case cilegon

39
BAB I PENDAHULUAN Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Gejalanya adalah tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus. Pasien rmengeluh ada rasa mengganjal di tenggorokan, kering, napas berbau, dan demam. Indikasi dari dilakukannya tonsilektomi adalah diantara lain; 1) serangan >3x per tahun 2) menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial 3) sumbatan jalan napas 4) rhinitis dan sinusitis kronis, dan lain sebagainya. Teknik anestesia yang digunakan pada pembedahan jenis ini adalah general anestesi. Teknik anestesi ini biasa digunakan pada pembedahan THT dan pembedahan lainnya seperti bedah pada ekstremitas atas, bedah pada pasien anak atau pasien yang menolak dilakukan pembedahan spinal. Teknik anestesi ini melumpuhkan seluruh tubuh manusia dan menyebabkan hilangnya kesadaran. Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, kami penulis merasa tatalaksana anestesi pada section caesaria penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus. 1

Upload: jemima

Post on 31-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

general anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Case Cilegon

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Gejalanya adalah tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus. Pasien rmengeluh ada rasa mengganjal di tenggorokan, kering, napas berbau, dan demam.

Indikasi dari dilakukannya tonsilektomi adalah diantara lain; 1) serangan >3x per tahun 2) menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial 3) sumbatan jalan napas 4) rhinitis dan sinusitis kronis, dan lain sebagainya.

 Teknik anestesia yang digunakan pada pembedahan jenis ini adalah general anestesi. Teknik anestesi ini biasa digunakan pada pembedahan THT dan pembedahan lainnya seperti bedah pada ekstremitas atas, bedah pada pasien anak atau pasien yang menolak dilakukan pembedahan spinal. Teknik anestesi ini melumpuhkan seluruh tubuh manusia dan menyebabkan hilangnya kesadaran.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, kami penulis merasa tatalaksana anestesi pada section caesaria penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

1

Page 2: Case Cilegon

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. Atika Reza

Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Link Sambirata 5/3, Kec. Cibeber, Cilegon

Pekerjaan : BLU

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Tanggal Masuk : 09 November 2015

B. ANAMNESIS

Pasien datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 minggu terakhir. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 9 November 2015, di Ruang Bougenville RSUD Cilegon. Pasien merupakan pasien bagian THT dengan diagnosis tonsillitis kronik.

- Keluhan utamaOs datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 minggu terakhir

- Riwayat Penyakit SekarangOs mengeluh nyeri tenggorokan dan batuk berdahak. Keluhan demam, mual dan muntah disangkal.

- Riwayat Penyakit DahuluOs sering mengalami demam & pilek sejak kecil. Os mengaku memiliki riwayat alergi makanan laut. Riwayat hipertensi, DM, asma dan TB disangkal.

- Riwayat PengobatanSebelumnya os sudah berobat ke RSUD dan diberikan terapi antibiotik, setelah itu os direncakan untuk dioperasi.

2

Page 3: Case Cilegon

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pemeriksaan Fisik pada tanggal 9 November 20151. Keadaan Umuma. Kesan Sakit : Tampak sakit Sedangb. Kesadaran : Compos Mentisc. Berat Badan: 70 Kg2. Tanda-Tanda Vitala. Tekanan Darah : 110/60 mmHgb. Nadi : 84 X/mntc. Respirasi : 22 x/mntd. Suhu : 36,5 °C3. Status GeneralisA. Kepala

i. Rambut : rambut berwarna hitam, distribusi merataii. Kepala normocephali, tidak ada deformitasiii. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterikiv. Telinga : tidak hiperemis, tidak oedem, tidka ada nyeri tekan atau

tarik, tidak ada sekret yang keluar dari telingav. Hidung : tampak simetris, tidak tampak deformitas, vi. Mulut : bibir tidak sianosis dan tidak kering, tidak ada trismusvii. Tenggorokan : mukosa bibir basah, stomatitis (-), tonsil T3-T3, arcus

palatofaringeus dan arcus palatoglossus hiperemis (+), detritus (-/-), uvula deviasi (-)

vii. gigi : tidak ada karies, tidak menggunakan gigi palsu, gigi tidak ada yang goyang

B. LeherTidak teraba massa, trakea terletak di tengahC. Thoraksi. Pulmo1. Inspeksi : bentuk dada simetris, dan gerak hemitoraks kanan kiri simetris dalam

kondisi dinamis dan statis.2. palpasi : Vocal fremitus teraba simetris di kedua hemithoraks, pergerakan dinding

dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi3. perkusi : sonor diseluruh lapang paru4. Auskultasi : suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing.

ii. cor1. inspeksi : ictus cordis tidak terlihat2. palpasi : teraba ictus cordis pada sela iga ke 5 pada linea midclavicularis sinistra

3

Page 4: Case Cilegon

3. perkusi : batas atas kiri sela iga ke 2 line parasternalis sinistra, batas atas kanan jantung sela iga ke 2 pada linea sternalis dextra, batas kiri jantung sela iga ke 5 linea midclavicularis sinisra.

4. auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengan bunyi jantung tambahan, gallop (-), murmur(-)

D. Abdomen

1. Inspeksi : Datar, simetris, kelainan kulit (-)

2. Perkusi : Timpani pada lapang abdomen3. Auskultasi : Bising usus (+) normal pada lapang abdomen4. Palpasi : Hepar,lien tidak teraba massa, ballotement ginjal (-), VU teraba

lunakE. EkstremitasI. superior : sianosis(-), edem (-), ikterik (-), tidak ada deformitas, akral teraba hangatii. inferior : sianosis (-), edem (-), ikterik(-), tidak ada deformitas, akral teraba hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab darah

Jenis Pemeriksaan Nilai PasienNilai

normalKeterangan

Gula darah sewaktu 107 <200 mg/dl NormalHemoglobin 15,1 g/dl 12-16 g/dl NormalLeukosit 6,27/uL 5000-

10.000Normal

Hematokrit 46,3% 37-43 % MeningkatTrombosit 327.000/uL 150-450rb

uLNormal

LED 5 mm/jam < 15 Normal

Masa pembekuan 10 menit 5-15 menit NormalMasa perdarahan 2 menit 1-6 menit NormalGolongan darah/rhesus B rh+HbsAg Non reaktifAnti HIV Non reaktif

E. KESAN ANESTESI

Pasien seorang perempuan berusia 19 tahun dengan diagnosis kerja tonsillitis kronis. Dengan ASA I pasien penyakit bedah tanpa disertai dengan penyakit sistemik.

4

Page 5: Case Cilegon

F. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis preoperatif: tonsilitis kronis. Diagnosis anastesi ASA I. Jenis operasi tonsilektomi. Jenis anaestesia general anesthesia.

5

Page 6: Case Cilegon

BAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Preoperatif

1. Informed consent mengenai rencana tindakan tonsilektomi dengan general anesthesia2. Melakukan Rontgen 3. Pemasangan infus Ringer Laktat 500cc, mengalir lancar4. Skin test Cefotaxime dan injeksi Cefotaxime 1gr5. Pengambilan sampel darah6. Konsultasi dokter spesialis THT7. Keadaan umum tampak lemah8. Kesadaran Compos Mentis9. Tanda Vital

a. TD : 120/70b. Nadi : 90x/menitc. RR : 24x/menitd. Suhu : 36,5˚C

B. Premedikasi Anestesi

Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan anti-emetik berupa Ondansetron 4mg secara bolus IV.

C. Tindakan Anestesi

Pasien diposisikan dalam posisi berbaring, setelah itu dilakukan penyuntikan obat anestesi pada infus, penyuntikan dilakukan menggunakan jarum 5cc berupa fentanyl sebanyak 150 µg, propofol 150 mg, dan noveron 20 mg. Fentanyl bekerja sebagai analgesi, propofol untuk sedasi dan noveron sebagai pelumpuh otot sehingga ketiga obat tersebut melengkapi trias anestesi.

Setelah menunggu beberapa saat sampai pasien tidak sadar, dilakukan tindakan maneuver triple jalan napas yang terdiri dari; 1) kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital 2) mandibula didorong kedepan pada kedua angulus mandibula 3) mulut dibuka. Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk trakea lewat hidung ataupun mulut.

Selanjutnya dilakukan pemasangan face mask dan dialirkan udara O2 2L, N2O 2L dan Isoflurane 2 vol% sampai saturasi mencapai angka 100. Kemudian dengan menggunakan nasotracheal tube yang ukurannya telah disesuaikan dan dioleskan xylocain gel, dimasukkan ke

6

Page 7: Case Cilegon

dalam lubang hidung yang paten dengan cuff yang masih kempes secara perlahan, setelah tubennya melewati nasofaring lihat menggunakan laryngoscope kemudian jepit dengan menggunakan forceps, terus dimasukkan hingga batas hitam, cek dengan menggunakan stetoskop, jika pada auskultasi sudah terdengar sama antar paru kanan dan kiri maka isi udara dalam cuff dengan menggunakan spuit.

Segera setelah itu NTT dihubungkan dengan ventilator untuk mempertahankan respirasi pasien dan mulai dilakukan bagging 5 detik sekali dengan volume tidal 6-8 ml/kgBB yaitu sekitar 420 ml (BB=70kg). Bagging dilakukan hingga pasien melakukan pernapasan spontan.q

D. Pemantauan selama tindakan anestesi

Pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi dilakukan mulai dari masuknya pasien ke kamar operasi sampai tindakan operasi selesai. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi kardiovaskuler, fungsi respirasi dan pemberian carain. Pemantauan fungsi kardiovaskuler dilakukan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi, pemantuan fungsi respirasi dilakukan terhadap inspeksi pernapasan spontan dan saturasi oksigen, kedua pemantuan itu dilakukan setiap 5 menit selama tindakan berlangsung.

Lampiran Monitoring tindakan operasi

Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi12.15

Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di meja operasi, dilakukan pemasangan manset di lengan kiri atas, dan diberikan ondansetron 4mg secara bolus pada iv line

100/86 74 98

12.20

Dilakukan anestesi umum 90/60 80 99

12.25

Operasi Dimulai 96/72 75 99

12.30

96/70 82 99

12.35

100/71 87 99

12.40

Diberikan Plasminex 500 mg 99/74 85 99

12.45

Diberikan Tramadol 100 mg drip 100/80 93 99

12.50

Diberikan Pronalges supp 100/86 91 99

E. Laporan Anestesi

7

Page 8: Case Cilegon

1. Diagnosis Pra BedahTonsilitis Kronik

2. Diagnosis Pasca BedahPost operasi Tonsilectomy

3. Penatalaksanaan PreoperasiInfus RL 500 cc

4. Penatalaksanaan Anestesia. Jenis pembedahan : Tonsilectomyb. Jenis anestesi : General Anastesic. Teknik anestesi : GAd. Mulai Anestesi : pukul 12.15 WIBe. Mulai Operasi : pukul 12.50 WIBf. Premedikasi : Ondansetron 4 mgg. Medikasi : Fentanyl 150 µg, Propofol 150 mg, Noveron 20 mgh. Medikasi Tambahan : Plasminex 500 mg, Tramadol 100 mg drip, Pronalges

Supp 100mgi. Respirasi : pernapasan spontan dan terpasang O2 3lpm, N2O 2L,

Isoflurane 1 vol%j. Cairan Durante operasi: RL 500cck. Tensi dan HR : terlampir l. Selesai Operasi : pukul 12.50 WIB

F. Post Operatif

1. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan pada pukul 12.55Keluhan: mual (-), muntah (-), sesak (-), pusing (-), nyeri (-)

2. Keadaan umum : tampak lemah3. Kesadaran : compos mentis4. Tanda vital :

1. Tensi : 100/752. Nadi : 84x/menit3. RR : 21x/menit4. Saturasi oksigen : 99

5. Pemeriksaan fisik :1. Warna kulit kemerahan, jalan napas paten, napas spontan, akral dingin.2. Penilaian respon motoric pasca anestesi dengan menggunakan skor Aldrette

GERAKAN SKOR

8

Page 9: Case Cilegon

Dapat menggerakan ke 4 ekstremitasnya sendiri atau dengan

perintah2

Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitasnya sendiri atau dengan

perintah1

Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan

perintah0

PERNAPASAN

Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2

Bernapas berat atau dispnu 1

Apnu atau napas dibantu

0

TEKANAN DARAH SKOR

Sama dengan nilai awal + 20% 2

Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1

Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0

KESADARAN SKOR

Sadar penuh 2

Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1

Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0

WARNA KULIT SKOR

Merah 2

Pucat , ikterus, dan lain-lain 1

9

Page 10: Case Cilegon

Sianosis 0

Pasien sudah memenuhi criteria Aldrette sehingga pasien dipindahkan ke bangsal.

BAB IV

ANALISIS KASUS

Nn. A 19 tahun datang ke kamar operasi pada pukul 12.20 WIB untuk menjalani operasi

tonsilektomi yang direncanakan pada tanggal 9 November 2015 pada pukul 12.30 WIB. Pasien

dilakukan anestesi dengan menggunakan General Anestesi dengan teknik anestesi nafas kendali

dengan menggunakan NTT (nasotracheal tube). Teknik anestesi umum dipilih karena lokasi

operasi yang berada di daerah wajah dan rongga mulut yang akan memudahkan operator dalam

menjalankan operasi dan merupakan indikasi dari NTT. Naso tracheal tube digunakan karena

operasi dilakukan di bagian tenggorokan sehingga tidak dimungkinkan untuk menggunakan

teknik lainnya yang melalui mulut. Pasien datang dengan kondisi sakit ringan, kesadaran compos

mentis, Status fisik ASA I. Pasien tersebut digolongkan kedalam status fisik ASA I karena dari

hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tidak ditemukan hasil yang

abnormal.

Pasien dimasukan ke ruang operasi pada pukul 12.20 WIB. Pasien diposisikan dimeja

operasi dalam posisi terlentang, dengan leher diekstensikan di atas meja operasi. Kemudian

pasien dilakukan pemasangan alat-alat anestesi seperti tensimeter, pulse oksimetri, oksigen

(3L/menit) dan pada pasien ini telah dilakukan pemasangan IV line dengan infus cairan Ringer

Laktat. Keadaan umum pasien sebelum operasi, kesadaran compos mentis, dengan tekanan darah

120/70 mmHg, nadi 90 x/menit, saturasi 99% dan mempunyai berat badan ± 70 kg.

Sebelum Anestesi dimulai dilakukan pemeriksaan mesin anestesi, alat intubasi dan obat-

obat anestesi. Pasien diberikan premedikasi pada pukul 11.23 WIB dengan menggunakan

10

Page 11: Case Cilegon

ondansetron 4 mg, kemudian pasien mulai dilakukan induksi intravena dengan menggunakan

Fentanyl 150 µg, Propofol 150mg dan Noveron 20 mg. Setelah otot pasien lemas, pasien

dilakukan pemasangan NTT.

Obat rumatan inhalasi menggunakan isofluran 2% diinduksi melalui face mask.

Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan

dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai

batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat dicapai bila

diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk kombinasi. Umumnya obat

anestesi umum diberikan secara intravena dan inhalasi.

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, yang

bertujuan agar pasien tidak mual dan muntah karena obat-obat anestesi dapat merangsang

muntah pada pasien. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor Serotonin 5 –

Hydroxytriptamine (5HT3) selektif. 5HT3 merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat

toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus

menyampaikan rengsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan

kemudian terjadi mual muntah.

Fentanyl bekerja sebagai analgesi. Dosis induksinya 2 µg/kgbb. Dosis induksinya

menyebabkan pasien hipotensi dan depresi pernapasan dengan durasi 30 menit.

Profopol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis induksi menyebabkan pasien tidak

sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek

analgesik. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan berlangsung cepat.

Selama anestesi berlangsung pasien diberikan Plasminex 500 mg yang berisi asam

tranexamat untuk menghentikan perdarahan selama oprasi. Tramadol 100 mg juga diberikan

secara drip IV. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol

mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan

sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu juga menghambat pelepasan

neurotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibat impuls nyeri

terhambat.

11

Page 12: Case Cilegon

Pronalges sup merupakan salah satu dari kelas asam propionate non steroid- anti

inflamasi drugs (NSAID) dengan efek analgesic dan antipiretik. Bertindak dengan menghambat

produksi prostaglandin tubuh. Efek samping berupa gangguan saluran pencernaan, sakit kepala,

mengantuk, pusing, vertigo, dan edema.

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM

Definisi

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan ketika

pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien

yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol

dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang

dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan

fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk

memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Satu hal

yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik,

tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat, terdapat 3 cara

pemberian obat pada anestesi umum:

1. Parenteral

12

Page 13: Case Cilegon

Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun intramuskuler

biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau untuk induksi anestesi.

Obat anestesi yang sering digunakan adalah:

Pentothal

Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6 mg/kg BB

danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.

Penggunaan:

- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.

- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.

Cara Pemberian:

Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur,

pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi dapat

dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram.

Kontra Indikasi:

1.Anak-anak di bawah 4 tahun

2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah

3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas

4.Penyakit jantung

5.Penyakit hati

6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang baik.

Ketalar (Ketamine)

Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3

mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.

13

Page 14: Case Cilegon

Penggunaan:

1. Operasi-operasi yang singkat

2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah

Kontra Indikasi:

Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.

Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah menekan

pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan dan tindakan pernafasan buatan

terutama bila ada sianosis.

2. Perektal

Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya sampai

ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto,

pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan

anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anak-

anak. Syaratnya adalah:

1.Rectum betul-betul kosong

2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.

Obat-obat yang digunakan:

- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB

- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

3. Perinhalasi

Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah

dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.

Obat-obat yang dipakai:

14

Page 15: Case Cilegon

1. Induksi halotan

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.

Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4

ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau

sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.

2. Induksi sevofluran

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun

langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan

halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfluran jarang

dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.

Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam

saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah.

Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke

dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar

kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ

vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit

seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan

mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.

Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi bisa dalam bentuk asli

atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang

mempengaruhi anestesi antara lain:

- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).

- Faktor sirkulasi

- Faktor jaringan.

15

Page 16: Case Cilegon

- Faktor obat anestesi.

Faktor respirasi

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsiel

tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan

tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi.

Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan

sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih

rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan.

Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan

terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru

dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat atau keadaan ventilasi yang

menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.

Faktor sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan

sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut

demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.

Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam

gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah

tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat

dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah,

akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

Faktor jaringan

Yang menentukan antara lain:

- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan.

- Kecepatan metabolisme obat.

- Aliran darah dalam jaringan.

16

Page 17: Case Cilegon

- Tissue/blood partition coefisien

.Faktor zat anestesi

Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat

anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel dan

Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm

yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada

50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.

Persiapan Anestesia Umum:

Praktek anesesi yang aman dan efisien memerlukan personil bersertifikat, obat-obatan

dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien yang optimal.

Persyaratan minimum untuk anestesi umum

Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk ruang yang cukup

terang dengan ukuran yang memadai, sebuah sumber oksigen bertekanan (paling sering di

pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor yang sesuai dengan standar ASA (American

Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung, tekanan darah, EKG, denyut nadi

oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat

anestesi yang diaplikasikan.

Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat anestesi. Alat yang

sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika obat harus diberikan sepenuhnya intravena.

Dalam sebagian besar keadaan, ini berarti membutuhkan tersedianya sebuah mesin yang

memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara anestesi tetap berjalan

Menyiapkan pasien

Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling efisien adalah pasien

ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberikan anestesi dengan baik

sebelum tanggal operasi.

Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang tepat, perhatian

terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang sedang berlangsung, diskusi dari setiap

reaksi sebelumnya yang merugikan pribadi atau keluarga untuk anestesi umum, penilaian

status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi yang efektif dan aman. Hal ini juga

berfungsi untuk meredakan kecemasan dari pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien

17

Page 18: Case Cilegon

dan keluarga mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien

pada waktu perioperatif.

Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan pelaksana

anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk

membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher,

anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah). Dengan menggabungkan semua

faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu,

dapat diambil untuk mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau

berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya.

Manajemen jalan napas

Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas, meliputi kondisi

dibawah ini:

Rahang yang kecil atau mundur

Gigi rahang atas yang menonjol

Leher yang pendek

Ekstensi leher terbatas

Pertumbuhan gigi yang buruk

Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan

Trauma pada wajah

Fiksasi antar-gigi

Penggunaan cervical collar yang keras

Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial untuk

memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor Mallampati, yang

mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas divisualisasikan melalui mulut

terbuka.

Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut terbuka dan

lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang diintubasi karena indikasi

emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin. Sebuah penilaian sederhana dapat

dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan gambaran dari ukuran

bukaan mulut dan perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor dalam keberhasilan intubasi

(lihat gambar di bawah)

18

Page 19: Case Cilegon

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit. Namun, tidak

ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% . Akibatnya, praktisi

mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka untuk menilai jalan napas.

Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi

kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai kondisi pasien. Beberapa

pertimbangan dalam melakukan anestesi umum meliputi:

Keuntungan

- Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi

- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat anestesi local

- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang

- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan durasi waktu yang

tak dapat diprediksi atau pada keadaan penambahan waktu operasi

- Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

Kekurangan

- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang terkait

19

Page 20: Case Cilegon

- Membutuhkan persiapan pasien praoperasi

- Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang memerlukan intervensi

aktif

- Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu dalam pengembalian

fungsi mental yang normal

- Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang jarang, terkait

dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa (tidak semua) zat anestesi

umum yang dapat menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,

hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hyperkalemia.

Cara memberikan anestesi

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga

penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek

mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi

perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini

disebut maintenance atau pemeliharaan.

Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-

operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah akan

mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen

maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan

otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam,

sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah

dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat.

Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang

diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan

demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang

sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi

hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan,

20

Page 21: Case Cilegon

yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik

kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut

balance anestesi.

Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot

mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk

otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas

buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian,

karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana

anestesi, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau

control respiration.

Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi.

Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain:

- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi. Polusi

kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi

penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita

yang tidak sadar.

- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan

hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai pada titik tertentu

misalnya pada operasi otak. Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan

darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.

- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan operasi

pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga

dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita tergantung

keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3

macam yaitu:

- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.

- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi: pernafasanpenderita

sepenuhnya tergantung bantuan kita.

21

Page 22: Case Cilegon

- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan sedikit

bantuan.

Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi

dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi closed.

1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada hubungan

fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu

tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas

keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi,

menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang

mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar

operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak

dapat dilakukan respirasi kendali.

2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain

reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang

mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating valve. Dalam

sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding

system open.

3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan

oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang

lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat

oleh sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi

dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.

Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi

diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan

kurang menimbulkan polusi kamar operasi.

4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada

udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen

dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan

hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena

22

Page 23: Case Cilegon

pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga.

menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat

obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed

juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali,

sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan

semi open juga disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi

yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar

pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan

oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi

penderita.

System Rebreathing Reservoir bag Sodalime Tingkat polusi

kamar operasi

Tingkat

keborosan obat

Open - - - ++++ +++

Semi open - + + +++ ++

Semi closed + + + ++ +

Closed + + + + -

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi

intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi

menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance

Anesthesia)

Pemulihan anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan

menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian

obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka

oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli

yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.

23

Page 24: Case Cilegon

Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,

sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah.

Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi

perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari

alveoli akan berdifusi ke dalam darah.

Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi kedalam

darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi

obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi

dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun.

Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di

alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan

keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar

obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka

kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme

atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.

Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan

pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang

menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi

bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah

penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat

terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli

dan naiknya tekanan intra cranial.

Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak

terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi

tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang

mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk

mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu

memberikan obat antikolinesterase.

Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat bagi

penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan

ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan

24

Page 25: Case Cilegon

kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar

pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.

Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus

diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang

perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Hal yang dinilai Nilai

1. Kesadaran:

Sadar penuh

Bangun bila dipanggil

Tidak ada respon

2

1

0

2. Respirasi:

Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk

Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan

Apnoe

2

1

0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi

Perbedaan +- 20

Perbedaan +- 50

Perbedaan lebih dari 50

2

1

0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:

4 ekstremitas

2 ekstremitas

Tidak dapat

2

1

0

5. Warna kulit

Normal

Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik

Cyanotic

2

1

0

25

Page 26: Case Cilegon

BAB VI

KESIMPULAN

Pasien adalah seorang perempuan berusia 19 tahun dengan riwayat tonsillitis kronik. Pasien datang pada hari Senin 9 November 2015 pukul 12.20 WIB. Dari anamnesis diperoleh informasi bahwa pasien datang dengan keluhan nyeri menelan 2 minggu terakhir. Pasien menyangkal memiliki riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma Bronkiale, namun pasien mengaku memiliki alergi seafood.. Pasien juga menyangkal pemakaian gigi palsu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg. Berdasarkan American Socieety of Anesthesiology pasien digolongkan dalam ASA I.

Evaluasi pre operatif pada pasien didapatkan dalam batas normal. Tidak didapatkan keadaan yang menjadi kontraindikasi anestesi umum. Pasien diberikan premedikasi berupa Ondansetron 4mg. Setelah itu dilakukan general anestesi dengan menggunakan Fentanyl, Propofol dan Noveron. Selama operasi berlangsung pasien mendapatkan Oksigen dengan volume 3 liter/menit, N2O 2 liter/menit, isoflurane 1vol%. Pasien diberikan plasminex 500 mg dan Tramadol 100 mg drip. Sesaat sebelum operasi selesai pasien diberikan Pronalges supp. Selama operasi, tidak terjadi komplikasi dan kondisi pasien relative stabil selama operasi. Operasi berakhir pada pukul 12.50 WIB

Evaluasi post operatif dilakukan dengan pemantauan kondisi pasien di ruang pemulihan, tidak didapatkan keluhan dan tanda syok pada pasien. Kondisi post operatif pasien relative stabil, dengan skor Aldrette >8 dan dapat dikembalikan ke ruang perawatan.

26

Page 27: Case Cilegon

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta 2014.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anastesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta:2001.p.103-22 .

3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anastesiology. 5 th

Ed. McGraw-Hill Education. 2013.p.937-65.

27