case ensefalitis herpes

43
Laporan Kasus ENCEPHALITIS HERPES Oleh : Nori Purnama NIM. 0908151677 Pembimbing : dr. Ismet, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD ARIFIN ACHMAD FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2015 1

Upload: nori-purnama

Post on 12-Jul-2016

29 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

dvt

TRANSCRIPT

Page 1: Case Ensefalitis Herpes

Laporan Kasus

ENCEPHALITIS HERPES

Oleh :Nori Purnama

NIM. 0908151677

Pembimbing : dr. Ismet, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD ARIFIN ACHMAD FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU2015

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

1

Page 2: Case Ensefalitis Herpes

Definisi dan Etiologi

Ensefalitis adalah infeksi otak yang dapat disebabkan oleh berbagai

macam mikroorganisme, yaitu virus, bakteri, jamur dan protozoa. Sebagian besar

kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35-

50% dengan gejala sisa pada pasien hidup 20-40%.1

Beberapa mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ensefalitis

adalah herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan Western Equine St Louis encephalitis.2

Penyebab tersering dan terpenting ensefalitis adalah virus. Berbagai macam virus

dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala kurang lebih sama dan khas, akan tetapi

hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.1, 2

Infeksi Herpes simpleks pada susunan syaraf pusat (SSP) merupakan

infeksi SSP yang paling berat dan sering menyebabkan kematian. Angka kematian

70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati. Ensefalitis herpes

simpleks (EHS) mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, dengan keberhasilan

pengobatan tergantung pada diagnosis dan waktu memulai pengobatan. EHS biasanya

merupakan penyebab non epidemik, sporadik ensefalitis fokal akut. 1, 2

Virus herpes simpleks (VHS) terdiri dari 2 tipe, yaitu VHS tipe-1 dan

VHS tipe-2. VHS tipe-1 biasanya berhubungan dengan infeksi herpes daerah orofasial

sedangkan VHS tipe-2 berhubungan dengan infeksi herpes daerah genital. VHS tipe-1

menyebabkan ensefalitis terutama pada anak dan orang dewasa, sedangkan VHS tipe-

2 menyebabkan infeksi terutama pada neonatus. EHS dapat terjadi pada semua umur,

tetapi kira-kira 20% terjadi pada usia di bawah 20 tahun dan setengahnya terjadi pada

usia lebih dari 50 tahun.2, 3

Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada

diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Pasien yang tidak diberikan antivirus

atau pengobatannya terlambat angka kematiannya cukup tinggi. Untuk memperoleh

hasil yang memuaskan pengobatan harus dini, dan inilah yang merupakan masalah,

karena untuk membuat diagnosis pasti perlu waktu dan fasilitas yang cukup.

Diagnosis dini adalah saat yang menentukan, karena penyakit ini dapat diobati dengan

antivirus.1

2

Page 3: Case Ensefalitis Herpes

Patogenesis dan Patofisiologi

Infeksi virus pada susunan saraf pusat, dengan sedikit pengecualian, sulit

didiagnosis. Walaupun demikian, munculnya pengobatan antiviral telah menghasilkan

banyak perhatian terhadap diagnosis dan terapi infeksi susunan saraf pusat, terutama

ensefalitis herpes simpleks (EHS).4

Ada 2 bentuk ensefalitis, yaitu infeksi primer dan infeksi post/para infeksi.

Ensefalitis primer merupakan hasil dari invasi langsung agent pada susunan syaraf

pusat, dan bagian otak yang sering diserang adalah substantia grisea. Ensefalitis

post/parainfeksi mempunyai manifestasi klinik seperti ensefalitis primer, tetapi tidak

disebabkan infeksi SSP secara langsung, sebagai akibat dari infeksi di tempat lain.

Pada post/para ensefalitis efek kelainan neurologis terjadi sebagai akibat respon imun,

dan sering menyerang substantia albae.5

Ensefalitis sering merupakan komplikasi yang tidak umum dari suatu

infeksi virus. Secara umum virus masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui 2 route,

yaitu hematogen dan neuronal. Penyebaran secara hematogen merupakan penyebaran

yang paling umum. Sedangkan penyebaran secara neuronal, terutama terjadi pada

ensefalitis karena herpes simpleks. Pada ensefalitis virus akut, inflamasi kapiler dan

endotel pada pembuluh darah korteks merupakan temuan patologi yang mencolok

yang ditemukan secara primer pada substansia grisea atau perbatasan antara substantia

grisea-alba (gray-white junction). Infiltrasi limphosit pada perivaskuler

menghasilkan :4

1. Perpindahan virus secara pasif, melewati endotel pada pinocytotic junctions

plexus choroid.

2. Replikasi aktif virus pada sel endotel.

Dapat dijumpai pula adanya infiltrasi limfosit dan neuronofagia pada

substantia grisea. Secara histopatologi, secara mencolok ditemukan adanya

astrocytosis dan gliosis. Selain itu, pada infeksi herpes ditemukan adanya gambaran

histopatologi yang unik, yaitu adanya inklusi intranuklear Cowdry tipe A.4

Infeksi susunan syaraf pusat yang menyebar secara neuronal, terutama

terjadi pada ensefalitis herpes simpleks, yang berasal dari infeksi di perifer. Infeksi

3

Page 4: Case Ensefalitis Herpes

herpes simpleks pada SSP akan menyebabkan terjadinya infeksi litik sel neuron dan

menyebabkan nekrosis perdarahan dalam otak.6

Infeksi VHS tipe-1 ditularkan melalui jalan nafas dan ludah (droplet).

Infeksi primer biasanya terjadi pada anak dan remaja. Biasanya berupa subklinis atau

berupa stomatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. VHS tipe-1 dapat

menyebabkan ensefalitis pada semua umur, tetapi terbanyak pada umur lebih dari 20

tahun, sehingga muncul dugaan ensefalitis terjadi akibat reaktivasi endogen infeksi

virus daripada infeksi primer. Kelainan neurologis yang muncul merupakan

komplikasi dari reaktivasi.2

Patogenesis terjadinya infeksi herpes simplek pada manusia masih belum

banyak diketahui. Virus dapat mencapai jaringan otak dengan cara retrograde

transport melalui syaraf trigeminus dan olfactorius, karena reaktivasi infeksi herpes di

tempat lain. Cara ini memungkinkan virus terhindar dari sistem imun tubuh karena

‘berjalan’ di dalam neuron. Dan hal ini diduga sebagai alasan, mengapa lobus yang

terkena kebanyakan adalah lobus temporalis, bagian otak yang mendapat percabangan

dari syaraf Olfactorius.2, 5

Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal.

Beberapa tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi, yang

biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis, dan virus dapat mencapai otak

melalui cabang syaraf trigeminal ke basal meningen, menyebabkan lokalisasi dari

ensefalitis di daerah temporal dan lobus frontalis orbital. Penelitian serologis

mendapatkan bahwa kira-kira 25% dari kasus dengan ensefalitis herpes simpleks,

ensefalitis terjadi sebagai akibat primer. Pada percobaan menunjukkan bahwa

ensefalitis dapat terjadi karena penyebaran virus melewati bulbus olfaktori ke lobus

frontal orbital dan akhirnya ke lobus temporal.2

Setelah virus mencapai otak, bisa terjadi 2 proses, yaitu replikasi virus

intraneuron dan transmisi virus intraseluler maupun interseluler.4, 7 Secara cepat

neuron mengalami proses lisis dan hemoragik. Bagian otak yang terkena sangat difus

dengan petekie dan nekrosis, yang terjadi secara asimetri yaitu pada medial lobus

temporal dan frontal inferior. Menurut Wasay, dkk. kelainan pada lobus temporal

terjadi pada 60% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks. Lima puluh lima persen

pasien memperlihatkan kelainan temporal dan ekstratemporal, dan 15% pasien

4

Page 5: Case Ensefalitis Herpes

menunjukkan kelainan ekstratemporal. Keterlibatan ganglia basalis, cerebellum dan

batang otak tidak umum terjadi.5, 7

Mekanisme terjadinya kerusakan sel belum jelas diketahui, tetapi

kemungkinan terjadi keterlibatan imune mediated process, baik langsung maupun

tidak langsung. Kemampuan HSV tipe-1 untuk menginduksi apoptosis (kemampuan

‘bunuh diri’) sel neuron, yang tidak dimiliki oleh HSV tipe 2, mungkin dapat

menjelaskan mengapa HSV tipe 1 menyebabkan ensefalitis herpes simpleks pada

pasien immunokompetent anak dan dewasa.7

Gambaran nyata kerusakan jaringan otak daerah temporal diperoleh dari

hasil penelitian autopsi imunohistologi pasien dengan ensefalitis herpes simpleks

beberapa hari hingga beberapa minggu setelah mendapatkan asiklovir. Hal yang

penting adalah bahwa penyebaran cepat infeksi virus pada struktur limbik, mungkin

dimulai dari satu sisi otak kemudian menyebar ke sisi tersebut dan sisi lain,

berlangsung sampai 3 minggu dan menghasilkan nekrosis dan inflamasi pada sel otak

yang terkena.7

Faktor yang menjadi pencetus terjadinya ensefalitis herpes simpleks tidak

diketahui dengan jelas. Walaupun kejadian ensefalitis herpes simpleks sering terjadi

pada penderita dengan immunocompromised, tetapi infeksi ini tidak menyebabkan

penurunan sistem imun. HSV tipe 2 mungkin bisa menyebabkan ensefalitis herpes

simpleks pada pasien HIV-AIDS.7

Ensefalitis herpes simpleks merupakan infeksi herpes simpleks primer

pada 1/3 kasus, sisanya terjadi pada pasien yang sudah mengalami infeksi herpes

simpleks sebelumnya yang mengalami reaktivasi, baik itu infeksi herpes simplek

perifer di bulbus olfactorius atau ganglion trigeminal maupun di sel otak. Beberapa

pasien dengan infeksi herpes simpleks tanpa gejala neurologis mungkin mengalami

ensefalitis herpes simpleks laten di otak. Pada studi postmortem, ensefalitis herpes

simpleks terjadi di otak pada 35% pasien tanpa gejala/penyakit neurologis hingga

penderita meninggal.7

Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi sebagai infeksi

susunan syaraf pusat yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari penyakit multiorgan

yang menyebar. Selain itu, Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus bisa terjadi

5

Page 6: Case Ensefalitis Herpes

secara primer maupun rekuren dari infeksi sebelumnya, dan biasanya merupakan

infeksi HSV-1. EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe-2 yang

diperoleh bayi saat melalui jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif.

Pernah juga dilaporkan terjadinya infeksi intrauterin. Ensefalitis herpes simpleks

intrauterin mempunyai prognosis lebih buruk.7, 8

Diagnosis

Diagnosis ensefalitis herpes simpleks ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut.1 Dari

anamnesis, didapatkan adanya gejala fase prodromal yang tidak khas menyerupai

influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis yaitu demam tinggi,

kejang dan penurunan kesadaran. Selain itu didapatkan adanya sakit kepala, mual,

muntah atau perubahan perilaku.1, 6

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya penurunan kesadaran berupa

sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

Koma adalah faktor prognostik yang sangat buruk. Pasien yang mengalami koma

seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Kematian biasanya

terjadi dalam 2 minggu pertama. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologis fokal

berupa hemiparesis, yang merupakan manifestasi fokal yang penting, paresis nervus

kranialis, kehilangan lapangan penglihatan, afasia dan kejang. Kejang bisa terjadi

secara umum maupun fokal. Harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali kejang

fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal terjadi sangat

singkat, orang tua sering tidak mengetahui. Pada beberapa kasus dapat dijumpai

adanya ataksia, gangguan fungsi otonom, kaku kuduk dan papil edema. 1, 2, 7

Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor

neuron (spastik, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus).2, 6

Kelainan fokal menunjukkan predileksi virus herpes simpleks menyerang

otak regio frontotemporal. Gejala klinik ensefalitis herpes simpleks dapat terjadi

progresif, ditandai dengan kejang yang refrakter, koma, peningkatan tekanan

6

Page 7: Case Ensefalitis Herpes

intrakranial dan kematian yang terjadi dalam 2 minggu. Atau pada beberapa kasus

bisa terjadi kronisitas, dengan adanya kejang, loss of memory dan perubahan perilaku.6

Ensefalits herpes simpleks pada neonatus terjadi 34% pada bayi dangan

infeksi herpes simpleks. EHS pada neonatus dapat disertai dengan tanda invasi VHS,

seperti pneumonitis, hepatitis atau disseminated intravascular coagulopathy (DIC).

Tetapi 1/3 bayi dengan infeksi herpes simplek mempunyai gangguan pada susunan

syaraf pusat. Infeksi VHS dimulai dengan munculnya manifestasi klinik pada minggu

kedua sampai ketiga kehidupan, berupa malas minum, perubahan perilaku, demam,

letargi. Walaupun demikian, infeksi VHS dapat dimulai pada minggu pertama

kehidupan.6

Ensefalitis herpes simpleks pada neonatus yang progresif menghasilkan

kejang, baik fokal maupun umum, paralisis, apneu dan letargi atau koma. Rash

vesikuler bisa terjadi pada 1/3 kasus. Infeksi dapat dengan segera menjadi fatal, terjadi

kegagalan multiorgan atau berhubungan dengan apneu rekuren, penurunan fungsi

bulber dan kejang yang refrakter. Kurang lebih 5% kasus infeksi herpes simpleks pada

neonatus merupakan infeksi in-utero dan berhubungan dengan kelainan mikrosefal,

katarak, kalsifikasi intrakranial, gangguan pertumbuhn intrauterin dan rash vesikuler.6

Jelaslah bahwa manifestasi klinis EHS sangat tidak spesifik, terutama pada

anak, dan diagnosis EHS sangat memerlukan kecurigaan klinis yang kuat. Secara

praktis, kita harus memikirkan kemungkinan ensefalitis EHS bila menjumpai anak

dengan demam, kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti

hemiparesis atau afasia denga penurunan kesadaran yang progresif.2

Hasil pemeriksaan penunjang pada ensefalitis herpes simpleks adalah sebagai

berikut:1, 6

- Gambaran darah tepi tidak spesifik. Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit

meningkat, kadang-kadang terdapat pergeseran ke kiri.

- Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat

(90%) yang berkisar antara 10-1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit.

Pada 50% kasus dapat ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit

sampai 100 mg/dl sedangkan glukosa normal.

7

Page 8: Case Ensefalitis Herpes

- Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu

ditemukan adanya gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge atau

perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal. Sering juga EEG

hanya memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik, yang

menunjukkan adanya disfungsi otak menyeluruh.

Sensitivitas EEG kira-kira 84% tetapi spesifisitasnya hanya 32,5%.

- Computed tomography (CT scan) kepala tetap normal dalam 3 hari pertama

setelah timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio

frontotemporal. Gambaran agak khas ini terlihat pada 50-75% kasus dan

terlihat setelah minggu pertama. Kadang-kadang gambaran hipodens ini

meluas sampai lobus occipital. Setelah pemberian kontras, dapat dilihat daerah

yang lebih menyangat mengikuti kontur sulkus dan girus, atau membatasi

daerah hipodens, atau membentuk suatu cincin.

- T2-weight magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi

hiperdens di regio temporal paling cepat 2 hari setelah munculnya gejala.

Dapat pula memperlihatkan peningkatan intensitas signal pada daerah korteks

dan substansia alba pada daerah temporal dan lobus frontalis inferior. MRI

lebih sensitif dan memperlihatkan hasil lebih awal dibandingkan CT-Scan.

- Polimerase chain reaction (PCR) cairan cerebrospinal dapat mendeteksi titer

antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif

segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap positif

selama 2 minggu atau lebih. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75%

dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan ini lebih cepat dapat dilakukan dan

risikonya lebih kecil.

- Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgG-IgM HSV-1 dan HSV-2 dapat

menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti.

Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum dan cairan

serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi primer

atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif

setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat

menemukan peningkatan antibodi dalam 2 kali pemeriksaan, fase akut dan fase

rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan

tanda bahwa infeksi VHS sedang aktif. Harus diingat bahwa peningkatan

8

Page 9: Case Ensefalitis Herpes

kadar antibodi serum belum membuktikan bahwa ensefalitis disebabkan oleh

VHS.

Titer antibodi pada cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,

karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Sayang

sekali bahwa kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering

terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari 10-12 stetelah permulaan sakit.

Pada neonatus dengan EHS bisa terjadi peningkatan serum transaminase,

hiperbilirubinemia dan tanda DIC. Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya

pleiositosis lymphositic dan peningkatan protein. Pada pemeriksaan CT dan MRI

ditemukan edema diffus selama fase akut dan diikuti dengan adanya atrofi, kalsifikasi

parenkim atau cystic encephalomalacia. Pada EEG didapatkan perlambatan aktivitas.6

Selain pemeriksaan diatas, diagnosis EHS dapat ditegakkan dengan biopsi

otak dan isolasi virus dari jaringan otak. Tetapi prosedur ini belum banyak dilakukan,

karena risiko bahayanya besar dan masih sedikitnya fasilitas untuk isolasi virus.

Kelemahan lain pemeriksaan ini adalah kemungkinan hasil negatif palsu karena biopsi

dilakukan bukan pada tempat yang tepat.2

Karena pada bayi, anak dan remaja dengan infeksi herpes simpleks jarang

menunjukkan tanda sistemik infeksi, pemeriksaan neurodiagnostik dan PCR cairan

cerebrospinal mempunyai peran penting dalam menentukan diagnosis.6, 8

Penatalaksanaan

1. Simptomatik dan suportif

Pengobatan simptomatik dan suportif pada EHS sama dengan

pengobatan ensefalitis yang lain. Terapi suportif berupa tata laksana

hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan

intrakranial serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat

intensif.

Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, kadang

diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan

fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan tekanan intrakranial

9

Page 10: Case Ensefalitis Herpes

dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau

furosemid 1 mg/kgbb/kali.1

2. Terapi medikamentosa antivirus

Perbedaan utama EHS dengan ensefalitis karena infeksi yang lain

adalah, pada EHS kita bisa memberikan antivirus yang spesifik. Pemberian

antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis

hemoragik yang irreversibel yang biasanya terjadi 4 hari setelah awitan

ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan besar karena pada fase awal sulit untuk

membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut sekarang adalah pengobatan segera

diberikan kepada pasien yang dicurigai menderita EHS, kemudian pengobatan

dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi hasil laboratorium atau

pemeriksaan penunjang lain.2

Saat ini asiklovir menjadi pilihan pertama pada terapi antivirus EHS.

Asiklovir terbukti lebih baik dibanding vidarabin. Preparat asiklovir tersedia

dalam 250 mg dan 500 mg. Dosisnya adalah 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 10-

14 hari, diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimal dalam 1 jam. Dosis

untuk neonatus 20 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. 1, 6Efek samping

asiklovir adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat

dalam plasma. Selain itu bisa terjadi hematuria. Pemberian secara perlahan-lahan

akan mengurangi efek samping. Kalau terbukti bukan EHS pengobatan dihentikan

walaupun belum 10 hari.2, 6

Pada kasus alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan

vidarabin 15 mg/kgbb/hari selama 14 hari.vidarabin telah diteliti dan terbukti

menurunkan mortalitas dari 70% menjadi 40%.1Jika keadaan umum pasien sudah

stabil, dapat dilakukan konsultasi ke departemen rehabilitasi medik untuk

mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas serta mencegah kontraktur.1

10

Page 11: Case Ensefalitis Herpes

3. Pemantauan pasca rawat

Berdasarkan gejala sisa yang sering ditemukan, pasca rawat pasien memerlukan

pemantauan tumbuh kembang. Gejala sisa yang sering ditemui adalah epilepsi,

retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pemantauan pasca rawat dilakukan

dengan melakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi.

Pencegahan

Tidak ada pencegahan yang cukup efektif untuk EHS. Penularan antar

populasi jarang terjadi dan terapi profilaksis pada populasi yang kontak dengan

penderita dan isolasi penderita secara khusus tidak diperlukan.

Prognosis

Prognosis EHS yang tidak diobati sangat buruk dengan kematian 70-80%

setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan. Angka kematian EHV

dengan terapi acyclovir berkisar 19-28%. Sequelae yang ditimbulkan tergantung pada

usia dan status neurologis penderita saat diagnosis ditegakkan. Gejala sisa lebih sering

ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan

yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk. Pasien dengan koma pada saat

diagnosis ditegakkan mempunyai prognosis lebih buruk, seringkali meninggal atau

sembuh dengan gejala sisa yang berat, tanpa memperhitungkan usia. Pasien dengan

kesadaran lebih baik dari koma (nonkomatous), prognosis tergantung usia dengan

prognosis yang lebih baik jika usia <30 tahun.2, 6, 7

Status neurologi penderita tanpa defisit atau defisit sangat ringan, 12%

defisit sedang dan 42% mengalami defisit berat. Diperkirakan 5-10% penderita yang

berhasil hidup akan mengalami kekambuhan dalam beberapa hari hingga beberapa

minggu setelah terapi selesai. Pada beberapa penderita, kekambuhan disebabkan

karena reaktivasi virus, sedangkan yang lain disebabkan oleh immune mediated

setelah infeksi ensefalitis.7Neonatus dengan infeksi herpes simpleks kongenital

mempunyai prognosis yang buruk.6

11

Page 12: Case Ensefalitis Herpes

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama/ No. RM : An. Hafzah Naziah/ 882760

Umur : 3 tahun 3 bulan

Jenis kelamin : perempuan

Ayah/ Ibu : Ali Akbar

Suku : Melayu

Alamat : Pangkalan sena no 68 Dumai

Tanggal masuk : 24 februari 2015

ANAMNESIS

Diberikan Oleh : Ayah kandung pasien

Keluhan Utama : Demam sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

- 1 tahun SMRS pasien mengalami demam tinggi, demam terus menerus.

Demam tidak disertai kejang, muntah tidak ada. Pasien dibawa berobat ke

RSUD Dumai dan dirawat disana. Selama 3 hari perawatan pasien mengalami

perbaikan, demam berkurang, muntah (-) makan, minum, BAK dan BAB

normal, kejang (-). Hari perawatan ke 4 pasien mengalami penurunan

kesadaran hingga mengalami koma. Selama koma pasien di rawat di ICU

RSUD dumai tersebut selama 3 hari. Karena peralatan di sana kurang memadai

pasien di rujuk ke RSUD Arifin Achmad, namun karena penuh pasien dirujuk

ke RS Swasta yang ada dipekanbaru dan dirawat selama 3 hari di PICU,

karena tidak ada perubahan pasien dirujuk ke RSUD M. Jamil dan disana

pasien dirawat di PICU selama 30 hari. Pasien mengalami perbaikan dan sudah

sadar sehingga pasien dirawat di ruang biasa selama 15 hari. Pasien dibolehkan

pulang dan kontrol serta fisioterapi rutin di RSUD M. Jamil. Karena menurut

orang tua pasien anaknya tidak mengalami perubahan maka pasien tidak

pernah kontrol lagi sejak bulan maret 2013. Hingga saat ini pasien hanya bisa

melakukan aktivitasnya dalam keadaan berbaring.

12

Page 13: Case Ensefalitis Herpes

- Akhir tahun 2014 pasien dibawa orang tuanya berobat kembali ke Malaka.

Disana pasien di CT Scan. Hasilnya pasien dikatakan mengalami

hydrocephalus dan disarankan untuk dipasang selang, namun karena maslaah

biaya orang tua pasien menolak.

- Sejak 2 hari yang lalu pasien mengalami demam. Demam terus menerus,

demam tidak disertai menggigil dan berkeringat. Mimisan (-), gusi berdarah

(-), bintik- bintik merah pada badan dan ekstremitas (-), demam semkin tinggi

pada malam hari disangkal. Mual muntah (+) muntah ± 2x/ hari, nafsu makan

menurun, ayah pasien mengatakan pasien tampak lemah sejak muntah, pasien

juga mengalami kejang, kejang sebanyak 2x durasi 2 menit, diantara kejang

pasien sadar. Ketika kejang mata melihat ke satu titik, ektremitas atas dan

bawah kaku. Batuk pilek (-), BAK dan BAB normal. Selain karena demam

orang tua pasien juga membawa anaknya untuk berobat tentang keluhan yang

dialami anaknya sejak 3 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit dahulu

Riwayat kejang sebelumnya (-).

Riwayat batuk-batuk lama (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga mengeluhkan hal yang sama.

Riwayat Orang tua

- Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak memiliki kebiasaan minum

alcohol maupun merokok

- Ayah bekerja sebagai wiraswasta, tidak memiliki kebiasaan merokok.

Riwayat Kehamilan

Pasien merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara, lahir secara spontan ditolong

oleh bidan, pasien lahir langsung menangis, saat hamil ibu tidak mengalami keluhan

seperti keputihan, demam ataupun komsumsi obat diluar yang diberikan oleh bidan,

ibu teratur periksa kehamilan di bidan.

13

Page 14: Case Ensefalitis Herpes

Riwayat Makan dan Minum

ASI : 0-1 tahun

ASI + PASI : 6 bulan – 2 tahun (sesuai keinginan + 2x1/2 mangkok)

Riwayat Imunisasi

Ibu mengaku pasien sudah imunisasi lengkap di posyandu

Riwayat Pertumbuhan

- Berat badan lahir : 2500 gram PB : 50 cm

- Berat badan sekarang : 11 kilogram PB : 88 cm

-

Riwayat Perkembangan

Tahapan perkembangan motorik kasar

Motorik halus Sosialisasi Bicara

- Mengangkat badan : 3.5 bulan

- Duduk sebentar sebentar : 4 bulan

- Menarik dan berdiri: 9 bulan

- Berjalan dituntun : 1 tahun 2 bulan

- Naik tangga dibantu : usia 1 tahun 7 bulan

- Berlari : 2 tahun 2 bulan

- Tangan membuka : usia 3 bulan

- Memindahkan badan : usia 7 bulan

- Mengambil dengan jari : usia 9 bulan

- Makan menggunakan sendok : usia 1 tahun 10 bulan

- Menyusun balok 6 kotak : usia 2 tahun

- Senyum spontan : usia 5 bulan

- Mengungkapkan suka dan tidak suka : usia 8 bulan

- Cilukba : usia 9 bulan

- Dipanggil datang : usia 1 tahun 2 bulan

- Mengikuti mimik : usia 1 tahun 8 bulan

- Bermain : usia 2 tahun

- Cooing ketawa : usia 3 bulan

- Babbling : usia 6 bulan

- Imitasi suara : 10 bulan

- 1-2 kata : usia 1 tahun 1 bulan

- Mengucapkan lebih dari 8 kata : 1 tahun 10 bulan

- Mengucapkan 2-3 kalimat : usia 2

14

Page 15: Case Ensefalitis Herpes

tahun

Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal

- Pasien tinggal di rumah permanen bersama kedua orang tua

- Lingkungan bersih, ventilasi dan pencahayaan cukup

- Sumber air minum dari air sumur yang dimasak dan air galon

- Sumber MCK dari air sumur.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : apatis

Tanda-tanda vital :

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Suhu : 37,8 oC

Nadi : 88 x/menit, isi cukup, reguler

Napas : 25 x/menit

Gizi

TB : 88 cm

BB : 11 kg

LILA : 12 cm

Lingkar kepala : 42 cm

Status gizi (BBI: 20 kg) : 85% (malnutrisi ringan)

Kulit : Normal

Kepala : Normocephal

Rambut : warna hitam, tidak mudah rontok

Mata

Konjungtiva : Anemis -/-

15

Page 16: Case Ensefalitis Herpes

Sklera : Ikterik -/-

Pupil : Isokor, bulat, diameter 2 mm/2mm

Refleks cahaya : +/+

Telinga : bentuk normal dan simetris.

Hidung : bentuk normal, simetris, pernapasan cuping hidung (-)

Mulut

Bibir : tidak kering

Selaput lendir : basah

Palatum : utuh

Lidah : bersih

Gigi : karies (-)

Leher

KGB : pembesaran KGB (-)

Kaku kuduk : (+)

Paru

- Inspeksi : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)

- Palpasi : vocal fremitus simetris kiri dan kanan

- Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru

- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

bunyi jantung I dan II dalam batas normal, bising jantung (-)

Abdomen

- Inspeksi : tampak datar, simetris

- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), organomegali (-)

- Perkusi : timpani

- Auskultasi : bising usus normal

Alat kelamin : Perempuan. Genitalia eksterna dalam batas normal

Ekstremitas : Hangat, CRT < 2 detik.

Status neurologis : Refleks fisiologis : (+/+)

Refleks patologis : (+/+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah rutin:

Hb : 10,3 g/dl Leukosit : 8.400 / ul

16

Page 17: Case Ensefalitis Herpes

Ht : 35,2 % Trombosit : 408.000 / ul

GDS : 84 mg/dl

Laboratorium urin (makroskopik)

Warna : kuning

Kejernihan : jernih

Protein : negatif

Glukosa : negatif

Bilirubin :negatif

Urobilinogen : 0,2

Ph : 6

BJ : 1,025

Darah : negatif

Keton : negatif

Nitrit : positif

Mikroskopik

Eritrosit : 0-1/ lpb

Leukosit : 4-6/ lpb

Sel epitel : 4-7/ lpb

Kristal : 0

Silinder : 0

Bakteri : positif

Jamur : 0

RADIOLOGI :

Rontgen Thorax

17

Page 18: Case Ensefalitis Herpes

Kesan :

- Kedua paru-paru bersih

- Tidak ada pneumothorax

- Tidak tampak adanya efusi pleura

- Tidak ada massa mediastinum atau massa hillus

- Ukuran jantung normal

CT Scan :

18

Page 19: Case Ensefalitis Herpes

Terdapat dilatasi pada system ventrikel. Dilatasi simetris bilateral

Terdapat area hipodens pada parenkim otak biparietal lobus posterior

Tidak tampak tanda perdarahan intracranial

Cerebellum dan batang otak normal

Tidak tampak pergeseran midline, differensiasi gray-white matter normal

Tidak tampak massa bilateral pada region cerebello-pontin angel

Gambaran sinus paranasal dan mastoid normal

Kesan : Dilatasi luas pada system ventrikel simteris

Fokus hipodens pada parenkim otak parietal bilateral diregio posterior

kemungkinan akibat infark atau iskemik

19

Page 20: Case Ensefalitis Herpes

EEG

20

Page 21: Case Ensefalitis Herpes

21

Page 22: Case Ensefalitis Herpes

22

Page 23: Case Ensefalitis Herpes

Kesan : Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi CPZ 20 mg

(po). Irama dasar gelombang tetha dengan frekuensi 5-7 hearz dan amplitudo 120-150

µV . Tidak dijumpai asimetri. Dijumpai gelombang spesifik berupa gelombang

paku ombak ( spike and waves) terutama di kedua temporoparieto occipital.

Tidak dijumpai gelombang paroksismal.

DIAGNOSIS KERJA : Atrofi cerebri + post encephalitis herpes

DIAGNOSIS GIZI :

DIAGNOSIS BANDING : -

PEMERIKSAAN ANJURAN : analisa LCS

PENATALAKSANAAN :

Medikamentosa

-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg

-piracetam 3x350 mg

-diazepam 3x0,5 mg

23

Page 24: Case Ensefalitis Herpes

-kalnex plus 1x ½ sendok

-diet ML 8x175-200 cc

PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad fungtionam : Dubia ad malam

FOLLOW UP

Hari/tanggal

Subjektif Objektif Assessment

Terapi

Kamis/25-02-15

Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Atrofi cerebri ec post encephalitis

-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x175-200 cc

Kamis/26-02-15

Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 5 x/ menitRR : 21 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Atrofi cerebri ec post encephalitis

-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x125-200 cc

Kamis/27-02-15

Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Atrofi cerebri ec post encephalitis

-IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg-piracetam 3x350 mg-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x125-200 cc

Kamis/ Demam (-), kejang(-) Ku : tampak sakit Cerebral -piracetam 3x350 mg

24

Page 25: Case Ensefalitis Herpes

28-02-15

sedangTD : 100/80N : 80 x/ menitRR : 20 x/menitT : 36,5 CMata : isokor 2 mm/ 2 mm, reflex cahaya +/+ normal , ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detikMotoric :

palsy tetraparese ec encephalitis herpes

-diazepam 3x0,5 mg-kalnex plus 1x ½ sendok-diet ML 8x175-200 cc

25

Page 26: Case Ensefalitis Herpes

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien di

diagnosis mengalami cerebral palsy et causa post encephalitis herpes. Dari anamnesis

didapatkan pasien mengalami demam sejak 2 hari SMRS, demam naik turun tidak

terlalu tinggi, demam turun dengan obat penurun demam. Manifestasi perdarahan (-),

menggigil berkeringat (-), nyeri kepala (-), nyari sendi (-), mual muntah (-). Demam

pada pasien kemungkinan disebabkan oleh adanya infeksi virus, karena untuk demam

berdarah, tifoid, malaria sudah dapat disingkirkan. Pasien juga mengalami kejang.

Kejang terjadi sebanyak 3 kali dalam waktu 24 jam durasi 1 menit, diantara kejang

pasien sadar. Kejang yang di alami pasien terjadi karena adanya proses infeksi di otak.

Seperti diketahui dari riwayat perjalanan penyakit pasien sejak 3 tahun yang lalu,

pasien pernah mengalami penurunan kesadaran selama ± 1,5 bulan. Hal ini merupakan

gejala khas yang menandakan ada nya suatu proses infeksi di parenkim otak yang di

sebut encephalitis. Kejang yang di alami pasien disebabkan oleh adanya lepas muatan

listrik yang berlebihan pada neuron neuron dan mampu secara berurutan untuk

merangsang sel neuron lainnya secara bersamaan melepaskan muatan listriknya. Hal

tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron

untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan dan berkurangnya inhibisi oleh

neurotransmitter GABA atau meningkatnya aktifasi sinaps oleh neurotransmitter

GABA dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Dari riwayat perjalanan

penyakit pasien, pasien pernah didiagnosis mengalami encephalitis herpes. Pasien di

diagnosis encephalitis herpes karena terdapat riwayat penurunan kesadaran selama ±

1,5 bulan. Dimana sebelum terjadi penurunan kesadaran sejak 4 hari pasien di rawat di

RSUD dumai. Sebelumnya pasien mengalami demam tinggi selama 1 minggu SMRS.

Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Dari anamnesis,

didapatkan adanya gejala fase prodromal yang tidak khas menyerupai influenza,

kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis yaitu demam tinggi, kejang dan

penurunan kesadaran. Selain itu didapatkan adanya sakit kepala, mual, muntah.

26

Page 27: Case Ensefalitis Herpes

Dari pemeriksaan fisik, pada pasien diapatkan kesadaran yaitu koma, hal

ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada encephalitis herpes didapatkan

adanya penurunan kesadaran berupa sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala

peningkatan tekanan intrakranial. Koma adalah faktor prognostik yang sangat buruk.

Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa

yang berat. Pada pasien ini dapat mengalami kesembuhan namun pasien sembuh

dengan gejala sisa yaitu berupa Global Developmental Delay.

Pasien juga didiagnosis mengalami cerebral palsy. Dimana dari hasil

pemeriksaan fisik di dapatkan adanya tetraparese pada ektremitas atas dan bawah. Hal

ini didukung dari literatur yang menyebutkan hampir 80% pasien encephalitis herpes

memperlihatkan gejala neurologis fokal berupa hemiparesis, yang merupakan

manifestasi fokal yang penting, afasia dan kejang. Kejang bisa terjadi secara umum

maupun fokal. Harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali kejang fokal yang

berkembang menjadi kejang umum. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti

kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastik, hiperrefleks, refleks patologis dan

klonus). Pada pasien ditemukan adanya hiperrefleks dan spastik pada ektremitas

bawah. Kelainan fokal menunjukkan predileksi virus herpes simpleks menyerang otak

regio frontotemporal. Gejala klinik ensefalitis herpes simpleks dapat terjadi progresif,

ditandai dengan kejang yang refrakter, koma, dan peningkatan tekanan intracranial.

Dari anamnesis melalui orang tua pasien dikatakan bahwa riwayat tumbuh

kembang pasien tidak sesuai dengan anak seusianya, saat ini pasien hanya bisa

melakukan aktifitas sehari hari dalam keadaan berbaring. Hal ini menunjukkan bahwa

pada pasien terdapat gangguan tumbuh kembang yaitu Global Developmental Delay

(GDD). Pasien di diagnosis sebagai GDD karena menurut keriteria H.R Haslam anak

usia 3 tahun 3 bulan untuk motorik kasar, seharusnya pasien sudah dapat berlari,

motorik halus menyusun balok 6 kotak, sosialisasi bermain bersama teman teman,

bicara mampun mengucapkan 2-3 kalimat. Namun pada pasien hal ini belum dapat

dilakukan layaknya anak normal seusianya.

Alur penatalaksanaan pada pasien yang diberikan selama di RSUD Arifin

Achmad sudah tepat. -IVFD D5 ½ NS 0,4 mg+ kcl 7,5 mg, pemberian cairan ini

bertujuan untuk menjaga hemodinamik pasien, dari anamnesis pasien sudah sejak 2

hari mengalami muntah dan tidak nafsu makan dan dari pemeriksaan fisik didapatkan

27

Page 28: Case Ensefalitis Herpes

pasien tampak lemah maka dapat diberikan cairan maintenance berupa D5 ½ NS dan

kcl 7,5 meq untuk rumatan. Dasar pemberian piracetam 3 x 350 mg adalah karena dari

hasil CT scan kepala didapatkan adanya fokus hipodens pada parenkim otak parietal

bilateral diregio posterior kemungkinan akibat infark atau iskemik. piracetam

merupakan agen neuroprotektor yang sering digunakan pada pasien pasien yang

mengalami infark. Selain itu pada pasien juga didignosis sebagai cerebal palsy,

sehingga pemberian piracetam bertujuan untuk memperbaiki fungsi motorik kasar

pada pasien yang menderita cerebral palsy. Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian

yang sudah dilakukan, dimana terdapat perbaikan yang lebih baik pada pasien cerebral

palsy yang diberikan fisioterapi dengan kombinasi farmakologi dalam hal ini

pemberian piracetam dibandingkan pasien yang hanya di berikan fisioterapi saja.

Pemberian diazepam 3 x 0,5 mg bertujuan untuk mengatasi kejang yang

dialami pasien. Target kerja dari diazepam golongan benzodiazepine ini adalah

reseptor GABA. Reseptor ini terdiri dari subunit α, β, γ, dimana dia akan

berkombinasi dengan lima atau lebih dari membrane post sinaptik. Benzodiazepine

meningkatkan efek GABA dengan berikatan ketempat yang spesifik dan afinitas

tinggi. Reseptor ionotropik ini merupakan suatu protein transmembran yang berfungsi

sebagai kanal ion klorida yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibitorik.

Diazepam ini meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Sehingga

diharapkan terjadi peningkatan inhibisi dari neurotransmitter GABA. Pemberian

kalnex plus 1x ½ sendok bertujuan untuk. Pemberian diet ML 8x175-200 cc bertujuan

untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pada pasien.

Penatalaksanaan yang diberikan dari rumah sakit rujukan sudah tepat, namun

pada fase awal terdiagnosisnya encephalitis herpes pasien tidak diberikan antivirus

berupa acyclovir. Menurut literatur Saat ini asiklovir menjadi pilihan pertama pada

terapi antivirus EHS. Asiklovir terbukti lebih baik dibanding vidarabin. Preparat

asiklovir tersedia dalam 250 mg dan 500 mg. Dosisnya adalah 10 mg/kgbb setiap 8

jam selama 10-14 hari, diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimal dalam 1

jam. Dosis untuk neonatus 20 mg/kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari.

Pasien di diagnosis cerebral palsy karena dari anamnesis ditemukan adanya

keluhan berupa perkembangan pasien yang tidak sesuai dengan umurnya. Dari kriteria

HR. Haslam didapatkan pasien tidak bisa melakukan aktifitas motorik kasar, halus,

28

Page 29: Case Ensefalitis Herpes

sosialisasi, dan berbicara sesuai dengan umurnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

adanya spastik tetraplegia pada keempat ekstremitas. Dari hasil CT scan didapatkan

adanya, ventrikulomegali, atrofi cerebri, sulcus yang melebar. Ventrikulomegali dari

gambaran ct scan terjadi akibat adanya atrofi cerebri. Atrofi cerebri sendiri pada

pasien terjadi akibat infeksi yang sudah lama. Pasien sebelumnya telah terdiagnosis

encephalitis herpes. Encephalitis herpes yang terjadi dapat menimbulkan kerusakan

pada parenkim otak yang dapat mengganggu perkembangan anak. Pada pasien

encephalitis herpes yang didapatnya 2 tahun yang lalu menyebabkan cerebral palsy

hingga sekarang.

29

Page 30: Case Ensefalitis Herpes

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Pudjiadi AH,

Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

2. Soetomenggolo TS. Ensefalitis herpes simpleks. In: Soetomenggolo TS, Ismail S,

editors. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999.

p. 376-80.

3. Infections of the nervous sysytem. In: Menkes JH, Sarnat HB, editors. Child

neurology. 6 ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000. p. 515-40.

4. Whitley RJ, Kimberlin DW. Viral Encephalitis. American Academy of Pediatrics.

1999;20:192-8.

5. Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. American Academy of Pediatrics.

2005;26:353-62.

6. Bale JF. Viral infections of the nervous system. In: Swaiman KF, Ashwal S,

editors. Pediatric neurology principle and practice. 3 ed. St. Louis: Mosby; 1999.

p. 1001-13.

7. Anderson WE. Herpes simplex Encephalitis. Medscape. 2011.available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1165183-overview.

8. Waggoner-Fountain LA, Grossman LB. Herpes simplex virus. American

Academy of Pediatrics. 2004;25:86-92.

9. Aisen ML, Kerkovich D, Mash J, Mulroy S, Wren TAL, Kay RM, et al. Cerebral

palsy: clinical care and neurological rehabilitation. Lancet Neurol. 2011 Sep; 10

(9): 844-52

30