camus

8
A. Pendahuluan Dalam sosiologi sastra sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial yang melingkupinya, baik itu situasi zamannya, pengarangnya, maupun berbagai sistem lingkungannya. Karya sastra dipandang sebagai produk dan bagian dari dunia sosial yang lebih besar. Tradisi eksistensialisme Albert Camus sebagaimana yang terepresentasikan dalam karyanya, Orang Asing. Dikatakan oleh Guerin et al bahwa dalam pandangan pendekatan moral- filosofis, Albert Camus “can be read profitably only if one understands existensialism.” Pokok eksistensialisme ini sebegitu melekatnya pada Camus sehingga karya-karyanya akan sulit dibicarakan tanpa merujuk pada pokok tersebut. Orang Asing ini (L’étranger) adalah novel Albert Camus yang diterbitkan pada tahun 1942. Tahun penerbitan ini menjadi penting karena menjadi sumber acuan untuk latar belakang penulisan. Pada periode pascaperang dunia kedua ini pemikiran eksistensialisme sedang berkembang dengan maraknya di Eropa. Diawali dengan tulisan Heidegger, Being and Time, yang terbit tahun 1927 timbul pemikiran bahwa sistem dan institusi kemasyarakatan telah membuat dimensi ontologis manusia ke luar dari dalam (hakikat) kesadarannya.

Upload: zaki-satria

Post on 19-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dalam sosiologi sastra sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial yang melingkupinya, baik itu situasi zamannya, pengarangnya, maupun berbagai sistem lingkungannya. Karya sastra dipandang sebagai produk dan bagian dari dunia sosial yang lebih besar. Tradisi eksistensialisme Albert Camus sebagaimana yang terepresentasikan dalam karyanya, Orang Asing. Dikatakan oleh Guerin et al bahwa dalam pandangan pendekatan moral-filosofis, Albert Camus “can be read profitably only if one understands existensialism.” Pokok eksistensialisme ini sebegitu melekatnya pada Camus sehingga karya-karyanya akan sulit dibicarakan tanpa merujuk pada pokok tersebut.

TRANSCRIPT

A. PendahuluanDalam sosiologi sastra sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial yang melingkupinya, baik itu situasi zamannya, pengarangnya, maupun berbagai sistem lingkungannya. Karya sastra dipandang sebagai produk dan bagian dari dunia sosial yang lebih besar. Tradisi eksistensialisme Albert Camus sebagaimana yang terepresentasikan dalam karyanya, Orang Asing. Dikatakan oleh Guerin et al bahwa dalam pandangan pendekatan moral-filosofis, Albert Camus can be read profitably only if one understands existensialism. Pokok eksistensialisme ini sebegitu melekatnya pada Camus sehingga karya-karyanya akan sulit dibicarakan tanpa merujuk pada pokok tersebut.Orang Asing ini (Ltranger) adalah novel Albert Camus yang diterbitkan pada tahun 1942. Tahun penerbitan ini menjadi penting karena menjadi sumber acuan untuk latar belakang penulisan. Pada periode pascaperang dunia kedua ini pemikiran eksistensialisme sedang berkembang dengan maraknya di Eropa. Diawali dengan tulisan Heidegger, Being and Time, yang terbit tahun 1927 timbul pemikiran bahwa sistem dan institusi kemasyarakatan telah membuat dimensi ontologis manusia ke luar dari dalam (hakikat) kesadarannya. Absurditas merupakan aliran pemikiran yang timbul di awal abad ke-20 sebagai cabang dari eksistensialisme Sartre. Camus adalah tokoh di balik pemikiran ini. Salah satu karyanya dengan judul Orang Asing disinyalir merupakan pemaparan dari gagasan absurditasnya. Buku ini terbit tahun 1942, berbarengan dengan esainya tentang absurditas, Mite Sisifus. Keunikan buku ini adalah bentuknya yang menyerupai catatan harian (yang sangat berbeda dengan roman pada jaman itu). Karya ini dinilai penting pada zamannya, sehingga Sartre menerbitkan tulisan sebagai reaksi buku ini. Tulisan tersebut diterbitkan dalam kumpulan esainya yang berjudul Situation I pada tahun 1943.

B. Riwayat HidupAlbert Camus lahir di Mondovi, Algeria, 7 November 1913, dari orang tua keturunan Spanyol dan Prancis-Inggris. Dia dibesarkan di Afrika Utara oleh ibunya seorang keturunan Spanyol di bawah keadaan yang menyedihkan, karena ayahnya terbunuh ketika Camus baru berusia satu tahun. Pendidikan menjadi mahal dan karenanya susah untuk diburu Camus. Dia bekerja apapun, salah satunya dengan bermain sebagai kiper untuk tim sepakbola Aljazair dan karena mendapat beasiswa, ia dapat meraih derajat master bidang Filsafat di Universitas Prancis untuk bekerja sebagai seorang jurnalis. Dia aktif dalam gerakan perlawananan selama pendudukan Jerman atas Prancis, di mana dia mengedit koran bawah tanah Combat. Dia dari awal sudah menunjukkan sebagai seorang penulis yang jenius, ketika koran cetakannya mengungkapkan kondisi gelandangan yang buruk di antara berbagai kelomopok pribumi Aljazair membangkitkan reaksi-reaksi fanatik, namun menggerakkan pemerintah Prancis untuk memperbaiki skandal sosial. Sebelum perang dia sudah menulis sebuah drama, Caligula (1939), dan selama perang, tapi mendahului komitmen dirinya terhadap perlawanan, dua bukunya membuat dia serta merta menjadi terkenal: esai filsafat pertamanya, The Mythh of Sisyphus, novel pertamanya, The Stranger, keduanya dalam tahun 1942. Tahun 1951 Camus dianugrahi Hadiah Nobel bidang Sastra, orang paling muda (pada usia empat puluh tiga) yang menerima hadiah sejak Rudyard Kipling terpilih tahun1907 pada usia empat puluh dua.C. Pola PemikiranPandangan-pandangan eksistensialisme Camus dapat kita telusuri melalui karya-karyanya, terutama Mite Sisifus (Le Mythe de Sisyphe) yang terbit pada tahun yang sama dengan Orang Asing (The Stranger) yang menjadi bahasan tulisan ini. Selain itu, ada pula karya lainnya seperti The Fall dan The Rebel yang merupakan bentuk pragmatis buah pikir eksistensialisme Camus. Eksistensialisme secara sederhana oleh Fowler didefinisikan sebagai respons sastrawi dan falsafi terhadap pengalaman ketanpaan (nothingness), anomie, dan absurditas yang berusaha menemukan makna dari dan melalui pengalaman tersebut. Dengan demikian, ketanpaan yang melewati batas rasio, kekuatan keinginan, keingintahuan, produktivitas dan kemampuan teknologis menjadi elemen yang penting.Dalam eksistensialisme, manusia seperti kata Heidegger dipandang sebagai makhluk yang terlempar ke dunia yang absurd. Bakdi Soemanto membahasakannya sebagai makhluk terbatas yang terlempar pada dunia tak terbatas (finite being tossed out into the infinite). Kemudian, ia akan berusaha to discover purpose and order in a world which steadfastly refuses to evidence either (Fowler, 1987:1). Terlihat ada usaha pencarian hakikat dan makna hidup. Akan tetapi, betapa pun dunia itu berusaha untuk didefinisikan, tetap saja terlihat adanya ketanpaan yang muncul menyertai usahanya: ketanpamaknaan, ketanpatujuanan, ketanpaarahan, ketanpaaturanan; dunia senantiasa menolak untuk dimaknai. Oleh karena itu, dunia tampak absurd. Upaya untuk mendefinisikan dan memberi batasan pada dunia justru menciptakan sebuah dunia yang takterbatas.Absurditas Camus menekankan adanya kontradiksi antara hasrat individu dengan realita. Situasi irasional ini ditemukan manusia di kehidupannya ketika adanya keinginan dari dirinya yang tidak terbendung untuk mencari sebuah kejelasan di antara ketidakjelasan dunia ini. Manusia sebagai sebuah eksistensi memiliki kebebasan akan dirinya, tapi keadaan dunia membatasi kebebasannya sebagai seorang manusia. Hubungan antara manusia dan kehidupan dinilai absurd oleh Camus. Paradigma inilah yang menyatakan kesadaran manusia menggambarkan penderitaannya.D. Pemikiran dan kaitannya dengan IslamAlbert Camus menawarkan pemikiran tentang Tuhan dan agama dengan cara yang agak berbeda. Ia berpendapat bahwa hakekat dunia ini adalah absurditasnya. Artinya, dunia ini, beserta semua mahluk hidup di dalamnya, termasuk manusia, tidaklah masuk akal. Manusia merencanakan segalanya, tetapi ia harus mati, ketika rencananya tersebut belum terlesaikan. Penderitaan yang dialami manusia pun sungguh absurd, jika dibandingkan keindahan serta keluruhan dunia ini sebagai keseluruhan. Pengalaman manusia yang paling mendasar adalah pengalaman akan penderitaan. Banyak dari penderitaan tersebut disebabkan oleh sikap manusia sendiri. Kesadaran akan penderitaan membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan ini adalah absurd. Dengan kata lain, manusia harus menghadapi serta melawan dengan optimis absurditas hidup tersebut. Dalam konteks atheisme, absurditas hidup tersebut merupakan tanda bahwa Allah itu tidak ada. Jika Allah sungguh ada, maka tidak mungkin hidup ini absurd. Jika Allah ada, maka mesti ada penjelasan di balik semua penderitaan manusia, harusnya ada rasionalitas di baik irasionalitas yang dialami manusia. Padahal, penjelasan dan rasionalitas tersebut, hemat Camus, tidaklah ada. Oleh karena itu, tindak beriman kepada Allah sesungguhnya hanyalah merupakan pelarian dari penderitaan dan absurditas hidup saja. Dengan begitu, atheisme Camus merupakan akibat dari problem penderitaan dan kejahatan yang ada di dalam dunia.E. KesimpulanFilsafat eksistensialisme terkenal dengan teori yang menyangkut eksistensi(keberadaan) mendahului essensi (isi). Bahwa keberadaan atau adanya sesuatu hal akan mendahului makna didalamnya .para filsuf eksistensialisme meyakini bahwa pembentukan manusia tercipta karena adanya wadah /eksistensi (bentuk fisik manusia) yang kemudian melahirkan dan mengembangkan pemikiran sehingga terbentuk Jiwa / essensi (isi). Dalam pandangan eksistensialisme makna akan tercipta melalui pemikiran yang dimunculkan oleh sistem tubuh manusia secara fisik tersebut. sehingga pendefinisian-pendefinisian yang dilakukan oleh manusia akan melahirkan makna-makna dalam lingkungan dan dunia sekitarnya. Pencarian makna manusia dipelajari dalam eksistensialisme, yang menyatakan tentang adakah tuhan dan fungsi tuhan serta hubungatgnya dengan manusia. Namun filsuf tak mampu menemukan atau mendefinisikan hubungan Tuhan dan manusia dalam kaitan makna hidup. Ini menjadikan mereka tak memilih untuk mempercayai adanya Tuhan.Albert Camus adalah salah satu Filsuf eksistensialisme yang menjabarkan teori absurditas tentang makna hidup menjabarkan Bahwa hidup seseorang haruslah absurd. Dalam hal ini hidup seseorang yang mampu melampaui (walking through) masalah untuk menjadi diri yang autentik. Diri yang autentik adalah diri yang sesungguhnya, diri yang mampu menemukan makna hidupnya. Upaya melampaui itu dengan cara menjadi pemberontak terhadap hal-hal yang selama ini menghalangi individu menjadi diri yang auntentik. Menjadi kreatif sebagai upaya meraih makna diri.Menyingkap selubung atau tabir yang ada dalam diri individu. Menjadi pemberontak dalam hidup artinya menjadi berani untuk menerima dan menghadapi masalah yang ada. Seringkali, istilah pemberontak disalah artikan sebagai pelanggaran norma-norma.