catatan akhir tahun icel

9
Halaman 1 dari 9 Refleksi Akhir Tahun 2011: Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL ) Jakarta, 28 Desember 2011 I. POTRET HUKUM LINGKUNGAN DAN SDA TAHUN 2011 I.A. Politik Hukum Nasional: Menghamba Kepada Investor Hukum merupakan resultan berbagai kepentingan dalam masyarakat maupun pembuatnya. Berbagai kebijakan dan regulasi lingkungan hidup serta SDA yang diterbitkan pada tahun 2011-pun mengindikasikan bagaimana tarik menarik kepentingan tersebut. Sayangnya hal ini justru menimbulkan ketidakjelasan visi pembangunan yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup. Pada bulan Mei 2011 Pemerintah menerbitkan Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah. Lahirnya Perpres ini mengakhiri status quo mengenai penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan yang dibatasi oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU Kehutanan tersebut sebelumnya membatasi penggunaan kawasan hutan lindung untuk pertambangan terbuka (open pit mining). Lahirnya Perpres ini jelas untuk kepastian hukum bagi investor pertambangan yang akan menggunakan kawasan hutan lindung. Pada bulan yang sama pula Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Lahirnya beleid ini merupakan realisasi dari Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan Kerajaan Norwegia dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Terlepas dari berbagai kekurangan beleid tersebut, Inpres No. 10/2011 merupakan insiaitif yang patut diapresiasi dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup melalui penerbitan regulasi atau kebijakan yang pro lingkungan. Sayangnya inisiatif ini menjadi tidak berarti ketika Pemerintah pada saat yang sama justru menerbitkan kebijakan atau regulasi yang lebih pro investasi tanpa adanya save guard bagi perlindungan lingkungan hidup. Ambil contoh Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) yang minim partisipasi padahal masterplan tersebut merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005- 2025. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam masterplan tersebut tidak diatur secara memadahi prasyarat sebagai prakondisi yang harus disiapkan oleh Pemerintah sebelum masterplan tersebut dilaksanakan, misalnya penataan ruang dimana belum setiap daerah melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah mereka secara baik, peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang selama ini tak kunjung terbit. Bahkan mandat harmonisasi disektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, lingkungan, dan tata ruang jelas-jelas ditujukan untuk kepastian dan keberlangsungan usaha dengan meminimalisir hambatan-hambatan yang berdampak pada nilai tambah. Bagaimana dengan kepentingan masyarakat dan perlindungan lingkungan sendiri? Hal ini tidak dijelaskan secara memadai dan terukur. Di bidang

Upload: yustisia-rahman

Post on 10-Mar-2016

223 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Refleksi Perlindungan dan Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Tahun 2011

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 1 dari 9

Refleksi Akhir Tahun 2011:

Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL )

Jakarta, 28 Desember 2011

I. POTRET HUKUM LINGKUNGAN DAN SDA TAHUN 2011

I.A. Politik Hukum Nasional: Menghamba Kepada Investor

Hukum merupakan resultan berbagai kepentingan dalam masyarakat maupun

pembuatnya. Berbagai kebijakan dan regulasi lingkungan hidup serta SDA yang

diterbitkan pada tahun 2011-pun mengindikasikan bagaimana tarik menarik

kepentingan tersebut. Sayangnya hal ini justru menimbulkan ketidakjelasan visi

pembangunan yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup.

Pada bulan Mei 2011 Pemerintah menerbitkan Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah. Lahirnya

Perpres ini mengakhiri status quo mengenai penggunaan kawasan hutan lindung

untuk kegiatan pertambangan yang dibatasi oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

UU Kehutanan tersebut sebelumnya membatasi penggunaan kawasan hutan lindung

untuk pertambangan terbuka (open pit mining). Lahirnya Perpres ini jelas untuk

kepastian hukum bagi investor pertambangan yang akan menggunakan kawasan hutan

lindung.

Pada bulan yang sama pula Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 Tahun

2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan

Alam Primer dan Lahan Gambut. Lahirnya beleid ini merupakan realisasi dari Letter

of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan Kerajaan Norwegia dalam rangka

pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan degradasi

hutan. Terlepas dari berbagai kekurangan beleid tersebut, Inpres No. 10/2011

merupakan insiaitif yang patut diapresiasi dalam mewujudkan pengelolaan

lingkungan hidup melalui penerbitan regulasi atau kebijakan yang pro lingkungan.

Sayangnya inisiatif ini menjadi tidak berarti ketika Pemerintah pada saat yang sama

justru menerbitkan kebijakan atau regulasi yang lebih pro investasi tanpa adanya save

guard bagi perlindungan lingkungan hidup. Ambil contoh Peraturan Presiden No. 32

Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia 2011-2025 (MP3EI) yang minim partisipasi padahal masterplan tersebut

merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-

2025. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam masterplan tersebut tidak diatur

secara memadahi prasyarat sebagai prakondisi yang harus disiapkan oleh Pemerintah

sebelum masterplan tersebut dilaksanakan, misalnya penataan ruang dimana belum

setiap daerah melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah mereka secara baik,

peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang selama ini tak

kunjung terbit. Bahkan mandat harmonisasi disektor pertambangan, perkebunan,

kehutanan, lingkungan, dan tata ruang jelas-jelas ditujukan untuk kepastian dan

keberlangsungan usaha dengan meminimalisir hambatan-hambatan yang berdampak

pada nilai tambah. Bagaimana dengan kepentingan masyarakat dan perlindungan

lingkungan sendiri? Hal ini tidak dijelaskan secara memadai dan terukur. Di bidang

Page 2: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 2 dari 9

perlindungan lingkungan, hanya revisi PP No. 18 jo. PP 85 Tahun 1995 yang yang

membedakan antara limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dengan limbah

khusus dalam rangka mempermudah pemanfaatan limbah industri oleh industri

maupun industri penghasil limbah sendiri guna meningkatkan daya saing industri

dalam negeri. Rentetan lainnya, pada bulan Oktober 2011 keluarlah Permentan No.

61/Permentan/OT.140/10/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan

Varietas yang mengabaikan perlindungan lingkungan hidup.

Penghujung tahun ini, tanggal 19 Desember 2011 Pemerintah melalui Kementerian

ESDM dan Kementerian Kehutanan bahkan menandatangani Nota Kesepahaman

mengenai penggunaan kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi untuk

kegiatan pemanfaatan panas bumi. MoU tersebut merupakan tindak lanjut dari

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam

dan Kawasan Pelestarian Alam yang diterbitkan pada bulan Mei 2011. PP No 28/2011

mengkategorisasikan pemanfaatan panas bumi sebagai usaha jasa lingkungan

pengelolaan air sehingga penggunaan kawasan hutah lindung untuk pemanfaatan

panas bumi menjadi semakin mudah. MoU tersebut menyepakati tenggat waktu

penyelesaian pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pemanfaatan panas

bumi serta langkah-langkah persiapan menuju penggunaan kawasan konservasi untuk

pemanfaatan panas bumi. Sepajang tahun 2011 sendiri Kementerian Kehutanan telah

menerbitkan 18 perizinan penggunaan kawasan hutan untuk panas bumi.1

Lahirnya berbagai kebijakan dan regulasi pro economic growth tidak bisa dilepaskan

dari ambisi pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 6,5

persen berdasarkan APBN 2011. MoU pemanfaatan panas bumi misalnya, merupakan

diskresi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kebuntuan pemanfaatan potensi

panas bumi yang sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan hutan, khususnya

hutan lindung dan konservasi yang penggunaannya sangat dibatasi berdasarkan Pasal

23 UU 41/1999. Dari 276 titik potensi panas bumi, 42%-nya atau setara dengan energi

12.066 MW berada di kawasan hutan.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa tahun 2011 adalah tahun pertarungan antara dua

kelompok kepentingan pro pertumbuhan ekonomi dan sejumlah kecil kepentingan pro

perlindungan lingkungan dan perubahan iklim. Alhasil sejumlah kebijakan dan

peraturan perlindungan lingkungan, misalnya moratorium izin kehutanan yang hanya

berlaku 2 tahun saja dibarter oleh kebijakan dan peraturan yang pro investasi dalam

jangka panjang. Potret suram ini ditambah oleh lemahnya kinerja Pemerintah dalam

mengimplementasikan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang telah terlambat lebih dari 1 tahun dalam mengeluarkan

semua peraturan pelaksana yang sangat diperlukan bagi kepastian perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

I.B. Negara vs. Rakyat: Bentrok Berdarah Cermin Lemahnya Pemenuhan Tata

Kelola Lingkungan dan SDA (Good Environmental Governance)

Minimnya partisipasi dan akses informasi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan

konsekuensi yang tidak dapat dihindari ketika hal tersebut dipahami secara

1 Indopos 13/9/2011

Page 3: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 3 dari 9

programatik semata. Padahal sesuai dengan dengan Prinsip 10 Deklarasi Rio,

pentingnya penanganan masalah lingkungan hidup dengan melibatkan partisipasi

seluruh pihak melalui pelibatan partisipasi seluruh pihak melalui peningkatan akses

informasi dan akses keadilan. Dengan kata lain pengelolaan lingkungan hidup dan

pemanfaatan sumber daya alam harus memenuhi kaidah-kaidah Tata Kelola

Lingkungan Hidup yang Baik (Good Environmental Governance).

Good Environmental Governance tidak dapat dilepaskan dari unsur transparansi,

partisipasi, akuntabilitas, dan pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung

lingkungan. Harusnya masyarakat mendapatkan ruang yang proporsional dalam

proses pengambilan kebijakan bersama-sama pemangku kepentingan lainnya.

Pengambilan kebijakan yang lebih pro investasi berdampak minimnya prinsip

inklusifitas bahkan tindakan represif yang harus dihadapi oleh masyarakat yang

menyuarakan hak bicaranya. Di sektor kebijakan misalnya, munculnya Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

memperlihatkan cara pandang pemerintah terhadap sumber daya alam hanya sebagai

“komoditas” daripada sebagai sebuah kesatuan entitas ruang hidup segenap bangsa

dan negara yang merepersentasikan berbagai kepentingan hidup di sana termasuk

perlindungan lingkungan dan akses adil terhadap SDA. Tidak heran jika izin-izin

usaha-pun digenjot sedemikian rupa dengan pengabaian terhadap prinsip-prinsip

Good Environmental Governance. Ambil contoh di Kota Samarinda, Kalimantan

Timur. Dari total 71.800 Ha, 65% adalah luasan izin Kuasa Pertambangan (KP) dan

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Barubara (PKP2B) berdasarkan data

Dinas Pertambangan Kota Samarinda. Sedangkan berdasarkan data Jatam Kaltim

ditemukan 70,66% dari luasa Kota Samarinda adalah untuk izin KP dan PKP2B. Bisa

dibayangkan dengan pola pendekatan yang sama –minimnya prinsip transparansi,

partisipasi, akuntabilitas, dan pengakuan daya dukung lingkungan- maka potensi

konflik lingkungan dan SDA merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Selain potensi konflik, lemahnya praktek Good Environmental Governance juga

sangat berpeluang bagi suburnya praktek KKN disektor lingkungan dan SDA.

Wilayah yang rentan praktek KKN tersebut mulai dari proses awal hingga akhir dari

pemberian izin. Di tahap awal misalnya pemenuhan persyaratan izin, pengawasan

pelaksanaan izin, hingga pengakhiran izin seperti pelaksanaan reklamasi bagi sektor

pertambangan dan reboisasi bagi sektor kehutanan. Kolaborasi „jahat“ antara pemodal

dan pemerintah maupun penegak hukum ini semakin memberikan tekanan bagi

kepentingan masyarakat maupun perlindungan lingkungan dan SDA. Ambil contoh

untuk pengakhiran izin, di Kota Samarinda dari total jumlah izin yang telah

dikeluarkan tidak diberikannya akses masyarakat secara memadahi tentang bagaimana

rencana reklamasinya, berapa besar dana reklamasi yang telah dijaminkan beserta

bentuk penjaminannya, dan bagaimana pelaksanaannya.

Page 4: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 4 dari 9

Sayangnya pada tahun 2011 ini keberadaan UU KIP mulai dari tahun 2008 belum

dapat menjawab permasalahan transparansi di sektor lingkungan hidup dan SDA.

Beberapa penyebabnya adalah: (1) lemahnya political will pemerintah; (2) lemahnya

sistem pelayanan pemerintah; (3) lemahnya penegakan hukum. Beberapa kelemahan

diatas diperlihatkan dari lemahnya perhatian Pemerintah dan Pemerintah Daerah

dalam menjalankan mandat UU KIP, antara lain: penyiapan sistem pelayanan

informasi (SOP, Petugas, sistem kearsipan, anggaran, dsb.) ataupun pelaksanaan

putusan sengketa informasi, misalnya: Putusan Komisi Informasi Pusat dalam perkara

LPAW vs. Pemkab Blora tentang kasus kontrak dan Putusan Komisi Informasi Pusat

dalam perkara ICW vs. Mabes Polri tentang rekening gendut perwira Polri. Celakanya

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sendiri membiarkan (tidak melaksanakan) putusan

yang telah berkekuatan hukum tersebut. Ini menunjukan betapa lemahnya komitmen

dan penghormatan pemerintahan kita terhadap hukum yang dibuatnya sendiri.

Berdasarkan uji akses ICEL di daerah terhadap informasi lingkungan menunjukan

bahwa pemerintah daerah tidak proaktif dalam menyediakan informasi kepada

masyarakat khususnya yang menyangkut dengan perizinan dan pelaksanaannya. Dari

total 44 permohonan informasi strategis lingkungan (Amdal, Izin Lingkungan, Hasil

Monitoring Kualitas Lingkungan), hanya 10 permohonan dikabulkan, 11 permohonan

dikabulkan setelah keberatan

internal, dan 23 permohonan

tidak dikabulkan. Padahal

informasi-informasi tersebut

adalah informasi yang

harusnya diumumkan dan

tersedia setiap saat

berdasarkan Undang-

Undang. Bahkan untuk mega

proyek seperti nuklir yang

beresiko tinggi dan

membutuhkan pendanaan

rata-rata sebesar Rp.198-288

Triliun tidak memiliki

transparansi dan partisipasi

yang memadahi seperti yang

terjadi di Provinsi Bangka

Belitung.2

Potret tata kelola lingkungan dan SDA tahun 2011 di atas menunjukan bahwa

kebijakan Presiden dalam perlindungan lingkungan hidup maupun penanggulangan

perubahan iklim yang dijanjikan kepada masyarakat dan dunia internasional tidak

dijalankan secara terarah dan konsisten. Pemenuhan good environmental governance

sebagai prasyarat keberhasilan pengelolaan lingkungan dan SDA serta perubahan

iklim justru belum mengindikasikan kemajuan yang menggembirakan.

2 Perkiraan biaya dari konsultan independen Synapse Energy Economics, Inc., menyatakan bahwa total biaya

tersebut adalah antara 6 miliar USD hingga 9 miliar USD per reaktor berkapasitas 1.100 MW. Artinya, untuk

reaktor 1.000 MW biayanya berkisar antara 5,5 miliar hingga 8,2 miliar USD. Dengan demikian, untuk 4 reaktor

berkapasitas total 4.000 MW seperti yang direncanakan di Indonesia jumlah biayanya adalah 22 miliar hingga 32

miliar USD alias 198 triliun hingga 288 triliun rupiah. Lihat www.synapse-

energy.com=Downloads=SynapsePaper.2008-07.0.Nuclear-Plant-Construction-Costs.A0022.

Page 5: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 5 dari 9

I.C. Macan Kertas Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan pada tahun 2011 memang terdapat beberapa langkah

pemerintah dalam mendorong kelembagaan penegakan lingkungan baik melalui

pengembangan ulang penegakan hukum lingkungan terpadu (One Roof Enforcement

System-ORES) maupun sistem hakim bersertifikat. Namun inisiatif tersebut belum

membuahkan hasil yang nyata. Kedua sistem tersebut belum efektif berlaku karena

baru tahap pengembangan.

Konflik lingkungan hidup dan SDA merupakan poin penting yang harus diperhatikan

pada tahun ini. Dalam kurun waktu 2 (dua) tahun setelah diberlakukannya Undang –

Undang No. 32 Tahun 2009 hingga 3 Oktober 2011 tercatat 171 pengaduan

masyarakat. Dari jumlah tersebut 42 pengaduan telah diverifikasi oleh KLH dan 129

pengaduan diserahkan kepada institusi lingkungan hidup di daerah sesuai dengan

kewenangan masing-masing. Dari 42 pengaduan yang diverifikasi oleh KLH, 20

pengaduan ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi administrasi, 14 pengaduan

diselesaikan melalui perdata, dan 8 pengaduan ditindaklanjuti secara pidana.

Sedangkan terhadap 92 laporan pidana lingkungan hidup, baru 21 kasus yang masuk

ke tahap penyidikan dan baru 1 kasus yang berkasnya dinyatakan lengkap oleh jaksa.

Artinya hanya 45 laporan yang dapat ketahui setatusnya dan sisanya sebesar 47

laporan belum diketahui statusnya. Untuk penegakan hukum perdata 7 perkara yang

diselesaikan melalui pengadilan, 17 kasus diselesaiakan di luar pengadilan dan 20

kasus masih dalam tahap verifikasi.3

Penanganan Pengaduan

Penanganan Laporan Pidana

3 Dirangkum dari Rapat Koordinasi Nasional Penegakan Hukum Lingkungan 2011,

http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=5167%3Arakornas-

penegakan-hukum-lingkungan-2011&catid=43%3Aberita&Itemid=73&lang=en, 27 Desember 2011.

Page 6: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 6 dari 9

Penanganan Perdata

Data di atas menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup belum proaktif.

Penegakan hukum lingkungan masih banyak mengandalkan pengaduan dan laporan

masyarakat. Artinya penegakan hukum lingkungan belum terintegrasi dengan sistem

monitoring yang harus dilakukan oleh instansi pemberi izin baik ditingkat pusat

maupun daerah. Penegakan hukum lingkungan juga belum banyak menyentuh pejabat

pemberi izin padahal sektor perizinan merupakan salah satu sektor yang rentan

terhadap praktek penyalahgunaan wewenang seperti KKN. Namun hal ini juga

menunjukkan bahwa di sisi lain kontrol publik memiliki peran yang strategis dalam

menyelamatkan upaya penegakan hukum lingkungan.

Di sisi lain, sistem pengaduan lingkungan hidup saat ini belum terintegrasi dengan

sistem pengaduan dan penegakan hukum di sektor lainnya seperti perkebunan,

kehutanan, pertambangan, dan tata ruang. Sektor-sektor tersebut memiliki andil yang

sangat signifikan dalam menyebabkan konflik lingkungan dan SDA. Sebagai contoh,

pelanggaran terhadap hukum kehutanan semakin massif. Pada 1 Februari 2011, Satgas

Pemberantasan

Mafia Hukum

bersama dengan

Kementerian

Kehutanan RI telah

mempublikasikan

temuannya terhadap

pelanggaran hukum

kehutanan di

Kalimantan Tengah.

Satgas menyatakan

terdapat 285 unit

perusahaan

perkebunan dengan

luas setidaknya 3.8

juta Ha dan 606 unit

perusahaan pertambangan dengan luas setidaknya 3.67 juta Ha di kawasan hutan

Kalimantan Tengah yang tidak memiliki izin berdasarkan dengan ketentuan

perundang-undangan kehutanan4

Disharmonisasi kebijakan penataan ruang antara

Pemerintan dan Pemerintah Daerah dituduh menjadi biang keladi sekaligus alasan

tidak dilakukannya penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut.

4 Satgas PMH, “Siaran Pers: Penegakan Hukum pada Pelanggaran di Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah”,

http://www.satgas-pmh.go.id/?q=node/179, 1 Februari 2011, diakses pada tanggal 28 Desember 2011.

Page 7: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 7 dari 9

Patut diakui bahwa disharmonisasi merupakan salah satu penyebab terjadinya

fenomena di atas, namun seharusnya penegakan hukum masalah tersebut lebih

komprehensif. Berdasarkan data yang dirilis oleh Satgas PMH ditemukan bahwa dari

285 izin perkebunan dan 606 izin pertambangan yang dinyatakan melanggar tersebut,

terdapat 497 unit izin pertambangan (13 di antaranya berada di hutan lindung) dan

204 unit izin

perkebunan (54 di

antaranya sudah

aktif beroperasi)

yang secara nyata

melanggar RTRWP

maupun TGHK.5

Artinya lebih dari

75% pelanggaran

yang terjadi adalah

bukan akibat

konflik kebijakan

penataan ruang

yang seharusnya

ditindak secara

tegas oleh penegak

hukum. Tragisnya, hingga akhir tahun 2011 belum ada penegakan hukum yang nyata,

meskipun Satgas PMH bersama dengan Kementerian Kehutanan telah menetapkan 63

kasus prioritas untuk ditindak secara hukum. Selain hanya lip service kondisi ini patut

diduga sebagai indikasi bahwa penegakan hukum lingkungan dan SDA telah

tersandera oleh mafia hukum yang terus menggerogoti sistem penegakan hukum kita.

Praktek-praktek yang rentan kolaborasi pelaku usaha dengan aparat penegak hukum

masih terus terjadi di tahun ini. Berdasarkan data Kepolisian Negara Republik

Indonesia Daerah (Polda) Papua Nomor B/918/IV/2011 tertanggal 19 April 2011

sejumlah aparat (635) TNI-Polri yang terdiri dari 50 anggota Polda Papua, 69 anggota

Polres Mimika, 35 anggota Brimob Den A Jayapura, 141 anggota Brimob Den B

Timika, 180 anggota Brimob Mabes Polri dan 160 anggota TNI ditugaskan untuk

mengamankan obyek vital PT Freeport Indonesia. Personel ini diganti setiap bulan

sekali dan Satgas pengamanan ini diberikan imbalan Rp 1.250.000,- /orang yang

diberikan langsung oleh manajemen PT. Freeport Indonesia kepada aparat6. Tidak

heran jika praktek ini mempengaruhi independensi aparat penegak hukum ditengah-

tengah konflik lingkungan hidup dan SDA.

Pengadilan perlu diberikan catatan pada tahun ini. Inisiatif memperkuat sistem

penegakan hukum lingkungan melalui sistem sertifikasi hakim lingkungan hidup telah

dilakukan meskipun baru efektif Agustus 2013. Namun inisiasi ini patut dikawal

untuk menjawab permasalahan kapasitas dan integritas hakim lingkungan.

Pengalaman pembentukan Pengadilan Tipikor harus menjadi pelajaran bagi

Mahkamah Agung RI agar hakim-hakim yang terpilih sebagai hakim lingkungan

adalah hakim yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi. Selain itu,

5 Satgas PMH, “Praktik Mafia Hukum di Sektor Kehutanan”, (Jakarta: Satgas PMH, 2011, hal 3. 6 Implementation of Access to Information in Papua,

http://www.tifafoundation.org/index.php?comp=home.detail.31&lang=id

Page 8: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 8 dari 9

pengembangan sistem sertifikasi hakim lingkungan hidup ini juga harus diimbangi

dengan sistem pengawasan, penyidikan dan penuntutan yang lebih baik melalui

penegakan hukum lingkungan terintegrasi (One Roof Enforcement System-ORES)

yang saat ini sedang dikembangkan oleh KLH, Kejaksaan, dan Polri.

II. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

II.A. Kesimpulan

1. Politik hukum nasional di tahun 2011 belum menunjukkan pengarusutamaan

pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan nasional. Akibatnya, meskipun

berbagai komitmen perlindungan lingkungan telah digembar – gemborkan, aksi

nyata tetap berpihak kepada pertumbuhan ekonomi secara tidak seimbang. Hal ini

terindikasikan dalam berbagai produk hukum terkait lingkungan dan SDA yang

lebih pro investor daripada perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak

masyarakat.

2. Pengelolaan lingkungan hidup dan SDA di tahun 2011 belum memenuhi prinsip-

prinsip good environmental governance, yaitu transparansi, partisipasi,

akuntabilitas dan pengakuan keterbatasan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini

diindikasikan oleh lemahnya pemenuhan akses informasi dan partisipasi dalam

setiap pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup dan SDA (termasuk

keputusan perizinan) yang menjadi akar masalah bagi berbagai konflik

lingkungan dan SDA.

3. Penegakan hukum lingkungan dan SDA belum berjalan efektif, belum menjawab

rasa keadilan masyarakat, dan belum dapat memulihkan kerusakan lingkungan

yang terjadi. Kapasitas kelembagaan penegak hukum serta praktik mafia hukum

(kolaborasi pelaku usaha-pejabat pemerintah-penegak hukum) masih menjadi

faktor utama mandeknya penegakan hukum di sektor lingkungan dan SDA.

II.B. Rekomendasi

1. Harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor lingkungan hidup dan SDA

sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup yang melibatkan

para pemangku kepentingan (multistakeholdership). Harmonisasi ini harus

dipimpin langsung oleh Presiden RI.

2. Pengembangan pelaksanaan tata kelola lingkungan dan SDA yang baik melalui

penerapan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas melalui: (a)

pelaksanaan mandat UU Keterbukaan Informasi Publik, khususnya oleh instansi

terkait lingkungan hidup dan SDA; (b) pengembangan sistem partisipasi publik,

khususnya dalam pengambilan keputusan perizinan mulai dari regulasi hingga

mekanismenya; dan (c) pelembagaan resolusi konflik lingkungan dan SDA yang

terintegrasi antar sektor.

3. Peningkatan efektifitas penegakan hukum lingkungan dan SDA melalui: (a)

pengembangan kelembagaan penegakan hukum khusus untuk kasus-kasus

lingkungan dengan kriteria tertentu, sebagai trigger mechanism bagi lemahnya

penegakan hukum yang selama ini terjadi; (b) pembenahan sistem integritas dan

Page 9: Catatan Akhir Tahun ICEL

Halaman 9 dari 9

akuntabilitas lembaga penegak hukum untuk mencegah praktek mafia hukum di

sektor lingkungan dan SDA; (c) memprioritaskan pemberantasan KKN di sektor

lingkungan dan SDA; (d) memberikan shock therapy bagi pelaku usaha-pejabat

pemerintah-penegak hukum yang terlibat kejahatan lingkungan dan SDA,

korupsi, dan pencucian uang.

****

Contact Person:

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif (081-585-741-001)