case epilepsi
DESCRIPTION
CASE REPORT EPILEPSI STASE NEUROTRANSCRIPT
1
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AR
Umur : 18 tahun
Alamat : Teluk Betung Barat
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk : 6 Mei 2016
Tanggal Anamnesis : 11 Mei 2016
Dirawat yang ke : 1 (satu)
B.
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Anamnesis : Autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 11 Mei 2016
Keluhan Utama : Kejang berulang.
Keluhan Tambahan : Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
dengan keluhan kejang sejak 4 jam SMRS, kejang sebanyak 2x selama ± 10
menit setiap kejangnya. 2 Hari yang lalu pasien juga mengalami keluhan yang
sama, menurut keluarga pasien, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada
seluruh anggota gerak, kepala mengarah kekiri, pada saat kejang pasien tidak
sadar dan tidak dapat berkomunikasi, setelah kejang pasien tidak sadar selama
10 menit kemudian kembali sadar dan dapat berkomunikasi. Selain itu pasien
2
juga mengeluh nyeri kepala. Satu hari setelah perawatan di RSUD Dr. H.
Abdoel Moeloek pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku
dan kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lainnya. Keluhan muntah, mual, demam, dan riwayat trauma
kepala sebelumnya disangkal oleh pasien. Nafsu makan baik, menelan, buang
air kecil, dan buang air besar tidak ada gangguan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyatakan bahwa paman pasien juga memiliki keluhan serupa.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan.
Riwayat Sosio ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien tinggal di daerah yang
padat penduduk. Riwayat minum alkohol disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5 M6 = 15
Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit,
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 o C
Gizi : Baik
3
Status Generalis
- Kepala
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Telinga : Liang lapang, simetris, serumen minimal
Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Kering, lidah putih, sianosis (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
JVP : tidak ada peningkatan
Trakhea : di tengah
- Toraks
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-), gallop(-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris
Palpasi : Taktil fremitus kanan dan kiri sama, simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba membesar.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
4
- Extremitas
Superior : oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik
Inferior : oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik.
Status Neurologis
- Saraf Kranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : normal
N.Opticus (N.II)
- Tajam penglihatan : 6/60 . 6/60
- Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa
- Tes warna : normal
- Fundus oculi : tidak dilakukan
N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III – N.IV – N.VI)
Kelopak Mata
- Ptosis : (-/-)
- Endophtalmus : (-/-)
- Exopthalmus : (-/-)
Pupil
- Ukuran : (3 mm / 3 mm)
- Bentuk : (Bulat / Bulat)
- Isokor/anisokor : Isokor
- Posisi : (Sentral / Sentral)
- Refleks cahaya langsung : (+/+)
- Refleks cahaya tidak langsung : (+/+)
Gerakan Bola Mata
- Medial : normal
- Lateral : normal
5
- Superior : normal
- Inferior : normal
- Obliqus superior : normal
- Obliqus inferior : normal
- Refleks pupil akomodasi : normal / normal
- Refleks pupil konvergensi : normal / normal
N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : normal
- Ramus maksilaris : normal
- Ramus mandibularis : normal
Motorik
- M. masseter : normal
- M. temporalis : normal
- M. pterygoideus : normal
Refleks
- Refleks kornea : (+/+)
- Refleks bersin : Sulit dinilai
N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : simetris
- Tertawa : simetris
- Meringis : simetris
- Bersiul : simetris
- Menutup mata : simetris
Pasien disuruh untuk
- Mengerutkan dahi : simetris
- Menutup mata kuat-kuat : simetris
6
- Mengembungkan pipi : simetris
Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah : normal
N.Acusticus (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : tidak dilakukan
- Tinitus : tidak dilakukan
N.vestibularis
- Test vertigo : tidak dilakukan
- Nistagmus : (-)
N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)
- Suara bindeng/nasal : (-)
- Posisi uvula : normal
- Palatum mole : normal
- Arcus palatoglossus : normal
- Arcus palatoparingeus : normal
- Refleks batuk : tidak dilakukan
- Refleks muntah : tidak dilakukan
- Peristaltik usus : Normal
- Bradikardi : (-)
- Takikardi : (-)
N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus : normal
- M.Trapezius : normal
N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : (-)
- Fasikulasi : (-)
- Deviasi : -
7
- Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Kernig test : (-/-)
Laseque test : (-/-)
Brudzinsky I : (-/-)
Brudzinsky II : (-/-)
- Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki
Gerak (aktif/aktif) (aktif/aktif)
Kekuatan otot 5/5 5/5
Klonus (-/-) (-/-)
Atropi (-/-) (-/-)
Refleks fisiologis Biceps (+/+) Pattela (+/+)
Triceps (+/+) Achiles (+/+)
Refleks patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)
- Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : normal
- Rasa nyeri : normal
- Rasa suhu panas : normal
- Rasa suhu dingin : normal
Proprioseptif / rasa dalam
- Rasa sikap : normal
- Rasa gerak : normal
- Rasa getar : tidak dilakukan
- Rasa nyeri dalam : tidak dilakukan
8
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
- Steriognosis : normal
- Koordinasi
Tes telunjuk hidung : normal
Tes pronasi supinasi : normal
- Susunan Saraf Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
- Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : baik
Fungsi orientasi : baik
Fungsi memori : baik
Fungsi emosi : baik
D. Resume
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
dengan keluhan kejang sejak 4 jam SMRS, kejang sebanyak 2x selama ± 10
menit setiap kejangnya. 2 Hari yang lalu pasien juga mengalami keluhan yang
sama, menurut keluarga pasien, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada
seluruh anggota gerak, kepala mengarah kekiri, pada saat kejang pasien tidak
sadar dan tidak dapat berkomunikasi, setelah kejang pasien tidak sadar selama
10 menit kemudian kembali sadar dan dapat berkomunikasi. Selain itu pasien
juga mengeluh nyeri kepala. Satu hari setelah perawatan di RSUD Dr. H.
Abdoel Moeloek pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku
dan kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lainnya. Keluhan muntah, mual, demam, dan riwayat trauma
kepala sebelumnya disangkal oleh pasien. Nafsu makan baik, menelan, buang
air kecil, dan buang air besar tidak ada gangguan.
9
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit reguler, RR 20 x/menit, suhu 36,5oC.
Pada status generalis dalam batas normal. Hasil pemeriksaan Nervus
Kranialis dalam batas normal. Refleks patologis Babinski (-/-), Chadock (-/-),
Schaefer (-/-) dan Gonda (-/-) H. Trommer (-/-). Rangsang meningeal Kaku
kuduk (-), Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II (-), Kernigs sign (-),
Laseque sign (-).
E. Diagnosis
Diagnosis klinis : Konvulsi tipe umum tonik klonik
Diagnosis topik : Cerebri
Diagnosis etiologi : Epilepsi idiopatik
F. Penatalaksanaan
1. Umum
- Tirah baring,
- Pantau tanda vital
2. Medikamentosa
- IVFD RL XV gtt/menit
- Phenytoin 3x200 mg/hari
10
G. Pemeriksaan Penunjang
EEG (10 Mei 2016)
11
12
Kesan : abnormal berupa cetusan, epileptik difus
CT Scan Kepala
Kesan : Subdural hygroma di regio frontalis sinistra
H. Prognosa
- Quo ad vitam = dubia ad bonam
- Quo ad functionam = dubia ad bonam
- Quo ad sanationam = dubia ad bonam
13
Follow Up :
Rabu, 11 Mei 2016
S Nyeri kepala, kejang (-)
OSense compos mentis GCS E4V5M6TD 120/80 mmHg HR 92 kali/menitT 36,5 0C RR 20 kali/menit
Extremitas Superior kanan/kiri Inferior kanan/kiri
Gerak (aktif / aktif) (aktif/ aktif)
Kekuatan otot 5/5 5/5
Atrofi -/- -/-
Refleks fisiologis
Biceps +/+Triceps +/+Patella +/+Achilles +/+
Reflek patologis Babinsky -/-H.Trommer -/-
Analisis Epilepsi
Planning - IVFD RL XV gtt/menit
- Phenytoin 3x200mg
14
BAB II
ANALISIS KASUS
A. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat?
Berdasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita epilepsi.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi
(PERDOSSI, 2011). Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan belebihan dalam sekelompok neuron.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan
perilaku stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik (Engel J, 2008).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala
yang timbul sepintas akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron
yang terjadi di otak. Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi
yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu :
1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
15
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked) (ILAE and IBE, 2005).
Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu
1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun
alloanamnesis.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring /
tidur / berkemih.
Gejala awitan (aura gerakan / sensasi awal / speech arrest).
Apa yang tampak selama bangkitan : gerakan tonik atau klonik,
vokalisasi otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata.
Keadaan setelah kejang, bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah.
Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal.
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat
perubahan pola bangkitan
b. Ada tidaknya penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat
penyakit neurologis dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin jadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi.
16
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit psokiatrik
atau iskemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan
bayi atau anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain.
Pada anamnesis yang dilakukan didapatkan data bahwa pasien datang
dengan keluhan kejang 2 hari terakhir dengan jarak antara kejang yang
pertama dengan kejang selanjutnya lebih dari 24 jam. Hal tersebut sesuai
dengan definisi epilepsi. Selain itu, pasien mengaku kejang dialami
sebanyak 2x selama ±10 menit, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada
seluruh anggota gerak diawali pada bagian mulut lalu kebagian lain, mata
mendelik ke atas, tampak pucat dan berkeringat, lidah tidak tergigit dan
tidak keluar busa dari mulut. Pada saat kejang pasien dalam keadaan
berbaring, tidak sadar dan tidak dapat berkomunikasi, setelah kejang
pasien merasa lemas pada seluruh tubuh lalu tertidur, setelah pasien
bangun, pasien tampak bingung selama beberapa saat kemudian kembali
sadar dan dapat kembali berkomunikasi seperti biasa. Sebelum mengalami
kejang pasien sering merasa nyeri pada seluruh bagian kepala.
2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi, antara lain :
1. Bangkitan parsial/ fokal
a. Bangkitan parsial sederana dengan gejala motorik, somato
sensorik, otonom, psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
17
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum
Parsial sederhana yang menjadi umum, parsial kompleks menjadi
umum, parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi
umum.
2. Bangkitan umum
a. Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan
klonik pada mata, dagu dan bibir.
b. Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
c. Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.
Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak
dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, dan pupil dilatasi.
d. Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau
menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
e. Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelojot.
f. Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik.
3. Bangkitan tidak terklasifikasi
18
Berdasarkan anamnesis pasien pada kasus ini dapat ditentukan bahwa jenis
bangkitan yang dialami oleh pasien berupa bangkitan umum tonik-klonik.
3. Langkah ketiga, menentukan etiologi epilepsi
Menurut ILAE 1989, etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Idiopatik : Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi
genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui.
3. Simtomatik : Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi
SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelinan neurodegeneratif.
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang fokal Kejang umum
a. Trauma kepalab. Strokec. Infeksid. Malformasi vaskulere. Tumor (Neoplasma)f. Displasiag. Mesial Temporal Sclerosis
a. Penyakit metabolicb. Reaksi obatc. Idiopatikd. Faktor genetike. Kejang fotosensitif
Epilepsi yang dialami pasien ini termasuk dalam epilepsi idiopatik dan
defisit neurologis karena pada pasien tidak didapatkan adanya kelainan
struktural pada otak.
19
Setelah dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologi.
1. Pemeriksaan fisik umum
Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang,
kelainan pada kulit, kanker dan devisit neurologik fokal atau difus.
2. Pemeriksaan neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari
interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkittan terakhir.
Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda vokal seperti todds
paresis, transient aphasic syimptoms, yang tidak jarang jadi petunjuk
lokalisasi.
Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
sistem syaraf permanent dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakanial.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada pasien tidak
didapatkan hasil yang menunjukkan adanya tanda-tanda gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi maupun tanda-tanda defisit neurologi karena
pemeriksaan dilakukan setelah 10 hari pasca bangkitan.
Penegakan diagnosis selanjutnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila memungkinkan
pemeriksaan ini mencakup :
a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan.
Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu
20
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu
atau tidaknya pengobatan dengan AED.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat
terdiagnisi secara non infasif, misalnya nesial temporal sclerosis, glioma,
ganglioma, malformasi kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini
menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, akusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan ini
dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian diulang
bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
2. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontorl baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan
pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi,
atau bila timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat
fisiologi pada tubuh pasien.
B. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat ?
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini terdiri dari penatalaksanan
umum berupa tirah baring disertai pematauan terhadap tanda vital pasien, dan
diberikan terapi medikamentosa berupa infus RL XV gtt/menit, Phenytoin
3x100 mg/hari, Oxcarbazepine 3x300 mg/hari, dan As. Folat 1x1.
21
Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip
terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain :
1. OAE diberikan apabila :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan
e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
TIPE BANGKITAN
OAE LINI PERTAMA
OAE LINI KE DUA/
TAMBAHAN
OAE LINI KETIGA/
TAMBAHAN
LENA
MIOKLONIK
Valproat LamotriginValproat
Valproat
Etosuksimid
Topamax Levetiracetam Zonizamid
Levetiracetam Zonisamid
Lamotrtgin Klobazam Klonazepam Fenobarbital
22
TONIK KLONIK
ATONIK
Karbamazepin Fenitoin Fenobarbital
Valproat
Lamotrigin Oxcarbazepin
Lamotrigin Topamax
Topamax Levetiractam Zonisamid Pirimidon
Felbamat
PARSIAL Karbamazepin Fenitoin FenobarbitalOxkarbazepin Lamotrigin Topamax Gabapentin
Valproat Levetiracetam Zonizamid Pregabalin Lamotrigin
Tiagabin Vigabatrin Felbamat Pirimidon
TIDAK TERKLASIFIKASI
Valproat Topamax Levetiractam Zonizamid
Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain :
1. Secara klinis : bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan.
Dosis pemberian OAE pada pasien ini sudah tepat. Dosis awal phenytoin
200-300mg/ hari dan dosis rumatan 200-400/ hari. (PERDOSSI, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Enjel J. Introduction : What is Epilepsy. Epilepsy a comprehensive textbook
2ndEd. Vol one. USA; 2008;1-7.
23
Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. 2005. An Operational Clinical
Definition of Epilepsy. International League Against Epilepsy (ILAE).
Glauser T, Menachem B, Borgeouis B, et al. 2013. Updated ILAE evidence
review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial monotherapy for
epileptic seizures and syndromes. Epilepsia. Mar;54(3):551-63.
International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for
Epilepsy (IBE). 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. 2011. Pedoman dan tatalaksana
epilepsi.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.