case asma koas anak

72
LAPORAN KASUS Asma Bronkial Disusun Oleh : Hani Aqmarina (030.10.120) Pembimbing : dr. Mas Wisnuwardhana, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA BEKASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2015

Upload: nyoman-arya-adi-wangsa

Post on 12-Dec-2015

269 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kdksds

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

Asma Bronkial

Disusun Oleh :

Hani Aqmarina (030.10.120)

Pembimbing :

dr. Mas Wisnuwardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAKRSUD KOTA BEKASI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA 2015

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan .......................................................................................................... 3

BAB II Ilustrasi Kasus .............................................................................................. 4

BAB III Tinjauan Pustaka..................................................................................................... 16

1. Definisi .......................................................................................................... 16

2. Epidemiologi .............................................................................................. 16

3. Etiologi ................................................................................................................ 17

4. Klasifikasi .......................................................................................................... 18

5. Patofisiologi ............................................................................................... 20

6. Manifestasi klinis .............................................................................................. 23

7. Diagnosis .......................................................................................................... 24

8. Tatalaksana .......................................................................................................... 28

9. Komplikasi ........................................................................................................... 44

10. Pencegahan .............................................................................................. 45

11. Prognosis .......................................................................................................... 47

BAB IV Kesimpulan .......................................................................................................... 48

Daftar pustaka ...................................................................................................................... 49

2

BAB I

PENDAHULUAN

Asma bronkial, atau lebih populer dengan sebutan asma atau sesak napas, telah

dikenal luas di masyarakat. Namun pengetahuan tentang asma bronkial hanya terbatas pada

gejala asma bronkial saja, diantaranya dada terasa tertekan, sesak napas, batuk berdahak,

napas berbunyi (mengi), dll.(1)

Asma adalah suatu kondisi di mana saluran udara menyempit dan membengkak dan

menghasilkan mucus yang berlebih. Hal ini dapat membuat kesulitan bernafas dan memicu

batuk, mengi serta sesak napas.(1)

Bagi sebagian orang, asma merupakan gangguan kecil saja. Bagi yang lain, dapat

menjadi masalah besar yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menyebabkan

serangan asma yang mengancam jiwa.(1)

Di negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam dan Singapura,

bronkitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke delapan. Penelitian di

Amerika Serikat mendapatkan prevalensi asma sekitar 3%, sementara di Inggris angkanya

adalah sekitar 5%. Penelitian pada guru-guru di India menghasilkan prevalensi asma sebesar

4,1 %, sementara laporan dari Taiwan menunjukkan angka 6,2%.(1)

National Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa

setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkitis kronik, Iebih dari 2 juta

orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk asma.

Di tahun 1981 di Amerika Serikat dilaporkan ada 60.000 kematian akibat PPOM dan keadaan

yang berhubungan dengannya. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World

Health Report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh

kematian di dunia, masing-masing infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%, tuberkulosis 3,0%,

kanker, paru/trakea/bronkus, 2,1%, dan asma 0,3%.(1)

3

BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas

Nama : An. R

No. RM : 03348624

Usia : 10 tahun

Tempat/Tanggal lahir : Bekasi, 10 Oktober 2004

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Arijuna Raya RT 11/13, Duren Jaya

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Masuk ke RSUD Kota Bekasi di bangsal Melati kamar M.15 pada Selasa, 16 Juni 2015.

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis dengan ibu pasien

pada Rabu, 17 Juni 2015 di bangsal Melati, kamar M.15, RSUD Kota Bekasi.

A. Keluhan Utama

Sesak sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan, 10 tahun, datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan

sesak sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Sudah 2 hari ini pasien sesak

secara hilang timbul. Serangan sesak muncul saat malam hari. Saat masuk rumah

sakit adalah sesak yang paling dirasa berat. Pasien mengaku sesak sedikit berkurang

dalam posisi duduk. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dahak berwarna putih,

kurang lebih sebanyak setengah sendok makan sekali keluar. Pasien memiliki riwayat

asma sejak usia 6 bulan dan setiap kali kambuh (pasien mengaku sesak lebih sering

muncul saat kecapekan, stres dan saat menghirup debu) selalu dibawa ke klinik,

diuap, lalu membaik. Namun kali ini, setelah dibawa ke klinik dan diuap, kondisi

pasien tidak juga membaik. Ayah pasien memiliki riwayat asma.

4

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat asma sejak usia 6 bulan.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien memiliki riwayat asma dan sudah meninggal karena penyakit stroke. Ibu

dan kakak pasien tidak memilki riwayat asma.

E. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal Melakukan pemeriksaan

beberapa kali ke bidan

KELAHIRAN

Tempat kelahiran Bidan

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Normal

Masa gestasi 9 bulan

Keadaan bayi

Berat lahir 3000 g

Panjang badan 50 cm

Lingkar kepala tidak ingat

Langsung menangis

Nilai apgar tidak diketahui

Tidak ada kelainan bawaan

F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan

Tengkurap dan berbalik sendiri : 6 bulan

Duduk : 7 bulan

5

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 11 bulan

Berbicara : 13 bulan

Gangguan perkembangan : -

Kesan: Baik (perkembangan sesuai dengan usia)

G. Riwayat Makanan

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim

0-2 ASI - - -

2-4 ASI - - -

4-6 ASI - - -

6-8ASI + Susu

formula√ √ √

8-10ASI + Susu

formula√ √ √

10-12ASI + Susu

formula√ √ √

Kesan: Pasien mendapatkan ASI sesuai dengan usianya dan ditambah dengan susu

formula setelah usia 6 bulan. Pasien mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan

usianya.

H. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 2 bulan

DPT/DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan 5 tahun

POLIO Lahir 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan 5 tahun

CAMPAK 9 bulan 24 bulan 6 tahun

6

HEPATITIS B Lahir 1 bulan 6 bulan

I. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Tempat tinggal pasien bersih,

ventilasi cukup, air bersih. Ibu pasien mengaku setiap hari membersihkan rumahnya. Di

rumah pasien juga tidak terdapat hewan peliharaan.

Kesan :Kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien baik.

I. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum/ kesadaran : tampak baik/compos mentis

b. Tanda Vital

- Frekuensi nadi : 124x/menit, regular

- Frekuensi pernapasan : 24x/menit, regular

- Suhu tubuh : 36,1oC

c. Data antropometri

- Berat badan : 35 kg

- Tinggi badan : 140 cm

STATUS GIZI

Berdasarkan kurva CDC usia 2-20 tahun:

BB/U = 35/33 x 100% = 3500/33 = 106%

TB/U = 140/138 x 100% = 14000/138 = 101,4%

BB/TB = 35/35 x 100% = 3500/35 = 100%

Kesan : Gizi baik

7

d. Kepala

- Bentuk : normocephali

- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata

8

- Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/+,

RCTL +/+

- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-

- Hidung : bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/-

- Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis -/-, tonsil T1/T1

tenang

e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

f. Thorax

Paru

- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris,retraksi (-)

- Palpasi : vocal fremitus simetris

- Perkusi : sonor di kedua lapang paru

- Auskultasi : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing +/+ saat

ekspirasi dan inspirasi

Jantung

- Inspeksi : ictus cordis tidak nampak

- Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V garis midclavicula kiri

- Perkusi : batas atas : ICS II garis parasternal kiri

batas kanan: ICS IV garis parasternal kanan

batas kiri : ICS IV garis midclavicula kiri

- Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

g. Abdomen

- Inspeksi : perut datar

- Auskultasi : bising usus (+)

- Palpasi : supel,turgor kulit normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien

tidak teraba membesar

- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok (-)

h. Ekstrmitas : akral hangat (+/+), sianosis (-)

i. Kulit : sawo matang, turgor baik, ruam (-)

.

9

Refleks Fisiologis

Refleks

Patologis

Tanda

Rangsang

Meningeal

Kaku kuduk

: -

Brudzinski I

: -

Brudzinski II : -

Kernig : -

Laseq : -

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tanggal Nama test Hasil Nilai rujukan

16/6/15 Darah rutin

- Leukosit

- Hemoglobin

- Hematokrit

- Trombosit

11,5 ribu/µl

13,4 g/dL

38,2 %

349 ribu/µl

5-10

12-16

37-47

150-400

17/6/15 Darah rutin

10

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sup dan Inf

Bisep + +

Trisep + +

Patela + +

Achiles + +

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sup dan Inf

Hoffman Trommer - -

Babinski - -

Chaddock - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Klonus patella - -

Klonus achilles - -

- Leukosit

- Eritrosit

- Hemoglobin

- Hematrokit

Index eritrosit

- MCV

- MCH

- MCHC

Trombosit

Glukosa darah sewaktu

Elektrolit

- Natrium

- Kalium

- Klorida

8,1 ribu/µl

4,56 juta/µl

12,9 g/dL

36,3 %

79,7 fl

28,3 pg

35,5 %

319 ribu/µl

113

139 mmol/L

4,5 mmol/L

99 mmol/L

5-10

4-5

12-16

37-47

75-87

24-30

31-37

150-400

60-110

135-145

3,5-5,0

94-111

Foto thorax PA 16/6/15

Skeletal: Normal

Cor, sinuses dan diafragma: Normal

Pulmo: Corakan normal, tidak tampak infiltrat

11

Kesan: Thorak normal

III. RESUME

a) Anamnesis

Pasien seorang perempuan, 10 tahun, datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan

sesak sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Sudah 2 hari ini pasien sesak

secara hilang timbul. Serangan sesak muncul saat malam hari. Saat masuk rumah sakit

adalah sesak yang paling dirasa berat. Pasien mengaku sesak sedikit berkurang dalam

posisi duduk. Pasien juga mengeluh batuk berdahak, dahak berwarna putih, kurang

lebih sebanyak setengah sendok makan sekali keluar. Pasien memiliki riwayat asma

sejak usia 6 bulan dan setiap kali kambuh (pasien mengaku sesak lebih sering muncul

saat kecapekan, stres dan saat menghirup debu) selalu dibawa ke klinik, diuap, lalu

membaik. Namun kali ini, setelah dibawa ke klinik dan diuap, kondisi pasien tidak

juga membaik. Ayah pasien memiliki riwayat asma.

b) Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum/ kesadaran : tampak sakit sedang/ compos mentis

Antropometri

Berat badan : 35 kg

Tinggi badan : 140 cm

Pemeriksaan thoraks pasien didapatkan wheezing pada kedua lapang paru saat

ekspirasi maupun inspirasi

c) Pemeriksaan laboratorium

Leukositosis ringan (lab tanggal 16/6/15)

Hematokrit menurun (lab tanggal 17/6/15)

Glukosa darah sewaktu meningkat (lab tanggal 18/6/15)

d) Pemeriksaan penunjang

Foto thoraks PA, kesan: thoraks normal

IV. DIAGNOSIS KERJA

Asma bronkial episodik persisten serangan sedang

12

V. DIAGNOSIS BANDING

-

VI. PENATALAKSANAAN

- IVFD KaEn 3B 12 tpm

- Ambroxol 3 x 1 Cth

- Inhalasi/8 jam Ventolin 1 amp/jam

Nacl 2cc

VII. FOLLOW UP

17/6/2015

(07.00)

S Batuk berdahak (+), dahak sulit keluar.

Sesak pada jam 03.00 pagi, sesak dirasa berat sekali

O TTV: Suhu 36,1°C, Nadi 124 x/menit, RR 24 x/menit

KU: Tampak sakit sedang, pasien keadaan tenang

Mata: konjungtiva anemis -/-

Thoraks:

Cor: S1-S2 reguler, murmur -, gallop –

Pulmo: SN Vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+ saat ekspirasi

13

dan inspirasi

Abdomen: supel, BU (+) 3x/menit, nyeri tekan abdomen -,

hepar dan lien tidak teraba membesar, shifting dullness –

Ekstremitas: akral hangat, oedem -/-, CRT <2”

A Asma bronkial episodik persisten serangan sedang

P IVFD KaEn 3B 12 tpm

Ambroxol 3 x 1 Cth

Inhalasi/8 jam Ventolin 1 amp/jam

Nacl 2cc

18/6/2015

S Batuk berdahak (+), dahak warna putih, sekali keluar kurang

lebih sebanyak setengah sendok makan.

Sesak pada jam 04.30 pagi, sesak dirasa berat sekali sama

seperti sebelumnya. Nyeri dada saat serangan.

Pusing (+)

O TTV: Suhu 36,2°C, Nadi 96 x/menit, RR 24 x/menit

KU: Tampak sakit sedang, pasien keadaan tenang

Mata: konjungtiva anemis -/-

Thoraks:

Cor: S1-S2 reguler, murmur -, gallop –

Pulmo: SN Vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+ saat ekspirasi

dan inspirasi

Abdomen: supel, BU (+) 3x/menit, nyeri tekan abdomen -,

hepar dan lien tidak teraba membesar, shifting dullness –

Ekstremitas: akral hangat, oedem -/-, CRT <2”

A Asma bronkial episodik persisten serangan sedang

P IVFD D5% 20 tpm

Cefoporazon 3 x 500mg

Kalmethasone 3 x 1 ampul

Vectrin 2 x 1 Cth

Inhalasi k/p

VIII. ANALISA KASUS

14

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial dengan derajat persisten

serangan sedang karena adanya keluhan sesak napas yang dipicu oleh stres dan

kecapekan. Sesak napas dirasakan setiap hari serta dirasakan paling sering saat malam.

Sesak mengganggu aktivitas dan tidur pasien. Pasien merasa paling nyaman dalam posisi

duduk. Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat asma persisten sedang

berdasarkan gambaran klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ekspirasi

memanjang dan whezing pada kedua lapangan paru saat ekspirasi maupun inspirasi.

Sementara pada pemeriksaan penunjang rontgen thoraks didapatkan corakan lapangan

paru dalm batas normal.

Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernapas, batuk, dada

sesak dan adanya wheezing episodik. Gejala asma dapat terjadi secara spontan ataupun

diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi asma mungkin

memburuk di malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan reaktifitas bronkus

mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan gejala bronkokontriksi.

Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi

oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan napas

dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan

mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian

kortikosteroid sistemik yang lebih awal.

BAB III

15

PEMBAHASAN

1. Definisi

Menurut United States National Tuberculosis Association 1967, asma bronkial

merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh reaksi yang meningkat dari trakea dan

bronkus terhadap berbagai macam rangsangan berupa kesukaran bernapas yang

disebabkan oleh penyempitan dari saluran napas. Penyempitan saluran napas ini bersifat

dinamis, dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena

pemberian obat, dan kelainan dasarnya merupakan gangguan imunologi.(2)

Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala asma seperti batuk, mengi, dan

sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap,

perlahan-lahan, dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi

mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi

ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, edema dinding bronkus, produksi mukus,

kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga obstruksi maupun peningkatan

respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.(2)

2. Epidemiologi

Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah

kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi dan angka

rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun cenderung

meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma bronkial

berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian. Selama sepuluh

tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma bronkial dan penyakit alergi

berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia. Semua penelitian ini

walaupun memakai berbagai metode dan kuisioner namun mendapatkan hasil yang

konsisten untuk prevalensi asma bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan

prevalensi lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data

epidemiologi yang pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.(3)

Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi) dan

50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial atopi

ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti debu, tungau

rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai

respon terhadap alergen. Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%.

16

Asma bronkial merupakan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.

Data pada penelitian saudara kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan

kejadian asma bronkial diturunkan sebesar 60-70%.(3)

3. Etiologi

Menurut The Lung Association of Canada, ada 2 faktor yang menjadi pencetus

asma:

1. Faktor yang menyebabkan bronkokonstriksi

Bronkokonstriksi adalah gangguan pernafasan akut yang belum berarti asma,

tapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala yang ditimbulkan

cenderung tiba-tiba, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah di atasi

dalam waktu singkat. Namun saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat

terhadap pemicu apabila sudah terjadi peradangan.

Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus

sehari-hari seperti :

Perubahan cuaca dan suhu udara

Polusi udara

Asap rokok

Infeksi saluran pernapasan

Gangguan emosi

Olahraga yang berlebihan

2. Faktor yang menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan

Faktor ini merupakan penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis

ekstrinsik. Gejala yang ditimbulkan berlangsung lebih lama (kronis) dan lebih

sulit di atasi dibanding yang diakibatkan oleh pemicu.

Umumnya penyebab asma adalah alergen yang bisa dalam bentuk :

Ingestan : alergen yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut

(dimakan/diminum). Ingestan yang utama adalah makanan dan obat-obatan

Inhalan : alergen yang dihirup masuk ke dalam tubuh melalui hidung

atau mulut seperti serbuk bunga, tungau, serpih/kotoran binatang, jamur,

dan lain-lain.

17

Kontak dengan kulit contohnya bedak, lotion, beberapa metal dalam

bentuk perhiasan, juga karena bersentuhan dengan barang-barang berbahan

lateks.(2)

4. Klasifikasi

Klasifikasi asma berdasarkan level terkontrolnya menurut Global Initiative for Asthma

(GINA) 2011 yakni:

No Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial

Tidak Terkontrol

1 Gejala siang Tidak ada atau ≤ 2x / minggu

> 2x / minggu 3 atau lebih keadaan terkontrol parsial*

2 Hambatan aktivitas Tidak ada Ada3 Gejala malam/ bangun

waktu malamTidak ada Ada

4 Perlu reliever / bantuan inhalasi

Tidak ada atau ≤ 2x / minggu)

> 2x / minggu

5 Fungsi paru PEF atau FEV1)**

Normal < 80% prediksi atau hasil terbaik (bila ada)

Tabel 1. Level Kontrol Asma.

*secara definisinya, bila terjadi eksaserbasi maka disebut sebagai asma tidak terkontrol.**tanpa pemberian bronkodilator, pemeriksaan fungsi paru tidak dapat digunakan pada anak usia ≤ 5 tahun.

Secara etiologis, asma bronchial terbagi dalam 3 tipe 8

1. Asma bronchial tipe non atopi (intrinsic)

Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal

dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi saluran nafas dan kodisi

lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara, zat-zat iritan kimia

atau obat-obatan serta aktivitas olahraga yang berlebihan. Pada golongan ini keluhan

ini tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap allergen dengan sifat-

sifat:

a. Serangan timbul setelah dewasa

b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma

c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan

d. Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik

18

e. Rangsangan/stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi

asma

f. Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik merupakan

keadaan yang peka bagi penderita.

2. Asma bronchial tipe atopi (ekstrinsic)

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi

alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang

yang sehat. Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan (exposure)

terhadap allergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan

dengan uji kulit atau uji provokasi bronchial. Pada tipe mempunyai sifat-sifat:

a. Timbul sejak kanak-kanak

b. Keluarga ada yang menderita asma

c. Adanya eksim saat bayi

d. Sering menderita rhinitis

e. Di Inggris jelas penyebabnya House Dust Mite, di USA tepung sari bunga

rumput.

3. Asma bronchial tipe campuran (mixed)

Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsic maupun

ekstrinsik.

Berdasarkan derajatnya, asma dapat dibagi menjadi:

1. Intermite

a. Gejala klinis < 1 kali/minggu

b. Gejala malam < 2 kali/bulan

c. Tanpa gejala di luar serangan

d. Serangan berlangsung singkat

e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus

puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik

f. Variabilitas APE < 20%

2. Persisten ringan

a. Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1 kali/hari

b. Gejala malam > 2 kali/bulan

19

c. Tanpa gejala di luar serangan

d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dan tidur

e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus

puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik

f. Variabilitas APE 20%-30%

3. Persisten sedang

a. Gejala setiap hari

b. Gejala malam > 2 kali/minggu

c. Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur

d. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi atau

arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik

e. Variabilitas APE > 30%

4. Persisten berat

a. Gejala terus menerus

b. Gejala malam sering

c. Sering kambuh

d. Aktivitas fisik terbatas

e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi atau arus

puncak ekspirasi (APE) < 60% nilai terbaik

f. Variabilitas APE > 30%.(2,3)

5. Patofisiologi

Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu

dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi

saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang

berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastroesofageal dan

kehamilan.(4)

Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE

dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk diantaranya histamin,

prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara

yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernafasan pada pasien

asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis serangan. Akibatnya

keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran nafas

20

dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran

mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos

saluran pernafasan.(4,5)

Gambar 1 bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma bronkial

Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh

inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonos otot polos bronkioler merupakan

gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiper inflasi

pulmoner, dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.(4)

Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka (hipersensitif)

terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut dikeluarkan dari tubuh,

maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat berlebihan (hiperreaktif), maka

terjadilah keadaan dimana.(4)

Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan

berkontraksi/memendek/mengkerut

Produksi kelenjar lendir yang berlebihan

Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran napas

Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya

menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri, keluar

dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang timbul apabila

udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai

terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas.(4,5)

21

Skema 1. Patofisiologi Asma.(6)

Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.

Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai

dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan FEV1

(Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif

cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah

kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi

dinamik. Besarnya hiper inflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan

fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks yang

memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar.(4)

Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot

pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiper inflasi

paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek

kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.(4)

22

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,

sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama

ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini

mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.

Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan

bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini

bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk

mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.(7)

Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang,

maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan

pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.(7)

6. Manifestasi klinik

Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase

inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi

(wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada

beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas

penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba

menjadi lebih berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan rhinitis alergika

atau radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan

utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal. Mengi

(wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi.(2)

Suara mengi ini sering kali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat.

Keadaan ini tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar-masuk paru. Bila

dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, mengi (wheezing) akan

terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali. Sedang batuk hampir selalu ada,

bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak

akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih berat, apalagi penderita mengalami

dehidrasi.(2)

Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk

membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang

menyertai sesak napas berat ialah pergerakan cuping hidung yang sesuai dengan irama

pernapasan, otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak gelisah. Frekuensi

23

pernapasan terlihat meningkat (takipneu), selain karena sesak napas mungkin pula karena

rasa takut. Pada fase permulaan sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan

PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan

memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta

meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi

sampai 110-130 kali/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah.

Bila tanda-tanda hipoksemia tetap ada (PaO2 <60 mmHg) diikuti dengan hiperkapnia

(PaCO2 <45 mmHg), asidosis respiratorik, sianosis, gelisah, kesadaran menurun,

papiledema dan pulsus paradoksus, berarti asma makin memberat.(2)

Pada perkusi dada, suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak

diafragma masih normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler

meningkat, disertai ekspirasi memanjang. Kalau ada sekret, terdengar ronki kasar waktu

inspirasi dan tumpang tindih dengan wheezing waktu inspirasi. Suara napas tambahan

yang bersifat lokal, mungkin menunjukkan ada bronkiekstasis atau pneumonia dan

kadang-kadang karena atelektasis ringan.(2)

7. Diagnosis

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya

penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita

tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik,

gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan

dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah

dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan

faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.(8)

RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.(8)

24

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

1. Riwayat keluarga (atopi)

2. Riwayat alergi / atopi

3. Penyakit lain yang memberatkan

4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.(8)

PEMERIKSAAN FISIK

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat

normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada

auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada

pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan

serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat

saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang

lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja

pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.

Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun

demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat,

tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,

hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.(8)

FAAL PARU

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai

asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;

sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan

persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran

faal paru digunakan untuk menilai:

1. obstruksi jalan napas

2. reversibiliti kelainan faal paru

3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima

secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus

puncak ekspirasi (APE).(8)

25

a. Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa

(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.

Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga

dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk

mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang

reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/

KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.(8)

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <

80% nilai prediksi.

- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ³ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-

14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.

Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

- Menilai derajat berat asma

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang

lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang

relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di

berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat

darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun

penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau

kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan

koperasi penderita dan instruksi yang jelas.(8)

Manfaat APE dalam diagnosis asma

- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji

bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)

26

- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE

harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat

berat penyakit (lihat klasifikasi)

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,

di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh

karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik

sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik

penderita yang bersangkutan.(8)

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk

mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara:

- Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE

pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah

bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam

sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE

harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

APE malam - APE pagi

Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %

1/2 (APE malam + APE pagi)

- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi

sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan

persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).(8)

PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS

1. Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita

dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus .

Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi

spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma

27

persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil

positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan

dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.(8)

2. Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji

kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk

mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus

sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.(8)

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya

dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk

diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu.

Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya

dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada

keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/

kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE

total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.(8)

8. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma:

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

b. Mencegah eksaserbasi akut

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

d. Mengupayakan aktivitas normal

e. Menghindari efek samping obat

f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)

g. Mencegah kematian karena asma.(9)

Penatalaksanan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa dan

pengobatan medikamentosa :

1. Pengobatan non medikamentosa

28

Pengobatan non medikamentosa terdiri dari :

- Penyuluhan

- Menghindari faktor pencetus

- Pengendalian emosi

- Pemakaian oksigen.(9)

2. Pengobatan medikamentosa

Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu

antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta

mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan

pengobatan saat serangan untuk mencegah eksaserbasi/serangan dikenal dengan pelega.(8)

1. Antiinflamasi (pengontrol)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan

setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma

persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifiers

Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Lain-lain.(8)

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan merupakan

anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini. Efeknya secara umum adalah

untuk mengurangi inflamasi akut maupun kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki

aliran udara, mengurangi hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksaserbasi asma,

dan mengurangi remodelling saluran napas. Kortikosteroid terdiri dari kortikosteroid

inhalasi dan sistemik.(8)

29

Kromolin

Mekanisme yang pasti kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui

merupakan antiinflamasi non steroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast.

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.

Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru

dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif

glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk

menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal

seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi.(8)

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim pada inflamasi

kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas.

Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat.

Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-

2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.(8)

Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2

mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel

mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek

antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama

mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi

agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan

preparat oral.(8)

Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi. Mekanisme kerjanya

menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya

zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya

30

montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek

bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida

dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai

studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan

kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai

berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan

glukokortikosteroid inhalasi.(8)

31

32

Tabel 2. Sediaan dan dosis obat pengontrol asma

2. Bronkodilator (pelega)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan

atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di

dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif

jalan napas.(8)

Termasuk pelega adalah :

Agonis beta2 kerja singkat

33

Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan

bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya

dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofillin

Adrenalin.(8)

Agonis beta 2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang

telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian secara

inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping yang minimal.(8)

Metilxantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibanding

agonis beta 2. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau

disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak

menambah efek bronkodilatasi agonis beta- 2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai

manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan

respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya.

Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah

dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak

diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan

dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .(8)

Antikolinergik

Pemberian secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus vagal intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi yang

disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya

lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi

reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.

Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis

meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan

34

bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan

menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena disarankan

menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai

bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang

respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak

bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita

yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti

takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.

Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.(8)

Tabel 2. obat-obat bronkodilator pada Asma bronkial10

35

Tabel 3. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma

Berdasarkan derajat berat asma

Asma Intermiten

Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan

alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.

Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca

buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal.(8)

Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin

terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati

sebagai asma persisten sedang.(8)

Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika

dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif

kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen dengan alternatif

kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi,

alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis

beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator

lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan

sebagai asma persisten ringan.(8)

36

Asma Persisten Ringan

Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari

untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah bera;

sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari

dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug

BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2

kali sehari.(8)

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika

dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita

membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan

kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya.(8)

Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap

hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol

adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug

FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali

sehari. Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (£

400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis

beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis

glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/

spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix

combination) agar lebih mudah.(8)

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika

dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2

kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau

kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja

singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas

lambat sebagai pengontrol. (8)

Asma Persisten Berat

37

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,

gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE)

mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat

seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa

obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi

inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan

pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari. (8)

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers

dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai

kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan

terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis

beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan

glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus

single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara

nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi

glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama

dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek

samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk

memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau

sebagai penatalaksanaan jangka panjang. (8)

Indikator asma tidak terkontrol

a. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma

b. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut

c. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau exercise-

induced asthma). (8)

Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator) tersebut

di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah terapi,

apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol :

1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita

38

2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-

obatan asma

3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan

penderita atau lingkungan tidak terkontrol

4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis

dan lain-lain

Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain. (8)

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,

kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi

asma tetap terkontrol. (8)

Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan Asma

Dewasa

Obat Dosis Harian Rendah (µg)

Dosis Harian Sedang (µg)

Dosis Harian Tinggi (µg)

Beclomethasone dipropionate – CFC

200-500 >500-1000 >1000-2000

Beclomethasone dipropionate – HFA

100-250 >250-500 >500-1000

Budesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680

Ciclesonide 80-160 >160-320 >320-1280

Flunisolide 500-1000 >1000-2000 >2000

Fluticazone propionate

100-250 >250-500 >500-1000

Mumetasone fuoat 200 400 >800

Triamcinolone acetonide

400-1000 >1000-2000 >2000

Tabel 4. Glukokortikosteroid inhalasi dosis dewasa

39

Anak-anak

Obat Dosis Harian Rendah (µg)

Dosis Harian Sedang (µg)

Dosis Harian Tinggi (µg)

Beclomethasone dipropionate

100-200 >200-400 >400

Budesonide 100-200 >200-400 >400

Budesenide neb 250-500 >500-1000 >1000

Ciclesonide 80-160 >160-320 >320

Flunisolide 500-750 >750-1250 >1250

Fluticazone propionate

100-200 >200-500 >500

Mumetasone fuoat

100 >200 >400

Triamcinolone acetonide

400-800 >800-1200 >1200.(10)

Tabel 5. Glukokortikoid inhalasi dosis anak-anak

Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma

Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20% atau pasien

dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40% merupakan indikasi

untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada pasien dengan nilai FEV1 atau PEF

pada post-treatment antara 40-60% dapat dipulangkan namun dengan syarat harus

diawasi secara adekuat. Sedangkan pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-

treatment lebih dari 60% dapat langsung dipulangkan.(10)

40

Skema 2. Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit41

Skema 3. Algoritma penatalaksanaan serangan asma di rumah

Klasifikasi berat serangan asma akut

Gejala dan Tanda

Berat Serangan Asma Keadaan Mengancam jiwa

Ringan Sedang Berat

Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -

Posisi Dapat tidur telentang

Duduk Duduk membungkuk

-

Cara berbicara

1 kalimat Beberapa kata

Kata demi kata

-

Kesadaran Mungkin gelisah

Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran

42

menurun

RR <20x/menit 20-30x/menit

>30x/menit -

Nadi <100x/menit

100-120x /menit

>120x menit Bradikardia

Pulsus paradoksus

-10 mmHg

+/- 10-20 mmHg

+

>25 mmHg

-

Kelelahan otot

Otot bantu napas dan retraksi suprasternal

- + + Torakoabdominal paradoksal

Mengi Akhir ekspirasi

paksa

Akhir ekspirasi

Inspirasi dan ekspirasi

Silent chest

APE > 80 % 60-80 % < 60% -

PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg

< 60 mmHg -

PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg -

SaO2 > 95 % 91-95 % < 90 % -

Tabel 6. Klasifikasi berat serangan asma akut

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat

pengobatan

Serangan Pengobatan Tempat Pengobatan

RINGAN

Aktivitas normal

Berbicara satu kalimat dalam satu nafas

Nadi < 100x/menit

APE > 80%

Terbaik :

Inhalasi agonis β-2

Alternatif :

Kombinasi oral agins β-2 dan teofilin

Di rumah

Di praktek dokter/klinik/puskesmas

43

SEDANG

Jalan jarak jauh timbulkan gejala

Bicara beberapa kata dalam satu kali nafas

Nadi 100-120 x/ menitAPE 60-80 %

Terbaik:

Nebulisasi agonis β-2 tiap 4 jam

Alternatif :

-Agonis β-2 subkutan-Aminofilin IV-Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK

Oksigen bila mungkin

Kortikosteroid sistemik

UGD/RS

Klinik

Praktek dokter

Puskesmas

BERAT

Sesak saat istirahat

Berbicara kata perkata dalam satu nafas

Nadi >120 x/menit

APE <60 % atau 100 l/detik

Terbaik :

Nebulisasi agonis β-2 tiap 4 jam

Alternnatif :

-Agonis β-2 SK/IV-Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK

Aminofilin bolus dilanjutkan drip

Oksigen

Kortikosteroid IV

UGD/RS

Klinik

MENGANCAM JIWA

Kesadaran berubah/menurun

Gelisah

Sianosis

Gagal nafas

Seperti serangan akut berat

Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanis

UGD/RS

ICU

Tabel 7. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat

pengobatan

9. Komplikasi

1. Status asmatikus

44

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Pneumothoraks

5. Emfisema

10. Pencegahan

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan

bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah

tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah

mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang

sudah menderita asma.

Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan

perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer

penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi

alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi

dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin.

Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan menjanjikan. Periode prenatal

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen

presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen

dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus, walau konsentrasi alergen yang

dapat penetrasi ke amnion adalah penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih

mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen

dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau

toleransi imunologis. Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat

alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi

atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu

dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk

dilakukan.

Periode postnatal Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan

terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur,

45

ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal tersebut,

menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan

tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan

berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan

berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas,

sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada

bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan

berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang.

Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko

dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan.

Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari

sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan

dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini

mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada

menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang

menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di

kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan

primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan

protein-protein yang berfusi dengan alergen.

Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan imunomodulasi

menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang berkaitan dengan IL-12 atau

IFN-, pemberian mikroorganisme usus yang relevan melalui oral (berhubungan dengan

kolonisasi flora mikrobial usus). Semua strategi tersebut masih sebagai hipotesis dan

membutuhkan penelitian yang tepat.

Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada

kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit

untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai

studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi

perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan

gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang

mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi

46

alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada

perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi

mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas

bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok

pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi.

Pencegahan sekunder

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang

sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai

pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak

dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi

dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.

Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen

sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan

gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada

jika pajanan terus berlangsung.

Pencegahan Tersier

Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh

berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki

kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.

11. Prognosis

Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai

komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan

definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan didapatkan

bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78%.(11)

Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih baik,

kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis atopik

yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan kemungkinan yang lebih

besar untuk menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia

lanjut biasanya berat dan sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya

mulai menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan jangan

ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma terutama infeksi

dan dapat pula mengakibatkan kematian.(11)

47

BAB IV

KESIMPULAN

Menurut United States National Tuberculosis Association 1967, asma bronkial

merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh reaksi yang meningkat dari trakea dan

bronkus terhadap berbagai macam rangsangan berupa kesukaran bernapas yang

disebabkan oleh penyempitan dari saluran napas. Obstruksi saluran napas ini memberikan

gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas.

Pada kasus ini, pasien mengeluhkan sesak nafas yang hilang timbul dan batuk

berdahak dengan dahak berwarna putih. Pada pemeriksaan fisik auskultasi paru

didapatkan wheezing +/+ pada kedua lapang paru saat ekspirasi maupun inspirasi. Pasien

sendiri mengaku memiliki riwayat asma sejak usia 6 bulan yang sering kambuh jika

tubuhnya lelah, stres atau jika terkena debu. Pasien ini didiagnosis asma bronkial

persisten serangan sedang.

48

DAFTAR PUSTAKA

1. Mayoclinic. Asthma. Available at: http://www.mayoclinic.com/health/asthma/DS00021.

Accessed on June 22th, 2015

2. Santi. Asma Bronkial. Available at: https://www.scribd.com/doc/95505362/ASMA-

BRONKIAL. Accessed on June 22th,2015

3. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28.

165-73.

4. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 981

5. Asma bronkial. Available at: http://www.medicastore.com. Accessed on June

22th,2015

6. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 2003.27

7. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. at a glance Sistem Respirasi. Jakarta:

Erlangga. 54-57

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

di Indonesia. Available at: http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html.

Accessed June 22th,2015

9. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara Eosinofil

Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten Sedang. Jurnal

Respirologi Indonesia 2006;1.45

10. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and

Prevension In Children. Available at: www. Ginaasthma.org. Accessed on June 22th,

2015

11. Suyono. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI;2006

49