case lilis

28
I. REKAM MEDIK A. Anamnesis 1. Identifikasi Nama : Ny. Lilis Rohaiti MR/REG : 515645/ 11015404 Umur : 35 tahun Suku bangsa : Indonnesia Agama : Islam Pendidikan : SD Pekerjaan : Rumah tangga Alamat : Jl. Bahu Ayu Kec. Kikim Selora Kab. Lahat MRS : 14 Juni 2011 Pkl.20.00 WIB 2. Riwayat perkawinan Kawin 1 kali, lama 13 tahun 3. Riwayat Reproduksi Menars 12 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lama 7 hari, hari pertama haid terakhir lupa 4. Riwayat kehamilan/melahirkan 1. Aterm, spontan, 1999, di bidan, (pr) 3000 g 2. Aterm, spontan, 2000, di bidan, (lk) 3300 g, sehat

Upload: fista-divi-amesia

Post on 05-Dec-2014

132 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case LiLis

I. REKAM MEDIK

A. Anamnesis

1. Identifikasi

Nama : Ny. Lilis Rohaiti

MR/REG : 515645/ 11015404

Umur : 35 tahun

Suku bangsa : Indonnesia

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Rumah tangga

Alamat : Jl. Bahu Ayu Kec. Kikim Selora Kab. Lahat

MRS : 14 Juni 2011 Pkl.20.00 WIB

2. Riwayat perkawinan

Kawin 1 kali, lama 13 tahun

3. Riwayat Reproduksi

Menars 12 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lama 7 hari, hari pertama haid

terakhir lupa

4. Riwayat kehamilan/melahirkan

1. Aterm, spontan, 1999, di bidan, (pr) 3000 g

2. Aterm, spontan, 2000, di bidan, (lk) 3300 g, sehat

3. Aterm, spontan, 2002, di dukun (lk) 3400 g, sehat

4. Aterm, spontan, 2004, di bidan (lk) 3200 g, sehat

5. Abortus, 3 bulan, 2010, di bidan

5. Riwayat penyakit dahulu :

Disangkal

6. Riwayat gizi/sosioekonomi :

Sedang/Sedang

Page 2: Case LiLis

7. Anamnesis Khusus

Keluhan utama: Hamil kurang bulan dengan darah tinggi dan sesak nafas

Riwayat perjalanan penyakit:

± 1 minggu SMRS Os mengeluh sering sesak nafas, sesak terjadi di malam hari

menjelang tidur. Os memerlukan 2 – 3 bantal agar sesaknya berkurang. Os

mengaku saat istirahat sering merasa sesak nafas. Os mengaku makin sesak ± 4

hari SMRS. Lalu Os ke RSUD Lahat dan sempat dirawat selama 1 hari di RSUD

Lahat. Os dinyatakan darah tinggi kemudian Os dirujuk ke RSMH. Riwayat darah

tinggi dalam keluarga (+), riwayat darah tinggi dalam kehamilan sebelumnaya (-),

riwayat darah tinggi selama hamil (-), riwayat nyeri ulu hati (-), riwayat sakit

kepala hebat, (-), riwayat pandangan mata kabur (-). Os mengaku hamil kurang

bulan dan gerakan janin masih dirasakan.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Presens

a. Keadaan umum : sedang

Kesadaran : kompos mentis

Tipe badan : piknikus

Berat badan : 70 kg

Tinggi badan : 156 cm

Tekanan darah : 190/120 mmHg

Nadi : 107 x/menit

Pernafasan : 32 kali/menit

Suhu : 36,5 °C

b. Keadaan khusus

Kepala : mata: konjungtiva anemia, sklera tidak ikterik

Leher : tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O , kelenjar getah bening

tidak membesar

Toraks : jantung : murmur grade III di katup trikuspid (+) gallop (-)

paru-paru : ronki (-) , wheezing (-)

Abdomen : FUT 4 jari atas pusat (23 cm), memanjang puki kepala U 5/5

HIS (-), DJJ = 144 x/i, TBJ = 1500 g, hepar dan lien sulit dinilai

Ekstremitas : edema pretibial +/+, varises tidak ada, refleks fisiologis +/+,

refleks patologis -/-

Page 3: Case LiLis

2. Pemeriksaan obstetri

Pada pemeriksaan obstetri saat masuk rumah sakit tanggal 03 April 2011 Pkl. 11.00

WIB didapatkan :

- Pemeriksaan luar : fundus uteri 4 jari atas pusat (23 cm), memanjang puki kepala

U 5/5 HIS (-), DJJ = 144 x/i, TBJ = 1500 g

- Inspekulo : portio livide, OUE tertutup, fluor (-), fluxus (-), erosi (-), laserasi (-),

polip (-)

- Indeks Gestosis : odem: 1, proteinuri : 1, TDS : 3, TDD : 3 = 8

C. Hasil Laboratorium

(14-06-2011)

Darah Rutin : Hb: 13,4 mg/dl Ht 42 vol% Leukosit 16.700/mm3

Trombosit 365.000/mm3 Hitung jenis 0/0/1/79/13/7

Kimia Darah :

Creatinin 2,6 mg/dl Ureum 65 mg/dl BSS 68 mg/dl

Prot.total 4,6 g/dl albumin 1,7 g/dl globilin 2,9 g/dl

Bil. total 0,27 mg/dl Bil.direk 0, 12 mg/dl Bil.indirek 0,15 mg/dl

SGOT 53 U/l SGPT 19 U/l LDH 463 U/I

Uric acid 5,5 mg/dl Natrium 135 mmol/l Kalium 4,4 mmol/l

Urin :

Sel epitel (+) Leukosit 4-5 /LPB Eritrosit ±100 /LPB Protein : (++)

D. Diagnosis kerja

G6P4A1 hamil 31-32 minggu dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum inpartu

janin tunggal hidup presentasi kepala

E. Prognosis

Ibu : dubia

Janin : dubia

F. Terapi

- Ekspektatif

- Stabilisasi 1-3 jam

Page 4: Case LiLis

- O2 3 l/i

- Observasi tanda vital ibu, DJJ, tandas inpartu

- kateter menetap, catat input output

- IVFD RL gtt x/menit (mikro)

- Injeksi furosemid 1x 20 g jika TD > 90/60 mmHg

- Injeksi dexamthason 2x 6 mg iv ( 2 hari )

- Injeksi ceftrixon 2 x 1 g iv ( skin test )

- Metildopa 3 x 250 mg

- Digoxin 2 x 0,25 mg

- Laboratorium DR, UR, KD, crossmatch

- konsul bagian PDL, Mata

- Rencana USG konfirmasi

- evaluasi satgas gestosis

G. Konsul

PDL (14-06-2011 pukul 20.30 WIB)

Anamnesa:

Kel: Sesak nafas

RPP: sesak nafas bertambah berat dengan aktifitas, berkurang dengan istirahat tapi tidak

hilang. Os diraawat 1 hari di RSUD. Riwayat darah tinggi selamama hamil ini dan

riwayat sakit jantung disangkal.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum sakit berat Sens. kompos mentis TD 160/100 mmHg,

Nadi 108 x/menit RR 36 x/menit T 360 C

Kepala : Mata : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)

Leher : JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-)

Torak: Jantung : HR 106x/menit, murmur sistolik grade III di trikuspid, gallop (-)

Paru : Ves (+) N, RBH (-), wheezing (-)

Abdomen : Cembung, Lemas, Hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : Edema pretibial -/-

ECG : Kesan: LAD + RBBB in komplit

Kesan saat ini : Saat ini cor ditemukan PPHD fs NYHA IV

DD/ HHD fs NYHA class IV

Saran : - O2 3 l/i, Diet Jantung III

Page 5: Case LiLis

- IVFD RL : D5 = 1 : 1 gtt x/m (mikro)

- Injeksi furosemid 1x20 g jikaTD ≥ 90/60 mmHg

- metil dopa 3 x 250 mg

- Bila TS setuju dapat rawat bersama dengan bagian penyakit dalam divisi

kardiologi.

Mata (14-4-2011 pukul 13.40 WIB)

Anamnesa:

RPP: Pasien konsul dari bagian kebidanan dengan diagnosa G6P4A1 hamil 31-32 minggu

dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum inpartu janin tunggal hidup

presentasi kepala, riwayat kaca mata (-), riwayat hipertensi kehamilan sebelumnya

(-).

Pemeriksaan fisik:

TD 160/120 mmHg T 36,5ºC

Nadi 92 x/menit RR 36 x/menit

Status oftalmologikus:

VOD = 6/6 Ph (-) VOS = 6/6 Ph (-)

TIOD = 18,5 mmhg TIOS = 15,6 mmhg

KBM Ortoforia

GBM

Palpebra Tenang Tenang

Konjunctiva Tenang Tenang

Kornea Jernih Jernih

BMD Sedang Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil B, C, RC (+), Ø 3mm B, C, RC (+), Ø 3mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen posterior: RFODS (+)

FODS : Papil : Bulat, batas tegas, warna merah N, c/d 0,3, a/v 2:3

Page 6: Case LiLis

Makula : RF (+) N

Retina : Kontur pembuluh darah sugriest streak (-), elschring spot (-)

Kesan saat ini : Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda koroidopati/retinopati hipertensi

Saran : - Regulasi tensi sesuai TS

- konsul ulang bila ditemukan adanya penurunan visus mendadak

Follow up (Tanggal 15 -0 6 -2011 pukul 0 7. 00 WIB)

Keluhan: Hamil kurang bulan dengan darah tinggi

Status Present:

KU: sedang Sens : Compos mentis TD :170/100mmHg

Nadi: 110x/m RR : 36 x/m T: 36,5 oC

Status Obstetri:

PL : FUT 4 jari atas pusat (23), memanjang puki, kepala, U 5/5, DJJ : 145 x/i, HIS (-), TBJ :

1500 g

Diagnosa : G6P4A1 hamil 31-32 minggu dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum

inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala

Terapi :

- Ekspektatif

- O2 3 l/i

- Observasi tanda vital ibu, DJJ, tandas inpartu

- kateter menetap, catat input output

- IVFD RL gtt x/menit (mikro)

- Injeksi furosemid 1x 20 g jika TD > 90/60 mmHg

- Injeksi dexamthason 2x 6 mg iv ( 2 hari )

- Injeksi ceftrixon 2 x 1 g iv ( skin test )

- Metildopa 3 x 250 mg

- Digoxin 2 x 0,25 mg

- Laboratorium DR, UR, KD, crossmatch

- Rencana USG konfirmasi

- evaluasi satgas gestosis

Page 7: Case LiLis

Follow up (Tanggal 15 -0 6 -2011) PDL Divisi Kardiologi

S : Sesak nafas

O : KU: sakit berat Sens : Compos mentis TD :160/100mmHg

Nadi: 92x/m RR : 36 x/menit

Kepala : oedem palpebra (+), Konj. Palpebra pucat (-)

Leher : JVP (5+0) cmH2O

Cor : HR : 92 x/i, murmur grade 3/6 dikatup mitral (+), gallop (-)

Paru : vesikuler (+) Normal, ronkhi basah basal kedua paru (+), wheezing (-)

Abdomen : Cembung, tegang, hepar dan lien sulit dinilai, tifut 5 jbpx, Bising usus

(+) Normal

Extremitas : Odem pretibial (+)

A : - PPHD fs NYHA III

- AKI RIFLE R

P :

- 02 3-5 l/menit

- Istirahat setengah duduk

- Diat jantung III

- IVFD RL : Ds 5% gtt x/i (mikro)

- Inj. Furosemid 1 ampul iv

- Spirinolacton tab 1 x 25 mg

- Metildopa tab 3 x 250 mg

- Balance cairan

- Echocardiography

USG konfirmasi tanggal 15-06-2011 pukul 08.00 WIB (Prof. AK)

- Tampak JTH, Peskep

- Aktivitas dsan gerakan janin normal

- Biometeri janin BPD : 8,6 cm ~ 35 w 1 d HC : 28, 6 cm ~ 31 w 1 d

AC : 29,0 cm ~ 33 w 1 d FL : 6,4 cm ~ 32 w 6 d

EFW : 2244 g

- Placenta di corpus anterior

- Ketuban SP : 4,3 cm

- Biofisik profil :

Page 8: Case LiLis

FT : 2 FB : 2 FM : 2 NST : 2 AFI : 2 ~ 10

K / Hmil 32 – 33 minggu Janin tunggal hidup presentasi kepala dengan BPP : 10

II. PERMASALAHAN :

A. Apakah penyebab kematian pada kasus ini?

B. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini?

III. ANALISA KASUS

Di seluruh dunia lebih dari 500.000 wanita hamil dan bersalin meninggal setiap

tahunnya akibat komplikasi dari kehamilan dan persalinan. Hal ini merupakan suatu

masalah, terutama di negara-negara berkembang. Dengan mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya kematian maternal yang berbeda-beda di setiap daerah

atau fasilitas kesehatan, maka kematian maternal dapat dicegah.

International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems

(ICD) mendefinisikan kematian maternal sebagai berikut: “Kematian wanita yang

terjadi selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa

melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau

diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau

insidental (faktor kebetulan)”.

Kematian maternal merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas

pelayanan kesehatan di suatu negara.1 Angka kematian maternal di Indonesia cukup

tinggi yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Di negara-negara maju angka kematian

maternal tercatat jauh lebih rendah, seperti di Amerika Serikat yaitu 10 per 100.000

kelahiran hidup (1978) dan di Inggris 11 per 100.000 kelahiran hidup (1980). Di

Indonesia angka kematian pada beberapa rumah sakit berbeda-beda. Di RS dr. Sardjito

Yogyakarta didapatkan angka kematian maternal tahun 1997-2001 adalah 548,97 per

100.000 kelahiran hidup. Di RS dr. Hasan Sadikin Bandung didapatkan angka kematian

maternal tahun 1998-2000 adalah 504,7 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di RS

dr. Moh. Hoesin Palembang angka kematian maternal periode tahun 2000-2003 adalah

46,41 per 10.000 kelahiran hidup, turun dari angka kematian di tempat yang sama

periode tahun 1986-1989 sebesar 56,79 per 10.000 kelahiran hidup.

Page 9: Case LiLis

Penyebab utama kematian maternal dikenal ada 3, yaitu perdarahan, infeksi, EPH

gestosis, di mana pada masing-masing pusat pendidikan mempunyai urutan yang

berbeda. Di RS Mohammad Hoesin Palembang, EPH gestosis masih merupakan

penyebab kematian terbanyak, diikuti oleh perdarahan dan infeksi dimana infeksi yang

berat dapat menyebabkan sepsis dan syok septik.

Berdasarkan penyebabnya, kematian maternal dapat dibagi menjadi 3 kelompok,

yaitu:

1. Kematian obstetri langsung adalah kematian yang disebabkan oleh komplikasi obstetri

dalam periode kehamilan, persalinan maupun nifas, akibat penanganan, kelalaian atau

pengobatan yang tidak tepat, atau kaitan dari semua yang tersebut di atas. Di negara

berkembang sebagian besar penyebab ini adalah perdarahan, infeksi, gestosis dan

abortus.

2. Kematian obstetri tidak langsung adalah kematian yang diakibatkan oleh penyakit yang

telah diderita ibu, atau penyakit yang timbul selama kehamilan dan tidak ada kaitannya

dengan penyebab langsung obstetri, tapi penyakit tersebut diperberat oleh efek

fisiologis kehamilan, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia,

malaria dan lain-lainnya.

3. Kematian non obstetri adalah kematian yang timbul selama kehamilan yang disebabkan

akibat kecelakaan atau kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan

kehamilan atau pengelolaannya. Termasuk di sini adalah kematian karena kecelakaan,

kebakaran, tenggelam, pembunuhan, bunuh diri dan sebagainya.

Pada kasus ini akan dibahas kematian seorang ibu pasca melahirkan yang

mengalami sesak akibat penyakit jantung dan gagal ginjal.

A. Apakah penyebab kematian pada kasus ini?

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kecacatan dan kematian non obstetrik

yang penting pada wanita hamil, dapat terjadi pada 0,4-4% dari kehamilan.

Dilaporkan angka rata-rata mortalitas wanita hamil dengan klasifikasi New York

association kelas I dan II sebesar 0,4% hingga 6,8% dan lebih tinggi lagi pada

penderita yang tingkat keparahannya kelas III dan IV. Di Indonesia belum diketahui

insiden yang pasti dari penyakit jantung pada kehamilan. Laporan insiden dari

beberapa negara diketahui bahwa di Amerika Serikat antara 1-3%, di Australia dan

Asia Selatan antara 0,5-1,5%. Koonin dkk (1997) melaporkan bahwa penyakit

Page 10: Case LiLis

jantung merupakan penyebab kematian sebesar 5,6% dari 1459 kehamilan di

Amerika Serikat sejak tahun 1987 hingga 1990. Hal tersebut disebabkan oleh

peningkatan beban hemodinamik pada saat hamil, bersalin dan melahirkan yang

dapat memperburuk gejala dan mencetuskan berbagai macam komplikasi pada

wanita yang sebelumnya sudah menderita penyakit jantung.

Untuk menentukan diagnosis kelainan jantung pada wanita hamil perlu

dipahami keluhan dan gejala, yang bisa dikacaukan dengan keluhan yang bukan

kardiologis selama kehamilan (edema, sesak napas yang biasanya juga terdapat pada

wanita hamil, bising sistolik, tanda high output lain). Oleh karena itu perlu

diperhatikan pendekatan diagnosis kardiologis yang lengkap, mulai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, EKG, rontgen dada, ekhokardiografi sampai kateterisasi, termasuk

klasifikasi fungsional dan etiologi maupun kelainan anatomik.

Pemeriksaan ekhokardiografi M-mode dan 2D-Doppler sangat penting

persamaannya dalam diagnostik. Teknik ini mampu menentukan derajat stenosis

katup mitral, dimensi ruang-ruang jantung, ada tidaknya kelainan penyerta terutama

regurgitasi mitral, stenosis atau regurgitasi aorta, ada tidaknya trombus pada atrium

kiri.

Klasifikasi fungsional jantung menurut the Criteria Committee, Diseases of The

Heart and Blood Vessels, New York Heart Association (NYHA), sebagai berikut:

Kelas I: Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas

sehari-hari tidak menyebabkan rasa capek, berdebar, sesak nafas atau nyeri dada

(angina pektoris).

Kelas II: Penderita kelainan jantung yang mempunyai aktivitas fisik terbatas. Tidak

ada keluhan pada waktu istirahat, tetapitetapi aktivitas sehari-hari akan

menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas atau angina pektoris.

Kelas III: Adalah penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada

keadaan istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi aktivitas fisik ringan saja akan

menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas atau angina pektoris. Tidak dianjurkan

untuk hamil. Pada kehamilan dini, sebaiknya terminasi, bila sudah lanjut sebaiknya

dilanjutkan dengan partus pervaginam dan kala II dipercepat. Kehamilan

selanjutnya dilarang.

Kelas IV: Adalah penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik

tanpa rasa terganggu (discomfort). Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan

Page 11: Case LiLis

telah terdapat pada keadaan istirahat. Dan setiap kegiatan fisik akan disertai

gangguan yang bertambah. Kriteria kehamilan sama dengan kelas III.

Jelasnya, kehamilan akan meningkatkan resiko kematian pada pasien dengan

penyakit jantung. Pada kehamilan akan terjadi perubahan-perubahan kardiovaskular

yang meliputi tekanan darah, nadi, curah jantung (cardiac output), volume plasma.

Perubahan ini akan lebih memberatkan faal jantung pada kelainan/penyakit jantung

yang menyertai kehamilan, misalnya setelah terbentuknya plasenta terjadi semacam

fistel A-V yang semuanya membebankan kerja jantung pada kehamilan. Demikian

pula vasodilatasi dan menurunnya resistensi perifer pada trimester pertama yang harus

diperhitungkan dalam evaluasi tekanan darah penderita hamil.

Hipertensi dapat terjadi pada 5-10% dari seluruh kehamilan dan merupakan satu

penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada

negara maju, 16% kematian maternal disebabkan oleh hipertensi, kemudian diikuti

oleh 13% karena perdarahan, 8% abortus, dan 2% sepsis. Di Amerika Serikat pada

tahun 1991-1997, Berg dkk (2003) melaporkan hampir 16% dari 3201 kematian

maternal disebabkan oleh suatu komplikasi hipertensi dalam kehamilan.

Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang diambil dari report on the National

High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in

pregnancy (AJOG vol 183: SI, July 2000):

1. Hipertensi gestasional

Didapatkan desakan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada

kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan desakan darah kembali normal <

12 minggu pascapersalinan

2. Preeklampsia

Kriteria minimum adalah desakan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan

20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24jam atau dipstick ≥ +1.

Dahulu, disebut preeklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu tekanan darah

≥ 140/90 mmHg, proteinuria, dan edema. Tetapi sekarang edema tidak lagi

dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karene edema juga dijumpai pada

kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam,

tekanan darah diastole ≥ 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.

a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, tetapi <

160/110 mmHg dan proteinuria +1

Page 12: Case LiLis

b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria ≥

+2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,

gangguan penglihatan dan oliguria.

3. Eklampsia

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas

yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini

menunjukkan gejala-gejala preeclampsia berat.

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia

Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/24jam pada wanita hamil yang sudah mengalami

hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronik

Ditemukannya desakan darah ≥ 140/90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum

kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan.

Insiden preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 4-9% pada wanita hamil,

3-7% terjadi pada nulipara, dan 0,8-5% pada multipara. Angka kejadian

preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10%. Etiologi dan patogenesis

preeklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya dipahami, masih banyak

ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the desease of

theories”.

Gangguan-gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi pada

preeklamsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan

dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang

secara substantif dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia

kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau

kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ekstrasel, terutama paru. Dibandingkan dengan wanita normotensif, mereka yang

mengidap preeklamsia memperlihatkan curah jantung yang secara bermakna

meningkat sebelum diagnosis klinis, tetapi resistensi perifer total tidak secara

bermakna berbeda selama fase praklinis ini. Pada preeklamsia klinis, terjadi

penurunan mencolok curah jantung dan peningkatan resistensi perifer.

Suatu nekrosis tubular akut jarang semata-mata hanya disebabkan oleh

preeklampsia sendiri. Meskipun tingkatan yang ringan ditemukan pada kasus-kasus

Page 13: Case LiLis

yang terlambat, secara klinis gagal ginjal umumnya dipicu oleh syok hipovolemik,

biasanya berkaitan dengan perdarahan saat melahirkan yang tidak mendapat

penggantian darah yang memadai. Drakeley dkk (2002) melaporkan 72 wanita

dengan preeklampsia dan gagal ginjal. Separuhnya mempunyai sindroma HELLP

dan sepertiganya yaitu dengan solusio plasenta. Had-dad dkk (2000) melaporkan

bahwa 5% dari 183 wanita dengan sindroma HELLP berkembang menjadi gagal

ginjal akut. Separuhnya juga mempunyai solusio plasenta, dan kebanyakan disertai

dengan perdarahan pasca persalinan. Jarang, nekrosis tubular ginjal berkembang

ireversibel.

Acute Kidney Injury (AKI) secara umum didefinisikan sebagai suatu

penurunan yang cepat dan mendadak dari fungsi ginjal. Adapun definisi yang

dikenalkan oleh The Acute Kidney Injury Network (AKIN) menyebutkan kriteria

spesifik untuk diagnosis AKI, yaitu:

1. Terjadi dalam waktu yang cepat (kurang dari 48 jam)

2. Penurunan fungsi ginjal: - Peningkatan kreatinin serum

Peningkatan kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,4

umol/l)

Peningkatan persentase kreatinin serum ≥50%

- Penurunan urine output, didefinisikan <0,5 ml/kg/jam

selama >6 jam

Sampai saat ini belum ada suatu konsensus cara terbaik dalam menilai fungsi

ginjal; apa penanda terbaik untuk menggambarkan fungsi ginjal, dan bagaimanakah

nilai penanda tersebut untuk membedakan fungsi ginjal yang normal dengan

abnormal. The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)memformulasikan suatu

klasifikasi Risk, Injury, Failure, Loss, dan End-stage (RIFLE). RIFLE terdiri dari

tiga kelas yang menunjukkan suatu keparahan acute kidney injury yaitu risk (class

R), injury (class I), dan failure (class F) serta dua kelas outcome (loss dan end-

stage).

Klasifikasi stadium Acute Kidney Injury (AKI) :

Risk: kreatinin serum meningkat 1,5 kali atau produksi urin <0,5 ml/kg selama

6 jam

Injury: kreatinin serum meningkat 2 kali dan produksi urin <0,5 ml/kg selama

12 jam

Page 14: Case LiLis

Failure: kreatinin serum meningkat 3 kali atau kreatinin >355 umol/l (dengan

peningkatan >44) (>4 mg/dl) atau urine output kurang dari 0,3 ml/kg selama

24 jam

Loss: AKI yang menetap atau kehilangan fungsi ginjal total lebih dari 4

minggu.

End-stage: kehilangan fungsi ginjal total lebih dari 3 bulan.

Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan suatu gagal ginjal akut yaitu:

1. Prarenal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah

jantung, dan hipotensi oleh sebab lain)

2. Renal: akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemia

ginjal, dan penyakit glomerular)

3. Pasca renal: akibat obstruksi akut traktus urinarius (batu saluran kemih,

hipertrofi prostat, keganasan ginekologi)

Uremia adalah sindroma klinis yang dihubungkan dengan ketidakseimbangan

cairan, elektrolit, dan hormon serta kelainan metabolik, yang berkembang menjadi

detoriorasi fungsi ginjal. Uremia lebih sering terjadi pada gagal ginjal kronik atau

gagal ginjal kronik stadium akhir, tetapi dapat juga terjadi gagal ginjal akut jika

kehilangan fungsi ginjal secara cepat. Dalam fungsi normalnya ginjal merupakan

tempat produksi dan sekresi hormon, hemostasis asam basa, regulasi cairan dan

elektrolit, serta eliminasi produk. Pada gagal ginjal, fungsi-fungsi ini tidak berjalan

dengan adekuat dan terjadi kelainan metabolik, seperti anemia, acidemia,

hiperkalemia, hiperparatiroidism, malnutrisi, dan hipertensi. Uremia biasanya terjadi

setelah nilai creatinin clearance turun kurang dari 10 ml/min, meskipun beberapa

pasien kadang telah menunjukkan gejala pada nilai creatinin clearance yang lebih

tinggi, khususnya jika gagal ginjal secara akut terjadi. Sindroma ini akan muncul

berbagai gejala seperti mual, muntah, kelelahan, anoreksia, berat badan turun, kram

otot, pruritus, dan perubahan status mental.

Insidensi edema paru sebagai komplikasi kehamilan adalah sekitar 1 dalam

500–1000 persalinan. Dua penyebab umum adalah: (1) kardiogenik; edema

hidrostatik akibat tekanan hidrolik kapiler paru yang tinggi dan (2) nonkardiogenik;

edema permeabilitas akibat kerusakan epitel kapiler endotel dan alveolar. Dalam

kehamilan, edema paru sering disebabkan oleh kombinasi keduanya.

Page 15: Case LiLis

Pada kebanyakan kasus edema paru selama kehamilan berhubungan dengan

adanya hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi sistolik akut mengeksaserbasi

disfungsi diastolik, menyebabkan edema paru. Penyebab tersering gagal jantung

diastolik adalah hipertensi kronis dan obesitas dengan left ventricular hypertrophy.

Penyebab lainnya adalah defek anatomis yang kongenital atau didapat. Walaupun

begitu, gagal jantung bisa secara akut dicetuskan oleh preeklampsia, perdarahan dan

anemia, dan sepsis masa nifas. Pada kebanyakan kasus ini, bila kemudian dilakukan

EKG, akan didapatkan ejection fraction yang normal, dan bukti disfungsi diastolik

bisa ditemukan.

Secara klinis edema paru akut akibat penyakit jantung organik walaupun sulit

dapat dibedakan dengan edema paru pada preeklampsia dan eklampsia. Pada

preeklampsia dan eklampsia biasanya terjadi pada pasien usia muda tanpa riwayat

penyakit jantung sebelumnya, pemeriksaan ECG normal, tidak dijumpai kardiomegali

pada foto thorak dan ekokardiografi dan penyembuhannya lambat memberikan respon

terhadap terapi. Mackenzie menyatakan, yang kemudian didukung oleh Hamilton dan

Thomson bahwa terdengarnya ronkhi tetap di dasar paru-paru, yang tidak hilang

setelah penderita menarik napas dalam dua atau tiga kali, merupakan gejala permulaan

dari gagal jantung.

Pada penderita penyakit jantung akan terjadi penurunan tekanan darah yang

drastis bila ada intervensi dari luar berupa pemberian obat anti hipertensi atau fungsi

pompa jantung yang sangat jelek. Pada keadaan normal selalu terdapat sisa darah

dirongga ventrikel pada akhir sistol, dengan berkurangnya curah jantung pada gagal

jantung maka pada saat akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan

normal. Pada fase diastol berikutnya maka sisa darah ini akan bertambah lagi dengan

darah yang masuk ke ventrikel kiri, sehingga tekanan akhir diastol menjadi lebih

tinggi. Semakin lama maka suatu saat akan timbul bendungan di atrium kiri yang akan

diikuti dengan peningkatan tekanan darah di vena pulmonalis dan di pembuluh darah

kapiler paru-paru. Karena ventrikel kanan yang masih sehat memompa terus sesuai

dengan jumlah darah yang masuk atrium kanan, maka dalam waktu yang cepat

tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru akan menjadi tinggi. Pada saat tekanan di

arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis meninggi terjadi pula transudasi di jaringan

intertisiel bronkhus. Jaringan tersebut yang sudah mengalami edema paru menjadi

lebih edema dan mengurangi besarnya lumen bronkhus, sehingga aliran udara

Page 16: Case LiLis

terganggu. Penderita akan merasa sesak nafas disertai dengan nadi yang cepat. Bila

transudasi sudah masuk ke rongga alveoli terjadilah edema paru dengan gejala sesak

nafas yang hebat, takikardia, tekanan darah yang menurun, dan bila tidak dapat diatasi

akan menjadi syok. Syok ini disebut syok kardiogenik yang memperburuk kondisi

otot jantung dan mengakibatkan daya pompa jantung menjadi buruk. Hal ini

merupakan lingkaran setan yang amat sangat sukar diatasi dan biasanya berakhir

dengan kematian penderita. Walaupun telah dilakukan resusitasi dengan pemberian

adrenalin dan sulfas atropin tetap tidak membantu sehingga memberikan kesan sudah

terjadi syok kardiogenik. Kemungkinan penyebab kematian pada pasien ini karena

terjadi cardiac arrest yang diperberat dengan adanya gagal ginjal.

B. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini?

Tujuan yang harus dicapai dalam penatalaksanaan kehamilan dengan PEB adalah :

1. Mencegah kejang.

2. Mengontrol tekanan darah ibu.

3. Memulai persalinan.

Penatalaksanaan PEB pasca persalinan yang diberikan pada pasien ini meliputi

stabilisasi, pemberian MgSO4 untuk pencegahan kejang, pemberian nifedipin untuk

mengontrol tekanan darah.

Pada kasus dekompensasi cordis tidak dianjurkan pemberian antikejang

dengan MgSO4 , tetapi hal ini masih kontroversi. Seperti diketahui bahwa pemberian

MgSO4 tidak dianjurkan pada kasus heart block, miastenia gravis, kerusakan otot

jantung, hepatitis berat dan edema paru serta pemberian harus hati-hati pada

penderita gangguan fungsi ginjal karena sebagian dieksresikan melalui ginjal. Yeast

dkk melaporkan bahwa MgSO4 tidak secara signifikan mengubah tekanan koloid

osmotik, yang berarti secara signifikan tidak menyebabkan peningkatan resiko

edema paru. Penulis lain melaporkan kejadiannya jarang yaitu 4/355. Data

hemodinamik yang diperoleh sebelum terapi aktif untuk preeklamsia

memperlihatkan tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal, resistensi vaskular

sistemik yang tinggi, dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik. Benedetti dan rekan

(1980) serta Hankins dan rekan (1984) melaporkan temuan serupa pada wanita

dengan preeklamsia berat atau eklamsia yang diterapi dengan magnesium sulfat,

hidralazin, dan kristaloid intravena sebanyak 75 sampai 100 ml/jam. Fungsi jantung

Page 17: Case LiLis

pada para wanita ini memadai, dan penurunan resistensi vaskular sistemik sangat

mungkin disebabkan oleh terapi hidralazin.

Wanita yang juga diterapi dengan magnesium sulfat dan hidralazin plus terapi

intravena agresif atau ekspansi volume memperlihatkan resistensi vaskular sistemik

yang terendah dan curah jantung tertinggi. Suatu perbandingan pembatasan volume

dengan hidrasi agresif memperlihatkan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada

sebagian besar wanita dari kedua kelompok dan dua respons dalam kaitannya

dengan indeks kerja pompa ventrikel kiri dan wedge pressure kapiler paru. Restriksi

cairan menyebabkan wedge pressure kurang dari 10 mmHg, dan sebagian besar

kurang dari 5 mmHg. Dengan demikian, fungsi ventrikel yang hiperdinamik

sebagian besar disebabkan oleh rendahnya wedge pressure dan bukan karena

meningkatnya indeks kerja pompa ventrikel kiri, yang secara langsung lebih

mengukur kontraktilitas miokardium. Ketika dibandingkan, wanita yang diberikan

cairan dalam jumlah cukup besar sering memperlihatkan wedge pressure kapiler

paru yang melebihi normal; namun, fungsi ventrikel tetap hiperdinamik karena

meningkatnya curah jantung. Kemudian, Visser dan Wallenburg (1995) melaporkan

temuan dari 87 wanita dengan preeklamsia berat atau eklamsia dan menguraikan

tingginya resistensi vaskular sistemik dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada

sebagian besar wanita tersebut.10

Dari studi-studi ini, masuk akal untuk disimpulkan bahwa pemberian cairan

secara agresif kepada wanita dengan preeklamsia berat menyebabkan tekanan

pengisian sisi kiri secara substansial meningkat, sementara curah jantung yang sudah

normal meningkat menjadi tingkat supranormal.10

β–agonis parenteral seperti terbutalin berhubungan dengan timbulnya edema

paru. Pada tahun 2005 Samol dan Lambers menemukan kejadian edema paru pada

8% dari wanita yang diberikan MgSO4 untuk tokolitik, namun setengah dari jumlah

ini juga diberikan terbutalin, sehingga dari pengalaman jangka panjang masih

diragukan bahwa MgSO4 adalah penyebab edema paru. Martin dan Foley (2006)

juga menyimpulkan hal yang sama tentang ini. Walaupun penggunaan MgSO4 masih

meragukan, pada pasien ini diberikan nifedipin dan MgSO4 untuk penanganan PEB.

Penatalaksanaan gagal ginjal akut adalah mencegah terjadinya kerusakan

ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi

metabolik dan infeksi serta mempertahankan penderita tetap hidup sampai faal

Page 18: Case LiLis

ginjalnya sembuh secara spontan. Pada gagal ginjal akut terdapat dua masalah yang

sering didapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia. Pada

kasus ini diberikan diuretik seperti furosemid dengan tujuan agar cairan dalam paru

dapat terdistribusi ke vascular sistemik. Pengobatan definitif adalah dengan

mengeluarkan cairan melalui hemodialisis segera, tetapi pada kasus ini pasien

menolak untuk dilakukan hemodialisis. Kadar kalium yang tinggi yaitu 7,9 meq/L,

merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena hiperkalemia pada pasien ini

dapat mengakibatkan henti jantung seketika. Pada pasien ini diberikan kalsium

intravena (ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml. Belum diketahui secara jelas cara kerja

obat ini, namun diduga obat ini bekerja pada jantung untuk menstabilkan membran.

Penatalaksanaan pada kasus ini sudah cukup adekuat, dengan mempertimbangkan

bahwa telah terjadi gagal jantung disertai berbagai komplikasi edema paru dan

hiperkalemia.

IV. KESIMPULAN

1. Kematian pada kasus ini kemungkinan disebabkan karena adanya gagal nafas

yang disebabkan karena adanya edema paru, akibat gagal jantung karena

dekompensatio cordis yang kemudian diperberat dengan adanya gagal ginjal.

2. Penatalaksaan pada kasus ini meliputi multidisiplin.