case epilepsi e.c snh new

Upload: dwi-renti-astuti

Post on 12-Jul-2015

399 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Syaraf Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

Case Report

Epilepsi e.c Stroke Non Hemoragik

OLEH Dwi Renti Astuti 06.55380.00323.09

PEMBIMBING Dr. Yetty O. H., Sp. S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2011

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Penyakit stroke sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang, karena disamping menyebabkan angka kematian yang tinggi, stroke juga sebagai penyebab kecacatan yang utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia, bahkan di banyak rumah sakit dunia stroke merupakan penyebab kematian nomor satu. Banyak ahli kesehatan dunia juga yakin bahwa serangan stroke adalah penyebab kecacatan nomor satu di dunia. Stroke adalah penyebab kematian utama kedua setelah jantung. Tercatat lebih dari 4,6 juta meninggal karena stroke di seluruh dunia, dua dari tiga kematian terjadi di negara sedang berkembang (WHO, 2003). Menurut American Heart Association, diperkirakan terdapat 3 juta penderita stroke pertahun di negara Amerika. Di Indonesia masih belum terdapat epidemiologi tentang insidensi dan prevalensi penderita stroke secara nasional. Dari beberapa data penelitian yang minim pada populasi masyarakat didapatkan angka prevalensi penyakit stroke pada daerah urban sekitar 0,5% dan angka insidensi penyakit stroke pada darah rural sekitar 50/100.000 penduduk. Sedangkan dari data survey Kesehatan Rumah Tangga (1995) DepKes RI, menunjukkan bahwa penyakit vaskuler merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia. Angka kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan antara cacat dan mati dari penderita stroke adalah empat berbanding satu. Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun. Banyak penderitanya yang menjadi cacat dan tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala. Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Bekas penderita stroke bisa terserang . Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat menimbulkan serangan kejang pada .

1

Stroke merupakan keadaan yang emergency dan dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang permanen dan bahkan sampai kematian jika tidak segera didiagnosa dan diterapi.4 Oleh karena itu penting bagi kita mengenali gejala stroke secara dini sehingga diagnosa dan terapi dapat dilakukan secepat mungkin.

1.2 Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta mengkritisi kasus bagi penulis dan pembaca mengenai Stroke Non Hemoragik dan epilepsi.

2

BAB II LAPORAN KASUSPasien MRS tanggal 13 Oktober 2011, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 18 Oktober 2011 di ruang perawatan penyakit saraf Angsoka RSUD AW. Sjahranie Samarinda.

ANAMNESIS Autoanamnesa dari pasien dan Alloanamnesis dari istri pasien.

Identitas Pasien Nama Umur : Tn. A M : 49 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat Pekerjaan Pendidikan Suku Agama : Dusun Suka Sari Rt. 015 Separi I : Pedagang : SD : Jawa : Islam

Keluhan Utama Pandangan kabur

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluhkan pandangan kabur sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pandangan kabur dirasakan setelah pasien mengalami jatuh dari motor 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala dan badan terasa lemah dan pandangan mendadak hilang sehingga pasien meminta anaknya untuk dibawa ke rumah sakit. Ketika tiba di rumah sakit, pasien pergi ke toilet. Ketika keluar dari toilet, pasien merasakan kelemahan tubuh sebelah kiri dan tidak bisa digerakkan. Selain itu, pasien juga terjadi bicara pelo. Sebelum pasien merasakan kelemahan, pasien sering mengalami keram pada kaki

3

namun pasien tidak mengeluhkan adanya mual, muntah, kejang maupun gangguan komunikasi (bicara pelo). Pada perawatan hari ke-4 pasien mengalami kejang 2 kali dalam waktu < 1 menit. Hingga hari perawatan ke-5 pasien masih mengeluhkan adanya kejang. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Hipertensi (+) sejak 6 tahun yang lalu dan tidak rutin dikontrol dengan OAH 2. Diabetes Mellitus (+) sejak 6 tahun yang lalu, dan pasien tidak rutin mengkonsumsi OAD 3. Ulkus diabetika sejak 2 tahun yang lalu di tibia dextra 4. Stroke (-) 5. Riwayat penyakit jantung tidak diketahui

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, stroke dan penyakit jantung dalam keluarga tidak diketahui.

Riwayat kebiasaan Merokok (-), minum alkohol (-)

Pemeriksaan Fisik A. Status Praesens Keadaan umum Kesadaran Tekanan Darah Frekuensi Nadi : Sakit sedang : Composmentis (GCS: E4V5M6) : 180/110 mmHg : 120x/mnt

Frekuensi Nafas : 24x/mnt Suhu : 36,8 C Kepala : bentuk normal, simetris Mata : pupil isokor ( mm/ mm), reflex cahaya +/+, refleks kornea +/+ Leher : pembesaran KGB (-) Thorax :4

Jantung S1 dan S2 tunggal Murmur () gallop ()

Paru Simetris Vesikuler +/+ Ronki -/Whezzing-/-

Abdomen : Soefel Nyeri tekan (-) Hepar/ lien tidak teraba Bising usus + ( normal)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-) Ulkus cruris Dextra

B. Status Psychicus Cara Berfikir Tingkah Laku Kecerdasan Perasaan Hati Ingatan : Baik : Baik : Cukup : Baik : Cukup

C. Status Neurologis Kepala o Bentuk : bulat o Simetri : + o Mata : Pupil isokor D et S 3 m. Leher o Pergerakan : + o Kaku kuduk : -

5

Nervus Cranialis Pemeriksaan N. Olfaktorius Subjektif Objektif dengan teh Dengan kopi N Optikus Lapangan Pandang Melihat Warna N. Occulomotorius Refleks cahaya N. Trochlearis Pergerakan keluar) N. Trigeminus Membuka mulut Mengunyah Menggigit Refleks kernig Sensibilitas muka N. Abducens Pergerakan mata ke lateral N. Fasialis Mengerut dahi Menutup mata Memperlihatkan gigi Perasaan lidah Perasaan muka Dahi Pipi Dagu +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N +N mata (kebawah+N +N +N +N +N +N +N +N + +N +N + +N +N Kanan Kiri

N. vestibulocochlearis

6

Detik arloji Suara berbisik N. Glosopharingeus Perasaan lidah bagian belakang N. Vagus Bicara Menelan Nadi N. Accesorius Mengangkat bahu Memalingkan kepala N. Hipoglossus Pergerakan lidah Tremor lidah Artikulasi

+N +N

+N +N

+N

+N

Kurang jelas +N +N

Kurang jelas +N +N

+N +N

+N +N

+N +N Kurang

+N +N kurang

D. Badan dan Anggota Gerak Badan a. Motorik o Respirasi : vesikuler, pergerakan simetris o Duduk b. Refleks Refleks Refleks kulit o Perut atas o Perut tengah o Perut bawah Anggota Gerak Atas (Lengan) Kanan Motorik Pergerakan Kekuatan +N 5-5-5 +N 5-5-5 Kiri + + + + + + Kanan Kiri : tidak ditemukan kelainan

7

Tonus Tropik Refleks Biceps Triceps Huffman Tromner Sensibilitas Sensibilitas taktil Sensibilitas nyeri Perasaan diskrim Perasaan lokalis Anggota Gerak Bawah (Kaki)

+N -

+N -

+ + -

+ + -

+N +N +

+N +N +

Kanan Motorik Pergerakan Kekuatan Tonus Tropik Refleks Patella Achilles Babinski Chaddock Patrick Laseq Kernik Sensibilitas Sensibilitas taktil Sensibilitas nyeri Perasaan diskrim Perasaan lokalis + + + 5-5-5 -

Kiri

+ 5-5-5 -

+ + -

-

8

a. Koordinasi Gait/Keseimbangan Cara berjalan : Normal b. Gerakan Abnormal Tremor : -

c. Alat Vegetatif Miksi : + Defekasi : + Ereksi : +

Pemeriksaan Penunjang ; Lab Darah Parameter Hb Hct Leukosit Trombosit GDS Ureum Creatinin Na K Cl Diagnosa Klinis Diagnosis topis 13-10-2011 14,5 gr/dl 42,1% 17.500 284.000 431 mg/dl 49,3 mg/dl 2,3 mg/dl 135 mmol/L 4,9 mmol/L 96 mmol/L 18/10/2011

138,6 4,7

: kejang parsial kontinu, hipertensi derajat II : hemisfer kanan

Diagnosis etiologis : Emboli

Penatalaksanaan IVFD RL 20 tts/mnt Injeksi neurolin 500 2x1 CPG 75 mg 1x1 Tensivask 10 mg 0-0-1 Angioten 50 1x1 Injeksi antrain 3x1 amp Injeksi humulin N 8 unit SC Injeksi RI 3x6 IU SC

Prognosis Dubia et Bonam

9

FOLLOW UP PASIENPerawatan Hari I 13/10/2011 S Sakit kepala (+), pandangan kabur (+), bicara pelo (+) O CM; E4V5M6 TD: 200/110 mmHg N: 90x/menit RR: 24x/menit T: 36,80 C Refleks cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm/3 mm Hari II 14/10/2011 Sakit kepala (+), pandangan terkadang kaburhilang, bicara pelo (+), nyeri ulu hati CM; E4V5M6 N: 88x/menit RR: 20x/menit T: 36,8 C TD: 150/100 mmHg Vesikuler Rh -/- Wh -/-/-/-/-/0

A SNH + DM tipe II + Ulkus Tibia D - RL 20 tpm

P

- Inj. Neurolin 500 2x1 - Inj. Antrain 3x1 amp - CPG 75 mg 1x1 - Tensivask 10 mg 0-0-1 - Angioten 50 1x1

SNH + DM type II + Ulkus Tibia D

Terapi Neuro: - RL 20 tpm - Inj. Neurolin 500 2x1 citicolin inj.2x1 - Inj. Antrain 3x1 amp - CPG 75 mg 1x1 - Tensivask 10 mg 0-0-1 tunda - Angioten 50mg 1x1 - Antasida syr 3x1 cth - Kutoin 2x1 amp (iv) - Diazepam 1 amp iv Terapi PD: - RI 3x6 iv SC - Humulin N 0-0-1 iv SC - Ceftriaxone 2x1 g iv (skin test) - Dulcolax supp II

S1 S2 tunggal reguler NTE (+)

Hari III 15/10/2011

Sakit kepala, pandangan kabur, pelo, nyeri ulu hati, jika buka mata terasa berputar (+),

CM; E4V5M6 TD: 150/100mmHg N: 86x/i, RR: 20x/i, T: 36,8 C Vesikuler,o

SNH + DM type II + Ulkus Tibia D

Terapi Neuro: - RL 20 tpm - Inj. Citikolin 2x1 amp - Inj. Antrain 3x1 amp (k/p) - Inj. Kutoin 2x1 amp - Inj. Diazepam 1 amp jika

10

pandangan kabur (+), disartria, nyeri ulu hati (+), mual muntah (+) kadang-kadang.

Rh -/- Wh -/-/-/-/-/-

kejang - Clopidogrel 75 mg 1x1 tab - Angioten 50 mg 1x1 - Antasida syr 3x1cth - Betahistin 3x1 tab - Frego 5 mg 2x1 Terapi PD: - RI 3x6 iv SC - Humulin N 0-0-1 iv SC - Ceftriaxone 2x1 g iv

S1 S2 tunggal reguler NTE (+)

Hari IV 16/10/2011

Kejang tonikklonik (+) 2x durasi < 1 menit dalam waktu 30 menit (pagi) Kejang fokal pada ektremitas sebelah kiri (malam)

CM; E4V5M6 TD: 140/90mmHg N: 84x/i, RR: 24x/i, T: 36,8oC Vesikuler, Rh -/- Wh -/-/-/-/-/-

SNH + DM type II + Ulkus Tibia D

Terapi Neuro: - RL 20 tpm - Inj. Citikolin 2x1 amp - Inj. Antrain 3x1 amp (k/p) - Inj. Kutoin 2x1 amp - Inj. Diazepam 1 amp jika kejang - Clopidogrel 75 mg 1x1 tab - Angioten 50 mg 1x1 - Antasida syr 3x1cth - Betahistin 3x1 tab - Frego 5 mg 2x1 Terapi PD: - RI 3x6 iv SC - Humulin N 0-0-1 iv SC - Ceftriaxone 2x1 g iv

S1 S2 tunggal reguler NTE (+)

11

Hari V 17/10/2011

Sakit kepala pada daerah tengkuk, kejang (+)7x durasi < 1 menit dalam waktu 3 jam

Composmentis E4V5M6 TD : 180/120 mmHg N : 88x/menit RR : 36x/menit T : 36,2 0 C Vesikuler, Rh -/- Wh -/-/-/-/-/-

SNH + DM type II + Ulkus Tibia D

Terapi Neuro: - RL 20 tpm - Inj. Citikolin 2x1 amp - Inj. Antrain 3x1 amp (k/p) - Inj. Kutoin 2x1 amp - Inj. Diazepam 1 amp jika kejang - Clopidogrel 75 mg 1x1 tab - Angioten 50 mg 1x1 - Antasida syr 3x1cth - Betahistin 3x1 tab - Frego 5 mg 2x1 Terapi PD: - RI 3x6 iv SC - Humulin N 0-0-1 iv SC - Ceftriaxone 2x1 g iv

S1 S2 tunggal reguler NTE (+)

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stroke 3.1.1 Definisi Stroke Kata stroke berasal dari bahasa inggris yang perarti pukulan. Stroke merupakan kejadian tiba-tiba dari defisit neurologis oleh karena mekanisme vascular. 85% merupakan jenis iskemik, 15 % merupakan jenis perdarahan. Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. 3.1.2 Anatomi Pembuluh Darah Otak Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial (Gambar 3.1.) Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi (Gambar 3.2). Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsifungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang

13

berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ (gambar 3.3.).

Gambar 3.1. Sel Glia Pada Otak

Gambar 3.2. Pembuluh Darah di Otak

Gambar 3.3. Bagian Otak dan Fungsi Otak

14

Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke. 3.1.3 Stroke Non Hemoragik Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-kranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya. Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah otak yang terkena. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik (kausal). a. Berdasarkan manifestasi klinik: i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA) Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam. ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu. iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation) Gejala neurologik makin lama makin berat. iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke) Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi. b. Berdasarkan Kausal: i. Stroke Trombotik

15

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis. ii. Stroke Emboli/Non Trombotik Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak. Gejala Stroke Non Hemoragik Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah: a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna. i. ii. Buta mendadak (amaurosis fugaks). Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan. iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan. b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior. i. ii. iii. iv. v. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol. Gangguan mental. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air. Bisa terjadi kejang-kejang.

c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media. i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.

16

ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh. iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia). d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar. i. ii. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas. Meningkatnya refleks tendon.

iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh. iv. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo). v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).

vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit bicara (disatria). vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi). viii. Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim). ix. Gangguan pendengaran. x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.

e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior i. Koma ii. Hemiparesis kontra lateral. iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia). iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga. f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau

17

sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak. ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia. iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak. iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak. v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya). vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang. vii. viii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara. ix. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak. x. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik Strok non hemoragik sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis.

18

Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara: 1 Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah 2 Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan ateroma 3 4 Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli Menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian dapat robek (Aliah dkk, 2007).

Gambar. Stroke Iskemik

Diagnosa Stroke Non Hemoragik Diagnosis stroke didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis : Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak. Tanpa trauma kepala, Adanya faktor risiko stroke. Pemeriksaan fisik : Ditemukan faktor risiko (hipertensi, kelainan jantung, dll) bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya. Adanya defisit neurologik. Pemeriksaan Penunjang Darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit, LED), hitung Jenis dan bila perlu gambaran darah.

19

Komponen kimia darah, gas, elektrolit Doppler, EKG, Ekhokardiograf, dll. CT scan untuk membedakan infark dengan perdarahan. Angiografi serebral (karotis, atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila scan tak jelas. Magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitive dari CT scan dalam mendeteksi infark serebri dni dan infark batang otak. Pemeriksaan likuor serebrospinalis: seringkali dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik PIS (perdarahan intraserebral) maupun PSA (perdarahan subaraknoidal). Penatalaksanaan Terapi SNH dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut. 1. Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit) Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang. Sehingga perlu dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan darah darah dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah (kadar gula darah yang tinggi tidak diturunkan dengan derastis), bila gawat balans cairan, elektrolit, dan asam basa harus terus dipantau. Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak yang menderita di daerah iskemik (ischemic penumbra), antara lain: 1 Anti-edema otak: a. Gliserol 10% perinfus, 1gr/kgBB/hari dalam 6 jam b. Kortikosteroid, yang banyak digunakan deksametason dengan bolus 1020mg i.v., diikuti 4-5 mg/6jam selama beberapa hari, lalu tapering off, dan dihentikan setelah fase akut berlalu. 2 Anti-Agregasi trombosit Asam asetil salisilat (ASA) seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah 80300 mg/hari 3 Antikoagulansia, misalnya heparin

20

4

Lain-lain: a b Trombolisis (trombokinase) masih dalam uji coba Obat-obat baru dan Neuro Protectif: Citicoline, piracetam, nimodipine (Aliah dkk, 2007; Harsono, 2008).

2. Fase Pasca Akut Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke. Rehabilitasi Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi wicar, dan psikoterapi. Terapi Preventif Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke, dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke: a b c d Pengobatan hipertensi Mengobati diabetes melitus Menghindari rokok, obesitas, stres Berolahraga teratur (Aliah dkk, 2007).

Prognosa Sebagian besar penderita pulih kembali, beberapa diantaranya pulih secara sempurna. Sebagian lagi tetap mengalami defisit neurologis yang berat. Kematian disebabkan oleh edema otak.

3.2 Epilepsi 3.2.1 Definisi Epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya diagnosis ini mengharuskan dicarinya penyebab, walaupun dua pertiga kasus idiopatik, jadi penyebabnya tak dapat ditentukan. Sebagian besar memiliki kecenderungan untuk terus-menerus mengalami episode perubahan gerakan, fenomena sensoris, dan perilaku ganjil, biasanya disertai dengan perubahan kesadaran. Adanya episode

21

tunggal tanpa pemicu tidak cukup untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Pasien dengan kecenderungan epilepsi cenderung mengalami serangan stereotipik (Rubenstein, dkk, 2007). Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal dan eksesif, terjadi di suatu dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi (Ganiswarna, 1995). 3.2.2 Etiologi Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel otak. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor penyebab maupun faktor resiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardiovaskular tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis), dan infestasi parasit terutama cacing pita (Harsono, 2007). Ditinjau dari penyebab tersebut epilepsi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1) epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, dan 2) epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui (Harsono, 2005). Selain etiologi, adapula yang disebut sebagai faktor presipitasi atau yang memudahkan timbulnya bangkitan, yaitu: 1). Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas (Mansjoer, dkk, 2000). Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar (flashing light) pada kisaran 1015 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat merupakan pencetus serangan (Harsono, 2005). 2). Faktor sistemik: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan fenotiazin, isoniazid, chlorpropamide, hipoglikemia karena makan yang tidak teratur, lelah fisik yang menyebabkan hiperventilasi (Markam, 1992).

22

3). Faktor mental: stress, gangguan emosi (Mansjoer, dkk, 2000). 4). Faktor makan dan minum: makan dan minum harus teratur, jangan sampai terlalu lapar, terlalu haus, terlalu kenyang, terutama terlalu banyak minum (Faught, 2001). 5). Suara tertentu: suara dengan nada tinggi atau berkualitas keras dapat menimbulkan bangkitan. Epilepsi jenis ini disebut epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik (Faught, 2001). 6). Lupa dan/atau enggan minum obat 7). Faktor-faktor yang dapat memudahkan terjadinya serangan lainnya bisa juga berupa kurang tidur karena dapat menganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan, alkohol karena dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan serta pada perubahan hormonal

(pada masa haid dimana dapat terjadi perubahan siklus hormon yang berupa peningkatan kadar estrogen dan stress serta pada kehamilan dimana terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan) (Harsono, 2005). Yang juga perlu diketahui dan tidak kalah pentingnya adalah setiap orang memiliki ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan oleh faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang yang sama, hanya satu dua orang yang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak. Mereka yang tidak mengalami serangan karena mempunyai ambang rangsang serangan yang cukup tinggi. Ambang rangsang serangan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor non spesifik (Harsono, 2003). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ambang kejang (ambang miokloni) adalah: Umur. Perbandingan elektrolit didalam dan diluar sel pada susunan saraf pusat anak-anak belumlah sesempurna keadaan pada orang dewasa. Demam senantiasa akan menimbulkan metabolisme yang meningkat di dalam susunan saraf pusat. Bila perimbangan elektrolit tidaklah sempurna, maka anak itu akan memiliki predisposisi untuk mendapatkan kejang. Keadaan ini dinamai kejang demam, atau Benign Febrile Convulsion (B.F.C). Para orang tua dari penderita yang demikian, ternyata pada waktu kanak-kanaknya, juga pernah mendapat

23

kejang demam. Rupanya yang diturunkan kepada anaknya adalah ambang miokoni yang rendah itu (Ngoerah, 1990). Kadar gula darah. Kadar glukosa yang rendah di dalam darah dapat memudahkan timbulnya bangkitan epilepsi. Dengan keterangan ini dapatlah dimengerti apa sebabnya ada penderita epilepsi yang bangkitannya selalu timbul pada jam 4 pagi (Ngoerah, 1990). Hipokalsemia. Kadar kalsium di dalam darah seorang penderita epilepsi biasanya adalah normal. Tetapi bila pada seorang penderita terdapat suatu sikatriks meningo serebral dan di samping itu pula ada hipokalsemia, maka bangkitan epilepsi akan mudah timbul (Ngoerah, 1990). Haid. Pada penderita dengan epilepsi ini tampak benar, bahwa bangkitan epilepsinya lebih sering timbul pada waktu sedang, menjelang, atau segera sesudah haid. Hal ini rupanya disebabkan oleh adanya retensi air di dalam jaringan tubuh, termasuk pula di dalam sususan saraf pusat. Mungkin lenyapnya progestin yang agaknya mempunyai sifat-sifat anti-konvulsi, mempengaruhi pula ambang miokloni itu (Ngoerah, 1990). Hamil (Graviditas). Pada penderita hamil tidak jarang kita jumpai pula adanya hipertensi, dan faal ginjal yang agak terganggu. Hal ini ternyata dapat merendahkan ambang miokloni, dan memudahkan timbulnya bangkitan epilepsi. 3.2.3 Klasifikasi Epilepsi Menurut Commission of Classification and Terminology of the

International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981. Klasifikasi epilepsi sebagai berikut 1. Serangan Parsial ( Fokal, Lokal) a) Serangan Parsial Sederhana (Serangan parsial dengan kesadaran tetap normal) Dengan gejala motorik Dengan gejala somatosensoris atau sensoris yang khusus Dengan gejala atau tanda autonom Dengan gejala psikis b) Serangan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)

24

Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan kesadaran Dengan penurunan kesadaran sejak awal serangan c) Serangan Parsial yang menyeluruh secara sekunder (tonik-klonik, tonik, klonik) Serangan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum Serangan parsial komplek yang berkembang menjadi bangkitan umum Serangan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek lalu berkembang menjadi bangkitan umum. 2. Serangan Umum a. Grand mal ( tonik-klonik ) Adalah serangan disertai hilangnya kesadaran, biasanya tanpa aura atau tanda peringatan yang lain. Ketika ada tanda peringatan, ini biasanya disertai gejala-gejala nonspesifik. Fase tonik Manifestasi awalnya adalah tidak sadar dan terjadi kontraksi otot-otot tubuh selama 10-30 detik, menyebabkan ekstensi ekstremitas dan bentuk tubuh seperti busur. Kontraksi tonik dari otot-otot pernapasan bisa menyebabkan pernapasan yang bersuara (menangis atau mengerang) dan sianosis, serta berkontrasinya otot pengunyahan bisa menyebabkan trauma pada lidah. Pasien terjatuh ke tanah dan mungkin terjadi cedera. Fase klonik Fase tonik diikuti oleh fase klonik (kontraksi dan relaksasi otot secara bergantian) dengan gerakan-gerakan tungkai yang simetris yang berlangsung selama 30-60 detik atau lebih lama. Respon pernapasan kembali denga cepat pada fase ini dan sianosis menghilang. Mulut penuh saliva. Gerakan semakin berkurang sampai akhirnya otot-ototnya lemah. Relaksasi sfingter dan kontraksi otot detrusor menyebabkan inkontinensia urine. Kemudia pasien menetap tidak sadar yang bertahan jarang lebih lama dari 30 menit. Fase pemulihan Segera setelah pasien sadar, terjadi kejang pos iktal dan sering sakit kepala. Orientasi penuh biasanya memerlukan waktu 10-30 menit atau bahkan lebih

25

lama pada pasien status epileptikus atau gangguan struktur tau metabolism otak yang pernah ada sebelumnya. Status epileptikus Suatu keadaan dimana terjadi rangkaian kejang-kejang, dan diantara serangan penderita tidak sadar. Dapat terjadi bila pengobatan dengan luminal dihentikan secara mendadak. Status epileptikus harus dipandang sebagai kegawatdaruratan dan harus segera dihentikan, karena dapat menimbulkan

keadaan gawat dan membawa kematian. b. Absence Typical absence (petit mal) Petit mal biasanya ditemukan pada anak-anak.pada penderita akan tampak adanya absens (lena) yang berlangsung beberapa detik. Penderita menjadi pucat, matanya terus memandang ke suatu tempat. Bila tadinya ia sedang berbicara, maka dapat terjadi berhenti tiba-tiba ditengah-tengah kalimat. Kalau sedang bergerak maka gerakan serta merta berhenti, dan bila ada sesuatu benda ditangan penderita maka benda itu akan terjatuh. Namun penderita sendiri tidak jatuh. Absens ini hanya berlangsung beberapa detik, kemudian penderita akan siuman kembali, dan aktivitasnya yang tadi terhenti dilanjutkannya kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Atypical absence c. Tipe lain Tonik Klonik Mioklonik Atonik 3. Serangan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

26

3.2.4 Patofisiologi Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:-

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

-

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron

27

penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.-

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya

ada tiga kejadian yang saling terkait :-

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul. Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

-

bermuatan

listrik

berlebihan

dan

hipersinkron

dikenal

sebagai

fokus

epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron.

28

(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus. 3.2.5 Faktor Risiko Faktor yang mungkin dapat meningkatkan risiko epilepsi adalah : o Usia. Epilepsi biasanya terjadi pada masa awal usia anak-anak dan setelah usia 65 tahun, tapi kondisi yang sama dapat terjadi pada usia berapapun. o Jenis kelamin. Lelaki lebih berisiko terkena epilepsi daripada wanita. o Catatan keluarga. Jika anda memiliki catatan epilepsi dalam keluarga, anda mungkin memiliki peningkatan risiko mengalami kejang-kejang. o Cedera kepala. Cedera ini bertanggung jawab pada banyak kasus epilepsi. Anda dapat mengurangi risikonya dengan selalu menggunakan sabuk pengaman ketika mengendarai mobil dan menggunakan helm ketika mengendarai motor, bermain ski, bersepeda atau melakukan aktifitas lain yang berisiko terkena cedera kepala. o Stroke dan penyakit vaskular lain. Ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang memicu epilepsi. Anda dapat mengambil beberapa langkah untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit tersebut, termasuk adalah batasi untuk mengkonsumsi alkohol dan hindari rokok, makan makanan yang sehat dan selalu berolahraga. o Infeksi pada otak. Infeksi seperti meningitis, menyebabkan peradangan pada otak atau tulang belakang dan menyebabkan peningkatan risiko terkena epilepsi. o Kejang-kejang berkepanjangan pada saat anak-anak. Demam tinggi pada saat anak-anak dalam waktu yang lama terkadang dikaitkan dengan kejang-kejang untuk waktu yang lama dan epilepsi pada saat nanti. Khususnya untuk mereka dengan catatan sejarah keluarga dengan epilepsi. 3.2.6 Diagnosis Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan

29

radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. a. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:-

Pola / bentuk serangan Lama serangan Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekwensi serangan Faktor pencetus Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang Usia saat serangan terjadinya pertama Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

-

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. c. Pemeriksaan penunjang Elektro ensefalografi (EEG)

30

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya misal gelombang delta. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3.2.7 Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah menyembuhkan atau bila tidak mampu menyembuhkan, paling tidak membatasi gejala-gejala dan mengurangi efek samping pengobatan. Pada sindrom epileptik atau penyakit epilepsi, bila kelainan structural, metabolik, atau endokrin yang dapat disembuhkan tidak dijumpai,

31

maka tujuan pengobatan adalah memperbaiki kualitas hidup penderita dengan menghilangkan atau mengurangi frekuensi tanpa menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki (Harsono, 2005). Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam terapi epilepsi: 1. Pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan faktor pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan. 2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan, ini berarti pasien mengalami lebih dari 2 kali kejang yang sama. 3. Obat yang digunakan disesuaikan dengan jenis kejang 4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan dan menghindari interaksi obat. 5. Dosis obat disesuaikan secara individual. 6. Evaluasi hasilnya 7. Pengobatan dihentikan setelah kejang hilang selama minimal 2-3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya (Mansjoer, dkk, 2000). Tabel 1. Obat pilihan berdasarkan jenis kejang ((Mansjoer, dkk, 2000) Bangkitan Fokal/parsial Sederhana Kompleks Tonik-klonik umum Karbamazepine, Fenobarbital, Fenitoin Karbamazepine, Fenobarbital, Fenitoin, Asam valproat Karbamazepine, Fenobarbital, Fenitoin, Asam valproat Jenis obat

Umum Tonik-klonik Mioklonik Absens/petit mal Karbamazepine, Fenobarbital, Fenitoin, Asam valproat Klonazepam, Asam valproat Klonazepam, Asam valproat

3.2.8 Prognosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Pada

32

umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Mengenai prognosis sosial dapat dikatakan, bahwa sebagian terbesar penderita epilepsi dapat bekerja sesuai dengan bakat, pendidikan dan keterampilannya. (Harsono, 2005).

33

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien AM, usia 49 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama pandangan kabur. Penegakkan diagnosis pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien memiliki beberapa faktor resiko stroke antara lain usianya yang sudah tua, hipertensi, diabetes melitus yang tidak terkontrol. Gejala yang dialami secara bertahap oleh pasien seperti sakit kepala, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, dan semua ini mengarah ke diagnosa stroke. Jika dihitung mengggunakan siriraj skor, maka nilai yang didapat adalah -1, ini mengindikasikan adanya stroke jenis non hemoragik, tetapi jika dikaitkan dengan gajah mada skor, adanya keluhan nyeri kepala tanpa adanya penurunan kesadaran dan reflex babinski mengindikasikan suatu perdarahan intraserebral. Skor Gajah Mada

Siriraj Hospital Score6 Versi orisinal : = (0.80 X kesadaran) + (0.66 X muntah) + (0.66 X sakit kepala) + (0.33 X tekanan darah diastolik - (0.99 X atheroma) - 3.71

34

Versi disederhanakan : = (2.5 X kesadaran) + (2 X muntah) + (2 X sakit kepala) + (0.1 X tekanan darah diastolik) - (3 X atheroma) -12

-

Kesadaran : sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2 Muntah : tidak = 0; ya = 1 Sakit kepala dalam 2 jam : tidak = 0; ya = 1 Tanda-tanda ateroma : tidak ada = 0; 1 atau lebih tanda stemma = 1 (anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermiten) Tanda meningeal, tanda Babinski, anamnesis hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit jantung diberi skor 1

Skor > 1 perdarahan otak; skor < -1 infark otak : Sensitivitas untuk perdarahan (skor> 1) : 89.3% (confidence interval 83.9 94.8%) Sensitivitas untuk infark (skor < -1) : 93.2% (confidence interval 85.8 100.6%) Ketepatan diagnostik : 90.3% Pada pemeriksaan nervus kranialis, terlihat kelainan pada N. VII. Pada pemeriksaan N VII didapatkan parese N VII dextra tipe central (UMN). Pada lesi UMN, didapatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya (sekitar mata dan dahi) tidak. Hal ini disebabkan karena bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motortik bilateral. Sehingga bila lesi terdapat di LMN, semua gerakan otot wajah lumpuh. Pada pemeriksaan fisik, pada cruris dextra terlihat adanya ulkus dengan diameter 2 cm. Setelah dilakukan CT scan gambaran hipodense di hemisfer dextra yang membuktikan bahwa pasien mengalami stroke iskemik. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa akhir berupa SNH + DM tipe 2 + ulkus cruris dextra

35

4. AnamnesaKRITERIA DIAGNOSA UMUR > 40 th tak tentu dpt 20 - 30 th ONSET PERJALANAN GEJALA PENYERTA Sakit kepala Muntah Vertigo FAKTOR RESIKO Hipertensi Peny Jantung Diabetes Dislipidemia berat HHD +/+/ASHD ++ ++ RhHD + + Tidak diketahhui Perokok KESADARAN KAKU KUDUK KELUMPUHAN + / koma + /-D4 Hemiplegi Kaki - tangan AFASIA LP DARAH ARTHEROGRAFI +/Shift midline pelan +++ hemiplegi +/stl 3 - 5 hr ++++ aneurisma + + N/ Hemiplegi tangan-kaki ++ / oklusi / stenosis + N/ Hemiplegi tangan-kaki ++ / Oklusi Tdk dilakukan CT SCAN Hiperdens ++ Normal/ hiperdens Intraserebral Ekstraserebral stl hr 4 7 stl hr 4 7 Hipodens Hipodens Hipodens Tdk dilakukan N ++ ++ +++ +++ +/+/+ aktivitas cepat Aktivitas Cepat bangun tidur Bertahap tak tentu Cepat Bangun tidur Bertahap 50 - 70 th semua umur PIS SAH TROMBOSIS EMBOLI PASIEN Tn. AM 49 tahun

Pada onset dan hari perawatan ke-5 pasien mengalami kejang. Kejang merupakan salah satu manifestasi klinis penyakit vaskuler di otak, dengan tipe kejang parsial sederhana atau kejang parsial yang berkembang

36

menjadi umum (8-32%). Pada 30-79% kasus kejang biasanya terjadi pada masa awal (48 jam) serangan stroke. Setelah terjadi injuri serebral pada stroke, korteks yang terlibat akan mengalami perubahan strktural dan fungsional yang dapat meningkatkan eksitabilitas kortek tersebut atau menurunkan aktivitas inhibisi neuronal sehingga menimbulkan kejang epileptik pada 6-9% pasien stroke. Proses yang terjadi diawali dengan injuri serebral, diteruskan dengan periode latensi (epileptogenesis; kerusakan neuronal segera atau lambat, neurogenesis, gliosis, axonal dan dendritic plastisitas, angiogenesis, inflamasi, dan reorganisasi molekular reseptor dan kanal ion), kemudian berakhir dengan kejang spontan (epilepsi).

5. Pemeriksaan Fisik Fakta Anamnesa: Riw. HT (+) Riw. DM (+) Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6) Kepala : Pupil isokor, Refleks cahaya +/+, bicara pelo Nervus cranialis : Normal Anamnesis : Terutama terjadinya keluhan/ gejala defisit neurologik yang mendadak. Tanpa trauma kepala Adanya faktor risiko stroke. Teori

Pemeriksaan fisik :

-

Leher : Kaku kuduk (-), Kernig Ditemukan faktor risiko (-), Brudzinski (-) (hipertensi, kelainan jantung, dll) Ekstremitas : Kekuatan otot bising pada auskultasi atau dan sensorik baik MMT 5 5 5 5 kelainan lainnya. Adanya defisit neurologik. pembuluh darah

Refleks fisiologis Ekstrimitas atas: (+/+) Ekstrimitas bawah: (+/+) Refleks Patologis Ekstrimitas atas: (-/-)

37

Ekstrimitas bawah: (-/-) Sensibilitas: Baik

6. Pemeriksaan Penunjang Kimia darah GDS: 431 mg/l Ureum: 49,3, Creatinin: 2,3 mg/dl

CT scan: menunjukkan gambaran stroke non hemorhagik ditandai dengan adanya area hipodens (infark) di hemisfer dextra.

7. Penatalaksanaan Nonfarmakologis Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan Memperbaiki jalan nafas Pemberian suplai oksigen pada pasien hipoksia Head up 20-30o penatalaksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Farmakologis 1. RL 20 tetes/menit untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien dan stabilisasi hemodinamik. 2. Brainact, Citicolin inj 2 x 250 mg memperbaiki outcome fungsional dan mengurangi defisit neurologis merupakan neuroprotektan untuk mencegah

early ischemic injury, mekanisme kerja citicolin adalah meningkatkan pembentukan kolin dan menghambat kerusakan fosfatidilkolin (menghambat fosfolipase), vasodilator perifer dan aktivator serebral, indikasi: gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan/cedera serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien hemiplegi. dengan dosis optimal 500mg/hari yang diberikan dalam 24 jam setelah onset. (dosis adekuat citicholin 250-1000 mg/hari IV terbagi dalam 2-3 kali/hari selama 2-14 hari. 3. Clopidogrel 75 mg 1x1 tab Anti-Agregasi trombosit, mencegah dan mengurangi terbentuknya thrombus

38

4. Amlodipin antihipertensi golongan Ca antagonis, Ca antagonis tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah, maupun asam urat, sangat baik untuk pasien ini. 5. Pemberian injeksi antrain berfungsi untuk menghilangkan nyeri kepala. 6. Kutoin sebagai anti kejang.

39

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah kejang parsial kontinu ec. SNH, DM + Ulkus cruris dextra 2. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang membantu melihat perkembangan penyakit. 3. Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi yang sesuai dengan literatur.

DAFTAR PUSTAKA

40

Aliah, A., Kuswara, F. F., Limoa, R. A., & Wuysang, G. 2007. Gambaran Umum Tentang Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO). Dalam Harsono, Kapita Selekta Neurologi (hal. 81-102). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. American Heart Association. Stroke. Online: (http://www.americanheart.org/, diakses 10 April 2010. Last modified 29 September 2007). Anonymous. Know Stroke. Know the Signs. Act in Time. Online:

(http://www.ninds.nih.gov/, diakses 10 April 2010. Last modified 11 September 2007). Eliawati, Hadibrata. Stroke. Kuliah Ilmu Penyakit Syaraf. Laboratorium Ilmu Penyakit Syaraf PSKU. Samarinda. 2005. FDA. Stroke. Online: (http://www.fda.gov/, diakses 10 April 2010. Last modified Agustus 2005. Free encyclopedia. Stroke. Online: (http://www.en.wikipedia.org/, diakses 20 10 April 2010. Last modified 19 September 2007). Gilroy, John. Basic Neurology 3rd edition. McGraw-Hill. USA. 2000. Hal 231253. Harborview Medical Centre. Stroke Definition and Term. Online:

(http://www.uwmedcine.org/, diakses 10 April 2010. Last modified 20 October 2006). Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2005. Hal 59-83. Leduc, Marc. Stroke Prevention. Online: (http://www.healingdaily.com/, diakses 10 April 2010. Last modified 2002). Misbach, Jusuf dan Kalim, Harmani. Stroke Mengancam Usia Produktif. Online: (http://www.medicastore.com/stroke/, diakses 10 April 2010. Last modified 2006). . Misbach, Jusuf dkk. Guideline Stroke 2004. PERDOSSI. Jakarta. 2004. Siregar, Anggiat. Stroke, Bagaimana Mengenal dan Mencegahnya. Online: (http://www.perdossi.or,id/, diakses tanggal 10 April 2010. Last modified 2007).

41

42