case study_standarisasi varian logistik

35
ANALISIS POTENSI PENGHEMATAN DARI STANDARISASI JENIS OBAT-OBATAN DI APOTEK R Oleh: Rahmalia Dini Putranti ABSTRAK Apotek R yang didirikan pada tahun 1992 di Rumah Sakit H merupakan unit usaha mandiri yang bergerak dalam bidang penyediaan obat dan alat kesehatan serta pelayanan jasa profesi farmasi. Saat ini, dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang kinerja Rumah Sakit H, Apotek R harus melakukan pemesanan untuk ribuan jenis obat-obatan ke berbagai Pedagang Besar Farmasi sebanyak tiga kali seminggu, kemudian mendistribusikannya kepada 29 titik depo. Banyaknya jenis obat yang berputar serta belum maksimalnya pemanfaatan teknologi komputer dalam sistem kerja apotek berakibat pada kesulitan dalam melakukan inventory management. Agar dapat survive dalam kondisi industri yang makin kompleks, perusahaan harus mengoptimalkan kinerja sistem distribusinya, termasuk diantaranya adalah dengan menganalisis kemungkinan dilakukannya variety reduction (standarisasi) pada persediaan obat-obatan di Apotek R. Analisis ditujukan untuk mengetahui dan mengkuantifikasi berbagai konsekuensi yang timbul akibat penerapan standarisasi jenis obat-obatan. Hal ini mencakup analisis obat-obatan yang memiliki komposisi sama, mengelompokkannya dan menelaah frekuensi penjualan masing- masing obat tersebut. Berdasarkan data tersebut, obat-obat dari setiap kelompok yang jumlah penjualannya di bawah

Upload: rdeeschuey

Post on 05-Aug-2015

73 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

ANALISIS POTENSI PENGHEMATAN DARI STANDARISASI JENIS

OBAT-OBATAN DI APOTEK R

Oleh: Rahmalia Dini Putranti

ABSTRAK

Apotek R yang didirikan pada tahun 1992 di Rumah Sakit H merupakan unit usaha

mandiri yang bergerak dalam bidang penyediaan obat dan alat kesehatan serta pelayanan

jasa profesi farmasi. Saat ini, dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang kinerja

Rumah Sakit H, Apotek R harus melakukan pemesanan untuk ribuan jenis obat-obatan ke

berbagai Pedagang Besar Farmasi sebanyak tiga kali seminggu, kemudian

mendistribusikannya kepada 29 titik depo. Banyaknya jenis obat yang berputar serta belum

maksimalnya pemanfaatan teknologi komputer dalam sistem kerja apotek berakibat pada

kesulitan dalam melakukan inventory management. Agar dapat survive dalam kondisi

industri yang makin kompleks, perusahaan harus mengoptimalkan kinerja sistem

distribusinya, termasuk diantaranya adalah dengan menganalisis kemungkinan

dilakukannya variety reduction (standarisasi) pada persediaan obat-obatan di Apotek R.

Analisis ditujukan untuk mengetahui dan mengkuantifikasi berbagai konsekuensi

yang timbul akibat penerapan standarisasi jenis obat-obatan. Hal ini mencakup analisis

obat-obatan yang memiliki komposisi sama, mengelompokkannya dan menelaah frekuensi

penjualan masing-masing obat tersebut. Berdasarkan data tersebut, obat-obat dari setiap

kelompok yang jumlah penjualannya di bawah standar, akan dihapuskan dari daftar

inventory Apotek R, dan penjualan maupun pembelian obat-obat tersebut akan dialihkan ke

obat generik. Dengan jenis item yang lebih sedikit, pihak apotek akan lebih mudah

menangani proses distribusi inventory-nya.

Kata Kunci: Variety Reduction, Apotek, Obat Generik, Proses Distribusi.

PROFIL PERUSAHAAN

Pendirian Apotek R di Rumah Sakit H didasari oleh adanya kebijakan Pemerintah

mengenai swadanisasi rumah sakit dan berakhirnya perjanjian kerja sama antara Rumah

Sakit H dan PT Kimia Farma dalam hal pelayanan obat, pada tanggal 31 Desember 1991.

Sebagai usaha perapotekan yang merupakan bagian dari Rumah Sakit H, Apotek R bertugas

untuk menyuplai kebutuhan instalasi farmasi Rumah Sakit H.

Proses bisnis Apotek R adalah proses pelayanan kefarmasian serta proses

pendistribusian obat-obatan dan alat kesehatan. Pelayanan yang diberikan meliputi

Page 2: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

pelayanan obat bebas atau tanpa resep, maupun pelayanan resep yang dibuat oleh dokter,

baik dari lingkungan Rumah Sakit H ataupun dari luar rumah Sakit H. Selain itu, Apotek R

juga memberikan pelayanan kefarmasian berupa pemberian informasi obat dan alat

kesehatan untuk menjamin keamanan pemakaian obat oleh pasien, serta pemberian

konseling atau konsultasi obat kepada pasien ataupun keluarga pasien. Pelayanan diberikan

di seluruh depo-depo farmasi yang tersebar di Rumah Sakit H. Pihak-pihak yang terlibat

dalam proses bisnis Apotek R adalah:

Pedagang Besar Farmasi (PBF), yang terdiri atas distributor-distributor yang

menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan yang dipesan oleh gudang pusat.

Gudang pusat yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan pembelian apotek dan

mendistribusikan barang, baik secara langsung maupun tidak langsung ke depo-depo

pelayanan di Apotek R.

Gudang gedung baru atau gudang antara, merupakan penyedia obat-obatan bagi depo

yang terletak di gedung baru.

Depo yang tersebar di gedung lama, bertugas untuk melayani persediaan obat untuk

instalasi rawat inap dan rawat jalan di gedung lama.

IPD, merupakan salah satu depo pelayanan di gedung lama yang juga menyuplai obat-

obatan untuk depo-depo pelayanan yang tidak memiliki ruangan persediaan.

Gambar 1 Jaringan Distribusi Apotek R

Page 3: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Gudang pusat melakukan pembelian rutin ke PBF sebanyak 3 kali dalam

seminggu, yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Selain itu, proses bisnis gudang pusat

juga meliputi pelayanan pemesanan rutin dari gudang gedung baru dan depo-depo di

gedung lama. Gudang gedung baru melakukan pemesanan rutin setiap hari Senin hingga

Jumat, sementara itu depo-depo lain melakukan pemesanan sebanyak 3 kali dalam

seminggu pada hari-hari yang telah ditentukan dalam jadwal.

Tabel 1 Jadwal Pemesanan Rutin di Apotek R

Jadwal Pemesanan RutinSenin: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung Lama

Selasa: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung LamaRabu: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung LamaKamis: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung Lama

Jumat: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung Lama

Sabtu: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung Lama

PENDAHULUAN

Hingga saat ini, sistem rantai pasok yang berlangsung di Apotek R belum optimal,

karena proses pemesanan (baik dari gudang pusat ke PBF ataupun dari depo ke gudang

pusat) masih bergantung pada intuisi dari pegawai inventory di gudang pusat. Keterlibatan

teknologi komputer dalam sistem distribusinya masih rendah. Meskipun depo-depo telah

dilengkapi dengan komputer yang difasilitasi dengan jaringan lokal, komputer hanya

dimanfaatkan untuk melakukan proses pemesanan obat ke gudang pusat atau peminjaman

ke depo lain. Dengan tidak digunakannya sistem komputerisasi untuk inventory

management di setiap depo, kegiatan monitoring level persediaan untuk tiap jenis obat

menjadi sulit dilakukan. Hal tersebut diperparah dengan tata letak dan pengaturan rak

penyimpanan obat-obatan yang kurang ergonomis sehingga menyebabkan kesulitan untuk

melakukan pengecekan level persediaan secara rutin. Hal ini berujung pada tingginya

frekuensi stock out pada depo-depo pelayanan di Rumah Sakit H. Stock out pada level depo

mengakibatkan terjadinya fenomena pinjam-meminjam antar depo dan terjadinya

pemesanan non-rutin ke gudang pusat, yang menghambat proses pemenuhan pesanan rutin.

Baik pada level gudang pusat maupun depo, hingga saat ini permintaan non-rutin

merupakan gangguan yang paling dominan bagi proses pemenuhan pesanan rutin. Hal ini

disebabkan pesanan non rutin umumnya bersifat urgent atau mendesak sehingga

pemenuhannya harus diprioritaskan.

Page 4: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Gambar 2 Current Reality Tree Permasalahan Sistem Distribusi di Apotek R

Tingginya frekuensi stock out dan pinjam-meminjam antar depo mengindikasikan

bahwa sistem distribusi di Apotek R belum optimal. Kombinasi dari banyaknya jenis obat-

obatan yang disuplai oleh gudang pusat dan tidak efektifnya sistem distribusi internal,

mengakibatkan kesulitan yang sangat besar, baik bagi pegawai gudang pusat untuk

mengkalkulasi secara tepat jumlah pesanan obat-obatan ke PBF maupun bagi pegawai depo

untuk melakukan pemesanan ke gudang pusat. Permasalahan distribusi di Apotek R

merupakan hal yang sangat penting untuk dibenahi, mengingat:

1. Rumah Sakit H merupakan rumah sakit referensi di Jawa Barat, sehingga jumlah

pasiennya sangat banyak (depo IPD melayani ± 371 konsumen setiap harinya).

2. Apotek R mengelola lebih dari 6000 jenis inventori di gudangnya, dan berhubungan

dengan puluhan PBF atau distributor obat.

3. Sistem kerja di Apotek R terbagi atas 87 shift dan memiliki 29 titik depo pelayanan.

4. Saat ini gudang pusat Apotek R tidak berada di “pusat” apotek, sehingga delivery time

ke depo-depo menjadi lebih lama. Selain itu, kapasitas ruang persediaan sangat tidak

memadai, sehingga sistem penyimpanan inventori sangat tidak sistematis dan

menyulitkan pencarian obat.

5. Terdapat banyak dokter di lingkungan Rumah Sakit H dengan preferensi brand obat

yang berbeda-beda, sehingga banyak varian inventori yang beredar di Apotek R

Page 5: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Karena rumitnya kondisi kerja di Apotek R, sistem distribusi dan rantai pasok yang optimal

merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi bagi Apotek R.

Alternatif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja sistem distribusi

Apotek R adalah melalui pengurangan variasi brand obat-obatan yang disediakan di setiap

depo layanan Apotek R. Alternatif ini logis untuk dilakukan mengingat dari ribuan jenis

obat yang disuplai oleh Apotek R, banyak diantaranya yang memiliki komposisi ataupun

kegunaan yang identik, namun diproduksi oleh pabrik yang berbeda. Secara teoritis,

standarisasi jenis obat-obatan akan dapat menghasilkan berbagai keuntungan, termasuk

diantaranya keuntungan finansial dari segi penurunan biaya.

Bahasan pada makalah ini diarahkan pada analisis kuantitatif dan kualitatif

terhadap berbagai konsekuensi yang akan dihadapi oleh apotek akibat penerapan proses

standarisasi jenis obat-obatan. Objek analisis akan dibatasi pada obat-obatan kategori CKT

(Capsule, Kaplet dan Tablet) di luar tablet-tablet jenis vitamin, multivitamin dan suplemen

yang umumnya memiliki kandungan kompleks. Proses standarisasi akan dilakukan

berdasarkan data penjualan apotek pada periode Desember 2005 hingga Januari 2006.

PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH

Dari hasil pengumpulan dan pengolahan data, pada periode Desember 2005 –

Januari 2006 Apotek R telah menjual 1134 brand obat kategori CKT dari seluruh depo

layanannya. Setelah melakukan pengelompokan dan menetapkan kriteria eliminasi,

diperoleh 52 kelompok obat sebagai objek analisis standarisasi. Nama-nama kelompok obat

tersebut disajikan pada Tabel 2.

Gambar 3 Metode Pengelompokan Obat

Page 6: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Tabel 2 52 Kelompok Obat yang Menjadi Objek Analisis Standarisasi

Golongan Obat Jumlah Brand Golongan Obat Jumlah Brand Allopurinol 300 4 Meloxicam 15 6 Alprazolam 0.5 8 Meloxicam 7.5 4 Ambroxol HCl 30 7 Metformin HCl 500 4 Amoxicillin 500 8 Methylprednisolon 16 4 Calcitriol 0.25 4 Methylprednisolon 4 5 Captopril 12.5 4 Methylprednisolon 8 4 Captopril 25 4 Metoclopramide 10 6 Cefadroxil monohydrate 5 Metronidazole 500 8 Cefixime 100 8 Nimesulide 100 6 Cetrizine HCl 10 8 Ofloxacin 400 5 Ciprofloxacin 500 11 Omeprazole 20 8 Clindamycin 150 5 Ondansetron HCl 8 5 Clindamycin 300 9 Paracetamol 500 12 Diclofenac Na 50 9 Piracetam 1200 7 Diclofenax Na 25 4 Piracetam 800 7 Domperidone 10 7 Ramipril 2.5 4 Doxycycline hyclate 4 Ranitidine 150 11 Eperisone HCl 50 5 Risperidone 2 4 Fluoxatine HCl 20 7 Simvastatin 10 4 Haloperidol 5 4 Simvastatin 5 4 Lansoprazole 30 7 Spironolactone 25 4 Levofloxacin 500 10 Thiamphenicol 500 6 Loratadine 10 7 Ticlopidine HCl 250 4 Mecobalamin 500 6 TM 80, SMZ 400 4 Mefenamic acid 250 4 Tramadol 50 7 Mefenamic acid 500 4 Tranexamic acid 500 4

Dengan kriteria eliminasi yang akan tetap mempertahankan 3 brand obat dengan

nilai penjualan tertinggi dari tiap kelompok, jumlah brand obat yang akan dipertahankan

adalah sebanyak 156 (= 3 x 52), dan jumlah brand yang akan dilepas adalah sebanyak 154.

Jadi berdasarkan data penjualan Apotek R pada periode bulan Desember 2005-Januari

2006, jumlah brand obat yang akan direduksi adalah sebanyak 13,58% dari jumlah total

obat kategori CKT yang terjual sebanyak 1134 brand. Pengecualian eliminasi akan

diberlakukan pada obat-obat generik. Obat generik tetap dipertahankan pada daftar

inventori apotek, meskipun tidak termasuk ke dalam 3 besar nilai penjualan tertinggi,

mengingat preferensi dan kebutuhan masyarakat yang besar terhadap obat-obat generik.

Berdasarkan persetujuan dengan pihak internal Apotek R, disepakati bahwa dalam

pelaksanaan proses standarisasi ini, penjualan brand obat-obatan yang tereliminasi akan

dialihkan ke obat generik. Dengan mengalihkan penjualan kepada obat-obatan generik yang

memiliki harga lebih murah daripada obat-obat lain yang memiliki kandungan sama, proses

standarisasi diharapkan tidak akan menghadapi penolakan dari pihak pasien.

Page 7: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

HASIL ANALISIS

Standarisasi jenis obat akan memberikan berbagai keuntungan bagi apotek, baik

berupa keuntungan finansial maupun non-finansial. Keuntungan finansial itu dapat berupa

penurunan nilai persediaan, sedangkan keuntungan non-finansial dapat berupa pengurangan

space area penyimpanan persediaan, penurunan waktu pemesanan obat dan sebagainya.

Penurunan Nilai Persediaan

Dengan pengalihan jumlah penjualan obat-obat paten tereliminasi ke obat generik

yang memiliki harga lebih rendah, nilai inventori apotek akan menurun. Karena tidak

adanya data level inventori maka digunakan pendekatan bahwa nilai penjualan Apotek R

sama dengan nilai inventorinya. Dari total 52 jenis obat yang distandarisasi, nilai total

inventori awal Apotek R selama 2 bulan adalah sebesar Rp 384.722.500,-. Standarisasi

akan menghasilkan penurunan nilai inventori sebesar Rp 46.016.549,57,- atau sebesar

11,96% dari nilai inventori awal. Dengan demikian, jumlah investasi apotek untuk

menyediakan inventori sejumlah penjualan pada periode tersebut akan berkurang

sebesar 11,96%. Penurunan nilai inventori ini cukup berarti bagi Apotek R, karena dengan

penurunan ini, kekayaan apotek yang terendapkan sebagai inventori akan menurun,

sehingga apotek dapat menggunakannya untuk keperluan lain. Selain itu dengan penurunan

nilai inventori, nilai insurance cost apotek atau risiko yang ditanggung oleh apotek karena

nilai kepemilikan inventori juga menurun. Contoh perhitungan penurunan nilai persediaan

ini disajikan pada Tabel 3

Tabel 3 Penurunan Nilai Persediaan untuk Golongan Levofloxacin 500 Pasca Standarisasi

NAMA OBATHARGA/

UNIT(Rp/bh)

Sebelum Standarisasi Setelah StandarisasiJUMLAH

PENJUALAN (Bh)

NILAI PENJUALAN

(Rp)

JUMLAH PENJUALAN

(Bh)

NILAI PENJUALAN

(Rp)Content : Levofloxacin 500    CRAVIT 500 TAB 32.240,55 577 18.602.800 577 18.602.800,00DIFLOXIN 500 TAB 16.257,93 416 6.763.300 416 6.763.300,00VOLEQUIN 500 TAB 29.913,53 170 5.085.300LEVOFLOXACIN 500 TAB 10.062,56 406 4.085.400 976 9.821.060,10RESKUIN 500 KAPL 32.040,57 106 3.396.300 TOTAL 35.187.160,10CRAVOX 500 TAB 16.857,72 149 2.511.800    INACID 500 TAB 11.809,41 85 1.003.800    LEVOCIN 500 TAB 29.552,17 23 679.700    NISLEV 500 TAB 21.380,00 25 534.500    VOXIN 500MG KAPLET 16.075,00 12 192.900      TOTAL 42.855.800            SELISIH 7.668.639,90

Page 8: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Penurunan Jumlah Inventori

Bila Apotek R telah menggunakan metode yang benar dalam perencanaan

pemesanan, maka untuk service level yang sama, level inventori yang harus dipersiapkan

oleh apotek menjadi berkurang karena adanya efek risk pooling. Contoh perhitungan risk

pooling pada level depo diberikan untuk penjualan obat kelompok Amoxicillin 500 di IPD.

Tabel 4 Penjualan Obat Amoxicillin 500 di IPD Sebelum Dilakukannya Standarisasi

Nama ObatDATA PENJUALAN Avg.

Weekly Demand

Weekly Std.

Deviation

Avg. Daily

Demand*

Std. Deviation of Daily

Demand*Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

AMOXSAN 500 CAPS 60 86 48 68 65,5 15,95 9,36 6,03PENMOX 500 TAB 0 0 0 0 0 0 0 0AMOXYCILLIN 500 KAP 164 160 204 96 156 44,66 22,29 16,88INTERMOXIL 500 CAP 28 30 0 48 26,5 19,82 3,79 7,49KALMOXILIN 500 KAP 10 15 0 10 8,75 6,29 1,25 2,38NOVAX 500 TAB 10 0 15 0 6,25 7,5 0,89 2,83AMOXIL 500 CAPS 10 10 0 0 5 5,77 0,71 2,18SILAMOX 500 TAB 16 0 0 10 6,5 7,9 0,93 2,99

* Average daily demand = Average weekly demand/7 Standard deviation of daily demand = Weekly standard deviation/√ 7

Dengan menggunakan metode Periodic Review Policy, maka nilai base stock level atau

target inventory level adalah:

Base stock level = (r+L) x AVG + z x STD x

r = Periodic Order (2 hari)L = Lead Time (4 jam atau 0,167 hari)AVG = Average Daily Demandz = Safety Factor (z = 1,65 untuk service level 95%, nilai ini dipilih karena metode ini merupakan hal yang baru bagi Apotek R, sehingga sebaiknya digunakan standar yang moderate untuk awal penerapannya).STD = Standard Deviation of Daily Demand

Tabel 5 Nilai Base Stock Level Golongan Amoxicillin 500 di IPD Sebelum Standarisasi

Nama Obat Base Stock LevelAMOXSAN 500 CAPS 34.92PENMOX 500 TAB 0.00AMOXYCILLIN 500 KAPL 89.29INTERMOXIL 500 CAPS 26.40KALMOXILIN 500 KAPL 8.48NOVAX 500 TAB 8.82AMOXIL 500 CAPS 6.84SILAMOX 500 TAB 9.26Total 184.03

Jadi, berdasarkan metode Periodic Review Policy, sebelum dilakukannya standarisasi, IPD

harus mempersiapkan obat golongan Amoxicillin 500 CKT sebanyak 185 tablet untuk

persediaan selama 2 hari agar dapat mengantisipasi dinamika penjualan.

Page 9: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Tabel 6 Penjualan Obat Amoxicillin 500 di IPD Setelah Dilakukannya Standarisasi

Nama ObatDATA PENJUALAN Avg.

Weekly Demand

Weekly Std.

Deviation

Avg. Daily

Demand

Std. Deviation of

DailyDemandMinggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

AMOXSAN 500 CAPS 60 86 48 68 65,5 15,95 9,36 6,03PENMOX 500 TAB 0 0 0 0 0 0 0 0AMOXYCILLIN 500 238 215 219 164 209 31,63 29,86 11,96

Tabel 7 Nilai Base Stock Level Golongan Amoxicillin 500 di IPD Setelah Standarisasi

Nama Obat Base Stock LevelAMOXSAN 500 CAPS 34.92PENMOX 500 TAB 0.00AMOXYCILLIN 500 93.74Total 128.66

Sebagaimana terlihat pada Tabel 5 dan Tabel 7, standarisasi dapat mengakibatkan

penurunan nilai base stock level. Jumlah penjualan satu jenis obat yang tinggi akan

terimbangi (ter-off set) oleh jumlah penjualan yang rendah dari obat lain, karena penjualan

obat-obat tersebut telah dialihkan ke obat yang sama, yaitu obat generik. Dengan service

level 95% atau stock out possibility = 5%, dan dengan adanya standarisasi, IPD hanya perlu

menyediakan obat golongan Amoxicillin 500 sebanyak 129 tablet atau menurun sebesar

30,27% dari jumlah persediaan awal. Dengan reduksi ini, jumlah aset yang menumpuk

sebagai persediaan obat akan menurun dan perputaran uang di Apotek R menjadi lebih

cepat. Contoh perhitungan hanya dilakukan untuk satu depo dan satu jenis obat. Namun

apabila standarisasi diterapkan di seluruh depo, maka penurunan jumlah persediaan ini akan

dialami di setiap depo, untuk seluruh kelompok obat yang distandarisasi.

Contoh perhitungan penurunan level persediaan untuk gudang pusat juga dilakukan

untuk jenis obat Amoxicillin 500. Berdasarkan data pembelian gudang pusat untuk obat

Amoxicillin 500 selama periode bulan Desember 2005 hingga Januari 2006, gudang pusat

rata-rata melakukan replenishment obat golongan Amoxicillin 500 satu kali dalam satu

minggu. Jumlah total pembelian golongan obat ini pada periode 2 bulan tersebut adalah

18.450 buah, atau rata-rata sebanyak 2.307 buah per minggu.

Tabel 8 Data Penjualan Gudang Pusat untuk Obat Golongan Amoxicillin 500 pada Periode

Desember 2005 – Januari 2006 Bila Standarisasi Telah Diterapkan

Nama ObatDATA PENJUALAN (Bh) Avg. Monthly

DemandMonthly Std.

DeviationAvg. Daily Demand*

Daily Std. Deviation*Des'05 Jan'06

AMOXSAN 500 CAPS 879 856 867,5 11,5 28,92 2,10PENMOX 500 TAB 844 791 817,5 26,5 27,25 4,84AMOXYCILLIN 500 KAPL 3.344 4.291 3.817,5 473,5 127,25 86,45

Total 5.067 5.938 * Average daily demand = Average weekly demand/30 Standard deviation of daily demand = Weekly standard deviation/√ 30

Page 10: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Pada Tabel 8 disajikan data penjualan gudang pusat pada periode Desember 2005 hingga

Januari 2006, bila standarisasi diterapkan dan penjualan obat paten tereliminasi telah

dialihkan ke obat generik. Jumlah obat golongan Amoxicillin 500 yang terjual pada

periode tersebut adalah 11.005 buah. Dengan demikian, sebenarnya jumlah pembelian

gudang pusat jauh melebihi jumlah penjualannya. Mengingat lead time pengiriman barang

dari PBF ke Apotek R maksimal hanya 1 hari, maka seharusnya gudang pusat tidak perlu

melakukan penumpukan inventori sebanyak itu. Bila gudang pusat melakukan perencanaan

pembelian dengan benar, misalnya berdasarkan metode Periodic Review Policy, maka level

inventori gudang pusat dapat berkurang dengan cukup signifikan. Data Base Stock Level

gudang pusat pasca standarisasi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai Base Stock Level Obat Golongan Amoxicillin 500 di Gudang Pusat Setelah

Dilakukannya Standarisasi

Nama Obat Base Stock LevelContent: Amoxicillin 500  AMOXSAN 500 CAPS 241,13PENMOX 500 TAB 240,58AMOXYCILLIN 500 KAPL 1,421,45

Total 1.903,16

Berdasarkan hasil yang disajikan pada tabel tersebut, nilai base stock level atau

target inventory level gudang pusat untuk 1 minggu adalah 1.904 buah. Terdapat penurunan

yang cukup signifikan dari jumlah inventori gudang pusat. Bila sebelumnya, dengan

perencanaan pembelian yang hanya berdasarkan pada intuisi, gudang pusat melakukan

pembelian obat golongan Amoxicillin 500 sebanyak 2.307 buah per minggu, maka dengan

dilakukannya standarisasi yang disertai pula dengan penerapan metode Periodic Review

Policy, setiap minggunya gudang pusat hanya perlu melakukan replenishment hingga

jumlah persediaan obat golongan Amoxicillin 500-nya mencapai 1.904 buah.

Laba/Profit Apotek dari Hasil Penjualan Obat-obatan

Obat generik merupakan obat yang dipasarkan dengan harga rendah, dan harus

disediakan oleh apotek untuk menjalankan fungsi pelayanan publik. Karena itulah, margin

keuntungan yang ditetapkan untuk obat-obatan generik umumnya lebih kecil dibandingkan

dengan margin obat-obat lain. Dengan demikian, proses standarisasi obat-obatan dengan

pengalihan penjualan brand-brand tereliminasi ke penjualan obat generik kemungkinan

akan mengakibatkan penurunan profit bagi apotek. Namun karena data margin keuntungan

merupakan data yang sensitif bagi pihak apotek, maka perhitungan kuantitatif untuk

mengetahui pengaruh standarisasi terhadap profit apotek tidak dapat dilakukan.

Page 11: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Waktu Pemesanan Rutin ke PBF

Apotek R melakukan pemesanan obat-obatan dan alat kesehatan kepada PBF

sebanyak tiga kali dalam seminggu, yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Berdasarkan

hasil sampling, proses pemesanan tersebut rata-rata berlangsung dalam 2 jam 30 menit.

Dengan durasi waktu pemesanan tersebut, maka rata-rata Apotek R melakukan pemesanan

barang selama 7 jam 30 menit setiap minggunya, atau 30 jam setiap bulan.

Berdasarkan data pembelian apotek pada bulan Maret 2006, pada bulan tersebut

pembelian jenis item obat CKT mencapai 39,41% dari pembelian total. Melalui pendekatan

proporsional, maka total waktu yang dibutuhkan oleh Apotek R untuk melakukan

pemesanan obat kategori CKT setiap bulannya adalah 11,823 jam (39,41% dari 30 jam).

Dengan adanya reduksi brand sebanyak 13,58% dari jumlah obat kategori CKT, waktu

pemesanan barang total dapat berkurang sebanyak 5,35% (13,58% x 39,41%) atau 1,6 jam

setiap bulannya. Berdasarkan data inventori total pada bulan Januari 2005, Apotek R

memiliki sekitar 6.354 jenis inventori dari berbagai kategori. Dengan mengasumsikan

bahwa setiap kategori inventori dapat direduksi dengan pola yang sama dengan reduksi

CKT, maka standarisasi pada inventori total Apotek R juga dapat menghasilkan reduksi

brand sebanyak 13,58%, sehingga diperoleh hasil reduksi total sebagai berikut:

Jumlah reduksi dari inventori total = 13,58% x 6.354 = 862,87 ≈ 863 brand

Jadi, apabila penghematan waktu pemesanan rutin yang dihasilkan dari standarisasi obat

CKT diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu dari standarisasi inventori

total, maka dengan metode proporsional diperoleh hasil sebagai berikut:

Penghematan waktu inventori total = = 8,97 jam/bulan

Dengan menggunakan proyeksi reduksi obat kategori CKT untuk menghitung penghematan

waktu dari reduksi inventori total, maka diperoleh bahwa standarisasi pada seluruh kategori

inventori akan menghasilkan penghematan waktu pemesanan rutin sebesar 8,97 jam/bulan

atau 29,9% dari waktu pemesanan rutin awal.

Waktu Pemesanan Non-Rutin ke PBF

Proses pemesanan non-rutin tidak memiliki pola dan sangat bergantung pada

penjualan harian (dapat terjadi belasan hingga puluhan kali dalam sehari pada waktu-waktu

yang tidak tetap), sehingga total waktu proses pemesanannya sulit termonitor. Dalam

melakukan analisis terhadap waktu pemesanan non-rutin ke PBF, dilakukan sampling untuk

memperoleh data waktu rata-rata komunikasi via telepon yang dibutuhkan untuk

melakukan pemesanan satu jenis obat. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap daftar

863 x 1,6 jam/bulan154

Page 12: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

permintaan non-rutin per hari dalam periode satu bulan. Waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan pemesanan non-rutin diperoleh dengan mengalikan jumlah varian barang pada

daftar permintaan non-rutin dengan waktu rata-rata komunikasi telepon per jenis inventori.

Berdasarkan pengamatan, berbeda dengan proses pemesanan rutin ke PBF, proses

pemesanan non-rutin berlangsung dengan tidak terlalu intens. Pada pemesanan rutin,

petugas PBF telah memperoleh daftar barang-barang yang harus dibeli, sehingga proses

pembelian dilakukan dengan cepat dan efektif. Pada permintaan non-rutin, data barang

yang harus dibeli tidak sampai ke tangan petugas pembelian secara serentak, karena

bergantung pada pergerakan inventori di seluruh penjuru apotek. Dengan demikian, petugas

pembelian melakukan pemesanan dengan lebih santai, sehingga waktu pemesanan per

jumlah barang menjadi lebih lama dibandingkan dengan permintaan rutin. Dari hasil

sampling pada bulan Maret 2006, diperoleh waktu rata-rata pemesanan barang pada

permintaan non-rutin selama 82,66 detik per jenis barang. Data pembelian barang pada

hari-hari pemesanan non-rutin (Selasa, Kamis dan Sabtu) selama periode bulan Maret 2006

disajikan pada Tabel 10. Waktu pemesanan pada tabel tersebut diperoleh dengan

mengalikan durasi rata-rata 82,66 detik dengan jenis varian barang yang dibeli.

Berdasarkan tabel tersebut, total waktu yang dialokasikan untuk pembelian obat CKT

adalah 45.959,24 detik atau 12,77 jam.

Tabel 10 Data Pembelian Obat Pada Hari Pemesanan Non-Rutin

Hari TanggalJenis Varian Barang yang

Dibeli

Waktu Pemesanan

(detik)

% Kategori CKT Dalam Pemesanan

Waktu Pemesanan CKT (detik)

Kamis 2/3/2006 74 6.116,84 31,08% 1.901,11Sabtu 4/3/2006 85 7.026,10 48,23% 3.388,69Selasa 7/3/2006 97 8.018,02 24,74% 1.983,66Kamis 9/3/2006 70 5.786,20 50,00% 2.893,10Sabtu 11/3/2006 101 8.348,66 25,74% 2.148,95Selasa 14/3/2006 143 11.820,38 35,66% 4.215,15Kamis 16/3/2006 70 5.786,20 47,14% 2.727,61Sabtu 18/3/2006 97 8.018,02 31,96% 2.562,56Selasa 21/3/2006 101 8.348,66 43,56% 3.636,68Kamis 23/3/2006 70 5.786,20 34,29% 1.984,09Sabtu 25/3/2006 85 7.026,10 24,71% 1.736,15Selasa 28/3/2006 468 38.684,88 43,38% 16.781,.50

120.766,26 Total 45.959,24

Selain pada hari-hari pemesanan non-rutin, pembelian non-rutin juga terjadi pada

hari-hari pembelian rutin. Pembelian rutin rata-rata hanya berlangsung dari pukul 07.00

hingga pukul 09.30. Pembelian-pembelian yang terjadi setelahnya merupakan pesanan

susulan (terjadi karena pergerakan obat di pagi hari), yang dikategorikan pada proses

Page 13: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

pemesanan non-rutin. Berdasarkan wawancara dengan petugas pembelian, jumlah

pembelian non-rutin ini rata-rata sebesar 20% dari total pembelian barang pada hari

tersebut. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 11, total waktu yang dialokasikan untuk

pembelian obat CKT adalah 32.971,87 detik atau 9,16 jam.

Tabel 11 Data Pembelian Non-Rutin Pada Hari Pemesanan Rutin ke PBF

Hari TanggalJenis Varian

Barang Total

Jenis Varian yang Dipesan pada

Periode Non-Rutin*

Waktu Pemesanan Non-Rutin

% Kategori CKT dalam Pemesanan

Waktu Pemesanan

CKTRabu 1/3/2006 324 65 5.372,90 48,15% 2.587,05Jumat 3/3/2006 324 65 5.372,90 37,35% 2.006,78Senin 6/3/2006 296 60 4.959,60 62,16% 3.082,89Rabu 8/3/2006 472 95 7.852,70 27,37% 2.149,28Jumat 10/3/2006 339 68 5.620,88 41,18% 2.314,68Senin 13/3/2006 335 67 5.538,22 26,90% 1.489,78Rabu 15/3/2006 550 110 9.092,60 29,09% 2.645,04Jumat 17/3/2006 359 72 5.951,52 29,17% 1.736,06Senin 20/3/2006 343 69 5.703,54 30,43% 1.735,59Rabu 22/3/2006 332 67 5.538,22 41,79% 2.314,42Jumat 24/3/2006 433 87 7.191,42 54,02% 3.884,81Senin 27/3/2006 281 57 4.711,62 45,61% 2.148,97Rabu 29/3/2006 285 57 4.711,62 40,35% 1.901,14Jumat 31/3/2006 472 95 7.852,70 37,89% 2.975,39

Total 32.971,87* 20% dari jenis varian total

Dengan menggabungkan data pada Tabel 10 dan 11, total waktu pemesanan non-rutin

untuk seluruh kategori inventori adalah selama 57,29 jam per bulan, sementara itu waktu

pemesanan non-rutin untuk obat kategori CKT adalah selama 21,93 jam. Dengan adanya

reduksi brand obat kategori CKT sebanyak 13,58%, maka jumlah waktu pemesanan non-

rutin yang dapat dihemat adalah = 13,58% x 21,93 = 2,98 jam/bulan.

Apabila penghematan waktu pemesanan non-rutin yang dihasilkan dari

standarisasi obat kategori CKT diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu

yang diperoleh dari standarisasi inventori total, maka dengan menggunakan asumsi yang

sama dengan sebelumnya, diperoleh penghematan waktu total selama 16,69 jam/bulan atau

29,15% dari waktu pemesanan non-rutin awal.

Waktu Pemeriksaan Barang Diterima dan Waktu Entry Data

Selain waktu pemesanan barang ke PBF, penerapan standarisasi juga akan

mengakibatkan penurunan waktu yang diperlukan untuk pengecekan barang yang baru

diterima dari PBF dan waktu untuk memasukkan informasi barang ke komputer. Hasil

sampling pengamatan kegiatan checking dan entry data disajikan pada Tabel 12.

Page 14: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Tabel 12 Hasil Sampling Durasi Kegiatan Checking Barang dan Pemasukan Data

21/04/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Indofarma: 4 varian 8 menit 4 detik 2 menit 1 detikEntry Data 2 Rajawali: 1 varian 50 detik 50 detikEntry Data 3 Antarmitra: 4 varian 8 menit 31 detik 2 menit 8 detikEntry Data 4 Langkah Abadi: 2 varian 3 menit 50 detik 1 menit 55 detikEntry Data 5 Anugrah Argon: 5 varian 10 menit 33 detik 2 menit 7 detikEntry Data 6 Singgasana: 2 varian 2 menit 11 detik 1 menit 6 detikEntry Data 7 Enseval: 13 varian 28 menit 12 detik 2 menit 11 detik26/04/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Kebayoran: 5 varian 10 menit 41 detik 2 menit 8 detikEntry Data 2 Anugrah Argon: 11 varian 23 menit 3 detik 2 menit 6 detikEntry Data 3 Cahaya Berkat: 1 varian 1 menit 2 detik 62 detikEntry Data 4 Indofarma: 1 varian 53 detik 53 detikEntry Data 5 Antarmitra: 4 varian 9 menit 21 detik 2 menit 20detikEntry Data 6 Tunggal: 4 varian 7 menit 41 detik 1 menit 55 detikEntry Data 7 Enseval: 7 varian 12 menit 18 detik 1 menit 45 detikEntry Data 8 Megah Medika: 2 varian 3 menit 3 detik 1 menit 32 detik08/05/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Wigo: 4 varian 8 menit 18 detik 2 menit 5 detikEntry Data 2 Brataco: 1 varian 56 detik 56 detikEntry Data 3 Anugrah Argon: 6 varian 10 menit 56 detik 1 menit 49 detikEntry Data 4 Kalista: 1 varian 1 menit 3 detik 1 menit 3 detikEntry Data 5 Megah Medika: 4 varian 7 menit 4 detik 1 menit 46 detikDurasi Rata-rata Checking&Entry Data = 1 menit 41 detikJumlah Pembelian Reguler dan Askes Bulan Maret 2006 = 6.606 varian

Berdasarkan data pada tabel di atas, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk melakukan

checking barang serta untuk memasukkan data per varian obat adalah 1 menit 41 detik.

Dengan jumlah pembelian pada bulan Maret 2006 sebanyak 6.606 varian, maka waktu total

yang dibutuhkan untuk proses checking dan entry data selama 1 bulan adalah 185,34 jam.

Pada bulan Maret 2006, pembelian jenis obat CKT mencapai 39,41% dari jenis

item total yang dibeli oleh Apotek R. Melalui pendekatan proporsional, maka total waktu

yang dibutuhkan oleh Apotek R untuk melakukan checking dan entry data obat kategori

CKT setiap bulannya adalah 73,04 jam (39,41% dari 185,34 jam). Dengan reduksi brand

sebanyak 13,58% dari jumlah obat kategori CKT, waktu checking dan entry data total dapat

berkurang sebanyak 9,92 jam setiap bulannya. Apabila penghematan waktu ini

diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu yang diperoleh dari

standarisasi inventori total, maka dengan asumsi yang sama dengan sebelumnya, dihasilkan

penghematan waktu checking dan entry data total selama 55,72 jam/bulan.

Waktu Pemenuhan Pesanan dari Gudang Pusat

Untuk mengetahui pengaruh standarisasi terhadap waktu yang dibutuhkan oleh

gudang pusat dalam memenuhi permintaan dari depo-depo, dilakukan sampling pada IPD

selama 7 hari. Data hasil sampling tersebut disajikan pada Tabel 13.

Page 15: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

Tabel 13 Waktu Pemenuhan Pesanan Untuk IPD

Tanggal Pengamatan Jumlah Varian Barang yang Dipesan Waktu Pemenuhan Pesanan25/04/2006 164 4 jam 23 menit27/04/2006 137 3 jam 59 menit29/04/2006 133 4 jam 18 menit2/05/2006 103 4 jam 29 menit4/05/2006 128 4 jam 32 menit6/05/2006 107 4 jam 23 menit9/05/2006 86 4 jam 3 menit

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, berapapun jumlah varian barang yang

dipesan, waktu pemenuhan pesanan tetap berkisar antara 4 hingga 4,5 jam. Lamanya waktu

pemenuhan pesanan tersebut tidak dapat menunjukkan suatu pola. Dari Tabel 13, terlihat

bahwa dengan jumlah varian barang yang lebih sedikit, waktu pemenuhan pesanan

terkadang justru lebih lama dibandingkan dengan jumlah varian barang yang banyak. Hal

ini menunjukkan bahwa lamanya waktu pemenuhan pesanan bukanlah merupakan fungsi

dari banyaknya varian atau jenis barang. Dengan demikian, standarisasi atau penurunan

variasi brand obat-obatan tidak akan mempengaruhi waktu pemenuhan pesanan oleh

gudang pusat. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan petugas terkait,

lamanya waktu pemenuhan tersebut disebabkan oleh banyaknya ketidakpastian pada

aktivitas apotek. Ketidakpastian itu bersumber pada terbatasnya jumlah petugas pengantar

barang, terbatasnya jumlah trolley untuk mengangkut barang (Apotek R hanya memiliki

trolley sejumlah tiga buah) maupun karena aktivitas pemenuhan pesanan rutin terinterupsi

oleh pemenuhan pesanan non-rutin yang sifatnya lebih mendesak.

Harga Pembelian Obat-obatan

Pengalihan penjualan beberapa jenis obat ke obat generik akan mengakibatkan

volume pembelian obat-obat generik dari para Pedagang Besar Farmasi meningkat dengan

cukup signifikan. Contoh beberapa obat yang dapat mengalami peningkatan penjualan

dengan cukup signifikan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Peningkatan Penjualan Beberapa Obat generik Pasca Standarisasi

Nama ObatJumlah Penjualan

Awal (Buah)Jumlah Penjualan bila

Dilakukan Standarisasi (Buah)LEVOFLOXACIN 500 TAB 406 976MEFINTER 500 KAPL 359 965PIRACETAM 1200 KAPL 498 1046TRAMADOL 50 CAPS 730 1439METOCLOPRAMIDE 10 DX 280 557

Dengan peningkatan volume pembelian yang cukup besar, Apotek R akan

memiliki posisi tawar yang lebih kuat (daripada sebelumnya) dalam proses negosiasi harga

Page 16: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

dengan PBF, sehingga apotek dapat meminta harga yang lebih baik untuk obat-obat

generik. Jadi, proses standarisasi ini sebenarnya berpotensi menghasilkan keuntungan

tambahan bagi apotek dari segi harga pembelian (kenaikan persentase discount). Namun,

dengan adanya peraturan baru dari Menteri Kesehatan pada tahun 2006 yang menetapkan

harga dasar dan melarang adanya discount bagi obat-obatan generik, peluang apotek untuk

memperoleh keuntungan dari kenaikan volume pembelian obat-obatan generik menjadi

tertutup. Jadi, standarisasi dengan skenario pengalihan penjualan obat tereliminasi ke obat

generik tidak memberikan pengaruh apapun dari segi harga pembelian obat-obatan

Ruang Penyimpanan Inventori

Secara teoritis, standarisasi juga dapat menghasilkan pengurangan space atau ruang

penyimpanan obat-obatan. Pada saat dilakukannya penelitian, ruang inventori Apotek R

sedang mengalami perombakan, sehingga obat disimpan di ruang penyimpanan temporer.

Pada ruangan ini, karena keterbatasan ruang dan rak yang kurang memadai, penyusunan

obat menjadi kurang sistematis. Obat-obat diletakkan dalam kotak-kotak kardus dengan

ukuran standar yang telah diberi label nama dan disusun di dalam rak penyimpanan. Pada

sebagian besar rak, kardus-kardus obat diletakkan bertumpuk satu sama lain sehingga

mempersulit proses pengamatan. Sebagian obat yang tidak tertampung dalam rak

penyimpanan diletakkan berderet di atas meja. Dengan kondisi tersebut, analisis reduksi

space dari proses standarisasi hanya dapat dilakukan berdasarkan pengurangan jumlah

kotak kardus yang digunakan untuk penyimpanan obat.

Pada analisis reduksi space, diasumsikan kotak penyimpanan obat memiliki ukuran

yang seragam, yaitu berukuran (25 cm x 7,5 cm x 7,5 cm) atau memiliki volume sebesar

1.406,25 cm3, yang merupakan ukuran kotak yang umum digunakan di Apotek R. Kotak ini

diasumsikan dapat menampung 100 buah obat kategori CKT. Karena data mengenai posisi

inventori pada periode Desember 2005 dan Januari 2006 tidak dapat diketahui, maka

analisis space dilakukan berdasarkan jumlah penjualan pada periode tersebut. Untuk obat-

obatan yang terjual di atas 1.000 buah pada periode dua bulan, diasumsikan replenishment

dilakukan per minggu, sehingga kotak penyimpanan harus dapat menampung persediaan

untuk 1 minggu. Sementara itu untuk obat-obat yang terjual di bawah 1.000 buah,

replenishment dilakukan per dua minggu. Contoh hasil analisis disajikan pada Tabel 15.

Dari total 52 jenis obat yang distandarisasi, jumlah kotak yang diperlukan untuk

menampung inventori dari 310 brand obat adalah 476 kotak. Setelah dilakukannya

standarisasi, jumlah kotak yang diperlukan sebanyak 334 kotak. Dengan demikian, terjadi

Page 17: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

penurunan jumlah kotak penyimpanan sebanyak 142 kotak atau 29,83%. Penghematan

ruang tersebut diperoleh karena kotak yang pada awalnya dialokasikan untuk menampung

obat-obat yang tereliminasi menjadi tidak diperlukan lagi. Pengalihan penjualan pada obat

generik mengakibatkan jumlah kotak untuk beberapa jenis obat generik bertambah,

meskipun penambahannya tidak sebanyak jumlah kotak yang tereliminasi, sehingga pada

akhirnya standarisasi ini tetap akan menghasilkan penghematan penggunaan ruang.

Tabel 15 Contoh Analisis Reduksi Space

NAMA OBAT

Sebelum Standarisasi Setelah StandarisasiJumlah

Penjualan (Buah)

Level Inventori per Periode

Replenishment*

Jumlah Kotak

Jumlah Penjualan

(Buah)

Level Inventori per Periode

Replenishment*

Jumlah Kotak

Content : Amoxicillin 500          AMOXSAN 500 CAPS 1.735 217 3 1.735 217 3PENMOX 500 TAB 1.635 204 3 1.635 204 3AMOXYCILLIN 500 KAPL 7.002 875 9 7.635 954 10INTERMOXIL 500 CAPS 402 101 2    KALMOXILIN 500 KAPL 166 42 1    NOVAX 500 TAB 30 8 1    AMOXIL 500 CAPS 20 5 1    SILAMOX 500 TAB 15 4 1      

* Jumlah penjualan dibagi 8 untuk periode replenishment 1 minggu dan dibagi 4 untuk periode replenishment 2 minggu

DISKUSI

Berdasarkan analisis, standarisasi jenis inventori dapat menimbulkan berbagai

konsekuensi positif bagi Apotek R. Bila standarisasi dilakukan pada seluruh kategori

inventori dan diimplementasikan tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang

diterapkan pada makalah ini (hanya pada obat berkandungan tunggal dan tidak dilakukan

untuk obat jenis vitamin dan suplemen), maka standarisasi ini berpotensi menghasilkan

penghematan yang jauh lebih besar daripada hasil yang telah diungkapkan di atas.

Selain konsekuensi-konsekuensi yang telah diuraikan sebelumnya, proses

standarisasi juga dapat menghasilkan berbagai keuntungan kualitatif bagi apotek, yaitu:

1. Kemudahan dalam proses inventory management.

2. Berkurangnya kemungkinan pencurian obat-obatan, karena standarisasi jenis inventori

akan memudahkan pengawasan dan pengontrolan persediaan.

3. Berkurangnya kemungkinan adanya barang-barang kadaluwarsa dan barang macet

(tidak laku), karena dengan adanya standarisasi, inventori yang disediakan oleh apotek

adalah inventori-inventori dengan frekuensi turn-over yang relatif tinggi.

Selain konsekuensi positif, skenario standarisasi yang diuraikan pada makalah ini

memiliki konsekuensi negatif dari sisi profit. Karena itulah dilakukan analisis tambahan

Page 18: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

untuk mengetahui konsekuensi finansial dari alternatif skenario yang lain, yaitu pengalihan

ke obat dengan omset terbesar atau pengalihan ke obat yang memiliki harga terendah

kedua. Untuk kedua skenario ini, secara kasar tidak akan terjadi perubahan nilai profit yang

signifikan dibandingkan dengan kondisi sebelum standarisasi. Hal ini disebabkan margin

keuntungan untuk obat paten (obat-obatan selain obat generik) umumnya tidak jauh

berbeda. Sementara itu dari sisi discount, dengan adanya kenaikan volume pembelian untuk

beberapa jenis obat, tentunya ada peluang untuk memperoleh kenaikan persentase discount.

Pada skenario pengalihan penjualan obat tereliminasi ke obat dengan omset

tertinggi, akan terjadi kenaikan nilai persediaan, mengingat obat dengan omset terbesar

umumnya juga merupakan obat-obatan dengan harga satuan tertinggi. Dengan demikian,

alternatif ini tidak terlalu menarik bagi Apotek R, karena mengakibatkan kenaikan nilai aset

apotek yang mengendap sebagai inventori.

Dari hasil perhitungan, penerapan skenario pengalihan ke obat dengan harga

terendah kedua akan menyebabkan penurunan nilai persediaan sebanyak Rp 9.028.862,33,-

(penurunan 2,35%) dibandingkan dengan kondisi sebelum standarisasi. Jadi dari segi nilai

persediaan, skenario ini lebih merugikan dibandingkan dengan skenario awal yang

menghasilkan penurunan sebanyak Rp 44.838.043,20,- (11,65%). Namun dari segi profit,

skenario ini lebih menguntungkan, karena diperkirakan tidak akan mengakibatkan

penurunan profit. Sementara itu dari segi discount, skenario ini juga lebih menguntungkan,

karena pada skenario ini apotek berpeluang memperoleh kenaikan discount. Karena setiap

skenario memiliki konsekuensi negatif, sebaiknya pihak apotek berhati-hati dalam

merumuskan kebijakan standarisasi ini dan merundingkannya dengan pihak-pihak terkait,

agar dapat memutuskan skenario yang terbaik untuk Apotek R.

Berdasarkan Current Reality Tree (CRT) pada Gambar 2, pengurangan variasi

brand obat-obatan dapat membantu meredam tingginya frekuensi permintaan non-rutin ke

gudang pusat. Namun dari CRT tersebut juga terlihat bahwa pada dasarnya penyebab

tingginya frekuensi permintaan non-rutin ke gudang pusat adalah karena kegiatan

perencanaan pemesanan yang kurang efektif dan hanya mengandalkan intuisi. Berdasarkan

CRT tersebut, terdapat setidaknya tiga masalah yang harus dibenahi agar kegiatan

perencanaan pemesanan apotek dapat berjalan optimal, yaitu: Jumlah variasi brand obat-

obatan yang sangat banyak, tidak adanya sistem yang memadai untuk mendukung kegiatan

perencanaan serta tata letak dan penyusunan rak penyimpanan yang kurang ergonomis

sehingga mempersulit pengamatan level persediaan riil. Dengan demikian, implementasi

Page 19: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

proses standarisasi baru akan menyelesaikan satu masalah saja. Untuk dapat memberikan

efek yang signifikan dalam mengurangi frekuensi pemesanan non-rutin, proses standarisasi

obat-obatan ini perlu ditindaklanjuti dengan berbagai tindakan untuk memecahkan masalah

sistem yang kurang memadai maupun masalah penyusunan rak yang kurang ergonomis.

Hingga saat ini, kegiatan pemesanan obat lebih didasarkan pada intuisi petugas.

Hal tersebut seringkali mengakibatkan depo-depo melakukan kesalahan dalam

memperkirakan jumlah obat-obatan yang harus disediakan guna memenuhi permintaan

konsumen. Salah satu alasan mengapa petugas gudang ataupun petugas depo cenderung

menggunakan intuisi daripada metode yang benar dalam merencanakan pemesanan barang

adalah karena terlalu banyaknya jenis obat yang harus di-manage. Dengan berkurangnya

jenis obat yang harus di-manage, proses perhitungan jumlah pemesanan setiap jenis obat

akan menjadi lebih mudah. Untuk memacu petugas gudang agar menggunakan metode

yang benar dalam melakukan pemesanan obat, pihak apotek sebaiknya juga menyiapkan

suatu program komputer sederhana, yang dapat membantu petugas dalam melakukan

perencanaan pemesanan atau menghitung jumlah obat yang harus dipesan.

Selain itu, pembenahan rak penyimpanan juga perlu dilakukan untuk

mempermudah monitoring level persediaan. Rak tersebut harus dapat memudahkan

pengamatan sisa stok, sehingga mengurangi risiko terjadinya lost sales. Dengan

dilakukannya kegiatan perencanaan secara benar, frekuensi stock out di level depo dapat

ditekan, sehingga frekuensi permintaan non-rutin ke gudang pusat juga akan berkurang.

KESIMPULAN

Proses standarisasi varian inventori merupakan usulan yang logis untuk dilakukan

di Apotek R karena dalam industri farmasi dari tahun ke tahun sering terjadi peningkatan

jumlah obat-obatan karena munculnya brand-brand baru obat-obatan ataupun alat-alat

kesehatan. Seandainya pihak apotek tidak melakukan pengendalian atau pembatasan

terhadap brand-brand obat-obatan dan alat kesehatan tersebut, maka semakin lama, jenis

inventori apotek akan terus mengalami pembengkakan. Dengan terus meningkatnya varian

inventori, tingkat kesulitan dalam melakukan inventory management semakin tinggi.

Satu contoh perusahaan yang sukses dalam menerapkan standarisasi inventori

adalah Costco, sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang usaha retail. Salah

satu kunci sukses Costco dalam bersaing adalah dengan hanya menyediakan satu macam

brand untuk setiap kategori produk selain brand miliknya sendiri (Ref: Simchi-Levi, D.,

Kaminsky P., Simchi-Levi, E. 2003. Designing & Managing The Supply Chain: Case

Page 20: Case Study_Standarisasi Varian Logistik

“How Kimberly-Clark Keeps Client Costco in Diapers”). Apabila strategi ini dapat sukses

diterapkan pada penjualan consumer goods dimana masyarakat pada umumnya memiliki

preferensi brand yang spesifik, maka seharusnya strategi ini juga dapat dilakukan pada

usaha perapotekan, mengingat secara umum konsumen tidak memiliki preferensi brand

untuk obat-obatan (hanya bergantung pada resep yang dituliskan oleh dokter).

Berdasarkan uraian di atas, standarisasi memang sebaiknya diterapkan untuk

mengurangi keruwetan pada sistem distribusi apotek. Agar keuntungan standarisasi dapat

dirasakan secara optimal, Apotek R sebaiknya juga memperbaiki sistem perencanaannya,

misalnya dengan menerapkan metode Periodic Review Policy dalam perhitungan jumlah

pesanan ke PBF, untuk menghindari terjadinya penumpukan barang ataupun stock out.

Dalam penerapannya, pihak apotek harus bersifat fleksibel dalam melakukan

pengubahan-pengubahan brand yang disediakan. Sejalan dengan waktu, apabila terdapat

brand-brand baru yang bermunculan, pihak Apotek harus menyediakan brand-brand

tersebut dalam daftar persediaannya dan melakukan analisis pasar selama beberapa bulan.

Dari hasil analisis pasar itu, bila brand tersebut menunjukkan tingkat penjualan yang baik,

obat tersebut dapat dimasukkan ke daftar inventori tetap apotek, dan apotek dapat

mengeliminasi satu brand dari kelompok obat tersebut untuk mempertahankan stabilitas

jumlah varian inventori apotek. Sebaliknya, bila tidak menunjukkan tingkat penjualan yang

baik, brand baru tersebut dapat segera di-drop dari daftar inventori apotek.

Agar penerapan standarisasi berjalan dengan lancar, perlu dipertimbangkan pula

tanggapan dari berbagai stakeholder apotek terhadap rencana implementasi standarisasi ini.

Kemungkinan halangan terbesar dalam implementasi standarisasi, datang dari pihak dokter.

Secara logika, dengan adanya standarisasi, dokter dapat kehilangan insentif promosi yang

diperoleh dari pabrik. Untuk memperoleh dukungan dari pihak dokter, dokter sebaiknya

dilibatkan dalam penentuan kebijakan atau skenario standarisasi. Dokter dapat turut

memberikan masukan atau pertimbangan khusus dalam proses eliminasi inventori, sehingga

hasil standarisasi benar-benar dapat memberikan keuntungan bagi banyak pihak (win-win

solution). Dengan demikian, skenario standarisasi yang akan diterapkan merupakan hasil

kesepakatan antara pihak apotek dan dokter.

REFERENSI

Simchi-Levi, D., Kaminsky P., & Simchi-Levi, E. 2003. Designing & Managing The

Supply Chain. 2nd Edition. Mc Graw-Hills. New York. pp. 62-144.