catatan kuliah blok imunologi oragastra

119

Upload: emillya-sari

Post on 01-Dec-2015

372 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA
Page 2: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

Immunology

Acadeic Division | ORAGASTRA

DAFTAR ISI

IMUNOLOGI DASAR .............................................................................................. 1 RESPON IMUN FISIOLOGIS .................................................................................... 8 RESPON IMUN PATOLOGIS .................................................................................... 19 PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI ...................................................................... 34 REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN ............................ 39 IMUNOPARASITOLOGI .......................................................................................... 43 IMUNOFARMAKOLOGI .......................................................................................... 48 IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL .......................................................................... 63 LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES)-4 ........................................................... 69 POLYARTERITIS NODUSA-1 ................................................................................... 84 POLIMIALGIA REUMATIK (PMR)-3A ....................................................................... 87 ANAFILAKSIS-4A .................................................................................................... 90 DEMAM REUMATIK-3A ......................................................................................... 96 ARTHRITIS RHEUMATOID- 3A ................................................................................ 99 JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA)-2 .................................................................. 103 HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA-2 ....................................................................... 108 ERYTHEMA MULTIFORME-2 .................................................................................. 111 HIV-4 .................................................................................................................... 113

Page 3: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

1 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

IMUNOLOGI DASAR

Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan tubuh.

Terminologi kata “imunologi” berasal dari kata “immunitas” dari bahasa latin yang berarti

pengecualian atau pembebasan.

Imunitas adalah suatu kemampuan tubuh untuk melawan organisme atau toksin yang

cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.

KOMPONEN SISTEM IMUN

A. Organ Limfoid

Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, spleen, timus dan sumsum tulang.

Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh limfatik dan

dinamakan sesuai dengan tempatnya. Di organ limfoid, terdapat jaringan limfoid dan di

jaringan limfoid terdapat banyak limfosit yang akan melawan agen perusak seperti

organisme asing atau toksin. Jaringan limfoid yang letaknya tersebar ini menguntungkan

dalam tubuh untuk menahan invasi organisme sebelum lebih luas.

Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi jaringan

perifer tubuh

Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang masuk

melalui saluran pernapasan

Jaringan limfoid di spleen, timus dan sumsum tulang untuk melawan antigen

yang berhasil mencapai sirkulasi darah

Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang masuk

melalui usus

Perjalanan organisme asing atau toksin setelah masuk ke tubuh yaitu agen sampai di

cairan jaringan, kemudian agen ini akan dibawa melalui pembuluh limfe ke nodus limfe

atau jaringan limfoid lainnya.

Selain sebagai “gudang” limfosit, beberapa organ limfoid juga memiliki fungsi khusus,

yaitu :

Page 4: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

2 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Kelenjar limfe untuk membersihkan limfe

Spleen untuk membersihkan darah

Timus sebagai tempat matur limfosit-T

Sumsum tulang untuk memproduksi leukosit

(cancerresearchuk.org)

B. Makrofag

Dalam jaringan limfoid, selain limfosit, juga ada berjuta-juta makrofag. Adapun

mekanisme makrofag dalam melawan antigen yang masuk dalam tubuh manusia yakni

dengan :

1. Organisme yang menginvasi akan difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh

makrofag, kemudian produk antigeniknya di lepaskan ke dalam sitosol makrofag. Lalu

makrofag mentransfer antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara

kontak sel-ke-sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.

2. Makrofag menyekresikan Interleukin-1, yaitu zat pengaktivasi khusus yang

meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.

Page 5: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

3 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

C. Limfosit

a. Limfosit-B

Limfosit-B membentuk antibodi yang

menyerang agen yang masuk ke dalam

tubuh.

Gambar : (Reseptor sel B untuk antigen;

terdiri dari molekul immunoglobulin

permukaan)

b. Limfosit-T

Limfosit-T berperan dalam imunitas yang diperantai sel (imunitas sel-T) untuk

menghancurkan benda asing. Di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara cepat

sambil membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai

antigen spesifik

Page 6: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

4 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

TIPE SEL-T DAN FUNGSINYA

1. Sel T Pembantu (CD4)

Sel T Pembantu merupakan sel T yang jumlahnya paling banyak. Sesuai

namanya, sel ini membantu untuk melakukan fungsi imun. Sel ini meyekresikan

limfokin, yaitu sejenis mediator protein yang bekerja pada sel-sel lain dalam

sistem imun dan sumsum tulang. Sekresi limfokin di antaranya :

Interleukin-2 Interleukin-6

Interleukin-3 Faktor perangsang-koloni

Interleukin-4 granulosit-monosit

Interleukin-5 Interferon-ɣ

Fungsi sel T pembantu :

a. Perangsangan pertumbuhan dan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T

supresor. Efek perangsangan terbesar yaitu Interleukin-2 dan yang lain

memiliki efek potensial yang lebih sedikit.

b. Perangsangan pertumbuhan dan diferensiasi sel B untuk membentuk sel

plasma dan antibody. Hampir semua interleukin berperan dalam

perangsangan, khususnya interleukin 4, 5, dan 6. Maka ketiga interleukin

ini disebut faktor perangsangan sel B atau faktor pertumbuhan sel B.

c. Aktivasi sistem makrofag. Pertama, limfokin memperlambat atau

menghentikan migrasi makrofag—setelah secara kemotaktik tertarik ke

area meradang—agar makrofag-makrofag ini berkumpul. Kedua, limfokin

mengaktifkan makrofag ini untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih

efisien, sehingga makrofag menghancurkan agen perusak dalam jumlah

yang lebih banyak.

Beberapa interleukin, interleukin-2 khususnya memiliki efek umpan balik

positif yang mempu merangsang aktivasi sel T pembantu.

Page 7: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

5 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

2. Sel T Sitotoksik (CD8)

Sel T sitotoksik disebut juga sel pembunuh. Protein reseptor pada

permukaan sel T sitotoksik meyebabkan sel ini berikatan erat dengan

organisme atau sel yang mengandung antigen spesifik sel T sitotoksik

menyekresikan perforin, yaitu protein pembentuk lubang pada membran sel

yang diserang cairan interstisial dan substansi sitotoksik dari sel sel T

sitotoksik masuk sel T sitotoksik keluar dari sel korban sel membengkak

dan kemudian terlarut.

Keluarnya sel T sitotoksik sebelum sel korban terlarut membuat sel T

sitotoksik dapat membunuh lebih banyak sel lagi.

3. Sel T Supresor

Fungsi sel T supresor adalah untuk menekan fungsi sel T pembantu dan

sel T sitotoksik agar tidak menyebabkan reaksi imun berlebihan yang dapat

merusak jaringan tubuh sendiri (toleransi imun).

PEMBAGIAN SISTEM IMUN

Secara umum, imunitas terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Imunitas Bawaan

Imunitas bawaan yaitu jenis imunitas yang berasal dari proses umum tubuh, mempunyai

spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Imunitas

bawaan meliputi :

a. Proses fagositosis dengan peran dari neutrofil, monosit, dan makrofag.

b. Penghancuran organisme yang tertelan oleh asam lambung dan enzim pencernaan.

c. Daya tahan kulit terhadap invasi (masuknya) organisme.

d. Senyawa kimia yang mampu menghancurkan organisme atau toksin, seperti lisozim

(membuat bakteri larut), polipeptida dasar (menonaktifkan bakteri gram positif) ,

kompleks komplemen dan natural killer lymphocyte.

Respon imunitas jenis ini tetap walaupun terpapar organisme penyebab penyakit yang

sama berulang-ulang. Imunitas bawaan disebut juga pertahanan tubuh nonspesifik, dibagi

menjadi dua, yaitu :

Page 8: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

6 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

1. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal

Merupakan pertahanan pertama yang berperan penting dalam menahan benda asing

seperti bakteri. Di antaranya kulit, membran mukosa, dan sekresi dari kulit dan

membran mukosa.

2. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Internal

Merupakan garis pertahanan kedua, jika pertahanan pertama dapat ditembus. Di

antaranya sel darah putih fagositik, protein anti mikroba, dan respon peradangan.

2. Imunitas Didapat (Adaptif)

Imunitas didapat yaitu jenis imunitas yang sangat kuat dengan cara membentuk antibody

dan/atau menghancurkan agen penyerang spesifik, seperti bakteri, virus, toksin atau

jaringan asing. Imunitas didapat dibentuk berminggu-minggu atau berbulan-bulan sejak

tubuh pertama kali diserang. Ada dua tipe imunitas didapat, yaitu :

a. Imunitas yang Diperantarai Sel (Imunitas Sel-T)

Limfosit-T membentuk limfosit T teraktivasi dalam jumlah besar, khusus untuk

menghancurkan benda asing.

b. Imunitas humoral (Imunitas Sel-B)

Limfosit-B membentuk antibody yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam

plasma darah. Antibody ini kemudian menyerang agen yang masuk ke dalam tubuh.

Jadi intinya, imunitas didapat merupakan produk limfosit tubuh. Respon kedua pada

imunitas didapat akan lebih kuat disbanding respon pertama jika terpapar agen penyerang

yang sama.

FUNGSI SISTEM IMUN

1. Pertahanan

Fungsi pertahanan sistem imun adalah membentuk imunitas spesifik untuk melawan agen

yang mematikan, seperti bakteri, virus, toksin dan bahkan jaringan asing yang masuk ke

dalam tubuh.

Page 9: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

7 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

2. Homeostasis

Sistem imun mempunyai peran homeostasis agar tubuh dapat mempertahankan

keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam. Sistem imun memiliki fungsi sebagai

eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua.

3. Pengawasan

Sistem imun dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang

menjadi ganas.

REFERENSI :

Baratawidjaja, KG. 2000. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Peter et al. 2000. The Immune System First Of Two Parts. Volume 343 number 1, Massachusetts Medical

Society, The New England Journal Of Medicine

muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id

Imunitas didapat tidak akan terbentuk sampai ada invasi organisme asing, maka terdapat

mekanisme tertentu untuk mengenali invasi ini. Mekanismenya yaitu setiap jenis organisme atau

toksin hampir selalu mengandung satu atau lebih senyawa kimia spesifik (protein atau polisakarida

besar dengan berat molekul 8000 atau lebih dan terdapat epitop pada permukaannya) yang

membuatnya berbeda dari seluruh senyawa lainnya. Senyawa ini disebut antigen (antibody

generations).

Setelah limfosit yang spesifik diaktifkan oleh antigennya, maka ia akan berkembang biak dengan

cepat dan membentuk sel limfosit turunan. Jika itu adalah limfosit-T, keturunannya adalah sel T

spesifik dilepaskan ke cairan limfe diangkut darah disirkulasi ke seluruh cairan jaringan

kembali ke limfe. Sirkulasi ini bisa terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Jika itu

adalah limfosit-B, keturunannya akan menyekresikan antibody spesifik yang kemudian bersirkulasi

ke seluruh tubuh.

Page 10: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

8 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Pada masa embrio, kedua macam limfosit (limfosit-T dan limfosit-B) berasal dari sel stem

hematopoietic pluripoten. Pada masa ini, hanya ada “segmen gen”—sebenarnya, terdiri dari

beratus-ratus segmen—tetapi tidak seluruh gen untuk jutaan jenis antibodi dan limfosit -T. Sebelum

ke jaringan limfoid, limfosit “sekolah” dahulu dengan cara sebagai berikut.

A. Limfosit-T

Pembentukan limfosit-T di sumsum tulang bermigrasi ke kelenjar timus di kelenjar

timus, limfosit-T membelah secara cepat sambil membentuk keanekaragaman yang

ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik didapatkan ribuan jenis

limfosit timus dengan reaktivitas spesifik untuk melawan ribuan jenis antigen timus

menyeleksi limfosit-T dengan cara mencampurkan limfosit-T dengan antigen yang berasal

dari jaringan tubuh sendiri. Jika limfosit-T bereaksi, maka dia akan dihancurkan dan

difagositosis. Jika tidak bereaksi, limfosit-T akan dilepaskan limfosit-T yang lolos seleksi

kemudian meninggalkan timus menyebar ke seluruh tubuh melalui darah limfosit-T

mengisi jaringan limfoid di setiap tempat.

B. Limfosit-B

- Pada masa pertengahan kehidupan janin, limfosit-B diolah di hati

- Pada masa akhir janin dan sesudah lahir . limfosit-B diolah di sumsum tulang

Limfosit B memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit-T, sampai berjuta-juta

antibody dengan berbagai reaktivitas spesifik.

Kemudian selama proses pengolahan, segmen-segmen gen ini menjadi tercampur satu sama lain

dalam kombinasi acak, dan dengan cara ini akhirnya membentuk seluruh gen. Jadi jika ada beberapa

ratus segmen gen, maka terdapat jutaan kombinasi segmen yang dapat tersusun dalam sel tunggal.

Page 11: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

9 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

RESPON IMUN FISIOLOGIS

Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan melindungi

integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan zat yang berbahaya di

lingkungan yang dapat merusak dirinya.

PENGOLAHAN PENDAHULUAN TERHADAP LIMFOSIT T DAN B

Limfosit T diolah lebih dulu di kelenjar timus

Limfosit T, setelah pembentukannya di sumsum tulang, mula-mula bermigrasi ke kelenjar

timus. Di kelenjar timus, limfosit T membelah secara cepat dan pada waktu yang bersamaan

membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen

spesifik. Artinya, tiap satu limfosit di kelenjar timus membentuk reaktivitas yang spesifik untuk

melawan satu antigen. Kemudian limfosit berikutnya membentuk spesifitas terhadap antigen

yang lain. Berbagai tipe limfosit T yang telah diproses sekarang meninggalkan timus dan

menyebar ke seluruh tubuh untuk mengisi jaringan limfoid di setiap tempat.

Sebagian besar proses pengolahan limfosit T dalam timus berlangsung beberapa saat sebelum

bayi lahir dan selama beberapa bulan setelah lahir.

Limfosit B diolah lebih dulu di hati dan sumsum tulang

Pengolahan limfosit B yang rinci lebih sedikit diketahui daripada proses pengolahan limfosit T.

Pada manusia, limfosit B diketahui diolah lebih dulu di hati selama periode pertengahan

kehidupan janin, dan di sumsum tulang selama masa akhir kehidupan janin dan setelah lahir.

Limfosit B berbeda dengan limfosit T dalam dua hal:

1. Berbeda dengan seluruh sel yang membentuk aktivitas terhadap antigen, limfosit B secara

aktif menyekresikan antibodi yang merupakan bahan reaktif.

2. Limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit T, jadi

membentuk banyak sekali sampai berjuta-juta antibodi tipe limfosit B dengan berbagai

reaktivitas yang spesifik.

Setelah diolah, limfosit B bermigrasi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh, tempat limfosit B

menempati daerah yang berdekatan dengan limfosit T tetapi sedikit lebih jauh.

Page 12: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

10 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

MEKANISME UNTUK MENGAKTIFKAN SUATU KLON LIMFOSIT

Setiap klon limfosit hanya spesifik terhadap satu tipe antigen (atau terhadap beberapa antigen

serupa yang sifat stereokimianya hampir sama). Alasan terjadinya hal ini:

Pada limfosit B, masing-masing mempunyai kira-kira 100.000 molekul antibodi pada permukaan

membran selnya yang akan bereaksi sangat spesifik dengan satu macam antigen spesifik saja. Jadi,

bila ada antigen yang cocok, maka antigen ini segera melekat dengan antibodi di membran sel,

keadaan ini menimbulkan proses aktivasi.

Pada limfosit T, di permukaan membran sel nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan

antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (atau penanda sel T) dan ternyata protein ini

juga bersifat sangat spesifik terhadap satu antigen spesifik yang mengaktifkannya.

Peran Makrofag Dalam Proses Pengaktifan

Dalam jaringan limfoid, selain limfosit juga terdapat berjuta-juta makrofag. Makrofag

melapisi sinusoid-sinusoid pada nodus limfe, limpa, dan jaringan limfoid lain, dan makrofag ini

terletak bersebelahan dengan banyak limfosit dalam nodus limfe. Kebanyakan organisme yang

menginvasi mula-mula difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh makrofag, kemudian

produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian

mentransferkan antigen-antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara kontak sel

ke sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik. Selain itu, makrofag juga

menyekresikan zat pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksii

limfosit spesifik. Zat ini disebut interleukin-I.

Peran sel T dalam mengaktifkan limfosit B

Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang bersamaan.

Beberapa sel T yang terbentuk, disebut sel pembantu, kemudian menyekresikan bahan khusus

(disebut limfokin) yang mengaktifkan limfosit B spesifik. Tanpa bantuan sel pembantu ini,

jumlah antibodi yang dibentuk oleh limfosit B biasanya sedikit.

Page 13: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

11 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Aktivasi sistem makrofag

Pertama, limfokin memperlambat atau menghentikan migrasi makrofag setelah makrofag

secara kemotaktik tertarik ke dalam area jaringan yang meradang, dengan demikian

menyebabkan pengumpulan makrofag dalam jumlah banyak.

Kedua, limfokin mengaktifkan makrofag untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih efisien,

sehingga memungkinkan makrofag untuk menyerang dan menghancurkan organisme atau

agen perusak jaringan lainnya dalam jumlah lebih banyak.

MEKANISME IMUNITAS TERHADAP ANTIGEN YANG BERBAHAYA

Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di

lingkungannya yaitu:

1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat

dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung serta

lisosim dalam air mata.

2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi

mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.

3. Innate immunity.

4. Imunitas spesifik yang didapat.

Innate Immunity

Merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik yang mencegah masuknya dan menyebarnya

mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa

komponen innate immunity yaitu :

1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag.

2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.

3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.

4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi

aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.

5. Produksi interferon alfa (IFN α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN β) oleh fibroblast yang

mempunyai efek antivirus.

Page 14: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

12 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan

granula yang mengandung perforin.

7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat

merusak membran parasit.

Imunitas Spesifik Didapat

Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan

membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini

memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu.

Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari:

1. Imunitas humoral

Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent).

2. Cell mediated immunity (CMI)

Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui:

a. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya.

b. Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).

Prosesi dan Presentasi Antigen

Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi

oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan

menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel

limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan

mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini

kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen.

Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi

sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan

komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan

darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti

bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol.

Page 15: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

13 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Peran Major Histocompatibility Antigen (MHC)

Telah disebutkan di atas bahwa respons imun terhadap sebagian besar antigen hanya dimulai bila

antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu sel T hanya

mengenal imunogen yang terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. Ada 2 kelas MHC yaitu

:

1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi

antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel

mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc

tersebut.

2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi

antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini

diperlukan untuk respons imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan

poros penting dalam mengontrol respons imun tersebut.

Respons Imun terhadap Bakteri Ekstraselular

Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu :

1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi. Sebagai

contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat.

2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin

dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu

lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta

aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik

dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri menghambat sintesis

protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis

semua peptida. Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang

menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus

merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang

menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan.

Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas

Page 16: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

14 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta

netralisasi efek toksin.

Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular

Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme

fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis

dan penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa

adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.

Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur

alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek

opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane

attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan

respons inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang

merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular.

Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa

sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8.

Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah merangsang

inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan

menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti

migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat

efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang

demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator

sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam

jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan

dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh

infeksi bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang

progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan

pada syok endotoksin ini.

Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular

Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap

bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding

Page 17: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

15 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini

dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig) M spesifik yang kuat.

Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype

switching rantai berat oleh sitokin.

Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang

berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4

berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan

mikrobisid makrofag.

Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan

bakteri, yakni :

1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc_ pada

monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik

yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3

dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap

infeksi piogenik yang hebat.

2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target

serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.

3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan

mediator inflamasi akut.

Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular

Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di

dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam

makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.

Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular

Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah

fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel

fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam

mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.

Page 18: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

16 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular

Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell mediated

immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya

untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T

terutama interferon α (IFN α). Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri

mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya

muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit

T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN α. Sitokin IFN α ini akan mengaktivasi makrofag

termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten

sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan

lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk

mencegah penyebarannya.

Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas

yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama

oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal

ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara

langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis

akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit.

Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu

yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi

granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya.

Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah

manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.

KONSEP DASAR IMUNISASI

1. Pengertian imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap

suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit

(Ranuh. et. all, 2008:40).

Page 19: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

17 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya dari beberapa

penyakit tertentu (Wahab, A. Samik, 2002: 22).

Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas, memberikan imunitas protektif

dengan menginduksi respon memori terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan

preparat antigen non virulen/non toksik (Wong. DL, 2008: 28).

2. Jenis Vaksin

Pada dasarnya vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)

b. Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif).

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin

ini digunakan.

Vaksin hidup attenuated

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar

ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan pembiakan berulang-ulang.

Vaksin hidup yang tersedia: berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan

(parotitis), rubella, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri yaitu

vaksin BCG dan demam tifoid.

Vaksin inactivated

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media

pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan

kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan

hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida

dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka

seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini selalu membutuhkan dosis

multipel, pada dasarnya dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya

memacu atau menyiapkan sistem imun.

Page 20: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

18 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Vaksin polisakarida

Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik

terdiri atas rantai panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri

tertentu. Vaksin ini tersedia untuk tiga macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus,

dan haemophillus influenzae type b.

Vaksin rekombinan

Terdapat tiga jenis vaksin rekombinan yang saat ini telah tersedia :

1. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B

ke dalam gen sel ragi.

2. Vaksin tifoid (Ty21a) adalah bakteri salmonella typhi yang secara genetik diubah sehingga

tidak menyebabkan sakit.

3. Tiga dari empat virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera

rhesus yang diubah secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila

mereka mengalami replikasi.

Page 21: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

19 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

RESPON IMUN PATOLOGIS

HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang

berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Suharti, 2012)

Reaksi-reaksi klinis hipersensitivitas meliputi reaksi cepat (diperantarai-antibodi) dan

reaksi lambat (diperantarai-aktivitas limfosit). Keduanya terjadi bila sebelumnya satu individu

pernah mengalami kontak dengan agen khusus yang memiliki karakteristik kimia tertentu,

sehingga menyebabkan individu tersebut sensitif terhadap partikel tertentu. Terpajannya

kembali dengan antigen tersebut dapat menyebabkan sel yang sudah tersensitisasi

menghasilkan respons “pertahanan” yang khusus. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang

dibutuhkan untuk reaksi, reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Alergi)

Hipersensitivitas tipe I juga disebut sebagai immediate atau anaphilactic

hypersensitivity. Hipersensitivitas tipe ini dimediasi oleh IgE. Komponen seluler primer

pada hipersensitivitas ini adalah sel mast atau basofil. Reaksinya diperkuat dan/atau

dimodifikasi oleh trombosit, eosinofil, dan neutrofil. Mekanisme dari reaksi ini

melibatkan produksi IgE, dalam respon antigen tertentu (sering disebut alergen).

Pada reaksi ini, individu tersensitisasi oleh imunogen (partikel yang mampu

menginduksi respon imun) tertentu melalui pajanan sebelumnya. Pada kontak awal,

diproduksi IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel

mast dan basofil. Saat tubuh kembali berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi

antara imunogen dengan antibodi (IgE) yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan

pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi, seperti histamin,

yang terkandung dalam sel-sel tersebut.

Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan di daerah yang terbatas, maka

pelepasan mediatornya juga lokal. Pada situasi ini, akibatnya adalah terjadinya

vasodilatasi lokal disertai peningkatan permeabilitas dan pembengkakan. Namun,

apabila imunogen masuk dalam jumlah besar dan secara intravena ke dalam orang yang

Page 22: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

20 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

sudah peka, maka pelepasan mediator-mediator dapat sangat banyak dan meluas dan

menimbulkan reaksi anafilatik. Yang sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah

serangga, serbuk sari, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)

Hipersensitivitas tipe II juga disebut sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan

mungkin mempengaruhi berbagai jaringan dan organ. IgG atau IgM dalam darah

berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan di

permukaan sel.

Akibat dari reaksi ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis

sel sasaran setelah terjadi pengaktifan sistem C. Apabila sel sasaran adalah agen

penginvasi, misalnya bakteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermanfaat bagi tubuh.

Apabila sel sasaran adalah sel tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin

adalah suatu bentuk anemia hemolitik.

Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang

dependen-antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap

antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit, seperti

neutrofil dan makrofag, yang memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc)

molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan

menghancurkannya.

Adapun terapinya melibatkan anti-inflammatory dan immunosuppressive agents.

Page 23: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

21 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Imun Kompleks)

Reaksi ini mungkin umum (seperti serum sickness), atau mungkin melibatkan

organ individual termasuk kulit (seperti systemic lupus erythematosus, Arthus reaction),

ginjal (seperti lupus nephritis), paru-paru (seperti aspergillosis), pembuluh darah (seperti

polyarteritis), persendian (seperti rheumatoid arthritis), atau organ-organ lain.

Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan diperantarai oleh

kompleks imun (kompleks imunogen dengan imunoglobulin, biasanya IgG) yang

mengendap di jaringan, arteri, dan vena. Mekanisme dasarnya adalah pembentukan

kompleks imunogen-imunoglobulin di dinding pembuluh. Unsur kunci dalam reaksi ini

adalah pengaktivan jenjang C oleh kompleks iimun yang mengendap di dinding

pemnuluh darah, walaupun sel-sel vaskular bukan merupakan sumber imunogen;

imunogen berdifusi ke dalam dinding pembuluh dari darah. Pengaktivan C menyebabkan

terbentuknya faktor-faktor kemotaktik yang menarik neutrofil dari sirkulasi. Kerusakan

pembuluh berlanjut apabila neutrofil mengalami degranulasi (melepaskan enzim-enzim

litik) ke daerah sekitar. Kerusakan di jaringan sekitar disebabkan oleh pembentukan

mikrotrombus, peningkatan permeabilitas vaskular, dan pelepasan enzim-enzim yang

menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan, dan bahkan kematian jaringan.

Reaksi tipe III berbeda dari reaksi tipe II. Kerusakan sel selama reaksi tipe II

terbatas pada tipe sel tertentu yang merupakan “sasaran” spesifik, sedangkan reaksi tipe

III menghancurkan jaringan atau organ di mana saja tempat kompleks imun mengendap.

Adapun untuk terapi meliputi anti-inflammatory agents.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Delayed Type Hypersensitivity)

Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan

imunogen yang sesuai. Sel-sel CD4 (sel T Helper) melepaskan sitokin yang menarik dan

merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila

imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat

berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik, misalnya berkumpulnya sel-sel

mononukleus di daerah kerusakan jaringan.

Page 24: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

22 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Berbagai imunogen, seperti virus, bakteri, fungus, hapten, dan obat, dapat

memicu reaksi tipe IV. Reaksi tipe IV juga merupakan penyebab utama penolakan yang

terjadi pada beberapa transplantasi organ.

Referensi :

Ghaffar Abdul (2010). Immunology - Chapter Seventeen Hypersensitivity Reactions. University of South

Carolina School Of Medicine. http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm. Diakses pada

April 2013.

Page 25: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

23 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta:

EGC.

Sudiana IK. Imunopatologi. ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf diakses pada April 2013.

Suharti N. 2012. Hipersensitivitas. repository.unand.ac.id/18428/2/HIPERSENSITIVITAS.... Diakses April

2013.

PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun merupakan berbagai penyakit di mana sistem imun seseorang

memproduksi suatu respon yang tidak seharusnya, yaitu melawan sel, jaringan dan/atau organ

itu sendiri, yang menyebabkan inflamasi dan damage.

Diagnosis penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun

terhadap diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan

autoimun biasanya ditetapkan berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi

penderita.

Ada dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun.

Yang pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit untuk

mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah autoimun

disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang mengandung beberapa

sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Nampaknya

kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit

autoimun.

Penyakit autoimun biasanya didiagnosis dan dimonitor oleh medical specialist

menggunakan suatu kombinasi dari riwayat klinis, tes darah (autoantibodies, inflammation,

organ function) dan investigasi lain, seperti x-rays. Kadangkala biopsi dari affected tissues juga

dibutuhkan untuk diagnosis.

Ada lebih dari 80 penyakit autoimun yang berbeda, dan dapat dikategorikan menjadi 2

tipe umum :

Page 26: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

24 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

1. Penyakit autoimun yang spesifik organ

Meskipun penyakit imun yang spesifik organ pada dasarnya mempengaruhi satu

organ atau jaringan, namun efek ini seringkali meluas ke organ atau sistem tubuh yang

lain.

Examples of localised (organ specific) autoimmune diseases :

Multiple sclerosis (nervous system) Hashimoto’s thyroiditis (thyroid)

Myasthenia gravis (nerves, muscles) Addison’s disease (adrenal)

Guillain-Barre syndrome (nervous system) Pernicious anaemia (stomach)

Coeliac disease (gastrointestinal tract) Primary biliary cirrhosis (liver)

Crohn’s disease (gastrointestinal tract) Sclerosing cholangitis (liver)

Ulcerative colitis (gastrointestinal tract) Autoimmune hepatitis (liver)

Diabetes Mellitis Type 1a (pancreas) Grave’s disease (thyroid)

2. Penyakit autoimun yang umum/sistemik (tidak spesifik organ)

Penyakit autoimun sistemik dapat mempengaruhi organ tubuh dan jaringan dalam

waktu yang sama. Penyakit autoimun spesifik secara luas dapat diklasifikasikan menjadi

rheumatological/connective tissue disease dan vasculitis (inflammation of blood vessels).

Examples of rheumatological systemic autoimmune diseases :

Antiphospholipid antibody syndromes (blood cells)

Dermatomyositis (skin, muscles)

Mixed connective tissue disease

Polymyalgia rheumatica (large muscle groups)

Polymyositis (skin, muscles)

Primary Raynaud’s disease (blood vessels)

Rheumatic fever

Rheumatoid arthritis (joints, less commonly lungs, skin, eyes)

Scleroderma (skin, intestine, less commonly lungs, kidneys)

Sjögren’s syndrome (salivary glands, tear glands, joints)

Page 27: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

25 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Systemic Lupus Erythematosus (skin, joints, kidneys, heart, brain, red blood cells,

other)

Vasculitis disorders biasanya jarang terjadi dan merupakan akibat dari inflamasi

pembuluh darah. Gejalanya meliputi fatigue, penurunan berat badan, rashes, sore joints,

atau keringat malam.

Examples of vasculitis :

Vasculitis (small blood vessel)

Churg-Strauss syndrome (lungs, skin, nerves)

Cryoglobulinaemia (skin, kidneys, nerves)

Goodpasture’s syndrome (lungs, kidneys)

Henoch-Schonlein purpura (skin, joints, kidneys, gut)

Microscopic polyangitis (skin, kidneys, nerves)

Wegener’s granulomatosis (sinuses, lungs, kidneys, skin)

Vasculitis (medium blood vessel)

Behcet’s disease (mucous membranes, skin, eyes)

Central nervous system vasculitis (brain)

Kawasaki syndrome (skin, mucous membranes, lymph nodes, blood vessels)

Polyarteritis nodosa (kidneys, gut, nerves, skin)

Vasculitis (large blood vessel)

Giant cell (temporal) arteritis (arteries of the head and neck)

Takayasu arteritis (arteries of the head and neck)

REFERENSI :

Australian Society of Clinical Immunology and Allergic Inc. (2010). Autoimmune Disease.

http://www.allergy.org.au/patients/autoimmunity/autoimmune-diseases. Diakses pada April

2013.

Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Universitas Hasanudin. Penyakit Autoimun.

med.unhas.ac.id/obgin/datanya/.../PENYAKIT%20AUTOIMUN.doc – Diakses pada April 2013.

Page 28: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

26 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

IMUNOHEMATOLOGI

Immunohematology adalah cabang hematologi yang mempelajari reaksi antigen-

antibodi dan fenomena yang analog sejauh berkenaan dengan patogenesis dan manifestasi

klinis gangguan darah.

Antigen yaitu setiap zat yang mampu, dalam kondisi yang sesuai, menginduksi suatu

respons imun spesifik dan bereaksi dengan produk respons tersebut, yakni, dengan antibodi

spesifik atau limfosit T yang disensitisasi secara khusus atau keduanya. Atau dengan kata lain,

antigen adalah substansi (biasanya eksogen) yang berikatan secara spesifik dengan antibodi.

Antigen dapat berupa zat yang terlarut, seperti toksin dan protein asing, atau partikel, seperti

bakteri dan jaringan. Akan tetapi, hanya sebagian molekul protein atau polisakaridanya saja,

yang diketahui sebagai antigenic determinant (q.v.), yang bergabung dengan antibodi atau

suatu reseptor spesifik pada suatu limfosit.

Antibody adalah molekul imunoglobulin yang mempunyai suatu rantai asam amino

spesifik, yang hanya berinteraksi dengan antigen yang menginduksi sintesis molekul ini di

dalam sel seri limfoid (khususnya sel plasma). Antibody yaitu glikoprotein plasma yang

disekresikan oleh limfosit B aktif.

Antigen Eritrosit

Menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 29 sistem golongan

darah dan 600 antigen eritrosit. Setiap individu memiliki 1 set antigen eritrosit spesifik yang

diturunkan secara genetik. antigen eritrosit menonjol di permukaan membran eritrosit,

sehingga bisa dikenali oleh molekul antibodi yang mengakibatkan reaksi antigen-antibodi dan

terjadi aglutinasi. Kepentingan klinis dari penggolongan darah adalah untuk :

1) transfusi darah

2) transplantasi

3) haemolytic disease of the fetus and newborn (HDFN)

4) disease association

Page 29: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

27 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Komplikasi yang paling serius dari

transfusi darah adalah akibat dari interaksi

antara antibodi pada plasma resipien dan

antigen dari eritrosit pendonor.

Inkompatibilitas antara antigen eritrosit

pendonor dan antibodi plasma resipien bisa

mengakibatkan produksi antigen-antibody

complex yang mengakibatkan fiksasi

komplemen, hemolysis intravascular, dan

destruksi hebat dari darah yang ditransfusikan.

Tabel 1 dan 2. Kecocokkan golongan darah pendonor dan resipien.

Landsteiner’s Rule :

1. A person does not have antibody to his own antigens.

2. Each person has antibody to the antigen he lacks (only in the ABO system).

Berbagai jenis antigen eritrosit mempunyai imunogenitas yang berbeda. Yang paling

imunogenik adalah antigen ABO dan Rhesus (Rh).

ABO Blood Groups

Antigen ABO merupakan oligosakarida yang terkait secara langsung pada lipid

membran eritrosit. Terjadinya antigen ABO dan lokasi ekspresi antigen ABO dikendalikan

Page 30: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

28 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

secara genetik oleh 3 lokus gen yang berbeda di kromosom 9q : H, ABO, dan Se. Gen H

mengontrol produksi antigen H (prekursor antigen A dan antigen B). Gen ABO

mengontrol sintesis antigen A dan antigen B yang menentukan fenotip golongan darah.

Gen Se menentukan ekspresi antigen ABO soluble dalam cairan tubuh.

Gen H – alel H dan h (H adalah alel dominan, h adalah amorph, produk gen tidak

terdeteksi). Gen ABO – alel A, B, dan O (A& B mengkode functional glycosyltransferase

yang mengubah antigen H, O mengkode non-functional glycotransferase). Gen Se

(secretor) – alel Se (dominan) dan se (amorph). Antigen A, B, dan H disekresikan ke

dalam plasma, saliva, semen, keringat, dan cairan tubuh lain, kecuali LCS.

Antigen H adalah prekursor antigen A dan B. Group O tidak mempunyai antigen A

dan B, tetapi kaya antigen H. Antigen ABO sudah terdeteksi 5-6 minggu in utero. Bayi

baru lahir memiliki ekspresi antigen lebih sedikit dibandingkan orang dewasa.

Perkembangan antigen berjalan lambat, ekspresi penuh saat usia 2-4 tahun.

IgM adalah antibodi yang dominan pada individu golongan A dan B. IgG (dan

sedikit IgM) adalah antibodi yang dominan pada individu golongan O. Antibodi anti ABO

biasanya terbentuk pada 3-6 bulan in utero. Stabil setelah usia 5-10 tahun. Bayi baru

lahir mendapat antibodi maternal secara pasif melalui plasenta.

Fenotip O Bombay

Yakni individu dengan fenotip O, genotip hh. Tidak punya antigen H dan antigen

A,B,O. Mempunyai anti A, anti B, dan anti H dalam plasma. Bila mendapat transfusi

dari grup O akan mengalami hemolisis karena reaksi antara antigen H darah donor

pengan anti H resipien. Hanya compatible bila mendapat transfusi dari donor

dengan fenotip O Bombay. Dapat mendonorkan darahnya ke semua golongan

darah sistem ABO.

Page 31: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

29 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Tabel 3 dan 4. Sistem penggolongan darah ABO

Rh Blood Groups

Penggolongan Rh positive atau Rh negative merujuk pada ada tidaknya antigen D

saja. Antigen D merupakan polipeptida yang hanya terdapat pada membran eritrosit,

tidak terdapat dalam cairan tubuh dan material alamiah. Tidak seperti sistem ABO, tidak

adanya antigen D tidak berkorelasi dengan pembentukan anti D dalam plasma. Produksi

anti D memerlukan stimulasi imunologis berupa paparan eritrosit yang mengandung

antigen D pada individu yang tidak mempunyai antigen D. Paparan terjadi melalui

transfusi atau kehamilan.

Inkompatibilitas Rhesus pada ibu dengan Rhesus negatif dan fetus dengan

Rhesus positif. Anti D yang dihasilkan ibu akibat paparan antigen fetus bisa

menyebabkan destruksi eritrosit fetus.

Page 32: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

30 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Sensitisasi sistem imun ibu oleh antigen fetus dapat terjadi pada saat:

1. Kehamilan trimester III

2. Persalinan

3. Abortus, kehamilan ektopik atau perdarahan antepartum

4. Prosedur diagnostik atau terapeutik antenatal invasif

5. Trauma plasenta

6. Transfusi darah

Tindakan terpenting untuk menurunkan insiden kelainan hemolitik akibat

isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin

yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram

anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Jika ada antigen dari bayi masuk,

anti D ini akan langsung menangkap antigen D tersebut. Tindakan ini dilakukan untuk

mencegah pembentukan sel memori pada ibu.

Sumber :

Jensen M, Schroeder M. ABO Blood Group System.

http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm -

diakses pada April 2013.

Slide kuliah dr Arin, immunohematology

Tonya, Cafemom: The Meeting Place for Moms (2009). Your Blood Type Explained.

http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm -

diakses pada April 2013.

Unsri. Rhesus. digilib.unsri.ac.id/download/RHESUS.pdf – diakses pada April 2013.

Page 33: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

31 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

IMMUNODEFISIENSI

Adanya sistem imun yang kompeten merupakan hal esensial bagi individu untuk dapat

menahan serangan antigen asing. Dengan demikian, seseorang dapat mengalami penyakit

apabila ia menderita defisiensi salah satu komponen sistem imun.

Imunodefisiensi mungkin memengaruhi bagian dari sistem imun. Kondisi ini terjadi

ketika sel limfosit T atau B (atau keduanya) tidak bekerja semaksimal mungkin, atau ketika

tubuh tidak bisa memproduksi antibodi yang cukup.

Defisit kekebalan humoral (yaitu diperantarai oleh antibodi) biasanya mengganggu

pertahanan melawan bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini yang berkapsul. Pengukuran

imunoglobulin serum dengan alat nefelometri sekarang telah banyak digunakan untuk

mengukur kadar imunoglobulin-IgG, IgA, IgM, dan IgD- pada serum manusia. Metode yang

digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antibodi yang spesifik terhadap antigen difokuskan

pada :

1. Penentuan antibodi (IgM) yang terdapat secara alamiah pada golongan darah ABO yang

tidak ada pada eritrosit subjek. Orang normal secara konsisten memperlihatkan

isohemaglutinin seperti ini pada umur 1 tahun.

2. Tes Schick pada pasien yang telah diimunisasi toksoid diteri. Jika sudah dihasilkan kadar

antibodi khusus (IgG) yang cukup, maka pemecahan jaringan di tempat toksin dicegah.

3. Penentuan titer antibodi sebelum dan sesudah pemberian bahan imunisasi nonviable

(toksoid tetanus dan vaksin influenza) atau polisakarida pneumokokus (Pneumovax).

Defisiensi imunologik dapat bersifat primer atau sekunder. Defisiensi imunologi primer

memiliki dasar genetik, dan berbagai bagian dari sistem imun dapat terlibat. Salah satu contoh

defek pada imunitas humoral adalah agamaglobulinemia terkait-X yang disebabkan oleh

defisiensi sel B. Penyakit ini menyebabkan pasien hampir sama sekali tidak memproduksi

imunoglobulin, dengan konsekuensi infeksi rekuren atau kronik yang disebabkan oleh bakteri

piogenik misalnya Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan stafilokokus.

Imunodefisiensi humoral dapat hanya mengenai imunoglobulin tertentu, misalnya

defisiensi IgA terisolasi. Individu dengan penyakit ini memperlihatkan peningkatan angka

infeksi saluran nafas dan GI dan mungkin mengalami reaksi anafilaksis berat apabila ditransfusi

dengan darah normal (karena mereka mungkin memiliki antibodi terhadap IgA dalam jumlah

Page 34: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

32 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

cukup besar). Imunodefisiensi humoral terutama mencolok pada beberapa penyakit

keganasan tertentu, seperti mieloma multiple dan leukimia limfositik kronik, dan perlu

mendapat perhatian bila sel-sel tumor menginfitrasi struktur limforetikular.

Defisiensi primer sel T (misalnya, sindrom DiGeorge) atau bahkan severe combined

immunodeficiency disease (SCID) juga dapat terjadi. SCID mengakibatkan gangguan fungsional

imunitas humoral dan seluler. Bayi dengan penyakit ini rentan terhadap infeksi, bakteri,

fungus, dan virus dan sering meninggal dalam tahun pertama kehidupannya. Perhatian yang

serius terhadap setiap orang yang menderita defisiensi sel T yang jelas adalah pada

ketidakmampuannya untuk membersihkan sel-sel asing termasuk leukosit viabel dari darah

lengkap yang ditransfusikan.

Semakin kita tua, sistem imun berkurang keefektifannya. Jaringan sistem imun

(khususnya jaringan lymphoid seperti thymus) menyusut dan jumlah dan aktivitas sel darah

putih menurun.

REFERENSI :

Dugdale DC (2012). MedlinePlus. Immunodeficiency Disorder.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000818.htm - diakses pada April 2013.

Ghaffar Abdul, Naggarkatti M (2010). Immunology Chapter Nineteen: Immunodeficiency.

http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunodef2000.htm - diakses pada April 2013.

PriceSA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta:

EGC

Page 35: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

33 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI

Imunologi adalah spesialisasi medis yang berkaitan dengan kekebalan dan semua aspek

dari kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit yang disebabkan oleh patogen

(organisme penyebab penyakit, yang biasanya adalah mikro-organisme). Imunologi mencakup studi

tentang semua aspek dari sistem kekebalan tubuh dalam semua organisme. Ini berkaitan dengan,

antara lain, fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan penyakit,

malfungsi sistem kekebalan tubuh pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hypersensitivities,

defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari

sistem kekebalan tubuh secara in vitro, in situ, dan in vivo.

Pemeriksaan imunologi bersifat klinis dan dilakukan dalam laboratorium imunologi. Di dalam

laboratorium ini dapat melakukan pemeriksaan seperti :

Pengukuran kadar Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1)

Pemeriksaan kadar kortisol

Pengukuran kadar Prostate Spesific Antigen (PSA)

Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA)

Luminex (Multiplex Flow Cytometry Assay)

FACS CALIBUR (Flowcytometry)

Pengembangan Vaksin Dengue (Teknologi Sub Unit Protein Rekombinan)

Pengukuran kadar testosteron

Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan CRP (C-reactive protein)

Pemeriksaan hsCRP

Rheumatoid Arthritic Factor (RAF)

Pemeriksaan AFP (Alpha fetoprotein)

Pemeriksaan Carcinoembryonic antigen (CEA)

Pengukuran kadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG)

Pengukuran Neuron Specific Enolase (NSE)

Pengukuran Thyroid stimulating hormone (TSH)

Page 36: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

34 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Pemeriksaan kadar prolaktin

Pemeriksaan serum progesterone

Adapun peralatan pada laboratorium imunologi adalah sebagai berikut :

1. Peralatan Diagnostika

2. Peralatan Mikrobiologi

3. Pereaksi Serologi

4. Perlengkapan dan Pereaksi Laboratorium Imunologi

5. Sistem Tes Imunologikal

6. Sistem Tes Imunologikal Antigen Tumor

PRINSIP PEMERIKSAAN METODE ELISA, PCR, DAN ELEKTROFORESE

Prinsip pemeriksaan imunologis

- Umumnya berdasarkan pada interaksi antigen (Ag) dan antibody (Ab)

- Interaksi Ag dan Ab terbagi atas:

Tingkat primer

Merupakan awal reaksi ikatan molekuler antara Ag dan Ab

Reaksi tidak terlihat dengan mata telanjang (biasa)

Perlu indikator: radioisotope (RIA), enzim (ELISA), atau warna fluoresen

(immunoflouresensi)

Indikator dilengketkan ke Ag atau Ab

Nama metode pemeriksaan, untuk menentukan interaksi anatara Ag dan Ab

disesuaikan dengan nama indicator.

Ilmu yang mempelajari reaksi Ag dan Ab serologi

Tingkat sekunder

Presipitasi

Aglutinasi

Tingkat tertier

Interaksi antara Ag dan Ab terjadi dalam tubuh manusia/invivo

Page 37: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

35 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

A. TEKNIK ELISA

Untuk menentukan kadar Ag atau Ab

Indikator berupa enzim dilengketkan pada Ag atau Ab

Ada beberapa metode

Prinsip metode elisa:

Bila kita mau mendeteksi Ag:

Ag (serum) + AbE Ag – Ab

E komplek cuci

Inkubasi dengan substrat kromogenik (semula tak berwarna) berwarna

bila dihidrolisis oleh enzim intensitas warna yang terjadi diukur dengan

fotometer/spektrofotometer kadar antigen

Hidrolisis oleh enzim berlangsung dalam waktu tertentu.

Reaksi berhenti bila ditambahkan asam atau basa kuat

Reaksi harus berlangsung dalam keadaan optimal dimana kadar reaktan,

temperature dan masa inkubasi yang telah ditentukan secara eksperimental

setiap reagen dari fabric berbeda prosedur berbeda

Metode ELISA

Metode kompotitif

Umumnya untuk menentukan Ag

Ab spesifik (dilekatkan pada partikel/sumur) dicampur bersama Ag*

Tambahkan serum (ag) yang akan bersaing dengan Ag* untuk mengikat ab

diatas kompleks Ag* - Ab – Ag

Non kompotitif (langsung)

Menentukan Ab atau Ag

Indirek atau sandwich

Menentukan Ab dan Ag

Ag-Ab-AntiAb* antibody yang dicari

Abs-Ag-Ab* Ag yang dicari

Page 38: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

36 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

B. ELEKTROFORESE

Merupakan teknik pemeriksaan yang berguna untuk pemisahan dan mengukur

kadar makromolekul (protein)

Komponen elektroforese:

Dapar/buffer

Media pendukung (gel agarosa, selulosa asetat)

Power supply unit

Pewarna protein

Densitometer

Prinsip dasar:

Tergantung pada:

a. Muatan partikel

Partikel bermuatan dalam media pendukungnya, bila terpapar dengan medan

listrik, akan bergerak ke arah elektroda yang berlawanan.

b. Kecepatan migrasi

Tergantung pada:

1. Kekuatan medan listrik

2. Ukuran molekul

3. Media pendukung

4. Viscositas media

5. Kekuatan medan listrik

6. Endoosmosis

7. Kadar ion

8. Suhu

C. POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Metode cepat dan sederhana untuk mengkopi dan memperbanayak urutan DNA

spesifik yang diinginkan dan divisualisasikan sebagai pita pada agarose gel

Secara mendasar sebenarnya PCr mengulangi siklus

Page 39: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

37 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Denaturasi

Hibridasi dari DNA yang diinginkan dengan bantuan DNA primer

Extensi region DNA tsb oleh enzim DNA polymerase

Prinsip PCR

1. Ekstraksi DNA

2. Alat PCR

a. Target DNA

b. Persiapan larutan reaksi PCR ( d NTP, buffer primer, primer DNA, dan Taq

DNA polymerase)

c. Denaturasi DNA

Initial denaturasion : 5 menit, t=94 C

Denaturation : I meit 94 C

Primer annealing : 1 menit 50 C

Copying of DNA by DNA polymerase

Final elongation 10 menit 72 C

Program alat PCR bisa dilakukan 25-30 siklus

Sumber : Dr. Ozan Sanuddin, SpPK (K) – FK USU/UISU Medan

Page 40: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

38 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN

Histocompatibility antigen adalah antigen yang terdapat pada sel/jaringan yang berperan pada

reaksi penolakan terhadap organ transplant.

Major histocompatibility antigen adalah histocompatibility antigen yang memberikan respon

imun sangat kuat dan berperan penting pada peristiwa penolakan organ transplant.

Major Histocompatibility Complex (MHC)

Merupakan sekelompok atau kompleks gen pada satu kromosom yang memberi kode pada

MHC antigen.

Reseptor ditemukan di semua sel kecuali RBCs

Juga dikenal sebagai Human Leukocyte Antigen (HLA)

Berperan dalam pengenalan diri oleh system imun dan dalam penolakan terhadap jaringan

asing

Gen untuk MHC terletak pada kromosom 6, bergerombol dalam kompleks multigen kelas I,

II, dan III.

Page 41: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

39 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Fungsi MHC

- Class I – menandai karakteristik unik yang tampak pada suatu molekul dan mengatur

reaksi imun.

Dibutuhkan oleh limfosit T.

- Class II – reseptor yang mengenali dan bereaksi terhadap antigen asing. Terletak

terutama dalam makrofag dan sel B.

Berperan dalam pembentukan antigen untuk sel T.

- Class III – mensekresi komponen komplemen, C2 dan C4.

Page 42: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

40 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Pembagian MHC

- Molekul MHC kelas I dan kelas II berperan pada pengenalan imun yaitu presentasi

fragmen antigen kepada sel T

- Berdasarkan rumus bangunnya, MHC dapat dibagi menjadi 3 golongan:

1. Molekul MHC kelas I

Terdiri dari: kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP

2. Molekul MHC kleas II

Terdiri dari : kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP

3. Molekul MHC kelas III

Tidak mempunyai peranan pada respon imun yang menentukan bertahannya

suatu organ transplant.

Human Leucocyte Antigen = HLA adalah MHC antigen pada manusia.

Antigen permukaan tersebut pertama kali digambarkan pada leukosit.

Pada penderita yang telah mendapat transfusi darah berungkali ditemukan Ab yang dapat

menggumpalkan lekosit leucocyte antigen

Kompleks HLA

- HLA-A

- HLA-B

- HLA-C

Page 43: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

41 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

- HLA-D (dipecah menjadi HLA-DR, HLA-DQ, dan terakhir ditemukan HLA-DP)

- Setiap lokus polimorf dan masih terdiri atas beberapa haplotype

- Setiap haplotype menentukan pembentukan molekul permukaan sel ciri Ag

tersebut.

Dr. Tetty Aman Nasution, MMedSc – Departemen Mikrobiologi – FK USU

Page 44: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

42 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

IMUNOPARASITOLOGI

Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat parasitnya, ternyata juga

dipengaruhi oleh faktor – faktor kekebalan hospes. Sehingga di suatu daerah endemik akan dilihat

perbedaan kerentanan ataupun perbedaan resistensi terhadap infeksi parasit antar individu-individu

yang tinggal di daerah tersebut . Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua

bagian :

1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity

2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity

KEKEBALAN BAWAAN /INNATE IMMUNITY

Kekebalan bawaan merupakan kekebalan yang diperoleh sebelum seseorang

terpapar parasit, termasuk didalamnya faktor genetik maupun faktor non genetik.

Kekebalan bawaan adalah kapasitas seorang manusia normal untuk tetap sehat

terhadap serangan-serangan berbagai macam parasit dan racunnya. Sebagian besar

kekebalan adalah suatu bawaan genetik seluruh spesies terhadap suatu makhluk parasit

tertentu. Kadang-kadang resistensi ini absolut, sehingga semua individu resisten, misalnya

manusia dan kera terhadap T.brucei. Kadang-kadang hanya relatif, sehingga diantara

bangsa-bangsa atau individu terdapat kekebalan yang berbeda, misalnya bangsa Negro

lebih resisten terhadap infeksi dengan P.vivax dan cacing tambang daripada bangsa kulit

putih. Kekebalan bawaan ini sangat penting karena kekebalan bawaan adalah dasar

daripada kekebalan yang didapat.

Kekebalan bawaan = Innate genetik

non genetik

I. Faktor genetik

A. Eritrosit

Kelainan pada membran eritrosit

1.Antigen Duffy (Fy b) → P.vivax

2.Glikoferon A → P.falciparum

Page 45: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

43 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

3.Ovalositosis→ P.vivax , P.falciparum,P.malariae

Kelainan dalam eritrosit

1. Defisiensi G6PD

2. Haemoglobinopatie :

- Hb S (Sickle cell)

- Talasemia (Hb F)

B. Sel makrofag dan Limfosit

- Sel makrofag tempat hidup

T.gondii

T.cruzi

L.donovani

- Limfosit berperan pada respon imun

II. Faktor non genetik

1. Hormon misal ♀ hamil → hormon

2. Sistem gastrointestinal :parasit yg hidup di gastrointestinal

3. Faktor pd kulit : rambut, bulu kelenjar kulit

KEKEBALAN DIDAPAT = NATURAL AQUIRED IMUNTY

Ini didapat setelah seseorang kena infeksi parasit vaksin

A. Protozoa : malaria , Toxoplasmosis ,giardiasis

B. Cacing : Schistosomiasis , Filariasis

Mekanisme : Sesudah terjadi infeksi → hospes membentuk reaksi = respons imunologi,

respons ini berdasarkan atas 2 kejadian :

Respon imun humoral

Bila infeksi parasit terjadi dalam sirkulasi aliran darah → menginvasi aliran darah

misal Malaria, Trypanosoma; disebut respon imun humoral.

Respon imun humoral menggunakan antibodi sebagai efektornya. Pada infeksi

parasit sebagian besar memperlihatkan respon humoral yg tinggi. Dalam mengeliminasi

parasit ada beberapa cara yang dapat dilakukan antibody, yaitu :

Page 46: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

44 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

1. Antibodi bekerja sendiri

2. Antibodi dibantu oleh sel-sel lain (eosinofil,makrofag,netrofil,trombosit)

3. Antibodi dibantu oleh komplemen (invitro)

Pada respon imun humoral akan terbentuk zat anti yang khas terhadap parasit

yang masuk dan hasil metabolismenya, sehingga parasiticide jadi meninggi dan aktivitas

sel fagosit meninggi.

Pada infeksi cacing ditandai dengan terjadinya eosinofilia dan produksi antibodi

IgE yang amat tinggi dari tubuh.

Respon imun seluler

Sistem kekebalan selular ini dilakukan oleh sel limfosit T yang hipersensitif

terhadap parasit dan hasil metabolismenya. Pada respon imun selular, parasit tumbuh di

dalam jaringan misalnya leishmania kulit.

Respon imun selular :

a. Cytotoxic T Lymphocyte = CTL

Contoh :

pada infeksi plasmodium di hepar, dibantu oleh IFN ∂ (interferon ∂)

pada infeksi Toxoplasma gondii, disini sel limfosit T dibantu oleh IFN ∂

b. Pada infeksi Plasmodium : Limfokin

Limfosit T menghasilkan limfokin dengan bantuan antibodi IFN ∂

c. Sel Natural Killed (Sel NK)

DIAGNOSIS IMUNOLOGI PADA PENYAKIT PARASIT

Infeksi dengan semua spesies parasit menimbulkan berbagai macam respons imunologi

dalam hospes, di antaranya pembentukan zat anti khas terhadap parasit dan hasil metabolismenya.

Dalam parasitologi kedokteran, respons imunologi ini dapat dipakai sebagai suatu cara

untuk membantu diagnosis. Zat anti yang spesifik dalam serum dapat diperiksa dengan tes serologi

dengan antigen yang diperoleh dari bahan parasit yang spesiesnya sama.

Kepekaan pasien dapat diperiksa dengan antigen parasit yang spesiesnya sama, yang

disuntik intrakutan (tes kulit).

Page 47: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

45 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Diagnosis imunologi diperlukan untuk penyakit yang parasitnya sukar atau tidak mungkin

ditemukan, misalnya dalam stadium permulaan penyakit tertentu, bila diperlukan diagnosis dini

untuk mencegah meluasnya penyakit .

Untuk penyelidikan epidemiologi reaksi imunologi dapat dipakai, misalnya flourescent

antibody test untuk malaria, bentonite test untuk bilharziasis, tes kulit untuk filariasis dan

hemagglutination test untuk amoebiasis.

Berikut ini disebut beberapa tes serologi yang memberi hasil baik :

1. Sindroma Loeffler,VLM :

hemagglutinationtest

V.L.M.

bentonite flocculation test

7. Toxoplasmosis :

dye test

hemagglutination test

florescent antibody test

2. Trichinosis :

bentonite flocculation test

flourescent antibody test

latex flocculation test

test kulit terlambat/segera

8. Cysticercercosis :

reaksi ikat komplemen

hemagglutination test

3. Filariasis :

hemagglutination test

Tropical eosinophilia

bentonite flocculation test

test kulit

9. Hydatidosis hati :

hemagglutination test

bentonite flocculation test

latex flocculation test

test kulit

4. Bilharziasis :

reaksi ikatan komplemen

bentonite flocculation test

tes kulit

10. Kala-Azar :

reaksi ikat komplemen

aldehyde test

aqua-dest test

test kulit

5. Amoebiasis :

double diffusion test

hemagglutination test

11. Chagas :

reaksi ikat komplemen

hemagglutination test

Page 48: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

46 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

6. Malaria :

flourescent antibody test

hemagglutination test

12.Paragonimiasis :

reaksi ikat komplemen

reaksi kulit

Page 49: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

47 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

IMUNOFARMAKOLOGI

A. IMUNOSUPRESAN

Imunosupresan adalah obat kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons

imun, indikasinya untuk transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis

rhesus pada neonatal.

Prinsip umum terapi imunosupresan:

- Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibanding respon imun

sekunder.

- Obat imunosupresan memberikan efek berbeda terhadap antigen yang berbeda.

- Penghambatan respon imun lebih berhasil jika obat diberikan sebelum paparan antigen.

1. Kortikosteroid

Sebagai obat tunggal/kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah

reaksi penolakan transplantasi. Obat ini dapat mengurangi reaksi alergi pada

pemberian antibodi monoklonal atau antibodi antilimfosit. Glukokortikoid merupakan

agen hormonal pertama yang diketahui memiliki sifat limfolitik. Glukokortikoid

dianggap mengganggu siklus sel limfoid yang teraktivasi. Obat jenis ini cukup bersifat

sitotoksik pada beberapa subset sel T, tapi efek imunologiknya mengkin disebabkan

oleh kemampuan memodifikasi fungsi seluler ketimbang sitotoksiknya langsung.

Meskipun imunitas seluler lebih terpengaruh daripada imunitas humoral, respon

antibodi primer dapat menghilang, dan dengan penggunaan terus-menerus, respon

antibodi sebelumnya sudah baik juga ikut menurun. Obat kortikosteroid yang paling

sering digunakan adalah prednison dan prednisolone.

Mekanisme Kerja : Obat kortikosteroid menurunkan jumlah limfosit secara cepat

terutama jika diberikan dalam dosis besar. Efek berlangsung beberapa jam, diduga

akibat redistribusi limfosit. Setelah 24 jam, jumlah limfosit sirkulasi kembali ke jumlah

sebelumnya. Studi terbaru : Saat masuk sel, terikat pada reseptor glukokortikoid,

kompleka obat-reseptor ini menembus nukleus & mengatur translasi DNA, ekspresi

Page 50: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

48 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

gen yang menyandi berbagai sitokin (IL1,IL2,IL6, IFN-γ,TNF-α). Terdapat bukti bahwa

gen sitokin tersebut memiliki glucocorticoid respon element yang bila berikatan

dengan kortikosteroid akan menghambat transkripsi IL-2.

Penggunaan : Bersama inumosupresan lain dan dalam dosis besar digunakan untuk

mencegah penolakan transplantasi. Selain itu juga untuk mengurangi reaksi alergi, dan

penyakit autoimun. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan meningkatnya

risiko infeksi, ulkus lambung, hipergllikemia, dan osteoporosis. Efek samping lain juga

bisa sindrom Cushing’s, pendarahan GIT, retensi cairan, dan supresi adrenal.

2. Agen Sitotoksik

Sebagian besar untuk obat kanker. Obat ini menghambat perkembangan sel T

dan sel B.

a. Azatioprin

Adalah calon obat merkaptopurin dan seperti merkaptopurin, berfungsi sebagai

antimetaboit. Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin yang

menghambat sistesis de novo purin.

Mekanisme kerja : Azatioprin dan merkaptopurin menghasilkan imunosupresi

dengan mengganggu metabolisme asam nukleat purin pada tahap yang

diperlukan dalam proliferasi sel lmfosit setelah stimulasi antegenik. (Katzung)

Farmakodinamik : Diserap dengan baik dari saluran cerna dan terutama

dimetabolisasi menjadi merkaptopurin. Xantin oksidase memecah kebanyakan

materi azatioprin yang aktif menjadi asam-6-tiourat sebelum diekskresikan

melalui ginjal. Setelah pemberian azaptoprin, sejumlah kecil obat tidak diubah

dan metakaptopurin juga dieksresikan oleh ginjal, dan toksisitasnya dapat

mengikat dua kali lipat pasien anefrik atau anurik.

Interaksi : Penggunaan bersama allopurinol membuat membuat hambatan

xantin oksidase yang merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-

merkaptopurin.

Penggunaan : Untuk transplantasi, artritis rematoid, LES, IBD, mestania grabis,

sclerosis multiple, lupus nefritis, glomerulonephritis akut, penyakit Chorn,

Page 51: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

49 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

kadang juga untuk ITP dan hemolysis autoimun. Toksisitas yang mungkin muncul

antara lain panas, mialgia, artralgia, malaise, nausea, muntah, diare, risiko infeksi

dan keganasan. Tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan IV 100 ml/vial.

b. Mikofenolat Mofetil

Adalah derivat semisintetik asam mikofenolat dari jamur P.glaucum.As.

Mikofenolat adalah inhibitor kompetitif, penghambat kuat inosin monofasfat

dehidrogenase/IMP (enzim penting pada sintesis purin de novo) sehingga aktivasi

sel B & T terhambat. Obat ini adalah inhibitor inosin monofosfat dihidrogenase

yang berperan dalam sintesis guanosin dan tidak menghambat enzim yang

berperan dalam sistesis DNA. Obat ini dapat menghambat migrasi sel lekosit ke

tempat inflamasi.

Farmakodinamik : Mikofenolat mofeil diabsorbsi dengan cepat setelah

pemberian oral dan dihidrolisis menjadi asam mikofenolat yang aktif. Absorbsi

oral baik, 95% terikat albumin plasma. 90% diekskresikan dalam bentuk

mekofenolat-glukoronat.

Interaksi : dengan antasid (Mg,Al) dan cholestyramine membuat absorbsi

menurun.

Penggunaan : Transplantasi organ, penyakit graft vs host, lupus nefritis, kelainan

kulit, artritis rematoid. Efek samping yang mungkin muncul mual, muntah, diare,

sakit perut. Depresi sumsum tulang jarang. Tersedia dalam bentuk kapsul 250mg,

tablet 500 mg, dan serbuk 500 mg untuk injeksi.

c. Siklofosfamid

Adalah agen alkilasi. Obat ini manghancurkan sel limfoid yang

berproliferasi. Sel B dan sel T sama-sama dihambat oleh siklofosfamid, tapi

toksisitasnya lebih besar pada sel B. Sehingga obat ini lebih nyata pada

penekanan imunitas humoral.

Penggunaan : Dosis besar untuk antikanker, dosis lebih sedikit untuk penyakit

autoimun seperti SLE, ITP, granulomatosis Wegener, sindrom nefritik, artritis

Page 52: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

50 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

rematoid, lupus eritematosus sistemik, pasien dengan antibody faktor XIII

didapat dan sindrom perdarahan, anemia hemolitik autoimun, dan aplasia

eritrosit terinduksi antibodi. Dosis besar mengandung risiko besar terjadinya

pansitopenia dan sistisis hemoragika. Efek samping yang bisa terjadi adalah mual,

muntah, toksistas jantung, dan gangguan elektrolit. Tersedia dalam bentuk tablet

25 mg, dan 50 mg, IV 100 mg/vial 20 cc. vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500

mg.

d. Metotreksat

Obat ini bekerja menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga

sintesis purin dan timidilat terhambat.Sintesis DNA terhambat, sehingga

hambatan replikasi sel T dan juga sel B terhambat pula. Obat ini spesifik pada

fase S siklus sel.

Penggunaan : Obat antikanker, obat penolakan transplantasi, juga untuk

penyakit autoimun. Pemberian jangka panjang dosis rendah untuk proriasis,

menyebabkan sirosis dan fibrosis hati pada 30-40% penderita. Toksistas

meningkat karena bahan hepatotoksik, seperti alcohol. Sediaan ada dalam tablet

2,5 mg.

e. Leflunomid

Adalah calon obat penghambat sintesis pirimidin, bukan purin. Aktif

secara oral dan metabolit aktifnya memiliki waktu paruh panjang, bisa sampai

beberapa minggu. Untuk artritis rematoid, selain itu dilaporkan juga leflunomid

memiliki aktivitas antivirus. Toksisitas berupa peningkatan enzim hati disertai

kerusakan hati, gangguan ginjal, dan efek teratogenik. Efek kardiovaskuler juga

dilaporkan meskipun rendah.

f. Hidroksiklorokuin

Adalah agen antimalarial dengan sifat imunosupresan, dapat menekan

pemrosesan antigen intrasel dan penempatan peptide kemolekul MHC kelas II

Page 53: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

51 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

dengan meningkatkan pH kompartemen lisosomal dan endosomal sehingga

aktivitas sel T menurun. Untuk obat artritis rematoid dan reaksi graf-pejamu

pascatransplantasi sel puncta alogenik.

g. Agen Sitostoksik lain

Agen sitostoksik lain berupa vinkristin dan citrabin, dan pentostatin.

Vinkristin cukup bermanfaat untuk purpura trompositopenik ideopatik yang

refrakter terhadap prednison. Alkaloid vinca terkait yaitu vinblastine mencegah

degranulasi sel mast in vitro. Pentostasin adalah penghambat adenosine

deaminase yang terutama digunakan sebagai agen antineoplastic pada

keganasan limfoid, dan menghasilkan limfositopeni yang nyata.

3. Penghambat Sel T / Penghambat Kalsineurin

Siklosporin dan takrolimus berbeda struktur kimia yang beda, namun bekerja

dengan mekanisme yang sama yaitu menghambat kalsineurin. Siklosporin berikatan

dengan siklofilin, tacrolimus berikatan dengan FK506.Ikatan tersebut menghambat

fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah Enzim fosfatase dependen kalsium, berperan

penting dlm defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol yaitu NFATc (nuclear

factor activated T cell). Jika NFAtc aktif akan mengalami translokasi masuk dalam

nucleus, lalu gen menjadi aktif, lalu sintesis sitokin terutama IL2& protooncogen

seperti c-myc,H-Ras,dan reseptor sitokin tertentu seperti reseptor IL2. Jikakalsineurin

terhambat transkripsi gen juga terhambat.

Selain siklosporin dan takrolimus, ada juga penghambat kalsineurin lain, yaitu

sirolimus atau rapisimin yang berasal dari Steptomyces hygroscopicus .Sama seperti

siklosporin dan takrolimus, sirolimus juga menghambat kalsineurin, tapi tidak

menyekat produksi interleukin oleh sel T teraktivasi, malah menyekat respons sel T

terhadap sitokin.

4. Antibodi Imunosupresif

a. Antibodi Antilimfosit dan Antitimosit

Page 54: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

52 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Globulin antilimfosit (ALG) dan globulin anti-timosit (ATG) sekarang

digunakan secara klinis banyak pusat kesehatan.Antiserum ini diperoleh melalui

imunisasi hewan besar dengan sel limfosit manusia.

Antibodi antilimfosit bekerja terutama pada limfosit perifer yang kecil

dan berusia lama yang terdapat dalam sirkulasi darah dan limfe. Limfosit

dependent timus bisa turun habis karena antibodi ini. ALG dan ATG berfungsi

menekan beberapa kompartemen utama sistem imun yaitu sel T dan berperan

penting dalam tatalaksana transplantasi organ solid dan sumsum tulang. Efek

samping ALG sebagian besar terkait dengan penyuntikan protein asing yang

didapat dari serum heterologous.Sering kali timbul nyeri dan eritema setempat

pada lokasi penyuntikan.

b. Muromonab-CD3

Merupakan antibodi spesifik terhadap antigen CD3 di permukaan sel

limfosit T. Muromonab-CD3 bekerja langsung terhadap glycoprotein CD3 antigen

dari sel T manusia.

Mekanisme : Berikatan dengan protein CD3, yaitu komponen reseptor sel T,

maka akan terjadi gangguan sel T karena akses antigen terhadap sel permukaan

diblok . Efek lain yang terlihat adalah penurunan jumlah sel T yang cepat. Jumlah

sel T kembali normal setelah 48 jam penghentian obat namun tidak memiliki

molekul CD3 dan antigen recognition site sehingga dapat mencegah reaksi

penolakan transplantasi.

Penggunaan : Pada transplantasi ginjal, hati dan jantung. Juga untuk mengurangi

jumlah sel T sebelum transplantasi sumsum tulang. Dosisnya 5mg/hari, IV,

tunggal, selama 10-14 hari. Efek samping yang mungkin muncul adalah cytokine

release syndrome. Pusing, kejang, ensofalopati, edema serebral, meningitis

apeptik, sakit kepala, dan efek rebound berupa penolakan transplantasi setelah

penghentian obat ini.

c. Imun Globulin Rho (D) Dosis Mikro

Page 55: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

53 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Merupakan antibodi spesifik terhadap Rh di permukaan eritrosit. Waktu

paruhnya 21-21 hari dan diberikan secara IM. Digunakan untuk ibu Rh negatif

untuk mencagah sensitilasi terhadap antigen Rh dari janin. Obat ini harus

diberikan kepada ibu dalam waktu 72 jam saat terpapar darah bayi dan dapat

diberikan mulai usia kehamilan 28 minggu.

d. Imun Globulin Intravena (IGIV)

IGIV dapat menurunkan sel T helper, peningkatan sel T supresor,

penurunan produksi immunoglobulin spontan, blockade reseptor Fc, penigkatan

katabolisme antibodi, dan interaksi idiopatik-anti-idiopatik dengan antibodi

patologik. Digunakan untuk terapi lupus eritematosus sistemik dan purpura

trombositopenik idiopatik. Efektif untuk HIV, gangguan autoimun, dan defisiensi

immunoglobulin.

e. Imunoglobulin Hiperimun

Sediaan immunoglobulin hiperimun berupa IGIV yang dibuat dari

kumpulan donor terpilih dari manusia dan binatang dengan titer antibodi yang

tinggi terhadap agen target tertentu seperti virus atau toksin. Untuk terapi

respiratory syncytial virus, sitomegalovirus, varicella zoaster, virus herpes 3, virus

hepatitis B, tetanus, dan overdosis digoksin.Pemberianya secara IV.

B. IMUNOSTIMULAN

Adalah obat yang ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi imunosupresi.

Kelompok obat ini mempengaruhi respon imunitas humoral maupun seluler. Ada yang

didapat secara biologis maupun secara sintetik. Imunostimulan digunakan untuk penderita

AIDS, infeksi kronik, dan keganasan.

Page 56: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

54 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

a. Biologis

1. Bahan asal bakteri

Bacillus Calmette Guerin(BCG)

BCG dan kompenen aktifnya, dipeptida muramil, merupakan produk

bakteri yang memiliki efek imunostimulan. Mengandung bakteri

Mycobacterium bovis yang dilemahkan dan berefek pada pengaktifan sel T,

perbaikan produksi limfokin dan mengaktifkan sel NK.

Penggunaan : Digunakan sebagai profilaksis pada tumor rekuten seperti

karsinoma kandung kencing yang merupakan tumor tersering

keenam.Tidak digunakan bila ada defisiensi imun atau TBC.Sediaannya

yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killed lyophilized. Pemberian

berupa intradermal, IV, intralesi, intravesica, atau secara oral atau dengan

goresan.Efek samping berupa reksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu,

dan penyakit kompleks imun.

Korinebaktetium parvum

Kuman K. parvum mati yang digunakan sebagai imunostimulan memiliki

sifat mirip BCG. Efek samping yang bisa timbul adalah muntah, pusing, dan

panas.

Klebsiela dan brusela

Bordetela pertussis

Penyebab batuk rejan, memproduksi LPF yang merupakan mitogen untuk

sel T dan imunostimulan.

Endotoksin

Adalah komponen dinding bakteri gram negatif yang dapat merangsang

proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan makrofag.

2. Bahan asal Jamur

Lentinan, krestin, glukan, dan schizophyllan adalah bahan yang dihasilkan oleh

jamur yang dapat meningkatkan fungsi makrofag. Krestin dan lentinan digunakan

sebagai obat kanker sebagai imunostimulan nonspesifik.

Page 57: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

55 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

3. Sitokin / Limfokin / Interleukin

Diproduksi limfosit yang diaktifkan dan memiliki peran penting dalam respons

imun seluler. Sitokin yang sering digunakan adalah IL-2, IFN, colony stimulating

factor (CFS).

IL-2

Disebut juga T cell growth factor karena dapat merangsang produksi T

helper dan sel T siktotoksik.

Mekanisme : Berikatan dengan reseptor di permukaan sel yang berfungsi

mengaktifkan proliferasi dan deferensiasi sel B, makrofag, dan

meningkatkan toksisitas sel NK.

Penggunaan : Digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK, dan IM. Efek

sanmpingnya hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskuler. Edema paru,

kreatinin pada ginjal, supresi sumsum tulang, somnolen, delirium, dan

peradangnan kulit dapat terjadi.

Interferon (IFN)

Merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok, alfa, beta, dan gamma.

IFN-α dan IFN-β adalah family IFN tipe I yang bersifat tahan asam dan

bekerja pada reseptor yang sama. IFN-ϒ merupakan IFN tipe II yang tak

tahan asam dan bekerja pada reseptor yang beda. IFN I biasanya diinduksi

visrus IFN-α diproduksi oleh leukosit, IFN- β oleh sel fibroblas dan sel epitel,

sedangkan IFN-ϒ diproduksi oleh limfosit T.

Mekanisme : Semua IFN dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA,

sel normal, sel ganas, serta memodulasi sistem imun. Lebih jauhnya, IFN

menimbulkan efek bervariasi tergantung jenis IFN dan sel targetnya. IFN-ϒ

meningkatkan respons imun yang meliputi presentasi antigen, dan aktivasi

makrofag, sel NK, dan limfosit T sitostatik.Dalam upaya menghambat

proliferasi sel, IFN-α dan IFN-β lebih potent daripada IFN-ϒ. Selain itu,

ketiga IFN dapat merangsang ekspresi MHC I, namun hanya IFN-ϒ yang bisa

Page 58: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

56 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

merangsang ekspresi MHC II. Dalam sel glia, IFN-ϒ dapat menghambat efek

ini dan dapat menekan penyajian antigen oleh sel dalam sistem saraf.

Penggunaan : Untuk kanker seperti karsinoma sel ginjal, melanoma,

leukemia mielositik kronik, hairy cell leukemia, dan Kaposi’s sarcoma.IFN-α

kombinasi ribavin digunakan untuk hepatitis C. Efek sampingnya meggigil,

lesu, demam, myalgia, mielosupresi, chepalgia, dan depresi.

Colony Stimulating Factors (CSF)

Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) seperti filgrastim dan

levograstim dapat mencegah neutropenia akibat kemoterapi kanker.

Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) untuk

penyelamatan kegagalan transplantasi sumsum tulang dan untuk

mempercepat pemulihannya.

4. Hormon Timus

Sel epitel timus memproduksi beberapa hormon untuk pematangan sel T dan

modulasi funsgi sel T yang telah matang. Hormon-hormon tersebut antara lain

timosin alfa, timostimulin, timopoetin, dan faktor humoral timus. Semua

hormon ini dapat memperbaiki sistem imun (imunostimulasi nonspesifik) dengan

cara menaikkan jumlah, fungsi, dan resptor sel T dan beberapa aspek imunitas

seluler. Pada usia lanjut, kanker, autoimun, dan pada imunosupresi akibat obat.

5. Lymphokine-Activated Killer cells

LAK cells adalah sel T sitotoksik syngeneic yang dihasilkan in vitro dengan

memanbahkan sitokin seperti IL-s ke sel orang lalu diinfuskan lagi. Untuk

imunoterapi keganasan.

b. Sintetis

1. Levamisol

Derivat tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan proliferasi dan

sitotoksistas sel T serta mengembalikan energi.

Page 59: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

57 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Mekanisme : Levamisol dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan

faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit, granulosit, dan makrofag.

Penggunaan : Untuk penyakit Hodgkin, artritis rematoid, penyakit virus, dan

LES.Efek samping berupa muntah, muat, urtikaria, dan agranulositosis.

2. Isoprinosin

Memiliki efek imunomodulator pada berbagai studi praklinik dan klinik,

Meningkatkan fungsi sel NK dan sungsi sel T dan monosit. Diduga juga bisa

membantu produksi IL-2 yang berperan untuk diferensiasi limfosit, dan makrofag.

Dosis biasanya 50mg/kg BB yang dapat dinaikkan 1-4g/hari. Obat ini tidak aktif

pada tahap awal HIV tapi dapat mengurangi infeksi pada HIV tahap lanjut. Efek

sampingnya peningkatan kadar asam urat plasma.

3. Muramil Dipeptida

MDP adalah komponen aktif terkecil dinding mikobakteri. Telah dapat disintetis.

Pada pemberian oral meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Efeknya langsung,

tidak butuh limfokin atau pengaruh lain. Bersama minyak dan antigen, MDP dapat

meningkatkan respon seluler maupun humoral.

C. IMUNORESTORASI

Adalah cara untuk mengambalikan fungsi imun yang terganggu dengan memberikan

komponen imun seperti immunoglobulin dalam bentuk ISG, HSG, plasma, plasmaferis,

leukoferis, transplantasi sumsum, hati, dan timus.

1. ISG dan HSG

Imunoglonulin memiliki efek imunorestorasi pada penderita defisiensi imun

humoral, baik primer, maupun sekunder.Sekunder bila tubuh kehilangan Ig dalam

jumlah besar.ISG diberikan secara IV.Efek samping mual, muntah, menggigil, pusing,

dan sakit otot.Reaksi anafilaksis timbul jika kompleks imun dari anti IgA yang dibentuk

resipien yang defisien IgA terhadap IgA dari preparat ISG.

Page 60: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

58 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

2. Plasma

Infus plasma segar dapat memperbaiki sistem imun. Semua jenis imuniglobulin

dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa rasa sakit. Efek sampingnya berupa

penularan virus dan reaksi anafilaksis.

3. Plasmaferis

Dengan cara mengambil darah, plasma dipisahkan dan fraksi yang

mengandung banyak eritrosit dikembalikan. Sebaliknya pada exchange plasma

dilakukan dengan mengambil darah, plasma dipisahkan dan mengembalikan fraksi

kaya eritrosit dan plasma donor. Diduga plasma yang didonorkan mengandung banyak

antibodi yang dapat merusak jaringan pada mieastnaia gravis, sindrom Goodpasture,

dan anemiahemolitik autoimun.

4. Leukoferis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam upaya

terapi pada artritis rematoid.

D. IMUNONUTRIEN

Nutrisi buruk yang lama menghilangkan sel lemak yang melepas leptin. Karena

defisiensi leptin ini, dapat terjadi defisiensi imun ringan. Anak dengan malnutrisi protein atau

kalori menunjukkan atrofi timus dan jaringan limfosit sekunder, depresi respons sel T

terhadap mitogen dan sel alogenik, pengurangna sekresi limfokin, dan gangguan respon

terhadap uji kulit hipersensitivitas tipe lamban. Nutrisi yan gdiperlukan dalam imun antara

lain dalam kelompok vitamin dan mineral.

1. Vitamin

- Vit A : Berperan dalam respons antibodi dan seluler, respons antiinflamasi Th2.

Suplementasi untuk menunkan IFN alfa dan gamma, meningkatkan sekresi IL4,

IL5 IL10 dan mengingkatkan antibodi terhadap vaksin. Defisiensi mengganggu

imunitas nonspesifik, kelebihan meneka fungsi sel T dan rentan pada pathogen.

- Vit B6 : Berperan dalam intake adekuat untuk mempertahankan respons Th1.

Suplementasi untuk mengembalikan respons imun.

Page 61: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

59 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

- Folat : Berperan dalam aktivitas sel NK. Suplementasi pada lansia untuk

memperbaiki fungsi imun secara umum. Dosis terlalu tinggi mengakibatkan

gangguan sitotoksisitas sel NK.

- Vit B12 : Peran dalam imunomodulator imunitas seluler. Defisiensi vit B12

menimbulkan perbandigan abnormal tinggi dari CD4+ dan CD8+, dan menekan

aktifitas sel NK. Injeksi B12 dapat mengembalikan gejala defisiensi.

- Vit C : Peran dalam antimicrobial dan aktivitas sel NK, proliferasi limfosit,

kometaksis, dan respons DTH. Defisiensi dapat mengganggu fungsi leukosit,

menurunkan aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit. Suplementasi untuk

memperbaiki gejala imunitas defesiensinya.

- Vit D : Peran dalam proliferasi dan diferensiasi sel, semua sel kecuali sel limfosit B

mengekspresikan reseptor vit D, meningkatkan imunitas nonspesifik. Defiseinsi

berhubungan dengan kerentanan infeksi.

- Vit E : adalah antioksidan terpenting yang larut lemak. Dapat berpengatuh pada

produksi faktor supresif imun yang menurun dan mengoptimalkan respons imun.

Defisiensi dapat mengganggu fungsi sel T dan DTH

2. Mineral

- Selenium : Esensial untuk respons imun optimal (spesifik dan nonspesifik).

Defisiensi menimbulkan virus bermutasi lebih virulen. Suplementasi pada lansia

berhubungan dengan defek proliferasi sel Nk dan aktivitas sisotoksik mencegah

kerentanan terhadap inflamasi dan keganasan

- Seng : Esensial untuk prolifersi sel, terutama selimun. Defiseinsi meningkatkan

stress oksidatif, keseimbngan respons Th1 menurun, tapi respos Th2 tidak

terganggu dan lebih rentan infeksi. Suplementasi untuk memperbaiki system

imun yang terganggu.

- Tembaga : Dalam enzim kunci pertahanan terhadap ROS dan mempertahanka

keseimbangan anti oksidan intraseluler.

- Besi : Esensial untuk diferensiasi, dan pertumbuhan sel. Komponen enzim yang

penting untuk sintesis DNA (fungsi imun). Terlibat dalam regulasi produksi dan

efek sitokin

Page 62: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

60 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

E. ANTI INFLAMASI NON STEROID (AINS)

Golongan obat ini menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat

menjadi PGG2 terhambat. Jika terjadi trauma pada sel, maka akan terjadi gangguan pada

membran sel. Seperti yang sudah diketahui bahwa membran sel tersusun dari fosfolipid

bilayer. Lalu, karena luka itu, maka enzim fosfolipase A memacu pelepasan asam arakinodat

dari fosfolipid. Asam arakinodat ini merupakan substrat yang sangat penting dalam

pembentukan eicosanoid, luekotrin, tromboksan A2, prostasiklin, dan prostaglandin.

Enzim sikooksigenase terdapat dalam dua isoform, yaiutu COX 1 dan COX2. Kedua

isoform ini dikode oleh gen yang beda. COX1 penting dalam penting dalam pemeliharaan

fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan

trombosit. Di mukosa lambung aktivasi COX1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat

sitoprotektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin,

endotoksin dan faktor pertumbuhan. Endotoksin atau IL2 meningkatkan sintesis PG selama

respons inflamasi.Siklooksigenase yang dicegah AINSmenunjukkan efek antiinflamasi dan

mencegah efek fisiologis atas pengaruh COX1. Efek antiinfalmasi dari AINS penting untuk

pengobatan inflamasi sendi akut dan kronis. Efek samping berupa tukak lambung, gagal

ginjal,dan gangguan tekanan darah.

REFERENSI :

Baratawidjaja KG, Rengganis I (eds). (2010). Imunologi dasar.Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 515-

556

Lake DF, Briggs AD, Akporiaye ET.(2010). Imunofarmakologi.Dalam : Katzung BG (Ed). Farmakologi

dasar dan terapi. Jakarta: EGC, pp: 939-966

Nafrialdi.(2009). Imunomodulator, imunosupresan, dan imunostimulan. Dalam: Gunawan SG

(Editor). Farmakologi dan terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 758-768

Page 63: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

61 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

TRANSPLANTASI ORGAN: IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL

Istilah:

Autograft: Dari Jaringan Sendiri

Isograft/ Syngeneic: Dari individu yang identik secara genetik (Misal ada kembar monozigot)

Allograft/ Allogeneic: Dari resipien spesies sama, non-identik secara genetik

Xenograft/ Xenogeneic: Dari resipien berspesies beda (Dilarang di Indonesia)

Dasar:

a. Histokompatibilitas

Bersifat antigenik sama, disebut histokompatibel. Tidak menginduksi respon imun dan

tidak menimbulkan penolakan. Sedangkan jika adanya induksi penolakan tandur karena

perbedaan antigen, disebut histoinkompatibel

b. Antigen MHC

Diantara lokus yang menentukan penerimaan tandur, yang terpenting adalah gen MHC.

Diekspresikan dalam sebuah kopi tunggal (Heterozigot/ hemizigot) atau dua kopi

(homozigot). Jadi individu dengan lokus MHC tertentu akan menghasilkan kedua molekul

tersebut pada permukaan sel yang sama.

c. Antigen Minor Histocompatible

Lebih lemah daripada MHC dan dijadikan sebagai sasaran pada penolakan dengan awitan

lambat. Contohnya: Golongan darah nonABO dan antigen yang berhubungan dengan

kromosom seks

d. Antigen histokompatibel non-MHC

Tidak banyak diketahui selain mereka disandi oleh sejumlah besar gen yang ada pada

kromosom (Termasuk Kromosom X dan Y). Pada prinsipnya, setiap fragmen peptida yang

dibawa ke permukaan sel dan dipresentasikan ke MHC-I atau MHC-II dapat berperan

sebagai antigen histokompatibel. Fragmen dapat berasal dari protein sitosolik atau dari

debris sel yang diakan atau dirusak fagosit.

Page 64: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

62 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Jaringan Khusus

Jaringan yang sedikit mengekspresikan MHC

Beberapa tandur bersifat alogeneik rendah, seperti hati. Hal tersebut disebabkan oleh karena hati

hanya sedikit mengekspresikan MHC

Sequested Antigen

Kornea dan lensa tidak memperoleh aliran limfe sehingga tidak terjadi proses pengenalan dan

penolakan. Contoh lain adalah testis dan selaput otak.

Golongan darah ABO dan sistem HLAmerupakan antigen transplantasi utama,sedang antibodi dan

CMI (cell mediatedimmunity) berperan pada penolakan imun. Kemungkinan terjadinya penolakan

dapat dikurangi dengan transplantasi di antara keluarga, typing jaringan dan imunosupresi.

Page 65: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

63 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Hukum Transplantasi:

Transplan akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang

sama. Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang allograft sering ditolak,

karena respon imun yang ditimbulkan limfosit dan produknya

Page 66: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

64 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Sel Passenger: Sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan transplan. Sel tersebut sangat

penting dalam mensensitisasi sel Th resipien terhadap antigen donor, karena sama-sama memiliki

MHC kelas II.

Cross Match: Dilakukan untuk menguji serum resipien terhadap preformed antibodi terhadap sel

donor. Komplemen biasanya ditambahkan untuk membantu lisis sel donor. Jika preformed antibodi

terhadap molekul MHC donor ada dalam serum resipien sel donor akan lisis (positif cross-match).

Jadi tidak cocok untuk resipien.

Tissue Typing: Identifikasi antigen MHC terutama MHC-I (HLA-A; HLA-B; HLA-C). MHC-II

Mengaktifkan sel Th dan antigen terpenting dalam penolakan tandur. Diekspresikan terbatas seperti

APC, sel B, dan sel T yang diaktifkan.

Reaksi Penolakan: Penolakan pertama ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal MHC

allogeneic dan imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan merangsang sel T sitotoksik yang juga

mengenal antigen MHC allogeneik dan membunuh transplan.

Penolakan kedua akan lebih cepat karena sudah terjadi sensitisasi oleh transplan pertama dan

adanya memori.

Reaksi Penolakan (Diadaptasi dari: Bratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Page 67: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

65 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Jenis Waktu Mekanisme Pencegahan

Hiperakut Beberapa Jam Antibodi yang ada

(anti-ABO dan/atau

anti-HLA)

Pemeriksaan cross-

match dan

kompatibilitas ABO

Akut Minggu – Bulan CMI, CD8+, CD4+ Matching HLA dari

donor dan resipien,

terapi anti penolakan

Kronis Bulan – Tahun CMI (CD8+, antibodi

terhadap antigen

jaringan)

Matching HLA

Graft vs Host Disease: Bila sel yang imunokompeten (sel T) asal donor (sumsum tulang) mengenal

danmemberikan respon imun terhadap jaringanresipien. Sel-sel yang diserang adalah semua sel

yang termasuk MHC kelas II.

Page 68: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

66 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Tanda respon: pembesaran kelenjar limfoid, hati, diare, kulit kemerahan, rambut rontok, berat

badan menurun, dan akhirnya meninggal.

Memperpanjang Allograft:

Antiinflamasi (prednison, prednisolon) menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah

pelepasan enzim lisozim yang merusak jaringan.

Antimetabolit azatioprin, merkaptopurin mencegah sintesis RNA, klorambusil dan siklofosfamida

mengalkilkan DNA dan mencegah metabolisme DNA

Imunosupresan steroid (mencegah migrasi neutrofil dan produksi IL-1, -6 dan -12). Bahan sitotoksik

azatioprin, metotreksat dan siklofosfamida dapat membunuh sel yang berproliferasi dan imunopilin

seperti siklosporin A, FK506 dan rapamisin mencegah produksi IL-2 dan atau respon terhadap IL-2.

(NB: Ini hanya ringkasan, lengkapnya bisa dibaca di Immunologi Dasar FKUI )

Medikolegal Transplantasi:

4 Prinsip Bioetika: Justice, Beneficience, Non-Maleficience, Autonomy.

Dokter terikat oleh: Etika – Hukum – Disiplin.

Medikolegal Transplantasi:

- Sebelum melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, seseorang

yangmemutuskan menjadi donor harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi

baikresiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih

lanjutsebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan.

- Bagi donor jenazah sebelum pengambilan organ dilakukan informed consent padajenazah

tersebut, jika diketahui identitasnya maka informed consent didapatkan darikeluarga atau

ahli warisnya. Jika tidak diketahui identitasnya, maka jenazah tersebutdianggap milik

negara sehingga dokter forensik dapat mengambil organ atau jaringantubuh untuk

kemudian diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh.

- Penegakan hukum tentang transplantasi di Indonesia masih sulit di tegakkan karena UUNo

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1981tentang

Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan

Tubuh Manusia tidak memuat batasan yang jelas.

Page 69: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

67 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

- Komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia mereupakan tindakan pidana yang

bersifat delik biasa sehingga penyidik berwenang melakukan penyidikan meskipun tanpa

laporan dari masyarakat.

Daftar Pustaka:

Baratawidjaja dan Rengganis. 2010. Immunologi Dasar Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Manggau, Marianti. 2010. Immunologi Transplantasi. (Disampaikan pada Kuliah Farmasi UNHAS)

Suprapti, S.R. Etika Kedokteran Indonesia.Transplantasi. Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001.

Kaldjian, L. Are Individuals Diagnosed With Brain Death Really Dead?.Available at:

http://www.JHASIM.com

Karthi,L.P.Aghnihotri,A.K.Corneal Transplant. Available at:

http://www.InternetJournalMedicine.org/transplantation

Plueckhahn,V,Cordner,S. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology.Human Tissue Transplantation

and The Law, 2nd Edition. Melbourne University Press. Melbourne.1991.

Baxter, C. R. Heck,E.L.Petty, C.S. Transplantation Programs and Medicolegal Investigation.Psychiatry

and Forensic Medicine.2001.

Eser,L,E. Murat, T. Brain Death and Scintigraphy. Turk Geriatri Dergisi.Turki. 2004

Truog, R, D. The Ethics of Organ Donation by Living Donors. Available at: http://www.NEJM.com

Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Christianto, Hwian. 2010. Konsep Hak Seseorang atas Tubuh dalam Transplantasi Organ

Berdasarkan Nilai Kemanusiaan.Mimbar Hukum 2011. 1(23): 1.

Sadler Jr., AM. 1969. Transplantation – A Case for Consent.

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM196904172801605 (Accessed: 30 April 2013)

Page 70: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

68 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES)

(Kompetensi 4)

Lupus Erythematosus Sistemic (LES) adalah gangguan autoimun jangka panjang yang dapat

mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, otak, dan organ lainnya. LES lebih sering terjadi pada wanita

daripada pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering muncul pada usia

antara 10-50 tahun. Pada pasien dengan temuan klinis sugestif, riwayat keluarga dengan penyakit

autoimun menimbulkan kecurigaan lebih lanjut dari LES.

GEJALA

Gejala LES bervariasi dan sering hilang-muncul. Gejala umum yang terjadi antara lain adalah

nyeri sendi dan bengkak (terutama jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut) , nyeri dada saat

mengambil napas dalam, mudah lelah, demam, malaise, rambut rontok, sensitivitas terhadap sinar

matahari, ruam kulit, dan pembengkakan kelenjar getah bening.

Sedangkan manifestasi klinis yang berhubungan antara lain :

Constitutional (ex : fatigue, panas, arthralgia, perubahan BB)

Musculoskeletal (ex : arthralgia, arthropathy, myalgia, frank arthritis, avascular necrosis)

Dermatologic (ex : malar rash, photosensitivity, discoid lupus)

Renal/ ginjal (ex : gagal ginjal akut atau kronis, penyakit nefritis akut)

Neuropsychiatric (ex : seizure, psychosis)

Pulmonary/ paru (ex : pleurisy/ radang selaput dada, pleural effusion, pneumonitis,

hipertensi paru, penyakit paru interstisial)

Gastrointestinal (ex : nausea, dyspepsia, nyeri abdomen)

Cardiac/ jantung (ex : pericarditis, myocarditis)

Hematologic (ex : cytopenias seperti leukopenia, lymphopenia, anemia, atau

thrombocytopenia)

Sumber : www.emedicine,medscape.com

PATOFISIOLOGI

Page 71: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

69 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Lupus eritematosus sistemic (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

peradangan multisistem dengan pembangkitan autoantibodi. Salah satu mekanisme panjang untuk

pengembangan autoantibodi melibatkan kerusakan dalam apoptosis yang menyebabkan

peningkatan kematian sel dan gangguan dalam toleransi imun. Penyebaran antigen selular selama

nekrosis/apoptosis mengarah ke permukaan sel plasma dan antigen nuclear dalam bentuk

nukleosom. Selanjutnya, disregulasi (intoleran) limfosit mulai melakukan perlindungan pada antigen

intraseluler.

Sel T punya peran sentral dalam patogenesis LES, dan sel T dari pasien dengan lupus

menunjukkan kerusakan pada sinyal dan fungsi efektor. Sel-sel T mengeluarkan sedikit interleukin

(IL) -2, dan kerusakan dalam pengiriman sinyal tampaknya terkait dengan peningkatan masuknya

kalsium, mungkin karena perubahan dalam subunit sinyal CD3. Beberapa aktivitas efektor yang

mempengaruhi sel T seperti sitotoksisitas CD8, regulator-T, B-cell help, migrasi, dan adhesi.

Serum antibodi antinuklear (ANAs) ditemukan di hampir semua individu dengan LES aktif.

Antibodies to native double-stranded DNA (dsDNA) relatif spesifik untuk diagnosis LES. Apakah

aktivasi sel-B poliklonal atau keberadaan respon terhadap antigen tertentu tidak jelas, tetapi banyak

dari patologi melibatkan sel B, sel T, dan sel dendritik. Sitotoksik sel T dan sel T suppressor (yang

biasanya akan turun-mengatur respons kekebalan tubuh) mengalami penurunan. Perubahan

aktivitas sel T sitolitik poliklonal terganggu. Sel T Helper (CD4+) meningkat. Kurangnya toleransi imun

yang diamati pada model hewan lupus. Laporan menunjuk peran penting dari interferon-alfa, faktor

transkripsi, dan variasi sinyal juga menunjukkan peran sentral untuk neutrofil.

Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam

sirkulasi.Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa

gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam

hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan

terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan

mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ

tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab

timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada

organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan

Page 72: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

70 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasiyang

dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

Studi Genetika juga menunjukkan gangguan dalam sinyal limfosit, respons interferon,

pembersihan komplemen dan kompleks imun, apoptosis, dan metilasi DNA. Genome-wide

association studies (GWAS) telah mengidentifikasi beberapa lokus dengan hubungan yang kuat

dengan LES, banyak . yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh dan terkait sistem biologis.

Sebelumnya, gen yang terkait dengan penyakit autoimun lainnya telah dikaitkan dengan LES

(misalnya, PTPN22 dan diabetes, rheumatoid arthritis dan STAT4). Beberapa gen yang berkaitan

dengan fungsi dan sinyal sel T juga telah dikaitkan dengan LES, termasuk PTPN22,, TNFSF4 PDCD1,

IL10, BCL6, IL16, TYK2, PRL, STAT4, dan RASGRP3, karena memiliki kekebalan-kompleks pengolahan

dan gen imun bawaan, termasuk beberapa gen komplemen (misalnya, C2, C4A, dan C4B).

ETIOLOGI

LES terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan

autoantibodi yang berlebihan. Gangguan immunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara

faktor-faktor genetik, hormonal, dan lingkungan. Sistem imun kehilangan kemampuan untuk

membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi akauskan

penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. Studi antigen leukosit (HLAs)

manusia mengungkapkan bahwa HLA-A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 lebih sering terjadi pada orang

dengan LES dibandingkan dengan populasi umum.

LES memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga: 8% dari pasien yang terkena

memiliki garis keturunan pertama (orang tua, saudara, dan anak-anak) dengan LES. Selain itu, LES

terjadi 24% dari kembar identik dan 2% dari kembar nonidentical, yang mungkin disebabkan oleh

kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang

mekanisme penyakit LES dan asosiasi genetik. Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan risiko

LES. Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh konkordansi 40% di kembar monozigot, jika

seorang ibu memiliki LES, resiko putrinya terserang penyakit itu telah diperkirakan 1:40, dan risiko

anaknya, 1:250.

Penyebab lingkungan dan paparan yang berhubungan dengan LES kurang jelas. Beberapa

potensi meliputi:

Page 73: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

71 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Debu silica dan merokok dapat meningkatkan risiko mengembangkan LES

Estrogen pada wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko pengembangan LES.

Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan LES.

Fotosensitifitas merupakan presipitan dari penyakit kulit

Sinar ultraviolet merangsang keratinosit, yang mengarah tidak hanya untuk overekspresi

nuclear ribonucleoproteins (snRNPs) pada permukaan sel tetapi juga untuk sekresi sitokin

yang mensimulasikan peningkatan produksi autoantibody.

Hasil dari satu studi menunjukkan bahwa vitamin D tingkat rendah meningkatkan produksi

autoantibody pada individu sehat, kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan hiperaktif

sel B dan aktivitas interferon-alpha pada pasien dengan LES.

CARA DIAGNOSIS

Diagnosis LES didasarkan pada kombinasi temuan klinis dan bukti laboratorium. Kehadiran 4

dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) menghasilkan sensitivitas 85% dan

spesifisitas 95% untuk LES.

Ketika Systemic Lupus Internasional Collaborating Klinik (SLICC) merevisi dan memvalidasi

ACR LES kriteria klasifikasi pada tahun 2012, mereka mengklasifikasikan seseorang dengan LES dalam

keberadaan bukti biopsi nefritis lupus dengan antibodi ANA atau anti-dsDNA atau jika 4 dari kriteria

diagnostik, termasuk setidaknya 1 klinis dan 1 kriteria imunologi, telah terpenuhi.

ACR mnemonic kriteria diagnostik LES disajikan dalam "BRAIN SOAP MD" mnemonic:

Serositis

Borok Oral

Radang sendi

Fotosensitivitas

Gangguan darah

Renal involvement

antibodi Antinuclear

fenomena Imunologi (misalnya, dsDNA, anti-Smith [Sm] antibodi)

gangguan Neurologis

Page 74: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

72 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

ruam Malar

ruam Diskoid

PEMERIKSAAN AWAL

TES Laboratorium yang bisa dilakukan antara lain :

CBC dengan diferensial

Serum kreatinin

Urinalisis dengan mikroskop

hasil ESR atau CRP

Complement levels

tes Fungsi hati

Creatine kinase assay

Spot protein/spot creatinine ratio

tes Autoantibody

Studi pencitraan

Studi pencitraan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi kecurigaan pasien dengan

LES:

Joint radiography

Chest radiography and chest CT scanning

Echocardiography

Brain MRI/ MRA

TERAPI AWAL

Tujuan dari terapi LES adalah untuk kontrol gejala. Penyakit ganas bisa diterapi

medikamentosa dengan :

Page 75: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

73 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Nonsteroidal anti-inflammatory medications (NSAIDs, misal : ibuprofen, naproxen,

diclofenac) untuk terapi arthritis dan pleurisy

Kortikosteroid (methylprednisolone, prednisone) untuk peradangan kulit

Obat antimalaria (hydroxychloroquine) dan kortikosteroid dosis rendah untuk gejala kulit

dan artritis.

Nonbiologic DMARDS: Cyclophosphamide, methotrexate, azathioprine, mycophenolate,

cyclosporine

Biologic DMARDs (disease-modifying antirheumatic drugs): Belimumab, rituximab, IV

immune globulin

Pada penderita LES harus menggunakan pakaian dan kacamata protektif ketika terkena

sinar matahari.

Sedangkan terapi untuk beberapa lupus yang lain termasuk :

Medikasi atau kortikosteroid dosis tinggi untuk menurunkan respon sistem imun

Obat sitotoksik apabila tidak kunjung sembuh dengan kortikosteroid.

Preventif pemeriksaan hati

Immunisasi teratur

Tes untuk skrining osteoporosis

COMPLICATIONS

Systemic lupus erythematosus (SLE) can cause systemic complications throughout the

body.

Complications Of The Blood

Almost 85% of patients with SLE experience problems associated with abnormalities in the blood.

Anemia. About half of patients with SLE are anemic. Causes include:

Iron deficiencies resulting from excessive menstruation

Iron deficiencies from gastro-intestinal bleeding caused by some of the treatments

A specific anemia called hemolytic anemia, which destroys red blood cells

Anemia of chronic disease

Page 76: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

74 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Hemolytic anemia can occur with very high levels of the anticardiolipin antibody. It can be

chronic or develop suddenly and be severely (acute).

Antiphospholipid Syndrome. Between 34 - 42% of patients with SLE have antiphospholipid

syndrome (APS). This is a specific set of conditions related to the presence of autoantibodies

called lupus anticoagulant and anticardiolipin. These autoantibodies react against fatty

molecules called phospholipids, and so are called antiphospholipids. Their actions have

complex effects that include causing narrowing and abnormalities of blood vessels.

Patients who have APS have a very incidence of blood clots, which most often occur in the

deep veins in the legs. Blood clotting, in turn, puts patients at higher risk for stroke and

pulmonary embolism (clots in the lungs).

This picture shows a red and swollen thigh and leg caused by a blood clot (thrombus) in the

deep veins in the groin (iliofemoral veins). Such a clot prevents normal return of blood from

the leg to the heart.

The effects on blood vessels have also been associated with confusion, headaches, and

seizures. Leg ulcers can also develop.

Patients with APS who become pregnant have a high incidence of pregnancy loss, especially in

the late term.

Not all patients with APS carry both of the autoantibodies, and they can also wax and wane

and so have varying effects. APS also occurswithout lupus in about half of patients with the

syndrome.

Thrombocytopenia. In thrombocytopenia, antibodies attack and destroy blood platelets. In

such cases, blood clotting is impaired, which causes bruising and bleeding from the skin, nose,

gums, or intestines. (This condition can also occur in APS, but it is not considered to be one of

the standard features of the syndrome.)

Page 77: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

75 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Neutropenia. Neutropenia is a drop in the number of white blood cells. Patients with SLE often

neutropenia, but the condition is usually harmless unless the reductions are so severe that

they leave the patient vulnerable to infections.

Acute Lupus Hemophagocyte Syndrome. A rare blood complication of SLE that occurs primarily

in Asians is called acute lupus hemophagocytic syndrome. It is generally of short duration and

characterized by fever and a sudden drop in blood cells and platelets.

Lymphomas. Patients with SLE and other autoimmune disorders have a greater risk for

developing lymph system cancers such as Hodgkin’s disease and non-Hodgkin’s lymphoma

(NHL).

Heart And Circulation Complications

Heart disease is a primary cause of death in lupus patients. The immune response in SLE can cause

chronic inflammation and other damaging effects that can cause significant injury to the arteries and

tissues associated with the circulation and the heart. In addition, SLE treatments (particularly

corticosteroids) affect cholesterol, weight, and other factors that can also affect the heart.

Patients with SLE, have a higher risk for developing the following conditions, which put them at risk

for heart attack or stroke:

Atherosclerosis, or plaque buildup in the arteries

Increased stiffness in the arteries

Unhealthy cholesterol and lipid (fatty molecules) levels

High blood pressure, most likely because of kidney injury and corticosteroid treatments

Heart failure

Pericarditis, an inflammation of the tissue surrounding the heart

Myocarditis, an inflammation of the heart muscle itself (rare)

Abnormalities in the valves of the heart (rare)

Blood clots

The risk for cardiovascular disease, heart attack, and stroke is much higher than average in

younger women with SLE. The risks decline as such women age.

Lung Complications

Page 78: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

76 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

SLE affects the lungs in about 60% of patients:

Inflammation of the membrane lining the lung (pleurisy) is the most common problem, which

can cause shortness of breath and coughing.

In some cases, fluid accumulates, a condition called pleural effusion.

Inflammation of the lung tissue itself is called lupus pneumonitis. It can be caused by infections

or by the SLE inflammatory process. Symptoms are the same in both cases: fever, chest pain,

labored breathing, and coughing. Rarely, lupus pneumonitis becomes chronic and causes

scarring in the lungs, which reduces their ability to deliver oxygen to the blood.

A very serious and rare condition called pulmonary hypertensionoccurs when high pressure

develops as a result of damage to the blood vessels of the lungs.

Kidney Complications (Lupus Nephritis)

The kidneys are a crucial battleground in SLE because it is here that the debris left over from the

immune attacks is most likely to be deposited. Also, the immune response can also attack different

parts of the kidney causing damage. About 50% of patients with SLE exhibit inflammation of the

kidneys (called lupus nephritis).This condition occurs in different forms and can vary from mild to

severe. Poor kidney function and kidney failure may result from this damage.

Serious complications occur eventually in about 30% of patients. If kidney injury develops, it almost

always occurs within 10 years of the onset of SLE, rarely after that.

Central Nervous System Complications

Nearly all patients with SLE report some symptoms relating to problems that occur in the central

nervous system (CNS), which includes the spinal cord and the brain. CNS involvement is more likely

to occur in the first year, usually during flare-ups in other organs.

Symptoms vary widely and overlap with psychiatric or neurologic disorders. They may also be

caused by of some medications used for SLE. Central nervous system symptoms are usually mild, but

there is little effective treatment available for them. CNS symptoms get worse as the disease

progresses.

Page 79: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

77 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

The most serious CNS disorder is inflammation of the blood vessels in the brain (vasculitis), which

occurs in 10% of patients with SLE. Fever, seizures, psychosis, and even coma can occur. Other CNS

side effects include:

Irritability

Emotional disorders (anxiety, depression)

Mild impairment of concentration and memory

Migraine and tension headaches

Problems with the reflex systems, sensation, vision, hearing, and motor control

Infections

Infections are a common complication and a major cause of death in all stages of SLE. The immune

system is indeed overactive in SLE, but it is also abnormal and reduces the ability to fight infections.

Patients are not only prone to the ordinary streptococcal and staphylococcal infections, but they are

also susceptible to fungal and parasitic infections (called opportunistic infections), which are

common in people with weakened immune systems. They also face an increased risk for urinary

tract, herpes, salmonella, and yeast infections. Corticosteroid and immunosuppressants, treatments

used for SLE, also increase the risk for infections, thereby compounding the problem.

Gastrointestinal Complications

About 45% of patients with SLE suffer gastrointestinal problems, including nausea, weight loss, mild

abdominal pain, and diarrhea. Severe inflammation of the intestinal tract occurs in less than 5% of

patients and causes acute cramping, vomiting, diarrhea, and, rarely, intestinal perforation, which

can be life-threatening. Fluid retention and swelling can cause intestinal obstruction, which is much

less serious but causes the same type of severe pain. Inflammation of the pancreas can be caused by

the disease and by corticosteroid therapy.

Joint, Muscle, And Bone Complications

Arthritis caused by SLE almost never leads to destruction or deformity of joints. The inflammatory

process can, however, damage muscles and cause weakness. Patients with SLE also commonly

experience reductions in bone mass density (osteoporosis) and have a higher risk for fractures,

Page 80: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

78 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

whether or not they are taking corticosteroids (which can increase the risk for osteoporosis).

Women who have SLE should have regular bone mineral density scans to monitor bone health.

Eye Complications

Inflamed blood vessels in the eye can reduce blood supply to the retina, resulting in degeneration of

nerve cells and a risk of hemorrhage in the retina. The most common symptoms are cotton-wool-like

spots on the retina. In about 5% of patients sudden temporary blindness may occur.

Socioeconomic Consequences

In one study, 40% of patients with SLE quit work within 4 years of diagnosis, and many had to modify

their work conditions. Significant factors that predicted job loss included high physical demands

from the work itself, a more severe condition at the time of diagnosis, and lower educational levels.

People with lower income jobs were at particular risk for leaving them.

Pregnancy And Systemic Lupus Erythematosus

Women with lupus who conceive face high-risk pregnancies that increase the risks for themselves

and their babies. It is important for women to understand the potential complications and plan

accordingly. The most important advice is to avoid becoming pregnant when lupus is active.

Research suggests that the following factors predict a successful pregnancy:

Disease state at time of conception. Doctors strongly recommend that women wait to conceive

until their disease state has been inactive for at least 6 months.

Kidney (renal) function. Women should make sure that their kidney function is evaluated prior

to conception. Poor kidney function can worsen high blood pressure and cause excess protein

in the urine. These complications increase the risk for preeclampsia and miscarriage.

Lupus-related antibodies. Antiphospholipid and anticardiolipin antibodies can increase the

risks for preeclampsia, miscarriage, and stillbirths. Anti-SSA and anti-SSB antibodies can

increase the risk for neonatal lupus erythematosus, a condition that can cause skin rash and

liver and heart damage to the newborn baby. Levels of these antibodies should be tested at

the start of pregnancy. Certain medications (aspirin, heparin) and tests (fetal heart monitoring)

may be needed to ensure a safe pregnancy.

Page 81: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

79 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Medication use during pregnancy. Women with active disease may need to take low-dose

corticosteroids, but women with inactive disease should avoid these drugs. Steroids appear to

pose a low risk for birth defects, but can increase a pregnant woman’s risks for gestational

diabetes, high blood pressure, infection, and osteoporosis. For patients who need

immunosuppressive therapy, azathioprine (Imuran) is an option. Methotrexate (Rheumatrex)

and cyclophosphamide (Cytoxan) should not be taken during pregnancy.

Pregnancy Risks

Women with lupus are 20 times more likely to die during pregnancy than women without the

disease. The risk for maternal death is due to the following serious conditions that can develop

during pregnancy:

Miscarriages. About 25% of lupus pregnancies result in miscarriage. The risk is highest for

patients with antiphospholipid antibodies, active kidney disease, or high blood pressure.

Blood clots. Women with lupus have a 6 times greater risk for developing deep vein

thrombosis (blood clots) than women without the disease.

Clotting complications. Low blood platelet count and anemia are also risks. Women with lupus

are 3 times more likely to need a transfusion during pregnancy than women without lupus.

Infections. Blood infections (sepsis), pneumonia, and urinary tract infections are more

common in pregnant women with lupus.

Preeclampsia. Women with lupus are three times more likely than healthy women to develop

preeclampsia (pregnancy-related high blood pressure), which can be potentially life

threatening.

Birth Complications. Women with SLE have an increased risk of having a pre-term birth,

stillbirth, or Caesarean section.

Despite these obstacles, many women with lupus have healthy pregnancies and deliver

healthy babies. To increase the odds of a successful pregnancy, it is important for women to

plan carefully before becoming pregnant. Be sure to find knowledgeable doctors with whom

you can communicate and trust. Pregnant women with lupus should try to assemble an

interdisciplinary health care team that includes a rheumatologist, high-risk obstetrician, and

(for patients with kidney disease) a nephrologist.

Page 82: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

80 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

(http://health.nytimes.com/health/guides/disease/systemic-lupus-

erythematosus/complications.html)

POSSIBLE COMPLICATIONS

Some people with SLE have abnormal deposits in the kidney cells. This leads to a condition

called lupus nephritis. Patients with this condition may eventually develop kidney failure and

need dialysis or a kidney transplant.

SLE causes damage to many different parts of the body, including:

Blood clots in the legs (deep vein thrombosis) or lungs (pulmonary embolism)

Destruction of red blood cells (hemolytic anemia) or anemia of chronic disease

Fluid around the heart (pericarditis), endocarditis, or inflammation of the heart

(myocarditis)

Fluid around the lungs (pleural effusions) and damage to lung tissue

Pregnancy complications, including miscarriage

Stroke

Severely low blood platelets (thrombocytopenia)

Inflammation of the blood vessels

(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm)

Page 83: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

81 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

POLYARTERITIS NODUSA (PAN)

(Kompetensi 1)

Poliyarteritis nodosa adalah kelainan yang sangat jarang yang ditandai oleh adanya vaskulitis

nekrotikans sistemik yang mengenai arteri-arteri sedang dan kecil. Vaskulitis adalah sekelompok

kelainan yang dikarakteristikkan dengan adanya proses inflamasi pada pembuluh darah. Proses

vaskulitis dapat mengenai satu, atau beberapa pembuluh darah, atau bahkan organ. Inflamasi pada

plyarteritis nodosa ini sifatnya adalah lesi nekrosis.

GEJALA

Gejala yang disebabkan oleh kerusakan pada organ yang terkena, terutama adalah kulit,

jantung, ginjal, dan sistem saraf. Gejalanya berupa :

Nyeri perut

Nafsu makan berkurang

Kelelahan

Demam

Nyeri sendi

Nyeri otot

Penurunan berat badan yang tidak disengaja

Kelemahan

Sedangkan gejala klinis yang mungkin timbul: gejala konstitusi akibat peradangan, gagal

ginjal dan proteinuria, hipertensi, gejala gatrointestinal, kelainan kulit (purpura, livedo reticularis).

PAN seringkali terjadi pada pasien dengan Hepatitis B.

Jika saraf yang terkena, maka akan menyebabkan saraf mati rasa, nyeri, terbakar, dan

kelemahan. Kerusakan pada sistem saraf bisa menyebabkan stroke atau kejang.

PATOFISIOLOGI

Lesi vaskular pada arteri otot ukuran sedang terjadi terutama pada bifurcations dan titik

cabang. Peradangan mungkin mulai dalam pembuluh intima dan berkembang untuk mencakup

Page 84: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

82 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

seluruh dinding arteri, menghancurkan lamina elastis internal dan eksternal, sehingga menyebabkan

nekrosis fibrinoid. Aneurisma berkembang di pembuluh yang melemah, membawa risiko berikutnya

berupa pecahnya pembuluh darah dan perdarahan. Trombus dapat berkembang di lokasi lesi.

Sebagai perkembangan lesi, proliferasi intima atau media dapat mengakibatkan obstruksi dan

iskemia jaringan berikutnya atau infark. Poliartentis nodosa (PAN) menyerap pembuluh besar (aorta

dan cabang utama), pembuluh terkecil (kapiler dan arteriol kecil), dan sistem vena.

ETIOLOGI

Hepatitis B dan PAN

Patogenesis polyarteritis nodosa (PAN) tidak diketahui, dan tidak ada hewan model

yang tersedia untuk studi ini. Infeksi virus, termasuk virus human immunodeficiency (HIV),

virus hepatitis C (HCV) dan, paling kuat, virus infeksi hepatitis B (HBV), telah dikaitkan

dengan PAN. Bukti untuk penyakit terinduksi kompleks imun terbatas pada PAN terkait HBV.

Gangguan fungsi sel endotel mungkin menjadi bagian dari idiopatik PAN atau konsekuensi

dari itu. Pada HBV-PAN, replikasi virus dapat langsung melukai dinding pembuluh darah.

Disfungsi endotel dapat melanggengkan peradangan melalui sitokin dan produksi molekul

adhesi.

HBV pernah menjadi penyebab hingga 30% kasus PAN. Meluasnya penggunaan

vaksin hepatitis B telah secara signifikan menurunkan kejadian HBV-PAN, yang sekarang

diperkirakan mencapai kurang dari 8% dari semua kasus PAN.

HBV-PAN dapat terjadi setiap saat selama infeksi hepatitis B akut atau kronis, meskipun

biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan infeksi.

Aktivitas arteritis yang tidak paralel dari hepatitis, dan gejalanya sama dengan

idiopatik PAN. Penelitian kecil telah menemukan bahwa manifestasi GI, hipertensi maligna,

infark ginjal, dan orchiepididymitis lebih umum pada HBV-PAN.

Asosiasi penyakit lainnya

Organisme menular lainnya telah dilaporkan dalam hubungan dengan PAN atau

penyakit mirip PAN, tapi bukti kausal tidak konsisten. Organisme ini termasuk virus varicella-

zoster, parvovirus B-19, cytomegalovirus, virus manusia T-sel leukemia, spesies

Page 85: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

83 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

streptokokus, spesies Klebsiella, Pseudomonas spesies, spesies Yersinia, Toxoplasma gondii,

rickettsia, cacingan, dan sarcosporidiosis.

Hepatitis C dapat dihubungkan dengan PAN yang berkenaan dengan kulit, benigna,

bentuk jinak dari PAN. Beberapa sindrom, termasuk penyakit rematik, keganasan, dan infeksi

telah dikaitkan dengan sindrom klinis yang tidak dapat dibedakan dari PAN idiopatik.

Rheumatoid arthritis (RA) dan sindrom Sjögren telah dikaitkan dengan PAN. Terutama,

kejadian RA terkait vaskulitis telah sangat menurun sejak 1980-an, kemungkinan disebabkan

perbaikan dalam pengelolaan RA. Keganasan hematologi, seperti leukemia sel berbulu, telah

dikaitkan dengan PAN-seperti vaskulitid.

KOMPLIKASI

1. ulserasi kulit

2. gangren ekstremitas

3. infark organ

4. Pecahnya aneurisma (perdarahan intra-organ)

5. Stroke

6. Ensefalopati

7. Mielopati

8. gagal jantung

9. infark miokard

10. pericarditis

11. Gastrointestinal (GI) perdarahan

12. infark usus

13. neuropati perifer

Page 86: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

84 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

POLIMIALGIA REUMATIK (PMR)

(Kompetensi 3A)

Etiologi

- Kelainan leukosit dalam darah, dalam hal ini leukosit berbalik menyerang sistem yang

mengakibatkan tidak terlindunginya tubuh dari bakteri, jamur dan lain lain. Biasanya

menyerang lapisan sendi tubuh yang akan mengarah kepada pembengkakan sendi.

- faktor hereditas.

- Tingkat sedimentasi eritrosit dan protein C reaktif yang rendah.

Epidemiologi/Prevalensi :

- Usia dibawah 50 tahun (jarang)

- Usia diatas 50 tahun

- Usia 60-70 tahun (paling banyak)

- Wanita 3 kali lebih beresiko

Gejala :

- Nyeri otot

- Kaku leher, bahu, dan pinggul (biasanya setelah istirahat)

- Demam

- Lemah otot

- Edema

- Tendonitis

- Tenosinovitis

- Penurunan berat badan

- Anemia

Diagnosis:

- ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) > 40mm/h

Page 87: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

85 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

- CRP (C – reactive protein)

- USG

- MRI

Komplikasi :

- Kadang terjadi bersamaan dengan giant cell artritis, gejalanya seperti sakit kepala dan

kaburnya penglihatan (jika GCA ini tidak diobati dapat beresiko kecil terhadap kebutaan

atau stroke).

- Orang tua dengan penggunaan glukokortikoid tanpa pengawasan dapat menyebabkan

efek buruk.

- Stroke.

Terapi :

Pemberian prednisone (golongan glukokortikoid) 15-20 mg/hari . Namun dalam 3-6

minggu pertama dosis diturunkan misal dibawah 10 mg/hari dengan total terapi lamanya 2-3 tahun.

Tiap 1 atau 2 bulan dosis obat diturunkan 1 mg sampai 2-3 tahun obat dihentikan.

Dapat dibarikan juga obat anti-inflamasi non-steroid seperti Aspirin atau Ibuprofen. Obat

ini harus digunakan setiap hari, meskipun penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan iritasi

perut. Olahraga ringan dengan istirahat dapat membantu membawa kembali mobilitas sendi pada

penderita. Olahraga juga meningkatkan kekuatan dan fungsi otot. Latihan pernapasan dalam dan

pijat juga dapat menghilangkan stres dan mengendurkan otot yang terkena.

Terapi diet :

Modifikasi diet juga cukup efektif dalam memerangi penyakit ini. Penambahan komponen-

komponen yang dapat melawan penyebab polymyalgia rheumatica dapat membantu proses

pengobatan. Antara lain :

Vitamin E

Mendorong kekuatan otot dan fleksibilitas.

Vitamin C

Hal ini meningkatkan kinerja pembuluh darah dan membantu memerangi peradangan.

Page 88: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

86 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Herbal

Minyak herbal seperti Evening Primrose menciptakan anti-inflamasi yang membantu dalam

mengurangi pembengkakan dengan cepat. Akar Claw Iblis juga telah terbukti sangat efektif

dalam menyembuhkan gangguan rematik.

Prognosis :

Polimialgia reumatik bukan suatu penyakit yang sangat serius dan jarang menyebabkan

kerusakan permanen. Bahkan tanpa adanya pengobatan, penyakit ini dapat hilang setelah satu

tahun atau beberapa tahun. Tetapi pengobatan diperlukan untuk mengontrol gejala. Namun,

menghentikan pengobatan terlalu dini dapat menyebabkan kambuhnya penyakit ini. Kekambuhan

umumnya langka dan terjadi 25 % pada pasien.

Page 89: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

87 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

ANAFILAKSIS

(Kompetensi 4A)

Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitivitas (Tipe I) yang akut, berat, dan menyerang

berbagai macam organ. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat, sebuah reaksi antara antigen

spesifik dan antinodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan

mengeluarkan mediator yang bekerja secara farmakologis terhadap berbagai macam organ.

Reaksi ini dipicu berbagai alergen seperti makanan (seafood atau kacang-kacangan), obat, sengatan

serangga, atau juga lateks, bahkan latihan jasmani dan bahan diagnostik lain. Pada 2/3 pasien,

pemicu spesifik tidak diketahui.

Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau sistemik

yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan

idiopatik.

Tabel 1: Mekanisme anafilaksis manusia. (Diadaptasi dari Akib et al, 2010)

Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau

diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi (dahulu disebut anafilaktoid) diperantarai

Anafilaksis

Alergi (Immunologi)

IgE, FcεRI, makanan, serangga,

lateks, obat

Lain-lain, darah, agregat imun, obat

Non-ALergi (non-Immunologi)

Olahraga Fisik, dingin

Lain-lain, Obat

Idiopatik

Page 90: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

88 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui

penyebabnya.

Penyebab reaksi anafilaksis/anafilaktoid Contoh

Obat Antibiotik, aspirin dan NSAIDs lain, vaksin,

obar perioperasi, antisera, opiat

Hormon Insulin, progesterone

Darah/ Produk Darah IVIG (Immunogobulin Intravena)

Enzim Streptokinase

Makanan Susu, telur, soya, kacang tanah, kacang

pohon, shelfish

Bisa Lebah, semut api

Lainnya

Lateks, kontras, membran dialisis, ekstrak

imunoterapi, protamin, cairan seminal

manusia

Tabel 1: Penyebab anafilaksis manusia (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Akibat Sebab

Aktivasi Komplemen Langsung

Klasik Gamaglobulin (standar) (Agregasi IgG)

Larutan Plasmaprotein (agregasi IgG)

Aktivasi bypass RCM (Radio Kontras)

Anestesi IV

Pelepasan Mediator Langsung Sel Mast

Tanpa Melalui IgE

Anafilaktoid oleh opiat, kontras,

desferoksamin, taksol, pengganti volume

koloid, gamaglobulin, antibiotik vankomisin

(polimiksin), anestetik IV, pelemas otot,

anestesi Lokal, asam asetilsalisilat, inhibitor

Page 91: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

89 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

siklooksigenase, NSAIDs, onat yang

meningkatkan arus mikrosirkulasi, telaksan,

gelatin

Akumulasi Bradikinin Batuk dan Angioedem oleh ACE Inhibitor

Produksi Leukotrin berlebihan Aspirin yang menginduksi asma dan urtikaria

Kerusakan Enzim

Inaktivator C1 Edema angioneurotik herediter

G6PD Anemia Hemolitik

Kolinesterase Inkompatibilitas Suksinilkolin

Refleks Neuropsikogenik Anestesi Lokal

Reaksi Emboli-Toksis Penisilin Depot (IV)

Reaksi Jarisch-Herxheimer Pengrusakan sel (Misal pada terapi sifilis

dengan penisilin)

Peningkatan Aliran Darah Ester asam nikotinik

Bronkospasme Sulfit yang diinhalasi atau dimakan dan β-

blocker

Tabel 2: Penyebab anafilaktoid (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Anafilaksis Anafilaktoid

Perlu sensitisasi Tidak Perlu Sensitisasi

Jarang (<5%) Sering (>5%)

Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi setelah pajanan pertama

Gejala Klinis khas Gejala klinis tidak khas

Dosis pemicu kecil Tergantung dosis dan/atau kecepatan

pemberian pada infuse

Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kecuali defek enzim)

Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiolofis kuat

Tabel 3: Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid (Diadaptasi dari: Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Page 92: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

90 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Pada reaksi anafilaksis biasanya terjadi Atopi, yaitu kecenderungan personal atau familial untuk

tersensitasi dan memproduksi antibodi IgE sebagai respon pajanan alergen, biasanya protein.

Individu ini dapat mengalami gejala khas berupa alergi makanan, asma, rinokonjungtivitis, atau

dermatitis.

ETIOLOGI

Penyebab anafilaksis sangat beragam, bisa berupa antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat

diagnostik, bisa, produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik

dapat berupa penisilin dan derivatnya, neomisin, streptomisin, tetrasiklin, sulfonamid, dan lain lain.

Ekstrak alergen biasanya berupa rerumputan atau serum ATS, ADS, atau anti bisa ular.

Beberapa bahan yang sering digunakan untuk prosedur diagnostik dan dapat menimbulkan

anafilaksis misalnya zat radiopack, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin. Anestetikum lokal

contohnya prokain dan lidokain, sedangkan pada bisa adalah bisa ular, semut, dan lebah. Darah

lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriospresipitat juga dapat menyebabkan

anafilaksis. Pada makanan adalah susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.

PATOFISIOLOGI

Dalam melihat patofisiologi anafilaksis, lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ

target seperti pada sistem kardiovaskuler, traktur respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.

Mediator anafilaksis

Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat

yang memacu peristiwa fisiologis yang menghasilkan gejala anafilaksis.

Histamin

Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Sel-sel yang mempunyai

histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, mast, dan basofil. Pada sel mast dan

basofil histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsangan

cukup. Pengaruhnya cepat, selama 1 menit, dan inaktivasi histamin oleh histaminase juga

berlangsung cepat.

Reseptor histamin adalah H1 dan H2. H1 terdapat pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular,

reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa anti-histamin (seperti klorfeniramin)

Page 93: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

91 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

menyukai H1 dan sisanya (seperti simetidin) menyukai H2. Reseptor histamin terdapat pada limfosit

(terutama Ts) dan basofil.

Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi,

dilatasi venula kecil, dan konstriksi akibat kontraksi otot polos dalam sistem vaskular besar, Lalu

histamin akan meninggikan permeabilitas kapiler dan venuka pasca kapiler. Perubahan vaskular ini

menyebabkan respon wheal-flare (Triple respons dari Lewis) dan bila terjadi secara sistemik akan

menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus GI histamin meningkatkan sekresi

mukosa lambung, dan bila histamin dilepaskan sistemik akan menyebabkan diare dan hipermotilitas.

Nyewly synthesized mediator (Leukotrien, Prostaglandin, dan Tromboxan)

Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permebilitas, dan sekresi mukus.

NSM berbeda dengan histamin, heparin, dan ECF-A. Mediator ini tidak ditemukan sebelumnya pada

granula sel mast. NSM berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh enzim fosfolipase A2

menjadi asam arakhidonat dan lyso-platelet activating factor (lyso-PAF). Lalu asam arakhidonat

disintesis menjadi leukotrien oleh enzim lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboxan oleh

enzim siklooksigenase, sedangnya lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator ini tidak

dipengaruhi histamin dan tidak dihambat anti-histamin, pemberian epinefrin dapat menghalangi dan

mengembalikan konstriksi karena NSM tersebut.

Eosynophyl chemotacting Factor – anaphylaxis (ECF-A)

Sebelumnya telah terbentuk di granula sel mast dan dilepaskan ketika degranulasi. ECF-A menarik

eosinofil ke daerah reaksi anafilasis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks

antigen-antibodi yang ada dan menghalangi histamin dan NSM untuk bereaksi.

Platelets Activating Factor (PAF)

PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah serta

mengaktifkan FXII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin

Bradikinin

Tidak ditemukan di sel mast manusia, aktivitasnya menyebabkan kontraksi otot bronkus dan

vaskular secara lambat, lama, dan hebat. Bradikinin menyebabkan permeabilitas kapiler dan venula

pasca kapiler yang menyebabkan timbul edema jaringan, serta merangsang serabut syaraf dan

Page 94: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

92 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

menyebabkan rasa nyeri. Bradikinin meningkatkan produksi mukus di traktus respiratorius dan

gaster. Reseptornya berbeda dengan histamin maupun NSM.

Serotonin

Tidak ditemukan di sel mast manusia, tapi dalam trombosit dan dikeluarkan ketika agregasi

trombosit ataupun mekanisme lain. Serotonin menyebabkan kontraksi otot bronkus, namun

pengaruhnya sebentar dan tidak begitu penting dalam anafilaksis.

Prostaglandin

Memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast.

Prostaglandind A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler,

sedangkan E1 dan E2 menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.

Kalikrein

Menghasilkan kinin yang memengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.

GAMBARAN KLINIS

Secara umum dapat berupa reaksi lokal dan sistemik. Lokal terdiri urtikaria dan angioedema pada

daerah kontak alergen. Reaksi lokal dapat berat, tapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada

organ seperti pada traktis respiratorius, kardiovaskuler, GI, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi

dengan waktu 30’ setelah kontak dengan penyebab.

Efek Mediator

Vasodilatasi, permeabilitas vaskuler

meningkat

Histamin

PAF

Leukotrien C4, D4, E4

Neutral protease yang mengaktivasi

kompleet dan kinin

Prostaglandin D2

Spasme otot polos

Leukotrien C4. D4, E4

Histamin

Prostaglandind

PAF

Page 95: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

93 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Infiltrasi seluler

Sitokin, seperti TNF

Leukotrien B4

Faktor kemostatik anafilaksis eosinofil

dan neutrofil (ECF-A dan NCF-A)

PAF

Tabel 4: Efek Mediator pada sel mast organ (Daiadaptasi dari: Akib et al, 2010)

Page 96: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

94 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

DEMAM REUMATIK

(Kompetensi 3A)

Gejala

Kriteria Mayor

Polyarthritis bermigrasi: peradangan migrasi sementara dari sendi-sendi besar, biasanya

dimulai di kaki dan bermigrasi ke atas.

Karditis: peradangan otot jantung yang dapat bermanifestasi sebagai gagal jantung kongestif

dengan sesak napas, perikarditis dengan menggosok, atau murmur jantung baru.

Nodul subkutan: nyeri, koleksi perusahaan dari serat kolagen di atas tulang atau tendon.

Mereka biasanya muncul di belakang pergelangan tangan, siku luar, dan bagian depan lutut.

Eritema marginatum: ruam jangka panjang yang dimulai pada batang atau lengan sebagai

makula dan menyebar ke luar untuk membentuk ular seperti cincin sementara kliring di

tengah. Ruam ini tidak pernah dimulai pada wajah dan itu dibuat lebih buruk dengan panas.

Sydenham 's chorea (tarian St Vitus'): serangkaian karakteristik gerakan cepat tanpa tujuan

wajah dan lengan. Hal ini dapat terjadi sangat terlambat dalam penyakit.

Kriteria minor

Demam

Arthralgia: Nyeri sendi tanpa pembengkakan

Dibesarkan tingkat sedimentasi eritrosit atau protein C reaktif

Leukositosis

EKG menunjukkan fitur blok jantung, seperti interval PR yang berkepanjangan

Mendukung bukti infeksi streptococcus: tinggi atau naik antistreptolysin titer O atau DNAase,

menghasilkan gejala demam rematik.

Diagnosis

Page 97: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

95 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Didahului dengan faringitis akut sekitar 20 hari sebelumnya, yang merupakan periode laten

(asimtomatik), rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala.

Diagnosis berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau

1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorok

positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR

Karditis

Poliartritis

Korea

Eritema marginatum

Nodul subkutan (EKG: PR interval memanjang)

Artralgia

Demam

Lab:

o ASTO >

o LED >, CRP +

Klasifikasi derajat penyakit (berhubungan dengan tatalaksana)

1. Artritis tanpa karditis

2. Artritis + karditis, tanpa kardiomegali

3. Artritis + kardiomegali

4. Artritis + kardiomegali + gagal jantung

Tatalaksana

Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi :

Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada

pasien dengan kelainan katup.

Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk evaluasi

jantung.

Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan

alergi penisilin.

Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.

Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:

Page 98: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

96 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

o Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu, kemudian

diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.

o Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6 dosis

selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan

bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.

o Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan

selama 2-6 minggu.

Page 99: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

97 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

ARTHRITIS – RHEUMATOID

(Kompetensi 3A)

ETIOLOGI

Penyebab pasti arthritis rheumatoid tidak diketahui. Rheumatoid arthritis dipicu faktor-faktor yang

bersamaan, termasuk respon autoimun abnormal, kerentanan genetik, dan beberapa pemacu atau

lingkungan seperti infeksi virus atau perubahan hormon.

GEJALA

Gejala rheumatoid arthritis adalah kaku yang berakhir minimal satu jam (kekakuan dari

osteoarthritis, sebagai contoh, biasanya hilang dalam satu setengah jam). Bahkan setelah tidak

bergerak pada beberapa saat, tubuh bisa kaku. Pergerakan lebih mudah setelah diregangkan.

Swelling and Pain

Pembengkakan dan kesakitan pada sendi terjadi paling sedikit 6 minggu setelah diagnosis

dipertimbangkan. Sendi yang bengkak biasanya membesar dan sering terasa hangat ketika disentuh.

Rasa sakit yang lain sering terjadi simetris tapi mungkin lebih parah pada salah satu sisi tubuh,

tergantung tangan mana yang lebih sering digunakan oleh penderita.

Specific Joints Affected

Meskipun rheumatoid arthritis paling sering berkembang pada pergelangan tangan dan buku jari,

lutut dan sendi bola kaki juga sering terkena efeknya. Sehingga banyak sendi terlibat, termasuk spina

servik, bahu, siku, ujung jari, rahang, bahkan sendi antara tulang-tulang kecil dalam telinga.

Rheumatoid arthritis biasanya tidak tampak pada ujung jari, seperti osteoarthritis pada umumnya,

tapi sendi pada dasar jari sering sakit.

Nodules

Sekitar 20% penderita RA, pembengkakan pembuluh darah kecil bisa menyebabkan nodules, atau

gumpalan di bawah kulit. Hal ini semacam seukuran kacang polong atau lebih lebar, dan jarang

dekat dengan siku, meskipun bisa saja muncul di manapun. Nodul bisa terjadi selama penyakit

berlangsung. Kadang-kadang, nodules bisa sakit dan terinfeksi sebagian jika terdapat pada tempat-

tempat stres terjadi, misalnya pergelangan kaki. Pada kasus tertentu, nodul menggambarkan adanya

Page 100: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

98 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

rheumatoid pembuluh darah, suatu kondisi yang mempengaruhi pembuluh darah dalam paru-paru,

ginjal, atau organ lain.

Fluid Buildup

Cairan bisa terkumpul pada sebagian pergelangan kaki. Dalam hal tertentu, sendi di belakang lutut

menimbun cairan dan membentuk sista Baker. Sista ini seperti tumor dan kadang-kadang

memanjang ke belakang betis menyebabkan rasa sakit. Sista Baker sering terjadi pada orang-orang

tanpa diagnosis RA.

Flu-Like Symptoms

Gejala seperti lelah, penurunan BB, dan demam mungkin menyertai RA pada awalnya. Beberapa

orang menjelaskan dirinya mirip masuk angin atau flu kecuali gejala RA pada tahun-tahun

berikutnya.

Symptoms in Children

Juvenil rheumatoid arthritis juga disebut Still's disease, biasanya demam tinggi dan kedinginan di

sekitar rasa sakit dan pada banyak sendi, dapat disertai ruam kulit merah muda.

KOMPLIKASI

RA tidak fatal, tapi komplikasi mungkin terjadi pada beberapa individu. Terapi RA efektif dalam

melambatkan penyakit melemahkan ini, dan beberapa bahkan mencegah perusakan awal dengan

mengurangi pembengkakan. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perusakan tulang dan ligamen

serta beberapa deformitas.

DIAGNOSIS

Tes darah dan sinar-x mungkin menunjukkan hasil normal untuk beberapa bulan setelah luka

persendian. Sangat penting pula menentukan jenis RA-nya, benign (type 1) atau aggressive (type 2)

berkaitan untuk terapi nantinya.

Dalam menemukan diagnosis dari RA lebih mengarah untuk menemukan adanya kekakuan pada

pagi hari, keterlibatan kerusakan tiga sendi dalam satu tempat, keterlibatan dua sisi dari tubuh,

nodul subkutan, faktor rheumatoid positif, dan perubahan pada hasil sinar-x dibanding normal.

Tes darah biasanya untuk menilai kokompleksan penyakit. Adapun tes darah yang dilakukan atau

dicari hasilnya antara lain:

Page 101: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

99 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Rheumatoid Factor indikator kuat dari RA 2.

Erythrocyte Sedimentation Rate Test Makin tinggi hasil, makin aktif inflamasinya.

C-Reactive Protein hasil tinggi menunjukkan inflamasi aktif, sebaiknya mempertimbangkan index

masa tubuh.

Anti-CCP Antibody Test Antibody CCP mengidentifikasi RA sebelum gejalanya itu sendiri

berkembang. Dengan kombinasi rheumatoid factor, antibody CCP adalah prediksi terbaik dari RA.

Tests for Anemia Menemukan jumlah sel darah merah (hemoglobin dan hematocrit) dan besi

(reseptor transferin terlarut danferritin serum) dalam darah.

Cairan synovial mungkin membuktikan adanya kerusakan sendi.

Imaging Techniques.

X-Rays.

Dexa Scans.

Ultrasound.

Magnetic Resonance Imaging.

TERAPI

Terapi termasuk pengobatan dan perubahan gaya hidup.

General Guidelines for Drug Treatments

Many drugs are used for managing the pain and slowing the progression of rheumatoid arthritis, but

none completely cure the disease. It is likely that no single drug will ever cure rheumatoid arthritis

because of the many factors that affect the disease at various times. Tujuan terapi:

Mengurangi inflamasi

Mencegah kerusakan tulang dan ligamen sendi

Menjaga pergerakan sebebas mungkin dalam masa yang panjang

Kategori obat-obatan untuk RA:

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) : mengurangi inflamasi.

Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARDs) : memperlambat progresi

penyakitlebih efektif dari NSAIDs, tapi lebih banyak efek samping. Ex: Methotrexate

(Rheumatrex, Trexall)

Page 102: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

100 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Biologic Response Modifiers (Biologic DMARDs), untuk pasien gagal respon terhadap

DMARDs. Ex : anti-TNF tertentu termasuk infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel), dan

adalimumab (Humira). Biologic response modifiers lain di antaranya interleukin-1

antagonist anakinra (Kineret), T cell co-stimulation modulator abatacept (Orencia), dan

rituximab (Rituxan), dengan target CD20-positive B cells.

Corticosteroids, or steroids, anti-inflammatory yang kuat. Ex: prednisone dan

prednisolone.

Page 103: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

101 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA)

(Kompetensi 2)

Istilah Juvenile Chronic Arthritis atau Juvenile Idiopatic Arthritis banyak dipakai di Eropa,

sedangkan di Amerika disebut Arthritis Rheumatoid Juvenile (ARJ/JRA). Disebut juvenile karena

diderita oleh anak usia di bawah 16 tahun. Disebut idiopatic karena kondisi ini tidak diketahui

penyebabnya. Arthritis sendiri adalah inflamasi atau pembengkakan di daerah sinovial pada sendi.

Maka, JCA didefinisikan sebagai sekelompok gangguan inflamasi sistemik yang diderita oleh anak-

anak di bawah usia 16 tahun. Ada 3 subtipe JCA, antara lain:

a. Pauciarticular onset - dengan 4 atau kurang dari 4 sendi yang terlibat

b. Polyarticular onset - dengan lebih dari 4 sendi yang terlibat

c. Onset sistemik - dengan demam, ruam dan arthritis

Gejala

Gejala dari penyakit ini dapat dilihat pada tabel. Terdapat sedikit perbedaan kriteria, menurut

Amerika (ACR) da menurut Eropa (EULAR).

Page 104: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

102 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Patofisiologi

Patogenesis :

Patogenesis pada JCA belum banyak diketahui. Namun, diyakini bahwa penyakit ini berhubungan

dengan respon imun. Tanda-tandanya yaitu ditemukannya antibodi antinuclear (ANA), faktor

rheumatoid (RF) dan antibodi heat schock protein. Di samping itu juga terdapat peran dari sel T yang

autoreaktif. Namun, belum ditemukan dengan jelas mengapa sel T mengalami autoreaksi.

Kemungkinan yaitu karena infeksi virus atau bakteri tertentu.

Terdapat dua tipe sel T, berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, yaitu :

1. Sel T tipe 1 : lebih banyak melepas sitokin IL-2, IFN-ɣ dan TNF-β

2. Sel T tipe 2 : lebih banyak melepas sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13

dan pada JCA, kecuali pada pausiarticular, sel T tipe 2 dominan. Jadi tanda-tanda dari penyakit ini

secara lebih rinci adalah karena adanya sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblas

makrofag serta mediator inflamasi, seperti IL-2, IL-6, TNF-α, dan GM-CSF pada sinovium yang

mengalami artritis.

Kemokin juga diduga berperan pada patogenesis JCA. Kemokin sendiri yaitu factor penentu migrasi

subtipe sel T. Reseptor kemokin yang bekerja pada sel T tipe 2 yaitu reseptor CCR3, CCR4 dan CCR8.

Pada sel T tipe 1 adalah reseptor CXCR3 dan CCR5. Sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab

pada kedua tipe sel T. Pada penelitian berikutnya, disebutkan bahwa JCA CCR4 sel T berperan dalam

penentuan subtipe.

Etiologi

Penyebab dari JCA masih merupakan misteri. Namun, telah diketahui bahwa sel T mengalami

autoreaktif sehingga menghancurkan jaringan tubuh sendiri. Jaringan tubuh yang dimaksud

terutama adalah sendi. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa virus menyebabkan mutasi gen

tertentu yang kemudian dapat menyebabkan JCA. Faktor risiko untuk menderita JCA, yaitu :

Genetik

Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa biasanya faktor risiko terkena JCA lebih tinggi apabila

ada anggota keluarga yang telah menderita JCA. Sirosis hati

Perempuan memiliki faktor risiko lebih tinggi daripada laki-laki

Stress psikologis memperburuk keadaan JCA

Page 105: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

103 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Hormon seks, karena JCA lebih sering terjadi pada wanita

Idiopatik

JCA muncul secara tiba-tiba pada seorang individu.

Cara diagnosis

Penentuan diagnosis dari JCA dinilai dari dua hal.

a. Kriteria klinis

Kriteria klinis kita lihat dari gejala-gejala pasien. Apakah anak ada gejala radang sendi,

tanda-tanda iridocyclitis, adenopati generalisata, splenomegali atau demam yang

berlangsung beberapa hari.

b. Antibodi antinuclear (ANA) dan faktor rheumatoid (RF)

Tes ini membantu dalam mendiagnosis subtipe JCA. Pada subtype onset sistemik, tidak

ditemukan RF dan ANA. Dalam pauciarticular onset JCA, ditemukan ANA sampai dengan

75% tetapi tidak ditemukan RF. Dalam polyarticular onset JCA, RF biasanya negatif, tetapi

pada beberapa pasien, sebagian besar gadis remaja, bisa positif.

Diagnosis Pembanding

Page 106: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

104 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

http://www.arthritis.co.za/jra.htm

http://www.merckmanuals.com

Phelan J, Thompson S (2006). "Genomic progress in pediatric arthritis: recent work and future

goals". Curr Opin Rheumatol 18 (5): 482–9.

Page 107: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

105 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA

(Kompetensi 2)

Definisi

Purpura Henoch-Schonlein merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa

hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada anak-anak. Merupakan sindrom klinis

kelainan inflamasi vaskulitis generalisata pembuluh darah kecil pada kulit, sendi, saluran cerna,

dan ginjal, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa purpura nontrombositopenik, artritis,

artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan saluran cerna, dan kadang-kadang disertai nefritis

atau hematuria (Yuli, 2012).

http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Gejala Klinis

Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang muncul 1-

3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala.

Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya merupakan keluhan

penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan kulit (1-2 hari); terutama

mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku, dan

persendian jari tangan. Sendi-sendi bengkak dan nyeri, bersifat sementara dan tidak

menimbulkan deformitas yang menetap.

Kelainan kulit ditemukan pada 95-100% kasus, 50%nya merupakan keluhan penderita saat

datang berobat; berupa macular rash simetris terutama di kulit yang sering terkena tekanan

yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan lengan sisi ulna. Dalam 24 jam makula berubah

menjadi lesi purpura, mula-mula berwarna merah, lambat laun berubah menjadi ungu,

kemudian coklat kekuning-kuningan lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru.

Kelainan kulit dapat pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi petekie dan

ekimotik, dapat disertai rasa gatal (pruritic rash).

Keluhan perut ditemukan pada 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah kelainan kulit (1-4

minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik abdomen di periumbilikal, disertai

Page 108: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

106 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus dapat ditemukan intususepsi ileoilial atau

ileokolonal. Diare berdarah dapat menyertai pruritic rash. Pada 20-50% kasus ditemukan

angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan ekstremitas (punggung tangan dan kaki).

Kelainan ginjal ditemukan pada 50% kasus anak yang lebih besar dan 25 % ditemukan pada

anak usia < 2 tahun; < 1 % berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya terjadi setelah 3 bulan

onset penyakit atau 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainana kulit yang persisten

sampai 2-3 bulan biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal berat. Mungkin

ditemukan hematuri dengan proteinuri derajat ringan sampai berat; dapat terjadi sindrom

nefrotik. Risiko nefritis meningkat pada usia onset di atas 7 tahun, lesi purpura menetap,

keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri dan hipertensi.

Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum dapat terjadi pada awal

penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan paru-paru jarang terjadi (Yuli, 2012).

http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Etiologi

Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; IgA diduga berperan penting, ditandai dengan

peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh

darah dan mesangium ginjal (Yuli, 2012).

http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Patofisiologi

Renal/skin biopsy: immune deposit complex (contains IgA).

Complement activation (alternative pathway) mediator inflammation activation

(vascular prostaglandin) small vascular inflammation in the skin, renal, joint dan

abdominal skin purpura, nephritis, arthritis and GIT bleeding.

Histologist: vascular leukocitoclastic.

Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University

Page 109: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

107 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Patogenesis HSP adalah terjadinya vaskulitis leukositoklastik pada pembuluh darah kecil yang

ditandai dengan endapan kompleks imum yang mengandung IgA pada organ yang terlibat.

Adapun gejala yang timbul adalah akibat dari kerusakan pembuluh darah kecil pada organ

yang terlibat utamanya pada kulit, sendi, gastro-intestinal dan ginjal.

http://ppdsikafkunud.com/henonch-schonlein-purpura

Cara diagnosis

A. Kriteria American College of Rheumatology 1990:

Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu:

1. Palpable purpura non trombositopenia

2. Onset gejala pertama < 20 tahun

3. Bowel angina

4. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula

B. Kriteria European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric Rheumatology

Society (PreS) 2006

1. Palpable purpura harus ada

2. Diikuti minimal satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan

(pada biopsi kulit), artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria).

(Yuli, 2012)

http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Komplikasi

Akibat terapi pemberian steroid, dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

- Hipertensi

- Hiperglikemi

- Obesitas

- Moon face

- Osteoporosis

- Munculnya jerawat

- Miopathy

Page 110: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

108 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

- Hirsutism

- Pseudomotor cerebri

- Katarak

- Glaucoma

- Retardasi mental

Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University

Pemeriksaan

Diagnosis Purpura Henoch-Schonlein berdasarkan gejala klinis, tidak ada pemeriksaan

laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis

dengan eosinofilia dan pergeseran hitung jenis ke kiri; jumlah trombosit normal atau

meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura).

Laju endap darah dapat meningkat.

Kadar ureum dan kreatinin dapat meningkat, menunjukkan kelainan fungsi ginjal atau

dehidrasi. Pada 10-20% penderita ditemukan hematuri atau proteinuri. Ditemukan darah pada

feses.

Dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen untuk mendiagnosis intususepsi.

Pemeriksaan Doppler atau radionuclide testicular scan menunjukkan aliran darah normal atau

meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan torsi testis (Yuli, 2012).

http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Page 111: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

109 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

ERYTHEMA MULTIFORME

(Kompetensi 2)

A. DEFINISI

Erythema multiforme adalah salah satu dari dua kelainan yang ditandai oleh erupsi

mendadak papul-papul eritematosa, yang sebagian di antaranya berkembang menjadi lesi

target yang terdiri atas papul di bagian tengah dikelilingi oleh cincin-cincin diskolorasi.

Keduanya mencerminkan reaksi kulit dan membran mukosa terhadap berbagai faktor,

misalnya infeksi kulit oleh virus (terutama herpes simpleks); bahan (termasuk obat) yang

ditelan atau mengiritasi kulit; keganasan; atau kehamilan.

B. GEJALA DAN TANDA KLINIS

Ruam dari erithema multiforme dapat dikenali dari spots yang terlihat seperti target kecil

(target lessions). Bintik ini mempunyai warna merah kehitaman pada pusat, area pucat di

sekelilingnya, dan cincin merah gelap yang mengelilingi tepi. Eritema multiforme biasanya

“mild” (erythema multiforme minor)-dengan sedikit bintik, menyebabkan masalah kecil dan

cepat hilang- tetapi ada juga tipe erythema yang cukup parah (erythema multifrome mayor)

yang menyerang mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva. Erythema multiforme biasanya

asimptomatik, namun dapat juga menimbulkan rasa gatal dan nyeri.

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Pada anak-anak dan erythema multiforme minor, infeksi beberapa hari sebelumnya

merupakan penyebab yang paling umum, biasanya disebabkan karena herpes simplex.

Erythema multiforme mayor dapat terjadi akibat reaksi obat-obatan. Obat-obatan yang paling

sering menyebabkan erythema multiforme adalah obat yang digunakan untuk pengobatan

infeksi (seperti sulfonamides, tetracyclines, amoxicillin, and ampicillin). Non-steroidal anti-

inflammatory drugs (diberikan untuk sendi dan muscular) dan anticonvulsants (digunakan

untuk pengobatan epilepsy) dapat juga menyebabkan reaksi.

Page 112: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

110 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Jika membran mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva terserang, maka pasien ini

keadaannya toksik dan demam (sindrom Steven-Johnsons). Keadaan ini dapat mengakibatkan

terbentuknya jaringan parut pada kornea. Lesi-lesi makulopapular dapat menyatu,

membentuk daerah bula dan nekrosis yang luas. Keadaan ini disebut nekrolisis epidermal

toksik (TEN).

D. CARA DIAGNOSIS

Tidak ada tes darah spesifik untuk erythema multiforme. Diagnosis biasanya berdasarkan

bagaimana ruam terlihat dan terdistribusi. Kadang-kadang perlu untuk mengambil sample kecil

dari kulit dianestesi lokal untuk menegaskan diagnosis di bawah mikroskop.

E. KOMPLIKASI

Komplikasi eritema multiforme adalah hiperpigmentasi pascainflamasi, keratitis dengan

gangguan penglihatan dan pneumonia.

Sumber :

British Association of Dermathologists (2013). Erythema Multiforme.

http://www.bad.org.uk/site/816/default.aspx - diakses pada April 2013.

Dorland (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: EGC.

Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.

Jakarta: EGC.

Page 113: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

111 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

HIV

(Kompetensi 4)

Pengertian

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah biasanya ditularkan

melalui hubungan seksual, berbagi kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT),

yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui. Penyakit HIV disebabkan oleh

infeksi HIV-1 atau HIV-2, yang merupakan retrovirus dalam keluarga Retroviridae, Lentivirus genus.

Latar belakang

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah, virus menular

seksual (lihat gambar di bawah). Virus ini biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, berbagi

kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT), yang dapat terjadi selama proses

kelahiran atau selama menyusui.

Gambar mikroskop elektron human immunodeficiency virus (HIV) -1 virion. Courtesy of CDC / Dr. Edwin P. Ewing, Jr

Rute infeksiyang paling umumbervariasi dari satu negara ke Negara lain, bahkan antara kota-ke kota,

mencerminkan populasi di mana HIV diperkenalkan awalnya dan praktek setempat. Co-infeksi

dengan virus lain yang memiliki rute penularan infeksi yang mirip, seperti hepatitis B, hepatitis C,

dan virus herpes manusia 8 (HHV8, juga dikenal sebagai Kaposi sarcoma virus herpes [KSHV]), adalah

umum.

Dua jenis yang berbeda dari HIV (HIV-1 dan HIV-2) telah diidentifikasi, dan masing-masing terdiri dari

beberapa subtipe, atau clades.Semua clades HIV-1 cenderung menyebabkan penyakit yang mirip,

Page 114: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

112 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

namun distribusi global clades berbeda. Hal ini mungkin memiliki implikasi pada setiap vaksin masa

depan.Sebagai clade B, yang dominan di negara maju (di mana perusahaan farmasi besar berada),

jarang ditemukan di negara-negara berkembang yang lebih parah terkena penyakit.

HIV-1 mungkin berasal dari satu atau lebih transfer lintas-spesies dari simpanse di Afrika Tengah. [9]

HIV-2 berkaitan erat dengan virus yang menginfeksi mangabeys di Afrika Barat. [10] Secara genetik,

HIV-1 dan HIV-2 terlihat serupa, tetapi masing-masing mengandung gen yang unik dan proses

replikasi yang berbeda.

HIV-2 membawa risiko sedikit lebih rendah padapenularannya, dan infeksi HIV-2 cenderung

berkembang lebih lambat untuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Hal ini mungkin

karena infeksi kurang agresif daripada properti spesifik dari virus itu sendiri.Orang yang terinfeksi

HIV-2 cenderung memiliki viral load yang lebih rendah dibandingkan orang dengan HIV-1 [11, 12],

dan viral load yang lebih besar dikaitkan dengan kemajuan yang lebih cepat menjadi AIDS HIV-1

infeksi [13, 14].

HIV-2 jarang terjadi di negara maju.Akibatnya, sebagian besar penelitian dan vaksin dan

pengembangan obat telah difokuskan pada HIV-1(mungkin tidak adil).

Tanda dan gejala

Pasien dengan HIV dapat hadir dengan tanda-tanda dan gejala dari setiap tahap infeksi HIV.Tidak

ada temuan fisik khusus untuk infeksi HIV, temuan fisik itu mencerminkan/menyajikan infeksi atau

penyakit. Manifestasinya meliputi:

o serokonversi akut bermanifestasi pada berbagai penyakit seperti flu, yang terdiri dari demam,

malaise, dan ruam umum

o Tahap asimtomatik umumnya jinak

o limfadenopati

o AIDS bermanifestasi terhadap pengulangan suatu penyakit dan kadang-kadang menimbulkan

infeksi yang mengancam jiwa atau bahkan kanker oportunistik

o Infeksi HIV dapat menyebabkan beberapa gejala sisa, termasuk terkait AIDS demensia /

ensefalopati dan HIV wasting sindrome (diare kronis dan penurunan berat badan tanpa

penyebab yang dapat diidentifikasi)

Page 115: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

113 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Beberapa faktor risiko yang mungkin untuk HIV, diantaranya:

o hubungan seksual tanpa kondom, hubungan seks dubur reseptif terutama

o Memiliki banyak pasangan seksual

o Riwayat kepemilikan penyakit menular seksual PMS)

o Berbagi intravena (IV) kepemilikan obat

o Transfusi darah (sebelum tahun 1985 di Amerika Serikat)

o kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau luka karena jarum suntik

o Infeksi HIV Ibu (untuk bayi baru lahir, bayi, dan anak-anak)

Diagnosa

Rekomendasi skrining HIV meliputi:

o AS Preventive Services Task Force (USPSTF) sangat menganjurkan para klinisi untuk melakukan

screening untuk HIV untuk semua remaja dan orang dewasa yang memiliki risikotinggi untuk

terinfeksi HIV, dan pada semua wanita hamil

o Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/The Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) merekomendasikan skrining opt-out HIV untuk pasien di semua fasilitas pelayanan

kesehatan, orang yang beresiko tinggi terinfeksi HIV harus diskrining setidaknya setiap tahun.

o The American College of Physicians (ACP) merekomendasikan para klinisi untuk mengadopsi

skrining rutin HIV dan mendorong semua pasien agar mau diuji

Enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang memiliki sensitivitas tinggi harus

digunakan untuk screening. Sebuah hasil positif harus diikuti dengan konfirmasi hasil pengujian lain

(misalnya, tes western blot atau uji similar specific); HIV-2 harus diuji pada pasien yang berasal dari

daerah endemic HIV-2 atau mereka yang menunjukkan hasil tak tentu pada pengujian Western Blot

HIV-1-nya. Deteksi dini menggunakan layar kombinasi mungkin lebih efektif daripada hanya

menggunakan serologi.

Jumlah CD4 T-sel mencerminkan besar kecilnya risiko tertular infeksi oportunistik, diantarnya

sebagai berikut:

o rentang Referensi, 500-2000 sel / uL

Page 116: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

114 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

o Karena jumlah CD4 bervariasi, jumlah seri umumnya ukuran yang lebih baik daripada

perubahan yang signifikan

o Setelah serokonversi, jumlah CD4 cenderung menurun (~ 700/μL) dan terus menurun dari

waktu ke waktu

o Untuk pengawasan, jumlah CD4 di bawah 200/μL dianggap terdefinisi AIDS di Amerika Serikat

o Pada anak-anak yang lebih muda dari umur 5 tahun, persentase sel T CD4 dianggap lebih

penting daripada jumlah absolutnya (<25% dianggap menjamin keberhasilan terapi)

o Pada orang dewasa dengan hepatitis C kronis dan T-selCD4-nya mutlak bernilai rendah,

persentase CD4 juga mungkin lebih berguna.

Viral load dalam darah perifer digunakan sebagai penanda pengganti tingkat replikasi virus, namun

tes viral loadkuantitatif tidak boleh digunakan sebagai alat diagnostik. Relevansi klinisnya adalah

sebagai berikut:

o Tingkat perkembangan AIDS dan kematian terkait dengan viral load: pasien dengan viral load

yang lebih besar dari 30.000 / uL 18,5 kali lebih mungkin meninggal karena AIDS dibandingkan

dengan viral load yang tidak terdeteksi.

o Dengan terapi, viral load sering dapat ditekan ke tingkat tidak terdeteksi (<20-75 eksemplar /

mL; penekanan virus yang optimal); penghambatan keseluruhan dari replikasi virushampir

mustahil dan mungkin tidak diperlukan

o pasien Berhasil diobati dapat menunjukkan intermiten viremia tingkat rendah (misalnya, <400

kopi / mL), tapi ini tidak dianggap mewakili replikasi virus atau untuk memprediksi kegagalan

virologi (didefinisikan sebagai viral load dikonfirmasi> 200 kopi / mL

Studi-studi dasar untuk infeksi lain yang penting dalam pemeriksaan awal pasien yang baru

didiagnosis infeksi HIV adalah sebagai berikut:

o Purified protein derivative (PPD) , tes kulit untuk TBC

o pengujianCytomegalovirus (CMV)

o pengujian Sifilis

o amplifikasi pengujian cepat untuk infeksi gonokokal dan klamidia

o Hepatitis A, B, dan C serologi

o antibodi Anti-Toxoplasma

Page 117: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

115 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

o Pemeriksaan Ophthalmologic

CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi 3 kategori, yaitu sebagai berikut:

o Kategori A: infeksi HIV asimtomatik tanpa riwayat gejala atau kondisi terdefinisi AIDS

o Kategori B: infeksi HIV dengan gejala yang dapat diatribusikan secara langsung terhadap infeksi

HIV (atau cacat dalam imunitas sel-T-mediated) atau oleh infeksi HIVyang rumit

o Kategori C: infeksi HIV dengan AIDS infeksi oportunistik terdefinisi

Berikut ini 3 kategori pembagian berdasarkanjumlah CD4 + T-sel, yaitu sebagai berikut:

>500/μL: Kategori A1, B1, C1

200-400/μL: Kategori A2, B2, C2

<200/μL: Kategori A3, B3, C3

Pengelolaan

Beriut guidline pananganan dan pengelolaan HIV menurut Current Department of Health and

Human Services (DHHS):

o Antiretroviral therapy harus dimulai pada semua pasien dengan riwayat penyakit terdefinisi

AIDS atau dengan jumlah CD4 di bawah 350/μL

o Antiretroviral therapy harus dimulai terlepas dari jumlah CD4 pada pasien hamil, pasien

dengan nefropati terkait HIV, dan mereka dengan virus (HBV) koinfeksi hepatitis B ketika

pengobatan infeksi HBV diindikasikan

o Panel terbagi atas inisiasi terapi dengan jumlah CD4 350-500/μL, 55% menganggap ini

rekomendasi yang kuat, 45% menganggap hal itu sebagai rekomendasi moderat.

o Panel juga dibagi pada inisiasi terapi dengan jumlah CD4 di atas 500/μL: setengah menyukai

inisiasi dalam pengaturan ini, dan setengah yang lain mempertimbngkan terapi inisiasi

opsional.

Terapi antiretroviral (ART) adalah metode utama untuk mencegah kerusakan kekebalan. Kelas ARV

meliputi:

• Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

Page 118: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

116 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

• Protease inhibitor (PI)

• nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)

• Fusion inhibitor

• koreseptor CCR5 antagonis (inhibitor entry)

• integrase inhibitor mentransfer untai HIV

Current DHHS guidelines list the following regimens as preferred in treatment-naive patients:

• Efavirenz / tenofovir / emtricitabine

• Ritonavir yang dikuatkan atazanavir plus tenofovir / emtricitabine

• Ritonavir-darunavir yang dikuatkan plus tenofovir / emtricitabine

• Raltegravir plus tenofovir / emtricitabine

Regimen selection is individualized on the basis of the following :

• virologi khasiat

• Keracunan

• beban Pill

• Dosis frekuensi

• potensi interaksi obat-obat

• Hasil tes resistansi obat

• Kondisi penyerta

Dalam kasus tertentu, profilaksis diindikasikan untuk infeksi oportunistik tertentu, termasuk yang

berikut:

o Pneumocystis jiroveci

o Toxoplasma

o Mycobacterium avium complex

o jamur dan virus infeksi: Meskipun profilaksis untuk infeksi ini tidak secara rutin diperlukan,

beberapa menyarankan flukonazol pada pasien dengan jumlah CD4 T-sel di bawah 50/μL

untuk mencegah infeksi candida atau kriptokokal dan untuk melindungi terhadap infeksi jamur

endemik; lisan gansiklovir diindikasikan untuk CMV profilaksis pada pasien dengan AIDS lanjut

Page 119: Catatan Kuliah Blok Imunologi ORAGASTRA

117 Immunology

Academic DIvision | ORAGASTRA

Tindakan pengobatan tambahan meliputi:

• Pengobatan infeksi oportunistik (diarahkan pada patogen tertentu)

• Pengobatan lipodistrofi HIV (tesamorelin)

• Terapi supresif untuk herpes simplex virus 2 (HSV-2) Infeksi (acyclovir)

• Pengobatan HIV-terkait diare (crofelemer)

The CDC has recommended basic and expanded HIV postexposure prophylaxis (PEP) regimens. An

overview of these recommendations is as follows:

o Dasar PEP 2-rejimen obat: Zidovudine ditambah lamivudine, AZT plus emtricitabine, tenofovir

plus lamivudine, atau tenofovir plus emtricitabine

o Alternatif dasar rejimen PPP: Lamivudine ditambah stavudine, lamivudine ditambah ddI,

emtricitabine ditambah stavudine, atau emtricitabine ditambah ddI

o Expanded rejimen PPP: Basic rejimen PPP plus lopinavir-ritonavir

An alternative expanded PEP regimen includes the basic PEP regimen plus one of the following:

• Atazanavir dengan atau tanpa ritonavir

• Fosamprenavir dengan atau tanpa ritonavir

• Indinavir dengan atau tanpa ritonavir

• Saquinavir dengan atau tanpa ritonavir

• Nelfinavir

• Efavirenz