - Ab – Ag
Non kompotitif (langsung)
Menentukan Ab atau Ag
Indirek atau sandwich
Menentukan Ab dan Ag
Ag-Ab-AntiAb* antibody yang dicari
Abs-Ag-Ab* Ag yang dicari
36 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
B. ELEKTROFORESE
Merupakan teknik pemeriksaan yang berguna untuk pemisahan dan mengukur
kadar makromolekul (protein)
Komponen elektroforese:
Dapar/buffer
Media pendukung (gel agarosa, selulosa asetat)
Power supply unit
Pewarna protein
Densitometer
Prinsip dasar:
Tergantung pada:
a. Muatan partikel
Partikel bermuatan dalam media pendukungnya, bila terpapar dengan medan
listrik, akan bergerak ke arah elektroda yang berlawanan.
b. Kecepatan migrasi
Tergantung pada:
1. Kekuatan medan listrik
2. Ukuran molekul
3. Media pendukung
4. Viscositas media
5. Kekuatan medan listrik
6. Endoosmosis
7. Kadar ion
8. Suhu
C. POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Metode cepat dan sederhana untuk mengkopi dan memperbanayak urutan DNA
spesifik yang diinginkan dan divisualisasikan sebagai pita pada agarose gel
Secara mendasar sebenarnya PCr mengulangi siklus
37 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Denaturasi
Hibridasi dari DNA yang diinginkan dengan bantuan DNA primer
Extensi region DNA tsb oleh enzim DNA polymerase
Prinsip PCR
1. Ekstraksi DNA
2. Alat PCR
a. Target DNA
b. Persiapan larutan reaksi PCR ( d NTP, buffer primer, primer DNA, dan Taq
DNA polymerase)
c. Denaturasi DNA
Initial denaturasion : 5 menit, t=94 C
Denaturation : I meit 94 C
Primer annealing : 1 menit 50 C
Copying of DNA by DNA polymerase
Final elongation 10 menit 72 C
Program alat PCR bisa dilakukan 25-30 siklus
Sumber : Dr. Ozan Sanuddin, SpPK (K) – FK USU/UISU Medan
38 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN
Histocompatibility antigen adalah antigen yang terdapat pada sel/jaringan yang berperan pada
reaksi penolakan terhadap organ transplant.
Major histocompatibility antigen adalah histocompatibility antigen yang memberikan respon
imun sangat kuat dan berperan penting pada peristiwa penolakan organ transplant.
Major Histocompatibility Complex (MHC)
Merupakan sekelompok atau kompleks gen pada satu kromosom yang memberi kode pada
MHC antigen.
Reseptor ditemukan di semua sel kecuali RBCs
Juga dikenal sebagai Human Leukocyte Antigen (HLA)
Berperan dalam pengenalan diri oleh system imun dan dalam penolakan terhadap jaringan
asing
Gen untuk MHC terletak pada kromosom 6, bergerombol dalam kompleks multigen kelas I,
II, dan III.
39 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Fungsi MHC
- Class I – menandai karakteristik unik yang tampak pada suatu molekul dan mengatur
reaksi imun.
Dibutuhkan oleh limfosit T.
- Class II – reseptor yang mengenali dan bereaksi terhadap antigen asing. Terletak
terutama dalam makrofag dan sel B.
Berperan dalam pembentukan antigen untuk sel T.
- Class III – mensekresi komponen komplemen, C2 dan C4.
40 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Pembagian MHC
- Molekul MHC kelas I dan kelas II berperan pada pengenalan imun yaitu presentasi
fragmen antigen kepada sel T
- Berdasarkan rumus bangunnya, MHC dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1. Molekul MHC kelas I
Terdiri dari: kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP
2. Molekul MHC kleas II
Terdiri dari : kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP
3. Molekul MHC kelas III
Tidak mempunyai peranan pada respon imun yang menentukan bertahannya
suatu organ transplant.
Human Leucocyte Antigen = HLA adalah MHC antigen pada manusia.
Antigen permukaan tersebut pertama kali digambarkan pada leukosit.
Pada penderita yang telah mendapat transfusi darah berungkali ditemukan Ab yang dapat
menggumpalkan lekosit leucocyte antigen
Kompleks HLA
- HLA-A
- HLA-B
- HLA-C
41 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
- HLA-D (dipecah menjadi HLA-DR, HLA-DQ, dan terakhir ditemukan HLA-DP)
- Setiap lokus polimorf dan masih terdiri atas beberapa haplotype
- Setiap haplotype menentukan pembentukan molekul permukaan sel ciri Ag
tersebut.
Dr. Tetty Aman Nasution, MMedSc – Departemen Mikrobiologi – FK USU
42 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
IMUNOPARASITOLOGI
Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat parasitnya, ternyata juga
dipengaruhi oleh faktor – faktor kekebalan hospes. Sehingga di suatu daerah endemik akan dilihat
perbedaan kerentanan ataupun perbedaan resistensi terhadap infeksi parasit antar individu-individu
yang tinggal di daerah tersebut . Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua
bagian :
1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity
2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity
KEKEBALAN BAWAAN /INNATE IMMUNITY
Kekebalan bawaan merupakan kekebalan yang diperoleh sebelum seseorang
terpapar parasit, termasuk didalamnya faktor genetik maupun faktor non genetik.
Kekebalan bawaan adalah kapasitas seorang manusia normal untuk tetap sehat
terhadap serangan-serangan berbagai macam parasit dan racunnya. Sebagian besar
kekebalan adalah suatu bawaan genetik seluruh spesies terhadap suatu makhluk parasit
tertentu. Kadang-kadang resistensi ini absolut, sehingga semua individu resisten, misalnya
manusia dan kera terhadap T.brucei. Kadang-kadang hanya relatif, sehingga diantara
bangsa-bangsa atau individu terdapat kekebalan yang berbeda, misalnya bangsa Negro
lebih resisten terhadap infeksi dengan P.vivax dan cacing tambang daripada bangsa kulit
putih. Kekebalan bawaan ini sangat penting karena kekebalan bawaan adalah dasar
daripada kekebalan yang didapat.
Kekebalan bawaan = Innate genetik
non genetik
I. Faktor genetik
A. Eritrosit
Kelainan pada membran eritrosit
1.Antigen Duffy (Fy b) → P.vivax
2.Glikoferon A → P.falciparum
43 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
3.Ovalositosis→ P.vivax , P.falciparum,P.malariae
Kelainan dalam eritrosit
1. Defisiensi G6PD
2. Haemoglobinopatie :
- Hb S (Sickle cell)
- Talasemia (Hb F)
B. Sel makrofag dan Limfosit
- Sel makrofag tempat hidup
T.gondii
T.cruzi
L.donovani
- Limfosit berperan pada respon imun
II. Faktor non genetik
1. Hormon misal ♀ hamil → hormon
2. Sistem gastrointestinal :parasit yg hidup di gastrointestinal
3. Faktor pd kulit : rambut, bulu kelenjar kulit
KEKEBALAN DIDAPAT = NATURAL AQUIRED IMUNTY
Ini didapat setelah seseorang kena infeksi parasit vaksin
A. Protozoa : malaria , Toxoplasmosis ,giardiasis
B. Cacing : Schistosomiasis , Filariasis
Mekanisme : Sesudah terjadi infeksi → hospes membentuk reaksi = respons imunologi,
respons ini berdasarkan atas 2 kejadian :
Respon imun humoral
Bila infeksi parasit terjadi dalam sirkulasi aliran darah → menginvasi aliran darah
misal Malaria, Trypanosoma; disebut respon imun humoral.
Respon imun humoral menggunakan antibodi sebagai efektornya. Pada infeksi
parasit sebagian besar memperlihatkan respon humoral yg tinggi. Dalam mengeliminasi
parasit ada beberapa cara yang dapat dilakukan antibody, yaitu :
44 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
1. Antibodi bekerja sendiri
2. Antibodi dibantu oleh sel-sel lain (eosinofil,makrofag,netrofil,trombosit)
3. Antibodi dibantu oleh komplemen (invitro)
Pada respon imun humoral akan terbentuk zat anti yang khas terhadap parasit
yang masuk dan hasil metabolismenya, sehingga parasiticide jadi meninggi dan aktivitas
sel fagosit meninggi.
Pada infeksi cacing ditandai dengan terjadinya eosinofilia dan produksi antibodi
IgE yang amat tinggi dari tubuh.
Respon imun seluler
Sistem kekebalan selular ini dilakukan oleh sel limfosit T yang hipersensitif
terhadap parasit dan hasil metabolismenya. Pada respon imun selular, parasit tumbuh di
dalam jaringan misalnya leishmania kulit.
Respon imun selular :
a. Cytotoxic T Lymphocyte = CTL
Contoh :
pada infeksi plasmodium di hepar, dibantu oleh IFN ∂ (interferon ∂)
pada infeksi Toxoplasma gondii, disini sel limfosit T dibantu oleh IFN ∂
b. Pada infeksi Plasmodium : Limfokin
Limfosit T menghasilkan limfokin dengan bantuan antibodi IFN ∂
c. Sel Natural Killed (Sel NK)
DIAGNOSIS IMUNOLOGI PADA PENYAKIT PARASIT
Infeksi dengan semua spesies parasit menimbulkan berbagai macam respons imunologi
dalam hospes, di antaranya pembentukan zat anti khas terhadap parasit dan hasil metabolismenya.
Dalam parasitologi kedokteran, respons imunologi ini dapat dipakai sebagai suatu cara
untuk membantu diagnosis. Zat anti yang spesifik dalam serum dapat diperiksa dengan tes serologi
dengan antigen yang diperoleh dari bahan parasit yang spesiesnya sama.
Kepekaan pasien dapat diperiksa dengan antigen parasit yang spesiesnya sama, yang
disuntik intrakutan (tes kulit).
45 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Diagnosis imunologi diperlukan untuk penyakit yang parasitnya sukar atau tidak mungkin
ditemukan, misalnya dalam stadium permulaan penyakit tertentu, bila diperlukan diagnosis dini
untuk mencegah meluasnya penyakit .
Untuk penyelidikan epidemiologi reaksi imunologi dapat dipakai, misalnya flourescent
antibody test untuk malaria, bentonite test untuk bilharziasis, tes kulit untuk filariasis dan
hemagglutination test untuk amoebiasis.
Berikut ini disebut beberapa tes serologi yang memberi hasil baik :
1. Sindroma Loeffler,VLM :
hemagglutinationtest
V.L.M.
bentonite flocculation test
7. Toxoplasmosis :
dye test
hemagglutination test
florescent antibody test
2. Trichinosis :
bentonite flocculation test
flourescent antibody test
latex flocculation test
test kulit terlambat/segera
8. Cysticercercosis :
reaksi ikat komplemen
hemagglutination test
3. Filariasis :
hemagglutination test
Tropical eosinophilia
bentonite flocculation test
test kulit
9. Hydatidosis hati :
hemagglutination test
bentonite flocculation test
latex flocculation test
test kulit
4. Bilharziasis :
reaksi ikatan komplemen
bentonite flocculation test
tes kulit
10. Kala-Azar :
reaksi ikat komplemen
aldehyde test
aqua-dest test
test kulit
5. Amoebiasis :
double diffusion test
hemagglutination test
11. Chagas :
reaksi ikat komplemen
hemagglutination test
46 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
6. Malaria :
flourescent antibody test
hemagglutination test
12.Paragonimiasis :
reaksi ikat komplemen
reaksi kulit
47 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
IMUNOFARMAKOLOGI
A. IMUNOSUPRESAN
Imunosupresan adalah obat kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons
imun, indikasinya untuk transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis
rhesus pada neonatal.
Prinsip umum terapi imunosupresan:
- Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibanding respon imun
sekunder.
- Obat imunosupresan memberikan efek berbeda terhadap antigen yang berbeda.
- Penghambatan respon imun lebih berhasil jika obat diberikan sebelum paparan antigen.
1. Kortikosteroid
Sebagai obat tunggal/kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah
reaksi penolakan transplantasi. Obat ini dapat mengurangi reaksi alergi pada
pemberian antibodi monoklonal atau antibodi antilimfosit. Glukokortikoid merupakan
agen hormonal pertama yang diketahui memiliki sifat limfolitik. Glukokortikoid
dianggap mengganggu siklus sel limfoid yang teraktivasi. Obat jenis ini cukup bersifat
sitotoksik pada beberapa subset sel T, tapi efek imunologiknya mengkin disebabkan
oleh kemampuan memodifikasi fungsi seluler ketimbang sitotoksiknya langsung.
Meskipun imunitas seluler lebih terpengaruh daripada imunitas humoral, respon
antibodi primer dapat menghilang, dan dengan penggunaan terus-menerus, respon
antibodi sebelumnya sudah baik juga ikut menurun. Obat kortikosteroid yang paling
sering digunakan adalah prednison dan prednisolone.
Mekanisme Kerja : Obat kortikosteroid menurunkan jumlah limfosit secara cepat
terutama jika diberikan dalam dosis besar. Efek berlangsung beberapa jam, diduga
akibat redistribusi limfosit. Setelah 24 jam, jumlah limfosit sirkulasi kembali ke jumlah
sebelumnya. Studi terbaru : Saat masuk sel, terikat pada reseptor glukokortikoid,
kompleka obat-reseptor ini menembus nukleus & mengatur translasi DNA, ekspresi
48 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
gen yang menyandi berbagai sitokin (IL1,IL2,IL6, IFN-γ,TNF-α). Terdapat bukti bahwa
gen sitokin tersebut memiliki glucocorticoid respon element yang bila berikatan
dengan kortikosteroid akan menghambat transkripsi IL-2.
Penggunaan : Bersama inumosupresan lain dan dalam dosis besar digunakan untuk
mencegah penolakan transplantasi. Selain itu juga untuk mengurangi reaksi alergi, dan
penyakit autoimun. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan meningkatnya
risiko infeksi, ulkus lambung, hipergllikemia, dan osteoporosis. Efek samping lain juga
bisa sindrom Cushing’s, pendarahan GIT, retensi cairan, dan supresi adrenal.
2. Agen Sitotoksik
Sebagian besar untuk obat kanker. Obat ini menghambat perkembangan sel T
dan sel B.
a. Azatioprin
Adalah calon obat merkaptopurin dan seperti merkaptopurin, berfungsi sebagai
antimetaboit. Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin yang
menghambat sistesis de novo purin.
Mekanisme kerja : Azatioprin dan merkaptopurin menghasilkan imunosupresi
dengan mengganggu metabolisme asam nukleat purin pada tahap yang
diperlukan dalam proliferasi sel lmfosit setelah stimulasi antegenik. (Katzung)
Farmakodinamik : Diserap dengan baik dari saluran cerna dan terutama
dimetabolisasi menjadi merkaptopurin. Xantin oksidase memecah kebanyakan
materi azatioprin yang aktif menjadi asam-6-tiourat sebelum diekskresikan
melalui ginjal. Setelah pemberian azaptoprin, sejumlah kecil obat tidak diubah
dan metakaptopurin juga dieksresikan oleh ginjal, dan toksisitasnya dapat
mengikat dua kali lipat pasien anefrik atau anurik.
Interaksi : Penggunaan bersama allopurinol membuat membuat hambatan
xantin oksidase yang merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-
merkaptopurin.
Penggunaan : Untuk transplantasi, artritis rematoid, LES, IBD, mestania grabis,
sclerosis multiple, lupus nefritis, glomerulonephritis akut, penyakit Chorn,
49 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
kadang juga untuk ITP dan hemolysis autoimun. Toksisitas yang mungkin muncul
antara lain panas, mialgia, artralgia, malaise, nausea, muntah, diare, risiko infeksi
dan keganasan. Tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan IV 100 ml/vial.
b. Mikofenolat Mofetil
Adalah derivat semisintetik asam mikofenolat dari jamur P.glaucum.As.
Mikofenolat adalah inhibitor kompetitif, penghambat kuat inosin monofasfat
dehidrogenase/IMP (enzim penting pada sintesis purin de novo) sehingga aktivasi
sel B & T terhambat. Obat ini adalah inhibitor inosin monofosfat dihidrogenase
yang berperan dalam sintesis guanosin dan tidak menghambat enzim yang
berperan dalam sistesis DNA. Obat ini dapat menghambat migrasi sel lekosit ke
tempat inflamasi.
Farmakodinamik : Mikofenolat mofeil diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian oral dan dihidrolisis menjadi asam mikofenolat yang aktif. Absorbsi
oral baik, 95% terikat albumin plasma. 90% diekskresikan dalam bentuk
mekofenolat-glukoronat.
Interaksi : dengan antasid (Mg,Al) dan cholestyramine membuat absorbsi
menurun.
Penggunaan : Transplantasi organ, penyakit graft vs host, lupus nefritis, kelainan
kulit, artritis rematoid. Efek samping yang mungkin muncul mual, muntah, diare,
sakit perut. Depresi sumsum tulang jarang. Tersedia dalam bentuk kapsul 250mg,
tablet 500 mg, dan serbuk 500 mg untuk injeksi.
c. Siklofosfamid
Adalah agen alkilasi. Obat ini manghancurkan sel limfoid yang
berproliferasi. Sel B dan sel T sama-sama dihambat oleh siklofosfamid, tapi
toksisitasnya lebih besar pada sel B. Sehingga obat ini lebih nyata pada
penekanan imunitas humoral.
Penggunaan : Dosis besar untuk antikanker, dosis lebih sedikit untuk penyakit
autoimun seperti SLE, ITP, granulomatosis Wegener, sindrom nefritik, artritis
50 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
rematoid, lupus eritematosus sistemik, pasien dengan antibody faktor XIII
didapat dan sindrom perdarahan, anemia hemolitik autoimun, dan aplasia
eritrosit terinduksi antibodi. Dosis besar mengandung risiko besar terjadinya
pansitopenia dan sistisis hemoragika. Efek samping yang bisa terjadi adalah mual,
muntah, toksistas jantung, dan gangguan elektrolit. Tersedia dalam bentuk tablet
25 mg, dan 50 mg, IV 100 mg/vial 20 cc. vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500
mg.
d. Metotreksat
Obat ini bekerja menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga
sintesis purin dan timidilat terhambat.Sintesis DNA terhambat, sehingga
hambatan replikasi sel T dan juga sel B terhambat pula. Obat ini spesifik pada
fase S siklus sel.
Penggunaan : Obat antikanker, obat penolakan transplantasi, juga untuk
penyakit autoimun. Pemberian jangka panjang dosis rendah untuk proriasis,
menyebabkan sirosis dan fibrosis hati pada 30-40% penderita. Toksistas
meningkat karena bahan hepatotoksik, seperti alcohol. Sediaan ada dalam tablet
2,5 mg.
e. Leflunomid
Adalah calon obat penghambat sintesis pirimidin, bukan purin. Aktif
secara oral dan metabolit aktifnya memiliki waktu paruh panjang, bisa sampai
beberapa minggu. Untuk artritis rematoid, selain itu dilaporkan juga leflunomid
memiliki aktivitas antivirus. Toksisitas berupa peningkatan enzim hati disertai
kerusakan hati, gangguan ginjal, dan efek teratogenik. Efek kardiovaskuler juga
dilaporkan meskipun rendah.
f. Hidroksiklorokuin
Adalah agen antimalarial dengan sifat imunosupresan, dapat menekan
pemrosesan antigen intrasel dan penempatan peptide kemolekul MHC kelas II
51 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
dengan meningkatkan pH kompartemen lisosomal dan endosomal sehingga
aktivitas sel T menurun. Untuk obat artritis rematoid dan reaksi graf-pejamu
pascatransplantasi sel puncta alogenik.
g. Agen Sitostoksik lain
Agen sitostoksik lain berupa vinkristin dan citrabin, dan pentostatin.
Vinkristin cukup bermanfaat untuk purpura trompositopenik ideopatik yang
refrakter terhadap prednison. Alkaloid vinca terkait yaitu vinblastine mencegah
degranulasi sel mast in vitro. Pentostasin adalah penghambat adenosine
deaminase yang terutama digunakan sebagai agen antineoplastic pada
keganasan limfoid, dan menghasilkan limfositopeni yang nyata.
3. Penghambat Sel T / Penghambat Kalsineurin
Siklosporin dan takrolimus berbeda struktur kimia yang beda, namun bekerja
dengan mekanisme yang sama yaitu menghambat kalsineurin. Siklosporin berikatan
dengan siklofilin, tacrolimus berikatan dengan FK506.Ikatan tersebut menghambat
fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah Enzim fosfatase dependen kalsium, berperan
penting dlm defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol yaitu NFATc (nuclear
factor activated T cell). Jika NFAtc aktif akan mengalami translokasi masuk dalam
nucleus, lalu gen menjadi aktif, lalu sintesis sitokin terutama IL2& protooncogen
seperti c-myc,H-Ras,dan reseptor sitokin tertentu seperti reseptor IL2. Jikakalsineurin
terhambat transkripsi gen juga terhambat.
Selain siklosporin dan takrolimus, ada juga penghambat kalsineurin lain, yaitu
sirolimus atau rapisimin yang berasal dari Steptomyces hygroscopicus .Sama seperti
siklosporin dan takrolimus, sirolimus juga menghambat kalsineurin, tapi tidak
menyekat produksi interleukin oleh sel T teraktivasi, malah menyekat respons sel T
terhadap sitokin.
4. Antibodi Imunosupresif
a. Antibodi Antilimfosit dan Antitimosit
52 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Globulin antilimfosit (ALG) dan globulin anti-timosit (ATG) sekarang
digunakan secara klinis banyak pusat kesehatan.Antiserum ini diperoleh melalui
imunisasi hewan besar dengan sel limfosit manusia.
Antibodi antilimfosit bekerja terutama pada limfosit perifer yang kecil
dan berusia lama yang terdapat dalam sirkulasi darah dan limfe. Limfosit
dependent timus bisa turun habis karena antibodi ini. ALG dan ATG berfungsi
menekan beberapa kompartemen utama sistem imun yaitu sel T dan berperan
penting dalam tatalaksana transplantasi organ solid dan sumsum tulang. Efek
samping ALG sebagian besar terkait dengan penyuntikan protein asing yang
didapat dari serum heterologous.Sering kali timbul nyeri dan eritema setempat
pada lokasi penyuntikan.
b. Muromonab-CD3
Merupakan antibodi spesifik terhadap antigen CD3 di permukaan sel
limfosit T. Muromonab-CD3 bekerja langsung terhadap glycoprotein CD3 antigen
dari sel T manusia.
Mekanisme : Berikatan dengan protein CD3, yaitu komponen reseptor sel T,
maka akan terjadi gangguan sel T karena akses antigen terhadap sel permukaan
diblok . Efek lain yang terlihat adalah penurunan jumlah sel T yang cepat. Jumlah
sel T kembali normal setelah 48 jam penghentian obat namun tidak memiliki
molekul CD3 dan antigen recognition site sehingga dapat mencegah reaksi
penolakan transplantasi.
Penggunaan : Pada transplantasi ginjal, hati dan jantung. Juga untuk mengurangi
jumlah sel T sebelum transplantasi sumsum tulang. Dosisnya 5mg/hari, IV,
tunggal, selama 10-14 hari. Efek samping yang mungkin muncul adalah cytokine
release syndrome. Pusing, kejang, ensofalopati, edema serebral, meningitis
apeptik, sakit kepala, dan efek rebound berupa penolakan transplantasi setelah
penghentian obat ini.
c. Imun Globulin Rho (D) Dosis Mikro
53 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Merupakan antibodi spesifik terhadap Rh di permukaan eritrosit. Waktu
paruhnya 21-21 hari dan diberikan secara IM. Digunakan untuk ibu Rh negatif
untuk mencagah sensitilasi terhadap antigen Rh dari janin. Obat ini harus
diberikan kepada ibu dalam waktu 72 jam saat terpapar darah bayi dan dapat
diberikan mulai usia kehamilan 28 minggu.
d. Imun Globulin Intravena (IGIV)
IGIV dapat menurunkan sel T helper, peningkatan sel T supresor,
penurunan produksi immunoglobulin spontan, blockade reseptor Fc, penigkatan
katabolisme antibodi, dan interaksi idiopatik-anti-idiopatik dengan antibodi
patologik. Digunakan untuk terapi lupus eritematosus sistemik dan purpura
trombositopenik idiopatik. Efektif untuk HIV, gangguan autoimun, dan defisiensi
immunoglobulin.
e. Imunoglobulin Hiperimun
Sediaan immunoglobulin hiperimun berupa IGIV yang dibuat dari
kumpulan donor terpilih dari manusia dan binatang dengan titer antibodi yang
tinggi terhadap agen target tertentu seperti virus atau toksin. Untuk terapi
respiratory syncytial virus, sitomegalovirus, varicella zoaster, virus herpes 3, virus
hepatitis B, tetanus, dan overdosis digoksin.Pemberianya secara IV.
B. IMUNOSTIMULAN
Adalah obat yang ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi imunosupresi.
Kelompok obat ini mempengaruhi respon imunitas humoral maupun seluler. Ada yang
didapat secara biologis maupun secara sintetik. Imunostimulan digunakan untuk penderita
AIDS, infeksi kronik, dan keganasan.
54 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
a. Biologis
1. Bahan asal bakteri
Bacillus Calmette Guerin(BCG)
BCG dan kompenen aktifnya, dipeptida muramil, merupakan produk
bakteri yang memiliki efek imunostimulan. Mengandung bakteri
Mycobacterium bovis yang dilemahkan dan berefek pada pengaktifan sel T,
perbaikan produksi limfokin dan mengaktifkan sel NK.
Penggunaan : Digunakan sebagai profilaksis pada tumor rekuten seperti
karsinoma kandung kencing yang merupakan tumor tersering
keenam.Tidak digunakan bila ada defisiensi imun atau TBC.Sediaannya
yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killed lyophilized. Pemberian
berupa intradermal, IV, intralesi, intravesica, atau secara oral atau dengan
goresan.Efek samping berupa reksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu,
dan penyakit kompleks imun.
Korinebaktetium parvum
Kuman K. parvum mati yang digunakan sebagai imunostimulan memiliki
sifat mirip BCG. Efek samping yang bisa timbul adalah muntah, pusing, dan
panas.
Klebsiela dan brusela
Bordetela pertussis
Penyebab batuk rejan, memproduksi LPF yang merupakan mitogen untuk
sel T dan imunostimulan.
Endotoksin
Adalah komponen dinding bakteri gram negatif yang dapat merangsang
proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan makrofag.
2. Bahan asal Jamur
Lentinan, krestin, glukan, dan schizophyllan adalah bahan yang dihasilkan oleh
jamur yang dapat meningkatkan fungsi makrofag. Krestin dan lentinan digunakan
sebagai obat kanker sebagai imunostimulan nonspesifik.
55 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
3. Sitokin / Limfokin / Interleukin
Diproduksi limfosit yang diaktifkan dan memiliki peran penting dalam respons
imun seluler. Sitokin yang sering digunakan adalah IL-2, IFN, colony stimulating
factor (CFS).
IL-2
Disebut juga T cell growth factor karena dapat merangsang produksi T
helper dan sel T siktotoksik.
Mekanisme : Berikatan dengan reseptor di permukaan sel yang berfungsi
mengaktifkan proliferasi dan deferensiasi sel B, makrofag, dan
meningkatkan toksisitas sel NK.
Penggunaan : Digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK, dan IM. Efek
sanmpingnya hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskuler. Edema paru,
kreatinin pada ginjal, supresi sumsum tulang, somnolen, delirium, dan
peradangnan kulit dapat terjadi.
Interferon (IFN)
Merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok, alfa, beta, dan gamma.
IFN-α dan IFN-β adalah family IFN tipe I yang bersifat tahan asam dan
bekerja pada reseptor yang sama. IFN-ϒ merupakan IFN tipe II yang tak
tahan asam dan bekerja pada reseptor yang beda. IFN I biasanya diinduksi
visrus IFN-α diproduksi oleh leukosit, IFN- β oleh sel fibroblas dan sel epitel,
sedangkan IFN-ϒ diproduksi oleh limfosit T.
Mekanisme : Semua IFN dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA,
sel normal, sel ganas, serta memodulasi sistem imun. Lebih jauhnya, IFN
menimbulkan efek bervariasi tergantung jenis IFN dan sel targetnya. IFN-ϒ
meningkatkan respons imun yang meliputi presentasi antigen, dan aktivasi
makrofag, sel NK, dan limfosit T sitostatik.Dalam upaya menghambat
proliferasi sel, IFN-α dan IFN-β lebih potent daripada IFN-ϒ. Selain itu,
ketiga IFN dapat merangsang ekspresi MHC I, namun hanya IFN-ϒ yang bisa
56 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
merangsang ekspresi MHC II. Dalam sel glia, IFN-ϒ dapat menghambat efek
ini dan dapat menekan penyajian antigen oleh sel dalam sistem saraf.
Penggunaan : Untuk kanker seperti karsinoma sel ginjal, melanoma,
leukemia mielositik kronik, hairy cell leukemia, dan Kaposi’s sarcoma.IFN-α
kombinasi ribavin digunakan untuk hepatitis C. Efek sampingnya meggigil,
lesu, demam, myalgia, mielosupresi, chepalgia, dan depresi.
Colony Stimulating Factors (CSF)
Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) seperti filgrastim dan
levograstim dapat mencegah neutropenia akibat kemoterapi kanker.
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) untuk
penyelamatan kegagalan transplantasi sumsum tulang dan untuk
mempercepat pemulihannya.
4. Hormon Timus
Sel epitel timus memproduksi beberapa hormon untuk pematangan sel T dan
modulasi funsgi sel T yang telah matang. Hormon-hormon tersebut antara lain
timosin alfa, timostimulin, timopoetin, dan faktor humoral timus. Semua
hormon ini dapat memperbaiki sistem imun (imunostimulasi nonspesifik) dengan
cara menaikkan jumlah, fungsi, dan resptor sel T dan beberapa aspek imunitas
seluler. Pada usia lanjut, kanker, autoimun, dan pada imunosupresi akibat obat.
5. Lymphokine-Activated Killer cells
LAK cells adalah sel T sitotoksik syngeneic yang dihasilkan in vitro dengan
memanbahkan sitokin seperti IL-s ke sel orang lalu diinfuskan lagi. Untuk
imunoterapi keganasan.
b. Sintetis
1. Levamisol
Derivat tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan proliferasi dan
sitotoksistas sel T serta mengembalikan energi.
57 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Mekanisme : Levamisol dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan
faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit, granulosit, dan makrofag.
Penggunaan : Untuk penyakit Hodgkin, artritis rematoid, penyakit virus, dan
LES.Efek samping berupa muntah, muat, urtikaria, dan agranulositosis.
2. Isoprinosin
Memiliki efek imunomodulator pada berbagai studi praklinik dan klinik,
Meningkatkan fungsi sel NK dan sungsi sel T dan monosit. Diduga juga bisa
membantu produksi IL-2 yang berperan untuk diferensiasi limfosit, dan makrofag.
Dosis biasanya 50mg/kg BB yang dapat dinaikkan 1-4g/hari. Obat ini tidak aktif
pada tahap awal HIV tapi dapat mengurangi infeksi pada HIV tahap lanjut. Efek
sampingnya peningkatan kadar asam urat plasma.
3. Muramil Dipeptida
MDP adalah komponen aktif terkecil dinding mikobakteri. Telah dapat disintetis.
Pada pemberian oral meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Efeknya langsung,
tidak butuh limfokin atau pengaruh lain. Bersama minyak dan antigen, MDP dapat
meningkatkan respon seluler maupun humoral.
C. IMUNORESTORASI
Adalah cara untuk mengambalikan fungsi imun yang terganggu dengan memberikan
komponen imun seperti immunoglobulin dalam bentuk ISG, HSG, plasma, plasmaferis,
leukoferis, transplantasi sumsum, hati, dan timus.
1. ISG dan HSG
Imunoglonulin memiliki efek imunorestorasi pada penderita defisiensi imun
humoral, baik primer, maupun sekunder.Sekunder bila tubuh kehilangan Ig dalam
jumlah besar.ISG diberikan secara IV.Efek samping mual, muntah, menggigil, pusing,
dan sakit otot.Reaksi anafilaksis timbul jika kompleks imun dari anti IgA yang dibentuk
resipien yang defisien IgA terhadap IgA dari preparat ISG.
58 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
2. Plasma
Infus plasma segar dapat memperbaiki sistem imun. Semua jenis imuniglobulin
dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa rasa sakit. Efek sampingnya berupa
penularan virus dan reaksi anafilaksis.
3. Plasmaferis
Dengan cara mengambil darah, plasma dipisahkan dan fraksi yang
mengandung banyak eritrosit dikembalikan. Sebaliknya pada exchange plasma
dilakukan dengan mengambil darah, plasma dipisahkan dan mengembalikan fraksi
kaya eritrosit dan plasma donor. Diduga plasma yang didonorkan mengandung banyak
antibodi yang dapat merusak jaringan pada mieastnaia gravis, sindrom Goodpasture,
dan anemiahemolitik autoimun.
4. Leukoferis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam upaya
terapi pada artritis rematoid.
D. IMUNONUTRIEN
Nutrisi buruk yang lama menghilangkan sel lemak yang melepas leptin. Karena
defisiensi leptin ini, dapat terjadi defisiensi imun ringan. Anak dengan malnutrisi protein atau
kalori menunjukkan atrofi timus dan jaringan limfosit sekunder, depresi respons sel T
terhadap mitogen dan sel alogenik, pengurangna sekresi limfokin, dan gangguan respon
terhadap uji kulit hipersensitivitas tipe lamban. Nutrisi yan gdiperlukan dalam imun antara
lain dalam kelompok vitamin dan mineral.
1. Vitamin
- Vit A : Berperan dalam respons antibodi dan seluler, respons antiinflamasi Th2.
Suplementasi untuk menunkan IFN alfa dan gamma, meningkatkan sekresi IL4,
IL5 IL10 dan mengingkatkan antibodi terhadap vaksin. Defisiensi mengganggu
imunitas nonspesifik, kelebihan meneka fungsi sel T dan rentan pada pathogen.
- Vit B6 : Berperan dalam intake adekuat untuk mempertahankan respons Th1.
Suplementasi untuk mengembalikan respons imun.
59 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
- Folat : Berperan dalam aktivitas sel NK. Suplementasi pada lansia untuk
memperbaiki fungsi imun secara umum. Dosis terlalu tinggi mengakibatkan
gangguan sitotoksisitas sel NK.
- Vit B12 : Peran dalam imunomodulator imunitas seluler. Defisiensi vit B12
menimbulkan perbandigan abnormal tinggi dari CD4+ dan CD8+, dan menekan
aktifitas sel NK. Injeksi B12 dapat mengembalikan gejala defisiensi.
- Vit C : Peran dalam antimicrobial dan aktivitas sel NK, proliferasi limfosit,
kometaksis, dan respons DTH. Defisiensi dapat mengganggu fungsi leukosit,
menurunkan aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit. Suplementasi untuk
memperbaiki gejala imunitas defesiensinya.
- Vit D : Peran dalam proliferasi dan diferensiasi sel, semua sel kecuali sel limfosit B
mengekspresikan reseptor vit D, meningkatkan imunitas nonspesifik. Defiseinsi
berhubungan dengan kerentanan infeksi.
- Vit E : adalah antioksidan terpenting yang larut lemak. Dapat berpengatuh pada
produksi faktor supresif imun yang menurun dan mengoptimalkan respons imun.
Defisiensi dapat mengganggu fungsi sel T dan DTH
2. Mineral
- Selenium : Esensial untuk respons imun optimal (spesifik dan nonspesifik).
Defisiensi menimbulkan virus bermutasi lebih virulen. Suplementasi pada lansia
berhubungan dengan defek proliferasi sel Nk dan aktivitas sisotoksik mencegah
kerentanan terhadap inflamasi dan keganasan
- Seng : Esensial untuk prolifersi sel, terutama selimun. Defiseinsi meningkatkan
stress oksidatif, keseimbngan respons Th1 menurun, tapi respos Th2 tidak
terganggu dan lebih rentan infeksi. Suplementasi untuk memperbaiki system
imun yang terganggu.
- Tembaga : Dalam enzim kunci pertahanan terhadap ROS dan mempertahanka
keseimbangan anti oksidan intraseluler.
- Besi : Esensial untuk diferensiasi, dan pertumbuhan sel. Komponen enzim yang
penting untuk sintesis DNA (fungsi imun). Terlibat dalam regulasi produksi dan
efek sitokin
60 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
E. ANTI INFLAMASI NON STEROID (AINS)
Golongan obat ini menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat
menjadi PGG2 terhambat. Jika terjadi trauma pada sel, maka akan terjadi gangguan pada
membran sel. Seperti yang sudah diketahui bahwa membran sel tersusun dari fosfolipid
bilayer. Lalu, karena luka itu, maka enzim fosfolipase A memacu pelepasan asam arakinodat
dari fosfolipid. Asam arakinodat ini merupakan substrat yang sangat penting dalam
pembentukan eicosanoid, luekotrin, tromboksan A2, prostasiklin, dan prostaglandin.
Enzim sikooksigenase terdapat dalam dua isoform, yaiutu COX 1 dan COX2. Kedua
isoform ini dikode oleh gen yang beda. COX1 penting dalam penting dalam pemeliharaan
fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung aktivasi COX1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin,
endotoksin dan faktor pertumbuhan. Endotoksin atau IL2 meningkatkan sintesis PG selama
respons inflamasi.Siklooksigenase yang dicegah AINSmenunjukkan efek antiinflamasi dan
mencegah efek fisiologis atas pengaruh COX1. Efek antiinfalmasi dari AINS penting untuk
pengobatan inflamasi sendi akut dan kronis. Efek samping berupa tukak lambung, gagal
ginjal,dan gangguan tekanan darah.
REFERENSI :
Baratawidjaja KG, Rengganis I (eds). (2010). Imunologi dasar.Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 515-
556
Lake DF, Briggs AD, Akporiaye ET.(2010). Imunofarmakologi.Dalam : Katzung BG (Ed). Farmakologi
dasar dan terapi. Jakarta: EGC, pp: 939-966
Nafrialdi.(2009). Imunomodulator, imunosupresan, dan imunostimulan. Dalam: Gunawan SG
(Editor). Farmakologi dan terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 758-768
61 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
TRANSPLANTASI ORGAN: IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL
Istilah:
Autograft: Dari Jaringan Sendiri
Isograft/ Syngeneic: Dari individu yang identik secara genetik (Misal ada kembar monozigot)
Allograft/ Allogeneic: Dari resipien spesies sama, non-identik secara genetik
Xenograft/ Xenogeneic: Dari resipien berspesies beda (Dilarang di Indonesia)
Dasar:
a. Histokompatibilitas
Bersifat antigenik sama, disebut histokompatibel. Tidak menginduksi respon imun dan
tidak menimbulkan penolakan. Sedangkan jika adanya induksi penolakan tandur karena
perbedaan antigen, disebut histoinkompatibel
b. Antigen MHC
Diantara lokus yang menentukan penerimaan tandur, yang terpenting adalah gen MHC.
Diekspresikan dalam sebuah kopi tunggal (Heterozigot/ hemizigot) atau dua kopi
(homozigot). Jadi individu dengan lokus MHC tertentu akan menghasilkan kedua molekul
tersebut pada permukaan sel yang sama.
c. Antigen Minor Histocompatible
Lebih lemah daripada MHC dan dijadikan sebagai sasaran pada penolakan dengan awitan
lambat. Contohnya: Golongan darah nonABO dan antigen yang berhubungan dengan
kromosom seks
d. Antigen histokompatibel non-MHC
Tidak banyak diketahui selain mereka disandi oleh sejumlah besar gen yang ada pada
kromosom (Termasuk Kromosom X dan Y). Pada prinsipnya, setiap fragmen peptida yang
dibawa ke permukaan sel dan dipresentasikan ke MHC-I atau MHC-II dapat berperan
sebagai antigen histokompatibel. Fragmen dapat berasal dari protein sitosolik atau dari
debris sel yang diakan atau dirusak fagosit.
62 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Jaringan Khusus
Jaringan yang sedikit mengekspresikan MHC
Beberapa tandur bersifat alogeneik rendah, seperti hati. Hal tersebut disebabkan oleh karena hati
hanya sedikit mengekspresikan MHC
Sequested Antigen
Kornea dan lensa tidak memperoleh aliran limfe sehingga tidak terjadi proses pengenalan dan
penolakan. Contoh lain adalah testis dan selaput otak.
Golongan darah ABO dan sistem HLAmerupakan antigen transplantasi utama,sedang antibodi dan
CMI (cell mediatedimmunity) berperan pada penolakan imun. Kemungkinan terjadinya penolakan
dapat dikurangi dengan transplantasi di antara keluarga, typing jaringan dan imunosupresi.
63 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Hukum Transplantasi:
Transplan akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang
sama. Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang allograft sering ditolak,
karena respon imun yang ditimbulkan limfosit dan produknya
64 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Sel Passenger: Sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan transplan. Sel tersebut sangat
penting dalam mensensitisasi sel Th resipien terhadap antigen donor, karena sama-sama memiliki
MHC kelas II.
Cross Match: Dilakukan untuk menguji serum resipien terhadap preformed antibodi terhadap sel
donor. Komplemen biasanya ditambahkan untuk membantu lisis sel donor. Jika preformed antibodi
terhadap molekul MHC donor ada dalam serum resipien sel donor akan lisis (positif cross-match).
Jadi tidak cocok untuk resipien.
Tissue Typing: Identifikasi antigen MHC terutama MHC-I (HLA-A; HLA-B; HLA-C). MHC-II
Mengaktifkan sel Th dan antigen terpenting dalam penolakan tandur. Diekspresikan terbatas seperti
APC, sel B, dan sel T yang diaktifkan.
Reaksi Penolakan: Penolakan pertama ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal MHC
allogeneic dan imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan merangsang sel T sitotoksik yang juga
mengenal antigen MHC allogeneik dan membunuh transplan.
Penolakan kedua akan lebih cepat karena sudah terjadi sensitisasi oleh transplan pertama dan
adanya memori.
Reaksi Penolakan (Diadaptasi dari: Bratawidjaja dan Rengganis, 2010)
65 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Jenis Waktu Mekanisme Pencegahan
Hiperakut Beberapa Jam Antibodi yang ada
(anti-ABO dan/atau
anti-HLA)
Pemeriksaan cross-
match dan
kompatibilitas ABO
Akut Minggu – Bulan CMI, CD8+, CD4+ Matching HLA dari
donor dan resipien,
terapi anti penolakan
Kronis Bulan – Tahun CMI (CD8+, antibodi
terhadap antigen
jaringan)
Matching HLA
Graft vs Host Disease: Bila sel yang imunokompeten (sel T) asal donor (sumsum tulang) mengenal
danmemberikan respon imun terhadap jaringanresipien. Sel-sel yang diserang adalah semua sel
yang termasuk MHC kelas II.
66 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Tanda respon: pembesaran kelenjar limfoid, hati, diare, kulit kemerahan, rambut rontok, berat
badan menurun, dan akhirnya meninggal.
Memperpanjang Allograft:
Antiinflamasi (prednison, prednisolon) menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah
pelepasan enzim lisozim yang merusak jaringan.
Antimetabolit azatioprin, merkaptopurin mencegah sintesis RNA, klorambusil dan siklofosfamida
mengalkilkan DNA dan mencegah metabolisme DNA
Imunosupresan steroid (mencegah migrasi neutrofil dan produksi IL-1, -6 dan -12). Bahan sitotoksik
azatioprin, metotreksat dan siklofosfamida dapat membunuh sel yang berproliferasi dan imunopilin
seperti siklosporin A, FK506 dan rapamisin mencegah produksi IL-2 dan atau respon terhadap IL-2.
(NB: Ini hanya ringkasan, lengkapnya bisa dibaca di Immunologi Dasar FKUI )
Medikolegal Transplantasi:
4 Prinsip Bioetika: Justice, Beneficience, Non-Maleficience, Autonomy.
Dokter terikat oleh: Etika – Hukum – Disiplin.
Medikolegal Transplantasi:
- Sebelum melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, seseorang
yangmemutuskan menjadi donor harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi
baikresiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih
lanjutsebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan.
- Bagi donor jenazah sebelum pengambilan organ dilakukan informed consent padajenazah
tersebut, jika diketahui identitasnya maka informed consent didapatkan darikeluarga atau
ahli warisnya. Jika tidak diketahui identitasnya, maka jenazah tersebutdianggap milik
negara sehingga dokter forensik dapat mengambil organ atau jaringantubuh untuk
kemudian diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh.
- Penegakan hukum tentang transplantasi di Indonesia masih sulit di tegakkan karena UUNo
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1981tentang
Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan
Tubuh Manusia tidak memuat batasan yang jelas.
67 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
- Komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia mereupakan tindakan pidana yang
bersifat delik biasa sehingga penyidik berwenang melakukan penyidikan meskipun tanpa
laporan dari masyarakat.
Daftar Pustaka:
Baratawidjaja dan Rengganis. 2010. Immunologi Dasar Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Manggau, Marianti. 2010. Immunologi Transplantasi. (Disampaikan pada Kuliah Farmasi UNHAS)
Suprapti, S.R. Etika Kedokteran Indonesia.Transplantasi. Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001.
Kaldjian, L. Are Individuals Diagnosed With Brain Death Really Dead?.Available at:
http://www.JHASIM.com
Karthi,L.P.Aghnihotri,A.K.Corneal Transplant. Available at:
http://www.InternetJournalMedicine.org/transplantation
Plueckhahn,V,Cordner,S. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology.Human Tissue Transplantation
and The Law, 2nd Edition. Melbourne University Press. Melbourne.1991.
Baxter, C. R. Heck,E.L.Petty, C.S. Transplantation Programs and Medicolegal Investigation.Psychiatry
and Forensic Medicine.2001.
Eser,L,E. Murat, T. Brain Death and Scintigraphy. Turk Geriatri Dergisi.Turki. 2004
Truog, R, D. The Ethics of Organ Donation by Living Donors. Available at: http://www.NEJM.com
Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Christianto, Hwian. 2010. Konsep Hak Seseorang atas Tubuh dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan.Mimbar Hukum 2011. 1(23): 1.
Sadler Jr., AM. 1969. Transplantation – A Case for Consent.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM196904172801605 (Accessed: 30 April 2013)
68 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES)
(Kompetensi 4)
Lupus Erythematosus Sistemic (LES) adalah gangguan autoimun jangka panjang yang dapat
mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, otak, dan organ lainnya. LES lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering muncul pada usia
antara 10-50 tahun. Pada pasien dengan temuan klinis sugestif, riwayat keluarga dengan penyakit
autoimun menimbulkan kecurigaan lebih lanjut dari LES.
GEJALA
Gejala LES bervariasi dan sering hilang-muncul. Gejala umum yang terjadi antara lain adalah
nyeri sendi dan bengkak (terutama jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut) , nyeri dada saat
mengambil napas dalam, mudah lelah, demam, malaise, rambut rontok, sensitivitas terhadap sinar
matahari, ruam kulit, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Sedangkan manifestasi klinis yang berhubungan antara lain :
Constitutional (ex : fatigue, panas, arthralgia, perubahan BB)
Musculoskeletal (ex : arthralgia, arthropathy, myalgia, frank arthritis, avascular necrosis)
Dermatologic (ex : malar rash, photosensitivity, discoid lupus)
Renal/ ginjal (ex : gagal ginjal akut atau kronis, penyakit nefritis akut)
Neuropsychiatric (ex : seizure, psychosis)
Pulmonary/ paru (ex : pleurisy/ radang selaput dada, pleural effusion, pneumonitis,
hipertensi paru, penyakit paru interstisial)
Gastrointestinal (ex : nausea, dyspepsia, nyeri abdomen)
Cardiac/ jantung (ex : pericarditis, myocarditis)
Hematologic (ex : cytopenias seperti leukopenia, lymphopenia, anemia, atau
thrombocytopenia)
Sumber : www.emedicine,medscape.com
PATOFISIOLOGI
69 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Lupus eritematosus sistemic (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
peradangan multisistem dengan pembangkitan autoantibodi. Salah satu mekanisme panjang untuk
pengembangan autoantibodi melibatkan kerusakan dalam apoptosis yang menyebabkan
peningkatan kematian sel dan gangguan dalam toleransi imun. Penyebaran antigen selular selama
nekrosis/apoptosis mengarah ke permukaan sel plasma dan antigen nuclear dalam bentuk
nukleosom. Selanjutnya, disregulasi (intoleran) limfosit mulai melakukan perlindungan pada antigen
intraseluler.
Sel T punya peran sentral dalam patogenesis LES, dan sel T dari pasien dengan lupus
menunjukkan kerusakan pada sinyal dan fungsi efektor. Sel-sel T mengeluarkan sedikit interleukin
(IL) -2, dan kerusakan dalam pengiriman sinyal tampaknya terkait dengan peningkatan masuknya
kalsium, mungkin karena perubahan dalam subunit sinyal CD3. Beberapa aktivitas efektor yang
mempengaruhi sel T seperti sitotoksisitas CD8, regulator-T, B-cell help, migrasi, dan adhesi.
Serum antibodi antinuklear (ANAs) ditemukan di hampir semua individu dengan LES aktif.
Antibodies to native double-stranded DNA (dsDNA) relatif spesifik untuk diagnosis LES. Apakah
aktivasi sel-B poliklonal atau keberadaan respon terhadap antigen tertentu tidak jelas, tetapi banyak
dari patologi melibatkan sel B, sel T, dan sel dendritik. Sitotoksik sel T dan sel T suppressor (yang
biasanya akan turun-mengatur respons kekebalan tubuh) mengalami penurunan. Perubahan
aktivitas sel T sitolitik poliklonal terganggu. Sel T Helper (CD4+) meningkat. Kurangnya toleransi imun
yang diamati pada model hewan lupus. Laporan menunjuk peran penting dari interferon-alfa, faktor
transkripsi, dan variasi sinyal juga menunjukkan peran sentral untuk neutrofil.
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi.Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa
gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam
hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
70 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasiyang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Studi Genetika juga menunjukkan gangguan dalam sinyal limfosit, respons interferon,
pembersihan komplemen dan kompleks imun, apoptosis, dan metilasi DNA. Genome-wide
association studies (GWAS) telah mengidentifikasi beberapa lokus dengan hubungan yang kuat
dengan LES, banyak . yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh dan terkait sistem biologis.
Sebelumnya, gen yang terkait dengan penyakit autoimun lainnya telah dikaitkan dengan LES
(misalnya, PTPN22 dan diabetes, rheumatoid arthritis dan STAT4). Beberapa gen yang berkaitan
dengan fungsi dan sinyal sel T juga telah dikaitkan dengan LES, termasuk PTPN22,, TNFSF4 PDCD1,
IL10, BCL6, IL16, TYK2, PRL, STAT4, dan RASGRP3, karena memiliki kekebalan-kompleks pengolahan
dan gen imun bawaan, termasuk beberapa gen komplemen (misalnya, C2, C4A, dan C4B).
ETIOLOGI
LES terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan immunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal, dan lingkungan. Sistem imun kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi akauskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. Studi antigen leukosit (HLAs)
manusia mengungkapkan bahwa HLA-A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 lebih sering terjadi pada orang
dengan LES dibandingkan dengan populasi umum.
LES memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga: 8% dari pasien yang terkena
memiliki garis keturunan pertama (orang tua, saudara, dan anak-anak) dengan LES. Selain itu, LES
terjadi 24% dari kembar identik dan 2% dari kembar nonidentical, yang mungkin disebabkan oleh
kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang
mekanisme penyakit LES dan asosiasi genetik. Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan risiko
LES. Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh konkordansi 40% di kembar monozigot, jika
seorang ibu memiliki LES, resiko putrinya terserang penyakit itu telah diperkirakan 1:40, dan risiko
anaknya, 1:250.
Penyebab lingkungan dan paparan yang berhubungan dengan LES kurang jelas. Beberapa
potensi meliputi:
71 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Debu silica dan merokok dapat meningkatkan risiko mengembangkan LES
Estrogen pada wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko pengembangan LES.
Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan LES.
Fotosensitifitas merupakan presipitan dari penyakit kulit
Sinar ultraviolet merangsang keratinosit, yang mengarah tidak hanya untuk overekspresi
nuclear ribonucleoproteins (snRNPs) pada permukaan sel tetapi juga untuk sekresi sitokin
yang mensimulasikan peningkatan produksi autoantibody.
Hasil dari satu studi menunjukkan bahwa vitamin D tingkat rendah meningkatkan produksi
autoantibody pada individu sehat, kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan hiperaktif
sel B dan aktivitas interferon-alpha pada pasien dengan LES.
CARA DIAGNOSIS
Diagnosis LES didasarkan pada kombinasi temuan klinis dan bukti laboratorium. Kehadiran 4
dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) menghasilkan sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95% untuk LES.
Ketika Systemic Lupus Internasional Collaborating Klinik (SLICC) merevisi dan memvalidasi
ACR LES kriteria klasifikasi pada tahun 2012, mereka mengklasifikasikan seseorang dengan LES dalam
keberadaan bukti biopsi nefritis lupus dengan antibodi ANA atau anti-dsDNA atau jika 4 dari kriteria
diagnostik, termasuk setidaknya 1 klinis dan 1 kriteria imunologi, telah terpenuhi.
ACR mnemonic kriteria diagnostik LES disajikan dalam "BRAIN SOAP MD" mnemonic:
Serositis
Borok Oral
Radang sendi
Fotosensitivitas
Gangguan darah
Renal involvement
antibodi Antinuclear
fenomena Imunologi (misalnya, dsDNA, anti-Smith [Sm] antibodi)
gangguan Neurologis
72 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
ruam Malar
ruam Diskoid
PEMERIKSAAN AWAL
TES Laboratorium yang bisa dilakukan antara lain :
CBC dengan diferensial
Serum kreatinin
Urinalisis dengan mikroskop
hasil ESR atau CRP
Complement levels
tes Fungsi hati
Creatine kinase assay
Spot protein/spot creatinine ratio
tes Autoantibody
Studi pencitraan
Studi pencitraan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi kecurigaan pasien dengan
LES:
Joint radiography
Chest radiography and chest CT scanning
Echocardiography
Brain MRI/ MRA
TERAPI AWAL
Tujuan dari terapi LES adalah untuk kontrol gejala. Penyakit ganas bisa diterapi
medikamentosa dengan :
73 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Nonsteroidal anti-inflammatory medications (NSAIDs, misal : ibuprofen, naproxen,
diclofenac) untuk terapi arthritis dan pleurisy
Kortikosteroid (methylprednisolone, prednisone) untuk peradangan kulit
Obat antimalaria (hydroxychloroquine) dan kortikosteroid dosis rendah untuk gejala kulit
dan artritis.
Nonbiologic DMARDS: Cyclophosphamide, methotrexate, azathioprine, mycophenolate,
cyclosporine
Biologic DMARDs (disease-modifying antirheumatic drugs): Belimumab, rituximab, IV
immune globulin
Pada penderita LES harus menggunakan pakaian dan kacamata protektif ketika terkena
sinar matahari.
Sedangkan terapi untuk beberapa lupus yang lain termasuk :
Medikasi atau kortikosteroid dosis tinggi untuk menurunkan respon sistem imun
Obat sitotoksik apabila tidak kunjung sembuh dengan kortikosteroid.
Preventif pemeriksaan hati
Immunisasi teratur
Tes untuk skrining osteoporosis
COMPLICATIONS
Systemic lupus erythematosus (SLE) can cause systemic complications throughout the
body.
Complications Of The Blood
Almost 85% of patients with SLE experience problems associated with abnormalities in the blood.
Anemia. About half of patients with SLE are anemic. Causes include:
Iron deficiencies resulting from excessive menstruation
Iron deficiencies from gastro-intestinal bleeding caused by some of the treatments
A specific anemia called hemolytic anemia, which destroys red blood cells
Anemia of chronic disease
74 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Hemolytic anemia can occur with very high levels of the anticardiolipin antibody. It can be
chronic or develop suddenly and be severely (acute).
Antiphospholipid Syndrome. Between 34 - 42% of patients with SLE have antiphospholipid
syndrome (APS). This is a specific set of conditions related to the presence of autoantibodies
called lupus anticoagulant and anticardiolipin. These autoantibodies react against fatty
molecules called phospholipids, and so are called antiphospholipids. Their actions have
complex effects that include causing narrowing and abnormalities of blood vessels.
Patients who have APS have a very incidence of blood clots, which most often occur in the
deep veins in the legs. Blood clotting, in turn, puts patients at higher risk for stroke and
pulmonary embolism (clots in the lungs).
This picture shows a red and swollen thigh and leg caused by a blood clot (thrombus) in the
deep veins in the groin (iliofemoral veins). Such a clot prevents normal return of blood from
the leg to the heart.
The effects on blood vessels have also been associated with confusion, headaches, and
seizures. Leg ulcers can also develop.
Patients with APS who become pregnant have a high incidence of pregnancy loss, especially in
the late term.
Not all patients with APS carry both of the autoantibodies, and they can also wax and wane
and so have varying effects. APS also occurswithout lupus in about half of patients with the
syndrome.
Thrombocytopenia. In thrombocytopenia, antibodies attack and destroy blood platelets. In
such cases, blood clotting is impaired, which causes bruising and bleeding from the skin, nose,
gums, or intestines. (This condition can also occur in APS, but it is not considered to be one of
the standard features of the syndrome.)
75 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Neutropenia. Neutropenia is a drop in the number of white blood cells. Patients with SLE often
neutropenia, but the condition is usually harmless unless the reductions are so severe that
they leave the patient vulnerable to infections.
Acute Lupus Hemophagocyte Syndrome. A rare blood complication of SLE that occurs primarily
in Asians is called acute lupus hemophagocytic syndrome. It is generally of short duration and
characterized by fever and a sudden drop in blood cells and platelets.
Lymphomas. Patients with SLE and other autoimmune disorders have a greater risk for
developing lymph system cancers such as Hodgkin’s disease and non-Hodgkin’s lymphoma
(NHL).
Heart And Circulation Complications
Heart disease is a primary cause of death in lupus patients. The immune response in SLE can cause
chronic inflammation and other damaging effects that can cause significant injury to the arteries and
tissues associated with the circulation and the heart. In addition, SLE treatments (particularly
corticosteroids) affect cholesterol, weight, and other factors that can also affect the heart.
Patients with SLE, have a higher risk for developing the following conditions, which put them at risk
for heart attack or stroke:
Atherosclerosis, or plaque buildup in the arteries
Increased stiffness in the arteries
Unhealthy cholesterol and lipid (fatty molecules) levels
High blood pressure, most likely because of kidney injury and corticosteroid treatments
Heart failure
Pericarditis, an inflammation of the tissue surrounding the heart
Myocarditis, an inflammation of the heart muscle itself (rare)
Abnormalities in the valves of the heart (rare)
Blood clots
The risk for cardiovascular disease, heart attack, and stroke is much higher than average in
younger women with SLE. The risks decline as such women age.
Lung Complications
76 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
SLE affects the lungs in about 60% of patients:
Inflammation of the membrane lining the lung (pleurisy) is the most common problem, which
can cause shortness of breath and coughing.
In some cases, fluid accumulates, a condition called pleural effusion.
Inflammation of the lung tissue itself is called lupus pneumonitis. It can be caused by infections
or by the SLE inflammatory process. Symptoms are the same in both cases: fever, chest pain,
labored breathing, and coughing. Rarely, lupus pneumonitis becomes chronic and causes
scarring in the lungs, which reduces their ability to deliver oxygen to the blood.
A very serious and rare condition called pulmonary hypertensionoccurs when high pressure
develops as a result of damage to the blood vessels of the lungs.
Kidney Complications (Lupus Nephritis)
The kidneys are a crucial battleground in SLE because it is here that the debris left over from the
immune attacks is most likely to be deposited. Also, the immune response can also attack different
parts of the kidney causing damage. About 50% of patients with SLE exhibit inflammation of the
kidneys (called lupus nephritis).This condition occurs in different forms and can vary from mild to
severe. Poor kidney function and kidney failure may result from this damage.
Serious complications occur eventually in about 30% of patients. If kidney injury develops, it almost
always occurs within 10 years of the onset of SLE, rarely after that.
Central Nervous System Complications
Nearly all patients with SLE report some symptoms relating to problems that occur in the central
nervous system (CNS), which includes the spinal cord and the brain. CNS involvement is more likely
to occur in the first year, usually during flare-ups in other organs.
Symptoms vary widely and overlap with psychiatric or neurologic disorders. They may also be
caused by of some medications used for SLE. Central nervous system symptoms are usually mild, but
there is little effective treatment available for them. CNS symptoms get worse as the disease
progresses.
77 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
The most serious CNS disorder is inflammation of the blood vessels in the brain (vasculitis), which
occurs in 10% of patients with SLE. Fever, seizures, psychosis, and even coma can occur. Other CNS
side effects include:
Irritability
Emotional disorders (anxiety, depression)
Mild impairment of concentration and memory
Migraine and tension headaches
Problems with the reflex systems, sensation, vision, hearing, and motor control
Infections
Infections are a common complication and a major cause of death in all stages of SLE. The immune
system is indeed overactive in SLE, but it is also abnormal and reduces the ability to fight infections.
Patients are not only prone to the ordinary streptococcal and staphylococcal infections, but they are
also susceptible to fungal and parasitic infections (called opportunistic infections), which are
common in people with weakened immune systems. They also face an increased risk for urinary
tract, herpes, salmonella, and yeast infections. Corticosteroid and immunosuppressants, treatments
used for SLE, also increase the risk for infections, thereby compounding the problem.
Gastrointestinal Complications
About 45% of patients with SLE suffer gastrointestinal problems, including nausea, weight loss, mild
abdominal pain, and diarrhea. Severe inflammation of the intestinal tract occurs in less than 5% of
patients and causes acute cramping, vomiting, diarrhea, and, rarely, intestinal perforation, which
can be life-threatening. Fluid retention and swelling can cause intestinal obstruction, which is much
less serious but causes the same type of severe pain. Inflammation of the pancreas can be caused by
the disease and by corticosteroid therapy.
Joint, Muscle, And Bone Complications
Arthritis caused by SLE almost never leads to destruction or deformity of joints. The inflammatory
process can, however, damage muscles and cause weakness. Patients with SLE also commonly
experience reductions in bone mass density (osteoporosis) and have a higher risk for fractures,
78 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
whether or not they are taking corticosteroids (which can increase the risk for osteoporosis).
Women who have SLE should have regular bone mineral density scans to monitor bone health.
Eye Complications
Inflamed blood vessels in the eye can reduce blood supply to the retina, resulting in degeneration of
nerve cells and a risk of hemorrhage in the retina. The most common symptoms are cotton-wool-like
spots on the retina. In about 5% of patients sudden temporary blindness may occur.
Socioeconomic Consequences
In one study, 40% of patients with SLE quit work within 4 years of diagnosis, and many had to modify
their work conditions. Significant factors that predicted job loss included high physical demands
from the work itself, a more severe condition at the time of diagnosis, and lower educational levels.
People with lower income jobs were at particular risk for leaving them.
Pregnancy And Systemic Lupus Erythematosus
Women with lupus who conceive face high-risk pregnancies that increase the risks for themselves
and their babies. It is important for women to understand the potential complications and plan
accordingly. The most important advice is to avoid becoming pregnant when lupus is active.
Research suggests that the following factors predict a successful pregnancy:
Disease state at time of conception. Doctors strongly recommend that women wait to conceive
until their disease state has been inactive for at least 6 months.
Kidney (renal) function. Women should make sure that their kidney function is evaluated prior
to conception. Poor kidney function can worsen high blood pressure and cause excess protein
in the urine. These complications increase the risk for preeclampsia and miscarriage.
Lupus-related antibodies. Antiphospholipid and anticardiolipin antibodies can increase the
risks for preeclampsia, miscarriage, and stillbirths. Anti-SSA and anti-SSB antibodies can
increase the risk for neonatal lupus erythematosus, a condition that can cause skin rash and
liver and heart damage to the newborn baby. Levels of these antibodies should be tested at
the start of pregnancy. Certain medications (aspirin, heparin) and tests (fetal heart monitoring)
may be needed to ensure a safe pregnancy.
79 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Medication use during pregnancy. Women with active disease may need to take low-dose
corticosteroids, but women with inactive disease should avoid these drugs. Steroids appear to
pose a low risk for birth defects, but can increase a pregnant woman’s risks for gestational
diabetes, high blood pressure, infection, and osteoporosis. For patients who need
immunosuppressive therapy, azathioprine (Imuran) is an option. Methotrexate (Rheumatrex)
and cyclophosphamide (Cytoxan) should not be taken during pregnancy.
Pregnancy Risks
Women with lupus are 20 times more likely to die during pregnancy than women without the
disease. The risk for maternal death is due to the following serious conditions that can develop
during pregnancy:
Miscarriages. About 25% of lupus pregnancies result in miscarriage. The risk is highest for
patients with antiphospholipid antibodies, active kidney disease, or high blood pressure.
Blood clots. Women with lupus have a 6 times greater risk for developing deep vein
thrombosis (blood clots) than women without the disease.
Clotting complications. Low blood platelet count and anemia are also risks. Women with lupus
are 3 times more likely to need a transfusion during pregnancy than women without lupus.
Infections. Blood infections (sepsis), pneumonia, and urinary tract infections are more
common in pregnant women with lupus.
Preeclampsia. Women with lupus are three times more likely than healthy women to develop
preeclampsia (pregnancy-related high blood pressure), which can be potentially life
threatening.
Birth Complications. Women with SLE have an increased risk of having a pre-term birth,
stillbirth, or Caesarean section.
Despite these obstacles, many women with lupus have healthy pregnancies and deliver
healthy babies. To increase the odds of a successful pregnancy, it is important for women to
plan carefully before becoming pregnant. Be sure to find knowledgeable doctors with whom
you can communicate and trust. Pregnant women with lupus should try to assemble an
interdisciplinary health care team that includes a rheumatologist, high-risk obstetrician, and
(for patients with kidney disease) a nephrologist.
80 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
(http://health.nytimes.com/health/guides/disease/systemic-lupus-
erythematosus/complications.html)
POSSIBLE COMPLICATIONS
Some people with SLE have abnormal deposits in the kidney cells. This leads to a condition
called lupus nephritis. Patients with this condition may eventually develop kidney failure and
need dialysis or a kidney transplant.
SLE causes damage to many different parts of the body, including:
Blood clots in the legs (deep vein thrombosis) or lungs (pulmonary embolism)
Destruction of red blood cells (hemolytic anemia) or anemia of chronic disease
Fluid around the heart (pericarditis), endocarditis, or inflammation of the heart
(myocarditis)
Fluid around the lungs (pleural effusions) and damage to lung tissue
Pregnancy complications, including miscarriage
Stroke
Severely low blood platelets (thrombocytopenia)
Inflammation of the blood vessels
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm)
81 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
POLYARTERITIS NODUSA (PAN)
(Kompetensi 1)
Poliyarteritis nodosa adalah kelainan yang sangat jarang yang ditandai oleh adanya vaskulitis
nekrotikans sistemik yang mengenai arteri-arteri sedang dan kecil. Vaskulitis adalah sekelompok
kelainan yang dikarakteristikkan dengan adanya proses inflamasi pada pembuluh darah. Proses
vaskulitis dapat mengenai satu, atau beberapa pembuluh darah, atau bahkan organ. Inflamasi pada
plyarteritis nodosa ini sifatnya adalah lesi nekrosis.
GEJALA
Gejala yang disebabkan oleh kerusakan pada organ yang terkena, terutama adalah kulit,
jantung, ginjal, dan sistem saraf. Gejalanya berupa :
Nyeri perut
Nafsu makan berkurang
Kelelahan
Demam
Nyeri sendi
Nyeri otot
Penurunan berat badan yang tidak disengaja
Kelemahan
Sedangkan gejala klinis yang mungkin timbul: gejala konstitusi akibat peradangan, gagal
ginjal dan proteinuria, hipertensi, gejala gatrointestinal, kelainan kulit (purpura, livedo reticularis).
PAN seringkali terjadi pada pasien dengan Hepatitis B.
Jika saraf yang terkena, maka akan menyebabkan saraf mati rasa, nyeri, terbakar, dan
kelemahan. Kerusakan pada sistem saraf bisa menyebabkan stroke atau kejang.
PATOFISIOLOGI
Lesi vaskular pada arteri otot ukuran sedang terjadi terutama pada bifurcations dan titik
cabang. Peradangan mungkin mulai dalam pembuluh intima dan berkembang untuk mencakup
82 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
seluruh dinding arteri, menghancurkan lamina elastis internal dan eksternal, sehingga menyebabkan
nekrosis fibrinoid. Aneurisma berkembang di pembuluh yang melemah, membawa risiko berikutnya
berupa pecahnya pembuluh darah dan perdarahan. Trombus dapat berkembang di lokasi lesi.
Sebagai perkembangan lesi, proliferasi intima atau media dapat mengakibatkan obstruksi dan
iskemia jaringan berikutnya atau infark. Poliartentis nodosa (PAN) menyerap pembuluh besar (aorta
dan cabang utama), pembuluh terkecil (kapiler dan arteriol kecil), dan sistem vena.
ETIOLOGI
Hepatitis B dan PAN
Patogenesis polyarteritis nodosa (PAN) tidak diketahui, dan tidak ada hewan model
yang tersedia untuk studi ini. Infeksi virus, termasuk virus human immunodeficiency (HIV),
virus hepatitis C (HCV) dan, paling kuat, virus infeksi hepatitis B (HBV), telah dikaitkan
dengan PAN. Bukti untuk penyakit terinduksi kompleks imun terbatas pada PAN terkait HBV.
Gangguan fungsi sel endotel mungkin menjadi bagian dari idiopatik PAN atau konsekuensi
dari itu. Pada HBV-PAN, replikasi virus dapat langsung melukai dinding pembuluh darah.
Disfungsi endotel dapat melanggengkan peradangan melalui sitokin dan produksi molekul
adhesi.
HBV pernah menjadi penyebab hingga 30% kasus PAN. Meluasnya penggunaan
vaksin hepatitis B telah secara signifikan menurunkan kejadian HBV-PAN, yang sekarang
diperkirakan mencapai kurang dari 8% dari semua kasus PAN.
HBV-PAN dapat terjadi setiap saat selama infeksi hepatitis B akut atau kronis, meskipun
biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan infeksi.
Aktivitas arteritis yang tidak paralel dari hepatitis, dan gejalanya sama dengan
idiopatik PAN. Penelitian kecil telah menemukan bahwa manifestasi GI, hipertensi maligna,
infark ginjal, dan orchiepididymitis lebih umum pada HBV-PAN.
Asosiasi penyakit lainnya
Organisme menular lainnya telah dilaporkan dalam hubungan dengan PAN atau
penyakit mirip PAN, tapi bukti kausal tidak konsisten. Organisme ini termasuk virus varicella-
zoster, parvovirus B-19, cytomegalovirus, virus manusia T-sel leukemia, spesies
83 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
streptokokus, spesies Klebsiella, Pseudomonas spesies, spesies Yersinia, Toxoplasma gondii,
rickettsia, cacingan, dan sarcosporidiosis.
Hepatitis C dapat dihubungkan dengan PAN yang berkenaan dengan kulit, benigna,
bentuk jinak dari PAN. Beberapa sindrom, termasuk penyakit rematik, keganasan, dan infeksi
telah dikaitkan dengan sindrom klinis yang tidak dapat dibedakan dari PAN idiopatik.
Rheumatoid arthritis (RA) dan sindrom Sjögren telah dikaitkan dengan PAN. Terutama,
kejadian RA terkait vaskulitis telah sangat menurun sejak 1980-an, kemungkinan disebabkan
perbaikan dalam pengelolaan RA. Keganasan hematologi, seperti leukemia sel berbulu, telah
dikaitkan dengan PAN-seperti vaskulitid.
KOMPLIKASI
1. ulserasi kulit
2. gangren ekstremitas
3. infark organ
4. Pecahnya aneurisma (perdarahan intra-organ)
5. Stroke
6. Ensefalopati
7. Mielopati
8. gagal jantung
9. infark miokard
10. pericarditis
11. Gastrointestinal (GI) perdarahan
12. infark usus
13. neuropati perifer
84 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
POLIMIALGIA REUMATIK (PMR)
(Kompetensi 3A)
Etiologi
- Kelainan leukosit dalam darah, dalam hal ini leukosit berbalik menyerang sistem yang
mengakibatkan tidak terlindunginya tubuh dari bakteri, jamur dan lain lain. Biasanya
menyerang lapisan sendi tubuh yang akan mengarah kepada pembengkakan sendi.
- faktor hereditas.
- Tingkat sedimentasi eritrosit dan protein C reaktif yang rendah.
Epidemiologi/Prevalensi :
- Usia dibawah 50 tahun (jarang)
- Usia diatas 50 tahun
- Usia 60-70 tahun (paling banyak)
- Wanita 3 kali lebih beresiko
Gejala :
- Nyeri otot
- Kaku leher, bahu, dan pinggul (biasanya setelah istirahat)
- Demam
- Lemah otot
- Edema
- Tendonitis
- Tenosinovitis
- Penurunan berat badan
- Anemia
Diagnosis:
- ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) > 40mm/h
85 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
- CRP (C – reactive protein)
- USG
- MRI
Komplikasi :
- Kadang terjadi bersamaan dengan giant cell artritis, gejalanya seperti sakit kepala dan
kaburnya penglihatan (jika GCA ini tidak diobati dapat beresiko kecil terhadap kebutaan
atau stroke).
- Orang tua dengan penggunaan glukokortikoid tanpa pengawasan dapat menyebabkan
efek buruk.
- Stroke.
Terapi :
Pemberian prednisone (golongan glukokortikoid) 15-20 mg/hari . Namun dalam 3-6
minggu pertama dosis diturunkan misal dibawah 10 mg/hari dengan total terapi lamanya 2-3 tahun.
Tiap 1 atau 2 bulan dosis obat diturunkan 1 mg sampai 2-3 tahun obat dihentikan.
Dapat dibarikan juga obat anti-inflamasi non-steroid seperti Aspirin atau Ibuprofen. Obat
ini harus digunakan setiap hari, meskipun penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan iritasi
perut. Olahraga ringan dengan istirahat dapat membantu membawa kembali mobilitas sendi pada
penderita. Olahraga juga meningkatkan kekuatan dan fungsi otot. Latihan pernapasan dalam dan
pijat juga dapat menghilangkan stres dan mengendurkan otot yang terkena.
Terapi diet :
Modifikasi diet juga cukup efektif dalam memerangi penyakit ini. Penambahan komponen-
komponen yang dapat melawan penyebab polymyalgia rheumatica dapat membantu proses
pengobatan. Antara lain :
Vitamin E
Mendorong kekuatan otot dan fleksibilitas.
Vitamin C
Hal ini meningkatkan kinerja pembuluh darah dan membantu memerangi peradangan.
86 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Herbal
Minyak herbal seperti Evening Primrose menciptakan anti-inflamasi yang membantu dalam
mengurangi pembengkakan dengan cepat. Akar Claw Iblis juga telah terbukti sangat efektif
dalam menyembuhkan gangguan rematik.
Prognosis :
Polimialgia reumatik bukan suatu penyakit yang sangat serius dan jarang menyebabkan
kerusakan permanen. Bahkan tanpa adanya pengobatan, penyakit ini dapat hilang setelah satu
tahun atau beberapa tahun. Tetapi pengobatan diperlukan untuk mengontrol gejala. Namun,
menghentikan pengobatan terlalu dini dapat menyebabkan kambuhnya penyakit ini. Kekambuhan
umumnya langka dan terjadi 25 % pada pasien.
87 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
ANAFILAKSIS
(Kompetensi 4A)
Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitivitas (Tipe I) yang akut, berat, dan menyerang
berbagai macam organ. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat, sebuah reaksi antara antigen
spesifik dan antinodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan
mengeluarkan mediator yang bekerja secara farmakologis terhadap berbagai macam organ.
Reaksi ini dipicu berbagai alergen seperti makanan (seafood atau kacang-kacangan), obat, sengatan
serangga, atau juga lateks, bahkan latihan jasmani dan bahan diagnostik lain. Pada 2/3 pasien,
pemicu spesifik tidak diketahui.
Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau sistemik
yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan
idiopatik.
Tabel 1: Mekanisme anafilaksis manusia. (Diadaptasi dari Akib et al, 2010)
Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau
diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi (dahulu disebut anafilaktoid) diperantarai
Anafilaksis
Alergi (Immunologi)
IgE, FcεRI, makanan, serangga,
lateks, obat
Lain-lain, darah, agregat imun, obat
Non-ALergi (non-Immunologi)
Olahraga Fisik, dingin
Lain-lain, Obat
Idiopatik
88 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui
penyebabnya.
Penyebab reaksi anafilaksis/anafilaktoid Contoh
Obat Antibiotik, aspirin dan NSAIDs lain, vaksin,
obar perioperasi, antisera, opiat
Hormon Insulin, progesterone
Darah/ Produk Darah IVIG (Immunogobulin Intravena)
Enzim Streptokinase
Makanan Susu, telur, soya, kacang tanah, kacang
pohon, shelfish
Bisa Lebah, semut api
Lainnya
Lateks, kontras, membran dialisis, ekstrak
imunoterapi, protamin, cairan seminal
manusia
Tabel 1: Penyebab anafilaksis manusia (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
Akibat Sebab
Aktivasi Komplemen Langsung
Klasik Gamaglobulin (standar) (Agregasi IgG)
Larutan Plasmaprotein (agregasi IgG)
Aktivasi bypass RCM (Radio Kontras)
Anestesi IV
Pelepasan Mediator Langsung Sel Mast
Tanpa Melalui IgE
Anafilaktoid oleh opiat, kontras,
desferoksamin, taksol, pengganti volume
koloid, gamaglobulin, antibiotik vankomisin
(polimiksin), anestetik IV, pelemas otot,
anestesi Lokal, asam asetilsalisilat, inhibitor
89 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
siklooksigenase, NSAIDs, onat yang
meningkatkan arus mikrosirkulasi, telaksan,
gelatin
Akumulasi Bradikinin Batuk dan Angioedem oleh ACE Inhibitor
Produksi Leukotrin berlebihan Aspirin yang menginduksi asma dan urtikaria
Kerusakan Enzim
Inaktivator C1 Edema angioneurotik herediter
G6PD Anemia Hemolitik
Kolinesterase Inkompatibilitas Suksinilkolin
Refleks Neuropsikogenik Anestesi Lokal
Reaksi Emboli-Toksis Penisilin Depot (IV)
Reaksi Jarisch-Herxheimer Pengrusakan sel (Misal pada terapi sifilis
dengan penisilin)
Peningkatan Aliran Darah Ester asam nikotinik
Bronkospasme Sulfit yang diinhalasi atau dimakan dan β-
blocker
Tabel 2: Penyebab anafilaktoid (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
Anafilaksis Anafilaktoid
Perlu sensitisasi Tidak Perlu Sensitisasi
Jarang (<5%) Sering (>5%)
Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi setelah pajanan pertama
Gejala Klinis khas Gejala klinis tidak khas
Dosis pemicu kecil Tergantung dosis dan/atau kecepatan
pemberian pada infuse
Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kecuali defek enzim)
Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiolofis kuat
Tabel 3: Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid (Diadaptasi dari: Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
90 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Pada reaksi anafilaksis biasanya terjadi Atopi, yaitu kecenderungan personal atau familial untuk
tersensitasi dan memproduksi antibodi IgE sebagai respon pajanan alergen, biasanya protein.
Individu ini dapat mengalami gejala khas berupa alergi makanan, asma, rinokonjungtivitis, atau
dermatitis.
ETIOLOGI
Penyebab anafilaksis sangat beragam, bisa berupa antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat
diagnostik, bisa, produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik
dapat berupa penisilin dan derivatnya, neomisin, streptomisin, tetrasiklin, sulfonamid, dan lain lain.
Ekstrak alergen biasanya berupa rerumputan atau serum ATS, ADS, atau anti bisa ular.
Beberapa bahan yang sering digunakan untuk prosedur diagnostik dan dapat menimbulkan
anafilaksis misalnya zat radiopack, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin. Anestetikum lokal
contohnya prokain dan lidokain, sedangkan pada bisa adalah bisa ular, semut, dan lebah. Darah
lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriospresipitat juga dapat menyebabkan
anafilaksis. Pada makanan adalah susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.
PATOFISIOLOGI
Dalam melihat patofisiologi anafilaksis, lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ
target seperti pada sistem kardiovaskuler, traktur respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.
Mediator anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat
yang memacu peristiwa fisiologis yang menghasilkan gejala anafilaksis.
Histamin
Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Sel-sel yang mempunyai
histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, mast, dan basofil. Pada sel mast dan
basofil histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsangan
cukup. Pengaruhnya cepat, selama 1 menit, dan inaktivasi histamin oleh histaminase juga
berlangsung cepat.
Reseptor histamin adalah H1 dan H2. H1 terdapat pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular,
reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa anti-histamin (seperti klorfeniramin)
91 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
menyukai H1 dan sisanya (seperti simetidin) menyukai H2. Reseptor histamin terdapat pada limfosit
(terutama Ts) dan basofil.
Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi,
dilatasi venula kecil, dan konstriksi akibat kontraksi otot polos dalam sistem vaskular besar, Lalu
histamin akan meninggikan permeabilitas kapiler dan venuka pasca kapiler. Perubahan vaskular ini
menyebabkan respon wheal-flare (Triple respons dari Lewis) dan bila terjadi secara sistemik akan
menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus GI histamin meningkatkan sekresi
mukosa lambung, dan bila histamin dilepaskan sistemik akan menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Nyewly synthesized mediator (Leukotrien, Prostaglandin, dan Tromboxan)
Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permebilitas, dan sekresi mukus.
NSM berbeda dengan histamin, heparin, dan ECF-A. Mediator ini tidak ditemukan sebelumnya pada
granula sel mast. NSM berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh enzim fosfolipase A2
menjadi asam arakhidonat dan lyso-platelet activating factor (lyso-PAF). Lalu asam arakhidonat
disintesis menjadi leukotrien oleh enzim lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboxan oleh
enzim siklooksigenase, sedangnya lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator ini tidak
dipengaruhi histamin dan tidak dihambat anti-histamin, pemberian epinefrin dapat menghalangi dan
mengembalikan konstriksi karena NSM tersebut.
Eosynophyl chemotacting Factor – anaphylaxis (ECF-A)
Sebelumnya telah terbentuk di granula sel mast dan dilepaskan ketika degranulasi. ECF-A menarik
eosinofil ke daerah reaksi anafilasis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks
antigen-antibodi yang ada dan menghalangi histamin dan NSM untuk bereaksi.
Platelets Activating Factor (PAF)
PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah serta
mengaktifkan FXII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin
Bradikinin
Tidak ditemukan di sel mast manusia, aktivitasnya menyebabkan kontraksi otot bronkus dan
vaskular secara lambat, lama, dan hebat. Bradikinin menyebabkan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler yang menyebabkan timbul edema jaringan, serta merangsang serabut syaraf dan
92 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
menyebabkan rasa nyeri. Bradikinin meningkatkan produksi mukus di traktus respiratorius dan
gaster. Reseptornya berbeda dengan histamin maupun NSM.
Serotonin
Tidak ditemukan di sel mast manusia, tapi dalam trombosit dan dikeluarkan ketika agregasi
trombosit ataupun mekanisme lain. Serotonin menyebabkan kontraksi otot bronkus, namun
pengaruhnya sebentar dan tidak begitu penting dalam anafilaksis.
Prostaglandin
Memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast.
Prostaglandind A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sedangkan E1 dan E2 menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.
Kalikrein
Menghasilkan kinin yang memengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.
GAMBARAN KLINIS
Secara umum dapat berupa reaksi lokal dan sistemik. Lokal terdiri urtikaria dan angioedema pada
daerah kontak alergen. Reaksi lokal dapat berat, tapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada
organ seperti pada traktis respiratorius, kardiovaskuler, GI, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi
dengan waktu 30’ setelah kontak dengan penyebab.
Efek Mediator
Vasodilatasi, permeabilitas vaskuler
meningkat
Histamin
PAF
Leukotrien C4, D4, E4
Neutral protease yang mengaktivasi
kompleet dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos
Leukotrien C4. D4, E4
Histamin
Prostaglandind
PAF
93 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Infiltrasi seluler
Sitokin, seperti TNF
Leukotrien B4
Faktor kemostatik anafilaksis eosinofil
dan neutrofil (ECF-A dan NCF-A)
PAF
Tabel 4: Efek Mediator pada sel mast organ (Daiadaptasi dari: Akib et al, 2010)
94 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
DEMAM REUMATIK
(Kompetensi 3A)
Gejala
Kriteria Mayor
Polyarthritis bermigrasi: peradangan migrasi sementara dari sendi-sendi besar, biasanya
dimulai di kaki dan bermigrasi ke atas.
Karditis: peradangan otot jantung yang dapat bermanifestasi sebagai gagal jantung kongestif
dengan sesak napas, perikarditis dengan menggosok, atau murmur jantung baru.
Nodul subkutan: nyeri, koleksi perusahaan dari serat kolagen di atas tulang atau tendon.
Mereka biasanya muncul di belakang pergelangan tangan, siku luar, dan bagian depan lutut.
Eritema marginatum: ruam jangka panjang yang dimulai pada batang atau lengan sebagai
makula dan menyebar ke luar untuk membentuk ular seperti cincin sementara kliring di
tengah. Ruam ini tidak pernah dimulai pada wajah dan itu dibuat lebih buruk dengan panas.
Sydenham 's chorea (tarian St Vitus'): serangkaian karakteristik gerakan cepat tanpa tujuan
wajah dan lengan. Hal ini dapat terjadi sangat terlambat dalam penyakit.
Kriteria minor
Demam
Arthralgia: Nyeri sendi tanpa pembengkakan
Dibesarkan tingkat sedimentasi eritrosit atau protein C reaktif
Leukositosis
EKG menunjukkan fitur blok jantung, seperti interval PR yang berkepanjangan
Mendukung bukti infeksi streptococcus: tinggi atau naik antistreptolysin titer O atau DNAase,
menghasilkan gejala demam rematik.
Diagnosis
95 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Didahului dengan faringitis akut sekitar 20 hari sebelumnya, yang merupakan periode laten
(asimtomatik), rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala.
Diagnosis berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau
1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorok
positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.
KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR
Karditis
Poliartritis
Korea
Eritema marginatum
Nodul subkutan (EKG: PR interval memanjang)
Artralgia
Demam
Lab:
o ASTO >
o LED >, CRP +
Klasifikasi derajat penyakit (berhubungan dengan tatalaksana)
1. Artritis tanpa karditis
2. Artritis + karditis, tanpa kardiomegali
3. Artritis + kardiomegali
4. Artritis + kardiomegali + gagal jantung
Tatalaksana
Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi :
Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada
pasien dengan kelainan katup.
Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk evaluasi
jantung.
Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan
alergi penisilin.
Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.
Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:
96 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
o Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu, kemudian
diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
o Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6 dosis
selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan
bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.
o Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan
selama 2-6 minggu.
97 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
ARTHRITIS – RHEUMATOID
(Kompetensi 3A)
ETIOLOGI
Penyebab pasti arthritis rheumatoid tidak diketahui. Rheumatoid arthritis dipicu faktor-faktor yang
bersamaan, termasuk respon autoimun abnormal, kerentanan genetik, dan beberapa pemacu atau
lingkungan seperti infeksi virus atau perubahan hormon.
GEJALA
Gejala rheumatoid arthritis adalah kaku yang berakhir minimal satu jam (kekakuan dari
osteoarthritis, sebagai contoh, biasanya hilang dalam satu setengah jam). Bahkan setelah tidak
bergerak pada beberapa saat, tubuh bisa kaku. Pergerakan lebih mudah setelah diregangkan.
Swelling and Pain
Pembengkakan dan kesakitan pada sendi terjadi paling sedikit 6 minggu setelah diagnosis
dipertimbangkan. Sendi yang bengkak biasanya membesar dan sering terasa hangat ketika disentuh.
Rasa sakit yang lain sering terjadi simetris tapi mungkin lebih parah pada salah satu sisi tubuh,
tergantung tangan mana yang lebih sering digunakan oleh penderita.
Specific Joints Affected
Meskipun rheumatoid arthritis paling sering berkembang pada pergelangan tangan dan buku jari,
lutut dan sendi bola kaki juga sering terkena efeknya. Sehingga banyak sendi terlibat, termasuk spina
servik, bahu, siku, ujung jari, rahang, bahkan sendi antara tulang-tulang kecil dalam telinga.
Rheumatoid arthritis biasanya tidak tampak pada ujung jari, seperti osteoarthritis pada umumnya,
tapi sendi pada dasar jari sering sakit.
Nodules
Sekitar 20% penderita RA, pembengkakan pembuluh darah kecil bisa menyebabkan nodules, atau
gumpalan di bawah kulit. Hal ini semacam seukuran kacang polong atau lebih lebar, dan jarang
dekat dengan siku, meskipun bisa saja muncul di manapun. Nodul bisa terjadi selama penyakit
berlangsung. Kadang-kadang, nodules bisa sakit dan terinfeksi sebagian jika terdapat pada tempat-
tempat stres terjadi, misalnya pergelangan kaki. Pada kasus tertentu, nodul menggambarkan adanya
98 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
rheumatoid pembuluh darah, suatu kondisi yang mempengaruhi pembuluh darah dalam paru-paru,
ginjal, atau organ lain.
Fluid Buildup
Cairan bisa terkumpul pada sebagian pergelangan kaki. Dalam hal tertentu, sendi di belakang lutut
menimbun cairan dan membentuk sista Baker. Sista ini seperti tumor dan kadang-kadang
memanjang ke belakang betis menyebabkan rasa sakit. Sista Baker sering terjadi pada orang-orang
tanpa diagnosis RA.
Flu-Like Symptoms
Gejala seperti lelah, penurunan BB, dan demam mungkin menyertai RA pada awalnya. Beberapa
orang menjelaskan dirinya mirip masuk angin atau flu kecuali gejala RA pada tahun-tahun
berikutnya.
Symptoms in Children
Juvenil rheumatoid arthritis juga disebut Still's disease, biasanya demam tinggi dan kedinginan di
sekitar rasa sakit dan pada banyak sendi, dapat disertai ruam kulit merah muda.
KOMPLIKASI
RA tidak fatal, tapi komplikasi mungkin terjadi pada beberapa individu. Terapi RA efektif dalam
melambatkan penyakit melemahkan ini, dan beberapa bahkan mencegah perusakan awal dengan
mengurangi pembengkakan. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perusakan tulang dan ligamen
serta beberapa deformitas.
DIAGNOSIS
Tes darah dan sinar-x mungkin menunjukkan hasil normal untuk beberapa bulan setelah luka
persendian. Sangat penting pula menentukan jenis RA-nya, benign (type 1) atau aggressive (type 2)
berkaitan untuk terapi nantinya.
Dalam menemukan diagnosis dari RA lebih mengarah untuk menemukan adanya kekakuan pada
pagi hari, keterlibatan kerusakan tiga sendi dalam satu tempat, keterlibatan dua sisi dari tubuh,
nodul subkutan, faktor rheumatoid positif, dan perubahan pada hasil sinar-x dibanding normal.
Tes darah biasanya untuk menilai kokompleksan penyakit. Adapun tes darah yang dilakukan atau
dicari hasilnya antara lain:
99 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Rheumatoid Factor indikator kuat dari RA 2.
Erythrocyte Sedimentation Rate Test Makin tinggi hasil, makin aktif inflamasinya.
C-Reactive Protein hasil tinggi menunjukkan inflamasi aktif, sebaiknya mempertimbangkan index
masa tubuh.
Anti-CCP Antibody Test Antibody CCP mengidentifikasi RA sebelum gejalanya itu sendiri
berkembang. Dengan kombinasi rheumatoid factor, antibody CCP adalah prediksi terbaik dari RA.
Tests for Anemia Menemukan jumlah sel darah merah (hemoglobin dan hematocrit) dan besi
(reseptor transferin terlarut danferritin serum) dalam darah.
Cairan synovial mungkin membuktikan adanya kerusakan sendi.
Imaging Techniques.
X-Rays.
Dexa Scans.
Ultrasound.
Magnetic Resonance Imaging.
TERAPI
Terapi termasuk pengobatan dan perubahan gaya hidup.
General Guidelines for Drug Treatments
Many drugs are used for managing the pain and slowing the progression of rheumatoid arthritis, but
none completely cure the disease. It is likely that no single drug will ever cure rheumatoid arthritis
because of the many factors that affect the disease at various times. Tujuan terapi:
Mengurangi inflamasi
Mencegah kerusakan tulang dan ligamen sendi
Menjaga pergerakan sebebas mungkin dalam masa yang panjang
Kategori obat-obatan untuk RA:
Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) : mengurangi inflamasi.
Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARDs) : memperlambat progresi
penyakitlebih efektif dari NSAIDs, tapi lebih banyak efek samping. Ex: Methotrexate
(Rheumatrex, Trexall)
100 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Biologic Response Modifiers (Biologic DMARDs), untuk pasien gagal respon terhadap
DMARDs. Ex : anti-TNF tertentu termasuk infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel), dan
adalimumab (Humira). Biologic response modifiers lain di antaranya interleukin-1
antagonist anakinra (Kineret), T cell co-stimulation modulator abatacept (Orencia), dan
rituximab (Rituxan), dengan target CD20-positive B cells.
Corticosteroids, or steroids, anti-inflammatory yang kuat. Ex: prednisone dan
prednisolone.
101 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA)
(Kompetensi 2)
Istilah Juvenile Chronic Arthritis atau Juvenile Idiopatic Arthritis banyak dipakai di Eropa,
sedangkan di Amerika disebut Arthritis Rheumatoid Juvenile (ARJ/JRA). Disebut juvenile karena
diderita oleh anak usia di bawah 16 tahun. Disebut idiopatic karena kondisi ini tidak diketahui
penyebabnya. Arthritis sendiri adalah inflamasi atau pembengkakan di daerah sinovial pada sendi.
Maka, JCA didefinisikan sebagai sekelompok gangguan inflamasi sistemik yang diderita oleh anak-
anak di bawah usia 16 tahun. Ada 3 subtipe JCA, antara lain:
a. Pauciarticular onset - dengan 4 atau kurang dari 4 sendi yang terlibat
b. Polyarticular onset - dengan lebih dari 4 sendi yang terlibat
c. Onset sistemik - dengan demam, ruam dan arthritis
Gejala
Gejala dari penyakit ini dapat dilihat pada tabel. Terdapat sedikit perbedaan kriteria, menurut
Amerika (ACR) da menurut Eropa (EULAR).
102 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Patofisiologi
Patogenesis :
Patogenesis pada JCA belum banyak diketahui. Namun, diyakini bahwa penyakit ini berhubungan
dengan respon imun. Tanda-tandanya yaitu ditemukannya antibodi antinuclear (ANA), faktor
rheumatoid (RF) dan antibodi heat schock protein. Di samping itu juga terdapat peran dari sel T yang
autoreaktif. Namun, belum ditemukan dengan jelas mengapa sel T mengalami autoreaksi.
Kemungkinan yaitu karena infeksi virus atau bakteri tertentu.
Terdapat dua tipe sel T, berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, yaitu :
1. Sel T tipe 1 : lebih banyak melepas sitokin IL-2, IFN-ɣ dan TNF-β
2. Sel T tipe 2 : lebih banyak melepas sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13
dan pada JCA, kecuali pada pausiarticular, sel T tipe 2 dominan. Jadi tanda-tanda dari penyakit ini
secara lebih rinci adalah karena adanya sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblas
makrofag serta mediator inflamasi, seperti IL-2, IL-6, TNF-α, dan GM-CSF pada sinovium yang
mengalami artritis.
Kemokin juga diduga berperan pada patogenesis JCA. Kemokin sendiri yaitu factor penentu migrasi
subtipe sel T. Reseptor kemokin yang bekerja pada sel T tipe 2 yaitu reseptor CCR3, CCR4 dan CCR8.
Pada sel T tipe 1 adalah reseptor CXCR3 dan CCR5. Sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab
pada kedua tipe sel T. Pada penelitian berikutnya, disebutkan bahwa JCA CCR4 sel T berperan dalam
penentuan subtipe.
Etiologi
Penyebab dari JCA masih merupakan misteri. Namun, telah diketahui bahwa sel T mengalami
autoreaktif sehingga menghancurkan jaringan tubuh sendiri. Jaringan tubuh yang dimaksud
terutama adalah sendi. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa virus menyebabkan mutasi gen
tertentu yang kemudian dapat menyebabkan JCA. Faktor risiko untuk menderita JCA, yaitu :
Genetik
Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa biasanya faktor risiko terkena JCA lebih tinggi apabila
ada anggota keluarga yang telah menderita JCA. Sirosis hati
Perempuan memiliki faktor risiko lebih tinggi daripada laki-laki
Stress psikologis memperburuk keadaan JCA
103 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Hormon seks, karena JCA lebih sering terjadi pada wanita
Idiopatik
JCA muncul secara tiba-tiba pada seorang individu.
Cara diagnosis
Penentuan diagnosis dari JCA dinilai dari dua hal.
a. Kriteria klinis
Kriteria klinis kita lihat dari gejala-gejala pasien. Apakah anak ada gejala radang sendi,
tanda-tanda iridocyclitis, adenopati generalisata, splenomegali atau demam yang
berlangsung beberapa hari.
b. Antibodi antinuclear (ANA) dan faktor rheumatoid (RF)
Tes ini membantu dalam mendiagnosis subtipe JCA. Pada subtype onset sistemik, tidak
ditemukan RF dan ANA. Dalam pauciarticular onset JCA, ditemukan ANA sampai dengan
75% tetapi tidak ditemukan RF. Dalam polyarticular onset JCA, RF biasanya negatif, tetapi
pada beberapa pasien, sebagian besar gadis remaja, bisa positif.
Diagnosis Pembanding
104 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
http://www.arthritis.co.za/jra.htm
http://www.merckmanuals.com
Phelan J, Thompson S (2006). "Genomic progress in pediatric arthritis: recent work and future
goals". Curr Opin Rheumatol 18 (5): 482–9.
105 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA
(Kompetensi 2)
Definisi
Purpura Henoch-Schonlein merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa
hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada anak-anak. Merupakan sindrom klinis
kelainan inflamasi vaskulitis generalisata pembuluh darah kecil pada kulit, sendi, saluran cerna,
dan ginjal, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa purpura nontrombositopenik, artritis,
artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan saluran cerna, dan kadang-kadang disertai nefritis
atau hematuria (Yuli, 2012).
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf
Gejala Klinis
Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang muncul 1-
3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala.
Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya merupakan keluhan
penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan kulit (1-2 hari); terutama
mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku, dan
persendian jari tangan. Sendi-sendi bengkak dan nyeri, bersifat sementara dan tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
Kelainan kulit ditemukan pada 95-100% kasus, 50%nya merupakan keluhan penderita saat
datang berobat; berupa macular rash simetris terutama di kulit yang sering terkena tekanan
yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan lengan sisi ulna. Dalam 24 jam makula berubah
menjadi lesi purpura, mula-mula berwarna merah, lambat laun berubah menjadi ungu,
kemudian coklat kekuning-kuningan lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru.
Kelainan kulit dapat pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi petekie dan
ekimotik, dapat disertai rasa gatal (pruritic rash).
Keluhan perut ditemukan pada 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah kelainan kulit (1-4
minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik abdomen di periumbilikal, disertai
106 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus dapat ditemukan intususepsi ileoilial atau
ileokolonal. Diare berdarah dapat menyertai pruritic rash. Pada 20-50% kasus ditemukan
angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan ekstremitas (punggung tangan dan kaki).
Kelainan ginjal ditemukan pada 50% kasus anak yang lebih besar dan 25 % ditemukan pada
anak usia < 2 tahun; < 1 % berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya terjadi setelah 3 bulan
onset penyakit atau 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainana kulit yang persisten
sampai 2-3 bulan biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal berat. Mungkin
ditemukan hematuri dengan proteinuri derajat ringan sampai berat; dapat terjadi sindrom
nefrotik. Risiko nefritis meningkat pada usia onset di atas 7 tahun, lesi purpura menetap,
keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri dan hipertensi.
Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum dapat terjadi pada awal
penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan paru-paru jarang terjadi (Yuli, 2012).
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf
Etiologi
Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; IgA diduga berperan penting, ditandai dengan
peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh
darah dan mesangium ginjal (Yuli, 2012).
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf
Patofisiologi
Renal/skin biopsy: immune deposit complex (contains IgA).
Complement activation (alternative pathway) mediator inflammation activation
(vascular prostaglandin) small vascular inflammation in the skin, renal, joint dan
abdominal skin purpura, nephritis, arthritis and GIT bleeding.
Histologist: vascular leukocitoclastic.
Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University
107 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Patogenesis HSP adalah terjadinya vaskulitis leukositoklastik pada pembuluh darah kecil yang
ditandai dengan endapan kompleks imum yang mengandung IgA pada organ yang terlibat.
Adapun gejala yang timbul adalah akibat dari kerusakan pembuluh darah kecil pada organ
yang terlibat utamanya pada kulit, sendi, gastro-intestinal dan ginjal.
http://ppdsikafkunud.com/henonch-schonlein-purpura
Cara diagnosis
A. Kriteria American College of Rheumatology 1990:
Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu:
1. Palpable purpura non trombositopenia
2. Onset gejala pertama < 20 tahun
3. Bowel angina
4. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula
B. Kriteria European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric Rheumatology
Society (PreS) 2006
1. Palpable purpura harus ada
2. Diikuti minimal satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan
(pada biopsi kulit), artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria).
(Yuli, 2012)
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf
Komplikasi
Akibat terapi pemberian steroid, dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
- Hipertensi
- Hiperglikemi
- Obesitas
- Moon face
- Osteoporosis
- Munculnya jerawat
- Miopathy
108 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
- Hirsutism
- Pseudomotor cerebri
- Katarak
- Glaucoma
- Retardasi mental
Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University
Pemeriksaan
Diagnosis Purpura Henoch-Schonlein berdasarkan gejala klinis, tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis
dengan eosinofilia dan pergeseran hitung jenis ke kiri; jumlah trombosit normal atau
meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura).
Laju endap darah dapat meningkat.
Kadar ureum dan kreatinin dapat meningkat, menunjukkan kelainan fungsi ginjal atau
dehidrasi. Pada 10-20% penderita ditemukan hematuri atau proteinuri. Ditemukan darah pada
feses.
Dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen untuk mendiagnosis intususepsi.
Pemeriksaan Doppler atau radionuclide testicular scan menunjukkan aliran darah normal atau
meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan torsi testis (Yuli, 2012).
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf
109 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
ERYTHEMA MULTIFORME
(Kompetensi 2)
A. DEFINISI
Erythema multiforme adalah salah satu dari dua kelainan yang ditandai oleh erupsi
mendadak papul-papul eritematosa, yang sebagian di antaranya berkembang menjadi lesi
target yang terdiri atas papul di bagian tengah dikelilingi oleh cincin-cincin diskolorasi.
Keduanya mencerminkan reaksi kulit dan membran mukosa terhadap berbagai faktor,
misalnya infeksi kulit oleh virus (terutama herpes simpleks); bahan (termasuk obat) yang
ditelan atau mengiritasi kulit; keganasan; atau kehamilan.
B. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Ruam dari erithema multiforme dapat dikenali dari spots yang terlihat seperti target kecil
(target lessions). Bintik ini mempunyai warna merah kehitaman pada pusat, area pucat di
sekelilingnya, dan cincin merah gelap yang mengelilingi tepi. Eritema multiforme biasanya
“mild” (erythema multiforme minor)-dengan sedikit bintik, menyebabkan masalah kecil dan
cepat hilang- tetapi ada juga tipe erythema yang cukup parah (erythema multifrome mayor)
yang menyerang mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva. Erythema multiforme biasanya
asimptomatik, namun dapat juga menimbulkan rasa gatal dan nyeri.
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Pada anak-anak dan erythema multiforme minor, infeksi beberapa hari sebelumnya
merupakan penyebab yang paling umum, biasanya disebabkan karena herpes simplex.
Erythema multiforme mayor dapat terjadi akibat reaksi obat-obatan. Obat-obatan yang paling
sering menyebabkan erythema multiforme adalah obat yang digunakan untuk pengobatan
infeksi (seperti sulfonamides, tetracyclines, amoxicillin, and ampicillin). Non-steroidal anti-
inflammatory drugs (diberikan untuk sendi dan muscular) dan anticonvulsants (digunakan
untuk pengobatan epilepsy) dapat juga menyebabkan reaksi.
110 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Jika membran mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva terserang, maka pasien ini
keadaannya toksik dan demam (sindrom Steven-Johnsons). Keadaan ini dapat mengakibatkan
terbentuknya jaringan parut pada kornea. Lesi-lesi makulopapular dapat menyatu,
membentuk daerah bula dan nekrosis yang luas. Keadaan ini disebut nekrolisis epidermal
toksik (TEN).
D. CARA DIAGNOSIS
Tidak ada tes darah spesifik untuk erythema multiforme. Diagnosis biasanya berdasarkan
bagaimana ruam terlihat dan terdistribusi. Kadang-kadang perlu untuk mengambil sample kecil
dari kulit dianestesi lokal untuk menegaskan diagnosis di bawah mikroskop.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi eritema multiforme adalah hiperpigmentasi pascainflamasi, keratitis dengan
gangguan penglihatan dan pneumonia.
Sumber :
British Association of Dermathologists (2013). Erythema Multiforme.
http://www.bad.org.uk/site/816/default.aspx - diakses pada April 2013.
Dorland (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: EGC.
Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.
Jakarta: EGC.
111 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
HIV
(Kompetensi 4)
Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah biasanya ditularkan
melalui hubungan seksual, berbagi kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT),
yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui. Penyakit HIV disebabkan oleh
infeksi HIV-1 atau HIV-2, yang merupakan retrovirus dalam keluarga Retroviridae, Lentivirus genus.
Latar belakang
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah, virus menular
seksual (lihat gambar di bawah). Virus ini biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, berbagi
kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT), yang dapat terjadi selama proses
kelahiran atau selama menyusui.
Gambar mikroskop elektron human immunodeficiency virus (HIV) -1 virion. Courtesy of CDC / Dr. Edwin P. Ewing, Jr
Rute infeksiyang paling umumbervariasi dari satu negara ke Negara lain, bahkan antara kota-ke kota,
mencerminkan populasi di mana HIV diperkenalkan awalnya dan praktek setempat. Co-infeksi
dengan virus lain yang memiliki rute penularan infeksi yang mirip, seperti hepatitis B, hepatitis C,
dan virus herpes manusia 8 (HHV8, juga dikenal sebagai Kaposi sarcoma virus herpes [KSHV]), adalah
umum.
Dua jenis yang berbeda dari HIV (HIV-1 dan HIV-2) telah diidentifikasi, dan masing-masing terdiri dari
beberapa subtipe, atau clades.Semua clades HIV-1 cenderung menyebabkan penyakit yang mirip,
112 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
namun distribusi global clades berbeda. Hal ini mungkin memiliki implikasi pada setiap vaksin masa
depan.Sebagai clade B, yang dominan di negara maju (di mana perusahaan farmasi besar berada),
jarang ditemukan di negara-negara berkembang yang lebih parah terkena penyakit.
HIV-1 mungkin berasal dari satu atau lebih transfer lintas-spesies dari simpanse di Afrika Tengah. [9]
HIV-2 berkaitan erat dengan virus yang menginfeksi mangabeys di Afrika Barat. [10] Secara genetik,
HIV-1 dan HIV-2 terlihat serupa, tetapi masing-masing mengandung gen yang unik dan proses
replikasi yang berbeda.
HIV-2 membawa risiko sedikit lebih rendah padapenularannya, dan infeksi HIV-2 cenderung
berkembang lebih lambat untuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Hal ini mungkin
karena infeksi kurang agresif daripada properti spesifik dari virus itu sendiri.Orang yang terinfeksi
HIV-2 cenderung memiliki viral load yang lebih rendah dibandingkan orang dengan HIV-1 [11, 12],
dan viral load yang lebih besar dikaitkan dengan kemajuan yang lebih cepat menjadi AIDS HIV-1
infeksi [13, 14].
HIV-2 jarang terjadi di negara maju.Akibatnya, sebagian besar penelitian dan vaksin dan
pengembangan obat telah difokuskan pada HIV-1(mungkin tidak adil).
Tanda dan gejala
Pasien dengan HIV dapat hadir dengan tanda-tanda dan gejala dari setiap tahap infeksi HIV.Tidak
ada temuan fisik khusus untuk infeksi HIV, temuan fisik itu mencerminkan/menyajikan infeksi atau
penyakit. Manifestasinya meliputi:
o serokonversi akut bermanifestasi pada berbagai penyakit seperti flu, yang terdiri dari demam,
malaise, dan ruam umum
o Tahap asimtomatik umumnya jinak
o limfadenopati
o AIDS bermanifestasi terhadap pengulangan suatu penyakit dan kadang-kadang menimbulkan
infeksi yang mengancam jiwa atau bahkan kanker oportunistik
o Infeksi HIV dapat menyebabkan beberapa gejala sisa, termasuk terkait AIDS demensia /
ensefalopati dan HIV wasting sindrome (diare kronis dan penurunan berat badan tanpa
penyebab yang dapat diidentifikasi)
113 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Beberapa faktor risiko yang mungkin untuk HIV, diantaranya:
o hubungan seksual tanpa kondom, hubungan seks dubur reseptif terutama
o Memiliki banyak pasangan seksual
o Riwayat kepemilikan penyakit menular seksual PMS)
o Berbagi intravena (IV) kepemilikan obat
o Transfusi darah (sebelum tahun 1985 di Amerika Serikat)
o kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau luka karena jarum suntik
o Infeksi HIV Ibu (untuk bayi baru lahir, bayi, dan anak-anak)
Diagnosa
Rekomendasi skrining HIV meliputi:
o AS Preventive Services Task Force (USPSTF) sangat menganjurkan para klinisi untuk melakukan
screening untuk HIV untuk semua remaja dan orang dewasa yang memiliki risikotinggi untuk
terinfeksi HIV, dan pada semua wanita hamil
o Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/The Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) merekomendasikan skrining opt-out HIV untuk pasien di semua fasilitas pelayanan
kesehatan, orang yang beresiko tinggi terinfeksi HIV harus diskrining setidaknya setiap tahun.
o The American College of Physicians (ACP) merekomendasikan para klinisi untuk mengadopsi
skrining rutin HIV dan mendorong semua pasien agar mau diuji
Enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang memiliki sensitivitas tinggi harus
digunakan untuk screening. Sebuah hasil positif harus diikuti dengan konfirmasi hasil pengujian lain
(misalnya, tes western blot atau uji similar specific); HIV-2 harus diuji pada pasien yang berasal dari
daerah endemic HIV-2 atau mereka yang menunjukkan hasil tak tentu pada pengujian Western Blot
HIV-1-nya. Deteksi dini menggunakan layar kombinasi mungkin lebih efektif daripada hanya
menggunakan serologi.
Jumlah CD4 T-sel mencerminkan besar kecilnya risiko tertular infeksi oportunistik, diantarnya
sebagai berikut:
o rentang Referensi, 500-2000 sel / uL
114 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
o Karena jumlah CD4 bervariasi, jumlah seri umumnya ukuran yang lebih baik daripada
perubahan yang signifikan
o Setelah serokonversi, jumlah CD4 cenderung menurun (~ 700/μL) dan terus menurun dari
waktu ke waktu
o Untuk pengawasan, jumlah CD4 di bawah 200/μL dianggap terdefinisi AIDS di Amerika Serikat
o Pada anak-anak yang lebih muda dari umur 5 tahun, persentase sel T CD4 dianggap lebih
penting daripada jumlah absolutnya (<25% dianggap menjamin keberhasilan terapi)
o Pada orang dewasa dengan hepatitis C kronis dan T-selCD4-nya mutlak bernilai rendah,
persentase CD4 juga mungkin lebih berguna.
Viral load dalam darah perifer digunakan sebagai penanda pengganti tingkat replikasi virus, namun
tes viral loadkuantitatif tidak boleh digunakan sebagai alat diagnostik. Relevansi klinisnya adalah
sebagai berikut:
o Tingkat perkembangan AIDS dan kematian terkait dengan viral load: pasien dengan viral load
yang lebih besar dari 30.000 / uL 18,5 kali lebih mungkin meninggal karena AIDS dibandingkan
dengan viral load yang tidak terdeteksi.
o Dengan terapi, viral load sering dapat ditekan ke tingkat tidak terdeteksi (<20-75 eksemplar /
mL; penekanan virus yang optimal); penghambatan keseluruhan dari replikasi virushampir
mustahil dan mungkin tidak diperlukan
o pasien Berhasil diobati dapat menunjukkan intermiten viremia tingkat rendah (misalnya, <400
kopi / mL), tapi ini tidak dianggap mewakili replikasi virus atau untuk memprediksi kegagalan
virologi (didefinisikan sebagai viral load dikonfirmasi> 200 kopi / mL
Studi-studi dasar untuk infeksi lain yang penting dalam pemeriksaan awal pasien yang baru
didiagnosis infeksi HIV adalah sebagai berikut:
o Purified protein derivative (PPD) , tes kulit untuk TBC
o pengujianCytomegalovirus (CMV)
o pengujian Sifilis
o amplifikasi pengujian cepat untuk infeksi gonokokal dan klamidia
o Hepatitis A, B, dan C serologi
o antibodi Anti-Toxoplasma
115 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
o Pemeriksaan Ophthalmologic
CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi 3 kategori, yaitu sebagai berikut:
o Kategori A: infeksi HIV asimtomatik tanpa riwayat gejala atau kondisi terdefinisi AIDS
o Kategori B: infeksi HIV dengan gejala yang dapat diatribusikan secara langsung terhadap infeksi
HIV (atau cacat dalam imunitas sel-T-mediated) atau oleh infeksi HIVyang rumit
o Kategori C: infeksi HIV dengan AIDS infeksi oportunistik terdefinisi
Berikut ini 3 kategori pembagian berdasarkanjumlah CD4 + T-sel, yaitu sebagai berikut:
>500/μL: Kategori A1, B1, C1
200-400/μL: Kategori A2, B2, C2
<200/μL: Kategori A3, B3, C3
Pengelolaan
Beriut guidline pananganan dan pengelolaan HIV menurut Current Department of Health and
Human Services (DHHS):
o Antiretroviral therapy harus dimulai pada semua pasien dengan riwayat penyakit terdefinisi
AIDS atau dengan jumlah CD4 di bawah 350/μL
o Antiretroviral therapy harus dimulai terlepas dari jumlah CD4 pada pasien hamil, pasien
dengan nefropati terkait HIV, dan mereka dengan virus (HBV) koinfeksi hepatitis B ketika
pengobatan infeksi HBV diindikasikan
o Panel terbagi atas inisiasi terapi dengan jumlah CD4 350-500/μL, 55% menganggap ini
rekomendasi yang kuat, 45% menganggap hal itu sebagai rekomendasi moderat.
o Panel juga dibagi pada inisiasi terapi dengan jumlah CD4 di atas 500/μL: setengah menyukai
inisiasi dalam pengaturan ini, dan setengah yang lain mempertimbngkan terapi inisiasi
opsional.
Terapi antiretroviral (ART) adalah metode utama untuk mencegah kerusakan kekebalan. Kelas ARV
meliputi:
• Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
116 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
• Protease inhibitor (PI)
• nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
• Fusion inhibitor
• koreseptor CCR5 antagonis (inhibitor entry)
• integrase inhibitor mentransfer untai HIV
Current DHHS guidelines list the following regimens as preferred in treatment-naive patients:
• Efavirenz / tenofovir / emtricitabine
• Ritonavir yang dikuatkan atazanavir plus tenofovir / emtricitabine
• Ritonavir-darunavir yang dikuatkan plus tenofovir / emtricitabine
• Raltegravir plus tenofovir / emtricitabine
Regimen selection is individualized on the basis of the following :
• virologi khasiat
• Keracunan
• beban Pill
• Dosis frekuensi
• potensi interaksi obat-obat
• Hasil tes resistansi obat
• Kondisi penyerta
Dalam kasus tertentu, profilaksis diindikasikan untuk infeksi oportunistik tertentu, termasuk yang
berikut:
o Pneumocystis jiroveci
o Toxoplasma
o Mycobacterium avium complex
o jamur dan virus infeksi: Meskipun profilaksis untuk infeksi ini tidak secara rutin diperlukan,
beberapa menyarankan flukonazol pada pasien dengan jumlah CD4 T-sel di bawah 50/μL
untuk mencegah infeksi candida atau kriptokokal dan untuk melindungi terhadap infeksi jamur
endemik; lisan gansiklovir diindikasikan untuk CMV profilaksis pada pasien dengan AIDS lanjut
117 Immunology
Academic DIvision | ORAGASTRA
Tindakan pengobatan tambahan meliputi:
• Pengobatan infeksi oportunistik (diarahkan pada patogen tertentu)
• Pengobatan lipodistrofi HIV (tesamorelin)
• Terapi supresif untuk herpes simplex virus 2 (HSV-2) Infeksi (acyclovir)
• Pengobatan HIV-terkait diare (crofelemer)
The CDC has recommended basic and expanded HIV postexposure prophylaxis (PEP) regimens. An
overview of these recommendations is as follows:
o Dasar PEP 2-rejimen obat: Zidovudine ditambah lamivudine, AZT plus emtricitabine, tenofovir
plus lamivudine, atau tenofovir plus emtricitabine
o Alternatif dasar rejimen PPP: Lamivudine ditambah stavudine, lamivudine ditambah ddI,
emtricitabine ditambah stavudine, atau emtricitabine ditambah ddI
o Expanded rejimen PPP: Basic rejimen PPP plus lopinavir-ritonavir
An alternative expanded PEP regimen includes the basic PEP regimen plus one of the following:
• Atazanavir dengan atau tanpa ritonavir
• Fosamprenavir dengan atau tanpa ritonavir
• Indinavir dengan atau tanpa ritonavir
• Saquinavir dengan atau tanpa ritonavir
• Nelfinavir
• Efavirenz