cakrawala edisi 416 tahun 2013

80

Upload: forriswaitme

Post on 16-Sep-2015

141 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Majalah Cakrawala Edisi 416

TRANSCRIPT

  • Pada tanggal 4 Desember 2011, Amerika Serikat terkejut luar biasa karena salah satu pesawat tanpa awak (drone) tercanggihnya dibajak dan ditangkap oleh Iran. Unit khusus cyberwar Iran berhasil menangkap drone yang tengah melaksanakan misi pengintaian tersebut dengan cara memanipulasi data Global Positioning System (GPS) dan menyebabkan drone milik musuh bebuyutannya

    tersebut kehilangan kendali dan mendarat terpaksa di Iran.

    Dalam konteks militer, prestasi yang diraih Iran sebenarnya tergolong biasa saja. Namun mengapa berita tersebut menjadi sedemikian heboh, tidak lain karena yang dipermalukan adalah Amerika Serikat, negara yang selama ini dianggap sebagai kiblat teknologi. Namun ini belum seberapa, dibanding potensi kerusakan lain yang bisa terjadi dalam serangan cyberwar.

    Sebut saja ketika Rusia menyerbu Georgia pada tahun 2008. Serbuan tentara merah nyaris tanpa perlawanan ka-rena Rusia terlebih dahulu telah melumpuhkan semua infrastruktur command and control dan telekomunikasi militer Georgia. Akibatnya per-lawanan tentara Georgia sama sekali tidak efektif karena ter-cerai berai tanpa kesatuan komando.

    Cyberattack bukan saja bisa mengacaukan jaringan komunikasi, tapi juga sistem navigasi. Pada bulan Mei 2012, Korea Utara unjuk kebolehan di hadapan tetangganya. Seluruh

    sistem GPS Korea Selatan di-jam. Tak pelak lagi

    aksi Korea Utara m e m b u a t

    Korea Se-l a t a n

    CYBERATTACK Seberapa kokoh daya tangkal TNI AL?

    4INFO

    4

  • Good admirals adapt to the nature of the war.

    kacau balau dan panik luar biasa. Tidak kurang dari 553 penerbangan terganggu, lebih dari 120 kapal laut semrawut, dan dua armada nelayan Korea Selatan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

    Amerika Serikat sangat sadar akan bahaya serangan dunia maya ini. Cyberattack tak lagi dipersepsikan sebagai sesuatu yang mungkin terjadi, tapi pasti terjadi. Betapa tidak, dalam situasi damai pun Ang-katan Laut Amerika Serikat menjadi target cyberattack ti-dak kurang dari 110.000 kali per jam. Tidak heran kalau Angkatan Laut Amerika Serikat terus memperkuat pertahanan sistem navigasi dan jaringan komunikasi armada kapal perang dan pesawat tempurnya, karena dalam cyberwar sistem navigasi dan jaringan komunikasi lawan adalah target utamanya.

    Lebih mengerikan lagi, dalam berbagai simulasi yang dilakukan Amerika Serikat dalam rangka menghadapi cyberattack, ditemukan fakta bahwa salah satu serangan yang paling efektif adalah dengan menyerang obyek-obyek vital antara lain pembangkit tenaga listrik. Se-rangan terhadap infrastruktur sipil ini diperkirakan potensial menyebabkan kerugian sebesar US$ 700 miliar, kerugian yang setara dengan bencana yang diakibatkan 40-50 Tornado yang melanda Amerika Serikat secara bersamaan.

    Indonesia saat ini pun sudah banyak m e n g a l a m i cyberattack dalam b e n t u k cybercr ime yaitu kegi-atan kriminal berupa pe-rampokan dan penipuan de-ngan menyerang berbagai situs di Indonesia. Serangan ini telah banyak menimbulkan kerugian khususnya di sektor perbankan. Banyak juga terjadi cybervandalism, yaitu cyber-attack yang dilakukan untuk mendorong agenda tertentu dan mempermalukan pemerintah In-donesia. Namun, dengan melihat masih rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan dan masyarakat Indonesia pada umumnya akan bahaya cyber-attack, bisa dipastikan bahwa dimasa mendatang akan terjadi serangan yang jauh lebih serius dan masif.

    Indonesia memang meng-anut paradigma seribu sahabat tanpa musuh, namun bukan berarti Indonesia tak akan per-nah mengalami cyberattack. Dan perlu dipahami, persiapan menghadapi cyberattack, apala-gi yang diorganisir aktor negara, tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Mengingat kompleks-nya permasalahan, tindakan

    counterattack akan memerlukan rentang waktu yang panjang, karena terkait dengan penyi-apan sumber daya manusia, infrastruktur, dan belum lagi ini yang paling krusial: koordinasi antarlembaga di Indonesia.

    Tanpa persiapan yang memadai, apabila sewaktu-waktu Indonesia menghadapi konflik, maka kita benar-benar akan menjadi bulan-bulanan lawan. Sebagai matra yang sarat teknologi, sudah barang tentu TNI AL termasuk target utama yang sangat rentan (vulnerable target) terhadap ancaman cyberattack. Kini dengan status world class navy, TNI AL benar-benar ditantang, seberapa kokoh daya tangkal kita? Untung Suropati.

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 5

  • nerangan

    Redaksi menerima tulisan (maksimal 5 halaman dengan spasi 1,5) beserta foto dari segenap anggota TNI AL dan masyarakat umum. Naskah diprint dengan kertas A4, lebih baik lampirkan CD. Naskah yang telah dikirim, menjadi milik redaksi, dan redaksi berhak memperbaiki/mengedit tanpa mengubah isi/makna. Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya. Tulisan dapat disampaikan ke alamat redaksi Dinas Penerangan TNI AL, Gd. B4 Lt. 2, Mabesal Cilangkap, Jakarta Timur - 13870 atau via email: [email protected] JJM 107.8 FM

    Radio Streaming di www.tnial.mil.id

    PEMIMPIN UMUM: Laksma TNI Untung Suropati, WAKIL PEMIMPIN UMUM: Kolonel Mar Bambang Hullianto, PEMIMPIN REDAKSI: Kolonel Mar F.X. Deddy Susanto, REDAKTUR: Kolonel Laut (P) Rony E. Turangan,

    Kolonel Laut (KH) Drs. Heriyanto, Kolonel Laut (S) Julius Widjojono, Letkol Laut (KH) Drs. Hendra Pakan, Letkol Laut (KH) Drs. Heri Sutrisno, M.Si., Kapten Laut (S/W) Widajana,

    Lettu Laut (P) Abriyanto, Adi Patrianto, S.S., PENATA WAJAH: Serka PDK/W Mirliyana, Mujiyanto, Irma Kurniawaty, A.Md. Graf., Aroby Pujadi,

    REDAKTUR FOTO: Wamrin, TATA USAHA: Raya Mentawita T., DISTRIBUSI: H. Supendi, Edi Supono, Kld TTU Niki L.M. DITERBITKAN OLEH: Dinas Penerangan TNI AL, ALAMAT REDAKSI: Dinas Penerangan TNI AL, Gd. B4 Lt. 2, Mabesal Cilangkap, Jaktim-13870,

    Telp. (021) 8723314, No. ISSN: 0216-440x

    Salam Jalesveva Jayamahe!

    Pembaca Cakrawala yang budiman.

    Baru saja kita lewati bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri 1434 H. Kami segenap redaksi Cakrawala mengucapkan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.

    Pembaca sekalian...

    Pada edisi kali ini, redaksi menyuguhkan artikel menarik yang masih ada kaitannya dengan peringatan HUT ke-68 RI, Aku Bangga Menjadi Bangsa Indonesia adalah salah satu topik utama Cakrawala edisi 416. Di samping itu, bertepatan dengan HUT TNI AL, maka kita ketengahkan beberapa artikel menarik seperti, Perjalanan Historis Menuju World Class Navy; Pandangan VADM. Scott H. Swift; Kesiapan Operasional TNI AL, serta beberapa artikel seputar permasalahan perbatasan laut yang disampaikan oleh Laksamana Pertama TNI Aan Kurnia, S.Sos.

    Para pembaca Cakrawala yang kami banggakan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, maka majalah Cakrawala digital edisi replika kini telah diremajakan. Sehingga mulai edisi Cakrawala 416, para pengguna gadget bisa mengakses e-mag Cakrawala yang bersifat interaktif. Dengan tampilan yang lebih modern, kami berharap majalah Cakrawala makin mudah diakses oleh masyarakat luas.

    Akhirnya kami berharap, diusianya yang ke-68, TNI AL makin handal dan disegani.

    Salam Jalesveva Jayamahe.

    Mulai edisi 416 Cakrawala akan mengaktifkan Rubrik Surat Pembaca dengan menggunakan facebook, twitter dan email. Untuk kritik, saran, dan opini singkat dapat dikirim via surat ke alamat redaksi kami, Dinas Penerangan TNI AL, Gd. B4 Lt. 2, Mabesal Cilangkap, Jaktim-13870 atau via email: [email protected].

  • neranganDAFTAR ISI

    8

    Perjuangan Indonesia Menjadi Negara KepulauanPenyelesaian Permasalahan Batas Maritim Indonesia dengan Sepuluh Negara Tetangga Tinjauan Aspek Hidro-Oseanografi Maritime Information Sharing (MARIS) Salah Satu Upaya untuk mewujudkan Maritime Domains Awareness (MDA)Kesiapan Operasional TNI AL Dunia, Aku Bangga jadi Bangsa Indonesia

    Topik Utama

    Wawancara

    Teknologi

    Prestasi

    Info

    Jalesveva Jayamahe Perjalanan Historis Menuju World Class Navy Pandangan VADM. Scott H. Swift Mantan Panglima Armada-7 US Navy Terhadap TNI AL Indonesia, di Sana dan di Sini Bangga dan Bangkit sebagai Anak Nusantara Mewaspadai Internasionalisasi Selat Malaka Quo Vadis Regulasi Imigran Gelap (di mana peran TNI AL?)

    Biarkan Indonesia Menjadi Identitasmu Membangun Budaya Kerja ala General Manager Angkasa Pura I Juanda

    Angkatan Laut AS Luncurkan Pesawat Siluman di Kapal Induk Urgensi Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pertahanan dan Keamanan

    Cyberattack Korps Marinir dan Kiprah Internasionalnya Ujud Pengarusutamaan Gender dengan Dididiknya Taruni Akademi TNI Perception and Reality Membangun Kesadaran dari Halaman Rumah

    Opini

    11

    Opa Imron Pejuang Penerangan Angkatan Laut yang Gak Mau Gaptek Bermodalkan Semangat, Srikandi Laut Mengukir Prestasi Mengharumkan Nama Bangsa

    33

    28

  • Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 hukum yang berlaku di perairan Indonesia mengacu pada produk peninggalan Kolonial Belanda yaitu Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Ordonansi ini antara lain mengatur tentang lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil yang diukur dari garis rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia. Dengan pengaturan yang demikian maka negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan gugusan pulau yang jarak perairan antar pulau-pulaunya banyak yang lebih dari 6 mil akan dipisahkan oleh kantong-kantong laut lepas antar pulau-pulau tersebut. Bentuk geografis Indonesia yang demikian tentu sangat menyulitkan bagi

    kepentingan nasional, terutama dalam bidang keamanan, ekonomi, politik, persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia, karena tiap-tiap pulau akan mempunyai laut wilayah sendiri-sendiri. De-ngan banyaknya kantong-kantong laut lepas yang berada di antara pulau di Indonesia maka negara-negara lain dapat secara bebas memanfaatkan perairan antara pulau tersebut sesuai dengan kepentingannya bahkan untuk berlalu lalangnya kapal perang dari berbagai negara yang be-lum tentu bersahabat. Dengan kondisi yang demikian diperlukan pemikiran dan terobosan untuk merombak sistem pengaturan tersebut, akhirnya muncul kon-sep negara kepulauan melalui Deklarasi Djuanda 1957 yang diumumkan Pemerintah Indonesia

    pada tanggal 13 Desember 1957 yang berisi sebagai berikut:Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Re-publik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian da-ri perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan ne-gara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12

    PERJUANGAN INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN

    Menteri Luar Negeri Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, pada saat membacakan Deklarasi Djuanda 1957.

    Tanpa satu pun letusan senjata, bangsa Indonesia berhasil memperluas wilayahnya hingga 2,5 kali lipat. Inilah keberhasilan diplomasi Republik Indonesia dengan

    Deklarasi Djuandanya.

    TOPIK UTAMA

    8

  • mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-un-dang.

    Deklarasi Djuanda terse-but diumumkan oleh Pemerintah karena kondisi bangsa Indonesia saat itu sedang menghadapi ma-salah baik dari dalam maupun luar negeri. Masalah dari dalam negeri adalah karena adanya ancaman oleh gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah yang akan men-jelma menjadi pemberontakan, se-dangkan masalah dari luar karena adanya sengketa dengan Belanda mengenai Irian Jaya yang belum diserahkan kepada Indonesia. Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan me-ngenai wilayah perairan Indone-sia yang termuat dalam Deklarasi Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan:(1) bahwa bentuk geografi Re-publik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri;(2) bahwa bagi kesatuan wi-layah (teritorial) negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya ha-rus dianggap sebagai satu ke-satuan yang bulat;(3) bahwa penetapan ba-tas-batas laut teritorial yang di-warisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 Pa-sal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia;(4) bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindak-an yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

    Dengan melihat kondisi geo-grafis demikian sudah sewajarnya Indonesia memperjuangkan de-ngan gigih konsep negara kepu-lauan yang merupakan cerminan dari wawasan nusantara.

    Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda dan pernyataan menge-nai perairan Indonesia ini dimak-sudkan untuk menyatukan wilayah daratan yang terpecah-pecah sehingga akan menutup adanya laut lepas yang berada di antara pulau-pulau. Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, me-ngandung makna bahwa negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisah-kan sebagai Negara Kepulauan. Berdasarkan Deklarasi terse-but lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garis-garis pangkal yang meng-hubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang ter-luar. Konsepsi negara kepulauan tersebut, kemudian dipertegas dengan landasan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang No-mor 4 Prp Tahun 1960 tentang Per-airan Indonesia.

    Dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tersebut mengakibatkan suatu per-ubahan mendasar dalam struktur kewilayahan negara Republik Indonesia karena laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang menjadikan keseluruhannya su-atu kesatuan yang utuh, inilah yang dinamakan wawasan nu-santara. Konsepsi wawasan nusantara bertujuan untuk menja-min kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Indonesia. Se-lain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan pemerintah dalam undang-undang ini didasarkan pula dengan kepentingan ekonomi, yaitu bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta ruang udara diatasnya di-

    peruntukkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa serta di bawah kedaulatan Indonesia. Perkembangan dan perjuangan serta pengembangan wawasan nusantara di dalam negeri telah memperlihatkan hasil-hasil yang nyata, Hasyim Djalal menyatakan bahwa:Sejak Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957, Indonesia kemudian telah mengundangkan wawasan Nusantara tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960, yang kemudian telah lebih diperinci lagi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang lalu lintas laut damai kendaraan air asing di perairan Indonesia. Prinsip kesatuan Indonesia tersebut juga telah diperkuat lagi oleh Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 1963 yang menganggap seluruh wilayah perairan nusantara Indonesia kini sebagai satu wilayah ling-kungan maritim Indonesia.

    Dikeluarkannya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut adalah untuk memberikan hak lintas damai bagi kapal-ka-pal asing yang berlayar melalui perairan Indonesia yang semula merupakan laut lepas. Untuk le-bih tertib bagi kapal-kapal asing yang lintas serta untuk menjaga kewibawaan Indonesia juga di-terbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1971 tentang Wewenang Pemberian Izin Berlayar bagi Segala Kegiatan Kendaraan Air Asing dalam Wilayah Perairan Indonesia. Dalam Kepres tersebut mengharuskan setiap kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia untuk memiliki izin berlayar. Dengan aturan-aturan tersebut maka kepentingan negara lain yang akan memanfaatkan perairan Indonesia sebagai sarana lintas bagi kapal-kapalnya dapat terakomodasikan sepanjang tidak merugikan negara Indonesia.

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 9

  • Konsepsi tentang negara kepulauan tersebut selanjutnya oleh Indonesia dengan gigih diper-juangkan secara terus menerus ke sidang PBB bersama negara-negara kepulauan lain yaitu Fiji, Filipina dan Mauritius meskipun ada beberapa perbedaan mengenai isi konsepsi baru yang agak kurang menguntungkan bagi perjuangan bersama. Dalam konsep yang diajukan, bahwa penentuan le-bar laut wilayah suatu negara merupakan persoalan yang rumit, karena tidak adanya kesamaan sikap negara yang mempunyai laut/pantai dan tidak adanya ketentuan berapa lebarnya laut wilayah suatu negara karena ada yang menentukan 3 mil, bahkan ada yang 200 mil. Semuanya hanya didasarkan atas hukum kebiasaan dan praktik negara-negara yang saling berbeda. Namun penentuan lebar laut tidak menjadi masalah bagi negara-negara maritim besar, yang dipermasalahkan adalah bagimana kapal-kapal mereka dapat berlayar bebas melintasi perairan kepulauan.

    Meskipun demikian lebar laut wilayah suatu negara tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara yang bersangkutan, tetapi harus mengikuti kaidah/norma hukum internasional yang berlaku dan kesepakatan dengan negara tetangga. Sampai dengan tahun 1958, ketentuan-ketentuan umum mengenai laut terutama di-dasarkan atas hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan lahir atas per-buatan yang sama yang dilaku-kan secara terus menerus atas dasar kesamaan kebutuhan di laut sepanjang zaman. Namun de-mikian sebelum konferensi PBB III tentang hukum laut praktik negara menunjukkan keanekaragaman dalam masalah lebar laut terito-rial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut. Ketidaksamaan lebar laut wilayah ini disebabkan kepenting-an yang berbeda dari negara-negara pantai, misalnya negara maritim menginginkan kebebasan

    lautan, sehingga lebar laut teritorial cukup 3 mil saja, sedangkan ne-gara non maritim merasa konsepsi laut wilayah yang sempit mengun-tungkan negara-negara maritim.

    Setelah melalui perjuangan panjang selama 25 tahun sejak tahun 1957 sampai dengan tahun 1982, akhirnya konsep negara kepulauan dapat diterima dan di-setujui sebagai salah satu asas hukum laut internasional dan menjadi bagian dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Menurut Boer Mauna:Konvensi PBB tentang Hu-kum Laut yang diterima pada konferensi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 pada si-dangnya yang ke 11 di New York untuk ditandatangani mulai tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica, meru-pakan karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke 20.

    Selanjutnya hukum laut internasional ini disebut UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982, Indonesia meratifikasi kon-vensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 yang disahkan dan di-undangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985.

    Konvensi hukum laut in-ternasional ini berisikan satu bab khusus mengenai negara kepulauan yang diusulkan Indo-nesia bersama negara kepulauan lain diantaranya Fiji, Filipina dan Mauritius, yaitu bab IV (Pasal 46 54). Keempat negara tersebut menganggap bahwa mereka hanya memperjuangkan hak ne-gara-negara archipelago untuk menarik garis dasar di sekeliling archipelago. Sedangkan bagi bangsa Indonesia Hasyim Djalal mengatakan:Tanpa pemakaian konsepsi ar-chipelago state ini, maka akan sangat sukarlah bagi Indonesia untuk memelihara keamanan

    dan ketertiban serta pertahanan nasionalnya, sebab dengan de-mikian setiap kapal perang dan kapal selam asing akan selalu dapat bebas menyelinap ke per-airan di antara pulau-pulaunya.

    Bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai arti yang penting ka-rena untuk pertama kalinya asas negara kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh In-donesia, telah berhasil memper-oleh pengakuan resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini meru-pakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan wawasan nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Ma-jelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar per-wujudan bagi kepulauan Indone-sia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan perta-hanan keamanan.

    Secara rinci pembagian wilayah perairan Indonesia dija-barkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 ten-tang Perairan Indonesia yaitu yang meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Wilayah perairan In-donesia tersebut ditetapkan 14 tahun setelah ditandatanganinya UNCLOS 1982. Sedangkan koor-dinat geografis garis pangkal dia-tur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 yang ke-mudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Kolonel Laut (P) Jaka Santosa A.W, S. Sos., M.H.

    TOPIK UTAMA

    10

  • Wilayah Indonesia berbatasan langsung di laut dengan 10 negara tetangga yang belum semuanya disepakati, hal ini tentu berdampak pada berbagai permasalahan di laut yang berpotensi mengganggu kerawanan dan menjadi ancaman terhadap

    stabilitas nasional, sehingga perlu segera diselesaikan dengan tuntas.

    ZONA YURISDIKSI MARITIM Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasi-onal terhadap konsepsi negara kepulauan telah berhasil dengan baik, yaitu dengan ditandatangani Konvensi Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.

    Setelah diterima UNCLOS 82, terdapat empat rezim Hukum Laut, yaitu: Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif

    (ZEE) dan Landas Kontinen yang memberikan keuntungan kepada negara kepulauan, karena wilayah lautnya menjadi semakin luas. a. Laut Teritorial. Setiap ne-gara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang di-tentukan sesuai dengan konvensi. Batas luar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal,

    sama dengan lebar laut teritori-alnya. Garis pangkal adalah garis yang ditarik dari titik-titik pang-kal yang diukur dari kedudukan garis air rendah atau garis kon-tur nol meter pada peta laut, se-bagaimana dapat terlihat di peta laut skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai tersebut (peta laut yang diproduksi Dishidros). Kedaulatan suatu negara meliputi wilayah daratan, udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah dibawahnya.

    PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN

    SEPULUH NEGARA TETANGGA TINJAUAN ASPEK HIDRO-OSEANOGRAFI

    Kadishidros Laksamana Pertama TNI Aan Kurnia, S.Sos.

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 11

  • b. Zona Tambahan. Zona tambahan tidak melebihi dari 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Dalam zona tambahan yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara pantai dapat melaksanakan penga-wasan yang diperlukan untuk:

    1) Mencegah pelang-garan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter.2) Menghukum pelang-garan peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah tersebut.

    c. Zona Ekonomi Eksklu-sif. Suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teri-torial tidak melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang tunduk pada rezim hukum khusus, berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi ne-gara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain. Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk keperluan

    eksplorasi dan eksploitasi, kon-servasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati mau-pun non hayati dari perairan di atas dasar laut dan tanah di bawahnya serta berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi seperti produksi energi dari air, arus dan angin. Yurisdiksi negara pantai adalah pembuatan dan peman-faatan pulau buatan, instalasi, dan bangunan; riset alamiah kelautan; perlindungan dan pe-lestarian lingkungan laut. Hak-hak negara lain dalam ZEE adalah kebebasan berlayar dan terbang serta bebas meletakkan kabel/pipa bawah laut. Kewajiban negara lain adalah mematuhi peraturan yang ditetapkan negara pantai. d. Landas Kontinen. Meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hing-ga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana

    lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman isobath 2500 meter. Negara pantai ber-hak untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi sumber daya alam-nya. Semua negara berhak untuk meletakkan kabel/pipa bawah laut di landas kontinen.

    BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN 10 (SEPULUH) NE-GARA TETANGGA Tercatat, dari 10 negara yang berbatasan laut dengan In-donesia, baru 2 (dua) negara yang telah menyelesaikan seluruh per-batasannya, yaitu: Australia dan Papua New Guinea. Sedangkan 5 (lima) negara masih dalam proses perundingan, yaitu: Malaysia, Si-ngapura, Filipina, Vietnam dan Palau. Sedangkan 3 (tiga) negara lainnya, yaitu: India, Thailand dan Timor Leste belum dilakukan

    Zona Yurisdiksi Maritim.

    TOPIK UTAMA

    12

  • perundingan. Berdasarkan hasil dari beberapa perundingan yang telah dilaksanakan, penyelesaian batas maritim dengan negara-ne-gara tetangga masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan proses diplomasi. Berkenaan dengan hal ini, untuk memenuhi kebutuhan operasional di lapangan, khususnya dalam rangka mendukung penegakkan kedaulatan dan hukum di laut oleh TNI AL maupun aparat pemerintah lain sesuai tugas dan fungsinya, Dishidros telah menyiapkan dan menerbitkan peta-peta laut navi-gasi yang menggambarkan garis klaim batas laut secara unilateral (klaim sepihak), tentunya setelah dikonsultasikan dan dikoordinasi-kan dengan pihak Kemlu, para pa-kar hukum laut yang terkait dengan masalah batas maritim. Menyikapi dinamika ma-salah batas maritim yang terjadi dari pendekatan aspek hukum, pemerintah telah mengundang-kannya melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Walaupun telah diundangkan, namun tidak serta merta masalah perbatasan secara otomatis terselesaikan, karena pada hakekatnya batas maritim antar dua negara akan disepa-kati, manakala proses perunding-an bilateral menghasilkan kesepa-katan kedua belah pihak. Dalam setiap proses perundingan per-batasan antara dua negara yang bertetangga, sudah barang tentu diawali dengan proposal yang pa-ling menguntungkan bagi masing-masing negara. Permasalahannya adalah bagaimana argumentasi yang disiapkan oleh suatu negara untuk memenangkan posisi tawar yang diajukan. Disinilah letak pen-tingnya aspek hukum dan aspek teknis dipadukan (sinergikan) dan didukung dengan kajian kompre-hensif, sehingga diperoleh suatu garis (klaim maksimal) untuk di-jadikan starting point dalam pe- rundingan.

    PERKEMBANGAN BATAS MARITIM INDONESIA Kegiatan penetapan titik dasar (Basepoint) yang telah di-laksanakan oleh Dishidros sejak tahun 1989 hingga tahun 1995 sebanyak 20 kali melalui kegi-atan Operasi Survei Base Point merupakan pengejawantahan dari pemberlakuan UNCLOS 82 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hasil survei titik-titik dasar tersebut kemudian diverifikasi oleh Badan Informasi Geospasial (dahulu Bakosurta-nal) pada tahun 1995 hingga ta-hun 1997 melalui kegiatan Digital Marine Resources Mapping Pro-ject (DMRM Project) yang bekerja sama dengan pemerintah Norwe-gia (dalam hal ini dikerjakan oleh perusahaan swasta Blom Dantar-sa). Selanjutnya, pada tahun 2002 Pemerintah RI menerbitkan Pera-turan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2002, tentang Daftar Koor-dinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, yang didalamnya tercantum 183 titik dasar perbatasan wilayah RI. Dalam perjalanan waktu peraturan tersebut direvisi setelah Pulau Si-padan dan Pulau Ligitan diokupasi oleh Malaysia serta Provinsi Timor Timur menjadi negara berdaulat Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang diwadahi melalui PP Nomor 37 Tahun 2008 tentang Pe-rubahan Atas PP No. 38/2002 ten-tang Daftar Koordinat Geografis Ti-tik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

    Penyelesaian diplomasi batas maritim yang belum tuntas hingga kini, dapat dikategorikan menjadi permasalahan batas ma-ritim Indonesia dengan negara te-tangga, karena dapat memicu ter-jadi konflik batas. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah disepakati, namun juga menyang-

    kut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan. Telah dijelaskan sebelumnya, bah-wa wilayah perairan Indonesia me-miliki potensi konflik batas maritim dengan 10 negara tetangga, men-cakup batas Laut Teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen. Sementara batas Zona Tambahan tidak per-nah dijadikan bahan permasalah-an dalam perundingan batas ma-ritim Indonesia dengan negara tetangga.

    Berdasarkan arsip dokumen perjanjian batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga yang tersimpan di Kementerian Luar Negeri RI, diperoleh informasi tentang hasil perjanjian yang telah dituntaskan, sebagai berikut:1) Batas Laut Teritorial dengan Malaysia (1970), Singapura untuk segmen Tengah (1973) dan untuk segmen Barat (2009).2) Batas ZEE dengan Australia (1997, belum diratifikasi).3) Batas Landas Kontinen dengan Malaysia (1969), Australia (1971 dan 1972), Thailand (1971 dan 1975), Malaysia dan Thailand (1971), India (1974 dan 1977), Thailand dan India (1978), dan Vietnam (2003) diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2007.4) Batas Tertentu RIPNG dengan Australia (1973).5) Batas Maritim dengan PNG (1971) dilanjutkan penetapan ba-tas ZEE tahun 1982.

    Diplomasi batas maritim yang masih dalam proses pe-rundingan, tercatat adalah:1) Batas Laut Teritorial dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan. Terakhir dilaksanakan sampai dengan perundingan ke-24 tahun 2012 di Penang, Malaysia.2) Batas Laut Teritorial Malaysia di Tanjung Datu, Kalimantan Barat

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 13

  • dan perairan Sebatik, Kalimantan Timur dan di Selat Singapura.3) Batas Laut Teritorial Singa-pura di segmen Timur. Terakhir dilaksanakan perundingan ke-6 antara RISingapura (Segmen Timur) bulan Maret 2013 di Lombok, Indonesia.4) Batas ZEE dengan Vietnam di Laut China Selatan. Terakhir dilaksanakan perundingan ke-4 antara RIVietnam bulan Juli 2012 di Yogyakarta, Indonesia.5) Batas ZEE dengan Filipina di Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik. Terakhir dilaksanakan pada Desember 2011.6) Batas ZEE dengan Palau di Samudra Pasifik. Terakhir dilak-sanakan perundingan ke-4 di Kor-ror, Palau pada September 2012.

    Sedangkan batas mari-tim yang belum dilakukan per-undingan bilateral, adalah:1) Batas Laut Teritorial dengan: Selat Singapura (Pedra Branca/Pulau Batu Puteh); dan Timor Leste di Laut Sawu, Selat Wetar, dan Laut Timor.2) Batas ZEE dengan: India di Samudra Hindia dan Laut An-daman; Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan; Thailand di Selat Malaka sebelah utara; dan Timor Leste.3) Batas Landas Kontinen dengan: Filipina di Laut Sulawesi; Palau di Samudra Pasifik; dan Timor Leste.

    IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DALAM PERUNDINGAN BATAS MARITIM INDONESIA

    a. Permasalahan umum batas maritim.

    1) Ketidakpastian garis batas.2) Batas maritim yang belum disepakati. 3) Batas maritim yang belum tuntas proses pe-rundingannya. 4) Adanya perbedaan penafsiran terhadap garis batas yang telah disepakati.

    b. Permasalahan hukum batas maritim. c. Permasalahan teknis batas maritim.

    Batas maritim NKRI dengan 10 negara tetangga.

    TOPIK UTAMA

    14

  • 1) Base point dan base-line. 2) Metode penarikan garis batas sama jarak (equidistance principle).

    3) Metode penarikan garis proporsional (equita-ble principle).

    BEBERAPA CONTOH PERMA-SALAHAN BATAS MARITIM INDONESIAa. Batas Maritim IndonesiaMalaysia di Selat Malaka. b. Batas Laut Teritorial (Seg-men Barat) IndonesiaSingapura di Selat Singapura. c. Batas ZEE IndonesiaFili-pina. d. Batas ZEE dan Landas Kontinen IndonesiaAustralia (Christmas Island).

    UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS MARI-TIM INDONESIA

    Berbagai upaya untuk men-dukung penyelesaian permasalah-an batas maritim antara Indonesia dengan sepuluh negara tetangga telah dilakukan secara diplomasi maupun secara internal di dalam negeri, dengan:

    Pertama, melaksanakan diplomasi Indonesia yang dika-wal oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bersama-sama instansi pemerintah terkait dalam rangka mempertahankan dan menjaga keutuhan wilayah NKRI seba-gai sesuatu hal yang tidak dapat dikompromikan. Perundingan mengenai masalah perbatasan merupakan suatu keharusan yang diamanatkan oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Un-tuk itu, pemerintah Indonesia akan terus mengupayakan percepatan perundingan untuk penyelesaian delimitasi dan pengelolaan per-batasan dengan negara-negara te-

    tangga yang memiliki perbatasan dengan Indonesia.

    Sebagai contoh, terkait insiden penangkapan petugas KKP beberapa waktu yang lalu di perairan Selat Malaka, hal ini terjadi karena masih adanya overlapping claim di perairan sekitar pulau Bintan. Klaim Indonesia terhadap garis batas di wilayah perairan tersebut sudah jelas. Namun, per-undingan untuk menyelesaikan overlapping claim tersebut masih terkendala oleh belum tuntasnya status kepemilikan gugus karang South Ledge antara pihak Singa-pura dan Malaysia.

    Kedua negara tersebut ma-sih harus menindaklanjuti salah satu hasil keputusan dan reko-mendasi International Courth of Justice (ICJ) pada pada tanggal 23 Mei 2008 mengenai sengketa kepemilikan dan kedaulatan atas gugus karang yang dikenal se-bagai Pedra Branch/Batu Puteh, Middle Rock dan South Ledge. Mahkamah internasional telah me-mutuskan bahwa kepemilikan Pe-dra Branca jatuh kepada Singapu-ra, kepemilikan Middle Rocks jatuh pada Malaysia sedangkan South Ledge, akan dimiliki oleh negara yang laut teritorialnya mencakup daerah bantuan South Ledge. Ber-dasarkan keputusan Mahkamah internasional tersebut, maka Ma-laysia dan Singapura harus me-rundingkan masalah kepemilikan South Ledge.

    Penyelesaian batas mari-tim antara Indonesia dengan Ma-laysia di kawasan utara perairan pulau Bintan sangat ditentukan oleh kepastian status kepemilikan South Ledge (yang berhadapan dengan Indonesia) yang saat ini masih dalam proses perundingan antara Malaysia dan Singapura. Secara keseluruhan upaya pe-nyelesaian batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia dilaku-kan 4 segmen yaitu: Segmen Se-lat Malaka, Segmen Selat Malaka

    Selatan (merupakan Segmen di mana terjadi insiden), Segmen laut China Selatan dan Segmen Laut Sulawesi.

    Segmen Selat Malaka. Pada Segmen Selat Malaka, pe-rundingan yang telah dituntaskan adalah persetujuan garis batas landas kontinen tahun 1969 yang ditandatangani di Kuala Lumpur dan telah diratifikasi dengan Kep-pres Nomor 89/1969.

    Perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1970 yang ditan-datangani di Kuala Lumpur dan telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 2/1971. Persetu-juan batas kontinen (trilateral den-gan Malaysia dan Thailand) yang ditandatangani di Kuala Lumpur dan telah diratifikasi dengan Kep-pres Nomor 2/1972. Perundingan yang masih berlangsung adalah mengenai batas ZEE IndonesiaMalaysia. Permasalahannya ada-lah dengan disepakatinya garis batas landas kontinen tahun 1969, pihak Malaysia berpandangan bahwa landas kontinen sama den-gan batas ZEE. Indonesia berpan-dangan bahwa landas kontinen dan ZEE merupakan dua rezim hukum yang berbeda dan oleh ka-rena itu masih perlu dilakukan pe-rundingan untuk menetapkan ZEE. Dalam kaitan, ini dalam berbagai kesempatan Indonesia mendesak untuk dilakukannya perundingan.

    Segmen Selat Malaka Se-latan. Pada segmen Selat Malaka Selatan perundingan masih ber-langsung untuk menyelesaikan garis batas laut wilayah kedua negara di kawasan utara perair-an Pulau Bintan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa penyelesaian batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di ka-wasan tersebut sangat ditentukan oleh kepastian status kepemilikan South Ledge.

    Segmen Laut China Se-latan. Pada segmen Laut China Selatan perundingan yang telah

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 15

  • dituntaskan adalah persetujuan garis batas landas kontinen ta-hun 1969 yang ditandatangani di Kuala Lumpur dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 89/1969. Perundingan yang masih berlang-sung adalah mengenai batas ZEE IndonesiaMalaysia. Pihak Malay-sia sampai saat ini belum siap un-tuk membahasnya karena berke-inginan untuk dapat fokus pada segmen lainnya. Dalam kaitan ini, dalam berbagai kesempatan Indonesia terus mendesak untuk dilakukannya perundingan, tanpa harus menunggu selesainya pe-rundingan pada segmen lain.

    Segmen Laut Sulawesi. Pada segmen Laut Sulawesi pe-rundingan masih berlangsung un-tuk menyelesaikan garis batas laut wilayah, landas kontinen dan ZEE kedua negara di Laut Sulawesi. Perundingan berjalan lambat kare-na perbedaan posisi mendasar ter-hadap status keberadaan konsesi minyak yang telah beroperasi di Laut Sulawesi. Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Ma-laysia dilakukan sejak 2005 di mana rangkaian pertemuan terse-but merupakan implementasi dari kesepakatan antara dua Kepala Pemerintahan. Sampai dengan 2010 telah dilaksanakan sebanyak 15 (lima belas) kali perundingan pada tingkat teknis. Sebagai tin-dak lanjut dari kesepakatan Menlu RI dengan Menlu Malaysia bulan Juni 2010 yang lalu, pertemuan bilateral Joint Ministerial Commi-sion diselenggarakan pada bulan September 2010. Forum ini selain membahas hubungan bilateral se-cara komprehensif juga mengeva-luasi kemajuan perundingan bila-teral atas isu-isu perbatasan.

    Insiden yang terjadi juga menggarisbawahi perlu ditetap-kannya Standard Operating Pro-cedure (SOP) dengan pihak Ma-laysia, khususnya bagi petugas di lapangan guna menghindari terulangnya kasus serupa dimasa depan. Selain itu, secara internal, Pemerintah Indonesia kiranya per-

    lu mengkaji modalitas yang paling efektif dalam menjaga dan menga-mankan kekayaan alam laut Indo-nesia dari pencurian ikan.

    Sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 37 Ta-hun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri secara berkesinambungan dan asertif telah mengimplementasikan border diplomacy-nya dan melan-jutkan rangkaian-rangkaian perun-dingan penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga. Insiden yang terjadi diharapkan dapat menjadi pendorong lebih lanjut penyelesaian penetapan batas maritim yang saat ini masih dirundingkan sehingga akan ter-jaminnya kepastian hukum wilayah Indonesia.

    Kedua, membangun pe-mahaman tentang batas mari-tim kepada masyarakat, khu-susnya kepada masyarakat yang berada di daerah-daerah yang berhadapan dengan negara te-tangga melalui kegiatan sosialisasi dan safari yang dilakukan oleh in-stansi pemerintah terkait termasuk Dishidros. Pola pendekatan ini, perlu dilakukan secara intensif dan terprogram untuk menyampaikan perkembangan terkini tentang hasil diplomasi batas maritim yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah, sehingga diharap-kan akan terbangun pemahaman yang utuh tentang upaya-upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan batas maritim de-ngan sepuluh negara tetangga.

    Ketiga, diseminasi per-kembangan penyelesaian batas maritim melalui berbagai media komunikasi dengan mendorong peran serta Kementerian/Lemba-ga pemerintah terkait untuk lebih mengefektifkan kegiatan sosialisa-si kepada masyarakat luas.

    Keempat, penguatan pe-ran Kemlu dalam mendukung perjuangan diplomasi batas maritim dengan mengintensifkan peran Dishidros untuk memberikan

    bantuan teknis hidrografi dan kartografis berupa pembuatan peta laut yang menggambarkan batas maritim untuk dapat digunakan oleh unsur-unsur gelar TNI AL maupun instansi lain dalam melaksanakan operasi penegakan kedaulatan dan hukum di laut.

    HAL-HAL YANG PERLU MEN-DAPAT PERHATIAN a. Indonesia yang berbatasan maritim dengan 10 negara tetang-ga, masih memiliki pekerjaan ru-mah yang cukup berat, mengingat sebagian besar permasalahan per-batasan maritim belum disepakati.b. Indonesia sebagai negara kepulauan, agar menggunakan ga-ris pangkal lurus kepulauan dalam penentuan batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen.c. Pendekatan aspek hukum dan aspek teknis harus diintegrasi-kan serta didukung dengan kajian yang komprehensif untuk memper-oleh klaim maksimal, sehingga di-harapkan memperoleh hasil yang paling optimal.d. Dalam penggambaran peta laut unilateral (secara sepihak) yang belum selesai, Dishidros selalu merujuk pada hasil rapat tim teknis batas maritim yang terdiri dari Kemlu, Kemhan, KKP, Kem ESDM, Kemhub, Mabes TNI/TNI AL, Dishidros, BIG serta melibatkan pakar hukum laut, seperti Prof. Hasyim Djalal, Prof. Etty Agoes, Prof. Hassan Wirajuda, Prof. Nugroho Wisnumurti dan Prof. Hikmahanto Juwana.e. Untuk mendukung proses penyelesaian batas maritim Indo-nesia dengan negara tetangga, selain perlu dibangun paradigma yang sama di antara pelaku di-plomasi di dalam negeri, juga diperlukan political will dari tim teknis kedua negara dalam setiap perundingan untuk mencapai kesepakatan berdasarkan prinsip win-win solution. aksamana Pertama TNI Aan Kurnia, S.Sos.

    TOPIK UTAMA

    16

  • Better admirals

    dictate the nature of

    the war.

  • KOLABORASI MULTILATERAL DALAM BIDANG KEAMANAN MARITIM DI ASEAN

    Pembicaraan tentang ma-salah keamanan maritim tidak da-pat dilepaskan dari munculnya kon-sep kesadaran lingkungan maritim atau lebih dikenal dengan Maritime Domain Awareness (MDA). MDA adalah suatu pemahaman efek-tif terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkup ma-ritim yang dapat berdampak pada pengamanan, keamanan, ekonomi atau lingkungan. Semua pihak, baik itu secara langsung ataupun tidak langsung yang berkaitan de-ngan bidang maritim harus diba-ngun kesadarannya agar terjadi interkoneksitas satu dengan lain-nya, sehingga timbul kesadaran kolektif yang apabila dimanifesta-sikan dalam sebuah sistem dan institusi akan membentuk mana-jemen pengelolaan sumber daya yang proporsional dan berkualitas, dalam hal pemanfaatan sumber daya, pengolahan, pengamanan, dan pelestariannya.

    Bagi negara-negara maju yang memiliki kepentingan untuk mengamankan armada niaganya yang berada jauh di luar yurisdiksi nasional mereka, konsep MDA ada-lah lebih dari sekadar pertahanan berlapis atau sistem komando dan kontrol yang bersifat sektoral. Se-baliknya, MDA bertujuan untuk memaksimalkan visibilitas semua aktivitas yang terjadi di ranah mari-time, yang pencapaiannya melalui

    penggabungan dari deskripsi apa yang diamati dan diketahui sebagai bentuk kesadaran situasional (situ-ational awareness) dan apa yang diantisipasi atau diharapkan se-bagai bentuk kesadaran ancaman (threat awareness). Ancaman yang dimaksud termasuk ancaman yang berpotensi merusak, mengganggu atau tindak pidana yang dilakukan oleh negara/bangsa, teroris, dan aktor transnasional dan perompak, serta kehancuran lingkungan dan imigrasi ilegal. Pemahaman terha-dap MDA mengandung pengertian yang berbeda-beda.

    Sebagai contoh penjelasan tentang pendefinisian MDA di Amerika Serikat adalah sesuai gambar 1.

    Guna mengantisipasi berba-gai ancaman tersebut diperlukan

    suatu bentuk kerja sama, koor-dinasi dan kolaborasi secara khu-sus dalam bidang pengamanan maritim melalui penyelenggaraan sharing informasi keamanan ma-ritim yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam era moderni-sasi dan globalisasi, ketersediaan dan pertukaran informasi (infor-mation-sharing) melalui program kemitraan merupakan kebutuhan dasar dan modal yang sangat penting dalam memperoleh dan mengumpulkan informasi tentang keamanan maritim untuk mengam-bil langkah-langkah dalam menja-min dan menegakkan keamanan maritim di setiap negara. Dewasa ini, seluruh negara di kawasan Asia Tenggara mulai menyadari bahwa upaya pengamanan mari-tim ini tidak dapat dilakukan sendi-

    MARITIME INFORMATION SHARING (MARIS)SALAH SATU UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN

    MARITIME DOMAINS AWARENESS (MDA)Maritime Domain Awareness (MDA) mensyaratkan suatu pendekatan terintegrasi antara pemerintah,

    kekuatan angkatan laut, aparat penegak hukum serta instansi lainnya pada semua level. (Makalah Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana TNI Dr. Marsetio, pada Orasi Ilmiah

    di Universitas Hang Tuah Surabaya, Sabtu, 11 Mei 2013).

    Gambar. 1. Pendefinisian MDA di AS.

    TOPIK UTAMA

    18

  • ri-sendiri oleh setiap negara, tetapi harus dilakukan secara bekerja sama antar negara, mengingat suatu kejadian bisa saja terjadi di negara A dan berakhir di negara B.

    Kompleksitas isu-isu mari-tim di Asia Tenggara sudah sejak lama menjadi perhatian utama bagi ASEAN. Deklarasi ASEAN Concord II (Bali Concord II) yang ditandatangani di Bali, 7 Oktober 2003 telah menegaskan bahwa isu maritim dan semua yang terkait dengannya adalah isu yang bersifat lintas batas. Lebih jauh disebutkan bahwa kerja sama maritim antar dan di antara negara anggota ASEAN akan memberikan kontribusi bagi pembentukan Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community/APSC). Kerjasama maritim memang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi ASEAN karena sebagian besar negara-negara anggotanya memiliki perbatasan maritim. Di antara kesepuluh negara ASEAN, dua negara yaitu Indonesia dan Filipina mempunyai wilayah laut terbesar di wilayah ini. Pada Januari 2011, para Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN melakukan pertemuan informal di Mataram untuk mem-bahas tiga pilar yang menjadi inti Komunitas ASEAN. ASEAN Maritime Forum (AMF) merupakan satu dari tiga usulan Indonesia terkait isu komunitas ASEAN, di samping isu penanganan para pekerja migran lintas ASEAN dan isu hak asasi manusia. Diangkatnya isu keamanan maritim menjadi salah satu prioritas dalam Keketuaan ASEAN 2011 semakin menegaskan makna strategis isu keamanan maritim di level ASEAN.

    Atas dasar kesadaran pen-tingnya keamanan maritim terse-but, Republik of Singapore Navy (RSN) memprakarsai berdirinya Information Fusion Centre (IFC) IFC pada tanggal 27 April 2009 di Changi Command and Con-trol Centre (CC2C), Changi Naval Base, Singapore, di mana misi

    dan visi pendirian IFC sendiri un-tuk memelihara dan meningkatkan kesadaran bersama akan arti pen-tingnya keamanan maritim melalui bentuk kerja sama, koordinasi dan kolaborasi bersama di bidang pe-nyediaan dan pertukaran informasi (info-sharing) antar pusat operasi maupun pusat informasi di seluruh dunia.

    Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia tentu saja memegang peranan penting di ka-wasan regional maupun interna-sional, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan di antara negara-negara ASEAN, sehingga sangat penting untuk berperan serta aktif dalam mewujudkan misi dan visi tersebut. Salah satu bentuk kerja sama tersebut antara lain mengop-timalkan fungsi dan peran jajaran Puskodal TNI AL yang terhubung dengan IFC, pengiriman LO TNI AL di IFC dan partisipasi aktif dalam berbagai latihan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan infor-mation-sharing bidang keamanan maritim bersama anggota ASEAN Information Sharing Portal (AIP) guna mendukung tugas pokok TNI AL.

    EKSISTENSI MARITIME INFOR-MATION SHARING ExERcISE (MARISX) 2013 DI SINGAPURA.

    Maritime Information-Shar-ing Exercise (MARISX) 13 adalah latihan yang keempat dari latih-an information-sharing serupa yang telah diadakan sebelumnya. MARISX 13 merupakan rangkai-an kegiatan dalam acara pameran dua tahunan International Maritime Defense Exhibition (IMDEX) 13. Latihan ini melibatkan peserta dari berbagai penjuru dunia dan men-jadi wadah yang bermanfaat bagi berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) untuk bekerja sama dalam suatu jaringan dan bertukar informasi dan pengalaman. Lati-han ini diikuti oleh lebih dari 70 pe-serta latihan, 38 Pusat Operasi (OPCENs) dari 30 negara. Bertin-dak sebagai Badan Pelaksana

    Latihan adalah The Maritime Secu-rity Task Force (MSTF) Singapura yang diadakan pada tanggal 13 s.d. 18 Mei 2013. Latihan dilaksa-nakan di Multinational Operation and Exercise Centre (MOEC) yang terletak di dalam Changi Com-mand and Control Centre (CC2C), Changi Naval Base. Hal-hal yang mendapat penekanan dalam latih-an ini adalah:a. Maritime Information Shar-ing Exercise (MARISX) 2013 me-miliki tujuan sebagai berikut:

    1) Untuk menunjukkan kegunaan sarana info-shar-ing kepada para peserta dan proses pengambilan kepu-tusannya.2) Untuk menyusun cara terbaik bagi pelaksanaan info-sharing.3) Untuk mendiskusikan berbagai tantangan dalam ber-info-sharing dan proses pengambilan keputusan se-cara bersama (kolektif).4) Untuk mendiskusikan aspek interoperability dalam info-sharing dengan para pemangku kepentingan, seperti lembaga penindakan nasional serta komunitas perkapalan. 5) Untuk berbagi ber-bagai perspektif info-sharing dari berbagai peserta.

    b. Skenario latihan mengambil isu tentang keamanan maritim. Skenario latihan yang di-mainkan adalah berbagai hal yang mencakup isu-isu keamanan mar-itim seperti perampokan di laut, perompakan, pembajakan, penye-lundupan, illegal fishing, counter proliferation, insiden maritim dan terorisme maritim. Skenario latihan dikembangkan dari masukan ber-bagai perwakilan negara dan ber-tujuan untuk mengakomodasi ben-tuk ancaman keamanan maritim yang ada dari berbagai pemangku kepentingan maritim. Peserta akan menerima bagian informasi yang berbeda-beda yang perlu dikum-pulkan dan dianalisis.

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 19

  • c. Tuntutan peran aktif peserta dalam latihan. Selama latihan MARISX 13 berlangsung, para peserta juga berpartisipasi aktif untuk:

    1) Menyusun dan me-metakan kejadian-kejadian maritim yang diskenariokan melalui fasilitas Recognized Maritime Picture (RMP) melalui koordinasi dengan Operation Centre (OPCEN) melokalisir, memonitor dan menjejak kapal target/Ves-sel Of Interest (VOI).2) Mengolah bulsi (pe-nimbul situasi) latihan hing-ga menghasilkan informasi yang dapat diaksi. Para peserta latihan diharapkan juga berpartisipasi dalam diskusi dan survei untuk menghasilkan analisa dan laporan. 3) Melaksanakan koor-dinasi yang ketat antara delegasi yang hadir ditem-pat latihan dengan OPCEN masing-masing negara da-lam membahas, menyaji-kan langkah atau keputusan yang diambil untuk men-jawab kasus demi kasus simulasi yang dibahas.4) Dalam hal suatu ka-sus yang melibatkan banyak Negara, maka beberapa peserta latihan ditugaskan untuk memimpin jalannya diskusi sesuai dengan tem-pat terjadinya kasus yang diskenariokan.Pada pelaksanaan latihan,

    pengendali latihan/Exercise Con-troler (EXCON) akan memberikan bulsi latihan kepada para peserta latihan yang berada di Multina-tional Operation dan Exercise Cen-tre (MOEC) dan Operation Centre (OPCENs) masing-masing negara untuk memfasilitasi pelaksanaan skenario latihan. Meski latihan akan dilakukan secara real-time dengan obyek yang nyata, semua bulsi, skenario, balasan atau tang-gapan dalam cara yang berbeda

    seperti forum atau e-mail untuk berlatih selalu diawali dengan EX MARISX 13. Ini adalah untuk me-mastikan agar kejadian nyata tidak tercampur dengan jalannya latih-an.

    Instrumen utama dari latihan MARISX 13 ini adalah mekanisme info-sharing itu sendiri yang meng-gunakan portal MARISX yang dapat diakses melalui akses www.infofusioncentre.gov.sg sesuai akun masing-masing peserta.

    Portal MARISX 13 meru-pakan portal web yang memung-kinkan para pengguna untuk ber-interaksi secara intensif melalui sarana chatting dan e-mail, kemu-dian saling memberi, mencari dan mengolah informasi menjadi suatu rumusan aksi yang dapat digu-nakan oleh mitra kerja sesama pengguna portal lainnya sekalipun berbeda wilayah di berbagai bela-han dunia. Portal MARISX 13 me-miliki beberapa fitur utama antara lain aplikasi database informasi perkapalan Open Analysed Ship-ping Information System (OASIS), Sense-Making Analysed and Re-search Tool (SMART), Vessel of Interest Recognized Maritime Picture (VOI RMP), Group Chat, E-mail, Document Library dan lain-lain. Petunjuk lengkap mengenai penggunaan portal MARISX disaji-kan dalam MARISX 13 Portal User Guide.

    KESIMPULAN DAN SARANa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

    1) Ancaman keamanan maritim (maritime secu-rity threats) tidak menge-nal batas negara sehingga kerja sama internasional tetap merupakan kunci so-lusi yang terbaik. IFC bisa menjadi sebuah model yang layak untuk kolabo-rasi tersebut, dimana kerja sama dimulai dari tingkat re-gional, dengan tujuan akhir menghubungkan hingga

    membentuk jaringan global info-sharing. Ini tidak hanya akan meningkatkan ke-sadaran situasional umum (common situational aware-ness), tetapi sudah harus menjadi MDA yang sekali-gus juga mempromosikan pengakuan bahwa peman-gku kepentingan maritim (maritime stakeholder) me-miliki tanggung jawab ber-sama untuk memastikan laut aman dan aman untuk semua.2) MARISX 2013 ini memberikan pemahaman dan mekanisme kepada pe-serta tentang proses info-sharing melalui portal serta memperkuat kerja sama melalui sesi diskusi di mana para peserta dapat berbagi tentang berbagai isu info-sharing sehingga menum-buhkan paradigma baru tentang information shar-ing bagi peserta dari harus berbagi (need to share) ke tanggung jawab untuk ber-bagi (responsible to share). 3) Pemeliharaan ke-mampuan dasar interop-erabilitas antar negara dapat terhambat karena keterbatasan peralatan dan profesionalitas pengawak-nya. Dalam kasus tersebut, pembangunan kemampuan info-sharing dan pelatihan pengawaknya adalah kunci untuk mengatasi permasa-lahan tersebut dan mengak-tifkan semua keterlibatan stakeholder maritime seba-gai mitra agar dapat meng-gunakan pijakan sekaligus sebagai visi yang sama dalam pemahaman tentang info-sharing.4) Penye lenggaraan information-sharing bidang keamanan maritim di ling-kungan TNI AL sangat urgent untuk ditingkatkan pengem-bangannya sebagai media

    TOPIK UTAMA

    20

  • interaksi sekaligus memi-liki legal formal yang men-dukung fungsi Puskodal TNI AL sebagai penyelenggara information sharing dengan Puskodal Kotamaops mau-pun Puskodal/Staf Operasi Lantamal s.d. Lanal (jangka pendek) serta dengan ber-bagai stakeholder maritim (jangka panjang) sehingga hal tersebut mampu men-jembatani kebutuhan infor-masi bagi Pemimpin TNI AL secara cepat, tepat, ekslusif dan aman.

    b. Terkait dengan Rencana Kegiatan Revitalisasi Puskodal TNI AL tahun 2013 yang didalamnya termasuk pengembangan kemam-puan information-sharing Puskodal TNI AL di bidang keamanan maritim (maritime security) secara internal yang mampu mendukung peran TNI AL di tingkat nasional dan regional, mohon menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

    1) Penyusunan petun-juk pelaksanaan sebagai Standard Operating Proce-dure (SOP) bagi pelaksa-naan kegiatan information-sharing kejadian keamanan maritim antara Puskodal TNI AL dengan Puskodal Kotamaops maupun Pus-kodal/Staf Operasi Lantamal s.d. Lanal dan stakeholder maritim nasional sebagai landasan operasional/pa-yung hukum yang memiliki ketentuan mengikat di ling-kungan TNI AL.

    2) Penyediaan media interaktif operasional infor-mation-sharing Puskodal

    TNI AL dengan Puskodal Kotamaops maupun Puskodal/Staf Operasi Lan-tamal s.d. Lanal melalui pengembangan sistem Pusat Informasi Operasi (PIO) Puskodal TNI AL sebagai media interaktif resmi TNI AL yang mampu menyajikan informasi keja-

    dian keamanan maritim (maritime security) di wila-yah yurisdiksi nasional NKRI kepada Pemimpin TNI AL secara cepat, tepat, eksklusif dan aman. Kolonel Laut (P) I Nyoman Gede Ariawan, S.E.

    Great admirals transform the nature of the war to

    their preferred term.

  • Para pelawat atau pengunjung asing itu menyebut me-reka yang berdarah cam-puran itu sebagai Indo (mestiezen). Ada Indo-Arab, Indo-Keling, Indo-Portugis, Indo-Belanda, Indo-Jepang, Indo-Chi-na, dan sebagainya.

    Yang menarik, mereka yang tergolong Indo ternyata mengeram sebuah penyakit am-nesia, penyakit yang hinggap pada seseorang yang katakanlah pendek ingatan atau gampang melupakan sesuatu. Konon, dari sanalah muncul kata Indonesia alias Indo(am)nesia.

    Terserah kalau Anda hendak menghubungkannya dengan situ-asi lain di negeri ini, termasuk dimasa kini. Yang jelas, dari soal nama, betapa pun ia mungkin tiada artinya bagi Shakespeare (yang ternyata namanya abadi), Indonesia adalah nama yang sepanjang sejarah memiliki ma-salah.

    Sebagian tidak cukup menerima kata itu yang jika bisa juga bermakna kepulauan India bagian belakang atau pulau-pulau India di kejauhan. Seakan kita ini hanya perpanjangan tangan, sejarah, dan peradaban dari India, negeri induknya. Sebuah penafian yang keliru.

    ASAL KATA INDONESIASebenarnya bukan James

    Richardson Logan, sarjana hukum Skotlandia, yang menggunakan kata Indonesia pertama kali

    dalam artikelnya, The Etnology of Indian Archipelago (1850). Ia hanya menjumput dari istilah yang digambarkan gurunya, George Samuel Windsor Earl, untuk orang-orang di Semenanjung Malaya, memanjang hingga Filipina dan Papua, sebagai Indunesia. Logan hanya mengganti u dengan o hanya sekadarkononkenyamanan penyebutan.

    Nama ini pertama kali diambil oleh aktivis/intelektual Indonesia, Suwardi Surjadininingrat alias Ki Hajar Dewantara, saat ia dibuang ke Belanda dan menerbitkan kantor berita Indonesische Pers-bureau. Nama inilah yang beredar dan kemudian populer di kalangan intelektual dan pejuang kala itu. Tahun 1928 sekelompok pemuda menggunakan dalam sebuah sumpah.

    Padahal, hanya tujuh tahun dari penyebutan Indonesia oleh Ki Hajar, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Setiabudi juga memberikan nama pada gugusan kepulauan di tenggara Asia ini. Ia mendapatkan nama itu dalam kitab Pararaton dari zaman

    keemasan Majapahit, yang diucapkan juga dalam sebuah Sumpah, lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa (kalau telah (aku menguasai) Nusantara, baru aku (akan) berhenti berpuasa).

    Sumpah itusa-ma ternamanya dengan Sumpah Pemudaada-lah Sumpah Palapa, yang diucapkan oleh Amangkubhumi baru

    Majapahit, Gajah Mada.Penyebutan ini sebenarnya

    bukannya tiada dampak, baik se-cara penyebutan, kesejarahan, keilmuan, hingga kebudayaan (peradaban). Dulu sampai kini.

    DUA PERADABANDua penyebutan di atas

    secara mudah dapat kita pahami sebagai nama yang mewakili dua kebudayaan dan dua peradaban dunia yang paling dominan (kalau tidak, ya hanya dua itu): daratan dan kelautan. Ki Hajar dan Sumpah Pemuda jelas mewakili daratan. Mereka yang ada didalamnya hampir 100 persen mendapatkan pendidikan atau mengalami per-gaulan dalam budaya Belanda, wakil dari peradaban daratan Eropa. Mereka, tentu saja, ju-ga mengenali dengan baik ke-budayaan-kebudayaan daratan lain di Eropa, macam Perancis, Inggris, Jerman, dan lainnya.

    Sementara Gajah Mada, sebagai sumber ide Dr. Setiabudi, sangat kita ketahui adalah maha-patih dari kerajaan maritim terbesar

    Ini sekadar guyonan, jangan terlalu serius menanggapi. Dahulu kala, banyak pelawat asing yang datang dari sejumlah negara karena tertarik pada dunia baru di tenggara

    Asia ini. Mereka menemukan kenyataan, banyak sekali penduduknya yang sudah kawin-kemawin dengan bangsa asing, juga dari pelbagai negara.

    JALESvEvA JAYAMAHE

  • yang pernah ada di kawasan ini. Namun, sejak keruntuhannya, bangsa-bangsa di kepulauan ini dipaksa untuk mendarat oleh k e r a j a a n - k e r a j a a n konsentris (menurut istilah Lombard dalam Le Carrefour Javanais), yang menumpukkan seluruh intensitas kerja kebudayaan, mulai dari kekuasaan, perdagangan, hingga kebudayaan di tengah daratan (hulu sungai atau lereng puncak gunung).

    Hal ini berbanding terbalik dengan dunia maritim yang lebih mengandalkan laut, samudra, dan sungai-sungai sebagai kanal per-dagangan dan pertahanan. Poli-tik, kekuasaan dan pemerintahan, kamar-kamar dagang, hingga kerja kebudayaan berlangsung jauh dari gunung, di bandar-bandar yang menyebar di pulau-pulau nusan-tara.

    PROSES PENDARATANKeliru jika kita beranggapan

    dunia maritim itu dipaksa men-darat oleh bangsa-bangsa darat-an dari Barat (Eropa), seperti Portugis, Belanda, Perancis, dan seterusnya. Lima ratus tahun sebelumnya, atau dua milenium sebelum kini, bangsa India sudah menggelar karpet merah untuk proses pendaratan bangsa Ero-pa kemudian, setelah mereka lebih dulu menaklukan kerajaan-kerajaan lokal dari dalam. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dalam kasus Salaka Nagara dan Kalimantan dalam kasus Kutai.

    Budaya dan peradaban da-ratan pun kemudian merajalela di seluruh Indonesia, seiring de-ngan gerak perluasan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Peradaban daratan tampaknya sukses melindas kejayaan per-adaban kelautan yang dalam hitungan penulis berusia lima milenium sebelumnya. Hingga

    hari ini, Indonesia berciri-ciri dan berkarakter khas daratan.

    Anda menjadi saksi dan mungkinpelakunya sendiri. Bagaimana adab daratan yang keras, kasar, dominatif, inflitratif, material, logis-rasional, dan impe-rialistik menjadi muatan, tersembu-nyi atau tidak, dalam perilaku rak-yat bangsa kita, terutama pejabat publiknya.

    Ada banyak alasan historis, arkeologis, antropologis, hingga kultural mengapa peradaban da-ratan memiliki ciri-ciri seperti tersebut di atas. Negeri ini seperti menjadi miniaturnya, di mana media massa setiap hari (bahkan sering dalam berita utama) mengungkap kekasaran, kekerasan, kehendak mendominasi hingga nafsu ma-terial yang infiltratif, terjadi di seluruh belahan republik ini, baik di tingkat elite hingga akar rumput.

    Semua pihak ingin dominan menjadi raja. Seperti pemeo, Bila tidak bisa menjadi menteri besar (menjadi pejabat publik di pusat ibu kota) jadilah raja kecil (pengua-sa di wilayah sendiri). Tak meng-herankan bila nafsu pemekaran seperti tiada henti, bahkan kian meluap. Kalau perlu keringat, sen-jata, dan darah digunakan untuk merealisasikan. Mungkin hampir tak terhentikan hingga Indonesia pun menjadi kepingan-kepingan kecil yang kian rapuh.

    Semua itu, menurut hemat saya, karena kita telah menging-kari bahkan mengkhianati jati diri kita sendiri sebagai bangsa mari-tim (kelautan). Secara tragis hal itu mungkin dapat disimbolisasi

    dengan kisah Pinisi Nusantara, sebuah ka-pal yang dibuat oleh bangsa sendiri, dibang-ga-banggakan dan ber-hasil mengarungi Sa-mudra Pasifik hingga Vancouver, Kanada, 15 September 1986.

    Apa yang ke-mudian terjadi? Ka-pal kebanggaan yang dielus-elus oleh (alm)

    Laksamana Sudomo itu nyungsep, melapuk, dan dilupakan di Karang Ayer Kecil, Kepulauan Seribu, Ja-karta, 15 September 2002.

    NASIB KELAUTANBegitulah nasib kelautan

    bagi bangsa kita yang mabuk daratan dan dikuasai setengah abad oleh angkatan darat, per-hubungan darat, jembatan-jem-batan, jalan tol-jalan tol, dan sete-rusnya. Bayangkan, ada rencana pembuatan jembatan untuk meng-hubungkan daratan Sumatera dan Jawa berbiaya Rp 200 triliun. Be-rapa kapal, besar dan kecil, yang dapat dibeli dari jumlah itu untuk menjadi penghubung ribuan pulau negeri ini?

    Ketika banyak kalangan bicara tentang kembali ke dunia maritim, revolusi biru, dan seba-gainya, sesungguhnya ada yang sangat tidak siap dari nafsu-nafsu itu. Yakni identifikasi awal tentang bagaimana peradaban maritim itu. Diskusi dan konsensus nasional dibutuhkan untuk itu, termasuk akibat-akibat besar sebagai dam-paknya.

    Mereka yang selama ini merasa nyaman dengan adab daratan harus banyak legawa. Supaya kita kembali ke jati diri kita: Kelautan. Jalesveva Jayamahe! Oleh: Radhar Panca Dahana Budayawan. (tulisan ini pernah dimuat di koran Kompas, Selasa, 7 Mei 2013).

  • Tahun 2013 ini TNI Angkatan Laut memperingati hari jadi-nya yang ke-68. Hal tersebut berarti sudah lebih dari setengah abad, TNI AL mendarmabaktikan dirinya menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah perairan yuris-diksi nasional Indonesia serta membangun dirinya menuju kese-taraan dengan angkatan laut kelas dunia lainnya. Bukanlah hal mudah untuk membangun TNI AL agar setara dengan apa yang disebut world class navy atau angkatan laut yang bersifat mendunia (glo-bal). Tidak hanya secara sebatas kuantitas, namun lebih dari itu, adalah kualitasnya. Kualitas, baik dalam aspek profesionalisme per-sonel maupun kemampuan men-jaga kontinuitas operasionalnya,

    merupakan landasan utama bagi dunia internasional untuk meng-akui bahwa TNI AL memiliki ka-pabilitas yang dapat disejajarkan di antara angkatan laut yang telah bersifat global, seperti US Navy, Royal Navy atau Russian Navy.

    Sebagaimana lembaga-lem-baga kenegaraan lainya, TNI AL pun lahir dan tumbuh di tengah-te-ngah kancah perjuangan bersen-jata menegakkan kemerdekaan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agus-tus 1945. Saat itu, telah tumbuh kesadaran bahwa negara Indone-sia harus memiliki angkatan laut yang kuat sehingga mampu men-jamin terwujudnya ketahanan dan kedaulatan di laut dalam benak para pejuang bahari kala itu. Sete-

    lah para pejuang bahari mengambil alih seluruh sarana dan prasarana milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Nihon Kaigun), dilakukan konsolidasi terhadap orang-orang yang memiliki keahlian atau per-nah bekerja di bidang kelautan, baik pada masa Hindia Belanda maupun Jepang. Langkah beri-kutnya adalah membentuk orga-nisasi Badan Keamanan Rakyat Bagian Laut Pusat atau BKR Laut Pusat pada 10 September 1945.Terbentuknya BKR Laut Pusat di Jakarta menggerakkan para pejuang bahari di daerah-daerah untuk membentuk organisasi seru-pa di tingkat daerah, sehingga ter-jalin suatu struktur komando yang solid dan terintegrasi antara pusat dengan daerah.

    Pada perkembangannya, BKR Laut mentransformasikan di-rinya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut sesuai hasil Maklumat Pemerintah Nomor X tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan TKR. Memasuki awal tahun 1946, TKR Laut ber-ubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut dan pada bulan Juli 1946 diresmikan men-jadi Angkatan Laut Republik Indo-

    PERJALANAN HISTORIS MENUJU WORLD cLASS NAVY

  • nesia (ALRI). Pembangunan kekuatan dan penyempurnaan or-ganisasi menuju struktur angkat-an laut yang sesungguhnya, telah dimulai pada kurun waktu ini yang ditandai dengan pembentukan korps-korps di tubuh ALRI, seperti armada, marinirs, polisi tentara laut, kesehatan, dan sebagainya.Terbentuknya kejuruan atau korps tersebut mengawali upaya ada-nya spesialisasi dan keahlian khu-sus di tubuh ALRI. Kemudian di bidang pengembangan sumber daya manusia, ALRI membentuk lembaga-lembaga pendidikan, an-tara lain Sekolah Angkatan Laut (SAL) yang berkedudukan di Tegal, sekolah radio-telegrafis di Malang, Training Station Serang Jaya di Aceh, dan sebagainya. Semua itu menjadi fondasi bagi pembangun-an kekuatan TNI AL agar dapat mengembangkan dirinya menjadi elemen pertahanan negara di bidang maritim yang tangguh, andal, dan profesional.

    DISEGANI DI KAWASAN ASIA TENGGARA

    Tercapainya pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda dan komunitas internasional pada akhir tahun 1949 merupakan peluang bagi TNI AL membangun kekuatannya untuk pertama kalinya. Kemudian dalam rangka modernisasi, TNI AL membeli sejumlah alutsista dari luar negeri.Di sini, untuk pertama kalinya TNI AL harus menyiapkan sebuah operasi lintas laut jarak jauh yang akan melintasi beberapa negara serta dua samudra besar yaitu Atlantik dan Hindia. Untuk itulah, dirancang sebuah rencana operasi yang disinergikan dengan langkah-langkah diplomatik terhadap negara-negara yang akan dilalui kapal-kapal TNI AL. Dengan demikian terjalin kesinambungan logistik dan hubungan antar negara yang baik, karena kapal-kapal perang TNI AL tersebut merupakan tamu negara dan bukan sebagai kekuatan militer yang bersifat menekan. Pengalaman berikutnya bagi TNI AL dalam menggelar

    operasi lintas laut adalah saat KRI Dewaruci melaksanakan operasi muhibah ke beberapa negara sahabat, antara lain Amerika, Jepang, Rusia, Perancis.

    Pembangunan kekuatan TNI AL mencapai puncaknya keti-ka terjadi konfrontasi antara Kera-jaan Belanda dengan Indonesia akibat dari tidak terselesaikannya masalah Irian Barat, satu-satunya wilayah RI yang masih dikuasai Belanda. Padahal berdasarkan berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar 27 De-sember 1949 disepakati bahwa masalah Irian Barat akan dibahas secara bilateral setahun setelah pengakuan kedaulatan. Namun pada kenyataannya, pemerintah Belanda dengan berbagai dalih tetap mempertahankan Irian Barat sebagai koloninya. Sebagai ang-gota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO/North Atlantic Treaty Organization), Belanda mendapat dukungan kuat dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, sehingga berbagai upaya diplo-matik untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI senantiasa

    kandas. Akhirnya pemerin-tah Indonesia memutuskan untuk menggunakan strategi diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) yaitu pengerahan kekuatan militer sebagai pendukung diplo-masi.

    Karena operasi yang akan digelar berupa naval campaign, TNI AL membu-tuhkan peningkatan kekuat-an alutsistanya baik secara kuantitas maupun kualitas. Awalnya, untuk Indonesia berupaya memperoleh ban-tuan dan kemudahan dalam pembelian alutsista dari negara-negara Blok Barat, namun mendapat ganjalan keras dari NATO. Akhirnya Indonesia beralih ke negara-negara Blok Timur, tepatnya dengan Uni Soviet. Per-

    Cakrawala Edisi 416 Tahun 2013 25

  • mintaan Indonesia tersebut disam-but baik oleh Soviet. Sejak tahun 1959 mulailah mengalir sejumlah besar alutsista modern ke Indone-sia. Kehadiran alutsista buatan Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur tersebut pada akhirnya men-empatkan TNI AL menjadi salah satu angkatan laut terkuat di Asia Tenggara dan berhasil memaksa Belanda untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI pada tahun 1963. Pada kurun waktu ini TNI AL diperkuat sekitar 152 kapal perang berbagai jenis antara lain 12 kapal selam kelas Whiskey, 1 kapal penjelajah ringan kelas Sver-dlov, 8 kapal perusak kelas Skory, 8 kapal fregat kelas Riga, 12 ka-pal cepat roket kelas Komar, dan 22 kapal cepat torpedo. Kekuatan TNI AL kian mumpuni ditambah dengan kehadiran skuadron pe-sawat anti kapal selam jenis AS-4 Gannet, helikopter serbaguna Mi-4 Hound, dan pesawat pembom ringan bertorpedo IL-28 Illyushin sebagai unsur udaranya, sedang-kan di darat diperkuat oleh tank

    amfibi ringan jenis PT-76, BTR-50, mortir berat kaliber 120 mm, serta peluncur roket multilaras BM-14.

    Dengan kekuatan ini, tidak hanya negara-negara sekawasan yang segan namun juga negara besar seperti Amerika Serikat dan kerajaan Inggris. Sikap tersebut tampak saat berlangsung kampa-nye Dwikora, sebagai bentuk pe-nentangan pemerintah Indonesia terhadap kebijakan Inggris mela-kukan dekolonisasi terhadap Ma-laysia yang dianggap bagian dari neokolonialisme. Pada periode ini unsur-unsur TNI AL bahkan be-rani menghadang konvoi armada Inggris yang akan melintasi Se-lat Sunda dan Selat Lombok dari Australia menuju Malaysia antara tanggal 10 Agustus sampai 30 September 1964.

    Kondisi ini berubah drastis ketika terjadi peralihan kepe-mimpinan nasional, yaitu dari rezim Presiden Soekarno ke Soeharto, sebagai dampak dari meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada dini

    hari tanggal 1 Oktober 1965. Per-alihan kekuasaan ini memberi dampak serius pada kekuatan TNI AL kala itu, karena adanya perbedaan pandangan politik lu-ar negeri. Pada era Soekarno orientasi dari kebijakan luar ne-gerinya cenderung ke Blok Timur, sementara di era Soeharto lebih condong ke Barat. Terjadilah de-gradasi signifikan pada alutsista TNI AL yang sebagian besar pro-duk Uni Soviet akibat kesulitan suku cadang. Dampak lanjutan dari situasi ini adalah kemerosotan kemampuan operasional TNI AL. Guna memulihkan kemampuan TNI AL, pemerintah kemudian melakukan pembelian alutsista dari negara-negara nonkomunis, seperti Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda, Inggris, dan Korea Selatan. Alutsista yang memperkuat TNI AL saat ini antara lain 2 kapal selam kelas 209 (kelas Cakra) dari Jerman Barat, serta 3 kapal perang jenis korvet kelas Fatahillah, 6 kapal fregat kelas Van Speijk (kelas Ahmad Yani), dan 3

    OPINI

    26

  • korvet SIGMA kelas Diponegoro dari Belanda. Sementara itu Korps Marinir TNI AL diperkuat sejumlah kendaraan tempur modern seperti BTR-80A dan BMP-3F dari Rusia, peluncur roket multilaras RM-70 Grad dari Ceko, dan AAV-7 dari Korea Selatan. Kehadiran alutsista generasi baru tersebut tersebut berhasil mendongkrak kekuatan TNI AL. Kebijakan modernisasi kekuatan TNI AL selain membeli dari luar negeri, juga dilakukannya transfer of technology dan memaksimalkan potensi industri strategis nasional. Terwujudnya kemandirian alutsista di TNI AL sangat potensial untuk mengangkat martabat serta citra bangsa dan negara Indonesia di tingkat internasional serta mengurangi ketergantungan pada luar negeri.

    MENUJU WORLD cLASS NAVYKehadiran alutsista bertek-

    nologi termuktahir semakin mem-buka lebar pintu bagi TNI AL untuk menggelar operasi lintas laut dan penugasan di perairan luar negeri. Hal tersebut tampak pada kiprah TNI AL saat melaksanakan operasi lintas laut untuk membebaskan warga negara Indonesia yang menjadi awak kapal MV Sinar Kudus disandera oleh kawanan bajak laut Somalia pertengahan tahun 2011. Pada saat itu ke-satuan khusus TNI AL yang ter-gabung dalam Satgas Merah Putih berhasil membebaskan awak

    kapal MV Sinar Kudus berikut kapalnya dari tangan bajak laut. Selain itu, unsur-unsur TNI AL yang tergabung dalam satuan tugas maritim PBB yaitu Maritime Task Force (MTF) United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) juga menunjukkan prestasi yang gemilang sekaligus mengangkat nama baik bangsa Indonesia di lingkup internasional. Dua prestasi tersebut menyusul kiprah KRI Dewaruci yang telah mendunia terlebih dahulu, bahkan menjadi legenda bagi komunitas maritim internasional.

    Tiga kiprah bertaraf interna-sional tersebut kian meningkatkan kepercayaan komunitas interna-sional akan kemampuan TNI AL dalam gelar operasi lintas laut antar negara dan tugas-tugas pe-mulihan keamanan yang berada di bawah naungan PBB. Pengakuan dari komunitas internasional akan kemampuan TNI AL tampak pada sambutan US Seventh Fleet Com-mander, Vice Admiral Scott H. Swift, di atas kapal perang Amerika USS Blue Ridge saat mengunjungi Jakarta Mei 2012, yang mengata-kan TNI AL layak disebut as well as a global force for good. Demikian pula ketika pejabat teras AL Ameri-ka tersebut saat melihat kemam-puan yang dimiliki pangkalan TNI AL di Surabaya, menyebut TNI AL dapat dikategorikan sebagai world class navy.

    SEBUAH RENUNGANSebuah pepatah bijak me-

    ngatakan, lebih mudah meraih se-buah prestasi atau kejayaan dari-pada mempertahankannya. Jika menyimak pepatah tersebut, ada baiknya pada peringatan 68 tahun kelahiran TNI AL ini direnungkan apa yang telah dilakukan oleh para generasi penerus bangsa. Adanya pengakuan internasional bahwa TNI AL memiliki kemampuan yang setara dengan angkatan laut global merupakan sebuah bukti akan ki-nerjanya selama ini yang telah di-rasakan manfaatnya tidak hanya di lingkup regional namun juga inter-nasional. Sementara untuk men-capai prestasi tersebut bukanlah hal mudah, butuh perjuangan pan-jang yang melelahkan. Pada tahun 1965-an TNI AL pernah menyan-dang predikat salah satu angkat-an laut terkuat di tingkat regional berkat kekuatannya yang mum-puni. Sekarang, predikat tersebut kembali disandang TNI AL berkat kinerja dan profesionalisme per-sonelnya. Dengan demikian, setiap generasi muda TNI AL pada khu-susnya dan bangsa pada umum-nya sudah seharusnya memper-tahankan prestasi tersebut melalui kinerja yang lebih baik dan pe-ningkatan kualitas diri. Janganlah sia-siakan kerja keras para pen-dahulu TNI AL dan jangan pernah menjadikan prestasi internasional yang sudah berhasil diraih sebagai kenangan indah dari masa lalu. Adi Patrianto

  • Mohon dapatnya Bapak Asops Kasal menjelaskan, apa yang dimaksud dengan pembinaan kesiapan operasional TNI AL diarahkan menuju world class navy?

    Kebijakan pembinaan bidang operasi pada dasarnya meru-pakan penjabaran dari kebijak-an dan strategi pembangunan, pembinaan serta penggunaan kekuatan TNI AL dengan meng-

    utamakan zero accident. Ru-musan kebijakan pembangun-an kekuatan dan pembinaan kemampuan diarahkan untuk mewujudkan force in response yang meliputi:

    a. Struktur kekuatan (force structure) yang dibangun di-arahkan kepada terwujudnya penampilan dan eksistensi un-sur-unsur operasional TNI Ang-katan Laut;

    b. Kesiapan (readiness), pengaturan yang seimbang dari struktur kekuatan yang siap ope-rasional, latihan, dan pemeli-haraan (employment cycle);

    c. Tingkat kemutakhiran tek-nologi (state of modernization);

    d. Kemampuan menyeleng-garakan operasi secara berke-lanjutan (sustainability), terkait dengan dukungan pangkalan dan kemandirian logistik.

    KESIAPAN OPERASIONAL TNI AL Asops Kasal Laksamana Muda (Laksda) TNI

    Didit Herdiawan, M.P.A., M.B.A.

  • Keempat rumusan kebijakan ter-sebut tentu saja harus diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi. Sehingga, fokus pembangunan kekuatan dan pembinaan ke-mampuan TNI AL juga diarahkan pada peningkatan kemampuan personel TNI AL melalui berba-gai jenjang pendidikan profesio-nal di dalam dan luar negeri. Sehingga diharapkan dari kombinasi antara hardware, software dan brainware akan mengantarkan TNI AL pada status terhormat di mata dunia internasional sebagai Angkatan Laut yang berkelas dunia atau world class navy.

    Melihat luasnya wilayah laut nusantara dan semakin ba-nyaknya tantangan tugas TNI AL dimasa depan, menurut Ba-pak Asops Kasal bagaimana dengan kesiapan operasional alutsista TNI AL saat ini?Kebijakan pembinaan kekuat-an. Agar tercapai efisiensi dan efektifitas dalam menggelar kekuatan TNI AL dihadapkan kepada keterbatasan anggaran, kondisi teknis alutsista dan ting-kat kemampuan yang diharap-kan serta eskalasi ancaman, maka Pemimpin TNI AL telah menetapkan kebijakan pembi-naan kekuatan TNI AL ke depan dengan langkah-langkah, seba-gai berikut:

    a. Langkah pertama, gelar kekuatan TNI AL dengan de-ployment kekuatan pada daerah rawan selektif secara fleksibel sesuai axis utama ancaman. Hal ini diimplementasikan de-ngan re-grouping unsur dalam tiga susunan tempur (sunpur) sebagai berikut:

    1) Susunan tempur pemukul (striking force) yang terdiri dari unsur Frigate kelas Van Speijk, Korvet kelas Fatahillah dan SIGMA, PSK, BR dan KCT;

    2) Susunan tempur patroli (patrolling force) terdiri dari Korvet kelas Parchim (Koarmatim), AT kelas Frosch, PC dan FPB;

    3) Susunan tempur pendukung (supporting force) terdiri dari unsur-unsur angkut tank, mar-kas, PR, BCM, ASG, TD, BU, BAP, BHO, dan latih.

    b. Langkah kedua, adalah penataan daerah operasi yang sejalan dengan pengembangan tata ruang wilayah pertahanan laut yang komprehensif de-ngan mempertimbangkan anali-sis pergeseran poros ancaman dan disesuaikan dengan fungsi dan peran operasi militer selain perang. Daerah-daerah operasi tersebut meliputi:

    1) Daerah operasi-I. Meliputi Laut Natuna sam-pai dengan Selat Malaka, Selat Karimata sampai dengan Selat Sunda (ALKI - I);

    2) Daerah operasi-II. Meliputi perairan barat Su-matra sampai dengan per-airan selatan Jawa Barat;

    3) Daerah operasi-III. Meliputi perairan Se-latan dan Utara Pulau Jawa, Laut Sulawesi, Se-lat Makassar dan perair-an Nusa Tenggara Barat (ALKI II);

    4) Daerah operasi-IV. Meliputi Laut Halmahera, Laut Flores, Laut Seram, Samudera Hindia/Selatan Nusa Tenggara Timur ter-masuk Laut Maluku, Laut Banda dan Selat Wetar / Selat Ombai (ALKI-III);

    5) Daerah operasi-V. Meliputi perairan Utara Papua sampai dengan Laut Arafuru.

    c. Langkah ketiga, konsep operasi yang diselaraskan de-ngan pola operasi yang diterap-kan oleh jajaran TNI berdasarkan Undang-Undang Pertahanan Negara yang meliputi OMP dan OMSP serta operasi lain-lain yang dikembangkan menjadi kekuatan utama pertahanan ne-gara di laut agar mampu menjadi kekuatan penangkal (deterrent force) dan kekuatan penindak (coercion force).

    Di antara beberapa tugas pokok TNI AL selain melak-sanakan fungsi pertahanan juga melaksanakan fungsi di-plomasi, baik di dalam negeri maupun dengan luar negeri, khususnya dengan pihak/ne-gara asing regional ataupun internasional, mohon dijelas-kan dengan siapa saja kerja sama militer yang dilaksana-kan dan apa saja bentuk ker-jasamanya?Kerja sama militer TNI AL de-ngan negara lain:

    a. TNI AL Amerika Serikat (USN): Ex-Flash Iron, Ex-Lan-tern Iron, Ex-Silent Iron, CARAT, RIMPAC, HOSTAC, SEACAT, pengadaan alutsista dan pen-didikan (NDU, NSC, SWOS, IMOC dan lain-lain);

  • b. TNI AL Australia (RAN): Ex-Cassowary, Ex-Kakadu, Ex-New Horizon, NTNC, Patkor Ausindo dan pendidikan (Sesko, S-2 dan lain-lain);

    c. TNI AL Malaysia (TLDM): Ex-Malindo Jaya, Ex-Malindo Darsasa, NTNCM, Patkor Ma-lindo, Patkor Optima, MSSP dan pendidikan (Sesko, PWO dan lain-lain);

    d. TNI AL Brunei Darus-salam (TLDB): Ex-Helang Laut dan pendidikan (Sesko);

    e. TNI AL Inggris (Royal Navy): Mobile Training Team (Kopaska-Navy Seal Inggris) dan pendidikan (Sesko);

    f. TNI AL Jepang (JMS-DF): Aviation Exercise, NTNCM dan pendidikan (S-2);

    g. TNI AL Pakistan: Aman Exercise dan pendidikan (Sesko);

    h. TNI AL Singapura (RSN): Ex Pandu, Joint Minex, Ex Eagle, SEACAT, NTNT, Patkor Indosin, EIS, MSSP, SURPIC-2 dan pen-didikan (Sesko, S-2, Marsec dan lain-lain);

    i. TNI AL Thailand (RTN): NTNT, Patkor Indothai dan pen-didikan (Sesko);

    j. TNI AL China (PLAN): NTNCM, pengadaan alutsista dan pendidikan (Sesko);

    k. TNI AL India: NTNT, Patkor Indindo dan pendidikan (Sesko, S-2, Long Navigation Course, ASW Course dan lain-lain);

    l. TNI AL Korea Selatan (ROKN): NTNT Working Group, pengadaan alutsista dan pen-didikan (NDU, Sesko);

    m. TNI AL Philipina: NTNT,

    Patkor Philindo dan pendidikan (Sesko);

    n. TNI AL Vietnam: NTNT.

    Untuk mewujudkan TNI AL yang handal dan disegani, mo-hon penjelasan Bapak Asops Kasal, apa saja kegiatan yang telah, sedang dan akan dilak-sanakan oleh TNI AL? Program dan kegiatan untuk mewujudkan TNI AL yang han-dal dan disegani:

    a. OMP.

    Ops Intelmar, Naval presence di Blok Ambalat, Ops Siaga Purlabar/tim;

    b. OMSP.

    Ops Pamtas Laut RI- RDTL Australia, RI- Philipina dan RI-PNG Palau, Patkor Indindo, Indothai, Malindo, Indosin, Philindo, Ausindo, Optima Malindo, MSSP, Ops Pam Puterdan Obvitnas, Ops Pam VVIP, Ops Pemeli-haraan Perdamaian Du-nia, SAR, Ops Kamla, Ops PAM ALKI, Eye In The Sky (EIS), Operasi Survei dan Pemetaan serta Ops Ang-lamil;

    c. Latihan:

    1) Lattra.

    Latihan Fung-sional, Lat Parsial TNI AL, Lat Yustisial, Lat Kamla, Latihan Pernika, Latkom Caraka, Lat Inter-operability Komlek TNI AL, Marpolex, Lat Intel, Latkesdu, Latihan EMU/Me-devac, Lat Sea and

    Jungle Survival, Lat Anglamil, Lat SAR, Latposko Kogasgab Hantai serta Lat Penyapuan Ranjau;

    2) Latma.

    Amerika Serikat, Singapura, Australia, Bru-nei Darussalam, Thailand, Pakistan, China, Malaysia dan Korea Selatan;

    3) Latgab.

    Latgab Terpadu Pe-nanggulangan Bencana Alam, Latgab Pasus TNI Trimatra, Latgab TNI Ting-kat Divisi dan Penemba-kan Senjata Strategis, Lat Hanudnas Perkasa, Latmako Koarmabar dan Koarmatim, Latgultor TNI Polri Waspada Nusa, Lat PPRC TNI, Lat Hanudnas Tutuka XXXVII, Latgabma Malindo Darsasa, Cobra Gold Exercise serta Shan-ti Prayas Exercise.

    d. CBM.

    WPNS, IONS, Inter-national Maritime Security Symposium 2013, Sail Ko-modo 2013 dan Multila-teral Joint Naval Exercise 2014.

    Memetik pelajaran dari seng-keta Taiwan dengan Filipina, apa yang menjadi harapan Ba-pak Asops Kasal untuk keber-hasilan tugas TNI AL sebagai penjaga kehormatan dan ke-daulatan bangsa dan negara di laut?a. Belajar dari kasus seng-keta Taiwan dan Filipina, semua pihak tentunya berharap agar negara-negara yang berkepen-

    OPINI

    30

  • tingan di Laut China Selatan untuk dapat menahan diri dari tindakan provokatif. Hanya de-ngan cara demikian maka stabi-litas keamanan kawasan dapat dipertahankan;

    b. Indonesia sebagai primus inter pares di Asia Tenggara da-pat memainkan peran strategis-nya di kawasan melalui berbagai aspek termasuk didalamnya as-pek pertahanan.

    c. TNI AL sebagai ujung tombak pertahanan Indonesia di laut senantiasa mendukung kebijakan politik negara di laut yang diimplementasikan dalam pokok-pokok kebijakan TNI AL terkait isu perbatasan, antara lain:

    1) melaksanakan mo-dernisasi alutsista dan non

    alutsista, bangfas dan sar-pras sesuai pentahapan Renstra 2010-2014 serta blue print logistik untuk tahun 2013 melalui peng-adaan alutsista secara bertahap sesuai user ori-ented dan operational re-quirement, pemeliharaan dan perbaikan alutsista, pembangunan fasilitas pangkalan dengan priori-tas di daerah perbatasan, pemberdayaan industri pertahanan nasional serta pembangunan fasilitas dan sarpras untuk men-dukung penyelenggaraan pendidikan;

    2) m e l a k s a n a k a n penggelaran operasi in-telijen dengan prioritas daerah operasi adalah

    wilayah perbatasan laut NKRI dan daerah perairan rawan selektif;

    3) m e l a k s a n a k a n pengamanan perbatasan wilayah laut yurisdiksi na-sional serta mengantisipa-si perkembangan situasi di wilayah perairan Blok Ambalat, Pulau Miangas, Selat Malaka, dan pulau-pulau kecil terluar lainnya;

    4) melaksanakan pem-binaan potensi maritim untuk mendukung pem-berdayaan wilayah perta-hanan, khususnya di dae-rah perbatasan dan rawan konflik.

  • VADM. Scott H. Swift menyampaikan bahwa US Navy sangat menghargai atas peran TNI AL dalam meningkatkan hubungan kerja sama antar Angkatan Laut dan ikut memelihara keamanan, stabilitas dan perdamaian di wilayah Asia Pasifik, Samudra Hindia, serta di Timur Tengah.

    US Navy mengundang bapak Kasal dalam acara In-ternasional Sea Power Sym-posium bulan Oktober 2013 di Newport Rhode Island, se-

    bagai panel moderator pada acara tersebut. Undangan pimpinan US Navy tersebut

    juga dimaksud untuk menun-jukkan kepada pemerintah Indonesia dan negara-negara di kawasan bahwa US Navy memberikan penghargaan, perhatian yang besar kepada TNI AL di bawah kepemimpin-an Kasal Laksamana TNI Dr. Marsetio yang telah banyak memberikan kontribusi aktif dalam upaya yang nyata un-tuk selalu aktif sebagai pe-mimpin di kawasan Asia Teng-gara. Undangan ini juga untuk menunjukkan kepada negara-negara wilayah Asia Teng-

    PANDANGAN vADM. SCOTT H. SWIFT MANTAN PANGLIMA ARMADA-7 US NAvYTERHADAP TNI AL

  • gara bahwa Indonesia memi-liki hubungan dan posisi yang erat dan strategis dengan US Navy.

    US Navy senantiasa mendukung upaya upaya kepemimpinan TNI AL dalam meningkatkan kerja sama dan memelihara keamanan maritim di kawasan dan senantiasa akan siap memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh TNI AL untuk mewujudkan agenda- agenda yang telah disusun.

    US Navy sangat men-dukung akan membantu ren-cana dan upaya TNI AL untuk mewujudkan Cyber Crime Command di TNI AL dimasa depan.

    US Navy juga akan terus berusaha mendorong Pemerintah USA untuk dapat meningkatkan dana IMET kepada TNI AL agar makin banyak Perwira TNI AL dapat meningkatkan profesionalisme dan belajar di USA.

    US Navy juga sangat menghargai rencana TNI AL untuk mengadakan Interna-sional Maritim Security 2013 dan Multilateral Komodo Exercise 2014 serta akan ber-partisipasi aktif dalam kedua event tersebut.

    US Navy juga mengha-rapkan TNI AL dapat mendo-rong dan mengajak Angkatan Laut di kawasan untuk dapat

    berpartisipasi bersama dalam kegiatan latihan RIMPAC 2014 untuk melaksanakan Group Sail menuju pangkalan di Hawaii, USA.

    US Navy juga men-dukung rencana TNI AL untuk meningkatkan dan memba-ngun kemampuan pengamat-an, deteksi dan pengumpulan data dengan menggunakan peralatan UAV.

    US Navy juga menghar-gai dan mendukung pening-katan dan pengadaan alut-sista TNI AL kedepan serta menyampaikan bahwa hal ini akan sesuai dengan visi